STUDI KEANEKARAGAMAN MESOFAUNA DAN MAKROFAUNA TANAH PADA AREAL BEKAS TAMBANG TIMAH DI KABUPATEN BELITUNG, PROVINSI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG
EKO PUTRANTI HANDAYANI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
STUDI KEANEKARAGAMAN MESOFAUNA DAN MAKROFAUNA TANAH PADA AREAL BEKAS TAMBANG TIMAH DI KABUPATEN BELITUNG, PROVINSI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
EKO PUTRANTI HANDAYANI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Sebuah kenang-kenangan dari penulis Semoga memiliki manfaat yang tiada terhingga Karena amal kebaikan kita merupakan buah dari ilmu, dan ilmu bermula dari hikmah yang diperoleh dari membaca buku.
Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat dan pemahaman, sehingga dapat mendekatkan diri kepada-Mu. Amin
Kupersembahkan karya ilmiah ini untuk Papa dan Mama tercinta, serta Adik-adikku tersayang.
RINGKASAN Eko Putranti Handayani. E14204028. Studi Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah pada Areal Bekas Tambang Timah di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Dibimbing oleh Ir. Iwan Hilwan, MS. Kelestarian fauna-fauna tanah di suatu loka (site) membutuhkan dukungan sumber energi, antara lain jasad-jasad hidup dan mati, khususnya dari golongan tumbuhan dan binatang. Pada suatu ekosistem yang rumit seperti hutan hujan tropika alami, terdapat jenis, watak, dan pasokan bahan sumber energi yang melimpah, sehingga memungkinkan kehadiran dan berkembangnya aneka jenis fauna tanah dalam kelimpahan tinggi. Hal tersebut memicu berlangsungnya penghancuran/perepihan/pelumatan bahan organik (serasah dan bangkai) dengan laju tinggi, memperluas permukaan bahan organik sehingga lebih siap diurai dan merangsang kegiatan-kegiatan yang menimbulkan perubahan-perubahan pada fabrik dan susunan tanah. Kegiatan penelitian ini dilakukan di tiga lokasi lahan bekas pertambangan timah PT. Timah, Kabupaten Belitung, yaitu Desa Tanjung Pendam yang terakhir ditambang pada tahun 1996, Desa Aik Merbau yang terakhir ditambang pada tahun 1989, dan Desa Batu Itam yang terakhir ditambang pada tahun 1978. Hasil penelitian menunjukkan penyebaran mesofauna dan makrofauna tanah yang berbeda, baik dalam jumlah maupun populasinya. Berdasarkan hasil penentuan contoh tanah di lapangan, diperoleh sifat fisik dan kimia tanah yang berbeda pada setiap lokasi. Desa Tanjung Pendam memiliki tekstur tanah pasir dengan tipe struktur prisma, kelas struktur halus, dan mutu struktur yang tidak berstruktur. Kemasaman tanah di Desa Tanjung Pendam menunjukkan angka 5,0 dengan kategori sangat masam. Di desa ini hanya ditemukan empat jenis makrofauna tanah dan satu jenis mesofauna tanah. Keanekaragaman yang sedikit ini juga didukung oleh suhu udara yang tinggi (29oC – 34,5oC) dan kelembaban udara yang rendah (76% - 49%). Desa Aik Merbau memiliki tekstur tanah pasir geluhan dengan tipe struktur butiran, kelas struktur medium, dan mutu struktur lemah. Kemasaman tanah di desa Aik Merbau menunjukkan angka 5,0 dengan kategori sangat masam.
Di desa ini ditemukan sembilan jenis makrofauna tanah dan dua jenis mesofauna tanah. Keanekaragaman ini juga didukung oleh suhu udara yang tinggi (28oC – 34oC) dan kelembaban udara yang rendah (77% - 68%). Desa Batu Itam memiliki tekstur tanah geluh pasiran dengan tipe struktur butiran, kelas struktur medium, dan mutu struktur sedang. Kemasaman tanah di desa Aik Merbau menunjukkan angka 5,0 dengan kategori sangat masam. Di desa ini ditemukan delapan jenis makrofauna tanah dan tujuh jenis mesofauna tanah. Keanekaragaman jenis yang tinggi ini juga didukung oleh suhu udara yang rendah/sejuk (27oC – 31oC) dan kelembaban udara yang tinggi/lembab (89,5% 72%). Keragaman jenis mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan disebabkan adanya perbedaan keragaman jenis tumbuhan bawah, kondisi fisik dan kimia tanah, serta kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban udara). Desa Batu Itam memiliki jumlah jenis tumbuhan bawah yang lebih banyak daripada di Desa Tanjung Pendam, namun jumlah individunya paling sedikit daripada lokasi-lokasi lainnya. Banyaknya calon pohon menyebabkan populasi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi tersebut semakin tinggi. Hal itu dikarenakan serasah yang dihasilkan oleh tumbuhan-tumbuhan tersebut mudah untuk didekomposisi dan menyebabkan banyaknya sumber makanan (energi) bagi fauna tanah. Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban tanah, sehingga proses dekomposisi oleh fauna tanah dapat berlangsung lebih cepat. Proses dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tumbuhan pokok dan sumber energi bagi mesofauna dan makrofauna tanah (Irwanto 2006). Di Desa Batu Itam, siklus hara dapat berlangsung secara sempurna, daun-daun gugur yang jatuh ke permukaan tanah sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang telah diuraikan oleh bakteri dan fauna tanah lainnya. Desa Batu Itam dengan usia lahan pasca penambangan adalah 30 tahun memiliki tingkat keanekaragaman jenis fauna tanah tertinggi (Dmg = 2,31 dan H’ = 2,18), tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan tertinggi sebab di lokasi ini telah terbentuk hutan yang cukup kompleks dan terdapat beberapa tingkat
pertumbuhan, dan kekayaan jenis tertinggi. Desa Aik Merbau memiliki tingkat kekayaan dan keanekaragaman jenis fauna tanah yang lebih rendah dibandingkan dengan Desa Batu Itam (Dmg = 1,80 dan H’ = 1,85), serta memiliki tingkat kekayaan dan keanekaragaman tumbuhan yang juga lebih rendah (Dmg = 2,57 dan H’ = 2,21), dengan usia lahan pasca penambangan adalah 19 tahun, dan Desa Tanjung Pendam dengan usia lahan pasca penambangan adalah 12 tahun memiliki tingkat kekayaan dan keanekaragaman fauna tanah terendah (Dmg = 0,78 dan H’ = 1,15), serta memiliki tingkat kekayaan dan keanekaragaman tumbuhan terendah dibandingkan dengan Desa Batu Itam dan Desa Aik Merbau (Dmg = 1,04 dan H’ = 1,76). Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semakin lama areal bekas tambang ditinggalkan akan semakin beragam jenis vegetasi dan juga jenis mesofauna dan makrofauna tanag yang hidup di lokasi tersebut.
DIVERSITY STUDY OF SOIL MESOFAUNA AND MACROFAUNA AT TIN EX-MINED AREA IN BELITUNG PROVINCE OF BANGKA-BELITUNG By: Eko Putranti Handayani and Iwan Hilwan INTRODUCTION. Preservation of soil fauna at current area needs energy source support, like living and died creature, especially from animal and plant. At complicated ecosystem like natural tropic rain forest, can get kind, characteristic, and abundant energy source support, so it will enable to make development various soil fauna in the highest abundance. MATERIAL AND METHOD. Tool and material used in this research are measurement tool (5m), wet and dry thermometer, centrifuge tube, pH indicator, GPS Garmin, Plastic box (30x30 cm), transparent plastic, alcohol 70%, H2O, etc. Method in this research is making sample plots in 3 location, taking vegetation data, taking data of chemical and physic soil, taking data of soil mesofauna and macrofauna, and taking temperature and humidity data on 3 location (Tanjung Pendam Village, Aik Merbau Village, and Batu Itam Village). RESULT AND DISCUSSION. Result of research shows that Batu Itam village which has period after mining 30 years get the highest diversity of soil fauna (H’= 2,18), vegetation level is the highest because in this location it has been occurred enough complex forest and it has various growth level. Aik Merbau village has soil fauna diversity lower than Batu Itam village (H’= 1,85), and also has diversity of vegetation lower too (H’= 2,21), with having period after mining 19 years. Tanjung Pendam village which has period after mining 12 years has the lowest diversity level of soil fauna (H’= 1,15) and also has the lowest vegetation diversity level too (H’=1,76) CONCLUSION. Mesofauna diversity and soil macrofauna at Batu Itam Village (Mesofauna : 2 classes, 5 ordo, 6 families, 6 species. Macrofauna: 5 classes, 7 ordo, 8 families, 9 species) are higher than Aik Merbau Village (Mesofauna: 2 classes, 2 ordo, 2 families, 2 species. Macrofauna: 4 classes, 6 ordo, 8 families, 9 species) and Tanjung Pendam village (Mesofauna: 1 class, 1 ordo, 1 family, 1 species. Macrofauna: 2 classes, 2 ordo, 3 families, 4 species). Variety of soil mesofauna and macrofauna in every land age is caused by variety of ground plant, physical and chemical condition of soil, and also environmental condition (humidity and temperature). Keyword: Soil mesofauna, Soil macrofauna, Diversity of soil fauna, Soil, Physic character of soil, Chemical character of soil
PERNYATAAN Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
berjudul
Studi
Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah pada Areal Bekas Tambang Timah di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung adalah benarbenar karya saya sendiri dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi dan lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2009
Eko Putranti Handayani NRP. E14204028
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Studi Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah pada Areal Bekas Tambang Timah di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung
Nama Mahasiswa
: Eko Putranti Handayani
NIM
: E14204028
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Ir. Iwan Hilwan, MS NIP.131 578 802
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau, pada tanggal 22 April 1986. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Hermawanto dan Evi Sriwahyuningsih. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis adalah: pendidikan dasar di Taman Kanak-kanak (TK) Putera Bahagia Bandung (1990-1992), SD Negeri Merdeka 5/III Bandung (1992-1998), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 42 Bandung (1998-2001), dan Sekolah Menengah Umum (SMU) BPI 2 Bandung (2001-2004). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) tahun akademik 2004/2005 sebagai mahasiswa Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan baik akademis maupun non-akademis. Di bidang akademis, penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Ekologi Hutan (2006-2008). Di bidang nonakademis, penulis tergabung sebagai staf Departemen Silvikultur dalam Himpunan Profesi (Himpro) Tree Grower Community (TGC) (2006/2007) dan sebagai panitia kegiatan BELANTARA ’43 (2007). Selain itu, di tahun 2007, penulis telah melaksanakan kegiatan praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur, serta kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang dilaksanakan di PT. Musi Hutan Persada, Muara Enim, Palembang, Sumatera Selatan. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah pada Areal Bekas Tambang Timah di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung yang dibimbing oleh Ir. Iwan Hilwan, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Allah SWT atas kekuatan iman dan islam yang telah diberikan.
2.
Kedua orang tuaku (Papa dan Mama) dan adik-adikku tercinta (Atyh dan Widi), atas doa yang tak pernah putus serta dukungan yang begitu besar.
3.
Keluarga besarku yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam studi.
4.
Bapak Ir. Iwan Hilwan, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran, petunjuk, dan koreksi selama penyusunan skripsi ini.
5.
Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si. selaku dosen penguji sidang komprehensif, wakil dari Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M.Si. selaku dosen penguji sidang komprehensif, wakil dari Departemen Hasil Hutan.
6.
Bapak Ismail dan staf-staf KPAP, atas bantuannya dalam pengurusan administrasi selama melaksanakan studi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
7.
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Belitung beserta seluruh staf (Pak Roni, Pak Rusni, Pak Irsyad, dll).
8.
Kepala bidang Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitung (Pak Jon dan Pak Burhansyah).
9.
Ibu Yani di Lab. Ekologi atas segala bantuan dan dukungannya.
10. Aditya M.P.S. yang tak pernah bosan menemaniku dalam suka dan duka selama penelitian dan pembuatan skripsi ini berlangsung. 11. Rin Carvallo, Dora Saragih, Merry Nadeak,Indri Rezania, Gayatri J. Tatra, terima kasih atas persahabatan yang indah selama ini. 12. Teman-teman BDH 41 yang selalu mengisi hari-hari penulis selama ini.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kesempatan, kesehatan, kekuatan, dan kemampuan, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam penulis panjatkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, sahabat, serta umat yang mengikuti risalah beliau hingga akhir zaman nanti. Penelitian ini berjudul Studi Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah pada areal Bekas Tambang Timah di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan pada skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan bermanfaat dalam melaksanakan penelitian berikutnya.
Bogor, Februari 2009
Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI.............................................................................................. DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. BAB I.
PENDAHULUAN ..................................................................... 1.1 Latar Belakang..................................................................... 1.2 Tujuan.................................................................................. 1.3 Manfaat................................................................................
i iii iv v 1 1 3 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 2.1 Tanah ................................................................................... 2.2 Fauna Tanah ........................................................................ 2.3 Pertambangan ......................................................................
4 4 6 10
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................ 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................. 3.2 Alat dan Bahan .................................................................... 3.3 Jenis Data............................................................................. 3.4 Metode Pengambilan Data .................................................. 3.4.1 Prosedur pengambilan fauna tanah di lapangan......... 3.4.2 Prosedur pengambilan contoh tanah........................... 3.4.3 Prosedur pengambilan data vegetasi .......................... 3.4.3.1. Pembuatan petak pengamatan ...................... 3.4.3.2. Pengambilan data vegetasi ........................... 3.4.4 Prosedur analisis sifat fisik tanah............................... 3.4.5 Prosedur analisis sifat kimia tanah ............................. 3.5 Analisis Data ....................................................................... 3.5.1 Analisis fauna tanah ................................................... 3.5.2 Analisis vegetasi......................................................... 3.5 Pengolahan Data..................................................................
12 12 12 13 13 13 14 14 14 15 16 19 21 21 22 23
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI .................................................... 4.1 Letak dan Luas .................................................................... 4.2 Iklim dan Topografi............................................................. 4.3 Tanah ................................................................................... 4.4 Vegetasi ............................................................................... 4.5 Hasil Tambang.....................................................................
24 24 24 25 25 25
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................. 5.1 Sifat Fisik dan Kimia Tanah................................................ 5.2 Analisis Vegetasi ................................................................. 5.3 Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Setiap Usia Lahan Pasca Kegiatan Penambangan ......
27 27 31 33
ii
5.4 Kekayaan Jenis (Dmg) Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Setiap Usia Lahan Pasca Kegiatan Penambangan....................................................................... 5.5 Kelimpahan Individu Jenis (H’) Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Setiap Usia Lahan Pasca Kegiatan Penambangan ....................................................... 5.6 Kemerataan Jenis (E) Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Setiap Lahan Pasca Kegiatan Penambangan ...
43 49 52
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................. 6.1 Kesimpulan.......................................................................... 6.2 Saran ....................................................................................
53 53 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ LAMPIRAN...............................................................................................
55 57
iii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1.
Klasifikasi mutu struktur tanah untuk penetapan di lapangan .............
19
2.
Kategori kemasaman/kealkalian contoh tanah.....................................
20
3.
Data sifat fisik tanah di setiap lokasi ...................................................
28
4.
Data sifat kimia tanah di setiap lokasi .................................................
30
5.
Rekapitulasi jumlah jenis dan jumlah individu vegetasi di tiap lokasi ....................................................................................................
31
6.
INP vegetasi dominan dan ko-dominan di tiga lokasi .........................
32
7.
Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah yang ditemukan di ketiga lokasi .........................................................................................
33
Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 1 (Desa Tanjung Pendam).......................................................................
34
Keanekaragaman taksonomi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 1 (Desa Tanjung Pendam) .........................................................
35
10. Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 2 (Desa Aik Merbau) ..............................................................................
35
11. Keanekaragaman taksonomi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 2 (Desa Aik Merbau) .................................................................
36
12. Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 3 (Desa Batu Itam) ..................................................................................
36
13. Keanekaragaman taksonomi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 3 (Desa Batu Itam).....................................................................
37
14. Rekapitulasi jumlah jenis (S) dan jumlah individu (N) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap lokasi.............................................
43
15. Data suhu dan kelembaban udara pada setiap lokasi ...........................
48
16. Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada setiap usia lahan pasca kegiatan penambangan.........................................................................
49
17. Indeks-indeks keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap lahan pasca kegiatan penambangan ..................................
51
18. Rekapitulasi keanekaragaman fauna tanah yang dipengaruhi oleh usia areal tambang, vegetasi, suhu, dan kelembaban udara ................
52
8. 9.
iv
DAFTAR GAMBAR No. 1.
Halaman Bentuk petak pengamatan yang digunakan untuk pengambilan data jenis dan jumlah fauna tanah, serta untuk analisis sifat fisik-kimia tanah ................................................................................
13
Bentuk petak pengamatan yang digunakan untuk pengambilan data tumbuhan bawah ................................................................................
15
3.
Desain petak pengamatan di lokasi dengan metode kombinasi........
16
4.
Bagan panduan pemerian kelas tekstur tanah kategori detil dengan metode uji rasa rabaan........................................................................
18
5.
Penampilan tipe struktur tanah prisma...............................................
29
6.
Penampilan tipe struktur tanah butiran ..............................................
29
7.
Grafik perbandingan jumlah individu fauna tanah pada setiap usia lahan pasca kegiatan penambangan............................................
44
Grafik perbandingan jumlah jenis fauna tanah pada setiap usia lahan pasca kegiatan penambangan ...................................................
44
Grafik jumlah jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 1 (Desa Tanjung Pendam) .......................................................
45
10. Grafik jumlah jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 2 (Desa Aik Merbau) ...............................................................
45
11. Grafik jumlah jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 3 (Desa Batu Itam)...................................................................
46
12. Indeks kekayaan jenis Margalef (Dmg) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan pasca penambangan..........
46
13. Grafik fluktuasi suhu udara pada setiap lokasi ..................................
48
14. Grafik fluktuasi kelembaban udara pada setiap lokasi.......................
48
15. Grafik indeks keanekaragaman jenis (H’) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan pasca penambangan..........
50
16. Grafik indeks kemerataan jenis (E) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan pasca penambangan........
51
2.
8. 9.
v
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1.
