Diplomasi Singapura dan Malaysia: Keterkaitan Era Perang Dingin dengan Pseudo-democracy Oleh Nurul Khairunissa Siregar dan Fadli Adzani
This article explains about how the diplomacy of Singapore and Malaysia in the era of Cold War can be persuasive towards the rising of the „pseudo-democracy‟ claim. Even though Singapore and Malaysia refuse to be called as „pseudo-democracy‟ countries, their citizens and the global citizens believe it so. Therefore, the authors of this article try to relate diplomacy in the era of Cold War, domestic politic and foreign policy of both countries to be able to answer why the claim of „pseudodemocracy‟ arises to the surface of both countries.
Keywords: Singapore, Malaysia, Diplomacy, ASEAN, Cold War, pseudo-democracy
PENDAHULUAN Salah satu permasalahan yang dihadapi Singapura dan Malaysia adalah adanya klaim yang mengatakan bahwa kedua negara tersebut merupakan negara yang menganut sistem pseudodemocracy. Dengan adanya klaim ini, secara implisit berarti kawasan Asia Tenggara tidak menjalankan demokratisasi yang sempurna. Namun, Singapura dan Malaysia tidak mengakui hal ini, karena mereka merasa tidak gagal dalam menjalankan demokrasi dan mengklaim bahwa mereka menganut sistem Asian-style democracy. Singapura dan Malaysia menganut sistem Asian-style democracy karena kedua negara merasa bahwa sistem demokrasi yang dijalankan oleh negara-negara Barat tidaklah sesuai dengan esensi demokrasi tersebut. Dalam jurnalnya, Neher menjelaskan bahwa negara-negara Asia Tenggara mengarah ke demokrasi tetapi tidak mengikuti sistem demokrasi negara Barat. Ini disebut juga sebagai semi-demokrasi, dimana negara-negara tersebut tetap memiliki nilainilai demokrasi seperti diadakannya pemilihan umum, kebebasan pers, namun yang berbeda adalah adanya komponen otoriter, mengingat bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki permasalahan yang berbeda-beda.1 Dari permasalahan ini, muncul sebuah pertanyaan yaitu: “Faktor apakah yang menyebabkan munculnya klaim pseudo-democracy terhadap negara Singapura dan Malaysia?” Penulis memiliki argumen bahwa penyebab dari munculnya klaim pseudo-democracy ini adalah pengaruh dari diplomasi yang dilakukan oleh Singapura dan Malaysia di era Perang 1
Clark D. Neher, “Asian Style Democracy,” Asian Survey 34, no. 11 (1994): 949-961.
1
Dingin, karena pada era itulah yang menjadi titik awal diplomasi yang memiliki pengaruh signifikan dalam berdiplomasi hingga saat ini. Sehingga dari pembahasan diplomasi era Perang Dingin tersebut, bisa terlihat bagaimana diplomasi antara keduanya yang berbeda dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari adanya argumen tersebut, penulis akan menjelaskan bagaimana diplomasi era Perang Dingin menjadi faktor utama munculnya pseudo-democracy pada bagian pertama. Karena dalam era ini, diplomasi Singapura dan Malaysia meningkat secara progresif. Namun sebelumnya, penulis terlebih dulu akan menjelaskan mengenai hubungan diplomasi dengan politik luar negeri. Di bagian kedua, penulis akan menjelaskan bagaimana ASEAN sebagai organisasi kawasan membawa perubahan yang signifikan dalam pola diplomasi Singapura dan Malaysia.
PEMBAHASAN
Diplomasi dan Politik Luar Negeri
Pembahasan mengenai hubungan antara diplomasi dan politik luar negeri menjadi penting karena keduanya berpengaruh pada perubahan arah dari Singapura dan Malaysia. Di bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai hubungan diplomasi dan politik luar negeri. Namun, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai pengertian diplomasi. Sir Ernest Satow sejak tahun 1922 telah mendefinisikan diplomasi sebagai aplikasi intelijen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintahan yang berdaulat, yang kadangkala diperluas dengan hubungan dengan negara-negara jajahannya.2 Mirip dengan definisi Satow, Barston mendefinisikan diplomasi sebagai manajemen hubungan antar negara atau hubungan antar negara dengan aktor-aktor hubungan internasional lainnya. Negara, melalui perwakilan resmi dan aktor-aktor lain berusaha untuk menyampaikan, mengkoordinasikan dan mengamankan kepentingan nasional khusus atau yang lebih luas, yang dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan tidak resmi, saling menyampaikan cara pandang, lobby, kunjungan, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang terkait.3 Sedangkan menurut Djelantik (2008, 4), diplomasi mewakili tekanan politik, ekonomi, dan militer kepada negara-negara yang terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan
2 3
Sir Ernest Satow, A Guide to Diplomatic Practice (New York: Longman Green & Co., 1922), 1. R.P. Barston, Modern Diplomacy (New York: Longman, 1997), 1.
