TINJAUAN PUSTAKA
Ultrasonografi sebagai Prediktor Persalinan Preterm Harry Kurniawan Gondo Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, Indonesia
ABSTRAK Prematuritas merupakan masalah kesehatan yang penting dalam bidang obstetri hingga saat ini. Keadaan ini potensial meningkatkan angka kematian perinatal yang umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah. Kini, ultrasonografi sebagai prediktor terjadinya persalinan preterm sudah banyak digunakan, dengan berbagai indikator, meliputi panjang serviks uteri, ketebalan selaput ketuban, dan Doppler arteri umbilikalis. Disimpulkan bahwa ultrasonografi untuk prediksi persalinan preterm lebih murah dibanding pemeriksaan penanda biokimiawi, juga lebih efisien karena dapat disimpulkan sesaat setelah pemeriksaan. Kata kunci: perinatal, preterm, ultrasonografi
ABSTRACT Prematurity is still an important health problem in obstetry. This condition has potential to improves perinatal morbidity which is generally related to low birth weight. Nowadays, ultrasonography as a predictor of preterm labor had been used frequently, with various indicators, include the length of uterine cervix, the thickness of chorioamniotic membranes and Doppler of umbilical artery. It is concluded that ultrasonography for the prediction of preterm labor is less expensive thab biochemical markers examination, and more efficient because the conclusion can be made immediately after examination. Harry Kurniawan Gondo. Ultrasonography as a Predictor of Preterm Labor. Key words: perinatal, preterm, ultrasonography
PENDAHULUAN Prematuritas merupakan masalah kesehatan yang penting dalam bidang obstetri sampai saat ini. Keadaan ini potensial meningkatkan kematian perinatal yang umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah (BBLR). Kesulitan utama dalam persalinan preterm adalah perawatan bayi preterm, yang makin muda usia kehamilannya makin besar morbiditas dan mortalitasnya. Kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap negara, di Eropa berkisar 5-11%, USA berkisar 11,9% pada tahun 2000, Australia sekitar 7%. Di negara sedang berkembang angka kejadiannya lebih tinggi, di India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Sudan 31%, Malaysia 10%. Di Indonesia angka kejadian prematuritas nasional belum ada, namun kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9%.1,2 Persalinan preterm merupakan sebuah sindrom dengan berbagai macam etiologi yang menghasilkan aktivasi jalur umum akhir sebuah persalinan (aktivasi membran, kontraktilitas miometrium dan pematangan serviks). Walaupun sejumlah mekanisme patolo-
CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012
CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 567
gis yang berbeda (infeksi, perdarahan, stres) dapat menimbulkan persalinan prematur, semuanya melibatkan gangguan bagian desidua korionik. Beberapa penanda biokimiawi yang dilepaskan pada gangguan ini (fibronektin fetal, metaloproteinase-9 matriks plasma) dan penanda biofisik (seperti panjang serviks) telah diusulkan sebagai prediktor persalinan prematur spontan.3-5 PERSALINAN PRETERM Patogenesis3-7 Proses inflamasi jaringan korioamniotik akibat infeksi yang berasal dari vagina dan serviks akan meningkatkan produksi endotoksin lokal dan sitokin inflamatorik, yakni IL-1 (interleukin-1) dan TNF (tumor necrosis factor), yang meningkatkan pelepasan prostanoid pada jaringan korioamniotik dan desidua. Sitokin ini juga meningkatkan pelepasan IL-6 (interleukin-6) dari jaringan yang sama dan ikut berperan meningkatkan pelepasan prostanoid, leukotrien B4, dan endotelin, yang mengakibatkan kontraksi uterus. Lebih lanjut, dikemukakan juga adanya pengaruh sitokin
