PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM Muh. Fajar Shodiq, M.Ag.1 Staf Pengajar IAIN Surakarta ABSTRAK Dalam kenyataannya, kehidupan manusia tidak pernah lepas dan selalu dihiasi oleh tragedy dan peperangan yang tidak berkesudahan. Dimulai dari dua anak anak Qabil dan Habil yang bertikai akhirnya ada yang binasa sampai pada zaman IT (Informasi Tekhnologi) ini, perang, tindak kekerasan, kekejaman sepertinya tak berkesudahan dan sudah merupakan bagian integral dari manusia. Al Qur’an pun mengakui memang pertentangan diantara manusia itu sendiri yang memungkinkan terjadinya peperangan, kekerasan bahkan kekejaman merupakan hal yang tak bisa dihindarkan, karena pada dasarnya Allah menciptakan kencenderungan sama antara kebaikan dan kejahatan (al Qur’an[91];8-9), adanya syaitan yang dengan segala upayanya membujuk manusia agar melakukan kejahatan (Al Qur’an[7]:17), hingga peperangan merupakan realitas yang sangat mungkin terjadi sampai bumi kiamat. Hingga bisa disimpulkan secara apriori bahwa utopia belaka jika bermimpi adanya dunia yang bebas dari segala kejahatan tanpa tragedi dan pertumpahan darah2. Namun bukan berarti ada pembiaran perang terjadi tanpa aturan-aturan yang diatur secara terperinci, karena yang akan terjadi perang bukan lagi menjadi ajang pertahanan diri, namun menjadi ajang pembunuhan secara besar-besaran tanpa memperhatikan lagi hak asasi manusia. Lalu, bagaimana dengan Islam apakah agama ini mendukung adanya perang daripada perdamaian dan apakah Jihad sebagai satu-satunya jalan untuk penegakan atas nama agama, dan apakah dalam Islam adanya satu aturan baku, etika sebelum melakukan peperangan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Perang dalam Islam Syeh Ammer Ali, menegaskan jika melindungi negara bagi setiap warganegara merupakan kewajiban dengan alasan utama adalah menahan dari serangan musuh yang berbuat zhalim tidak adil dan merusak perdamaian. Alasan ini menegaskan jika Islam tak menyukai pertumpahan darah dan selesaikan permasalahan dengan pedang, karena pengislaman dengan pedang sama sekali bertentangan dengan naluri Nabi Muhammad saw3. Satu ayat yang berkaitan dengan ini terlihat dari surat An Nisa ayat 75 yang artinya: 1 Dosen Study Islam, IAIN Surakarta 2 Deny JA, Agama dan kekerasan (Jakarta, Kelompok Study Proklamasim 1983),hlm. 265 3 Syed Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta:PT Pembangunan, 1967), hlm.78
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!.” Menahan diri sambil mencari kekuatan baik dari Allah maupun bertambahnya kaum, merupakan salah satu prinsip yang dipegang Nabi Muhammad saat beliau mendapat tekanan secara bertubi-tubi dari kaum musyirikin secara hebat dan menyakitkan. Bahkan beliau menambah ketabahan dan kesabaran saat Allah belum memberi abaaba untuk melakukan pembalasan, alias melakukan peperangan dengan alasan penegakan agama dari tekanan dan hinaan dari 1439
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
kaum musyrikin, dan memilih menghindar ke kota Madinah yang berjarak 500 Km. Keterpaksaan mengangkat senjata dan lebih suka dengan cara-cara damai di perlihatkan saat Rasulullah selalu mengedepankan perjanjian damai terlebih dahulu, jika itu memungkinkan. Hal ini terlihat dari surat An Nissa’ ayat 90: “Jika musuh ingin berdamai memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka. ” Berbeda dengan Islam, bangsa-bangsa lain di dunia banyak melakukan peperangan dengan alasan utama invansi untuk menguasai territorial, namun dibungkus dengan alasan yang sah dan menyakinkan hingga seolah-olah perang itu memang harus terjadi. Toynbee, Sororkin mensinyalir keecenderungan sifat materialistis yang melekat dalam peperangan. Mereka mengatakan saat ada konlik internasional dan ambisi menaklukan yang mendominasi, maka perbuatan-perbuatan destruktif ini tak akan berkurang selama masyarakat masih tidak beranjak dari kebendaan4. Konsepsi perang menurut hukum internasional menurut G.P.H Djatikusumo adalah keadaan legal yang memungkin dua orang atau lebih yang sederajat mengadakan persengketaan bersenjata5, namun kadang mereka lupa seringkali perang dijalankan oleh kedua belah pihak dengan tujuan-tujuan 4 Charles A McCellanad, Ilmu Hubungan Internasional, Teori dan Sistem, Cet.I (Jakarta:CV Rajawali, 1981), hlm.58 5 Sedang menurut Francois, perang menurutnya harus memenuhi syarat salah satu pihak harus menyatakan keadaan perang (Dalam bukunya Djatikusumo, Hukum Internasional bagian Perang, halaman 12)
