STRUKTUR PANTUN PADA SENI BUDAYA PALANG PINTU BETAWI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMP
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Indah Wardah NIM. 1111013000039
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAK Indah Wardah, 1111013000039, “Struktur Pantun pada Seni Budaya Palang Pintu Betawi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP”, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M. Hum. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dengan pendekatan struktural. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi mempunyai persamaan dan perbedaan dengan ciriciri pantun pada umumnya. Tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris, namun ada juga yang terdiri dari satu bait dan tiga baris. Pemilihan kata dalam pantun ini bersifat sederhana, unik, sindiran dan penuh dengan kata-kata menantang yang bertujuan untuk menghibur pendengar. Imaji yang digunakan dalam pantun ini berupa imaji penglihatan dan imaji pendengaran. Penggunaan kiasan juga terdapat dalam pantun ini, yaitu sebagai kata konkret untuk melihat apa yang dilukiskan oleh penyair. Gaya bahasa yang digunakan pantun ini adalah gaya bahasa percakapan, repetisi, dan simile. Ritma atau irama dalam pantun ini dipotong menjadi dua frasa membentuk ritma yang padu berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Selain itu, terdapat rima berselang dan rima berangkai. Tema yang ditemui dalam pantun ini berisi penyambutan tamu, perjuangan penyair, persaudaraan serta keagamaan. Perasaan yang diungkapkan oleh penyair dalam pantun ini adalah senang, bangga, optimis, marah dan sombong. Nada yang disampaikan dalam pantun ini terdapat nada menerima, meminta, mengusir, menyindir dan menantang yang bertujuan untuk menciptakan suasana riang, kagum, takjub, marah, kesal dan kecewa. Amanat yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan karena untuk menjadi seorang pemimpin harus mampu menjadi tempat berlindung dalam hal keamanan dan juga mampu menjadi tempat berlindung dalam hal kerohanian. Analisis pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat memenuhi Kompetensi Dasar pembelajaran Sastra Indonesia tentang mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi. Dengan kegiatan menganalisis struktur pantun ini dapat mengapresiasi karya sastra dengan pendekatan struktural, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi dan dapat menambah wawasan dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Melayu Betawi. Kata kunci: Struktur, Pantun Betawi, Palang Pintu, Implikasi Pendidikan
i
ABSTRACT Indah Wardah, 1111013000039, “Pantun Structure on the Cultural Arts of Palang Pintu Betawi and the Implication on Indonesian Literature Learning in Junior High School”, The Faculty of Tarbiyah and Teaching Sciences, Syarif Hidayatullah State Islamic University. Supervisor: Ahmad bahtiar, M. Hum. This study is purposes to describe pantun structure of cultural arts of Palang Pintu Betawi and the Implication on Language and Literature Learning in Junior High School. The study method is description method with structural approach. This study result indicate that pantun structure of cultural arts of Palang Pintu Betawi have similarities and differences with the characteristics of pantun in general. This pantun typography consists of one stanza and three lines. The selection of words in these pantun is simple, unique, sarcasms and full of challenge which aim to entertain the audience. The image in this pantun is vision and hearing images. The figurative usage is also in these pantun, it is as concrete to see what was described by the poet. The style of language of pantun is conversation, repetition, similes. Rhythm cut into two phrases form the coherent phrases which serves to determine the pressure and pause. Other than, there are intermittent rhyme and sequential rhyme. Theme encountered in these pantun contains welcoming guests, the struggle of the poet, as well as of religious brotherhood. Feelings expressed by the poet in these pantun are happy, proud, optimistic, angry and arrogant. Tone conveyed in these pantun are receiving, requesting, expelling, insinuated and challenge tones that aims to create cheerful, awe, amazement, angry, upset, and disappointed moods. The message submitted in these pantun taught to be selective in choosing a partner due to being a leader which is able to be a place of refuge in terms of safety and also capable of being a shelter in spiritual matters. The analysis of pantun on the cultural arts of Palang Pintu Betawi can fulfill the Basic Competition of Indonesian Literature learning about recognizing the common traits of poem from the poem anthology book. By the activity of analyzing pantun structure, students can appreciate literature by the structural approach, appreciate and be proud of Indonesian literature as Indonesian cultural treasure and human intellectual to know the culture of Betawi and can add insight in the areas of language especially Malay Betawi language. Keywords: Structure, Betawi Rhyme, Palang Pintu, Educational Implication.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim, Assalamualaikum Wr. Wb Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi dan Rasul mulia, Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta kepada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, hingga hari akhir. Skripsi ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi Tugas Akhir, sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya, yaitu kepada: 1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan pikiran, tenaga dan telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis. 4. Dona Aji Karunia P., M.A., Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan. 5. Para dosen penguji (Nuryati Djihadah, M.A., M.Pd. dan Rosida Erowati, M.Hum.) yang telah memberikan banyak masukkan guna perbaikan dan kesempurnaan tulisan skripsi ini.
iii
6. Ahmad Darif, S.E., pimpinan pusat Sanggar SABA yang telah meluangkan waktunya kepada penulis. 7. Dosen-dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 8. Kedua orang tua (H. Sadeli dan Maisuroh), kakak-kakakku (Suaidi, Umu Athiyah, Mashum, Ipah dan Lukman), serta adikku tercinta (Ilham Munzir) yang selalu mendoakan penulis serta memberikan dorongan moril dan materil. 9. Pamanku (Muhammad Arif) yang telah membantu penulis selama penelitian. 10. Teman-teman Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling membantu dalam proses belajar di kampus tercinta. Khusus untuk Devi Aristiyani, Ai Suaibah, Selviana Dewi, Tri Mutia Rahmah dan Yayah Fauziah kebersamaan yang telah kita lalui selama menuntut ilmu dalam suka dan duka merupakan suatu hal yang paling indah. 11. Sahabat-sahabatku (Syahid Khudri, Ali Ma’sum, Sri Mulyati dan Suasmi) terima kasih untuk motivasinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Di akhir kalimat, penulis memohon kepada Allah Swt, semoga orang-orang yang telah bermurah hati membantu penulis mendapatkan balasan yang lebih baik. Wassalamualaikum Wr. Wb Jakarta, November 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI Hal ABSTRAK ...........................................................................................................
i
ABSTRACT .........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR .........................................................................................
iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................
1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................................
4
C. Pembatasan Masalah .......................................................................................
4
D. Perumusan Masalah ........................................................................................
4
E. Tujuan Penelitian ...........................................................................................
4
F. Manfaat Penelitian ..........................................................................................
5
G. Metode Penelitian ...........................................................................................
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
11
A. Struktur Fisik Puisi .........................................................................................
11
1. Tipografi ..................................................................................................
11
2. Diksi .........................................................................................................
12
3. Imaji .........................................................................................................
13
a. Citra Penglihatan ...............................................................................
13
b. Citra Pendengaran ...............................................................................
14
c. Citra Gerak .........................................................................................
14
d. Citra Perabaan .....................................................................................
14
e. Citra Penciuman ..................................................................................
15
f. Citra Pencecapan .................................................................................
15
g. Citra Suhu ...........................................................................................
15
4. Kata Konkret .............................................................................................
16
5. Bahasa Figuratif ........................................................................................
16
v
a. Gaya Bahasa Percakapan ....................................................................
17
b. Repetisi................................................................................................
18
c. Simile ................................................................................................
18
6. Versifikasi ................................................................................................
19
a. Rima ....................................................................................................
19
b. Ritma ..................................................................................................
20
B. Struktur Batin Puisi .........................................................................................
20
1. Tema..........................................................................................................
21
2. Rasa ..........................................................................................................
21
3. Nada ..........................................................................................................
21
4. Amanat ......................................................................................................
22
C. Sastra Lisan .....................................................................................................
22
D. Pengertian Pantun............................................................................................
24
E. Pantun Betawi ................................................................................................
26
F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu .........................................................
28
G. Sejarah Sanggar SABA ...................................................................................
29
H. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP............................
32
I. Penelitian Relevan ...........................................................................................
35
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................
37
A. Pantun Pembukaan ..........................................................................................
37
B. Pantun Isi ........................................................................................................
54
C. Pantun penutup ................................................................................................
87
D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP............................
91
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
94
A. Simpulan .........................................................................................................
94
B. Saran ................................................................................................................
95
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
96
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 2.
Data Hasil Wawancara
Lampiran 3.
Skrip Palang Pintu Sanggar SABA
Lampiran 4.
Kumpulan Foto Sanggar SABA
Lampiran 5.
Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 6.
Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 7.
Surat Pengesahan Observasi Penelitian Lapangan
Lampiran 8.
Lembar Uji Referensi
Lampiran 9.
Biodata Penulis
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pantun merupakan salah satu produk budaya Indonesia yang mempresentasikan wilayah dan budaya masyarakatnya. Pantun termasuk produk budaya yang paling luas penyebarannya, paling dekat dengan masyarakat tanpa terbentur stratifikasi sosial, usia, dan agama. Selain itu, pantun dapat digunakan sebagai alat komunikasi untuk memberi nasihat dan melakukan kritik sosial, tanpa harus melukai perasaan siapapun. Sesungguhnya, bentuk pantun pun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa Indonesia sendiri. Pantun merupakan bentuk puisi lama yang tampak luarnya sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan kecerdasan dan kreativitas si pemantun. Ciri utama pantun adalah bentuknya yang dalam setiap baitnya terdiri dari empat larik (baris) dengan pola persajakan a-b-a-b. dua larik pertama disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi. Mengingat pantun tidak terikat oleh batas usia, status sosial, agama atau suku bangsa. Maka pantun, dapat dihasilkan atau dinikmati semua orang, dalam situasi apa pun, dan untuk keperluan yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Berbagai suku bangsa di wilayah Nusantara ini mengenal pantun dan kemudian memproduksi sendiri dengan menggunakan bahasanya, idiom-idiomnya, dan nama-nama tempat yang berada di sekitarnya. Orang Jawa menyebutnya wangsalam atau ada pula yang memasukkannya sebagai parikan. Masyarakat Tapanuli (Batak) menyebutnya endeende, sedangkan orang Madura, pantun kadang kala disebut paparegan. Ada pula yang menyebutnya kejbung, karena ekejbungangbi berarti dikidungkan. Tetapi secara umum masyarakat Madura lebih sering menggunakan istilah pantun. Masyarakat Betawi juga menyebutnya pantun, meskipun bahasa yang digunakannya adalah bahasa Melayu Betawi. Semangat dan isinya pun dalam beberapa hal, agak berbeda
1
2
dengan
pantun
Melayu
pada
umumnya.
Meskipun
demikian,
semuanya
memperlihatkan bahwa produk budaya mereka itu hakikatnya adalah pantun.1 Pantun memiliki tempat istimewa bagi masyarakat Betawi. Keistimewaan ini disebabkan meluasnya penggunaan pantun oleh orang Betawi, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Tidak hanya itu, penggunaan pantun Betawi juga menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat sosial, mulai dari ulama, pejabat, hingga rakyat kecil, sehingga tidak mengherankan jika berpantun atau berbalas pantun kemudian menjadi ciri khas orang Betawi. Satu hal yang paling utama dalam pantun Betawi ini adalah kuatnya ciri yang menunjukkan ekspresi yang spontan. Jadi, semangat dan ekspresi yang spontanitas itu didasari oleh keinginan untuk membangun kesamaan bunyi: a-b-a-b. Oleh karena itu, sampiran umumnya tidak ada kaitannya dengan isi. Sampiran seperti terlontar begitu saja, lepas, bebas, tanpa beban. Berkenaan dengan isi pantun Betawi, pantun ini mencoba mengungkapkan berbagai nasihat yang berkaitan dengan etika, moral, adab, sopan santun, dan ajaran-ajaran agama. Dalam penelitian ini peneliti sengaja memilih salah satu genre sastra lama, yaitu pantun. Pantun yang dijadikan objek penelitian ini adalah pantun Betawi yang digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres Jakarta Barat. Pantun Betawi yang digunakan oleh perkumpulan Sanggar SABA ini merupakan pantun pada seni budaya palang pintu Betawi yang dipakai dalam acara perkawinan adat Betawi dan menjadi salah satu kriteria dasar adanya syarat-syarat pantun, dalam hal bahasa, kosa kata, dan cara pengucapan yang disajikan sebagaimana adanya. Maka, jika dicermati dengan benar, akan tampak seperti ketidakkonsistenan. Misalnya kata kue, ada yang diucapkan kuwe, tetapi ada pula yang diucapkan kue. Demikian juga kata reformasi, diucapkan sebagai repormasih. Begitulah, sejumlah kosa kata yang dibiarkan sesuai pengucapannya. 1
Maman S Mahayana, dkk. Pantun Betawi Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan Sejarah Masyarakat Jawa Barat dalam Pantun Melayu. (Jawa Barat: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2008). h.xiii-xiv.
3
Tujuan utama penelitian ini adalah menguraikan atau menjelaskan struktur yang terkandung dalam pantun Betawi. Selain itu, penelitian ini dapat mengembangkan respon siswa terhadap budaya bangsa Indonesia dan memotivasi siswa SMP untuk dapat memahami, menghargai, dan mencintai karya sastra Indonesia. Mempelajari karya sastra diharapkan terbentuk kepribadian siswa karena di dalam karya sastra para siswa akan menentukan berbagai permasalahan hidup, dan pemecahannya yang disajikan oleh pengarang. Dengan sastra diharapkan bertambahnya pengalaman siswa karena sastra menyajikan fenomena kehidupan masyarakat yang dekat dengan lingkungan kesehariannya. Dengan sastra pula diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbahasa, karena karya sastra disajikan dengan keterpaduan keempat keterampilan berbahasa yaitu mendengarkan, menulis, berbicara, dan membaca. Berdasarkan pernyataan Rahmanto dalam buku Metode Pengajaran Sastra. Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk dipecahkan dalam masyarakat.2 Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memudahkan siswa dalam membaca dan memahami isi pantun. Selain itu, dapat menuntun siswa menghubungkan teks sastra dengan pengalaman bahasanya sendiri, sehingga dapat memperluas pengetahuan dan pengalaman. Ditambah lagi, dapat memberikan gambaran yang akan digunakan oleh guru bahasa Indonesia dalam upaya merangsang siswa untuk menganalisis struktur dalam pantun.
2
Bernardus Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius. 1988). h. 15.
4
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut: 1. Belum banyaknya yang meneliti tentang struktur pantun khususnya pantun pada seni budaya palang pintu Betawi. 2. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan siswa terhadap struktur pantun.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dijabarkan, maka batasan masalahnya terletak pada struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya pada pembelajaran sastra Indonesia di SMP.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas dapat diketahui rumusan masalah yang timbul dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi? 2. Bagaimanakah implikasi analisis struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP?
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi. 2. Mendeskripsikan implikasi hasil analisis struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.
5
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup aspek teoretis maupun praktis, seperti: 1. Manfaat Teoretis Dengan penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya bagi pembaca dan pencinta sastra sehingga menjadi acuan bahan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai edukatif. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi: a. Manfaat bagi Peserta Didik 1) Dengan adanya penelitian ini, peserta didik dapat dengan mudah memahami pantun, sehingga pada saat mendapatkan tugas menganalisis struktur pantun, peserta didik tidak sulit untuk menganalisisnya. 2) Memotivasi siswa SMP untuk dapat lebih memahami, menghargai, dan mencintai karya sastra Indonesia. b. Manfaat bagi Pendidik Memberikan masukan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP mengenai pemahaman struktur pantun, sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif materi bahasa dan sastra di SMP. c. Manfaat bagi Peneliti lain 1) Dapat dijadikan rujukan bagi penelitian yang sejenis, terutama penelitianpenelitian karya sastra mengenai pantun. 2) Sebagai salah satu metode analisis pembelajaran sastra (pantun) bagi peneliti untuk melengkapi metode analisis yang sudah ada. 3) Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini menjadi dasar untuk penelitian lanjutan.
6
G. Metode Penelitian 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai sejak pengesahan proposal pada tanggal 1 Desember 2014. Waktu pengambilan data penelitian ini selama tiga hari dari tanggal 22 sampai 24 Januari 2015, yang berlokasi di pusat perkumpulan Sanggar SABA daerah Kalideres, Jakarta Barat.
2. Pendekatan dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.3Dalam penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif yang mendeskripsikan setting penelitian, baik situasi maupun informan/responden yang umumnya berbentuk narasi melalui perantara lisan seperti ucapan/penjelasan responden, dokumen pribadi, atau catatan lapangan.4 Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural. Endaswara mendefinisikan pendekatan struktural merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi strukturstruktur. Dalam pandangan ini karya sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain.5 Sedangkan, Siswantoro mendefinisikan struktur berarti bentuk keseluruhan yang kompleks. Setiap objek, atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur, yang terdiri dari
3
Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2013).
h.6. 4
Uhar Suharsaputra. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan Tindakan. (Bandung: PT Refika Aditama. 2014). h. 188. 5 Suwardi Endraswara. Metodologi Penelitian Sastra. (Yogyakarta: CAPS. 2013). h. 49.
7
berbagai unsur, yang setiap unsurnya tersebut menjalin hubungan. Puisi adalah sebuah objek, karena itu dia pasti punya sebuah struktur.6 Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan struktural merupakan pendekatan yang menghubungkan unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Sementara, metode yang digunakan adalah metode deskripsi. Metode deskripsi adalah metode yang dilakukan dengan jalan menganalisis data yang sudah dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.7 Dengan metode deskriptif, seorang peneliti sastra dituntut mengungkap faktafakta yang tampak atau data dengan cara memberikan deskripsi. Fakta atau data merupakan sumber informasi yang menjadi basis analisis. Tetapi data harus diambil berdasar parameter yang jelas, misalnya parameter struktur. Untuk sampai ke pengambilan data yang akurat, dia harus melakukan pengamatan yang cermat dengan bekal penguasaan konsep struktur secara baik.8
3. Sumber Data dan Data Sumber data merupakan sumber data yang terkait dengan subjek penelitian dari mana data diperoleh.9 Pada penelitian ini sumber data berasal dari Pimpinan sanggar SABA, yaitu Ahmad Darif. Sementara, data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer (data utama), yaitu data yang diseleksi atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara.10 Pada penelitian ini, data diperoleh langsung dari pimpinan Sanggar SABA berupa dokumen pantun palang pintu adat Betawi yang digunakan pada acara pernikahan adat Betawi. 6
Siswantoro. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. 2010). h. 13. 7 Lexy J. Meleong. op.cit., h.11. 8 Siswantoro. op.cit., h. 57. 9 Ibid., h. 72. 10 Ibid., h. 70.
8
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik rekam dan teknik catat. Teknik wawancara adalah teknik percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.11 Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis kerja.12 Sedangkan teknik rekam dan teknik catat digunakan sebagai instrumen kunci melakukan rekaman serta mencatat jawaban sesuai dengan pernyataan narasumber. Dalam melakukan pencatatan, telah disertai data atau reduksi data. Yakni, data-data yang tidak relevan dengan konstruk penelitian ditinggalkan. Sedangkan data yang relevan diberi penekanan (garis bawah/penebalan), agar memudahkan peneliti menentukan indikator.13 Dalam penelitian ini, peneliti mengambil data di pusat perkumpulan Sanggar SABA berupa dokumen pantun, untuk melengkapi penelitian ini peneliti melakukan wawancara terstruktur kepada pimpinan pusat Sanggar SABA, yaitu Ahmad Darif. Kemudian peneliti merekam dan mencatat pernyataan dari narasumber. Hasil wawancara tersebut diolah menjadi pelengkap penelitian ini. Sedangkan isi dokumen pantun, peneliti melakukan analisis data serta menyimpulkannya.
