STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DALAM MENGHADAPI PERATURAN PELARANGAN CANTRANG
MAYA RESTY ANDRYANA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Adaptasi Nelayan dalam Menghadapi Peraturan Pelarangan Cantrang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Maya Resty Andryana NIM I34120076
ABSTRAK MAYA RESTY ANDRYANA. Strategi Adaptasi Nelayan dalam Menghadapi Peraturan Pelarangan Cantrang. Dibawah bimbingan ARIF SATRIA Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang dan menganalisis hubungan kondisi ekonomi nelayan dan tingkat persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Penelitian ini melibatkan 60 responden. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi nelayan berkorelasi rendah dengan kondisi ekonomi nelayan. Hal ini dibuktikan dari perbedaan persepsi tentang larangan cantrang dari nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang. Lapisan ekonomi nelayan diolah berdasarkan selisih antara pendapatan bersih melaut dengan biaya operasional melaut. Lapisan kondisi ekonomi yang berbeda-beda akan memperlihatkan strategi adaptasi yang dipilih nelayan untuk bertahan hidup. Nelayan bukan pengguna cantrang, umumnya memiliki strategi adaptasi yang heterogen, sedangkan nelayan pengguna cantrang cenderung lebih homogen. Kata Kunci : kondisi ekonomi, persepsi nelayan, strategi adaptasi ABSTRACT MAYA RESTY ANDRYANA. Fisher Adaptation Strategy to Confront The Regulation of Cantrang Prohibition. Supervised by ARIF SATRIA The research aims to analyze fisher’s perception to the regulation of cantrang prohibition and to analyze the correlation of economic condition and perception level to the regulation of cantrang prohibition. The research used quantitative method which is supported by qualitative data. This research involve 60 respondents. The resuearch showed that fisher’s perception about cantrang prohibition have low correlation with their economic condition. This was proved by the different perception about cantrang prohibition from cantrang fisher dan non-cantrang fisher. The level of fisher economic condition are formulated based on the subtraction between net income and operational cost from fishing. The different of economic level will show the chosen of strategy by the fisher to survive. The non-cantrang fisher generally have heterogeneous strategy adaptation, meanwhile the cantrang fisher’s strategy are more homogeneous. Keywords: economic condition, fishermen perception, strategy adaptation
Strategi Adaptasi Nelayan dalam Menghadapi Peraturan Pelarangan Cantrang
MAYA RESTY ANDRYANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
Judul Skripsi Nama NIM
: Strategi Adaptasi Nelayan Peraturan Larangan Cantrang : Maya Resty Andryana : I34120076
Disetujui oleh
Dr. Arif Satria, SP, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal lulus:
dalam
Menghadapi
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Strategi Adaptasi Nelayan dalam Menghadapi Peraturan Pelarangan Cantrang”. Tulisan ini memaparkan bagaimana hubungan persepsi nelayan dalam peraturan larangan cantrang dengan kondisi ekonomi nelayan serta strategi adaptasi yang dilakukan untuk bertahan hidup. Penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada: 1. Dr. Arif Satria, SP, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses penyelesaian penulisan skripsi ini. 2. Orangtua penulis, Ayahanda Sudjud Muljadi dan Ibunda Nurmawan, yang selalu memberikan kasih sayang, serta menjadi sumber motivasi paling besar untuk penyelesaian skripsi ini. Tak lupa kakak tercinta, Citta Octaviana Adekayanti yang selalu memberikan semangat dan menjadi tempat berbagi dikala senang maupun susah. 3. Penyuluh dan pegawai DKP Kota Tegal, Pegawai PPP Tegalsari, Pegawai TPI Tegalsari, Febyan Arum Sari dan keluarga, Awi Noerdin, Rohayati, Burhan serta semua nelayan yang telah menerima penulis dengan baik dan membantu penulis dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. 4. Teman-teman seperjuangan, Yosafat M. Manalu, Melisa Camalia, dan Fairuz Rafidah yang merasakan suka duka bersama dalam mengerjakan skripsi. 5. Oryza Gustining Setyowati, Desyta Nugraheni, Meilinda Lathfia, Tyagita Indahsari serta Agung Oktapriatna sebagai orang-orang yang lebih dari sahabat bagi penulis. Terimakasih atas segala motivasi dan kebersamaannya selama ini dan menjadi tempat curahan hati penulis. 6. Keluarga besar SKPM 49, pimpinan HIMASIERA 2015, Dewan Koplak, New Arini, UKM Lises Gentra Kaheman IPB, Anggota Comdev HIMASIERA 2015 dan kepada semua pihak yang selama ini memberikan dukungan, semangat, bantuan, dan doanya kepada penulis Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, September 2016
Maya Resty Andryana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
2
Tujuan
2
Kegunaan Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
5 5
Strategi Adaptasi
5
Persepsi
7
Karakteristik Nelayan
7
Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan
8
Alat Penangkapan Ikan
11
Peraturan Sektor Perikanan
12
Dampak Larangan Penggunaan Cantrang
13
Kerangka Pemikiran
16
Hipotesis Penelitian
16
PENDEKATAN LAPANG
17
Metode Penelitian
17
Lokasi dan Waktu Penelitian
17
Teknik Pengumpulan Data
17
Teknik Pemilihan Responden
18
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
19
Definisi Operasional
19
GAMBARAN UMUM WILAYAH
23
Kondisi Geografi dan Demografi Kecamatan Tegal Barat
23
Kondisi Ekonomi
24
Kondisi Sosial
25
KARAKTERISTIK RESPONDEN Usia Responden
27 27
Tingkat Pendidikan Responden
28
Jumlah Tanggugan Keluarga
28
Pengalaman menjadi Nelayan
29
Tingkat Teknologi Penangkapan
30
Ikhtisar
32
KONDISI SEKTOR PERIKANAN TANGKAP CANTRANG
33
IMPLEMENTASI PERATURAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG
35
Persepsi Nelayan terhadap Peraturan Larangan Cantrang
35
Kondisi Ekonomi Nelayan
40
Nelayan Pengguna Cantrang
41
Nelayan Bukan Pengguna Cantrang
42
Persepsi Nelayan terhadap Peraturan Larangan Cantrang dan Kondisi Ekonomi Nelayan
43
Ikhtisar
44
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN
47
Diversifikasi Kegiatan Ekonomi
47
Diversifikasi Alat Tangkap
49
Jaringan Sosial
51
Strategi Lainnya
55
Strategi Adaptasi dan Kondisi Ekonomi Nelayan
57
Ikhtisar
58
PENUTUP
59
Kesimpulan
59
Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
65
RIWAYAT HIDUP
77
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15 16. 17. 18. 19 20. 21 22. 23 24. 25 26. 27. 28. 29. 30
Strategi adaptasi nelayan Karakteristik nelayan Kondisi sosial-ekonomi nelayan Alat penangkapan ikan yang dilarang dalam Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor 2/PERMEN KP/2015 Peraturan perundangan tentang usaha perikanan dan alat penangkapan ikan Dampak pelarangan cantrang berdasarkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologis Metode pengumpulan data Definisi operasional karakteristik nelayan Definisi operasional persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang Definisi operasional kondisi ekonomi pelarangan alat tangkap ikan Definisi operasional strategi adaptasi nelayan Data mata pencaharian penduduk Kelurahan Tegalsari 2015 Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Tegalsari tahun 2015 Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan usia, Kecamatan Tegal Barat bulan Mei 2016 Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan tingkat pendidikan, Kecamatan Tegal Barat bulan Mei 2016 Jumlah tanggungan responden bulan Mei 2016 Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan pengalaman menjadi nelayan, Kecamatan Tegal Barat bulan Mei 2016 Jumlah dan persentase responden menurut jenis perahu bulan Mei 2016 Jumlah dan persentase responden menurut waktu kerja bulan Mei 2016 Jumlah dan persentase responden menurut ukuran kapal bulan Mei 2016 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah ABK bulan Mei 2016 Jumlah armada kapal usaha penangkapan ikan Kota Tegal 2014 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Laut Kota Tegal Produksi Ikan TPI Tegalsari Kota Tegal bulan Januari-April 2016 Jenis Ikan dan Produksi Hasil Tangkapan Laut Kapal Cantrang bulan Januari-April 2016 Jumlah dan persentase persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang Rataan pendapatan bersih sektor perikanan nelayan pengguna cantrang Jumlah dan persentase lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang berdasarkan tingkat pendapatan per trip bulan April-Mei 2016 Jumlah dan persentase nelayan pengguna cantrang berdasarkan status kepemilikan kapal dan lapisan ekonomi Jumlah dan persentase lapisan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang berdasarkan tingkat pendapatan per trip
6 8 10 11 13 15 18 20 21 21 22 24 25 27 28 29 29 30 30 31 31 33 33 34 34 36 40 41 42 42
31. 32. 33. 34. 35.
Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan lapisan ekonomi dan persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang Jumlah dan persentase responden berdasarkan diversifikasi kegiatan ekonomi Jumlah dan Persentase responden berdasarkan diversifikasi alat tangkap Jumlah dan persentase responden berdasarkan strategi jaringan sosia Jumlah dan persentase responden berdasarkan lapisan ekonomi dan strategi adaptasi nelayan
43 47 50 52 57
DAFTAR GAMBAR 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kerangka pemikiran Persentase strategi adaptasi diversifikasi kegiatan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang Persentase strategi adaptasi diversifikasi kegiatan ekonomi nelayan pengguna cantrang Persentase jenis dan jumlah responden nelayan bukan pengguna cantrang berdasarkan alat tangkap Persentase strategi adaptasi jaringan sosial nelayan bukan pengguna cantrang Persentase strategi adaptasi jaringan sosial nelayan pengguna cantrang Persentase strategi adaptasi hubungan bakul dengan nelayan bukan pengguna cantrang Persentase strategi adaptasi lain nelayan bukan pengguna cantrang Presentasi strategi adaptasi lain nelayan pengguna cantrang
16 48 49 50 52 53 54 55 56
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Peta Wilayah Penelitian Catatan Tematik Uji Statistik Daftar Responden Dokumentasi Jadwa Penelitian
65 66 71 74 75 76
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki letak yang strategis diantara dua benua dan dua samudera serta beriklim tropis. Hal tersebut membuat sebagian besar wilayahnya memiliki keanekaragaman hayati, khususnya sumberdaya hayati pesisir dalam sektor perikanan tangkap. Kekayaan sumberdaya perikanan Indonesia sangat berpotensi tinggi dalam pembangunan perekonomian baik dalam negeri maupun di luar negeri (Dahuri 2003). Namun, sumberdaya yang melimpah di laut Indonesia belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan di wilayah pesisir (Satria 2015; Sudarmo et al 2015; Sukmawati 2008; Dahuri 2003). Oleh karena itu, nelayan menggunakan berbagai alat tangkap untuk meningkatkan perekonomian. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa alat tangkap yang digunakan nelayan memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan tersebut (Sukmawati 2008; Yapanani et al 2013; Aji et al 2013; Zamron 2015; Ermawati dan Zuliyati 2015; Satria 2015) Pada tahun 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan peraturan tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 tahun 2015. Salah satu alat tangkap ikan yang dilarang dalam peraturan tersebut adalah cantrang. Hal ini dikarenakan jumlah pengguna cantrang semakin bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2014 jumlah armada kapal cantrang mencapai 493 unit dan bertambah pada tahun 2015 menjadi 680 unit (DKP Kota Tegal). Adanya peraturan tersebut memunculkan berbagai pandangan di kalangan nelayan. Myers (2013) mengungkapkan bahwa proses persepsi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor internal, salah satunya faktor psikologis yang meliputi, motivasi, pengalaman, dan pengetahuan sebagai hasil pembelajaran di masa lalu. Pendangan nelayan terkait dengan peraturan tidak akan sama satu dengan yang lainnya dikarenakan pengalaman yang dimiliki berbeda-beda. Permen KP No. 2 Tahun 2015 didasarkan oleh kesepakatan bersama antara pemerintah dengan kelompok nelayan yang dilakukan sejak tahun 2009 untuk menindaklanjuti kebijakan sebelumnya. Penetapan kebijakan pelarangan alat tangkap tersebut juga didasarkan oleh kondisi perikanan Indonesia yang mulai menurun setiap tahun. Turunnya hasil produksi perikanan diakibatkan adanya kerusakan ekosistem laut seperti padang lamun maupun terumbu karang. Kerusakan ekologi yang terjadi disebabkan oleh penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan, sehingga dasar laut teraduk dan memutuskan rantai makanan yang mengakibatkan jumlah ikan berkurang. Di samping itu, penetapan peraturan tersebut memengaruhi struktur kehidupan sosial-ekonomi nelayan. Hal tersebut membuat nelayan harus melakukan strategi-strategi adaptasi untuk bertahan hidup apabila peraturan tersebut diberlakukan, khususnya pada awal tahun 2017 nanti. Adaptasi merupakan suatu perilaku responsif terhadap perubahanperubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya (Bennet 1976). Umumnya, nelayan
2
melakukan adaptasi terhadap perubahan cuaca yang tidak menentu, namun dalam hal ini, nelayan harus melakukan adaptasi untuk mempertahankan kondisi ekonomi usaha perikanannya yang akan terkena dampak peraturan tersebut melalui strategistrategi bertahan hidup. Salah satu daerah yang akan terkena dampak pelarangan cantrang adalah Kota Tegal, dimana daerah tersebut memiliki jumlah kapal nelayan cantrang paling banyak se-Jawa Tengah sekitar 668 unit dari 1.223 kapal cantrang di Jawa Tengah. PPP Tegalsari menjadi tempat berlabuh dan berangkatnya kapal-kapal cantrang dari Kota maupun Kabupaten tegal dan daerah luar Tegal seperti Brebes dan Pemalang. Jumlah nelayan dan buruh nelayan yang bekerja di kapal cantrang pun mencapai ribuan orang, sehingga nelayan pengguna cantrang berpandangan bahwa peraturan tersebut akan mengakibatkan banyak nelayan yang menjadi pengangguran. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Bagaimana strategi adaptasi dan persepsi nelayan dalam menghadapi peraturan pelarangan cantrang? Masalah Penelitian Pelarangan penggunaan alat tangkap ikan cantrang di perairan Indonesia merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi permasalahan ekosistem laut, khususnya terumbu karang, yang semakin lama semakin mengalami kerusakan. Peraturan larangan yang dikeluarkan pada tahun 2015 lalu menimbulkan berbagai macam pendangan dan reaksi dari nelayan. Sebagian nelayan ada yang memandang positif peraturan tersebut dan ada yang tidak, khususnya nelayan cantrang. Nelayan pengguna cantrang bahkan melakukan aksi demo di daerahnya masing-masing hingga ke Jakarta sebagai bentuk penolakan mereka terhadap peraturan tersebut seperti demo yang dilakukan pada tanggal 6 April 2016 bertepatan dengan hari nelayan nasional di Jakarta. Pelarangan penggunaan cantrang sering dihubungkan dengan kondisi perekonomian nelayan. Sebagian besar nelayan cantrang beranggapan bahwa peraturan tersebut akan memengaruhi tingkat pendapatan mereka dikarenakan izin operasi yang dipersulit maupun alat tangkap cantrang yang dihapus akan memengaruhi hasil tangkapan ikan. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah spesifik dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana hubungan kondisi ekonomi dan persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang? 2. Bagaimana hubungan kondisi ekonomi dan strategi adaptasi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang? Tujuan Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi strategi adaptasi dan persepsi nelayan dalam menghadapi peraturan pelarangan cantrang. 2. Menganalisis hubungan kondisi ekonomi dan persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang. 3. Menganalisis hubungan kondisi ekonomi dan strategi adaptasi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang.
3
Kegunaan Penelitian 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran terkait persepsi nelayan terhadap larangan cantrang dan strategi adaptasi yang dilakukan agar tercipta penelitian yang lebih baik lagi. Selain itu, diharapkan pula dapat menjadi acuan literatur untuk penelitian yang terkait. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang kondisi ekonomi dan strategi adaptasi yang dimiliki, sehingga dapat memperbaiki strategi-strategi yang dipilih untuk bertahan hidup. 3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang dan kehidupan para nelayan, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun peraturan yang sesuai serta memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh para nelayan di Kota Tegal.
4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Strategi Adaptasi Adaptasi menurut Bennet (1976) merupakan suatu perilaku yang mengacu pada mekanisme coping dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku tersebut memungkinkan manusia dalam menata tingkah lakunya, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Di samping itu, strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2007). Strategi adaptasi merupakan rencana yang diambil oleh manusia untuk bertahan dari perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Seseorang memilih strategi adaptasi berdasarkan persepsi terhadap lingkungannya. Scoones (1998) berdasarkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki membagi strategi menjadi berikut, yaitu (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, usaha pemanfaatan sektor pertanian agar lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (intensifikasi) maupun dengan memperluas lahan garapan pertanian (ekstensifikasi); (2) pola nafkah ganda, usaha yang dilakukan dengan cara mencari cara pekerjaan selain sektor pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi nafkah); (3) rekayasa spasial, usaha yang dilakukan dengan cara perpindahan penduduk baik secara permanen maupun sirkular (migrasi) dalam rangka mencari sumber nafkah (livelihood sources) di tempat lain. Patriana dan Satria (2013) membagi pola adaptasi menjadi dua jenis, yaitu adaptasi sumber daya pesisir dan adaptasi alokasi sumber daya manusia dalam rumah tangga. Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan untuk bertahan saat musim paceklik berdasarkan hasil penelitian Rofikoh (2007) dikutip Yuliastry (2011) meliputi diversifikasi pekerjaan atau kerja serabutan, melibatkan peran perempuan dan anak pada kegiatan usaha perikanan, dan menjual barang berharga, berhutang, dan meminjam pada. Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Panjang1 terhadap perubahan ekologis antara lain 1) penganekaragaman pendapatan, dimana masyarakat Pulau Panjang tidak hanya bermatapencaharian tunggal sebagai nelayan, melainkan juga berkebun, tambak udang, budidaya rumput laut, maupun bekerja sebagai buruh bangunan serta mencari sumber daya ekonomi lainnya, 2) penganekaragaman alat tangkap, 3) perubahan daerah tangkapan, 4) memanfaatkan hubungan sosial, dimana nelayan Panjang menjalin hubungan satu dengan yang lain berdasarkan kekeluargaan, kekerabatan, dan pertetanggaan, serta 5) mobilisasi anggota rumah tangga, dimana kegiatan ini mengikutsertakan anggota rumah tangga nelayan untuk bekerja, baik disektor perikanan maupun diluar sektor perikanan. Setiap anggota keluarga meliliki peran masing-masing untuk membantu perekonomian keluarga.
