Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
KEBIJAKAN INVESTASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN Effendi Pasandaran dan Suherman PENDAHULUAN
Mengingat sumber daya lahan yang tersedia untuk pangan kecenderungannya semakin menipis maka upaya pengelolaan lahan disuatu wilayah untuk menopang kemandirian pangan tidak saja menjadi kepentingan satu sektor atau sistem birokrasi tertentu saja tetapi menjadi kepentingan berbagai pihak. Demikian pula mengingat sumber daya lahan (SDL) adalah bagian integral sumber alam (SDA) maka kebijakan investasi sumber daya lahan dalam suatu wilayah hendaknya di soroti dari berbagai perspektif dan oleh karena itu menjadi kepentingan semua pihak. Sumber daya lahan juga terkait dengan sumber daya lainnya seperti air dan vegetasi, dan sumber daya manusia yang mengelolanya. Secara bersama-sama faktor-faktor tersebut mempengaruhi integritas ekosistem dan sebagai konsekwensinya mempengaruhi keberlanjutan kemandirian pangan. Masyarakat petani adalah pengguna jasa ekosistem terbesar dalam produksi pangan dan pertanian pada umumnya oleh karena itu setiap strategi kebijakan yang mengangkat penguatan ketahanan dan kemandirian pangan pada tingkat lokal, regional, atau nasional hendaknya berpangkal dari pola pikir bahwa masyarakat petani merupakan arus utama yang perlu di fasilitasi untuk memperkuat kreatifitasnya sehingga muncul suatu masyarakat belajar (learning society) yang mampu menggunakan potensi penuh yang ada pada mereka. Kita sekarang telah berada pada dasawarsa kedua abad 21. Faktor-faktor yang mendominasi pemikiran dalam pemilihan kebijakan paroh terakhir abad 20 tidak lagi mendominasi pemikiran pada abad 21. Pendekatan sentralistik yang mendominasi pelaksanaan revolusi hijau melalui program intensifikasi seperti Bimas dan Inmas tidak lagi merupakan program andalan abad 21 walaupun dewasa ini dalam rangka mendukung upaya pencapaian swa-sembada pangan masih tampak pengulangan pendekatan yang pernah dilakukan dalam mendukung pelaksanaan revolusi hijau abad 20. Di masa yang akan datang sektor pertanian tidak hanya menghadapi persoalan ketahanan pangan tetapi juga ketahanan energi dan ketahanan air yang akan menggeser penggunaan lahan tidak saja untuk pangan tetapi juga untuk bioenergi. Faktor-faktor produksi yang merupakan determinan produksi seperti lahan, tenaga kerja, kapital, dan juga kelembagaan dan teknologi juga terus berubah. Ketersediaan faktor-faktor tersebut secara relatif akan terus berubah dan mempengaruhi kinerja pertanian pada umumnya dan ketahanan pangan khususnya. Sekitar 75 persen penduduk miskin dunia berada disektor pertanian dan pedesaan (World Bank, 2007). Oleh karena itu tantangan kedepan tidak saja menyangkut ketahanan pangan tetapi bagaimana memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa krisis pangan dapat saja terjadi disetiap saat baik disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal sistem produksi nasional. Timmer (2010,a) mencatat ada krisis pangan yang muncul dalam selang waktu tertentu, demikian pula krisis pangan yang terkait dengan krisis ekonomi dan finansial (Baharsyah et al, 2014) krisis pangan yang dapat menimbulkan keputusan politik yang responsif seperti membangun irigasi dalam skala luas (Vlughter, 1949). Oleh karena itu dalam mengatasi krisis pangan perlu ditempuh langkah-langkah kebijakan yang bersifat antisipatif (Pasandaran et al, 2014). Upaya mendukung ketahanan pangan perlu memberhatikan konsep keberlanjutan dalam mewujudkan tujuan yaitu pengurangan kemiskinan dipedesaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya (Timmer, 2010,b). Menurut Timmer lebih lanjut
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
11
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
bahwa kerangka dasar pemahaman kebijakan kemandirian pangan harus mengintegrasikan kebijan makro dan mikro dan dalam perspektif jangka pendek dan panjang. Tulisan ini dimulai dengan menyoroti masalah yang menyangkut ketahanan pangan dan pertanian pada umumnya yang secara dinamis dipengaruhi oleh pergeseran lingkungan strategis termasuk pergeseran faktor-faktor produksi. Selanjutnya disoroti dinamika dan pergeseran produksi komoditi pangan yang meliputi padi dan palawija khususnya jagung dan kedelai. Berdasarkan kecenderungan pergeseran produksi termasuk areal panen dan produktifitas dibahas arah kebijakan investasi dan pengelolaan sumber daya lahan yang diperlukan untuk mendukung upaya memperkuat kemandirian pangan.
MASALAH DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI
Ketersediaan lahan pertanian perkapita akan terus menurun apalagi dengan pertumbuhan penduduk Indonesia seperti akhir-akhir ini dan kecenderungan konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah beririgasi yang semakin meningkat. Dewasa ini diperkirakan ada sekitar 8 juta hektar sawah baik sawah irigasi maupun sawah tadah hujan yang digarap oleh sekitar 23 juta keluarga petani. Penguasaan rata-rata lahan sawah perkeluarga adalah sepertiga ha. Sebagai perbandingan pada tahun 1950 diperkirakan ada sekitar 4,5 juta ha lahan sawah yang terdiri dari 3 juta ha lahan sawah beririgasi dan 1,5 juta ha sawah tadah hujan. Lahan sawah tersebut digarap oleh sekitar 6 juta keluarga tani atau rata-rata penguasaan lahan sawah sebesar 0,75 ha per keluarga. Luas penguasaan lahan sawah perkeluarga dewasa ini hanya sekitar 40 persen luas penguasaan lahan sawah tahun 1950. Namun demikian intensitas tanam dilahan beririgasi paling tidak meningkat 75 persen dan produktifitas meningkat sampai 3 kali lipat karena dukungan revolusi hijau. Masalah yang dihadapi adalah terobosan-terobosan inovasi yang muncul belum dapat mengimbangi kecenderungan menurunnya penguasaan lahan perkeluarga tani. Menurut Uphoff (2007) secara global luas lahan pertanian perkapita pada tahun 2050 diperkirakan akan menjadi sepertiga luas lahan pertanian perkapita tahun 1950. Sebagai salah satu konsekwensi dari semakin sempitnya lahan pertanian adalah semakin banyaknya penduduk pedesaan yang tidak memiliki lahan garapan, semakin meningkatnya jumlah buruh tani, semakin banyaknya penduduk miskin, dan semakin sulitnya menopang ketahanan pangan keluarga. Menurut BPS disamping lahan sawah ada lahan tegalan dan kebun yang dimanfaatkan untuk usahatani pangan yaitu lahan kering yang ditanami tanaman semusim atau tahunan yang terpisah dengan pekarangan rumah serta penggunaannya tidak berpindah-pindah. Pada tahun 2009 ada sekitar 12 juta ha lahan tegal/kebun diseluruh Indonesia. Dari sejumlah 58.000 desa diseluruh Indonesia ada sekitar 63 persen desa yang didominasi oleh lahan kering. Sekitar separoh dari lahan kering tersebut didominasi oleh lahan kering tanaman pangan (Bambang Irawan, 2011). Data statistik BPS tidak menunjukkan berapa porsi tanaman palawija yang ditanam di lahan kering dan berapa di lahan sawah?. Namun pada tahun 2009 misalnya dapat ditelusuri berdasarkan total areal lahan kering yang potensial dapat ditanami palawija yang meliputi jagung, ubi kayu, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi jalar diperkirakan seluas 2,8 juta ha panen palawija seluas 7,15 juta ha berasal dari lahan sawah atau sekitar 39 persen total panen palawija. Pada tahun yang sama areal panen padi di lahan sawah adalah seluas 11,8 juta ha. Dengan demikian luas panen palawija pada lahan sawah diperkirakan sekitar 23,8 persen dari areal panen padi pada lahan sawah.
