TINGKAT KECEMASAN, DUKUNGAN SOSIAL, DAN MEKANISME KOPING TERHADAP KELENTINGAN KELUARGA PADA KELUARGA DENGAN TB PARU DI KECAMATAN CIOMAS BOGOR
ERIKA HERRY
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2011 Erika Herry NIM. I24061082
ABSTRACT ERIKA HERRY. The Anxiety Level, Social Support, and Coping Mechanism of Family Resilience in Families with Pulmonary Tuberculosis at Kecamatan Ciomas Bogor. Under guidance DIAH KRISNATUTI. General purpose of this research is to know factors that can affect family resilience in families with pulmonary tuberculosis disease at Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. The purpose of research are 1) to identify socioeconomic characteristics of families with pulmonary tuberculosis disease, 2) identify the health behavior of pulmonary tuberculosis disease, 3) measuring the level of anxiety patients with pulmonary tuberculosis disease, 4) measure of social support patients with pulmonary tuberculosis disease; 5) measure coping mechanism in families with pulmonary tuberculosis disease; 6) measuring family resilience with pulmonary tuberculosis disease; 7) analyze the correlations between variables of family resilience with pulmonary tuberculosis disease; 8) analyze the influence of variables with family resilience with pulmonary tuberculosis disease. The population of research were family members (parents) as patient with pulmonary tuberculosis disease at Kecamatan Ciomas Bogor, there are: Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, and Pagelaran. The subjects in this research are 49 samples chosen purposively. Variables studied were: socioeconomic characteristics, health behavior, anxiety level, social support, coping mechanism, and family resilience. Data analysis using descriptive analysis, correlations to examine relationships between variables, and multiple linear regression to determine the factors that influence the family resilience. The results showed that families with pulmonary tuberculosis disease have good and very good sanitation (73%), good health behavior (57%), anxiety level patient is relatively low to moderate (65%), high coping health mechanism (60%), high coping mechanism (49%), moderate social support (84%), and high family resilience (47%). Based on correlation analysis showed a negative relationship between family income with family resilience. Are positively correlated between family coping health mechanism (CHIP), family coping mechanism, anxiety level, social support with family resilience. Based on multiple linear regression analysis obtained the factors that influence family resilience: large families (β = -0.317, p = 0.003), anxiety level (β = 0.239, p = 0.027), and family coping mechanism (β = 0.511, p = 0.000 .) Keywords : pulmonary tuberculosis, socioeconomic characteristics, health behavior, anxiety level, social support, coping mechanism, family resilience.
ABSTRAK ERIKA HERRY. Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor. Dibawah bimbingan DIAH KRISNATUTI. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB paru; 2) mengidentifikasi perilaku hidup sehat penderita penyakit TB paru; 3) mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru; 4) mengukur dukungan sosial penderita penyakit TB paru; 5) mengukur mekanisme koping keluarga dengan penyakit TB paru; 6) mengukur kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 7) menganalisis hubungan variabel terhadap kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 8) menganalisis pengaruh variabel dengan kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru. Populasi dalam penelitian ini adalah anggota keluarga (orang tua) sebagai penderita penyakit TB paru di Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran, Kecamatan Ciomas Bogor. Contoh dalam penelitian ini sebanyak 49 contoh yang dilakukan secara purposive sampling. Variabel yang diteliti yaitu: karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, dan kelentingan keluarga. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, korelasi untuk menguji hubungan antar variabel, serta regresi linier berganda untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan penderita penyakit TB paru memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik (73%), perilaku hidup sehat yang baik (57%), tingkat kecemasan penderita relatif rendah-sedang (65%), mekanisme koping kesehatan yang tinggi (60%), mekanisme koping yang tinggi (49%), dukungan sosial yang sedang (84%), dan kelentingan keluarga yang tinggi (47%). Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan kelentingan keluarga. Adanya hubungan yang bersifat positif antara mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga, tingkat kecemasan, dukungan sosial dengan kelentingan keluarga. Berdasarkan analisis regresi linier berganda diperoleh faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga yaitu: besar keluarga (β= -0,317, p=0,003), tingkat kecemasan (β=0,239, p=0,027), dan mekanisme koping keluarga (β= 0,511, p=0,000). Kata kunci : TB paru, karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, kelentingan keluarga.
TINGKAT KECEMASAN, DUKUNGAN SOSIAL, DAN MEKANISME KOPING TERHADAP KELENTINGAN KELUARGA PADA KELUARGA DENGAN TB PARU DI KECAMATAN CIOMAS BOGOR
ERIKA HERRY
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN ERIKA HERRY. Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor. Dibawah bimbingan DIAH KRISNATUTI. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB paru; 2) mengidentifikasi perilaku hidup sehat penderita penyakit TB paru; 3) mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru; 4) mengukur dukungan sosial penderita penyakit TB paru; 5) mengukur mekanisme koping keluarga dengan penyakit TB paru; 6) mengukur kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 7) menganalisis hubungan variabel terhadap kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 8) menganalisis pengaruh variabel dengan kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study Pemilihan tempat dan contoh dilakukan secara purposive berdasarkan kemudahan akses dan penderita penyakit TB paru kedua terbanyak di Kabupaten Bogor. Populasi contoh tersebar berdasarkan 4 UPT Puskesmas Kecamatan Ciomas yaitu Puskesmas Kota Batu, Ciomas, Laladon, dan Ciapus. Selanjutnya secara purposive terpilih Puskesmas Ciomas dengan pertimbangan kemudahan akses dan karakteristik contoh yang cukup banyak dibanding puskesmas lain. Contoh adalah anggota keluarga (orang tua) sebagai penderita penyakit TB paru di Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran, Kecamatan Ciomas Bogor. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 49 contoh. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan November 2010 yang meliputi pengumpulan, pengolahan, serta analisis data. Variabel yang diteliti yaitu: karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, dan kelentingan keluarga. Data yang terkumpul, ditabulasi, dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, korelasi untuk menguji hubungan antar variabel, serta regresi linier berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga. Karaketristik contoh menunjukkan hampir tiga perempat contoh (73,5%) berjenis kelamin laki-laki. Lebih dari tiga perempat contoh (77,6%) berstatus sebagai kepala keluarga. Hampir dua pertiga contoh (61,3%) mengalami sakit selama 1-5 tahun. Lebih dari separuh contoh (57,1%) melakukan pengobatan TB Paru selama 6-12 bulan. Lebih dari separuh contoh (57,1%) berusia 30-49 tahun. Hampir dua pertiga contoh (61,2%) memiliki tingkat pendidikan SMA/sederajat dan SD/sederajat. Separuh contoh (50%) memiliki pekerjaan sebagai buruh dan tidak bekerja. Karakteristik sosial ekonomi keluarga menunjukkan lebih dari separuh keluarga contoh (55%) termasuk dalam keluarga kecil yaitu < 4 orang. Hampir tiga perempat keluarga contoh (72%) memiliki pendapatan perkapita di atas batas garis kemiskinan Kota Bogor atau dapat dikatakan sebesar 72 persen termasuk dalam kategori tidak miskin. Rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh secara keseluruhan yaitu Rp. 402.000,00 sehingga dapat dikatakan bahwa menurut pendapatan perkapita, rata-rata keluarga contoh tidak miskin. Lebih dari separuh keluarga contoh (53,3%) mengalokasikan biaya untuk pangan dengan rata-rata Rp. 631.600,00 perbulan. lebih dari separuh keluarga
contoh (59%) mengalokasikan biaya untuk pangan >50% dari keseluruhan pengeluaran artinya lebih dari separuh keluarga contoh (59%) termasuk dalam kategori miskin. Hampir tiga perempat contoh (73%) memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik. Artinya, hampir tiga perempat contoh memiliki kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air yang baik. Dengan kondisi sehat, individu dapat menjalankan aktifitas produktifnya secara normal sehingga ketahanan dalam keluarga pun tercapai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (59%) berperilaku hidup sehat yang baik dan sangat baik. Artinya, lebih dari separuh contoh memisahkan alat makan dan minum, menjemur kasur, bantal, dan guling 1 minggu sekali, tidur di malam hari selama >5 jam, tidak merokok, dan menggunakan alat untuk batuk dan meludah. Hasil analisis deskriptif dari aspek tingkat kecemasan membuktikan bahwa menunjukkan hampir dua pertiga contoh (65%) penderita TB paru memiliki tingkat kecemasan yang ringan–sedang. Hal tersebut dikarenakan lebih dari separuh contoh merasa lebih gugup dan cemas daripada biasanya, mudah marah atau panik, mengalami sakit kepala, leher, dan punggung, merasa lemah dan mudah lelah, mati rasa dan kesemutan, namun contoh juga merasa semuanya akan baik saja, dapat tidur dan duduk dengan mudah. Skor mekanisme koping kesehatan (CHIP) yang terdiri dari tiga pola yaitu lebih dari separuh keluarga contoh (57%) memiliki family integration, kerjasama, dan optimisme yang tinggi, hampir separuh contoh (49%) memiliki dukungan sosial, penghargaan diri, dan psychological stability yang tinggi, dan hampir dua pertiga contoh (60%) memiliki komunikasi dan konsultasi yang tinggi. Total skor mekanisme koping kesehatan keluarga penderita TB paru menunjukkan hampir dua pertiga contoh (60%) keluarga penderita TB paru mendapat mekanisme koping keluarga yang tinggi. Dengan tingginya koping kesehatan keluarga penderita TB paru, sehingga keluarga dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Skor mekanisme koping yang terdiri dari dua jenis yaitu hampir separuh contoh (49%) memiliki mekanisme koping keluarga secara problem-focus coping sedang dan lebih dari separuh contoh (51%) memiliki mekanisme koping keluarga secara emotion-focus coping yang tinggi. Total skor mekanisme koping keluarga penderita TB paru menunjukkan hampir separuh contoh (49%) keluarga penderita TB paru memiliki mekanisme koping keluarga yang tinggi. Dengan adanya mekanisme koping yang tinggi dapat mengurangi berbagai tekanan yang timbul. Skor dukungan sosial yang terdiri dari empat faktor yaitu lebih dari tiga perempat contoh penderita TB Paru (78%) mendapatkan dukungan emosional yang sedang, lebih dari tiga perempat contoh (80%) mendapatkan dukungan penghargaan yang sedang, lebih dari dua pertiga contoh (68%) mendapatkan dukungan instrumental yang tinggi dan sedang, dan lebih dari dua pertiga contoh (68%) mendapatkan dukungan instrumental yang tinggi dan sedang. Total skor dukungan sosial penderita TB paru menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh (84%) penderita TB Paru mendapat dukungan sosial yang sedang. Selain itu, berdasarkan subjek yang memberikan dukungan sosial pada penderita TB paru menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51%) dukungan sosial yang sedang didapat penderita TB Paru diperoleh dari keluarga, medis, dan teman. Medis merupakan faktor yang paling dominan mendorong penderita dalam menjaga ketahanan diri. Skor kelentingan keluarga yang terdiri dari tiga faktor yaitu hampir dua pertiga contoh keluarga penderita TB Paru (63%) memiliki family cohesion yang sedang, lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (86%)
memiliki family belief system yang tinggi dan sangat tinggi, dan lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (78%) memiliki komunikasi yang tinggi dan sangat tinggi. Total skor Kelentingan keluarga penderita TB paru menunjukkan hampir separuh contoh keluarga penderita TB Paru (47%) memiliki kelentingan keluarga yang tinggi. Dengan kelentingan keluarga yang tinggi, dipandang dapat merespon permasalahan yang terdapat dalam keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan kelentingan keluarga (r= -0,303, p < 0,05). Hal demikian diduga karena aspek kelentingan keluarga yang terdiri dari family cohesion, family belief system, dan komunikasi tidak berkaitan secara langsung terhadap pendapatan keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara tingkat kecemasan dengan kelentingan keluarga (r=0,419, p<0,01). Hal ini diduga karena kecemasan penderita tidak mengganggu aspek kelentingan keluarga berupa hubungan interpersonal, kepercayaan, dan komunikasi dalam keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara dukungan sosial dengan kelentingan keluarga (r=0,604, p<0,01). Terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara mekanisme koping kesehatan keluarga (r=0,684, p<0,01) dan mekanisme koping keluarga (r=0,802, p<0,01) dengan kelentingan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelentingan keluarga adalah besar keluarga (β= -0,317, p=0,003), tingkat kecemasan (β=0,239, p=0,027), dan mekanisme koping (β= 0,511, p=0,000). Jika besar keluarga meningkat maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga menurun. Jika tingkat kecemasan meningkat maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat. Hal ini diduga karena tingkat kecemasan penderita yang ringan-sedang dengan ditangani medis serta dukungan dari keluarga dan teman. Selain itu, sikap penderita yang pasrah dan berprinsip bahwa TB paru bukan sakit yang parah dan masih bisa diobati. Jika mekanisme koping meningkat maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat.
Judul Skripsi Nama NRP
: Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor : Erika Herry : I24061082
Disetujui,
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S. Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. Ketua Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Alhamdulillahirabbil‘alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya yang tak terhingga sehingga skripsi ini yang berjudul Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW, manusia paling sempurna di jagat raya ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi tercapainya tujuan dari penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat terwujud menjadi aksi nyata sehingga bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. Sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan, penulis mendapatkan banyak bimbingan, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. sebagai Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. 2.
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S. sebagai dosen pembimbing yang penuh dengan kesabaran dan pengertian dalam membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penyelesian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik, terima kasih banyak atas perhatian dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. 4. Seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang telah memberikan ilmunya, perhatian, dan motivasi kepada penulis. 5. Mama (Hj. Lina Herlina) tercinta, papa (Ir. Herry Z. Arbainn, SE.), abi (Toni Prihartono) yang selalu mendukung untuk berbuat yang terbaik dalam hidupku. Kakak-kakakku tersayang, Rina Oktariana, Erlita Herry, ST., Suryo Nugroho, SE., Anshari Taslim, Lc. terima kasih atas kasih sayang, perhatian,
motivasinya.
Suamiku
Nugroho
Sastrawiguna,
ST
yang
senantiasa
membantu penulis dalam memberikan motivasi, perhatian, dan waktunya. Keponakanku Nouval Rafi Nugroho dan Maryam Alena Kanja yang selalu menghibur penulis. 6. Rahayu Lestari, S.Si yang membantu penulis dalam proses penelitian ini. 7. Kepala Puskesmas Ciomas, Ibu Yuli, staf Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan data-data yang diperlukan oleh penulis. 8. Seluruh contoh penelitian ini yang bersedia meluangkan waktu demi membantu penyelesaian pengumpulan data. 9. Sahabat-sahabatku tersayang yang selalu dapat mengisi relung hati penulis dikala suka maupun duka. Saudara-saudara seperjuangan di KAMMI Daerah Bogor, BKM KAMMDA, Murobbiyah dan teman-teman halaqoh, Entertrainer, dan Fushilat 43. Terima kasih atas persahabatan ini. Teman-teman IKK 43 khususnya, dan umumnya seluruh mahasiswa IKK atas kebersamaan selama ini. Dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Bogor, April 2011 Erika Herry
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1988 dari ayah Ir. Herry Zulherry Arbain, SE. dan Ibu Hj. Lina Herlina. Penulis merupakan putri terakhir dari tiga bersaudara. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Rimba Madya Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Ikatan mushala asrama putri A2, KAMMI Komisariat IPB, BEM TPB 43, Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA), dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO). Selama masa perkuliahan tingkat akhir, penulis beraktifitas sebagai mahasiswa workshop
Sekolah
Guru
Ekselensia
Indonesia
(SGEI)
dari
Lembaga
Pengembangan Insani, Dompet Dhuafa Bogor. Selain itu, penulis bekerja sebagai guru kelas IV dan kelas II di Madrasah Islamiyah Nurrosyidiyah, pengajar mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) kelas X, XI, dan XII SMK Informatika Global Nusantara Bogor, dan pengajar bimbingan belajar eksak SD di Bintang Pelajar Bogor sampai saat ini. Selain itu, penulis juga terlibat dengan organisasi kemasyarakatan yaitu Kemuslimahan KAMMI Daerah Bogor dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Kabupaten Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xv DAFTAR GRAFIK ........................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................ Perumusan Masalah .................................................................................... Tujuan Penelitian ......................................................................................... Kegunaan ....................................................................................................
1 2 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Kelentingan Keluarga .................................................................................. Family Cohesion ................................................................................. Family Belief System .......................................................................... Komunikasi ......................................................................................... Mekanisme Koping ...................................................................................... Emotion-focused coping....................................................................... Problem-focused coping ...................................................................... Stres ............................................................................................................ Faktor Stres (stresor) ......................................................................... Tipe Stres ........................................................................................... Dampak Stres ..................................................................................... Bentuk Stres ....................................................................................... Kecemasan ......................................................................................... Dukungan Sosial .......................................................................................... Jenis Dukungan Sosial ........................................................................ Sumber Dukungan Sosial ................................................................... Perilaku Hidup Sehat ................................................................................... Tuberkulosis (TB) Paru ................................................................................ Gambaran Klinis TB Paru .................................................................... Faktor Resiko TB Paru ........................................................................ Karakteristik Keluarga .................................................................................. Pendapatan Keluarga ......................................................................... Pendidikan .......................................................................................... Pekerjaan ............................................................................................ Usia .................................................................................................... Besar Keluarga ................................................................................... Sanitasi ...............................................................................................
5 5 6 6 7 8 8 8 9 9 10 11 11 11 12 12 13 14 14 14 16 16 17 17 17 18 18
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 20 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu .......................................................................... 23
xi
Jumlah dan Penarikan Contoh...................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ......................................................... Uji Validitas dan Reliabilitas ......................................................................... Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. Definisi Operasional......................................................................................
23 24 27 28 32
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................. Kondisi Geografis dan Demografi ........................................................ Pendidikan .......................................................................................... Pekerjaan ............................................................................................ Karakteristik Contoh ..................................................................................... Karakteristik Sosial Ekonomi keluarga ......................................................... Besar Keluarga ................................................................................... Pendapatan Perkapita ......................................................................... Pengeluaran keluarga ......................................................................... Sanitasi ............................................................................................... Perilaku Hidup Sehat ................................................................................... Tingkat Kecemasan ..................................................................................... Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP) .......................................... Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme ................................... Dukungan sosial, Penghargaan diri, dan Psychological Stability ......... Komunikasi dan Konsultasi ................................................................. Mekanisme Koping Keluarga ....................................................................... Problem-Focus Coping ....................................................................... Emotion-Focus Coping ........................................................................ Dukungan Sosial .......................................................................................... Dukungan Emosional .......................................................................... Dukungan Penghargaan ..................................................................... Dukungan Instrumental ....................................................................... Dukungan Informatif ............................................................................ Kelentingan Keluarga .................................................................................. Family Cohesion ................................................................................. Family Belief System ........................................................................... Komunikasi ......................................................................................... Perbedaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru ... Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru ......... Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru ..........