Peta lokasi penelitian .........................................................................
58
2.
Daftar rekapitulasi mesofauna dan makrofauna tanah di ketiga lokasi ..................................................................................................
59
Daftar jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di setiap lokasi ..................................................................................................
60
Nama-nama mesofauna dan makrofauna tanah yang ditemukan di ketiga lokasi .......................................................................................
62
Indeks nilai penting (INP) setiap jenis fauna yang ditemukan di setiap lokasi........................................................................................
63
Indeks nilai penting (INP) setiap jenis vegetasi yang ditemukan di ketiga lokasi ...................................................................................
65
Beberapa gambar jenis mesofauna dan makrofauna tanah yang ditemukan di lokasi ............................................................................
72
8.
Gambar-gambar lokasi penelitian ......................................................
76
9.
Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian...........................
78
3. 4. 5. 6. 7.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai penting bagi kehidupan manusia, baik sebagai sumber devisa negara, sumber ilmu pengetahuan, sumber plasma nutfah, sumber keindahan, dan rekreasi. Untuk melestarikan keberadaannya, upaya perlindungan dan pengamanannya dari setiap gangguan hutan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh. Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna, yang berperan sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Ahli ekologi mengartikan hutan sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai lingkungan berbeda dengan keadaan di luar hutan. Sedangkan ahli silvikultur menyatakan bahwa hutan merupakan asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri atas pohon-pohon atau vegetasi berkayu yang menempati areal luas (Arief 2001). Berbagai pernyataan dari para ahli tersebut akan mempunyai suatu kesamaan persepsi apabila ditarik suatu kesimpulan, yaitu suatu asosiasi kehidupan baik tumbuh-tumbuhan (flora) maupun binatang (fauna), dari yang sederhana sampai yang bertingkat tinggi, dan dengan luas sedemikian rupa serta mempunyai kerapatan tertentu dan menutupi suatu areal, sehingga dapat membentuk iklim mikro tertentu. Dari keterangan tersebut timbul suatu pengertian mengenai hutan, yaitu suatu mosaik rumpang dan berlapis dari berbagai fase perkembangan dan umur. Hal ini mendorong terbentuknya habitat berbagai jasad renik, fauna, dan biota tanah oleh adanya ketersediaan pakan. Terdapat beberapa jenis kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam, salah satu kegiatan perusakan hutan yang dapat menimbulkan perubahan kandungan hara dalam tanah dan hilangnya lapisan atas tanah yang mendorong erosi permukaan dan membawa hara penting bagi pertumbuhan tegakan adalah pertambangan. Terbukanya tajuk akibat kegiatan pertambangan ini juga dapat mengakibatkan habisnya lapisan tanah yang subur dan membawa serasah sebagai
2
pelindung sekaligus simpanan hara sebelum terjadinya dekomposisi oleh organisme tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan dan tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Organisme yang hidup dalam tanah ada yang bermanfaat, ada yang mengganggu, dan ada pula yang tidak bermanfaat tetapi juga tidak mengganggu. Organisme yang bermanfaat antara lain cacing tanah dan bakteri tertentu yang dapat mengubah CO (karbon monoksida) yang beracun menjadi CO2 (karbon dioksida atau mengikat N dari udara (Hardjowigeno 1987). Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), dimana terdapat akarakar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh fungi, bakteria dan golongangolongan organisme lainnya (Sutedjo et.al. 1996 dalam Rahmawaty 2004). Keberadaan mesofauna dan makrofauna dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang seluruhnya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna dan makrofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Dalam sistem tanah, interaksi fauna tanah tampaknya sulit dihindarkan, karena biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring-jaring makanan dalam tanah. Meskipun sebagai penghasil senyawasenyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun tidak berarti berfungsi sebagai subsistem produsen (Arief 2001).
3
1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah yang ditemukan pada areal bekas penambangan timah di Kabupaten Belitung. 2. Mengetahui besaran indeks keanekaragaman jenis (H’) mesofauna dan makrofauna tanah pada berbagai usia lahan pasca kegiatan penambangan timah di Kabupaten Belitung. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mengendalikan keberadaan jenis mesofauna dan makrofauna tanah pada berbagai usia lahan pasca kegiatan penambangan timah di Kabupaten Belitung. 1.3. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi dan masukan guna memantau perkembangan keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah pasca kegiatan pertambangan timah, serta perubahan-perubahan yang muncul pada sifat fisik-kimia tanah, sehingga dapat ditentukan perlakuanperlakuan berikutnya untuk kegiatan reklamasi lahan bekas tambang timah.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Tanah adalah suatu tubuh alam yang tersusun oleh bahan-bahan padat (hancuran batu, mineral/pelikan dan bahan organik, cairan dan gas), terdapat di permukaan lahan, menempati ruang tertentu, dan dicirikan oleh horizon dan/atau lapisan, yang dapat dipisahkan dari bahan asalnya karena telah mengalami penambahan, pelenyapan, pemindahan, dan malih wujud energi dan bahan penyusunnya. Tubuh tanah ini terbentuk oleh adanya saling tindak antara bahan induk tanah di suatu loka (site) dengan lingkungannya yang melibatkan aneka proses pembentukan tanah (Buol et.al. 1980; Soil Survey Staff 1998). Tanah
sebagai
tubuh
alam
memiliki
batas-batas
alami
yang
memungkinkan untuk dipisahkan dari tubuh alam lainnya. Batas teratas tubuh tanah dapat berwujud perbatasan antara tanah dan udara, tubuh air tipis, tumbuhan atau bahan-bahan tumbuhan mati-belum melapuk. Loka-loka yang permukaannya tertutup tubuh air tebal (> 2,5 cm) sehingga tidak memungkinkan menjadi ruang tumbuh akar-akar tumbuhan dan dianggap bukan tanah (Purwowidodo 2005). Faktor-faktor
pembentuk
tanah
berperan
sebagai
pendorong
berlangsungnya proses-proses pembentukan tanah sepanjang waktu, sehingga memunculkan kedimensian pada watak-watak yang terbentuk. Adapun faktorfaktor pembentukan tanah yaitu: iklim (I), bahan induk (B), topografi (T) yang terdiri dari relief (R) dan hidrologi (H), jasad hidup (J) terdiri dari tumbuhan, binatang (TB), dan manusia (M), serta waktu (W) (Purwowidodo 1998). Batas terbawah tubuh tanah dapat berwujud loka-loka dengan tubuh air tebal (laut, sungai, danau, dll), tubuh batu atau tubuh es. Batas mendatar tubuh tanah dapat berwujud tubuh batu keras tidak lapuk atau bahan asal tanah yang tidak dapat mendukung kegiatan-kegiatan biologik akar tumbuhan, biota tanah, atau bentuk kegiatan lain. Ketebalan tubuh tanah (diukur dari batas teratas sampai batas terbawah) berbeda-beda secara alami, bergantung pada keadaan dan kinerja faktor-faktor dan proses-proses pembentukan tanah dan batas terbawah tubuh
4
tanah untuk keperluan pengklasifikasiannya ditetapkan sampai jeluk (kedalaman) 200 cm (Soil Survey Staff 1998). Tekstur tanah adalah perbandingan nisbi (relative) aneka kelompok ukuran jarah (partikel) pisahan tanah yang menyusun massa tanah suatu bagian tubuh tanah. Pisahan tanah yang digunakan memerikan tekstur adalah: -
Pasir, yaitu jarah-jarah tanah dengan ukuran Ø 0,2 – 2,0 mm.
-
Debu, yaitu jarah-jarah tanah dengan ukuran Ø 0,02 – 0,2 mm.
-
Lempung, yaitu jarah-jarah tanah dengan ukuran Ø < 0,02 mm. Soil Survey Staff (1975) dalam Purwowidodo (1998), memilah tekstur
horizon-horison suatu tubuh tanah menjadi enam kelas tekstur untuk penetapan secara kualitatif dan 12 kelas tekstur untuk penetapan secara kuantitatif, sebagai berikut: 1. Secara kualitatif: pasir, geluh pasiran, geluh, geluh debuan, geluh lempung, dan lempung. 2. Secara kuantitatif: a. Pasir
g. Geluh lempung pasiran
b. Pasir geluhan
h. Geluh lempung
c. Geluh pasiran
i. Geluh lempung debuan
d. Geluh
j. Lempung pasiran
e. Geluh debuan
k. Lempung debuan
f. Debu
l. Lempung
Struktur tanah adalah istilah untuk menunjuk pada fenomena penyusunan jarah-jarah primer tanah untuk membentuk paduan jarah tanah (jarahjarah sekunder tanah). Paduan jarah tersebut memiliki bentuk, ukuran, dan mutu yang beraneka. Struktur tanah yang telah matang akan terpisahkan dari struktur tanah lainnya oleh bidang belah alami. Struktur tanah sering disebut dengan ped, kluster atau agregat tanah (Purwowidodo 2005). Struktur tanah adalah suatu fenomena pedogenik yang menunjuk pada penyusunan jarah-jarah primer dan sekunder tanah (pasir, debu, lempung, bahan organic, dan agregat kecil) ke dalam satuan-satuan jarah yang lebih besar melalui aksi penggabungan (agregasi) dan penyusunan satuan-satuan jarah itu ke dalam
4
tubuh tanah. Agregat tanah yang telah berkembang sempurna dengan bagian terluarnya membentuk bidang pisah alami disebut ped (Purwowidodo 1998). Mutu struktur tanah adalah kemampuan struktur tanah untuk mempertahankan bentuk terhadap penghancuran oleh biang kakas atau perusak dari luar. 2.1 Fauna Tanah Biota merupakan bagian lain dari mayoritas heterotropis dalam sistem tanah yang bertahan dalam elaborasi jaringan makanan yang terdiri atas berbagai tingkatan tropik. Kesuburan dan produktivitas tanah dapat dipelihara atau diperbaiki dengan memanfaatkan tanaman penutup tanah, seperti yang disarankan oleh para ahli terhadap fungsi aktivitas organisme tanah. Sebagian besar hasil yang bermanfaat dari pohon dan semak belukar adalah hasil karakteristik fauna tanah (Hauser 1993 dalam Arief 2001). Fauna tanah diketahui menjadi faktor utama pada zat-zat makanan dan mencampurkan sisa-sisa tumbuhan dengan tanah (Tina 1992 dalam Arief 2001). Pengelolaan kesuburan tanah disarankan agar dilaksanakan secara biologi untuk mempertahankan produktivitas tanah dengan mempertahankan dan meningkatkan keragaman biota tanah (Arief 2001). Menurut Hole (1981) dalam Purwowidodo (1998), binatang tanah dibagi menjadi kelompok binatang tanah endopedonik dan binatang tanah eksopedonik. Kelompok binatang tanah endopedonik adalah kelompok binatang yang hunian pokoknya di dalam tubuh tanah, terutama binatang-binatang invertebrata, yang menyusun 90% biomassa binatang dalam tanah. Berdasarkan hubungan filogenetiknya dengan binatang lain, kelompok binatang tanah endopedonik mencakup beberapa jenis binatang dari filum-filum Arthropoda, Annelida, Mollusca,
Aschelminthes,
Platyhelminthes,
Myxomycetes,
Cillophora,
Rhizopoda, dan Mastigophora, sedangkan kelompok binatang tanah eksopedonik adalah kelompok binatang yang hidupnya di luar tubuh tanah, mencakup beberapa jenis binatang dari filum Chordata. Biota tanah adalah komponen jasad hidup yang menjadikan tubuh tanah sebagai ruang untuk menjalankan sebagian atau seluruh kegiatan ekofisiologisnya (Lutz dan Chandler 1965). Biota tanah dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
4
1) Golongan tumbuhan yang terdiri dari: a. Tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi, yang berwujud akar-akar pohon, semak, atau rumput. b. Tumbuh-tumbuhan tingkat rendah, yaitu anggota dari kelompok bakteri, cendawan, dan ganggang. 2) Golongan asosiasi yang terdiri dari: a. Bintil akar, yaitu tubuh pada akar tumbuhan tingkat tinggi hasil simbiosis dengan bakteri. b. Mikoriza, yaitu tubuh akar pada akar tumbuhan tingkat tinggi hasil simbiosis dengan cendawan. c. Tumor/kanker/kutil/bubul akar, yaitu tubuh pada akar tumbuhan tingkat tinggi hasil infeksi oleh nematode. 3) Golongan
binatang
yang
terdiri
dari
masyarakat
binatang
yang
melangsungkan kegiatan ekologisnya di dalam tubuh tanah untuk sebagian daur hidupnya (geofil) atau seluruh daur hidupnya (geobion). Fauna tanah dari golongan binatang ini sangat beraneka ragam sehingga diperlukan klasifikasi terhadap keberadaannya dalam tanah. Berdasarkan panjang tubuhnya, mikrofauna mempunyai panjang tubuh 0,02 - 0,17 mm; mesofauna 0,18 - 10,4 mm; dan makrofauna > 10,4 mm. Sedangkan berdasarkan ketebalan tubuhnya, maka mikrofauna mempunyai ketebalan tubuh 100 µm, mesofauna 100 µm - 2 mm, dan makrofauna 2 - 20 mm (Coleman dan Crossley 1996). Wood (1989) mengklasifikasikan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh, antara lain: a.
Mikrofauna tanah berukuran tubuh < 100 µm, seperti protozoa dan nematoda.
b.
Mesofauna tanah berukuran tubuh 100 µm – 2 mm, seperti Collembola, Acari, Enchytraids, dan Termites.
c.
Makrofauna tanah berukuran tubuh 2 – 20 mm, seperti Milipedes, Isopoda, Insecta, Molusca, dan Cacing tanah. Keberadaan mesofauna tanah sangat bergantung pada ketersediaan energi
dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka
4
perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Meskipun sebagai penghasil senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun tidak berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan nilai tambah dari mesofauna sebagai sub-sistem konsumen dan sub-sistem dekomposisi. Sebagai sub-sistem dekomposisi, mesofauna tanah sebagai organisme perombak awal bahan makanan, serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar), mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Mesofauna akan melumat bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikroba tanah (Handayanto 1996). Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna tanah akan meremahremah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Butiran kotoran tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran pula, sebab kotoran organisme perombak ini juga akan ditumbuhi bakteri. Bahanbahan ini akan dirombak oleh mikroorganisme, terutama bakteri, untuk diuraikan lebih lanjut dengan bantuan enzim spesifik sehingga terjadi proses mineralisasi (Arief 2001). Secara umum, keberadaan keanekaragaman hewan tanah pada tanah yang tidak terganggu seperti padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara kontinu. Terdapat adanya suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20 - 50 % (Coleman dan Crossley 1996). Makrofauna tanah yang disebut saprofagus diantaranya adalah cacing tanah, termite, semut, dan millipede atau kaki seribu. Makrofauna ini tidak mempunyai peran melapuk bahan organik untuk dirinya sendiri saja, tetapi juga melapuk untuk merangsang serangan mikrobia hasil remahan makroorganisme tersebut.
4
Kondisi tanah asam yang miskin hara dengan ciri bahan organik yang berserabut akan didominasi oleh termite kecil, cacing enchytracid, dan collembolan yang berasosiasi dengan cendawan. Pada kondisi agak netral dengan bahan organik yang masak dan unsur hara tinggi, akan dijumpai organisme tanah golongan invertebrata dan kaki seribu yang berasosiasi dengan bakteri. Sedangkan pada tanah dengan pH netral, yang mendominasi adalah cacing (Handayanto 1996). Arachnida pada umumnya sering dijumpai di lokasi terbuka. Padang rumput kaya akan laba-laba. Laba-laba pada umumnya predator bagi binatang kecil lainnya termasuk serangga (Wallwork 1970 dalam Latifah 2002). Coleoptera (kumbang) merupakan binatang tanah yang tinggal di dalam ataupun di atas tanah dalam bentuk dewasa maupun larva (Kevan 1962; Raw 1967; dalam Latifah 2002). Semut adalah bagian dari filum Arthropoda, kelas Insecta, dan Ordo Hymenoptera. Mereka adalah anggota family Formicidae yang terdiri atas 10.000 spesies. Semut tersebar luas di seluruh dunia. Sebagian besar semut hidup di dalam hutan subtropik dan tropis, bahkan di gurun-gurun (Hariyanti et.al. 2007). Kehadiran, keberadaan, dan kegiatan biologis binatang-binatang tanah itu menyebabkan perubahan-perubahan fabrik tanah (perubahan ukuran, bentuk, dan susunan komponen padatan tanah) dan perubahan susunan tanah. Pengaruhpengaruh binatang tanah yang terkait dengan manipulasi bahan-bahan tanah dan pengaturan proses-proses di dalam tanah, antara lain terdiri dari (Purwowidodo 1998): a. Pembentukan gumuk-gumuk (tumpukan tanah) b. Pencampuran bahan-bahan tanah c. Produksi bahan-bahan khusus, d. Pengendalian erosi, e. Pembuatan rongga dan lorong, f. Pembentukan dan penghancuran agregat/ped, g. Pergerakan air dan udara, serasah tumbuhan, bangkai binatang, biota tanah, dan daur hara.
4
2.3 Pertambangan Latifah
(2003)
menyatakan
penambangan
ialah
kegiatan
untuk
menghasilkan bahan galian yang dilakukan baik secara manual maupun mekanis yang
meliputi
pemberaian,
pemuatan,
pengangkutan,
dan
penimbunan.
Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia, dan biologi seperti bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola vegetasi dan habitat fauna, dan sebagainya. Sumberdaya mineral merupakan sumber daya alam yang tak terbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian ini dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya mineral ini haruslah dilakukan secara bijaksana dan haruslah dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun harus juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang (Ginting 2004). Mempertimbangkan kekayaan bahan tambang di Indonesia seperti emas, perak, nikel, tembaga, timah, dan bahan tambang lainnya, dan dengan upah tenaga kerja murah serta letak geografi yang dekat dengan pasar, membuat pertambangan mineral di Indonesia sangat prospektif. Kegiatan pertambangan ilegal, peraturan pajak yang dinilai kurang supportive serta lemahnya kordinasi antara pusat dan daerah merupakan sebagian masalah yang dihadapi industri pertambangan, kondisi seperti ini menyebabkan arus investasi yang masuk ke Indonesia kurang optimal. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki iklim investasi dengan menyederhanakan proses perijinan, transparansi, keringanan pajak, penegakan hukum dan pemantapan situasi keamanan (Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Riau 2008). Paradigma pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh Pemerintah Indonesia memandang segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagai modal untuk menambah pendapatan negara. Sayangnya, hal ini dilakukan secara eksploitatif dan dalam skala besar. Sampai saat ini, tidak kurang dari 30% wilayah daratan Indonesia sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik pertambangan mineral, batubara maupun pertambangan galian C. Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-
4
wilayah hidup masyarakat adat. Operasi pertambangan yang dilakukan di Indonesia seringkali menimbulkan berbagai dampak negatif, baik terhadap lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat adat maupun budaya masyarakat lokal (Ginting 2004). Penambangan menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif pada wilayah operasinya. Pertambangan juga menimbulkan dampak lingkungan dan sosial. Akan tetapi dengan menerapkan teknik penambangan yang modern dan komitmen terhadap pengembangan masyarakat, maka dampak positif akan dapat dimaksimalkan dan dampak negatif akan ditekan seminimal mungkin. Beberapa dampak positif pertambangan antara lain: terciptanya lapangan kerja, meningkatnya peluang usaha, pendapatan pajak, dan terpenuhinya kebutuhan logam penting. Perencanaan yang teliti dan matang, dapat mengindentifikasi dampak yang ditimbulkan dan menjadi dasar untuk memaksimalkan dampak positif, serta memastikan bahwa tambang merupakan aset bagi masyarakat (Andira 2007).
12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di tiga lahan bekas tambang timah, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, dengan rincian sebagai berikut: 1. Lokasi 1 terletak di Desa Tanjung Pendam, Kecamatan Tanjung Pandan, yang terakhir ditambang pada tahun 1996. 2. Lokasi 2 terletak di Desa Aik Merbau, Kecamatan Tanjung Pandan, yang terakhir ditambang pada tahun 1989. 3. Lokasi 3 terletak di Desa Batu Itam, Kecamatan Tanjung Pandan, yang terakhir ditambang pada tahun 1978. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2008. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: a.
Meteran (5 meter), 1 buah
b.
Bak plastik (30 x 30 cm), 6 buah
c.
Termometer wet and dry, 1 buah
d.
Kantung plastik transparan (kapasitas 1 kg), 100 lembar
e.
Kertas label (25 x 25 mm), 1 set
f.
Centrifuge tube, 15 tabung
g.
Timbangan (kapasitas 2 kg), 1 buah
h.
Pinset, 1 buah
i.
Indikator pH (MERCK 1,0 – 14,0), 1 set
j.
Cangkul, 1 buah
k.
Tali raffia, 3 gulung kecil
l.
Gelas ukur, 1 buah
m. Sarung tangan plastik, 1 pasang n.
GPS Garmin (tipe: GPSMap 60CS4), 1 buah
o.
Kamera digital, 1 buah
p.
Kaca pembesar (6 x 75 mm), 1 buah
q.
Alat tulis dan kalkulator
12
3.2.2. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain: a.
Air suling (H2O)
b.
Alkohol 70%
3.3. Jenis Data Data-data yang diambil dan digunakan dalam penelitian ini adalah: a.
Data Primer: data yang diperoleh langsung dari lapangan, berupa nama jenis fauna tanah (mesofauna dan makrofauna) beserta jumlah jenisnya pada lahan bekas tambang timah dan sifak fisik-kimia tanah.
b.
Data Sekunder: data yang diperoleh dari hasil wawancara dan studi literatur, berupa kondisi umum lokasi penelitian, data iklim, curah hujan, suhu, dan kelembaban relatif lokasi penelitian.
3.4. Metode Pengambilan Data 3.4.1. Prosedur pengambilan fauna tanah di lapangan: a. Membuat 15 petak pengamatan pada tiga areal bekas tambang yang akan diteliti, dengan ukuran petak 1 m x 1 m yang ditempatkan secara acak. Hal ini sangat diperlukan agar data yang didapat lebih akurat dan bisa mewakili areal lahan tersebut. Keterangan:
A
A, B, dan C merupakan petak B
pengamatan berukuran 1 m2
C
Gambar 1. Bentuk petak pengamatan yang digunakan untuk pengambilan data jenis dan jumlah fauna tanah, serta untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah b. Mengeruk secara cepat seluruh tanah dengan menggunakan cangkul pada kedalaman 0 - 10 cm dan menempatkannya pada bak plastik.
12
c. Menggoyang-goyangkan bak plastik dan menangkap fauna tanah yang terdapat pada tanah di bak plastik tersebut dan memasukkannya ke dalam kantung plastik transparan. d. Mengidentifikasi jenis (pada kategori famili) dan populasi fauna tanah yang tertangkap. e. Menetapkan
indeks
kekayaan
jenis
Margalef
(Dmg),
indeks
keanekaragaman jenis (H’), dan indeks kemerataan jenis (E) untuk setiap areal lahan bekas tambang yang diteliti. 3.4.2. Prosedur pengambilan contoh tanah a.
Membuat 15 petak pengamatan pada tiga lokasi lahan bekas tambang yang akan diteliti, dengan ukuran petak 1 m x 1 m yang ditempatkan secara acak (petak yang sama dengan pengambilan fauna tanah). Hal ini sangat diperlukan agar data yang didapat lebih akurat dan bisa mewakili satu areal lahan tersebut.
b.
Contoh tanah diambil dari petak-petak pengamatan menggunakan cangkul dan golok.
c.
Contoh tanah yang diambil dari suatu petak pengamatan berupa contoh tanah tunggal. Namun untuk menganalisis sifat fisik kimia (pH), contoh tanah yang digunakan adalah contoh tanah komposit, yaitu contoh tanah campuran dari 15 petak pengamatan.
d.
Contoh tanah pada setiap petak pengamatan diambil pada kedalaman 0 – 10 cm sebanyak 0,5 kg.
3.4.3. Prosedur pengambilan data vegetasi 3.4.3.1. Pembuatan petak pengamatan a. Pada lokasi 1 dan 2, petak pengamatan yang digunakan yaitu petak ganda yang letaknya tersebar secara acak dalam suatu petak pengamatan, seperti yang terlihat pada Gambar 2. b. Pada lokasi 3, pembuatan petak pengamatan berdasarkan metode kombinasi antara cara jalur dengan cara garis berpetak (Gambar 3). Metode jalur digunakan untuk mengambil data pohon, dengan panjang jalur 1000 m dan lebar jalur 20 m. Sedangkan cara garis berpetak
12
digunakan untuk mengambil data semai dan tumbuhan bawah, pancang, dan tiang. Keterangan: A, B, dan C merupakan petak
A
pengamatan berukuran 1m2. C B
Gambar 2. Bentuk petak pengamatan yang digunakan untuk pengambilan data tumbuhan bawah. 3.4.3.2. Pengambilan data vegetasi a. Membuat petak pengamatan dengan metode nested sampling, dengan ukuran 20 m x 20 m untuk pohon, 10 m x 10 m untuk tiang, 5 m x 5 m untuk pancang, dan 2 m x 2 m untuk semai dan tumbuhan bawah (Gambar 3). b. Mengumpulkan data-data sebagai berikut:
Tingkat pohon dan tiang: - Nama jenis - Tinggi (tinggi total dan bebas cabang) - Diameter (Dbh/Diameter at Breast Height)
Tingkat semai, tumbuhan bawah, dan pancang: - Nama jenis - Jumlah individu tiap jenis
c. Kriteria semai, pancang, tiang, dan pohon:
Semai: permudaan, mulai dari kecambah sampai dengan tinggi 1,5 m.
Pancang: Semua anakan yang memiliki tinggi > 1,5 m dan diameter < 10 cm.
Tiang: Semua anakan dengan diameter batang 10 cm – 20 cm.
Pohon: Semua tumbuhan berkayu yang memiliki diameter batang > 20 cm.
12
10 m 5m 2m 5m 2m
20 m 2m 2m 5m 5m
10 m Azimuth
10 m
10 m 20 m 1000 m
Gambar 3. Desain petak pengamatan di lokasi dengan metode kombinasi. (Kusmana 1997) 3.4.4. Prosedur analisis sifat fisik tanah Sifat fisik tanah yang diamati adalah tekstur dan strukturnya, berikut ini adalah tata cara pemeriannya: a. Tata cara pemerian/penentuan kelas tekstur tanah dengan metode uji rasa rabaan: Mengambil setengah genggam contoh tanah dan membuang bendabenda asing, misalnya akar, biji, fauna tanah, mineral, dan batu sehingga menyisakan pisahan tanah halus. Menambahkan sedikit air (jika tanahnya kering), membiarkannya terserap tanah, di kepal-kepal dan diuli dengan jari telunjuk dan ibu jari sampai kebasahan merata dan hancur menajdi individuindividu jarah tanah (contoh tanah yang lempungan dan awalnya kering membutuhkan pengulian lebih intensif). Menambahkan contoh tanah atau air jika keadaan contoh tanah terlalu basah atau kering, dilakukan pengulian sampai contoh tanah tersebut berada pada titik letaknya, yaitu suatu keadaan tanah jika ditingkatkan kebasahannya akan menempel pada jarijari tangan. Menetapkan kelas tekstur tanah menggunakan kategori detil dengan menggunakan panduan bagan pada Gambar 4.
12
Membuang contoh tanah yang diuji dan membersihkan sisasisanya yang menempel di tangan sebelum melakukan pemerian pada contoh tanah lainnya. b. Tata cara pemerian/penentuan tipe struktur tanah: Mengambil contoh tanah terusik dari penampang dan pada jeluk yang dikehendaki menggunakan golok atau cangkul sebanyak ±20 cm3 (massa tanah yang ditampung dua telapak tangan yang didampingkan), kemudian ditempatkan pada bak plastik. Mengeringkan contoh tanah (jika tanah basah) hingga mencapai kapasitas lapangannya (1-2 hari). Mengamati gumpalan-gumpalan tanah pada bak plastik untuk memerikan ada atau tidak ada bidang belah alami, khususnya pada gumpalan berukuran besar. Mengambil
gumpalan
berukuran
besar
yang
tidak/belum
memperlihatkan bidang belah alami, menggenggamnya dengan dua tangan dan merepihnya dengan dua ibu jari sampai diperoleh bidang belah alaminya. c. Tata cara penetapan kelas struktur tanah: Mengambil contoh tanah terusik dari penampang pada jeluk yang dikehendaki menggunakan golok atau cangkul sebanyak ± 20 cm3 (massa tanah yang ditampung dua telapak tangan yang didampingkan), kemudian ditempatkan pada bak plastik. Memilah gumpalan tanah yang terbentuk berdasarkan bentuk gumpalannya. Memilah masing-masing bentuk gumpalan ke dalam beberapa kelompok ukuran sesuai keadaan. Memerikan tipe struktur yang merajai untuk masing-masing kelompok ukuran dan menetapkan kelas strukturnya.
12
12
d. Tata cara penetapan mutu struktur tanah: Mengambil contoh tanah terusik dari penampang pada jeluk yang dikehendaki menggunakan golok atau cangkul sebanyak ± 20 cm3 (massa tanah yang ditampung dua telapak tangan yang didampingkan), kemudian ditempatkan pada bak plastik. Memilah massa tanah dengan panduan klasifikasi mutu struktur tanah di bawah ini (Purwowidodo 2005): Tabel 1. Klasifikasi mutu struktur tanah untuk penetapan di lapangan Mutu Struktur Tidak membentuk Lemah
Sedang/cukup mantap
Teguh
Uraian Dicirikan oleh tidak terlihatnya agregasi, atau terlihat adanya agregasi tetapi tidak memperlihatkan adanya bidang belah alami. Struktur terbentuk sangat lemah/buruk dengan batas tidak tegas. Jika massa tanah direpih akan hancur menjadi campuran: struktur utuh sedikit, struktur remuk cukup banyak, dan massa tidak teragregasi banyak Kelas ini dibagi menjadi dua sub-kelas, yaitu: sangat lemah dan agak lemah. Struktur terbentuk tegas dan berkembang baik. Jika massa tanah direpih akan hancur menjadi campuran: struktur utuh tegas banyak, struktur remuk sedikit, dan massa tidak teragregasi. Struktur tegas dan tertaut lemah pada struktur lain. Jika massa tanah direpih akan hancur menjadi campuran: struktur hancur/patah sedikit dan massa tidak teragregasi sedikit atau tidak ada.
3.4.5. Prosedur analisis sifat kimia tanah Tata cara penetapan besaran pH suatu contoh tanah adalah sebagai berikut: a. Menyiapkan contoh tanah kering angin yang telah dihaluskan sebanyak 50 gram. b. Mencuplik contoh tanah dan memasukkannya ke dalam tabung uji sebanyak satu satuan volume (misalnya tinggi 1 cm), diberi larutan pengekstrak (H2O 1 : 2,5) setinggi 2,5 cm atau 5 cm, dikocok selama 5 menit, kemudian didiamkan supaya terjadi pengendapan.
12
c. Menyiapkan kertas pH penunjuk dan memiliki besaran pH yang paling sesuai, dengan panduan sebagai berikut: Jika tidak tersedia keterangan besaran kisaran pH contoh tanah yang diuji, menggunakan indikator pH kisaran lebar (pH 1,0 – 14,0). Jika contoh tanah uji diketahui bereaksi masam, menggunakan indikator < 7, misalnya indikator pH dengan kisaran pH 5,0 – 10,0. d. Mencelupkan kertas pH ke dalam larutan supernatant untuk setiap tabung selama 1 menit, kemudian dikeringkan selama 3 menit. e. Mencocokkan warna yang terbentuk pada kertas indikator pH dengan warna-warna baku pH yang terdapat pada kotak kertas indikator pH MERCK dan menetapkan besaran pH-nya. Kategori kemasaman/kealkalian contoh tanah yang diuji dengan pengekstrak air suling (H2O) ditetapkan dengan menggunakan kriteria berikut ini (Olson 1981 dalam Purwowidodo 2005): Tabel 2. Kategori kemasaman/kealkalian contoh tanah No. Kategori Kemasaman/Kealkalinan Kisaran Besaran pH 1.
Luar biasa masam
< 4,4
2.
Sangat masam
4,5 – 5,0
3.
Masam
5,1 – 5,5
4.
Cukup masam
5,6 – 6,0
5.
Agak masam
6,1 – 6,5
6.
Netral
6,6 – 7,3
7.
Agak alkalin
7,4 – 7,8
8.
Cukup alkalin
7,9 – 8,4
9.
Sangat alkalin
8,5 – 9,0
10.
Luar biasa alkalin
> 9,0
12
3.5 Analisis Data 3.5.1
Analisis Fauna Tanah
1. Indeks Kekayaan Jenis Margalef Nilai kekayaan jenis Margalef digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem (Magurran 1988 dalam Angreini 2002). DMg = Keterangan: DMg
= indeks kekayaan jenis Margalef
S
= banyaknya jenis fauna tanah yang tertangkap
N
= populasi seluruh jenis fauna tanah yang tertangkap
2. Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon Index of General Diversity (Misra, 1980), sebagai berikut: H’ = -∑ (
ln
)
Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman jenis ni = INP jenis ke-i N = total INP Nilai H’ berkisar antara 1,5 – 3,5. Nilai H’ < 1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah. Nilai 1,5 < H’ < 3,5 menunjukkan keanekaragaman sedang. Nilai H’ > 3,5 menunjukkan keanekaragaman yang tinggi (Magurran 1988 dalam Angreini 2002). 3. Indeks Kemerataan Jenis Nilai indeks kemerataan jenis mencerminkan tingkat kemerataan jenis dalam suatu populasi. Jika nilainya mendekati 1, maka kemerataan jenisnya
semakin
tinggi.
Kemerataan
jenis
ditentukan
dengan
menggunakan rumus indeks kemerataan (E), sebagai berikut (Krebs, 1978): E=
12
Keterangan: E
= Indeks kemerataan jenis
H’
= Indeks keanekaragaman jenis
S
= Jumlah jenis
3.5.2
Analisis Vegetasi
1.
Densitas (K) Densitas merupakan jumlah individu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah yang mempunyai arti sama dengan densitas dan sering digunakan adalah kerapatan. Ki =
(ind/ha)
Keterangan: K
= Kerapatan jenis ke-i
Ni
= Jumlah individu untuk jenis ke-i
2.
Kerapatan Relatif (KR) KR=
3.
Frekuensi (F) Frekuensi jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu jenis dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas ditemukannya suatu jenis organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem. F=
4.
Frekuensi Relatif (FR) FR =
5.
Dominansi (D) D=
(m2/Ha)
12
6.
Dominansi Relatif (DR) DR =
7.
Indeks Nilai Penting (INP) Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) jenis-jenis dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto 1994 dalam Indriyanto 2005). INP = KR + FR
(tumbuhan bawah, semai, pancang)
INP = KR + FR + DR
(tiang, pohon)
3.6 Pengolahan Data Pengolahan data-data yang didapat di lapangan dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel.
24
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Letak dan Luas Secara geografis, Kabupaten Belitung terletak antara 107o09’ - 107o58’ BT dan 02o30’ - 03o15’ LS dengan luas 4.547 km2, serta jumlah penduduk pada tahun 2000 mencapai 204.776 jiwa/km2. Kabupaten Belitung mempunyai batas wilayah sebagai berikut (Anonim 2008):
Sebelah utara berbatasan dengan Laut China Selatan
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kelapa Kampit, Kabupaten Belitung Timur
Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa
Sebelah barat berbatasan dengan Selat Gaspar Ibu kota Kabupaten Belitung adalah Tanjung Pandan. Kabupaten ini terdiri
dari 5 kecamatan, yaitu (Anonim 2008): 1. Kecamatan Membalong 2. Kecamatan Tanjung Pandan 3. Kecamatan Badau 4. Kecamatan Sijuk 5. Kecamatan Selat Nasik Kabupaten Belitung merupakan bagian dari wilayah provinsi Kepulauan Bangka-Belitung yang juga merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 98 buah pulau besar dan kecil (Julianery 2001). 4.2 Iklim dan Topografi Kabupaten Belitung mempunyai iklim tropis dan basah. Rata- rata suhu udara pada tahun 2005 bervariasi antara 22,6°C sampai dengan 33,1°C, dimana kelembaban udaranya bervariasi antara 83% sampai 96% dan tekanan udaranya antara 1014,1 Mb sampai dengan 1016,2 Mb. Rata-rata udara selama tahun 2005 di Provinsi ini mencapai 27oC dengan rata-rata suhu udara maksimum 31,5oC dan rata-rata suhu udara minimum 24oC. Suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Mei dan September dengan suhu udara 27,6oC, sedangkan untuk suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli dengan suhu udara sebesar 25,7oC.
