Cluster Bombs dan Teori Just War: Perlindungan Sipil dalam Kondisi Perang IRMAWAN EFENDI1
Dosen Ilmu Hubungan Internasional
Abstrak Perkembangan teknologi memiliki dampak pada revolusi teknologi persenjataan. Senjata pada manusia purba telah berubah ke sistem persenjataan otomatis dengan tingkat presisi yang tinggi. Namun, teknologi ini masih memiliki kekurangan dalam penggunaannya. Cluster bomb, senjata yang memiliki kemampuan menyebar dalam bentuk bom-bom kecil, telah membawa ancaman baru bagi warga sipil. Padahal, Konvensi Jenewa sudah memberikan aturan yang jelas untuk melakukan perang dengan berdasarkan kepada Teori Just War. Technological developments have an impact on the technological revolution of armament. Weapons of early humanbeing have been changed to the automatic system with the appropriate level of precision. However, the technology still has drawbacks in its use. Cluster bomb, which is able to spread into smaller bombs, has brought a new threat for civilians. In fact, the Geneva Conventions already provides clear rules for the conduct of war based on the Just War Theory.
Key words: Revolusi Persenjataan, Perlindungan sipil, Konvensi Jenewa
Pendahuluan Dinamika perkembangan teknologi persenjataan beriringan dengan perkembangan peradaban manusia. Prinsip dasarnya adalah manusia menggunakan senjata dalam berperang sesuai dengan jamannya. Martin van Creveld mengidentifikasi pembabakan sejarah persenjataan ke dalam empat fase yaitu age of tools, age of machine, age of system, dan age of automation (Viotti & Kauppi, 2009). Perkembangan ini sudah pasti memiliki korelasi antara dampak perkembangan teknologi persenjataan itu sendiri dan perilaku manusia dalam berperang. Senjata di dalam peperangan pada dasarnya dirancang untuk membunuh atau setidaknya melumpuhkan kekuatan potensial musuh. Kemampuan yang harus dimiliki tentunya memiliki kapabilitas melemahkan atau 1
menghancurkan target serangan secara tepat dan efisien. Teknologi ini berkembang dan menghasilkan teknologi yang disebut dengan PGM atau Precision Guided Munitions yaitu senjata dengan kemampuan tingkat keakuratan tinggi dalam mencapai target. Perkembangan teknologi ini seharusnya bukan saja terbatas pada keuntungan industri persenjataan semata. Hal yang lebih penting adalah menunjukkan komitmen dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat sipil. Secara teoritis, dalam ilmu perang dikenal teori just war yang menuntut perubahan cara berperilaku dalam berperang. Salah satunya adalah harus jelasnya pembeda antara combatant dan non combatant. Cluster bomb, salah satu teknologi persenjataan yang digunakan di dalam perang, mendatangkan ancaman terhadap keamanan
Alamat: Jl. Raya Lentengagung No. 32, Jakarta Selatan, Telepon 62-21-7806223/24
Cluster Bombs
19
masyarakat sipil. Senjata jenis ini mampu mengeluarkan bom-bom kecil yang menyebar ke wilayah sasaran. Namun, hal yang berbahaya dari senjata ini adalah kegagalan bom-bom kecil yang tidak meledak pada saat bersamaan jatuh di sasaran. Jeda waktu peluncuran dan kegagalan ledakan ini bisa mengenai masyarakat sipil yang beraktivitas di wilayah tersebut sedangkan target serangan sudah bergerak. Muncul pertanyaan, bagaimanakah hukum internasional mengatur penggunaan cluster bomb di dalam peperangan? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan Konvensi Jenewa sebagai dasar hukum internasional dan teori just war sebagai sandaran teoritis. Pembahasan a. Perkembangan Cluster Bomb Cluster bomb, merupakan senjata dengan kemampuan mengeluarkan bom-bom kecil (submunitions-biasa disebut bomblets) yang berjumlah lusinan bahkan ratusan. Jenis bom ini bisa diluncurkan melalui pesawat terbang atau ground system seperti artileri, roket, dan misil (Feickert, 2008). Cluster bomb terdiri dari dua elemen utama yaitu containter atau dispenser dan submunitions. Container ditujukan sebagai tempat penyimpan dan pembawa bom yang diluncurkan melalui pesawat udara, misil maupun senjata artileri. Sedangkan submunitions adalah proyektil yang memiliki daya ledak atau biasa disebut bomblets. Bagian ini telah didesain sedemikian rupa sehingga mampu untuk menyebar dari container pada saat tertentu setelah diluncurkan. Penggunaan cluster bomb kali pertama adalah pada senjata buatan Swedia yang dibuat tahun 1840-an. Senjata ini terdiri dari beberapa granat yang diledakkan di dalam mortar. Pada perang modern, Inggris menggunakannya di Perang Dunia I. Amerika Serikat dan Inggris menggunakan senjata yang sama melawan Jepang dan negara-negara Eropa Pada Perang Dunia II. Kali pertama penggunaan cluster bomb secara besar-besaran adalah selama Perang Dunia II ketika pesawat tempur Jerman menjatuhkan SD-2 “butterfly” di Pelabuhan Grimsby, Inggris.
