STRATEGI PENERAPAN ALSINTAN PASCAPANEN TANAMAN PANGAN DI JAWA TIMUR DALAM MEMASUKI AFTA 2003 I K. Tastra Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kotak Pos 66, Malang 65101
ABSTRAK Dalam dua dekade terakhir (1980−2000), adopsi teknologi alsintan pascapanen tanaman pangan di Jawa Timur cukup meningkat dan telah dapat mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian. Namun dari sisi upaya peningkatan mutu hasil agar daya saing petani meningkat pada era perdagangan bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area), penerapan alsintan pascapanen masih mengalami kendala. Salah satu kendala yang dihadapi adalah lemahnya sinergi antarkomponen sistem penjualan jasa alsintan (SIPUJA). Sementara itu, penerapan alsintan pascapanen, di samping memerlukan investasi yang relatif mahal (ditinjau dari daya beli petani yang masih rendah), juga membutuhkan tingkat kemampuan pengelolaan yang memadai agar berbagai pihak yang terlibat mendapatkan keuntungan (nilai tambah) yang wajar. Tanpa adanya pembagian keuntungan yang wajar, sulit memacu dan menjamin keberlanjutan penerapan alsintan pascapanen yang semakin maju. Strategi yang tepat dalam penerapan alsintan pascapanen dalam era perdagangan bebas AFTA adalah melalui pendekatan sistem yang mengacu dan mempertimbangkan tolok ukur produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan kemerataan. Keempat kriteria tersebut dapat dioptimalkan melalui pengembangan sinergi antarkomponen SIPUJA dengan mempertimbangkan aspek pengadaan alsintan yang tepat guna dan proses pelembagaannya dalam suatu unit agribisnis/agroindustri. Kata kunci: Alsintan pascapanen, tanaman pangan, Jawa Timur
ABSTRACT Strategy of the application of food crop postharvest machinery in East Java with respect to the implementation of AFTA 2003 In the last two decades (1980−2000), the rate of postharvest machinery (PM) adoption for food crops in East Java was fairly high, thus the problem of lack of farm labour can be minimized. However, in term of grain quality, some constraints are encountered. One of the main constraints is a relatively low of synergy between the system components of PM application. Meanwhile, the application of PM obviously needs high cost for investment as well as good management skill in order to be beneficial for both the owners of the machineries and the users (farmers). Without proportional share of the margins, it is difficult to enhance and to maintain the sustainability of PM application. Therefore, a system approach is thought to be the most appropriate strategy for the application of PM. This strategy should consider the system performance criteria, such as productivity, stability, sustainability and pay-off. These criteria could be optimized through a synergic development between the system components of PM application that simultaneously would consider the availability of appropriate PM, the rate of PM adoption, and institutional process in an industrial agribusiness unit. Keywords: Postharvest equipment, food crops, AFTA, East Java
S
elain sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Jawa Timur juga dikenal sebagai propinsi dengan sektor industri yang berkembang pesat. Hal ini tampak dari kontribusi Jawa Timur terhadap produksi pangan nasional yang mencapai 20%, 36%, dan 24% masing-masing untuk padi, jagung, dan kedelai (Satpem Bimas Jawa Timur 1997). Sementara pesatnya perkembangan Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
sektor industri tercermin dari dampaknya terhadap pengurangan tenaga kerja pertanian dengan laju 1,67%/tahun (Antarno 1991). Pergeseran tenaga kerja ini terjadi karena tingkat upah dan kenyamanan kerja di sektor industri relatif lebih tinggi dibanding di sektor pertanian. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan memberatkan upaya mempertahankan dan meningkatkan kontribusi Jawa Timur
terhadap produksi pangan nasional, mengingat mulai tahun 2003 era perdagangan bebas di tingkat ASEAN (AFTA) mulai diberlakukan sementara senjang hasil padi, jagung, dan kedelai cukup tinggi (Gambar 1) (Satpem Bimas Jawa Timur 1997). Suwandi (2002) mengemukakan bahwa meskipun AFTA baru diberlakukan pada tahun 2003, dampak kekuatan 95
IDENTIFIKASI PENERAPAN ALSINTAN PASCAPANEN
Hasil (t/ha) 10 8,20
8 6
Rata-rata hasil Pelita VI. Potensi hasil.
5,35
4,70
4 2,58
2
2
1,22
0 Padi
Gambar 1.
Jagung
Kedelai
Senjang hasil padi, jagung, dan kedelai di Jawa Timur selama Pelita VI.
global AFTA merupakan ancaman yang patut diperhitungkan. Sebagai contoh adalah gejolak pada komoditas beras. Masuknya beras impor murah bermutu tinggi dari Thailand telah mengakibatkan petani sangat dirugikan. Selain harga komoditas menjadi murah, kekuatan AFTA yang menyamakan bea masuk setiap transaksi global menjadi 5%, ternyata cukup memperlancar masuknya beras murah Thailand. Perlindungan regulatif dari pemerintah telah dilakukan, namun belum mampu menahan laju masuknya beras impor murah tersebut. Harga beras impor dari Thailand yang murah dengan mutu lebih baik daripada beras lokal dapat mencerminkan penerapan teknologi pascapanen yang lebih maju di Thailand dibandingkan di Indonesia. Hal ini juga tercermin dari indikator daya saing global Thailand yang mencapai peringkat 33 sementara
Indonesia pada peringkat 64 (Gambar 2) (Profesi Plus, Edisi 74, April 2002 dalam Suwandi 2002). Rendahnya produktivitas padi Indonesia tahun 2000 (4,40 t/ha), yang di dunia hanya mencapai urutan ke29, juga mencerminkan masih relatif rendahnya daya saing global Indonesia (FAO 2001 dalam Gumbira dan Intan 2002). Peningkatan daya saing global komoditas pertanian Indonesia (Gambar 3) antara lain dapat dilakukan melalui peningkatan kinerja penerapan alsintan pascapanen tanaman pangan (padi, jagung, kedelai). Untuk itu, pada makalah ini dibahas penerapan alsintan pascapanen yang meliputi: 1) identifikasi penerapan alsintan pascapanen; 2) analisis kendala penerapan alsintan pascapanen; 3) peluang peningkatan kinerja alsintan pascapanen; dan 4) strategi penerapan alsintan pascapanen.