25
Keadaan Iklim Kepulauan Bangka-Belitung memiliki iklim tropis yang dipengaruhi angin musim yang mengalami bulan basah selama tujuh bulan sepanjang tahun dan bulan kering selama lima bulan terus-menerus. Tahun 2005 bulan kering terjadi pada bulan Mei sampai September dengan hari hujan 11-15 hari per bulan. Untuk bulan basah, hari hujan 15-27 hari per bulan, terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan Juli, bulan Maret, dan bulan Desember. Kondisi topografi Kabupaten Belitung pada umumnya bergelombang dan berbukit- bukit, dimana daerah yang paling tinggi yaitu Gunung Tajam dengan ketingian ± 510 m dari permukaan laut, sedangkan permukaan tanah pada Kabupaten Belitung pada umumnya didominasi oleh kwarsa dan pasir, batuan alluvial, dan batuan granit. 4.3 Tanah Jenis tanah pada Kabupaten Belitung adalah podsolik merah kuning/ultisol dengan berbagai tipe tanah yang disesuaikan dengan tipe fisiografi lahannya. 4.4 Vegetasi Pada tahun 2001, lahan di Pulau Belitung relatif masih didominasi oleh hutan alam, yaitu seluas 165.995 Ha atau 33,79 % dari total luas pulau Belitung. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat di Pulau Belitung yaitu Seru (Schima wallichii) dan Pelawan (Tristaniopsis whiteana). 4.5 Hasil Tambang Kabupaten Belitung adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Kepulauan Bangka-Belitung yang memiliki hasil bumi berupa bahan galian yaitu timah, batu besi, tanah liat, pasir bangunan, dan gelas serta kaolin yang diekspor baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Untuk bidang pertanian, Kabupaten Belitung menghasilkan rempah-rempah berupa lada yang berkualitas ekspor serta perkebunan sawit, dan hasil produksinya sudah diekspor berupa minyak sawit mentah (CPO) serta banyak lagi hasil pertanian lainnya. Kabupaten Belitung juga kaya dengan hasil lautnya yang hasilnya juga diekspor ke luar negeri serta sektor pariwisata yang sangat indah terutama pantai dengan pasir yang sangat putih berkilau bak mutiara.
26
Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, isi perut bumi pulau BangkaBelitung ini menjadi gudang uang. Timah, dalam pemerintahan Republik Indonesia, pernah menjadi primadona ekspor. Hasil galian tambang yang 95% dijual ke pasar Amerika dan Eropa, menyumbang devisa bagi negara bersama hasil tambang lainnya seperti minyak, gas bumi, dan aluminium. Namun, mulai tahun 1985 harga pasaran timah dunia terus merosot. Masa kejayaan timah lambat laun memudar. Keadaan ini memaksa PN. Timah (Perusahaan Negara Timah), badan usaha milik negara yang bergerak dalam industri pertambangan timah di Indonesia mengadakan restrukturisasi. Salah satu tindakan yang dilakukan perusahaan ini adalah membubarkan Unit Penambangan Timah Belitung (UPTBel) pada 29 April 1991. Penambangan timah di Billiton, nama Belitung dalam Atlas of the World, telah dimulai tahun 1852 oleh perusahaan swasta Belanda, Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton (GMB). Sejak itu, industri timah merupakan penggerak utama perekonomian. Namun, dengan pembubaran UPT-Bel, kejayaan bahan galian di pulau ini pun berakhir. Bahan galian yang digunakan sebagai penyalut lembaran baja untuk kaleng atau baja dan kuningan yang dibuat penjepit kertas dan peniti, tidak lagi bisa dijadikan sandaran hidup terutama bagi penduduk di Belitung. Kabupaten Belitung memang beruntung, karena dikaruniai setumpuk potensi sumber daya alam. Dari hasil tambang, selain timah, pada wilayah seluas 550 hektar terdapat kandungan 85 juta ton kaolin. Mineral galian ini antara lain digunakan untuk bahan baku keramik, bahan pemutih kertas, dan bahan pencampur pembuatan cat. Selain itu, juga sebagai bahan pencampur dalam industri bata tahan api. Selain kaolin juga masih ada pasir kuarsa, pasir bangunan, dan tanah liat. Tidak mengherankan bila dari pendapatan terbesar seluruh kegiatan ekonomi kabupaten ini diperoleh dari sektor industri pengolahan, terutama subsektor industri pengolahan barang galian bukan logam. Tetapi, mineral galian ini adalah bahan tambang yang sifatnya tidak bisa diperbarui. Setali tiga uang dengan timah, jika dikuras terus-menerus dikhawatirkan akan habis (Julianery 2001).
27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Kelestarian fauna-fauna tanah di suatu loka (site) membutuhkan dukungan sumber energi, antara lain jasad-jasad hidup dan mati, khususnya dari golongan tumbuhan dan binatang. Pada suatu ekosistem yang rumit misalnya hutan hujan tropika alami, terdapat jenis, watak, dan pasokan bahan sumber energi yang melimpah, sehingga memungkinkan kehadiran dan berkembangnya aneka jenis fauna tanah dalam kelimpahan tinggi. Hal tersebut memicu berlangsungnya penghancuran/perepihan/pelumatan bahan organik (serasah dan bangkai) dengan laju tinggi, memperluas permukaan bahan organik sehingga lebih siap diurai dan merangsang kegiatan-kegiatan yang menimbulkan perubahan-perubahan pada fabrik dan susunan tanah (Purwowidodo 1998). Berdasarkan hasil penelitian, fauna tanah pada berbagai usia lahan pasca penambangan timah yang berbeda, yaitu 12 tahun (Desa Tanjung Pendam), 19 tahun (Desa Aik Merbau), dan 30 tahun (Desa Batu Itam), menunjukkan penyebaran mesofauna dan makrofauna tanah yang berbeda, baik dalam jumlah maupun populasinya. Jenis-jenis fauna tanah yang tertangkap di seluruh lokasi dan pada masing-masing usia lahan pasca penambangan dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. 5.1 Sifat Fisik dan Kimia Tanah Kegiatan pertambangan timah dapat mengakibatkan kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Akhyar (2008) kegiatan penambangan dapat menyebabkan perubahan pada struktur tanah akibat penggalian top soil untuk mencapai lapisan bertimah yang lebih dalam. Pembuatan dam (phok) telah mengubah topografi dan komposisi tanah permukaan akibat digunakannya tanah overburden sebagai sarana penimbun. Top soil hilang karena tertimbun tailing atau terendam genangan air (Sujitno 2007 dalam Akhyar 2008). Sujitno (2007) dalam Akhyar (2008) menjelaskan, pemandangan umum yang dijumpai pada lahan bekas tambang timah berupa kolong (lahan bekas penambangan yang berbentuk semacam danau kecil dengan kedalaman mencapai 40 m), timbunan liat hasil galian (overburden), dan hamparan taling (sisa
28
pencucian bahan galian) yang berupa rawa atau lahan kering. Latifah (2004) dalam Akhyar (2008) mengindikasikan bahwa sejalan dengan waktu, timbunan tailing akan membentuk hamparan tailing yang semakin luas. Kolong yang terbentuk pada proses penambangan skala besar umumnya tidak memungkinkan untuk ditimbun sehingga menjadi semacam danau buatan. Berdasarkan hasil penentuan contoh tanah di lapangan, diperoleh sifat fisik dan kimia tanah yang berbeda pada setiap lokasi. Data sifat fisik tanah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Data sifat fisik tanah di setiap lokasi Tahun Kelas No. Lokasi terakhir tekstur ditambang tanah 1. Desa Tanjung 1996 Pasir Pendam 2. Desa Aik Pasir 1989 Merbau geluhan Geluh 3. Desa Batu Itam 1978 pasiran
Struktur Tanah Tipe
Kelas
Mutu
Prisma
Halus
Tidak berbentuk
Butiran
Medium
Lemah
Butiran
Medium
Sedang
Desa Tanjung Pendam memiliki kelas tekstur berupa pasir, dimana tanah tersebut memiliki butir-butir yang berukuran lebih besar dan setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas permukaan yang lebih kecil, sehingga sulit untuk menyerap (menahan) air dan unsur hara (Hardjowigeno 2007). Tanah pasir memiliki kadar geluh/lempung yang sangat sedikit, hanya sekitar 10-15%. Desa Aik Merbau memiliki kelas tekstur pasir geluhan, dimana tanah tersebut masih
banyak mengandung pasir, namun juga terdapat kadar geluh/lempung
sebanyak 30-40% dari kadar bobot total (Hamzah 1979). Sedangkan pada Desa Batu Itam, kelas teksturnya berupa geluh pasiran, dimana massa tanahnya masih mengandung pisahan pasir tetapi kandungan geluh/lempungnya lebih banyak untuk memberikan sensasi kelekatan (Purwowidodo 2005). Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil tersebut mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda (Hardjowigeno 2007).
29
Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa Desa Tanjung Pendam memiliki tipe struktur berupa prisma (Gambar 5). Tipe struktur ini dapat menciptakan tanah yang lebih lemah dan tidak adanya agregasi antar jarah penyusun tanah.
Gambar 5. Penampilan tipe struktur tanah prisma Desa Aik Merbau dan Desa Batu Itam memiliki tipe struktur berupa butiran (Gambar 6) yang dapat menciptakan tanah yang lebih kuat dibandingkan dengan tipe prisma.
Gambar 6. Penampilan tipe struktur tanah butiran Menurut Soil Survey Staff (1951) dalam Purwowidodo (2005), kelas struktur tanah di Desa Tanjung Pendam termasuk ke dalam kelas struktur prisma halus dengan ukuran garis tengah kurang dari 2 mm (Ø < 20 mm). sedangkan di Desa Aik Merbau dan Desa Batu Itam, termasuk ke dalam kelas struktur butiran medium/sedang dengan ukuran garis tengah 20-50 mm (Ø 20-50 mm). Mutu
struktur
tanah
adalah
kemampuan
struktur
tanah
untuk
mempertahankan bentuk terhadap penghancuran oleh biang atau kakas perusak
30
dari luar. Mutu struktur tanah ini dikendalikan oleh kemantapan struktur dan kemudahan untuk saling memisah. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 3, Desa Tanjung Pendam memiliki mutu struktur yang tidak berbentuk, hal ini dicirikan oleh tidak terlihat adanya agregasi, atau terlihat adanya agregasi tetapi tidak memperlihatkan adanya bidang belah alami dan memiliki daya lekat lemah. Desa Aik Merbau memiliki keadaan mutu struktur tanah yang lemah. Struktur ini terbentuk sangat lemah/buruk dengan batas tidak tegas. Jika massa tanah direpih akan hancur menjadi campuran. Sedangkan Desa Batu Itam memiliki keadaan mutu struktur tanah sedang, sebab struktur tanah memiliki kandungan geluh/lempung cukup banyak daripada pasir. Jika massa tanah direpih, struktur tanah yang hancur/patah lebih sedikit. Selain sifat fisik tanah, diperoleh juga data sifat kimia tanah berupa pH tanah yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Data sifat kimia tanah di setiap lokasi Tahun terakhir No. Lokasi ditambang 1. Desa Tanjung Pendam 1996 2. Desa Aik Merbau 1989 3. Desa Batu Itam 1978 Menurut
Hardjowigeno
(2007),
reaksi
pH (H2O 1 : 2,5) pH Kategori 5,0 Sangat masam 5,0 Sangat masam 5,0 Sangat masam tanah
menunjukkan
sifat
kemasaman atau alkalin tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah, selain H+ dan ion-ion lain, ditemukan juga ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya ion H+. Pada tanah masam, jumlah ion H+ lebih tinggi dari pada OH-. Sedangkan pada tanah alkalis/basa, kandungan OHlebih tinggi daripada H+. Namun bila kandungan H+ sama dengan OH-, maka tanah bereaksi netral. Di Indonesia umumnya tanah beraksi masam dengan pH 4,0 – 5,5, sehingga tanah dengan pH 6,0 – 6,5 sering dikatakan cukup netral, meskipun sebenarnya masih agak masam. Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa pH tanah di ketiga lokasi adalah 5,0 dengan kategori sangat masam. Tanah di Kabupaten Belitung
31
didominasi oleh jenis podsolik merah kuning, di mana tanah-tanah terjadi penimbunan liat di horizon bawah (horizon argilik), bersifat masam, kejenuhan basa (jumlah kation) pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang 35%. Sekarang tanah ini disebut tanah ultisol yang banyak terdapat di Indonesia. 5.2 Analisis Vegetasi Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara untuk mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi (Indriyanto 2005). Berdasarkan hasil analisis tumbuhan bawah di ketiga lokasi, diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda, seperti yang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Rekapitulasi jumlah jenis dan jumlah individu vegetasi di setiap lokasi Tahun Tingkat Jumlah Jumlah terakhir No. Lokasi Jenis individu pertumbuhan ditambang Desa Tanjung Tumbuhan 1. 1996 9 728 Pendam bawah Tumbuhan 2. Desa Aik Merbau 1989 19 966 bawah Tumbuhan 3. Desa Batu Itam 1978 10 301 bawah Semai 14 500 Pancang 14 191 Tiang 12 34 Pohon 10 37 Pada Tabel 5 dapat terlihat bahwa jumlah jenis dan jumlah individu tertinggi terdapat di Desa Batu Itam. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi Desa Batu Itam, vegetasi penyusunnya sudah lebih kompleks dan beragam, sehingga keberadaan tumbuhan bawah mulai tertutupi oleh jenis-jenis pohon dan anakannya. Berdasarkan hasil pengamatan di ketiga lokasi, didapat nilai INP yang berbeda-beda pada tiap jenis di tiap lokasi. Pada lokasi 1 (Desa Tanjung Pendam) didominasi oleh Eragrostis tenella Benth (rumput kecik) dengan INP 62,10% dan Imperata cylindrica L. (lalang) dengan INP 42,20%. Pada lokasi 2 (Desa Aik Merbau) didominasi oleh Pennisetum purpureum Schumach (rumput bulu) dengan INP 58,92% dan Imperata cylindrica L. (lalang) dengan INP 25,90%.
32
Di lokasi 3, terdapat beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang, dan pohon, dengan INP yang berbeda-beda. Tingkat tumbuhan bawah didominasi oleh Melastoma malabathricum L. (keremunting b) dengan INP 55,24% dan Nephrolepis biserrata (Sw.) Schoot (pakis utan) dengan INP 32,51%. Tingkat semai didominasi oleh Schima wallichii (DC.) Korth. (seru) dengan INP 73,61% dan Quercus sp. BI (kabal) dengan INP 33,80%. Tingkat pancang didominasi oleh Schima wallichii (DC.) Korth. (seru) dengan INP 81,12% dan Quercus sp. BI (kabal) dengan INP 35,73%. Tingkat tiang didominasi oleh Schima wallichii (DC.) Korth. (seru) dengan INP 87,37% dan Quercus sp. BI (kabal) dengan INP 34,68%. Sedangkan untuk tingkat pohon didominasi oleh Schima wallichii (DC.) Korth. (seru) dengan INP 104,09% dan Hevea brasiliensis Muell. Agr. (karet) dengan INP 37,64%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. INP vegetasi dominan dan ko-dominan di tiga lokasi Tingkat Lokasi Nama jenis pertumbuhan 1 Tumbuhan bawah a. Eragrostis tenella Benth (Desa Tanjung b. Imperata cylindrica L. Pendam) a. Pennisetum purpureum Schumach b. Imperata cylindrica L.
INP (%) 62,10 42,20
2 (Desa Aik Merbau)
Tumbuhan bawah
58,92
3 (Desa Batu Itam)
Tumbuhan bawah
a. Melastoma malabathricum L. b. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schoot
55,24 32,51
Semai
a. Schima wallichii (DC.) Korth. b. Quercus sp. Bl.
73,61 33,80
Pancang
a. Schima wallichii (DC.) Korth. b. Quercus sp. Bl.
81,12 35,73
Tiang
a. Schima wallichii (DC.) Korth. b. Quercus sp. Bl.
87,37 34,68
Pohon
a. Schima wallichii (DC.) Korth. b. Hevea brasiliensis Muell. Arg
104,09 37,64
25,90
33
Tumbuhan-tumbuhan tersebut merupakan produsen primer bahan organik dan penyimpan energi surya. Akar-akar tumbuh dan mati si dalam tanah sehingga menyediakan makanan dan energi fauna tanah dan mikroflora. Akar-akar tumbuhan meningkatkan agregasi tanah, dan karena akar menembus ke lapisan tanah yang dalam, maka bila membusuk menjadi sumber humus, tidak hanya di lapisan atas tetapi juga di lapisan yang lebih dalam. Sumber humus untuk lapisan atas tanah terutama berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang jatuh ke permukaan tanah (Hardjowigeno 2007). 5.3 Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Setiap Areal Pasca Kegiatan Penambangan Hasil dari penelitian mesofauna dan makrofauna tanah pada tiga lokasi dengan usia lahan pasca penambangan yang berbeda-beda, yaitu 12 tahun (Desa Tanjung Pendam), 19 tahun (Desa Aik Merbau), dan 30 tahun (Desa Batu Itam) menunjukkan adanya perbedaan penyebaran dan populasi mesofauna dan makrofauna tanah, seperti yang terlihat pada Tabel 7 Tabel 7. Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah yang ditemukan di ketiga lokasi. Nama Jenis No. 1. 2. 3.
Ilmiah
Lokal
Achatina fulica (Linnẻ) Armadillidium vulgare (Latreille) Bibio sp. (Geoffroy)
Bekicot besar Trenggiling mentik Larva lalat St.Marks Cocopet hitam
4.
