STRATEGI PENINGKATAN INVESTASI SWASTA DI KABUPATEN BOGOR
DODI RAHDIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Peningkatan Investasi Swasta di Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Dodi Rahdiana NIM. H252.090145
ABSTRACT DODI RAHDIANA, Strategy of Enhancing Private Investment in Bogor Regency. Under direction MUHAMMAD FIRDAUS and ARIS MUNANDAR. The objective of the research is to reformulate a strategy to enhance private investment in Bogor regency. The first is to analyze
the economic
potency and the growth of private investment in enhancing economic growth, employment and the investment itself, second, to analyze determinant of private investment in Bogor Regency, and third, to reformulate policy of enhance private investment. The data were collected through observation, quisioner and interview to the respondents that know about the private investment policy under this study. Data Analysis Methods for enhancing private investment in Bogor regency were : the economic potencial at Bogor Regency by LQ analysis, growth of private investment by Typology Klassen analysis, determinat of investment by Analytical Hierarchy Process, and strategy of enhance private investment by SWOT analysis. The Analysis showing result: First, Bogor Regency up to year 2008-2010 experience investment decreases, and the growth value of the investment using the typology of
Klassen for Domestic
Investment and
Foreign
Investment
regencies/cities in West Java in 2008-2010, Bogor Regency is in quadrant III of classification of areas including advanced but saturated. Second, analysis result about investment competitiveness show the actor that influence Bogor Regency investment competitiveness alternately which are government (0,480), house of representative of Bogor Regency (0,311), investor (0,084), and non government organization (0,059). The most influence factor of Bogor Regency investment competitiveness which are institutional (0,423), infrastructur (0,270), economy potency (0,124), and employment (0,067). Third, from the strategy analysis, This study has identified four alternatives of policy through SWOT, namely, simplication regulation of permit service (5,712), opening branches of service (5,660), intesification of communication between stakeholder (4,502), and increasing human capital quality (3,838). Key words : Private Investment, Competitiveness, AHP, and SWOT
RINGKASAN
DODI RAHDIANA, Strategi Peningkatan Investasi Swasta di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS sebagai ketua, ARIS MUNANDAR sebagai anggota komisi pembimbing.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No. 32 tahun 2001 dan UU No. 33 tahun 2001 maka pemerintah daerah akan menanggung sendiri beban belanja atau pengeluaran yang jumlahnya besar. Sebagai konsekuensinya pemerintah daerah dituntut untuk kreatif dalam mencari sumber-sumber pendapatan dan pembiayaan yang memadai. Investasi merupakan sumber pertumbuhan output daerah yang relatif lebih berkelanjutan karena mencakup aktivitas-aktivitas sektor swasta yang cukup produktif. Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi juga mampu mengurangi kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja. Investasi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi maupun pembiayaan daerah dibalik kesulitan pemerintah daerah Kabupaten Bogor membiayai pengeluarannya dari penerimaan daerah. Tujuan umum dari kajian adalah untuk merumuskan strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor. Tujuan spesifiknya adalah (1) menganalisis potensi ekonomi dan perkembangan investasi swasta di Kabupaten Bogor (2) menyusun tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor (3) memformulasikan kebijakan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor. Dengan menggunakan metode LQ, diketahui bahwa di Kabupaten Bogor selama periode 2007-2009 terdapat dua sektor ekonomi yang bisa dijadikan sebagai sektor ekonomi basis atau potensial, hal ini dapat dilihat dari angka rasio masing-masing sektor ekonomi yang menunjukan nilai lebih dari satu, sektor basis tersebut terdiri atas sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih Untuk nilai indeks LQ yang sama dengan satu atau lebih mengandung pengertian bahwa, penduduk suatu daerah dapat memenuhi kebutuhannya akan suatu barang dengan hasil industri sendiri, atau daerah tersebut mampu
mengekpor hasil industrinya ke luar daerah. Misalnya sektor industri pengolahan dengan rata-rata LQ sebesar 1,394 artinya (0,394/1,394) 28 persen secara teoritis perdagangannya dapat diekspor sedangkan sisanya 72 % dapat dikonsumsi sendiri. Hasil dari analisis perkembangan nilai investasi menggunakan Tipologi Klassen untuk Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing kabupaten/kota se-Jawa Barat tahun 2008 - 2010, Kabupaten Bogor berada pada kuadran II atau termasuk klasifikasi daerah maju tetapi tertekan (jenuh), hal ini memperlihatkan bahwa walaupun secara peringkat masih termasuk 5 besar dalam investasi se Jawa Barat namun perkembangan investasi Kabupaten Bogor termasuk melambat. Sementara itu, hasil analisis dengan metode AHP memperlihatkan bahwa : (1) pelaku yang mempengaruhi investasi adalah Pemerintah daerah mempunyai nilai tertinggi dibandingkan DPRD, pengusaha dan
lembaga swadaya
masyarakat; (2) faktor yang paling mempengaruhi investasi swasta di Kabupaten Bogor adalah faktor kelembagaan ; (3) sedangkan secara keseluruhan untuk sub faktor yang paling mempengaruhi investasi adalah kejelasan prosedur penyelesaian perizinan. Kebijakan dan strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor dari tabel di atas diperoleh peringkat sebagai
berikut (1) menyederhanakan
prosedur pelayanan perizinan; (2) memperluas jaringan pelayanan perizinan; (3) meningkatkan komunikasi dan akses; (4) meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Dari hasil analisis QSPM, strategi menyederhanakan prosedur pelayanan perizinan, memiliki nilai kemenarikan (attractive score) yang tinggi, yaitu 5,740. Keseluruhan
strategi
yang
dihasilkan
dari
analisis
QSPM
diimplementasikan secara tidak berurut maupun pada waktu yang berbeda.
dapat
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisini tan mencantumkan atau menyebutkan sunbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, pnyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENINGKATAN INVESTASI SWASTA DI KABUPATEN BOGOR
DODI RAHDIANA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim
Judul Tesis
: Strategi Peningkatan Investasi Swasta di Kabupaten Bogor
Nama
: Dodi Rahdiana
NIM
: H252.090.145
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Muhammad Firdaus, SP. MSi. Ketua
Dr. Ir. Aris Munandar Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Kajian yang berjudul “Strategi Peningkatan Investasi Swasta di Kabupaten Bogor” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Dalam menyelesaikan kajian ini, penulis sampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan kajian ini terutama kepada Dr. Muhammad Firdaus, SP. MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Aris Munandar selaku Anggota, berikut seluruh dosen Sekolah Pascasarjana Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswamahasiswi Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penulisan kajian ini. Di lain pihak penulis sampaikan pada isteriku Era Yuli Trianna dan juga anakanakku Muhammad Fauzan Alfarisi dan Nurul Faisyah Anandira serta orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi ini. Penulis serahkan amal kebaikan yang telah membantu kepada Allah SWT semoga Yang Maha Kuasa dapat membalasnya dengan berlipat ganda. Penulis berharap semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai bahan rekomendasi dalam rangka meningkatkan investasi swasta maupun pihak-pihak yang membutuhkan hasil dari kajian studi ini.
Bogor,
April 2011
Dodi Rahdiana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 14 Agustus 1974 dari ayah Entug Maksudi dan ibu Iyam Maryam. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Tahun 1992 Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Kuningan Jawa Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk STAN-Prodip Keuangan dengan Jurusan Anggaran. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada STIA-LAN Makassar jurusan Manajemen Perekonomian Negara pada Tahun 1998. Pada tahun 1995 sebagai Pegawai Negeri Sipil, penulis ditempatkan pada Kantor Wilayah Ditjen Anggaran Makassar Kementerian Keuangan. Tahun 2000 penulis dimutasikan ke Jakarta sebagai Pelaksana pada Direktorat Tata Usaha Anggaran, dan pada tahun 2006 kembali dimutasikan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Tanjung Pandang Provinsi Bangka Belitung, pada tahun 2008 penulis dimutasikan ke Direktorat Pinjaman dan Hibah sampai sekarang. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan beasiswa dari PT Pertamina untuk melanjutkan studi S2 dengan mengambil program studi Manajemen Pembangunan Daerah di Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ..........................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. v BAB I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 6 1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian .......................................................... 8
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Investasi........... ............................................................... 2.2. Peranan Investasi........................................................................... 2.2.1. Model Vicious Circle......................................................... 2.2.2. Model Keynesian............................................................... 2.2.3. Model Harord - Domar...................................................... 2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi................................ 2.3.1. KPPOD ............................................................................. 2.3.2. Bank Dunia........................................................................ 2.4. Manajemen Strategis..................................................................... 2.5. Stakeholder Theory...................................................................... 2.6. Teori Analytical Hierarchy Process........................................... 2.7. Hasil Kajian Terdahulu................................................................. 2.8. Kebijakan Investasi Existing di Kabupaten Bogor ...................... 2.8.1. Visi dan Misi..................................................................... 2.8.2. Sasaran Strategis............................................................... 2.8.3. Program............................................................................. 2.9. Kerangka Konseptual..................................................................
BAB III. METODE KAJIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian ........................................................... 3.2. Metode Pengumpulan Data......................................................... 3.3. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data .............................. 3.3.1. Analisis Location Quotient................................................ 3.3.2. Analisis Tipologi Klassen.................................................. 3.3.2. Analytical Hierarchy Process............................................ 3.4. Metode Perumusan Strategi dan Program................................... i
9 9 9 10 11 13 14 21 23 28 29 31 33 33 34 35 40 42 42 44 44 44 45 50
BAB IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Administratif.......................................... 56 4.2. Kependudukan dan Sumberdaya Manusia................................ 57 4.3. Kondisi Ekonomi dan Sosial...................................................... 60 BAB V.
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Ekonomi dan Perkembangan Investasi........................ 5.1.1. Gambaran Potensi Investasi.............................................. 5.1.2. Analisis Potensi Investasi................................................ 5.1.3. Analisis Perkembangan Investasi..................................... 5.2. Aktor dan Faktor yang Mempengaruhi Investasi...................... 5.2.1. Aktor Investasi................................................................ 5.2.2. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Investasi.................
65 65 72 74 81 82 83
BAB VI. PERUMUSAN DAN PERANCANGAN STRATEGI 6.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal...................................... 101 6.1.1. Faktor Internal................................................................. 101 6.1.2. Faktor Eksternal............................................................... 107 6.2. Tahap Masukan.......................................................................... 111 6.2.1. Matriks Evaluasi Faktor Internal..................................... 112 6.2.2. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal.................................. 113 6.3. Tahap Pencocokan..................................................................... 114 6.4. Tahap Keputusan....................................................................... 116 6.5. Perancangan Program................................................................ 117 BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan.................... ............................................................... 121 7.2. Saran................................. ........................................................ 122 DAFTAR PUSTAKA............................. ...............................................................123 LAMPIRAN........................... ............................................................................... 126
ii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Easy of Doing Business di beberapa negara tahun 2007 – 2010.................
2
2. Langkah-langkah Pengembangan QSPM ...................................................
27
3. Sasaran Strategis Misi Pertama...................................................................
34
4. Sasaran Strategis Misi Kedua.....................................................................
35
5. Sasaran Strategis Misi Ketiga.....................................................................
35
6. Sasaran Strategis Misi Keempat................................................................... 35 7. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan...............................................
42
8. Distribusi Responden AHP.........................................................................
43
9. Distribusi Responden SWOT.......................................... ...........................
43
10. Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Tipologi Klasen.....................................
45
11. Nilai Skala Banding Berpasangan................................................................ 47 12. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal............................................................... 52 13. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal............................................................... 53 14. Matriks SWOT.............................................. .............................................. 53 15. Matriks Analisis QSPM................................................................................ 55 16. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008......
63
17. Potensi Sektor Pertanian di Kabupaten Bogor...........................................
65
18. Potensi Sektor Pertambangan di Kabupaten Bogor.......................................
66
19. Potensi Sektor Industri di Kabupaten Bogor.............................................
69
20. Nama Perusahaan di Kawasan Industri Sentul...........................................
70
21. Daftar Perusahaan di Kawasan Industri PT. CCIE....................................
71
22. Sektor Potensial (Analisis LQ) di Kabupaten Bogor tahun 2007 – 2009..............
73
23. PDRB Berdasarkan Harga Konstan per Wilayah......................................
73
24. Jumlah Belanja Modal Pemda Kabupaten Bogor.......................................
74
iii
25. PMDN & PMA Berdasarkan Analisis Tipologi Klasen Tahun 2008-2010................................................................... ............................... 77 26. Kontribusi Investasi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2010..............
77
27. Nilai Investasi Jawa Barat 2010 berdasarkan Sektor Usaha......................
79
28. Nilai Investasi PMA di Kabupaten Bogor.................................................
80
29. Nilai Investasi PMDN di Kabupaten Bogor..............................................
80
30. Urutan Prioritas Aktor yang Mempengaruhi Investasi..............................
82
31. Urutan Prioritas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi..................
83
32. Urutan Prioritas Sub Faktor Kelembagaan..............................................
84
33. Jenis Perizinan di Kabupaten Bogor...........................................................
87
34. Urutan Prioritas Sub Faktor Potensi Ekonomi..........................................
89
35. Urutan Prioritas Sub Faktor Ketenagakerjaan...........................................
93
36. Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2011........................................
94
37. Urutan Prioritas Sub Faktor Infrastruktur................................................
95
38. Kondisi Jalan Kabupaten Bogor..............................................................
97
39. Rasio Pelanggan PDAM tahun 2005 -2008........................ ......................
98
40. Jumlah Pegawai BPT Kabupaten Bogor Berdasarkan Pendidikan...........
104
41. Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE) Faktor Kelembagaan.................
113
42. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Faktor Kelembagaan.............
114
43. Perumusan Strategi dan Matriks SWOT..................................................... 115 44. Strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor.....................
iv
116
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Nilai investasi Kabupaten Sragen tahun 2002 – 2009.................................
2
2.
Defisit APBD Kabupaten Bogor Tahun 2005 -2010..................................
4
3.
PDRB berdasarkan penggunaan tahun 2007 Kabupaten Bogor..................
4
4.
Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2000-2008.........................
5
5.
Nilai PMA dan PMDN Kabupaten Bogor tahun 2000-2008.......................
6
6.
Vicious Circle sudut Permintaan.................................................................. 10
7.
Vicious Circle sudut Penawaran .................................................................. 10
8.
Teori Harord Domar dalam grafik............................................................... 12
9.
Daya Tarik Investasi Daerah dari KPPOD.................................................. 20
10. Faktor yang mempengaruhi iklim investasi................................................. 22 11. Proses Perencanaan Strategi.......................................................................
24
12. Proses Manajemen Strategi.........................................................................
25
13. Kerangka Analisis Proses Perumusan Strategi............................................ 23 14. Stakeholder menurut Tomsett...................................................................... 29 15. Strategi Peningkatan Investasi Kabupaten Bogor......................................
39
16. Kerangka Konseptual..................................................................................
41
17. Kerangka Kerja Analisis Perumusan Strategi Peningkatan Investasi.........
50
18. Peta Administratif Kabupaten Bogor.......................................................
56
19. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007........
58
20. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Kabupaten Bogor Tahun 2007. .................................................................................................. 59
21. Jumlah Penduduk Yang Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenjang Pendidikan. ................................................................................................... 59
22. Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2003-2008.......................
60
23. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2009..........
61
24. Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008............................................... 62 25. Perbandingan Belanja Kabupaten Bogor................................................................ 75 26. PDRB Berdasarkan Penggunaan Kabupaten Bogor............................................... 76 27. Perbandingan Luas Kawasan Industri di Jawa Barat.............................................. 78 vi
28. AHP Strategi Peningkatan Investasi di Kabupaten Bogor..................................... 81 29. Proses Perizinan Belum Paralel.............................................................................. 88 30. PDRB per Kapita Kab. Harga Konstan Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Bogor, dan Kab. Bekasi tahun 2006 – 2009.................................................
90
31. Struktur Perekonomian Kabupaten Bogor 2003-2008...............................
91
32. Data Penduduk Kabupaten Bogor menurut Lapangan Usaha....................
94
33. Rasio Panjang Jalan Per Jumlah Kendaraan Kabupaten Bogor.................
96
34. Jumlah Pelanggan PDAM Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2008.............
98
35. Jumlah Pelanggan PLN Tahun 2009......................................................
100
36. Strategi peningkatan investasi di Kabupaten Bogor.................................... 117
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding pertumbuhan rata-rata 1988-1997 yang mencapai 7,8 persen. Faktor rendahnya pertumbuhan ini salah satunya disebabkan rendahnya investasi swasta. Tingkat investasi swasta tak sampai separuh yaitu sebesar 8 persen sebelum krisis 1997. Padahal investasi swasta secara langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2009). Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, yakni melalui investasi yang didukung oleh produktivitas yang tinggi. Investasi akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Oleh karenanya, memperbaiki iklim investasi merupakan suatu tugas yang penting bagi setiap pemerintah, terutama negara-negara yang memiliki daya saing investasi yang rendah seperti Indonesia (KPPOD, 2005). Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi iklim investasi swasta di Indonesia dinilai masih belum membaik. Dari hasil survey lembaga internasional tersebut, memperlihatkan bahwa posisi peringkat daya saing investasi swasta Indonesia masih berada pada kelompok peringkat bawah dan selalu berada di bawah negara-negara di sekitar kita, seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Vietnam (Tabel 1). Peringkat ini juga tidak meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun setelah otonomi daerah. Hal ini menunjukkan seriusnya persoalan iklim investasi swasta di Indonesia yang harus segera disikapi. Perbaikan iklim investasi swasta bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, namun seluruh lapisan pemerintahan dan masyarakat secara umum,
agar
perekonomian
Indonesia
segera
pulih
dari
krisis
yang
berkepanjangan. Kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah
2
untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya (KPPOD, 2005). Tabel 1 Easy of Doing Business di beberapa negara tahun 2007 – 2010 Negara Singapura Malaysia Korea Selatan
2007 1 25 23
2008 1 24 30
2009 1 20 23
2010 1 23 19
Jepang Cina Thailand Indonesia Vietnam
11 93 18 135 104
12 83 15 123 91
12 83 13 129 92
15 89 12 122 93
Sumber : Doing Business 2007-2010
Salah satu daerah di Indonesia yang telah melakukan perbaikan iklim investasi adalah Kabupaten Sragen. Perbaikan yang dilakukan sejak tahun 2001 itu dengan melakukan reformasi birokrasi, pelayanan prima (excellent service), dan pemberdayaan masyarakat dan PNS. Hasil dari perbaikan iklim investasi tersebut mulai terlihat sejak tahun 2002 sampai dengan 2009, dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009 (Gambar 1), selain itu dampak kenaikan investasi adalah penyerapan tenaga kerja juga tinggi, dimana setiap tahun rata-rata Kabupaten Sragen mampu menciptakan lapangan kerja sekitar 40 ribu orang.
Juta Rupiah 1,600,000 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 ‐ 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009 Tahun
Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Sragen, 2009
Gambar 1 Nilai investasi Kabupaten Sragen tahun 2002 - 2009
3
Dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk lebih leluasa dalam menciptakan iklim investasi di daerahnya masing-masing, maka proses pengambilan kebijakan pembangunan yang sebelumnya lebih banyak dikendalikan oleh pemerintah pusat, selanjutnya menjadi lebih dekat dengan masyarakat di daerah. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui UU No.22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mengarahkan pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru dalam pelaksanaan sistem desentralisasi di bidang perekonomian, administrasi dan fiskal. Oleh karena itu pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi daerahnya sendiri dan menggali sumber dana yang ada dan potensial guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan warga masyarakatnya. Akibatnya mekanisme pembiayaan pelaksanaan otonomi daerah berubah yaitu diutamakan semaksimal mungkin berasal dari potensi penerimaan asli daerah baik melalui pajak daerah, retribusi daerah maupun dari laba BUMD dan penerimaan lain yang dianggap sah serta potensi penerimaan lain yang masih belum terjangkau oleh PAD. Selain itu sebagian besar proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan pemerintahan yang dulu ditangani dan dibiayai oleh pemerintah pusat sekarang akan menjadi beban pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah akan menanggung beban belanja atau pengeluaran yang jumlahnya besar. Beberapa daerah seperti Kabupaten Bogor terus mengalami defisit APBD dapat dilihat di Gambar 3, padahal tuntutan masyarakat terhadap penyediaan fasilitas atau sarana dan prasarana umum juga semakin meningkat. Jika dibandingkan dengan belanja pegawai sebesar 57,26 persen dari ABPD Kabupaten Bogor pada tahun 2010, maka belanja modal masih relatif kecil hanya sebesar 18,62 persen dari total APBD Kabupaten Bogor pada tahun 2010, ini mengakibatkan banyak public services yang merupakan pelayanan dasar masih relatif terbengkalai seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan dan pembangunan sekolah.
4 dalam rupiah h juta 500,000 07,631 40
400,000
387,901 1
300,000
324,045
200,000
121,053
103,103
100,000 77,,283
‐ 2005
2006
2 2007
200 08
2009 9
2010 Tahun
Sumber : Bapppeda Kabupateen Bogor, 2010
G Gambar 2 Defisit APBD D Kabupateen Bogor Taahun 2005 -22010 Jika diilihat dari PDRB berrdasarkan pengeluaran p n sebagai salah satu indikkator makroo ekonomi (Gambar 3), 3 pada ken nyataannyaa bahwa perrtumbuhan ekonnomi Kabuppaten Bogoor selama inni lebih did dorong olehh besarnyaa konsumsi rumaah tangga pada p tahun 2009 2 mencapai sebesaar 54 persenn, sementarra investasi (inveestasi swastta dan pemeerintah) hannya sebesar 25 persen dan d ekspor sebesar 15 perseen, dan disuusul oleh peengeluaran pemerintah h 5 persen, pengeluaran p n Lembaga Non Pemerintahh sebesar 1 persen, hal ini tidak mengalami m b banyak peruubahan dari tahunn 2006, paadahal pertuumbuhan yaang lebih banyak b didorong olehh konsumsi sangat rentan terrhadap inflaansi.
persen 60
Pengeluaran Ko onsumsi RT Pengeluaran Ko onsumsi Profit Leembaga Non P Pengeluaran Ko onsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Teetap Bruto Perubahan Sto ock
50 40 30 20 10 ‐ 2006 6
2007
2008
2009
Taahun
S Sumber : BPS Kabupaten K Bogor, 2010
Gaambar 3 PD DRB berdasaarkan pengggunaan Kab bupaten Boggor tahun 20006-2009
5
Indikator makro lain yang cukup mengkhawatirkan adalah makin tingginya pengangguran di Kabupaten Bogor, hal ini bisa dilihat Gambar 4, pada tahun 2003 jumlah pengangguran 230.834 orang menjadi bertambah dua kali lipat pada tahun 2008 yaitu sebesar 598.230 orang. Makin tingginya pengangguran bisa menjadi indikasi bahwa kurangnya penciptaan lapangan kerja, tentunya ini merupakan akibat menurunnya investasi yang dilakukan di Kabupaten Bogor.
Jumlah orang 700,000
598,032
600,000 500,000
459,197
400,000 300,000
230,834
194,902
200,000 204,858
100,000
193,244
‐ 2003
2004
2005
2006
2007
2008 Tahun
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2009
Gambar 4 Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2000-2008 Investasi merupakan sumber pertumbuhan output daerah yang relatif lebih berkelanjutan
dibandingkan pengeluaran konsumsi karena mencakup
aktivitas-aktivitas sektor swasta yang cukup produktif (Widodo, 2006). Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi juga mampu mengurangi kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja (Bank Dunia, 2005). Investasi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi maupun pembiayaan daerah dibalik kesulitan pemerintah daerah Kabupaten Bogor membiayai pengeluarannya dari penerimaan daerah, oleh karena itu menjadi penting mengkaji “Bagaimana strategi meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor?”
6
1.2. Perumusan Masalah Pada tahun 2007 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan penurunan yaitu dari 6,05 persen, menjadi 5,58 persen pada tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah Pembentukan Modal Tetap (PMTB) selama tahun 2008 lebih banyak terjadi pada sektor tersier (24,60 persen) dan sektor primer (12,64%) dengan volume investasi yang relatif kecil dibandingkan dengan volume investasi di sektor sekunder sebesar 57,66 persen (Laporan Akhir Kabupaten Bogor, 2009). Baik PMDN dan PMA di Kabupaten Bogor memiliki pola yang sama yaitu pada saat PMA menurun maka PMDN juga ikut turun, begitu sebaliknya pada saat PMA naik maka PMDN juga ikut naik.. Hal tersebut mengindikasikan bahwa investor asing dan domestik mempunyai ekspektasi yang sama terhadap iklim investasi di Kabupaten Bogor. Ada kecenderungan bahwa nilai investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 berfluktuasi
(Gambar 5). Padahal proses akumulasi dan
mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan (Kuncoro, 2004).
10000 Milyar Rupiah 9000 8000 7000 6000
Total Investasi
5000
PMDN
4000
PMA
3000 2000 1000 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, 2003-2010.
Gambar 5 Nilai PMA dan PMDN Kabupaten Bogor tahun 2003-2010
7
Penurunan investasi ini berakibat pada makin sulitnya pemerintah daerah Kabupaten
Bogor
menciptakan
lapangan
pekerjaan
dan
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Sementara jika melihat Kabupaten Sragen sebagai pembanding, investasinya cenderung mempunyai grafik yang meningkat dimana terjadi kenaikan investasi yang sangat signifikan dari 592 milyar pada tahun 2002 menjadi 1,35 trilyun pada tahun 2009
(110 persen) walaupun secara nilai
investasi Kabupaten Sragen masih jauh dibawah Kabupaten Bogor. Relatif berfluktuasinya perkembangan investasi mencerminkan masih belum membaiknya pemanfaatan potensi ekonomi dan iklim investasi di Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut menjadi pertanyaan spesifik pertama dalam kajian ini yaitu Bagaimana potensi ekonomi dan perkembangan investasi swasta baik PMA maupun PMDN di Kabupaten Bogor? Untuk menarik investasi swasta, baik domestik maupun luar negeri melalui Penanaman Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal Luar Negeri,
pemerintah
daerah
harus
memperhatikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi ekpektasi investor (Widodo, 2007). Oleh karena itu tantangan yang dihadapi di masa yang akan datang adalah bagaimana meningkatkan iklim investasi Kabupaten Bogor yang dapat menarik investasi swasta, sehingga pertanyaan perumusan masalah yang kedua adalah Seberapa besar
tingkat
kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor? Gambaran kondisi investasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor sangat dibutuhkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor dalam merencanakan pembangunan ekonomi yang tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi tapi juga menciptakan lapangan kerja, terutama di era desentralisasi saat ini. Di era ini pemerintah kabupaten/kota diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mendapatkan investasi swasta yang dapat
menciptakan lapangan pekerjaan dan juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya Kabupaten Bogor. Dari rumusan permasalahan kedua di atas akan diperoleh suatu model yang berguna dalam penentuan strategi peningkatan investasi swasta swasta, sehingga rumusan permasalahan terakhir adalah “Strategi apa yang diperlukan untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor?
8
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian Melalui pendalaman pembahasan perkembangan investasi swasta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka dari hasil kajian diharapkan akan tercapai tujuan-tujuan antara lain: 1. Menganalisis kondisi perkembangan investasi swasta di Kabupaten Bogor. 2. Menyusun tingkat kepentingan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi swasta di Kabupaten Bogor. 3. Memformulasikan program bagi Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini meliputi dua hal pokok yaitu: 1. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan investasi swasta Kabupaten Bogor dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah. 2. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Kabupaten Bogor dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan investasi swasta.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
2.1. Definisi Investasi Investasi merupakan faktor paling penting dan strategis di dalam proses pembangunan ekonomi. Investasi bahkan disebut sebagai kunci utama menuju pembangunan ekonomi. Sekali proses ini berjalan, ia akan senantiasa menggumpal dan menghidupi dirinya sendiri. Proses ini berjalan melewati 3 tingkatan (1) kenaikan volume tabungan nyata yang tergantung pada kemauan dan kemampuan untuk menabung;(2) keberadaan lembaga kredit dan keuangan untuk menggalakan dan menyalurkan tabungan agar dapat dialihkan menjadi dana yang dapat diinvestasi swastakan; (3) penggunaan tabungan untuk tujuan investasi swasta dalam barang-barang modal pada perusahaan. Pembentukan modal juga berarti pembentukan keahlian karena keahlian kerapkali berkembang sebagai akibat pembetukan modal (Jhingan, 2007). Investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa depan. Dengan kata lain, investasi
berarti
kegiatan
perbelanjaan
untuk
meningkatkan
kapasitas
memproduksi suatu perekonomian (Sukirno, 2006).
