Tugas: Analisa Kelayakan Penyingkiran Halangan (Model Agroforestri) Oleh Shaummil Hadi – Pride, Cohort 3‐Bogor Fauna & Flora International – Aceh Program. 19 November 2008
Studi Kasus Geumpang, Pidie‐Aceh
ANALISA PENYINGKIR HALANGAN DENGAN MODEL SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN (AGROFORESTRI) Rapid Appraisal Agroforestry Technology (RAFT), ICRAF
Foto: Google Image, Geumpang
• Umum (Introduction) Kecamatan Geumpang terletak di Kabupaten Pidie Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Secara administrasi Kecamatan Geumpang terbagi dalam 5 Gampong/ Desa, ditambah satu wilayah transmigrasi, SP 5, yang ditinggalkan penduduk pada masa konflik. Walaupun konflik telah berakhir, kawasan SP 5 kini tetap saja tidak ditempati oleh penduduk lokal (umumnya bukan warga asli dikawasan tersebut). Menurut Data Sensus tahun 2000 jumlah penduduk mencapai ± 5000 jiwa. (provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
1
Topografi. Wilayah pemukiman dan pertanian di Kecamatan Geumpang berada di wilayah bertopografi datar dan landai, tapi kini beberapa wilayah yang curam yang berada di wilayah hutan lindung saat ini mulai dirambah oleh masyarakat setempat. Tipe hutan yang terdapat di kawasan ini didominasi oleh tipe hutan primer dan sekunder. Mata Pencaharian. Mata pencaharian secara umum sebagai petani (sawah, berkebun) dan sedikit lainnya sebagai pegawai pemerintahan lokal (pegawai kecamatan & desa, bidan dan guru) dan pedagang. Namun demikian, suatu hasil rapid assesment menyebutkan bahwa 50 % penduduk Geumpang sangat bergantung pada hutan dan memanfaatkan hasil‐hasil hutan sebagai sumber mata pencaharian. Temuan lain yang justeru menarik adalah bahwa dari jumlah 50 % tersebut, ada sekitar 200 penduduk yang beraktivitas dalam ‘lingkaran kegiatan penebang pohon’ di hutan. Aktivitas kegiatan dalam lingkaran ini biasanya melibatkan aktivitas pekerjaan mulai dari sebagai penebang, pembawa hasil tebangan, sopir pembawa hasil tebangan ke penampungan sementara (stocking pile), pemilik sawmill, pekerja produksi di sawmill, pekerja yang membawa hasil produksi ke kota‐kota kabupaten di seputaran provinsi Aceh & luar provinsi Aceh. Sumber mata pencaharian dalam lingkaran ini, menghasilkan jumlah pendapatan yang berbeda dimana umumnya pemilik alat produksi memiliki pendapatan jauh lebih besar dibandingkan tenaga produksi (penebang) yang rata‐rata penduduk lokal. Konflik Satwa‐Manusia. Kawasan Geumpang termasuk dalam home‐range bagi jenis satwa Gajah Sumatra yang melintasi kawasan ini. Hutan sekunder menjadi tempat bagi pakan Gajah Sumatra. Estimasi terhadap jumlah populasi gajah adalah sekitar 60‐80 individu, dikompilasikan berdasarkan laporan amatan warga dan data jumlah gajah yang berkonflik di wilayah ini. Peningkatan terhadap permintaan lahan untuk kebutuhan perkebunan telah menyebabkan wilayah ini menjadi daerah potensial konflik gajah‐manusia (Human‐Elephant Conflict‐HEC). Situasi Politik‐Ekonomi. Di Aceh, konflik politik antara GAM dan Pemerintah RI telah terjadi sejak tahun medio 1970‐an, meningkat dalam jumlah kecil di medio 1980‐1990‐an. Intensitas tertinggi konflik politik tersebut terjadi sekitar tahun 2000‐2005. Pada periode itu banyak wilayah perkebunan yang ditinggalkan, masyarakat pada waktu takut untuk masuk wilayah hutan. Wilayah transmigrasi SP 5‐Geumpang dikosongkan penduduk yang mengungsi dan belum kembali sejak konflik politik reda di Aceh. Paska konflik politik, masyarakat setempat mulai kembali masuk ke kebun‐kebun mereka yang dahulu ditinggalkan. Karena (provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
2
kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki ekonomi rumah tangga bercampur dengan antusiasme untuk kembali mengarap lahan yang telah lama ditinggalkan adalah alasan yang menjadi minat penting bagi masyarakat setempat untuk kembali berkebun.
