HUBUNGAN FUNGSI AGIL (ADAPTASI, PENCAPAIAN TUJUAN, INTEGRASI, DAN PEMELIHARAAN SISTEM) DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN BENCANA
Christin Haryati
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT CHRISTIN HARYATI. The Correlation Between AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, and Latency) Family Function with Family Fishermen Welfare in Area of Disaster Prone (Supervised by EUIS SUNARTI and IRNI RAHMAYANI JOHAN). Indonesian coastal area which is vulnerable of natural disaster will effect to fishermen’s welfare. Family welfare are output of family strengthen which is can increase by a shape of fishermen family that able to survive from natural disaster risk. Family can survive from any condition by maximizing and managing their own resources or resources that not belong to them. Resources management are correlated to AGIL family function (Adaptation, Goal attainment, Integration & Latency). The objective of this study is to analyze the correlation among research’s variables i.e., family characteristics, family welfare, and AGIL family functions. This is a cross sectional study. This research has done in Pangandaran village. It is based on the consideration of its location where has happened natural disaster such as tsunami in 2006. There are 80 family samples that taken in 3 RW with simple random sampling. They are divided in two kinds of family, which are 53 ‘master/juragan’ of fishermen family and 27 ‘servant/janggol’ of fishermen family. Result of research showed that appearance AGIL family function in both of fishermen family not differ reality. Correlation of AGIL family function and family welfare shows positive relation between adaptation function and objective prosperity. It means more adaptation can increase income percapita for each family. Spearman correlation also shows positive correlation between latency of family with subjective prosperity. It means better latency can increase rates of subjective prosperity. In the conclusion of this research is family have a good satisfaction with anything that belong to them. Keywords: Fishermen Family, Family Welfare, Attainment, Integration, and Latency)
AGIL
(Adaptation, Goal
RINGKASAN CHRISTIN HARYATI. Hubungan fungsi AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency) dengan Kesejahteraan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana (Di bawah bimbingan EUIS SUNARTI dan IRNI RAHMAYANI JOHAN). Kondisi wilayah perairan Indonesia yang rawan bencana alam akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Indonesia. Kondisi kesejahteraan nelayan di Indonesia saat ini belum beranjak jauh dari lingkaran kemiskinan dan masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Kesejahteraan keluarga merupakan output dari ketahanan keluarga yang dapat ditingkatkan melalui upaya perwujudan keluarga nelayan yang mampu bertahan dari kerawanan bencana. Keluarga dapat mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya pada keadaaan apapun dengan memaksimalkan pengelolaan sumberdaya yang ada dalam keluarga. Pengelolaan sumberdaya yang sudah dimiliki dan tidak dimiliki keluarga terkait dengan pengelolaan fungsi AGIL dalam keluarga tersebut. Fungsi AGIL merupakan salah satu teori yang menjelaskan keberfungsian keluarga. Oleh karena itu, penelitian hubungan fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana penting untuk dilakukan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji ketahanan keluarga terutama menganalisis hubungan antara fungsi adaptasi (adaptation), pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi (integration), dan pemeliharaan sistem (latency) (AGIL) dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Adapun tujuan utama dari penelitian ini yaitu: (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga, dukungan sosial serta fungsi AGIL pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh, (2) menganalisis keragaan fungsi AGIL dan kesejahteraan keluarga nelayan nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh, (3) menganalisis perbedaan sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh, (4) menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga nelayan dan dukungan sosial dengan fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem serta kesejahteraan keluarga nelayan, (5) menganalisis pola hubungan antar variabel fungsi AGIL, (6) menganalisis hubungan antara fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga nelayan, (7) menganalisis hubungan antara kesejahteraan subjektif dengan kesejahteraan objektif pada keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Pengumpulan data dilakukan di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, pada tanggal 12 sampai 26 Maret 2008. Penarikan contoh dilakukan dengan cara simple random sampling di tiga RW yaitu RW 03, RW 07, dan RW 09. Contoh penelitian sebanyak 80 orang yang terdiri atas 53 nelayan juragan dan 27 nelayan buruh. Selain itu, menggunakan metode retrospektif untuk mendapatkan data sebelum terjadinya bencana alam. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga nelayan (besar keluarga, umur, tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, kepemilikan aset, dan akses informasi, sumber informasi, jenis informasi), dukungan sosial, fungsi AGIL (adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem), kesejahteraan objektif (indikator utama yaitu pendapatan), dan kesejahteraan subjektif. Data diperoleh dari pengamatan dan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data
sekunder berupa gambaran umum lokasi penelitian yang diperoleh dari arsip data di kantor desa dan kantor pemerintahan (BPS, kantor Kabupaten Ciamis) yang bersangkutan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry, cleaning dan analisis data menggunakan program Microsoft Excel 2003, SPSS versi 13.0 for windows, dan Minitab versi 14 for windows. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif dan statistik inferensia. Analisis statistik inferensia yang digunakan adalah uji independent sample t-test dan Mann-Whitney untuk melihat adanya perbedaan variabel antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh, serta analisis korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti dan untuk melihat pola hubungan antar variabel fungsi AGIL pada keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam. Karakteristik keluarga yang diukur dalam penelitian ini, yaitu: 1) besar keluarga, 2) umur, 3) lama pendidikan, 4) pendapatan, 5) kepemilikan aset, dan 6) akses informasi, jenis informasi serta sumber informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbesar keluarga nelayan juragan (50.94%) dan keluarga nelayan buruh (74.07%) termasuk keluarga kecil (≤ 4 orang). Hampir 50 persen keluarga nelayan juragan termasuk keluarga sedang dan besar. Hal ini dikarenakan keluarga nelayan juragan banyak yang memiliki anak lebih dari dua, menampung anggota keluarga lain serta nelayan buruh yang belum berkeluarga. Persentase terbesar pada suami keluarga nelayan juragan (41.51%) dan keluarga nelayan buruh (33.33%) serta isteri keluarga nelayan juragan (33,96%) dan keluarga nelayan buruh (44,44%) termasuk ke dalam usia produktif dengan rentang usia antara 20 sampai 40 tahun. Sebanyak 74,57 persen suami keluarga nelayan juragan dan 66,67 persen suami keluarga nelayan buruh memiliki lama pendidikan kurang dari 9 tahun. Persentase terbesar lama pendidikan isteri pada keluarga nelayan juragan (73,58%) dan keluarga nelayan buruh (66,67%) kurang dari 9 tahun. Rata-rata pendapatan/kapita/bulan keluarga nelayan juragan (Rp 1 191 015) lebih besar daripada keluarga nelayan buruh (Rp 513 018). Seluruh keluarga nelayan juragan (100%) dan sebagian besar keluarga nelayan buruh (81,48%) memiliki aset lebih dari atau sama dengan 3 kali kebutuhan minimum per bulan. Akses informasi, sumber informasi, jenis informasi yang dimiliki keluarga nelayan juragan (64.15%) dan keluarga nelayan buruh (66.67%) berada pada kategori sedang. Dukungan sosial yang diterima oleh sebagian besar keluarga nelayan juragan (84.91%) dan keluarga nelayan buruh (85.19%;) dari keluarga luas termasuk dalam kategori tinggi. Dukungan sosial yang diberikan oleh tetangga kepada keluarga nelayan juragan (81,13%) dan keluarga nelayan buruh (77,78%) pun termasuk dalam kategori tinggi. Persentase keluarga nelayan juragan (60,38%) dua kali lebih besar dari persentase keluarga nelayan buruh(25,93%) yang terkategori tinggi dalam mendapatkan dukungan sosial dari lembaga masyarakat/pemerintah. Hal ini dikarenakan nelayan juragan mendapatkan bantuan dan fasilitas yang baik ketika terjadi bencana. Sebagian besar keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak mengalami perubahan dukungan sosial yang diterima dari keluarga luas, tetangga, dan lembaga masyarakat/pemerintah pada saat sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Secara umum, pengelolaan fungsi AGIL yang terdiri atas adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh memiliki keragaan yang tidak jauh berbeda. Sebagian besar keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak memiliki perubahan fungsi AGIL pada saat sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Berdasarkan kesejahteraan objektif, pada musim
paceklik (pada saat penelitian dilakukan)sebagian besar keluarga nelayan juragan (77.36%) dan keluarga nelayan buruh (92.59%) tergolong tidak sejahtera. Berdasarkan persentase terbesar kesejahteraan subjektif, keluarga nelayan juragan (73.58%) dan keluarga nelayan buruh (55.56%) tergolong sejahtera. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara fungsi adaptasi dan fungsi integrasi dengan lama pendidikan suami, akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan suami serta semakin banyak akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi yang diperoleh maka semakin tinggi pula tindakan adaptasi dan integrasi yang dilakukan dalam keluarga. Lama pendidikan suami dan dukungan sosial berhubungan positif dengan pencapaian tujuan. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan suami dan semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh keluarga maka semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami dengan fungsi pemeliharaan sistem dalam keluarga. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan suami maka semakin baik tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan dalam keluarga. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa lama pendidikan suami, lama pendidikan isteri, akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan objektif dan subjektif. Hal ini berarti semakin tinggi pendidikan suami–isteri, dan semakin banyak akses informasi, sumber informasi, jenis informasi yang diperoleh maka kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif keluarga juga semakin tinggi. Sedangkan besar keluarga berhubungan signifikan negatif dengan kesejahteraan objektif. Hal ini berarti semakin banyak jumlah anggota keluarga maka kesejahteraan objektifnya semakin rendah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara fungsi pencapaian tujuan, fungsi integrasi, fungsi pemeliharaan sistem dan fungsi adaptasi. Hal ini berarti semakin tinggi tujuan yang ingin dicapai keluarga maka semakin tinggi pula tindakan integrasi dan pemeliharaan sistem yang dilakukan keluarga sehingga tindakan adaptasi yang dilakukan oleh keluarga juga semakin tinggi. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara fungsi adaptasi dengan kesejahteraan objektif. Hal ini berarti semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan oleh keluarga maka semakin tinggi kesejahteraan objektif keluarga tersebut. Fungsi pemeliharaan sistem berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini berarti semakin tinggi tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga maka semakin tinggi kesejahteraan subjektif keluarga tersebut. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan negatif antara kesejahteraan objektif dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kesejahteraan objektif keluarga nelayan, maka belum tentu kesejahteraan subjektifnya juga tinggi.
HUBUNGAN FUNGSI AGIL (ADAPTASI, PENCAPAIAN TUJUAN, INTEGRASI, DAN PEMELIHARAAN SISTEM) DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN BENCANA
Christin Haryati
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keluarga Dan Konsumen Pada Program Studi Ilmu Keluarga Dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian
:
Nama
:
HUBUNGAN FUNGSI AGIL (ADAPTASI, PENCAPAIAN TUJUAN, INTEGRASI, DAN PEMELIHARAAN SISTEM) DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN BENCANA CHRISTIN HARYATI
NIM
:
I24053672
Disetujui,
Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si
Irni Rahmayani Johan, SP, MM
Pembimbing Pertama
Pembimbing Kedua
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, MSc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta Timur pada tanggal 14 Juli 1987 dari pasangan Pudjo Haryono dan Pelniati Padjonge. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dalam sebuah keluarga yang sederhana. Penulis memulai pendidikan dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Malaka Jaya 11 Pagi Jakarta Timur dari tahun dari tahun 1993 sampai lulus pada tahun 1999. Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 139 Jakarta Timur dari tahun 1999 sampai lulus pada tahun 2002, kemudian penulis meneruskan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 44 Jakarta Timur sampai lulus pada tahun 2005. Selepas lulus dari SMA tahun 2005, penulis berhasil lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) di Institut Pertanian Bogor. Setelah mengikuti Tahap Persiapan Bersama (TPB) selama 1 tahun, akhirnya penulis berhasil masuk ke Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala Puji untuk Allah, Tuhan Semesta Alam atas karunia dan rahmat-Nya yang selalu melimpah serta bakat yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul Hubungan Fungsi AGIL dengan Kesejahteraan Keluarga Nelayan yang Rawan Terkena Bencana Alam merupakan salah satu syarat penulis untuk mendapatkan gelar sarjana. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si selaku pembimbing skripsi pertama atas bimbingannya
selama
penulis
kuliah
dan menyelesaikan
skripsi
di
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Irni Rahmayani Johan. SP. MM selaku pembimbing skripsi kedua atas bimbingan arahan dan informasinya dalam pelaksanaan dan penyelesaian penelitian ini
Dr. Ir. Dyah K Pranadji, M.Si., selaku penguji dan masukan-masukannya dalam skripsi ini
Staf BPS Kabupaten Ciamis serta Staf kantor Desa Pangandaran yang sudah memberikan banyak bantuan dan informasi sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik
Mamahku yang luar biasa, Bapak, Iqbal, Fia atas dukungan fisik, materi, moril dan kasih sayang yang tidak terukur banyaknya
Rekan satu penilitian, Rahma, Esty, Fitri yang sudah bersama-sama mengerjakan penelitian dalam keadaan suka maupun duka serta anak-anak IKK ’42 yang tidak dapat disebut satu persatu yang terut men-support
Dimazs Reditya Hamihenda, Sarjana Pertanian bin Yussa Agusjaya untuk dukungannya, semangat, inspirasi, energi, kesabaran, kasih sayang dan untuk yang terakhir Akhir kata, penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, mudah-
mudahan dapat bermanfaat buat kita semua. Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................
1
Tujuan .................................................................................................
3
Kegunaan.............................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Keluarga ...........................................................................
5
Fungsi AGIL ........................................................................................
7
Kesejahteraan Keluarga .....................................................................
13
Karakteristik Keluarga .........................................................................
16
Dukungan Sosial .................................................................................
19
Kondisi Rawan Bencana Alam ............................................................
20
KERANGKA PENELITIAN ...........................................................................
22
METODE PENELITIAN Desain Tempat dan Waktu Penelitian .................................................
25
Contoh Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh .................................
25
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ....................................................
26
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................
27
Definisi Operasional ............................................................................
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................
35
Karakteristik Keluarga .........................................................................
35
Dukungan Sosial .................................................................................
41
Fungsi AGIL ........................................................................................
44
Kesejahteraan Keluarga .....................................................................
52
Hubungan Antar Variabel ....................................................................
56
Halaman KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .........................................................................................
63
Saran ..................................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
65
LAMPIRAN ...................................................................................................
68
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis dan cara pengambilan data ........................................................
27
2 Pengkategorian data penelitian ...........................................................
33
3 Sebaran contoh menurut besar keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................................................................
36
4 Sebaran contoh menurut umur pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................................................................
37
5 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
37
6 Sebaran contoh menurut lama pendidikan pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
38
7 Sebaran contoh menurut pendapatan perkapita pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
38
8 Sebaran contoh menurut kepemilikan aset pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
39
9 Sebaran contoh menurut akses informasi, sumber informasi, jenis informasi pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................................................................
40
10 Sebaran contoh menurut kategori akses informasi, sumber informasi, jenis informasi pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................................................................
41
11 Sebaran contoh menurut dukungan sosial keluarga luas ....................
41
12 Sebaran contoh menurut dukungan sosial tetangga ...........................
42
13 Sebaran contoh menurut dukungan sosial lembaga masyarakat /pemerintah .........................................................................................
43
14 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
43
15 Sebaran contoh menurut perubahan dukungan sosial sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................................................................
44
16 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan adaptasi yang dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh....................................................................................................
45
17 Sebaran contoh menurut pencarian nafkah yang dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
45
18 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi adaptasi sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................................................................
46
19 Sebaran contoh menurut banyaknya tujuan yang ingin dicapai keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
47
Halaman 20 Sebaran contoh menurut tujuan yang ingin dicapai
47
21 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pencapaian tujuan sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
48
Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan integrasi yang dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh....................................................................................................
48
23 Sebaran contoh menurut jenis integrasi yang dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .....................................
49
24 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi integrasi sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................................................................
49
25 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................................................................
50
26 Sebaran contoh menurut jenis pemeliharaan sistem yang diberikan keluarga pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh....................................................................................................
51
27 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pemeliharaan sistem sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh ...................................................
52
28 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim panen keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
53
29 Sebaran contoh menurut persentase kesejahteraan subjektif pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
54
30 Sebaran contoh menurut kategori kesejahteraan subjektif pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh .......................
56
31 Sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan fungsi AGIL ..................................................
58
Sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan kesejahteraan keluarga ...............................
59
33 Sebaran koefisien pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL ...
61
34 Sebaran koefisien korelasi fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga ...............................................................................................
62
22
32
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema AGIL .............................................................................................
8
2 Kerangka pemikiran hubungan fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem dengan kesejahteraan keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam ............................................
24
3 Teknik pengambilan contoh .....................................................................
26
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Sebaran contoh menurut pendapatan per musim .................................
68
2 Hasil uji korelasi antar variabel ..............................................................
69
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayah lautannya lebih luas dibandingkan wilayah daratannya dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (Savitri dan M. Khazali, 1999). Laut-laut yang ada di wilayah Indonesia pun mempunyai kekayaan alam yang melimpah ruah. Selain sumberdaya mineral yang banyak terkandung di wilayah lautan Indonesia, ikan-ikan serta terumbu karang yang terdapat di wilayah lautan Indonesia pun sangat melimpah ruah. Kekayaan alam di wilayah Indonesia membuat hampir dari setengah penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai nelayan (Satria, 2008). Wilayah perairan Indonesia berada diantara dua lempeng yaitu lempeng samudera dan lempeng benua (Kumaat, 2007). Secara teknis, kondisi demikian membawa konsekuensi dan perhatian lebih dikarenakan sebagian besar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia berada pada daerah rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, erosi pantai, banjir pasang-surut dan subsiden, badai dan sedimentasi (Bakosurtanal, 2009). Kondisi wilayah perairan Indonesia yang rawan bencana alam akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Indonesia. Kondisi kesejahteraan nelayan di Indonesia saat ini belum beranjak jauh dari lingkaran kemiskinan dan masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Data yang ada hanya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir tahun 2002 sebayak 32 persen ditinjau dari indikator pendapatan satu dollar per hari (Satria, 2008). Ketiadaan
data
kemiskinan
nelayan
mempersulit
pertanggungjawaban
pemerintah terhadap publik yang menimbulkan banyak kritik dari organisasiorganisasi luar yang peduli terhadap kesejahteraan nelayan. Kesejahteraan keluarga merupakan output dari ketahanan keluarga yang dapat ditingkatkan melalui upaya perwujudan keluarga nelayan yang mampu bertahan dari kerawanan bencana. Menurut Sunarti (2001), ketahanan keluarga dapat dilihat dari kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapi sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh keluarga tersebut. Upaya yang dapat dilakukan keluarga untuk meningkatkan ketahanan keluarga yaitu melaksanakan fungsi keluarga dengan baik sehingga dapat tetap mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya (Nuryani, 2007).