2.2. Peranan Investasi 2.2.1. Model Vicious Circle Profesor Nurkse mengatakan bahwa lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) pada pokoknya berasal dari fakta bahwa produktivitas total di negara terbelakang sangat rendah sebagai akibat kekurangan modal, pasar yang tidak sempurna, dan keterbelakangan perekonomian. Lingkaran setan tersebut kalau dilihat dari sudut permintaan adalah rendahnya tingkat pendapatan nyata yang menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah, sehingga pada gilirannya tingkat investasi pun
10
rendah. Tingkat investasi yang rendah kembali menyebabkan modal kurang dan produktivitas rendah (Gambar 6). Produktivitas rendah tercermin di dalam pendapatan yang rendah. Pendapatan nyata rendah berarti tingkat tabungan juga rendah. Tingkat tabungan yang rendah menyebabkan tingkat investasi rendah dan modal kurang. Kekurangan modal pada gilirannya bermuara pada produktivitas yang rendah. Dengan demikian lingkatan setan itu lengkaplah pula kalau dilihat dari sudut penawaran. Lingkaran ini dilukiskan di dalam Gambar 7, tingkat pendapatan rendah, yang mencerminkan rendahnya investasi dan kurangnya modal merupakan ciri umum kedua lingkaran tersebut (Jhingan, 2007). Produktivitas Rendah
Kurang Modal
Produktivitas Rendah
Pendapatan Rendah
Investasi Rendah
Permintaan Rendah
Gambar 6 Vicious Circle Permintaan
Kurang Modal
Investasi Rendah
Pendapatan Rendah
Tabungan Rendah
Gambar 7 Vicious Circle Penawaran
2.2.2. Model Keynesian Permintaan efektif menentukan keseimbangan pekerjaan dan pendapatan. Permintaan efektif ditentukan pada titik saat harga permintaan agregat sama dengan penawaran agregat. Permintaan efektif terdiri atas permintaan konsumsi dan permintaan investasi. Volume investasi tergantung pada efisiensi marginal dari modal dan suku bunga. Efisiensi marginal modal merupakan tingkat hasil yang diharapkan dari aktiva modal baru. Sedangkan suku bunga yang merupakan faktor kedua dari investasi tergantung pada kuantitas. Naiknya kecenderungan berkonsumsi dapat mengakibatkan kenaikan pada pekerjaan tanpa kenaikan pada investasi. Kenaikan investasi menyebabkan naiknya pendapatan, dan karena pendapatan meningkat, muncul permintaan yang lebih banyak atas barang konsumsi yang pada gilirannya menyebabkan kenaikan berikutnya pada
11
pendapatan dan pekerjaan. Akibatnya kenaikan tertentu pada investasi menyebabkan kenaikan yang berlipat pada pendapatan melalui kecenderungan berkonsumsi. Hubungan antara kenaikan investasi dan pendapatan ini oleh Keynes disebut multiplier K pengali. Rumusnya adalah : ∆Y = K. ∆I dan 1 –
K
mewakili kecenderungan marginal
mengkonsumsi. Jadi K =
MPC
2.2.3. Model Harrod-Domar Harrod dan Domar memberikan peranan kunci kepada invetasi di dalam proses perrtumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki investasi. Pertama, ia menciptakan pendapatan, dan kedua, ia memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat disebut sebagai “dampak permintaan” dan yang kedua “dampak penawaran” (Sukirno, 2007). Domar membangun modelnya di sekitar pertanyaan ‘karena investasi di satu pihak menghasilkan pendapatan dan di pihak lain menaikan kapasitas produktif, maka pada laju berapakah investasi harus meningkat agar kenaikan pendapatan sama dengan kenaikan di dalam kapasitas produktif, sehingga pekerjaan penuh dapat dipertahankan?. Domar menjawab pertanyaan ini dengan mempererat kaitan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat melalui investasi. Domar menjelaskan sisi penawaran tersebut sebagai berikut jika I adalah laju investasi tahunan dan s adalah kapasitas produksi tahunan per dolar modal yang baru ditanam rata-rata (yang menggambarkan rasio kenaikan pendapatan nyata atau output terhadap kenaikan modal output marginal). Jadi kapasitas produktif dolar I yang diinvestasikan adalah I.s dollar per tahun. Tetapi sebagian investasi baru akan mengorbankan investasi lama, karena itu investasi baru akan bersaing dengan investasi lama di pasar tenaga buruh dan faktor-faktor lain. Sehingga kenaikan output tahunan dari perekonomia akan
12
sedikit lebih kecil daripada I.s. hal ini dapat dinyatakan dengan Iσ, dimana σ menggambarkan potensi netto produktivitas rata-rata soaial dari investasi (=∆Y/I). Oleh karena itu Iσ lebih kecil dari I.s. Sedangkan sisi permintaan dijelaskan dengan multiplier Keynesian. Misalkan kenaikan rata-rata pendapatan kita nyatakan dengan ∆Y, dana kenaikan dalam investasi dengan ∆I dan kecenderungan menabung dengan α (=∆ /∆Y). Maka kenaikan pendapatan itu akan sama dengan multiplaktor (1/α) kali kenaikan dalam investasi. ∆Y = ∆I Untuk mempertahankan tingkat ekulibrium pendapatan pada pekerjaan penuh, permintaan agregat harus sama dengan penawaran agregat, maka persamaan dasar modelnya adalah : ∆I = Iσ Dengan membagi kedua ruas persamaan dengan I dan mengalikannya dengan α akan didapatkan sebagai berikut : ∆I I
= ασ
Persamaan ini menunjukan bahwa untuk mempertahankan pekerjaan penuh laju pertumbuhan investasi autonomous netto (∆I/I) harus sama dengan ασ (MPS kali produktivitas modal). Inilah batas kecepatan laju investasi yang diperlukan untuk menjamin penggunaan kapasitas potensial dalam rangka mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang mantap pada pekerjaan penuh. S,I
S
I + ∆I
∆I
I
S0 0
Ys0 = Y0
Ys1
Sumber : Ekonomi Pembangunan, 2007
Gambar 8 Teori Investasi Harord Domar dalam Grafik
Y
13
Menurut Harord–Domar penananaman modal sebesar I menyebabkan pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal bertambah sebesar ∆Ys = ∆I. Di dalam Gambar 8 kenaikan tersebut berarti kenaikan kapasitas barangbarang modal dari Ys0 menjadi Ys1. Supaya kapasitas barang-barang modal yang telah menjadi Ys1 tersebut sepenuhnya digunakan, penanaman modal dalam tahun tersebut harus mencapai I + ∆I (Sukirno, 2007). Dari ketiga teori tersebut diatas, dapat diambil sebuah konklusi bahwa peranan investasi sangat besar dalam mempengaruhi perekonomian suatu daerah, dampak dari investasi tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut yaitu produktivitas (sudut penawaran) tapi juga sisi permintaan yaitu menciptakan pendapatan bahkan menciptakan lapangan kerja, sehingga bisa dikatakan juga bahwa investasi mempunyai multiplier yang bisa membuat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
2.3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap investasi 2.3.1. Komisi Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Dalam perpektif pengusaha nasional dan para pengamat ekonomi, sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang dijadikan indikator daya tarik daerah terhadap investasi lihat Gambar 9, yaitu : kelembagaan, keamanan politik sosial dan budaya, potensi ekonomi daerah, tenaga kerja, dan infrastruktur (KPPOD, 2004). 1. Kelembagaan Kelembagaan, mencakup kapasitas pemerintah dalam menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam hal perumusan kebijakan, pelayanan publik, kepastian dan penegakan hukum, serta pembangunan daerah. Dalam Keamanan penelitian ini, faktor kelembagaan terbagi dalam 4 (empat) variabel, yaitu : a. Kepastian Hukum Yang dimaksud dengan kepastian hukum disini adalah adanya konsistensi peraturan dan penegakan hukum di daerah. Konsistensi peraturan ditunjukkan dengan adanya peraturan yang dapat dijadikan pedoman untuk suatu jangka waktu yang cukup, sehingga tidak terkesan setiap pergantian
14
pejabat selalu diikuti pergantian peraturan yang bisa saling bertentangan. Sedangkan penegakan hukum dilihat dari kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan peraturan dan keputusan sesuai dengan peraturan tanpa membedakan subyek hukum. Termasuk dalam variabel kepastian hukum adalah keberadaan pungutan liar diluar birokrasi yang dapat terjadi baik di jalur distribusi maupun tempat produksi. Indikator lain dalam variabel ini adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. Bilamana hubungan kedua unsur pemerintahan itu terjalin baik maka akan kondusif bagi kepastian hukum dalam pengertian luas (dalam praktik dunia usaha, aturan formal bisa terabaikan ketika terjadi perselisihan antar kedua unsur pemerintahan tersebut yang berimbas ke dunia usaha). b. Aparatur dan Pelayanan Yang dimaksud dengan aparatur di sini adalah orang/pejabat atau pegawai pemerintah daerah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintah daerah, yaitu menyediakan pelayanan publik, infrastruktur fisik, serta merumuskan peraturan berupa aturan main dari aktivitas dunia usaha dan investasi. Indikator aparatur pemda dalam pemeringkatan ini adalah penggunaan wewenang aparat pemda dalam menjalankan peraturan. Sedangkan dari sisi pelayanan yang diberikan aparatur pemda dilihat kejelasan rantai birokrasi dalam hal pengurusan perizinan dan halhal lain terkait dengan dunia usaha serta perilaku aparat pemda dalam melakukan pelayanan. c. Kebijakan Daerah / Peraturan Daerah Pada prinsipnya peraturan/kebijakan daerah adalah kerangka acuan / aturan main secara formal yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam mengatur aktivitas dunia usaha dan investasi. Kebijakan Daerah dapat berupa Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah (SK Bupati/Walikota) yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi Daerah, prosedur pelayanan kepada masyarakat, perizinan, dan lain-lain. Perda yang mengatur mengenai prosedur pelayanan terhadap dunia usaha/investasi yang menarik para investor antara lain yang memberikan kemudahan dalam
15
birokrasi pelayanan usaha, konsistensi kebijakan, harmonisasi antar produk hukum, tidak adanya hambatan-hambatan birokrasi dan sebagainya. Peraturan yang memuat pungutan yang baik semestinya tidak hanya sekedar ditujukan untuk peningkatan PAD tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip ekonomi,
filosofi
pungutan
dan
dampak
terhadap
perekonomian
berkelanjutan. Pelanggaran atas prinsip-prinsip tersebut merupakan distrorsi bagi kegiatan usaha dan investasi. Distorsi dari pungutan tersebut bisa terjadi pada harga komoditas, hambatan lalu lintas perdagangan antar daerah, biaya produksi, ekonomi biaya tinggi akibat pungutan berganda atau yang melampaui kewajaran, dan sebagainya.
d. Keuangan Daerah Yang dimaksud Keuangan Daerah dalam penelitian ini adalah kebijakan, strategi, dan teknik yang diterapkan oleh pemerintah daerah dalam upaya untuk memperoleh dana, serta pembelanjaan atau pengalokasian dana-dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fungsi atau
tugas
pemerintahan
yang
diemban
oleh
pemda
(pelayanan,
pembangunan, dan lain-lain). Kebijakan pemerintah daerah dalam menggali dana dan mengelola dana yang telah mereka peroleh untuk peningkatan perekonomian daerahnya tersebut tertuang dalam APBD. Variabel keuangan daerah ini
dikelompokkan menjadi dua, yaitu struktur pungutan, dan
komitment pemda dalam pembangunan. Struktur pungutan digunakan untuk melihat upaya pemerintah daerah dalam memperoleh dana yang berasal dari pungutan yang dilakukan kepada masyarakat, seperti melalui pajak dan retribusi daerah serta pungutan lainnya. Dalam penelitian ini dilihat rasio antara retribusi terhadap pajak daerah, dengan asumsi bahwa rasio retribusi yang lebih kecil dari pajak akan mendukung dunia usaha, karena pada umumnya struktur pungutan dalam pajak relatif lebih jelas dibanding pungutan dalam retribusi. Sementara struktur pembelanjaan APBD digunakan untuk melihat komitmen pemerintah daerah dalam melakukan pelayanan publik. Rasio anggaran pembangunan terhadap pengeluaran daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan yang merupakan
16
indikasi komitmen pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha, dan mendorong perekonomian daerah.
2. Keamanan, Sosial, Politik dan Budaya Yang dimaksud dengan kondisi sosial politik daerah adalah berbagai dampak atau akibat dari hubungan timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi hukum dan segi kehidupan agama, segi kehidupan politik dan keamanan dan sebagainya. Kelompok variabel ini digunkan untuk mengukur seberapa kondusif aspek sosial, politik, keamanan, dan budaya dalam mendukung perekonomian daerah dan daya tarik investasi daerah. a. Keamanan
Kondisi
keamanan
merupakan
situasi
keamanan
di
daerah
yang
mempengaruhi kegiatan usaha/investasi, yang dapat mendukung atau menghambat aktivitas usaha/investasi dan jaminan keselamatan jiwa maupun harta. Kondisi keamanan dapat diukur dari rasa aman dan tingkat gangguan keamanan terhadap dunia usaha maupun terhadap lingkungan masyarakat tempat usaha, serta kecepatan aparat dalam menanggulangi gangguan keamanan. b. Sosial Politik
Kondisi sosial politik adalah keadaan di daerah yang merupakan hasil relasi antar pranata-pranata dalam satu sistem sosial di daerah, baik antar pranata politik dan pemerintahan, antar pranata sosial di masyarakat, maupun antar pranata formal dalam pemerintahan maupun antara elemen-elemen masyarakat. Beberapa aspek yang membentuk kondisi sosial politik daerah diantaranya adalah: keterbukaan birokrasi terhadap partisipasi dunia usaha dalam perumusan kebijakan yang menyangkut kepentingannya, konflik sosial antar kelompok masyarakat, stabilitas politik, dan kegiatan unjuk rasa.
17 c. Budaya Masyarakat
Budaya merupakan seperangkat ide atau gagasan yang dimiliki oleh sekelompok orang dalam wilayah tertentu, yang mendasari atau mengilhami perilaku atau tindakan orang, baik secara individu maupun kolektif dari anggota kelompok tersebut. Yang diperlukan oleh investor yang akan masuk ke suatu daerah adalah nilai-nilai budaya masyarakat yang terbuka terhadap masuknya dunia usaha, adanya kondisi dimana masyarakat tidak antipati terhadap
suatu
investasi
usaha.
Selain
keterbukaan,
perilaku
nondiskriminatif dari masyarakat setempat dengan perlakuan yang sama kepada semua orang tanpa membedakan asal usul, ras, agama, gender dalam kegiatan di setiap sektor. Etos kerja masyarakat, dalam pengertian kemauan kerja keras, persaingan untuk berprestasi, jujur dan mau/mudah untuk dibina; juga menjadi pertimbangan investor untuk membuka usaha di suatu daerah. Bila masyarakat setempat mempunyai etos kerja yang baik maka akan memudahkan investor dalam rekrutmen pekerja tanpa harus mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah tersebut. Hal lain yang juga dipertimbangkan oleh investor adalah adat istiadat, khususnya adat istiadat masyarakat setempat yang tidak mengganggu produktivitas usaha.
3. Ekonomi Daerah Merupakan
ukuran
kinerja
sistem
ekonomi
daerah
secara
makro.
Perekonomian daerah mencakup beberapa hal, antara lain variabel utama makro ekonomi (seperti total outpu/ PDRB, tingkat harga, dan kesempatan kerja) yang membentuk struktur ekonomi daerah. Perekonomian daerah digunakan untuk mengukur daya dukung potensi ekonomi, (ketersediaan sumber daya alam, dan lain-lain), serta struktur ekonomi terhadap kegiatan usaha/investasi. a. Potensi Ekonomi
Potensi ekonomi daerah : mencakup potensi fisik dan non fisik suatu daerah/wilayah seperti penduduk/manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya sosial. Faktor penduduk yang dianalisis dalam kaitannya dengan daya tarik investasi daerah pertama adalah kemampuan
18
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dilihat dari PDRB perkapita. PDRB perkapita merupakan nilai PDRB atas dasar harga berlaku dibagi jumlah penduduk di suatu daerah. Kedua, potensi ekonomi dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi, yaitu rata-rata pertumbuhan nilai PDRB atas dasar harga konstan dari suatu periode/tahun terhadap periode/tahun sebelumnya. Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan sebagai identifikasi potensi ekonomi yang menggambarkan kemampuan masyarakat setempat dalam cakupan yang luas. b. Struktur Ekonomi
Nilai tambah bruto seluruh sektor kegiatan ekonomi yang terjadi di suatu daerah,
digunakan
untuk
melihat
struktur
ekonomi
daerah
yang
bersangkutan. Basis struktur perekonomian terlihat dari kontribusi sektorsektor ekonomi tertentu terhadap nilai bruto seluruh sektor yang ada di daerah tersebut (nilai tambah sektoral). Berdasarkan kontribusi sektoral tersebut dapat dilihat apakah struktur ekonomi daerah yang bersangkutan berbasis sumber daya alam (primer), sudah terbiasa dalam kegiatan ekonomi produktif dan industrialisasi (sekunder), dan pada perdagangan, jasa, dan perbankan (tersier). Indikator-indikator struktur ekonomi tersebut penting bagi investor untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang telah berkembang di daerah yang bersangkutan.
4. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam pembentukan nilai tambah suatu kegiatan ekonomi. Selain itu pekerja yang merupakan sumber daya manusia adalah komponen utama dari pembangunan karena pelaku utama pembangunan adalah manusia. Untuk melihat gambaran tentang berapa besar nilai tambah suatu kegiatan ekonomi yang diberikan oleh setiap pekerja pada suatu kegiatan ekonomi dapat dilihat dengan menghitung produktivitas tenaga kerja. Beberapa hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan yang dapat mempengaruhi daya tarik terhadap investasi adalah :
19
a. Ketersediaan Tenaga Kerja Untuk kegiatan investasi/usaha diperlukan adanya tenaga kerja yang cukup tersedia,
baik
yang
belum
berpengalaman
maupun
yang
sudah
berpengalaman. Tenaga kerja tersebut dapat diperoleh dari daerah yang bersangkutan atau dengan mendatangkan dari daerah lain. Ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sebuah kegiatan usaha dilihat dari rasio jumlah penduduk usia produktif; rasio pencari kerja terhadap angkatan kerja; maupun tenaga kerja dengan basis pendidikan minimal SLTP yang sudah memiliki pengelaman kerja. b. Biaya Tenaga Kerja Yaitu tingkat kompensasi untuk pekerja secara keseluruhan sebagai biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha, yang biasanya merupakan upah atau gaji untuk pekerjanya. Pedoman normatif
pengupahan yang ditetapkan
pemerintah UMP/UMK menjadi faktor penting bagi pengusaha dalam mengkalkulasi bisnisnya. Selain panduan normatif yang ada, investor juga membutuhkan ‘pasar ’ upah yang berlaku di daerah yang bersangkutan berupa upah yang sebenarnya diterima oleh para pekerja yang mungkin bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari UMP/UMK; asumsinya semakin kecil upah menjadi semakin menarik bagi investor. c. Produktivitas Tenaga Kerja Produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu indikator ketenagakerjaan yang dikaitkan dengan faktor
ekonomi. Secara makro hanya dapat
diperoleh produktivitas rata-rata pada sektorsektor ekonomi agregatif, bukan besarnya produksi barang dan jasa tetapi besarnya pertumbuhan ekonomi (PDRB). Produktivitas diukur berdasarkan besarnya PDRB di sektor tertentu dibagi dengan jumlah pekerja di sektor tersebut. Metode ini banyak kelemahan dan kurang akurat, namun demikian cara pengukuran seperti ini masih
memadai
kesempatan kerja.
untuk
menunjukkan
kecenderungan
produktivitas
20
5. Infrastruktur Fisik Yang dimaksud dengan infrastruktur fisik adalah berbagai instalasi dan kemudahan dasar (terutama sistem transportasi, komunikasi, dan listrik), yang diperlukan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitas perdagangan dan kelancaran pergerakan orang, barang, dan jasa dari satu daerah ke daerah lain atau ke negara lain dalam suatu kegiatan usaha. Faktor infrastruktur fisik untuk penelitian ini dibagi menjadi dua variabel yaitu : a. Ketersediaan Infrastruktur Fisik
Untuk kelancaran kegiatan usaha perlu didukung oleh ketersediaan infrastruktur fisik seperti jalan raya, kereta api, pelabuhan laut dan udara, sarana komunikasi (telpon), dan sumber energi (listrik). b. Kualitas dan Akses terhadap Infrastruktur Fisik
Infrastruktur fisik yang tersedia belum tentu menjamin kelancaran kegiatan usaha. Untuk itu
infrastruktur yang tersedia juga harus berada dalam
kondisi baik. Kualitas infrastuktur selain memperlihatkan kondisi fisiknya yang siap dan layak untuk digunakan, juga ditunjukkan dengan kemudahan akses terhadap infrastruktur yang ada.
Sumber : KPPOD 2005
Gambar 9 Daya Tarik Investasi KPPOD
21
2.3.2. Bank Dunia Dalam Laporan Pembangunan 2005, Bank Dunia lebih menekankan agar pemerintah memperbaiki kinerjanya dalam membangun fondasi dasar dari suatu iklim investasi yang baik melalui beberapa hal sebagai berikut (Gambar 10) : 1. Stabilitas dan kepastian hak Iklim investasi yang baik membutuhkan stabilitas ekonomi makro yang memadai sebelum kebijakan-kebijakan ekonomi mikro dapat memperoleh pijakan yang cukup besar. Tingkat inflasi yang rendah, defisit anggaran yang dipertahankan dan nilai tukar yang realistis kesemuanya merupakan hal-hal kunci. Selain itu pemerintah juga harus fokus dengan memperkuat keamanan dari hakhak atas properti yaitu melakukan verifikasi hak-hak atas tanah dan bentuk properti lainnya, memfasilitasi pelaksanaan kepatuhan terhadap kontrak atau perjanjian, mengurangi tingkat kriminalitas, dan mengakhiri pengambilalihan properti tanpa kompensasi. 2. Peraturan dan Perpajakan Cara-cara pemerintah dalam mengatur dan menerapkan perpajakan terhadap perusahaan-perusahaan dan transaksi-transaksi baik di dalam perbatasan maupun pada garis perbatasannya memainkan suatu peran yang besar dalam membentuk iklim investasi. Peraturan-peraturan yang baik ditujukan untuk mengatasi kegagalan-kegagalan pasar yang menghambat investasi produktif dan menyatukan kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. 3. Pendanaan dan Infrastruktur Pasar finasial apabila berfungsi dengan baik akan menghubungkan perusahaan dengan para pemberi pinjaman dan investor yang bersedia mendanai usaha-usaha mereka serta membagi sebagian dari resiko yang ada. Infrastruktur yang baik akan menghubungkan perusahaan-perusahaan dengan para konsumen dan pemasoknya serta membantu mereka untuk memanfaatkan teknik-teknik produksi modern.
22
4. Para Pekerja dan Pasar Tenaga Kerja Pemerintahan-pemerintahan di seluruh dunia memiliki tujuan yang sama untuk dapat menyediakan pekerjaan yang lenih banyak dan lebih baik bagi warganya. Pekerjaan adalah sumber utama pendapatan bagi masyarakat dan jalan utama bagi masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan. Merancang suatu iklim investasi yang memberikan perusahaan-perusahaan kesempatan dan insentif untuk berkembang adalah hal yang mendasar guna menjawab tantangan tersebut. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pasar tenaga kerja memainkan suatu peranan penting dalam upaya-upaya tersebut dengan membantun menghubungkan masyarakat dengan pekerjaan.
Sumber : Laporan Pembangunan Bank Dunia 2005
Gambar 10 Faktor yang mempengaruhi iklim investasi Secara subtansi baik penelitian KPPOD dan Bank Dunia tidak terdapat perbedaaan yang signifikan, namun Bank Dunia lebih menekankan pada perlunya perbaikan iklim investasi oleh suatu pemerintahan. Perbaikan iklim investasi itu sendiri menurut Bank Dunia yang akan memicu datangnya investasi ke suatu daerah. Jadi Bank Dunia menilai bahwa seluruh faktor perbaikan iklim investasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara KPPOD menyoroti investasi lebih detil lagi tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga faktor non ekonomi.
23
2.4. Manajemen Strategis Manajemen dirumuskan sebagai seni untuk menciptakan tujuan melalui usaha-usaha orang lain. Fungsi pokok manajemen adalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Sesungguhnya berbagai kegiatan manusia menghendaki berbagai bentuk manajemen. Semakin kompleks kegiatan manusia, maka semakin kompleks jugalah tugas manajemen (Soesilo, 2002). Menurut Einsiedel, strategi berasal dari kata latin strategia (kantor dari Jenderal), dapat juga dinggap berasal dari kara Perancis strategos yang artinya adalah seni memperalat atau mempekerjakan tindakan-tindakan atau “strategems” menuju ke arah sebuah tujuan (Soesilo, 2002). Henry Mintzberg dengan pendekatan yang baru mengatakan bahwa strategi adalah sebuah pola dalam sebuah arus pengambilan keputusan atau tindakan. Dalam hal ini Mintzberg membedakan antara strategi yang direncanakan semula (deliberate strategy) yang mengutamakan kontrol dengan strategi yang muncul kemudian (emergent strategy) yang merupakan suatu proses belajar. Menurut Setiawan Hari Purnomo, manajemen strategis (Soesilo, 2002) adalah : • Merupakan proses • Berkesinambungan • Dapat dimodifikasi agar tujuan tercapai. Perencanaan strategis model Menon et al. (1999) menjelaskan bahwa pengembangan strategi merupakan proses interkatif yang dibangun dengan latar belakang
organisasi
yang
memberikan
keunikan
suatu
strategi.
Pola
pengembangan strategi tercermin dari keluasan ruang gerak organisasional untuk bereksperimen dengan budaya inovasi yang luas. Apapun corak organisasi yang ada, beberapa prose baku telah dikembangkan sebagai prasyarat pengembangan strategi harus berangkat dari adanya analisis siatuasi yang relevan dan komprehensif, dengan mempertimbangkan berbagai sumber daya dan kapalitas yang ada dalam organisasi, melalui sebuah proses integrasi lintas fungsi dan lintas bidang yang dapat menghasilkan sinergi proses yang baikdidukung kesiaan berkomitmen yang baik dan positif. Proses tersebut akan menghasilkan strategi kreatif yang akan mempunyai potensi dalam peningkatan kerja (lihat Gambar 11).
24
Gambar 11 Proses Perencanaan Strategi Manajemen
strategis
dapat
didefinisikan
sebagai
ilmu
tentang
perumusan, pelaksanaan, evaluasi keputusan-keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya. Sebagaimana tersirat dari definisi tersebut, manajemen
strategis terfokus pada upaya memadukan manajamen,
pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta sistemn informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi (David, 2004). Proses manajamen strategis terdiri dari tiga tahap (Gambar 12), yaitu perumusan strategi, pelaksanaan strategi, dan evaluasi strategi. Perumusan strategi mencakup kegiatan mengembangkan misi dan visi organisasi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, menentukan kekuatan kelemhan internal organisasi, menetapkan tujuan jangka panjang organisasi, membuat sejumlah strategi alternatif untuk organisasi, dan memilih strategi tertentu untuk digunakan.
Pelaksanaan strategi mengharuskan perusahaan
menetapkan sasaran tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga perumusan strategi dapat dilaksanakan. Sedangkan evaluasi
strategi adalah tahap akhir dalam manajemen strategis,
dimana para manajer harus benar-benar mengetahui alasan strategi-strategi tertentu tidak dapat dilaksakan dengan baik (David, 2004).
25
Sumber : Manajemen Strategi, Fred David
Gambar 12 Proses Manajemen Strategi (David, 2004) Proses perumusan strategi dilakukan dengan melalui tiga tahap analisis, yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan tahap keputusan. Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif, terstruktur maupun tidak terstruktur, sehingga dapat diambil keputusan yang signifikan dengan kondisi yang ada. Kerangka kerja analisis perumusan strategi tertera pada Gambar 13 (David, 2004) yaitu : 1. Tahap Masukan Tahap masukan merupakan tahap yang membantu perencana strategi menuliskan berbagai penilaian atau asumsi secara kuantitaif pada tahap awal proses perumusan strategi. Membuat keputusan-keputusan kecil dalam matriks masukan mengenai pentingnya faktor-faktor eksternal dan internal membantu perencana strategi membuat dan mengevaluasi strategi-strategi alternatif secara lebih efektif dengan Matriks Evaluasi Faktor Eksternal, Matriks Evaluasi Faktor
26
Internal dan Matrik Kompetitif/Persaingan. Penilaian intuitif yang baik selalu diperlukan dalam menentukan pembobotan dan pemeringkatan yang tepat.
Gambar 13 Kerangka Analisis Proses Perumusan Strategi 2. Tahap Pencocokan Strategi kadang-kadang didefinisikan sebagai upaya memadukan sumber daya dan keterampilan internal dengan peluang dan risiko yang diciptakan oleh faktor-faktor eksternal. Tahap pencocokan dari kerangka perumusan strategi dapat menggunakan matriks (IE), Matriks SWOT, Matriks SPACE, Matriks BCG, Matriks Grand Strategy. Perangkat-perangkat
ini tergantung pada
informasi yang diperoleh dari tahap masukan untuk mencocokan peluang dan ancaman eksternal
dengan kekuatan dan kelemahan internal. Mencocokan
faktor-faktor keberhasilan eksternal dan internal merupakan kunci untuk membuat strateggi alternatif yang dapat dijalankan. Matriks IE didasarkan pada dua dimensi kunci yaitu total nilai IFE yang diberi bobot pada sumbu x dan total nilai EFE yang diberi bobot pada sumbu y. 3. Tahap Keputusan Selain membuat peringkat strategi untuk memperoleh daftar prioritas, hanya ada satu teknik analitis dalam literature yang dirancang untuk menetapkan daya tarik relatif dari tindakan alternative yang dapat dijalankan. Teknik tersebut adalah Quantitative Strategy Planning Matrix (QSPM) yang merupakan tahap keputusan dari kerangka analisis perumusan strategi. Teknik tersebut secara
27
objektif
menunjukkan
strategi alternative
yang
paling
baik.
QSPM
menggunakan masukan dari analisis Tahap 1 dan hasil-hasil pencocokan dari analisis Tahap 2 untuk memutuskan secara objektif strategi alternatif yang dapat dijalankan. QSPM adalah alat yang membuat para perencana strategis dapat menilai secara objektif strategi alternative yang dapat dijalankan, didasarkan atas faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal yang telah dikenali terlebih dahulu. Sebagaimana alat-alat analitis perumusan strategi yang lain, QSPM juga memerlukan penilaian intuitif yang baik. Secara konseptual, QSPM menentukan daya tarik relative dari berbagai strategi yang didasarkan sampai seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah dapat menyusun suatu rangkaian strategi tertentu, tetapi hanya strategistrategi dari suatu rangkaian tertentu yang dinilai relative terhadap satu sama lain. Beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan QSPM disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Langkah-langkah pengembangan QSPM Langkah 1.
Langkah 2.
Langkah 3.
