STRATEGI KOPING, DUKUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DAERAH RAWAN BENCANA, KABUPATEN BANDUNG
PUSPASARI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Strategi Koping, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga di Daerah Rawan Bencana, Kabupaten Bandung adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada institusi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya pihak lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2013
Puspasari NIM. I24070039
ABSTRAK PUSPASARI. Strategi Koping, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga di Daerah Rawan Bencana, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh RETNANINGSIH dan TIN HERAWATI. Bentuk pertahanan keluarga dalam mengatasi masa sulit diantaranya melakukan strategi koping. Selain itu, adanya dukungan sosial dari orang sekitar membantu keluarga untuk mencapai kesejahteraan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi koping, dukungan sosial dan kesejahteraan keluarga di daerah rawan bencana Kabupaten Bandung. Lokasi penelitian dan sampel dipilih secara purposive. Sebanyak 200 keluarga contoh dipilih di Kecamatan Rancabali dan Kutawaringin, Kabupaten Bandung Selatan. Strategi koping keluarga dilihat dari dua dimensi yaitu strategi koping penghematan pengeluaran dan penambahan pendapatan. Dukungan sosial tertinggi yang diterima keluarga berupa dukungan emosi. Dukungan instrumen merupakan dukungan yang paling jarang diterima keluarga contoh. Rata-rata kesejahteraan subyektif keluarga contoh tergolong rendah namun dilihat dari kesejahteraan obyekif, sebagian besar keluarga contoh tergolong sejahtera. Kesejahteraan Subyektif dipengaruhi oleh ukuran keluarga, pendapatan total, dan dukungan emosi. Kesejahteraan obyektif dipengaruhi oleh ukuran keluarga, pendidikan istri dan strategi koping penghematan pengeluaran. Kata kunci: bencana, dukungan sosial, kesejahteraan, strategi koping
ABSTRACT PUSPASARI. Coping Strategies, Social Support, and Families Welfare in Disaster-Prone Areas in Bandung Regency. Supervised by RETNANINGSIH and TIN HERAWATI. Form of family’s defense to dealing with a difficult time is doing coping strategies. In addition, social support from people around could help families to achieve prosperity. This study aims to determine the coping strategies, social support and prosperity of families in disaster-prone areas in Bandung regency. Study site and sample selected purposively. A total sample of 200 families selected in district Rancabali and Kutawaringin, South Bandung Regency. Viewed as two dimensions family coping strategies are coping strategies to expenditure savings and additional revenue. The highest social support to the family was emotional support. Instrument support was the most rarely accepted to the family. The average of subjective prosperity of the families was low but viewed from the objective prosperity, most families belonging to prosperous. This showed that the prosperous family of the economy aspect was not always prosperous of the other aspects. Keywords: coping strategies, disaster, welfare, social support
RINGKASAN PUSPASARI. Strategi Koping, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga di Daerah Rawan Bencana Alam, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh RETNANINGSIH dan TIN HERAWATI. Propinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai daerah dengan indeks kerawanan bencana tertinggi kedua setelah Jawa Tengah. Kejadian bencana alam menyebabkan masyarakat yang menjadi korban mengalami kondisi krisis dan miskin. Dampak bencana juga menyebabkan masyarakat mengalami perubahan kondisi yang menjadikan kelompok-kelompok tertentu di bawah garis kemiskinan dan juga turut melanggengkan kemiskinan yang kronis. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga di daerah rawan bencana Kabupaten Bandung. Tujuan khusus adalah (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga, strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga di Kecamatan Rancabali dan Kutawaringin, (2) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga, (3) menganalisis hubungan dukungan sosial dengan strategi koping, (4) menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, strategi koping, dan dukungan sosial keluarga terhadap kesejahteraan keluarga. Disain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Lokasi penelitian di Kecamatan Kutawaringin dan Rancabali, Kabupaten Bandung. Sampel penelitian ini sebanyak 200 keluarga yang ditentukan secara purposive dengan kriteria keluarga yang pernah mengalami bencana dan tinggal di daerah rawan bencana serta bersedia untuk diwawancara. Pengumpulan data primer menggunakan alat bantu kuesioner. Analisis data meliputi uji deskriptif (karakteristik keluarga, strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan subyektif keluarga), uji regresi linear berganda (pengaruh karakteristik keluarga, strategi koping, dan dukungan sosial terhadap kesejahteraan keluarga), uji korelasi Spearman (menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan subyektif; menganalisis hubungan variabel dukungan sosial dengan strategi koping; menganalisis hubungan strategi koping dan dukungan sosial dengan kesejahteraan obyektif), dan uji independen t-test (menguji perbedaan strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga di Kecamatan Rancabali dan Kutawaringin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tertinggi (70.5%) keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil. Sebagian besar suami-istri berusia antara 18-40 tahun dengan rataan 38 tahun. Sebanyak 67.5 persen suami berpendidikan sampai SD begitu pula dengan istri sebanyak 70.0 persen berpendidikan sampai SD. Pekerjaan buruh merupakan pekerjaan utama yang paling banyak (47.0%) dilakukan suami, sedangkan tidak bekerja merupakan pekerjaan yang paling banyak (55.5%) dilakukan istri. Pendapatan per kapita sebagian besar keluarga contoh (41.0%) berkisar antara Rp 500.000 – Rp 1.000.000. Berdasarkan kepemilikan rumah, sebagian besar rumah merupakan milik sendiri (68.5%) dengan dinding berupa bambu (52.0%), atap genteng (98.0%) dan lantai berupa papan (45.5%). Sementara itu, televisi (88.0%) dan telepon genggam (71.0%) merupakan jenis aset terbanyak yang dimiliki keluarga contoh. Dukungan sosial yang diterima sebagian besar keluarga contoh (62.0%) masuk dalam kategori tinggi. Persentase bentuk dukungan sosial tertinggi yang diterima keluarga contoh berupa dukungan emosi. Dukungan instrumen merupakan dukungan yang paling jarang diterima keluarga contoh. Strategi
koping total yang dilakukan lebih dari setengah contoh (57.5%) masuk dalam kategori rendah. Lebih dari tiga perempat (86.0%) kesejahteraan subyektif keluarga contoh masuk dalam kategori rendah. Hal tersebut berkebalikan dengan kondisi kesejahteraan obyektif dengan persentase tertinggi (63.0%) masuk dalam kategori tinggi. Ukuran keluarga berhubungan positif dengan strategi koping total dan penambahan pendapatan. Karakteristik keluarga yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan diantaranya ukuran keluarga, pendidikan suami-istri dan pendapatan total keluarga. Ukuran keluarga berhubungan negatif sedangkan pendidikan istri berhubungan positif dengan kesejahteraan obyektif. Dukungan sosial total berhubungan positif dengan strategi koping total. Pendidikan suami dan pendapatan total berhubungan negatif dengan strategi koping penghematan pengeluaran. Pendidikan istri juga berhubungan positif dengan dukungan emosi. Kesejahteraan subyektif dipengaruhi secara nyata oleh ukuran keluarga, pendapatan total, dan dukungan emosi, sedangkan kesejahteraan obyektif dipengaruhi secara nyata oleh ukuran keluarga, pendidikan istri, dan strategi koping penghematan pengeluaran. Saran yang diberikan kepada berbagai pihak berdasarkan hasil penelitian ini yaitu perlu adanya dukungan sosial yang kuat dari berbagai pihak khususnya pada saat keluarga mengalami kondisi krisis akibat bencana, pemerintah perlu melakukan pengembangan program pelatihan terkait peningkatan perekonomian keluarga untuk memotivasi masyarakat agar lebih berdaya, produktif dan kreatif. Selain itu perlu diadakannya sosialisasi manfaat tanaman obat bagi keluarga karena belum banyaknya keluarga yang belum memanfaatkan tanaman obat sebagai alternatif peningkatan kesehatan keluarga. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan kajian kebencanaan dari aspek keluarga pada penelitian selanjutnya. Kata kunci: bencana, dukungan sosial, kesejahteraan, strategi koping
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI KOPING, DUKUNGAN SOSIAL, DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DAERAH RAWAN BENCANA, KABUPATEN BANDUNG
PUSPASARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Strategi Koping, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga di Daerah Rawan Bencana, Kabupaten Bandung Nama
: Puspasari
NIM
: I24070039
Disetujui oleh
Ir. Retnaningsih, M.Si.
Dr. Tin Herawati, S.P., M.Si.
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Diketahui oleh
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamin. Rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan kekuatan selama proses penyelesaian skripsi. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian program DIKTI yang berjudul “Pengembangan Model Pemasaran Sosial Siaga Bencana di Daerah Rawan Gempa”. Setiap proses dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ir. Retnaningsih, M.Si. dan Dr. Tin Herawati, S.P., M.Si. sebagai dosen pembimbing yang telah bersabar membimbing dan memotivasi kepada penulis untuk terus berjuang meraih mimpi mencapai kelulusan. 2. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. sebagai ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang telah memberikan bantuan dan kebijaksanaannya sehingga penulis tetap bisa menempuh pendidikan sarjana di IPB. 3. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberi banyak inspirasi hidup kepada penulis. 4. Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. dan Megawati Simanjuntak S.P., M.Si. sebagai dosen penguji ujian skripsi yang telah memberikan banyak ilmu. 5. Terimakasih kepada tim dosen dalam penelitian Stranas DIKTI (Dr. Ir. Diah Krisnatuti, Ir. Retnaningsih, M.Si., dan Irni Rahmayani Johan, S.P., MM) yang telah membantu dan memfasilitasi dalam penelitian ini. 6. Yayasan Karya Salemba Empat dan Ibu Wiwik yang telah memberi dukungan
secara
finansial
maupun
moral
sehingga
saya
bisa
menyelesaikan studi sebagai seorang sarjana. 7. Kedua orang tua, Ibu Mudiharyati dan almarhum Bapak Tugiyanto serta kakak kandung saya (Mugiyati, Wagiyanto, Teguh, Wenti, dan Budiyana) dalam memberikan semangat kepada saya untuk terus meraih mimpi. 8. Semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan masa depan. Demikian skripisi ini disusun semoga bermanfaat. Bogor, April 2013 Puspasari
1
PENDAHULUAN Latar belakang Kejadian bencana alam di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut tidak hanya terbatas pada bencana yang disebabkan oleh alam, tetapi juga bencana sosial. Bencana alam sering terjadi sebagai efek kondisi geografis Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Hal ini menimbulkan efek kebencanaan yang tinggi seperti gempa, longsor, dan letusan gunung merapi. Fakta yang diungkapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011 menyebutkan bahwa kejadian bencana di Indonesia selama tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 47 persen sedangkan tahun 2009 meningkat sebesar 50 persen. Peningkatan di tingkat global hampir mencapai 350 persen khususnya dalam tiga dasawarsa terakhir, termasuk wilayah Indonesia. Peningkatan potensi tersebut khususnya menyangkut bencana hidrometeorologi (bencana yang diakibatkan oleh kondisi cuaca diantaranya banjir, tanah longsor, kekeringan, dan puting beliung). Selain menimbulkan korban jiwa, bencana alam juga menyebabkan keluarga harus mengungsi, mengalami kerusakan/kehilangan tempat
tinggal,
harta
benda,
dan
fasilitas
umum.
Data
kebencanaan
menunjukkan adanya peningkatan jumlah korban dari tahun 2008 yang berjumlah 624 orang menjadi 2.611 orang di tahun 2009 (BNPB 2011). Berdasarkan hasil interpretasi peta bencana wilayah, diperkirakan hampir dua pertiga wilayah Jawa Barat merupakan daerah rawan bencana. Pernyataan ini didukung oleh data dari BNPB tahun 2011 yang menyebutkan bahwa Propinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai daerah dengan indeks kerawanan bencana tertinggi kedua setelah Jawa Tengah karena kondisi geografisnya terdiri dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat ke timur. Korban gempa dan tanah longsor di Jawa Barat tahun 2009 berjumlah sekitar 959 jiwa (BNPB 2011). Dampak bencana memengaruhi berbagai aspek dalam sistem keluarga. Resiko bencana dari aspek ekonomi mengakibatkan keluarga kehilangan sumber mata pencaharian, kerusakan harta benda maupun kehilangan materi yang menjadi aset keluarga (Sunarti 2010). Korban bencana yang memiliki keterbatasan ekonomi jika tidak mendapatkan dukungan sosial, maka akan beresiko
mengalami
mendapatkannya.
stres
yang
lebih
tinggi
dibanding
keluarga
yang
2
Stres yang dialami keluarga akibat bencana mendorong mereka untuk melakukan strategi koping sebagai bentuk pertahanan terhadap masalah. Hal yang berpengaruh terhadap strategi koping keluarga pasca bencana menurut Maryam (2007) diantaranya masalah stres dan keberadaan dukungan sosial. Jenis masalah dan tingkat stres akan menentukan jenis koping yang dilakukan oleh keluarga. Caplan dalam Friedman (1998) menyatakan keberadaan pendukung sosial merupakan strategi koping eksternal utama bagi keluarga. Masyarakat yang memiliki dukungan kuat baik dari segi ekonomi maupun sosial, akan lebih mampu mengatasi masalah yang menimpa dirinya. Menurut Maryam (2007) dukungan sosial yang diterima keluarga mendukung upaya keluarga dalam menyelesaikan masalah pasca bencana. Kejadian bencana alam menyebabkan masyarakat yang menjadi korban menjadi terpuruk dan miskin. Dampak bencana alam menyebabkan masyarakat mengalami perubahan, dimana kelompok-kelompok tertentu berada di bawah garis kemiskinan dan juga turut melanggengkan kemiskinan yang kronis. International Strategy for Disaster Reduction (ISDR) tahun 2009 menyatakan bahwa bencana menyebabkan gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat yang menyebabkan kerugian bagi kehidupan individu dan keluarga dari segi materi, ekonomi maupun lingkungan yang melampui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Salah satu indikator kemiskinan keluarga dapat dilihat dari tingkat kesejahteraannya.
Hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Tati
(2004)
menyimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan. Dampak bencana dari aspek ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga. Semakin rendah sosial ekonomi akan membuat keluarga semakin rentan dalam menghadapi bencana. Perumusan Masalah Bencana
alam
yang
dialami
masyarakat
mengakibatkan
keluarga
mengalami dampak kerugian seperti korban jiwa, beban psikologis, kerusakan rumah, fasilitas umum, dan aset lainnya. Kejadian gempa bumi yang terjadi tahun 2009 mengakibatkan jumlah korban meninggal dan hilang sebanyak 1.330 jiwa. Korban yang menderita bahkan mengungsi mencapai 5 juta orang lebih. Propinsi Jawa Barat pada tahun 2009 menduduki urutan kedua kejadian
3
bencana terbesar yaitu sekitar 959 kejadian dengan jumlah korban yang menderita dan mengungsi terhitung lebih dari 200.000 jiwa (BNPB 2011). Selain itu Jawa barat merupakan daerah rawan bencana yang masuk kategori kerawanan tinggi. Wilayah Bandung menduduki rangking 3 nasional dalam indeks kerawanan tanah longsor. Akhir-akhir tahun ini kejadian bencana dan kasus kemiskinan menjadi ancaman bagi keluarga Indonesia. Data BPS (2011) menunjukkan kemiskinan di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 30 juta jiwa dan salah satu kota dengan jumlah penduduk miskin terbanyak ketiga berada di Propinsi Jawa Barat (4.700 orang). Penduduk Jawa Barat yang berjumlah sekitar 44 juta jiwa, sebanyak 28 juta bertempat tinggal di wilayah rawan bencana (BPS 2011). Wilayah Kabupaten Bandung yang terindikasi masuk dalam deretan daerah rawan bencana berada di wilayah bagian tengah dan selatan (BPLHD 2010). Kabupaten Bandung termasuk daerah rawan bencana dengan jumlah korban terbanyak. Kecamatan yang masuk ke dalam kategori rawan bencana yaitu Kecamatan Rancabali dan Kutawaringin (BPBD 2011). Kedua kecamatan tersebut termasuk daerah yang dikelilingi tebing dengan indeks kelongsoran yang cukup rawan. Perbedaan kedua kecamatan tersebut dapat ditinjau dari keadaan geografisnya, dimana Rancabali merupakan kawasan yang didominasi perkebunan teh di bawah naungan perusahaan milik negara sedangkan Kutawaringin merupakan daerah dataran tinggi dengan dominasi lahan pertanian hortikultura milik masyarakat. Dampak bencana menimbulkan kekhawatiran akan kehidupan selanjutnya sehingga menjadi stressor bagi keluarga yang membuatnya rapuh. Antisipasi adanya hal tersebut mendorong keluarga memiliki strategi koping. Friedman (1998) menyatakan bahwa strategi koping keluarga merupakan perilaku positif yang dilakukan keluarga untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tertentu. Keluarga yang dapat melakukan koping dengan baik akan berdampak positif terhadap keberfungsian keluarga. Data kejadian bencana wilayah Bandung menunjukkan banyaknya korban dan kerugian yang memberi dampak pada keluarga. Kejadian tersebut berpengaruh terhadap perubahan sistem dalam keluarga. Selain itu, dampak bencana juga menembus kehidupan mikro tingkat keluarga, mengganggu keberfungsian serta pencapaian kesejahteraan keluarga (Sunarti 2007). Dampak
4
dari semua gangguan ini tergantung dari seberapa besar ancaman yang ada (Puspitawati 2012). Utomo (1998) dalam Khasanah (2010) menyatakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari bencana alam dapat mengganggu keseimbangan dan stabilitas ekonomi dan mempengaruhi kesejahteraan keluarga. Kondisi sosial ekonomi dan daya juang dalam menghadapi situasi sulit pasca bencana, menjadi penguat bagi keluarga untuk tetap menjalankan fungsi dan mencapai tujuan hidupnya. Selain itu, keberadaan dukungan sosial dari berbagi pihak sangat dibutuhkan untuk membantu keluarga mencapai tujuan akhirnya yaitu kesejahteraan. Berdasarkan permasalahan tersebut, menarik bagi peneliti untuk mengetahui beberapa hal terkait strategi koping, dukungan sosial dan kesejahteraan keluarga yang berada di daerah rawan bencana diantaranya: 1. Bagaimanakah karakteristik keluarga di daerah rawan bencana? 2. Bagaimanakah strategi koping keluarga yang mengalami bencana dan tinggal di daerah rawan bencana? 3. Seberapa besar dukungan sosial yang diperoleh keluarga untuk tetap bertahan dalam situasi tersebut? 4. Bagaimanakah hubungan karakteristik keluarga contoh dengan strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga? 5. Bagaimanakah pengaruh karakteristik, dukungan sosial, dan strategi koping terhadap kesejahteraan keluarga? Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan menganalisis strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga di daerah rawan bencana, Kabupaten Bandung. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan subyektif dan obyektif keluarga di Rancabali dan Kutawaringin 2. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan subyektif dan obyektif keluarga 3. Menganalisis hubungan strategi koping dengan dukungan sosial 4. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, strategi koping, dan dukungan sosial terhadap kesejahteraan subyektif dan obyektif keluarga
5
Manfaat Penelitian Kajian mengenai strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga di daerah rawan bencana ini diharapkan dapat menguatkan informasi dan sebagai bahan masukan bagi pemerintah maupun institusi dalam merumuskan kebijakan khususnya terkait strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga pasca bencana. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan pengembangan ilmu pengetahuan dan keilmuan khususnya dibidang keluarga serta menjadi masukan bagi penelitian sejenis berikutnya.
