PERMASALAHAN, KELENTINGAN DAN STRATEGI KOPING KELUARGA KORBAN BENCANA LONGSOR DI KABUPATEN BOGOR
NINIK NIKMATUL KHASANAH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRAK NINIK NIKMATUL KHASANAH. Permasalahan, Kelentingan, dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan TIN HERAWATI. Bencana longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia salah satunya di Kabupaten Bogor. Bencana longsor menyebabkan gangguan kehidupan keluarga baik fisik maupun non fisik. Dalam menghadapi gangguan tersebut, keluarga harus memiliki daya lenting yang tinggi dan mengembangkan strategi yang
sesuai dengan situasi yang dihadapi sehingga keluarga tetap dapat bertahan dalam keadaan krisis. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kelentingan keluarga dan strategi koping pada keluarga korban longsor, sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik, permasalahan, kelentingan, dan strategi koping keluarga; (2) mengidentifikasi perubahan permasalahan yang dihadapi dan kelentingan keluarga; (3) menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan permasalahan keluarga, kelentingan keluarga, dan strategi koping; (4) menganalisis hubungan antara permasalahan keluarga dengan kelentingan keluarga dan strategi koping; dan (5) menganalisis pengaruh karakteristik, permasalahan, dan kelentingan keluarga terhadap strategi koping. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan retrospektif dengan contoh sebanyak 100 responden yang diambil secara proportional random sampling. Permasalahan terberat yang dihadapi contoh adalah masalah pangan, masalah tempat tinggal, dan penurunan pendapatan keluarga. Hasil analisis pengaruh menunjukkan bahwa kunci kelentingan keluarga korban bencana longsor adalah sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi, dan proses komunikasi. Pada keluarga korban longsor, ketiga kunci kelentingan keluarga tergolong tinggi, diantaranya ditunjukkan oleh kemampuan contoh dalam memaknai kemalangan yang disebabkan oleh longsor, memiliki hubungan sosial yang baik, dan proses komunikasi keluarga yang berjalan efektif sehingga dapat membantu contoh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Kata kunci: kelentingan keluarga, strategi koping, keluarga korban longsor
ABSTRACT NINIK NIKMATUL KHASANAH. Problem, Resilience, and Family's Coping Strategy as The Victim of Landslide Disaster at Regency of Bogor. Coached by EUIS SUNARTI and TIN HERAWATI.
Landslide disaster constitutes one of disaster which's often happened in Indonesia, one of it at regency of Bogor. Landslide disaster causes trouble in family life both physical and also non physical. In face that trouble, family shall has high resilience and
develops the strategy that corresponds to faced situation until the regular family can withstand in a state crisis. The common aim of this research is analyzing the family resilience and coping strategy on landslide victim family, meanwhile aim in particular is: (1) identify characteristic, about problem, elasticity, and family's coping strategy family; (2) identify the changing about problems which's faced and family resilience; (3) analyze the relationships among family's characteristic with family's problem, family's resilience, and coping strategy; (4) analyze the relationships among family's problem with family's resilience and coping strategy; and (5) analyze the influences of characteristic, problem, and family's resilience to coping's strategy. This research utilizes cross sectional design and retrospective by samples as much 100 respondents that taken by proportional random sampling. The biggest problems faced by respondent are food problem, home problem, and family income decrease. The analysis of influence's result shows that the key of family resilience as the victim of landslide disaster are family trusty system, organisational pattern, and communication process. On landslide disaster victim family, the third key of family resilience comes under high, amongst those pointed out by respondens' ability in mindset because of accident landslide, having good social relation, and family communication process that runing effective so gets to help respondens in solves the problem which's faced. Key word: family resilience, coping's strategy, landslide victim family
RINGKASAN NINIK NIKMATUL KHASANAH. Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan TIN HERAWATI. Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia seperti tsunami, gempa, banjir, dan longsor telah menimbulkan dampak sosial yang memberi pengaruh pada sisi kehidupan masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan bidang kesehatan masyarakat, keluarga, dan anak. Keadaan tersebut dapat menimbulkan permasalahan yang mengganggu kehidupan keluarga sehingga menjadikan keluarga tertekan dan stres. Untuk menghadapi keadaan tersebut keluarga diharapkan memiliki daya lenting yang tinggi dan strategi koping yang tepat. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kelentingan keluarga dan strategi koping pada keluarga korban longsor. Tujuan khususnya adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik, permasalahan, serta kelentingan, dan strategi koping yang dilakukan keluarga; (2) mengidentifikasi perubahan permasalahan yang dihadapi keluarga dan kelentingan keluarga; (3) menganalisis hubungan antara karakteristik dengan permasalahan, kelentingan, dan strategi koping; (4) menganalisis hubungan antara permasalahan dengan kelentingan dan strategi koping; dan (5) menganalisis pengaruh karakteristik, permasalahan, dan kelentingan terhadap strategi koping. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Pengumpulan data dilakukan di Desa Banyuwangi Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor pada bulan Mei-Juni 2010. Desa ini dipilih secara purposive karena desa tersebut merupakan tempat terjadinya bencana longsor dengan jumlah korban terbanyak dan terparah. Populasi adalah keluarga korban longsor dengan jumlah total korban sebanyak 264 keluarga yang tersebar di 2 RW, yaitu RW 10 dan RW 11. Jumlah total contoh adalah 100 orang yang diambil secara proportional random sampling. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (1) karakteristik keluarga (usia, lama pendidikan, besar keluarga, kepemilikan aset, pendapatan, dan pekerjaan); (2) permasalahan keluarga (pangan, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pakaian, pekerjaan, dan interaksi keluarga); (3) kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga) dengan menggunakan metode retrospective; dan (4) strategi koping (fokus pada masalah dan fokus pada emosi). Data sekunder yang dikumpulkan berupa gambaran umum lokasi penelitian. Persentase terbesar suami (61%) dan isteri (73%) termasuk dalam kategori usia dewasa awal (18-40 tahun). Persentase terbesar suami (84%) dan isteri (90%) berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar. Persentase terbesar (47%) keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang). Aset yang banyak dimiliki keluarga contoh adalah rumah (82%), ayam (65%), perhiasan (46%), kambing (37%), dan motor (29%) dengan kategori nilai aset berkisar pada Rp 0 sampai Rp 25 000 000 sebesar 75 persen. Persentase terbesar (87%) keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita kurang dari Rp 191 000, berarti termasuk kategori keluarga miskin. Persentase terbesar suami (55%) memiliki pekerjaan sebagai petani dan isteri (74%) sebagai ibu rumah tangga.
Persentase terbesar (75%) keluarga contoh menghadapi permasalahan termasuk dalam kategori tinggi. Masalah terberat yang diakui contoh adalah masalah pangan, tempat tinggal, dan pendapatan atau pekerjaan. Persentase terbesar (≥ 90%) keluarga contoh memiliki kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga) termasuk pada kategori tinggi. Tingginya sistem kepercayaan keluarga disebabkan karena setelah terjadinya longsor keluarga contoh semakin percaya terhadap keluarga dan memaknai krisis. Tingginya pola organisasi keluarga disebabkan karena keluarga contoh memiliki pola organisasi yang baik di dalam ataupun di luar keluarga. Tingginya proses komunikasi keluarga karena komunikasi yang dilakukan keluarga contoh berjalan dengan efektif. Koping fokus pada masalah yang dilakukan contoh adalah melakukan upaya tertentu untuk merubah keadaan, mencari dukungan dari pihak luar, dan merubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Koping fokus pada emosi yang dilakukan contoh adalah menciptakan situasi dan makna yang positif dari suatu kejadian, menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami, melakukan pengaturan diri baik dalam perasaan maupun tindakan, dan menghindar dari permasalahan yang dihadapi. Hasil uji korelasi Spearman, menunjukkan: 1) pendapatan per kapita keluarga memiliki korelasi negatif dengan masalah pendidikan, masalah pangan, masalah kesehatan, masalah tempat tinggal, masalah pakaian, masalah interaksi keluarga, masalah pekerjaan atau pendapatan, dan permasalahan total; 2) usia suami berkorelasi negatif dengan permasalahan keluarga total; 3) besar keluarga berkorelasi positif dengan sistem kepercayaan keluarga; 4) nilai kepemilikan aset memiliki korelasi positif dengan koping fokus pada masalah; 5) usia isteri berkorelasi positif dengan koping fokus pada emosi; 6) pola organisasi keluarga memiliki korelasi negatif dengan masalah tempat tinggal dan masalah pekerjaan; 7) masalah pekerjaan berkorelasi negatif dengan proses komunikasi keluarga; 8) koping fokus pada emosi berkorelasi positif dengan masalah pekerjaan dan permasalahan keluarga total; dan 9) seluruh variabel kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga) berkorelasi positif dengan seluruh variabel strategi koping keluarga (koping fokus pada masalah dan koping fokus pada emosi). Hasil uji regresi menunjukkan, faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi strategi koping adalah permasalahan keluarga, sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga (Adj R2= 0,242, p<0,01). Kata kunci: kelentingan keluarga, strategi koping, korban bencana longsor
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER ACUAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing. Skripsi ini belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga lain untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2011
Ninik Nikmatul Khasanah
PERMASALAHAN, KELENTINGAN DAN STRATEGI KOPING KELUARGA KORBAN BENCANA LONGSOR DI KABUPATEN BOGOR
NINIK NIKMATUL KHASANAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
: Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor : Ninik Nikmatul Khasanah : I24062159
Judul Skripsi
Nama NIM
Disetujui,
Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si
Tin Herawati, S.P, M.Si
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 25 Juli 1987. Penulis adalah anak ke lima dari delapan bersaudara dari keluarga Bapak H Moh Nasir dan Ibu Hj Shofiyatul Maula. Pendidikan Taman Kanak-Kanak ditempuh penulis dari tahun 1992 hingga tahun 1994 di TK Salafie Cirebon. Pada tahun 1994 penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Tegalsari Cirebon sampai dengan tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan di MTs Negeri 2 Cirebon hingga tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di MA Negeri 3 Kota Cirebon sampai tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2006. Selama menjadi mahasiswa aktif dalam berbagai macam kegiatan di kampus, seperti menjadi sekretaris divisi ilmiah dan pustaka Himpunan Profesi Ilmu Keluarga dan Konsumen (2007-2008), anggota Badan Pemeriksa Himpro (BPH) Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (2007-2008), anggota Forum for Scientific Studies (FORCES) IPB (2006-2007), anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Cirebon (2006-2010), bendahara asrama putri Indramayu (20072008), serta aktif dalam berbagai kepanitiaan kampus lainnya. Penulis juga menerima beasiswa dari Bank Ekspor Indonesia (2008) dan beasiswa Karya Salemba Empat (2009-2011). Selain itu, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti sekolah keguruan di Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (2010-2011).
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karuniaNya
sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Permasalahan, Kelentingan dan Strategi Koping Keluarga Korban Bencana Longsor di Kabupaten Bogor”. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung, memotivasi, dan memberikan doa serta semangat, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si dan Tin Herawati, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, dukungan, perhatian, sumbangan pikiran, dan kerjasama dalam penulisan skripsi ini.
2.
Dosen penguji skripsi Dr. Diah Krisnatuti P, MS dan dosen pemandu seminar hasil penelitian Neti Hernawati, S.P, M.Si yang telah memberikan saran dan kritik kepada penulis untuk perbaikan skripsi, serta dosen pembimbing akademik Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc yang telah mengarahkan penulis selama masa perkuliahan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.
3.
Seluruh staf pengajar Institut Pertanian Bogor pada umumnya dan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen pada khususnya yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu serta wawasan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
4.
Camat Cigudeg dan Kepala Desa Banyuwangi beserta jajarannya atas bantuan, kemudahan, dan kerjasama yang diberikan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.
5.
Kedua orangtua saya H Moh Nasir dan Hj Shofiyatul Maula; kakak-kakak dan adik-adik saya Lili Nurlaeliyah, Amd; Istianah; Moh Anis Alhilmi, S.Pd; Moh Syamsul Huda; Fetty Farkhati; Moh Imam Taufiq; Moh Iqbal Ariz Rizqi Maulana; keponakan dan kakak ipar (Nazwa Auliaturrahman dan Agus
Nasirudin); serta keluarga besar yang selalu memberikan doa, kasih sayang, dan dukungan baik fisik maupun non fisik. 6.
Teman terdekat saya Ramdhan Nurbianto, S.TP yang selalu memberikan bantuan, semangat, motivasi, dan doa selama penyusunan skripsi. Teman seperjuangan saya Rahayu Lestari, Gina Ginanjarsari, dan Junita Syahrini yang selalu bersedia berbagi kesulitan serta memberikan masukan, kritik, dan motivasi dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman IKK 43 (Siti Nurbayaniah, Oktavia Rattika Muladsih, Dinar Syafitri, Ina Yanuar, Fetty Karyatiwinangun, Suci Nurhayati, Tri Sapti Jayanti, Erika Herry, Simau) yang selalu dapat membantu dan saling memberikan semangat, motivasi, dan doa selama penyusunan skripsi serta kebersamaan yang indah selama masa perkuliahan. Agus Purwanto, S.Sos yang telah memotivasi dan membantu dalam proses uji coba kuesioner. Selain itu, Wahyu Gunawan, S.Kom, Abdul Azis (STIKOM Cirebon), Melinda Rakhmawati (MSL 44), dan Sherly Gustia Ningsih (THP 44) yang selalu bersedia membantu dan memotivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.
7.
Megawati Simanjuntak, S.P, M.Si, Delima Aruwan (opung), Helpina Nurayah Simanjuntak, Farhah Azizah Salsabila, dan Jihan Fathiyah Asilah yang telah memberikan bantuan, semangat, motivasi, kasih sayang, dan memberi warna dalam kehidupan penulis khususnya dalam proses penyelesaian skripsi ini.
8.
Terakhir, seluruh pihak, sahabat, kakak, adik, dan temen-teman yang juga selalu memberikan semangat, motivasi, dan doa selama penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
membutuhkan segala informasi yang terdapat didalamnya.
Bogor, Januari 2011
Ninik Nikmatul Khasanah
iv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang .......................................................................................... Tujuan Penelitian ...................................................................................... Kegunaan Penelitian .................................................................................
1 4 5
TINJAUAN PUSTAKA Bencana Alam di Indonesia ...................................................................... Keluarga Korban Bencana Alam .............................................................. Karakteristik Keluarga .............................................................................. Permasalahan Keluarga ............................................................................. Kelentingan Keluarga ............................................................................... Strategi Koping Keluarga.......................................................................... KERANGKA PEMIKIRAN ...........................................................................
6 9 10 15 20 23 30
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu ...................................................................... Jumlah dan Kriteria Contoh ..................................................................... Data dan Teknik Pengumpulan Data ........................................................ Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. Definisi Operasional ................................................................................
32 32 34 35 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian......................................................... Karakteristik Keluarga .............................................................................. Permasalahan Keluarga ............................................................................ Kelentingan Keluarga ............................................................................... Strategi Koping Keluarga ......................................................................... Perubahan Permasalahan Keluarga .......................................................... Perubahan Kelentingan Keluarga ............................................................. Hubungan antar Variabel Permasalahan Keluarga ................................... Hubungan antar Variabel Kelentingan Keluarga...................................... Hubungan antar Variabel Strategi Koping ............................................... Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Permasalahan Keluarga.................................................................................................... Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Kelentingan Keluarga.................................................................................................... Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Strategi Koping .......... Hubungan antara Permasalahan Keluarga dengan Kelentingan
42 45 52 58 65 73 74 75 77 77 78 79 80
v
Keluarga.................................................................................................... Hubungan antara Permasalahan Keluarga dengan Strategi Koping. ........ Hubungan Kelentingan Keluarga dengan Strategi Koping ...................... Pengaruh Karakteristik Keluarga, Permasalahan Keluarga, dan Kelentingan Keluarga terhadap Strategi Koping ...............................
81 82 84 85
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................... Saran .........................................................................................................
88 89
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
91
LAMPIRAN .....................................................................................................
98
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Peubah, skala, responden, alat dan alat pengukuran ...................................
34
2 Pengkategorian data penelitian ...................................................................
37
3 Sebaran penduduk berdasarkan sarana yang terdapat di Desa Banyuwangi ................................................................................................
44
4 Sebaran penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Banyuwangi ................................................................................................
44
5 Sebaran penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Banyuwangi ................................................................................................
45
6 Sebaran contoh berdasarkan usia suami-isteri ............................................
46
7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami dan isteri ..............
47
8 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan suami dan isteri ..................
47
9 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga .................................
48
10 Sebaran contoh berdasarkan aset yang dimiliki keluarga ...........................
49
11 Sebaran contoh berdasarkan nilai aset yang dimiliki keluarga ...................
50
12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita keluarga .....................
51
13 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan suami-isteri ...........................
51
14 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pangan ..........................
52
15 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah kesehatan ......................
53
16 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pendidikan ....................
54
17 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah tempat tinggal…….... ..
54
18 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pakaian..........................
55
19 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pekerjaan/pendapatan ..................................................................................
55
20 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah interaksi keluarga .......................................................................................................
56
21 Sebaran contoh berdasarkan kategori permasalahan keluarga total..............................................................................................................
57
22 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan sistem kepercayaan keluarga .......................................................................................................
59
23 Sebaran contoh berdasarkan kategori sistem kepercayaan keluarga .......................................................................................................
60
24 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan pola organisasi ............................
61
vii
25 Sebaran contoh berdasarkan kategori pola organisasi ................................
62
26 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan proses komunikasi ......................
63
27 Sebaran contoh berdasarkan kategori proses komunikasi...........................
64
28 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kelentingan keluarga .......................................................................................................
65
29 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada masalah........................................................................................................
67
30 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada masalah........................................................................................................
68
31 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada emosi ...........................................................................................................
71
32 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada emosi ...........................................................................................................
72
33 Sebaran contoh berdasarkan kategori strategi koping total.........................
72
34 Sebaran contoh berdasarkan perubahan permasalahan keluarga………….
73
35 Sebaran contoh berdasarkan perubahan tingkat kelentingan keluarga .......................................................................................................
74
36 Sebaran koefisien korelasi antar variabel permasalahan keluarga ..............
76
37 Sebaran koefisien korelasi antar variabel kelentingan keluarga .................
77
38 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan permasalahan keluarga ................................................................................
78
39 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan kelentingan keluarga ...................................................................................
79
40 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan strategi koping .............................................................................................
81
41 Sebaran koefisien korelasi permasalahan keluarga dengan kelentingan keluarga ...................................................................................
82
42 Sebaran koefisien korelasi permasalahan keluarga dengan strategi koping .............................................................................................
83
43 Sebaran kofisien korelasi kelentingan keluarga dengan strategi koping….
84
44 Pengaruh karakteristik keluarga, permasalahan keluarga, dan kelentingan keluarga terhadap strategi koping .....................................
87
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran ......................................................................................
31
2 Metode Penarikan Contoh .............................................................................
33
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil uji korelasi antar variabel permasalahan keluarga ...............................
98
2 Hasil uji korelasi antar variabel kelentingan keluarga ..................................
99
3 Hasil uji korelasi antar variabel strategi koping keluarga ............................. 100 4 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan permasalahan keluarga………………………………………………………………… ..... 101 5 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan tingkat kelentingan keluarga………………………………………………….. ....... 102 6 Hasil uji korelasi karakteristik keluarga dengan strategi koping... ............... 103 7 Hasil uji korelasi permasalahan keluarga dengan kelentingan keluarga………………………………………………………………… ..... 104 8 Hasil uji korelasi permasalahan keluarga dengan strategi koping.. .............. 105 9 Hasil uji korelasi kelentingan keluarga dengan strategi koping.................... 106
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perubahan kondisi iklim global di dunia yang terjadi dalam beberapa tahun ini merupakan sebab pemicu terjadinya berbagai bencana alam yang sering melanda Indonesia. Indonesia merupakan wilayah teritorial yang sangat rentan terhadap bencana alam karena cuaca, kondisi sosial, dan kondisi geografis Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa dan terletak pada tiga lempeng utama bumi yaitu Philipina, Pasifik, dan Australia yang menyebabkan Indonesia berpotensi terhadap tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, dan longsor. Bahkan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pembangunan juga menghasilkan banyak bencana seperti kebakaran kota dan hutan, polusi udara, kerusakan lingkungan, dan terorisme. Bencana alam di Indonesia yang terjadi terus silih berganti dan beruntun menyebabkan pemulihan daerah yang terkena bencana kurang tertangani bahkan tidak tertangani dengan baik. Selama tahun 2005, Indonesia mengalami musibah tanah longsor sebanyak 47 kali yang mengakibatkan 243 orang meninggal dunia. Musibah tersebut paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 39 kali longsor yang mengakibatkan 205 orang meninggal dunia, 490 rumah mengalami kerusakan, 114 rumah hancur, dan 758 rumah terancam (Surono 2008). Selama tiga tahun terakhir, di Provinsi Jawa Barat terdapat banyak desa yang terkena bencana alam baik di daerah pesisir maupun di non pesisir. Berdasarkan jenis bencana alam, tanah longsor terjadi di 1 610 desa; banjir 1 162 desa; banjir bandang 103 desa; gempa bumi 68 desa; gempa bumi disertai tsunami terjadi 28 desa; gelombang pasang laut 60 desa; angin puyuh/puting beliung 984 desa; gunung meletus sebanyak 1 desa; dan kebakaran hutan telah terjadi di 128 desa (BPS 2008). Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut sumberdaya air, sumberdaya alam, pemanfaatan lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya pesisir dan laut serta sumberdaya perekonomian. Secara geografis Jawa Barat terletak diantara Samudera Indonesia dan Selat Sunda. Hal tersebut merupakan salah satu faktor
2
yang menjadikan Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi yang sangat dinamis, strategis, dan rentan akan terjadinya bencana alam seperti longsor, banjir, gempa, dan angin puting beliung. Bencana muncul ketika ancaman alam (seperti gunung berapi) bertemu dengan masyarakat yang rentan (perkampungan di lereng gunung berapi) dan mempunyai kemampuan rendah atau tidak mempunyai kemampuan untuk menanggapi ancaman itu (tidak ada pelatihan atau pemahaman tentang gunung api atau tidak siap siaga). Gabungan keduanya menyebabkan terganggunya kehidupan masyarakat seperti kehancuran rumah, kerusakan harta benda serta korban jiwa (IDEP 2007). Menurut Sadisun (2007), bencana alam dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Korban jiwa manusia yang meninggal maupun cedera, runtuhnya bangunan-bangunan pemerintah dan swasta, rusaknya sarana prasarana, jaringan utilitas, dan infrastruktur serta kerugian moril yang tidak terhitung jumlahnya merupakan akibat yang timbul dari berbagai kejadian bencana tersebut. Laju pertumbuhan penduduk, tidak tertib, dan tidak tepatnya tata guna lahan adalah salah satu inti permasalahan dan penyebab meningkatnya kerentanan bencana. Keadaan tersebut akan menimbulkan permasalahan yang mengganggu kehidupan keluarga dan berdampak terhadap kehidupan masyarakat seperti kurangnya bahan pangan, pelayanan kesehatan terganggu, sarana pendidikan yang hancur, rumah yang rata dengan tanah, kehilangan aset, dan lapangan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pendapatan serta hilangnya anggota keluarga yang sangat dicintai sehingga menjadikan keluarga tertekan dan stres serta meningkatnya angka kemiskinan. Permasalahan tersebut dapat menjadikan keluarga merasa tertekan dan menyisakan rasa traumatis tersendiri. Utomo (1998) menjelaskan bahwa krisis ekonomi dan bencana alam mengganggu keseimbangan dan stabilitas ekonomi, memicu penurunan daya beli keluarga termasuk obatobatan, dan pelayanan kesehatan. Untuk mengatasi stres, traumatis, dan bangkit dari tekanan bencana alam, setiap keluarga diharapkan dapat lebih konsentrasi terhadap permasalahan yang dihadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Dalam menghadapi
3
permasalahan tersebut keluarga harus memiliki daya lenting yang tinggi dan mengembangkan strategi yang sesuai dengan situasi yang dihadapi dan biasa dikenal dengan strategi koping. Menurut Folkman & Lazarus (1984), strategi koping merupakan suatu perubahan dari suatu kondisi ke lainnya sebagai cara untuk menghadapi situasi tidak terduga, yang disebut sebagai sebuah proses dan Friedman (1998) mendefinisikan strategi koping sebagai respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan permasalahan atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu sehingga diharapkan keluarga mampu berperan secara efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut Sunarti (2010), faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial. Dalam memilih dan melakukan strategi koping untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, keluarga membutuhkan daya lenting yang tinggi untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi baik daya lenting individu maupun daya lenting keluarga. Tingkat kerentanan atau tingkat kelentingan dan ketangguhan berkaitan dengan kemampuan bangkit dari keterpurukan, persepsi terhadap stessor, kemampuan mengelola stres, kemampuan mengelola emosi yang berdampak secara negatif, dan strategi atau mekanisme koping yang dilakukan (Sunarti 2009). Kelentingan keluarga berhubungan dengan keluarga yang rentan dan bermasalah. Apabila keluarga mampu melakukan strategi koping dan mempunyai daya lenting yang tinggi, maka akan berdampak positif pada ketahanan keluarga. Menurut Luthar et al. (2000), diacu dalam Walsh (2002) kelentingan keluarga merupakan proses yang dinamis yang mencakup proses adaptasi yang positif dalam keadaan kesulitan atau terjadi kemalangan. Sedangkan menurut Walsh (2002) daya lenting keluarga terbentuk dari daya lenting individu yang baik. Daya lenting yang dimiliki keluarga semakin kuat maka diharapkan keluarga tersebut semakin tahan terhadap tekanan yang disebabkan oleh bencana alam. Untuk memperkuat daya lenting keluarga
4
dibutuhkan berbagai dukungan baik bersifat sosial ataupun bersifat pribadi, seperti keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu permasalahan apa saja yang dihadapi keluarga korban longsor, bagaimana kelentingan keluarga dan strategi koping yang dilakukan keluarga korban longsor?.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kelentingan keluarga dan strategi koping keluarga korban longsor.
Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, permasalahan keluarga, kelentingan keluarga, dan strategi koping yang dilakukan keluarga 2. Mengidentifikasi perubahan permasalahan yang dihadapi keluarga dan kelentingan keluarga 3. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan permasalahan keluarga, kelentingan keluarga, dan strategi koping 4. Menganalisis hubungan antara permasalahan keluarga dengan kelentingan keluarga dan strategi koping 5. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga, permasalahan keluarga, dan kelentingan keluarga terhadap strategi koping.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai dampak langsung yang dirasakan oleh korban bencana longsor seperti kehilangan harta benda, kerusakan rumah, dan fasilitas umum sesaat dan setelah terjadinya bencana longsor. Dampak yang terjadi, dapat berupa dampak psikologis yang dapat mengganggu kehidupan korban bencana longsor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang teori ilmu keluarga terutama yang berkaitan dengan kelentingan keluarga dan strategi koping keluarga dalam kondisi pasca krisis yang disebabkan oleh bencana
5
longsor, sebagai literatur untuk penelitian selanjutnya, dan sebagai sarana pengembangan dan perluasan pengetahuan peneliti. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan atau program dalam menanggulangi korban bencana longsor.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Bencana Alam di Indonesia Bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat sehingga menyebabkan korban jiwa serta kerugian yang meluas pada kehidupan manusia baik dari segi materi, ekonomi, maupun lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dampak bencana alam dengan menggunakan sumberdaya yang mereka miliki. Bencana juga merupakan sebuah peristiwa yang terjadi karena bertemunya ancaman dari luar terhadap kehidupan manusia dengan kerentanan, yaitu kondisi yang melemahkan masyarakat untuk menangani bencana yang dapat berdampak merugikan manusia dan lingkungan, dan tidak adanya kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya (IDEP 2007). Berdasarkan penyebab bahayanya, bencana dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu bencana alam, bencana sosial, dan bencana campuran. Bencana alam disebabkan oleh kejadian-kejadian alamiah seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan angin topan. Bencana sosial atau bencana buatan manusia, yaitu hasil dari tindakan langsung maupun tidak langsung manusia seperti perang, konflik sosial, terorisme, dan kegagalan teknologi. Bencana dapat terjadi karena alam dan manusia sekaligus yang dikenal sebagai bencana campuran atau kompleks, seperti banjir dan kekeringan. Sedangkan dilihat dari tempo kejadiannya, ancaman dapat terjadi secara mendadak dan berangsur-angsur. Contoh ancaman yang terjadi secara mendadak adalah gempa bumi, tsunami, dan banjir bandang, sedangkan ancaman yang berlangsung secara perlahan-lahan atau berangsur-angsur adalah banjir genangan, rayapan, kekeringan, dan ancaman yang terjadi musiman adalah banjir bandang (di musim hujan), kekeringan (di musim kemarau) dan suhu dingin. Faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya bencana adalah berada di lokasi berbahaya, kemiskinan, perpindahan penduduk dari desa ke kota, kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, pertambahan penduduk yang pesat, perubahan budaya, serta kurangnya informasi dan kesadaran (IDEP 2007).
7
Menurut BPPN (2006), bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh manusia (man-made disaster). Faktor-faktor penyebab terjadinya bencana antara lain: 1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards),
hazards), bahaya
bahaya
biologi
hidrometeorologi
(biologycal
hazards),
(hydrometeorological bahaya
teknologi
(technologycal hazards), dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation); 2. Kerentananan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kawasan beresiko bencana; dan 3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat. Pada tahun 2004 Indonesia mengalami berbagai bencana alam seperti tsunami, banjir, longsor, dan gempa. Tsunami di Aceh yang terjadi pada tahun 2004 mengakibatkan sekitar lebih dari 200 000 jiwa meninggal dan terhitung lebih dari 300 000 jiwa terlantar (Purwadianto 2006). Selama tahun 2005 Indonesia mengalami musibah tanah longsor sebanyak 47 kali yang mengakibatkan 243 orang meninggal dunia. Musibah tersebut paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 39 kali longsor yang mengakibatkan 205 orang meninggal dunia, 490 rumah mengalami kerusakan, 114 rumah hancur, dan 758 rumah terancam (Surono 2008). Selama tiga tahun terakhir, di Provinsi Jawa Barat terdapat banyak desa yang terkena bencana alam pada daerah pesisir dan non pesisir berdasarkan jenis bencana alam adalah tanah longsor sebanyak 1 610 desa; banjir sebanyak 1 162 desa; banjir bandang sebanyak 103 desa; gempa bumi sebanyak 68 desa; gempa bumi disertai tsunami sebanyak 28 desa; gelombang pasang laut sebanyak 60 desa; angin puyuh/puting beliung sebanyak 984 desa; gunung meletus sebanyak 1 desa; dan kebakaran hutan sebanyak 128 desa (BPS 2008). Data bencana dari BAKORNAS PB (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1 429 kejadian bencana, dimana bencana hidrometeorologi merupakan
8
bencana yang paling sering terjadi yaitu 53.3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (24.1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16%). Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi) hanya 6.4 persen, bencana ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar (BPPN 2006). Menurut Sadisun (2007), bencana alam dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Korban jiwa manusia yang meninggal maupun cedera, runtuhnya bangunan-bangunan pemerintah dan swasta, rusaknya sarana prasarana, jaringan utilitas dan infrastruktur serta kerugian moril yang tidak terhitung jumlahnya merupakan akibat yang timbul dari berbagai kejadian bencana tersebut. Laju pertumbuhan penduduk, tidak tertib, dan tidak tepatnya tata guna lahan adalah salah satu inti permasalahan dan penyebab meningkatnya kerentanan bencana. Menurut BPPN (2006), bencana dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi geografis, geologis, iklim, maupun faktor-faktor lain seperti keragaman sosial, budaya, dan politik. Besarnya kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran yang mengancam bangunan individual sampai dengan peristiwa tubrukan meteor besar. Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada di sana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan infrastrukturinfrastruktur untuk mendeteksi, mencegah dan menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup (Anonim 2009). Penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi, menghindari, dan memulihkan diri dari dampak bencana. Secara umum kegiatankegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah sebagai berikut:
9
pencegahan, pengurangan dampak bahaya, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), dan pembangunan berkelanjutan yang mengurangi resiko bencana (IDEP 2007).
Keluarga Korban Bencana Alam Lingkungan sosial yang paling dekat dengan manusia atau pribadi adalah keluarga. Keluarga adalah suatu satuan terkecil yang dipimpin oleh manusia sebagai makhluk sosial. Keluarga adalah instansi pertama yang memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri manusia terhadap pembentukan pribadi manusia (Soedarsono 1997). Keluarga korban bencana adalah keluarga yang tempat tinggal, harta bendanya rusak dan hilang terkena suatu bencana, dan menyisakan rasa traumatis tersendiri. Bencana yang terjadi menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan individu dan keluarga. Dampak sosial ekonomi yang diakibatkan oleh suatu bencana meliputi dampak makro ekonomi fiskal; mata pencaharian, pekerjaan dan penghasilan; serta dampak sosial (BNPB 2009). Bencana yang menyebabkan terganggunya mata pencaharian para buruh lepas (buruh tani atau buruh pabrik harian) berdampak terhadap ekonomi keluarga. Strategi ekonomi yang dilakukan keluarga hanya sebatas bertahan hidup “survival economic strategy” dan bersifat “tutup lubang gali lubang” (Sunarti 2009). Dampak bencana terhadap aspek sosial berhubungan dengan pola hubungan yang berubah karena kematian, perpisahan, pengisoliran, dan kehilangan (kehilangan status sosial, posisi serta peran dalam masyarakat), kerusakan nilai-nilai sosial dan rusaknya fasilitas serta terganggunya institusi yang bertanggung jawab memelihara modal sosial. Bencana juga berdampak pada aspek psikologis yaitu terjadinya perubahan kondisi emosi, tingkah laku, cara berfikir, kemampuan mengingat, kemampuan belajar, persepsi dan pemahaman seseorang. Dampak bencana terhadap aspek psikologis juga berkaitan dengan gangguan atau perubahan terhadap cara pandang dan kemampuan dalam memecahkan masalah sehingga rasa trauma dan kecemasan yang berkepanjangan tidak menyelimuti kehidupan keluarga. Sedangkan dampak bencana terhadap
10
aspek ekonomi adalah kehilangan dan kerusakan materi, serta kemampuan mencari nafkah (Sunarti 2010). Berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa bencana berdampak menembus kehidupan mikro di tingkat keluarga, mengganggu keberfungsian serta pencapaian kesejahteraan keluarga (Sunarti 2007). Dampak dari suatu bencana juga menimbulkan masalah psikososial. Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa, gangguan kehidupan, pengungsian, dan migrasi (Sunarti 2010).
Karakteristik Keluarga Usia. Usia merupakan salah satu faktor demografi yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam membuat keputusan, menerima segala sesuatu hal yang baru dan dapat mempengaruhi selera seseorang terhadap beberapa barang dan jasa (Kotler & Armstrong 2001). Usia orangtua yang muda akan relatif rentan terhadap adanya badai dan tantangan dalam kehidupan keluarga (Hastuti 2008). Pada usia dewasa muda (usia 21-41 tahun) dan dewasa madya (usia 49-60 tahun) adalah tahapan yang biasa terjadi stres dan masalah sehingga pada usia tersebut membutuhkan persiapan yang matang untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya (Gunarsa & Gunarsa 1991). Menurut Hultsch & Deutsh (1981), setiap tahapan usia menghadapi masa transisi dan masa krisis yang dapat diselesaikan sesuai dengan tahapan usia. Hayslip & Panek (1989), menyatakan bahwa persepsi antar individu terhadap permasalahan yang dihadapi memiliki perbedaan sebagaimana reaksi mereka dalam menghadapi permasalahan. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin besar kemungkinan individu untuk lebih mudah mengasumsikan suatu keadaan sebagai situasi yang penuh tekanan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik, sehingga usia merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan dan melakukan strategi koping. Berdasarkan hasil penelitian Firdaus & Sunarti (2009), terdapat hubungan antara tekanan ekonomi objektif dengan usia contoh, usia suami, dan pendidikan
11
suami. Pendidikan yang tinggi memungkinkan memiliki keterampilan yang lebih baik dan lebih dipandang sehingga lebih dipilih untuk mengisi kesempatan bekerja
manakala
terjadi
keterbatasan.
Usia
yang
semakin
meningkat
memungkinkan keluarga memiliki tabungan atau sebagian anak sudah mandiri sehingga masalah keuangan semakin berkurang. Terdapat hubungan positif antara pendidikan contoh dengan manajemen keuangan keluarga dan hubungan negatif antara usia contoh dengan mekanisme pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Semakin tinggi pendidikan contoh, memungkinkan contoh memiliki kemampuan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Usia contoh maupun suami yang semakin tinggi memungkinkan jumlah tanggungan yang semakin besar dan atau memungkinkan keluarga memiliki tabungan dan aset, dan atau semakin memantapkan pendapatan dan pengeluaran keluarga, sehingga tidak menunjukkan mekanisme koping yang dinamis. Lama dan Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis dan lamanya pendidikan formal atau non formal yang telah ditempuh. Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam diri seseorang yang akan mempengaruhi perilaku. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2000), tingkat pendidikan yang dicapai akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian seseorang. Menurut Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Hardinsyah (1987) Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Keterbatasan pengetahuan karena rendahnya pendidikan berpengaruh terhadap tingkah laku anggota keluarga dalam memilih kebutuhan dan dalam membuat keputusan. Menurut Pearlin & Schooler (1976), diacu dalam Furi (2006), individu yang berpendidikan tinggi pada umumnya lebih positif dalam menghadapi situasi dan bersikap lebih percaya mengatasi permasalahannya dengan perilaku yang berpusat pada masalah, sedangkan menurut Billing & Moss (1981), diacu dalam Furi (2006) seseorang dengan pendidikan yang lebih rendah lebih percaya pada perilaku yang berpusat pada emosi. Strategi koping yang dilakukan dalam sebuah
12
keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998). Lama pendidikan diukur berdasarkan program wajib belajar sembilan tahun. Berdasarkan UU No 2/1989 (Pasal 3 jo. Pasal 13) dan PP No 28/1990 (Pasal 1 jo. Pasal 3), esensi dan ciri-ciri pendidikan dasar (Suwarso 1993) yaitu: 1. Pendidikan
dasar
merupakan
pendidikan
umum,
artinya
merupakan
pendidikan minimum yang berlaku untuk semua negara; 2. Pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun; 3. Pendidikan dasar tidak bersifat uniform; 4. Pendidikan dasar diselenggarakan dijalur sekolah pada berbagai jenis dan satuan pendidikan; 5. Lulusan pendidikan dasar adalah setara; dan 6. Tujuan pendidikan dasar adalah menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang menengah dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna di masyarakat. Menurut
Sunarti
(2007),
pendidikan
seseorang
menentukan
kemampuannya dalam mengembangkan meknisme koping dalam menghadapi situasi darurat karena bencana. Menurut Sunarti (2001), lama pendidikan sembilan tahun digunakan sebagai batasan wajib belajar karena dianggap dapat memberikan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan minimal bagi seseorang untuk menjalankan kehidupannnya. Besar Keluarga. Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Berdasarkan jumlah atau besar keluarga, keluarga dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: keluarga kecil (kurang dari sama dengan 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (lebih dari sama dengan 8 orang) (BKKBN
1996).
Besar
jumlah
keluarga
akan
berpengaruh
terhadap
pendistribusian konsumsi makanan antar anggota keluarga. Terutama pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan makanan akan lebih mudah jika diberi makan dengan jumlah yang sedikit (Suhardjo 1989). Penelitian pada keluarga miskin di beberapa wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga yang jumlah
13
anggotanya besar akan menghadapi resiko yang lebih besar menderita kekurangan gizi, hal ini disebabkan oleh jumlah makanan yang dimakan keluarga besar dan miskin cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan yang dimakan keluarga kecil dengan tingkat pendapatan yang sama (Eckholm & Newland, diacu dalam Hardinsyah 1985). Selain itu keluarga dengan jumlah anak terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok keluarga, sehingga kondisi ini pada akhirnya akan memperbesar tingkat stres (Pulungan 1993, diacu dalam Cahyaningsih 1999). Sumarwan (2002), menyatakan bahwa pendapatan per kapita dan belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota yang lebih besar akan mengkonsumsi pangan dengan jumlah lebih banyak dibandingkan keluarga dengan jumlah anggota yang lebih sedikit. Kepemilikan Aset. Sumberdaya merupakan suatu sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya aset adalah sesuatu apapun yang dimiliki keluarga atau yang dapat diakses keluarga, dan memiliki nilai tukar yang dapat mendorong keluarga untuk mencapai tujuannya. Aset tersebut dapat berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986, diacu dalam Nuryani 2007). Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980). Sumberdaya berdasarkan jenisnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan materi. Sumberdaya manusia memiliki dua ciri, yaitu pribadi/personal dan interpersonal, sedangkan sumberdaya materi terdiri atas benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya dalam keluarga adalah berupa aset/harta kekayaan yang dimiliki keluarga. Sedangkan menurut Bryant (1990), aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki aset yang banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas.
14
Pendapatan Per Kapita. Pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005). Menurut Roedjito (1986), keluarga yang berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Suhardjo (1989), mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Pendapatan keluarga mempunyai pengaruh paling besar terhadap analisis kategori pengeluaran. Sumber penghasilan rumah tangga berupa pendapatan yang digunakan untuk membeli dan memproduksi barang dan jasa yang dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumah tangga. Pada kondisi pendapatan terbatas, rumah tangga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan dialokasikan untuk konsumsi makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan dan berjalannya waktu akan terjadi pergeseran, yaitu porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan menuju peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang bukan makanan (BPS 2003). Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan merupakan indikator yang baik, bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang. Melainkan terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka orang tersebut semakin bebas memilih dan bergerak. Oleh karena itu, pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap kekuatan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting & Penny 1984, diacu dalam Nuryani 2007). Pekerjaan. Salah satu indikator dari pendapatan yang diperoleh suatu keluarga setiap bulannya adalah dilihat dari jenis pekerjaannya (Kumari 2001). Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh atau membantu penghasilan (Kusumaningsih 2007). Sedangkan menurut BPS (1998), bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan
15
harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus, termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam usaha atau kegiatan ekonomi. Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Menurut Khomsan (2007), adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatan setiap bulannya. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap maka pendapatan keluarga setiap bulannya tidak dapat dipastikan. Menurut Engel et al. (1994), pekerjaan merupakan indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial.
Permasalahan Keluarga Pangan. Dari studi pemantapan SIDI (Sistem Syarat Dini dan Intervensi) diketahui bahwa golongan masyarakat yang selalu mengalami rawan konsumsi pangan adalah mereka yang tergolong dalam masyarakat ekonomi rendah. Hal ini berkaitan erat dengan daya beli masyarakat (Karyadi & Susanto 1996). Walaupun kekurangan daya beli merupakan hal yang utama namun sebagian kasus kekurangan gizi dapat diatasi dengan adanya pengetahuan gizi yang baik dari ibu karena pengetahuan gizi merupakan landasan utama dalam menentukan konsumsi pangan keluarga (Soetjiningsih 1995). Kesehatan. Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan (Anonim 2010). Menurut pernyataan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), kesehatan adalah keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara lengkap dan bukan hanya sekedar tidak mengidap penyakit atau kelemahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah kondisi sosial (10%); kondisi medis (8%); kondisi iklim (7%); faktor keturunan (15%); dan gaya hidup (60%) (Bambang 2010). Pendidikan. Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan anak yang dicapai oleh
16
orangtua akan menentukan cara, pola dan kerangka berfikir, serta persepsi pemahaman kepribadiannya. Orangtua yang berpendidikan tinggi akan tetap mengedepankan pendidikan anak-anaknya dalam kondisi apapun. Menurut Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Menurut Hardinsyah (1987), seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Tempat Tinggal. Rumah adalah tempat dimana keluarga dapat bersatu dan merasa satu kesatuan. Menurut BPS (1997) rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung tapi juga berfungsi sebagai tempat tinggal. Oleh karena itu aspek kesehatan dan kenyamanan bahkan estetika bagi sekelompok masyarakat tertentu sangat menentukan dalam pemilihan rumah tinggal dan berkaitan dengan kesejahteraan penghuninya. Menurut BNPB (2009), rumah merupakan aset penting bagi individu dan keluarga, tempat sebagian besar dimensi kehidupan manusia berlangsung. Rumah juga menunjukkan status sosial ekonomi seseorang/keluarga di lingkungan masyarakat, merupakan hasil usaha yang dilakukan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Rusaknya rumah akibat gempa bumi akan berdampak terhadap ekonomi keluarga dan mempengaruhi arah serta prioritas pengambilan keputusan keluarga. Diperlukan waktu lama untuk memulihkan keadaan keluarga dan dalam rentang waktu tersebut maka akan terjadi penurunan kualitas kehidupan keluarga. Menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunya keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan akan menimbulkan permasalahan kesehatan. Timbulnya permasalahan kesehatan di dalam lingkungan pemukiman rumah disebabkan karena orang belum sepaham tentang fungsi suatu rumah. Apakah rumah sekedar berfungsi untuk bernaung saja ataukah untuk istirahat total (jasmaniah, rohaniah, dan sosial), ataukah untuk membesarkan anak, atau juga tempat belajar dan tempat usaha. Ada yang dapat tinggal di rumah yang sekedar berbentuk naungan dari panas dan hujan seperti di sepanjang rel kereta api yang bersandar pada dinding rumah dan lain-lainnya. Ada pula rumah yang bentuknya sangat mewah. Organisasi kesehatan sedunia
17
mendefinisikan rumah sebagai: “rumah adalah tempat untuk tumbuh dan berkembang baik secara jasmani, rohani, dan sosial”. Keadaan rumah yang layak adalah rumah dengan struktur bangunan yang tidak membahayakan penghuninya, ventilasi yang cukup, pencahayaan yang cukup, dan tidak sesak. Menurut Sukarni (1989), bangunan perumahan, luas lantai, dan ventilasi sangat mempengaruhi penularan penyakit terutama penyakit saluran pernafasan seperti TBC dan batuk rejan. Jenis lantai, atap dinding, dan jendela mempengaruhi pula perlindungan para penghuninya terhadap dingin, panas, dan hujan. Rumah sehat harus memiliki syarat sebagai berikut: 1. Memenuhi kebutuhan fisiologis • Suhu ruangan tidak banyak berubah, berkisar antara 18-20 °C. suhu ruangan tergantung pada suhu udara luar, pergeseran udara, kelembaban udara, dan suhu benda disekitarnya • Cukup mendapat penerangan (sinar), siang maupun malam, terutama pada pagi hari cukup sinar matahari • Cukup terjadi pertukaran hawa (ventilasi), sehingga ruangan tetap segar karena cukup oksigen. Cukup mempunyai jendela yang luas keseluruhan ± 15% dari luas lantai dan jendela harus sering dibuka • Cukup mempunyai isolasi suara, yaitu dinding kedap suara, baik dari luar maupun dalam. Sebaiknya jauh dari sumber kegaduhan suara, seperti pabrik, kereta api, lapangan terbang, pasar, sekolah, dan lainnya. 2. Memenuhi kebutuhan psikologis • Cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan • Adanya jaminan kebebasan setiap anggota keluarga • Ruangan bagi anggota keluarga yang telah dewasa harus sendiri-sendiri sehingga tidak terganggu privacynya • Harus ada tempat keluarga berkumpul • Harus ada ruang tamu untuk kehidupan bermasyarakat. 3. Menghindari terjadinya kecelakaan • Konstruksi dan bahan bangunan harus kuat • Tidak mudah terbakar • Terdapat alat pemadam kebakaran
18
• Terdapat sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di susia, kolam, dan lainnya terutama untuk anak-anak. 4. Menghindari terjadinya penyakit • Terdapat sumber air yang sehat, cukup kualitas, dan kuantitas • Terdapat tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik • Dapat mencegah perkembangbiakan vektor penyakit • Cukup luas, dimana kamar mandi ± 5 m2/kapita/luas lantai, luas ruangan per orang dikatakan kurang jika < 7 m2/orang, cukup jika antara 7-10 m2/orang, dan baik jika > 10 m2/orang. Pakaian. Pakaian (sandang) adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping makanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Pakaian berfungsi untuk melindungi anggota tubuh dari terik matahari dan penyakit. Selain berfungsi menutup tubuh, pakaian juga dapat merupakan pernyataan lambang status seseorang dalam masyarakat (Anonim 2007). Fungsi pakaian dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain aspek biologis, psikologis, dan sosial. Fungsi pakaian ditinjau dari aspek biologis adalah untuk melindungi tubuh dari cuaca, sinar matahari, debu, gangguan binatang, melindungi tubuh dari benda-benda lain yang membahayakan kulit, dan untuk menutupi atau menyamarkan kekurangan dari si pemakai. Ditinjau dari aspek psikologis, fungsi pakaian adalah dapat menambah keyakinan dan rasa percaya diri; dan dapat memberi rasa nyaman. Sedangkan fungsi pakaian dari aspek sosial adalah untuk menutupi aurat atau memenuhi syarat kesusilaan; menggambarkan adat atau budaya suatu daerah; sebagai media informasi bagi suatu instansi atau lembaga; dan sebagai media komunikasi non verbal (Anonim 2010). Pendapatan/Pekerjaan.
