STRATEGI MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN MUSYARAKAH BANK MUAMALAT INDONESIA
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh : MUTIA SARAYATI NIM. 1111046100030
KONSENTRASIPERBANKANSYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
i
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Mutia Sarayati
iii
Juli 2015
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan segala rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban studinya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kami, Nabi Muhammad SAW. beserta para keluarga dan sahabatnya. Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat dan terima kasih atas segala kepedulian mereka yang telah memberikan bantuan, baik berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A, selaku ketua Pogram Studi Muamalat (Hukum Ekonomi Islam) 3. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH., dosen pembimbing akademik yang telah memberikan masukan saran mengenai proposal penelitian skripsi. 4. Ibu Ir. Rr. Tini Anggraeni, ST, M.Si, selaku pembimbing skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta kesabarannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
iv
v
5. Seluruh dosen serta civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, serta Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Bapak Amin Syafi’i selaku Commercial Financing Risk Manager, Risk Management Division, Bank Muamalat Indonesia, serta pimpinan dan karyawan Perpustakaan Muamalat Institute yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian dan membantu memperoleh data 8. Kedua orang tua penulis, yaitu bapak Yosep Hermawan Mustopa dan Ibu Neneng Badriah, yang telah memberikan banyak motivasi bagi penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini. Setiap pesan dan nasihat yang disampaikan selalu memberikan inspirasi serta motivasi bagi penulis. Tak lupa juga, kakak dan adik penulis yang merupakan anugerah yang telah Allah SWT. berikan, yaitu Tiara Saraya dan Mustika Dianaty. 9. Kru Mass Banking Division, KPO Bank Muamalat Indonesia, yaitu Ibu Oktaviani Moersalin, Ibu Hafni, Mba Riasti, Mba Elok, dan yang lain yang tidak dapat disebutkan semua, serta Mba Puput dan Mba Anggi dari Small and Medium Enterprise (SME Division). Mereka yang telah memberikan banyak ilmu dan
vi
pengalaman selama 3 bulan penulis melakukan praktek magang di Kantor Pusat Bank Muamalat Indonesia. 10. Sahabat-sahabat penulis yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, yaitu Imam Syuhada, Elsa Nissa Afifah, Suci Hanifa, dan Elis Sri Ramdhani, dan sahabat lainnya dari PS A 2011. 11. Teman-teman seperjuangan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya mahasiswa/i Perbankan Syariah angkatan 2011 yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam skripsi ini. Terima kasih atas semua kenangan yang tidak terlupakan, semoga silaturahim kita dapat tetap terjalin sampai kapanpun. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal dan membalasnya dengan yang lebih baik. Selain itu, penulis akui bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, besar harapan penulis munculnya saran untuk menunjang kesempurnaan atas skripsi ini di waktu mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan. Aamiin. Jakarta,
Mutia Sarayati
Juli 2015
ABSTRAK MUTIA SARAYATI, NIM 1111046100030, Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia, Strata Satu (S1), Konsentrasi Perbankan Syariah, Program studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015. Penelitian ini dilakukan pada PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan tujuan untuk mengetahui strategi mitigasi risiko pembiayaan musyarakah yang diterapkan Bank Muamalat. Pembiayaan musyarakah merupakan salah satu pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yang memiliki risiko tinggi karena termasuk kedalam Natural Uncertainty Contract (NUC) dan sering munculnya permasalahan principal-agent, sehingga diperlukan pengelolaan risiko guna meminimalisir risiko pembiayaan yang melekat pada pembiayaan musyarakah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh berasal dari hasil penelitian melalui wawancara langsung dengan pihak Bank Muamalat Indonesia. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan serta sumber lainnya yang berhubungan dengan penelitian. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa penerapan pembiayaan musyarakah pada pembiayaan produktif BMI menggunakan dua jenis akad yaitu musyarakah permanen dan musyarakah mutanaqisah. Kedua, risiko pembiayaan musyarakah yang dihadapi Bank Muamalat antara lain risiko investasi, risiko operasional, dan risiko kepatuhan. Dan strategi mitigasi risiko pembiayaan musyarakah BMI diantaranya terdapat penetapan limit segmen pembiayaan dan syarat tertentu dalam pemberian pembiayaan, evaluasi mendalam pada usaha dan karakter nasabah yang dibiayai, pengikatan jaminan utama berupa fixed asset dan personal guarantee, menggunakan sistem bagi hasil revenue sharing; monitoring berkala, meningkatkan kompetensi karyawan, dan penggunaan risk tools berupa Muamalat Early Warning System (MEWS) dan Internal Customer Rating. Kata kunci: Pembiayaan musyarakah, Strategi mitigasi risiko
vii
ABSTRACT MUTIA SARAYATI, NIM 1111046100030, Risk Mitigation Strategy of Musharakah Financing on PT. Bank Indonesia, Bachelor’s Degree (BA), Department of Sharia Banking, Study Program of Muamalat, Faculty of Law and Sharia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015. This research conducted in PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) with purpose to determine how risk mitigation strategy of musharakah financing conducted by Bank Muamalat. Musharakah financing is a form of partnership which is based on profit and loss sharing has high risk because it comes under Natural Uncertainty Contract (NUC) and related with principal-agent problem, so that required the risk management in order to minimalizing the financing risk that stick on musharakah financing. This research used qualitative descriptive analysis technique. Source of data that used are primary data and secondary data. The primary data obtained from research result by direct interview with the side of Bank Muamalat Indonesia. Meanwhile the secondary data obtained from the company documents and other sources that related with the research. The first research result shows that the application of musharakah financing in Bank Muamalat productive financing using two types of contract which is Musharakah and Diminishing of Musharakah. Second, the risks of musharakah financing that faced by Bank Muamalat such as investment risk, operational risk, and compliance risk. And then, the risk mitigation strategy of musharakah financing in Bank Muamalat there are defining the segmentation limit of financing and certain terms, in-depth evaluation on business and client characteristics, first collateral binding in form of fixed asset and personal guarantee, using revenue sharing system, periodic monitoring, upgrade employee competence, and utilization of risk tools that are Muamalat Early Warning System (MEWS) and Internal Costumer Rating. Keywords: Musharakah financing, Risk mitigation strategy
viii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv ABSTRAK ................................................................................................................ vii DAFTAR ISI.............................................................................................................. ix DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xii DAFTAR GRAFIK .................................................................................................xiii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 A. Latar Belakang................................................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .......................................................................................... 8 D. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ................................................. 9 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 10 F. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 13 A. Manajemen Risiko Bank Syariah .................................................................... 13 1. Pengertian Risiko ........................................................................................... 13 2. Jenis-jenis Risiko ........................................................................................... 13 3. Manajemen Risiko ......................................................................................... 16 B. Pembiayaan Musyarakah................................................................................. 20 1. Pengertian Pembiayaan .................................................................................. 20 2. Pengertian Musyarakah ................................................................................. 21 3. Jenis-jenis Musyarakah .................................................................................. 22 4. Pembiayaan Musyarakah ............................................................................... 25 C. Manajemen Risiko Pembiayaan Musyarakah ................................................. 28 1. Manajemen Risiko Pembiayaan Bank Syariah .............................................. 28 2. Manajemen Risiko Pembiayaan Musyarakah ................................................ 30
ix
x
D. Teori Keagenan (Agency Theory) .................................................................... 33 E. Review Studi Terdahulu ................................................................................... 34 BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 38 A. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... 38 B. Jenis Penelitian ................................................................................................ 38 C. Sumber Data Penelitian ................................................................................... 39 D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 39 E. Metode Analisis Data ...................................................................................... 41 G. Kerangka Konsep ............................................................................................ 42 BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN .................... 44 A. Gambaran Umum Bank Muamalat Indonesia ................................................. 44 B. Penerapan akad Musyarakah pada Pembiayaan Produktif Bank Muamalat Indonesia ........................................................................................................ 57 1. Implementasi Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia ............. 57 2. Proses Pembiayaan Musyarakah .................................................................... 61 3. Kendala Penerapan Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia .... 69 C. Analisis Risiko Pembiayaan Musyarakah ....................................................... 70 D. Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia .......................... 75 E. Proses Manajemen Risiko Bank Muamalat Indonesia .................................... 81 F. Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat ............... 88 BAB V PENUTUP.................................................................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 108 LAMPIRAN ............................................................................................................ 112
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Komposisi Pembiayaan BUS dan UUS berdasarkan Akad Tahun 2008September 2014 ........................................................................................... 4 Tabel 1.2 Komposisi Pembiayaan berdasarkan Akad pada BMI, BSM, dan BRIS Tahun 2011-2013 .......................................................................................... 6 Tabel 2.1 Perbandingan Studi Terdahulu................................................................... 34 Tabel 4.1 Penggunaan Akad-akad Pembiayaan secara Umum .................................. 51 Tabel 4.2 Jumlah Penyaluran Pembiayaan pada Bank Muamalat Indonesia Tahun 2010-2014 ................................................................................................... 52 Tabel 4.3 Pendapatan Penyaluran Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia Tahun 2010- 2014 .................................................................................................. 54 Tabel 4.4 Penggunaan Akad Pembiayaan Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqisah .............................................................................................. 59 Tabel 4.5 Sumber Data dan Informasi yang Diperlukan pada Pelaksanaan OTS...... 64 Tabel 4.6 Aspek Penilaian Internal Rating Nasabah ............................................... 102
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Proses Manajemen Risiko ..................................................................18 Gambar 2.2 Skema Pembiayaan Musyarakah .......................................................28 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ...............................................................................42 Gambar 4.1 Skema Proses Pembiayaan Musyarakah BMI ...................................68
xii
DAFTAR GRAFIK Grafik 4. 1 Komposisi Pembiayaan Murabahah dan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia Tahun 2013-2014 ..................................................................... 56 Grafik 4. 2 Non Performing Financing (NPF) Pembiayaan Musyarakah .................. 71 Grafik 4. 3 Kualitas Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Periode 2011-2014 . 72 Grafik 4. 4 Pendapatan Bagi Hasil Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Periode 2011-2014 ................................................................................................. 74
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim kini semakin mengenal ekonomi syariah. Semakin banyak masyarakat menyadari bahwa perlunya lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan syariah sebagai alternatif terhadap sistem konvensional. Bank merupakan salah satu lembaga keuangan, berperan dalam kegiatan perekonomian masyarakat yang berfungsi sebagai fasilitas penunjang dalam melakukan transaksi keuangan. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 9/7/PBI/2007 Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Perbankan syariah mulai dikenal masyarakat sejak berdirinya bank syariah pertama di Indonesia yang dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Keterpurukan ekonomi Indonesia akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 membuat perbankan syariah semakin berkembang. Pasca krisis, perbankan syariah masih dapat berdiri sedangkan sebagian besar bank konvensional dilikuidasi akibat sistem konvensional yang menerapkan suku bunga.1 Nilai suku bunga melonjak membuat nasabah peminjam tak mampu
1
http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2012/12/03/economic-and-life-style, diakses pada 27 November 2014
1
2
mengembalikan pinjaman dan menimbulkan terjadinya negative spread. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem bank konvensional belum menunjukkan performan yang baik dalam memacu pertumbuhan sektor riil di Indonesia. Secara formal berdirinya bank syariah baru diatur dengan UU No. 10 Tahun 1998 amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang pengelolaannya berdasarkan prinsip bagi hasil. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 secara tegas membedakan bank yang pengelolaannya secara konvensional dengan secara syari’ah. Lalu disempurnakan dengan Undang-undang tersendiri dengan lahirnya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Tujuan perbankan syariah identik dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang adil dan seksama serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya pada satu kelompok saja, tetapi tersebar kepada seluruh masyarakat. 2 Bank syariah memiliki perbedaan dengan bank konvensional khususnya dalam aktivitas pembiayaan. Bank syariah memiliki beberapa metode yang berbeda yang penerapannya tergantung pada tujuan dari pihak yang mengajukan pembiayaan itu sendiri. Sistem pembiayaan bank syariah berdasarkan prinsip syariah terbagi menjadi tiga yaitu pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah dan musyarakah, pembiayaan jual beli berdasarkan prinsip murabahah, istishna’, dan as-salam, dan pembiayaan sewa-menyewa berdasarkan prinsip 2
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2012), h. 33
3
ijarah (sewa murni) dan ijarah muntahiya bit-tamlik (sewa beli atau dengan hak opsi.3 Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, bank Islam berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana.4 Dalam pembiayaan bank syariah, bagi hasil adalah akad kerjasama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola modal untuk memperoleh keuntungan yang diperoleh berdasarkan nisbah yang disepakati.5 Karakteristik sistem perbankan syariah yang
beroperasi berdasarkan
prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan
3
Ikatan Bankir Indonesia, Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. 160 4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani), h. 137 5 Ikatan Bankir Indonesia, loc. cit.
4
yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.6 Namun demikian, dari sisi bank syariah, menurut data BI menunjukkan per September 2014 pembiayaan perbankan syariah berakad murabahah tercatat Rp 112,288 triliun atau 59,76% dari total pembiayaan. Sementara pembiayaan berakad mudharabah dan musyarakah porsinya masing-masing hanya 7,35% dan 23,4% atau senilai Rp13,802 triliun dan Rp 42,83 triliun. Tabel 1.1 Komposisi Pembiayaan BUS dan UUS Berdasarkan Akad Tahun 2008-September 2014 (dalam Milyar Rupiah) Akad
2008
Mudharabah 6.205 Musyarakah 7.411 Murabahah 22.486
2009
2010
2011
2012
2013
6.597 10.412 26.321
8.631 14.624 37.508
10.229 18.960 56.365
12.023 27.667 88.044
13.625 39.874 110.565
Sept 2014 13.802 42.830 112.288
Sumber : Statistika Perbankan Syariah September 2014, diolah
Pada tabel 1.1 terlihat bahwa pembiayaan dengan prinsip bagi hasil masih rendah, jauh dibawah pembiayaan murabahah. Hingga bulan September 2014, terjadi perbedaan yang sangat besar antara komposisi pembiayaan yang diberikan dengan akad mudharabah ataupun musyarakah dengan akad murabahah. Total pembiayaan bagi hasil tidak pernah lebih dari setengah total pembiayaan dengan jual beli dengan
akad murabahah. Hal ini
menunjukkan bahwa banyak bank syariah yang belum siap untuk menyalurkan pembiayaan dalam bentuk akad pembiayaan bagi hasil. 6
http://www.bi.go.id, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, diakses pada 17 Februari 2015
5
Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah memang memiliki risiko yang relatif tinggi dari jenis akad pembiayaan lainnya. Kedua pembiayaan tersebut merupakan bagi dari kontrak NUC (Natural Uncertainty Contracts) yakni akad dalam bisnis yang tidsk memberikan kepastin pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) dan waktunya (timing) bergantung pada hasil investasi. Pada kontrak mudharabah dan musyarakah terdapat hubungan antara pihak pemilik modal (principal/bank) dan pengelola usaha (agent/nasabah) dimana kedua pihak tersebut melakukan kerjasama saling mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan dan menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, dalam kontrak ini terdapat hubungan keagenan atau kemitraan. Dalam hubungan kemitraan, menuntut adanya transparansi bagi kedua belah pihak dan adanya saling percaya yang tinggi antar nasabah dengan bank. Namun bank tidak dapat menyalurkan pembiayaan begitu saja kepada nasabah atas dasar kepercayaan, karena selalu ada risiko bahwa pembiayaan tidak digunakan sebagaimana mestinya untuk memaksimalkan keuntungan kedua pihak. Jika salah satu pihak (terutama nasabah) tidak menyampaikan secara transaparan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pendapatan usaha maka akan muncul permasalahan asymmetric information dimana akses informasi bank syariah terhadap usaha nasabah terbatas, sedangkan nasabah
6
sebagai pengelola usaha mengetahui segala informasi yang tidak diketahui bank. Asymmetric information yang terjadi dalam kontrak keuangan biasanya berbentuk adverse selection dan moral hazard. Sadr dan Iqbal mengatakan adverse selection terjadi pada kontrak utang ketika peminjam memiliki kualitas yang tidak baik atas kredit diluar batas ketentuan keuntungan tertentu dan moral hazard terjadi ketika melakukan penyimpangan atau menimbulkan risiko yang lebih besar dalam kontrak.
7
Adverse selection merupakan
permasalahan ex ante yang terjadi sebelum pembiayaan diberikan dan timbul ketika pemilik dana (bank syariah) memilih entrepreneur yang akan diberikan pembiayaan.8 Sedangkan moral hazard merupakan permasalahan yang timbul ketika mudharib menggunakan pembiayaan yang diterimanya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.9 Tabel 1.2 Komposisi Penyaluran Pembiayaan berdasarkan Akad pada BMI, BSM, dan BRIS (Tahun 2011-2013) Akad
BMI 2011
2012
BSM 2013
2011
2012
BRIS 2013
2011
2012
2013
Murabahah 45.72% 49.68% 47.61% 53.84% 61.56% 65.81% 58.52% 60.89% 61.90% Mudharabah 6.96%
6.21%
5.41% 12.72% 9.55%
7.75%
6.65%
8.06%
7.06%
Musyarakah 37.16% 39.58% 45.44% 14.78% 14.16% 14.54% 12.52% 16.36% 22.78% Sumber: Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan BRI Syariah, diolah
7
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 367 Tarsidin, Bagi Hasil: Konsep dan Analisis, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, 2010), h. 43 9 Ibid., h. 47 8
7
Berdasarkan data tabel diatas, menunjukkan bahwa dari ketiga bank syariah yang memiliki aset terbesar seperti Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan Bank Muamalat Indonesia dari tahun 2011 hingga 2013 masih didominasi
oleh
pembiayaan
murabahah.
Akan
tetapi,
pembiayaan
musyarakah yang berbasis bagi hasil sudah mulai cukup banyak digunakan oleh ketiga bank tersebut dan rata-rata mengalami peningkatan tiap tahunnya. Adapun data tersebut menunjukkan Bank Muamalat Indonesia (BMI) memiliki komposisi pembiayaan musyarakah yang lebih besar dibandingkan dengan BUS lainnya. Besarnya komposisi pembiayaan musyarakah BMI tiap tahunnya tidak jauh berbeda dengan pembiayaan murabahah yang disalurkannya. Pada tahun 2011 BMI memiliki komposisi pembiayaan musyarakah sebesar 37.16%, tahun 2012 sebesar 39.58%, dan 2013 sebesar 45.44%. Sedangkan BUS lainnya, komposisi pembiayaan musyarakah hanya mencapai 14-23%. Hal ini menunjukkan bahwa BMI mampu menyalurkan pembiayaan musyarakah lebih banyak dan mampu menghadapi risiko yang melekat pada pembiayaan tersebut. Karena semakin banyak dana yang disalurkan, maka semakin tinggi pula risiko yang dihadapi bank, khususnya pada risiko kredit/ pembiayaan musyarakah. Pengelolaan risiko pembiayaan merupakan hal utama yang paling penting dalam keberlangsungan usaha Bank Syariah. Risiko pembiayaan yang dihadapi oleh bank syariah perlu dikelola secara tepat karena kesalahan dalam
8
pengelolaannya dapat berdampak pada peningkatan NPF (Non Performing Financing). Tingginya tingkat NPF akan berpengaruh pada menurunnya pendapatan yang diterima oleh bank dan bagi hasil yang diterima oleh para deposan bank syariah tersebut. Dengan demikian, berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti mitigasi risiko pembiayaan musyarakah pada usaha produktif yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia tersebut dengan judul “Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut, maka terdapat beberapa identifikasi masalah pada penelitian ini antara lain : 1. Bagaimana penerapan pembiayaan musyarakah yang sudah diterapkan bank syariah selama ini? 2. Apa saja faktor-faktor yang menjadi kendala penerapan pembiayaan musyarakah? 3. Apa
saja
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
risiko
pembiayaan
musyarakah? 4. Risiko apa saja yang dihadapi dalam penerapan pembiayaan dengan akad musyarakah?
9
5. Apa yang menjadi risiko utama pada pembiayaan dengan akad musyarakah? 6. Bagaimana manajemen risiko pembiayaan musyarakah Bank Muamalat Indonesia? C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah Dalam penelitian ini, terdapat pembatasan masalah pada tingginya tingkat risiko pembiayaan musyarakah karena erat kaitannya dengan hubungan kemitraan dan pentingnya pengelolaan risiko pembiayaan tersebut yang akan berpengaruh pada keberlangsungan usaha Bank Syariah. Fokus masalah yang dikaji terletak pada risiko kredit/pembiayaan musyarakah dan strategi mitigasi risiko pembiayaan musyarakah yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan pembiayaan Musyarakah pada pembiayaan produktif Bank Muamalat Indonesia? 2. Apa saja risiko-risiko yang dihadapi Bank Muamalat dalam pembiayaan Musyarakah? 3. Bagaimana strategi mitigasi risiko pembiayaan Musyarakah yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia?