11
Lexy J. Meleong. op.cit., h.186. Ibid., h.190. 13 Suwardi Endraswara. op.cit., h.163. 12
9
5. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman. Model Miles dan Huberman terdapat tiga macam kegiatan dalam analisis data, yaitu reduksi data, model data dan kesimpulan. Teknik pertama, yaitu reduksi data. Reduksi data merupakan proses mengolah data dari lapangan dengan memilah dan memilih, dan menyederhanakan data dengan merangkum yang penting-penting sesuai dengan fokus masalah penelitian.14 Sebelum data secara aktual dikumpulkan, reduksi data antisipasi terjadi sebagaimana diputuskan oleh peneliti yang mana kerangka konseptual, situs, pertanyaan penelitian, pendekatan pengumpulan data untuk dipilih.15 Teknik kedua, yaitu model data. Model data berupa menyajikan data (data display) untuk lebih menyitematiskan data yang telah direduksi sehingga terlihat sosoknya yang lebih utuh. Dalam display data laporan yang sudah direduksi dilihat kembali gambaran secara keseluruhan, sehingga dapat tergambar konteks data secara keseluruhan, dan dari situ dapat dilakukan penggalian data kembali apabila dipandang perlu untuk mendalami masalahnya. Penyajian data ini amat penting dan menentukan bagi langkah selanjutnya yaitu penarikan kesimpulan/verifikasi karena dapat untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan.16 Teknik ketiga, yaitu kesimpulan. Menarik kesimpulan dan verifikasi dilakukan sejak awal terhadap data yang diperoleh, tetapi kesimpulannya masih kabur (bersifat tentatif), diragukan tetapi semakin bertambahnya data maka kesimpulan itu lebih “grounded” (berbasis data lapangan). Kesimpulan harus diverifikasi selama penelitian masih berlangsung.17 Pada tahap awal penelitian ini, peneliti melakukan kegiatan untuk menyeleksi dan mengidentifikasi data-data pada kategori isi pantun yang dipakai Sanggar SABA pada
14
Uhar Suharsaputra. op.cit., h. 218. Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. (Jakarta: Rajawali Pers. 2011). h. 129. 16 Uhar Suharsaputra. op.cit., h. 219. 17 Ibid., 15
10
acara pernikahan adat Betawi. Tahap pengklasifikasian merupakan proses yang dilakukan untuk mengklasifikasikan data, memilih data dan mengelompokkan data. Langkah kedua, peneliti mendeskripsikan dan menganalisis pantun satu persatu dalam satu unit. Terlebih dahulu peneliti menganalisis struktur fisik pantun seperti tipografi, diksi, gaya bahasa, rima dan ritme, citraan, kata konkret. Kemudian dilanjutkan dengan struktur batin pantun seperti tema, rasa, nada dan amanat. Hal tersebut dilakukan agar peneliti dapat fokus dengan analisis struktur pantun. Setelah selesai, peneliti melanjutkan analisis pantun berikutnya. Langkah ketiga, peneliti menarik simpulan dan memberikan saran kepada peneliti yang relevan dengan penelitian ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur Fisik Puisi Bentuk dan struktur fisik puisi sering disebut metode puisi. Bentuk dan struktur fisik puisi mencakup (1) perwajahan puisi, (2) diksi, (3) pengimajian, (4) kata konkret, (5) majas dan bahasa figuratif, dan (6) verifikasi. Semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Berikut akan dibicarakan satu per satu.1
1. Perwajahan puisi (Tipografi) Ciri-ciri yang dapat dilihat secara sepintas dari bentuk puisi adalah pewajahannya. Pewajahan adalah pengaturan dan penulisan kata, larik dan bait dalam puisi. Pada puisi konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan pernyataan. Mungkin saja satu pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik, bahkan bisa lebih. Larik dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan diakhiri dengan titik (.). Kumpulan pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tetapi membentuk bait. Sebuah bait dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.2 Tipografi ini berkaitan dengan bentuk penulisan puisi menyangkut pembaitan-enjembemen, penggunaan huruf dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus diakui, secara konvensional, yang membedakan puisi dari prosa sebagai genre sastra adalah pada aspek tipografi, yaitu puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam bentuk narasi. Dengan demikian, penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting sebagai media atau cara untuk mengungkapkan makna.3 Berikut ini merupakan contoh tipografi4
1
Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra. (Jakarta: PT Grasindo. 2008). h. 113. Ibid., 3 Heru Kurniawan dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012). h. 36. 4 Wahyudi Siswanto. loc.cit., 2
11
12
PERAMBATAN HUTAN Perambah hutan ialah kita Yang berpesta Yang menista Yang menderita Yang lupa membaca peta Perambah hutan ialah kita Yang tersuruk mencari jalan-Nya Yang membius fatmorgana Yang lupa bagaimana mengeja nama-Nya
LIRIK
BAIT
2. Diksi Pemilihan kata untuk menyampaikan suatu gagasan dan ketepatan disebut sebagai diksi. Di samping itu, diksi juga berarti kemampuan (1) memilih kata dengan cermat sehingga dapat membedakan secara tepat nuansa makna gagasan yang ingin disampaikan dan (2) kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa.5 Kreativitas menulis puisi adalah kreativitas memilih diksi karena kekuatan puisi terletak pada kata-katanya (diksi), bagaimana kata-kata yang singkat, pendek, dan sederhana, tetapi bisa menggambarkan pengalaman, perasaan, imajinasi, dan keindahan yang banyak. Oleh karenanya, diksi dalam puisi harus sekonsentrat mungkin, yaitu padat dan selalu menimbulkan makna lebih.6 Misalnya, kata-kata klasik yang dipilih serta dipergunakan oleh Sanusi Pane dalam sajaknya “Candi Mendut” seperti : candi, berhala, Budha, Bodhisatwa, jiwa, Maya, Nirwana, mengingatkan kita pada suasana abad ke 8; sedangkan kata-kata mimbar, pikiranpikiran dunia, suara-suara kebebasan, teknologi, kampus, tirani, sangkur baja, panser, bren, barikade, demostran yang terdapat dalam “Tirani” karya Taufik Ismail,
5 6
Rachmat Djoko Pradopo, dkk. Puisi. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2007). h. 5.12. Heru Kurniawan dan Sutardi. op.cit., h. 27.
13
membawa kita ke suasana perjuangan Angkatan 66 menumpas kezaliman dan kediktatoran rezim orde lama.7
3. Imaji Imagery biasa diartikan sebagai mental picture, yaitu gambar, potret, atau lukisan angan-angan yang tercipta sebagai akibat dari reaksi seorang pembaca pada saat ia memahami puisi. Imagery lahir sebagai proses kelanjutan pemekaran imajinasi seorang pembaca yang aktif dan kreatif menelusuri makna yang tersurat pada teks. Untuk menghadirkan imagery, seorang pembaca harus memiliki kekuatan membaca yang baik dengan dukungan penguasaan kosakata, tata bahasa, dan aspek budaya yang memadai. Kita sadar bahwa teks yang dihadapi bukanlah bahasa sendiri, sehingga kita harus menyesuaikan diri dengan semangat teks yang berbahasa lain. Dengan kata lain, imagery dapat dicapai manakala seorang pembaca mampu berpartisipasi baik secara kognitif dan emosional.8 Jenis citra dalam puisi ada bermacam-macam sesuai dengan jenis indera yang ingin digugah oleh penyair lewat puisinya. Berikut ini akan diuraikan satu demi satu:9 a. Citra Penglihatan. Citra penglihatan adalah citra, yang ditimbulkan dengan memanfaatkan pengalaman indera penglihatan. Citra penglihatan dapat dibangkitkan oleh kata-kata penunjuk ini atau itu yang menyertai referen benda yang dapat diserap dengan indera penglihatan maupun diksi atau pilihan kata secara konkret. Misalnya rumah ini, kampus itu, matahari itu, kebun itu, buku itu, modul itu, dan sebagainya.
7
Henry Guntur Tarigan. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. (Bandung: Angkasa. 2011). h.
30. 8
Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. (Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2002). h. 49. 9 Rachmat Djoko Pradopo, dkk. op.cit., h. 7.19-7.26.
14
b. Citra Pendengaran Citra pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan dengan menggunakan pengalaman pada indera pendengaran. Citra pendengaran dapat dibangkitkan oleh diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang dapat diindera dengan telinga. Pengalaman auditif manusia biasanya berhubungan dengan bunyi, kualitas bunyi (kemerduan), intensitas bunyi, dan dengan nada (bunyi musikal). Kata-kata yang menandai adanya citraan pendengaran antara lain adalah merdu, serak, nyaring, bisik, gumam, mendesir, gaung, berbisik, deru, mendengar, bom, sunyi, kepak, mengerang, meraung, dan sebagainya.
c. Citra Gerak Citra gerak adalah citraan yang dibangkitkan oleh pengalaman akan pengamatan terhadap gerak. Citraan gerak dibangkitkan oleh pengalaman sensoris hasil tanggapan sejumlah alat indera, terutama oleh indra penglihatan dan pendengaran terhadap gerak. Citraan gerak biasanya ditandai oleh kata-kata seperti berikut ini, menghembus, mengepakkan, menderam, mengusap, berangkat, memahat, bertiup, merayap, jalan, terhuyung, terbang, mengepak, menangkak, lari, duduk, berdiri, mendorong, menangkap, dan sebagainya.
d. Citra Perabaan Citra perabaan adalah citraan yang bercirikan adanya potensi pembangkitan pengalaman sensoris indera peraba. Pengalaman indera peraba terutama berkaitan dengan rasa bahan, yaitu ciri atau kualitas permukaan sesuatu yang dapat diraba. Citraan perabaan biasanya ditandai dengan kata-kata yang berkaitan dengan indera perabaan, yang antara lain adalah: basah, debu, kering, halus, kasar, keras, lunak, lembut, dan sebagainya.
15
e. Citra penciuman Citra penciuman adalah citraan yang dapat ditimbulkan dengan menggunakan pengalaman indera penciuman. Pengalaman yang merupakan hasil penginderaan indera penciuman, berkaitan dengan bau, dengan berbagai jenis sumber bau dan kualitas bau juga merupakan penanda hadirnya citra penciuman. Citra penciuman biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata yang berkaitan dengan indera penciuman misalnya bau, amis, bacin, harum, wangi, busuk, basi, sedap dan sebagainya.
f. Citra pencecapan Citra pencecapan adalah citraan yang dapat dimunculkan dengan menggunakan pengalaman indera pencecapan. Pengalaman sensoris yang berkaiatan dengan rasa lidah menjadi sumber citraan pencecapan. Citra pencecapan biasanya ditandai dengan kata-kata antara lain: manis, asin, masam, pahit, tazuar, gurih dan sebagainya.
g. Citra Suhu Citra suhu adalah citra yang dapat dibangkitkan melalui pengalaman sensoris yang berkaitan dengan suhu. Pengalaman sensoris akan suhu suatu objek atau suhu lingkungan, sebenarnya merupakan hasil tanggapan indera peraba atau kulit. Citraan suhu dalam suatu wacana biasanya ditandai dengan kata-kata berikut ini: dingin, beku, hangat, suam, papas. Selain kata-kata tersebut, kehadiran citraan suhu juga ditandai dengan adanya diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang memiliki kualitas suhu tertentu, misalnya bara, api, salju, dan juga oleh diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang dapat menghasilkan efek suhu tertentu, misalnya selimut dan perdiangan.
16
4. Kata Konkret Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya.10 Misalnya, untuk memperkonkret perasaan penasaran karena belum berhasil menemukan rahasia Tuhan, Sutardji Calzoum Bachri menggunakan kata-kata: kapak, hamuk, diancuk dan ungkapan-ungkapan :11 Semua orang membawa kapak/ semua orang begerak pergi/ menuju langit/semua orang bersiap-siap nekad/kalau tak sampai langit/ mengapa tak ditebang saja/ kapak-kapak mereka/ pukimak aku tak bisa tidur/ mimpi tertakik/ dan ranjang belah. 5. Bahasa Figuratif (Majas) Bahasa kiasan sering dipandang sebagai ciri khas bagi jenis sastra yang disebut puisi. Sekalipun ada puisi yang hampir tidak menampilkan kiasan-kiasan, tetapi dalam banyak sajak kiasan itu penting bagi susunan makna. Oleh karena itu pola tersebut dibicarakan di sini, walaupun juga dalam teks-teks naratif dan drama, bahkan dalam bahasa sehari-hari pun, kita jumpai kiasan.12 Gaya bahasa (Majas) adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah. Ungkapan seperti “Gadis itu sangat cantik”, di samping tidak jelas, juga tidak menarik; lagi pula ungkapan seperti itu sudah terlalu sering kita dengar. Namun, isi ungkapan itu akan menjadi lebih jelas
10
Herman J. Waluyo. Teori dan Apresiasi Puisi. (Jakarta: Erlangga. 1987). h.81. Ibid., h.82. 12 Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. (Jakarta: PT Gramedia. 1984). h. 187. 11
17
serta menarik seandainya diucapkan seperti ini: “Gadis itu cantik seperti bunga mawar”.13 Berikut ini beberapa jenis majas berikut contohnya: a. Gaya Bahasa Percakapan Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi. Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari suatu diskusi yang direkam dengan alat perekam dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1966 di Jakarta:14 Pertanyaan yang pertama, di sini memang sengaja saya tidak membedakan antara istilah jenis kata atau word classes atau parts of speech. Jadi ketiganya saya artikan sama di sini. Maksud saya ialah kelas-kelas kata, jadi penggolongan kata, dan hal itu tergantung kepada dari mana kita melihat dan dasar apa yang kita pakai untuk menggolongkan… Bahasa kutipan di atas adalah bahasa standar, tetapi berbeda dengan kutipan sebelumnya mengenai gaya bahasa resmi dan tak resmi. Dalam bahasa percakapan terdapat banyak konstruksi yang dipergunakan oleh orang-orang terpelajar, tetapi tidak pernah digunakan bila ia harus menulis sesuatu. Kalimat-kalimatnya singkat dan bersifat fragmenter; sering kalimat-kalimat yang singkat itu terdengar seolah-olah tidak dipisahkan oleh perhentian-perhentian final, seakan-akan disambung terusmenerus.
13
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1991). h.127. 14 Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008). h.120-121.
18
b. Repetisi Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau klausa. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacammacam variasi repetisi.15 Banyaknya jenis atau variasi perulangan yang digunakan oleh penyair dalam karya mereka menunjukkan bahwa gaya perulangan ini sangat personal pula sifatnya, sebagaimana dengan gaya pengungkapan yang lain. Oleh sebab itu tidak ada ketentuan yang mengikatnya. Perulangan yang dilakukan Ajip Rosidi (KENANGAN).16 Yang paling indah adalah kenangan Yang paling mengesan adalah kenangan Yang paling menikam adalah kenangan Yang paling terkenang adalah yang fana Yang paling rapuh dalam hidup ini Pada contoh di atas jelas bahwa repetisi mempunyai peranan yang penting dalam membuat intensitas makna dan menghasilkan musikalitas dan daya magis. c. Persamaan atau Simile Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.17 Gaya bahasa ini digunakan untuk membandingkan dua hal atau benda yang tidak sama esensinya.18 Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya, kikirnya seperti
15
Ibid., h.127. M. Atar Semi. Anatomi Sastra. (Padang: Angkasa Raya Padang. 1988). h.129-132. 17 Gorys Keraf. loc.cit., h.138. 18 Mayang Hamdani, dkk. Kesastraan. (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1987). h. 1.22. 16
19
kepiting batu. Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek pertama yang mau dibandingkan. Contohnya, seperti menating minyak penuh.19
6. Versifikasi (Rima dan Ritma) a. Rima Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana bunyi.20 Selanjutnya, kita mengenal beberapa jenis rima; antara lain:21 1) Rima berangkai; dengan susunan/ rumus: aa, bb, cc, dd … Dimata air, didasar kolam Kucari jawab teka-teki alam
a a
Di kawan awan kian kemari Disitu juga jawabnya kucari
b b
Diwarnai bunga yang kembang Kubawa jawab, penghalang bimbang
c c
Kepada gunung penjaga waktu Kutanya jawab kebenaran tentu
d d
2) Rima berselang, dengan rumus : abab, cdcd
19
Duduk dipantai waktu senja, Naik dirakit buaian ombak, Sambil bercermin diair-kaca, Lagi diayunkan lagu ombak
a b a b
Lautan besar bagai bermimpi Tiada gerak, tetap berbaring … Tapi pandang karang ditepi Disana ombak memecag nyaring …
c d c d
Gorys Keraf. loc.cit., Herman J. Waluyo. op.cit., h. 90. 21 Henry Guntur Tarigan. op.cit., h.36-37. 20
20
b. Ritma (Irama) Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti mocopat dalam tembang Jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan baris-baris puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama disebut periodisitet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa berulang. Berikut ini contoh ritma dalam puisi lama :22 Dari mana/ punai melayang Dari sawah/ turun ke kali Dari mana/ kasih saying Dari mata/ turun ke hati. Pengaruh irama dalam puisi sangatlah besar, ia menyebabkan terjadinya rasa keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya pukau, dan lebih dari itu ia dapat memperkuat pengertian. Pengaruh besar semacam itu akan muncul tentunya bila irama itu terjalin secara padu dengan unsur-unsur lain. Untuk mengetahui irama suatu puisi tidak terlepas pula dari pengenalan akan nada dan suasana puisi tersebut, karena suasana dan nada puisi mempunyai kaitan yang amat padu dengan irama puisi tersebut. Sebuah puisi biasa mempunyai nada dan suasana sendiri dan sekaligus memiliki irama sendiri. Dengan mengetahui irama, pembaca puisi dengan mudah terbantu menentukan tekanan dan jeda. Dengan demikian akan member bantuan yang besar terhadap penikmatan dan pemahaman puisi yang bersangkutan.23
B. Struktur Batin Puisi I.A. Richards di dalam buku Wahyudi Siswanto berpendapat bahwa struktur batin puisi terdiri atas empat unsur: (1) tema; makna (sense), (2) rasa (feeling), (3) nada (tone), dan (4) amanat; tujuan; maksud (intention).24 22
Herman J. Waluyo. op.cit., h.94. M. Atar Semi. op.cit., h.121. 24 Wahyudi Siswanto. op.cit., h.124. 23
21
1. Tema Tema adalah ide dasar dari suatu puisi. Tema menjadi inti dari keseluruhan makna yang disampaikan oleh penyair.25 Dalam menyampaikan tema, penyair menggunakan diksi, imaji dan gaya bahasa yang telah dipilihnya secara cermat dan kritis yang disusun menjadi bentuk yang sesuai dan efektif. Tema menjelmakan pemahaman penyair mengenai dirinya dan dunianya dan merupakan suatu pengamatan terhadap aspek kehidupan atau pengalaman manusia.26 Misalnya, dalam puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah dan “Doa” Chairil Anwar. Meskipun bahasa yang digunakan berbeda tapi tema yang digunakan sama, yakni kembali ke Tuhan.27
2. Rasa Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologis penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, serta pengetahuan. Toto Sudarto Bachtiar dalam “Gadis Peminta-minta”, menyikapi pengemis kecil dengan netral, tidak membenci dan tidak pula dengan rasa belas kasihan yang berlebihan. Dia dapat merasakan kegembiran pengemis kecil dalam dunianya sendiri, bukan merupakan dunia yang penuh penderitaan seperti yang disangka orang.28
3. Nada Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sehubungan dengan pokok pikiran yang disampaikannya dalam puisinya.29 Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau 25
Kisyani Laksono, dkk. Membaca 2. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2008). h. 8.20. Mayang Hamdani, dkk. op.cit., h. 1.34. 27 Wahyudi Siswanto. loc.cit., 28 Ibid., h. 125. 29 Kisyani Laksono, dkk. op. cit. h. 8.19. 26
22
akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pergolakan batin bagi pembaca. Nada religus dapat menimbulkan suasana khusyuk. Begitu seterusnya.30 Dalam puisi “Jalan Segara”, sikap Taufiq Ismail terhadap penguasa sinis. Dalam puisi “Nyanyian Angsa”, Rendra seakan mengajak pembaca untuk melihat perlakuan masyarakat, dokter, dan pastor terhadap pelacur.31
4. Amanat Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar di dalam karyanya. Amanat dapat disampaikan secara langsung, tersurat, dapat juga secara tidak langsung atau tersirat. Melalui puisi tersebut Abdul Hadi W.M. menyampaikan amanat (pesan) bahwa kendati gaib dan tak terdeteksi alat indra kita, Tuhan itu sebetulnya dekat sekali dengan hambanya. Tak ada jarak. Kalau ada yang berpendapat bahwa Tuhan itu jauh, sebenarnya karena orang itu tidak pernah mau mendekat kepada-Nya. Tuhan Mana Tahu, mendengar, dan merespons apa pun yang disampaikan hamba-Nya.32
C. Sastra Lisan Istilah sastra lisan tidak asing bagi orang Indonesia. Apapun makna dan referensi yang diberikan kepada kata itu, secara umum ada makna yang kira-kira sama, kegiatan lisan yang bukan percakapan sehari-hari, seperti puisi-puisi rakyat, cerita lisan yang hidup di tengah masyarakat, mantera, juga pertunjukkan lisan. Artinya, ada pengetahuan sastra lisan dalam kesadaran kolektif kita. Sastra lisan penting dikaji karena beberapa alasan. Alasan pertama, ia ada dan terus hidup di tengah masyarakat, tidak saja dalam masyarakat Indonesia tetapi juga 30
Herman J. Waluyo. op. cit. h. 125. Wahyudi Siswanto. op. cit. h.125. 32 Bustanul Arifin, dkk. Menyimak. (Jakarta: Universitas Terbuka. 2008). h. 6.8. 31
23
di banyak negara lain di dunia. Sastra lisan itu hidup pada masyarakat pertamanya, yaitu masyarakat yang melahirkan dan menghidupkannya, di daerah kelahiran, di kampung asal. Secara umum, suatu genre sastra lisan itu hidup di daerah asalnya saja. Bila diambil contoh nyata, dalam budaya Minangkabau di Sumatra Barat terdapat beberapa genre, antara lain rabab Pasisia, rabab Pariaman, dendang Pauah. Yang kedua, sastra lisan menyimpan kearifan lokal kecendekiaan tradisional, pesan-pesan moral, dan nilai sosial dan budaya. Semua tumbuh, berkembang, dan diwariskan dalam masyarakat sastra itu secara lisan. Ketika berbicara tentang pembangunan karakter bangsa, mestinya sastra lisan menjadi salah satu sumber karakter bangsa karena karakter bangsa yang disimpan di dalam sastra lisan itu sesuai dengan konteks sosial, agama, dan lingkungan.33 Kesenian dalam bentuk suara atau tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Betawi mempunyai beberapa karakter yang berbeda dengan kesenian dari wilayah kebudayaan seperti Bali, Jawa, ataupun Melayu. Selain perbedaan bahasa, hal yang membedakan kesenian Betawi dengan kesenian dari daerah lain adalah bentuk penyajiannya. Sedyawati dalam buku Ragam Seni Budaya Betawi menguraikan bahwa tradisi lisan terdapat empat bentuk penyajian, yaitu penyajian yang hanya menggunakan unsur suara atau tuturan murni, menggabungkan tuturan dengan musik, menggabungkan tuturan, musik, dan gerakan, serta tuturan yang disertai dengan gerakan, musik, dialog. Jika diterapkan dalam tradisi lisan masyarakat Betawi, pengelompokkannya dapat dikategorikan sebagai berikut.34 a) Pertunjukan dalam bentuk tuturan murni, contohnya sahibul hikayat dan pembacaan ratib. b) Tuturan yang disertai dengan instrumen musik, seperti yang terlihat pada buleng dan pembacaan Maulid. c) Tuturan yang disertai dengan gerakan, contohnya rancag. 33
Adriyetti Amir. Sastra Lisan Indonesia. (Yogyakarta: ANDI. 2013). h. 18-21. Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Ragam Seni Budaya Betawi. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2012). h. 35-37. 34
24
d) Pertunjukan tuturan yang memadukan adegan-adegan, dialog, menari, dan sering pula diiringi dengan musik, seperti pada lenong dan permainan tradisional anak Betawi. Dalam berbagai jenisnya, sejarah terbentuknya tradisi lisan dapat ditelusuri seiring dengan perkembangan kebudayaan masyarakat Betawi. Setiap kesenian mempunyai sejarah pembentuka dan dan masyarakat pendukung yang berbeda. Setiap bentuk tradisi lisan di Betawi mempunyai karakteristik yang berbeda sebagai akibat dari perjalanan historis dan wilayah geografis kesenian tersebut. Dalam konteks tradisi lisan di Betawi, beberapa jenis kesenian juga mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Ada yang bertahan dan berkembang sampai saat ini, tetapi ada pula bentk seni yang sudah tidak dipentaskan lagi karena sudah tidak ada yang dapat memainkannya. Selanjutnya, secara ringkas dalam paparan berikutnya akan digambarkan peran bahasa Betawi dalam kesenian Betawi yang membedakannya dengan jenis kesenian dari daerah lain di Indonesia serta uraian mengenai jenis-jenis tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Betawi, khususnya pantun dalam acara buka palang pintu.
