BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Persalinan preterm biasanya didefinisikan sebagai kontraksi regular disertai perubahan pada serviks yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Definisi ini digunakan oleh WHO dan FIGO berdasarkan pada
analisa
statistik
distribusi
usia
kehamilan
saat
persalinan,
berdasarkan pada hari pertama periode menstruasi terakhir. Meskipun begitu,
konsep
ini
harus
dibedakan
dengan
‘prematuritas’
yang
menyatakan kurang berkembangnya berbagai sistem organ (terutama paru yang mengakibatkan sindrom distress pernafasan) pada saat kelahiran.1,3 Persalinan preterm spontan terjadi sebanyak 40-50% pada persalinan preterm, dan sisanya 25-40% diakibatkan oleh ketuban pecah dini preterm (PPROM) dan 20-25%persalinan preterm atas indikasi obstetrik.2
5 Universitas Sumatera Utara
2.2 Epidemiologi Frekuensi dari terjadinya persalinan preterm diperkirakan sekitar 12-13% di Amerika Serikat (AS) dan 5-9% di negara-negara berkembang. Akan tetapi, tingkat persalinan preterm meningkat di berbagai lokasi, terutama karena peningkatan indikasi atas persalinan preterm terhadap kehamilan multipel buatan. Persalinan preterm dapat juga terbagi berdasarkan usia kehamilan: persalinan preterm pada usia kehamilan 2027 minggu (extremly preterm), persalinan preterm pada usia kehamilan 28-32 minggu (very preterm),persalinan preterm pada usia kehamilan pada 33-36 minggu (preterm).5-8 Belum terdapat data yang akurat mengenai persalinan preterm di seluruh dunia, tetapi perkiraan angka kejadian persalinan preterm adalah sebanyak 5% di negara maju, dan 25% di negara berkembang.
3
Peningkatandari harapan hidup sedikitnya kurang dari 50% sebelum usia kehamilan 24 minggu hingga lebih dari 95% pada usia kehamilan 33 minggu dan terdapat hubungan terbalik antara resiko berat badan dan usia kehamilan saat terjadinya persalinan.7,8
6 Universitas Sumatera Utara
2.3 Etiologi Persalinan preterm diduga sebagai sebuah sindrom yang dipicu oleh berbagai mekanisme, termasuk infeksi atau inflamasi, iskemik uteroplasenta atau perdarahan, overdistensi uterus, stres dan proses imunologi lainnya. Mekanisme pasti masih belum diketahui dengan pasti pada berbagai kasus, sehingga berbagai faktor dihubungkan dengan terjadinya persalinan preterm tetapi jalur mekanismenya masih dicari. 7 Terdapat berbagai penyebab terjadinya persalinan preterm, dimana 70% terjadi secara spontan akibat infeksi, PROM, kontraksi idiopatik, kehamilan multipel, disfungsi serviks, perdarahan ante partum, stress dan malnutrisi. Tiga puluh persen persalinan preterm terjadi akibat iatrogenik seperti hipertensi, diabetes dan IUGR. 3 Peningkatan jumlah faktor resiko yang diduga memiliki interaksi terhadap timbulnya PPROM. Dikarenakan adanya berbagai faktor resiko yang dapat mengakibatkan inflamasi sistemik, peningkatan stimulasi jalur infeksi inflamasi yang mungkin dapat menjelaskan peningkatan persalinan preterm dengan berbagai faktor resiko.7 Been et al (2014), melakukan ulasan dan meta analisa terhadap beberapa jurnal untuk melihat efek merokok pada persalinan preterm dimana disimpulkan bahwa tidak merokoknya ibu pada saat kehamilan 7 Universitas Sumatera Utara
akan menurunkan 10% kejadian persalinan preterm, berat badan lahir rendah dan kecenderungan terjadinya asma di kemudian hari.9-11 Germain et al (1999), pada penelitiannya menemukan sebagian besar kejadian persalinan preterm terjadi tanpa sebab yang jelas (56.6%) sedangkan penyebab jelas lain terbagi menjadi : iskemia uteroplasenta (28.3%), infeksi (13.8%) dan keduanya (1.4%). Pada penelitian ini juga dijumpai, wanita dengan iskemia uteroplasenta dan infeksi memiliki outcome perinatal yang lebih buruk daripada wanita tanpa penyebab yang jelas.12-15
2.4 Patogenesis Patogenesis persalinan preterm belum diketahui dengan pasti dan sering tidak jelas apakah persalinan preterm mempresentasikan aktivasi idiopatik awal dari persalinan normal atau merupakan akibat dari mekanisme
patologis.Terdapat
beberapa
teori
mengenai
inisiasi
persalinan, antara lain: (1) penurunan kadar progesteron, (2) inisiasi oksitosin, dan (3) aktivasi desidua. 2 Teori penurunan progesteron berasal dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada domba. Saat mendekati masa persalinan axis fetal adrenal menjadi lebih sensitif terhadap hormon adrenokortikotropin, 8 Universitas Sumatera Utara
