STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN SUMBA TIMUR Fitriah Isky Farida*)1, Rizal Syarief **), dan Setiadi Djohar***) Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Pajajaran, Bogor 16151 *) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Darmaga, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 ***) PPM School of Management Jakarta Jl. Menteng Raya 9–19, Jakarta 10340 *)
ABSTRACT This research aims to identify the actual condition of seaweed industry cluster in Minapolitan Area of East Sumba, determine the factors that influence the development of seaweed industry cluster in Minapolitan Area of East Sumba and to recommend the suitable strategy priority to be applied. This research use Cluster Model (Zone was determined by ministry of sea resources and fisheries) to analyze the actual condition, Gap analysis and Analytical hierarchy Process (AHP). The result of this research, by using the actual condition and Gap Analysis shows that the performance of the Zone I is not good, with performance score is 2,4 out of 5 for ideal condition. This score was the average of the addition of performance level from 9 supporting indicators in Zone I. The performance of Zone II also had not fulfilled the ideal condition – performance score is 2,6 out of 5 for ideal condition. This score was the average of the addition of the performance level from 4 supporting indicators in Zone II. Zone III has a pretty good level of performance on the actual condition with score of performance is 2,7 out of 5 for ideal conditions. This score was the average of the addition of the performance level from 4 supporting indicators in Zone III. The strategy alternative to be exactly applied and prioritized in the sustainable strategy to develop the seaweed cluster in Minapolitan Area of East Sumba is on the Zone I - increasing the production volume, Zone II – building an integrated and coordinated partnership with the factory and in Zone III – increasing the final production volume. Keywords: industry cluster, minapolitan, seaweed, strategy
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kondisi aktual dari klaster industri rumput laut di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur, menentukan faktor- faktor yang memengaruhi pengembangan klaster industri rumput laut di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur dan merekomendasikan prioritas strategi yang tepat guna mendukung pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur. Penelitian ini menggunakan model klaster dengan sistem zonasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menganalisis kondisi aktual, analisis kesenjangan dan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis kondisi aktual dan analisis kesenjangan diperoleh data bahwa zona I masih memiliki kinerja kurang baik pada kondisi aktual dengan nilai kinerja (2,4) dari nilai 5 untuk kondisi ideal. Nilai kinerja ini merupakan rata-rata hasil penjumlahan tingkat kinerja dari 9 indikator pendukung pada zona I. Zona II juga masih memiliki tingkat kinerja yang kurang baik pada kondisi aktual dengan nilai kinerja (2,6) dari nilai 5 untuk kondisi ideal. Zona III memiliki tingkat kinerja yang cukup baik pada kondisi aktual dengan nilai kinerja (2,7) dari nilai 5 untuk kondisi ideal. Nilai kinerja ini merupakan rata-rata hasil penjumlahan tingkat kinerja dari 4 indikator pendukung pada zona III. Faktor prioritas utama dalam pencapaian sasaran adalah zona I (kegiatan budidaya) dengan pertimbangan hasil analisis kondisi aktual dan analisis kesenjangan yang menunjukkan bahwa zona I merupakan zona hulu yang memiliki peran penting dalam penyediaan bahan baku bagi kegiatan yang berjalan pada zona II dan zona III. Alternatif strategi yang tepat diterapkan dan diprioritaskan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur adalah pada zona I yaitu peningkatan kapasitas produksi, pada zona II yaitu membangun hubungan kemitraan yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik dan pada zona III yaitu peningkatan kapasitas produksi. Kata kunci: klaster industri, minapolitan, rumput laut, strategi 1
Alamat Korespondensi: Email:
[email protected]
Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
172
PENDAHULUAN Rumput laut merupakan salah satu produk unggulan pemerintah dalam mencapai visi pembangunan kelautan dan perikanan yaitu menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015.Volume produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2013 mencapai 6.514.854 ton/tahun (Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2013). Peningkatan produksi rumput laut nasional diikuti pula dengan peningkatan volume dan nilai ekspor rumput laut.Masih tingginya volume ekspor rumput laut kering Indonesia dibandingkan dengan produk intermedietnya menyebabkan nilai tambah yang diperoleh masih relatif rendah. Oleh karena itu, orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw matrial diarahkan menjadi produk intermediet yang memiliki nilai tambah tinggi. Dalam pelaksanaannya, perubahan orientasi ini mengalami berbagai macam kendala. Kurang berkembangnya industri pengolahan rumput laut di Indonesia disebabkan karena belum terdapatnya jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, kualitas,waktu, dan harga. Selain bahan baku, pola tata niaga, kelembagaan, infrastruktur ekonomi, Sumber Daya Manusia (SDM), dan Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK) adalah faktor-faktor yang juga membutuhkan penanganan secara serius dan intensif (Zulham et al. 2007, Sedayu et al. 2007, BI 2008). Program minapolitan merupakan salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah untuk mendukung tercapainya visi dan misi kementerian kelautan serta mengatasi permasalahan pengembangan industri rumput laut di Indonesia. Program minapolitan merupakan salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah untuk mendukung tercapainya visi dan misi kementerian kelautan dan perikanan serta mengatasi pengembangan industri rumput laut di Indonesia. Minapolitan adalah konsep pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas, dan percepatan (Sadimantara et al. 2014, Aswanah et al. 2013). Tujuan pengembangan kawasan minapolitan adalah untuk mendorong percepatan pengembangan wilayah dengan kegiatan perikanan sebagai kegiatan utama dengan mendorong keterkaitan antara desa dan kota; pengembangan sistem dan usaha minabisnis yang berdaya saing; berbasis kerakyatan dan berkelanjutan (tidak merusak lingkungan); serta terdesentralisasi di kawasan minapolitan (wewenang pada pemerintah daerah dan masyarakat) (Arnawa dan Arisena 2013, Muchlisin et al. 2012, PU 2012).