D. Pengertian pantun Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana. Sebagai contoh kita sering mendengar ucapan-ucapan “Sepantun labah-labah, meramu dalam badan sendiri”. Kata sepantun dalam susunan kalimat diatas mengandung arti sama dengan semua yang diungkapkan di depan.35 Seperti halnya bidal, bentuk pantun ini pun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa Indonesia sendiri. Pantun telah lama tersebar dan mendarah daging dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum masuknya kebudayaan Hindu. Bentuk yang sama dengan pantun dalam kesusastraan Indonesia terdapat pula dalam bahasa-
35
h.11.
Nursisto. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000).
25
bahasa daerah di Indonesia.36 Suku Jawa misalnya memiliki puisi rakyat yang harus dinyanyikan atau di-tembang-kan, sedangkan menurut K.A.H. Hiding, pada suku bangsa Sunda ada semacam puisi rakyat yang berfungsi sebagai sindiran, yang dalam bahasa daerahnya disebut sisindiran. Orang Sunda membagi sisindiran menjadi dua kategori, yakni yang disebut paparikan dan wawangsalan; dan selanjutnya paparikan dapat dibagi lagi menjadi rarakitan dan sesebred.37Sehingga pantun mempunyai persyaratan, yaitu:38 1. Tiap bait terdiri atas empat baris. 2. Tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. 3. Sajaknya berumus a-b-a-b. 4. Kedua baris pertama merupakan sampiran, sedangkan isinya terdapat pada kedua baris terakhir. Dari ciri-ciri yang telah diuraikan, pantun mestilah ditulis dengan mengikuti pola yang telah disepakati tentang bagaimana sebuah pantun harus ditulis. Artinya, sebuah pantun harus ditulis dengan mematuhi penulisan jumlah baris, jumlah kata, persajakan, dan lain-lain. Jika tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka dianggap menyalahi ketentuan penulisan pantun. Pola penulisan pantun mestilah memiliki pola rima akhir, adanya bagian yang disebut sampiran dan ada bagian yang disebut isi atau maksud. Dua baris pertama disebut sampiran, sedangkan dua baris terakhir disebut isi atau maksud. Setiap baris terdapat pemenggalan, sewaktu membacanya. Lihat contoh sebagai berikut.39 Pulau pandan jauh di tengah, Gunung Daik bercabang tiga. Hancur badan di kandung tanah, Budi baik dikenang juga.
36 37
Ibid., James Danandjaja. Folklor Indonesia. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002). h.46-
47. 38 39
Nursisto. loc.cit. Hasanuddin WS. Membaca dan Menilai Sajak. (Bandung: Angkasa. 2012). h. 17.
26
E. Pantun Betawi Sebagai bagian dari masyarakat Melayu, masyarakat Betawi juga mengenal bentuk-bentuk puisi, yang disebut pantun. Pada pantun Betawi baris pertama dan kedua disebut sampiran, baris ketiga dan keempat baru berupa isi pantun itu. Pola persajakan bunyi akhir baris adalah a-b-a-b dan ada pola yang berpola a-a-a-a. simak kedua pantun berikut dan perhatikan pola persajakan bunyi akhir setiap baris. Ujan gerimis aje Ikan bawal diasinin Lu ngape nangis aje Bulan syawal nanti dikawinin Pantun di atas berpola persajakan akhir a-b-a-b Indung-indung kepale lindung Ujan di sono di sini mendung Anak siapa pake kerudung Mate melirik kaki kesandung Pantun di atas berpola persajakan bunyi akhir baris a-a-a-a Dari keterangan dan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa pantun Betawi agak berbeda dengan pantun dari daerah Melayu lain. Pantun dari daerah Melayu lain selalu berpola persajakan bunyi akhir a-b-a-b, sedangkan pantun Betawi ada yang berpola persajakan bunyi akhir a-a-a-a, di samping yang berpola a-b-a-b.40 Pantun Betawi juga mempunyai jenis yang beragam, antara lain pantun agama, pantun nasihat, pantun teka-teki, pantun nelayan, pantun remaja, dan pantun anakanak. Akan tetapi, ada juga pantun Betawi yang terdiri atas tiga baris dan banyak baris. Pantun tiga baris umumnya ada dalam permainan anak-anak. Pantun tiga baris ini dibawakan dalam bentuk bernyanyi sambil bermain. Biasanya, dua baris pertama menjadi sampiran, satu baris terakhir menjadi isi. Selain pantun empat baris dan tiga baris, pantun Betawi juga memiliki jenis yang lain, yakni pantun banyak baris. Sama seperti pantun tiga baris, pantun banyak baris digunakan dalam permainan anak-anak. 40
Abdul Chaer. Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. (Jakarta: Masup Jakarta. 2012). h.73-74.
27
Bedanya, pada pantun banyak baris agak sulit membedakan mana sampiran mana isi karena mirip dengan mantra yang dinyanyikan dengan riang oleh anak-anak. Selain jenis-jenis tersebut di atas, Betawi memiliki jenis pantun yang lain, yakni pantun berkait atau rancag. Dinamakan pantun berkait karena antarbaitnya memiliki keterkaitan isi. Biasanya, jenis pantun ini menyajikan sebuah cerita, semisal cerita Pitung. Pada praktiknya, pantun berkait ini dibawakan sambil bernyanyi diiringi musik gambang sehingga masyarakat Betawi mengenalnya sebagai gambang rancag.41 Pantun Betawi termasuk folklor dalam masyarakat Betawi. Pantun sebagai folklor menjadi karya seni tradisional karena adanya “kegemaran” bagi masyarakat Betawi untuk menyampaikan suatu pendapat atau suatu pikiran yang diungkapkan selalu melalui “sampiran” atau juga dengan menggunakan kekuatan adanya persamaan bunyi atau persajakan.42 Pantun kerap digunakan dalam sastra lisan bahkan dalam percakapan sehari-hari. Pantun menyimpan pesan yang penting untuk membangun karakter individu dalam masyarakat, membangun karakter bangsa, yaitu membangun, memakaikan, dan meningkatkan budi bangsa agar menjadi orang mulia dalam pergaulan.43 Bahasa yang digunakan oleh orang Betawi adalah dialek Melayu Jakarta. Dialek itu tumbuh dari bahasa Melayu yang digunakan sebagai lingua franca antar penduduk yang mempunyai latar belakang etnis dan bahasa yang beraneka ragam. Oleh karena itu struktur dan perbendaharaan kata dialek Melayu Jakarta banyak mengandung unsur-unsur bahasa kelompok etnis pemakainya. Sistem fonologi dialek ini mempunyai kekhususan yang tidak terdapat pada dialek-dialek Melayu lainnya, antara lain tampilnya vokal e pada suku kata terakhir.44 Ciri menonjol ini dapat memudahkan pendengar untuk membedakan bahasa Betawi dengan dialek Melayu 41
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. op.cit.,h. 13-19. Abdul Chaer .op.cit., h. 199. 43 Adriyetti Amir. Op.cit., h. 22. 44 Anwarudin Harapan. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. (Jakarta: Asosiasi Pelatih Pengembangan Masyarakat. 2006). h. 120. 42
28
lainnya. Misalnya kata-kata dalam bahasa Indonesia seperti buaya, saya, dan dia. Bila diucapkan dengan dialek Betawi akan berakhiran dengan [ε], seperti [ayε], [buayε], dan [diε]. Tata ucap Betawi juga tidak mengenal diftong, seperti [ay] dan [aw]. Jadi, kata-kata dalam bahasa Indonesia yang menggunakan diftong diucapkan oleh masyarakat Betawi dengan akhiran [ε] dan [ᴐ ]. Misalnya, pulau dan pantai bila dilafalkan dengan dialek Betawi akan menjadi [pulᴐ ] dan [pantε].45 Selain itu, Di dalam percakapan bahasa Betawi, mempunyai berbagai variasi. Khususnya di dalam kata sapaan, maksudnya pronomina lu, gua, saya, kita, nama diri dan istilah kekerabatan yang digunakan sebagai sapaan, meskipun tidak ada ikatan kekerabatan.46 Ciri yang bersifat tata kalimat khususnya menonjol dengan munculnya berbagai kata pertikel kalimat seperti sih, kek, dong, deh, dan sebagainya, seperti Nyai kek perawan sini kek „(Tidak peduli), apakah Nyai atau gadis dari sini‟. Dua ciri lain dalam tata kalimat ialah (1) frasa milik yang dinyatakan dengan kata punya di antara dua kata benda yang memiliki dan yang dimiliki, seperti amat punya rumah untuk „rumah Amat‟. (2) urutan kata benda dengan kata ini dan itu yang berurutan terbalik dengan bahasa Indonesia seperti ini rumah, itu anak, masing-masing untuk anak itu dan rumah itu.47
F. Pantun dalam Acara Buka Palang Pintu Buka palang pintu adalah salah satu acara dalam serangkaian acara perkawinan menurut adat Betawi. Acara ini dilakukan ketika mempelai pria dengan rombongannya datang ke rumah mempelai wanita untuk duduk melaksanakan akad nikah. Rombongan mempelai pria dilengkapi dengan seorang juru pantun, seorang jago silat dan seorang pembaca lagu sike. Sedangkan pihak mempelai wanita 45 46
Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI .op.cit., h.37-38. C.D. Grijns. Kajian Bahasa Melayu Jakarta. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991).
h. 259. 47
Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2000). h. 67.
29
dilengkapi juga dengan seorang juru pantun dan seorang jago silat. Dalam berpantun, si juru pantun mempelai pria berusaha menyatakan bahwa mempelai pria adalah orang yang gagah, ganteng, hebat, dan dibandingkan dengan seorang artis beken yang terkenal. Sedangkan juru pantun mempelai wanita akan dapat ditaklukkan oleh si jago silat pihak rombongan pria.48 Secara umum, palang pintu merupakan sebuah aktivitas perkelahian atau main pukul simbolik, namun sesungguhnya memiliki makna yang dalam dan luhur terutama saat dijadikan bagian dalam prosesi pernikahan adat Betawi. Sebagai salah satu rangkaian dari sebuah acara pernikahan, palang pintu merupakan sebuah aktivitas pertarungan maen pukul yang bermakna simbolik yang di dalamnya calon mempelai pria harus menghadapi para jawara dari pihak mempelai wanita sebelum dapat diterima oleh pihak keluarga mempelai wanita. Adegan pertarungan maen pukul ini bermakna bahwa pihak mempelai pria harus memiliki sifat berani, termasuk dapat melindungi istri dan keluarganya kelak, dan hal tersebut harus dibuktikan di hadapan para jawara dan keluarga sang mempelai perempuan.49 Seperti telah diuraikan di atas, sebelum rombongan pengantin pria diterima dan dipersilahkan masuk ke dalam rumah pengantin perempuan, terdapat prosesi khas Betawi yang dikenal dengan nama Buka Palang Pintu. Prosesi ini diawali dengan adanya hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud kedatangan rombongan tersebut. Tanyajawab yang terjadi dikemas dalam bentuk berbalas pantun yang sekaligus meminta dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria, yakni mengalahkan para jawara yang menghadangnya dan pertunjukkan kebolehannya dalam mengaji. Bila para jawara pihak mempelai pria berhasil mengalahkan para jawara pihak mempelai perempuan. Maka pihak mempelai perempuan, meminta syarat kedua, yaitu permintaan untuk melantunkan lagu yang berisi salawat kepada Nabi Muhammad 48
Abdul Chaer. op.cit.,h. 85. Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta. (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2010). h.78- 79. 49
30
SAW yang diiringi dengan rebana, marawis dan kecipring. Hal tersebut menandai bahwa sang calon suami telah memahami ilmu agama dan seorang yang ahli ibadah.50
G. Sejarah Sanggar SABA Sanggar SABA didirikan oleh Ahmad Darif, SE yang lahir di Cengkareng Timur Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1975 yang terletak di kampung Pendongkelan Jakarta Timur. Beliau adalah lulusan managemen perusahaan sarjana ekonomi di Universitas Mercu Buana tahun 1998. Beliau mulai mempelajari bela diri beksi pada tahun 1991 di bangku Sekolah Menengah Atas oleh kakeknya bernama H. M. Aba Bin Naming sampai 1993. Setelah menguasai ilmu bela diri beksi, Darif diberikan kepercayaan oleh kakeknya untuk mengajar bela diri tersebut untuk generasi berikutnya. Pada tahun 1993 murid pertama Darif sebanyak sepuluh orang tapi dengan kegigihannya, beliau mengajar ilmu tersebut dari tahun ke tahun, sehingga murid beliau menjadi seribu murid. Kemudian Darif dan muridnya mempunyai inisiatif mendirikan organisasi masyarakat Betawi yang diberi nama SABA (Solidaritas Anak Betawi Asli/ Solidaritas Anak Batavia) yang diambil dari nama kakeknya Aba yang terletak di jalan Wijaya I Jakarta Barat. Darif mengajarkan ilmu beksi yang merupakan pertahanan dari empat penjuru atau beksi juga berupa singkatan yang dapat diartikan berbaktilah engkau pada seruan Illahi. Silat beksi merupakan kebudayaan Betawi yang hampir tidak terlihat dibandingkan kebudayaan Betawi lainnya, seperti ondel-ondel. Adapun Jurus beksi Sanggar SABA terdiri dari sembilan jurus, yaitu: 1. Jurus beksi dasar (pembuka) Jurus pembuka yang mengeluarkan teknik pukulan dan membuka pukulan dengan tangan memotong. Disusul dengan pukulan tangan kiri dan tepak sikut ke depan.
50
Ibid., h.79-80.
31
Setiap jurus menggunakan hentakkan kaki. Jurus ini berfungsi memukul dan mematahkan tangan. 2. Jurus oleng badan Setiap pukulan di adakan gerakan menarik tangan yang membentuk sebuah sikut diisertai olengan badan. Jurus ini berfungsi untuk menghindari serangga. 3. Jurus junjung (tunjangan langit) Bagian dasar murid untuk bisa mendukung teknik sambutan. Jurus ini menggunakan hampir semua elemen tubuh untuk melakukan penyerangan lawan. 4. Jurus rambet Jurus rambet merupakan jurus merambet atau menarik tangan lawan disertai dengan hentakan kaki. Jurus ini berfungsi menarik serangan tangan lawan disertai dengan memukul dan menginjak kaki lawan agar lawan tidak menyerang. 5. Jurus gedor Jurus gedor merupakan jurus menggedor lawan menggunakan sikut atau tangan. Jurus ini berfungsi untuk menarik tangan lawan dibarengi dengan menggunakan gerakan gedor di ulu hati. 6. Jurus broneng Jurus yang didominasi oleh sikut tangan. Jurus ini berfungsi untuk menjepit, mematahkan, menangkis dan menggedor lawan. Jurus ini bisa melawan lebih dari satu orang lawan. 7. Jurus lokbe (cabut pisau) Jurus dimana kedua telapak tangan dipadukan dan digerakain ke arah kiri dan kanan disertai cabut pisau. Jurus ini berfungsi untuk melintir lawan dibarengi mencabut pisau dan diarahkan ke lawan. 8. Jurus cauk debug Jurus ini menjatuhkan diri ke tanah sambil membuka salah satu telapak tangan. Jurus ini dapat menggunakan media apa saja yang ada di tanah untuk melemparkan ke arah lawan. Ini merupakan salah satu jurus tidak sportif, jurus ini
32
berfungsi untuk mempertahankan diri dimana saat kondisi terdesak baik debu atau pasir dilemparkan ke mata lawan untuk membela diri. 9. Jurus loseng Jurus loseng merupakan jurus yang diarahkan ke bagian kaki lawan. Jurus ini berfungsi untuk menarik kaki lawan baik tendangan maupun dalam posisi berdiri, dengan tujuan melemparkan atau menjatuhkan tubuh lawan. Selain beksi kesenian Betawi yang diajarkan oleh Darif adalah palang pintu. Palang pintu dalam SABA ini adalah simbol bahwa pernikahan mempunyai tantangan dan ujian. Siapa yang mampu mengalahkan tantangan dari ujian tersebut, dapat dikatakan pantas untuk melakukan pernikahan bagi kedua mempelai. Jadi palang pintu itu berisi tentang pantun yang saling menjatuhkan jagoan antara mempelai wanita dan mempelai pria. Namun, tidak ada yang mengetahui sejarah dari palang pintu, tetapi ada istilah palang pintu itu dari berbalas pantun artinya ada nilai perjuangan dalam pernikahan.
H. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP Menurut Rahmanto, pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cangkupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.51 Pada dasarnya belajar sastra adalah belajar bahasa dalam praktik. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan diintegrasikan. Kita sadar bahwa tak ada informasi dari luar baik berupa pengantar, komentar guru, cara membaca, gambar maupun kritik yang sebelumnya lebih dapat menuntut perhatian siswa kecuali pengalaman siswa itu sendiri. Pengalaman dari karya sastra bagaimanapun hanya dapat dimulai dan dilanjutkan dengan mempelajari 51
16.
Bernardus Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. (Yogyakarta: Kanisius. 1988). h.
33
analisis verbal. Karena kita banyak membaca, kita merasa mudah sekali menerima isi bacaan. Padahal sebenarnya proses membaca itu sangat rumit karena kita dituntut memahami dengan cepat kumpulan huruf yang merupakan simbol dari bahasa yang dipakai. Walaupun demikian, kesulitan itu menjadi tidak terasa setelah kita menjalani banyak latihan setiap kali kita membaca. Tapi bagaimanapun, sebagai guru sastra kita sering dihadapkan pada simbol-simbol bahasa yang menuntut pemahaman dengan lebih hati-hati daripada pembaca pada umumnya. Di samping harus mengerti minat dan cara berfikir siswa, guru sastra diharapkan benar-benar dapat memahami selukbeluk kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra yang disajikan pada siswanya.52 Hazim Amir dalam buku membaca 2 karya Kisyani Laksono, dkk menjelaskan bahwa ada beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai persiapan pembacaan puisi, seperti dalam uraian berikut.53 a. Mempertimbangkan aspek kesastraan Langkah awal yang harus dilakukan seorang pembaca puisi adalah memilih puisi yang akan dibacakannya. Puisi yang akan dibacakan harus mengandung nilai-nilai kesastraan yang tinggi. b. Pertimbangkan potensi oratoris Langkah yang kedua dalam persiapan membaca puisi adalah mempertimbangkan potensi puisi jika dibacakan. Pada tahap ini pembaca puisi mempertimbangkan apakah larik-larik yang tertulis dalam sajak tersebut jika dibacakan memiliki potensi satuan-satuan bunyi yang oratoris. Artinya, satuan-satuan bunyi yang dapat menimbulkan efek kenikmatan, keharuan, dan menggiring pembaca pada proses perenungan akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. c. Pelatihan membaca puisi Pada umumnya pelatihan membaca puisi dikerjakan secara berkelompok pada tempat dan waktu tertentu. Untuk latihan, sebaiknya disepati jadwal tertentu.
52 53
Bernardus Rahmanto. op.cit., h. 38-39. Kisyani Laksono, dkk. op. cit. h. 8.29-8.31.
34
Misalnya, latihan dilaksanakan setiap akhir pecan pada sore hari. Latihan dapat dilaksanakan di dalam maupun luar ruangan. Adapun tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang ingin dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Tujuan ini sering kali dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:54 a. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Umum Tujuan instruksional umum adalah tujuan pembelajaran yang sifatnya masih umum dan belum menggambarkan tingkah laku spesifik. Tujuan instruksional umum ini dapat dilihat dari tujuan setiap pokok bahasan suatu bidang studi yang ada di dalam GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran). b. Tujuan Instruksional/Tujuan Pembelajaran Khusus Tujuan instruksional khusus adalah penjabaran dari tujuan instruksional umum. Tujuan ini dirumuskan oleh guru dengan maksud agar tujuan instruksional umum tersebut dapat lebih dispesifikkan dan mudah diukur tingkat ketercapaiannya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan KTSP, yaitu untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian wewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.55 Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:56 1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. 2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama. 3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai. 54
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan Pembelajaran. (Jakarta: Rajawali Press.2012). h. 150. 55 E. Mulyana. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011). h. 22. 56 Ibid.,
35
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas VIII Sekolah Menengah Pertama (SMP) semester 2, sesuai dengan tujuan KTSP dengan Standar Kompetensi (SK) pada aspek membaca, yaitu: Memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan antologi puisi, sedangkan Kompetensi Dasar (KD): 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi, dengan indikator, sebagai berikut. 1. Mampu menyebutkan struktur fisik dalam puisi. 2. Mampu menyebutkan struktur batin dalam puisi.
I. Penelitian Relevan Penelitian yang baik, yaitu penelitian yang tidak menyerupai penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain dan menghasilkan informasi baru. Jadi, untuk menghindari kesamaan penelitian perlu diadakan kajian terhadap penelitian yang telah dilakukan. Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan pada penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti Rojab Dian Puspitasari dari Universitas Indonesia (UI) dengan judul skripsi, “Pantun Betawi dalam Siaran Bensradio: Tinjauan Fungsi dan Amanat”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2008. Pada penelitian ini Puspitasari memberikan gambaran mengenai fungsi dan amanat pantun. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Puspitasari, yaitu sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian Puspitasari, yaitu subjek kajiannya berbeda. Puspitasari meneliti pantun Betawi dalam siaran bensradio: tinjauan fungsi dan amanat, sedangkan penulis meneliti struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP. Penelitian relevan yang kedua, Maman Mahayana dalam Jurnal Kritik 06/2013; Volume 04, III (Januari-Juni 2013): 85-100; dengan judul “Pantun sebagai Potret Sosial-Budaya Tempatan: Perbandingan Pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi”. Pada penelitian ini, Maman Mahayana membandingkan pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi serta menunjukkan perbedaan dalam fungsi dan ekspresi dalam
36
konten dan sampiran. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Mahayana, yaitu sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian Mahayana, yaitu subjek kajiannya berbeda. Mahayana meneliti pantun sebagai potret sosial-budaya tempatan: perbandingan pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi, sedangkan penulis meneliti struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP. Lalu penelitian relevan yang ketiga, Rostina Sari dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan judul skripsi, “Representasi Budaya Pantun Betawi dalam Tayangan Pesbukers di Antv Tahun 2013”. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, 2014. Pada penelitian ini Sari menggunakan metode analisis semiotika yang dimiliki oleh Charles Sanders Peirce. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Sari, yaitu sama-sama meneliti pantun Betawi dan perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian Sari, yaitu subjek kajiannya berbeda. Sari meneliti Representasi Budaya Pantun Betawi Dalam Tayangan Pesbukers Di Antv Tahun 2013, sedangkan penulis meneliti struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMP.
BAB III PEMBAHASAN
Pantun pada seni budaya palang pintu Betawi merupakan ragam puisi lama yang digunakan untuk acara pernikahan adat Betawi. Selain itu, pantun ini mempunyai tiga bagian, yaitu pantun pembukaan, pantun isi, dan pantun penutup. Setiap bagian dari pantun ini memiliki struktur fisik dan struktur batin. Berikut ini uraian dari bagianbagian pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.
A. Pantun Pembukaan Pada bagian pantun pembukaan berisi tentang hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud kedatangan rombongan tersebut. METIK CEREME RAME-RAME SIAPA ITU RAME-RAME TAMU BARU NYAMPE
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan tiga baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris ketiga terdiri dari tiga kata dengan jumlah enam suku kata. Hal ini dapat dibuktikan pada pantun berikut. Me-tik ce-re-me ra-me-ra-me Si-a-pa i-tu- ra-me-ra-me Ta-mu ba-ru nyam-pe Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pendengar. Keserdehanaan itu terlihat ketika penutur pantun memilih kata “metik cereme rame-rame” mempunyai arti bahwa penutur pantun ingin
37
38
mengajak semua orang yang hadir untuk menyambut tamunya dengan perasaan senang. Untuk melukiskan perasaan senang, penutur pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan ini terlihat pada kalimat “metik cereme rame-rame”, “tamu baru nyampe”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan metik cereme rame-rame. Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “metik”, “cereme”, “rame-rame”, baris kedua terdapat kata “rame-rame”, dan baris ketiga terdapat kata “nyampe”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dapat ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Metik cereme/ rame-rame Siapa itu/ rame-rame Tamu/ baru nyampe Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada gembira dan terdapat persamaan vokal /e/ di setiap akhir baris pantun. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berangkai. Penggunaan bunyi vokal /e/ sebagai rima berangkai menciptakan perasaan senang, sehingga menimbulkan suasana yang riang. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan penyambutan tamu dengan suasana meriah, sehingga pendengar seakan-akan menyaksikan penyambutan tamu dengan suasana menyenangkan. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ajakan penutur pantun untuk menyambut tamunya.
39
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan penyambutan tamu. Hal ini dapat dilihat pada pantun berikut. Metik cereme rame-rame Siapa itu rame-rame Tamu baru nyampe Pada pantun di atas menjelaskan bahwa tamu harus disambut dengan baik dan ramah oleh tuan rumahnya. Bahkan, penyambutan tamu juga harus diiringi dengan rasa senang karena penyambutan tamu merupakan hal yang dimuliakan, sehingga penutur pantun menggunakan nada gembira untuk mengajak pendengarnya bergembira bersama-sama. Penggunaan nada gembira itu menciptakan suasana riang bagi pendengar. Amanat yang disampaikan pantun ini adalah ajaran untuk menyambut tamu dengan baik karena menyambut tamu dengan baik merupakan perbuatan yang mulia.
UDEH TERSANGKUT PAKU MALAH TERTIMPA DURI KALAU AYE BOLEH TAU APE TUJUAN ABANG DATENG KEMARI?
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas tiga kata dengan jumlah tujuh suku kata, baris kedua terdiri atas tiga kata dengan jumlah tujuh suku kata, baris ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah tujuh suku kata, dan baris keempat terdiri atas enam kata dengan jumlah dua belas suku kata. Hal ini dapat dibuktikan pada pantun berikut. U-deh ter-sang-kut pa-ku Ma-lah ter-tim-pa du-ri Ka-lau a-ye bo-leh tau-
40
A-pe tu-ju-an a-bang da-teng ke-ma-ri Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti oleh pendengar. Untuk mengibaratkan kedatangan tamunya, penutur pantun memilih kata “udeh tersangkut paku, malah tertimpa duri”. Kata-kata tersebut
dipilih
oleh
penutur
pantun
sebagai
sampiran.
Penutur
pantun
menggambarkan pantun ini dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “udeh tersangkut paku”, “malah tertimpa duri”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan udeh tersangkut paku/ malah tertimpa duri. Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “udeh”, baris kedua terdapat kata “malah”, baris ketiga terdapat kata “aye”, “tau”, dan baris keempat terdapat kata “ape”, “dateng”. Kata-kata tersebut merupakan katakata yang dapat ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Udeh/ tersangkut paku Malah/ tertimpa duri Kalau/ aye boleh tau Ape/ tujuan abang dateng kemari Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada bertanya dan terdapat persamaan vokal /u/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan vokal /i/ terdapat di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan vokal u dan i sebagai rima berselang menciptakan rasa penasaran, sehingga menimbulkan suasana tanda tanya.
41
Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan tujuan dari kedatangan mempelai pria, sehingga pendengar seakanakan ikut menyaksikan tujuan kedatangan mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan keingintahuan tuan rumah atas kedatangan tamunya.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keingintahuan penutur pantun. Hal ini dapat dilihat pada pantun berikut. Udeh tersangkut paku Malah tertimpa duri Kalau aye boleh tau Ape tujuan abang dateng kemari Pada pantun di atas menjelaskan bahwa setiap kedatangan tamu pasti mempunyai maksud dan tujuan, sehingga penutur pantun mencurigai kedatangan tamunya tersebut. Kecurigaan penutur pantun disebabkan oleh kedatangan dari mempelai pria beserta keluarganya. Hal tersebut membuat penutur pantun berfikir negatif tentang kedatangan tamunya tersebut, sehingga penutur pantun menggunakan sampiran negatif pada pantun ini. Oleh karena itu, penutur pantun menanyakan maksud kedatangan tamunya karena ia ingin mengetahui secara jelas maksud kedatangan tamunya tersebut. Hal tersebut menimbulkan rasa penasaran penutur pantun, sehingga penutur pantun menggunakan nada bertanya untuk mengetahui secara jelas mengenai maksud kedatangan tamunya. Penggunaan nada bertanya itu menciptakan suasana tanda tanya bagi pendengar. Amanat yang terdapat dalam pantun ini bahwa mengetahui maksud dan tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam sirahturrahmi.
42
BURUNG ANIS TERBANGNYE MALEM BURUNG KENARI TERBANG DI SIANG HARI KALAU BUKAN LANTARAN PERAWAN MANIS YANG ADE DI DALEM BELUM TENTUNYA AYE DATENG KEMARI
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah dua belas suku kata, baris ketiga terdiri atas sembilan kata dengan jumlah delapan belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah dua belas suku kata. Hal ini dapat dibuktikan pada pantun berikut. Bu-rung a-nis ter-bang-nye ma-lem Bu-rung ke-na-ri ter-bang di- si-ang ha-ri Ka-lau bu-kan lan-tar-an pe-ra-wan ma-nis yang- a-da di- da-lem Be-lum ten-tu-nya a-ye da-teng ke-ma-ri Pada pantun di atas penutur pantun menggunakan kata-kata yang puitis dan sederhana. Kepuitisan itu terlihat saat penutur pantun menggunakan sampiran yang kontradiksi dengan mengibaratkan seorang gadis yang berada dalam rumahnya, dengan menggunakan kalimat “burung anis terbangnye malem”. Penutur pantun menggunakan kata “malem”, karena kata “malem” mempunyai arti khas seorang gadis tidak boleh keluar pada malam hari. Sedangkan kalimat “burung kenari terbang disiang hari” diibaratkan sebagai tamu yang datang berkunjung. Penutur pantun menggunakan kata “di siang hari”, karena kata “di siang hari” merupakan waktu yang biasa untuk berkunjung ke rumah seseorang. Penutur pantun menggambarkan hal tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “burung anis terbangnye malem”, “burung kenari terbang disiang hari”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan burung anis terbangnye malem/ burung kenari terbang disiang hari.
43
Adapun gaya bahasa yang terdapat penutur pantun dalam pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “malem”, baris ketiga terdapat “ade”, “di dalem”, dan baris keempat terdapat kata “dateng”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dapat ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Burung anis/ terbangnye malem Burung kenari/ terbang di siang hari Kalau bukan lantaran perawan manis/ yang ade di dalem Belum tentunya/ aye dateng kemari Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada tegas dan terdapat persamaan bunyi konsonan /m/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /i/ juga dapat ditemui di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah disebut dengan rima berselang. Penggunaan konsonan /m/ dan vokal /i/ sebagai rima berselang menciptakan rasa percaya diri sehingga menimbulkan suasana takjub. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan alasan kedatangan dari mempelai pria untuk meminang mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan ketegasan mempelai pria dalam menjawab pertanyaan dari tuan rumah. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan keberanian penutur pantun dalam menyampaikan maksud kedatangannya.
44
2. Analisis Stuktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tujuan kedatangan tamu. Hal ini dapat dilihat pada pantun berikut. Burung anis terbangnye malem Burung kenari terbang di siang hari Kalau bukan lantaran perawan manis yang ade di dalem Belum tentunya aye dateng kemari Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun datang berkunjung untuk meminang gadis tersebut. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan maksud kunjungannya dengan rasa percaya diri. Pada baris ketiga dan keempat penutur pantun menggunakan nada tegas sebagai tanda keseriusannya meminang gadis tersebut. Penggunaan nada tegas itu menciptakan suasana takjub bagi para pendengar. Pesan yang terkandung dalam pantun ini menyampaikan kepada pendengar agar mengejar suatu impian dan tujuan harus didasari dengan keinginan yang kuat. TERBANG KE AWAN SI BURUNG ANIS MENTOK DI KARANG MASUK KE KAMAR PERAWAN AYE EMANG MANIS TAPI BUKAN SEMBARANG PERJAKE YANG BISA NGELAMAR
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris keempat terdiri atas tujuh kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Ter-bang ke- a-wan si- bu-rung a-nis Men-tok di- ka-rang ma-suk ke- ka-mar Pe-ra-wan a-ye e-mang ma-nis Ta-pi bu-kan sem-ba-rang per-ja-ke yang- bi-sa nge-la-mar
45
Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik dan sederhana. Keunikkannya itu terlihat dari penutur pantun memilih kata “mentok”, “perawan”, dan “perjaka”. Kata-kata tersebut dapat dilukiskan penutur pantun dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “terbang ke awan si burung anis” “mentok di karang masuk ke kamar”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan terbang ke awan si burung anis/ mentok di karang masuk ke kamar. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris ketiga terdapat kata “aye”, “emang”, dan baris keempat terdapat kata “perjake”, “ngelamar”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Terbang ke awan/ si burung anis Mentok di karang/ masuk ke kamar Perawan aye/ emang manis Tapi bukan sembarang perjake/ yang bisa ngelamar Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada kehati-hatian dan terdapat persamaan bunyi konsonan /s/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /r/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /s/ dan /r/ sebagai rima berselang menciptakan rasa sombong sehingga menimbulkan suasana yang benci dan kesal. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan kehati-hatian penutur pantun dalam memilih calon menantu,
46
sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kepemilihan penutur pantun dalam memilih calon menantu. Sedangkan kata konkret dalam pantun ini melukiskan kepemilihan penutur pantun terhadap memilih calon menantunya.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kepemilihan penutur pantun untuk mencari calon menantu. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Terbang ke awan si burung anis Mentok di karang masuk ke kamar Perawan aye emang manis Tapi bukan sembarang perjake yang bisa ngelamar Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun masih memilah-milih calon menantu yang sesuai dengan keinginannya. Terlalu banyak memilih calon menantu menimbulkan rasa sombong karena penutur pantun merasa anak gadisnya itu sangat berharga bagi dirinya. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada kehati-hatiannya dalam memilih mempelai pria. Penggunaan nada hati-hati itu menciptakan suasana kesal dan benci pada pendengar. Pesan yang disampaikan pada pantun ini adalah ajaran untuk tidak sombong dan hati-hati dalm memilih pasangan.
DARI SEWAN KE SAWANGAN ADE PERJAKE LAGI DIMANDIIN BIAR KATE PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN TETEP AJE NI PERJAKE BAKAL JADIIN 1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris ketiga terdiri atas tujuh kata dengan jumlah tujuh belas suku kata, dan baris keempat
47
terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Da-ri Se-wan ke- Sa-wa-ngan A-de per-ja-ke la-gi di-man-di-in Bi-ar ka-te pe-ra-wan a-bang bu-kan sem-ba-rang pe-ra-wan Te-tep a-je ni- per-ja-ke ba-kal ja-di-in Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik sebagai bentuk mempertahankan keinginannya untuk meminang mempelai wanita. Keunikkan tersebut terlihat pada kalimat “ade perjake lagi dimandiin”. Kalimat itu dipilih oleh penutur pantun bertujuan untuk menghibur pendengar. Penutur pantun menambah keunikkannya tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “dari Sewan ke Sawangan”, “ade perjaka lagi dimandiin”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan dari Sewan ke Sawangan/ ade perjaka lagi dimandiin. Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris kedua terdapat kata “ade”, “perjake”, “dimandiin”, baris ketiga terdapat kata “kate”, “abang”, dan baris keempat terdapat kata “tetep”, “aje”, “ni”, “perjake”, “jadiin”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Dari Sewan/ ke Sawangan Ade/ perjake lagi dimandiin Biar kate/ perawan abang bukan sembarang perawan Tetep aje/ ni perjake bakal jadiin Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada tegas dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di setiap akhir baris pantun.