terhadap pelepasan protease yang dihasilkan oleh jaringan korioamniotik, desidua, dan matriks ekstraseluler (seperti kolagenase), di samping meningkatkan produksi IL-8 (interleukin-8) dari jaringan yang sama, sehingga meningkatkan sebukan sel leukosit PMN dan melepaskan enzim elastase yang poten untuk merusak matriks ekstraseluler. Semua kejadian di atas akan menyebabkan perubahan serviks lebih lanjut, pemisahan korion dari desidua, dan pelepasan fibronektin, yang kadang-kadang disertai pecah ketuban sebelum waktunya pada kehamilan preterm. Selanjutnya, dikemukakan adanya pengaruh stres pada ibu maupun janin terhadap proses persalinan ini. Berbagai stres hormonal yang dihasilkan oleh adrenal maupun hipotalamus akan meningkatkan pelepasan CRH (corticotropic-releasing hormone) dari plasenta, desidua, dan korioamnion. CRH yang berperan sebagai efektor parakrin akan meningkatkan produksi prostanoid dari desidua dan korioamnion untuk merangsang kontraksi uterus. Peningkatan pelepasan pencetus awal per-
567 8/6/2012 3:14:31 PM
TINJAUAN PUSTAKA salinan fisiologis (CRH, oksitosin, progesteron withdrawal) secara bersama yang terjadi lebih dini akan meningkatkan produksi prostanoid dan protease. Berkurangnya aliran darah ke uterus akibat kelainan pembuluh darah desidua, menyebabkan iskemia uteroplasenta dan, konsekuensinya, kerusakan jaringan setempat oleh peroksidase lipid dan radikal bebas. Hal ini akan meningkatkan produksi prostanoid, protease, dan endotelin, yang selanjutnya akan meningkatkan pelepasan CRH. Perdarahan desidua akan menyebabkan penurunan fungsi pembuluh darah uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada janin yang akan melepaskan CRH, meningkatkan makrofag dengan pelepasan sitokinnya, atau secara langsung merangsang produksi protease dan prostanoid desidua melalui pembentukan trombin. Klasifikasi4-6 Menurut pencetus kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi: a. Idiopatik/Spontan Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui. Termasuk ke dalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat kehamilan kembar, polihidramnion, faktor psikososial, dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan oleh infeksi (korioamnionitis). b. Iatrogenik/Elektif Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya (fetus as a patient). Jadi, apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan janin, janin akan dipindahkan ke dalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan (iatrogenik) yang disebut sebagai elective preterm. Sekitar 25% persalinan preterm termasuk ke dalam golongan ini. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm elektif: Preeklampsia berat dan eklampsia Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio plasenta)
568 CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 568
Korioamnionitis Penyakit jantung, paru, atau ginjal yang berat. Kedaaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm elektif: Gawat janin (anemia, hipoksia, asidosis, atau gangguan jantung janin) Infeksi intrauteri Pertumbuhan janin terhambat (intrauterine growth restriction, IUGR) Isoimunisasi Rhesus. Penanda7 Berbagai cara sederhana melalui anmnesis dan pemeriksaan fisik telah dilakukan untuk mendeteksi dini dan memprediksi kejadian persalinan prematur. Mencari faktor risiko, penapisan infeksi saluran urogenital, pemantauan kontraksi uterus, perdarahan pervaginam, atau pemeriksaan serviks (baik secara digital maupun sonografi) telah dipakai sejak lama, tetapi semuanya belum memuaskan. Beberapa penanda persalinan preterm yang diharapkan dapat mendeteksi kejadian persalinan preterm lebih dini antara lain: a. Indikator klinis Timbulnya kontraksi dan pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban pecah dini (KPD) juga meramalkan terjadinya persalinan preterm. Rata-rata panjang serviks pada kehamilan 24 minggu adalah 35 mm; serviks yang lebih pendek meningkatkan kejadian persalinan preterm. Pada persalinan preterm, selaput ketuban lebih tebal daripada dengan persalinan aterm. b. Indikator laboratorik Beberapa indikator laboratorium yang bermakna antara lain adalah jumlah leukosit dalam air ketuban ( ≥20/mL), pemeriksaan C- reactive protein (CRP) (>0,7 mg/mL), dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (>13.000/mL). c. Indikator biokimiawi Fibronektin fetal Peningkatan kadar fibronektin fetal di vagina, serviks, dan air ketuban (cairan amnion) mengindikasikan adanya gangguan hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilan ≥24 minggu, kadar fibronektin fetal ≥50 ng/ mL mengindikasikan risiko persalinan preterm.