10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui penerapan pembiayaan musyarakah pada pembiayaan produktif Bank Muamalat Indonesia b. Mengidentifikasi risiko pembiayaan Musyarakah yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia c. Mengetahui strategi mitigasi risiko pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia 2. Manfaat penelitian a. Bagi Penulis Memberikan wawasan pengetahuan mengenai implementasi dan upaya meminimalisir risiko pembiayaan Musyarakah pada penyaluran pembiayaan produktif bank syariah b. Bagi Akademisi Menambah
literatur
mengenai
manajemen
risiko
pembiayaan
musyarakah ataupun pembiayaan lainnya yang menggunakan prinsip bagi hasil pada Bank Umum Syariah maupun Lembaga Keuangan Syariah lainnya. c. Bagi Lembaga/ Perusahaan Diharapkan dapat menjadi referensi bagi lembaga keuangan syariah lainnya dalam menerapkan pembiayaan musyarakah dan manajemen
11
risiko yang tepat dalam pengelolaannya. Serta dapat memberikan alternatif sistem lembaga keuangan yang menjunjung tinggi aspek keadilan dan mampu menggerakan perekonomian sektor riil di Indonesia. d. Bagi Masyarakat Dapat membantu masyarakat dalam memahami konsep dan penerapan pembiayaan syariah terutama pada pembiayaan musyarakah. E. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini disajikan teori terkait tinjauan literatur dan teoriteori yang berkaitan dengan Manajemen Risiko Bank Syariah, pembiayaan Musyarakah, Manajemen Risiko Pembiayaan Musyarakah, dan Teori Keagenan.
BAB III
METODE PENELITIAN Pada bab ini dijelaskan mengenai ruang lingkup penelitian, jenis penelitian, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data dan metode analisis data
12
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Pada bab ini berisi tentang hasil analisa data, pembahasan hasil analisa dan jawaban-jawaban atas perumusan masalah yang terdiri
dari
Muamalat
penerapan Indonesia,
pembiayaan kendala
musyarakah
penerapan
Bank
pembiayaan
musyarakah, analisis risiko pembiayaan musyarakah, analisis risiko pembiayaan musyarakah, risiko-risiko yang dihadapi Bank Muamalat dalam pembiayaan musyarakah, dan strategi mitigasi risiko pembiayaan musyarakah Bank Muamalat. BAB V
PENUTUP Bab ini memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya dan saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Risiko Bank Syariah 1. Pengertian Risiko Risiko didefinisikan sebagai peluang terjadinya hasil yang tidak diinginkan,
sehingga
memungkinkan
risiko
munculnya
hanya hasil
terkait
negatif
dengan
serta
situasi
berkaitan
yang dengan
kemampuan memperkirakan terjadinya hasil negatif. Kejadian risiko merupakan kejadian yang memunculkan peluang kerugian atau peluang terjadinya hasil yang tidak diinginkan. Sementara itu, kerugian risiko memiliki arti kerugian yang diakibatkan kejadian risiko baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian sendiri dapat berupa kerugian financial dan non financial.10 Dan menurut Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 menyatakan bahwa yang dimaksud risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (event) yang dapat menimbulkan kerugian bank. 2. Jenis-jenis Risiko Berikut adalah jenis-jenis risiko yang ada pada bank syariah. Risiko kegiatan usaha bank syariah mencakup risiko kredit (risiko pembiayaan), risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko operasional, risiko
10
Fachmi Basyaib, Manajemen Risiko, (Jakarta: PT. Gramedia, 2007), h. 1
13
14
hukum, risiko reputasi, risiko strategik, risiko kepatuhan, risiko imbal hasil (rate of return risk), dan risiko investasi (equity investment risk).11 a. Risiko Kredit Adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati b. Risiko Pasar Adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara lain risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan c. Risiko Likuiditas Adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset
likuid
berkualitas
tinggi
yang
dapat
diagunkan,
tanpa
mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank d. Risiko Operasional Adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank
11
Pasal 5 ayat (1) PBI No. 13/23/PBI/2011
15
e. Risiko Hukum Adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis f. Risiko Reputasi Adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank g. Risiko Strategik Adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan strategik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis h. Risiko Kepatuhan Adalah
risiko
akibat
bank
tidak
mematuhi
dan/atau
tidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, serta prinsip syariah. i. Risiko Imbal Hasil (rate of return risk) Adalah risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank
16
j. Risiko Investasi (equity investment risk) Adalah risiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil berbasis profit and loss sharing 3. Manajemen Risiko a. Pengertian Manajemen Risiko Menurut James A.F Stoner, manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen juga merupakan suatu ilmu pengetahuan ataupun seni. Seni adalah suatu pengetahuan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan kata lain, seni adalah kecakapan yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan, dan pelajaran, serta kemampuan untuk menggunakan pengetahuan manajemen.12 Risiko merupakan ketidakpastian yang akan muncul pada setiap aktivitas organisasi. Dalam hal ini suatu organisasi memerlukan pengelolaan risiko yang baik melalui manajemen rsiko agar dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Manajemen risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk
12
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.41
17
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.13 Menurut PBI No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bank Indonesia, bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif. Penerapan manajemen risikosekurang-kurangnya mencakup : 1) Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi 2) Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit 3) Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko 4) Sistem pengendalian intern yang menyeluruh b. Proses Manajemen Risiko Proses manajemen risiko adalah tahapan-tahapan melalui mana sebuah perusahaan memastikan bahwa risiko yang dihadapinya adalah sesuai dengan risiko yang diinginkan, dibutuhkan, atau direncanakan supaya terjadi.
13
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2012), h. 86
18
Gambar 2.1 Proses Manajemen Risiko Overseas, audit tune, and realign
Identify risk and determine tolerance
Control risk
Measure Risk
Monitor anad report risk Pada gambar 2.1, tahapan manajemen risiko dimulai dari (1) Identifikasi risiko dan penentuan besarnya toleransi terhadap risiko, (2) Pengukuran risiko, (3) Memantau dan melaporkan risiko, (4) Mengendalikan risiko, (5) dan akhirnnya mengkaji ulang, mengaudit, menstel, dan meluruskan kembali, kemudian kembali kepada tahapan (1) dan seterusnya secara berkesinambungan ibarat cincin yang tidak pernah putus.14
14
Hinsa Siahaan, Manajemen Risiko: Konsep, Kasus, dan Implementasi, (Jakarta: PT. Gramedia, 2007), h. 59-60
19
Sebagai sebuah proses, kerangka kerja manajemen risiko pada dasarnya terbagi dalam tiga tahapan kerja.15 1)
Identifikasi risiko, adalah rangkaian proses pengenalan yang seksama atas risiko dan komponen risiko yang melekat pada suatu aktivitas atau transaksi yang diarahkan kepada proses pengukuran dan pengelolaan risiko yang tepat. Identifikasi risiko adalah pondasi dimana tahapan lainnya dalam proses manajemen risiko dibangun
2)
Pengukuran risiko, adalah rangkaian proses yang dilakukan dengan tujuan untuk memahami signifikansi dari akibat yang ditimbulkan suatu risiko, baik secara individual maupun portofolio, terhadap tingkat kesehattan dan kelangsungan usaha. Pemahaman yang akurat tentang signifikansi tersebut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan berhasil guna
3)
Pengelolaan risiko, pada dasarnya adalah rangkaian proses yang dilakukan untuk meminimalisasi tingkat risiko yang dihadapi sampai pada batas yang dapat diterima. Secara kuantitatif untuk meminimalisasi risiko ini dilakukan dengan
15
Veithzal Rivai, Islamic Risk Management for Islamic Bank, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), h. 131-132
20
menerapkan langkah-langkah yang diarahkan pada turunnnya hasil ukur yang diperoleh dari proses pengukuuran risiko. B. Pembiayaan Musyarakah 1. Pengertian Pembiayaan Pembiayaan atau financing ialah pendanaan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. 16 Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat terbagi menjadi dua yaitu pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif. 17 a. Pembiayaan produktif adalah pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk meningkatkan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. b. Pembiayaan konsumtif adalah pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan.
16 17
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h.15 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 160-161
21
2. Pengertian Musyarakah Menurut Afzalur Rahman, seorang Deputy Secretary General in The Muslim School Trust, secara bahasa al-syirkah berarti al-ihktilath (percampuran) atau persekutuan dua orang atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan atau tidak dapat dipisahkan. Istilah lain dari musyarakah adalah sharikah atau syirkah atau kemitraan.18 Musyarakah merupakan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 19 Dalam Musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja sama mengelola usaha tersebut. Modal yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.20 Rukun dari akad yang harus dipenuhi dalam musyarakah, ada beberapa, yaitu :21
18
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), Edisi 3, h.
150 19
Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, Ed.1), h. 79 20 Sri Nurhayati, loc. cit., h. 150 21 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 52
22
a. Pelaku akad, yaitu para mitra usaha b. Objek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan c. Sighah, yaitu Ijab dan Qabul 3. Jenis-jenis Musyarakah Dalam terminologi fiqih Islam, syirkah terbagi menjadi dua jenis, yaitu : a.
Syirkah al-milk atau syirkah amlak atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan bersama dua pihak atau lebih, dari suatu properti. 22 Syirkah al-milk mengandung arti kepemilikan bersama (co-ownership) yang keberadaannya muncul apabila dua orang atau lebih memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan (aset). Misalnya dua orang atau lebih menerima warisan/hibah/wasiat sebidang tanah atau harta kekayaan atau perusahaan baik yang dapat dibagi atau tidak dapat dibagi-bagi.23
b. Syirkah al-‘aqd atau syirkah akad, yang berarti kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. 24 Setiap mitra dapat berkontribusi modal/dana dan atau dengan bekerja, serta berbagi keuntungan dan kerugian. Syirkah jenis ini dapat dianggap 22
kemitraan
Ibid., h. 49 Sri Nurhayati, op.cit., h. 151 24 Ascarya, op.cit., h. 49-50 23
yang
sesungguhnya,
karena
pihak
yang
23
bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat suatu kerjasama investasi dan berbagi keuntungan dan risiko. Berbeda dengan syirkah al-milk, dalam kerja sama jenis ini setiap mitra dapat bertindak setbagai wakil dari pihak lainnya. Syirkah Al-‘Uqud dapat dibagi menjadi sebagai berikut :25 1) Syirkah Abdan Syirkah Abdan (Syirkah fisik), disebut juga syirkah ‘amal (syirkah kerja) atau syirkah shanaa’i (syirkah para tukang) atau syirkah taqabbul (syirkah penerimaan). Syirkah abdan adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih dari kalangan pekerja/professional dimana mereka sepakat untuk bekerjasama mengerjakan suatu pekerjaan dan berbagi penghasilan yang diterima. 2) Syirkah Wujuh Syirkah Wujuh adalah kerjasama antara dua pihak dimana masingmasing pihak sama sekali tidak menyertakan modal dan menjalankan usahanya berdasarkan kepercayaan pihak ketiga. Masing-masing mitra menyumbangkan nama baik, reputasi, credit worthiness, tanpa menyetorkan modal
25
Sri Nurhayati, op. cit., h. 153-154
24
3) Syirkah ‘Inan Adalah bentuk kerjasama dimana posisi dan komposisi pihakpihak yang terlibat di dalamnya adalah tidak sama, baik dalam modal maupun pekerjaan. Setiap mitra bertindak sebagai kuasa dari kemitraan tersebut, tetapi bukan merupakan penjamin bagi mitra usaha lainnya. Keuntungan yang diperoleh akan dibagi pada para mitra sesuai kesepakatan sedangkan kerugian akan dibagi secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal. 4) Syirkah Muwafadhah Syirkah Muwafadhah adalah bentuk kerjasama dimana posisi dan komposisi pihak-pihak yang terlibat didalamnya harus sama, baik dalam hal modal, pekerjaan, agama, keuntungan maupun resiko kerugian. Konsekuensinya, setiap mitra sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan-tindakan hukum dan komitmen dari para mitra lainnya dalam segala hal yang menyangkut kemitraan Adapun bentuk-bentuk musyarakah antara lain: a. Musyarakah Permanen Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan saat akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad
25
b. Musyarakah Menurun/Musyarakah Mutanaqisah Musyarakah Menurun adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan secara bertahap kepada mitra lainnya sehingga bagian dananya akan menurun dan pada saat akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha musyarakah tersebut. 4. Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan bagi hasil dalam bentuk musyarakah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (13) secara eksplisit disebutkan bahwa musyarakah merupakan salah satu dari produk pembiayaan pada perbankan syariah. Musyarakah juga telah diatur dalam ketentuan Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000. Intinya Fatwa DSN tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara
lain
melalui
pembiayaan
musyarakah
yaitu
pembiayaan
berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
26
ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung sesuai dengan kesepakatan.26 Ketentuan secara teknis mengenai aplikasi akad musyarakah ini telah diatur dalam PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu b. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tuga dan wewenang yang disepakati c. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang e. Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan
26
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 128
27
f. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah g. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan h. Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati i. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak j. Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut k. Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal akad l. Pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) m. Pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah
28
n. Pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha o. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan atau kecurangan Gambar 2.2 Skema Pembiayaan Musyarakah27 Pembiayaan Musyarakah
Bank Syariah
Nasabah
Modal A% Modal B%
Proyek/Usaha
Nisbah X%
Pembagian Hasil Usaha
Nisbah Y%
Pengembalian Modal Usaha
C. Manajemen Risiko Pembiayaan Musyarakah 1. Manajemen Risiko Pembiayaan Bank Syariah Investasi atau bisnis yang dijalankan melalui aktivitas pembiayaan adalah aktivitas yang selalu berkaitan dengan risiko. Persoalannya adalah 27
Ikatan Bankir Indonesia, Memahami Bisnis Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 216
29
bagaimana investasi atau bisnis dalam pembiayaan tersebut mengandung risiko yang minimal. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan melakukan manajemen risiko secara baik. Manajemen risiko ini dapat diawali dengan melakukan penyaringan (screening) terhadap calon nasabah dan proyek yang akan dibiayai. Jika pembiayaan telah direalisasikan, pengendalian risiko pembiayaan dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan (treatment) yang sesuai dengan karakter nasabah maupun proyek. Manajemen risiko pembiayaan di bank syariah sangat berkaitan dengan risiko karakter nasabah dan risiko proyek. Risiko karakter berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan karakter nasabah. Sementara risiko proyek berkaitan dengan karakter proyek yang dibiayai.28 Risiko karakter nasabah dapat dilihat dari aspek skill, reputations, dan origins. Ketiga faktor tersebut dapat dianalisis menjadi sub faktor sebagai berikut : 29 1)
Faktor skill (keterampilan), meliputi kefamiliaran terhadap pasar, mampu mengoreksi risiko bisnis, mampu melakukan usaha yang berkelanjutan, mampu mengartikulasikan bahasa bisnis
28 29
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h.365 Ibid., h.365-366
30
2)
Faktor reputasi (reputation), meliputi track record sebagai karyawan,
memiliki
track
record
sebagai
pengusaha,
direkomendasikan oleh sumber terpercaya, dapat dipercaya, memiliki jaminan usaha 3)
Faktor asal-usul (origins), meliputi memiliki hubungan keluarga atau persahabatan dengan investor, sebagai pebisnis yang sukses, berasal dari kelas sosial terpandang
Sementara risiko proyek yang dibiayai dapat dilihat dari ciri-ciri atau atribut proyek. Ciri-ciri atau atribut proyek yang harus diperhatikan untuk meminimalkan risiko adalah : 1) Sistem informasi akuntansi (pelaporan); (2) Tingkat return proyek; (3)Tingkat risiko proyek; (4) Biaya pengawasan; (5) Kepastian hasil dari proyek; (6) Klausul kesepakatan proyek; (7) Jangka waktu kontrak; (8) Arus kas perusahaan; (9) Jaminan yang disediakan; (10) Tingkat kesehatan proyek; dan (11) Prospek proyek 2. Manajemen Risiko Pembiayaan Musyarakah Risiko terkait pembiayaan Berbasis Natural Uncertainty Contracts (NUC) adalah mengindentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis Natural Uncertainty Contracts, seperti mudharabah dan musyarakah.
31
Penilaian risiko ini mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu (a) Business Risk (risiko bisnis yang dibiayai, (b) Shrinking Risk (risiko berkurangnya nilai pembiayaan mudharabah/musyarakah), dan (c) Character Risk (risiko karakter buruk mudharib).30 a. Business Risk adalah risiko yang terjadi pada First Way Out yang dipengaruhi oleh :31 1) Industry risk yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh karakteristik masing-masing jenis usaha yang bersangkutan dan kinerja keuangan jenis usaha
yang
bersangkutan (industry financial standard) 2) Faktor negatif lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah, seperti kondisi grup usaha, keadaan force majeure, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off balance sheet (L/C import, bank garansi), market risk (forex risk, interest risk,
security
risk),
riwayat
pembayaran
(tunggakan
kewajiban), dan restrukturisasi pembiayaan. b. Shrinking risk adalah risiko yang terjadi pada second way out yang dipengaruhi oleh :
30
https://sharianomics.wordpress.com/2010/12/09/risiko-terkait-pembiayaan-berbasisnatural-uncertainty-contracts-nuc/, diakses pada 17 Februari 2015 31 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, Ed.5, Cet.9), h. 265-266
32
1) Unusual Business Risk yaitu risiko bisnis yang luar biasa yang ditentukan oleh penurunan drastis pada tingkat penjualan bisnis yang dibiayai, harga jual barang/jasa dari bisnis yang dibiayai, dan harga barang/jasa dari bisnis yang dibiayai 2) Jenis bagi hasil yang dilakukan, apakah profit and loss sharing atau revenue sharing 3) Disaster risk yaitu keadaan force majeure yang dampaknya sangan besar terhadap bisnis nasabah yang dibiayai bank. c. Character risk yaitu risiko yang terjadi pada third way out yang dipengaruhi oleh hal berikut 1) Kelalaian nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank. 2) Pelanggaran ketentuan yang telah disepakati sehingga nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank tidak lagi sesuai dengan kesepakatan. 3) Pengelolaan
internal
perusahaan
seperti
manajemen,
organisasi, teknis produksi, dan keuangan, yang tidak dilakukan secara professional sesuai standar pengelolaan yang disepakati antara bank dan nasabah.
33
D. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan dibangun sebagai upaya untuk memahami dan memecahkan masalah yang muncul manakala ada ketidaklengkapan informasi pada saat melakukan kontrak (perikatan). Teori keagenan meramalkan jika agen memiliki keunggulan informasi dibandingkan prinsipal (information asymmetry) dan kepentingan agen dan prnsipal berbeda, maka akan terjadi principal-agent problem dimana agen akan melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya namun merugikan prinsipal. Ada dua macam bentuk masalah keagenan terdapat dalam hubungan antara principal dan agen, yaitu :32 1. Pilihan buruk (adverse selection). Pilihan buruk terjadi manakala principal tidak mengetahui mengenai kemampuan agen, dan oleh sebab itu mereka bisa terjerumus membuat pilihan yang buruk mengenai agen 2. Bencana moral (moral hazard). Bencana moral terjadi manakala kontrak sudah disetujui oleh principal dan agen, namun pihak agen yang sadar memiliki keunggulan (informasi) tidak memenuh persyaratan (term) kontrak tersebut.