Membuat daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan kekuatan/kelemahan internal kunci dari organisasi di kolom kirin QSPM. Informasi tersebut harus diambil langsung dari matriks EFE dan matriks IFE. Paling tidak sepuluh faktor keberhasilan eksternal dan sepuluh faktor keberhasilan internal harus dicakupkan dalam QSPM Memberi bobot pada setiap faktor eksternal dan internal kunci. Bobot tersebut sama denganyang ada di Matriks EFE dan Matriks IFE. Bobot tersebut disajikan pada kolom sebelah kanan kolom faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Memeriksa matriks-matriks pencocokan di Tahap 2, dan mengenali strategi-strategi alternatif yang harus dipertimbangkan organisasi untuk diterapkan. Tulislah strategi-strategi tersebut pada baris atas QSPM. Kelompokanlah strategi-strategi tersebut dalam rangkaian yang saling ekslusif jika mungkin.
28
Tabel 2 Langkah-langkah pengembangan QSPM (Lanjutan) Langkah 4
Menentukan Nilai Daya Tarik (AS) yang didefinisikan sebagai angka yang menunjukan daya tarik relative masingmasing strategi pada suatu rangkaian alternative tertentu. Nilai Daya Tarik ditentukan dengan memeriksa masing-masing faktor eksternal atau internal satu per satu, sambil mengajukan pertanyaan “Apakah faktor ini mempengaruhi pilihan strategi yang dibuat?” Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah ya, maka strategi tersebut harus dibandingakan secara relatif dengan faktor kunci. Khususnya nilai daya tarik harus diberikan pada masing-masing strategi untuk menunjukan daya tarik relatif suatu strategi terhadap yang lain, dengan memp[ertimbangkan faktor tertentu. Cakupan nilai daya tarik adalah 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = wajar menarik, dan 4 = sangat menarik. Jika jawaban atas pertanyaan tersebut tidak, hal tersebut menunjukan bahwa masing-masing faktor kunci tidak mempunyai pengaruh atas pilihan khusus yang dibuat.
Sumber : Fred David, 2004
2.5. Stakeholder Theory Stakeholder (pemangku kepentingan) secara sederhana dapat dijelaskan sebagai orang atau organisasi dengan sebuah kepentingan atau keterlibatan pada sesuatu dan hal ini mungkin berhubungan dengan urusan bisnis (seperti pemegang saham, konsumen, atau pekerja), sebuah organisasi (pemerintah daerah, pemerintah pusat atau pemerintah pederal) atau gabungan aktivitas yang berhubungan dengan sebuah lokasi dari kepentingan yang spesifik (berperahu di danau, main ski di gunung, jalan kaki atau bersepeda di taman). Pemangku kepentingan mempunyai kepentingan tentang sukses atau berjalannya sesuatu. Meskipun hal ini memberikan deskripsi yang lengkap bagi kelompok pemangku kepentingan yang tidak teridentifikasi siapa mereka (Tomsett, 2009).
29
Sumber : Tomsett, 2009
Gambar 14 Stakeholder Menurut Tomsett
2.6. Teori Analytical Hierarchy Process Berdasarkan pendekatan AHP, yang menjadi narasumber untuk melakukan pembobotan adalah seorang ahli (expert). Yang dimaksud dengan expert disini tidak harus seseorang yang pakar pada satu bidang keilmuan tertentu, melainkan orang yang tahu betul akan permasalahan yang hendak diteliti. Dalam konteks pemeringkatan daya saing investasi daerah, expert yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang paham benar mengenai seluk beluk kegiatan investasi, dan sering terlibat atau berpengalaman dalam melakukan kegiatan investasi. Dengan demikian, mereka dapat memberikan pendapat mengenai pertimbangan-pertimbangan yang melandasi seorang investor mau menanamkan modalnya di suatu daerah. Untuk itu, pemerintah daerah, DPRD Tk II pada komisi B, pengusaha, dan peneliti pada Litbang APINDO merupakan orang yang tepat untuk dijadikan responden dalam menentukan bobot pengaruh faktor dan variabel yang digunakan untuk pemeringkatan daya saing investasi daerah. Jumlah
responden menjadi tidak penting dalam menentukan bobot
(KPPOD, 2005). Yang lebih penting adalah kualitas atau pengetahuan responden
30
akan permasalahan yang dimaksud. Untuk itu, pengambilan sampel responden dilakukan secara purposif. Prinsip metode AHP digunakan untuk memberikan bobot tiap faktor dan variabel dengan perbandingan antar faktor dan variabel satu dengan lainnya. Bobot yang lebih besar dari suatu faktor atau variabel menunjukkan suatu faktor atau variabel tertentu mengandung nilai lebih penting dibandingkan faktor atau variabel lainnya dalam menentukan tingkat kepentingan investasi suatu daerah. Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan untuk mengambil keputusan yang kompleks dengan menggunakan pendekatan matematika dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970. Beberapa keunggulan dari AHP antara lain: 1) melibatkan persepsi seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan; 2) mampu memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria (multi criterias); 3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya juga dapat berarti kelebihan adalah bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan (Permadi, 1992). Menurut Saaty (1991), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu: 1. Prinsip menyusun hirarki Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkahlangkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan seterusnya secara hirarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan. 2. Prinsip menetapkan prioritas Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemenelemen menurut relatif pentingnya.
31
3. Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan, dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten dengan kriteria yang logis. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki.
2.7. Hasil kajian Terdahulu Kuncoro dan Rahajeng (2005) melakukan kajian mengenai “Daya Tarik Investasi dan Pungli di Yogyakarta”. Dalam kajian itu dinyatakan bahwa ada perbedaan antara peringkat bobot faktor penentu investasi daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta
dengan peringkat bobot faktor penentu investasi yang
dilakukan oleh KKPOD pada tahun 2003 untuk 200 Kabupaten/Kota di Indonesia. Menurut KPPOD faktor yang memiliki bobot terbesar adalah faktor Kelembagaan, diikuti oleh faktor Sosial Politik, Ekonomi Daerah. Kemudian faktor Tenaga Kerja dan faktor Infrastruktur Fisik yang memiliki bobot sama. Faktor-faktor di atas dibedakan menjadi faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi terdiri dari faktor Ekonomi Daerah dan faktor Tenaga Kerja, sedangkan faktor nonekonomi meliputi faktor Kelembagaan, Infrastruktur Fisik dan Sosial Politik. Jadi menurut persepsi pelaku usaha di DIY daya tarik investasi di DIY relatif lebih dipengaruhi oleh faktor nonekonominya terutama Kelembagaan, Infrastruktur Fisik dan Sosial Politik, dibandingkan dengan faktor ekonomi yaitu Ekonomi Daerah dan Tenaga Kerja. Menurut persepsi pelaku usaha di DIY, faktor ekonomi cenderung lebih “controllable” dibandingkan dengan faktor nonekonomi. Berdasarkan hasil temuan penelitian maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa menurut persepsi pelaku usaha di DIY, faktor Kelembagaan memiliki bobot terbesar dalam menentukan daya tarik investasi/ kegiatan berusaha di DIY. Kemudian diikuti oleh faktor Infrastruktur Fisik, yang ketiga adalah faktor Sosial Politik. Berikutnya adalah faktor Ekonomi Daerah dan yang terakhir adalah faktor Tenaga Kerja. Komadin (2008) melakukan kajian mengenai “Strategi Peningkatan Investasi di Kabupaten Indramayu”. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa Kabupaten Indramayu mengalami penurunan investasi. Data perkembangan realisasi investasi swasta selama periode tahun 2000-2005 sebanyak 14 proyek
32
dengan nilai investasi sebesar Rp 301 juta, meliputi PMDN sebanyak 4 proyek dengan nilai investasi Rp 125,5 milyar PMA sebanyak 9 proyek dengan nilai investasi USD 20,5 juta dan Non PMA/PMDN 1 proyek dengan nilai investasi Rp 50 milyar. Penurunan ini terlihat dari grafik turun naiknya jumlah investasi setiap tahun dan nilai proyek yang menurun. Selanjutnya investor lebih fokus pada industri pengolahan minyak dan gas serta pertanian dan belum pada sektorsektor lainnya. Selain itu hasil analisis tentang daya saing investasi menunjukan bahwa prioritas elemen faktor kekuatan yang paling mempengaruhi daya saing investasi Kabupaten Indramayu secara berurutan yaitu potensi ekonomi (0,351), zona dan kluster industri (0,246), dukungan birokrasi (0,164), jumlah tenaga kerja (0,104), letak strategis dan luas wilayah (0,076), dan budaya daerah (0,060). Prioritas elemen faktor kelemahan yang paling mempengaruhi daya saing investasi Kabupaten Indramayu secara berurutan yaitu kualitas infrastruktur rendah (0,378), kualitas SDM yang rendah (0,252), kurangnya promosi (0,160), pemekaran Kabupaten Indramayu (0,115), dan perda yang bermasalah (0,115). Prioritas elemen faktor peluang yang paling mempengaruhi daya saing investasi Kabupaten Indramayu secara berurutan yaitu pengembangan transportasi darat Jakarta – Cirebon (0,498), pembangunan Pelabuhan Samudera Cirebon (0,367), dan pembangunan Bendungan Jatigede Sumedang (0,135). Prioritas elemen faktor ancaman yang paling mempengaruhi daya saing investasi Kabupaten Indramayu secara berurutan yaitu adanya Persaingan dengan daerah lain (0,443), rendahnya dukungan perbankan (0,387), dan lambatnya penerbitan SPM (0,169). Sri Suneki (2006) melakukan kajian tentang “Determinan Investasi Swasta di Jawa Tengah”. Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi Penanaman Modal Asing di Jawa tengah adalah variabel PDRB, Angkatan kerja, dan Infrastruktur yang berpengaruh positif dan signifikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun tingkat suku bunga internasional (LIBOR) berpengaruh dengan arah negatif secara bersama-sama variabel tersebut mampu menjelaskan 61,07 persen variasi variabel PMA. Dari keempat variabel yang diteliti dalam PMDN maupun PMA, variabel angkatan kerja merupakan variabel yang berpengaruh dominan, oleh karena itu diperlukan langkah dan strategi untuk menarik minat investasi di Jawa Tengah dengan cara meningkatkan kualitas angkatan kerja melalui pendidikan, kecakapan dan ketrampilan yang memadai.
33
Hal yang membedakan kajian-kajian tersebut dengan kajian ini adalah pertama kajian ini selain mengukur tingkat pengaruh faktor yang mempengaruhi investasi swasta, juga melihat pelaku yang paling mempengaruhi investasi di Kabupaten Bogor. Kedua, dalam penelitian ini juga disampaikan strategi yang perlu dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam kerangka peningkatan investasi dari beberapa faktor yang dapat dibedakan dengan faktor ekonomi dan non ekonomi. Ketiga, kajian ini juga menggunakan alat analisis AHP. Dengan AHP ini tingkat faktor-faktor pada berbagai level diuji konsistensinya.
2.8. Kebijakan Investasi Existing di Kabupaten Bogor 2.8.1. Visi dan Misi Sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor tahun 2009-2013, Visi Kabupaten Bogor adalah Terwujudnya masyarakat Kabupaten Bogor yang bertakwa, berdaya, dan berbudaya menuju sejahtera. Dalam rangka mendukung pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 tahun 2009 tersebut dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta masukan-masukan dari stakeholders, maka Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor menetapkan Visi sebagai berikut “terwujudnya pelayanan prima untuk menjamin iklim penanaman modal yang kondusif dan berdaya saing”. Makna visi adalah sebagai berikut : Pelayanan Prima adalah pelayanan yang dijalankan secara profesional berdasarkan kepada Standar Operasional Pelayanan (SOP) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Iklim Penanaman Modal adalah kondisi internal maupun eksternal yang mempengaruhi kegiatan penanaman modal. Kondusif adalah kondisi yang memungkinkan pelaku usaha menjalankan usahanya dengan nyaman dan aman. Berdaya saing adalah pelaku usaha yang mandiri, tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan menghasilkan produk unggulan.
34
2.8.2. Sasaran Strategis Sasaran merupakan penjabaran dari tujuan yaitu sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan oleh lembaga dalam jangka waktu tahunan, semesteran, triwulanan, dan bulanan. Sasaran menggambarkan hal yang ingin dicapai melalui tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Sasaran memberikan fokus pada penyusunan kegiatan sehingga bersifat spesifik, terinci, dapat dicapai, dan diupayakan dalam bentuk kuantitatif sehingga dapat diukur. Sasaran-sasaran strategis Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor adalah sesuatu dasar di dalam penilaian dan pemantauan kinerja sehingga merupakan alat pemicu bagi organisasi akan sesuatu yang harus dicapai, dan untuk itulah Badan Perizinan Terpadu Kabupatein Bogor telah merumuskan sasaran strategis berikut indikator keberhasilannya. Misi Pertama : Meningkatkan investasi di Kabupaten Bogor Tabel 3 Sasaran Strategis Misi Pertama No 1
2.
Sasaran Strategis Meningkatnya pertumbuhan investasi
Meningkatnya PMA/PMDN melaporkan usahanya
Indikator Kinerja 1. Jumlah PMA 2. Jumlah PMDN 3. Nilai realisasi investasi PMA 4. Nilai realisasi investasi kesadaran Jumlah LKPM yang dalam dilaporkan pengusaha kegiatan kepada Pemda Kabupaten Bogor
Satuan Perusahaan Perusahaan Rp. Trilyun Rp. Trilyun buah
Misi Kedua : 1. Meningkatkan kerjasama investasi dengan dunia usaha, antar daerah dan luar negeri 2. Meningkatkan kualitas data, informasi dan promosi investasi
35
Tabel 4 Sasaran Strategis Misi Kedua No 1
Sasaran Strategis Meningkatnya kerjasama investasi
Indikator Kinerja Satuan 1. Dokumen kerjasma Dokumen dengan asosiasi pengusaha 2. Dokumen kerjasama Dokumen dengan luar negeri
2.
Meningkatnya kualitas 1. Promosi yang Kali data, informasi dan promosi diikuti 2. Sistem informasi Aplikasi
Misi Ketiga : 1. Meningkatkan kepastian hukum perizinan 2. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme pelayanan perizinan Tabel 5 Sasaran Strategis Misi Ketiga No. 1.
2.
Sasaran Strategis Terjaminnya kepastian hukum atas dokumen izin yang diterbitkan
Indikator Kinerja Satuan 1. Jenis perizinan yang Jenis ditangani 2. Dokumen kebijakan Dokumen
Meningkatnya kualitas dan 1. Jenis perizinan yang Jenis profesionalisme pelayanan ditangani perizinan 2. Tingkat kepuasan Persen masyarakat terhadap pelayanan perizinan 3. Jangkauan pelayanan wilayah
Misi Keempat: Meningkatkan pelayanan administrasi dan kerumahtanggaan institusi Tabel 6 Sasaran Strategis Misi Keempat No. 1.
2. 3. 4.
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Meningkatnya pelayanan 1. Kelancaran administrasi perkantoran operasional BPT 2. Wawasan SDM aparatur BPT Meningkatnya sarana Meningkatnya kinerja prasarana kantor BPT Meningkatnya disiplin Tingkat kehadiran dan pegawai BPT kinerja pegawai Meningkatnya akuntabilitas Dokumen perencanaan kinerja badan dan keuangan yang disusun
Satuan 1 instansi 1 instansi 1 instansi 1 instansi Dokumen
36
2.8.3. Program Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Dalam Renstra Badan Perizinan Terpadu tahun 2009-2013, program dan kegiatan
dikategorikan
ke
dalam
program/kegiatan
lokasilitas
SKPD,
program/kegiatan lintas SKPD, dan program/kegiatan kewilayahan dapat dilihat pada Gambar 15. a. Program peningkatan iklim investasi dan realisasi investasi Program ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga mampu menarik investor untu berinvestasi di Kabupaten Bogor serta mempertahankan investor yang sudah berinvestasi di Kabupaten Bogor. Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pokok sebagi berikut : 1) Koordinasi perencanaan dan pengembangan penanaman modal 2) Penyiapan kawasan investasi terpadu 3) Bimbingan teknis LKPM PMA/PMDN 4) Koordinasi pengendalian investasi PMA/PMDN 5) Monitoring, evaluasi dan pelaporan Surat Persetujuan (SP) penanaman modal 6) Penilaian PMA/PMDN 7) Koordinasi penanganan permasalahan PMA/PMDN di Kabupaten Bogor. b. Program perumusan kebijakan penanaman modal dan perizinan 1) Penyusunan kebijakan teknis penanaman modal 2) Penyusunan kebijakan pelayanan penanaman modal 3) Penyusunan masterplan pengembangan penanaman modal c. Program peningkatan promosi dan kerjasama penanaman modal Program ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan intensitas promosi dan cakupan kerjasama investasi 1) Koordinasi dan kerjasama di bidang penanaman modal dengan instansi pemerintah, dunia usaha dan luar negeri. 2) Fasilitasi kerjasama penanaman modal
37
3) Penyelenggaraan eksebisi investasi 4) Penyelenggaraan pameran investasi 5) Promosi investasi melalui media elektronik d. Promosi peningkatan iklim investasi dan realisasi investasi 1) Penyusunan sistem informasi penanaman modal dan perizinan 2) Pengelolaan data investasi dan perizinan 3) Updating potensi investasi dan perizinan e. Program perumusan kebijakan penanaman modal dan perizinan 1) Evaluasi SOP pelayanan perizinan 2) Penyusunan naskah akademik produk hukum perizinan 3) Penyusunan naskah kajian penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu 4) Penyusunan Standar Pelayanan Minimum (SPM) f. Program Pelayanan perizinan Program ini dimaksudkan untuk memberikan pelayanan perizinan terpadu satu pintu di Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor. Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pokok sebagai berikut : 1) Pelayanan perizinan usaha 2) Pelayanan Perizinan non usaha g. Program pengembangan pelayanan perizinan 1) Sosialisasi pelayanan keliling 2) Pelayanan perizinan keliling 3) Forum koordinasi pengelolaan perizinan 4) Penyusunan survey indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan perizinan 5) Penerapan ISO 6) Workshop manajemen strategi pelayanan perizinan h. Program pelayanan administrasi perkantoran 1) Penyediaan jasa surat menyurat perkantoran 2) Penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik 3) Penyediaan jasa pemeliharaan dan perizinan kendaraan dinas/operasional
38
4) Penyediaan jasa kebersihan kantor 5) Penyediaan barang cetakan dan penggandaan i. Program peningkatan sarana dan prasarana perkantoran 1) Pembangunan dan pengembangan/renovasi gedung kantor 2) Pengadaan kendaraan dinas/operasional 3) Pengadaan peralatan kantor 4) Pengadaan perlengkapan kantor 5) Penyiapan sarana dan prasarana pelayanan perizinan j. Program peningkatan disiplin aparatur Pengadaan pakaian khusus hari-hari tertentu k. Program peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur 1) Bimbingan teknis implementasi peraturan perundang-undangan 2) Pembinaan mental dan rohani bagi aparatur 3) Peningkatan kualitas dan profesionalisme SDM pelayanan investasi l. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan 1) Penyusunan laporan capaian kinerja dan ikhtisar realisasi kinerja SKPD 2) Penyusunan laporan keuangan semesteran 3) Penyusunan laporan akhir tahun dan keuangan 4) Penyusunan perencanaan anggaran 5) Penatausahaan keuangan SKPD 6) Penyusunan Renstra SKPD 7) Penyelenggaraan forum SKPD 8) Penyusunan Renja SKPD 9) Asistensi penatausahaan keuangan SKPD
39
Sumber : Renstra BPT Kabupaten Bogor, 2009
Gambar 15 Strategi Peningkatan Investasi di Kabupaten Bogor Rencana dan Strategi peningkatan investasi di kabupaten Bogor saat ini sudah banyak tercapai seperti pembuatan data peluang dan potensi investasi, pelayanan perizinan satu pintu, dan peningkatan perizinan menjadi ISO, hal ini disebabkan Renstra tersebut sudah berjalan selama 2 tahun sejak awal tahun 2009, sehingga perlu memasukan (insert) beberapa strategi atau kebijakan yang sangat diperlukan dalam meningkatkan daya tarik investasi di Kabupaten Bogor.
40
2.9. Kerangka Konseptual Bagi kaum klasik, pembentukan modal adalah pengeluaran yang akan mempertinggi
jumlah
barang-barang
modal
dalam
masyarakat.
Kalau
kesanggupan itu bertambah, maka dengan sendirinya produksi dan pendapatan nasional akan bertambah tinggi dan pembangunan ekonomi akan tercipta (Sadono Sukirno, 2007) Persamaan dasar ekonomi makro sebagai berikut : Y = C + I + G + (X-M) Secara sederhana bisa kita lihat bahwa output daerah (PDRB) akan meningkat ketika terjadi peningkatan pada konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan ekspor bersih (X-M). Investasi swasta merupakan sumber petumbuhan output daerah yang relatif berkelanjutan karena mencakup aktivitas-aktivitas sektor swasta yang produktif (Widodo, 2006). Iklim investasi swasta yang baik akan mendorong tumbuhnya investor swasta yang produktif sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Hal ini akan menciptakan kesempatan dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Dalam membangun iklim investasi yang baik yang perlu dilakukan adalah membangun hal-hal mendasar (Bank Dunia, 2005) yaitu : 1. Stabilitas dan kepastian hak 2. Peraturan dan perpajakan 3. Pendanaan dan infrastruktur 4. Para pekerja dan pasar tenaga kerja. Dalam perpektif pengusaha nasional dan para pengamat ekonomi di Indonesia, sekurang-kurangnya ada tujuh faktor yang dijadikan indikator daya tarik daerah terhadap investasi, yaitu: keamanan, budaya daerah, potensi ekonomi, keuangan daerah, infrastruktur, sumberdaya manusia, serta peraturan daerah (KPPOD, 2005). Berdasarkan hubungan faktor-faktor tersebut di atas, maka kerangka pemikiran kajian tentang strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada gambar 16.
41
Gambar 16 Kerangka Konseptual Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar lain adalah bahwa perkembangan investasi baik itu Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal Dalam Negeri di Kabupaten Bogor antara tahun 2000-2009 memiliki kecenderungan mencapai titik jenuh, sedangkan disisi lain peran konsumsi sebagai unsur PDRB semakin menguat dan pengangguran sebagai indikator makro pembangunan makin meningkat. 3.2. Metode Pengumpulan Data Rancangan jenis dan sumber data untuk membahas tujuan kajian sebagaimana terlihat pada Tabel 7. Data sekunder meliputi data dari KPPOD 2001-2009, Badan Kerjasama penanaman Modal (BKPM), Badan Perizinan Terpadu (BPT) Kabupaten Bogor 2003-2009, Laporan Akhir Bappeda tahun 2009, serta dokumen-dokumen dari instansi/lembaga lain yang terlibat dalam Investasi Daerah di Kabupaten Bogor. Tabel 7 Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan No
Tujuan
Data Jenis Data Sekunder
Sumber Data BKPM 2000-2009, BPS Kabupaten Bogor 2000-2009
Metode Analisis
1
Menganalisis Potensi Ekonomi dan Perkembangan Investasi Swasta Kabupaten Bogor
2
Menganalisis tingkat kepentingan variabelvariabel yang mempengaruhi investasi di Kabupaten Bogor dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi
Data Primer
DPRD Kabupaten Bogor, BPT Kabupaten Bogor, Pengusaha, dan Pakar
Analysis Hierarchy Process (AHP)
3
Merumuskan langkah strategis meningkatkan investasi swasta di kabupaten Bogor
Data Sekunder, Hasil Pembahasan dan Data Primer
BPT Kabupaten Bogor, pakar, pengusaha
IFE, EFE, Matriks SWOT dan QSPM
Analisis LQ, Tipologi Klasen dan Statistik Deskriptif
43
Pengumpulan data primer untuk data Analytical Hierarchy Process (AHP) dilakukan melalui kuisioner, serta untuk menambah informasi tentang permasalahan investasi
dilakukan pula wawancara tidak terstruktur pada
responden yang sama yaitu expert (ahli) yang terlibat langsung dengan investasi di Kabupaten Bogor sebanyak 6 orang terdiri atas pengusaha, Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, Komisi B (bidang ekonomi) DPRD Tk II Kabupaten Bogor, dan Peneliti di Litbang APINDO dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Distribusi Responden AHP No 1. 2. 3. 4. 5. 4.
Jenis Responden Direktur Eksekutif Ketua IWAPI Kepala Bidang Penanaman Modal Wakil Ketua Komisi B Deputi Direktur Mercedes Peneliti di Litbang APINDO Jumlah
Sedangkan
untuk
pengumpulan
Jumlah 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 6 orang data
primer
dalam
rangka
memformulasikan kebijakan investasi di Kabupaten Bogor dengan menggunakan analisis SWOT, responden terdiri atas pemerintah (Badan perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, pakar dan pengusaha dengan perincian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Distribusi Responden SWOT No
Jenis Responden
1.
Kepala Bidang Penanaman Modal
1 orang
2.
Peneliti di Litbang APINDO
1 orang
4.
Staf Bidang Penanaman Modal
1 orang
5.
Pengusaha
1 orang Jumlah
Jumlah
4 orang
44
3.3. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data 3.3.1. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis LQ digunakan untuk mengetahui prospek pengembangan suatu wilayah
yang
berbasiskan
potensi
keunggulan
komparatif
serta
mengidentifikasikan komoditas unggulan yang menjadi sektor basis dan non basis. LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah (Widodo, 2004). Pendekatan ini merupakan perbandingan antara fungsi relatif produksi/ luas areal komoditas j pada tingkat wilayah dengan fungsi relatif produksi/ luas areal komoditas j pada tingkat wilayah yang lebih besar. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut : LQij = Xij/Xj Xi/X keterangan : Lqij
= Index Quotient sektor i di Kabupaten Bogor
Xij
= jumlah PDRB sektor i di Kabupaten Bogor
Xj
= total PDRB di Kabupaten Bogor
Xi
= jumlah PDRB sektor i di Jawa Barat
X
= total PDRB di Jawa Barat Kriteria penilaian dalam penentuan ukuran derajat basis dan non basis
adalah jika nilai indeks LQ > 1 maka komoditas tersebut merupakan komoditas basis (potensial) sedangkan bila nilai indeks LQ ≤ 1 maka komoditas yang dimaksud termasuk ke dalam komoditas non basis pada kegiatan perekonomian.
3.3.2. Analisis Tipologi Klassen Analisis ini digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola pertumbuhan ekonomi daerah (Widodo, 2007). Maka untuk melihat gambaran perkembangan investasi
baik PMA dan PMDN suatu daerah maka wilayah
diklasifikasikan dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut : a. Wilayah yang maju dan tumbuh cepat (Rapid Growth Region)
45
b. Wilayah maju dan tertekan (Retarted Region) c. Wilayah yang sedang tumbuh (Growth Region) d. Wilayah yang relatif tertinggal (Relatively Backward Region) Dalam melakukan analisis perkembangan investasi digunakan dengan melakukan perbandingan antara daerah (kabupaten/kota di Jawa Barat) yang mempunyai rata-rata pertumbuhan investasi dan rata-rata nilai investasi dibandingkan rata-rata pertumbuhan investasi dan rata-rata nilai investasi referensi (Provinsi Jawa Barat). Tabel 10 Klasifikasi Wilayah Berdasarkan Tipologi Klasen Rata‐Rata Pertumbuhan gi > g
Xi > X
Xi < X
Rapid Growth Region
Growth Region
gi < g
Retarted Region
Relatively Backward Region
keterangan : Xi
= rata-rata nilai investasi kabupaten/kota i di Jawa Barat
X
= rata-rata nilai investasi seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat
gi
= rata-rata pertumbuhan investasi kabupaten/kota i di Jawa Barat
g
= rata-rata pertumbuhan investasi seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat
3.3.3. Analytical Hierarchy Process Langkah-langkah dalam metode AHP yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut: a) Mendefinisikan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi di Kabupaten Bogor.
46
Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi merupakan hasil dari penelitian KPPOD dalam melaksanakan peringkat daya saing investasi kabupaten/kota di Indonesia. b) Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh. Berdasarkan Permadi (1992), proses penyusunan hirarki lebih bersifat seni daripada ilmu pengetahuan, maka tidak ada bentuk yang baku untuk memecahkan suatu kasus. Biasanya pembuatan hirarki melihat pada contoh hirarki yang sudah pernah dibuat untuk menyelesaikan suatu kasus, kemudian dengan berbagai modifikasi dibuat hirarki sendiri untuk memecahkan kasusnya. Fokus tujuan pada puncak hierarki (level 1) adalah meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor. Pada tingkat berikutnya yang lebih rendah (level 2) ditetapkan pelaku yang mempengaruhi kebijakan iklim investasi di Kabupaten Bogor. Level 3 mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi investasi swasta di Kabupaten Bogor. Sedangkan tingkatan selanjutnya (level 4) merupakan variabel yang mempengaruhi investasi swasta. Struktur hirarki dalam kajian dapat dilihat pada Gambar 4. c) Menetapkan prioritas dan menyusun matriks banding berpasangan Dalam menetapkan prioritas, langkah yang dilakukan adalah membuat perbandingan dari setiap elemen yang berpasangan. Bentuk dari perbandingan berpasangan ini berupa matriks. Dari matriks banding berpasangan dapat diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh terhadap fokus tujuan. Proses perbandingan berpasangan dimulai pada puncak hirarki lalu pada elemen satu tingkat dibawahnya, dan seterusnya. Untuk melakukan pembandingan digunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 11).
47
Tabel 11 Nilai Skala Banding Berpasangan Intensitas pentingnya 1
Definisi
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lain Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan. Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan
3
Elemen yang satu lebih sedikit penting dari elemen yang lain
5
Elemen yang satu sangat penting dari elemen yang lain
7 9
Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain
Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan Sumber : Saaty (1993) 2,4,6,8
d) Menghitung Matriks Pendapat Individu Melalui penyebaran kuisioner terhadap stakeholders, maka terkumpul semua pertimbangan dari hasil perbandingan berpasangan antarelemen pada langkah c. Selanjutnya adalah menghitung semua pertimbangan yang didapat dari setiap individu. Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat m kriteria yang dibandingkan, maka harus dihasilkan m matriks, setiap sel
mempunyai
karakteristik sedemikian sehingga; =
1
atau
x
=
1
Formulasi Matriks Pendapat Individu adalah sebagai berikut: C
C 1
C A=
C C
… 1
C
…
1
…
…
1
1
…
...