1
Helmi A, Satria A. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologi. Makara, Sosial Humaniora Vol 16 No 1 (Juli): 68-78. Diunduh di http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/download/1494/38
6
Tabel 1 Strategi adaptasi nelayan Aspek Penganekaragaman pendapatan
Penjelasan Mencari matapencaharian selain nelayan atau penganekaragaman pendapatan seperti berdagang, bertani, berternak, buruh. (Zamroni 2015; Patriana dan Satria 2013; Helmi dan Satria 2012;)
Penganekaragaman alat tangkap
Penganekaragaman dan perubahan alat tangkap yang disesuaikan dengan kondisi perairan (Helmi dan Satria 2012; Yuliastry 2011, Satria 2009)
Migrasi nelayan
Keputusan untuk pindah dilakukan bila lokasi memengaruhi pendapatan rumah tangga (Sudarmo et al 2015, Zamroni 2015) Migrasi permanen tidak terjadi bila sumber daya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga (Sudarmo et al 2015) Mencari atau mengubah daerah tangkapan ikan (Helmi dan Satria 2012)
Jaringan sosial
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga
Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan (Carner 1984 dikutip Yuliastry 2011) Melakukan hubungan baik dan kerjasama dengan nelayan lain (Kusnadi 2000; Sukmawati 2008) Melibatkan peran istri nelayan dan anak-anaknya serta saudara dalam kegiatan usaha perikanan maupun nonperikanan (Zamroni 2015; Patriana dan Satria 2013; Helmi dan Satria 2012; Kusnadi 2000)
7
Persepsi Persepsi merupakan proses dimana otak mengintegrasikan dan menafsirkan kesan sensorik untuk menciptakan representatif dunia (Nevid 2013). Melalui persepsi, otak berusaha untuk memahami rangsangan sensorik yang menimpa pada organ sensorik tersebut. Persepsi memungkinkan kita untuk memahami dunia, tetapi belum tentu mencerminkan realita yang sebenarnya. Langkah pertama dari persepsi adalah perhatian yang selektif, dimana perhatian terhadap rangsangan tertentu akan dibatasi saat rangsangan lainnya sedang disaring. Perhatian yang selektif adalah proses yang hadir untuk rangsangan yang berarti dan menyaring stimulus yang tidak relevan atau asing (Vander 1984). Perhatian yang selektif mencegah datangnya informasi-informasi asing lainnya. Persepsi merupakan sebuah arahan seseorang untuk berperilaku (Myers 2013). Persepsi dapat menjadi panduan atas tindakan berdasarkan makna yang diberikan pada stimulus yang dirasakan. Proses persepsi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor internal yang terdiri atas faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang didasari pada hasil penerimaan indra manusia. Faktor psikologis dapat meliputi, motivasi, pengalaman, dan pengetahuan sebagai hasil pembelajaran di masa lalu Persepsi orang mengacu pada proses-proses yang datang untuk mengetahui dan memikirkan orang lain dari karakteristik mereka, kualitas, maupun tempat asalnya. Gambaran yang dibangun terkait orang lain berfungsi untuk menstabilkan, membuat prediksi, dan mengelola pandangan kita tentang dunia sosial. Vander (1984) mendefinisikan persepsi sebagai sebuah proses dimana otak menafsirkan informasi sensorik , mengubahnya menjadi representasi yang berarti dari dunia luar. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan pandangan atau proses penerjemahan informasi yang diterima oleh saraf sensorik dengan menyimpulkan informasi yang diterimanya berdasarkan pengalaman yang pernah dialami meskipun pandangan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Persepsi berhubungan dengan pandangan atau daya menanggapi, serta memahami apa yang ada di sekelilingnya. Robbins (2002) mengungkapkan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan sensori mereka untuk memberi arti pada lingkungan. Lebih lanjut Robbins (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah: (1) orang yang mempersepsikannya, yaitu ketika seseorang melihat suatu sasaran dan berusaha menginterpretasikannya dipengaruhi karakteristik pribadi individu yang melihat sasaran itu, (2) objek atau sasaran yang dipersepsikan, yaitu karakteristik sasaran yang diamati dapat mempengaruhi persepsi karena sasaran tidak dipahami secara terisolasi dan latar belakang sasaran dapat mempengaruhi persepsi, (3) konteks dimana persepsi dibuat, yaitu waktu dimana suatu objek atau peristiwa dilihat dapat mempengaruhi pemahaman. Karakteristik Nelayan Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria 2009). Masyarakat pesisir tidak hanya nelayan, melainkan pembudidaya ikan, pengolah
8
ikan, bahkan pedagang ikan. Berdasarkan UU No 45 tahun 2009 Pasal 1 nelayan dibagi menjadi dua, yaitu nelayan dan nelayan kecil. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ditjen Perikanan mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam penangkapan ikan (Satria 2015). Zamroni (2015) dalam penelitiannya terkait kehidupan sosial ekonomi nelayan kapal purse seine menemukan tiga jenis nelayan di Jembrana yaitu nelayan penuh, nelayan paruh waktu (mayor) dan nelayan paruh waktu (minor). Tingkatan nelayan kapal purse seine Pengambengan pun dibagi menjadi tiga, yaitu nahkoda, motoris, dan awak kapal (ABK). Tabel 2 Karakteristik nelayan Aspek Waktu Kerja
Usaha Kelas Sosial
Penjelasan Nelayan penuh; Nelayan sambilan utama; Nelayan sambilan tambahan (Satria 2015;Zamroni 2015) Nelayan tradisional; Nelayan post tradisional; Nelayan komesil (Satria 2015) Buruh nelayan; Nelayan kecil; Nelayan menengah; Nelayan besar/kapitalis (Kinseng 2011; UU 45 tahun 2009)
Nelayan kecil berdasarkan UU No 45 tahun 2009, merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Pollnac (1998) dikutip oleh Satria (2015) membedakan nelayan menjadi dua kelompok antara lain nelayan besar (large scala fisherman) dan nelayan kecil. Kemudian dikembangkan menjadi empat tingkatan golongan nelayan berdasarkan kapasitas teknologi, orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi (Satria 2015). Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan Masyarakat pesisir sering disebut sebagai kelompok yang marjinal, dikarenakan kondisi masyarakatnya yang miskin di tengah kawasan sumber daya yang melimpah. Kemiskinan yang membelenggu masyarakat pesisir diakibatkan kondisi struktural yang tidak kondusif baik struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur politik seperti missmanagement dalam pengelolaan sumber daya perikanan (Fauzi 2005). Masyarakat nelayan merupakan salah satu golongan masyarakat yang dianggap miskin secara absolut, bahkan paling miskin diantara penduduk miskin, seperti dalam kasus nelayan artisanal di pantai Utara Jawa Barat (Prihandoko et al 2011). Karakteristik masyarakat pesisir berdasarkan Satria (2015) direpresentasikan melalui beberapa aspek, antara lain: 1. Sistem Pengetahuan: pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan ayng diperoleh secara turun-temurun berdasarkan pengalaman empiris. Terjaminnya kelangsungan hidup disebabkan oleh kuatnya pengetahuan lokal tersebut. 2. Sistem kepercayaan: kepercayaan bahwa laut memiliki kekuatan magis masih dimiliki oleh nelayan secara teologis, sehingga ritual khusus sering
9
dilakukan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk menjamin keselamatan dan hasil tangkapan. 3. Peran perempuan: istri nelayan tidak hanya mengerjakan urusan rumah tangga, melainkan ikut serta dalam kegiatan ekonomi perikanan seperti kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, serta kegiatan jasa dan perdagangan. 4. Posisi Sosial Nelayan: secara kultural dan struktural, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Hal tersebut dikarenakan keterasingan nelayan, dimana masayrakat non nelayan tidak mengetahui dunia nelayan yang sebenarnya, serta sedikitnya waktu interaksi sosial yang dimiliki nelayan. Alokasi waktu lebih banyak digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan daripada bersosialisasi dengan masyarakat nonnelayan. 5. Stratifikasi sosial: bentuk stratifikasi sosial masyarakat pesisir ditunjukkan dengan semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan yang bersifat horizontal maupun vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise dan kekuasaan. 6. Struktur sosial: struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun budidaya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Berbagai penelitian pun dilakukan untuk mengetahui kondisi sosialekonomi yang dialami oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir seperti penelitian yang dilakukan di Desa Aromarea Distrik Kosiwo, Kabupaten Sarui, Kepulauan Yapen, Papua. Pada hasil penelitian yang dilakukan Yapanani et al (2013) ditemukan bahwa hasil tangkapan ikan menguntungkan nelayan dan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan nelayan, seperti nelayan dapat mengembalikan modal usaha dalam waktu kurang dari dua bulan. Namun, tingkat teknologi serta tingkat pendidikan yang dimiliki masih tergolong rendah. Tingkat pendidikan yang rendah tidak menyulitkan nelayan dalam penguasaan teknik-teknik kegiatan penangkapan ikan, sehingga tidak menghambat berjalannya kegiatan tersebut, seperti penelitian terkait nelayan di pantai utara Jawa Barat dan nelayan Kota Tegal (Prihandoko et al 2011; Yapanani et al 2013;Sudarmo et al 2015). Kondisi sosial-ekonomi nelayan dapat dijelaskan sebagai berikut:
10
Tabel 3 Kondisi sosial-ekonomi nelayan Aspek Bentuk Penjelasan Sosial Hubungan Kuatnya ikatan patron-klien,hubungan sosial yang saling membutuhkan dan melengkapi satu dengan yang lain antara juragan dan nelayan buruh (Satria 2015; Sukmawati 2008) Meminjam uang kepada lembaga keuangan formal atau informal (kerabat), berhutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, dan meminjam ke rentenir atau bank (Sunarti 2009 dalam Pranata 2014; Nongmaithem 2014) Organisasi Melakukan pembagian kerja dalam kerja kegiatan penangkapan ikan baik di laut maupun di darat (Sukmawati 2008; Mulyadi 2007) nahkoda, motoris, dan awak kapal (ABK) (Satria 2015; Zamroni 2015) Tingkat Tingkat pendidikan masih rendah, pendidikan didominasi oleh nelayan yang tidak tamat sekolah maupun hanya tamat SD (Sudarmo et al 2015; Yapanani et al 2013) Tingkat kemampuan rendah (Sudarmo et al 2015) Ekonomi Pendapatan Pendapatan nelayan rata-rata di bawah upah minimum regional (UMR) (Sudarmo et al 2015; Sukmawati 2008) Pendapatan dipengaruhi hasil perikanan maupun non perikanan (Sudarmo et al 2015; Zamroni 2015; Ermawati dan Zuliyati 2015; ; Yapanani et al 2013; Sukmawati 2008) Alat Alat produksi modern digunakan untuk produksi meningkatkan hasil tangkapan (Zamroni 2015; Satria 2015) Modifikasi alat tangkap sesuai kondisi perairan (Nongmaithem dan Ngangbam 2014; Helmi dan Satria 2012) Proporsi Pengeluaran digunakan lebih banyak pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sudarmo et al 2015; Nongmaithem 2014 )
11
Alat Penangkapan Ikan Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkannya (Pasal 1 Permen KP No 57 tahun 2014). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang merupakan sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang digunakan untuk menangkap ikan (Pasal 1 Permen KP No 57 tahun 2014). Ada berbagai jenis alat penangkapan ikan baik yang masih tradisional maupun yang sudah mengalami modifikasi (modernisasi) (Yapanani et al 2013; Ermawati dan Zuliyati 2015). Nelayan menggunakan berbagai alat tangkap untuk meningkatkan produktivitasnya, salah satu alat tangkap yang digunakan adalah cantrang (Yapanani et al 2013; Zamroni 2015; Sukmawati 2008). Kredit dan subsidi yang diberikan pemerintah membuat motorisasi sektor perikanan oleh nelayan berkembang pesat dengan bertambahnya jumlah armada serta alat tangkap perikanan (Fauzi 2005; Zamroni 2015). Hal tersebut terjadi di Selat Bali, dimana sebagian besar nelayan di daerah Muncar maupun Jembrana, menggunakan kapal purse seine untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan lemuru. Teknologi kapal purse seine diperkenalkan oleh angkatan laut pada tahun 1970-an dan sejak saat itu mulai berkembang pesat di wilayah perikanan Indonesia. Jumlah armada perikanan pun semakin meningkat setiap tahun (Ermawati dan Zuliyati 2015, Dahuri 2003). Tabel 4 Alat penangkapan ikan yang dilarang dalam Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor 2/PERMEN KP/2015 Pukat Hela Pukat Tarik Pukat hela dasar (bottom trawls) Pukat tarik pantai (beach seines) Pukat tarik berkapal, terdiri atas: a. pukat hela dasar berpalang a. dogol (danish seines); (beamtrawls); b. scottish seines; b. pukat hela dasar berpapan c. pair seines; (ottertrawls); d. payang; c. pukat hela dasar dua kapal (pair e. cantrang; trawls); f. lampara dasar d. nephrops trawls; e. pukat hela dasar udang (shrimptrawls), berupa pukat udang. Pukat hela pertengahan (midwatertrawls) a. pukat hela pertengahan berpapan, berupa pukat ikan; b. pukat hela pertengahan dua kapal; c. pukat hela pertengahan udang Pukat hela kembar berpapan Pukat dorong
12
Peraturan Sektor Perikanan Sektor perikanan yang bersifat sumber daya terbarukan sering dihadapkan dengan permalahan atas hak kepemilikan. Berbeda dengan sawah pertanian, zonasi atau batas-batas wilayah perairan laut Indonesia tidak dapat dengan mudah dibedakan kecuali menggunakan sistem navigasi yang lengkap. Ketidakjelasan batas-batas wilayah yang menimbulkan fenomena akses terbuka yang tidak dapat dihindari. Sebelumnya, pemerintah dalam pasal 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 tahun 2014 menjelaskan bahwa usaha perikanan merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Sementara, usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan pengangkutan ikan. Pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan tersebut sering kali melakukan ekstrasi sumber daya ikan yang berlebihan dan melebihi kapasitas, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan produksi sumber daya tersebut. Penurunan kemampuan produksi ikan atau krisis perikanan bersumber pada buruknya pengelolaan perikanan dilihat dari kejadian overcapacity dan destruksi habitat. Sejarah perkembangan sektor perikanan dimulai sejak tahun 1970, dimana armada perikanan dunia berkembang pesat daripada produksi perikanan dan mengakibatkan penurunan produksi sumber daya ikan, seperti pada kasus ikan lemuru di selat Bali (Fauzi 2005; Zamroni 2015). Terlihat bahwa semakin banyak jumlah armada perikanan, tingkat kompetisi mengalami peningkatan dan semakin tinggi laju ekstraksi sumber daya ikan. Hal tersebut membuat kemampuan produksi perikanan yang dapat dihasilkan semakin rendah. Fauzi (2005) menyatakan bahwa permasalahan perikanan dan penyelesaiannya di Indonesia dapat dilihat melalui dua faktor umum, yaitu bagaimana penanganan sumber daya seperti pendugaan stok (stock assessment), penilai terhadap stok (stock evaluation) dan bagaimana penanganan “input” yang digunakan untuk memperoleh atau mengelola sumber daya, dalam hal ini sistem kapital, nelayan dan pendukkung lainnya. Masalah sumber daya ikan merupakan masalah manusia meliputi konteks politik, sosial, dan sistem ekonomi yang berbeda dan selalu timbul terus-menerus di berbagai tempat (Ludwig et. al., 1993 dikutip oleh Fauzi 2005). Permasalahan sektor perikanan seperti rusaknya ekosistem perairan, terjadi di negara-negara berkembang, khususnya Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Thailand. Hal tersebut dikarenakan masih lemahnya pengawasan terhadap praktikpraktik penangkapan ikan dan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi di wilayah pesisir (Fauzi 2005). Namun, melihat kondisi dan permasalahan sektor perikanan yang terjadi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan dalam upaya kelestarian dan ketersediaan sumber daya ikan yang berada di wilayah perairan negara republik Indonesia, serta pelarangan-pelarangan praktik penangkapan ikan yang dapat merusak ekosistem laut. Kerusakan ekosistem dan ancaman sumber daya ikan lestari yang terjadi pada tahun 1980, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan terkait penghapusan jaring trawl dan Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor 2 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan pukat hela dan pukat tarik.
13
Tabel 5 Peraturan perundangan tentang usaha perikanan dan alat penangkapan ikan Peraturan Bahasan Keputusan presiden No 39 tahun Penghapusan jaring trawl dilakukan secara 1980 bertahap dengan mengurangi jumlah penggunaan jaring trawl dalam upaya meningkatkan produksi nelayan kecil dengan meminimalisasi kerusakan ekosistem dan mengurangi konflik nelayan yang terjadi saat itu. UU 45 tahun 2009 junto UU 31 Revisi untuk mengantisipasi perkenbangan tahun 2004 tentang perikanan teknologi dan hukum yang diterapkan dalam pengelolaan sumber daya ikan. PP No 60 tahun 2007 tentang Konservasi sumber daya ikan dikaji dan Konservasi Sumber Daya Ikan dilihat berdasarkan ketentuan-ketentuan terkait konservasi ekosistem dan konservasi jenis ikan. Permen KP No 57 tahun 2014 Ketentuan terkait jenis usaha perikanan junto Permen KP No 30 tahun tangkap, perizinan yang berlaku, 2012 tentang Usaha perikanan pemeriksaan fisik kapal penangkapan dan tangkap di wilayah pengelolaan pengangkutan ikan, daerah penangkapan perikanan negara republik dan pelabuhan pangkalan, serta Indonesia pengawasan dan pelaporan kegiatan usaha perikanan yang dilakukan di wilayah perairan RI dengan beberapa pasal yang direvisi untuk mewujudkan pengelolaan yang bertanggung jawab dan menanggulangi IUU-Fishing. Permen KP No 2 tahun 2015 Penjelasan untuk mengatasi permasalahan tentang larangan penggunaan alat terkait kerusakan ekosistem laut yang penangkapan ikan pukat hela mengakibatkan jumlah produksi sumber (trawls) dan pukat tarik (seine daya ikan menurun, serta konflik yang nets) di wilayah pengelolaan terjadi antara nelayn tradisional dan perikanan Negara Republik nelayan kecil terkait perebutan daerah Indonesia penangkapan serta penggunaan alat tangkap yang merugikan salah satu pihak, pemerintah menetapkan larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia disertakan jenis-jenis berdasarkan nama lokal yang dikenal masyarakat. Dampak Larangan Penggunaan Cantrang Pelarangan penggunaan alat tangkap trawl oleh nelayan, khususnya alat tangkap cantrang, berdampak bagi kehidupan nelayan sehari-hari dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan mulai dari aspek ekologis, sosial, maupun ekonomi (Ermawati dan Zuliyati 2015; Yapanani et al 2013). Sejak diperkenalkan
14
kepada nelayan-nelayan pesisir Indonesia, khususnya wilayah Pantai Utara Jawa dan Selat Bali pada tahun 1970-an, trawl mulai berkembang pesat dan memengaruhi kehidupan sosial-ekonomi nelayan tradisional.hingga saat ini (Satria 2015, Zamroni 2015). Hal itu merupakan salah satu modernisasi perikanan untuk meningkatkan produksi perikanan (Satria 2015). Akibat penggunaan trawl, kompetisi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern tidak dapat dihindari dan akhirnya menimbulkan konflik antar nelayan (Satria 2015; Annisa et al 2009; Dahuri 2003). Konflik terjadi dikarenakan perebutan wilayah penangkapan ikan maupun penggunaan alat tangkap yang merugikan pihak lain. Perebutan wilayan penangkapan ikan terjadi karena nelayan pengguna cantrang cenderung memperluas daerah tangkapan apabila hasil tangkapan yang diperoleh masih rendah dan mengambil sumber daya ikan di daerah penangkapan nelayan tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan ikan akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (Dahuri 2003; Satria 2015; Zamroni 2015) dan berdampak pada rendahnya hasil produksi ikan yang didapatkan oleh nelayan. Kerusakan sumber daya hayati pesisir terjadi pada tahun 1980, yang membuat pemerintah mengeluarkan Keppres No 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl. Namun, penghapusan trawl serta pelarangannya, membuat nelayan pengguna trawl mengubah teknologi penangkapan menjadi kapal purse seine (Satria 2015). Nelayan pun banyak melakukan modifikasi pada alat penangkapan ikan guna memperlancar kegiatan penangkapan ikan (Nongmaithem 2014; Ermawati dan Zuliyati 2015), sehingga banyak jaring-jaring penangkapan ikan dengan nama lokal yang telah dimodifikasi agar tidak seperti trawl, namun memiliki fungsi dan cara kerja yang tidak jauh berbeda. Mayoritas nelayan di pantai utara jawa menggunakan alat tangkap cantrang sebagai alat tangkap tradisional yang tidak merusak ekosistem dan tidak bersifat eksploitatif (Satria 2015; Ermawati dan Zuliyati 2015). Tidak berbeda dengan penggunaan trawl, penggunaan cantrang juga menimbulkan konflik antar nelayan dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, Kementrian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan peraturan tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Pemerintah menerapkan pelarangan penggunaan cantrang karena alat tangkap cantrang dan pukat merusak ekosistem terumbu karang di perairan beradius 4-12 mil dari pantai dan mata jaring pukat yang rapat dapat menangkap seluruh jenis ikan baik target maupun yang bukan target penangkapan Beberapa penelitian telah menunjukkan dampak yang terjadi akibat penggunaan alat tangkap ikan, khususnya cantrang. Pelarangan penggunaan cantrang akan berdampak negatif bagi nelayan pengguna cantrang. Sebaliknya, nelayan tradisional yang tidak menggunakan cantrang akan merasakan dampak positif dari pelarangan tersebut. Dampak pelarangan cantrang dikategorikan berdasarkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pengkategorian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
15
Tabel 6 Dampak pelarangan cantrang berdasarkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologis Aspek Ekonomi
Sosial
Ekologi
Dampak yang ditimbulkan Hasil tangkapan ikan nelayan cantrang menurun (Satria 2015; Zamroni 2015; Yapanani et al 2013) Hasil tangkapan ikan nelayan non cantrang meningkat (Zamroni 2015; Nurhayati 2012) Pendapatan nelayan cantrang menurun (Satria 2015; Sudarmo et al 2015; Z amroni 2015; Ermawati dan Zuliyati 2015; Yapanani et al 2013; Sukmawati 2008) Pendapatan nelayan non cantrang meningkat (Zamroni 2015; Nurhayati 2012) Alat tangkap cantrang diganti menjadi alat tangkap ikan yang ramah lingkungan (Nurhayati 2012) Hubungan sosial nelayan pengguna cantrang dengan masyarakat sekitarnya berubah (Sukmawati 2008; Helmi dan Satria 2012) Tingkat kesejahteraan nelayan cantrang menurun (Yapanani et al 2013) Kemampuan menggunakan teknologi alat penangkapan ramah lingkungan rendah (Sudarmo et al 2015; Yapanani et al 2013) Strategi nafkah rumah tangga nelayan cantrang berubah (Zamroni 2015, Helmi dan Satria 2012) Sistem pola bagi hasil nelayan cantrang berubah (Satria 2015; Sukmawati 2008) Konflik antar kelas maupun inter kelas nelayan terkait penggunaan cantrang berkurang(Satria 2015; Annisa et al 2009) Sumber daya hayati pesisir seperti ekosistem terumbu karang sebagai spouning ground ikan serta ekosistem laut dan pesisir lainnya dapat diminimalisasi kerusakannya (Satria 2015; Zamroni 2015) Degradasi fisik ekosistem perairan yang lebih parah dapat dicegah (Dahuri 2003) Jumlah produksi ikan dapat dikontrol (Zamroni 2015; Satria 2015)
16
Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengidentifikasi persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang dan strategi adaptasinya. Keadaan ekosistem laut yang semakin lama semakin menurun, mendorong pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan, untuk mengeluarkan peraturan larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, salah satunya adalah cantrang. Peraturan tersebut menimbulkan berbagai pandangan atau persepsi yang berbeda dari beberapa pihak, khususnya nelayan pengguna cantrang (Hamilton 2012). Dampak dikeluarkannya peraturan tersebut belum terlihat jelas dikarenakan peraturan tersebut belum diimplementasikan secara penuh dan akan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017, sehingga muncul berbagai pandangan terkait dampak yang akan terjadi nantinya. Pada kerangka pemikiran, diasumsikan bahwa persepsi nelayan cenderung berada pada kategori negatif. Hal tersebut berhubungan dengan kondisi ekonomi nelayan berdasarkan pendapatan bersih nelayan per trip. Adapun kondisi ekonomi nelayan tersebut, berhubungan dengan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan ketika tidak melaut dikarenakan cuaca buruk. Helmi dan Satria (2012) membagi strategi adaptasi menjadi penganekaragaman pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, perubahan daerah tangkapan, memanfaatkan hubungan sosial, serta mobilisasi anggota rumah tangga.
Persepsi nelayan terhadap peraturan pelarangan cantrang
Tingkat Kondisi Ekonomi Nelayan
Tingkat Strategi Adaptasi Nelayan
Keterangan : : Berhubungan : Kuantitatif
Gambar 1 Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirancang, hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Diduga bahwa persepsi terhadap peraturan larangan penggunaan alat tangkap ikan cantrang berhubungan dengan lapisan ekonomi nelayan dan kondisi sektor perikanan. 2. Diduga bahwa lapisan ekonomi nelayan berhubungan dengan strategi adaptasi nelayan.
