STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH PROGRAM WAJIB BELAJAR JALUR PENDIDIKAN FORMAL DI KABUPATEN BOGOR
PRIMA YUNITA PARAMATA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Agustus 2012
Prima Yunita Paramata NRP H 252100035
ABSTRACT PRIMA YUNITA PARAMATA. Strategy to Increase School Participation Compulsory Education Program at Formal Education in Bogor District. Under direction of SUMARDJO and LUKMAN M. BAGA Implementation of primary and secondary education is one of the local government authority. In secondary education, the school participation rate is still less than 50 percent. There are four factors thought to affect the school participation rate, namely (1) internal factors of education, for example classroom capacity, availability of teachers, and the quality of education providers (2) conditions of community, for example parental income and education, interset of child to attend school, and child’s gender, (3) character of the area, like agriculture, trade/service,and industry, (4) local funding for education. The aims of this research are to analyze the internal education factors, conditions of community factors, character of the area that affect of school participation rate, the independence of local education funding, and to formulate the priorities strategic to improve the school participation. Multiple Linear Regression Analysis Method is used to analyze the internal education factors, Binary Logistic Regression Method is used to analyze the conditions of community factors, and character of the area, and the Independent Ratio is used to analyze the independence of local education funding. SWOT analysis is used to formulate the priorities strategic, followed by road map strategy to map these strategies in several years through a strategic architecture approach. According to the result of statistical test, classroom capacity is only one factor that significantly influence in the internal education factors. School participation rate will increase about 7,69 percent with the increasing of one percent of calssroom capacity. Parental education is significant influence in the conditions of community factors. Parents who graduated from junior high school and above are more likely to increase school participation than parents who graduated from elementary school and below. Agriculture and trade/service area are significant influence in character of the area. Trade/service area is more likely to increase school participation than agriculture and industry area. The independence of secondary education funding is showed a decrease from year to year. In 2008, the independence ratio is about 1.298, but in 2011, the independence ratio is about 38. There are nine strategies will be implemented through three policies in stages for five years with 11 programs and 21 projects that expected to improve the school participation. Signing of the MoU with the business, land acquisition, easements permitting for the establishment of schools, relocation of teachers, incentives permitting for teacher in certain areas and socialization of 12 years compulsory education are activities that allows performed in the first year. Keywords : school participation rate, internal education factors, conditions of community factors, character of the area, local education funding, strategic priority.
RINGKASAN PRIMA YUNITA PARAMATA. Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor. Dibimbing Oleh SUMARDJO dan LUKMAN M. BAGA. Penyelenggaraan pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia agar memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk membangun negara. Dalam rangka menyukseskan tujuan tersebut, pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar dan menyerahkan kewenangan penyelenggaraan pendidikan hingga jenjang pendidikan menengah kepada pemerintah daerah kabupaten /kota. Hingga saat ini, program wajib belajar tersebut belum dapat dituntaskan. Hal ini terlihat dari masih rendahnya capaian angka partisipasi sekolah terutama pada jenjang pendidikan menengah. Tingkat partisipasi sekolah yang diukur melalui capaian angka partisipasi murni pada jenjang pendidikan dasar formal di tingkat sekolah dasar di Kabupaten Bogor telah mencapai 115,43 persen dan untuk tingkat sekolah menengah pertama telah mencapai 87,52 persen hingga tahun 2011, namun pada jenjang pendidikan menengah formal baru mencapai 38,54 persen. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Terdapat empat hal utama yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah, yaitu: (1) faktor internal pendidikan, meliputi : (a) ketersediaan daya tampung yang dalam hal ini diwakili oleh ketersediaan jumlah ruang kelas yang layak pakai, (b) ketersediaan guru yang berkualifikasi, dan (c) kualitas penyelenggaraan pendidikan yang diwakili oleh jumlah sekolah terakreditasi. (2) Faktor kondisi masyarakat, meliputi (a) penghasilan orang tua, dengan membandingkan antara penghasilan yang berada di bawah dan di atas UMK, dimana UMK Kabupaten Bogor pada tahun 2011 sebesar Rp 1.172.000,00 (b) pendidikan orang tua, dengan membandingkan antara orang tua yang berpendidikan SD ke bawah dan yang berpendidikan SMP ke atas, (c) minat anak bersekolah, dengan membandingkan antara anak yang berminat sekolah dengan anak yang tidak berminat sekolah, dan (g) jenis kelamin anak, dengan membandingkan antara laki-laki dan perempuan. (3) Faktor karakteristik wilayah, dengan membandingkan antara karakter pertanian, perdagangan jasa dan industri, serta (4) Faktor ketersediaan dana pendidikan. Berdasarkan beberapa faktor tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis seberapa jauh pengaruh faktor-faktor internal pendidikan, kondisi masyarakat, karakteristik wilayah dan dukungan pendanaan dari pemerintah Kabupaten Bogor terhadap tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Diharapkan dari hasil analisis tersebut akan terumuskan prioritas strategi yang tepat diambil oleh Pemerintah kabupaten Bogor dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah khususnya pada jenjang pendidikan menengah. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor internal pendidikan terhadap tingkat partisipasi sekolah digunakan metode analisis regresi linear berganda. Metode analisis regresi logistik biner digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor kondisi masyarakat dan faktor karakteristik wilayah terhadap partisipasi sekolah. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh keeratan hubungan antar variabel serta analisis rasio kemandirian pendanaan pendidikan digunakan untuk mengetahui kemandirian Pemerintah Kabupaten
Bogor dalam pendanaan pendidikan menengah. Dengan menggunakan analisis deskriptif diharapkan dapat membantu menggambarkan dan menjelaskan secara deskriptif faktor-faktor yang dibutuhkan dalam mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang akan digunakan untuk merumuskan strategi melalui analisis SWOT. Identifikasi faktor internal dibatasi pada faktor internal pendidikan, sedangkan identifikasi faktor eksternal dibatasi pada faktor kondisi masyarakat, karakteristik wilayah, dan pendanaan Pemerintah Kabupaten Bogor terhadap pendidikan menengah. Hasil perumusan strategi melalui analisis SWOT kemudian dipetakan dalam bentuk prioritas strategi berdasarkan Road Map Strategy melalui pendekatan arsitektur strategi. Hasil analisis regresi linear menunjukkan bahwa ketersediaan daya tampung berpengaruh secara signifikan dengan tingkat kepercayaan α=0,05 terhadap angka partisipasi murni dengan nilai korelasi sebesar 0,7. Sedangkan ketersediaan guru yang berkualifikasi dan jumlah sekolah yang terakreditasi tidak berpengaruh signifikan terhadap capaian angka partisipasi murni dengan tingkat korelasi masing-masing sebesar 0,1 dan 0,2. Persamaan menunjukkan bahwa penambahan satu persen jumlah ruang kelas yang layak pakai akan meningkatkan 7,69 persen angka partisipasi murni. Adapun penambahan satu persen jumlah guru yang berkualifikasi hanya dapat meningkatkan capaian APM sebesar 0,08 persen, sedangkan penambahan satu persen jumlah sekolah yang terakreditasi hanya mampu meningkatkan capaian APM sebesar 0,05 persen. Hasil analisis regresi logistik biner terhadap faktor kondisi masyarakat menunjukkan bahwa secara bersamaan, hanya variabel pendidikan orang tua yang berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah. Orang tua yang berpenghasilan di atas UMK dan berpendidikan SMP ke atas lebih berpeluang menyekolahkan anaknya daripada orang tua yang berpenghasilan di bawah UMK dan berpendidikan SD ke bawah. Anak yang berminat sekolah dan berjenis kelamin perempuan lebih berpeluang untuk bersekolah pada jenjang pendidikan menengah dibandingkan dengan anak yang tidak berminat sekolah dan laki-laki. Hasil analisis regresi logistik biner terhadap faktor karakteristik wilayah menunjukkan bahwa wilayah pertanian dan perdagangan/jasa berpengaruh signifikan terhadap partisipasi sekolah. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah yang berkarakteristik perdagangan/jasa lebih berpeluang untuk bersekolah dibandingkan dengan penduduk di wilayah industri dan pertanian. Hasil analisis rasio kemandirian menunjukkan bahwa ketergantungan Pemerintah Kabupaten Bogor terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi semakin lama semakin meningkat. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya rasio kemandirian daerah, yakni 1.298 pada tahun 2008 menjadi 38 pada tahun 2011. Berdasarkan hasil analisis SWOT dapat dirumuskan sembilan strategi, meliputi dua strategi agresif, dua strategi stabilitasi/rasionalisasi, empat strategi diversifikasi dan satu strategi defensif. Strategi tersebut digunakan untuk menjalankan tiga kebijakan prioritas, yaitu (1) kebijakan optimalisasi pendanaan pendidikan menengah, (2) kebijakan peningkatan faktor internal pendidikan, dan (3) kebijakan peningkatan kondisi masyarakat. Prioritas strategi tersebut dipetakan melalui Road Map Strategy dengan pendekatan arsitektur strategi dalam bentuk pelaksanaan program/kegiatan untuk jangka waktu lima tahun dengan urutan sebagai berikut : (1) strategi optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan menengah. Strategi ini diimplementasikan ke dalam dua program yakni kerjasama pendanaan pendidikan dan penggalangan dana pendidikan untuk wajib belajar 12 tahun. Kerjasama pendanaan dapat ditempuh melalui kegiatan penandatanganan kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri
pada tahun pertama, sedangkan penggalangan dana pendidikan dapat ditempuh melalui kegiatan gerakan sadar menabung siswa sembilan tahun yang bisa dilakukan pada tahun keempat. (2) Meningkatkan aksesibilitas pendidikan di wilayah tertentu. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni pengembangan fasilitas terutama di wilayah pertanian yang ditempuh melalui empat kegiatan, yaitu pengadaan lahan pada tahun pertama, pemberian kemudahan perijinan bagi pembangunan sekolah baru pada tahun pertama, pembangunan sekolah baru pada tahun ketiga, dan pembangunan sekolah berbasis karakter wilayah pada tahun kelima. (3) Strategi optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah. Strategi ini diimplementasikan ke dalam dua program, yaitu peningkatan daya tampung siswa terutama di wilayah pertanian dan penataan guru. Peningkatan daya tampung dapat ditempuh melalui tiga kegiatan yaitu pendirian SD-SMP-SMA satu atap yang memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun kedua, penambahan waktu oprasional sekolah yang memungkinkan dilaksanakan pada tahun ketiga, dan penambahan ruang kelas baru yang bisa dimulai pada tahun keempat. Sedangkan pemerataan pendidikan dapat ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu relokasi guru pada tahun pertama, pemberian insentif bagi guru khusus di wilayah tertentu pada tahun kedua, dan rekrutmen guru daerah yang bisa dilaksanakan pada tahun ketiga. (4) Strategi memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yang ditempuh melalui dua kegiatan, yaitu rehabilitasi ruang kelas pada tahun kedua dan akreditasi lembaga pendidikan pada tahun kelima. (5) Strategi pemberian jaminan pendidikan daerah bagi siswa. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni bantuan daerah untuk siswa yang ditempuh melalui kegiatan pemberian beasiswa daerah dimulai pada tahun ketiga. (6) Strategi meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni sosialisasi wajib belajar 12 tahun yang ditempuh melalui kegiatan gerakan sadar sekolah 12 tahun yang dimulai pada tahun pertama. (7) Strategi meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat. Strategi ini dapat dilaksanakan ke dalam satu program yaitu peningkatan kepedulian terhadap pendidikan masyarakat yang ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu pemberlakuan kuota siswa khusus untuk sekolah peduli lingkungan pada tahun keempat, pemberian beasiswa oleh sekolah swasta pada tahun kelima, dan penerapan sekolah murah bagi siswa kurang mampu pada tahun kelima. (8) Strategi meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni peningkatan peran komite sekolah yang ditempuh melalui kegiatan optimalisasi komite sekolah pada tahun ketiga. (9) Strategi meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Strategi ini diimplementasikan ke dalam satu program yakni optimalisasi lintas sektor yang ditempuh melalui kegiatan-kegiatan lintas sektor dan dapat dimulai pada tahun kedua. Kata kunci : tingkat partisipasi sekolah, faktor internal pendidikan, faktor kondisi masyarakat, faktor karakteristik wilayah, pendanaan pendidikan daerah, priotitas strategi.
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH PROGRAM WAJIB BELAJAR JALUR PENDIDIKAN FORMAL DI KABUPATEN BOGOR
PRIMA YUNITA PARAMATA
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr. Ir. Rasidin Karo-Karo Sitepu, M.Si
Judul Tesis
:
Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor
Nama
:
Prima Yunita Paramata
NRP
:
H 252100035
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S, M.Ec
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 20 Juli 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah peningkatan partisipasi sekolah, dengan judul Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S dan Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Rasidin Karo-Karo Sitepu, M.Si dan Bapak A.Faroby Falatehan, SP, M.Si yang telah banyak memberikan saran. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S, M.Ec selaku ketua program studi Manajemen Pembangunan Daerah beserta segenap staf, Bupati Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan tugas belajar, pimpinan dan staf Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Bogor yang telah membantu kelancaran studi, Bapak Ujang Jelani dan Bapak Alexander yang membantu memberikan saran dalam pengumpulan dan pengolahan data, teman-teman MPD XII atas dukungannya, seluruh responden di Desa karehkel, Kelurahan Cisarua dan Desa Kembang Kuning yang telah membantu memberikan informasi yang dibutuhkan, serta mama, papa dan mertua atas segala doa dan dukungannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta, Nana Sarip Sumarna UP dan anak-anak tersayang, Alhana, Alyana dan Alqana yang telah memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus serta kekuatan dan doa bagi penulis untuk tetap semangat menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Agustus 2012
Prima Yunita Paramata
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 10 Juni 1973 dari ayah Ir. Katili Paramata dan ibu Dra. Heryaningsih. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1990 penulis menamatkan pendidikan SMA dan mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih jurusan Sosial Ekonomi Perikanan pada Fakultas Perikanan IPB dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2010 penulis mendapatkan beasiswa tugas belajar dari Pemerintah Kabupaten Bogor untuk melanjutkan pendidikan S2 pada program studi Manajemen Pembangunan Daerah IPB. Penulis pernah bekerja sebagai peneliti pada divisi penelitian dan pengembangan PT. Japfa Comfeed Indonesia yang bergerak pada bidang pakan ternak di Banyuwangi, serta bekerja sebagai guru ekonomi dan akuntansi SMA pada Yayasan Bina Bangsa Sejahtera di Bogor. Sekarang ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Subbid Pendidikan dan Kesehatan, Bidang Kesejahteraan rakyat dan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
..............................................................................................
DAFTAR TABEL
i
.......................................................................................
iii
.................................................................................
v
...............................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I.
PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 1.3 Tujuan ................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
1 1 4 6 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2.1 Pendidikan Sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi ...... 2.2 Definisi Pendidikan yang Terkait Penelitian ............................ 2.3 Penyelenggaraan Pendidikan dalam Otonomi Daerah .............. 2.4 Peran Pendidikan dalam pembangunan Wilayah .................. 2.5 Pelayanan dan Mutu Pendidikan ........................................... 2.6 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah ........
9 9 10 11 12 13 15
III.
METODE PENELITIAN ................................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................ 3.2 Lokasi dan Waktu kajian ......................................................... 3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 3.4 Metode Analisis data .............................................................. 3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif ........................................ 3.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda ............................ 3.4.3 Analisis Regresi Logistik Biner ................................. 3.4.4 Analisis Korelasi ...................................................... 3.4.5 Analisis rasio Kemandirian ....................................... 3.5 Metode Perumusan Strategi ................................................... 3.5.1 Analisis SWOT ...........................................................
25 25 28 29 33 33 33 34 36 36 37 37
IV.
KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR ........................................ 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi ...................................... 4.2 Kondisi Kependudukan ........................................................... 4.3 Kondisi Perekonomian ............................................................ 4.4 Kondisi Sosial ......................................................................... 4.5 Kondisi Umum Pendidikan di Kabupaten Bogor .....................
41 41 44 47 49 52
V.
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL PENDIDIKAN ................................. 5.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh variabel Faktor Internal terhadap Partisipasi Sekolah ............................................... 5.2 Daya Tampung Sekolah .......................................................... 5.3 Ketersediaan Guru .................................................................. 5.4 Penyelenggara Pendidikan dan Kualitas
55 55 58 61
VI.
VII.
Penyelenggaraan Pendidikan ................................................. 5.4.1 Capaian Angka Partisipasi Murni ............................ 5.4.2 Jumlah dan Kualitas Ruang Kelas ......................... 5.4.3 Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan ....................
64 65 66 66
FAKTOR-FAKTOR KONDISI MASYARAKAT ................................ 6.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah ............................. 6.2 Faktor Orang Tua .................................................................... 6.2.1 Penghasilan Orang Tua ............................................. 6.2.2 Pendidikan Orang Tua ............................................... 6.3 Faktor Anak ........................................................................... 6.3.1 Minat Anak Bersekolah ............................................ 6.3.2 Jenis Kelamin ...........................................................
69 69 70 71 73 75 75 75
FAKTOR KARAKTERISTIK WILAYAH ............................................ 7.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah ..............
79
VIII. DUKUNGAN PENDANAAN PENDIDIKAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR ..................................................................... 8.1 Kemandirian Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 8.2 Alokasi Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 8.3 Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor ........
83 83 83 88
IX.
X.
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH ............. 9.1 Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT ................. 9.1.1 Identifikasi faktor Kekuatan (Strengths) ........... 9.1.2 Identifikasi Faktor Kelemahan (Weaknesses) ........ 9.1.3 Identifikasi Faktor Peluang ( Opportunities) ........... 9.1.4 Identifikasi Faktor Ancaman (Threats) .............. 9.2 Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT .... 9.2.1 Strategi S-O (Aggressive Strategies) .................. 9.2.2 Strategi W-O (Turn-Around Strategies) ................. 9.2.3 Strategi S-T (Diversification Strategies) ................. 9.2.4 Strategi W-T (Defensive Strategies) ................. 9.3 Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/kegiatan Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Strategi ............................................................... 9.3.1 Kebijakan Peningkatan Pendanaan Pendidikan........... 9.3.2 Kebijakan Peningkatan Faktor Internal Pendidikan ... 9.3.3 Kebijakan Peningkatan Kondisi Masyarakat Terutama di Wilayah Pertanian .............................................
79
93 93 93 94 96 97 98 99 100 101 102
103 106 106 111
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 115 10.1 Kesimpulan ........................................................................... 115 10.2 Saran ...................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 119 LAMPIRAN ................................................................................................ 124
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Persentase Data Putus Sekolah di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia Tahun 2006-2009 .........................................................
3
Perbandingan Jumlah Siswa Pada Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 .................................
4
Kriteria Penentuan Kawasan Berdasarkan Sektor Pertanian, Perdagangan/Jasa, serta Industri ...................................................
30
4.
Pemilihan Kecamatan Sampel Berdasarkan Kategori Sektor dan APM
31
5.
Tujuan, Metode, Jenis dan Sumber Data
32
6.
Batasan Faktor Internal dan Eksternal dalam Analisis SWOT
....
37
7.
Matriks SWOT .....................................................................................
38
8.
Kondisi Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2012
43
9.
Pembagian Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bogor
10.
PDRB Kabupaten Bogor tahun 2007-2010
11.
Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
......................
49
12.
Laju Peningkatan Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 ................................................................................
50
Perbandingan Kasus Masalah Sosial di kabupaten Bogor Tahun 2007 dan tahun 2010 ...................................................................
51
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Pendidikan terhadap Tingkat Partisipasi Sekolah ............................................
56
Capaian APM SMA/Sederajat Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ....................................................................................
57
Penyelenggaraan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 .....................................................................................
59
Perbandingan Guru-Sekolah Formal pada Jenjang Pendidikan Menengah di Setiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 ....
62
2.
3.
13.
14.
15.
16.
17.
18. 19.
.......................................
.......................... ..............
44
....................................
48
Komposisi Jumlah Guru dan Perbandingannya terhadap Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ........................................................ Perbandingan Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 .........................................................
64 65
20.
Perbandingan Kualitas Ruang Kelas Antar Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011
.....
66
Status Askreditasi Sekolah di Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Sekolah Tahun 2011 .............................................................
67
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah .........................................................
66
23.
Keadaan Responden Berdasarkan Penghasilan...................................
71
24.
Responden Berdasarkan Penghasilan dan Jumlah Tanggungan Keluarga .........................................................................................
72
Perbandingan Hubungan Penghasilan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak di Lokasi Sampel .....................................................
73
26.
Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan
..........................
74
27.
Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Lokasi Sampel ...........................................................
74
Hubungan Minat Anak Bersekolah dengan Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lokasi Sampel ..........................................................
75
Perbandingan Anak yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah Berdasarkan Jenis Kelamin di Lokasi Sampel ................................
77
Hasil Anaklisis Statistik Pengaruh Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah .......................................................
79
Hubungan Antara Pekerjaan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Karakteristik Wilayah...............................................
81
32.
Perkembangan Belanja APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 ..
84
33.
Perbandingan antara Persentase Kenaikan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung pada Anggaran Pendidikan Tahun 2008-2011 ........................................................................................
87
Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Total Belanja Pendidikan ......................................................................................
88
Perbandingan Dana Bantuan terhadap Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 ..........................
90
21.
22.
25.
28.
29.
30.
31.
34.
35.
36.
Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor ................. 105
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
2.
Peringkat Pendidikan Indonesia terhadap Negara-Negara Asia Lainnya Tahun 2011 ......................................................................
2
Capaian Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Formal Tahun 2011 di Kabupaten Bogor...................................................
5
3.
Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar di Kabupaten Bogor.................................................. 27
4.
Letak Geografis Kabupaten Bogor ..................................................
41
5.
Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Wilayah............
45
6.
Struktur Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2010........................
45
7.
Persentase Penduduk Kabupaten Bogor yang Bekerja Menurut Sektor Tahun 2010.........................................................................
46
8.
Permasalahan Kependudukan di Kabupaten Bogor.......................
47
9.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010...
47
10.
Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010.....
48
11.
Laju Inflasi di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010.........................
49
12.
Masalah Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2010 Berdasarkan latar belakang............................................................
51
Perkembangan Jumlah Sekolah dalam Kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011..............................................
52
Perbandingan Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011..............................................................................
53
Perkembangan Jumlah Guru di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011.......................................................................................
53
Perbandingan Jumlah Guru Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011............................................................................
54
Kondisi Ruang Kelas Berdasarkan Jenis Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor tahun 2011..........................................
60
Perbandingan Capaian APM Penyelenggara Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2011..........................................
65
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Keadaan Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan.................
73
20.
Perbandingan Jumlah Anak Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Lokasi Sampel................................................................................
76
Perbandingan Antara Anak laki-laki dan Perempuan yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah..................................................
76
22.
Perbandingan Karakter Wilayah dengan Partisipasi Sekolah.........
80
23.
Perkembangan Rasio Kemandirian Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011................................................ 83
24.
Perkembangan Komposisi Belanja Langsung dan Tidak Langsung APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011.......................................
85
Perbandingan Belanja APBD dengan Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor tahun 2008-2011 ..............................................
86
Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung pada Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011.........
87
Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Belanja Langsung dan Total Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 ......................................................................................
89
Persentase Peningkatan Jumlah Dana Bantuan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011.........................
90
29.
Matriks Analisis SWOT dan Perumusan Alternatif Strategi ...........
99
30.
Road Map Prioritas Peningkatan Partisipasi Sekolah pada Jenjang Pendidikan Menengah di kabupaten Bogor...................................
113
21.
25.
26.
27.
28.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal terhadap APM
2.
3.
..........................................................................................
124
Hasil Analisis Statistik Logistik Biner untuk Faktor Kondisi Masyarakat ................................................................................
127
Hasil Analisis Statistik Logistik Biner Pengaruh Karakteristik Lingkungan terhadap Partisipasi Sekolah ....................................
132
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
..............................................................................................
DAFTAR TABEL
i
.......................................................................................
iii
.................................................................................
v
...............................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I.
PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 1.3 Tujuan ................................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................
1 1 4 6 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2.1 Pendidikan Sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi ...... 2.2 Definisi Pendidikan yang Terkait Penelitian ............................ 2.3 Penyelenggaraan Pendidikan dalam Otonomi Daerah .............. 2.4 Peran Pendidikan dalam pembangunan Wilayah .................. 2.5 Pelayanan dan Mutu Pendidikan ........................................... 2.6 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah ........
9 9 10 11 12 13 15
III.
METODE PENELITIAN ................................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................ 3.2 Lokasi dan Waktu kajian ......................................................... 3.3 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 3.4 Metode Analisis data .............................................................. 3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif ........................................ 3.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda ............................ 3.4.3 Analisis Regresi Logistik Biner ................................. 3.4.4 Analisis Korelasi ...................................................... 3.4.5 Analisis rasio Kemandirian ....................................... 3.5 Metode Perumusan Strategi ................................................... 3.5.1 Analisis SWOT ...........................................................
25 25 28 29 33 33 33 34 36 36 37 37
IV.
KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR ........................................ 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi ...................................... 4.2 Kondisi Kependudukan ........................................................... 4.3 Kondisi Perekonomian ............................................................ 4.4 Kondisi Sosial ......................................................................... 4.5 Kondisi Umum Pendidikan di Kabupaten Bogor .....................
41 41 44 47 49 52
V.
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL PENDIDIKAN ................................. 5.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh variabel Faktor Internal terhadap Partisipasi Sekolah ............................................... 5.2 Daya Tampung Sekolah .......................................................... 5.3 Ketersediaan Guru .................................................................. 5.4 Penyelenggara Pendidikan dan Kualitas
55
i
55 58 61
VI.
VII.
Penyelenggaraan Pendidikan ................................................. 5.4.1 Capaian Angka Partisipasi Murni ............................ 5.4.2 Jumlah dan Kualitas Ruang Kelas ......................... 5.4.3 Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan ....................
64 65 66 66
FAKTOR-FAKTOR KONDISI MASYARAKAT ................................ 6.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah ............................. 6.2 Faktor Orang Tua .................................................................... 6.2.1 Penghasilan Orang Tua ............................................. 6.2.2 Pendidikan Orang Tua ............................................... 6.3 Faktor Anak ........................................................................... 6.3.1 Minat Anak Bersekolah ............................................ 6.3.2 Jenis Kelamin ...........................................................
69
FAKTOR KARAKTERISTIK WILAYAH ............................................ 7.1 Hasil Analisis Paralel Seluruh Variabel Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah ..............
VIII. DUKUNGAN PENDANAAN PENDIDIKAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR ..................................................................... 8.1 Kemandirian Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 8.2 Alokasi Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor ........ 8.3 Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor ........ IX.
X.
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH ............. 9.1 Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT ................. 9.1.1 Identifikasi faktor Kekuatan (Strengths) ........... 9.1.2 Identifikasi Faktor Kelemahan (Weaknesses) ........ 9.1.3 Identifikasi Faktor Peluang ( Opportunities) ........... 9.1.4 Identifikasi Faktor Ancaman (Threats) .............. 9.2 Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT .... 9.2.1 Strategi S-O (Aggressive Strategies) .................. 9.2.2 Strategi W-O (Turn-Around Strategies) ................. Strategi S-T (Diversification Strategies) ................. 9.2.3 9.2.4 Strategi W-T (Defensive Strategies) ................. 9.3 Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/kegiatan Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Strategi ............................................................... 9.3.1 Kebijakan Peningkatan Pendanaan Pendidikan........... 9.3.2 Kebijakan Peningkatan Faktor Internal Pendidikan ... 9.3.3 Kebijakan Peningkatan Kondisi Masyarakat Terutama di Wilayah Pertanian .............................................
69 70 71 73 75 75 75 79 79 83 83 83 88 93 93 93 94 96 97 98 99 100 101 102
103 106 106 111
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 115 10.1 Kesimpulan ........................................................................... 115 10.2 Saran ...................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 119 LAMPIRAN ................................................................................................ 124
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Persentase Data Putus Sekolah di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia Tahun 2006-2009 .........................................................
3
Perbandingan Jumlah Siswa Pada Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 .................................
4
Kriteria Penentuan Kawasan Berdasarkan Sektor Pertanian, Perdagangan/Jasa, serta Industri ...................................................
30
4.
Pemilihan Kecamatan Sampel Berdasarkan Kategori Sektor dan APM
31
5.
Tujuan, Metode, Jenis dan Sumber Data
32
6.
Batasan Faktor Internal dan Eksternal dalam Analisis SWOT
....
37
7.
Matriks SWOT .....................................................................................
38
8.
Kondisi Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2012
43
9.
Pembagian Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bogor
10.
PDRB Kabupaten Bogor tahun 2007-2010
11.
Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
......................
49
12.
Laju Peningkatan Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 ................................................................................
50
Perbandingan Kasus Masalah Sosial di kabupaten Bogor Tahun 2007 dan tahun 2010 ...................................................................
51
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Pendidikan terhadap Tingkat Partisipasi Sekolah ............................................
56
Capaian APM SMA/Sederajat Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ....................................................................................
57
Penyelenggaraan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 .....................................................................................
59
Perbandingan Guru-Sekolah Formal pada Jenjang Pendidikan Menengah di Setiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 ....
62
2.
3.
13.
14.
15.
16.
17.
18. 19.
.......................................
.......................... ..............
44
....................................
48
Komposisi Jumlah Guru dan Perbandingannya terhadap Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ........................................................ Perbandingan Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 ......................................................... iii
64 65
20.