12
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Pada tahun 2012 walaupun areal panen palawija menurun dibandingkan dengan areal panen pada tahun 2009 yaitu menjadi 6,64 juta ha namun porsi yang dipanen di lahan sawah tidak menurun banyak yaitu sekitar 38 persen. Demikian pula rasio terhadap areal panen padi sekitar 21 persen. Data ini menunjukkan bahwa areal sawah tetap menunjukkan porsi yang substansial untuk diperhitungkan dalam peningkatan produksi palawija dimasa yang akan datang. Namun dengan terjadinya proses konversi lahan sawah di pulau Jawa perlu diperhatikan tidak saja pergeseran komoditi dalam suatu wilayah tetapi juga antar wilayah kepulauan.
GAMBARAN DINAMIKA DAN PERGESERAN PRODUKSI KOMODITI PANGAN Pergeseran Luas Lahan yang Ditanami, Luas Panen, Dan Produksi Padi. Secara menyeluruh dalam kurun waktu 30 tahun yaitu antara tahun 1980 dan 2010 telah terjadi perubahan perubahan yang cukup berarti sebagai berikut. Pertama, Walaupun produksi padi menjadi lebih dari dua kali lipat dari sekitar 29,65 juta ton pada tahun 1980 menjadi 66,47 juta ton pada tahun 2010 namun kontribusi terbesar tetap berasal dari areal sawah beririgasi yaitu sekitar 86 persen dari total produksi (Tabel 1). Selama kurun waktu yang sama areal sawah tadah hujan menurun dari 2,27 juta ha menjadi 1,74 juta ha atau sekitar 23 persen. Sebagian dari areal tersebut mungkin menjadi areal sawah beririgasi atau mengalami konversi ke penggunaan lain. Sebagai akibatnya kontribusi terhadap produksi padi nasional menurun dari 11,5 persen pada tahun 1980 menjadi 8,1 persen pada tahun 2010. Tabel. 1 Areal tanam, areal panen dan produksi padi di Indonesia 1980
1990
2000
2010
Lahan
Irigasi
LH
LP
P
LH
LP
P
LH
LP
P
LH
LP
P
4.040
6.707
25.485
4.450
7.565
38.580
4.648
8.273
43.845
4.893
12.118
57.046
(57,1)
(68,8 )
(85,9 )
(54,2)
(66,8)
(85,4)
(61,4)
(73,9)
(84,5)
(60,84)
(79,37)
(85,82)
2.270
2.270
3.405
2.187
2.187
4.593
1.991
1.991
6.172
1.741
1.741
5.397
(32,1)
(23,3 )
(11,5 )
(26,6)
(19,3)
(10,2)
(26,3)
(17,8)
(11,9)
(21,65)
(11,40)
(8,12)
Tadah hujan
Rawa pasang surut
473
473
568
481
481
770
587
587
1.232
274
274
(6,7)
(4,9 )
(1,9 )
(5,9)
(4,2)
(1,7)
(7,8)
(5,2)
(2,4)
(3,41)
(1,79)
575 (0,87)
293
293
194
1.100
1.100
1.237
340
340
649
1.135
1.135
(4,1)
(3,0 )
(0,7 )
(13,4)
(9,7)
(2,7)
(4,5)
(3,0)
(1,3)
(14,11)
(7,43)
(5,19)
3.451
7.076
9.742
29.652
8.218
11.332
45.179
7.565
11.191
51.899
8.043
15.268
66.469
(100)
(100 )
(100)
(100)
(100)
(100 )
(100)
(100 )
(100 )
(100 )
(100)
(100)
Lahan kering
Total
LH = Areal tanam (1000 Ha); LP = areal panen (1000 Ha); P= Produksi (1000 Ton) Angka dalam kurung adalah persen terhadap total Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
Secara menyeluruh konribusi lahan sawah baik yang beririgasi maupun tadah hujan menjadi 94 persen pada tahun 2010. Kontribusi produksi padi yang berasal dari wilayah pasang surut merosot menjadi kurang dari satu persen. Hal ini disebabkan oleh terjadinya konversi lahan padi pasang surut menjadi lahan kelapa sawit. Sebaliknya kontribusi produksi padi yang berasal dari lahan kering menjadi meningkat secara signifikan dalam kurun waktu 30 tahun dari 0,7 persen pada 1980 menjadi 5,2 persen pada 2010. Peningkatan kontribusi tersebut disebabkan oleh perluasan areak tanam dari 293 ribu ha pada tahun 1980 menjadi 1,14 juta ha pada tahun 2010. Disamping itu produktifitas padi lahan kering juga meningkat. Menurut data BPS dalam kurun waktu satu darsa warsa terakhir produktifitas padi lahan kering meningkat dari 2,1 ton per ha pada tahun 2001 menjadi 3,3 ton per ha pada 2013. Mengingat luas areal lahan kering potensial yang dapat ditanami padi mungkin jauh lebih luas dari luas lahan sawah maka wilayah tersebut memberikan peluang yang perlu
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
13
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
dielaborasi lebih lanjut. Sampai sejauh ini tidak banyak upaya yang dilakukan untuk memperkuat kemampuan wilayah tersebut dalam peningkatan produksi padi nasional. Disamping pergeseran kontribusi menurut berbagai tipe lahan selama lebih dari tiga dasa warsa terakhir telah terjadi pergeseran kontribusi wilayah menurut pulau-pulau baik dalam areal panen maupun produksi. Tabel 2. Menunjukkan bahwa kontribusi pulau jawa dalam areal panen semakin menurun dari 53 persen pada tahun 1980 menjadi 46,3 persen pada tahun 2014. Dipihak lain walaupun terjadi konversi lahan sawah kelahan kelapa sawit akhir-akhir ini namun kontribusi pulau Sumatera meningkat dari 22,8 persen menjadi 29,1 persen. Tabel 2. Pangsa Luas Panen Padi menurut Wilayah (%) Wilayah
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
Jawa
53,0
53,5
51,8
47,9
48,7
48,2
48,0
46,3
Sumatera
22,8
23,6
24,4
26,3
25,9
26,3
25,5
25,1
5,9
5,4
5,4
5,3
5,7
5,1
5,3
6,0
Bali dan NT Kalimantan
8,9
8,2
8,6
9,6
9,3
9,8
9,8
9,6
Sulawesi
9,0
9,1
9,6
10,6
10,0
10,1
10,9
12,3
Maluku dan Papua
0,4
0,2
0,2
0,3
0,4
0,5
0,5
0,7
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Indonesia 100,0 100,0 100,0 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
Kontribusi pulau Sulawesi sedikit lebih besar yaitu dari 9,0 persen pada tahun 1980 menjadi 12,3 persen pada tahun 2014. Pulau-pulau lainnya tidak mengalami peningkatan kontribusi yang berarti yaitu hanya dibawah satu persen. Data pada tabel 3 menunjukkan bahwa walaupun pulau Jawa mengalami penurunan pangsa areal panen yang cukup berarti namun kontribusi pulau Jawa terhadap produksi padi nasional mengalami penurunan cukup drastis yaitu dari 62,1 persen pada tahun 1980 menjadi 51,8 persen pada tahun 2014. Walaupun demikian produktifitas rata-rata pulau Jawa masih lebih tinggi dari pulau-pulau lainnya apabila diperhatikan bahwa kontribusi areal panen pulau tersebut hanya 46,3 persen dibandingkan dengan kontribusi produksi sebesar 51,1 persen. Tabel 3. Pangsa Produksi Padi menurut Wilayah (%) Wilayah
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
Jawa
62,1
62,1
60,2
56,7
56,1
55,0
54,7
51,8
Sumatera
19,2
19,6
20,9
22,7
22,8
23,4
22,9
23,5
Bali dan NT
5,4
5,0
5,1
5,0
5,3
4,8
4,8
5,4
Kalimantan
5,5
4,7
4,8
5,5
5,8
6,7
6,7
6,8
Sulawesi
7,7
8,5
8,9
10,0
9,8
9,8
10,5
12,0
Maluku dan Papua
0,1
0,1
0,1
0,2
0,2
0,3
0,4
0,5
Indonesia 100,0 100,0 100,0 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
100,1
100,0
100,0
100,0
100,0