1440
politik saja, mereka mencampuradukan kemungkinan-kemungkinan sebab-sebab 6 perang dengan konsepsi perang . Lalu, perang dalam Islam itu terjadi samakah dengan tujuan perang yang sering terjadi pada Negara-negara lain didunia? Perang dalam Islam ternyata dimulai dengan syarat-syarat ketat, tujuan utamanya adalah menghilangkan ketidak adilan. Izin mengusung kekuatan senjata diperbolehkan namun dengan syarat ketat dan dibatasi. Perang harus diumumkan sebagai sarana mempertahankan diri. Bahkan permusuhanpun harus dilakukan menurut perintah Allah dan tidak diizinkan melakukan agresi, seperti tertuang dalam Al Baqarah ayat 190. Memang ada tuduhan jika semangat perang dunia Kristen pada abad pertengahan menyala akibat agresifnya Islam, padahal pembunuhan-pembunuhan oleh Yustianus dan peprangan yang dahsyat oleh Clavius yang beragama Kristen terjadi jauh sebelum zaman Rasulullah7. Islam dan Jihad adalah dua kata yang seringkali tak bisa dipisahkan. Dan perang dalam Islam selalu dimaknai dalam konteks perang suci dalam membela agama, dan jihad memang tak sellau diidentikan dengan perang. Maulana Muhammad Ali menegaskan, pelurusan pengertian jihad dan perang ini memang harus dilakukan karena ini merupakan persoalan mendasar, agar tak ada lagi adanya perembetan pengertian jika Islam itu disebarkan dengan pedang.8Ibnu Hazm menyatakan Rasulullah lebih menyukai berjihad dengan menggunakan akal sehat dari pada menggunakan pedang. Perang dalam Islam seringkali diidentikan dengan istilah Jihad, seperti 6 Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Perang, (Jakarta: CV Pemandangan, 1956), hlm. 12 7 Syed Ameer Ali, Api Islam, halaman 85 8 Marcel A Boisard, Humanisme dalam Islam, halaman 257
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
dalam sabda nabi Muhammad saw: Dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: “Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu.” Riwayat Ahmad dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.
material, teknologi dan kelembagaan11. Bisa pula seperti diungkapkan ahli hukum yang menyebutkan adanya empat jalan yang dapat ditempeuh Oleh Islam dalam melakukan jihad yakni dengan hati, lidah, tangan dan pedang.
Secara umum jihad artinya berjuang secara sungguh-sungguh dijalan Allah dengan seluruh kemampuan baik dengan tenaga, kekayaan dan bisa dengan lisan, dan ini ditujukan terutama membela kaum lemah dan tertidas. Ada beberapa pendapat diantaranya mazhab Hanai dalam kitab Badaa’I dan asShanaa’I jika secara literal arti jihad adalah pengerahan seluruh kemampuan, dan jika dilongok menurut syari’at jihad bermakna pengerahan segenap kemampuan dan tenaga dalam rangka berperang dijalan Allah dengan menggunakan jiwa, harta, lisan dan dengan lainnya9
Namun jika kita membahas Jihad dalam arti perang mengangkat senjata, maka upaya mempertahankan agama, kedaulatan Negara dari kezaliman musuh adalah yang utama dan jauh dari ketamakan inginkan agresi wilayah dengan niatan kebendaan semata, dan diniatkan karena Allah semata, dan jika bukan karena itu motivasinya maka perang dalam Islam bukanlah merupakan jihad lagi.
Berbeda dengan Hanai, mazhab Hanbali berpendapat dalam kitab Mughniy karya Ibn Qudaamah, jika makna jihad hanya berkutat pada masalah peperangan, bukan lainnya hal ini tertuang dalam juz X halaman 30-38. Meski demikian hampir semua ulama sepakat jika Islam tak mengajarkan pada umatnya peperangan, kecuali hanya bentuk penjagaan diri dari serangan dari luar dari penistaan agama. Jihad memainkan peranan penting dalam pertahankan ideology Islam dan Al Qur’an telah berikan penekanan yang besar pada keutamaan konsep ini jika semua usaha hanya semata-mata karena Allah, tidak boleh ada unsur lainnya, sekecil apapun yang melekat pada usaha ini berbau pengkultusan pribadi, kemegahan atau keuntungan pribadi semata10.