34 34 35 36 36 38 38 38 39 39 41 43 44 44 46 47 49 49 49 51 51 52 53 54 55 55 57 58 60 60 62
PENUTUP Kesimpulan ......................................................................................... 65 Saran .................................................................................................. 66 DAFTAR PUSTAKA
.................................................................................. 67
LAMPIRAN .................................................................................................. 71
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Peubah, Jenis Data, dan Cara Pengumpulan Data ............................... 24
2
Kategori Variabel Penelitian ................................................................. 24
3
Interpretasi Reliabilitas ......................................................................... 29
4
Kriteria Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP), Mekanisme Koping Keluarga, Kelentingan Keluarga, dan Dukungan Sosial ........... 31
5
Kriteria Tingkat Kecemasan ................................................................. 32
6
Skala Dukungan Sosial ........................................................................ 32
7
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ................................................... 35
8
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................ 36
9
Pekerjaan Penduduk Berdasarkan Usia Kerja ..................................... 36
10
Sebaran Karakteristik Contoh Penderita TB Paru ................................ 36
11
Sebaran Contoh Penderita TB Paru berdasarkan Besar Keluarga........ 38
12
Sebaran Pendapatan Perkapita Perbulan Keluarga Penderita TB Paru ..................................................................................................... 38
13
Sebaran Pengeluaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan Kriteria Pangan .................................................................................... 39
14
Sebaran Pengeluaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan Kriteria Pangan dan Non-Pangan ......................................................... 39
15
Sebaran Contoh Berdasarkan Kondisi Fisik Rumah keluarga TB Paru...................................................................................................... 40
16
Sebaran Contoh Berdasarkan Sarana Rumah Tangga Keluarga TB Paru ................................................................................................ 40
17
Sebaran Contoh Berdasarkan Sumber Air Keluarga TB Paru .............. 41
18
Total Sanitasi Keluarga Penderita TB Paru........................................... 41
19
Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Hidup Sehat .................................................................................................... 42
20
Total Skor Perilaku Hidup Sehat .......................................................... 42
21
Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Tingkat Kecemasan .......................................................................................... 43
22
Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme ................................................ 45
23
Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Dukungan Sosial, Penghargaan diri, dan Psychological Stability .......................... 46
24
Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Komunikasi dan Konsultasi .................................................................. 47
xiii
25
Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Emosional Penderita TB Paru ............................................................................... 57
26
Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Penghargaan Penderita TB Paru ............................................................................... 52
27
Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Instrumental Penderita TB Paru ............................................................................... 53
28
Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Informatif Penderita TB Paru ............................................................................... 54
29
Sebaran Subjek Dukungan Sosial Penderita TB Paru ......................... 55
30
Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Cohesion Keluarga Penderita TB Paru ............................................................................... 56
31
Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Belief System Keluarga Penderita TB Paru ................................................................ 57
32
Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Komunikasi Keluarga Penderita TB Paru ............................................................................... 59
33
Perbedaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga TB Paru ........... 60
33
Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru . 60
34
Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru .. 62
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan Kerangka Pemikiran ...................................................................... 20 2 Cara Pengambilan Contoh ....................................................................... 23
xv
DAFTAR GRAFIK Halaman 1
Tingkat Kecemasan ............................................................................. 44
2
Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme..................................... 46
3
Dukungan sosial, Penghargaan diri, dan Psychological Stability........... 47
4
Komunikasi dan Konsultasi .................................................................. 48
5
Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP) .................................. 48
6
Problem-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru ........................... 49
7
Emotion-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru ........................... 50
8
Skor Total Mekanisme Koping Keluarga .............................................. 50
9
Dukungan Emosional Keluarga Penderita TB Paru .............................. 52
10
Dukungan Penghargaan Keluarga Penderita TB Paru ......................... 53
11
Dukungan Instrumental Keluarga Penderita TB Paru ........................... 53
12
Dukungan Informatif Keluarga Penderita TB Paru ................................ 54
13
Skor Total Dukungan Sosial ................................................................. 55
14
Family Cohesion Keluarga Penderita TB Paru ..................................... 57
15
Family Belief System Keluarga Penderita TB Paru .............................. 58
16
Komunikasi Keluarga Penderita TB Paru ............................................. 59
17
Skor Total Kelentingan Keluarga .......................................................... 59
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Problem-Focus Coping ............................................................................ 71 2 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Emotion-Focus Coping ............................................................................ 72 3 Uji Korelasi Vriabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru ..... 74
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan modal dasar pembangunan nasional untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat. Dalam rangka menyongsong Millenium Development Goals (MDG’s) dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka pengembangan SDM yang tepat guna dan berkelanjutan dapat ditempuh melalui pemberdayaan kapasitas dan potensi yang ada. Pemberdayaan ini menekankan berbagai macam aspek meliputi aspek kesehatan, pendidikan, dan kewirausahaan (Suyono & Haryanto 2008). Kesehatan merupakan hak dasar/hak fundamental warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan dengan meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya (UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, Bab II Pasal 3). Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat kesehatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendapatan suatu keluarga, semakin mampu pula keluarga tersebut menjaga kesehatannya. Setelah itu, dengan semakin tingginya tingkat kesehatan, semakin tinggi pula produktifitas dan kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam berbagai aspek (Sugianto 2007). Tuberkulosis
(TB)
adalah
suatu
infeksi
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru tetapi dapat juga mengenai organ-organ tertentu (Brewis 1983) diacu dalam Nawas A (1990). TB paru merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia karena merupakan penyebab kematian selain penyakit ISPA, diare dan penyakit jantung koroner (Handoko T 1984) diacu dalam Nawas A (1990). Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU No.52 tahun 2009). Keluarga menyediakan kebutuhan antar individu sebagai anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat yang ada. Pada keluarga dengan penyakit TB paru, terdapat berbagai tuntutan maupun masalah yang dapat dihadapi dengan beradaptasi. Adaptasi merupakan aspek yang penting dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial. Berdasarkan ilmu psikologi, adaptasi tersebut biasa disebut dengan strategi koping. Strategi koping
2
adalah suatu proses atau cara untuk mengelola tekanan baik secara eksternal maupun internal (Lazarus, Launier, dan Folkman diacu dalam Taylor 1999). Permasalahan dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya. Dengan adanya strategi koping yang positif maka keluarga dapat kembali dalam keadaan normal. Hal tersebut merupakan kondisi kelentingan keluarga yang baik. Perumusan Masalah Penyakit
tuberkulosis
(TB)
adalah
penyakit
infeksi menular
yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam masalah TB di dunia. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan (Depkes RI 2007). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2008 terdapat 30.067 penderita TB di Jabar (Depkes RI 2008). TB paru adalah peradangan yang bersifat kronis, penderita mengalami tidak enak badan, demam, nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala, batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada, badan pegal, dan gangguan siklus haid pada wanita (Rasmin R 1987) diacu dalam Nawas A (1990). Keluarga dengan penyakit TB paru memiliki hambatan yang berbeda dengan yang dialami
keluarga normal lainnya sehingga menyebabkan
munculnya tuntutan menyesuaikan diri selama kurun waktu tertentu (Andersen 1988) diacu dalam Sarafino (1998). Dalam sebuah unit keluarga, penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga lain (Friedman 1998). Bila salah satu individu dalam sebuah keluarga menderita penyakit TB paru, maka hal ini tidak hanya menimbulkan stres pada dirinya sendiri tetapi juga pada keluarganya. Kelentingan keluarga menunjukkan adaptasi keluarga selama masa krisis penderita TB paru. Kelentingan keluarga memungkinkan keluarga memiliki keharmonisan, keterikatan, dan dukungan di masa krisis dalam siklus kehidupan keluarga. Keluarga yang lenting dapat melihat tantangan dengan kepercayaan diri untuk menghadapinya. Penelitian telah menemukan bahwa keluarga yang lenting memiliki 10 ciri-ciri umum, yaitu: pandangan positif,
3
spiritualitas, kesesuaian anggota keluarga, fleksibilitas, komunikasi, keuangan, waktu bersama, rekreasi bersama, rutinitas, ritual, dan dukungan sosial (Walsh 2002). Menganalisis tingkat kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru, selain bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai strategi keluarga untuk dapat bertahan dari tantangan yang dihadapi (Poerwandari 2005). Keluarga yang anggotanya berpenyakit pada umumnya memiliki banyak masalah. Salah satu faktor penunjang dalam mengadaptasi masalah adalah pengetahuan penderita mengenai bahaya penyakit TB paru dan motivasi keluarga terhadap penderita. Kondisi keluarga dengan penyakit TB paru menyebabkan
penurunan
pendapatan
riil
keluarga
karena
kurangnya
produktifitas dari penderita TB paru. Selain masalah pendapatan, secara sosiologis kemampuan keluarga penyakit TB paru meliputi kemampuan memulihkan keadaan melalui strategi koping sebagai bentuk kelentingan keluarga. Koping melibatkan cakupan yang lebih luas dari potensi strategi, keterampilan, dan kemampuan efektif dalam mengelola stres. Maka yang menjadi pertanyaan penelitian pada penulisan tugas akhir ini adalah : 1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping keluarga, dan kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru? 2. Bagaimana hubungan dan pengaruh karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping keluarga terhadap kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru? Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru, di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB paru 2. Mengidentifikasi perilaku hidup sehat keluarga dengan penyakit TB paru 3. Mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru 4. Mengukur dukungan sosial penderita penyakit TB paru
4
5. Mengukur mekanisme koping keluarga dengan penyakit TB paru 6. Mengukur kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru 7. Menganalisis
hubungan
dan
pengaruh
berbagai
variabel
terhadap
kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru Kegunaan Kegunaan dari penelitian ini diantaranya untuk : a. Pemerintah Memberikan informasi kepada pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan terkait peningkatan kesejahteraan keluarga dengan penyakit TB paru . b. Masyarakat Memperoleh
informasi
mengenai
mekanisme
koping
strategi
dalam
mengatasi masalah akibat penyakit TB paru. c. Peneliti/mahasiswa Menambah wawasan dan pemahaman akibat penyakit TB paru yang dialami keluarga, serta dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan untuk masa yang akan datang (penelitian lanjutan).
TINJAUAN PUSTAKA Kelentingan Keluarga Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta kemampuan beradaptasi secara positif (Walsh 2002). Kelentingan merupakan karakteristik keluarga dalam beradaptasi terhadap situasi krisis, misalnya tingkat kerentanan, tipe keluarga, sumber daya, tingkat stres, pemecahan masalah, kemampuan koping, serta pandangan hidup (McCubbin & McCubbin 1988) diacu dalam Lazarus A (2004). Situasi krisis dapat terjadi akibat akumulasi permasalahan dalam keluarga yang salah satunya adalah keluarga dengan penyakit TB paru. Situasi ini dinilai keluarga tidak mampu mengatasi stresor yang timbul. Dalam mewujudkan kelentingan keluarga yang baik yaitu dengan meningkatkan keberfungsian dan kesejahteraan keluarga serta mencegah anggota keluarga terinfeksi penyakit. Kelentingan keluarga tidak hanya mencakup manajemen stres tetapi juga bertahan dari cobaan yang berat. Adanya krisis dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya. Kemampuan keluarga dalam menghadapi ancaman, menahan stres, dan mengorganisir ulang masalah secara efektif akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga (Walsh 2002). Menurut Mackay (2003) kelentingan keluarga terdiri dari tiga aspek, yaitu family cohesion, family belief system, dan komunikasi. Family Cohesion Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003) mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari 3 aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi kebutuhan otonomi individu.
6
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara family cohesion dan fungsi keluarga. Olson et al (1988) diacu dalam Mackay (2003) menunjukkan bahwa keluarga dengan family cohesion yang tinggi tetapi seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi. Family Belief System Family belief system merupakan inti dari fungsi keluarga yang mencakup nilai, sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system merupakan asumsi dasar yang memicu respon emosional serta menginformasikan keputusan dan tindakan. Family belief system yang dominan dapat membentuk keluarga dalam upaya menghadapi krisis dan kesulitan (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Terdapat tiga dimensi penting family belief system, yaitu: capacity to make meaning out of adversity (kemampuan dalam memaknai kesulitan), a positive outlook (pandangan positif) and spirituality or transcendence (spiritual atau transedensi). Keluarga yang berfungsi dengan baik memiliki kemampuan untuk memahami yang telah terjadi dan memperkirakan masa mendatang. Kelentingan keluarga juga dicirikan oleh ketekunan, kegigihan, dan optimisme dalam mengatasi rintangan. Family belief system sebagai kunci kelentingan keluarga karena pentingnya agama dan budaya sebagai sumber utama spirituality or transcendence (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Komunikasi Komunikasi merupakan aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi adalah proses pemaknaan diri, hubungan interpersonal, dan adaptasi masalah. Komunikasi efektif sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang dicapai melalui negosiasi, kompromi, dan umpan balik (Mackay 2003). Komunikasi
efektif
dalam
keluarga
merupakan
proses
saling
menginformasikan pesan kepada anggota keluarga. Walsh mengidentifikasi tiga komponen penting komunikasi yang efektif, yaitu: clarity of expression (kejelasan pesan), open emotional expression (keterbukaan penyampaian emosi) dan collaborative problem solving (kolaboratif dalam pemecahan masalah). Clarity of expression mengacu pada pengiriman pesan yang jelas dan konsisten, baik dalam kata-kata atau tindakan. Open emotional expression mengacu pada berbagi perasaan dan emosi dalam hubungan, ditandai dengan saling empati
7
dan toleransi terhadap perbedaan. Collaborative problem solving melibatkan identifikasi masalah untuk mengatasi masalah keluarga (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Kelentingan yang baik menunjukkan bahwa keluarga mampu mengelola konflik dengan baik. Pengelolaan konflik sangat tergantung pada komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah. Mekanisme Koping Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat menyebabkan stres pada individu. Keith (2009) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stres seseorang, yaitu: (1) sifat menerima keadaan; (2) pengalaman dalam mengatasi stres; (3) karakteristik individu; (4) persepsi tentang stres; (5) strategi koping; dan (6) dukungan sosial. Synder CR (2001) menjelaskan bahwa koping merupakan proses berfikir, merasakan atau melakukan sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi. Koping merupakan beberapa respon yang berkesinambungan sebagai akibat dari stres. Faktor dari keterampilan koping yaitu: (1) fokus masalah; (2) pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan (4) pengaturan diri. Koping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses koping, individu dapat: (1) memperkirakan ancaman atau peluang pada lingkungannya; (2) mengevaluasi tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung lingkungan,
serta
kemampuan
untuk
mengorganisasikan
elemen-elemen
tersebut; dan (3) menggunakan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif yang kemungkinan timbul dalam situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi faktor
penyebab stres,
seseorang menggunakan
strategi koping untuk
mengurangi tekanan yang timbul (Lazarus & Folkman 1984). Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan dua jenis koping, yaitu emotionfocused coping dan problem-focused coping.
8
Emotion-Focused Coping Bentuk koping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang muncul dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya untuk mengubah keadaan. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain kontrol diri, mengambil jarak dengan stresor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima atau melarikan diri dari keadaan (Lazarus dan Folkman 1984). Problem-Focused Coping Bentuk koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor atau meningkatkan sumber daya dalam menghadapi stres. Individu cenderung menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau sumber daya masih dapat diubah. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan, berusaha mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial, dan melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana (Lazarus dan Folkman 1984). Stres McKinnon
(1998)
memandang
stres
sebagai
kondisi
yang
tidak
menyenangkan baik secara emosional, fisik, mental, atau kombinasi dari ketiganya. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memenuhi harapan
dalam
kehidupan.
Caplan
(1964)
diacu
dalam
Miller
(1988)
mendefinisikan stres sebagai gangguan secara kontinu sehingga sistem tidak berada dalam keseimbangan. Stres menurut Poerwandari (2005) adalah suatu keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya karena situasi internal maupun eksternal. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa stres adalah keadaan yang menekan dan membahayakan individu serta telah melampaui sumberdaya yang dimiliki, namun stres tidak hanya mempunyai nilai negatif tetapi juga positif. Stres juga dapat diartikan sebagai: (1) stimulus, merupakan kondisi yang menimbulkan stres atau disebut dengan stresor; (2) respon, merupakan suatu perilaku individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara fisiologis seperti: jantung berdebar, gemetar, dan pusing. Sedangkan secara psikologis seperti: takut, cemas, sulit
9
berkonsentrasi, dan mudah tersinggung; (3) proses, merupakan kondisi dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi, maupun afeksi. Faktor Stres (Stresor) Ada dua faktor penyebab stres yaitu berhubungan dengan individu itu sendiri dan situasi yang dialami individu. Situasi yang berhubungan dengan individu dapat berupa kondisi tubuh, seperti hawa panas atau dingin yang berlebihan dan luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan pada kebutuhan biologis dan psikologis individu. Derajat stres yang timbul tergantung pada keseriusan penyakit dan usia individu tersebut. Sedangkan situasi yang dialami individu dapat berupa pertambahan anggota keluarga, perceraian, kematian, pekerjaan, serta keadaan lingkungan (Sarafino 1998). Menurut Florence dan Setright (1994) diacu dalam Sunarti (2008), faktor stres atau sumber stres dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu: (1) faktor fisik, contohnya : obat, keributan, suhu; (2) faktor sosial, contohnya : sakit kronis atau akut, kematian pasangan, putus hubungan, kesepian, perkawinan, kehilangan pekerjaan, perampokan; (3) faktor psikologi, merupakan bentuk stres yang paling merusak dan melibatkan rasa takut, cemas, cemburu, benci, cinta, rasa bersalah. Contohnya adalah kehilangan harapan, kegagalan, penolakan dan kekecewaan. Tipe Stres Lazarus
(2000)
menyatakan
bahwa
The
American
Psychological
Association (APA) mengklasifikasikan stres menjadi empat tipe, yaitu: 1. Stres akut, diakibatkan karena terhambatnya rencana dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: terlambat bekerja karena masalah transportasi dan deadline tugas yang belum selesai. Gejala dari stres akut yaitu: (1) emosional (khawatir, marah, mudah tersinggung, cemas, frustasi, tidak sabar); (2) masalah fisik (letih, pusing, sakit punggung dan rahang, gemetar, kedinginan, sakit otot, urat, dan sendi); (3) masalah pencernaan (liver, maag, diare, konstipasi, kembung, sakit perut); (4) gangguan organ vital (hipertensi, serangan jantung, detak jantung cepat, detak jantung cepat, berkeringat, pusing, nafas pendek, sakit dada); (5) gangguan mental (bimbang,
10
ketidakmampuan konsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, pikiran melayang, lambat berpikir, berpikiran kosong) 2. Stres akut sebagian, yaitu reaksi terhadap kondisi yang seketika terjadi, misalnya tergesa-gesa. Gejala yang timbul antara lain: sakit kepala keras, sakit dada, asma, hipertensi, dan serangan jantung. 3. Stres kronis, yaitu stres jangka panjang yang dapat diasosiasikan dengan masalah kemiskinan, sakit, ketidakberfungsian keluarga, dan ketidakpuasan bekerja. Gejala yang ditimbulkan antara lain: tidak nafsu makan atau nafsu makan berlebih, perasaan tidak aman, kekurangan sistem imun, serangan jantung, sakit kronis di bagian tubuh, pesimis, pemarah, ketidakmampuan konsentrasi, ketidakmampuan bertindak, letih luar biasa, sakit kepala migrain, cemas tinggi, kesepian, selalu tersinggung, depresi, sinis, rendah diri, dan gangguan pencernaan. 4. Stres trauma, yaitu stres ketika individu memiliki pengalaman yang berakibat trauma, misalnya: kecelakaan, korban kriminal, kehilangan pekerjaan, bencana alam, dan perampokan. Stres ini dapat berakibat penolakan terhadap mekanisme koping. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain: (1) perasaan tidak dapat diprediksikan, moody, cemas, gugup, depresi; (2) mudah mengingat kejadian dan ketidakmampuan konsentrasi; (3) serangan jantung, berkeringat, sakit kepala, sakit dada, gangguan pencernaan; (4) tertekan, kurangnya frekuensi komunikasi dengan anggota keluarga, menarik diri dari aktivitas kelompok. Dampak Stres Stres dapat mempengaruhi kesehatan individu dalam dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan stres secara langsung mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehingga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Sarafino 1998). Andersen (1988) diacu dalam Sarafino (1998) juga menjelaskan hubungan stres dengan penyakit sebagai berikut: 1. Stres sebagai penyebab penyakit, merupakan efek langsung psikologis dimana stres akan mempengaruhi fungsi fisik tubuh. Akibatnya tubuh menjadi lemah sampai beberapa sistem organ tidak berfungsi secara normal. 2. Penyakit sebagai penyebab stres, merupakan efek dari keadaan sakit menyebabkan tuntutan untuk menyesuaikan diri. Dibandingkan dengan jenis
11
penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun waktu tertentu. Bentuk Stres Terdapat dua bentuk stress yaitu eustress dan distress. Eustress adalah kondisi stres yang membawa efek positif dikarenakan pengelolaan stres yang baik.