1
…
…
1
Dalam hal ini C , C , …, C adalah set elemen pada suatu tingkat keputusan dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan membentuk matriks n x n. Nilai
merupakan nilai matriks pendapat hasil
komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan C terhadap C .
48
e) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan Karena jumlah responden tidak hanya satu orang maka disusun Matriks Pendapat Gabungan yang dapat mewakili pertimbangan keseluruhan responden. Tujuan dari penghitungan matriks pendapat gabungan adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya memenuhi syarat. Metode yang digunakan dapat berupa menggunakan rata-rata hitung atau rata-rata ukur (rata-rata geometrik). Dalam kajian ini metode menghitung matrik pendapat gabungan yang dipakai adalah rata-rata ukur atau rata-rata geometrik dengan asumsi peran setiap responden sama. Berdasarkan Permadi (1992), rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata geometrik adalah sebagai berikut: … =
Penilaian gabungan pada elemen
=
Penilaian elemen
=
Banyaknya Responden
, dimana:
oleh responden ke-i (dalam skala 1/9 – 9)
Selanjutnya dengan menggunakan perangkat lunak Expert Choice 2000 yang dibuat oleh Expert Choice Inc, nilai gabungan pada masing-masing elemen dimasukkan kembali pada matriks perbandingan berpasangan sehingga diperoleh nilai bobot prioritas (local) dari masing-masing elemen dalam suatu tingkat hirarki. f) Sintesis Untuk memperoleh peringkat prioritas menyeluruh (global) bagi suatu persoalan keputusan, maka dilakukan sintesis pertimbangan sebagaimana yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap elemen. g) Konsistensi Dalam pengambilan keputusan, perlu diketahui tingkat konsistensinya. Konsistensi sampai pada tingkatan tertentu diperlukan untuk memperoleh hasil
49
yang optimal dengan keadaan di dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki. Dalam pendekatan AHP ini dikenal dua jenis bobot setiap eleman, yakni bobot lokal dan bobot global. a. Bobot lokal adalah bobot pengaruh setiap elemen dalam satu level terhadap level di atasnya. Yaitu bobot pengaruh faktor (level ke-3) terhadap sasaran yang hendak dicapai (level ke-1) dan bobot variabel (level ke-4) terhadap faktornya (level ke-3). b. Bobot global adalah bobot pengaruh setiap variabel terhadap tujuan (Indeks Daya Saing Investasi Daerah). Untuk faktor tidak dikenal bobot lokal dan bobot global, karena faktor berada pada level ke-2 sehingga bobot lokal faktor sama dengan bobot globalnya). Bobot global variabel diperoleh dari hasil perkalian antara bobot lokal suatu variabel dengan bobot faktornya. Artinya bahwa dengan diketahui bobot lokal setiap elemen hirarki akan dapat dihitung bobot global dari masing-masing elemen. Cara Penghitungan : Bobot Global Variabel = Bobot Lokal Variabel x Bobot Faktor Contoh 1: Bobot Global Variabel Kepastian Hukum = Bobot Lokal Variabel Kepastian Hukum x Bobot Faktor Kelembagaan Dari dua hasil penelitian yang dilakukan KPPOD dan Bank Dunia, setelah dilakukan diskusi dengan beberapa narasumber dari Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, Kadin Kabupaten Bogor dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kabupaten Bogor, maka untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di Kabupaten Bogor maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan menjadikan setiap indikator langsung mempengaruhi faktornya sehingga variabel sebagai pengklasifikasian dibawah hierarki faktor ditiadakan dalam penelitian ini,
50
hal tersebut dilakukan agar penelitian ini lebih mudah dipahami dan mampu mengungkapkan permasalahan lebih detail. Berdasarkan hasil diskusi juga terdapat penambahan pada kerangka AHP dari KPPOD yaitu dengan penambahan variabel akses tol dan kawasan industri pada faktor infrastruktur, sedangkan pada faktor ekonomi ditambahkan harga lahan, dengan alasan indikator tersebut punya pengaruh besar pada investasi di Kabupaten Bogor. 3.4. Metode Perumusan Strategi dan Program Dalam menyusun strategi peningkatan investasi di Kabupaten Bogor dilakukan dengan melalui tiga tahap analisis, yaitu tahap masukan, tahap analisis, dan tahap keputusan atas faktor yang mempunyai bobot paling tinggi dan dengan melibatkan pelaku investasi yang paling berpengaruh berdasarkan hasil Analytic Hierachy Proccess (AHP). Setelah dilakukan penetapan strategi, maka selanjutnya melakukan perancangan program sesuai dengan visi-misi-tujuan Kabupaten Bogor. Kerangka formulasi strategi untuk perumusan strategi dan program penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17 Kerangka Kerja Analisis Perumusan Strategi Peningkatan Investasi 1. Evaluasi Faktor Eksternal (EFE – External Factor Evaluation) Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) digunakan untuk mengevaluasi faktorfaktor eksternal lembaga. Faktor eksternal menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, demografi, teknologi, hukum dan faktor lingkungan berupa lingkungan usaha industri, pasar, serta data eksternal relevan lainnya. Faktor eksternal berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
51
lembaga. Hasil analisis eksternal digunakan untuk mengetahui peluang dan ancaman yang ada serta seberapa baik strategi yang telah dilakukan selama ini. Tahapan kerja pada penyusuan Evaluasi Faktor Eksternal adalah sebagai berikut : a. Menyusun daftar critical success factors untuk aspek eksternal yang mencakup peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan melibatkan beberapa responden. b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor internal (bobot). Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut: 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal, 1 jika faktor vertikal sama pentingnya dengan faktor horizontal, dan 0 jika faktor vertikal kurang penting daripada faktor horizontal. Untuk mendapatkan bobot nilai, tiap faktor dibagi dengan total nilai dari analisis internal. Jumlah seluruh bobot adalah 1. c. Memberi peringkat (rating) 1 sampai 4 pada peluang dan ancaman untuk menunjukkan seberapa efektif strategi mampu merespon faktor-faktor eksternal yang berpengaruh tersebut. Angka 1 menunjukkan respon jelek, 2 respon ratarata, 3 respon diatas rata-rata, dan 4 respon sangat bagus. d. Menentukan nilai yang dibobot (skor tertimbang) dengan cara mengalikan bobot dengan peringkat (rating). e. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Skor total 4.0 mengindikasikan bahwa lembaga merespon dengan cara yang luar biasa terhadap peluang-peluang yang ada dan menghindari ancaman-ancaman di pasar industrinya. Sementara itu, skor total sebesar 1.0 menunjukkan bahwa lembaga tidak memanfaatkan peluang-peluang yang ada atau tidak menghindari ancaman-ancaman eksternal. Matriks evaluasi faktor eksternal tersaji pada Tabel 12.
52
Tabel 12 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal No. Faktor Eksternal 1. Peluang .................................... .................................... 2. Ancaman ................................... ...................................
Bobot
2. Evaluasi Faktor Internal (IFE – Internal Factor Evaluation) Evaluasi Faktor Internal (IFE) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal lembaga berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting. Terdapat lima langkah dalam pengembangan matriks EFE Tahapan kerja pada penyusunan Evaluasi Faktor Internal adalah sebagai berikut (David, 2004) : a. Menyusun daftar critical success factors untuk aspek internal kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesses) dengan melibatkan beberapa responden. b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor internal (bobot). Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian. atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut: 2 jika faktor vertikal lebih penting
dari faktor
horizontal, 1 jika faktor vertikal sama pentingnya dengan faktor horizontal, dan 0 jika faktor vertikal kurang penting daripada faktor horizontal. Untuk mendapatkan bobot nilai, tiap faktor dibagi dengan total nilai dari analisis internal. Jumlah seluruh bobot adalah 1. c. Memberikan skala rating (peringkat) 1 sampai 4 untuk setiap faktor untuk menunjukkan apakah faktor tersebut mewakili kelemahan utama/ sangat lemah (peringkat = 1), kelemahan kecil/ agak lemah (peringkat = 2), kekuatan kecil/ agak kuat (peringkat = 3), dan kekuatan utama/ sangat kuat (peringkat = 4). d. Mengalikan bobot dengan rating (peringkat) dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya. Menjumlahkan semua skor untuk mendapatkan skor total. Nilai rata-rata adalah 2.5. Jika nilainya dibawah 2.5 menunjukkan bahwa secara internal, lembaga adalah lemah. Sedangkan nilai yang lebih besar dari
53
2.5 menunjukkan posisi internal yang kuat. Matriks Evaluasi Faktor Internal tersaji dalam Tabel 13. Tabel 13 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal No. 1. 2.
Faktor Internal
Bobot
Kekuatan ..................................... ..................................... Kelemahan .................................... ....................................
3. Matrik SWOT Analisis SWOT merupakan alat untuk memaksimalkan peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul. Hasil analisis SWOT adalah berupa sebuah matriks yang terdiri atas empat kuadran. Masing-masing kuadran merupakan perpaduan strategi antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Secara lengkap matriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Matriks SWOT Faktor Internal
Strengths (S)
Weaknesses (W)
Faktor Eksternal Strategi S-O Opportunities (O)
Threats (T)
Menggunakan kekuatan Meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan untuk
memanfaatkan
peluang
peluang
Strategi S-T
Strategi W-T
Menggunakan kekuatan Meminimalkan kelemahan untuk ancaman
Strategi W-O
mengatasi dan ancaman
menghindari
54
Menurut David (2004) langkah-langkah dalam menyusun matriks SWOT adalah sebagai berikut: 1) Mendaftar peluang eksternal 2) Mendaftar ancaman eksternal 3) Mendaftar kekuatan internal 4) Mendaftar kelemahan internal 5) Memadukan kekuatan internal dengan peluang eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel S-O. 6) Memadukan kelemahan internal dengan peluang eksternal dan mencatat hasilnya ke dalam sel W-O. 7) Memadukan kekuatan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya dalam sel S-T. 8) Memadukan kelemahan internal dengan ancaman eksternal dan mencatat hasilnya pada sel W-T.
4. Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM) Selain membuat peringkat strategi memperoleh daftar prioritas, hanya ada satu teknik analisis dalam literatur yang dirancang untuk menetapkan daya tarik relatif dari tindakan alternatif yang dapat dijalankan. Teknik tersebut adalah Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM) yang merupakan tahap 3 dari kerangka analitis perumusan strategi. QSPM menggunakan masukan dari analisis tahap 1 dan hasil-hasil pencocokan dari analisis tahap 2 untuk memutuskan secara objektif strategi alternatif yang dapat dijalankan. Bentuk dasar QSPM tersaji pada Tabel 15.
55
Tabel 15 Matriks Analisis QSPM Faktor-Faktor No
Kunci
Faktor-Faktor Kunci Eksternal 1.
.....................
2.
.....................
Faktor-Faktor Kunci Internal
1.
....................
2.
....................
Bobot
Strategi 1
Strategi 2
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN BOGOR
4.1. Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah 298.838,304 hektar, dan secara geografis terletak antara 6° 19’ - 6° 47’ Lintang Selatan dan 106° 1’ 107° 103’ Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten/Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah Utara, kemudian dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Karawang di sebelah Timur, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten serta di tengah-tengah terletak Kota Bogor (Gambar 18). Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri atas 428 Desa/Kelurahan, yang terdiri dari 411 desa, 17 kelurahan, 3.639 RW, 14.403 RT yang tercakup dalam 40 Kecamatan (Profil Potensi Investasi Kabupaten Bogor, 2010).
Sumber: Profil Potensi Investasi Kabupaten Bogor, 2010
Gambar 18 Peta Administratif Kabupaten Bogor
57
Berdasarkan strategi perwilayahan pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten Bogor bahwa wilayah Kabupaten Bogor dikelompokkan ke dalam 3 Wilayah Pembangunan, yaitu: 1) Strategi percepatan di wilayah Bogor Barat, yang mencakup 13 Kecamatan, yaitu Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Tenjolaya, Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Tenjo dan Parungpanjang, dengan total wilayah seluas 128.750 hektar; 2) Strategi pengendalian di wilayah Bogor Tengah, yang mencakup 20 Kecamatan, yaitu Kecamatan Dramaga, Ciomas, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Babakan Madang, Citeureup, Cibinong, Bojonggede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Kecamatan Gunungsindur, dengan total wilayah seluas 87.552 hektar; 3) Strategi pemantapan di wilayah Bogor Timur, yang mencakup 7 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Jonggol, Cileungsi, Klapanunggal dan Kecamatan Gunungputri, dengan total wilayah seluas 100.800 hektar.
4.2. Kependudukan dan Sumberdaya Manusia Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2003 mencapai 3.711.885 jiwa dan pada tahun 2007 jumlah penduduk Kabupaten Bogor telah mencapai 4.237.962 jiwa (data dari penyempurnaan hasil SUSDA melalui coklit, 2007) atau sekitar 10,32 persen dari jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat (41.483.729 jiwa) dan menempati urutan kedua setelah Kabupaten Bandung bilamana dilihat dari jumlah penduduk di seluruh kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Barat. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor selama periode tahun 2003-2007 seperti ditunjukkan pada Gambar 19 tergolong cukup terkendali. Hal ini terlihat dari LPP pada tahun 2003-2004 yang masih berada pada angka 4,05 persen, tetapi LPP pada periode tahun 2006-2007, justru turun drastis menjadi 0,53 persen per tahun. Angka terakhir ini sejalan dengan target LPP dalam dokumen Renstra 2003-2008 yang harus berada di bawah LPP 2 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan pula bahwa kinerja pembangunan yang berkenaan dengan upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor telah berhasil secara signifikan.
58 6
5.30
5
4.05
4
3.94 2.80
3 2 1
0.52
0 2003
2004
2005
2006
2007
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 19 Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2007
Sementara itu, penduduk di Kabupaten Bogor menunjukkan sebaran yang belum merata, dimana konsentrasi penduduk terpadat cenderung berada di wilayah perkotaan dan di kawasan industri seperti di ibukota Cibinong (250.695 jiwa), Kecamatan Bojonggede (205.568 jiwa), Kecamatan Cileungsi (200.010 jiwa), Kecamatan Gunungputri (186.844 jiwa), Kecamatan Ciomas (128.588 jiwa) dan Kecamatan Citeureup (167.880 jiwa), sedangkan penduduk dengan konsentrasi rendah berada di wilayah pedesaan seperti di Kecamatan Sukajaya, Cigudeg, Sukamakmur, Cariu dan Tanjungsari. Sejalan dengan kondisi sebaran penduduk itu, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 14,18 jiwa per hektar, dengan kepadatan terendah di Kecamatan Tanjungsari yaitu sebesar 3,06 jiwa per hektar, dan tingkat kepadatan tertinggi yaitu 78,60 jiwa per hektar di Kecamatan Ciomas. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian/profesi, terdiri dari PNS sebanyak 52.923 orang (4,36 persen), TNI/Polri sebanyak 11.328 orang (0,93 persen), karyawan/pegawai swasta sebanyak 327.350 orang (26,95 persen), wiraswasta/pengusaha sebanyak 361.463 orang (29,75 persen), petani sebanyak 71.010 orang (5,85 persen), peternak sebanyak 1.211 orang (0,10 persen), jasa sebanyak 56.354 orang (4,64 persen), buruh sebanyak 325.718 orang (26,81 persen) dan profesi lainnya sebanyak 7.489 orang (0,62 persen). Tampak pada data di atas bahwa sebagian besar dari seluruh mata pencaharian penduduk Kabupaten Bogor adalah berprofesi sebagai wiraswasta, karyawan/pegawai swasta, dan buruh (Gambar 20).
59
Petani 5.94%
Wiraaswasta 29.75%
TNI/Polri T 26.95%
J 4.64% Jasa Buruh 26.81% 2
PNS 4.36%
Lainnya 0.62% Karyaw wan 0.93%
Sumber: Bapppeda Kabupaten Bogor, 2007
2 Kompossisi Pendudduk Berdassarkan Gambar 20 Kabupatten Bogor Taahun 2007
Matta
Pencahaarian
Kompoosisi umur penduduk p K Kabupaten Bogor B pada tahun t 2007,, yaitu usia 0-14 tahun sebaanyak 1.2099.386 jiwa, usia 15-64 tahun sebaanyak 2.8711.380 jiwa, dan usia u 65 tahuun ke atas seebanyak 157.196 jiwa. Dengan deemikian propporsi umur pendduduk kabuupaten bogoor mayoritaas adalan usia u produkttif 15-64 taahun yaitu 67,755 persen, diisusul oleh usia u 0-14 taahun sebesaar 28,54 perrsen dan hannya sedikit lanjuut usia yaituu 3,71 perssen. Jumlahh penduduk k yang beruumur 15 tahhun keatas menuurut jenjang pendidikkan yang teelah ditamaatkan ternyyata mayoritas hanya tamaatan SD/sedderajat yaittu sebesar 47,28 perssen dan SL LTP/sederajjat sebesar 34,477 persen, dengan demiikian kuranng dari 20 persennya p s saja yang m mengenyam penddidikan mennengah dann tinggi (Gambar 21 1). Ini meenggambarkkan bahwa mayooritas usia produktif p peenduduk di Kabupaten K Bogor berppendidikan rrendah.
SLTP 34.47%
SD 47..28%
S2/S3 0.65% S1 1.63%
Dip ploma 1.61%
S SLTA 14.36%
Sumber: Bapppeda Kabupaten Bogor, 2007
Gambar 21 2 Jumlah Penduduk P Y Yang Berumu ur 15 Tahun Keatas Mennurut Jenjang Pendidikan P
60
Jumlah pengangguran terbuka di Kabupaten Bogor selama periode tahun 2003-2008 berfluktuatif dan relatif masih tinggi, yaitu sebanyak 280.834 orang pada tahun 2003 dan terjadi lonjakan yang sangat signifikan pada tahun 2008 menjadi 598.032 orang atau 17 persen dari angkatan kerja (Gambar 22). Tingginya jumlah pengangguran terbuka ini disebabkan oleh rendahnya peluang kerja dan kesempatan kerja yang bisa dimasuki oleh tenaga kerja yang ada di wilayah Kabupaten Bogor.
Jumlah orang 700,000
598,032
600,000 500,000
459,197
400,000 300,000
230,834
194,902
200,000 204,858
100,000
193,244
‐ 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2009
Gambar 22 Jumlah pengangguran Kabupaten Bogor tahun 2003-2008 4.3. Kondisi Ekonomi dan Sosial Pergerakan ekonomi Kabupaten Bogor dapat diperhatikan dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bogor berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Bogor dalam periode 2003-2007, diketahui peningkatan nilai PDRB Kabupaten Bogor atas dasar harga berlaku dari Rp. 25,36 triliun pada tahun 2003, menjadi Rp. 66,08 triliun pada tahun 2009. Demikian juga dengan nilai PDRB atas dasar harga konstan, yaitu semula sebesar Rp. 21,08 triliun pada tahun 2003, menjadi Rp. 30,95 triliun pada tahun 2009. Berkenaan dengan nilai PDRB di atas, maka pendapatan per kapita menurut PDRB harga berlaku, yaitu
61
sebesar Rp. 6.832.871,38 per kapita per tahun pada tahun 2003 mejadi Rp. 13.230.071,91 per kapita per tahun pada tahun 2009, sedangkan menurut PDRB harga konstan, yaitu sebesar Rp. 5.678.470,46 per kapita per tahun pada tahun 2003 menjadi sebesar Rp. 6.398.096,00 per kapita per tahun pada tahun 2009. Selama lima tahun (2003-2007), Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor menunjukkan peningkatan pada setiap tahun, yaitu semula LPE adalah 4,81 persen
pada tahun 2003, kemudian secara berurutan meningkat
menjadi 5,56 persen di tahun 2004, kemudian 5,85 persen pada tahun 2005 serta 5,95 persen pada tahun 2006 dan mencapai 6,04 persen pada tahun 2007. Namun pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 5,58 persen, bahkan tahun 2009 turun lagi menjadi 4,14 persen. Kondisi ini memperlihatkan bahwa adanya pencapaian LPE dalam kurun waktu 2003-2009 tidak mengikuti pola normal dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu kenaikan yang semakin besar hal ini menunjukan perkembangan ekonomi yang tidak menggembirakan di wilayah Kabupaten Bogor (Gambar 23).
7.00 5.56
6.00 5.00
6.05
5.85
5.58 4.14
5.95
4.81
4.00 3.00 2.00 1.00 ‐ 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2010
Gambar 23. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kabupaten Bogor Tahun 2003-2009
Adapun struktur ekonomi Kabupaten Bogor dalam kurun waktu 20082009, jika dilihat berdasarkan nilai PDRB harga konstan, maka kelompok sektor sekunder (industri manufaktur, listrik, gas & air serta bangunan) memberikan kontribusi terbesar, yaitu rata-rata sebesar 68,33 persen, kemudian sektor tersier
62
(perdagangan, hotel & restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaaan dan jasa perusahaan, jasa-jasa lainnya) dengan rata-rata sebesar 26,30 persen dan kontribusi terkecil adalah dari sektor primer (pertanian dan pertambangan), yaitu rata-rata hanya 5,70 persen dari total PDRB Kabupaten Bogor dan kontribusi dari sektor primer ini menunjukan kecenderungan yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Kondisi taraf kesejahteraan rakyat Kabupaten Bogor bilamana diukur berdasarkan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka kondisinya adalah angka IPM pada tahun 2003 adalah 67,81 poin, dan terus meningkat hingga pada tahun 2008, angka IPM-nya telah mencapai 71,03 poin (Gambar 24). Namun kenaikan angka IPM selama lima tahun terakhir ini berdasarkan klasifikasi dari UNDP termasuk dalam kategori tingkat pertumbuhan yang lambat karena rata-rata kenaikannya hanyalah 0,59 poin per tahun atau di bawah 1,5 poin per tahun.
72 71
70.18
70 69
71.03
68.99 67.81
69.45
68 68.1
67 66 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2008
Gambar 24 Indikator IPM Kabupaten Bogor Tahun 2003-2008
Kondisi ini berkaitan erat dengan rendahnya kontribusi dari masingmasing indeks penyusun dari angka IPM itu sendiri, diantaranya mencakup indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. Indeks-indeks dimaksud adalah akibat lanjutan dari rendahnya pencapaian dari komponen pembentuk angka IPM tersebut, yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf
63
(AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Kemampuan Daya Beli masyarakat menurut tingkat konsumsi riil per kapita. Namun demikian, angka pencapaian IPM sebesar 70,18 poin itu menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Bogor termasuk dalam klasifikasi masyarakat dengan taraf kesejahteraan menengah atas, tetapi belum termasuk taraf kesejahteraan atas, karena angka IPM-nya belum mencapai angka IPM 80 sebagaimana standar yang telah ditetapkan oleh UNDP. Bilamana dicermati menurut komponen pembentuk IPM, maka tingkat pencapaiannya menunjukkan kecenderungan meningkat pada setiap tahun, meskipun kenaikannya relatif kecil (Tabel 16). Untuk Angka Harapan Hidup semula telah mencapai 66,82 tahun pada tahun 2003, naik menjadi 68,12 tahun pada tahun 2008. Sedangkan untuk Angka Melek Huruf, yaitu semula 92,80 persen pada tahun 2003 dan naik menjadi 94,01 persen pada tahun 2008, berarti masih ada sekitar 5,99 persen dari penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang belum bebas dari tiga buta, yakni buta huruf, buta Bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. Tabel 16 Kondisi Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2005-2008 No
Indikator
a. b. c. 2.
Indeks Pendidikan Indeks Kesehatan Indeks Daya beli
Tahun 2005
2006
2007
2008
68.99
69.45
70.18
71,03
77.64 71.10 62.33
78.64 71.97 65.84
79.65 70.97 59.92
78,81 71,87 76,28
67.66 94.46 6.60
68.18 94.82 6.94
67.58 95.78 7.11
68,12 94,01 7,26
569.70
584.90
559.30
830.100
Komponen IPM terdiri dari : a. b. c. d.
Angka Harapan Hidup (AHH) Angka Melek Huruf (AMH) Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Kemampuan Daya Beli Masyarakat (Konsumsi riil perkapita)
Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor, 2009
Sementara itu, untuk Rata-rata Lama Sekolah maka kinerjanya semula 6,18 tahun pada tahun 2003 menjadi 7,26 tahun pada tahun 2008, berarti penduduk Kabupaten Bogor secara rata-rata telah tamat SD, tetapi belum tamat SMP atau belum mencapai rata-rata Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Demikian juga dengan kemampuan daya beli masyarakat, yaitu semula
64
sebesar Rp.551.520,00 per kapita per bulan pada tahun 2003, kemudian menjadi Rp.830.100,00 per kapita per bulan pada tahun 2008, berarti ada kenaikan yang cukup berarti selama lima tahun terakhir.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi dan Perkembangan Investasi Potensi ekonomi dan letak geografis yang strategis merupakan keunggulan yang dimiliki Kabupaten Bogor dalam membangun daerahnya, sehingga untuk mengetahui secara menyeluruh tentang iklim investasi di Kabupaten Bogor perlu mengetahui tentang potensi ekonomi dan perkembangan investasi baik investasi pemerintah maupun swasta khususnya PMA dan PMDN. 5.1.1. Gambaran Potensi Investasi Hampir seluruh sektor mempunyai potensi investasi yang layak untuk dipromosikan sehingga makin banyak investasi merupakan hasil dari nilai tambah dari keunggulan komparatif. Dibawah ini akan diuraikan beberapa keuanggulan komparatif Kabupaten Bogor dari beberapa sektor ekonomi yaitu : 1. Sektor Pertanian Kawasan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan di wilayah Kabupaten Bogor meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan pertanian tanaman tahunan dapat dilihat di Tabel 17. Tabel 17 Potensi Sektor Pertanian di Kabupaten Bogor Tahun 2010 Usaha Usaha Tanaman Pangan
Produksi (Ton) 505.389
Jenis Potensi Unggulan Padi Sawah
7.175
Padi Gogo
6.778
Jagung
2.484
Kacang Tanah
Sumber : Buku Profil Potensi Investasi Kab Bogor, 2010
Lokasi Jonggol,Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Cileungsi, Klapanunggal, Citeureup, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Babakan Madang, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Jonggol, Cileungsi, Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Klapanunggal, Ciawi, Babakanmadang, Tamansari, Cijeruk, Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Citeureup, Gunungputri, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin Jonggol, Sukamakmur, Cariu, Tanjungsari, Cileung-si, Cibinong, Bojonggede, Dramaga, Ciomas, Jasinga, Tenjo, Rumpin
66
2. Sektor Pertambangan Kabupaten Bogor mempunyai sumberdaya non logam terdiri dari : batu gunung, sirtu, batu gamping, trast, lempung, bentonit, zeolit, fosfat, pasir gunung, pasir kuarsa dan tanah urug. Kriteria kawasan pertambangan adalah Kawasan yang memiliki deposit yang secara lingkungan dan ekonomis layak tambang, Kawasan yang apabila dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan memiliki manfaat bagi masyarakat, di luar Kawasan Lindung, tidak berada pada sawah yang beririgasi yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Potensi Sektor Pertambangan di Kabupaten Bogor Tahun 2010 Usaha
Produksi 7.249.465
Bahan Galian Golongan C (ton)
Pasir dan kerikil
116.148
Feldspar
116.148
Tanah Urug
165.744
Panas Bumi
Andesit
461.735
2.586.967 16.462.102
Bahan galian Gol. B (kg)
Jenis Produk Unggulan
1.318.710 736.390.579 3 x 60 MW
Tanah Liat Batu Kapur Trass Emas Perak PLTP
Lokasi Rumpin dan Cigudeg Rumpin dan Cileungsi Parung Panjang Cileungsi, Gunung Sindunr, Parung Panjang Kelapa Nunggal Klapanunggal Parung Panjang, Ciseeng, Rumpin Nanggung Nanggung Pamijahan
Sumber : Profil Investasi Kabupaten Bogor, 2010
3. Sektor Peternakan Pengembangan sektor peternakan di Kabupaten Bogor meliputi unggas, ternak besar dan ternak kecil. Ternak unggas terdiri dari ayam ras petelur, ayam ras pedaging, dan ayam ras pembibit. Ternak besar terdiri dari sapi potong, sapi perah dan kerbau. Sedangkan ternak kecil terdiri dari domba, kambing dan kambing Peranakan Etawa. 4. Sektor Perkebunan Kawasan perkebunan atau berupa kebun campuran yang diperuntukkan bagi tanaman tahunan atau perkebunan yang menghasilkan baik bahan pangan
67
maupun bahan baku industri. Kawasan ini menempati areal dengan lereng berbukit (25-40%), jenis tanah kambisol, mediteran, dan podsolik, bahaya erosi sedang, dan pola penggunaan lahan eksisting tegalan dengan komoditas dominan singkong. Kawasan ini menyebar di berbagai wilayah Kecamatan di Kabupaten Bogor. Kriteria kawasan perkebunan adalah : Bulan kering < 2 bulan, Curah hujan 2.000-3.000 mm/tahun, Drainase sedang s/d baik, Tekstur SL, L, SCL, SiL, Si, CL, SiCL, Kedalaman efektif >100 cm, KTK tanah sedang, pH tanah 5.0-6.0, Total N (sedang), P2O5 sedang, K2O > sedang), Batuan permukaan <3%, memilik skor < 125 yang berada diluar kawasan lindung, secara teknis dapat digunakan untuk kegiatan perkebunan. 5. Sektor Pariwisata Rencana pengembangan kawasan pariwisata di Kabu-paten Bogor adalah sebagai berikut : • Kawasan Pariwisata Pamijahan, meliputi objek dan daya tarik Curug Ciganea, Curug Ngumpet, Curug Seribu, Kawah Ratu, Air Panas GSE. Selain air terjun terdapat objek wisata bumi perkemahan Gunung Bunder di Desa Gunung Bunder; • Kawasan Pariwisata Gunung Salak Endah di Kecamatan Pamijahan, Cibungbulang dan Ciampea, serta Taman Na-sional Gunung Halimun di Kecamatan Nanggung; • Obyek Wisata Goa Gundawang di Kecamatan Cigudeg (desa Cigudeg) Kecamatan Parungpanjang (Desa Lumpang dan Desa Dago), Kecamatan Jasinga (Desa Koleang); • Kawasan Perkebunan Teh Cianten/Puraseda, Batutulis Ciaruteun, Napaktilas Goa Gun dawang, Arung Jeram sungai Cianten, Situ Cibaju; - Kawasan Pariwisata Puncak, meliputi objek wisata Taman Safari, Curug Cilember, Gunung Mas (kebun teh); • Kawasan wisata Lido (wisata air); • Kawasan Wisata Gunung Pancar (air panas); • Kawasan wisata Mekar Sari (Taman Buah).