Peringkat daya saing 80
64
60 40 20 0
96
33
Malaysia
Thailand
38
4 Singapura
Gambar 2.
30
Filipina
Indonesia
Tingkat daya saing global Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN.
Penerapan alsintan pascapanen padi, kedelai, dan jagung di Kabupaten Mojokerto, Gresik, dan Lamongan lebih diutamakan untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja pada kegiatan usaha tani yang padat tenaga kerja seperti perontokan/pemipilan (Sodiq et al. 1999). Hal serupa juga terjadi di kabupaten lainnya di Jawa Timur. Laju adopsi alsintan yang tinggi tampak pada kabupaten yang dekat dengan kawasan industri seperti Mojokerto dan Gresik. Di dua kabupaten ini, penggunaan pedal thresher sudah tidak ada lagi, sementara di Kabupaten Lamongan yang relatif jauh dari kawasan industri, penggunaan pedal thresher masih dominan. Dari fakta ini dapat ditarik dua implikasi praktis. Pertama, kehilangan hasil padi di Kabupaten Mojokerto dan Gresik akan lebih kecil dibandingkan dengan di Kabupaten Lamongan, karena dengan menggunakan power thresher, tingkat kehilangan hasil gabah hanya 1,60%, sementara dengan cara tradisional mencapai 4,90%. Dengan demikian, penggunaan power thresher minimal dapat menekan kehilangan hasil sekitar 3,30%. Kedua, dari sudut pengembangan usaha penjualan jasa alsintan (UPJA), penerapan alsintan pascapanen hendaknya mempertimbangkan tingkat laju adopsi teknologi mekanis. Mesin perontok padi yang digunakan penjual jasa alsintan umumnya bersifat multiguna, sehingga dapat juga dipakai untuk merontokkan kedelai atau memipil jagung meskipun kurang optimal. Dengan demikian, tingkat kehilangan hasil pada tahap perontokan kedelai dan pemipilan jagung akan lebih kecil dibandingkan cara tradisional yang padat tenaga kerja (beban kerja tinggi). Berkembangnya UPJA perontokan padi dan kedelai serta pemipilan jagung disebabkan oleh adanya pembagian nilai tambah yang relatif adil, baik bagi petani pengguna jasa, petani penjual jasa maupun bengkel pembuat alsintan. Dari sisi petani pengguna jasa, nilai tambah utama dari penggunaan alsintan berasal dari penghematan tenaga kerja di samping secara implisit juga dari nilai pengurangan kehilangan hasil. Bagi penjual jasa alsintan, nilai tambah yang diperoleh berupa upah perontokan, sedang bagi bengkel alsintan dari hasil penjualan alsintan dan jasa perawatan alsintan. Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
ANALISIS KENDALA PENERAPAN ALSINTAN PASCAPANEN
Kebijakan pemerintah yang tepat ▲
+
Tingkat penguasaan pasar global ▲
▲
+ ▲
▲
▲
+
Mutu SDM (pelaku agribisnis) +
+
Dukungan swasta
+
Laju adopsi informasi
▲
+
▲
▲
+ ▲
+
Tingkat daya saing global
+
▲
+
▲
Laju adopsi teknologi (pascapanen)
▲+
+ ▲
+
Dukungan lembaga pendidikan dan pelatihan
Gambar 3. Lingkaran kausal upaya peningkatan daya saing global dalam era perdagangan bebas AFTA (improvisasi pemikiran Suwandi 2002).
Pesatnya perkembangan UPJA di Jawa Timur tercermin dari perubahan inovasi alat angkut dan jasa yang ditawarkan. Dalam dua dasawarsa (1980− 2000), alat angkut penjual jasa alsintan (perontokan padi dan kedelai serta pemipilan jagung) berubah dari menggunakan dua roda menjadi empat roda sehingga mobilitasnya lebih tinggi. Adanya kemampuan bengkel lokal dalam memproduksi alat angkut alsintan memakai empat roda telah membuka peluang penjualan jasa penggilingan padi (RMU) secara berpindah-pindah sehingga petani tidak perlu lagi datang ke unit penggilingan padi. RMU keliling ini telah tersebar di beberapa kabupaten di Jawa Timur, antara lain Jombang, Kediri, Mojokerto, Nganjuk, dan Pasuruan (Budiharti dan Harsono 2001). Pengguna jasa RMU keliling adalah petani perorangan yang menggiling padi dalam jumlah terbatas (1–4 karung) untuk keperluan konsumsi sendiri. Meskipun pelayanan jasa RMU keliling ini cukup menguntungkan petani, namun mutu beras giling yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan mutu beras dari penggilingan padi permanen (Tabel 1). Hal ini disebabkan Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
Tabel 1. Perbandingan mutu beras giling yang berasal dari penggilingan padi permanen dan keliling. Faktor mutu (%) Beras kepala Beras patah Menir Rendemen
Penggilingan padi permanen 73,80 23,20 3 59−65
Penggilingan padi keliling 66,40 26,90 6,70 60–63
Sumber: Budiharti dan Harsono (2001).
keterampilan operator RMU keliling umumnya lebih rendah daripada operator RMU permanen. Operator RMU keliling juga tidak memperhatikan kualitas gabah yang akan digiling terutama kadar air, karena perhatiannya lebih tertuju pada upaya mendapat borongan penggilingan sebesar-besarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, meskipun diversifikasi penjualan jasa alsintan telah berkembang dari menjual jasa perontokan/pemipilan menjadi penggilingan padi, orientasinya masih belum mengacu pada upaya perbaikan mutu hasil.
