MEKANISME INFLAMASI DAN INFEKSI PADA PERSALINAN PRETERM Tjokorda Gde Agung Suwardewa
Pendahuluan Persalinan preterm masih merupakan masalah Obstetri, khususnya dibidang kedokteran fetomaternal. Hal ini berhubungan dengan angka kejadian persalinan preterm masih tinggi, bervariasi dan cenderung meningkat. Selain itu, persalinan preterm terkait dengan stres psikis ibu dan keluarga, mahalnya pembiayaan perawatan bayi preterm, dan risiko terjadinya efek samping jangka pendek dan jangka panjang. Efek samping jangka pendek dapat berupa cara persalinan, risiko asfiksia neonatorum, perdarahan intrakranial, dan kematian perinatal. Efek jangka panjang antara lain gangguan pertumbuhan fisik, kecerdasan, psikologik. Bahkan, preterm merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal Pada dasarnya, mekanisme yang mengawali persalinan preterm tersebut belum diketahui pasti. Persalinan preterm tersebut merupakan suatu sindroma yang mungkin berhubungan dengan infeksi, perdarahan dan iskemik uterus, overdistensi uterus, kelainan pada serviks, reaksi alograf abnormal, fenomena alergi, dan gangguan endokrin. Faktor-faktor tersebut dihubungkan dengan rangkaian gejala klinik yang mengakibatkan sinkronisasi adanya kontraksi miometrium, robekan selaput janin pada korion dan amnion, dan pematangan serviks (Romero, 2009). 1
Di RSUP Sanglah Denpasar, Abdi (2011), melaporkan tentang penelitian kasus-kontrol, bahwa terdapat perbedaan bermakna infeksi multibakterial di vagina pada ibu hamil preterm dibanding dengan aterm. Selain infeksi vagina, infeksi di tempat lain dapat pula menjalar ke kavum uteri
melalui
perkontinuitatum.
berbagai Bahkan
mekanisme
yaitu
hematogen,
infeksi
periodontal
juga
limfogen,
dikaitkan
dan
dengan
meningkatnya risiko persalinan preterm (Iam, 2002). Kajian Pustaka Onset dan kemajuan proses persalinan ditandai oleh peristiwa yang kompleks serta melibatkan faktor maternal, janin dan plasenta, seperti: prostaglandin (PG), kortisol, progesteron dan oksitosin. Produk ini akan berinteraksi dengan sitokin dalam memberi isyarat untuk dimulai atau dihentikannya
suatu
proses
persalinan
(Splichal,
2001.,Tomblom,
2005.,Schlembach,. 2009). Selama kehamilan uterus dijaga ketenangannya. Mendekati onset persalian terjadi perubahan yaitu kontraksi uterus yang terkoordinir dan dilatasi serviks yang diikuti dengan partus. Persalinan preterm lebih menunjukkan sebagai suatu sindrom karena penyebabnya yang bervariasi dan menunjukan adanya ketidaksinkronan
pada
mekanisme
yang
bertanggung
jawab
untuk
mempertahankan ketenangan uterus seperti: peran dari enzim 15-Prostaglandin Dehidrogenase (PGDH) yang dihasilkan oleh jaringan korionik dan trofoblas yang dapat mendegradasi Prostaglandin E2 (PGE2) yang diproduksi oleh amnion, 2
sehingga mencegah prostaglandin mencapai miometrium dan meniadakan kontraksi. Infeksi kronis menyebabkan penurunan aktivitas enzim ini diikuti dengan peningkatan kuantitatif dari PG sehingga terjadilah kontraksi uterus (Hole,2001.,Tomblon,2005). Sepertiga kejadian persalian preterm berkaitan dengan infeksi intra uterin, dimana dengan amniosintesis didapatkan mikroorganisme patogen 20% (Tomblon,2005).