Tabel 3 selanjutnya menunjukkan bahwa walaupun kontribusi pulau Kalimantan terhadap areal panen pada tahun 2014 adalah sebesar 9,6 persen namun kontribusi terhadap produksi hanya 6,8 persen yaitu dengan produktifitas rata-rata dibawah produktifitas nasional. Kontribusi Sulawesi dalam areal panen dan produksi hampir sama sehingga dapat dikatakan bahwa produktifitas padi di pulau Sulawesi mencerminkan produktifitas rata-rata nasional. Walaupun kontribusi Sulawesi pada tahun 2014 hanya sedikit lebih dari 50 persen terhadap kontribusi pulau Sumatera namun kontribusi tersebut bersifat progresif karena pada tahun 1980 kontribusi Sulawesi hanya sekitar 40 persen terhadap kontribusi pulau Sumatera. Kontribusi tersebut disebabkan oleh progres dalam areal panen. Pada tahun 1980 kontribusi
14
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
areal panen Sulawesi terhadap areal panen Sumatera hanya sekitar 39 persen dan pada tahun 2014 telah menjadi 49 persen. Dapatlah disimpulkan bahwa dari perkembangan areal panen selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa Pulau Sulawesi lebih prospektif untuk dikembangkan. Persaingan pemanfaatan lahan antar berbagai komoditi lebih menonjol di pulau Sumatera dibandingkan dengan pulau Sulawesi. Mengingat peluang pengembangan irigasi memungkinkan peningkatan intensitas tanam maka pulau Sulawesi perlu ditempatkan sebagai prioritas dalam pengkajian kelayakan investasi untuk perluasan areal irigasi. Termasuk dalam kelayakan investasi adalah ketersediaan air untuk irigasi, menurut peta yang disusun oleh Puslitbang Air Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2002 pulau Jawa sudah dianggap kritis dari ketersediaan air yaitu diperkirakan sebesar 1600 m3 perkapita pertahun demikian pula sebagian dari Sulawesi dan Sumatera. Diperlukan peta ketersediaan air yang lebih rinci sebagai bagian integral perencanaan pembangunan ekonomi termasuk pembangunan pertanian. Dari perspektif produksi baik areal panen maupun produktifitas mempunyai peran yang perlu diperhitungkan. Gambar 1a menunjukkan fluktuasi pertumbuhan produksi pada setiap kurun waktu lima tahun dari tahun 1980 sampai tahun 2014. Secara menyeluruh pertumbuhan yang tinggi terjadi pada kurun waktu antara 1980-1985 yaitu pertumbuhan sekitar 5,7 persen yang disebabkan oleh pertumbuhan areal panen sebesar 2,0 persen dan pertumbuhan produktifitas sebesar 3,7 persen. 8,00 7,00
Persentase Pertumbuhan
6,00 5,00 4,00
3,7 1,9
3,00 1,8
2,00 1,00
1,98 1,20
0,2
0,00 1980-1985
1985-1990
2,30
1,82
1990-1995
0,4 0,35
0,6 0,41
1995-2000
2000-2005
0,6 0,97
2005-2010
2010-2014
-1,00 Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 1a. Pertumbuhan Produksi Padi Berbasis Pertumbuhan Areal Panen dan Produktifitas di Indonesia
Kurun waktu tersebut ditandai oleh kemampuan Indonesia mencapai swa-sembada beras pada tahun 1984. Namun setelah kurun waktu tersebut produksi padi cenderung menurun baik areal panen maupun produktifitas. Penurunan drastis terjadi pada kurun waktu antara 1995 dan 2000 yang ditandai oleh terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 dan kekeringan besar yang disebabkan oleh el-nino pada tahun yang sama. Pertumbuhan yang rendah juga terjadi pada kurun waktu sesudahnya yaitu antara tahun 2000 dan 2005. Pemulihan baru terjadi antara tahun 2005 dan 2010 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,2 persen. Mengingat tingkat produksi pada periode lima tahun sebelumnya telah turun maka pertumbuhan tersebut belum bararti pemulihan sepenuhnya.
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
15
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Pada kurun waktu antara 2010 dan 2014 kembali terjadi penurunan pertumbuhan produksi yang signifikan yaitu menjadi 1,6 persen. Pertumbuhan areal panen merosot menjadi 0,97 persen dan pertumbuhan produktifitas menjadi 0,6 persen. Ada faktor lain yang perlu diperhatikan untuk menerangkan rendahnya pertumbuhan produksi tersebut. Pada era reformasi telah terjadi tsunami penggunaan pestida di Indonesia. Apabila pada tahun 2000 impor pestisida Indonesia sekitar 50 juta US dollar maka pada tahun 2010 impor pestisida Indonesia telah menjadi 200 juta US dollar. Meningkatnya penggunaan pestisida dapat dilihat dengan makin banyak beredarnya pestisida dengan berbagai merek. Menurut data Kementerian Pertanian pada tahun 1988 ada 562 merek pestisida di pasar lokal. Tahun 1993 meningkat menjadi 713 merek dan pada tahun 2012 meningkat lagi menjadi 2.987 merek. Menurut Wienarto et al (2012) Indonesia sejak kurun tahun 2009–2011 mengalami ledakan serangan wereng batang coklat di pertanaman padi, khususnya di banyak kabupaten di Jawa. Selain tikus dan penggerek batang, maka wereng batang coklat adalah hama utama di tanaman padi. Pada musim gadu tahun 2011 serangan tertinggi berada di Jawa Timur, yang juga pengguna benih padi hibrida utama. Lebih dari 100.000 hektar padi sawah di Jawa rusak karena hama ini, sebagian hancur total. Pada tahun 2010, ratusan hektar padi sawah yang berada di dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan Perusahaan benih negara, Sang Hyang Sri di kabupaten Subang hancur karena wereng. Di Klaten, ditemukan ada desa-desa yang 4 musim tanam tidak panen karena wereng. Untuk menjelaskan dampaknya terhadap produksi khususnya produksi padi di pulau Jawa gambar 1b menunjukkan pertumbuhan padi setiap lima tahun seperti pada tabel 1a. 8
7
Persentase Pertumbuhan
6
5
4
3,48 1,92
3
2 1,89 1
2,23
2,21 0,48
0 1980-1985
1,01
0,47
0,36
1985-1990
1990-1995
-0,28 1995-2000
0,53 -0,08 2000-2005
2005-2010
0,11 0,03 2010-2014
-1 Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 1b. Pertumbuhan Produksi Padi Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktifitas di Jawa
Fluktuasi pertumbuhan peroduksi mempunyai pola yang sama dengan pola pertumbuhan produksi kecuali pada kurun waktu antara tahun 2010-2014 pertumbuhannya menjadi sangat rendah hampir mendekati nol persen. Besar kemungkinan penurunan tersebut disebabkan oleh serangan hama wereng coklat di pulau Jawa.
16
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Gambar 1c menunjukkan bahwa di luar Jawa pertumbuhan areal panen pada kurun waktu yang sama adalah minus 3,29 persen sedangkan pertumbuhan produktifitas hanya sebesar 1,84 persen. 8
Persentase Pertumbuhan
6
4
3,98
5,53
0,46
1,73
1,98
2 3,31 1,73
2,40
2,03 1,02
0
1,84
0,93
-0,25
1980-1985
1985-1990
1990-1995
1995-2000
2000-2005
2005-2010
2010-2014 -3,29
-2
-4 Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 1c. Pertumbuhan Produksi Padi Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktifitas Di Luar Jawa.