Dalam perspektif pengembangan sistem usaha tani padi, kedelai, dan jagung yang berwawasan agribisnis, UPJA juga perlu mempertimbangkan komponen sistem yang menerima dampak dari penggunaan alsintan pascapanen seperti industri pengolahan pangan dan pakan. Hal ini dikarenakan industri pangan dan pakan umumnya menghendaki jaminan keberlanjutan pasokan bahan baku dalam jumlah cukup dan memenuhi standar mutu (Anonim 1988; Sekretaris BP. Bimas 1998). Namun, pengamatan di lapang menunjukkan adanya interaksi yang masih kurang, seperti tercermin dari belum berkembangnya sistem penjualan jasa pengeringan yang dapat menjamin terpenuhinya standar mutu kadar air bahan baku yang dipasok. Hal ini disebabkan usaha jasa pengeringan masih belum menguntungkan karena harga mesin pengering lebih mahal dibandingkan mesin perontok dan jam kerja operasinya lebih pendek, terutama pada saat panen musim hujan. Selain itu, selisih harga gabah kering panen dengan kering simpan juga relatif kecil, hanya Rp 200−Rp 250/kg (Sodiq et al. 1999). Penerapan alsintan pascapanen, di samping membutuhkan investasi yang relatif mahal (ditinjau dari daya beli petani yang masih rendah), juga memerlukan kemampuan pengelolaan yang memadai agar pihak penjual jasa alsintan dan petani pengguna mendapatkan keuntungan (nilai tambah) yang wajar. Di pihak lain, bengkel alsintan juga ingin mendapatkan keuntungan yang wajar dari hasil pembuatan dan pemeliharaan alsintan (Tastra dan Sudaryono 1995; Tastra 1996). Sementara industri pengolahan pangan dan pakan ingin mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari bahan baku yang digunakan (jagung dan kedelai). Dengan demikian, tingkat adopsi teknologi mekanis dalam bentuk UPJA pada hakekatnya merupakan interaksi antara petani pengguna, penjual jasa alsintan, bengkel alsintan, industri pengolahan pangan dan pakan, dan pemerintah sebagai pembina. Oleh karena itu, pengembangan UPJA perlu melibatkan industri pengolahan pangan dan pakan sebagai komponen sistem. Dengan konsep pendekatan sistem, 97
selanjutnya UPJA lebih tepat disebut sistem penjualan jasa alsintan (SIPUJA). Wujud dukungan pemerintah dalam pengembangan SIPUJA dapat dilihat dari adanya standardisasi mutu hasil padi, jagung, dan kedelai serta Undang-undang Budi Daya Tanaman No. 12 tahun 1992, terutama pasal 43 perihal jenis dan standar alsintan budi daya tanaman. Untuk jagung, meskipun standar mutunya telah dikeluarkan lebih dari satu dasawarsa (Anonim 1988), standar mutu jagung sampai saat ini masih sulit dicapai. Hal ini tercermin antara lain dari penggunaan mesin pemipil yang masih beragam karena umumnya diproduksi oleh bengkel lokal yang tingkat kemampuan teknisnya cukup beragam. Mesin pemipil jagung lokal umumnya mempunyai konstruksi dan mekanisme kerja yang kaku (rancangan tidak mengacu pada upaya pemenuhan standar mutu biji jagung yang telah ditetapkan pemerintah) sehingga mutu hasil pipilan kurang baik (biji jagung rusak/pecah). Pada tingkat kadar air biji jagung 25,80% basis basah, kerusakan hasil pipilan mencapai 42% (Tastra 2001), sehingga jagung mudah terkontaminasi jamur Aspergillus flavus penghasil aflatoksin bila tidak segera dikeringkan. Kandungan aflatoksin maksimum (RSNI No.: 30TAN-1996) yang diijinkan pemerintah pada jagung bahan baku pakan adalah 50 ppb (Sekretaris BP Bimas 1998). Dari uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa kendala penerapan SIPUJA dalam era AFTA mendatang akan semakin berat, karena beberapa tolok ukur harus dipenuhi, yaitu: 1) peningkatan produktivitas tenaga kerja; 2) peningkatan kenyamanan kerja (aspek ergonomik); 3) pembagian nilai tambah yang adil (wajar) sesuai harga yang disepakati; dan 4) terpenuhinya standar mutu. Masih lemahnya sinergi di antara komponen sistem dalam SIPUJA dan belum terintegrasi atau terkoordinasinya SIPUJA dalam suatu unit agribisnis industri (Simatupang 1996) menjadi hambatan untuk mencapai tolok ukur secara sekaligus. Kondisi tersebut diperparah dengan kualitas sumber daya petani yang ratarata hanya berpendidikan setingkat sekolah dasar (75–80%) dan luas pemilikan lahan sempit (0,50 ha/KK) (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur 1999). Oleh karena itu, bila dikaji dari empat aspek yang mempengaruhi ke98
berhasilan pemanfaatan teknologi alsintan (Soemangat 1994) yaitu technoware, humanware, infoware, dan organoware, maka aspek humanware (SDM petani) adalah yang paling lemah. Hal ini tercermin dari belum berkembangnya sinergi di antara berbagai komponen SIPUJA, di mana aspek SDM (petani, penjual jasa alsintan dan lainlain) memegang peranan kunci dalam mengoptimalkan aspek technoware, infoware, dan organoware. Petani penjual jasa alsintan selangkah lebih maju dibandingkan dengan petani penyewa jasa alsintan dilihat dari visinya untuk meningkatkan nilai tambah usaha tani melalui optimasi aspek technoware.