48
Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berangkai. Penggunaan bunyi konsonan /n/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa optimis sehingga menimbulkan suasana yang takjub. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan perjuangan mempelai pria untuk meminang mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan meyaksikan perjuangan mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan perjuangan penutur pantun agar mendapatkan mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan ketetapan pilihan dari penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Dari sewan ke sawangan Ade perjake lagi dimandiin Biar kate perawan abang bukan sembarang perawan Tetep aje ni perjake bakal jadiin Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun tetap mempertahankan pilihannya untuk mendapatkan mempelai wanita. Hal tersebut membuat penutur pantun merasa optimis, sehingga ia menggunakan nada tegas untuk menyampaikan keinginannya. Penggunaan nada tegas yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takjub bagi pendengar. Amanat yang terdapat pada pantun ini mengajarkan agar bersikap optimis dan berusaha keras agar sesuatu yang diharapkan akan segera tercapai.
49
MENDING ABANG PERGI KE CIKINI DARI PADA KESENAYAN MENDING ABANG ANGKAT KAKI DARI SINI DARI PADA HAJAT ABANG KAGA KESAMPEAN 1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas sembilan kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah dua belas suku kata, dan baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah empat belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Men-ding a-bang per-gi ke- Ci-ki-ni da-ri pa-da ke- Se-na-yan Men-ding a-bang ang-kat ka-ki da-ri si-ni Da-ri pa-da ha-jat a-bang ka-ga ke-sam-pe-an Pada pantun ini penutur pantun memberikan gambaran penolakkan terhadap mempelai pria dengan memilih kata-kata “mending abang pergi ke Cikini, daripada ke Senayan” sebagai sampiran. Penutur pantun melukiskan pantun ini dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “mending abang pergi ke Cikini”, “daripada ke Senayan”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan mending abang pergi ke Cikini/ daripada ke Senayan. Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “mending”, “abang”, baris ketiga terdapat kata “mending”, “abang”, dan baris ketiga terdapat kata “abang”, “kaga”, “kesampean”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh
50
penutur pantun. Selain gaya bahasa percakapan, dalam pantun ini terdapat gaya bahasa repetisi anafora. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut. Mending abang pergi ke Cikini Dari pada ke Senayan Mending abang angkat kaki dari sini Dari pada hajat abang kaga kesampean Pada pantun di atas baris pertama dan ketiga terdapat pengulangan kata pertama “mending abang”. Sedangkan baris kedua dan keempat terdapat pengulangan kata pertama “daripada”. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Mending abang/ pergi ke Cikini Dari pada/ ke Senayan Mending abang/ angkat kaki dari sini Dari pada/ hajat abang kaga kesampean Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk nada mengusir dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ diakhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ diakhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /i/ dan konsonan /n/ menciptakan rasa marah sehingga menimbulkan suasana yang kesal dan kecewa. Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa percakapan dengan repetisi pada kata “mending abang” dan “daripada” menunjukkan penolakan yang jelas terhadap hajat dari tamu yang datang. Penggunaan imaji penglihatan menggambarkan ketidaksukaan penutur pantun terhadap mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan menyaksikan pengusiran yang dilakukan oleh penutur pantun. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan penolakkan penutur pantun atas ketidaksukaannya terhadap mempelai pria.
51
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan penolakan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Mending abang pergi ke Cikini Dari pada ke Senayan Mending abang angkat kaki dari sini Dari pada hajat abang kaga kesampean Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menolak mempelai pria untuk bersanding dengan mempelai wanita. Penolakan tersebut menimbulkan rasa marah karena penutur pantun tidak menyukai mempelai pria tersebut, sehingga penutur pantun menggunakan nada mengusir untuk menyampaikan rasa marahnya. Penggunaan nada mengusir yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kesal dan kecewa bagi pendengar. Amanat pada pantun ini mengajarkan untuk menghormati dan menyambut baik tamu yang datang ke rumah apapun tujuannya. IBARAT BAJU UDAH KEPALANG BASAH MASAK NASI JADI BUBUR BIAR KATE AYE MATI BERKALANG TANAH SEJENGKAL JUGA AYE KAGA BAKALAN MUNDUR
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Iba-rat ba-ju u-dah ke-pa-lang ba-sah Ma-sak na-si ja-di bu-bur Bi-ar ka-te a-ye ma-ti ber-ka-lang ta-nah Se-jeng-kal ju-ga a-ye ka-ga ba-kal-an mun-dur
52
Pada awal pantun ini penutur pantun menggunakan kata perbandingan. Hal tersebut dikarenakan penutur pantun ingin membandingkan perjuangannya dengan menggunakan kata “Ibarat baju udah kepalang basah”. Selain itu, ia juga membandingkan dengan menggunakan kata “masak nasi jadi bubur”. Penutur pantun menggunakan imaji penglihatan dalam pantun ini. Imaji penglihatan terlihat pada kata “baju udah kepalang basah”, “masak nasi jadi bubur”, “mati berkalang tanah”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ibarat baju udah kepalang basah/ masak nasi jadi bubur. Adapun gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “udah”, baris ketiga terdapat kata “kate”, “aye”, “mati”, dan baris keempat terdapat kata “aye”, “kaga”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah katakata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh pendengar. Selain gaya bahasa percakapan, pada pantun ini juga terdapat gaya bahasa simile. Hal itu dapat dilihat pada kutipan pantun berikut. Ibarat baju udah kepalang basah Masak nasi jadi bubur Pada baris pertama terdapat kata “ibarat” yang menunjukkan persamaan, yaitu menyamakan baju yang terlanjur basah dengan tindakkan penutur pantun yang terdapat dalam pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Ibarat baju/ udah kepalang basah Masak nasi/ jadi bubur Biar kate aye mati/ berkalang tanah Sejengkal juga/ aye kaga bakalan mundur
53
Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /h/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /r/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang disebut rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /h/ dan konsonan /r/ sebagai rima berselang menciptakan rasa berani sehingga menimbulkan suasana yang tegang. Jadi, pantun ini menjelaskan bahwa penggunaan gaya bahasa percakapan dengan simile menunjukkan keberanian mempelai pria dalam memperjuangkan mempelai wanita. Penggunaan imaji penglihatan menggambarkan keberanian penutur pantun untuk melamar mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan menyaksikan keberanian penutur pantun tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan kegigihan penutur pantun dalam memperjuangkan mempelai wanita.
2. Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Ibarat baju udah kepalang basah Masak nasi jadi bubur Biar kate aye mati berkalang tanah Sejengkal juga aye kaga bakalan mundur Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mampu menghadapi segala kesulitan yang akan terjadi dengannya, sehingga rintangan tersebut menimbulkan rasa berani bagi penutur pantun. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan
nada
menantang
untuk
memperjuangkan
mempelai
wanita.
Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak takut karena keberanian itu diperlukan untuk menghadapi suatu permasalahan yang terjadi.
54
B. Pantun isi Pada bagian ini berisi tanya-jawab dalam bentuk berbalas pantun dan sekaligus meminta dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria. Syarat pertama mempelai pria mampu mengalahkan para jawara yang menghadangnya, sedangkan syarat kedua mempelai pria menunjukkan kebolehannya dalam mengaji.
IKAN SAPU-SAPU MATI DITUSUK DALAM KUALI KUDU MASAKNYE NI PALANG PINTU KAGA IZININ ROMBAGAN PADE MASUK SEBELUM ABANG PENUHIN PERSYARATANNYE
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris kedua terdiri atas empat dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas delapan kata dengan jumlah tujuh belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas empat kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. I-kan sa-pu-sa-pu ma-ti di-tu-suk Da-lam ku-a-li ku-du ma-sak-nye Ni- pa-lang pin-tu ka-ga i-zin-in rom-bong-an pa-de ma-suk Se-be-lum a-bang pe-nuh-in per-sya-rat-an-nye Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan bentuk persyaratan pertama dengan memilih kata “ikan sapu-sapu mati ditusuk, dalam kuali kudu masaknye” sebagai sampiran. Agar persyaratan pertama dapat terlihat dengan jelas, maka penutur pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat ”ikan sapu-sapu mati ditusuk”, “dalam kuali kudu masaknye”, “ni palang pintu kaga izinin rombongan pade masuk”. Sedangkan, penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ikan sapu-sapu mati ditusuk/ dalam kuali kudu masaknye.
55
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris kedua terdapat kata “kudu”, “masaknye”, baris ketiga terdapat kata “ni”, “kaga”, “izinin”, “pade”, dan baris keempat terdapat kata “abang”, “persyaratannye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Seperti pantun di bawah ini. Ikan sapu-sapu/ mati ditusuk Dalam kuali/ kudu masaknye Ni palang pintu/ kaga izinin rombongan pade masuk Sebelum abang/ penuhin persyaratannye Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu menghasilkan nada meminta dan terdapat persamaan bunyi konsonan /k/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan ketiga. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /k/ dan vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa ketidakpuasaan sehingga menimbulkan suasana kecewa. Jadi
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan suatu persyaratan berupa adu ilmu bela diri yang harus dipenuhi oleh mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini menggambarkan permintaan penutur pantun kepada mempelai pria.
56
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan persyaratan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Ikan sapu-sapu mati ditusuk Dalam kuali kudu masaknye Ni palang pintu kaga izinin rombangan pade masuk Sebelum abang penuhin persyaratannye Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta syarat pertama kepada mempelai pria sebelum rombongan dari mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita. Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakpuasaan terhadap mempelai pria karena penutur pantun ingin membuktikan keseriusan dari mempelai pria. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bukti keseriusan dari mempelai pria. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak merasa puas terhadap suatu hal karena masih banyak rintangan yang harus dilewati. KE TANAH ABANG MEMBELI LIMO JANGAN LUPE SAMBEL KECAPNYE KALO EMANG ITU YANG ABANG MAO SEBUTIN DAH SYARAT-SYARATNYE
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut.
57
Ke- ta-nah a-bang mem-be-li li-mo Ja-ngan lu-pe sam-bel ke-cap-nye Ka-lo e-mang i-tu yang- a-bang ma-o Se-bu-tin dah- sya-rat-sya-rat-nye Pada pantun ini penutur pantun menggambarkan penerimaan syarat dengan memilih kata “ke tanah abang membeli limo, jangan lupe sambel kecapnye” sebagai sampiran. Penutur pantun melukiskan penerimaan syarat dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “ke tanah abang membeli limo”, “jangan lupa sambel kecapnye”. Sedangkan penutur pantun memperkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ke tanah abang membeli limo/ jangan lupa sambel kecapnye. Adapun Gaya bahasa yang digunakan penutur pantun adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “abang”, “limo”, baris kedua terdapat kata “lupe”, “sambel”, “kecapnye”, baris ketiga terdapat kata “kalo”, “emang”, “abang”, “mao”, dan baris keempat terdapat kata “sebutin”, “dah”, “syaratnye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan ini bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Ke tanah abang/ membeli limo Jangan lupe/ sambel kecapnye Kalo/ emang itu yang abang mao Sebutin dah/ syarat-syaratnye Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menerima dan juga terdapat persamaan bunyi vokal /o/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan
58
bunyi vokal /o/ dan bunyi vokal /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang takjub. Jadi
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan kesanggupan dari mempelai pria untuk memenuhi syarat dari orang tua mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kesanggupan mempelai pria atas penerimaan syarat tersebut. Sedangkan, penggunaan kata konkret dalam pantun ini menggambarkan penerimaan syarat yang diajukan oleh orang tua mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat penutur pantun dalam pantun ini menggambarkan tentang persyaratan. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Ke tanah abang membeli limo Jangan lupe sambel kecapnye Kalo emang itu yang abang mao Sebutin dah syarat-syaratnye Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menerima persyaratan yang diberikan oleh orang tua dari mempelai wanita untuk menunjukkan bukti keseriusannya meminang anak gadisnya. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak takut penutur pantun dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menerima saat menyanggupi persyaratan dari orang tua mempelai wanita. Penggunaan nada menerima yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takjub bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk selalu berusaha dalam menghadapi halangan dan rintangan agar tercapai segala hasrat dan keinginan.
59
UDEH PELAN-PELAN TERSANGKUT KAWAT AYAM JAGO TERTIMPE BATU PASANG KEPELAN ABANG BIAR KUAT NIH LONGKAIN DULU JAWARA AYE SATU PERSATU
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris keempat terdiri atas tujuh kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. U-deh pe-lan-pe-lan ter-sang-kut ka-wat A-yam ja-go ter-tim-pe ba-tu Pa-sang ke-pe-lan a-bang bi-ar ku-at Nih- long-ka-in du-lu ja-wa-ra a-ye sa-tu per-sa-tu Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang menantang sebagai bentuk tantangan yang harus dilewati oleh mempelai pria. Penutur pantun menggambarkan tantangan tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “udeh pelan-pelan tersangkut kawat”, “ayam jago tertimpe batu”, “pasang kepelan abang biar kuat”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan udeh pelan-pelan tersangkut kawat/ ayam jago tertimpe batu. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat terlihat pada baris pertama terdapat kata “udeh”, baris kedua terdapat kata “tertimpe”, baris ketiga terdapat kata “kepelan”, “abang”, dan baris keempat terdapat kata “longkain”, “jawara”, “aye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan
60
kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Udeh pelan-pelan/ tersangkut kawat Ayam jago/ tertimpe batu Pasang kepelan abang/ biar kuat Nih longkain dulu/ jawara aye satu persatu Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ diakhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /u/ diakhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /t/ dan vokal /u/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang tegang. Jadi
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan rintangan yang harus dilalui oleh mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan rintangan tersebut. Sedangkan, penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan beratnya rintangan yang harus dilalui oleh mempelai pria.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Udeh pelan-pelan tersangkut kawat Ayam jago tertimpe batu Pasang kepelan abang biar kuat Nih longkain dulu jawara aye satu persatu Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria untuk melawan jawaranya satu persatu. Tantangan tersebut menimbulkan rasa tidak
61
takut karena penutur pantun ingin mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh mempelai pria. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang sebagai bentuk persyaratan pertama yang harus dilalui oleh mempelai pria. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak bersikap sombong meskipun mempunyai kemampuan yang lebih baik dari orang lain. AYAM JAGO ABANG EMANG CAKEP TAPI SAYANG JALANNYA BAPLANG JAGOAN ABANG KELIATANNYE CAKEP TETEP AJE AYE BAKALAN KEMPLANG
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut. A-yam ja-go a-bang e-mang ca-kep Ta-pi sa-yang ja-lan-nya ba-plang Ja-go-an a-bang ke-lia-tan-nye ca-kep Te-tep a-je a-ye- ba-ka-lan kem-plang Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata sindiran sebagai bentuk keberanian penutur pantun dalam menghadapi jawara dari mempelai wanita, “ayam jago abang emang cakep, tapi sayang jalannya baplang”. Kata-kata tersebut dipilih penutur pantun sebagai bentuk sampiran. Penutur pantun melukiskan pantun ini dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kalimat “Ayam jago abang emang cakep”, “jalannya baplang”, “jagoan abang keliatannye
62
cakep”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ayam jago abang emang cakep/ tapi sayang jalannya baplang. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “abang”, “emang”, “cakep”, baris kedua terdapat kata “baplang”, baris ketiga terdapat kata “abang”, “keliatannye”, “cakep”, dan baris keempat terdapat kata “tetep”, “aje”, “aye”, “bakalan”, “kemplang”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Ayam jago abang/ emang cakep Tapi sayang/ jalannya baplang Jagoan abang/ keliatannye cakep Tetep aje/ aye bakalan kemplang Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /p/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /g/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /p/ dan konsonan /g/ sebagai rima berselang menciptakan tidak takut sehingga menimbulkan suasana yang tegang. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan keberanian mempelai pria untuk melawan jawara dari mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keberanian dari mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ketidaktakutan mempelai pria dalam menghadapi tantangan dari mempelai wanita.
63
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Ayam jago abang emang cakep Tapi sayang jalannya baplang Jagoan abang keliatannye cakep Tetep aje aye bakalan kemplang Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menyindir jawara dari mempelai wanita dengan maksud untuk membuktikan keberaniannya, meskipun lawannya terlihat lebih hebat. Keberaniannya tersebut menyebabkan rasa tidak takut penutur pantun terhadap lawannya. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang agar lawannya tidak berani menghadapi dirinya. Penggunaan nada menatang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana tegang bagi pendengar. Pesan yang disampaikan pantun ini mengajarkan untuk tidak memandang sebelah mata kepada orang lain karena belum tentu kita lebih baik daripada orang itu. SEMUT RANGRANG KAGE BERCONCOT SUKA NGERUBUTIN TIMUN PUAN JADI ORANG JANGAN BANYAK BACOT COBA TUNJUKIN ABANG PUNYE KEMAMPUAN
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri dari empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Se-mut rang-rang ka-ge ber-con-cot Su-ka nge-ru-but-in ti-mun pu-an Ja-di o-rang ja-ngan ba-nyak ba-cot
64
Co-ba tun-juk-in a-bang pu-nye ke-mam-pu-an Pada pantun ini penutur pantun juga menggunakan kata-kata menantang sebagai bentuk kekesalan penutur pantun atas sikap dari mempelai pria. Penutur pantun memilih kata “semut rangrang kage berconcot, suka ngerubutin timun puan” sebagai bentuk sampiran. Dalam pantun ini penutur pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata-kata “semut rangrang kage berconcot”, “ngerubutin timun puan”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan semut rangrang kage berconcot/ ngerubutin timun puan. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “kage”, “berconcot”, baris kedua terdapat kata “ngerubutin”, baris ketiga terdapat kata “bacot”, dan baris keempat terdapat kata “abang”, “punye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Semut rangrang/ kage berconcot Suka ngerubutin/ timun puan Jadi orang/ jangan banyak bacot Coba tunjukin/ abang punye kemampuan Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, pendengar perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan juga terdapat persamaan bunyi konsonan /t/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /t/ dan /n/ sebagai rima berselang menciptakan rasa marah sehingga menimbulkan suasana yang tegang.
65
Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan tantangan dari jawara mempelai wanita terhadap mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan dari jawara mempelai wanita tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ketidaksukaan jawara dari mempelai wanita atas sikap mempelai pria yang terlalu banyak bicara.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Semut rangrang kage berconcot Suka ngerubutin timun puan Jadi orang jangan banyak bacot Coba tunjukin abang punye kemampuan Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang mempelai pria untuk menunjukkan ilmu bela dirinya. Hal ini dimaksudkan agar calon suami dari mempelai wanita mampu melindungi calon istrinya. Namun, efek sindiran dari jawara mempelai pria membuat penutur pantun menjadi marah karena penutur pantun hanya melihat jawara dari mempelai pria terlalu banyak bicara tanpa adanya tindakan apapun. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan pantun ini dengan menggunakan nada menantang untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh mempelai pria. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana yang tegang bagi pendengar. Amanat yang terkandung pada pantun ini mengajarkan untuk sedikit berbicara banyak bekerja.
66
MAKAN KUE PUTU DI BAGI TIGA NAEK GETEK KE RAWA BUAYE CUMAN SEGITU YANG ENTE BISA MASIH CETEK BUAT AYE
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Pada baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, dan baris keempat terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Ma-kan kue- pu-tu di- ba-gi ti-ga Na-ek ge-tek ke- Ra-wa Bu-a-ye Cu-man se-gi-tu yang- en-te bi-sa Ma-sih ce-tek bu-at a-ye Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai gambaran atas ketidakpuasan penutur pantun terhadap ilmu bela diri yang dimiliki oleh mempelai pria. Penutur pantun melukiskan ketidakpuasan tersebut dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “makan kue putu di bagi tiga”, “naek getek ke Rawa Buaye”. Penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan makan kue putu dibagi tiga/ naek getek ke Rawa Buaye. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris kedua terdapat kata “getek”, “Rawa Buaya”. Baris kedua terdapat kata “cuman”, “ente”, dan baris keempat terdapat kata “cetek”, “aye”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh
67
penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Makan kue putu/ di bagi tiga Naek getek/ ke Rawa Buaye Cuman segitu/ yang ente bisa Masih cetek/ buat aye Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menyindir dan terdapat persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /e/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /a/ dan /e/ sebagai rima berselang menciptakan rasa sombong sehingga menimbulkan suasana yang kesal. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan tantangan dari jawara mempelai wanita atas kemampuan yang dimiliki oleh lawannya, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan tantangan yang dilakukan oleh jawara mempelai wanita untuk menjatuhkan lawannya. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan ketidakpuasan jawara mempelai wanita atas kemampuan dari mempelai pria.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tantangan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Makan kue putu di bagi tiga Naek getek ke Rawa Buaye Cuman segitu yang ente bisa Masih cetek buat aye Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun menantang lawannya karena
ketidakpuasaanya
dengan
kemampuan
yang
dimiliki
oleh
lawan.