Corticotropin-releasing hormone (CRH) Peningkatan CRH dini atau pada trimester 2 merupakan indikator kuat untuk terjadinya persalinan preterm. Estrogen dan progesteron Peningkatan estriol berhubungan dengan peningkatan risiko persalinan preterm. Antagonis progesteron mempunyai efek estrogen dan kadarnya meningkat seiring meningkatnya usia kehamilan. Progesteron berperan sinergis dengan estrogen dan memicu pengeluaran oksitosin serta pembentukan reseptor prostaglandin oleh miometrium. Sitokin inflamatorik IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α telah diteliti sebagai mediator yang berperan dalam sintesis prostaglandin. Isoferitin plasenta Kalau tidak hamil, kadar isoferitin 10 U/mL. Kadarnya meningkat bermakna selama kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8 ± 53 U/mL. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya persalinan preterm. Feritin Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitif untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan dengan berbagai keadaan reaksi fase akut, termasuk inflamasi. Beberapa peneliti menyatakan ada hubungan antara peningkatan kadar feritin dan kejadian persalinan preterm. ULTRASONOGRAFI (USG) UNTUK PREDIKSI PERSALINAN PRETERM USG Panjang Serviks Uteri8-13 Hubungan antara dilatasi ostium uteri internum dengan pemendekan serviks adalah faktor risiko yang paling signifikan dalam persalinan preterm. Ultrasonografi untuk pemeriksaan serviks diawali dengan pendekatan transabdominal, transvaginal, dan transperineal. Pemeriksaan transabdominal memerlukan persiapan pengisian kandung kemih untuk dapat mencapai serviks, tetapi tindakan ini akan mengaburkan panjang serviks karena akan menekan segmen bawah uteri sehingga tampak lebih panjang; pemendekan dan funneling menjadi tidak tampak. Resolusi ultrasonografi transabdominal dipengaruhi secara signifikan oleh obesitas maternal, bayangan bagian-bagian janin, juga membutuhkan transduser berfrekuensi rendah; jadi, banyak kelemahannya. Terdapat pemeriksaan trans-
CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012
8/6/2012 3:14:32 PM
TINJAUAN PUSTAKA perineal (translabial) sebagai alternatif jika merasa tidak nyaman dengan pemeriksaan transvaginal dan pada keadaan tertentu, seperti ketuban pecah dini atau perdarahan. Metode standar saat ini adalah dengan pendekatan transvaginal. Teknik pemeriksaan sonografi transvaginal yang direkomendasikan: 1. Pasien diminta mengosongkan kandung kemihnya. 2. Siapkan probe yang bersih, lalu bungkus dengan kondom. 3. Masukkan probe (probe dapat dimasukkan sendiri oleh pasien untuk kenyamanan). 4. Tuntun probe ke forniks anterior vagina. 5. Dapatkan pandangan sagital aksis-panjang dari keseluruhan panjang endoserviks. 6. Perbaiki posisi probe bila mendapat gambaran samar, ulangi dengan tekanan cukup untuk mendapat gambar yang baik (hindari tekanan berlebih pada serviks karena dapat membuat gambaran seviks lebih panjang). 7. Perbesar gambar sampai didapatkan gambaran serviks sebesar dua pertiganya, sehingga ostium internum dan eksternum keduanya dapat terlihat 8. Ukur panjang serviks dari ostium internum ke ostium eksternum sepanjang kanalis endoserviks. 9. Dapatkan paling tidak tiga ukuran, catat ukuran terpendek dalam milimeter. 10. Lakukan tekanan transfundal selama 15 detik dan catat panjang serviks sekali lagi. Tekanan pada fundus saat pemeriksaan sering menyebabkan pembentukan saluran dan pemendekan serviks pada pasien dengan risiko persalinan preterm. Teknik ini untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko inkompetensi serviks. Ukuran serviks relatif tetap sampai akhir trimester ketiga. Perubahan serviks diawali dengan funneling ostium uteri internum dari bentuk normal (T shape) menjadi Y shape, V shape, dan U shape. Committee on Imaging Diagnostic of Society of Obstetric and Gynecology Canada merekomendasikan: 1. Pemeriksaan ultrasonografi serviks sebaiknya dengan pendekatan transvaginal. 2. Penapisan (screening) panjang serviks prenatal dengan sonografi transvaginal diindikasikan pada wanita yang memiliki risiko persalinan preterm. Pemendekannya dikaitkan dengan peningkatan risiko persalinan preterm.
CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012
CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 569
3. Ukuran sonografi transvaginal memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi jika panjang serviks lebih dari 30 mm setelah 24 minggu.
Gambar 3 Teknik pengukuran panjang serviks A Pengukuran langsung panjang serviks: dari OUI ditarik garis lurus langsung ke OUE. B Teknik “trace”: menyusuri kanalis servisis mulai dari OUI sampai OUE. Pengukuran ini membutuhkan keterampilan, Gambar 1 Pemeriksaan panjang serviks dengan USG trans-
dan biasanya hasilnya lebih panjang.
vaginal
C Pengukuran tidak langsung panjang serviks (dengan 2
A Teknik pemeriksaan panjang serviks dengan USG trans-
langkah): dari OUI ditarik garis lurus ke titik lokasi lebar ser-
vaginal IO: ostium internum; EO: ostium eksternum; FH:
viks ≥5mm, kemudian dari titik ini ditarik garis sampai OUE,
kepala janin
lalu dijumlahkan kedua panjang tersebut untuk memper-
B USG 2 dimensi yang diperbesar hingga 75% (2/3) seh-
oleh panjang serviks.
ingga OUI (ostium uteri internum) dan OUE (ostium uteri eksternum) tervisualisasi dengan baik
USG Ketebalan Selaput Ketuban9,14-16 Dari setengah persalinan preterm yang tidak diketahui sebabnya, sebagian terjadi akibat infeksi. Infeksi dalam uterus dapat berlokasi di (1) ruang antara desidua dan selaput ketuban, (2) dalam selaput ketuban sendiri, (3) dalam cairan amnion, dan (4) dalam janin. Korioamnionitis didefinisikan sebagai inflamasi selaput ketuban sebagai respons atas invasi mikrobakteri atau proses patologi lain; umumnya berhubungan dengan ketuban pecah dini dan persalinan preterm.
rak OUE dengan perkiraan tinggi penjahitan cerclage.
Para ahli klinikopatologi menemukan bahwa pada korioamnionitis, terjadi invasi neutrofil ke dalam selaput ketuban, tanda permulaan respons inflamasi yang paling umum akibat infeksi bakteri. Secara umum, korioamnionitis dibagi secara: 1. Histologik Berdasarkan bukti mikroskopik adanya inflamasi selaput ketuban (infiltrasi leukosit polimorfonuklear [PMN] dan imunosit lain, seperti makrofag dan sel T).
Makin pendek serviks, makin besar kemungkinan pasien melahirkan preterm. Kemampuan prediktif terpenting panjang serviks ialah kelahiran sangat dini yang disertai dengan tingginya mortalitas dan morbiditas perinatal.