Sebaliknya,
distress
adalah
kondisi
negatif
stres
diakibatkan
ketidakmampuan pengelolaan stres karena tingginya tingkat stres yang diderita. Distress merupakan suatu kondisi subjektif yang tidak menyenangkan. Dua bentuk utama distress adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan keadaan diri yang ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas marah, dan takut. Sedangkan depresi merupakan keadaan diri yang ditandai dengan perasaan sedih, kesepian, demoralisasi, putus asa, sulit tidur, dan menginginkan kematian (Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008). Kecemasan Kecemasan adalah kondisi membingungkan yang muncul tanpa alasan dari kejadian yang akan datang. Kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya sedang sakit. Bila salah satu anggota keluarga sakit maka hal tersebut akan menyebabkan terjadinya krisis pada keluarga. Post (1978) diacu dalam Trismiati (2004) mengemukakan bahwa kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran. Menurut Bucklew (1980) diacu dalam Trismiati (2004), para ahli membagi bentuk kecemasan terbagi menjadi dua, yaitu: (1) psikologis yaitu kecemasan yang terlihat sebagai gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, dan perasaan tidak menentu; (2) fisiologis yaitu kecemasan yang terlihat sebagai gejala fisik, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, dan perut mual. Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi (Taylor 1999). Smet (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial yang menggambarkan kualitas hubungan interpersonal.
12
Hubungan interpersonal dianggap sebagai aspek kepuasan secara emosional dalam kehidupan individu. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa percaya diri, tenang, diperhatikan, dicintai, dan kompeten. Dukungan sosial terdiri dari informasi verbal, non verbal, dan tindakan yang diberikan oleh orang lain sehingga mempunyai manfaat emosional bagi individu. Jenis Dukungan Sosial Smet (1994) dan Sarafino (1998) membedakan empat jenis dukungan sosial yaitu : a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan dan perilaku empati, afeksi, kepedulian, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. b. Dukungan penghargaan, mencakup ungkapan hormat positif, dorongan, dan persetujuan atas gagasan atau perasaan individu. Pemberian dukungan ini membantu individu melihat segi positif dalam dirinya yang berfungsi untuk menambah penghargaan dan kepercayaan diri saat mengalami tekanan. c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan secara langsung sesuai dengan yang dibutuhkan individu, seperti bantuan finansial atau pekerjaan pada saat mengalami stres. d. Dukungan informatif, mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik yang diperoleh dari orang lain, sehingga individu dapat mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya. Sumber Dukungan Sosial Menurut Rook dan Dooley (1985) diacu dalam Febriasari (2007) ada dua sumber dukungan sosial, yaitu : a. Sumber natural: dukungan sosial yang diterima seseorang melalui interaksi sosial secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami), teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat non formal. b. Sumber artificial: dukungan sosial untuk kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan.
13
Perilaku Hidup Sehat Perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mahluk hidup. Sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun sosial. Sedangkan menurut UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, kesehatan
adalah
keadaan
sejahtera
badan,
jiwa,
dan
sosial,
yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Notoatmodjo 2007). Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku hidup sehat adalah segala respon seseorang yang berkaitan dengan penyakit, pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: 1. Pemeliharaan kesehatan (health maintanance): perilaku seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan ketika sakit. 2. Penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior): Perilaku ini menyangkut upaya seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. 3. Kesehatan lingkungan: respon seseorang terhadap lingkungan agar tidak mempengaruhi kesehatannya. Adapun penyebab yang menentukan perilaku kesehatan dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) faktor internal (karakteristik seseorang), misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin; (2) faktor eksternal yaitu lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik. faktor yang paling dominan menetukan perilaku kesehatan yaitu faktor lingkungan. Tindakan pencegahan penyakit TB paru, merupakan upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain. Upaya tersebut antara lain: pengobatan TB paru dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (Notoatmodjo 2007). Menurut Depkes (2007), terdapat sepuluh indikator yang meliputi tujuh indikator perilaku hidup bersih sehat dan tiga indikator gaya hidup sehat, yaitu: (1) membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat sinar matahari dan udara yang cukup; (2) menjemur kasur, bantal, dan guling secara teratur sekali seminggu; (3) kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian; (4) menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah; (5) lantai diplester atau dipasang keramik; (6) bila batuk, mulut ditutup; (7) tidak meludah
14
disembarang tempat tapi menggunakan tempat khusus; (8) istirahat cukup dan tidak tidur larut malam; (9) makan makanan bergizi seimbang; dan (10) hindari polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok. Tuberkulosis (TB) Paru Tuberkulosis
(TB)
adalah
suatu
infeksi
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru tetapi dapat juga mengenai organ-organ tertentu (Brewis 1983) diacu dalam Nawas A (1990). TB paru merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Hal ini tercermin pada prevalensi TB paru dengan BTA (+) yang cukup tinggi yaitu 0,3% artinya diantara 1000 orang penduduk Indonesia dapat dijumpai 3 orang penderita TB paru yang masih potensial menular. Di Indonesia, TB paru merupakan penyebab kematian selain penyakit ISPA, diare dan penyakit jantung koroner (Handoko T 1984) diacu dalam Nawas A (1990). Gambaran Klinis TB Paru Menurut Rasmin R (1987) diacu dalam Nawas A (1990), mengemukakan gambaran klinis TB paru dapat dibagi atas dua gejala, yaitu: 1. Gejala sistemik (umum) meliputi demam, tidak enak badan, nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan badan pegal. Pada wanita dapat dijumpai gangguan siklus haid. 2. Gejala respiratorik (paru) melipuit batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Faktor Resiko TB Paru Terdapat tiga faktor resiko TB paru, yaitu kepadatan tempat tinggal, kopndisi rumah, dan sosial ekonomi keluarga. Kepadatan
Tempat
Tinggal.
Kepadatan
tempat
tinggal
dapat
mempengaruhi penyebab penularan penyakit. Semakin padat tempat tinggal, penyakit semakin cepat menular melalui udara. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan tempat hunian dan ventilasi rumah. Kuman TB paru akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari yang dapat mematikan fungsi vital organisme (Starke JR & Munoz F 2003). Kepadatan tempat tinggal yang ditetapkan oleh Depkes (2008), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni. Adapun batas minimal
15
kepadatan tempat tinggal adalah 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur lima tahun. Di daerah perkotaan yang lebih padat penduduknya, peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru lebih besar (Karyadi E et al. 2006). Kondisi Rumah. Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kesehatan lingkungan dapat terlihat dari kondisi lingkungan tempat tinggal. Rumah dapat dikatakan aman dan sehat jika memenuhi syarat tertentu. Sesuai dengan Kepmenkes No.829/MenKes/SK/VII/1999 diacu dalam Azwar (1999) terdapat indikator rumah yang sehat yaitu : (1) lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan; (2) sebaiknya dinding dari tembok namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih baik dinding dari papan; (3) atap genting cocok untuk daerah tropis, sedangkan atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena menimbulkan suhu panas di dalam rumah; (4) ventilasi cukup, yaitu minimal luas ventilasi adalah 15% dari luas lantai. Ventilasi mempunyai fungsi: menjaga aliran udara di dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan oksigen (O2) yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga, menjaga udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum, dan membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen (pembawa penyakit); (5) cahaya matahari cukup, yang diperoleh dari ventilasi maupun genting kaca. Suhu udara yang ideal antara 18 - 30°C dan sinar matahari selama lima menit dapat membunuh Mycobacterium tuberculosis; (6) luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Rumah yang tidak sehat disebabkan kurangnya O2 dan mudahnya proses penularan penyakit. Sosial Ekonomi Keluarga. WHO (2003) menyebutkan bahwa 90% penderita TB di seluruh negara menyerang kelompok sosial ekonomi lemah. Menurut Enarson DA et al. (1993) TB merupakan penyakit terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk berpendapatan rendah. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan tempat tinggal yang tinggi. Selain itu, kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi masalah bagi golongan sosial ekonomi rendah.
16
Karakteristik Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU No.52 tahun 2009). Keluarga menyediakan keseimbangan kebutuhan antar individu sebagai anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat yang ada. Empat ciri keluarga yaitu : (1) susunan orang-orang yang disatukan oleh perkawinan, darah atau adopsi; (2) hidup bersama di bawah satu atap (rumah tangga); (3) kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi (peran sosial); dan (4) pemeliharaan suatu kebudayaan (Puspitawati 2006). Terdapat 8 fungsi keluarga menurut PP No.21 tahun 1994, diacu dalam Puspitawati (2006) tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang dijalankan untuk mencapai tujuan keluarga, yaitu : fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah jumlah seluruh hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain. Menurut BPS (2002) diacu dalam Shinta (2008), pendapatan rumah tangga atau keluarga adalah seluruh penghasilan atau penerimaan berupa uang dari seluruh anggota yang diperoleh berupa upah atau gaji, pendapatan dari usaha rumah tangga atau penerimaan lainnya. Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting dan sangat berpengaruh pada keluarga dengan penyakit kronis, karena tidak jarang mereka membatalkan pengobatan medis meskipun telah menderita penyakit kronis sehingga memunculkan komplikasi penyakit (Sugianto 2007). Goldsmith (2005) diacu dalam Mimbs & Lewis (2009) menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi sehingga manajemen input menentukan outcome yang dihasilkan. Jika keluarga dengan penyakit kronis memiliki kemampuan manajemen sumber daya dengan baik, maka kendala keuangan dapat diatasi.
17
Pendidikan Pendidikan formal dan non-formal serta pengetahuan orang tua dan anakanak sangat penting dalam menetukan status kesehatan dan gizi keluarga. Pendidikan dapat membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi proses pemberian dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh terhadap status anak dan keluarga (Sukarni 1994). Pekerjaan Mata
pencaharian
kepala
keluarga
sangat
berpengaruh
terhadap
ketahanan keluarga terutama status kesehatan keluarga (Sukarni 1994). Terdapat kaitan antara pekerjaan orang tua dengan karakteristik keluarga yaitu gambaran mengenai tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga bisa dikategorikan miskin atau tidak miskin berdasarkan beberapa indikator dan pendekatan. Pendekatan kemiskinan menurut Hamudy (2008) diacu dalam Shinta (2008), yaitu: (1) pendapatan: seseorang dikatakan miskin jika pendapatan dan pengeluaran berada di bawah batas secara sosial; (2) kebutuhan dasar: miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dasar; (3) aksesibilitas: miskin karena kurang akses terhadap infrastruktur sosial dan fisik, informasi, pasar, dan teknologi; (4) kemampuan manusia: miskin jika tidak memiliki kemampuan minimal yang dapat berfungsi. Tingkat kesejahteran dapat diukur dengan kriteria BPS dan kriteria pengeluaran pangan. Untuk mengukur garis kemiskinan, BPS menggunakan batas pendapatan perkapita yang diturunkan dari kebutuhan dasar kalori minimal 2100 kkal/kapita/bulan. Garis kemiskinan di Jawa Barat untuk wilayah perkotaan Rp. 203.751,00/kapita/bulan dan untuk perdesaan Rp. 175.193,00/kapita/bulan (BPS 2009). Garis kemiskinan Kota Bogor yaitu apabila pendapatan kurang dari Rp. 223.218,00/kapita/bulan (BPS Bogor 2009). Adapun untuk mengukur garis kemiskinan
yaitu
berdasarkan
jumlah
pengeluaran
pangan
>50%
dari
keseluruhan pengeluaran keluarga (BPS 2009). Usia Umur orang tua, terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengatur keluarga. Ibu dengan usia muda cenderung lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan keluarganya. Usia dewasa dibagi
18
menjadi 3 kategori (Hurlock 1993), yaitu: dewasa muda (19-29 tahun), dewasa madya (30-49 tahun), dan dewasa akhir (50-69 tahun). Besar Keluarga Sanjur (1982) diacu dalam Devi (2004) menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (1988) diacu dalam Fitriyani (2008) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Keluarga dengan kondisi krisis bergantung pada besar keluarga, semakin besar keluarga maka semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. Besar keluarga akan mempengaruhi status kesehatan keluarga. Sanitasi Sanitasi lingkungan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi permukiman. Kusnoputranto (1983) diacu dalam Fitriyani (2008) mendefinisikan sanitasi lingkungan sebagai usaha pengendalian dari faktor-faktor lingkungan fisik yang mungkin menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Dapat disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan merupakan pengelolaan berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan meliputi: (1) penyediaan air rumah tangga yang baik; (2) pengaturan pembuangan kotoran manusia; (3) pengaturan pembuangan sampah; (4) pengaturan pembuangan air limbah ; (5) pengaturan rumah sehat; (6) pembasmian binatang-binatang penyebar penyakit seperti lalat dan nyamuk; (7) pengawasan polusi udara; dan (8) pengawasan radiasi dari sisa-sisa zat radio aktif. Untuk mengukur sanitasi keluarga terdiri dari tiga aspek, yaitu kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air. Kondisi Fisik Rumah. Rumah merupakan bagian dari kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia selain sandang dan pangan. Rumah tidak hanya befungsi sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai tempat tinggal. Aspek kesehatan, kenyamanan, dan estetika berkaitan dengan tingkat kesejahteraan penduduk (BPS 2000). Sarana Rumah Tangga. Rumah yang sehat menurut Notoatmodjo (2007) harus mempunyai berbagai fasilitas, seperti penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan air limbah pembuangan sampah, dapur, dan ruang berkumpul
19
keluarga. Untuk perumahan di pedesaan, biasanya disediakan gudang sebagai tempat penyimpanan hasil panen dan kandang ternak. Sumber Air. Air merupakan kebutuhan yang paling penting bagi manusia. Fungsi air dalam kehidupan sehari-hari antara lain: untuk memasak, minum, mandi, dan mencuci. Adapun syarat air minum yang baik dapat dilihat melalui fisik, meliputi tidak berwarna (jernih), berasa, berbau, mengandung bahan kimia dan bakteri. Menurut Sukarni (1994), air dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu: (1) air hujan, yaitu air yang diperoleh dari proses prespitasi awan dan atmosfer yang mengandung air; (2) air permukaan tanah, yaitu air tergenang atau air mengalir, misalnya: sungai, danau, laut; (3) air tanah, yaitu air permukaan tanah yang telah masuk ke dalam tanah dan mengalami penyaringan oleh tanah, batu-batuan, atau pasir.
KERANGKA PEMIKIRAN Keluarga harus menyediakan kebutuhan anggota dan harapan dari kehidupan masyarakat. Penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi keluarga tersebut. Bila salah satu individu dalam sebuah keluarga menderita penyakit TB paru, maka hal ini tidak hanya menimbulkan stres pada dirinya sendiri tetapi juga pada keluarganya. Keluarga dengan penyakit TB paru memiliki karakteristik sosial ekonomi yang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku hidup sehat. Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting pada keluarga dengan penyakit TB paru. Pendapatan yang rendah dapat menimbulkan stres keluarga karena kurangnya kebutuhan sehari-hari. Pendidikan dapat membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi proses pemberian dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat atau keluarga. Tingkat pendidikan yang rendah dapat menyebabkan pengetahuan tentang lingkungan dan kesehatan juga rendah. Pekerjaan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Usia orang tua berkaitan dengan pengalaman dalam mengatur keluarga. Dalam hubungannya
dengan
pengeluaran
keluarga,
besar
keluarga
akan
mempengaruhi pengeluaran rumah tangga sehingga dapat dilihat tingkat kesejahteraannya (Sukarni 1994). Sanitasi merupakan usaha pengendalian dari faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan meliputi kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air keluarga dengan TB paru (Kusnoputranto 1983) diacu dalam Fitriyani (2008). Perilaku hidup sehat keluarga dengan TB paru adalah segala respon seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB Paru, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Tindakan pencegahan penyakit TB Paru merupakan upaya pencegahan agar tidak menulari orang lain. Upaya tersebut antara lain: pengobatan dan menerapkan perilaku hidup sehat (Notoatmodjo 2007). Situasi yang berhubungan dengan individu seperti penyakit TB paru menyebabkan munculnya tuntutan biologis dan psikologis individu. Derajat stres akan timbul tergantung pada keseriusan penyakit dan usia individu tersebut. Tetapi hal itu tidak hanya berdampak pada diri individu, melainkan pada seluruh
21
anggota keluarga. Penyakit sebagai penyebab stres merupakan efek dari keadaan sakit menyebabkan tuntutan untuk menyesuaikan diri. Terdapat dua bentuk stres yaitu eustress dan distress. Eustres adalah kondisi stress yang membawa efek posiitif dikarenakan pengelolaan stres yang baik. Sebaliknya, distress adalah kondisi negatif stres diakibatkan ketidakmampuan pengelolaan stres karena tingginya tingkat stres yang diderita. Dua bentuk utama distress adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan keadaan diri yang ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas marah, dan takut (Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008). Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan proses koping keluarga berfungsi sebagai mekanime agar fungsifungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal. Adapun jenis koping terbagi menjadi 2 yaitu: emotion-focused coping dan problem-focused coping. Emotion-focused coping bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang muncul dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini karena keyakinan melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan. Problemfocused
coping
bertujuan
untuk
mengurangi
tuntutan
stresor
atau
mengembangkan sumber daya dalam menghadapi tuntutan. Individu cenderung menggunakan bentuk ini karena keyakinan bahwa tuntutan stresor atau sumber daya mereka masih dapat diubah (Lazarus dan Folkman 1984). Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta kemampuan
beradaptasi
secara
positif
(Walsh
2002).