Menurut
Hardinsyah
(1997),
pendapatan
keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Diduga terdapat hubungan positif antara pekerjaan dengan pendapatan. Pekerjaan yang mapan dan terjamin maka pendapatan keluarga akan tetap terjamin sehingga dapat memenuhi
19
kebutuhan keluarga. Namun jika terjadi hambatan dalam pekerjaan seperti terjadi bencana alam dan pemutusan hubungan kerja maka pendapatan keluargapun akan berkurang dan sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Interaksi Keluarga. Hubungan yang terjadi dalam keluarga dapat dilihat dengan menggunakan konsep interakasionalisme melalui konsep interaksi dan dampak yang ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga dapat dilihat dari hubungan suami dan isteri, hubungan orangtua dan anak, hubungan antar saudara (siblings), dan dapat ditambahkan hubungan antargenerasi (Suleman 1999, diacu dalam Setioningsih 2010). Interaksi manusia pertama kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga. Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan setiap hari di rumah mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitawati 2006). Dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat yang tinggal satu rumah. Pada dasarnya hubungan orangtua dan anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat mempengaruhi hubungan keluarga dan keluarga cenderung akan bertahan. Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995, diacu dalam Kunarti 2004). Selain itu, menurut Saxton (1990) terdapat pula interaksi pasangan yang dikonsepkan ke dalam tiga komponen dasar yaitu kesesuaian dalam persepsi peran, timbal balik peran, dan kesetaraan fungsi peran. Menurut Susanto & Sunario (1995), semakin rentannya keluarga dan permasalahan yang dihadapi keluarga disebabkan karena semakin lemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga fungsi keluarga semakin pudar dalam melindungi anggota keluarga dari pengaruh dan ancaman dari luar keluarga. Pengaruh dari luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi globalisasi.
20
Menurut Dagun (1990), diacu dalam Mutyahara (2005) keintiman diantara anggota keluarga akan sangat mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama maka keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota keluarga. Menurut Sunarti (2010), gempa bumi yang korban rasakan berpengaruh terhadap hubungan suami isteri dan keluarga. Sebagian contoh merasa menjadi lebih harmonis dan dekat dengan suami dan keluarga, namun terdapat pula ibu yang merasa suaminya menjadi lebih mudah marah, malas bekerja, dan kurang perhatian dibandingkan sebelum gempa.
Kelentingan Keluarga Definisi kelentingan adalah sebuah proses dinamis untuk bertahan dari kesengsaraan secara signifikan serta kemampuan untuk beradaptasi secara positif. Kunci dari konsep kelentingan keluarga terdiri dari proses dinamis untuk beradaptasi dan menghadapi resiko (Walsh 2002). Menurut McCubbin & Thompson (1987), diacu dalam Sunarti (2010) bahwa kelentingan merupakan salah satu faktor yang berinteraksi dengan strategi koping dan menjadi bagian dalam manajemen stres keluarga. Kelentingan keluarga merupakan bagian dari ketahanan keluarga yang dapat menentukan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga adalah suatu kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki keluarga dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan masalah dan stres (Krysan, Moore, & Zill, diacu dalam Sunarti 2001). Kelentingan keluarga merupakan proses yang dinamis yang mencakup proses adaptasi yang positif dalam keadaan kesulitan atau terjadi kemalangan (Luthar et al. 2000, diacu dalam Walsh 2002). Cara atau upaya untuk mengembangkan
kelentingan
keluarga
adalah
dengan
meningkatkan
keberfungsian dan kesejahteraan keluarga dengan mencegah anggota keluarga dari berbagai keadaan krisis yang dapat mengancam kestabilan keluarga.
21
Kelentingan keluarga dapat dipandang sebagai upaya untuk bertahan dalam keadaan krisis dan kembali kepada keadaan semula pada saat terjadinya kemalangan atau krisis. Dalam keadaan yang demikian, keluarga dapat mengatur dan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki keluarga (Walsh 2002). Hasil penelitian ditemukan bahwa pengelolaan sumberdaya keluarga pada kondisi kemalangan yang sama dapat menghasilkan respon dan hasil berbeda (Kaufman & Ziegler, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan keluarga dapat dilihat pada hubungan dan pengaruh suatu resiko dan proses yang terjaga sepanjang waktu, keterlibatan diri, keluarga, dan besarnya pengaruh sosial budaya (Garmezy 1991; Masten, Best, dan Garmezy 1990; Rutter 1987; Werner 1993, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan keluarga juga dapat dilihat dari sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi, dan proses komuniksai. Sistem kepercayaan keluarga mencakup pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran, dan spiritual. Pola organisasi mencakup fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial, dan ekonomi. Adapun proses komunikasi mencakup kejelasan, ekspresi emosi secara terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah (Walsh 2002). Sistem kepercayaan keluarga adalah kepercayaan bersama terhadap keluarga yang dapat membantu seseorang untuk memaknai krisis atau permasalahan yang dihadapi dengan memberikan perasaan yang positif, memiliki harapan yang tinggi, mengembangkan dan mengaplikasikan nilai yang terdapat dalam keluarga, serta meningkatkan tujuan spiritual untuk mengurangi tekanan dan menyelesaikan masalah (Antonovsky & Sourani 1988, diacu dalam Walsh 2002). Pola organisasi dapat dilakukan melalui struktur yang fleksibel, kepemimpinan bersama, saling mendukung, dan kerjasama dalam menghadapi keadaan krisis atau kemalangan (Walsh 2002). Komunikasi dikatakan efektif apabila tujuan komunikasi sudah terpenuhi dan pesan yang disampaikan dan diterima sama. Salah satu bentuk komunikasi adalah pengungkapan diri. Pengungkapan diri adalah salah satu memberikan informasi diri kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain memahami apa yang sedang dirasakan oleh seseorang (Yuhaeni et al. 2006). Ketahanan merupakan bawaan atau sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang dianggap tahan terhadap stes karena batin dan tetap tabah dalam menghadapi
22
keadaan stes tersebut (Anthony & Cohler 1987, diacu dalam Walsh 2002). Kehidupan krisis atau kemalangan yang menekan dan berkelanjutan dapat berpengaruh pada fungsi sistem keluarga terutama seluruh anggota keluarga dan hubungan yang diciptakan mereka. Proses tersebut membutuhkan adaptasi untuk dapat menghadapi kesulitan atau kemalangan yang dihadapi keluarga (McCubbin, McCubbin, McCubbin, dan Futrell 1998; McCubbin, McCubbin, Thompson, dan Fromer 1998, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan menurut Carmin (2005) adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan, mengurangi, atau mencegah diri dari sebuah kerusakan. Kelentingan sosial adalah suatu kemampuan dari kelompok dan komunitas sosial untuk pulih dan merespon positif saat terjadi krisis (Almedom 2005; Landau dan Saul 2004; Omand 2005, diacu dalam Maguire & Hagan 2007). Kelentingan pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Kelentingan termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006). Kelentingan mencerminkan keseriusan dalam mengembangkan kemampuan psikis pada sistem manusia untuk merespon dan kembali dari kejadian yang ekstrim. Sistem kelentingan mengurangi kemungkinan dan konsekuensi dari kegagalan seperti kematian dan luka, kerusakan fisik, dan ekonomi negatif serta efek sosial; dan waktu untuk kembali (Tierny & Bruneau 2007). Menurut Walsh (1999), dorongan anggota keluarga dengan mengambil tindakan inisiatif untuk keluar dari kemalangan merupakan kekuatan untuk mempertahankan keadaan keluarga dan dapat membantu mengembalikan keadaan keluarga dalam keadaan normal kembali. Menurut Sunarti (2010), terdapat dua syarat untuk mengidentifikasi kelentingan, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam component manner).
23
Strategi Koping Pada umumnya saat kondisi stres individu melakukan upaya penyesuaian diri (adaptasi). Strategi koping mengacu pada usaha spesifik baik dalam hal tingkah laku maupun psikologis yang digunakan untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, dan meminimalisasi keadaan yang membuat seseorang tertekan (Taylor 1991, diacu dalam Smet 1994). Menurut Sunarti (2008), strategi penanggulangan mengacu pada usaha individu untuk memenuhi permintaan (kondisi kehangatan, ancaman, dan tantangan) yang dinilai (diterima) melebihi dari sumberdayanya. Setiap manusia memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dimana faktor utamanya adalah kerentanan (vulnerability) atau kebalikannya yaitu kelentingan (resilience) individu, keluarga, dan masyarakat. Tingkat kerentanan atau tingkat kelentingan dan ketangguhan berkaitan dengan kemampuan bangkit dari keterpurukan, persepsi terhadap stessor, kemampuan mengelola stres, kemampuan mengelola emosi yang berdampak secara negatif, dan strategi atau mekanisme koping yang dilakukan (Sunarti 2009). Menurut Sunarti (2010), faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial. Berdasarkan hasil penelitian Sunarti et al. (2009), strategi yang dilakukan oleh keluarga ketika kerentanan terjadi adalah dengan mengurangi kuantitas dan kualitas pangan (32.22%); menjalani hari-hari tanpa makan (13.33%); mengurangi frekuensi makan per hari (23.33%); membeli makanan yang lebih murah (42.22%); mengurangi pembelian pangan hewani (32.22%); mengubah prioritas pembelian pangan (34.44%); membagi lebih sedikit pangan (35.56%); mengurangi jumlah pangan yang dikonsumsi (37.78%); membeli pangan dengan berhutang (36.67%); merubah distribusi makan (38.89%); menggadaikan aset untuk memenuhi kebutuhan pangan (31.11%); meminjam uang ke keluarga, tetangga, atau teman untuk membeli pangan (61.11%); dan mencari tambahan
24
pendapatan untuk pangan di luar pekerjaan utama (42.22%). Faktor-faktor yang menggambarkan variabel perilaku koping adalah faktor perilaku koping dalam pemenuhan pangan dan perilaku koping dalam aset. Semakin tinggi skor faktor (pemenuhan pangan dan aset) maka semakin tinggi strategi perilaku koping yang dilakukan keluarga. Pearlin & Schooler (1978;1982), diacu dalam Puspitawati (1992), mendefinisakan koping sebagai tingkah laku yang melindungi seseorang dari pengalamannya akibat dari psikologis yang merugikan. Sedangkan menurut Mc Cubbin et al. (1975), koping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga peningkatan kebebasan dan penghargaan pada diri kita sendiri, mempertahankan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian keseimbangan dalam sistem keluarga. Selain itu, menurut Folkman & Lazarus (1984), strategi koping merupakan suatu perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lainnya sebagai cara untuk menghadapi situasi yang tidak terduga di mana secara empirical disebut sebagai sebuah proses dan Friedman (1998) mendefinisikan koping keluarga sebagai respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu. Sedangkan menurut McElroy & Townsend (1985), diacu dalam Smet (1994), salah satu aspek kunci dari koping adalah upaya individu untuk menerima kenyataan dan mengenalisir ketidakpuasan. Dengan kata lain, koping merupakan salah satu usaha untuk berpikir positif dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menyenangkan, sehingga pada akhirnya mampu menciptakan harapan baru yang lebih nyata. Strategi koping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasakan menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya yang dimiliki. Menurut Fabella (1993), untuk mengurangi atau menghilangkan stres individu melakukan penyesuaian (coping behavior). Apabila berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostatis, tetapi jika tidak berhasil maka individu akan kembali pada keadaan stres lagi bahkan kemungkinan stres itu akan bertambah besar. Jika individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus
25
berbuat apa dalam menghadapi stres maka akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang dapat mengarah pada timbulnya gejala psikoneurosis gangguan kejiwaan. Menurut Cooper & Payne (1991), dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, individu tidak hanya melakukan satu strategi koping saja melainkan melakukan beberapa strategi koping yang dianggap tepat dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan dirinya sendiri. Berdasarkan penelitian antara pengaruh putus asa dengan keadaan tidak berdaya menunjukkan bahwa keadaan tidak berdaya memainkan peranan penting dalam etiologi depresi tetapi harapan dapat tumbuh cepat bahkan dalam situasi tidak berdaya total (Breznitz, diacu dalam Appley & Trumbul 1986, diacu dalam Sunarti 2008). Menurut Lazarus (1984), terdapat dua pola strategi koping yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Jenis koping yang digunakan dan bagaimana dampaknya, sangat tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi. Keberhasilan atau kegagalan dari koping yang digunakan akan menentukan apakah reaksi akan menurun dan terpenuhinya berbagai tuntutan yang diharapkan. Koping Fokus Pada Masalah (Problem Focused Coping) Problem focused coping adalah strategi bertahan yang berorientasi terhadap pemecahan masalah dengan mengubah perilaku atau lingkungannya dan melihat hubungan-hubungan yang terjadi. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem (2000), problem focused coping adalah salah satu bentuk strategi koping untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, mempertimbangkan alternatif terkait dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu alternatif, dan mengimplementasikan alternatif yang dipilih. Menurut Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994) problem focused coping dilakukan dengan cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru untuk mengurangi tekanan akibat stesor. Hasil penelitian Ninno et al. (1998), strategi koping yang dilakukan rumah tangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir di Bangladesh adalah dengan menggunakan problem focused coping yaitu melakukan pinjaman dari bank, membeli makanan
26
dengan kredit, mengubah perilaku makan dan menjual aset yang masih dimiliki. Jenis strategi koping yang akan dilakukan seseorang, jika merasa yakin strategi koping yang akan dilakukan dapat mengubah dan menyelesaiakan situasi atau permasalahan yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984) problem focused coping adalah tindakan yang diambil seseorang untuk memecahkan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Untuk permasalahan yang masih dapat dikontrol dan diselesaikan, seseorang akan cenderung melakukan koping ini. Koping fokus pada masalah terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Planful problem solving adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan melakukan upaya tertentu untuk merubah keadaan, disertai dengan pendekatan analitis dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan bekerja keras penuh dengan konsentrasi dan membuat perencanaan yang cukup baik serta mampu merubah gaya hidupnya supaya permasalahan yang dihadapi dapat terselesaikan secara perlahan-lahan; 2. Confrontative coping adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan merubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, koping ini akan dilakukan seseorang dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang ada walaupun akan mengalami resiko yang cukup besar, dan; 3. Seeking social support adalah seseorang yang melakukan koping ini akan mencari dukungan dari pihak luar (informasi, bantuan nyata, dan dukungan secara emosi). Seseorang yang melakukan koping ini akan cenderung untuk mencari bantuan fisik ataupun non fisik dari orang lain selain keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan, dan profesional untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada kegiatan pendampingan psikososial ekonomi pasca gempa bumi di Jawa Barat (Bandung, Tasikmalaya, Garut, dan Ciamis) menimbulkan gangguan terhadap kehidupan keluarga akibat bencana, khususnya gangguan ekonomi, menyebabkan keluarga melakukan strategi koping berupa adaptasi dan
27
penyesuaian-penyesuaian, salah satunya dalam pengeluaran keluarga untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Strategi koping yang dilakukan keluarga korban gempa di Provinsi Jawa Barat 2009 terhadap pemenuhan pangan adalah mengurangi kualitas pangan yang dibeli/dikonsumsi dan membeli pangan dengan cara
berhutang;
mengurangi
keragaman
pangan
yang dikonsumsi
dan
mengutamakan makanan untuk anak terlebih dahulu; dan mengurangi porsi makan untuk mengurangi pengeluaran pangan keluarga (Sunarti 2010). Menurut Lazarus & Folkman (1984), perilaku koping pangan yang dilakukan keluarga korban bencana adalah strategi koping yang mengacu kepada penyelesaian masalah. Koping Fokus Pada Emosi (Emotional Focused Coping) Emotional focused coping adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emosi negatif yang timbul dari masalah atau tekanan yang dihadapi (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem 2000). Menurut Rice (1999), koping fokus pada emosi adalah upaya yang dilakukan individu dengan mencoba mengontrol dan melepaskan perasaan negatif (frustasi, kemarahan, dan katakutan) yang disebabkan oleh suatu kejadian. Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994), mengatakan bahwa emotional focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Perilaku ini dilakukan jika individu merasa tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi situasi tersebut. Hasil penelitian Ninno et al. (1998), menunjukkan bahwa strategi ini dilakukan rumah tangga untuk mengatasi masalah pangan akibat banjir besar di Bangladesh dengan perilaku pasrah menerima yang telah terjadi, berdoa dan mengharapkan bantuan, simpati dan belas kasihan dari masyarakat dan pemerintah. Menurut Lazarus & Folkman (1984), emotional focused coping adalah usaha-usaha yang dilakukan seseorang untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stesor secara langsung dan cenderung dilakukan jika seseorang tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi. Koping fokus pada emosi terbagi menjadi lima, yaitu:
28
1. Positive reappraisal adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menciptakan situasi dan makna yang positif dari suatu kejadian untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religious. Seseorang yang melakukan koping ini cenderung untuk berfikir positif dan mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi dan tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih dimilikinya saat ini; 2. Accepting responsibility adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi
dengan
menumbuhkan
kesadaran
akan
peran
diri
dalam
permasalahan yang dihadapi dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Seseorang yang melakukan koping ini akan menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagaimana mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami; 3. Self controlling adalah seseorang yang melakukan koping ini akan melakukan pengaturan diri baik dalam perasaan maupun tindakan. Seseorang yang melakukan koping ini akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan dan menghindari tindakan yang dilakukan secara tergesa-gesa untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi; 4. Distanction adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menjaga jarak agar tidak terbelenggu oleh permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dalam menyelesaikan masalah; dan 5. Escape avoidance adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menghindar dari permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang, dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain dalam menyelesaikan masalah. Fitasari (2004), dalam penelitiannya mengenai strategi keluarga miskin dalam pemenuhan kebutuhan hidup, gizi balita, dan tingkat kepuasan keluarga menunjukkan bahwa strategi yang dilakukan oleh keluarga adalah dengan
29
penghematan hidup dan penambahan pendapatan. Namun strategi penghematan merupakan strategi mayor (utama) yang dilakukan keluarga miskin yang membuktikan pengaruhnya terhadap penurunan konflik keluarga dan peningkatan pencapaian output dan tingkat kepuasan keluarga. Faktor pendapatan keluarga dan strategi penghematan merupakan faktor-faktor yang sangat penting dalam menentukan konflik keluarga dan tingkat kepuasan terhadap output keluarga. Untuk itu strategi keluarga merupakan kunci yang sangat penting dalam membantu keluarga dalam mengatasi permasalahan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan
hasil
konsultasi
dan
penyuluhan
keluarga
kegiatan
pendampingan psikososial ekonomi pasca gempa bumi Jawa Barat (Bandung, Tasikmalaya, Garut, dan Ciamis), diperoleh informasi tentang cara contoh dalam mengatasi permasalahan keluarga yang menyangkut aspek psikososial dan ekonomi. Setelah terjadinya gempa, masyarakat merasa lebih sabar dan tawakal serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka merasa lebih ikhlas dalam menghadapi cobaan hidup
serta menyerahkan semua kepada Tuhan. Mereka
berpendapat bahwa setiap cobaan pasti terdapat jalan keluar. Cara lain yang dilakukan sebagian besar ibu-ibu untuk mengurangi rasa cemas adalah dengan berkumpul keluarga dan tetangga sehingga bisa saling menguatkan satu sama lain, membangun kebersamaan, dan menjalin kedekatan antar korban bencana. Strategi koping pada korban bencana menunjukkan bahwa korban lebih banyak melakukan strategi koping fokus pada emosi. Hal tersebut menunjukkan terbatasnya akses dan kesempatan untuk melakukan strategi koping yang berfokus pada masalah (Sunarti 2010).
30
KERANGKA PEMIKIRAN
Bencana alam yang terjadi di Indonesia memunculkan berbagai permasalahan yang dihadapi keluarga seperti pangan, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pakaian, pendapatan, dan pekerjaan yang mendorong keluarga untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga. Apabila sumberdaya yang dimiliki keluarga sangat terbatas maka permasalahan yang dihadapi akan sulit untuk diselesaikan sehingga dapat mempengaruhi ketahanan keluarga dan akan menimbulkan stres. Stres yang dihadapi keluarga dapat berupa stes fisik, perilaku, dan kognitif. Keadaan seperti ini secara alami akan mendorong keluarga untuk melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi yang kemudian disebut strategi koping. Kelentingan keluarga dan strategi koping yang dilakukan keluarga akan sangat menentukan ketahanan suatu keluarga. Salah satu bagian ketahanan keluarga adalah daya lenting dari individu maupun keluarga. Daya lenting keluarga terbentuk dari daya lenting individu yang baik. Daya lenting yang dimiliki keluarga semakin kuat maka diharapkan keluarga tersebut semakin tahan terhadap tekanan yang disebabkan oleh bencana alam. Menurut Sunarti (2009), tingkat kerentanan atau tingkat kelentingan dan ketangguhan berkaitan dengan kemampuan bangkit dari keterpurukan, persepsi terhadap stessor, kemampuan mengelola stres, kemampuan mengelola emosi yang berdampak secara negatif, dan strategi atau mekanisme koping yang dilakukan. Tingkat kelentingan keluarga dapat dilihat dari sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga (Walsh 2002). Setiap manusia memiliki reaksi dan strategi koping yang berbeda-beda dalam menghadapi permasalahan. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dimana faktor utamanya adalah kerentanan (vulnerability) atau kebalikannya yaitu kelentingan (resilience) individu, keluarga, dan masyarakat (Sunarti 2009). Menurut Lazarus & Folkman (1984), terdapat dua model strategi koping dalam menghadapi masalah yaitu koping fokus pada masalah dan koping fokus pada emosi. Strategi koping yang digunakan keluarga tergantung pada masalah yang dihadapi, sumber stres yang ada, dan sumberdaya yang dimiliki keluarga.
31
d Karakteristik Keluarga − Usia − Lama pendidikan − Besar keluarga − Kepemilikan aset − Pendapatan − Pekerjaan
− − − − − − −
Permasalahan Keluarga Pangan Kesehatan Pendidikan Tempat tinggal Pakaian Pekerjaan/Penda patan Interaksi Keluarga
Kelentingan Keluarga A. Sistem Kepercayaan Keluarga 1. Pemaknaan terhadap kemalangan 2. Pandangan positif 3. Kesadaran dan spiritual B. Pola Organisasi 4. Fleksibilitas 5. Keterkaitan 6. Sumberdaya sosial dan ekonomi C. Proses Komunikasi 7. Kejelasan 8. Ekspresi emosi secara terbuka 9. Kolaborasi penyelesaian masalah
Bencana Alam
Keterangan: = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Strategi Koping Keluarga − Fokus pada masalah − Fokus pada emosi
Stres
42
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Desa
Banyuwangi,
Kecamatan Cigudeg,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas ± 2301,95 Km2 serta terletak pada 6,19° - 6,47°LS dan 106°1' - 107°103' Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Bogor, yaitu: a. Sebelah Utara
: Kota Depok
b. Sebelah Barat
: Kabupaten Lebak
c. Sebelah Barat Daya
: Kabupaten Tangerang
d. Sebelah Timur
: Kabupaten Purwakarta
e. Sebelah Timur Laut
: Kabupaten Bekasi
f. Sebelah Selatan
: Kabupaten Sukabumi
g. Sebelah Tenggara
: Kabupaten Cianjur.
Pada tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Bogor adalah 4 340 520 jiwa yang terdiri atas 2 230 314 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2 110 206 jiwa berjenis kelamin perempuan. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 428 desa/kelurahan, 3 658 RW dan 14 400 RT. Dari jumlah tersebut, yakni 235 desa berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 m terhadap permukaan laut, sedangkan 144 desa berada di antara 500 – 700 m dari permukaan laut dan sisanya 49 desa berada pada kisaran 500 m dari permukaan laut. Secara geografis Kecamatan Cigudeg berada pada koordinat 5°50' - 7°50' Lintang Selatan dan 104°48' - 108°48' Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara
: Kecamatan Parung Panjang
b. Sebelah Timur
: Kecamatan Leuwisadeng
c. Sebelah Selatan
: Kecamatan Sukajaya
d. Sebelah Barat
: Kecamatan Jasinga.