Chelisoches sp.
5.
Coccinella septempunctata (Linnaeus)
6.
Cryptocercus sp. (Scudder)
7. 8. 9.
Polyrhachis dives (Smith) Odontomachus rixosus (Smith, F.) Pachymerium ferrugineum (C. L. Koch)
Kumbang koksinela Kecoak sungut pendek Semut hitam mengkilap Semut bertanduk Kelabang jangkar bumi
Lokasi Desa Tanjung Pendam
Desa Aik Merbau
Desa Batu Itam
Keterangan
-
●
-
Makrofauna
-
-
●
Makrofauna
●
-
-
Mesofauna
-
-
●
Mesofauna
-
●
-
Makrofauna
-
-
●
Makrofauna
●
●
-
Makrofauna
-
-
●
Makrofauna
-
-
●
Makrofauna
34
Tabel 7. (lanjutan) 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Valanga nigricornis (Drum) Neotermes sp. (Holmgren) Lumbricus terestris (L.) Formica cinera (Mayr) Crematogaster sp. (Lund) Philoscia muscorum (Scopoli) Pholcus phalangioides (Fuesslin) Paralaoma servilis (Shuttleworth) Salticus sp. (Blackwall) Phyllophaga sp. (Linnaeus) Talitroides dorrieni (Rafinesque)
21. Harpaphe sp. (Wood) Keterangan: = tidak ada ● = ada 22.
Belalang
-
●
-
Makrofauna
Rayap tanah
-
●
●
Mesofauna
-
●
●
Makrofauna
●
●
●
Makrofauna
Semut hitam
●
●
●
Makrofauna
Kutu kayu pipih
-
-
●
Mesofauna
Laba-laba permanen
●
-
-
Makrofauna
Bekicot a
-
●
-
Makrofauna
-
●
●
Makrofauna
-
-
●
Makrofauna
-
-
●
Mesofauna
-
●
●
Mesofauna
-
-
●
Makrofauna
Cacing tanah Semut merah
Laba-laba pelompat Kumbang hitam Udang serasah Kutu kayu mengkilap Orange millipede
Untuk lebih jelasnya, jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di tiaptiap lokasi dapat dilihat pada Tabel 8, 10, dan 12. Tabel 8. Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 1 (Desa Tanjung Pendam. Nama jenis No. Ilmiah Lokal MESOFAUNA 1. Bibio sp. (Geoffroy) Larva lalat St.Marks MAKROFAUNA 1. Crematogaster sp. (Lund) 2. Formica cinera (Mayr) 3. Polyrhachis dives (Smith) 4. Pholcus phalangioides (Fuesslin)
Semut hitam Semut merah Semut hitam mengkilap Laba-laba permanen
35
Keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah di ketiga lokasi berdasarkan taksonominya dapat dilihat pada Tabel 9, 11, dan 13. Tabel 9. Keanekaragaman taksonomi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 1 (Desa Tanjung Pendam) KELAS ORDO FAMILI SPESIES Bibio sp. Hexapoda Diptera Bibionidae MESOFAUNA (Geoffroy) Crematogaster Hexapoda Hymenoptera Myrmicidae MAKROFAUNA sp. (Lund) Formica Hexapoda Hymenoptera Formicidae cinera (Mayr) Polyrhachis Hexapoda Hymenoptera Formicidae dives (Smith) Pholcus Arachnida Opiliones Pholcidae phalangioides (Fuesslin)
Tabel 10. Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 2 (Desa Aik Merbau). Nama jenis No. Ilmiah Lokal MESOFAUNA 1. Neotermes sp. (Holmgren) Rayap tanah 2. Kutu kayu mengkilap MAKROFAUNA 1. Crematogaster sp. (Lund) 2. Formica cinera (Mayr) 3. Lumbricus terestris (L.) 4. Polyrhachis dives (Smith) 5. Valanga nigricornis (Drum) 6. Coccinella septempunctata (Linnaeus) 7. Paralaoma servilis (Shuttleworth) 8. Achatina fulica (Linnẻ) 9. Salticus sp. (Blackwall)
Semut hitam Semut merah Cacing tanah Semut hitam mengkilap Belalang Kumbang koksinela Bekicot sedang Bekicot besar Laba-laba pelompat
36
Tabel 11. Keanekaragaman taksonomi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 2 (Desa Aik Merbau) KELAS ORDO FAMILI SPESIES Neotermes sp. Hexapoda Isoptera Kalotermitidae MESOFAUNA (Holmgren) Crustaceae Isopoda Tridainiscidae Crematogaster MAKROFAUNA Hexapoda Hymenoptera Myrmicidae sp. (Lund) Formica cinera Hexapoda Hymenoptera Formicidae (Mayr) Lumbricus Oligochaeta Lumbricina Lumricidae terestris (L.) Polyrhachis Hexapoda Hymenoptera Formicidae dives (Smith) Valanga nigricornis Hexapoda Orthoptera Acrididae (Drum) Coccinella Hexapoda Coleoptera Coccinellidae septempunctata (Linnaeus) Paralaoma Gastropoda Geophila Punctidae servilis (Shuttleworth) Achatina fulica Gastropoda Geophila Achatinidae (Linnẻ) Salticus sp. Arachnida Araneae Salticidae (Blackwall) Tabel 12. Jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 3 (Desa Batu Itam). Nama jenis No. Ilmiah Lokal MESOFAUNA 1. Neotermes sp. (Holmgren) Rayap kayu kering lapuk 2. Talitroides dorrieni (Rafinesque) Udang serasah 3. Kutu kayu mengkilap 4. Philoscia muscorum (Scopoli) Kutu kayu pipih 5. Chelisoches sp. Cocopet hitam 6. Phyllophaga sp. (Linnaeus) Kumbang hitam MAKROFAUNA 1. Formica cinera (Mayr) 2. Lumbricus terestris (L.) 3. Odontomachus rixosus (Smith, F.) 4. Pachymerium ferrugineum (C. L. Koch) 5. Armadillidium vulgare (Latreille) 6. Crematogaster sp. (Lund)
Semut merah Cacing tanah Semut bertanduk Kelabang jangkar bumi Trenggiling mentik Semut hitam
37
Tabel 12. (lanjutan) 7. Cryptocercus sp. (Scudder) 8. Harpaphe sp. (Wood) 9. Salticus sp. (Blackwall)
Kecoak sungut pendek Orange milipede Laba-laba pelompat
Tabel 13. Keanekaragaman taksonomi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 3 (Desa Batu Itam) KELAS ORDO FAMILI SPESIES Neotermes sp. Hexapoda Isoptera Kalotermitidae MESOFAUNA (Holmgren) Talitroides dorrieni Crustaceae Amphipoda Talitridae (Rafinesque) Crustaceae Isopoda Tridainiscidae Philoscia muscorum Crustaceae Isopoda Oniscidae (Scopoli) Hexapoda Dermaptera Chelisochidae Chelisoches sp. Phyllophaga Hexapoda Coleoptera Scarabaeidae sp. (Linnaeus) Formica cinera Formicidae MAKROFAUNA Hexapoda Hymenoptera (Mayr) Lumbricus Oligochaeta Lumbricina Lumricidae terestris (L.) Odontomachus Hexapoda Hymenoptera Formicidae rixosus (Smith F.) Pachymerium Myriapoda Chilopoda Geophilidae ferrugineum (C. L. Koch) Armadillidium Armadillidiidae Crustaceae Isopoda vulgare (Latreille) Crematogaster Hexapoda Hymenoptera Myrmicidae sp. (Lund) Cryptocercus Hexapoda Blattodea Cryptoceridae sp. (Scudder) Harpaphe sp. Myriapoda Diplopoda Xystodesmidae (Wood) Salticus sp. Arachnida Araneae Salticidae (Blackwall) Dari tabel 8, 9, 10, 11, 12, dan 13 dapat dilihat bahwa keberadaan makrofauna tanah lebih dominan dibandingkan dengan mesofauna tanah. Hal tersebut didukung oleh peranan makrofauna dan mesofauna di dalam tanah.
38
Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Butiran kotoran tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran juga, sebab kotoran organisme perombak ini akan ditumbuhi bakteri untuk diuraikan lebih lanjut dengan bantuan enzim spesifik sehingga terjadi proses mineralisasi. Makrofauna yang disebut saprofagus diantaranya adalah cacing tanah, termite, semut, dan millipede atau kaki seribu. Makrofauna ini tidak mempunyai peran melapuk bahan organik untuk dirinya sendiri saja, tetapi juga melapuk untuk merangsang serangan mikrobia hasil remahan makroorganisme tersebut. Karena itu, terdapat berbagai macam tanah dengan komposisi organisme tanah dan mikroorganisme tanah yang berbeda pula. Kondisi tanah asam yang miskin hara dengan ciri bahan organik yang berserabut akan didominasi oleh mite kecil, cacing enchytracid, dan collembola yang berasosiasi dengan cendawan. Pada kondisi yang agak netral dengan bahan organik yang masak dan unsur hara tinggi, akan dijumpai organisme tanah golongan invertebrata dan kaki seribu yang berasosiasi dengan bakteri. Sedangkan tanah dengan pH netral didominasi oleh cacing (Handayanto 1996 dalam Arief 2001). Keberadaan mesofauna tanah dalam tanah sangat bergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Jika dilihat dari jenis-jenis yang ditemukan di ketiga lokasi, keberadaan mesofauna tanah di lahan bekas tambang masih sangat kurang. Sebab ketersediaan sumber makanan sebagai energi bagi mesofauna tanah masih sangat sedikit. Koloni mesofauna tanah (contohnya rayap) pada hakikatnya merupakan suatu sistem tertutup yang di dalam tanah terjadi suatu proses makan-memakan (predasi) individu yang tampaknya tidak sehat ataupun yang mati akan dimakan oleh koloni mesofauna itu sendiri. Hasil pelumatan dan pengunyahan (ingested) menambah senyawa organik yang dikenal sebagai reproduksi sekunder (alates).
39
Alates ini merupakan senyawa organik yang kaya lemak dan protein. Pelepasan alates dapat mencapai 60% dari biomassa koloni dalam satu tahunnya. Selain melalui proses pelumatan, peningkatan senyawa organik dengan adanya mesofauna juga dapat terjadi melalui pembuatan bangunan bukit-bukit dengan galeri-galeri yang khas dan dikelilingi oleh selubung (cast), serta dilengkapi dengan saluran-saluran hasil karya rayap (termites). Kerangka dan lapisan tanah yang langsung berada di bawahnya mengandung jumlah ekresi yang bervariasi dan mengandung lebih banyak bahan organik daripada cast dan profil tanah di sekitarnya, lapisan tersebut mempunyai pH, Ca-dd, Mg-dd, dan KB yang lebih tinggi (Arief 2001). Selain itu, rayap mempunyai peranan sebagai perombak primer dari serasah tanaman di permukaan tanah dan sebagai perombak humus dalam tanah (Collins 1992 dalam Arief 2001). Peranan
biota
tanah
lainnya,
seperti
cacing
tanah,
mampu
mempertahankan produktivitas tanah secara langsung melalui respirasi dan mineralisasi ataupun melalui interaksinya dengan mikroorganisme tanah yang menentukan immobilisasi, pelepasan dan penyimpanan unsur hara, dinamika air, serta bahan organik dalam tanah (Levelle et al. 1994 dalam Arief 2001). Cacing tanah tersebar di seluruh dunia sekitar 7.000 spesies. Cacing tanah tidak memakan vegetasi hidup, tetapi hanya memakan bahan organik mati, baik sisa-sisa hewan lain atau tanaman berdaun lebar (deciduous), dan tidak menyukai tanaman berdaun jarum (Hardjowigeno 2007). Peranan nyata cacing tanah adalah pembentukan agregat tanah yang stabil dan struktur yang baik untuk drainase dan aerasi. Cacing tanah mampu menghasilkan struktur tanah yang baik sebagai akibat dari aktivitas penggalian tanah dan menarik keluar, sehingga terjadi pengadukan lapisan tanah. Aktivitas cacing tanah akan disertai peningkatan jumlah air, partikel tanah menggumpal jadi kuat, struktur lebih besar, dan mengubah biomassa mikroba (Daniel dan Anderson 1992 dalam Arief 2001). Penggalian cacing tanah menciptakan biospora dalam tanah yang menghasilkan penurunan drainase air tanah dan memperbaiki pengisi gas dan mengurangi erosi (Roth dan Zoschko 1991 dalam Arief 2001). Seperti halnya fauna tanah lainnya, cacing tanah mampu memacu mineralisasi dan humifikasi bahan organik secara langsung dengan mengkonsumsi
40
bahan organik dan secara tidak langsung mencampurkan bahan organik ke dalam tanah, serta merangsang aktivitas mikrobia dalam cast dan lingkungan di sekitar liangnya. Cast cacing tanah ini sangat berpengaruh terhadap sifat fisik tanah, karena mampu menurunkan bobot isi tanah, meningkatkan pori aerasi, dan menurunkan pori air tersedia. Percobaan pada tanah-tanah gundul bekas tambang di Ohio (Amerika Serikat) menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kadar kalium tersedia sebanyak 19% dan kadar fosfor tersedia sebanyak 165% (Vimmerstedt 1969 dalam Hardjowigeno 2007). Cacing tanah lebih senang hidup pada tanahtanah lembab, tata udara baik, hangat (± 21oC), pH tanah 5,0 – 8,4, banyak bahan organik, kandungan garam rendah, tetapi Ca tersedia tinggi, tanah agak dalam, tekstur sedang sampai halus, dan tidak terganggu oleh pengolahan tanah (Hardjowigeno 2007). Arthropoda dalam tanah digolongkan ke dalam beberapa family, yaitu: Crustaceae (udang serasah), Chilopoda (sejenis kelabang/centipede), Diplopoda (kaki seribu/millipede), Arachnida (laba-laba, kutu kayu, kalajengking), dan Insecta (belalang, jangkrik, lebah, kumbang, semut, rayap, lalat). Jenis-jenis arthropoda yang lain mempunyai makanan sisa-sisa tumbuhan yang membusuk dan membantu memperbaiki tata udara tanah dengan membuat lubang-lubang kecil pada tanah tersebut, tetapi banyak juga diantaranya yang bersifat pengganggu karena memakan tumbuhan hidup (phytophagous). Semut dapat menggali sejumlah besar tanah sehingga menyebabkan terangkatnya nutrisi tanah. Serangga-serangga tertentu memanfaatkan sarang semut dalam tanah sebagai tempat tinggal. Ini karena sarang semut menyediakan perlindungan yang relatif stabil dari fluktuasi kondisi lingkungan luar. Semut bersimbiosis dengan berbagai serangga, tumbuhan, dan fungi. Simbiosis ini saling menguntungkan dan mengambil beragam bentuk. Tanpa bersimbiosis dengan semut, organisme-organisme tersebut akan menurun populasinya hingga punah. Selain sebagai pemangsa, semut juga adalah mangsa yang penting bagi berbagai serangga, laba-laba, reptil, burung, kodok, mamalia, bahkan tumbuhan karnivora. Tumbuhan adalah sumber makanan utama bagi banyak spesies semut. Banyak jenis tumbuhan menghasilkan zat yang dapat menarik semut, yaitu nektar
41
dan struktur korpuskel makanan. Nektar dikenal sebagai cairan gula yang dihasilkan pada bagian bunga. Nektar bunga berfungsi menarik hewan penyerbuk seperti serangga atau burung jenis tertentu. Nektar juga diproduksi di struktur lain selain bunga, seperti tangkai, daun, atau batang, tergantung jenis tumbuhannya. Nektar dihasilkan oleh struktur bernama nektari yang seringkali membentuk tonjolan pada bagian-bagian tanaman. Nektari ini sering didatangi semut serta berbagai serangga lain. Korpuskel makanan adalah struktur epidermis bernutrisi yang dikonsumsi semut. Korpuskel ini bervariasi bentuk dan letaknya, sesuai jenis tumbuhannya, dan lebih banyak berkembang pada tumbuhan yang membentuk domatia, yaitu bagian tanaman yang termodifikasi membentuk celah yang dikhususkan sebagai tempat sarang semut. Seperti halnya trofobiosis antara semut dan serangga penghisap sari tanaman, tanaman jenis tertentu dan semut dapat membentuk simbiosis yang saling menguntungkan. Dalam simbiosis ini, tumbuhan memberikan semut makanan atau sarang, sementara semut mengusir serangga hama dari tumbuhan. Terkadang semut juga memotong gulma-gulma yang muncul di dekat tumbuhan inangnya. Salah satu faktor lingkungan yang sangat menentukan keberadaan semut adalah kelembaban lingkungan. Ukuran tubuh semut yang kecil membuat rasio antara luas permukaan dan volume tubuhnya bernilai besar. Hal ini menyebabkan penguapan air melalui permukaan tubuh besar dan cepat sehingga semut rentan terhadap kekeringan, terutama larva semut yang permukaan tubuhnya belum memiliki lapisan kutikula. Uap air lingkungan juga adalah sumber air yang dimanfaatkan semut untuk metabolisme tubuh. Karena hal-hal tersebut, semut lebih menyukai lingkungan lembab. Akan tetapi, lingkungan kering tidak selalu menjadi hambatan bagi semut, karena sebagian semut dapat memodifikasi lingkungan sekitar untuk disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk mendapatkan tempat hidup yang tepat, sebagian semut dapat memodifikasi sarang untuk mendapatkan kelembaban yang diperlukan. Sebagian semut membentuk sarang di dalam tanah. Ini adalah salah satu cara mempertahankan kelembaban karena tanah menyimpan air dan menghambat penguapan akibat panas matahari. Pintu masuk lubang sarang ini seringkali membentuk kawah kecil atau cerobong. Terkadang, semut membentuk gundukan
42
besar atau struktur sarang yang mencuat hingga beberapa meter di atas tanah. Konstruksi seperti ini diperkirakan dibuat untuk mengoptimasi tingkat kelembaban, suhu, dan ventilasi udara yang diperlukan semut. Selain di tanah, semut dapat membentuk sarang di berbagai tempat tergantung dari spesiesnya. Sarang itu sendiri mengambil bentuk yang bervariasi. Di daerah beriklim sedang, semut merah (Formica cinera Mayr) telah mengaduk-aduk tanah daerah prairie (padang rumput) selama 3500 tahun, dan membawa tanah ke permukaan 2,5 cm/500 tahun. Jenis molusca yang hidup di atas tanah yang terpenting adalah bekicot. Bekicot dapat ditemukan hampir di seluruh penjuru dunia, mereka hidup di lingkungan lembab, terutama tanah. Fauna ini memakan sisa-sisa tanaman yang membusuk dan juga makan tanaman hidup. Kumbang koksinela (Coccinella septempunctata Linnaeus) termasuk ke dalam filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Coleoptera. Jenis kumbang ini yang berjumlah 5000 jenis digolongkan dalam family Coccinellida. Kumbang ini tersebar luas di seluruh penjuru dunia, dan banyak ditemukan di rerumputan, bunga, semak-semak, dan pepohonan. Kumbang koksinela memakan seranggaserangga yang merugikan seperti ulat, acaria, dan kumbang merah (Tiga Serangkai 2007). Cocopet hitam merupakan hewan yang aktif pada malam hari dan sisanya bersembunyi pada siang hari dan berlindung dalam gelap, biasanya pada celah yang sempit atau di balik kayu lapuk dan batu, tumbuhan mati, kotoran hewan, kompos atau humus (Stehr 1987 dalam Angreini 2002). Jenis ini umumnya hidup di habitat yang hangat dan basah, dan bersifat omnivora. Keberadaan mesofauna tanah ini didukung oleh lingkungan di Desa Batu Itam, dimana pada lokasi tersebut memiliki serasah dan tumbuhan bawah yang banyak, yang dapat digunakan sebagai tempat berlindung, sumber makanan, dan mencari mangsa. Paris dan Pitelka (1962) dalam Gorny dan Grum (1993) dalam Angreini 2002, menyatakan bahwa jumlah kutu kayu khususnya Trenggiling mentik (Armadillium vulgare Latreille) tinggal pada kadar air tanah yang tinggi sampai pada kedalaman 4 cm.