• Definisi dan Peristilahan (Terminology) Di Geumpang, masyarakat memanfaatkan lahannya untuk berkebun secara tradisional. Nama sistem lokal untuk sistem perkebunan ini belum teridentifikasi. Pola pertanian dan perkebunan di wilayah ini umumnya bersifat menetap, sebagian disebabkan karena alasan kepemilikan lahan. Namun demikian, pola pertanian berpindah juga masih digunakan dalam skala kecil(?). Alasannya karena, lahan yang dipakai umunya oleh petani pertanian berpindah tersebut masuk dalam wilayah hutan lindung. Aksi perambahan beberapa tempat di kawasan hutan lindung yang marak terjadi di tahun 2008 ini memperkuat alasan ketiadaan lahan masyarakat setempat. Walau mengenal beberapa sistem kebun, di kawasan ini tampaknya belum ada sentuhan sistem agroforestri yang lebih modern. (Red: penyebutan istilah ‘sistem kebun’ merujuk pada pemanfaatan lahan di sekitar pesisir atau dekat dengan hutan. Istilah ini untuk membedakan sistem kebun yang berada di wilayah perkarangan rumah petani atau tidak jauh dari perkarangan rumah petani).
• Sejarah pemanfaatan lahan (Use of trees in space and time) Komoditi Utama. Komoditas pertanian utama di wilayah ini adalah buah durian & buah langsat, padi, kelapa, kopi, kacang hijau, kacang tanah, coklat, dan jagung. Ikan air tawar adalah komoditas perikanan yang telah dikembangkan dalam skala kecil di wilayah ini. Sapi, kerbau dan kambing adalah jenis ternak yang dipelihara petani/peternak setempat. Pola peternakan umumnya masih bersifat tradisional, dimana ternak seringkali dilepas di kebun, ladang atau wilayah yang menghasilkan pakan ternak tanpa pengawasan yang ketat.
(provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
3
Foto: Mahdi Ismail, FFI Aceh
Sejarah. Tanaman kopi jenis robusta pernah menjadi salah satu komoditi utama petani Geumpang sejak dahulu hingga sebelum konflik politik pecah di Aceh. Wilayah Kecamatan Geumpang dan Tangse, yang berada di Kabupaten Pidie adalah penghasil kopi robusta terbesar di Aceh setelah Kabupaten Aceh Tengah. Tahun 1999‐2000, produksi kopi robusta di kedua wilayah ini mencapai 35.000 ton setahun. Hasil kopi robusta yang berasal dari kawasan ini terkenal hingga saat ini. Selain itu, beberapa petani memilih komoditi coklat yang sebagian besar menghiasi kebun perkarangan rumah dan areal lahan yang berada dekat dengan rumah mereka. Komoditi palawija seperti kacang‐kacangan adalah jenis lainnya yang ditanam petani setempat di areal perkebunan mereka. Wilayah Trans SP‐5 dan Lamjeu adalah kawasan utama bagi lahan perkebunan di Geumpang. Buah durian adalah hasil kebun lainnya yang banyak terdapat di kawasan ini. Buah durian asal Geumpang dikenal se‐antero Aceh karena rasanya yang manis dan enak. Saat ini beberapa jenis varietas perkebunan dan peternakan sedang dilirik dan diupayakan untuk dikembangkan secara intensif oleh Dinas Perkebunan Kabupaten setempat.
• Domestifikasi dan Manajemen Pohon (Tree management and domestification) Sebagian besar petani setempat belum memperlakukan pola‐pola pengelolaan yang baik dalam mengembangkan komoditas perkebunannya. Misalnya, yang terjadi pada sistem perlakuan tanaman, misalnya durian, yang hanya dilakukan pada saat tanaman, dan setelah itu dibiarkan. Kebun durian ini umumnya masih ditanam di lahan yang dekat dengan kawasan hutan. (Potensi pengembangan agroforestri!)
(provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
4
Tidak ada pola jarak tanam, tanaman di tanam tersebar. Dengan sistem ini sebenarnya, sebenarnya pemanfaatan lahan menjadi tampak boros. Namunpun begitu, petani sudah mulai melakukan pembibitan sendiri untuk beberapa komoditas. (Perlu lanjutan penelitian yang mendalam). Selain itu, memulai kembali pembersihan lahan para petani lokal setempat sangat bergantung pada kesiapan modal usaha. Masyarakat di kawasan ini sangat berharap bantuan dari pihak‐pihak terkait untuk mengembangkan sistem perkebunan dan meningkatkan ekonomi masyarakat pinggir hutan yang selama ini kurang mendapat perhatian.
• Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Ecological Knowledge and IPR) Di Aceh berkembang pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang umumnya masih dipelihara beberapa masyarakat di Aceh. Kearifan lokal ini dipelihara oleh institusi adat yang masih hidup dan saat ini sedang mulai dikuatkan kembali. Jika dilihat dari potensi kekuatan kearifan lokal di Aceh sebenarnya potensi itu baru berasal dari kuatnya faktor kelembagaan. Misalnya keberadaan panglima uteun (keujreun glee) yang pada masa dahulu mempunyai kewenangan untuk mengatur pengelolaan hutan adat dan pemanfaatan hasil hutan. Walaupun demikian beberapa bentuk pengetahuan tradisional aplikatif (misalnya, yang mengatur tata hubungan dan interaksi manusia dengan alam) masih berkembang walau masih jarang diterapkan (terbatas). Seperti aturan sistem pemanfaataan lahan, dimana diatur bahwa lahan pemanfaatan dapat diekploitasi oleh petani tradisional yang diukur dari jarak 2 hari pulang‐pergi petani masuk dalam kawasan hutan. Sedangkan untuk cara‐cara/tata cara pertanian tradisional, seperti penentuan jarak tanaman, pilihan jenis berdasarkan tipe tanah, teknologi lokal dalam hal pembibitan dan lain‐lain seterusnya, sejauh ini belum teridentifikasi secara jelas (perlu lanjutan penelitian yang mendalam). Masyarakat Aceh yang hidup di pinggir hutan masih menganggap bahwa hewan liar seperti gajah dan harimau adalah penting bagi keberadaan fungsi hutan, selain karena bentuk penghargaan terhadap hewan tersebut. Di Aceh, Gajah dikenal dengan nama lokal ‘Po Meurah’. Selain itu, masih terdapat beberapa ritual adat yang bersifat umum dan secara tidak langsung berhubungan dengan cara‐cara ataupun pola pemanfaatan sistem pertanian, bahkan penghargaan terhadap hasil panen. (perlu kajian antropologis yang mendalam).
• Interaksi Antar Komponen (Component interaction) (provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
5
Belum ada penjelasan yang baik yang dapat menjelaskan tentang interaksi antar komponen jenis tanaman pertanian/perkebunan yang terdapat di Geumpang, yang dapat dijadikan tolak ukur bagi pengembangan agroforestri di wilayah ini. (perlu lanjutan penelitian yang mendalam). Namun begitu, cara‐cara pemanfaatan lahan, sebagaimana telah dijelaskan dimuka, diharapkan dapat menjadi penjelasan awal tentang interaksi jenis dalam sistem tradisional di kawasan ini. Pemanfaatan wilayah perkarangan rumah dan areal dekat rumah petani yang milik petani adalah cara dominan dalam hal pemanfaatan lahan. Biasanya tanaman palawija seperti kacang tanah dan kacang hijau ditanam di areal ini, disini pula tumbuh beberapa pohon kelapa dan coklat. Sedang untuk tanaman kopi ada di areal kopi umumnya berada di wilayah dekat atau pinggir hutan, yang sering disebut dengan ‘kebun’.