32
Gudono, Teori Organisasi, (Yogyakarta: BPFE, 2012, Cet.2), h. 147-149
34
E. Review Studi Terdahulu Berdasarkan telaah yang telah dilakukan, terdapat beberapa jurnal maupun skripsi yang berkaitan dengan manajemen risiko pembiayaan. Adapun hasil studi review terdahulu yang dijadikan acuan dalam penelitian ini diantaranya: Tabel 2.1 Perbandingan Studi Terdahulu
Judul/ Penulis
Tujuan Penelitian
Review 1
Review 2
Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang), Jurnal Ilmiah, Khoiriyah Trianti, FEB, Universitas Brawijaya, 2014
Strategi Manajemen Risiko PT. BPRS Kota Bekasi, Skripsi, Asma Azzahroh, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013
Review 3
Implementasi Manajemen Risiko Pembiayaan dalam Upaya Menjaga Likuiditas Bank Syariah (Studi pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Malang), Skripsi, oleh Sri Mulyani, Fakultas Ekonomi, UIN Malang, 2009 Merumuskan Mengetahui Untuk manajemen risiko peringkat mendeskripsidalam manajemen kan pembiayaan risiko BPRS pengelolaan mudharabah Kota Bekasi, manajemen Tingkat risiko
Skripsi Penulis Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia, Mutia Sarayati, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mengetahui penerapan pembiayaan Musyarakah pada Bank Muamalat
35
kesehatan BPRS Kota Bekasi, dan faktor yang mempengaruhinya
Metode Penelitian
Metode Metode penelitian yang penelitian berupa digunakan adalah kualitatif deskriptif deskriptif kualitatif menggunakan analisis SWOT dengan populasi karyawan bagian pembiayaan sebagai responden guna mengetahui prosedur penilaian pembiayaan dan manajemen risiko BPRS, dan metode kuantitatif dalam
pembiayaan yang dilakukan PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang dalam upaya menjaga likuiditasnya
Indonesia, Mengidentifik asi risikorisiko yang dihadapi dalam pembiayaan musyarakah, serta mengidentifik asi dan menganalisis strategi mitigasi risiko pembiayaan Musyarakah BMI
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif
36
Hasil Penelitian
Manajemen risiko di BMI Cabang Malang adalah upaya untuk meminimalisir risiko yang terjadi, baik yang dilakukan pada pra akad maupun pasca akad
menilai tingkat kesehatan BPRS Kota Bekasi Profil manajemen risiko BPRS berada pada tingkat medium, dimana dampak yang dimiliki berupa dampak sedang pada biaya, waktu, dan kualitas. Dan berdasarkan analisis SWOT, faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor eksternal dengan ancaman terbesar pada ketidaktepatan pengembalian pembiayaan.
Hasil analisis tersebut diperoleh gambaran bahwa pengelolaan risiko pembiayaan berjalan secara efektif sesuai dengan arahan, pedoman dan kebijakan dari BSM Pusat. Kebijakan tersebut dikemas dalam Enterprise Risk Management (ERM)
Dalam penelitian ini terdapat perbedaan dengan penelitian terdahulu yaitu pada segi jenis pembiayaan dan obyek penelitian. Pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui strategi Bank Syariah dalam meminimalisir risiko pembiayaan musyarakah, dengan studi pada Bank Muamalat Indonesia (BMI), dimana BMI merupakan salah satu Bank Umum Syariah (BUS) yang
37
menyalurkan pembiayaan musyarakah lebih banyak dibandingkan dengan BUS lainnya. Selain itu, dalam penelitian ini membahas mengenai penerapan pembiayaan musyarakah, risiko pembiayaan musyarakah yang dihadapi bank dan strategi mitigasi risiko pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia.
BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Objek penelitian ini adalah pembiayaan musyarakah PT. Bank Muamalat Indonesia, yang terletak di Gedung Arthaloka, Jalan Jenderal Sudirman Kav.2, Jakarta. Penelitian ini difokuskan kepada risiko kredit/pembiayaan dan upaya mitigasi risiko pembiayaan musyarakah Bank Muamalat Indonesia (BMI). B. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (1992:21-22) meyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.33 Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi obyek yang alami. Disini peneliti merupakan instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan. Data yang dihasilkan bersifat deskriptif dan analisis data dilakukan secara induktif. Penelitian ini lebih menekankan makna daripada generalisasi.34
33
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008),
34
Wirartha, Metode Penelitian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: ANDI, 2006), h.134
h. 1
38
39
C. Sumber Data Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : 1) Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dengan melalui wawancara langsung antara peneliti dengan pihak Bank Syariah. 2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan yang berkaitan dengan pembahasan, literatur, serta sumber lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini, sumber data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait pada manajemen risiko pembiayaan, yakni Bapak Amin Syafi’i sebagai Commercial Financing Risk Manager, KPO Bank Muamalat Indonesia. Sedangkan data sekunder diperoleh
dari arsip dokumen yang didapat dari hasil saat wawancara, saat penulis melakukan magang di Bank Muamalat Indonesia, laporan tahunan Bank Muamalat, serta studi literatur lainnya. Data yang diperoleh berupa data komposisi penyaluran pembiayaan musyarakah, produk-produk pembiayaan yang ada pada Bank Muamalat Indonesia, prosedur penerapan pembiayaan musyarakah, dan data penyaluran dana pembiayaan Bank Muamalat D. Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa metode pengumpulan data yang dikenal dalam penelitian kualitatif, walaupun demikian bisa dikatakan bahwa metode yang paling
40
pokok adalah pengamatan atau observasi dan wawancara mendalam atau indepth interview.35 Pengumpulan data dapat ditempuh dengan berbagai metode diantaranya yaitu, penggunaan bahan dokumen, observasi/pengamatan, wawancara, penggunaan pengalaman individu, kuesioner (angket), dan penggunaan projective test. 36 Adapun penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut : 1. Dokumentasi Metode
ini
merupakan
suatu
cara
pengumpulan
data
yang
menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteiti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan buka perkiraan. 37 Pada studi dokumentasi, dokumen-dokumen yang diperoleh penulis dari Bank Muamalat Indonesia dan studi kepustakaaan untuk memperoleh pengetahuan dan memahami teori mengenai pembiayaan musyarakah,
manajemen risiko pembiayaan musyarakah, serta upaya
mitigasi risiko untuk meminimalisir risiko pembiayaan Musyarakah. 2. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu oleh dua pihak,
yaitu
pewawancara
(interviewer)
sebagai
pengaju/pemberi
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) sebagai pemberi
35
Bagong Suryanto, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 172 Afifi Fauzi Abbas, Metode Penelitian, (Jakarta: Adelina Bersaudara, 2010), h. 82 37 Basrowi dan Suwandi, op. cit., h. 158 36
41
jawaban atas pertanyaan.38 Tujuan wawancara ialah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain, bagaimana pandangannya tentang dunia, yaitu hal-hal yang tidak dapat kita ketahui melalui observasi.39 Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada narasumber dari Bank Muamalat Indonesia yang kompeten dan berwenang dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Kemudian jawaban dari narasumber atas pertanyaan yang diajukan dicatat dan direkam yang kemudian didokumentasikan apa yang didapat dari hasil wawancara tersebut. E. Metode Analisis Data Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Dengan metode analisis deskriptif kualitatif, data yang diperoleh baik dari wawancara maupun studi dokumen akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mengkaji, memaparkan, menelaah dan menjelaskan data-data yang diperoleh mengenai prosedur pembiayaan musyarakah, risiko yang dihadapi dalam pembiayaan musyarakah, serta mitigasi risiko pembiayaan musyarakah Bank Muamalat Indonesia (BMI).
38 39
Ibid, h. 127 S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2002), h. 73
42
F. Kerangka Konsep Gambar 3.1 Kerangka Konsep Rendahnya Komposisi Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia Pembiayaan Musyarakah
Risiko Pembiayaan Musyarakah
Termasuk kategori NUC dan muncul permasalahan Principal Agent Bank Muamalat Indonesia Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia
Bank Syariah memiliki aktivitas pembiayaan yang berbeda dengan Bank Konvensional. Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Namun data perbankan syariah yang menunjukkan masih rendahnya komposisi pembiayaan dengan prinsip bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah. Hingga September 2014, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil selalu
43
dibawah 50% pembiayaan murabahah (jual beli). Hal ini dikarenakan pembiayaan tersebut memiliki risiko yang tinggi karena pembiayaan bersifat Natural Uncertainty Contracts (NUC) dan terkait dengan masalah principal agent. Adapun salah satu bank syariah yang memiliki komposisi pembiayaan musyarakah yang berbasis bagi hasil dengan komposisi yang lebih banyak dibandingkan dengan bank syariah lainnya yaitu Bank Muamalat Indonesia. Banyaknya pembiayaan yang disalurkan, menggambarkan bahwa BMI berani menerima risiko pembiayaan yang melekat pada pembiayaan musyarakah. Pengelolaan risiko kredit/pembiayaan ini sangat penting untuk dikelola dengan baik, karena akan mempengaruhi pada tingkat pembiayaan bermasalah dan bagi hasil yang akan dibagikan kepada para deposan. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui strategi mitigasi risiko pembiayaan musyarakah Bank Muamalat Indonesia (BMI).
44
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Bank Muamalat Indonesia 1. Sejarah Singkat Bank Muamalat Indonesia Gagasan pendirian Bank Muamalat berawal dari lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia pada 18-20 Agustus 1990 di Cisarua, Bogor. Ide ini berlanjut dalam Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia di HOTEL Sahid Jaya, Jakarta, pada 22-25 Agustus 1990 yang diteruskan dengan pembentukan kelompok kerja untuk mendirikan bank murni syariah pertama di Indonesia. Realisasinya dilakukan pada 1 November 1991 yang ditandai dengan penandatanganan akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk di Hotel Sahid Jaya berdasarkan Akte Notaris Nomor 1 Tanggal 1 November yang dibuat di Notaris Yudo Paripurno, S.H. dengan izin Menteri Kehakiman Nomor C2.2413.T..01.01 Tanggal 21 Maret 1992/Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 28 April 1992 Nomor 34. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini diperoleh komitmen dari berbagai pihak untuk membeli saham sebanyak Rp 84 miliar. Kemudian dalam acara silaturahmi pendirian di Istana Bogor diperoleh tambahan
45
dana dari masyarakat Jawa Barat senilai Rp 106 miliar sebagai wujud dukungan mereka. Dengan modal awal tersebut dan berdasarkan surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991 serta izin usaha yang berupa Keputusan Mernteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 430/kmk.013/1992 Tanggal 24 April 1992, Bank Muamalat mulai beroperasi pada 1 Mei 1992 bertepatan dengan 27 Syawal 1412 H. Pada 27 Oktober 1994, Bank Muamalat mendapat keprcayaan dari Bank Indonesia sebagai Bank Devisa. Beberapa tahun yang lalu Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara pernah mengalami krisis moneter yang berdampak terhadap perbankan nasional yang menyebabkan timbulnya kredit macet pada segmen korporasi. Bank Muamalat pun ikut terimbas dampak tersebut. Tahun 1998, angka Non Performing financing (NPF) Bank Muamalat sempat mencapai lebih dari 60%. Perseroan mencatat kerugian sebesar Rp 105 miliar dan ekuitas mencapai titik terendah hingga Rp 39,3 miliar atau kurang dari sepertiga modal awal. Kondisi tersebut telah mengantarkan Bank Muamalat memasuki era baru dengan keikutsertaan Islamic Development Bank (IDB), yang berkedudukan di Jeddah Saudi Arabia, sebagai salah satu pemegang saham luar negeri yang resmi diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 21 Juni 1999.
46
Dalam kurun waktu 1999-2002 Bank Muamalat terus berupaya dan berhasil memperbaiki kinerja dari rugi menjadi laba. Hasil tersebut tidak lepas dari upaya dan dedikasi segenap karyawan dengan dukungan kepemimpinan yang kuat, strategi usaha yang tepat, serta kepatuhan terhadap pelaksanaan perbankan syariah secara murni. Pada tahun 2009 Bank Muamalat memulai proses transformasi salah satunya dengan membuka kantor cabang internasional pertamanya di Kuala Lumpur, Malaysia dan tercatat sebagai bank pertama dan satusatunya dari Indonesia yang membuka jaringan bisnis di Malaysia. Dan pada tahun 2012 tepat pada milad yang ke-20 tahun, Bank Muamalat meluncurkan logobaru (rebranding) dengan tujuan menjadi bank syariah yang Islamic, Modern, dan Profesional. Proses transformasi yang dijalankan Bank Muamalat membawa hasil yang positif dan signifikan terlihat dari aset Bank Muamalat yang tumbuh dari tahun 2008 sebesar Rp 12,6 triliun menjadi Rp 54,6 triliun di tahun 2013. 2. Visi dan Misi a. Visi Menjadi bank syariah utama di Indonesia, dominan di pasar
spiritual, dikagumi di pasar rasional
47
b. Misi Menjadi role model lembaga keuangan syariah dunia dengan
penekanan pada semangat kewirausahaan, keunggulan manajemen dan orientasi investasi yang inovatif untuk memaksimumkan nilai bagi stakeholder. 3. Produk Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia a. Konsumen 1) KPR Muamalat iB KPR Muamalat iB adalah produk pembiayaan yang akan membantu Anda untuk memiliki rumah (ready stock/bekas), apartemen, ruko, rukan, kios maupun pengalihan take-over KPR dari bank lain. 2) Auto Muamalat Automuamalat
adalah
produk
pembiayaan
yang
akan
membantu Anda untuk memiliki kendaraan bermotor. Produk ini adalah kerjasama Bank Muamalat dengan Al-Ijarah Indonesia Finance (ALIF). 3) Pembiayaan Umroh Muamalat Pembiayaan Umroh Muamalat adalah produk pembiayaan yang akan membantu mewujudkan impian Anda untuk beribadah Umroh dalam waktu yang segera.
48
4) Pembiayaan Anggota Koperasi Pembiayaan konsumtif yang diperuntukkan bagi beragam jenis pembelian konsumtif kepada karyawan/guru/PNS (selaku end user) melalui koperasi b. Pembiayaan Modal Kerja 1) Pembiayaan iB Modal Kerja Muamalat Pembiayaan iB Modal Kerja Muamalat adalah fasilitas pembiayaan jangka pendek yang diberikan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan modal kerja seperti : i.
Pembelian barang persediaan;
ii.
Kebutuhan dana untuk menutup kebutuhan dana tertanam (Asset Convention Cycle);
iii.
Kebutuhan Modal Kerja Pelaksanaan Proyek yang didapat calon nasabah dari Pemberi Pekerjaan/Proyek (bowheer)
2) Pembiayaan iB Buyer Supplier Financing Pembiayaan
iB
Buyer-Supplier
Financing
merupakan
Pembiayaan khusus untuk memperluas target akuisisi dari Unit Bisnis BMI dengan meng-capture potensi bisnis dari nasabah existing pembiayaan, baik ditingkat pembeli produk/pengguna jasa usaha (buyer) nasabah maupun supplier (penyedia/penyuplai bahan baku kepada nasabah). Tujuan dari pembiayaan ini antara lain :
49
i.
Modal Kerja Pembelian Barang/Pemakaian Jasa dari nasabah existing oleh Recommended Buyer
ii.
Investasi Pembelian barang dari nasabah existing oleh Recommended Buyer yang merupakan Mitra Usaha nasabah
iii.
Talangan Pembayaran Tagihan Recommended Supplier atas pengiriman dan/atau pembelian barang/bahan baku oleh nasabah existing
3) Pembiayaan Modal Kerja Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) Pembiayaan Modal Kerja LKMS adalah produk pembiayaan yang ditujukan untuk LKM Syariah (BPRS/BMT/Koperasi) yang hendak meningkatkan pendapatan dengan memperbesar portfolio pembiayaannya kepada Nasabah atau anggotanya (end-user). Pembiayaan dilakukan berdasarkan prinsip syariah dengan akad mudharabah atau musyarakah yang digunakan untuk memperbesar modal dalam menyalurkan pembiayaan kepada Nasabah atau Anggota dengan pola executing (bank terlepas dari perikatan kepada end-user). Skema yang dapat digunakan berupa revolving maupun
non-revolving,
BPRS/BMT/Koperasi
bergantung
pada
karakteristik
50
4) Pembiayaan Jangka Pendek BPRS iB Pembiayaan Jangka Pendek
BPRS
iB adalah produk
pembiayaan yang ditujukan kepada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) untuk memenuhi kebutuhan modal kerja BPRS yang bersifat sementara (jangka pendek) dan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja yang akan disalurkan oleh BPRS ke enduser dengan pola executing. Jangka waktu pembiayaan maksimum 6 bulan dengan skema revolving. c. Pembiayaan Investasi 1) Pembiayaan iB Investasi Pembiayaan iB Investasi adalah fasilitas pembiayaan jangka panjang yang diberikan kepada Nasabah untuk digunakan membiayai pembelian barang-barang modal (capital expenditure) dan / atau tambahan investasi dalam angka peremajaan, perluasan, peningkatan kapasitas usaha, atau pendirian unit usaha baru. Pembiayaan iB Investasi digunakan untuk: i.
Pembelian dengan tujuan investasi seperti mesin, alat berat, kendaraan bermotor serta infrastructure lainnya;
ii.
Pembiayaan untuk sewa tempat usaha yang bersifat jangka panjang;
iii.
Kebutuhan pembiayaan investasi lainnya.
51
2) Pembiayaan iB Properti Bisnis Muamalat Pembiayaan iB Properti Bisnis Muamalat adalah Pembiayaan yang disediakan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan akan pembelian Asset/Properti Bisnis sebagai tambahan investasi ataupun untuk Peremajaan/Renovasi dan Pembangunan Properti Bisnis baru diatas lahan milik nasabah. Jenis properti yang dapat dibeli antara lain ruko, kios, loss, gedung, dan gudang. Tabel 4.1 Penggunaan Akad-Akad Pembiayaan Secara Umum
Modal Kerja √ √ Modal Kerja Koperasi/ √ √ Multifinance Modal Kerja Regular √ Pembelian Properti Pembelian Barang/ Transportasi Pembelian Paket Jasa Pemesanan Pembuatan Properti/ Barang/ Alat/ Transportasi Sewa dengan Opsi Kepemilikan Properti/ Barang/ Alat/ Transportasi Sumber: Bank Muamalat Indonesia
IJARAH MUNTAHIYAH BITTAMLIK (IMBT)
IJARAH
ISTISHNA
MURABAHAH
MUSYARAKAH MUTANAQISAH
MUSYARAKAH
KEGUNAAN
MUDHARABAH
AKAD
√ √ √
√ √ √ √ √ √
52
4. Data Deskriptif Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia Jumlah aset Bank Muamalat di posisi akhir tahun 2014 sebesar Rp62,41 triliun. Aset bank mengalami peningkatan sebesar 16,17% dari Rp53,72 triliun di tahun 2013. Meningkatnya aset Bank Muamalat, memicu pula peningkatan jumlah penyaluran dana Bank. Pada akhir tahun 2014, total penyaluran dana mencapai Rp43,09 triliun. Jumlah tersebut mencerminkan pertumbuhan sebesar 3,11% dari jumlah pembiayaan pada tahun sebelumnya sebesar Rp41,79 triliun. Bank Muamalat menyalurkan fasilitas pembiayaan kepada nasabah untuk keperluan produktif maupun konsumtif, yang dibukukan berdasarkan akad atau skema yang dipakai yaitu
Istishna’,
Murabahah,
Qardh,
Ijarah,
Mudharabah,
dan
Musyarakah. Adapun perkembangan penyaluran pembiayaan Bank Muamalat berdasarkan akad dari tahun 2010-2014, sebagai berikut: Tabel 4.2 Jumlah Penyaluran Pembiayaan pada Bank Muamalat Indonesia Tahun 2010-2014 dalam jutaan rupiah 2013 2014
Akad
2010
2011
2012
Murabahah
6.444.227
10.112.862
15.995.343
19.366.213
20.172.146
Istishna’
46.666
74.993
19.782
22.036
14.571
Ijarah
747,771
2.505
436,489
14.151
26.303
Qardh
1.183.738
1.993.610
1.275.670
420.636
127.455
Mudharabah
1.364.534
1.498.297
1.985.586
2.170.219
1.723.619
Musyarakah
5.979.044
8.176.819
12.819.798
17.855.906
19.549.525
Sumber: Annual Report BMI
53
Berdasarkan
pada
tabel
diatas,
menunjukkan
bahwa
penyaluran
pembiayan pertama didominasi oleh pembiayaan Murabahah, dilanjutkan dengan pembiayan Musyarakah, Mudharabah, Qardh, Ijarah, dan Istishna’. Pembiayaan dengan akad Istishna’, Ijarah, Qardh, dan Mudharabah memiliki jumlah pembiayaan yang fluktuatif tiap tahunnya, sedangkan pembiayaan dengan akad Murabahah dan Musyarakah selalu mengalami peningkatan. Pembiayaan dengan akad Murabahah selalu meningkat stabil tiap tahunnya. Pada tahun 2010 pembiayaan murabahah disalurkan sebesar Rp6,44 triliun dan tahun selanjutnya hingga tahun 2014, pembiayaan disalurkan dengan jumlah masing-masing sebesar Rp10,11 triliun, Rp15,99 triliun, Rp19,7 triliun dan Rp20,17 triliun. Selain itu, pembiayaan dengan akad musyarakah juga disalurkan dalam jumlah yang besar oleh Bank Muamalat dan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2010, total pembiayaan musyarakah sebesar Rp5,98 triliun, kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp8,18 triliun. Pembiayaan musyarakah tahun 2012, melonjak sebesar 56,78% menjadi Rp12,82 triliun, sedangkan pada tahun 2013 dan 2014 pembiayaan musyarakah tercatat masing-masing sebesar Rp17,86 triliun dan Rp19,55 triliun. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
54
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Dengan demikian, pembiayaan merupakan salah satu kegiatan usaha bank untuk memperoleh penghasilan atas dana yang disalurkan. Bank Muamalat dalam penyaluran dananya tentu mendapatkan keuntungan dari pembiayaan yang disalurkan, baik berupa margin, fee, maupun bagi hasil. Adapun hasil pendapatan dari penyaluran pembiayaan Bank Muamalat adalah sebagai berikut. Tabel 4.3 Pendapatan Penyaluran Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia Tahun 2010-2014 Akad
2010
2011
2012
dalam jutaan rupiah 2013 2014
Pendapatan dari Penjualan Murabahah
689.310
1.078.893
1.436.709
2.007.951
2.329.282
Istishna’
1.264
3.794
2.901
2.664
2.613
45.983
18.150
31.776
32.542
Pendapatan dari sewa/ ijarah Ijarah
50.175
Pendapatan dari Bagi Hasil Mudharabah
201.753
208.032
209.901
305.724
258.438
Musyarakah
580.677
782.617
1.038.094
1.648.390
2.130.879
Sumber: Annual Report BMI Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa pendapatan margin/ bagi hasil dari penyaluran pembiayaan murabahah dan musyarakah mengalami
55
peningkatan setiap tahunnya. Pendapatan dari pembiayaan murabahah sebesar Rp 689,3 miliar pada 2010, Rp 1,07 triliun pada 2011, Rp 1,43 triliun pada 2012, Rp 2,007 triliun pada 2013, dan Rp 2,32 triliun pada 2014. Sedangkan pendapatan dari pembiayaan musyarakah sebesar Rp 580,67 miliar pada 2010, Rp 782,6 triliun pada 2011, melonjak menjadi Rp 1,03 triliun pada 2012, Rp 1,64 triliun pada 2013, dan Rp 2,13 triliun pada 2014. margin/bagi
Dapat disimpulkan bahwa meningkatnya pendapatan hasil
pada
kedua
pembiayaan
tersebut
dikarenakan
penyaluran pembiayaan yang meningkat pula. Berdasarkan prinsipnya, pembiayaan dengan akad Murabahah dan Musyarakah memiliki prinsip yang berbeda. Murabahah merupakan akad dengan prinsip jual beli, dimana bank mengambil keuntungan dari hasil penjualan barang kepada nasabah dengan margin yang ditentukan oleh bank dan menjadi bagian dari harga barang yang dijual. Sedangkan Musyarakah merupakan akad pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, dimana bank mengambil keuntungan dari bagi hasil atas usaha yang dikelola nasabah. Dalam hal ini, umumnya bank memiliki risiko yang tinggi dalam menyalurkan pembiayaan dengan akad Musyarakah karena jumlah pendapatan yang diperoleh bersifat tidak tetap dan sulitnya mendeteksi kejujuran nasabah sebagai mitra. Namun, berdasarkan data pembiayaan dan
pendapatan
pembiayaan
tersebut,
pembiayaan
dengan
akad
56
Musyarakah pada Bank Muamalat memiliki peringkat kedua setelah Murabahah dalam penyaluran pembiayaan dan pendapatan yang diterima. Grafik 4. 1 Komposisi Pembiayaan Murabahah dan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia Tahun 2013-2014 60 49.68
50
47.61
48.03
46.55 45.44
Persentase (%)
45.72 37.16
40
39.58
30
20
10
0 Murabahah
Musyarakah 2011
2012
2013
2014
Grafik diatas menunjukkan bahwa komposisi pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat tahun 2013-2014 mendekati komposisi pembiayaan Murabahah yakni hanya memiliki selisih sekitar 2%. Hal ini menunjukkan bahwa Bank Muamalat berani menyalurkan pembiayaan Musyarakah yang memiliki risiko yang lebih tinggi dalam penerapannya dibandingkan dengan pembiayaan Murabahah.
