Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil: MARWOPNET di Liberia 2000-2003 Keiza Ayu Vriscilasari – 071012061 Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga ABSTRACT This research looked at the gender perspective as to why the strategies that do MARWOPNET can achieve success. The theory used in this study starts from the important role of women to be involved in the peace process, theory of diplomatic strategy 'track two', legitimacy and representation that shows the position of strength MARWOPNET position as non-state actors, and three indicators of success that are tangible and accountability indicator. The conclusion of this study is MARWOPNET can achieve success because using the right approach. With diplomacy strategy 'track two', involving women in the process of peace, and the views from the achievement of the following indicators: (1) an agreement or an agreement is reached between the parties in conflict in Liberia Comprehensive Peace Agreement in 2003; (2) MARWOPNET informal approach to the conflict can be a "stepping stone" that encourage the implementation of a formal negotiation process; (3) there is support from regional governments and institutions; (4) and accountability indicators that show that MARWOPNET successfully meet public expectations have also represented to achieve the vision and mission of the internal. Keywords: civil war, Liberia, diplomatic strategy, NGOs, Mano River Women's Peace Network (MARWOPNET). Penelitian ini melihat dengan perspektif gender mengenai mengapa strategistrategi yang dilakukan MARWOPNET dapat mencapai keberhasilan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini diawali dari peran penting perempuan untuk dilibatkan dalam proses perdamaian, teori strategi diplomasi ‘jalur dua’, legitimasi dan posisi representasi yang menunjukkan posisi kekuatan MARWOPNET sebagai aktor non-negara, dan tiga indikator keberhasilan yang bersifat tangible dan indikator akuntabilitas. Dengan strategi diplomasi ‘jalur dua’, melibatkan perempuan dalam proses penyelenggaraan perdamaian, dan dilihat dari pencapaian beberapa indikator berikut: (1) tercapai kesepakatan atau perjanjian antara pihak berkonflik dalam Liberia Comprehensive Peace Agreement 2003; (2) pendekatan informal MARWOPNET terhadap pihak berkonflik dapat menjadi “batu loncatan” yang mendorong terselenggaranya proses negosiasi formal; (3) terdapat dukungan dari pemerintah regional dan institusi-institusi; (4) dan indikator akuntabilitas yang menunjukkan bahwa MARWOPNET berhasil memenuhi ekspektasi publik yang diwakili juga telah mencapai visi dan misi internalnya. Kata-Kata Kunci: perang sipil, Liberia, strategi diplomasi, organisasi nonpemerintah, Mano River Women's Peace Network (MARWOPNET).
277
Keiza Ayu Vriscilasari
Permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam suatu negara atau menyangkut hubungan antar negara, kini tidak lagi hanya menjadi urgensi negara sebagai entitas politik berdaulat, namun juga masyarakat sipil sebagai aktor non-negara. Negara menyadari bahwa begitu banyak persoalan yang terjadi dalam komunitas internasional tidak mampu untuk ditangani sendiri, sehingga negara memerlukan bantuan keahlian dan sumber daya dari organisasi non-pemerintah (Betsill 2008, 224). Salah satu permasalahan yang terjadi dalam negara adalah perang sipil. Mengambil fokus pada Benua Afrika, persoalan perang sipil1 merupakan salah satu yang rentan menimpa, disamping persoalan kemiskinan, kelaparan, wabah penyakit, dan lainnya. Berbagai macam faktor melatarbelakangi kemunculan perang sipil, terutama persoalan perebutan kekuasaan dan sumber daya alam. Liberia merupakan salah satu negara yang mengalami perang sipil selama dua periode, sekitar empat belas tahun. Penelitian ini membahas mengenai peran organisasi non-pemerintah perempuan yakni Mano River Women’s Peace Network (MARWOPNET) dalam perang sipil di Liberia. Mano River Women’s Peace Network (MARWOPNET) merupakan organisasi non-pemerintah yang mendapat United Nations Prize for Human Rights tahun 2003 atas keberhasilan usahanya melakukan resolusi konflik di Liberia (blackpast.org 2013). MARWOPNET yang memiliki markas di Freetown, Sierra Leone, beranggotakan perempuanperempuan Afrika dari berbagai latar belakang yakni para pemimpin organisasi perempuan, perempuan pedalaman, komunikator, parlemen dan politisi, aktivis Hak Asasi Manusia, anggota Serikat Perempuan, kalangan religius, dan bisnis di wilayah Mano River (Liberia, Sierra Leone, dan Guinea) (marwopnet.org 2013). MARWOPNET dibentuk pada Mei 2000 dalam naungan Economic Community of West African States (ECOWAS) dan bertujuan untuk terlibat dalam proses pencegahan, penanganan konflik, dan mewujudkan perdamaian di Afrika (marwopnet.org 2013). Dalam perang sipil kedua di Liberia, MARWOPNET telah melakukan strategi-strategi untuk mewujudkan perdamaian sejak tahun 2001 hingga berakhirnya perang sipil kedua Liberia pada tahun 2003. Strategi-strategi yang dilakukan oleh MARWOPNET meliputi advokasiadvokasi perdamaian kepada pihak berkonflik maupun pihak eksternal seperti negara atau organisasi regional, kemudian juga dialog, loka karya, dan pemberian pelatihan mengenai resolusi konflik kepada masyarakat sipil di Liberia. Strategi-strategi tersebut dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan, dan MARWOPNET mengusahakan sinergi kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan resolusi perang sipil
1
Secara terminologi, perang sipil (civil wars) diartikan sebagai perang antar warga negara dalam satu negara yang sama (Kamus Oxford).