yang meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol janin kemudian merangsang aktivitas trophoblast 17-hydroxylase, yang akan menurunkan sekresi progesteron dan akan berujung pada peningkatan produksi estrogen. Terbaliknya rasio estrogen atau progesteron ini akan menyebabkan terbentuknya prostaglandin, yang akan menginisiasi kaskade-kaskade yang selanjutnya akan merangsang terjadinya persalinan. Meskipun mekanisme ini telah ditetapkan pada domba, peranannya pada manusia belum dapat dikonfirmasi.2 Teori terjadinya persalinan kedua melibatkan oksitosin sebagai pemicu terjadinya persalinan. Dikarenakan pemberian oksitosin IV (Intra Venous) meningkatkan intensitas dan frekuensi kontraksi uterus, yang dapat
disimpulkan
oksitosin
memiliki
peranan
dalam
terjadinya
persalinan. Oksitosin sebagai pemicu awal dari persalinan, akan tetapi sulit diterima karena 2 alasan : kadar oksitosin dalam darah tidak meningkat sebelum terjadi persalinan dan kadar oksitosin terjadi secara konstan selama kehamilan. Sehingga, meskipun oksitosin memliki peran dalam mendukung persalinan, peranannya dalam inisiasi persalinan baik pada aterm ataupun preterm belum ditetapkan.2 Membran yang mengelilingi ruang amnion terdiri dari amnion dan khorion, yang merupakan suatu lapisan yang terdiri dari beberapa tipe sel 9 Universitas Sumatera Utara
seperti sel epitel, sel mesenkim dan sel trophoblas yang termasuk dalam matriks kolagen. Lapisan ini menahan cairan amnion dan mensekresi substansi ke cairan amnion dan ke uterus serta melindungi janin dari infeksi.17,18,19 Membran biasanya ruptur selama persalinan. Ruptur prematur dari membran janin didefinisikan sebagai rupturnya membran sebelum dimulainya persalinan. Rupture membrane premature sebelum usia kehamilan 37 minggu biasanya disebut sebagai preterm premature rupture of membrane (PPROM).17,18,19 Awalnya para dokter menghubungkan rupture membrane dengan stress fisik, terutama yang berhubungan dengan persalinan. Akan tetapi, bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa ruptur juga berhubungan dengan proses biokimiawi seperti gangguan pada kolagen di matriks ekstraseluler dari amnion dan khorion serta kematian sel yang terprogram dari sel pada membran janin. 17,18 Saat ini telah didapatkan bahwa membran janin dan lapisan uterus maternal (desidua) berespon terhadap berbagai stimulus, termasuk peregangan
membran
dan
infeksi
saluran
reproduktif,
dengan
memproduksi berbagai mediator inflamasi seperti prostaglandin, sitokin dan hormon protein yang mengaktifkan enzim degradasi matriks .17,18 10 Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Diagram skematik berbagai mekanisme yang mengakibatkan terjadinya PROM atau PPROM17
11 Universitas Sumatera Utara
2.5 Faktor resiko Di Amerika Serikat (AS), ras merupakan faktor resiko yang signifikan dalam terjadinya persalinan preterm. Wanita kulit hitam memiliki tingkat preterm 16-18% dibandingkan dengan wanita kulit putih 7-9%. Wanita lebih muda dari usia 17 tahun dan lebih tua dari 35 tahun juga merupakan menjadi suatu faktor resiko. Selain itu, tingkat edukasi dan sosioekonomi juga merupakan salah satu faktor resiko.2,19-20 Merokok lebih berkaitan dalam hambatan pertumbuhan janin dan meningkatkan 20-30% angka kejadian persalinan preterm.Di AS, sekitar 20% wanita hamil merokok, dan didapatkan 10-15% kelahiran preterm dihubungkan dengan merokok.2,22-26 Wanita
dengan
persalinan
preterm
sebelumnya
mengalami
peningkatan resiko 2.5 kali lipat untuk terjadinya persalinan preterm spontan pada kehamilan berikutnya. Semakin muda usia kehamilan pada saat persalinan preterm sebelumnya, semakin besar resikonya.2 Kehamilan mulitpel merupakan salah satu faktor resiko tertinggi terjadinya persalinan preterm. Tepatnya 50% kehamilan dengan janin kembar 2 atau lebih berakhir sebelum usia kehamilan 37 minggu. Ratarata masa kehamilan lebih singkat pada kehamilan kembar 2 (36 minggu),
12 Universitas Sumatera Utara
kembar 3 (33 minggu) dan kembar 4 (31 minggu) dari pada janin tunggal (39 minggu).2,21,22 Weiss dkk (2003),mendapatkan perdarahan pervaginam akibat plasenta previa atau solusio plasenta parsial memiliki resiko untuk terjadinya persalinan preterm yang sama tingginya dengan kehamilan multipel. Perubahaan pada cairan amnion seperti hidramnion atau oligohidramnion dihubungkan dengan peningkatan resiko persalinan preterm.23 Kondisi medis ibu seperti DM (Diabetes Mellitus) gestational ataupun DM tipe 2, hipertensi (esensial ataupun induksi kehamilan) berhubungan dengan peningkatan persalinan preterm. 20 Copper dkk (1995), mengevaluasi penggunaan tokodinamometri dan pemeriksaan servikal pada usia kehamilan 28 minggu pada 589 wanita nullipara untuk menentukan resiko terjadinya persalinan preterm.28 Parry S (2006), Mendapatkan bakteriuria berhubungan dengan peningkatan resiko prematuritas. Infeksi sistemik seperti pneumonia, pyelonefritis, appendicitis sering menigkatkan aktivitas uterus. Faktor resiko klinis lain yang penting adalah adanya kontraksi uterus.