20
Januari 2010
Meskipun hanya 1000 bomblets yang digunakan, serangan ini membutuhkan 10.000 orang untuk membersihkan dengan mengumpulkan dan menyingkirkan bomblets yang tidak meledak atau biasanya dikenal sebagai “duds” (King, 2007). Pada Perang Vietnam, cluster bombs juga digunakan dalam skala besar. Negara yang mengalami kerugian terbesar adalah Laos dengan jumlah 9 juta duds berada di wilayahnya. Sebanyak 15 dari 18 propinsi di Laos terkontaminasi duds (UNDP, 2008). Setelah lebih dari 40 tahun dijatuhkan, duds ini menjadi penyebab jatuhnya korban sipil. Perang Teluk merupakan peristiwa dengan tingkat kegagalan bomblets besar. Lebih dari 95.000 bomblets tercatat tidak meledak. Roket M26 mengangkut 644 M77 submunitions disebar ke wilayah seluas 200 ribu meter. Serangan ini bertujuan untuk membersihkan wilayah Kuwait dari serangan Irak. Revolusi teknologi yang berarti pada senjata ini terjadi tahun 2003 pada negara yang sama. Perang menjatuhkan rejim Saddam ini telah menggunakan cluster bomb dengan kemampuan sensor. Human Rights Watch memberikan laporan pada tahun 2003 sebanyak 1600 warga sipil terbunuh dan 2500 lainnya terluka di Irak dan Kuwait akibat dari penggunaan cluster bomb. Selain itu terjadi 191 ledakan yang terjadi pasca konflik dan tujuh tentara Amerika Serikat terbunuh dalam ledakan tunggal BLU-97. Cluster bomb yang tersisa pada Perang Teluk saat ini masih dibersihkan di wilayah perbatasan IrakKuwait. b. Teori Just War Just war merupakan teori normatif yang menjelaskan perihal bagaimana negara harus bertindak di dalam melancarkan aksi perang. Perang hanya bisa dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yang telah ditentukan. Teori ini mengadopsi posisi antara pacifist dan bellicist. Namun, teori ini memiliki kecenderungan kepada sisi pacifist kerena teori ini menjelaskan upaya untuk mencegah tidak terjadinya perang. Meskipun sudah terjadi, setidaknya mampu untuk mengurangi kehancuran akibat perang.
JURNAL ISIP Irmawan Efendi
Prinsipnya, teori ini merupakan justifikasi dilakukannya perang terhadap negara lain dalam aturan-aturan yang baku Teori ini terdiri dari jus ad bellum dan jus in bello. Jus ad bellum atau alasan untuk melakukan perang, tergantung pada empat faktor. Pertama adalah just cause, negara tersebut melancarkan perang karena mengalami serangan agresi dari negara lain. Kekuatan bersenjata digunakan hanya untuk melakukan defense atau dalam rangka mempertahankan diri dari serangan negara lain. Kedua, yaitu legitimate authority. Artinya, keputusan untuk melakukan perang harus dihasilkan dari kekuasaan yang sah dalam negara. Perang dilancarkan demi tujuan negara, bukan atas kepentingan individu. Proses pengambilan keputusan harus diputuskan melalui prosedur yang berlaku di negara tersebut dan berdasarkan konstitusi. Ketiga, penggunaan kekuatan bersenjata hanyalah opsi jika memang ada provokasi yang proporsional (proportionality). Keempat, harus terdapat keyakinan akan mendapatkan kesuksesan melalui jalan perang, jangan sampai terjadi kesia-siaan dalam mengorbankan nyawa dan lainnya (probability of success). Terakhir, perang merupakan pilihan terakhir. Opsi perdamaian melalui jalan diplomatik adalah prioritas dalam penyelesaian konflik. Penggunaan perang harus diupayakan ditunda hingga terdapat alasan yang tepat untuk menggunakannya sebagai solusi terakhir (last resort) (Viotti & Kauppi, 2009). Jus in bello bukanlah kriteria untuk mencegah terjadinya perang tetapi untuk membatasi kerusakan dan kehancuran akibat perang. Poin inilah yang memunculkan perbedaan antara combatant dan non-combatant atau masyarakat sipil. Masyarakat sipil bukanlah ditempatkan sebagai objek dari peperangan. Perbedaan ini adalah antara counterforce dan countervalue target. Counterforce target terdiri dari pusat militer, formasi tentara atau tank, pesawat tempur, kapal perang, dan instalasi militer lainnya yang jika dihancurkan dapat melemahkan kemampuan militer musuh. Countervalue target terdiri dari pabrik, rel kereta api, bandara sipil, dan pembangkit listrik yang berdekatan