6
7
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Korban Bencana Alam Menurut Mattessich dan Hill (Zetlin et al., 1995) keluarga merupakan suatu kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, dan hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal yaitu hubungan
intim,
memelihara
batasan-batasan
terseleksi,
mampu
untuk
beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu dan memelihara tugas-tugas keluarga. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 dan UU no 10 tahun 1992 menjelaskan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas dan fungsi agar sistem tersebut berjalan. Kondisi geografis di Indonesia yang menjadi tempat pertemuan empat lempeng tektonik mengakibatkan negara tersebut mengalami peningkatan kejadian bencana alam. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) tahun 2006, bencana dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi geografis, geologis, iklim, maupun faktor-faktor lain seperti keragaman sosial, budaya, dan politik. Bencana juga merupakan sebuah peristiwa yang terjadi karena bertemunya ancaman dari luar terhadap kehidupan manusia dan kerentanan, yaitu kondisi yang melemahkan masyarakat untuk menangani bencana yang berdampak negatif pada manusia dan lingkungannya serta adanya ketidakmampuan masyarakat untuk menanggulanginya (IDEP 2007). Korban bencana adalah perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana alam atau musibah lainnya yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Anonim 2012). Dampak sosial ekonomi yang diakibatkan oleh suatu bencana meliputi dampak makro ekonomi fiskal; mata pencaharian, pekerjaan dan penghasilan; serta dampak sosial (BNPB 2011). Sadisun (2007) menyatakan bencana alam dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi korban sebagai akibat perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Dampak bencana mempengaruhi berbagai aspek dalam keluarga yaitu aspek sosial, psikologi, dan ekonomi (Sunarti 2010). Dampak psikologis berkaitan
dengan
perubahan
kondisi
emosi,
tingkah
laku,
dan
cara
berfikir/kemampuan memecahkan masalah sehingga menyebabkan stres dan
8
trauma. Dampak dari aspek ekonomi adalah kehilangan dan kerusakan materi serta kemampuan mencari nafkah. Sunarti (2009) menyatakan strategi ekonomi yang dilakukan keluarga sebatas bertahan hidup dalam kondisi ekonomi yang krisis. Strategi Koping Pengertian Strategi Koping Strategi koping mengacu pada usaha spesifik dalam bentuk tingkah laku atau kondisi psikologis yang digunakan untuk mengatasi kondisi berbahaya, mengancam,
dan
mengurangi/meminimalisasi
keadaan
yang
membuat
seseorang tertekan (Taylor 1991, diacu dalam Smet 1994). Koping merupakan proses yang melibatkan respon kolektif kognitif, emosi, dan perilaku keluarga. Penentu utama keluarga mampu menanggulangi kondisi stres adalah makna peristiwa yang terjadi pada keluarga dan individu-individu yang ada di dalamnya (Boss 1987) diacu pada Zeitlin et al. (1995). Sunarti (2010) menyebutkan faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari kondisi yang dialami. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu diantaranya kesehatan, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial. Dalam hal stres terdapat delapan strategi koping terpisah yang dipercaya sebagai tindakan individu pada berbagai situasi stres. Menurut Folkman dan Lazarus (1984), kedelapan hal tersebut meliputi konfrontasi, mencari dukungan sosial, merencanakan pemecahan masalah, pengendalian diri, menerima tanggung jawab, jarak, penilaian positif, dan melarikan diri atau menghindar. Koping merupakan bagian penting yang membuat keluarga dapat beradaptasi untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kreativitas dalam mencari strategi yang efektif dalam mengelola situasi. Sumberdaya keluarga, strategi koping, dan proses dinilai menyediakan fondasi untuk membantu keluarga dalam adaptasi dan pencapaian kesejahteraan yang lebih tinggi (Jones 2003). Proses dan strategi koping keluarga menurut Jones (2003) adalah bagian penting membuat keluarga dapat beradaptasi untuk bertahan hidup khususnya ketika mendapatkan musibah. Persepsi dan penanganan keluarga terhadap masalah melalui berbagai sumberdaya dan strategi koping penting bagi
9
keberhasilan keluarga dalam menangani tuntutan yang ada (Syahrini 2010). Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keadaan stres yang dihadapi seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Dalam menghadapi situasi tersebut individu melakukan tindakan untuk mengatasinya yang biasa disebut dengan strategi koping. Strategi koping sering dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial, dan lain-lain (Maryam 2007). Dari beberapa pengertian koping di atas, dapat disimpulkan bahwa koping merupakan (1) respon perilaku dan fikiran terhadap stres; (2) penggunaan sumber yang
ada
pada
diri individu
atau lingkungan
sekitarnya;
(3)
pelaksanaannya dilakukan secara sadar oleh individu dan (4) bertujuan untuk mengurangi atau mengatur konflik-konflik yang timbul baik internal maupun eksternal sehingga kehidupan menjadi lebih baik. Perilaku koping juga dapat dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan individu untuk mengatasi atau mengurangi
berbagai
tuntutan
sebagai
sesuatu
yang
membebani
dan
mengganggu kelangsungan hidupnya. Dampak akibat bencana menimbulkan stres bagi sebagian korban. Stres tersebut dipicu oleh hilangnya jiwa, harta, maupun aset ekonomi yang menopang kebutuhan hidupnya selama ini. Kapabilitas keluarga dalam menanggapi goncangan dan tekanan merupakan aspek penting dalam kemampuan kelurga untuk bertahan. Secara teoritis, aspek ini didasarkan pada teori strategi koping yang dikelompokkan menjadi strategi yang berkaitan dengan ekonomi dan nonekonomi. Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan bahwa strategi koping manusia dalam menghadapi stress terdiri dari strategi koping fokus pada masalah dan strategi koping focus pada emosi. Strategi yang berkaitan dengan ekonomi menurut Puspitawati (1998) membagi menjadi strategi pasif dalam hal penghematan pengeluaran dan strategi aktif berupa penambahan pendapatan. Secara teori, keluarga yang tidak memiliki pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidupnya dapat mencoba untuk mengurangi tekanan ekonomi dengan melakukan satu atau lebih strategi diatas. Keluarga dapat mengurangi kebutuhan atau tuntutan dengan penghematan pada konsumsi dan atau berupaya untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui perubahan pekerjaan (Conger et al. 1990). Jenis strategi koping mana yang akan digunakan dan bagaimana
10
dampaknya sangat tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi. Menurut Coper dan Payne (1991) menyebutkan bahwa dalam menyelesaikan masalah, individu tidak hanya melakukan satu strategi koping saja melainkan beberapa strategi koping yang dianggap tepat dan sesuai dengan permasalahn yang dihadapi. Sumberdaya koping dapat diartikan segala sesuatu yang dimiliki keluarga baik bersifat fisik dan non fisik untuk membangun perilaku koping. Dalam strategi koping penting adanya sumberdaya koping yang berfungsi sebagai bahan individu dalam menghadapi stres dan ketahanan individu dalam menghadapi berbagai efek stres yang merugikan. Sumberdaya koping tersebut bersifat subyektif dan relatif sehingga perilaku koping bisa bervariasi pada setiap orang. Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa cara seseorang atau keluarga melakukan strategi koping bergantung pada sumber daya yang dimiliki. Dukungan Sosial Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996) mendefinisikan dukungan sosial pemenuhan kebutuhan dasar orang lain oleh seseorang untuk mencapai kesejahteraan. Amstrong, Bernie, dan Ungar (2005) diacu dalam Gottileb (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi atau saran, bantuan nyata, atau tindakan berbentuk verbal dan non-verbal yang ditawarkan oleh komunitas sosial, atau disimpulkan sebagai kehadiran komunitas sosial yang mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku pada penerima. Cutrona (1996) mengemukakan bahwa jaringan sosial merupakan sumber potensial
dari
dukungan
sosial.
Amstrong,
Bernie,
dan
Ungar
(2005)
menambahkan bahwa teori dukungan sosial mengemukakan dua model utama, yaitu efek utama (The main effect) dan efek penyangga (the buffering effect) untuk
menjelaskan
hubungan
atau
jalur
antara
dukungan
sosial
dan
kesejahteraan. Model efek utama menjelaskan bahwa integrasi dan pengakaran sosial mempunyai pengaruh positif pada kondisi kesejahteraan atau orang yang sedang tidak pada kondisi tertekan. Model efek penyangga mengemukakan bahwa dukungan sosial melindungi individu dari efek stres yang berbahaya, setidaknya ada dua titik waktu yang telah diidentifikasi yaitu antara stres dengan ketertekanan dan antara stres dengan dampak kesehatan fisik atau mental. Dukungan sosial dapat diperoleh dari berbagai pihak baik teman, kerabat, keluarga, asosiasi kerja, kelompok sosial, dan jaringan formal lainnya. Cutrona (1996) menyampaikan bahwa teman dan keluarga berperan dalam memberikan
11
dukungan paling optimal saat individu membutuhkan. Bentuk dukungan sosial menurut Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996) membagi bentuk dukungan sosial menjadi empat yaitu dukungan emosi, dukungan instrumen, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan. Sarafino (1996) diacu dalam Tati (2004) memaparkan bentuk dukungan tersebut sebagai berikut: A. Dukungan emosi Ungkapan kasih sayang dan ekspresi yang diberikan orang-orang disekitar individu merupakan bentuk dukungan emosi itu sendiri. Menurut Weiss, Cutrona & Russel, 1987; Witty et al. 1992 diacu dalam Tati (2004) adanya dukungan emosi, individu merasa dapat mencurahkan perasaan dan suasana hatinya pada seseorang yang dapat membuatnya merasa aman dan percaya. Miroesky & Ross 1989 diacu dalam Tuner (1983) menyatakan bahwa perhatian dan dukungan emosi yang mendalam membantu individu dapat mencurahkan perasaanya yang akan membuatnya memiliki kesehatan mental yang baik dan mendukung kesejahteraan yang ingin dicapainya. Safarino (1996) menyampaikan bahwa emosi yang diekspresikan seeorang melibatkan rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu tersebut merasa diperhatikan dan dicintai. Bentuk dukungan ini berupa perilaku memberikan empati dan perhatian serta bersedia menjadi pendengar yang baik bagi orang lain yang sedang mencurahkan perasaannya. Dukungan ini biasanya diperoleh dari orang-orang disekitar individu yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kehidupan individu tersebut. B. Dukungan Instrumen Merupakan bentuk dukungan yang memberikan bantuan secara langsung baik bersifat finansial maupun bantuan dalam mengerjakan pekerjaan tertentu (Sarafino 1996) atau penyediaan fasilitas yang dibutuhkan untuk dapat meringankan pekerjaan. Dukungan instrumen juga dapat diberikan dalam bentuk materi maupun jasa misalnya berupa uang, barang kebutuhan sehari-hari atau bantuan tenaga seperti memberikan pinjaman alat transportasi, uang, barang maupun meyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak (Borgatta 1992). C. Dukungan Informasi Bentuk dukungan yang diperoleh individu berupa informasi atau pengetahuan yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Dukungan ini meliputi memberikan nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan
12
bagaimana seseorang bersikap. Dukungan ini diperoleh melalui berbagi pengalaman antar individu sehingga memberi pelajaran individu dalam bertindak. D. Dukungan Penghargaan Dukungan ini biasa dikenal dengan dukungan berupa penghargaan maupun penilaian berupa penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu, maupun penghargaan atas apa yang telah dilakukannya (Cutrona 1996). Dukungan ini bisa diberikan dalam bentuk pujian, penilaian postif maupun kritikan dan masukan yang membangun untuk kebaikan orang yang memberikan dukungan. Dukungan sosial yang diterima keluarga diperoleh dari berbagai sumber dukungan sosial. Secara operasional, Tati (2004) membagi sumber dukungan sosial kedalam dua golongan, yaitu: 1. Sumber dukungan informal - Sumber dukungan individu misalnya dari suami/istri, tetangga, saudara, teman. Dukungan yang diperoleh berupa dukungan emosi, instrumen dan informasi. - Sumber dukungan kelompok misalnya berasal dari kelompok-kelompok sosial seperti PKK, karang taruna, komunitas tertentu dan BKB. 2. Sumber dukungan formal - Dukungan dari pihak professional misalnya psikiatri, psikolog, spesialis atau yang lain. - Dukungan dari pusat pelayanan seperti rumah sakit, panti sosial, atau lembaga pelayanan lainnya. Keluarga merupakan sumber dukungan yang utama karena keluarga memiliki fungsi-fungsi dukungan tertentu yang tidak berubah maupun digantikan oleh orang lain. Purnomosari (2004) menyatakan bahwa dukungan sosial yang positif akan membuat ibu dapat melaksanakan tugas dan peranannya dengan perasaan aman dan nyaman dalam mengelola rumah tangga. Kesejahteraan Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kamakmuran, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau kelompok keluarga dan masyarakat. Kesejahteraan dapat dijadikan indikator untuk mengukur kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat. Pengukuran kemiskinan di Indonesia sampai saat menjadi fokus pemerintah dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Terdapat berbagai pendekatan untuk mengukur
13
kemiskinan, namun tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Terdapat tiga model untuk mengukur kemiskinan diantaranya model tingkat konsumsi, model kesejahteraan keluarga dan model pembangunan manusia. Model tingkat konsumsi merupakan model yang digunakan oleh BPS dalam menentukan kemiskinan di Indonesia. Model kesejahteraan merupakan model yang digunakan BKKBN dengan menentukan tahapan kesejahteraan masyarakat sedangkan model pembangunan manusia merupakan model yang digunakan United Nation Development Program (UNDP) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mengukur kesejahteraan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan obyektif dan subyektif. A. Kesejahteraan Obyektif Kesejahteraan diukur melalui fakta-fakta tertentu yang dapat diamati secara ekonomi, sosial dan statistik lingkungan. Kesejahteraan obyektif diukur secara tidak langsung menggunakan ukuran ordinal. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku seperti pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan koordinasi Keluarga Berencana
Nasional
(BKKBN).
Ukuran
yang
dapat
dijadikan
patokan
kesejahteraan obyektif keluarga menurut Badan Pusat Statistik yaitu dengan melihat pendapatan perkapita perbulan keluarga yang diukur berdasarkan Garis Kemiskinan (GK). Pendapatan dan variabel sosial-ekonomi lain dapat menjadi variabel penjelas yang nyata bagi kesejahteraan seseorang namun tidak untuk setiap orang. Menurut
Rojas
(2004)
diacu
dalam
Simanjuntak
(2010)
bahwa
kesejahteraan yang hanya diukur berdasarkan pendapatan dan indikator sosial ekonomi lainnya dinilai kurang tepat. Kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu, baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya tanpa melihat penilaian pribadi individu terhadap kesejahteraan itu sendiri.
Oleh
karena
itu,
terdapat
pendekatan
lain
dalam
mengukur
kesejahteraan yaitu dengan pendekatan subyektif yang menilai kesejahteraan berdasarkan kebutuhan kesenangan individu dan kebahagiaan/kepuasan hidup. B. Kesejahteraan Subyektif Miligan et al. (2006) diacu dalam Sunarti et al. (2009) menyatakan kesejahteraan dengan pendekatan subyektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh diri sendiri bukan orang lain. Namun secara
14
operasional, menurut Campbell, Convers dan Rogers dalam Sumarwan dan Hira (1993) diacu dalam Sunarti et al. (2009), variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap antara aspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam ilmu psikologi, konsep
kebahagiaan
memiliki
makna
yang
lebih
sempit
dibandingkan
kesejahteraan secara subyektif. Bruni dan Porta (2007,p. xviii) dalam conceição dan Bandura (2008) diacu dalam Simanjuntak (2010) membagi indikator kesejahteraan subyektif menjadi empat komponen, yaitu: 1. Emosi yang menyenangkan 2. Emosi yang tidak menyenangkan 3. Penilaian hidup secara menyeluruh 4. Domain kepuasan (perkawinan, kesehatan, kesenangan, dan lainlain) Kesejahteraan
secara
subyektif
menggambarkan
evaluasi
individu
terhadap kehidupannya yang mencakup kebahagiaan, kondisi emosi, dan kepuasan hidup. Kebahagiaan merupakan hasil dari keseimbangan antara pengaruh positif dan negatif sedangkan kepuasan merupakan jarak yang dirasakan seorang individu dari aspirasinya. Dari berbagai konsep dan hasil penelitian tentang kesejahteraan, keluarga memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan kesejahteraan. Syarif & Hartoyo (1993) menyatakan bahwa suatu keluarga walaupun tinggal di bawah garis kemiskinan mungkin akan merasa sejahtera karena merasa lebih bersyukur kepada Tuhannya atas apa yang telah dia dapatkan selama ini. Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian tentang keluarga korban bencana telah dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut dilakukan oleh Khasanah pada tahun 2011. Penelitian tersebut dilakukan pada keluarga korban
bencana
longsor
di
Kabupaten
Bogor
dengan
melihat
aspek
permasalahan, kelentingan dan strategi koping. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang diambil secara proportional random sampling. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa masalah terbesar yang dihadapi oleh keluarga korban bencana yaitu masalah pangan, tempat tinggal, pendapatan dan pekerjaan. Kelentingan keluarga akibat bencana tergolong tinggi karena adanya pemaknaan kondisi krisis dan membentuk pola organisasi keluarga yang tinggi pula. Penelitian ini menggunakan dimensi fokus masalah dan emosi dalam
15
menganalisis strategi koping keluarga. Penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam koping fokus masalah keluarga banyak melakukan upaya mencari dukungan dari pihak luar, merubah keadaan menjadi lebih baik dan merubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang diambil. Strategi koping fokus emosi yang paling banyak dilakukan yaitu menciptakan situasi dan makna positif dari kejadian yang dialami dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang dialami. Penelitian terkait strategi koping dan dukungan sosial pasca bencana dilakukan oleh Yang et al. (2010) di Cina. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif
menggunakan
metode path
analysis
dengan intervensi dari
menggunakan aspek psikologi. Penelitian dilakukan pada remaja SMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam situasi stres, seseorang membutuhkan dukungan sosial dan perlu upaya strategi koping dalam menghadapi situasi tersebut. Strategi koping yang paling banyak dilakukan yaitu strategi fokus pada emosi. Chao dan Chu (2011) meneliti manajemen stres dan memelihara ketenangan diri ditinju dari aspek dukungan sosial dan koping strategi. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 459 orang dengan obyek mahasiswa sebagai responden penelitiannya. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu dukungan sosial total berhubungan dengan stres dan tenang. Strategi koping fokus pada masalah lebih bisa mengatasi stres dibandingkan seseorang yang memilih menghindari masalah. seseorang yang memilih jalan menghindari masalah dan mendapatkan dukungan yang rendah lebih rentan merasa stres dan merasa tidak bahagia. Fitriani (2009) melakukan penelitian dengan obyek keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Penelitian tersebut menganalisis variabel dukungan sosial dan ketahanan keluarga nelayan yang tinggal di daerah rawan bencana. Total contoh sebanyak 80 keluarga dipilih secara proportional random sampling. Hasil penelitian menyatakan bahwa dukungan sosial yang diterima keluarga dari keluarga, tetangga, dan pemerintah tergolong tinggi. Tinggiya dukungan yang diterima keluarga berhubungan dengan ketahanan keluarga yang semakin membaik. Selain itu, hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa wanita yang semakin cukup umur ketika menikah, maka akan memiliki tingkat ketahanan keluarga yang semakin baik.