Perbandingan Kualitas Ruang Kelas Antar Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011
.....
66
Status Askreditasi Sekolah di Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Sekolah Tahun 2011 .............................................................
67
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah .........................................................
66
23.
Keadaan Responden Berdasarkan Penghasilan...................................
71
24.
Responden Berdasarkan Penghasilan dan Jumlah Tanggungan Keluarga .........................................................................................
72
Perbandingan Hubungan Penghasilan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak di Lokasi Sampel .....................................................
73
26.
Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan
..........................
74
27.
Hubungan Pendidikan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Lokasi Sampel ...........................................................
74
Hubungan Minat Anak Bersekolah dengan Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lokasi Sampel ..........................................................
75
Perbandingan Anak yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah Berdasarkan Jenis Kelamin di Lokasi Sampel ................................
77
Hasil Anaklisis Statistik Pengaruh Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah .......................................................
79
Hubungan Antara Pekerjaan Orang Tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Karakteristik Wilayah...............................................
81
32.
Perkembangan Belanja APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 ..
84
33.
Perbandingan antara Persentase Kenaikan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung pada Anggaran Pendidikan Tahun 2008-2011 ........................................................................................
87
Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Total Belanja Pendidikan ......................................................................................
88
Perbandingan Dana Bantuan terhadap Belanja Pendidikan .......................... Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
90
21.
22.
25.
28.
29.
30.
31.
34.
35.
36.
Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor ................. 105
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
2.
Peringkat Pendidikan Indonesia terhadap Negara-Negara Asia Lainnya Tahun 2011 ......................................................................
2
Capaian Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Formal Tahun 2011 di Kabupaten Bogor...................................................
5
3.
Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar di Kabupaten Bogor.................................................. 27
4.
Letak Geografis Kabupaten Bogor ..................................................
41
5.
Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Wilayah............
45
6.
Struktur Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2010........................
45
7.
Persentase Penduduk Kabupaten Bogor yang Bekerja Menurut Sektor Tahun 2010.........................................................................
46
8.
Permasalahan Kependudukan di Kabupaten Bogor.......................
47
9.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010...
47
10.
Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010.....
48
11.
Laju Inflasi di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010.........................
49
12.
Masalah Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2010 Berdasarkan latar belakang............................................................
51
Perkembangan Jumlah Sekolah dalam Kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011..............................................
52
Perbandingan Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011..............................................................................
53
Perkembangan Jumlah Guru di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011.......................................................................................
53
Perbandingan Jumlah Guru Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011............................................................................
54
Kondisi Ruang Kelas Berdasarkan Jenis Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor tahun 2011..........................................
60
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Perbandingan Capaian APM Penyelenggara Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2011.......................................... v
65
19.
Keadaan Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan.................
73
20.
Perbandingan Jumlah Anak Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Lokasi Sampel................................................................................
76
Perbandingan Antara Anak laki-laki dan Perempuan yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah..................................................
76
22.
Perbandingan Karakter Wilayah dengan Partisipasi Sekolah.........
80
23.
Perkembangan Rasio Kemandirian Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011................................................ 83
24.
Perkembangan Komposisi Belanja Langsung dan Tidak Langsung APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011.......................................
85
Perbandingan Belanja APBD dengan Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor tahun 2008-2011 ..............................................
86
Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung pada Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011.........
87
Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah terhadap Belanja Langsung dan Total Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 ......................................................................................
89
Persentase Peningkatan Jumlah Dana Bantuan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011.........................
90
29.
Matriks Analisis SWOT dan Perumusan Alternatif Strategi ...........
99
30.
Road Map Prioritas Peningkatan Partisipasi Sekolah pada Jenjang Pendidikan Menengah di kabupaten Bogor...................................
113
21.
25.
26.
27.
28.
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal terhadap APM
2.
3.
..........................................................................................
124
Hasil Analisis Statistik Logistik Biner untuk Faktor Kondisi Masyarakat ................................................................................
127
Hasil Analisis Statistik Logistik Biner Pengaruh Karakteristik Lingkungan terhadap Partisipasi Sekolah ....................................
132
vii
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Salah satu tujuan negara yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia saat
memproklamirkan kemerdekaannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini secara jelas tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan ini ditetapkan dalam konstitusi negara dengan pertimbangan bahwa negara yang besar dan maju terletak pada kekuatan sumberdaya manusianya yang berkualitas. Tilaar (2004) menyebutkan lima karakteristik kehidupan bangsa yang cerdas, yaitu: (1) bangsa yang terdidik, (2) bangsa yang dapat memilih sehingga dia bertanggung jawab atas pilihannya, (3) bangsa yang dapat berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat bangsanya dan masyarakat dunia, (4) bangsa yang mempunyai keterampilan dan lapangan kerja yang cukup sehingga dapat meningkatkan derajat hidupnya dan sekaligus dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang lain di dalam era globalisasi, dan (5) bangsa yang menjaga keutuhan bangsa dengan identitas pluralistik di dalam masyarakatnya. Sejalan dengan tujuan negara tersebut, maka pendidikan merupakan faktor penting yang penyelenggaraannya ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia dengan kualitas pendidikan tertentu yang distandarkan, baik secara nasional maupun internasional, karena masyarakat yang berkualitas merupakan aset dan investasi negara dalam hal sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia bukan semata-mata disebabkan oleh faktor pendidikan, namun pendidikan menjadi faktor terpenting yang akan mempengaruhi aspek-aspek lainnya. Menurut Suryadi (2002), investasi sumberdaya manusia (SDM) bukan hanya tanggung jawab salah satu sektor pembangunan, tetapi tanggung jawab multisektor di dalam satu kesatuan secara integral. Di samping itu, pendidikan dapat dikatakan sebagai katalisator utama pengembangan sumberdaya manusia dan faktor pendorong untuk mempercepat perubahan struktur ekonomi dan ketenagakerjaan. Penyelenggaraan
pendidikan
di
Indonesia
menjelang
67
tahun
kemerdekaan masih menyisakan banyak permasalahan. Ditinjau dari capaian Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua (PUS), Indonesia menempati
2
peringkat ke-69 dari 127 negara di dunia1. Gambar 1 menyajikan data perbandingan peringkat kondisi Pendidikan untuk Semua (Education for All) antara Indonesia dengan negara-negara Asia lainnya.
Sumber : Harian Kompas, 3 Maret 2011 Gambar 1. Peringkat Pendidikan Indonesia Terhadap Negara-Negara Asia Lainnya Tahun 2011.
Permasalahan pendidikan lainnya adalah masih terdapatnya siswa putus sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional RI tahun 2010, masih terdapat siswa putus sekolah pada setiap jenjang pendidikan. Persentase jumlah siswa putus sekolah meningkat seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan, sehingga angka putus sekolah tertinggi terdapat pada jenjang pendidikan menengah (SMA/sederajat). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
1
Data ini dikeluarkan oleh UNESCO dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report tahun 2011. Peringkat ini ternyata mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni peringkat ke-65. Berdasarkan katagori yang telah ditentukan dalam pertemuan di Dakar, Senegal tahun 2000, peringkat ini membawa Indonesia ke dalam katagori medium (0,80-0,94 poin) dengan melihat dari angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (Harian Kompas, 2011).
3
Tabel 1.
Persentase Data Putus Sekolah di Berbagai Jenjang Pendidikan di Indonesia Tahun 2006-2009 Tahun
SD/MI
2006 2,37 2007 1,81 2008 1,64 2009 1,65 Rata -rata 1,87 Sumber : Pusat Statistik Pendidikan, 2010
SMP/MTs
SMA/SMK/MA
2,88 3,94 2,49 2,06 2,84
3,08 3,33 2,68 4,27 3,34
Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah2, pemerintah daerah diberikan
kewenangan
untuk
menyelenggarakan
pendidikan
dasar
dan
menengah yang bersinergi dengan kewenangan pemerintah pusat. Salah satu program pemerintah pusat adalah penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, yang berlaku wajib bagi seluruh penduduk usia sekolah 715 tahun, dimana mereka harus menamatkan pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan SMP/sederajat. Program wajib belajar pendidikan sembilan tahun kemudian diikuti dengan program wajib belajar pendidikan dua belas tahun bagi seluruh penduduk usia sekolah 16-18 tahun, dimana mereka harus menamatkan pendidikannya hingga ke jenjang pendidikan SMA/sederajat. Dengan adanya otonomi daerah, program wajib belajar ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pemberlakuan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan dua belas tahun ini masih tetap menjadi fokus pemerintah daerah selama angka partisipasi sekolah belum mencapai seratus persen. Capaian angka partisipasi sekolah di Jawa Barat pada tahun 2010 untuk tingkat SD baru mencapai 94 persen, SMP 85 persen dan SMA 57 persen. Adapun capaian angka partisipasi murni di Kabupaten Bogor tahun 2011, baik pendidikan formal maupun non formal pada tingkat SD/sederajat telah mencapai 110,41 persen, SMP/sederajat 88,77 persen, dan SMA/sederajat 39,76 persen. Capaian partisipasi sekolah terendah baik di Jawa Barat maupun di Kabupaten Bogor, terdapat pada jenjang pendidikan menengah (SMA) yang masih berkisar di bawah 60 persen.
2
Otonomi Daerah diundangkan melalui paket paket UU Otonomi Daerah (UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang diperbaharui dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
4
Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih sulit meningkatkan angka partisipasi pendidikan SMA. Hal ini terutama disebabkan oleh keterbatasan ruang kelas3. Rendahnya partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah (SMA/ sederajat) perlu dikaji penyebabnya. Terdapat banyak faktor selain kurangnya daya tampung sekolah yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Salah satu faktor penyebab adalah minimnya kemampuan penyediaan dana pemerintah dan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Di sisi lain juga ditentukan oleh faktor kondisi masyarakat dan karakter wilayah tempat tinggal. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu kajian menyangkut bagaimana strategi yang tepat untuk meningkatkan partisipasi sekolah jenjang pendidikan menengah melalui jalur pendidikan formal.
1.2
Perumusan Masalah Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah otonom yang pada tahun
2010 memiliki penduduk terbanyak di Indonesia, yakni 4.763.209 jiwa atau 11,06 persen dari total penduduk Jawa Barat dan 2,00 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah penduduk usia sekolah (7-18 tahun) tercatat sebesar 21,09 persen dari total penduduknya. Sebagian besar penduduk usia sekolah yang bersekolah memilih jalur pendidikan formal. Hal inilah yang menyebabkan hingga saat ini fokus perhatian pemerintah daerah lebih banyak diarahkan pada penyelenggaraan jalur pendidikan formal, karena masyarakat senantiasa memberikan perhatian lebih besar untuk menempuh jalur pendidikan formal daripada jalur pendidikan non formal. Tingginya animo masyarakat terhadap pendidikan formal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Jumlah Siswa Pada Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 Jenjang Pendidikan SD / Sederajat SMP/ Sederajat SMA / Sederajat
Total Siswa 658.258 245.687 131.906
Jumlah Siswa/Warga Belajar Formal % Non Formal 657.258 99,85 1.000 242.437 98,68 3.250 128.586 97,48 3.320
% 0,15 1,32 2,52
Sumber : Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor, 2012
3
Disampaikan oleh Heryawan (2011) dalam http://www.pikiran-rakyat.com tanggal 1 Februari 2011
5
Meskipun lebih dari 90 persen penduduk usia sekolah memilih jalur pendidikan formal, namun capaian angka partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal masih cukup rendah, yakni dibawah 50 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber : Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011 Gambar 2. Capaian Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Formal Tahun 2011 di Kabupaten Bogor
Salah satu faktor yang mungkin mempengaruhi rendahnya angka partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah adalah lemahnya faktor internal pendidikan dalam memberikan akses dan layanan pendidikan, seperti kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana sekolah, guru yang berkualifikasi mengajar, penyelenggara pendidikan dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu hal pertama yang perlu dianalisis adalah bagaimana pengaruh faktor-faktor internal pendidikan terhadap tingkat partisipasi sekolah? Selain faktor internal pendidikan, faktor kondisi masyarakat seperti faktor orang tua, dan faktor anak itu sendiri, juga memungkinkan untuk mempengaruhi rendahnya partisipasi sekolah. Diduga penghasilan dan tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor yang turut berpengaruh. Minat anak untuk melanjutkan sekolahnya dan jenis kelamin anak juga diduga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi sekolah. Oleh karena itu, hal kedua yang perlu dianalisis adalah
6
bagaimana pengaruh faktor-faktor kondisi masyarakat terhadap tingkat partisipasi sekolah? Kabupaten Bogor setidaknya memiliki tiga karakteristik wilayah yang cukup menonjol, yaitu pertanian, perdagangan/jasa, dan industri. Diduga, karakter wilayah ini turut mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Oleh karena itu hal ketiga yang perlu dianalisis adalah bagaimana pengaruh karakteristik wilayah terhadap tingkat partisipasi sekolah? Pemerintah Daerah dalam hal ini merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk mengupayakan agar semua penduduk usia sekolah dasar dan menengah bisa mengenyam pendidikan, meskipun terdapat pihak lain yang juga menyelenggarakan pelayanan pendidikan, yakni swasta dan Kementerian Agama. Pemerintah Daerah secara otonom memiliki kewenangan dalam mengalokasikan anggaran belanja daerah yang ada untuk berbagai urusan pemerintahan daerah, tak terkecuali pendidikan. Belanja pada setiap komponen pendidikan dapat menunjukkan sejauhmana fokus pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan yang diantaranya ditujukan untuk menuntaskan program wajib belajar. Penganggaran pendidikan di daerah kabupaten/kota juga tidak terlepas dari bantuan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Oleh karena itu hal keempat yang perlu dianalisis adalah bagaimana kemandirian pendanaan pendidikan menengah di Kabupaten Bogor? Berdasarkan empat rumusan masalah yang spesifik tersebut, maka hal kelima yang perlu diketahui adalah Bagaimana strategi yang tepat diambil oleh Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah?
1.3
Tujuan Penyusunan Tugas Akhir dengan judul Strategi Peningkatan Partisipasi
Sekolah Program Wajib Belajar Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor ini bertujuan utama untuk merumuskan strategi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Untuk mendukung tujuan utama tersebut, perlu ditetapkan tujuan spesifik , yaitu :
7
(1)
Menganalisis faktor-faktor internal pendidikan yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang
pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor. (2)
Menganalisis faktor-faktor kondisi masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang
pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor. (3)
Menganalisis faktor karakteristik wilayah yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang
pendidikan menengah formal di
Kabupaten Bogor. (4)
Menganalisis kemandirian pendanaan daerah pada sektor pendidikan khususnya jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor.
(5)
Merumuskan
prioritas
strategi
dan
program/kegiatan
peningkatan
partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk :
(1)
Memberikan informasi berdasarkan hasil kajian secara akademis kepada Pemerintah Kabupaten Bogor mengenai kondisi tingkat partisipasi sekolah jalur pendidikan formal, sehingga pemerintah Kabupaten Bogor dapat mengetahui sejauh mana pengaruhnya terhadap pencapaian penuntasan program wajib belajar dan peningkatan rata-rata lama sekolah.
(2)
Bagi
Pemerintah
Kabupaten
Bogor
bermanfaat
dalam
perumusan
kebijakan strategis yang holistik, baik dalam sudut pandang internal penyelenggaraan pendidikan, maupun eksternal yang terkait dengan faktor sosial ekonomi masyarakat untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah, khususnya jalur pendidikan formal.
8
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pendidikan sebagai Bagian dari Pembangunan Ekonomi Pendidikan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi tidak terlepas dari
adanya
perencanaan
pembangunan.
Terdapat
tujuh
ciri
perencanaan
pembangunan yang dikemukakan oleh Arsyad (1993), salah satunya adalah adanya usaha untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi yang mantap (steady social economic growth). Begitu pula di antara enam unsur pokok pembangunan, perencanaan pembangunan adalah program investasi yang dilakukan secara sektoral (Arsyad,1993). Berdasarkan perspektif pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya alam, dan kapasitas produksi yang terpasang merupakan empat faktor dinamika yang memiliki interaksi dalam perkembangan ekonomi jangka panjang. Peran sumberdaya manusia mengambil tempat yang sentral, khususnya dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang, dimana kesejahteraan manusia dijadikan tujuan pokok dalam ekonomi masyarakat (Djojohadikusumo, 1994). Lebih lanjut Djojohadikusumo menyatakan bahwa telaahan mengenai peran pendidikan dalam pembangunan biasanya berpangkal pada saran pendapat bahwa pendidikan merupakan prasyarat untuk meningkatkan martabat manusia. Melalui pendidikan, warga masyarakat mendapat kesempatan untuk membina kemampuannya dan mengatur kehidupannya secara wajar. Perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan berarti membuka kesempatan ekonomis untuk mengupayakan perbaikan dan kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat. Pembinaan mutu sumberdaya manusia dalam rangka pembangunan ekonomi harus diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan dan meluaskan keterampilan teknis, keahlian profesional dan kecerdasan akademis dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Sementara Suryadi (2002) menyatakan bahwa pendidikan adalah faktor pendorong untuk mempercepat perubahan struktur ekonomi dan ketenagakerjaan.
10
2.2
Definisi Pendidikan yang Terkait dengan Penelitian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional
menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Masih menurut Undang-Undang tersebut, sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang Undang No. 20 Tahun 2003, pasal 3). Beberapa definisi variabel-variabel pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah : (1)
Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan
(3)
.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
11
(4)
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
(5)
Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
(6)
Sumberdaya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan
yang
meliputi
tenaga
kependidikan,
masyarakat, dana, sarana dan prasarana.
2.3
Penyelenggaraan Pendidikan dalam Otonomi Daerah Menurut Syarief, 2000 dalam Sjafrizal (2008), pada dasarnya ada tiga
alasan pokok mengapa diperlukan otonomi daerah, yaitu: (1) Political Equality, yaitu guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada tingkat daerah, (2) Local Accountability, yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah, (3) Local Responsiveness, yaitu meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial ekonomi yang terjadi di daerahnya. Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan perspektif pemerintahan, pemerintah daerah yang memiliki keunggulan bersaing adalah yang mempunyai kemampuan membentuk, memiliki, mengelola resource, capabilities, dan kompetensi yang unggul, seperti keuangan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kemampuan teknologi, serta invisible asset seperti pengetahuan, keterampilan dan pengalaman (Muhammad, 2004). Lebih lanjut Muhammad menyatakan bahwa sebagian besar daerah dalam melihat sumber-sumber kemakmuran hanya terfokus pada faktor
12
karunia alam, sedangkan faktor bentukan manusia kurang mendapat perhatian yang memadai padahal ini yang sangat menentukan. Penyelenggaraan
pendidikan
merupakan
salah
satu
kewenangan
pemerintahan daerah. Dengan adanya otonomi, daerah memiliki ruang yang cukup untuk menata pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan daerah dengan tanpa mengabaikan standar mutu pendidikan nasional, meskipun di banyak daerah, pendidikan dipandang sebagai as business as usual / bukan sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Alokasi anggaran pendidikan memiliki korelasi positif dengan kualitas pendidikan yang pada gilirannya menentukan kualitas sumberdaya manusia. Daerah-daerah yang memiliki pendidikan berkualitas rata-rata memiliki infrastruktur pendidikan yang bagus dan didukung oleh humanware berkualitas, pemerintah daerahnya mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai (Muhammad, 2004).Di samping itu mutu pendidikan pada umumnya menjadi lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan proses desentralisasi ( Chan, dkk, 2006). Menurut Sjafrizal (2008), pengertian otonomi daerah mencakup dua hal pokok yaitu : kewenangan untuk membuat hukum sendiri (own laws) dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri (self government).
Oleh
karena itu, menurut Sjafrizal (2008) strategi pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada: (1) basis keuntungan komparatif daerah, (2) pengembangan komoditi
unggulan,
peningkatan
kualitas
(3)
peningkatan kemampuan
sumberdaya
manusia
teknologi
daerah,
(5)
daerah,
(4)
pengembangan
kewirausahaan daerah, (6) pengembangan kawasan ekonomi terpadu, (7) peningkatan kerjasama ekonomi antar daerah, (8) pembangunan ekonomi kota, dan (9) pengembangan ekonomi desa.
2.4
Peran Pendidikan dalam Pembangunan Wilayah Daerah Pembangunan daerah dengan pendekatan pengembangan kawasan akan
dapat meningkatkan daya guna dan nilai guna sumberdaya lokal, karena pemanfaatan dilakukan secara ekonomis, efektif dan efisien (Sjafrizal, 2008). Kegiatan pembangunan disusun berdasarkan karakteristik sumberdaya lokal yang menunjukkan keandalannya sehingga membuka ruang bagi para pelaku pembangunan terlibat secara aktif dalam proses pengembangannya (Sjafrizal, 2008). Pendekatan pembangunan kewilayahan selain dapat meningkatkan peran
13
serta
para
pelaku
pembangunan
dalam
proses
pembangunan
juga
menyeimbangkan pembangunan antar wilayah dan mengembangkan sektorsektor potensial yang disepakati dalam musyawarah pembangunan kawasan tersebut (Sjafrizal, 2008). Ketimpangan pembangunan antar wilayah pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong suatu proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (developed region) dan wilayah terbelakang (underdeveloped region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Sjafrizal, 2008). Menurut Adi (2001) terdapat alternatif kebijakan untuk mengembangkan daerah terbelakang, misalnya melalui investasi yang langsung diarahkan ke sektor produktif atau penanaman modal di bidang social-overhead seperti pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur lainnya. Ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah karena rendahnya faktor pendidikan, keterampilan, ataupun keahlian dari sumberdaya manusia yang ada di masyarakat tersebut.
2.5
Pelayanan dan Mutu Pendidikan Menurut
Djojohadikusumo
(1994),
di
satu
pihak
tuntutan
zaman
mengharuskan agar mutu pendidikan ditingkatkan dan kalau perlu membatasi perluasannya secara kuantitatif, namun di pihak lain akan dihadapi secara terus menerus desakan masyarakat agar disediakan kesempatan pendidikan yang semakin meluas dengan fasilitasnya yang semakin banyak, kendatipun mengabaikan segi mutunya. Di semua negara berkembang hal itu sungguh memerlukan kearifan dalam pengelolaan kebijaksanaan pendidikan, yaitu untuk memelihara titik-titik keseimbangan dalam perkembangan keadaan diantara dua rupa pertimbangan yang dimaksud tadi.
14
Guru
merupakan
salah
satu
indikator
mutu
pendidikan.
Menurut
Djojohadikusumo (1994), kunci kebijaksanaan untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya ialah memperbaiki mutu tenaga pengajar dan membina motivasi golongan pengajar. Kelemahan pokok dalam sistem pendidikan di negara-negara berkembang terletak pada sistem dan struktur pendidikan umum di tingkat menengah dan yang langsung berkaitan dengan pendidikan guru yang diperlukan. Terdapat tiga upaya pengembangan pendidikan, yakni : (1) peningkatan jumlah dan kualitas tenaga pendidikan, (2) pengembangan prasarana dan sarana pendidikan, (3) perubahan manajemen pendidikan. Upaya pertama dan kedua sudah diusahakan sejak lama namun demikian hasilnya masih belum memadai. Karena itu, program pengembangan tersebut perlu terus dilanjutkan dan dikembangkan (Sjafrizal, 2008). Menurut Mulyasa (2002), perwujudan masyarakat berkualitas menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidang masing-masing. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat berbagai input seperti bahan ajar (kognitif, afektif atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana, dan sumberdaya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu, dapat berupa hasil tes kemampuan akademis dan prestasi di bidang lain (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Mutu dalam konteks pendidikan berkaitan dengan upaya memberikan pelayanan yang paripurna dan memuaskan bagi pemakai jasa pendidikan (Sujanto, 2007). Tinjauan kebermutuan pendidikan akan dilihat secara relatif dalam berbagai aspek dan bergantung pada beberapa faktor, yakni : (1) pelayanan penyelenggaraan pendidikan (dimensi proses), (2) ketersediaan fasilitas sarana prasarana, (3) kuantitas dan kualitas tenaga kependidikan, (4) prestasi akademis siswa, (5) kepuasan dan kepercayaan orang tua atau masyarakat kepada sistem pendidikan (sekolah), (6) keterserapan lulusan oleh dunia kerja, (7) dampak
15
terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang semakin bermartabat, dan (8) kemampuan kompetisi lulusan dalam kehidupan (Sujanto, 2007). Peningkatan hasil ditujukan oleh perbaikan dan perubahan keadaan secara fisik yang diikuti oleh kepuasan masyarakat. Perbaikan dalam pelayanan termasuk upaya pembentukan citra yang baik sangat penting agar peran serta masyarakat terhadap pelayanan dapat ditingkatkan (Sjafrizal, 2008).
2.6
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah Angka Partisipasi Sekolah (APS) didefinisikan sebagai perbandingan
antara jumlah murid kelompok usia sekolah tertentu yang bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang telah bersekolah di semua jenjang pendidikan. Makin tinggi APS berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah. Nilai ideal APS = 100 % dan tidak akan terjadi lebih besar dari 100 %, karena murid usia sekolah dihitung dari murid yang ada di semua jenjang pendidikan pada suatu daerah. Rumus untuk menghitung Angka Partisipasi Sekolah menurut Wakhinuddin4 (2009) adalah :
dimana : N1 = Jumlah murid berbagai jenjang pendidikan pada kelompok usia sekolah tertentu N2 = Jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah tertentu yang sesuai
Perhitungan tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu APK (Angka Partisipasi Kasar) atau APM (Angka Partisipasi Murni). APK didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan
4
Wakhinuddin, S. 2009. Angka Partisipasi Dalam Pendidikan. http://wakhinuddin. wordpress.com/
16
sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan APK ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu pada wilayah tertentu. Semakin tinggi APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah. Nilai APK bisa lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia di luar usia resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah perbatasan. Rumus yang digunakan adalah :
Dimana : N1 = Jumlah murid pada jenjang pendidikan menengah N2 = Jumlah penduduk usia 16-18 tahun Adapun APM didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu. Nilai ideal APM = 100 % karena adanya murid usia sekolah dari luar daerah tertentu, diperbolehkannya mengulang di setiap tingkat, daerah kota, atau daerah perbatasan. Rumus yang digunakan adalah:
Dimana : N1 = Jumlah murid pada jenjang pendidikan menengah umur 16-18 tahun N2 = Jumlah penduduk usia 16-18 tahun Perhitungan tingkat partisipasi sekolah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan APM dengan pertimbangan agar diketahui tingkat partisipasi sesungguhnya penduduk yang berusia sekolah 16-18 yang bersekolah pada jenjang pendidikan menengah.
17
Tingkat partisipasi sekolah dipengaruhi oleh ketersediaan daya tampung sekolah, baik ruang kelas maupun pemerataan sarana. Iskandar (2009) melakukan tiga analisis, yaitu: (1) analisis terhadap persebaran jumlah fasilitas pendidikan SMA dan SMP di Kota Bogor untuk mengetahui gambaran persebaran dan pemerataan jumlah fasilitas pendidikan SMP dan SMA di tiap kecamatan, (2) analisis pemenuhan kebutuhan penduduk akan fasilitas pendidikan SMP dan SMA untuk membandingkan kapasitas di setiap kecamatan terhadap penduduk usia SMP dan SMA, dan (3) analisis tingkat pelayanan fasilitas penduduk SMP dan SMA untuk melihat jangkauan layanan fasilitas pendidikan dan aksesibilitas fasilitas. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan bahwa sebaran fasilitas SMP dan SMA belum sesuai dengan standar pemerataan jumlah fasilitas yang seharusnya. Fasilitas pendidikan SMP dan SMA belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan penduduk, dimana tingkat pemenuhan pada jenjang SMP mencapai 90 persen, sedangkan SMA baru mencapai 47 persen. Di sisi lain, tingkat pelayanan fasilitas yang baik dan merata belum tercapai di wilayah kota, padahal jangkauan pelayanan sudah sampai keluar tingkat kecamatan. Malik (2009) menyimpulkan bahwa pelayanan fasilitas pendidikan SLTA di Kabupaten Minahasa Tenggara belum efisien dari aspek perbandingan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan kecukupan jumlah fasilitas pendidikan dan aksesibilitas berupa kondisi jalan.
Hingga tahun 2028, Kabupaten Minahasa
Tenggara masih membutuhkan penambahan 24 buah SLTA. Tingkat partisipasi sekolah juga dipengaruhi oleh seberapa besar peran penyelenggara
pendidikan,
penyelenggara
pendidikan
baik swasta
negeri memiliki
maupun peran
swasta. yang
Lembaga
besar
dalam
pembangunan pendidikan menengah. Chamidi (2002), menyimpulkan bahwa secara umum sumbangan sekolah swasta terhadap pengembangan pendidikan adalah besar walaupun kontribusi tersebut belum optimal. Salah satu cara yang mungkin dapat digunakan untuk mengoptimalkan peran sekolah swasta adalah dengan meningkatkan kualitas sekolah-sekolah swasta melalui : (1) pendirian atau pembangunan sekolah swasta yang seharusnya berdasarkan keperluan atau kebutuhan masyarakat setempat dan bukan pada keinginan pemerintah pusat, (2) peningkatan kompetensi dan kualitas guru, peningkatan kualitas sarana/prasarana pendidikan, peningkatan perencanaan pendidikan termasuk kurikulum dan evaluasi.