Gambar 1. Tempat Potensial Infeksi Bakteri Intra Uteri (Romero, 2002)
Pada awalnya mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh, harus melewati mekanisme sistem kekebalan alami (innate immune system). Epitel permukaan seperti kulit dan mukosa merupakan jaringan penahan masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh. Masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh dipermudah oleh adanya kerusakan jaringan penahan (barrier) tadi. Rusaknya 3
jaringn penahan itu bisa disebabkan oleh proses patologis dan fisiologis seperti saat menstruasi. Kuman atau mikroorganisme ini masuk ke dalam jaringan di bawah endometrium melalui saat menstruasi tersebut, jauh sebelum terjadi kehamilan. Namun beberapa ahli menyebutkan mikroorganisme bia masuk melalui epitel yang utuh (Abbas, 2010). Masuknya mikroorganisme ke dalam kavum uteri sehingga menyebabkan infeksi koriodesidua, melalui beberapa cara (Romero, 2002): 1. Jalur ascenden dari vagina dan serviks 2. Secara hematogen melalui plasenta (transplacental infection) 3. Penetrasi langsung dari rongga peritoneum melalui tuba fallopi 4. Akibat trauma saat melakukan suatu pemeriksaan yang invasif, seperti: amniosintesis, percutaneous fetal blood sampling, chorionic villous sampling/shunting.
Cara yang paling sering untuk menyebabkan infeksi intra uteri adalah melalui jalur ascenden (menjalar dari vagina ke cavum uteri). Jalur ini diperkirakan mempunyai empat tahapan, yaitu (Romero,2002): Tahap I:
Adanya perubahan flora bakteri di vagina/serviks atau
adanya organisme patologis (seperti: N. gonorrhea) pada serviks. Adanya vaginosis bakterialis dapat menunjukan awal dari tahap I. Tahap II:
Saat bakteri mampu mendapatkan akses ke intrauteri,
mereka dapat menyebakan desiduitis, korioamnionitis, koriovaskulitis. 4
Tahap III:
Jika invasi dari infeksi dapat mencapai rongga amnion.
Pecahnya membran korioamnion bukan prasyarat terjadinya infeksi intra amnion karena bakteri mampu melintasi membran yang intak. Tahap IV:
Saat berada di rongga amnion bakteri bisa mendapatkan
akses ke janin melalui port de entre yang beragam. Aspirasi cairan amnion yang terinfeksi dapat menyebabkan kongenital pneumonia dan bila memasuki aliran darah janin dapat mengakibatkan bakterimia pada janin dan sepsis. Invasi bakteri ke dalam koriodesidua (kolonisasi bakteri koriodesidual) akan melepaskan produk-produknya, seperti: endotoksin dan eksotoksin serta mengaktifkan sistem monosit-makrofag pada host (janin/ibu) yang kemudian melepaskan sejumlah sitokin seperti Tumor Necrotic Factors- (TNF-), IL-1, IL-6, dan IL-8. Sitokin, endotoksin dan eksotoksin menstimulasi biosintesis PGF2- dan PGE2 di desidua atau amnion dan melepaskannya. Puncak dari sintesis ini adalah pelepasan metaloprotease dan unsur-unsur bioaktif lainnya. Prostaglandin menstimulasi kontraksi uterus meningkatan metaloprotease pada selaput korioamnion sehingga menimbulkan pecahnya selaput korioamnion dan pada serviks merubah jaringan kolagen pada serviks menjadi lebih lunak (Romero,2002., Tomblon,2005).
5
Koloni bakteri koriodesidua (Endotoksin dan Eksotoksin)
Respon Tubuh Janin
Respon Ibu
Janin
Khorioamnion dan Plasenta
CRH
PG Dehidrogenasi (Kronis)
Produksi Kortisol Adrenal
Desidua
Sitokin
(IL-6) &
Kemokin
PG
Neutrofil infiltrasi
Metalloprotease
Kontraksi Miometrium
Khorioamnion menipis dan ruptur
Pematangan servikss Serviks
Persalinan Preterm Gambar 2. Jalur Potensial Koloni Bakteri Koriodesidua (Romero, 2002).