278
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
di Liberia. Keterlibatan perempuan dalam resolusi konflik di Liberia memiliki arti penting karena perempuan memiliki kekuatan dan sifat alamiah yang mampu menjadi katalis dalam proses penyelesaian konflik. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan MARWOPNET yang dengan melakukan pendekatan secara berkala pada pihak berkonflik, pada akhirnya mampu melakukan lobby pada kelompok pemberontak Liberians United for Reconciliation and Democracry (LURD) untuk sepakat bertemu dan berdamai dengan Presiden Charles Taylor. Hal ini merupakan suatu pencapaian besar dari MARWOPNET karena masingmasing pihak berkonflik tidak mau untuk berdialog mengenai perdamaian. Hal lain yang tidak kalah penting adalah ketika MARWOPNET dapat mempertemukan pemimpin negara dari Liberia, Sierra Leone, dan Guinea, untuk duduk bersama dalam satu ruangan dan membahas resolusi konflik di Liberia yang memiliki kaitan erat dengan Sierra Leone dan Guinea. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, sehingga MARWOPNET mendapatkan pengakuan atas keberhasilannya dari berbagai pihak. Kemudian memasuki proses perjanjian perdamaian Liberia Comprehensive Peace Agreement (CPA) 2003, MARWOPNET dipercaya dan diundang langsung oleh Presiden Liberia, Charles Taylor dalam proses perjanjian perdamaian sebagai perwakilan masyarakat sipil. Hal ini dilakukan Presiden Charles Taylor karena sudah melihat bukti-bukti usaha dan pencapaian MARWOPNET dalam menyelesaikan konflik di Liberia. Selain terlibat dalam negosiasi perdamaian, MARWOPNET juga menjadi pihak yang menandatangani (key signatory member) Liberia Comprehensive Peace Agreement tahun 2003 di Accra, Ghana, dan mengakhiri perang sipil kedua di Liberia (Roeder & Simard 2013). MARWOPNET berupaya keras dalam berbagai strategi untuk melakukan resolusi perang sipil di Liberia karena melihat bahwa dampak dari perang ini sudah menjalar pada stabilitas kawasan. Berikut adalah penjelasan historis mengenai Liberia dan perang sipil yang terjadi selama sekitar empat belas tahun. Liberia terletak di Afrika bagian barat, berbatasan langsung dengan Lautan Atlantik, Sierra Leone, Guinea, dan Cote D’Ivoire. Nama Liberia memiliki arti liberty atau “tanah kebebasan” (pbs.org 2013). Liberia memiliki catatan sejarah perang sipil yang berlangsung selama dua periode. Periode pertama terjadi pada tahun 1989-1996, kemudian periode kedua terjadi pada tahun 1999-2003. Perang sipil Liberia periode pertama maupun kedua memiliki inti masalah yang sama yakni perlawanan antara negara dengan kelompokkelompok pemberontak oposisi pemerintah untuk memperebutkan
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
279
Keiza Ayu Vriscilasari
kekuasaan politik dan ekonomi. Pada periode pertama, terjadi perlawanan antara National Patriotic Front of Liberia (NPFL) yang dipimpin oleh Charles Taylor, seorang keturunan Amerika-Liberia, melawan pemerintahan Samuel K. Doe, termasuk juga etnis Krahn dan Mandingo yang merupakan pendukung pemerintahan Presiden Samuel K. Doe (globalsecurity.org 2013). Kemudian muncul pula Independent National Patriotic Front of Liberia (INPFL) yang dipimpin Prince Yormie Johnson, orang yang dahulu merupakan komandan dalam NPFL. Kini Prince Yormie keluar dari NPFL, membentuk INPFL dan berbalik melawan NPFL maupun pemerintahan Samuel Doe untuk merebut kekuasaan atas Liberia. Perang sipil kedua meletus pada tahun 1999-2003. Penyebab terjadinya perang sipil kedua bermula dari kemenangan Charles Taylor sebagai Presiden Liberia dalam pemilihan umum 19 Juli 1997 (globalsecurity.org 2013). Dalam pemerintahan Taylor, muncul dua kelompok oposisi yakni Liberians United for Reconciliation and Democracry (LURD) yang melawan sejak tahun 1999 dan Movement for Democracy in Liberia (MODEL) yang berbasis di selatan Liberia dan melakukan perlawanan pada April 2003. Persoalan semakin memanas dengan munculnya kabar bahwa Charles Taylor terlibat dalam konflik di Sierra Leone dengan memberikan bantuan pelatihan militer, logistik, serta bantuan persenjataan kepada pasukan pemberontak di negara tersebut, bernama Revolutionary United Front (RUF) (irinnews.org 2013). Data pada perang sipil periode kedua tercatat sekitar 4.058 orang meninggal dunia, sebagai dampak dari kekerasan (peaceaccords.nd.edu 2013). Realita lain yang terdapat pada masyarakat Liberia ialah kebudayaan patriarkhi yang cukup mengakar. Sehingga dalam konteks konflik, Liberia sangat rentan terhadap kekerasan berbasis gender, yakni kekerasan yang menjadikan perempuan sebagai sasaran korban utama (Roach 2013). Laki-laki memiliki posisi yang lebih kuat, dominan, dan agresif secara seksual, sedangkan perempuan memiliki posisi yang pasif, tanpa suara, dan merupakan properti atas kaum lelaki. Perang sipil yang terjadi di Liberia selama dua periode telah menyisakan korban meninggal lebih dari dua ratus ribu orang, dengan jumlah perempuan diperkosa oleh tentara yang tidak terhitung dan banyak orang diungsikan (Taylor 2013). Perempuan dan anak-anak menjadi korban utama dan mereka adalah kaum yang paling menderita selama perang sipil terjadi (Selimovic et al. t.t., 6). Selama perang sipil ini terjadi, aktivitas perempuan dan anak-anak menjadi terbatas, seperti tidak bisa pergi ke pasar, tidak dapat pergi ke sekolah, dan lain-lain. Oleh karena itu, kaum perempuan berusaha