Penelitian dengan obyek yang sama juga dilakukan Praptiwi (2009) yang
16
meneliti dukungan sosial dan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Contoh dalam penelitian ini sebanyak 80 keluarga. Hasil penelitian menyatakan bahwa dukungan keluarga dan tetangga termasuk kategori tinggi, namun dukungan yang berasal dari pemerintah masuk kategori rendah bagi nelayan buruh. Aspek kesejahteraan menunjukkan bahwa ketika nelayan yang mengalami krisis (paceklik) memiliki kondisi kesejahteraan yang sangat miskin. Sunarti et al. (2010) meneliti terkait indikator kerentanan keluarga petani dan nelayan untuk mengurangi resiko bencana di sektor pertanian. Penelitian tersebut dilakukan di Indramayu selama tiga tahun. Hasil penelitian dari aspek strategi koping menunjukkan bahwa tindakan yang paling banyak dilakukan keluarga nelayan ketika kerentanan terjadi yaitu strategi koping penghematan pengeluaran diantaranya berupa tindakan mengurangi konsumsi pangan, melewati hari-hari tanpa makan dan mencari makanan yang lebih murah. Berdasarkan uraian di atas, persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada obyek yang diteliti yaitu keluarga korban bencana. Hal yang membedakan dari penelitian sebelumnya terletak pada mata pencaharian contoh yang diteliti dalam penelitian ini yaitu mayoritas sebagai buruh tani.
17
KERANGKA PEMIKIRAN Siklus kehidupan manusia termasuk keluarga terkadang mengalami peristiwa atau keadaan yang tidak menyenangkan yang menjadi sumber tekanan (stressor). Salah satu sumber stressor yaitu ketika keluarga terkena dampak musibah bencana alam. Keadaan tersebut menjadi input eksternal negatif yang menjadikan keluarga harus melakukan strategi koping sebagai bentuk adaptasi untuk bertahan hidup. Selain mengalami tekanan/stres, dampak bencana alam juga berkaitan dengan penurunan kondisi fisik, sosial, dan ekonomi yang akan mempengaruhi kualitas hidup keluarga. Sunarti (2009) menyatakan bahwa ketangguhan bangsa dan masyarakat terhadap bencana dapat dilihat dengan menganalisis dan mengidentifikasi kerentanannya (vulnerability). Ketangguhan tersebut
menunjukkan
kemampuan
seseorang
dalam
mengembangkan
mekanisme koping (Sunarti 2007). Keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang kuat dan sukses dalam mengatasi berbagai masalah. Pemilihan strategi koping individu bagi individu tergantung dari masalah yang dihadapi dan bentuknya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Cooper dan Payne (1991) menyatakan bahwa individu tidak hanya menggunakan satu strategi koping saja melainkan beberapa strategi yang dinilai tepat dan sesuai dengan dirinya. Dampak bencana yang berpengaruh terhadap berbagai aspek baik ekonomi, sosial, maupun psikologis mendorong keluarga melakukan strategi koping. Puspitawati (2012) mengelompokkan strategi koping keluarga menjadi dua yaitu strategi penghematan pengeluaran (Cutting-back expenses) dan strategi penambahan pendapatan (Income generating strategy). Selain strategi koping, juga dilihat bentuk dukungan sosial yang diterima keluarga pasca terjadinya bencana dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga. Cutrona (1996) menyebutkan bentuk-bentuk dukungan
sosial meliputi dukungan
emosi,
instrumen, informasi, dan penghargaan. Bentuk dukungan yang diberikan kepada keluarga korban bencana meliputi dukungan emosi, instrumen, dan informasi. Ditinjau dari perolehan dukungan, sumber dukungan tersebut berasal dari keluarga, masyarakat, lembaga sosial kemasyarakatan, dan pemerintah dalam bentuk dukungan emosi, instrumen, dan informasi.
18
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga: Usia suami-istri Ukuran keluarga Pendidikan suami-istri Pekerjaan suami-istri Keadaan rumah Kepemilikan aset Pendapatan total per bulan dan pendapatan per kapita per bulan
Dukungan sosial Dukungan emosi Dukungan instrumen Dukungan informasi
Strategi koping keluarga Strategi penghematan pengeluaran Strategi penambahan pendapatan
Stres akibat dampak bencana
Kesejahteraan keluarga - Kesejahteraan keluarga subyektif - Kesejahteraan keluarga obyektif
Bencana alam
Keterangan:
= variabel yang diteliti
= garis hubung yang diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran
19
METODE PENELITIAN Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study yaitu pengamatan yang dilakukan satu kali pada satu waktu yang sama. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian program Strategi Nasional DIKTI yang berjudul “Pengembangan Model Pemasaran Sosial Siaga Bencana di Daerah Rawan Gempa” oleh Krisnatuti, Retnaningsih, dan Rahmayani pada tahun 2011-2012. Kabupaten Bandung dipilih sebagai lokasi penelitian secara purposive dengan pertimbangan bahwa kawasan tersebut termasuk daerah rawan bencana sebagai akibat adanya aktivitas pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia (Surono 2009). Secara geografis, Kecamatan Rancabali merupakan dataran rendah
yang
didominasi
perkebunan
teh
milik
pemerintah,
sedangkan
Kutawaringin merupakan dataran tinggi/perbukitan yang didominasi oleh pertanian hortikultura. Waktu penelitian dan penulisan skripsi dimulai dari Juni 2012 hingga April 2013. Cara Pengambilan Contoh Populasi penelitian ini adalah keluarga yang pernah mengalami bencana alam di Bandung. Penarikan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria keluarga yang pernah mengalami bencana dan tinggal di daerah rawan bencana serta bersedia untuk diwawancara. Mekanisme pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 2. Tahap pertama, wilayah penelitian dipilih secara purpossive dengan kriteria wilayah yang memiliki indeks rawan bencana tertinggi dan terdapat ratusan korban akibat bencana alam. Kecamatan Rancabali dan Kutawaringin dipilih sebagai lokasi penelitian karena menurut BPBD Kabupaten Bandung tahun 2012, daerah tersebut merupakan daerah dengan korban bencana terbanyak dan termasuk paling rawan terhadap bencana. Tahap kedua, dari masing-masing kecamatan dipilih secara purpossive dua desa yang memiliki korban bencana terbanyak dan memiliki titik bencana terparah. Desa yang dijadikan lokasi penelitian yaitu Desa Cipelah, Sukaresmi, Kutawaringin, Sukamulya. Tahap ketiga, setiap desa terpilih diambil contoh secara purpossive sebanyak 50 keluarga yang tercatat sebagai keluarga yang mengalami dampak bencana alam dengan tempat tinggal berada di daerah rawan bencana (longsor) dan bersedia diwawancara. Total contoh dalam penelitian ini sebanyak 200 keluarga.
20
Kabupaten Bandung
Kecamatan Rancabali
Kecamatan Kutawaringin
Desa Cipelah
Desa Sukaresmi
Desa Kutawaringin
Desa Sukamulya
50 keluarga
50 keluarga
50 keluarga
50 keluarga
n = 200 keluarga
Gambar 2 Mekanisme pengambilan contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan kuisioner sebagai alat pengumpul data utama. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik
keluarga
(usia,
pendidikan,
pekerjaan,
kepemilikan
aset,
pendapatan per bulan dan pendapatan/kapita/bulan keluarga), strategi koping (strategi koping penghematan pengeluaran dan penambahan pendapatan), dukungan sosial (dukungan emosi, dukungan instrumen, dukungan informasi), dan kesejahteraan keluarga (kesejahteraan subyektif dan obyektif). Kuesioner strategi koping yang digunakan diacu dari Puspitawati (1998) dengan nilai Cronbach alpha sebesar 0,820. Kuesioner dukungan sosial dikembangkan dari penelitian Tati (2004). Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa kuesioner dukungan sosial memiliki nilai Cronbach alpha sebesar 0,893. Kesejahteraan subyektif diukur menggunakan kuesioner yang diacu dari Puspitawati (2012) dengan nilai Cronbach alpha sebesar 0,847 sedangkan kesejahteraan obyektif dilihat dari penghasilan perkapita perbulan keluarga yang mengacu pada Garis Kemiskinan (GK) pedesaan Kabupaten Jawa Barat tahun 2011 sebesar Rp 209.777,0. Data sekunder meliputi data potensi, kondisi geografis dan jumlah penduduk yang diperoleh dari kantor desa dimasing-masing kecamatan, data kondisi kebencanaan di Jawa Barat diperoleh dari BNPB dan data jumlah penduduk Jawa Barat diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu digunakan juga literatur-literatur berupa buku, artikel, jurnal, internet, yang
21
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga terkait serta bahan pustaka yang diambil dari hasil penelitian sebelumnya. Data sekunder digunakan sebagai acuan dalam penelitian sehingga permasalahan yang diteliti dapat dipahami secara lebih mendalam. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry, cleaning, dan analyzing. Editing meliputi pengecekan mengenai kelengkapan isi yang dapat diterima pada kuesioner serta konsistensi jawaban antara satu pertanyaan dengan pertanyaan lain. Coding dilakukan berupa penyusunan kode sebagai panduan entri dan pengolahan data. Sistem skoring dilakukan dengan menjumlahkan dan mengkategorikan dengan menggunakan teknik scoring. Entri data dilakukan setelah melakukan skoring yang dilanjutkan dengan cleaning berupa pengecekan kesesuaian data. Data dianalisis secara deskriptif dan inferensial dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) for Windows versi 17.0. Karakteristik keluarga meliputi usia, besar keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan, besar pendapatan keluarga/kapita/bulan, kepemilikan aset. Dukungan sosial dilihat dari perolehan dukungan emosi, instrumen, dan informasi yang diperoleh dari keluarga luas, tetangga, dan pemerintah. Kesejahteraan keluarga dilihat berdasarkan dua pendekatan yaitu kesejahteraan subyektif dan obyektif. Variabel, skala dan kategori skor data ditunjukkan oleh Tabel 1. Sistem skoring pada seluruh variable dibuat konsisten yaitu semakin tinggi skor maka semakin tinggi kategorinya. Setelah itu dijumlahkan dan dikategorikan menggunakan teknik skoring secara normatif. Teknik ini digunakan untuk variabel dukungan sosial dan strategi koping. Berdasarkan Slamet (1993), interval kelas ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut: Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) - Skor Minimum (SMi) Jumlah kategori Pengelompokan kategori adalah sebagai berikut: Rendah/Kurang
= SMi sampai (SMi + IK)
Sedang
= (SMi + IK)+1 sampai (SMi +2IK)
Tinggi/Baik
= (SMi 2IK)+1 sampai SMa
22
Tabel 1 Variabel data, skala data, dan kategori skor data Variabel Karakteristik keluarga Usia
Besar keluarga
Tingkat Pendidikan
Pekerjaan
Skala Data
Kategori Data
Rasio
Hurlock (1998): Dewasa muda: 18-40 tahun Dewasa madya: 41-60 tahun Dewasa tua: >60 tahun
Rasio
BKKBN (2008): Kecil : ≤ 4 orang Sedang: 5-7 orang Besar : ≥ 8 orang.
Ordinal
1: Tidak sekolah 2: Tidak tamat SD 3: Tamat SD 4: Tamat SMP 5: Tamat SMA 6:Tamat diploma/ sarjana
Nominal
akademi/
0. Tidak bekerja 1. Wiraswasta 2. PNS 3. Pegawai Swasta 4. Buruh 5: Pensiunan 6: Petani 7: Lainnya
Besar pendapatan keluarga/bln
Rasio
1.< Rp 500.000 2.Rp 500.001-Rp 1.000.000 3. Rp 1.000.001-Rp 1.500.000 4. Rp 1.500.001-Rp 2.000.000 5. > Rp 2000.000
Kondisi rumah
Nominal
1. Ya 0. Tidak
Kepemilikan aset
Nominal
1. Ya 0. Tidak
Besar pendapatan/kap/bln
Dukungan sosial Dukungan Keluarga Luas (emosi, instrumen, informasi) Dukungan Tetangga (emosi, instrumen, informasi) Dukungan Pemerintah (emosi, instrumen, informasi)
Rasio
Ordinal Ordinal Ordinal
Garis kemiskinan pedesaan, Propinsi Jawa Barat (BPS 2011): 1. < Rp 209.777 2. Rp 209.777- Rp 419.554 3. Rp 419.555-629.331 4. > Rp 629.332
Tati (2004) Rendah : 0-33.3 % Sedang : 33.4-66.7 % Tinggi : 66.8-100%
23
Tabel 1 Lanjutan Variabel Strategi koping Strategi penghematan pengeluaran Strategi penambahan pendapatan Kesejahteraan - Kesejahteraan subyektif
- Kesejahteraan obyektif
Skala Data Ordinal Ordinal
Ordinal
Rasio
Kategori Data (Puspitawati 1998) Rendah : 0-33.3.% Sedang : 33.4-66.7 % Tinggi : 66.8-100%
(Puspitawati 1998) 1) Tidak puas 2) Kurang puas 3) Puas Garis kemiskinan pedesaan, Propinsi Jawa Barat (BPS 2011) 1. Tidak Sejahtera (< Rp 209.777) 2. Sejahtera (> Rp 209.777)
Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Uji deskriptif digunakan berupa tabulasi silang dan rata-rata. Uji deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik keluarga, strategi koping, dukungan sosial, kesejahteraan subyektif dan obyektif keluarga. 2. Uji independent t-test untuk menguji signifikansi perbedaan strategi koping, dukungan sosial dan kesejahteraan keluarga berdasarkan perbedaan daerah yaitu Kecamatan Rancabali (daerah perkebunan teh milik pemerintah) dan Kutawaringin (daerah dataran tinggi dan didominasi pertanian hortikultura). 3. Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan strategi koping, dukungan sosial, kesejahteraan subyektif dan obyektif; menganalisis hubungan antar variabel strategi koping, dan dukungan sosial; menganalisis hubungan strategi koping dan dukungan sosial dengan kesejahteraan keluarga. 4. Analisis regresi linear digunakan untuk mengetahui pengaruh karakteristik sosial ekonomi keluarga, stretegi koping, dan dukungan sosial terhadap kesejahteraan keluarga.
24
Definisi Operasional Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan darah atau adopsi, terdiri dari suami, istri, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya. Responden adalah ibu dari keluarga korban bencana. Keluarga korban bencana adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan darah atau adopsi, terdiri dari suami, istri, dan anakanak serta anggota keluarga lainnya yang pernah mengalami kejadian bencana maupun yang terancam terhadap bencana longsor baik yang mengalami kerugian jiwa, kerusakan harta benda maupun dampak negatif pada psikologis. Contoh adalah keluarga korban bencana longsor maupun yang tinggal di daerah rawan longsor yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Karakteristik keluarga adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh masing-masing keluarga seperti usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga, kepemilikan aset, pendapatan, dan pengeluaran keluarga. Usia adalah lama hidup anggota keluarga yang dialami sampai pada saat penelitian ini dilakukan. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh suami-istri. Besar keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah. Jumlah kepemilikan aset adalah kekayaan yang dimiliki keluarga berupa kepemilikan tanah/lahan, kendaraan, rumah, hewan ternak dan barang elektronik. Pendapatan total keluarga per bulan adalah total pemasukan yang diperoleh suami, istri, anak serta keluarga lainnya ditambah sumber pemasukan lain selain itu (misalnya BLT, raskin, PKH) yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. Pendapatan per kapita rata-rata keluarga adalah penghasilan yang diperoleh keluarga dari seluruh anggota keluarga baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan yang dikonversikan per bulan dibagi jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan.
25
Strategi koping keluarga adalah respon perilaku yang digunakan keluarga untuk memecahkan masalah yang dihadapi keluarga untuk mengurangi stres yang diakibatkan oleh kejadian tertentu. Dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh keluarga contoh dari keluarga luas, tetangga dan pemerintah dalam bentuk dukungan emosi, instrumen, dan informasi. Dukungan sosial keluarga luas adalah persepsi dukungan dalam bentuk emosi, instrumen dan informasi yang diterima keluarga dari keluarga besarnya baik keluarga besar dari suami maupun istri. Dukungan sosial tetangga adalah persepsi dukungan yang berasal dari tetangga tempat keluarga tinggal yang diwujudkan dalam bentuk emosi, instrumen dan informasi kepada keluarga didaerah rawan bencana longsor. Dukungan sosial pemerintah adalah persepsi dukungan yang diterima keluarga di daerah rawan longsor yang berasal dari lembaga sosial maupun pemerintah melalui aparat desa dan kelurahan. Dukungan emosi adalah dukungan dalam bentuk perhatian, ungkapan kasih sayang, dan ekspresi yang diberikan orang-orang di sekitar keluarga contoh. Dukungan instrumen adalah bantuan secara langsung baik bersifat finansial maupun bantuan dalam mengerjakan pekerjaan tertentu atau penyediaan fasilitas yang dibutuhkan untuk dapat meringankan pekerjaan. Dukungan informasi adalah berita atau pengetahuan yang diberikan pada keluarga contoh terkait masalah yang sedang dihadapi. Kesejahteraan keluarga adalah tingkatan keadaan keluarga baik secara fisik, ekonomi, dan psikologi yang dinilai secara subyektif dan obyektif. Kesejahteraan subyektif adalah kesejahteraan yang diukur dengan pendekatan tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh anggota keluarga sendiri bukan orang lain. Kesejahteraan obyektif adalah kesejahteraan yang diukur berdasarkan Garis Kemiskinan (GK) Jawa barat BPS 2011.
26
27
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Penelitian Dilihat dari posisi geografis, Kabaputen Bandung terletak pada 107º 22’108º 50’ bujur timur dan 6º 41’-7º 19’ lintang selatan, sedangkan berdasarkan topografinya
sebagian
besar
wilayah
Kabupaten
Bandung
merupakan
pegunungan atau daerah perbukitan dengan ketinggian di atas permukaan laut bervariasi dari 500 m sampai 1.800 m. Luas wilayah Kabupaten Bandung tercatat seluas 1.762,39 Km atau 176.238,67 Ha. Wilayah ini dibagi menjadi kategori luas lahan pertanian sawah, luas lahan pertanian bukan sawah dan luas lahan non-pertanian Batas wilayah Kabupaten Bandung: a. Utara : Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Sumedang b. Timur
: Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut
c. Selatan : Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur d. Barat
: Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi
Jumlah penduduk Kabupaten Bandung tahun 2009 sebanyak 3,1 juta jiwa dengan komposisi jumlah perempuan sebanyak 1,5 juta dan laki-laki 1,6 juta. Jumlah penduduk produktif mencapai 64,89 persen dengan pertanian sebagai sektor terbesar mata pencaharian penduduk. Kabupaten Bandung memiliki 31 kecamatan, 267 desa, dan 9 kelurahan. Propinsi Jawa Barat dinyatakan oleh BNPB (2011) sebagai daerah dengan indeks kerawanan bencana tertinggi kedua setelah Jawa Tengah. Hal tersebut didukung oleh kondisi geografis yang terdiri dari rangkaian pegunungan. Wilayah Kabupaten Bandung menempati rangking 3 nasional dalam indeks kerawanan tanah longsor. Selain longsor, indeks kerawanan terhadap kejadian gempa sebagian besar terdapat di Kabupaten Bandung. Tahun 2009 terjadi bencana gempa berpusat di Tasikmalaya yang berdampak pada 15 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. Gempa tersebut terjadi akibat tumbukan lempeng IndoAustralia dengan Indo Eurasia yang berada di Pulau Jawa. Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten yang terkena dampak terparah dengan korban jiwa terbanyak dibandingkan kabupaten lain (Tabel 1). Total jumlah korban gempa dan tanah longsor di Jawa Barat tahun 2009 sekitar 959 jiwa (BNPB 2011).