6
Infeksi yang melibatkan janin mengakibatkan peningkatan aktifitas dari poros
hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA)
janin
dan
plasenta
dalam
memproduksi corticotropin releasing hormone (CRH) yang mengakibatkan sekresi kortikotropin janin meningkat. Sekresi kortikotropin yang meningkat mengakibatkan aktifitas adrenal janin meningkat dalam mensekresi kortisol. Peningkatan kortisol akan meningkatkan produksi PG dan sitokin (Bowen, 2002., Romero, 2002). Aktivasi dari Poros
Inflamasi
Hipotalamus Ibu Janin Janin –Ibu stress Onset persalinan yang dini/prematur
Mediator Biokemia
Infeksi : - Khoriodesidua - Sistemik
Perdarahan Desidua
Distensi Uterus yang Patologis
Abruption
Kehamilan multifetal Polihidramnion Abnormalitas uterus
TNF
CRH
IL-1
E1 – E2
IL-6
Thrombi n
Mechanical stretch Gap junction Reseptor oksitoksin
IL-8
Korion
Sintesis PG IL-8
+
Amnion +
Uteroton
Proteas e
Jalur umum
Perubahan Serviks Ruptur selaput Khorioamnion
in
Persalina n
Kontraksi Uterus
Preterm
Gambar 3. Jalur Patogenesis Utama dari Persalinan Preterm (Bowen, 2002)
7
Onset persalinan merupakan determinan yang penting dalam keluaran perinatal. Pada umur kehamilan 36 sampai 38 minggu, miometrium sudah mulai tahap persiapan untuk proses persalinan dan serviks mulai tahap awal proses perubahan strukturnya (remodeling). Fase persalinan dibagi empat tahapan yaitu fase satu (quiescence), fase dua aktivasi, fase tiga stimulasi, dan fase empat fase involusi. Fase satu (quiescence), ditandai dengan proses pemeliharaan integritas dari struktur serviks dimana otot polos uterus menjadi tidak responsif terhadap stimulus. Tahap pertama dari proses ini ditandai dengan peningkatan daya regang jaringan oleh karena peningkatan vaskular, hipertrofi stroma, hipertrofi dan hiperplasia glandular serta perubahan pada matriks ekstraseluler sehingga serviks menjadi lebih lunak (cervical softening). Fase aktivasi ditandai oleh miometrium yang mengalami aktivasi. Kemungkinan penyebabnya adalah adanya protein yang mengontrol kontraktilitas yang disebut Contraction-assosiated Proteins (CAPs) yang meliputi reseptor oksitosin, reseptor PGF dan connexin 43. Pada saat inisiasi kontraksi, maka serviks mengalami modifikasi yang melibatkan perubahan pada jaringan ikatnya yang dikenal dengan istilah pematangan serviks (cervical ripening). Perubahan dari proses perlunakan (softening) menjadi proses pematangan serviks berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum onset dari kontraksi uterus. Selama perubahan ini, proteoglikan dan glikosaminoglikan dalam matriks mengalami perubahan (Splichal, 2001.,Dubicke,2009)
8
Pematangan Serviks Komponen penting dari persalinan adalah terjadinya pematangan serviks yang disertai pula dengan invasi stroma oleh sel inflamasi. Hal ini mencetuskan hipotesa bahwa proses pematangan serviks merupakan suatu proses inflamasi dimana terdapat kemoatatraktan yang memasukkan sel inflamasi ke dalam serviks (Bowen, 2002., Tomblon, 2005., Dubicke, 2009). Proses persalinan melibatkan tiga proses fisiologis yang terpisah yaitu proses perubahan (remodelling) dari serviks yang disertai proses pematangan dan dilatasi serviks, melemahnya dan pecahnya selaput ketuban, dan inisiasi dari kontraksi yang ritmis disertai peningkatan amplitudo dan frekuensinya. Proses perubahan dari serviks dibagi dalam empat fase yang saling tumpang tindih yaitu: pelembutan, pematangan, dilatasi dan pemulihan serviks postpartum (Bowen,2002., Dubicke, 2009., Radulovic, 2009).