dengan kota dan dapat mendukung kapabilitas perang secara umum. Meskipun targetnya bukanlah masyarakat, namun menargetkan pengemboman pada countervalue biasanya akan membahayakan masyarakat sipil daripada menargetkan counterforce. c. Cluster Bomb dan Just War Kasus yang paling besar dalam membicarakan korban dari cluster bomb adalah di Laos. Negara ini merasakan dampak dari terjadinya Perang Vietnam. Laos mengalami dampak kehancuran yang cukup signifikan setelah empat dekade konflik berakhir. Pemerintahan Laos melakukan survey terhadap jumlah korban dari cluster bomb ini. Terdapat lebih dari 50,000 masyarakat sipil yang menjadi korban sejak tahun 1964. Pada Grafik 1 menunjukkan bahwa bomblets yang dihasilkan dari cluster bomb memiliki jumlah yang lebih banyak daripada senjata lainnya. Sebagian besar dari jumlah tersebut tersebar di wilayah-wilayah sekitar masyarakat sipil. Bahkan ada yang menjadi permainan anakanak. (lihat Grafik 2) Senjata yang dikembangkan seharusnya mengikuti konsep Jus in bello. Artinya efek kehancuran akibat perang bisa dibatasi dengan memproduksi senjata dengan presisi tingkat tinggi. Jika ini sudah dipenuhi, maka akan jelas target combatant dan non combatant di dalam peperangan. Cluster bomb memang merupakan masalah bagi masyarakat sipil. Target penyerangan yang diserang dengan menggunakan cluster bomb menyebar di area yang sama dan tidak meledak secara bersamaan. Kondisi inilah yang membahayakan masyarakat sipil. Korban tidak dapat dicegah, karena bom tersebut tersebar bebas di area terbuka. Target serangan ini yang disebut sebagai countervalue target, yaitu terdiri dari pabrik, rel kereta api, bandara sipil, dan pembangkit listrik yang berdekatan dengan kota bahkan di wilayah penduduk seperti yang terjadi di Laos. Meskipun targetnya bukanlah masyarakat, namun menargetkan pengemboman pada countervalue biasanya akan membahayakan Cluster Bombs
21
masyarakat sipil. Artikel 48 dalam Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tertulis: In order to ensure respect for and protection of the civilian population and civilian objects, the Parties to the conflict shall at all times distinguish between the civilian population and combatants and between civilian objects and military objectives and accordingly shall direct their operations only against military objectives. Hal yang sama tertulis pada Artikel 52 (2) tentang General protection of civilian objects: Attacks shall be limited strictly to military objectives. In so far as objects are concerned, military objectives are limited to those objects which by their nature, location, purpose or use make an effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage. Artikel 48 dan 52 (2) sudah begitu jelas menguraikan tentang larangan bagi pihak yang terlibat dalam perang untuk menyerang fasilitas sipil. Penyerangan hanya ditujukan pada fasilitas militer yang berhubungan langsung dan mendukung aktivitas peperangan. Kemampuan dalam membedakan masyarakat sipil dan combatant harus jelas dengan cara menentukan sasaran yang memang betul-betul adalah fasilitas militer. Bagaimana dengan penggunaan jenis
senjata? Protokol tambahan Konvensi Jenewa jelas memberikan pembatasan terhadap senjata yang digunakan di dalam perang. Senjata yang digunakan tidaklah memberikan efek yang berlebihan dan penderitaan yang tidak diperlukan. Artikel 35 menyebutkan It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering. Bahkan dalam poin selanjutnya dijelaskan larangan penggunaan metode yang dapat memberikan efek luas dan juga kerusakan jangka panjang. It is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected, to cause widespread, long-term and severe damage to the natural environment. Efek penggunaan cluster bomb adalah jangka panjang. Artinya, ledakan yang terjadi tidak hanya muncul pada saat bomblets disebarkan namun bisa terjadi di kemudian hari bahkan pada masa perang sudah berakhir seperti yang terjadi di Kosovo dan Laos. Ini tidak berbeda dengan penggunaan ranjau darat yang masih menjadi pembunuh misterius di daerah bekas konflik. “Duds” atau Unexploded Ordnance (UXO) akan tersimpan di dalam tanah dan kemudian berpotensi mencederai penduduk sipil. Konvensi Jenewa tidak menyebutkan secara spesifik larangan penggunaan senjata cluster bombs. Namun dari segi sifat dan dampak ledakan yang ditimbulkan, senjata ini dapat dipersamakan