68
Pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Bogor adalah meningkatkan arus kunjungan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun manca negara melalui pengembangan dan peningkatan dari segi teknis dan non teknis. Pengembangan dari segi teknis adalah meningkatkan daya tarik objek wisata melalui peningkatan aksesibilitas, pengembangan kegiatan dengan ciri khas kawasan. Dari segi non teknis adalah meningkatkan ker-jasama dengan masyarakat, swasta maupun lembaga-lembaga. Pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Bogor diprioritaskan pada : • Pengembangan yang didasarkan pada aspek kebudayaan secara luas; • Meningkatkan sarana dan prasarana akomodasi wisata pada kawasan-kawasan pariwisata • Meningkatkan sarana dan prasarana penunjang objek dan daya tarik yang sedang dan belum berkembang. 6. Sektor Usaha Industri Upaya pengembangan kawasan industri di Kabupaten Bogor diarahkan pada kegiatan yang berskala regional, mengingat adanya potensi sumberdaya yang cukup
banyak.
Klaster
Gunungsindur,
Cibinong,
Ciawi
diarahkan
pengembangannya untuk industri kecil dan sedang, seperti: industri kerajinan, home industry dan lain-lain. Sementara itu, Klaster Klapanunggal, Cariu dan Gunungputri lebih diarahkan pada pengembangan sektor industri berbasis teknologi/manufaktur, seperti: industri elektronika, industri transportasi, industri kimia, dan industri pengolahan hasil tambang seperti terlihat pada Tabel 19. Di Kabupaten Bogor terdapat 3 kawasan yang digambarkan berpotensi untuk dijadikan lahan investasi di bidang Industri, meskipun di luar 3 kawasan ini masih banyak beberapa diantaranya yang juga mempunyai potensi untuk penanaman modal. Pertimbangan salah satunya adalah akses menuju lokasi, sarana penunjang – infrastruktur, dan daya dukung lingkungan. Ketiga kawasan ini adalah: 1. Kawasan Industri Sentul (PT. Bogorindo Cemerlang) 2. Kawasan Industri CCIE (PT. Cibinong Center Industrial Estate) 3. Kawasan Industri Menara Permai (PT. Menara Permai)
69
Kawasan Industri Sentul (PT. Bogorindo Cemerlang) Kawasan industri ini letaknya sangat strategis. Dengan luas lahan 100 Ha, berada 160 meter di atas permukaan laut, dengan iklim kondisi suhu antara 24,95 - 28,33 C. Kelembaban yang relatif 79% sampai 89% dan curah hujan ratarata 0-240 mm. Selain itu akses pintu Tol Langsung yang memudahkan jarak untuk mencapai Kawasan ini antara lain: 1. 70 km dari Bandara Soekarno-Hatta Airport. 2. 50 km dari Tanjung Priok. 3. 45 km dari Jakarta Central Business District (Gatot Subroto- Sudirman) 4. 8 km dari Pusat sentra bisnis Bogor. 5. Dan 3 km dari area komersil Sentul. Tabel 19 Potensi Sektor Industri di Kabupaten Bogor Usaha Industri
Produksi 438.393.825 pcs/thn
Industri Besar
Komponen Kendaraan bermotor
198.241,0 buah/thn
Peralatan Kantor & Logam
165.709 buah/tahun
Kemasan kaleng
169.719 buah/thn 156.241 pcs/thn
450.000 rim/thn 540.000.000 ltr/thn 22.400.000 set/thn 16.800 kodi/thn 255 set/thn 16.712.000 kodi/thn
Industri Kecil dan Menengah
Jenis Potensi Unggulan
Karoseri Mesin Industri
Kertas Air Kemasan Furniture Konveksi/ garmen Meubel Bambu Sepatu, sandal dan tas
63.798 buah/thn
Anyaman Bambu
1.625 buah/thn 4.000 buah/thn
Bunga kering Miniatur pesawat
Lokasi Ciawi, Cibinong, Citeureup, Gunungputri, Sukaraja, Babakan Madang, Parungpanjang Gunungputri, Cileungsi, Cibinong Cileungsi, Babakanmadang, Sukaraja, Gunungputri, Cibinong Cileungsi, Babakanmadang, Sukaraja, Gunungputri, Cibinong Ciampea, Cibinong, Gunungputri, Citeureup, Cijeruk, Cileungsi, Klapanunggal Cibinong, Megamendung, Ciawi Caringin, Ciomas, Cijeruk Sukaraja, Cileungsi, Gunung Putri, Ciseeng, Ciampea, Parung, Kemang, Caringin, Sukamakmur, Tenjo Cibinong, Bojonggede Ciomas, Tamansari, Dramaga, Kemang, Cijeruk, Caringin, Sukaraja, Cariu, Ciawi, Parung Cibungbulang, Tenjo, Ciampea, Cileungsi, Leuwisadeng, Ciampea Dramaga
Sumber : Profil Investasi Kabupaten Bogor, 2010
Infrastruktur dan lingkungan merupakan pendukung untuk kemajuan perkembangan di wilayah Kawasan Industri. Salah satu Infrastruktur di kawasan Industri Sentul Jalan hotmix dengan lebar 14 meter, dengan dinaungi pepohonan di setiap sisi jalannya menjadikan fasilitas ini dapat dilalui Kendaraan dengan kapasitas besar seperti truck 40 feet. Penanaman Tumbuhan dan Ruang terbuka
70
sebanding dengan bangunan yang ada dan berfungsi untuk penyeimbang . Listrik Kapasitasnya adalah 18 MW dengan pendistribusian standar tegangan 20 KV melalui bawah tanah yang ditanam diantara pagar dan daerah Drainase. Pengelola telah menyediakan sarana Drainase di sisi kiri dan kanan area jalan yang berfungsi sebagai aliran air hujan dan aliran air buangan dari setiap gedung menuju sungai. Setiap jarak 50 meter terpasang Penerangan Umum sepanjang kawasan jalan dan tempat-tempat yang dibutuhkan. Terpasang pipa besar sebagai tempat aliran air untuk mencegah Kebakaran. Pipa ini terpasang antara pembatas pagar dan menyebar di area kawasan disetiap 200 meter di sepanjang daerah pinggir jalan. Air bersih diperoleh dengan membangun Artesian, dengan kedalaman 100 meter di bawah permukaan tanah, hasil survei PT. Indeco Prima persyaratan sesuai dengan standar Departemen Kesehatan dan hasil analisis uji sampling air minum dan dapat digunakan untuk kebutuhan produksi atau orang pada umunya. Tabel 20 Nama Perusahaan di Kawasan Industri Sentul Tahun 2010 No.
Nama Perusahaan
Klasifikasi
1
Super Glossindo Indah
Produsen lokal cat komponen motor
2
PT. Mitra Sinterindo
Perusahaan Singapore, produsen shock absorber
3
PT. Iwata Indonesia
Perusahaan Jepang dibidang Kayu
4
PT. Aneka Djakarta Iron Steel
Industri Pipa Baja
5
PT. Arwina Techno Dwima-
Mould Manufacturer
nunggal 6
PT. Arwina Triguna Sejahtera
Plastic Moulding and Injection
7
PT. Bondor Indonesia
Perusahaan Australia, Insulate Panel Pabrikasi
8
PT. Cahaya Buana Intitama
Springbed dan barang rumah tangga
9
PT. Cahaya Buana Kemala
Furniture
10
PT. Estu Karya Utama Grafika
Offset Printing
11
PT. Frina Lestari Nusantara
Automotive Spareparts dan Aksesoris
Sumber : Profil Potensi Investasi Kabupaten Bogor, 2010
Kawasan Industri CCIE (PT. Cibinong Center Industrial Estate) Lokasi kawasan ini berada di Jl Mayor Oking Jaya Atmaja, Desa Bantarjati, Citeureup, Cibinong. Dengan luas area sebesar 103.30 hektar terletak
71
di Desa Bantarjati dan mendapatkan petetapan dari Presiden RI pada saat itu sebagai Kawasan Berikat ( Bonded Zone) sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 30 Tahun 1993 Perihal tentang Penunjukan dan Penetapan Sebagian Wilayah Usaha Kawasan Industri PT. Cibinong Central Industrial Estate sebagai kawasan berikat.
PT. Cibinong Center Industrial Estate PT. Cibinong Center Industrial Estate (PT. CCIE) adalah pengelola kawasan Industri CCIE yang dibangun di lahan bekas Quarry Pabrik semen PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, di desa Bantarjati, Kecamatan Klapanung-gal, Kabupaten Bogor. PT. CCIE didirikan pada tanggal
10 Agustus 1989 dan
memulai kegiatan usaha Komersialnya pada Tahun 1991. Tabel 21 Daftar Perusahaan di Kawasan Industri PT. CCIE No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama Perusahaan PT. Indo Nakaya Abadi PT. Amara Footwear PT. Indographica Ekakarsa PT. Daisen Wood Frame PT. Coats Rejo Indonesia PT. Yasulor Indonesia PT. Indocement Tunggal P. PT. Syngenta Indonesia PT. Unixindo Ekatama Sentana PT. Dimensi Duta Karya PT. Budi Mandiri Cemerlang PT. Mitrasukses Maju Bersama PT. Nusa Sukses Jaya PT. Cahaya Baja PT. Bina Purna Tehnik PT. Putera Bridgestone Eng. PT. ASCO PT. Makmur Jaya Sentosa PT. Cucu Ponco PT. Turima Rajasa Abadi PT. Bangun Usaha Jaya PT. Karya Prima Tatasetya
Sumber : BPT Kabupaten Bogor, 2010.
Jenis Industri Benang Sepatu Percetakan Bingkai Foto Gudang Gudang Gudang Gudang Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop Workshop
72
Ruang Lingkup kegiatan PT. CCIE terutama meliputi Pengembangan Kawasan Industri, pengadaan, penjualan serta penyewaan gedung, pabrik-pabrik dan tanah beserta sarana pendukungnya. Luas tanah keseluruhan yang dimiliki PT. CCIE adalah 103.30 Ha, dengan komposisi tanah kavling Industri sel-uas 47.32 Ha dan tanah yang berstatus sebagai Kawasan Berikat (Bonded Processing Zone) yaitu seluas 19.27 Ha. Dan di kawasan ini terdapat 24 (dua puluh empat) pe-rusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 8.998 orang. Saat ini bangunan Industri di kawasan terdiri dari 77 ban-gunan dengan 2 bangunan se-bagai sarana penunjang, 1 Office atau Service Center, dan memiliki 1 bangunan untuk Water Treatment. Sementara jarak dari Pelabuhan Tanjung Priok 60 km, jarak dari Airport Sukarno-Hatta 75 km, jarak menuju Pusat Kota Jakarta 40 km, dan jarak dari Pintu Tol Gunung Putri 4 km.
5.1.2. Analisis Potensi Investasi
Dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ), diketahui bahwa di Kabupaten Bogor selama periode 2007-2009 terdapat dua sektor ekonomi yang bisa dijadikan sebagai sektor ekonomi basis atau potensial, hal ini dapat dilihat dari angka rasio masing-masing sektor ekonomi yang menunjukan nilai lebih dari satu, lihat
Tabel 22 sektor basis tersebut terdiri atas :
1. Sektor industri pengolahan 2. Sektor listrik, gas dan air bersih Untuk nilai indeks LQ yang sama dengan satu atau lebih mengandung pengertian bahwa, penduduk suatu daerah dapat memenuhi kebutuhannya akan suatu barang dengan hasil industri sendiri, atau daerah tersebut mampu mengekpor hasil industrinya ke luar daerah. Misalnya sektor industri pengolahan dengan rata-rata LQ sebesar 1,394 artinya (0,394/1,394) 28 persen secara teoritis perdagangannya dapat diekspor sedangkan sisanya 72 % dapat dikonsumsi sendiri. Dari tabel di bawah ini terlihat bahwa sektor tradisional/primer (sektor pertanian) bukan lagi menjadi sektor potensial, hal ini seiring dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi daerah bahwa salah satu ciri kemajuan ekonomi tersebut indikatornya adanya pergeseran struktur kegiatan ekonomi
73
masyarakat dari sektor primer menuju ke arah sektor modern (tersier). Indikasi ini terlihat jelas di Kabupaten Bogor bahwa sektor sekunder dan sektor tersier memiliki potensi yang relatif meningkat pada analisis LQ seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, transportasi dan komunikasi, serta sektor jasajasa, sedangkan sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian (sektor primer) memperlihatkan penurunan dalam analisis LQ. Tabel 22 Sektor Potensial (Analisis LQ) di Kabupaten Bogor tahun 2007 - 2009
No.
Sektor
2007
LQ 2008
2009
RataRata
1
Pertanian
0,390
0,397
0,367
0,385
2
Pertambangan dan Penggalian
0,470
0,471
0,449
0,463
3
Industri Pengolahan
1,404
1,357
1,421
1,394
4
Listrik, Gas dan Air bersih
1,772
1,788
1,559
1,706
5
Bangunan dan Konstruksi
0,933
0,911
0,939
0,928
6
Perdagangan, hotel, dan restoran
0,783
0,816
0,801
0,800
7
Transportasi dan Komunikasi
0,621
0,662
0,669
0,651
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
0,542
0,554
0,556
0,550
0,595
0,616
0,625
0,612
9 Jasa-Jasa Sumber : Kabupaten Bogor dalam Angka 2010, BPS
Dilihat
PDRB
per
wilayah
di
Kabupaten
Bogor
(Tabel
23)
memperlihatkan bahwa Wilayah Timur mempunyai PDRB yang sangat besar hal ini diakibatkan Wilayah Timur merupakan tempat konsentrasi dari pertumbuhan industri di Kabupaten Bogor. Tabel 23 PDRB Berdasarkan Harga Konstan per Wilayah Tahun 2002 2003 2004 2005
Wilayah Tengah 5.157.911 5.242.464 5.248.344 5.399.108
Barat 1.702.191 1.697.895 1.689.731 1.634.461
Sumber : Presentasi Percepatan Pertumbuhan Kabupaten Bogor, IPB
Timur 13.124.411 12.819.697 13.270.965 13.573.937
74 5.1.3. Analisis Perkembangan Investasi
Kegiatan investasi di Kabupaten Bogor diharapkan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui kegiatan investasi akan terjadi penyerapan tenaga kerja, alih teknologi dan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berimplikasi pula pada dinamika perekonomian daerah. Pertumbuhan ekonomi suatu negara yang baik biasanya ditunjang dengan masuknya investasi secara reguler di negara tersebut. Pertumbuhan ini akan lebih baik lagi jika negara tersebut dapat bersaing dengan negara lain dalam memasarkan hasil produksinya dari investasi yang masuk tersebut. 1. Perkembangan Investasi Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah melalui belanja modal telah melakukan berbagai investasi untuk memperbaiki hal-hal mendasar seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan, pembangunan gedung sekolah, perkantoran pemerintah dan lain-lain, dari tahun 2003 sampai dengan 2010 laju pertumbuhan belanja modal pemerintah makin meningkat dari sebesar Rp130 milyar tahun 2003 menjadi sebesar Rp. 468 milyar, namun jika dilihat dari pertumbuhan selain peningkatan, ada juga penurunan yaitu pada tahun 2010 sebesar 16,74 persen terlihat pada Tabel 24. Tabel 24 Jumlah Belanja Modal Pemda Kabupaten Bogor Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata
Belanja Modal 130.622.286.000 211.403.997.000 308.899.857.000 355.380.377.000 422.346.557.000 467.177.434.000 562.854.514.000 468.640.122.000 365.915.643.000
Laju Pertumbuhan (%) 61,84 46,12 15,05 18,84 10,61 20,48 -16,74
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2010
Belanja daerah Kabupaten Bogor sejak sebelum otonomi sampai sekarang otonomi daerah sangat didominasi oleh belanja pegawai tidak langsung yang berupa gaji dan tunjangan lainnya, ini secara tidak langsung sangat
75
menyulitkan Pemerintah Daerah untuk melakukan perbaikan sarana dan prasarana seperti pembangunan jalan, jembatan, sarana pendidikan dan sarana kesehatan. Belanja pegawai Kabupaten Bogor setiap tahunnya rata-rata mencapai 37 persen dari APBD Kabupaten Bogor. Jika dibandingkan dengan belanja modal untuk sarana dan prasarana mendasar, maka belanja modal relatif berfluktuasi antara 15 – 25 persen dapat dilihat pada Gambar 25. Persen 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2003
Belanja Pegawai Tidak Langsung Belanja Non Pegawai Belanja Pegawai Langsung Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 Tahun
Sumber : Bappeda Kabupaten Bogor, 2010
Gambar 25 Perbandingan Belanja Kabupaten Bogor Dalam beberapa tahun terakhir PDRB Kabupaten Bogor berdasarkan penggunaan dapat dilihat dalam Gambar 26, lebih banyak dipengaruhi oleh pengeluran konsumsi baik itu konsumsi masyarakat, pemerintah maupun konsumsi lembaga non profit, terjadi peningkatan dari 52,82 pada tahun 2006 persen menjadi 54,52 persen pada tahun 2009, hal ini menjadikan pertumbuhan ekonomi naik tetapi tidak signifikan. Pengaruh tingkat pengeluaran pemerintah di wilayah Kabupaten Bogor hanya sekitar 10 persen dari total PDRB, sehingga kegiatan investasi maupun belanja operasional dari pemerintah hanya memberikan kontribusi 10 persen terhadap laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor.
76 peersen 6 60.00 52.82
53.32
53.78
Penggeluaran Konssumsi RT
54.52
5 50.00
Penggeluaran Konssumsi Lem mbaga Non Pro ofit
4 40.00 3 30.00 2 20.00 1 10.00
Penggeluaran Konssumsi Pem merintah
21.54 2 21..04 7 20.57 19.95 15.35 15.24 5.17 15 91 14.9 4.75 4.75
4.90 40 4.72
5.06 65 4.6
5.31 4.53
Pem mbentukan Mo odal Tetap Brutto
20 006
2007 7
2008
2009
Peru ubahan Stock
‐
tahun
S Sumber : BPS Kabupaten Bogor, 2010
Gambbar 26 PDRB B Berdasarkkan Penggu unaan Kabuppaten Bogorr 2. Peerkembanggan PMA dan d PMDN Berdasarkan anallisis tipoloogi klasen terhadap perkembanngan nilai invesstasi kabupaaten/kota see-Jawa Baraat dari tahun n 2008 - 20010, Kabupaaten Bogor beradda pada klasifikasi k d daerah majju tetapi tertekan t (kkuadran IIII), hal ini menggindikasikann bahwa invvestasi Kabbupaten Bog gor masih berada b di ataas rata-rata nilai investasi Jawa Barat namun n dalaam pertumb buhan nilai investasinyya masih di bawaah pertumbuuhan nilai investasi i Prrovinsi Jaw wa Barat sebbagai daerahh referensi seperrti dapat dillihat pada Tabel T 25 dibawah ini. Jika melihat m nilaii investasi dari beberaapa daerah dengan luaas wilayah yangg tidak terlaalu jauh berrbeda, makka Kabupateen Bogor mempunyai m kontribusi yangg sangat keecil dibandiingkan Kabbupaten Beekasi, Kabuupaten Karaawang dan Kabuupaten Purrwakarta. Hal H ini meengindikasik kan bahwaa peluang Kabupaten Bogoor sebagai hinterland (daerah penyangga) DKI D Jakartaa, masih beelum dapat dimaanfaatkan secara maksimal. PDRB yang meruppakan indikkator makro perekonom mian Kabupaaten Bogor lebihh didominasi oleh penngeluaran konsumsi k RT, R
padahhal Kabupaaten Bogor
meruupakan kaw wasan dengann posisi geoografis yang g sangat straategis, karenna menjadi simppul dari 3 provinsi, p yaakni DKI Jaakarta, Banten dan Jaw wa Barat. K Kondisi ini menjjadikan Kaabupaten Bogor B sanggat potenssial dan memiliki m kkeunggulan kompparatif sebaagai tempatt berinvestaasi, terlebih h didukung prasarana fisik yang mem madai serta kemudahan k sistem perizzinan satu pintu. p
77
Tabel 25 Pertumbuhan PMDN & PMA Kabupaten/Kota di Jawa Barat Berdasarkan Analisis Tipologi Klasen Rata-Rata Xi > X
Xi < X
Pertumbuhan
gi > g
gi < g
Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kota Kabupaten Kabupaten Purwakarta dan Bandung, Sukabumi, Kabupaten Kabupaten Bekasi Bandung, Kabupaten Cirebon, Kota Cimahi, dan Kabupaten Cianjur Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor Kota Bekasi, Kota Cirebon, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kota Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Ciamis
Perkembangan investasi di Kabupaten Bogor sejauh ini tumbuh masih belum maksimal jika dibandingkan dengan kabupaten/kota di Jawa Barat khususnya Kabupaten Bekasi (37,48 persen), Kabupaten Karawang (30,51 persen) dan Purwakarta (11,94 persen) yang mempunyai kontribusi cukup tinggi terhadap nilai investasi Jawa Barat dapat dilihat dari Tabel 26. Tabel 26 Kontribusi Investasi Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2010 Peringkat
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten Bekasi Kabupaten Karawang Kabupaten Purwakarta Kabupaten Bogor Kabupaten Sukabumi Kabupaten Bandung Kota Bandung Kota Bekasi Kabupaten Subang Kabupaten Indramayu
Jml. Proyek 184 64 18 40 33 22 11 14 15 1
Sumber : BKPMD Jawa Barat 2010
Nilai Investasi Kontribusi (Dalam juta rupiah) 18.619.645 37,48 15.156.768 30,51 5.929.207 11,94 2.235.114 4,50 1.646.605 3,31 1.539.520 3,10 1.212.425 2,44 967.161 1,95 572.996 1,15 436.031 0,88
78
Relatiff kecilnya investasi di d Kabupateen Bogor salah satu akibatnya adalaah sedikitnnya kawasaan industri yang diseediakan Peemerintah Kabupaten Bogoor, kawasann industri dii Kabupatenn Bogor meempunyai luuas sekitar 3300 hektar, hal inni masih saangat kecil jika j dibanddingkan Kab bupaten Bekkasi yang m mempunyai kawaasan industtri seluas 6.219 6 hektaar, Kabupatten Karawaang 5.500 hhektar dan Kabuupaten Purw wakarta sekkitar 1.600 hektar lihaat Gambar 27. Salah satu yang cukuup menarik dari dibenntuknya kaw wasan indu ustri adalahh akses ke jalan Tol, listrikk, dan fasillitas air berrsih yang suudah tersed dia dan diraancang sehingga tidak menyyulitkan baggi pelaku ussaha.
Hektar 8000
Bekasi
6000
Bogorr Karaw wang
4000
Purwaakarta
2000 0 Kabuppaten Sumber : Proofil Potensi Invvestasi Kabupateen Bogor
Gambaar 27 Perbaandingan Luuas Kawasaan Industri di d Jawa Baraat Berdasarkan kontrribusi sektor usaha se-JJawa Barat,, maka sekttor industri yaituu industri laainnya, inddustri logam m, mesin daan elektroniik, industri karet dan plasttik, industri kimia dan farmasi, inddustri makaanan, industtri tekstil saangat besar sekalli kontribusinya dalam PMA dan PMDN P di Jawa Barat lebih l dari 500 persen di tahunn 2010 dapaat dilihat paada Tabel 277.
79
Tabel 27 Nilai Investasi Jawa Barat 2010 berdasarkan Sektor Usaha Rating
Jml. Proyek
Sektor Usaha
Investasi (dalam juta rupiah)
Kontribusi (persen)
1
Industri Lainnya
55
12.653.385
25,47
2
Ind. Logam, Mesin & Elektronik
101
9.365.827
18,85
3
Ind. Karet dan Plastik
51
8.453.090
17,02
4
Ind. Kimia dan Farmasi
29
4.858.593
9,78
5
Industri Makanan
34
3.522.745
7,09
6
Industri Tekstil
68
3.299.783
6,64
7
Listrik, Gas dan Air
4
2.971.500
5,98
8
Ind. Barang Dari Kulit & Alas Kaki
9
908.080
1,83
9
Konstruksi
1
900.000
1,81
10
Ind. Kendaraan Bermotor
23
873.732
1,76
11
Perdagangan & Reparasi
29
801.330
1,61
12
Ind. Kertas dan Percetakan
8
526.169
1,06
13
Jasa Lainnya
11
324.500
0,65
14
Hotel & Restoran
2
122.500
0,25
15
Ind. Instru. Kedokteran, Presisi & Optik dan Jam
2
43.221
0,09
16
Peternakan
1
35.000
0,07
17
Industri Kayu
3
16.000
0,03
18
Perumahan, Kawasan Ind & Perkantoran
1
3.000
0,01
19
Tanaman Pangan & Perkebunan
0
0
0,00
20
Kehutanan
0
0
0,00
21
Perikanan
0
0
0,00
22
Pertambangan
0
0
0,00
23
Ind. Mineral Non Logam
0
0
0,00
24
Transportasi, Gudang & Komunikasi
0
0
0,00
Total
432
49.678.460
100,00
Di Kabupaten Bogor pada tahun 2009 telah terealisasi 39 proyek yang telah menyerap dana investasi sebesar Rp 4.347.831.681.596 yang terdiri atas investasi PMA sebesar Rp 3.684.455.031.596 dengan 32 proyek dan investasi PMDN sebesar Rp 663.376.650.000 dengan 7 proyek, sehingga menempatkan Kabupaten Bogor sebagai peringkat ketiga di Jawa Barat dalam aspek investasi.
80
Tabel 28 Nilai Investasi PMA di Kabupaten Bogor Nilai Investasi
Jumlah
Tahun
Proyek
US$
Rupiah
Peringkat di Jawa Barat
2003
19
83.167.232
706.921.474.210
5
2004
27
135.881.006
1.222.929.054.000
3
2005
26
69.702.336
679.597.775.098
3
2006
37
210.479.790
1.948.233.566.032
3
2007
28
131.188.467
1.198.543.933.250
3
2008
38
142.542.553
1.425.425.534.779
7
2009
32
3.684.455.031.596
3
2010
57
2.288.003.957.073
5
Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, 2010
Namun di tahun 2010, nilai investasi di Kabupaten Bogor mengalami penurunan menjadi Rp 2.791.253.129.336 baik itu investasi PMA sebesar Rp. 2.288.003.957.073 dengan 57 proyek maupun investasi PMDN sebesar Rp 503.249.172.263 dengan 20 proyek. Dari segi peringkat, Kabupaten Bogor memiliki kecenderungan bahwa investasi sering mengalami fluktuasi. Tabel 29 Nilai Investasi PMDN di Kabupaten Bogor
Tahun
Jumlah Proyek
Rupiah
Peringkat di Jawa Barat
2003
4
44.510.800.000
6
2004
8
698.463.367.000
2
2005
9
90.009.052.080
7
2006
1
6.457.500.000
9
2007
5
180.029.302.400
3
2008
9
320.453.446.048
6
2009
7
663.376.650.000
2
2010
20
503.249.172.263
5
Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, 2010
81
5.2. Aktor dan Faktor yang Mempengaruhi Investasi Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar investasi, pengusaha dan pemerintah dengan menggunakan beberapa sumber terkait faktor-faktor yang mempengaruhi investasi baik dari KPPOD maupun Bank Dunia maka ditetapkan 4 level yang mempengaruhi investasi swasta di Kabupaten Bogor yaitu tujuan (level 1), pelaku (level 2), faktor (level 3) dan Sub Faktor (level 4) seperti terlihat pada Gambar 28 dibawah ini.
Gambar 28 AHP Strategi Peningkatan Investasi di Kabupaten Bogor
Berdasarkan hasil kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP) dari beberapa ahli investasi dari Kabupaten Bogor, maka dapat diuraikan beberapa pelaku yang mempengaruhi investasi dan juga faktor-faktor serta sub-faktor yang mempengaruhi investasi sebagai berikut :
82
5.2.1. Aktor Berdasarkan Tabel 30 maka aktor utama yang mempengaruhi investasi di Kabupaten Bogor adalah Pemerintah dengan nilai 0,480, hal ini dapat sejalan dengan hasil penelitian Bank Dunia yang mengatakan bahwa pemerintah sangat bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan kinerjanya dalam membangun fondasi dasar dari suatu iklim investasi di suatu wilayah. Bank Dunia melakukan penelitian terhadap 4 faktor yang mempengaruhi iklim investasi di suatu wilayah yaitu faktor stabilitas dan kepastian hak, peraturan dan perpajakan, pendanaan dan infrastruktur, dan para pekerja dan pasar tenaga kerja. Dari beberapa wawancara yang telah dilakukan terhadap narasumber, pada dasarnya pemerintah merupakan aktor utama yang mempengaruhi investasi karena pemerintah merupakan pembuat peraturan dan juga pelaksana peraturan, dua fungsi inilah yang dinilai narasumber menjadikan pemerintah sangat berperan dalam mempengaruhi investasi di suatu daerah. Sementara DPRD mempunyai tingkat kepentingan 0,311 lebih berperan dalam monitoring dan juga legalisasi peraturan yang dibuat oleh eksekutif (pemerintah daerah). Tabel 30 Urutan Prioritas Aktor yang Mempengaruhi Iklim Investasi No. 1. 2. 3. 4.
