Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
MAKNA KHALIFAH DAN ‘ABID SEBAGAI DESTINASI MANUSIA DI BUMI (Aplikasi Hermenetika Gadamer) Rahmat Setiawan
STIT Muh. Kendal
[email protected] Abstrak: Aplikasi teori hermenetik Gadamer terhadap konsep khalifah dan abid diperlukan untuk menyuguhkan pemahaman yang segar dan fungsional sesuai elan dasar Islam. Makna khalifah diaplikasikan terhadap Q.S. al-Baqarah: 30, bahwa kata khalifah pada ayat tersebut yang dimaksud adalah Nabi Muhammad kemudian diteruskan oleh umatnya, bukan Nabi Adam. Sedangkan tugas manusia sebagai khalifah adalah mensejahterakan, melestarikan, dan memanfaatkan bumi beserta isinya. Sedangkan Q.S. al-Dzariyat: 56, bahwa selain sebagai khalifah manusia juga posisinya sebagai ‘abid yang harus beribadah kepada Allah. Ibadah disini tidak ada kaitannya dengan manusia. Ketika manusia posisinya sebagai ‘abid, maka manusia harus sebagai hamba Allah yang harus menyembah-Nya dengan sebaik-baiknya. Kata Kunci: Hermenetika Gadamer, Khalifah, Abid. Pendahuluan Istilah modernisme dimaksudkan sebagai kata yang berarti fase paling mutakhir dari sejarah dunia yang ditandai oleh kepercyaan akan sain (ilmu pengetahuan), perencanaan, sekularisasi, dan kemajuan. Istilah ini diberi pengertian oleh Samuel Hantington sebagaimana yang dikutip Qodri Azizy yaitu penggantian jumlah besar dari hal-hal yang tradisional, bersifat keagamaan, kekeluargaan, dan kekuasaan politik atas dasar etnik dengan satu kekuasan nasional dan sekuler.1 Penulis adalah Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Kendal, Ketua Lembaga Penjamin Mutu (LPM) pada instansi yang sama. Saat ini sedang menempuh program Doktoral Beasiswa Diktis 2015 di UIN Walisongo Semarang, dengan konsentrasi Etika Islam/Tasawuf. 1 A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, cet. Ke-3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 6.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 81 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Kepercayaan manusia terhadap sain yang begitu tinggi tersebut yang pada akhirnya mengalami kejenuhan, sehingga menimbulkan kesadaran akan keringnya spiritual. Perlu diingat kembali bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani, sebagaimana fungsi manusia dijelaskan oleh al-Quran yaitu sebagai Khalifah fi alArdl dan ‘Abid. Itu adalah modal dasar bagi manusia yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Manusia tidak bisa hidup nyaman ketika mereka melaksanakan hanya sebagi khalifah saja atau sebagai ‘abid saja. Kedua fungsi tersebut harus seimbang dalam mencapai kehidupan yang ideal. Dan ini adalah pesan Allah yang disebutkan dalam al-Quran. Namun dalam kenyataannya, bahwa manusia di era modern hanyalah menjalankan satu fungsinya saja yaitu sebagai khalifah, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara krisis-krisis multi dimensi yang melanda dan bangsa ini, krisis akhlak merupkan krisis utamnya. Berbagai persoalan terjadi akibat ulah tangan manusia yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai akhlak. Karena itu, pembenahan dan recovery akhlak bangsa ini merupakan suatu keniscayaan. Lalu yang menjadi pertanyaan kemanakah manusia akan lari dari kegelapan yang ditawarkan oleh modernisme yang bertumpu pada sain? Untuk itu, perlu adanya review dan reinterpretasi tentang ayatayat yang berkenaan dengan destinasi manusia di muka bumi. Manusia Sebagai Khalifah Pada dasarnya manusia telah berusaha dan mencurhkan perhatiannya yang sangat besar untuk mengetahui dan memahami dirinya, walaupun manusia memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa. Tapi manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari dirinya sendiri. Manusia tidak mengetahui dirinya secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan itupun pada hakikatnya dapat dibagi lagi menurut tata cara pribadi. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mereka yang mempelajari tetang manusia hingga kini belum terjawab dengan memuaskan.2 Al-Quran memakai tiga kata untuk menunjuk kepada manusia, yaitu kata yang menggunakan huruf alif, nun, dan sin (ins, insan, nas, atau unas), menggunakan kata basyar, dan menggunakan kata Bani Adam atau Dzurriyat Adam. Kata basyar terambil dari kata yang 2 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-15, (Bandung: Penerbit Mizan, 2004), hlm. 227.