2
dalam pertukaran permintaan dan konsesi antara para pelaku negosiasi. 4 Tanpa ragu lagi, Singapura dan Malaysia telah menjalankan tiap aktivitas diplomasi yang telah dijelaskan dari berbagai sudut pandang.
Hubungan Diplomasi dan Politik Luar Negeri
Penulis mengaitkan keduanya karena politik luar negeri membantu dalam pemahaman mengenai pola diplomasi suatu negara, dalam hal ini yaitu Singapura dan Malaysia. Diplomasi memiliki hubungan yang erat dengan kebijakan luar negeri. Karena seperti yang telah diketahui bahwa untuk menuju tercapainya kepentingan nasional dari suatu negara, para pemimpin negara harus melakukan diplomasi. Maka dari itu, hubungan antara diplomasi dengan politik luar negeri menjadi penting untuk dibahas. Dalam bukunya, Mohammad Shoelhi mengatakan bahwa politik luar negeri ditujukan untuk memajukan dan melindungi kepentingan negara, sedangkan fungsi utama diplomasi adalah melindungi dan memajukan kepentingan nasional. Lebih lanjut lagi, Shoelhi mengatakan bahwa setiap bangsa harus menentukan sendiri sikapnya terhadap bangsa lain, dan juga harus menentukan arah tindakan yang akan diambil serta dicapai dalam urusan justifikasi tindakan politik tersebut.5 Dari sinilah bisa dilihat bahwa diplomasi dari sebuah negara harus dijalankan dengan benar sehingga bisa mencapai kepentingan nasional dari negara tersebut.
Diplomasi era Perang Dingin
Sebelum membahas mengenai diplomasi Singapura dan Malaysia itu sendiri, terlebih dahulu penulis menjelaskan mengenai diplomasi Perang Dingin. Dalam kaitannya dengan membahas mengenai diplomasi Singapura dan Malaysia, era Perang Dingin-lah yang paling cocok. Mengapa? Harold Nicholson dalam “The Journal of Foreign Affairs” (1961) mengemukakan bahwa perubahan diplomasi khususnya dipengaruhi oleh Perang Dingin antara blok Barat dan Timur, sehingga konflik ideologi menjadi bagian dari diplomasi. Perang Dingin memiliki beberapa perspektif mengenai adanya perubahan-perubahan mendasar yang
4
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi: Antara Teori dan Praktik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), 4. Mohammad Shoelhi, Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), 135. 5
3
telah terjadi setelah itu yang telah menimbulkan fenomena-fenomena baru di dalam kehidupan diplomasi internasional.6 Ancaman
terhadap
perkembangan
komunisme
di
Asia
Tenggara
awalnya
didemonstrasikan oleh kelompok komunis di Indonesia, Myanmar, Malaysia, dan Filipina.7 Namun, setelah mundurnya Perancis dari perjuangan melawan komunisme, akhirnya di tahun 1954, delapan negara menandatangani Southeast Asia Collective Defense Treaty (The Manilla Pact) dan membuat Southeast Asia Treaty Organization (SEATO).8 Hanya dua dari anggota SEATO, yaitu Filipina dan Thailand, yang merupakan negara di Asia Tenggara. Sisanya adalah Amerika Serikat, Britania Raya, Australia, Selandia Baru, Perancis, dan Pakistan. Dalam pemahaman mendalam mengenai persetujuan ini, Amerika Serikat menyatakan bahwa kewajiban SEATO hanya berlaku pada agresi komunis.9 Ujian pertama SEATO muncul di tahun 1961-1962, ketika Thailand merasa terancam oleh militer komunis, Pathet Lao, melawan pemerintahan Royal Lao yang bersifat netral. Disini, Amerika Serikat bersama Thailand mengambil komitmen bilateral dan membantu Thailand untuk menghadapinya. Ini menjadi dasar dari hubungan keamanan antara Amerika Serikat dan Thailand yang bertahan hingga sekarang.10 Dari SEATO dan contoh dari hubungan antara Amerika Serikat dan Thailand telah terlihat bahwa diplomasi bilateral dan multilateral terjalin dalam era Perang Dingin.