18
Menurut Muhammad (2004), kerap dipahami keliru bahwa pendidikan semata-mata hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, padahal tanggung jawab terhadap pendidikan adalah kewajiban kita semua; masyarakat, orang tua peserta didik, sekolah dan pemerintah. Sekarang kita dihadapkan pada keragaman mutu pendidikan, terutama setelah era otonomi. Ada daerah yang mampu menghadirkan pendidikan berkualitas, tetapi ada juga daerah yang pendidikannya sangat tertinggal. Secara umum penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan oleh pihak swasta dalam bentuk pendirian sekolah swasta, dimana sekolah swasta adalah sekolah yang diusahakan oleh selain pemerintah, yaitu badan-badan swasta (Hasbullah, 2006). Peran masyarakat dalam memantau pelaksanaan pendidikan juga turut mempengaruhi pelaksanaan pendidikan dan tingkat partisipasi sekolah. Muiz (2008) menyimpulkan bahwa Dewan Pendidikan dalam proses penyusunan RKPD di Kota Cimahi ditempatkan pada derajat pemberi informasi berkualitas, teman konsultasi sejati dan dewan penasehat yang efektif. Namun dalam perencanaan kegiatan, Dewan Pendidikan sebagai pengguna layanan kegiatan penyusunan RKPD hanyalah berfungsi sebagai partisipan yang wajib mengikuti prosedur teknis dan operasional yang telah ditetapkan. Dewan Pendidikan tidak dapat menentukan format maupun mekanisme pelaksanaan. Di samping itu, tingkat partisipasi sekolah juga dipengaruhi oleh kemampuan
lembaga
penyelenggara
pendidikan
dalam
memperhatikan
karakteristik dan kebutuhan masyarakat dalam pendanaan pendidikan. Kurniady (2004) menyimpulkan bahwa dalam menyelenggarakan pendidikan, suatu lembaga seharusnya memperhatikan karakteristik, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Sumber pendapatan sekolah pada jenjang pendidikan SMU mayoritas berasal dari orang tua dan pemerintah. Dana yang diperoleh dari orang tua dipergunakan untuk proses kegiatan pembelajaran kurikuler dan ekstrakurikuler, sedang penerimaan dari pemerintah berupa gaji pegawai, KBM, BOMM (Bantuan Operasional Manajemen Mutu), BIS (Bantuan Imbal Swadaya dan Block Grant). Kualitas penyelenggara pendidikan merupakan salah satu penentu tingkat partisipasi sekolah. Chamidi (2002), menyimpulkan bahwa lembaga pendidikan swasta memiliki kualitas yang sangat bervariasi. Untuk itu perlu adanya keseimbangan anggaran yang proporsional antara sekolah negeri dengan
19
sekolah swasta serta kejelasan dalam job description. Sudibyo (2009) menyimpulkan bahwa masalah terhambatnya akreditasi pada SMA Islam Pragolapati Semarang sejak tahun 1986 dengan status belum terakreditasi (terdaftar) disebabkan oleh kurangnya pembinaan dan bimbingan terhadap keseluruhan manajemen sekolah, padahal sekolah ini berpotensi untuk terakreditasi. Akibatnya, dalam mengikuti ujian nasional, para siswa di sekolah ini terpaksa harus menginduk pada sekolah negeri. Disamping itu letak sekolah yang strategis berdekatan dengan SLTP serta mudah dijangkau oleh sarana transportasi memungkinkan sekolah ini diminati oleh masyarakat sekitar. Adanya status terakreditasi membuat minat masyarakat menyekolahkan semakin meningkat. Faktor kondisi masyarakat diduga mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah. Achmad (2008) menyimpulkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk tingkat nasional tahun 2006 terbagi ke dalam empat kelompok umur, yaitu 7–12 tahun mewakili usia SD, 13–15 tahun mewakili usia SLTP, 16–18 tahun mewakili usia SLTA, dan 19–24 tahun mewakili usia Perguruan Tinggi. Secara umum, APS kelompok umur 7-12 tahun sebesar 97,39, APS kelompok umur 1315 tahun sebesar 84,08 persen, APS kelompok umur 16-18 tahun sebesar 53,92 persen dan APS kelompok umur 19-24 tahun sebesar 11,38 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kelompok umur, semakin rendah Angka Partisipasi Sekolah. Bila didasarkan pada jenis kelamin, APS perempuan sedikit lebih besar pada kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, sementara pada kelompok umur 16-18 dan 19-24 APS laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ini berarti bahwa semakin tinggi kelompok umur, partisipasi sekolah perempuan semakin rendah. Bila diperhatikan lebih lanjut menurut daerah tempat tinggal, APS penduduk perkotaan lebih besar dari APS penduduk pedesaan untuk semua kelompok umur. Perbedaan menjadi semakin besar untuk kelompok umur yang lebih tua. Ini berarti bahwa partisipasi sekolah bagi penduduk yang tinggal di perkotaan lebih tinggi dibandingkan penduduk yang tinggal di pedesaan. Semakin tinggi kelompok umur, semakin tinggi kesenjangan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan penduduk pedesaan. Status ekonomi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya APS. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangga, memperlihatkan
20
angka APS yang tertinggi untuk semua kelompok umur sekolah, setelah itu posisi APS berikutnya ditempati oleh golongan status sosial menengah yang berpendapatan menengah. Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan pada Madrasah untuk program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, dapat tercermin dari angka APS untuk kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun, tidak memperlihatkan beda yang terlalu signifikan untuk semua golongan status ekonomi rumah tangga. Untuk kelompok umur 7-12 tahun APS golongan status ekonomi tertinggi tercatat 98,70 persen, pada status ekonomi menengah sebesar 98,02 persen, dan pada status ekonomi terendah adalah 96,45 persen. Perbedaan APS per status ekonomi rumah tangga sedikit melebar tapi belum terlalu signifikan pada kelompok umur 13-15 tahun, tercatat APS pada status ekonomi tertinggi sebesar 92,17 persen, selanjutnya pada status ekonomi rumahtangga menengah APS nya sebesar 88,15 persen dan pada kelompok status ekonomi terendah menunjukan APS sebesar 77,70 persen. Jarak APS pada kelompok umur 16-18 antara status ekonomi rumah tangga yang tertinggi dan terendah di daerah perkotaan sebesar 20,81 persen sedangkan di daerah pedesaan jaraknya sebesar 29,27. Hal sebaliknya diperlihatkan pada kelompok umur 19-24 tahun, jarak APS antara golongan status sosial tertinggi dan terendah pada daerah perkotaan lebih lebar jaraknya dibanding daerah pedesaan. Perbedaan APS untuk golongan umur ini di daerah perkotaan antara golongan status ekonomi tertinggi dan terendah adalah sebesar 32,88 persen, sedangkan di daerah pedesaan hanya berbeda 9,95 persen. Di samping itu, pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun (7-15 tahun) di seluruh provinsi telah merata, namun untuk usia 16-18 tahun terdapat kesenjangan antar provinsi, yakni APS tertinggi diraih oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan yang terendah diraih oleh Provinsi Sulawesi Barat. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif terhadap perkembangan APK dan APM menurut jenjang pendidikan. Lutan (1991) menyatakan bahwa karena tingkat pendapatan yang memadai belum merata, maka muncullah gejala seolah-olah terjadi proses alokasi pada lembaga pendidikan. Di satu pihak, lembaga pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan taraf pendapatan seseorang, tetapi di pihak lain, pendidikan mendorong pemilahan status sosial. Di sini lah dilema antara pemerataan dan peningkatan mutu yang harus dibarengi dengan tuntutan biaya pendidikan yang murah. Letak masalahnya sesungguhnya bukan pada lembaga
21
pendidikan yang memerlukan biaya, tetapi kesanggupan masyarakat untuk memenuhi tuntutan pengeluaran yang sangat besar. Cahyawati dan Oki (2011) menyatakan bahwa masalah pencapaian tuntas pendidikan dasar terutama pada kelompok masyarakat miskin pada setiap wilayah masih perlu menjadi perhatian dan penyelesaian. Demikian juga di Kabupaten Ogan Ilir (OI) yang masih memiliki proporsi kemiskinan cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis deskripsi menunjukkan bahwa angka putus sekolah pendidikan dasar kelompok masyarakat miskin di Kabupaten OI sebesar 14,2 persen, rata-rata angka partisipasi murni (APM) SD baru mencapai 83,33 persen dan rata-rata APM SMP hanya mencapai 67,73 persen. Hasil pemetaan biplot menunjukkan bahwa kelompok Kecamatan Pemulutan Selatan, Rambang Kuang, Lubuk Keliat, dan Pemulutan Barat memerlukan perhatian lebih, karena angka putus sekolah SMP dan persentase penduduk miskin yang masih relatif lebih banyak
dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
Demikian juga
Kecamatan Inderalaya dan Payaraman, masih memiliki angka putus sekolah SD yang masih tinggi, yang dipengaruhi oleh kemiskinan pada kelompok kecamatan tersebut. Di samping itu, minat anak untuk bersekolah turut mempengaruhi tingkat partisipasi
sekolah.
menyekolahkan
atau
Demikian tidak
pula
dengan
motivasi
menyekolahkan
anaknya.
orang
tua
Hutagaol
untuk (2009)
menyimpulkan bahwa minat dan motivasi memberi pengaruh yang positif dan signifikan terhadap mutu pendidikan. Dalam hal ini minat yang ada pada siswa akan memotivasi siswa untuk belajar dan mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun hal-hal dominan yang mempengaruhi minat adalah ketertarikan, jurusan dan fasilitas yang ada di sekolah. Pramono (2009) menyimpulkan bahwa sebanyak 53,33 persen siswa lulusan SLTP berminat melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan menengah kejuruan (SMK). Hal ini disebabkan oleh kemampuan orang tua dan jumlah keluarga serta keinginan untuk cepat mendapatkan pekerjaan. Permasalahan yang terjadi adalah bahwa ketersediaan SMK di Kabupaten Rembang baru dapat menampung 35 persen lulusan SLTP yang berminat melanjutkan ke sekolah kejuruan. Suradi (2006) menemukan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar (76,71 persen) penduduk Nusa Tenggara Barat relatif rendah, dimana mereka tidak pernah sekolah dan hanya menamatkan SD. Berdasarkan Indikator
22
Kesejahteraan Anak Provinsi Nusa Tenggara Barat (2003), tingkat partisipasi sekolah penduduk usia 7-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok usia 7-12 tahun (setingkat SD) sebesar 94,68 persen, kelompok usia 13-15 tahun (setingkat SLTP) sebesar 72,33 persen dan kelompok usia 16-18 tahun (setingkat SLTA) sebesar 42,96 persen. Sebagian besar atau 61,76 persen anak di Nusa Tenggara Barat melakukan kegiatan bersekolah, sedangkan sebesar 21,11 persen atau sekitar 380.000 anak sudah tidak bersekolah lagi dan mereka memiliki kegiatan bekerja atau menjadi pekerja anak. Anak yang bekerja tersebut tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan melakukan pekerjaan seperti membuat kerajinan tangan dan menjajakannya di daerah-daerah wisata, menjadi pemulung, dan kusir cidomo. Prayitno (2008) menyimpulkan bahwa pandangan orang tua tentang nilai anak dalam program wajib belajar sembilan tahun masih rendah. Mereka lebih senang apabila anak-anak mereka bisa membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Persepsi mereka juga terhadap program wajib belajar sembilan tahun masih rendah. Rata-rata mereka tidak mempedulikan apakah anaknya mau bersekolah atau tidak, dan tidak ada motivasi serta dukungan dari orang tua agar anak mereka sekolah. Rendahnya kondisi sosial ekonomi orang tua mengakibatkan rendahnya pula kemampuan serta dukungan orang tua terhadap program wajib belajar sembilan tahun. Lutan (1991) menyatakan bahwa walaupun orang tua menyadari pentingnya pendidikan sebagai investasi, namun persoalannya juga terkait dengan masalah seberapa lama orang tua sanggup menanam sahamnya berupa penyediaan biaya bagi anak-anaknya untuk melanjutkan sekolahnya. Pendidikan formal pada khususnya, lambat laun memainkan peran sebagai penyaring calon siswa sesuai dengan kemampuan orang tuanya untuk membiayai kegiatan pendidikannya. Berbagai pungutan pada setiap kali masuk ke suatu jenjang yang lebih tinggi berkaitan dengan taraf kemampuan ekonomi suatu keluarga. Semakin tinggi pendapatannya, semakin kuat kemampuannya untuk membiayai putra-putrinya. Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah adalah kemampuan pendanaan daerah. Toyamah dan Syaikhu (2004) menyimpulkan bahwa
berdasarkan hasil penelitian di 11 kabupaten/kota di
Indonesia yakni di Kabupaten Rejang Lebong, Magelang, Tuban, Gowa, dan Lombok Barat, serta Kota Pekanbaru, Bandar Lampung, Cilegon, Bandung, Surakarta dan Pasuruan, sebagian kecil daerah kabupaten/kota tersebut telah
23
mampu mengalokasikan dana pendidikan di luar belanja pegawai lebih dari 20 persen, sebagian besar daerah hanya mampu mengalokasikan kurang dari 10 persen. Pada umumnya 70 persen penerimaan daerah di kabupaten/kota sampel berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), kecuali untuk Kota Pekanbaru, Kota Cilegon dan Kota Bandung yang hanya sebesar 50 persen. Sumbangan PAD terhadap total penerimaan daerah rata-rata sebesar 7-8 persen, untuk kota lebih besar daripada kabupaten yakni lebih dari 10 persen. Kesimpulan lainnya adalah bahwa akibat alokasi dana semacam ini, sebagian besar SD sampel masih kekurangan ruang kelas, dan keberadaan fasilitas pendukung relatif tersedia terbatas. Di samping itu orang tua masih dikenakan biaya pungutan untuk operasional sekolah dengan kontribusi lebih dari 50 persen. Oktaviani, R dan Eka, P (2005) menyimpulkan bahwa sektor pendidikan memiliki keterkaitan ke depan yang tinggi terhadap sektor pendidikan itu sendiri dan sektor jasa. Sektor pendidikan juga memiliki keterkaitan kebelakang yang rendah terhadap sektor pertanian. Dengan demikian, perubahan kebijakan yang mempengaruhi output sektor pendidikan tidak akan mempengaruhi output di sektor pertanian dan pertambangan. Peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan memberikan dampak positif tertinggi terhadap sektor pendidikan negeri, tetapi memberikan dampak negatif terhadap sektor pendidikan swasta. Jika pemerintah memberikan transfer secara langsung kepada kelompok rumah tangga miskin, maka output pendidikan swasta akan meningkat lebih tinggi daripada pendidikan negeri. Wajib belajar hingga 12 tahun perlu digalakkan dan didukung untuk meningkatkan pendidikan Indonesia. Sjafrizal (2008) mengemukakan bahwa peningkatan kemampuan daerah tidak hanya dapat dilakukan melalui pengembangan kegiatan pemerintah sendiri, tapi dapat juga dilakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta. Tentunya kerjasama dengan pihak swasta ini hanya akan dapat dilakukan untuk kegiatan komersil yang dapat mendatangkan keuntungan kepada pihak swasta yang bersangkutan dan juga memberikan manfaat bagi warga kota. Pola yang lazim dipakai dalam kerjasama tersebut biasanya adalah dimana pihak pemerintah memberikan fasilitas dan perizinan serta pembayaran pajak, sedangkan pihak swasta melakukan investasi. Pengelolaan kegiatan diserahkan seluruhnya kepada pihak swasta sebagai pemilik modal. Peningkatan kerjasama dengan pihak swasta ini akan sangat penting artinya bagi daerah yang mempunyai keuangan relatif rendah.
24
25
III. METODE PENELITIAN
3.1
Kerangka Pemikiran Dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi daerah yang salah
satunya adalah penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, Pemerintah Kabupaten
Bogor
berfungsi
untuk
memfasilitasi
pemenuhan
kebutuhan
pendidikan masyarakat hingga dapat menyelesaikan pendidikannya sampai pada jenjang pendidikan menengah. Hal ini dilakukan untuk menuntaskan program wajib belajar yang merupakan program nasional. Secara umum pelaksanaan program wajib belajar di Kabupaten Bogor khususnya pada jalur pendidikan formal belum tuntas pada jenjang pendidikan dasar (SMP/MTs) dan menengah (SMA/MA/SMK). Capaian angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar SMP/MTs pada jalur formal telah mencapai 87,52 persen. Hal ini berarti pemerintah daerah harus melakukan upaya-upaya penyempurnaan kebijakan untuk menyelesaikan program wajib belajar sembilan tahun jenjang pendidikan SMP/MTs dan mulai merintis upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah, karena capaian angka partisipasi sekolah untuk jenjang pendidikan menengah formal baru mencapai 38,54 persen pada tahun 2011. Oleh karena itu dibutuhkan strategi yang tepat untuk dapat menuntaskan program wajib belajar pada jalur menengah ini. Rendahnya capaian angka partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah ini diduga disebabkan oleh empat faktor utama, yakni: (1)
Faktor internal pendidikan, dimana diduga dikontribusi oleh kondisi daya tampung sekolah yang diwakili oleh jumlah ruang kelas layak pakai, jumlah guru yang layak mengajar, partisipasi dari penyelenggara pendidikan, serta kualitas penyelenggaraan pendidikan.
(2)
Faktor kondisi masyarakat. Terjadinya faktor ini diduga disebabkan oleh faktor orang tua dan anak. Faktor orang tua diduga dikontribusi oleh pengaruh penghasilan dan pendidikan. Faktor anak, diduga dikontribusi oleh minat untuk melanjutkan sekolah dan jenis kelamin juga diduga mempengaruhi partisipasi sekolah.
26
(3)
Faktor karakteristik wilayah. Faktor karakteristik wilayah tempat tinggal yang
bercorak
pertanian,
perdagangan/jasa
atau
industri,
diduga
berkontribusi terhadap partisipasi sekolah. (4)
Faktor dukungan pendanaan daerah. Faktor ini diduga disebabkan oleh minimnya alokasi anggaran asli daerah untuk pendidikan menengah. Oleh karena itu diperlukan metode yang tepat untuk menganalisis faktor-
faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah tersebut. Dengan demikian diharapkan akan muncul rumusan prioritas strategi yang dijabarkan dalam bentuk kebijakan dan program/kegiatan untuk mengatasi penyebab-penyebab tersebut. Hasil perumusan prioritas strategi tersebut dapat dijadikan kebijakan penting bagi daerah untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah yang pada akhirnya berdampak pada tuntasnya program wajib belajar di Kabupaten Bogor. Pada Gambar 3 dapat dilihat kerangka alur pikir penelitian yang dibagi dalam dua tahapan yakni tahapan identifikasi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya angka partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal, serta tahapan perumusan strategi.
27
Tahapan Identifikasi dan Analisis Faktor Ketersediaan Daya Tampung Sekolah Ketersediaan guru
Faktor Orang tua
Wilayah Pertanian
Faktor Anak
Wilayah Perdagangan / jasa
Penyelenggara Pendidikan dan Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan
Faktor Internal Pendidikan (Analisis Regresi Linear berganda)
PROGRAM WAJIB BELAJAR
Alokasi Anggaran Pendidikan
Wilayah Industri
Faktor Kondisi Masyarakat
Faktor Karakteristik Wilayah
(Analisis Regresi Logistik Biner)
(Analisis Regresi Logistik Biner)
Faktor Pendanaan Daerah (Analisis Rasio Kemandirian Anggaran Pendidikan)
Angka Partisipasi Sekolah Jenjang pendidikan Menengah
STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH JENJANG PENDIDIKAN MENENGAH FORMAL (Analisis SWOT dan Arsitektur Strategi)
KEBIJAKAN DAERAH
Tahapan Perumusan dan Perancangan Strategi Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian Strategi Peningkatan Partisipasi Sekolah Program Wajib Belajar di Kabupaten Bogor
28
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini bertempat di wilayah otonomi Pemerintah Kabupaten
Bogor. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan : (1)
Kabupaten Bogor merupakan daerah otonomi yang dekat dengan ibukota negara. Dengan demikian dampak pembangunan di ibukota negara ini sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi, sosial, lingkungan dan keamanan Kabupaten Bogor. Tidak terkecuali dari pertimbangan tersebut, hal ini juga akan berpengaruh pada dunia pendidikan khususnya tingkat partisipasi sekolah masyarakat Kabupaten Bogor. Di samping itu luas wilayah Kabupaten Bogor yang terbagi atas 40 kecamatan dan 430 desa/kelurahan, menyebabkan perlunya perhatian lebih besar dalam hal pengelolaan dan pemantauan daerah. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika antar kecamatan dan desa yang cenderung berbeda. Salah satu hal yang membedakannya adalah berdasarkan lapangan usaha. Beberapa kecamatan yang ada di wilayah Barat dan Timur Kabupaten Bogor didominasi oleh sektor pertanian yang dicirikan oleh banyaknya rumah tangga pertanian, karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar kecamatan di wilayah Tengah didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa yang dicirikan oleh banyaknya aktivitas usaha perdagangan dan jasa yang dilakukan oleh masyarakat. Sementara itu, beberapa kecamatan di wilayah Timur didominasi oleh sektor industri yang dicirikan oleh banyaknya aktivitas usaha industri besar dan sedang.
(2)
Kabupaten Bogor hingga tahun 2011 merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang belum menuntaskan program wajib belajar, baik sembilan tahun apalagi dua belas tahun. Waktu pengambilan dan pengolahan data penelitian dilaksanakan selama
3 bulan, yakni bulan Maret-Mei 2012.
29
3.3
Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan untuk kepentingan penelitian ini berdasarkan
jenisnya terdiri atas :
(1)
Data primer Data primer dibutuhkan untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga, yakni
menganalisis faktor-faktor kondisi masyarakat dan faktor karakteristik wilayah yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah atas di Kabupaten Bogor. Data primer yang diambil berupa data kualitatif, diperoleh melalui dua cara, yaitu: (1) wawancara terstruktur, yakni pengumpulan informasi melalui tanya jawab sesuai panduan pertanyaan, dan (2) penyebaran kuesioner kepada responden yang dianggap mampu menjawab pertanyaan secara mandiri. Responden dipilih berdasarkan penentuan sampel dengan menggunakan teknik cluster sampling dengan langkah-langkah berikut : (1)
Kabupaten Bogor dibagi atas tiga kawasan, yakni: (1) pertanian, (2) perdagangan/jasa, dan (3) industri. Kawasan pertanian dicirikan oleh banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Kawasan perdagangan dan jasa dicirikan oleh banyaknya perusahaan/usaha, sedangkan kawasan industri dicirikan oleh banyaknya jumlah industri besar dan sedang yang ada di suatu kecamatan.
(2)
Melakukan pemeringkatan kecamatan dengan menggunakan data yang sesuai dengan pembagian berdasarkan tiga kawasan yang ditentukan. Kriteria penentuan kecamatan yang paling mencirikan sektor pertanian, perdagangan/jasa, serta industri, dapat dilihat pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Kriteria Penentuan Kawasan Berdasarkan Sektor Pertanian, Perdagangan dan Jasa, serta Industri No 1
2
Kawasan
Kriteria
Pertanian
1. Jumlah rumah tangga petani dan petani gurem
Perdagangan dan jasa
1. Jumlah perusahaan perdagangan besar dan eceran 2. Jumlah perusahaan akomodasi dan makan minum, transportasi pergudangan, dan komunikasi 3. Jumlah perusahaan perantara keuangan 4. Jumlah real estate dan usaha persewaan 5. Jumlah jasa pendidikan 6. Jumlah jasa kesehatan dan kegiatan sosial 7. Jumlah jasa kemasyarakatan, sosial budaya,hiburan dan usaha perorangan lainnya 8. Jasa perorangan yang melayani rumah tangga
3
Industri
1. Jumlah industri besar dan sedang
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
(3)
Membandingkan kecamatan dengan capaian angka partisipasi sekolah di wilayah tersebut. Kecamatan yang diambil adalah kecamatan yang masingmasing memiliki ciri dominan pada sektor pertanian, perdagangan dan jasa, serta industri dengan nilai APM yang lebih rendah daripada nilai ratarata kabupaten pada tahun 2010 yakni 44,21 persen. Berdasarkan perbandingan hasil pemeringkatan kecamatan dengan capaian APM, diperoleh tiga kecamatan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.
31
Tabel 4. Pemilihan Kecamatan Sampel Berdasarkan Kategori Sektor dan APM Kategori Sektor 1. Pertanian 2. Perdagangan dan jasa 3. Industri
Kecamatan
APM (%)
Leuwiliang Cisarua Klapanunggal
36,99 33,06 25,66
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2010 (diolah)
(4)
Memilih
satu
desa
pada
masing-masing
kecamatan
yang
paling
merepresentasikan ketiga sektor tersebut. Berdasarkan hasil analisis data sekunder dan informasi dari aparat pemerintahan terkait, ditetapkan 3 desa yang dijadikan lokasi pengambilan sampel responden, yakni : (1) Desa Karehkel di Kecamatan Leuwiliang, (2) Kelurahan Cisarua di Kecamatan Cisarua, dan (3) Desa Kembang Kuning di Kecamatan Klapanunggal. (5)
Menentukan katagori responden di tingkat desa dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik sampling ini digunakan berdasarkan pertimbangan tertentu yakni keluarga yang memiliki anak usia 16-18 tahun tanpa memperhatikan apakah anak itu bersekolah atau tidak. Adapun pemilihan responden dilakukan berdasarkan informasi dari pemerintah desa/kelurahan setempat dan pencarian langsung di lapangan.
(6)
Menentukan jumlah responden sebanyak 20 orang untuk masing-masing lokasi.
(2)
Data sekunder Data sekunder dibutuhkan untuk menjawab tujuan pertama dan keempat
dari penelitian ini, yaitu menganalisis faktor-faktor internal pendidikan yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang menengah atas di Kabupaten Bogor, dan menganalisis kemandirian pendanaan pendidikan di Kabupaten Bogor. Jenis data ini diperoleh dari informasi dokumentasi dalam bentuk studi kepustakaan yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang terkait dengan topik penelitian. Adapun data sekunder yang dibutuhkan untuk menjawab tujuan utama dan spesifik penelitian, dapat dilihat pada Tabel 5.
32
Tabel 5. Tujuan, Metode, Jenis dan Sumber Data Tujuan Menganalisis faktorfaktor internal pendidikan yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor
Jenis Data Data Sekunder: 1. Daya tampung Sekolah a. Jumlah penduduk usia sekolah b. Jumlah penduduk yang usia sekolah yang bersekolah c. Jumlah sekolah dan ruang kelas
Sumber
Metode
1. Dinas Pendidikan 2. Kementerian Agama 3. BPS 4. Bappeda
1. Analisis statistik deskriptif 2. Analisis Korelasi 3. Analisis Regresi Linear Berganda
2. Jumlah guru pada jenjang pendidikan menengah (SMA sederajat) a. Jumlah guru yang layak mengajar (S1-S3) b. Jumlah guru yang tidak layak mengajar (< S1) 3. Jumlah lembaga pendidikan SMA Sederajat a. SMA dan SMK Negeri b. SMA dan SMK Swasta c. MA Negeri d. MA Swasta 4. Status akreditasi sekolah a. Status sekolah berdasarkan nilai akreditasi (A, B, C)
Menganalisis faktorfaktor kondisi masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor.
Data Primer
Responden
1. Analisis statistik deskriptif 2. Analisis Regresi Logistik Biner 3. Analisis Korelasi
Menganalisis faktor karakteristik wilayah yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah di kabupaten Bogor
Data Primer
Responden
1. Analisis statistik deskriptif 2. Analisis Regresi Logistik Biner 3. Analisis Korelasi
Menganalisis kemandirian pendanaan daerah untuk sektor pendidikan di Kabupaten Bogor
1. Anggaran Pendidikan asli APBD 2. Anggaran pendidikan bantuan non APBD
1. Bappeda 2. Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah
Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Merumuskan strategi peningkatan partisipasi sekolah di Kabupaten Bogor
Hasil olah data primer dan sekunder
Sumber : Hasil Analisis
1. Analisis SWOT 2. Arsitektur Strategi
33
3.4
Metode Analisis Data Untuk menganalisis data yang dikumpulkan sehingga mendapatkan hasil
dan kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka digunakan motode analisis data sebagai berikut :
3.4.1 Analisis Statistik Deskriptif Pada
penelitian
ini,
analisis
statistik
deskriptif
digunakan
untuk
menjabarkan dan menggambarkan secara deskriptif masing-masing faktor yang diteliti. Di samping itu, analisis ini digunakan untuk membantu pengidentifikasian unsur-unsur faktor internal dan eksternal dalam analisis SWOT.