17
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif untuk mengumpulkan berbagai data dan informasi guna memahami fenomena sosial yang terjadi di lapang. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui penelitian survei yakni pengambilan sampel dari sejumlah populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama atau pengumpul data (Effendi dan Tukiran 2014). Kuesioner yang dijadikan alat untuk mengetahui persepsi terhadap peraturan larangan cantrang, kondisi ekonomi nelayan, strategi adaptasi nelayan, serta karakteristik nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam (indept interview) kepada responden dan informan tertentu dengan menggunakan beberapa pertanyaan sebagai panduan. Pendekatan tersebut digunakan untuk menginterpretasikan terhadap data yang dihasilkan dari pendekatan kuantitatif mengenai persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang, kondisi sektor perikanan maupun kondisi ekonomi secara lebih mendalam,. Selain itu, data kualitatif diperoleh berdasarkan observasi dan studi dokumentasi terkait. Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan antara nelayan pengguna cantrang dengan nelayan yang tidak menggunakan cantrang sebagai alat penangkapan ikan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan berbagai pertimbangan, yakni: a. PPP Tegalsari merupakan salah satu dari sembilan Unit Pelaksanaan Teknis Pelabuhan Teknis Pelabuhan Perikanan pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah. b. Sebagian besar kapal yang berlabuh di PPP Tegalsari merupakan kapal cantrang, dimana mayoritas nelayan menggunakan cantrang sebagai alat penangkapan ikan. c. Selain itu, masyarakat di wilayah Kecamatan Tegal Barat bermatapencaharian sebagai nelayan, baik sebagai pemilik kapal maupun ABK. Berdasarkan pemaparan tersebut, pemilihan lokasi penelitian ini dianggap sesuai dengan topik yang diangkat. Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penjajagan ke lokasi penelitian serta penelusuran literatur melalui internet dan sumber lain seperti jurnal, buku dan skripsi yang terkait dengan lokasi penelitian. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar lima bulan dari bulan Februari 2016 hingga September 2016 dapat dilihat pada (lampiran 7). Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan secara
18
langsung oleh peneliti melalui pengamatan langsung dan melakukan wawancara terhadap responden melalui kuesioner dan wawancara terhadap informan melalui panduan wawancara yang telah dibuat. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain atau sudah diolah oleh pihak lain seperti data yang berasal dari kantor desa, instansi yang terkait dengan topik penelitian, buku, jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan literatur lainnya yang terkait. Tabel 7 Metode pengumpulan data Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan Kuesioner (Kuantitatif) Karakteristik nelayan Persepsi terhadap peraturan Kondisi Ekonomi nelayan Strategi adaptasi nelayan Wawancara Mendalam (Kualitatif)
Responden Sejarah penggunaan alat tangkap ikan Kondisi sektor perikanan Strategi adaptasi nelayan Informan Kondisi sektor perikanan Sejarah awal mula diterbitkannya peraturan larangan alat tangkap ikan
Observasi Lapang Analisis Dokumen
Aktivitas yang dilakukan nelayan Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No 2/Permen KP/2015 Produksi Perikanan Cantrang Tegalsari 2016
Teknik Pemilihan Responden Sumber data selama penelitian ini berlangsung adalah responden dan informan. Populasi dalam penelitian ini adalah 10.716 nelayan di Kecamatan Tegal Barat. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu nelayan. Pemilihan responden dilakukan dengan tahap menentukan jumlah nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang, kemudian teknik pengambilan yang digunakan saat berada di lokasi penelitian adalah sampel aksidental, dimana sampel ditentukan secara kebetulan tanpa adanya pertimbangan apapun (Effendi dan Tukiran 2014). Responden dalam penelitian adalah siapa saja yang dapat ditemui dengan peneliti serta memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk dapat dijadikan sebagai responden. Teknik pengambilan sampel ini dipilih karena tidak ada data yang akurat terkait jumlah nelayan cantrang di PPP Tegalsari dan rata-rata pendapatan nelayan per trip/bulan/tahun. Selain itu, nelayan pengguna kapal cantrang melaut dalam waktu yang cukup lama sehingga sulit untuk dilakukan wawancara. Berdasarkan keadaan di lapang, setiap nelayan cantrang yang ditemui secara kebetulan dan memenuhi persyaratan yang ditentukan, dijadikan sebagai responden penelitian. Jumlah sampel yang dijadikan responden sebanyak 60 orang,
19
yang terdiri dari 30 responden nelayan pengguna cantrang dan 30 responden nelayan bukan pengguna cantrang. Jumlah informan yang diambil sebanyak 10 orang informan dengan menggunakan teknik purposive. Pemilihan dilakukan dengan memilih orang-orang yang dianggap mengetahui secara detail mengenai kondisi sektor perikanan cantrang, peraturan larangan alat penangkapan ikan, baik alasan dikeluarkannya peraturan hingga upaya yang dilakukan sejak dikeluarkannya peraturan hingga saat ini kepada Kepala Bidang Kelautan DKP Kota Tegal, Humas PPP Tegalsari, Bendahara HNSI DPC Kota Tegal, Ketua PNKT, KUD Karya Mina, Kepala TPI Tegalsari, nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Analisis data kuantitatif dilakukan melalui proses memeriksa data yang terkumpul (editing), memberikan kode pada setiap data yang terkumpul di setiap instrumen (coding), menggolongkan data dan menyajikan data. Data yang diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 21. Aplikasi Microsoft Excel 2010 digunakan dalam pembuatan grafik, diagram, serta tabel tabulasi silang untuk melihat data awal responden. Sementara uji statistik yang menggunakan tabulasi silang untuk menguji hubungan antar variabel menggunakan aplikasi IBM SPSS Statistics 21, yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat kenyataan yang terjadi. Uji statistik yang digunakan yakni uji korelasi Rank Spearman untuk melihat hubungan antara varabel yang diuji. Data kualitatif, baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan diolah dan dianalisis secara kualitatif melalui tahapan-tahapan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Penyajian data yang berupa segala informasi dan data yang diperoleh, kemudian disusun menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Penyajian data berupa narasi, diagram, dan tabel. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Tahap ini dilakukan dengan mendiskusikan hasil olahan data kepada responden, informan, dan dosen pembimbing. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antarvariabel yang konsisten. Definisi Operasional Penelitian ini terdiri atas beberapa variabel yang terbagi menjadi beberapa indikator. Masing-masing variabel dan indikator diberikan batasan sehingga dapat ditemukan skala pengukurannya. Definisi operasional variabel adalah sebagai berikut: 1) Karakteristik nelayan merupakan ciri-ciri yang menggambarkan suatu kondisi individu yang terdiri dari beberapa variabel yaitu usia, pendidikan,
20
pengalaman sebagai nelayan, jumlah anggota keluarga, waktu kerja dan tingkat teknologi penangkapan ikan. Tabel 8 Definisi operasional karakteristik nelayan Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Jenis Data
Usia
Selisih antara tahun a. Usia muda jika x ≤ responden yang ½ sd dilahirkan dengan tahun b. Usia sedang jika x – pada saat dilaksanakan ½ sd < x < + ½ sd penelitian c. Usia tua jika ≥ x + ½ sd
Tingkat Pendidikan
a. Rendah (1) (jika Lamanya waktu yang Ordinal X≤6 tahun atau ditempuh oleh setara sekolah dasar) responden dalam b. Sedang (2) ( jika 6 mengenyam pendidikan <X≤9 tahun) c. Tinggi (3) (jika X>9 tahun)
Pengalaman sebagai nelayan
Lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun)
a. Usia muda jika x ≤ ½ sd b. Usia sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd c. Usia tua jika ≥ x + ½ sd
Ordinal
Jumlah tanggungan keluarga
Banyaknya orang yang menetap dalam satu rumah dimana nelayan itu tinggal
a. Kecil (Jika anggota RT berjumlah X≤3) b. Menengah (Jika anggota RT berjumlah 3<X≤6 orang) c. Besar (Jika anggota RT berjumlah X>6)
Ordinal
Tingkat teknologi penangkapan ikan
Tingkatan alat yang digunakan nelayan untuk kegiatan penangkapan .
a. b. c. d.
Ordinal
Jenis Perahu Waktu Kerja Ukuran Kapal Jumlah ABK
Ordinal
21
2. Persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang dapat digunakan untuk menganalisis tingkat pengetahuan nelayan terhadap alat tangkap cantrang dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap peraturan pelarangan tersebut. Tabel 9 Definisi operasional persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang Variabel Definisi Operasional Skor Data Persepsi Pandangan mengenai i. Persepsi positif: jika Ordinal terhadap perubahan yang terjadi total skor jawaban 4-7 , skor peraturan setelah peraturan 1 larangan dikeluarkan dan mulai ii. Persepsi negatif: jika cantrang diterapkan total skor jawaban 03, skor 0 3. Kondisi ekonomi pelarangan alat tangkap ikan bagi nelayan adalah akibat yang ditimbulkan peraturan pelarangan alat tangkap ikan terhadap mata pencaharian nelayan yang hidup dan bergantung pada pesisir. Tabel 10 Definisi operasional kondisi ekonomi pelarangan alat tangkap ikan Jenis Variabel Definisi Operasional Indikator Data Tingkat pendapatan
Jumlah keseluruhan penghasilan yang diperoleh nelayan selama setu bulan
-
-
-
Pendapatan Ordinal rendah jika x ≤ - ½ sd Pendapatan sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd Pendapatan tinggi jika ≥ x + ½ sd
22
4. Strategi adaptasi nelayan merupakan tindakan yang dilakukan nelayan sebagai respon terhadap penetapan peraturan larangan alat tangkap oleh pemerintah yang dibagi menjadi penganekaragaman pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, migrasi nelayan, jaringan sosial dan optimalisasi tenaga kerja rumah tangga. Tabel 11 Definisi operasional strategi adaptasi nelayan Variabel Penganekaragaman pendapatan
Definisi Operasional Upaya nelayan untuk memperoleh pendapatan bukan hanya sebagai nelayan
Indikator -
-
Penganekaragaman alat tangkap
Jaringan sosial
Strategi lainnya
Upaya yang dilakukan nelayan untuk menambah berbagai alat tangkap selain alat tangkap yang digunakan setelah ada peraturan Upaya yang dilakukan nelayan dalam menjalin hubungan dengan jaringan sosialnya untuk bertahan sejak dikeluarkannya peraturan Upaya yang dilakukan nelayan seperti menambah kapal, waktu melaut, menggadaikan baran, memperluas wilayah penangkapan, menggadaikan barang
-
-
-
Jenis Data
Rendah (Jika Ordinal jumlah nilai 8-10) Sedang, (Jika jumlah nilai 1113) Tinggi (Jika jumlah nilai 1416) Rendah (Jika Ordinal jumlah x < 3) Tinggi (Jika jumlah x > 3) Rendah (Jika Ordinal jumlah nilai 6-8) Tinggi (Jika jumlah nilai 9-12)
Rendah (jika Ordinal jumlah nilai 5-7) Tinggi (jika jumlah nilai 8-10)
GAMBARAN UMUM WILAYAH Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kondisi fisik, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi masyarakat Kecamatan Tegal Barat secara umum. Selain itu, akan dijelaskan pula kondisi lokasi penelitian yaitu dua kelurahan yang memiliki basis perikanan, Kelurahan Tegalsari dan Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Kondisi Geografi dan Demografi Kecamatan Tegal Barat Kecamatan Tegal Barat merupakan salah satu dari kecamatan yang ada di Kota Tegal dengan luas wilayah kurang lebih 15,13 Km2. Kecamatan Tegal Barat merupakan dataran rendah atau pantai dengan struktur tanah liat dan berpasir. Kecamatan Tegal Barat memiliki suhu rata-rata 27,9° C. Batasan wilayah Kecamatan Tegal Barat antara lain : sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tegal Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tegal Selatan,dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Margadana dan Kabupaten Brebes. Kecamatan Tegal Barat dapat ditempuh dengan menggunakan roda dua maupun roda empat. Jarak tempuh dari Kecamatan Tegal Barat ke wilayah lain di luar Kecamatan Tegal Barat dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Menuju Kantor Walikota ±2,5 kilometer 2. Menuju Kabupaten Tegal ±13,5 kilometer 3. Menuju Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ±164 kilometer Transportasi umum yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk keluar masuk di wilayah kecamatan adalah becak, oplet, dan ojek. Jumlah becak di Kecamatan Tegal Barat mendominasi transportasi umum lainnya sebanyak 301 unit, sehingga becak menjadi salah satu transportasi umum yang biasa digunakan oleh masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Kecamatan Tegal Barat merupakan daerah peyangga Kota Tegal dimana terdapat berbagai varian usaha dan jasa baik dari masyarakat sekitar maupun pelaku ekonomi dari luar kota. Kecamatan Tegal Barat memiliki luas wilayah sebesar 1522,39 Ha yang terdiri dari perumahan dan pekarangan seluas ±506,19 Ha, lahan tambak seluas 417,40 Ha, tanah sawah seluas 49 Ha, tegalan atau kebun seluas 7,8 Ha. Sisanya digunakan untuk jalan, tempat ibadah, fasilitas umum, kegiatan usaha, perkantoran, pantai hutan kota, perhotelan dan tanah yang tidak digunakan seluas 542 Ha. Secara administratif, Kecamatan Tegal Barat memiliki tujuh kelurahan yang terdiri dari 45 RW dan 296 RT. Kelurahan Tegalsari terletak di Kecamatan Tegal Barat. Kelurahan Tegalsari berbatas dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kecamatan Tegal Timur di sebelah timut, Kelurahan Kraton di sebelah selatan, dan Kelurahan Muarareja di sebelah barat. Terdapat 14 RW dan 107 RT di Kelurahan Tegalsari. Jumlah penduduk Kelurahan Tegalsari sebesar 23.119 jiwa dengan rincian 11.661 jiwa
24
laki-laki, 11.458 jiwa perempuan pada Desember 2015. Jumlah tersebut sudah termasuk kelahiran dan pendatang. Umumnya, pendatang datang ke Kelurahan Tegalsari dengan tujuan untuk bekerja dank arena menikah. Kondisi Ekonomi Kecamatan Tegal Barat merupakan dataran rendah yang didominasi oleh kegiatan perikanan, terutama perikanan laut. Sektor perikanan yang dihasilkan di Kecamatan Tegal Barat memberikan kontribusi yang besar di Kota Tegal. Hal ini dapat dilihat dari fluktuasi produksi perikanan dengan nilai produksi yang terus meningkat sejak tahun 2010 hingga 2015. Selain itu, Kecamatan Tegal Barat memiliki dua lokasi tempat pelelangan ikan yaitu TPI Tegalsari di kawasan PPP Tegalsari dan TPI Muarareja. Dilihat dari potensi perikanan baik perikanan laut maupun tambak menjadikan masyarakat Kecamatan Tegal Barat bermatapencaharian di bidang perikanan. Masyarakat Kecamatan Tegal Barat khususnya masyarakat Kelurahan Tegalsari dan Muarareja umumnya bekerja sebagai nelayan, baik menjadi juragan atau pemilik kapal, maupun buruh nelayan atau anak buah kapal (ABK). Tabel 12 Data mata pencaharian penduduk Kelurahan Tegalsari 2015 Mata Pencaharian Jumlah Persentase Nelayan 6385 34,6 Pengusaha 56 0,3 Buruh Industri 854 4,6 Buruh Bangungan 376 2,0 Pedagang 288 1,6 Pengangkutan 271 1,5 Pegawai Negeri 412 2,2 Pensiunan 359 1,9 Lain-lain 9465 51,3 Total 18466 100,0 Sumber: Diolah dari Monografi Kelurahan Tegalsari Desember 2015 Dilihat dari data monografi Kelurahan Tegalsari pada tahun 2015, sebanyak 6.385 orang bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal tersebut dikarenakan letak geografis Kelurahan Tegalsari yang berbatasan langsung dengan laut Jawa. Masyarakat Kabupaten Tegal Barat umumnya lebih memilih menjadi nelayan daripada bertani dikarenakan luas lahan yang dimanfaatkan untuk lahan sawah hanya 3,23 persen dari lahan yang ada, dan khusus di daerah Tegalsari tidak ada lahan persawahan, sehingga tidak ada yang bermatapencaharian sebagai petani maupun buruh tani.
25
Kondisi Sosial Mayoritas penduduk di Kelurahan Tegalsari beragama Islam sebanyak 20.609 orang, 1.027 orang beragama kristen katholik, 1009 orang beragama kristen protestan, 123 orang budha, 334 beragama hindu, dan agama minoritas di Kelurahan Tegalsari adalah Kong Hu Cu sebanyak17 orang. Tingkat pendidikan masyarakat yang tercatat dalam data monografi Kecamatan Tegal Barat Desember 2015 dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 13 Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Tegalsari tahun 2015 Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase Tidak Sekolah/Tidak Tamat/Belum Tamat SD 2714 13,0 Tamatan SD 4885 23,4 Tamatan SLTP 4731 22,7 Tamatan SLTA 4660 22,4 Tamatan Akademi/ Perguruan Tinggi 3852 18,5 Total 20842 100,0 Sumber: Diolah dari data monografi 2015 Mayoritas penduduk Kelurahan Tegalsari berada pada tingkat pendidikan tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 4885 orang atau 23,4 persen, serta proporsi seimbang pada tingkat pendidikan tamat SLTP sebanyak 4731 orang dan tamat SLTA sebanyak 4660 orang. Sementara itu, jumlah penduduk yang tidak sekolah atau tidak tamat SD maupun belum tamat SD sebanyak 2714 orang atau 13, 0 persen. Dapat disimpulkan bahwa penduduk Kelurahan Tegalsari memiliki tingkat pendidikan tamatan SD sampai SLTA lebih tinggi daripada tingkat pendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD. Sarana pendidikan di Kecamatan Tegal Barat mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta sudah tersedia sebanyak 26 Taman Kanak-Kanak (TK), 44 SD, 11 SMP, 9 SMA, dan 3 Perguruan Tinggi Swasta. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa ketersediaan sarana pendidikan dari SD hingga SLTA memudahkan akses penduduk untuk memperoleh pendidikan.
26
27
KARAKTERISTIK RESPONDEN Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu nelayan, khususnya nelayan pengguna alat tangkap cantrang dan nelayan bukan pengguna alat tangkap cantrang di Kecamatan Tegal Barat. Bab ini menjelaskan mengenai karakteristik responden yang meliputi usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman menjadi nelayan, jumlah tanggugan keluarga, dan tingkat teknologi penangkapan. Data dan informasi pada bab ini merupakan data primer yang diperoleh langsung dari lapang pada tahun 2016. Usia Responden Usia responden merupakan selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian ini dilaksanakan. Kategori usia dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu muda, sedang, dan tua. Penentuan tersebut berdasarkan perhitungan dengan membuat standar deviasi dari data primer yang didapatkan pada masing-masing lokasi, sehingga standar usia yang diperoleh berbeda-beda. Data yang diperoleh dari nelayan pengguna cantrang, responden termuda berusia 25 tahun dan responden tertua berusia 56 tahun. Kategori usia muda untuk responden yang berusia kurang dari 35 tahun, kategori sedang berada pada usia 35 sampai 44 tahun, dan kategori tua untuk responden pada usia lebih dari 44 tahun. Selanjutnya, nelayan bukan pengguna cantrang, diperoleh data responden termuda berusai 27 tahun dan responden tertua berusia 69 tahun. Kategori muda untuk responden yang berusia kurang dari 41 tahun, kategori sedang berada pada usia antara 41 tahun dan 54 tahun, dan kategori tua pada usia lebih dari 54 tahun. Berikut adalah rincian data usia responden pada bulan Mei 2016. Tabel 14 Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan usia, Kecamatan Tegal Barat bulan Mei 2016 Tingkat Nelayan bukan Nelayan pengguna Total Usia pengguna cantrang cantrang Responden n % n % n % Muda 10 33,3 11 36,7 21 35,0 Sedang 13 43,3 9 30,0 22 36,7 Tua 7 23,3 10 33,3 17 28,3 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Berdasarkan Tabel 14, mayoritas responden nelayan bukan pengguna cantrang berada dalam kategori sedang yaitu sebanyak 13 responden atau sebesar 43,3 persen. Sementara untuk kategori usia muda sebanyak 10 responden atau 33,3 persen dan usia tua sebanyak 7 responden atau sebesar 23,3 persen. Selanjutnya, usia responden nelayan pengguna cantrang sebanyak 11 responden atau sebesar 36,7 persen termasuk kategori usia muda. kategori usia tua di Kelurahan Tegalsari sebanyak 10 responden atau 33,3 persen dan sebanyak 9 responden atau 30,3 persen berada pada kategori sedang. Hasil rata-rata dari usia responden kedua lokasi penelitian didapatkan rata-rata responden nelayan masuk dalam kategori muda dan sedang.
28
Tingkat Pendidikan Responden Selain usia, tingkat pendidikan juga dipresentasikan untuk menjelaskan karakteristik responden. Tingkat pendidikan merupakan lamanya waktu yang ditempuh oleh responden dalam mengenyam pendidikan. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu 1) rendah, dimana responden menempuh pendidikan kurang dari 6 tahun atau tidak sekolah, 2) sedang, dimana responden menempuh pendidikan antara 6 tahun dan 9 tahun, dan 3) tinggi, dimana responden menempuh pendidikan lebih dari 9 tahun. Tabel 15 Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan tingkat pendidikan, Kecamatan Tegal Barat bulan Mei 2016 Tingkat Nelayan bukan Nelayan pengguna Total Pendidikan pengguna cantrang cantrang Responden n % n % n % Rendah 23 76,7 17 56,7 40 66,7 Sedang 7 23,3 11 36,7 18 30,0 Tinggi 0 0,0 2 6,7 2 3,3 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Dari Tabel 15 diketahui bahwa mayoritas kedua responden berada pada tingkat pendidikan yang rendah, dimana responden tidak menempuh pendidikan sekolah dasar, maupun tidak menyelesaikan sekolah dasar. Nelayan bukan pengguna cantrang sebanyak 23 responden atau sebesar 76,7 persen berada pada tingkat pendidikan rendah, sementara nelayan cantrang sebanyak 17 responden atau sebesar 56,7 persen. Responden dengan tingkat pendidikan sedang lebih banyak berasal dari nelayan pengguna cantrang sebanyak 11 responden daripada nelayan bukan pengguna cantrang sebanya 7 responden. Responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi hanya nelayan pengguna cantrang, yaitu sebanyak 2 responden dan nelayan bukan pengguna cantrang tidak ada. Perbandingan antara kedua responden berdasarkan tingkat pendidikan adalah nelayan bukan pengguna cantrang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada nelayan pengguna cantrang. Hal ini dikarenakan tingkat ekonomi keluarga yang rendah serta kurangnya dorongan orang tua nelayan untuk sekolah menyebabkan nelayan tidak memprioritaskan sekolah sebagai kebutuhan dasar bagi mereka. Oleh karena itu, para nelayan memilih untuk ikut serta dalam kegiatan melaut bersama ayahnya sekaligus membantu perekonomian keluarga. Jumlah Tanggugan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga menunjukkan banyaknya orang yang menetap dalam satu rumah dengan responden. Jumlah tanggungan keluarga berdasarkan pada kebutuhan yang ditanggung oleh nelayan responden. Jumlah tanggungan keluarga kedua responden pada penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu 1) rendah, jumlah tanggungan sebanyak 1 sampai 3 orang, 2) sedang, jumlah tanggungan sebanyak 4 sampai 6 orang, dan 3) tinggi, jumlah tanggungan lebih dari 7 orang. Pada Tabel 16 terdapat jumlah tanggungan keluarga kategori kecil nelayan bukan pengguna cantrang sebanyak 18 responden atau sebesar 60 persen, sementara nelayan pengguna cantrang sebanyak 13 responden atau sebesar 43,3 persen.