Diplomasi Singapura dan Malaysia
Dalam era Perang Dingin, diplomasi antara Singapura dan Malaysia bisa dibilang merupakan hubungan yang rumit, terutama ketika kedua negara telah tergabung dengan ASEAN. Di bagian ini, penulis akan menjelaskan hubungan diplomasi dari kedua negara sebelum dan setelah mereka menjadi anggota ASEAN. Dalam bagian ini, penulis menekankan bahwa hubungan diplomasi antara negara-negara Asia Tenggara menjadi hal yang vital, atau bahkan perlu disebut sebagai penyambung hidup bagi negara-negara anggota ASEAN. Karena di era Perang Dingin, dimana ASEAN masih menjadi organisasi regional yang baru, hubungan diplomasi antar anggota merupakan hal yang penting, baik didalam maupun diluar
6
Sumaryo Suryokusumo, Praktik Diplomasi (Depok: STIH IBLAM, 2004), 80. Donald E. Weatherbee, International Relations in Southeast Asia (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2009), 63. 8 6 UST 81, Treaties and Other International Acts Series, 3170. 9 Weatherbee, International Relations., 65. 10 Ibid., 66. 7
4
ASEAN. Selain itu, penulis juga telah mengambil beberapa kasus yang terjadi di Asia Tenggara yang bisa dijadikan panduan untuk memahami alur diplomasi Singapura dan Malaysia. Setelah dibentuknya SEATO, Singapura dan Malaysia kemudian muncul untuk ikut serta dalam pergerakan anti-komunisme tersebut. Dari sinilah diplomasi dari kedua negara mulai terlihat lebih aktif dengan pihak internasional. Britania Raya memegang payung SEATO diatas Malaysia dan Singapura hingga kemerdekaan kedua negara, ketika mereka memilih prinsip non-alignment. Kedua negara menjaga hubungan keamanan dengan rekan Persemakmuran Inggris, yaitu Australia dan New Zealand di tahun 1957 pada Anglo-Malay Defence Agreement (AMDA). Hal ini membantu Malaysia dalam menghadapi konfrontasi dengan Indonesia di tahun 1963-1965. AMDA diperkuat oleh FPDA (Five Power Defence Agreement) di tahun 1971, dan FPDA ini membantu memperkuat hubungan militer Singapura dan Malaysia.11
Merger antara Singapura dan Malaysia
Di tahun 1946, Kalimantan Utara dan Sarawak dipindah tangan ke Britania Raya, karena pemimpinnya percaya bahwa tugas untuk membangun kembali kedua negara tersebut lebih baik diserahkan pada negara yang memiliki pengalaman dan sumber daya yang besar. Masing-masing negara dipimipin oleh negara koloni. Brunei tetap menjadi negara yang dilindungi oleh Inggris. Di ketiga negara tersebut, aktivitas politik mulai berkembang. 12 Meskipun begitu, usaha dari Inggris di tahun 1950 untuk mendekatkan Kalimantan Utara dan Sarawak agar menjadi entitas politik yang besar tidak membuahkan hasil yang terlihat. Lalu di Mei 1961, Tengku Abdul Rahman mengusulkan rencana dimana Malaya (Malaysia), Singapura, dan ketiga negara Kalimantan “be brought closer together in political and economic cooperation.”13 Setelah adanya pengayoman dari negara-negara Barat untuk melancarkan ideologi antikomunisme, terutama setelah dibentuknya SEATO, penulis merasa bahwa era ini merupakan era dimana pemimpin dari kedua negara tersebut mulai mengambil tindakannya sendiri dari pasca kemerdekaan. SEATO bisa dianggap sebagai pemicu dari hubungan diplomasi
11
Ibid. J. Norman Parmer, “Malaysia”, pada Governments and Politics in Southeast Asia, edt. George McTurnan Kahin (1964), 305. 13 Ibid., 306. 12
5
Singapura dan Malaysia di tahun-tahun setelahnya. Dalam merger tersebut, contohnya, Singapura tahu betul apa potensi yang dimiliki oleh Malaysia, dan begitu pula sebaliknya. Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura,
mengatakan bahwa Singapura menjalin