Pola pertanian/perkebunan perkarangan seperti ini menjadi ciri khas pertanian subsisten yang terdapat di kawasan ini. Produk pertanian subsisten biasanya hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga atau dijual jika ada kelebihan produksi. Di nilai dari tingkat produktivitas akan menjadi kendala ekonomi yang penting bagi masyarakat.
• Penilaian Pasar (Input/output relation and profitability assessment) Hasil‐hasil perkebunan dari wilayah ini seperti durian, coklat, kelapa, telah dijual di pasar dengan harga yang baik. Tapi sayangnya, letak Geumpang yang berada jauh dari pusat kota Kabupaten membuat akses menuju pasar kadang kala menjadi hambatan paska produksi hasil pertanian/perkebunan petani setempat. Buruknya sarana perhubungan jalan darat untuk mencapai kawasan ini dan seringnya bencana tanah longsor menjadi penghalang terbesar petani untuk mengakses wilayah lainnya. Akibatnya, seringkali petani di Geumpang menjajakan (provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
6
langsung produksi kebunnya, seperti buah durian dan buah langsat, di depan‐ depan rumah mereka yang berada di pinggir jalan. Muge atau pedagang keliling dengan kendaraan bermotor roda dua adalah pemain pasar lainnya yang penting bagi pertukaran hasil kebun lokal masyarakat Geumpang dengan masyarakat di kota kabupaten. (Red. Seorang muge biasanya membawa rempah‐rempah untuk bahan pelengkap bumbu dapur dan ikan ke kawasan ini dan membawa pulang hasil kebun ke kota kabupaten.) Paska bencana alam Tsunami tahun 2004 lalu, jalan Geumpang (tipe jalan kabupaten) yang menghubungkan Kota Sigli‐Meulaboh telah dijadikan sarana alternatif untuk mengakses wilayah pesisir pantai barat Aceh, yang umumnya rusak total. Sejak dimanfaatkan sebagai jalan alternatif, wilayah Geumpang semakin dikenal oleh masyarakat Aceh dan orang‐orang luar (pekerja NGO) yang hilir mudik di kawasan tersebut. Namun demikian, kekhawatiran bakal tertutupnya lagi Geumpang mulai menghinggapi petani seiring dengan perkembangan rekonstruksi paska tsunami. Kota Medan, ibukota Sumatera Utara provinsi tetangga Aceh, dikenal sebagai pasar primadona bagi semua hasil kebun di Aceh. Banyak hasil perkebunan di Aceh dijual di Medan dengan harga yang bersaing, yang mendatangkan manfaat ekonomis yang lebih jika dipasarkan di Aceh. Akses dan kepemilikan hubungan dengan pasar dan pemain perdagangan di Medan adalah harapan bagi petani Aceh dimanapun.
• Masalah Kepemilikan Lahan (Tree and land tenure and policy issues) Ancaman terbesar lain dikawasan ini adalah pola konversi lahan. Konversi lahan dipicu oleh beberapa faktor yang saling terkait, yakni seperti kurangnya informasi masyarakat tentang status lahan di sekitar kawasan Geumpang, persepsi tentang status pemanfaatan lahan, dan kebutuhan pengembangan kawasan ekonomi perkebunan paska konflik di Aceh. Kekurangan informasi tentang status kawasan, batas dan kepemilikan kawasan sepertinya menjadi hal yang umum terjadi di Indonesia. Hal ini sering menyebabkan banyak dari kawasan hutan lindung beralih fungsi menjadi lahan pertanian/perkebunan. Hal yang serupa juga dialami masyarakat di pinggiran hutan Geumpang. Kira‐kira bulan Maret‐April 2008 lalu telah terjadi peristiwa perambahan dan pembukaan lahan secara terang‐terangan yang dilakukan warga setempat. Menurut informasi salah seorang staf lapangan FFI di Geumpang, kejadian ini dipicu oleh karena ketaktersediaan lahan perkebunan oleh sebagian masyarakat setempat. Walau mereka adalah warga setempat tetapi sebagian dari mereka telah melepaskan kepemilikan lahan perkebunannya pada saat konflik bersenjata berlangsung di provinsi Aceh, periode 2000‐2005. Lahan‐lahan yang dilepas itu adalah lahan yang disepakati sebagai areal pemanfaatan kebun desa, yang berbatasan dengan hutan lindung, atau batas kebun desa. Lahan‐lahan itu hak kepemilikannya kini telah dikuasai oleh segelintir penduduk setempat dan orang‐ (provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