29
Jumlah tanggungan keluarga nelayan pengguna cantrang mayoritas berada pada kategori sedang sebanyak 17 responden atau 56,7 persen dan kategori besar tidak ada. Kategori menengah pada nelayan bukan pengguna cantrang sebanyak 10 responden dan kategori besar sebanyak 2 (dua) responden. Tabel 16 Jumlah tanggungan responden bulan Mei 2016 Jumlah Tanggungan Nelayan bukan Nelayan Keluarga pengguna pengguna cantrang cantrang n % n % Kecil (1-3 orang) 18 60,0 13 43,3 Menengah (4-6 orang) 10 33,3 17 56,7 Besar (≥7 orang) 2 6,7 0 0,0 Total 30 100,0 30 100,0
Total
n 31 27 2 60
% 51,7 45,0 3,3 100,0
Berdasarkan Tabel 16 kedua respondon penelitian termasuk dalam kategori jumlah tanggungan keluarga kecil sebanyak 31 responden atau sebesar 51,7 persen. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan yang telah menikah memilih untuk tinggal di rumah sendiri atau rumah warisan orangtua. Di samping itu, nelayan yang telah melewati usia produktif memiliki anak-anak yang telah menikah maupun bekerja di luar kota dan menetap di kota tersebut, sehingga yang dibiayai selama sehari-hari hanya anak paling kecil beserta istri. Pengalaman menjadi Nelayan Pengalaman menjadi nelayan adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun). Kategori pengalaman nelayan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu belum lama, cukup lama, dan sangat lama. Data yang diperoleh dari nelayan pengguna cantrang, pengalaman melaut paling sebentar 10 tahun dan paling lama 44 tahun. Kategori belum lama adalah untuk responden yang memiliki pengalaman melaut kurang dari 20 tahun, kategori cukup lama antara 20 tahun sampai kurang dari 32 tahun, kategori sangat lama untuk pengalaman melaut lebih dari sama dengan 32 tahun. Selanjutnya, nelayan yang tidak mengunakan cantrang memiliki pengalaman paling sebentar 6 (enam) tahun dan paling lama 57 tahun. Kategori belum lama adalah untuk responden yang memiliki pengalaman melaut kurang dari 22 tahun, kategori cukup lama antara 22 tahun sampai kurang dari 40 tahun, kategori sangat lama untuk pengalaman melaut lebih dari sama dengan 40 tahun. Tabel 17 Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan pengalaman menjadi nelayan, Kecamatan Tegal Barat bulan Mei 2016 Lama Nelayan bukan Nelayan pengguna Total pengalaman pengguna cantrang cantrang nelayan n % n % n % Belum lama 7 23,3 8 26,7 15 25,0 Cukup lama 12 40,0 12 40,0 24 40,0 Sangat lama 11 36,7 10 33,3 21 53,0 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
30
Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa mayoritas kedua responden memiliki tingkat pengalanan melaut cukup lama dengan masing-masing sebanyak 12 responden atau 40 persen. Nelayan bukan pengguna cantrang yang memiliki pengalaman melaut belum lama sebanyak 7 orang atau sebesar 23,3 persen dan sebanyak 11 responden atau sebesar 36,7 persen berada dalam kategori sangat lama. Berikutnya, nelayan pengguna cantrang yang termasuk kategori belum lama sebanyak 8 responden dan kategori sangat lama sebanyak 10 responden. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman nelayan cukup untuk mengetahui kondisi perekonomian nelayan, serta strategi-strategi bertahan hidup yang dilakukan mereka. Tingkat Teknologi Penangkapan Tingkat teknologi penangkapan dilihat berdasarkan kapal atau perahu yang digunakan dalam kegiatan penangkapan. Jenis perahu atau kapal yang digunakan oleh responden terdiri dari dua jenis, yaitu perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor (KM). Jumlah dan persentase responden menurut jenis perahu yang digunakan data dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah dan persentase responden menurut jenis perahu bulan Mei 2016 Jenis Nelayan bukan Nelayan pengguna Total Perahu/Kapal pengguna cantrang cantrang n % n % n % PMT 26 86,7 0 0,0 26 43,3 KM 4 13,3 30 100,0 34 56,7 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Berdasarkan Tabel 18, nelayan bukan pengguna cantrang mayoritas menggunakan perahu motor tempel sebanyak 26 responden atau 86,7 persen. Mesin yang digunakan berupa mesin diesel dengan kekuatan mulai kurang ari 5 PK hingga lebih, tergantung pada besar kapal. Sementara pengguna kapal motor nelayan bukan pengguna cantrang sebanyak 4 responden atau 13,3 persen. Berbeda dengan nelayan bukan pengguna cantrang, nelayan pengguna cantrang sebanyak 30 responden atau sebesar 100 persen sudah menggunakan kapal motor. Perbedaan terkait jenis perahu yang digunakan dikarenakan waktu kerja nelayan dan ukuran kapal yang dimiliki. Tabel 19 Jumlah dan persentase responden menurut waktu kerja bulan Mei 2016 Waktu kerja Nelayan bukan Nelayan pengguna Total responden pengguna cantrang cantrang n % n % n % <30 hari 30 100,0 24 80,0 54 90,0 >30 hari 0 0,0 6 20,0 6 10,0 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa responden nelayan bukan pengguna cantrang yang melakukan kegiatan melaut kurang dari 30 hari sebanyak 30 responden atau 100 persen. Nelayan bukan pengguna cantrang yang menggunakan perahu motor tempel umumnya melakukan kegiatan one-day fishing kurang lebih
31
selama 7 hingga 10 jam, sehingga dalam sebulan mereka melakukan kegiatan melaut hampir setiap hari dan hanya libur di hari-hari tertentu. Berikutnya, nelayan pengguna cantrang sebagian besar melaut selama 15 sampai 30 hari sebanyak 23 responden atau 76,7 persen dan melaut lebih dari 30 hari sebanyak 6 responden atau 20 persen, sehingga membutuhkan kapal dengan daya yang lebih besar dan bisa menampung hasil tangkapan yang lebih banyak. Tabel 20 Jumlah dan persentase responden menurut ukuran kapal bulan Mei 2016 Ukuran Kapal Nelayan bukan Nelayan pengguna Total pengguna cantrang cantrang n % n % n % <10 GT 30 100,0 2 6,7 32 53,3 10-20 GT 0 0,0 4 13,3 4 6,7 >20 GT 0 0,0 24 80,0 24 40,0 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa ukuran kapal yang digunakan nelayan bukan pengguna cantrang adalah kapal yang berukuran kurang dari 10 GT, sedangkan nelayan pengguna cantrang mayoritas menggunakan kapal yang berukuran di atas 20 GT sebanyak 24 responden atau 80 persen. Berdasarkan data pengisian kuesioner, kapal yang digunakan oleh responden nelayan bukan pengguna cantrang paling kecil berukuran 3 GT dan paling besar berukuran 6 GT. Selanjutnya, kapal yang digunakan nelayan pengguna cantrang paling kecil berukuran 6 GT dan paling besar berukuran 35 GT. Tabel 21 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah ABK bulan Mei 2016 Jumlah ABK Nelayan bukan Nelayan pengguna Total pengguna cantrang cantrang n % n % n % <10 orang 30 100,0 2 6,7 32 53,3 >10 orang 0 0,0 28 93,3 28 46,7 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Jumlah ABK yang ikut melaut tergantung pada besarnya ukuran kapal serta lamanya waktu kerja di laut. Pada Tabel 21 dapat dilihat jumlah ABK yang dimiliki nelayan bukan pengguna cantrang kurang dari 10 orang. Nelayan yang melakukan kegiatan one-day fishing mengaku hanya melaut seorang diri atau mengajak 1-2 orang, sementara nelayan yang melaut selama 3-10 hari memiliki ABK sebanyak 4-6 orang. Mayoritas nelayan pengguna cantrang mempunyai ABK lebih dari 10 orang sebanyak 28 responden atau 93,3 persen. Nelayan pengguna cantrang dengan ukuran kapal di atas 10 GT memiliki ABK berjumlah 10 hingga 22 orang. Berdasarkan keempat tabel di atas dapat dikatakan bahwa tingkat teknologi penangkapan nelayan pengguna cantrang lebih maju daripada tingkat teknologi penangkapan nelayan bukan pengguna cantrang. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah responden nelayan cantrang yang menggunakan kapal motor lebih banyak daripada nelayan bukan pengguna cantrang. Selain itu, ukuran kapal yang digunakan nelayan pengguna cantrang lebih besar daripada nelayan bukan pengguna cantrang.
32
Ikhtisar Karakteristik responden nelayan pengguna cantrang berdasarkan tingkat usia berada pada kategori muda yaitu kurang dari 35 tahun, sedangkan nelayan bukan pengguna cantrang berada pada kategori sedang yaitu antara 41 tahun sampai 54 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas nelayan bukan pengga cantrang dan nelayan pengguna cantrang berada pada kategori rendah. Mayoritas nelayan mengaku tidak tamat sekolah bahkan tidak sekolah sejak kecil. Hal tersebut dikarenakan tingkat ekonomi keluarga yang rendah saat itu dan kurangnya motivasi belajar dari orang tua, sehingga nelayan lebih memilih untuk ikut melaut bersama orang tuanya. Jumlah tanggungan keluarga nelayan cantrang didominasi oleh keluarga menengah yang terdiri dari 4 sampai 6 orang, sedangkan mayoritas nelayan bukan pengguna cantrang termasuk keluarga kecil yang terdiri dari 1 sampai 3 orang. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan yang telah menikah memilih untuk tinggal di rumah sendiri atau rumah warisan orangtua, serta, nelayan yang telah melewati usia produktif memiliki anak-anak yang telah menikah maupun bekerja di luar kota dan menetap di kota tersebut, sehingga yang dibiayai selama sehari-hari hanya anak paling kecil beserta istri. Pengalaman menjadi nelayan baik nelayan pengguna cantrang maupun bukan pengguna cantrang termasuk dalam kategori cukup lama. Umumnya, nelayan mulai melaut sekitar usia 7 tahun ke atas hingga saat ini. Hal tersebut dikarekan mereka tidak bersekolah dan membantu orang tuanya bekerja di laut pada usia dini. Berdasarkan tingkat teknologi penangkapan, nelayan pengguna cantrang tergolong memiliki tingkat teknologi penangkapan yang tinggi. Nelayan pengguna cantrang didominasi oleh pengguna kapal motor yang melaut selama kurang 15 hari hingga 2 bulan dengan ukuran kapal mayoritas di atas 10 GT hingga 30 GT dan memiliki ABK kurang dari 10 orang. Nelayan bukan pengguna cantrang didominasi oleh perahu motor tempel yang melaut selama kurang dari sehari dengan ukuran kapal mayoritas di bawah 10 GT dan melaut sendiri atau mengajak 1 sampai 2 orang keluarga maupun kerabat dan tetangganya.
33
KONDISI SEKTOR PERIKANAN TANGKAP CANTRANG Cantrang (Danish seine) merupakan perubahan atau modifikasi alat tangkap trawl sama seperti pukat ikan, pukat udang, jaring arad, dogol, lampara dasar dan sebagainya. Trawl mulai dimodifikasi sejak diterapkannya Keppres No 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring Trawl. Hal tersebut dilakukan oleh nelayan untuk tetap menghasilkan hasil tangkapan yang maksimal. Cantrang menjadi salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di pantai utara Jawa, salah satunya di Kota Tegal, Jawa Tengah. Penggunaan jaring cantrang ditentukan berdasarkan ukuran kapal yang dimiliki nelayan dan daerah penangkapan ikan. Tabel 22 Jumlah armada kapal usaha penangkapan ikan Kota Tegal 2014 Alat Tangkap Jumlah (Unit) Purse seine Gill Net Trammel Net Jaring Arad Cantrang Pukat Pantai Badong Total Sumber: DKP Kota Tegal 2014
166 33 89 106 493 19 49 955
Dari Tabel 22 dapat dilihat bahwa mayoritas nelayan Kota Tegal menggunakan alat cantrang sebanyak 493 unit dan minoritas nelayan menggunakan pukat pantaisebanyak 19 unit. Jumlah kapal cantrang pada tahun 2015 di Kecamatan Tegal Barat, sudah mencapai 668 unit. Hal tersebut dikarenakan cantrang lebih efektif dalam penangkapan ikan dan ekonomis harganya dibandingkan alat tangkap lain. Nelayan mengaku hasil tangkapan ikannya semakin banyak setelah menggunakan cantrang, meskipun hasil yang diperoleh bergantung pada faktor cuaca atau musim. Tabel 23 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Laut Kota Tegal Tahun Produksi (Kg) Nilai Produksi (Rp) 2010 20.323.865 135.616.286.000 2011 29.516.013 198.911.948.000 2012 27.170.453 206.845.002.000 2013 23.474.068 233.156.748.000 2014 25.123.723 255.213.523.000 2015 27.451.589 281.742.884.000 Sumber: DKP Kota Tegal 2015 Produksi perikanan tangkap di Kota Tegal mengalami fluktuasi, namun nilai produksi yang dicapai dari tahun 2010 hingga 2015 selalu mengalami peningkatan. Pada Tabel 24, produksi ikan di Kota Tegal tahun 2011 mencapai 29.516.013 Kg, dimana terjadi kenaikan sebesar 9.192.148 Kg dari tahun 2010. Kemudian terjadi penurunan selama dua tahun dan meningkat pada tahun 2014-2015. Jumlah produksi yang fluktuasi dikarenakan kebiasaan ikan yang hidup berpindah-pindah
34
sesuai dengan keadaan habitatnya. Berikut adalah tabel produksi ikan TPI Tegalsari Kota Tegal pada awal tahun 2016 hingga bulan April. Tabel 24 Produksi Ikan TPI Tegalsari Kota Tegal bulan Januari-April 2016 Bulan Produksi (Kg) Raman Januari 342.030 1.714.667.000 Februari 233.451 1.315.027.000 Maret 399.272 1.999.291.000 April 390.542 1.954.886.000 Sumber: TPI Tegalsari 2016 Produksi ikan kapal cantrang di TPI Tegalsari mengalami penurunan sebesar 108.579 Kg pada bulan Februari. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan tersebut adalah jumlah kapal cantrang yang berlabuh di PPP Tegalsari. Berdasarkan data Bukti Lapor Kapal Masuk (BLKM) PPP Tegalsari, kapal cantrang yang masuk bulan Januari berjumlah 129 kapal dan kapal cantrang yang masuk pada bulan Februari sebanyak 87 kapal, sehingga jumlah produksi ikan pun mengalami penurunan. Kapal cantrang yang berlabuh di PPP Tegalsarai tidak hanya kapal Tegal, namun ada juga kapal yang berasal dari Kabupaten Tegal, Brebes, Pemalang dan daerah sekitar Kota Tegal. Tabel 25 Jenis Ikan dan Produksi Hasil Tangkapan Laut Kapal Cantrang bulan Januari-April 2016 Produksi (Kg) Jenis Ikan Januari Februari Maret April Selar 24.971 19.367 29.430 28.505 Tengiri 6.045 4.688 14.248 13.800 Layur 22.729 17.630 26.790 25.950 Tigawaja 21.699 25.244 25.574 24.770 Ekor Kuning 66.860 85.415 95.220 56.530 Petek/Pirik 95.140 0 89.709 86.892 Manyung 9.070 7.034 10.689 10.353 Peh 17.106 13.268 20.160 19.527 Kakap 8.266 6.411 9.742 12.581 Bloso 26.176 20.302 20.566 29.881 Cumi 10.388 8.057 10.202 14.822 Bawal 6.268 4.862 14.776 35.779 Sumber: TPI Tegalsari 2016 Hasil tangkapan kapal cantrang mayoritas adalah ikan demersal seperti ikan manyung (Arius thalassinus), ikan beloso (Saurida tumbil), ikan kakap (Lates calcarifer), ikan ekor kuning (Caesio erythrogaster), ikan bawal hitam (Formio niger), ikan bawal putih (Pampus argenteus), ikan layur (Trichiurus) dan ikan pari. Table 4 merupakan jenis ikan hasil produksi kapal cantrang pada bulan JanuariApril 2016. Sebagian besar ikan yang didapatkan oleh kapal cantrang termasuk ikan demersal. Produksi ikan paling tinggi adalah jenis ikan petek/pirik. Terdapat empat jenis ikan demersal yang cukup banyak didapatkan oleh kapal cantrang, yaitu. ikan ekor kuning, ikan bloso, ikan selar, dan ikan layur.
35
IMPLEMENTASI PERATURAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, wilayah laut terdiri atas wilayah perariran dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Wilayah perairan meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial. Selanjutnya, wilayah yurisdiksi meliputi zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontingen. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia dilakukan di wilayah perairan. Fishing belt yang berjarak 4 mil laut hingga 12 mil laut merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi. Berikutnya, pemanfaatan laut di atas 12 mil ditentukan oleh pemerintah pusat. Namun, semakin lama jumlah armada kapal di Kota Tegal, khususnya pengguna cantrang, sehingga luas wilayah perairan pada jarak 4 mil hingga 12 mil menjadi semakin padat dan persaingan antar nelayan menjadi lebih tinggi. Sumber daya perikanan tangkap bersifat renewable dan termasuk rezim kepemilikan sumber daya alam akses terbuka, sehingga banyak pihak, termasuk nelayan, yang memanfaatkan potensi sumber daya ikan dengan maksimal secara bersama-sama (Satria 2015). Secara hukum, batasan laut, dan aturan-aturan terkait pemanfaatan sumber daya ikan telah ditetapkan, namun, kenyataannya konflik nelayan terkait persaingan untuk memperoleh hasil tangkapan masih terjadi. Akibatnya, masyarakat pesisir, khususnya nelayan kecil, semakin marjinal. Selain itu, nelayan-nelayan komersil mulai memodifikasi kapal dan alat tangkap untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksimal, namun tidak memperhatikan dampak bagi ekosistem terumbu karang. Hal itu membuat nelayan kecil yang masih menggunakan perahu dan alat tradisional semakin termarjinalkan. Persepsi Nelayan terhadap Peraturan Larangan Cantrang Pada umumnya, nelayan yang memiliki kapal di bawah 10 GT melaut di sepanjang 4 mil. Jumlah kapal yang terus meningkat yang membuat padatnya area penangkapan serta menimbulkan persaingan. Nelayan yang awalnya melaut hanya di sekitar 4 mil dari batas wilayah kabupaten kota, akhirnya masuk ke wilayah 12 mil. Waktu yang ditempuh nelayan untuk sampai ke daerah tangkapan sekitar 1,5 jam hingga 3 jam. Selain itu, masuknya kapal asing ke wilayah perairan Indonesia secara illegal mengurangi hasil tangkapan ikan nelayan Indonesia. “…hasilnya fluktuasi, ya tidak bisa gini terus lah. Tapi yang diperhatikan itu ini (4 mil). Kondisi disini sudah tidak ada ikan. Kedua adalah masalah ininya. Ininya sudah tidak ada TBK. Terumbu karangnya sudah hilang ini semua, sudah rusak oleh cantrang. Alat cantrang dikasih pemberat. Cantrang dikasih pemberat jadi otomatis mulai dasarnya segini, jaringnya ini dasarnya dikasih pemberat. Otomatis dengan adanya begini, ini banyak dasar pantai yang sudah seperti lapangan sepak bola, karena ini kan ada pemberatnya, otomatis kan dia rusak.” Kepala Bidang Kelautan DKP Kota Tegal Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik
36
(seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dikeluarkan untuk mengurangi penggunaan alat tangkap yang dianggap merusak ekosistem perairan seperti terumbu karang khususnya di Laut Jawa. Selain itu, populasi jaring cantrang semakin berkembang pesat dan ukuran kapal yang digunakan berbobot lebih dari 30 GT hingga 100 GT. Adanya peraturan tersebut, menimbulkan berbagai reaksi dari nelayan di Indonesia, khususnya nelayan Jawa Tengah. Tanggapan nelayan terhadap peraturan tersebut, berbeda-beda. Nelayan yang umumnya menggunakan jaring gillnet atau pancing menanggapi peraturan tersebut dengan positif dan setuju apabila peraturan tersebut diberlakukan. Sebaliknya, nelayan yang menggunakan cantrang sangat tidak setuju apabila cantrang dilarang. Tabel 26 Jumlah dan persentase persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang Persepsi Nelayan bukan Nelayan pengguna Total Nelayan pengguna cantrang cantrang n % n % n % Positif 29 96,7 0 0,0 29 48,3 Negatif 1 3,3 30 100,0 31 51,7 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Sumber: Data Primer bulan Mei 2016 Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat bahwa sebagian besar nelayan yang memiliki persepsi positif adalah nelayan bukan pengguna cantrang sebesar 96,7 persen dan persepsi negative sebesar 3,3 persen. Nelayan bukan pengguna cantrang yang memiliki persepsi negatif terhadap peraturan tersebut mengaku mempunyai kepentingan dengan nelayan kapal cantrang yaitu perihal umpan yang selalu dibeli dari nelayan kapal cantrang dengan harga terjangkau dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, seluruh nelayan pengguna cantrang sebesar 100 persen memiliki persepsi negatif terkait peraturan larangan cantrang tersebut. Nelayan pengguna cantrang mengaku tidak setuju dengan peraturan karena akan merugikan usaha perikanannya, baik dari hasil tangkapan yang diperoleh akan berkurang karena pergantian alat tangkap, hingga tidak diizinkannya operasi kapal cantrang sehingga ABK yang ada dalam organisasi kerja di kapal akan menjadi penggangguran. “…selama 3 bulan kami tidak melaut pas tahun 2015 itu karena dari SLO, organisasi terkait yang mengeluarkan SPP, mengeluarkan peraturan tidak berani karena ada larangan itu. Kami demo. Kami demo, ada jalan, sudah dikasih sampai tahun 2016. Kita masih berjalan sampai tahun 2016. Cuman kan mikir, saya, kami. Kalau ini dilarang aja tanpa solusi, ini alat penggantinya, ini modalnya dan sebagainya, percuma juga mau diundur sampai 2017 kalau gak ada solusi yang jelas kan gak bisa juga mba.” (ISW, 27 GT, Kapal cantrang). Sejak KKP mengeluarkan peraturan tersebut, selama tiga bulan pertama nelayan cantrang di Kota Tegal, khususnya daerah Tegalsari, tidak pergi melaut. Nelayan mengaku tidak berani pergi ke laut karena takut dengan operasi yang
37
berlangsung di laut oleh pihak airud maupun pol air. Selanjutnya, berdasarkan observasi di TPI Tegalsari dan PPP Tegalsari bulan Mei 2016, nelayan kapal cantrang masih tetap melakukan kegiatan melaut seperti biasa. Hal tersebut dikarenakan surat edaran No 72/MEN-KP/II/2016 yang menyatakan pembatasan penggunaan alat penangkapan ikan cantrang dilaksanakan sampai tanggal 31 Desember 2016. “Tapi sekarang kan cantrang sedang dipersulit. Makanya sekarang susah banyak operasi di laut. Airudnya, kemaritimnya agak susah…walaupun kita ada ijin ya masih resmi, lengkap semua, perbekalan lapor di syahbandar, di SLO, di angkatan laut.” (DNS, 29 GT) Walaupun KKP mengeluarkan surat edaran tersebut, nelayan pengguna cantrang mengaku bingung dan resah saat melakukan kegiatan melaut maupun mengurus Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Sebagian besar nelayan pengguna cantrang membutuhkan waktu selama 1,5 hari hingga 2 hari untuk sampai ke daerah penangkapan ikan. Tak jarang nelayan pengguna cantrang melakukan kegiatan penangkapan ikan di luar Laut Jawa seperti daerah Palembang di Sumatera dan Kalimantan. Nelayan mengaku bahwa mereka harus menghindari airud maupun pol air yang beroperasi di perairan tersebut, karena mereka sudah masuk ke batas provinsi lain. Nelayan mengaku bahwa operasi di laut membuat nelayan rugi puluhan juta secara bertahap. Adanya operasi dari pihak tertentu membuat mereka harus membayar denda dua juta setiap tertangkap saat melaut. Nelayan pengguna bukan cantrang menilai bahwa peraturan larangan cantrang belum tentu menambah hasil tangkapan ikan, karena menurut nelayan hasil tangkapan ikan yang didapatkan saat melaut selalu tidak menentu dan tergantung pada musimnya. Nelayan mengaku belum dapat memastikan apakah hasil tangkapannya akan bertambah atau tidak dikarenakan mobilitas ikan di perairan yang tidak tetap. Walaupun demikian, nelayan bukan pengguna cantrang berharap hasil tangkapan ikan pada 5 sampai 10 tahun mendatang akan bertambah setelah peraturan tersebut diberlakukan. “…diperkirakan pasti menurun karena memang kita kan biasanya pake pukat, trus pake jaring, ikannya kan belum banyak. Memang sih diakui persediaan ikan di Kota Tegal memang cepat habis mbak. Kalau ada ikan langsung bergerombol karena saking banyaknya yang nyari, trus alatnya itu canggih-canggih pake pukat semua, jadi cepet habis mbak.” (SWO, 6 GT) Mayoritas nelayan pengguna cantrang menilai peraturan tersebut dengan pandangan negatif. Nelayan pengguna cantrang menilai bahwa pelarangan cantrang akan mengurangi hasil tangkapan ikan mereka dan hal tersebut berdampak pada produksi ikan di Jawa Tengah. Nelayan cantrang mengaku hasil tangkapan ikannya bertambah sejak menggunakan cantrang. Alat tangkap cantrang mulai digunakan oleh nelayan Tegal sejak tahun 1980-an, sehingga dengan adanya peraturan tersebut akan menurunkan hasil tangkapan ikan.