Ada hal yang sangat signiikan dalam Islam saat akan memulai perang, dan ini yang membedakan dengan kelompok manapun, yakni perintah bersabar dalam menghadapi tekanan. Dan ini sangat luarbiasa, bagaimana mungkin pada suatu situasi kritis dan mendesak, perintah utama sebelum dilakukan ‘pembalasan’ adalah bersabar? Djalaluddin Tholib Datoek menyebutkan tidak kurang dari 70 ayat yang diturunkan mengenai anjuran untuk bersabar, menahan diri dalam menghadapi berbagai tekanan. Sabar dalam arti bertahan menghadapi prorvokasi, dan itulah manifestasi jihad ketika itu12. Namun Mahmud ibn Umar Zamahsyarriy mengungkapkan jika anjuran bersabar kala itu karena memang belum ada perintah untuk memerangi mereka13. Keizinan melakukan perang setelah ancaman perang telah menjadi nyata. Izin ini bukan merupakan seruan. Etika awal perang ini begitu penting bagi terbentuknya etika perang lainnya dalam Islam.
Bahkan Dawam rahardjo lebih luas seperti upaya mobilisasi sumber daya, baik 9 Al-Kasaani, Op. Cit., juz VII, hal. 97. 10 Ash Shan’aniy, Subulus Salam, (Indonesia:Maktabah ad Dahlan, tt), hlm 41
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
11 M Dawam Rahardjo, Ulumul Jihad, hlm 58 12 Dawam Raharadjo, Ulumul Jihad, hlm.39 13 Mahmud Ibn Umar Zamahsyarriy, Al Kasyaf ‘an Khaqoiqi Qawamidhi Tanazil, Juz III, cet I (mesir:Mathba’atl Istiqomatil Qohi
1441
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
Etika Perang Dalam Islam Perang yang pecah pada masa lalu dan kini hampir sama polanya. Banyak yang tidak memperhatikan etika dalam berperang. Walaupun alih-alih ingin membantu satu Negara yang tengah diagresi Negara lain sekalipun, mereka tetap saja banyak yang menggunakan perlengkapan perang dari yang konvensional sampai yang termodern, bahkan senjata kimia, bom atom dan nuklirpun ikut dipersiapkan. Bisa dibayangkan kerusakan yang terjadi bukan hanya bangunan-bangunan strategis pemerintahan dan militer, namun juga tak terlindunginya anak-anak, wanita, dan orangtua yang tidak ikut berperang. Secara nyata bisa kita lihat di Negara berperang manapun diseluruh dunia fenomena macam ini. Sedang jika kita melongok Islam, akan terlihat perbedaan yang cukup signiikan. Etika perang (Qital) terdapat secara tersurat dan sersirat dalam Al Baqarah ayat 190, 191 dan 244. Dan semuanya bermuara pada izin berperang, dan isyarat dibolehkannya peperangan itu terdapat dalam surat Al Hajj(22) ayat 39 yang intinya izin berperang itu diberikan kepada orang-orang yang tengah diperangi (atau ada rencana besar tentang peperangan itu) dan mereka telah teraniaya. Ancaman perang yang telah jadi nyata menjadi titik tolak diizinkannya perang. Izin ini bukan merupakan seruan. Jika perang yang dilakukan secara serentak tanpa didahului adanya kesamaan komando dari kedua belah pihak serta adanya pemberitahuan adanya peperangan, maka hal ini tidak diperkenankan14. Pengumuman berperang pada hukum internasional terdapat dalam Principle of Declaration sepereti yang tercantum dalam konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai tatacara pengumuman perang. Pengumuman 14 Ali Musytasyar Ali Mansur, As Syari’ah Al Islamiyah, hlm, 297
1442
perang ini menurut L. Amin Widodo15 mempunyai akibat-akibat mengenai hak-hak dan kewajiban antara Negara yang berperang, yakni: 1. Hak-hak dan kewajiban Negara-negara yang terlihat dalam perang itu. 2. Hak dan kewajiban antara Negara-negara ini dengan Negara-negara yang bersifat netral, termasuk bagi Negara yang terjauh letaknya dari perang itu. Islam sangat memandang ultimatum perang ini merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena bisa dipahami perang terjadi mempunyai dampak luas dan strategis terutama tentang pengerusakan, baik harta, lingkungan, komunitas, kekayaan alam sampai dengan jiwa manusia. Untuk itu ulama iqih menekankan persoalan waktu yang diberikan pada pihak lawan untuk berpikir dan berunding sesudah ultimatum yang dikirim hendaknya cukup diketahui oleh seluruh rakyat didaerahnya16. Dan untuk sekarang ini, pengumuman atau ultimatum perang yang tersampaikan pada rakyat lebih mudah dari pada masa lalu, karena ada kemudahan dibidang teknologi dan informasi, hingga kesiapan penduduk untuk menata diri dan hati menghadapi peperangan dirasa cukup. Jika Jihad telah dinyatakan, maka dipastikan timbullah keadaan perang menurut hukum yang berlaku pada masyarakat Islam, dan kewajiban Khalifah untuk menghidupkan dan menggerakan jihad itu sudah jatuh dan selalu mengingatkan akan kewajiban berjihad untuk seluruh muslimin untuk penuhi panggilan itu17 . Dalam hal ini muslim sehat badan dan akal, kuat dan telah baligh dan bukan orang yang telah renta wajib menjawab panggilan Jihad karena Allah. 