STRATEGI DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN KERING MENDUKUNG PENGADAAN PANGAN NASIONAL A. Abdurachman, A. Dariah, dan A. Mulyani Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98 Bogor 16123
ABSTRAK Peningkatan produksi bahan pangan nasional berjalan relatif lambat dibandingkan dengan permintaannya karena adanya berbagai kendala yang sulit diatasi, seperti konversi lahan sawah, persaingan dalam penggunaan air, banjir, dan longsor. Salah satu peluang yang cukup besar tetapi sering terabaikan adalah pemanfaatan lahan kering yang tersedia cukup luas dan secara teknis sesuai untuk pertanian. Lahan potensial tersebut akan mampu menghasilkan bahan pangan yang cukup bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi pengembangan yang tepat. Teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia, meliputi konservasi, peningkatan kesuburan kimiawi, fisik dan biologi, pengelolaan bahan organik, dan irigasi suplemen. Strategi untuk mendayagunakan lahan kering yang berpotensi adalah: a) identifikasi dan delineasi lahan yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan, b) seleksi teknologi pertanian tepat guna, c) diseminasi teknologi secara intensif, dan d) peningkatan penelitian pertanian lahan kering. Kata kunci: Lahan kering, pengelolaan lahan, produksi pangan
ABSTRACT Strategy and technology of dryland management to support national food production The increase of national food production is relatively slower than its requirements due to several constraints, such as rice field conversion, water use competition, floods, and land slides. One of the promising opportunities but often to be neglected is the use of arable dryland suitable for food crops production. The potential land is prospective for food production when managed properly by using effective technologies and proper agricultural development strategies. Technologies for dryland agriculture management are available, such as soil conservation, soil fertility and soil organic management, and irrigation management. Strategies to develop dryland agriculture of Indonesia include: a) identification and delineation of suitable land for food crops, b) selection of effective agricultural technologies, c) intensive technology dissemination, and d) improvement of the dryland agriculture research. Keywords: Drylands, land management, food production
L
aju peningkatan produksi bahan pangan nasional terutama beras berjalan relatif lambat dibandingkan dengan kebutuhan pangan rakyat yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Hal ini terbukti dengan masih diperlukannya impor beras walaupun hanya sekitar 262 ribu ton pada tahun 2006 (Departemen Pertanian 2008), serta sesekali terjadi kekurangan bahan pangan di wilayahwilayah kantong kemiskinan, seperti di pelosok NTT, NTB, dan Papua. Kelambatan peningkatan produksi pangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain konversi lahan sawah dan persaingan penggunaan air, selain bencana banjir dan longsor. Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Bahan pangan terutama beras sebagian besar diproduksi di lahan sawah beririgasi teknis dengan tingkat kesuburan tanah cukup tinggi. Karakteristik budi daya padi sawah seperti itu membatasi peluang peningkatan produksi beras melalui perluasan areal sawah, karena sempitnya lahan cadangan yang sesuai untuk dijadikan sawah dan makin ketatnya persaingan penggunaan air dengan industri, pertambangan, rumah tangga, dan lainnya. Di sisi lain, konversi lahan sawah ke nonpertanian makin sulit dikendalikan. Selama periode 1979−1999, konversi lahan sawah mencapai 1,63 juta ha, dan satu juta ha di antaranya terjadi di Pulau Jawa (Isa 2006). Oleh karena itu,
perlu upaya lain untuk meningkatkan produksi bahan pangan nasional, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering, baik yang telah menjadi lahan pertanian maupun yang belum digunakan. Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan, yang lebih tertarik pada peningkatan produksi beras pada lahan sawah. Hal ini mungkin karena ada anggapan bahwa meningkatkan produksi padi sawah lebih mudah dan lebih menjanjikan dibanding padi gogo yang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi. Padahal lahan kering tersedia cukup luas dan berpotensi untuk menghasilkan padi gogo > 5 t/ha. 43
Lahan kering yang potensial dapat menghasilkan bahan pangan yang cukup dan bervariasi, tidak hanya padi gogo tetapi juga bahan pangan lainnya, bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi pengembangan yang tepat. Bahan pangan bukan hanya beras, tetapi juga jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dibudidayakan di lahan kering. Dalam tulisan ini dikemukakan ketersediaan lahan kering yang sesuai untuk tanaman pangan, berbagai teknologi pengelolaan lahan yang efektif, seperti konservasi dan rehabilitasi tanah, pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air pertanian, dan strategi pengembangan pertanian lahan kering tersebut di Indonesia.
sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datarbergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15−30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Tabel 1).