28
Tabel 2 Jumlah korban jiwa dan pengungsi kejadian gempa Tasikmalaya tahun 2009 No
Korban Jiwa
Kab/Kota Meninggal
Luka-luka
Hilang
Korban Mengungsi KK Jiwa
Jawa Barat 23 Kab. Bandung 771 0 19,165 75,805 0 Kab. Bandung Barat 16 0 0 2,369 2 Kab. Bogor 17 0 163 663 8 Kab. Ciamis 123 0 8,919 26,400 28 Kab. Cianjur 21 42 2,389 10,047 8 Kab. Garut 190 0 10,273 40,894 0 Kota Banjar 4 0 0 0 5 Kota Tasikmalaya 22 0 0 3,387 0 Kab. Kuningan 0 0 69 246 0 Kab. Majalengka 0 0 0 0 0 Kab. Purwakarta 0 0 0 0 2 Kab. Sukabumi 14 0 519 1,029 5 Kab. Tasikmalaya 109 0 9,467 33,962 0 Kab. Subang 0 0 0 0 0 Kota Sukabumi 0 0 0 0 Jawa Tengah 0 16 Kab. Cilacap 10 0 0 1,388 Jumlah 81 1,297 42 50,964 196,107 sumber: PODES 2008-Jawa Barat dalam angka 2008 diolah oleh tim DaLA PSB IPB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Menurut data BPBD kabupaten bandung tahun 2011, kejadian bencana alam banyak terjadi di beberapa kecamatan. Kecamatan Kutawaringin dan Rancabali merupakan salah satu bagian dari wilayah kecamatan di Kabupaten Bandung yang dinyatakan memiliki indeks kerawanan bencana gempa dan tanah longsor yang cukup parah serta termasuk wilayah dengan korban bencana yang cukup banyak. Kedua kecamatan tersebut memiliki luas wilayah masing-masing sebesar 11219,20 Ha dan 4430,90 Ha. Kecamatan Kutawaringin terletak di perbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dengan luas wilayah mencapai 3/4 dari luas wilayah Kecamatan Soreang sebelum terjadi pemekaran. Topografi wilayah ini cenderung berbukit-bukit di sebelah barat, sedangkan kawasan timurnya adalah dataran pesawahan yang cukup luas membentang sampai ke lembah Sungai Ciwidey. Jumlah penduduk Kutawaringin tahun 2009 sebesar 89.544 jiwa. Kecamatan ini terdiri atas 489 RT, 164 RW dan 38 dusun. Berbeda dengan Kutawaringin, topografi Kecamatan Rancabali didominasi lereng/punggung bukit. Jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 47.700 jiwa
29
dengan perkebunan dan buruh pertanian mendominasi mata pencaharian penduduk. Kecamatan tersebut memiliki 281 RT, 82 RW dan 17 dusun. Di Kecamatan Rancabali terdapat perkebunan teh di bawah naungan perusahaan milik swasta dan pemerintah. Kejadian bencana tahun 2009 merusak bangunan milik warga dan terdapat ratusan korban jiwa akibat gempa maupun tanah longsor. Dua desa di Kecamatan Rancabali yang rawan terhadap bencana longsor yaitu Desa Cipelah dan Sukaresmi. Karakteristik Keluarga Contoh Usia Usia dapat dijadikan ukuran untuk melihat kemampuan berfikir dan menyelesaikan masalah dalam diri seseorang. Hal ini disebabkan karena setiap tahapan/periode usia memiliki kemampuan menyelesaikan masalah sesuai dengan tahapan usianya (Hultsch dan Deutsh 1981). Tabel 3 Sebaran contoh menurut usia suami-istri Karakteristik Usia Suami Dewasa muda (18 - 40 tahun) Dewasa madya (41 - 60 tahun) Dewasa akhir (> 60 tahun) Total Min-maks Rataan p-value Usia Istri Dewasa muda (18 - 40 tahun) Dewasa madya (41 - 60 tahun) Dewasa akhir (> 60 tahun) Total Min-max Rataan p-value
Rancabali n %
Kutawaringin n %
Total n
47 46.1 49.0 50 5 4.9 102 100.0 22-80 43.18±0.58
45.9 45 39 39.8 14 14.3 98 100.0 22-85 45.34±0.71 0.246
46.0 92 89 44.5 19 9.5 200 100.0 22-85 44.24±0.65
64 62.7 36 35.3 2 2.0 102 100.0 19-65 37.68±0.52
63 64.3 31 31.6 4 4.1 98 100.0 18-75 37.46±0.56 0.894
63.5 127 67 33.5 6 3.0 200 100.0 18-75 37.57±0.54
%
Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase tertinggi usia suami (46.0%) dan istri (63.5%) di kedua kecamatan berada pada kategori dewasa muda (18-40 tahun). Terdapat perbedaan sebaran kategori usia suami antara kecamatan Rancabali dengan Kutawaringin namun perbedaan tersebut tidak signifikan (pvalue >0.05). Persentase terbesar suami (49.0%) di Rancabali termasuk dalam kategori dewasa madya (41-60 tahun) sedangkan di Kutawaringin (49.5%) termasuk kategori dewasa muda (18-40 tahun). Lebih dari setengah contoh istri baik di Rancabali (62.7%) maupun Kutawaringin (64.3%) berada pada kategori usia dewasa muda (18-40 tahun).
30
Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan faktor penting dalam menentukan kemampuan berfikir dan bersikap seseorang dalam menghadapi masalah. Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan bahwa pendidikan membentuk cara, pola, kemampuan berfikir, pemahaman dan kepribadian seseorang. Hal tersebut yang mempengaruhi
kemampuan
seseorang
dalam
menganalisis
masalah,
menentukan strategi koping dan membuat keputusan yang tepat saat dihadapkan dengan situasi yang tidak diinginkan. Selain itu, pendidikan juga mempengaruhi kemampuan keluarga dalam mencapai keadaan sosial ekonomi dan kesejahteraan yang lebih baik. Tabel 4 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan suami-istri Pendidikan Pendidikan Suami Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Total Pendidikan Istri Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Total
Rancabali n
%
Kutawaringin n %
Total n
%
0 6 73 14 7 2 102
0 5.9 71.6 13.7 6.9 2.0 100.0
4 15 62 6 8 3 98
4.1 15.3 63.3 6.1 8.2 3.1 100.0
4 21 135 20 15 5 200
2.0 10.5 67.5 10.0 7.5 2.5 100.0
0 4 78 10 9 1 102
0 3.9 76.5 9.8 8.8 1.0 100.0
5 18 62 9 2 2 98
5.1 18.4 63.3 9.2 2.0 2.0 100.0
5 22 140 19 11 3 200
2.5 11.0 70.0 9.5 5.5 1.5 100.0
Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase terbesar pendidikan suami-istri di kedua kecamatan hanya sampai tamat SD. Lebih dari setengah contoh pendidikan suami baik di Kecamatan Rancabali (71.6%) maupun Kutawaringin (63.3%) menamatkan pendidikannya sampai tingkat SD. Begitupula dengan pendidikan istri di kedua kecamatan, sebanyak 70 persen istri berpendidikan sampai SD. Di Kecamatan Kutawaringin terdapat 4 persen suami dan 5 persen istri yang tidak pernah merasakan pendidikan formal sekolah. Diantara kedua kecamatan, persentase suami-istri yang pendidikannya mencapai jenjang SMA maupun perguruan tinggi tergolong sedikit yaitu suami sekitar 7.5 persen dan istri sebesar sekitar 5.5 persen.
31
Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah yang terdiri dari suami, istri, anak dan anggota keluarga lainnya. Tabel 5 menunjukkan persentase terbesar (70.5%) keluarga contoh di kedua kecamatan masuk dalam kategori keluarga kecil (≤4 orang) dengan rata-rata jumlah anggota sebesar 4 orang. Keluarga contoh yang besar keluarga diatas 8 orang sebanyak sekitar 2 persen. Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di daerah tersebut dan adanya kesadaran keluarga dalam mengukur kemampuan ekonomi yang disesuaikan dengan jumlah tanggungan anggota keluarga. Rambe (2004) menyatakan bahwa semakin sedikit anggota keluarga maka beban tanggungan keluarga semakin kecil. Jumlah anak yang cukup besar dapat menjadi pemicu stres dalam keluarga karena biasanya akan bermasalah dalam pemenuhan kebutuhan pokok (Pulungan 1993 diacu dalam Cahyaningsih 1999). Tabel 5 Sebaran contoh menurut besar keluarga Karakteristik Keluarga Kecil (≤4 orang) Keluarga Sedang (5-7 orang) Keluarga Besar (≥8 orang) Total Min-max Rataan p-value
Rancabali n % 68.6 70 32 31.4 0 0.0 102 100.0 2-7 4.02
Kutawaringin n % 72.4 71 25 25.5 2 2.0 98 100.0 2-9 3.85 0.795
Total n 141 57 2 200
% 70.5 28.5 1.0 100.0 2-9 3.94
Kepemilikan Aset Kepemilikan aset keluarga meliputi kepemilikan lahan, kendaraan, hewan ternak, barang elektronik, perhiasan dan tabungan. Aset merupakan segala sesuatu yang dimiliki keluarga dan memiliki nilai tukar serta dapat digunakan untuk mencapai tujuan (Khasanah 2011). Bryant (1990) menyebutkan bahwa aset merupakan alat pemuas kebutuhan yang dapat membantu mencapai kesejahteraan. Keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset sedikit karena aset tersebut sewaktu-waktu bisa dijual maupun dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Televisi dan handphone merupakan barang elektronik terbanyak yang dimiliki keluarga dengan persentase masing-masing sebesar 88.5 persen dan 71.0 persen. Aset kendaraan terbanyak (45.5%) yang dimiliki berupa sepeda
32
motor. Lokasi desa yang jauh dari pusat perkotaan dan berupa dataran tinggi, menjadikan masyarakat lebih memilih motor sebagai kendaraan utama. Terdapat perbedaan
persentase
kepemilikan
lahan
antara
Rancabali
dengan
Kutawaringin. Lahan yang paling banyak dimiliki keluarga contoh di Rancabali berupa kolam ikan (53.9%) sedangkan di Kutawaringin berupa pekarangan (44.0%). Hal ini dikarenakan banyaknya keluarga contoh di daerah perkebunan (Rancabali) yang menjadikan kolam ikan sebagai alternatif sumber lauk bagi keluarga
dibandingkan
dengan
masyarakat
di
daerah
dataran
tinggi
(Kutawaringin). Selain itu, perbedaan kepemilikan aset juga dapat di lihat dari ternak yang dihasilkan dimana ikan (52.0%) lebih banyak dihasilkan di Rancabali sedangkan keluarga di Kutawaringin paling banyak (12.0%) beternak kambing. Tabel 6 Sebaran contoh menurut kepemilikan aset Nama Barang Kepemilikan Lahan Kebun Pekarangan Sawah Kolam ikan Kendaraan Mobil/angkot/truk dsb Motor Sepeda Kepemilikan Hewan Ternak Ayam Bebek/itik Kambing Sapi/Kerbau Ikan Kepemilikan Barang Elektronik Televisi Radio/tape/compo VCD/DVD player Lemari es/Kulkas Mesin Cuci Rice cooker Blender/mixer Handphone Komputer/laptop Perhiasan dan tabungan Macam perhiasan Tabungan (suami-istri)
Rancabali n %
Kutawaringin n %
Total n
%
30 49 5 55
29.4 48.0 4.9 53.9
32 43 14 3
32.7 43.9 14.3 3.1
62 92 19 58
31.0 46.0 9.5 29.0
5 42 12
4.9 41.2 11.8
2 49 19
2.0 50.0 19.4
7 91 31
3.5 45.5 15.5
27 4 5 8 53
26.5 3.9 4.9 7.8 52.0
36 6 12 1 6
36.7 6.1 12.2 1.0 6.1
63 10 17 9 59
31.5 5.0 8.5 4.5 29.5
94 40 67 15 2 51 18 85 8
92.2 39.2 65.7 14.7 2.0 50.0 17.6 83.3 7.8
83 42 45 16 5 54 20 57 5
84.7 42.9 45.9 16.3 5.1 55.1 20.4 58.2 5.1
177 82 112 31 7 105 38 142 13
88.5 41.0 56.0 15.5 3.5 52.5 19.0 71.0 6.5
47 20
46.1 19.6
38 12
38.8 12.2
85 32
42.5 16.0
Keadaan Rumah Rumah merupakan tempat tinggal utama bagi keluarga yang didalamnya terdapat berbagi aktivitas fisik maupun non-fsik. Keluarga yang sehat dan sejahtera, dapat dilihat dari kondisi rumahnya. Dalam pengukuran tingkat
33
kesejahteraan keluarga yang dilakukan BPS, keadaan rumah menjadi salah satu parameternya. Tabel 7 menunjukkan lebih dari dua pertiga keluarga contoh memiliki rumah sendiri (68.5%), tipe dinding terbuat dari bambu (52.0%), beratap genteng (98.0%) dan memiliki lantai terbuat dari papan (45.5%). Beberapa perbedaan kondisi rumah antara masyarakat Kutawaringin dengan Rancabali meliputi status kepemilikan rumah, jenis dinding dan tipe lantai. Persentase tertinggi keluarga contoh di Rancabali memiliki rumah dengan status milik pemerintah (49.0%) dengan jenis dinding bambu (61.8%) dan lantai berupa papan (60.8%) sedangkan keluarga contoh di Kutawaringin memiliki rumah dengan status sendiri (92.9%), berdinding tembok (54.0%) dan tipe lantai berupa keramik (45.9%). Tabel 7 Sebaran contoh menurut keadaan rumah Keadaan Rumah Status Kepemilikan Rumah Sendiri Orang tua Pemerintah Saudara Total Tipe Dinding Bambu Kayu Tembok Sebagian Tembok Triplek Total Tipe Atap Genteng Seng Asbes Total Tipe Lantai Keramik Ubin Semen Tanah Papan Lain-lain Total
Rancabali n %
Kutawaringin n %
n
Total %
46 5 50 1 102
45.1 4.9 49.0 1.0 100.0
91 7 0 0 98
92.9 7.1 0 0 100.0
137 12 50 1 200
68.5 6.0 25.0 0.5 100.0
63 9 8 20 2 102
61.8 8.8 7.8 19.6 2.0 100.0
41 2 1 53 1 98
41.8 2.0 1.0 54.1 1.0 100.0
104 11 9 73 3 200
52.0 5.5 4.5 36.5 1.5 100.0
98 2 2 102
96.1 2.0 2.0 100.0
98 0 0 98
100.0 0 .0 100.0
196 2 2 200
98.0 1.0 1.0 100.0
22 10 6 0 62 1 102
21.6 9.8 5.9 0 60.8 1.0 100.0
45 14 6 4 29 0 98
45.9 14.3 6.1 4.1 29.6 0 100.0
67 24 12 4 91 1 200
33.5 12.0 6.0 2.0 45.5 0.5 100.0
Lebih dari setengah (61.8%) keluarga contoh keluarga di Rancabali berdinding bambu sedangkan masyarakat Kutawaringin sebesar 54.1 persen berdinding tembok. Selain itu, sebesar 60.8 persen masyarakat Rancabali memiliki lantai yang terbuat dari papan sedangkan mayoritas (49.1%)
34
masyarakat Kutawaringin lantainya terbuat dari keramik. Perbedaan keadaan rumah di kedua kecamatan tersebut dikarenakan sebagian dari masyarakat Rancabali bekerja dan tinggal di rumah dinas perkebunan milik milik pemerintah yang bentuk dan ukurannya homogen. Pekerjaan Utama Salah satu sumber utama pendapatan keluarga diperoleh dari upah pekerjaan.
Pekerjaan
merupakan
indikator
tunggal
terbaik
yang
dapat
menggambarkan kelas sosial seseorang (Engel et al. 1994). Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar (97.0%) keluarga contoh memiliki pekerjaan. Sekitar 3 persen suami berstatus tidak bekerja. Pekerjaan buruh dan wiraswasta merupakan pekerjaan utama yang dijalani oleh suami dengan persentase masing-masing sebesar 47 persen dan 23 persen.
Begitu pula
dengan pekerjaan istri. Tabel 8 Sebaran contoh menurut pekerjaan utama Karakteristik Pekerjaan Utama Ayah Tidak Bekerja Wiraswasta PNS Pegawai Swasta Buruh pertanian Pensiunan Petani Lainnya Total Pekerjaan Utama Ibu Tidak Bekerja Wiraswasta PNS Pegawai Swasta Buruh Pensiunan Petani Lainnya Total
n
Rancabali %
3 19 2 20 46 2 7 3 102
2.9 18.6 2.0 19.6 45.1 2.0 6.9 2.9 100.0
40 22 1 8 30 0 1 0 102
39.2 21.6 1.0 7.8 29.4 0 0 0 100.0
Kutawaringin n %
n
Total %
3 27 3 1 48 2 13 1 98
3.1 27.6 3.1 1.0 49.0 2.0 13.3 1.0 100.0
6 46 5 21 94 4 20 4 200
3.0 23.0 2.5 10.5 47.0 2.0 10.0 2.0 100.0
71 23 2 0 2 0 0 0 98
72.4 23.5 2.0 0 2.0 0 0 0 100.0
111 45 3 8 32 0 1 0 200
55.5 22.5 1.5 4.0 16.0 0 0.5 0 100.0
Persentase wiraswasta (22.5%) dan buruh (16.0%) menempati urutan tertinggi dibanding dengan jenis pekerjaan lain. Namun demikan, persentase istri yang tidak bekerja lebih banyak (55.5%) dari yang bekerja (44.5%). Terdapat perbedaan persentase total ibu yang tidak bekerja di kedua kecamatan tersebut. Persentase istri yang tidak bekerja di kecamatan Kutawaringin lebih banyak
35
(72.4%) dibanding di Rancabali (39.2%). Pendapatan per bulan dan pendapatan per kapita keluarga Pendapatan keluarga merupakan total pemasukan per bulan yang diterima keluarga. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar (41.5%) keluarga contoh memiliki penghasilan berkisar antara Rp 5.00.000-Rp 1.000.000. Sebanyak 14 persen keluarga contoh berpenghasilan di atas 2 juta namun demikian masih terdapat keluarga contoh yang berpenghasilan di bawah 500 ribu yaitu sebesar 9 persen. Jumlah keluarga contoh di Kutawaringin sebanyak 17.3 persen sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Rancabali yang berjumlah sekitar 2 persen. Perbedaan penghasilan kedua kecamatan tersebut tidak berbeda nyata (p-value >0.05). Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan total per bulan dan pendapatan per kapita per bulan Tingkat Penghasilan < Rp 500.000 Rp 500.000 – Rp 1.000.000 Rp1.000.001 – Rp 1.500.000 Rp1.500.001– Rp 2.000.000 > Rp 2.000.000 Total Rataan±Sd p-value < Rp 209.777 Rp 209.777- Rp 419.554 Rp 419.555-629.331 > Rp 629.332 Total Rataan±Sd p-value
Rancabali n % 2.0 1 50 49.0 27 26.5 12 11.8 12 11.8 102 100.0 1.325.063± 1.022.298 33 32.4 46 45.1 13 12.7 10 9.8 102 100.0 349070± 281201
Kutawaringin n % 17.3 17 33 33.7 21 21.4 11 11.2 16 16.3 98 100.0 1.281.439± 1.083.978 0.770 41 41.8 28 28.6 15 15.3 14 14.3 98 100.0 345181± 267154 0.922
Total n % 9.0 18 41.5 83 48 24.0 24 11.5 14.0 28 200 100.0 1.303.687± 1.050.545 37.0 74 37.0 74 28 14.0 24 12.0 200 100.0. 347.164± 281201
Sementara itu, pendapatan per kapita rata-rata keluarga merupakan total pendapatan keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan. Persentase tertinggi pendapatan per kapita keluarga contoh di kedua kecamatan berada pada rentang kurang dari Rp 209.777,0 dan Rp 209.777,0-Rp 419.554,0 yaitu sebanyak 37 persen. Persentase tertinggi (45.1%) pendapatan per kapita Kecamatan Rancabali berada pada ketegori Rp. 209.777,0-Rp 419.554,0 sedangkan Kutawaringin kurang dari Rp 209.777,0 sebesar 41.8 persen.