29-31
Budiartha dkk, melakukan penelitiaan kadar interleukin-8 serum pada persalinan preterm dan persalinan aterm, didapatkan hasil kadar 13 Universitas Sumatera Utara
interleukin-8 serum pada persalinan preterm lebih tinggi dari pada persalinan aterm.32 Krohn et al (2014) menyatakan bahwa vaginosis bacterial merupakan salah satu faktor resiko terjadinya persalinan preterm disertai dengan berat lahir yang rendah. Kemungkinan terjadinya persalinan preterm pada wanita dengan vaginosis bacterial adalah 40% lebih banyak.25 Kramer et al (2001) mendeskripsikan faktor sosioekonomik sebagai faktor resiko dan penyebab terjadinya persalinan preterm. Dimana pada penelitiannya, dihipotesakan terdapat dua mekanisme terjadinya
persalinan
preterm
bila
dijumpai
adanya
perbedaan
sosioekonomi yaitu : stressor psikososial akut dan kronis yang akan mengakibatkan gangguan hormonal dan keterlibatan faktor resiko lain serta kombinasi mutasi genetik dengan asupan gizi yang kurang dari seharusnya.26
14 Universitas Sumatera Utara
2.6 Progesteron
Gambar 2. Molekul Progesteron 2 Progesteron sangat penting untuk regulasi fungsi reproduksi wanita normal. Aksi fisiologis utama progesteron adalah : a) di uterus dan ovarium : induksi ovulasi, fasilitasi implantasi, dan mempertahankan kehamilan awal; b) di kelenjar mammae : perkembangan lobular-alveolar untuk persiapan sekresi ASI; c) di otak : ekspresi neurobehavioral yang berkaitan dengan respon seksual; d) di tulang : untuk mencegah destruksi tulang. 33,34,35 Progesteron merupakan steroid 21-karbon yang merupakan molekul prekursor untuk biosintesa steroid. Progesteron terutama diproduksi oleh sel granulosa-lutein corpus luteum (CL) selama fase luteal siklus menstruasi dan sinsitiotrofoblas plasenta selama kehamilan. Akan tetapi, zona fasikulata dan retikularis korteks adrenal memproduksi
15 Universitas Sumatera Utara
progesteron dalam jumlah sedikit. Waktu paruh progesteron sekitar 5 menit di darah dan produk degradasi utamanya adalah pregnanediol yang dibentuk di hati. Konsentrasi plasma progesteron normal adalah kurang dari 1.5 ng/ml selama fase folikular siklus menstruasi. Selama fase luteal, kadarnya dalam plasma meningkat hingga puncaknya sekitar 12-16 ng/ml.2,34,35
2.6.1 Efek Progesteron pada fase regeneratif Angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) jarang terjadi pada
jaringan
dewasa.
Saluran
reproduksi
wanita
merupakan
pengecualian, dengan angiogenesis yang terjadi saat regenerasi, perkembangan arteriola spiralis pada fase sekretoris lanjut dan pada saat implantasi.2,36 Tiga
puncak
regenerasi
telah
diindikasikan
pada
jaringan
endometrium. Dua puncak regenerasi endometrium terjadi dibawah kendali estrogen terjadi segera setelah menstruasi dan selama fase siklus mid-proliferatif. Puncak ketiga melibatkan progesteron dan terjadi selama fase sekretoris. Persistensi reseptor progesteron stroma memberikan bukti bahwa progesteron mempengaruhi perkembangan arteriole spiralis.2,36,37
16 Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Implantasi Implantasi embrio mamalia di dinding uterus diregulasi oleh progesteron. Progesteron membantu implantasi dengan menstimulasi produksi enzim yang bertanggung jawab untuk lisisnya zona pelusida. Akan tetapi, walaupun progesteron diketahui penting untuk terjadinya implantasi, lisisnya zona pelusida tidak krusial untuk terjadinya proses ini, mengindikasikan peristiwa yang dipengaruhi progesteron lainnya tidak dideskripsikan dalam inisiasi implantasi.2,36-41 Pada masa implantasi, sejumlah protein yang tergantung pada progesteron yang diproduksi. Protein-protein tersebut adalah: progesteron associated endometrial protein (PEP), insulin growth factor binding protein 2 (IGFBP2) atau protein 14, crystalloglobulin, integrins dan glycoproteins atau type 1 mucins. Peran fisiologis protein-protein ini belum sepenuhnya dimengerti. Protein 14 sepertinya memiliki efek imunodepresif yang memfasilitasi implantasi embrio. Di lain pihak, mucin tipe 1 dapat menghambat implantasi pada permukaan sel maternal. Uteroglobin adalah protein lain yang diregulasi progesteron dan diproduksi di kelenjar endometrium tetapi hanya terdapat di kelinci. Fungsi protein ini tidak diketahui. Terdapat hipotesis bahwa uteroglobin dapat melindungi embrio dari sistem imun maternal dan respon inflamasi selama implantasi.2,29,30,42 17 Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Sinyal molekuler dalam persalinan 3
2.6.3 Tingkatan kadar serum progesteron 200 PROGESTERONE LEVELS IN NORMAL PREGNANCY
180
166 153
160 SERUM PROGESTERONE (NG/ML)
172.2
136.3
140
118.1
120 100
100
90.3 81.2 74.3
80
65.3
60
48
40 22.4
27.7 28.7 30
35
52.5 54.8
40.4