2. Klinis Berdasarkan manifestasi klinis inflamasi lokal dan sistemik (demam >37,5oC), nyeri tekan uterus, nyeri abdomen, sekret vagina berbau tidak sedap, takikardia maternal (>100 kali/
Gambar 2 Ilustrasi skematik teknik pengukuran panjang serviks A Panjang serviks B Panjang funneling C Lebar funneling D Jarak OUI dengan perkiraan tinggi penjahitan cerclage E Ja-
569 8/6/2012 3:14:32 PM
TINJAUAN PUSTAKA menit), takikardia fetal (>160 kali/menit), dan peningkatan jumlah leukosit (>15.000 sel/ mm3). Penelitian baru menambahkan perubahan profil biomarker inflamasi. Korioamnionitis sering terjadi bersamaan dengan inflamasi jaringan gestasional lain, seperti desidua (desiduitis), vili plasenta (vilitis), dan tali pusat (funisitis). Korioamnionitis klinis dan histologik disebabkan oleh, atau merupakan konsekuensi dari, invasi mikroba ke ruang amnion atau infeksi intraamnion. Korioamnionitis histologik berhubungan dengan infeksi intraamnion dan adanya bakteri di cairan amnion. Korioamnionitis berhubungan dengan berat badan bayi lahir rendah (<2500 g) pada bayi prematur, karena adanya respons stres janin terhadap infeksi kronis. Oligohidramnion dan ketuban pecah dini merupakan faktor risiko utama persalinan preterm dan berhubungan dengan korioamnionitis histologik. Pada persalinan preterm, infeksi intrauteri dapat menstimulasi peningkatan sitokin proinflamasi dan migrasi leukosit. Namun, tanpa infeksi, konsentrasinya di cairan amnion dan serum maternal tetap meningkat pada persalinan aterm dan preterm; terdapat peningkatan IL-1β dan IL-8 pada selaput amnion, koriodesidua, dan miometrium. Kondisi inflamasi yang memengaruhi terjadinya persalinan preterm melibatkan juga selaput ketuban, seperti yang telah diteliti secara biokimiawi dan biomolekuler. Evaluasi ultrasonografi untuk mengukur ketebalan selaput ketuban di zona tengah menemukan bahwa pada persalinan preterm, selaput ketuban lebih tebal ketimbang pada kelahiran aterm. Penebalan selaput ketuban ini terjadi akibat proses seperti inflamasi yang mencetuskan persalinan.
Gambar 4 Ultrasonografi, menunjukkan tempat pengukuran ketebalan selaput ketuban
570 CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 570
Aktivasi persalinan preterm berhubungan dengan ketebalan selaput ketuban. Penelitian biokimiawi dan biomolekuler mendukung teori bahwa persalinan merupakan sebuah kondisi mirip inflamasi. Angka kejadian yang tinggi pada persalinan preterm akibat infeksi, terutama korioamnionitis (sebagian besar korioamnionitis histologik), menunjukkan pentingnya pengetahuan tentang selaput ketuban.
jantung dan adrenal; merupakan sistem pemusatan aliran darah ke otak dengan mengabaikan kepentingan organ-organ perifer, seperti kulit, usus, ginjal, dan sirkulasi plasenta. Terjadinya pemusatan aliran darah ke otak merupakan pertanda bahwa hipoksia janin sedang berlangsung. Pada keadaan hipoksia berat, hilangnya fenomena BSE merupakan tanda kerusakan ireversibel yang mendahului kematian janin.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penebalan selaput ketuban sebagai penanda inflamasi berhubungan secara biokimiawi dan biomolekuler dengan kejadian persalinan. Penelitian terkini mengungkap bahwa wanita yang mengalami persalinan preterm memiliki selaput ketuban yang secara bermakna lebih tebal (1,67 ± 0,27 mm) dibandingkan dengan wanita yang mengalami persalinan aterm (1,14 ± 0,30 mm), dengan nilai cut-off terbaik pada kurva ROC 1,2 mm.
Sebagai respons terhadap hipoksia kronis, janin yang mengalami hambatan pertumbuhan (PJT) akan mengalami redistribusi aliran darah dari organ nonesensial menuju otak dan miokardium. Arteri serebral akan berespons cepat terhadap hipoksemia karena jaringan otak sangat tergantung pada oksigen. Adanya redistribusi serebral (abnormalitas USG Doppler MCA [middle cerebral artery, arteri serebri media]) dan/atau abnormalitas rasio Doppler arteri umbilikalis/MCA dapat memprediksi luaran perinatal pada kehamilan risiko tinggi. Pada usia kehamilan 24 minggu, rasio MCA/ arteri umbilikalis <1,08 tergolong abnormal dan mengindikasikan adanya redistribusi aliran darah fetus sebagai respons terhadap hipoksia (brain-sparing effect).