PELUANG PENINGKATAN KINERJA ALSINTAN PASCAPANEN Peluang peningkatan kinerja SIPUJA untuk mendukung program intensifikasi usaha tani padi, jagung, dan kedelai di Jawa Timur cukup besar terutama untuk kegiatan yang beban kerjanya cukup tinggi seperti perontokan dan pemipilan (Tabel 2). Mesin perontok padi/kedelai yang tersedia (10.820 unit) melampaui yang direncanakan (10.666 unit). Demikian juga halnya dengan pemipil jagung, jumlah yang tersedia (25.279 unit) melampaui yang direncanakan (20.041 unit). Hal ini mencerminkan pangsa pasar jasa perontokan dan pemipilan dengan alsintan yang cukup besar. Namun
demikian, untuk perontok kedelai (model TH6-VS) kinerjanya masih belum optimal karena masih ada kotoran yang tercampur dengan biji jika hanya mengandalkan hembusan kipas dalam memisahkan biji dari kotoran. Akibatnya, pengguna jasa perontokan masih menanggung beban biaya sebesar Rp 5.000/t untuk membersihkan biji hasil perontokan (Purwadaria 1993). Kondisi ini menunjukkan adanya peluang meningkatkan kinerja mesin perontok kedelai yang ada dengan menambah komponen pembersih. Mesin perontok model TH6-Thailand dapat menghasilkan biji kedelai lebih bersih (kotoran 2,10% atau memenuhi standar mutu), susut tercecer 0,80%, dan kapasitas perontokan lebih tinggi (533 kg/jam) dibandingkan perontok model TH6-VS pada kadar air biji kedelai 14,30%. Namun, bobot mesin mencapai 680 kg sehingga mobilitasnya relatif rendah (Purwadaria 1993). Meskipun 70% areal intensifikasi padi dan jagung di Jawa Timur panennya jatuh pada musim hujan (Tastra 1999), penjualan jasa pengeringan masih belum berkembang, seperti tampak dari ketersediaan alat pengering yang hanya mencapai 20 unit. Saragih (1999) dalam acara persepsi TVRI mengemukakan bahwa tidak adanya penjualan jasa pengeringan yang dapat meningkatkan mutu gabah saat panen musim hujan, menyebabkan petani padi belum dapat menikmati keuntungan dari kenaikan harga gabah yang diberlakukan pemerintah. Dengan demikian, sesungguhnya terdapat peluang meningkatkan
Tabel 2. Analisis peluang penerapan alsintan pascapanen padi, jagung, dan kedelai (unit) di Jawa Timur. Kebutuhan alsintan Rencana Tersedia (Kondisi baik) Kekurangan alsintan
Mesin perontok
Perontok tipe pedal
Sabit bergerigi
Mesin pemipil
10.666 10.820
63.996 90.100
1.361.815 477.715
20.041 25.279
01 20
-5.238 2
-20 1
-154 2
-26.104 2
884.100 3
Alat pengering
Tidak direncanakan, mencerminkan laju adopsi teknologi pengeringan rendah. Mencerminkan laju adopsi teknologi mekanis tinggi, kebutuhan alsintan dapat dipenuhi bengkel alsintan lokal. 3 Mencerminkan laju adopsi teknologi mekanis relatif tinggi, namun kebutuhan alsintan belum dapat dipenuhi bengkel alsintan lokal. Sumber: Tastra (1999).
1
2
Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
kinerja pengeringan gabah secara tradisional saat panen jatuh musim hujan dengan menjual jasa pengeringan yang dapat berpindah-pindah. Alat pengering drum berputar (rotary drum dryer) yang dikembangkan oleh IRRI untuk pengeringan gabah (Frio 1991) dan flash dryer untuk pengeringan cepat gabah basah hingga aman disimpan (kadar air 18%) (NAPHIRE 1990) mempunyai prospek diterapkan. Dengan sedikit modifikasi pada drum pengering, alat pengering rancangan IRRI mempunyai peluang untuk mengeringkan jagung terutama pada musim hujan. Untuk itu, perlu dukungan kebijakan harga gabah yang tepat agar petani dan penjual jasa pengeringan mendapatkan nilai tambah yang wajar (adil). Untuk pengeringan gabah skala besar (bersifat permanen), Thailand telah berhasil mengembangkan fluidised-bed dryer dengan kapasitas 5 t/jam. Harga alat ini diperkirakan mencapai US$ 16.000, sehingga kurang terjangkau oleh penjual jasa pengeringan skala kecil (ACIAR 1995). Fluidised-bed dryer dengan kapasitas 10 dan 20 t/jam juga tersedia, dan sudah dimanfaatkan di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Taiwan, Myanmar, Laos, Spanyol, Guyana, dan Indonesia (ACIAR 2001). Untuk kedelai yang sebagian panennya jatuh pada musim hujan, proses pengeringan dapat disinergikan dengan sistem penjualan jasa perontokan. Dengan cara ini, sebagian beban biaya pengeringan kedelai brangkasan dapat ditutupi dari penjualan jasa perontokan. Penjual jasa perontokan pangsa pasarnya meningkat, sementara petani dapat menyelamatkan hasil panen kedelainya (Tastra 2000). Peluang menumbuhkan sinergi antara sistem pengeringan dan perontokan kedelai brangkasan dapat dikemukakan sebagai berikut. Melalui penjual jasa pengeringan, tingkat kerusakan biji kedelai dapat dikurangi dari 48% (Sudaryono dan Setyoso 1990) menjadi 8%, atau biji kedelai yang diselamatkan sebesar 40%. Pada tingkat hasil 1,50 t/ha, biji kedelai yang diselamatkan mencapai 600 kg/ha. Bila petani bersedia mengorbankan 50% (300 kg) untuk biaya pengeringan dan perontokan, maka petani akan mendapatkan hasil 1,20 t/ha. Biaya pengeringan dan perontokan yang mencapai 20% (300 kg) dari hasil Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