173
Sistem klaster merupakan pendekatan yang digunakan untuk mendukung program minapolitan yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Klaster industri merupakan bentuk organiasasi industrial yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, perkembangan teknologi, tuntutan desentralisasi dan mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan industri untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya (Porter, 1990). Pendekatan sistem klaster dilakukan untuk mengembangkan industri rumput laut di Indonesia, sehingga menjadi usaha yang lebih terintegrasi dan memiliki daya saing tinggi mulai dari hulu hingga ke hilir (Hasiru et al. 2010, Wibowo et al. 2011). Sumba Timur merupakan merupakan salah satu kawasan minapolitan rumput laut yang ditetapkan oleh KKP karena memiliki potensi sebagai lokasi pembudidayaan komoditas rumput laut jenis Euchema Cottonii (E. Cottonii). Penetapan Kabupaten Sumba Timur sebagai kawasan minapolitan rumput laut berdasarkan pada hasil kajian kompetensi inti daerah yang dilakukan Depertemen Perindustrian dan Perdagangan serta surat keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan KKP No.32/ MEN 2010, tentang penetapan kawasan minapolitan (Khotimastuti, 2012). Penetapan Kabupaten Sumba Timur sebagai salah satu daerah kawasan minapolitan rumput laut dengan sistem klaster diharapkan dapat mendukung tercapainya program pembangunan perikanan dan kelautan dan secara umum dapat mendukung peningkatan produksi secara nasional. Penerapannya sistem klaster pada pengelolaan kawasan minapolitan masih mengalami berbagai macam kendala dan permasalahan, salah satu diantaranya adalah adanya permasalahan ketidakstabilan produksi hasil budi daya pada zona I baik secara kuantitas maupun kualitas. Adanya ketidakstabilan kuantitas maupun kualitas dari hasil budi daya ini, menyebabkan kegiatan pada zona II (kegiatan pengumpulan dan distribusi) dan zona III (kegiatan pengolahan) juga mengalami hamabatan dan permasalahan. Ketidakstabilan kuantitas dan dan kualitas dari hasil budi daya menyebabkan zona II belum dapat melaksanakan kegiatan pengumpulan dan distribusi bahan baku secara tepat jumlah, kualitas dan waktu sesuai dengan spesifikasi kualitas bahan baku pabrik pengolahan. Pabrik pengolahan pada zona III juga mengalami permasalahan pada ketersediaan bahan baku untuk kegiatan produksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penetapan alternatif strategi yang dapat diterapkan untuk mengembangkan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi aktual dari pengembangan industri rumput laut dengan sistem klaster di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur, menentukan faktor-faktor yang berpengaruh pada pengembangan industri rumput laut dengan sistem klaster yang berkelanjutan di Kabupaten Sumba Timur dan merekomendasikan prioritas strategi yang tepat untuk diterapkan guna mendukung pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur. Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup analisis perumusan langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan operasional (working process) pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan kabupaten Sumba Timur yang kemudian akan dijadikan masukan bagi kebijakan yang sudah ada.
perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumba Timur pembudidaya rumput laut pada zona I, pengumpul pada zona II dan pihak dari PT. Algae Sumba Timur Lestari selaku pihak yang mewakili zona III. Pengambilan contoh (sampling procedure) dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan contoh tanpa peluang (non probability sampling) dengan penentuan responden secara sengaja (purposive sampling) dengan pendekatan expertise judgment. Penentuan responden pakar dipilih dan ditentukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman responden dalam bidang yang diteliti. Responden dalam bidang yang diteliti antara lain perwakilan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur, perwakilan dari kelompok hamparan mewakili pembudidaya, perwakilan dari pengumpul rumput laut untuk zona II, perwakilan dari industri pengolahan (PT ASTIL) untuk zona III. Teknik pengolahan dan analisis data untuk penelitian ini terdiri dari tahapan-tahapan, yaitu analisis kondisi aktual, analisis kesenjangan, dan analisis hierarki proses.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Minapolitan rumput laut Kecamatan Pahunga Lodu, Kabupaten Sumba Timur. Pendekatan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan survei. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan informasi yang lebih rinci mengenai permasalahan dari objek yang diteliti. Data primer diperoleh dari diskusi dan wawancara mendalam dengan pakar secara terstruktur dengan kuesioner dan tidak terstruktur serta dari observasi secara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka guna memperoleh landasan teoritis dan data penunjang yang berkaitan dengan materi penelitian.