15 L.Amin Widodo, Siasah Syari’ah, hlm 53 16 Abdurahman Azzam Pasha, Konsepsi Perdamaian, hlm 169 17 Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam (Jakarta, Jaya Sakti, 1961), hlm 75
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
Ibnu hajar Al Asqolani dalam Fathul Barie mengatakan jika saat zaman Rasulullah hukum perang merupakan fardhu ‘ain. Bahkan saat perang sudah mulai menyerbu atau menghalau orang-orang muslim ditempat mereka tinggal, maka setelah kepala Negara mengumumkan darurat perang maka perang menjadi sifatnya totalitas, dimana semua elemen penduduk disuatu negeri wajib mengangkat senjata18. Kapan genderang perang yang ditabuh itu dimulai? Jika cirri-ciri adanya perang secara pasti sudah bisa dideteksi, seperti ada orang yang berindikasi atur strategi, persiapan perencanaan perang atau malah benar-benar sudah melakukan agresi. Kata Qital berasal dari kata kerja Mudhari yang berarti untuk sekarang dan akan datang terdapat dalam kalimat ‘fuqatilunakum’ atau mereka yang memerangi kamu. Dalam hal ini berisi tuntutan untuk tidak hanya berdiam diri atau berpangkutangan dalam menghadapi agresi musuh yang telah mengganggu ketentraman wilayah Islam. Isyarat perang ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang memerangi, hingga bisa dikatakan jika musuh itu wanita, anakanak atau orang yang telah renta, maka ada larangan mereka itu untuk diperangi. Hal ini berlaku pula bagi musuh yang telah menyerah, mengibarkan bendera putih tanda tidak mau melanjutkan peperangan kembali, maka mereka ini wajib dilindungi dari kerusakan perang, jiwa dan hartanya. Dari sini saja sungguh sudah terlihat keagungan Islam dalam perlakuan disaat perang. Etika perang dalam Islam yang sangat menonjol adalah saat sarana umum dilarang untuk dirusak atau dibumi hanguskan seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, rumahrumah penduduk, merusak lingkungan hidup dan kekayaan alam, seperti memotong ranting 18 L Amin Widodo, Siasah Syari’ah, hlm 54
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
dan pohon kurma, itu sangat dilarang keras dalam Islam19 Rasulullah bersabda:”Pergilah, Orang yang kufur kepada Allah, dan janganlah kalian berbuat khianat, dan mencuri harta rampasan (sebelum dibagi). Janganlah membunuh anak-anak, wanita dan para lanjut usia dan orang yang menyerah. Dan dilarang untuk memotong pohon kurma dan lainnya..” Banyak kalangan Barat menganggap Islam sangat gemar perang dan suka selesaikan masalah dengan pedang, perlu dikaji ulang. Banyak ayat-ayat Al Qur’an juga Hadist Nabi Muhammad SAW. membuktikan jika Islam sangat berhati-hati untuk melakukan peperangan, setelah beberapa persyaratan jatuhnya perang terpenuhi. Wacana perang yang terdapat dalam Qur’an dan Hadist ternyata banyak dibicarakan dengan bahasa yang halus, indah dan implicit. Bahkan pembicaraan mengenai hal ini selalu dikaitkan dengan persoalan lain20. Ini membuktikan jika perang dalam Islam tidak menempati porsi yang utama dalam pembinaan akhlak muslim maupun kehidupan sehari-hari. Dalam ayat 190 surat Al Baqarah dinyatakan jika perang itu bukan merupakan sarana pelampiasan hawa nafsu dengan tujuan mengalirkan darah, namun secara ketat disebutkan sudah ada tanda-tanda niatan dari musuh untuk melancarkan agresi, jadi Islam bersifat difensiv, bertahan sebisanya sebelum mengumumkan perang benar-benar menjadi pecah, dan itupun para prajurit Islam dilarang melampoi batas. M. Abduh menjelaskan makna “tak melampui batas”, tentu sesuai dengan prinsip etika perang dalam Islam seperti, pengumuman perang terlebih dahulu sebelum