Hal itu berarti bahwa secara keseluruhan pertumbuhan produksi padi diluar pulau Jawa pada kurun waktu tersebut adalah minus 1,45 persen. Berkurangnya produksi dalam kurun waktu tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh konversi lahan sawah menjadi areal yang ditanami kelapa sawit terutama di pulau Sumatera. Selanjutnya tabel 4 menunjukkan data impor beras Indonesia disandingkan dengan produksi padi dan beras selama kurun waktu sepuluh tahun antara tahun 2004 dan 2014. Tabel 4. Impor Beras dan Produksi Padi di Indonesia Tahun
Volume (ribu ton)
Nilai (US$ Juta)
Produksi Padi (ribu ton)
Produksi Beras (ribu ton)*)
% Impor terhadap produksi
2004
236,8
67,7
54.088
33.935
0,70
2005
189,6
51,5
54.151
33.974
0,56
2006
438,1
132,6
54.454
34.165
1,28
2007
1.396,4
464,4
57.157
35.861
3,89
2008
296,7
124,1
60.325
37.848
0,78
2009
250,4
108,2
64.398
40.404
0,62
2010
687,6
360,7
66.469
41.703
1,65
2011
2.750,9
1.513,1
65.756
41.256
6,67
2012
1.810,3
945,6
69.056
43.326
4,18
2013
432,9
226,4
71.291
44.728
0,97
Catatan: *) besaran konversi padi ke beras mengacu dari BPS sebesar 62,74% Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
17
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Walaupun antara 2005 dan 2010 pertumbuhan produksi cukup tinggi (lihat gambar 1a namun pada tahun tertentu terjadi lonjakan impor beras yaitu pada tahun 2007. Data produksi pada tahun yang sama ataupun tahun sebelumnya tidak dapat menjelaskan mengapa terjadi lonjakan impor yang cukup besar. Namun impor tersebut diduga mampu meredam krisis pangan yang bersifat global pada tahun 2008 yang ditunjukkan oleh melonjaknya harga beras pada tahun 2008. Lonjakan impor beras terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu impor sebesar 2,75 juta ton beras. Besar kemungkinan hal tersebut terjadi sebagai akibat ledakan serangan hama wereng coklat di pulau Jawa dan dampak akumulatif konversi lahan di luar Jawa. Memperhatikan perkembangan impor beras berapa luas areal yang dibutuhkan untuk mencapai dan mempertahankan swa-sembada beras?. Kalau hanya mengatasi impor tertinggi sebesar 2,75 juta ton yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu tambahan areal panen seluas satu juta ha sudah cukup memadai. Namun demikian ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi produksi padi: Pertama, konversi lahan sawah yang konsekwensinya memerlukan tambahan perluasan areal baru; Kedua, walaupun konsumsi beras perkapita sebagai akibat meningkatnya pendapatan masyarakat golongan menengah keatas cenderung menurun namun permintaan beras akan terus meningkat sekitar 1,0 persen pertahun sampai dengan tahun 2050 (Kasryno, et al, 2011). Demikian pula dengan memperhatikan kecenderungan situasi pangan dalam jangka panjang seperti yang dilaporkan FAO, IFAD, UNCTAD dan World Bank (2010), Kasryno et al, mengusulkan perlunya tambahan areal sawah untuk produksi pangan seluas 2 juta ha sampai dengan tahun 2050 untuk mendukung kemandirian pangan Indonesia.
Perspektif Komoditi Palawija Walaupun dalam diskusi selanjutnya akan disoroti komoditas jagung dan kedelai namun sebelumnya diberi gambaran tentang perkembangan komoditi palawija pada umumnya. Dilihat dari luas panen dan produksi ada tiga komoditi palawija yang dominan yaitu jagung, kedelai, dan ubi kayu (Tabel 5a dan 5b). Komoditi palawija lainya yang juga agak menonjol adalah kacang tanah, kemudian disusul oleh kacang hijau dan ubi jalar. Tabel 5a. Luas Panen Palawija Tahun 2009-2013 (Ha) Komoditi
2009
2010
2011
2012
2013
Rata-2
Jagung
4.160.659
4.131.676
3.864.692
3.957.595
3.857.359
3.994.396
Kedelai
58% 722.791
59% 660.823
58% 622.254
60% 567.624
60% 554.132
625.525
Kc. Tanah
10% 622.616
9% 620.563
9% 539.459
9% 559.538
9% 520.621
9% 572.559
9% 288.206
9% 258.157
8% 297.314
8% 245.006
8% 182.483
8%
Kc. Hijau Ubi Kayu
4% 1.175.666
4% 1.183.047
4% 1.184.696
4% 1.129.688
3% 1.137.210
1.162.061
Ubi Jalar
16% 183.874
17% 181.073
18% 178.121
17% 178.295
18% 166.332
177.539
3%
3%
3%
3%
3%
3%
Total 7.153.812 7.035.339 6.686.536 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
6.637.746
6.418.137
6.786.314
59%
254.233 4% 17%
Tabel 5a menunjukan bahwa luas panen palawija secara menyeluruh antara kurun waktu tahun 2009 dan 2013 cenderung menurun terutama komoditi jagung, kedelai, dan kacang tanah. Sebab-sebab terjadinya penurunan tidak begitu jelas kemungkinan karena faktor-
18
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
faktor harga komoditi dan produktifitas yang merosot atau karena daya saing dengan komoditi lain yang dapat ditanam pada lahan yang sama berkurang. Kecenderungan tersebut tidak secara signifikan menggeser pangsa masing-masing komoditi terhadap total areal panen. Pada tahun 2013, misalnya, pangsa areal panen jagung adalah 60 persen lebih tinggi dua persen dari tahun 2009 sebesar 58 persen walaupun areal panen jagung pada tahun 2013 berkurang hampir 300 ribu ha dari tahun 2009. Tabel 5b. Produksi Palawija Tahun 2009-2013 (Ton) Komoditi
2009
2010
2011
2012
2013
Rata-2
Jagung
17.629.748
18.327.636
17.643.250
19.387.022
18.510.435
18.299.618
Kedelai
974.512
907.031
851.286
843.153
807.568
876.710
Kc. Tanah
777.888
779.228
691.289
712.857
907.207
773.694
Kc. Hijau
314.486
291.705
341.342
284.257
209.924
288.343
Ubi Kayu
22.039.145
23.918.118
24.044.025
24.177.372
25.494.507
23.934.633
Ubi Jalar 2.057.913 2.051.046 2.196.033 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
2.483.460
2.366.410
2.230.972
Tabel 5b menunjukkan bahwa walaupun ada penurunan areal panen jagung yang terjadi dalam kurun waktu 2009–2013 (lihat Tabel 5a) namun produksi jagung meningkat dari sekitar 17.630 ribu ton menjadi sekitar 18.510 ribu atau peningkatan sekitar lima persen. Besar kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh peningkatan luas areal panen jagung hibrida yang umumnya mempunyai produktifitas yang lebih tinggi dari produktifitas varitas jagung lainnya. Peningkatan produktifitas juga dapat disebabkan oleh meluasnya areal tanam jagung dilahan sawah beririgasi (lihat misalnya Udin, et al, 2005, Sumaryanto, 2005). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada komoditi ubi kayu dan kacang tanah yang menunjukkan adanya peningkatan produktifitas kedua komoditas tersebut yang mampu mekonpensasi pengurangan areal panen.