43
Luas wilayah Kecamatan Cigudeg yaitu 15 886,043 Ha yang terdiri dari 15 desa, yaitu: Argapura, Bangunjaya, Banyuasih, Banyuresmi, Banyuwangi, Batujajar, Bunar, Cigudeg, Cintamanik, Mekarjaya, Rengasjajar, Sukamaju, Sukaraksa, Tegallega, dan Wargajaya. Jarak kantor desa ke ibu kota kecamatan dengan jarak terjauh adalah Desa Tegallega sejauh 30 Km. Keadaan topografi Kecamatan Cigudeg berada pada ketinggian tanah 300 meter dari permukaan laut dengan curah hujan sebanyak 3 715 mm/tahun. Kecamatan Cigudeg beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan (Januari-Juni) dan musim kemarau (Juli-Desember). Kelembaban udara rata-rata 83 persen, suhu berkisar antara 22,4°C – 31,7°C, dan rata-rata kecepatan angin 3,8 Knot. Pada bulan Maret 2010, terjadi longsor disertai hujan lebat dan angin kencang yang menyebabkan longsor selama ± 3 jam di Kecamatan Cigudeg. Daerah yang mengalami longsor disertai hujan lebat dan angin kencang adalah Desa Banyuwangi dan Desa Tegallega. Namun daerah yang mengalami kerusakan paling parah adalah Desa Banyuwangi. Kerusakan tersebut terjadi di Kampung Cibugis dan Kampung Panggeleseran dengan klasifikasi rusak ringan, sedang, dan berat serta banyak kondisi rumah dengan status terancam longsor susulan. Hal ini disebabkan konstruksi tanah yang sangat labil dan mengancam ± 1 000 jiwa penduduk Kampung Panggeleseran dan ± 350 jiwa penduduk Kampung Cibugis. Desa Banyuwangi Desa Banyuwangi merupakan daerah dataran tinggi dan salah satu desa yang mengalami bencana longsor terparah dan terancam longsor susulan. Desa Banyuwangi terdiri atas 5 dusun, 11 RW, dan 25 RT. Luas wilayah Desa Banyuwangi ± 822 Ha, terdiri atas wilayah perkebunan (709,55 Ha), sawah (54,20 Ha), kolam (2,35 Ha), dan perkampungan (51,25 Ha). Desa Banyuwangi berada pada ketinggian 600 – 700 m dpl dan suhu 25°C - 30°C dengan rata-rata curah hujan 4 000 mm/tahun. Batas-batas wilayah Desa Banyuwangi adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara
: Desa Batujajar
b. Sebelah Selatan
: Desa Cigudeg
c. Sebelah Timur
: Desa Banyuresmi
d. Sebelah Barat
: Desa Cintamanik.
44
Tabel 3 Sebaran penduduk berdasarkan sarana yang terdapat di Desa Banyuwangi Jenis Sarana
Jumlah (n) Pendidikan
Sekolah Dasar Madrasah Diniyah Pondok Pesantren
2 2 5 Peribadatan
Masjid Musholla Majelis Ta’lim
5 14 15 Kesehatan
Posyandu
1 Olahraga
Lapangan Sepakbola Lapangan Volley Lapangan Bulu Tangkis
1 2 2 Umum
Pos Kamling
12 Jalan
Jalan Kabupaten Jalan Desa/Batu Jalan Desa Tidak Diperkeras Jalan Flaur/Plester
9000 m 4000 m 1000 m 2500 m
Desa Banyuwangi memiliki beberapa sarana, antara lain adalah sarana pendidikan, peribadatan, jalan, kesehatan, dan umum (Tabel 3). Sarana pendidikan sebanyak 9 unit terdiri atas sekolah dasar, madrasah diniyah, pondok pesantren; sarana peribadatan sebanyak 34 unit
yang terdiri atas masjid,
musholla, majelis ta’lim; sarana kesehatan 1 unit yaitu posyandu; sarana olahraga 5 unit terdiri atas lapangan sepakbola, lapangan volley, lapangan bulu tangkis; sarana umum 1 unit yaitu pos kamling; dan sarana jalan sepanjang 16 500 meter terdiri atas jalan kabupaten, jalan desa, jalan desa tidak diperkeras, jalan plester. Tabel 4 Sebaran penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Banyuwangi Jenis Pekerjaan Petani Buruh Tani Buruh Swasta Pegawai Negeri Pedagang Usaha Lainnya Total
N 339 284 190 11 90 187 1101
Persentase (%) 30,79 25,79 17,26 1,00 8,17 16,98 100
45
Jumlah kepala keluarga di Desa Banyuwangi sebanyak 1 103 KK. Pada Tabel 4, persentase terbesar mata pencaharian penduduk di Desa Banyuwangi adalah sebagai petani (30,79%), buruh tani (25,79%), buruh swasta (17,26%), dan usaha lainnya (16,98%). Tabel 5 Sebaran penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Banyuwangi Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Total
N 2209 2246 4455
Persentase (%) 49,60 50,40 100
Jumlah penduduk Desa Banyuwangi adalah sebanyak 4 455 jiwa yang terdiri atas 2 209 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2 246 jiwa berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar penduduk Desa Banyuwangi berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 50,40 persen (Tabel 5).
Karakteristik Keluarga Usia Usia suami berkisar antara 20 sampai 68 tahun dengan rata-rata usia 39,7 tahun, sedangkan usia isteri berkisar antara 19 sampai 60 tahun dengan rata-rata usia 34,56 tahun. Lebih dari tiga per lima suami (61%) dan isteri (73%) berada pada usia 18-40 tahun (Tabel 6). Usia 18-40 tahun termasuk dalam fase dewasa awal. Menurut Duvall (1970), tugas perkembangan pada usia ini adalah menciptakan kepuasan dalam pernikahan; mempersiapkan kehamilan dan sebagai orangtua; menciptakan hubungan yang baik antara orangtua dan bayi/anak; memenuhi kebutuhan anggota keluarga dengan anak usia prasekolah dan sekolah serta membantu anak bersosialisasi dengan lingkungan; memberikan kebebasan yang seimbang pada anggota keluarga dan anak remaja. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1991), pada usia dewasa muda (usia 21-41 tahun) dan dewasa madya (usia 49-60 tahun) adalah tahapan yang biasa terjadi stres dan masalah sehingga pada usia tersebut membutuhkan persiapan yang matang untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya menurut Hultsch & Deutsh (1981), setiap tahapan usia menghadapi masa transisi dan masa krisis yang dapat diselesaikan sesuai dengan tahapan usia. Persepsi individu dalam
46
menghadapi permasalahan akan menciptakan reaksi yang berbeda untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal inipun sesuai dengan pernyataan Hayslip & Panek (1989) bahwa persepsi antar individu terhadap permasalahan yang dihadapi memiliki perbedaan sebagaimana reaksi mereka dalam menghadapi permasalahan. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia suami isteri (n=100) Kategori Usia (Tahun) Dewasa Awal (18-40 tahun) Dewasa Madya (41-60 tahun) Dewasa Lanjut (>60 tahun) Total
Suami % 61 34 5 100
Isteri % 73 27 0 100
Usia orangtua yang muda akan relatif lebih rentan terhadap adanya badai dan tantangan dalam kehidupan keluarga (Hastuti 2008). Semakin bertambah usia seseorang maka semakin besar kemungkinan individu untuk lebih mudah mengasumsikan suatu keadaan sebagai situasi yang penuh tekanan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik. Sehingga usia merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan dan melakukan strategi koping (Hayslip & Panek 1989).
Tingkat dan Lama Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam diri seseorang yang akan mempengaruhi perilaku. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2000), tingkat pendidikan yang dicapai akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian seseorang. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan suami dan isteri tersebar pada kategori tidak tamat Sekolah Dasar, tamat Sekolah Dasar, dan Tamat SMA (Tabel 7). Sebagian besar suami (84%) dan isteri (90%) memiliki tingkat pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar, sedangkan tingkat pendidikan SMA hanya dimiliki suami sebesar satu persen. Rendahnya pendidikan orangtua menyebabkan rendahnya pendapatan keluarga, mempengaruhi tingkah laku, dan persepsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis
47
pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya
lebih
rendah.
Selanjutnya
menururt
keterbatasan pengetahuan disebabkan rendahnya
Hardinsyah
(1987),
pendidikan berpengaruh
terhadap tingkah laku anggota keluarga dalam memilih kebutuhan dan dalam membuat keputusan. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami isteri (n=100) Suami % 84 15 1 100
Kategori Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMA Total
Dalam
menyelesaikan
permasalahan
yang
Isteri % 90 10 0 100
dihadapi,
pendidikan
berpengaruh dalam menentukan dan memilih strategi koping. Pendidikan yang rendah akan cenderung mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan emosi atau bahkan dengan hal-hal yang negatif. Hal inipun sesuai dengan pernyataan Pearlin & Schooler (1976), diacu dalam Furi (2006), individu yang berpendidikan tinggi pada umumnya lebih positif dalam menghadapi situasi dan bersikap lebih percaya mengatasi permasalahannya dengan perilaku yang berpusat pada masalah, sedangkan menurut Billing & Moss (1981), diacu dalam Furi (2006) seseorang dengan pendidikan yang lebih rendah lebih percaya pada perilaku yang berpusat pada emosi. Menurut Syarief (1998) strategi koping yang dilakukan dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 8 Sebaran Contoh Berdasarkan Lama Pendidikan Suami Isteri (n=100) Kategori Lama Pendidikan (Tahun) < 9 tahun ≥ 9 tahun Total
Suami % 99 1 100
Isteri % 100 0 100
48
Lama pendidikan dikelompokkan berdasarkan program wajib belajar sembilan tahun. Menurut Sunarti (2001), lama pendidikan sembilan tahun digunakan sebagai batasan wajib belajar karena dianggap dapat memberikan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan minimal bagi seseorang untuk menjalankan kehidupannya. Hampir seluruh suami (99%) dan isteri (100%) termasuk dalam kategori lama pendidikan kurang dari 9 tahun (Tabel 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa program wajib belajar 9 tahun belum berhasil di Desa Banyuwangi. Hal ini disebabkan jarak tempat pendidikan yang terlalu jauh untuk ditempuh dan akses informasi yang sulit.
Besar Keluarga Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Berdasarkan jumlah atau besar keluarga, keluarga dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: keluarga kecil (kurang dari sama dengan 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (lebih dari sama dengan 8 orang) (BKKBN 1996). Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga (n=100) Kategori Besar Keluarga Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥ 8 orang) Total
Persentase (%) 47 37 16 100
Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 3 sampai 11 orang. Lebih dari dua per lima (47%) contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil dan keluarga lain dari kategori keluarga sedang (37%) serta hanya 16 persen keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga besar (Tabel 9). Berdasarkan hasil penelitian pada keluarga miskin di beberapa wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga yang jumlah anggotanya besar akan menghadapi resiko yang lebih besar menderita kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh jumlah makanan yang dimakan keluarga besar dan miskin cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan yang dimakan keluarga kecil dengan tingkat pendapatan yang sama (Eckholm & Newland, diacu dalam Hardinsyah 1985). Selain itu menurut Pulungan (1993), diacu dalam Cahyaningsih (1999), keluarga dengan jumlah anak terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam
49
hal pemenuhan kebutuhan pokok keluarga, sehingga kondisi ini pada akhirnya akan memperbesar tingkat stres.
Kepemilikan Aset Sumberdaya aset adalah sesuatu apapun yang dimiliki keluarga atau yang dapat diakses keluarga, dan memiliki nilai tukar yang dapat mendorong keluarga untuk mencapai tujuannya. Aset tersebut dapat berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986, diacu dalam Nuryani 2007). Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan aset yang dimiliki keluarga (n=100) Nama Aset Tanah kebun/tegal Sawah Rumah Kamar mandi Luas bangunan Luas pekarangan Motor Sepeda Perhiasan Ayam Bebek Burung Kambing
Kepemilikan Aset Ya (%) Tidak (%) 21 79 4 96 82 18 15 85 4 96 1 99 29 71 8 92 46 54 65 35 3 97 1 99 37 63
Total % 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 10), aset yang dimiliki contoh adalah tanah/tegal, sawah, rumah, kamar mandi, luas bangunan, luas pekarangan, motor, sepeda, perhiasan, ayam, bebek, burung, dan kambing. Aset terbanyak yang dimiliki contoh adalah rumah (82%), ayam (65%), perhiasan (46%), kambing (37%), dan motor (29%). Namun hanya 15 persen contoh yang memiliki kamar mandi pribadi. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan contoh terhadap kesehatan dan lebih mengandalkan fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus) umum yang disediakan pemerintah setempat. Selain itu juga contoh memiliki tanah kebun/tegal (21%), sawah (4%), motor (29%), sepeda (8%), perhiasan (46%), bebek (3%), burung (1%), dan kambing (37%) sehingga dapat sedikit membantu contoh ketika menghadapi masalah ekonomi karena contoh dapat menjual beberapa aset yang dimiliki untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
50
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai aset keluarga (n=100) Kategori Nilai Aset Keluarga (Rupiah) 0 – 25 000 000 25 000 001 – 50 000 000 50 000 001 – 75 000 000 >75 000 001 Total
Persentase (%) 75 21 3 1 100
Sebaran nilai aset contoh berada pada kisaran Rp 0 sampai Rp 90 250 000. Nilai aset Rp 0 adalah contoh yang tidak memiliki aset sama sekali. Tiga per empat (75%) contoh memiliki nilai aset termasuk pada kategori Rp 0 sampai Rp 25 000 000, sedangkan nilai aset yang dimiliki keluarga contoh lebih dari Rp 75 000 000 hanya satu persen (Tabel 11). Rata-rata nilai aset yang dimiliki contoh adalah Rp 16 716 165. Menurut Gross, Crandall & Knoll (1980), sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga dan menurut Bryant (1990) aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga dan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Selain itu juga, keluarga yang memiliki aset lebih banyak dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan atau menjual aset yang dimiliki keluarga.
Pendapatan Per Kapita Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 12, pendapatan per kapita contoh berkisar antara Rp 16 666.67 - Rp 3 000 000 dengan rata-rata Rp 134 670,1. Contoh yang memiliki pendapatan per kapita Rp 3 000 000 adalah contoh yang memiliki anak (≥ 3 orang) sudah bekerja sehingga dapat menambah pendapatan per kapita keluarga. Lebih dari enam per tujuh (87%) contoh memiliki pendapatan per kapita keluarga termasuk dalam kategori kurang dari Rp 191 000 dan hanya satu persen contoh yang memiliki pendapatan per kapita lebih dari Rp 991 001. Menurut BPS (2008) keluarga yang memiliki pendapatan per kapita kurang dari Rp 191 000 termasuk dalam kategori keluarga miskin. Kisaran tersebut menunjukkan bahwa pendapatan per kapita keluarga contoh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga dan termasuk dalam
51
kategori keluarga miskin. Suhardjo (1989), menjelaskan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga dan menurut Roedjito (1986), keluarga yang berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Tabel 12 Sebaran Contoh Berdasarkan Pendapatan Per Kapita (n=100) Kategori Pendapatan Per Kapita (Rupiah) ≤ 191 000 191 001-591 000 591 001-991 000 >991 001 Total
Persentase (%) 87 11 1 1 100
Pekerjaan Pekerjaan merupakan salah satu indikator dari pendapatan yang diperoleh suatu keluarga setiap bulannya (Kumari 2001). Menurut BPS (1998), bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh penghasilan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan harus dilakukan berturutturut dan tidak boleh terputus. Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Menurut Engel et al. (1994), menyatakan bahwa pekerjaan merupakan indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori jenis pekerjaan suami isteri (n=100) Suami %
Kategori Jenis Pekerjaan
Isteri %
UTAMA Petani Wiraswasta Ibu Rumah Tangga Tidak Bekerja Total Wiraswasta Tidak ada tambahan Total
55 44 0 1 100 TAMBAHAN 10 90 100
17 9 74 0 100 1 99 100
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 13), sebaran jenis pekerjaan contoh adalah sebagai petani, wiraswasta, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Sebanyak 55 persen suami memiliki pekerjaan utama sebagai petani sedangkan pekerjaan
52
utama isteri adalah sebagai ibu rumah tangga (74%). Hanya 10 persen suami yang memiliki pekerjaan tambahan sebagai wiraswasta dan 99 persen isteri tidak memiliki pekerjaan tambahan. Pekerjaan termasuk dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Menurut Khomsan (2007), keluarga yang memiliki pekerjaan tetap maka relatif akan terjamin pendapatan setiap bulannya dibandingkan keluarga yang memiliki pekerjaan tidak tetap.
Permasalahan Keluarga Bencana yang disebabkan manusia ataupun alam seperti longsor menyisakan
permasalahan
yang
perlu
ditangani.
Permasalahan
tersebut
mengakibatkan terhambatnya pemenuhan kebutuhan dasar, timbulnya masalah psikososial, dan bahkan hilangnya anggota keluarga yang dapat mempengaruhi keadaan keluarga. Permasalahan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu masalah pangan, masalah kesehatan, masalah pendidikan, masalah tempat tinggal, masalah pakaian, masalah pekerjaan atau pandapatan, dan masalah interaksi keluarga. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pangan (n=100) No
Pernyataan
1 2 3
Makan 3 kali sehari Makan dengan menu empat sehat setiap hari Setiap menu makan terdapat pangan yang berasal dari protein nabati dan hewani Setiap hari menu makan berubah
4
Ya % 74 3 14
Tidak % 26 97 86
Total % 100 100 100
31
69
100
Tabel 14 menunjukkan bahwa sebesar 74 persen keluarga contoh dapat makan tiga kali sehari dan hampir seluruh (97%) keluarga contoh tidak dapat makan dengan menu empat sehat setiap hari, tidak dapat makan dengan menu makan yang berasal dari protein nabati dan hewani (86%) , menu makan keluarga contoh tidak berubah setiap hari (69%). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh menghadapi masalah pangan yang cukup serius karena merasa kesulitan untuk mendapatkan makanan yang sehat dan bergizi. Walaupun keluarga contoh dapat makan tiga kali sehari, namun mereka tidak mempertimbangkan pola, jenis, dan kandungan gizi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Hal ini dapat
53
menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Menurut Syarief (1992), sumberdaya manusia yang berkualitas untuk masa mendatang adalah dengan cara mengkonsumsi makanan yang lengkap akan kandungan gizinya yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral dalam proporsi serta jumlah berimbang. Lebih dari tiga per lima (61%) contoh membawa anggota keluarga yang sakit ke puskesmas dan 77 persen contoh mengalami kesulitan untuk membayar obat-obatan (Tabel 15). Contoh menganggap kesehatan merupakan hal yang penting, namun karena jarak tempuh yang terlalu jauh dengan pusat pengobatan (puskesmas) dan mahalnya harga obat-obatan menyebabkan contoh mengalami kesulitan untuk memeriksakan kesehatan di puskesmas. Biasanya contoh melakukan pengobatan tradisional apabila mengalami kesulitan biaya pengobatan dengan cara memanfaatkan tumbuh-tumbuhan atau hasil hewan (telur) untuk mengobati anggota keluarga yang sakit. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah kesehatan (n=100) No
Pernyataan
1
Membawa anggota keluarga yang sakit untuk berobat ke puskesmas Memiliki kesulitan membayar obat-obatan
2
Ya % 61
Tidak % 39
Total % 100
77
23
100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 16, hampir tiga per empat (74%) anak contoh mengikuti pendidikan formal, mengikuti pendidikan non formal (2%), dan mampu menyediakan kebutuhan sekolah (59%). Namun masih terdapat contoh yang tidak mampu menyediakan kebutuhan sekolah (41%). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal penting untuk masa depan anak-anak contoh. Walaupun letak sekolah yang terlalu jauh, sulit dijangkau, dan bangunan yang seadanya contoh tetap menyekolahkan anak-anaknya. Pendidikan non formal yang diikuti anak contoh adalah latihan membuat emas. Anak-anak contoh memiliki keinginan yang kuat untuk bersekolah namun ada beberapa contoh (39%) masih beranggapan bahwa sekolah formal membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga merasa tidak mampu untuk membiayai dan menyekolahkan anakanaknya. Sekolah yang terdapat di tempat penelitian adalah Sekolah Dasar yang tidak memberatkan contoh baik dalam hal biaya maupun kebutuhan sekolah
54
siswa. Hal ini disebabkan karena pihak sekolah tidak mengharuskan siswanya untuk memakai sepatu, pakaian sekolah (merah-putih), dan peralatan tulis yang baru serta memotivasi siswa untuk semangat bersekolah supaya tidak memberatkan contoh sehingga siswa tetap dapat bersekolah. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pendidikan (n=100) No 1 2 3
Pernyataan Anak mengikuti pendidikan formal (sekolah) Anak mengikuti pendidikan non formal Mampu menyediakan keperluan sekolah anak
Ya % 74 2 59
Tidak % 26 98 41
Total % 100 100 100
Hampir seluruh (97%) contoh memiliki rumah untuk berlindung, memiliki ruang keluarga (92%), dan penerangan yang cukup (80%) namun rumah yang dimiliki keluarga tidak dilengkapi dengan fasilitas MCK (75%) (Tabel 17). Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki rumah yang cukup namun rumah yang contoh miliki tidak memenuhi syarat rumah sehat. Hal ini disebabkan rumah yang dimiliki contoh adalah rumah yang terbuat dari bilik, berlantaikan tanah dan plester serta memiliki ventilasi yang kurang. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah tempat tinggal (n=100) No 1 2 3 4
Pernyataan Terdapat rumah untuk tempat berlindung keluarga yang memadai Rumah dilengkapi dengan fasilitas MCK Terdapat ruangan yang cukup untuk seluruh anggota keluarga Rumah memiliki cukup penerangan
Ya % 97
Tidak % 3
Total % 100
25 92
75 8
100 100
80
20
100
Sebesar 25 persen contoh memiliki rumah yang dilengkapi fasilitas MCK, namun tidak memenuhi syarat MCK yang baik dan sehat. Hal yang sama dengan MCK umum yang disediakan pemerintah setempat tidak memenuhi syarat yang baik dan sehat. Hal ini disebabkan pendapatan per kapita keluarga yang tidak mencukupi dan contoh beranggapan bahwa rumah yang dimiliki cukup untuk berlindung tanpa memperhatikan syarat-syarat rumah sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Slamet (1996), rendahnya penghasilan menyebabkan keluarga tidak mampu untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat rumah sehat dan akan
55
menimbulkan permasalahan kesehatan. Timbulnya permasalah kesehatan di dalam lingkungan pemukiman rumah disebabkan karena individu yang belum sepaham tentang fungsi suatu rumah. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pakaian (n=100) No
Pernyataan
1
Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk kegiatan yang berbeda Kepala keluarga mampu membeli pakaian untuk seluruh anggota keluarga
2
Ya % 81
Tidak % 19
Total % 100
44
56
100
Berdasarkan data penelitian yang disajikan (Tabel 18), lebih dari empat per lima (81%) contoh memiliki pakaian yang berbeda antara pakaian di rumah dan pakaian untuk bepergian, dan sebesar 44 persen kepala keluarga mampu membelikan pakaian untuk seluruh anggota keluarga. Contoh membedakan pakaian untuk di rumah dan untuk bepergian karena contoh beranggapan bahwa ketika bepergian tidak pantas memakai pakaian yang biasa dipakai di rumah dan contoh tidak memiliki pakaian untuk bepergian dalam jumlah banyak. Kepala keluarga mampu membeli pakaian baru untuk seluruh anggota keluarga khususnya untuk anak setahun sekali yaitu pada saat lebaran saja dan merupakan kebiasaan bagi keluarga walaupun keluarga memiliki pendapatan yang rendah. Sehingga masalah pakaian bukan masalah yang dianggap masalah berat dan sulit bagi keluarga contoh. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pendapatan(n=100) No
Pernyataan
1 2
Kepala keluarga tetap bekerja Pendapatan suami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Ya % 80 58
Tidak % 20 42
Total % 100 100
Empat per lima (80%) kepala keluarga contoh tetap bekerja dan hampir tiga per lima (58%) penghasilan suami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan dan pendapatan kepala keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer. Contoh beranggapan bahwa pendapatan suami dapat mencukupi kebutuhan primer adalah suatu kecukupan bagi keluarga.