19 Al Mubarakfury Syaik Shaiyyurahman, Perjalanan hidup Rasul dari kelahiran hingga detik-detik kematian, (Jakarta: darulhajj:2005) hlm.533 20 Aisyah Abdurrahman, Taafsir Bintusy Syati, terj. Mudzakir Abdus Salam, (Bandung, Mizan 1996), hlm 19
1443
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
perang terjadi, tidak menyerang orang-orang yang tidak memerangi kamu, seperti wanita, anak-anak, orang tua dan musuh yang menyatakan telah menyerah. Juga melindungi tempat-tempat umum, rumah sakit, gedung sekolah, tempat ibadah dan lain sebagainya21. Etika lainnya yang perlu dicermati dalam perang islam adalah penegasan deinisi siapakah musuh itu, menetapkan formalitas yang dilakukan sebelum perang dimulai, menetapkan perlakuan yang kalah baik prajurit dan pihak sipil sampai mengatur jarahan perang (ghanimah). Hal seperti ini sangat terperinci terpikirkan dalam Islam, agar segala sesuatu sesuai dengan akidah Islam maupun proses keadilan, hingga tidak terjadi perselisihan. Abu Zahroh mengatakan jika etika perang dalam Islam juga ditambahi dengan penekanan budi baik (Fadhilah). Meski Al Qur’an membolehkan melakukan pembalasan serangan dengan hal yang sama, namun jika musuh melanggar ketentuan hak azasi manusia, kehormatan manusia, maka prajurit Islam tidak diperkenankana membalasnya dengan hal yang sama, Karena itu akan merusak budi baik. Semisal musuh memperkosa, membunuh anak-anak dan wanita, janganlah berbuat sama. Juga saat musuh membuat lapar dan haus para tawanan atau mencencang-cencang kaum muslim, janganlah berbuat kebiadaban serupa.22 Hal ini menunjukkan betapa beda pesan Islam dengan perlakuan tentara lain, semisal Romawi dan Persia dalam perlakuan musuh-musuhnya. Seperti banyak melakukan pembunuhan, penghancuran dan pemusnahan sesama mereka23. Dalam menentukan perlindungan terhadap penduduk sipil diwaktu perang, 21 Muhammad Rasyid Ridha, Al Qur’an al Hadis al Syahr bi Tafsir al Manar Juz II, Kairo Dar al manaar, 1959 hlm. 207-209 22 M. Abu Zahroh, Hubungan-hubungan Internasional, hlm.33 23 Enan, Detik-detik Menentukan Dalam Sejarah Islam, (Surabaya:Bina Ilmu, 1983), hlm.32
1444
Islam memiliki ciri khas yang tidak melakukan perbedaan secara signiikan antara warganegara, dengan orang lain, atau penduduk yang beragam Islam dengan yang non Islam. Perlindungan terhadap keselamatan dan hartanya, hak-hak asasi, dilarang menyerobot dan mengurangi hakhak mereka, bahkan berupaya melindungi isik dan psikis dalam jangka waktu yang panjang. Intruksi Abu Bakar sebelum melakukan peperangan yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah dan ayat-ayat Al Qur’an perlu dicermati sebagai pokok etika perang dalam Islam: “Ingatlah bahwa kamu selalu dibawah pandangan Tuhanmu dan selalu menghadapi mati, dan kamua kan bertanggungjawab pada hari kiamat. Jika perang untuk kejayaan Tuhan hedaklah kamu bersikap layaknya lelaki.: janganlah melarikan diri, janganlah sampai darah wanita, anak-anaka dan orangtua menglair dan menodai kemenanganmu. Janganlah sampai merusak pohon korma, buah-buahan, janganlaah membunuh binatang kecuali untuk dimakan..”24 Larangan dalam perang juga berarti adanya perlindungan terhadap hak-hak kemanusiaan. Islam melarang saat perang untuk merusak tanpa faedah dengan memakai senjata atau tidak, seperti meracuni sumbersumber air, merusak ladng-ladang penduduk, memblokir bantuan makanan yang nantinya akan mengenai penduduk sipil yang tidak ikut berperang. Padahal yang terjadi pada perang modern, maupun perang secara tradisional melakukan hal tersebut dianggap sebagai salah satu strategi perang yang pada pokoknya tujuan utama mengalahkan musuh dengan segala cara. 24 Marcel A Boisard, Humanism Dalam Islam, hlm 291
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