38
Kapal yang diperbolehkan untuk menggunakan cantrang tidak lebih dari 30 GT. Namun, semakin lama, cantrang dimodifikasi dari kecil menjadi lebih besar dengan kapal yang kapasitasnya melebihi 30 GT. Hasil tangkapan ikan cantrang pun beragam dan didominasi oleh ikan-ikan demersal. Nelayan cantrang yang menggunakan kapal sesuai dengan peraturan berpandangan bahwa peraturan tersebut diberlakukan khusus untuk kapal-kapal dengan ukuran yang tidak sesuai antara SIUP dan SIPI dengan ukuran nyata kapal tersebut. Berdasarkan hasil observasi lapang, banyak kapal cantrang di PPP Tegalsari yang berukuran lebih dari 30 GT, namun ukuran yang tertera dalam SIUP maupun SIPI, serta dek kapal kurang dari sama dengan 30 GT. Ada beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya markdown pada kapal, salah satunya biaya usaha penangkapan ikan yang disetorkan kepada PPP Tegalsari setiap akan berangkat melaut atau rekom. Tarif retribusi izin usaha perikanan dengan jenis usaha pengkapan ikan, usaha penangkapan ikan berdasarkan Perda No. 10 Tahun 2014 tentang retribusi daerah Provinsi Jawa Tengah mewajibkan pemilik kapal membayar SIUP dan SIPI sebesar Rp10.000/GT dan alat tangkap cantrang dikenai biaya sebesar Rp20.000/GT. Selanjutnya, sebagian besar responden nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang menilai bahwa pelarangan cantrang dapat mengurangi pengangguran atau memperluas lapangan kerja. Hal tersebut dikarenakan usaha perikanan tangkap cantrang melibatkan banyak pihak, baik di darat maupun organisasi kerja di kapal. Menurut nelayan, pelarangan cantrang akan merugikan berbagai pihak seperti ABK, pengurus kapal, bakul, pedagang, maupun usaha perikanan fillet. “..kalau kapal tidak bisa melaut, kira-kira kurang lebih itu ada sekitar 20 ABK, berapa puluh ribu ABK yang nganggur. Belum yang terkait disitu, kayak pengurus kapal, kayak pedagang ikan disitu, pekerja kasar gerobak, kuli dan sebagainya, pekerja bongkar kena dampaknya. Ya wong gak ada ikan berarti kan gak ada pekerjaan.”(CLS, 28 GT) Nelayan mengaku khawatir dengan nasib para buruh nelayan yang tidak bisa bekerja apabila pelarangan tersebut diterapkan. Banyaknya waktu yang dihabiskan di laut membuat sebagian besar nelayan tidak memiliki pekerjaan lain di daratan. Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi faktor yang menghambat mereka dalam mencari pekerjaan di darat. Sebagian responden beranggapan bahwa pelarangan cantrang akan menambah jumlah penggangguran dan dapat meningkatkan tingkat kejahatan dikarenakan desakan ekonomi. Hal itu dikarenakan kapal cantrang yang tidak diizinkan untuk beroperasi dan mayoritas nelayan pengguna cantrang menilai bahwa peraturan tersebut pasti akan mengurangi jumlah kapal dan menambah pengangguran. “..yang saya khawatir, kalau orang mau nafkahi istrinya gak bisa, mau jajan enak gak bisa karena gak melaut. Ya paling bisa jadi perompak, jadi garong, jadi segala-gala. Yang saya khawatirkan itu begitu, itu jangka panjang. Tapi yang punya wewenang itu gak nyampe kesitu sih karena memang penganggur banyak nanti kalau misalnya ini dilarang. Coba kalau pagi mbak liat di darat, uda kayak semut.”(DNS, 29 GT)
39
Walaupun demikian, sebagian besar nelayan bukan pengguna cantrang menilai jika pelarangan cantrang akan menambah pendapatan mereka karena jumlah kapal cantrang akan berkurang dan mengurangi konflik antar nelayan di laut. Nelayan mengaku alat tangkap yang mereka gunakan sering terseret oleh kapal cantrang dan rusak, sehingga merugikan mereka. Nelayan bukan pengguna cantrang juga menilai jika pelarangan cantrang diterapkan, akan membuat daerah tangkapan menjadi lebih dekat dan mengurangi kerusakan ekosistem laut, khususnya terumbu karang dalam waktu mendatang dikarenakan jumlah kapal cantrang yang berkurang tersebut. Sebaliknya, sebagian besar nelayan cantrang berpandangan bahwa cantrang tidak merusak ekosistem laut dan menghabiskan sumberdaya ikan di laut, sehingga dapat dilihat bagaimana persepsi nelayan terhadap peraturan larangan tersebut. Nelayan pengguna cantrang didominasi dengan persepsi negatif terhadap peraturan dan sebaliknya, nelayan bukan pengguna cantrang cenderung memiliki persepsi yang postif apabila peraturan tersebut diterapkan. “Cantrang disamakan seperti pukat harimau, kan lain. Bapak saya, buyut saya dulu pake ini semua. Kalau pukat harimau ntrawl memang dilarang, dilarang. Tapi kalau cantrang gak ada. Ini yang sudah berjalan yang dari dulu juga boleh. Dilarang. Katanya nanti untuk anak cucu saya. Itu kan ikan yang bikin bukan mereka, itu kan kekayaan alam. Allah yang bikin. Gak mungkin habis.”(TSM,29 GT) Responden bukan pengguna cantrang ada yang menggunakan alat tangkap arad. Nelayan mengaku penggunaan arad termasuk merusak karena merupakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Pengetahuan dan pemahaman tersebut didapatkan dari penyuluh melalui pertemuan kelompok setiap sebulan sekali. Sejak adanya peraturan terkait pelarangan pukat tarik dan pukat hela, penyuluh DKP Kota Tegal selalu menghimbau nelayan arad untuk mengganti alat tangkap tersebut dengan jaring yang ramah lingkungan sebelum tanggal 1 Januari 2017. Nelayan yang sadar jika arad merusak lingkungan mengakui bahwa penggunaan cantrang yang ukurannya lebih besar dari arad sangat memiliki dampak negatif bagi kelestarian sumberdaya laut. Box 1. Dinas Kelautan Kota Tegal sudah pernah menyelenggarakan sosialisasi terkait perubahan alat tangkap. Sosialisasi tersebut mendatangkan Direktorat Jendral Penangkapan Ikan KKP. Sosialisasi diselenggarakan dengan mengundang 50 orang perwakilan dari nelayan cantrang. Namun, pada hari pelaksanaan, hampir 300 orang yang terdiri dari pemilik kapal dan buruh nelayan kapal cantrang datang ke kantor DKP Kota Tegal. Sosialisasi tidak berjalan lancar dikarenakan situasi yang tidak kondusi setelah acara berlangsung selama 5 menit. Nelayan cantrang melakukan aksi demo dan sosialisasi terpaksa diberhentikan. Padahal, tujuan utama diselenggarakan sosialisasi adalah untuk menampung aspirasi nelayan cantrang terkait dengan alat tangkap ikan pengganti yang baru dan lebih ramah lingkungan.
40
Berbeda dengan nelayan bukan pengguna cantrang, nelayan pengguna cantrang mengaku tidak pernah diberikan sosialisasi terkait peraturan pelarangan cantrang. Nelayan mengaku bahwa pelarangan cantrang diketahui melalui media massa dan berita-berita di televisi. Para pemilik cantrang maupun buruh nelayan yang menjadi responden dalam penelitian ini mengaku belum ada sosialisasi apa pun dari pemerintah baik dari peraturan pelarangan alat tangkap maupun solusi untuk nelayan terkait peraturan tersebut. Namun, berdasarkan informan DKP Kota Tegal, sosialisasi terkait perlarangan cantrang telah dilakukan dengan mendatangkan langsung Ditjen Perikanan Tangkap dengan agenda membahas solusi pergantian alat tangkap. Tidak adanya solusi dan sosialisasi, nelayan pengguna cantrang mengaku melakukan aksi demo sebagai upaya pengkajian ulang peraturan pelarang cantrang tersebut. Mereka merasa tidak terima apabila cantrang ditutup. Namun, demo-demo yang berlangsung dilakukan oleh nelayan pengguna cantrang yang mayoritas memiliki kapal cantrang berukuran besar. Nelayan cantrang dengan ukuran kapal yang seharusnya mengaku tidak pernah ikut demo dalam kurun waktu 2015 sampai 6 April 2016 kemarin. Oleh karena itu, nelayan pengguna cantrang dengan ukuran yang sesuai menginginkan keadilan karena mereka merasa dirugikan apabila semua cantrang dihapuskan, sedangkan mereka menggunakan kapal sesuai dengan peraturan dan hanya melaut di daerah Laut Jawa. Kondisi Ekonomi Nelayan Kondisi ekonomi nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang berbeda-beda. Kondisi ekonomi nelayan dilihat dari hasli penangkapan dan tingkat pendapatan. Kondisi tersebut tergantung pada teknologi penangkapan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan seperti jenis kapal yang digunakan, waktu yang dihabiskan untuk melaut, ukuran kapal yang digunakan, serta jumlah anak buah kapal (ABK) yang ikut melaut. Umumnya, nelayan pengguna cantrang memiliki pendapatan lebih besar serta pengeluaran melaut yang lebih besar daripada nelayan bukan pengguna cantrang. Rataan pendapatan bersih dari sektor perikanan (kegiatan on-fishing) nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang dijelaskan dalam Tabel 27. Tabel 27 Rataan pendapatan bersih sektor perikanan nelayan pengguna cantrang Nelayan Pengguna Cantrang Nelayan bukan Kategori Pemilik Kapal ABK Kapal pengguna Cantrang Cantrang cantrang Pendapatan bersih kegiatan on-fishing 479.868.421 33.627.273 57.984.000 (Rp/tahun) Pendapatan bersih kegiatan on-fishing 73.394.257 4.604.537 4.832.000 (Rp/bulan) Pendapatan bersih kegiatan on-fishing 2.446.475 153.485 161.067 (Rp/hari)
41
Pada penelitian ini, nelayan pengguna cantrang dibagi menjadi pemilik kapal cantrang dan ABK kapal cantrang. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh rata-rata pendapatan bersih kegiatan on-fishing pemilik kapal cantrang mencapai Rp 73.394.257 per bulan atau setara dengan Rp 73.394.300 per bulan dan rata-rata pendapatan bersih kegiatan on-fishing ABK kapal cantrang per bulan lebih kecil dari pemilik kapal cantrang yaitu mencapai Rp 4.604.537 atau setara dengan Rp 4.604.500. Nelayan mengaku faktor yang memengaruhi pendapatan mereka antara lain biaya operasional kegiatan, hasil penjualan ikan yang tidak menentu, serta jumlah ABK yang ikut melaut. Jumlah ABK yang ikut melaut menjadi salah satu faktor yang menurut ABK kapal cantrang memengaruhi pembagian pendapatan bersih yang diperoleh per trip. Selanjutnya, nelayan bukan pengguna cantrang yang mayoritas melakukan kegiatan one-day fishing memiliki pendapatan bersih kegiatan on-fishing mencapai Rp4.832.000 per bulan. Nelayan Pengguna Cantrang Nelayan pengguna cantrang mayoritas menggunakan kapal motor serta melakukan kegiatan penangkapan ikan yang cenderung lebih lama. Jumlah ABK yang ikut melaut pun sekitar 10-22 orang tergantung pada ukuran kapal yang digunakan. Apabila diklasifikasikan berdasarkan pendapatan nelayan per trip melalui data emic, lapisan ekonomi pada nelayan pengguna cantrang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yakni lapisan ekonomi bawah (x < Rp 84.133.333/trip), lapisan ekonomi menengah (Rp 84.133.333/trip < x < Rp 167.066.666/trip) dan lapisan ekonomi atas (x > Rp 167.066.666/trip). Berikut adalah tabel lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang. Tabel 28 Jumlah dan persentase lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang berdasarkan tingkat pendapatan per trip bulan April-Mei 2016 Lapisan Ekonomi Nelayan Jumlah Persentase (%) Cantrang Lapisan Bawah 26 86,7 Lapisan Menengah 0 0,0 Lapisan Atas 4 13,3 Total 30 100,0 Dari Tabel 28, dapat dilihat bahwa nelayan pengguna cantrang memiliki dua lapisan ekonomi, yakni lapisan ekonomi bawah dan lapisan ekonomi atas. Mayoritas nelayan pengguna cantrang berada pada lapisan ekonomi bawah sebanyak 26 responden dengan rata-rata pendapatan per trip di bawah Rp 84.133.333. Berikutnya, nelayan pengguna cantrang yang berada pada lapisan atas sebanyak 4 (empat) responden atau 13,3 persen. Perbedaan lapisan ekonomi nelayan dikarenakan jumlah hari yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan dan pendapatan bersih per trip yang didapatkan berbeda-beda. Kondisi ini akan dijabarkan dalam tabulasi silang antara status kepemilikan kapal den lapisan ekonomi nelayan sebagai berikut.
42
Tabel 29 Jumlah dan persentase nelayan pengguna cantrang berdasarkan status kepemilikan kapal dan lapisan ekonomi Lapisan Ekonomi Nelayan Cantrang Status Total Kepemilikan Lapisan Bawah Lapisan Atas Kapal n % n % n % Milik Sendiri 15 57,7 4 100,0 19 63,3 Sewa/Numpang 11 42,3 0 0,0 11 36,7 Total 26 100,0 4 100,0 30 100,0 Hasil tabulasi silang pada Tabel 29, mayoritas nelayan pengguna cantrang yang memiliki kapal sendiri, berada dalam lapisan bawah sebanyak 15 responden. Sisanya, sebanyak 4 (empat) responden nelayan pengguna cantrang yang memiliki kapal sendiri berada dalam lapisan atas. Perbedaan lapisan ekonomi pemilik kapal cantrang dikarenakan adanya modifikasi armada dari kapal muatan es menjadi kapal freezer serta kasus markdown ukuran kapal. Hal tersebut diperkuat oleh hasil observasi lapang, dimana nelayan pemilik kapal cantrang freezer memiliki ukuran kapal lebih besar daripada pemilik kapal cantrang lapisan bawah, walaupun ukuran GT yang tertera pada dek kapal sama. Pemilik kapal cantrang lapisan atas memodifikasi kapal mereka dengan menambahkah freezer sebagai pendingin atau pengawet ikan, dan melaut selama 2 (dua) bulan atau 50 hari, sehingga memperoleh pendapatan yang lebih besar daripada pemilik kapal cantrang lapisan bawah yang masih masih membawa es sebanyak 200 balok sampai 800 balok dan melaut selama 1 (satu) bulan atau 15-20 hari. Nelayan Bukan Pengguna Cantrang Pada penelitian ini, responden nelayan bukan pengguna cantrang adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan selama satu hari. Umumnya, kegiatan one-day fishing yang dilakukan menghabiskan waktu sekitar 7-10 jam per hari, tergantung cuaca dan hasil tangkapan pada hari tersebut. Nelayan bukan pengguna cantrang rata-rata melakukan kegiatan pengangkapan ikan sekitar 25 hari sampai sebulan penuh. Berdasarkan pendapatan nelayan per trip melalui data emic, lapisan ekonomi pada nelayan bukan pengguna cantrang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yakni lapisan ekonomi bawah (x < Rp 150.333/trip), lapisan ekonomi menengah (Rp 150.333/trip < x < Rp 289.166/trip) dan lapisan ekonomi atas (x > Rp 289.166/trip). Tabel 30 Jumlah dan persentase lapisan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang berdasarkan tingkat pendapatan per trip Lapisan Ekonomi Nelayan Non Jumlah Persentase (%) Cantrang Lapisan Bawah 18 60,0 Lapisan Menengah 7 23,3 Lapisan Atas 5 16,7 Total 30 100,0 Berdasarkan Tabel 30 dapat dilihat bahwa nelayan bukan pengguna cantrang memiliki tiga lapisan ekonomi. Lapisan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang didominasi oleh lapisan bawah sebanyak 18 responden atau 60,0 persen.
43
Selanjutnya, lapisan ekonomi atas nelayan bukan pengguna cantrang sebanyak 5 responden atau 16,7 persen dan sisanya berada pada lapisan menengah sebanyak 7 (tujuh) responden atau 23,3 persen. Perbedaan lapisan ekonomi pada nelayan bukan pengguna cantrang disebabkan oleh perbedaan alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan responden nelayan bukan pengguna cantrang adalah arad, badong dan jaring. Arad yang dimiliki nelayan rata-rata bermata jaring 1 (satu) cm sampai 1 (satu) inchi (diameter) dengan panjang mencapai 30 meter. Nelayan yang menggunakan alat tangkap badong atau bubu rata-rata memiliki 1000 hingga 1500 unit. Selanjutnya, nelayan yang menggunakan jaring, umumnya menggunakan jaring seperti jaring kantong, jaring rampusn maupun waring. Nelayan pengguna arad dan jaring kantong cenderung mendapatkan hasil tangkapan berupa ikan campuran dengan harga jual yang tidak menentu mulai dari Rp 2.000,00 hingga Rp 50.000,00 per kilogram dan jaring . Berikutnya, alat tangkap badong yang digunakan untuk menangkap rajungan memiliki harga jual mulai dari Rp 25.000,00 hingga Rp 70.000,00. Persepsi Nelayan terhadap Peraturan Larangan Cantrang dan Kondisi Ekonomi Nelayan Hubungan persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang dengan lapisan ekonomi nelayan dianalisis menggunakan IBM SPSS Statistics 21 model uji Rank Spearman dan tabulasi silang. Pengujian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara persepsi responden terhadap lapisan ekonomi nelayan. Persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang digolongkan menjadi dua, yakni persepsi negatif dan persepsi positif. Sedangkan lapisan ekonomi nelayan dikategorikan menjadi tiga kategori yakni lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas. Hipotesis yang digunakan pada analisis hubungan persepsi responden dengan lapisan ekonomi adalah semakin rendah lapisan ekonomi nelayan semakin negatif persepsi yang dimiliki terkait peraturan larangan cantrang. Hal ini berkaitan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan, seperti jenis alat tangkap, waktu kerja di laut, ukuran kapal, jumlah ABK dan jenis perahu yang digunakan. Tabel 31 Jumlah dan persentase nelayan berdasarkan lapisan ekonomi dan persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang Persepsi nelayan terhadap pelarangan cantrang Nelayan pengguna Nelayan bukan pengguna Lapisan Total cantrang cantrang ekonomi nelayan Positif Negatif Positif Negatif n % n % n % n % n % Lapisan 0 0,0 26 86,7 17 58,6 1 100,0 44 73,3 Bawah Lapisan 0 0,0 0 0,0 7 24,1 0 0,0 7 11,7 menengah Lapisan 0 0,0 4 13,3 5 17,3 0 0,0 9 15,0 atas Total 0 0,0 30 100,0 29 100,0 1 100,0 60 100,0
44
Berdasarkan hasil uji model Rank Spearman dengan IBM SPSS Statistics 21 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan signifikan antara persepsi nelayan dan lapisan ekonomi nelayan sebesar 0,028, dimana nilai signifikan lebih kecil daripada 0,05. Kondisi ekonomi nelayan dengan persepsi nelayan terhadap peraturan larangan cantrang memiliki hubungan yang rendah dilihat dari nilai koefisien korelasi yang bernilai 0,283. Tabel 31 terdapat responden nelayan pengguna cantrang yang berada pada lapisan bawah memiliki persepsi negatif sebanyak 26 responden, dan tidak ada yang memiliki persepsi positif. Sebaliknya, nelayan bukan cantrang yang berada pada lapisan bawah memiliki persepsi negatif hanya 1 (satu) responden dan sebanyak 17 responden memiliki persepsi positif. nelayan cantrang pada lapisan atas memiliki persepsi negative sebanyak 4 (empat) responden. Di samping itu, nelayan bukan pengguna cantrang yang berada pada lapisan menengah, sebagian besar memiliki persepsi positif sebanyak 7 (tujuh) responden, dan nelayan bukan pengguna cantrang yang memiliki persepsi positif sebanyak 5 (lima) responden. Singkatnya, lapisan ekonomi bawah pada nelayan pengguna cantrang mayoritas memiliki persepsi negatif dan sebaliknya, nelayan bukan pengguna cantrang memiliki persepsi positif. Jika dilihat secara keseluruhan, sebagian besar nelayan pengguna cantrang memiliki persepsi negatif baik dari lapisan bawah maupun atas, sedangkan nelayan bukan pengguna cantrang cenderung memiliki perepsi positif dari berbagai lapisan. Hal tersebut dikarenakan nelayan pengguna cantrang sudah terbiasa menggunakan cantrang sejak dulu. Selain itu, nelayan pengguna cantrang menganggap bahwa pemerintah belum menetapkan aturan-aturan yang berlaku secara jelas, sehingga terjadi ketidakpastian hukum yang berlaku dan mereka cenderung menolak adanya peraturan larangan cantrang. Ikhtisar Terdapat perbedaan persepsi antara nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang. Nelayan pengguna cantrang memandang peraturan larangan cantrang tersebut memiliki dampak negatif bagi kehidupannya, dan sebaliknya, bagi nelayan bukan pengguna cantrang, peraturan akan berdampak positif bagi kelangsungan kegiatan usaha perikanannya. Perbedaan persepsi dikarenakan pengetahuan nelayan bukan pengguna cantrang terkait alat tangkap tersebut berbeda dengan nelayan pengguna cantrang. Nelayan bukan pengguna cantrang mengetahui bahwa penggunaan alat tangkap cantrang termasuk tidak ramah lingkungan dan cenderung merusak alat tangkap nelayan lain saat melintas di daerah tangkapan nelayan, khususnya nelayan kecil. Peraturan larangan tersebut diinterpretasikan berdasarkan pengalaman nelayan-nelayan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan persepsi antar nelayan dikarenakan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan berbeda-beda. Persepsi nelayan pengguna cantrang membentuk suatu penolakan terkait larangan penggunaan cantrang, sehingga tak jarang mereka melakukan aksi demo penolakan peraturan tersebut. Pendapatan rata-rata nelayan didapatkan dari hasil melaut. Pendapatan nelayan pemilik kapal cantrang rata-rata lebih tinggi daripada nelayan ABK dan nelayan bukan pengguna cantrang. Sebaran lapisan ekonomi nelayan pengguna
45
cantrang mayoritas berada pada lapisan bawah, yang terdiri dari nelayan pemilik kapal cantrang yang belum menggunakan freezer dan buruh nelayan atau ABK. Semakin tinggi tingkat teknologi penangkapan, semakin tinggi juga pendapatan nelayan per trip. Begitu pula dengan nelayan bukan pengguna cantrang yang mayoritas sebaran lapisan ekonominya berada pada lapisan bawah. Hal tersebut dikarenakan keanekaragaman alat tangkap yang digunakan. Semakin sedikit ragam alat tangkap yang digunakan, semakin sedikit hasil melautnya. Berdasarkan persepsi dan kondisi ekonomi tersebut dilakukan uji hubungan dengan Rank Spearman. Hasil yang diperoleh antara hubungan persepsi dengan lapisan ekonomi nelayan yaitu berkorelasi rendah dengan nilai signifikan 0,028 dengan nilai koefisien di bawah 5 persen, yaitu 0,283. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi nelayan berhubungan dengan lapisan ekonomi, namun hubungannya rendah. Sesuai dengan hasil sebaran tabulasi silang menunjukkan bahwa lapisan ekonomi bawah nelayan pengguna cantrang dan nelayan bukan pengguna cantrang memiliki persepsi yang berbeda dan bertolak belakang. Meskipun saling berhubungan, kedua variabel tersebut tidak saling memengaruhi.