Keluarga dapat mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya pada keadaaan apapun dengan memaksimalkan pengelolaan sumberdaya yang ada dalam keluarga. Pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh keluarga terkait dengan pengelolaan fungsi AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency) dalam keluarga tersebut. Fungsi AGIL merupakan salah satu teori yang dapat menggambarkan apakah fungsi keluarga sudah dapat dijalankan dengan baik. Pengelolaan fungsi AGIL pada setiap keluarga berbeda-beda. Fungsi AGIL terdiri dari masalah adaptasi yang mengacu pada perolehan sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem, dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem; masalah pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam sistem untuk mencapai tujuan; masalah integrasi mengacu kepada proses pemeliharaan ikatan dan solidaritas, dan melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem, serta; masalah latency mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah yang saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Sehubungan dengan adanya bencana alam yang mempengaruhi kehidupan keluarga nelayan dalam memenuhi pelaksanaan fungsi keluarga dan pengelolaan sumberdaya yang dimilki, maka penelitian untuk mengkaji ketahanan keluarga nelayan di kecamatan Pengandaran terutama menganalisis hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi, dan pemeliharaan sistem (latency) (AGIL) dengan kesejahteraan keluarga merupakan hal yang sangat menarik. Dengan demikian dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana keragaan karakteristik keluarga, dukungan sosial yang diterima keluarga nelayan, fungsi AGIL dan kesejahteraan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh di daerah rawan bencana? 2. Apakah terdapat perbedaan fungsi AGIL dan dukungan sosial sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh? 3. Adakah hubungan antar karakteristik keluarga nelayan, dukungan sosial, fungsi pencapaian tujuan, fungsi adaptasi, fungsi integrasi, serta fungsi
pemeliharaan sistem (latency) pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 4. Adakah pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL pada keluarga nelayan di daerah bencana? 5. Adakah hubungan antara fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 6. Adakah hubungan antara kesejahteraan subjektif dengan kesejahteraan objektif pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji ketahanan keluarga nelayan terutama menganalisis hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi, dan pemeliharaan sistem (latency) (AGIL) dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana.
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, dukungan sosial serta fungsi AGIL pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh di daerah rawan bencana. 2. Menganalisis keragaan dukungan sosial, fungsi AGIL, kesejahteraan keluarga dan perubahan sebelum dan sesudah terjadi bencana pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh di daerah rawan bencana. 3. Menganalisis perbedaan fungsi AGIL dan dukungan sosial sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga nelayan dan dukungan sosial
dengan
fungsi
adaptasi,
pencapaian
tujuan,
integrasi
dan
pemeliharaan sistem serta kesejahteraan keluarga pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana. 5. Menganalisis pola hubungan antar variabel fungsi AGIL pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana.
6. Menganalisis hubungan antara fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. 7. Menganalisis hubungan antara kesejahteraan subjektif dengan kesejahteraan objektif pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana.
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi pemerintah khususnya pemerintah kabupaten Ciamis mengenai kondisi kesejahteraan keluarga nelayan, agar pemerintah dapat menetapkan kebijakan programprogram yang berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan hidup nelayan. Bagi seluruh keluarga pada umumnya dan keluarga nelayan pada khususnya, diharapkan lebih memahami penerapan fungsi AGIL dengan baik sehingga dapat mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan khususnya di bidang keluarga yang dapat diterapkan pada kehidupan keluarga nanti guna mencapai kesejahteraan keluarga.
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Keluarga Ketahanan keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992 merupakan kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan, serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin (BKKBN 1992, diacu oleh Nuryani 2007). Menurut Sunarti (2001) karakteristik atau komponen ketahanan keluarga terdiri dari dorongan berprestasi, komitmen terhadap keluarga, komunikasi, orientasi agama, hubungan sosial, penghargaan, peran yang jelas dalam keluarga, dan waktu kebersamaan. Ketahanan keluarga yang kuat nyatanya akan mencerminkan adanya unsur-unsur penting yang sangat mempengaruhi kehidupan beragama secara nyata, kesadaran melaksanakan nilai-nilai tradisi dan peran pendidikan dalam keluarga (Soedarsono 1997). Sedangkan Kaykuzma (1992) diacu oleh Desmarita (2004), menyatakan bahwa keluarga yang kuat biasanya memiliki komitmen, penghargaan, waktu bersama yang memadai, komunikasi yang bagus, selera humor yang bagus, saling berbagi, punya ketertarikan yang sama, saling membantu dan bekerjasama. Berdasarkan kajian pustaka ketahanan keluarga dapat dirumuskan definisi operasional ketahanan keluarga yaitu kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki dan menanggulangi masalah yang dihadapi, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikososial keluarga (Sunarti, 2001). Ukuran ketahanan keluarga melalui pendekatan sistem terdiri dari komponen masukan (input) proses, dan keluaran (output). Komponen proses seperti pengelolaan masalah, adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latency, serta kesejahteraan sebagai tujuan keluarga. Pengukuran ketahanan keluarga diperoleh dengan cara melakukan uji validitas konstruk menggunakan analisis faktor (exploratory dan confirmatory) menghasilkan tiga peubah laten, yaitu ketahanan fisik, ketahanan sosial, dan ketahanan psikologis (Sunarti, 2001). Menurut Sunarti (2001), ketahanan fisik keluarga adalah kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh keluarga yaitu komponen anggota keluarga dalam memperoleh sumberdaya ekonomi dari luar sistem untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Ketahanan sosial keluarga adalah ketahanan keluarga dalam menerapkan nilai agama,
memelihara mekanisme penanggulangan krisis yang baik pula. Sedangkan ketahanan psikologis keluarga adalah kemampuan anggota keluarga dalam mengelola emosi, sehingga menghasilkan konsep diri yang positif. Ketahanan keluarga pun berperan penting mengurangi tingkat kemiskinan dengan
menciptakan
kapasitas,
kesempatan
dan
ketahanan
untuk
mengakumulasikan aset seperti pengetahuan, kesehatan, lahan, keuangan, peralatan, pendidikan, jaringan sosial dan pengaruh politik (Sunarti, et al. 2008). Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, serta kemampuan keluarga dalam pengelolaan masalah dan stress (Krysan, Kristin A Moore, & Zill, 1990, diacu oleh Sunarti 2001). Ciri kemandirian keluarga adalah sikap mental keluarga dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada seluruh lembaga keluarga untuk meningkatkan kesejahteraannya dan membangun seluruh potensinya agar menjadi sumberdaya insani dalam mendukung pembangunan bangsa (Puspa, 2007). Peningkatan ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui “Delapan Pilar Gerakan Keluarga Sejahtera (BKKBN 1992, diacu oleh Desmarita 2004), yaitu: 1. Mengisi nilai-nilai keagamaan dalam keluarga hingga menjadikan anggota keluarga beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME. 2. Membudayakan anggota keluarga dengan cara melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang luhur dan mewariskannya pada generasi penerus. 3. Memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga akan kasih sayang dan kebutuhan efektif lainnya yang amat diperlukan dalam menyempurnakan kemanusiaan. 4. Melindungi setiap anggota keluarga dan menciptakan rasa aman bagi seluruh anggota keluarga. 5. Menciptakan hubungan suami-isteri yang harmonis melalui interaksi seksual menuju kehidupan reproduktif yang sehat. 6. Memberikan pendidikan dan pembinaan sosialisasi pada anggotanya terutama terhadap anak-anak yang sedang tumbuh kembang dengan kesadaran membina anak menjadi sumberdaya manusia yang berguna untuk pembangunan. 7. Menjamin kesejahteraan ekonomi keluarga terutama dengan memenuhi kebutuhan
dasar
yaitu
makan-pakaian-perumahan
dan
kesehatan,
selanjutnyameningkatkan
kesejahteraan
keluarga
dengan
memenuhi
kebutuhan sekunder dan pengembangannya. 8. Melestarikan lingkungan dan merawatnya dengan penuh kesadaran bahwa daya dukung lingkungan amat diperlukan manusia dalam pembangunan.
Fungsi AGIL Keluarga memiliki berbagai fungsi penting yang menentukan kualitas kehidupan baik kehidupan individu, keluarga, bahkan kehidupan sosial (kemasyarakatan). Fungsi keluarga dapat dibagi menjadi fungsi ekspresif dan instrumental. Fungsi ekspresif keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sementara itu, fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga (Sunarti, 2008). Salah satu teori yang dapat digunakan dalam menjelaskan fungsi keberlangsungan keluarga adalah teori AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency), yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons. Berdasarkan hasil penelitian yang mendalam mengenai struktur dari proses interaksi, Parsons menyatakan bahwa keluarga dapat dianggap sebagai contoh dari kelompok kecil dalam sistem sosial. Parsons melakukan penelitian mengenai teori AGIL yang menghasilkan sebuah buku berjudul Working Papers in Theory of Action (WPTA) yang menjelaskan bahwa setiap sistem sosial mempunyai empat masalah fungsional utama secara berturut-turut, yaitu adaptasi terhadap situasi dan kondisi eksternal, perangkat kontrol terhadap kinerja-kinerja yang berorientasi tujuan, manajemen pengungkapan perasaan dan tekanan dari para anggotanya, serta mempertahankan integrasi sosial antara sesama anggotanya sebagai suatu keutuhan bersama (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Keluarga adalah suatu pranata sosial yang sangat penting fungsinya dalam setiap masyarakat (Ogburn 1999, diacu oleh Nuryani 2007). Yang menarik dari teori Ogburn (1999) bagi peminat studi keluarga adalah pendapatnya bahwa sistem keluarga berubah sebagai akibat perubahan teknologi. Proses sosialisasi pada tahap ini dapat digambarkan melalui kerangka A-G-I-L yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons dalam menganalisis tindakan-tindakan sosial (D.P. Jonson, 1086 hal 128-136). Fase-fase seperti adaptation, goal attainment, integration, dan lattent pattern maintenance tidak ada batasan yang jelas, karena merupakan suatu proses yang terjadi secara sinambung. Fase-fase tersebut dalam proses
sosialisasi dijelaskan sebagai berikut:L-A-G-I. Parsons lebih mengarah ke pendekatan structural fungsional: yang disoroti 1) fungsi-fungsi keluarga untuk masyarakat 2) fungsi-fungsi dari subsistem dalam keluarga untuk keluarga dan subsistem-subsistem itu sendiri 3) fungsi-fungsi keluarga untuk anggota-anggota keluarga termasuk perkembangan kepribadian. Dengan kata lain yang dipelajari adalah : 1) hubungan antara keluarga dan unit-unit sosial yang lebih luas 2) hubungan di antara keluarga dan subsistem-subsistemnya 3) hubungan diantara keluarga dan kepribadian. Pada dasarnya empat masalah fungsional ini membentuk dasar dari spesifikasi yang terperinci mengenai fungsi penting untuk keberlangsungan (survival) dari setiap sistem sosial. Menurut Parsons (1953) diacu oleh Hamilton (1983) keberlangsungan (survival) merupakan fungsi utama seluruh masyarakat yang melibatkan pembelajaran terhadap segala sesuatu yang mengikat anggota masyarakat untuk bersatu melalui bahasa serta nilai-nilai sosial dan budaya. Berdasarkan pengembangan dari WPTA, Parsons membentuk empat paradigma fungsi yang disebut “four function paradigm” atau skema AGIL yang digambarkan sebagai berikut: Adaptation (A)
Goal Attainment (G)
Latency (L)
Integration (I)
Gambar 1. Skema fungsi AGIL Parsons (1953) diacu oleh Hamilton (1983) mengaplikasikan model konseptual ini terhadap pengembangan dari disiplin ilmu yang luas mulai dari ekonomi, kesehatan mental, politik, sistem kepribadian, dinamika kelompok, sosialisasi, pendidikan, agama, hukum, organisasi, dan lain-lain. Berdasarkan hasil-hasil pengembangan skema AGIL tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa empat masalah fungsional utama dalam keberlangsungan sistem yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem yang berada pada tingkatan sistem kepribadian, sosial, dan budaya. Keluarga sebagai unit sosial terkecil merupakan tulang punggung pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut yang selanjutnya menentukan keberlangsungan serta keseimbangan sistem sosial yang lebih luas (Sunarti 2001).
Fungsi Adaptasi Adaptasi mengacu pada perolehan sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem, dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Adaptasi adalah suatu pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi dimana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi tekanan-tekanan sosial ekonomi (Kusnadi 1996, diacu oleh Lubis 1999). Tindakan adaptasi bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang eksternal dan internal. Berdasarkan sudut pandang internal, adaptasi dibagi dua yaitu eksistensi interpretasi (existential interpretation) dan kategorisasi moral-evaluasi (moral-evaluation categorization). Tindakan eksistensi interpretasi adalah kemampuan seseorang untuk memandang dirinya agar tetap eksis dalam lingkungannya,
sedangkan
tindakan
moral-evaluasi
merupakan
tindakan
seseorang untuk tetap dapat mengikuti kaidah atau nilai-nilai moral yang ada di lingkungan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Berdasarkan sudut pandang eksternal, tindakan adaptasi seseorang dibagi menjadi dua yaitu simbolisasi kognitif (cognitive symbolization) dan simbolisasi ekspresif (exspressive symbolization). Tindakan kognitif merupakan cara berpikir seseorang dengan memandang berbagai sumberdaya yang ada di lingkungan luar untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Tindakan adaptasi dalam penelitian ini merupakan coping strategy yang dilakukan keluarga untuk memperoleh sumberdaya dari lingkungan luar. Dalam upaya mengatasi masalah yang dihadapi, keluarga perlu mengembangkan strategi adaptasi yang memadai, salah satunya adalah coping strategy. Friedman (1998) mendefinisikan coping keluarga sebagai respon positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stress yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu. Selanjutnya Mc Cubin dan Thompson (1987), diacu oleh Noverina (2006) menyatakan bahwa coping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga, peningkatan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol
pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian keseimbangan dalam keluarga. Coping strategy keluarga dibagi menjadi dua yaitu coping internal atau intrafamiliar dan eksternal atau ekstrafamiliar. Coping strategy internal meliputi mengandalkan
kemampuan
sendiri
dari
keluarga,
penggunaan
humor,
musyawarah bersama (memelihara ikatan bersama), mengartikan masalah, pemecahan masalah secara bersama, fleksibilitas peran, dan normalisasi. Sedangkan coping strategy eksternal meliputi mencari informasi, memelihara hubungan aktif dengan komunitas, mencari sistem pendukung sosial, mencari dukungan spiritual (Friedman 1998). Adaptasi
yang
dilakukan
oleh
suatu
sistem
keluarga
dalam
mempertahankan kelangsungan hidup semua anggota keluarganya berbedabeda menurut derajatnya, mulai dari mempertahankan masalah hidup dan mati sampai dengan mempertahankan hidup agar dapat menjalankan aktivitas seharihari seperti mampu bekerja secara normal sesuai dengan jenis pekerjaannya masing-masing (Pakpahan & Pasandaran 1990, diacu oleh Nuryani 2007). Selanjutnya dapat menentukan tingkat pendapatan bagi rumahtangga tersebut (Ginting & Penny 1984, diacu oleh Nuryani 2007).
Fungsi Pencapaian Tujuan (Goal Attainment) Pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam sistem untuk mencapai tujuan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Setiap keluarga mempunyai tujuan atau rencana yang akan dicapai (output), dengan syarat adanya sumberdaya keluarga (input) baik materi, energi, dan informasi. Sehingga keluarga dapat mencapai tujuannya, dan dapat menjalankan fungsifungsi keluarga dengan menggunakan sumberdaya keluarga, maka perlu melalui proses (throughput) yang harus ditempuh (Deacon & Firebaugh 1988). Masalah pencapaian tujuan dalam suatu keluarga dapat diukur dari kualitas dan performace tujuan itu sendiri. Pencapaian tujuan berdasarkan kualitas dapat diukur dari nilai yang didapat dari pencapaian tujuan, biasanya berupa kepuasan dan penghargaan terhadap sesuatu yang telah dicapai. Pencapaian tujuan berdasarkan performance dapat diukur berdasarkan suatu hal yang dapat ditunjukkan dalam tindakan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983).
Banyaknya tujuan yang ingin dicapai keluarga yang satu dengan lainnya berbeda-beda, berkaitan dengan kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam dan lingkungan luar keluarga. Salah satu kemampuan keluarga dalam memperoleh sumberdaya dari lingkungan luar dapat dilihat berdasarkan besarnya pendapatan keluarga. Terjadinya perubahan pendapatan akan mempengaruhi nilai dan tujuan yang akan dicapai oleh keluarga. Perubahan pendapatan akan mengubah selera dan kebutuhan keluarga sebagai upaya untuk mewujudkan secara kualitatif tujuan yang akan dicapai (Deacon & Firebaugh 1988).