Grafik 1. Penyebaran Unexploded Ordnance (UXO) tahun 1997
Sumber: Rae McGrath, Cluster Bombs: The Military Effectiveness and Impact in Civilians of Cluster Munitions, London: UK Working Group in Landmines, 2000 hlm. 30
22
Januari 2010
JURNAL ISIP Irmawan Efendi
sebagai ranjau darat (landmines). Duds memiliki potensi ledakan di darat layaknya ranjau darat. Waktu terjadinya ledakan pun tidak dapat diprediksi. Dari segi lokasi penempatan, kedua senjata ini menyebar di wilayah yang termasuk dalam wilayah sipil dan mengorbankan rakyat sipil. Tentang ranjau darat, Henckaerts and Beck dalam Customary International Humanitarian Law menyebutkan: Rule 83. At the end of active hostilities, a party to the conflict which has used landmines must remove or otherwise render them harmless to civilians, or facilitate their removal. Artinya, harus ada pertanggung jawaban bagi pihak yang menggunakan ranjau darat untuk membersihkan wilayah terkontaminasi sebagai bentuk antisipasi yang dapat membahayakan masyarakat sipil. Upaya ini adalah untuk meminimalisir korban jatuh dari masyarakat sipil. Meski tidak tercantum secara spesifik tentang cluster bombs dalam Konvensi Jenewa, namun pelarangan penggunaan cluster bomb sebenarnya sudah diatur dalam bentuk Convention on Cluster Munitions (CCM). CCM ditandatangani di Oslo, Norwegia pada Desember 2008. Tujuan dari konvensi ini adalah larangan untuk menggunakan, memproduksi, transfer, dan menyimpan cluster
munitions yang dapat membawa bencana kepada masyarakat sipil. Tujuan yang lain adalah menghancurkan sisa senjata, membersihkan area, dan membantu korban akibat senjata ini. Terkait dengan kewajiban membersihkan wilayah terkontaminasi layaknya penggunaan ranjau darat, CCM menyebutkan dalam artikel 4 sebagai berikut: Each State Party undertakes to clear and destroy, or ensure the clearance and destruction of, cluster munition remnants located in cluster munition contaminated areas under its jurisdiction or control, as follows: (a)Where cluster munition remnants are located in areas under its jurisdiction or control at the date of entry into force of this Convention for that State Party, such clearance and destruction shall be completed as soon as possible but not later than ten years from that date; (b)Where, after entry into force of this Convention for that State Party, cluster munitions have become cluster munition remnants located in areas under its jurisdiction or control, such clearance and destruction must be completed as soon as possible but not later than ten years after the end of the active hostilities during which such cluster munitions became cluster munition remnants; Secara jelas konvensi ini mengatur
Grafik 2. Persentase lokasi terjadinya insiden UXO tahun 1997
Sumber: Rae McGrath, Cluster Bombs: The Military Effectiveness and Impact in Civilians of Cluster Munitions, London: UK Working Group in Landmines, 2000 hlm. 30
Cluster Bombs
23
pembersihan lokasi dari bahaya sisa-sisa cluster bombs yang tidak meledak. Bahkan secara eksplisit menyebutkan jangka waktu aktivitas pembersihan yaitu selama tidak lebih dari sepuluh tahun sejak bergabungnya negara dengan konvensi ini. Tidak hanya itu konvensi ini juga mengatur tahap-tahap yang harus dilakukan oleh negara dalam aktivitas pembersihan ini, yaitu: (a) Survey, assess and record the threat posed by cluster munition remnants, making every effort to identify all cluster munition contaminated areas under its jurisdiction or control; (b) Assess and prioritise needs in terms of marking, protection of civilians, clearance and destruction, and take steps to mobilise resources and develop a national plan to carry out these activities, building, where appropriate, upon existing structures, experiences and methodologies; (c) Take all feasible steps to ensure that all cluster munition contaminated areas under its jurisdiction or control are perimeter-marked, monitored and protected by fencing or other means to ensure the effective exclusion of civilians. Warning signs based on methods of marking readily recognisable by the affected community should be utilised in the marking of suspected hazardous areas. Signs and other hazardous area boundary markers should, as far as possible, be