46
47
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN Belum jelasnya kepastian hukum terhadap penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 tahun 2015, membuat nelayan pengguna cantrang maupun nelayan bukan pengguna cantrang yang sebagian menggunakan jaring arad belum melakukan strategi adaptasi atau penyesuaian untuk bertahan hidup ketika peraturan tersebut diterapkan. Saat ini, nelayan cantrang maupun nelayan bukan pengguna cantrang melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan cuaca yang tidak menentu serta operasi laut yang dilakukan aparat-aparat pemerintah setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 tahun 2015. Beberapa strategi adaptasi yang dilakukan berupa diversifikasi kegiatan ekonomi, diversifikasi alat tangkap, membangun jaringan sosial, dan strategi adaptasi lainnya seperti menambah waktu melaut dan memperluas daerah tangkapan. Diversifikasi Kegiatan Ekonomi Sumber penghasilan nelayan pengguna cantrang maupun nelayan bukan pengguna cantrang pengguna didominasi oleh hasil laut yang mereka dapatkan. Nelayan bukan pengguna cantrang yang tidak menggunakan cantrang berpendapat bahwa pekerjaan yang bisa mereka kerjakan hanya melaut saja, dan apabila mereka melakukan pekerjaan di darat belum tentu mencukupi kebutuhan hidup. Pola pikir seperti itu terbentuk akibat kurangnya keterampilan darat serta wawasan yang dimiliki oleh nelayan. Selain itu, waktu kerja yang dihabiskan nelayan selama di laut serta rutinitas setelah selesai melaut seperti perbaikan mesin kapal, maupun perbaikan alat tangkap membuat mereka tidak memiliki banyak waktu selama berada di daratan. Sebaliknya, nelayan cantrang tidak melakukan pekerjaan di luar perikanan dikarenakan hasil tangkapan yang mereka peroleh cenderung menutupi kebutuhan hidup maupun perbekalan untuk melaut selama kurang lebih dua bulan. Tabel 32 Jumlah dan persentase responden berdasarkan diversifikasi kegiatan ekonomi Nelayan pengguna Nelayan bukan Diversifikasi Total cantrang pengguna cantrang kegiatan ekonomi n % n % n % Rendah 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Tinggi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Pada Tabel 32 dapat dilihat bahwa mayoritas nelayan baik pengguna cantrang maupun bukan pengguna cantrang memiliki diversifikasi kegiatan ekonomi yang rendah sebesar 100 persen, yang terdiri dari 30 responden nelayan pengguna cantrang dan 30 responden nelayan bukan pengguna cantrang. Diversifikasi kegiatan ekonomi nelayan terbagi menjadi kegiatan on-fishing dan kegiatan non-fishing. Hal ini diungkapkan oleh Satria (2009) bahwa terdapat dua macam strategi nafkah ganda yang dilakukan nelayan, yaitu di bidang perikanan dan non-perikanan. Namun, diversifikasi kegiatan ekonomi yang dipilih nelayan bukan pengguna cantrang lebih beragam daripada nelayan pengguna cantrang, khususnya kegiatan on-fishing.
48
Tambak bandeng 7% Menangkap rebon 4%
Mencari ikan/bukur di kali 20% Hanya nelayan 60%
Pengusaha ikan Bertani 3% 3% Beternak 3%
Gambar 2 Persentase strategi adaptasi diversifikasi kegiatan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang Sebanyak 60 persen nelayan bukan pengguna cantrang mengaku tidak memiliki pekerjaan lain selain menjadi nelayan. Mereka mengaku tidak ada kegiatan lain selain memperbaiki mesin perahu maupun memperbaiki alat tangkap ikan yang mereka miliki. Kegiatan itu rutin dilakukan setelah selesai melaut dan saat libur melaut. Selain itu, minimnya ketrampilan membuat mereka tidak berkeinginan untuk bekerja di daratan ketika sedang tidak pergi melaut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kaim (1985) dikutip oleh Kusnadi (2000) yang menyatakan bahwa banyak nelayan yang tidak memiliki pekerjaan salah satunya disebabkan oleh minimnya keterampilan yang dimilikinya. Tingkat pendidikan nelayan yang mayoritas tidak menyelesaikan sekolah dasar atau hanya lulusan sekolah dasar juga menjadi salah satu penyebab. Tingkat pendidikan yang rendah membuat mereka mengaku bahwa perolehan hasil tangkapan sehari-hari yang didapatkan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Apabila penghasilan pada hari tersebut hanya cukup untuk membayar biaya perbekalan atau tidak ada untung, mereka akan mengurangi pengeluaran kebutuhan sehari-hari pada hari tersebut seperti makanan yang dikonsumsi atau hutang di warung. “…kalo lagi gak melaut ya benerin jaring ini mbak, biar bisa dipake lagi besok. Kalau gak gitu ya benerin mesin perahu, cek perahu. Paling ya gitu aja. Gak sempet itu kerja di darat. Gak cocok sih, mau kerja apa kalau di darat? Wong bisanya cari ikan di laut.” Waktu kerja yang dimiliki oleh nelayan bukan pengguna cantrang dihabiskan untuk kegiatan perikanan yakni sekitar 7-8 jam per hari, berangkat shubuh sekitar jam 5, siang sekitar jam 2 atau 3 sore pulang ke rumah. Seletah tiba di daratan, mereka harus menjual hasil tangkapan ke TPI untuk dilelang dan pengecekan perahu serta alat tangkap agar bisa digunakan esok hari. Rutinitas tersebut berlangsung sekitar 25-27 hari dalam sebulan, sehingga banyak nelayan yang tidak mempunyai pekerjaan selain melaut karena waktu yang dimiliki dihabiskan untuk kegiatan perikanan tangkap tersebut. “…kalo dipikir-pikir wong nelayan cilik pendapatannya gak seberapa e mbak, untung-untung bisa bayar perbekalan. Ngutang sih ya. Ya kalo pas lagi rame pendapatannya akeh, tapi kalo sepi ya
49
sepi. Mau gak mau pas sepi kami cari kegiatan di darat, nangkap piting di pinggiran. Ya buat makan sih ya mbak, kan lumayan.” Pada Gambar 3, nelayan bukan pengguna cantrang yang melakukan kegiatan ekonomi selain menangkap ikan di laut sebesar 40 persen. Dari 40 persen, terdapat sebesar 20 persen nelayan memilih untuk mencari ikan, bukur, kiting, maupun kerang di kali atau pinggir pantai. Selanjutnya, sebesar 6,7 persen responden memilih tambah bandeng dan sisanya masing-masing sebesar 3,3 persen memilih untuk menangkap rebon, bertani, beternak, dan menjadi pengusaha ikan. Bertani 10% Tambak bandeng 4% Membuat jaring 3% Ikut kapal lain 3%
Hanya Nelayan 80%
Gambar 3 Persentase strategi adaptasi diversifikasi kegiatan ekonomi nelayan pengguna cantrang Berbeda dengan nelayan bukan pengguna cantrang, diversifikasi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan pengguna cantrang lebih sedikit. Nelayan pengguna cantrang yang dibagi antara nelayan pemilik dan nelayan ABK hampir sebagian besar tidak mempunyai pekerjaan lain selain usaha perikanan tangkapnya. Pada Gambar 4, terdapat 40 persen responden yang hanya menjadi nelayan. Mereka mengaku waktu yang dihabiskan untuk melaut lebih banyak dan merasa cukup dengan pendapatan yang diperoleh. Sisanya, sebesar 10 persen nelayan memilih bertani, 4 persen tambak bandeng, 3 persen membuat jaring untuk dijual, dan 3 persen ikut kapal lain. Nelayan yang memilih untuk ikut kapal lain mengaku bahwa hampir tiga bulan terakhir kapalnya tidak pergi melaut karena kekurangan ABK. Nelayan yang memiliki kapal cantrang dibawah 15 GT kesulitan untuk mencari dan mengajak ABK, karena sebagian besar buruh nelayan cantrang memilih kapal yang berukuran lebih besar dan sudah dimodifikasi dengan menggunakan freezer. Dapat disimpulkan bahwa telah terjadi mobilitas sosial ke bawah di kalangan nelayan pengguna cantrang. Nelayan pengguna cantrang yang awalnya memiliki kapal, bekerja menjadi buruh nelayan maupun membuat jaring blanak untuk memperoleh pemasukan ketika tidak dapat melaut. Mobilitas sosial seperti ini akan terjadi saat peraturan tersebut diterapkan dan berdampak pada perekonomian mereka Diversifikasi Alat Tangkap Strategi yang dilakukan oleh nelayan selanjutnya adalah diversifikasi alat tangkap. Diversifikasi alat tangkap menjadi salah satu bentuk upaya yang dilakukan nelayan untuk menambah berbagai alat tangkap dalam kegiatan penangkapan ikan. Penelitian ini membagi diversifikasi alat tangkap menjadi dua kategori, yaitu
50
kategori rendah dan kategori tinggi. Kategori tersebut dinilai berdasarkan pilihan untuk melakukan strategi diversifikasi alat tangkap. Tabel 33 Jumlah dan Persentase responden berdasarkan diversifikasi alat tangkap Nelayan pengguna Nelayan bukan Total Diversifikasi cantrang pengguna cantrang alat tangkap n % n % n % Rendah 30 100,0 4 13,3 34 56,7 Tinggi 0 0,0 26 86,7 26 43,3 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Persentase
Pada Tabel 33, mayoritas nelayan pengguna cantrang tidak melakukan strategi diversifikasi alat tangkap sebesar 100 persen. Nelayan pengguna cantrang lebih memilih untuk menambah jumlah cantrang dalam kegiatan penangkapan ikannya. Umumnya, nelayan pengguna cantrang menambah jumlah unit alat tangkap cantrang yang dibawa sebanyak 3 hingga 10 unit. Hal tersebut dilakukan untuk menambah jumlah hasil tangkapan maupun sebagai cadangan ketika menghindari operasi laut yang dilakukan oleh airud maupun pol air. namun, dengan adanya peraturan larangan cantrang, nelayan mengaku belum memiliki alternatif alat tangkap baru untuk mengganti cantrang dikarenakan harga alat tangkap lainnya lebih mahal daripada cantrang. Sebaliknya, mayoritas nelayan bukan pengguna cantrang memiliki strategi diversifikasi alat tangkap yang tinggi sebesar 86,7 persen dan sisanya sebesar 13,3 persen rendah. Penghasilan yang tidak menentu serta musim baratan dan timur yang tidak pasti membuat nelayan memilih berbagai jenis alat tangkap untuk digunakan pada musim tertentu sehingga mereka dapat memperoleh hasil tangkapan laut seperti jaring millennium, jaring kantong, rawedasar, maupun jaring rampus atau waring rebon. Sebanyak 17 persen nelayan menambah jumlah alat tangkap yang sama dikarenakan jenis alat tangkap yang digunakan hanya satu jenis seperti menggunakan arad saja atau hasil tangkapan lautnya adalah rajungan, sehingga mereka memiliki persediaan badong sekitar 10 sampai 100 unit. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
76,67
43,33 23,33 10
Arad
jaring kantong
jaring udang
26,67 3,33
badong
3,33
waring prawedasar jaring rebon millenium Jenis Alat Tangkap
3,33 jaring kakap
Gambar 4 Persentase jenis dan jumlah responden nelayan bukan pengguna cantrang berdasarkan alat tangkap
51
Pada Gambar 4, sebesar 76,67 persen nelayan menggunakan arad sebagai alat tangkap ikan sehari-hari, namun tidak semua nelayan menggunakan arad sebagai alat tangkap utama. Banyak nelayan menggunakan jaring arad dikarenakan jaring tersebut dapat menangkap berbagai jenis ikan di laut. Nelayan mengaku manambah jumlah arad dari 1-3 unit untuk persediaan apabila jaring yang digunakan rusak atau terseret oleh jaring cantrang yang lebih besar. Sebanyak 10 persen nelayan menggunakan jaring kantong, baik sebagai alat tangkap utama maupun alat tangkap tambahan. Nelayan mengaku menggunakan jaring kantong sejak adanya dana POM yang diberikan oleh pemerintah kepada kelompok nelayan berupa subsidi mesin perahu serta alat tangkap ikan yaitu jaring kantong. Pada Gambar 4 dapat dilihat ada sebanyak 23,33 persen nelayan menggunakan jaring udang sebagai alat tangkap tambahan dikarenakan udang memiliki potensi keuntungan yang tinggi apabila mendapatkan udang besar saat musim-musim tertentu. Badong menjadi salat satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan bukan pengguna cantrang. Sekitar 26,67 persen nelayan menggunakan badong untuk menangkap rajungan apabila sedang musim rajungan. Sisanya, sebesar 3,33 persen nelayan menambah jenis rawedasar, jaring millennium, maupun jaring kakap sebagai alat tangkap tambahan untuk memperoleh tambahan keuntungan dari hasil laut yang didapat. Jaringan Sosial Nelayan pengguna cantrang maupun nelayan bukan pengguna cantrang melakukan strategi adaptasi dengan memanfaatkan jaringan sosial yang dimiliki. Strategi adaptasi dalam bentuk jaringan sosial dilakukan nelayan untuk memenuhi kebutuhannya, seperti penguasaan sumber daya, modal, keterampilan, pemasaran hasil, maupun kebutuhan pokok. Pada penelitian ini strategi nelayan terhadap jaringan sosial dibagi menjadi kategori rendah dan kategori tinggi. Berikut adalah jumlah dan persentase responden berdasarkan strategi adaptasi jaringan sosial. Tabel 34 Jumlah dan persentase responden berdasarkan strategi jaringan sosial Jaringan Nelayan pengguna Nelayan bukan Total Sosial cantrang pengguna cantrang n % n % n % Rendah 16 53,3 6 20,0 22 36,7 Tinggi 14 46,7 24 80,0 38 63,3 Total 30 100,0 30 100,0 60 100,0 Tabel 34 memperlihatkan sebanyak 16 responden atau sebesar 53,3 persen nelayan pengguna cantrang memiliki jaringan sosial yang rendah, sedangkan nelayan bukan pengguna cantrang memiliki jaringan sosial yang tinggi. Perbedaan pilihan strategi jaringan sosial dikarenakan lingkungan tempat tinggal yang berbeda. Nelayan bukan pengguna cantrang lebih banyak memanfaatkan hubungan dengan kerabat, maupun kelompok nelayannya ketika mengalami kesulitan. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian Helmi dan Satria yang menyatakan bahwa masyarakat pesisir mempunyai jaringan sosial yang bersifat informal dimana adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik secara personal baik dengan kerabat maupun sesama nelayan. Sementara itu, nelayan pengguna cantrang cenderung bersifat individual, dimana mereka mengandalkan pinjaman bank dan
52
meminta bantuan kepada keluarga saja, sehingga jaringan sosialnya lebih rendah dibandingkan dengan nelayan bukan pengguna cantrang yang masih berasaskan gotong royong dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi antar sesama. 100
100
86,7
90 80
Persentase
70 60
50
50 40 30
20
20 10
0 Tetangga
Keluarga
Kelompok
Berhutang warung
Jaringan Sosial Nelayan Bukan Pengguna Cantrang
Gambar 5 Persentase strategi adaptasi jaringan sosial nelayan bukan pengguna cantrang Gambar 5 terdapat sebanyak 100 persen nelayan bukan pengguna cantrang meminta bantuan keluarga ketika mengalami kesulitan. Mayoritas nelayan mengaku bahwa orang tua dan saudara baik kandung maupun saudara ipar menjadi pilihan utama untuk meminta bantuan ketika mengalami kesulitan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa lebih nyaman meminta bantuan, khususnya meminjam uang kepada saudara, orang tua, maupun anak mereka dibandingkan meminjam uang kepada tetangga. Nelayan yang meminta bantuan tetangga terkait peminjaman uang hanya sekitar 20 persen. Nelayan yang tidak meminta bantuan kepada tetangga terkait peminjaman uang dikarenakan mereka tidak ingin menyusahkan tetangga yang kebanyakan bermatapencaharian sebagai nelayan juga dimana tingkat kondisi perekonomian mereka rendah. “karena orang tua saya masih hidup ya mbak, jadi ke orang tua dulu. Karena ya gitu mbak, kalau saudaranya sama-sama nelayan, gak bisa mbak, kalau sama-sama nelayan pinggiran. Kita lagi paceklik, dia juga sama lagi panceklik mbak. Jadi susah, sama-sma susah.”(TRS, 4 GT) Sebanyak 86,7 persen nelayan memilih untuk meminta bantuan kepada kelompok ketika mengalami kesulitan. Keanggotaan dalam kelompok nelayan di lingkungan nelayan bukan pengguna cantrang berasaskan kekeluargaan, sehingga setiap keputusan atau sanksi terkait system peminjaman dan pengembaliang uang ditetapkan secara musyawarah mufakat antara pengurus inti dengan anggota. Hal tersebut menjadi dasar bagi kelompok nelayan yang memperbolehkan anggotanya untuk meminjam uang dalam keadaan mendesak atau darurat. Setiap peminjaman uang terkait operasional kapal maupun keperluan mendesak untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dikenakan bunga sebesar 0,5 persen. Sisanya sebanyak 50
53
persen nelayan memilih untuk berhutang di warung ketika sedang tidak melaut dikarenakan cuaca buruk maupun penghasilan yang sedikit saat musim paceklik. “kalo pendapatan kemarin hasilnya dikit ya berangkat hari ini paling ngutang di warung dulu mbak. Gali lobang tutup lobang mbak, kalau lagi paceklik, utang utang utang utang, kalau rame ya bayar-bayar bayar bayar, kan gitu. Ya gali lobang tutup lobang lah mbak.”(RAD, 4 GT) Berbeda dengan nelayan bukan pengguna cantrang, nelayan pengguna cantrang cenderung lebih memilih untuk meminta bantuan kepada keluarga apabila mengalami kesulitan. Nelayan pengguna cantrang tidak melakukan pinjaman di organisasi nelayan yang diikuti serta tidak melakukan hutang di warung. Nelayan pengguna cantrang mengaku bahwa kebutuhannya selama ini masih bisa terpenuhi melalui pendapatan yang diperoleh. “Alhamdulillah sih ya mbak masih bisa terpenuhi tanpa ngutang di warung. Alhamdulillah selama ini belum pernah ngutang di warung. Ya paling kalo lagi sulit minjem dulu ke anak, nanti diganti kalo hasil.”(RSB, 20 GT) 100
100 90 80
Persentase
70 60 50
40
40 30 20
10
10
0
0
Tetangga
Keluarga
Kelompok
Berhutang warung
Jaringan Sosial Nelayan Pengguna Cantrang
Gambar 6 Persentase strategi adaptasi jaringan sosial nelayan pengguna cantrang Seperti halnya nelayan bukan pengguna cantrang, 100 persen nelayan pengguna cantrang juga memilih untuk meminta bantuan kepada keluarga. Sebesar 40 persen memilih berhutang di warung untuk memenuhi kebutuhan pokok maupun kebutuhan perbekalan melaut. Selain itu, sebesar 10 persen nelayan meminta bantuan tetangga apabila mengalami kesulitan. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner, nelayan pengguna cantrang tidak ada yang meminta bantuan kepada kelompok. Nelayan lebih memilih meminta bantuan kepada sesama juragan maupun buruh nelayan secara personal. Strategi adaptasi berupa jaringan sosial yang dilakukan oleh nelayan bukan pengguna cantrang lainnya adalah menjalin hubungan dengan bakul. Hubungan yang terjalin antara nelayan dengan bakul dapat dikatakan sebagai hubungan yang
54
bersifat vertikal (Kusnadi 2000). Hubungan yang terjalin oleh kedua pihak tersebut diantaranya seperti berhubungansebatas menjual ikan hasil tangkapan dan sebatas meminjam uang. Ada beberapa nelayan yang tidak berhubungan sama sekali dengan bakul. 100,0
90,0
86,7
80,0
Persentase
70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0
13,3
10,0
0
0,0 Menjual ikan ke bakul
Meminjam modal
Tidak berhubungan
Hubungan Bakul dengan Nelayan Bukan Pengguna Cantrang
Gambar 7 Persentase strategi adaptasi hubungan bakul dengan nelayan bukan pengguna cantrang Berdasarkan Gambar 7, sebesar 86,7 persen nelayan bukan pengguna cantrang menjawab berhubungan dengan bakul sebatas menjual hasil tangkapan. Sisanya sebanyak 13,3 persen nelayan mengaku tidak berhubungan dengan bakul baik dalam menjual hasil ikan maupun meminjam modal. Hal tersebut dikarenakan mereka melelang ikan di TPI maupun dijual oleh istri mereka. Selain itu, ebagian besar responden tidak berhubungan dengan bakul terkait peminjaman modal. Nelayan memilih untuk meminjam modal operasional perahu maupun perbekalan kepada kelompok nelayan masing-masing. “Ya memang sih, kebanyakan nelayan uda berani pinjam ke bank mbak. Kalau sekarang itu, rata-rata berani main bank. Kalau dulu kan enggak mba, dari bakul kan, tengkulak, juragan. Itu kan kalau sekarang nelayan pikirannya uda maju. Kalau di bakul, di tengkulak, jual udangnya kan per kilo lebih murah, karena kita minjem ke bakul itu. Harga per kilonya beda, kalau gak ngutang kan bisa dijual ke pasar, ke TPI lah. Misalkan kalau udang yang kecil, 25 ribu, tapi kan kalau di tengkulak, modal kita buat beli kapal dari tengkulang paling 20 ribu. Selisishnya kan uda 5 ribu per kilonya.”(RAD, 4 GT) Berbeda dengan nelayan bukan pengguna cantrang yang melakukan pelelangan di TPI, sebesar 96,7 persen nelayan pengguna cantrang menjual seluruh hasil tangkapannya ke bakul. Berdasarkan hasil observasi lapang, semua nelayan cantrang menjual hasil tangkapannya ke bakul langganan. Nelayan mengaku hasil jual ke bakul lebih menguntungkan daripada hasil lelang. Sebesar 3,3 persen tidak
55
berhubungan dengan bakul dikarenakan penjualan ikan dilakukan sendiri oleh istrinya.