82 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Kemudian lahir kata basyarah yang artinya kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan tampak beda dengan kulit binatang. Sedangkan kata insan terambil darai kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Al-Quran menggunakan kata insan dihadapkan dengan kata jin atau jan, karena jin adalah makhluk halus yang tidak tampak. Kata insan digunakan al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.3 Sedangkan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada kemampuan akal dan daya psikologisnya. Dengan kemampuan akalnya, manusia mampu mengatasi masalah dan menciptakan berbagai peralatan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian posisi manusia di bumi ini dapat bermanfaat kepada manusia lain dan lingkungannya. Sebagaimana dijelaskan al-Quran:
.ﻟﻘﺪ ﺧﻠﻘﻨﺎ اﻹﻧﺴﺎن ﰱ أﺣﺴﻦ ﺗﻘﻮﱘ
“Sungguh telah Kami cipta manusia dalam sosok paling canggih.4
Di mana dalam al-Quran tersebut manusia mendapat penilaian terbaik dari Allah dibanding makhluk lain.5 Oleh karena itu manusia diberi kepercayaan Allah untuk mewakili-Nya mengurus dunia. Allah memberi kebijakan kepada manusia berupa evolusi manusia sebagi penduduk bumi untuk melaksanakan segala fungsinya. Fungsi manusia dilahirkan di alam semesta ini untuk menyandang tugas dan kewajiban yang berat berupa amanat. Allah berfirman:
إﻧّﺎ ﻋﺮﺿﻨﺎ اﻷﻣﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻤﻮات واﻷرض واﳉﺒﺎل ﻓﺄﺑﲔ أن ﳛﻤﻠﻨﻬﺎ وأﺷﻔﻘﻦ ﻣﻨﻬﺎ وﲪﻠﻬﺎ .اﻹﻧﺴﺎن إﻧّﻪ ﻛﺎن ﻇﻠﻮﻣﺎ ﺟﻬﻮﻻ “Kami telah tawarkan amanah kepada langit dan bumi, kepada gunung-gunung, mereka menolak untuk memikulnya, mereka takut untuk tidak bisa membawanya, kemudian manusialah yang mengembannya. Sungguh manusia saat itu betul-betul zalim dan bodoh.6
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-15, (Bandung: Penerbit Mizan, 2004), hlm. 278-280. 4 Q.S. at-Tin: 4, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 3
hlm. 1114. 5 Bustanuddin Agus, al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 20. 6 Q.S. al-Ahzab: 72, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 754. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 83 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Al-Mawardi, dalam an-Nukat wa al-`Uyun, menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: 1. Taat dan menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Pendapat Abu al-‘Aliyah. 2. Undang-undang dan syariat Allah yang ditujukan kepada hambaNya. Pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, dan Ibnu Jabir. 3. Menjaga amanat farjinya baik laki-laki maupun perempuan. Pendapat Ubay 4. Mempercayai dengan sesama manusia dan mempercayai Ke Mahabenaran Allah dan kebenaran Rosul-Nya. Pendapat as-Saddy. 5. Mengingatkan manusia supaya tidak berpaling dari amanat yang diembannya sebagaimana Alah menitipkan berupa amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Pendapat sebagian Mutakallimin.7 Maka dari itu, Allah mempercayakan manusia untuk mengurus, mengelola, dan memakmurkan bumi, sehingga manusia dikatakan khalifah fi al-ardl yang disebutkan al-Quran:
ﻗﺎﻟﻮا أﲡﻌﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻳﻔﺴﺪ ﻓﻴﻬﺎ.إﱐ ﺟﺎﻋﻞ ﰱ اﻷرض ﺧﻠﻴﻔﺔ ّ وإذ ﻗﺎل رﺑّﻚ ﻟﻠﻤﻼﺋﻜﺔ .إﱐ أﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن ّ وﻳﺴﻔﻚ اﻟﺪﻣﺎء وﳓﻦ ﻧﺴﺒّﺢ ﲝﻤﺪك وﻧﻘﺪّس ﻟﻚ ﻗﺎل “Perhatikanlah Tuhanmu sewaktu berfirman kepada para malaikat, Aku akan menciptakan khalifah di bumi.” Mereka bertanya keheranan, “mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi, sementara kami senantiasa bertasbih dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Maha Tahu akan hal-hal yang tidak kamu ketahui.”8 Kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan, atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Berdasarkan arti tersebut, maka dapat dipahami bahwa khalifah maksudnya yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya Abi Hasan Ali bi Muhammad bin Hubaib al-Mawardy al-Bashry, an-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardy, jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hlm. 7
428-429. 8 Q.S. al-Baqarah: 30, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 9.