hubungan paling erat dengan negara Malaysia, termasuk dalam bidang bisnis. Selain itu, Singapura mendukung adanya perdagangan dan kemerdekaan yang bisa terjadi secara cepat dan mudah melalui integrasi politik dengan negara Malaysia di bagian yang bersebelahan dengan Kalimantan, karena hal tersebut dapat menjadikan landasan ekonomi Singapura menjadi lebih besar dan kuat.14 Pernyataan dari Lee Kuan Yew inilah yang menjadikan diplomasi antara negara Malaysia dan Singapura nyata. Lebih jauh lagi, Singapura meningkatkan power nya melalui perdagangan dengan Malaysia tersebut. Salah satu contoh hubungan politik antara Singapura dan Malaysia bisa dilihat pada tahun 1963 dan 1964, dimana keduanya saling berkampanye. Namun, yang menjadi kampanye ini berbeda dengan kampanye lainnya adalah Singapura berkampanye di Malaysia dan Malaysia berkampanye di Singapura. Politik ini dijalankan melalui PAP (People‟s Action Party).15 Dari mulainya perdagangan antara Singapura dan Malaysia hingga berkampanye di masing-masing negara tetangga, bisa dilihat bahwa pola diplomasi yang dijalankan bersifat saling menguntungkan.
ASEAN Sebagai Tingkatan Lebih Jauh dari Hubungan Singapura dan Malaysia “ASEAN is not only a well-functioning indispensable reality in the region, it is a real force to be reckoned with far beyond the region.”16 -Kofi Annan
Di tanggal 8 Agustus 1967, Perdana Menteri Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Malaysia menandatangani Deklarasi Bangkok dan menciptakan The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)17. ASEAN merupakan titik awal berhentinya pergulatan kekuasaan yang selama ratusan tahun bahkan hingga dekade 70-an abad ke-20 merupakan bentuk paling dominan dari hubungan internasional di kawasan tersebut khususnya di daratan Asia
14
Virginia Matheson Hooker, “A Short History Malaysia: Linking East and West”, Allen & Unwin, 2003, hal. 209 15 William Case, “Politics in Southeast Asia”, RoutledgeCurzon, London, 2002, hal. 83-84. 16 Kofi Annan, pidato dalam “The Indonesian Council on World Affairs”, 16 Februari 2000, diakses di www.un.org/News/Press/docs/2000/20000215.sgsm7303.doc.html. 17 The “Bangkok Declaration”, diakses di www.aseansec.org/1212.htm
6
Tenggara. Organisasi regional ini juga unik karena menggabungkan negara-negara dengan latar belakang agama, wilayah, bahasa, etnis, budaya, dan pengalaman kolonial yang berlainan satu sama lain.18 Perdana Menteri dari Malaysia menggaris bawahi fakta bahwa pembentukan ASEAN merupakan reaksi politis dari negara-negara non-komunis di Asia Tenggara terhadap negaranegara komunis seperti Sino-Soviet, Vietnam yang ekspansif, dan kelompok komunis domestik.19 Bagi masing-masing negara anggota, ASEAN memiliki keuntungannya tersendiri. ASEAN memberikan kedaulatan regional ke Singapura, dan memberikan harapan bagi Malaysia untuk bisa menemukan alternatif politik dengan ikatan Persemakmuran yang telah merenggang dari keluarnya Inggris dari Asia.20 Seperti halnya dalam tingkatan yang lebih tinggi (advanced level), tentu saja ketika Singapura dan Malaysia bergabung dalam ASEAN, keduanya harus menghadapi tantangan berdiplomasi yang lebih sulit. Melalui ASEAN, hubungan diplomasi antara Singapura dan Malaysia menjadi lebih rumit karena lebih banyaknya negara yang terlibat didalamnya. Dengan adanya berbagai kasus yang harus ditangani, ASEAN mempererat sekaligus meregangkan hubungan Singapura dan Malaysia. Salah satu contohnya adalah dalam konflik Kamboja. Tidak disangka-sangka bahwa hubungan antara Singapura dan Malaysia berubah menjadi dingin dengan hanya kedipan mata. Hubungan antara kedua negara, ketika masih dibawah SEATO, merupakan