57
B. Penerapan akad Musyarakah pada Pembiayaan Produktif Bank Muamalat Indonesia 1. Implementasi Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia Pembiayaan Musyarakah pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) umumnya menggunakan jenis akad Syirkah ’Inan dimana antara bank dan nasabah bermitra dengan memberikan kontribusi dana untuk suatu usaha tertentu dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan, adapun porsi masing-masing pihak tidak harus sama baik dalam hal modal maupun bagi hasil. Konsep pembiayaan Musyarakah yang diterapkan pada produk pembiayaan produktif BMI terbagi menjadi dua, yaitu dengan konsep akad Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqisah.
Pada pembiayaan
Musyarakah, akad kerjasama terjadi dengan menggabungkan modal antara pihak bank syariah dan nasabah untuk suatu usaha tertentu dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan dan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal. Sedangkan pada pembiayaan
Musyarakah Mutanaqisah, akad
kerjasama dilakukan untuk kepemilikan suatu barang antara pihak bank syariah dan nasabah. Kerjasama ini secara bertahap akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak (bank) sementara pihak lain (nasabah) bertambah hak kepemilikannya melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain.
58
Pada penerapan pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah (MMQ), BMI dan nasabah melakukan kerjasama dalam kepemilikan suatu barang, kemudian untuk menghasilkan suatu usaha yang produktif dan menghasilkan
keuntungan,
BMI
menjadikan
aset
Musyarakah
Mutanaqisah sebagai obyek Ijarah. Selanjutnya, aset tersebut disewakan kepada nasabah mitra dengan nilai ujrah (fee) yang disepakati dan keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati pula dalam akad. Dalam hal ini, porsi bagi hasil yang diterima oleh bank merupakan pendapatan bank dan bagi hasil yang diterima nasabah kemudian akan digunakan oleh nasabah untuk mengambil alih kepemilikan bank secara bertahap setiap bulannya, sehingga dalam jangka waktu yang telah disepakati saat jatuh tempo kepemilikan aset sepenuhnya menjadi milik nasabah.40 Penerapan MMQ pada Bank Muamalat Indonesia sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah, disebutkan bahwa aset Musyarakah Mutanaqisah dapat diijarah-kan kepada syarik (nasabah). Dan dalam MMQ berlaku pula hukum sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, diantaranya:
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 40
59
a. Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad. b. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati dalam akad. c. Menanggung kerugian sesuai porsi modal. Pembiayaan ini diterapkan pada beberapa produk pembiayaan sesuai dengan kebutuhan nasabah, baik untuk keperluan modal kerja maupun investasi. Pembiayaan ini pula cenderung kepada pembiayaan proyek. Persyaratan untuk bisa menggunakan akad musyarakah umumnya harus memiliki pencatatan administrasi yang baik, memiliki cash flow usaha yang relatif stabil, nasabah telah aktif melakukan transaksi keuangan dan pembiayaan di BMI minimal 2 tahun, serta memiliki sistem informasi keuangan (pelaporan) guna menetapkan bagi hasil. Tabel 4.4 Penggunaan Akad Pembiayaan Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqisah AKAD MUSYARAKAH
KEGUNAAN MUSYARAKAH Modal Kerja Modal Kerja Koperasi/ Multifinance Modal Kerja Regular
MUTANAQISAH
√ √ √
Pembelian Properti Sumber : Bank Muamalat Indonesia
√ √
60
1) Pembiayaan Modal Kerja untuk Proyek Tertentu Modal kerja yang dimaksud adalah modal kerja atas proyek yang akan berlangsung dan belum muncul sebagai tagihan. Contoh apabila suatu proyek telah selesai dan kontraktor telah mengirimkan invoice kepada pihak pemberi pekerjaan (bowheer), maka Bank tidak dapat memberikan pembiayaan musyarakah kepada nasabah kontraktor tersebut atas proyek yang telah selesai. Pembiayaan musyarakah hanya dapat diberikan kepada proyek yang masih berjalan atau akan dikerjakan. Dan bagi hasil musyarakah harus berasal dari proyek/ obyek yang dibiayai. 2) Pembiayaan Modal kerja Koperasi/ Multifinance Pembiayaan Modal Kerja koperasi/multifinance adalah produk pembiayaan
yang
ditujukan
untuk
Lembaga
Keuangan
Mikro/Multifinance lainnya yang hendak meningkatkan pendapatan dengan memperbesar portfolio pembiayaannya kepada Nasabah atau anggotanya (end-user). Pembiayaan ini dapat menggunakan akad mudharabah atau musyarakah. Sebagai dasar bagi hasil, koperasi dan multifinance wajib memberikan laporan pendapatan kepada bank setiap bulan 3) Pembiayaan Modal Kerja Reguler Pembiayaan untuk modal kerja regular ditujukan atas usaha nasabah secara umum, dan tidak terkait proyek tertentu. Pembiayaan ini dapat
61
menggunakan akad musyarakah dan musyarakah mutanaqisah. Pada pembiayaan dengan akad musyarakah, obyek bagi hasil berasal dari keseluruhan
usaha
nasabah
yang
dibiayai.
Sedangkan
pada
musyarakah mutanaqisah digunakan untuk pembelian properti guna kepentingan usaha nasabah, seperti rumah, ruko, gudang. 4) Pembiayaan Properti Bisnis Pembiayaan Properti Bisnis adalah Pembiayaan yang disediakan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan akan pembelian Asset/Properti Bisnis sebagai tambahan investasi ataupun untuk Peremajaan/Renovasi dan Pembangunan Properti Bisnis baru diatas lahan milik nasabah. Jenis properti yang dapat dibeli antara lain ruko, kios, loss, gedung, dan gudang. 2. Proses Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis pada pihak Bank Muamalat41, umumnya proses pembiayaan dan pencairan yang dilakukan pada semua jenis pembiayaan sama, tergantung dengan kebutuhan nasabah dan kecocokan pembiayaan menggunakan akad musyarakah. Pada tahap awal nasabah mengajukan pembiayaan dan terjadi negosiasi dengan pihak A/M, kemudian A/M akan melihat pembiayaan apa yang cocok untuk diberikan kepada nasabah dan membuat usulan pembiayaan,
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 41
62
usulan tersebut akan dikomitekan ditingkat cabang atau area tergantung pada limitnya. Selanjutnya, bagian support pembiayaan melakukan kredit investigasi melalui BI checking dan taksasi jaminan, sedangkan bagian legal melakukan analisa yuridis seperti anggaran dasar perusahaan. Setelah itu usulan tersebut dikomitekan kepada branch manager yang memiliki wewenang, jika nilainya besar akan naik ke area atau pusat tergantung pada limitnya dan akan masuk pada bagian risk management dan compliance untuk direview dengan komite pembiayaan serta persetujuan direksi. Berikut tahapan proses pembiayaan secara rinci : a. Pengumpulan dan Verifikasi Data Pengumpulan dan verifikasi data calon nasabah dilakukan melalui tahapan inisiasi dan solisitasi. 1) Inisiasi -
Penetapan target pasar Dalam
menetapkan
target
market
Bank
perlu
memperhatikan Sektor Ekonomi yang memiliki prospek bisnis yang baik sehingga posisi Bank tergolong aman dan menguntungkan dalam membiayai sektor tersebut. Kriteria bisnis yang aman dan menguntungkan antara lain bisnis yang sedang tumbuh (sunrise industry), bisnis yang tidak terkena
63
resesi, bisnis yang didukung oleh regulasi pemerintah, dan bisnis yang mempunyai pasar yang jelas -
Penghimpunan Informasi Penghimpunan informasi dapat dilakukan dengan ta’aruf dan wawancara. Ta’aruf adalah proses awal perkenalan antara A/M dengan nasabah melalui proses wawancara. Dalam wawancara tersebut
A/M akan memperoleh data-data
sementara tentang kondisi nasabah pemohon pembiayaan dan A/M memeriksa ulang kembali kelengkapan dan kebenaran data. Dalam proses wawancara tersebut, diperlukan adanya data standar nasabah bagi setiap A/M yang ingin melakukan wawancara. Dan kemudian, dari data standar itu pula para A/M bisa mengambil kesimpulan secara tepat apakah permohonan pembiayaan tersebut dapat dilanjutkan atau ditolak. 2) Solisitasi Solisitasi adalah kegiatan dalam rangka memperoleh nasabah melalui proses mengunjungi dan mendapatkan informasi data calon nasabah. Hasil solisitasi disajikan dalam bentuk laporan kunjungan (Call Report/ On The Spot). Laporan Kunjungan (Call Report/ On The Spot (OTS)) adalah laporan kunjungan ke lokasi usaha nasabah yang dibuat oleh Account Manager (AM) dan
64
diketahui atasannya, sebagai dasar untuk proses pembiayaan selanjutnya. Adapun standar informasi yang diperlukan terdiri dari informasi
umum, informasi
kebutuhan
nasabah, informasi
kemampuan membayar kembali, informai jaminan, dan informasi hubungan perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Tabel 4.5 Sumber Data dan Informasi yang Diperlukan dalam Pelaksanaan OTS
SUMBER DATA
INFORMASI YANG DIPERLUKAN a) Kas
1) Kantor Nasabah
b) Persediaan c) Harta Tetap d) Piutang Dagang e) Hutang Dagang f) Keadaan Pegawai a) Persediaan
2) Pabrik / Toko / Lokasi Usaha / Lokasi Proyek
b) Harta Tetap c) Fasilitas Produksi / Usaha d) Fasilitas Penyimpanan e) Keadaan Proyek (konstruksi) f) Hasil Produksi Dagangan
/
Barang
g) Keadaan Pegawai a) Piutang/ Hutang Dagang 3) Kantor / Pabrik / Toko dari Pemasok / Pembeli / Bowheer
b) Volume penjualan / pembelian c) Syarat-syarat
penjualan/
65
pembelian d) Waktu penyerahan barang e) Waktu dan riwayat pembayaran f) Tingkat kepuasan g) SPK / kontrak h) Tingkat penyelesaian pekerjaan i) Kuantitas dan kualitas peralatan a) Lokasi dan plotting 4) Jaminan
b) Kondisi c) Bukti Kepemilikan d) Ijin e) Pemanfaatan f) Penghuni g) Kapasitas (untuk mesin) h) Umur teknis (untuk mesin) i) Harga Pasar.
Sumber : Bank Muamalat Indonesia b. Pengajuan Memorandum Usulan Pembiayaan (MUP) Pengajuan Memorandum Usulan Pembiayaan (MUP) dilakukan oleh
account
manager
kepada
Komite
Pembiayaan,
karena
pembiayaan yang diberikan tergantung kepada pengambilan keputusan komite yang menyatakan setuju atau tidak setuju. Keputusan ini dapat dilihat melalui memorandum pembiayaan. Memorandum pembiayaan adalah suatu analisa yang menggambarkan tentang kualitas permintaan baru yang diajukan nasabah.
66
Dalam melakukan analisa kelayakan pembiayaan ditentukan oleh kelayakan
usaha
nasabah
sebagai
sumber
utama
pelunasan
pembiayaan (first way out) dan kelayakan agunan sebagai sumber pelunasan kedua (second way out) apabila sumber pelunasan yang utama tidak berjalan. Proses analisa kelayakan usaha dilakukan dengan menggunakan beberapa tata cara analisa yang meliputi: 1) Analisa aspek-aspek perusahaan 2) Analisa laporan keuangan 3) Evaluasi kebutuhan dana/pembiayaan 4) Analisa kesuaian aspek syariah 5) Struktur fasilitas pembiayaan. c. Keputusan Pemberian Pembiayaan Keputusan pembiayaan dilakukan setelah dilakukannya review oleh beberapa unit seperti unit Support pembiayaan, Branch Manager, dan Komite Pembiayaan atas MUP yang diajukan. Keputusan pembiayaan dilakukan oleh Branch Manager dan Komite Pembiayaan tergantung pada limit dan case pembiayaan. Keputusan pembiayaan oleh Komite Pembiayaan dapat dilakukan dua cara yaitu rapat komite dan sirkulasi. d. Realisasi Keputusan Pada tahap ini, A/M melaksanakan keputusan KPP dengan melakukan penyampaian Surat Persetujuan Pembiayaan (SPP) kepada
67
nasabah,
penyampaian
dokumentasi
dan
administrasi,
dan
penandatanganan akad pembiayaan serta jaminan yang diberikan nasabah. e. Pemantauan Nasabah Pemantauan nasabah dilakukan pasca pencairan pembiayaan. Pemantauan yang dilakukan antara lain pemantauan usaha nasabah, jaminan, pembinaan nasabah, dan pemantauan pembayaran nasabah. f. Pelunasan Pembiayaan Pada Bank Muamalat, apabila nasabah tersebut telah selesai menunaikan kewajibannya terhadap fasilitas pembiayaan yang telah diterima dan menyelesaikan seluruh administrasinya, maka bank mempunyai kewajiban untuk mengembalikan jaminan nasabah yang telah diagunkan kepada pihak bank yang dijadikan sebagai persyaratan untuk mendapatkan fasilitas bank.