3.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda Analisis regresi berganda adalah analisis regresi yang digunakan untuk menduga nilai variabel terikat (dependent) dengan menggunakan lebih dari satu variabel bebas (independent). Parameter penting yang dihasilkan dari analisis regresi berganda yang bermanfaat untuk mengambil kesimpulan adalah: (1) koefisien determinasi yang menggambarkan persentase keragaman variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas di mana nilai koefisien determinasi semakin mendekati 100% berarti semakin baik, (2) selang kepercayaan model yang menggambarkan tingkat perbedaan nyata (signifikan) dari persamaan yang digunakan yang nilainya biasanya adalah 90 – 95% (alfa : 0,1 atau alfa : 0,05), (3) nilai intersep dan nilai koefisien model beserta selang kepercayaannya masing-masing yang menggambarkan berapa nilai intersep dan nilai koefisien masing-masing variabel bebas beserta selang kepercayaannya di mana nilai-nilai ini kemudian dapat disusun menjadi sebuah persamaan regresi berganda (Wibowo, 2008). Analisis regresi liner berganda ini digunakan untuk menduga nilai variabel-variabel yang sesuai dengan tujuan pertama dari penelitian. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor internal pendidikan yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah, digunakan persamaan :
34
Dimana : Y(t) ßo X1
= = =
X2 X3
= =
t
=
Tingkat Partisipasi Sekolah tahun tertentu yang dicirikan oleh APM Koefisien intersep Ketersediaan daya tampung yang diwakili oleh jumlah ruang kelas layak pakai Ketersediaan guru layak mengajar Kualitas penyelenggara pendidikan yang diwakili oleh akreditasi sekolah tahun analisis
3.4.3 Analisis Regresi Logistik Biner Analisis regresi logistik adalah analisis yang mengkaji hubungan pengaruh peubah-peubah penjelas (X) terhadap peubah respon (Y) melalui model persamaan matematis tertentu, dimana peubah respon dalam analisis regresi berupa peubah kategori (Firdaus, 2011). Analisis ini merupakan suatu teknik untuk menerangkan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon. Pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linear ke dalam bentuk logit. Adapun formula transformasi logit tersebut menurut Firdaus (2011) adalah :
Dimana : pi
=
loge =
peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon (Y) untuk orang ke-i, dengan nilai p berada antara 0-1 logaritma dengan basis bilangan e
Adapun model yang digunakan untuk analisis regresi logistik adalah :
Dimana : Logit (pi) β0 β1-n X1-n
= = = =
peluang kejadian sukses peubah respon (Y) intersep model garis regresi slope model garis regresi variabel penjelas
35
Hipotesa yang dibangun dari persamaan regresi logistik biner adalah : H0 = persamaan regresi bernilai 0, yakni [Logit (pi)] = 0 H1 = persamaan regresi tidak bernilai 0, yakni [Logit(pi)] ≠ 0 Untuk menguji kelayakan model regresi logistik biner yang dibangun, digunakan metode maximum likelihood. Model dinyatakan layak digunakan apabila nilai -2 Log Likelihood < nilai chi square tabel. Adapun Berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow, jika nilai signifikansi > 0,05, maka terima H0. Hal ini berarti model dinyatakan layak dan bisa diinterpretasikan. Sebaliknya jika nilai signifikansi < 0,05, maka tolak H0, dimana nilai 0,05 merupakan tingkat kepercayaan 95 persen. Analisis regresi logistik biner dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor kondisi masyarakat yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Adapun variabel respon (Y) dan variabel penjelas (X) yang digunakan adalah : Y
=
Tingkat Partisipasi Sekolah yang dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu tidak bersekolah, dan “1” yaitu bersekolah
X1
=
Faktor penghasilan orang tua yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk penghasilan orang tua yang berada di bawah UMK, dan (1) untuk penghasilan orang tua yang berada di atas UMK
X2
=
Faktor pendidikan orang tua yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk orang tua yang berpendidikan SD ke bawah, dan (1) untuk orang tua yang berpendidikan SMP ke atas
X3
=
Faktor minat anak bersekolah yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk anak yang tidak berminat sekolah, dan (1) untuk anak yang berminat sekolah
X4
=
Faktor jenis kelamin anak yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk anak yang berjenis kelamin laki-laki, dan (1) untuk anak yang berjenis kelamin perempuan
Analisis regresi logistik biner dalam penelitian ini juga digunakan untuk mengetahui faktor karakteristik wilayah yang diduga mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Adapun variabel respon (Y) dan variabel penjelas (X) yang digunakan adalah : Y
=
Tingkat Partisipasi Sekolah yang dicirikan oleh nilai kategori “0” yaitu tidak bersekolah, dan “1” yaitu bersekolah
36
X1
=
Faktor karakteristik wilayah yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk karakteristik wilayah pertanian, dan (1) untuk karakteristik wilayah perdagangan dan jasa
X2
=
Faktor karakteristik wilayah yang dicirikan oleh nilai kategori (0) untuk karakteristik wilayah pertanian, dan (1) untuk karakteristik wilayah industri
3.4.4
Analisis Korelasi Analisis ini digunakan untuk melihat sejauhmana keeratan hubungan
antara variabel-variabel yang diduga menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal dengan capaian tingkat partisipasi sekolah. Rumus yang digunakan menurut Siregar, (2010) adalah :
Dimana : r X Y
3.4.5
= koefisien korelasi = variabel X yang digunakan = variabel tingkat partisipasi sekolah
Analisis Rasio Kemandirian Analisis ini digunakan untuk mengetahui kemampuan daerah dalam
membiayai
sendiri
pembangunan
pendidikan,
khususnya
pembangunan
pendidikan menengah formal. Analisis ini juga dapat menunjukkan seberapa besar ketergantungan daerah terhadap pembiayaan pendidikan dari pihak luar. Rumus yang digunakan adalah :
Dimana : RK = Rasio Kemandirian tahun tertentu APA = Anggaran pendidikan menengah asli daerah APB = Anggaran pendidikan menengah bantuan luar
37
Keterangan : Jika nilai rasio kemandirian semakin kecil, maka semakin besar ketergantungan pemerintah daerah dalam membangun sektor pendidikan terhadap dana bantuan, dan sebaliknya.
3.5
Metode Perumusan Strategi Metode perumusan strategi digunakan untuk menganalisis alternatif
strategi yang mungkin muncul dari faktor-faktor hasil analisis data primer dan sekunder.
3.5.1
Analisis SWOT Analisis ini ditujukan untuk menggambarkan kondisi dan mengevaluasi
suatu masalah yang berdasarkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Analisis SWOT terdiri dari dua tahap, yaitu : (1) identifikasi unsur SWOT, yakni unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), dan (2) perumusan strategi melalui matriks SWOT yang berfungsi untuk menganalisis kondisi internal dan eksternal dari faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan SMA. Unsur-unsur internal dan eksternal yang diidentifikasi diperoleh dari hasil analisis terhadap data primer dan sekunder yang digunakan. Adapun batasan lingkungan internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Batasan Faktor Internal dan Eksternal dalam Analisis SWOT Faktor Internal Semua unsur yang berhubungan dengan faktor internal pendidikan, meliputi: 1. Ketersediaan ruang kelas layak pakai 2. Ketersediaan guru yang berkualifikasi mengajar 3. Kualitas penyelenggaraan pendidikan (akreditasi sekolah)
Sumber : Hasil Identifikasi
Faktor Eksternal Semua unsur yang berhubungan dengan faktor kondisi masyarakat, meliputi : 1. Penghasilan orang tua 2. Pendidikan orang tua 3. Motivasi orang tua menyekolahkan anak 4. Minat anak bersekolah 5. Jenis kelamin anak Semua unsur yang berhubungan dengan karakteristik wilayah, meliputi : 1. Wilayah pertanian 2. Wilayah perdagangan/jasa 3. Wilayah industri Semua unsur yang berhubungan dengan pendanaan pendidikan menegah
38
Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal kemudian disandingkan dalam matriks SWOT seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Matriks SWOT Internal
Strengths (S)
Eksternal
Weaknesses (W)
Opportunities (O)
Strategi S-O Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi W-O Memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan
Threats (T)
Strategi S-T Menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi W-T Meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti (1997)
Hasil perumusan strategi melalui analisis SWOT kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan pemetaan strategi berdasarkan prioritas melalui pendekatan road map strategy. Menurut Baga (2009) pendekatan ini dapat menjelaskan dan menunjukkan beberapa hal yang mendasar, yaitu : (1)
Prioritas penanganan suatu strategi dibandingkan strategi lainnya dengan tetap menganggap penting semua strategi yang berhasil dirumuskan. Perbedaan prioritas terlihat pada urutan urgensi penanganan suatu strategi.
(2)
Hubungan sekuensial antar strategi, sehingga dapat menghindarkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas strategi.
(3)
Hubungan resiprokal antar
strategi
yang
mengindikasikan
adanya
ketergantungan antar strategi dan pengaruh satu strategi terhadap strategi lainnya. (4)
Menjelaskan time-frame implementasi masing-masing strategi dalam periode waktu tertentu. Implementasi strategi yang telah dipetakan kemudian disajikan melalui
perancangan
arsitektur
strategi.
Arsitektur
strategi
merupakan
sebuah
39
pendekatan untuk mengimplementasikan perencanaan masa depan yang dibangun
sendiri
berdasarkan
keinginan
untuk
dapat
melaksanakan
program/kegiatan agar lebih terarah sesuai dengan prioritas kebutuhan yang telah ditetapkan sebelumnya (Yoshida, 2006). Penyusunan arsitektur strategi dilakukan dengan mempertimbangkan empat hal, yaitu : (1)
Urutan prioritas strategi yang telah dipetakan berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal.
(2)
Urutan prioritas kebijakan yang menjadi fokus dari beberapa strategi yang berhubungan.
(3)
Kesesuaian program/kegiatan dengan waktu pelaksanaan.
(4)
Hubungan antar kegiatan.
40
41
IV. KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR
4.1
Kondisi Geografis dan Administrasi Kabupaten Bogor merupakan salah satu dari 26 kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat yang memiliki luas ± 298.838,304 Ha. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak di antara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" – 107º13'30" Bujur Timur dan berbatasan dengan kabupaten/kota lainnya di Jawa Barat serta Provinsi Banten. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut : -
Sebelah
Utara,
berbatasan
dengan
Kota
Tangerang
Selatan,
Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi; -
Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak;
-
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;
-
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur;
-
Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.
Letak geografis Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2011 Gambar 4. Letak Geografis Kabupaten Bogor
42
Letak Kabupaten Bogor tidak berbatasan langsung dengan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara, namun jarak antara Kabupaten Bogor dengan ibukota negara cukup dekat yakni kurang lebih sejauh 48 km. Dekatnya jarak ini sedikit banyak mempengaruhi wilayah Kabupaten Bogor, baik dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan, keamanan dan ketertiban. Secara administratif, Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan yang terbagi kedalam 413 desa, 17 kelurahan, 3.770 RW dan 15.124 RT dengan pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Cibinong. Rentang kendali wilayah di Kabupaten Bogor sangat lebar, dimana 37,5 persen atau 15 kecamatan berjarak kurang dari 25 km dari pusat pemerintahan daerah, 42,5 persen atau 17 kecamatan berjarak 25-50 km dan 20 persen atau delapan kecamatan berjarak lebih dari 50 km. Lebarnya rentang kendali tersebut berdampak pada pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakat, terutama pada kecamatan-kecamatan yang jaraknya lebih dari 50 km dari pusat pemerintahan daerah. Rincian kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 8. Untuk
mengurangi
ketimpangan
pelayanan
bagi
wilayah-wilayah
kecamatan yang secara geografis letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan daerah, maka dibuatlah konsep sistem pusat permukiman perdesaan melalui pembangunan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) yang mencakup 64 desa / kelurahan di 37 kecamatan. Konsep ini dibuat dalam upaya pengembangan kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang memiliki keterkaitan kuat terhadap wilayah yang dilayaninya. Diharapkan pembentukan desa pusat pertumbuhan ini akan memberikan pengaruh yang besar bagi desa-desa di sekitarnya. Kecamatan dan desa/kelurahan yang diarahkan menjadi desa pusat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 9. Selain itu telah direncanakan pula sistem pusat permukiman perkotaan dengan pembagian sebagai berikut : (a)
Orde I, yaitu Kecamatan Cibinong yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap
Pusat
Kegiatan
Nasional
(PKN),
antara
lain
wilayah
JABODETABOKPUNJUR (b)
Orde II, yaitu Kecamatan Cileungsi dan Kecamatan Leuwiliang yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap Kecamatan Cibinong
43
(c)
Orde III, yaitu Kecamatan Jasinga, Kecamatan Parung Panjang, Kecamatan Parung, Kecamatan Ciawi, Kecamatan Cigombong, dan Kecamatan Cariu.
Tabel 8. Kondisi Administratif Kabupaten Bogor Tahun 2012
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nanggung Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Cibungbulang Ciampea Tenjolaya Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Cigombong Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur Cariu tanjungsari Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunung Putri Citeureup Cibinong Bojonggede Tajurhalang Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunung Sindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjolaya Parung Panjang Total
Luas Wilayah 13.525,25 6.177,12 3.283,12 8.088,29 3.266,15 5.106,45 2.368,00 2.437,64 1.630,57 2.161,40 3.166,23 4.042,52 5.729,29 2.581,00 6.373,62 3.987,38 4.297,38 9.871,00 12.678,00 7.366,12 12.998,71 12.686,00 7.378,64 9.764,40 5.628,67 6.719,00 4.336,96 2.955,32 2.927,76 6.369,99 2.168,67 7.376,69 3.678,86 5.126,00 11.100,77 15.889,97 7.628,31 20.806,50 6.444,75 6.259,00 266.381,50
Jarak dari Ibukota Kabupaten (km) 49 38 45 40 35 32 45 42 20 25 38 41 34 27 39 37 9 8 59 53 66 39 23 17 12 6 0 21 15 20 17 22 47 32 42 53 55 64 79 87 1.433
Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan, 2011
Jumlah Desa/Kel 10 11 8 15 15 13 6 10 6 8 9 9 12 13 10 11 13 9 10 10 10 14 12 9 10 14 12 9 7 9 7 9 10 10 13 15 9 16 9 11 430
RW 100 126 56 137 122 102 40 72 129 91 64 80 81 81 73 55 105 70 74 55 75 119 148 72 239 110 158 140 79 78 51 53 60 87 109 178 85 99 42 74 3.770
RT 348 426 272 499 408 435 147 313 511 360 259 287 348 330 260 256 539 259 233 155 175 335 800 220 941 477 909 724 352 305 194 230 252 340 459 536 282 449 192 307 15.124
44
Tabel 9. Pembagian Desa Pusat Pertumbuhan di Kabupaten Bogor Wilayah
Jumlah Kecamatan
Kecamatan dengan DPP
Desa Pusat Pertumbuhan
13 20 7
12 18 7
23 23 18
Barat Tengah Timur
Sumber : Perda RTRW Kabupaten Bogor, 2008
4.2
Kondisi Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2010 tercatat sebanyak
4.771.932 jiwa yang terdiri atas 2.452.562 jiwa laki-laki dan 2.319.370 perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar 106. Adapun laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor sejak tahun 2000 hingga 2010 sebesar 3,15 persen yang dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk alami dan migrasi masuk. Jika dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat yang jumlah penduduknya tercatat sebanyak 43.053.732 jiwa, Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk terbanyak, yakni sebesar 11,08 persen dari total penduduk Jawa Barat. Sementara itu dari 33 provinsi di Indonesia, yang total penduduknya tercatat sebanyak 237.641.326 jiwa, Provinsi Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak, yakni sebesar 18,12 persen. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bogor merupakan jumlah penduduk terbanyak diantara kabupaten/kota di Indonesia yakni sekitar 2,01 persen dari total penduduk Indonesia. Keseluruhan
penduduk
Kabupaten
Bogor
tersebar di
40
wilayah
kecamatan dengan kepadatan penduduk rata-rata tahun 2010 tercatat sebesar 25,69 jiwa per hektar. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Ciomas, yakni 91,48 jiwa per hektar. Sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Tanjungsari yakni 3,85 jiwa per hektar. Kabupaten Bogor terbagi atas tiga wilayah, yakni wilayah barat meliputi 13 kecamatan, wilayah tengah meliputi 20 kecamatan dan wilayah timur meliputi tujuh kecamatan. Ratarata kepadatan penduduk pada ketiga wilayah ini tidaklah sama, karena penduduk lebih terkonsentrasi di wilayah tengah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.
45
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 5. Kepadatan Penduduk Kabupaten Bogor Menurut Wilayah
Terkonsentrasinya sebagian besar penduduk di wilayah tengah yakni sebanyak 34,61 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor bisa jadi dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas dan aksesibilitas pelayanan, sehingga memudahkan penduduk untuk memenuhi semua kebutuhannya. Dilihat dari struktur penduduk, mayoritas penduduk Kabupaten Bogor berusia produktif (1564 tahun) yakni sebesar 64,16 persen dari total penduduk yang ada. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 6. Struktur Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2010
46
Kondisi struktur penduduk Kabupaten Bogor seperti yang disajikan pada Gambar 6, berkonsekuensi pada rasio beban tanggungan penduduk usia produktif yakni sebesar 55,86 persen, artinya setiap seratus penduduk Kabupaten Bogor yang berusia produktif menanggung hampir 56 jiwa penduduk usia tidak produktif yang didominasi oleh penduduk usia 0-14 tahun. Di sisi lain, dari total penduduk usia produktif, sebanyak 56,26 persen merupakan penduduk yang bekerja. Sektor pekerjaan yang menyerap tenaga kerja terbanyak adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, yakni sebanyak 24,96 persen dari total penduduk yang bekerja. Hal ini bisa menunjukkan bahwa pengaruh letak geografis Kabupaten Bogor yang berdekatan dengan ibukota negara dapat dicirikan oleh besarnya jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor non pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011 Gambar 7.
Persentase Penduduk Kabupaten Bogor yang Bekerja Menurut Sektor Tahun 2010
Banyaknya
jumlah
penduduk
usia
produktif
dengan
rasio
beban
tanggungan yang cukup besar, di satu sisi menimbulkan masalah kependudukan lainnya, yaitu masalah pengangguran dan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tidak semua penduduk usia produktif yang bekerja atau mendapatkan pekerjaan. Hingga tahun 2010 pengangguran terbuka tercatat sebanyak 10,64 persen, sedangkan jumlah penduduk miskin tercatat 9,97 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor. Di sisi lain sebanyak 23,16 persen penduduk Kabupaten Bogor rawan terhadap kemiskinan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.
47
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 8. Permasalahan Kependudukan di Kabupaten Bogor Tahun 2010
4.3
Kondisi Perekonomian Kondisi perekonomian di Kabupaten Bogor sedikit banyak dipengaruhi oleh
kondisi perekonomian Jakarta sebagai ibukota negara, karena jarak Kabupaten Bogor dengan Jakarta yang cukup dekat. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi lima tahun terakhir (2006-2010) tercatat sebesar 5,41 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011 Gambar 9. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010
48
Indikator perekonomian di Kabupaten Bogor juga terlihat dari besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan PDRB dan PDRB perkapita berdasarkan atas harga berlaku dan harga konstan ini dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 PDRB (juta Rp) Tahun PDRB atas harga berlaku
2007
2008
2009
2010
51.280.219,68
58.389.411,43
66.083.788,55
73.800.700,55
PDRB atas harga konstan
2.8151.318,85
29.721.698,04
30.952.137,83
32.526.449,67
PDRB perkapita atas harga berlaku
11.731.342,36
12.959.070,42
14.232.423,29
15.465.580,93
PDRB perkapita atas harga konstan
6.440.158,82
6.596.497,01
6.666.142,13
6.816.201,42
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Berdasarkan data pada Tabel 10, terlihat bahwa sejak tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan nilai PDRB maupun PDRB perkapita. Namun apabila dilihat dari laju pertumbuhannya, ternyata PDRB kabupaten Bogor atas harga berlaku tahun 2010 mengalami penurunan dari tahun 2007 sebesar 0,02 poin. PDRB atas harga konstan turun sebesar 0,01 poin, dan PDRB perkapita atas harga berlaku juga turun sebesar 0,01 poin. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 10. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
49
Sementara itu, laju inflasi di Kabupaten Bogor dari tahun 2006-2010 berfluktuasi dengan laju tertinggi terjadi pada tahun 2008. Secara rata-rata, laju inflasi di Kabupaten Bogor tahun 2006-2010 mencapai sebesar 6,14 persen. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 12.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Gambar 11. Laju Inflasi di Kabupaten Bogor Tahun 2006-2010
4.4
Kondisi Sosial Keberhasilan pembangunan di Kabupaten Bogor dari sudut pandang sosial
dapat dilihat dari berbagai hal, diantaranya adalah capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terutama pada aspek kesehatan dan pendidikan. Hingga tahun 2010 IPM Kabupaten Bogor mencapai 72,16 poin. Perkembangan capaian IPM tahun 2007-2010 dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010 IPM Tahun
Angka Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata Lama Sekolah
Kemampuan Daya Beli
IPM
2007
67,63
93,59
7,20
623,09
70,08
2008
68,03
93,59
7,20
627,74
70,66
2009
68,44
94,29
7,54
628,34
71,35
2010
68,86
95,02
7,98
629,62
72,16
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
50
Besarnya harapan hidup masyarakat Kabupaten Bogor semakin lama semakin meningkat hingga pada tahun 2010 mencapai usia hampir 69 tahun. Pada bidang pendidikan, masih terdapat 4,98 persen penduduk diatas usia 15 tahun yang buta huruf, dan rata-rata pendidikan masyarakat Kabupaten Bogor baru menamatkan jenjang pendidikan dasar tingkat SD/sederajat dan baru menyelesaikan jenjang pendidikan SMP/sederajat pada kelas tujuh. Sementara itu, kemampuan daya beli masyarakat baru mencapai Rp 629.620,00 pertahun. Apabila dilihat dari laju peningkatan IPM dan komponen-komponennya, maka dari tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan IPM dengan laju peningkatan tertinggi terjadi pada rata-rata lama sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan dibidang pendidikan lebih besar terlihat hasilnya dibandingkan dengan pembangunan di bidang kesehatan maupun ekonomi. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Laju Peningkatan Capaian IPM Kabupaten Bogor Tahun 20072010 IPM Angka Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata Lama Sekolah
Kemampuan Daya Beli
IPM
2007-2008
0,59
0,00
0,00
0,75
0,83
2008-2009
0,60
0,75
4,72
0,10
0,98
2009-2010
0,61
0,77
5,84
0,20
1,14
Rata-Rata Peningkatan
0,60
0,51
3,52
0,35
0,98
Tahun
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2011
Dekatnya wilayah Kabupaten Bogor dengan ibukota negara memberikan dampak positif dan negatif terhadap kondisi sosial masyarakat. Dampak positif terutama dirasakan dari tingginya aksesibilitas dan kemudahan pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat, sedangkan dampak negatif yang muncul adalah tingginya kasus kriminalitas, kecelakaan lalu lintas, dan masalah sosial lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13.
51
Tabel 13. Perbandingan Kasus Masalah Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2007 dan Tahun 2010 Tahun Masalah Sosial
Kecelakaan Lalu Lintas Kriminalitas
% Kenaikan Kasus
2007
2010
162
518
219,75
2.455
4.864
98,13
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2007 dan 2011
Berdasarkan data pada Tabel 13, persentase peningkatan kasus kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Bogor sangat tinggi hingga mencapai 219,75 persen pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2007, sedangkan kasus kriminalitas meningkat sebesar 98,13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor rawan kecelakanaan lalu lintas dan kriminalitas.
Di samping itu, masalah
kesejahteraan sosial juga banyak terjadi di Kabupaten Bogor, baik berlatar belakang korban, anak, maupun latar belakang sosial lainnya. Masalah kesejahteraan keluarga yang terjadi di Kabupaten Bogor 90,62 persen disebabkan oleh latar belakang keluarga. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2010
Gambar 12.
Masalah Kesejahteraan Sosial di Kabupaten Bogor Tahun 2010 Berdasarkan Latar Belakang
52
4.5
Kondisi Umum Pendidikan di Kabupaten Bogor Penyelenggaraan pendidikan yang menjadi kewenangan Pemerintah
kabupaten Bogor adalah pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Disamping tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ada di tangan pemerintah daerah, pelaksanaan pendidikan pun dilaksanakan juga oleh Kementerian Agama dan lembaga swasta. Peningkatan jumlah sekolah, baik tingkat pra sekolah, dasar maupun menengah mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14. Jumlah sekolah yang ada di Kabupaten Bogor lebih banyak didominasi oleh sekolah umum daripada sekolah keagamaan. Hal ini terjadi pada setiap jenjang pendidikan. Sedangkan jumlah sekolah terbanyak terdapat pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI). Hal ini disebabkan oleh gencarnya upaya untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun di Kabupaten Bogor. Sedangkan penyelenggaraan pendidikan usia dini (TK/RA) menempati posisi terbanyak kedua setelah SD/MI. Hal ini mengingat pula bahwa sebesar 32,32 persen penduduk Kabupaten Bogor adalah penduduk berusia 0-14 tahun.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 13. Perkembangan Jumlah Sekolah dalam Kewenangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
Apabila dilihat dari penyelenggara pendidikan, maka di wilayah Kabupaten Bogor lebih banyak didominasi oleh sekolah swasta yang mengambil peran cukup besar bagi pembangunan pendidikan dengan porsi lebih dari 50 persen
53
dari total sekolah yang ada. Jumlah sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga swasta ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan persentase yang lebih tinggi daripada peningkatan jumlah sekolah swasta. Hal ini dapat dilihat pada gambar 15.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 14. Perbandingan Sekolah Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
Jumlah guru yang ada di Kabupaten Bogor sebagian besar merupakan guru yang mengajar pada jenjang pendidikan SD. Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah Sekolah Dasar yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 15. Perkembangan Jumlah Guru di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
54
Para guru yang mengabdi di sekolah-sekolah di Kabupaten Bogor sebagian besar merupakan guru swasta dengan jumlah lebih dari 50 persen dari total guru yang ada. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 17.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007-2011
Gambar 16. Perbandingan Jumlah Guru Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2011
55
V. FAKTOR- FAKTOR INTERNAL PENDIDIKAN
5.1
Hasil Analisis Seluruh Variabel Faktor Internal terhadap Partisipasi Sekolah Berdasarkan analisis yang dilakukan secara bersamaan pada seluruh
variabel faktor internal pendidikan yang diduga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi sekolah (Y) pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor, maka diperoleh hasil bahwa model persamaan tersebut dibangun oleh tiga variabel bebas yang dapat menjelaskan varians variabel terikatnya sebesar 53,05 persen. Hasil analisis terhadap masing-masing variabel yang dilakukan secara bersamaan menunjukkan bahwa hanya variabel X1 (persentase jumlah ruang kelas layak pakai) yang berpengaruh secara signifikan terhadap Y (tingkat partisipasi sekolah), dimana nilai P-value<0,05. Sementara dua variabel lainnya, yakni X2 (persentase jumlah guru yang berkualifikasi mengajar) dan X3 (persentase jumlah sekolah yang terakreditasi) memiliki nilai P-value>0,05 yang berarti kedua variabel ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat partisipasi sekolah yang diwakili oleh angka partisipasi murni. Model persamaan ini tidak menunjukkan terjadinya multikolinearitas, karena diantara variabelvariabel bebas tersebut tidak memiliki korelasi yang tinggi, dimana nilai toleransi masing-masing variabel berada diatas 0,1. Berdasarkan model yang dibangun, diperoleh persamaan sebagai berikut : Y = 5,92 + 7,69 X1 + 0,08 X2 + 0,05 X3 Persamaan ini menunjukkan bahwa peningkatan satu persen jumlah ruang kelas yang layak digunakan, akan meningkatkan partisipasi sekolah sebesar 7,69 persen. Demikian pula dengan penambahan persentase jumlah guru yang berkualifikasi mengajar akan meningkatkan partisipasi sekolah sebesar 0,08 persen. Penambahan satu persen jumlah sekolah yang terakreditasi akan meningkatkan partisipasi murni sebesar 0,05 persen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 14.
56
Tabel 14. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Pendidikan terhadap Tingkat Partisipasi Sekolah Variabel
Koefisien 5, 98
Signifikansi 0,88
Korelasi
% Jumlah Ruang Kelas Layak Pakai (X1)
7, 69
0,00 (Signifikan)
0,7
% Jumlah Guru yang berkualifikasi mengajar (X2)
0,08
0,85 (Tidak signifikan)
0,1
% Jumlah Sekolah Terakreditasi (X3)
0,05
0,80 (Tidak signifikan)
0,2
Konstanta
Sumber : Hasil Analisis
Adapun detail uraian dari masing-masing variabel dijelaskan secara terpisah dengan menggunakan analisis deskriptif yang disertai dengan pembahasan hasil analisis regresi. Jumlah penduduk usia 16-18 tahun di Kabupaten Bogor pada tahun 2011 tercatat sebanyak 271.523 jiwa. Hal ini berarti bahwa sebanyak 5,33 persen dari total penduduk Kabupaten Bogor merupakan penduduk usia sekolah yang seharusnya mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan menengah. Di sisi lain usia ini telah tercatat sebagai usia kerja, sehingga memungkinkan anak-anak usia tersebut tidak melanjutkan pendidikannya pada jenjang menengah (SMA/sederajat) dengan alasan bekerja. Hingga tahun 2011, jumlah penduduk usia ini tidak seluruhnya tercatat sebagai siswa pada sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Bogor. Dengan mengasumsikan jumlah penduduk usia sekolah yang bersekolah di luar Kabupaten Bogor sama dengan jumlah penduduk luar Kabupaten Bogor yang bersekolah pada jalur pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor, tercatat hanya sebanyak 104.638 jiwa yang bersekolah. Hal ini menyebabkan rendahnya angka partisipasi sekolah yang diukur dengan salah satu ukuran yakni Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor yang hanya mencapai 38,54 persen. Pada Tabel 15 dapat dilihat capaian APM pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011.