84 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
penghormatan. Ada yang memahami khalifah dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni dan mengurus bumi ini.9 Dalam kitab Tafsir Khozin, Imam ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady menerangkan bahwa yang dimaksud khalifah di situ adalah Adam, dan ia dipercaya Allah untuk mewakili-Nya dibumi dalam rangka menegakkan dan menjalankan syariat-Nya.10 Pemahaman dari ayat tersebut menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah; makhluk yang diberi wewenang, yakni Adam dan anak cucunya. Oleh karena itu, manusia harus berusaha untuk memperjuangkan moral supaya terhindar dari godaan makhluk yang anti manusia, karena manusia di antara ciptaan Tuhan, manusia mempunyai posisi yang unik; manusia diberi kebebasan berkehendak agar manusia dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di bumi. Misi inilah (perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di bumi) sebagimana yang telah dikatakan al-Quran sebagai amanah di atas. Perlu diingat, bahwa manusia harus menyadari bahwasanya manusia tidak diciptakan sekedar permainan, tetapi untuk melaksanakan sebuah tugas dan harus mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam merealisasikan tugasnya. Maka dari itu, kekhalifahan mengharuskan manusia untuk melaksanakan tugasnya sesuai petunjuk Allah yang memberi tugas dan wewenang. Dan apabila keputusan yang diambil manusia tidak sesuai kehendakNya, maka manusia tersebut melanggar terhadap makna dan tugas kekhalifahan. Manusia Sebagai ‘Abid Posisi manusia di alam atau kehidupan dunia ini, juga merupakan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT, adalah sebagai hamba (‘abid). Sebagai hamba, tugas utama manusia adalah mengabdi (beribadah) kepada Sang Khaliq; menaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ibadah berakar kata ‘abada yang artinya mengabdikan diri, menghambakan diri. Hubungan manusia dengan Allah SWT bagaikan hubungan seorang hamba (budak) dengan tuannya. Si hamba harus senantiasa patuh, tunduk, dan taat atas segala perintah tuannya. Demikianlah, 9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, volume I, cet. Ke-2, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 142. 10 ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady, Tafsir al-Khozin, jilid I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), hlm. 35.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 85 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
karena posisinya sebagai ‘abid, kewajiban manusia di bumi ini adalah beribadah kepada Allah dengan ikhlas sepenuh hati. Seorang Muslim harus memahami benar posisinnya di hadapan Allah sebagai ‘abid ini. Fungsi ‘abid ini adalah untuk berakhlak karimah secara vertikal terhadap Sang Pencipta dalam bentuk ibadah. Sebagaimana al-Quran menjelaskan:
.وﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﳉ ّﻦ واﻹﻧﺲ إﻻّ ﻟﻴﻌﺒﺪون
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka menyembah-Ku.11 Adapun mengabdikan segala jiwa dan raga kepada Pencipta merupakan prinsip hidup yang hakiki bagi seorang mukmin-muslim, sehingga akan tercermin pada perilaku sehari-hari yang senantiasa mengabdikan diri di atas segala-galanya. Ibadah di sini menurut Ibu Anas dalam kitab Tafsir al-Mawardy adalah segala ucapan atau perbuatan yang dicintai dan diridloi Allah baik yang lahir maupun yang batin.12 Sehingga perbuatan baik, amal shaleh yang terwujud dalam fungsi manusia selaku khalifah dan segala aktifitasnya terhadap sesamanya maupun lingkungannya, akan mempunyai nilai ibadah bila dilakukan dengan landasan iman untuk memperoleh keridloan Allah. Seperti berdagang, bertani, nelayan, pegawai, menuntut ilmu, dan lain-lain, dalam rangka pengelolaan dan memakmurkan bumi bila dilakukan dengan niat ibadah, maka bila manusia melakukannya seperti itu, tetunya manusia telah melaksanakan kedua fungsinya sekaligus yaitu khalifah dan ‘abid.13 Teori Hermenetik Gadamer Richard E. Palmer dalam bukunya menyimpulkan enam defenisi hermeneutika, keenam definisi tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi yang berkenaan dengan hermeneutika. “Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang 11 Q.S. al-Dzariat: 56, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 941. 12 Abi Hasan Ali bi Muhammad bin Hubaib al-Mawardy al-Bashry, an-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardy., hlm. 375. 13 Khaelany HD, Islam Kependudukan dan Lingkungan Hidup , cet. Ke-1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm. 37-38.