9
Gambar 4. Ostium Uteri Internum Sebagai Tempat Dimulainya Pematangan Serviks (Dubicke,2009)
Proses pematangan serviks ditandai dengan perubahan konsistensi, pendataran dan dilatasi serviks. Proses ini dievaluasi dengan skor Bishop. Proses ini dibagi ke dalam dua fase. Fase pertama adalah fase lambat (slow ripening) atau tahap persiapan di mana terjadi perubahan gradual dari kadar kolagen dan berlangsung mulai 32 minggu, atau paling awal pada usia 16-24 minggu kehamilan. Fase kedua adalah fase cepat (rapid ripening) yang terjadi sesaat sebelum onset persalinan. Pematangan serviks melibatkan perubahan besar pada jaringan ikat di serviks. Selama fase lambat terjadi penurunan jumlah kolagen sampai 30% dan proteoglikan sampai 50%. Proses akhir dari pematangan serviks 10
adalah melembut dan dilatasi dari serviks. Mekanisme yang terlibat dalam proses pematangan serviks ini belum sepenuhnya diketahui (Dubicke, 2009., Radulovic, 2009., Schlembach 2009).
Gambar 5. Peran Maternal, Fetal dan Plasenta dalam Proses Persalinan pada Kehamilan Aterm (Dubicke, 2010).
Pematangan serviks behubungan dengan berkurangnya jumlah serat kolagen dan kadar kolagen serta penurunan daya regang dari matriks ekstraseluler serviks. Terjadi penurunan kadar decorin (dermatan sulfat proteoglikan 2) yang menyebabkan
separasi
dari
serat
kolagen
sehingga
kedua
proses
ini
mengakibatkan perlunakan serviks. Matriks ekstraseluler serviks mengandung sekitar 85% dan serat otot hanya 6-10%. Matriks ekstraseluler serviks 11
mengandung komponen fibriler, proteoglikan, hyaluronan, dan glikoprotein. Komponen fibriler terdiri dari kolagen dan elastin. Pada serviks, kolagen menempati jumlah terbanyak yaitu 80% di mana didominasi oleh kolagen tipe I dan tipe III. Ikatan kolagen akan membentuk kekakuan dari serviks dan dengan cepat mengalami perubahan oleh pengaruh enzim kolagenase. Kolagen yang terdapat dalam serviks terutama kolagen tipe I, III dan IV. Kolagen tipe I dan III merupakan komponen jaringan ikat utama, sedangkan yang tipe IV berhubungan dengan otot polos dan vaskuler. Ikatan kolagen akan membentuk kekakuan servik dan cepat mengalami perubahan oleh pengaruh enzim kolagenase. Bertambahnya umur kehamilan mengakibatkan serat kolagen, otot polos dan fibroblas tersusun dengan rapat yang bertujuan meningkatkan kekuatan atau daya regang jaringan sehubungan dengan bertambahnya berat janin (Dubicke, 2009., Radulovic, 2009., Schlembach 2009). Perlunakan serviks merupakan akibat dari pencernaan kolagen serviks serta peningkatan kandungan air sehingga bagian atas serviks yaitu ostium uteri internum (OUI) bergerak ke lateral sehingga sulit dibedakan dengan segmen bawah rahim. Hal ini menandakan bahwa OUI merupakan tempat dimana proses pematangan serviks menjadi maksimal. Pematangan serviks menyebabkan penurunan jumlah kolagen, perubahan konsentrasi proteoglikan, penurunan konsentrasi decorin dan peningkatan kadar kondroitin sulfat proteoglikan vercican, sedikit sulfat proteoglikan biglikan dan sulfat proteoglikan heparan. Versican dapat menarik air dan berikatan dengan hyaluronan mengakibatkan disintergrasi dari ikatan kolagen dan perubahan struktur fisiknya sehingga 12
menghasilkan jaringan lunak dan elastis yang nantinya akan diikuti dengan proses dilatasi serviks (Dubicke, 2009., Schlembach, 2009).