Analisis Kondisi Aktual Analisis kondisi aktual klaster industri rumput laut di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur mengacu kepada model kelembagaan, elemen dan subelemen yang terdapat pada model klaster industri rumput laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan yang dapat dilihat pada Gambar 1. Indikator pendukung pada tiap-tiap zona merujuk pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Pujiastuti, 2014) dan (Wibowo et al. 2011) dan dari sumber pustaka relevan lainnya, serta hasil wawancara mendalam dengan menggunakan kuesioner pada responden pakar yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Kerangka contoh (sampling frame) dalam penelitian ini adalah pihak Pemda Sumba Timur dalam hal ini Dinas
Sarana produksi rumput laut
Usaha pembenihan rumput laut Zone I
pembudidaya
Lembaga penyangga
Pasca panen: gudang, para-para, mesin press, lantai jemur, transportasi
Zone III
Industri pengolahan
Industri lokal
Kemen KP, Kemen terkait, Pemda, Koperasi, Bank, Dinas/instasi terkait, Swasta
Export
Kemen KP, Kemen terkait, Pemda provinsi, Pemda kabupaten, Dinas terkait, Bank
Jasa pendukung: perbankan, riset, instansi pemerintah, transportasi, quality assesment
Swasta nasional Swasta asing
Gambar 1. Model klaster industri rumput laut (Pujiastuti, 2014) Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
174
Tabel 1. Indikator pendukung zona di setiap zona pada klaster industri rumput laut Zona I (Produksi/budidaya) Subfaktor zona I Ketersediaan usaha/kegiatan pembibitan Kesesuaian lahan budidaya Ketersediaan lahan budidaya Ketersediaan sumber daya modal Ketersediaan SDM Ketersediaan sarana budidaya Ketersediaan prasarana/infrastruktur Ketersediaan lembaga terkait Hubungan kemitraan
Zona II (Pascapanen) Subfaktor zona II Ketersediaan pengumpul
Zona III (Pengolahan) Subfaktor zona III Ketersediaan industri pengolahan
Ketersedian koperasi/lembaga keuangan lainnya. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pascapanen Ketersediaam lembaga terkait Hubungan kemitraan
Ketersediaan lembaga terkait Ketersediaan industri local Ketersediaan hubungan kemitraan Ketersediaan kuota ekspor
Analisis Kesenjangan
Analisis Proses Hierarki
Analisis kesenjangan pada klaster industri rumput laut Kabupaten Sumba Timur dilakukan melalui justifikasi pendapat pakar mengenai kondisi aktual (kondisi saat ini) dan harapan perbaikan masa yang akan datang (kondisi ideal). Analisis kesenjangan pada penelitian juga menyertakan pendekatan kuantitatif agar dapat memberikan informasi yang lebih jelas dalam penenetuan kesenjangan elemen-elemen yang terdapat pada klaster industri rumput laut Kabupaten Sumba Timur. Pendekatan kuantitatif pada penelitian ini dilakukan dengan metode skoring dengan menggunakan skala likert dengan 1 (tidak baik); 2 (kurang baik); 3 (cukup baik); 4 (baik); dan 5 (baik). Dalam pelaksanaannya, analisis ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang kemudian diisi oleh para pakar. Pada pengisian kuesioner ini, responden diminta memberikan skoring atau penilaian kinerja sesuai dengan kondisi aktual yang terdapat dilapangan pada subfaktor di masing-masing zona yang terdapat di dalam klaster (Pratama, 2014). Skala penilaian yang digunakan adalah 1 hingga 5, maka rentang skala indeks yang diperoleh 0,8 digunakan untuk menentukan rentang skala indeks kinerja (Tabel 2). Nilai tersebut hasil pengurangan bobot terbesar dengan bobot terkecil. Sesudah itu dibagi dengan banyaknya kategori bobot.
AHP adalah teori pengukuran dengan melakukan pendekatan kuantatif (quantifiable) dan/atau kriteria tidak kasat mata (intangible). Pembuatan keputusan dilakukan dengan pendekatan multi kriteria melalui pairwaise comparison yang datang dari skala preferensi di antara sekelompok anternatif (Saaty, 2008). Pengolahan matriks dilakukan dengan software Expert Choice 2000. Untuk menentukan prioritas faktor, aktor, tujuan dan strategi dalam pengembangan klaster industri rumput laut Sumba Timur dilakukan dengan menggunakan metode AHP. Langkah pertama dalam AHP adalah menyusun hierarki. Persoalan penentu strategi dalam pengembangan klaster industri rumput laut Sumba Timur diuraikan menjadi unsurunsurnya, yaitu faktor/kriteria, subkriteria, aktor, tujuan dari masing-masing aktor serta alternatif-alternatif strategi yang dipilih. Setelah hierarki dari persoalan yang dihadapi telah disusun, kemudian dinilai melalui perbandingan berpasangan. Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen yang lainnya. Proses perbandingan berpasangan, dimulai kemudian diambil elemen yang dibandingkan, misal A1, A2, dan A3. Susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tampak seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Indeks tingkat kinerja kondisi aktual faktor dan subfaktor Kriteria jawaban 1 < D ≤ 1,80 1,80
175
Nilai Kinerja subfaktor klaster tidak baik Kinerja subfaktor kurang baik Kinerja subfaktor cukup baik Kinerja subfaktor baik Kinerja subfaktor sangat baik
Tabel 3. Contoh matrik perbandingan berpasangan Faktor A1 A2 A3
A1 1 ½ 1/5
A2 2 1 2
A3 5 ¼ 1
sumber: Saaty, 1993 Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