POTENSI DAN MASALAH PERTANIAN LAHAN KERING
Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi.
Potensi Lahan Kering Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buahbuahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang
Masalah Pemanfaatan Lahan Kering untuk Tanaman Pangan
Kesuburan tanah Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam
Suriadikarta et al. 2002). Bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001). Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani et al. 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam tersebut umumnya kurang potensial untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng curam, dan solum dangkal.
Topografi Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka ter-
Tabel 1. Luas lahan kering yang sesuai untuk pertanian. Dataran rendah (ha) Provinsi
Dataran tinggi (ha) Total
Tanaman semusim
Tanaman tahunan
Total
Tanaman semusim
Tanaman tahunan
Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
4.899.476 925.412 1.091.878 10.180.151 1.801.877 4.360.318
15.848.203 3.982.008 1.335.469 14.340.956 3.664.040 8.282.809
20.747.679 4.907.420 2.427.347 24.521.107 5.465.917 12.643.127
1.103.176 200.687 58.826 592.129 70.780 43.094
992.055 484.960 201.761 389.521 1.134.320 233.981
2.095.231 685.647 260.587 981.650 1.205.100 277.075
22.842.910 5.593.067 2.687.934 25.502.757 6.671.017 12.920.202
Indonesia
23.259.112
47.453.485
70.712.597
2.068.692
3.436.598
5.505.290
76.217.887
Total
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2001).
44
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
hadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar-bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet.
Ketersediaan air pertanian Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal. Wilayah barat lebih basah dibandingkan dengan wilayah timur, dan secara temporal terdapat perbedaan distribusi hujan pada musim hujan dan kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, curah hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga IP dapat ditingkatkan menjadi 2−2,50 (Las et al. 2000; Amien et al. 2001).
Kepemilikan lahan Tantangan yang lebih berat dan sukar diatasi adalah permasalahan sosial ekonomi, antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit. Data sensus pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Abdurachman et al. 2005) menunjukkan luas lahan pertanian di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat. Di lain pihak, jumlah rumah tangga petani (RTP) meningkat secara signifikan dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam 10 tahun terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah secara signifikan seiring dengan laju pertambahan penduduk maka jumlah petani gurem akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat. Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Penggunaan dan Ketersediaan Lahan Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70,20 juta ha, sekitar 61,53 juta ha di antaranya berupa lahan kering (Tabel 2) dengan produktivitas relatif rendah, jauh di bawah potensi hasil. Produktivitas padi gogo berkisar antara 2−3 t/ha, padahal potensinya dapat mencapai 4−5 t/ha (Sumarno dan Hidayat 2007). Demikian juga komoditas lain, seperti kedelai, masih dapat ditingkatkan. Menurut Subandi (2007), peluang peningkatan produktivitas kedelai masih terbuka, karena hasil di tingkat petani (0,60−2 t/ha) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil di tingkat penelitian, yang berkisar antara 1,70−3,20 t/ha. Selain meningkatkan produktivitas lahan kering yang sudah ada (existing), produksi bahan pangan dapat pula ditingkatkan melalui perluasan areal tanam pada lahan kering. Dari 76,22 juta ha lahan kering yang sesuai untuk pertanian (Tabel 1), lahan yang telah digunakan (tegalan, perkebunan, kayu-kayuan, dan pekarangTabel 2. Penggunaan lahan kering untuk pertanian. Tipe penggunaan
Luas (ha)
Tegalan Lahan terlantar Perkebunan Padang rumput Kayu-kayuan Pekarangan
14.614.144 11.341.757 1) 18.489.589 2.432.113 1) 9.303.625 5.357.596
Total
61.538.824
Belum dimanfaatkan. Sumber: Badan Pusat Statistik (2005).