36
Strategi Koping A. Strategi Koping Menghemat Pengeluaran Strategi mengurangi pengeluaran untuk masalah pangan. Strategi koping dalam masalah pangan merupakan salah satu strategi yang paling banyak dilakukan keluarga contoh. Persentase tertinggi strategi koping yang dilakukan keluarga contoh dalam hal pangan diantaranya membeli pangan yang lebih murah (87.0%), mengurangi jenis pangan yang dibeli (85.0%), mengurangi minum teh/kopi/gula (67.0%), mengurangi jajan anak (63.0%), mengurangi porsi makan (55.5%) dan mengurangi frekuensi makan (47.0%). Strategi yang paling sedikit dilakukan yaitu melewati hari tanpa makan (12.5%). Keluarga contoh di Rancabali lebih banyak yang memilih strategi memilih pangan yang lebih murah dengan Persentase sedikit lebih tinggi (93.0%) dibandingkan yang dilakukan keluarga contoh di Kutawaringin (80.0%). Dalam hal pangan, lebih dari setengah contoh melakukan lima dari delapan strategi penghematan pengeluaran dalam masalah pangan. Strategi koping keluarga dalam masalah kesehatan. Upaya yang paling banyak dilakukan keluarga contoh untuk mengurangi pengeluaran dalam hal kesehatan diantaranya memilih tempat berobat yang murah (87.0%) dan mencari obat yang lebih murah harganya (80.5%), mengurangi pembelian rokok (75.0%) dan mengganti obat yang mahal dengan yang lebih murah (80.0%). Pemanfaatan obat tradisional lebih banyak dilakukan keluarga contoh di Rancabali (81.0%) dibandingkan Kutawaringin (66.3%). Upaya yang paling jarang dilakukan yaitu menangguhkan pengobatan saat ada keluarga yang sakit (40.5%). Strategi koping keluarga dalam masalah pendidikan. Strategi yang paling banyak dilakukan yaitu mengurangi uang saku anak sehari-hari (61.0%). Lebih dari dua pertiga keluarga contoh tidak memilih memberhentikan anak sekolah (21.5%) dan mengijinkan anak membolos (28.5%) sebagai pilihan koping dalam masalah pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anak menjadi prioritas penting untuk diberikan kepada anak. Strategi koping dalam masalah lainnya. Strategi koping penghematan lainnya merupakan jenis koping yang paling banyak dipilih keluarga contoh dibanding strategi lainnya. Urutan alternatif koping yang paling banyak dipilih yaitu mengurangi pembelian peralatan dapur (92.0%), mengurangi pembelian
37
perabot rumah tangga (90.0%), mengurangi pembelian pakaian (88.5%) dan mengurangi penggunaan listrik/telpon (84.0%). Tabel 10 Sebaran contoh menurut komponen strategi koping penghematan pengeluaran No
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4
Pernyataan Koping Penghematan Pengeluaran Pangan Mengurangi jenis pangan yang dibeli Membeli pangan yang lebih murah Mengurangi porsi makan (dari 1 piring menjadi ½ piring) Mengganti beras dengan makanan pokok lainnya (misalnya singkong) Mengurangi frekuensi makan (misalnya dari 2 kali menjadi 1 kali makan) Mengurangi minum teh/kopi/gula Mengurangi jajan anak Melewati hari-hari tanpa makan Kesehatan Mengganti obat mahal dengan yang lebih murah Mengganti obat kimia dengan ramuan tradisional Memilih tempat berobat yang murah Menangguhkan pengobatan jika ada keluarga yang sakit Mengurangi pembelian rokok Mengalihkan sebagian pengeluaran pangan untuk kesehatan Pendidikan Mengurangi uang saku anak sehari-hari Anak berhenti sekolah Anak terpaksa bolos sekolah (tidak ada biaya) Membeli seragam bekas/ menggunakan seragam bekas orang lain Membeli sepatu bekas Membeli buku bekas Lainnya Mengurangi penggunaan air/listrik/telepon Mengurangi pembelian pakaian Mengurangi pembelian perabot rumah tangga Mengurangi pembelian peralatan dapur
Rancabali %
Kutawaringin %
Total %
89.2 93.1
80.6 80.6
85.0 87.0
62.8
48.0
55.5
29.4
18.4
24.0
51.0 71.6 62.8 12.8
42.9 62.2 63.3 12.2
47.0 67.0 63.0 12.5
79.4
81.6
80.5
81.4
66.3
74,0
89.2 43.1
84.7 39.8
87.0 41.5
75.5 52.9
74.5 60.2
75.0 56.5
62.8 19.6
60.2 23.5
61.5 21.5
32.4
24.5
28.5
48.0 47.1 45.1
37.8 37.8 37.8
43.0 42.5 41.5
81.4 87.3
86.7 89.8
84.0 88.5
89.2 90.2
94.9 94.9
92.0 92.5
B. Strategi Koping Menambah Pendapatan Strategi penambahan untuk masalah pangan. Sebesar 83.5 persen keluarga contoh menerima makanan dari saudara sebagai alternatif koping penambahan pendapatan. Berhutang pangan (51.5%) merupakan strategi yang paling sedikit dipilih oleh keluarga contoh. Lebih dari setengah keluarga contoh yang memilih strategi meminjam uang (67.5%) dan memanfaatkan lahan kosong
38
(64.5%) sebagai strategi untuk menambah penambah pendapatan dalam hal pangan namun diantara kedua kecamatan tersebut, keluarga contoh di Rancabali memiliki persentase lebih tinggi (78.0%) dalam hal pemanfaatan lahan kosong dibandingkan keluarga contoh di Kutawaringin (50.0 %). Tabel 11 Sebaran contoh menurut komponen strategi koping penambahan pendapatan No
1 2 3 4 5 1 2 3
1 2 3 1 2 3 4
Pernyataan Strategi Koping Menambah Pendapatan Pangan Memanfaatkan lahan kosong untuk menanam tanaman Beternak ayam/ikan/lainnya Menerima makanan dari saudara Berhutang pangan Meminjam uang Kesehatan Memanfaakan tanah pekarangan untuk obat keluarga Meminta obat gratis ke puskesmas/ pusat kesehatan lainnya Anak bekerja untuk membantu orang tua dalam membayar biaya kesehatan Pendidikan Keluarga mengusahakan beasiswa untuk sekolah anak Meminta buku bekas ke sekolah/ tetangga Mencari orang tua asuh untuk menyekolahkan anak Lainnya Ibu memiliki pekerjaan sampingan Suami melakukan pekerjaan sampingan selain pekerjaan utama Mengontrakkan rumah/ lahan pertanian untuk menambah keuangan Menggadaikan barang-barang untuk kebutuhan sehari-hari
Rancabali %
Kutawaringin %
Total %
78.4
50.0
64.5
64.7 85.3 56.9 78.4
59.2 81.6 45.9 56.1
62.0 83.5 51.5 67.5
49.0
22.5
36.0
70.6
61.2
66.0
40.2
22.5
31.5
46.1
40.8
43.5
43.1
32.7
38.0
12.8
11.2
12.0
59.8 60.8
56.1 70.4
58.0 65.5
11.8
5.1
8.5
50.0
27.6
39.0
Strategi penambahan pendapatan untuk masalah kesehatan. Dalam mengatasi masalah kesehatan, lebih dari setengah keluarga contoh (66.0%) meminta obat gratis ke Puskesmas. Memanfaatkan tanah pekarangan untuk ditanami tanaman obat keluarga sebesar 36.0 persen keluarga contoh yang melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang masih belum memanfaatkan tanaman obat sebagai alternatif peningkatan kesehatan keluarga. Selain itu juga, diduga masyarakat masih banyak yang belum mengetahui manfaat yang terkandung dalam tanaman obat.
39
Strategi penambahan pendapatan untuk masalah pendidikan. Strategi mencari orang tua asuh merupakan pilihan yang paling sedikit dipilih keluarga contoh dalam mengatasi masalah pendidikan anak yaitu sebesar 12 persen. Begitupun dengan usaha mencari buku bekas ke saudara/sekolah, sebanyak 38.0 persen keluarga contoh yang memilih strategi tersebut. Strategi yang paling banyak dipilih adalah mengusahakan beasiswa untuk sekolah anak (43.5%). Strategi penambahan pendapatan untuk masalah lainnya. Persentase keluarga contoh di Kutawaringin dalam melakukan pekerjaan sampingan oleh suami lebih tinggi (70.0%) dibandingkan Kutawaringin (60.0%). Selain suami, sebanyak 58 persen istri juga memiliki pekerjaan sampingan. Keluarga contoh yang mengontrakkan rumah/lahan pertanian sebagai strategi penambahan pendapatan sebesar 8.5 persen. Hal ini diduga mereka memiliki rumah/lahan yang cukup untuk tempat tinggal mereka saja. Persentase keluarga contoh di Rancabali
memiliki
persentase
yang
lebih
tinggi
(11.0%)
dalam
hal
mengontrakkan lahan pertanian dibandingkan Kutawaringin (5.0%). Pada penelitian ini, strategi koping keluarga contoh dilihat dari dua dimensi yaitu strategi koping penghematan pengeluaran dan penambahan pendapatan (Tabel 12). Berdasarkan dua jenis strategi koping tersebut, strategi penghematan pengeluaran memiliki persentase kategori tinggi yang lebih besar (18.5%) dibandingkan dengan strategi penambahan pendapatan (8.0%). Simanjuntak (2010) yang menyatakan bahwa dalam strategi koping fungsi ekonomi, keluarga lebih banyak melakukan strategi koping penghematan pengeluaran daripada menambah pendapatan. Tabel 12 Sebaran contoh menurut kategori koping penghematan pengeluaran dan penambahan pendapatan Rancabali Kutawaringin n % n % Strategi Koping Penghematan Pengeluaran Rendah (<60) 56 54.9 53 54.1 Sedang (60-80) 22 21.6 32 32.7 23.5 Tinggi (>80) 24 13 13.3 Rata-rata±SD 62.37±21.53 58.46±20.49 p-value 0.189 Strategi Koping Penambahan Pendapatan 74.5 Rendah (<60) 57 55.9 73 Sedang (60-80) 32 31.4 22 22.4 12.7 Tinggi (>80) 13 3 3.1 Rata-rata±SD 53.85±19.87 42.85±19.28 p-value 0.000 Kategori Skor
Total n
%
109 54.5 54 27.0 37 18.5 60.4±21.06
130 65.0 54 27.0 16 8.0 48.4±20.30
40
Keluarga contoh di daerah dataran rendah perkebunan teh (Rancabali) memiliki persentase yang lebih tinggi dalam melakukan koping penambahan pendapatan dibandingkan dataran tinggi pertanian hortikultur (Kutawaringin) dengan perbedaan signifikan (p-value <0.05). Hal ini diduga karena ketersediaan sumberdaya koping di Rancabali berupa ternak ikan di kolam yang menjadi aset keluarga lebih banyak dibandingkan di Kutawaringin sehingga hal tersebut dapat mendukung upaya strategi koping penambahan pendapatan keluarga contoh di Rancabali. Begitupun dengan strategi penghematan pengeluaran namun perbedaannya tidak signifikan (p-value >0.05). Tabel 13 menunjukkan hasil kategori strategi koping total yang dilakukan keluarga contoh tergolong rendah dengan persentase sebesar 57.5 persen. Keluarga contoh yang melakukan strategi koping kategori tinggi sebesar 9 persen. Strategi koping keluarga contoh di Rancabali termasuk kategori tinggi (12.0%) dengan persentase yang lebih besar dibanding Kutawaringin (5.0%) dengan perbedaan signifikan (p-value <0.05). Hal ini diduga kondisi lingkungan dan ketersediaan sumberdaya di Rancabali lebih mendukung keluarga contoh untuk melakukan strategi tersebut. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa strategi koping keluarga contoh di Kutawaringin lebih rendah dibandingkan Rancabali. Keputusan keluarga untuk memilih strategi koping yang akan ditempuh dipengaruhi oleh banyak faktor (latar belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lain-lain) dan strategi yang dilakukan masing-masing orang berbedabeda (Rahmawati 1999). Tabel 13 Sebaran contoh menurut kategori strategi koping total Kategori Skor Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Rata-rata±SD p-value
Rancabali n % 51 50.0 38 37.3 13 12.7 59.10±18.88
Kutawaringin n % 64 65.3 29 29.6 5 5.1 55.84±18.53 0.011
Total n % 115 57.5 67 33.5 18 9.0 55.84±18.53
Dukungan Sosial Mengacu pendapat yang disampaikan oleh Amstrong, Lefcovith, dan Ungar (2005) merujuk pada Gottileb (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi atau saran, bantuan nyata, atau tindakan berbentuk verbal dan nonverbal yang ditawarkan oleh komunitas sosial, atau disimpulkan sebagai
41
kehadiran komunitas sosial yang mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku pada penerima. Cutrona (1996) membagi bentuk dukungan sosial meliputi dukungan emosional, instrumental, informasi, dan penghargaan. Sumber dukungan sosial dapat diperoleh baik secara informal maupun formal. Tati (2004) menyatakan bahwa sumber dukungan secara informal meliputi dukungan yang berasal dari individu maupun kelompok seperti dukungan yang berasal dari suami, istri, teman, tetangga, dan kelompok-kelompok sosial. A. Dukungan Sosial Keluarga Luas Dukungan sosial keluarga luas merupakan dukungan yang diberikan oleh keluarga besar contoh baik dalam bentuk dukungan emosi, instrumen maupun informasi. Tabel 14 menunjukkan dukungan emosi keluarga luas yang diterima hampir seluruh keluarga contoh (lebih dari 90%) berupa sikap menghargai dalam bentuk tindakan (95.0%), keakraban (93.5%), menganggap bagian penting dalam keluarga (91.5%), keterbukaan informasi (91.0%) dan perkataan yang baik (90.0%). Dukungan informasi merupakan salah satu dukungan yang paling sering diperoleh dengan persentase masing-masing lebih dari 80 persen. Dukungan instrumen yang paling sering diterima diantaranya dalam bentuk pemberian solusi ketika keluarga contoh mengalami masalah (86.5%). Dukungan instrumen yang paling jarang diterima berupa bantuan barang (47.0%). Meskipun begitu, dukungan instrumen yang diterima keluarga contoh di Rancabali terlihat lebih tinggi dibanding Kutawaringin. Hal ini diduga hubungan kekerabatan yang kuat dan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi sehingga keluarga besar lebih mudah memberi bantuan dalam bentuk uang maupun barang dibandingkan di Kutawaringin. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah keluarga contoh (59%) menyatakan mendapatkan dukungan sosial yang tinggi dari keluarga luas. Dukungan emosi dan informasi merupakan bentuk dukungan yang paling banyak diterima keluarga contoh dengan persentase masing-masing sebesar 84.5 persen dan 82.5 persen. Dukungan instrumen merupakan dukungan yang paling jarang diberikan kepada keluarga contoh. Sebanyak 52.5 persen keluarga contoh masih merasakan rendahnya dukungan instrumen yang diberikan oleh keluarga luasnya (Lampiran 1). Dukungan emosi, instrumen dan informasi Kecamatan Kutawaringin
memiliki
persentase
lebih
tinggi
dibandingkan
Kecamatan
Kutawaringin namun perbedaan tersebut tidak signifikan (p-value >0.05). Hal ini diduga keluarga besar di Kutawaringin memiliki jarak rumah yang relatif
42
berdekatan dibandingkan keluarga besar contoh di Rancabali sehingga rasa kekeluargaan mereka lebih kuat. Tabel 14 Sebaran contoh menurut indikator dukungan sosial keluarga No
1 2 3 4 5 6
1 2 3 4
1
2
Pernyataan Dukungan Sosial Keluarga Dukungan Emosi Keluarga besar bersedia mendengarkan masalah Keluarga besar berusaha memperlihatkan kepedulian Mencoba berhubungan akrab dengan keluarga besar Saya merasa dianggap menjadi bagian penting dalam keluarga besar Keluarga besar senantiasa berkata sesuatu untuk menghargai saya Keluarga besar senantiasa berbuat sesuatu untuk menghargai saya Dukungan Instrumen Saya mendapatkan bantuan keuangan dari keluarga besar Saya mendapatkan bantuan barang dari keluarga besar Keluarga besar membantu saya dalam mengasuh anak Keluarga besar selalu memberikan solusi terhadap masalah yang saya hadapi Dukungan Informasi Keluarga selalu memberi informasi apabila terdapat tanda bahaya bencana Keluarga tidak pernah menyembunyikan informasi apapun yang berkaitan dengan keluarga saya
Rancabali %
Kutawaringin %
Total %
86.3
90.8
88.5
89.2
87.8
88.5
94.1
92.9
93.5
89.2
93.9
91.5
89.2
90.8
90.0
94.1
95.9
95.0
55.9
49.0
52.5
51.0
42.9
47.0
57.8
49.0
53.5
87.3
85.7
86.5
86.3
83.7
85.0
88.2
93.9
91.0
B. Dukungan Sosial Tetangga Tabel 15 menunjukkan sebaran contoh menurut indikator dukungan sosial dari tetangga. Dukungan sosial tetangga berupa dukungan emosi, instrumen dan informasi. Dukungan emosi yang paling banyak diterima berupa rasa aman (99.0%), keakraban hubungan (98.0%), kepedulian (95.1%), penghargaan dalam bentuk kata-kata (92.2%), dianggap sebagai bagian penting masyarakat (90.2%). Sementara itu, dukungan instrumen yang paling banyak diperoleh berupa bantuan saat terkena musibah (99.0%) dan kesiapan menolong ketika mengalami kesulitan (98.0%). Dukungan informasi merupakan persentase tertinggi dukungan yang diberikan tetangga yaitu dalam bentuk kegiatan
43
masyarakat (98.0%) dan tukar informasi dalam hal apapun (96.1%). Tabel 15 Sebaran contoh menurut indikator dukungan sosial tetangga No
1 2 3 4 5 6 7 8
9
1 2 3 4 5 6
1 2
Pernyataan Dukungan Sosial Keluarga Dukungan Emosi Tetangga bersedia mendengarkan masalah Tetangga berusaha memperlihatkan kepedulian Mencoba berhubungan akrab dengan keluarga besar Saya merasa dianggap menjadi bagian penting dalam masyarakat Tetangga senantiasa berkata sesuatu untuk menghargai saya Tetangga senantiasa berbuat sesuatu untuk menghargai saya Kehidupan dalam masyarakat memberi rasa aman dan nyaman dalam diri saya Saya senantiasa saling berbagi masalah/bertukar pikiran dengan tetangga Tetangga memberikan dukungan. kritik dan saran untuk membantu saya dalam menyelesaikan masalah Dukungan Instrumen Saya mendapatkan bantuan keuangan dari tetangga Saya mendapatkan bantuan barang dari masyarakat disekitar Tetangga membantu saya dalam mengasuh anak Tetangga selalu memberikan solusi terhadap masalah yang saya hadapi Jika saya sakit atau terkena musibah. tetangga selalu menjenguk dan membantu Tetangga selalu siap menolong jika saya mendapatkan kesulitan Dukungan Informasi Kami selalu bertukar informasi terkait apapun dengan tetangga Tetangga selalu memberi tahu jika ada kegiatan sosial masyarakat atau kegiatan dari pemerintah