57
Tabel 15. Capaian APM SMA/Sederajat Tiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Kecamatan Kemang Cibinong Parung Cibungbulang Ciampea Citeureup Cariu Cigombong Ciawi Leuwiliang Jonggol Cileungsi Gunungputri Parungpanjang Rancabungur Tajurhalang Ciomas Jasinga Bojonggede Klapanunggal Cigudeg Megamendung Rumpin Babakanmadang Caringin Pamijahan Leuwisadeng Gunungsindur Dramaga Ciseeng Tenjo Cisarua Sukajaya Tamansari Sukamakmur Tenjolaya Sukaraja Cijeruk Nanggung Tanjungsari
Jumlah Penduduk 16-18 Tahun
Jumlah Siswa
APM (%)
5.258 18.579 6.403 7.123
6.952 16.412 4.781 4.520
132,22 88,34 74,67 63,46
8.372
4.777
57,06
11.288 2.628 5.025 5.860 6.446 6.981 14.018 17.634 6.259 2.848 5.534 8.488 5.296 13.454 5.407 6.673 5.513 7.349 5.863 6.502 7.617 4.030 5.861 5.729 5.589 3.760 6.410 3.168 5.234 4.243 3.123 9.858 4.474 4.780 2.846
6.325 1.454 2.712 3.134 3.417 3.012 5.060 6.153 2.153 885 1.679 2.558 1.551 3.940 1.569 1.886 1.549 2.040 1.624 1.783 2.041 1.054 1.467 1.323 1.263 804 1.315 380 578 430 314 932 333 324 154
56,03 55,33 53,97 53,48 53,01 43,15 36,10 34,89 34,40 31,07 30,34 30,14 29,29 29,28 29,02 28,26 28,10 27,76 27,70 27,42 26,80 26,15 25,03 23,09 22,60 21,38 20,51 11,99 11,04 10,13 10,05 9,45 7,44 6,78 5,41
Sumber : Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011
Perbandingan antara jumlah penduduk usia sekolah dengan penduduk usia sekolah yang bersekolah pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor berbeda-
58
beda. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Tahun 2011, tingkat partisipasi sekolah tertinggi terdapat di Kecamatan Kemang, dengan capaian APM sebesar 132,22 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk usia sekolah di Kecamatan Kemang seluruhnya sudah berpartisipasi pada jenjang pendidikan menengah formal, dan banyak pula penduduk luar Kabupaten Bogor yang bersekolah di wilayah Kecamatan Kemang yang diduga berasal dari Kota Bogor, Kota Depok dan Kota tangerang. Sedangkan tingkat partisipasi terendah terdapat di Kecamatan Tanjungsari dengan capaian APM sebesar 5,41 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 5,41 persen penduduk usia 16-18 tahun yang bersekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di Kecamatan Tanjungsari.
5.2
Daya Tampung Sekolah Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa daya tampung sekolah
yang diwakili oleh ketersediaan jumlah ruang kelas yang layak digunakan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan partisipasi sekolah yang diwakili oleh APM, dengan nilai koefisien sebesar 7,69. Hal ini berarti bahwa setiap penambahan satu persen jumlah ruang kelas yang layak pakai, akan meningkatkan APM sebesar 7,69 persen. Rendahnya capaian APM dapat diidentifikasi dari beberapa faktor internal, yang salah satunya adalah daya tampung sekolah. Daya tampung sekolah adalah kemampuan suatu sekolah untuk menyerap penduduk usia sekolah. Wujud penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor diantaranya terlihat dari adanya aktivitas belajar-mengajar yang dilaksanakan oleh sejumlah sekolah menengah tingkat atas, baik sekolah umum, agama maupun kejuruan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, lembaga swasta dan Kementerian Agama. Pada tahun 2011, Kabupaten Bogor memiliki 468 unit sekolah yang melayani seluruh jenjang pendidikan menengah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 16.
59
Tabel 16. Penyelenggaraan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 JENIS PENDIDIKAN MENENGAH Sekolah Menengah Atas (SMA)
JUMLAH SEKOLAH
%
JUMLAH SISWA
%
162
34,62
35.622
33,85
83
17,74
10.051
10,13
223
47,65
58.965
56,02
Madrasah Aliyah (MA) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) TOTAL
468
104.638
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011
Dari total unit sekolah tersebut, penyelenggaraan pendidikan didominasi oleh sekolah kejuruan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa usia 16-18 tahun memilih pendidikan kejuruan. Sejumlah unit sekolah tersebut melayani 104.638 jiwa penduduk yang tercatat bersekolah pada jenjang tersebut, padahal total penduduk usia 16-18 tahun berjumlah 271.523 jiwa. Hal ini berarti bahwa terdapat 106.913 jiwa penduduk usia sekolah yang belum dilayani oleh sekolah-sekolah yang ada. Dengan demikian, keberadaan sekolah yang ada saat ini rata-rata hanya mampu melayani 223 jiwa penduduk usia sekolah yang bersekolah. Apabila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk usia sekolah, maka keberadaan sekolah yang ada, tanpa melihat jenis pendidikannya, dapat menampung sekitar 580 jiwa penduduk usia sekolah. Dilihat dari ketersediaan jumlah ruang kelas yang ada, dimana keberadaan ruang kelas merupakan salah satu fasilitas yang paling penting bagi penyelenggaraan jalur pendidikan formal, pada tahun 2011 secara umum Kabupaten Bogor memiliki total ruang kelas sebanyak 2.637 ruang, dengan rincian sebanyak 2.266 atau 85,93 persen ruang kelas dalam kondisi baik yang layak digunakan, 278 ruang kelas atau 10,54 persen dalam kondisi rusak ringan namun masih memungkinkan untuk digunakan, dan 93 ruang kelas atau 3,53 persen dalam kondisi rusak berat, yang tidak mungkin digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 129a/U/2004 tentang Standar pelayanan Minimal Bidang Pendidikan, sebuah ruang kelas dapat menampung maksimum 40 siswa, sehingga sebanyak 2.544 ruang kelas saat ini, baik yang berada dalam kondisi baik maupun rusak ringan digunakan oleh 104.638 siswa. Hal ini berarti bahwa setiap ruang kelas diisi oleh rata-rata 41 siswa, sehingga untuk tingkat
60
Kabupaten Bogor jumlah ini dianggap telah melewati daya tampung maksimal sekolah. Persentase jumlah ruang kelas yang rusak berat sebagian besar berada pada jenjang pendidikan SMA baik negeri maupun swasta. Adapun untuk ruang kelas yang berstatus baik, sebagian besar berada pada jenis pendidikan SMK. Layak tidaknya ruang kelas yang ada sangat mempengaruhi besarnya kapasitas daya tampung siswa. Oleh karena itu, disamping animo masyarakat lebih cenderung bersekolah di SMK, memungkinkan daya tampung SMK paling tinggi karena sebagian besar ruang kelas yang dimiliki berstatus baik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 18.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011. Gambar 17. Kondisi Ruang Kelas Berdasarkan Jenis Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011
Penelaahan terhadap kondisi daya tampung pada jenjang pendidikan menengah di setiap kecamatan berdasarkan jumlah penduduk usia sekolah yang tercatat bersekolah, memperlihatkan bahwa sebanyak 17 kecamatan atau 42,5 persen telah mengalami kelebihan daya tampung siswa, dan 23 kecamatan atau 57,5 persen kemampuan daya tampung bagi siswa usia sekolah masih memadai. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas wilayah di Kabupaten Bogor masih memungkinkan untuk menyerap siswa pada jenjang pendidikan menengah
tanpa
mempertimbangkan
jenis
pendidikan
yang
diminati.
Perhitungan yang dilakukan berdasarkan keseluruhan jumlah penduduk usia sekolah menunjukkan adanya perubahan komposisi daya tampung pada setiap
61
kecamatan. Dengan jumlah ruang kelas yang ada, sebagian besar kecamatan yakni sebanyak 39 kecamatan atau 97,5 persen dipastikan tidak dapat menampung seluruh penduduk usia sekolah yang ada di wilayah tersebut, karena telah melebihi kapasitas daya tampung. Hal ini menunjukkan bahwa jika wajib belajar pendidikan 12 tahun digalakkan di Kabupaten Bogor, masih dibutuhkan tambahan jumlah sekolah dan atau ruang kelas untuk dapat menampung semua penduduk usia sekolah yang ada minimal hingga mencapai daya tampung maksimal.
5.3
Ketersediaan Guru Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa ketersediaan guru yang
diwakili oleh persentase jumlah guru yang berkualifikasi mengajar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan partisipasi sekolah yang diwakili oleh APM, dengan nilai koefisien sebesar 0,08. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu persen jumlah guru yang berkualifikasi mengajar, akan meningkatkan APM sebesar 0,08 persen. Jumlah guru yang mengajar pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor hingga tahun 2011 tercatat berjumlah 8.454 orang yang tersebar pada sekolah umum, madrasah dan kejuruan. Ditinjau dari keseluruhan jumlah guru yang ada, sebanyak 7.588 orang atau 89,75 persen merupakan guru yang memiliki kualifikasi mengajar. Seorang guru dikatakan berkualifikasi mengajar apabila memiliki latar belakang pendidikan minimum Strata-1 (S1), baik dari jalur kependidikan maupun non kependidikan yang memiliki sertifikat mengajar (Akta IV). Setiap sekolah yang ada di Kabupaten Bogor rata-rata memiliki 18 orang guru atau 16 orang guru yang berkualifikasi mengajar, namun penyebaran guru pada setiap kecamatan di Kabupaten Bogor belum merata. Data mengenai rasio guru terhadap jumlah sekolah dapat dilihat pada Tabel 17.
62
Tabel 17. Perbandingan Guru-Sekolah Formal Pada Jenjang Pendidikan Menengah di Setiap Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011
No
Kecamatan
Jumlah Sekolah
Jumlah Guru
Rasio Guru : Sekolah
Jumlah Guru yang berkualifikasi mengajar
Rasio Guru yang berkualifikasi mengajar : Sekolah
1
Parung
14
384
27
366
26
2
Kemang
17
464
27
409
24
3
Cibungbulang
14
337
24
298
21
4
Cigudeg
7
161
23
147
21
5
Cisarua
6
136
23
123
21
6
Cariu
4
85
21
79
20
7
Jasinga
6
141
24
117
20
8
Bojonggede
20
405
20
375
19
9
Nanggung
3
59
20
56
19
10
Tajurhalang
9
177
20
168
19
11
Gunungputri
23
460
20
428
19
12
Ciawi
16
337
21
297
19
13
Megamendung
10
205
21
184
18
14
Rumpin
8
156
20
144
18
15
Cigombong
12
238
20
212
18
16
Babakanmadang
9
178
20
156
17
17
Cibinong
48
899
19
822
17
18
Sukajaya
1
17
17
17
17
19
Dramaga
5
98
20
84
17
20
Citeureup
22
396
18
362
16
21
Leuwiliang
17
284
17
272
16
22
Parungpanjang
14
253
18
223
16
23
Ciomas
14
234
17
212
15
24
Tenjo
25
Caringin
26
Klapanunggal
27
Jonggol
28
Pamijahan
29
Cileungsi
30
Cijeruk
31
Leuwisadeng
32
Ciampea
33
Ciseeng
34
Gunungsindur
35 36
5
92
18
74
15
19
316
17
272
14
7
114
16
99
14
11
185
17
152
14
14
213
15
191
14
26
394
15
350
13
3
46
15
39
13
9
118
13
117
13
17
227
13
214
13
11
139
13
118
11
13
176
14
139
11
Rancabungur
7
92
13
67
10
Tamansari
3
25
8
25
8
37
Sukaraja
9
80
9
72
8
38
Tajungsari
4
43
11
32
8
39
Tenjolaya
7
51
7
51
7
40
Sukamakmur
4
39
10
25
6
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
63
Perhitungan terhadap rasio jumlah guru dengan jumlah sekolah yang ada menunjukkan bahwa di Kecamatan Parung terdapat jumlah guru terbanyak, yakni 27 orang guru atau 26 orang guru yang berkualifikasi mengajar untuk satu sekolah, sedangkan di Kecamatan Sukamakmur terdapat guru dengan jumlah paling sedikit, yakni 10 orang guru atau hanya ada enam orang guru yang berkualifikasi mengajar untuk satu sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Sukamakmur masih mengalami kekurangan guru. Kondisi ini memungkinkan disebabkan oleh jauhnya letak kecamatan Sukamakmur dari pusat pemerintahan Kabupaten Bogor, serta ketersediaan fasilitas infrastruktur yang kurang memadai, sehingga banyak guru lebih memilih mengajar di daerah perkotaan. Kurangnya jumlah guru dalam suatu lembaga sekolah menyebabkan permasalahan pada banyak hal. Salah satu diantaranya adalah sekolah tidak bisa menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dengan baik, karena kekurangan guru menyebabkan sekolah tidak dapat menerima siswa yang melebihi batas kemampuan maksimum mengajar guru. Meskipun daya tampung ruang kelas yang ada cukup memadai, namun jika terdapat kekurangan guru, murid
akan
kekurangan
pendamping
dalam
proses
belajar
mengajar.
Berdasarkan hasil penelaahan terhadap perbandingan antara jumlah guru dengan jumlah siswa, diperoleh kesimpulan bahwa jika melayani seluruh penduduk usia sekolah, maka sebanyak 13 kecamatan atau 32,5 persen kecamatan di Kabupaten Bogor masih mengalami kekurangan guru, dimana idealnya seorang guru mengajar maksimal 40 siswa. Komposisi jumlah guru terhadap jenis sekolah tidak sama antara sekolah umum, madrasah dan kejuruan. SMK memiliki jumlah guru dan guru yang berkualifikasi mengajar lebih sedikit dibandingkan dengan SMA dan MA, meskipun jumlah guru terbanyak ada pada SMK. Hal ini menunjukkan bahwa beban guru yang mengajar di SMK lebih tinggi dibandingkan dengan beban guru yang mengajar di SMA dan MA. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 18.
64
Tabel 18. Komposisi Jumlah Guru dan Perbandingannya Terhadap Sekolah di Kabupaten Bogor Tahun 2011 Jenis Pendidikan Formal
Uraian
SMA
MA
SMK
Jumlah Guru
3.073
1.619
3.762
Jumlah Guru yang berkualifikasi mengajar
2.853
1.423
3.312
162
83
223
18
20
17
17
15
Jumlah Sekolah Rasio Guru : Sekolah
Rasio Guru yang berkualifikasi mengajar : 17 Sekolah Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
5.4
Penyelenggara Pendidikan dan Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Berdasarkan
analisis
statistik,
diperoleh
hasil
bahwa
kualitas
penyelenggaraan pendidikan yang diwakili oleh persentase sekolah yang terakreditasi
tidak
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
peningkatan
partisipasi sekolah yang diwakili oleh APM, dengan nilai koefisien sebesar 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu persen jumlah sekolah yang terakreditasi, hanya akan meningkatkan APM sebesar 0,05 persen. Penyelenggara pendidikan menengah pada jalur formal di Kabupaten Bogor terdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yang menyelenggarakan pendidikan
umum
dan
kejuruan
negeri,
Kementerian
Agama
yang
menyelenggarakan pendidikan madrasah negeri, dan lembaga swasta yang menyelenggarakan pendidikan umum, madrasah serta kejuruan. Hingga tahun 2011, penyelenggaraan pendidikan menengah formal baik pada sekolah umum, madrasah maupun kejuruan lebih banyak didominasi oleh sekolah swasta. Lebih dari 90 persen partisipasi lembaga pendidikan swasta yang ada di Kabupaten Bogor diorientasikan pada penyelenggaraan sekolah kejuruan dan madrasah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 19.
65
Tabel 19. Perbandingan Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 Penyelenggara Pendidikan
Sekolah Umum
%
Madrasah
Pemerintah kab. Bogor 38 23,46 0 Kementerian Agama 0 0,00 5 Lembaga Swasta 124 76,54 78 Jumlah 162 83 Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
% 0,00 6,02 93,98
Sekolah Kejuruan 7 0 216 223
% 3,14 0,00 96,86
Penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor jika dikaitkan dengan perbandingan kualitas penyelenggara pendidikan dapat diuraikan dalam beberapa hal, yaitu :
5.4.1 Capaian Angka partisipasi Murni Angka partisipasi murni tertinggi dicapai melalui penyelenggaraan sekolah kejuruan yakni 21,72 persen, sedangkan capaian APM terendah terdapat pada penyelenggaraan madrasah yakni 3,70 persen. Partisipasi lembaga swasta jika ditinjau dari aspek penyelenggara pendidikan menengah formal cukup besar dalam menyumbang pencapaian APM pada setiap jenis pendidikan, terutama sangat signifikan pada sekolah kejuruan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 19.
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
Gambar 18. Perbandingan Capaian APM Penyelenggara Sekolah Negeri Swasta di Kabupaten Bogor Tahun 2011
dan
66
5.4.2 Jumlah dan Kualitas Ruang Kelas Pendidikan menengah formal yang diselenggarakan oleh lembaga swasta memiliki fasilitas ruang kelas yang lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan menengah formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dan Kementerian Agama. Dilihat dari kualitas dan kelayakan ruang kelas yang ada, lembaga swasta masih lebih unggul. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Perbandingan Kualitas Ruang Kelas Antar Penyelenggara Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor Tahun 2011 Jenis pendidikan
SMA
MA
SMK
Kondisi Ruang Kelas Baik Rusak Ringan Rusak Berat Total Baik Rusak Ringan Rusak Berat Total Baik Rusak Ringan Rusak Berat Total
Penyelenggara Pendidikan Pemerintah Kementerian Lembaga Kab. Bogor Agama Swasta Jumlah % Jumlah % Jumlah % 343 96 46 485 0 0 0 0 73 0 0 73
70,7 19,8 9,5 0,0 0,0 0,0 0 100,0 0,0 0,0
0 0 0 0 99 0 0 99 0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
507 32 9 548 289 35 16 340 955 115 22 1.092
92,5 5,8 1,6 85,0 10,3 4,7 87,5 10,5 2,0
Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011.
5.4.3 Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Ditinjau dari kualitas penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Kementerian Agama dan lembaga pendidikan swasta di Kabupaten Bogor, maka diantaranya dapat dilihat dari status akreditasi sekolah. Secara umum dari 468 sekolah pada jenjang pendidikan menengah yang ada di Kabupaten Bogor, sebanyak 282 sekolah atau 60,26 persen telah terakreditasi. Status akreditasi sekolah di satu sisi merupakan salah satu hal yang diduga menjadi dasar pertimbangan bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah tersebut, karena jika ditinjau dari sisi mutu, status akreditasi sekolah dapat dianggap sebagai salah satu ukuran penjaminan mutu. Status akreditasi sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 21.
67
Tabel 21. Status Akreditasi Sekolah di Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Sekolah Tahun 2011 Status Akreditasi
SMA
%
A B C Belum Terakreditasi
55 54 26 27
33,95 33,33 16,05 16,67
Jenis Seklolah MA % 3 23 25 32
3,61 27,71 30,12 38,55
Total 162 83 Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2011
SMK
%
29 60 7 127
13,00 26,91 3,14 56,95
223
Secara umum, SMA memiliki jumlah sekolah dengan status terakreditasi A, B dan C paling tinggi dibandingkan dengan MA dan SMK yakni sebesar 83,33 persen. MA memiliki 61,45 persen sekolah yang terakreditasi, sedangkan SMK hanya memiliki 43,05 persen sekolah yang terakreditasi. Banyaknya daya tampung penduduk usia sekolah pada jenjang pendidikan menengah yang didominasi oleh SMK menunjukkan bahwa status akreditasi tidak mempengaruhi angka partisipasi sekolah, karena masyarakat lebih mengutamakan mencari sekolah yang dapat menampung anak mereka agar bisa bersekolah tanpa mempertimbangkan status akreditasi sekolah. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa sebagian besar SMK belum terakreditasi.
68
69
VI. FAKTOR-FAKTOR KONDISI MASYARAKAT
6.1
Hasil Analisis Seluruh Variabel Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah Hasil analisis regresi logistik biner dengan menggunakan alat analisis
SPSS versi 15,0 yang dilakukan secara bersamaan pada seluruh variabel faktor kondisi masyarakat yang diduga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi sekolah (Y) pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor, yakni : (1) faktor orang tua yang diwakili oleh penghasilan orang tua (X1), dan pendidikan orang tua (X2), serta (2) faktor anak yang diwakili oleh minat anak bersekolah (X3), dan jenis kelamin anak (X4), menunjukkan bahwa : (1)
model yang digunakan layak untuk diinterpretasikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow sebesar 0,556 > 0,05.
(2)
Korelasi secara bersama-sama antara keempat variabel menghasilkan nilai chi-square sebesar 30,254 dengan nilai signifikansi < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersamaan, seluruh variabel penjelas (X1-X4) berhubungan dengan variabel respon (Y).
(3)
Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square diperoleh nilai sebesar 0,555. Hal ini berarti keempat variabel penjelas mampu menjelaskan varians partisipasi sekolah sebesar 55,5 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 44,5 persen dijelaskan oleh faktor lain.
(4)
Nilai ketepatan prediksi seluruh variabel X terhadap variabel Y adalah sebesar 78,3 persen.
Hasil analisis berupa tanda koefisien, signifikansi, dan peluang disajikan pada Tabel 22. Variabel pendidikan orang tua memiliki pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap peluang anak untuk bersekolah pada jenjang pendidikan menengah formal, sedangkan penghasilan orang tua, minat anak dan jenis kelamin anak tidak berpengaruh secara signifikan.
70
Tabel 22. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Kondisi Masyarakat terhadap Partisipasi Sekolah Variabel Konstanta Penghasilan orang tua di atas UMK Pendidikan orang tua SMP ke atas Anak berminat sekolah Jenis kelamin anak perempuan
Koefisien -23,369 0,837 3,227 22,821 0,015
Signifikansi 0,999 0,294 0,004 0,999 0,985
Peluang 0,000 2,309 25,193 81.458.815 1,015
Sumber : Hasil Analisis
Penjelasan terhadap perbandingan masing-masing variabel penjelas (X) adalah : (1)
Kondisi penghasilan orang tua sejalan dengan peluangnya menyekolahkan anak. Pada kondisi variabel lainnya tetap, orang tua yang berpenghasilan di atas UMK memiliki peluang 2,309 kali lebih besar untuk menyekolahkan anaknya dibandingkan dengan orang tua yang berpenghasilan di bawah UMK.
(2)
Kondisi pendidikan orang tua sejalan dengan peluangnya menyekolahkan anak. Pada kondisi variabel lainnya tetap, orang tua yang berpendidikan SMP
ke
atas
memiliki
peluang
25,193
menyekolahkan
anaknya
dibandingkan
kali
dengan
lebih
besar
orang
tua
untuk yang
berpendidikan SD ke bawah. (3)
Kondisi minat anak sejalan dengan peluang untuk bersekolah. Pada kondisi variabel lainnya tetap, anak yang berminat sekolah memiliki peluang 8,15 X 107 kali lebih besar untuk bersekolah dibandingkan dengan anak yang tidak berminat sekolah.
(4)
Kondisi jenis kelamin sejalan dengan peluang anak bersekolah. Pada kondisi variabel lainnya tetap, anak perempuan memiliki peluang 1,015 kali lebih besar untuk bersekolah daripada anak laki-laki. Adapun detail uraian dari masing-masing variabel dijelaskan secara
terpisah dengan menggunakan analisis deskriptif.
6.2
Faktor Orang tua Faktor orang tua diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya tingkat partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah
71
di Kabupaten Bogor. Dalam penelitian ini, beberapa komponen faktor orang tua yang dianggap berpengaruh adalah : (1)
Penghasilan orang tua
(2)
Pendidikan orang tua Berdasarkan hasil pengumpulan data primer yang dilakukan secara acak
terhadap 60 responden yang memiliki anak berusia 16-18 tahun di tiga desa yang memiliki karakter berbeda, yakni : (1) Desa Karehkel Kecamatan Leuwiliang yang memiliki karakteristik wilayah pertanian, (2) Kelurahan Cisarua Kecamatan Cisarua yang memiliki karakteristik wilayah perdagangan dan jasa, serta (3) Desa Kembang Kuning Kecamatan Klapanunggal yang memiliki karakteristik wilayah industri, diperoleh beberapa informasi yang terkait dengan partisipasi sekolah yang akan diuraikan masing-masing dalam sub-sub bab.
6.2.1 Penghasilan Orang tua Penghasilan orang tua yang menjadi responden cukup bervariasi. Berdasarkan data yang diperoleh, ditemukan bahwa rata-rata penghasilan orang tua di ketiga lokasi sampel berbeda-beda, dimana rata-rata penghasilan terendah ditemukan pada responden dari Desa karehkel, dan rata-rata penghasilan tertinggi ditemukan pada responden dari Desa Kembang Kuning. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 23. Dari keseluruhan jumlah responden yang ada, sebanyak 36,67 persen berpenghasilan di bawah UMK (Upah Minimum Kabupaten), dimana pada tahun 2011 UMK di Kabupaten Bogor ditetapkan sebesar Rp 1.172.000,00. Responden terbanyak dengan penghasilan di bawah UMK berasal dari Desa Karehkel, sedangkan 63,33 persen responden berpenghasilan di atas UMK.
Tabel 23. Keadaan Responden Berdasarkan Penghasilan
Karehkel
Penghasilan Minimum 300.000
Penghasilan maksimum 1.500.000
Rerata Penghasilan 1.005.000
1.200.000
Cisarua
900.000
4.000.000
1.725.000
3.100.000
Kembang Kuning
600.000
5.000.000
2.405.000
4.400.000
Desa/Kelurahan
Sumber : Data Primer (diolah)
Range
72
Setiap responden memiliki jumlah tanggungan keluarga yang berbedabeda. Sebagian besar responden memiliki tanggungan keluarga lebih dari tiga orang, dengan rincian sebanyak 53 responden atau 88,33 persen memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih dari tiga orang, sedangkan tujuh orang atau 11,67 persen memiliki tanggungan keluarga kurang dari tiga orang. Komposisi responden berdasarkan penghasilan dan jumlah tanggungan keluarga dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Responden Berdasarkan Penghasilan dan Jumlah Tanggungan Keluarga Lokasi Sampel
Penghasilan
Desa karehkel Kelurahan Cisarua Desa kembang Kuning
Jumlah Tanggungan
Total
≤ 3 Orang
> 3 Orang
Di Bawah UMK
4
9
13
Di atas UMK
0
7
7
Di Bawah UMK
1
5
6
Di atas UMK
1
13
14
Di Bawah UMK
1
2
3
Di atas UMK
0
17
17
Sumber : Data Primer (diolah)
Hasil perhitungan tingkat partisipasi sekolah anak berdasarkan penghasilan orang tua menunjukkan bahwa sebanyak 68,33 persen anak usia 16-18 tahun bersekolah pada jenjang pendidikan menengah formal tanpa melihat
jenis
pendidikan, dan 31,67 persen anak tidak bersekolah. Secara umum, sebagian besar responden yang berasal dari Desa karehkel memiliki anak usia 16-18 tahun yang tidak melanjutkan hingga ke jenjang pendidikan menengah formal. Sebagian
besar
responden
tersebut
berpenghasilan
di
bawah
UMK.
Perbandingan antara penghasilan orang tua dengan partisipasi sekolah anak pada jenjang pendidikan menengah dapat dilihat pada Tabel 25. Perhitungan yang dilakukan dengan tidak membedakan penghasilan orang tua, apakah di bawah atau di atas UMK menunjukkan bahwa anak responden yang tidak bersekolah di Desa Karehkel sebanyak 50,00 persen, 10,00 persen di Kelurahan Cisarua, dan 30 persen di Desa Kembang Kuning. Di samping itu, dijumpai bahwa lima dari enam orang anak yang berasal dari responden dengan penghasilan di atas UMK di Desa Kembang Kuning tidak bersekolah. Diduga hal ini dipengaruhi oleh banyaknya jumlah tanggungan keluarga yang berjumlah 3-7 orang.