visible, legible, durable and resistant to environmental effects and should clearly identify which side of the marked boundary is considered to be within the cluster munition contaminated areas and which side is considered to be safe; (d) Clear and destroy all cluster munition remnants located in areas under its jurisdiction or control; and (e) Conduct risk reduction education to ensure awareness among civilians living in or around cluster munition contaminated areas of the risks posed by such remnants. Tiga poin pertama memperlihatkan perlunya penanganan langsung terhadap area yang dijadikan objek pembersihan. Sedangkan poin terakhir mencatat perlunya edukasi terhadap masyarakat sipil yang tinggal di sekitar wilayah yang terkontaminasi. Setidaknya, kemampuan ini akan memberikan pemahaman yang lebih
24
Januari 2010
komprehensif di dalam masyarakat. Artinya, ketika masyarakat menemukan sisa-sisa bom yang tidak meledak, maka ada penanganan yang tepat agar jatuhnya korban bisa dihindari. Hal terpenting yang diatur dalam CCM yaitu terwujudnya komitmen internasional dalam penyebaran dan penggunaan cluster bomb dalam konflik bersenjata. Kesepakatan yang terbentuk ini akan menjadi penting bagi kehidupan manusia sekarang dan tentunya generasi mendatang. Konsistensi dan kemampuan untuk mengajak negara lain yang belum bergabung menjadi perlu perhatian, karena hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Kesimpulan Keberadaan cluster bomb telah membawa permasalahan tersendiri bagi masyarkat sipil. Kosovo, Irak dan Kuwait di Perang Teluk, serta Laos, adalah bukti dari wilayah yang mengalami dampak dari “duds” atau Unexploded Ordnance (UXO). Ratusan bomblets yang jatuh di wilayah daratan telah membawa dampak terhadap masyarakat sipil. Bomblets yang memiliki jangkauan penyebaran cukup luas tidak jarang salah sasaran dan tersebar di wilayah sipil. Duds meledak di wilayah sipil setelah wilayah tersebut berakhir dari konflik. Perlindungan yang diberikan dalam Konvensi Jenewa tidak benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Teori just war juga hanya dijadikan justifikasi negara dalam menjalankan perang. Akibatnya, “tata krama” di dalam berperang tidak dijalankan. Kehancuran akibat perang dirasakan juga oleh masyarakat sipil, bahkan mengorbankan jiwa. Convention on Cluster Munitions (CCM) idealnya menjadi bentuk komitmen internasional dalam mencegah korban dan penyebaran serta penggunaan cluster bomb dalam konflik bersenjata. Namun kenyataannya masih ada negara seperti Amerika Serikat yang tidak bergabung dalam konvensi ini. Oleh karena itu tidaklah heran AS masih menggunaan cluster bombs dalam perang yang mereka jalankan. Hal ini berarti, cluster bombs akan menjadi senjata yang membahayakan bagi masyarakat sipil.
JURNAL ISIP Irmawan Efendi
Idealnya, teknologi persenjataan bisa memperkecil terjadinya korban di pihak sipil dengan perkembangan teknologi yang terus dijalani melalui riset. Namun, teknologi selalu membawa sisi negatif seperti dua sisi mata uang. Precision Guided Munition (PGM) masih butuh pengembangan lebih lanjut. Hal terpenting adalah perlunya bagi pemimpin negara untuk terus mengedepankan moralitas dengan mengusung sisi humanisme melalui pengembangan senjata yang lebih “manusiawi” atau bahkan menghindari perang sebagai solusi damai. Daftar Pustaka Feickert, Andrew., (2008). Cluster Munitions: Background and Issues for Congress, CRS Report for Congress. King, Colin., (2007). Humanitarian, Military, Technical and Legal Challenges of Cluster
Munitions, Swiss. ICRC. Marie Henckaerts dan Louise DoswaldBeck., (2005). Customary International Humanitarian Law Volume 1: Rules, United Kingdom. Cambridge University Press. McGrath, Rae,. (2000). Cluster Bombs: The Military Effectiveness and Impact in Civilians of Cluster Munitions, London. UK Working Group in Landmines. Viotti, Paul R. dan Mark V., (2009). Kauppi, International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity 4th Edition, New Jersey. Pearson Prentice Hall. Fast Fact Cluster Munitions New York: UNDP Bureau for Crisis Prevention and Recovery. 2008 Protocols Additional to The Geneva Conventions of 12 August 1949. Geneva: International Committee of Red Cross. 1996
Cluster Bombs
25