280
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
bersatu dan menyuarakan isu kesetaraan akibat keberadaan mereka yang menjadi kaum marginal.2 Para perempuan membentuk kelompok supaya mereka dapat melakukan rekonsiliasi, mediasi, dialog, dan berkata “silakan pergi” kepada para lelaki, dengan maksud menunjukkan bagaimana perempuan juga dapat berperan bagi Liberia (Selimovic et al. t.t., 6). Dalam suatu keinginan untuk memperjuangkan perdamaian dan kesetaraan tersebut, salah satunya termanifestasikan dalam organisasi non-pemerintah beranggotakan para wanita dari negara Mano River (Liberia, Sierra Leone, dan Guinea). MARWOPNET telah berhasil menjadi katalisator penyelesaian perang sipil yang terjadi di Liberia. Dengan strategi-strategi yang dilakukan oleh MARWOPNET sejak tahun 2001 hingga tahun 2003, pembahasan berlanjut pada peran penting keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian, strategi diplomasi ‘jalur dua’ yang digunakan, posisi representasi dan legitimasi MARWOPNET untuk menunjukkan kekuatan yang dimiliki, kemudian pembahasan mengapa MARWOPNET dapat mencapai keberhasilan dilihat dari indikator keberhasilan organisasi non-pemerintah tersebut. Peran Penting Keterlibatan MARWOPNET dalam Proses Perdamaian Berikut adalah teori yang dijelaskan oleh Onubogu dan Etchart mengenai tiga alasan mengapa perempuan harus dilibatkan dalam proses perdamaian: Pertama, telah dieksplorasi suatu fakta bahwa standar kesetaraan dan keadilan dalam Hak Asasi Manusia memerlukan partisipasi perempuan dalam kehidupan publik (Onubogu & Etchart 2005). Dalam tahapan implementasi kebijakan, perempuan perlu dilibatkan dalam proses kebijakan atau pengambilan keputusan pada level negara. Ketika perempuan menjadi pihak yang tidak didengar ataupun dilibatkan dalam proses resolusi konflik, maka konflik tidak dapat terselesaikan. Kedua, konflik memiliki relasi erat dengan gender, yakni pengalamanpengalaman perempuan yang bervariasi merupakan bagian sentral yang dibutuhkan dalam upaya determinasi kebutuhan-kebutuhan pasca konflik (Onubogu & Etchart 2005). Proses menciptakan perdamaian yang efektif harus dibangun berdasarkan pengalaman-pengalaman yang terjadi. Oleh karena itu, perlu untuk mendengarkan pengalaman hidup
2
Marginal dalam Kamus Oxford didefinisikan sebagai kaum minor dan tidak penting; tidak dianggap sebagai sentral (terpinggirkan). Sehingga kondisi seperti itulah yang menggambarkan posisi perempuan di tengah budaya patriarkhi dan selama perang sipil terjadi.
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
281
Keiza Ayu Vriscilasari
perempuan-perempuan lokal selama konflik terjadi dan tanggung jawab yang besar pasca konflik. Ketiga adalah arti penting perempuan dalam tahapan perkembangan atau transformasi peran perempuan (Onubogu & Etchart 2005). Hal yang dimaksud adalah ketika awalnya perempuan ‘hanya’ sebagai korban dalam konflik, tidak memiliki kekuatan untuk menyampaikan aspirasi, pihak yang lemah dan pasif, dapat bertransformasi menjadi agen penting perubahan dalam konflik tersebut. Dengan kata lain transformasi dan otoritas perempuan muncul dari berbagai gerakangerakan atau inisiatif para perempuan di daerah konflik. Tiga alasan yang menjelaskan mengapa perempuan harus dilibatkan memberikan suatu perspektif bahwa perempuan memiliki kekuatan tersendiri yang dapat menjadi katalis dalam proses resolusi konflik. Dalam hal ini, MARWOPNET telah memenuhi tiga hal tersebut dilihat dari strategi-strategi yang dilakukan pra-negosiasi dan ketika negosiasi CPA 2003 berlangsung. Dimulai ketika organisasi regional Afrika Barat, ECOWAS dan pihak-pihak berkonflik melibatkan MARWOPNET dalam proses kebijakan dan pengambilan keputusan dengan cara mendengarkan aspirasi dan cerita pengalaman yang dialami para perempuan selama konflik terjadi. Hal ini membuat proses penciptaan perdamaian menjadi seimbang karena MARWOPNET telah mewakili suara dari para perempuan di Liberia. MARWOPNET memiliki fungsi sebagai agen perubahan yang mewakili masyarakat sipil terutama kaum perempuan untuk terlibat dalam proses menciptakan perdamaian. Strategi Diplomasi ‘Jalur Dua’: Konsultasi, Dialog, dan Pelatihan Dalam negosiasi perjanjian multilateral, organisasi non-pemerintah memainkan fungsi yang sama seperti delegasi negara: organisasi nonpemerintah merepresentasikan kepentingan-kepentingan konstituen, mereka terlibat dalam pertukaran informasi, mereka bernegosiasi, dan mereka menyediakan saran-saran atau nasihat untuk kebijakan (Jönsson dalam Betsill 2008). Penjelasan teori mengenai transisi ‘aktor’ diplomasi pada abad ke-20, menekankan arti penting MARWOPNET sebagai organisasi non-pemerintah yang memiliki fungsi sama dengan delegasi negara. Ketika berada dalam proses negosiasi perdamaian CPA 2003, MARWOPNET merepresentasikan kepentingan-kepentingan konstituen, terlibat dalam proses negosiasi formal, dan pertukaran informasi. John McDonald dan Louise Diamond (1991) menjelaskan tentang sembilan jalur diplomasi yang dikenal sebagai ‘Diplomasi Multi Jalur’.