68
Gambar 4.1 Skema Proses Pembiayaan Musyarakah BMI Calon Nasabah
Form Permohonan Nasabah
Account Manager
Unit Support Pembiayaan
Komite Pembiayaan
Risk Assessment
Review FPN dan Pemberian Keputusan
Paraf Form Permohonan Pembiayaan (FPP) dan tanda tangan Laporan Kunjungan Nasabah (LKN)
1. Inisiasi 2. Sosilitasi
Melengkapi dokumen 1. Legalitas 2. Jaminan 3. Data Keuangan 1. Melakukan trade checking 2. BI checking 3. DHN 4. Taksasi 5. Analisa Laporan Keuangan 6. Analisa Rek. Koran
FRO/ RMD
Branch Manager
Verifikasi hasil trade checking 1. BI checking 2. DHN 3. Taksasi 4. Analisa Yuridis 5. Opini Legal
Analisa Kelayakan Pembiayaan
Penerimaan SPP
Pembuatan Memorandum Usulan Pembiayaan
Review FPN (Form Pemeringkatan Nasabah)
Penerbitan SPP
Review SPP
Penyampaian SPP
Review FPN dan Pemberian Keputusan di Cabang
Penandatanganan SPP
69
3. Kendala Penerapan Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia Dalam proses pembiayaan musyarakah, BMI memiliki beberapa kendala dalam penerapannya. 42 Pertama, pada sisi nasabah, umumnya secara administrasi manajemennya masih kurang dan munculnya masalah moral hazard yaitu nasabah terkadang tidak membuat laporan realisasi pendapatan atau melakukan penyelewengan dengan membuat laporan yang tidak sesuai dengan realisasi pendapatannya. Selain itu, budaya nasabah yang hanya meminjam uang kemudian menyetor pembayaraan masih melekat dan belum adanya kesadaran dalam membuat laporan, terutama bagi nasabah yang tidak mempunyai bagian khusus manajemen keuangan. Kedua, pada sisi bank, diantaranya terkait dengan teknologi, pembiayaan musyarakah dengan prinsip bagi hasil mempunyai jumlah pendapatan yang tak menentu, namun sistem tidak bisa secara otomatis mengatur naik/ turunnya jumlah tersebut yang berarti bank harus melakukan pendebetan manual. Dengan demikian, bank lebih banyak menggunakan akad Musyarakah Mutanaqisah, karena ada barang yang disewakan dan jumlah fee tetap, sedangkan pada Musyarakah biasa pendapatan bank tergantung pada realisasi yang sifatnya fluktuatif. Dalam
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 42
70
hal ini bank pula harus memperhatikan fluktuasi pendapatan tersebut terkait dengan manajemen likuiditas dan perhitungan kolektibilitas. Ketiga, pada sisi kolektibilitas, pembiayaan menggunakan akad musyarakah dan mudharabah memiliki sistem kolektibilitas yang berbeda dengan akad lainnya. Pada pembiayaan musyarakah perhitungan kolektibilitas dihitung secara kumulatif sesuai periode jadwal angsuran, hal ini sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi BUS dan UUS Pasal 12 Ayat (2). Bank harus teliti dalam perhitungan sistem kolektibilitas, jika tidak maka bank akan mendapat denda dari BI atau protes dari nasabah karena hal tersebut berkaitan dengan posisi nasabah di BI checking. C. Analisis Risiko Pembiayaan Musyarakah Risiko Kredit/ Pembiayaan merupakan risiko yang timbul akibat kegagalan counterparty atau debitur dalam memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo. Untuk menganalisis risiko kredit pembiayaan musyarakah pada Bank Muamalat Indonesia, berikut ini adalah grafik yang menunjukan tingkat risiko pembiayaan menggunakan rasio Non Performing Financing (NPF), yakni NPF Gross dan NPF Net pembiayaan musyarakah Bank Muamalat Indonesia periode 2011-2014
71
Grafik 4. 2 Non Performing Financing (NPF) Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia Periode 2011-2014 8 7.12
7.07
7
Persentase (%)
6 5 4
4.87 4.55
NPF Gross
3.62
NPF Net
3 2.27
2.26 1.97
2 1 0 2011
2012
2013
2014
Sumber: Annual Report Bank Muamalat Indonesia Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa NPF Gross dan NPF Net mengalami penurunan pada tahun 2012 dan meningkat berturut-turut pada tahun 2013 dan 2014. NPF Gross pembiayaan musyarakah meningkat secara drastis pada tahun 2013 menjadi 7,07% dan 7,12% pada 2014. Meskipun demikian, NPF Net Bank Muamalat yang menunjukkan kualitas pembiayaan macet masih berada dibawah batas maksimum 5% yakni dengan persentase 2,27% pada 2013 dan 4,87% pada 2014. Pada tahun 2013 dan 2014, NPF Gross dan NPF Net memiliki selisih yang cukup besar, khususnya pada 2013. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas pembiayaan musyarakah Bank Muamalat pada golongan kurang lancar,
72
diragukan, dan macet memiliki kualitas pembiayaan yang kurang sehat dan tingkat risiko pembiayaan yang tinggi. Berikut grafik kualitas pembiayaan yang menggambarkan rincian kualitas pembiayaan musyarakah Bank Muamalat periode 2011-2014 yang akan mempermudah pemahaman kita. Grafik 4. 3 Kualitas Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Periode 2011-2014 100 90
92.51
91.70
85.61 76.95
80
Persentase (%)
70 Lancar
60
DPK 50
Kurang Lancar
40
Diragukan
30
Macet 18.00
20 10.69
10 0
3.21 0.31 0.17
2011
5.50 0.12 0.091.78
2012
5.89 2.14 0.04
2013
0.24
1.11 0.99 2.95
2014
Dari grafik diatas terlihat bahwa kualitas pembiayaan semua golongan memiliki persentasi yang fluktuatif. Golongan lancar memiliki persentase terbesar, yang kemudian diikuti dengan golongan dalam perhatian khusus (DPK) dengan persentase 10,69% pada 2011, 5,5% pada 2012, 5,89 pada 2013, dan 18% pada 2014. Pada tahun 2014, pembiayaan dengan golongan lancar menurun cukup drastis menjadi 76,95% dan masing-masing kualitas pembiayaan bermasalah lainnya meningkat. Dengan demikian, dapat
73
dikatakan bahwa pengelolaan pembiayaan musyarakah Bank Muamalat masih kurang baik dan diperlukan strategi yang lebih baik untuk mengatasi pembiayaan, baik pembiayaan yang mulai bermasalah maupun sedang bermasalah agar tidak berpotensi menjadi pembiayaan macet. Faktor utama yang mempengaruhi tingginya tingkat risiko pembiayaan pada Bank Muamalat berasal dari faktor internal dan eksternal, antara lain : a. Faktor Internal, disebabkan oleh kurangnya monitoring reguler yang dilakukan pihak bank terhadap usaha nasabah yang telah dibiayai dan kualitas pembiayaan yang telah disalurkan b. Faktor eksternal 1) Anggapan nasabah pembiayaan bagi hasil berarti juga bagi rugi yang menyebabkan nasabah tidak memaksimalkan usahanya untuk memperoleh keuntungan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan (moral hazard) berupa kelalaian dalam mengelola usaha nasabah. Manajemen pengelolaan usaha yang kurang baik menyebabkan usaha tidak berjalan seperti yang diharapkan dan menurunnya pendapatan usaha, sehingga nasabah akan sulit memenuhi kewajiban pembiayaannya kepada bank. 2) Business Risk, yang berasal dari gagalnya usaha nasabah. Gagalnya usaha nasabah dapat dipengaruhi oleh market risk, collection risk dan force majeur. Pada pembiayaan musyarakah, bank akan ikut menanggung kerugian dari modal yang
74
diinvestasikan jika usaha nasabah mengalami kerugian. Usaha nasabah merupakan first way out pembiayaan karena pendapatan utama bank berasal dari pendapatan usaha yang dibiayai. Tingginya risiko pembiayaan yang dimiliki Bank Muamalat dapat berpengaruh pada pendapatan yang akan diperoleh. Berikut grafik yang menggambarkan pendapatan musyarakah Bank Muamalat periode 2011-2014 Grafik 4. 4 Pendapatan Bagi Hasil Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Periode 2011-2014 Pendapatan Pembiayaan Musyarakah 2,500,000
dalam jutaan rupiah
2,130,879 2,000,000 1,648,390 1,500,000 1,038,094 1,000,000
782,617
500,000 0 2011
2012
2013
2014
Pendapatan Pembiayaan Musyarakah
Dari grafik diatas menunjukkan bahwa pendapatan bagi hasil pembiayaan musyarakah periode 2011-2014 selalu meningkat setiap tahunnya. Perolehan pendapatan diperoleh sebesar Rp 782,6 miliar pada 2011, Rp 1,03 triliun pada 2012, Rp 1,64 triliun pada 2013, dan Rp 2,13 pada 2014. Dapat
disimpulkan
bahwa
tingginya
tingkat
risiko
pembiayaan
musyarakah, NPF Gross Bank Muamalat disebabkan oleh kurangnya
75
monitoring reguler yang dilakukan dan anggapan nasabah pembiayaan bagi hasil berarti bagi rugi yang menyebabkan nasabah tidak memaksimalkan usahanya untuk memperoleh keuntungan, sehingga tidak terlalu berpengaruh pada pendapatan musyararakah Bank Muamalat. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan macet pada pembiayaan masih dapat dikelola dengan baik. D. Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia Risiko merupakan suatu potensi timbulnya kerugian yang dialami oleh bank atau suatu perusahaan yang tidak diharapkan terjadi sebelumnya. Bank Syariah dalam menjalankan kegiatan usaha tidak terlepas dari risiko yang dihadapinya. Risiko kredit/pembiayaan merupakan risiko yang timbul akibat kegagalan counterparty atau debitur dalam memenuhi kewajibannya saat jatuh tempo. Risiko kredit ini menjadi sumber risiko utama yang umumnya menyebabkan gagalnya usaha bank. Beberapa penyebab risiko kredit yang muncul pada pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Indonesia diantaranya berkaitan dengan investasi, operasional, dan kepatuhan pembiayaan. Berikut risiko-risiko yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia, antara lain : 1. Risiko Investasi Dalam pembiayaan Musyarakah, bank memiliki risiko investasi dimana bank akan ikut menanggung kerugian dari modal yang diinvestasikan jika usaha nasabah mengalami kerugian atau tidak
76
mendapatkan keuntungan sesuai yang diproyeksikan bank. Risikorisiko yang terjadi, antara lain : 43 a. Business Risk (Risiko bisnis yang dibiayai) 1. Kondisi usaha nasabah menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal : a) Market Risk. Risiko pasar merupakan risiko gabungan yang terbentuk akibat perubahan suku bunga, perubahan nilai tukar serta hal lain yang mempengaruhi harga pasar saham, ekuitas, maupun komoditas.44 Contoh kasus yang dihadapi Bank Muamalat adalah ketika suatu saat usaha batu bara sedang bagus di pasaran namun pada suatu waktu tertentu usaha pada sektor batu bara terjadi penurunan permintaan dan penurunan harga komoditas yang menyebabkan pendapatan perusahaan pun menurun dan bank pun ikut mengalami kerugian. b) Collection risk, yaitu risiko yang terjadi ketika debitur mengalami kendala dalam melakukan penagihan piutang usaha pada costumer. Contohnya ketika nasabah memiliki omset penjualan, namun banyak pembeli yang menunggak. Hal ini akan membuat nasabah terhambat memperoleh Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 44 Kasidi, Manajemen Risiko, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 66 43
77
pendapatan dan bank pun tidak dapat memperoleh pendapatan bagi hasilnya 2. Adanya pembatalan/pemutusan kontrak dari pihak bowheer (pemberi pekerjaan/proyek). Pembatalan proyek dapat terjadi karena perubahan regulasi/kebijakan pemerintah yang tidak mendukung proyek tersebut dijalankan. Misalnya PLN membuat usaha pusat pembangkit listrik tenaga air, kemudian tiba-tiba ketika proyek berjalan bowheer PLN membatalkan karena ada regulasi pemerintah yang tidak menggunakan itu lagi dan terpaksa kontraknya terputus 3. Force majeure (keadaan memaksa) yakni keadaan diluar kuasa para pihak yang bersangkutan seperti bencana alam, kebakaran, dan kerusuhan. Misalnya ketika proyek sedang dijalankan terjadi musibah gempa atau kerusuhan menyebabkan proyek tidak bisa dijalankan. b. Character Risk (Risiko karakter nasabah). Risiko karakter nasabah yang buruk sering terjadi setelah adanya dropping (pencairan) pembiayaan. Dalam hal ini, nasabah melakukan penyimpangan (moral hazard) dari apa yang telah disepakati saat akad. 1) Nasabah tidak amanah melaporkan pendapatan usahanya. Nasabah sebagai pengelola usaha tentunya memiliki informasi penuh mengenai usaha yang dibiayai daripada informasi yang
78
dimiliki bank. Demi mendapatkan profit yang lebih besar, nasabah dalam bermitra terkadang berperilaku menyimpang dengan memberikan laporan pendapatan usaha yang tidak sesuai dengan perolehan profit nasabah sebenarnya. Hal tersebut akan merugikan pihak bank karena mempengaruhi besar kecilnya keuntungan yang diperoleh bank. Misalnya untung
nasabah
sebenarnya
50
juta,
namun
nasabah
melaporkan untung yang didapat hanya 30 juta, dengan demikian bank mendapatkan keuntungan lebih kecil dari yang seharusnya diperoleh. 2) Nasabah tidak melaporkan pendapatan usahanya. Hal ini menunjukkan
bahwa
nasabah
tidak
melaksanakan
kewajibannya sesuai kesepakatan saat akad. Pada pembiayaan musyarakah nasabah diwajibkan untuk melaporkan realisasi pendapatannya kepada bank setiap bulan untuk menentukan bagi hasilnya, namun nasabah terkadang lalai atau bahkan tidak memberikan laporan pendapatannya kepada bank. Dengan demikian, bank tidak dapat menentukan bagi hasil yang diterima oleh bank atau bahkan bank akan kehilangan proyeksi pendapatannya. 3) Kemampuan nasabah mengelola usaha. Pengelolaan internal perusahaan seperti manajemen organisasi, teknis produksi, dan
79
keuangan sangat berpengaruh pada pendapatan yang akan diperoleh.
Jika
pengelolaan
tidak
dilakukan
secara
professional, maka kinerja perusahaan akan menurun dan menyebabkan rendahnya profit yang diperoleh nasabah dan bank. 2. Risiko Operasional Risiko operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadiankejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Risikorisiko yang dihadapi BMI, antara lain : a. Pilihan buruk (adverse selection) dimana karyawan tidak mengetahui dengan jelas mengenai usaha dan karakter nasabah yang menyebabkan karyawan membuat pilihan buruk dalam penyaluran
pembiayaan
dan
menimbulkan
pembiayaan
bermasalah. Kesalahan dalam proses pemberian pembiayaan oleh pihak bank dapat disebabkan oleh kurangnya kompetensi karyawan mengenai usaha yang diajukan nasabah dan karyawan percaya begitu saja dengan informasi usaha yang diberikan oleh nasabah tanpa mengecek terlebih dahulu atas kebenaran informasi tersebut.
80
b. Kurangnya pengawasan terhadap kinerja keuangan dan manajemen usaha nasabah. Pengawasan pembiayaan merupakan hal yang penting setelah dropping. Jika pengawasan yang dilakukan bank tidak maksimal, risiko penyimpangan maupun permasalahan dalam pembiayaan akan lebih besar dan menyebabkan nasabah gagal memenuhi pembayaran. c. Kesalahan dalam pendebetan bagi hasil. Dalam pembiayaan musyarakah, bank diharuskan melakukan pendebetan atas bagi hasil yang menjadi hak bank karena jumlah pendapatan yang diperoleh bank jumlahnya tidak tetap yakni sesuai dengan pendapatan yang diperoleh pada usaha nasabah. Risiko kesalahan pendebetan dapat muncul karena pendebetan dilakukan manual. Jika risiko ini terjadi, maka pihak dari bank maupun nasabah akan dirugikan. Jumlah pendebetan yang kurang akan merugikan pihak bank karena pendapatan bank menjadi berkurang, dan sebaliknya. 3. Risiko Kepatuhan Risiko kepatuhan merupakan risiko yang ditimbulkan akibat tidak mematuhi atau tidak melaksanakan aturan yang telah ditetapkan, baik peraturan internal maupupun eksternal bank. Adapun risiko yang dihadapi berkaitan dengan kepatuhan, antara lain : a. Terjadi kecurangan (fraud) antara karyawan dan nasabah sehingga pembiayaan dapat dengan mudah diproses dan dicairkan tanpa
81
melalui proses pembiayaan yang rumit. Dalam hal ini terlihat bahwa adanya karyawan tidak mematuhi prosedur pembiayaan yang ditetapkan oleh bank. Hal ini akan menyebabkan risiko pembiayaan jika nasabah tersebut ternyata tidak kompeten dalam mengelola usahanya. E. Proses Manajemen Risiko Bank Muamalat Indonesia Manajemen risiko Bank Muamalat Indonesia adalah proses membangun sistem kontrol untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kerugian atau dapat didefinisikan sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang sistematis yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.45 Khusus pada proses manajemen risiko pembiayaan, Bank Muamalat Indonesia menerapkan sistem dimana keputusan pembiayaan diambil oleh unit bisnis bersama-sama dengan Risk Management berdasarkan prinsip Four Eye Principles. Prinsip Four Eye Principles merupakan proses pembiayaan yang memisahkan kewenangan diantara unit-unit yang terlibat proses pembiayaan agar pemberian pembiayaan bersifat objektif. Dalam proses pembiayaan, BMI tidak hanya melibatkan satu pihak dalam prosesnya. Pihakpihak yang terlibat memiliki limit kewenangan tertentu dalam memberikan keputusan pembiayaan. Dan pihak yang terlibat tersebut terdiri dari account manager, unit support pembiayaan, branch manager/area manager, unit risk 45
Annual Report Bank Muamalat Indonesia, 2013
82
management, legal, dan komite pembiayaan. Selain itu dalam prosedur pengajuan dan penilaian pembiayaan, BMI menggunakan prinsip 5C+1S (Character, Capacity, Capital, Collateral, daan Condition of Economic+ Syariah).46 Dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan bank syariah bagian marketing harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah. Di dunia perbankan syariah dikenal dengan 5C+1S, yaitu :47 1) Character Yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon penerima pembiayaan dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat memenuhi kewajibannya 2) Capacity Yaitu penilaian secara subyektif tentang kemampuan penerima pembiayaan untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi penerima pembiayaan di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti took, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 11 Mei 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 47 Djawahir Hejazziey, Perbankan Syariah dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Deepublish, 2014, Ed.1, Cet.1), h. 140-141 46
83
3) Capital Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon penerima pembiayaan yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh rasio financial dan penekanan pada komposisi modalnya 4) Collateral Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi, maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban. 5) Condition Bank Syariah harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon penerima pembiayaan. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha calon penerima pembiayaan. 6) Syariah Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan bahwa usaha yang akan dibiayai benar-benar usaha yang tidak melanggar syariah sesuai dengan fatwa DSN “Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah.”
84
Berikut proses manajemen risiko pembiayaan yang dilakukan Bank Muamalat Indonesia, antara lain : 1. Identifikasi Risiko Identifikasi risiko merupakan rangkaian proses pengenalan yang seksama atas risiko dan komponen risiko yang melekat pada suatu aktivitas atau transaksi yang diarahkan kepada proses pengukuran dan pengelolaan risiko yang tepat. Proses ini dilakukan BMI melalui tahapan inisiasi dan sosilitasi oleh Account Manager (A/M). Pada tahapan inisiasi A/M melakukan penetapan target pasar dan penghimpunan informasi nasabah. Penetapan target pasar dilakukan dengan memperhatikan kriteria bisnis dan sektor ekonomi yang aman dan cocok menggunakan akad pembiayaan musyarakah. Kriteria bisnis yang aman diantaranya bisnis yang sedang tumbuh, bisnis yang tidak terkena resesi, bisnis yang didukung regulasi pemerintah, dan bisnis yang mempunyai pasar yang jelas. Setelah
penetapan
target,
A/M
melakukan
penghimpunan
informasi melalui proses ta’aruf dengan nasabah. Ta’aruf merupakan proses perkenalan antara A/M dan nasabah dengan wawancara. A/M akan memperoleh data-data sementara tentang kondisi nasabah pemohon pembiayaan dan memeriksa ulang kembali kelengkapan dan kebenaran data-data tersebut.
85
Selanjutnya pada tahapan sosilitasi, yaitu proses mengunjungi dan mendapatkan informasi data calon nasabah. Dalam hal ini, A/M melakukan trade checking untuk mendapatkan informasi mengenai eksistensi perusahaan dan mendapatkan gambaran operasional bisnis secara keseluruhan termasuk manajemen, laporan-laporan keuangan perusahaan, dan prospek masa depan perusahaan. Selain itu, A/M harus bisa mendapatkan informasi mengenai rekan bisnis perusahaan baik pembeli/supplier/bowheer ataupun pesaing perusahaan, informasi kemampuan modal, informasi kemampuan membayar kembali, dan informasi mengenai jaminan sebagai second way out. b. Pengukuran Risiko Pengukuran risiko merupakan rangkaian proses yang dilakukan untuk memahami signifikansi dari akibat yang ditimbulkan suatu risiko baik secara individual maupun portofolio, terhadap tingkat kesehatan dan kelangsungan usaha. Pada proses ini BMI melakukan pengukuran risiko dengan dilakukannya kredit investigasi atau analisis kelayakan pembiayaan oleh A/M dan unit support pembiayaan. Kredit investigasi dilakukan dengan melakukan proses analisa kelayakan pembiayaan yang meliputi analisa aspek-aspek perusahaan, analisa laporan keuangan, evaluasi kebutuhan pembiayaan, analisa kesesuaian aspek syariah, dan struktur fasilitas pembiayaan. Dalam proses ini, sistem pengukuran risiko mempertimbangkan karakteristik
86
setiap jenis transaksi risiko pembiayaan (modal dan proyeksi pendapatan bank), kondisi keuangan counterparty, persyaratan dalam akad pembiayaan seperti jangka waktu dan tingkat bagi hasil, aspek jaminan/ agunan, potensi terjadinya kegagalan membayar (default), dan kemampuan bank untuk menyerap potensi kegagalan (default). Untuk menilai potensi terjadinya default, penilaian dilakukan oleh unit support pembiayaan antara lain melalui BI checking, taksasi jaminan, verifikasi data, analisa yuridis, dan opini legal. Selain itu, BMI menggunakan sistem internal customer rating untuk melakukan screening atas nasabah pembiayaan segmen corporate sesuai internationally best practice dan menggunakan sistem scoring untuk melakukan screening atas nasabah pembiayaan segmen Retail, Micro, dan Consumer yang dikembangkan secara internal sesuai kondisi nasabah. c. Pemantauan risiko Pemantauan (monitoring) dilakukan untuk memantau kondisi counterparty pada seluruh portofolio pembiayaan sejak pembiayaan diberikan
(dropping)
sampai
dengan
pelunasan
pembiayaan.
Pemantauan risiko yang dilakukan BMI terbagi menjadi dua cara,
87
yaitu secara administratif (desk monitoring) dan lapangan (site monitoring).48 Pemantauan pembiayaan secara administratif dilakukan melalui berbagai instrumen seperti laporan-laporan perkembangan perusahaan, laporan keuangan (financial statement), mutasi rekening nasabah pembiayaan,
dan
kelengkapan
dokumen
pembiayaan.