Produksi Jagung Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir telah terjadi pergeseran peran pulau-pulau dalam produksi jagung. Dalam kurun waktu tersebut pulau Jawa masih tetap merupakan produsen utama jagung Indonesia walaupun pangsa areal panennya cenderung menurun dari 66,3 persen pada tahun 1980 menjadi 50,9 persen pada tahun 2014 (Tabel 6). Tabel 6. Pangsa Luas Panen Jagung menurut Wilayah (%) Wilayah Jawa Sumatera
1980 66,3
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
61,2
62,8
57,4
55,9
55,2
51,8
50,9
4,1
9,5
13,0
18,3
21,3
21,6
22,0
19,5
Bali dan NT
10,9
11,1
9,2
9,1
9,2
8,6
8,1
10,4
Kalimantan
0,6
1,3
1,2
1,3
1,6
1,7
1,8
1,7
17,4
16,2
13,2
13,4
11,7
12,4
15,8
17,1
0,7
0,7
0,6
0,5
0,3
0,5
0,5
0,4
Indonesia 100,0 100,0 100,0 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Sulawesi Maluku dan Papua
Lonjakan areal panen yang menyolok terjadi di pulau Sumatera. Apabila pada tahun 1980 pangsa areal panen masih 4,1 persen maka pada tahun 2014 telah melonjak hampir lima kali lipat yaitu menjadi 19,5 persen. Menurut Pasandaran dan Kasryno (2005) meluasnya areal panen jagung di Sumatera terutama terjadi sebagai respon terhadap peningkatan
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
19
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
permintaan komoditi tersebut untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan di Lampung dan Sumatera Utara. Selanjutnya Tabel 7 mengungkapkan bahwa produktifitas komoditi jagung di pulau Jawa dan Sumatera lebih tinggi dari produktifitas rata-rata nasional hal tersebut ditunjukkan oleh pangsa produksi dikedua pulau tersebut yang lebih tinggi dari pangsa areal panennya yang tertera pada Tabel 6. Pangsa produksi kedua pulau tersebut walaupun cenderung menurun sejak dua dasawarsa terakhir masih sekitar 75 persen pada tahun 2014. Pangsa produksi pulau Sulawesi relatif konsisten sejak lebih dari tiga dasawarsa terakhir yaitu sekitar 16 persen demikian pula pangsa areal panennya (Tabel 6) sekitar 17 persen. Produktifitas jagung pulau Sulawesi merefleksikan produktifitas rata-rata nasional. Pangsa produksi di Bali dan Nusa Tenggara (NT) sedikit menurun walaupun pangsa areal panennya lebih tinggi dari pangsa produksi. Secara keseluruhan telah terjadi pergeseran produksi dan areal panen kearah barat Indonesia yang ditunjukkan oleh pangsa Sumatera yang semakin dominan. Tabel 7. Pangsa Produksi Jagung menurut Wilayah (%) Wilayah
1980
Jawa
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2014
70,7
66,3
67,6
61,4
59,8
59,5
54,2
53,4
Sumatera
3,6
9,9
12,9
18,2
21,7
21,2
23,5
21,2
Bali dan NT
8,5
8,7
7,5
6,9
7,1
5,8
5,3
7,7
Kalimantan
0,4
0,9
0,8
0,8
0,9
1,5
1,7
1,4
16,3
13,8
10,8
12,4
10,3
11,7
15,1
16,1
0,5
0,4
0,4
0,3
0,2
0,3
0,2
0,2
Indonesia 100,0 100,0 100,0 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Sulawesi Maluku dan Papua
Dari perspektif pertumbuhan produksi gambar 2a menunjukkan dinamika pertumbuhan produksi jagung di Indonesia. 12,0
10,0 3,7
Persentase Pertumbuhan
8,0
6,0
5,5 1,4
4,0 4,5
7,2
2,0
4,6 4,0
4,1
1,1 0,0 1980-1985
2,9
2,7
2005-2010
2010-2014 -1,5
0,9 1985-1990
1990-1995
-0,1 1995-2000
2000-2005
-2,0
-4,0 Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 2a. Pertumbuhan Produksi Jagung Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktifitas di Indonesia
Seperti yang ditunjukkan oleh data pada Tabel 6 areal panen jagung di Sumatera mulai meluas sejak tahun 1985 dan sebagai akibatnya kurun waktu antara tahun 1985 dan 1990 menunjukkan pertumbuhan produksi yang paling tinggi sebesar 11,6 persen selama lebih dari tiga dasa warsa terakhir. Pangsa areal panen terhadap produksi berangsur-angsur menurun. Pada kurun waktu 1995 sampai 2000 kontribusi areal panen hanya 0,1 persen. Hal ini
20
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
kemungkinan karena adanya el-nino panjang pada kurun waktu tersebut. Pangsa areal panen kemudian sedikit meningkat namun pada kurun waktu 2010–2014 kembali menurun menjadi minus 1,5 persen. Pertumbuhan produksi dalam kurun waktu tersebut menjadi terendah selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir yaitu hanya sebesar 1,2 persen. Tabel 2b menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi di pulau Jawa hanya 0,6 persen. Rendahnya pertumbuhan produksi tersebut disebabkan oleh pertumbuhan produktifitas yang rendah dan merosotnya areal panen . 12 3,4
10
Persentase Pertumbuhan
8
6
4
4,6
8,4
2
0,9
8,3
4,7 3,5
3,9
2,9
1,9 0 1980-1985
1985-1990
1990-1995
0,6
0,1 1995-2000
2000-2005
1,7 2005-2010
2010-2014 -2,1
-2
-4
Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 2b. Pertumbuhan Produksi Jagung Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktifitas di Pulau Jawa
Pertumbuhan produktifitas yang disebabkan oleh meluasnya areal panen jagung hibrida tidak dapat sepenuhnya mengkonpensasi berkurangnya produksi karena merosotnya areal panen. Merosotnya areal panen jagung di pulau Jawa besar kemungkinan terjadi antara lain karena konversi lahan sawah beririgasi yang menyebabkan sebagian areal sawah yang ditanam jagung dimusim kemarau juga turut terkonversi. Seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2c pertumbuhan produksi di luar pulau Jawa juga mengalami penurunan yang cukup berarti terutama sejak lebih dari satu dasawarsa terakhir.
Persentase Pertumbuhan
16
11 17,0 3,8
4,1
1
7,0 2,3
6 5,8
5,2
1,3
1980-1985
1985-1990
1990-1995
4,2 1,3
0,2 -1,3
2,6 -0,8
1995-2000
2000-2005
2005-2010
2010-2014
-4 Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 2c. Pertumbuhan Produksi Jagung Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktifitas di Luar Jawa
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
21
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Dalam kurun waktu 2000–2005 pertumbuhan produksi merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 18,3 persen suatu lonjakan dari kurun waktu sebelumnya (1995–2000) yang mengalami pertumbuhan yang terendah yaitu minus 1,3 persen. Pemulihan produksi yang tinggi terutama disebabkan pertumbuhan produktifitas yang meningkat pesat dengan pangsa terhadap pertumbuhan sebesar 17,0 persen. Tidak jelas alasan-alasan yang melatar belakangi fenomena tersebut demikian pula penurunan pertumbuhan yang terjadi sesudahnya yaitu kurun waktu 2005–2010 dan kurun waktu 2010–2014.