56
Berdasarkan data sebaran yang disajikan pada Tabel 20, lebih dari enam per tujuh (88%) contoh memiliki waktu khusus berkumpul bersama, contoh meluangkan waktu setiap suami membutuhkan (99%), membicarakan rasa cinta dengan suami (63%), lebih senang berbicara dengan suami (96%), membicarakan pendidikan anak dengan suami (85%), saling menghargai antar suami-isteri (99%). Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara contoh dengan suami termasuk dalam interaksi yang baik dan adanya waktu khusus keluarga dapat menciptakan keintiman dan keakraban keluarga. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah interaksi keluarga (n=100) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Pernyataan Keluarga mempunyai waktu khusus untuk berkumpul bersama Meluangkan waktu untuk suami setiap suami membutuhkan Membicarakan rasa cinta antar suami-isteri Lebih senang berbicara dengan suami dibandingkan dengan anggota keluarga lain Membicarakan masalah pendidikan anak dengan suami Saling menghargai antar suami-isteri Meluangkan waktu untuk anak setiap anak membutuhkan Menanyakan/mendengarkan saran/pendapat anak mengenai sesuatu Ibu dan anak saling menghargai Membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi anak dengan sikap yang positif Menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak dalam hal apapun Bertanya tentang teman-teman anak di sekolah dan di rumah Anak mendengarkan nasihat yang diberikan ibu Anak-anak saling menghargai satu sama lain Anak-anak saling membantu satu sama lain Anak lebih suka berbicara dengan ibu
Ya % 88
Tidak % 12
Total % 100
99
1
100
63 96
37 4
100 100
85
15
100
99 99
1 1
100 100
83
17
100
95 95
5 5
100 100
93
7
100
83
17
100
90 94 94 91
10 6 6 9
100 100 100 100
Hampir seluruh (99%) contoh meluangkan waktu untuk anak setiap anak membutuhkan, mengikutsertakan anak dalam keluarga (83%), ibu dan anak saling menghargai (95%), membantu menyelesaikan masalah anak (95%), menyediakan waktu berbicara dengan anak dalam hal apapun (93%), bertanya tentang teman di sekolah dan di rumah (83%), dan anak mendengarkan nasihat ibu (90%). Hal ini
57
menunjukkan bahwa interaksi yang dibentuk contoh pada anak adalah interaksi yang baik dan akan membentuk anak yang terbuka dan menghargai orangtua. Menurut
Effendi et al. (1995), diacu dalam Kunarti (2004), pada dasarnya
hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat mempengaruhi hubungan keluarga dan keluarga cenderung akan bertahan. Hampir seluruh (94%) anak-anak contoh saling menghargai dan membantu satu sama lain (94%) dan anak lebih suka berbicara dengan ibu (91%). Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi antar anak tergolong baik dan anak lebih dekat dengan contoh. Hal ini merupakan salah satu pengaruh dari sikap orangtua yang mengajarkan anak untuk menciptakan hubungan dan interaksi yang baik dengan seluruh anggota keluarga. Secara keseluruhan, lebih dari 60 persen contoh menciptakan interaksi yang baik antar suami-isteri, ibu-anak, dan antar saudara sehingga keluarga tetap dapat menjaga keintiman dan keakraban seluruh anggota keluarga serta keluarga akan cenderung tetap bertahan dari pengaruh luar yang dapat mengancam kondisi keluarga. Hal inipun didukung dengan pendapat Dagun (1990), diacu dalam Mutyahara (2005) bahwa keintiman diantara anggota keluarga akan sangat mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota keluarga. Menurut Sunarti (2010), gempa bumi yang korban rasakan berpengaruh terhadap hubungan suami isteri dan keluarga. Sebagian contoh merasa menjadi lebih harmonis dan dekat dengan suami dan keluarga, namun terdapat pula ibu yang merasa suaminya menjadi lebih mudah marah, malas bekerja, dan kurang perhatian dibandingkan sebelum gempa. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kategori permasalahan keluarga total (n=100) Kategori Permasalahan Keluarga Total Rendah (0-11) Sedang (>11-22) Tinggi (>22-33) Total
Persentase (%) 0 25 75 100
58
Tabel 21 menunjukkan bahwa contoh menghadapi permasalahan keluarga total termasuk dalam kategori tinggi (75%). Tingginya permasalahan yang dihadapi keluarga contoh disebabkan semakin sulitnya ekonomi dan keadaan yang semakin terpuruk akibat terjadinya bencana longsor. Pendapatan per kapita keluarga yang rendah, masalah pangan yang serius (tidak memenuhi jenis, pola, dan kandungan gizi seimbang), keadaan tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat rumah sehat, dan sarana pendidikan yang terdapat di tempat penelitian hanya Sekolah Dasar dan bangunan seadanya merupakan beberapa faktor penyebab tingginya permasalahan keluarga total. Menurut Suhardjo (1989), pendapatan
sangat
berpengaruh
terhadap
alokasi
pengeluaran
keluarga.
Pendapatan keluarga yang tinggi akan dapat memenuhi kebutuhan keluarga dibandingkan keluarga yang memiliki pendapatan rendah.
Kelentingan Keluarga Sistem Kepercayaan Keluarga Kelentingan keluarga berawal dari sistem kepercayaan keluarga. Sistem kepercayaan keluarga adalah kepercayaan bersama terhadap keluarga yang dapat membantu seseorang untuk memaknai krisis atau permasalahan yang dihadapi dengan memberikan perasaan yang positif, memiliki harapan yang tinggi, mengembangkan dan mengaplikasikan nilai yang terdapat dalam keluarga, serta meningkatkan spiritualitas untuk mengurangi tekanan dan menyelesaikan masalah (Antonovsky & Sourani 1988, diacu dalam Walsh 2002). Menurut Walsh (2002) sistem kepercayaan keluarga mencakup pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran, dan spiritualitas. Tabel 22 menjelaskan indikator sistem kepercayaan keluarga yaitu pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran, dan spiritualitas. Pemaknaan terhadap kemalangan adalah bagaimana individu memaknai dan bertahan terhadap krisis atau kemalangan yang sedang dihadapi serta dapat kembali pada keadaan semula (Sunarti 2008). Lebih dari 95 persen contoh menganggap dan melakukan pemaknaan terhadap kemalangan yaitu tingkat kelentingan merupakan dasar dari hubungan (100%), pemaknaan terhadap
59
kemalangan (99%), dan krisis sebagai sesuatu yang bermakna (96%). Hal ini menunjukkan bahwa pemaknaan contoh terhadap kemalangan termasuk tinggi. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan komponen sistem kepercayaan keluarga (n=100) No
Komponen
1
Hubungan suami-isteri merupakan dasar ketahanan keluarga Pemaknaan terhadap kemalangan Krisis sebagai sesuatu yang bermakna Optimis menghadapi tantangan Fokus pada potensi diri Inisiatif menghadapi tantangan Gigih menghadapi tantangan Menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah Mempunyai tujuan hidup Agama membantu dalam menanggulangi masalah Sikap kreatif dalam menanggulangi masalah Belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman orang lain Belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman masa lalu
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13
Ya % 100
Tidak % 0
Total % 100
99 96 96 97 92 97 81 94 97 91 94
1 4 4 3 8 3 19 6 3 9 6
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
90
10
100
Pandangan positif adalah harapan, rasa optimis, fokus pada kekuatan dan potensi diri, dan menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah dalam menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 80 persen contoh menganggap dan melakukan pandangan yang positif terhadap permasalahan yang dihadapi yaitu optimis menghadapi tantangan (96%), fokus pada potensi diri dan gigih menghadapi tantangan (97%), inisiatif menghadapi tantangan (92%), dan menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah (81%). Hal ini menunjukkan bahwa pandangan positif contoh terhadap permasalahan yang dihadapi termasuk tinggi. Inisiatif yang dilakukan contoh adalah membantu suami bekerja dan berjualan kecil-kecilan. Kesadaran dan spiritualitas adalah keyakinan agama yang tinggi, kerukunan, memiliki inspirasi, memiliki tujuan hidup dan mimpi, belajar dan tumbuh dari kemalangan untuk dapat bertahan menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 89 persen contoh menganggap dan melakukan kesadaran dan spiritualitas dalam menghadapi krisis yaitu mempunyai tujuan hidup (94%), agama membantu dalam menanggulangi masalah (97%), sikap kreatif dalam menanggulangi masalah (91%), belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman
60
orang lain (94%), belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman masa lalu (90%). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dan spiritualitas yang dimiliki contoh untuk menghadapi krisis termasuk tinggi. Sikap kreatif yang dikemukakan contoh adalah bekerja, berjualan, dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan suami. Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan kategori sistem kepercayaan keluarga (n=100) Kategori Sistem Kepercayaan Keluarga Rendah (0-4) Sedang (>4-8) Tinggi (>8-13) Total
Persentase (%) 0 1 99 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 23, kategori sistem kepercayaan keluarga termasuk dalam kategori tinggi (99%). Hal ini menunjukkan bahwa sistem kepercayaan keluarga yang dibentuk contoh tinggi (pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran dan spiritual) sehingga menjadikan keluarga contoh tetap dapat bertahan untuk menjalani kehidupan pasca longsor dan menjaga keluarga dari berbagai tekanan dan krisis. Hal inipun ditunjukkan dengan nilai persentase komponen pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, dan kesadaran dan spiritual lebih dari 80 persen.
Pola Organisasi Keluarga Menurut Walsh (2002), salah satu kunci kelentingan keluarga adalah pola organisasi keluarga. Pola organisasi keluarga adalah struktur keluarga yang meliputi fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial dan ekonomi. Pola organisasi dapat dilakukan dengan melalui struktur yang fleksibel, kepemimpinan bersama, saling mendukung, dan kerjasama dalam menghadapi keadaan krisis atau kemalangan. Tabel 24 menjelaskan indikator pola organisasi keluarga yaitu fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial dan ekonomi. Fleksibilitas adalah keseimbangan untuk stabil, keberlangsungan, mengorganisasikan, dan adaptasi dengan perubahan (Sunarti 2008). Lebih dari 95 persen contoh menganggap dan melakukan fleksibilitas yaitu memiliki keinginan untuk berubah dan keluar dari
61
masalah (98%) dan dapat melanjutkan kehidupan (100%).
Keinginan untuk
keluar dari masalah yang diakui contoh sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa fleksibilitas contoh termasuk tinggi. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan komponen pola organisasi keluarga (n=100) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Komponen Keinginan untuk berubah dan keluar dari masalah Keberlanjutan hidup Hubungan pasangan yang baik Kepatuhan terhadap pasangan Dukungan timbal balik antar anggota keluarga Memenuhi kebutuhan keluarga Menghormati perbedaan pasangan Mengasuh anak dengan baik Kerjasama orangtua mengasuh anak Membangun hubungan Mendamaikan hubungan yang bermasalah Membangun kekerabatan yang luas Membangun jejaring komunitas Membangun keamanan finansial
Ya % 98 100 99 97 100 19 96 81 59 99 97 97 96 0
Tidak % 2 0 1 3 0 81 4 19 41 1 3 3 4 100
Total % 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Keterkaitan adalah kepemimpinan yang kuat, kerjasama orangtua, komitmen, dan saling mendukung dalam menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 55 persen contoh menganggap dan melakukan keterkaitan yaitu hubungan pasangan yang baik (99%), kepatuhan terhadap pasangan (97%), dukungan timbal balik antar anggota keluarga (100%), menghormati perbedaan pasangan (96%), mengasuh anak dengan baik (81%), dan kerjasama orangtua mengasuh anak (59%) dan hanya 19 persen contoh yang memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan contoh dalam keluarga termasuk tinggi. Rendahnya contoh dalam memenuhi kebutuhan keluarga dikarenakan kebutuhan keluarga dipenuhi oleh kepala keluarga. Sumberdaya sosial dan ekonomi adalah dengan memperluas hubungan persaudaraan,
dukungan
sosial,
membangun
jejaringan
komunitas,
dan
membangun keamanan finansial untuk dapat menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 95 persen contoh melakukan dan memiliki sumberdaya sosial dan ekonomi yaitu dengan membangun hubungan (99%), mendamaikan hubungan yang bermasalah dan membangun kekerabatan yang luas (97%), membangun jejaring komunitas (96%), dan tidak ada satu contohpun yang memiliki keamanan
62
finansial(0%). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya sosial dan ekonomi contoh termasuk tinggi. Tidak ada satu contohpun yang memiliki keamanan financial keluarga disebabkan keadaan ekonomi yang semakin sulit dan keadaan yang semakin terpuruk akibat terjadinya longsor. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori pola organisasi keluarga (n=100) Kategori Pola Organisasi Keluarga Rendah (0-5) Sedang (>5-10) Tinggi (>10-14) Total
Persentase (%) 0 1 99 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 25, kategori pola organisasi keluarga termasuk dalam kategori tinggi (99%). Hal ini menunjukkan bahwa pola organisasi keluarga contoh (fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial dan ekonomi) tinggi. Menurut Walsh (2002), keluarga yang memiliki pola organisasi keluarga baik maka kelentingan keluarga akan semakin kuat ketika menghadapi krisis dengan struktur organisasi keluarga yang fleksibel, kepemimpinan yang saling berbagi, dan saling mendukung.
Proses Komunikasi Keluarga Komunikasi adalah salah satu kegiatan terbesar yang dilakukan manusia. Komunikasi yang baik akan terlaksana jika pesan yang disampaikan tidak mengalami perubahan makna pesan. Komunikasi dikatakan efektif apabila tujuan komunikasi sudah terpenuhi dan pesan yang disampaikan dan yang diterima sama (Yuhaeni et al. 2006). Proses komunikasi adalah salah satu kunci kelentingan keluarga setelah sistem kepercayaan keluarga dan pola organisasi keluarga (Walsh 2002). Tabel 26 menjelaskan indikator proses komunikasi keluarga yaitu kejelasan, ekspresi emosi secara terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah. Kejelasan adalah kekonsistenan pesan yang disampaikan dan mengklarifikasi pesan yang bersifat ambigu atau tidak jelas (Sunarti 2008). Lebih dari 65 persen contoh menganggap dan melakukan kejelasan dalam proses komunikasi yaitu dengan kejelasan pesan yang disampaikan (92%) dan mengklarifikasi informasi yang ambigu (69%). Hal ini menunjukkan bahwa kejelasan pesan dalam proses
63
komunikasi contoh termasuk tinggi. Pengklarifikasian yang dilakukan contoh terhadap informasi yang ambigu adalah dengan menanyakan langsung informasi yang didapat kepada pihak yang dipercaya seperti RT, RW, dan desa khususnya informasi longsor susulan. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan komponen proses komunikasi keluarga(n=100) No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kejelasan pesan yang disampaikan Mengklarifikasi informasi yang ambigu Berbagi perasaan senang Berbagi perasaan susah Saling berempati Tanggung jawab terhadap perasaan sendiri Interaksi yang menyenangkan (humoris) Berdiskusi memecahkan masalah Berdiskusi untuk pengambilan keputusan Bertindak konkrit dalam memecahkan masalah Mencegah timbulnya masalah Bersiap-siap menghadapi tantangan masa depan
Ya % 92 69 99 93 96 100 93 98 72 65 93 77
Tidak % 8 31 1 7 4 0 7 2 28 35 7 23
Total % 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Ekspresi emosi terbuka adalah mengungkapkan perasaan, empati, merespon perasaan dan tingkah laku, dan interaksi yang menyenangkan dalam menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 90 persen contoh menganggap dan melakukan ekspresi emosi secara terbuka yaitu berbagi perasaan senang (99%), berbagi perasaan susah (93%), saling berempati (96%), dan bertanggung jawab terhadap perasaan sendiri (100%). Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi emosi terbuka yang dilakukan contoh termasuk tinggi. Rasa empati yang dilakukan contoh terhadap suami ketika suami menghadapi masalah adalah dengan menanyakan permasalahan yang dihadapi dan meminta suami untuk bersabar. Kolaborasi penyelesaian masalah adalah menyelesaikan permasalahan dengan sikap kreatif, mendiskusikan pengambilan keputusan dan permasalahan yang dihadapi (Sunarti 2008). Hampir seluruh (93%) contoh melakukan interaksi yang menyenangkan, berdiskusi memecahkan masalah (98%), berdiskusi untuk pengambilan keputusan (72%), bertindak konkrit dalam memecahkan masalah (65%), mencegah timbulnya masalah (93%), dan bersiap-siap menghadapi tantangan masa depan (77%). Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi penyelesaian masalah yang dilakukan contoh termasuk tinggi. Pengambilan
64
keputusan yang dilakukan contoh adalah pengambilan keputusan dalam keluarga dan mendiskusikan seluruh masalah yang berkaitan dengan keluarga. Tabel
27
Sebaran contoh keluarga(n=100)
berdasarkan
kategori
Kategori Proses Komunikasi Rendah (0-4) Sedang (>4-8) Tinggi (>8-12) Total
proses
komunikasi
Persentase (%) 0 10 90 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 27, kategori proses komunikasi keluarga (kejelasan, ekspresi emosi terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah) termasuk dalam kategori tinggi (90%). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses komunikasi yang dilakukan oleh keluarga contoh berjalan dengan efektif. Hal ini ditunjukkan dengan kejelasan pesan, pengungkapan diri secara terbuka, dan kolaborasi atau kerjasama suami dan isteri yang tinggi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi keluarga.
Tingkat Kelentingan Keluarga Definisi kelentingan adalah sebuah proses dinamis untuk bertahan dari kesengsaraan secara signifikan serta kemampuan untuk beradaptasi secara positif. Kelentingan keluarga merupakan proses yang dinamis yang mencakup proses adaptasi yang positif dalam keadaan kesulitan atau terjadi kemalangan (Luthar et al. 2000, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Kelentingan termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan pengurangan
kerugian
mengembangkan
(James et
kelentingan
al.
keluarga
2006). adalah
Cara
atau
dengan
upaya
untuk
meningkatkan
keberfungsian dan kesejahteraan keluarga dengan mencegah anggota keluarga dari berbagai keadaan krisis yang dapat mengancam kestabilan keluarga. Kelentingan keluarga dapat dipandang sebagai upaya untuk bertahan dalam keadaan krisis dan kembali kepada keadaan semula pada saat terjadinya kemalangan atau krisis (Walsh 2002).
65
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kelentingan keluarga total (n=100) Kategori Kelentingan Keluarga Total Rendah (0-13) Sedang (>13-26) Tinggi (>26-39)
Persentase (%) 0 2 98
Total
100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 28, contoh memiliki tingkat kelentingan keluarga termasuk dalam kategori tinggi (98%). Terbiasanya contoh dengan kehidupan yang sulit, sikap pasrah, dan menerima yang telah terjadi akibat longsor sehingga kelentingan keluarga semakin kuat dalam menghadapi permasalahan. Sedangkan adaptasi yang dilakukan keluarga contoh saat terjadi hujan adalah mengungsi di tempat pengungsian dikarenakan takut terjadi longsor susulan dan setelah terjadinya hujan contoh kembali ke rumah mereka. Hal inipun ditunjukkan dengan tingginya sistem kepercayaan, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga yang dilakukan keluarga contoh.
Strategi Koping Strategi koping adalah cara dan upaya yang dilakukan keluarga untuk menghadapi permasalahan dan ketertekanan (stres) yang terjadi akibat longsor.Strategi koping yang dilakukan setiap keluarga berbeda sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki dan permasalahan yang dihadapi keluarga. Apabila strategi koping yang dilakukan efektif maka keluarga akan kembali dalam keadaan homeostatis dan jika strategi koping yang dilakukan keluarga tidak efektif maka keluarga akan kembali dalam keadaan stres bahkan stres tersebut dapat bertambah besar. Menurut McCubbin (1975), hal ini dipengaruhi oleh persepsi keluarga dalam memandang kemampuan dan masalah yang dihadapi. Jika keluarga memandang masalah yang dihadapi sulit dan tidak mampu, maka keluarga tersebut akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah dan sebaliknya. Menurut Lazarus (1984), terdapat dua pola strategi koping yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.