1)
an) baru mencapai 47,76 juta ha (Tabel 2), sehingga masih tersedia 28,46 juta ha lahan untuk perluasan areal pertanian, termasuk lahan terlantar 13,77 juta ha. Perluasan areal pertanian memerlukan lahan cadangan yang sesuai dari aspek biofisik dan saat ini belum digunakan. Lahan yang masih tersedia saat ini umumnya ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Melalui tumpang tepat (overlay) peta penggunaan lahan skala 1: 250.000, kecuali Papua skala 1:1.000.000, dengan peta arahan tata ruang pertanian, diperoleh lahan kering cadangan 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman semusim (termasuk tanaman pangan) dan 15,31 juta ha untuk tanaman tahunan (Tabel 3). Namun, lahan cadangan tersebut sulit ditemukan di lapangan, terutama karena status kepemilikannya belum jelas, apakah tergolong tanah negara, HGU, HPH, tanah ulayat, tanah masyarakat yang diterlantarkan, atau lainnya. Oleh karena itu, untuk memperoleh luas dan lokasi lahan terlantar secara pasti, perlu penghitungan secara menyeluruh dengan melibatkan Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, dan Departemen Dalam Negeri.
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN KERING Dari segi luas, potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi, namun terdapat permasalahan biofisik dan sosial ekonomi yang harus diatasi untuk meningkatkan produktivitasnya secara ber-
Tabel 3. Luas lahan kering (ha) yang tersedia untuk perluasan areal pertanian. Lahan kering tanaman semusim
Lahan kering tanaman tahunan
Total
Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
1.311.776 40.544 137.659 3.639.403 215.452 1.738.978
3.226.785 158.953 610.165 7.272.049 601.180 3.440.973
4.538.561 199.497 747.824 10.911.452 816.632 5.179.951
Indonesia
7.083.812
15.310.105
22.393.917
Pulau
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007).
45
kelanjutan. Beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan meliputi pengelolaan kesuburan tanah, konservasi dan rehabilitasi tanah, serta pengelolaan sumber daya air secara efisien.
Pengelolaan Kesuburan Tanah Pengelolaan kesuburan tanah tidak terbatas pada peningkatan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Hal ini berarti bahwa pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, kehidupan organisme tanah, dan untuk mendukung berbagai proses penting di dalam tanah. Salah satu teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang penting adalah pemupukan berimbang, yang mampu memantapkan produktivitas tanah pada level yang tinggi. Hasil penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan pentingnya pemupukan berimbang dan pemantauan status hara tanah secara berkala. Penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat, misalnya takaran tidak seimbang, serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun (Santoso dan Sofyan 2005). Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Praktek pemakaian pupuk oleh petani pada lahan-lahan mineral masam, meskipun pada saat ini masih dilakukan dengan takaran rendah, dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas tanaman. Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Lahan kering akan mampu menyediakan air dan hara yang cukup bagi tanaman bila struktur tanahnya baik sehingga mendukung peningkatan efisiensi pemupukan. 46
Jenis pupuk lain yang mulai berkembang pesat adalah pupuk hayati (biofertilizer) seperti pupuk mikroba pelarut fosfat, pupuk mikroba pemacu tumbuh dan pengendali hama, dan mikroflora tanah multiguna. Pupuk hayati selain mampu meningkatkan ketersediaan hara, juga bermanfaat untuk: 1) melindungi akar dari gangguan hama penyakit, 2) menstimulasi sistem perakaran agar berkembang sempurna dan memperpanjang usia akar, 3) memacu mitosis jaringan meristem pada titik tumbuh pucuk, kuncup bunga, dan stolon, 4) penawar racun beberapa logam berat, 5) metabolit pengatur tubuh, dan 6) bioaktivator perombak bahan organik. Di samping pemupukan, pengapuran juga penting untuk meningkatkan produktivitas tanah masam, antara lain untuk mengurangi keracunan aluminium (Al). Cara untuk menentukan takaran kapur yang perlu diberikan adalah dengan menentukan sensitivitas tanaman dan kemudian mengukur kejenuhan Al dalam tanah dengan analisis tanah (Dierolf dalam Santoso dan Sofyan 2005).