Rancabali %
Kutawaringin %
Total %
80.4
81.6
81.0
95.1
88.8
92.0
98.0
93.9
96.0
90.2
82.7
86.5
87.3
92.9
90.0
92.2
96.9
94.5
99.0
94.9
97.0
84.3
87.8
86.0
81.4
85.7
83.5
46.1
40.8
43.5
35.3
32.7
34.0
53.9
52.0
53.0
76.5
85.7
81.0
99.0
95.9
97.5
98.0
93.9
96.0
96.1
96.9
96.5
98.0
98.0
98.0
Dukungan sosial tetangga merupakan dukungan yang diterima keluarga korban bencana dari orang yang tinggal berdampingan dengan tempat tinggalnya. Sebanyak 53 persen masyarakat menyatakan tingginya dukungan sosial yang diberikan tetangga (Lampiran 2). Sebagian besar keluarga contoh (96.5%) mendapatkan dukungan yang tinggi terkait informasi dan lebih dari tiga perempat (79.0%) dalam hal dukungan emosi. Dukungan yang paling rendah
44
diperoleh keluarga contoh dikedua kecamatan berupa dukungan instrumen dengan persentase sebesar 37.5 persen. C. Dukungan Sosial Pemerintah Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosi dari pemerintah yang diterima keluarga contoh sebanyak lebih dari 90 persen. Sebesar 95.5 persen keluarga contoh menyatakan bahwa pemerintah bersikap santun dan 94 persen yang menyatakan pemerintah bersikap ramah. keluarga yang merasakan mendapatkan fasilitas lengkap saat terjadi bencana sebesar 54 persen dan masyarakat yang mendapatkan bantuan uang dari pemerintah sebesar 59.5 persen (Tabel 16). Tabel 16 Sebaran contoh menurut indikator dukungan sosial pemerintah No
1 2 3 4
1 2 3
4
1
2
Pernyataan Dukungan Sosial Pemerintah Dukungan Emosi Pemerintah bersedia mendengarkan masalah Pemerintah berusaha memperlihatkan kepedulian Petugas pemerintah ramah dalam melayani Petugas LM menunjukkan sikap yang ramah dan santun dalam melayani masyarakat Dukungan Instrumen Saya mendapatkan bantuan keuangan Pemerintah Saya mendapatkan bantuan barang dari pemerintah pemerintah menyediakan fasilitas lengkap untuk menolong masyarakat saat terjadi bencana Pemerintah selalu memberikan solusi terhadap masalah yang saya hadapi Dukungan Informasi Pemerintah selalu memberi info tanda bahaya untuk kewaspadaan akan terjadinya bencana Pemerintah selalu siap melayani pertanyaan warga seputar bencana atau yang lainnya
Rancabali %
Kutawaringin %
Total %
82.4
94.9
88.5
84.3
93.9
89.0
90.2
98.0
94.0
94.1
96.9
95.5
65.7
53.1
59.5
67.7
67.4
67.5
70.6
37.8
54.5
72.6
80.6
76.5
67.7
82.7
75.0
85.3
90.8
88.0
Hasil analisis dukungan sosial total dari pemerintah (Lampiran 3). lebih dari setengah (64.0%) keluarga contoh menyatakan mendapatkan dukungan sosial yang tinggi dari pemerintah. Bentuk dukungan tertinggi yang diterima keluarga contoh berupa dukungan emosi (87.0%) dan dukungan informasi (72.5%). Perbedaan bentuk dukungan emosi dan informasi dikedua kecamatan tersebut berbeda signifikan (p-value <0.05). Hal ini diduga masyarakat Kutawaringin
45
sebagai daerah dataran tinggi perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah karena kondisi lingkungan yang rawan longsor. Diantara berbagai bentuk dukungan tersebut, dukungan instrumen merupakan dukungan yang paling sedikit diterima keluarga contoh. Rancabali memiliki persentase dukungan instrumen dari pemerintah yang lebih tinggi (26.5%) dibandingkan Kutawaringin (14.3%). Hal ini diduga adanya perbedaan kondisi Wilayah Rancabali merupakan daerah dataran rendah yang didominasi perkebunan teh yang berada dibawah naungan perusahaan milik negara sehingga penyedian fasilitas bagi masyarakat lebih baik dan lengkap dibandingkan di Kutawaringin yang tidak d ibawah perusahaan milik negara (Lampiran 3). Tabel 17 menunjukkan bahwa dukungan sosial total yang diterima keluarga contoh masuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 62 persen. Kecamatan Kutawaringin memiliki persentase dukungan sosial total yang lebih tinggi (66.3%) dibandingkan Rancabali, namun perbedaan tersebut tidak signifikan (p-value >0.05). Tabel 17 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial total Dukungan Sosial Rendah (<60) sedang (60-80) Tinggi (>80) Total Rata-rata±SD p-value
Rancabali n % 7 6.9 36 35.3 57.8 59 102 100.0 80.83±12.37
Kutawaringin n % 4 4.1 29 29.6 66.3 65 98 100.0 81.14±13.30 0.863
Total n % 11 5.5 65 32.5 62.0 124 200 100.0 80.98±12.81
Kesejahteraan Keluarga Subyektif dan Obyektif Kesejahteraan subyektif merupakan kesejahteraan yang diukur dengan pendekatan tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh anggota keluarga sendiri bukan orang lain. Dilihat dari beberapa item variabel kesejahteraan subyektif, terdapat beberapa item yang dirasakan tidak puas oleh lebih dari 40 persen keluarga contoh diantaranya dalam hal kepemilikan perhiasan, kondisi keuangan, keadaan materi/aset, kondisi rumah, penghasilan suami dan pendidikan anak (Lampiran 4). Lebih dari setengah contoh menyatakan puas pada item hubungan perkawinan, komunikasi istri dengan suami, perilaku suami terhadap istri, pembagian pekerjaan rumah, keadaan mental keluarga, perilaku anak, frekuensi makan, kesehatan fisik dan manajemen keuangan keluarga. Tabel 18 menunjukkan bahwa lebih dari tiga per empat (86.0%) keluarga contoh memiliki
46
kesejahteraan subyektif kategori rendah. Persentase kesejahteraan subyektif keluarga contoh di Rancabali yang masuk kategori tinggi (87.3%) memiliki nilai yang lebih besar dibanding Kutawaringin (84.7%) namun perbedaannya tidak signifikan (p-value >0.05). Tabel 18 Sebaran kategori kesejahteraan subyektif total Kesejahteraan Subjektif Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Total Rata-rata±SD p-value
Rancabali n % 87.3 89 13 12.7 0 0.0 102 100.0 41.72±14.48
Kutawaringin n % 84.7 83 15 15.3 0 0.0 98 100.0 41.66±15.01 0.977
Total n % 86.0 172 28 14.0 0 0.0 200 100.0 41.69±14.70
Kesejahteraan objektif keluarga diukur dari besar pendapatan perkapita keluarga dilihat berdasarkan garis kemiskinan daerah pedesaan Propinsi Jawa Barat tahun 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 63 persen keluarga contoh tergolong sejahtera. Tabel 19 menunjukkan bahwa keluarga contoh yang tergolong sejahtera (67.6%) memiliki persentase yang lebih tinggi dibanding Kutawaringin (58.2%) namun perbedaannya tidak signifikan (p-value >0.05). Secara umum, kondisi kesejahteraan obyektif yang tinggi berkebalikan dengan kondisi kesejahteraan subyektif keluarga yang tergolong rendah. (Tabel 19) Tabel 19 Sebaran kategori kesejahteraan obyektif total Kesejahteraan Objektif Tidak Sejahtera (< Rp 209.777) Sejahtera (> Rp 209.777) Total p-value
Rancabali n % 33 32.4 69 67.6 102 100.0
Kutawaringin n % 41 41.8 57 58.2 98 100.0 0.922
Total n % 74 37.0 126 63.0 200 100.0
Hubungan antara Karakteristik Keluarga Contoh dengan Strategi Koping, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara strategi koping total dengan pendapatan total keluarga (r=-0.227**). Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil pendapatan, maka semakin besar upaya keluarga dalam melakukan strategi koping. Sumardjan (1998) dalam Herawati (2012) menyatakan bahwa kesulitan yang dihadapi keluarga dengan pendapatan rendah selama krisis telah memaksa keluarga mengadakan penghematan pengeluarannya dengan cara menentukan prioritas pengeluaran terutama pangan, kesehatan dan keperluan anak.
47
Pada strategi koping penghematan pengeluaran, selain berhubungan negatif dengan pendapatan total (r=-0.315*) juga dengan pendidikan suami (r=-0.154*). Hal ini menunjukkan bahwa pilihan strategi koping penghematan pengeluaran yang dilakukan keluarga berhubungan dengan tinggi rendahnya pendidikan suami dan pendapatan total. Semakin tinggi pendidikan dan pendapatan suami, maka semakin besar upaya strategi koping yang dilakukan keluarga. Hasil Penelitian Megawangi et al. (1994) membuktikan bahwa tingkat pendidikan dan pendapatan suami berhubungan nyata dan positif terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya keluarga. Dengan demikian pada saat keluarga mengalami kesulitan dalam hal ekonomi, suami yang berpendidikan tinggi akan aktif mencari strategi agar perekonomian keluarga tetap stabil. Pendidikan
menggambarkan
mutu
sumberdaya
manusia
yang
akan
mempengaruhi dan membentuk cara dan pola berfikir individu dalam mengatasi kesulitan (Gunarsa dan Gunarsa 2000). Tabel 20 Hubungan karakteristik dengan strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga Variabel Strategi Koping Penghematan Pengeluaran Penambahan Pendapatan Strategi koping total Dukungan Sosial Dukungan Emosi Dukungan Instrumen Dukungan Informasi Dukungan Sosial Total
Ukuran keluarga
Usia Suami
Pendidikan Suami
Pendidikan Istri
Pendapatan total
0.033
-0.095
-0.154*
-0.078
-0.315**
0.120
-0.082
0.032
0.071
-0.023
0.085
-0.101
-0.101
-0.03
-0.227**
-0.044 0.033 0.045 0.03
-0.097 -0.106 -0.159* -0.146*
0.039 0.045 0.009 0.046
0.147* 0.119 -0.027 0.133
0.200** 0.003 0.176* 0.116
0.158*
0.165*
0.226**
0.279**
0.277**
-
Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan -0.103 -0.067 Subyektif Kesejahteraan -0.154* -0.008 Obyektif Keterangan: *: Korelasi signifikan pada p<0.05 **: Korelasi signifikan pada p<0.01
Karakteristik keluarga juga berhubungan dengan dukungan sosial. Penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif antara dukungan sosial total dengan usia suami (r=-0.146*). Dukungan sosial akan semakin besar diberikan oleh lingkungan seiring semakin mudanya usia suami. Hal ini diduga semakin mudanya usia suami menunjukkan usia pernikahan yang
tergolong muda
sehingga lingkungan sekitar lebih responsif dalam memberikan dukungan
48
sosialnya. Selain itu, pendidikan istri juga berhubungan positif dengan dukungan emosi (r=0.147*). Istri yang memiliki pendidikan yang semakin tinggi akan memiliki pola pikir dan wawasan yang lebih baik serta cara pandang positif terhadap masalah. Dalam hidup bermasyarakat terdapat kecenderungan bahwa orang yang semakin tinggi pendidikan akan memiliki status sosial yang lebih tinggi dibanding yang berpendidikan rendah. Berdasarkan hal tersebut maka dukungan emosi yang diperoleh dari lingkungan juga akan semakin tinggi pula. Korelasi yang sama juga di tunjukkan pada hubungan positif antara pendapatan total dengan dukungan emosi (r=0.200**) dan dukungan informasi (r=0.176*). Semakin tinggi pendapatan keluarga maka keluarga tersebut akan memiliki status sosial yang lebih baik sehingga dukungan yang diberikan lingkungan semakin besar. Beberapa karakteristik keluarga yang berhubungan dengan kesejahteraan diantaranya ukuran keluarga, pendidikan suami-istri dan pendapatan total keluarga. Pendidikan suami-istri dan pendapatan total memiliki hubungan positif dengan kesejahteraan subyektif keluarga. Karakteristik keluarga tersebut juga berhubungan positif dengan kesejahteraan obyektif yang terdapat satu karakteristik keluarga lain yaitu ukuran keluarga yang memiliki hubungan negatif. Pendidikan merupakan faktor penting yang akan menentukan kemampuan seseorang dalam berfikir dan mengatasi masalah. Elder (1991) menyatakan bahwa untuk mencapai kesejahteraan keluarga perlu adanya kemampuan dalam mengelola ekonomi rumah tangga yang efektif terutama dalam penggunaan sumberdaya keluarga yang ada, guna pemenuhan kebutuhan hidup. Suami dan istri yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki kemampuan mengelola masalah maupun ekonomi dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Hubungan negatif antara ukuran keluarga dengan kesejahteraan obyektif (r=-0.154*) menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah anggota keluarga maka keluarga akan semakin sejahtera. Keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga banyak akan memiliki beban biaya yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan hidup sehingga dapat diasumsikan semakin besar pengeluaran terutama dalam hal pangan maka kesejahteraan semakin menurun. Sumarwan (2003) bahwa pendapatan perkapita dan belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah keluarga. Pendapat tersebut juga didukung oleh Rahardjo (2000) yang menyatakan keluarga yang berpendapatan rendah
49
akan
menggunakan
sebagian
besar
pendapatannya
untuk
pangan.
Kesejahteraan subyektif dan obyektif juga berhubungan positif dengan pendidikan suami istri dan pendapatan total. Semakin tinggi pendidikan maka secara tidak langsung seseorang mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih tinggi. Hal tersebut berhubungan dengan kesejahteraan keluarga yang semakin tinggi pula. Hubungan Dukungan Sosial dengan Strategi Koping Hasil menunjukkan terdapat hubungan positif antara dukungan sosial total, dukungan instrumen dan dukungan informasi dengan strategi koping total, strategi penghematan pengeluaran dan penambahan pendapatan. Hal ini menunjukkan semakin besar dukungan instrumen dan informasi yang diterima keluarga contoh dari lingkungan maka semakin tinggi strategi koping yang dilakukan keluarga contoh. Purnomosari (2004) menyebutkan bahwa dukungan sosial yang positif akan membuat ibu dapat melaksanakan tugas dan peranannya dengan perasaan aman dan nyaman dalam mengelola rumah tangga. Adanya dukungan sosial yang diperoleh keluarga akan membantunya dalam melakukan strategi koping untuk mengatasi masalah yang dihadapi (Tati 2004). Tabel 21 Hubungan strategi koping dan jenis dukungan sosial Strategi Penghematan Pengeluaran Dukungan Emosi -0.06 0.244** Dukungan Instrumen 0.156* Dukungan Informasi 0.157* Dukungan Sosial Total Keterangan: *: Korelasi signifikan pada p<0.05 **: Korelasi signifikan pada p<0.01 Variabel
Strategi Penambahan Pendapatan 0.083 0.281** 0.234** 0.257**
Strategi Koping Total 0.000 0.287** 0.214** 0.220**
Pengaruh Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, dan Strategi Koping terhadap Kesejahteraan Keluarga Hasil uji pengaruh menghasilkan model regresi yang dapat memberikan gambaran pengaruh karakteristik, dukungan sosial, strategi koping
terhadap
kesejahteraan keluarga. Tabel 22 menunjukkan bahwa ukuran keluarga, pendapatan
total,
dan
dukungan
emosi
berpengaruh
nyata
terhadap
kesejahteraan subyektif sebesar 0.105. Hal ini memiliki arti bahwa sebesar 10.5 persen
kesejahteraan
subyektif
keluarga
dipengaruhi
variabel
tersebut,
selebihnya sebanyak 89.5 persen variabel tersebut dipengaruhi variabel lain di luar penelitian.
50
Tabel 22
menunjukkan
beberapa
variabel dalam penelitian
yang
mempengaruhi kesejahteraan subyektif keluarga secara nyata diantaranya ukuran keluarga (β= -2.106, p=0.040), total pendapatan (β=1209x10-6, p=0.024), dan dukungan emosi (β=0.509, p=0.015). Hubungan nyata dan negatif ukuran keluarga dengan kesejahteraan menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan anggota keluarga maka akan mengurangi kesejahteraan keluarga sebesar 2.106 poin. Pengaruh nyata dan positif pendapatan total keluarga terhadap kesejahteraan subyektif berarti setiap peningkatan satu rupiah pendapatan keluarga maka akan meningkatkan kesejahteraan sebesar 1209x106
poin. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Rambe (2004) yang menyatakan
bahwa diantara kriteria kesejahteraan, pendapatan keluarga memberikan pengaruh nyata terhadap kriteria kesejahteraan subyektif. Tabel 22 Pengaruh karakteristik keluarga, strategi koping, dan dukungan sosial terhadap kesejahteraan subyektif keluarga Variabel Karakteristik Keluarga Ukuran Keluarga Usia Suami Usia Istri Lama Pendidikan Suami Lama Pendidikan Istri Total pendapatan Dukungan Sosial Dukungan Emosi Dukungan Instrumen Dukungan Informasi Strategi Koping Penghematan Pengeluaran Penambahan Pendapatan N Df F Adj R2
Kesejahteraan Subyektif Keluarga β T Sig -0.144 0.164 -0.175 0.099 0.047 0.180
-2.070 1.538 -1.636 1.215 0.571 2.277
0.040 0.126 0.104 0.226 0.569 0.024
0.203 -0.101 0.015
2.453 -1.277 0.181
0.015 0.203 0.857
-0.070 -0.036
-0.551 0.182 200 11 3.123 (p=0.001) 0.105
0.583 0.856
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosi berpengaruh nyata dan positif terhadap kesejahteraan subyektif. Hal tersebut bermakna bahwa peningkatan satu dukungan dalam bentuk emosi maka akan menambah kesejahteraan subyektif sebesar 0.509. Dukungan emosi yang diberikan akan memberikan rasa nyaman dan tenang bagi seseorang. Pada saat keluarga menerima dukungan emosi yang besar dari lingkungan sekitarnya maka hal tersebut akan menguatkan keyakinannya dalam menghadapi kesulitan hidup dan memandang kondisi keluarga dengan rasa syukur.