National Hormone Laboratory Pope Paul VI Institute
20 0 4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 WEEK GESTATION
Gambar 4. Kadar normal progesteron pada kehamilan42
18 Universitas Sumatera Utara
Pada wanita hamil terjadi peningkatan kadar serum progesteron. Pada kehamilan yang normal akan terdapat peningkatan kadar serum progesteron dari 1 sampai dengan 3 ng/ml dalam kurun waktu setiap dua hari. Pada trimester pertama kadar serum progesteron 10-44 ng/ml, pada trimester kedua terdapat peningkatan sekitar 19,5-82,5 ng/ml, dan pada trimester ketiga sekitar 65-290 ng/ml.45 Wu J et al (2002), menyatakan bahwa kecuali pada minggu pertama kehamilan, ketika progesteron diproduksi oleh korpus
luteum
kehamilan, progesteron maternal berasal dari plasenta dan meningkat terus sepanjang masa gestasi, mereka menemukan adanya hubungan terbalik antara progesteron kehamilan dengan berat ibu sebelum hamil dan BMI, dan juga berat badan yang dicapai selama kehamilan. Bagaimana mekanisme ini terjadi, apakah akibat perbedaan produksi progesteron atau metabolismenya masih merupakan hal yang belum diketahui.44
2.6.3 Endokrinologi persalinan Selama bertahun-tahun,hormon yang dianggap paling bertanggung jawab pada kehamilan adalah progesteron. Hal ini berdasarkan fakta bahwa mamalia pada saat persalinan berhubungan dengan mekanisme 19 Universitas Sumatera Utara
yang menghasilkan penurunan kadar progestron pada domba, persalinan dimulai dengan aktivasi dari aksis pituitary / adrenal janin, dengan peningkatan sekresi kortisol janin, diikuti oleh aktivasi sitokrom p 450 plasenta (famili CYP17A) enzim dengan 17- hidroksilasi dan 17-20 liase. Sebagai akibat aktivasi enzim yang bergantung pada glukokortikoid terdapat peningkatan konversi c19 menjadi c18, sehingga kadar progesteron maternal menurun dan kadar estradiol meningkat. Perubahan steroid ini meningkatkan produksi prostaglandin intra uterin, melunaknya serviks dan kontraksi uterus. Lebih lagi, kortisol adrenal fetal menginduksi sintese prostaglandin tipe 2 pada trofoblas plasenta dengan peningkatan produksi prostaglandin E2 yang membantu aktivasi kaskade P450.2,36,44-46 Pada spesies yang bergantung korpus luteum (kambing, kelinci, tikus). Onset persalinan dipicu oleh pelepasan prostaglandin F2 dari endometrium akibat menghilangnya korpus luteum.
2,36
Luteolisis dimediasi oleh aktivasi prostaglandin F reseptor (PTGFR) dan menimbulkan penurunan kadar progesteron ibu, diikuti oleh proses persalinan. Faktor yang bertanggung jawab untuk persalinan pada wanita tetap tidak diketahui dan paradigma endokrin diatas tidak sesuai pada primata. Produksi progesteron dari korpus luteum penting diawal kehamilan, tetapi organ tersebut tidak diperlukan pada 2/3 akhir 20 Universitas Sumatera Utara
kehamilanketika produksi progesteron diambil alih oleh plasenta. Selain itu tidak terdapat induksi enzim CYP17A plasenta oleh kortisol pada saat parturisi dan kadar progesteron dan estrogen tetap stabil.2,36 Progesteron di metabolisme oleh 20-hidroksi steroid dehidrogenase dijaringan uterus tetapi tidak ada bukti yang konklusif bahwa aktivitas enzim ini mengubah rasio estrogen / progesteron. Aksis adrenal pituitary fetal yang sangat aktif pada akhir kehamilan tampaknya hanya memiliki peran pendukung pada persalinan manusia. Observasi pada kehamilan dengan anencepali tanpa adanya fungsi adrenal pituitary menunjukkan bahwa rata-rata masa kehamilan mirip pada wanita dengan janin tunggal tetapi sedikit berbeda. Hal ini menyatakan bahwa fungsi adrenal pituitaryfetal diperlukan untuk waktu persalinan yang optimal tetapi persalinan spontan fetal dapat terjadi pada anencepali. 2,36 Pada primata, adrenal fetal memproduksi prekursor androgen dalam jumlah besar, seperti dehidroepiandrosteron sulfat, yang diubah menjadi estrogen diplasenta oleh aktifitas sulfatase dan aromatase. Akan tetapi, kehamilan normal dalam persalinan normal dilaporkan pada pasien dengan defisiensi sulfatase atau aromatase. Dengan kadar estrogen yang sangat rendah. Sehingga pada wanita, perubahan kadar steroid dispekulasi bukan syarat terjadinya persalinan. Meskipun begitu mengenai 21 Universitas Sumatera Utara
efek steroid pada uterus dalam kehamilan tidak sepenuhnya dipahami dan perlu penelitian lebih lanjut.2,26,29,30 Telah dinyatakan bahwa persalinan pada wanita merupakan hasil penarikan fungsional progesteron dan aktivasi estrogen dijaringan miometrium. Progesterone reseptor (PGR) merupakan faktor transkripsi yang diaktivasi pada reseptor steroid. Reseptor progesteron manusia terdiri dari 3 isoform dari 3 gen yang sama, sebuah 116 KDa PGR-B dan dua bentuk nitrogen (N) yang lebih kecil, sebuah 94KDa PGR-A dan sebuah
60
KDa
PGR-C.