1,50 t/ha masih cukup wajar, mengingat tanpa penanganan yang memadai, petani hanya mendapatkan hasil 0,90 t/ha. Dari sisi penjual jasa alsintan, pada tingkat harga kedelai Rp 2.000/kg (kadar air biji hasil perontokan 17% bb), biaya untuk mengeringkan dan merontokkan kedelai brangkasan mencapai Rp 400/kg (Rp 600.000/1,50 t biji kedelai). Hasil kajian operasionalisasi mesin perontok kedelai di Jombang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa batas sewa minimum adalah Rp 20/ kg pada volume perontokan 20 t/tahun dan upah operator 25% dari pendapatan (Ahmad et al. 1993). Dengan demikian, biaya pengeringan kedelai brangkasan sebesar Rp 380/kg. Bila dengan biaya pengeringan sebesar itu paling sedikit sudah mencapai titik impas (mengingat efisiensi pengeringan kedelai brangkasan rendah), maka penjual jasa alsintan minimal sudah mendapatkan keuntungan dari adanya tambahan pangsa pasar penjualan jasa perontokan kedelai brangkasan. Dengan demikian secara operasional masih ada peluang menumbuhkan sinergi antara penjualan jasa perontok kedelai model TH6-VS dan pengering mekanis dalam satu kesatuan. Meskipun Indonesia mengimpor jagung saat kekurangan pasokan, sebagian dari produksi jagung Indonesia juga diekspor saat panen raya. Oleh karena itu, untuk memperkuat daya saing petani maka peluang peningkatan kinerja SIPUJA pemipilan sangat besar. Peluang tersebut dapat diwujudkan melalui pengoperasian mesin pemipil yang dapat menekan tingkat kerusakan biji jagung, agar risiko terkontaminasi aflatoksin dapat dikurangi. Implikasinya, secara bertahap mesin pemipil lokal yang mempunyai konstruksi sarangan dan silinder kaku perlu dimodifikasi. Dalam proses modifikasi tersebut, mekanisme proses pemipilan yang ada pada mesin pemipil jagung RAMAPIL (untuk SIPUJA skala kecil) dan SENAPIL (untuk SIPUJA skala menengah) dapat dipertimbangkan sebagai salah satu masukan (Tastra dan Sudaryono 1995; Tastra 1996). Kedua mesin pemipil tersebut sedang dalam proses pengusulan paten sederhananya di Ditjen HAKI dengan nomor pendaftaran S20000224 dan S20000223. Agar kinerjanya meningkat, sistem penjualan jasa pemipilan dapat disinergikan dengan penjualan jasa pengeringan jagung. Di samping pemipil RAMAPIL dan SENAPIL, mesin pemipil buatan
Filipina juga dapat dimanfaatkan dalam penjualan jasa pemipilan. Dengan menggunakan tenaga penggerak motor diesel 12 hp, kapasitas mesin mencapai 2 t/jam atau sama dengan 167 kg/jam/hp (Manebog et al. 1989). Sementara SENAPIL dengan tenaga penggerak motor bakar bensin 7 hp, kapasitasnya mencapai 1,90–3,50 t/jam/2 orang operator pada kadar air biji jagung 15–30% (Tastra dan Sudaryono 1995). Dengan demikian, efisiensi penggunaan energi pemipilan pada SENAPIL lebih besar dibandingkan dengan mesin pemipil buatan Filipina. Selain mesin pemipil buatan Filipina, terdapat mesin pemipil jagung tipe silinder buatan India, seperti model AMAR MAIZE SHELLERS TYPE A AND B dengan tenaga penggerak 5–8 hp dan kapasitas 2,75–3,50 t/jam, dan SPIKETOOTH MAIZE SHELLER dengan tenaga penggerak 10−15 hp dan kapasitas 1,25–2 t/jam. Mesin pemipil model M30 buatan Perancis, dengan tenaga penggerak 3–5 hp, memiliki kapasitas 2–3 t/ jam. Sementara mesin pemipil model AB/ MS/40 buatan Inggris, dengan tenaga penggerak 10 hp, kapasitasnya 4 t/jam. Di Brasil juga sudah ada mesin pemipil tipe silinder dengan tenaga penggerak 5– 8 hp dan kapasitas 0,90–2,10 t/jam (Anonymous 1985). Beberapa mesin pemipil tersebut memiliki kelemahan bila diterapkan di Indonesia dalam bentuk usaha penjualan jasa pemipilan. Di samping harganya mahal, penggunaan energinya kurang efisien. Hal ini tampak dari besarnya keragaman tenaga penggerak yang digunakan untuk mencapai kapasitas pemipilan yang sama.