73
Tabel 25. Perbandingan Hubungan Penghasilan Orang tua dengan Partisipasi Sekolah Anak di Lokasi Sampel Lokasi Sampel
Desa karehkel Kelurahan Cisarua Desa kembang Kuning
Penghasilan Di Bawah UMK
Partisipasi Sekolah Anak Tidak Bersekolah Bersekolah 5 8
Total 13
Di atas UMK
5
2
7
Di Bawah UMK
4
2
6
Di atas UMK
14
0
14
Di Bawah UMK
2
1
3
Di atas UMK
12
5
17
Sumber : Data Primer (diolah)
6.2.2 Pendidikan Orang tua Orang tua yang menjadi responden memiliki tingkat pendidikan yang beragam, mulai dari tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, hingga perguruan tinggi (S1). Sebagian besar responden, yakni sebanyak 45 persen dari total responden mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat SD, sedangkan paling sedikit, yakni 1,67 persen dari total responden sempat bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Secara keseluruhan jumlah responden berdasarkan pendidikan terakhir yang ditempuh dapat dilihat pada Gambar 20.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 19. Keadaan Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan
74
Hasil penelitian di masing-masing lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang ada di Desa Karehkel berpendidikan SD/sederajat. Kelurahan Cisarua mayoritas responden berpendidikan SMA sederajat, sedangkan di Desa Kembang Kuning, didominasi oleh responden yang berpendidikan SD dan SMA. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan % Responden Berdasarkan Pendidikan Pendidikan Orang tua Karehkel Tidak Bersekolah
Kembang Kuning
Cisarua
0,00
5,00
5,00
SD/sederajat
75,00
20,00
40,00
SMP/sederajat
15,00
15,00
15,00
SMA/sederajat
10,00
55,00
40,00
0,00
5,00
0,00
PT Sumber : Data Primer (diolah)
Hasil perhitungan terhadap hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan tingkat partisipasi sekolah anak menunjukkan bahwa di Desa Karehkel dan Kembang Kuning, sebagian besar responden yang berpendidikan hingga jenjang sekolah dasar memiliki anak yang tidak bersekolah, sedangkan bagi orang tua yang memiliki pendidikan hingga jenjang SMP ke atas sebagian besar memiliki anak yang bersekolah hingga ke jenjang pendidikan menengah formal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Hubungan Pendidikan Orang tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Lokasi Sampel Lokasi Sampel
Desa karehkel Kelurahan Cisarua Desa Kuning
kembang
Pendidikan Orang tua SD Ke bawah SMP Ke atas
Partisipasi Sekolah Anak Tidak Bersekolah Bersekolah 6 9
Total 15
3
2
SD Ke bawah
3
2
5
SMP Ke atas
15
0
15
SD Ke bawah
3
6
9
SMP Ke atas
11
0
11
Sumber : Data Primer (diolah)
5
75
6.3
Faktor Anak Faktor anak diduga memiliki pengaruh terhadap partisipasi sekolah.
Dalam penelitian diduga terdapat dua komponen faktor yang berpengaruh, yaitu : (1) Faktor minat anak untuk bersekolah (2) Faktor jenis kelamin anak Adapun data dan informasi yang terkait dengan kedua faktor tersebut diuraikan ke dalam sub-sub bab.
6.3.1 Minat Anak Bersekolah Secara umum sebagian besar anak memiliki keinginan yang muncul atas kesadaran sendiri untuk melanjutkan pendidikannya hingga jenjang pendidikan menengah, namun hanya sebanyak 68,33 persen dari keinginan tersebut yang dapat tercapai, sementara sebanyak 26,67 persennya berminat untuk sekolah namun tidak dapat melanjutkan sekolah. Dilihat dari masing-masing lokasi sampel, ditemukan sebanyak lima persen anak di Desa Karehkel yang tidak memiliki keinginan untuk bersekolah, sedangkan di lokasi lainnya tidak ditemukan anak yang tidak ingin bersekolah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Hubungan Minat Anak Bersekolah dengan Partisipasi Sekolah Berdasarkan Lokasi Sampel Minat Anak Bersekolah
Lokasi Sampel
Partisipasi Sekolah Anak
Total
Bersekolah
Tidak Bersekolah
Berminat
9
8
17
Tidak Berminat
0
3
3
Kelurahan Cisarua
Berminat
18
2
20
Tidak Berminat
0
0
0
Desa kembang Kuning
Berminat
14
6
20
Tidak Berminat
0
0
0
Desa karehkel
Sumber : Data Primer (diolah)
6.3.2 Jenis Kelamin Jenis
kelamin
diduga
mempengaruhi
tingkat
partisipasi
sekolah.
Berdasarkan data yang diperoleh, sebanyak 60 persen responden memiliki anak
76
perempuan yang berusia sekolah. Komposisi anak laki-laki dengan perempuan pada setiap lokasi sampel dapat dilihat pada Gambar 21.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 20. Perbandingan Jumlah Anak Laki-laki dan Perempuan Berdasarkan Lokasi Sampel
Berdasarkan data yang dikumpulkan, diperoleh hasil bahwa di satu sisi persentase anak perempuan yang bersekolah lebih banyak daripada anak lakilaki, namun di sisi lain, persentase anak perempuan yang tidak bersekolah juga lebih banyak daripada anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 21.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 21. Perbandingan Antara Anak Laki-laki dan Perempuan yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah
77
Hasil perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dengan perempuan pada setiap lokasi sampel menunjukkan bahwa di Desa Karehkel dan Kembang Kuning, anak perempuan lebih banyak yang tidak bersekolah, sedangkan di Kelurahan Cisarua, anak laki-laki paling banyak bersekolah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Perbandingan Anak yang Bersekolah dan Tidak Bersekolah Berdasarkan Jenis Kelamin di Lokasi Sampel Lokasi Sampel
Desa karehkel Kelurahan Cisarua Desa kembang Kuning
Jenis Kelamin Laki-laki
Partisipasi Sekolah Anak Tidak Bersekolah Bersekolah 3 5
Total 8
Perempuan
8
6
12
Laki-laki
10
1
11
Perempuan
8
1
9
Laki-laki
5
1
6
Perempuan
9
5
14
Sumber : Data Primer (diolah)
78
79
VII. FAKTOR KARAKTERISTIK WILAYAH
7.1
Hasil Analisis Variabel Faktor Karakteristik Wilayah terhadap Partisipasi Sekolah Faktor karakteristik wilayah yang diwakili oleh (1) pertanian, (2)
perdagangan /jasa, dan (3) industri, dengan wilayah pertanian sebagai faktor pembanding, diduga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi sekolah (Y) pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bogor. Hasil analisis regresi logistik biner dengan menggunakan alat analisis SPSS versi 15,0 menunjukkan bahwa : (1)
model yang digunakan layak untuk diinterpretasikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow sebesar 1,000 > 0,05.
(2)
Korelasi secara bersama-sama antara kedua variabel menghasilkan nilai chi-square sebesar 9,956 dengan nilai signifikansi < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersamaan, seluruh variabel penjelas (X1dan X2) berhubungan dengan variabel respon (Y).
(3)
Berdasarkan nilai Nagelkerke R Square diperoleh hasil sebesar 0,214. Hal ini berarti kedua variabel penjelas hanya mampu menjelaskan varians partisipasi sekolah sebesar 21,4 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 78,6 persen dijelaskan oleh faktor lain.
(4)
Nilai ketepatan prediksi seluruh variabel X terhadap variabel Y adalah sebesar 71,7 persen. Hasil analisis berupa tanda koefisien, signifikansi, dan peluang disajikan
pada Tabel 30.
Tabel 30. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Karakteristik Wilayah Terhadap Partisipasi Sekolah Variabel Konstanta Pertanian (X) Perdagangan/Jasa (X1) Industri (X2) Sumber : Hasil Analisis
Koefisien
Signifikansi
Peluang
-0,21
0,655 0,018 0,06 0,114
0,818
2,398 1,048
11,000 2,852
80
Variabel pertanian dan pertanian/jasa memiliki pengaruh yang nyata (signifikan) terhadap peluang anak untuk bersekolah pada jenjang pendidikan menengah formal, sedangkan variabel industri tidak berpengaruh secara signifikan. Penjelasan terhadap perbandingan masing-masing variabel penjelas (X) adalah : (1)
Peluang bersekolah bagi anak-anak yang tinggal di wilayah yang berkarakteristik perdagangan/jasa, 11 kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di wilayah pertanian dan industri.
(2)
Peluang bersekolah bagi anak-anak yang tinggal di wilayah yang berkarakteristik industri 2,852 kali lebih besar dibandingkan dengan anakanak yang tinggal di wilayah pertanian dan perdagangan/jasa. Berdasarkan data primer yang diperoleh, partisipasi sekolah terendah
terdapat di wilayah yang berkarakteristik pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya persentase anak yang tidak bersekolah, yaitu sebesar 57,89 persen. Sebaliknya, partisipasi sekolah tertinggi ada di wilayah yang berkarakteristik perdagangan/jasa, yaitu sebesar 43,90 persen.
Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 23.
Sumber : Data Primer (diolah) Gambar 22. Perbandingan Karakter Wilayah dengan Partisipasi Sekolah
81
Sebanyak 57,89 persen anak usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah pada jenjang pendidikan menengah dan tinggal di wilayah pertanian tersebut memiliki orang tua yang bermatapencaharian di sektor pertanian, sebaliknya anak yang bersekolah memiliki orang tua yang berkerja di sektor non pertanian, meskipun tinggal di wilayah pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31.
Hubungan Antara Pekerjaan Orang tua dengan Partisipasi Sekolah Anak Berdasarkan Karakteristik Wilayah
Lokasi Sampel
Desa karehkel
Pekerjaan Orang tua Sektor pertanian
Partisipasi Sekolah Anak Tidak Bersekolah Bersekolah 0 7
Total 7
Non Sektor Pertanian
13
0
13
Kelurahan Cisarua
Sektor pertanian
0
0
0
Non Sektor Pertanian
18
2
20
Desa Kembang Kuning
Sektor pertanian
0
0
0
Non Sektor Pertanian
14
6
20
Sumber : Data Primer (diolah)
82
83
VIII. DUKUNGAN PENDANAAN PENDIDIKAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR
8.1
Kemandirian Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Berdasarkan perhitungan terhadap perbandingan antara dana pendidikan
menengah yang berasal dari dana asli daerah dengan dana pendidikan menengah yang diperoleh dari bantuan, diperoleh hasil bahwa kemandirian anggaran pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor semakin lama semakin rendah. Hal ini ditunjukkan oleh semakin tingginya dana pendidikan yang diperoleh dari bantuan dibandingkan dengan dana pendidikan asli daerah. Kondisi ini dapat dilihat dalam Gambar 24.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 23. Perkembangan Rasio Kemandirian Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
8.2
Alokasi Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor Penyelenggaraan pembangunan daerah di Kabupaten Bogor merupakan
tugas utama pemerintah daerah dalam era otonomi. Hal ini berimplikasi pada kewajiban pemerintah daerah untuk menyiapkan sejumlah dana dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan penyelenggaraan pembangunan tersebut sesuai
84
dengan kemampuan daerah. Selama kurun waktu 2008-2011, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor telah menganggarkan sejumlah dana yang dari tahun ke tahun dengan nilai nominal yang terus mengalami peningkatan. Komponen belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Belanja APBD) terdiri atas : (1)
Belanja tidak langsung, yang dialokasikan untuk : (a) belanja pegawai, (b) hibah, (c) bantuan sosial, (d) belanja bagi hasil, (e) bantuan keuangan dan (f) belanja tidak terduga.
(2)
Belanja langsung, yang dialokasikan untuk mendanai program dan kegiatan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) secara langsung, yaitu : (a) belanja pegawai, (b) belanja barang dan jasa, (c) belanja modal.
Perkembangan peningkatan belanja APBD di Kabupaten Bogor ini dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Perkembangan Belanja APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 Jenis belanja APBD Belanja Tidak langsung
Tahun (Juta) 2008
2009
2010
2011
1.193.992,59
1.266.963,76 6,11
1.418.667,36 11,97
1.725.455,23 21,63
900.421,41
1.113.631,46 23,68
1.367.277,05 22,78
1.839.719,33 34,55
2.094.413,10
2.380.595,22 13,66
2.785.944,41 17,03
3.565.174,55 27,97
% Kenaikan Belanja langsung % Kenaikan Total belanja % Kenaikan
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor Tahun 2008-2010
Secara nominal, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan persentase jumlah anggaran pada pos belanja, baik belanja tidak langsung, belanja langsung, maupun belanja total. Namun perkembangan kenaikan anggaran belanja tidak langsung dan total belanja setiap tahun lebih kecil daripada perkembangan kenaikan belanja langsung, meskipun pada tahun 2010 terjadi penurunan kenaikan persentase alokasi anggaran untuk belanja langsung jika dibandingkan pada tahun 2009. Perbandingan komposisi antara belanja tidak langsung dengan belanja langsung terhadap total belanja pada struktur belanja APBD di Kabupaten Bogor dari tahun 2008-2011 menunjukkan bahwa alokasi belanja langsung lebih kecil
85
daripada belanja tidak langsung, kecuali pada tahun 2011, dimana anggaran belanja langsung lebih besar daripada anggaran belanja tidak langsung. Meskipun demikian, alokasi belanja langsung menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini menandakan bahwa anggaran riil untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang ada di setiap SKPD semakin meningkat. Berbeda halnya dengan alokasi anggaran belanja tidak langsung yang mengambil porsi lebih dari 50 persen total belanja APBD, dalam kurun waktu 2008-2011 terus mengalami penurunan, hingga pada tahun 2011, komposisi berubah yang menjadikan anggaran belanja langsung meningkat menjadi lebih dari 50 persen.
Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 25.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 24. Perkembangan Komposisi Belanja Langsung dan Tidak langsung APBD Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Belanja daerah untuk penyelenggaraan urusan pendidikan merupakan salah satu bagian yang wajib dialokasikan dari belanja APBD, mengingat pendidikan merupakan salah satu urusan wajib pemerintah daerah. Belanja APBD untuk urusan wajib pendidikan tersebut dialokasikan melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Berdasarkan amanat Amandemen keempat Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat (4), prioritas anggaran pendidikan yang harus dialokasikan oleh anggaran belanja negara dan daerah sekurang-
86
kurangnya sebesar 20 persen. Adapun alokasi belanja APBD untuk urusan wajib pendidikan di Kabupaten Bogor telah melebihi anggaran pendidikan minimal yang telah ditetapkan, yakni lebih dari 20 persen per tahun. Persentase peningkatan anggaran pendidikan tahun 2009 terhadap tahun 2008 tercatat sebesar 20,47 persen, tahun 2010 terhadap tahun 2009 sebesar 30, 59 persen, dan tahun 2011 terhadap tahun 2010 sebesar 48,65 persen. Perbandingan antara belanja APBD dengan belanja pendidikan dapat dilihat pada Gambar 26.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011) Gamba 25. Perbandingan Belanja APBD dengan Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Anggaran pendidikan terdiri atas komponen belanja langsung dan belanja tidak langsung. Selama kurun waktu tahun 2008-2011, anggaran pendidikan terus mengalami kenaikan setiap tahunnya hingga hampir mencapai 50 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan anggaran pendidikan ini berdampak pula pada komposisi anggaran belanja langsung dan belanja tidak langsung pendidikan. Belanja langsung mengalami kenaikan yang cukup besar, terutama pada tahun 2011, dimana anggaran belanja langsung melonjak hingga 120,77 persen dari tahun 2010. Berbeda dengan alokasi anggaran pada komponen belanja tidak langsung, meskipun terjadi kenaikan setiap tahunnya, namun peningkatannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja langsung pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 33.
87
Tabel 33. Perbandingan Antara Persentase Kenaikan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung Pada Anggaran Pendidikan Tahun 2008-2011 Tahun 2008 2009 2010 2011
Langsung 116.432,39 185.393,26 277.963,71 613.649,88
% Kenaikan 59,23 49,93 120,77
Belanja (Juta) Tidak % Langsung Kenaikan 494.768,39 558.708,71 12,92 693.722,50 24,17 830.745,88 19,75
Total 611.200,78 744.101,97 971.686,21 1.444.395,76
% Kenaikan 21,74 30,59 48,65
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Seperti halnya pada belanja APBD, belanja tidak langsung pada urusan pendidikan pun menghabiskan porsi yang paling besar, yakni diatas 70 persen dari total belanja pendidikan, meskipun dari tahun ke tahun menunjukkan adanya penurunan, terutama pada tahun 2011 yang alokasinya hampir mendekati 50 persen. Belanja tidak langsung digunakan untuk membiayai gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan. Sebaliknya, alokasi belanja langsung mendapatkan porsi yang lebih sedikit, yakni masih dibawah 30 persen, meskipun dari tahun ke tahun menunjukkan adanya peningkatan, terutama pada tahun 2011 yang alokasinya hampir mencapai 50 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 27.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011) Gambar 26. Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung pada Anggaran Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
88
Belanja langsung pada urusan wajib pendidikan didistribusikan ke dalam dua program, yaitu : (1) program utama, dan (2) program pendukung. Program utama meliputi : (1)
Pendidikan Anak Usia Dini
(2)
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
(3)
Pendidikan Menengah
(4)
Pendidikan Non Formal
(5)
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(6)
Manajemen Pelayanan Pendidikan
Program pendukung merupakan program rutin di bidang ketatausahaan meliputi : (1)
Pelayanan Administrasi Perkantoran
(2)
Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
(3)
Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan
8.3
Anggaran Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Alokasi anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan menengah di
Kabupaten Bogor hingga saat ini masih mendapatkan porsi yang cukup kecil, yakni baru berkisar tiga persen dari total anggaran pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan menengah belum menjadi prioritas pembangunan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor, karena hingga saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor masih memfokuskan diri pada penuntasan program wajib belajar pendidikan sembilan tahun untuk jenjang pendidikan dasar SD dan SMP/sederajat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah Terhadap Total Belanja Pendidikan Belanja (Juta) Belanja Urusan Pendidikan Belanja Pendidikan Menengah % Pendidikan Menengah terhadap Pendidikan
Tahun 2008
2009
2010
2011
617.682,30
744.101,97
971.686,21
1.444.395,76
19.868,11
25.808,20
34.506,75
39.457,83
3,22
3,47
3,55
2,73
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
89
Persentase alokasi dana bagi penyelenggaraan pendidikan menengah terhadap total belanja langsung pada anggaran pendidikan selama kurun waktu Tahun 2008-2011 menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun, yakni 16,70 persen pada tahun 2008 menjadi 6,43 persen pada tahun 2011, meskipun secara nominal terjadi peningkatan jumlah anggaran pada program pendidikan menengah dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan menengah selama kurun waktu 4 tahun mengalami penurunan sebesar 10,27 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 28.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 27. Perbandingan Belanja Pendidikan Menengah Terhadap Belanja Langsung dan Total Belanja Pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
Anggaran yang
digunakan untuk menyelenggarakan pembangunan
pendidikan di Kabupaten Bogor yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor tidak seluruhnya berasal dari anggaran asli daerah. Di sisi lain, sebagai daerah otonom, kebutuhan pemenuhan anggaran pendidikan pun masih diperoleh dari dana bantuan, baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Besarnya dana bantuan yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam urusan wajib pendidikan tersebut bersifat tidak tetap dari tahun ke tahun. Pada umumnya dana bantuan tersebut ditujukan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik, seperti pembangunan ruang kelas baru dan rehabilitasi ruang kelas yang rusak. Keseluruhan dana bantuan tersebut tercatat dalam APBD, sehingga total belanja APBD yang ada merupakan gabungan dari dana belanja asli daerah dan dana bantuan.
90
Penerimaan dana bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi yang khusus dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan menengah formal selama kurun waktu tahun 2008-2011 cenderung semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Perbandingan Dana Bantuan Terhadap Belanja Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 Tahun
Belanja Pendidikan Menengah (A)
Dana Bantuan Pendidikan Menengah (B)
% (B) Terhadap (A)
2008
19.868.112.500
1.421.603.000
7,16
2009
25.808.203.500
4.074.863.000
15,79
2010
34.506.754.000
8.937.613.800
25,90
2011
39.457.834.000
28.514.814.000
72,27
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Peningkatan porsi alokasi dana bantuan terhadap belanja program pendidikan menengah dari tahun 2008 hingga tahun 2011sebesar 65,11 persen. Adapun kenaikan jumlah dana bantuan tersebut pada tahun 2011 mencapai 219,04 persen dibandingkan tahun 2010. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 29.
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, (Diolah dari Tahun 2008-2011)
Gambar 28. Persentase Peningkatan Jumlah Dana Bantuan Pendidikan Menengah di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011
91
Dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan provinsi telah ditentukan pengalokasiannya terutama untuk pembangunan ruang kelas baru dan rehabilitasi ruang kelas yang rusak, dimana untuk kebutuhan fisik tersebut dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan semakin meningkatnya dana bantuan
tersebut,
menandakan
bahwa
pemerintah
Kabupaten
Bogor
menggantungkan beban untuk menambah dan merehabilitasi ruang kelas pada anggaran bantuan. Ketergantungan terhadap dana bantuan untuk pembangunan ruang kelas baru dan rehabilitasi kelas yang rusak semakin tinggi akan berdampak pada laju penyediaan daya tampung siswa. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah mengandalkan pembangunan fisik dari dana bantuan yang tidak rutin setiap tahun. Dengan demikian, sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor tidak dapat menambah kapasitas daya tampung sekolah seiring dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan ketersediaan daya tampung.
92
93
IX. STRATEGI PENINGKATAN PARTISIPASI SEKOLAH
9.1
Identifikasi Faktor Berdasarkan Analisis SWOT Berdasarkan batasan yang telah ditetapkan dalam metodologi, bahwa
faktor internal pendidikan merupakan faktor analisis internal dalam SWOT, sedangkan faktor analisis eksternal dalam SWOT adalah faktor kondisi masyarakat dan anggaran pendidikan, maka berdasarkan batasan tersebut, identifikasi kekuatan dan kelemahan difokuskan pada faktor internal pendidikan, sedangkan identifikasi peluang dan ancaman difokuskan pada faktor kondisi masyarakat dan anggaran pendidikan.
9.1.1 Identifikasi Faktor Kekuatan (Strengths) Faktor kekuatan diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor internal pendidikan,
yakni
daya
tampung,
guru,
kelembagaan
penyelenggaran
pendidikan, dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut, diperoleh identifikasi faktor-faktor kekuatan untuk dapat meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal sebagai berikut : (1) Adanya kerjasama yang sinergis antar penyelenggara pendidikan menengah formal Penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor dilakukan secara bersama-sama oleh Pemerintah Daerah, Kementerian Agama dan lembaga swasta. Sinergi antara ketiga unsur ini memperkuat upaya untuk meningkatkan angka partisipasi murni. Hal ini ditandai dengan lengkapnya jenis pendidikan menengah yang terdiri atas sekolah umum, madrasah dan kejuruan. Ketiga penyelenggara ini melayani penduduk usia sekolah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. (2) Ruang kelas yang ada sebagian besar layak pakai Sebagian besar dari jumlah ruang kelas yang tersedia masih layak pakai. Kelayakan ini terlihat dari 85,93 persen ruang kelas dalam kondisi baik, dan 10, 54 persen ruang kelas dalam kondisi rusak ringan. Hal ini berarti bahwa ruang kelas yang layak pakai tersedia sebesar 96,47 persen.
94
(3) Ketersediaan guru yang berkualifikasi mengajar Sebagian besar guru yang mengajar pada jenjang pendidikan menengah formal merupakan guru-guru yang telah memiliki kualifikasi mengajar (layak mengajar). Hal ini ditunjukkan oleh 89,75 persen guru berlatar pendidikan S1 hingga S3. (4) Lembaga swasta berpartisipasi aktif Peran lembaga swasta sangat dominan dalam membantu meningkatkan penyelenggaraan pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor, baik dari penyediaan ruang kelas maupun guru. Berdasarkan data yang ada, penyelenggara pendidikan swasta yang melayani sekolah menengah umum sebanyak 76,54 persen, madrasah 93,98 persen, dan sekolah menengah kejuruan sebanyak 96,86 persen. Jumlah guru yang kompeten pada penyelenggara pendidikan swasta sebanyak 68,21 persen, dimana 50,71 persen adalah guru SMA swasta, 76,37 persen guru MA swasta, dan 87,06 persen guru SMK swasta. Disamping itu sekolah swasta memiliki kapasitas daya tampung murid paling besar. Kapasitas daya tampung ini memungkinkan untuk menerima siswa dalam jumlah yang besar. Dari jumlah sekolah swasta yang ada, kapasitas daya tampungnya lebih dari 90 persen, karena sebagian besar ruang kelas yang ada layak pakai. (5) Sebagian besar sekolah menengah formal telah terakreditasi Sekitar 60,26 persen sekolah menengah formal telah terakreditasi, dengan rincian 18,59 persen sekolah terakreditasi A, 29,27 persen sekolah terakreditasi B, dan 12,40 persen sekolah terakreditasi C.
9.1.2 Identifikasi Faktor Kelemahan (Weaknesses) Faktor kelemahan diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor internal pendidikan,
yakni
daya
tampung,
guru,
kelembagaan
penyelenggaran
pendidikan, dan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut, diperoleh identifikasi faktor-faktor kelemahan yang dapat mempengaruhi partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal sebagai berikut :
95
(1) Kapasitas daya tampung sekolah di setiap kecamatan belum merata Daya tampung sekolah untuk setiap kecamatan tidak merata. Hal ini terlihat dari adanya kecamatan yang telah mengalami kelebihan daya tampung, yakni sebanyak 17 kecamatan, sementara masih terdapat kecamatan yang masih memungkinkan untuk menambah jumlah siswa yakni 23 kecamatan. Di samping itu belum semua penduduk usia sekolah bisa tertampung pada sekolah-sekolah menengah yang ada. Tercatat masih terdapat 39,40 persen jumlah penduduk usia sekolah yang belum terlayani oleh pendidikan menengah. (2) Jumlah dan distribusi guru di setiap kecamatan tidak merata Rasio guru-sekolah masih rendah. Hal ini terlihat dari adanya kecamatan yang memiliki sekitar 27 orang guru dalam satu sekolah, sementara ada kecamatan yang hanya memiliki 7 orang guru dalam satu sekolah. Ini menunjukkan bahwa ketersediaan jumlah guru di sekolah-sekolah masih kurang. Kekurangan guru terutama dialami oleh SMK, padahal disisi lain kemampuan daya tampungnya paling tinggi jika dibandingkan dengan jenis pendidikan menengah lainnya. Ketersediaan ruang kelas layak pakai untuk SMK mencapai 98 persen, namun ketersediaan guru hanya 17 orang untuk satu sekolah. (3) Masih terdapat ruang kelas yang rusak berat Keberadaan jumlah ruang kelas yang rusak berat sehingga tidak bisa digunakan menyebabkan berkurangnya kapasitas daya tampung sekolah bagi siswa di Kabupaten Bogor. Ruang kelas yang rusak berat tercatat sebanyak 3,53 persen. SMA memiliki lebih banyak ruang kelas yang rusak berat dibandingkan dengan jenis pendidikan lainnya, yakni sebesari 59,14 persen, sedangkan madrasah memiliki ruang kelas rusak berat paling sedikit, yakni 17,20 persen. (4) Minat masyarakat masih cenderung pada SMK Tingginya minat masyarakat untuk bersekolah di SMK karena jenis sekolah ini dipersiapkan agar lulusan siap bekerja, jika dilihat dari satu sisi menimbulkan ketidakmerataan distribusi siswa terhadap jenis sekolah. Hal ini terlihat dari rendahnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah,sehingga mengakibatkan jumlah siswa madrasah hanya
96
sebanyak 10,13 persen dari total siswa yang ada. Di sisi lain, tingginya minat masyarakat
bersekolah
di
SMK
tidak
diimbangi
dengan
kualitas
penyelenggaraan pendidikan, karena sebanyak 56,95 persen SMK belum terakreditasi.
9.1.3 Identifikasi Faktor Peluang (Opportunities) Faktor peluang diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor kondisi masyarakat, karakteristik wilayah, dan pendanaan anggaran pada pendidikan menengah formal. Faktor kondisi masyarakat dilihat dari dua aspek, yaitu : (1) faktor orang tua yang diwakili oleh penghasilan, dan pendidikan orang tua, serta (2) faktor anak yang diwakili oleh minat anak bersekolah dan jenis kelamin. Faktor
karakteristik
wilayah
dilihat
dari
karakteristik
wilayah
pertanian,
perdagangan/jasa, dan industri. Adapun faktor pendanaan ditinjau dari kemandirian anggaran pendidikan menengah formal. Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut, diperoleh identifikasi faktorfaktor peluang peningkatan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal sebagai berikut : (1) Orang tua yang berpenghasilan di atas UMK Penghasilan orang tua sebagian besar berada di atas Upah Minimum Kabupaten (UMK), sehingga berpeluang untuk mampu menyekolahkan anaknya. Berdasarkan hasil penelitian di lokasi sampel, sebanyak 63,33 persen orang tua berpenghasilan di atas UMK. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua yang berpenghasilan di atas UMK dapat menyediakan biaya pendidikan yang dibutuhkan. (2) Pendidikan orang tua SMP ke atas Sebanyak 93,55 persen orang tua yang berpendidikan SMP ke atas. Bagi orang tua yang memiliki pendidikan SMP ke atas, ternyata berpeluang untuk cenderung menyekolahkan anaknya minimal hingga jenjang pendidikan menengah. (3) Minat anak tinggi untuk bersekolah Sebanyak 95 persen anak usia 16-18 tahun ternyata memiliki minat untuk melanjutkan sekolah minimal hingga jenjang pendidikan menengah.
97
(4) Karakteristik wilayah industri dan perdagangan/jasa kondusif untuk anak bersekolah Partisipasi sekolah terbukti tinggi pada wilayah-wilayah kecamatan yang berkarakter industri maupun perdagangan/jasa. Hal ini terlihat dari persentase jumlah anak yang bersekolah di kedua wilayah tersebut. Sebanyak 90 persen anak yang tinggal di lingkungan perdagangan/jasa ternyata bersekolah, dan 70 persen anak yang tinggal di lingkungan industri juga bersekolah pada jenjang pendidikan menengah formal.