43
5.4 Kekayaan Jenis (Dmg) Mesofauna dan Makrofauna Tanah pada Setiap Usia Areal Pasca Kegiatan Penambangan. Perbedaan usia lahan pasca kegiatan penambangan maka keanekaragaman fauna tanah akan berbeda pula. Hal ini terlihat dari ketiga jenis usia lahan yang diteliti, yang menunjukkan adanya perbedaan keanekaragaman fauna tanah. Kekayaan jenis pada setiap usia lahan memiliki nilai indeks yang berbeda. Nilai indeks tersebut didapat dengan menggunakan perhitungan indeks kekayaan jenis Margalef, yang dapat diketahui dari data jumlah jenis dan jumlah individu yang ditemukan pada tiap usia lahan. Tabel 14. Rekapitulasi jumlah jenis (S) dan jumlah individu (N) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap lokasi Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 No. Family S N S N S N 1. Myrmicidae 2 159 2 178 2 208 2. Lumbricidae 1 11 1 82 3. Kalotermitidae 1 56 1 51 4. Formicidae 1 4 1 6 1 33 5. Geophilidae 1 13 6. Talitridae 1 12 7. Armadillidiidae 1 9 8. Tridaoniscidae 1 1 1 6 9. Cryptoceridae 1 4 10. Chelisochidae 1 3 11. Oniscidae 1 3 12. Salticidae 1 1 1 1 13. Scarabaeidae 1 1 14. Xystodesmidae 1 1 15. Coccinellidae 1 2 16. Gryllidae 1 2 17. Punctidae 1 2 18. Achatinidae 1 1 19. Bibionidae 1 3 20. Pholcidae 1 1 Jumlah 5 167 11 260 15 427 Dmg 0,78 1,80 2,52 Keterangan: S = Jumlah jenis N = Jumlah individu
44
Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah individu tertinggi adalah di Desa Batu Itam dengan usia lahan 30 tahun, sebanyak 427 individu. Berikutnya di Desa Aik Merbau dengan usia lahan 19 tahun, sebanyak 260 individu. Jumlah individu yang paling sedikit terdapat di Desa Tanjung Pendam dengan usia lahan 12 tahun, sebanyak 167 individu. Untuk jumlah jenis yang terbanyak adalah di Desa Batu Itam dengan usia lahan 30 tahun, sebanyak 15 jenis. Berikutnya di Desa Aik Merbau dengan usia lahan 19 tahun, sebanyak 11 jenis. Jumlah jenis yang paling sedikit terdapat di Desa Tanjung Pendam dengan usia lahan 12 tahun, yang hanya 5 jenis. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. 400
351
300 203
164
200
76
57
100 3 0
Desa Tanjung Pendam Desa(12 Aik th)MerbauDesa (19 th) Batu Itam (30 th)
Mesofauna Makrofauna
Gambar 7. Grafik perbandingan jumlah individu fauna tanah pada setiap usia lahan pasca kegiatan penambangan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
9 6
4 1
2
Desa Tanjung Desa Aik Desa Batu Itam Pendam (12 th) Merbau (19 th) (30 th)
Mesofauna Makrofauna
Gambar 8. Grafik perbandingan jumlah jenis fauna tanah pada setiap usia lahan pasca kegiatan penambangan.
45
Keragaman fauna tanah pada berbagai keadaan lahan disebabkan oleh adanya keragaman jenis dan keadaan tumbuhan penutup tanah, sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Purwowidodo dan Wulandari 1998 dalam Latifah 2002). Hal tersebut terlihat dari keragaman jenis tumbuhan bawah pada tiap usia lahan yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, keragaman jumlah jenis mesofauna dan makrofauna tanah yang ada di tiap lokasi dapat dilihat pada Gambar 9, 10, dan 11. 87
90
72
80 70
Bibio sp.
60
Crematogaster sp.
50 40
Formica cinera
30
Polyrhachis dives
20
Pholcus phalangioides 3
10
4
1
0 Mesofauna
Makrofauna
Gambar 9. Grafik jumlah jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 1 (Desa Tanjung Pendam) 97
100 90
Neotermes sp.
81
80
Kutu kayu mengkilap Crematogaster sp.
70 60
Formica cinera Lumbricus terestris Polyrhachis dives
56
50 40
Valanga nigricornis Coccinella septempunctata
30 20 10
11 1
0 Mesofauna
6
22 2 1 1
Paralaoma servilis Achatina fulica Salticus sp.
Makrofauna
Gambar 10. Grafik jumlah jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 2 (Desa Aik Merbau)
46
Neotermes sp.
199
200 180
Talitroides dorrieni
160
Kutu kayu mengkilap
140
Philoscia muscorum
120 100 80 60
Phyllophaga sp.
51 33
40 20 0
Chelisoches sp.
82
Formica cinera
13 9 9
126 3 31 Mesofauna
41 1
Lumbricus terestris Odontomachus rixosus
Makrofauna
Gambar 11. Grafik jumlah jenis mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi 3 (Desa Batu Itam) (baca: dari kiri ke kanan) Dari tabel 14 dapat dilihat bahwa Desa Batu Itam memiliki nilai indeks kekayaan jenis Margalef (Dmg) paling besar, yaitu 2,52. Urutan kedua adalah Desa Aik Merbau sebesar 1,80, dan yang memiliki nilai paling kecil adalah Desa Tanjung Pendam sebesar 0,78. Untuk lebih jelasnya, Dmg mesofauna dan makrofauna tanah dapat dilihat pada Gambar 12.
1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00
1,51
1,37 1,15
0,59 0,25 0,00 Desa Tanjung Desa Aik Desa Batu Itam Pendam (12 th) Merbau (19 th) (30 th)
Mesofauna Makrofauna
Gambar 12. Indeks kekayaan jenis Margalef (Dmg) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan pasca penambangan Rendahnya nilai indeks kekayaan jenis mesofauna (0,00) dan makrofauna (0,59) tanah di Desa Tanjung Pendam disebabkan oleh rendahnya keragaman vegetasi sebagai sumber makanan (energi), pH tanah rendah (5,0), suhu udara
47
yang tinggi (29oC – 34,5oC), dan kelembaban udara yang rendah (49% - 76%). Walaupun di Desa Tanjung Pendam memiliki jumlah individu yang paling banyak dibandingkan dengan lokasi-lokasi lain, tidak berarti sumber makanan bagi fauna tanah tercukupi. Sebab, jenis-jenis tumbuhan bawah yang tumbuh di lahan tersebut didominasi oleh Eragrostis tenella (rumput kecik) dimana daunnya termasuk daun jarum yang sukar terdekomposisi dan kemungkinan tidak disukai oleh fauna tanah. Di lahan ini juga tidak ditemukan satupun semai (calon pohon) yang berdaun lebar. Tingginya nilai indeks kekayaan jenis mesofauna (1,37) dan makrofauna (1,15) tanah di Desa Batu Itam sangat didukung oleh suhu udara yang rendah (27 o
C - 31oC), kelembaban udara yang cukup tinggi (68% - 89,5%), dan pH yang
rendah (5,0). Lokasi 3 ini memiliki jumlah jenis vegetasi yang lebih banyak daripada di Desa Tanjung Pendam, namun jumlah individunya paling sedikit daripada lokasi-lokasi lainnya. Banyaknya permudaan menyebabkan populasi mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi tersebut semakin tinggi. Hal itu dikarenakan serasah yang dihasilkan oleh tumbuhan-tumbuhan tersebut mudah untuk didekomposisi dan menyebabkan banyaknya sumber makanan (energi) bagi fauna tanah. Keragaman jenis mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan disebabkan adanya perbedaan keragaman jenis tumbuhan bawah, kondisi fisik dan kimia tanah, serta kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban udara). Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban tanah, sehingga proses dekomposisi oleh fauna tanah dapat berlangsung lebih cepat. Proses dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tumbuhan pokok dan sumber energi bagi mesofauna dan makrofauna tanah (Irwanto 2006). Di Desa Batu Itam, siklus hara dapat berlangsung secara sempurna, daun-daun gugur yang jatuh ke permukaan tanah sebagai serasah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang telah diuraikan oleh bakteri dan fauna tanah lainnya. Selain keberadaan tumbuhan bawah dan vegetasi lain, keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah juga sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Banyak jenis fauna tanah yang tidak menyukai kondisi
48
lingkungan yang kering/panas, namun ada beberapa jenis fauna tanah yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang kering, contohnya semut. Pada Tabel 15 dapat dilihat hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara di ketiga lokasi. Tabel 15. Data suhu dan kelembaban udara pada setiap lokasi Tahun terakhir ditambang
No. Lokasi 1. 2. 3.
Desa Tanjung Pendam Desa Aik Merbau Desa Batu Itam
1996 1989 1978
Suhu (oC) 07.30 WIB 29 28 27
13.00 WIB 34,5 34 31
Kelembaban (%) 07.30 13.00 WIB WIB 76 49 77 68 89,5 72
Fluktuasi suhu dan kelembaban udara pada setiap lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14: Suhu ('C)
34,5
35 30 25 20 15 10 5 0
29
34 28
27
31
07.30 WIB 13.00 WIB Desa Tanjung Pendam (12 th)
Desa Aik Merbau Desa Batu Itam (19 th) (30 th)
Gambar 13. Grafik fluktuasi suhu udara pada setiap lokasi Kelembaban (%) 100 80 60
76
77
89,5 68
72
49
40
07.30 WIB
20
13.00 WIB
0 Desa Tanjung Pendam (12 th)
Desa Aik Merbau (19 th)
Desa Batu Itam (30 th)
Gambar 14. Grafik fluktuasi kelembaban udara pada setiap lokasi
49
Suhu udara yang tinggi di Desa Tanjung Pendam dan Desa Aik Merbau disebabkan oleh sinar matahari yang jatuh langsung ke permukaan tanah, sehingga menyebabkan kelembaban udara rendah. Hal tersebut dikarenakan oleh vegetasi yang tumbuh di dua lokasi tersebut masih berupa tumbuhan bawah dan belum adanya tajuk-tajuk pohon yang menutupi. Sehingga mempengaruhi keberadaan mesofauna dan makrofauna yang tidak senang dengan suhu yang panas di lokasi tersebut sangat sedikit. Lain halnya dengan di Desa Batu Itam, suhu udara di lokasi ini termasuk rendah dengan kelembaban yang tinggi. Hal tersebut disebabkan sinar matahari yang jatuh tidak langsung menyentuh permukaan tanah, tetapi terhalang oleh adanya tajuk-tajuk pohon. Sehingga keberadaan dan keragaman mesofauna dan makrofauna tanah lebih banyak dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Selain sebagai pelindung bagi fauna tanah dari berbagai kondisi yang tidak menguntungkan seperti tiupan angin, suhu yang tinggi, erosi, dan lainnya, tumbuhan bawah juga merupakan sumber makanan bagi fauna tanah pemakan bahan organic (saprofagus) dan fauna tanah pemakan tumbuhan (phytofagus). Kekayaan
fauna-fauna
tanah
saprofagus
dan
phytofagus
mendorong
berkembangnya jenis-jenis predator atau pemangsa (Killham 1989 dalam Angreini 2002). 5.5 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) Mesofauna dan Makrofauna Tanah pada Setiap Usia Lahan Pasca Kegiatan Penambangan Indeks kelimpahan jenis (H’) total yang ditemukan di ketiga lokasi berkisar antara 1,15 hingga 2,18 yang termasuk rendah hingga sedang. Nilai H’ mesofauna dan makrofauna pada setiap usia lahan pasca penambangan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Indeks kelimpahan jenis (H’) pada setiap usia lahan pasca penambangan H’ Tahun terakhir No. Lokasi ditambang Mesofauna Makrofauna 1. Desa Tanjung Pendam 1996 0.16 0.99 2. Desa Aik Merbau 1989 0.35 1.50 3. Desa Batu Itam 1978 0.68 1.50
50
Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa kelimpahan individu jenis yang terendah terdapat di Desa Tanjung Pendam, kemudian di Desa Aik Merbau, dan kelimpahan individu jenis yang tertinggi terdapat di Desa Batu Itam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 15. H' 1,50
0,99 0,68
1,00 0,50
1,50
1,50
0,16
0,35
0,00 Desa Tanjung Desa Aik Merbau Desa Batu Itam Pendam (12 th) (19 th) (30 th) Mesofauna Makrofauna
Gambar 15. Grafik indeks kelimpahan jenis (H’) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan pasca penambangan Gambar 15 menunjukkan adanya perbedaan indeks kelimpahan jenis pada setiap lokasi. Nilai kelimpahan dipengaruhi oleh keberadaan dan keragaman tumbuhan bawah, tebal serasah, sifat fisik dan kimia tanah, suhu dan kelembaban udara, serta faktor yang berasal dari individu jenis itu sendiri yang berupa kemampuan untuk hidup pada lingkungan tertentu. Keberadaan, kepadatan, dan penyebaran fauna tanah sangat ditentukan oleh interaksi antar fauna tanah tersebut dengan faktor lingkungannya (Suin 1997 dalam Latifah 2002). Secara umum, keadaan kelimpahan individu jenis yang terjadi disebabkan oleh perbedaan keadaan penutupan lahan yang akan berpengaruh pada sifat tanahnya. Fauna tanah menyukai keadaan tanah yang permukaannya tertutup, baik itu serasah yang tebal maupun tumbuhan bawah yang banyak, artinya bahan makanan tersedia banyak dan fauna tanah mempunyai ruang untuk hidup dan tempat berkembang yang cukup terlindungi dan mendukung. Dengan keadaan permukaan tanah yang tertutup dari pengaruh keadaan luar tidak langsung mengganggu kondisi tanah yang menjadi tempat hidupnya.
51
5.6 Kemerataan Jenis (E) Mesofauna dan Makrofauna Tanah Pada Setiap Usia Lahan Pasca Penambangan Indeks kemerataan jenis digunakan untuk mengetahui tingkat kemerataan kelimpahan individu antar jenis dan indeksnya terkait dengan H’. Indeks kemerataan total yang didapat di ketiga lokasi berkisar antara 0,71 sampai dengan 1,18. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kemerataan jenis pada setiap usia lahan pasca penambangan semakin tinggi. Indeks kemerataan jenis (E) tersebut dapat dilihat pada Gambar 16: E
0,71
0,80
0,68 0,50
0,60
0,68 0,38
0,40 0,20 0,00
0,00 Desa Tanjung Desa Aik Merbau Desa Batu Itam Pendam (12 th) (19 th) (30 th) Mesofauna
Makrofauna
Gambar 16. Grafik indeks kemerataan jenis (E) mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan pasca penambangan Gambar 16 menunjukkan bahwa indeks kemerataan jenis tertinggi adalah di Desa Batu Itam (mesofauna 0,38; makrofauna 0,68), kemudian Desa Aik Merbau (mesofauna 0,50; makrofauna 0,68), dan indeks kemerataan jenis yang terendah adalah di Desa Tanjung Pendam (mesofauna 0,00; makrofauna 0,71). Dari hasil analisis, maka peringkat keanekaragaman jenis mesofauna dan makrofauna tanah pada ketiga lokasi dengan usia lahan pasca penambangan yang berbeda dapat ditentukan berdasarkan perhitungan indeks kekayaan jenis Margalef, indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener, dan indeks kemerataan jenis yang tersaji pada Tabel 17. Tabel 17. Indeks-indeks keanekaragaman total mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap usia lahan pasca kegiatan penambangan Tahun No. Lokasi terakhir Dmg H’ E ditambang 1. Desa Tanjung Pendam 1996 0,78 1,15 0,71 2. Desa Aik Merbau 1989 1,80 1,85 1,18 3. Desa Batu Itam 1978 2,52 2,18 1,06
52
Pada tabel 17 dapat dilihat bahwa Desa Batu Itam dengan usia lahan pasca penambangan adalah 30 tahun memiliki tingkat keanekaragaman tertinggi (Dmg = 2,52; H’ = 2,18; dan E = 1,06), urutan kedua adalah Desa Aik Merbau (Dmg = 1,80; H’ = 1,85; dan E = 1,18) dengan usia lahan pasca penambangan adalah 19 tahun, dan Desa Tanjung Pendam dengan usia lahan pasca penambangan adalah 12 tahun memiliki tingkat keanekaragaman terendah (Dmg = 0,78; H’ = 1,15; dan E = 0,71). Dari data-data tersebut, dapat dinyatakan bahwa semakin lama areal tambang ditinggalkan akan menyebabkan tingginya keanekaragaman vegetasi dan keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah yang didukung oleh faktorfaktor tertentu, seperti suhu dan kelembaban (Tabel 18). Komunitas fauna tanah sangat rumit, yang mempunyai komponen bawah tanah dan komponen atas tanah, dengan habitat makro dan mikro yang berubah secara tumpang tindih, yang memungkinkan berkembangnya ragam jenis yang tinggi dan persaingan minimum (Purwowidodo 1998). Tabel 18. Rekapitulasi keanekaragaman fauna tanah yang dipengaruhi oleh usia areal tambang, vegetasi, suhu, dan kelembaban udara Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 (Desa Tanjung (Desa Aik (Desa Batu Itam) Pendam) Merbau) H’ Vegetasi: Tumbuhan bawah 1,78 2,23 2,35 Semai 2,02 Pancang 1,96 Tiang 2,26 Pohon 2,05 1,15 1,85 2,18 H’ Fauna Tanah Suhu (oC): 07.30 WIB 29 28 27 13.00 WIB 34,5 34 31 Kelembaban (%): 07.30 WIB 76 77 89,5 13.00 WIB 49 68 72
53
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah di Desa Batu Itam (Mesofauna: 2 kelas, 5 ordo, 6 famili, 6 spesies. Makrofauna: 5 kelas, 7 ordo, 8 famili, 9 spesies) lebih tinggi dibandingkan di Desa Aik Merbau (Mesofauna: 2 kelas, 2 ordo, 2 famili, 2 spesies. Makrofauna: 4 kelas, 6 ordo, 8 famili, 9 spesies) dan Desa Tanjung Pendam (Mesofauna: 1 ordo, 1 ordo, 1 famili, 1 spesies. Makrofauna: 2 kelas, 2 ordo, 3 famili, 4 spesies). 2. Indeks keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah pada berbagai usia lahan pasca kegiatan penambangan tertinggi terdapat di Desa Batu Itam (H’= 2,18), urutan kedua adalah Desa Aik Merbau (H’= 1,85), dan Desa Tanjung Pendam memiliki tingkat keanekaragaman terendah (H’= 1,15). 3. Perbedaan keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah pada berbagai usia lahan pasca kegiatan penambangan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu vegetasi, sifat fisik tanah (struktur dan tekstur tanah), sifat kimia tanah (pH), dan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban udara).