USG Doppler17-22 Penerapan teknik ultrasonografi (USG) Doppler untuk menangkap signal aliran darah pembuluh janin memberi peluang menilai secara langsung keadaan sirkulasi janin maupun rahim. Pengukuran kuantitatif aliran darah masih banyak penyimpangannya sehingga pengukuran berdasarkan analisis spektrum cukup berguna. Pemeriksaan aliran darah menggunakan USG Doppler (Doppler velocimetry) merupakan pemeriksaan noninvasif untuk mengevaluasi hemodinamika pembuluh darah dan aliran darah. Pemeriksaan USG Doppler berwarna dapat mengikuti perkembangan hemodinamika dengan baik melalui visualisasi uterus dengan embrio pada awal kehamilan. USG Doppler sirkulasi janin manusia menunjukkan bahwa janin yang mengalami hipoksia, pertumbuhannya terhambat (IUGR, atau PJT [pertumbuhan kanin terhambat]) disertai penurunan aliran darah uteroplasenta. Pada keadaan ini, gambaran Doppler akan memperlihatkan peninggian resistensi (resistance index, RI) atau peninggian indeks pulsatil (pulsatile index, PI) arteri umbilikalis disertai penurunan resistensi sirkulasi serebral yang terkenal dengan istilah fenomena”brainsparing effect” (BSE). BSE merupakan mekanisme kompensasi tubuh untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan organ-organ penting lainnya, seperti
Redistribusi darah ke otak (BSE) terjadi pada stadium awal adaptasi janin terhadap hipoksemia, yang diikuti dengan gangguan pertumbuhan janin. Pada stadium awal, BSE terbukti dengan adanya peningkatan gelombang diastolik akhir MCA (rendahnya PI atau RI) dan penurunan gelombang diastolik akhir arteri umbilikalis (tingginya RI atau S/D ratio [rasio sistolik/diastolik] arteri umbilikalis). Rasio serebroplasenta (RI serebral: RI umbilikal) mampu mendefinisikan BSE dan memprediksi luaran janin PJT sebelum usia kehamilan 34 minggu. Nilai PI MCA meningkat di atas rentang normal bila PO2 turun. Penurunan maksimal PI terjadi bila PO2 janin berada 2-4 SD di atas normal untuk usia kehamilannya. Bila terjadi defisit oksigen dalam jumlah besar, nilai PI cenderung meningkat, diduga sebagai refleksi perkembangan edema otak. Pada janin PJT, hilangnya BSE dan/atau adanya gambaran terbalik gelombang diastolik MCA menunjukkan bahwa janin dalam keadaan kritis dan mengancam jiwa janin. Peristiwa ini memberikan konfirmasi keadaan janin saat keputusan intervensi obstetrik diambil.
CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012
8/6/2012 3:14:37 PM
TINJAUAN PUSTAKA Janin PJT saat lahir dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas jangka pendek dan jangka panjang. USG Doppler sirkulasi janin memberikan gambaran respons janin terhadap perubahan kondisi dalam rahim. Informasi ini dapat membantu menentukan kondisi bayi dan berguna dalam penentuan kapan saat terbaik janin dilahirkan. Saat kehamilan berlangsung, redistribusi dihubungkan dengan kemampuan adaptasi janin terhadap keadaan darurat, terutama fungsi respirasi. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya hubungan antara redistribusi dan abnormalitas analisis gas darah intrauteri. Istilah redistribusi secara umum digunakan jika USG Doppler menunjukkan perubahan variabilitas sistolik/ diastolik (rasio S/D) pada indikator pembuluh darah. Indeks kecepatan gelombang diastolik hanya sedikit meningkat pada organ utama, sedangkan pada pembuluh darah regional dapat melemah atau berhenti, bahkan pada beberapa kasus sering terbalik. Redistribusi bukan proses statis, tetapi merupakan mekanisme kompensasi yang dapat berubah bila persediaan terganggu. Bila proses berlanjut, akan terjadi dekompensasi,