Pengikatan
progesteron
pada
PGR-B
mengaktivasi gen yang responsif terhadap progesteron, akan tetapi pada sel miometrium aksi PGR-B diantagonis oleh PGR-A yang berperan sebagai repressor transkripsi dominan. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa kadar PGR-A yang berlebih pada miometrium manusia meningkat pada saat persalinan yang mengakibatkan penurunan kadar progesteron. Kondisi ini dikuti oleh peningkatan transkripsi reseptor estrogen yang meningkatkan respon estrogen. Tidak diketahui apa yang menyebabkan perubahan ekspresi PGR di uterus pada saat persalian, akan tetapi diduga karena perubahan aktivitas histonedeasetilase. Pada tikus penggunaan inhibitor histonedeasetilase menghambat persalinan. Data terbaru menunjukkan bahwa persalinan berhubungan dengan peningkatan 22 Universitas Sumatera Utara
isoform PGR–C, yang dimediasi melalui jalur nuclear factor of actifated B cells (NFAB). 2,9,26,32,33 PGR-C terletak disitosol sel miometrium dan diduga peningkatan rasio PGR-C/PGR-B mengakibatkan rendahnya ikatan PGR. Konsep PGR-B, seperti pada PGR-A atau PGR-C penting untuk aksi progesteron di miometrium. Tampak pada percobaan pada tikus yang menunjukkan bahwa kadar PGR-A dan PGR-B bersifat tumpang tindih, bukan antagonis pada fertilisasi. Selain itu peran fungsional isoform PGR bergantung pada availabilitas koregulator spesifik seperti cyclic adenosiene monophospate (CAMP) response element-binding protein (CREB) yaitu suatu faktor yang meregulasi transkripsi gen sebagai respon terhadap Cyclic adenosine monophosphate (cAMP). 2,26,42 Pendekatan terbaru terhadap fungsi progesteron telah mengikuti ditemukannya isoform terikat membran progesterone reseptore (mPGR) yang mirip G protein coupled receptors (GPCR) dimiometrium manusia. Jalur sinyal untuk mPGR telah dinvestigasi pada sel miometrium manusia dan telah terbukti reseptor menstimulasi mitogen activated protein kinase (MAPK) melalui mekanisme bergantung Gi. Selain itu aktivasi mPGR menghambat sintesis cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan fosfolirasi myosin light chains (MYL) oleh mitogen activated proteinkinase 23 Universitas Sumatera Utara
(MAPK). Hal ini mengakibatkan hipotesis yang menantang bahwa progesteron dapat berpartisipasi dalam maintenance kehamilan dan stimulasi kontraktilitas miometrium pada saat onset persalinan melalui fungsi reseptor PGR intraseluler dan protein mPGR. 2,9,34,35,36
2.6.4 Hubungan kadar progesteron dengan persalinan preterm Progesteron memiliki peranan mempertahankan kehamilan ; dan diduga beraksi dengan menekan aktivitas otot polos di uterus. Pada berbagai spesies binatang, terdapat penurunan kadar progesteron di sirkulasi sebelum onset persalinan. Meskipun hal ini tidak dijumpai pada wanita hal ini telah dianggap bahwa terjadi penurunan fungsional dari progesteron yang berhubungan dengan perubahan dari ekspresi reseptor progesteron di uterus.3-11,37,39,40,41 Terdapat laporan baru-baru ini pada literatur yang menyarankan penggunaan progesteron dalam menurunkan resiko persalinan preterm, yang merupakan sumber perhatian seperti pada tahun 1960-an.12,14,29,40 Firdianti dkk(2013), dari hasil penelitian ini tampak bahwa kadar PIBF serum pada persalinan dapat mencerminkan kondisi patologis yaitu ancaman persalinan preterm yang erat hubungannya dengan hasil akhir suatu kehamilan. Peranan PIBF dalam kelangsungan kehamilan melalui
24 Universitas Sumatera Utara
mekanisme imunologi yaitu perubahan keseimbangan imunologi dengan ditekannya aktivitas sel Natural Killer. Mekanisme imunologis ini diawali dari sel limfosit perifer ibu hamil yang menghasilkan PIBF yang merupakan suatu protein 34 kDA dan diproduksi oleh sel desidua setelah aktifasi reseptor progesteron oleh progesteron.16 Stamatelou
dkk
(2009),
menemukan
rerata
konsentrasi