Produksi Kedelai Pergeseran pangsa areal panen kedelai dalam kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa terakhir mempunyai pola yang menyerupai pergeseran pangsa areal panen jagung. Tabel 8. Pangsa Luas Panen Kedelai menurut Wilayah (dalam %) Wilayah Jawa
1980
1985
80,1
64,9
Sumatera
8,6
20,2
Bali dan NT
6,5
8,9
Kalimantan
0,6
0,9
Sulawesi
4,0
Maluku dan Papua
0,2
1990
1995
54,4
2000
2005
2010
67,1
28,2
27,8
14,5
8,8
10,9
13,0
10,1
10,7
9,8
16,0
14,1
12,5
1,0
1,7
2,0
1,0
1,5
1,8
4,7
6,0
7,1
5,5
4,6
6,0
10,3
0,4
0,3
0,6
1,1
1,4
1
0,8
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Indonesia 100,0 100,0 100,0 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
68,2
2014
52,1
66,5
61,6
Seperti yang tertera pada Tabel 8 pangsa areal panen kedelai di pulau Jawa menurun cukup drastis dari 80,1 persen pada tahun 1980 menjadi 61,6 persen pada tahun 1984. Sebaliknya pangsa areal panen pulau Sumatera meningkat dari 8,6 persen pada tahun 1980 menjadi 13,0 persen pada tahun 2014. Pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode awal yaitu tahun 1985 sampat dengan 1995 kemudian berangsur-angsur menurun. Wilayah lainnya yang mengalami pertumbuhan areal panen adalah Bali dan NTT, dan pulau Sulawesi. Pangsa produksi kedelai juga mengalami pergeseran dengan kecenderungan yang sama dengan perluasan areal panen (Tabel 9). Tabel 9. Pangsa Produksi Kedelai menurut Wilayah (dalam %) Wilayah Jawa
1980
1985
81,0
68,2
Sumatera
7,6
Bali dan NT
7,4
1990
1995
2000
2005
2010
69,8
69,8
2014
58,8
53,9
70,0
65,2
18,4
23,7
26,7
13,1
8,3
10,8
11,6
8,0
10,0
9,8
8,7
14,9
11,1
11,3
Kalimantan
0,4
0,7
0,8
1,6
1,7
0,9
1,3
1,6
Sulawesi
3,4
4,4
6,5
7,5
5,5
5,1
6,3
9,7
Maluku dan Papua
0,2
0,3
0,2
Indonesia 100,0 100,0 100,0 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS
0,5
1
1
0,7
0,6
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
Apabila dibandingkan antara Tabel 8 dan 9 diperoleh gambaran bahwa produktifitas kedelai di pulau Jawa sedikit lebih tinggi dari produktifitas nasional sedangkan produksi wilayah pulau- pulau lainnya seperti Sumatera, Bali dan NTT, dan Sulawesi sedikit lebih rendah dari produktifitas nasional. Selanjutnya gambar 3a, 3b, dan 3c menunjukkan pola pertumbuhan produksi dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir berturut-turut secara nasional, wilayah pulau Jawa, dan wilayah luar Jawa. Pada periode awal (gambar 3a) pertumbuhan dalam kurun waktu 1980-
22
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
1985, 1985–1990, dan 1990–1995, pertumbuhan produksi didominasi oleh pangsa pertumbuhan areal panen. ϭϰ͕Ϭ ϭϮ͕Ϭ 2,8
WĞƌƐĞŶƚĂƐĞWĞƌƚƵŵďƵŚĂŶ
ϭϬ͕Ϭ ϴ͕Ϭ
2,4
ϲ͕Ϭ
9,6
ϰ͕Ϭ
1,3 5,9
Ϯ͕Ϭ
0,4 2,6
Ϭ͕Ϭ ͲϮ͕Ϭ
1980-1985
1985-1990
1990-1995
1,4
3,0
2,5
2005-2010
-1,6 2010-2014
1,1
1995-2000
2000-2005 -4,7
Ͳϰ͕Ϭ -10,3
Ͳϲ͕Ϭ
Ͳϴ͕Ϭ ͲϭϬ͕Ϭ
>ƵĂƐWĂŶĞŶ
WƌŽĚƵŬƚŝǀŝƚĂƐ
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 3a .Pertumbuhan Produksi Kedelai Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktifitas di Indonesia
Pertumbuhan yang tertinggi terjadi dalam kurun waktu 1985–1990 yaitu sebesar 11,6 persen. Namun setelah kurun waktu tersebut pertumbuhan produksi kedelai merosot secara tajam. Pertumbuhan produksi kedelai paling rendah terjadi pada kurun waktu 1995–2000 yaitu minus 8,9 persen dan selanjutnya tahun 2000–2005 yaitu minus 3,6 persen. Pola kecenderungan yang sama juga terjadi di pulau Jawa walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan nasional (Gambar 3b). 14 12
Persentase Pertumbuhan
10 8 3,1
6 4
3,1
2
3,7 1,8
0 -2
1,9
5,4
1980-1985
1985-1990
1,9 -0,3
1,8
1990-1995
1995-2000
0,7
2000-2005 -4,6
-6
1,8
2005-2010
2010-2014 -3,3
-4 -6 -8 -10 Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 3b .Pertumbuhan Produksi Kedelai Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktifitas di Jawa
Pada kurun waktu sebelum 1995 di pulau Jawa juga terjadi pertumbuhan produksi dengan pertumbuhan tertinggi pada kurun waktu 1995–1990 yaitu sebesar 8,5 persen. Pertumbuhan tersebut didominasi oleh pangsa perluasan areal panen yang tinggi yaitu 5,4
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
23
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
persen. Selanjutnya dalam kurun waktu 1990–1995 pertumbuhan produksi merosot dengan pangsa pertumbuhan produktifitas minus 0,3 persen dan pangsa pertumbuhan areal panen sebesar 1,9 persen. Merosotnya pertumbuhan produksi dalam kurun waktu sesudahnya terutama disebabkan oleh merosotnya areal panen kedelai di pulau Jawa. Salah satu alasan merosotnya areal panen di pulau Jawa karena usahatani komoditi tersebut menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan usahatani komoditi pangan lainnya (Satya Budhi dan Aminah, 2010). Hal tersebut terjadi karena risiko yang tinggi yang disebabkan oleh hama penyakit dengan intensitas tinggi dibandingkan dengan komoditi padi dan jagung. Beralihnya petani ke usaha tani lainnya karena pada saat panen tidak saja kuantitas yang kurang tetapi juga kualitas produksi (Sri Rahayu et al, 2014). Demikian pula pasar kedelai yang cenderung oligopoli berdampak buruk pada ketidak stabilan suplai dan harga kedelai impor (Nuryanti dan Kustiari, 2000). Walaupun terjadi penurunan areal panen di pulau Jawa dan ada perluasan areal panen yang pesat di luar Jawa pada kurun waktu sebelum tahun 1995 (gambar 3c) namun secara menyeluruh produksi kedelai Indonesia tetap merosot (tabel 5b). 20 18
1,0
4,3
16 14 Persentase Pertumbuhan
12 10 8
18,1
16,6
6 4
1,6
2
3,5
0
-2
1980-1985
1985-1990
1990-1995
6,4 0,3 1995-2000
1,9 2000-2005 -4,4
-0,2 2005-2010
0,9 1,9 2010-2014
-4 -6 -15,8
-8 -10 -12 -14 -16
Luas Panen
Produktivitas
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS Gambar 3c. Pertumbuhan Produksi Kedelai Berbasis Pertumbuhan Areal Panen Dan Produktivitas di Luar Jawa
Hal tersebut terjadi karena setelah tahun 1995 khususnya kurun waktu 1995–2000 areal panen kedelai juga merosot tajam dengan pangsa minus 15,8 persen dan pangsa produktifitas sebesar 0,3 persen. Demikian pula dalam kurun waktu tahun 2000–2005 terjadi penurunan pangsa areal panen terhadap pertumbuhan produksi sebesar minus 4,9 persen sedangkan produktifitas hanya meningkat 1,9 persen. Pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari diskusi sebelumnya menunjukkan bahwa usahatani kedelai mengalami tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan usahatani jagung. Menurut Suyamto dan Widiarta (2011) ada berbagai kendala yang dihadapi meliputi rendahnya produktifitas yang antara lain disebabkan oleh belum berkembangnya industri perbenihan, kerentanan terhadap hama penyakit, belum di praktekannya budidaya yang maju, dan pemasaran yang kurang mendukung daya saing. Menurut perkiraan mereka diperlukan tambahan areal panen seluas 1,5 sampai 2 juta ha untuk mendukung tercapainya swa-sembada kedelai. Sampai dewasa ini belum ada terobosan teknologi dan kelembagaan yang mampu memperbaiki daya saing komoditi tersebut seperti halnya dengan jagung hibrida yang mampu meningkatkan produktifitas jagung secara signifikan.