diawali dengan meningkatnya kecepatan gelombang MCA (pseudonormalisasi gelombang darah), dan pada akhirnya gelombang diastolik akan hilang atau bahkan terbalik. Keadaan ini dihubungkan dengan patologi lain, seperti edema serebri. Yang harus diperhatikan, efek yang sama mungkin terlihat pada peningkatan tekanan atau penekanan kepala janin. Untuk itu, perlu dilakukan pengecekan ulang stabilitas dan konsistensi temuan tersebut dan dihubungkan dengan temuan lain sebelum menentukan keputusan klinis. Jika ada gambaran terbalik pada gelombang diastolik akhir arteri umbilikalis, dipertimbangkan persalinan sectio caesarea jika janin sudah viable. Keputusan ini dipengaruhi juga oleh perkiraan berat badan, umur kehamilan, parameter Doppler lain, serta penilaian lain, seperti anatomi dan anomali kromosom. Pada usia kehamilan awal, hilangnya atau terbaliknya gelombang diastolik akhir arteri umbilikalis adalah indikasi untuk meningkatkan pengawasan fetal, tetapi tidak mendesak untuk persalinan segera. Keputusan untuk melahirkan janin PJT dengan gambaran hi-
langnya (atau terbaliknya) frekuensi diastolik akhir dilakukan setelah usia kehamilan 28 minggu; tersedianya fasilitas NICU (neonatal intensive care unit) menghasilkan angka kematian perinatal kurang dari 10% pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu. Pada kasus prematuritas, persalinan dapat ditunda selama 48 jam untuk memberikan keuntungan maksimal pemberian glukokortikoid (injeksi steroid), dengan pemantauan kontinu denyut jantung janin. Pada kehamilan aterm, keadaan insufisiensi plasenta berat (yang terlihat dari hilangnya gelombang diastolik akhir arteri umbilikalis) merupakan indikasi terminasi kehamilan. Gambaran tersebut menunjukkan gangguan pertumbuhan berat yang berisiko tinggi untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas perinatal. Gambaran BSE pada USG Doppler pada kasus penurunan perfusi uteroplasenta menunjukkan berkurangnya perfusi fetoplasenta dan sentralisasi sirkulasi janin, sehingga menimbulkan risiko PJT. Penggunaan USG Doppler pada persalinan preterm berhubungan dengan preterm elektif. Jika ditemukan kelainan, diputuskan tindakan terminasi dengan berbagai pertimbangan klinis dan kebijakan di masing-masing pusat layanan kesehatan. SIMPULAN Penggunaan ultrasonografi untuk memprediksi persalinan preterm menguntungkan karena tidak invasif, selektif, efisien, akurat, dan saat ini dapat terjangkau oleh masyarakat luas melalui pusat-pusat layanan kesehatan. Pemeriksaan ini mudah, murah, dapat diulang, dan dapat dilakukan saat kunjungan antenatal care (ANC) di pusat layanan kesehatan yang sudah memiliki fasilitas ultrasonografi.
Gambar 5 Brain-sparing effect (BSE) Pada kehamilan 25 minggu, tampak Doppler arteri umbilikalis dengan hilangnya gelombang diastolik (absent of diastolic flow, AEDF) dan gambaran Doppler MCA dengan aliran meningkat. Pada kasus serupa, pada kehamilan 27 minggu, tampak Doppler arteri umbilikalis dengan gelombang diastolik terbalik (reversed diastolic flow, REDF) dan gambaran Doppler MCA dengan aliran meningkat. Janin meninggal dalam kandungan (intrauterine fetal death, IUFD) 3 hari setelah pemeriksaan.
CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012
CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 571
Penggunaan ultrasonografi dapat melengkapi dan mendukung prediktor-prediktor lain pada kasus persalinan preterm, sehingga manajemen persalinan preterm dan bayi preterm dapat dipersiapkan dengan baik, dengan kerja sama berbagai disiplin ilmu (kebidanan, pediatri, unit neonatus, keperawatan, anestesi, dan lain-lain).