Konservasi Tanah dan Rehabilitasi Lahan Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan kering, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti tanaman pangan (Abdurachman dan Sutono 2005; Kurnia et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan budi daya tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46−351 t/ha/tahun (Sukmana 1994; 1995). Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga hara dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian. Erosi juga merusak sifat fisik tanah. Oleh karena itu, penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usaha tani pada lahan kering. Target yang harus dicapai adalah menekan erosi sampai di bawah batas toleransi, dengan kisaran antara 1,10−13,50 t/ha/tahun, bergantung pada sifat tanah dan substratanya (Thompson dalam Arsyad 2000). Untuk menekan erosi sampai di bawah ambang batas toleransinya, beberapa jenis teknik konservasi dapat diterapkan dengan memperhatikan persyaratan teknis (Agus et al. 1999).
Teras bangku merupakan teknik konservasi yang banyak diterapkan di Jawa dan Bali. Teknik ini telah dikembangkan secara luas sejak tahun 1975 melalui inpres penghijauan (Siswomartono et al. 1990). Teras bangku cukup disukai petani, dan juga efektif mencegah erosi dan aliran permukaan (Abdurachman dan Sutono 2005). Beberapa teknik konservasi lain dapat dijadikan alternatif, seperti teras gulud untuk tanah yang dangkal (< 40 cm), rorak atau teknik konservasi vegetatif seperti alley cropping dan strip rumput. Selain murah, teknik konservasi vegetatif memiliki keunggulan lain, yaitu dapat berfungsi sebagai sumber pakan dan pupuk hijau atau bahan mulsa, bergantung pada jenis tanaman yang digunakan. Dalam prakteknya, penerapan teknik konservasi mekanik sering dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi (Dariah et al. 2004; Santoso et al. 2004) dan lebih cepat diadopsi petani. Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi tanaman tahunan. Pengaturan jalur penanaman atau bedengan yang searah kontur juga berkontribusi dalam mencegah erosi. Pengolahan tanah secara intensif merupakan penyebab penurunan produktivitas lahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan dapat merusak struktur tanah (Larson dan Osborne 1982; Suwardjo et al. 1989) dan menyebabkan kekahatan bahan organik tanah (Rachman et al. 2004). Olah tanah konservasi (OTK) merupakan alternatif penyiapan lahan yang dapat mempertahankan produktivitas lahan tetap tinggi (Brown et al. 1991; Wagger dan Denton 1991). OTK dicirikan oleh berkurangnya pembongkaran atau pembalikan tanah, mengintensifkan penggunaan sisa tanaman atau bahan lainnya sebagai mulsa, kadang-kadang (namun tidak dianjurkan) disertai penggunaan herbisida untuk menekan pertumbuhan gulma atau tanaman pengganggu lainnya. Rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi dapat mendukung optimalisasi lahan kering, antara lain dengan menanam legum penutup tanah atau tanaman penghasil Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
bahan organik lainnya, khususnya yang bersifat in situ seperti alley cropping dan strip cropping. Penggunaan bahan pembenah tanah baik organik maupun mineral juga dapat merehabilitasi lahan terdegradasi.