Aktor Pemerintah Pengusaha DPRD Kabupaten Bogor Lembaga Swadaya Masyarakat
Nilai 0,480 0,084 0,311 0,059
Dua unsur pemerintahan daerah yang berperan besar terhadap jalannya pembangunan di daerah adalah DPRD (Legislatif) dan Pemerintah Daerah (Eksekutif). Selain peran serta masyarakat dan kalangan dunia usaha, jalannya pembangunan di daerah paling besar dipengaruhi hubungan antara kedua unsur tersebut, dalam menjalankan fungsi masing-masing. Namun dalam praktiknya hubungan kedua unsur pemerintahan tersebut seringkali justru menghambat kegiatan pembangunan. Pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab eksekutif, seringkali terhambat oleh hubungan yang tidak harmonis dengan pihak legislatif (KPPOD, 2005).
83
5.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder terkait seperti Pemerintah Daerah, DPRD Kabupaten Bogor, Pengusaha dan pakar ditetapkan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi investasi di Kabupaten Bogor yaitu : 1. Faktor Kelembagaan 2. Faktor Potensi Daerah 3. Faktor Ketenagakerjaan 4. Faktor Infrastruktur Hasil olahan data pada Tabel 31 menunjukan bahwa faktor kelembagaan sebesar 0,423 merupakan faktor yang mempunyai tingkat kepentingan yang sangat besar dan sangat mempengaruhi naik turunnya investasi di Kabupaten Bogor. Hasil wawancara menunjukkan bahwa bukan berarti potensi ekonomi dan ketenagakerjaaan sudah membaik namun sampai saat ini khususnya tenaga kerja masih bisa disediakan dari daerah lain seperti beberapa kabupaten/kota di Pulau Jawa. Sedangkan potensi ekonomi Kabupaten Bogor dirasakan masih sangat besar dibandingkan daerah lain khususnya lokasi Kabupaten Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Jakarta dan mudah diakses serta berbagai sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Namun dari sisi infrastruktur khususnya jalan masih sangat minim ini diperlihatkan dari rasio jalan dengan kendaraan setiap tahunnya yang mengalami kenaikan namun masih kecil bahkan akibat kurangnya pertambahan jalan menyebabkan beberapa titik sering terjadi kemacetan. Tabel 31 Urutan Prioritas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi No.
Faktor-Faktor
Nilai
1.
Kelembagaan
0,423
2.
Potensi Ekonomi Daerah
0,124
3.
Ketenagakerjaan
0,067
4.
Infrastruktur Fisik
0,270
84
1. Faktor Kelembagaan Kelembagaan dalam penelitian ini mencakup 3 hal yaitu biaya perizinan, kecepatan dan ketepatan penyelesaian perizinan, serta kejelasan prosedur perizinan. Dari hasil rekapitulasi data olahan pada Tabel 32, kejelasan prosedur Perizinan merupakan sub faktor utama yang mempengaruhi iklim investasi di Kabupaten Bogor mendapatkan nilai lokal 0,490 dan nilai global 0,241. Kejelasan prosedur perizinan ini termasuk didalamnya kejelasan biaya perizinan dan kejelasan waktu penyelesaian perizinan, hal ini menjadi sub faktor yang penting karena dengan adanya kejelasan biaya dan waktu maka sangat berhubungan dengan planning suatu rencana investasi. Tabel 32 Urutan Prioritas Sub Faktor Kelembagaan No.
Sub Faktor
1.
Biaya Perizinan
2.
Kecepatan
Nilai 0,075
dan
Ketepatan
0,401
Penyelesaian Perizinan 3.
Kejelasan prosedur perizinan
0,457
a. Biaya Perizinan Masalah birokrasi perizinan usaha diyakini masih menjadi faktor yang sangat signifikan dalam menciptakan daya tarik investasi. Salah satu bentuk kebijakan yang populer di tingkat daerah dalam rangka otonomi daerah adalah perizinan. Sebagai instrumen pengendalian, perizinan dipandang oleh beberapa daerah (pemerintah daerah) memiliki posisi yang penting, yaitu: di satu sisi merupakan wujud nyata dari kewenangan daerah (otonomi politik), dan di sisi lain merupakan sumber pendapatan daerah (otonomi ekonomi). Dalam konteks ini, maka tidaklah mengherankan apabila salah satu perwujudan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah semakin banyaknya izin yang harus dikantongi oleh swasta dan masyarakat untuk melakukan sesuatu. Konsekuensi dari banyaknya izin adalah banyaknya beban yang harus ditanggung oleh masyarakat atau swasta
85
untuk “melegalkan” kegiatan yang hendak mereka lakukan, ini menandakan bahwa biaya perizinan atas suatu kegiatan di masyarakat makin tinggi. Dalam hal biaya, berdasarkan penelitian KPPOD tahun 2005 di Indonesia menyatakan bahwa pelaku usaha masih harus memberikan biaya tambahan diluar biaya resmi yang yang telah ditetapkan. Secara statistik barangkali angka ini tidak terlalu besar, namun penting untuk kita perhatikan. Besarnya tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku usaha dalam mengurus perizinan usaha mereka bervariasi tergantung dari besarnya biaya resmi yang telah ditetapkan. Namun secara rata-rata besarnya tambahan biaya tidak resmi adalah sebesar 109.36% dari biaya yang telah ditetapkan secara resmi (KKPOD, 2005). Di Kabupaten Bogor sendiri biaya tambahan ini sering dikenakan pada saat pengusaha akan memulai usaha yaitu pada saat suatu investasi membutuh persetujuan dari SKPD, Lurah, Camat, dan warga. Hal ini terjadi karena kejelasan biaya dan waktu hanya diberlakukan pada saat pelayanan terpadu di BPT Kabupaten Bogor. Selain itu juga ada beberapa persyaratan yang masih dilakukan oleh dinas terkait seperti site plan yang dilakukan oleh Dinas Tata Ruang yang berdasarkan hasil penelitian masih belum menggunakan standar operasional prosedur. Bagi para pelaku usaha, ketidakpastian waktu untuk memproses perizinan yang harus mereka peroleh untuk kegiatan usaha mereka adalah adanya tambahan opportunity cost. Opportunity cost ini tentunya akan menghambat kegiatan usaha mereka. Tambahan waktu juga berarti adanya tambahan biaya jika mereka ingin segera memperoleh perizinan yang diinginkan. Karena biasanya untuk mempercepat waktu proses perizinan, para pelaku usaha harus mengeluarkan biaya ekstra, diluar biaya resmi. Hal ini belum ditambah dengan biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya
b. Kecepatan dan Kejelasan Pelayanan Perizinan Persoalan yang juga muncul terkait dengan perizinan adalah proses bagaimana swasta atau masyarakat dapat memperoleh/mengurus perizinan tersebut. Prosedur yang panjang dan berbelit, kepastian waktu, dan biaya, merupakan persoalan klasik yang dialami di Indonesia.
86
Dalam mekanisme perizinan baik untuk PMA maupun untuk PMDN, Pemerintah Kabupaten Bogor melalui Badan Perizinan Terpadu telah menerapkan sistem One Stop Service (OSS) yang terintegrasi. Melalui Badan ini diharapkan pelayanan perizinan dilaksanakan sesuai dengan asas Kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, akuntabilitas, efesiensi dan efektivitas. Pembentukan Badan Perizinan Terpadu diharapkan pula dapat menciptakan iklim yang mendorong kearah terciptanya keseragaman pola dan langkah penyelenggaraan dan pelayanan oleh aparatur pemerintah pada masyarakat serta adanya keterpaduan koordinasi dalam proses pemberian dokumen perizinan. Berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Bogor No. 16/2009 tanggal 16 Maret 2009 ada sebanyak 21 perizinan yang dapat dilakukan di Badan Perizinan Kabupaten Bogor sesuai Tabel 33. Dari tabel perizinan di bawah ini terlihat bahwa perizinan Kabupaten Bogor telah terintegrasi. Namun berdasarkan informasi dari para pengusaha, walaupun perizinan tersebut sudah terintegrasi, sudah jelas waktu dan prosedurnya, tetapi masih ada beberapa persoalan yang cukup penting dan harus segera diperbaharui sperti persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka perizinan masih belum menggunakan Standar Operasional Prosedur yang dijalankan oleh Badan Perizinan Terpadu, sehingga biaya, waktu dan prosedur perizinan masih belum pasti. salah satu persyaratan yang paling membuat resah pengusaha adalah surat persetujuan lurah, camat, dan warga sekitar yang cenderung masih sulit bahkan dipersulit, waktu dan biaya tidak pasti serta tidak bisa dipertanggungjawabkan, padahal untuk untuk perusahaan yang mempunyai
kualifikasi
internasional
segala
biaya
harus
dapat
dipertanggungjawabkan dan pasti. Sebelum mengajukan permohonan untuk memperoleh perizinan untuk mendirikan bangunan, para pihak pembangun harus mendapatkan beberapa perizinan pra-persetujuan dari berbagai instansi dan pihak seperti, antara lain, dinas tata kota, dinas tata ruang, dan kelurahan. Hal ini dapat memakan waktu banyak dan memerlukan kunjungankunjungan yang sebenarnya tidak diperlukan ke beberapa kantor yang berbeda. Penggabungan izin-izin pra-persetujuan tidak berarti izin-izin tersebut ditiadakan sama sekali. Di banyak tempat, para pihak
87
yang berwenang tidak mengetahui bahwa informasi yang sama secara berulang kali dikaji oleh sejumlah instansi lain atau bahwa beberapa instansi lebih cocok untuk mengemban sejumlah tanggung jawab tertentu dibandingkan dengan instansi-instansi lainnya. Negara-negara yang melakukan reformasi di bidang ini biasanya memulai dengan melakukan pemetaan seluruh proses konstruksi untuk mengidentifikasi area dimana terdapat hal-hal yang saling tumpang tindih dan titik-titik hambatan. Di Republik Kyrgyztan, Serikat Pembangun mengidentifikasi masalah-masalah yang paling penting terkait dengan proses konstruksi pada tahun 2007. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, mereka menyusun rencana untuk menyederhanakan sejumlah prosedur. Proposal tersebut merupakan kunci dalam mendorong reformasi besar-besaran yang didukung oleh pemerintah pusat pada tahun 2008. Hong Kong (Cina) dan Latvia juga memiliki pengalaman serupa (Doing Bussiness Indonesia, 2010). Tabel 33 Jenis Perizinan dan Lama Perizinan di Kabupaten Bogor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Jenis Perizinan Izin Lokasi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah ( IPPT ) Izin Mendirikan Bangunan Izin Gangguan ( HO ) & Surat Izin Tempat Usaha ( SITU ) Tanda Daftar Perusahaan ( TDG ) & Surat Keterangan Penyimpanan Barang ( SPKB ) Tanda Daftar Industri ( TDI ) Persetujuan Prinsip Kawasan Industri Izin Usaha Kawasan Industri Izin Usaha Industri ( IUI ) Izin Perluasan Industri Izin Perluasan Kawasan Industri Persetujuan Prinsip Industri Surat Izin Usaha Perdagangan ( SIUP ) Tanda Daftar Perusahaan Izin Usaha Pariwisata Izin Usaha Jasa Konstruksi Izin Usaha Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah Izin Pengambilan Air Bawah Tanah Izin Pengeboran Air bawah tanah Izin Penyelenggaraan Reklame Izin Pembuangan Air Limbah
Sumber : Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor
Lama Perizinan 14 14 12 12 5 5 5 10 14 14 10 10 12 5 3 3 7 12 14 14 14 10 10
88
c. Kejelasan K Prrosedur Peerizinan Walauppun perizinaan di BPT Kabupaten Bogor sudaah sangat teerintegrasi, namuun masih beelum adanyaa pelayanann perizinan paralel p yangg makin meemudahkan penggusaha, sepeerti perlu addanya suatuu mekanisme perizinan bagi penguusaha yang mem merlukan perrizinan sekaaligus seperrti Surat Izin n Tempat Usaha U (SITU U), dimana penggusaha haruus memerlukkan Izin Lookasi dan Izzin Mendiriikan Bangunnan (IMB) dan juga j Izin Gaangguan. Sampaii saat ini menurut m bebberapa peng gusaha ketiiga perizinaan tersebut terpisah sehinggga untuk mendapat m suuatu izin terrtentu haruss menungguu beberapa izin awal yangg cukup lam ma. Kalau melihat Gambar G 29 di bawah ini untuk menddapat Izin Gangguan G m maka prosess yang haru us dilalui maksimal m meencapai 38 hari atau lebihh dari satu bulan, naamun jika sudah mennggunakan pelayanan perizzinan paraleel maka bissa menghem mat waktu yang dibutuuhkan kareena seluruh perizzinan tersebbut sudah secara inttegrasi berada atau dikerjakan d di Badan Perizzinan terpaddu Kabupateen Bogor.
• Biaya : Luas ttanah x retribusi W hari • Waktu : 14 h keerja
IMB •Biaya : beerdasarkan volume , fungsi dan luas banggunan •Waktu : 1 12 hari
Izin Lo okasi
•Biayya Sesuai retrribusi izin gan ngguan •Waaktu : 12 hari
Izin Ganggguan (HO O)
Gambbar 29 Prosees Perizinan n Belum Parralel
2. Faaktor Poten nsi Ekonom mi Daerah Dalam Tabel 34 terlihat t bahhwa Daya Beli B Masyarrakat (penddapatan per Kapiita) mempuunyai nilai yang paling besar 0,2 292, hal ini sesuai deengan teori ekonnomi yang mengatakan m bahwa suattu perusahaaan akan meelakukan invvestasi jika
89
terdapat pasar yang menguntungkan. Pada dasarnya Kabupaten Bogor mempunyai PDRB Perkapita yang cukup tinggi dengan penduduk yang besar, hal ini tentu menjadi pasar yang sangat menarik bagi setiap perusahaan yang akan berinvestasi di Kabupaten Bogor. Kedekatan suatu daerah dengan pusat pertumbuhan ekonomi, akan memacu pertumbuhan daerah yang bersangkutan akibat aglomerasi dan multiplier effects dari pusat pertumbuhan ekonomi di dekatnya. Dalam hal ini, kota merupakan pusat pertumbuhan ekonomi dan pusat kegiatan ekonomi produktif, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah-daerah di sekitarnya. Dari beberapa nara sumber memperlihatkan bahwa Kabupaten Bogor mempunyai iklim dan letak geografis yang sangat menguntungkan yang merupakan suatu modal awal
bagi
terciptanya
kegiatan
ekonomi,
yang
mampu
meningkatkan
perekonomian daerah. Apabila sumber daya alam yang ada dapat dikelola secara baik, tentunya akan mendatangkan multiplier effects bagi kegiatan ekonomi lainnya.
Tabel 34 Urutan Prioritas Sub Faktor Potensi Ekonomi Daerah No. 1.
Pelaku Daya
Beli
Lokal
Masyarakat
(PDRB
0,292
(Pertanian,
0,209
Perkapita) 2.
Struktur
Perekonomian
Perindustrian dan Perdagangan) 3.
Tingkat Kemahalan Investasi
0,226
a. Daya Beli Masyarakat Daya beli masyarakat dapat diukur dengan PDRB per kapita yang merupakan nilai PDRB dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB per kapita ini secara umum memberikan gambaran tingkat pendapatan ratarata setiap penduduk, yang menggambarkan secara umum kesejahteraan masyarakat. Perkembangan PDRB per Kapita Kabupaten Bogor dan beberapa Kabupaten lain di Jawa Barat (Gambar 30) memperlihatkan peningkatan selama
90
enam m tahun teraakhir (2003-2008), baiik berdasark kan harga berlaku b mauupun harga konstan.
25000 20000 2006 15000
2007 2008
10000
2009 5000 0 Karawang
Purwakartaa
Bogo or
Bekasi
Sumber : Jabar dalam d Angka 20010
G Gambar 30 PDRB per Kapita Kabb. Harga Ko onstan Kab. Karawang, Kab. Purwakartaa, Kab. Boggor, dan Kab b. Bekasi taahun 2006 - 2009
Berdasarkan hargga berlaku meniingkat
daari
PDRB per kapita Kabupatten Bogor
6.832.871,38/kapiita/tahun
pada
tahhun
2003
menjadi
12.2330.071,91/kkapita/tahunn pada tahhun 2007, sedangkann berdasarkkan harga konstan meninngkat dari 6.298.027/kapita/tahu un pada tahun t 20033 menjadi 6.9133.589/kapitaa/tahun padda tahun 2009. 2 Hal ini menunnjukan bahwa terjadi pertuumbuhan PD DRB per kaapita, baik secara s nomiinal maupunn secara riill, sehingga mem mberikan
g gambaran
terjadinya
peningkattan
kesejaahteraan
m masyarakat
Kabuupaten Bogor dari sisi pendapatann (Laporan Akhir Bapppeda, 20099) . Namun jika dibandingkkan dengann beberapaa
kabupatten lain yaang secara geografis
mem mpunyai kesamaan dan masih di wilawah w Jaw wa Barat, maka PDRB per Kapita Kabuupaten Bogoor masih jauuh lebih keccil. b. Sttruktur Ek konomi Jika dilihat dari struktur s ekoonomi Kabu upaten Boggor, pada taahun 200320088 terlihat baahwa kelom mpok sektorr sekunder (industri manufaktur, m listrik, gas
91
dan air serta bangunan) memberikan kontribusi terbesar, yaitu rata-rata sebesar 70,01 persen kemudiaan diikuti sektor tersier (perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, jasajasa lainnya) dengan rata-rata sebesar 23,40 persen, sedangkan kontribusi terkecil adalah sektor primer (pertanian dan pertambangan), yaitu rata-rata hanya 6,04 persen. Struktur perekonomian Kabupaten Bogor pada tahun 2008 sudah mulai bergeser ke sektor tersier, meskipun tambahan kenaikan masih relatif kecil. Perkembangan struktur perekonomian Kabupaten Bogor berdasarkan kelompok sektor disajikan pada Gambar 29 . Nampak bahwa kelompok sektor primer kontribusinya semakin menurun, sementara kelompok sektor sekunder dan primer makin menunjukan peningkatan. Struktur Perekonomian Kabupaten Bogor merupakan struktur yang di dominasi oleh 5 kategori lapangan pekerjaan. Kategori yang pertama adalah Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan. Sektor yang kedua adalah: Industri Pengolahan. Ketiga adalah Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel. Keempat adalah Jasa Kemasyarakatan dan kelima adalah Sektor lainnya seperti Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas dan Air Bangunan, Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi, Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan. Persen 80.00 70.00 60.00 50.00 Sektor Primer
40.00
Sektor Sekunder
30.00
Sektor Tersier
20.00 10.00 ‐ 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber : Bogor dalam Angka, 2009
Gambar 29 Struktur Perekonomian Kabupaten Bogor 2003-2008
92
Sektor Perdagangan merupakan sektor yang paling besar kontribusinya, setelah itu urutan kedua adalah sektor Industri dan urutan ketiga adalah sektor Pertanian.
c. Tingkat Kemahalan Investasi Lahan merupakan tempat yang digunakan untuk memulai aktivitas usaha yang dibutuhkan setiap jenis kegiatan usaha. Walaupun perkembangan teknologi dan jenis usaha tertentu (misalnya jasa dokter) tidak membutuhkan kehadiran lahan namun sebagian besar aktivitas ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada lahan. Tingkat permintaan terhadap lahan semakin tinggi sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas telah menjadi permasalahan tersendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dari segi alat produksi yang akan digunakan dan juga bahan baku yang akan menjadi input suatu usaha, maka Kabupaten Bogor mempunyai standar yang tidak jauh berbeda dengan daerah lain khususnya di wilayah Jabodetabek bahkan dapat dikatakan sama, namun yang sangat mengganggu pengusaha ketika akan berinvestasi adalah tingkat kemahalan tanah yang sering dipermainkan harganya oleh para calo (broker tanah). Pada saat suatu lokasi akan dijadikan tempat investasi maka nilai jual dari tanah tersebut menjadi melebihi nilai jual objek pajak (NJOP) bumi dan bangunan yang biasanya dikeluarkan oleh pemerintah daerah, bahkan menurut informasi bisa mencapai 3 kali lipatnya.
3. Faktor Ketenagakerjaan Dalam Tabel 35 terlihat bahwa Kualitas Tenaga Kerja mempunyai nilai yang paling besar, hal ini sesuai dengan keinginan pengusaha yang memerlukan tenaga kerja yang berkualitas untuk mendukung produktivitas perusahaan. Dalam aktivitas usaha, selain kapital, dan input produksi, tenaga kerja dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang mempunyai peran penting. Tenaga kerja merupakan motor penggerak kegiatan usaha.
93
Pada dasarnya Kabupaten Bogor mempunyai tenaga kerja yang cukup besar, hal ini bisa dilihat dari komposisi penduduk yang bekerja (Gambar 30), selain menjadi pasar yang menarik bagi setiap perusahaan tentu Kabupaten Bogor juga harus mempersiapkan kualitas tenaga kerja yang terdidik dan terlatih, karena rata-rata perusahaan PMA dan PMDN yang menanamkan modalnya di Kabupten Bogor merupakan berbasis teknologi. Dari beberapa kali wawancara diketahui bahwa Kabupaten Bogor sampai saat ini masih belum mempunyai pelatihan ataui pendidikan yang dihubungkan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja di Kabupaten Bogor. Hal ini menyebabkan masih banyak kesempatan kerja justru harus dipenuhi oleh pasar dari kabupaten/kota Lain. Tabel 35 Urutan Prioritas Sub Faktor Ketenagakerjaan No.
Pelaku
Nilai
1.
Ketersediaan Tenaga Kerja
0,169
2.
Biaya Tenaga Kerja
0,215
3.
Kualitas Tenaga Kerja
0,343
a. Ketersediaan Tenaga Kerja Penduduk Usia Kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun dan lebih. Mereka terdiri dari “Angkatan Kerja” dan “Bukan Angkatan Kerja”. Proporsi penduduk yang tergolong “Angkatan Kerja” adalah mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 tenaga kerja. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, ada 5 (lima)Sektor Lapangan Pekerjaan utama yang menjadi mata pencaharian yaitu: Pertanian, Industri, Perdagangan, Jasa, dan lain-lain. Kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya tingkat penyerapan pasar kerja, yang tidak terserap di kategorikan sebagai penganggur. Berikut adalah tabel penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan utama.
94
Sumber Bogor Dalam Angka 2009
Gambar 32 Data Penduduk Kabupaten Bogor menurut Lapangan Usaha b. Biaya Tenaga Kerja Yang cukup menarik adalah bahwa sub faktor Biaya Tenaga Kerja, yang selama ini banyak dikeluhkan oleh para pelaku usaha, justru memiliki bobot lebih kecil dibandingkan dengan sub faktor kualitas tenaga kerja, yakni hanya sebesar 35 persen. Tabel 36 Upah Minimum Kabupaten/Kota Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7
Kabupaten/Kota Kota Bogor Kabupaten Bogor Kota Depok Kabupaten Bekasi Kabupaten Purwakarta Kabupaten Sukabumi Kabupaten Subang
UMK Rp 1.079.100 Rp 1.172.060 Rp 1.253.552 Rp 1.286.421 Rp 961.200 Rp. 850.000 Rp. 791.200
Sumber : Perda Gubernur Jawa Barat, 2010
Jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten/kota yang berdekatan dengan Kabupaten Bogor, seperti Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Subang, maka Upah Minimum Kabupaten Bogor sebesar Rp 1.172.060 sudah cukup tinggi, dengan tingginya UMK ini diperlukan suatu usaha agar investor tidak memindahkan lokasi investasinya ke daerah lain yang mempunyai UMK lebih rendah dari Kabupaten Bogor.
95
c. Kualitas Tenaga Kerja Dari pembobotan ini kita ketahui bahwa, pada akhirnya produktivitas tenaga kerja yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi investasi. Hal inilah yang menjadi salah satu penentu peringkat daya tarik investasi suatu daerah, di samping ketersediaan tenaga kerja usia produktif dan tenaga kerja yang berpendidikan. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang mempunyai UMK yang tinggi, sehingga banyak dari investor yang mencoba memindahkan lokasi investasi ke daerah lain yang mempunyai UMK lebih rendah, biasanya perusahaan yang mencari lokasi UMK yang rendah merupakan perusahaan yang mempunyai karyawan yang cukup besar. Dalam mengatasi kondisi seperti ini maka Pemda Kabupaten Bogor harus bisa meningkatkan kualitas tenaga kerja yang dapat meningkatkan produktivitas.
4. Faktor Infrastruktur Dalam Tabel 37 terlihat bahwa Ketersediaan Jalan Raya/Tol mempunyai nilai yang paling besar 0,543 disusul ketersediaan air bersih 0,198 , dalam beberapa kali wawancara baik pemerintah maupun pengusaha sangat menekankan masalah kemacetan terutama di Cileungsi dan Citeurep yang merupakan daerah kawasan industri. Setiap pengusaha sangat berkepentingan untuk kelancaran dalam berbisnis baik dalam pemenuhan janji dengan pengusaha lain maupun terkait biaya yang mahal jika barang yang akan dikirim melewati jalanan yang macet. Tabel 37 Urutan Prioritas Sub Faktor Infrastruktur No.
Sub Faktor
1.
Ketersediaan Jalan Raya/Tol
0,359
2.
Ketersediaan Air Bersih
0,206
3.
Ketersediaan Listrik
0,254
Nilai
96
a. Ketersediaan Jalan Raya/Tol Selama tahun 2003-2007, program pembangunan kebinamargaan dan pengairan diarahkan untuk mencapai sasaran kinerja sebagai berikut : 1. Bertambahnya panjang jalan kabupaten dan jembatan dalam kondisi yang baik. 2. Bertambahnya jumlah jaringan irigasi pemerintah dan jaringan irigasi desa dalam kondisi yang baik sehingga terpenuhinya air untuk pertanian. 3. Berfungsinya kembali seluruh situ atau danau di Kabupaten Bogor. 4. Meningkatnya kuantitas dan kualitas Perkumpulan Petani Air Rasio km/unit 500
462.71 346.98
400
342.56
345.17
300 200
263.71
100 0 2003
2004
2005
2006
2007
Sumber : Laporan Akhir Bappeda tahun 2009
Gambar 33 Rasio Panjang Jalan Per Jumlah Kendaraan Kabupaten Bogor Menurut hasil penyusunan Rencana Induk Hierarki Jalan, yang dilakukan Bappeda Kabupaten Bogor tahun 2006, bahwa panjang ideal jalan dalam melayani pergerakan masyarakat berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah dan PDRB Kabupaten Bogor adalah 3.680,600 km. Sedangkan panjang jalan bernomor ruas yang ada di wilayah Kabupaten Bogor pada tahun 2007 adalah 1.758,056 km atau 47,77 persen dari kebutuhan ideal. Panjang jalan tersebut terdiri dari Jalan Negara sepanjang 121,497 km (5 ruas), jalan provinsi 129,989 km (5 ruas) dan jalan Kabupaten 1.506,570 km (383 ruas). Panjang jalan kabupaten yang bernomor ruas adalah 47,285 km (28 ruas). Selain itu terdapat pulan jalan-jalan desa. Rincian kondisi jalan disajikan pada Tabel 38 dibawah ini. Dari Tabel 38 terlihat bahwa sampai akhir tahun 2007, jalan Kabupaten yang berada dalam kondisi mantap (kondisi baik sampai dengan sedang) adalah
97
sepanjang 1.303,030 km atau 68,44 persen, sedangkan sisanya sepanjang 475,540 km atau sebesar 31,56 persen berada dalam kondisi rusak. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa kondisi jalan yang baik mengalami kenaikan sebesar 7,53 persen yaitu sepanjang 113,540 km dan kondisi yang rusak ringan dan rusak berat semakin berkurang. Kondisi ini dipengaruhi oleh volume penanganan jalan yang dapat direalisasikan pada setiap bulannya. Tabel 38 Kondisi Jalan Kabupaten Bogor Tahun Kondisi
2004 KM
2005 %
KM
2006 %
KM
2007 %
KM
%
Baik
487,58
32
725,11
48
653,70
43
769,46
51
Sedang
250,97
17
242,10
16
274,50
18
263,22
17
Rusak ringan
273,75
18
113,75
8
148,09
10
131,93
9
Rusak berat
494,27
33
425,61
28
430,28
29
344,82
23
Jumlah 1.506,57 100 1.506,57 100 1.506,57 Sumber : Laporan Akhir Bappeda Kabupaten Bogor tahun 2009
100
1.509,43
100
b. Ketersediaan Air Bersih Sementara pelanggan PDAM setiap tahun selalu bertambah dari tahun 2003 sebanyak 44.854 pelanggan menjadi sebanyak 57.739 pada tahun 2008 dapat dilihat lebih rinci pada Gambar 34, hal ini menjadi sesuatu yang positif bagi PDAM Kabupaten Bogor untuk meningkatkan pelayanan dan jaringan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan air minum.