Mackay
(2003)
mengemukakan aspek yang dapat menjadi faktor kelentingan keluarga, yaitu: family cohesion, family belief system, dan komunikasi. Hubungan emosional antara anggota keluarga sangat penting bagi keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Keluarga dengan tingkat kohesi yang tinggi tetapi seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi. Family belief system merupakan inti dari fungsi keluarga yang mencakup nilai, sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system yang dominan dapat membentuk keluarga untuk menghadapi krisis dan kesulitan.
22
Komunikasi adalah aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi efektif sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang dicapai melalui negosiasi, kompromi, dan umpan balik. Kelentingan yang baik menunjukkan bahwa keluarga mampu mengelola konflik dengan baik. Pengelolaan konflik sangat tergantung pada komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah (Mackay 2003) Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dengan TB Paru: Pekerjaan Pendapatan keluarga Pendidikan Usia Besar keluarga Sanitasi
Stres
Tingkat kecemasan
Perilaku Hidup Sehat
Mekanisme Koping : Problem-focus coping Emotion-focus coping
Dukungan Sosial
Kelentingan Keluarga : Family Cohesion Family Belief System Komunikasi
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Variabel yang tidak diteliti Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Terhadap Kelentingan Keluarga dengan Penyakit TB Paru di Kecamatan Ciomas, Bogor
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu data diambil pada satu periode waktu secara bersamaan dengan sampel yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Ciomas yang terdiri dari 3 Desa di Kecamatan Ciomas yaitu Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran. Pemilihan tempat dan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan kemudahan akses dan penderita penyakit TB paru kedua terbanyak di Kabupaten Bogor setelah Cileungsi (Gerduda TB 2000). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan November 2010 yang meliputi pengumpulan, pengolahan, serta analisis data. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah seluruh subjek atau contoh yang terpilih di salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Ciomas. Kriteria contoh yaitu anggota keluarga (orang tua) sebagai penderita penyakit TB paru. Populasi contoh tersebar berdasarkan 4 UPT Puskesmas Kecamatan Ciomas yang kemudian disebut cluster area yaitu Puskesmas Kota Batu, Ciomas, Laladon, dan Ciapus. Selanjutnya secara purposive terpilih Puskesmas Ciomas sebagai contoh cluster pemilihan dengan pertimbangan kemudahan akses dan karakteristik contoh yang cukup banyak dibanding puskesmas lain. Puskesmas ini membawahi tiga desa, yaitu Desa Ciomas, Desa Ciomas rahayu, dan Desa Pagelaran. Jumlah contoh dari tiga desa terpilih yaitu 49 orang yang aktif berobat TB paru ke Puskesmas Ciomas dan bersedia diwawancarai. Populasi : Keluarga dengan TB paru di Kecamatan Ciomas Cluster Area Puskesmas Ciapus
Puskesmas Ciomas
Puskesmas Laladon
Puskesmas Kota Batu
Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran (n=49 keluarga) Gambar 2 Cara Pengambilan Contoh
24
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang berasal langsung dari objek penelitian, yang diperoleh dengan survey (wawancara kepada contoh dan pasangan dengan kuesioner terstruktur) dan observasi. Sedangkan data sekunder meliputi data pasien aktif Puskesmas Ciomas, gambaran umum lokasi penelitian, penelusuran pustaka dan lain-lain. Tabel 1 Peubah, Jenis Data, dan Cara Pengumpulan Data Peubah Perilaku Hidup Sehat Riwayat Kesehatan Karakteristik Keluarga Pekerjaan Pendidikan Pendapatan keluarga Usia Besar keluarga Sanitasi Tingkat Kecemasan Mekanisme koping Kelentingan Keluarga Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Jenis Data Primer Primer
Cara Pengumpulan Data Wawancara Wawancara
Skala data ordinal nominal
Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer
Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara dan observasi Wawancara Wawancara Wawancara
nominal ordinal rasio rasio rasio ordinal ordinal ordinal ordinal
Sekunder
Kantor Desa
-
Tabel 2 Kategori Variabel Penelitian No. 1.
Variabel Family Cohesion
Kategori Kelentingan Keluarga Kebersamaaan Keseimbangan Kedekatan loyalitas Aktivitas Kemandirian Kemampuan untuk memaknai kesulitan Pandangan positif Spiritual atau transedensi Kejelasan pesan Keterbukaan penyampaian emosi Kolaboratif dalam pemecahan masalah Mekanisme Koping Keluarga
Keterangan
Mackay (2003) & Sixbey (2005) diacu dalam Lum C (2008)
2.
Family Belief System
3.
Komunikasi
4.
Problem-focused coping Emotion-focused coping
Folkman (1986) &
Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme Dukungan Sosial,
Mc.Cubbin & Mc.Cubbin (1979)
5. 6. 7.
25
8.
Penghargaan Diri, dan Psychological Stability Komunikasi dan konsultasi kesehatan Dukungan Sosial
9. 10. 11. 12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
Dukungan Emosional Dukungan Penghargaan Dukungan Instrumental Dukungan Informatif
Smet (1994) dan Sarafino (1998) & Permatasari (2006) Stres Normal Ringan-sedang Berat Ekstrim Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga 19-29 tahun 30-49 tahun 50-69 tahun Tidak sekolah Tidak tamat SD SD SMP SMA Diploma Sarjana Pasca sarjana Tidak bekerja Petani Pedagang Buruh PNS/ABRI/Polisi Wiraswasta Karyawan swasta Lainnya Kecil (≤4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥8 orang) < Rp. 500.000,00 Rp. 500.000,00 – Rp. 1.000.000,00 Rp. 1.000.000,00 – Rp. 1.500.000,00 Rp. 1.500.000,00 – Rp. 2.000.000,00 Rp. 2.000.000,00 – Rp. 2.500.000,00 > Rp. 2.500.000,00
Tingkat Kecemasan
Usia
Pendidikan
Pekerjaan
Besar keluarga
Pendapatan keluarga
Sanitasi Kondisi Fisik Rumah 19. Kepemilikan rumah
Milik sendiri kontrak Sewa Lainnya
Zung (1971)
Hurlock (1993)
Ketentuan peneliti
Ketentuan peneliti
Hurlock (1993)
Ketentuan peneliti
Ketentuan Peneliti
26
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Jenis lantai
Dinding
Ventilasi
Atap
Jendela
Luas ruangan per orang
Sarana Rumah Tangga 26. Ketersediaan kamar mandi 27. Kondisi kamar mandi 28.
Ketersediaan jamban
29.
Pembuangan sampah
30.
Pembuangan limbah
air
Sumber Air 31. Sumber air minum
32.
33. 34.
35.
Sumber air bersih
Pemisahan alat makan dan minum Menjemur kasur, bantal, dan guling
Waktu tidur
Seluruhnya tanah Tanah dan Semen Lantai keramik Lainnya Bambu/triplek/kayu Tembok plester/tanpa plester Lainnya Tidak ada Ada, tetapi tertutup Ada, terbuka Ijuk Seng Genteng Lainnya Tidak ada Ada, tetapi hanya di beberapa ruangan Ada, hampir setiap ruangan 2 Baik (> 8m /orang) 2 Sedang ( 5-8m /orang) 2 Kurang (< 5m /orang)
Ya Tidak Tanah dan Semen Lantai keramik Lainnya Ya (septic tank/tanpa septic tank) Tidak (sungai/empang) Lainnya Sungai TPS Lainnya Sungai Selokan Lainnya
Air hujan/sungai Mata air/sumur PAM/ledeng Lainnya Air hujan/sungai Mata air/sumur PAM/ledeng Lainnya Perilaku Hidup Sehat Ya Tidak 1 minggu sekali 2 minggu sekali 1 bulan sekali Lainnya Kurang (< 8 Jam) Cukup (> 8 jam)
BPS (2000)
BPS (2000)
BPS (2000)
BPS (2000)
BPS (2000)
BPS (2000)
Ketentuan peneliti Ketentuan peneliti Ketentuan peneliti Ketentuan peneliti Ketentuan peneliti
Sukarni (1994)
Sukarni (1994)
Depkes (2007)
Depkes (2007)
Depkes (2007)
27
36.
Kebiasaan merokok
37.
Olahraga
38.
Tindakan pengobatan
39.
Diet
40.
Menggunakan alat untuk batuk dan meludah
Ya Tidak 1 minggu sekali 2 minggu sekali 1 bulan sekali Lainnya Dokter/mantri Puskesmas/klinik/rumah sakit Obat warung/Obat tradisional Ya Tidak Ya Tidak
Depkes (2007)
Depkes (2007)
Ketentuan peneliti Depkes (2007) Depkes (2007)
Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Uji validitas Uji validitasnya dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor tiap item dengan skor total. Teknik uji validitas dalam penelitian ini menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson, yaitu : rxy =
( XY ) ( X )( Y ) / N
X 2 ( X 2 / N ) Y 2 ( Y 2 / N
keterangan : = koefisien korelasi antara skor X (item) dengan skor Y (total) rxy ∑XY = jumlah perkalian antara skor X (item) dengan skor Y (total) ∑X = jumlah skor item ∑Y = jumlah skor total N = jumlah subjek
Uji signifikansi untuk menentukan valid atau tidaknya suatu item adalah dengan cara membandingkan rhitung dengan rtabel untuk tingkat signifikansi 0,05 dan N=49, maka rtabel=0,282. Jika rhitung > rtabel , maka pernyataan tersebut valid. Berdasarkan hasil uji coba validitas dengan program SPSS 16.0 diperoleh uji validitas instrumen: a. mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), nilai terendah 0,885 dan nilai tertinggi 0,896. b. mekanisme koping keluarga, nilai terendah 0,912 dan nilai tertinggi 0,923. c. kelentingan keluarga, nilai terendah 0,885 dan nilai tertinggi 0,904. d. tingkat kecemasan, terdapat beberapa butir pernyataan yang dihapus yaitu nomor 5, 18 dan 19 karena butir tersebut terbukti tidak valid. Adapun butir pernyataan yang valid memiliki nilai terendah 0,646 dan nilai tertinggi 0,734.
28
e. dukungan keluarga terdapat beberapa butir pernyataan yang dihapus yaitu nomor 5, 12, 25, 27, 29, 30, dan 34 karena butir tersebut terbukti tidak valid. Adapun butir pernyataan yang valid memiliki nilai terendah 0,653 dan nilai tertinggi 0,711. 2. Uji reliabilitas Teknik analisis yang digunakan adalah teknik uji reliabilitas alpha yang dikembangkan oleh Cronbach, dengan rumus : r11 = k 1
k 1
2 1
2 b
Keterangan : = reliabilitas instrumen r11 k = jumlah item 1 = bilangan konstan 2 ∑σb = jumlah varians butir 2 σ1 = varians total
Berdasarkan uji reliabilitas menggunakan rumus alpha diperoleh nilai r11=0,892 untuk instrumen mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), sebesar 0,918 untuk instrumen mekanisme koping keluarga, sebesar 0,895 untuk instrumen kelentingan keluarga, sebesar 0,701 untuk instrumen tingkat kecemasan, sebesar 0,701 untuk instrumen dukungan sosial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa skala tersebut adalah reliabel karena rhitung > 0,6 sehingga dapat digunakan sebagai alat ukur. Tabel 3 Interpretasi Realibilitas Nilai realibilitas (rhitung) 0,801 – 1,00 0,601 – 0,800 0,401 – 0,600 0,201 – 0,401 0,001 – 0,200
Interpretasi Baik Cukup Agak kurang Kurang Sangat kurang
Sumber: Arikunto (2002) diacu dalam Permatasari (2006)
Pengolahan dan Analisis Data Menurut Notoatmodjo (2002) diacu dalam Marwiati (2005), agar analisa penelitian menghasilkan informasi yang benar, ada 4 tahap yang digunakan peneliti yaitu : 1. Editing, merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isi kuesioner yang telah lengkap, jawaban dan tulisannya jelas untuk dibaca, relevan dengan pertanyaan, serta konsisten.
29
2. Koding, merupakan kegiatan mengubah data dari berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk bilangan, sehingga akan mempermudah pada saat analisis dan entri data. 3. Processing, merupakan langkah pemrosesan data agar dapat dianalisis, yaitu dilakukan dengan cara memasukkan data dari kuesioner ke program komputer. 4. Clearing, yaitu membersihkan data dan merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientri di komputer. Data yang terkumpul, ditabulasi, dan dianalisis secara deskriptif. Hasil pengolahan data, selanjutmya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis statistik menggunakan uji korelasi untuk menguji hubungan antar variabel, serta uji regresi linier berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada kelentingan keluarga. Selain itu, diperlukan uji beda untuk menguji perbedaan lama sakit dengan kemungkinan adaptasi atas situasi krisis. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyajian data dalam bentuk persentase, tabel, dan grafik. Sajian data tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk teks sebagai interpretasinya. Data yang bersifat kualitatif digambarkan dengan kata atau kalimat dan dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh hasil. Selanjutnya kategori tersebut dikuantitatifkan ke dalam bentuk persentase. Dengan rumus sebagai berikut (Arikunto 2002) diacu dalam Marwiati (2005): P=
n x 100 % N
Keterangan : P = Persentase n = skor riil N = Total skor
Adapun instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1. Karakteristik contoh, yang terdiri dari 3 pertanyaan terbuka yaitu pekerjaan, pendidikan, dan usia. 2. Karakteristik keluarga, yang terdiri dari 2 pertanyaan terbuka yaitu: pendapatan keluarga dan besar keluarga. 3. Riwayat kesehatan penderita dan keluarga, dengan 2 item pertanyaan terbuka yaitu deskripsi dan dampak.
30
4. Sanitasi, yang terdiri dari 3 item yaitu: kondisi fisik rumah, sarana dalam rumah tangga, dan sumber air dengan 12 pertanyaan tertutup dan 3 pertanyaan terbuka. 5. Perilaku hidup sehat, yang terdiri dari 7 pertanyaan tertutup dan 1 pertanyaan terbuka. 6. Mekanisme koping kesehatan keluarga, kuesioner diadaptasi dari teori Mc.Cubbin & Mc.Cubbin (1979) yang disusun dalam 45 butir pernyataan. Skala pengukuran yang digunakan adalah dengan skala likert yaitu: sangat membantu/menolong (skor 4), membantu/menolong (skor 3), kurang membantu/menolong (skor 2), tidak membantu/menolong (skor 1). Skor yang dihasilkan yaitu antara 45-180, sehingga dapat dibuat rentangan 180 – 45 = 135. Hasil rentangan tersebut akan dikategorikan
menjadi 5 kriteria yaitu
sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Nilai interval persentase yaitu
135 = 75, sehingga 180
75 = 15, maka didapat angka 15 5
sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4 Kriteria Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP), Mekanisme Koping Keluarga, Kelentingan Keluarga, dan Dukungan Sosial Interval Persentase (%) 25,00 – 40,00 41,00 – 55,00 56,00 – 70,00 71,00 – 85,00 86,00 – 100,0
Kriteria Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
7. Mekanisme koping keluarga, kuesioner diadaptasi dari teori Folkman (1986) yang disusun dalam 66 butir pernyataan. Skala pengukuran yang digunakan adalah dengan skala likert yaitu: sangat membantu/menolong (skor 4), membantu/menolong (skor 3), kurang membantu/menolong (skor 2), tidak membantu/menolong (skor 1). Skor yang dihasilkan yaitu antara 66-264, sehingga dapat dibuat rentangan 264 – 66 = 198. Hasil rentangan tersebut akan dikategorikan menjadi 5 kriteria yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Nilai interval persentase yaitu
198 = 75, sehingga 264
75 = 15, maka didapat angka 15 sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat 5 pada Tabel 4. 8. Kelentingan keluarga, kuesioner diadaptasi dari teori Mackay (2003) dan Sixbey (2005) yang disusun dalam 33 butir pernyataan. Skala pengukuran
31
yang digunakan adalah dengan skala likert, dengan pemberian skor yaitu: sangat setuju (SS)=4, setuju (S)=3, kurang setuju (KS)=2, tidak setuju (TS)=1. Skor yang dihasilkan yaitu antara 33-132 sehingga dapat dibuat rentangan 132 – 33 = 99. Hasil rentangan tersebut akan dikategorikan menjadi 5 kriteria yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Nilai interval persentase yaitu
99 75 = 75, sehingga = 15, maka 132 5
didapat angka 15 sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. 9. Tingkat kecemasan, kuesioner diadaptasi dari Zung Self Rating Anxiety Scale (ZRAS) (1971) yang terdiri dari 17 butir pernyataan. Skala pengukuran yang digunakan adalah dengan skala likert, dengan pemberian skor yaitu: selalu (skor 4), sering (skor 3), kadang-kadang (skor 2), tidak pernah (skor 1). Skor yang dihasilkan yaitu antara 17-68 sehingga dapat dibuat rentangan 68 – 17 = 51. Hasil rentangan tersebut akan dikategorikan menurut Zung (1971) yaitu dibagi 4 kriteria, yaitu normal, ringan-sedang, berat, dan ekstrim. Nilai interval persentase yaitu
51 75 = 75, sehingga = 18,75, maka didapat angka 18,75 68 4
sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: Tabel 5 Kriteria Tingkat Kecemasan Interval Persentase (%) 25,00 – 43,75 43,76 – 62,50 62,51 – 81,25 81,26 – 100,0
Kriteria Normal Ringan – Sedang Berat Ekstrim
10. Dukungan sosial, kuesioner diadaptasi dari Permatasari (2006) yang didasari oleh teori Smet (1994) dan Sarafino (1998), terdiri dari 27 butir pernyataan favorable dan unfavorable. Skala pengukuran yang digunakan adalah dengan skala likert, dengan skor sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Skor yang dihasilkan yaitu antara 27-108 sehingga dapat dibuat rentangan 108 – 27 = 81. Hasil rentangan dikategorikan menjadi 5 kriteria yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Nilai interval persentase yaitu
81 75 = 75, sehingga = 15, 108 5
maka didapat angka 15 sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 4. Untuk jawaban pernyataan favorable, sangat sesuai (SS)=4, sesuai (S)=3, tidak sesuai (TS)=2, sangat tidak sesuai (STS)=1. Sedangkan jawaban pernyataan unfavorable, sangat sesuai (SS)=1, sesuai (S)=2, tidak sesuai
32
(TS)=3, sangat tidak sesuai (STS)=4. Perincian skala dukungan sosial dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Skala Dukungan Sosial No. 1 2 3 4
Aspek Dukungan emosional Dukungan penghargaan Dukungan Instrumental Dukungan informatif Total
Jumlah Item Fav Unfav 8 4 3 4 2 1 5 0 18 9
Total 12 7 3 5 27
Definisi Operasional Keluarga dengan TB Paru adalah kumpulan orang yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya yang memiliki ikatan pernikahan, darah, atau adopsi yang salah satu dari orang tua (ayah atau ibu) menderita penyakit TB Paru. Karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah karakteristik keluarga dengan TB Paru yang meliputi pendapatan keluarga, pendidikan, pekerjaan, usia, dan besar keluarga. Pendapatan keluarga adalah suatu jumlah uang yang diperoleh dari pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan dari orang tua dan anggota keluarga lainnya yang dinyatakan dalam rupiah perkapita perbulan. Pendidikan adalah pengajaran formal yang terakhir yang pernah diperoleh contoh yang meliputi SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana, Pasca sarjana. Pekerjaan adalah sumber pendapatan keluarga dapat berupa pekerjaan tetap atau tidak tetap sesuai dengan bidang dan keahlian contoh. Usia adalah lama waktu hidup (dalam tahun) orang tua sejak lahir sampai waktu pengambilan data penelitian. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang hidup serumah yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya selama minimal 3 bulan. Sanitasi adalah suatu pengelolaan kondisi lingkungan keluarga yang dapat diukur melalui kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air.