Gambar 6. Matriks Ekstraseluler Pada Serviks (Dubicke, 2009)
Interaksi hormonal yang ditandai dengan peningkatan kadar enzim Cyclooxygenase
(COX)2 menyebabkan prostaglandin E2 (PGE2) lokal di
serviks meningkat, mengakibatkan (Dubicke, 2009., Schlembach 2009): - Dilatasi pembuluh darah kecil di serviks - Peningkatan degradasi kolagen - Peningkatan asam hyaluronidase - Peningkatan kemotaksis leukosit yang mengakibatkan degradasi kolagen - Peningkatan pelepasan IL-8.
13
Pada persalinan preterm terjadi pula penurunan progesteron dengan mekanisme yang belum jelas. Progesteron yang menurun menyebabkan aktivasi Macrophage-like decidua cell dan sumsum tulang mengeluarkan makrofag. Makrofag IL-1, asam arakhidonat, PGE2 dan PGF2 serta platelet activating factor (PAF). Sel desidua yang telah aktif akan memproduksi makrofag dan macrophage-like decidua cells yang melepaskan PAF, IL-1, macrofag colony stimulating factor (mCSF) dan TNF. Interleukin-1 dan TNF mempengaruhi desidua untuk memproduksi prostaglandin, terutama PGE2 dan PGF2. Prostaglandin F2 bekerja pada miometrium dalam pembentukan cell-to-cell gap junction dan reseptor oksitosin sehingga depolarisasi akan menjalar pada miometrium yang mengakibatkan peningkatan ion kalsium intra selular. Kalsium berikatan dengan kalmodulin mengaktifkan myosin like chain kinase pada aktin dan miosin menyebabkan pemendekan serabut miometrium dan kontraksi. Prostaglandin E2 dan mCSF mempengaruhi sel darah putih dan fibroblas di serviks menyebabkan sintesis dan pelepasan kolagenase. Kolagenase akan memecah jaringan kolagen serviks sehingga jumlah kolagen menurun, dan terjadi proses pelunakan atau pematangan serviks (Dubicke, 2009., Dubicke, 2010., Schlembach 2009).
14
Gambar 7. Proses Pematangan Servikss (Dubicke, 2009).
Peran Inflamasi Pada Pematangan Servikss Sitokin Sebagai Mediator Inflamasi Sitokin merupakan protein dengan berat molekul rendah, 25 kilo Dalton (kDa) yang diproduksi oleh leukosit yang dapat bekerja sebagai autokrin, parakrin maupun endokrin. Kemokin merupakan bagian dari sitokin yang memiliki sifat kemoatraktan. Kemokin yang merangsang reseptor tertentu pada sel untuk bermigrasi ke sumber kemokin. Sitokin mempengaruhi konsentrasi plasma protein, memediasi respon imun terhadap infeksi, meregulasi produksi PG. Dalam persalinan sitokin berperan dalam 3 proses yaitu pematangan servikss, merangsang selaput ketuban menjadi lebih lemah sampai pecah dan meningkatkan kontraksi miometrium. Interleukin merupakan molekul yang memediasi komunikasi antar leukosit (Bowen, 2002., Romero, 2002., Dubicke, 2010) 15
Sistem imun menggunakan sitokin untuk berkomunikasi. Sistem imun dibagi dua yaitu spesifik (adaptive) dan non spesifik (innate) respon. Sistem imun non spesifik tidak memerlukan aktivasi sebelumnya dan merupakan mekanisme pertahanan pertama melawan patogen. Yang termasuk di dalamnya antara lain Natural Killer Cell (NK sel), monosit/makropag, sel dendrit dan granulosit (sel mast, netrofil, dan eosinofil).