282
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
Terdapat sembilan jalur dalam ‘Diplomasi Multi Jalur’ yang diidentifikasi dari aktor dan institusi yang terlibat, yakni: (1) pemerintah, (2) non-pemerintah atau professional, (3) pebisnis, (4) masyarakat privat, (5) penelitian, pelatihan, dan edukasi, (6) aktivis, (7) keagamaan, (8) pendanaan, dan (9) komunikasi dan media. MARWOPNET sebagai organisasi non-pemerintah berada pada ‘jalur dua’, yakni non-pemerintah atau kaum professional, yakni terdapat kontak dan interaksi bersifat tidak resmi yang bertujuan untuk melakukan resolusi konflik, baik dalam lingkup internasional maupun dalam negara (Notter & McDonald t.t.). Sekalipun diplomasi ‘jalur dua’ diciptakan sebagai kontras dengan diplomasi ‘jalur pertama’ yakni diplomasi oleh pemerintah resmi, tidak memberi arti bahwa diplomasi ‘jalur dua’ tidak bersinergi dengan ‘jalur satu’ dalam implementasi. Aktivitas (strategi) diplomasi ‘jalur dua’ dikategorikan ke dalam tiga hal, yakni: konsultasi, dialog, dan pelatihan (Notter & McDonald t.t.) MARWOPNET sebagai organisasi non-pemerintah yang seluruh anggota adalah perempuan memiliki fokus pada solusi-solusi perdamaian dalam menyelesaikan konflik (Salla 2003). Solusi perdamaian diwujudkan dalam bentuk dialog yang menjadi pendekatan sentral bagi perempuan (Kolb & Coolidge dalam Florea et al. 2003). Tujuan dari dialog adalah untuk melakukan pendekatan pada pihak-pihak yang berkonflik, maupun untuk mencari dukungan dari pihak eksternal. Dialog merupakan salah satu aktivitas diplomasi ‘jalur dua’ selain dari dua aktivitas yang lain, yakni konsultasi dan pelatihan (Notter & McDonald t.t.). Strategi diplomasi dengan konsultasi dan dialog merupakan strategi utama yang dilakukan MARWOPNET sejak tahun 2001-2003. Pada fase-fase awal, MARWOPNET berperan aktif melakukan pendekatan kepada masing-masing pemimpin negara Mano River maupun pihakpihak yang berhubungan dalam penyelesaian perang sipil di Liberia. Pada tahap pra-negosiasi CPA 2003 ini, MARWOPNET menggunakan strategi dialog dan konsultasi untuk mendengarkan dan mendiskusikan persoalan yang terjadi di Liberia. Kategori ketiga adalah pelatihan, diantaranya seperti keahlian berkomunikasi, analisis konflik, rekonsiliasi, kerjasama, dan negosiasi (Notter & McDonald t.t.). Strategi pelatihan merupakan salah satu agenda dari MARWOPNET dengan melakukan proses perencanaan penyelenggaraan program pelatihan mengenai promosi perdamaian dan rekonsiliasi di perbatasan Liberia, pada Desember 2002. Program pelatihan ini diharapkan dapat memberikan kesadaran dan keahlian pada pihak-pihak yang terlibat dalam perang sipil Liberia, supaya dapat segera mengakhiri konflik dengan cara damai.
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
283
Keiza Ayu Vriscilasari
Pendekatan Klasik Diplomasi ‘Jalur Dua’ dalam Kategori Konsultasi : Problem-Solving Workshop Peter Jones menjelaskan bahwa dalam diplomasi ‘jalur dua’ terdapat pendekatan klasik yang dinamakan sebagai problem-solving workshop (Jones 2008). Pendekatan problem-solving workshop tidak memiliki unsur ikatan komitmen antara pihak yang berkonflik, namun lebih bertujuan untuk mengembangkan komunikasi, pengenalan, dan interaksi. Pendekatan ini meliputi beberapa hal sebagai berikut: Pertama adalah dialog kecil dan informal antara perwakilanperwakilan dari pihak yang berkonflik, difasilitasi oleh ‘pihak ketiga’ yang netral, dan berisi para ilmuwan-ilmuwan sosial, penstudi dan praktisi. Hal ini nampak pada Februari 2002, atas usaha MARWOPNET, tiga kepala negara bersedia untuk bertemu di Rabat, Maroko, dan membicarakan perdamaian dan keamanan di wilayah Mano River. Presiden Charles Taylor dari Liberia, Presiden Lansana Conte dari Guinea, dan Presiden Tejan Kabba dari Sierra Leone difasilitasi oleh pemerintah Maroko sebagai pihak yang netral, serta dukungan dari MARWOPNET, untuk menjamin berlangsungnya dialog ini. Kedua, sekalipun dialog bersifat tidak resmi, tetapi dapat diasumsikan bahwa peserta terhubung dengan para pembuat keputusan di negaranya dan memiliki dampak pada perilaku di negaranya, terkait dengan konflik yang terjadi. Karakteristik yang kedua ini telah dilakukan oleh MARWOPNET pada Desember 2001, dalam acara 25th Session of ECOWAS Heads of States and Government yang diselenggarakan di Dakar, Senegal. Dalam pertemuan ini, para pembuat keputusan yakni kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara Afrika Barat bertemu, sehingga diharapkan dapat membawa implikasi di negaranya, terutama atas konflik yang terjadi. MARWOPNET memulai strategi dengan mempresentasikan advokasi perdamaian atas izin ECOWAS dihadapan seluruh peserta pertemuan. Selain itu, pada tanggal 3-8 Januari 2002, di Addis Ababa, Ethiopia, MARWOPNET secara resmi diundang dalam pra-workshop African Development Forum III (ADF III). Dalam pertemuan ini, delegasi representasi MARWOPNET berasal dari Liberia, Cllr. Juanita K. Jarrett, memiliki kesempatan untuk menyampaikan misinya kepada para pemerintah negara-negara Afrika. MARWOPNET menekankan pada peran wanita dalam menciptakan perdamaian dan keamanan di Afrika. Ketiga, loka karya (workshop) fokus pada penyebab konflik, daripada melihat posisi resmi, dengan harapan dapat mengembangkan pilihanpilihan alternatif bersama. Hal ini terlihat dari usaha-usaha konsultasi antara pihak berkonflik yang difasilitasi oleh MARWOPNET berusaha menemukan keinginan dan kepentingan pihak berkonflik, yang menjadi
284
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
penyebab munculnya persoalan. Sebelum dipertemukan oleh MARWOPNET, dua pihak yang berkonflik yakni Presiden Charles Taylor mewakili pemerintahan Liberia dan kelompok pemberontak LURD, ternyata tidak saling “mengenal”, juga tidak mengetahui keinginan dan kepentingan satu sama lain. Oleh karena itu, MARWOPNET berhasil mendekati dari sisi Presiden Charles Taylor maupun dari sisi LURD supaya mereka dapat bertemu dan kedua pihak fokus terhadap apa yang terjadi, apa yang menyebabkan dibanding melihat posisi resmi satu sama lain. Keempat, loka karya merupakan proses yang berkesinambungan, bukan bersifat ‘one-time events’. Prinsip ini terimplementasikan dalam aksi MARWOPNET yang berusaha melakukan dialog atau loka karya secara terus-menerus mulai tahun 2001 hingga tahun 2003. Dialog ditujukan kepada pihak-pihak yang sedang berkonflik, maupun kepada pihak-pihak eksternal, seperti negara dalam satu kawasan maupun organisasi lain untuk mencari dukungan visi maupun materiil. Kelima, loka karya menekankan pada nilai dan pentingnya fokus pada akar permasalahan dalam aspek psikologi. Aspek psikologi berhubungan kepada hal-hal di luar persoalan material, seperti ikatan emosional, pemahaman kepentingan dan keinginan satu sama lain, bagaimana konflik bisa terjadi, bagaimana konflik seharusnya diatasi, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam negosiasi perjanjian pembentukan CPA 2003, mediator Jenderal Abdulsalami Abubakar mengawali dengan mendengarkan suara dari masing-masing pihak, termasuk aktor-aktor yang berada di luar pihak yang berkonflik. Dengan mendengarkan apa yang diinginkan oleh masing-masing aktor, proses perumusan perjanjian perdamaian fokus melihat aspek psikologi masing-masing pihak. Keenam, loka karya memiliki karakteristik “Chatham House rules” yang bertujuan untuk membuat keterbukaan pada sebuah diskusi dan saling bertukar informasi (chathamhouse.org 2013). Hal ini tampak dari usaha mediator Jenderal Abdulsalami yang mendengarkan aspirasi dari semua pihak, termasuk delegasi organisasi masyarakat sipil yang diundang secara resmi, sebelum menyampaikan usulan-usulan kebijakan. Sehingga dalam hal ini, prinsip keterbukaan pada sebuah diskusi dapat terlaksana, kepentingan masing-masing delegasi dapat tersampaikan secara terbuka.