Fungsi Integrasi Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah kelompok yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan dan berinteraksi satu dengan lainnya sehingga membentuk suatu mata rantai yang sulit untuk dipisahkan dan mempunyai tujuan yang akan dicapai. Hubungan tersebut terikat begitu erat sehubungan suatu perubahan yang terjadi pada suatu bagian pasti menyebabkan perubahan-perubahan dalam seluruh sistem (Dewi 2002). Sistem keluarga memiliki ciri khas penting yang terdiri dari komponen-komponen yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi penyebab adanya sifat-sifat dan karakteristik baru yang merupakan suatu fungsi dari keterkaitan tersebut (Friedman 1998). Hal ini terkait dengan tindakan integrasi keluarga dalam mempererat hubungan antar anggota keluarganya (Nuryani 2007). Integrasi mengacu kepada pemeliharaan ikatan dan solidaritas, dengan melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem. Tindakan integrasi dalam sebuah keluarga merupakan hal penting untuk kelangsungan hidup berkeluarga, karena integrasi melibatkan ke empat variabel AGIL itu sendiri, sehingga dari ke empat variabel tersebut adanya suatu keterikatan yang dapat saling membangun, agar semua anggota keluarga yang ada di dalamnya dapat tetap bertahan dalam lingkungannya (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Setiap anggota keluarga mempunyai kepercayaan bahwa solidaritas keluarga sebagai landasan untuk dapat menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan kepada masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya individualisme dalam keluarga dan masyarakat, kelompok konservatif memiliki norma bersama terhadap peraturan perilaku (behavior). Keputusan yang harus diambil mengarah pada kepentingan bersama dengan
tidak menghilangkan hak asasi manusia sebagai makhluk sosial dengan melakukan berbagai penyesuaian (Suandi 2007).
Fungsi Pemeliharaan Sistem (Latency) Menurut Megawangi (2001), keluarga sebagai sebuah sistem sosial yang mempunyai tugas dan fungsi agar sistem dapat berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integrasi, dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Pemeliharaan sistem (latency) mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan
pengelolaan
masalah
atau
ketegangan.
Secara
umum,
masalah
pemeliharaan sistem dibagi menjadi tiga aspek yaitu pembagian peran masingmasing anggota keluarga, bantuan yang diterima untuk memotivasi anggota keluarga, dan peraturan atau norma yang berlaku dalam keluarga (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Keluarga sebagai sistem terkecil, mempunyai ciri-ciri sistem seperti memiliki keutuhan, memiliki subsistem yang saling terkait, mempunyai batas sebagai tempat pertemuan antar sistem, mempunyai fungsi, ada hierarki yang terbentuk karena adanya subsistem dan adanya dinamika (Megawangi, 2001). Pembagian peranan dalam keluarga dapat membantu berjalannya fungsi keluarga secara optimal. Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem sosial dibangun (Sunarti, 2001). Levy diacu oleh Megawangi (2001) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masingmasing anggota keluarga dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Terjadinya salah satu disfungsi keluarga akan berdampak besar bagi keluarga dalam menjaga keberlangsungan hidup keluarga. Menurut Tati (2004) motivasi yang diberikan dalam bentuk dukungan suami terhadap isteri untuk melaksanakan peranannya sebagai isteri, atau terhadap
isteri
dalam
memerankan
seorang
ibu
untuk
melaksanakan
pengasuhan anak, dengan cara suami memberi simpati, perhatian, dan kepercayaan yang dilandasi kasih sayang, akan memberi kekuatan yang besar pengaruhnya terhadap isteri dalam melaksanakan tugas dan perannya. Pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga yang
memiliki kesejahteraan yang tinggi maka pemeliharaan sistem (latency) yang dilakukannya pun akan semakin baik.
Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau kelompok keluarga dan masyarakat. Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas karena tingkat kesejahteraan mencerminkan kualitas hidup dari sebuah keluarga (Ancok 1990, diacu oleh Ibrahim 2007). Hal ini disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan di satu bidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi berbagai bidang disiplin ilmu dan atau melalui pengamatan empiric berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum dan spesifik (Prabawa 1998, diacu oleh Nuryani 2007). Kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif, sehingga setiap orang yang memiliki pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-faktor yang menentukan tinkat kesejahteraan (Sukirno 1985, diacu oleh Ibrahim 2007). Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau kelompok keluarga dan masyarakat. Keadaan yang sejahtera dapat ditunjukkan oleh kemampuan mengupayakan sumberdaya keluarga untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang dianggap penting dalam kehidupan berkeluarga (Prabawa 1998, diacu oleh Nuryani 2007). Menurut World Health Organization (WHO) (Santamarina et al. 2002, diacu oleh Suandi 2007), terdapat enam kategori dan kesejahteraan (quality of life or individu well-being) yaitu fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, lingkungan dan spiritual. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan keluarga yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (Suandi 2007). BPS mengartikan kesejahteraan sebagai kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya (Ibrahim 2007).
Tingkat
kesejahteraan
keluarga berbeda-beda
tergantung
wilayah
regional maupun geografi serta nilai-nilai sosial budaya dimana keluarga berada yang mengakibatkan terjadi perbedaan dalam menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Pendekatan yang
digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif didapat dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan.
Pendekatan
dengan
indikator
subjektif
secara
filosofi
berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk mungkin mempunyai pandangan sendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin bisa berbeda dengan pandangan objektif. Konsep subjektif dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumahtangga (Raharto & Romdiati 2000). Pendekatan objektif atau disebut dengan istilah kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan
akan
tanah,
pengetahuan,
energi,
keamanan,
dan
lain-lain.
Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensial untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya (Santamarina et al. 2002, diau oleh Suandi 2007). Kesejahteraan
dengan
pendekatan
subjektif
diukur
dari
tingkat
kebahagiaan dan kepuasan dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain.
Pendekatan
subjektif
mendefinisikan
kesejahteraan
berdasarakan
pemahaman penduduk mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya (Santamarina et al. 2002, diacu oleh Suandi 2007). Selanjutnya menurut
Diener
menggambarkan
&
Biswas
evaluasi
(2000),
individu
kesejahteraan
terhadap kehidupan
secara yang
subjektif mencakup
kebahagiaan, kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya semangat dan emosi yang tidak menyenangkan.
Menurut Mardinus (1995), diacu dalam Puspa (2007) mengatakan bahwa untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera secara material atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut garis kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sementara batas kemiskinan absolute yaitu suatu kondisi dimana tingkat pendapatan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik untuk makan, pakaian, dan perumahan sedangkan seseorang dikatakan miskin jika pendapatan perkapitanya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material. Namun ada kalanya suatu keluarga, walau berpendapatan di bawah garis kemiskinan tetapi merasa sejahtera daripada keluarga yang berpendapatan lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan kesejahteraan non-fisik dalam keluarga. Kesejahteraan non-fisik dapat diukur dari kesejahteraan spiritual yang lebih subjektif. Kesejahteraan spiritual suatu keluarga dapat diukur dengan kualitas kehidupan non-fisik, antara lain: ketaqwaan, keselarasan, keserasian, daya juang dan aspek non-fisik lainnya (Mardius 1995, diacu oleh Puspa 2007). Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain: 1. Faktor ekonomi. Adanya kemiskinan yang dialami oleh keluarga akan menghambat upaya peningkatan pembangunan sumberdaya yang dimiliki keluarga, yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. 2. Faktor budaya. Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya kemantapan
budaya
yang
dicerminkan
dengan
penghayatan
dan
pengalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya ini dimaksudkan untuk menetralisir akibat dari adanya pengaruh budaya luar. Adanya kemantapan budaya diharpakan akan mampu memperkokoh keluarga dalam melaksanakan fungsinya. 3. Faktor teknologi. Peningkatan kesejahteraan juga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaan teknologi dalam proses produksi
diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pemilikan modal. 4. Faktor keamanan. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh adanya stabilitas keamanan yang terjamin. 5. Faktor kehidupan beragama.Kesejahteraan keluarga akan menyangkut masalah kesejahteraan spiritual. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan tanpa memaksakan agama yang satu kepada agama yang lainnya. Sehingga pemahaman keagaman dan pelaksanaan syariat akan mampu meningkatkan kesejahteraan spiritualnya. 6. Faktor kepastian hukum. Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum.
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga, biasanya jumlah anak. Besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak. Semakin besar keluarga, maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orangtua. Selain itu, keluarga dengan jumlah anak yang terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok keluarga (Palungan 1993, diacu oleh Cahyaningsih 1999). Dalam masyarakat Indonesia, masih ada kemungkinan jumlah keluarga ditambah dengan nenek, adik, bibi, paman, dan keponakan-kpeonakan, namun inti keluarga tetap terdiri dari orangtua dan anak. Dalam penelitian Prabawa (1998) diacu dalam Puspa (2007) diungkapkan bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala keluarga dalam rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan banyak ditentukan oleh pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan per kapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, ditentukan juga oleh seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungan dari kepala keluarga yang bersangkutan. Tidak semua anggota keluarga dalam rumah tangga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per
kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena itu, jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga akan memberi dorongan bagi rumahtangga bersngkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya.
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan orangtua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi (Guhardja et al. 1992). Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa & Gunarsa 2004). Orang yang berpendidikan tinggi biasa diidentikkan dengan orang yang memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi, pada umumnya mereka juga mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi pula dibandingkan dengan orang bermutu pendidikan rendah (Guhardja et al. 1992). Selain itu, seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi umumnya memiliki akses informasi yang lebih baik dibandingkan yang berpendidikan rendah (Arianti 2002). Pendidikan dan kesejahteraan adalah dua aspek yang saling mempengaruhi. Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan sebuah keluarga untuk mengakses kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998).
Pendapatan Per Kapita Pendapatan dan penerimaan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima seluruh anggota keluarga ekonomi. Rumahtangga biasanya digunakan untuk unit analisis pendapatan di daerah pedesaan, karena berbagai kegiatan sektor perekonomian dalam masyarakat pedesaan sulit untuk dipisahkan pencaharian.
karena
satu
Besarnya
keluarga pendapatan
mempunyai yang
berbagai
diterima
sumber
mata
rumahtangga
dapat
menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005). Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan juga merupakan indikator yang baik bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang, tetapi juga terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka orang tersebut semakin bebas memilih dan bergerak. Dengan demikian pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap
kekurangan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting & Penny 1984). Aspek yang menonjol pada masyarakat pedesaan adalah gejala pola nafkah ganda, yaitu melakukan pekerjaan lain selain pekerjaan utama untuk dapat meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat hidup keluarganya. Menurut Mangkuprawira
(1985), diacu oleh Puspa (2007) ukuran
pendapatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga adalah pendapatan keluarga yang diperoleh dari bekerja. Tiap anggota keluarga berusia kerja yang ada pada tiap keluarga akan terdorong bekerja untuk kesejahteraan keluarganya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota keluarga seperti istri dan anak adalah penyumbang dalam berbagai kegiatan baik dalam pekerjaan rumahtangga maupun mencari nafkah.
Kepemilikan Aset Keluarga Sumberdaya bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemauan untuk mencapai sesuatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya merupakan aset, yaitu sesuatu apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Aset tersebut bisa berupa sumberdaya ekonomi potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986). Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980). Sumberdaya berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia
dan
sumberdaya
materi/non
manusia.
Sumberdaya
manusia
mempunyai dua ciri, yaitu pribadi/personal dan interpersonal. Sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah aset/kekayaan keluarga. Menurut Guhardja et al. (1992) aset keluarga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu 1) aset lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat diuangkan misalnya emas, perhiasan, dan tentu saja termasuk uang tunai, 2) aset tidak lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika diuangkan misalnya tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi modal. Sumberdaya keluarga mempunyai arti mengikutsertakan setiap anggota keluarga (pria dan wanita) dalam turut menentukan tingkat pangan, sandang, dan perumahan, tingkat pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu faktor
penentuan agar anggota keluarga dapat ikut secara aktif, harus adanya peluang berusaha dan peluang bekerja terkait dengan modal produksi yang diikuasai.
Akses Informasi, Sumber Informasi, dan Jenis Informasi Keberadaan media informasi telah menjadi bagian dalam hidup manusia. Perkembangan teknologi informasi direspon oleh masyarakat yang menghendaki kemudahan akses yang berkaitan dengan jasa telekomunikasi. Interaksi yang tercapai
antara
manusia
dengan
teknologi
komunikasi
dan
informasi
mengakibatkan terjadinya perubahan pola hidup manusia modern masa kini (Deppen 1993). Menurut Fleur (1966) setiap individu tidak sama perhatiannya, kepentingannya, kepercayaan maupun nilai-nilainya, maka dengan sendirinya pemilihan
individu
Kekosmopolitan
terhadap
adalah
komunikasi
keterbukaan
massa
seseorang
juga
pada
berbeda-beda.
informasi
melalui
hubungan dengan berbagai sumber informasi. Rogers & Shoemaker (1971) menyatakan bahwa orang yang bersifat kosmopolitmya tinggi biasanya mencari informasi dari sumber informasi di luar lingkungannya, sebaliknya orang yang kosmopolitannya rendah cenderung mempunyai ketergantungan yang tinggi pada tetangganya atau teman-temannya. Hasil penelitian Gunardi (1988), diacu oleh Puspa (2007) menunjukkan bahwa media radio mulai tidak digemari dan kedudukannya mulai digeser dengan media televisi. Namun begitu pemanfaatan kombinasi media radiotelevisi lebih banyak digunakan oleh responden diabndingkan dengan kombinasi radio-surat kabar, dan televisi-surat kabar. Kombinasi kedua media elektronik ini lebih banyak digemari karena dalam menggunakannya tidak menggunakan ketrampilan khusus, harga televisi yang dapat dijangkau, serta dari segi hiburan kombinasi media elektronik ini lebih menarik.
Dukungan Sosial Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut kepentingannya, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukam bantuan atau pertolongan dari orang lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga (suami atau isteri), saudara, masyarakat (tetangga), dan lembaga masyarakat atau pemerintah.
Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Bentuk-bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan terdiri dari dukungan emosional (emotional support), dukungan instrumen (instrument support), dukungan penghargaan (esteem support), dan dukungan informasi (informational support). Dukungan instrumental yaitu dukungan yang dapat diberikan
langsung
berupa
bantuan
dalam
mengerjakan
tugas-tugas
rumahtangga, pinjaman barang dan uang, serta tenaga (Sarafino 1996). Dukungan emosional yaitu bentuk dukungan yang diberikan seseorang, sehingga penerima dukungan dapat
mencurahkan perasaan,
kesedihan, ataupun
kekecewaan pada sanak keluarganya atau orang lain, yang akhirnya dapat membuat pihak penerima dukungan merasa adanya keterikatan, kedekatan, yang menimbulkan perasaan aman dan percaya (Herrick & Witty 1992, diacu oleh Tati 2004). Sumber dukungan sosial adalah segala sesuatu yang berjalan secara kontinu dan dimulai dari unit keluarga, kemudian bergerak secara progresif dari individu-individu anggota keluarga, mereka merupakan anggota kelompok yang dianggap penting dalam memberikan dukungan sosial. Secara operasional sumber-sumber dukungan sosial dibagi ke dalam dua golongan, yaitu sumber dukungan informal dan sumber dukungan formal. Sumber dukungan informal terdiri dari sumber dukungan individu seperti suami/isteri, tetangga, saudara, teman. Dukungan yang dapat diperoleh antara lain berupa dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, material, dan informasi. Selanjutnya sumber dukungan formal yang dapat diperoleh dari bidang professional seperti psikiater atau psikolog, dan dari pusat-pusat pelayanan seperti rumah sakit, panti sosial, dan lembaga pelayanan lainnya (Tati, 2004).
Kondisi Rawan Bencana Alam Psikologi lingkungan mempelajari interaksi antar manusia dan lingkungan fisik mereka. Satuan dari individu dan lingkungannya dinamakan ekosistem. Dalam ekosistem kita, lingkungan membantu membentuk perilaku kita dengan tiga cara, yaitu: 1) dengan menghalangi perilaku; 2) dengan mendatangkan perilaku tertentu; dan 3) dengan membentuk diri pribadi (Calhoun & Acocella 1995). Aspek lingkungan tertentu dapat menyebabkan stress.
Bencana alam adalah konsekwensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka (Bankoff et al 2003 dalam Anonim c 2009). Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain: 1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster reduction
(UN-ISDR)
dapat
dikelompokkan
menjadi
bahaya
geologi
(geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (enviromental degradation) 2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kawasan berisiko bencana 3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia, benua Australia, lempeng samudera Hindia, dan samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari pulau
Sumatra–Jawa–Nusa
Tenggara-Sulawesi,
yang
sisinya
berupa
pegunungan vulkanik tua dan daratan rendah yang sebagian didominasi rawarawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold 1986 diacu dalam kementrian negara perencanaan pembangunan nasional/badan perencanaan pembangunan nasional 2006).
KERANGKA PEMIKIRAN Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif, sehingga setiap keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktorfaktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Pengertian keluarga sejahtera menurut UU No 1992 merupakan keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (BKKBN 1992, diacu oleh Nuryani 2007). Kesejahteraan keluarga akan tercapai apabila keluarga memiliki ketahanan yang kuat. Ketahanan keluarga adalah kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya keluarga untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan keluarga. Kondisi ini sesuai dengan pengertian yang diberikan UU No. 10 tahun 1992 (pasal 1 ayat 15) yaitu kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki, serta kemampuan keluarga dalam pengelolaan masalah dan stress (Krysan, Moore, & Zill 1990, diacu oleh Sunarti 2001). Tingkat kesejahteraan mencerminkan kualitas hidup dari sebuah keluarga. Keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi berarti memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sehingga pada akhirnya keluarga tersebut mampu untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk bisa meningkatkan kesejahteraan mereka (Ibrahim 2007). Tingkat kesejahteraan keluarga nelayan berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya dari input berupa dukungan sosial dan karakteristik keluarga meliputi besar keluarga, umur, tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, dan akses informasi, sumber informasi, jenis informasi. Input tersebut dipengaruhi oleh keadaan alam di lingkungan sekitar keluarga karena kehidupan keluarga nelayan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya sebagai mata pencaharian. Berdasarkan input dan faktor lingkungan yang mempengaruhi maka dapat
diketahui masalah fungsional utama yang merupakan proses yang terjadi dalam keluarga nelayan. Pada gilirannya, maka dapat diukur output keluarga nelayan berupa kesejahteraan keluarga, baik dari kesejahteraan objektif
maupun
kesejahteraan subjektif. Masalah fungsi keberlangsungan keluarga menurut Parsons (1953) diacu oleh Hamilton (1983) ada empat variabel yaitu adaptacy, goal attainment, integration, dan latency (AGIL). Variabel tersebut masing-masing saling terkait yaitu bagaimana keluarga memperoleh sumberdaya dari lingkungan luar, bagaimana keluarga mencapai tujuan hidup, bagaimana tindakan integrasi keluarga dalam pemeliharaan ikatan dan solidaritas, bagaimana proses pendistribusian energi dalam sistem, yang melibatkan dua masalah saling berikatan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan. Penerapan fungsi AGIL yang baik dalam keluarga dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup suatu keluarga yang akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan keluarga (Sunarti, 2001).