Persentase
Strategi Lainnya Selain melakukan tiga strategi adaptasi di atas, nelayan juga melakukan strategi adaptasi lain. Strategi adaptasi lain yang dilakukan antara lain melakukan penambahan jumlah kapal, melakukan perluasan atau perpindahan daerah tangkapan, menambah waktu melaut, menggadaikan barang dan mengoptimalkan anggota rumah tangga. Berikut adalah persentase strategi adaptasi lain yang dilakukan oleh nelayan. 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
100
100
100
66,7
6,7
Strategi Lain Nelayan Bukan Pengguna Cantrang
Gambar 8 Persentase strategi adaptasi lain nelayan bukan pengguna cantrang Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa sebesar 100 persen responden melakukan perpindahan daerah tangkap. Kegiatan tersebut dilakukan karena jumlah ikan yang didapatkan di daerah tangkap sebelumnya tidak cukup untuk menutupi biaya perbekalan operasional kapal, sehingga nelayan berpindah ke tempat daerah tangkap yang lebih banyak ikan berdasarkan informasi yang diberikan oleh nelayan bukan pengguna cantrang lain yang sedang melaut. Selain itu, sebesar 100 persen responden mengaku menambah waktu melaut mereka apabila hasil tangkapan pertama dan kedua yang diperoleh hanya sedikit. Nelayan mengaku akan menambah waktu melaut kurang lebih selama 1 jam untuk menambah hasil tangkapan lautnya. Selanjutnya, sebesar 100 persen nelayan memilih menggadaikan barangnya untuk memenuhi kebutuhan pokok maupun perbekalan melaut dan nelayan yang menambahkan kapal sebesar 6,7 persen. Sebesar 66,7 nelayan melakukan optimalisasi anggota keluarga untuk menambah pemasukan rumah tangganya. Kegiatan optimalisasi rumah tangga dilakukan oleh istri dan anak mereka. Biasanya, hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan dijual oleh para istri di
56
Persentase
tempat pelelangan ikan yang telah disediakan oleh pemerintah maupun dijual keliling desa hingga kecamatan. Salah satu istri nelayan juga menjadi penjual solar untuk kapal-kapal nelayan cantrang di PPP Tegalsari. Tidak hanya bekerja dalam kegiatan ekonomi perikanan, istri nelayan ada juga yang bekerja sebagai penjual surabi keliling untuk menambah tabungan keluarga yang dikhususkan untuk pendidikan anaknya dan bekerja di pengolahan ikan fillet. Anak-anak nelayan yang masih berusia di bawah 15 tahun biasanya ikut melaut bersama responden, sedangkan anak nelayan yang berusia di atas 18 tahun biasanya ikut melaut dengan kapal cantrang. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
100
100
46,7
40
0
Strategi Lain Nelayan Pengguna Cantrang
Gambar 9 Presentasi strategi adaptasi lain nelayan pengguna cantrang Gambar 9 terdapat sebesar 40 persen nelayan pengguna cantrang memilih menambah jumlah kapal. Nelayan pengguna cantrang khususnya pemilik kapal cantrang umumnya memiliki kapal sebanyak 1 hingga lebih dari 5 unit kapal. Nelayan pemilik kapal dengan ukuran yang besar cenderung memiliki kapal lebih dari 1 unit. Selanjutnya, sebesar 100 persen nelayan pengguna cantrang melakukan perluasan daerah tangkap hingga ke daerah Sumatera dan Kalimantan., dan menambah hari melaut dari 20 hari hingga 27 hari untuk menambah hasil tangkapan ikannya. Selain itu, nelayan pengguna cantrang mengaku tidak menggadaikan barang, namun cenderung meminjam uang ke bank untuk memenuhi kebutuhan operasional kapal. Terakhir, sebesar 46,7 nelayan pengguna cantrang melibatkan anak maupun istri sebagai upaya mengoptimalisasikan anggota rumah tangga. Umumnya, istri pemilik kapal cantrang menjadi bakul untuk menambah pemasukan rumah tangga maupun berjualan sayur atau buah di pasar.
57
Strategi Adaptasi dan Kondisi Ekonomi Nelayan Pendapatan nelayan yang tidak pasti mengakibatkan nelayan harus meilih strategi-strategi untuk bertahan hidup. Seperti halnya pada bab sebelumnya, hubungan strategi adaptasi dan kondisi ekonomi nelayan dianalisis menggunakan IBM SPSS Statistics 21 model uji Rank Spearman dan tabulasi silang. Pengujian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara strategi adaptasi dan kondisi ekonomi nelayan. Berdasarkan hasil uji Rank Spearman, lapisan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang memiliki korelasi sedang negatif dengan strategi diversifikasi alat tangkap sebesar -0,491 dengan nilai signifikan 0,006. Di samping itu, lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang memiliki korelasi rendah negatif dengan strategi jaringan sosial sebesar -0,367 dengan nilai signifikan 0,046 (Lampiran 4). Berikut adalah sebaran hubungan lapisan ekonomi dengan strategi adaptasi nelayan. Tabel 35 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lapisan ekonomi dan strategi adaptasi nelayan Strategi Adaptasi Nelayan Nelayan pengguna Nelayan bukan pengguna Lapisan Total cantrang cantrang ekonomi nelayan Rendah Sedang Rendah Sedang n % n % n % n % n % Lapisan 18 81,8 8 100,0 5 50,0 13 65,0 44 73,3 Bawah Lapisan 0 0,0 0 0,0 4 40,0 3 15,0 7 11,7 menengah Lapisan 4 18,2 0 0,0 1 10,0 4 20,0 9 15,0 atas Total 22 100,0 8 100,0 10 100,0 20 100,0 60 100,0 Pada Tabel 35 terdapat sebanyak 18 responden nelayan pengguna cantrang yang berada pada lapisan ekonomi bawah memiliki strategi adaptasi kategori rendah, sedangkan lapisan bawah dengan strategi adaptasi kategori sedang sebanyak 8 responden. Sisanya, sebanyak 4 responden nelayan lapisan atas memiliki strategi adaptasi kategori rendah. Selanjutnya, dapat dilihat pada Tabel 38, nelayan bukan pengguna cantrang yang berada pada lapisan bawah mayoritas memiliki strategi adaptasi kategori sedang sebanyak 13 responden, dan sebanyak 5 responden memiliki strategi adaptasi rendah. Pada lapisan menengah nelayan bukan pengguna cantrang, sebanyak 4 responden memiliki strategi adaptasi kategori rendah dan sebanyak 3 responden memiliki strategi adaptasi kategori sedang. Lapisan atas nelayan bukan pengguna cantrang memiliki strategi adaptasi kategori rendah sebanyak 1 responden dan kategori sedang sebanyak 4 responden. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan lapisan ekonomi, nelayan pengguna cantrang memiliki strategi adaptasi kategori rendah sebanyak 22 responden dan nelayan bukan pengguna cantrang memiliki strategi adaptasi kategori rendah sebanyak 20 responden. Hal ini disebabkan oleh jumlah pendapatan yang diperoleh nelayan bukan pengguna cantrang lebih rendah daripada nelayan
58
pengguna cantrang, sehingga nelayan pengguna cantrang memilih untuk melakukan berbagai strategi untuk bertahan hidup. Ikhtisar Strategi adaptasi dilakukan oleh nelayan untuk menghadapi perubahanperubahan yang terjadi di lingkungannya. Strategi yang dipilih nelayan antara lain diversifikasi pekerjaan, diversifikasi alat tangkap, jaringan sosial, dan strategi lainnya. Tingkat diversifikasi pekerjaan antara nelayan pengguna cantrang maupun bukan pengguna cantrang adalah rendah, namun, pekerjaan sampingan nelayan bukan pengguna cantrang lebih beragam dibandingkan dengan nelayan pengguna cantrang. Begitu pula dengan diversifikasi alat tangkap dan jaringan sosial. Nelayan bukan pengguna cantrang mayoritas melakukan diversifikasi alat tangkap untuk menambah pendapatan dan berada dalam tingkat jaringan sosial yang tinggi. Di samping itu, nelayan juga melakukan strategi lain seperti menambah jumlah kapal, memperluas daerah tangkapan atau pindah area, menambah waktu kerja, menggadaikan barang, maupun optimalisasi keluarga. Nelayan pengguna cantrang rata-rata memperluas daerah tangkapan dan menambah waktu kerja untuk memperoleh hasil yang mencukupi perbekalan. Sementara itu, nelayan bukan pengguna cantrang menambah untuk menggadaikan barang berharganya dan melakukan optimalisasi keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan perbekalan melaut sebagai strategi alternatif. Strategi adaptasi yang dapat digunakan nelayan pengguna cantrang apabila peraturan ditetapkan pada tanggal 1 Januari 2017 mendatang yaitu diversifikasi kegiatan ekonomi, pergantian alat tangkap baru, serta memperkuat jaringan sosialnya. Berdasarkan analisis data menggunakan uji Rank Spearman, lapisan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang memiliki korelasi rendah negatif dengan strategi diversifikasi alat tangkap sebesar -0,491 dengan nilai signifikan 0,006. Di samping itu, lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang memiliki korelasi rendah negatif dengan strategi jaringan sosial sebesar -0,367 dengan nilai signifikan 0,046. Sebaran strategi adaptasi nelayan bukan pengguna cantrang hampir merata. Hal ini menunjukkan bahwa strategi adaptasi yang dilakukan sangat beragam dibandingkan nelayan pengguna cantrang.
59
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dari tujuan penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi nelayan berbeda-beda tergantung dengan kepentingan masingmasing serta pengalaman yang dimiliki. Persepsi negatif terhadap peraturan larangan cantrang dimiliki oleh nelayan pengguna cantrang dan persepsi positif terhadap larangan cantrang didominasi oleh nelayan bukan pengguna cantrang. Perbedaan persepsi tersebut dikarenakan lapisan ekonomi nelayan yang berbeda berdasarkan tingkat teknologi perikanan dan alat tangkap yang digunakan. Nelayan pengguna cantrang berpandangan negatif terhadap peraturan karena bagi mereka alat tangkap tersebut tidak merusak terumbu karang. Berdasarkan hasil uji model Rank Spearman dengan IBM SPSS Statistics 21 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara persepsi nelayan dan lapisan ekonomi nelayan yang rendah. 2. Kondisi ekonomi nelayan dilihat berdasarkan lapisan ekonomi nelayan per trip, baik nelayan pengguna cantrang maupun nelayan bukan pengguna cantrang. Hasil penelitian menunjukkan lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang dibagi berdasarkan status kepemilikan kapal bagi nelayan pengguna cantrang, yang terdiri dari nelayan pengguna cantrang yang memiliki kapal sendiri dan nelayan ABK kapal cantrang. Nelayan pemilik kapal cantrang berada pada dua lapisan yaitu lapisan ekonomi atas dan lapisan ekonomi bawah. Perbedaan tersebut dikarenakan nelayan pemilik pada lapisan atas memodifikasi kapalnya dan melakukan markdown, sehingga pendapatannya lebih tinggi dibandingkan nelayan pemilik yang masih menggunakan kapal es. Berdasarkan analisis data menggunakan uji Rank Spearman, lapisan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang memiliki korelasi rendah negatif dengan strategi diversifikasi alat tangkap dan lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang memiliki korelasi rendah negatif dengan strategi jaringan sosial. 3. Saat ini, nelayan belum memiliki strategi adaptasi terhadap peraturan larangan cantrang yang akan diterapkan pada 1 Januari 2017. Namun, nelayan-nelayan tersebut memiliki strategi adaptasi yang dilakukan untuk bertahan hidup ketika tidak melaut atau saat cuaca tidak menentu. Nelayan bukan pengguna cantrang cenderung heterogen dalam pemilihan strategi adaptasi. Hal itu dilakukan karena tingkat pendapatan nelayan pengguna cantrang lebih rendah daripada nelayan pengguna cantrang. Sebaliknya, strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pengguna cantrang cenderung homogen.
60
1.
2.
3.
4.
Saran Saran yang disampaikan dalam skripsi ini sebagai berikut: Perlu dilakukan analisis penerapan alat tangkap cantrang dan dampak penerapan bagi ekosistem laut dalam kurun waktu lima tahun belakang oleh para akademisi, sehingga terlihat jelas apakah cantrang bersifat merusak atau tidak, serta faktor-faktor yang menyebabkan penerapan cantrang dapat merusak ekosistem laut. Perlu dilakukan pengukuran ulang kapal-kapal cantrang yang beroperasi di Indonesia untuk mengatasi permasalahan manipulasi ukuran, sehingga kapal cantrang yang diizinkan beroperasi adalah kapal-kapal yang memiliki ukuran sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perlu melakukan tindakan tegas kepada staf pemerintah yang melakukan tugas dalam pembuatan maupun perpanjangan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi manipulasi ukuran kapal antara pemilik/pengurus kapal dengan pemerintah. Perlu dilakukan sosialisasi untuk menemukan solusi alat tangkap baru yang ramah lingkungan, namun memiliki nilai ekonomi yang tinggi secara partisipatif agar peraturan yang diterapkan tidak merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam usaha perikanan tangkap cantrang. Nelayan pengguna cantrang diajak berdiskusi terkait alat tangkap yang ramah lingkungan dan memiliki harga yang terjangkau, sehingga nelayan bisa beradaptasi dengan perubahan yang akan terjadi dan dapat memilih strategi-strategi untuk bertahan hidup.