9.1.4 Identifikasi Faktor Ancaman (Threats) Faktor ancaman diidentifikasi berdasarkan uraian faktor-faktor eksternal yang dilihat dari faktor kondisi masyarakat, karakteristik wilayah, dan pendanaan pendidikan menengah formal. Berdasarkan uraian faktor-faktor tersebut, diperoleh hasil identifikasi ancaman sebagai berikut : (1) Rendahnya penghasilan orang tua Masih terdapat orang tua yang berpenghasilan rendah, yakni di bawah UMK. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu menyekolahkan anak mereka. Berdasarkan temuan di lokasi penelitian, sekitar 36,67 persen orang tua berpenghasilan rendah. (2) Tingginya jumlah tanggungan keluarga Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan orang tua sebagian besar lebih dari tiga orang, sehingga beban orang tua untuk menyekolahkan anak dirasa cukup membaratkan. Sebanyak 88,33 persen keluarga responden memiliki tanggungan anggota keluarga lebih dari tiga orang. (3) Orang tua berpenghasilan di atas UMK, namun anaknya tidak bersekolah Masih adanya orang tua yang berpenghasilan di atas UMK namun anaknya tidak bersekolah. Sebanyak 38,87 persen anak yang tidak bersekolah memiliki orang tua berpenghasilan di atas UMK. (4) Rendahnya pendidikan orang tua Sebagian besar orang tua masih berpendidikan rendah, yakni SD ke bawah. Tingkat pendidikan orang tua ternyata berpengaruh kepada kecenderungan orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya. Berdasarkan data, sebanyak
98
58,62 persen orang tua yang berpendidikan rendah tidak menyekolahkan anaknya. (5) Anak tidak berminat sekolah Masih terdapat anak yang tidak berminat untuk melanjutkan sekolah minimal hingga ke jenjang pendidikan menengah, meskipun tidak ada kendala dari pihak orang tua. Sebanyak 15,79 persen anak yang tidak bersekolah secara sengaja tidak berminat untuk bersekolah. (6) Banyak anak perempuan yang tidak bersekolah Sebanyak 63,16 persen anak yang tidak bersekolah adalah anak perempuan. (7) Banyak anak tidak bersekolah di daerah yang berkarakteristik pertanian Sebanyak 57,89 persen anak yang tinggal di wilayah berkarakteristik pertanian tidak melanjutkan sekolahnya hingga ke jenjang pendidikan menengah. (8) Rendahnya kemandirian daerah dalam pendanaan pendidikan menengah Kemandirian pendanaan pendidikan di Kabupaten Bogor dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya ketergantungan daerah terhadap dana bantuan, baik dari provinsi maupun pusat.
9.2
Perumusan Alternatif Strategi Berdasarkan Analisis SWOT Strategi adalah sekumpulan sasaran yang disertai dengan metode-metode
untuk mencapainya (Rustiadi, E, dkk, 2011). Strategi dalam unsur perencanaan meliputi hal yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai tujuan yang bersifat normatif dan terukur. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, maka dapat dirumuskan beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal. Hasil perumusan alternatif strategi disajikan pada Gambar 30.
99
Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang (Opportunities) 1. Orang tua yang berpenghasilan di atas UMK 2. Pendidikan orang tua SMP ke atas 3. Minat anak tinggi untuk bersekolah 4. Karakter wilayah perdagangan/jasa dan industri mendukung untuk anak bersekolah
Kekuatan (Strengths) 1. Adanya kerjasama yang sinergis antar penyelenggara pendidikan menengah formal 2. Ruang kelas yang ada sebagian besar layak pakai 3. Guru-guru yang ada sebagian besar berkualifikasi mengajar 4. Lembaga swasta berperan dominan 5. Sebagian besar sekolah sudah terakreditasi
Kelemahan (Weaknesses) 1. Kapasitas daya tampung sekolah di setiap kecamatan tidak merata 2. Jumlah dan distribusi guru di setiap kecamatan tidak merata 3. Masih ada ruang kelas yang rusak berat 4. Minat masyarakat cenderung memilih jenis pendidikan SMK
Strategi S-O (Aggressive Strategies) 1. Meningkatkan aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan dan karakter wilayah (S1-5 ; O 1-4) 2. Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan (S 1,4 ; O 1,2)
Strategi W-O (Turn-Around Strategies) 1. Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah (W 1,2,4 ; O 1-4) 2. Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan (W 2,3 ; O 1-4)
Ancaman (Threats) 1.
Rendahnya penghasilan orang tua 2. Tingginya jumlah tanggungan keluarga 3. Orang tua berpenghasilan di atas UMK namun anaknya tidak bersekolah 4 Rendahnya pendidikan orang tua 5. Anak tidak berminat sekolah meskipun orang tua mampu 6. Banyak anak perempuan tidak bersekolah 7. Di wilayah pertanian banyak anak tidak bersekolah 8. Kemandirian pendanaan daerah rendah
1.
2.
3.
4.
Strategi S-T (Diversification Strategies) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun (S 1,4 ; T 3-7) Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat (S 1,3,4 ; T 1,2,7) Memberikan jaminan pendidikan daerah bagi siswa(S 1,4 ; T 1,6,7) Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat (S 1-5 ; O 1,4,5,6,8)
Strategi W-T (Defensive Strategies) 1. Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan ( W 1-3 ; T 8)
Gambar 29. Matriks Analisis SWOT dan Perumusan Alternatif Strategi
9.2.1 Strategi S-O (Aggressive Strategies) Strategi ini disusun dengan memanfaatkan seluruh kekuatan agar dapat memanfaatkan seluruh peluang yang ada (Rangkuti, 1997). Secara garis besar, kekuatan yang ada meliputi kerjasama antar penyelenggara pendidikan menengah, ketersediaan ruang kelas yang layak pakai, guru yang berkualitas mengajar, lembaga swasta yang berpartisipasi aktif, dan kualitas sekolah yang terakreditasi. Adapun peluang yang harus dimanfaatkan adalah orang tua yang berpenghasilan di atas UMK dan berpendidikan SMP ke atas, anak yang
100
memiliki keinginan kuat untuk bersekolah, serta lingkungan kondusif yang mendukung anak bersekolah yakni diluar sektor pertanian. Beberapa alternatif strategi yang memungkinkan untuk disusun dalam rangka memanfaatkan peluang adalah : (1) Meningkatkan aksesibilitas pendidikan Strategi ini dilakukan untuk memanfaatkan semua unsur penunjang yang ada, seperti ketersediaan daya tampung, guru berkualitas dan kerjasama antar penyelenggara pendidikan untuk dapat mengoptimalkan peluang yang ada di masyarakat, terutama pada kelompok masyarakat yang potensial dan tidak berkendala dalam mengapresiasi pendidikan menengah. (2) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan Strategi ini dilakukan untuk memanfaatkan potensi besar masyarakat yang memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan menengah. Peran dan partisipasi masyarakat tersebut dapat berupa peningkatan komite sekolah
yang
merupakan
wadah
masyarakat
yang
peduli
kepada
pendidikan.
9.2.2 Strategi W-O (Turn-Around Strategies) Strategi ini disusun dengan memanfaatkan peluang yang ada untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki (Rangkuti, 1997). Secara garis besar, kelemahan yang ada meliputi tidak meratanya daya tampung sekolah di setiap kecamatan, permasalahan ketersediaan dan distribusi guru, ruang kelas masih banyak yang rusak, dan minat masyarakat terhadap salah satu jenis pendidikan menengah. Adapun peluang yang harus dimanfaatkan adalah orang tua yang berpenghasilan di atas UMK dan berpendidikan SMP ke atas, anak yang memiliki keinginan kuat untuk bersekolah, serta lingkungan kondusif yang mendukung anak bersekolah yakni diluar sektor pertanian. Beberapa alternatif strategi yang memungkinkan untuk disusun dalam rangka mengatasi kelemahan adalah : (1) Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah Strategi ini dilakukan mengingat masih banyak penduduk usia sekolah yang belum dapat dijangkau, akibat masih kurangnya kapasitas daya tampung,
101
padahal potensi dan apresiasi terhadap penyelenggaraan pendidikan menengah formal cukup besar. Strategi ini dilaksanaan di wilayah-wilayah yang sangat membutuhkan adanya sekolah, terutama pada kecamatankecamatan yang memiliki kelebihan kapasitas daya tampung. (2) Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan Strategi ini dilakukan untuk merehabilitasi sarana yang ada agar dapat berfungsi kembali dengan baik, terutama ditujukan untuk ruang kelas yang rusak berat.
Disamping itu, strategi ini dilakukan pula untuk mengatasi
permasalahan jumlah dan distribusi guru yang kurang dan belum merata pada kecamatan-kecamatan yang masih kekurangan guru, sehingga dapat mengotimalkan pelayanan kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat yang membutuhkan dan tidak berkendala untuk bersekolah. Strategi ini mencakup pula bagaimana membuat agar masyarakat dapat memanfaatkan jeni-jenis pendidikan yang ada tanpa menghilangkan kecenderungan untuk mencari sekolah yang mempersiapkan siswa untuk siap kerja.
9.2.3 Strategi S-T (Diversification Strategies) Strategi ini disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada secara optimal dengan cara menekan seminimal mungkin ancaman yang dihadapi (Rangkuti, 1997). Secara umum ancaman yang dihadapi cukup banyak, terutama berkaitan dengan orang tua, dimana pendidikan orang tua rendah, banyaknya jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan orang tua ratarata lebih dari tiga orang, dan berpenghasilan tinggi namun tidak mau menyekolahkan anaknya. Di samping itu, ancaman yang muncul dari sisi anak seperti anak yang sudah tidak berminat bersekolah, banyaknya anak perempuan yang tidak bersekolah, serta karakter wilayah pertanian yang sebagian besar penduduknya tidak meneruskan sekolah hingga jenjang pendidikan menengah. Di sisi lain, ancaman juga muncul dari tingginya ketergantungan pendananan pendidikan menengah terhadap bantuan luar. Kekuatan yang dimiliki untuk digunakan meminimalkan ancaman meliputi kerjasama antar penyelenggara pendidikan menengah, ketersediaan ruang kelas yang layak pakai, guru yang berkompetensi, lembaga swasta yang berpartisipasi aktif, dan kualitas sekolah
102
yang terakreditasi. Beberapa alternatif strategi yang memungkinkan untuk disusun dalam rangka meminimalkan ancaman adalah :
(1) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun Strategi ini disusun untuk membuka dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penyelenggaraan pendidikan menengah sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan. (2) Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat Strategi ini disusun untuk memfasilitasi upaya penyelesaian berbagai kendala di masyarakat terutama terkait dengan faktor ekonomi masyarakat. Diharapkan pemberdayaan ekonomi akan meningkatkan taraf hidup masyarakat
sehingga mampu menyekolahkan anaknya.
Strategi ini
dilakukan dengan melibatkan berbagai lembaga teknis dan dinas daerah. (3) Memberikan jaminan pendidikan daerah bagi siswa Strategi ini disusun untuk melayani masyarakat yang secara teknis sangat berkendala dalam pembiayaan operasional pendidikan, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak menyekolahkan anaknya. (4) Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat Strategi ini dilakukan untuk memanfaatkan potensi kekuatan yang dimiliki penyelenggara pendidikan terutama swasta untuk membantu masyarakat.
9.2.4 Strategi W-T (Defensive Strategies) Strategi ini disusun untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Rangkuti, 1997). Kelemahan yang ada meliputi tidak meratanya daya tampung sekolah di setiap kecamatan, permasalahan ketersediaan dan distribusi guru, ruang kelas masih banyak yang rusak, dan minat masyarakat terhadap salah satu jenis pendidikan menengah. Sedangkan ancaman yang dihadapi cukup banyak, terutama berkaitan dengan orang tua, dimana penghasilan dan pendidikan orang tua rendah, banyaknya jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan orang tua rata-rata lebih dari tiga orang, dan berpenghasilan tinggi namun tidak mau menyekolahkan anaknya. Di
103
samping itu, ancaman yang muncul dari sisi anak seperti yang sudah tidak berminat bersekolah, dan banyaknya perempuan yang tidak bersekolah. Faktor ancaman lainnya adalah karakteristik wilayah pertanian yang sebagian besar penduduknya tidak meneruskan sekolah hingga jenjang pendidikan menengah. Di sisi lain, ancaman juga muncul dari tingginya ketergantungan pendananan pendidikan
menengah
terhadap
bantuan
luar.
Alternatif
strategi
yang
memungkinkan untuk disusun dalam rangka meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman adalah : (1). Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan menengah Strategi ini dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ketimpangan alokasi pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan menengah, terutama dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasaran pendidikan menengah formal, dengan melihat keterbatasan pendanaan daerah yang ada.
9.3
Penyusunan Road Map Strategy dan Prioritas Program/Kegiatan Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Strategi Berdasarkan hasil analisis SWOT ditemukan sebanyak sembilan strategi
yang memungkinkan untuk dilaksanakan dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Terdapat dua strategi agresif, dua strategi stabilitatif/rasional, empat strategi diversifikatif, dan satu strategi defensif. Agar terwujud pelaksanaan strategi yang berkesinambungan dan saling bersinergi antar satu strategi dengan strategi lainnya, maka pemetaan pelaksanaan strategi tersebut disusun dalam bentuk kebijakan. Kebijakan merupakan sekumpulan aktivitas terukur yang ingin dicapai dalam jangka pendek dan dilakukan dengan cara-cara tertentu (Rustiadi dkk, 2011). Dalam hal ini, kebijakan yang dilakukan dibagi atas tiga pengelompokan utama berdasarkan prioritas, yaitu: (1) kebijakan optimalisasi pendanaan pendidikan, (2) kebijakan peningkatan faktor internal pendidikan, dan (3) kebijakan peningkatan kondisi masyarakat terutama di wilayah pertanian. Ketiga kebijakan tersebut disusun berdasarkan rentang waktu tertentu yang dalam hal ini direncanakan selama lima tahun. Penetapan waktu selama lima tahun disesuaikan menurut agenda perencanaan pembangunan jangka menengah daerah, sehingga memungkinkan bagi tahapan pelaksanaan program/kegiatan.
104
Pemetaan alternatif strategi yang telah dirumuskan hingga terimplementasi dalam bentuk program/kegiatan dilakukan melalui pendekatan arsitektur strategi. Secara tabulasi, pemetaan ini disajikan pada Tabel 36.
105
Tabel 36. Kebijakan, Strategi, Program dan Kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Jalur Pendidikan Formal di Kabupaten Bogor Prioritas Kebijakan 1. Peningkat an Pendanaan Pendidikan Menengah
2. Peningkatan Faktor Internal Pendidikan
Prioritas Strategi
Program
Waktu Pelaksanaan (Tahun) I
1.Optimalisasi 1.Kerjasama Pemanfaatan Pendanaan Pendanaan Pendidikan Pendidikan
2.Meningkatkan Aksesibilitas Pendidikan
1.Penandatanganan MoU dengan DU/DI
2.Pendanaan 2.Gerakan sadar Menabung Pendidikan Sembilan tahun (Pencanangan) Sembilan tahun 3.Pengembangan 3.Pengadaan Lahan Fasilitas terutama di Wilayah Pertanian 4.Pemberian Kemudahan Perijinan pembangunan Sekolah Baru (Rutin)
II
III
IV
V
SKPD Pelaksana Disdik, Setda
Disdik
Disdik *, DTBP, DTRP, Setda Disdik
5.Pembangunan Sekolah Baru
Disdik * , DTBP, DTRP
6.Pembangunan Sekolah berbasis Karakteristik Wilayah
Disdik*, Dinsosnakertr ans, Distanhut, Disnakkan, Diskoperindag
3.Optimalisasi Aksesibilitas 4.Peningkatan Daya 7. Pendirian SD-SMP-SMA Satu Pendidikan Berdasarkan tampung Siswa Atap Kebutuhan Wilayah terutama di Wilayah Pertanian 8.Penambahan Waktu Operasional Sekolah
Disdik*, DTBP, DTRP
9. Penambahan Ruang Kelas Baru 10. Relokasi Guru
Disdik*, DTBP, DTRP Disdik*, BKPP
11. Pemberian Intensif Khusus Guru di Wilayah Tertentu (Rutin)
Disdik*, BKPP, DKD
12. Rekturtmen Guru Bantu Daerah
Disdik*, BKPP,DKD Disdik*, DTBP
5.Penataan Guru
4. Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan
6.Perbaikan Sarana 13.Rehabilitasi Ruang kelas (Rutin) dan Prasarana Pendidikan
Disdik*, BKPP
14. Akreditasi Lembaga Pendidikan (Rutin)
Disdik
15. Pemberlakuan Kuota Siswa Khusus untuk Sekolah Peduli Lingkungan (Rutin)
Disdik, Setda
16. Pemberian Beasiswa Sekolah Swasta (Rutin)
Disdik, Setda
17.Penerapan Sekolah Murah bagi Siswa Kurang mampu (Rutin) 18.Pemberian Beasiswa Daerah (Rutin)
Disdik
6.Meningkatkan 9.Sosialisasi Wajib pemahaman masyarakat Belajar terhadap wajib belajar 12 Pendidikan 12 tahun tahun
19.Gerakan Sadar Sekolah 12 Tahun (Pencanangan)
Disdik,BPMPD
8.Meningkatkan peran dan 10.Peningkatan partisipasi masyarakat Peran Komite dalam penyelenggaraan Sekolah pendidikan
20.Optimalisasi Komite Sekolah
Disdik
9.Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat
21.Kegiatan Lintas Sektoral (Rutin)
Bappeda, Disdik, SKPD terkait
7.Meningkatkan kepedulian 7.Peningkatan penyelenggara Kepedulian pendidikan terhadap terhadap masyarakat Pendidikan Masyarakat
3. Peningkatan Kondisi Masyarakat terutama di Wilayah Pertanian
Kegiatan
5.Pemberian jaminan pendidikan daerah bagi siswa
8.Bantuan Daerah untuk Siswa
11.Optimalisasi Lintas Sektoral
Disdik,Setda DKD
Sumber : Hasil Analisis SWOT
Keterangan : Disdik: Dinas Pendidikan; Setda: Sekretariat Daerah; DTBP: Dinas Tata Bangunan dan Permukiman; DTRP:Dinas Tata Ruang dan Pertanahan; BKPP:Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan;DKD:Dinas Keuangan Daerah;BPMPD:Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa; SKPD:Satuan Kerja Perangkat Daerah;Dinsosnakertran:Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi;Distanhut:Dinas Pertanian dan Kehutanan; Disnakkan : Dinas Peternakan dan Perikanan; Diskoperindag:Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan; Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; *) Koordinator.
106
9.3.1 Kebijakan Peningkatan Pendanaan Pendidikan Kebijakan pendanaan pendidikan diorientasikan pada bagaimana agar daerah dapat mengalokasikan anggaran pendidikan yang ada agar optimal dalam membiayai pendidikan menengah. Kebijakan ini merupakan implementasi dari satu strategi defensif, yaitu : (1)
Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan menengah Optimalisasi pendanaan pendidikan merupakan strategi prioritas pertama yang dicanangkan. Strategi ini dapat diimplementasikan ke dalam dua program, yakni : (a) program kerjasama pendanaan pendidikan, dan (b) program penggalangan dana pendidikan untuk wajib belajar 12 tahun. Program kerjasama pendanaan pendidikan dijadikan sebagai salah satu alternatif implementasi strategi dalam rangka mengajak para pemangku kepentingan terutama dari sektor bisnis untuk berpartisipasi dalam membantu pendanaan pendidikan menengah formal. Program ini dapat dilakukan melalui satu kegiatan, yakni penandatanganan kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri. Kegiatan ini memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun pertama. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan sebagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang berwenang untuk menyelenggarakan pendidikan, serta Sekretariat Daerah yang berwenang untuk melakukan kerjasama daerah dengan pihak-pihak di luar Pemerintah Kabupaten Bogor. Program penggalangan dana pendidikan untuk wajib belajar 12 tahun dapat dilakukan melalui kegiatan gerakan sadar menabung siswa sembilan tahun, dengan mempertimbangkan bahwa masyarakat perlu diberikan pemahaman untuk ikut berpartisipasi dalam merencanakan pendidikan anaknya minimal hingga jenjang pendidikan menengah. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang pencanangannya dapat dilakukan pada tahun keempat. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan.
9.3.2
Kebijakan Peningkatan Faktor Internal Pendidikan Kebijakan peningkatan faktor internal pendidikan lebih diorientasikan
kepada terselenggaranya program/kegiatan yang mendukung peningkatan daya
107
serap penduduk usia sekolah dan terlaksananya proses belajar-mengajar. Kebijakan ini merupakan implementasi dari empat strategi, yaitu : (1)
Meningkatkan aksesibilitas pendidikan Strategi ini merupakan strategi prioritas kedua yang bertujuan untuk menambah fasilitas dan memperkuat jaringan infrastruktur yang sudah ada dengan lebih efektif dan efisien. Strategi ini dapat diimplementasikan ke dalam program pengembangan fasilitas pendidikan, terutama di wilayah pendidikan. Program ini diimplementasikan ke dalam 4 kegiatan, yaitu : (a) Pengadaan lahan sekolah. Kegiatan ini dilakukan untuk menyediakan lokasi bagi pembangunan sekolah baru maupun penambahan unit ruang kelas yang sudah ada. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun pertama
dan
disesuaikan
menurut
kebutuhan
pengadaan
lahan.
Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan selaku SKPD yang memiliki kewenangan penyelenggaraan pendidikan, berkoordinasi dengan Dinas Tata Bangunan dan Permukiman, Dinas tata Ruang dan Pertanahan, serta Sekretariat Daerah. (b) Pemberian kemudahan perijinan bagi pembangunan sekolah baru. Kegiatan ini juga dapat dilakukan pada tahun pertama dan berlangsung secara rutin berdasarkan adanya permintaan penyelenggara sekolah untuk membangun unit sekolah baru. Penanggung
jawab
kegiatan
ini
adalah
Dinas
Pendidikan.
(c)
Pembangunan sekolah baru. Kegiatan ini dilakukan untuk menambah aksesibilitas pendidikan di wilayah-wilayah tertentu yang membutuhkan, sehingga dapat meningkatkan daya tampung siswa. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun ketiga dan memungkinkan untuk dilaksanakan secara rutin sesuai dengan kemampuan dana daerah yang tersedia serta prioritas kebutuhan masyarakat akan adanya sekolah baru. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas pendidikan yang berkoordinasi dengan Dinas tata Bangunan dan permukiman serta Dinas tata Ruang dan Pertanahan. (d) Pembangunan SMK berbasis karakteristik wilayah. Kegiatan ini ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk siap bekerja setelah menempuh jenjang pendidikan menengah yang disesuaikan dengan permintaan wilayah, seperti pertanian, industri dan perdagangan/jasa. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun kelima. Penanggung
jawab
kegiatan
ini
adalah
Dinas
Pendidikan
yang
berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
108
Transmigrasi, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Peternakan dan Perikanan untuk teknis muatan SMK yang berkarakteristik pertanian, dan dengan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan untuk teknis SMK yang berkarakteristik perdagangan/jasa dan insustri. (2)
Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah Strategi ini merupakan strategi prioritas ketiga yang bertujuan untuk memanfaatkan fasilitas yang telah ada dalam rangka meminimalkan ketimpangan daya tampung, mengingat adanya peluang dan kebutuhan masyarakat yang tidak berkendala dalam bersekolah. Strategi ini dapat diimplementasikan ke dalam dua program, yakni : (a) Peningkatan daya tampung siswa terutama di wilayah pertanian, dan (b) Pemerataan pendidikan. Program peningkatan daya tampung dapat dilakukan melalui dua kegiatan, yaitu : (1) Pendirian SD-SMP-SMA satu atap. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memanfaatkan ruang kelas SD atau SMP yang telah ada untuk dijadikan tempat pembelajaran bagi pendidikan menengah khususnya pada wilayah-wilayah yang belum memungkinkan dibangun sekolah baru dalam waktu dekat. Kegiatan ini dapat mulai dilaksanakan pada tahun kedua dan memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan kebutuhan wilayah. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan, berkoordinasi dengan Dinas Tata Bangunan dan Permukiman serta Dinas Tata Ruang dan Pertanahan. (2) Penambahan waktu operasional sekolah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memaksimalkan fungsi kelas agar dapat menampung lebih banyak rombongan belajar dengan
cara
membagi
rombongan
ke
dalam
beberapa
termin
pembelajaran mulai dari pagi hari hingga sore hari. Kegiatan ini dapat dimulai pada tahun ketiga dan memungkinkan untuk dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan kebutuhan wilayah. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan. (3) Penambahan ruang kelas baru.
Kegiatan ini ditujukan untuk memanfaatkan lahan sekolah yang
masih ada dalam rangka menambah kapasitas daya tampung sekolah. Kegiatan ini dapat dilakukan pada tahun keempat.
Penanggung jawab
109
kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan, berkoordinasi dengan Dinas Tata Bangunan dan Permukiman serta Dinas Tata Ruang dan Pertanahan. Program penataan guru bertujuan untuk mengatur ulang distribusi guru yang telah ada disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan wilayah. Program ini dapat dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu : (1) Relokasi guru. Relokasi guru dilakukan dengan tujuan untuk mendistribusikan guru secara merata sesuai dengan kebutuhan guru dan kompetensi guru. Diupayakan agar relokasi guru dapat mempertimbangkan lokasi mengajar dan tempat tinggal guru. Kegiatan ini dapat dilakukan pada tahun pertama dan dapat dilakukan secara periodik setiap lima tahun sekali. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan. (2) Pemberian insentif bagi guru khusus di wilayah tertentu. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada guru-guru yang berdedikasi dan mengabdi di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau atau terpencil. Diharapkan dengan adanya pemberian insentif tersebut, dapat meningkatkan kinerja guru di wilayah tertentu.
Kegiatan ini dapat dilakukan pada tahun kedua dan
dilaksanakan secara rutin selama kebijakan ini masih berlaku. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan serta Dinas Keuangan Daerah. (3) Rekrutmen guru bantu daerah. Kegiatan ini ditujukan khusus untuk wilayah kecamatan yang membutuhkan guru, sementara jumlah guru yang ada tidak memungkinkan untuk didistribusikan ke tempat-tempat tertentu. Kegiatan ini memungkinkan untuk dapat dilaksanakan pada tahun ketiga dan dapat dilaksanakan juga pada tahun-tahun berikutnya sesuai dengan kebutuhan pengadaan guru bantu di lingkup Pemerintah Kabupaten Bogor. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan serta Dinas Keuangan Daerah. (3)
Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan Strategi
ini
merupakan
strategi
prioritas
keempat
yang
dapat
diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Program ini dapat ditempuh melalui dua kegiatan, yaitu : (1) rehabilitasi ruang kelas, dan (2) akreditasi sekolah.
110
Kegiatan rehabilitasi ruang kelas merupakan upaya untuk memfungsikan kembali ruang kelas yang rusak, terutama rusak berat sehingga dapat kembali digunakan.
Kegiatan ini dapat mulai dilaksanakan pada tahun
kedua dan memungkinkan untuk dilaksanakan secara rutin sesuai dengan kebutuhan dan alokasi dana yang tersedia. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan, berkoordinasi dengan Dinas Tata Bangunan dan
Permukiman.
Kegiatan
akreditasi
sekolah
bertujuan
untuk
meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara pendidikan menengah.
Kegiatan ini dapat
dilaksanakan pada tahun kelima secara periodik sesuai dengan aturan yang berlaku. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan. (4)
Meningkatkan kepedulian penyelenggara pendidikan terhadap masyarakat Strategi ini dicanangkan sebagai prioritas ketujuh dan diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program Peningkatan kepedulian terhadap pendidikan masyarakat. Program ini ditempuh melalui tiga kegiatan, yaitu (a) pemberlakuan kuota khusus bagi siswa yang berada di sekitar lingkungan untuk sekolah peduli lingkungan sekolah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjaring sejumlah penduduk usia sekolah 16-18 tahun yang berada di wilayah sekitar sekolah untuk dapat bersekolah. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Sekretariat Daerah. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun keempat dan bersifat rutin. (b) Pemberian beasiswa oleh sekolah swasta. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu sejumlah penduduk usia sekolah yang berkendala biaya agar mampu melanjutkan pendidikannya di lembaga pendidikan swasta. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun kelima dan bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Sekretariat Daerah. (c) Pemberlakuan sekolah gratis/murah bagi siswa yang kurang mampu. Kegiatan ini bertujuan untuk membebaskan siswa yang benar-benar tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan pada tahun kelima dan bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan.
111
9.3.3 Kebijakan Peningkatan Kondisi Masyarakat Terutama di Wilayah Pertanian Kebijakan peningkatan kondisi masyarakat terutama di wilayah pertanian lebih
diorientasikan kepada
peningkatan pemberdayaan
dan
kesadaran
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya minimal hingga ke jenjang pendidikan menengah. Kebijakan ini merupakan implementasi empat strategi, yaitu : (1)
Pemberian jaminan pendidikan daerah bagi siswa Strategi ini merupakan prioritas kelima yang dapat diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program bantuan daerah untuk siswa. Program ini dapat dilakukan melalui satu kegiatan, yaitu pemberian beasiswa daerah. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan akses siswa untuk dapat bersekolah melalui kebijakan daerah yang berlaku untuk semua siswa pada jenjang pendidikan menengah.