Karakteristik keluarga nelayan Umur Besar keluarga Tingkat pendidikan Pendapatan per kapita Kepemilikan aset Akses informasi, sumber informasi, jenis informasi
A (Adaptasi)
G (Pencapaian Tujuan)
Kesejahteraan Keluarga Kesejateraan objektif
I (Integrasi)
L (Latency) Dukungan Sosial
Keterangan:
: Hubungan yang diteliti : Variabel yang diteliti Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Kesejahteraan subjektif
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan topik “Kajian Ketahanan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana”. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, yaitu data dikumpulkan dalam waktu tertentu dan tidak berkelanjutan (Singarimbun & Effendi 1991). Penelitian dilaksanakan di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis pada bulan Maret selama dua minggu. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, dengan pertimbangan bahwa pantai Pangandaran merupakan daerah pesisir yang pernah terkena tsunami pada tahun 2006. Oleh karena itu, dilakukan juga metode retrospektif untuk mendapatkan data sebelum terjadi bencana alam.
Contoh, Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Contoh pada penelitian ini adalah keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam seperti badai, air pasang, angin puting beliung, ataupun tsunami. Responden dalam penelitian ini adalah isteri keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Desa yang dipilih untuk penelitian yaitu Desa Pangandaran karena mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Proses pengambilan contoh yang dilakukan di tiga RW menggunakan metode simple random sampling, yaitu di RW 03, RW 07, RW 09 dengan ketiga RW tersebut memiliki jumlah KK yang bekerja sebagai nelayan paling banyak. Jumlah contoh yang akan diambil di masing-masing RW ditentukan dengan cara proporsi sehingga jumlah keluarga contoh yang diambil di RW 03 sebanyak 22 responden, RW 07 sebanyak 28 responden, dan di RW 09 sebanyak 30 responden. Jadi jumlah seluruh responden sebanyak 80 orang. Teknik pengambilan contoh tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Desa Pangandaran
RW 03 N = 118
RW 07 N = 153
Purposive sampling
RW 09 N = 167 Proporsional random sampling
RW 03 n = 22
RW 07 n = 28
RW 09 n = 30
N = 80
27 Nelayan buruh
53 Nelayan juragan
Gambar 3. Kerangka pengambilan sampel
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari pemerintah daerah setempat berupa gambaran umum lokasi penelitian. Data primer diperoleh dengan pengamatan dan wawancara langsung dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang terdiri dari data : 1. Karakteristik keluarga nelayan (besar keluarga, umur, tingkat pendidikan, pendapatan per kapita, kepemilikan aset, dan akses informasi, sumber informasi, jenis informasi). 2. Dukungan
sosial
keluarga
luas,
tetangga,
dan
lembaga
masyarakat/pemerintah (masalah ekonomi, pengasuhan, kesehatan, dan konflik) 3. Fungsi AGIL yang terdiri dari adaptasi, goal attainment (pencapaian tujuan), integrasi dan latency (pemeliharaan sistem). 4. Kesejahteraan dilihat dari dua dimensi yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif diukur dari dua indikator yaitu
indikator utama dilihat dari pendapatan dan indikator tambahan dilihat dari pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan anak, dan kesehatan keluarga. Kesejahteraan subjektif diukur berdasarkan kepuasan seseorang terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan anak, kesehatan keluarga dan pendapatan per kapita. Secara rinci peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan cara pengumpulan data No. 1.
2.
Peubah
Skala
Responden
Alat Pengukuran
Cara Pengukuran
Karakteristik Keluarga 1. Umur 2. Besar keluarga 3. Lama pendidikan 4. Pendapatan perkapita 5. Kepemilikan asset 6. Akses Informasi, sumber informasi, jenis informasi
Rasio Rasio Rasio Rasio Rasio Ordinal
Istri
Kuesioner
Wawancara dan observasi
Ordinal
Istri
Kuesioner yang dikembangkan dari Tati 2004
Wawancara
Ordinal
Istri
Diacu Nuryani 2007 dan dimodifikasi
Wawancara
Ordinal
Istri
Kuesioner Suandi 2007
Wawancara dan observasi
Dukungan sosial
3.
Fungsi AGIL 1. Fungsi Pencapaian Tujuan 2. Fungsi Adapatasi 3. Fungsi Integrasi 4. Fungsi Latency 4. Kesejahteraan Keluarga: 1. Kesejahteraan objektif 2. Kesejahteraan subjektif
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry, cleaning dan analisis data. Program yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis data adalah Microsoft Exceel 2003, SPSS versi 13.0 for Windows, dan Minitab versi 14 for Windows. Sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian, dilakukan analisis: 1. Uji deskriptif untuk menggambarkan karakteristik keluarga nelayan, dukungan sosial yang diterima, fungsi AGIL, dan kesejahteraan keluarga nelayan 2. Uji hubungan antar peubah penelitian Data karakteristik keluarga meliputi umur, besar keluarga, lama pendidikan, pendapatan per kapita, kepemilikan aset, akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi. Besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kategori
yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (≥ 7 orang). Umur mengacu kepada Papalia dan Old (1981) diacu oleh Nuryani (2007) yang dibagi menjadi empat kategori yaitu dewasa awal (20-30), dewasa madya (31-40), dewasa akhir (41-50), dan lansia awal (51-65). Lama pendidikan mengacu kepada Wajib Belajar 9 tahun yaitu, ≤9 tahun, >9 tahun. Pendapatan perkapita diperoleh dari total pendapatan pendapatan keluarga dalam setahun yang dikonversikan per bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan keluarga diperoleh dari sebaran contoh dari total pendapatan saat ini ditambah dengan pendapatan anggota keluarga yang lain. Pendapatan per kapita per bulan dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah (Rp 100.000–Rp 1.400.000), sedang (Rp 1.400.001–Rp 2.700.000), dan tinggi (Rp 2.700.001–Rp 4.000.000). Aset yang dimasukkan berupa aset yang telah diuangkan, kemudian dikategorikan menjadi < 3 kali pendapatan per kapita per bulan dan ≥ 3 kali pendapatan per kapita per bulan. Akses informasi diperoleh dengan mengisi jenis informasi seperti pekerjaan, pengasuhan, pendidikan, kesehatan, cuaca, harga, lainnya dengan 1= televisi, 2= radio, 3=surat kabar, 4=teman, dan 5= lainnya. Pembuatan interval kelas berdasarkan Slamet (1993) diacu oleh Nuryani (2007), dengan rumus berikut: Interval kelas (I) = Skor maksimum (NT)-skor minimum (NR) Jumlah kategori
Dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosi, instrumen, dan informasi dinilai berdasarkan sumber dukungan sosial seperti keluarga besar, tetangga, dan lembaga masyarakat atau pemerintah. Data dukungan sosial diberi skor 0 jika jawabannya tidak, dan skor 1 jika jawabannya ya. Langkah selanjutnya skor dijumlahkan berdasarkan sumber dukungan sosial dan dibuat penggolongan interval, sehingga diperoleh tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Data fungsi AGIL terdiri dari empat variabel yaitu fungsi pencapaian tujuan, fungsi adaptasi, fungsi integrasi, dan fungsi pemeliharaan sistem (latency). Data dukungan sosial diberi skor 0 jika jawabannya tidak dan skor 1 jika jawabannya ya. Langkah selanjutnya skor dijumlahkan dan dibuat penggolongan interval, sehingga diperoleh tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
Data kesejahteraan diukur berdasarkan dua dimensi kesejahteraan, yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif diukur berdasarkan pendapatan, frekuensi makan, kelengkapan menu makan, keragaman pakaian, tipe rumah tempat tinggal, jumlah ruangan, densitas rumah, akses rumah terhadap fasilitas umum, fasilitas rumah, dan akses kesehatan. Pendekatan pendapatan yang digunakan berdasarkan ukuran garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS 2007) kabupaten Ciamis dan dikelompokkan ke dalam 3 musim yaitu musim panen, musim biasa, dan musim paceklik. Ada tiga kategori yang ditetapkan oleh BPS yaitu sangat miskin apabila pengeluaran untuk pangan kurang dari Rp 120.000, miskin apabila pengeluaran untuk pangan Rp 120.000–Rp 150.000, dan mendekati miskin apabila pengeluatan untuk pangan lebih dari Rp 150.000 tetapi kurang dari Rp 175.000. Garis kemiskinan untuk kabupaten Ciamis menurut BPS 2007 adalah Rp 175.000 per bulan pengeluaran untuk pangan. Kesejahteraan subjektif diukur berdasarkan 12 item pertanyaan tentang kepuasan responden terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, kemudahan akses, dan pemenuhan kebutuhan sosial di dalam masyarakat. Masing-masing pertanyaan diberi skor berdasarkan skala likert, yaitu skor 0= tidak puas, 1=kurang puas, 2=puas, 3=sangat puas. Selanjutnya, skor yang diperoleh dari masing-masing pertanyaan dijumlahkan, kemudian ditransformasikan dalam skala ordinal dari skor 0-100 persen dengan rumus sebagai berikut (Tati 2004): Z= Y - Min x 100 Max-Min
Jika skor lebih dari 50 persen maka dikategorikan menjadi sejahtera dan tidak sejahtera jika skor lebih kecil atau sama dengan 50 persen. Pengolahan dan analisis data-data di atas secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif yang digunakan antara lain sebaran frekuensi dan tabulasi silang, sedangkan analisis inferensia yang digunakan yaitu uji korelasi Rank Spearman. Analisis korelasi Rank Spearman dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti dan pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL.
Uji korelasi Rank Spearman (Daniel, 1990) rs= 1 - 6∑di2
di2= (xi – yi)
N(n2 – 1) Keterangan: rs: koefisien korelasi Rank Spearman di: selisih ranking xi dan yi xi: ranking xi yi: ranking yi N: banyaknya pasangan data
Definisi Operasional Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air Keluarga nelayan adalah sekelompok orang yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang salah satu anggota keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun melakukan pekerjaan sampingan selain menjadi nelayan. Keluarga nelayan juragan adalah keluarga nelayan yang sekurang-kurangnya memiliki perahu Keluarga nelayan buruh adalah keluarga nelayan yang tidak memiliki perahu maupun alat tangkap Daerah rawan bencana adalah tempat yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,klimatologis, serta geografis untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu Keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam adalah sekelompok orang yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang salah satu anggota keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun melakukan pekerjaan sampingan selain menjadi nelayan yang bertempat tinggal di daerah yang sering terjadi bencana alam sehingga rawan terkena bencana alam.
Karakteristik keluarga nelayan adalah ciri-ciri yang dimiliki atau melekat pada suami-isteri
yang meliputi besar keluarga, umur, tingkat pendidikan,
pendapatan per kapita, kepemilikan aset, akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh suami atau isteri yaitu tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, SD, tidak tamat SMP, SMP, tidak tamat SMA, SMA, dan PT atau akademi. Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dari pendapatan semua anggota keluarga baik dari pekerjaan utama maupun tambahan, ditambah dengan hasil bersih berlayar yang dikonversikan dalam per bulan, dibagi jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Aset keluarga adalah seluruh kekayaan yang dimiliki keluarga berupa perahu untuk berlayar, jaring ikan, barang elektronik, kendaraan ,barang berharga (misalnya emas), tabungan, luas dan status kepemilikan tanah atau rumah, dan ternak yang dikonversikan ke dalam nilai uang. Aset dalam penelitian ini belum dibandingkan dengan rasio hutang keluarga. Akses informasi, sumber informasi, jenis informasi adalah kemampuan seseorang untuk memperoleh jenis informasi dari sumber informasi yang tersedia, dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan penjumlahan skor kemudahan keluarga memperoleh informasi, jumlah informasi, dan jumlah jenis informasi yang diterima. Dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh dan diupayakan keluarga dalam mengatasi masalah ekonomi, pengasuhan, kesehatan, dan konflik dalam keluarga. Fungsi AGIL adalah penerapan fungsi keberlangsungan keluarga yang terdiri dari masalah adaptasi, pencapaian tujuan (goal attainment), integrasi, dan pemeliharaan sistem (latency) guna mempertahankan hidup keluarganya dari tempat tinggalnya yang rawan bencana alam.
Fungsi Pencapaian tujuan (goal attainment) adalah tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga ataupun masing-masing individu dalam keluarga yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan dilihat berdasarkan kualitas dan performance dari tujuan yang ingin dicapai. Fungsi adaptasi adalah tindakan yang dilakukan oleh keluarga untuk memperoleh sumberdaya dari lingkungan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (makan, pakaian, dan tempat tinggal), dilihat berdasarkan cara yang dilakukan oleh keluarga untuk aware terhadap bencana alam yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. Fungsi integrasi adalah tindakan atau kebiasaan yang dilakukan oleh keluarga dalam upaya pemeliharaan ikatan dan solidaritas antar anggota keluarga. Fungsi pemeliharaan sistem (latency) adalah tindakan pemeliharaan yang dilakukan antar anggota keluarga sebagai dorongan atau motivasi yang dapat menimbulkan semangat dalam melakukan berbagai aktivitas, dalam penelitian ini dilihat dari jenis.pemeliharaan yang dilakukan suami, yang dilakukan isteri dan yang dilakukan orangtua terhadap anak dalam mengahadapi kerawanan bencana alam yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka. Kesejahteraan keluarga adalah kepuasan, kemakmuran, dan kualitas hidup kelompok keluarga nelayan yang rawan terkena bencana alam dalam hal ini diukur berdasarkan dimensi kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang diukur dengan indikator utama yaitu indikator yang menggunakan pendekatan pendapatan berdasarkan garis kemiskinan BPS kabupaten Ciamis (2008) sebesar Rp 175 000. Kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang diukur berdasarkan kapuasan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, dan pendapatan per kapita keluarga.
Tabel 2 Pengkategorian data penelitian Variabel Penelitian
Jenis (Jumlah)
Besar Keluarga
Besar keluarga (1)
Umur
Umur (1)
Jenjang pendidikan (1) Tingkat Pendidikan Lama pendidikan yang telah diselesaikan (1)
Pendapatan per kapita
Pendapatan hasil melaut per musim (3) Pendapatan keluarga (1)
Kepemilikan Aset
Luas dan status kepemilikan lahan, perahu, jaring ikan, barang elektronik, kendaraan, barang berharga, tabungan, ternak (8)
Akses Informasi, Sumber Informasi, Jenis Informasi
Mudah atau tidak memperoleh informasi, sumber informasi, jenis informasi (3)
Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga besar, tetangga dan lembaga masyarakat/pemerintah dalam hal dukungan emosi, instrument, dan informasi (9) Fungsi adaptasi yang mencakup tindakan apa saja untuk dapat survive (3)
Fungsi AGIL
Fungsi pencapaian tujuan (2)
Fungsi Integrasi (3)
Fungsi AGIL
Fungsi Latency (2)
Kategori Skor Data Berdasarkan BKKBN (1998) Kecil : ≤ 4 orang Sedang : 5–6 orang Besar : ≥ 7 orang Berdasarkan Hurlock Dewasa awal : 18–40 tahun Dewasa madya : 41–60 tahun Dewasa akhir : >60 tahun Berdasarkan jenjang pendidikan 1 : Tidak tamat SD 2 : Tamat SD 3 : Tamat SMP 4 : Tamat SMA 5 : PT/Akademi Berdasarkan wajib belajar 9 tahun ≤ 9 tahun > 9 tahun Berdasarkan BPS (2007) Sangat miskin : Rp 120 000 orang per bulan Miskin : Rp 150 000 orang per bulan Mendekati miskin : Rp 175 000 orang per bulan Atau Sejahtera : di atas garis kemiskinan (> Rp 175 000) Tidak sejahtera : di bawah sama dengan garis kemiskinan (≤ Rp 175 000) Berdasarkan perbandingan dengan kebutuhan bulanan < 3 kali kebutuhan minimum/bulan ≥ 3 kali kebutuhan minimum/bulan Berdasarkan sebaran interval Rendah (0–33.31) Sedang (33.32–66.62) Tinggi (66.63–100) Berdasarkan sebaran interval Rendah Sedang Tinggi Berdasarkan banyaknya tindakan yang dilakukan 1 : 0 tindakan; 4 : 3 tindakan; 2 : 1 tindakan; 5 : 4 tindakan; 3 : 2 tindakan; 6 : 5 tindakan Berdasarkan banyaknya tujuan yang ingin dicapai 1 : 1 tindakan; 4 : 4 tindakan; 2 : 2 tindakan; 5 : 5 tindakan; 3 : 3 tindakan; 6 : 6 tindakan Berdasarkan banyaknya tindakan yang dilakukan 1 : 1 tindakan; 4 : 4 tindakan; 2 : 2 tindakan; 5 : 5 tindakan 3 : 3 tindakan; Berdasarkan banyaknya tindakan yang dilakukan 1 : 1 tindakan; 4 : 3 tindakan; 2 : 2 tindakan; 5 : 4 tindakan;
Variabel Penelitian
Jenis (Jumlah)
Kesejahteraan Objektif
Pendapatan hasil melaut per musim (3) Pendapatan keluarga (1)
Kesejahteraan Subjektif
Pangan, pakaian, kualitas rumah, kualitas pendidikan anak, kesehatan keluarga, pendapatan perkapita
Kategori Skor Data Berdasarkan BPS (2007) Sangat miskin : Rp 120 000 orang per bulan Miskin : Rp 150 000 orang per bulan Mendekati miskin : Rp 175 000 orang per bulan Atau Sejahtera : di atas garis kemiskinan (> Rp 175 000) Tidak sejahtera : di bawah sama dengan garis kemiskinan (≤ Rp 175 000) Berdasarkan total skor Tidak sejahtera : ≤ 50% dari total skor Sejahtera : > 50 % dari total skor
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Keadaan Geografis Desa Pangandaran merupakan desa yang berada di sepanjang pantai selatan pulau jawa Indonesia yang rawan bencana. Desa ini terletak di Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Desa Pangandaran merupakan pecahan dari Desa Babakan. Luas Desa Pangandaran yaitu 667.87 ha yang terdiri atas luas daratan 137.87 ha dan luas pegunungan 530 ha. Secara geografis, batas wilayah Desa Pangandaran di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sebelah utara dengan Desa babakan dan Sungai Cikidang, dan di sebelah timur dengan Desa Pananjung. Desa Pangandaran merupakan desa yang rawan bencana alam karena pernah mengalami tsunami pada tahun 2006.
Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Desa Pangandaran pada tahun 2008 adalah 9.125 jiwa yang terdiri dari 4.318 jiwa laki-laki (47.32%) dan 4.794 jiwa perempuan (52.54%) dengan jumlah kepala keluarga (KK) laki-laki 2.429 KK. Tingkat pendidikan tertinggi penduduk pada umumnya adalah tamat SD/sederajat (76.15%), tidak sekolah (7.30%), tidak tamat SD (0.10%), tamat SMP (9.75%), tamat SMA (0.07%), dan perguruan tinggi (PT) (0.10%). Pekerjaan utama penduduk di Desa Pangandaran pada umumnya bekerja sebagai nelayan (51.55%), pedagang atau wiraswasta (30.59%), petani (10.48%), PNS (5.03%), pensiunan PNS (1.38%), dan buruh (0.96%).
Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga merupakan penjumlahan anggota keluarga inti dan sanak saudara yang tinggal bersama keluarga contoh (Firdaus 2008). Pendapatan per kapita dipengaruhi oleh besar keluarga karena pendapatan per kapita merupakan pendapatan total keluarga yang dibagi oleh semua jumlah anggota keluarga. Hal ini menunjukkan besar keluarga dapat menentukan apakah keluarga tersebut berada di bawah garis kemiskinan atau tidak.
Besar keluarga dalam penelitian ini, dikategorikan ke dalam tiga kelas yaitu keluarga kecil yang jumlah anggotanya kurang dari atau sama dengan empat orang; keluarga sedang yang jumlah anggotanya antara 5-6 orang; dan keluarga besar apabila jumlah anggota keluarganya lebih dari atau sama dengan 7 orang (BKKBN 1998). Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada tabel 3, besar keluarga contoh berkisar antara 2 sampai 8 orang. Proporsi terbesar keluarga nelayan buruh (74,07%) lebih banyak yang masuk ke dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) dibandingkan keluarga nelayan juragan (50,94%). Hal ini dikarenakan keluarga nelayan juragan banyak yang memiliki anak lebih dari dua, menampung keluarga (seperti orangtua, adik kandung, dll), dan nelayan buruh yang belum berkeluarga. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara besar keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Tabel 3 Sebaran contoh menurut besaran keluarga Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-6 orang) Besar (≥ 7 orang) Total Rata-rata ± sd p-value
Juragan n % 27 50,94 20 37,74 6 11,32 80 100.00 4,58 ± 1,351 0,082
Buruh n % 20 74,07 6 22,22 1 3,70 27 100,00 4,04 ± 1,285
Umur Rata-rata umur isteri keluarga nelayan juragan adalah 37,08 tahun dan keluarga nelayan buruh adalah 34,11 tahun dengan kisaran antara 20 sampai 62 tahun sedangkan rata-rata umur suami keluarga nelayan juragan adalah 41,04 tahun dan kelaurga nelayan buruh adalah 40,07 dengan kisaran antara 22 sampai 65 tahun. Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada Tabel 4, proporsi terbesar umur isteri keluarga nelayan buruh (81,48%) lebih banyak yang berusia produktif dibandingkan dengan keluarga nelayan juragan (64,15%). Sedangkan lebih dari setengah umur suami keluarga nelayan juragan (56,60%) dan keluarga nelayan buruh (59,26%) termasuk ke dalam kategori dewasa awal (18-40). Hal ini dapat menggambarkan bahwa suami keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh masih termasuk ke dalam usia produktif. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara umur suami dan isteri pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tabel 4 Sebaran contoh menurut umur suami-isteri Umur (tahun) Dewasa awal (18-40) Dewasa madya (41-60) Dewasa akhir (> 60) Total Rata-rata ± sd
Isteri Juragan Buruh n % n % 64,15 81,48 34 22 18 33,96 5 18,52 1 1,89 0 0,00 53 100,00 27 100,00 37,08 ± 10,073 34,11 ± 10,718
p-value
Suami Juragan Buruh n % n % 56,60 59,26 30 16 23 43,40 9 33,33 0 0,00 2 7,41 53 100,00 27 100,00 41,04 ± 9,271 40,07 ± 11,642
0,238
0,710
Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu cara yang dapat menentukan sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo 1996, diacu oleh Fahmi 2008). Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada Tabel 5, proporsi terbesar tingkat pendidikan isteri keluarga nelayan juragan (49.06%) dan keluarga nelayan buruh (51.85%) termasuk ke dalam kategori tamat SD. Persentase tingkat pendidikan suami keluarga nelayan juragan (37,74%) yang tidak tamat SD lebih banyak dibandingkan keluarga nelayan buruh (7,41%). Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pendidikan contoh dan suami pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Tabel 5 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan suami-isteri Tingkat pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Total p-value
Isteri Juragan Buruh n % n % 13 24,53 4 14,81 26 49,06 14 51,85 11 20,75 4 14,81 3 5,66 5 18,52 53 100,00 27 100,00 0,183
Suami Juragan Buruh n % n % 20 37,74 2 7,41 19 35,85 16 59,26 10 18,87 5 18,52 4 7,55 4 14,81 53 100,00 27 100,00 0,036
Sebagian besar isteri dan suami pada keluarga nelayan juragan dan lebih dari setengah keluarga nelayan buruh memiliki lama pendidikan kurang dari 9 tahun. Menurut Guhardja dkk (1992), diacu dalam Fahmi (2008) menyatakan bahwa situasi keluarga di pedesaan dicirikan oleh sumberdaya manusia yang tingkat pendidikannya rendah. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara lama pendidikan suami dan isteri pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Tabel 6 Sebaran contoh menurut lama pendidikan suami-isteri Lama pendidikan (tahun) < 9 tahun ≥ 9 tahun Total p-value
Isteri Juragan Buruh n % n % 39 73,58 18 66,67 14 26,42 9 33,33 53 100,00 27 100,00 0,039
Suami Juragan Buruh n % n % 40 75,47 18 66,67 13 24,53 9 33,33 53 100,00 27 100,00 0,024
Pendapatan Per Kapita Pada penelitian ini, pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan di tiga musim berlayar yaitu musim panen, musim paceklik, dan musim biasa ditambah dengan pendapatan sampingan contoh, anak dan anggota keluarga lain yang rutin diberikan kepada keluarga contoh. Menurut Sumarwan (2002) pendapatan suatu keluarga bukan hanya pendapatan yang diterima oleh seseorang individu, tetapi dari seluruh anggota keluarga yang bekerja dan tinggal di rumah orangtuanya. Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh berkisar antara Rp 100 533 sampai dengan Rp 3 885 000. Sebanyak 1,89 persen keluarga nelayan juragan masuk ke dalam kategori sangat miskin. Hal ini dikarenakan kurangnya alat tangkap yang menyebabkan penghasilan pada saat melaut tidak maksimal. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (94,34%) dan keluarga nelayan buruh (81,48%) termasuk ke dalam kategori tidak miskin. Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan per kapita per bulan keluarga nelayan juragan dengan keluarga nelayan buruh. Tabel 7 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita Pendapatan per kapita (Rp) Sangat Miskin Miskin Mendekati Miskin Tidak miskin Total Rata-rata ± sd p-value
Nelayan juragan Nelayan buruh n % n % 1 1,89 0 0,00 2 3,77 2 7,41 0 0,00 3 11,11 50 94,34 22 81,48 53 100.00 27 100.00 1 191 015 ± 1 007 497, 620 513 017 ± 484 680, 646 0.000
Kepemilikan Aset Aset merupakan sumberdaya materi yang dimiliki oleh keluarga (Guhardja et all 1993). Kepemilikan aset keluarga di lokasi penelitian meliputi perahu, barang elektronik, kendaraan, barang berharga, tabungan, ternak, luas
dan status kepemilikan lahan. Keluarga dapat dikatakan survive apabila memiliki aset lebih dari atau sama dengan tiga kali pendapatan per kapita per bulan. Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada Tabel 8, sebanyak 18,52 persen keluarga nelayan buruh yang memiliki aset kurang dari 3 kali kebutuhan minimum per bulan sedangkan tidak ada keluarga nelayan juragan yang memiliki aset kurang dari 3 kali kebutuhan minimum per bulan. Hal ini dikarenakan keluarga nelayan juragan mempunyai aset yang lebih banyak sehingga dapat memenuhi 3 kali kebutuhan minimum per bulan. Rata-rata aset yang dimiliki oleh keluarga nelayan juragan sebesar Rp 45 887 038, sedangkan pada keluarga nelayan buruh sebesar Rp 26 741 601 (Tabel 8). Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara aset yang dimiliki keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Hal ini disebabkan karena kepemilikan aset yang dimiliki oleh keluarga nelayan juragan dan keluaga nelayan buruh relatif sama, yang membedakan hanya kepemilikan perahu dan alat tangkap. Tabel 8 Sebaran contoh menurut kepemilikan aset keluarga Kepemilikan Aset (Rp) <3 kali kebutuhan minimum/bulan ≥3 kali kebutuhan minimum/bulan Total Rata-rata ± sd p-value
Juragan Buruh n % n % 0 0,00 5 18,52 100,00 81,48 53 22 53 100,00 27 100,00 4,6E+07 ± 42 839 877, 717 2,7E+07 ± 41 573 157, 908 0,059
Akses Informasi, Sumber Informasi, Jenis Informasi Akses informasi dinilai dari kemudahan keluarga contoh memperoleh informasi, berbagai sumber untuk memperoleh informasi (TV, radio, surat kabar, teman/tetangga), dan jenis informasi yang diperoleh (informasi pekerjaan, pengasuhan, pendidikan, kesehatan, harga, cuaca, dll). Berdasarkan Tabel 9, keluarga nelayan juragan (84.90%) lebih mudah memperoleh informasi daripada keluarga nelayan buruh (77.78%). Sebagian besar keluarga nelayan juragan (81.13%) dan keluarga nelayan buruh (77.78%) memperoleh informasi dari dari TV. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Gunardi (2003) yang menunjukkan bahwa media radio mulai tidak digemari dan kedudukannya mulai digeser dengan media televisi. Keseluruhan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak mengakses informasi dari surat kabar. Hal ini dapat menggambarkan kurangnya minat membaca dan terbatasnya media massa yang masuk ke desa lokasi penelitian.
Berdasarkan jumlah akses informasi, sebagian besar keluarga nelayan juragan (86.79%) dan keluarga nelayan buruh (85.19%) dapat mengakses satu sampai dua sumber informasi saja. Hanya sebanyak 7.55 persen keluarga nelayan juragan dan 7.41 persen keluarga nelayan buruh yang dapat mengakses informasi tiga sampai empat jenis informasi. Jenis informasi yang
banyak
diperoleh keluarga nelayan juragan (77.36%) dan keluarga nelayan buruh (74.07%) adalah mengenai keadaan cuaca. Hal ini diduga karena berhubungan dengan jadwal melaut nelayan. Apabila cuaca cerah maka nelayan dapat melaut sedangkan apabila cuaca buruk maka nelayan tidak dapat melaut. Hal ini disebabkan cuaca yang buruk dapat mengakibatkan gelombang air laut tinggi sehingga dapat membahayakan nelayan. Tabel 9 Sebaran contoh menurut akses informasi, sumber informasi, jenis informasi Akses Informasi Kemudahan memperoleh informasi Ya Tidak Total Sumber informasi TV Radio Surat kabar Tetangga Jumlah sumber informasi 1-2 jenis sumber informasi 3-4 jenis sumber informasi Jenis informasi Pekerjaan Pengasuhan Pendidikan Kesehatan Cuaca Harga Lain-lain (olahraga, sinetron, gossip, komedi, criminal, kartun, musik)
Juragan
Buruh
n
%
n
%
45 8 53
84,90 15,10 100,00
21 6 27
77,78 22,22 100,00
43 5 0 22
81,13 9,43 0 41,51
20 4 0 11
74,07 14,81 0 40,74
46 4
86,79 7,55
23 2
85,19 7,41
9 14 19 23 41 31
16,98 26,42 35,85 43,40 77,36 58,49
2 11 9 10 20 14
7,41 40,74 33,33 37,04 74,07 51,85
22
41,51
10
37,04
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah keluarga nelayan juragan (64.15%) dan keluarga nelayan buruh (66.66%) termasuk dalam kategori akses informasi sedang (Tabel 10). Hal ini diduga karena baik keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh tidak memperoleh akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi dari berbagai sumber seperti internet dan surat kabar, serta jenis informasi yang diperoleh hanya berita yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara akses informasi keluarga nelayan juragan dengan keluarga nelayan buruh. Tabel 10 Sebaran contoh menurut kategori akses informasi, sumber informasi, jenis informasi Juragan
Kategori akses Informasi
n 10 34 9 53
Rendah Sedang Tinggi Total p-value
Buruh
% 18,87 64,15 16,98 100,00 0,653
n 5 18 4 27
% 18,52 66,66 14,81 100,00
Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan keluarga luas, tetangga dan lembaga masyarakat/pemerintah berupa dukungan emosional, instrument, dan informasi pada keluarga contoh. Dukungan sosial yang diukur pada penelitian ini adalah berbagai macam dukungan yang diberikan oleh keluarga luas, tetangga, dan lembaga masyarakat/pemerintah terhadap berbagai macam permasalahan atau kesulitan yang dialami oleh keluarga contoh yakni masalah ekonomi, pengasuhan anak, kesehatan, konflik dalam keluarga, dan informasi. Tabel 11 Sebaran contoh menurut dukungan sosial keluarga luas Dukungan sosial keluarga luas Emosi Mendengarkan masalah Kepedulian Hubungan akrab Bagian penting dari keluarga Perbuatan yang menunjukkan dihargai Perkataan yang menunjukkan dihargai Instrumen Bantuan keuangan Bantuan barang Bantuan pengasuhan Memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi Informasi Pemberitahuan informasi Bertanya informasi
Juragan Ya n
Buruh Tidak
%
n
Ya %
n
Tidak %
n
%
48
90,57
5
9,43
23
85,18
4
14,81
48 50
90,57 94,34
5 3
9,43 5,66
25 25
92,59 92,59
2 2
7,41 7,41
52
98,11
1
1,89
26
96,30
1
3,70
52
98,11
1
1,89
26
96,30
1
3,70
52
98,11
1
1,89
26
96,30
1
3,70
40 37 38
75,47 69,81 71,70
13 16 15
24,53 30,19 28,30
20 17 17
74,07 62,96 62,96
7 10 10
25,93 37,04 37,04
46
86,79
7
13,21
24
88,89
3
11,11
45
84,91
8
15,09
22
81,48
5
18,52
41
77,36
12
22,64
19
70,37
8
29,63
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa persentase terbesar keluarga contoh baik nelayan juragan (84.91%) maupun nelayan buruh (85.19%) termasuk dalam kategori tinggi dalam memperoleh dukungan dari keluarga luas (Tabel 11). Dukungan yang paling banyak diberikan oleh keluarga luas kepada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh adalah dukungan emosi yaitu berupa membuat keluarga contoh merasa bahwa mereka adalah bagian penting dari keluarga, melakukan perbuatan dan perkataan yang menghargai keluarga contoh. Tabel 12 Sebaran contoh menurut dukungan sosial tetangga Dukungan sosial tetangga Emosi Mendengarkan masalah Kepedulian Hubungan yang akrab Bagian dari kelompok Perbuatan penghargaan Perkataan penghargaan Perasaan aman Saling berbagi Bertukar pikiran Memberikan saran Instrumen Bantuan keuangan Bantuan pengasuhan Memberikan solusi Instrumen Pertolongan ketika musibah Pertolongan ketika kekurangan Informasi Pemberitahuan cuaca Bertanya tentang cuaca
Juragan Ya n
%
Buruh
Tidak n %
Ya n
%
n
Tidak %
43
81,13
10
18,87
21
77,78
6
22,22
50 53
94,34 100,00
3 0
5,66 0,00
25 25
92,59 92,59
2 2
7,41 7,41
48
90,57
5
9,43
25
92,59
2
7,41
49
92,45
4
7,55
25
92,59
2
7,41
50
94,34
3
5,66
25
92,59
2
7,41
50 37 40 33
94,34 69,81 75,47 62,26
3 16 13 20
5,66 30,19 24,53 37,74
27 21 21 23
100,00 77,78 77,78 85,19
0 6 6 4
0,00 22,22 22,22 14,81
24 19 29
45,28 35,85 54,72
29 34 24
54,72 64,15 45,28
12 9 17
44,44 33,33 62,96
15 18 10
55,56 66,67 37,04
47
88,68
6
11,32
25
92,59
2
7,41
48
90,57
5
9,43
25
92,59
2
7,41
48
90,57
5
9,43
22
81,48
5
18,52
48
90,57
5
9,43
20
74,07
7
25,93
Dukungan yang diterima keluarga contoh baik nelayan juragan (81.33%) maupun nelayan buruh (77.78%) dari tetangga pun termasuk ke dalam kategori tinggi (Tabel 12). Dukungan yang banyak diberikan oleh tetangga kepada keluarga nelayan juragan (100,00%) berupa dukungan emosi dengan menjalin hubungan yang akrab dengan keluarga nelayan. Sedangkan untuk keluarga
nelayan buruh dukungan yang banyak diberikan oleh tetangga pun lebih banyak dukungan emosi berupa perasaan aman. Tabel 13 Sebaran contoh menurut dukungan sosial lembaga masyarakat /pemerintah Juragan Buruh Dukungan sosial lembaga Ya Tidak Ya Tidak masyarakat/pemerintah n % n % n % n % Emosi Mendengarkan masalah 21 39,62 32 60,38 7 25,93 20 74,07 Memperlihatkan kepedulian Hubungan akrab Bertukar pikiran Menunjukkan kepedulian
33 62,26
20 37,74
17 62,96
10 37,04
31 58,49 21 39,62 35 66,04
22 41,51 32 60,38 18 33,96
10 37,04 7 25,93 18 66,67
17 62,96 20 74,07 9 33,33
40 75,47 26 49,06 39 73,58
13 24,53 27 50,94 14 26,42
15 55,56 6 22,22 15 55,56
12 44,44 21 77,78 12 44,44
38 71,70 35 66,04
15 28,30 18 33,96
16 59,26 12 44,44
11 40,74 15 55,56
Instrumen Bantuan keuangan Memberikan solusi Bantuan barang
Informasi Pemberitahuan cuaca Bertanya tentang cuaca
Bentuk dukungan yang diterima oleh keluarga nelayan buruh (25.93%) dari lembaga masyarakat/pemerintah tidak sebesar yang diterima oleh keluarga nelayan juragan (60.38%) (Tabel 13). Hal ini dikarenakan keluarga nelayan buruh tidak termasuk kedalam anggota lembaga masyarakat yang ada di lokasi penelitian. Bantuan yang diberikan oleh lembaga masyarakat/pemerintah berupa uang, pinjaman dana, dan beras. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara dukungan sosial dari keluarga luas, tetangga, dan lembaga masyarakat/pemerintah
kepada keluarga nelayan juragan dan