Perlindungan Penduduk Sipil saat Perang pada Etika Perang Islam Etika berperang dalam Islam juga yang menonjol adalah perlindungan penduduk sipilnya. Dan dalam hukum konvensi Jenewa tahun 1949 dalam seksi I dari pasal 27 sampai 34 yang termaktub dalam perlindungan sipil dalam waktu perang memuat pasal-pasal penduduk yang dilindungi dalam 3 hak dalam pasal 27 yakni: 1. Penghormatan atas pribadi, martabat, hak-ahak kekeluargaan, keyakinan dan praktek keagamaan, adat istiadat serta kebiasaan penduduk sipil, termasuk penghormatan atas pribadi, martabat dan hak-hak keluarga, juga terhadap wanita terutama pada perkosaan, pelacuran yang dipaksakan atau setiap serangan yang melanggar susila. 2. Perlakuan yang berperikemanusiaan tanpa membedakan berdasarkan ras, agama atau paham politik dan tidak membuat derita jasmaniah atau melakukan pemusnahan. 3. Perlindungan terhadap segala perbuatan kekerasan atau ancaman, kekerasan, penghinaan dan pempertontonkan orang yang dilindungi.25 Sedang pasal 28 menyatakan larangan menggunakan orang yang dilindungi sebagai sasaran militer, dan pasal 29 menyebutkan pihak-pihak yang bertikai bertanggungjawab atas keselamatan orang-orang yang 26 dilindungi . Dan pasal-pasal selanjutnya 31-34 intinya tidak boleh melakukan paksaan isik, moral, tindakan apapun yang menimbulkan penderitaan jasmani atau pemusnahan orangorang yang dilindungi. Larangan menghukum orang dilindungi dengan kesalahan yang tidak F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil diwaktu perang, hlm.65 26 Mochtar Kusumaatmaja, Konvensi-konvensi Jenewa Tahun 1949, hlm 83
diperbuatnya, human kolektif, intimidasi perbuatan terorisme, perampokan juga dilarang, tindakan pembalasanpun terhadap orang dan harta yang dilindungi juga dilarang. Bahkan ketidak bolehan juga menangkap orang-orang yang dijadikan sandera atau tanggungan.27 Apa yang disajikan oleh Konvensi Jenewa ini sebenarnya sudah sejalan dengan hukum Islam. Malah mempunyai nilai yang lebih, karena yang ikut merancang ayat-ayat perlindungan Sipil diwaktu perang itu adalah Rasulullah, dan tentu saja menurut petunjuk dari Allah SWT yang tertera dalam surat Al Hajj dan Al Baqarah diatas. Perlindungan penduduk sipil diwaktu perang yang merupakan bagian dari etika perang dalam Islam dapat dilihat dari konsep belas kasihan (magnanimite) yang terdapat dalam tiga konsep hubungan Islam dengan pihak luar, yang dua lagi lainnya yakni taqwa (piete) dan siap perang (combativite). Boisard menyitir jika belas kasihan dalam Islam mempunyai sifat kolektif dan individual, namun lebih bersifat positif daripada pasif. Belas kasihan yang bersifat kemasyarakatan, bukan hanya pada orang seorang namun pada keloempok dan khusunya yang praktekan keadilan28. Belas kasihan dalam Islam bukan muncul sejak pra Islam. Bahkan Islam datang mengganti pola pikir dan prilaku yang penuh kanibalisme, radikalisme dan jauh dari menghormati hak-hak asasi manusia saat masa jahiliyah. Penggantian perilaku ini bukan secara evolusi namun secara revolusi, yang memang harus dilakukan. Meski ada gejolak, namun akhirnya kebenaran Islamlah yang menang, dan dapat diterima oleh sebagian besar seluruh penduduk Arab.
25
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
27 Ibid, hlm 84-232 28 Marcel A BOisard, Humanisme dalam Islam, halaman. 272
1445
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
Banyak ayat al Qur’an dan Hadis yang menyebutkan jika jiwa manusia itu adalah suci, maka mengambil jiwa manusia tanpa sebab yang adil dan sah karena itu merupakan dosa besar dan Islam sangat menghargai nyawa manusia, hingga Islam memang benar-benar mempertahankan kehidupan yang damai bagi umat manusia29. Jaminan keselamatan dalam perang tersurat dalam surat Al Baqarah ayat 190 yang menyatakan: “perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu namun janganlah melampoi batas..” mengandung isyarat jika yang tidak terlibat dalam peperangan dijamin dalam setiap tindak kekerasan. Kalimat tidak melampui batas, sangat special; karena mengandung arti dalam keadaan darurat, kacau balau, penuh luapan emosi peperangan, harus menahan diri untuk tetap menjaga martabat kemanusiaan untuk tidak berbuat melampui batas.
senjata nuklir atau kimia karena hal tersebut: 1. Memusnahkan seluruh koloni, komunitas atau lingkungan hidup secara keseluruhan. 2. Memusnahkan seluruh penduduk yang berperang 3. Atau memusnahkan anak-anak, wanita dan orang tua yang tidak mempunyai peran dalam peperangan30.