571 8/6/2012 3:14:37 PM
TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA 1.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. Panduan Pengelolahan Persalinan Preterm Nasional. Bandung, Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia, 2011.
2.
Mocthar AB. Persalinan Preterm dalam Ilmu Kebidanan ed 4. Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo, 2008; 667-76.
3.
Reece EA, Hobbins JC. Preterm Labor in Clinical Obstetrics The Fetus & Mother 3rd ed. Blackwell Publ, United Kingdom, 2008; 1077-84.
4.
Creasy RK, Resnik R, Iams JD, et al. Preterm Labor and Birth in Maternal Fetal Medicine Principle and Practice 6th ed. Saunders Elsevier, Philadelphia, 2009; 545-82.
5.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom Sl, et al. Preterm Birth in William Obstetrics 23th ed. McGrawHill, USA, 2010; 804-31.
6.
Power ML, Schulkin J. Birth, Distress and Disease Placental Brain Interaction. Cambridge University Press, New York, 2005.
7.
Morrison C. Clinical Preterm Labor : Prediction and Treatment. Elsevier Saunders, Obstetr. Gynecol. Clin. N. Amer. 2005.
8.
ACOG (The American College Of Obstetricans And Gynecologist). Ultasonography In Preganancy, Clinical Management Guidelines For Obstetrician And Gynecologist. ACOG Practice Bulletin December No 58, USA, 2004.
9.
Gondo HK, Suwardewa TGA. Persalinan Preterm dalam Ultrasonografi Obstetri dan Ginekologi. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2011.
10. Bogota SP, Angel GB. Ultrasound In Pregnancy : If, When, What. In : Obstetric Evedence Based Guidelines. Informa Health Care, United Kingdom, 2007. 11. Callen PW ed. Ultrasound Evalaution of the Cervix in Ultrasonography in Obstetrics and Gynecology 5th ed. Elsevier Saunders, Philadephia, 2008. 12. Thilaganathan B, Sairam S, Papageorghiou AT, et al. Problem Based Obstetric Ultrasound. Informa healthcare, United Kingdom, 2007. 13. Suwardewa TGA, Ariani IN. Tesis : Hubungan Panjang Serviks Dengan Risiko Persalinan Preterm. SMF/ Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RS Sanglah. Denpasar, 2008. 14. Levine D. Ultrasound Clinics : Obstetric Ultrasound. Elsevier Saunders, Boston, 2006. 15. Suwardewa TGA, Sidharta J. Ketebalan Selaput Ketuban sebagai Penanda Inflamasi untuk memprediksi Persalinan Preterm. SMF/ Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RS Sanglah. Denpasar, 2010. 16. Frigo P, Lang CH, Golaszewski T, Gruber D, Berger A, Ulrich R et al. Measurement of amniochorionic membrane thickness using high-frequency ultrasound. Prenatal Diagnosis. 2006;16:313-7. 17. Kurjak A, Chernevak FA. Doppler sonography in Obstetrics. In Donald School Text Book of Ultrasound In Obstetric and Gynecology. Parthenon Publ, New Dehli, 2003. 18. Alfirevic Z, Stampalija T, Gyte GML, Neilson JP. Fetal and Umbilical Doppler ultrasound in highrisk pregnancies (Protocol). The Cochrane Collaboration. The Cochrane Library Issue 1, 2009. 19. Bricker L, Dornan SM, Dornan JC. Detection of Fetal Growth Restriction Using Third Trimester Ultrasound. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology 23, 833–844, Elsevier Saunders, 2009. 20. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom LS et al. William Obstetrics: Ultrasonography and Doppler. 23nd ed. p 373 – 88. McGraw-Hill Medical Publ. Div., United States Of America, 2010. 21. Gondo HK, Suwardewa TGA. Dopper Ultrasonografi. Dalam: Ultrasonografi Obstetri dan Ginekologi. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2011. 22. Maulik D. Doppler Ultrasound In Obstetrics and Gynecology. Germany, Springer, 2005.
572 CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 572
CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012
8/6/2012 3:14:38 PM