Hasil Analisis Kondisi Aktual pada Zona I, II, dan III Zona I merupakan zona produksi yang melaksanakan kegiatan budi daya rumput laut jenis E. Cottonii yang kemudian didistribusikan kepada pihak pengumpul (zona II). Total luas lahan termanfaatkan adalah seluas 218 Ha, dengan metode lepas dasar sebagai metode budi daya dengan volume produksi rumput laut kering tahun 2013 sebesar 2406.24 Ton basah/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumba Timur 2013). Petani pembudidaya pada zona I terhimpun dalam bentuk kelompok-kelompok hamparan. Kelompok hamparan dibentuk untuk pelaksanaan teknis budi daya, Kelompok-kelompok ini didampingi dan dibina oleh tenaga pendamping teknologi (TPT) dan unit pengembangan dan pelayanan kelompok pembudidaya perikanan (UPP Pokdakan) dari penyiapan bibit sampai dengan panen dan kegiatan paska panen. Selain kegiatan pokok yaitu kegiatan pembudidayaan, terdapat juga kegiatan sosial ekonomi yang terhimpun dalam bentuk kelompok usaha bersama (KUB). KUB-KUB ini melakukan kegiatan pengolahan hasil budi daya rumput laut menjadi produk-produk olahan seperti kerupuk, es rumput laut, pilus, jelly, dan produk olahan lainnya berskala rumah tangga dibawah bimbingan DKP Sumba Timur bekerjasama dengan pabrik pengolahan pada zona III. Kendala yang dihadapi oleh zona I adalah belum tersedia kebun bibit atau usaha pembibitan, adanya kondisi cuaca ekstrim yang berulang hampir di setiap tahun selama 3 tahun terakhir. Belum optimalnya pemanfataan luas lahan dan penerapan metode budi daya, keterbatasan modal, sarana dan prasarana, kualitas SDM pembudidaya dalam memahami klaster dan keterbatasan jumlah UPP dan TPT dalam menjalankan fungsi penyuluhuhan, pendampingan, kontrol, monitoring dan evaluasi. Zona II merupakan zona yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pengelolaan paska panen, pengumpulan, mendukung ketersediaan modal bagi pembudidaya dan distribusi bahan baku ke zona III. Pengelolaan zona II diamanatkan atau dipercayakan oleh pemda Sumba Timur kepada pihak swasta sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pascapanen hasil budi daya yang dilakukan oleh petani. Kegiatan ini baru dipercayakan oleh Pemda kepada satu pihak swasta sebagai pengumpul hasil budi daya pada Zona I. Kegiatan zona II ini berpusat di desa Kaliuda Kecamatan Pahunga Lodu. Kegiatan transaksi jual beli bahan baku dengan pembudidaya dilakukan dengan sistem pembayaran langsung menggunakan uang cash/ Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
tunai. Zona II belum dapat melaksanakan kegiatan pengelolaan paska panen secara maksimal. Belum terdapat perjanjian atau kesepakatan yang mengikat antara zona I dan zona II terkait distribusi bahan baku baik dari segi keseragaman kuantitas, kualitas dan waktu, keterbatasan jumlah lantai jemur dan gudang di tingkat petani, minimnya koordinasi dengan lembaga terkait menjadi faktor-faktor penghambat dalam pengelolaan kegiatan pascapanen. Permasalahan ini pada kemitraan zona II dan zona I ini juga berdampak pada kelancaran hubungan kemitraan antara zona II dan zona III. Dalam menjalankan fungsinya dalam mendukung ketersediaan modal bagi pembudidaya juga belum dapat dilaksanakan oleh zona II. Belum terbentuknya lembaga berbadan hukum (BULD/koperasi) pada zona II, kesulitan akses modal bagi pembentukan koperasi dan kesulitan dalam pemberdayaan masyarakat pembudidaya dalam pembentukan serta ikut berperan aktif dalam keanggotaan koperasi adalah permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh zona II yang juga membutuhkan perhatian dan pemikiran untuk ditemukan solusinya. Kondisi aktual industri pengolahan pada zona III klaster industri rumput laut dikawasan minapolitan kabupaten Sumba adalahPabrik pengelolaan rumput laut (zona III) adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan nama PT Algae Sumba Timur Lestari (ASTIL) dan mulai beroperasi tanggal 5 Januari 2010. Kapasitas terpasang yang dimiliki pabrik adalah 6ton bahan baku/hari.Saat ini pabrik masih berproduksi pada 2 ton bahan baku/ hari. Distribusi bahan baku dilakukan oleh zona II maksimal dua kali dalam satu bulan. Jenis teknologi yang diterapkan adalah teknologi terapan dengan jenis produk yang dihasilkan adalah Alcali Treated Cottoni (ATC) chips. Pembiayaan kegiatan operasional pabrik berasal dari APBD pemerintah kabupaten Sumba Timur dan akses pendanaan yang berasal dari perbankan. Tenaga kerja yang dimiliki oleh PT ASTIL berjumlah 32 orang. Kondisi sarana prasarana penunjaang operasional produksi dan pabrik secara keseluruhan telah tersedia namun masih memerlukan penambahan dan pengembangan antara lain: lantai jemur dan bak atau tangki pemasakan, prasarana antara lain : pengerasan dan pengaspalan jalan menuju pabrik, dan perbaikan pagar keliling pabrik. Pemasaran produk diilakukan kepada perusahaan rekanan atau client dari PT ASTIL antara lain : PT Ponix Mas – Mataram, PT Galik Artha Bahari-Jakarta, PT Indonusa Alga Emas Prima- Malang dan Denpasar, PT Indoseaweed dan PT Giwang-Makasar dan belum menjangkau pasar luar negeri atau kegiatan ekspor.
176
Faktor- faktor yang memengaruhi pengembangan klaster industri rumput di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur
subfaktor tersebut kemudian diperbandingkan antara tingkat kinerja pada kondisi aktual dengan kondisi ideal yang diharapkan dimasa yang akan datang.