progesteron yang lebih rendah 30% pada wanita dengan persalinan preterm dengan usia kehamilan 28-34 minggu jika dibandingkan wanita yang melahirkan aterm. Mereka juga menemukan bahwa wanita dengan persalinan preterm memiliki kadar progesteron yang lebih rendah saat fase aktif jika dibandingkan wanita dengan persalinan aterm.15 Csapo, pada teori “see-saw”, yang menyatakan bahwa progesteron memiliki implikasi dalam mekanisme persalinan pada manusia (aterm dan preterm) dengan keluaran yang berbeda-beda. Konsentrasi progesteron yang adekuat di miometrium dapat mengimbangi aktivitas stimulasi prostaglandin bersama dengan kemampuan oksitosin untuk meningkatkan aktivitas agonis histamin.Progesteron akan mengurangi konsentrasi reseptor oksitosin miometrium, yang akan mengimbangi efek kerja estrogen. Progesteron juga menghambat produksi prostaglandin oleh amnion–chorion–decidua serta meningkatkan ikatan antara progesteron dan membran janin pada saat aterm, yang dapat menjelaskan efek predominan estrogen dalam meningkatkan produksi prostaglandin dan memicu terjadinya proses persalinan. 40
25 Universitas Sumatera Utara
Pemberian progesteron dosis tinggi telah diajukan sebagai salah satu agen tokolitik yang dimungkinkan, tetapi kerjanya lambat dan penggunaannya telah ditinggalkan untuk tokolisis akut terkecuali jika digunakan bersama dengan h-agonis. Kombinasi dua obat-obatan tersebut menunjukkan yang efek sinergis dengan mengurangi kebutuhan h-agonis dalam konsentrasi tinggi.41 Penggunaan progesteron profilaktik dengan dosis tinggi diajukan untuk digunakan pada wanita dengan resiko tinggi kelahiran preterm (riwayat satu atau lebih kelahiran preterm sebelum usia kehamilan 32 minggu).42 Sebuah uji terkontrol acak oleh National Institutes of Health (NIH) menunjukkan bahwa pemberian 17-α-hydroxyprogesterone caproate mingguan dengan dosis 300 mg/hari yang diberikan secara IM akan menurunkan hampir 50% insidensi kelahiran preterm pada kehamilan antara 32 dan 36 minggu, tanpa memandang etiologinya.43
2.7 Pencegahan persalinan preterm Meskipun banyak metode yang dilakukan untuk memprediksi persalinan preterm, tingkat keberhasilannya sangat rendah meskipun pada wanita
yang resiko tinggi. Hal ini menghasilkan berbagai
perkembangan upaya untuk mencegah terjadinya persalinan preterm
26 Universitas Sumatera Utara
termasuk
penggunaan
obat
tokolitik,
antibiotik
dan
hormon
progesteron.2,9,45-47,50-58 Peran antibiotik masih kontroversial, dimana Randomised Clinical Trial (RCT) terbaru menyimpulkan bahwa pengobatan pada flora vagina abnormal asimtomatik dan vaginosis bakterial dengan penggunaan clindamycin oral pada awal trimester kedua dapat menurunkan tingkat keguguran dan persalinan preterm spontan secara signifikan. Penelitian lain mendapatkan hasil yang berlawanan dan terdapat variasi pada penggunaan antibiotik. Akan tetapi, terdapat bukti dari penelitian oleh Oracle Collaborative Group yang menyatakan bahwa penggunaan antibiotik pada PPROM menurunkan morbiditas neonatal meskipun tidak ada penurunan insidensi persalinan preterm. Sehingga dapat disimpulkan penggunaan antibiotik dapat mengurangi komplikasi bayi tapi tidak berpengaruh terhadap persalinan preterm akibat PPROM. Ulasan dari Cochrane baru-baru ini menyimpulkan tidak ada keuntungan yang jelas dari penggunaan antibiotik profilaksis pada persalinan preterm dengan membran yang intak terhadap neonatal.2,9,19,48 RCT multisenter menyimpulkan bahwa penggunaan profilaktik 17 hydroxy progesteron caproate menurunkan insidensi persalinan preterm secara signifikan. Tetapi tidak bermanfaat untuk persalinan preterm yang 27 Universitas Sumatera Utara
aktif. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini dan menentukan dosis, waktu dan durasi terapi dengan progesteron.2,9,19 Cerclage
serviks
telah
dicoba
dilakukan
untuk
mencegah
persalinan preterm pada wanita dengan serviks yang pendek. Survey dari para
ahli
Spesialis
Obstetri
dan
Ginekologi
dijumpai
banyaknya
ketidakjelasan dalam penempatan cerclage dan terdapat variasi dalam klinisnya. RCT terbaru yang menggunakan panjang serviks 15 mm sebagai titik cut-off menyimpulkan penggunaan jahitan Shirodkar pada wanita dengan serviks yang pendek tidak menurunkan resiko persalinan preterm secara signifikan. Akan tetapi, penelitian ini mengkonfirmasi bahwa pengukuran dengan penggunaan sonografis dengan panjang serviks pada usia kehamilan 22-24 minggu sebagai grup dengan faktor resiko (22% pada grup cerclage dibandingkan 25% pada grup kontrol) pada persalinan preterm (< 33 minggu).2 Efektivitas cerclage emergensi pada wanita dengan membran yang menonjol
untuk
mencegah
terjadinya
persalianan
preterm
lebih
kontroversial. Tingkat daya tahan hidup janin sebanyak 89% telah dilaporkan.