98
Jumlah pelanggan 70,000 57,739
60,000 47,557
50,000
53,972
40,000
44,854
30,000 20,000 10,000 ‐ 2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber : Kabupaten Bogor dalam Angka, 2009
Gambar 34 Jumlah Pelanggan PDAM Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2008 Namun di sisi lain hal ini juga menandakan belum maksimalnya pelayanan PDAM karena PDAM pada tahun 2009 baru bisa melayani 6,169 persen penduduk Kabupaten Bogor yang mempunyai total penduduk pada tahun 2009 sebesar 4.837.711 seperti diperlihatkan pada Tabel 39. Dari sisi rasio yang terlayani terlihat bahwa setiap tahun dari tahun 2005 – 2008, PDAM terus memperluas jaringan pelayanannya, namun pertumbuhan jaringan PDAM masih sangat kecil dan terbatas di beberapa daerah saja. Tabel 39 Rasio Pelanggan PDAM tahun 2005 -2008
Uraian
Tahun 2005
2006
2007
2008
44.854
47.557
53.972
57.739
Penduduk terlayani* 224.270
237.785
269.860
288.695
Pelanggan
Penduduk Rasio * Asumsi 1 keluarga = 5 orang Sumber : Kabupaten Bogor dalam Angka 2009
4.347.412 4.512.740 4.679.627 5,649
5,979
6,169
99
c. Ketersediaan Listrik Sementara untuk ketersediaan jaringan listrik, pengusaha meminta agar Pemerintah Kabupaten Bogor berkoordinasi dengan PT Perusahaan Listrik Negara sehingga pemadaman diharapkan tidak dilakukan pada jam kerja karena akan berpengaruh pada tingginya biaya dan produktivitas perusahaan tersebut. Kondisi infrastruktur di sektor ketenagalistrikan selama ini terjadi peningkatan yang tidak seimbang antara jumlah permintaan dengan peningkatan kapasitas energi listrik, selain itu juga terjadi ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pasokan dari bahan bakar minyak dan batu bara. Untuk memenuhi kebutuhan listrik hingga tahun 2013, pemerintah, menurut Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerja Sama Internasional (Bapekki) Departemen Keuangan dan Center for Energy and Power Studies PT PLN (Persero), memperkirakan perlu ada tambahan kapasitas pembangkit sekitar 6.161 megawatt (MW), sudah termasuk committed dan on going projects. Perinciannya, 5.338 MW proyek PLN dan 823 MW proyek swasta dan pemerintah daerah (pemda). Upaya peningkatan produksi energi listrik tentunya tidak dapat diselesaikan dalam hitungan satu atau dua bulan, tetapi lebih merupakan proses yang harus dilakukan secara bertahap. Menurut beberapa narasumber kondisi ketersediaan energi listrik sendiri sudah sangat kritis, hal ini diakibatkan permintaan yang sangat tinggi rata-rata setiap bulan terjadi kenaikan mencapai 10 persen permintaan pemasangan listrik kepada PT PLN selama semester pertama tahun 2009, rincian kenaikan jumlah pelanggan dapat dilihat pada Gambar 35. Pemadaman dapat terjadi apabila pada saat tertentu pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik mengalami hambatan dan apabila pada saat beban puncak terjadi pemakaian daya melebihi dari kapasitas yang terpasang, yang paling dikhawatirkan pengusaha adalah pemadaman pada saat jam kerja, selain berdampak pada pemenuhan permintaan barang yang kemungkinan tertunda, juga berdampak pada biaya tenaga kerja yang membengkak. Hal ini telah beberapa kali dilakukan diskusi antara pemerintah, pengusaha dan DPRD Kabupaten Bogor, namun belum ditemukan titik temu
100
karena selalu berujung pada PT PLN yang merupakan perusahaan yang memonopoli kelistrikkan.
Jumlah Pelanggan (ribu) 622 620 618 616 614 612 610 608 606 604 602
620 617 614
615
610 608
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Bulan Sumber : Kabupaten Bogor dalam Angka 2009, BPS
Gambar 35 Jumlah Pelanggan PLN Tahun 2009
BAB VI PERUMUSAN DAN PERANCANGAN STRATEGI
Setiap negara membutuhkan penanaman modal untuk menggerakkan perekonomiannya dan mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan. Untuk mendorong penanaman modal, diperlukan pelayanan penanaman modal yang baik. Dengan pelayanan yang berkualitas, kinerja penanaman modal tentunya akan menjadi lebih baik dan berdampak positif pada kemajuan perekonomian. Kualitas pelayanan, menunjukkan kualitas tata kelola pemerintahan yang pada akhirnya akan menumbuhkan kepercayaan investor untuk melakukan investasi. Dalam bab ini akan dirumuskan alternatif strategi dari sisi faktor kelembagaan sebagai faktor yang mempunyai tingkat kepentingan tinggi yang mempengaruhi daya saing investasi di Kabupaten Bogor. yang akan dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap masukan (input stage) dengan melakukan identifikasi faktor Internal dan eksternal; tahap penggabungan (matching stage) ; serta tahap pengambilan Keputusan (decision stage). Metode yang dipilih untuk merumuskan strategi adalah analisis Matriks Internal Eksternal dan analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matrix).
6.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di lapangan, diperoleh beberapa faktor strategis yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan di Kabupaten Bogor. Faktor strategis tersebut terdiri dari (1) faktor internal yang meliputi kekuatan dan kelemahan, (2) faktor eksternal yang meliputi peluang dan ancaman.
6.1.1
Faktor Internal Beberapa faktor internal yang berpengaruh terhadap strategi peningkatan
investasi di Kabupaten Bogor terdiri dari kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness). Faktor kekuatan meliputi: 1) Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Perizinan Terpadu, 2)
102
Telah tersusunnya Standard Operational Procedure yang berisi Waktu penyelesaian perizinan, Biaya (tarif) perizinan, mekanisme perizinan yang pasti dan jelas, 3) Tingginya komitmen pimpinan untuk meningkatkan pelayanan, 4) Kerjasama SDM cukup baik untuk meningkat pelayanan, 5) Sarana dan prasarana pendukung sudah memadai dalam rangka meningkatkan pelayanan. Faktor kelemahan meliputi : 1) Kurangnya pemanfaatan sarana dalam rangka pelayanan online di BPT Kabupaten Bogor, 2) Belum tersedianya SDM yang mempunyai kulifikasi di bidang etika bisnis dan communication business, 3) Belum sinkronnya data base PMA dan PMDN antara tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat, 4) Kebijakan penanaman modal masih ditangani pusat, 5) Belum adanya perizinan paralel yang menyeluruh.
Kekuatan 1. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 23 tahun 2008 Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Pemerintah Kabupaten Bogor membentuk Badan Perizinan Terpadu dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 23 tahun 2008. Melalui badan ini diharapkan pelayanan perizinan dilaksanakan sesuai dengan asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan Negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Pembentukan Badan Perizinan Terpadu diharapkan pula dapat menciptakan iklim yang mendorong ke arah terciptanya keseragaman pola dan langkah penyelenggaraan dan pelayanan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat, serta adanya keterpaduan koordinasi dalam proses pemberian dokumen perizinan. Pelayanan pada Badan Perizinan Terpadu menganut pada kaidah-kaidah kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, keadilan dan ketepatan waktu. Harapannya penyelenggaraan perizinan terpadu dapat memberikan pelayanan dengan prosedur yang sederhana sehingga memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengurus perizinan.
103
2. Standard Operational Procedure (SOP) SOP
merupakan
suatu
rangkaian
intruksi
tertulis
yang
mendokumentasikan kegiatan proses rutin yang terdapat dalam suatu intansi atau perusahaan. Pengembangan atau Penerapan kegiatan SOP merupakan bagian penting dari keberhasilan sistem kualitas dimana SOP menyediakan informasi bagi setiap individu dalam instansi/perusahaan untuk menjalankan pekerjaan. Berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Bogor No. 10 tahun 2009 tentang SOP Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor telah menetapkan 21 perizinan agar pengurusan perizinan lebih efisien dan efektif. Dalam pelayanan yang dilakukan oleh BPT Kabupaten Bogor terbukti bahwa
prosedur ini mampu mengatasi
hambatan birokrasi dengan mengurangi waktu dan biaya pelayanan serta memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perizinan secara sederhana, jelas, pasti, aman, terbuka, efisien, adil dan tepat waktu. Adapun 21 perizinan tersebut Izin Pemasangan Reklame, Izin Peruntukan Penggunaan Tanah, Izin Lokasi, Izin Usaha Kepariwisataan, Izin Pembuangan Air Limbah, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Gangguan (IUUG/HO), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Izin Usaha Perdagangan (SIUP) & Tanda Daftar Gudang (TDG), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Persetujuan Prinsip Industri, Izin Usaha Industri, Izin Perluasan Industri, Persetujuan Prinsip Kawasan Industri, Izin Usaha Kawasan Industri, Izin Perluasan Kawasan Industri, Tanda Daftar Industri, Izin Pengeboran Air Bawah Tanah, Izin Pengambilan Air Bawah Tanah, Izin Usaha Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah, dan Izin Usaha Jasa Konstruksi. Dari 21 perizinan tersebut di atas,
pada tanggal 13 Januari 2010 6
perizinan telah mendapat Sertifikat Manajemen Mutu SNI ISO 9001:2008 dari PT. Sucopindo (Persero) yang merupakan Badan Sertifikasi yang telah diakui secara nasional maupun internasional. Adapun ruang lingkup perizinan yang mendapatkan sertifikasi dari PT. Sucopindo (Persero) tersebut, meliputi enam jenis perizinan, yakni • Surat Izin Tempat Usaha (SITU) • Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) • Tanda Daftar Perusahaan (TDP) • Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
104
• Ijin Pembuangan Air Limbah (IPAL) • Surat Izin Usaha Kepariwisataan ( SIUK). 3. Tingginya komitmen pimpinan untuk meningkatkan pelayanan Komitmen yang tinggi telah diperlihatkan oleh pimpinan daerah untuk memperbaiki pelayanan perizinan kepada masyarakat sebagai bukti lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 23 tahun 2008yang membentuk Badan Perizinan Terpadu. Jika dilihat dari historinya perizinan yang saat ini dilaksanakan di BPT merupakan perizinan yang tersebar di SKPD terpisah, sehingga masyarakat jika mengurus suatu perizinan tidak terpusat pada suatu instansi.
4. Kerjasama SDM cukup baik untuk meningkat pelayanan Kondisi PNS Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor tahun 2009 sebanyak 89 orang. Dilihat dari golongan/pangkat, maka golongan IV berjumlah 2 orang, golongan III berjumlah 60 orang, golongan II berjumlah 23 orang dan golongan I berjumlah 1 orang. Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 40 di bawah ini. Walaupun pegawai BPT Kabupaten Bogor merupakan pegawai dari berbagai dinas yang menangani perizinan sebelumnya, namun semua pegawai dapat bekerjasama untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif, sehingga segala pelayanan dapat berjalan sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan. Tabel 40 Jumlah Pegawai BPT Kabupaten Bogor Berdasarkan Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7
Pendidikan Strata 3 Strata 2 Strata 1 Diploma 3 Diploma 1 SMU SMP
Sumber : Renstra BPT Kabupaten Bogor
Jumlah Orang 0 12 49 4 0 20 1
105
5. Sarana dan prasarana pendukung sudah memadai Saat ini BPT menempati kantor yang cukup strategis yang di pusat pemerintahan Kabupaten Bogor, selain itu BPT dalam rangka promosi dan juga sosialisasi telah membuat sebuah website yang untuk dimasa datang dapat digunakan memudahkan masyarakat dalam pendaftaran perizinan melalui fasilitas online. Dalam mendukung pelayanan perizinan kepada masyarakat, telah disiapkan komputer yang dapat memantau posisi suatu perizinan yang diajukan oleh masyarakat.
Kelemahan 1. Kurangnya pemanfaatan sarana dalam rangka pelayanan online di BPT Kabupaten Bogor BPT saat ini sudah mempunyai website yang sudah cukup baik, namun dalam pemanfaatannya website tersebut baru digunakan hanya untuk menyajikan beberapa berita terkait pelayanan perizinan dan juga sosialisasi biaya, tarif, dan juga prosedur yang telah dijalankan selama ini. Namun penggunaan website un tuk pelayanan yang lebih baik seperti online system belum dilakukan, dilihat dari sisi luasnya Kabupaten Bogor ada baiknya dilakukan penjajakan untuk melakukan pelayanan melalui online system.
2. Belum tersedianya SDM yang mempunyai kulifikasi di bidang etika bisnis dan communication business BPT merupakan badan perizinan yang selain bertugas melakukan pelayanan
perizinan
kepada
masyarakat,
juga
mempromosikan
dan
menegosiasikan suatu rencana investasi dengan para pelaku usaha baik dalam maupun luar negeri. Dalam rangka memudahkan tugas dimaksud maka diperlukan suatu sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan dalam bidang etika bisnis dan komunikasi bisnis. Saat ini SDM yang tersedia lebih banyak dipenuhi oleh SDM yang mempunyai kualifikasi di bidang ekonomi, teknik dan juga sosial.
106
3. Belum sinkronnya database PMA dan PMDN BPT Kabupaten Bogor sampai saat ini untuk database investasi baik PMA maupun PMDN setiap tahun hanya mengandalkan data dari BKPM dan BKPMD Jawa Barat, hal ini menjadi sebuah kelemahan yang harus segera dibenahi, selain karena sering terjadinya perbedaan data antara BKPM dan BKPMD, juga dalam hal monitoring dan evaluasi BPT Kabupaten Bogor sering kesulitan karena kurangnya data perusahaan yang berinvestasi di Kabupaten Bogor. Selain itu database potensi dan peluang investasi sebagai keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bogor masih kurang tersosialisasikan kepada para pelaku usaha.
4. Kebijakan penanaman modal masih ditangani pusat Berdasarkan wawancara, masih banyak kebijakan penanaman modal seperti izin prinsip yang masih ditangani BKPM, sehingga pengalihan perizinan khusunya penanaman modal masih lebih banyak dilakukan di pemerintah pusat. Banyaknya perizinan yang ditangni pusat menyebabkan masih perlunya pemerintah kabupaten untuk berkonsultasi jika ada investor yang berminat untuk menanamkan modanya di Kabupaten Bogor.
5. Belum adanya Pelayanan Perizinan Paralel Dari 21 perizinan yang dilayani BPT Kabupaten Bogor, ada beberapa perizinan yang memerlukan pelayanan perizinan paralel sehingga selain menghemat waktu dan menguntungkan pelaku usaha karena tidak perlu pemantau perizinan satu persatu, perizinan yang memerlukan pelayanan paralel adalah Surat Izin Tempat Usaha (SITU), dimana pengusaha harus memerlukan Izin Lokasi dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan juga Izin Gangguan. Sampai saat ini menurut beberapa pengusaha ketiga perizinan tersebut terpisah sehingga untuk mendapat suatu izin tertentu harus menunggu beberapa izin awal yang cukup lama.
107
6.1.2 Faktor Eksternal Beberapa faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi lokal berbasis komoditas kelapa di Kabupaten Pacitan terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Faktor peluang yang berpengaruh meliputi: 1) Tersedianya potensi investasi di berbagai sektor di Kabupaten Bogor, 2) Dukungan pemerintah pusat dalam mewujudkan pelayanan prima, 3) Operasionalisasi pelayanan perizinan di Badan Perizinan Terpadu sangat diharapkan oleh masyarakat, 4) Tersedianya Peraturan Daerah No. 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor, 5) Tersedianya forum investasi yang beranggotakan pemerintah kabupaten, pengusaha, dan perguruan tinggi. Faktor ancaman yang berpengaruh meliputi: 1) Adanya persyaratan perizinan yang berada di luar kewenangan BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur), 2) Adanya persyaratan perizinan yang secara geografis berada di luar wilayah BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur), 3) Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan investor di Kabupaten Bogor, 4) Persaingan dengan daerah lain dalam menarik investor, 5) Wilayah Kabupaten Bogor yang luas sehingga menyebabkan pelayanan perizinan dan pengawasan sulit dilaksanakan.
Peluang 1. Tersedianya potensi investasi di berbagai sektor di Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor sebagai daerah yang strategis di Jawa Barat dengan ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan didukung dengan infrastruktur yang memadai serta iklim investasi yang kondusif.
Kabupaten
Bogor mempunyai keunggulan komparatif yang besar di berbagai sektor dari sektor
pertanian,
peternakan,
perikanan,
pariwisata,
pertambangan
dan
perkebunan. Kabupaten Bogor juga secara geografis sangat menguntungkan karena berbagai akses baik ke pasar barang maupun pasar bahan baku, selain itu Kabupaten Bogor merupakan Kabupaten sangat berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta. Hal inilah yang merupakan peluang bagi Kabupaten Bogor untuk
108
meningkatkan investasi yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bogor.
2. Dukungan Pemerintah Pusat dalam mewujudkan pelayanan prima Dalam rangka meningkatkan daya saing Indonesia terhadap negara lain, maka Pemerintah Pusat melalui Peraturan Presiden No. 27 tahun 2009 tentang Pelayanan Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal PTSP di bidang Penanaman Modal bertujuan untuk membangun Penanaman Modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas, dan informasi mengenai Penanaman Modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan biaya pengurusan Perizinan dan Nonperizinan. Dukungan Pemerintah Pusat melalui pembentukan pelayanan satu atap merupakan peluang bagi para kepala daerah untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam rangka menarik investor dari dalam maupun luar negeri. Pelaksanaan PTSP di bidang Penanaman Modal harus menghasilkan mutu pelayanan prima yang diukur dengan indikator kecepatan, ketepatan, kesederhanaan, transparan, dan kepastian hukum. Dalam perjalanannya dukungan pemerintah pusat makin tinggi hal ini diakibatkan makin banyaknya daerah yang merasakan manfaat dengan diberlakukannya pelayanan satu atap.
3. Operasionalisasi pelayanan perizinan di Badan Perizinan Terpadu sangat diharapkan oleh masyarakat Dibentuknya Badan Perizinan Terpadu di Kabupaten Bogor merupakan solusi kemudahan yang ditawarkan Pemerintah Kabupaten Bogor agar dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan perizinan secara sederhana, jelas, pasti, aman, terbuka, efisien, adil dan tepat waktu. Beroperasinya BPT Kabupaten Bogor selain solusi juga merupakan angin segar bagi masyarakat yang merasa sudah jenuh dengan pelayanan publik yang berbelilit-belit, mahal, dan tidak jelas, sehingga masyarakat sangat menaruh harapan yang besar kepada terbentuknya BPT Kabupaten Bogor.
109
4. Perda 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor Dalam rangka mengarahkan pembangunan di Kabupaten Bogor dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka dibuatlah Peraturan Daerah No. 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2005-2025. Bagi para investor dengan terbentuknya peraturan ini merupakan indikator yang memberikan kepastian dalam berinvestasi khususnya menyangkut tata ruang.
5. Tersedianya forum investasi yang beranggotakan pemerintah kabupaten, pengusaha, dan perguruan tinggi. Forum ini telah mulai dibentuk sejak berdirinya BPT, forum investasi antara pemerintah, pengusaha dan perguruan tinggi bertujuan untuk melakukan sosialisasi peraturan yang telah ada, mendapatkan masukan dalam rangka melakukan pelayanan perizinan yang lebih baik. Ancaman 1. Adanya persyaratan perizinan yang berada di luar kewenangan BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor merupakan Badan yang dibentuk untuk melayani berbagai perizinan dan non perizinan yang dilakukan dalam satu atap, sehingga berbagi tugas BPT pelimpahan dari berbagai dinas terkait seperti Dinas Tata Ruang, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan lainlain. Dalam kenyataannya tidak mudah memadukan berbagi kepentingan dalam satu kebijakan pelayanan terpadu. Sehingga masih banyak terkait persyaratan yang masih dipegang oleh instansi terkait seperti site plan yang masih ditangani oleh Dinas Tata Ruang yang dalam penyelesaiannya tidak jelah prosedur dan waktu penyelesaiannya, selain itu ada persyaratan yang masih dikelola oleh kelurahan
dan
kecamatan
namun
belum
menggunakan
SOP
dalam
opearasionalnya, hal ini sering dikeluhakan oleh para investor baik dalam maupun luar negeri terutama karena baik biaya, waktu dan prosedurnya kurang jelas.
110
2. Adanya persyaratan perizinan yang secara geografis berada di luar wilayah BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Standard Operasional Procedure (SOP) yang saat ini berlaku merupakan SOP yang diterapkan atau dilaksanakan di Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor, sementara untuk pengurusan dokumen persyaratan yang dilakukan di instansi lain seperti kecamatan dan keluarahan tidak menggunakan SOP yang menyebabkan pengrusan dokumen persyaratan menjadi tidak pasti baik biaya maupun waktu yang dibutuhkan.
3. Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan investor di Kabupaten Bogor Pemahaman masyarakat tentang arti pentingnya investasi masih kurang sehingga sering menimbulkan suatu investasi tidak berjalan. Banyak investasi yang kemudian tidak berjalan karena mendapat tekanan dari masyarakat terutama yang menyangkut perizinan gangguan yang sangat memerlukan partisipasi masyarakat. Banyak para investor merasa dipermainkan akibat izin dari masyarakat yang lama dan memerlukan biaya yang besar. Padahal izin dari masyarakat setempat merupakan persyaratan awal yang harus dipenuhi oleh para investor. Akibat kurangnya pemahaman masyarakat terkait arti pentingnya investasi di Kabupaten Bogor, maka banyak investasi yang dipindahkan ke tempat lain.
4. Adanya persaingan pelayanan investasi dengan daerah lain Setelah diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, berbagai daerah berlomba menarik investor baik dengan meningkatkan pelayanan perizinan maupun meningkatkan infrastruktur pendukung dalam berinvestasi. Dalam hal investasi di Jawa Barat saingan yang paling dekat adalah Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Karawang dan Kota Bekasi. Daerah-daerah ini merupakan daerah yang mempunyai kesamaan yaitu dekat dengan Ibu Kota Negara, sehingga dalam hal persaingan setiap daerah harus bisa memperlihatkan bahwa daerah mereka mempunya kelebihan dibandingkan daerah lainya baik dalam hal potensi maupun pelayanan perizinan.
111
Sampai saat ini Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang mampu menarik investor paling banyak dibandingkan daerah lain, selain mempunyai kawasan industri yang besar yaitu 6.000 hektar juga kawasan industri Bekasi ratarata mempunyai akses langsung ke TOL, sehingga berbagai kemacetan dapat diminimalisir jika dibandingkan Kabupaten Bogor yang hanya mempunyai 300 hektar kawasan industri.
5. Wilayah Kabupaten Bogor yang luas, rentang kendali pelayanan perizinan dan pengawasan serta pengendalian penanaman modal Kabupaten Bogor mempunyai wilayah yang cukup luas lebih dari 2 juta km2, dengan 40 kecamatan di dalamnya, jumlah penduduk sebesar 4 juta jiwa pada tahun 2007, selain merupakan pasar yang potensial juga merupakan ancaman tersendiri bagi keberlangsungan investasi di Kabupaten Bogor. Akibat begitu luasnya Kabupaten Bogor baanyak daerah yang masih tidak terlayani baik melalui sosialisasi maupun pelayanan itu sendiri, berbagai perizinan bahkan masih diluar kendali dari Badan Perizinan Terpadu, hal ini menimbulkan kerugian tersendiri bagi Pemerintah Daerah karena dari perizinan itu sendiri terdapat retribusi yang dapat dipakai untuk membiayai pembangunan daerah. Untuk memecahkan hal ini perlu strategi sendiri agar semua wilayah baik Bogor Timur, Bogor Tengah, maupun Bogor Barat terlayani, saat ini yang banyak terlayani adalah Bogor Timur dan Bogor Tengah karena BPT berada di wilayah Bogor Timur yaitu Cibinong.
6.2. Tahap Masukan (Input Stage) Pada tahap ini dilakukan analisis IFE (Internal Factors Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation). Analisis IFE-EFE tersebut didasarkan pada hasil identifikasi kekuatan dan kelemahan yang merupakan faktor strategis internal serta identifikasi peluang dan ancaman yang merupakan faktor strategis eksternal. Pengisian matriks IFE-EFE dilakukan dengan memberikan bobot dan rating pada setiap faktor strategis internal dan eksternal tersebut. Penentuan bobot dilakukan dengan menggunakan metode Paired Comparison sehingga diperoleh
112
skor bobot. Analisis ini ditujukan untuk menilai dan mengevaluasi pengaruh faktor-faktor strategis terhadap peningkatan investasi di Kabupaten Bogor. Dari hasil diskusi dengan responden diperoleh hasil evaluasi faktor strategis yang terdiri dari Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE).
6.2.1 Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE) Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE) merupakan hasil dari identifikasi faktor-faktor strategis internal Badan Perizinan Terpadu Kabuapten Bogor berupa kekuatan dan kelemahan yang berpengaruh terhadap peningkatan investasi di Kabupaten Bogor. Hasil evaluasi faktor internal dari responden diperoleh nilai bobot dan rating di masing-masing faktor pada kekuatan dan kelemahan. Matriks Evaluasi Faktor Internal secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 41.
113
Tabel 41 Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE) Faktor Kelembagaan No.
Faktor Internal
Bobot
A
Kekuatan
1.
Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Perizinan Terpadu
2.
0,118
Telah tersusunnya Standar Operational Prosedur yang berisi Waktu
penyelesaian
perizinan,
Biaya
(tarif)
perizinan,
0,131
mekanisme perizinan yang pasti dan jelas
3.
Tingginya komitmen pimpinan untuk meningkatkan pelayanan
4.
Kerjasama SDM cukup baik
0,100
5.
Sarana dan prasarana pendukung sudah memadai
0,102
0,126
B
Kelemahan
1.
Kurangnya pemanfaatan sarana dalam rangka pelayanan online di BPT Kabupaten Bogor
2.
Belum tersedianya SDM yang mempunyai kulifikasi di bidang etika bisnis dan communication business
3.
Belum sinkronnya data base PMA dan PMDN antara tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat
0,079
0,082
0,070
4.
Kebijakan penanaman modal masih ditangani pusat
0,079
5.
Belum adanya perizinan paralel yang menyeluruh
0,111
6.2.2 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) merupakan hasil dari identifikasi faktor-faktor strategis eksternal Badan Perizinan Terpadu berupa peluang dan ancaman yang telah diberi bobot. Berdasarkan hasil evaluasi faktor eksternal (EFE) dari responden diperoleh nilai bobot di masing-masing faktor pada peluang dan ancaman. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal secara lengkap disajikan pada Tabel 42.
114
Tabel 42 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Faktor Kelembagaan No. A 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor Eksternal Peluang Tersedianya potensi investasi di berbagai sektor di Kabupaten Bogor Dukungan pemerintah pusat dalam mewujudkan pelayanan prima Operasionalisasi pelayanan perizinan di Badan Perizinan Terpadu sangat diharapkan oleh masyarakat. Tersedianya Peraturan Daerah No. 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor Tersedianya forum investasi yang beranggotakan pemerintah kabupaten, pengusaha, dan perguruan tinggi.
B
Ancaman
1.
Adanya persyaratan perizinan yang berada di luar kewenangan BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Adanya persyaratan perizinan yang secara geografis berada di luar wilayah BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan investor di Kabupaten Bogor Persaingan dengan daerah lain dalam menarik investor
2.
3. 4. 5.
Bobot
Wilayah Kabupaten Bogor yang luas sehingga menyebabkan pelayanan perizinan dan pengawasan sulit dilaksanakan
0,104 0,085 0,105 0,115 0,096
0,121
0,121
0,106 0,064
0,084
6.3. Tahap Pencocokan Tahap selanjutnya dalam perumusan strategi pembiayaan terhadap peningkatan investasi di Kabupaten Bogor adalah memindahkan matriks IFE dan EFE ke matriks SWOT. Tujuan matriks ini adalah untuk memperoleh alternatif strategi peningkatan investasi di Kabupaten Bogor, seperti yang disajikan pada
115
Tabel 43 Dari analisis SWOT dihasilkan empat alternatif strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor sebagai berikut : Tabel 43 Perumusan Strategi dan Matriks SWOT Kekuatan (S) 1. Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Perizinan Terpadu 2. Telah tersusunnya Standar Operational Prosedur yang berisi Waktu penyelesaian perizinan, Biaya (tarif) perizinan, mekanisme perizinan yang pasti dan jelas 3. Tingginya komitmen pimpinan untuk meningkatkan pelayanan 4. Kerjasama SDM cukup baik 5. Sarana dan prasarana pendukung sudah memadai
1. 2. 3. 4. 5.
Kelemahan (W) Kurangnya pemanfaatan sarana dalam rangka pelayanan online di BPT Kabupaten Bogor Belum tersedianya SDM yang mempunyai kulifikasi di bidang etika bisnis dan communication bussines Belum sinkronnya data base PMA dan PMDN antara tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat Kebijakan penanaman modal masih ditangani pusat Belum tersedianya paket perizinan secara menyeluruh untuk beberapa perizinan terkait
Peluang (O)
Strategi S-O
Strategi W-O
1. Tersedianya potensi investasi di berbagai sektor di Kabupaten Bogor 2. Dukungan pemerintah pusat dalam mewujudkan pelayanan prima 3. Operasionalisasi pelayanan perizinan di Badan Perizinan Terpadu sangat diharapkan oleh masyarakat. 4. Tersedianya Peraturan Daerah No. 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor 5. Tersedianya forum investasi yang beranggotakan pemerintah kabupaten, pengusaha, dan perguruan tinggi. Ancaman (T)
Instensifikasi komunikasi antara stakeholder terkait (S3, S4,S5, O1, O2, O3, O4)
Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di BPT (W2, W3, W4, O1, O2, O3)
Strategi S-T
Strategi W-T
1. Adanya persyaratan perizinan yang berada di luar kewenangan BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) 2. Adanya persyaratan perizinan yang secara geografis berada di luar wilayah BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) 3. Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan investor di Kabupaten Bogor 4. Persaingan dengan daerah dalam menarik investor 5. Wilayah Kabupaten Bogor yang luas sehingga menyebabkan pelayanan perizinan dan pengawasan sulit dilaksanakan
Membuka cabang pelayanan perizinan (S1, S2, S3, T1, T2, T4, T5)
Menyederhanakan prosedur perizinan (W1, W5, T3)
pelayanan
116
6.4. Tahap Keputusan Penentuan strategi merupakan tahap selanjutnya dari perumusan strategi dengan menggunakan analisis Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Analisis ini ditujukan untuk menentukan
strategi peningkatan investasi di
Kabupaten Bogor. Analsisis QSPM dilakukan dengan cara memberikan nilai kemenarikan relatif (attractive scor = AS) pada masing-masing faktor internal maupun eksternal. Setelah dilakukan perhitungan nilai TAS sebagaimana terdapat pada lampiran, maka diperoleh hasil QSPM sebagaimana disajikan dalam Tabel 44. Tabel 44 Strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor No.
Strategi
Skor
Ranking
1
Menyederhanakan prosedur pelayanan perizinan
5,712
1
2
Membuka cabang pelayanan perizinan
5,660
2
3
Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
3,838
4
4
Instensifikasi komunikasi antara pelaku usaha, pelaku pelayanan, masyarakat dan perguruan tinggi
4,502
3
Kebijakan dan strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor dari tabel di atas diperoleh peringkat sebagai berikut : 1. Menyederhanakan prosedur pelayanan perizinan 2. Membuka cabang pelayanan perizinan 3. Instensifikasi komunikasi antara pelaku usaha, pelaku pelayanan, masyarakat dan perguruan tinggi 4. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Dari hasil analisis QSPM, strategi menyederhanakan prosedur pelayanan perizinan, memiliki nilai kemenarikan (attractive score) yang tinggi, yaitu 5,740. Keseluruhan
strategi
yang
dihasilkan
dari
analisis
QSPM
diimplementasikan secara tidak berurut maupun pada waktu yang berbeda.
dapat
117
6.5. Perancangan Program Rumusan perancangan program berdasarkan
strategi peningkatan
investasi swasta di Kabupaten Bogor, tersaji dalam bentuk struktur pada Gambar 36. Program-program tersebut merupakan implementasi strategi yang diperoleh dari hasil analisis internal – eksternal dan analisis QSPM.