Perlindungan terhadap anak-anak, wanita dan orangtua yang tak terlibat peperangan juga secara jelas tergambar di dalam hadis yang intinya tidak perlu ikutikutan musuh yang melanggar budi baik, memperkosa kaum wanita atau membunuhi kaum wanita dan anak-anak. Sungguh luarbiasa perlindungan penduduk sipil yang ditujukan Islam.
Awal makna Jihad dalam Islam selalu konteks dalam penggunaan pedang, dimulai dari pernyataan kaisar Bizantium Manuel II Paleologus yang memaknai kata Jihad identik dengan penggunaan pedang, yang notabene punya konotasi negative jika perkembangan Islam kepada pemeluknya dengan unsure kekerasan atau pemaksaan kehendak dari satu pihak ke pihak lain.
Marcel A Boisard bahkan menyebutkan melarang anak-anak dan kaum wanita sebagai perisai peperangan, bahkan jika musuh melakukan itu, tentara muslimin dilarang untuk menyerang perisai anakanak dan wanita itu, membakar ataupun menenggelamkannya. Merusak jiwa orangorang yang dilindungi maupun lingkungan alam adalah hal-hal yang sangat dibenci oleh Allah.
Pendapat terlalu sempit itu yang menyatakan jihad sebagai perang secara isik (qathl atau harb) dan terkontaminasi pada pemikiran orang secara permanen adalah hal yang keliru, Jihad secara hariah dinyatakan berusaha atau bersungguh-sungguh jika dipahami secara luas akan membangkitkan semangat juang umat dalam mengusahakan sesuatu.
Dan ada 3 hal Islam sangat keras melarang dan mengharamkan penggunaaan 29 Alfazur Rahman, Nabi Muhammad sebagai Pemimpin Militer, hlm 15
1446
Islam juga sangat menjaga harta penduduk sipil diwaktu perang. Mutasyar Ali mengatakan jika Islam berupaya senantiasa menjaga harta kekayan didaerah peperangan (daerah musuh) tidak menghancurkan tempat peribadatan, binatang ternak, pertanian atau bentuk kekayaan lain sebagai sarana kemakmuran rakyat dan kelangsungan hidup31 Prespektif Jihad dalam Kebodohan dan Kemiskinan
melawan
Prespektif jihad dalam melawan kebodohan dan kemiskinan untuk dewasa 30 Abu Zahrah, Hubungan-hubungan Internasional dalam Islam, hlm 30 31 Mutasyar Ali Mansyur, Asy Syari’ah Al Islamiyah, hlm 313.
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
ini adalah hal paling logis dan mendesak untuk dilakukan, apalagi jihad dengan mengangkat senjata dewasa ini di negeri kita sudah tidak ada lagi. Negara dalam keadaan aman damai dari serangan musuh yang ingin memprovokasi. Menurut Hasyim Muzadi problem menangani dan melawan kebodohan dan kemiskinan adalah hal teramat riil yang dihadapi umat pada Negara berkembang ini. Ketimpangan antara miskin dan kaya yang menjadikan masalah social seperti perampokan, kejahatan dengan ingin menguasai harta, dan masih banyak masalah social lainnya. Kemiskinan rakyat yang berawal dari kebodohan tidak semata kesalahan dari rakyat semata, sejatinya Negara dan berikut sistemnya dan diperparah oleh oknumoknum yang turut memanfaatkan kesempatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa pedulikan nasib rakyat kecil disinyalir sebagai bidang keladinya seperti kebocoran anggaran dan mark up project ekonomi, dan kondisi yang diperparah oleh kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada rakyat kecil membuat mereka semakin tidak berdaya dalam akses ekonomi dan pendidikan. Dalam meminimialisasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sebenarnya tidaka terpisah dari jihad. Meski tanggungjawab utama terletak kepada pemerintah, namun partisipasi masyarakat dengan mengerahkan segala kreatiitasnya dan usaha untuk berkelit dengan kebodohan dan kemiskinan bukan merupakan keniscayaan. Bahu membahu bisa dilakukan oleh semua pihak yang berkompeten. Menciptakan lapangan usaha, tanpa menunggu turun tangan pemerintah secara riil dan mengusahakan pendidikan yang murah dengan sistem anak asuh, memberikan susmbangan pendidikan kepada anak-anak kurang mampu dan GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014