Beberapa
penelitian
mendapatkan
median
durasi
pemanjangan usia kehamilan sebanyak 4.5 minggu (1-18 minggu) setelah prosedur ini. Baru-baru ini uji pencegahan serviks inkompeten dengan 28 Universitas Sumatera Utara
cerclage menyimpulkan bahwa
cerclage emergensi, indomethasin,
antibiotik, dan tirah baring mengurangi resiko persalinan preterm sebelum usia kehamilan 34 minggu dibandingkan dengan tirah baring dan penggunaan antibitotik saja.2,9 Berdasarkan bukti-bukti terbaru saat ini, cerclage servikal elektif belum
dapat
direkomendasikan
dikarenakan
efektifitasnya
masih
dipertanyakan oleh RCT terbaru. Tidak terdapat bukti yang cukup yang mendukung penggunaan cerclage emergensi pada wanita dengan membran yang menonjol dan sebaiknya dikonsultasi mengenai prosedur dan resikonya antara lain ruptur membran iatrogenic dan infeksi.2,9
2.8 Penanganan persalinan preterm Kurangnya metode yang dapat diandalkan dan efektif untuk memprediksi dan mencegah persalinan preterm hanya menyebabkan sedikit perubahan pada insidensi terhadap persalinan preterm selama 40 tahun belakangan ini. Klinisi sering dihadapkan dengan dilema untuk penanganan persalinan preterm dengan berbagai agen farmakologis yang mungkin kurang spesifik, efikasinya rendah, atau memiliki efek samping yang serius pada ibu atau janin. Bukti ilmiah yang mendukung terhadap penggunaan obat berikut ini tidak terlalu kuat. Penanganan yang paling 29 Universitas Sumatera Utara
sering digunakan adalah obat tokolitik, kortikosteroid, dan antibiotik.2,9,19,4955
2.8.1 Tokolitik Tokolitik miometrium
merupakan
uterus
dan
agen
farmakologis
menghambat
yang
kontraksi
merelaksasi
uterus
sehingga
menggagalkan persalinan preterm. Tokolitik beraksi melalui berbagai mekanisme untuk menurunkan availabilitas ion kalsium intraseluler yang akan menghambat interaksi aktin-myosin. 2,9,19 Efektivitasnya dalam penekanan persalinan preterm bersifat kontroversial dan berhubungan dengan efek samping yang serius terhadap ibu dan janin. RCOG (Royal College of Obstericians and Gynaecologies),
dalam
guideline
penanganan
persalinan
preterm
merekomendasikan bahwa tidak perlu menggunakan agen tokolitik jika tidak terdapat bukti yang jelas yang akan meningkatkan outcome pada terjadinya persalinan preterm.2,9 Akan tetapi, tokolitik sebaiknya dipertimbangkan diberikan jika beberapa hari yang dicapai dapat digunakan untuk menyelesaikan pemberian
kortikosteroid
atau
transfer
inutero.
Tokolitik
tidak
direkomendasikan diberikan setelah usia kehamilan 34 minggu dan saat
30 Universitas Sumatera Utara
ini tidak terdapat konsensus untuk mengurangi batasan penggunaannya pada masa kehamilan tersebut. 2,9,19 Fung (2009), menyatakan dalam penelitiannya bahwa pemakaian tokolitik masih merupakan suatu hal yang kontroversial dimana masih belum jelas ada tidaknya pengaruh ke outcome janin, akan tetapi dapat diberikan untuk memperpanjang masa kehamilan agar dapat dilakukan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru sehingga mencegah terjadinya sindrom distress nafas pada bayi. Adapun pilihan tokolitik yang dapat diberikan adalah nifedipin, atosiban, ritodrine dan indometasin atau sulindac. Penggunaan MgSO4 sebagi tokolitik tidak menunjukkan adanya keuntungan dibandingkan dengan placebo, justru meningkatkan resiko kematian janin dan bayi.59
31 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Obat-obat tokolitik dan efek samping60
32 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan guideline dari RCOG (2002), agen tokolitik lini pertama
yang
dapat
digunakan
adalah
nifedipine
atau
atosiban
dikarenakan efektifitasnya yang cukup baik dalam menunda persalinan hingga 7 hari dan memiliki efek samping maternal yang lebih minimal. Untuk kedua agen ini, dosis yang sesuai memerlukan penelitian lebih lanjut.60
Gambar 5. Mekanisme Kerja Tokolitik61 Hubinont
dan
Debieve
(2011),
dalam
ulasan
artikelnya
menyimpulkan kemungkinan efek samping yang berat yang berhubungan dengan tokolisis sekitar 1% dan lebih sering terjadi pada terapi multipel, kehamilan multipel, dan PROM. Atosiban merupakan obat lini pertama diikuti
oleh
prostaglandin
syntethase
inhibitor
(indometasin)
dan
nifedipin.61
33 Universitas Sumatera Utara
2.8.2 Kortikosteroid Terdapat bukti bahwa kortikosteroid antenatal behubungan dengan penurunan yang signifikan pada ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), kematian neonatal dan perdarahan intra ventikular, meskipun jumlah
yang
dibutuhkan
meningkat
setelah
34
minggu.