STRATEGI PENERAPAN SIPUJA Penerapan alsintan pascapanen perlu mempertimbangkan pihak penjual jasa alsintan dan petani pengguna agar keduanya mendapatkan keuntungan (nilai tambah) yang wajar. Oleh karena itu, strategi yang tepat dalam penerapan alsintan pascapanen dalam era AFTA adalah melalui pendekatan sistem yang mengacu dan mempertimbangkan kinerja sistem ditinjau dari aspek produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan kemerataan (Gambar 4). Keempat kriteria tersebut dapat dioptimalkan melalui peningkatan sinergi di antara komponen-komponen 99
Kinerja
Rendah
Tinggi
Produktivitas
Waktu
Waktu
Waktu
Waktu
Stabilitas
Gangguan
Gangguan
Keberlanjutan
Kemerataan
Gambar 4.
Waktu
Pendapatan
Pendapatan
Tolok ukur pengembangan sistem penjualan jasa alsintan (SIPUJA) sesuai pendekatan agroekosistem (Suryanata et al. 1988).
sistem SIPUJA, dengan mempertimbangkan aspek perangkat kerasnya (alsintan yang tepat guna) dan proses pelembagaannya dalam suatu unit agribisnis/agroindustri (Khan 1992; Rijk 1992; Simatupang 1996). Dengan dasar pemikiran tersebut, keberhasilan penerapan SIPUJA pada hakekatnya sangat tergantung pada kemampuan menumbuhkan hubungan sinergis antarberbagai komponen sistem yang terlibat. Penumbuhan hubungan sinergis dapat dilakukan pada saat penyiapan perangkat keras atau pemilihan alsintan yang tepat guna. Sebagai contoh adalah pengoperasian alsintan multiguna seperti mesin perontok padi yang juga dapat dipakai untuk merontokkan kedelai dan memipil jagung (meskipun masih kurang optimal). Contoh lain adalah kemungkinan pengoperasian unit perontokan dan pengeringan kedelai dalam bangsal penanganan pascapanen yang dikelola KUD, sehingga sebagian biaya pengeringan dapat ditutupi dari upah perontokan (Tastra 2000). Pada tahap pelembagaan, kemitraan merupakan wujud dari penumbuhan hubungan sinergis antara petani dan industri pengolahan. Sebagai contoh kasus adalah hubungan kemitraan antara petani kooperator pemasok bahan baku kedelai dan industri pengolahan susu (Nestle) di sentra produksi kedelai Pasuruan, Jawa Timur. Dengan adanya 100
Waktu
jaminan harga jual kedelai 10−15% lebih tinggi dari harga pasar, petani dapat menghasilkan kedelai yang memenuhi standar mutu yang disepakati. Melalui rekayasa sosial-ekonomi tersebut, persentase pasokan bahan baku kedelai dari petani meningkat secara eksponensial (R2 = 0,84), meskipun persentase penggunaan kedelai untuk susu hanya 2% (Tastra et al. 1995). Hubungan sinergis antara petani pemasok kedelai dan industri pengolahan susu akan menumbuhkan hubungan sinergis dengan penjual jasa alsintan agar mengoperasikan mesin perontok yang dapat menghasilkan biji kedelai yang memenuhi standar mutu industri pengolahan. Selanjutnya, adanya permintaan mesin perontok dengan kinerja yang baik akan menumbuhkan hubungan sinergis antara penjual jasa alsintan dan bengkel alsintan lokal. Dengan demikian, mutu mesin perontok secara bertahap akan meningkat sesuai dengan kebutuhan pasar. Sesuai laju adopsi teknologi mekanis di tingkat petani (Rijk 1992), sasaran utama pengoperasian SIPUJA perontokan baru untuk mensubstitusi tenaga kerja, belum berorientasi pada perbaikan mutu hasil. Untuk jagung, kerja sama antara BISI dan petani jagung dapat menjadi contoh. Hubungan kemitraan yang saling menguntungkan tersebut sangat kondusif bagi petani untuk menerapkan
teknik budi daya jagung yang semakin maju. Berdasarkan pengalaman Nestle dan BISI tersebut, terdapat peluang mengembangkan hubungan kemitraan antara kelompok tani maju yang bergabung dalam suatu KUD dengan industri pengolahan pangan dan pakan. Jaminan pemasaran hasil, sebagai salah satu ciri sistem usaha tani berwawasan agribisnis/ agroindustri, akan mampu menumbuhkan hubungan sinergis antarberbagai komponen sistem SIPUJA. Penerapan SIPUJA yang dikaitkan dengan kredit usaha tani (KUT) merupakan salah satu langkah strategis di masa mendatang. Dalam hal ini, petani di samping menerima sarana produksi, juga mendapat modal untuk pembayaran jasa alsintan yang langsung dibayarkan oleh bank pemberi kredit. Dengan demikian, ada jaminan pemasaran jasa alsintan dan kepastian pelaksanaan kegiatan usaha tani sesuai target sasaran produksi yang direncanakan (Sulaiman 1999). Bersamaan dengan upaya membina hubungan kemitraan antara petani dan industri pengguna hasil, secara berencana perlu dilakukan pemasyarakatan pentingnya peningkatan mutu hasil guna meningkatkan daya saing petani. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa meningkatnya daya saing petani pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan daya beli petani terhadap sarana produksi dan jasa alsintan, dan seterusnya meningkatkan pendapatan KUD/ penjual jasa alsintan dan bengkel alsintan. Adanya pembagian keuntungan yang adil antara petani, KUD/penjual jasa alsintan, dan bengkel alsintan merupakan salah satu syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan sistem usaha tani tanaman pangan berwawasan agribisnis/agroindustri (Gambar 5) (Tastra 1997).