66
Koping Fokus Pada Masalah (Problem Focused Coping) Koping fokus pada masalah adalah strategi bertahan yang berorientasi terhadap pemecahan masalah dengan mengubah perilaku atau lingkungannya dan melihat hubungan-hubungan yang terjadi. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith & Bem (2000), koping fokus pada masalah adalah salah satu bentuk strategi koping untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, mempertimbangkan alternatif terkait dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu alternatif dan mengimplementasikan alternatif yang dipilih dan menurut Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994) koping ini dilakukan dengan cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru untuk mengurangi tekanan akibat stressor. Menurut Sunarti (2010), strategi koping yang dilakukan keluarga korban gempa di Provinsi Jawa Barat 2009 terhadap pemenuhan pangan adalah mengurangi kualitas pangan yang dibeli atau dikonsumsi dan membeli pangan dengan cara berhutang, mengurangi keragaman pangan yang dikonsumsi dan mengutamakan makanan untuk anak terlebih dahulu, dan mengurangi porsi makan untuk mengurangi pengeluaran pangan keluarga. Data yang disajikan pada Tabel 29 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen contoh melakukan koping fokus pada masalah jenis planful problem solving dan seeking social support. Planful problem solving yang dilakukan contoh adalah berusaha lebih dari biasanya supaya bisa berhasil menyelesaikan masalah (87%), membuat perencanaan untuk masa depan (75%), berkonsentrasi terhadap apa yang harus dilakukan (90%), dan mengubah kebiasaan supaya segala sesuatu akan menjadi lebih baik (63%). Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh fokus melakukan upaya-upaya dan melakukan perencanaan serta mau merubah kebiasaan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Namun contoh belum dapat melakukan upaya secara maksimal dengan menjual aset dan mencari pinjaman karena contoh dan masyarakat sekitar sudah tidak memiliki aset berharga dan bernilai tinggi untuk dijual akibat longsor. Menurut Lazarus & Folkman (1984), planful problem solving adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan melakukan upaya tertentu untuk merubah keadaan, disertai dengan pendekatan analitis dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan bekerja keras penuh
67
dengan konsentrasi dan membuat perencanaan yang cukup baik serta mampu merubah gaya hidupnya agar permasalahan yang dihadapi dapat terselesaikan secara perlahan. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada masalah (n=100) No
Pernyataan Koping Fokus Pada Masalah
1
Berusaha lebih dari biasanya supaya bisa berhasil menyelesaikan masalah Membuat perencanaan untuk masa depan Perencanaan tersebut sudah mulai dilakukan Berkonsentrasi terhadap apa yang harus dilakukan Mencari posko-posko bantuan dari pemerintah dan swasta Menjual aset/barang yang masih dimiliki Mencari pinjaman kepada tetangga yang masih memilikinya Mengubah kebiasaan supaya segala sesuatu akan menjadi lebih baik Berusaha menghubungi orang yang bertanggung jawab terhadap masalah Membiarkan perasaan atau emosi keluar Mengambil suatu kesempatan yang besar walaupun itu sangat beresiko Mencoba melakukan sesuatu walaupun tidak yakin akan berhasil, tetapi paling tidak telah melakukan sesuatu Berusaha bertanya pada orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama tentang apa yang mereka lakukan Berusaha meminta nasihat kepada saudara atau tetangga tentang apa yang harus dilakukan Berusaha berbicara pada seseorang untuk mencari informasi dan dapat membantu Berusaha membicarakan permasalahan yang dihadapi kepada orang yang lebih profesional Menerima simpati dan pengertian dari orang lain
2 3 4 5
6 7 8 9 10 11
12
13
14 15 16 17
Ya % 87
Tidak Total % % 13 100
75 13 90 11
25 87 10 89
100 100 100 100
16 24
84 76
100 100
63
37
100
53
47
100
55 14
45 86
100 100
53
47
100
72
28
100
82
18
100
64
36
100
35
65
100
91
9
100
Seeking social support yang dilakukan oleh contoh adalah berusaha bertanya pada orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama tentang apa yang mereka lakukan (72%), berusaha meminta nasihat kepada saudara atau tetangga tentang apa yang harus dilakukan (82%), berusaha berbicara pada seseorang untuk mencari informasi dan dapat membantu (64%), menerima simpati dan pengertian dari orang lain (91%). Hal ini menunjukkan bahwa contoh mencari dukungan dari pihak luar untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
68
Menurut Lazarus & Folkman (1984), seeking social support adalah seseorang yang melakukan koping ini akan mencari dukungan dari pihak luar (informasi, bantuan nyata, dan dukungan secara emosi). Seseorang yang melakukan koping ini akan cenderung untuk mencari bantuan fisik ataupun non fisik dari orang lain selain keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan, dan profesional untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kurang dari 60 persen contoh melakukan koping pada masalah jenis confrontative coping dengan berusaha menghubungi orang yang bertanggung jawab terhadap masalah dan mencoba melakukan sesuatu walaupun tidak yakin akan berhasil, tetapi paling tidak telah melakukan sesuatu (53%) dan membiarkan perasaan atau emosi keluar (55%). Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh mampu melakukan upaya-upaya yang beresiko untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984), confrontative coping adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan merubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, koping ini akan dilakukan seseorang dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan/norma yang ada walaupun akan mengalami resiko yang cukup besar. Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada masalah (n=100) Kategori Koping Fokus Pada Masalah Rendah (0-6) Sedang (>6-12) Tinggi (>12-17) Total
Persentase (%) 11 71 18 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 30, kategori koping fokus pada masalah termasuk dalam kategori sedang (71%). Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh belum memaksimalkan strategi koping fokus pada masalah. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan contoh bahwa contoh hanya berfokus untuk dapat menyelesaikan masalah secepatnya tanpa mempertimbangkan bagaimana cara yang terbaik untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
69
Koping Fokus Pada Emosi (Emotional Focused Coping) Koping fokus pada emosi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emosi negatif yang timbul dari masalah atau tekanan yang dihadapi (Atkinson, Atkinson, Smith & Bem 2000), sedangkan menurut Rice (1999) koping fokus pada emosi adalah upaya yang dilakukan individu dengan mencoba mengontrol dan melepaskan perasaan negatif (frustasi, kemarahan, dan katakutan) yang disebabkan oleh suatu kejadian. Menurut Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994), koping fokus pada emosi digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres yang diakibatkan dari masalah yang dihadapi. Perilaku ini dilakukan jika seseorang merasa tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi situasi tersebut. Menurut Sunarti (2010), setelah terjadinya gempa bumi Jawa Barat 2009, masyarakat merasa lebih sabar dan tawakal serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka merasa lebih ikhlas dalam menghadapi cobaan hidup serta menyerahkan semua kepada Tuhan. Mereka berpendapat bahwa setiap cobaan pasti terdapat jalan keluar. Cara lain yang dilakukan sebagian besar ibuibu untuk mengurangi rasa cemas adalah
dengan berkumpul keluarga dan
tetangga, sehingga bisa saling menguatkan satu sama lain, membangun kebersamaan, dan kedekatan antar korban bencana. Strategi koping pada korban bencana menunjukkan bahwa korban lebih banyak melakukan strategi koping fokus pada emosi. Hal tersebut menunjukkan terbatasnya akses dan kesempatan untuk melakukan strategi koping yang berfokus pada masalah. Data yang disajikan pada Tabel 31 menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen contoh melakukan koping fokus pada emosi jenis positive reappraisal, accepting responsibility, self controlling, dan escape avoidance. Positive reappraisal yang dilakukan contoh adalah lebih mendekatkan diri pada Allah (91%), percaya Allah mendengar doa hambaNya dan bersyukur dengan apa yang masih dimiliki (99%). Hal tersebut memperlihatkan bahwa contoh menerima apa yang diberikan/ditakdirkan Allah SWT, mengambil hikmahnya, dan menciptakan makna yang positif dengan melibatkan diri dalam hal keagamaan sehingga menjadikan contoh lebih kuat dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984), positive reappraisal adalah
70
seseorang yang melakukan koping ini akan menciptakan situasi dan makna yang positif dari suatu kejadian untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Seseorang yang melakukan koping ini cenderung untuk berfikir positif dan mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi dan tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih dimilikinya saat ini. Accepting responsibility yang dilakukan contoh adalah belajar hidup dari kondisi yang ada (99%), menerima semua yang telah terjadi yang tidak dapat dirubah lagi (100%). Hal ini memperlihatkan bahwa contoh dapat memposisikan diri dalam permasalahan yang dihadapi, menerima semua yang telah terjadi dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami. Menurut Lazarus & Folkman (1984), accepting responsibility adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Seseorang yang melakukan koping ini akan menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagaimana mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami. Self controlling yang dilakukan contoh adalah berfikir terlebih dahulu apa yang ingin dilakukan (97%). Hal ini menunjukkan bahwa contoh dapat mempertimbangkan sesuatu yang akan mereka lakukan untuk mengantisipasi masalah yang akan muncul dari tindakan yang akan diambil. Menurut Lazarus & Folkman (1984), self controlling adalah seseorang yang melakukan koping ini akan melakukan pengaturan diri baik dalam perasaan maupun tindakan. Seseorang yang melakukan koping ini akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan dan menghindari tindakan yang dilakukan secara tergesa-gesa untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Escape avoidance yang dilakukan contoh adalah berharap adanya keajaiban yang terjadi (91%). Hal tersebut memperlihatkan bahwa sebagian contoh menghindari masalah tanpa melakukan upaya untuk dapat menyelesaikan masalah namun upaya yang dilakukan hanya untuk menenangkan perasaan saja. Menurut Lazarus & Folkman (1984), escape avoidance adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menghindar dari permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang
71
negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain dalam menyelesaikan masalah. Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada emosi (n=100) No
Pernyataan Koping Fokus Pada Emosi
1
Lebih banyak shalat, berdoa, berdzikir dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT Percaya Allah mendengarkan doa hambaNya Bersyukur dengan apa yang masih miliki Mendapat hal-hal/ide baru untuk melakukan sesuatu yang lebih baik Musibah ini merubah ibu menjadi orang yang lebih baik Mengkritik/introspeksi diri sendiri Menyadari permasalahan ini terjadi karena kesalahan ibu sendiri Belajar hidup dalam kondisi seperti ini Bisa menerima semua yang telah terjadi dan tidak bisa dirubah kembali Berfikir terlebih dahulu apa yang ingin lakukan Menolak/menghindari untuk melakukan sesuatu secara tergesa-gesa Tidak mau memikirkan permasalahan yang dihadapi terlalu serius Bersikap biasa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa Mencoba untuk melupakan segalanya Berharap ada keajaiban yang terjadi Berusaha menenangkan perasaan dengan hal-hal negatif Melemparkan permasalahan yang dihadapi kepada orang lain Melupakan permasalahan yang dihadapi dengan tidur lebih lama dari biasanya Menyadari jika merasa kecewa dan membiarkan diri hanyut dalam kekecewaan tersebut
2 3 4
5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16
17 18 19
Ya % 91
Tidak % 9
Total % 100
99 99 64
1 1 36
100 100 100
79
21
100
83 76
17 24
100 100
99 100
1 0
100 100
97
3
100
77
23
100
65
35
100
67
33
100
72 91 1
28 9 99
100 100 100
3
97
100
39
61
100
32
68
100
Kurang dari 75 persen contoh melakukan koping pada emosi jenis distanction dengan tidak mau memikirkan permasalahan yang dihadapi terlalu serius (65%), bersikap biasa saja seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa (67%); dan mencoba untuk melupakan segalanya (72%). Hal ini memperlihatkan bahwa contoh tidak ingin menjadikan masalah yang dihadapi sebagai beban hidup yang berat namun sebagai tantangan untuk maju yang harus dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984), distanction adalah seseorang yang melakukan koping ini akan
72
menjaga jarak agar tidak terbelenggu oleh permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolaholah tidak pernah terjadi apa-apa dalam menyelesaikan masalah. Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada emosi (n=100) Kategori Koping Fokus Pada Emosi Rendah (0-6) Sedang (>6-12) Tinggi (>12-19) Total
Persentase (%) 0 7 93 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 32, koping fokus pada emosi termasuk dalam kategori tinggi (93%). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya yang dimiliki contoh tidak mampu untuk merubah keadaan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan contoh cenderung lebih menerima dan pasrah dengan situasi yang ada tanpa melakukan usaha atau tindakan langsung untuk mengubah keadaan. Menurut Lazarus & Folkman (1984), emotional focused coping adalah usaha-usaha yang dilakukan seseorang untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung dan cenderung dilakukan jika seseorang tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi. Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan kategori strategi koping total (n=100) Kategori Strategi Koping Total Rendah (0-12) Sedang (>12-24) Tinggi (>24-36) Total
% 0 54 46 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 33, strategi koping total yang dilakukan contoh termasuk dalam kategori sedang (54%). Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga contoh belum mampu memaksimalkan strategi koping total dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi setelah terjadinya longsor. Hal ini disebabkan persepsi contoh terhadap sumberdaya yang dimiliki dan pandangan contoh terhadap permasalahan yang dihadapi. Menurut Sunarti
73
(2010) faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial.
Perubahan Permasalahan Keluarga Perubahan adalah salah satu proses yang dapat merubah keadaan menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih memprihatinkan. Pada umumnya perubahan disebabkan oleh sebuah kejadian yang telah terjadi pada seseorang atau masyarakat. Bencana longsor menyisakan permasalahan yang perlu ditangani. Apabila permasalahan yang ditimbulkan oleh longsor sangat berat maka harus segera ditangani dan apabila permasalahan yang ditimbulkan tidak terlalu berat tetap harus ditangani untuk mengembalikan keadaan seseorang atau masyarakat dalam keadaan normal kembali. Untuk mengetahui tingkat berat atau tidaknya permasalahan yang dihadapi dapat dilihat dari perubahan sebelum dan sesudah terjadinya bencana longsor. Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan perubahan peubah permasalahan keluarga (n=100) Permasalahan Keluarga Pangan Kesehatan Pendidikan Tempat tinggal Pakaian Pendapatan Interaksi Keluarga
Perubahan (%) Ya 23 25 18 76 27 40 2
Tidak 77 75 82 24 73 60 98
Total 100 100 100 100 100 100 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 34, perubahan permasalahan yang terjadi pada keluarga korban longsor adalah masalah pangan (23%), masalah kesehatan (25%), masalah pendidikan (18%), masalah tempat tinggal (76%), masalah pakaian (27%), dan masalah pekerjaan atau pendapatan (40%). Sebagian besar contoh beranggapan memiliki perubahan permasalahan ke arah yang memprihatinkan. Keluarga yang terkena bencana alam sudah terbiasa menghadapi
74
permasalahan tersebut sehingga pemerintah dan pihak swasta lebih cenderung memberikan bantuan pangan, kesehatan, pendidikan, dan pakaian. Perubahan terbesar dan terberat yang dirasakan keluarga contoh adalah masalah pangan (23%), masalah tempat tinggal (76%), dan masalah pekerjaan atau pendapatan (40%). Perubahan yang dirasakan contoh lebih ke arah yang memprihatinkan. Hal ini disebabkan longsor yang mengakibatkan menurunnya pendapatan keluarga dan tempat tinggal yang tertimbun longsor. Rendahnya pendapatan keluarga menyebabkan keluarga contoh tidak dapat memiliki tempat tinggal yang memenuhi syarat rumah sehat. Menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunya keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan menimbulkan masalah kesehatan.
Perubahan Kelentingan Keluarga Kelentingan pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Meliputi sistem penguatan, membangun pertahanan, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006). Gempa bumi Jawa Barat 2009 memberikan pengaruh terhadap hubungan suami isteri dan keluarga. Sebagian contoh merasa menjadi lebih harmonis dan dekat dengan keluarga, namun terdapat pula ibu yang merasa suaminya lebih mudah marah, malas bekerja, dan kurang perhatian dibandingkan sebelum gempa (Sunarti 2010). Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan perubahan peubah kelentingan keluarga (n=100) Kelentingan Keluarga Sistem Kepercayaan Keluarga Pola Organisasi Keluarga Proses Komunikasi Keluarga
Perubahan (%) Ya 83 90 77
Tidak 17 10 23
Total 100 100 100
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 35, lima per enam (83%) keluarga contoh mengalami perubahan sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga (90%), dan proses komunikasi keluarga (77%) ke arah yang lebih baik setelah terjadinya longsor. Hal ini menunjukan bahwa setelah terjadinya longsor, keluarga contoh memiliki sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi
75
keluarga, dan proses komunikasi keluarga yang baik dalam menghadapi masalah atau krisis. Hal inipun terlihat dari pernyataan contoh bahwa “setelah terjadinya longsor keluarga contoh semakin terbuka, percaya, dan tidak berani jauh dari keluarga” disebabkan kekhawatiran akan terjadi longsor susulan.
HUBUNGAN ANTAR VARIABEL Hubungan Antar Variabel Permasalahan Keluarga Berdasarkan Tabel 36, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0,317, p<0,01) antara masalah pangan dengan masalah kesehatan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi masalah pangan yang dihadapi keluarga maka semakin tinggi masalah kesehatan yang dihadapi keluarga, dan sebaliknya. Pada saat keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi maka kesehatan anggota keluargapun akan mudah tekena berbagai macam penyakit. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0,352, p<0,01) antara masalah tempat tinggal dengan masalah kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi masalah tempat tinggal maka masalah kesehatan akan semakin meningkat, dan sebaliknya. Keluarga yang menghadapi masalah tempat tinggal seperti tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat rumah sehat maka akan mengancam kesehatan anggota keluarga yang ada di dalamnya. Menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunya keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan akan menimbulkan permasalahan kesehatan. Berdasarkan hasil analisis korelasi, masalah pendidikan berkorelasi secara positif signifikan dengan masalah tempat tinggal (r= 0,218, p<0,05) dan masalah pekerjaan (r=0,211, p<0,05). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi masalah pendidikan yang dihadapi keluarga maka akan meningkatkan masalah tempat tinggal dan masalah pekerjaan, dan sebaliknya. Rendahnya pendidikan merupakan salah satu masalah yang dihadapi keluarga, sehingga menyebabkan keluarga contoh tidak dapat memiliki tempat tinggal yang memenuhi syarat rumah sehat dan pekerjaan yang mapan atau tetap. Menurut Hardinsyah & Suhardjo (1987),
76
pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Hardinsyah (1987), seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah dan menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunyai keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan akan menimbulkan masalah kesehatan. Tabel 36 Sebaran koefisien antar variabel permasalahan keluarga Variabel
Pngn
Kshatn
Permasalahan Keluarga Tmpt Pddkn Pkaian Tnggal
Pkrjaan
Intrksi Klrg
Pangan 1 Keshatn 1 .317** Pddkn .033 .189 1 Tmpt .171 1 .352** .218* Tinggal Pkaian .083 -.069 -.109 .042 1 -.112 1 Pekrjaan -.038 .036 .290** .211* Interaksi .023 .138 .103 .132 .090 1 .324** Klrg Keterangan: Pngn= Pangan Kshatn= Kesehatan Pddkn= Pendidikan Tmpt Tnggal= Tempat Tinggal Pkaian= Pakaian Pkrjaan= Pekerjaan Intrksi klrg= Interaksi Keluarga PKT = Permasalahan Keluarga Total * = Korelasi signifikan pada p<0,05 ** = Korelasi signifikan pada p<0,01
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0,290, p<0,01) antara masalah pekerjaan dengan masalah tempat tinggal. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi masalah pekerjaan yang dihadapi keluarga maka akan meningkatkan masalah tempat tinggal, dan sebaliknya. Masalah pekerjaan berkorelasi positif signifikan (r=0,324, p<0,01) dengan masalah interaksi keluarga. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi masalah pekerjaan maka akan meningkatkan masalah interaksi keluarga, dan sebaliknya. Tidak mapannya pekerjaan kepala keluarga menyebabkan rendahnya penghasilan keluarga dan sulitnya memiliki tempat tinggal yang memenuhi syarat rumah sehat dan kurangnya interaksi keluarga. Menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunya keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan akan menimbulkan permasalahan kesehatan.
77
Hubungan Antar Variabel Kelentingan Keluarga Berdasarkan Tabel 37, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sistem kepercayaan keluarga dengan pola organisasi keluarga (r=0,249, p<0,05) dan proses komunikasi keluarga (r=0,323, p<0,01). Hal ini berarti bahwa semakin baik sistem kepercayaan keluarga, maka pola organisasi keluarga dan proses komunikasi keluarga akan semakin baik. Tabel 37 Sebaran koefisien antar variabel kelentingan keluarga Variabel
Sistem Kepercayaan Keluarga
Pola Organisasi Keluarga
Sistem Kepercayaan 1 Keluarga Pola Organisasi .249* Keluarga Proses Komunikasi .323** Keluarga Keterangan: * = Korelasi signifikan pada p<0,05 ** = Korelasi signifikan pada p<0,01
Proses Komunikasi Keluarga
1 .349**
1
Hasil analisis korelasi menunjukkan, pola organisasi keluarga berkorelasi positif yang signifikan (r=0,349, p<0,01) dengan proses komunikasi keluarga, dan sebaliknya. Hal ini berarti bahwa semakin baik pola organisasi keluarga, maka proses komunikasi keluarga akan semakin baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Praptiwi (2009) bahwa terdapat hubungan positif antara pola organisasi keluarga dengan proses komunikasi keluarga. Hubungan positif pada variabel kelentingan keluarga menandakan bahwa dengan meningkatkan salah satu variabel kelentingan keluarga maka variabel kelentingan keluarga yang lainnya semakin meningkat sehingga dengan adanya kelentingan keluarga yang tinggi maka akan semakin baik ketahanan suatu keluarga.
Hubungan Antar Variabel Strategi Koping Berdasarkan hasil uji korelasi antar variabel strategi koping, menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0,370, p<0,01) antara koping fokus pada masalah dengan koping fokus pada emosi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi koping fokus pada masalah maka akan meningkatkan koping fokus
78
pada emosi. Hal ini menunjukkan bahwa kedua koping ini dapat dilakukan secara bersamaan oleh keluarga contoh dalam menghadapi permasalahan yang diakibatan oleh longsor. Menurut Cooper & Payne (1991), dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, individu tidak hanya melakukan satu strategi koping saja melainkan melakukan beberapa strategi koping yang dianggap tepat dan sesuai dengan dirinya sendiri serta permasalahan yang dihadapi.
Hubungan Antara Karakteristik Keluarga dengan Permasalahan Keluarga Berdasarkan hasil uji korelasi pada Tabel 38, pendapatan per kapita berkorelasi positif yang signifikan dengan masalah pangan (r=-0,227, p<0,05), kesehatan (r=-0,217, p<0,05), pendidikan (r=-0,206, p<0,05), tempat tinggal (r=0,226, p<0.05), pakaian (r=-0,257, p<0,01), pekerjaan/pendapatan (r=-0,316, p<0,01), interaksi keluarga (r=-0,228, p<0,05), dan permasalahan keluarga total (r=-0,304, p<0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi perdapatan per kapita keluarga, maka akan menurunkan permasalahan keluarga (pangan, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pakaian, pekerjaan, interaksi keluarga, dan permasalahan keluarga total). Tabel 38 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan permasalahan keluarga Variabel
Pngn
Kshtn
Permasalahan Keluarga Tmpt Pkai Pddk Tnggl an -.065 -.034 .081 -.041 .083 .155
Pkrjn
Intrks klrg -.027 .035
PKT
Usia Suami -.119 -.182 -.120 -.205* Usia Isteri -.143 -.092 -.087 -.147 Lama Pendidikan .110 .112 -.057 -.138 .128 -.074 .000 -.040 Suami Besar .014 -.055 .126 -.090 .088 .012 .064 -.039 Keluarga Nilai Pemilikan -.067 .083 .027 -.003 -.106 .022 -.080 .033 Aset Pendapatan -.227* -.217* -.206* -.226* -.257** -.316** -.228* -.304** Per Kapita Keterangan: Pngn= Pangan Kshtn= Kesehatan Pddk= Pendidikan Tmpt Tnggl= Tempat Tinggal Pkaian= Pakaian Pkrjn= Pekerjaan Intrks klrg= Interaksi Keluarg PKT = Permasalahan Keluarga Total * = Korelasi signifikan pada p<0,05 ** = Korelasi signifikan pada p<0,01
79
Menurut Suhardjo (1989), pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga yang memiliki pendapatan yang tinggi akan memenuhi kebutuhan keluarga khususnya pangan dan kesehatan serta memiliki banyak waktu untuk komunikasi dengan anggota keluarga karena tidak lagi memikirkan tentang keadaan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan, usia suami berkorelasi negatif secara signifikan (r=-0,205, p<0,05) dengan permasalahan keluarga total. Hal ini berarti bahwa semakin bertambah usia suami maka akan menurunkan permasalahan keluarga total. Hal ini diduga karena usia suami yang semakin bertambah akan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan melakukan tindakan langsung ataau nyata untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Kelentingan Keluarga Berdasarkan Tabel 39, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0,221, p<0,05) antara besar keluarga dengan sistem kepercayaan keluarga. Hal ini berarti bahwa semakin banyak anggota keluarga maka akan meningkatkan sistem kepercayaan keluarga, dan sebaliknya. Tabel 39 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan kelentingan keluarga Variabel
Sistem Kepercayaan Keluarga .151 .072
Pola Organisasi Keluarga
Usia Suami .101 Usia Isteri .027 Lama Pendidikan -.071 -.134 Suami .061 Besar Keluarga .211* Nilai Pemilikan -.059 .051 Aset Pendapatan Per .075 .103 Kapita Keterangan: KKT = Kelentingan Keluarga Total * = Korelasi signifikan pada p<0,05
Proses Komunikasi Keluarga -.120 -.133
KKT .029 -.052 -.021
.129 -.097 .154 .091
.047 .058 .145
Hal inipun ditunjukkan oleh pernyataan contoh “setelah terjadinya longsor, kepercayaan
keluarga
semakin
meningkat
untuk
dapat
menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi meskipun keluarga kami jumlah anggota keluarganya
80
tidak sedikit”. Menurut Antonovsky & Sourani (1988), diacu dalam Walsh (2002) sistem kepercayaan keluarga adalah kepercayaan bersama terhadap keluarga yang dapat membantu seseorang untuk memaknai krisis atau permasalahan yang dihadapi dengan memberikan perasaan yang positif, memiliki harapan yang tinggi, mengembangkan dan mengaplikasikan nilai yang terdapat dalam keluarga untuk mengurangi tekanan dan menyelesaikan masalah.
Hubungan Antara Karakteristik Keluarga dengan Strategi Koping Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman yang disajikan pada Tabel 40, terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0,198, p<0,05) antara usia isteri dengan koping fokus pada emosi. Hal ini berarti bahwa semakin bertambah usia isteri maka semakin tinggi menggunakan koping fokus pada emosi dalam menghadapi
dan
menyelesaikan
permasalahan
yang
dihadapi
keluarga.
Bertambahnya usia isteri maka aktvitas dan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga semakin bertambah sehingga isteri tidak memiliki banyak waktu untuk dapat meningkatkan sumberdaya yang ada dalam dirinya. Hal ini yang mengakibatkan isteri melakukan koping fokus pada emosi karena sumberdaya yang dimiliki isteri tidak mampu untuk mengatasi krisis sehingga menjadikan isteri lebih menerima dan pasrah terhadap keadaan. Menurut Lazarus & Folkman (1984), koping fokus pada emosi dilakukan individu untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stresor secara langsung dan cenderung dilakukan jika individu tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan (r=0,200, p<0,05) antara nilai pemilikan aset dengan koping fokus pada masalah. Hal ini berarti bahwa semakin bertambahnya nilai pemilikan aset yang dimiliki keluarga maka keluarga akan meningkatkan penggunaan koping fokus pada masalah untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Hal ini ditunjukkan dengan keluarga contoh yang menjual beberapa aset yang dimiliki ketika dalam keadaan terdesak dan terkena longsor. Menurut Bryant (1990), aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga. Keluarga yang memiliki aset
81
yang banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas dan dapat memanfaatkan aset tersebut ketika dalam keadaan terdesak. Menurut Lazarus & Folkman (1984) problem focused coping adalah tindakan yang diambil seseorang untuk memecahkan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hasil penelitian Ninno et al. (1998), salah satu strategi koping yang dilakukan rumah tangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir di Bangladesh adalah dengan menggunakan problem focused coping yaitu mengubah perilaku makan dan menjual aset yang masih dimiliki. Tabel 40 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dengan strategi koping Variabel
Koping Fokus Pada Masalah
Usia Suami .101 Usia Isteri .074 Lama Pendidikan Suami .004 Besar Keluarga .049 Nilai Pemilikan Aset .200* Pendapatan Per Kapita .100 Keterangan: * = Korelasi signifikan pada p<0,05
Koping Fokus Pada Emosi -.011 .198* -.056 -.047 -.054 .012
Strategi Koping Total .057 .038 -.030 -.001 .037 .033
Hubungan Antara Permasalahan Keluarga dengan Kelentingan Keluarga Berdasarkan hasil uji korelasi yang disajikan pada Tabel 41, pola organisasi keluarga berkorelasi negatif yang signifikan dengan masalah tempat tinggal (r=-0,220, p<0,05) dan masalah pekerjaan atau pendapatan (r=-0,198, p<0,05). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi masalah tempat tinggal dan masalah pekerjaan atau pendapatan maka akan menurunkan pola organisasi keluarga. Menurut Khomsan (2007) pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Keluarga yang memiliki masalah pendapatan maka akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat. Menurut BPS (1997) rumah adalah tempat dimana keluarga dapat bersatu dan merasa satu kesatuan. Ketika keluarga kehilangan tempat tinggal maka dapat berpengaruh pada kesatuan keluarga. Menurut Walsh (2002) struktur keluarga menggambarkan bagaimana keluarga melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya yang mencakup
82
fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial dan ekonomi. Pola organisasi dapat dilakukan melalui struktur yang fleksibel, kepemimpinan yang saling mendukung, dan kerjasama dalam menghadapi keadaan krisis atau kemalangan. Tabel 41 Sebaran koefisien korelasi permasalahan keluarga dengan kelentingan keluarga Variabel
Sistem Kepercayaan Keluarga .104 -.023
Pola Organisasi Keluarga -.080 -.150
Masalah Pangan Masalah Kesehatan Masalah .116 .156 Pendidikan Masalah Tempat .143 -.220* Tinggal Masalah Pakaian .032 -.143 Masalah -.071 -.198* Pekerjaan Masalah Interaksi .065 .132 Keluarga Permasalahan -.011 .088 Keluarga Total Keterangan: * = Korelasi signifikan pada p<0,05
Proses Komunikasi Keluarga .185 .134
Kelentingan Keluarga Total .162 .011
-.126
-.014
-.113
.103
.066 -.223*
.013 -.071
-.165
-.026
-.184
-.068
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan (r=-0,223, p<0,05) antara masalah pekerjaan atau pendapatan dengan proses komunikasi keluarga. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi masalah pekerjaan atau pendapatan maka semakin menurunkan proses komunikasi keluarga, dan sebaliknya. Menurut Khomsan (2007) pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Keluarga yang memiliki masalah pekerjaan akan dapat mengurangi keefektifan proses komunikasi keluarga. Keluarga yang memiliki masalah pekerjaan/pendapatan akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena masalah pendapatan adalah masalah yang dapat memicu timbulnya permasalahan lain.