33
Perilaku hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas dalam kehidupan sehari-hari
yang
mencerminkan
upaya
hidup
sehat
dalam
memelihara kesehatan keluarga dengan TB Paru, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati secara langsung oleh pihak luar, meliputi kebersihan anggota keluarga, kebersihan makanan dan peralatan makan, kebiasaan olahraga, dan kebiasaan tidak merokok. Kelentingan Keluarga adalah karakteristik, dimensi, dan sumber daya keluarga dalam menghadapi perubahan dan adaptasi terhadap situasi krisis. Kelentingan
keluarga
diukur
berdasarkan
aspek
kelentingan
keluarga meliputi: family cohesion, family belief system, dan communication. Semakin tinggi skor yang diperoleh didalam skala, maka semakin lenting keluarga tersebut dan sebaliknya. Tingkat Kecemasan adalah suatu persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan
dan
reaksi
fisiologis,
kecemasan
dapat
dikategorikan menjadi 4 yaitu: normal, ringan-sedang, berat, dan ekstrim. Mekanisme Koping adalah usaha kognitif dan perilaku yang dibuat oleh seseorang untuk mengorganisasikan tuntutan dari perbedaan harapan dan kenyataan. Mekanisme koping diukur dengan menggunakan skala berdasarkan jenisnya, yaitu: emotion focus coping dan problem focus coping. Dukungan sosial adalah dukungan yang diperoleh dari hubungan interpersonal yang
mengacu
pada
kesenangan,
ketenangan,
bantuan
bermanfaat, yang berupa informasi verbal maupun non verbal yang diterima seseorang dari orang lain atau kelompok lain yang membawa efek perilaku bagi penerimanya. Dukungan sosial ini diukur dengan menggunakan skala dukungan sosial yang dibuat berdasarkan jenis dukungan sosial meliputi: dukungan emosional, penghargaan, intrumental, dan informatif. Semakin tinggi skor yang diperoleh didalam skala, maka semakin tinggi dukungan yang diterima dan sebaliknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Demografi Lokasi penelitian yaitu di Puskesmas Ciomas yang membawahi tiga desa di Kecamatan Ciomas, yaitu Desa Ciomas, Desa Ciomas Rahayu, dan Desa Pagelaran. Desa Ciomas memiliki luas 26.660 m2. Total penduduk desa ini sebanyak 12.501 jiwa, terdiri dari 6442 orang laki-laki dan 6059 orang perempuan, dengan 2766 kepala keluarga laki-laki dan 308 kepala keluarga perempuan. Batas wilayah Desa Ciomas yaitu: Utara
: Jalan raya Ciomas/ Desa Ciomas Rahayu
Timur
: Kota Bogor, Desa Mekar Jaya, dan Desa Parakan
Selatan
: Desa Pagelaran
Barat
: Desa Mekar Jaya
Berdasarkan usia, persentase terbesar penduduk berada pada rentang usia 2529 tahun, sebanyak 9,8% (Tabel 7). Desa Ciomas Rahayu memiliki luas 88.450 Ha. Total penduduk desa ini sebanyak 12.643 jiwa, terdiri dari 6340 orang laki-laki dan 6303 orang perempuan, dengan 3695 kepala keluarga. Batas wilayah Desa Ciomas Rahayu yaitu: Utara
: Kota Bogor (Kecamatan Bogor Barat)
Timur
: Kota Bogor (Kecamatan Bogor Barat)
Selatan
: Desa Ciomas/Jalan raya Ciomas
Barat
: Kelurahan Padasuka/Desa Laladon
Berdasarkan usia, persentase terbesar penduduk berada pada rentang usia 0-4 tahun, sebanyak 14% (Tabel 7). Desa Pagelaran memiliki penduduk sebanyak 12.807 jiwa, terdiri dari 6559 orang laki-laki dan 6248 orang perempuan, dengan 2916 kepala keluarga lakilaki dan 258 kepala keluarga perempuan. Batas wilayah Desa Pagelaran yaitu: Utara
: Desa Padasuka
Timur
: Desa Ciomas
Selatan
: Desa Pasir Eurih, Desa Parakan
Barat
: Desa Sukaresmi, Desa Sukamakmur
35
Berdasarkan usia, persentase terbesar penduduk berada pada rentang usia 5-9 tahun, sebanyak 12% (Tabel 7). Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa penduduk Desa Ciomas terdiri dari balita (8,5%), anak usia sekolah (28%), usia produktif (53,1%), dan lansia (10,4%). Penduduk Desa Ciomas Rahayu terdiri dari balita (14%), anak usia sekolah (26%), usia produktif (54%), dan lansia (6%). Penduduk Desa Pagelaran terdiri dari balita (9%), anak usia sekolah (31%), usia produktif (55%), dan lansia (5%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran termasuk dalam usia produktif (20-54 tahun). Untuk lebih jelasnya tercantum dalam tabel di bawah ini. Tabel 7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Usia (tahun) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 >70 Jumlah
Desa Ciomas Jumlah Persentase (jiwa) (%) 1057 8,5 1170 9,4 1113 8,9 1214 9,7 1178 9,5 1220 9,8 1069 8,6 1048 8,4 831 6,7 614 4,9 645 5,2 353 2,8 344 2,8 305 2,4 297 2,4 12458 100
Desa Ciomas Rahayu Jumlah Persentase (jiwa) (%) 1764 14 1300 10 1004 8 1052 8 1011 8 1249 10 1382 11 1203 10 891 7 621 5 416 3 332 3 164 1 191 1,5 63 0,5 12643 100
Desa Pagelaran Jumlah Persentase (jiwa) (%) 1144 9 1482 12 1323 10 1136 9 1338 10,5 1249 10 1212 9,5 1159 9 894 7 617 5 514 4 301 2 396 3 12765 100
Sumber: Data Monografi Desa Ciomas (2008), Ciomas Rahayu (2010), dan Pagelaran (2009)
Pendidikan Tabel 8 menunjukkan tingkat pendidikan penduduk 3 desa lokasi penelitian. Hampir dua pertiga (61,6%) penduduk Desa Ciomas berpendidikan menengah. Lebih dari separuh (55,5%) penduduk Desa Ciomas Rahayu berpendidikan menengah. Lebih dari separuh (58,5%) penduduk Desa Pagelaran berpendidikan dasar. Namun persentase terbanyak pendidikan tinggi terdapat di Desa Ciomas Rahayu (23,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan penduduk yang terbaik yaitu Desa Ciomas Rahayu. Untuk lebih jelasnya tercantum dalam tabel di bawah ini.
36
Tabel 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Pendidikan dasar (SD/sederajat) Pendidikan menengah (SLTP dan SLTA/sederajat) Pendidikan tinggi (Akademi, S1, S2, S3) Jumlah
Desa Ciomas Jumlah Persentase (jiwa) (%) 60 4
Desa Ciomas Rahayu Jumlah Persentase (jiwa) (%) -
Desa Pagelaran Jumlah Persentase (jiwa) (%) 27 0,2
439
29,6
1498
21
8204
58,5
913
61,6
3964
55,5
4346
30,9
4,8
1652
23,5
1441
10,4
100
7114
100
14018
100
71 1483
Sumber: Data Monografi Desa Ciomas (2008), Ciomas Rahayu (2010), dan Pagelaran (2009)
Pekerjaan Berdasarkan mata pencahariannya, hampir separuh (48%) masyarakat Desa Ciomas Rahayu bekerja sebagai karyawan atau di sektor swasta. Hampir separuh masyarakat Desa Pagelaran bekerja sebagai buruh atau di sektor jasa (47%). Untuk lebih jelasnya tercantum dalam tabel di bawah ini. Tabel 9 Pekerjaan Penduduk Berdasarkan Usia Kerja Jenis Pekerjaan Petani dan Peternak Pedagang/wiraswasta Karyawan PNS Buruh Jumlah
Desa Ciomas Rahayu Jumlah Persentase (%) (jiwa) 26 0,6 557 12,6 2112 48 931 21 795 17,8 4421 100
Desa Pagelaran Jumlah Persentase (jiwa) (%) 32 0,8 634 15 1132 26,7 448 10,5 1998 47 4244 100
Sumber: Data Monografi Desa Ciomas Rahayu (2010) dan Pagelaran (2009)
Karakteristik Contoh Berdasarkan data hasil penelitian, di bawah ini merupakan karakteristik contoh penderita TB paru. Tabel 10 Sebaran Karakteristik Contoh Penderita TB Paru No 1
2
Karakteristik Jenis kelamin a. laki-laki b. perempuan Jumlah Status dalam keluarga a. Kepala keluarga b. Istri Jumlah
n
%
36 13 49
73,5 26,5 100
38 11 49
77,6 22,4 100
37
3
4
5
6
7
Lama sakit a. < 1 tahun b. 1-5 tahun c. 6-10 tahun d. > 10 tahun Jumlah Lama pengobatan a. < 6 bulan b. 6-12 bulan c. 13-24 bulan d. > 24 bulan Jumlah Usia a. 19-29 tahun b. 30-49 tahun c. 50-69 tahun d. > 69 tahun Jumlah Tingkat pendidikan a. Tidak sekolah b. Tidak tamat SD c. SD/sederajat d. SMP/sederajat e. SMA/sederajat f. Diploma g. Sarjana Jumlah Pekerjaan a. Tidak Bekerja b. Pedagang c. Buruh d. PNS e. Wiraswasta f. Karyawan Jumlah
6 30 7 6
12,2 61,3 14,3 12,2
49
100
11 28 8 2 49
22,4 57,1 16,4 4,1 100
5 28 15 1 49
10,2 57,1 30,6 2,1 100
1 3 13 9 17 2 4 49
2 6,1 26,5 18,4 34,7 4,1 8,2 100
12 5 12 6 8 6 49
24,5 10,2 24,5 12,2 16,4 12,2 100
Hampir tiga perempat contoh (73,5%) berjenis kelamin laki-laki, sisanya sebanyak 26,5% perempuan. Lebih dari tiga perempat contoh (77,6%) berstatus sebagai kepala keluarga, sisanya sebanyak 22,4% sebagai istri. Hampir dua pertiga contoh (61,3%) mengalami sakit selama 1-5 tahun. Lebih dari separuh contoh (57,1%) melakukan pengobatan TB Paru selama 6-12 bulan, bahkan sebanyak 22,4% contoh baru melakukan pengobatan <6 bulan. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran dan sikap acuh penderita akan penyakit TB paru. Lebih dari separuh contoh (57,1%) berusia 30-49 tahun, atau dengan kata lain lebih dari separuh contoh berusia dewasa madya (Hurlock 1993). Hampir dua pertiga contoh (61,2%) memiliki tingkat pendidikan SMA/sederajat dan SD/sederajat. Mata pencaharian kepala keluarga sangat berpengaruh terhadap ketahanan keluarga terutama status kesehatan keluarga (Sukarni 1994). Hampir separuh contoh (49%) memiliki pekerjaan sebagai buruh dan tidak bekerja.
38
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Keluarga dengan kondisi krisis bergantung pada besar keluarga, semakin besar keluarga semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. Besar keluarga akan mempengaruhi status kesehatan keluarga (Sukarni 1994). Tabel 11 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Besar Keluarga Besar Keluarga Kecil (< 4 orang) Sedang (5 – 7 orang) Besar (> 8 orang) Total
n 27 21 1 49
% 55 43 2 100
Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (55%) termasuk dalam keluarga kecil yaitu < 4 orang (Hurlock 1993). Sisanya, hampir separuh keluarga contoh (43%) termasuk keluarga sedang (4-8 orang). Pendapatan Perkapita Menurut BPS (2002), diacu dalam Shinta (2008), pendapatan rumah tangga atau keluarga adalah seluruh penghasilan atau penerimaan berupa uang dari seluruh anggota yang diperoleh berupa upah atau gaji, pendapatan dari usaha rumah tangga atau penerimaan lainnya. BPS Kota Bogor (2009) mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan pendapatan perkapita. Batas keluarga miskin apabila pendapatan
223.218 Total
n 14 35 49
% 28 72 100
Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat keluarga contoh (72%) memiliki pendapatan perkapita di atas batas garis kemiskinan Kota Bogor atau dapat dikatakan sebesar 72 persen termasuk dalam kategori tidak miskin, sisanya 28 persen termasuk dalam kategori miskin. Adapun rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh secara keseluruhan yaitu Rp. 402.000,00 sehingga dapat dikatakan bahwa menurut pendapatan perkapita, rata-rata keluarga contoh tidak miskin.
39
Pengeluaran Keluarga Berikut adalah gambaran jenis pengeluaran yang menjadi kebutuhan keluarga contoh. Pengeluaran keluarga terbagi atas pengeluaran pangan dan non-pangan (pendidikan, kesehatan, uang saku anak, air dan listrik, serta pengeluaran lainnya). Tabel 13 Sebaran Pengeluaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan Kriteria Pangan dan Non-Pangan Jenis Pengeluaran Pangan Non Pangan : Pendidikan Kesehatan Uang Saku Air, Listrik, dll Lainnya Jumlah
Rata-Rata (Rp) 631.600
% 53,3
92.100 57.900 148.000 119.200 135.200 1.184.000
7,8 5 12,5 10 11,4 100
Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (53,3%)
mengalokasikan biaya untuk pangan dengan rata-rata Rp.
631.600,00 perbulan. Sisanya, hampir separuh keluarga contoh (46,7%) mengalokasikan biaya non-pangan secara merata. Tabel 14 Sebaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan Persentase Pengeluaran Pangan Pengeluaran Pangan < 50% dari keseluruhan pengeluaran > 50% dari keseluruhan pengeluaran Total
n 20 29 49
% 41 59 100
BPS Bogor (2005) mengukur batas garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran pangan yaitu apabila pengeluaran pangan >50% dari keseluruhan pengeluaran. Dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (59%) mengalokasikan biaya untuk pangan >50% dari keseluruhan pengeluaran. Berdasarkan pengeluaran pangan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh (59%) termasuk dalam kategori miskin. Sanitasi Sanitasi lingkungan merupakan usaha-usaha pengendalian dari semua faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Sanitasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan pemukiman, yaitu kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air (Fitriyani 2008). Kondisi Fisik Rumah. Kondisi fisik rumah mencakup jenis lantai, dinding, ventilasi, atap, jendela, dan luas bangunan rumah.
40
Tabel 15 Sebaran Contoh Berdasarkan Kondisi Fisik Rumah Keluarga TB Paru Aspek Jenis lantai Dinding Ventilasi Atap Jendela Luas bangunan
Kategori Tanah dan semen Keramik Bambu/triplek dan Tembok tanpa plester Tembok plester Ada, namun tertutup Ada dan terbuka Ijuk dan Seng Genteng Ada, namun hanya beberapa ruangan Ada, hampir di setiap ruangan 2 <8m /orang 2 ≥8m /orang
n 36 13 1
% 73,5 26,5 2
48 32 17 17 32 35
98 65 35 35 65 72
14 12 37
28 24,5 75,5
Hampir tiga perempat rumah contoh (73,5%) memiliki lantai tanah dan semen, sisanya sebanyak 26,5% lantai keramik. Sebagian besar rumah contoh (98%) berdinding tembok plester. Hampir dua pertiga rumah contoh (65%) memiliki ventilasi namun tertutup, sisanya sebanyak 35% ventilasi terbuka. Hampir dua pertiga rumah contoh (65%) memiliki atap genteng, sisanya sebanyak 35% atap ijuk dan seng. Hampir tiga perempat rumah contoh (72%) mempunyai jendela namun hanya beberapa ruangan, sisanya sebanyak 28% memiliki jendela hampir di setiap ruangan. Lebih dari tiga perempat rumah contoh (75,5%) memilki luas bangunan >8m2/orang, sisanya sebanyak 24,5% luas bangunan <8m2/orang. Sarana Rumah Tangga. Sarana rumah tangga mencakup ketersediaan dan kondisi kamar mandi, jamban, pembuangan sampah, dan pembuangan air limbah. Tabel 16 Sebaran Contoh Berdasarkan Sarana Rumah Tangga Keluarga TB Paru Aspek Ketersediaan kamar mandi Kondisi kamar mandi Ketersediaan jamban Pembuangan sampah Pembuangan air limbah
Kategori Tidak Ya Tanah dan semen Keramik Tidak (sungai, empang, sawah) Ya (septic tank) Sungai, dibakar TPS Sungai, septic tank Parit
n 2 47 27 22 13 36 14 35 22 27
% 4 96 55 45 26,5 73,5 28 72 45 55
Sebagian besar rumah contoh (96%) memiliki kamar mandi. Lebih dari separuh kamar mandi contoh (55%) memilki lantai tanah dan semen, sisanya
41
sebanyak 45% lantai keramik. Hampir tiga perempat rumah contoh (73,5%) memiliki jamban, sisanya sebanyak 26,5% tidak memiliki jamban (sungai, empang, dan sawah). Hampir tiga perempat contoh (72%) membuang sampah ke TPS, sisanya sebanyak 28% membuang sampah ke sungai atau dibakar. Lebih dari separuh contoh (55%) membuang air limbah ke parit, sisanya sebanyak 45% ke sungai dan septic tank. Rumah yang sehat harus mempunyai berbagai fasilitas (Notoatmodjo 2007). Pemenuhan berbagai fasilitas atau sarana rumah tangga merupakan implementasi dari rumah yang sehat. Sumber Air. Berdasarkan sumber air, air dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu air hujan, air permukaan tanah, dan air tanah (Sukarni 1994). Ketersediaan sumber air mencakup jenis sumber air minum dan air bersih. Tabel 17 Sebaran Contoh Berdasarkan Sumber Air Keluarga TB Paru Aspek Sumber air minum Sumber air bersih
Kategori Mata air/sumur PAM/ledeng Mata air/sumur PAM/ledeng
n 27 22 27 22
% 55 45 55 45
Lebih dari separuh contoh (55%) memiliki sumber air minum dan air bersih dari mata air/sumur, sisanya sebesar 45% dari PAM/ledeng. Tabel 18 Total Skor Sanitasi Keluarga Penderita TB Paru Kriteria Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
n 0 0 13 22 14 49
% 0 0 27 44 29 100
Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat contoh (73%) memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik. Artinya, hampir tiga perempat contoh memiliki kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air yang baik. Individu yang berada di lingkungan sanitasi yang baik akan sulit tertularnya penyakit. Dengan kondisi sehat, individu dapat menjalankan aktifitas produktifnya secara normal sehingga ketahanan dalam keluarga pun tercapai. Perilaku Hidup Sehat Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu: perilaku pemeliharaan kesehatan, pengobatan, dan kesehatan lingkungan. Aspek perilaku kesehatan ini sesuai dengan sepuluh indikator perilaku dan gaya hidup bersih dan sehat yaitu: penggunaan alat makan dan minum yang terpisah,
42
intensitas menjemur alat tidur (kasur, bantal, guling), waktu tidur, kebiasaan merokok, olahraga, dan penggunaan alat untuk batuk dan meludah (Depkes 2007). Untuk lebih jelasnya, terdapat pada tabel berikut. Tabel 19 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Hidup Sehat Aspek Pemisahan alat makan dan minum Menjemur kasur, bantal, dan guling Waktu tidur Kebiasaan merokok Olahraga Menggunakan alat untuk batuk dan meludah
Kategori Tidak Ya >1 minggu sekali 1 minggu sekali <5 jam >5 jam Ya Tidak >1 minggu sekali <1 minggu sekali
n 32 17 27 22 9 40 14 35 26 23
% 65 35 55 45 18 82 28 72 53 47
Tidak Ya
48 1
98 2
Hampir dua pertiga contoh (65%) tidak memisahkan alat makan dan minum. Lebih dari separuh contoh (55%) menjemur kasur, bantal, dan guling >1 minggu sekali, sisanya sebanyak 45% selama 1 minggu sekali. Lebih dari tiga perempat contoh (82%) tidur selama >5 jam, sisanya sebanyak 18% selama <5 jam. Hampir tiga perempat contoh (72%) tidak merokok. Lebih dari separuh contoh (53%) berolahraga >1 minggu sekali, sisanya sebanyak 47% <1 minggu sekali. Sebagian besar contoh (98%) tidak menggunakan alat untuk batuk dan meludah. Tabel 20 Total Skor Perilaku Hidup Sehat Penderita TB Paru Kriteria Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
n 0 0 20 28 1 49
% 0 0 41 57 2 100
Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (59%) berperilaku hidup sehat yang baik dan sangat baik. Sisanya, sebanyak 41% masih berperilaku hidup sehat yang sedang. Artinya, lebih dari separuh contoh memisahkan alat makan dan minum, menjemur kasur, bantal, dan guling 1 minggu sekali, tidur di malam hari selama >5 jam, tidak merokok, dan menggunakan alat untuk batuk dan meludah. Dengan kebiasaan berperilaku hidup bersih, merupakan suatu upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain (Notoatmodjo 2007).