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
285
Keiza Ayu Vriscilasari
Legitimasi dan Posisi Representasi MARWOPNET dalam Proses Negosiasi Setelah memahami bagaimana strategi yang dilakukan, MARWOPNET sebagai organisasi non-pemerintah memerlukan kredibilitas dalam hal legitimasi yang seringkali dipertanyakan pada aktor non-negara. Berikut dibahas mengenai legitimasi dan posisi representasi MARWOPNET ketika terlibat dalam proses negosiasi formal Liberia CPA 2003. Dalam proses negosiasi terdapat tiga jenis organisasi masyarakat sipil: (1) delegasi resmi, (2) pengamat tidak resmi, dan (3) aktivis kelompok penekan (Zanker 2013). Organisasi masayarakat sipil yang berstatus sebagai ‘delegasi resmi’ adalah organisasi yang diakui dan diundang secara resmi untuk terlibat dalam proses negosiasi. Berkaitan dengan MARWOPNET, sebelum dimulai proses negosiasi CPA 2003, ECOWAS memberikan daftar organisasi masyarakat sipil kepada Presiden Taylor. Dari daftar tersebut, Presiden Taylor memilih organisasi perwakilan masyarakat sipil yang berpengaruh untuk dilibatkan dalam proses negosiasi. Presiden Taylor memilih dan mengundang organisasi nonpemerintah MARWOPNET sebagai perwakilan masyarakat sipil perempuan untuk dilibatkan dalam proses negosiasi CPA 2003. Persetujuan tersebut membuat MARWOPNET memiliki status sebagai delegasi resmi, sehingga MARWOPNET memiliki legitimasi dalam proses negosiasi CPA 2003. MARWOPNET dipilih bersama tiga organisasi masyarakat sipil yang lain, yakni IRCL, Liberian Bar Association, dan anggota diaspora Liberia. Setelah memahami bahwa MARWOPNET merupakan organisasi nonpemerintah yang memiliki legitimasi politik dalam proses negosiasi CPA 2003, dijelaskan juga mengenai posisi MARWOPNET di dalam proses negosiasi CPA 2003. Dalam model perwakilan sah (legitimate representation), terdapat tiga model representasi yang tercakup didalamnya. Pertama, significative representation menjelaskan mengenai simbol atau tanda yang terdapat pada pihak yang mewakili atau merepresentasi, untuk menunjukkan siapa yang diwakili. Kemudian substantive representation berkaitan dengan kepentingan (interest) atau permasalahan utama dari pihak-pihak yang diwakili. Ketiga adalah accountable representation yang berkaitan dengan tahap output karena organisasi masyarakat sipil harus menjelaskan tentang peran dan apa saja yang sudah dilakukan dalam proses mediasi tersebut kepada pihak-pihak yang diwakili. MARWOPNET sebagai legitimate representation telah mencakup tiga pokok model representasi tersebut dari tahap input sampai tahap output. MARWOPNET dengan jelas mewakili suara masyarakat sipil terutama memperjuangkan hak perempuan, kemudian menyampaikan substansi kepentingan dari
286
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
pihak-pihak yang diwakili, dan dapat mempertanggungjawabkan peran yang sudah dipercayakan publik kepadanya. Indikator Keberhasilan MARWOPNET dalam Diplomasi ‘Jalur Dua’ Menentukan keberhasilan kinerja organisasi non-pemerintah bukanlah hal yang mudah. Namun bukan berarti keberhasilan organisasi nonpemerintah tidak dapat diukur. Karakteristik keberhasilan diplomasi ‘jalur dua’ dapat dilihat dengan adanya tangible indicators (Jones 2008). Berikut dibahas satu per satu tiga hal yang dikategorikan sebagai tangible indicators dan akuntabilitas untuk menunjukkan mengapa MARWOPNET berhasil dalam strategi yang dilakukan. Kesepakatan dalam Perjanjian Antara Pihak-Pihak Berkonflik Sebagai Hasil dari Kerja Organisasi NonPemerintah Pertama, keberhasilan strategi diplomasi aktor ‘jalur dua’ diukur dari tercapainya sebuah perjanjian antara pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini dapat terjawab dengan kesepakatan perjanjian perdamaian Comprehensive Peace Agreement 2003 yang mengakhiri perang sipil kedua Liberia. Hasil dari CPA memberikan suatu pengakuan bagi kelompok masyarakat sipil dan kelompok kepentingan dalam Pemerintahan Transisi (NTLA) karena diberi tujuh kursi dari tujuh puluh enam kursi yang tersedia. Meskipun hanya berjumlah sekitar 10%, tetapi masyarakat sipil diberi ‘tempat’ dalam proses resolusi konflik Liberia tersebut. Masyarakat sipil sebagai aktor non-negara merupakan pihak yang dipertimbangkan, sehingga penyelesaian perang sipil dalam CPA 2003 ini tidak hanya terpusat pada aktor-aktor negara. Pendekatan Informal Aktor ‘Jalur Dua’ Menjadi “Batu Loncatan” Menuju Proses Negosiasi Formal Strategi pendekatan informal yang dijalankan oleh aktor ‘jalur dua’ dapat menjadi ‘batu loncatan’ (stepping-stone) untuk membawa pihak berkonflik pada proses negosiasi formal (Jones 2008, 9). Kehadiran aktor ‘jalur dua’ dapat dinilai berhasil ketika dapat mendorong dan mendukung terselenggarakannya suatu proses negosiasi formal antar pihak berkonflik. MARWOPNET telah aktif melakukan pendekatan pada pihak berkonflik sejak tahun 2001 hingga tahun 2003. Momentum pertama yang mendapat pengakuan dari berbagai pihak adalah ketika pemimpin negara dari Liberia, Guinea, dan Sierra Leone menyatakan
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
287
Keiza Ayu Vriscilasari