7
orang kaya (tuan tanah) yang tidak tinggal di kawasan itu. Pasca konflik, ketika kondisi keamanan mulai membaik masyarakat setempat yang ingin memulai melakukan aktivitas perkebunannya kini menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak memiliki lahan. Batas kebun desa dengan hutan yang telah ditetapkan sebagai area pemanfaatan bagi perkebunan masyarakat, kini mulai dilanggar bagi pengembangan wilayah perkebunan. Akibatnya terjadi perambahan kawasan di luar batas desa yang telah disepakati. Salah satu contohnya adalah seperti yang terjadi di kawasan Km. 6 perbatasan Geumpang ‐ Aneuk Manyak jalan menuju ke arah Kota Meulaboh Ibukota Kabupaten Aceh Barat, areal hutan lindung telah dibuka untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Kejadian seperti itu telah memicu terjadinya apa yang disebut pengembangan kawasan “kebun” yang tak tertata (unplanned “Kebun” development) dan tak terkontrolnya pembebasan lahan (uncontrolled land clearance). Masyarakat setempat mengeluh bahwa pembukaan lahan hutan lindung itu dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki mereka. Faktor lainnya yang menjadi pemicu adalah adanya pihak lain yang menjadi donator yang membiayai aktivitas masyarakat setempat. Pola konversi lahan pada umumnya dilakukan secara tradisional. Beberapa masyarakat memamfaatkan areal untuk berladang pindah untuk menanam nilam (Pogostemon cablin).
(provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
8
• SWOT of the AF technology Bentuk Penggunaan Lahan (Jenis varietas tanaman)
Strengh •
Perkarangan Rumah (Palawija (kacang‐kacangan), sayur mayur (tomat, cabai))
•
Menganut sistem subsisten yang menjamin ketersediaan pangan sepanjang tahun. Mudah dijangkau untuk pemeliharaan
Weakness •
•
Areal dekat perkarangan Rumah (Buah Langsat, Coklat & Kelapa)
Hasil tidak dijual karena dipakai sendiri dan untuk membayar pupuk. Kelebihan produksi jarang dijual ke Pasar yang lebih besar.
Opportunity • •
Teknologi intensifikasi Ketersediaan lahan perkarangan yang luas dapat dimanfaatkan untuk menanam Varietas‐varietas perkarangan.
Threat • •
Hama palawija Ternak
• • •
Hama kebun Kondisi alam Ternak
• •
Nilai harga komoditas bersaing Pasar lokal tersedia
• • • •
•
(provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
Jarak dikelola dengan baik Kelapa dijual dalam bentuk gelondongan, kelapa sudah tua Unit pengolahan produksi lokal (Kopra) belum tersedia Hasil produksi masih jarang dijual ke pasar yang lebih besar, akses transportasi Tidak ada penadah lokal yang kuat
•
•
Nilai jual bisa lebih tinggi jika kelapa dijual dalam bentuk olahan, sudah ada pengusaha kopra Areal Perkarangan yang luas masih dapat dimanfaatkan untuk lahan peternakan atau menanam jenis variestas pertanian lainnya.
9
•
Kebun (Durian, Pinang, Nilam, Kopi, Coklat)
• • •
•
Nilai tinggi dan bersaing, pangsa pasar tinggi Nilai produktivitas tinggi Produk sudah dikenal luas Jumlah keanekaragaman hayati masih bisa dipertahankan (dalam skala kecil?)
• • •
Tidak ada perlakuan khusus terhadap lahan. Akses pasar yang kurang jelas, Pasar Besar susah dijangkau, alat angkut produksi terbatas Belum ada penadah lokal yang kuat
•
Nilai jual dan produktivitas hasil bisa lebih tinggi jika dibanding dengan hasil kebun perkarangan. Seperti kopi.
• •
Kekurangan lahan Hama
(provisional draft‐Pride Pidie, FFI Aceh & RARE, November 2008)
10