Ketidakpuasaan tersebut menimbulkan rasa sombong penutur pantun karena
68
kemampuan bertarung yang dimiliki lawan tidak sebanding dengan kemampuan yang penutur pantun miliki. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menyindir untuk menjatuhkan lawannya. Penggunaan nada menyindir yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kesal bagi pendengar. Pesan yang ingin disampaikan pada pantun tersebut adalah mengajarkan untuk tidak menilai rendah orang lain. NONTON LENONG PERGI KE MONAS TANPA ALAS KAKI PUN PANAS BANG KALO NGOMONG JANGAN PANAS-PANAS GUE BELAH PALA LU KAYA NANAS
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas enam kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Non-ton le-nong per-gi ke- mo-nas Tan-pa a-las ka-ki pun- pa-nas Bang- ka-lo ngo-mong ja-ngan pa-nas-pa-nas Gue- be-lah pa-la lu- ka-ya na-nas Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang menantang sebagai bentuk rasa sakit hatinya terhadap perkataan jawara dari mempelai wanita. Rasa sakit hati penutur pantun dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan, dan imaji pendengaran. Pada imaji penglihatan terlihat pada kalimat “nonton lenong pergi ke Monas” dan imaji pendengaran terlihat pada kalimat “kalo ngomong jangan panaspanas”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan nonton lenong pergi ke Monas/ tanpa alas kaki pun panas.
69
Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan dan simile. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “lenong”, baris ketiga terdapat kata “bang”, “kalo”, “ngomong”, dan baris keempat terdapat kata “gue”, “lu”, “kaya”. Kata-kata tersebut merupakan katakata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain gaya bahasa percakapan, dalam pantun ini terdapat juga gaya bahasa simile. Gaya bahasa simile terlihat pada baris keempat ”gue belah pala lu kaya nanas”. Di sini penutur pantun menunjukkan kesamaan membelah kepala lawannya seperti membelah buah nanas. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Nonton lenong/ pergi ke monas Tanpa/ alas kaki pun panas Bang/ kalo ngomong jangan panas-panas Gue belah/ pala lu kaya nanas Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada marah dan terdapat persamaan bunyi konsonan /s/ di setiap akhir baris pantun. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. Penggunaan bunyi konsonan /s/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa kesal sehingga menimbulkan suasana takut. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan keinginan mempelai pria untuk membalas jawara dari mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan pembalasan dari mempelai pria tersebut. Selain itu, penggunaan imaji pendengaran mendengarkan ucapan kasar yang terlontar dari mulut jawara mempelai wanita, sehingga seakanakan pendengar ikut mendengar ucapan-ucapan kasar tersebut. Sedangkan,
70
penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan rasa marah mempelai pria atas sindiran dari jawara mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kemarahan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Nonton lenong pergi ke monas Tanpa alas kaki pun panas Eh bang kalo ngomong jangan panas-panas Gue belah pala lu kaya nanas Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun sangat marah ketika ditantang oleh lawannya karena kemampuan yang ia miliki tidak sebanding dengan lawannya. Hal tersebut membuat penutur pantun menjadi kesal karena tersinggung atas ucapan dari jawara mempelai wanita. Oleh karena itu, penutur pantun menyampaikan pantun ini dengan menggunakan nada marah untuk membalas rasa sakit hatinya. Penggunaan nada marah yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takut bagi pendengar. Amanat pada pantun ini mengajarkan untuk menjaga ucapan dalam setiap perkataan karena perkataan yang tidak baik dapat menimbulkan pertingkaian. AYE KATE JUGA APE BANG ADE LINTAH LAGI NGAMBANG AYE KATE JUGA APE BANG PATAH DEH LEHER JAGOAN ABANG
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat
71
terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. A-ye ka-te ju-ga ape- bangA-de lin-tah la-gi ngam-bang A-ye ka-te ju-ga ape- bangPa-tah deh- le-her ja-go-an a-bang Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata pengulangan “aye kate juga ape bang” di baris pertama dan ketiga. Kata pengulangan ini dipilih penutur pantun sebagai pembuktiannya mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Penutur pantun melukiskan kemenangannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “ade lintah lagi ngambang”, “patah deh leher jagoan abang”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan aye kate juga ape bang/ ade lintah lagi ngambang. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan dan repetisi. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “aye”, “kate”, “ape”, “bang”, baris kedua terdapat kata “ade”, “ngambang”, baris ketiga terdapat kata “aye”, “kate”, “ape”, “bang”, dan baris keempat terdapat kata “abang”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, terdapat gaya bahasa repetisi dalam pantun ini. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Aye kate juga ape bang Ade lintah lagi ngambang Aye kate juga ape bang Patah deh leher jagoan abang Gaya bahasa repetisi pada pantun di atas terlihat di baris pertama dan ketiga dengan kata “aye kate juga ape bang”. Di sini terjadi perulangan bunyi pada bagian baris yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena
72
pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Aye kate/ juga ape bang Ade lintah/ lagi ngambang Aye kate/ juga ape bang Patah deh/ leher jagoan abang Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menyindir dan terdapat persamaan bunyi konsonan /ang/ di akhir setiap baris pantun. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. Penggunaan bunyi konsonan /ang/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa sombong sehingga menimbulkan suasana yang kesal. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan mempelai pria mengalahkan jawara dari mempelai wanita, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kemenangan mempelai pria dalam mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan kesombongan dari mempelai pria atas kemenangannya melawan jawara mempelai wanita.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang kemenangan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Aye kate juga ape bang Ade lintah lagi ngambang Aye kate juga ape bang Patah deh leher jagoan abang Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun merasa dirinya hebat karena mampu mengalahkan lawannya dengan mudah. Namun, kemenangannya itu menimbulkan rasa sombong karena menganggap dirinya mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.
73
Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menyindir untuk meremehkan lawannya. Penggunaan nada menyindir yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kesal terhadap pendengar. Amanat dalam pantun di atas adalah ajaran untuk tidak merendahkan kemampuan orang lain. ADE LINTAH MAKAN PEPAYE LINTAH MATOK DI BUNGKUS KAEN WALAUPUN PATAH LEHER JAGOAN AYE AYE MASIH PUNYA STOK JAGOAN YANG LAEN
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Pada baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah dua belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas tujuh kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut. A-de lin-tah ma-kan pe-pa-ye Lin-tah ma-tok di- bung-kus ka-en Wa-lau-pun pa-tah le-her ja-go-an a-ye A-ye ma-sih pu-nya stok- ja-go-an yang- la-en Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai cara untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Cara yang digunakan penutur pantun untuk mengalahkan lawannya dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “ade lintah makan pepaye”, “lintah matok dibungkus kaen”. Sedangkan penutur pantun memperkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ade lintah makan pepaye/ lintah mantok dibungkus kaen. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “ade”, “pepaye”, baris kedua terdapat kata “matok”, “kaen”, baris ketiga terdapat kata
74
“aye”, dan baris keempat terdapat kata “aye”, “laen”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Ade lintah/ makan pepaye Lintah matok/ di bungkus kaen Walaupun/ patah leher jagoan aye Aye/ masih punya stok jagoan yang laen Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada sombong dan terdapat persamaan bunyi vokal /e/ diakhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ diakhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah yang dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /e/ dan konsonan /n/ sebagai rima berselang menciptakan rasa optimis sehingga menimbulkan suasana yang takjub. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan ketidakputusasaan mempelai pria untuk mengalahkan lawannya, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan usaha yang dilakukan mempelai pria untuk mengalahkan lawannya. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan bentuk usaha dari mempelai pria untuk mengalahkan lawannya,
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan ketidakputusasaan penutur pantun. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut. Ade lintah makan pepaye Lintah matok di bungkus kaen
75
Walaupun patah leher jagoan aye Aye masih punya stok jagoan yang laen Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mempunyai cara lain untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Usahanya tersebut menimbulkan rasa optimis karena penutur pantun merasa yakin dapat mengalahkan lawannya dengan mudah. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada sombong sebagai usahanya untuk mengalahkan jawara dari mempelai pria. Penggunaan nada sombong yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takjub bagi pendengar. Amanat yang terkandung dalam pantun ini adalah ajaran untuk tidak menyerah, karena masih banyak cara lain untuk menghadapi berbagai permasalahan. ADE LINTAH DI BUNGKUS KAEN TAPI AYE ITUNGIN BERIBU SATU WALAUPUN ABANG PUNYE JAGOAN YANG LAEN AYE ADEPIN SATU PERSATU 1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dan jumlah dua belas suku kata, baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut. A-de lin-tah di- bung-kus ka-en Ta-pi a-ye i-tung-in be-ri-bu sa-tu Wa-lau-pun a-bang pu-nye ja-go-an yang- la-en A-ye a-dep-in sa-tu per-sa-tu Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata menantang sebagai gambaran atas keberanian penutur pantun dalam menghadapi jawara dari mempelai wanita. Keberanian tersebut dilukiskan penutur pantun dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “lintah dibungkus kaen”, “aye
76
itungin beribu satu”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ade lintah dibungkus kaen/ tapi aye itungin beribu satu. Adapun gaya bahasa yang dipergunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris pertama terdapat kata “ade”, “kaen”, baris kedua terdapat kata “aye”, “itungin”, baris ketiga terdapat kata “abang”, “punye”, “laen”, dan baris keempat terdapat kata “aye”, “adepin”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Ade lintah/ di bungkus kaen Tapi aye itungin/ beribu satu Walaupun/ abang punye jagoan yang laen Aye adepin/ satu persatu Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada menantang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /u/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /n/ dan vokal /u/ sebagai rima berselang menciptakan rasa optimis sehingga menimbulkan suasana yang takjub. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan keberanian mempelai pria dalam menghadapi jawara dari mempelai wanita satu persatu, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keberanian dari mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan keberanian mempelai pria dalam menghadapi lawannya satu persatu.
77
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan keberanian penutur pantun. Hal tersebut dapat dilihat pantun berikut. Ade lintah di bungkus kaen Tapi aye itungin beribu satu Walaupun abang punye jagoan yang laen Aye adepin satu persatu Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mampu menghadapi lawan-lawannya satu persatu. Keberanian tersebut menimbulkan rasa optimis karena penutur pantun mempunyai kemampuan yang lebih tinggi daripada kemampuan yang dimiliki oleh lawannya, sehingga ia yakin mampu mengalahkan lawannya satu persatu. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada menantang untuk menghadapi lawannya. Penggunaan nada menantang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana takjub bagi pendengar. Pesan yang terkandung dalam pantun ini mengajarkan agar mampu menghadapi suatu permasalahan yang rumit, karena setiap permasalahan akan terpecahkan apabila yakin dengan kemampuan diri sendiri. BELAJAR BEKSI JANGAN DI SETOP KARENA BERGURU DI HAJI ABA JAGOAN AYE EMANG NGETOP LANTARAN BERGURU DI PADEPOKAN SABA
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah tiga belas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut.
78
Be-la-jar bek-si ja-ngan di- se-top Ka-re-na ber-gu-ru di- ha-ji A-ba Ja-go-an a-ye e-mang nge-top Lan-ta-ran ber-gu-ru di- Pa-de-po-kan SA-BA Pada pantun ini penutur pantun menggunakan nama perguruan sebagai bentuk kemenangannya mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Kemenangannya tersebut ia raih karena berguru di Padepokan SABA. Penutur pantun melukiskan kemenangannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “belajar beksi”, “berguru dihaji Aba”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan belajar beksi jangan disetop/ karena berguru di haji Aba. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan dapat dilihat pada baris pertama terdapat kata “setop”, dan baris ketiga terdapat kata “aye”, “emang”, “ngetop”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar paham yang disampaikan oleh pengarang. Selain itu ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Belajar beksi/ jangan di setop Karena berguru/ di haji aba Jagoan aye/ emang ngetop Lantaran berguru/ di Padepokan SABA Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada senang dan terdapat persamaan bunyi konsonan /p/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /p/ dan vokal /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa bangga sehingga menimbulkan suasana kagum.
79
Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan kemenangan mempelai pria karena berguru di Padepokan SABA, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan kemenangan penutur pantun tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan rasa bangga mempelai pria karena berguru di Padepokan SABA.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan kemenangan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Belajar beksi jangan di setop Karena berguru di haji aba Jagoan aye emang ngetop Lantaran berguru di Padepokan SABA Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun mempunyai kemampuan yang hebat sehingga mampu mengalahkan lawannya. Kemampuan tersebut ia raih karena berguru di Padepokan SABA, sehingga penutur pantun menunjukkan kemenangannya tersebut dengan mengungkapkan rasa bangga karena penutur pantun ingin membuktikan kepada orang lain bahwa kemampuan yang ia raih berguru di Padepokan SABA. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada senang saat berhasil mengalahkan jawara dari mempelai wanita. Penggunaan nada senang yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kagum bagi pendengar. Amanat pada pantun tersebut adalah mengajarkan untuk tidak berhenti mencari ilmu dan tidak mudah puas dengan kemampuan yang dimiliki sekarang.
80
IKAN GURAME ELU SIANGIN KALO UDEH TAR GUA YANG BAWA SARAT PERTAME BOLEH UDAH LU PENUHIN TAPI MASIH ADE SARAT YANG KEDUA
1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas enam kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas enam kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut. I-kan gu-ra-me e-lu si-ang-in Ka-lo u-deh tar- gua- yang- ba-wa Sa-rat per-ta-me bo-leh u-dah lu- pe-nuh-in Ta-pi ma-sih a-de sa-rat yang- ke-dua Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik. Penggunaan Kata-kata unik tersebut sebagai bentuk permintaan penutur pantun mengenai syarat yang kedua yang harus dipenuhi oleh mempelai pria. Penutur pantun menggambarkan permintaannya dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “ikan gurame elu siangin”, “kalo udeh tar gua yang bawa”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan ikan gurame elu siangin/ kalo udeh tar gua yang bawa. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “elu”, baris kedua terdapat kata “kalo”, “udeh”, “tar”, “gua”, baris ketiga terdapat kata “sarat”, “pertame”, “udah”, “lu”, dan baris keempat terdapat kata “ade”, “syarat”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan
81
agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Ikan gurame/ elu siangin Kalo udeh/ tar gua yang bawa Sarat pertame/ boleh udah lu penuhin Tapi/ masih ade sarat yang kedua Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada meminta dan terdapat persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan inilah disebut dengan rima berselang. Penggunaan bunyi konsonan /n/ dan vokal /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa tidak puas sehingga menimbulkan suasana kecewa. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan suatu permintaan berupa pembacaan ayat suci Al-qur’an yang harus dipenuhi oleh mempelai pria sebagai syarat kedua, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan permintaan dari orang tua mempelai wanita tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan permintaan dari orang tua mempelai wanita mengenai syarat kedua yang harus dipenuhi oleh mempelai pria.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan permintaan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Ikan gurame elu siangin Kalo udeh tar gua yang bawa Sarat pertame boleh udah lu penuhin Tapi masih ade sarat yang kedua Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta persyaratan kedua kepada mempelai pria sebagai bukti keseriusannya untuk meminang mempelai
82
wanita, dengan penutur pantun meminta persyaratan yang kedua menimbulkan rasa tidak puas karena penutur pantun merasa bukti keseriusan dari mempelai pria masih kurang. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta untuk bukti keseriusan dari mempelai pria. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Amanat dalam pantun tersebut adalah mengajarkan untuk tidak boleh merasa puas terhadap sesuatu yang telah diraih, karena masih banyak rintangan lainnya yang harus dilewati. BURUNG DARA BURUNG KENARI RENDAH TERBANGNYE DI PUUN KRANJI SELAEN BISA BUAT JAGA DIRI CALON MANTU JURAGAN AYE JUGA HARUS BISA NGAJI 1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata, dan baris keempat terdiri atas delapan kata dengan jumlah enam belas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut. Bu-rung da-ra bu-rung ke-na-ri Ren-dah ter-bang-nye di- pu-un kra-nji Se-la-en bi-sa bu-at ja-ga di-ri Ca-lon man-tu ju-ra-gan aye- ju-ga ha-rus bi-sa nga-ji Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang puitis. Penggunaan Kata-kata puitis ini dipilih oleh penutur pantun sebagai bentuk permintaan yang menginginkan
calon
menantunya
untuk
dapat
mengaji.
Penutur
pantun
menggambarkan permintaannya tersebut, penutur pantun menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “burung dara burung kenari”, “rendah terbangnye di puun kranji”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan
83
pantun ini dengan ungkapan burung dara burung kenari/ rendah terbangnye di puun kranji. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “terbangnye”, “puun”, baris ketiga terdapat kata “selaen”, dan baris keempat terdapat kata “mantu”, “aye”, “ngaji”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Burung dara/ burung kenari Rendah terbangnye/ di puun kranji Selaen bisa/ buat jaga diri Calon mantu/ juragan aye juga harus bisa ngaji Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ di setiap akhir baris pantun. Persamaan bunyi inilah dinamakan dengan rima berangkai. penggunaan bunyi vokal /i/ sebagai rima berangkai menciptakan rasa tidak puas sehingga menimbulkan suasana kecewa. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan suatu permintaan orang tua dari mempelai wanita kepada mempelai pria untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan permintaan orang tua dari mempelai wanita tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan permintaan orang tua dari mempelai wanita kepada mempelai pria untuk mengaji.
84
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam ini mengambarkan permintaan penutur pantun. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Burung dara burung kenari Rendah terbangnye di puun kranji Selaen bisa buat jaga diri Calon mantu juragan aye juga harus bisa ngaji Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta persyaratan kedua kepada calon mempelai pria berupa kefasihannya dalam mengaji karena penutur pantun berharap mempunyai calon menantu yang mampu melindungi anaknya dan membawa anaknya menuju jalan yang dirodhoi oleh Allah SWT. Namun, Permintaan penutur pantun tersebut menimbulkan rasa tidak puas karena penutur pantun menginginkan calon menantu yang mampu melindungi anaknya dan membawa anaknya ke jalan yang diridhoi oleh Allah SWT. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta saat menginginkan calon menantunya mengaji. Penggunaan nada meminta yang dipilih penutur pantun menimbulkan suasana kecewa bagi pendengar. Amanat pantun di atas mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan. KALO MAO MOTONG KELAM PAKE GERGAJI GERGAJINYA KUDU DITAJEMIN NAMANYA ORANG ISLAM EMANG HARUS BISA NGAJI NIH MURIDNYA NGAJI ELU DENGERIN
1. Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas enam kata dengan jumlah tiga belas suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris
85
ketiga terdiri atas tujuh kata dengan jumlah lima belas suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Ka-lo ma-o mo-tong ke-lam pa-ke ger-ga-ji Ger-ga-ji-nya ku-du di-ta-jem-in Na-ma-nya o-rang is-lam e-mang ha-rus bi-sa nga-ji Nih- mu-rid-nya nga-ji e-lu de-nger-in Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang sederhana sebagai bentuk pembuktian kepada calon mertua bahwa calon menantunya mempunyai seorang murid yang dapat mengaji. Pembuktian tersebut digambarkan dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan dapat terlihat pada kata “kalo mao motong kelam pake gergaji”, “gergajinya kudu ditajemin”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan dengan ungkapan kalo mao motong kelam pake gergaji/ gergajinya kudu ditajemin. Adapun gaya bahasa yang dipergunakan pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “kalo”, “mao”, “motong”, “pake”, baris kedua terdapat kata “kudu”, “ditajemin”, baris ketiga terdapat kata “emang”, “ngaji”, dan baris keempat terdapat kata “ngaji”, “elu”, “dengerin”.
Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa
percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Kalo/ mao motong kelam pake gergaji Gergajinya/ kudu ditajemin Namanya orang islam/ emang harus bisa ngaji Nih muridnya ngaji/ elu dengerin Pada kutipan pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk
86
menghasilkan nada bangga dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi konsonan /n/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /i/ dan konsonan /n/ sebagai rima berselang menciptakan rasa senang sehingga menimbulkan suasana kagum. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan kefasihan mempelai pria membacakan ayat-ayat suci Al-qur’an, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan pembacaan ayat-ayat suci Alqur’an tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan kefasihan mempelai pria mengaji.