keluarga nelayan buruh. Tabel 14 Sebaran contoh menurut kategori dukungan sosial Kategori dukungan sosial Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata ± sd p-value
Keluarga luas
tetangga
Juragan Buruh (%) (%) 1,89 3,70 13,21 11,11 84,91 85,19 100,00 100,00 10,358 10,111 ± 1,991 ± 2,577 0,8161
Juragan Buruh (%) (%) 5,66 3,70 13,21 18,52 81,13 77,78 100,00 100,00 13,509 13,630 ± 3,620 ± 3,341 0,9508
Lembaga masyarakat/pemerintah Juragan Buruh (%) (%) 28,30 37,04 11,32 37,04 60,38 25,93 100,00 100,00 6,019 ± 4,556 ± 3,400 3.203 0,0525
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa persentase terbesar keluarga contoh baik nelayan juragan (90.57%, 84.91%, 67.92%) maupun nelayan buruh (92.59%, 96.30%, 932.59%) tidak mengalami perubahan terhadap dukungan sosial yang diterima dari keluarga besar, tetangga, dan lembaga masyarakat/pemerintah. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan dukungan sosial yang diterima dari keluarga besar dan tetangga terhadap keluarga nelayan juragan dan nelayan buruh sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Perbedaan yang signifikan terdapat pada dukungan sosial yang diterima oleh keluarga nelayan juragan dan nelayan buruh dari lembaga masyarakat/pemerintah. Hal ini dikarenakan banyaknya sumbangan dan pemberian yang diberikan oleh lembaga masyarakat/pemerintah kepada keluarga nelayan buruh pada saat terjadi bencana alam tidak sebanyak yang diberikan kepada keluarga nelayan juragan. Hanya sebagian keluarga nelayan buruh yang mendapatkan perahu pada saat terjadi bencana tsunami pada tahun 2006. Tabel 15 Sebaran contoh menurut perubahan dukungan sosial saat terjadi bencana alam Perubahan dukungan sosial Ya Tidak Total p-value
Keluarga luas n
juragan %
5 48 53
n
9,43 2 90,57 25 100,00 27 0,7710
tetangga
Buruh % 7,41 92,59 100,00
n
juragan %
8 45 53
n
15,09 1 84,91 26 100,00 27 0,1321
buruh % 3,70 96,30 100,00
Lembaga masyarakat/pemerintah juragan buruh n % n % 17 36 53
32,08 2 67,92 25 100,00 27 0,0151
7,41 92,59 100,00
Fungsi AGIL Fungsi Adaptasi Adaptasi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh keluarga untuk memperoleh sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Pada penelitian ini fungsi adaptasi yang diteliti adalah bagaimana keluarga memperoleh sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem, belum sampai mendistribusikan di dalam sistem. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 32.08 persen keluarga nelayan juragan dan 25.93 persen nelayan buruh hanya melakukan satu tindakan adaptasi. Hal ini dikarenakan keterbatasan akses dan keadaan masyarakat di tempat penelitian relatif sama sehingga hanya bisa melakukan satu tindakan adaptasi. Selain itu, terdapat 7.55 persen keluarga nelayan juragan dan 11.11
persen mampu melakukan empat tindakan adaptasi, bahkan ada yang juga yang mampu melakukan lima tindakan adaptasi yaitu sebanyak 5.66 persen pada keluarga nelayan juragan dan 7.41 persen pada keluarga nelayan buruh. (Tabel 16). Hal ini dapat diasumsikan bahwa semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan, maka kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga semakin tinggi. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara banyaknya tindakan adaptasi yang dilakukan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Tabel 16 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan adaptasi Tindakan adaptasi 0 tindakan 1 tindakan 2 tindakan 3 tindakan 4 tindakan 5 tindakan Total p-value
Juragan n 14 17 9 6 4 3 53
% 26,42 32,08 16,98 11,32 7,55 5,66 100,00 0,4488
Buruh n 6 7 6 3 3 2 27
% 22,22 25,93 22,22 11,11 11,11 7,41 100,00
Tindakan adaptasi yang dilakukan berupa pencarian nafkah ganda yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Berdasarkan hasil penelitian,pencarian nafkah yang dilakukan keluarga contoh tidak hanya melaut saja, tetapi juga mengkombinasikannya dengan menambah jadwal melaut, membuat dan menjual ikan asin, menjadi buruh bangunan, serta pekerjaan di bidang jasa. Tabel 17 Sebaran contoh menurut pencarian nafkah yang dilakukan selama musim paceklik Jenis pencarian nafkah Menjadi buruh bangunan Menambah jadwal melaut Membuat dan menjual ikan asin Narik becak Buruh tani Jahit Ojek laut Buruh pembuat cindera mata Warung
Juragan n 7 15 9 2 1 1 1 1 5
% 13,21 28,30 16,98 3,77 1,89 1,89 1,89 1,89 9,43
Buruh n 7 7 2 2 1 0 0 0 5
% 25,93 25,93 7,41 7,41 3,70 0,00 0,00 0,00 18,52
Berdasarkan hasil penelitian, keluarga nelayan juragan (28.30%) cenderung mencari nafkah tambahan dengan cara menambah jadwal melaut, sedangkan
keluarga nelayan buruh (25.93%) cenderung mencari nafkah
tambahan dengan cara ikut juragan menambah jadwal melaut dan menjadi buruh bangunan. Selain itu sebesar 1.89 persen keluarga nelayan juragan mencari
pendapatan tambahan dengan di bidang jasa dengan cara menyewakan perahunya untuk wisatawan yang datang di lokasi penelitian (Tabel 17). Selain itu, sebagian besar keluarga nelayan juragan (84.91%) dan keluarga nelayan buruh (81.48%) tidak mengalami perubahan pola nafkah dalam keluarga sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perubahan kondisi dan keadaan di lokasi penelitian sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan adaptasi keluarga contoh sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Tabel 18 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi adaptasi Perubahan fungsi adaptasi Ya Tidak Total p-value
Juragan n 8 45 53
% n 15,09 5 84,91 22 100,00 27 0,7024
Buruh % 18,52 81,48 100,00
Fungsi Pencapaian Tujuan Pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam sistem untuk mencapai tujuan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Setiap keluarga mempunyai tujuan yang berbeda-beda tergantung pada sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Tujuan keluarga merupakan output dalam sebuah keluarga. Tujuan keluarga akan tercapai dengan syarat adanya sumberdaya keluarga (input) baik materi, energi dan informasi. Agar keluarga dapat mencapai tujuannya, dan dapat menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan menggunakan sumberdaya keluarga, maka perlu melalui proses (throughput) yang harus ditempuh (Deacon & Fire baugh 1988). Berdasarkan hasil penelitian, tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal ekonomi berkisar antara satu sampai enam tujuan. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal pendidikan anak dan agama berkisar antara satu sampai empat tujuan. Persentase terbesar keluarga nelayan juragan (35.85%) dan keluarga nelayan buruh (37.04%) dalam hal ekonomi mempunyai lima tujuan yang ingin dicapai. Persentase terbesar keluarga nelayan juragan (37.74%) dan keluarga nelayan buruh (48.15%) dalam
hal pendidikan anak dan agama mempunyai tiga tujuan yang ingin dicapai (Tabel 19). Tabel 19 Sebaran contoh menurut banyaknya tujuan yang ingin dicapai Tujuan yang ingin dicapai 1 tujuan 2 tujuan 3 tujuan 4 tujuan 5 tujuan 6 tujuan Total p-value
Ekonomi Juragan Buruh n 5 6 5 13 19 5 53
%
n
9,43 1 11,32 2 9,43 1 24,53 6 35,85 10 9,43 7 100 27 0,0460
Pendidikan anak Juragan Buruh
%
n
3,70 7,41 3,70 22,22 37,04 25,93 100
8 9 20 16 0 0 53
%
n
15,09 6 16,98 1 37,74 13 30,19 7 0,00 0 0,00 0 100 27 0,8933
Agama Juragan
%
n
22,22 3,70 48,15 25,93 0,00 0,00 100
6 14 22 11 0 0 53
%
Buruh n
%
11,32 3 26,42 4 41,51 14 20,75 6 0,00 0 0,00 0 100 27 0,4892
11,11 14,81 51,85 22,22 0,00 0,00 100
Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara tujuan yang ingin dicapai keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal pendidikan anak dan agama, namun terdapat perbedaan yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal ekonomi. Hal ini disebabkan karena terdapat keluarga nelayan buruh sangat ingin membeli perahu agar bisa menjadi nelayan juragan. Ukuran pencapaian tujuan dalam penelitian ini dilihat berdasarkan kualitas dan penampilan dari tujuan itu sendiri. Untuk dapat mengukur pencapaian tujuan dari keluarga contoh, maka kualitas dan penampilan tujuan dilihat berdasarkan jenis tujuan yang ingin dicapai. Tabel 20 Sebaran contoh menurut tujuan yang ingin dicapai Jenis tujuan Ekonomi Ekonomi, pendidikan anak Ekonomi, agama Pendidikan anak, agama Ekonomi, pendidikan anak, agama Total p-value
Juragan N 4 19 10 15 5 53
% n 7,55 1 35,85 12 18,87 6 28,30 6 9,43 2 100,00 27 0,6783
Buruh % 3,70 44,44 22,22 22,22 7,41 100,00
Proporsi terbesar keluarga nelayan juragan (35.85%) dan keluarga nelayan buruh (44.44%) memiliki jenis tujuan yang ingin dicapai di bidang pendidikan anak dan ekonomi (Tabel 20). Ditinjau dari segi ekonomi, tujuan yang ingin dicapai keluarga nelayan juragan bersifat jangka panjang sampai pada pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier, sedangkan keluarga nelayan buruh hanya mempunyai tujuan yang bersifat jangka pendek atau untuk masa sekarang hanya sampai kebutuhan primer saja. Berdasarkan hasil uji coba, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dalam hal pencapaian tujuan. Tabel 21 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pencapaian tujuan Perubahan fungsi pencapaian tujuan Ya Tidak Total p-value
Juragan n 12 41 53
% n 22,64 7 77,36 20 100,00 27 0,7509
Buruh % 25,93 74,07 100,00
Selain itu, sebagian besar keluarga nelayan juragan (77.36%) dan keluarga nelayan buruh (74.07%) tidak mengalami perubahan tujuan dalam keluarga sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perbedaan sumberdaya yang ada dalam keluarga yang membuat tujuan keluarga berubah. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan tujuan yang ingin dicapai keluarga contoh sebelum dan sesudah terjadi bencana alam pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Fungsi Integrasi Integrasi menurut Parsons (1953), diacu oleh Hamilton (1983) merupakan upaya pemeliharaan ikatan dan solidaritas dengan melibatkan elemen tersebut dalam mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem. Selanjutnya, Parsons menyatakan bahwa solidaritas dalam keluarga yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, adanya saling ketergantungan satu sama lain, dan saling percaya sehingga ketentraman dan keharmonisan keluarga tercapai. Tabel 22 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan integrasi Tindakan Integrasi 1 tindakan 2 tindakan 3 tindakan 4 tindakan 5 tindakan Total p-value
Juragan n 1 15 16 16 5 53
% N 1,87 0 28,30 7 30,19 8 30,19 10 9,43 2 100,00 27 0,6982
Buruh % 0,00 25,93 29,63 37,04 7,41 100,00
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar keluarga nelayan juragan (30.19%) melakukan tiga sampai empat tindakan integrasi, sedangkan proporsi terbesar keluarga nelayan buruh (37.04%) melakukan empat tindakan integrasi. Bahkan ada sebesar 9.43 persen keluarga nelayan juragan dan 7.41
persen keluarga nelayan buruh yang melakukan lima tindakan integrasi dalam keluarga (Tabel 22). Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan tindakan integrasi yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Berdasarkan data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan integrasi yang dilakukan oleh keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh sudah baik. Tabel 23 Sebaran contoh menurut jenis integrasi yang dilakukan Jenis integrasi Aktivitas bersama sehari-hari Aktivitas bersama sehari-hari, rekreasi Aktivitas bersama sehari-hari, beribadah Aktivitas bersama sehari-hari, rekreasi, beribadah Total
Juragan
Buruh
n 15 15 9
% 28,30 28,30 16,98
n 5 10 6
% 18,52 37,04 22,22
14
26,42
6
22,22
53
100,00
27
100,00
Berdasarkan hasil penelitian, persentase terbesar keluarga nelayan juragan (28.30%) dan keluarga nelayan buruh (37.04%) melakukan aktivitas bersama sehari-hari dan rekreasi. Biasanya aktivitas bersama yang dilakukan adalah makan dan menonton TV. Selain melakukan aktivitas bersama seharihari, kebiasaan yang dilakukan keluarga nelayan juragan (26.42%) dan keluarga nelayan buruh (22.22%) untuk mempererat hubungan integrasi antar anggota keluarganya yaitu dengan cara melakukan kegiatan beribadah dan rekreasi bersama. Tabel 24 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi integrasi dalam keluarga Perubahan fungsi integrasi Ya Tidak Total p-value
Juragan n 8 45 53
% n 15,09 3 84,91 24 100,00 27 0,6329
Buruh % 11,11 88,89 100,00
Berdasarkan Tabel 24 sebagian besar keluarga contoh, baik nelayan juragan (84.91%) maupun keluarga nelayan buruh (88.89%) menunujukkan bahwa tidak terjadi perubahan tindakan integrasi dalam keluarga sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Perubahan yang terjadi pada keluarga nelayan juragan (15.09%) dan keluarga nelayan buruh (11.11%) sebelum dan sesudah terjadi bencana alam adalah semakin baiknya tindakan integrasi yang dilakukan oleh keluarga contoh. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan fungsi integrasi yang terjadi pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Fungsi Pemeliharaan Sistem Pemeliharaan sistem (latency) mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah yang saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga disesuaikan dengan peran masing-masing anggota keluarga. Peran pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh suami, isteri, dan suami-isteri sebagai orangtua pasti berbeda-beda. Levy diacu oleh Megawangi (2001) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing anggota keluarga dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Tabel 25 Sebaran contoh menurut banyaknya tindakan pemeliharaan sistem Juragan
Tindakan pemeliharaan sistem
n
Buruh %
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan suami 1 tindakan 0 0,00 2 tindakan 15 28,30 3 tindakan 16 30,19 4 tindakan 22 41,51 Total 53 100,00 p-value 0,1709 Dimensi pemeliharaan yang dilakukan isteri 1 tindakan 3 5,66 2 tindakan 5 9,43 3 tindakan 29 54,72 4 tindakan 16 30,19 Total 53 100.00 p-value 0,0051 Dimensi pemeliharaan yang dilakukan orangtua terhadap anak 1 tindakan 17 32,08 2 tindakan 9 16,98 3 tindakan 15 28,30 4 tindakan 12 22,64 Total 53 100,00 p-value 0,6127
n
%
1 8 12 6 27
3,70 29,63 44,44 22,22 100,00
12 2 7 6 27
44,44 7,41 25,93 22,22 100,00
7 5 8 7 27
25,93 18,52 29,63 25,93 100,00
Berdasarkan Tabel 25, proporsi terbesar keluarga nelayan juragan (41.51%) melakukan empat tindakan pemeliharaan sistem suami terhadap isteri, sedangkan keluarga nelayan
buruh
(44.44%) melakukan
tiga
tindakan
pemeliharaan sistem suami terhadap isteri. Tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan isteri terhadap suami pada keluarga nelayan juragan (54.72%) melakukan tiga tindakan, sedangkan keluarga nelayan buruh (44.44%) hanya melakukan satu tindakan saja. Sebanyak 32.08 persen keluarga nelayan juragan
melakukan satu tindakan saja untuk pemeliharaan sistem orangtua terhadap anak, sedangkan sebanyak 29.63 persen keluarga nelayan buruh melakukan tiga tindakan pemeliharaan sistem orangtua terhadap anak. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tindakan pemeliharaan yang dilakukan suami terhadap isteri dan orangtua terhadap anak pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Tindakan pemeliharaan sistem isteri terhadap suami berdasarkan hasil uji beda, berbeda signifikan. Dapat diasumsikan bahwa semakin banyak tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan dalam keluarga, maka semakin baik hubungan antar anggota keluarga. Tabel 26 Sebaran contoh menurut jenis pemeliharaan sistem dalam keluarga Jenis pemeliharaan sistem
Juragan n
Buruh %
Dimensi pemeliharaan yang dilakukan suami Materi 14 26,42 Mental 1 1,87 Materi, mental 11 20,75 Materi, fisik 5 9,43 Materi, mental, fisik 22 41,51 Total 53 100,00 Dimensi pemeliharaan yang dilakukan isteri Mental 4 7,55 Mental, fisik 49 92,45 Total 53 100,00 Dimensi pemeliharaan yang dilakukan orangtua terhadap anak Materi 9 16,98 Mental 13 24,53 Materi, mental 31 58,49 Total 53 100,00
n
%
5 4 11 1 6 27
18,52 14,81 40,74 3,70 22,22 100,00
12 15 27
44,44 55,56 100,00
4 6 17 27
14,81 22,22 62,96 100,00
Tabel 26 menunjukkan bahwa proporsi terbesar suami pada keluarga nelayan juragan (41.51%) melakukan pemeliharaan dalam bentuk pemberian materi, mental, dan fisik kepada isteri. Sedangkan proporsi terbesar keluarga nelayan buruh (40.74%) melakukan pemeliharaan hanya dalam bentuk pemberian materi dan mental kepada isteri. Jenis materi yang diberikan berupa uang hasil melaut, emas, dan pakaian, jenis pemeliharaan dalam bentuk fisik yang
diberikan
adalah
bantuan
membuat
ikan
asin, sedangkan
jenis
pemeliharaan dalam bentuk mental berupa kasih sayang dan perhatian yang diberikan suami terhadap isteri. Motivasi yang diberikan dalam bentuk dukungan suami terhadap isteri dengan cara suami memberikan simpati, perhatian, dan kepercayaan yang dilandasi kasih sayang, akan memberi kekuatan yang besar pengaruhnya pada isteri dalam melaksanakan tugas dan perannya (Tati, 2004).