Pada
pembiayaan musyarakah, instrument laporan keuangan menjadi instrumen utama dalam pemantauan karena terkait dengan bagi hasil yang diperoleh bank. Sedangkan
site
monitoring,
merupakan
pemantauan
yang
dilakukan secara langsung dengan kunjungan lokasi. Tujuannya adalah untuk melihat kondisi di lapangan yang meliputi aspek usaha, jaminan kemajuan
proyek,
mendeteksi
permasalahan
nasabah
dalam
menjalankan bisnisnya, dan menilai kemampuan manajemen nasabah. d. Pengendalian risiko Pelaksanaan
proses
pengendalian
risiko
dilakukan
untuk
mengelola risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengelolaan risiko BMI diantaranya dilakukan dengan penyusunan kebijakan dan pedoman manajemen risiko, evaluasi atas metodologi
pengukuran
parameter
profil
risiko,
peningkatan
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 48
88
kompetensi sumber daya manusia dan terus membangun risk awareness culture, serta peningkatan risk management division dalam proses bisnis. F. Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat Tingginya
tingkat
risiko
pembiayaan
musyarakah
membutuhkan
pengelolaan risiko yang lebih baik untuk meminimalisir risiko pembiayaan. Berikut upaya-upaya mitigasi risiko pembiayaan musyarakah yang telah diterapkan Bank Muamalat Indonesia, antara lain : a. Penetapan limit segmen pembiayaan dan syarat-syarat tertentu dalam proses pemberian pembiayaan Pada penyaluran pembiayaan dengan akad musyarakah BMI menetapkan penyaluran pembiayaan kepada tiga segmen, yaitu segmen Retail (100juta - <5 miliar), Commercial (5 miliar- 50 miliar), dan Corporate (>50 miliar). Bank Muamalat tidak menyalurkan pembiayaan langsung pada segmen mikro karena dengan akad musyarakah,
nasabah
diwajibkan
untuk
memberikan
laporan
pendapatan setiap bulan guna menetapkan bagi hasil, sedangkan pada pengusaha mikro umumnya masih banyak yang mengalami kesulitan dalam membuat laporan keuangan dan umumnya masih belum bankable untuk diberikan pembiayaan.49
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 49
89
Meskipun BMI tidak menyalurkan pembiayaan mikro secara langsung dengan akad musyarakah, BMI menyalurkan pembiayaan tersebut melalui lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang ingin memperbesar portofolio pembiayaannya seperti BPRS, BMT dan multi finance lainnya dengan pola executing yakni pihak bank terlepas dari end user/ anggota lembaga keuangan mikro. Selain penetapan segmen, dalam pembiayaan musyarakah BMI menetapkan syarat tertentu dalam proses pengikatan pembiayaan, diantaranya usaha yang akan dibiayai harus memiliki cash flow yang stabil pada transaksi keuangannya, memiliki kemampuan membuat laporan keuangan, memiliki laporan keuangan audited, memiliki mutasi rekening di BMI, telah aktif melakukan transaksi keuangan dan pembiayaan minimal selama 2 tahun khusus untuk pembiayaan dengan tujuan modal kerja.50 Pada umumnya BMI cenderung menyalurkan pembiayaan musyarakah untuk pembiayaan proyek yang sedang berjalan ataupun yang akan berjalan. BMI mensyaratkan bahwa proyek tersebut harus memiliki underlying kontrak yang jelas, bowheer diharapkan merupakan suatu perusahaan atau badan yang kredibel dan standing di
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia 50
90
market, dan nasabah pun harus sudah memiliki pengalaman dalam proyek tersebut.51 Menurut analisis penulis, penetapan limit segmen pembiayaan dengan tidak menyalurkan pembiayaan ke segmen mikro dalam pemberian pembiayaan musyarakah, memang sebaiknya dilakukan karena bank diharuskan menyalurkan pembiayaan kepada nasabah bankable. BMI juga telah mensyaratkan bahwa bisnis yang dibiayai merupakan bisnis yang mempunyai pasar yang jelas dan mempunyai cash flow stabil. Dengan demikian, upaya tersebut dapat mengurangi risiko kerugian yang akan timbul dari pembiayaan dan dapat memberikan tingkat prediksi pendapatan yang relatif akurat (highly predictable income). b. Evaluasi mendalam pada usaha dan karakter nasabah yang dibiayai Pada pembiayaan musyarakah, pengikatan pembiayaan yang utama (first way out) terletak pada usaha yang dibiayai karena sumber pendapatan utama bank berasal dari usaha yang dibiayai. Dalam hal ini, pihak bank harus mengevaluasi secara mendalam usaha dan karakter nasabah yang akan dibiayai tersebut melalui prosedur yang telah ditetapkan.
51
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Untung Rofian Toni, Relationship Manager, 20 Mei 2015, Bank Muamalat Indonesia
91
Dalam proses pemberian pembiayaan musyarakah, BMI tidak begitu saja menyalurkan pembiayaan dengan akad tersebut. Penetapan pembiayaan dengan akad musyarakah ditetapkan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan nasabah, kemudian jika cocok untuk ditetapkan dengan akad musyarakah, bank akan mempertimbangkannya melalui proses analisis
kelayakan
pembiayaan
karena
pembiayaan
dengan
musyarakah ini terdapat hubungan kemitraan yang menuntut adanya saling percaya yang tinggi yang berdampak pada bagi hasil yang akan diperoleh. Untuk
mengevaluasi
usaha
dan
karakter
nasabah,
BMI
menggunakan prinsip Know Your Customer melalui konsep 5C dan melakukan peninjauan langsung on the spot ke tempat usaha nasabah. Dengan demikian, bank dapat melihat dan membandingkan secara langsung dengan apa yang dijelaskan oleh nasabah disaat wawancara awal. Jika data yang diperoleh berbeda dengan kondisi fakta dilapangan, maka tentu ada indikasi kecurangan.52 Dengan penetapan syarat bahwa nasabah telah aktif melakukan transaksi keuangan dan pembiayaan minimal selama 2 tahun, hal ini juga dapat membantu dalam proses analisis kelayakan pembiayaan untuk mengevaluasi secara mendalam mengenai perkembangan usaha
52
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Untung Rofian Toni, Relationship Manager, 20 Mei 2015, Bank Muamalat Indonesia
92
dan karakter nasabah. Dengan demikian, melalui mutasi rekening perusahaan
yang
mencerminkan
dimiliki
80%
nasabah
pendapatan
tersebut
usaha
dan
biasanya terlihat
akan riwayat
kolektibilitas pembiayaan perusahaan di BMI. Menurut analisis penulis, evaluasi mendalam mengenai usaha dan karakter nasabah pembiayaan musyarakah merupakan tahap penting pembiayaan sebelum adanya pencairan pembiayaan. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya salah pilih (adverse selection) yang akan menimbulkan pembiayaan bermasalah dan berdampak pada risiko pembiayaan. Karena begitu dana yang dikelola oleh nasabah, maka akses informasi bank terhadap usaha nasabah menjadi terbatas dan akan terjadi asymmetric information dimana nasabah sebagai pengelola usaha mengetahui berbagai informasi yang tidak diketahui oleh bank. c. Pengikatan jaminan (underlying asset) Pihak bank dalam menyalurkan pembiayaan dengan prinsip kemitraan seperti Musyarakah, tentu harus berhati-hati dan tidak bisa percaya begitu saja kepada nasabah. Jaminan pada pembiayaan musyarakah merupakan second way out atas terjadinya gagal bayar ketika telah dilakukan upaya evaluasi ulang pembiayaan, nasabah sudah tidak memiliki usaha dan nasabah sudah tidak kooperatif dalam menyelesaikan pembiayaan.
93
Pada
pembiayaan
Musyarakah,
bank
menetapkan
bahwa
diharuskan adanya jaminan berupa fixed asset dan personal guarantee 53 , walaupun pada umumnya jaminan dapat berupa fixed asset (tanah, bangunan), movable asset (mesin, kendaraan), jaminan tidak bergerak lainnya (persediaan barang, chessy/ tagihan, dan deposito) ataupun personal guarantee. Bank Muamalat menetapkan collateral coverage ratio minimal 100%, yang berarti nilai jaminan minimal sama dengan nilai fasilitas pembiayaan yang diberikan bank. Jika dirincikan lebih lanjut, collateral coverage ratio setiap segmen memiliki rasio yang berbeda. Pada segmen retail pembiayaan modal kerja dan investasi minimal rasio sebesar 100%, sedangkan pada segmen komersial dan korporat minimal sebesar 100 % untuk investasi dan 50% untuk pembiayaan modal kerja. Menurut analisis penulis, pengenaan jaminan pada pembiayaan Musyarakah merupakan salah satu incentive-compatible constrains berupa collateral yang ditetapkan Bank Muamalat. Pada pengenaan jaminan berupa fixed asset akan mencegah nasabah pengelola dana melakukan penyelewengan (moral hazard) karena jaminan yang sudah diberikan dapat menjadi harga dari penyelewengan perilakunya,
53
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Untung Rofian Toni, Relationship Manager, 20 Mei 2015, Bank Muamalat Indonesia
94
sedangkan jaminan berupa personal guarantee menjadi penjamin atas character risk yang dilakukan nasabah. Dengan demikian, jaminan dapat digunakan bank sebagai pengganti atas gagalnya nasabah memenuhi kewajiban pembiayaan. d. Sistem bagi hasil Revenue Sharing Bagi hasil merupakan keuntungan yang didapat bank melalui pembiayaan musyarakah. Besar kecilnya bagi hasil sangat dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh oleh nasabah pembiayaan melalui usaha yang dibiayai. Semakin baik kinerja usaha nasabah dalam menghasilkan pendapatan, semakin besar pula pendapatan bagi hasil yang diperoleh bank, dan sebaliknya. Dalam pembiayaan musyarakah, Bank Muamalat menggunakan sistem bagi hasil dari revenue sharing, Pertimbangannya diantaranya adalah dibutuhkan kejujuran dari nasabah dalam memberikan laporan keuangannya, sedangkan bank tidak memiliki waktu banyak untuk mengecek
apakah nasabah jujur
dalam memberikan
laporan
keuangannnya. Misalnya bisa saja nasabah mengecilkan porsi pendapatan, dan membesarkan porsi pengeluaran, sehingga profit akan semakin kecil atau bahkan minus dan bank akan sangat dirugikan. Alasan lainnya, dengan menggunakan sistem revenue sharing, bank dapat dengan mudah mengecek dari nota penjualan nasabah, sehingga
95
total pendapatan bulanan masih dapat di lacak dengan meminta nasabah melampirkan nota penjualannya.54 Berdasarkan uraian hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan menetapkan sistem bagi hasil revenue sharing, Bank dapat dengan mudah mengontrol pembiayaan, menghindari moral hazard dari ketidakjujuran nasabah dalam melaporkan pendapatan dan menghindari adanya biaya-biaya tak terduga yang tinggi dalam pengelolaan dana yang dilakukan nasabah. Dengan demikian, bank dapat mengurangi risiko munculnya pembiayaan bermasalah dan tetap memaksimalkan keuntungan dari pemberian pembiayaan tersebut. e. Monitoring berkala Monitoring
merupakan
kunci
utama
dalam
pengelolaan
pembiayaan musyarakah yang dilakukan pasca dropping pembiayaan, termasuk pada pengawasan dan pembinaan. Monitoring dilakukan secara on desk monitoring, call monitoring dan on site monitoring minimal sebulan sekali atau 3 bulan sekali, tergantung pada objek pembiayaaan. Monitoring yang dilakukan antara lain memantau transaksi keuangan nasabah dan bukti penggunaan
dana, memberikan
pemahaman dan memantau kewajiban nasabah dalam melaporkan
54
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Untung Rofian Toni, Relationship Manager, 20 Mei 2015, Bank Muamalat Indonesia
96
laporan pendapatannya setiap bulan, mengidentifikasi ketidaktepatan pembayaran, melakukan pembinaan ketika mulai terjadi penurunan kinerja usaha nasabah terutama yang terkait dengan pendapatan, dan menangani pembiayaan bermasalah dengan tepat waktu. Untuk memudahkan kontrol pembiayaan, Bank Muamalat juga mensyaratkan bahwa nasabah pembiayaan harus memiliki rekening escrow. 55 Sehingga bank akan terhindar penyalahgunaan transaksi penarikan yang dilakukan oleh nasabah.56 Menurut analisis penulis, monitoring merupakan mitigasi utama yang sangat penting setelah adanya pencairan pembiayaan. Tingginya tingkat risiko pembiayaan NPF Gross yang melebihi 5% di tahun 2013 dan 2014 pada pembiayaan
musyarakah
dirasa memerlukan
monitoring yang lebih ketat guna mencegah munculnya pembiayaan bermasalah dan jika tidak ditangani dengan cepat akan berdampak pada pembiayaan macet dengan dilakukannya monitoring secara langsung dan teratur terhadap faktor internal (manajemen dan kondisi keuangan)
dan
eksternal
(kondisi
makro
dan
mikro)
yang
mempengaruhi usaha nasabah dan pendapatan bank.
55
Rekening Escrow adalah Rekening giro yang hanya bisa ditarik berdasarkan izin bank; rekening penampungan untuk dana yang dipercayakan kepada kustodian berdasarkan perjanjian tertulis untuk tujuan tertentu, bertindak sebagai kustodian pada umumnya ialah bank atau perusahaan trust (trust company), sejumlah dana yang disetorkan oleh pemilik baru suatu bank dan ditanamkan dalam rekening yang dibuka secara khusus untuk keperluan penyelamatan kredit 56 Wawancara Pribadi dengan Bpk. Amin Syafi’i, Commercial Financing Risk Manager, 10 April 2015, KPO Bank Muamalat Indonesia
97
Seringnya pihak bank berkomunikasi dengan nasabah sebagai mitra melalui monitoring, hubungan dengan nasabah menjadi lebih baik dan terhindar dari permasalahan asymmetric information seperti moral hazard yang mungkin dilakukan nasabah. Selain itu, kinerja usaha
nasabah
dapat
terkontrol
sehingga
nasabah
dapat
memaksimalkan keuntungan dan bank tetap memperoleh pendapatan yang telah diproyeksikan. f. Meningkatkan kompetensi karyawan Bank Muamalat dalam penyaluran pembiayaannya, memiliki aturan bahwa setiap unit bisnis bank harus memahami usaha yang diajukan nasabah, untuk menghindari kecurangan nasabah mengenai informasi usaha yang akan dibiayai dan penyalahgunaan penggunaan dana usaha. Para Relationship Manager (RM) Financing terus dibekali dengan berbagai pelatihan dan pendampingan secara berkesinambungan dari sisi pengetahuan lini bisnis untuk sektor-sektor spesifik yang dibiayai, untuk menigkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi sektor maupun nasabah yang potensial dan berkualitas baik. Pelatihan dan pendampingan juga diberikan untuk meningkatkan kompetensi teknikal terkait produk atau skema pembiayaan yang ada agar mereka mampu memberikan solusi dengan nilai lebih kepada nasabah, dan
98
bukan sekedar menjadi fasilitas pembiayaan investasi ataupun modal kerja.57 Menurut analisis penulis, kompetensi karyawan memang perlu untuk terus ditingkatkan guna meningkatkan kualitas penyaluran pembiayaan, tidak hanya untuk para RM Financing tetapi untuk semua unit bisnis yang terlibat pembiayaan. g. Penggunaan risk tools Bank Muamalat Bank
Muamalat
dalam
mengendalikan
risiko
pembiayaan
menggunakan beberapa tools diantaranya : 1) Muamalat Early Warning System (MEWS) MEWS digunakan BMI untuk memantau secara aktif kinerja nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban sesuai akad pembiayaan yang disepakati dengan Bank Muamalat. MEWS merupakan laporan hasil monitoring yang menunjukkan raport pembiayaan nasabah (merah/ kuning/ hijau) sebagai peringatan dini atas pembiayaan bermasalah. Pada aplikasi MEWS, menggambarkan beberapa informasi mengenai usaha dan aktivitas keuangan nasabah di Bank Muamalat yang akan diukur kinerjanya secara berkala 3 bulanan. Informasi yang terdapat pada aplikasi MEWS antara lain informasi mengenai fasilitas pembiayaan, informasi 57
Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia Tahun 2013
99
keuangan, informasi Sistem Informasi Debitur (SID atau BI checking), pemenuhan syarat-syarat pembiayaan (seperti NPWP, SIUP, AD/ART perusahaan, laporan RAT), dan informasi kualitatif. Adapun fokus utama Bank Muamalat untuk melakukan pengukuran kinerja nasabah, antara lain menggunakan : a) Z-Score Z-score merupakan score atau indeks yang digunakan untuk memprediksi, menilai probabilitas kebangkrutan sebuah perusahaan dalam waktu dua tahun kedepan. 58 Penggunaan metode ini digunakan Bank Muamalat untuk melakukan tindakan pencegahan (early warning) apabila terindikasi sudah berada pada kondisi bangkrut dan akan mengalami gagal bayar. Model yang dinamakan z-score dalam bentuk aslinya adalah model linier dengan rasio keuangan yang diberi bobot untuk memaksimalkan kemampuan model tersebut dalam memprediksi. Adapun formula Z-Score (original) sebagai berikut Z-score =1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 0,999X5
58
http://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-keuangan-manajemen-keuangan/analisis-rasio-keuanganperusahaan/analisis-kebangkrutan-perusahaan-metoda-z-score/, diakses pada 6 Juli 2015
100
Keterangan : X1 = working capital / total asset X2 = retained earnings / total asset X3 = earning before interest and taxes/total asset X4 = market value of equity / book value of total debt X5 = sales / total asset Dari formulanya diketahui bahwa Z-Score berkorelasi positif dengan rasio-rasio keuangan yang berbasis Total Asset atau total aktiva. Jika rasio-rasio keuangan ini naik, maka Z-Score naik, atau probabilitas kebangkrutan turun. Dalam model tersebut perusahaan yang mempunyai skor Z >2,99 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat, sedangkan perusahaan yang mempunyai skor Z <1,81 diklasifikasikan sebagai perusahaan potensial bangkrut. Selanjutnya
skor
1,81-2,99
diklasifikasikan
sebagai
perusahaan pada grey area atau daerah kelabu. b) Sistem Informasi Debitur (SID) SID digunakan Bank Muamalat untuk menganalisis track record seorang debitur. Bank akan melihat berapa dan apa saja pembiayaan yang dimiliki debitur dan terlihat bagaimana status koletibilitas yang dimiliki nasabah. Dengan demikian, jika nasabah mengalami penurunan kolektibilitas dapat diantisipasi dan ditindaklanjut secara dini.