2. Analisis Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang keagamaan. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Kalo mao motong kelam pake gergaji Gergajinya kudu ditajemin Namanya orang islam emang harus bisa ngaji Nih muridnya ngaji elu dengerin Pada pantun di atas menunjukkan bahwa penutur pantun membuktikan kepada calon mertuanya kemahiran muridnya dalam mengaji karena mengaji merupakan salah satu syari’at islam. Menunjukkan kemahirannya dalam mengaji menimbulkan rasa senang karena penutur pantun membuktikan kepada semua orang bahwa orang islam mampu membaca Ayat-ayat suci Al-qur’an. Sehingga, penutur pantun menggunakan nada bangga saat membuktikan kefasihannya dalam mengaji. Penggunaan nada bangga yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana kagum bagi pendengar. Amanat pada pantun tersebut mengajarkan kita sebagai orang muslim untuk dapat mengaji agar kelak dapat menuntun ke jalan yang ridhoi Allah SWT.
87
C. Pantun Penutup Pada bagian penutup berisikan tentang harapan-harapan dari kedua mempelai pria dan mempelai wanita. Harapan tersebut bertujuan untuk menyatukan kedua pihak keluarga dalam satu ikatan pernikahan. KAGA PUNTUNG KAGA BENDO BAJANG-BAJANG DI PUUN KARA ADA UNTUNG ADA JODO KITA PANJANG-PANJANG SANAK SODARA 1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, baris kedua terdiri atas lima kata dengan jumlah sembilan suku kata, baris ketiga terdiri atas empat kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat terdiri atas lima kata dengan jumlah sebelas suku kata. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut. Ka-ga pun-tung ka-ga ben-do Ba-jang-ba-jang di- pu-un ka-ra A-da un-tung a-da jo-do Ki-ta pan-jang-pan-jang sa-nak so-da-ra Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata yang unik sebagai gambaran untuk mempererat tali persaudaraannya kepada mempelai pria. Gambaran tersebut dilukiskan dengan menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “kaga puntung kaga bendo”, “bajang-bajang di puun kara”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan pantun ini dengan ungkapan kaga puntung kaga bendo/ bajang-bajang di puun kara. Adapun gaya bahasa yang digunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris pertama terdapat kata “kaga”, baris kedua terdapat kata “puun”, baris ketiga terdapat kata “jodo”, dan baris keempat terdapat kata “sodara”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui
88
dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Kaga puntung/ kaga bendo Bajang-bajang/ di puun kara Ada untung/ ada jodo Kita panjang-panjang/ sanak sodara Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /o/ di akhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ di akhir baris kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /o/ dan /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa senang sehingga menimbulkan suasana yang gembira. Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan keinginan keluarga dari mempelai wanita untuk mempererat tali persaudaraan kepada keluarga dari mempelai pria, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan keinginan keluarga mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini melukiskan harapan keluarga dari mempelai wanita untuk mempererat tali persaudaraan kepada keluarga mempelai pria.
2. Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan persaudaraan. Hal tersebut dapat dilihat pada pantun berikut. Kaga puntung kaga bendo Bajang-bajang di puun kara Ada untung ada jodo Kita panjang-panjang sanak sodara
89
Pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun berharap dapat mempererat dan memperpanjang tali persaudaraan dengan menerima mempelai pria sebagai calon menantunya. Penerimaan tersebut menimbulkan rasa senang karena penutur pantun telah memilih pasangan yang sesuai dengan keinginannya. Sehingga, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bentuk mempererat tali persaudaraan. Penggunaan nada meminta yang diciptakan penutur pantun menimbulkan suasana gembira bagi pendengar. Pesan yang terkandung pada pantun ini adalah ajaran dalam mencari pasangan, karena dalam mencari pasangan merupakan salah satu usaha untuk mempererat dan memperpanjang tali sirahturrahmi. GUNUNG MELETUS DI MEDAN DELI ASEPNYA KELUAR SAMPE MUARA BIAR PUTUS AER DI KALI JANGAN PUTUS KITA BERSODARA 1. Analisis Struktur Fisik Susunan tipografi pada pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi. Pada baris pertama terdiri atas lima kata dengan jumlah sepuluh suku kata, baris kedua terdiri atas empat kata dengan jumlah sebelas suku kata, baris ketiga terdiri atas lima kata dengan jumlah delapan suku kata, dan baris keempat terdiri atas empat kata dengan jumlah sepuluh suku kata. Hal tersebut dapat dibuktikan pada pantun berikut. Gu-nung me-le-tus di- Me-dan De-li A-sep-nya ke-lu-ar sam-pe mu-a-ra Bi-ar pu-tus aer- di- ka-li Ja-ngan pu-tus ki-ta ber-so-da-ra Pada pantun ini penutur pantun menggunakan kata-kata sederhana sebagai bentuk balasan permintaan dari keluarga mempelai wanita. Bentuk permintaan tersebut berupa keinginan untuk mempererat tali sirahturrahmi meskipun sanak saudara telah tiada. Oleh karena itu, penutur pantun melukiskan permintaan tersebut dengan
90
menggunakan imaji penglihatan. Imaji penglihatan terlihat pada kata “gunung meletus di Medan Deli”, “asepnya keluar sampe muara”. Sedangkan penutur pantun mengkonkretkan dengan ungkapan gunung meletus di Medan Deli/ asepnya keluar sampe muara. Adapun gaya bahasa yang dipergunakan penutur pantun pada pantun ini adalah gaya bahasa percakapan. Gaya bahasa percakapan terlihat pada baris kedua terdapat kata “sampe”, baris ketiga terdapat kata “aer”, dan baris keempat terdapat kata “bersodara”. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang ditemui dalam bahasa percakapan sehari-hari. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Penggunaan gaya bahasa percakapan bertujuan agar pendengar dapat memahami pantun yang disampaikan oleh penutur pantun. Selain itu, ritma atau irama dalam pantun ini membentuk secara padu karena pemotongan baris pantun menjadi dua frasa yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Sebagaimana terlihat di bawah ini. Gunung meletus/ di Medan Deli Asepnya keluar/ sampe muara Biar putus/ aer di kali Jangan putus/ kita bersodara Pada pantun di atas terdapat tanda jeda (/). Di antara penggalan itu, penutur pantun perlu jeda (berhenti) agak lama, dengan intonasi tertentu untuk menghasilkan nada meminta dan terdapat persamaan bunyi vokal /i/ diakhir baris pertama dan ketiga. Kemudian terdapat juga persamaan bunyi vokal /a/ diakhir baris kedua dan keempat. Persamaan inilah dinamakan dengan rima berselang. Penggunaan bunyi vokal /i/ dan /a/ sebagai rima berselang menciptakan rasa senang sehingga menimbulkan suasana yang gembira . Jadi,
pantun
ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
imaji
penglihatan
menggambarkan keinginan mempelai pria untuk tetap menjaga hubungan persaudaraan, sehingga pendengar seakan-akan ikut menyaksikan permintaan dari mempelai pria tersebut. Sedangkan penggunaan kata konkret dalam pantun ini
91
melukiskan keinginan mempelai pria untuk menjaga hubungan persaudaraan dengan keluarga mempelai wanita.
2. Struktur Batin Tema yang diangkat dalam pantun ini menggambarkan tentang persaudaraan. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut. Gunung meletus di Medan Deli Asepnya keluar sampe muara Biar putus aer di kali Jangan putus kita bersodara Pada pantun di atas menjelaskan bahwa penutur pantun meminta kepada mempelai wanita untuk tetap menjalin tali persaudaraan meskipun sanak saudara sudah tiada. Permintaan penutur pantun tersebut menimbulkan rasa senang karena penutur pantun ingin menjalin tali persaudaraan dengan keluarga mempelai wanita. Oleh karena itu, penutur pantun menggunakan nada meminta sebagai bentuk ikatan persaudaraan. Penggunaan nada meminta tersebut menimbulkan suasana gembira bagi pendengar. Amanat yang terdapat pada pantun tersebut mengajarkan untuk tetap menjaga tali sirahturrahmi kepada sanak saudara, meskipun mereka telah tiada.
D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMP Sesuai dengan amanat kurikulum 2006, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan untuk hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman. Oleh karena itu, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hafalan nama-nama judul karya sastranya saja, tetapi langsung berhadapan dengan karya sastranya. Mereka memahami dan menikmati unsur-unsur karya sastra bukan melalui hafalan pengertiannya, tetapi langsung memahami sendiri melalui berhadapan dan membaca langsung karya sastranya.
92
Berdasarkan penjelasan di atas, hal tersebut sesuai dengan yang diajarkan pada kelas VIII SMP melalui Standar Kompetensi (SK) pada aspek membaca, yaitu: Memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan antologi puisi. Sedangkan, Kompetensi Dasar (KD): 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi. Dengan indikator sebagai berikut. 1. Mampu menyebutkan struktur fisik dari puisi. 2. Mampu menyebutkan struktur batin dari puisi. Oleh karena itu, pengetahuan, pengenalan dan penguasaan terhadap ciri dan bentuk puisi sangat penting. Penguasaan terhadap hal ini akan memudahkan peserta didik membaca, menilai, dan memahami makna sebuah puisi. Dengan demikian, pengetahuan tentang puisi secara lengkap akan membantu peserta didik dalam memahami makna yang terkandung di dalam puisi yang dibacanya. Pada penelitian ini puisi yang digunakan adalah pantun pada seni budaya palang pintu Betawi. Penggunaan pantun ini dapat memudahkan peserta didik dalam membaca, menilai dan memahami makna secara mendalam. Selain itu, penelitian ini mengajarkan peserta didik untuk menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi. Kemudian, penelitian ini juga dapat menambah wawasan dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Betawi. Penelitian terhadap struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat dijadikan sebagai objek dalam pembelajaran tentang puisi lama. Pantun ini menggunakan bahasa sehari-hari yang unik dan mudah dimengerti oleh peserta didik, sehingga dapat memudahkan peserta didik dalam memahami pantun. Selain itu, penelitian ini mengajak peserta didik untuk mengapresiasi karya sastra dengan berbagai pendekatan, khususnya pendekatan struktural. Pendekatan struktural ini memberikan gambaran kepada peserta didik dalam upaya merangsang minat peserta didik dalam menganalisis struktur fisik dan struktur batin pantun. Berdasarkan penelitian ini peserta didik dapat membedakan struktur fisik dan struktur batin yang terdapat dalam pantun. Pemahaman peserta didik terhadap pantun berdasarkan
93
analisis struktur fisik dan struktur batin memberikan wawasan pemahaman terhadap pantun.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan pada bab III tentang struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMP maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut. 1. Tipografi yang terdapat dalam pantun ini terdiri dari satu bait dan empat baris. Diksi yang digunakan penyair dalam pantun ini menggunakan kata-kata yang sederhana, puitis, unik, sindiran, menantang dan mudah dimengerti oleh pendengar. Imaji dalam pantun ini meliputi: imaji penglihatan dan pendengaran. Kata konkret dilukiskan dengan bahasa kiasan. Gaya bahasa yang terdapat dalam pantun ini adalah gaya bahasa percakapan, repetisi, dan simile. Ritma atau irama dalam pantun ini dipotong menjadi dua frasa membentuk ritma yang padu yang berfungsi untuk menentukan tekanan dan jeda. Rima dalam pantun ini adalah rima berselang dan rima berangkai. Tema yang diangkat dalam pantun ini adalah penyambutan tamu, perjuangan, kemarahan, kemenangan, persaudaraan serta keagamaan. Rasa yang diungkapkan dalam pantun ini, meliputi: Rasa senang, bangga, optimis, marah dan sombong. Nada pantun ini terdapat nada menerima, meminta, mengusir dan menantang. Nada bertujuan untuk menimbulkan suasana senang, takjub, kagum, gembira, kesal dan kecewa. Amanat dalam pantun ini mengajarkan untuk selektif dalam memilih pasangan. 2. Pembahasan struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi ini dapat memenuhi Kompetensi Dasar, yaitu mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi. Pada penelitian pantun pada seni budaya palang pintu Betawi dapat memudahkan peserta didik dalam membaca, menilai dan memahami makna secara mendalam. Selain itu, pantun ini juga dapat mengajak peserta didik untuk mengapresiasi karya sastra dengan berbagai pendekatan, khususnya pendekatan struktural. Kemudian, mengajarkan peserta didik untuk menghargai dan
94
95
membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dengan mengenal kebudayaan Betawi dan penelitian ini dapat menambah wawasan dalam bidang bahasa, khususnya bahasa Betawi.
B. Saran 1. Penelitian ini hanya baru sampai merancang bahan ajar hasil analisis struktur pantun pada seni budaya palang pintu Betawi. Oleh karena itu, disarankan adanya upaya tindak lanjut untuk mengujicobakan hasil penelitian ini. Uji coba ini dapat dilakukan oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang berminat terhadap apresiasi sastra. 2. Penelitian ini perlu dilakukan analisis semiotik terhadap pantun pada seni budaya palang pintu Betawi.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adriyetti. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI. 2013. Arifin, Bustanul, dkk. Menyimak. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008. Chaer, Abdul. Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup Jakarta. 2012. Danandjaja, James. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002. Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2013. Grijns, C.D. Kajian Bahasa Melayu Jakarta. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1991. Hamdani, Mayang, dkk. Kesastraan. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1987. Harapan, Anwarudin. Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi. Jakarta: Asosiasi Pelatih Pengembangan Masyarakat. 2006. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Kurniawan, Heru dan Sutardi. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012. Laksono, Kisyani, dkk. Membaca 2. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008. Luxemburg, Jan van, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. 1984. Mahayana, Maman, dkk. Pantun Betawi Refleksi Dinamika, Sosial-Budaya, dan Sejarah Masyarakat Jawa Barat dalam Pantun Melayu. Jawa Barat: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2008. Mahayana, Maman. “Pantun sebagai Potret Sosial-Budaya Tempatan: Perbandingan Pantun Melayu, Jawa, Madura, dan Betawi”. Jurnal Kritik. Vol. 04. 2013. h. 85-100.
96
97
Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2013. Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2000. Mulyasa, E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Nursisto. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000. Puspitasari, Siti Rojab Dian. “Pantun Betawi dalam Siaran Bensradio: Tinjauan Fungsi dan Amanat”. Skripsi pada Sarjana Universitas Indonesia (UI). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2008. Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. Puisi. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007. Rahmanto, Bernardus . Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988. Sari, Rostina. “Representasi Budaya Pantun Betawi dalam Tayangan Pesbukers di Antv Tahun 2013”. Skripsi pada Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. 2014. Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya Padang. 1988. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. Siswantoro. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2002. ________. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. 2010. Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif, dan Tindakan. Bandung: PT Refika Aditama. 2014. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1991. Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 2011. Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Betawi dalam Seni Sastra dan Seni Suara di DKI Jakarta. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2010.
98
________________________________. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2012. Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press. 2012. Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1987. WS, Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak. Bandung: Angkasa. 2012.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( RPP )
Sekolah
: MTs Negeri 3 Jakarta
Mata Pelajaran
: Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester
: VIII / 2
Alokasi Waktu
: 2 X 40 ( 1x pertemuan )
Standar Kompetensi
: Membaca 7. Memahami buku novel remaja (asli atau terjemahan) dan antologi puisi
Kompentensi Dasar
: 7.2 Mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi
Indikator
:
1. Mampu menyebutkan struktur fisik dalam puisi. 2. Mampu menyebutkan struktur batin dalam puisi.
A. Tujuan Pembelajaran Setelah pembelajaran ini berakhir diharapkan: 1. Peserta didik mampu mendata hal-hal yang bersifat khusus dari puisi-puisi dalam antologi. 2. Peserta didik mampu mengidentifikasi ciri-ciri umum puisi yang terdapat didalam antologi puisi. Karakter siswa yang diharapkan : -
Dapat dipercaya
-
Rasa hormat dan perhatian
-
Tekun
-
Tanggung jawab
-
Berani
B. Materi Pembelajaran Pengenalan ciri-ciri umum puisi
C. Metode Pembelajaran -
Ceramah
-
Tanya jawab
-
Latihan
D. Langkah-langkah Pembelajaran Kegiatan
Deskripsi Kegiatan
Alokasi Waktu
Pendahuluan
Mengondisikan kelas untuk belajar. Guru mengajak semua siswa berdo’a Guru
melakukan
komunikasi
tentang
kehadiran siswa Guru
menjelaskan
kompetensi
dasar,
standar indikator
kompetensi, dan
tujuan
pembelajaran Apersepsi : Guru memperlihatkan video pembacaan puisi Memotivasi : Guru memotivasi siswa dengan mengulas pembelajaran sebelumnya Kegiatan Inti
Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi, guru: Menggunakan pembelajaran,
beragam media
pendekatan
pembelajaran,
dan
sumber belajar lain. Menjelaskan kepada siswa tentang materi pembelajaran.
Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Elaborasi Dalam kegiatan elaborasi, guru: Memutarkan video pembacaan puisi Meminta kepada siswa untuk mengamati dan memahami video pembacaan puisi tersebut Meminta kepada siswa mengidentifikasi ciriciri umum puisi yang terdapat dalam antologi puisi Meminta
kepada
siswa
untuk
membuat
kesimpulan tentang ciri-ciri umum puisi dan hal-hal yang bersifat khusus dalam antologi puisi Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, guru Memberikan
umpan
balik
positif
dan
penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik. memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:
Membantu menyelesaikan masalah;
Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum diketahui siswa. Guru
bersama
meluruskan
siswa kesalahan
bertanya
jawab
pemahaman,
memberikan penguatan dan penyimpulan. Kegiatan Akhir
Dalam kegiatan penutup, guru: Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri
membuat
rangkuman/simpulan
pelajaran; Melakukan
penilaian
dan/atau
refleksi
terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; Guru menutup kegiatan pembelajaran dengan mengucapkan salam
E. Media Pembelajaran 1. Media a. Power point b. Video 2. Alat a. Komputer b. LCD Projector c. Speaker
F. Sumber Pembelajaran 1. Buku paket Bahasa Indonesia 2.
Buku referensi / materi lain yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan
3. Kumpulan pantun Betawi
G. Penilaian Penilaian proses dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung Penilaian Indikator Pencapaian Teknik
Bentuk
Penilaian
Penilaian
Tes tertulis
Essai
Kompetensi Disajikan sebuah puisi
Instrumen Temukanlah hal-
siswa mampu mendata
hal yang bersifat
hal-hal
khusus dari puisi-
yang
bersifat
khusus dari puisi-puisi
puisi
dalam antologi
antologi!
Disajikan sebuah puisi siswa
Tes tertulis
Essai
Temukalah
ciri-
ciri umum puisi
mampu
mengidentifikasi
dalam
yang
ciri-
terdapat
ciri umum puisi yang
didalam antologi
terdapat
puisi!
didalam
antologi puisi.
Penilaian membaca puisi No.
Aspek yang dinilai
Skor
Skor Maksimum
1.
Menemukan tipografi
1
2.
Menemukan diksi
1
3.
Menemukan pencintraan
1
1.
Menemukan gaya bahasa
1
2.
Menemukan rima
1
6.
Menemukan tema
1
7.
Menemukan rasa
1
8.
Menemukan nada
1
9.
Menemukan amanat
2
10.
Menemukan hal-hal khusus dari
5
puisi Jumlah Skor Maksimum
15
Penilaian = Jumlah skor maksimum x 2 = 10 3 Kunci Jawaban No. 1.
Pantun 1
Skor
Pantun 2
Maksimum
Tipografi terdiri atas empat Tipografi terdiri atas empat larik.
1
larik. Dua larik pertama Dua larik pertama merupakan merupakan
sampiran, sampiran sedangkan dua larik
sedangkan dua larik kedua kedua merupakan isi. merupakan isi. 2.
Diksi
yang
bermakna
digunakan Diksi yang digunakan bermakna
konotatif
1
atau konotatif atau bukan makna yang
bukan makna sebenarnya sebenarnya karena tidak mungkin karena
tidak
seseorang
mungkin seseorang
ditiup
dapat
menendang
sampai seekor kerbau ke atap rumah, hal
meriang, hal tersebut hanya tersebut hanya bersifat marah. bersifat menghina. B 3.
Citraan
yang
penglihatan
4.
Gaya
bahasa
digunakan
digunakan Citraan
yang
digunakan
1
yang Gaya bahasa yang digunakan
1
penglihatan
majas majas
repetisi
yang
terdapat
personifikasi yang terdapat pengulangan pada larik kedua dan pada larik kedua. 5.
keempat.