24
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Tabel 10 menunjukkan bahwa produksi jagung Indonesia cenderung meningkat selama lebih dari satu dasawarsa terakhir dengan impor yang cenderung fluktuatif dan meningkat. Tabel 10. Impor dan Produksi Jagung Indonesia Tahun
Volume Impor (000 Ton) *)
Produksi (000 ton) **)
Nilai Impor (juta US$) *)
% Impor terhadap produksi
2000
1.236,8
150,2
9.676,9
12,8
2001
1.075,7
137,1
9.347,2
11,5
2002
1.197,4
149,6
9.654,1
12,4
2003
1.371,1
177,2
10.886,4
12,6
2004
1.115,1
189,1
11.225,2
9,9
2005
234,7
45,6
12.523,9
1,9
2006
1.842,9
299,1
11.609,5
15,9
2007
771,7
174,6
13.287,5
5,8
2008
393,3
135,9
16.317,3
2,4
2009
421,2
107,4
17.629,7
2,4
2010
1.786,8
484,2
18.327,6
9,7
2011
3.310,9
1.084,4
17.643,3
18,8
2012
1.889,4
578,8
19.387,0
9,7
2013
3.255,4 699,4
952,4 172,6
18.511,9
17,6
2014#)
19.127,4
3,7
Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS #) data semester I
Impor tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 3,3 juta ton dengan nilai sebesar 1.084,4 juta US $. Volume impor jagung pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 18,8 persen dari produksi jagung nasional. Ada kecenderungan bahwa harga jagung impor meningkat sejak beberapa tahun terakhir yang antara lain dipicu oleh meningkatnya permintaan terhadap biofuel yang berasal dari minyak jagung (Baier, et al, 2009). Demikian pula kontribusi jagung Amerika Serikat yang tinggi yaitu sekitar 55–60 persen perdagangan dunia dan berkembangnya produksi bioetanol yang berasal dari jagung di negara tersebut telah mendorong peningkatan harga komoditi jagung dunia (Naylor et al, 2007). Oleh karena itu upaya meningkatkan produksi jagung dalam jangka panjang diperlukan untuk mengimbangi permintaan terhadap bioethanol. Apabila tambahan lahan untuk sawah seluas dua juta ha dapat dipenuhi maka peluang peningkatan areal panen untuk swa-sembada jagung juga dapat dipenuh dengan memanfaatkan tambahan lahan sawah baru disamping adanya prospek tambahan areal lahan kering untuk mendukung produksi tiga komoditi yaitu padi, jagung, dan kedelai. Berbeda dengan jagung volume impor kedelai cenderung meningkat dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Pada tahun 2006 volume impor mencapai 3.279.000 ton yaitu volume impor tertinggi antara tahun 2000 dan 2013 (Tabel 11). Walaupun setelah tahun tersebut volume impor cenderung fluktuatif dan menurun, namun nilai impor cenderung meningkat. Nilai impor tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 1.339,9 juta US $ walaupun volume impornya hanya 2.128,7 ribu ton. Ini berarti harga impor persatuan komoditi kedelai cenderung terus meningkat. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa rasio volume impor terhadap produksi dalam negeri komoditi kedelai jauh lebih tinggi dari rasio yang sama pada komoditi jagung dan padi. Pada tahun 2006 misalnya volume impor kedelai adalah lebih dari empat kali produksi dalam negeri demikin pula pada tahun 2002 dan 2003. Pada komoditi jagung rasio tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu hanya sebesar 18,8 persen (Tabel 10), sedangkan
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
25
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
pada komoditi beras yang tertinggi yang terjadi pada tahun 2011 hanya sebesar 6,67 persen terhadap produksi dalam negeri (Tabel 4). Tabel 11. Impor dan Produksi Kedelai Indonesia Tahun
Volume Impor (000 Ton) *)
Nilai Impor (juta US$) *)
Produksi (000 ton) **)
% Impor terhadap produksi
2000
1.262,0
268,7
1.017,6
124
2001
2.728,3
611,1
826,9
330
2002
2.716,6
591,1
673,1
404 413
2003
2.773,4
706,7
671,6
2004
2.881,7
967,9
723,5
398
801,8
808,4
369 439
2005
2.982,9
2006
3.279,3
809,1
747,6
2007
1.440,9
500,8
592,5
243 155
2008
1.203,0
732,7
775,7
2009
1.343,0
647,7
974,5
138
2010
1.772,6
871,2
907,0
195 250
2011
2.125,5
1.290,1
851,3
2012
2.128,7
1.339,9
843,2
252
779,9
232
2013 #) 1.810,1 1.131,1 Sumber: diolah dari data Kementerian Pertanian dan BPS #) data semester I
ARAH KEBIJAKAN INVESTASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN Memperhatikan dinamika perkembangan produksi termasuk pergeseran wilayah dan kecenderungan impor masing-masing komoditi dapat ditarik pelajaran-pelajaran sebagai berikut. Ada kecenderungan bahwa ketersedian lahan merupakan kendala umum yang dihadapi untuk peningkatan produksi ketiga komoditi tersebut. Pergeseran peran Pulau Jawa dalam areal panen dan produksi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan investasi untuk padi, jagung, dan kedelai harus diarahkan keluar Jawa. Sebagai lumbung pangan peran pulau Jawa masih sangat signifikan oleh karena itu peran pulau Jawa dalam produksi pangan tidak boleh serta merta diabaikan tetapi perlu di pertahankan mengingat populasi penduduk pulau Jawa yang tinggi dan produktifitas tanaman pangan yang masih lebih tinggi dari pulau-pulau lainnya. Disamping ketersediaan lahan, faktor lain yang turut mempengaruhi dinamika pergeseran dan perkembangan produksi adalah produktifitas komoditi yang antara lain dipengaruhi oleh perkembangan teknologi produksi dan penerapannya oleh masyarakat petani. Ada berbagai kendala yang dihadapi seperti sistem perbenihan yang kurang mendukung, dan kerentanan terhadap hama dan penyakit terutama pada komoditi kedelai. Dinamika produksi komoditi pangan juga ditentukan oleh daya saing komoditi bersangkutan yang pada gilirannya dipengaruhi oleh perkembangan sistem kelembagaan pendukung, harga komoditi domestik dan harga impor. Pulau Sulawesi mempunyai kecenderungan untuk dikembangkan lebih cepat dari pulau Sumatera dan Kalimantan. Di pulau Sumatera persaingan penggunaan lahan antar komoditi khususnya antar komoditi kelapa sawit dan komoditi pangan merupakan kendala bagi
26
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
perluasan areal pangan di wilayah tersebut. Pulau Kalimantan walaupun mempunyai ketersedian lahan yang luas namun preferensi memperluas lahan untuk pangan terkendala oleh faktor-faktor seperti kesesuaian lahan dan produktifitas komoditi pangan yang relatif rendah. Oleh karena itu kebijakan investasi seperti pembangunan sistem irigasi perlu diarahkan ke pulau Sulawesi dan kawasan Indonesia Timur seperti Papua. Pulau Papua mempunyai potensi yang besar khususnya di daerah Merauke yang pembangunan pertanian pangannya telah dirintis sejak jaman kolonial. Mengingat pembangunan irigasi terkait dengan ketersediaan air maka diperlukan peta ketersediaan air yang lebih rinci sebagai bagian integral perencananaan pembangunan ekonomi termasuk pembangunan pertanian secara nasional dan khususnya di wilayah pulau Sulawesi dan Papua. Diperlukan tambahan lahan seluas 1,5 sampai 2 juta ha untuk mendukung kemandirian pangan termasuk didalamnya adalah areal irigasi untuk padi, dan areal panen untuk jagung dan kedelai. Besar kemungkinan lahan seluas 2 juta ha tidak dapat disediakan hanya oleh satu pulau seperti Sulawesi. Dalam jangka panjang Papua sebagai pulau yang ketersedian lahannya luas perlu di perhatikan. Secara menyeluruh lahan kering perlu dipetakan untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang pemanfaatannya dewasa ini termasuk peluang-peluang untuk peningkatan produksi pangan. Seperti telah dibahas sebelumnya sekitar 60 persen produksi palawija berada dilahan kering demikian pula pangsa produksi padi gogo terhadap produksi padi nasional semakin meningkat. Oleh karena itu dukungan lahan kering terhadap produksi pangan sangat menentukan arah kebijakan investasi produksi pangan di masa yang akan datang. Untuk maksud tersebut perlu disusun rancangan pengelolaan air yang komprehensif yang meliputi baik lahan kering maupun lahan irigasi. Pembangunan perekonomian Sulawesi sebagai suatu koridor ekonomi diharapkan ikut mendorong upaya memperkuat daya saing daerah dalam produksi komoditi pertanian dan pangan khususnya. Demikian Pula pembangunan wilayah Papua yang memiliki ketersediaan lahan yang luas. Pemetaan lebih lanjut mencakup peluang-peluang yang ada di Indonesia bagian timur seperti Papua dan Maluku yang masih mempunyai ketersediaan lahan yang cukup luas untuk produksi pangan. Mengingat karakteristik Indonesia yang terdiri dari kepulauan-kepulauan kecil maka konsep gugus pulau perlu dikembangkan lebih lanjut dalam mendukung kemandirian pangan nasional. Khusus untuk pembangunan pangan wilayah Papua menurut laporan YAPARI (2008) sejak tahun 1939 pemerintah Hindia belanda dalam mengantisipasi perkembangan perang dunia kedua yang telah meletus di Eropah,mulai merintis pembangunan wilayah berbasis produksi pangan di Kumbe, Merauke, Papua. Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan petani migran dari Jawa dan Bugis untuk membangun pertanian pangan wilayah tersebut. Setelah perang selesai dan Indonesia Merdeka, pemerintah Hindia Belanda yang menduduki Papua sampai tahun 1962 masih melanjutkan pembangunan di Wilayah Sungai Kumbe dengan introduksi mekanisasi pertanian. Pada era reformasi proyek tersebut dilanjutkan dalam skala yang direncanakan lebih luas dari yang telah dirintis pemerintah Belanda namun sampai dewasa ini tidak banyak kemajuan yang diperoleh. Salah satu sebabnya adalah belum adanya kemampuan eksploratif dalam membangun wilayah luas dalam jangka panjang. Suatu rencana jangka panjang diperlukan dalam membangun wilayah luas yang didukung oleh suatu blue print yang dapat dipakai sebagai pegangan bagi semua pihak yang terkait dengan pembangunan wilayah. Menurut hemat penulis pembangunan pertanian berbasis pangan diwilayah Merauke hendaknya dipandang sebagai bagian integral pembangunan wilayah yang pelaksanaannya memerlukan jangka waktu yang lebih panjang dari perkiraan yang ada dewasa ini mengingat berbagai kendala yang dihadapi baik yang menyangkut keragaman biofisik dan sosial budaya. Sebaliknya pembangunan wilayah pertanian pangan dipulau Sulawesi mempunyai peluang untuk dibangun dalam waktu yang relatif pendek dibandingkan dengan wilayah
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
27
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Papua mengingat adanya modal sosial yang cukup kuat seperti petani Bugis yang mempunyai keunggulan dalam merintis pembangunan pertanian pangan. Pemetaan sumber daya lahan dan air di Sulawesi relatif lebih mudah tidak saja dari aspek ketersediaan data tetapi dari kemiripan sifat-sifat ekoregion dengan wilayah lain di pulau yang sama.