Penentuan faktor-faktor yang memengaruhi pengembangan klaster industri rumput di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur dilakukan dengan menggunakan analisis kesenjangan sebagai analisis awal. Hasil dari analisis kesenjangan yang dilakukan digunakan sebagai dasar dalam penentuan faktor dan subfaktor pada penyusunan hierarki pada analisis hierarki proses dengan menggunakan metode AHP.
Hasil analisis kesenjangan dengan menggunakan skala likert diperoleh data bahwa zona I masih memiliki kinerja kurang baik pada kondisi aktual dengan nilai kinerja (2,4) dari nilai 5 untuk kondisi ideal. Nilai kinerja ini merupakan rata-rata hasil penjumlahan tingkat kinerja dari 9 indikator pendukung pada zona I. Di pihak lain, hasil analisis menunjukkan bahwa Zona II juga masih memiliki tingkat kinerja yang kurang baik pada kondisi aktual dengan nilai kinerja (2,6) dari nilai 5 untuk kondisi ideal. Nilai kinerja ini merupakan rata-rata hasil penjumlahan tingkat kinerja dari 4 indikator pendukung pada zona II. Selain itu, hasil analisis menunjukkanbahwa Zona III memiliki tingkat kinerja yang cukup baik pada kondisi aktual dengan nilai kinerja (2,7) dari nilai 5 untuk kondisi ideal. Nilai kinerja ini merupakan rata-rata hasil penjumlahan tingkat kinerja dari 4 indikator pendukung pada zona III. Selengkapnya pada Gambar 2, 3, dan 4.
Analisis kesenjangan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesenjangan antara kondisi aktual pada klaster industri rumput laut di kawasan minapolitan kabupaten Sumba Timur dengan kondisi ideal atau kondisi yang diharapkan di masa yang akan datang. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan subfaktor di masing-masing zona yang terdapat pada klaster industri rumput laut kabupaten Sumba Timur berdasarkan hasil analisis kondisi aktual. Subfaktor-
5,0
5
Nilai
4 3
Kondisi aktual
3,0 2,4
2
2,2
2,4
2,2
2,2
P3
P4
P5
2,4
2,4
P6
P7
2,6
2,6
P7
P8
Kondisi ideal
1 0 Kinerja P1 Zona I
P2
IDEAL
Keterangan: Kinerja zona I (budidaya), P1. Usaha pembibitan, P2. Kesesuaian lokasi budidaya, P3. Luas lahan produksi, P4. Sumber daya modal, P5.Sumber daya manusia, P6. Sarana penunjang produksi, P7. Prasarana penunjang budidaya, P8. Lembaga terkait, P9. Kemitraan, IDEAL (kondisi ideal). Nilai kinerja zona I : 2,4 (merupakan nilai rata-rata hasil penjumlahan 9 subfaktor). P1-P9 : merupakan subfaktor zona I
Gambar 2. Hasil analisis kesenjangan faktor dan subfaktor zona I 5,0
5
Kondisi aktual
Nilai
4 3
2,6
3,0
Kondisi ideal
2,6
2,4
2,4
P2
P3
P4
2 1 0
Kinerja Zona II
P1
IDEAL
Keterangan: Kinerja Zona II (pascapanen), P1. Pengumpul, P2. Sarana dan prasarana, P3. Lembaga terkait, P4. Kemitraan, IDEAL (kondisi ideal). Nilai kinerja zona I : 2,6 (merupakan nilai rata-rata hasil penjumlahan 4 subfaktor). P1-P4 : merupakan subfaktor zona II
Gambar 3. Hasil analisis kesenjangan faktor dan subfaktor zona 2
177
Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
5,0
5
Nilai
4 3
2,6
2,7
2,4
Kondisi aktual
3,0
2,8
P3
P4
Kondisi ideal
2 1 0
P2
P1
Kinerja Zona III
IDEAL
Keterangan: Kinerja Zona III (Kegiatan Pengolahan), P1. Industri pengelohan, P2. Lembagaterkait, P3. Industri lokal, P4. Kemitraan, IDEAL (kondisi ideal). Nilai kinerja zona III : 2,7 (merupakan nilai rata-rata hasil penjumlahan 4 subfaktor). P1-P4 : merupakan subfaktor zona III
Gambar 4. Hasil analisis kesenjangan faktor dan subfaktor zona 3 Alternatif Strategi pengembangan klaster industri rumput di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur
tersebut antara lain zona I, zona II dan zona III. Masingmasing faktor memiliki subfaktor, aktor, tujuan dan alternatif strategi yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Hasil kuesioner AHP diperoleh data mengenai faktor, subfaktor, aktor, tujuan dan alternatif strategi dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur. Penentuan elemen pada setiap level pada sistem hierarki, mulai dari faktor, subfaktor, aktor, tujuan dan alternatif strategi berdasarkan pada pertimbangan hasil analisis kondisi aktual dan hasil analisis kesenjangan yang telah dilakukan sebelumnya sebagai analisis pendahuluan.
Hasil analisis diperoleh data bahwa Faktor prioritas yang memengaruhi keberhasilan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan adalah zona I (0,637) (Tabel 5). Zona I pada kondisi aktual masih memiliki tingkat kinerja yang kurang baik. Sebagai zona yang bertanggung jawab terhadap kegiatan budi daya atau zona hulu, rendahnya tingkat kinerja zona I memberikan dampak atau pengaruh pada kinerja zona II mapun zona III di dalam klaster. Perbaikan dan peningkatan kinerja pada zona I di masa yang akan datang dalam kegiatan pembibitan dan pembudidayaan rumput laut secara intensif akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja pada zona II maupun zona III.
Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor yang berpengaruh pada pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan kabupaten Sumba Timur. Faktor-faktor
Strategi pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur
Fokus
Faktor
Zona I (pasca panen)
Zona I (budi daya)
Zona I (pengolahan)
Sub-faktor S1
Aktor
S2
S3
S4
S5
S6
A1
A2
A3
A4
A5
Tujuan
Strategi
T1
S1
S2
S7
SU1
T2 S3
SU2
AK1
AK2
TJ1 S4
S5
AK1
SU3
SU4
AK3
SUB1
AKT1
AK3
SUB1
SUB3
SUB4
AKT2 AKT3
TJ1
TJ2
AK2
SUB2
SUB2
TJ2
SUB3
SUB4
Gambar 5. Struktur hierarki strategi pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
178
Tabel 5. Faktor prioritas penentu dalam pengembangan klaster industri rumput laut Kabupaten Sumba Timur Faktor Zona I Zona II Zona III
Vektor prioritas 0,637 0,258 0,105
Prioritas 1 2 3
Hasil proses hierarki dalam penentuan alternatif strategi prioritas bagi pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur akan dijelaskan pada masingmasing zona mulai dari zona I, zona II dan zona III. 1. Hasil AHP pada zona I Hasil pernilaian dan perhitungan menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas produksi pada kegiatan budi daya merupakan strategi prioritas utama pada zona I (0,405) (Tabel 6). Dengan melakukan peningkatan kapasitas produksi pada lahan budi daya yang termanfaatkandan pemanfaatan lahan budi daya pontesial lainnya secara optimal disesuaikan dengan target dan kebutuhan operasional dari pabrik pengolahan pada zona III. Peningkatan kapasitas produksi ini harus dilakukan dengan tidak hanya mempertimbangkan aspek kuantitas tetapi juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kualitas dan ketepatan waktu penyediaan bahan baku. Oleh karena itu, perlu dilakukan intesifikasi pertanian guna mendukung tercapainya peningkatan kapasitas produksi yang optimal baik secara jumlah maupun kualitas, pengembangan kualitas dan kinerja SDM sebagai prioritas strategi kedua dalam mencapai sasaran (0,235) juga penting untuk dilakukan dalam mendukung pencapaian peningkatan kapasitas produksi pada kegiatan budi daya, berdasarkan pada pertimbangan hasil analisis kondisi aktual dan analisis
kesenjangan yang menunjukkan bahwa rendahnya kinerja SDM merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya produktivitas hasil budi daya pada zona I baik secara kualitas maupun kuantitas. 2. Hasil AHP pada zona II Hasil perhitungan diperoleh bahwa membangun sistem kemitraan yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik merupakan alternatif strategi prioritas utama pada pengembangan klaster pada zona II (0,528)(Tabel 7). Dengan sistem kemitraan yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik dari hulu sampai dengan hilir dan melibatkan peran aktif dari semua pelaku usaha dan pemangku kepentingan yang terlibat pada klaster industri rumput laut diharapkan permasalahan dan kendala yang dihadapi pada kondisi aktual dapat teratasi dengan baik serta pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dapat tercapai dimasa yang akan datang. 3. Hasil AHP pada zona III Hasil penilaian dan perhitungan menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas produksi dari pabrik pengolahan adalah strategi prioritas utama yang dapat diterapkan guna mencapai tujuan meningkatkan produktivitas pada zona III (0,683)(Tabel 8). Peningkatan kapasitas produksi penting untuk dilakukan melihat pada kondisi aktual pabrik pengolahan masih berproduksi jauh di bawah kapasitas terpasang. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan hubungan kemitraan dengan produsen hulu, dalam hal ini zona II dan zona I untuk ketersediaan bahan baku yang memadai, serta peran lembaga terkait dalam hal penyediaan sarana, prasarana dan modal kerja yang memadai.