Rima yang digunakan rima Rima
yang
digunakan
rima
1
berselang, yaitu a-b-a-b. 6.
Tema pada pantun tersebut Tema tentang
7.
berangkai, yaitu a-a-a-a. pada
pantun
tersebut
1
penghinaan tentang seseorang membanggakan
seseorang
dirinya.
Perasaan yang disampaikan
Perasaan
penutur,
penutur, yaitu perasaan marah.
yaitu
perasaan
yang
disampaikan
1
kesal. 8.
9.
Nada yang digunakan pada
Nada
pantun
pantun
tersebut
digunakan
tersebut
pada
sombong.
Amanat yang terdapat pada
Amanat
pantun mengajarkan untuk
pantun mengajarkan untuk tidak
tidak menghina orang lain.
merendahkan orang lain.
yang
terdapat
pada
bahasa - Menggunakan bahasa sehari-
sehari-hari
1
bernada
menghina
- Menggunakan 10.
bernada
yang
2
5
hari
- Mudah dipahami
- Mudah dipahami
- Terdapat nilai moral di - Terdapat nilai moral di dalam dalam pantun tersebut.
pantun tersebut.
Penilaian sikap dalam pelajaran membaca Kemampuan Membaca No.
1. 2. 3.
Nama Siswa
Dapat dipercaya
Rasa hormat dan perhatian
Tekun
K Tanggung Jawab
Berani
Nilai e t
Dst. Catatan a.
:
Kolom perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut. 1 = sangat kurang 2 = kurang 3 = sedang 4 = baik 5 = amat baik
b.
Nilai merupakan jumlah dari skor-skor tiap indikator.
c.
Keterangan diisi dengan kriteria berikut. 1) Nilai 18-20 berarti amat baik 2) Nilai 14-17 berarti baik 3) Nilai 10-13 berarti sedang 4) Nilai 6-9 berarti kurang 5) Nilai 0-5 berarti sangat kurang
Jakarta, 16 April 2015 Mengetahui, Guru Pamong
Guru Mata Pelajaran
Dra. Jayuni
Indah Wardah
NIP. 196310201993032001
NIM.1111013000039
LATIHAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI 3 JAKARTA 2014/2015 Nama
:
Kelas
:
Pilihlah salah satu puisi (pantun) berikut ini!
Pantun 1
Pantun 2
Pohon cemara batangnya lurus
Biar kurus-kurus gue centeng
Ketiup angin pohon bergoyang-goyang
Tujuh hari tujuh malem betapa di genteng
Abang punya jawara badannya kurus
Biar kate gue kurus jangan anggap enteng
Aye tiup juga dia meriang
Kebo gue tending nyangsang di genteng
No. 1.
Aspek yang dinilai
Jawaban
Temukanlah tipografi pada pantun
Skor Maksimum 1
diatas! 2.
Temukanlah
diksi
pada
pantun
1
Temukanlah citraan pada pantun
1
diatas! 3.
diatas! 4.
Temukanlah
gaya
bahasa
pada
1
rima
pada
pantun
1
tema
pada
pantun
1
7.
Temukalah rasa pada pantun diatas!
1
8.
Temukanlah
pantun
1
Temukanlah amanat pada pantun
2
pantun diatas! 5.
Temukanlah diatas!
6.
Temukanlah diatas!
nada
pada
diatas! 9.
diatas!
10.
Apa hal-hal khusus (menarik) yang terdapat di pantun tersebut?
5
DATA HASIL WAWANCARA
Waktu
: Kamis, 22 Januari 2015
Tempat
: Sanggar Seni dan Kebudayaan Betawi SABA Pusat dan Cabang
Pewawancara : Menurut abang, apa arti dari palang pintu? Narasumber
: Palang pintu dalam SABA ini adalah simbol bahwa pernikahan mempunyai tantangan dan ujian. Siapa yang mampu mengalahkan tantangan dari ujian tersebut, dapat dikatakan pantas untuk melakukan pernikahan bagi kedua mempelai. Nah, jadi palang pintu itu berisi tentang pantun yang saling menjatuhkan jagoan antara mempelai wanita dan mempelai pria.
Pewawancara : Sejak kapan ada tradisi buka palang pintu ditanah Betawi? Narasumber
: Untuk sejarahnya, saya tidak tahu. Saya rasa mungkin zaman Belanda juga ada. Tapi namanya “ngerudat” artinya itu dari pihak mempelai wanita bertarung dengan mempelai pria. Ada istilah palang pintu itu dari berbalas pantun artinya ada nilai perjuangan dalam pernikahan.
Pewawancara : Bagaimana urutan untuk buka palang pintu? Narasumber
: Pertama, pihak laki-laki diiringi alat kecipring, kalau sekarang memakai marawis diiringi lagu islami. Kedua, mengucapkan salam. Ketiga, adanya hadangan dari para jawara pihak pengantin perempuan terhadap rombongan pengantin pria yang menanyakan maksud kedatangan rombongan tersebut. Kemudian terjadi tanya-jawab dalam bentuk berbalas pantun yang sekaligus meminta dua syarat yang harus dilalui oleh pihak pengantin pria, yakni mengalahkan para jawara yang menghadangnya dan pertunjukkan kebolehannya dalam mengaji.
Pewawancara : Apa persyaratan agar dapat memainkan palang pintu sanggar SABA?
Narasumber
: Tidak ada persyaratan semua orang bisa memainkan palang pintu. Bahkan anak kecil usia 5 tahun bisa memainkan palang pintu.
Pewawancara : Apa tarian yang digunakan dalam permainan palang pintu sanggar SABA? Narasumber
: Beksi
Pewawancara : Arti dari beksi sendiri itu apa? Narasumber
: Beksi itu artinya pertahanan dari empat penjuru atau beksi juga berupa singkatan yang dapat diartikan berbaktilah engkau pada seruan Illahi. Silat beksi merupakan kebudayaan Betawi yang hampir tidak terlihat dibandingkan kebudayaan Betawi lainnya, seperti ondel-ondel. Adapun untuk jurus-jurusnya, kami memakai sembilan jurus, seperti: 1. Jurus beksi dasar (pembuka) Jurus pembuka yang mengeluarkan teknik pukulan dan membuka pukulan dengan tangan memotong. Disusul dengan pukulan tangan kiri dan tepak sikut ke depan. Setiap jurus menggunakan hentakkan kaki. Jurus ini berfungsi memukul dan mematahkan tangan. 2. Jurus oleng badan Setiap pukulan di adakan gerakan menarik tangan yang membentuk sebuah sikut diisertai olengan badan. Jurus ini berfungsi untuk menghindari serangga. 3. Jurus junjung (tunjangan langit) Bagian dasar murid untuk bisa mendukung teknik sambutan. Jurus ini menggunakan hampir semua elemen tubuh untuk melakukan penyerangan lawan. 4. Jurus rambet Jurus rambet merupakan jurus merambet atau menarik tangan lawan disertai dengan hentakan kaki. Jurus ini berfungsi menarik serangan tangan lawan disertai dengan memukul dan menginjak kaki lawan agar lawan tidak menyerang.
5. Jurus gedor Jurus gedor merupakan jurus menggedor lawan menggunakan sikut atau tangan. Jurus ini berfungsi untuk menarik tangan lawan dibarengi dengan menggunakan gerakan gedor di ulu hati. 6. Jurus broneng Jurus yang didominasi oleh sikut tangan. Jurus ini berfungsi untuk menjepit, mematahkan, menangkis dan menggedor lawan. Jurus ini bisa melawan lebih dari satu orang lawan. 7. Jurus lokbe (cabut pisau) Jurus dimana kedua telapak tangan dipadukan dan digerakain ke arah kiri dan kanan disertai cabut pisau. Jurus ini berfungsi untuk melintir lawan dibarengi mencabut pisau dan diarahkan ke lawan. 8. Jurus cauk debug Jurus ini menjatuhkan diri ke tanah sambil membuka salah satu telapak tangan. Jurus ini dapat menggunakan media apa saja yang ada di tanah untuk melemparkan ke arah lawan. Ini merupakan salah satu jurus tidak sportif, jurus ini berfungsi untuk mempertahankan diri dimana saat kondisi terdesak baik debu atau pasir dilemparkan ke mata lawan untuk membela diri. 9. Jurus loseng Jurus loseng merupakan jurus yang di arahkan ke bagian kaki lawan. Jurus ini berfungsi untuk menarik kaki lawan baik tendangan maupun dalam posisi berdiri, dengan tujuan melemparkan atau menjatuhkan tubuh lawan. Pewawancara : Selain pernikahan adat Betawi, palang pintu biasanya digunakan dalam acara apa? Narasumber
: Acara sambutan penjabat, acara pembukaan gedung dan kesenian Betawi.
Pewawancara : Untuk pantun yang digunakan dalam permainan palang pintu sanggar SABA berasal darimana? Narasumber
: Pantunnya sendiri berasal dari karya ciptaan saya sendiri, internet dan buku-buku pantun palang pintu.
Pewawancara : Berapa jumlah pantun yang digunakan dalam permainan palang pintu sanggar SABA? Narasumber
: Jumlah pantunnya sekitar kurang lebih 20an pantun.
Pewawancara : Apa ciri khas pantun dalam palang pintu sanggar SABA? Narasumber
: Adanya kesamaan akhir ab-ab, aa-aa.
Pewawancara : Pertanyaan terakhir, Apa harapan abang untuk para generasi penerus budaya Betawi? Narasumber
: Harapan saya agar orang Betawi mempunyai nilai-nilai budaya Betawi tinggi dan orang Betawi jangan selalu terpinggirkan artinya orang Betawi bisa menjadi seorang pemimpin di tanahnya sendiri.
SKRIP PALANG PINTU SABA TAMU ASSALAMU’ALAIKUM… TUAN RUMAH WA’ALAIKUM SALAM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH TAMU METIK CEREME RAME-RAME.. TUAN RUMAH SIAPA ITU RAME-RAME ??? TAMU TAMU BARU NYAMPE… TUAN RUMAH OH…ADA TAMU BARU NYAMPE.. UDEH TERSANGKUT PAKU MALAH TERTIMPA DURI… KALAU AYE BOLEH TAU APE TUJUAN ABANG DATENG KE MARI ??? TAMU OH..ABANG MAU TAU MAKSUD TUJUAN AYE DATENG KE MARI ??? BEGINI BANG !!! BURUNG ANIS TERBANGNYE MALEM BURUNG KENARI TERBANG DI SIANG HARI … KALAU BUKAN LANTARAN PERAWAN MANIS YANG ADE DI DALEM BELUM TENTUNYA AYE DATENG KEMARI… TUAN RUMAH OH MAKSUD TUJUAN ABANG DATENG KEMARI LANTARAN PERAWAN AYE YANG MANIS ??? TAMU IYE BANG.. TUAN RUMAH EH DENGERIN NI BANG… TERBANG KE AWAN SI BURUNG ANIS… MENTOK DI KARANG MASUK KE KAMAR PERAWAN AYE EMANG MANIS TAPI BUKAN SEMBARANG PERJAKE YANG BISA NGELAMAR TAMU OH…BEGITU BANG !!! JADI PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN ??? DENGERIN NI BANG… DARI SEWAN KE SAWANGAN ADE PERJAKE LAGI DI MANDIIN BIAR KATE PERAWAN ABANG BUKAN SEMBARANG PERAWAN TETEP AJE NI PERJAKE BAKAL JADIIN…
TUAN RUMAH EH BANG ANE BILANGIN YE.. MENDING ABANG PERGI KE CIKINI DARI PADA KESENAYAN EHH MENDING ABANG ANGKAT KAKI DARI SINI DARI PADA HAJAT ABANG KAGA KESAMPEAN.. TAMU WADUHHH NGUSIR DIA.. EH BANG IBARAT BAJU UDAH KEPALANG BASAH MASIK NASI JADI BUBUR BIAR KATE AYE MATI BERKALANG TANAH SEJENGKAL JUGA AYE KAGA BAKALAN MUNDUR.. TUAN RUMAH JADI ENTE KAGA MAO MUNDUR ??? TAMU LAH PEGIMANA MAO MUNDUR..ORANG DIBELAKANG ADA ROMBONGAN BESAN TUAN RUMAH IKAN SAPU-SAPU MATI DITUSUK DALAM KUALI KUDU MASAKNYE.. NI PALANG PINTU KAGA IZININ ROMBAGAN PADE MASUK SEBELUM ABANG PENUHIN PERSYARATANNYE.. TAMU OHH JADI KALO MAO DEPETIN NI PERAWAN ADA SYARATNYE BANG ??? TUAN RUMAH ADALAH..MAO JADI PELAYAN AJE ADA SYARATNYE.. APALAGI MAO AMBIL ANAK PERAWAN ORANG.. TAMU BANG..KE TANAH ABANG MEMBELI LIMO.. JANGAN LUPE SAMBEL KECAPNYE.. KALO EMANG ITU YANG ABANG MAO SEBUTIN DAH SYARAT-SYARATNYE.. TUAN RUMAH BEGINI PERATURANNYE BANG … UDEH PELAN-PELAN TERSANGKUT KAWAT AYAM JAGO TERTIMPE BATU… PASANG KEPELAN ABANG BIAR KUAT… NIH LONGKAIN DULU JAWARA AYE SATU PERSATU.. TAMU OH…BEGITU PERATURANNYE BANG … AYE TERIMA ABANG PUNYE PERATURAN… TAPI DENGERIN DULU NI BANG… AYAM JAGO ABANG EMANG CAKEP TAPI SAYANG JALANNYA BAPLANG.. JAGOAN ABANG KELIATANNYE CAKEP TETEP AJE AYE BAKALAN KEMPLANG…
TUAN RUMAH EH BANG… SEMUT RANGRANG KAGE BERCONCOT.. SUKA NGERUBUTIN TIMUN PUAN… JADI ORANG JANGAN BANYAK BACOT COBA TUNJUKIN ABANG PUNYE KEMAMPUAN… TAMU OH…ABANG PENGEN TAU JAGOAN AYE PUNYE KEMAMPUAN ??? TUAN RUMAH IYE BANG… TAMU COBA DEH ENTE TUNJUKIN KALAU ENTE PUNYE KEMAMPUAN … # JAWARA (TUAN RUMAH) # MAKAN KUE PUTU DI BAGI TIGA NAEK GETEK KE RAWABUAYE.. CUMAN SEGITU YANG ENTE BISA MASIH CETEK BUAT AYE.. # JAWARA (TAMU) # BANG..NONTON LENONG PERGI KE MONAS TANPA ALAS KAKI PUN PANAS.. EH BANG KALO NGOMONG JANGAN PANAS-PANAS GUE BELAH PALA LU KAYA NANAS # JAWARA (TUAN RUMAH) # BUSE…LUH NANTANGIN…MAJULUH… TAMU YAHHHH BANG… AYE KATE JUGA APE BANG… ADE LINTAH LAGI NGAMBANG.. AYE KATE JUGA APE BANG… PATAH DEH LEHER JAGOAN ABANG… TUAN RUMAH PAYAH LUH…BEGITU AJE KALAH… LU KAN UDEH DITES TIDUR DI ATAS GERGAJI KAGA’ APEAPE…NGAPA BISE KALAH… EH BANG…JANGAN SENENG DULU… ADE LINTAH MAKAN PEPAYE.. LINTAH MATOK DI BUNGKUS KAEN.. WALAUPUN PATAH LEHER JAGOAN AYE AYE MASIH PUNYA STOK JAGOAN YANG LAEN… # JAWARA (TAMU) # EMANG BENER BANG ADE LINTAH DI BUNGKUS KAEN… TAPI AYE ITUNGIN BERIBU SATU… WALAUPUN ABANG PUNYE JAGOAN YANG LAEN AYE ADEPIN SATU PERSATU… # JAWARA (TUAN RUMAH) # UDEH BANG JANGAN BANYAK BACOT…MAJU LUH KEDEPAN TAMU
BELAJAR BEKSI JANGAN DI SETOP…KARENA BERGURU DI HAJI ABA… JAGOAN AYE EMANG NGETOP LANTARAN BERGURU DI PADEPOKAN SABA… BAGAIMANA BANG…ABANG TENTUNYE UDAH LIAT KEMAMPUAN JAGOAN AYE… TUAN RUMAH OK DEH BANG…AYE AKUIN KEMAMPUAN JAGOAN ABANG… TAMU OH…JADI AYE BOLEH MASUK NI… TUAN RUMAH EEIITT!! ENTAR DULU!! TAMU ENTAR DULU MULU, NUNGGU APAAN LAGI?? TUAN RUMAH TADI KAN LU KATA LAPAR?? NOH IKAN GURAME ELU SIANGIN KALO UDEH TAR GUA YANG BAWA SARAT PERTAME BOLEH UDAH LU PENUHIN TAPI MASIH ADE SARAT YANG KEDUA TAMU JADI MASIH ADA SARAT LAGI? TUAN RUMAH MASIH ADE BANG! BURUNG DARA BURUNG KENARI RENDAH TERBANGNYE DI PUUN KRANJI SELAEN BISA BUAT JAGA DIRI CALON MANTU JURAGAN AYE JUGA HARUS BISA NGAJI ITU TUAN RAJA LU BISA NGAJI KAGA? TAMU JADI ITU SARAT YANG KEDUA? KAGA SALAH BANG, NIH TUAN RAJA AYE UMUR 2TAUN AJA UDAH BISA BACA PATEHAH BANG, UMUR 5TAUN UDAH NGIKUT MIMPIN TAHLIL! TUAN RUMAH DIA YANG MIMPIN? TAMU BUKAN, PAK USTAD! DIA MAH NENTENG BERKAT DOANK! BANG, KALO MAO MOTONG KELAM PAKE GERGAJI GERGAJINYA KUDU DITAJEMIN NAMANYA ORANG ISLAM EMANG HARUS BISA NGAJI NIH MURIDNYA NGAJI ELU DENGERIN TUAN RUMAH SUBHANALLAH, PINTER BENER MURIDNYA NGAJI,, TAMU ITU BARU MURIDNYE YANG PERTAMA BANG! TUAN RUMAH
OWHH JADI ADA MURIDNYE YANG LAEN? TAMU KAGA ADA BANG, DIA DOANK SATU-SATUNYA!! JADI PEGIMANE BANG? APA MASIH ADA SARAT LAGI? TUAN RUMAH AYE KIRA CUKUP BANG, CALON MANTU BEGINI YANG JURAGAN AYE CARI.. TAMU JADI UDAH BOLEH MASUK? TUAN RUMAH UDEH BANG.. KAGA PUNTUNG KAGA BENDO BAJANG-BAJANG DI PUUN KARA ADA UNTUNG ADA JODO KITA PANJANG-PANJANG SANAK SODARA TAMU KALO BEGITU BANG, GUNUNG MELETUS DI MEDAN DELI ASEPNYA KELUAR SAMPE MUARA BIAR PUTUS AER DI KALI JANGAN PUTUS KITA BERSODARA TUAN RUMAH AHLAN WA SAHLAN BIDHUHURIKUM!! TAMU ASSALAAMU'ALAIKUM TUAN RUMAH WA'ALAIKUM SALAAM
KUMPULAN FOTO SANGGAR SABA
Latihan beksi Sanggar SABA
Latihan beksi Sanggar SABA
Rombongan dari mempelai pria
Rombongan dari mempelai wanita
Pertarungan antara jawara mempelai pria dan wanita
Pertarungan antara jawara mempelai pria dan wanita
BIODATA PENULIS INDAH WARDAH dilahirkan di Jakarta pada 15 Februari 1992. Anak keempat dari lima bersaudara, pasangan Sadeli dan Maisuroh ini tinggal di jalan darma wanita V Rt/Rw 05/01 Rawa Buaya Cengkareng Jakarta Barat 11740. Riwayat pendidikan, penulis pernah sekolah di MI Shirathul Rahman tahun 1998, kemudian melanjutkan di sekolah MTs Annida Al-Islami tahun 2005, dan di sekolah SMA Negeri 94 Jakarta tahun 2008. Pada tahun 2011 meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang penulis sedang menyelesaikan skripsi dengan judul “Struktur Pantun pada Seni Budaya Palang Pintu Betawi dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP” sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.