43
Tingkat Kecemasan Terdapat dua bentuk stress, yaitu eustress dan distress. Distress merupakan suatu kondisi subjektif yang tidak menyenangkan. Salah satu bentuk utama distress adalah kecemasan (Mirrowsky & Catherine E. Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008). Pernyataan kecemasan dibagi menjadi aspek psikologis dan fisiologis (Bucklew 1980 diacu dalam Trismiati 2004). Zung (1971) yang mengkategorikan tingkat kecemasan menjadi empat, yaitu normal, ringansedang, berat, dan ekstrim. Untuk lebih jelasnya, terdapat pada tabel berikut. Tabel 21 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Tingkat Kecemasan No
Indikator
1
Saya merasa lebih gugup dan cemas daripada biasanya Saya merasa takut tanpa alasan sama sekali Saya dengan mudah marah atau merasa panik Saya merasa perasaan seperti pecah berkepingkeping Saya merasa bahwa semuanya baik-baik dan tidak ada yang buruk akan terjadi Lengan dan kaki saya gemetar Saya terganggu oleh sakit kepala, leher dan sakit punggung Saya merasa lemah dan mudah lelah Saya merasa tenang dan dapat duduk diam dengan mudah Saya bisa merasakan jantungku berdebar kencang Saya terganggu oleh sakit kepala Saya pingsan atau merasa seperti itu Saya dapat bernapas masuk dan keluar dengan mudah Perasaan saya mati rasa dan kesemutan di jari-jari tangan dan kaki Saya terganggu oleh sakit perut atau gangguan pencernaan Saya harus sering buang air kecil Tanganku biasanya kering dan hangat Wajahku menjadi hangat dan merona Saya tertidur dengan mudah dan istirahat malam yang baik Saya mimpi buruk
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 49
51
65 33
35 67
61
49
22
78
67
33
43
57
8
92
16
84
80 49 96
20 51 4
51
49
20
80
90
10
63 53 53
37 47 47
45
55
88
12
Hasil analisis deskriptif dari aspek tingkat kecemasan membuktikan bahwa menunjukkan hampir dua pertiga contoh (65%) penderita TB paru memiliki tingkat kecemasan yang ringan - sedang. Hal tersebut dikarenakan lebih dari separuh contoh merasa lebih gugup dan cemas daripada biasanya, mudah marah atau panik, mengalami sakit kepala, leher, dan punggung, merasa lemah
44
dan mudah lelah, mati rasa dan kesemutan, namun contoh juga merasa semuanya akan baik saja dan dapat tidur dan duduk dengan mudah. Tingkat kecemasan yang ringan - sedang diduga karena contoh telah melakukan pengobatan ke puskesmas dan rumah sakit, sehingga merasa penyakit TB paru bukan penyakit yang harus dicemaskan. Sesuai dengan Taylor (1999), bahwa kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya sedang sakit. Perbedaan tingkat kecemasan tergantung dari beberapa faktor yang diduga yaitu karakteristik keluarga, permasalahan yang muncul, dan mekanisme koping keluarga. Tingkat Kecemasan
Normal
Ringan – Sedang
Berat
Ekstrim
4% 2% 29%
65%
Grafik 1 Tingkat Kecemasan
Mekanisme Koping Kesehatan (Coping Health Inventory for Parents) CHIP didesain untuk mengukur persepsi dalam mengelola keluarga dengan anggota keluarga yang sakit kronis. CHIP terdiri dari tiga pola koping, yaitu: (1) family integration, kerjasama, dan optimisme berfokus terhadap ketahanan keluarga,
hubungan,
dan
pandangan
keluarga;
(2)
dukungan
sosial,
penghargaan diri, dan psychological stability berfokus terhadap dukungan keluarga dalam meningkatkan hubungan sosial, identifikasi perasaan dan kepercayaan diri dalam mengelola tekanan; (3) komunikasi dan konsultasi dengan tim medis (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1979). Di bawah ini merupakan penjelasan dari ketiga aspek mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), yaitu: Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran faktor family integration kerjasama, dan optimisme penderita TB paru. Untuk lebih jelasnya terdapat pada tabel di bawah ini.
45
Tabel 22 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme No
Indikator
1 2
Mencoba untuk tidak saling menyalahkan Merasa yakin/percaya bahwa penyakit TB Paru pasangan saya akan sembuh Memperoleh bantuan dari orang lain untuk mengerjakan tugas di rumah Saya percaya sepenuhnya kepada Tuhan melalui doa yang saya panjatkan Mengatakan pada diri sendiri bahwa saya memiliki banyak yang seharusnya saya syukuri Membina hubungan yang lebih dekat dengan pasangan dan anak/anggota keluarga lain Merasa bahwa pasangan saya yang sakit sama saja dengan orang lain juga mengalami hal yang sama Melakukan beberapa kegiatan/pekerjaan di rumah dengan anggota keluarga Makan makanan kesukaan Mengembangkan diri sendiri sebagai seseorang Menghibur teman-teman di rumah Merawat diri sendiri dengan baik Berdiskusi dengan tenaga kesehatan (perawat,dokter) saat mengunjungi puskesmas/rumah sakit Berdiskusi dengan dokter mengenai kekhawatiran saya mengenai pasangan saya dalam hal pengobatan Membaca dari media masa mengenai bagaimana orang lain dengan situasi yang sama mengatasi hal-hal yang menjadi masalah Memastikan memperoleh obat untuk pasangan saya sehari-hari di rumah Membaca lebih banyak masalah kesehatan yang menarik perhatian saya Merasa mampu melepaskan tugas dan tanggung jawab perawatan di rumah
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 2 98 10
90
37
63
4
96
2
98
2
98
22
78
2
98
59 43 67 2
41 57 33 98
6
94
8
92
41
59
8
92
79
31
39
61
Hasil analisis deskriptif dari aspek family integration, kerjasama, dan optimisme membuktikan bahwa lebih dari separuh contoh (57%) memiliki family integration, kerjasama, dan optimisme yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar contoh mencoba untuk tidak saling menyalahkan, pasangan merasa percaya bahwa penyakit TB paru contoh akan sembuh, percaya sepenuhnya kepada Tuhan YME melalui doa, mengatakan pada diri sendiri bahwa banyak yang seharusnya saya disyukuri, membina hubungan yang lebih dekat dengan pasangan dan anak/anggota keluarga lain, melakukan beberapa kegiatan di rumah dengan anggota keluarga, merawat diri sendiri dengan baik, berdiskusi dengan tenaga kesehatan saat mengunjungi puskesmas/rumah sakit, pasangan berdiskusi dengan dokter mengenai mengenai contoh dalam hal
46
pengobatan, dan pasangan memastikan memperoleh obat untuk contoh seharihari di rumah. Family Integration, Cooperation, and Optimistic 14%
29%
Sedang Tinggi 57%
Sangat tinggi
Grafik 2 Family Integration, kerjasama, dan optimisme
Dukungan Sosial, Penghargaan Diri, dan Psychological Stability Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran faktor dukungan sosial, penghargaan diri, dan psychological stability penderita TB paru. Untuk lebih jelasnya terdapat pada tabel di bawah ini. Tabel 23 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Dukungan Sosial, Penghargaan Diri, dan Psychological Stability No
Indikator
1
Mempercayai suami/istri dan anak saya untuk mendukung saya Menunjukkan pada orang lain bahwa saya bersikap tegar Merasa percaya bahwa puskesmas/rumah sakit akan menolong keluarga saya Merasa percaya bahwa pasangan memperoleh perawatan medis yang baik Mendukung pasangan yang sakit untuk berobat agar lebih mandiri Merasa sanggup untuk mengorbankan diri untuk kemajuan pengobatan pasangan Saya percaya bahwa segala sesuatu akan berjalan seperti biasa Membina ikatan persahabatan dengan orang lain agar saya menjadi merasa penting dan dihargai Bekerja seperti biasa Membeli hadiah untuk diri sendiri dan/atau untuk anggota keluarga lain Melakukan sesuatu untuk diri sendiri Menyiapkan waktu dan tenaga dalam pekerjaan saya Menjadi lebih percaya diri dan mandiri Terlibat dalam aktifitas sosial dengan temanteman/tetangga Pergi keluar/jalan-jalan bersama keluarga Tidak menahan diri untuk marah
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 0
100
6
94
10
90
14
86
37
63
8
92
6
94
41
59
43
57
73
27
27 45 12
73 55 88
12
88
24 37
76 63
47
17 18 19
Berbicara dengan orang lain/keluarga lain yang mempunyai situasi yang sama Berbicara dengan orang tua yang lain/tetangga mengenai pengalaman mereka Menjelaskan situasi keluarga kepada teman-teman dan tetangga agar mereka memahami kami
31
69
35
65
69
31
Hasil analisis deskriptif dari aspek dukungan sosial, penghargaan diri, dan psychological stability menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (49%) memiliki dukungan sosial, penghargaan diri, dan psychological stability yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar contoh mempercayai pasangan dan anak untuk mendukung, menunjukkan sikap tegar pada orang lain, merasa percaya bahwa puskesmas/rumah sakit akan menolong, pasangan merasa sanggup untuk mengorbankan diri untuk kemajuan pengobatan contoh, dan percaya segala sesuatu akan berjalan seperti biasa. Social Support, Self Esteem, and Psychological Stability 16% 35%
Sedang
49%
Tinggi Sangat tinggi
Grafik 3 Dukungan Sosial, Penghargaan Diri, dan Psychological Stability
Komunikasi dan Konsultasi Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran komunikasi dan konsultasi penderita TB paru. Untuk lebih jelasnya terdapat pada Tabel 24. Tabel 24 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Komunikasi dan Konsultasi No
Indikator
1
Membersihkan dan merawat semua alat-alat kesehatan yang dimiliki Melakukan kegiatan di rumah dengan sanak famili Membicarakan perasaan pribadi dengan pasangan mengenai keprihatinan/kekhawatiran saya Tidur/istirahat/santai Membangun hubungan dekat dengan orang lain Berkonsentrasi dengan hobi Berbicara dengan seseorang (bukan konsultan profesional) mengenai apa yang dirasakan Melakukan aktifitas dengan melibatkan semua anggota keluarga
2 3 4 5 6 7 8
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 24
76
4
96
24
76
14 10 55
86 90 45
37
63
2
98
48
Hasil
analisis
deskriptif
dari
aspek
komunikasi
dan
konsultasi
menunjukkan bahwa hampir dua pertiga contoh (60%) memiliki komunikasi dan konsultasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan sebagian contoh melakukan kegiatan di rumah dengan sanak famili, membangun hubungan dekat dengan orang lain, dan melakukan aktifitas dengan melibatkan semua anggota keluarga. Communication and Consultation 2%
16%
22%
Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
60%
Grafik 4 Komunikasi dan Konsultasi
Skor total mekanisme koping kesehatan keluarga penderita TB paru tercantum pada Grafik 5. Hal ini menunjukkan hampir dua pertiga contoh (60%) keluarga penderita TB paru mendapat mekanisme koping keluarga yang tinggi. Dengan tingginya koping kesehatan keluarga penderita TB paru, sehingga keluarga dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Hal ini sesuai dengan Friedman (1998). Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP) 18%
22%
Sedang Tinggi
60%
Sangat tinggi
Grafik 5 Skor Total Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP)
49
Mekanisme Koping keluarga Sarafino (1998) mengkategorikan jenis koping menjadi dua, yaitu problemfocused coping dan emotion-focused coping. Problem-Focus Coping Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran mekanisme koping secara problem-focus coping penderita TB paru. Untuk lebih jelasnya terdapat pada Lampiran 1. Hasil analisis deskriptif keseluruhan aspek problem-focus coping penderita TB paru, menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (49%) memiliki mekanisme koping keluarga secara problem-focus coping sedang. Hal tersebut dikarenakan contoh dapat berkonsentrasi dengan apa yang harus dilakukan, mencoba untuk menganalisis masalah agar memahami lebih baik, simpatik dan memahami seseorang, meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk orang lain membuat keputusan, mengubah sesuatu agar segalanya menjadi lebih baik, berusaha memperjuangkan apa yang diinginkan, beribadah, mencoba menjaga perasaan dari campur hal lain yang terlalu banyak, dan membuat beberapa solusi untuk menyelesaikan suatu masalah. Problem-Focus Coping Sangat tinggi 14% Sedang 49% Tinggi 37%
Grafik 6 Problem-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru
Emotion-Focus Coping Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran mekanisme koping secara emotion-focus coping penderita TB paru. Dapat dilihat secara lebih jelasnya pada Lampiran 2. Hasil analisis deskriptif dari aspek emotion-focus coping menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (51%) memiliki mekanisme koping keluarga secara emotion-focus coping yang tinggi. Hal ini karena sebagian besar contoh melakukan pekerjaan untuk mengalihkan sejenak pikiran dari suatu masalah, mengkritisi diri, mencoba untuk menjaga perasaan sendiri, berkata pada diri
50
sendiri tentang hal-hal yang dapat membantu perasaan agar lebih baik, tumbuh menjadi pribadi yang baik, berpikir sebelum melakukan sesuatu, menyadari bahwa masalah disebabkan oleh diri sendiri, pergi istirahat atau berlibur, menolak memikirkan banyak masalah, berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat akan terjadi perubahan, berharap dapat merubah apa yang terjadi, berharap berakhirnya suatu masalah, dan mengingati diri bahwa banyak hal yang dapat lebih buruk. Emotion-Focus Coping Sangat tinggi 4% Sedang 45% Tinggi 51%
Grafik 7 Emotion-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru
Skor total mekanisme koping keluarga penderita TB paru dalam kategori tinggi, seperti terlihat pada Grafik 8. Hal ini menunjukkan hampir separuh contoh (49%) keluarga penderita TB paru memiliki mekanisme koping keluarga yang tinggi. Dengan adanya mekanisme koping yang tinggi dapat mengurangi berbagai tekanan yang timbul (Lazarus & Folkman 1984). Mekanisme Koping Keluarga
4% 47% 49%
Sedang Tinggi Sangat tinggi
Grafik 8 Skor Total Mekanisme Koping Keluarga
51
Dukungan Sosial Berdasarkan data hasil penelitian, didapatkan gambaran faktor-faktor dukungan sosial penderita TB paru, yaitu dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif (Smet 1994 & Sarafino 1998). Dukungan Emosional Hasil penelitian dukungan emosional penderita TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 25 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Emosional Penderita TB Paru No
Indikator
Pernyataan Positif 1 Keluarga mendengarkan dengan penuh keseriusan ketika saya menceritakan permasalahan sakit saya 2 Dokter memahami kecemasan saya sebelum melakukan pengobatan penyakit saya 3 Teman-teman saya mengerti apa yang saya rasakan saat ini 4 Teman saya meluangkan waktunya untuk menemani saya ke dokter 5 Perawat begitu memperhatikan kenyamanan saya pada saat pengobatan TB Paru berlangsung 6 Perawat dapat menenangkan saya sebelum pengobatan TB Paru berlangsung, sehingga saya tidak gelisah 7 Pasangan saya meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja, sehingga saya tidak perlu cemas 8 Teman saya siap membantu setiap saya dalam kesulitan Pernyataan Negatif 9 Pasangan saya menyuruh saya menyelesaikan masalah sendiri setiap kali saya menghadapi masalah 10 Teman saya menceritakan pengobatan TB Paru itu sangat menakutkan 11 Pasangan saya menyuruh saya untuk pergi ke dokter sendiri 12 Pasangan saya tidak ada bersama saya setiap kali saya membutuhkannya
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 2
98
12
88
41
59
84
16
10
90
14
86
6
94
45
55
92
8
67
33
76
24
94
6
Hasil analisis deskriptif dari faktor dukungan emosional pada keluarga penderita TB Paru, menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat contoh penderita TB Paru (78%) mendapatkan dukungan emosional yang sedang. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keluarga contoh mendengarkan dengan penuh keseriusan tentang sakit penderita, perawat memperhatikan kenyamanan contoh pada saat pengobatan TB paru berlangsung, pasangan meyakinkan contoh bahwa semuanya akan baik-baik saja, pasangan tidak menyuruh contoh
52
untuk menyelesaikan masalah sendiri setiap kali menghadapi masalah, pasangan ada bersama contoh setiap kali membutuhkannya. Penderita TB paru mendapatkan dukungan emosional berupa kepedulian, empati, dan perhatian sehingga penderita merasa nyaman, dihargai, dan diperhatikan (Sarafino 1998).
Dukungan Emosional 20%
2% rendah sedang tinggi
78%
Grafik 9 Dukungan Emosional Keluarga Penderita TB Paru
Dukungan Penghargaan Hasil penelitian dukungan penghargaan penderita TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 26 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Penghargaan Penderita TB Paru No
Indikator
Pernyataan Positif 1 Saya mendapat semangat dari keluarga untuk melakukan pengobatan TB Paru 2 Keluarga saya sangat menghargai rencana saya melakukan pengobatan TB Paru 3 Teman saya mendukung usaha saya dalam menjaga kesehatan saya Pernyataan Negatif 4 Teman saya menggangap pengobatan TB Paru yang saya lakukan tidak ada gunanya. 5 Pasangan saya menggangap setiap pendapat saya tidak penting 6 Perawat tempat saya periksa bersikap kasar terhadap saya pada waktu saya periksa 7 Kadang-kadang saya dicela oleh teman- teman saya
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 0
100
0
100
18
82
94
6
90
10
94
6
80
20
Hasil analisis deskriptif dari faktor dukungan penghargaan yang diterima oleh penderita TB paru, membuktikan bahwa lebih dari tiga perempat contoh (80%) mendapatkan dukungan penghargaan yang sedang. Hal tersebut karena seluruh keluarga contoh memberikan semangat dan sangat menghargai usaha untuk melakukan pengobatan TB Paru.