berprestasi adalah wujud nyata perjuangan jihad pada saat ini. Jihad dalam prespektif Islam dalam arti luas ini memang bukan semata perang dalam pengertian ansich, melainkan sebuah usaha sungguh-sungguh dalam meningkatkan taraf hidupdan kemakmuran umat Islam secara lebih luas dan merata. Hingga tercipta suatu masyarakat Islam yang berharkat dan martabat tinggi sejajar dengan umat lainnya bukan sebagai umat yang dipandang sebelah mata karena bodoh secara pemikiran dan miskin secara ekonomi yang pada akhirnya akan meruntuhkan mental umat Islam dimasa datang. Oleh karenanya pencari ilmu dalam konteks Islam memiliki posisi yang strategis, karena seperti diketahui para pencari ilmu dalam Islam dihargai beberapa derajat lebih tinggi daripada yang tidak berilmu dan hadist nabi Muhammad SAW yang menyebutkan untuk mencari ilmu walau sampai negeri China sekalipun, mempunyai sinyalemen jika pada dasarnya orang berilmu, bijak, jujur, dan kreatif pada dasarnya akan dimudahkan untuk menggapai taraf kesejahteraan. Dan Hal ini membuktikan jika Islam sangat menghargai kualitas kehidupan umat, termasuk tersedianya sumber daya manusia unggul dan kompetitif yang semata-mata tidak diperjuangkan dengan pedang. Penutup Kesimpulan dari pembahasan ini adalah jika tinjauan iqih siyasah mengenai perlindungan pada penduduk sipil juga etika pada saat perang ternyata sangat diperhatikan dalam Islam jauh sebelum Konvensi jenewa ke IV tentang perlindungan penduduk sipil diwaktu perang tahun 1949. Yang mana pada konvensi ini tertulis secara rinci perpasalpasal mengenai apa yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai pada saat perang 1447
PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DAN ETIKA PERANG DALAM ISLAM
yang berhubungan dengan perlindungan penduduk sipilnya. Meski tak secara khusus termuat dalam sebuah peraturan, namun ayat-ayatNya tersebar secara nyata dan gamblang juga tersirat mengenai apa-apa yang harus dilakukan oleh para prajurit dalam melindungi penduduk sipilnya diwaktu perang, dan dilengkapi pula dengan hadist-hadist Nabi SAW yang mengenapi peraturan Allah ini. Islam terbukti melakukan perlindungan secara menyeluruh pada semua pihak yang harus dilindungi dan tak mempunyai peran dalam pertempuran.
Dan sekaligus menjadi pembuktian pada dunia jika Islam tidak suka menyelesaikan masalah hanya melalui pedang, agama yang dipandang suka melakukan kekerasan, terorime dan tidak berperi kemanusiaan dan melanggar hak-hak asasi manusia. Etika perang dalam Islam tersaji dengan elegannya dan membuktikan pula jika ia memang sangat berbeda dengan yang lainnya. Pelurusan memang harus dilakukan secara berkala dari masa lalu sampai masa kini mengenai hal ini, dan sekaligus ajang pembuktian jika Islam memang benar-benar rahmat lil alamin.
Daftar Pustaka M Abu Zahrah, Hubungan-hubungan Internasional dalam Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1973 Ali Musytasyar Ali Mansyur, Asy Syari’ah Al Islamiyah wal al-Qanun, ad-Duwali al-Amiy, Mesir: Rajnah al-Hubar’a: 1971, Marcel A Boisard, Humanisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 Alfazur Rahman, Nabi Muhammad sebagai pemipin Militer, Jakrta: Bumi Aksara, 1991 F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum Internasional, Yogyakarta: Sumbangsih offset, 1987 Mochtar Kusumaatmaja, Konvensi-konvensi Jenewa Tahun 1949 Mengenai perlindungan Korban Perang, Bandung: Dhiwantara, 1962 Enan, Detik-detik Menentukan Dalam Sejarah Islam, Surabaya:Bina Ilmu, 1983 Muhammad Rasyid Ridha, Al Qur’an al Hadis al Syahr bi Tafsir al Manar Juz II, Kairo Dar al manaar, 1959 Majid Khadduri, Perang dan Damai dalam Hukum Islam ,Jakarta: Jaya Sakti, 1961 L Amin Widodo, Siasah Syari’ah dalam Hukum Perang dan perdamaian Internasional, Yogyakarta: Sumbangsih offset, 1987 Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Perang, (Jakarta: CV Pemandangan, 1956) Charles A McCellanad, Ilmu Hubungan Internasional, Teori dan Sistem, Cet.I (Jakarta:CV Rajawali, 1981) Mahmud Ibn Umar Zamahsyarriy, Al Kasyaf ‘an Khaqoiqi Qawamidhi Tanazil, Juz III, cet I (mesir:Mathba’atl Istiqomatil Qohi
1448
GEMA, Th. XXVI/48/Februari 2014 - Juli 2014