Pengelolaan Air Pertanian Kelangkaan air sering kali menjadi pembatas utama dalam pengelolaan lahan kering. Oleh karena itu, inovasi teknologi pengelolaan air dan iklim sangat diperlukan, meliputi teknik panen hujan (water harvesting), irigasi suplemen, prediksi iklim, serta penentuan masa tanam dan pola tanam. Pemanenan air dapat dilakukan dengan menampung air hujan atau aliran permukaan pada tempat penampungan sementara atau permanen, untuk digunakan mengairi tanaman (Subagyono et al. 2004). Oleh karena itu, pemanenan air selain berfungsi menyediakan air irigasi pada musim kemarau, juga dapat mengurangi risiko banjir pada musim hujan. Teknologi ini bermanfaat untuk lahan yang tidak mempunyai jaringan irigasi atau sumber air bawah permukaan (ground water). Di daerah arid dan semiarid banyak dipraktekkan teknik modifikasi mikrorelief seperti pematang setengah lingkar (half moon dykes), rorak, sistem gulud menurut kontur, gulud berblok, dan lain-lain. Embung, kedung, dan dam parit juga merupakan teknik panen air yang telah berkembang di beberapa daerah di Indonesia. Namun, Agus et al. (2005) menyatakan perlu analisis ekonomi yang komprehensif tentang manfaat dan keuntungan pembuatan bangunan pemanen air seperti embung. Irigasi suplemen merupakan istilah yang digunakan dalam pemberian dan pendistribusian air pada lahan kering, yang mencakup dua aspek penting, yaitu besarnya air yang diberikan dan interval pemberiannya (Agus et al. 2005). Jumlah air yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia. Berdasarkan sarana irigasi yang digunakan, sistem irigasi suplemen terdiri atas: 1) irigasi permukaan, 2) irigasi bawah permukaan, 3) irigasi sprinkle, 4) irigasi tetes, dan 5) kombinasi dari dua atau lebih sistem (irigasi hybrid). Tersedianya sarana irigasi memungkinkan pemberian air dapat dilakukan lebih teliti. Untuk irigasi tetes Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
atau sprinkle, pemberian air dapat dikombinasikan dengan pemupukan. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air, konsep management allowable depletion atau maximum allowable depletion (MAD) dapat digunakan dalam merancang penjadwalan irigasi suplemen bagi suatu jenis tanaman. MAD dapat didefinisikan sebagai derajat kekeringan tanah yang masih diperbolehkan untuk menghasilkan produksi yang optimum. Subagyono (1996) dan Sutono et al. (2006) melaporkan bahwa untuk tanaman jagung, efisiensi penggunaan air irigasi tertinggi dicapai pada level MAD 75% pada tanah lempung berpasir dari Zeebrugge, Belgia, dan untuk tanaman cabai pada tanah Typic Kanhapludults di Lampung dicapai pada level MAD 60% air tersedia.
STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING Pertanian lahan kering tidak memerlukan banyak air, seperti halnya budi daya padi sawah, sementara ketersediaan lahan kering masih luas. Selain itu, teknologi pengelolaan lahan kering cukup banyak tersedia. Namun, pemanfaatan kedua komponen tersebut dan pelaksanaannya di lapangan memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat.
Identifikasi Lahan yang Sesuai Cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lahan yang sesuai untuk pertanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan menggunakan peta penggunaan lahan skala 1:250.000 yang ditumpangtepatkan dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman pangan semusim dan 15,31 juta ha untuk tanaman tahunan. Untuk memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya 1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu ditunjang dengan informasi sosialekonomi, terutama status kepemilikan lahan, sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan nonteknis, yang dapat menggagalkan pen-
dayagunaan lahan kering yang telah direncanakan.
Seleksi Teknologi Tepat Guna Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah tersedia, baik teknologi konservasi tanah, peningkatan kesuburan tanah, pengelolaan bahan organik tanah, dan pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi tersebut, perlu diseleksi teknologi yang tepat guna, sesuai dengan kondisi lahan (tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dulu karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih betul-betul efektif dan dapat diadopsi petani. Karakteristik lahan dapat diketahui melalui pemetaan skala detail (1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000. Dengan menggunakan peta dengan skala sangat detail, pemilihan komoditas dan teknologi dapat dilakukan dengan lebih tepat. Aspek sosial-ekonomi petani dapat diketahui dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA).