51
Variabel yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rachmawati (2010). Hasil penelitian menunjukkan ukuran keluarga berpengaruh nyata dan negatif terhadap kesejahteraan subyektif. Ukuran keluarga, pendidikan istri dan strategi koping penghematan pengeluaran berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan obyektif sebesar 0.228 dengan nilai p=0.000. Hal ini berarti sebesar 22.8 persen kesejahteraan obyektif keluarga dipengaruhi oleh faktor tersebut. Sebanyak 77.2 persen kesejahteraan obyektif dipengaruhi variabel lain di luar penelitian. Tabel 23 Pengaruh karakteristik keluarga, strategi koping, dan dukungan sosial terhadap kesejahteraan obyektif keluarga Variabel
β
Karakteristik Keluarga Ukuran Keluarga Usia Suami Usia Istri Lama Pendidikan Suami Lama Pendidikan Istri Dukungan Sosial Dukungan Emosi Dukungan Instrumen Dukungan Informasi Strategi Koping Penghematan Pengeluaran Penambahan Pendapatan N Df F Adj R2
Kesejahteraan Obyektif Keluarga T Sig
-0.153 0.097 -0.114 0.114 0.187
-2.391 0.988 -1.148 1.919 2.493
0.018 0.324 0.252 0.057 0.014
0.107 -0.086 0.101
1.406 -1.177 1.340
0.161 0.241 0.182
-0.315 -0.017
-3.863 -0.218 200 10 6.878 (p=0.000) 0.228
0.000 0.828
Ukuran keluarga (β=-0.153, p=0.018) dan strategi koping penghematan pengeluaran (β=-0.315, p=0.000) memiliki pengaruh nyata dan negatif terhadap kesejahteraan obyektif (Tabel 23). Pendidikan istri (β=0.187, p=0.014) memiliki pengaruh nyata dan positif terhadap kesejahteraan subyektif. Ukuran keluarga menentukan kesejahteraan obyektif keluarga. setiap peningkatan satu satuan anggota keluarga maka akan menurunkan kesejahteraan obyektif sebesar 0.135 poin. Keluarga yang memiliki anggota keluarga semakin sedikit, maka keluarga tersebut semakin sejahtera karena tanggungan biaya yang harus dikeluarkan juga lebih sedikit. Pendidikan
istri
berpengaruh
terhadap
kemampuan
mendapatkan
penghasilan tambahan dalam membantu suami. Megawangi et al. (1994) membuktikan bahwa pendapatan dan pendidikan berhubungan nyata dan positif terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Keluarga yang memiliki
52
manajemen keuangan yang baik akan lebih mudah mengatur kebutuhan dalam mencapai kesejahteraan. Setiap peningkatan satu satuan usaha strategi koping penghematan pengeluaran yang dilakukan keluarga maka akan menurunkan kesejahteraan obyektif sebesar 0.315 poin. Keluarga yang melakukan strategi koping penghematan pengeluaran semakin tinggi menunjukkan bahwa keluarga tersebut kurang sejahtera. Simanjuntak (2010) yang menyatakan bahwa dalam untuk menghadapi situasi ekonomi yang kritis, keluarga lebih banyak melakukan strategi koping penghematan pengeluaran. Pembahasan Dalam pandangan sistem keluarga, kesejahteraan merupakan sebuah output dari proses pengolahan (input) (Sunarti 2006). Ditinjau dari aspek kesejahteraan, Sunarti (2006) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima. Namun demikian tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan (Sawidak 1985). Berdasarkan pandangan tersebut, pada hakekatnya kesejahteraan dilihat dengan ukuran kesejahteraan material/kesejahteraan obyektif (dengan mengukur tingkat pendapatan) dan kesejahteraan psikologi/kesejahteraan subyektif (dengan mengukur kepuasan, suasana hati dan arti hidup yang dirasakan). Dilihat
dari
tingkat
kesejahteraan
obyektif,
persentase
terbanyak
menunjukkan bahwa keluarga contoh termasuk kategori sejahtera dengan pendapatan
antara
Rp
500.000,0–Rp
1.000.000,0.
Persentase
tertinggi
berpendidikan sampai tamat SD. Pendidikan merupakan faktor penting dalam menentukan kemampuan berfikir dan bersikap seseorang dalam menghadapi masalah. Gunarsa dan Gunarsa (2000) bahwa pendidikan membentuk cara, pola, kemampuan berfikir, pemahaman, dan kepribadian seseorang. Hal tersebut yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menganalisis masalah,
menentukan
strategi
koping,
pencapaian
kesejahteraan
dan
kemampuan individu dalam membuat keputusan yang tepat saat dihadapkan dengan situasi yang tidak diinginkan. Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar keluarga contoh memiliki dukungan sosial yang tinggi. Dukungan sosial merupakan simbol interaksi dan pertalian sosial yang akan membantu individu dalam menghadapi
53
stres. Bentuk dukungan terbesar yang dirasakan keluarga contoh berupa dukungan emosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan dari keluarga besar merupakan salah satu dukungan yang memiliki persentase tinggi diantara dukungan sosial lain. Sumber dukungan sosial semacam ini merupakan bentuk dukungan yang paling sering dan umum diperoleh keluarga dari anggota keluarga atau teman dekat atau sanak saudara yang akrab dan memiliki hubungan yang harmonis. Keluarga
merupakan
sumber dukungan
sosial utama
karena
keluarga
merupakan orang-orang terdekat yang mempunyai potensi sebagai sumber dukungan
dan
senantiasa
bersedia
untuk
memberikan
bantuan
dan
dukungannya ketika individu membutuhkan. Keluarga sebagai suatu sistem sosial, mempunyai fungsi-fungsi yang dapat menjadi sumber dukungan utama bagi individu. Tingginya bentuk dukungan emosi dalam penelitian ini tidak diikuti dengan tingginya dukungan instrumen yang diberikan kepada keluarga contoh. Rendahnya dukungan instrumen tidak hanya terlihat dari dukungan yang diberikan oleh keluarga dan tetangga, tetapi juga dari pemerintah. Gove et al. (1990) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat memberikan kekuatan dan dapat mengurangi kesulitan seseorang dalam menjalani kehidupannya, termasuk kesulitan finansial. Jika dilihat dari berbagai upaya pemerintah dalam memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan, begitu banyak program yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Simanjuntak (2010) menyebutkan beberapa program kesejahteraan untuk keluarga kurang mampu meliputi Jaringan Pengaman Sosial (JPS), Subsidi Langsung Tunai (SLT), beras miskin (Raskin), Asuransi kesehatan untuk masyarakat (Askeskin), Program Keluarga Harapan (PKH) dan lain-lain. Rendahnya dukungan instrumen pemerintah yang diberikan kepada keluarga contoh diduga karena program pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin belum banyak mencapai sasaran masyarakat dikawasan tersebut. Hasil penelitian mengenai strategi koping menunjukkan bahwa strategi koping yang dilakukan keluarga contoh masuk kategori rendah. Puspitawati (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping keluarga diantaranya karakteristik sosial ekonomi, karakteristik demografi, wilayah tinggal, dan tekanan tempat kerja. Meskipun keputusan keluarga untuk
54
memilih strategi koping yang yang dilakukan setiap orang berbeda-beda, namun faktor karakteristik keluarga berpengaruh pada tindakan tersebut. Simanjuntak (2010) menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat pendapatan rendah cenderung lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masa kini sehingga pola mekanisme koping yang paling mudah dilakukan yaitu dengan mengurangi pengeluaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusumo (2009) yaitu strategi koping yang paling banyak dilakukan keluarga petani adalah dengan melakukan penghematan pengeluaran. Strategi koping tersebut lebih dipilih karena keterbatasan sumberdaya ekonomi untuk melakukan strategi koping aktif misalnya memanfaatkan lahan kosong untuk ditanam, meminjam uang, mengontrakkan rumah/lahan pertanian atau menanam tanaman obat ditanah pekarangan. Sunarti (2006) dalam analisis teori Maslow yang menyebutkan bahwa konsep kesejahteraan terkait erat dengan kebutuhan dasar manusia sehingga keluarga yang kesejahteraannya masih rendah akan mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Hasil penelitian ini senada dengan pernyataan tersebut. Penghematan pengeluaran yang dilakukan keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi dapat membantu untuk menghemat pendapatan keluarga. Secara teori, keluarga yang mempunyai penghasilan kurang memadai dapat mencoba mengurangi tekanan ekonomi dengan melakukan satu atau lebih strategi.
Keluarga
dapat
mengurangi
kebutuhan
atau
tuntutan
dengan
penghematan pada konsumsi untuk meningkatkan pendapatan keluarga (Conger et al. 1990). Dalam penelitian ini, keluarga contoh lebih banyak yang melakukan strategi koping dalam hal lainnya dibandingkan strategi penghematan dalam hal pangan. Kondisi yang cukup memprihatinkan terlihat dari strategi koping yang dilakukan ketika kritis yaitu masih terdapat keluarga yang memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya dan terpaksa mengijinkan anaknya untuk tidak sekolah. Hal tersebut menunjukkan masih terdapat beberapa keluarga yang belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas penting bagi anaknya. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara karena dengan pendidikan maka akan mengurangi kriminalitas dan menurunkan angka kemiskinan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000), tingkat pendidikan yang dicapai akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian seseorang. Pendidikan juga akan membantu keluarga mencapai kesejahteraan
55
karena menurut Hardinsyah (1986) seseorang yang berpendidikan tinggi akan memiliki upah yang lebih tinggi. Hasil
penelitian
terkait
kesejahteraan
menunjukkan
kondisi
yang
berlawanan antara kesejahteraan subyektif dengan obyektif keluarga contoh. kesejahteraan subyektif keluarga contoh masuk dalam kategori rendah namun ditinjau dari secara obyektif
mereka masuk dalam kategori sejahtera.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya keluarga yang sejahtera dari segi ekonomi merasakan kepuasan dari aspek lainnya. Kesimpulan tersebut didukung hasil analisis hubungan yang dilakukan Rachmawati
(2010)
yang
mengatakan
bahwa
keluarga
yang
memiliki
pendapatan dan sumberdaya materi yang tinggi belum tentu merasakan kepuasan dari kondisi non materi kehidupan keluarga mereka. Kondisi tersebut juga disampaikan Syarif dan Hartoyo (1993) bahwa suatu keluarga yang berada dibawah garis kemiskinan mungkin merasa lebih sejahtera karena merasa lebih bersyukur atas karunia-Nya. Sebaliknya mereka yang berpendapatan diatas garis kemiskinan mungkin merasa kurang sejahtera kerana masih ada keinginan yang belum terpenuhi dan merasa selalu stres, ketakutan/tertekan dan dituntut oleh pekerjaan atau hal lainnya. Oleh karena itu, Iskandar (2007) menyatakan bahwa pendekatan subyektif dalam pengukuran kesejahteraan
menginterpretasikan
kemiskinan
berdasarkan
pemahaman
mereka terhadap keadaan yang mereka hadapi sehingga pendekatan ini sulit digunakan dalam studi analisis kesejahteraan secara makro/nasional namun untuk memberikan pengertian yang mendalam pada berbagai ruang dan latar kehidupan terkait kesejahteraan subyektif itu sendiri. kesejahteraan subyektif secara signifikan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan dukungan emosi. Kesejahteraan subyektif menggambarkan evaluasi individu terhadap kehidupannya yang mencakup kebahagiaan, kondisi emosi yang senang, dan tenang serta kepuasan hidup (Diener dan Biswas 2000). Dukungan emosi yang tinggi menjadikan keluarga merasa mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya yang menjadikannya senang dan tenang. Meskipun terdapat banyak keluarga yang secara obyektif kurang sejahtera dan merasa puas/sejahtera secara subyektif, pendidikan dan pendapatan keluarga tetap berkontribusi dalam mewujudkan kedua kesejahteraan tersebut. Istri yang memiliki pendidikan yang tinggi memungkinkan memiliki keterampilan yang lebih baik dan mencari strategi ekonomi ketika dalam kondisi keterbatasan serta
56
cenderung mampu mengelola keuangan keluarga dengan lebih baik. Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini hanya mewawancarai istri tanpa melibatkan suami sehingga dalam beberapa hal peneliti mengalami kendala dalam memperoleh informasi terkait kondisi keluarga dalam mendapatkan dukungan keluarga dan melakukan strategi koping pada saat terkena bencana. 2. Keluarga contoh dalam penelitian ini memiliki kondisi tingkat keparahan akibat bencana yang berbeda-beda sehingga analisis perilaku strategi koping keluarga kurang dapat tergambarkan secara representatif. 3. Penelitian ini dilakukan tiga tahun pasca bencana terjadi sehingga kondisi kesejahteraan yang diukur tidak merepresentasikan kesejahteraan keluarga contoh ketika terjadi bencana. Selain itu, keterbatasan contoh dalam mengingat strategi koping dan dukungan sosial saat terjadi bencana menjadi kendala dalam mengeksplorasi kondisi tersebut.
57
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Mayoritas usia suami-istri berada pada kategori dewasa muda dan berpendidikan SD. Pekerjaan suami sebagian besar sebagai buruh dengan pendapatan per bulan keluarga berkisar antara Rp 500.000,0–Rp 1.000.000,0. Besar keluarga tergolong keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang. Jenis aset terbanyak yang dimiliki keluarga yaitu televisi dan telepon genggam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial total yang diterima keluarga masuk dalam kategori tinggi dan dukungan emosi merupakan dukungan sosial yang paling sering diterima keluarga. Dukungan instrumen merupakan dukungan yang paling jarang diterima keluarga. Hasil analisis terkait strategi koping
menunjukkan bahwa strategi penghematan pengeluaran
merupakan strategi yang paling banyak dipilih keluarga ketika mengalami bencana alam dibandingkan strategi penambahan pendapatan. Kesejahteraan subyektif keluarga tergolong rendah. Karakteristik keluarga yang berhubungan dengan kesejahteraan subyektif diantaranya ukuran keluarga, pendidikan suami-istri dan pendapatan total keluarga. Ukuran keluarga berhubungan negatif dengan kesejahteraan obyektif, sedangkan strategi koping total berhubungan
negatif dengan pendapatan total per bulan keluarga.
Pendidikan suami dan pendapatan total berhubungan negatif dengan strategi koping penghematan pengeluaran. Dukungan sosial total berhubungan negatif dengan usia suami, sedangkan pendidikan istri berhubungan
positif dengan
dukungan emosi. Hasil uji regresi memperlihatkan bahwa kesejahteraan subyektif keluarga dipengaruhi oleh ukuran keluarga, pendapatan total, dan dukungan emosi. Dukungan emosi dan pendapatan total berpengaruh nyata dan positif sedangkan ukuran keluarga berpengaruh nyata dan negatif terhadap kesejahteraan subyektif keluarga. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa ukuran keluarga, pendidikan istri dan strategi koping penghematan pengeluaran berpengaruh terhadap
kesejahteraan
penghematan
obyektif.
pengeluaran
Ukuran
berpengaruh
keluarga nyata
dan
dan
strategi negatif
koping
terhadap
kesejahteraan obyektif, sedangkan pendidikan istri berpengaruh nyata dan positif terhadap kesejahteraan obyektif.
58
Saran 1. Perlu adanya dukungan sosial yang kuat dari berbagai pihak khususnya pada saat keluarga mengalami kondisi krisis akibat bencana. Menurut hasil penelitian, dukungan instrumen yang diterima keluarga contoh tergolong rendah. Dukungan instumen ketika terjadi bencana menjadi kebutuhan sangat penting bagi keluarga korban bencana. Bentuk dukungan instrumen yang diberikan dapat berupa makanan, pakaian, tenda darurat, dan lainnya. 2. Pemerintah perlu melakukan pengembangan program pelatihan terkait peningkatan perekonomian keluarga untuk memotivasi masyarakat agar lebih berdaya, produktif
dan kreatif dalam mencari strategi penambahan
pendapatan keluarga pada saat pasca bencana. 3. Mayoritas masyarakat Kutawaringin masih belum menjadikan tanaman obat sebagai alternatif peningkatan kesehatan keluarga. Oleh karena itu, perlu diadakannya sosialisasi dari pemerintah tentang manfaat tanaman obat untuk kesehatan keluarga dan himbauan agar memanfaatkan lahan di sekitar rumah untuk ditanami tanaman obat sebagai bentuk optimalisasi upaya strategi koping khususnya dalam masalah kesehatan. 4. Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan kajian kebencanaan dari aspek keluarga pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat menjadi masukan dan tambahan informasi bagi instansi pelaksana program pengembangan dan pendampingan masyarakat di daerah rawan bencana .
59
DAFTAR PUSTAKA Anonim 2012. Definisi dan kriteria PMKS. http://kangirva.blogspot.com/2012/08/ definisi-dan-kriteria-pmks.html. Diakses tanggal 20 Maret 2013 Amstrong MI., Bernie S, dan Ungar M. 2005. Pathways Bettwen Social support, Family well being, Quality of parenting, and Child Resilience: What we know. Journal of child and family studies, 14, 261-281. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2008. Kesejahteraan Keluarga Indonesia. Jakarta: BKKBN. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2011. Indeks Kerawanan Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB. Borgatta, Edgar F, Marie LB. 1992. Encyclopedia of Sociology, volume 4. New York: MacMillan Publishing Company [BPLHD] Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. 2010. Kerentanan Bencana Jawa Barat. Jawa Barat: BPLHD. [BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Bandung. Bandung: BPBD.
Daerah.
2011.
Kebencanaan
[BPPN] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Rencana Aksi Nasional: Pengurangan Resiko Bencana. Jakarta: Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kondisi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: BPS. [Bryant WK. 1990. The Economic Organization of The Household. Cambridge: University Press. Cahyaningsih N. 1999. Persepsi Remaja terhadap Gaya Pengasuhan Orangtua dan Hubungan dengan Kenakalan Remaja SMU di Jakarta Pusat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Chu R dan Chao L. 2011. Managing stress and Maintaining Well-being: Social Support, Problem Focus Coping, and Avoidant Coping. Journal of Counceling and Development pg. 338. USA: University of Danver. . Conger et al. 1990. Linking Economic Hardship to Marital Quality and Instability. Journal of Marriage and the Family, 52, 643-656. Cooper and Payne L. 1991. Personality and Stress: Individual Difference in the Stress Process. New York: John Willey & Sons. Cutrona EC. 1996. Social Support In Couples: Mariage As A Resources In Times of Stress. USA: Sage publications, Inc. Diener E dan Biswas R. 2000. New Direction Well-Being Research: The Cutting Edge. USA: University of Illonis Pacific. Engle JF, Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen (6thed.) Jilid 1 (F.X. Budiyonto, penerjemah). Jakarta: Binarupa Aksara. Elder JR. 1991. Economic Pressure and Marital Quality: An Ilustration of the Method Variance Problem in the Casual Modeling of Family Processe. Journal of Marriage and the family 53 (May 1991): 375-388. Departemen of sociology. University of north Carolina Chapel Hill.