hubungan yang saling menguntungkan. Namun, ketika terjadi konflik Kamboja, kedua negara menjadi bertolak belakang. Walaupun semua negara anggota sepakat penggunaan cara-cara damai dalam upaya penyelesaian konflik Kamboja mereka memiliki pandangan berlainan satu sama lain. Baik Indonesia maupun Malaysia lebih cenderung mencari solusi yang tidak melibatkan negaranegara luar, khususnya Amerika, kecuali hanya sedikit. Sementara Singapura dan Thailand justru mendukung front militer bersama serta melibatkan peran militer negara-negara besar.21 Dari contoh kasus ini telah bisa terlihat bahwa negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, telah ingin menjadi mandiri dan tidak banyak bergantung pada negara-negara besar. Selain itu, bisa terlihat juga bahwa ada perubahan pemikiran antara Singapura dan Malaysia. Di satu sisi, hubungan Singapura dan Malaysia menjadi renggang. Di sisi lain, kedua negara mendapatkan „pasangan‟ baru untuk menjalin hubungan diplomasi dengan negara
18
Bambang Cipto, “Hubungan Internasional di Asia Tenggara”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 38 Tan Sri Ghazali Shafrie, “ASEAN Today and Tomorrow”, Foreign Affairs Malaysia, 14, no. 3, 1981, hal. 335 20 Weatherbee, Op. Cit, hal. 73 21 Cipto, Op. Cit., hal. 51 19
7
anggota ASEAN lainnya, bagi Singapura negara itu adalah Thailand, dan bagi Malaysia negara tersebut adalah Indonesia. Jika mengaitkan konsep dari diplomasi mengenai konflik Kamboja ini, ada satu definisi yang telah dipaparkan oleh penulis dan cocok untuk menjelaskan konflik Kamboja ini. “Diplomasi mewakili tekanan politik, ekonomi dan militer kepada negara-negara yang terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan dalam pertukaran permintaan dan konsesi antara para pelaku negosiasi.”22 Seperti yang sebelumnya dikatakan oleh penulis, ASEAN sebagai organisasi regional yang baru di era Perang Dingin sudah pasti masih „labil‟, terutama jika kita melihat dari konflik tersebut, dimana hubungan Singapura dan Malaysia menjadi renggang. Poin penting yang muncul dari keterlibatan Singapura dan Malaysia dalam ASEAN adalah perubahan arah dari kedua negara. Terlihat dari konflik Kamboja yang telah dijelaskan, jika sebelumnya Malaysia bergantung dengan Inggris karena Malaysia merupakan negara persemakmuran. Namun setelah masuk ke ASEAN, Malaysia mencoba untuk tidak bergantung kepada Inggris. Tetapi, Singapura kebalikannya, dimana setelah menjadi anggota ASEAN, Singapura masih bergantung kepada Inggris. Contoh nyata dari perubahan arah ini adalah dengan dibentuknya Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN). Meningkatnya rasa takut dari negara-negara anggota ASEAN terhadap persaingan negara-negara besar dan menurunnya keyakinan terhadap keamanan eksternal menjadi alasan dibuatnya ZOPFAN di Asia Tenggara. Inisiatif ini diikuti dengan diskusi antara anggota mengenai kemungkinan dibuatnya „neutralisation‟ di Asia Tenggara, yang telah diprakarsai oleh Malaysia.23
Pseudo-democracy: Hasil dari Diplomasi di Era Perang Dingin
Disini penulis membahas mengenai Singapura dan Malaysia yang diklaim sebagai negara pseudo-democracy. Penulis juga akan menjelaskan mengenai pengaruh dari diplomasi di era Perang Dingin yang kemudian berlanjut ke konsep pseudo-democracy, dimana konsep yang ditujukan oleh Singapura dan Malaysia tersebut baru muncul pasca Perang Dingin.
22 23
Sukawarsini Djelantik, “Diplomasi:Antara Teori dan Praktik”, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008, hal. 4. Mohamad Ghazali Shafie, “The Neutralisation of Southeast Asia”, Pacific Community (Oktober 1971).