Hubungan Antara Permasalahan Keluarga dengan Strategi Koping Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman (Tabel 42), koping fokus pada emosi berkoreasi positif yang signifikan dengan masalah pekerjaan atau pendapatan (r=0,200, p<0,05) dan permasalahan keluarga total (r=0,203, p<0,05).
83
Hal ini berarti bahwa semakin tinggi masalah pekerjaan atau pendapatan dan permasalahan keluarga total yang dihadapi keluarga maka akan meningkatkan penggunaan koping fokus pada emosi, dan sebaliknya. Masalah pekerjaan berkaitan dengan masalah pendapatan. Keluarga yang memiliki masalah pekerjaan dan pendapatan akan cenderung menimbulkan berbagai permasalahan. Tabel 42 Sebaran koefisien korelasi permasalahan keluarga dengan strategi koping keluarga Variabel
Koping Fokus Pada Masalah -.053 .077 .102 .057
Koping Fokus Pada Emosi -.060 -.079 .024 .111
Strategi Koping Total .071 .016 .090 .095
.134 .200* .139
.035 .056 .026
.203*
-.126
Masalah Pangan Masalah Kesehatan Masalah Pendidikan Masalah Tempat Tinggal Masalah Pakaian -.033 Masalah Pekerjaan .019 Masalah Interaksi -.123 Keluarga Permasalahan Keluarga -.101 Total Keterangan: * = Korelasi signifikan pada p<0,05
Menurut Khomsan (2007) pekerjaan merupakan salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatan setiap bulannya. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap, maka pendapatan keluarga setiap bulannya tidak dapat dipastikan dan akan memicu timbulnya permasalahan. Tingginya penggunaan koping fokus pada emosi disebabkan oleh sumberdaya yang dimiliki keluarga tidak mampu merubah keadaan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984), emotional fokused coping adalah usaha-usaha yang dilakukan seseorang untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stresor secara langsung dan cenderung dilakukan jika seseorang tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi.
84
Hubungan Kelentingan Keluarga dengan Strategi Koping Hasil uji korelasi Spearman (Tabel 43), sistem kepercayaan keluarga berkorelasi positif yang signifikan dengan koping fokus pada masalah (r=0,330, p<0,01), koping fokus pada emosi (r=0,265, p<0,01), dan strategi koping total (r=0,378, p<0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi sistem kepercayaan keluarga akan meningkatkan koping fokus pada masalah, koping fokus pada emosi, dan strategi koping total. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara pola oorganisasi keluarga dengan koping fokus pada masalah (r=0,289, p<0,01), koping fokus pada emosi (r=0,285, p<0,01), strategi koping total (r=0,343, p<0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pola organisasi keluarga akan meningkatkan koping fokus pada masalah, koping fokus pada emosi, dan strategi koping total. Tabel 43 Sebaran koefisien korelasi kelentingan keluarga dengan strategi koping (n=100) Variabel
Koping Fokus Pada Masalah
Sistem Kepercayaan .330** Keluarga Pola Organisasi .289** Keluargaa Proses Komunikasi .254* Keluarga KKT .387** * Keterangan: = Korelasi signifikan pada p<0,05 KKT= Kelentingan Keluarga Total
Koping Fokus Pada Emosi
Strategi Koping Total
.265**
.378**
.285**
.343**
.239*
.324**
**
.360** .477** = Korelasi signifikan pada p<0,01
Hasil penelitian menunjukkan, proses komunikasi keluarga berkorelasi positif signifikan dengan koping fokus pada masalah (r=0,254, p<0.05), koping fokus pada emosi (r=0,239, p<0,05), dan strategi koping total (r=0,324, p<0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi proses komunikasi keluarga akan meningkatkan koping pada masalah, koping pada emosi, dan strategi koping total. Kelentingan keluarga total berkorelasi positif signifikan dengan koping fokus pada masalah (r=0,387, p<0,01), koping fokus pada emosi (r=0,360, p<0,01), dan strategi koping total (r=0,477 p<0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kelentingan keluarga total akan meningkatkan koping fokus pada masalah, koping pada emosi, dan strategi koping total.
85
Menurut Sunarti (2009), manusia memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dimana faktor utamanya adalah kerentanan (vulnerability) atau kebalikannya yaitu kelentingan (resilience) individu, keluarga, dan masyarakat. Tingkat kerentanan atau tingkat kelentingan dan ketangguhan berkaitan dengan kemampuan bangkit dari keterpurukan, persepsi terhadap stesor, kemampuan mengelola stres, kemampuan mengelola emosi yang berdampak secara negatif, dan strategi atau mekanisme koping yang dilakukan. Menurut Sunarti (2010), faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial. Selanjutnya, menurut Walsh (1999), dorongan anggota keluarga dengan mengambil tindakan inisiatif untuk keluar dari kemalangan merupakan kekuatan untuk mempertahankan keadaan keluarga dan dapat membantu mengembalikan keadaan keluarga dalam keadaan normal kembali.
Pengaruh Karakteristik Keluarga, Permasalahan Keluarga, dan Kelentingan Keluarga terhadap Strategi Koping Untuk melihat variabel yang mempengaruhi strategi koping digunakan uji regresi linear berganda. Variabel terikat adalah strategi koping, sedangkan variabel bebas adalah karakteristik keluarga (usia isteri, lama pendidikan suami, besar keluarga, kepemilikan aset, dan pendapatan per kapita), permasalahan keluarga, dan kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga). Hasil dari uji regresi linear berganda pada Tabel 44, menunjukkan bahwa nilai Adjusted R2 sebesar 0,242, artinya sebanyak 24,2 persen strategi koping dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, permasalahan keluarga, dan kelentingan keluarga. Sisanya sebanyak 75,8 persen dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping secara signifikan adalah permasalahan keluarga (β= 0,104, p=0,006), sistem kepercayaan keluarga (β= 0,303, p=0,003), pola
86
organisasi keluarga (β= 0,254, p=0,008), dan proses komunikasi keluarga (β= 0,185, p=0,075). Permasalahan keluarga berpengaruh positif nyata (p<0,01) terhadap strategi koping. Koefisien regresi variabel permasalahan keluarga bernilai 0,104; artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan permasalahan keluarga mengalami peningkatan, maka strategi koping akan mengalami peningkatan sebesar 0,104. Semakin tinggi permasalahan keluarga, maka akan semakin meningkatkan strategi koping keluarga. Keinginan keluarga untuk dapat keluar dari permasalahan yang dihadapi untuk dapat mempertahankan kehidupan keluarganya mendorong keluarga untuk meningkatkan strategi koping. Menurut Mc Cubbin et al. (1975), koping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga peningkatan kebebasan dan penghargaan pada diri kita sendiri, mempertahankan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian keseimbangan dalam sistem keluarga. Sistem kepercayaan keluarga berpengaruh positif nyata (p<0,01) terhadap strategi koping. Koefisien regresi variabel sistem kepercayaan keluarga bernilai 0,303; artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan sistem kepercayaan keluarga mengalami peningkatan, maka strategi koping keluarga akan mengalami peningkatan sebesar 0,303. Semakin tinggi sistem kepercayaan keluarga, maka akan semakin meningkatkan strategi koping keluarga. Pola organisasi keluarga berpengaruh positif nyata (p<0,01) terhadap strategi koping. Koefisien regresi variabel pola organisasi keluarga bernilai 0,254; artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan pola organisasi keluarga mengalami peningkatan, maka strategi koping keluarga akan mengalami peningkatan sebesar 0,254. Proses komunikasi keluarga berpengaruh positif nyata (p<0,05) terhadap strategi koping. Koefisien regresi variabel proses komunikasi keluarga bernilai 0,185; artinya jika variabel independen lain nilainya tetap dan proses komunikasi keluarga mengalami peningkatan, maka strategi koping keluarga akan mengalami peningkatan sebesar 0,185. Hal ini berarti bahwa variabel kelentingan keluarga (sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, proses komunikasi
87
keluarga) berpengaruh terhadap strategi koping keluarga. Menurut James et al. (2006), kelentingan pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Kelentingan termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan pengurangan kerugian dan Friedman (1998) mendefinisikan koping keluarga sebagai respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu. Tabel 44 Pengaruh karakteristik keluarga, permasalahan keluarga, dan kelentingan keluarga terhadap strategi koping Variabel Bebas Karakteristik Keluarga Usia Isteri Lama Pendidikan Suami Besar Keluarga Kepemilikan Aset Pendapatan Per Kapita Permasalahan Keluarga Kelentingan Keluarga Sistem Kepercayaan Keluarga Pola Organisasi Keluarga Proses Komunikasi Keluarga N Df F R2 Adj R2 * Keterangan: = Nyata pada p<0,05
β
Strategi Koping T
Sig
.087 -.002 -.086 .075 .010 .104
.936 -.027 -.915 .802 .108 1.141
.352 .978 .363 .424 .915 .006**
.303 .254 .185
**
3.008 2.721 1.800 100 9 4.510(p=.000**) .311 .242 = Nyata pada p<0,01
.003** .008** .075*
Dalam memilih dan melakukan strategi koping untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, keluarga membutuhkan daya lenting yang tinggi. Menurut Sunarti (2001), konsep dari kelentingan keluarga adalah perubahan dari krisis. Kelentingan keluarga berhubungan dengan keluarga yang rentan dan bermasalah. Apabila keluarga mempunyai daya lenting yang tinggi dan melakukan strategi koping yang baik, maka akan berdampak positif pada ketahanan keluarga. Menurut McCubbin & Thompson (1987), diacu dalam Sunarti (2010) bahwa kelentingan merupakan salah satu faktor yang berinteraksi dengan strategi koping dan menjadi bagian dalam manajemen stres keluarga.
88
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Persentase terbesar suami (61%) dan isteri (73%) termasuk dalam kategori usia dewasa awal (18-40 tahun). Usia suami berkisar antara 20 sampai 68 tahun, sedangkan usia isteri 19 sampai 60 tahun. Lebih dari empat per lima suami (84%) dan isteri (90%) berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar. Hampir seluruh suami (99%) dan isteri (100%) tidak menamatkan wajib belajar 9 tahun dan hanya satu persen suami telah menamatkan wajib belajar 9 tahun. Persentase terbesar (47%) keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) dan keluarga sedang (5-7 orang) (37%) dan sisanya (16%) termasuk dalam kategori keluarga besar (≥ 8 orang). Aset terbanyak yang dimiliki keluarga contoh adalah rumah (82%), ayam (65%), perhiasan (46%), kambing (37%), dan motor (29%). Nilai kepemilikan aset yang dimiliki keluarga contoh adalah berkisar pada Rp 0 sampai Rp 90 250 000. Keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita keluarga berkisar pada Rp 16 666,67 sampai Rp 3 000 000 dan lebih dari enam per tujuh (87%) contoh memiliki pendapatan per kapita kurang dari Rp 191 000 dan termasuk dalam kategori keluarga miskin. Lebih dari separuh (55%) suami memiliki pekerjaan utama sebagai petani dan isteri (74%) memiliki pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga. 2. Permasalahan keluarga total yang dihadapi contoh termasuk dalam kategori tinggi. Permasalahan terberat yang diakui contoh adalah masalah pangan, masalah tempat tinggal dan masalah pendapatan per kapita keluarga. Strategi koping total yang dilakukan contoh termasuk dalam kategori sedang (54%). Tiga per lima (60%) contoh melakukan koping fokus pada masalah jenis planful problem solving (melakukakan upaya untuk merubah keadaan) dan seeking social support (mencari dukungan dari pihak luar) sehingga koping fokus pada masalah termasuk dalam kategori sedang (71%). Lebih dari 80 persen contoh melakukan koping fokus pada emosi jenis positive reappraisal (mengempbangkan
makna
positif
dari
sebuah
kejadian),
accepting
89
responsibility (menerima semua yang telah terjadi dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami), self controlling (melakukan pengaturan diri baik dalam perasaan maupun tindakan), dan escape avoidance (menghindar dari permasalahan yang dihadapi) sehingga koping fokus pada emosi termasuk dalam kategori tinggi (93%). 3. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara usia suami dengan permasalahan keluarga total, hubungan negatif signifikan antara pendapatan per kapita dengan seluruh variabel permasalahan keluarga, hubungan positif yang signifikan antara besar keluarga dengan sistem kepercayaan keluarga, hubungan positif yang signifikan antara nilai kepemilikan aset dengan koping fokus pada masalah, hubungan positif yang signifikan antara usia isteri dengan koping fokus pada emosi, hubungan negatif yang signifikan antara masalah tempat tinggal dan masalah pekerjaan/pendapatan dengan pola organisasi keluarga, hubungan negatif yang signifikan antara masalah pekerjaan/pendapatan dengan proses komunikasi keluarga, hubungan positif yang signifikan antara masalah pekerjaan/pendapatan dan permasalahan keluarga total dengan koping fokus pada emosi. 4. Permasalahan keluarga, sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap strategi koping. Permasalahan yang dihadapi dan daya lenting
yang
dimiliki
keluarga
mendorong
individu
untuk
dapat
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan melakukan koping yang sesuai untuk tetap dapat bertahan dalam keadaan krisis.
Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian, permasalahan terbesar dan terberat yang diakui contoh setelah terjadinya longsor adalah masalah tempat tinggal. Pemerintah pusat (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), pada tahap rehabilitasi daerah (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Lembaga Swadaya Masyarakat dan Sosial disarankan membentuk program pelatihan tanggap longsor yang mencakup kesiapsiagaan, penyiapan persiapan fisik, dan
90
peningkatan keterampilaan keluarga untuk mengatasi kondisi saat dan pasca longsor serta mempertimbangkan alternatif relokasi dan memberikan bantuan perbaikan rumah untuk mencegah timbulnya permasalahan baru yang lebih mengancam keselamatan masyarakat. 2. Pendapatan per kapita keluarga yang rendah, masalah pangan yang serius, dan tingginya masalah tempat tinggal keluarga korban longsor mengakibatkan permasalahan yang dihadapi belum terselesaikan. Berkaitan dengan hal tersebut, disarankan kepada pemerintah pusat (contohnya BKKBN dan Departemen Sosial), lembaga daerah (khususnya yang terkait dengan fungsi sosial dan pemberdayaan masyarakat), dan lembaga swadaya masyarakat untuk memperkuat program pemberdayaan keluarga khususnya bagi korban bencana yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. 3. Besarnya permasalahan yang dihadapi dan belum mampunya contoh dalam mengatasi perasaan takut dan trauma yang disebabkan oleh bencana longsor, maka disarankan kepada pemerintah daerah (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) dan lembaga swadaya masyarakat untuk membentuk dan melakukan family conseling dengan instansi terkait lainnya (contohnya instansi/lembaga yang dapat menangani permasalahan keluarga dan memulihkan keadaan psikologis korban bencana longsor). 4. Kelentingan keluarga merupakan isu penelitian baru di Indonesia, maka dipandang perlu penelitian lanjutan dan mendalam mengenai kelentingan keluarga dan strategi koping dalam situasi dan kondisi yang memiliki karakteristik yang berbeda.
91
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Fungsi Pakaian dalam Ajaran Islam. http://diaz2000.multiply.com/journal/item/52/Fungsi_Pakaian_dalam_Aja ran_Islam [22 Mei 2010]. ____. 2009. Bencana Alam. http://id.wikipedia.org/wiki/Bencana_alam [20 April 2010]. ____. 2010. Fungsi Busana. http://mode.okrek.com/2010/fungsi-busana.html [22 Mei 2010] ____. 2010. Kesehatan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kesehatan [22 Mei 2010]. Atkinson RL, RC Atkinson, EE Smith, DJ Bem. 2000. Pengantar Psikologi Jilid 2 (II th ed.) (W. Kusuma, Penerjemah). Jakarta: Interaksara. Bambang A. 2010. Gizi dan Kesehatan. http://www.arisbambang.wordpress.com/kesehatan/ [22 Mei 2010]. BKKBN [Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional]. 1996. Opini Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN. BNPB [Badan Nasional Penanggulangan Bencana]. 2009. Bencana Alam di Sumatra Barat dan Jambi: Penilaian Kerusakan, Kerugian, dan Kebutuhan-Kebutuhan Awal. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana. BPPN [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2006. Rencana Aksi Nasional: Pengurangan Resiko Bencana. Jakarta: Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. BPS [Badan Pusat Statistik]. 1997. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ____. 2003. Profil Wanita Kepala Rumah Tangga. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ____. 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bogor Tahun 2005. BPS Kabupaten Bogor. ____. 2008. Statistik Potensi Desa Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ____. 2009. Kecamatan Dalam Angka 2009: Kecamatan Cigudeg. Bogor: Badan Pusat Statistik. ____. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2009. Bogor: Badan Pusat Statistik. Bryant WK. 1990. The Economic Organization of The Household. Cambridge: University Press.
92
Cahyaningsih N. 1999. Persepsi Remaja Terhadap Gaya Pengasuhan Orangtua dan Hubungannya Dengan Kenakalan Remaja SMU di Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Carmin JA. 2005. Disaster Vulnerability and Resilience. Catatan kuliah. http://ocw.mit.edu/NR/rdonlyres/Urban-StudiesandPlanning/11941 Spring -2005/C4C6A045-FCE7-49DC-B80F-AE1541464F7A/0/carmin lect1.pdf. [19 Februari 2010]. Cooper dan Payne L. 1991. Personality and Stres: Individual Differences in the Stres Process. New York: John Willey & Sons. Duvall EM. 1970. Family Development (4th ed). United States of America: J.B. Lippincott Company. Engel JF, Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen (6 (F.X. Budiyonto, penerjemah). Jakarta: Binarupa Aksara.
th
ed.) Jilid I
Fabella AT. 1993. Anda Sanggup Mengatasi Stres. Lintong, Lj dan CZ Panjaitan, penerjemah; Sairang, editor. Indonesia Publishing House. Terjemahan dari: ou Can Cope With Stres. Firdaus dan Sunarti E. 2009. Hubungan Antara Tekanan Ekonomi dan Mekanisme Koping dengan Kesejahteraan Keluarga Wanita Pemetik The. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Vol2 No 1, Januari 2009. Fitasari W. 2004. Strategi Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Gizi Balita dan Tingkat Kepuasan Keluarga [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Friedman. 1998. Family Nursing, Theory and Practice (3rd ed). California: Applenton & Lange. Furi AA. 2006. Persepsi, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Ibu Pada Keluarga Miskin Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga Institut Pertanian Bogor. Gross IH, EW Crandall, M Knoll. 1980. Management of Modern Families (4th ed). Cornell University, Prentice-Hall. Gunarsa SD dan Y Gunarsa. 1991. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ____. 2000. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hardinsyah. 1985. Diktat Ekonomi Gizi. Diktat yang tidak dipublikasikan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
93
____. 1987. Pola Konsumsi Pangan Pokok Penduduk Desa dan Kota Berdasarkan Strata Ekonomi Di Pulau Jawa. Bogor: PAU IPB. ____ dan Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ____. 1997. Ekonomi Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hasan MI. 2003. Pokok-pokok Materi Statistika I: Statistika Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara. Hastuti D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip Serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekolologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Hayslip B dan PE Panek. 1989. Adult Development and Aging. United States of America: Harper & Row Publisher. Hultsch DF dan F Deutsh. 1981. Adult Development and Aging A Life-Span Perspective. United States of America: McGraw-Hill, Inc. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. IDEP
[Lembaga Swadaya Masyarakat Bali]. 2007. Panduan Umum: Pananggulangan Bencana Berbasis Masyarakat Edisi Ke-2. Bali: IDEP Foundation.
James E., Edward J. Hecker, S Paula, E Ernie, D Maria, W James. Wright. 2006. Regional Disaster Resilience: A Guide for Developing an Action Plan. http://www.google.com/search?sourceid=navclient&ie =UTF8&rlz=1T4TSHenID265&q=regional%2ddisaster%2dguide. [19 Februari 2010]. Karyadi D dan Susanto D. 1996. Masalah Kemiskinan: Telaah Kebijaksanaan Pelayanan Kesehatan, Gizi dan Keluarga Berencana. Jakarta: Binarupa Aksara. Khomsan A. 2007. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kumari R. 2001. Pola Asuh dan Kaitannya dengan Tingkat Kemandirian Anak Prasekolah di TK Teladan Negeri Mexindo, Bogor [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kunarti. 2004. Pengaruh Interaksi Keluarga dan Tekanan Ekonomi terhadap Kenakalan Remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Teknik Industri
94
(SMK-TI) Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Program Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kusumaningsih IW. 2007. Kebiasaan Sarapan pada Remaja SMA di Kota Bogor dan Faktor-faktor yang Memepengaruhinya [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kotler P dan G Armstrong. 2001. Dasar-dasar Pemasaran (Edisi Kesembilan). Jakarta: PT INDEKS. Lazarus RS dan Folkman S. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : McGraw-Hill, Inc. Marguire, Brigit dan Patrick, Hagan. 2007. Disaster and Communities: Understanding Social Resilience. The Australian Journal of Emergency Management, Vol 22 Np 2, May 2007. http://www.ema.gov.au/agd/EMA/rwpattach.nsf/VAP/(1FEDA2C440E49 0E0993A00B7C030CB7)∼16-20maguire.pdf/$file/16-20maguire.pdf. [19 Februari 2010]. Maryam S. 2007. Strategi koping Keluarga yang Terkena Musibah Gempa dan Tsunami Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. McCubbin HI. 1975. Family Assessment Inventories for Research and Practice. The University of Wisconsin-Madison. Madison Wisconsin. Mutyahara A. 2005. Beberapa Faktor yang berhubungan dengan Peran Ibu dalam Pengasuhan dan Kecerdasan Emosional Anak Usia Sekolah [skripsi]. Bogor: Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nazir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ninno C., PA Dorosh, LC Smith dan DK Roy. 1998. Floods in Bangladesh: Disaster Impact Household Coping Strategies, and Responde. Washington DC: International Food Folicy Research Institute. Nuryani N. 2007. Kajian Ketahanan Keluarga Petani: Hubungan Fungsi Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Pemeliharaan Sistem dengan Kesejahteraan Keluarga [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Praptiwi RN. 2009. Hubungan Antar Kelentingan Keluarga, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga Nelayan Di Daerah Rawan Bencana [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen FEMA IPB. Purwadianto A. 2006. Disasters in Indonesia: Disasters in Indonesia: An Ongoing Challenge An Ongoing Challenge. Law and Organization Bureau,
95
MOH.Law and Organization Bureau, MOH University of Indonesia, School of Medicine Medicine. Puspitawati H. 1992. Time Management Strategies Used in Household in Which Income is Generated at Home.Lowa State University. Arnes, Lowa. ____. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah trehadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rice PL. 1999. Stress and Health (3rd ed). California: Brooks/Cole Publishing Company. Roedjito D, Utomo BS, Farida Y. 1986. Dampak Usaha Perbaikan Gizi Masyarakat. Jakarta: LIPI. Sadisun IA. 2007. Pemahaman Karakteristik Bencana: Aspek Fundamental dalam Upaya Mitigasi dan Penanganan Tanggap Darurat Bencana. Bandung: Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung. Saxton. 1990. The Individual, Marriage, dan Family (7th ed). California: A Division of Wadsworth, Inc. Setioningsih SP. 2010. Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak Pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi) [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen FEMA Institut Pertanian Bogor. Sevilla CG, Ochave JA, Punsalam TG, Regala BP, Uriatre CG. 1993. Pengantar Metode Penelitian (Tuwu A, Penerjemah). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Singarimbun M dan Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survey. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo: Dabara Publisher Slamet JS. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo. Soedarsono S. 1997. Ketahanan Pribadi dan Ketahanan Keluarga sebagai Tumpuan Ketahanan Nasional. Jakarta: Intermasa. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Suhardjo. 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi Petunjuk Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
96
Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan (Bahan Pengajaran). Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sumarwan. 2002. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Sunarti E. 2001. Ketahanan Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Kehamilan [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. ____. 2007. Theoritical and Methodological Issues on Family Resilience. Paper yang tidak dipublikasikan. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB. ____. 2008. Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga (Diktat Kuliah-1). Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. ____. 2009. Perumusan Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan Terkena Bencana dalam Rangka Penyusunan Analisis Resiko Bencana di Sektor Pertanian. Laporan Penelitian Hibah Strategi Nasional DIKTI. ____ dan Sumarno H. 2009. Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan untuk Pengurangan Risiko Bencana di Sektor Pertanian. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian. Bogor: LPPM IPB. ____. 2010. Concept and Method of Potential Socio-Economic Impact of Disaster. Paper yang tidak dipublikasikan. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB. ____. 2010. Laporan Akhir: Pendampingan Psikososial Ekonomi Pasca Gempa Bumi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2009. Pust Studi Bencana LPPM IPB. Supranto J. 2000. Statistik: Teori dan Aplikasi, Jilid I (6nd ed.). Jakarta: Erlangga. Surono. 24 Januari 2008. Jabar, Kawasan Paling Rawan Bencana Longsor. Pikiran Rakyat: 11 (6-7). Susanto dan Sunario. 1995. Globalisasi dan Komunikasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suwarso S. 1993. Penyuksesan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Malang: Universitas Merdeka Malang. (Rumusan hasil diskusi panel nasional). Syarief H. 1998. Pemberdayaan Wanita dalam Mewujudkan Ketahanan Keluarga. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB. Tierny K dan Michael B. 2007. Conceptualizing and Measuring Resilience: A Key to Disaster Loss Reduction.