Tabel 6. Strategi prioritas penentu yang berpengaruh pada zona I Alternatif strategi Peningkatan dan pengembangan kualitas dan kinerja SDM Peningkatan kapasitas produksi Membangun kerjasama dengan pihak perbankan Pengembangan kegiatan KUB Penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana
Bobot 0,235 0,405 0,180 0,070 0,110
Prioritas 2 1 3 5 4
Bobot 0,333 0,140 0,528
Prioritas 2 3 1
Tabel 7. Alternatif strategi prioritas yang berpengaruh pada zona II Alternatif strategi Peningkatan dan pengembangan kualitas dan kinerja SDM Pembentukan koperasi Membangun sistem kemitraan yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik
179
Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
Tabel 8. Strategi prioritas penentu yang berpengaruh pada zona III Alternatif Strategi Pengembangan teknologi dan jenis produk yang dihasilkan Peningkatan kapasitas produksi Membangun kerjasama dengan produsen bahan baku dan investor
Implikasi manajerial Masukan dan saran yang dapat diberikan kepada Pemerintah daerah Sumba Timur pada implikasi manajerial bagi pengembangan klaster industri rumput laut di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur, dilakukan berdasarkan alternatif strategi prioritas yang ditetapkan pada hasil analisis AHP pada masing-masing zona mulai dari zona I, zona II dan zona III. 1. Implikasi manajerial untuk zona I Peningkatan kapasitas produksi pada zona I merupakan alternatif strategi prioritas utama berdasarkan hasil penilaian para pakar pada analisis AHP. Beberapa hal yang akan disarankan terkait peningkatan kapasitas produksi adalah melakukan intesifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian penting untuk dilakukan melihat pada kondisi aktual pemanfaatan luas lahan yang telah termanfaatkan seluas 218 ha belum dilaksanakan secara optimal pada kegiatan budi daya, sehingga berpengaruh pada rendahnya kuantitas dan kualitas produk hasil budi daya. Intesifikasi pertanian ini dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) pembangunan kebun bibit (2) peningkatan kualitas bahan baku dengan melakukan kegiatan budi daya sesuai dengan petunjuk teknis yang berlaku seperti dapat merujuk pada SNI 7579.1:2010 mengenai produksi rumput laut cottoni bagian I metode lepas dasar dan SNI 7579.2: 2010 megenai produksi rumput laut conttoni bagian II metode long line (3) Pemanfaatan lahan budi daya dan metode budi daya secara optimal. Pemanfaatan lahan budi daya yang telah termanfaatkan seluas 218 ha secara optimal dengan penentuan target produksi dan perencanaan siklus tanam yang matang baik secara teknis maupun ekonomi. (4) Pengembangan kualitas dan kinerja SDM pembudidaya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara Pemda Sumba Timur dan jajarannya dalam hal ini DKP Sumba Timur bekerjasama dengan DJPB KKP, BP4K dan litbang/universitas melakukan kegiatan penyuluhan dan pendampingan terkait teknis budi daya, mulai dari pembangunan kebun bibit, pengelolaan kebun bibit, penanganan bibit untuk budi
Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
Bobot 0,117 0,683 0,200
Prioritas 3 1 2
daya, perawatan, pencegahan HPT, kegiatan panen dan pascapanen. Pengaturan siklus tanam atau melakukan pembuatan kalender musim tanam dalam satu tahun, dengan mempertimbangkan kondisi ekstrim yaitu 5 siklus/ tahun mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan September. (5) 2. Implikasi manajerial untuk zona II Dalam membangun sistem kemitraan yang terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik maka perlu mempertimbangkan hal-hal tertentu. Hal tersebut diantaranya: 1) mempertimbangkan aktivitas dan tanggung jawab dari masing-masing zona pada klaster; 2) mempertimbangkan kebutuhan dari masing-masing zona yang terdapat pada klaster; 3) mempertimbangkan kendala apa sajakah yang dihadapi pada masing-masing zona pada klaster dalam memenuhi kebutuhannya; 4) mempertimbangkan siapa sajakah aktor yang terlibat dalam aktivitas dan siapa sajakah aktor yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan dari masing-masing zona pada klaster; 5) mempertimbangkan tolak ukur apakah yang akan digunakan dalam mengukur keberhasilan dari pelaksanaan kegiatan dan pemenuhan kebutuhan pada masing-masing zona yang juga dapat digunakan dalam proses monitoring, kontroling dan evaluasi. 3. Implikasi manajerial untuk zona III Peningkatan kapasitas produksi pada pabrik pengolahan dapat dilakukan dengan beberapa langkah diantaranya: 1) Penetapan target produksi pada pabrik pengolahan di tahun selanjutnya dilakukan dengan pertimbangan data target volume produksi budi daya pada zona I. Data volume produksi hasil budi daya dan volume produksi pada pabrik pengolahan pada kondisi aktual (Tahun terkahir 2013) dijadikan data awal dalam penetapan target produksi di tahun selanjutnya. 2) Penyediaan sarana dan prasaranayang memadai. 3) Pengembangan teknologi dan jenis produk hasil olahan.4) Pengembangan jenis produk dan penggunaan teknologi hasil pengolahan menjadi Semi refine caragenan (SRC) dan Refine Caragenan (RC).
180
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil Penelitian menunjukkan bahwa telah terbangun kelembagaan klaster industri rumput laut di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur yang terdiri atas tiga zona yaitu zona I merupakan zona produksi atau budi daya yang bertanggung jawab terhadap kegiatan budi daya rumput laut jenis E. Cottoniii. Zona I telah memiliki 9 indikator. pendukung zona zona II merupakan zona pascapanen yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pengelolaan pascapanen, pengumpulan dan distribusi bahan baku pada zona III dan mendukung ketersediaan modal bagi pembudidaya pada zona I. Zona II memiliki 4 indikator dari 5 indikator yang terdapat pada zona II. Indikator-indikator tersebut antara lain: ketersediaan SDM (pengumpul), ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan pascapanen, ketersediaan lembaga terkait dan ketersediaan hubungan kemitraan. Indikator ketersediaan koperasi/lembaga keuangan lainnya belum tersedia pada zona II hal ini disebabkan karena adanya kendala pada ketersediaan modal awal dalam pembentukan koperasi dan kendala dalam hal jenis