8
Korelasi diplomasi era Perang Dingin dengan Pseudo-democracy
Penulis memiliki dua argumen untuk menjelaskan hubungan antara diplomasi era Perang Dingin dengan munculnya pseudo-democracy. Pertama, diplomasi Perang Dingin memiliki satu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh diplomasi di era lainnya. Mengapa? Karena, seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Perang Dingin sendiri merupakan fenomena yang baru dalam diplomasi internasional. Terlebih lagi karena Singapura dan Malaysia di era Perang Dingin masih menjadi „freshmen‟ dalam menjalankan diplomasi dengan negara-negara besar, seperti Inggris. Penulis percaya bahwa „first impression‟ dari diplomasi Singapura dan Malaysia terlihat jelas di era Perang Dingin. Kedua, perubahan arah Singapura dan Malaysia. Setelah dijalinnya hubungan antara Singapura dan Malaysia dengan negara-negara besar, kedua negara tersebut menjadi tersadarkan bahwa mereka ingin lebih unggul. Diciptakannya ASEAN di tahun 1967, menjadi pengubah arah fokus Malaysia, lalu dilanjutkan dengan Singapura. Telah dijelaskan oleh penulis bahwa konflik Kamboja, yang merupakan salah satu kasus yang ditangani oleh ASEAN, membuat Malaysia berpaling dari statusnya sebagai negara Persemakmuran Inggris. Hal ini lalu, akhirnya, dilanjutkan oleh Singapura. Dari sinilah muncul korelasi antara diplomasi era Perang Dingin dengan pseudo-democracy.
Munculnya Klaim Pseudo-democracy
Pembahasan
mengenai
pseudo-democracy
diperjelas
dalam
jurnal
“Asian-style
democracy”, Neher (1994) mengatakan bahwa Singapura dalam masa pemerintahan Lee Kuan Yew dan Malaysia dalam pemerintahan Mahathir Muhammad diklaim sebagai negara dengan sistem pseudo-democracy, dimana mereka menganggap bahwa sistem yang mereka jalankan adalah demokrasi, namun kenyataannya tidak. Singapura dan Malaysia membantahnya dengan mengklaim bahwa mereka menjalankan sistem pemerintahan asian-style democracy. Ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya mengenai perubahan arah Singapura dan Malaysia, dan berlanjut ke munculnya klaim terhadap Singapura dan Malaysia sebagai negara pseudo-democracy. Menurut penulis, pandangan terhadap pseudo-democracy yang ditujukan oleh Singapura dan Malaysia berasal dari dua sumber, yaitu (1) datang dari politik domestik dan (2) lewat diplomasi yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Mengapa demikian? Untuk 9
menjelaskan poin pertama, penulis merasa bahwa keadaan politik domestik suatu negara bisa menjadi faktor pelaksanaan politik luar negeri. Dalam implementasinya, politik luar negeri harus memerhatikan24: 1. Konsekuensi komitmen politik luar negeri. 2. Situasi dan kondisi domestik dan internasional, saat politik luar negeri diimplementasikan. 3. Kemampuan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kebudayaan maupun militer sebagai modal untuk melaksanakan politik luar negeri secara efektif.
Dalam poin kedua dan ketiga, jelas terlihat bahwa politik dan keadaan domestik suatu negara mempengaruhi politik luar negeri. Penulis telah mengambil contoh dari negara Singapura. Singapura adalah “a very small island state perpetually haunted by its sense of vulnerability.”25 Ketakutan Singapura muncul dari beragam etnis yang ada di negaranya, dan juga dari trauma politis ketika Singapura dilepas secara paksa dari Malaysia di tahun 1965. Demi menjaga stabilitas politiknya, Lee Kuan Yew menetapkan hanya ada satu partai yang mendominasi.26 Disinilah dimana peristiwa eksternal, yaitu Singapura yang dilepas secara paksa, mempengaruhi internal Singapura sehingga Singapura disebut sebagai negara pseudodemocracy. Dilepasnya Singapura dari Malaysia yang terjadi di tahun 1965, secara jelas bisa dijadikan sebagai diplomasi era Perang Dingin yang menjadi penyebab munculnya pseudodemocracy. Sedangkan untuk menjelaskan penyebab yang kedua, penulis beranggapan bahwa ini berhubungan dengan diplomat negara lain yang berhubungan dengan Singapura dan Malaysia, sehingga diplomat tersebut bisa berpendapat demikian. Salah satu fungsi diplomat yang telah diuraikan oleh Oppenheim‟s International Law (1955: 785-786) adalah observasi, yaitu mengamati segala apa saja yang terjadi di negara tempat bertugas dan kemudian melaporkan ke pemerintah negaranya. Kemungkinan besar bahwa mereka melakukan tugas observasinya, dan melaporkan kejadian domestik yang terjadi di Singapura dan Malaysia.