60
Fitriani. 2010. Kajian Modal Sosial, Dukungan Sosial, dan Ketahanan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Friedman. 1998. Family Nursing, Theory and Practice (3rd ed). California: Applenton & Lange. Gotileb BH. 1985. Social Support and the Study of Personal Relationship. Journal of Social and Personal Relationship, 2. 351-375. Gunarsa dan Gunarsa. 2000. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hardinsyah dan Roedjito D. 1986. Kualitas Konsumsi Pangan Penduduk Jawa Barat Menurut Status Ekonomi dan Wilayah. Makalah disajikan dalam Simposium Nasional Pangan dan Gizi Ketiga. Semarang Herawati T. 2012. Managemen Sumberdaya Keluarga dan Ketahanan Keluarga Peserta Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan (Kasus Di Kabupaten Bogor) [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hultsch DF dan Deutcsh F. 1981. Adult Development and Aging A Life-Span Perspective. United States of America: McGraw-Hill, Inc. IDEP
[Lembaga Swadaya Masyarakat Bali]. 2007. Panduan umum: Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat Edisi Ke-2. Bali: IDEP Foundation.
Iskandar A. 2007. Analisis Praktek Management Sumberdaya Keluarga dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Jones FB. 2003. Family Nursing (Research Theory And Practice) Fifth Edition. USA: Prentice Hall Health. Khasanah NN. 2011. Permasalahan Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: departemen Ilmu keluarga dan Konsumen, FEMA Institut Pertanian Bogor. Kusumo RAB. 2009. Peran Gender dalam Strategi Koping dan Manajemen Sumberdaya Keluarga serta Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga Petani Padi dan Hortikultura Di daerah Pinggiran Perkotaan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Lazarus RS dan Folkman S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : McGraw-Hill, Inc. Maryam S. 2007. Strategi Koping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami di Propinsi Nangro Aceh Darussalam [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Megawangi et al. 1994. Gender Perspektif in Early Childhood care and Development in Indonesia. Indonesia: The Consultative Group on early Childhood Care and Development. __________. 1999, 2001. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang baru Tentang relasi Gender. Bandung: Mizan.
61
Purnomosari D. 2004. Peran Wanita Karier Dalam Keluarga, Psikologi Keluarga, Percikan Iman. Jakarta: Percik Press. Puspitawati H. 1992. Time Management Strategies Used in Household in Which Income is Fenerated at Home. Lowa State University, Arnes, Lowa. Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: IPB Press. Puspitawati H. 1998. Poverty Level and Conflict Over Money Within Families [Tesis]. Lowa: Lowa State University. Praptiwi. 2009. Hubungan Antar Kelentingan Keluarga, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rachmawati. 2010. Strategi Koping Dan Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subyektif pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH) [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu keluarga dan Konsumen, FEMA Institut Pertanian Bogor. Rahardjo D. 2000. Perkembangan Perekonomian Masyarakat: Sebuah Alternatif Model Bagi Muhammadiyah. Surakarta. Muhammadiyah University Press. Rambe A. 2004. Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga dan Tingat Kesejahteraan (Kasus di Kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Sadisun IA. 2007. Pemahaman Karakteristik Bencana: Aspek Fundamental dalam Upaya Mitigasi dan Penanganan Tanggap Darurat Bencana. Bandung: Pusat Mitigasi Bencana ITB. Sarafino EP. 1996. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. New York: Allyn and Bacon. Sawidak MA. 1985. Analisis Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Petani Transmigran di Deta Upang Propinsi Sumatera Selatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Simanjuntak M. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan prestasi belajar anak pada keluarga penerima program keluarga harapan (PKH) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Slamet Y. 1993. Analisis Kualitatif untuk Data Sosial. Surakarta: Dabar. Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo. Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Syarief H dan Hartoyo. 1993. Beberapa Aspek dalam Kesejahteraan Keluarga. Seminar Keluarga Menyongsong Abad 21 dan Perannya Dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. Bogor: GMSK, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor dan BKKBN. Syahrini JS. 2010. Pengelolaan Stres Pada Keluarga Korban Bencana Longsor: analisis sumber stres, regenerative family, sumberdaya dan strategi koping keluarga [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen FEMA IPB.
62
Sunarti. 2006. Indikator Keluarga Sejahtera: Sejarah Pengembangan, Evaluasi, dan Keberlanjutannya. Naskah Akademik BKKBN. Bogor: Institut Pertanian Bogor. ______. 2007. Theoritical and Methodoligical Issues on Family Resilience. Paper yang tidak dipublikasikann. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB. _____. 2009. Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan untuk Pengurangan Risiko Bencana di Sektor Pertanian. Laporan penelitian Strategi Nasional Dikti. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB ______. 2010. Laporan akhir : Pendampingan Psikososial Ekonomi Pasca Gempa Bumi di Propinsi Jawa Barat tahun 2009. Pusat Studi Bencana LPPM IPB. ______. 2010. Concept and method of Potential Socio-Economic Impact of Disaster. Paper yang tidak dipublikasikan. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB. Surono. 2009. Jawa Barat bagian tengah dan Selatan rawan gempa. www.tempoiteraktif.com/.../brk,20090905-196430,id.html Tati. 2004. Pengaruh Tekanan Ekonomi, Dukungan Sosial dan Kualitas Perkawinan Terhadap Pengasuhan Anak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Tuner JR. dan John WG. 1983. Social Factors in Psychiatric Outcome: Toward the Resolution of Interpretive Controversies. American Yang J et al. 2010. Self-efficacy, Social Support, and Coping Strategies of Adolescent Earthquake Survivors in China. Cina: Fourth Military Medical University. Zeitlin et.al. 1995. Strengthtening the Family Implication for Internationall Development. Tokyo. United Nation university press.
63
LAMPIRAN
64
Lampiran 1 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial keluarga Kategori Skor Dukungan Sosial Keluarga Total Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Rata-rata±SD p-value Dukungan Emosi Keluarga Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Rata-rata±SD p-value Dukungan Instrumen Keluarga Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Rata-rata±SD p-value Dukungan Informasi Keluarga Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Rata-rata±SD p-value
Rancabali n
Kutawaringin n %
Total n %
13 12.7 23 22.5 66 64.7 80.71±21.13
18 18.4 28 28.6 52 53.1 79.67±19.48 0.718
31 15.5 51 25.5 118 59.0 80.20±20.29
10 9.8 8 7.8 84 82.4 90.35±20.64
6 6.1 7 7.1 85 86.7 92.00±19.47 0.563
16 8.0 15 7.5 169 84.5 91.16±20.04
49 48.0 18 17.6 35 34.3 62.99±33.32
56 57.1 11 11.2 31 31.6 56.63±35.27 0.192
105 52.5 29 14.5 66 33.0 59.87±34.35
18 17.6 0 0.0 84 82.4 87.25±29.58
17 17.3 0 0.0 81 82.7 88.77±26.40 0.702
35 17.5 0 0.0 165 82.5 88.00±28.01
%
Lampiran 2 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial tetangga Kategori Skor
Rancabali n
%
Dukungan Sosial Tetangga Total Rendah (<60) 13 12.7 Sedang (60-80) 32 31.4 55.9 Tinggi (>80) 57 Rata-rata±SD 78.37±14.30 p-value Dukungan Emosi Tetangga Rendah (<60) 8 7.8 Sedang (60-80) 15 14.7 77.5 Tinggi (>80) 79 Rata-rata±SD 80.78±14.93 p-value Dukungan Instrumen Tetangga 36.3 Rendah (<60) 37 Sedang (60-80) 28 27.5 36.3 Tinggi (>80) 37 Rata-rata±SD 68.13±22.63 p-value Dukungan Informasi Tetangga Rendah (<60) 4 3.9 Sedang (60-80) 0 0.0 96.1 Tinggi (>80) 98 Rata-rata±SD 97.05±15.45 p-value
Kutawaringin n %
Total n
11 11.2 37 37.8 51.0 50 77.83±17.68 0.811
24 12.0 69 34.5 53.5 107 78.11±16.01
11 11.2 8 8.2 80.6 79 80.51±19.23 0.910
19 9.5 23 11.5 79.0 158 80.65±17.13
38.8 38 28 28.6 32 32.7 66.84±25.38 0.702
37.5 75 56 28.0 69 34.5 67.50±23.96
3 3.1 0 0.0 96.9 95 97.44±15.01 0.857
7 3.5 0 0.0 96.5 193 97.25±15.20
%
65
Lampiran 3 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial pemerintah Rancabali n % Dukungan Sosial Pemerintah Total Rendah (<60) 16 15.7 Sedang (60-80) 26 25.5 58.8 Tinggi (>80) 60 Rata-rata±SD 77.62±19.80 p-value Dukungan Emosi Pemerintah Rendah (<60) 11 10.8 Sedang (60-80) 11 10.8 Tinggi (>80) 80 78.4 Rata-rata±SD 84.90±25.70 p-value Dukungan Instrumen Pemerintah Rendah (<60) 36 35.3 Sedang (60-80) 39 38.2 Tinggi (>80) 27 26.5 Rata-rata±SD 69.11±25.65 p-value Dukungan Informasi Pemerintah Rendah (<60) 37 36.3 Sedang (60-80) 0 0.0 Tinggi (>80) 65 63.7 Rata-rata±SD 76.47±34.25 p-value Kategori Skor
Kutawaringin n %
Total n %
10 10.2 20 20.4 69.4 68 80.79±17.41 0.232
26 13.0 46 23.0 128 64.0 79.18±18.69
4 4.1 0 0.0 94 95.9 95.30±15.14 0.001
15 7.5 11 5.5 174 87.0 90.00±21.78
48 49.0 36 36.7 14 14.3 59.69±26.28 0.011
84 42.0 75 37.5 41 20.5 64.50±26.32
18 18.4 0 0.0 80 81.6 86.73±30.07 0.025
55 27.5 0 0.0 145 72.5 81.50±32.60
66
Lampiran 4 Sebaran contoh menurut tingkat kepuasan kesejahteraan subyektif No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4
Pernyataan Tidak Puas Kondisi keuangan keluarga Frekuensi makan (3 kali sehari) dan keragaman jenis makanan Kondisi/ kualitas rumah yang ditempati Jumlah Pakaian yang dimiliki dan keragamannya Keadaan materi/ aset yang dimiliki Keadaan spiritual/ mental Keadaan kesehatan fisik keluarga Perasaan istri terhadap pendidikan anak Perasaan istri terhadap perilaku anak Perasaan istri terhadap penghasilan suami Kepemilikan perhiasan atau barang berharga laiinya Cara pengelolaan (manajemen) keuangan keluarga Pengelolaan/ pembagian pekerjaan rumah Perasaan istri terhadap komunikasi dengan suami Perasaan istri terhadap perilaku suami dalam membantu pekerjaan rumah Kepuasan hubungan perkawinan dengan suami Cukup Puas Kondisi keuangan keluarga Frekuensi makan (3 kali sehari) dan keragaman jenis makanan Kondisi/ kualitas rumah yang ditempati Jumlah Pakaian yang dimiliki dan keragamannya Keadaan materi/ aset yang dimiliki Keadaan spiritual/ mental Keadaan kesehatan fisik keluarga Perasaan istri terhadap pendidikan anak Perasaan istri terhadap perilaku anak Perasaan istri terhadap penghasilan suami Kepemilikan perhiasan atau barang berharga laiinya Cara pengelolaan (manajemen) keuangan keluarga Pengelolaan/ pembagian pekerjaan rumah Perasaan istri terhadap komunikasi dengan suami Perasaan istri terhadap perilaku suami dalam membantu pekerjaan rumah Kepuasan hubungan perkawinan dengan suami Puas Kondisi keuangan keluarga Frekuensi makan (3 kali sehari) dan keragaman jenis makanan Kondisi/ kualitas rumah yang ditempati Jumlah Pakaian yang dimiliki dan keragamannya
Rancabali
Kutawaringin
Total
48.0
50.0
49.0
14.7
7.1
11.0
41.2
45.9
43.5
31.4
21.4
26.5
50.0 16.7 24.5 46.1 11.8 44.1
46.9 15.3 27.6 38.8 14.3 42.9
48.5 16.0 26.0 42.5 13.0 43.5
60.8
66.3
63.5
26.5
24.5
25.5
11.8
16.3
14.0
6.9
10.2
8.5
15.7
17.3
16.5
4.9
7.1
6.0
23.5
25.5
24.5
20.6
33.7
27.0
23.5
24.5
24.0
31.4
38.8
35.0
24.5 16.7 23.5 19.6 19.6 16.7
25.5 15.3 11.2 12.2 22.4 27.6
25.0 16.0 17.5 16.0 21.0 22.0
13.7
14.3
14.0
19.6
28.6
24.0
17.6
15.3
16.5
14.7
14.3
14.5
13.7
8.2
11.0
9.8
9.2
9.5
28.4
24.5
26.5
64.7
59.2
62.0
35.3
29.6
32.5
37.3
39.8
38.5
67
No 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pernyataan Keadaan materi/ aset yang dimiliki Keadaan spiritual/ mental Keadaan kesehatan fisik keluarga Perasaan istri terhadap pendidikan anak Perasaan istri terhadap perilaku anak Perasaan istri terhadap penghasilan suami Kepemilikan perhiasan atau barang berharga laiinya Cara pengelolaan (manajemen) keuangan keluarga Pengelolaan/ pembagian pekerjaan rumah Perasaan istri terhadap komunikasi dengan suami Perasaan istri terhadap perilaku suami dalam membantu pekerjaan rumah Kepuasan hubungan perkawinan dengan suami
Rancabali 25.5 66.7 52.0 34.3 68.6 39.2
Kutawaringin 27.6 69.4 61.2 49.0 63.3 29.6
Total 26.5 68.0 56.5 41.5 66.0 34.5
25.5
19.4
22.5
53.9
46.9
50.5
70.6
68.4
69.5
78.4
75.5
77.0
70.6
74.5
72.5
85.3
83.7
84.5
68
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan mahasiswa Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB angkatan 2007. Dia dilahirkan pada tanggal 30 April 1989 sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara pasangan Almarhum Tugiyanto dan Mudiharyati. Penulis berasal dari Purworejo Jawa Tengah. Pada tahun 2007 menamatkan pendidikan di SMA N 1 Purworejo dan masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Kegiatan organisasi mahasiswa maupun kepanitiaan yang diikuti penulis selama mahasiswa cukup banyak. Tahun 2010-2011 penulis mendapatkan amanah menjadi Sekretaris Jendral (ketua umum) Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (MPM KM IPB). Pada waktu bersamaan penulis merangkap jabatan sebagai staff komisi 2 Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM KM IPB). Pada tahun 2011-2012 penulis aktif di kegiatan direktorat kemahasiswaan sebagai official kegiatan PIMNAS, ketua pelaksana kegiatan manajemen kepemimpinan mahasiswa dan ketua pelaksana sosialisasi technopreneur dari Bank Mandiri. Tahun 2009-2010 penulis menjabat sebagai ketua komisi II. Dewan Perwakilan Mahasiwa Fakultas Ekologi Manusia (DPM FEMA IPB).
69
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL…………………………………………………………………….. xvii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………..xviii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….. …xviii PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar belakang.............................................................................................. 1 Perumusan Masalah..................................................................................... 2 Tujuan .......................................................................................................... 4 Manfaat Penelitian........................................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7 Keluarga Korban Bencana Alam .................................................................. 7 Strategi Koping ............................................................................................. 8 Dukungan Sosial ........................................................................................ 10 Kesejahteraan ............................................................................................ 12 Kajian Penelitian Terdahulu ........................................................................ 14 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 17 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 19 Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian.......................................................... 19 Cara Pengambilan Contoh ......................................................................... 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................ 20 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... 21 Definisi Operasional ................................................................................... 24 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................................ 27 Gambaran Lokasi Penelitian....................................................................... 27 Karakteristik Keluarga Contoh .................................................................... 29 Strategi Koping ........................................................................................... 36 Dukungan Sosial ........................................................................................ 40 Kesejahteraan Keluarga Subyektif dan Obyektif ......................................... 45 Hubungan antara Karakteristik Keluarga Contoh dengan Strategi Koping, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga.......................................... 46 Hubungan Dukungan Sosial dengan Strategi Koping ................................. 49 Pengaruh Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, dan Strategi Koping terhadap Kesejahteraan Keluarga .............................................................. 49 Pembahasan .............................................................................................. 52 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 57 Kesimpulan ................................................................................................ 57 Saran ......................................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 59
70
DAFTAR TABEL 1 Variabel data, skala data, dan kategori skor data .......................................... 22 2 Jumlah korban kejadian gempa Tasikmalaya tahun 2009 ............................ 28 3 Sebaran contoh menurut usia suami-istri ...................................................... 29 4 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan suami-istri ................................ 30 5 Sebaran contoh menurut besar keluarga ...................................................... 31 6 Sebaran contoh menurut kepemilikan aset ................................................... 32 7 Sebaran contoh menurut keadaan rumah ..................................................... 33 8 Sebaran contoh menurut pekerjaan utama ................................................... 34 9 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita keluarga per bulan ............ 35 10 Sebaran contoh menurut komponen strategi koping penghematan pengeluaran keluarga .................................................................................... 37 11 Sebaran contoh menurut komponen strategi koping penambahan pendapatan keluarga ........................................................................................................ 38 12 Sebaran contoh menurut kategori koping penghematan pengeluaran dan penambahan pendapatan .............................................................................. 39 13 Sebaran contoh menurut kategori strategi koping total.................................. 40 14 Sebaran contoh menurut indikator dukungan sosial keluarga ..................... 422 15 Sebaran contoh menurut indikator dukungan sosial tetangga ....................... 43 16 Sebaran contoh menurut indikator dukungan sosial pemerintah ................... 44 17 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial total ............................... 45 18 Sebaran kategori kesejahteraan subyektif total ............................................. 46 19 Sebaran kategori kesejahteraan obyektif total............................................... 46 20 Hubungan karakteristik dengan strategi koping, dukungan sosial, dan kesejahteraan keluarga ................................................................................. 47 21 Hubungan strategi koping dan jenis dukungan sosial.................................... 49 22 Pengaruh karakteristik keluarga, dukungan sosial, dan strategi koping terhadap kesejahteraan subyektif keluarga.................................................... 50 23 Pengaruh karakteristik keluarga, dukungan sosial, dan strategi koping terhadap kesejahteraan obyektif keluarga ..................................................... 51
71
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran..................................................................................... 18 2. Mekanisme pengambilan contoh ................................................................. 20
DAFTAR LAMPIRAN 1. Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial keluarga ........................ 64 2. Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial tetangga ........................ 64 3. Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial pemerintah .................... 65 4. Sebaran contoh menurut tingkat kepuasan kesejahteraan subyektif ............ 66