koperasi yang sesuai dan mengkoordinir pembudidaya dalam pembentukan dan keanggotaan koperasi. Zona III merupakan zona yang bertanggung jawab terhadap kegiatan kegiatan pengolahan dan pemasaran produk hasil pengolahan. Zona III memiliki 4 indikator pendukung zona dari 5 indikator yang terdapat pada zona III. Indikator tersebut antara lain: ketersediaan industri pengolahan, keterediaan lembaga terkait, ketersediaan industri lokal, dan ketersediaan hubungan kemitraan. Kegitan ekspor belum tersedia atau dilaksanakan pada zona III. Hal ini disebabkan karena adanya permasalahan minimnya ketersediaan bahan baku pada zona III sehingga pabrik pengolahan masih berproduksi di bawah kapasitas terpasang. Kendala ini menyebabkan pabrik pengolahan baru dapat melakukan kegiatan pemasaran pada industri lokal yang menjadi rekanan tetap dari pabrik pengolahan dan belum memungkinkan dalam melakukan kegiatan ekspor. Hasil AHP diperoleh data bahwa terdapat tiga faktor penentu dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur yaitu zona I (kegiatan budi daya), zona II (kegiatan pascapanen) dan zona III (kegiatan pengolahan. Faktor prioritas utama dalam pencapaian sasaran adalah zona I (kegiatan budi daya) dengan pertimbangan hasil analisis kondisi aktual dan analisis kesenjangan yang menunjukkan bahwa zona I merupakan zona hulu yang memiliki peran penting
181
dalam penyediaan bahan baku bagi kegiatan yang berjalan pada zona II dan zona III. Kurang baiknya kinerja zona I pada kondisi aktual berpengaruh pada belum optimalnya kinerja kegiatan pascapanen pada zona II dan kegiatan pengolahan pada zona III. Alternatif strategi yang tepat diterapkan dan diprioritaskan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan Kabupaten Sumba Timur adalah pada zona I berupa peningkatan kapasitas produksi. Pada zona II, yaitu membangun hubungan kemitraan yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Pada zona III, yaitu peningkatan kapasitas produksi. Saran Pelaksanaan program pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di kawasan minapolitan kabupaten Sumba Timur membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang baik dari semua pihak yang terlibat di dalam pengelolaan klaster antara lain industri pengolahan, pembudidaya, pengumpul, pemangku kepentingan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) pelaku usaha (industri lokal, produsen bahan baku, investor,), litbang, universitas, praktisi dan profesional. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pengembangan industri pengolahan dan penanganan limbah pada klaster industri rumput di kabupaten Sumba Timur. Dalam pengembangan klaster nantinya perlu dilakukan penangan limbah yang lebih intensif. Untuk industri rumput laut limbah yang dihasilkan sebagian besar berupa limbah cair yang berasal dari proses pengolahan ATC chips yang digunakan untuk pencucian dan limbah sisa larutah KOH yang digunakan dalam proses ekstrasi. Limbah cair ATC yang banyak mengandung KOH jika diproses lebih lanjut dengan menggunakan HCL, akan memberikan nilai tambah degan dihasilkannya garam KCL yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk (Wibowo et al. 2011).
DAFTAR PUSTAKA Arnawa KI, Arisena MG. 2013. Potensi daya dukung pengembangan kawasanminapolitan di kabupaten Gianyar Bali. Jurnal Agriekonomika 2(2): 97–108. Aswanah KY, Efani A, Tjahjono A. 2013. Evaluasi terhadap implementasi program pengembangan kawasan minapolitan perikanan tangkap di Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
pelabuhan perikanan nusantara (PPN) Brondong Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM 1(1): 97–108. [BI] Bank Indonesia. 2008. Pengembangan Komoditi Rumput Laut di Kabupaten Sumenep. Surabaya: Bank Indonesia. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Timur. 2013. Produksi Budi daya Rumput Laut. Sumba Timur: DKP Sumba Timur. Hasiru R, Niode Y I, Rahim E, Payu RB, Sahami F, Azis M, Utirahman M. 2010. Studi kelayakan klaster industri rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo. Jurnal Inovasi Gorontalo 5(3):11–22. Khotimastuti GA. 2012. Analisis supply chain management rumput laut eucheuma cottonii di Indonesia: studi pada klaster/minapolitan rumput laut Waingapu, Sumba Timur [tesis]. Yogyakarta: UGM. Muchlisin ZA, Nazir M, Musman M. 2012. Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di beberapa lokasi dalam provinsi Aceh. Depik 1(1): 68–77. Pahan I, Sa’id EG, Tambunan M, Asmon D, Suroso AI. 2011. The future of palm oil industrial cluster of Riau region. European Journal Of Social Science 24 (3): 421–431. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nation. New York: Free Press. Pratama SR. 2014. Strategi pengembangan klaster industri kelapa sawit di Sei Mengkei Sumatra Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pujiastuti DL. 2014. Daya saing produk hilir rumput laut Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 11 No. 3, November 2014
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Kompleks. Terjemahan LPPM. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Saaty TL. 2008. The analytical hierarchy process and analyticall network measurement process: aplications to decision under risk. European Journal of Pure and Applied Mathematics. 1(1):122–196. Sadimantara NF, M Muslich, Suhartini. 2014. Dampak program minapolitan terhadap pendapatan usaha tani rumput laut studi kasus di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. AGRISE 16(2):1412–1425. Sedayu BB, Basmal J, Fitrhriani D. 2007. Uji coba proses daur ulang limbah cair ATC (Alkali Treated Cottonii) dengan teknik koogulasi dan filtrasi. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 2(2): 22–34. Wibowo Y, Ma’arif MS, Fauzi MA, Adrianto L. 2011. Strategi pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Jurnal Agritek 12(1):85–98. Wibowo Y, Ma’arif MS, Fauzi MA, Adrianto L.2011. Diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Jurnal Agritek 5(1):33–43. Zulham A, Purnomo AH, Apriliani T, Hikmayani. 2007. Assessment klaster perikanan: studi pengembangan klaster rumput laut Kabupaten Sumenep. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2(2):177– 193.
182