101
c) Informasi Kualitatif Informasi kualitatif seperti manajemen, regulasi, dan kondisi makro ekonomi terhadap usaha nasabah dan aktivitas keuangan nasabah di Bank Muamalat Dengan adanya MEWS, permasalahan nasabah karena kondisi internal
maupun
eksternal
yang
dapat
mempengaruhi
kemampuannya untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada bank, dapat diantisipasi dan ditindaklanjuti secara dini. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Bank Muamalat, penerapan MEWS belum berjalan efektif karena masih belum dilakukan secara teratur dalam pengisian, pelaporan dan terkadang masih terdapat kesalahan dalam proses input data. Dengan demikian, hal ini perlu dilakukan review kembali mengenai penggunaannya
dan
ditetapkannya
prosedur
tertentu
agar
penggunaan MEWS dapat dilakukan secara maksimal. 2) Sistem Internal Customer Rating untuk melakukan screening atas nasabah pembiayaan Sistem Internal Costumer Rating merupakan sistem credit rating yang digunakan Bank Muamalat. Berdasrkan definisi, credit rating (pemeringkatan kredit) mengacu pada penilaian mengenai tingkat kelayakan kredit (creditworthiness) suatu entitas atau transaksi, meliputi kemampuan (capacity) maupun kemauan
102
(willingness) untuk membayar kewajiban-kewajibannya. 59 Pada sistem rating internal, sistem ini mengidentifikasi risiko kredit yang dihadapi bank pada satu aset dengan berbasis pada total aset, dengan cara yang sistemik dan terencana, dan akhirnya bisa diketahui
risiko
bank
dalam
kebijakan
portofolio
yang
dilakukan.60 Secara global, aspek-aspek dalam penilaian Internal Costumer Rating Bank Muamalat meliputi kondisi bisnis, aspek manajemen, dan aspek financial. Tabel 4. 6 Aspek Penilaian Internal Rating Costumer Bank Muamalat Kriteria
Bussiness Condiition
Management
59
Bobot Bobot Sub Utama Bobot
25%
30%
Indikator 1.Industry Risk 2.The Age of Bussiness 3.Marketing a.Competition b.Costumer Relationship, Product Quality 4.Continuity of Bussiness a.Product diversification b.Continuity of stock supply by and relationship with suppliers/producers 1.Management Experiences a. Experiences on Management and/or related business b.Managerial Skill, decision making,
Kajian mengenai Prasyarat Pembentukan Credit Rating System: Persiapan Bank Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Jakarta: Bank Indonesia, 2009), h. 9 60 Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, Cet.I), h. 157
103
60%
Financial
45%
40%
clearity of organization & existence of successionprogram c. Financial planning & control ability d.Entrepreneurship, profit & growth oriented and result driven 2.Integrity and reputation 3.Quality of Financial statements 1. Future Performance of Cash Flow 1. Past Financial Performance a. Sales Growth b. Return on Equity c. EBIT/ Sales d. Sales/Total Asset e. Asset/Equity f. EBIT/Interest g. Current Ratio
Sumber : Bank Muamalat Indonesia Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa setiap aspek memiliki penilaian bobot tersendiri, sehingga diakhir credit rating akan muncul kriteria calon nasabah secara otomatis karena sudah diprogram sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, hasil rating tersebut, digunakan untuk memberikan gambaran apakah nasabah layak dibiayai, atau layak dibiayai tapi dengan syarat, dan nasabah tidak layak dibiayai.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pembiayaan Musyarakah yang diterapkan Bank Muamalat Indonesia menggunakan jenis akad Syirkah ‘Inan. Adapun konsep pembiayaan Musyarakah yang diterapkan pada produk pembiayaan produktif BMI terbagi menjadi dua, yaitu dengan konsep akad Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqisah. Pembiayaan ini digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah, baik untuk modal kerja maupun investasi dan umumnya pembiayaan digunakan untuk pembiayaan proyek yang memiliki kontrak yang jelas. BMI dalam penerapannya juga memiliki beberapa kendala diantaranya budaya nasabah yang hanya meminjam uang dan menyetorkan pembiayaan tanpa diharuskan membuat laporan keuangan, munculnya masalah moral hazard, manajemen administrasi nasabah yang kurang baik, sistem yang tidak secara otomatis mendebet bagi hasil, dan sistem kolektibilitas yang berbeda dengan akad pembiayaan lainnya. 2. Berdasarkan hasil analisis risiko dan pendapatan bagi hasil musyarakah, pada tahun 2013 dan 2014 NPF Gross mengalami peningkatan, dengan 104
105
persentase sebesar 7,07% pada 2013 dan 7,12% pada 2014. Sedangkan NPF Net memiliki persentase sebesar 2,27% pada 2013 dan 4,87% pada 2014, hal ini disebabkan oleh kurangnya monitoring reguler yang dilakukan dan anggapan nasabah pembiayaaan bagi hasil berarti bagi rugi yang menyebabkan nasabah tidak memaksimalkan usahanya untuk memperoleh keuntungan. Akan tetapi, pendapatan bagi hasil musyarakah pada periode 2011-2014 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dan hal ini menunjukkan bahwa meskipun tingkat NPF gross pembiayaan musyarakah melebihi batas maksimum, NPF tidak terlalu berpengaruh pada pendapatan musyarakah dan menunjukkan bahwa pembiayaan macet pada pembiayaan musyarakah masih dapat dikelola dengan baik. 3. Risiko pembiayaan musyarakah yang dihadapi Bank Muamalat Indonesia diantaranya berkaitan dengan risiko investasi, risiko operasional, dan risiko kepatuhan. Umumnya, risiko-risiko tersebut muncul karena adanya permasalahan principal agent yakni permasalahan pada hubungan kemitraan antara bank dan nasabah pembiayaan. 4. Strategi mitigasi risiko pembiayaan Musyarakah Bank Muamalat, diantaranya terdapat penetapan limit segmen pembiayaan terbatas pada segmen Retail, Komersial dan Korporat dan syarat-syarat tertentu dalam pemberian pembiayaan; evaluasi mendalam pada usaha dan karakter nasabah yang dibiayai; pengikatan jaminan utama berupa fixed asset dan personal guarantee; menggunakan sistem bagi hasil revenue sharing;
106
monitoring berkala; meningkatkan kompetensi karyawan; dan penggunaan risk tools berupa Muamalat Early Warning System (MEWS) dan Internal Customer Rating. B. Saran Beberapa saran penulis sampaikan berdasarkan hasil penelitian, antara lain : 1. Bank Muamalat agar melakukan monitoring yang lebih ketat guna mencegah munculnya pembiayaan bermasalah dan jika tidak ditangani dengan cepat akan berdampak pada pembiayaan macet dengan dilakukannya monitoring secara langsung dan teratur terhadap faktor internal (manajemen dan kondisi keuangan) dan eksternal (kondisi makro dan mikro) yang mempengaruhi usaha nasabah dan pendapatan bank. 2. Bank Muamalat perlu meningkatkan kualitas Sumber Daya Insani (SDI) dengan
dilaksanakannya
pelatihan
mendalam
untuk
menigkatkan
kemampuan dalam mengidentifikasi sektor maupun nasabah yang potensial dan berkualitas baik.. Pelatihan yang dilakukan tidak hanya untuk RM Financing, tetapi juga untuk seluruh unit bisnis yang terlibat dalam proses pembiayaan, agar menghasilkan analisa kelayakan pembiayaan yang akurat dan tepat dan dapat memberikan solusi atas pembiayaan bermasalah yang muncul. 3. Menyusun prosedur dan mereview kembali penggunaan aplikasi risk tools seperti Muamalat Early Warning System (MEWS) dan Internal Customer Rating guna menetapkan strategi pengelolaan risiko yang lebih baik
107
kedepannya dan mampu meminimalisir risiko yang melekat pada pembiayaan musyarakah. 4. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk bank syariah, terutama bagi produk pembiayaan yang menggunakan prinsip bagi hasil. Dapat dijelaskan bahwa pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, kedua belah pihak yang melakukan kerjasama dalam kontribusi dana bersama-sama menanggung untung dan rugi. Dan pihak yang mengelola dana mempunyai kewajiban memaksimalkan keuntungan dalam pengelolaan usahanya. 5. Perlu adanya insentif atau penghargaan bagi Bank Syariah yang mampu menyalurkan pembiayaan dalam komposisi yang besar dengan prinsip bagi hasil, baik dengan akad mudharabah maupun musyarakah agar Bank Syariah tidak terlalu aversion to risk dalam menyalurkan pembiayaan tersebut. 6. Peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya risiko pembiayaan bagi hasil, yang salah satunya musyarakah baik secara kualitatif dan kuantitatif, sehingga dapat diperoleh strategi khusus menangani pembiayaan yang memiliki risiko yang tinggi ini.
108
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abbas, Afifi Fauzi. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Adelina Bersaudara Anshori, Abdul Ghofur. 2007. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Arifin, Zainul. 1999. Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. Jakarta: Alvabet Arifin, Zainul. 2006. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Pustaka Alvabet Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Basir, Cik. 2009. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Basyaib, Fachmi. 2007. Manajemen Risiko. Jakarta: PT. Gramedia Gudono. 2012. Teori Organisasi. Yogyakarta: BPFE Ikatan Bankir Indonesia. 2014. Memahami Bisnis Bank Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ikatan Bankir Indonesia. 2015. Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Karim, Adiwarman A. 2013. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Kasidi. 2010. Manajemen Risiko,.Bogor: Ghalia Indonesia Khan, Tariqullah, dan Habib Ahmed. 2008. Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PT. Bumi Aksara
109
Mishkin, Frederic S. 2008. Ekonomi Uang, Perbankan dan Pasar Keuangan, Edisi 8. Jakarta: Salemba Empat Muhammad. 2005. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Muhammad. 2014. Manajemen Dana Bank Syariah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Nasution, S. 2002. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nurhayati, Sri. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Rivai, Veithzal. Islamic Risk Management for Islamic Bank. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Siahaan, Hinsa. 2007. Manajemen Risiko: Konsep, Kasus, dan Implementasi, Jakarta: PT. Gramedia. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suryanto, Bagong. 2011. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana. Tarsidin. 2010. Bagi Hasil: Konsep dan Analisis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Umam, Khaerul. Manajemen Perbankan Syaiah. Bandung: Pustaka Setia Wangsawidjaja. 2012. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Wirartha, I Made. 2006. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: ANDI
JURNAL DAN SKRIPSI Trianti, Khoiriyah. 2014. Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah (Studi Kasus Bank Muamalat Indonesia Cabang Malang). Jurnal Ilmiah. Malang: FEB, Universitas Brawijaya. Azzahroh, Asma. 2013. Strategi Manajemen Risiko PT. BPRS Kota Bekasi. Skripsi. Jakarta: FSH-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
110
Nurilmi, Ai. 2014. Manajemen Risiko Kurs Valuta Asing Bank Muamalat Indonesia pada Transaksi Letter of Credit. Skripsi. Jakarta: FSH-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mulyani, Sri. 2009. Implementasi Manajemen Risiko Pembiayaan dalam Upaya Menjaga Likuiditas Bank Syariah (Studi pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Malang). Skripsi. Malang: FE-UIN Malang. Zharfan, Refaat. 2011. Optimalisasi Skema Bagi Hasil sebagai Solusi Permasalahan Principal Agen dalam Pembiayaan Mudharabah pada PT. BNI Syariah Cabang Makassar. Skripsi Program Sarjana (S1), Jurusan Akuntansi, FEB, Universitas Hasanuddin ARTIKEL Bank Indonesia. 2009. Kajian mengenai Prasyarat Pembentukan Credit Rating System: Persiapan Bank Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Jakarta Bank Indonesia. 2014. Statistika Perbankan Syariah. Jakarta _____________ 2008. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Jakarta _____________2011. Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko untuk BUS dan UUS. Jakarta _____________2011. Peraturan Bank Indonesia No. 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum Syariah. Jakarta Bank Muamalat. 2010. Annual Report 2010. Jakarta ____________ 2011. Annual Report 2011. Jakarta ____________ 2012. Annual Report 2012. Jakarta ____________ 2013. Annual Report 2013. Jakarta ____________ 2014. Annual Report 2014. Jakarta Bank Syariah Mandiri. 2011. Laporan Tahunan 2011. Jakarta _________________ 2012. Laporan Tahunan 2012. Jakarta
111
_________________ 2013. Laporan Tahunan 2013. Jakarta Bank Rakyat Indonesia Syariah. 2011. Laporan Tahunan 2011. Jakarta ________________________ 2012. Laporan Tahunan 2012. Jakarta ________________________ 2013. Laporan Tahunan 2013. Jakarta http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2012/12/03/economic-and-life-style/, diakses pada 27 November 2014 https://sharianomics.wordpress.com/2010/12/09/risiko-terkait-pembiayaan-berbasisnatural-uncertainty-contracts-nuc/, diakses pada 17 Februari 2015 https://www.bi.go.id, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, diakses pada 17 Februari 2015 http://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-keuangan-manajemen-keuangan/analisis-rasiokeuangan-perusahaan/analisis-kebangkrutan-perusahaan-metoda-z-score/, diakses pada 6 Juli 2015
LAMPIRAN
112
113
HASIL WAWANCARA Narasumber
: Bapak Amin Syafi’i
Jabatan
: Commercial Financing Risk Manager
Interviewer
: Mutia Sarayati
Tanggal
: Jumat, 10 April 2015
Pembiayaan Musyarakah 1. Apa saja produk pembiayaan produktif yang ada pada Bank Muamalat Indonesia? Pada umumnya, ada pembiayaan Modal kerja yang terdiri dari pembiayaan modal kerja dan juga pembiayaan modal kerja LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syariah) dan Investasi yang terdiri dari pembiayaan investasi dan pembiayaan Hunian Bisnis Syariah 2. Produk pembiayaan apa saja yang menggunakan akad musyarakah? Garis besarnya pada pembiayaan Modal Kerja, Investasi, dan Hunian Bisnis Syariah, jenis produknya banyak yang terbagi ke berbagai segmen. Penggunaan akad musyarakah itu tergantung pada kebutuhan nasabah, setelah dianalisa kebutuhannya kemudian dicocokkan akadnya, apakah cocok menggunakan akad musyarakah.
Syarat diantaranya adalah mereka yang
sudah menjadi nasabah kita beberapa tahun, mutasi rekening pada BMI, dan mempunyai catatan pembukuan agar bisa menetapkan bagi hasilnya 3. Pada segmen pembiayaan apa saja musyarakah diterapkan? Terbagi menjadi tiga yaitu segmen Retail, Komersial, dan Corporate. -
Segmen Retail (100 juta- <5 milyar)
-
Komersial ( 5 milyar- 50 milyar)
-
Corporate (>50 milyar)
4. Sektor ekonomi apa saja yang usahanya dibiayai BMI?
114
Bermacam-macam sektor usaha, sesuai sektor ekonomi yang diatur BI, yang penting sesuai aspek administrasi, aspek syariah, dan bank mampu menganalisa usaha tersebut. Termasuk juga sektor pertanian, misalnya pemenuhan alat produksi seperti mesin semprotan 5. Bagaimana dengan pembiayaan LKMS?apakah termasuk kepada pembiayaan mikro BMI? Pembiayaan LKMS tidak termasuk pembiayaan Mikro karena kita membiayai LKMSnya, contohnya Koperasi, BPRS, BMT yang kemudian mereka yang membiayai pembiayaan Mikro tersebut. Adapun jika kita membiayai mikro, kita menggunakan akad murabahah. 6. Mengapa segmen Mikro tidak termasuk pada penggunaan akad Musyarakah? Karena nanti kalau pembiayaan mikro terlalu sempit. Pembiayaan Musyarakah memerlukan tata administrasi yang bagus, apakah pengusaha kecil tersebut mampu membuat tata administrasi tersebut, karena Musyarakah berbasis bagi hasil beradasarkan pendapatan dan contohnya apabila pembiayaan mikro hanya beberapa puluh juta atau misal hanya 5 juta, harus pembukuan, setiap bulan melaporkan pendapatannya, mereka kan pasti kerepotan 7. Bagaimana penerapan pembiayaan musyarakah pada Bank Muamalat Indonesia? Musyarakah itu kerja sama saling berserikat, pihak bank muamalat tidak ikut dalam kegiatan usaha.
Musyarakah biasa memang cenderung kepada
pembiayaan proyek2, pembiayaan proyek yang sudah jelas ada kontraknya, lalu kita tinggal pantau. Biasanya proyek yang juga menggunakan rekening Koran. Bank selalu memantau dengan mengecek laporan keuangan, benar atau tidak, membrikan arahan kepada nasabah, terutama jika ada masalah dengan pendapatan usaha nasabah. Untuk tahapan penerapannya, pertama adalah melihat kebutuhan nasabah dianalisa mencocokkan dengan akad
115
yang dapat digunakan sesuai kebutuhan persyaratan untuk bisa menggunakan akad musyarakah harus memiliki pencatatan administrasi yang bagus, usaha yang relatif stabil, artinya misal ada juga siklus usaha seperti pakaian cocoknya pada musim lebaran relatif dagangannya ramai begitupula usaha hewan qurban. Dan misal untuk proyek itu dikerjakan selama 1 tahun kan jelas, jelas sumber dan pendapatannya karena musyarakah itu kan prinsipnya profit and loss sharing. Dan jika kita tidak memperhatikan hal tersebut, kita bisa rugi. Dengan demkian bank menentukan pembiayaan harus berdasarkan regulasi dan juga aspek syariah. 8. Bagaimana porsi modal antara bank dan nasabah pada pembiayaan musyarakah yang diterapkan? Dan bagaimana kesepakatan nisbahnya? Penerapannya tergantung kondisi usaha dan melihat risikonya, nasabah bisa lebih besar atau kecil dalam memberikan porsi modalnya, kecuali jika ada regulasi dari BI. Jika nasabah memberi porsi modal lebih besar dari bank maka bank menanggung risiko yang lebih kecil. Kesepakatan nisbah tidak ada aturan, dilihat dari kemampuan nasabah, nasabah mempunyai asset berapa, kita mau berbagi hasil berapa, missal ada proyek dari pemerintah nilainya 100juta, saya punya modal 25 dan bank 75. Lihat modal yang dimiliki, asset, keuntungan nasabah, baru ditentukan nisbahnya. Kerugian ditanggung berdasarkan modal yang diberikan 9. Bagaimana dengan urutan proses pembiayaannya ya pak? Siapa saja pihak yang terlibat dalam pembiayaan ini? Secara umum proses pembiayaan dan pencairan sama, nasabah bertemu dengan pihak marketing terjadi negosiasi dan nasabah mengajukan aplikasi pembiayaan pembiayaan marketing kemudian akan melihat pembiayaan apa yang cocok untuk diberikan kepada nasabah marketing membuat usulan pembiayaan usulan tersebut akan dikomitekan ditingkat cabang atau wilayah, jika nilainya besar maka akan diserahkan ke pusat dan tergantung
116
plafonnya komite-komite tersebut ada bagian support pembiayaan, dalam membuat usulan ada yang namanya bagian kredit investigasi dilakukan BI checking, taxasi berapa nilai jaminan yang diberikan, jika usaha dilihat anggaran dasarnya oleh bagian legal setelah dibuat usulan itu semua akan dikomitekan kepada branch manager yang memiliki kewenangan kemudian naik ke area atau pusat jika nilainya besar, tergantung limitnya masuk ke bagian risk management untuk dianalisa, termasuk juga compliance untuk dilihat procedural dan legal-legalnya di pusat direview oleh komite pembiayaan dan disetujui oleh bagian direksi 10. Bagaimana penerapan dengan akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ)? Sistemnya porsi semakin berkurang, bank dan nasabah berserikat bersamasama memiliki suatu barang, kemudian barang tersebut kan harus menghasilkan suatu usaha yang produktif, maka barang tersebut disewakan, barang disewakan kepada nasabah karena nasabah yang membutuhkan dan yang berkongsi dengan bank, kemudian pendapatan sewa tersebut dibagi hasilkan, bank dan nasabah melakukan kesepakatan nisbah, kemudian bagi hasil nasabah digunakan nasabah untuk mengambil alih kepemilikan bank dengan membayarkan bagi hasil tersebut kepada bank. Biasanya pembiayaan untuk usaha yang menggunakan akad musyarakah, contohnya adalah gedung perkantoran karena mempunyai jangka waktu yang lama dan bisa diperkirakan penyusutannya, kalau seperti mesin-mesin kita lihat dulu, jika mesin yang cepat haus kita akan rugi, kita lihat juga jangka waktunya dan risikonya. Contoh lainnya mesin elektronik yang ditaro di lapangan, kita tidak tahu jangka waktu berapa lama akan rusak (cepat menyusut), biasanya menggunakan akad murabahah 11. Apakah ada penerapan underlying asset (aset jaminan) pada pembiayaan musyarakah?
117
Jaminan ada fixed asset seperti tanah, bangunan, movable asset seperti kendaraan, mesin-mesin, jaminan tidak bergerak tapi bukan benda seperti persediaan barang, chessy tagihan, cash collateral (deposito). Tergantung yang dimiliki nasabah dan bisakah BMI menerima jaminan tersebut. Bagaimana penilaian jaminan tersebut? Setiap segmen ada ketentuan dan aturan sendiri, ada persentase atau rasio untuk menghitung jaminan tersebut. Jaminan bisa campur antara fixed asset, movable dan jaminan tidak bergerak. Jaminan merupakan second way out ketika nasabah default, first way outnya adalah usaha itu sendiri. Karena dalam musyarakah yang terutama adalah analisis usahanya karena berbasis profit and loss sharing. Jika kita salah dalam menganalisis itu bukan kesalahan nasabah, maka bank akan rugi. 12. Apa saja faktor pendukung BMI dalam penerapan pembiayaan menggunakan akad musyarakah? Salah satunya karena musyarakah pada aturan BI terdapat insentif bagi Bank Syariah yang menerapkan akad yang sesuai dengan syariah dan berbeda dalam perhitungan ATMR kebijakannya. ATMR dengan sistem MMQ dengan produk KPRS hanya 35%, perhitungan rasio modal jadi menguntungkan bank. Karena KPRS jangka waktu panjang, portofolio tidak menurun terlalu drastis. Lain dengan proyek yang hanya 3 bulan atau 1 tahun portofolio pembiayaan akan lebih menurun 13. Apa saja yang menjadi faktor kendala/ penghambat dalam proses pembiayaan dengan akad musyarakah? -
Banyak nasabah yang secara administrasi manajemennya masih kurang, terkadang ada yang tidak membuat laporan, ataupun buat tetapi tidak benar. Budaya nasabah yang hanya meminjam kemudian menyetor pembayaran tanpa perlu membuat laporan pendapatan, terutama nasabah yang tidak punya bagian khusus.