Diseminasi Teknologi Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat, termasuk teknologi pengelolaan lahan (tanah, air, dan iklim). Teknologi tersebut disebarkan melalui seminar, simposium, jurnal, serta media cetak dan elektronik. Namun akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga cara dan media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan metode diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi. Salah satu terobosan dalam diseminasi teknologi pertanian adalah melalui Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, terutama yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering, termasuk pengembangan budi daya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya dengan introduksi benih unggul, pemupukan, dan rotasi tanaman, dapat berkembang lebih cepat dan mampu 47
meningkatkan produksi bahan pangan nasional secara signifikan.
berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan menguntungkan.
Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah menghasilkan berbagai varietas unggul dan teknologi budi daya seperti pengendalian hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan pengembangan padi gogo jauh tertinggal. Sejalan dengan itu, minat dan upaya petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah. Ke depan, penelitian dan pengembangan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian yang lebih besar, termasuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian diarahkan pada teknologi pengelolaan padi gogo dan palawija sebagai bagian dari sistem usaha tani (farming system) yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara komprehensif, dalam arti peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari
Jalan keluar untuk menembus kebuntuan peningkatan produksi bahan pangan nasional adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering melalui: a) peningkatan produktivitas lahan pertanian yang sudah ada saat ini, dan b) perluasan lahan pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan kering terlantar. Di wilayah dataran rendah, lahan yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan berupa lahan datar-bergelombang (lereng < 15%), yang luasnya sekitar 23,30 juta ha. Di wilayah dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan mencakup 2,10 juta ha. Namun, lahan tersebut sebagian besar telah digunakan untuk berbagai kepentingan, baik pertanian maupun nonpertanian. Lahan kering yang dapat digolongkan sebagai cadangan untuk tanaman pangan semusim tersedia sekitar 7,08 juta ha, yang saat ini berupa lahan alang-alang atau semak-belukar. Upaya pengelolaan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan
pangan menghadapi permasalahan teknis dan sosial-ekonomis, antara lain lahan berlereng terjal, kesuburan tanah rendah, kemasaman tinggi, kekurangan air irigasi, dan status kepemilikan lahan tidak jelas. Berbagai masalah tersebut perlu diatasi dengan menerapkan teknologi, kelembagaan, dan kebijakan pemerintah yang tepat. Berbagai teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia, mencakup pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian erosi (konservasi tanah), rehabilitasi lahan, dan pengelolaan sumber daya air secara efisien. Yang menjadi masalah adalah lemahnya diseminasi teknologi inovatif kepada para petani dan lambatnya adopsi teknologi tersebut. Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan produksi bahan pangan memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat, yaitu: a) identifikasi lahan kering yang sesuai untuk pertanian, b) seleksi teknologi pengelolaan lahan kering yang tepat guna, c) diseminasi teknologi pengelolaan lahan kering secara intensif, dan d) peningkatan penelitian pertanian lahan kering, terutama budi daya padi gogo, palawija, dan tanaman semusim lainnya dalam sistem usaha tani terpadu.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Mulyani, G. Irianto, dan N. Heryani. 2005. Analisis potensi sumber daya lahan dan air dalam mendukung pemantapan ketahanan pangan. hlm. 245−264. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 17−19 Mei 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, Departemen Kesehatan, Bappenas, Departemen Pertanian, dan Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta. Abdurachman, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. hlm. 103−145. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
48
Agus, F., A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talao’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Departemen Kehutanan, Jakarta. Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi hemat air dan irigasi suplemen. hlm. 223−245. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Amien, L.I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A. Hamdani. 2001. Analisis pasokan dan kebutuhan air untuk pertanian pangan dan kebutuhan lainnya. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Pedoman Umum Prima Tani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Edisi II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 30. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Brown, R.E., J.L. Havlin, D.J. Lyons, C.R. Fenster, and G.A. Peterson. 1991. Long-term tillage and nitrogen effects on wheat production in a wheat fallow rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, and SSSA, Denver Colorado, 27 October–1 November 1991. 326 pp. Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi konservasi mekanik. hlm. 109−132. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Departemen Pertanian. 2008. Impor beras per negara asal. www.deptan.go.id. [18 April 2008].