KESIMPULAN Dalam dua dekade (1980−2000), laju adopsi teknologi alsintan pascapanen tanaman pangan di Jawa Timur cukup maju dan telah dapat mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian. Namun dari sisi peningkatan mutu hasil, penerapan alsintan pascapanen masih mengalami kendala lemahnya sinergi antarberbagai komponen sistem penjualan jasa alsintan. Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
+ ▲
Pangsa pasar saprodi dan jasa alsintan
▲
+
+
▲
▲
+
Pendapatan bengkel alsintan
▼
Pendapatan KUD/ penjual jasa alsintan
+
Teknologi prapanen
+
▼
+
▲
Kebutuhan tenaga kerja
▲
+ Pasok bahan baku pangan dan industri berlanjut
Berkurangnya tenaga kerja pertanian
▼
+
Daya tawar petani
+ +
▲
Pendapatan petani + ▲
Agribisnis/agroindustri berbasis tanaman pangan
+
▲
+
Gambar 5.
Mutu hasil
Standar mutu hasil
▼+
▲
+
+
▲
▲
▲+
▲
▲
Daya beli petani
+
+
SUT-pangan berorientasi pasar
Upah buruh tani + ▲
▲
Teknologi pascapanen
▲
UUD sistem budi daya tanaman
+
Strategi penerapan sistem penjualan jasa alsintan (SIPUJA) pascapanen guna mendukung usaha tani tanaman pangan yang berwawasan agribisnis di Jawa Timur pada Pelita VII (Tastra 1997).
Penerapan alsintan pascapanen, di samping membutuhkan investasi yang relatif mahal (ditinjau dari daya beli petani yang masih rendah), juga membutuhkan tingkat kemampuan pengelolaan yang memadai agar berbagai pihak yang terlibat mendapatkan keuntungan yang wajar. Pembagian keuntungan yang wajar diperlukan untuk memacu dan menjamin keberlanjutan penerapan alsintan pascapanen yang semakin maju. Strategi dalam penerapan alsintan pascapanen dalam era perdagangan bebas AFTA adalah melalui pendekatan sistem
Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003
yang mengacu dan mempertimbangkan tolok ukur produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan kemerataan. Keempat kriteria tersebut dapat dioptimalkan melalui pengembangan sinergi antarkomponen SIPUJA, yang secara simultan mempertimbangkan aspek pengadaan alsintan yang tepat guna dan proses pelembagaannya dalam suatu unit agribisnis/agroindustri. Untuk mendukung implementasi penerapan alsintan pascapanen yang mengacu pada pendekatan sistem, diperlukan upaya peningkatan mutu
sumber daya manusia pada setiap tingkatan kelembagaan yang tercakup dalam suatu unit (sistem) agribisnis/ agroindustri. Peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan langkah strategis guna memacu dan menumbuhkembangkan sinergi antara berbagai komponen sistem agribisnis/agroindustri. Efek sinergi yang ditimbulkan diharapkan dapat meningkatkan kinerja sistem (ditinjau dari aspek produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan kemerataan) dan daya saing global dalam era perdagangan bebas AFTA.
101
DAFTAR PUSTAKA ACIAR. 1995. Fluidised-bed drying goes commercial in Thailand. ACIAR Postharvest Newsletter No. 33 (June 1995): 3. ACIAR. 2001. Grain drying in Southeast Asia, reviewed. ACIAR Postharvest Newsletter No. 59 (December 2001): 3. Ahmad, A., A. Thoyib, dan M. Djojomartono. 1993. Analisis operasional mesin perontok kedelai. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Penanganan Pascapanen Kedelai. B U L O G - A G P P - I P B - D E P TA N - U G M . Jakarta, 16 Februari 1993. Anonim. 1988. Persyaratan kuantitatif palawija pengadaan dalam negeri menurut surat keputusan bersama Departemen Pertanian, Koperasi dan Badan Urusan Logistik No. 456/SKB/BUK/XI/1988. Jakarta. Anonymous. 1985. Tools for Agriculture, A buyer's guide to appropriate equipment. Third Edition. IT Publication in association with GTZ/GATE. Antarno. 1991. Pengembangan mekanisasi pertanian dalam rangka mempertahankan swasembada produksi beras sampai tahun 2000 di Jawa Timur. hlm. 1−11. Dalam Kasno, A., K.H. Hendroatmodjo, M. Dahlan, Sunardi, dan A. Winarto (Ed). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Budiharti, U. dan Harsono. 2001. RMU keliling, agribisnis baru pengolahan beras. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 23 (5): 7−9. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur. 1999. Laporan kegiatan seksi pengembangan alat dan mesin pertanian tahun 1998/99. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur, Surabaya. Frio, A.S. 1991. Grain postharvest research and development in the ASEAN region (grain drying). Technical Notes AGPQ 3(2): 2. Gumbira, E. dan A.H. Intan. 2002. Masih mungkinkah Indonesia swasembada lagi. Sinar Tani. 3–9 April 2002 No. 2939 Tahun XXXII. Khan, A.U. 1992. Critical issues in transferring agricultural mechanization technologies in the developing world. AEJ 1(2): 105−114. Manebog, E.S., R.P. Gregorio, and Cabacungan. 1989. Pilot testing of improved mobile maize sheller. p. 261−279. In B.M. de Mesa (Ed). Proc. Tenth ASEAN Technical Seminar on Grain Postharvest Technology, Thailand, 19−21 August 1987. NAPHIRE. 1990. Technology for drying wet grains. NAPHIRE Postharvest Digest 2(6): 1. Purwadaria, H.K. 1993. Promoting the powered soybean thresher among farmers and farmer group. Paper for Special Topic on Extension Experiences of AGPP Country Projects, Bali, Indonesia, 20−22 April 1993.