118
-
Dan dari sisi bank adalah teknologinya karena musyarakah prinsipnya bagi hasil yang jumlahnya tidak menentu/ naik turun dan itu kaitannya dengan sistem, sistem tidak bisa mengatur naik turunnya itu dan tidak mudah. Dengan demikian bank lebih banyak menggunakan Musyarakah Mutanaqisah, karena ada barang yang disewakan dan itu jumlahnya tetap. Sedangkan Musyarakah biasa tergantung pada realisasi bisa naik ataupun turun. Bank harus memperhatikan hal itu (pendapatan) karena kaitannya dengan manajemen likuiditas dan perhitungan kolektibilitasnya.
-
Selain itu sistem kolektibilitas antara musyarakah, mudharabah, dan murabahah berbeda. Musyarakah/ mudharabah berdasarkan kumulatif, sesuai jadwal angsur selama 1 tahun dikumulatifkan. Sedangkan murabahah yang penting angsurannya perbulan sesuai atauu tidak. Pada sisi kolektibilitas, bank harus teliti dalam perhitungannya, jika salah maka akan mendapat denda dari BI atau protes dari nasabah karena berkaitan dengan posisi nasabah di BI checking.
Risiko Pembiayaan Musyarakah 1.
Apa saja risiko pembiayaan yang dihadapi Bank Muamalat dalam pembiayaan yang menggunakan akad musyarakah? Bank memiliki definisi risiko sendiri, ada yang namanya risiko kredit adalah risiko kegagalan dari counterpart atau debitur. Risiko kredit itu tadi karena pembiayaan musyarakah profit and loss sharing, nah risikonya ada disitu, kalau ternyata usaha nasabah tidak sesuai harapan. Memang benar nasabah menghasilkan namun pendapatannya kecil, itu termasuk risikonya karena risiko itu terjadi diluar harapan kita. Contohnya jika bank punya harapan 100 tapi nasabah hanya mendapat 50, bank akan kehilangan proyeksi pendapatan. Apalagi kalau ternyata nasabah gagal dan tidak membayar.
119
Risiko Hukum jika terjadi sengketa saat kredit itu akan masuk jalur hukum untuk meyelesaikan siapa yang benar antara nasabah dan bank. Dan jika di blow up media massa itu namanya risiko reputasi (name risk). Selain itu ada juga risiko pasar, fluktuasinya harga pasar uang dan komoditas, jika nasabah melakukan pembiayaan musyarakan menggunakan dollar, kondisinya bisa melemah dan menguat. Terkait risiko yang berkaitan dengan karakteristik nasabah adalah nasabah yang tidak amanah sementara kita berbagi hasil, nasabah misalnya untung 50 juta tetapi dia bilang untungnya 30 juta, catatan ada tapi dimanipulasi. Terkait dengan usaha, contohnya adalah proyek yang dibiayai ternyata bowheer (yang memberi proyek) membatalkan. Pembatalan bisa disebabkan karena kesalahan bowheer atau kebijakan. Misalnya PLN membuat usaha pusat pembangkit listrik tenaga air atau listrik, bowheer (PLN) membatalkan ketika proyek sudah berjalan karena ada regulasi pemerintah yang tidak menggunakan itu lagi dan terpaksa kontraknya putus. Atau bisa saja nasabah wanprestasi, ternyata ada risiko konstruksi misalnya sedang dibangun terjadi musibah gempa atau kerusuhan sehingga proyek tidak berjalan. Atau bisa saja karena musim hujan sehingga tidak bisa menyelesaikan tepat waktu dan akan mendapat denda dari pemilik proyek dan kemudian tidak dianggap mampu, sehingga proyek diputus. 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi risiko pembiayaan musyarakah pada BMI? Faktor-faktor bisa bersifat internal, eksternal, dan gabungan. -
Dari internal, pertama kita membiayai proyek dimana proyek yang kita biayai, kita tidak mengerti, contoh saya nih, yuk kita biayai apa? Misalnya pembiayaan elektronik yang canggih, alatnya canggih, padahal saya tidak tahu, karena percaya saja, nasabah menjelaskan mengenai itu, padahal saya tidak mengerti, dan dikemudian ternyata bermasalah.
120
-
Disamping itu nasabah memberikan informasi yang kurang detail, atau pihak bank yang teledor, seharusnya kita mengecek dan jika tidak dicek itu kesalahan kita. Hal tersebut bisa disebabkan oleh kompetensi kita atau bisa juga karena kita tidak melakukan sesuai prosedural yang seharusnya dicek dahulu. Misalnya nasabah bilang bowheernya bagus, pemilik proyek bagus, ternyata pada saat dicek pemilik proyeknya tidak bagus, jika tidak dicek pemilik proyek bisa lari. Kita juga harus mengecek bowheernya, jika tidak maka akan terjadi kesalahpahaman mengenai kontrak yang dibiayai.
-
Kemudian ada juga gabungan kesalahan, antara marketing dengan nasabah bermain karena pengen nakal bisa jadi atau bisa saja nasabah jahat. Maka dari itu bank banyak regulasi dan ada yang memantau risiko termasuk audit dan kita membuat prosedurnya. Contohnya regulasi bahwa dalam memberikan pembiayaan bank harus prudent, tidak boleh ada kepentingan pribadi si pemproses, atau harus ada self financing yang tidak memberikan pembiayaan 100% kepada nasabah
Strategi Mitigasi Risiko Pembiayaan Musyarakah 1. Bagaimana implementasi manajemen risiko seperti identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko pada pembiayaan musyarakah? -
Untuk semua jenis pembiayaan sebenarnya prosesnya sama, cuma memang untuk pembiayaan musyarakah kita menitikberatkan pada siklus usahanya cocok atau tidak, kita juga melihat cash flownya, cash flownya harus
stabil
melihat
transaksi
keuangannya,
kemudian
laporan
keuangannya juga dilihat benar atau tidak (sudah diaudit), sejauh mana kemampuan modal nasabah, lalu yang kita biayai itu apa sih, cocok atau tidak jika menggunakan akad musyarakah. Dari segi risk hanya proses,
121
hanya meng-assessment segi pengajuannya, layak atau tidak untuk dibiayai dengan akad musyarakah. -
Sebelum direkomendasikan, tentu ada pengukuran dengan melihat laporan-laporan keuangannya, bagaimana
rasio-rasio
keuangannya,
manajemennya, dan prospek usahanya. Untuk pengukuran risiko ada beberapa tools seperti Internal Costumer Rating digunakan pada pembiayaan corporate, apakah nasabah termasuk rating layak atau tidak, pada tingkat mana nasabah tersebut layak dibiayai. Hasil peringkat tersebut dilihat dari laporan keuangan nasabah, manajamen, prospeknya. Hasil itu bisa digunakan untuk menilai kelayakan pembiayaan dengan rating. Untuk tools scoring digunakan untuk pembiayaan seperti consumer, retail atau pembiayaan yang rendah dan umumnya digunakan untuk pembiayaan konsumtif. Moodys analytic, rating internasional, contoh jika usaha bagus rating AAA, atau ada B+, semuanya ada 41 tingkatan, semakin keatas maka ratingnya
semakin
bagus.
Informasi-informasi
mengenai
nasabah
dimasukkan kedalam sistem dan akan keluar ratingnya. -
Pemantauan dalam pembiayaan musyarakah dilakukan setelah berjalan oleh pihak marketing, bagaimana laporan keuangannya, marketing meminta laporan keuangan per bulan dan setiap tahunnya untuk laporan keuangan yang audited, termasuk juga mitigasi di lapangan.
2. Bagaimana strategi mitigasi risiko yang dilakukan terhadap risiko yang melekat pada pembiayaan musyarakah? Jika sudah dropping ada yang pertama itu adalah monitoring. Monitoring merupakan kunci utama, itu termasuk pengawasan pembinaan. Selain itu, pengikatan harus sempurna seperti pengikatan pembiayaan dan pengikatan jaminan (menginduk/melengkapi pengikatan pembiayaan), jadi kalau ada
122
masalah kita kembali kepada kedua pengikatan tersebut. Kemudian setelah pengikatan itu adalah ya tawakkal. Misal kita sudah merasa kuat eh ternyata notarisnya nakal, nasabah sudah diikat jaminan namun ternyata dijual ya kita tidak tau apa yang akan terjadi. Bagaimana monitoring yang dilakukan oleh bank? Monitoring dilakukan secara administrasi dan lapangan. Monitoring minimal sebulan sekali dan tergantung objeknya. Selain itu itu tergantung dropping misalnya dropping pembangunan, kita lihat juga schedule pembangunannya, Rencana Anggaran Biayanya (RAB), dan kemudian keduanya itu dicocokan. Dalam hal monitoring juga bank bisa bekerja sama dengan konsultan pengawas dikarenakan kita tidak ahli. Kita hire konsultan pengawas tersebut. Misalnya salah satu mitigasinya, pendroppingan harus ke supplier dan angsuran pembayaran dari bowheer harus masuk ke rekening escrow (rekening giro yang hanya bisa ditarik berdasarkan izin bank), karena jika rekening biasa bisa saja oleh nasabah uang untuk angsuran tersebut ditarik. Selain itu mitigasinya pen-dropping-an dilakukan bertahap tidak sekaligus, karena bisa saja ditarik dan disalahgunakan nasabah. Dalam monitoring kita ada tools yang namanya EWS (Early Warning System). EWS berupa laporan, laporan katakanlah 3 bulan sekali, aturan dari risk harus melaporkan 3 bulan sekali, pihak marketing harus memintakan laporan, lakukan kunjungan lapangan, monitoring transaksi keuangannya, kemudian hasil monitoring tersbut dimasukan ke tools (EWS), dan dari situ bisa terbaca apakah raportnya merah, kuning, atau hijau. Artinya kemudian bagian yang menganalisa akan mengingatkan marketing bahwa misalnya nasabah ternyata mengalami penurunan kinerja dan marketing harus melakukan pembinaan seperti menanyakan masalah apa yang terjadi, jangan sampai tiba-tiba nasabah sudah tidak membayar.
123
Untuk risiko yang disebabkan dari internal bank sendiri bagaimana ya pak? Kita membuat aturan jika kita tidak memahami usaha yang diajukan nasabah, jangan memasuki sesuatu yang tidak kita pahami. Misal lagi boom-ing usaha batu bara dan kita tidak memahami usaha tersebut, ya kita pelajari dulu, jika tidak kita bisa dikibulin. Bank juga ada cadangan biaya untuk meng-upgrade karyawannya. 3. Bagaimana strategi BMI dalam menghadapi risiko asymmetric information seperti adverse selection dan moral hazard yang terjadi pada pembiayaan musyarakah ini? Pembiayaan melibatkan banyak pihak tidak hanya marketing, ada unit support pembiayaan dan divisi lainnya, tujuannya adalah untuk mencegah asymmetric information tersebut. Contohnya BI checking, disitu dilihat apakah karakter nasabah baik atau tidak lewat raport nasabah di perbankan lain atau DHN (Daftar Hitam Nasabah). Kemudian kita juga lakukan trade checking, ada bagian kredit investigasi yang melakukan penelitian terhadap supplier atau buyernya. Misal si A ditanya pembayarannya bagus atau tidak, benar tidak melakukan pembelian ditempat ini setiap bulan. Kemudian ada pula Bank checking yang dilihat rekeningnya palsu atau tidak, kemudian dicocokan dengan laporan keuangan nasabah. Disamping itu juga ada tinjau lapangan langsung, kemudian usaha itu pasti ada SIUP, ada macam-macam dokumen lainnya, dokumen tersebut harus dipastikan legal. Namun terkadang aturan-aturan tersebut tidak jalan sehingga jebol atau memang ada indikasi fraud (sudah ada maksud dari pihak tertentu, marketing dan nasabah yang bekerja sama agar bobol). Untuk mencegah itu kita ada TAF (Tim Anti Fraud) yang mengamati tingkah laku karyawan 4. Apakah mitigasi risiko pembiayaan pada setiap segmen pembiayaan berbeda? Apa saja perbedaannya?
124
Iya ada perbedaannya. Karena semakin besar pembiayaannya semakin banyak risikonya. Untuk retail, consumer, dan mikro, dikuatkan pada pengikatan jaminan, karena pembukuan saja terkadang tidak ada ya kita lihat jaminannya. Pada pembiayaan besar, jaminannya besar juga namun tidak mudah (tidak likuid) juga menjual jaminan yang nilainya besar. Semakin tinggi maka mitigasinya semakin tinggi. Untuk korporat yang dikuatkan adalah monitoring dan analisa yang dilakukan harus benar, termasuk untuk masalah tata administrasi. Selain itu, FAL (Financing Allocation limit) adalah untuk membuat segmen, pada segmen tersebut ada batas plafondnya, misalnya pembiayaan rumah sakit dibatasi hanya 50 miliar, hal tersebut untuk menghindari risiko konsentrasi (risiko yang terjadi karena kita terlalu focus pada pembiayaan tersebut). Contohnya misal pada sektor batubara saat ini bagus namun tiba-tiba terjadi penurunan, jika terfokus pada sektor tersebut maka kredit macet akan langsung tinggi. FAL digunakan agar risiko tersebar dan menciptakan pertumbuhan yang wajar. 5. Bagaimana
penanganan
pembiayaan
bermasalah
pada
pembiayaan
musyarakah? Prosesnya pertama adalah masalah apa yang terjadi pada nasabah kita diskusikan. Proyek/ usaha masih bisa jalan atau tidak, kalau misalnya masih bisa jalan ya kita lakukan restrukturisasi untuk deteksi dini. Terkadang nasabah kol 1 (lancar) juga bisa direstruktur, hal itu bisa terlihat ketika monitoring atau nasabah yang proaktif. Misalnya omset ada namun rekening tidak aktif kemudian nasabah ditanyakan kenapa bisa terjadi, disebabkan oleh apa, ternyata pada nunggak dan nasabah belum bisa membayar yang akhirnya pembiayaan direstruktur. Restrukturisasi itu ada pedomannya sendiri. Ada Rescheduling (perubahan jadwal saja), reconditioning (jadwal angsur ditambah, jangka waktu ditambah, diubah jadwal, diubah syarat-syarat,
125
ditambah pembiayaannya). Jika restrukturisasi, rescheduling, recoonditioning sudah tidak bisa dilakukan, kemudian di write off/ disita/ litigasi/ penyelesaian lewat jaminan (second way out). Penyelesaian jaminan tidak hanya saat nasabah pada kol 5, bisa dilakukan ketika nasabah kabur atau meninggal yang tidak memiliki asuransi jiwa.
HASIL WAWANCARA Narasumber
: Bapak Amin Syafi’i
Jabatan
: Commercial Financing Risk Manager
Interviewer
: Mutia Sarayati
Tanggal
: Jumat, 11 Mei 2015
1. Aspek penilaian apa saja yang ada pada credit rating/internal costumer rating BMI?dan bagaimana sistem credit rating pada setiap segmen (retail, komersial, dan corporate) Jawaban Apsek penilaian secara umum sama yaitu aspek 5 C (caracter, capability,capital, collateral, condition) + aspek syariah 2. Rasio-rasio keuangan apa saja yang digunakan untuk menganalisa pembiayaan? Jawaban Ratio likuiditas, ratio rentabilitas, ratio solvabilitas, ratio pertumbuhan (growth) dan ratio leverage. 3. Bagaimana penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi manajemen risiko terhadap sistem pengendalian intern BMI? Jawaban Tidak bisa menjawab karena bukan kapaistas saya untuk menjawab. 4. Apa sistem bagi hasil yang digunakan BMI pada pembiayaan musyarakah? Apakah revenue sharing atau profit and loss sharing?dan apa alasannya? Jawaban Saat ini menggunakan revenue, alasannya kesulitan nasabah untuk membuat laporan laba/rugi setiap bulan dan kesulitan validasi kebenaran laporan nasabah bila menggunakan profit dan loss sharing.
126
5. Bagaimana sistem penilaian bank terhadap nasabah untuk melihat indikasi moral hazard dan adverse selection pembiayaan musyarakah? Jawaban a. Menerapkan prinsip KYC (know your customer) b. Debitur pembiayaan musyarakah adalah debitur yang telah aktif melakukan transaksi keuangan dan pembiayaan di BMI minimal 2 tahun c. Debitur memiliki kemampuan membuat laporan keuangan d. Monitoring penggunaan dana paska pencairan dana dengan meminta bukti penggunaan dana 6. Berapakah persentase indikasi terjadinya moral hazard dan adverse selection pada pembiayaan musyarakah? Jawaban Saya tidak memiliki data tersebut 7. Bagaimana lampiran contoh bentuk credit rating/ internal costumer rating atau contoh laporan Early Warning System pada indikasi moral hazard yang dilakukan nasabah BMI? Jawaban Early Warning System ada toolnya yaitu MEWS (Muamalat Early Warning System), saya tidak berwenang memberikan tools tersebut ke pihak luar 8. Bagaimana penilaian kualitas aktiva pembiayaan musyarakah BMI? Dan bagaimana data perkembangan rasio antara realisasi pendapatan dan proyeksi pendapatan BMI? Jawaban Penilaian KAP sesuai aturan OJK. Data tersebut saya tidak punya karena saya dibagian financing risk assessment bukan di bagian data. HASIL WAWANCARA Narasumber
: Bapak Amin Syafi’i
Jabatan
: Commercial Financing Risk Manager
Interviewer
: Mutia Sarayati
Tanggal
: Jumat, 6 Juli 2015
1. Berdasarkan wawancara lalu, untuk menghindari character risk, salah satu syarat debitur pembiayaan musyarakah adalah debitur yang telah aktif melakukan transaksi keuangan dan pembiayaan di BMI minimal 2 tahun. Setelah 2 tahun, apakah bank lebih menawarkan pembiayaan dengan akad
127
2.
3.
4.
5.
musyarakah? Pembiayaan dengan akad apakah yang biasa ditawarkan terlebih dahulu oleh bank? Jika musyarakah bukan penawaran utama, berapa lama peralihan akad lain ke musyarakah hingga akhirnya dapat ditawarkan musyarakah? Jawab: Tidak, telah menjadi nasabah aktif BMI selama 2 tahun hanya persyaratan untuk memperoleh pembiayaan al-musyarakah modal kerja. Penawaran pembiayaan bukan pada akadnya tapi pada produk (modal kerja, investasi atau konsumtif) dan kebutuhan nasabah (regular, tertentu). Peralihan akad hanya dilakukan untuk proses restrukturisasi dan sifatnya selektif. Akad khusu al-musyarakah di BMI adalah rekening Koran, pembiayaan modal kerja channeling ke lembaga keuangan (multifinance, BMT, BPRS dan Kopersai) dan iB Properti Bisnis. Berdasarkan annual report, NPF Gross pembiayaan musyarakah tahun 2014 melebihi 5% (7,12%) dan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada wawancara sebelumnya, telah disebutkan bahwa terdapat faktor internal, eksternal dan gabungan yang mempengaruhi risiko pembiayaan. Faktor-faktor apa saja yang paling mempengaruhi meningkatnya risiko pembiayaan musyarakah tersebut? Jawab : 1) Faktor lemahnya monitoring regular dari marketing (account manager) 2) Image nasabah pembiayaan bagi hasil berarti juga bagi rugi Berapa share capital minimum yang harus dimiliki nasabah pembiayaan musyarakah? Jawab : Belum ada aturan internal dan aturan eksternal (BI atau OJK) yang mengatur hal tersebut kecuali untuk pembiayaan kepemilikan rumah karena terkait aturan Financing To Value (FTV). Berapa kisaran persen besarnya jaminan yang ditetapkan dari pembiayaan dalam pembiayaan musyarakah untuk antisipasi terjadinya risiko gagal bayar nasabah? Jawab : Ratio agunan tidak berdasarkan akad tetapi berdasarkan segmentasi (retail, consumer, commercial dan corporate) kecuali untuk pembiayaan rekening Koran syariah maka ratio agunan minimal 100% Indicator apa saja yang terdapat pada Muamalat Early Warning System (MEWS)?dan apa yang menjadi indikator utama? Jawab:
128
1) Informasi fasilitas pembiayaan 2) Informasi Keuangan 3) Informasi Sistem Informasi Debitur (SID atau BI Checking) 4) Pemenuhan Syarat Financing 5) Informasi Kualitatif Indikator Utama adalah 1) Z-score 2) Informasi SID 3) Pemenuhan Syarat Financing 4) Informasi Kualitatif 6. Apakah risk tools berupa MEWS dan Internal Customer Rating sudah efektif dalam meminimalisir risiko pembiayaan pada pertanyaan no.2? Jawab : Belum efeketif karena masih belum dialkukan secara baik (teratur mengisi dan melaporkan dan benar dalam memasukan data)