Sebagian besar jenis pemeliharaan yang dilakukan isteri terhadap suami pada keluarga nelayan juragan (92.45%) dan lebih dari separuh keluarga nelayan buruh (55.56%) yaitu berupa mental dan fisik. Pemeliharaan yang dilakukan isteri dalam bentuk mental, sama halnya dengan yang dilakukan suami. Jenis pemeliharaan dalam bentuk fisik yang dilakukan oleh isteri terhadap suami biasanya berupa menyiapkan peralatan, perlengkapan, dan bekal untuk suami sebelum melaut. Persentase terbesar pemeliharaan yang dilakukan orangtua terhadap anak pada keluarga nelayan juragan (58.49%) dan keluarga nelayan buruh (62.96%) berupa pemberian materi dan mental. Bentuk pemeliharaan berupa materi adalah pemberian uang jajan anak, sedangkan pemeliharaan dalam bentuk mental berupa kasih sayang, perhatian, dan nasehat yang diberikan orantua terhadap anak-anaknya (Tabel 26). Tabel 27 Sebaran contoh menurut perubahan fungsi pemeliharaan sistem Perubahan fungsi pemeliharaan sistem Ya Tidak Total p-value
Juragan n 8 45 53
% n 15,09 4 84,91 23 100,00 27 0,9803
Buruh % 14,81 85,19 100,00
Berdasarkan Tabel 27 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga nelayan juragan (84.91%) dan keluarga nelayan buruh (85.19%) tidak mengalami perubahan dalam memelihara sistem keluarga sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh terdapat perubahan fungsi pemeliharaan sistem sebelum dan sesudah terjadi bencana alam.
Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan Objektif Pendekatan kesejahteraan secara objektif diukur melalui indikator utama. Indikator utama yang diukur adalah pendapatan keluarga. Pendapatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan objektif keluarga contoh dalam penelitian ini adalah pendapatan per kapita per bulan berdasarkan garis kemiskinan untuk Kabupaten Ciamis menurut BPS (2007). Pendapatan per kapita dibedakan berdasarkan musim melaut yang ada di lokasi penelitian, yaitu:
musim panen, musim paceklik, dan musim biasa. Keluarga contoh yang berada di garis kemiskinan dikatakan tidak sejahtera, sedangkan keluarga contoh yang berada di atas garis kemiskinan dikatakan sejahtera. Tabel 28 Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim paceklik Musim Paceklik Pendapatan Juragan Buruh Nelayan n % n % Sangat Miskin 39 73,58 24 88,89 Miskin 2 3,77 1 3,70 Mendekati 1 1,89 0 0 Miskin Tidak Miskin 11 20,76 2 7,41 Total 53 100 27 100 Rata-rata ± sd 78 746 ± 149 180, 051 51 403 ± 123 965, 325 p-value 0,388 Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa hampir seluruh keluarga contoh baik nelayan juragan (94.33%) maupun nelayan buruh (92.59%) berada pada kategori tidak miskin atau sejahtera pada musim panen (Tabel lampiran 1). Sebanyak 5,67 persen keluarga nelayan juragan berada pada kategori sangat miskin pada musim panen (Tabel lampiran 1). Pada saat musim panen masih ada nelayan juragan yang tergolong sangat miskin. Hal ini dikarenakan penggolongan nelayan juragan dan nelayan buruh didasarkan atas kepemilikan perahu. Nelayan yang sudah mempunyai perahu digolongkan sebagai nelayan juragan. Nelayan juragan yang tergolong miskin pada saat musim panen dikarenakan memiliki peralatan yang tidak memadai sehingga hasil laut yang ditangkap tidak maksimal sehingga pendapatan yang diperoleh sedikit. Pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut masih harus dibagi untuk membeli bahan bakar dan upah nelayan buruh (10% dari total pendapatan hasil melaut). Sebagian besar keluarga contoh baik nelayan juragan (73.58%) dan nelayan buruh (88.89%) berada pada kategori sangat miskin pada musim paceklik (Tabel 28). Pada musim paceklik ada keluarga nelayan buruh yang masuk dalam kategori tidak miskin karena bekerja dengan keluarga nelayan juragan yang mempunyai peralatan dan perlengkapan melaut yang lengkap sehingga pendapatan dari hasil melaut besar. Hal ini berpengaruh terhadap upah yang diterima oleh keluarga nelayan buruh. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan signifikan antara pendapatan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh pada musim paceklik.
Pada musim biasa sebanyak 56.60 persen keluarga nelayan juragan termasuk dalam kategori tidak miskin atau sejahtera dan 48.15 persen keluarga nelayan buruh termasuk dalam kategori sangat miskin (Tabel lampiran 1). Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh pada musim biasa.
Kesejahteraan Subjektif Pendekatan subjektif didapat dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan.
Pendekatan
dengan
indikator
subjektif
secara
filosofi
berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk bisa memiliki pandangan sendiri mengenai apa arti kesejahteraan yang mungkin bisa berbeda dengan pandangan objektif. Konsep subjektif. dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumahtangga. Model ini dianggap lebih sensitif untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga. Oleh karenanya, pengukuran kesejahteraan subjektif dibutuhkan untuk melengkapi pengukuran kesejahteraan secara objektif (Raharto & Romdiati 2000, diacu oleh Puspa 2007). Tabel 29 Sebaran persentase contoh menurut kesejahteraan subjektif Tingkat Kepuasan Frekuensi makan Keragaman pangan Jumlah pakaian Kualitas rumah Aksesibilitas rumah Fasilitas rumah Kualitas pendidikan Pendidikan tambahan anak Pola penanganan keluarga sakit Tindakan penanganan keluarga sakit Pendapatan per kapita Kepedulian sosial
0 %
Juragan (n=53) 1 2 % %
3 %
0 %
Buruh (n=27) 1 2 % %
3 %
0.00
11.32
88.68
0.00
3.70
3.70
92.59
0.00
1.89
22.64
75.47
0.00
11.11
25.93
62.96
0.00
1.89 1.89
28.30 41.51
69.81 54.72
0.00 1.89
11.11 14.81
22.22 10
66.67 48.15
0.00 0.00
0.00
20.75
79.25
0.00
3.70
25.93
70.37
0.00
3.77
49.06
47.17
0.00
14.81
40.74
44.44
0.00
11.32
35.85
52.83
0.00
11.11
40.74
48.15
0.00
9.43
49.06
41.51
0.00
22.22
40.74
37.04
0.00
1.89
16.98
81.13
0.00
3.70
14.81
77.78
3.70
1.89
16.98
81.13
0.00
3.70
14.81
81.48
0.00
1.89
35.85
62.26
0.00
11.11
33.33
55.56
0,00
15.09
84.91
0.00
3.70
14.81
81.48
0.00
0.00
Ketarangan: (0) Tidak puas;
(1) Kurang puas;
(2) Merasa puas;
(3) Sangat puas
Pemenuhan kebutuhan pangan dikaji dalam dua aspek yaitu aspek frekuensi makan per hari dan keragaman pangan yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi makan per hari keluarga contoh realtif terpenuhi karena sebagian besar keluarga nelayan juragan (88.68%) dan keluarga nelayan buruh (92.59%) menyatakan puas terhadap frekuensi makan tiga kali sehari. Selanjutnya, lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (75.47%) dan keluarga nelayan buruh (62.96%) merasa puas dengan keberagaman makanan yang dikonsumsinya (Tabel 29). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan pangan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh dapat dipenuhi dengan baik karena kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling utama dan mutlak tidak dapat ditunda. Berdasarkan Tabel 29 diketahui bahwa lebih dari separuh keluarga nelayan juragan (69.81%) dan keluarga nelayan buruh (66.67%) merasa puas dengan rata-rata jumlah pakaian yang dimiliki. Sebanyak 54,72 persen keluarga nelayan juragan dan 48,15 persen keluarga nelayan buruh menyatakan puas terhadap kualitas rumah. Sedangkan sebanyak 49.06 persen keluarga nelayan juragan menyatakan kurang puas terhadap fasilitas rumah. Hal ini disebabkan keluarga nelayan juragan lebih mementingkan peralatan dan perlengkapan melaut dibandingkan fasilitas rumah. Sebanyak 44.44 persen keluarga nelayan buruh merasa puas dengan fasilitas rumah yang dimilikinya. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (79.25%) dan keluarga nelayan buruh (70.37%) menyatakan puas terhadap aksesibilitas rumah. Tabel 29 menunjukkan bahwa keluarga nelayan juragan (52.83%) dan keluarga nelayan buruh (48.15%) merasa puas terhadap kualitas pendidikan anak-anak, namun keluarga nelayan juragan (49.06%) dan keluarga nelayan buruh (40.74%) merasa kurang puas terhadap pendidikan tambahan anak. Hal ini disebabkan kurangnya fasilitas pendidikan tambahan seperti kursus bahasa inggris dan bimbingan belajar di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, keluarga nelayan juragan (81.13%) dan keluarga nelayan buruh (77.78%) merasa puas terhadap pola penangan keluarga yang sakit. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (81.13%) dan keluarga nelayan buruh (81.48%) juga merasa puas dengan tindakan penangan keluarga yang sakit. Hal ini dikarenakan keluarga contoh menganggap bahwa kesehatan itu penting, agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Lebih dari separuh keluarga contoh (juragan=62.26%; buruh=55.56%) merasa puas atas pendapatan per kapita yang dimiliki. Keluarga contoh selalu bersyukur atas pendapatan yang diterimanya. Sebagian besar keluarga nelayan juragan (84.91%) dan keluarga nelayan buruh (81.48%) merasa puas terhadap dukungan sosial yang diterima. Berdasarkan dua belas item tersebut dapat dikatakan bahwa keluarga nelayan buruh sudah merasa puas terhadap apa yang dimilikinya. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase keluarga nelayan buruh yang merasa puas terhadap sebelas item pemenuhan kebutuhan kecuali pemenuhan pendidikan tambahan anak karena keterbatasan lembaga pendidikan tambahan untuk anak di lokasi penelitian. Hal ini juga dialami oleh keluarga nelayan juragan. Sedangkan keluarga nelayan juragan masih kurang puas terhadap fasilitas rumah yang dimiliki karena terlalu memprioritaskan peralatan dan perlengkapan melaut dibandingkan pemenuhan fasilitas rumah. Tabel 30 Sebaran contoh menurut kategori kesejahteraan subjektif Kesejahteraan Keluarga Subjektif Tidak Sejahtera Sejahtera Total p-value
Juragan n 14 39 53
Buruh % 26,42 73,58 100
n 12 15 27
% 44,44 55,56 100
0,4030
Tabel 30 menunjukkan bahwa persentase terbesar keluarga contoh baik keluarga nelayan juragan (73.58%) dan keluarga nelayan buruh (55.56%) berada pada kategori sejahtera. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan subjektif pada keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.
Hubungan Antar Variabel Hubungan Antara Karakteristik Keluarga Nelayan Dan Dukungan Sosial Dengan Fungsi AGIL Dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan dukungan sosial dengan fungsi AGIL, dapat dilihat pada Tabel 29. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami (r=0.1, p<0.05) dan akses informasi (r=0.130, p<0.05) dengan tindakan
adaptasi
yang
dilakukan
keluarga.
Hal
ini
berarti
terdapat
kecenderungan bahwa semakin tinggi pendidikan suami, maka semakin banyak tindakan coping strategy yang dilakukan keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Nuryani (2007) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan suami, maka semakin tinggi coping strategy yang dilakukan, begitu juga sebaliknya. Akses informasi, sumber informasi, jenis informasi yang banyak dan beragam yang diterima oleh keluarga juga akan membuat coping strategy keluarga semakin baik. Berdasarkan hasil penelitian di lapang, ternyata tidak terdapat hubungan antara besar keluarga, lama pendidikan isteri, dan dukungan sosial dengan tindakan adaptasi. Sunarti (2007) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yang bekerja mencerminkan langsung kemampuan ekonomi keluarga melalui banyaknya tindakan adaptasi yang dilakukan. Jumlah anggota keluarga tidak langsung mencerminkan banyaknya anggota keluarga yang bekerja dalam keluarga. Begitu pula dengan dukungan sosial yang hanya sedikit diperoleh keluarga contoh sehingga tidak memudahkan keluarga melakukan tindakan adaptasi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami (r=0.301, p<0.01) dan dukungan sosial (r=0.235, p<0.05) dengan pencapaian tujuan dalam keluarga.
Artinya
semakin tinggi pendidikan suami dan semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh keluarga, maka semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga. Hal ini diduga karena semakin tinggi pendidikan suami sebagai pencari nafkah maka kemampuan untuk mendapatkan sumberdaya keluarga pun tinggi yang akhirnya keluarga tersebut pun tidak akan mengalami kemiskinan. Dukungan sosial yang semakin banyak diterima oleh keluarga maka akan semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga. Hal ini diduga karena semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh keluarga maka keluarga akan mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Tabel 31 Sebaran koefisien korelasi spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan fungsi AGIL Variabel Besar keluarga Lama pendidikan suami Lama pendidikan isteri Akses informasi, Sumber informasi, Jenis informasi Dukungan sosial
-.087 .196* -.072
Pencapaian tujuan -.126 .301** .139
.130* .023
Adaptasi
-.192 .260* .139
Pemeliharaan sistem -.192 .382** .076
.120
.608*
.144
.235*
.204
.219
Integrasi
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01 Tabel 31 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami (r=0.260, p<0.05) dengan tindakan integrasi. Artinya semakin tinggi pendidikan suami, maka semakin baik tindakan integrasi yang dilakukan dalam keluarga. Selain itu, akses informasi, sumber informasi, jenis informasi juga berhubungan signifikan positif dengan dengan integrasi (r=0.608, p<0.05), artinya semakin banyak akses informasi, jumlah sumber informasi dan jenis informasi yang diterima oleh keluarga, maka semakin baik tindakan integrasi yang dilakukan oleh keluarga. Biasanya sumber informasi yang dapat dijangkau oleh keluarga contoh adalah TV , sehingga pada saat menonton TV bersama keluarga akan ada interaksi antar anggota keluarga yang membuat hubungan keluarga semakin erat. Lama pendidikan isteri, besar keluarga dan dukungan sosial tidak berhubungan dengan tindakan integrasi yang dilakukan dalam keluarga. Lama
pendidikan
suami
berhubungan
signifikan
positif
dengan
pemeliharaan sistem dalam keluarga (r=0.382, p<0.01). Hal ini berarti terdapat kecenderungan bahwa semakin lama pendidikan suami maka pemeliharaan sistem yang dilakukan keluarga akan semakin baik. Hal ini diduga karena tingginya tingkat pendidikan suami maka cara berfikirnya akan semakin baik sehingga mampu mengajarkan anggota keluarganya untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing di dalam keluarga. Tidak terdapat hubungan antara besar keluarga dengan pemeliharaan sistem dalam keluarga. Menurut Suhardjo (1989) dalam Nuryani (2007) besar keluarga memiliki hubungan negatif dengan pemeliharaan sistem yang dilakukan keluarga khususnya mengenai pemeliharaan sistem orangtua terhadap anak, karena semakin besar jumlah anggota keluarga, maka semakin sedikit waktu dan perhatian orangtua terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami (r=0.423, p<0.01) dan lama pendidikan isteri (r=0.399, p<0.05) dengan kesejahteraan objektif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan suami dan isteri maka semakin baik pula kesejahteraan objektif dalam keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan keluarga dalam mengakses kebutuhan hidupnya. Keluarga yang dipimpin oleh kepala keluarga yang berpendidikan tinggi mempunyai peluang yang lebih besar untuk hidup lebih sejahtera (Ibrahim 2007). Tabel 32 Sebaran koefisien korelasi spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan kesejahteraan keluarga Variabel Besar keluarga Lama pendidikan suami Lama pendidikan isteri Akses informasi, Sumber informasi, Jenis informasi Dukungan sosial
Kesejahteraan objektif -.320** .423** .339*
Kesejahteraan subjektif -.129 .139** .267**
.245*
.478**
.069
-.020
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01 Akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan
objektif (r=0.478, p<0.01), artinya
semakin banyak akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi yang diperoleh maka semakin tinggi pula pendapatan per kapita keluarga. Hal ini diduga karena semakin banyak akses informasi, sumber informasi dan jenis informasi yang diperoleh keluarga, maka semakin tinggi kemampuan keluarga untuk
mengelola
sumberdaya
yang
dimilikinya
yang
dapat menambah
pendapatan keluarga. Namun, besar keluarga mempunyai hubungan yang negatif dengan kesejahteraan objektif, yang artinya adalah semakin besar jumlah anggota keluarga maka pendapatan perkapitanya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan yang ditetapkan BPS (2007) bahwa pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Jadi semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin kecil pendapatan perkapitanya. Secara umum, terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami (r=0.139, p<0.01) dan lama pendidikan isteri (r=0.267, p<0.01) dengan kesejahteraan subjektif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan suami dan isteri maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan subjektif. Selain itu, akses informasi, sumber informasi, dan jenis
informasi juga berhubungan positif dengan kesejahteraan subjektif (r=0.478, p<0.01). Artinya semakin banyak akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi yang didapatkan keluarga maka tingkat kesejahteraan subjektif keluarga pun semakin meningkat. Santamarina et al (2002) dikutip dalam Suandi (2007) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan pemahaman penduduk mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya.