kesediaan untuk bertemu dan berdiskusi bersama di Maroko pada Februari 2002. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Pendekatan dilakukan terus-menerus kepada pihak berkonflik dan MARWOPNET juga mencari dukungan eksternal (negara atau institusi di luar pihak berkonflik) supaya gagasan yang diajukan dapat terlaksana. Pada akhirnya, MARWOPNET memiliki peran dalam mendorong terlaksananya negosiasi formal Liberia CPA 2003 di Ghana. Dukungan dari Pemerintah Regional dan Institusi Indikator lain adalah melihat bagaimana pemerintah regional dan institusi memberikan dukungan terhadap ide dan aksi yang diajukan oleh para pemain di ‘jalur dua’ ini (Jones 2008, 9). Dukungan yang diberikan oleh pemerintah regional dapat meningkatkan kredibilitas dari aktor ‘jalur dua’. Berkaitan dengan indikator ketiga ini, dukungan yang diberikan dari pemerintah regional yakni ECOWAS dan institusiinstitusi seperti UNDP, FAS, dan lainnya, sudah terjadi bahkan pada sebelum proses negosisasi perjanjian perdamaian. Ketika proses penandatanganan CPA 2003 berakhir, pemimpin ECOWAS, Presiden John Kufuor dari Ghana menyatakan suatu pernyataan penting yang secara tidak langsung tertuju pada usaha perempuan-perempuan dalam resolusi konflik, “Today, I join the women and children of Liberia to appeal to the warring factions to lay down their arms and never again lift up arms of destruction to settle grievances or seek political power”. Pernyataan pemimpin ECOWAS tersebut menggambarkan keinginan untuk terlibat dalam usaha yang disuarakan oleh kaum perempuan dan anak-anak. Kehadiran MARWOPNET sebagai delegasi resmi yang diundang dalam negosiasi perjanjian CPA 2003 menjadi bukti bahwa eksistensi, ide, dan aksi yang dilakukan MARWOPNET mendapatkan pengakuan dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pihak yang berkonflik. Pengukuran Performa MARWOPNET: Akuntabilitas John Hailey dan Mia Sorgenfrei (t.t., 2) mengungkapkan bahwa indikator keberhasillan NGO dapat diukur dari segi performa yakni akuntabilitas. NGO harus memiliki akuntabilitas terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders), terutama pada pendonor dan penerima manfaat dari NGO tersebut. Namun lebih dari itu, akuntabilitas yang dimiliki NGO harus bersifat pemenuhan ekspektasi terhadap publik yang diwakilkan dan pencapaian tujuan dari organisasi (Hailey & Sorgenfrei t.t. 2). Pertama, mengenai sifat pemenuhan ekspektasi publik supaya aktor ‘jalur dua’ dapat merepresentasi suara mereka, akuntabilitas terlihat
288
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
dari bagaimana MARWOPNET berperan dalam merepresentasi suara perempuan di negara sub-regional Afrika Barat. MARWOPNET dapat menjadi pemenuh kebutuhan para perempuan dalam memperjuangkan haknya, dan seluruh masyarakat Liberia yang terkena dampak dari perang sipil. Selain itu, MARWOPNET juga memiliki akuntabilitas kepada pendonor dana yakni UNDP dan ECOWAS yang selalu menjadi fasilitator MARWOPNET, yang mengharapkan MARWOPNET dapat menjalankan pembangunan dan perdamaian di Liberia dalam pertemuan 25th Session of ECOWAS Heads of States and Government. Kedua, berkaitan dengan pencapaian tujuan atau visi-misi dari organisasi, apakah sudah tercapai ataukah belum, berikut adalah penjelasan mengenai visi-misi MARWOPNET. Organisasi nonpemerintah MARWOPNET memiliki visi supaya terdapat kedamaian dan kesejahteraan di negara-negara di sub-regional, semua warga negara dapat tinggal dengan keadaan sehat, teredukasi, hidup dalam persatuan, dan menikmati segala Hak Asasi Manusia termasuk keadilan dan kesetaraan, dengan para perempuan memainkan peranan penting dalam perdamaian dan proses pembangunan berkelanjutan di lingkup sub-regional, Afrika, dan dunia (marwopnet.org 2013). Berdasarkan visi yang ditetapkan di awal oleh MARWOPNET, serta mengetahui strategi-strategi yang telah dilakukan oleh MARWOPNET, dapat ditarik kesimpulan bahwa MARWOPNET telah berhasil dalam melakukan empat pokok misi tersebut. Ketika CPA 2003 sedang berlangsung, perempuan-perempuan dari MARWOPNET yang berasal dari kalangan grassroots juga berhasil melakukan strategi dengan cara menggalang massa. Dengan tidak menempuh jalur formal seperti perempuan-perempuan MARWOPNET yang diundang dalam gedung konferensi, perempuan-perempuan dari kalangan grassroots ini berusaha menekan pihak berkonflik untuk segera merumuskan kesepakatan perdamaian. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah MARWOPNET sebagai organisasi non-pemerintah yang beranggotakan perempuan-perempuan dari subregional Afrika Barat yakni Sierra Leone, Guinea, dan Liberia, berhasil dalam melakukan resolusi perang sipil kedua Liberia. Organisasi nonpemerintah perempuan MARWOPNET berhasil dalam melakukan strategi-strategi resolusi konflik karena (1) MARWOPNET menggunakan pendekatan yang tepat, dengan strategi diplomasi ‘jalur dua’ dan keterlibatan perempuan yang memiliki arti penting dalam proses menciptakan perdamaian sehingga MARWOPNET memiliki kredibilitas atas ide dan aksi yang dilakukan; (2) MARWOPNET juga menjadi aktor
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
289
Keiza Ayu Vriscilasari
yang memiliki legitimasi karena diakui dan diterima oleh pihak-pihak berkonflik dan para pemimpin negara dari Liberia, Sierra Leone, dan Guinea; (3) MARWOPNET berhasil dalam strategi-strategi yang dilakukan karena memenuhi empat indikator berikut: tercapai kesepakatan atau perjanjian antara pihak berkonflik terlihat dari perjanjian perdamaian Liberia Comprehensive Peace Agreement 2003, pendekatan informal MARWOPNET terhadap pihak berkonflik dapat menjadi “batu loncatan” yang mendorong terselenggaranya proses negosiasi formal, terdapat dukungan dari pemerintah regional dan institusi-institusi terhadap ide atau aksi yang dilakukan oleh MARWOPNET, ditandai dengan dukungan moral dan material dari organisasi negara Afrika Barat ECOWAS, PBB, negara-negara Afrika dan luar Afrika, dan akuntabilitas yang menunjukkan bahwa MARWOPNET berhasil memenuhi ekspektasi publik yang diwakili dan secara organisasional, MARWOPNET telah mencapai visi dan misi internalnya.
Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Baron, J.N. dan J. Pfeffer. “The Social Psychology of Organizations and Inequality.” dalam Empirical Studies on Legitimation Strategies: A Case for International Business Research Extension, diedit oleh Romeo V. Turcan et al. Aalborg University, 2012. Betsill, Michele M. dan Elisabeth Corell, eds. Reflections on the Analytical Framework and NGO Diplomacy. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology, 2008. Brand-Jacobsen, Kai Frithjof dan Carl G. Jacobsen. “Beyond Mediation: Towards More Holistic Approaches to Peacebuilding and Peace Actor Empowerment,” Searching For Peace. Sterling: Pluto Press, 2000. Creswell. Metode Penelitian Sosial, diedit oleh Ulber Silalahi. Bandung: UNPAR Press, 2006. Florea, Natalie B. et al. “Negotiating from Mars to Venus: Gender in Simulated International Negotiations.” Simulation & Gaming 34:2 (Juni 2003). Fraser, Robin. Track Two Diplomacy – A Distinct Conflict Intervention Category. University of Victoria, 2012. Gierycz, D. “Women, Peace and the United Nations: Beyond Beijing (2001).” dalam Natalie B. Florea et al. Negotiating from Mars to Venus: Gender in Simulated International Negotiations. Simulation & Gaming 34:2 (Juni 2003). Hailey, John dan Mia Sorgenfrei. “Measuring Success: Issues in Performance Management.” Occasional Papers Series No. 44. Oxford: International NGO Training and Research Centre, t.t.
290
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
Hayner, Priscilla. November 2007 Report-Negotiating Peace in Liberia: Preserving the Possibility for Justice. Geneva: The Centre for Humanitarian Dialogue, 2007. Jacobsen, Kai Frithjof Brand dan Carl G. Jacobsen. “Beyond Mediation: Towards More Holistic Approaches to Peacebuilding and Peace Actor Empowerment.” Searching For Peace. Sterling: Pluto Press, 2000. Johnson, Stephanie Anne. “Women, Shared Leadership, and Policy: The Mano River Women’s Peace Network Case Study.” The Journal of Pan African Studies 4:8 (December 2011). Jones, Peter. “Filling a critical gap, or just wasting time? Track Two diplomacy and regional security in the Middle East”, Arms Control in The Middle East. Geneva: United Nations Institute for Disarmament Research, 2008. Kolb, D. M. dan G. G. Coolidge. “Her place at the table: A consideration of gender issues in negotiation.” dalam Negotiating from Mars to Venus: Gender in Simulated International Negotiations, ed. Natalie B. Florea et al., Simulation & Gaming 34:2 (Juni 2003). Lewis, David. “Nongovernmental Organizations, Definition and History.” Springer-Verlag Berlin Heidelberg (2009): 1. Liberia Comprehensive Peace Agreement 2003. http://www.necliberia.org/content/legaldocs/laws/comprehensive_ peace_agreement.pdf (diakses pada 3 Oktober 2013). Lykke, Arthur F. “Toward an Understanding of Military Strategy.” dalam Theory of War and Strategy, diedit oleh J. Boone Bartholomees, Jr. Strategic Studies Institute, 2010. Mahiga, Augustine. UN High Commissioner for Refugees: 300 Massacred in Liberia “Orgy” of Killing’ Blamed on Rebels, 7 Juni 1993. McDonald, John W. “Profile Institue for Multi-Track Diplomacy.” Journal of Conflictology. http://journal-of-conflictology.uoc.edu (diakses pada 8 Oktober 2013). Miles dan Huberman. Metode Penelitian Sosial, diedit oleh Ulber Silalahi. Bandung: UNPAR Press, 2006. Nilson, Desirée. Crafting a Secure Peace-Evaluating Liberia’s Comprehensive Agreement 2003. New York: Uppsala University, 2009. Oliver, C. “The Institutional Embeddedness of Economic Activity.” dalam Empirical Studies on Legitimation Strategies: A Case for International Business Research Extension, diedit oleh Romeo V. Turcan et al. Aalborg University, 2012. Onubogu, Elsie dan Linda Etchart. Gender Mainstreaming in Conflict Transformation: Building Sustainable Peace. The Commonwealth Secretariat, 2005. Pitkin, HF. The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press, 1967.