24
Mohammad Shoelhi, “Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional”, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2011, hal. 136 25 Hussain Mutalib, “The Socio-Economic Dimensions in Singapore Quest for Security and Stability”, Pacific Affairs 75, no. 8, 2007, hal. 9-13 26 Weatherbee, Op. Cit., hal. 39
10
PENUTUP
Pola diplomasi yang dilakukan oleh Singapura dan Malaysia di era Perang Dingin merupakan pola diplomasi yang berubah-ubah. Era Perang Dingin menjadi era yang memiliki peran signifikan dalam membentuk hubungan diplomasi Singapura dan Malaysia, hingga saat ini. Diplomasi antara Singapura dan Malaysia mulai terjalin ketika era Perang Dingin, dan SEATO berperan besar dalam peningkatan hubungan diplomasi tersebut. Hubungan keduanya menjadi makin erat dalam ASEAN. Dengan ASEAN, diplomasi keduanya meningkat dan berada di tingkatan lebih jauh dari sebelumnya. ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara mengubah arah fokus dari Singapura dan Malaysia. Singapura dan Malaysia melepas
keterkaitannya
dengan
negara-negara
besar,
dimana
sebelumnya
mereka
berhubungan dekat. Diplomasi, politik domestik dan politik luar negeri memiliki keterkaitan, dan keduanya memiliki pengaruh yang signifikan bagi Singapura maupun Malaysia. Salah satu contoh dari bentuk keterkaitan ketiganya bisa dilihat pada konsep pseudo-democracy yang ditujukan oleh Singapura dan Malaysia. Menurut penulis, konsep pseudo-democracy tersebut muncul karena adanya keadaan domestik yang berpengaruh terhadap keputusan pemimpin negara dan juga karena hubungan diplomasi antara Singapura dan Malaysia dengan negara-negara lain di era Perang Dingin tersebut. Terlebih ketika diciptakannya ASEAN di tahun 1967, dimana pada saat Singapura dan Malaysia telah menjadi anggota dan mereka mengubah arah fokusnya dan secara bertahap melepaskan hubungannya dengan negara-negara Barat. Sehingga dari sini, ASEAN secara tidak langsung menjadi penyebab munculnya klaim terhadap Singapura dan Malaysia sebagai negara pseudo-democracy.
11
Daftar Pustaka ASEAN-ISIS, “Confidence Building Measures in South-East Asia”, 1993. 6 UST 81, “Treaties and Other International Acts Series” 3170. Annan, Kofi. “The Indonesian Council on World Affairs”. www.un.org/News/Press/docs/2000/20000215.sgsm7303.doc.html. 16 Februari 2000. Diakses pada 11 Oktober 2013. Barston, R.P., Modern Diplomacy. New York: Longman, 1997. Case, William. Politics in Southeast Asia. London: RoutledgeCurzon, 2002. Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Djelantik, Sukawarsini. Diplomasi:Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Hooker, Virginia Matheson. A Short History Malaysia: Linking East and West. Allen & Unwin, 2003. Jervis, Robert. “System Theories and Diplomatic History.” Dalam Diplomacy, diedit oleh Paul Gordon Lauren, 1979. Mutalib, Hussain. “The Socio-Economic Dimensions in Singapore Quest for Security and Stability.” Pacific Affairs 75, no. 8, 2007. Parmer, J. Norman. “Malaysia.” Dalam Governments and Politics in Southeast Asia, diedit oleh George McTurnan Kahin, 1964. Satow, Ernest. A Guide to Diplomatic Practice. New York: Longman Green & Co., 1922. Shafie, Mohamad Ghazali. “The Neutralisation of Southeast Asia.” Pacific Community, Oktober 1971. Shafrie, Tan Sri Ghazali. “ASEAN Today and Tomorrow.” Foreign Affairs Malaysia 14, no. 3, 1981. Shoelhi, Mohammad. Diplomasi: Praktik Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011. Suryokusumo, Sumaryo. Praktik Diplomasi. Depok: STIH IBLAM, 2004. The “Bangkok Declaration”. www.aseansec.org/1212.htm. Diakses pada 11 Oktober 2013. Weatherbee, Donald E. International Relations in Southeast Asia. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2009.
12