54
6.2 Saran 1. Mengingat pentingnya peranan fauna tanah pada kesuburan tanah, maka kelestarian fauna tanah perlu dijaga. Pada lahan bekas kegiatan pertambangan hendaknya vegetasi dipertahankan dan dilakukan kegiatan rehabilitasi/reboisasi, sehingga kondisi tanah tidak terlalu rusak. Keberadaan vegetasi tersebut selain sebagai pelindung tanah untuk mengurangi terjadinya erosi, vegetasi juga akan menyediakan sumber makanan bagi fauna tanah, sebagai tempat berlindung, dan tempat berkembang biak. 2. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk mengetahui tingkat keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah di lahan bekas tambang timah Kabupaten Belitung, sehingga diperlukan penelitian lanjutan guna mengetahui faktor-faktor lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi
keberadaan
makrofauna tanah.
dan
keanekaragaman
mesofauna
dan
55
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2008. Kabupaten Belitung. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_ Belitung [20 Mei 2008]. Andira. 2007. Kontribusi Industri Pertambangan. http://lomboknews.com/2007/ 12/01/ kontribusi-industri-pertambangan/ [21 Mei 2007]. Angreini M. 2002. Keanekaragaman Makrofauna Tanah Pada Beberapa Penutupan Lahan di Curug Cilember, Cisarua-Bogor. Skripsi pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Arief A. 2001. Hutan & Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius. Buol et.al. 1980. Soil Genesis and Classification, 2nd edition. The IOWA State University Press, Ames. IOWA. 104 pp. Coleman DC, DA Crossley. 1996. Fundamental of Soil Ecology. Academic Press, Inc. San Diego, California. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Riau. 2008. Pertambangan Mineral Di Indonesia Prospektif. http://distamben.riau.go.id/index.php?option=com_ content&task=view&id=9&Itemid=1 [21 Mei 2008]. Ginting P. 2004. Pertambangan Di Indonesia. http://www.walhi.or.id/kampanye/ tambang/tam_indo_info/ [21 Mei 2008]. Hamzah Z. 1977. Diktat Ilmu Tanah Hutan. Cepu. Pusat Pendidikan Kehutanan Perum Perhutani. Handayanto E. 1996. Ekologi Tanah dan Pengelolaan Kesuburan Tanah Secara Biologi. Malang: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Bogor: Akademika Pressindo. Hariyanti R, et al.. 2007. Ensiklopedia Pengetahuan, vol. 1. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Irwanto. 2006. Model Kawasan Hutan Kabupaten Gunung Kidul. Laporan Praktikum Sekolah Pascasarjana UGM, Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian, Program Studi Ilmu Kehutanan. Yogyakarta. Julianery BE. 2001. Kabupaten Belitung. http://bankdata.depkes.go.id/kompas/ Kabupaten%20Belitung.pdf [20 Mei 2008].
56
Latifah S. 2003. Kegiatan Reklamasi Lahan Pada Bekas Tambang. http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file= index&req=getit&lid=485 [15 Mei 2008]. Latifah U. 2002. Keanekaragaman Mesofauna Tanah Pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Curug Cilember, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Skripsi pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Lutz JF, RF Chandler. 1965. Forest Soil. John Wiley and Sons, Inc. New York. 514 pp. Purwowidodo. 1986. Tanah dan Erosi. Bogor: KENARI. ____________. 1998. Mengenal Tanah Hutan Penampang Tanah. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. ____________. 2004. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan, Mengenal Tanah. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. ____________. 2005. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan, Mengenal Tanah. Bogor: Laboratorium Pengaruh Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Rahmawaty. 2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit (Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara). Skripsi pada Jurusan Kehutanan, Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fp/hutanrahmawaty12.pdf [19 Agustus 2008]. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor. Soil Survey Staff. 1998. Keys To Soil Taxonomy, 8nd edition. USDA-NRCS. 326 pp. Wood M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hill. New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN DI KABUPATEN BELITUNG N
Skala 1 : 27.250 Legenda:
: Jaringan Sungai : Batas Desa : Jaringan Jalan : Point Lokasi Penelitian
Inset:
59
Lampiran 2. Daftar rekapitulasi mesofauna dan makrofauna tanah di ketiga lokasi Nama Jenis No. Keterangan Family Ilmiah Lokal 1
Achatinidae
Achatina fulica (Linnẻ)
Bekicot besar
2
Armadillidiidae
3 4
Bibionidae
Armadillidium vulgare (Latreille) Bibio sp. (Geoffroy)
Chelisochidae
Chelisoches sp.
Trenggiling Makrofauna mentik Larva lalat Mesofauna St.Marks Cocopet hitam Mesofauna
Coccinella septempunctata (Linnaeus) Cryptocercus sp. (Scudder)
Kumbang koksinela
Makrofauna
Makrofauna
5
Coccinellidae
6
Cryptoceridae
7
Formicidae
8
Formicidae
9
Geophilidae
10
Acrididae
11 12
Kalotermitidae Lumbricidae
Odontomachus rixosus (Smith, F.) Pachymerium ferrugineum (C. L. Koch) Valanga nigricornis Belalang (Drum) Neotermes sp. (Holmgren) Rayap tanah Lumbricus terestris (L.) Cacing tanah
13
Formicidae
Formica cinera (Mayr)
Semut merah
Makrofauna
14
Myrmicidae
Crematogaster sp. (Lund)
Semut hitam
Makrofauna
15
Oniscidae
16
Pholcidae
17
Punctidae
18
Salticidae
Philoscia muscorum (Scopoli) Pholcus phalangioides (Fuesslin) Paralaoma servilis (Shuttleworth) Salticus sp. (Blackwall)
19
Scarabaeidae
Kutu kayu pipih Laba-laba permanen Bekicot sedang Laba-laba pelompat Kumbang hitam
20
Talitridae
21
Tridaoniscidae
22
Xystodesmidae
Polyrhachis dives (Smith)
Phyllophaga sp. (Linnaeus) Talitroides dorrieni (Rafinesque)
Harpaphe sp. (Wood)
Kecoak sungut pendek Semut hitam mengkilap Semut bertanduk Kelabang jangkar bumi
Makrofauna Makrofauna Makrofauna Makrofauna Makrofauna Mesofauna Makrofauna
Mesofauna Makrofauna Makrofauna Mesofauna Makrofauna
Udang serasah Mesofauna Kutu kayu mengkilap Orange milipede
Mesofauna Makrofauna
60
Lampiran 3. Daftar jenis-jenis mesofauna dan makrofauna tanah pada setiap lokasi Lokasi 1
: Desa Tanjung Pendam
Usia Lahan
: 12 tahun
No.
Lokal
1.
Semut hitam
2.
Semut merah
3. 4. 5.
Semut hitam mengkilap Larva lalat St. Marks Laba-laba
Nama Jenis Ilmiah Crematogaster sp. (Lund) Formica cinera (Mayr) Polyrhachis dives (Smith) Bibio sp. (Geoffroy)
: Desa Aik Merbau
Usia Lahan
: 19 tahun
Lokal
1.
Semut hitam
2.
Semut merah
3.
Rayap tanah
4.
Cacing tanah
5.
Semut hitam mengkilap
6.
Belalang
7.
Kumbang koksinela
8.
Bekicot sedang
9.
Kutu kayu mengkilap
10. Bekicot besar 11.
Laba-laba pelompat
Nama Jenis Ilmiah Crematogaster sp. (Lund) Formica cinera (Mayr) Neotermes sp. (Holmgren) Lumbricus terestris (L.) Polyrhachis dives (Smith) Valanga nigricornis (Drum) Coccinella septempunctata (Linnaeus) Paralaoma servilis (Shuttleworth) Achatina fulica (Linnẻ) Salticus sp. (Blackwall)
Keterangan
Myrmicidae
Makrofauna
Myrmicidae
Makrofauna
Formicidae
Makrofauna
Bibionidae
Mesofauna
Pholcus phalangioides Pholcidae (Fuesslin)
Lokasi 2
No
Family
Family
Makrofauna
Keterangan
Myrmicidae
Makrofauna
Myrmicidae
Makrofauna
Kalotermitidae
Mesofauna
Lumbricidae
Makrofauna
Formicidae
Makrofauna
Acrididae
Makrofauna
Coccinellidae
Makrofauna
Punctidae
Makrofauna
Tridaoniscidae
Mesofauna
Achatinidae
Makrofauna
Salticidae
Mesofauna
61
Lampiran 3. (lanjutan) Lokasi 3
: Desa Batu Itam
Usia Lahan
: 30 tahun
No.
Nama Jenis Lokal
1
Semut merah
2
Cacing tanah
3
Semut bertanduk
4
Rayap tanah
5
Kelabang jangkar bumi
6
Trenggiling mentik
7
Udang serasah
8
Kutu kayu mengkilap
9
Semut hitam
10
Kutu kayu pipih
12
Kecoak sungut pendek Cocopet hitam
13
Orange milipede
14
Laba-laba pelompat
15
Kumbang hitam
11
Ilmiah Formica cinera (Mayr) Lumbricus terestris (L.) Odontomachus rixosus (Smith, F.) Neotermes sp. (Holmgren) Pachymerium ferrugineum (C. L. Koch) Armadillidium vulgare (Latreille) Talitroides dorrieni (Rafinesque) Crematogaster sp. (Lund) Philoscia muscorum (Scopoli) Cryptocercus sp. (Scudder) Chelisoches sp. Harpaphe sp. (Wood) Salticus sp. (Blackwall) Phyllophaga sp. (Linnaeus)
Family
Keterangan
Myrmicidae
Makrofauna
Lumbricidae
Makrofauna
Formicidae
Makrofauna
Kalotermitidae
Mesofauna
Geophilidae
Makrofauna
Armadillidiidae Makrofauna Talitridae
Mesofauna
Tridaoniscidae
Mesofauna
Myrmicidae
Makrofauna
Tridaoniscidae
Mesofauna
Cryptoceridae
Makrofauna
Chelisochidae
Mesofauna
Xystodesmidae
Makrofauna
Salticidae
Mesofauna
Scarabaeidae
Mesofauna
Lampiran 4. Nama-nama mesofauna dan makrofauna tanah yang ditemukan di ketiga lokasi Nama Taksonomik No. Kelas Ordo Famili Spesies 1. Arachnida Opiliones Pholcidae Pholcus phalangioides (Fuesslin) 2. Arachnida Araneae Salticidae Salticus sp. (Blackwall) 3. Crustaceae Isopoda Armadillidiidae Armadillidium vulgare (Latreille) 4. Crustaceae Isopoda Oniscidae Philoscia muscorum (Scopoli) 5. Crustaceae Isopoda Tridaoniscidae 6. Crustaceae Amphipoda Talitridae Talitroides dorrieni (Rafinesque) 7. Gastropoda Geophila Achatinidae Achatina fulica (Linnẻ) 8. Gastropoda Geophila Punctidae Paralaoma servilis (Shuttleworth) 9. Hexapoda Isoptera Kalotermitidae Neotermes sp. (Holmgren) 10. Hexapoda Dermaptera Chelisochidae Chelisoches sp. 11. Hexapoda Blattodea Cryptoceridae Cryptocercus sp. (Scudder) 12. Hexapoda Orthoptera Acrididae Valanga nigricornis (Drum) 13. Hexapoda Hymenoptera Formicidae Formica cinera (Mayr) 14. Hexapoda Hymenoptera Formicidae Polyharchis dives (Smith) 15. Hexapoda Hymenoptera Formicidae Odontomachus rixosus (Smith, F.) 16. Hexapoda Hymenoptera Myrmicidae Crematogaster sp. (Lund) 17. Hexapoda Diptera Bibionidae Bibio sp. (Geoffroy) 18. Hexapoda Coleoptera Scarabaeidae Phyllophaga sp. (Linnaeus) 19. Hexapoda Coleoptera Coccinellidae Coccinella septempunctata (Linnaeus) 20. Myriapoda Diplopoda Xystodesmidae Harpaphe sp. (Wood) 21. Myriapoda Chilopoda Geophilidae Pachymerium ferrugineum (C. L. Koch) 22. Oligochaeta Lumbricina Lumbricidae Lumbricus terestris (L.)
Nama Lokal Laba-laba permanen Laba-laba pelompat Trenggiling mentik Kutu kayu pipih Kutu kayu mengkilap Udang serasah Bekicot besar Bekicot sedang Rayap tanah Cocopet hitam Kecoak sungut pendek Belalang Semut merah Semut hitam mengkilap Semut bertanduk Semut hitam Larva lalat St. Marks Kumbang hitam Kumbang koksinela Orange millipede Kelabang jangkar bumi Cacing tanah
Lampiran 5. Indeks nilai penting (INP) tiap jenis fauna tanah yang ditemukan di setiap lokasi Lokasi 1 : Desa Tanjung Pendam Tahun terakhir ditambang : 1996 Luas petak contoh : 1 m2 Nama Jenis No. 1. 2. 3. 4. 5.
Lokal Semut hitam Semut merah Semut hitam mengkilap Larva lalat St. Marks Laba-laba permanen
Ilmiah Crematogaster sp. (Lund) Formica cinera (Mayr) Polyharchis dives (Smith) Bibio sp. (Geoffroy) Pholcus phalangioides (Fuesslin) JUMLAH
Jumlah individu 87 72 4 3 1 167
∑ petak ditemukannya suatu jenis 9 7 2 2 1
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
58.000 48.000 2.667 2.000 667 111.333
52,10 43,11 2,40 1,80 0,60 100,00
0,60 0,47 0,13 0,13 0,07 1,40
42,86 33,33 9,52 9,52 4,76 100,00
94,95 76,45 11,92 11,32 5,36 200,00
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
64.667 54.000 37.333 7.333 4.000 1.333 1.333 1.333 667 667 667 173.333
37,31 31,15 21,54 4,23 2,31 0,77 0,77 0,77 0,38 0,38 0,38 100,00
0,67 0,47 0,20 0,40 0,13 0,13 0,13 0,07 0,07 0,07 0,07 2,40
27,78 19,44 8,33 16,67 5,56 5,56 5,56 2,78 2,78 2,78 2,78 100,00
65,09 50,60 29,87 20,90 7,86 6,32 6,32 3,55 3,16 3,16 3,16 200,00
Lokasi 2 : Desa Aik Merbau Tahun terakhir ditambang : 1989 Luas petak contoh : 1 m2 Nama Jenis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Lokal
Ilmiah
Semut hitam Semut merah Rayap tanah Cacing tanah Semut hitam mengkilap Belalang Kumbang koksinela Bekicot sedang Kutu kayu mengkilap Bekicot besar Laba-laba pelompat
Crematogaster sp. (Lund) Formica cinera (Mayr) Neotermes sp. (Holmgren) Lumbricus terestris (L.) Polyharchis dives (Smith) Valanga nigricornis (Drum) Coccinella septempunctata (Linnaeus) Paralaoma servilis (Shuttleworth) Achatina fulica (Linnẻ) Salticus sp. (Blackwall) JUMLAH
Jumlah individu 97 81 56 11 6 2 2 2 1 1 1 260
∑ petak ditemukannya suatu jenis 10 7 3 6 2 2 2 1 1 1 1
Lampiran 5. (lanjutan) Lokasi 3 : Desa Batu Itam Tahun terakhir ditambang : 1978 Luas petak contoh : 1 m2 Nama Jenis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Lokal Semut merah Cacing tanah Semut bertanduk Rayap tanah Kelabang jangkar bumi Trenggiling mentik Udang serasah Kutu kayu mengkilap Semut hitam Kutu kayu pipih Kecoak sungut pendek Cocopet hitam Orange milipede Laba-laba pelompat Kumbang hitam
Ilmiah Formica cinera (Mayr) Lumbricus terestris (L.) Odontomachus rixosus (Smith, F.) Neotermes sp. (Holmgren) Pachymerium ferrugineum (C. L. Koch) Armadillidium vulgare (Latreille) Talitroides dorrieni (Rafinesque) Crematogaster sp. (Lund) Philoscia muscorum (Scopoli) Cryptocercus sp. (Scudder) Chelisoches sp. Harpaphe sp. (Wood) Salticus sp. (Blackwall) Phyllophaga sp. (Linnaeus) JUMLAH
Jumlah individu 199 82 33 51 13 9 12 6 9 3 4 3 1 1 1 427
∑ petak ditemukannya suatu jenis 10 15 12 6 8 7 5 6 4 3 2 2 1 1 1
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
132.667 54.667 22.000 34.000 8.667 6.000 8.000 4.000 6.000 2.000 2.667 2.000 667 667 667 284.667
46,40 19,20 7,73 11,94 3,04 2,11 2,81 1,41 2,11 0,70 0,94 0,70 0,23 0,23 0,23 100,00
0,67 1,00 0,80 0,40 0,53 0,47 0,33 0,40 0,27 0,20 0,13 0,13 0,07 0,07 0,07 5,53
12,05 18,07 14,46 7,23 9,64 8,43 6,02 7,23 4,82 3,61 2,41 2,41 1,20 1,20 1,20 100,00
58,65 37,28 22,19 19,17 12,68 10,54 8,83 8,63 6,93 4,32 3,35 3,11 1,44 1,44 1,44 200,00
Lampiran 6. INP, Dmg, H’, dan E vegetasi yang ditemukan di ketiga lokasi Lokasi 1 Tahun terakhir ditambang Luas petak contoh Tingkat pertumbuhan
: Desa Tanjung Pendam : 1996 : 1 m2 : Tumbuhan bawah
1
Eragrostis tenella Benth
Rumput kecik
543
Jumlah petak ditemukannya suatu jenis 10
2
Coelorhachis glandulosa (Trin.) Staph
Rumput
344
10
229.333
25.42
0,33
18,83
44,26
-0,33
3
Imperata cylindrical L.