Kegiatan ini dapat dimulai
pada tahun ketiga dan bersifat rutin sesuai dengan kebijakan pimpinan daerah. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi dengan Sekretariat Daerah dan Dinas Keuangan Daerah. (2)
Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang wajib belajar 12 tahun Strategi ini merupakan prioritas keenam yang dapat diimplementasikan kedalam satu program, yaitu sosialisasi wajib belajar 12 tahun. Program ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama yang
berada
di
wilayah
pertanian,
berpenghasilan
rendah
dan
berpendidikan rendah tentang pentingnya menyekolahkan anak minimal hingga sampai pada jenjang pendidikan menengah. Program ini dapat diimplementasikan melalui satu kegiatan yakni gerakan sadar sekolah 12 tahun yang pencanangannya dapat dilaksanakan pada tahun pertama dan bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan berkoordinasi
dengan
badan
Pemberdayaan
Masyarakat
dan
Pemerintahan Desa. (3)
Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan Strategi ini dicanangkan menjadi prioritas kedelapan yang
dapat
diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program peningkatan peran komite sekolah. Komite sekolah merupakan wadah orang tua siswa
112
untuk memantau penyelenggaraan pendidikan sekolah dengan tujuan agar penyelenggaraan pendidikan dapat berlangsung sesuai harapan semua pihak. Peran komite sekolah dapat berjalan dengan baik apabila dioptimalkan. Oleh karena itu, program ini dilaksanakan melalui satu kegiatan yakni optimalisasi komite sekolah yang dapat dilaksanakan pada tahun ketiga. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Dinas Pendidikan (4)
Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat Strategi
ini
merupakan
strategi
prioritas
kesembilan
yang
diimplementasikan ke dalam satu program, yaitu program optimalisasi lintas sektoral. Upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada hakikatnya merupakan upaya bersama antar sektor yang terkait dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, program ini dilaksanakan melalui kegiatan lintas sektor yang dapat dimulai pada tahun kedua dan bersifat rutin. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai koordinator program dan kegiatan lintas sektor bersama dengan Dinas Pendidikan sebagai penanggung jawab masalah pendidikan dan SKPD yang terkait langsung dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Road Map Strategy dan program/kegiatan yang tersaji melalui pendekatan arsitektur strategi dapat dilihat pada Gambar 31.
113 Peningkatan Partisipasi
Sekolah Prioritas Strategi
Prioritas Kebijakan
3
8 9 Pemberdayaan ekonomi
6
9
Sosialisasi wajib sekolah 12 tahun
3
Peran dan partisipasi masyarakat
Kepedulian penyelenggara
pendidikan
8 7
Pemahaman wajar 12 tahun
6
Jaminan pendidikan daerah
5
Perbaikan kualitas sarpras
4
Optimalisasi aksesibilitas
Faktor Kondisi Masyarakat 2
Kemudahan perijinan pendirian sekolah
2
Penguatan komite sekolah
Kerjasama lintas sektoral pemberdayaan masyarakat
3
Pemberlakuan Kuota sekolah peduli lingkungan
Beasiswa daerah
5
7
Insentif guru khusus
4
1
3
Relokasi guru
Penambahan ruang kelas baru
2 2
Pendirian SDSMP-SMA satu atap
2 Akreditasi sekolah
Rekrutmen guru bantu daerah tertentu
3
2
7 Beasiswa sekolah swasta
Rehabilitasi ruang kelas
2
3
2
2
Pengadaan lahan
Faktor Internal Pendidikan
Sekolah murah/gratis bagi siswa kurang mampu dan berprestasi
3
2
4
2
Pendanaan Meningkatkan aksesibilitas
3
Pembangunan sekolah baru
3
2
Pembangunan SMK berbasis karakter wilayah
2
2
2 1
Optimalisasi Pendanaan Pendidikan
1 Tahun Pelaksanaan
1
1
Penandatanganan MoU dengan DU/DI
I
1 II
III
Gerakan sadar menabung 9 tahun
IV
V
Gambar 30. Road Map Strategy dan Prioritas Program/kegiatan Peningkatan Partisipasi Sekolah Pada Jenjang Pendidikan Menengah Formal di Kabupaten Bogor dengan Pendekatan Arsitektur Strategi
113
114
115
X. KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan pada bab pendahuluan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : (1)
Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode regresi linear berganda terhadap faktor-faktor internal pendidikan, yakni ketersediaan daya tampung sekolah, ketersediaan guru yang berkualifikasi mengajar, dan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang diduga mempengaruhi angka partisipasi murni, diperoleh hasil bahwa faktor ketersediaan daya tampung yang diwakili oleh ketersediaan jumlah ruang kelas yang layak pakai
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap
peningkatan
angka
partisipasi murni pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor. (2)
Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode regresi logistik biner terhadap faktor kondisi masyarakat yang dilihat dari dua faktor, yakni faktor orang tua yang diwakili oleh penghasilan dan pendidikan orang tua, dan faktor anak yang diwakili oleh minat bersekolah dan jenis kelamin, diperoleh hasil bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor adalah pendidikan orang tua. Peluang bersekolah bagi penduduk usia 16-18 tahun di Kabupaten Bogor ternyata ditemukan pada kondisi orang tua yang berpenghasilan di atas UMK, orang tua yang berpendidikan SMP ke atas, anak yang berminat sekolah, dan anak yang berjenis kelamin perempuan.
(3)
Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode regresi logistik biner terhadap faktor karakteristik wilayah yang dilihat dari tiga katagori, yaitu pertanian,
perdagangan/jasa,
dan
industri,
diperoleh
hasil
bahwa
karakteristik wilayah pertanian dan perdagangan/jasa berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor. Peluang bersekolah bagi penduduk usia 16-18 tahun di Kabupaten Bogor ternyata lebih besar ditemukan pada wilayah
116 yang memiliki karakteristik perdagangan/jasa, sedangkan peluang tidak bersekolah ternyata lebih besar ditemukan pada wilayah yang memiliki karakteristik pertanian. (4)
Berdasarkan analisis terhadap kemandirian daerah dalam pendanaan pendidikan menengah di Kabupaten Bogor dengan menggunakan perhitungan rasio kemandirian, diperoleh hasil bahwa tingkat kemandirian pendanaan pendidikan menengah semakin lama semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya ketergantungan daerah terhadap dana bantuan yang berasal dari luar alokasi anggaran asli daerah.
(5)
Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap faktor internal dan eksternal, teridentifikasi lima faktor kekuatan, empat faktor kelemahan, empat faktor peluang,
dan delapan faktor
ancaman.
Hasil identifikasi tersebut
melahirkan dua strategi agresif, dua strategi stabilisasi/rasionalisasi, empat strategi diversifikasi dan satu strategi defensif. Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal, Pemerintah Kabupaten Bogor lebih banyak bertumpu pada strategi diversifikasi. Berdasarkan
hasil
perancangan
pelaksanaan
strategi
dengan
menggunakan road map strategy dan pendekatan arsitektur strategi, diperoleh rumusan sembilan prioritas strategi dengan urutan prioritas yaitu : (a) Optimalisasi pemanfaatan pendanaan pendidikan, (b) Meningkatkan aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan dan karakteristik wilayah, (c) Optimalisasi aksesibilitas pendidikan berdasarkan kebutuhan wilayah, (d) Memperbaiki kualitas sarana dan prasarana pendidikan di wilayah yang membutuhkan, (e) Memberikan jaminan pendidikan daerah bagi siswa, (f) Meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap wajib belajar 12 tahun, (g)
Meningkatkan
kepedulian
penyelenggara
pendidikan
terhadap
masyarakat, (h) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan,
dan
(i)
Meningkatkan
pemberdayaan
ekonomi masyarakat. Strategi tersebut dapat diimplementasikan ke dalam tiga kebijakan prioritas, yaitu : (a) Peningkatan pendanaan pendidikan, (b) Peningkatan faktor internal pendidikan, dan (c) Peningkatan kondisi masyarakat. Berdasarkan pendekatan arsitektur strategi, kesembilan prioritas strategi
117 yang diimplementasikan ke dalam tiga prioritas kebijakan tersebut dilaksanakan melalui 11 program dan 21 kegiatan baik rutin maupun tidak rutin
secara
bertahap dalam
waktu
lima tahun.
Tahun
pertama
dimungkinkan untuk melaksanakan enam kegiatan, tahun kedua sebanyak empat kegiatan, tahun ketiga sebanyak tiga kegiatan, tahun keempat sebanyak tiga kegiatan, dan pada tahun kelima sebanyak empat kegiatan.
10.2 Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan yang ada, beberapa saran yang direkomendasikan dalam rangka meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah formal di Kabupaten Bogor adalah : (1)
Pemerintah Kabupaten Bogor perlu melakukan kerjasama pendanaan pendidikan
dengan
dunia
usaha/dunia
industri
mengingat
adanya
keterbatasan alokasi anggaran asli daerah dalam APBD. (2)
Pemerintah Kabupaten Bogor perlu melakukan strategi peningkatan aksesibilitas pendidikan dan mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas yang sudah ada untuk menambah kapasitas daya tampung sekolah. Kegiatankegiatan
seperti
pemberian
kemudahan
perijinan
penyelenggaraan
pendidikan, pengadaan lahan, pembangunan sekolah baru terutama berbasis karakteristik wilayah, penambahan ruang kelas, dan rehabilitasi ruang kelas yang rusak, perlu terus dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan daya tampung sekolah. (3)
Pemerintah Kabupaten Bogor perlu menggalakkan sosialisasi wajib belajar 12 tahun kepada masyarakat, terutama di kalangan masyarakat yang berpendidikan rendah di wilayah pertanian, sehingga diharapkan akan muncul
kesadaran
untuk
menyekolahkan
anaknya
hingga
jenjang
pendidikan menengah. (4)
Pemerintah Kabupaten Bogor perlu memberikan jaminan pendidikan daerah bagi siswa usia sekolah 16-18 tahun dan dapat melakukan kerjasama
dengan
penyelenggara
pendidikan
lainnya
untuk
mengupayakan bantuan biaya pendidikan menengah bagi masyarakat seperti beasiswa di sekolah swasta, pemberian keringanan biaya
118 operasional sekolah, atau sekolah gratis untuk merangsang masyarakat agar bersekolah. (5)
Pemerintah Kabupaten Bogor perlu membangun snediri dan memberikan kesempatan bagi penyelenggara pendidikan lainnya untuk membangun sekolah yang berkarakteristik wilayah, terutama sekolah formal jenis SMK yang berbasis keunggulan lokal, seperti membangun SMK pertanian dan teknologi pasca panen di wilayah pertanian, SMK teknologi dan informatika di wilayah industri, dan SMK bisnis/perhotelan di wilayah perdagangan / jasa.
(6)
Peningkatan partisipasi sekolah merupakan tanggung jawab seluruh perangkat daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Bogor perlu senantiasa membangun koordinasi lintas sektoral terutama pada sektorsektor yang terkait dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
119
DAFTAR PUSTAKA
Acmad,Z. 2008. Analisis Tingkat Partisipasi Pendidikan Siswa Madrasah. http://pendis. kemenag.go.id/ Adi,W. 2001. Kajian Ketimpangan Pembangunan Ekonomi antar Wilayah Indonesia. Pusat Penelitian dan pengembangan Ekonomi dan Pembangunan (PEP-LIPI). Jakarta. Perpustakaan.ekonomi.lipi.go.id Arsyad,L. 1993. Ekonomi Pembangunan. Gunadarma. Jakarta. Cetakan-1. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2011. Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2010. Bogor. Baga, L.M. 2009. Strategi Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pertanian Berbasis Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah. Volume 1 No. 1 April 2009. Program Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2012. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2011. Cibinong. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2011. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2010. Cibinong. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2010. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2009. Cibinong. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2009. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Bogor Tahun 2008. Cibinong. Cahyawati, D.S dan Oki, D. 2011. Pemetaan Biplot untuk Masalah Putus Sekolah Pendidikan Dasar pada Masyarakat Miskin antar Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir. Jurusan Matematika, Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan. http://jpsmipaunsri.files. wordpress.com/. Chamidi, S. 2002. Kontribusi Sekolah Swasta bagi Pendidikan di Indonesia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 035 Tahun ke-8, Maret 2002. Badan Penelitan dan Pengembangan Depdiknas. ISSN: 0215-2673. Chan,S.M dan Tuti, T.S. 2006. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kilas Balik Pendidikan Nasional. Pusat Informasi dan Humas Depdiknas. Jakarta. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2011. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor Tahun 2011/2012. Pemerintah Kabupaten Bogor.
120 Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2010. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor Tahun 2010/2011. Pemerintah Kabupaten Bogor. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2009. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor Tahun 2009/2010. Pemerintah Kabupaten Bogor. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2008. Statistik Pendidikan Kabupaten Bogor Tahun 2008/2009. Pemerintah Kabupaten Bogor. Djojohadikusumo,S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta. Firdaus, M dkk. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif Untuk Manajemen dan Bisnis. IPB Press. Bogor. Hasbullah. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Edisi-5. Hutagaol, Y.M.R. 2009. Minat dan Motivasi Siswa Memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Mendorong Peningkatan Mutu Pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. http://repository.usu.ac.id/ Iskandar, M. 2009. Evaluasi Sebaran Lokasi Fasilitas Pendidikan SMP dan SMA di Kota Bogor. Tesis Program Studi Perencanaan Wilayah Kota. Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan. Institut Teknologi Bandung. Kurniady, D.A. 2004. Manajemen Pembiayaan Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Pendidikan. (Kajian Pada SMU di Dinas Pendidikan Kota Bandung). Tesis Program Studi Administrasi Pendidikan Pascasarjana UPI Bandung. Bandung. Lutan, R. 1991. Mesin Penggiling Status Sosial. Biaya Melanjutkan Sekolah. Dilema dalam Pendidikan : Murah, Merata dan Bermutu. Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 1 Tahun X April 1991. Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. ISSN 0215-2673. Malik, A.A.M. 2009. Arahan Distribusi Fasilitas Pendidikan SLTA di Kabupaten Minahasa Tenggara Tahun 2028. Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota. Institut Tekonologi Bandung. Bandung. Kementerian Pendidikan Nasional RI. 2004. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 129a/U/2004 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Jakarta. Muhammad, F. 2004. Gagasan dan Pemikiran Membangun Puslitbang Gorontalo Post. Gorontalo. Cetakan-1.
Sulawesi.
Muiz, A. 2008. Tingkat Partisipasi Dewan Pendidikan dalam Proses Penyusunan Rencana Kerj Pemerintah Daerah (RKPD) Urusan Pendidikan Kota Cimahi Tahun 2008. Tesis Program Studi Magister Perencanaan Wilayah
121 dan Kota. Sekolah Arsitektur Kebijakan ITB. Bandung.
Perencanaan
dan
Pengembangan
Mulyasa,E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, Implementasi dan Inovasi. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung. Cetakan-9 (2006). Oktaviani, R dan Eka P. 2005. Dampak Kebijakan Pemerintah pada Sektor Pendidikan Terhadap Ekonomi Indonesia dan Distribusi Pendapatan. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik vol.6(I) April 2005. Institue for Development of Economics and Finance (INDEF). Jakarta-Indonesia. ISSN : 1410-2625 Pramono, Y. 2009. Kajian Kebutuhan dan Penyediaan Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Rembang. Tesis Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang. http://eprints.undip.ac.id/ Prayitno,D. 2008. Partisipasi Masyarakat Dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah (Studi Kasus Pelaksanaan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun Di Distrik Semangga, Kabupaten Merauke). Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. http://eprints.undip.ac.id/ Presiden Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Presiden Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. Rangkuti, F. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rustiadi, E, dkk. 2011. Perencanaan dan pengembangan Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. Siregar,S. 2010. Statistik Deskriptif Untuk Penelitian. Rajawali Press. Jakarta. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Baduose Media. Padang. Cetakan-1. Sudibyo, A.P. 2009. Supervisi Kelompok Pendekatan Direktif, Strategi untuk Meningkatkan Skor Akreditasi Pada SMA Islam Pragolapati Semarang. Jurnal Widyatama Vol 6. No. 2. Juni 2009. Semarang. http://isjd. pdii.lipi.go.id/ Sujanto,B. 2007. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Model Pengelolaan Sekolah di Era Otonomi Daerah. CV. Sagung Seto. Jakarta. Cetakan-2 (2009). Sujanto,B. 2007. Guru Indonesia dan Perubahan Kurikulum. Mengorek Kegelisahan Guru. CV. Sagung Seto. Jakarta.
122 Suradi. 2006. Perlindungan Anak di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Vol 11 No.03,2006:1-17. http://www.depsos.go.id/ Suryadi,A. 2002. Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan : Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka. Jakarta. Cetakan-2. Tilaar, HAR. 2004. Multikulturisme : Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Toyamah,N dan Syaikhu, U. 2004. Laporan Lapangan SMERU Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otnomi Daerah : Implikasinya terhadap pengelolaan pelayanan pendidikan dasar. http://www.smeru.or.id/ Wibowo, E. 2008. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia Di Kabupaten Bogor. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Yoshida, D.F. 2006. Arsitektur Strategik. Solusi Meraih Kemenangan dalam Dunia yang Senantiasa Berubah. PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Jakarta.
123
LAMPIRAN
124 Lampiran 1. Hasil Analisis Statistik Pengaruh Faktor Internal Terhadap Angka Partisipasi Murni
Descriptive Statistics
Mean Angka Partisipasi Murni % Ruang Kelas Layak Pakai % Guru Layak mengajar % Jumlah Sekolah terakreditasi
Std. Deviation
N
34,8085
24,75418
40
2,5005
2,30573
40
88,8108
7,41020
40
62,7675
16,93949
40
Variables Entered/Removed(b)
Model 1
Variables Entered % Jumlah Sekolah terakredita si, % Guru Layak mengajar, % Ruang Kelas Layak Pakai(a)
Variables Removed
Method
. Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni
Model Summary
Model
1
R R Square Change ,728(a)
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
F Change
df1
df2
,530
,491
17,65591
Sig. F Change ,530
Change Statistics R Square F Change Change 13,554
3
df1 36
df2 ,000
a Predictors: (Constant), % Jumlah Sekolah terakreditasi, % Guru Layak mengajar, % Ruang Kelas Layak Pakai
125 Correlations
Pearson Correlation
Angka Partisipas i Murni
% Ruang Kelas Layak Pakai
1,000
,728
,139
,208
,728
1,000
,171
,253
,139
,171
1,000
-,193
,208
,253
-,193
1,000
.
,000
,196
,099
,000
.
,146
,058
,196
,146
.
,116
,099
,058
,116
.
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
40
Angka Partisipasi Murni % Ruang Kelas Layak Pakai % Guru Layak mengajar % Jumlah Sekolah terakreditasi
Sig. (1-tailed)
Angka Partisipasi Murni % Ruang Kelas Layak Pakai % Guru Layak mengajar % Jumlah Sekolah terakreditasi
N
Angka Partisipasi Murni % Ruang Kelas Layak Pakai % Guru Layak mengajar % Jumlah Sekolah terakreditasi
% Jumlah Sekolah terakreditasi
% Guru Layak mengajar
ANOVA(b)
Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
12675,679
3
4225,226
Residual
11222,323
36
311,731
Total
23898,001
39
F 13,554
Sig. ,000(a)
a Predictors: (Constant), % Jumlah Sekolah terakreditasi, % Guru Layak mengajar, % Ruang Kelas Layak Pakai b Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni
126 Coefficients(a)
Model
1
Unstandardized Coefficients
Stand ardiz ed Coeffi cients
t
Sig.
B
Beta
Zeroorder
Partial
Std. Error
(Constant)
5,984
39,053
% Ruang Kelas Layak Pakai
7,685
1,303
,076 ,045
% Guru Layak mengajar % Jumlah Sekolah terakreditasi
Collinearity Statistics
Correlations Toler ance
Part
VIF
B
,153
,879
,716
5,900
,000
,728
,701
,674
,886
1,129
,400
,023
,191
,850
,139
,032
,022
,911
1,097
,178
,031
,254
,801
,208
,042
,029
,878
1,138
a Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni
Collinearity Diagnostics(a)
Model
1
Dimension
Std. Error
Eigenvalue
Condition Index
(Constant)
% Ruang Kelas Layak Pakai
Variance Proportions
(Constant)
% Ruang Kelas Layak Pakai
1
3,595
1,000
,00
,02
,00
,00
2
,354
3,185
,00
,90
,00
,01
3
,048
8,648
,01
,02
,03
,83
4
,003
35,685
,99
,05
,97
,16
a Dependent Variable: Angka Partisipasi Murni
% Guru Layak mengajar
% Jumlah Sekolah terakreditasi
127 Lampiran 2. Hasil Analisis Regresi Logistik Biner untuk Faktor Kondisi Masyarakat
Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases Included in Analysis
N
Missing Cases Total Unselected Cases
Percent 60
100,0
0
,0
60
100,0
0
,0
Total
60 100,0 a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value tidak bersekolah
Internal Value 0
bersekolah
1
Categorical Variables Codings
Jenis kelamin Pendidikan orang tua Minat anak bersekolah Penghasilan orang tua
Frequency
Parameter coding
(1)
(1)
laki-laki
25
,000
perempuan
35
1,000
SD ke bawah
29
,000
SMP ke atas
31
1,000
tidak berminat
3
,000
berminat
57
1,000
di bawah UMK
22
,000
di atas UMK
38
1,000
Iteration History(a,b,c) -2 Log likelihood
Iteration
Step 0
Coefficients
1
Constant 74,936
Constant ,733
2
74,920
,769
3
74,920 ,769 a Constant is included in the model. b Initial -2 Log Likelihood: 74,920 c Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001.
128
Classification Table(a,b)
Observed
Predicted Partisipasi Sekolah tidak bersekolah bersekolah
Step 0
Partisipasi Sekolah
Percentage Correct tidak bersekolah
tidak bersekolah
0
19
,0
bersekolah
0
41
100,0
Overall Percentage
68,3
a Constant is included in the model. b The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step 0
Constant
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower ,769
Upper ,278
Lower 7,680
Upper 1
Lower ,006
Upper 2,158
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
Sig.
8,403
1
,004
X2(1)
18,845
1
,000
X3(1)
6,814
1
,009
,266
1
,606
25,458
4
,000
X4(1) Overall Statistics
df
X1(1)
129
Iteration History(a,b,c,d) -2 Log likelihood
Iteration
Constant Step 1
Coefficients X1(1)
X2(1)
X3(1)
X4(1)
Constant
1
49,433
-3,082
,680
1,707
2,598
,059
2
45,531
-4,736
,829
2,533
4,190
,035
3
44,807
-6,161
,845
3,040
5,612
,016
4
44,705
-7,333
,838
3,210
6,785
,015
5
44,680
-8,361
,837
3,226
7,812
,015
6
44,671
-9,366
,837
3,227
8,818
,015
7
44,668
-10,368
,837
3,227
9,820
,015
8
44,666
-11,369
,837
3,227
10,820
,015
9
44,666
-12,369
,837
3,227
11,821
,015
10
44,666
-13,369
,837
3,227
12,821
,015
11
44,666
-14,369
,837
3,227
13,821
,015
12
44,666
-15,369
,837
3,227
14,821
,015
13
44,666
-16,369
,837
3,227
15,821
,015
14
44,666
-17,369
,837
3,227
16,821
,015
15
44,666
-18,369
,837
3,227
17,821
,015
16
44,666
-19,369
,837
3,227
18,821
,015
17
44,666
-20,369
,837
3,227
19,821
,015
18
44,666
-21,369
,837
3,227
20,821
,015
19
44,666
-22,369
,837
3,227
21,821
,015
20
44,666
-23,369
,837
3,227
22,821
,015
a Method: Enter b Constant is included in the model. c Initial -2 Log Likelihood: 74,920 d Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.
Omnibus Tests of Model Coefficients
Step 1
Step
Chi-square 30,254
df 4
Sig. ,000
Block
30,254
4
,000
Model
30,254
4
,000
Model Summary
Step 1
-2 Log likelihood 44,666(a)
Cox & Snell R Square ,396
Nagelkerke R Square ,555
a Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.
130
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square
df
3,953
Sig. 5
,556
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Partisipasi Sekolah = tidak bersekolah Observed Step 1
Partisipasi Sekolah = bersekolah
Expected
Observed
Total
Expected
Observed
1
3
3,000
0
,000
3
2
6
5,704
3
3,296
9
3
4
5,042
4
2,958
8
4
5
4,254
5
5,746
10
5
1
,254
3
3,746
4
6
0
,376
13
12,624
13
7
0
,370
13
12,630
13
Classification Table(a)
Observed
Predicted Partisipasi Sekolah tidak bersekolah bersekolah
Step 1
Partisipasi Sekolah
tidak bersekolah
Percentage Correct tidak bersekolah
13
6
68,4
7
34
82,9
bersekolah Overall Percentage
78,3
a The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step 1(a)
X1(1) X2(1) X3(1) X4(1) Constant
B
S.E.
Wald
Lower
Upper
Lower
df Uppe r
Sig. Lowe r
Exp(B) Upper
95,0% C.I.for EXP(B) Lower
Upper
,837
,797
1,103
1
,294
2,309
,484
11,005
3,227
1,135
8,084
1
,004
25,193
2,725
232,949
22,821
21582,1 80
,000
1
,999
8145881560, 093
,000
.
,015
,777
,000
1
,985
1,015
,221
4,654
-23,369
21582,1 80
,000
1
,999
,000
a Variable(s) entered on step 1: X1, X2, X3, X4.
131 Correlation Matrix
Step 1
Constant X1(1)
Constant 1,000
X1(1) ,000
X2(1) ,000
X3(1) -1,000
X4(1) ,000
,000
-,260
,000
1,000
-,267
X2(1)
,000
-,267
1,000
,000
,094
X3(1)
-1,000
,000
,000
1,000
,000
X4(1)
,000
-,260
,094
,000
1,000
132 Lampiran 3. Hasil Analisis Statistik Logistik Biner Pengaruh Karakteristik Lingkungan terhadap Partisipasi Sekolah
Case Processing Summary Unweighted Cases(a) Selected Cases Included in Analysis
N 60
Missing Cases Total
0
,0
60
100,0
Unselected Cases Total
Percent 100,0
0
,0
60
100,0
a If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding Original Value tidak bersekolah
Internal Value 0
Bersekolah
1
Categorical Variables Codings Frequency
Parameter coding
(1) Karakteristik Wilayah
pertanian
(2)
(1)
20
,000
,000
Perdagangan/jasa
20
1,000
,000
Industri
20
,000
1,000
Iteration History(a,b,c) -2 Log likelihood
Iteration
Step 0
Coefficients
1
Constant 74,936
Constant ,733
2
74,920
,769
3
74,920 ,769 a Constant is included in the model. b Initial -2 Log Likelihood: 74,920 c Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001.
133
Classification Table(a,b)
Observed
Predicted Partisipasi Sekolah tidak bersekolah Bersekolah
Step 0
Partisipasi Sekolah
Percentage Correct tidak bersekolah
tidak bersekolah
0
19
,0
Bersekolah
0
41
100,0
Overall Percentage
68,3
a Constant is included in the model. b The cut value is ,500
Variables in the Equation
Step 0
Constant
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Lower ,769
Upper ,278
Lower 7,680
Upper 1
Lower ,006
Exp(B) Upper 2,158
Variables not in the Equation
Step 0
Variables
Score 9,397
X X(1) X(2)
Overall Statistics
df 2
Sig. ,009
6,508
1
,011
,039
1
,844
9,397
2
,009
Iteration History(a,b,c,d) -2 Log likelihood
Iteration
Constant Step 1
Coefficients X(1)
X(2)
Constant
1
65,726
-,200
1,800
1,000
2
64,986
-,201
2,287
1,048
3
64,963
-,201
2,393
1,048
4
64,963
-,201
2,398
1,048
5
64,963 -,201 2,398 1,048 a Method: Enter b Constant is included in the model. c Initial -2 Log Likelihood: 74,920 d Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
134 Omnibus Tests of Model Coefficients
Step 1
Chi-square 9,956
Step
df 2
Sig. ,007
Block
9,956
2
,007
Model
9,956
2
,007
Model Summary -2 Log likelihood 64,963(a)
Step 1
Cox & Snell R Square ,153
Nagelkerke R Square ,214
a Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square ,000
df
Sig. 1,000
1
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test Partisipasi Sekolah = tidak bersekolah
Step 1
Partisipasi Sekolah = Bersekolah
Total
1
Observed 11
Expected 11,000
Observed 9
Expected 9,000
Observed 20
2
6
6,000
14
14,000
20
3
2
2,000
18
18,000
20
Classification Table(a)
Observed
Predicted Partisipasi Sekolah tidak bersekolah Bersekolah
Step 1
Partisipasi Sekolah
Overall Percentage a The cut value is ,500
tidak bersekolah Bersekolah
Percentage Correct tidak bersekolah
11
8
57,9
9
32
78,0 71,7
135 Variables in the Equation
Step 1(a)
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower
Upper
Lower
Upper
Lower
Upper
Lower
8,022
2
,018
X X(1)
2,398
,870
7,590
1
,006
11,000
1,998
60,572
X(2)
1,048
,663
2,495
1
,114
2,852
,777
10,467
Constant
-,201
,449
,199
1
,655
,818
a Variable(s) entered on step 1: X.
Correlation Matrix Constant Step 1
Upper
X(1)
X(2)
Constant
1,000
-,516
-,678
X(1)
-,516
1,000
,350
X(2)
-,678
,350
1,000