Sel-sel ini mengenali mikroorganisme melalui
Pattern Recognition Receptors (PRRs) yang akan berkaitan dengan permukaan mikroorganisme dan berespon cepat terhadap fagosotosis dan eradikasi sel yang terinfeksi. Pattern Recognititon Receptors dapat berupa C Ractive Protein (CRP) atau berikatan dengan Toll Like Receptors (TLRs) pada membran atau intracellular like Nod1 dan Nod2. Setelah sistem imun non spesifik teraktivasi, maka akan disekresi sitokin dan kemokin yang menginisiasi respon inflamasi dan memfasilitasi destruksi partikel fagositosis. Sel-sel ini pertama kali akan berada di tempat trauma/inflamasi dan melepaskan sitokin serta melepaskan signal ke sistem imun spesifik dengan melepaskan Antigen Presenting Cells (APC) pada permukaan selnya melalui Major Histocompability Complex (MHC) II (Dubicke,2010., Nold et all, 2012). Sistem imun spesifik terdiri dari limfosit B dan limfosit T yang akan mengenali epitope dari patogen secara spesifik. Limfosit B berperan dalam respon terhadap ekstraseluler patogen dengan mensekresi antibodi. Limfosit T mengalami maturasi di timus dibagi menjadi 2 yaitu T Helper cell (Th sel) yang mengekspresikan CD 4 dan T Cytotoxic Cell (Tc sel) yang mengekspresikan CD 8. T helper Cell berfungsi merangsang proliferasi dan diferensiasi limfosit B serta 16
menghancurkan patogen intraseluler dengan membunuh sel yang terinfeksi dan mengaktivasi makrofag. T Helper Cell terdiri dari 4 jenis yaitu Th-1, Th-2, Th-17 dan Induced Regulatory (iTreg) cells. Limfosit Th-1 memproduksi IL-1, IL-2, IL12, IL-15, IL-18, Interferon (IFN) γ, TNF ά dan respon imun melawan patogen intraseluler. Fungsi utama Th-1 adalah mekanisme pertahanan sitotoksik yang dimediasi fagosit melawan infeksi mikroba intraseluler. Limfosit Th-2 merupakan sumber dari IL-4, IL-5, IL-8, IL-10, IL-13 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF). Fungsi Th-2 selain sebagai respon dari sel plasma juga merupakan respon imun yang dimediasi oleh immunoglobulin (Ig)E dan eosinofil/sel mast. Mereka memediasi pertahanan host terhadap parasit ekstraseluler (Dubicke,2010., Nold et all, 2012). Kehamilan normal merupakan fenomena Th-2 dimana limfosit Th-1 dipercaya merusak hasil kehamilan. Walaupun respon Th-1 menimbulkan abortus spontan maupun kegagalan konsepsi lainnya tapi Th-1 mendominasi pada saat periode perikonsepsi. Sitokin proinflamasi ditemukan meningkat pada persalinan preterm, sedangkan sitokin anti-inflamatori ditemukan menurun. Beberapa interleukin (IL) yang telah diketahui berperan dalam persalinan preterm adalah sebagai berikut (Bowen, 2002., Tomblon, 2005., Dubicke,2010, Nold et all, 2012): Interleukin 1 Merupakan interleukin yang pertama diidentifikasi. Terdiri dari 2 cDNA koding. Diproduksi oleh selaput ketuban , miometrium dan servikss. Interleukin 1 17