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1−34. Dalam A. Abdurachman, Mappaona, dan Saleh (Ed.). Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Isa, I. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi tanah pertanian. Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor. hlm. 17. Kurnia, U., Sudirman, dan H. Kusnadi. 2005. Teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan. hlm. 147−182. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Larson, W.E. and G.J. Osborne. 1982. Tillage accomplishments and potential. In Predicting Tillage Effects on Soil Physical Properties and Processes. ASA Special Publ. No. 44. Las, I., S. Purba, B. Sugiharto, dan A. Hamdani 2000. Proyeksi kebutuhan dan pasokan pangan tahun 2000−2020. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan kering di Indonesia. hlm. 1−32. Dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 37 hlm. Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. 2004. Olah tanah konservasi. hlm. 189−210. Dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Santoso, D., I P.G. Wigena, Z. Eusof, and C. Xuhui. 1995. The Asian land management of sloping lands network: Nutrient balance
Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008
study on sloping land. p. 103−108. In A. Maglinao and A. Sajjapongse (Eds.). International Workshop on Conservation Farming for Sloping Upland in South East Asia: Challenge, Opportunities, and Prospects. IBSRAM Proc. No. 14. Bangkok, Thailand. Santoso, D., J. Purnomo, I G.P. Wigena, dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi vegetatif. Olah tanah konservasi. hlm. 77− 108. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Santoso, D. dan A. Sofyan. 2005. Pengelolaan hara tanaman pada lahan kering. hlm. 73− 100. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Siswomartono, D., A.N. Gintings, K. Sebayong, and S. Sukmana. 1990. Development of conservation farming systems, Indonesia Country Review. Regional Action Learning Programme on the Development of Conservation Farming Systems. Report of the Inaugural Workshop. Chiang Mai, 23 February-1 March 1990. ASOCON Report No. 2. Soepardi, H.G. 2001. Strategi usaha tani agribisnis berbasis sumber daya lahan. hlm. 35− 52. Prosiding Nasional Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Pupuk Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Subagyono, K. 1996. Water Use Efficiency and Available Water Capacity for Irrigated Corn in Reclaimed Saline Soil. MSc. Thesis. International Training Center for PostGraduate Soil Science, Faculty of Science, University of Gent, Belgium. Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Talao'ohu. 2004. Teknologi konservasi air pada pertanian lahan kering. hlm. 151−188. Dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Subandi. 2007. Teknologi dan strategi pengembangan kedelai pada lahan kering masam. Iptek Tanaman Pangan 2(1): 12−25. Sukmana, S. 1994. Budi daya lahan kering ditinjau dari konservasi tanah. hlm. 25−39. Dalam Prosiding Penanganan Lahan Kering Marginal melalui Pola Usaha Tani Terpadu. Jambi, 2 Juli 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sukmana, S. 1995. Teknik konservasi tanah dalam penanggulangan degradasi tanah pertanian lahan kering. hlm. 23−42. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sumarno dan R. Hidayat. 2007. Perluasan areal padi gogo sebagai pilihan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Iptek Tanaman Pangan 2(1): 26−40. Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatiek. 2002. Teknologi pengelolaan bahan organik tanah. hlm. 183−238. Dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sutono, S., U. Haryati, dan K. Subagyono. 2006. Optimalisasi irigasi tanaman cabai di lahan kering. hlm. 339−358. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, 14−15 September 2006. Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989. The use of crop residue mulch to minimize tillage frequency. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 8: 31−37. Wagger, M.G. and H.P. Denton. 1991. Consequences of continuous and alternating tillage regimes on residue cover and grain yield in a corn-soybean rotation. In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, and SSSA, Denver Colorado, 27 October–1 November 1991. 344 pp.
49