PENUTUP Pelajaran yang diperoleh dari bahasan pada bab-bab sebelumnya adalah adanya pergeseran peran wilayah dalam kontribusinya terhadap pembangunan pertanian berbasis pangan. Salah satu potensi yang perlu segera dimanfaatkan adalah pembangunan pertanian berbasis pangan di Pulau Sulawesi. Pembangunan pertanian berbasis pangan dalam jangka panjang tidak perlu hanya dibatasi pada sistem sawah beririgasi tetapi di arahkan untuk memanfaatkan semua potensi yang tersedia. Lahan kering merupakan salah satu potensi yang segera perlu dipetakan mengingat adanya peluang-peluang yang muncul dalam pengembangan teknologi. Petani lahan kering juga memerlukan investasi publik untuk mendukung keberlanjutan pembangunan misalnya dalam pembangunan sistem konservasi lahan secara menyeluruh dalam suatu Daerah Aliran Sungai. Pembangunan pertanian berbasis pangan dalam wilayah luas seperti halnya di Merauke, Papua, hendaknya merupakan bagian integral pembangunan wilayah jangka panjang yang perlu disiapkan melalui penyiapan Blue Print yang dapat dijadikan pegangan bagi semua pihak yang terkait dengan pembangunan wilayah tersebut
DAFTAR PUSTAKA Baharsyah, S., F. Kasryno dan E. Pasandaran. 2014. Reposisi Politik Pertanian. Yayasan Pertanian Mandiri. Bogor. Baier, S., M. Clements, C. Griffiths and J. Ihrig. 2009. Biofuels Impact on Crop and Food Prices: Using an Interactive Spreadsheet. International Finance Discussion Papers. www.sssrn.com Bambang Irawan, 2011. Potensi Lahan Kering Sebagai Lahan Cadangan Pangan Nasional. Dalam: Kedi S., B. Sayaka, Handewi P. S., Haryono, E. Pasandaran, F. Kasryno (edt.) Membangun Kemampuan Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. IPB Press. BPS, Data di akses on line Tahun 2015. www.bps.go.id FAO, IFAD, UNCTAD and the World Bank. 2010. Principles for Responsible Agricultural Investment that Respects Rights, Livelihoods and Resources. Extended Version. World Bank. Washington D.C. 2010. Kasryno, F., M. Badrun dan E. Pasandaran. 2011. Land Grabbing Perampasan Hak Konstitusional Masyarakat. YAPARI – Yayasan Pertanian Mandiri Kementerian Pertanian, 2013. Statistik Pertanian Tahun 2013. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2014. Buletin Ekspor Impor Komoditas Pertanian. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta Naylor, R.L., A. Liska, M.B. Burke, W.P. Falcon and J.C. Gaskell. 2007. The Ripple Effect: Biofuels, Food Security, and the Environment. Agronomy Faculty Publication. University of Nebraska-Lincoln.
28
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
Kebijakan Investasi dan Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan
Nuryanti, Sri dan Reni Kustiari. 2000. Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai Dengan Kebijakan Tarif Impor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, hal. 5058 Pasandaran, E., Haryono, dan T. Pranadji. 2014. Reformasi Kebijakan Dalam Perspektif Sejarah Politik Pertanian Indonesia. Dalam: E. Pasandaran, M. Rachmat, S. Mardianto, Sumedi, Handewi P. Salim dan Haryono (edt.). Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. IAARD Press. Jakarta. Pasandaran, E. dan F. Kasryno. 2005. Sekilas Ekonomi Jagung Indonesia: Suatu studi di Sentra Utama Produksi Jagung. Dalam: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (edt.) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Rahayu S., E. Srihadi, H. Mahardika, A. Subroto, D.A. Chalid, A. Cholid dan V.W. Rumantir. 2014. Studi Identifikasi Ketahanan Pangan Dan Preferensi Konsumen Terhadap Konsumsi Bahan Pangan Pokok Kedelai. BAPPENAS-JICA. Satya Budhi dan Mimin Aminah. 2010. Swasembada Kedelai: Antara Harapan dan Kenyataan. Forum Agro Ekonomi Vol.28 No.01 2010. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sumaryanto, 2005. Usahatani Jagung di Lahan Sawah Beririgasi: Studi Kasus DAS Brantas. Dalam: Kasryno, F., E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (edt.) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Suyamto dan I Nyoman Widiarta. 2011. Kebijakan Pengembangan Kedelai Nasional. Prosiding Simposium dan Pameran Teknologi Aplikasi Isotop dan Radiasi. Penerbit: Badan Tenaga Nuklir Nasional, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Timmer, C. Peter. 2010,a. Food Security In Asia And The Changing Role Of Rice. Occasional Paper, No. 4, October 2010. The Asia Foundation Timmer, C. Peter. 2010.b. Reflections on Food Crisis Past. Food Policy 35 (2010):1-11. Elsevier.www.elsevier.com/locate/foodpol Udin, S.N., A. Hasanudin, dan Subandi. 2005. Perkembangan Teknologi Budidaya dan Industri Jagung. Dalam: Kasryno, F., E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (edt.) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Uphoff, N. 2007. Agriculture Futures: What Lies Beyond “Modern Agriculture”, The Second Hugh Bunting Memorial Lecture Delivered at The University of Reading, 4 June, 2007. Vlughter, H., 1949. Honderd Jaar irrigatie, Voordracht Gehouden op 18 October 1949 ter Gelegenheid van de Herdenking van de Overdracht van de Technische Hoge School aan den Lande in 1942, Druk Voorkink: Bandung. Wienarto, N., A. Lukman H., dan Craig Thorburn. 2012. Penanggulangan Wereng Batang Coklat di Pertanaman Padi: Mampukah Kita belajar dari Sejarah? FIELD Jakarta – University of Monash, Australia. World Bank. 2007. World Development Report. Agriculture for Development. World Bank, Washington D.C. YAPARI (2008). Kumbe Rice Development in Merauke: Prospect of Agropolitan in Eastern Part Of Indonesia.Yayasan Pertanian Mandiri, 2008. Jakarta.
Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan
29