menstimuli produksi IL-8 dari fibroblast, merangsang produksi pro Matrix Metallo Proteinase (MMP) 1 dan pro MMP 3 pada fibroblast servikss. Interleukin 8 Interleukin 8 diproduksi oleh endometrium, koriodesidua, miometrium dan servikss wanita hamil maupun tidak hamil. In terleukin 8 merupakan kemoatraktan dan aktivator neutrofil pada fibroblast servikss. Interleukin 8 merangsang eksudasi plasma dan infiltrasi masif neutrofil dari endotel vaskular ke servikss dan mengaktivasi pelepasan kolagenase (MMP-8). Dexametason dan progesterone menghambat pelepasan IL-8. Peran Inflamasi Pada Pematangan Servikss Perubahan struktur serviks saat persalinan ditandai dengan penurunan konsentrasi kolagen, berkurangnya matriks dan peningkatan kandungan air yang menandakan bahwa jaringan serviks memberikan tahanan yang rendah. Selama uterus berkontraksi, jaringan serviks mengalami proses penipisan dan dilatasi. Pada saat pematangan serviks terjadi proses disosiasi dan degradasi kolagen yang mengakibatkan perubahan struktur kolagen selama periode ini. Perubahan katalitik dari kolagen ini dimediasi oleh enzim kolagenase (MMP) di mana MMP1 mendegradasi kolagin tipe I danIII, sedangkan MMP-8 mendegradasi kolagen tipe I (Senstrom et all, 2000., Nold et all, 2012). Pematangan servikss merupakan proses biokimia dan inflamssi yang ditandai dengan influk neutrofil, leukosit, dan makrofag yang diatur oleh sitokin. 18
Inflamasi mengakibagtkan perlunakan servikss akibat degradasi matriks ekstraseluler, disrupsi ikatan kolagen dan fibril, perubahan proteoglikan dan peningkatan cairan ekstraseluler yang meningkatkan produksi hyaluronan (Senstrom et all, 2000). Kolagenase yang terpenting adalah MMP-8 yang dilepaskan dari granula neutrofil yang spesifik dibandingkan dengan yang disintesa oleh stroma fibroblas serviks. Terjadi infiltrasi neutrofil ke dalam stroma serviks saat inpartu dan mengakibatkan proses degranulasi. Interleukin-8 merupakan suatu kemokin yang berefungsi untuk mengikat dan mengaktifkan neutrofil. Proses ekstravasasi neutrofil terjadi dengan cara proses adesi dan diapedesis melalui endotel pembuluh darah. Hal ini akan diikuti dengan proses aktivasi neutrofil oleh Interleukin proinflamatori. Akumulasi neutrofil ini biasanya paling banyak ditemukan di sekitar vena. Penelitian yang dilakukan pada babi dan kelinci mendapatkan bahwa pemberian interleukin proinflamatori seperti IL-8 pada serviks ternyata dapat merangsang pematangan serviks (Vogel, 2007., Nold, 2012). Interleukin proinflamatori merupakan kemokin yang dihasilkan oleh makrofag dan tipe sel lainnya seperti sel epitel dan sel endotel. Fungsi utamanya adalah untuk induksi proses kemotaksis pada target sel yaitu neutrofil. Ekspresi interleukin pro inflamatori meningkat sesuai dengan pertambahan usia kehamilan dan pada saat inpartu dan berperan dalam pematangan serviks. Interleukin 8 sebagai salah satu interleukin pro inflamatori berperan dalam mediasi infiltrasi sitokin inflamasi ke dalam miometrium selama inpartu. Kadar IL-8 meningkat 19
enam kali lipat bila dibandingkan dengan keadaan serviks ibu yang tidak hamil. Selain itu kadarnya meningkat sampai 11 kali lipat pada ibu hamil yang menjalani proses persalinan pervaginam terutama persalinan preterm dan bertanggung jawab atas pelepasan neutrofil pada selaput ketuban dan plasenta selama terjadi infeksi intrauterine (Vogel, 2007., Nold, 2012).
Gambar 8. Peranan Sitokin Proinflamasi (Dubicke 2010).