Lalang
329
13
219.333
24.32
0,43
24,48
48,80
-0,34
4
Ageratum conyzoides L.
Babandotan
38
4
25.333
2.81
0,13
7,53
10,34
-0,15
5
Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk
Keremunting a
56
7
37.333
4.14
0,23
13,81
17,32
-0,21
6
Dactyloctenium aegyptium (L.) Willd.
Rumput bintang
19
3
12.667
1.40
0,10
5,65
7,05
-0,12
7
Borreria latifolia (Aubl.) K. Schum.
Rumput setawar
11
3
7.333
0.81
0,10
5,65
6,46
-0,11
8
Polygonum chinense (L.) H. Gross
Jukut carang
11
2
7.333
0.81
0,07
3,77
4,58
-0,09
9
Mimosa invisa Mart. ex Colla
Putri malu
2
1
1.333
0.15
0,03
1,88
2,03
-0,05
902.000
100,00
1,77
100.00
200,00
No.
Nama Jenis Ilmiah
JUMLAH
Lokal
Jumlah individu
1353
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
362.000
40.13
0,33
18,83
58,97
-0,36
Dmg
1,11
H’
1,77
E
0,80
Lampiran 6. (lanjutan) Lokasi 2 Tahun terakhir ditambang Luas petak contoh Tingkat pertumbuhan
: Desa Aik Merbau : 1989 : 1 m2 : Tumbuhan bawah Nama Jenis
No.
Ilmiah
Lokal
Jumlah individu
Jumlah petak ditemukannya suatu jenis
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
Dmg
H’
1
Pennisetum purpureum Schumach
Rumput bulu
736
23
490.667
38,92
0,77
25,27
64,20
-0,36
2
Imperata cylindrical L.
Lalang
435
10
290.000
23,00
0,33
10,99
33,99
-0,30
3
Eragrostis tenella Benth
Rumput kecik
355
9
236.667
18,77
0,30
9,89
28,66
-0,28
4
Ludwigia adscendens L.
Tapak boro
32
8
21.333
1,69
0,27
8,79
10,48
-0,15
5
Melastoma malabathricum L.
Keremunting b
68
4
45.333
3,60
0,13
4,40
7,99
-0,13
6
Mimosa invisa Mart. ex Colla
Putri malu
31
5
20.667
1,64
0,17
5,49
7,13
-0,12
7
Axonopus compressus (Sw.) P. Beauv.
Rumput pahit
57
4
38.000
3,01
0,13
4,40
7,41
-0,12
8
Borreria laevicaulis (Miq.) Ridl.
17
4
11.333
0,90
0,13
4,40
5,29
-0,10
9
Dactyloctenium aegyptium(L.) Willd.
Rumput bintang
33
3
22.000
1,75
0,10
3,30
5,04
-0,09
10
Dicranopteris linearis (Burm. F.)
Resam
35
3
23.333
1,85
0,10
3,30
5,15
-0,09
11
Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk
Keremunting a
22
3
14.667
1,16
0,10
3,30
4,46
-0,08
12
Polygenum chinense (L.) H. Gross
Jukut carang
14
3
9.333
0,74
0,10
3,30
4,04
-0,08
13
Borreria latifolia (Aubl.) K. Schum.
Rumpu setawar
14
3
9.333
0,74
0,10
3,30
4,04
-0,08
14
Cyperus aromaticus (Ridley) Mattf. & Kjk
25
2
16.667
1,32
0,07
2,20
3,52
-0,07
15
Chromolaena odorata (L.) King & H. E. Robins
8
2
5.333
0,42
0,07
2,20
2,62
-0,06
16
Hyptis brevipes Poit.
3
2
2.000
0,16
0,07
2,20
2,36
-0,05
17
Melochia concatenate Linn.
3
1
2.000
0,16
0,03
1,10
1,26
-0,03
18
Ageratum conyzoides L.
Babandotan
2
1
1.333
0,11
0,03
1,10
1,20
-0,03
19
Nephrolepis bisserrata (Sw.) Schoot
Pakis utan
1
1
667
0,05
0,03
1,10
1,15
-0,03
1.260.667
100,00
3,03
100,00
200,00
JUMLAH
Kirinyuh
1891
2,39
2,27
E
0,77
Lampiran 6. (lanjutan) Lokasi 3 Tahun terakhir ditambang Luas petak contoh Tingkat pertumbuhan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
: Desa Batu Itam : 1978 : 4 m2 : Semai
Nama Jenis Ilmiah
Lokal
Jumlah individu
Schima wallichi (DC.) Korth Quercus sundaica BI Hevea brasilliensis MUELL Arg. Myristica fragrans Gronov. Dillenia suffruticosa Griffith Aleurites moluccana (L.) Willd. Canarium commune L. Castanopsis javanica (Blume) A. DC. Diospyros celebica (Bakh) Cinnamomum zeylanicum J. Presl Bischofia javanica BL. Dialium guineense Willd. Mangifera foetida Lour. Tristaniopsis whiteana Griffith
Seru Kabal Karet Pala Simpor Kemiri/Kumbek Kenari Saninten Eboni Kayu manis Gadog Asam Pakel Pelawan
134 47 31 25 10 13 10 8 4 4 5 5 2 3
JUMLAH
301
Jumlah petak ditemukannya suatu jenis 32 20 16 12 7 4 4 3 3 3 2 1 2 1
K (ind/Ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
167.500 58.750 38.750 31.250 12.500 16.250 12.500 10.000 5.000 5.000 6.250 6.250 2.500 3.750
44,52 15,61 10,30 8,31 3,32 4,32 3,32 2,66 1,33 1,33 1,66 1,66 0,66 1,00
0,64 0,40 0,32 0,24 0,14 0,08 0,08 0,06 0,06 0,06 0,04 0,02 0,04 0,02
29,09 18,18 14,55 10,91 6,36 3,64 3,64 2,73 2,73 2,73 1,82 0,91 1,82 0,91
73,61 33,80 24,84 19,21 9,69 7,96 6,96 5,39 4,06 4,06 3,48 2,57 2,48 1,91
376.250
100,00
2,20
100,00
200,00
Dmg
H
E
-0,37 -0,30 -0,26 -0,23 -0,15 -0,13 -0,12 -0,10 -0,08 -0,08 -0,07 -0,06 -0,05 -0,04
2,28
2,02
0,77
Lampiran 6. (lanjutan) Lokasi 3 Tahun terakhir ditambang Luas petak contoh Tingkat pertumbuhan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
: Desa Batu Itam : 1978 : 25 m2 : Tumbuhan bawah Nama Jenis
Lokal Melastoma malabathricum L. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schoot Clidemia hirta (L.) D. Don Imperata cylindrical L. Alocasia macrorhiza Schoot Ixora coccinea L. Pandanus sp. (P.) Dicranopteris linearis (Burm. F.) Ottochloa nodosa (Kunth) Dandy Cyperus aromaticus (Ridley) Mattf. & Kjk JUMLAH
Ilmiah Keremunting b Pakis utan Harendong bulu Lalang Keladi Soka Pandan Resam
Jumlah individu 146 74 63 92 27 21 23 18 29 7 500
Jumlah petak ditemukannya suatu jenis 25 17 17 2 9 10 7 5 1 3
K (ind/Ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
29.200 14.800 12.600 18.400 5.400 4.200 4.600 3.600 5.800 1.400 100.000
29,20 14.80 12,60 18,40 5,40 4,20 4,60 3,60 5,80 1,40 100,00
0,50 0,34 0,34 0,04 0,18 0,20 0,14 0,10 0,02 0,06 1,92
26,04 17,71 17,71 2,08 9,38 10,42 7,29 5,21 1,04 3,13 100,00
55,24 32,51 30,31 20,48 14,78 14,62 11,89 8,81 6,84 4,53 200,00
Dmg
H
E
1,45
-0,36 -0,30 -0,29 -0,23 -0,19 -0,19 -0,17 -0,14 -0,12 -0,09 2,06
0,33
Lampiran 6. (lanjutan) Lokasi 3 Tahun terakhir ditambang Luas petak contoh Tingkat pertumbuhan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
: Desa Batu Itam : 1978 : 25 m2 : Pancang Nama Jenis
Ilmiah Schima wallichi (DC.) Korth Quercus sundaica BI Hevea brasilliensis MUELL Arg. Myristica fragrans Gronov Dillenia suffruticosa Griffith Canarium commune L. Castanopsis javanica (Blume) A. DC. Aleurites moluccana (L.) Willd Bischofia javanica BL. Diospyros celebica Bakh. Dialium guineense Willd. Mangifera foetida Lour. Cinnamomum zeylanicum J. Presl Tristaniopsis whiteana Griffith JUMLAH
Lokal Seru Kabal Karet Pala Simpor Kenari Saninten Kemiri/Kumbek Gadog Eboni Asam Pakel Kayu manis Pelawan
Jumlah individu 83 36 16 17 7 7 6 6 4 3 3 1 1 1 191
Jumlah petak ditemukannya suatu jenis 29 13 8 6 5 3 3 2 2 2 1 1 1 1 50
K (ind/ha)
KR (%)
F
FR (%)
INP (%)
16.600 7.200 3.200 3.400 1.400 1.400 1.200 1.200 800 600 600 200 200 200 38.200
43,46 18,85 8,38 8,90 3,66 3,66 3,14 3,14 2,09 1,57 1,57 0,52 0,52 0,52 100,00
0,58 0,26 0,16 0,12 0,10 0,06 0,06 0,04 0,04 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02 1,54
37,66 16,88 10,39 7,79 6,49 3,90 3,90 2,60 2,60 2,60 1,30 1,30 1,30 1,30 100,00
81,12 35,73 18,77 16,69 10,16 7,56 7,04 5,74 4,69 4,17 2,87 1,82 1,82 1,82 200,00
Dmg
H’
E
2,48
-0,37 -0,31 -0,22 -0,21 -0,15 -0,12 -0,12 -0,10 -0,10 -0,08 -0,06 -0,04 -0,04 -0,04 1,96
0,74
Lampiran 6. (lanjutan) Lokasi 3 Tahun terakhir ditambang Luas petak contoh Tingkat pertumbuhan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
: Desa Batu Itam : 1978 : 100 m2 : Tiang
Seru Kabal Pala Eboni
14 5 4 2
∑ petak ditemukannya suatu jenis 12 5 4 2
Saninten
1
1
50
2,94
0,02
3,13
0,03
3,00
13,04
19,11
-0,18
Karet Pakel Kenari Kemiri/Kumbek Gadog Pelawan Kayu manis
2 1 1 1 1 1 1 34
2 1 1 1 1 1 1 50
100 50 50 50 50 50 50 1.700
5,88 2,94 2,94 2,94 2,94 2,94 2,94 100,00
0,04 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,64
6,25 3,13 3,13 3,13 3,13 3,13 3,13 100,00
0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02
1,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 23,00
4,35 8,70 8,70 8,70 8,70 8,70 8,70 100,00
16,48 14,76 14,76 14,76 14,76 14,76 14,76 300,00
-0,16 -0,15 -0,15 -0,15 -0,15 -0,15 -0,15 2,26
Nama Jenis Ilmiah Schima wallichi (DC.) Korth Quercus sundaica BI Myristica fragrans Gronov Diospyros celebica Bakh. Castanopsis javanica (Blume) A. DC. Hevea brasilliensis MUELL Agr. Mangifera foetida Lour. Canarium commune L. Aleurites moluccana (L.) Willd Bischofia javanica BL. Tristaniopsis whiteana Griffith Cinnamomum zeylanicum J. Presl JUMLAH
Lokal
∑ ind.
K (ind/Ha)
KR (%)
F
FR (%)
LBDS (m2)
(m2/Ha)
DR (%)
INP (%)
700 250 200 100
41,18 14,71 11,76 5,88
0,24 0,10 0,08 0,04
37,50 15,63 12,50 6,25
0,02 0,01 0,02 0,02
2,00 1,00 2,00 2,00
8,70 4,35 8,70 8,70
87,37 34,68 32,96 20,83
-0,36 -0,26 -0,24 -0,18
D
Dmg
3,12
H
E
0,91
Lampiran 6. (lanjutan) Lokasi 3 Tahun terakhir ditambang Luas petak contoh Tingkat pertumbuhan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
: Desa Batu Itam : 1978 : 1 m2 : Pohon
Nama Jenis Lokal
Ilmiah
Schima wallichi (DC.) Korth Hevea brasilliensis MUELL Agr. Myristica fragrans Gronov Aleurites moluccana (L.) Willd Quercus sundaica BI Castanopsis javanica (Blume) A. DC. Dialium guineense Willd. Diospyros celebica Bakh. Canarium commune L. Bischofia javanica BL. JUMLAH
Seru Karet Pala Kemiri/Kumbek Kabal Saninten Asam Eboni Kenari Gadog
∑ ind. 18 5 4 2 2 2 1 1 1 1 37
∑ petak ditemukannya suatu jenis 15 5 4 2 2 2 1 1 1 1 50
K (ind/Ha)
KR (%)
F
FR (%)
LBDS (m2)
D (m2/Ha)
DR (%)
INP (%)
225 63 50 25 25 25 13 13 13 13 463
48,65 13,51 10,81 5,41 5,41 5,41 2,70 2,70 2,70 2,70 100,00
0,30 0,10 0,08 0,04 0,04 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02 0,68
44,12 14,71 11,76 5,88 5,88 5,88 2,94 2,94 2,94 2,94 100,00
0,06 0,05 0,04 0,07 0,06 0,04 0,06 0,05 0,05 0,05
1,50 1,25 1,00 1,75 1,50 1,00 1,50 1,25 1,25 1,25 13,25
11,32 9,43 7,55 13,21 11,32 7,55 11,32 9,43 9,43 9,43 100,00
104,09 37,65 30,12 24,50 22,61 18,83 16,96 15,08 15,08 15,08 300,00
Dmg
H
E
5,74
-0,37 -0,26 -0,23 -0,20 -0,19 -0,17 -0,16 -0,15 -0,15 -0,15 2,05
0,89
72
Lampiran 7. Beberapa gambar jenis mesofauna dan makrofauna yang ditemukan
Kumbang koksinela (Coccinella septempunctata Linnaeus)
Cacing tanah (Lumbricus terestris L.)
Bekicot besar (Achatina fulica Linnẻ)
Bekicot sedang (Paralaoma servilis Shuttleworth)
Semut hitam mengkilap (Polyrhachis dives Smith)
Laba-laba permanen (Pholcus phalangioides Fuesslin)
73
Lampiran 7. (lanjutan)
Orange millipede (Harpaphe sp. Wood)
Rayap kayu kering lapuk (Neotermes sp. Holmgren)
Kecoak sungut pendek (Cryptocercus sp. Scudder)
Laba-laba pelompat (Salticus sp. (Blackwall)
Kutu kayu pipih (Philoscia muscorum Scopoli)
74
Lampiran 7. (lanjutan)
Trenggiling mentik (Armadillidium vulgare Latreille)
Semut bertanduk (Odontomachus rixosus Smith, F.)
Semut merah (Formica cinera Mayr)
Kutu kayu mengkilap
Semut hitam (Crematogaster sp. Lund)
75
Lampiran 7. (lanjutan)
Belalang (Valanga nigricornis Drum)
Larva lalat St. Marks (Bibio sp. Geoffroy)
76
Lampiran 8. Gambar-gambar lokasi penelitian
Desa Tanjung Pendam
Kolong di Desa Tanjung Pendam
Penampilan permukaan tanah di Desa Tanjung Pendam
Proses pengukuran suhu dan kelembaban udara
Lokasi 2: Desa Aik Merbau
Penampilan tanah di Desa Aik Merbau
77
Lampiran 8. (lanjutan)
Lokasi 3: Desa Batu Itam
Kolong di Desa Batu Itam
Pembuatan petak contoh (1 x 1 m)
Penampilan tanah di Desa Batu Itam
78
Lampiran 9. Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Kapas (Cotton Balls)
pH MERCK (0,0 – 14,0)
Centrifuge tubes
Gelas ukur
Kantung plastik transparan (1 kg)
Meteran
Pinset
Termometer wet and dry
79
Lampiran 9. (lanjutan)
Sarung tangan plastik
GPS Garmin (tipe: GPSMap 60CS4)