53
Adanya dukungan penghargaan yang sangat tinggi, membuat penderita melihat segi positif dalam dirinya sehingga menambah kepercayaan diri dalam menghadapi tekanan (Smet 1994). Dukungan Penghargaan
4%
16% rendah sedang tinggi
80%
Grafik 10 Dukungan Penghargaan Keluarga Penderita TB Paru
Dukungan Instrumental Hasil penelitian dukungan instrumental penderita TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 27 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Instrumental Penderita TB Paru No
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%)
Indikator
Pernyataan Positif 1 Pasangan/teman saya siap mengantar saya ke dokter pada saat saya memintanya 2 Pasangan saya, selalu bersedia membelikan obat ke apotik saat obat saya habis Pernyataan Negatif 3 Anak-anak saya merasa keberatan jika saya memintanya untuk membantu pekerjaan rumah
20
80
33
67
71
29
Hasil analisis deskriptif dari faktor dukungan penghargaan yang diterima oleh penderita TB paru, membuktikan bahwa lebih dari dua pertiga contoh (68%) mendapatkan dukungan instrumental yang tinggi dan sedang. Hal tersebut karena lebih dari tiga perempat pasangan/teman contoh siap mengantar untuk keperluan pengobatan. Dengan
adanya
dukungan
instrumental
yang
tinggi,
penderita
mendapatkan bantuan secara langsung sehingga memudahkan dan mengurangi tekanan hidup penderita (Sarafino 1988).
54
Dukungan Instrumental
8%
4%
20%
Sangat rendah Rendah Sedang
41%
Tinggi 27%
Sangat tinggi
Grafik 11 Dukungan Instrumental Keluarga Penderita TB Paru
Dukungan Informatif Hasil penelitian dukungan informatif penderita TB Paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 28 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Informatif Penderita TB Paru No
Indikator
Pernyataan Positif 1 Organisasi yang saya ikuti memberikan penyuluhan tentang TB Paru & pentingnya melakukan pengobatan TB Paru 2 Dokter memberi nasehat kepada saya untuk rutin melakukan pengobatan TB Paru setiap minggu 3 Teman yang pernah mengalami TB Paru mau membagi pengalamannya dengan saya 4 Keluarga saya menilai keadaan saya lebih baik setelah saya melakukan pengobatan TB Paru 5 Dokter mengatakan tindakan saya untuk melakukan pengobatan TB Paru adalah tindakan yang tepat
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 92
8
0
100
33
67
4
96
0
100
Hasil analisis deskriptif dari aspek dukungan penghargaan yang diterima oleh penderita TB Paru, membuktikan bahwa hampir dua pertiga contoh (65%) mendapatkan dukungan informatif yang tinggi. Hal itu dikarenakan dokter memberi nasehat kepada contoh untuk rutin melakukan pengobatan TB Paru setiap minggu, keluarga menilai keadaan contoh lebih baik setelah melakukan pengobatan, dan dokter mengatakan tindakan contoh untuk melakukan pengobatan TB Paru adalah tindakan yang tepat. Informasi yang didapatkan memberikan dukungan yang berarti bagi penderita TB Paru.
55
Dukungan Informatif 4%
2% 29%
Rendah Sedang Tinggi
65%
Sangat tinggi
Grafik 12 Dukungan Informatif Keluarga Penderita TB Paru
Adapun dari segi subjek yang memberikan dukungan sosial pada penderita TB paru, terdiri dari dukungan keluarga, medis, dan teman. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 29 berikut. Tabel 29 Sebaran Subjek Dukungan Sosial Penderita TB Paru Faktor Dukungan Sosial Keluarga Medis Teman Total
Sedang (%) 67 29 57 51
Tinggi (%) 33 71 43 49
Tabel di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51%) dukungan sosial yang sedang didapat penderita TB Paru diperoleh dari keluarga, medis, dan teman. Medis merupakan faktor yang paling dominan mendorong penderita dalam menjaga ketahanan diri. Secara umum, keempat aspek dukungan sosial terhadap penderita TB Paru dalam kategori sedang, seperti tercantum pada Grafik 6.5. Hal ini menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh (84%) penderita TB Paru mendapat dukungan sosial yang sedang. Dengan adanya dukungan sosial yang tinggi dapat mempengaruhi tingkat stres penderita (Keith 2009) dan dukungan sosial juga sebagai penyangga stres akut serta mengurangi korelasi langsung stres dan krisis keluarga (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1976).
Dukungan Sosial Tinggi 16%
Sedang 84% Grafik 13 Skor Total Dukungan Sosial
56
Kelentingan Keluarga Gambaran faktor-faktor kelentingan keluarga penderita TB paru yang terdiri dari family cohesion, family belief system, dan komunikasi (Mackay 2003). Family Cohesion Family cohesion memiliki dasar teori yang terdiri dari beberapa dimensi yaitu:
kebersamaan,
keseimbangan,
kedekatan,
loyalitas,
aktivitas,
dan
kemandirian (Mackay 2003). Hasil penelitian family cohesion penderita TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 30 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Cohesion Keluarga Penderita TB Paru No
Indikator
1 2 3
Anggota keluarga sering berkumpul bersama Memiliki waktu khusus yang disediakan bagi keluarga Setiap anggota keluarga memiliki alokasi waktu yang seimbang untuk keperluan diri sendiri dan keluarga Setiap anggota keluarga memiliki perhatian yang seimbang untuk keperluan diri sendiri dan keluarga Masing-masing anggota keluarga merasa dekat satu sama lain Setiap anggota keluarga membagi perasaan atau pengalaman kepada anggota keluarga lainnya Keluarga menjadi prioritas utama dibanding pekerjaan dan teman Semua anggota keluarga akan melakukan apapun demi keutuhan dan kepentingan keluarga Setiap anggota keluarga menyediakan waktu untuk makan malam bersama Setiap anggota keluarga menyediakan waktu untuk jalan-jalan bersama Setiap anggota keluarga memiliki hubungan dekat satu sama lain Setiap anggota keluargamu memberi kebebasan/kemandirian bagi anggota lainnya
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 33 67 82 18 67
33
55
45
10
90
20
80
2
98
4
96
73
27
86
14
18
82
29
71
Hasil analisis deskriptif dari aspek family cohesion keluarga TB Paru, menunjukkan bahwa hampir dua pertiga contoh keluarga penderita TB Paru (63%) memiliki family cohesion yang sedang. Hal tersebut dikarenakan masingmasing anggota keluarga merasa dekat satu sama lain, keluarga menjadi prioritas utama dibanding pekerjaan dan teman, semua anggota keluarga akan melakukan apapun demi keutuhan dan kepentingan keluarga. Family cohesion merupakan salah satu kunci hubungan emosional, apabila family cohesion sedang maka ikatan emosional juga sedang sehingga keluarga mampu menghadapi tantangan demi kesejahteraan dan mengatasi stres dengan sedang pula. Hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang dan
57
tidak mencapai nilai sangat tinggi agar memenuhi kebutuhan otonomi individu, namun tidak mengganggu kepentingan pribadi (Mackay 2003). Family Cohesion
8%
8%
Rendah
21%
Sedang Tinggi
63%
Sangat tinggi
Grafik 14 Family Cohesion Keluarga Penderita TB Paru
Family Belief System Family belief system terdiri dari tiga dimensi, yaitu: kemampuan untuk memaknai kesulitan, pandangan positif, dan spiritual atau transedensi (Walsh 1998 diacu dalam Mackay 2003). Hasil penelitian family belief system penderita TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 31 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Belief System Keluarga Penderita TB Paru No
Indikator
1 2 3
Percaya bahwa kami dapat mengatasi suatu masalah Dapat bertahan jika masalah lain datang Merasa bahwa kami kuat dalam menghadapi masalah besar Kami percaya bahwa kami akan berhasil menghadapi bahkan di saat sulit Datang ke tempat ibadah (masjid/gereja) Mencari nasehat dari ahli agama (udztad/pendeta) Sesuatu yang kami lakukan untuk satu sama lain membuat kami merasa bagian dari keluarga Kami menerima bahwa stress adalah bagian dari situasi kehidupan Masalah terjadi tidak dapat diprediksikan
4 5 6 7 8 9
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 4 96 0 100 2
98
0
100
4 16
96 84
10
90
39
61
29
71
Hasil analisis deskriptif dari aspek family belief system keluarga TB Paru, menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (86%) memiliki family belief system yang tinggi dan sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keluarga contoh dapat bertahan jika masalah lain datang, percaya dapat mengatasi suatu masalah, merasa kuat dalam menghadapi masalah besar, percaya akan berhasil menghadapi bahkan di saat sulit, datang ke tempat ibadah, dan sesuatu yang dilakukan untuk satu sama lain membuat merasa bagian dari keluarga.
58
Keluarga yang memiliki family belief system yang tinggi, memiliki kemampuan memahami apa yang telah terjadi dan memprediksikan masa depan, tekun, gigih, optimis, yakin dalam mengatasi rintangan, serta melibatkan diri dalam kepercayaan atau agama (walsh 1998 diacu dalam Mackay 2003). Adapun hasil tersebut dapat digambarkan pada grafik di bawah ini. Family Belief System Sedang 14%
Sangat tinggi 35%
Tinggi 51%
Grafik 15 Family Belief System Keluarga Penderita TB Paru
Komunikasi Komunikasi efektif
terdiri tiga
komponen, yaitu: kejelasan
pesan,
keterbukaan penyampaian emosi, dan kolaboratif dalam pemecahan masalah (Walsh 1998 diacu dalam Mackay 2003). Hasil penelitian komunikasi penderita TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 32 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Komunikasi Keluarga Penderita TB Paru No
Indikator
1
Mengeluarkan pendapat dalam proses pengambilan keputusan di keluarga besar Beradaptasi terhadap lingkungan di keluarga Saling memahami antar anggota keluarga Dapat mengekspresikan isi hati di rumah tanpa mengganggu masalah anggota keluarga Kompromi ketika masalah datang Dapat menangani perbedaan dalam keluarga Dapat melakukan pekerjaan melalui kesulitankesulitan yang terjadi dalam keluarga Mendiskusikan suatu masalah dan merasa lebih baik dalam menemukan solusi Merasa bebas untuk mengutarakan pendapat Membagi tanggung jawab dalam keluarga Mengatakan kepada anggota keluarga bahwa kita peduli kepadanya Mencoba jalan lain untuk menyelesaikan suatu masalah
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Banyaknya jawaban contoh Tidak (%) Ya (%) 2
98
6 2
94 98
0
100
41 6
59 94
2
98
10
90
0 14
100 86
59
41
24
76
59
Hasil analisis deskriptif dari aspek komunikasi keluarga TB Paru, menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (78%) memiliki komunikasi yang tinggi dan sangat tinggi. Hal tersebut karena sebagian besar keluarga contoh mengeluarkan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, beradaptasi terhadap lingkungan keluarga, saling memahami antar anggota keluarga, dapat mengekspresikan isi hati di rumah tanpa mengganggu masalah anggota keluarga, dapat menangani perbedaan dalam keluarga, dapat melakukan pekerjaan melalui kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam keluarga, merasa bebas untuk mengutarakan pendapat, berdiskusi dan mencari solusi dengan anggota keluarga. Keluarga dengan komunikasi yang efektif mengacu pada pengiriman pesan yang jelas dan konsisten, berbagi perasaan dan emosi, mengidentifikasi masalah dan pilihan untuk menangani masalah keluarga (Walsh 1998 diacu dalam Mackay 2003). Communication Sedang 22%
Sangat tinggi 35%
Tinggi 43%
Grafik 16 Komunikasi Keluarga Penderita TB Paru
Secara umum, Grafik 17 menunjukkan hampir separuh contoh keluarga penderita TB Paru (47%) memiliki kelentingan keluarga yang tinggi. Dengan kelentingan keluarga yang tinggi, dipandang dapat merespon permasalahan yang terdapat dalam keluarga. Kelentingan Keluarga
20% 33%
Sedang Tinggi
47%
Sangat tinggi
Grafik 17 Skor Total Kelentingan Keluarga
60
Perbedaaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan hasil penelitian mengenai lama sakit dengan kelentingan keluarga penderita TB paru tersaji pada Tabel 33 berikut ini. Tabel 33 Perbedaaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru Lama sakit 4,6780
Mean Kelentingan Keluarga 1,0049
t
Df
Sig. (2-tailed)
Keterangan
-45,683
48
0,000
H0 ditolak
Dari Tabel 33 dapat dilihat bahwa mean lama sakit adalah 4,6780 tahun dan kelentingan keluarga sebesar 1,0049. Dari hasil pengujian tersebut, didapatkan nilai t secara statistik sebesar -45,683 dengan (p=0,000, p < 0,05) yang berarti H0 ditolak. Dapat dikatakan bahwa ada perbedaan antara lama sakit dengan kelentingan keluarga penderita TB paru. Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa 61,3% contoh mengalami sakit selama 1-5 tahun, sedangkan pada Grafik 17 menunjukkan bahwa 47% contoh memiliki kelentingan keluarga yang tinggi. Nampak kecenderungan bahwa semakin lama sakit, semakin tinggi kelentingan keluarga. Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan karakteristik sosial ekonomi (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan besar keluarga),
perilaku hidup bersih,
tingkat kecemasan,
dukungan sosial,
mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga dengan kelentingan keluarga penderita TB Paru tersaji pada Tabel 34 berikut ini. Tabel 34 Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Sanitasi Usia Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Keluarga Besar Keluarga Perilaku Hidup Bersih Tingkat Kecemasan Dukungan Sosial Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP) Mekanisme Koping Keluarga problem-focus coping emotion-focus coping
Kelentingan Keluarga Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) -0,048 0.743 -0,054 0,710 0,208 0,158 -0,261 0,070 0,128 0,382 -0,303* 0.034 -0,206 0,155 0,236 0,102 0,419** 0,003 0,604** 0,000
n 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
0,684**
0,000
49
0,753** 0,770**
0,000 0,000
49
61
Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan kelentingan keluarga (r= -0,303, p < 0,05). Artinya semakin tinggi pendapatan keluarga maka semakin rendah kelentingan keluarga. Hal ini bertentangan dengan pendapat Sugianto (2007) menyatakan bahwa pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting dan sangat berpengaruh pada keluarga dengan penyakit kronis. Hal demikian diduga karena aspek kelentingan keluarga yang terdiri dari family cohesion, family belief system, dan komunikasi tidak berkaitan secara langsung terhadap pendapatan keluarga. Selain itu, jika keluarga memiliki kemampuan memanajemen sumber daya dengan baik, maka kendala keuangan yang dihadapi oleh keluarga dengan penyakit kronis dapat diatasi walaupun pendapatan keluarga tidak tinggi. Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara tingkat kecemasan dengan kelentingan keluarga (r=0,419, p<0,01). Artinya semakin tinggi tingkat kecemasan maka semakin tinggi kelentingan keluarga. Hal ini bertentangan dengan pendapat Mc Cubbin & Mc Cubbin (1991) menyatakan bahwa stres keluarga yang terakumulasi dapat mengakibatkan krisis keluarga, termasuk fisik, emosional, atau hubungan. Contoh keluarga dengan krisis akibat stres adalah penyakit dari sistem kekebalan tubuh yang lemah. Pengalaman keluarga yang terlalu banyak tekanan pada satu waktu terdapat peningkatan risiko untuk mengalami krisis keluarga. Hal ini diduga karena kecemasan penderita tidak mengganggu aspek kelentingan keluarga berupa hubungan interpersonal, kepercayaan, dan komunikasi dalam keluarga. Hasil data korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara tingkat kecemasan dengan mekanisme koping (r=0,400, p<0,01). Hasil data pada Tabel 33 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara mekanisme koping dengan kelentingan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan, semakin tinggi mekanisme koping maka semakin tinggi kelentingan keluarga. Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara dukungan sosial dengan kelentingan keluarga (r=0,604, p<0,01). Walsh (1998), diacu dalam Mackay (2003) menyatakan bahwa kelentingan
keluarga
yang
baik
menunjukkan
bahwa
mereka
memiliki
kemampuan untuk mengelola konflik dengan baik, dan pengelolaan konflik
62
sangat tergantung pada komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah. Hasil data korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara dukungan sosial dengan mekanisme koping (r=0,572, p<0,01). Hasil data pada Tabel 33 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara mekanisme koping dengan kelentingan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial, semakin tinggi mekanisme koping maka semakin tinggi kelentingan keluarga. Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara mekanisme koping kesehatan keluarga (r=0,684, p<0,01), problem-focused coping (r=0,753, p<0,01), dan emotionfocused coping (r=0,770, p<0,01) dengan kelentingan keluarga. Artinya semakin tinggi mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP) dan mekanisme koping keluarga maka semakin tinggi kelentingan keluarga. Friedman (1998) yang menyatakan bahwa tanpa koping yang efektif, fungsi perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal. Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh karakteristik sosial ekonomi (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan besar keluarga),
perilaku hidup bersih,
tingkat kecemasan,
dukungan sosial,
mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga dengan kelentingan keluarga penderita TB paru tersaji pada Tabel 35 berikut ini. Tabel 35 Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Sanitasi Usia Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Perkapita Besar Keluarga Perilaku Hidup Bersih Tingkat Kecemasan Dukungan Sosial Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP) Mekanisme Koping Keluarga problem-focus coping emotion-focus coping
Kelentingan Keluarga Regression Coefficient Sig. (2-tailed) 0,199 0,488 0,028 0,805 0,091 0,488 -0,237 0,074 0,073 0,576 -0,154 0,182 -0,317** 0,003 0,110 0,209 0,239* 0,027 0,022 0,882 0,059
0,741
0,379* 0,466**
0,014 0,003
63
Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan (adjusted R square) sebesar 0,711. Dengan demikian pengaruh variabel terhadap kelentingan keluarga sebesar 71,1% dan sisanya sebesar 22,9% merupakan faktor lain yang juga berpengaruh, yang dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel penelitian ini. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelentingan keluarga adalah besar keluarga (β= -0,317, p=0,003) pada taraf satu persen, tingkat kecemasan (β=0,239, p=0,027) pada taraf lima persen, dan mekanisme koping (β= 0,511, p=0,000) pada taraf satu persen. Jika besar keluarga meningkat satu satuan maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga menurun sebesar 0,317. Beban keluarga akan lebih besar seiring dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, sehingga kelentingan keluarga akan semakin kecil. Sanjur (1982) diacu dalam Devi (2004) menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (1988) diacu dalam Fitriyani (2008) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Berdasarkan besar keluarga dengan kondisi krisis (penyakit TB paru), semakin besar keluarga maka semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup yang akan berpengaruh pada rendahnya kelentingan keluarga. Jika tingkat kecemasan meningkat satu satuan maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat sebesar 0,239. Hal ini diduga karena tingkat kecemasan penderita yang ringan-sedang dengan ditangani medis serta dukungan dari keluarga dan teman. Selain itu, sikap penderita yang pasrah dan berprinsip bahwa TB paru bukan sakit yang parah dan masih bisa diobati. Mc Cubbin & Mc Cubbin (1991) menyatakan bahwa stres keluarga yang terakumulasi dapat mengakibatkan krisis keluarga, termasuk fisik, emosional, atau hubungan. Keluarga dengan penyakit TB paru dapat menimbulkan banyak tekanan atau kecemasan sehingga memungkinkan adanya peningkatan risiko untuk mengalami krisis keluarga. Hal ini diduga karena kecemasan penderita tidak mengganggu aspek kelentingan keluarga berupa hubungan interpersonal, kepercayaan, dan komunikasi dalam keluarga. Jika problem-focused coping meningkat satu satuan maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat sebesar 0,379 dan jika emotionfocused coping meningkat satu satuan maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat sebesar 0,466. Mekanisme koping yang baik dapat
64
meningkatkan kelentingan karena keluarga dapat bertahan dalam menghadapi masalah yang ada. Untuk menghadapi stres akibar permasalahan, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Dengan koping yang efektif, maka fungsi keluarga tercapai sehingga kelentingan keluarga tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Lebih dari separuh usia contoh berada pada rentang 30-49 tahun atau berada pada tahap dewasa madya, berjenis kelamin laki-laki, dan berstatus kepala keluarga. Proporsi terbanyak berpendidikan SMA/sederajat dan bekerja sebagai buruh atau tidak bekerja. Lebih dari separuh contoh mengalami sakit pada rentang 1-5 tahun, namun lama pengobatan baru bejalan 6-12 bulan. 2. Berdasarkan pendapatan perkapita, hampir tiga perempat keluarga contoh (72%) termasuk dalan kategori tidak miskin, sisanya lebih dari seperempat keluarga contoh (28%) termasuk dalam kategori miskin. Berdasarkan pengeluaran pangan, lebih dari separuh keluarga contoh (59%) termasuk dalam kategori miskin dengan pengeluaran pangan rata-rata Rp. 631.600,00 perbulan. 3. Lebih dari separuh contoh memiliki besar keluarga <4 orang atau disebut juga keluarga kecil. Hampir tiga perempat keluarga memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik. Lebih dari separuh keluarga berperilaku hidup sehat dengan baik. 4. Lebih dari separuh contoh memiliki tingkat kecemasan yang relatif rendahsedang dan memiliki mekanisme koping kesehatan keluarga yang tinggi. Lebih dari tiga perempat contoh memiliki dukungan sosial yang sedang. Hampir separuh keluarga contoh memiliki mekanisme koping keluarga dan kelentingan keluarga yang tinggi. 5. Terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan kelentingan keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga dengan kelentingan keluarga. 6. Semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin rendah kelentingan keluarga. Semakin tinggi tingkat kecemasan, semakin tinggi kelentingan keluarga. Semakin tinggi mekanisme koping keluarga, semakin tinggi kelentingan keluarga.