Gambar 36 Strategi peningkatan investasi di Kabupaten Bogor Strategi dan Program 1. Menyederhanakan prosedur pelayanan perizinan. Prosedur perizinan merupakan hal yang perlu dievaluasi setiap tahun, ini bisa dilakuka melalui penyederhanaan beberapa perizinan yang mungkin saat ini sudah bisa dijalankan karena makin meningkatnya penggunaan teknologi seperti penggunaan internet. Program : a.
Paket perizinan paralel. Program ini dimaksudkan untuk lebih menyederhanakan prosedur yang telah ada, dengan program maka perizinan yang memerlukan perizinan lain dapat dilayani dalam satu paket pelayanan perizinan. Selain memangkas waktu penyelesaian perizinan tetapi juga biaya yang dibutuhkan.
118
b.
Pelayanan perizinan online Program ini selain dimaksudkan untuk lebih memudahkan para pelaku usaha dalam melakukan peizinan, juga untuk sebagai salah satu cara mengatasi problem luasnya daerah Kabupaten Bogor. Dengan perizinan online, masyarakat dapat diuntungkan karena tidak perlu datang ke BPT dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan.
c.
Peningkatan SOP melalui sertifikasi ISO Dalam persaingan yang begitu ketat terutama dengan beberapa kabupaten/kota di wilayah Jabodetabek, maka prosedur yang sudah mempunyai reabilitas yang tinggi sangat dibutuhkan. Maka salah satu program antara tahun 2011-2015, perlu segera dilakukan peningkatan reabilitas SOP dengan sertifikasi ISO.
2. Pembukaan cabang pelayanan Kabupaten Bogor mempunyai luas 298.838 hektar dan penduduk yang besar 4.837.711 orang, sehingga pembukaan cabang pelayanan di beberapa wilayah yang masih sangat jauh dari pelayanan perizinan saat ini yaitu BPT Kabupaten Bogor sangat diperlukan. Pelayanan perizinan yang mencoba mendekatkan dengan masyarakat merupakan kunci keberhasilan pelayanan publik, dan dengan diberlakukannya otonomi daerah maka pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat menjadi sebuah keharusan. Selain dapat meningkatkan pendapatan juga dapat meningkatkan interaksi dengan masyarakat itu sendiri. Program : a. Pembentukan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Program ini dilakukan dalam rangka mendekatkan masyarakat dan pelaku usaha ke pelayanan perizinan. Pembentukan UPT difokuskan pada 2 wilayah yaitu wilayah bogor barat dan bogor tengah, sedangkan Bogor Timur akan dilayani BPT Kabupaten Bogor yang berlokasi di Cibinong. b. Pendirian outlet di setiap kecamatan Pembuatan outlet di setiap kecamatan yang melibatkan pelaksana kegiatan di Kecamatan. Pelaksana kegiatan di kecamatan hanya bertugas menerima dan memverifikasi dokumen dan memberikan rekomendasi kelengkapan
119
dokumen kepada BPT Kabupaten Bogor. Layanan aktif ini berupa layanan antar jemput sampai tingkat kecamatan, bahkan terkadang sampai kelurahan. Dengan demikian para pemohon perizinan tidak lagi perlu untuk datang ke ibu kota kabupaten, melainkan cukup dititipkan di kecamatan.
3. Intensifikasi Komunikasi antar Stakeholder terkait Salah satu kunci sukses peningkatan investasi adalah dengan meningkatkan intensifikasi komunikasi antara pelaku pelayanan (pemerintah) dengan pelaku usaha, hal ini tentunya dapat selain dapat meningkatkan promosi melalui para pengusaha
juga
dapat
menjadi
masukan
investasi
apa
yang
layak
dikembangkan di Kabupaten Bogor sehingga investasi tersebut menjadi sangat berdaya guna. Program : a. Koordinasi dengan institusi pengelola investasi Dengan program ini, beberapa persyaratan yang dibuat oleh SKPD dan juga kelurahan/kecamatan dapat lebih mudah diselesaikan walaupun pelayanan untuk menyelesaikan persyaratan dimaksud masih belum menggunakan standar operasional prosedur seperti di BPT. Berdasarkan wawancara, forum kerjasama investasi antara pelaku pelayanan dan pelaku usaha sudah dibentuk namun masih belum dioperasional secara optimal, hal lebih disebabkan oleh kurangnya koordinasi antara keduanya.
b. Promosi Investasi Potensi alam Kabupaten Bogor yang merupakan keunggulan komparatif yang besar, perlu dibuat program promosi baik dengan presentasi, pembukaan outlet di setiap pameran dalam dan luar negeri.
c. Kerjasama Investasi Kerjasama ini bisa dilakukan antara pelaku pelayanan dan juga dengan pelaku usaha, dalam kerjasama pembangunan dan promosi investasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
120
4. Peningkatan sumber daya manusia di Badan Perizinan Terpadu Sampai saat ini banyak dari sumber daya manusia yang bekerja di BPT Kabupaten Bogor belum mampu melakukan komunikasi dengan pelaku usaha, mereka masih berkutat hanya pada pelayanan dasar seperti perizinan, padahal masih banyak hal yang lebih penting seperti peningkatan intensitas komunikasi dengan pelaku usaha sehingga dapat mengetahui kebutuhan dan keinginan pelaku usaha. Perlunya para pegawai BPT mendapat pelatihan di bidang etika bisnis dan komunikasi merupakan hal yang penting untuk dilakukan guna menambah wawasan tentang kerjasama investasi. Program : a. Pelatihan etika bisnis dan komunikasi bisnis. Pelatihan ini diperlukan agar para pelaku pelayanan dapat bernegosiasi dengan optimal dengan pelaku usaha dan mempu menarik investor yang lebih banyak lagi lewat promosi. b. Pemberian beasiswa. Melalui pemberian beasiswa ini maka para pegawai BPT dapat lebih meningkatkan capacity building khususnya bidang
etika bisnis dan
communication bussiness guna mempromosikan potensi investasi di Kabupaten Bogor karena mereka merupakan front office bagi pemerintah Kabupaten Bogor.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap strategi peningkatan investasi swasta di Kabupaten Bogor, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Berdasarkan analisis potensi ekonomi, sektor yang paling potensial di Kabupaten Bogor adalah sektor industri pengolahan dengan nilai rata-rata LQ sebesar 1,394 dan sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai rata-rata LQ sebesar 1,706. Jika dilihat dari perkembangan investasi dari tahun 2008 – 2010, dengan menggunakan analisis pipologi klassen Kabupaten Bogor menunjukan trend yang jenuh (stagnan), apalagi jika dibandingkan saingan terdekatnya seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta. 2. Hasil kajian dari keempat faktor yaitu kelembagaan, potensi ekonomi, ketenagakerjaan dan infrastruktur yang mempunyai tingkat kepentingan yang paling tinggi dalam mempengaruhi investasi swasta di Kabupaten Bogor adalah faktor kelembagaan dengan nilai 0,459. Sedangkan subfaktor yang sangat berpengaruh adalah kejelasan prosedur dengan nilai 0,490, hal ini disebabkan biaya perizinan dan waktu perizinan sudah bukan merupakan hal yang krusial kalau prosedur itu sendiri sudah jelas. Saat ini menjadi masalah adalah
prosedur
penyelesaian
persyaratan
perizinan
yang
proses
penyelesaiannya masih dilaksanakan di SKPD dan kecamatan/kelurahan. 3. Untuk meningkatkan investasi di Kabupaten Bogor sekaligus untuk menyempurnakan
prosedur
perizinan,
terdapat
tiga
strategi
yaitu
penyempurnaan prosedur perizinan, intesitas komunikasi antara pelaku pelayanan, pelaku usaha, masyarakat dan perguruan tinggi, dan peningkatan sumber daya manusia di Badan Perizinan Terpadu.
122
7.2. Saran Untuk meningkatkan investasi swasta di Kabupaten Bogor, maka disarankan beberapa hal : 1. Besarnya potensi investasi sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas, dan air di Kabupaten Bogor, yang merupakan keunggulan kompetitif di Kabupaten
Bogor
harus
bisa
dimanfaatkan
secara
optimal
dengan
mensinergikan keunggulan kompetitif dan komparatif dengan investasi swasta yang akan diterima, sehingga investasi yang dilakukan merupakan investasi sebagai nilai tambah yang akan meningkatkan keunggulan kompratif yang dimiliki Kabupaten Bogor menjadi keunggulan kompetitif. 2. Perlu dilakukan pembenahan mulai dari hulu (pelayanan persyaratan perizinan) seperti di SKPD atau kecamatan yang memberikan pra-pelayanan melalui penerapan prosedur operasi baku yang telah berhasil diterapkan di Badan Perizinan Terpadu, sehingga kejelasan prosedur di SKPD dan di kecamatan dapat memudahkan dalam pelayanan perizinan. Selain itu perlu juga mendekatkan pelayanan perizinan melalui pembentukan UPT di 2 wilayah yaitu wilayah barat dan tengah, outlet di setiap kecamatan atau layanan online sehingga masyarakat atau pelaku usaha dapat dengan mudah melakukan pendaftaran perizinan. 3. Perlu mensinergikan dengan tugas baru yang sangat berbeda terutama dalam mempromosikan potensi investasi Kabupaten Bogor. Diperlukan pelatihan yang lebih diarahkan pada etika bisnis dan komunikasi bisnis yang dapat mendukung promosi investasi Kabupaten Bogor baik di dalam daerah maupun di luar daerah. Dengan pelatihan ini diharapkan SDM Badan Perizinan Terpadu mampu menjadi front office yang dapat menjadi memudahkan mempromosikan potensi ekonomi Kabupaten Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
(KPPOD) Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2001. Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia 2001 : Persepsi Dunia Usaha. Jakarta : KPPOD. (KPPOD) Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2002. Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia 2002 : Persepsi Dunia Usaha. Jakarta : KPPOD. (KPPOD) Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2003. Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia 2003 : Persepsi Dunia Usaha. Jakarta : KPPOD. (KPPOD) Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2004. Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia 2004 : Persepsi Dunia Usaha. Jakarta : KPPOD. (KPPOD) Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2005. Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia 2005 : Persepsi Dunia Usaha. Jakarta : KPPOD. _____________________________. 2007. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. _____________________________. 2008. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah. _____________________________. 2008. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 45Tahun 2008 Tentang Pedoman Pemberian Insentif Dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Di Daerah. _____________________________. 2009. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Kawasan Industri. Bank
Dunia. 2005. Laporan Pembangunan Dunia 2005. Jakarta : Salemba Empat.
124
Bank Dunia. 2010. Doing Bussines di Indonesia 2010. Washington DC: The World Bank. BPS Kabupaten Bekasi. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bekasi Menurut Pengeluaran Tahun 2010. Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi. BPS Kabupaten Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2007. Bogor : BPS Kabupaten Bogor. BPS Kabupaten Bogor. 2008. Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2008. Bogor : BPS Kabupaten Bogor. BPS Kabupaten Bogor. 2009. Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2009. Bogor : BPS Kabupaten Bogor. BPS Kabupaten Bogor. 2010. Kabupaten Bogor dalam Angka Tahun 2010. Bogor : BPS Kabupaten Bogor. BPS Kabupaten Bogor. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Menurut Lapangan Usaha Tahun 2010. Bogor: BPS Kabupaten Bogor. BPS Kabupaten Bogor. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bogor Menurut Pengeluaran Tahun 2010. Bogor : BPS Kabupaten Bogor. BPS Kabupaten Karawang. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karawang Menurut Pengeluaran Tahun 2010. Karawang : BPS Kabupaten Karawang. BPS Kabupaten Purwakarta. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Purwakarta Menurut Pengeluaran Tahun 2010. Purwakarta : BPS Kabupaten Purwakarta. David, F. R. 2004. Manajemen Strategis. Jakarta : Indeks Gramedia Group. Departemen Dalam Negeri. 2004. Undang-undang no. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : Departemen Dalam Negeri. Departemen Dalam Negeri. 2004. Undang-undang no. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Jakarta : Departemen Dalam Negeri. Falatehan A. F. dan Novrilasari. Analisis Sektor Unggulan dalam Meningkatkan Perekonomian dan Pembangunan Wilayah Kabupaten Kuantan Singigi. Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah Volume 1 No. 1 April 2009; 6273. Bogor : Program Studi MPD Fakultas Ekonomi dan Manajemen Intitut Pertanian Bogor.
125
Jhingan, M.L. 2007. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Komadin. 2008. Strategi Peningkatan Investasi di Kabupaten Indramayu [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kuncoro M. dan Rahajeng A. 2005. Daya Tarik Investasi dan Pungli di Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan 2005; 171-184. http://www.mudrajat.com/journalarticle [ 2 Feb 2011] Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah (Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang). Yogyakarta : Erlangga. Marfiani T., Hartoyo S., dan Manuwoto. Analisis Potensi Ekonomi dan Strategi Pembangunan Ekonomi di Bogor Barat. Jurnal Manajemen Pembangunan Daerah Volume 1 No. 1 April 2009; 1-16. Bogor : Program Studi MPD Fakultas Ekonomi dan Manajemen Intitut Pertanian Bogor May, T. P. 2009. Analysis of Changing Stakeholder Behaviour. Australia : Monash University. Pemerintah Kabupaten Bogor. 2009. Rencana Strategi Badan Perizinan Terpadu Kabupaten Bogor Tahun 2009-2013. Bogor : BPT Kabupaten Bogor. Permadi, B. 1992. AHP. Jakarta : Universitas Indonesia Saaty, T. L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta : IPPM. Sadono, S. 2007. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta : Kencana. Soesilo, N. I. 2002. Manajemen Strategik di Sektor Publik (Pendekatan Praktis). Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Widodo. 2009. Grand Theory Model Kualitas Strategi. Jurnal Manajemen Teknologi 2009; 155-181. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
126
Lampiran 1 Hasil Olahan AHP Aktor Investasi Responden Pemerintah Pengusaha DPRD Kab Bogor Pakar Pakar2 Pengusaha2 Total Rata‐Rata Geometri
Pemerintah 0,565 0,647 0,213 0,661 0,549 0,433 3,068 0,480
Hasil AHP Pengusaha DPRD 0,118 0,262 0,066 0,214 0,106 0,634 0,050 0,200 0,102 0,297 0,085 0,433 0,527 2,040 0,084 0,311
LSM 0,055 0,073 0,047 0,089 0,053 0,048 0,365 0,059
Total 1,000 1,000 1,000 1,000 1,001 0,999 6,000
Faktor-Faktor yang mempengaruhi investasi Responden Pemerintah Pengusaha DPRD Kab Bogor Pakar Pakar2 Pengusaha2 Total Rata‐rata geometri
Kelembagaan 0,565 0,568 0,544 0,315 0,181 0,578 2,751 0,423
Hasil AHP Faktor Total Potensi Daerah Ketenagakerjaan Infrastruktur 0,055 0,118 0,262 1,000 0,086 0,063 0,283 1,000 0,122 0,064 0,270 1,000 0,092 0,040 0,553 1,000 0,605 0,064 0,150 1,000 0,116 0,072 0,234 1,000 1,076 0,421 1,752 6,000 0,124 0,067 0,270
127
Lampiran 2 Hasil Olahan AHP
Faktor Kelembagaan
Responden Pemerintah Pengusaha DPRD Kab Bogor Pakar Pakar2 Pengusaha2 Total Rata‐rata Geometri
Hasil AHP Faktor Kecepatan dan ketepatan Biaya Perizinan perizinan Lokal Global Lokal Global 0,072 0,041 0,279 0,158 0,105 0,059 0,258 0,147 0,063 0,034 0,672 0,365 0,091 0,029 0,455 0,143 0,072 0,013 0,649 0,117 0,055 0,032 0,290 0,168 0,458 0,208 2,603 1,098 0,075 0,032 0,401 0,170
Kejelasan Prosedur Perizinan Lokal Global 0,649 0,367 0,637 0,362 0,265 0,144 0,454 0,143 0,279 0,050 0,655 0,379 2,939 1,445 0,457 0,193
Total Lokal Global 1,000 0,566 1,000 0,568 1,000 0,543 1,000 0,315 1,000 0,180 1,000 0,579 6,000 2,751 1,000 0,423
Faktor Potensi Ekonomi Daerah Hasil AHP Faktor Responden Pemerintah Pengusaha DPRD Kab Bogor Pakar Pakar2 Pengusaha2 Total Rata‐rata geometri
Daya Beli Masyarakat Lokal Global 0,081 0,004 0,785 0,068 0,649 0,079 0,185 0,017 0,114 0,069 0,714 0,083 2,528 0,320 0,292 0,036
Tingkat Struktur Kemahalan Perekonomian Investasi Lokal Global Lokal Global 0,188 0,010 0,731 0,040 0,149 0,013 0,066 0,006 0,279 0,034 0,072 0,009 0,156 0,017 0,659 0,061 0,481 0,291 0,405 0,245 0,143 0,017 0,143 0,017 1,396 0,382 2,076 0,378 0,209 0,027 0,226 0,029
Total Lokal Global 1,000 0,054 1,000 0,087 1,000 0,122 1,000 0,095 1,000 0,605 1,000 0,117 6,000 1,080 1,000 0,125
128
Lampiran 3 Hasil Olahan AHP
Faktor Ketenagakerjaan Responden Pemerintah Pengusaha DPRD Kab Bogor Pakar Pakar2 Pengusaha2 Total Rata‐rata geometri
Ketersediaan Tenaga Kerja Lokal Global 0,072 0,008 0,290 0,018 0,178 0,011 0,111 0,004 0,429 0,027 0,134 0,010 1,214 0,078 0,169 0,011
Hasil AHP Faktor Biaya Tenaga Kualitas Tenaga Kerja Kerja Lokal Global Lokal Global 0,649 0,076 0,279 0,033 0,055 0,003 0,655 0,041 0,070 0,004 0,752 0,048 0,778 0,031 0,111 0,004 0,429 0,027 0,142 0,009 0,119 0,009 0,747 0,054 2,100 0,114 2,686 0,189 0,215 0,014 0,343 0,022
Total Lokal Global 1,000 0,117 1,000 0,062 1,000 0,063 1,000 0,039 1,000 0,063 1,000 0,073 6,000 0,381 1,000 0,066
Faktor Infrastruktur Responden Pemerintah Pengusaha DPRD Kab Bogor Pakar Pakar2 Pengusaha2 Total Rata‐rata geometri
Hasil AHP Faktor Infrastruktur Ketersediaan Ketersediaan Ketersediaan Jalan Raya Air Bersih Listrik Lokal Global Lokal Global Lokal Global 0,072 0,008 0,649 0,076 0,279 0,033 0,747 0,211 0,134 0,038 0,119 0,034 0,751 0,203 0,070 0,019 0,179 0,048 0,333 0,184 0,333 0,184 0,334 0,184 0,481 0,072 0,114 0,017 0,405 0,061 0,333 0,078 0,333 0,078 0,334 0,078 2,717 0,756 1,186 0,334 0,911 0,360 0,359 0,084 0,206 0,049 0,254 0,060
Total Lokal Global 1,000 0,117 1,000 0,283 1,000 0,270 1,000 0,552 1,000 0,150 1,000 0,234 4,814 1,450 1,000 0,236
129
Lampiran 4 Hasil Olahan Matriks IFE
No.
1
2
3 4 5 6 7 8 9 10
Responden
Faktor Internal Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Perizinan Terpadu Telah tersusunnya Standar Operational Prosedur yang berisi Waktu penyelesaian perizinan, Biaya (tarif) perizinan, mekanisme perizinan yang pasti dan jelas Tingginya komitmen pimpinan untuk meningkatkan pelayanan Kerjasama SDM cukup baik Sarana dan prasarana pendukung sudah memadai Kurangnya pemanfaatan sarana dalam rangka pelayanan online di BPT Kabupaten Bogor Belum tersedianya SDM yang mempunyai kulifikasi di bidang etika bisnis dan communication business Belum sinkronnya data base PMA dan PMDN antara tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat Kebijakan penanaman modal masih ditangani pusat Belum adanya perizinan paralel yang menyeluruh Total
Rata2
1
2
3
4
5
0,128
0,110
0,117
0,106
0,131
0,118
0,128
0,110
0,144
0,144
0,131
0,131
0,128
0,148
0,117
0,106
0,131
0,126
0,128
0,110
0,072
0,061
0,131
0,100
0,128
0,121
0,072
0,106
0,085
0,102
0,072
0,060
0,117
0,061
0,085
0,079
0,072
0,110
0,072
0,106
0,051
0,082
0,072
0,060
0,072
0,061
0,085
0,070
0,072
0,060
0,072
0,106
0,085
0,079
0,072
0,110
0,144
0,144
0,085
0,111
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
130
Lampiran 5 Hasil Olahan Matriks EFE No. 1 2 3 4 5
6
7
8 9 10
Tersedianya potensi investasi di berbagai sektor di Kabupaten Bogor Dukungan pemerintah pusat dalam mewujudkan pelayanan prima Operasionalisasi pelayanan perizinan di Badan Perizinan Terpadu sangat diharapkan oleh masyarakat. Tersedianya Peraturan Daerah No. 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor Tersedianya forum investasi yang beranggotakan pemerintah kabupaten, pengusaha, dan perguruan tinggi. Adanya persyaratan perizinan yang berada di luar kewenangan BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Adanya persyaratan perizinan yang secara geografis berada di luar wilayah BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan investor di Kabupaten Bogor Persaingan dengan daerah lain dalam menarik investor Wilayah Kabupaten Bogor yang luas sehingga menyebabkan pelayanan perizinan dan pengawasan sulit dilaksanakan Total
Responden
Faktor Eksternal
Rata2
1
2
3
4
5
0,117
0,090
0,089
0,133
0,089
0,104
0,061
0,053
0,089
0,133
0,089
0,085
0,117
0,101
0,089
0,083
0,133
0,105
0,117
0,101
0,089
0,133
0,133
0,115
0,117
0,101
0,089
0,083
0,089
0,096
0,117
0,133
0,139
0,083
0,133
0,121
0,117
0,133
0,139
0,083
0,133
0,121
0,117
0,053
0,139
0,133
0,089
0,106
0,061
0,101
0,050
0,050
0,056
0,064
0,061
0,133
0,089
0,083
0,056
0,084
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
131
Lampiran 6 Hasil Olahan QSPM Faktor Internal
4
Kekuatan-kekuatan Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Perizinan Terpadu Telah tersusunnya Standar Operational Prosedur yang berisi Waktu penyelesaian perizinan, Biaya (tarif) perizinan, mekanisme perizinan yang pasti dan jelas Tingginya komitmen pimpinan untuk meningkatkan pelayanan Kerjasama SDM cukup baik
5
Sarana dan prasarana pendukung sudah memadai
1 2 3
Strategi 1
Strategi 2
AS
TAS
AS
TAS
0,118
4
0,472
1
0,118
0,131
4
0,526
1
0,131
0,126
3
0,377
3
0,377
0,100
3
0,301
4
0,401
0,102
3
0,307
3
0,307
0,079
4
0,317
1
0,079
0,082
2
0,164
1
0,082
0,070
3
0,211
4
0,281
0,079
2
0,158
1
0,079
0,111
4
0,445
1
0,111
0,104
1
0,104
1
0,104
0,085
2
0,170
3
0,255
0,105
2
0,209
4
0,419
0,115
2
0,229
1
0,115
0,096
3
0,287
4
0,383
0,121
4
0,484
1
0,121
0,121
4
0,484
1
0,121
0,106
1
0,106
4
0,425
0,064
3
0,191
4
0,254
0,084
2
0,169
4
0,337
Bobot
Kelemahan-kelemahan
9
Kurangnya pemanfaatan sarana dalam rangka pelayanan online di BPT Kabupaten Bogor Belum tersedianya SDM yang mempunyai kualifikasi di bidang etika bisnis dan communication business Belum sinkronnya data base PMA dan PMDN antara tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat Kebijakan penanaman modal masih ditangani pusat
10
Belum adanya perizinan paralel yang menyeluruh
6 7 8
Faktor Eksternal 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
Peluang-peluang Tersedianya potensi investasi di berbagai sektor di Kabupaten Bogor Dukungan pemerintah pusat/daerah dalam mewujudkan pelayanan prima Operasionalisasi pelayanan perizinan di Badan Perizinan Terpadu sangat diharapkan oleh masyarakat. Tersedianya Peraturan Daerah No. 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor Tersedianya forum investasi yang beranggotakan pemerintah kabupaten, pengusaha, dan perguruan tinggi. Ancaman-Ancaman Adanya persyaratan perizinan yang berada di luar kewenangan BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Adanya persyaratan perizinan yang secara geografis berada di luar wilayah BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan investor di Kabupaten Bogor Persaingan dengan daerah lain dalam menarik investor Wilayah Kabupaten Bogor yang luas sehingga menyebabkan pelayanan perizinan dan pengawasan sulit dilaksanakan Jumlah Total Nilai Daya Tarik
5,712
4,502
132
Lampiran 7 Hasil Olahan QSPM Faktor Internal
4
Kekuatan-kekuatan Adanya Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 23 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Perizinan Terpadu Telah tersusunnya Standar Operational Prosedur yang berisi Waktu penyelesaian perizinan, Biaya (tarif) perizinan, mekanisme perizinan yang pasti dan jelas Tingginya komitmen pimpinan untuk meningkatkan pelayanan Kerjasama SDM cukup baik
5
Sarana dan prasarana pendukung sudah memadai
1 2 3
Bobot
Strategi 3
Strategi 4
AS
TAS
AS
TAS
0,118
2
0,236
4
0,472
0,131
1
0,131
1
0,131
0,126
4
0,503
4
0,503
0,100
2
0,201
1
0,100
0,102
2
0,205
4
0,409
0,079
2
0,158
4
0,317
0,082
4
0,329
1
0,082
0,070
1
0,070
1
0,070
0,079
1
0,079
2
0,158
0,111
1
0,111
1
0,111
0,104
1
0,104
4
0,415
0,085
4
0,340
4
0,340
0,105
3
0,314
4
0,419
0,115
1
0,115
1
0,115
0,096
2
0,192
1
0,096
0,121
1
0,121
4
0,484
0,121
1
0,121
4
0,484
0,106
2
0,212
4
0,425
0,064
2
0,127
3
0,191
0,084
2
0,169
4
0,337
Kelemahan-kelemahan
9
Kurangnya pemanfaatan sarana dalam rangka pelayanan online di BPT Kabupaten Bogor Belum tersedianya SDM yang mempunyai kualifikasi di bidang etika bisnis dan communication business Belum sinkronnya data base PMA dan PMDN antara tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat Kebijakan penanaman modal masih ditangani pusat
10
Belum adanya perizinan paralel yang menyeluruh
6 7 8
Faktor Eksternal 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
Peluang-peluang Tersedianya potensi investasi di berbagai sektor di Kabupaten Bogor Dukungan pemerintah pusat/daerah dalam mewujudkan pelayanan prima Operasionalisasi pelayanan perizinan di Badan Perizinan Terpadu sangat diharapkan oleh masyarakat. Tersedianya Peraturan Daerah No. 19 tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor Tersedianya forum investasi yang beranggotakan pemerintah kabupaten, pengusaha, dan perguruan tinggi. Ancaman-Ancaman Adanya persyaratan perizinan yang berada di luar kewenangan BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Adanya persyaratan perizinan yang secara geografis berada di luar wilayah BPT (tidak jelas biaya, waktu dan prosedur) Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan investor di Kabupaten Bogor Persaingan dengan daerah lain dalam menarik investor Wilayah Kabupaten Bogor yang luas sehingga menyebabkan pelayanan perizinan dan pengawasan sulit dilaksanakan Jumlah Total Nilai Daya Tarik
3,838
5,660
133
Lampiran 8 Analisis Tipologi Klasen PMA dan PMDN Kabupaten/Kota di Jawa Barat Kabupaten/Kota Kab Karawang
2008 4.709.683.500.000
Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Subang Kab Bekasi Kab Bandung Kab Bogor Kab Tasikmalaya Kab Purwakarta Kab Sukabumi
1.654.925.000.000 36.173.500.000 10.768.153.000.000 635.423.000.000 1.622.124.500.000 712.500.000 321.317.000.000 884.991.000.000
Kab Garut Kota Bandung Kota Sukabumi Kab Cirebon Kota Bekasi Kab Cianjur Kab Indramayu Kot Banjar Kot Cimahi Kot Cirebon Kot Bogor Kot Depok Kab Ciamis
2.759.430.500.000 10.374.000.000 1.900.000.000 2.009.042.500.000 12.027.000.000 290.312.000.000 0 115.034.000.000 0 193.914.000.000 2.496.571.500.000
2009 3.228.147.500.000 16.539.500.000 106.379.000.000 299.866.500.000 7.862.070.000.000 302.576.500.000 3.423.921.500.000 ‐ 4.707.257.500.000 518.320.000.000 ‐ 397.490.000.000 ‐ 624.840.500.000 517.167.000.000 15.304.500.000 ‐ ‐ 682.444.000.000 ‐ 25.438.000.000 373.939.000.000
2010 15.156.768.401.551 30.600.000.000 115.281.000.000 572.996.480.000 18.619.645.737.660 1.539.520.631.402 2.235.114.132.130 16.500.000.000 5.929.207.811.000 1.646.605.000.000 26.500.000.000 1.212.425.000.000 ‐ 383.600.000.000 967.161.893.248 388.620.000.000 436.031.070.000 8.000.000.000 47.708.888.000
Kuadran 1 4 4 2 1 2 3 4 1 2 4 2 4 2 4 2 4 4 2 4
27.890.000.000 48.284.000.000 270.000.000.000
4 4 4