Pola Hubungan Antar Variabel Fungsi AGIL Pada Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana. Hubungan antar fungsi AGIL yang terdiri atas fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem, disajikan pada Tabel 33. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tindakan adaptasi dengan pemeliharaan sistem (r=0.622, p<0.01). Artinya semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan keluarga, maka semakin baik pemeliharaan sistem anggota keluarga menjalankan fungsi dan perannya masing-masing di dalam keluarga. Hal ini diduga karena keluarga menjalankan fungsi dan perannya masing-masing sehingga untuk dapat meningkatkan pendapatan keluarga maka isteri dan anak yang sudah bekerja pun menjadi tumpuan keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pencapaian tujuan dengan tindakan integrasi (r=0.221, p<0.01) (Tabel 33). Hal ini berarti terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga, maka semakin baik tindakan integrasi yang dilakukan di dalam keluarga. Hal ini diduga karena semakin baik tindakan integrasi yang dilakukan keluarga yang memungkinkan semakin kuatnya ikatan solidaritas antar anggota keluarga, maka akan timbul kerjasama yang baik untuk bersama mencapai tujuan keluarga. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pencapaian tujuan dengan pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga (r=0.625, p<0.001). Hal ini berarti terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga, maka semakin baik pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga Hal ini diduga karena semakin baik peran dan fungsi yang dijalankan oleh masing-masing anggota keluarga, maka tujuan yang ingin dicapai dalam keluarga akan lebih cepat tercapai.
Tabel 33 Sebaran koefisien pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL Variabel
Adaptasi
Adaptasi Pencapaian tujuan Integrasi Pemeliharaan sistem
Pencapaian tujuan
1.000 .118 -1.29 .622**
1.00 .221* .625**
Integrasi
Pemeliharaan sistem
1.00 .524**
1.00
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01 Tabel 30 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara tindakan integrasi dengan pemeliharaan sistem dalam keluarga (r=0.524, p<0.01). Artinya, semakin baik tindakan integrasi dalam keluarga menunjukkan bahwa pemeliharaan sistem yang dilakukan dalam keluarga tersebut juga semakin baik. Pada akhirnya hubungan antar subsistem dalam keluarga dapat terjalin dengan baik, sehingga ikatan solidaritas keluarga akan semakin kuat (Nuryani 2007). Berdasarkan hasil uji korelasi dapat disimpulkan bahwa hubungan antar variabel
fungsi
keberlangsungan
ini
memiliki
pola
A-L-G-I
(Adaptasi–
Pemeliharaan Sistem–Pencapaian Tujuan–Integrasi). Hal ini disebabkan karena tidak adanya hubungan antara fungsi adaptasi dan fungsi pencapaian tujuan dalam keluarga contoh. Dengan kata lain, semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan, maka semakin baik pula tindakan pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga. Banyaknya tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga akan membuat peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga dijalankan dengan penuh tanggung jawab sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuryani (2007) di keluarga petani karena perbedaan karakteristik keluarga dan daerah penelitian.
Hubungan Antara Fungsi AGIL Dengan Kesejahteraan Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan yang signifikan positif antara adaptasi dengan kesejahteraan objektif (r=0.266, p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin banyak tindakan adaptasi yang dilakukan oleh keluarga maka semakin bertambah pendapatan per kapita setiap keluarga contoh. Dapat disimpulkan bahwa berbagai macam tindakan yang dilakukan oleh keluarga dalam meningkatkan pendapatan perkapitanya maka kesejahteraan objektif keluarga juga akan meningkat.
Tabel 34 Sebaran koefisien korelasi fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga Variabel Adaptasi Pencapaian tujuan Integrasi Pemeliharaan sistem
Kesejahteraan objektif .266* -.173 .131 -.172
Kesejahteraan subjektif .292 -.033 -.011 .119**
Keterangan = * : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01 Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan
positif
antara
pemeliharaan
sistem
dalam
keluarga
dengan
kesejahteraan subjektif (r=0.119, p<0.01). Hal ini berarti terdapat kecenderungan bahwa semakin baik pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektifnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sunarti (2007) yang menyatakan bahwa pemeliharaan sistem berupa pengaturan sumberdaya fisik yang terbatas, serta sosialisasi pesan dan atau dukungan moril serta mental terhadap keterbatasan ekonomi keluarga, dapat membawa kepada penerimaan dan atau meminimalisasi munculnya ketidakpuasan. Berdasarkan hasil penelitian di lapang, keluarga contoh sudah merasa puas dan mensyukuri dengan apa yang dimiliki.
Hubungan Antara Kesejahteraan Subjektif Dengan Kesejahteraan Objektif Pada Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, terdapat hubungan yang tidak signifikan negatif antara kesejahteraan objektif dengan kesejahteraan subjektif (r=-0.260, p<0.05). Artinya bahwa, semakin tinggi kesejahteraan objektif maka semakin rendah kesejahteraan subjektif suatu keluarga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suandi (2007) yang menyatakan bahwa tingkat penghasilan dan pengeluaran sebagai froxy kesejahteraan objektif tidak selalu berkorelasi positif dengan dengan tingkat kepuasan (kesejahteraan subjektif. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah semakin tinggi kesejahteraan objektif suatu keluarga tidak selalu memiliki tingkat kepuasan yang tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Proporsi terbesar kedua keluarga contoh termasuk ke dalam keluarga kecil (≤ 4 orang). Persentase terbesar umur suami-istri pada kedua keluarga contoh berumur 18–40 tahun. Lama pendidikan suami – isteri pada kedua keluarga contoh adalah kurang dari 9 tahun. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga nelayan juragan (Rp 1 191 015) lebih besar daripada keluarga nelayan buruh (Rp 513 018). Seluruh keluarga nelayan juragan dan sebagian besar keluarga nelayan buruh memiliki aset lebih dari atau sama dengan tiga kali kebutuhan minimum per bulan. Akses informasi, sumber informasi dan jenis informasi kedua keluarga contoh termasuk pada kategori sedang. Dukungan sosial yang diterima kedua keluarga contoh dari keluarga luas, tetangga, dan lembaga masyarakat/pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Sebagian besar kedua keluarga contoh tidak mengalami perubahan terhadap dukungan sosial yang diterima sebelum dan sesudah terjadi bencana alam. 2. Pengelolaan fungsi AGIL yang terdiri atas fungsi adaptasi, fungsi pencapaian tujuan, fungsi integrasi, dan fungsi pemeliharaan sistem yang dilakukan oleh keluarga nelayan buruh dan keluarga nelayan juragan memiliki keragaan yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Sebagian besar kedua keluarga contoh tergolong sangat miskin pada musim paceklik (saat dilakukan penelitian). Kesejahteraan subjektif kedua keluarga contoh termasuk ke dalam kategori sejahtera karena sudah merasa puas terhadap apa yang dimilikinya. Keluarga contoh tidak mengalami perubahan yang lebih baik pada fungsi AGIL sebelum dan sesudah terjadi bencana alam karena kondisi lingkungan pun tidak berubah sehingga tidak ada tindakan khusus dalam menghadapi bencana alam yang terjadi. 3.
Terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami dan akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi dengan fungsi adaptasi dan fungsi integrasi. Lama pendidikan suami dan dukungan sosial berhubungan positif dengan pencapaian tujuan. Terdapat hubungan yang signifikan positif antara lama pendidikan suami dengan fungsi pemeliharaan sistem dalam keluarga. Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa lama pendidikan suami, lama pendidikan isteri, akses informasi, sumber informasi, dan jenis informasi berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan
objektif dan subjektif. Sedangkan besar keluarga berhubungan signifikan negatif dengan kesejahteraan objektif. 4. Terdapat hubungan yang signifikan positif antara fungsi pencapaian tujuan, fungsi integrasi, fungsi pemeliharaan sistem dan fungsi adaptasi. 5. Terdapat hubungan yang positif antara fungsi adaptasi dengan kesejahteraan objektif. Fungsi pemeliharaan sistem berhubungan signifikan positif dengan kesejahteraan subjektif. 6. Terdapat hubungan yang signifikan negatif antara kesejahteraan objektif dengan kesejahteraan subjektif.
Saran Diharapkan pada penelitian selanjutnya wawancara dilakukan lebih dalam dan mendetail terutama data mengenai aset keluarga sehingga data yang didapatkan lebih dalam dan mendetail. Perlunya pengkajian dan pengujian instrumen untuk mengukur dukungan sosial dan fungsi AGIL. Bagi pemerintahan Desa Pangandaran diharapkan mampu menetapkan program serta kebijakan yang dapat meningkatkan kondisi kesejahteraan keluarga nelayan khususnya keluarga nelayan buruh. Selain itu, lembaga masyarakat/pemerintah pun diharapkan dapat memberikan dukungan sosial yang lebih baik kepada keluarga nelayan buruh. Bagi keluarga nelayan diharapkan dapat memahami penerapan fungsi AGIL dengan baik sehingga dapat mempertahankan dan memperbaiki ketahanan keluarganya. Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis diharapkan agar dapat lebih memperhatikan kualitas pendidkan anak-anak keluarga nelayan baik juragan ataupun buruh agar dapat memiliki tingkat pendidikan yang tinggi karena hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pendidikan mempunyai peran yang cukup besar untuk menerapkan fungsi AGIL dengan baik di dalam keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Arianti, R. T. 2002. Tingkat stress dan strategi koping ibu pada keluarga dengan anak retardasi mental [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anonim c. 2009. Bencana Alam. http://id.wikipedia.org/wiki/Bencana_alam. [27 Maret 2009]. Bakosurtanal. 2009. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional & Pusat Studi Bencana UGM. http://www.ppsda,org/_web/index.html. [15 Maret 2009] [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1992. Undangundang Repiblik Indonesia Nomor 10 tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN. Cahyaningsih, N. 1999. Persepsi remaja terhadap gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya dengan kenakalan remaja SMU di Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Daniel, W. Wayne. 1990. Applied Nonparametric Statistics 2nd Edition. Boston: PWS-Kent Publishing Company Deacon, R. E., & F. M. Firebough. 1988. Family Resource Management Principle and Aplication 2nd ed. London Sydney: Allyn and Bacon, Inc. Desmarita, Ika. 2004. Kajian ketahanan keluarga: tinjauan perubahan kehidupan keluarga dan reorientasi keluarga pengungsi korban kerusuhan Aceh di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dewi, R. S. 2002. Dinamika fungsi keluarga pada keluarga korban kerusuhan sambas di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dienar, E., & R. Biswas. 2000. New Direction Well-being Research: The Curting Edge. USA: University of Illinous Pacific. Fahmi, Sri Andriyani. 2008. Analisis nilai ekonomi pekerjaan ibu rumah tangga dan peran gender serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga petani [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Firdaus. 2008. Hubungan antara tekanan ekonomi, manajemen keuangan, dan mekanisme koping, dengan kesejahteraan keluarga wanita pemetik teh [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut pertanian Bogor Fleur M de. 1966. Theories of Mass Communication. Di dalam: MacAndrews C, Depari E, editor. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada. Friedman. 1998. Family Nursing, Theory and Practice 3rd ed. California: Appleton and Lange. Ginting, M., & D.H. Penny. 1984. Pekarangan, Pertanian, dan Kemiskinan. Yayasan Agro Ekonomik: Gajah Mada University Press.
Guhardja S, H. Puspitawati, Hartoyo & D.H. Martianto. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gross, I.H., E.W.Crandall, & M.M.Knoll. 1980. Management For Modern Families 4th ed. New Jersey: Prentice-Hall.Inc. Englewood Clifts. Hamilton, P. 1983. Key Sociologist Talcott Parsons. England: Ellis Horwood Limited. Tavistock Publications Limited. Ibrahim, Hasan. 2007. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga di Kabupaten Lembata, NTT [disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Rencana Aksi Nasional: Pengurangan Risiko Bencana. Jakarta: Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kumaat, Joyke Christian. 2004. Pemberdayaan masyarakat Pesisir di daerah rawan bencana alam. http://www.jchkumaat.wordpress.com15/04. html [15 Maret 2009]. Lubis, M. 1999. Strategi hidup rumahtangga petani miskin pada saat krisis moneter (studi kasus: rumahtangga miskin di Desa Wargaluyu, Kecamatan Tanjung Kerta, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Megawangi, R. 2001. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan Pustaka. Noverina, A. 2006. Perilaku sehat, lingkungan sehat dan coping strategy rumahtangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) (studi kasus di Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nia, Nuryani. 2007. Kajian Ketahanan Keluarga Petani: Hubungan Fungsi Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Pemeliharaan Sistem dengan Kesejahteraan Keluarga [skripsi]. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Ogburn. 1999. Bunga Rampai sosiolog Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Pakpahan, Agus dkk. 1992. Penelitian tentang ketahanan pangan masyarakat berpendapatan rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Prabawa, S. 1998. Sumberdaya keluarga dan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani (studi di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) [tesis]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Puspa, Amalina Ratih. 2007. Kajian ketahanan keluarga petani: pengambilan keputusan istri dan hubungannya dengan kesejahteraan keluarga [skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Raharto & Romdiati. 2000. Identifikasi rumahtangga miskin. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Bappenas, Unicef, Deptan, dan BPS.
Rice, A. S., & S.M. Tucker. 1986. Family Life Mangement 6th ed. New York: McMillan Publishing Company. Roger, M. & Shoemaker. 1971. Communications of Innovations: Across-Cultural Approach 2nd ed. New York: The Free Press. Satria, Arif. 2008. Negeri bahari yang melupakan nelayan. http://www.beritamaritim.com/berita/01//11.shtml. [27 Juni 2008]. Savitri, A. Laksmi., & Khazali. M. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir (Pengalaman Pelaksanaan Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan dan Rehabilitasi Mangrove di Indramayu). Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Soedarsono, Soemarno. 1997. Ketahanan Pribadi dan Ketahanan Keluarga Sebagai Tumpuan Ketahan Nasional. Jakarta: Intermasa. Suandi. 2007. Modal sosial dan kesejahteraan keluarga di daerah pedesaan Propinsi Jambi [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sunarti, E. 2001. Ketahanan keluarga dan pengaruhnya terhadap kualitas kehamilan [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. __________. 2008. Program Pemerintah Terkait Kesejahteraan dan Pemberdayaan Keluarga. Paper Kuliah Kerja Profesi. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. ___________. 2008. Keragaan pemetik teh wanita: sosial ekonomi, ketahanan keluarga, konsumsi pangan, pertumbuhan dan perkembangan anak [laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. ____________. 2007. Hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan sistem dengan kesejahteraan keluarga [makalah penelitian]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tati. 2004. Pengaruh tekanan ekonomi keluarga, dukungan sosial, dan kualitas perkawinan terhadap pengasuhan anak [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN Tabel Lampiran 1a: Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim biasa Musim Biasa Pendapatan Juragan Buruh Nelayan n % n % Sangat Miskin 17 32,07 13 48,15 Miskin 2 3,78 4 14,82 Mendekati 4 7,55 1 3,70 Miskin Tidak Miskin 30 56,60 9 33,33 Total 53 100 27 100 Rata-rata ± sd 1 092 723 ± 1 357 757, 681 461 492, 06 ± 651 957, 156 p-value 0,006 Tabel lampiran 1b: Sebaran contoh menurut pendapatan per kapita pada musim panen Pendapatan Nelayan Sangat Miskin Miskin Mendekati Miskin Tidak Miskin Total Rata-rata ± sd p-value
Musim Panen Juragan
Buruh
n 3 0
% 5,67 0
n 0 2
% 0 7.41
0
0
0
0
50 94,33 53 100 2 858 013 ± 2 760 691, 185
25 92.59 27 100 1 154 590 ± 1 230 127, 966 0.000
Tabel lampiran 2a: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan fungsi AGIL Adaptasi Besar Keluarga Lama Pendidikan Suami Lama Pendidikan Isteri Akses Informasi Dukungan Sosial
Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N
Keterangan =
-.087 .441 80 .196* .028 80 -.072 .525 80 .130* .025 80 .023 .841 80
Pencapaian tujuan -.126 .266 80 .301** .007 80 .139 .217 80 .120 .291 80 .235* .036 80
Integrasi -.192 .087 80 .260* .020 80 .139 .219 80 .608* .029 80 .204 .070 80
Pemeliharaan sistem -.192 .088 80 .382** .000 80 .076 .501 80 .144 .203 80 .219 .051 80
* : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01
Tabel lampiran 2b: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan kesejahteraan keluarga Kesejahteraan objektif Besar Keluarga
Lama Pendidikan Suami
Lama Pendidikan Isteri
Akses Informasi
Dukungan Sosial
Keterangan =
Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N
* : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01
-.320** .025 80 .423** .033 80 .339* .042 80 .245* .025 80 .069 .544 80
Kesejahteraan subjektif
-.129 .225 80 .139** .022 80 -.267** .038 80 .478** .017 80 -.020 .861 80
Tabel lampiran 2c: Hasil SPSS sebaran koefisien pola hubungan antar variabel pada fungsi AGIL Adaptasi Adaptasi Pencapaian tujuan Integrasi Pemeliharaan sistem
Keterangan =
1.000 . 80 .118 .298 80 -.129 .256 80 .622** .000 80 * : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01
Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N
Pencapaian tujuan
1.000 . 80 .221* .048 80 .625** .000 80
Integrasi
1.000 . 80 .524** .000 80
Pemeliharaan sistem
1.000 . 80
Tabel lampiran 2d: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi fungsi AGIL dengan kesejahteraan keluarga Kesejahteraan objektif Adaptasi
Pencapaian tujuan
Integrasi
Pemeliharaan sistem
Keterangan =
Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N
.266* .017 80 -.173 .125 80 .131 .247 80 -.172 .128 80
Kesejahteraan subjektif
.292 .128 80 -.033 .773 80 -.011 .919 80 .119** .023 80
* : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01
Tabel lampiran 2e: Hasil SPSS sebaran koefisien korelasi kesejahteraan objektif dengan kesejahteraan subjektif Kesejahteraan objektif Kesejahteraan objektif
Kesejahteraan subjektif
Keterangan =
Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N Correlation coefficient Sig. (2–tailed) N
* : korelasi signifikan pada p<0.05 **: korelasi signifikan pada p<0.01
1.000 . 80 -.260* .020 80
Kesejahteraan subjektif
1.000 . 80