Kadar IL-8 pada serviks ibu hamil yang mengalami persalinan preterm adalah
6,7 ng/mL(Vogel, 2007). Masuknya neutrofil ke dalam serviks telah
dipostulasikan sebagai bagian integral dari onset persalinan, dimana kolagenase berperan dalam proses pematangan serviks yang dihasilkan dari neutrofil perifer dan jumlahnya meningkat selama proses ini. Peningkatan kadar interleukin proinflamatori sebelum onset persalinan dapat membantu proses masuknya neutrofil (recruitment) ke serviks. Interleukin-8 dan PGE2 bekerja secara sinergis dalam proses ini. Neutrofil diaktivasi oleh interleukin-8 dan mengakibatkan 20
pelepasan enzim litik yaitu kolagenase dan elastase. Kadar neutrofil dalam darah cukup tinggi yaitu 6x106 mL dengan produksi harian rata-rata 1011 perhari. Berdasarkan penelitian terakhir, didapatkan bahwa tingginya kadar IL-8 menggambarkan tingginya risiko persalinan preterm (RR 3,7 (1,1-12,1)) dan kadarnya lebih tinggi pada ibu hamil yang mengalami persalinan preterm dibandingkan dengan ibu hamil aterm yang belum mengalami proses persalinan (Dubicke, 2010).
Daftar Pustaka: 1. Abbas A K., Lichman A H., Pillai S. 2010. Immunity in Microbes in Cellular and Molecular Immunology, 6ed: 352. 2. Abdi, I.P.W., Suwardewa, T.G.A. 2011. Vaginitis Multibakterial pada Ibu Hamil, meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm spontan. Thesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 26-29. 3. Bowen, JM, Chamley, L, Keelan, JA. 2002. Cytocines of the Placenta and Extra Placental Membranes : Roles and Regulation during Human Pregnancy and Parturition. Placenta ;23:257-73. 4. Dubicke, A. 2009. Preterm and Term Cervical Ripening. Karolinska Institutet. Stockholm. 5. Dubicke, A, Fransson, E, Centini, G, et al. 2010. Proinflammatory and Anti-inflammatory Cytokines in Human Preterm and Term Cervical Ripening. Journal of Reproductive Immunology; 84:176-85. 6. Hole,2001. JW et al. Management of Preterm Labor. JAOA;101(2):14-8. 7. Iam, JD. 2002. Preterm Birth. In Gabbe, SG., Nieby, JR., Simson, JL. Ed. Obstetrics, Normal and Problem Pregnancies. 4st ed. Churchill Livingstone. 755-774.
21
8. Nold, C, Anton, L, Brown, A. 2012. Inflammation Promotes a Cytocine Respone and Disrups the Cervical Epithelial Barrier : a Possible Mechanism of Premature Cervical Remodeling and Preterm Birth. Am J Obstet Gynecol;206:208.e1-7. 9. Radulovic, NV. 2009. Clinical, Biochemical and Morphological Aspects of Cervical Ripening in the First Trimester. University of Gothenburg 10. Romero, R., Lockwood, CJ.,2009.. Pathogenesis of Spontaneous Preterm Labor. In Creasy & Resnik’s. Maternal-Fetal Medicine, 6 ed; 521-532 11. Romero, RM et al 2002. Preterm Labor, Intrauterine Infection and the Fetal Inflamatory Response Syndrome. NeoReview;3:73-85. 12. Schlembach, D, Mackay, L, Shi, L, et al. 2009. Cervical Ripening and Insufficiency : From Biochemical and Molecular Studies to In Vivo Clinical Examination. European J Obstet Gynecol;144s:S70-6. 13. Senstrom MB., Ekman G., Thorsson GW 2000. Human Cervical Ripening, an Inflammatory Process mediated by Cytokines. Molekular Human Reproduction; 6(4): 375-81. 14. Splichal, I, Trebichavsky, I 2001. Cytokines and Other Important Inflammatory Mediators in Gestation and Bacterial Intraamniotic Infections. Folia Microbiol;46(4):345-51. 15. Tomblom, SA. 2005. Mediators of Cervical Ripening in Preterm Birth: Experimental and Clinical Investigation. Karolinska Institutet. Stockholm 16. Vogel, I, Goepfert, AR, Thorsen, P et al. 2007. Early Second Trimester Inflamatory Markers and Short Cervical Length and the Risk of Recurrent Preterm Birth. Journal of Reproductive Immunology;75:133-40.
22