61
DAFTAR PUSTAKA Annisa L, Satria A, Kinseng R A. 2009. Konflik Nelayan di Jawa Timur: Studi Kasus Peruabahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun di Lebak, Banten. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol 03 (1) : 113-124. [internet]. Diunduh di http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/5870/4535 Bennet J W. 1976. The Ecological Transition. USA: Pergamon Press Inc. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru. Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Darmawan, Wahyu R I. 2003. Reorientasi Kebijakan Trawl, Peluang, Tantangan dan Pengembangannya di Indonesia. Bogor: Diskusi Nasional Pengelolaan Trawl [Data Nelayan Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal 2015] [Data Monografi Kelurahan Tegalsari Bulan Desember 2015] [Data Produksi Perikanan TPI Tegalsari 2016] Effendi S, Tukiran. 2014. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Ermawati N, Zuliyati. 2015. Dampak Sosial dan Ekonomi atas Peraturan MenteriKelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 (Studi Kasus Kecamatan Juwana Kabupaten Pati) [prosiding]. Journal of Management of Aquatic Resources Vol. 2 (3) : 197-202. [internet]. Diunduh di http://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/sendi_u/article/viewFile/3287/89 4 Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Issue, Sintesis, dan Gagasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hamilton M. 2012. Perception of fishermen towards marine protected areas in Cambodia and the Philippines. Bioscience Horizons. 5: 1-24. [Internet]. Tersedia pada: http://biohorizons.oxford journals.org Helmi A, Satria A. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologi. Makara, Sosial Humaniora Vol 16 (1) (Juli): 68-78. [internet]. Diunduh di http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/download/1494/38 [KP] Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawl Kinseng R A. 2011. Konflik Kelas Nelayan di Indonesia Tinjauan Kasus Balikpapan. Bogor [ID]: IPB Press Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada. Myers D G. 2013. Sosial Psychology: Eleventh Edition. New York: The McGrawHill Companies, Inc. Nevid J S. 2013. An Introduction to psychology 4th edition. Wadsworth: Cengage Learning Nongmaithem B D, Ngangbam A K. 2014. Socioeconomic Conditions and Cultural Profile of The Fishers in India- A Review [jurnal]. Volume 7, Issue 9 Ver. I. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS). [internet]. Diunduh di http://www.iosrjournals.org/iosr-javs/papers/vol7issue9/Version-1/H07914248.pdf
62
Nurhayati A. 2012. Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Tingkat Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan (Studi Kasus di Kawasan Pangandaran, Kabupaten Ciamis). Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi dan Perikanan Vol. 2, No. 2 : 163-173. [internet]. Diunduh di www.bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jbijak/jurbijak_2012_v2_no2_(7) Patriana R, Satria A. 2013. Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 8 (1) : 11-23. [internet]. Diunduh di http://bbpse.litbang.kkp.go.id/index.php/download-new/send/21-vol-8-no1-tahun-2013/66-pola-adaptasi-nelayan-terhadap-perubahan-iklim-studikasus-nelayan-dusun-ciawitali-desa-pamotan-kecamatan-kalipucangkabupaten-ciamis-jawa-barat [Permen] Permen KP Nomor 57/Permen-Kp/2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. [Permen] Peraturan Menteri KP No. Per.02/Men/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Pranata RT. 2014. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Misool Selatan, KKPD Raja Ampat. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Prihandoko, Jahi A, Gani DS, Purnaba IGP, Adrianto L, dan Tjitradjaja I. 2011. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Nelayan Artisanal dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15 (2) 117-126. [internet]. Diunduh di http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/download/1418/29 [Profil Kecamatan Tegal Barat Kota Tegal 2015] Robbins S. 2002. Prinsip-prinsip Prilaku Organisasi. Edisi Kelima. Terjemahan oleh Dewi Sartika Halida. Jakarta: Erlangga. Satria A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press Satria A, Anggraini E, Solihin A. 2009. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia?. Bogor: PT Penerbit IPB Press Satria A. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Satria A. 2015. Politik Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Scoones, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihood A Framework For Analysis. [internet]. Libraries Australia. [internet]. Diunduh di http://trove.nla.gov.au/version/10826261 Sudarmo AP, Baskoro MS, Wiryawan B, Wiyono ES, Monintja DR. 2015. Sosial Economics Characteristicso of Coastal Small-Scale Fisheries in Tegal City, Indonesia. International Journal Of Scientific & Technology Research Volume 4 (1) : 85-88. [internet]. Diunduh di http://www.ijstr.org/finalprint/jan2015/Sosial-Economics-Characteristics-Of-Coastal-Small-scaleFisheries-In-Tegal-City-Indonesia.pdf
63
Sukmawati D. 2008. Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh di Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Barat (Studi tentang Simbiosis antara Juragan dengan Nelayan Buruh di Pondok Bali Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang). Jurnal Kependudukan Padjadjaran Vol 10 (1) : 50-63. [internet]. Diunduh di http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/article/download/doc5/2438 [UU] Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan [UU] Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Vander Z J W. 1984. Sosial Psychology: Third Edition. United States of America: Random House, Inc. Yapanani E, Solichin A, Bambang Argo W. 2013. Kajian Hasil Tangkapan dan Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Desa Aromarea Distrik Kosiwo, Kabupaten Sarui, Kepulauan Yapen, Papua. Journal of Management of Aquatic Resources Vol. 2, No. 3 : 197-202. [internet]. Diunduh di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares Yuliastry I. 2011. Kemiskinan dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Zamroni A. 2015. Socio-Economics Status and Adaptations of Purse seine Fishermen in Bali Coastal Village, Indonesia. International Journal of Marine Science 2015 Vol 5 (20): 1-16. [internet]. Diunduh di http://biopublisher.ca/index.php/ijms/article/viewFile/1671/1546
64
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal
66
Lampiran 2 Catatan Tematik Persepsi Nelayan terhadap Peraturan Larangan Cantrang Sebagain besar nelayan khususnya nelayan cantrang menilai peraturan tersebut dengan pandangan negatif. Penggunaan cantrang sudah ada sejak tahun 1980an dan berlangsung hingga saat ini. Nelayan mengaku tidak diberihtahukan secara langsung oleh pemerintah dan hanya mendengar kabar terkait penghapusan cantrang melalui media televisi. Nelayan menilai peraturan tersebut berdampak negatif bagi kehidupannya. Keseharian melaut dengan cantrang telah menjadi keiasaan dan apabila cantrang dihapuskan nelayan mengaku akan merugikan ratusan hingga milyaran rupiah bahkan tidak dapat melaut lagi. Organisasi kerja kapal cantrang melibatkan pemilik kapal, nahkoda, motoris, ABK dan pengurus kapal di darat. Selain itu, pihak pihak yang terlibat dalam usaha perikanan cantrang meliputi bakul, peternak itik bahkan nelayan kecil yang membutuhkan hasil tangkpan cantrang sebagia umpan. Nelayan menilai peraturan tersebut akan menambah pengangguran dan mengurangi lapangan pekerjaan karena kapal cantrang tidak dapat melaut dan mengahsilkan ikan tangkapan. “..kalau kapal tidak bisa melaut, kira-kira kurang lebih itu ada sekitar 20 ABK, berapa puluh ribu ABK yang nganggur. Belum yang terkait disitu, kayak pengurus kapal, kayak pedagang ikan disitu, pekerja kasar gerobak, kuli dan sebagainya, pekerja bongkar kena dampaknya. Ya wong gak ada ikan berarti kan gak ada pekerjaan.”(CLS, 28 GT) Pemilik kapal cantrang, dalam usaha perikanannya, lebih sering meminjam modal ke bank dengan sertifikat rumah sebagai jaminan. Pinjaman bank yang dilakukan pun mencapai ratusan hingga milyaran rupiah, sehingga apabila peraturan tersebut diterapkan dan nelayan belum diberikan soslusi terkait alat tangkap pengganti, nelayan tidak dapat melaut dan seluruh barang-barang beserta rumah yang dijaminkan ke bank, akan terancam disita. Beberapa nelayan di Brebes sudah mengalami penyitaan rumah oleh bank dan menurut nelayan hal itu sangat merugikan mereka. Cantrang menjadi pilihan para nelayan dikarenakan harganya yang murah dibandingkan alat tangkap lainnya. Harga 1 unit cantrang bisa mencapai 15 juta, sedangkan gillnet bisa mencapai 1 milyar dan purse seine sekitar 700an belum lampu penerangan sekitar 300-400an. Nelayan mengaku tidak mampu membeli alat tangkap baru apabila pelarangan tersebut diterapkan. Nelayan berharap pemerintah memberikan semacam bantuan kompensasi atau menyediakan alat tangkap baru. “..tapi sekarang kan sedang lagi diproses. Mau diberhentikan sih cantrang sih. Mbak denger kan di tv tv kan. Sebenarnya kalo cantrang ditutup nelayan banyak yang nganggur. Sebab disini kehidupan itu di cantrang. Kalo jaring lain yang banyak modal, ya untuk jaring lainnya selain cantrang itu bisa. Tapi kan kalo kayak saya, cantrang ditutup, maukerja apa. Nganggur semua itu kapal. Kalo di bawah 30 diijinin keluar cantrangnya itu masih banyak yang jalan. Tapi kalo ditututp semua, nyampe trawl yang cilik itu, pasti nganggur semua.” (TAS, 20 GT)
67
“Berat kalo itu Permen pemberhentian cantrang, itu berat. Marah semua. Cantrang dilarang, apa-apa cari di laut dilarang, badong dapetnya rajungan juga dilarang. Di laut banyak operasi. Susah, resah. Sampai sekarang kapal cantrang di Kluwut ditahan di Palembang. Kemarin saya bongkar ikan ketemu sama yang punya. Kapalnya gak bisa diambil. Kapal itu bisa diambil 1 tahun setengah. Motorisnya ditahan menunggu putusan. Padahal itu kan gak nyuri, nyarinya masih di Indonesia. ABK pulang, yang ditahan motoris sama kapten. Kecuali itu kapal Filipina, Thailand, baru nyuri. Ini kan bendera juga Indonesia. Sekarang banyak mbak, ditangkep kadangkadang ditebus sekian juta. Nelayan pinggir melaut, ditangkep, denda sekian juta.” (RSB, 20 GT) Nelayan berpandangan bahwa peraturan tersebut belum ada kejelasan dan membuat nelayan bingung. Kepala bidang kelautan DKP Kota Tegal mengatakan bahwa pemerintah mengeluarkan peraturan tersebut berdasarkan kesepakatan yang dilakukan pada tahun 2009. Hal itu sebagai upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem perairan khususnya laut jawa yang semakin lama semakin mengalami kerusakan terlebih terumbu karang yang rusak akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan cantrang semakin lama semakin bertambah didukung oleh jumlah kapal yang bertambah juga. Selain itu, ukuran kapal yang tidak sesuai dengan SIUP dan SIPI menjadi salah satu permasalahan yang membuat pemerintah mengeluarkan perturan tersebut. Pada tanggal 25-27 Mei 2016, pemerintah dan beberapa pemangku kepentingan mengadakan pertemuan dalam rangka membahas alternatif jaring pengaman sosial dampak Permen KP No. 2/2015, khususnya untuk alat penangkapan ikan cantrang. Hasil dari diskusi antara lain respon positif dari pemangku kepentingan terhadap terbitnya peraturan tersebut, inventarisasi kapal cantrang, program jaring pengaman sosial (buy back dan ballout), dan alat penangkapan ikan ramah lingkungan sebagai pengganti cantrang. Alat penangkap ikan yang ramah lingkungan yang dimaksud adalah LIFE fishing (low impact fuel efficiencies). Jenis alat penangkapan ikan yang terindentifikasi lebih ramah lingkungan dan masih menguntungkan, yaitu gillnet, rawaidasar, bubu, paying, dan purse seine. Program jaring pengaman sosial dikhususkan untuk nelayan yang memiliki kapal di bawah 10 GT dilihat dari tingkat pendapatan mereka yang lebih rendah daripada nelayan yang menggunakan kapal di atas 10 GT hingga 30 GT. “..sering mbak pemakai pukat dan jaring, sering konflik. Cuman antara lain kota. Kalau disini kan sama semua pakenya. Kita beroperasi di daerah pemalang, disana kan pakenya jaring. Nah itu sering bermasalah mbak, kadang..pernah ada kapal yang disandera disana. Dinas kelautannya yang kesana, damai lah mbak ya, kapalnya dibalikin. Kalau di Tegal sendiri aman-aman aja mbak. Rata-rata pake alat kayak gitu.” (TAM, 4 GT) Nelayan bukan pengguna cantrang menilai peraturan tersebut dengan pandangan positif. Mereka mengakui bahwa penggunaan cantrang sangat tidak ramah lingkungan dan cenderung merugikan nelayan kecil yang didominasi oleh alat tangkap tradisional. Tak jarang penggunaan alat tangkap cantrang dapat
68
merusak alat tangkap mereka seperti badong dan gillnet, sehingga merugikan nelayan kecil. Namun, nelayan bukan pengguna cantrang yang sebagian besar adalah nelayan kecil dengan pola hidup subsisten, yaitu mengandalkan hasil tangkapan untuk pemenuhan hidup sehari-hari, tidak dapat melawan jika alat tangkap mereka rusak oleh cantrang. Nelayan mengaku tidak kuasa untuk melawan karena kapal yang dimiliki oleh nelayan cantrang berkali-kali lipat besarnya daripada perahu yang mereka gunakan. Nelayan berharap dengan adanya peraturan tersebut, konflik atau persaingan antar nelayan dapat berkurang, dan mereka bisa melaut di sekitar daerahnya dengan aman serta memperoleh hasil tangkapan yang banyak.
Strategi Adaptasi Nelayan Kehidupan nelayan berada dalam ketidakpastian. Hal itu dikarenakan penghasilan mereka tergantung pada hasil tangkapan ikannya. Ikan yang merupakan sumber daya yang bergerak, tidak selalu berada dalam satu tempat dan selalu berpindah, sehingga hasil yang diperoleh nelayan pun tidak pernah sama tiap melaut. Selain itu, kondisi cuaca yang saat ini tidak menentu, menambah ketidakpastian perekonomian nelayan. Kondisi tersebut membuat nelayan harus melakukan strategi-strategi untuk bertahan hidup. Nelayan bukan pengguna cantrang memiliki diversifikasi kegiatan ekonomi yang lebih beragam daripada nelayan pengguna cantrang. Nelayan bukan pengguna cantrang mengaku bahwa penghasilan yang diperoleh sangat minim apalagi ketika musim paceklik yang mana mereka bisa tidak memperoleh ikan saat melaut, namun tetap saja mayoritas nelayan memilih pekerjaan sebagai nelayan saja dikarenakan waktunya habis untuk melaut dan memperbaiki kapal. “..kalau saya mbak ya, kesehariannya kan cuma nelayan, gak ada sampingan, jadi kalau memang masih menghasilkan artinya kita gak rugi, berangkat terus mbak. Satu bulan pun kadang kalau gak yang hari jumat gak libur itu bisa full mbak. Berangkat terus lagi badan itu sehat, selama itu hasil mbak. Tapi kalau lagi paceklik, perbekalan gak nutup, mending gak melaut karena kalau melaut kita rugi sih mbak, jadinya mending gak melaut. Kalau musim paceklik itu sebenarnya lama, satu bulan lebih. Cuman itu kadang kita jala, kita juga punya jala mbak buat cadangan kalau paceklik. Kita cari di sungai-sungai, di tepi. Kita punya badong, bubu, perangkap kepiting buat cadangan mbak. Kadang kita cari kerang, yang penting ada buat makan lah mbak. Karena laut memang gitu, ibaratkan air hujan. Kalau lagi musim gak kebendung. Kita cari ikan gak kebendung, adaaaa terus. Tapi kalau lagi gak ada, ya kayak musim kemarau lah, gak dapet, sawah juga gak ada apa lah, kering.” (RAD, 4 GT) Sebaliknya, sebagian besar nelayan pengguna cantrang tidak melakukan aktivitas ekonomi lainnya dan hanya sebagian kecil yang melakukan kegiatan lain dikarenakan hal tertentu. Nelayan pengguna cantrang yang memiliki kapal di bawah 10 GT mengaku tidak melaut hampir 5 bulan terakhir. Hal itu dikarenakan sulitnya memperoleh ABK yang mau ikut melaut. Nelayan cantrang dengan perahu kecil
69
mengaku tidak berangkat melaut karena kekurangan ABK. Sebagian besar buruh nelayan memilih untuk ikut kapal fiseran yang berukuran lebih besar dan melaut sekitar 2 hingga 3 bulan. Hal tersebut dikarenakan jumlah hasil tangkapan laut kapal fiser lebih banyak dibandingkan kapal es karena penggunaan freezer di kapal membuat ikan tangkapan menjadi awet dan tahan lama. “..kalau banyak hasil ya kadang 10 juta 9 juta ya kalau gak ada hasil ya 1 juta, 5 juta. Ini uda 5 bulan gak melaut, makanya saya beli jarring ini saya bikin, barangkali ada yang beli untuk melaut. Kita bisa dapat kerja ini berapa, lumayan.” (DAM, 6 GT) “Gak berangkat cari orangnya itu sulit. Uda gak berangkat hampir satu tahun. Modalnya sulit, menganggur, saya kerja daripada nganggur. Cari orangnya, cari duitnya, modalnya susah banyak banyak sering dibuangi sama abk. Gak sepeerti pursein kecil, enak. Saya kalau punya uang banyak itu mau bikin itu. Cari orangnya gak susah, datang sendiri. Ini bagus kalo kapalnya bagus, uda datang sendiri gak perlu pake uang. Modalnya aja sampai 800 juta mba. Itu baru semua. Jaring baru, lampu baru, semua baru semua, itu mencapai 800 juta. Sebab saya tanya yang punya itu secara langsung sama juragan.” (RSB, 20 GT) Nelayan pengguna cantrang yang tidak dapat melaut memilih untuk mencari pekerjaan lain seperti membuat jaring maupun ikut melaut dengan kapal lain sebagai buruh nelayan. Hal itu dilakukan untuk tetap bertahan hidup dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Selain itu, nelayan juga melakukan penganekaragaman alat tangkap. Strategi ini dipilih oleh nelayan bukan pengguna cantrang karena mereka mengaku apabila hanya menggunakan satu alat tangkap saja belum tentu mencukupi kebutuhan terlebih pada musim-musim tertentu. Nelayan menggunakan alat tangkap sesuai dengan musim. Apabila saat itu serang musim rebon, mereka menggunakan jaring rampus, yang berdiameter kecil dan terbuat dari bahan yang halus, sedangkan saat musim rajungan, mereka menggunakan badong atau bubu. Nelayan pengguna cantrang tidak melakukan diversifikasi alat tangkap, sehingga saat peraturan tersebut dikeluarkan, mereka mengalami kebingungan terkait alat tangkap pengganti cantrang yang memiliki nilai ekonomis dan biaya pembelian yang terjangkau. Strategi adaptasi yang sangat diandalkan oleh nelayan adalah jaringan sosial. Nelayan bukan pengguna cantrang cenderung meminta bantuan keluarga, tetangga, kelompok nelayan maupun mengutang di warung. Hal itu dikarenakan tingkat kepercayaan antar nelayan masih tinggi. Sementara itu, nelayan pengguna cantrang lebih banyak memanfaatkan hubungan keluarga dan memilih meminjam uang ke bank apabila dalam keadaan mendesak. Mayoritas elayan pengguna cantrang juga menjalin hubungan dengan bakul, yang mana semua hasil tangkapan ikannya dijual ke bakul langganan dan beberapa dijual ke perusahaan pengolahan ikan setempat. Nelayan pengguna cantrang tidak melakukan lelang dikarenakan mereka mengaku penghasilan lelang tidak seberapa dibandingkan langsung dijual ke bakul. Hal itu tentu memengaruhi pendapatan TPI karena retribusi yang dibayarkan tidak sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Sementara itu,
70
nelayan bukan pengguna cantrang melakukan lelang di TPI dan sebagian menjual ikannya sendiri dibantu oleh istri atau kerabatnya. “Kemarin-kemarin dilelang. Kalo lelang kan pertama lakunya kan mahal, tapi kan sampai siang. Kan kalo ikan kena es kan lama-lama bees. Trus apa itu ikannya di belakang, kan pake urut 1,2 3, ikannya kan banyak. Ikan yang pertama mahal, nah ikan yang dari pagi sampai siang kan beda, jadi makin siang makin murah. Akhirnya pake gerobak. Pake gerobak kan dimuat semua, langsung ke tempat depot. Kalo dilelang lama mbak, ikan yang pertama mahal, yang belakang murah. Gak seperti di pelangan yang besar. Itu kalo yang masuknya banyak, itu ngantri. Kalo disini gak bisa, karena es esan, kalo disana kan fiseran jadi 3-4hari masih awet.” (RSB, 20 GT) “..kalau lagi paceklik itu susah sekali. Sering gak setor mbak, sering. Tapi kalau lagi rame ya kayak gitu, bisa nutupi yang bolong-bolong. Gali lobang tutup lobang mbak, kalau lagi paceklik, utang utang utang utang, kalau rame ya bayar-bayar bayar bayar, kan gitu. Ya gali lobang tutup lobang lah mbak.”(RAD, 4 GT) “..karena orang tua saya masih hidup ya mbak, jadi ke orang tua dulu. Karena ya gitu mbak, kalau saudaranya sama-sama nelayan, gak bisa mbak, kalau sama-sama nelayan pinggiran. Kita lagi paceklik, dia juga sama lagi panceklik mbak. Jadi susah, sama-sma susah.” (CMD, 3 GT) Selanjutnya, strategi adaptasai yang dilakukan oleh nelayan adalah menambah jumlah kapal, melakukan perpindahan atau perluasan daerah tangkapan, menambah waktu melaut, menggadaikan barang, dan melakukan optimalisasi rumah tangga. Umumnya, nelayan melakukan perpindahan atau perluasan daerah tangkapan dan menambha waktu melaut. Nelayan bukan pengguna cantrang yang biasa melaut selama 7 hingga 8 jam, bisa melaut sampai 10 jam untuk menambha hasil tangkapan, sedangkan nelayan pengguna cantrang bisa melaut hingga 1 bulan lebih bahkan 2 bulan bagi kapal fiseran. Nelayan pengguna cantrang juga melaut hingga Sumatera dan Kalimantan untuk memperoleh hasil tangkapan yang maksiman. Selain itu, nelayan pengguna cantrang cenderung menambah jumlah kapal, sehingga tak jarang menemui pemilik kapal cantrang yang memiliki kapal sebanyak 2 unit bahkan hingga 10 unit. Adanya peraturan tersebut membuat bingung nelayan karena kapal-kapal mereka tidak dapat elaut nantinya dan tentu memengaruhi nasib para buruh nelayannya.
71
Lampiran 3 Uji Statistik Hasil hubungan kondisi ekonomi dan persepsi Correlations Konidisi_eko
Persepsi
nomi 1.000
.283*
.
.028
60
60
Correlation Coefficient
.283*
1.000
Sig. (2-tailed)
.028
.
60
60
Correlation Coefficient Kondisi_ ekonomi
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho Persepsi
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Correlations Kodisi_ekonom persepsi_cantra icantrang Correlation Coefficient Kondisi_ekon omicantrang
ng
1.000
.
.
.
30
30
Correlation Coefficient
.
.
Sig. (2-tailed)
.
.
30
30
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho persepsi_can trang
N
Correlations Kondisi_ekonomi persepsi_nonc _noncantrang Correlation Coefficient Kondisi_ekono mi_noncantrang
antrang
1.000
.147
.
.438
30
30
Correlation Coefficient
.147
1.000
Sig. (2-tailed)
.438
.
30
30
Sig. (2-tailed) N
Spearman's rho persepsi_nonca ntrang
N
72
Hubungan strategi adaptasi dan lapisan ekonomi nelayan bukan pengguna cantrang Correlations Kategori_st kategori_ kategori rategialat
Kategori _strategi alat
pdptn
.
-.196
.
-.491**
.
.
.299
.
.006
30
30
30
30
30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
30
30
30
30
30
-.196
.
1.000
.
.121
.299
.
.
.
.525
30
30
30
30
30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
30
30
30
30
30
-.491**
.
.121
.
1.000
.006
.
.525
.
.
30
30
30
30
30
Sig. (2-tailed)
Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation
Spearman's rho
kategori _strategij aringan
Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation
kategori _strategil ain
Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation
lapisan_
Coefficient
ekonomi Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil tabulasi silang lapisan_ekonomi * kategori_strategi Crosstabulation Count kategori_strategi 1.00
lapisan_ekonomi
Total
lain
1.000
Correlation _strategi
jaringan
Coefficient
N kategori
lapisan_
strategip _strategi _strategi ekonomi dptn
Correlation
kategori
Total
2.00
1
5
13
18
2
4
3
7
3
1
4
5
10
20
30
73
Hubungan strategi adaptasi dan lapisan ekonomi nelayan pengguna cantrang Correlations lapisan_
Kategori_
kategori_k
kategori
kategori
pdptn
alat
egiatanek
_lainnya
_jaringa
onomi Correlation lapisan_
Coefficient
pdptn
Sig. (2-tailed)
1.000
.
.
.237
-.367*
.
.
.
.208
.046
30
30
30
30
30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
30
30
30
30
30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
30
30
30
30
30
.237
.
.
1.000
-.191
.208
.
.
.
.311
30
30
30
30
30
-.367*
.
.
-.191
1.000
.046
.
.
.311
.
30
30
30
30
30
N Correlation Kategori
Coefficient
_alat
Sig. (2-tailed) N
kategori
n
Correlation
Spearman's _kegiata Coefficient rho
nekono
Sig. (2-tailed)
mi
N Correlation
kategori
Coefficient
_lainnya
Sig. (2-tailed) N Correlation
kategori _jaringa n
Coefficient Sig. (2-tailed) N
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil tabulasi silang lapisan_pdptn * kategori_strategi Crosstabulation Count kategori_strategi 1.00 lapisan bawah
Total
2.00 18
8
26
4
0
4
22
8
30
lapisan_ekonomi lapisan atas Total
74
Lampiran 4 Daftar Responden Nelayan pengguna cantrang Nama Usia Ukuran_kpl JAR 53 30 GT ISW 49 27 GT NAN 51 22 GT WAS 33 30 GT SAU 40 30 GT BIL 25 26 GT CAR 30 29 GT DNS 44 29 GT SHT 50 29 GT ZAE 32 24 GT SHJ 33 29 GT MAS 30 30 GT RUS 41 28 GT SOL 28 27 GT DRW 53 15 GT DRM 32 22 GT MUR 28 30 GT CLS 32 28 GT TRN 39 28 GT RZL 31 6 GT DAM 56 6 GT RSB 49 20 GT SNT 42 28 GT SMT 38 30 GT SLA 46 30 GT TAR 54 35 GT DMN 40 28 GT KRY 35 30 GT MAR 52 15 GT TAS 38 20 GT
Nelayan bukan pengguna cantrang Nama Usia Ukuran_kpl CMD 38 3 GT TEG 34 5 GT SWO 41 6 GT DRO 36 3 GT TAM 43 6 GT RAD 39 4 GT SAH 29 3 GT HAD 29 5 GT RAS 35 6 GT SUP 51 4 GT RJN 55 3 GT SUK 52 3 GT SUN 50 4 GT RAW 50 4 GT RSJ 51 3 GT TUI 42 3 GT TSM 53 3 GT TRS 34 4 GT RMU 33 4 GT TRE 27 4 GT SRW 56 3 GT TAO 52 4 GT SIP 44 3 GT DAH 60 3 GT WIR 50 3 GT CGL 53 5 GT DAB 60 3 GT KAR 59 3 GT TRO 67 3 GT MRJ 69 3 GT
75
Lampiran 5 Dokumentasi
Kegiatan bongkar muatan kapal
Spanduk penolakan Permen KP Nomor 2 tahun 2015
Kapal nelayan cantrang
Kapal nelayan bukan cantrang
Wawancara dengan motoris kapal cantrang
Pembuatan cantrang
Lampiran 6 Jadwal Penelitian Februari Kegiatan Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambila n Data Lapang Pengolah-an dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
1
2
3
Maret 4
1
2
3
April 4
4
2
3
Mei 4
1
2
3
Juni 4
1
2
3
Juli 4
1
2
3
Agustus 4
1
2
3
September 4 1
2 3
4
RIWAYAT HIDUP Maya Resty Andryana dilahirkan di Badung pada tanggal 15 Agustus 1994 dari pasangan Sudjud Muljadi dan Nurmawan. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SD Negeri 4 Tuban pada tahun 2000-2006, SMP Negeri 1 Kuta Tengah pada tahun 2006-2009, dan SMAN 5 Denpasar ada tahun 2009-2012. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN Undangan) dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan. Di tingkat TPB, penulis bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman IPB dan menjadi pengurus pada periode 2014 dan periode 2015. Penulis juga tergabung ke dalam kepengurusan Himasiera periode 2013-2015 pada divisi Community Development dan menjabat sebagai Direktur Community Development periode 2015. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan beberapa acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan (LK) Fakultas Ekologi Manusia maupun IPB diantaranya sebagai panitia OPEN HOUSE 50, Gebyar Nusantara 2013, Ki Sunda Midang X, XI dan XII, Gerakan Kampus Bersih Narkoba 2014, Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Ekologi Manusia, KPM Garang 50, 2nd Connection, dan pelatihan softskill untuk KPM 50 dan KPM 51.