RCOG
merekomendasikan bahwa kortikosteroid antenatal sebaiknya diberikan antara usia kehamilan 24-34 minggu. 2,9,19 Interval terapi optimal untuk pemberian kortikosteroid antenatal adalah setelah 24 jam dan dalam 7 hari pemberian. Sebuah survey di Inggris pada tahun 1997 melaporkan bahwa 98% responden diberikan kortikosteroid antenatal berulang. Sebuah RCT pemberian kortikosteroid tunggal dibandingkan multipel yang meliputi 502 wanita hamil antara usia kehamilan 24-34 minggu menyimpulkan bahwa dengan pemberian kortikosteroid antenatal mingguan tidak menurunkan morbiditas neonatal dibandingkan
dengan
terapi
tunggal.
Guideline
RCOG
terhadap
kortikosteroid antenatal menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang merekomendasikan pemberian kortikosteroid antenatal multipel. Penelitian follow
upselama
2
tahun
didapatkan
bahwa
setelah
pemberian
kortikosteroid terhadap antenatal tunggal atau multipel, menunjukkan bahwa pemberian dexametason (bukan betametason) berhubungan 34 Universitas Sumatera Utara
dengan peningkatan resiko leukomalasia dan abnormalitas perkembangan saraf bayi. 2,9,19,62
2.9 Pemberian Progesteron untuk Pencegahan Persalinan Preterm Cochrane Review pada 2013 mengenai pemberian progesteron pada prenatal untuk mencegah persalinan preterm. 36 RCT dikumpulkan (8523 wanita dan 122.515 bayi)
dengan hasil seperti yang akan
dijelaskan berikut : 45 Progesteron
dibandingkan
placebo
wanita
dengan
riwayat
persalinan preterm spontan ;Progesteron berhubungan dengan penurunan yang signifikan pada resiko kematian perinatal (6 penelitian; 1453 wanita; risk ratio (RR) 0.50, 95% confidence interval (CI) 0.33 - 0.75), persalinan preterm < 34 minggu (5 penelitian ; 602 wanita; RR 0.31, 95% CI 0.14 to 0.69), berat badan lahir bayi < 2500 g (4 penelitian ; 692 bayi; RR 0.58, 95% CI 0.42 - 0.79), penggunaan ventilasi tambahan (3 penelitian; 633 wanita; RR 0.40, 95% CI 0.18 - 0.90), necrotising enterocolitis (3 penelitian; 1170 wanita ; RR 0.30, 95% CI 0.10 - 0.89), kematian bayi (6 penelitian ; 1453 wanita ; RR 0.45, 95% CI 0.27 - 0.76), rawatan NICU (3 penelitian ; 389 wanita ; RR 0.24, 95% CI 0.14 - 0.40), persalinan preterm < 37 minggu (10 penelitian ; 1750 Wanita ; RR 0.55, 95% CI 0.42 - 0.74) 35 Universitas Sumatera Utara
dan peningkatan signifkan pada lama kehamilan dalam minggu (satu penelitian; 148 wanita; mean difference (MD) 4.47, 95% CI 2.15 - 6.79). Tidak ada perbedaan dalam rute pemberian, waktu dan dosis progesteron untuk hasil yang didapat. Progesteron dibandingkan placebo untuk wanita dengan serviks pendek dari ultrasound; Progesteron dihubungkan dengan penurunan signifkan resiko persalinan preterm < 34 minggu (2 penelitian ; 438 wanita ; RR 0.64, 95% CI 0.45 - 0.90), persalinan preterm < 28 minggu gestasi (2 penelitian ; 1115 wanita ; RR 0.59, 95% CI 0.37 - 0.93) dan peningkatan resiko urtikaria pada wanita yang tidak mendapat placebo (1 penelitian ; 654 wanita ; RR 5.03, 95% CI 1.11 - 22.78). Tidak memungkinkan untuk menilai efek terhadap progesteron, usia kehamilan, data pada saat memulai terapi atau total kumulatif dosis. Progesteron dibandingkan placebo pada wanita dengan kehamilan multipel ; Progesteron tidak berhubungan dengan perubahan yang signifikan secara statistik pada wanita dengan kehamilan multipel. Progesteron dibandingkan tanpa pengobatan/placebo untuk wanita yang
terancam
mengalami
persalinan
preterm
;
Progesteron,
berhubungan dengan penurunan yang signifikan secara statistik pada
36 Universitas Sumatera Utara
resiko berat badan bayi < 2500 g (1 penelitian ; 70 infants ; RR 0.52, 95% CI 0.28 - 0.98). Progesteron dibandingkan placebo pada wanita dengan faktor resiko persalinan preterm ; Progesteron berhubungan dengan penurunan yang signifikan secara statistik pada resiko berat badan bayi < 2500 g (3 penelitian ; 482 bayi ; RR 0.48, 95% CI 0.25 - 0.91).
37 Universitas Sumatera Utara
2.10 Kerangka Teori Aktivasi proses HPO (hypothalamus-pituitary-ovary) Maternal-Fetal - Aktivasi fisiologis prematur
Penurunan Progesteron
Distensi Uterus Patologis : - Gemelli - Pollihidramnion - Kelainan anomali uterus
Desidua dan selaput ketuban Oksitosin Maternal Prostaglandin uterotonin
- Pematangan serviks - Pecahnya selaput ketuban Persalinan Preterm Iatrogenik:15 PEB, eklampsia, HELLP syndrome, Penyakit jantung, Solusio plasenta, Plasenta previa, Kelainan kongenital, IUGR, DM
Kontraksi uterus
Persalinan preterm
39 Universitas Sumatera Utara