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
291
Keiza Ayu Vriscilasari
Roeder, Larry Winter dan Albert Simard. Diplomacy and Negotiation for Humanitarian NGOs. http://www.springer.com/978-1-46147112-7 (diakses pada 7 Oktober 2013). Salla, M. Women and War, Men and Pacifism, dalam Natalie B. Florea et al. “Negotiating from Mars to Venus: Gender in Simulated International Negotiations.” Simulation & Gaming 34:2 (Juni 2003). Solomon, Christiana. The Mano River Union Sub-region: The Role of Women in Building Peace. Scharpf, FW. “Economic Integration, Democracy, and The Welfare State”, Journal of European Public Policy 4:1. Scholte, Jan Aart. Global Civil Society: Changing The World? Coventry: University of Warwick, 1999. Selimovic, Johanna Mannergren, Åsa Nyquist Brandt, dan Agneta Söderberg Jacobson. Equal Power-Lasting Peace Obstacles for Women’s Participation in Peace Processes. Johanneshov: The Kvinna till Kvinna Foundation, t.t. Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: UNPAR Press, 2006. The Journal of Humanitarian Assistance. ECOWAS and the Subregional Peacekeeping in Liberia. http://sites.tufts.edu/jha/archives/66 (diakses pada 3 Oktober 2013). Vakil. “NGO Accountability: Politics, Principles, and Innovation.” diedit oleh Lisa Jordan dan Peter Van Tuijl. London: Earthscan, 2006. Zanker, Franzisca. Legitimate Representation in Mediation Processes: Civil Society Involvement in Liberia and Kenya. University of Pretoria, 2013. Artikel dan Media Massa Online: Africa Recovery Magazine. 2003 Anon. “Tackling Liberia: The Eye Of The Regional Storm.” International Crisis Group Africa Report No62 (April 2003). http://www.crisisgroup.org/en/regions/africa/west-africa/liberia/ 062-tackling-liberia-the-eye-of-the-regional-storm.aspx (diakses pada 3 Oktober 2013). BlackPast.org. The Mano River Women’s Peace Network (2001-). http://www.blackpast.org/gah/mano-river-women-s-peacenetwork-2001 (diakses pada 5 Oktober 2013). Chatham House. Chatham House Rule. http://www.chathamhouse.org/aboutus/chathamhouserule (diakses pada 7 Oktober 2013). CPA. Comprehensive Peace Agreement between the Government of Liberia and the Liberians United for Reconciliation and Democracy (LURD) and the Movement for Democracy in Liberia (Model) and Political Parties Accra 18th August, 2003. http://www.usip.org/library/pa/liberia/liberia_08182003_cpa.html (diakses pada 23 November 2013).
292
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1
Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil
Drucker, Peter. “Peter Drucker on Strategic Planning.” http://scienceofstrategy.org/main/content/peter-drucker-strategicplanning (diakses pada 30 Desember 2013). Dupuy, Kendra dan Julian Detzel. “Appeasing the Warlords: Powersharing Agreements in Liberia.” http://nwww.prio.no./cscw (diakses pada 25 November 2013). FAO Corporate Document Repository. The Gender Perspective. http://www.fao.org/docrep/003/x2919e/x2919e04.htm (diakses pada 30 Desember 2013). Global Connections. The Lone Star: Story of Liberia. http://www.pbs.org/wgbh/globalconnections/liberia/essays/history / (diakses pada 9 Desember 2013). GlobalSecurity.org.Liberia-First Civil War-1989-1996. http://www.globalsecurity.org/military/world/war/liberia-1989.htm (diakses pada 3 Oktober 2013) _____. Liberia-Second Civil War-1997-2003. http://www.global security.org/military/world/war/liberia-1997.htm (diakses pada 3 Oktober 2013). Humanitarian News and Analysis. SIERRA LEONE: UN panel names Liberia as aiding RUF. http://www.irinnews.org/report/641/sierraleone-un-panel-names-liberia-as-aiding-ruf (diakses 3 Oktober 2013). IRIN Africa Humanitarian News and Analysis. Liberia: Government and Rebels Sign Peace Agreement. http://www.irinnews.org/report /45568/liberia government-and-rebels-sign-peace-agreement (diakses pada 5 Desember 2013). Mano River Women’s Peace Network. Activities. http://marwopnet.org /composition_en.htm (diakses pada 1 November 2013). _____.Composition. http://www.marwopnet.org/news.htm (diakses pada 5 Oktober 2013). _____.Historique. http://www.marwopnet.org/news.htm (diakses pada 5 Oktober 2013. _____.Liberia Country Report. http://www.marwopnet.org/news.htm (diakses pada 5 Oktober 2013). Notter, James dan John McDonald. “Track Two Diplomacy: Nongovernmental Strategies For Peace-Institute For Multi-Track Diplomacy.” http://www.arupa.or.id/ download/ 43.htm (diakses pada 7 Oktober 2013). Oxford Dictionaries. Definition of civil war. http://oxforddictionaries.com/definition/english/civilwar?q=civil+war (diakses pada 3 Oktober 2013). Peace Accords Matrix. “Liberia Accra Peace Agreement.” https://peaceaccords.nd.edu/ matrix/accord/58 (diakses pada 5 Desember 2013). Reliefweb. Sierra Leone to hold ceremonial arms burning ceremony. http://reliefweb.int/report/sierra-leone/sierra-leone-hold-
Jurnal Analisis HI, Maret 2014
293
Keiza Ayu Vriscilasari
ceremonial-arms-burning ceremony, 2002 (diakses pada 2 November 2013). Roach, Roz. “Liberia: Prevalence of Rape Resides in Liberia.” http://allafrica.com/stories/201311261547.html (diakses pada 9 Desember 2013). Taylor, Diane. “Black Diamond: a female victim of Charles Taylor's crimes speaks out.” http://www.theguardian.com/lifeandstyle/2012/may/28/femalevictim-charles-taylor-speaks (diakses pada 20 November 2013). The International Fund for Agricultural Development (IFAD). The Importance of a Gender. http://www.ifad.org/pub/gender/m2.pdf (diakses pada 30 Desember 2013). Truth and Reconciliation Commission of Liberia. Doe Was Captured in the Presence of Gen. http://trcofliberia.org/press_releases/186 (diakses pada 3 Oktober 2013).
294
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1