102
Rijk, A.G. 1992. Agricultural mechanization policy and strategy. AEJ 1(4): 205−215. Saragih, B. 1999. Persepsi: Booming Agroindustri. TVRI 14 Maret 1999. Satpem Bimas Jawa Timur. 1997. Strategi pengembangan dan koordinasi pelaksanaan program peningkatan mutu intensifikasi. Sekretaris Satuan Pembina Bimas Propinsi Jawa Timur–Fakultas Pertanian Universitas Jember. 218 hlm. Sekretaris BP Bimas. 1998. Intensifikasi jagung di Indonesia: Peluang dan tantangan. Dalam Subandi, F. Kasim, W. Wakman, B. Prastowo, S. Saenong, dan A.F. Fadhly (Penyunting). Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung, Ujung Pandang, Maros, 11–12 November 1997. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. hlm. 64−83. Simatupang, P. 1996. Industrialisasi pertanian sebagai strategi agribisnis dan pembangunan pertanian dalam era globalisasi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Industrialisasi, Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian, 17−18 Januari 1996. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sodiq, M., M. Sholeh, dan I K. Tastra. 1999. Evaluasi program bimas intensifikasi palagung di Kabupaten Gresik, Lamongan, dan Mojokerto. Makalah disajikan pada Rapat Tim Teknis Satpem Bimas Propinsi Jawa Timur, Surabaya, 21−22 Desember 1999. 12 hlm. Soemangat. 1994. Pengembangan sumber daya manusia dalam alih teknologi teknik pertanian (agricultural engineering). Dalam A. Prabowo, Supratomo, T.M. Lando, dan R.H. Anasiru (Ed). Strategi Penelitian dan Pengembangan Bidang Teknik Pertanian (Agricultural Engineering) di Indonesia dalam PJP-II. Prosiding Seminar Nasional, Maros, 3−4 Oktober 1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan Maros dan PERTETA. hlm. 10−21. Sudaryono dan Setyoso. 1990. Pengaruh cara perawatan kedelai brangkasan hasil panen musim hujan terhadap butir rusak dan daya kecambah. Prosiding Hasil Penelitian Pascapanen. Laboratorium Pascapanen Karawang, Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. Sulaiman, H. 1999. Usaha pelayanan jasa alat mesin (alsin) pertanian UPJA. Prosiding Seminar Nasional Agroindustri. Jakarta, 2– 3 Maret 1999. Masyarakat Mekanisasi dan Agroindustri Indonesia (MMAI), Jakarta. hlm. 220−236. Suryanata, K., M.H. Sawit, dan S. Brotonegoro. 1988. Pendekatan dan metodologi deskripsi daerah studi. Dalam Pendekatan Agroekosistem pada Pola Pertanian Lahan Kering (Hasil Penelitian di Empat Zona Agroekosistem Jawa Timur). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 47−66.
Suwandi, S. 2002. Peluang dan tantangan bidang teknik pertanian memasuki AFTA. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA), Universitas Brawidjaja, Malang 3−4 Mei 2001. 9 hlm. Tastra, I K. dan Sudaryono. 1995. Introduksi pemipil Senapil untuk mendukug pemacuan peningkatan produksi jagung di Timor Timur. Dalam I K. Tastra dan Winarto (Ed). Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Pangan di Propinsi Timor Timur. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian No. 2: 50−62. Tastra, I K., S.A.F. Gatot, dan H. Mahagyosuko. 1995. Prospek peningkatan mutu hasil kedelai dan produktivitas kerja petani untuk mendukung pengembangan agroindustri berbasis kedelai di Pasuruan, Jawa Timur. Dalam Bambang, H. Hadiwiardjo, Dharmawan, S. Djopric, S. Husen, dan Suryadi (Ed). Prosiding I Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi dan Jaminan Mutu. Pusat Standardisasi–LIPI, Jakarta. hlm. 66−79. Tastra, I K. 1996. Pemipil jagung RAMAPIL Komponen paket Supra Insus dan pemacu agroindustri dan agribisnis jagung di pedesaan lahan kering. Monograf Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian No. 1: 33 hlm. Tastra, I K. 1997. Strategi peningkatan mutu intensifikasi sistem usaha tani tanaman (SUT) pangan melalui pendayagunaan alsintan untuk peningkatan pendapatan petani pada Pelita VII di Jawa Timur. Makalah disampaikan pada Pembahasan Konsep Strategis Pengembangan Peningkatan Mutu Intensifikasi Pertanian Berwawasan Agribisnis pada Pelita VII di Jawa Timur. Batu– Malang, 18–20 November 1997. Tim Teknis Bimas Propinsi Jawa Timur, Surabaya. 18 hlm. Tastra, I K. 1999. Evaluasi penggunaan alsintan di Jawa Timur dalam mendukung program intensifikasi padi, jagung, dan kedelai tahun 1998/99. Makalah disajikan pada Evaluasi Pelaksanaan Program Bimas Intensifikasi Pertanian Tahun 1998/99. Batu–Malang, 19–20 Maret 1999. Satpem Bimas Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Tastra, I K. 2000. Strategi penanganan pascapanen kedelai panenan musim hujan untuk mendukung Gema Palagung–kedelai. Dalam M. Soedarjo, A.G. Manshuri, N. Nugrahaeni, Suharsono, Heriyanto, dan J.S. Utomo. (Ed.). Komponen Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, No. 16: 58−74. Tastra, I K. 2001. Peranan alsintan dalam mendukung program intensifikasi padi, jagung, dan kedelai di Jawa Timur. Buletin Palawija 2: 30−43.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003