66
Saran 1. Penderita TB paru dapat meningkatkan mekanisme koping dengan cara berpandangan positif, membuka diri dengan orang lain, dan mengendalikan emosi. Selain itu, petugas medis (puskesmas) dapat memberikan konsultasi disamping memberikan obat. Hal ini agar penderita dapat terbantu mengorganisasi masalah yang dihadapi. 2. Terdapat dukungan sosial yang rendah dan sedang sehingga disarankan agar pihak terdekat, khususnya keluarga dan teman dapat meningkatkan dukungan terhadap penderita. Caranya, memperlakukan penderita seperti orang yang normal, meluangkan waktu untuk berdiskusi atau mendengarkan harapan contoh, dan mendukung pengobatan contoh secara moril. 3. Pihak terkait (Puskesmas, Dinas Ketenagakerjaan, Kecamatan Ciomas, Pemerintah daerah Kabupaten Bogor) dalam hal peningkatan usaha perbaikan kesehatan melalui pencegahan, promosi, dan edukasi. Lebih banyak memberikan penyuluhan secara umum dan meyeluruh terhadap penderita yang berprofesi sebagai pekerja home industry (bengkel sandal dan sepatu). Selain itu, pengusaha home industry perlu diikutsertakan dalam penyuluhan K3 (keselamatan dan kesehatan kerja), terutama penataan lokasi dan peraturan yang harus memperhitungkan sirkulasi udara. 4. Istri dari penderita TB paru yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) disarankan dapat membekali diri dengan berbagai keterampilan sehingga memperoleh pendapatan keluarga melalui kegiatan wirausaha. 5. Lebih dari separuh penderita berada pada usia produktif, sehingga disarankan untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB) untuk mengatur dan membatasi jumlah anak.
67
DAFTAR PUSTAKA Azwar. 1999. Penyakit sebagai salah satu masalah kesehatan. Dalam Pengantar epidemiologi. Edisi revisi. Jakarta : PT. Binarupa Aksara. BPS Bogor. 2009. Kota Bogor dalam Angka. http://jabar.bps.go.id. [18 Desember 2010] BPS JABAR. 2009. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (p1), Indeks Keparahan Kemiskinan (p2). http://bps.go.id. [18 Desember 2010] BPS Jawa Tengah. 2000. Statistik Perumahan Propinsi Jawa Tengah. http://bps.go.id. [13 Januari 2010] Departemen Kesehatan. 2008. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2007. Bandung : Dinas http://www.depkes.go.id/downloads/profil/prov%20jabar%202007.pdf. [5 Februari 2010]. . 2008. Lembar Fakta http://www.tbcindonesia.or.id. [5 Februari 2010].
Tuberkulosis.
Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penaggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan RI 2008. . 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI 2008 Devi M. 2004. Tingkat Pendidikan Ibu, Hubungannya Dengan Perilaku Makan dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar [disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2008. Penanganan TB di Jabar Masih Rendah. Bandung : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. http://www.diskes.jabarprov.go.id/download.php?title=Penanganan%20TB %20di%20Jabar%20Masih%20Rendah&source=data/sorotan/attachment/ 200932594840.doc. [5 Februari 2010]. Enarson DA, Reider HL, Arnadotti T. 1993. Tuberculosis Guide for Low Income Countries, Edisi-1. Paris : International Union Againt Tuberculosis and Lung Disease : 3-47. Febriasari A. 2007. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Remaja Di Panti Asuhan Al Bisri Semarang Tahun 2007 [skripsi]. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Fitriyani Y. 2008. Kondisi Lingkungan, Perilaku Hidup Sehat, Dan Status Kesehatan Keluarga Wanita Pemetik Teh Di PTPN VIII Pengalengan, Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Prodi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
68
Folkman S. 1986. Ways Of Coping Scales. University Of California, San Francisco. Friedman MM. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek Edisi 3. Jakarta: EGC Gerduda P. 2000. Pokja Gerduda Berantas TB di Bogor. http://suarapembaruan.com/News/2000/11/30/index.html. [26 Desember 2010] Hurlock EB. 1993. Psikologi Perkembangan Edisi Ke-5 (Juda Damanik & Achmad Chusairi). Jakarta: Erlangga. Karyadi E et al. 2006. A double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and Zinc Supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia: Effects on clinical response and nutritional status [terhubung berkala]. http://www.ajcn.org. [5 Februari 2010]. Keith J. 2009. Chronic Illnes & Stress. http://drjenniferkeith.com/Chronic Illness & Stress.pdf. [20 Oktober 2009]. Lazarus A. 2004. Relation Among Indicators of Child and Family Resilience and Adjustment Following the September 11, 2001 Tragedy. The Emory Center for Myth and Ritual in American Life Working Paper No. 36. Lazarus J. 2000. Stress Relief and Relaxation Techniques. Keats Publishing, Los Angeles, CA : Contemporary Publishing Group Inc. Lazarus RS, S Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : McGraw-Hill, Inc. Lum C. 2008. The Development of Family Resilience: Exploratory Investigation of a Resilience Program for Families Impacted by Chemical Dependency. San Jose State University. Marwiati. 2005. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Strategi Koping pada keluarga dengan anggota Keluarga yang Dirawat dengan Penyakit Jantung di RSUD Ambarawa 2005. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta 2005. http://www.skripsistikes.wordpress.com [15 September 2010]. Mackay R. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes: An Overeview of the Literature, Ministry of Social Development, Wellington. McCubbin HI, MA McCubbin. 1979. Coping Health Inventory for Parents. Madison, WI: University of Wisconsin-Madison. McKinnon KD. 1998. Coping With Caring: The Danger of Chronic Stress and Burnout. http://www.Charityvillage.com/charityvillage/research/rpedrsv1.html. [2 Maret 2009].
69
Miller BC. 1988. Marriage, Famillly and Fertility. Dalam Sussman MB & Steinmetz SK. 1988. Handbook of Marriage and the Family. New York and London : Plenum Press. Mimbs J, A Lewis. 2009. Consumer Economics and Family Resources, Journal of Family and Consumer Science 27;2 [terhubung berkala]. http://www.journaloffamilyandconsumerscience.com [20 Oktober 2009]. Nawas A. 1990. Diagnosis Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran 63 : 1316. Jakarta : PT. Midas Surya Grafindo. Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT.Rineka Cipta Permatasari IY. 2006. Tingkat Pengetahuan Tentang Kanker Leher Rahim, Dukungan Sosial dan Motivasi Melakukan Pap Smear [skripsi]. Prodi Psikologi Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang. Poerwandari K. 2005. Psikologi Korban Bencana. Jurnal Perempuan: Perempuan dalam bencana. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. Puspitawati H. 2006. Diktat Pengantar Ilmu Keluarga. Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Sarafino E. 1998. Health Psycology : Biopsychosocial Interaction. New York : John Wiley & Sons, Inc. Shinta Y. 2008. Analisis Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Kabupaten Indramayu [skripsi]. Fakultas Pertanian, IPB. Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan (terjemahan S. Utami, Suparmi, A. Indarjati dan M. Mildawani). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Snyder CR. 2001. Coping With Stress : Effective People and Processes. New York : Oxford University Press. Starke JR, F Munoz. 2003. Tuberculosis. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi-16. Phildelphia : Saunders Company. Sajogjo. 1994. Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta : C.V. Rajawali. Sugianto U.F. 2007. Derajat Kesehatan Keluarga Nelayan di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius.
70
Sunarti E. 2008. Diktat Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga. Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Suyono H, R Haryanto. 2008. Buku Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Pos Pemberdayaan Keluarga. Jakarta : Balai Pustaka. Taylor SE. 1999. Health Psychology (4th ed.). Boston : McGraw Hill. Trismiati. 2004. The Anxiety Level Differences Among Male and Female Sterilization Acceptors at RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta [skripsi]. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang. Walsh F. 2002. A Family Resilience Framework : Innovative Practice Applications. http://www.aamycp.org.ar/pdf/froma_walsh.pdf. [24 Oktober 2009]. WHO Report 2003. Global Tuberculosis Control. Surveillance, Planning, Financing. http://www.who.int/gtb/publications/globrep. [15 November 2009]. Zung WWK. 1971. A rating instrument for anxiety disorders. Psychosomatics. American Psychiatric Association, 1971 ed. XII :371-379.
71
Lampiran 1
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Sebaran Responden Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Problem-Focus Coping Perilaku
Dapat berkonsentrasi dengan apa yang harus saya lakukan Saya mencoba untuk menganalisis masalah agar memahami lebih baik Tawar-menawar atau berkompromi untuk mendapatkan hal positif dari suatu masalah Saya melakukan sesuatu yang saya tidak berpikir akan berhasil, tapi setidaknya saya melakukannya Mencoba untuk mendapatkan respon orang lain untuk mengubah pikirannya Berbicara dengan seseorang untuk mencari tahu lebih banyak tentang situasi permasalahan Simpatik dan memahami seseorang Saya mendapat bantuan ahli Saya meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk orang lain membuat keputusan Saya membuat rencana dan saya mengikuti rencana tersebut Saya membiarkan perasaan saya keluar Pengalaman lebih baik ketika selesai masalahnya daripada ketika dapat masalah Berbicara kepada seseorang yang dapat melakukan sesuatu yang nyata untuk menyelesaikan masalah Mengambil peluang besar atau melakukan sesuatu yang sangat beresiko Saya mencoba tidak bertindak tergesa-gesa atau mengikuti dugaan awal Mengubah sesuatu agar segalanya menjadi lebih baik Bertanya kepada saudara atau teman yang saya hormati untuk meminta nasehat Berbicara dengan seseorang mengenai apa yang saya rasakan Berusaha memperjuangkan apa yang saya inginkan Pada pengalaman masalah lalu, saya merasa seperti situasi sama seperti sebelumnya Saya tahu apa yang harus dilakukan, maka saya berusaha dua kali lipat untuk menyelesaikan suatu hal Membuat beberapa solusi untuk menyelesaikan suatu masalah Saya mencoba menjaga perasaan saya dari campur hal lain yang terlalu banyak Saya beribadah Saya menyiapkan diri untuk hal yang terburuk Di pikiran saya, sama sepert apa yang saya katakan dan saya lakukan Saya mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain
Banyaknya jawaban responden Tidak (%) Ya (%) 4
96
8
92
47
53
12
88
80
20
20
80
2 69
98 31
6
94
14
86
24
76
78
22
24
76
88
12
24
76
4
96
20
80
18
82
4
96
76
24
41
59
8
92
4
96
2 55
98 45
29
71
35
65
72
Lampiran 2
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Sebaran Responden Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Emotion-Focus Coping Perilaku
Melakukan pekerjaan atau melakukan aktifitas untuk mengalihkan sejenak pikiran saya dari suatu masalah Saya merasa waktu akan membuat perubahan, satusatunya yang dapat dilakukan adalah menunggu Mengkritisi diri Mencoba tidak menghilangkan proses masalah, tetapi membiarkan sesuatu terjadi Berharap keajaiban akan terjadi Ingin melawan nasib, terkadang saya tidak beruntung Seolah-olah tidak ada yang terjadi Saya mencoba untuk menjaga perasaan saya sendiri Melihat baik buruknya, sehingga untuk berbicara, mencoba untuk melihat sisi baiknya Tidur lebih dari biasanya Saya marah kepada orang yang menyebabkan suatu masalah Saya berkata pada diri sendiri tentang hal-hal yang dapat membantu perasaan saya agar lebih baik Saya terinspirasi untuk melakukan sesuatu yang kreatif Mencoba melupakan semuanya Berubah atau tumbuh menjadi pribadi yang baik Saya berpikir sebelum melakukan sesuatu Saya menerima hal yang terbaik sebagai hal yang saya inginkan Menyadari bahwa masalah saya disebabkan oleh saya sendiri Pergi untuk beberapa saat, mencoba untuk istirahat atau berlibur Mencoba untuk membuat diri lebih baik dengan makan, minum, merokok, mengkonsumsi obat-obatan, dll Menemukan kepercayaan yang baru Mempertahankan kepercayaan diri Menemukan kembali apa yang penting dalam hidup Menghindari kebersamaan dengan orang-orang Tidak membiarkan suatu masalah menimpa saya, menolak untuk memikirkan banyak masalah Menjaga agar orang lain tidak mengetahui betapa buruknya keadaan Menganggap ringan segala situasi, menolak terlalu serius dalam menghadapi masalah Melampiaskan sesuatu kepada orang lain Tidak percaya ketika suatu hal terjadi Saya berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat akan terjadi perubahan Menerimanya, karena tidak ada yang bisa dilakukan Berharap saya dapat merubah apa yang terjadi atau apa yang saya rasakan Saya mengubah sesuatu tentang diri sendiri Saya melamun atau membayangkan waktu atau tempat yang lebih baik dibanding sekarang Berharap berakhirnya suatu masalah Mempunyai impian atau keinginan tentang sesuatu yang
Banyaknya jawaban responden Tidak (%) Ya (%) 8
92
86
14
10
90
78
22
27 43 55 4
73 57 45 96
45
55
27
73
27
73
4
96
67 43 2 2
33 57 98 98
29
71
6
94
10
90
51
49
57 12 16 92
43 88 84 8
10
90
18
82
12
88
76 78
24 22
6
94
76
24
6
94
47
53
47
53
0 37
100 63
73
37 38 39
tidak mungkin Saya berpikir tentang seseorang yang saya kagumi, dapat mengatasi suatu masalah dan dapat saya jadikan contoh teladan Saya mengingati diri, betapa banyak hal yang dapat lebih buruk Saya senam atau berolahraga
43
57
4
96
45
55
74
Lampiran 3
Uji Korelasi Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru Correlations lenting
lenting
Pearson Correlation
usia 1
Sig. (2-tailed) N usia
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
pddk
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
pdpt
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
besar
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
sanitasi
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
phbs
pddk
pdpt
besar *
sanitasi
phbs
-.054
-.261
-.303
-.206
-.048
.236
.710
.070
.034
.155
.743
.102
dukung **
.419
.003
CHIP **
.604
.000
koping **
.684
.000
**
.802
.000
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
-.054
1
-.297*
.215
.406**
.119
-.029
.141
-.213
-.125
-.100
.038
.137
.004
.414
.843
.335
.142
.393
.496
.710 49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
-.261
-.297*
1
.479**
-.306*
.558**
.032
-.339*
-.126
-.021
-.194
.070
.038
.001
.033
.000
.828
.017
.387
.887
.182
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
-.303*
.215
.479**
1
.029
.583**
-.078
-.082
-.081
-.097
-.276
.034
.137
.001
.841
.000
.593
.575
.580
.508
.055
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
-.206
**
*
-.306
.029
-.136
.146
*
.352
-.186
-.101
-.061
.406
49
1
.155
.004
.033
.841
.353
.316
.013
.202
.490
.679
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
-.048
.119
**
**
-.136
1
-.020
-.230
-.007
.067
-.071
.743
.414
.000
.000
.353
.891
.112
.959
.645
.630
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
.122
.186
*
.292
.237
.402
.201
.041
.101
49
49
49
49
.558
.583
49
Pearson Correlation
.236
-.029
.032
-.078
.146
-.020
Sig. (2-tailed)
.102
.843
.828
.593
.316
.891
49
49
49
49
49
49
N
cemas
1 49
75
cemas
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
dukung
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
CHIP
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
koping
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
**
.141
-.339
*
-.082
.352
*
-.230
.122
.003
.335
.017
.575
.013
.112
.402
.419
1
**
.365
.010 49
**
1
.026
.004
49
49
49
49
49
49
**
-.213
-.126
-.081
-.186
-.007
.186
.000
.142
.387
.580
.202
.959
.201
.010
.000
.000
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
*
*
**
1
.365
49
**
.400
49 .604
49
*
.319
**
.784
49 **
.572
**
-.125
-.021
-.097
-.101
.067
.292
.319
.000
.393
.887
.508
.490
.645
.041
.026
.000
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
**
**
**
1
.684
.784
.000
**
-.100
-.194
-.276
-.061
-.071
.237
.000
.496
.182
.055
.679
.630
.101
.004
.000
.000
49
49
49
49
49
49
49
49
49
49
.802
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
.400
.572
**
.727
.727
49