97
http://onlinepubs.trb.org/onlinepubs/trnews/trnews250p14-17.pdf. Februari 2010].
[19
Utomo B. 1998. Dampak Krisis Moneter dan Kekeringan Terhadap Kesehatan dan Gizi Anak. Jakarta: LIPI. Walsh F. 1999. Spiritual Resources In Family Therapy. New York: Guilford Press. ____.
2002. A Family Resilience Framework : Innovative Applications.http://www.aamycp.org.ar/pdf/froma_walsh.pdf. Februari 2010].
Practice [19
Yuhaeni I, N Purnaningsih, SS Mugniesjah. 2006. Dasar-dasar Komunikasi. Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Kode
KUESIONER PENELITIAN STRATEGI KOPING DAN KELENTINGAN KELUARGA PADA KELUARGA KORBAN BENCANA
Nama Responden RT / Nomor Rumah Desa / Kelurahan Kecamatan Kabupaten Enumerator Tgl / Bulan / Tahun Awal Wawancara Akhir Wawancara
: …………………………, : ………………………..., : ………………………..., : ………………………..., : ………………………..., : ………………………..., : ………………………..., : ………………………..., : ………………………....
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
A. KARAKTERISTIK KELUARGA A.1 Identitas Keluarga N Nama J Usia o Anggota K Keluarga 1 2 3
Hub. Keluarga
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan Utama
Pekerjaan Tambahan
Ket
4
5
6
7
8
Keterangan: Lajur 1 = nama lengkap Lajur 2 = 1. Laki-laki; 2. Perempuan Lajur 3 = Usia (tahun) Lajur 4 = 1. KK 3. Anak 5. Pembantu 2. Isteri 4. Ikatan saudara 6. Orang lain Lajur 5 = 1. Tidak tamat SD 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. S1 6. S2 7. S3 Lajur 6 dan 7 = 1. Polisi/ABRI 5. Wiraswasta 2. PNS 6. Ibu Rumah Tangga 3. Petani 7. Pelajar/mahasiswa 4. Pegawai swasta 8. Tidak bekerja Lajur 8, isi dengan keadaan fisiologis dan fisik (hamil dan tidak hamil, sakit, cacat), mobilitas dll
A.2 Pendapatan Keluarga Anggota Keluarga
KK Isteri Anak Anggota lain
Rata-Rata Pendapatan Per Bulan Status Pekerjaan Pendapatan Per Bulan (Rp) Utama: ………………… Tambahan: ……………. Utama: ………………… Tambahan: ……………. Utama: ………………… Tambahan: ……………. Utama: ………………… Tambahan: …………….
A.3 Pemilikan Aset Keluarga No Nama aset 1 Tanah kebun/tegal sendiri 2 Sawah sendiri 3 Rumah sendiri 4 Kamar mandi sendiri 5 Luas bangunan 6 Luas pekarangan 7 Mobil 8 Truk 9 Motor 10 Sepeda
2
Jumlah/Luas (M )/Rp
Status Kepemilikan
No 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama aset Tabungan Perhiasan Ayam Bebek Burung Kambing Kerbau Sapi
2
Jumlah/Luas (M )/Rp
Status Kepemilikan
B. PERMASALAHAN KELUARGA Isilah kolom jawaban dengan memberi tanda (√) pada pilihan jawaban yang paling sesuai! Keterangan: 0= Tidak 1= Ya Perubahan No Permasalahan Keluarga 0 1 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
A. Pangan Keluarga makan 3 kali sehari Keluarga makan dengan menu empat sehat setiap hari (nasi, sayur, daging, dan buah) Dalam setiap menu makan terdapat pangan yang berasal dari protein nabati dan hewani seperti tahu, tempe, daging Setiap hari menu makan berubah B. Kesehatan Membawa anggota keluarga yang sakit berobat ke puskesmas Memiliki kesulitan dalam membayar obat-obatan C. Pendidikan Anak mengikuti pendidikan formal (sekolah) Anak mengikuti pendidikan non formal Mampu menyediakan seluruh keperluan sekolah anak (alat tulis, tas, pakaian dan sepatu sekolah) D. Tempat Tinggal Terdapat rumah untuk tempat berlindung keluarga yang memadai Rumah dilengkapi dengan fasilitas MCK Terdapat ruangan yang cukup untuk seluruh anggota keluarga Rumah memiliki cukup penerangan E. Pakaian Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk kegiatan yang berbeda Kepala keluarga mampu membeli pakaian untuk seluruh anggota keluarga minimal 6 bulan sekali F. Pendapatan Kepala keluarga tetap bekerja Penghasilan suami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga G. Interaksi Keluarga Keluarga mempunyai waktu khusus untuk berkumpul bersama
1
catatan
No
Permasalahan Keluarga
19
Ibu meluangkan waktu untuk suami setiap suami membutuhkan Membicarakan rasa cinta antara ibu dan suami Ibu lebih senang berbicara dengan suami dibandingkan dengan anggota keluarga lain (saudara, teman dll) Ibu dan suami membicarakan masalah pendidikan anak Ibu dan suami saling menghargai Ibu meluangkan waktu untuk anak setiap anak membutuhkan Ibu menanyakan/mendengarkan saran/pendapat anak mengenai sesuatu seperti dalam membuat peraturan di rumah sehingga anak merasa dihargai Ibu dan anak saling menghargai Ibu membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi anak dengan sikap yang positif Ibu menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak dalam hal apapun misal: hubungan teman, persahabatan, sekolah dll Ibu bertanya tentang teman-teman anak di sekolah dan di rumah Anak mendengarkan nasihat yang diberikan ibu Anak-anak saling menghargai satu sama lain dengan saudara seperti saling menghargai antar kakak dan adik Anak-anak saling membantu satu sama lain dengan saudara contohnya ketika adik mengalami kesulitan mengerjakan tugas sekolah, kakak membantu menjelaskan maksud tugasnya Anak lebih suka berbicara dengan ibu dibandingkan dengan anggota keluarga lain
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
32
33
0
1
Perubahan 0
1
catatan
C. STRATEGI KOPING Isilah kolom jawaban dengan memberi tanda (√) pada pilihan jawaban yang paling sesuai! Keterangan: 0= Tidak 1= Ya No
1. 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan A. Fokus Pada Masalah Ibu berusaha lebih dari biasanya supaya bisa berhasil menyelesaikan masalah Membuat perencanaan untuk masa depan seperti keuangan, pendidikan dll Perencanaan tersebut sudah mulai dilakukan Ibu berkonsentrasi terhadap apa yang harus dilakukan Mencari posko-posko bantuan dari pemerintah dan swasta Menjual aset/barang yang masih dimiliki Mencari pinjaman kepada tetangga yang masih memilikinya Mengubah kebiasaan supaya segala sesuatu akan menjadi lebih baik (seperti pola makan, belanja dll)
0
1
No 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Pernyataan Berusaha menghubungi orang yang bertanggung jawab terhadap masalah misal: ketua RT, RW atau Kepala Desa Ibu membiarkan perasaan atau emosi keluar Mengambil suatu kesempatan yang besar walaupun itu sangat beresiko misal: meminjam uang ke bank/rentenir Ibu mencoba melakukan sesuatu walaupun tidak yakin akan berhasil, tetapi paling tidak ibu telah melakukan sesuatu Ibu berusaha bertanya pada orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama tentang apa yang mereka lakukan Ibu berusaha meminta nasihat kepada saudara atau tetangga tentang apa yang harus ibu lakukan Ibu berusaha berbicara pada seseorang untuk mencari informasi dan dapat membantu ibu Ibu berusaha membicarakan permasalahan yang ibu hadapi kepada orang yang lebih mengerti seperti tokoh agama, kader, desa dll Ibu menerima simpati dan pengertian dari orang lain B. FOKUS PADA EMOSI Ibu lebih banyak shalat, berdoa, berdzikir dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT Ibu percaya Allah mendengarkan doa ibu Ibu bersyukur dengan apa yang masih ibu miliki Ibu mendapat hal-hal/ide baru untuk melakukan sesuatu yang lebih baik Musibah ini merubah ibu menjadi orang yang lebih baik Mengkritik/introspeksi diri sendiri Ibu menyadari permasalahan ini terjadi karena kesalahan ibu sendiri Ibu belajar hidup dalam kondisi seperti ini Ibu bisa menerima semua yang telah terjadi dan tidak bisa dirubah kembali Ibu berfikir terlebih dahulu apa yang ingin ibu lakukan Ibu menolak/menghindari untuk melakukan sesuatu secara tergesa-gesa Ibu tidak mau memikirkan permasalahan yang dihadapi terlalu serius Bersikap biasa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa Ibu mencoba untuk melupakan segalanya Ibu berharap ada keajaiban yang terjadi Ibu berusaha menenangkan perasaan dengan hal-hal negatif seperti merokok, mendengarkan musik, menonton, mabuk dan minum obat penenang* Melemparkan permasalahan yang dihadapi kepada orang lain* Melupakan permasalahan yang dihadapi dengan tidur lebih lama dari biasanya Ibu menyadari jika ibu kecewa dan membiarkan diri hanyut dalam kekecewaan tersebut
0
1
D. KELENTINGAN KELUARGA Isilah kolom jawaban dengan memberi tanda (√) pada pilihan jawaban yang paling sesuai! Keterangan: 0= Tidak 1= Ya
No
1
2
3 4 5
6
7
8
9 10 11
12
Pernyataan
0
1
A. SISTEM KEPERCAYAAN KELUARGA Ibu beranggapan bahwa hubungan dengan suami merupakan dasar dari ketahanan (kelentingan) keluarga Ibu yakin bahwa keluarga ibu mengalami kemalangan (seberapa besar ibu mengalami kemalangan, sangat malang, malang, tidak merasa malang, catat di kolom catatan) Ibu percaya bahwa krisis atau bencana merupakan sebuah tantangan yang dapat dihadapi Ibu yakin bahwa perasaan optimis dapat menyelesaikan masalah Ibu percaya bahwa ibu memiliki potensi/kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan masalah Ibu percaya bahwa selalu bertindak/ambil tindakan untuk menyelesaikan masalah, tindakan apa saja? (catat di kolom catatan) Ibu yakin bahwa berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah, bagaimana cara ibu berjuang? (catat di kolom catatan) Ibu yakin ibu memiliki kesiapan untuk menerima hal-hal yang sudah ditakdirkan? (misal: meninggalnya anggota keluarga) Ibu yakin bahwa mempunyai tujuan hidup dapat mendorong ibu menyelesaikan masalah Ibu percaya bahwa agama dapat membantu ibu menanggulangi masalah Ibu percaya bahwa sikap kreatif akan mempercepat menyelesaikan masalah (mempunyai banyak ide dalam memecahkan masalah, disesuaikan dengan sumber dan jenis masalah), bentuk kreatifitas ibu? (catat di kolom catatan) Ibu percaya bahwa pengalaman orang lain dapat
Catatan
No
13
14
15 16 17 18 19 20
21 22
23
24
25
Pernyataan
membantu ibu memecahkan masalah Ibu percaya bahwa pengalaman masa lalu dapat membantu ibu menyelesaikan masalah Ibu mempunyai keinginan untuk berubah dan keluar dari masalah (seberapa besar keinginan ibu, sangat besar, besar, tidak besar, catat di kolom catatan) Ibu dapat terus melanjutkan kehidupan keluarga ibu dengan normal Hubungan ibu dengan suami tetap baik Ibu selalu patuh (tidak berani membantah) terhadap apapun yang diputuskan oleh suami Ibu dan anggota keluarga yang lain saling mendukung dalam menyelesaikan masalah Ibu memenuhi kebutuhan anggota keluarga Ibu menghormati perbedaan yang terjadi dengan suami (misal: saat terjadi perbedaan pendapat) Ibu dapat mengasuh anak dan atau anggota keluarga yang rentan dengan baik Ibu menerapkan pengasuhan yang demokratis (misal: tidak selalu menuruti permintaan anak, terutama permintaan yang tidak penting, pengambilan keputusan dilakukan bersama, disiplin dijalankan tetapi fleksibel dan konsisten) Ibu membangun hubungan yang baik dengan anggota keluarga (termasuk keluarga besar) Ibu berusaha mendamaikan hubungan antar anggota keluarga ketika keluarga menghadapi permasalahan, cara mendamaikannya? (catat di kolom catatan) Ibu mempunyai pertemuan rutin dengan keluarga besar (misal saat hari raya), seberapa sering ibu
0
1
Catatan
No
26 27 28
29
30 31 32
33
34
35
36
37
38
39
Pernyataan
mempunyai pertemuan rutin? (catat di kolom catatan) Ibu mengikuti kelompokkelompok yang ada di masyarakat (seperti pengajian) Ibu mempunyai tabungan pribadi B. PROSES KOMUNIKASI Ibu mengerti (paham) apa yang dikatakan oleh suami (tidak terjadi bias makna, makna antara suami dan ibu sama) Ibu mencari kebenaran informasi ketika mendengar informasi yang ambigu (tidak jelas), bagaimana caranya? (catat di kolom catatan) Ibu selalu berbagi perasaan senang kepada suami Ibu selalu berbagi perasaan susah kepada suami Ibu dapat memahami kesulitan (empati) pekerjaan suami, bagaimana caranya? (catat di kolom catatan) Ibu mengerti penyebab perasaan yang ibu rasakan (misal: ibu mengerti apabila sedang kesal penyebabnya apa) Ibu selalu menciptakan interaksi yang menyenangkan (misal: dengan humor) dengan anggota keluarga Ibu sering berdiskusi permasalahan yang terjadi dengan suami, berdiskusi masalah apa? (catat di kolom catatan) Ibu selalu berbagi pengambilan keputusan dengan suami, suami keputusan apa, ibu apa? (catat di kolom catatan) Ibu selalu mengambil tindakan yang nyata untuk menyelesaikan masalah (tidak hanya berpikiran sebaiknya …) Ibu selalu berusaha untuk mencegah timbulnya masalah, bagaimana caranya? (catat di kolom catatan) Ibu selalu bersiap-siap untuk
0
1
Catatan
No
1.1 1.2
1.3 1.4
1.5 1.6
Pernyataan
0
1
Catatan
tantangan masa depan, bagaimana caranya? (catat di kolom catatan) Apakah ibu merasa adanya perubahan sistem kepercayaan keluarga ibu ketika 0) 1) sebelum dan sesudah terjadinya bencana? ( Tidak Ya ) Apabila terjadi perubahan, seperti apa? a. b. c. Apakah ibu merasa adanya perubahan pola organisasi keluarga ibu ketika sebelum dan sesudah terjadinya bencana? ( 0)Tidak 1) Ya ) Apabila terjadi perubahan, seperti apa? a. b. c. Apakah ibu merasa adanya perubahan proses komunikasi keluarga ibu ketika 0) 1) sebelum dan sesudah terjadinya bencana? ( Tidak Ya ) Apabila terjadi perubahan, seperti apa? a. b. c.
Lampiran 1. Hasil Uji Korelasi Antar Variabel Permasalahan Keluarga Variabel Pangan
Pangan
Pendidikan Tempat Tinggal
Pakaian Pekerjaan
Interaksi Keluarga
Pendidikan
Tempat Tinggal
Pakaian
Pekerjaan
Interaksi Keluarga
r p
Kesehatan
Kesehatan
1
r
.317**
p
.001
r
.033
.189
p
.743
.059
r
.171
.352**
.218*
p
.090
.000
.030
r
.083
-.069
-.109
.042
p
.413
.496
.278
.680
r
-.038
.036
.211*
.290**
-.112
p
.711
.721
.035
.003
.266
r
.023
.138
.103
.132
.090
.324**
p
.821
.171
.310
.192
.371
.001
1
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
1 1 1 1 1
Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Antar Variabel Kelentingan Keluarga Sistem Kepercayaan Keluarga
Variabel Sistem Kepercayaan Keluarga Pola Organisasi Keluarga
Proses Komunikasi Keluarga Tingkat Kelentingan Keluarga
Pola Organisasi Keluarga
Proses Komunikasi Keluarga
Tingkat Kelentingan Keluarga
r p
1
r
.249*
p
.012
r
.323**
.349**
p
.001
.003
r
.730**
.519**
.714**
p
.000
.000
.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
1 1 1
Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Antar Variabel Strategi Koping Variabel Koping Fokus Pada Masalah
Koping Fokus Pada Masalah
Strategi Koping
Strategi Koping
r p
Koping fokus pada emosi
Koping Fokus Pada Emosi
1
r
.370**
p
.000
r
.872**
.756**
p
.000
.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
1 1
Lampiran 4. Hasil Uji Korelasi Karakteristik Keluarga dengan Permasalahan Keluarga
Variabel Umur Suami
Masalah Pangan
Masalah Masalah Kesehatan Pendidikan
r -.119 -.182 p .239 .069 Umur isteri r -.143 -.092 p .155 .361 Lama pendidikan suami r .110 .112 p .277 .268 Besar keluarga r .014 -.055 p .888 .588 Nilai pemilikan aset r -.067 .083 p .507 .410 Pendapatan per kapita r -.227* -.217* keluarga p .023 .030 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
-.065 .521 -.041 .686 -.057 .572 .126 .212 .027 .791 -.206* .040
Masalah Tempat Tinggal -.034 .735 .083 .411 -.138 .172 -.090 .374 -.003 .976 -.226* .024
Masalah Pakaian
Masalah Pekerjaan
.081 .424 .155 .124 .128 .204 .088 .386 -.106 .295 -.257** .010
-.120 .235 -.087 .390 -.074 .462 .012 .904 .022 .828 -.316** .001
Masalah Interaksi Keluarga -.027 .786 .035 .728 .000 1.000 .064 .528 -.080 .427 -.228* .020
Permasalahan Keluarga -.205* .041 -.147 .143 -.040 .692 -.039 .699 .033 .741 -.304** .002
Lampiran 5. Hasil Uji Korelasi Karakteristik Keluarga dengan Kelentingan Keluarga Sistem Kepercayaan Keluarga Umur suami r .151 p .134 Umur isteri r .072 p .474 Lama Pendidikan Suami r -.071 p .482 Besar Keluarga r .211* p .035 Nilai Pemilikan Aset r -.059 p .561 Pendapatan Per Kapita Keluarga r .075 p .459 *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) Variabel
Pola Organisasi Keluarga .101 .317 .027 .793 -.134 .185 .061 .546 .051 .612 .103 .306
Proses Komunikasi Keluarga -.120 .232 -.133 .185 .129 .200 -.097 .339 .154 .127 .091 .366
Tingkat Kelentingan Keluarga .029 .775 -.052 .609 -.021 .834 .047 .642 .058 .565 .145 .149
Lampiran 6. Hasil Uji Korelasi Karakteristik Keluarga dengan Strategi Koping Koping Fokus Pada Masalah
Koping Fokus Pada Emosi
Variabel Umur suami
r p Umur isteri r p Lama pendidikan suami r p Besar keluarga r p Nilai pemilikan asset r P Pendapatan per kapita keluarga R P *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
.101 .318 .074 .464 .004 .972 .049 .631 .100 .320 .200* .046
-.011 .910 .198* .048 -.056 .577 -.047 .642 -.054 .592 .012 .902
Strategi Koping Keluarga Total .057 .574 .038 .705 -.030 .769 -.001 .996 .037 .714 .033 .744
Lampiran 7. Hasil Uji Korelasi Permasalahan Keluarga dengan Kelentingan Keluarga
Variabel Masalah Pangan Masalah Kesehatan Masalah Pendidikan Masalah Tempat Tinggal Masalah Pakaian Masalah Pekerjaan
Masalah Interaksi Keluarga Permasalahan Keluarga
r p r p r p r p r p r p r p r p
Sistem Kepercayaan Keluarga
Pola Organisasi Keluarga
.104 .305 -.023 .824 .116 .250 .143 .155 .032 .748 -.071 .480 .065 .519 -.011 .913
-.080 .429 -.150 .136 .156 .122 -.220* .028 -.143 .156 -.198* .049 .132 .192 .088 .383
*, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Proses Komunikasi Keluarga .185 .065 .134 .185 -.126 .213 -.113 .264 .066 .512 -.223* .026 -.165 .100 -.184 .067
Tingkat Kelentingan Keluarga .162 .108 .011 .915 -.014 .894 .103 .306 .013 .899 -.071 .481 -.026 .797 -.068 .503
Lampiran 8. Hasil Uji Korelasi Permasalahan Keluarga dengan Strategi Koping Koping Fokus Pada Masalah Masalah Pangan r -.053 p .599 Masalah Kesehatan r .077 p .446 Masalah Pendidikan r .102 p .313 Masalah Tempat Tinggal r .057 p .575 Masalah Pakaian r -.033 p .742 Masalah Pekerjaan r .019 p .849 Masalah Interaksi Keluarga r -.123 p .224 Permasalahan Keluarga r -.101 p .316 *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) Variabel
Koping Fokus Pada Emosi -.060 .554 -.079 .432 .024 .813 .111 .272 .134 .185 .200* .046 .139 .168 .203* .043
Strategi Koping Keluarga Total .071 .485 .016 .872 .090 .374 .090 .374 .035 .730 .056 .582 .026 .798 -.126 .213
Lampiran 9. Hasil Uji Korelasi Kelentingan Keluarga dengan Strategi Koping Variabel Sistem Kepercayaan Keluarga
r
Koping Fokus Pada Masalah .330**
Koping Fokus Pada Emosi .265**
Strategi koping Total .378**
p
.001
.008
.000
**
r .289 p .004 r .254* Proses Komunikasi Keluarga p .011 r .387** Tingkat Kelentingan Keluarga p .000 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *, Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) Pola Organisasi Keluarga
**
.285 .004 .239* ,017 .360** .000
.343** .000 .324** .001 .477** .000