86 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswissenschaften, (5) fenomenologi esistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraik makna di balik mitos dan symbol.”14 Definisi yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran terutama penafsiran teks, defenisi tersebut dapat disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, eksistensial, dan kultural. Setiap defenisi merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat, melahirkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda namun memberi ruang bagi tindakan interpretasi, khususnya teks. Hermenetik bagi Gadamer bukan sebuah metode, karena pemahaman yang ditekankannya adalah berupa ontologis, bukan metodologis. Baginya, kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru menghambat kebenaran.15 Untuk mencapai kebenaran, kita harus menggunakan dialektika, bukan metode, sebab dalam proses dialektis kesempatan dalam mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibandingkan dengan dalam proses metodis.16 Sesuai dengan pemahaman dasar hermenetik Gadamer, maka selanjutnya hermenetika Gadamer secara singkat akan dibahas yang menurut penulis disebut sebagai inti pemikirannya adalah sebagai berikut: 1. Bahasa Bahasa dipahami sebagai yang menunjuk pada pertumbuhan mereka secara historis, dengan kesejarahan makna-maknanya, tata bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa muncul sebagai bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman historis. Bahasa juga mencakup banyak aspek fundamental, bukan sekedar system relasi pemahaman subyek-obyek, 14 Richard E. Palmer, Hermenetika: Teori Baru Mengenai Interpretasi , cet. Ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 38. 15 Edi Mulyono dkk, Belajar Hermenetika: Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, cet. Ke-2, (Yogyakarta: IRCisoD, 2013), hlm. 147. 16 Edi Mulyono dkk, Belajar Hermenetika: Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, cet. Ke-2, (Yogyakarta: IRCisoD, 2013), hlm. 147.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 87 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
manusia-benda, tetapi bahkan pemikiran dan pengalaman hidupnya yang terkristalisir dalam tradisi. Intinya adalah bagi Gadamer bahasalah yang mampu menguak atau menyingkap wujud. Sedangkan aplikasi bahasa sebagai pengalaman dan tradisi menurut Gadamer, adalah memberikan implikasi besar bagi proses pemahaman hermenetis melalui dialog tanya jawab antara penafsir dengan teks.17 2. Historically effected consciousness (kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah). Dalam memahami teks, seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar, sejarah mempunyai peran penting dalam memahami teks. Seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermenetik tertentu yang melingkupinya, baik berupa tradisi, kultur, maupun pengalaman hidup. Seorang penafsir harus bisa mengatasi keterpengaruhan tersebut. Seorang penafsir harus memahami dan mengenali bahwa setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari effective history sangat berperan. Penafsir harus mampu mengatasi subyektifitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks. 3. Pre-understanding (pra-pemahaman). Pra-pemahaman menurut Gadamer bagi seorang penafsir harus ada agar penafsir bisa mendialogkan dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman ini seseorang tidak berhasil memahami teks dengan baik. Walaupun, prapemahaman ini terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir ketika Gadamer sadar bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Sehingga pra-pemahaman akan menjadi lebih sempurna (Vollkommenbeit des Vorrerstandnisses). 4. Fusion of horizons and hermeneutical circle (penggabungan horison dan lingkaran hermenetik). Dalam proses penafsiran, seseorang harus sadar betul bahwa ada dua horison yang menyertainya yakni horison di dalam teks dan horison pembaca. Kedua horizon tersebut harus dikomunikasikan sehingga ketegangan diantara keduanya dapat diatasi. Karena horison yang ada di dalam teks belum tentu sama dengan horison pembaca. Horison teks dibiarkan agar berbicara sendiri, sedangkan horison pembaca hanya sebagai pijakan yang tidak boleh memaksa teks supaya sesuai dengan pijakannya. Interaksi dari ke-dua horison ini disebut hermeneutical circle. 17 Edi Mulyono dkk, Belajar Hermenetika: Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, hlm. 149-151.
88 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
5. Application Pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi meaningful sense (pesan yang lebih berarti daripada sekedar makna literal). Dalam aplikasi ini Gadamer memberikan harapan untuk masa depan setelah tercapainya penafsiran sebuah teks.18 Aplikasi Hermenetik Gadamer Terhadap Q.S. al-Baqarah: 30 dan Q.S. al-Dzariyat: 56. 1. Q.S. al-Baqarah: 30.
ﻗﺎﻟﻮا أﲡﻌﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻳﻔﺴﺪ ﻓﻴﻬﺎ.إﱐ ﺟﺎﻋﻞ ﰱ اﻷرض ﺧﻠﻴﻔﺔ ّ وإذ ﻗﺎل رﺑّﻚ ﻟﻠﻤﻼﺋﻜﺔ .إﱐ أﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن ّ وﻳﺴﻔﻚ اﻟﺪﻣﺎء وﳓﻦ ﻧﺴﺒّﺢ ﲝﻤﺪك وﻧﻘﺪّس ﻟﻚ ﻗﺎل
Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah sedang menceritakan penunjukan manusia sebagai khalifah di muka bumi kepada Nabi Muhammad. Pada ayat di atas berlangsung dialog antara malaikat dan Allah. Ketika Allah memberikan pernyataan kepada malaikat tentang keinginan-Nya untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Menurut teori Gadamer, bahwa historically effected consciousness dan pre-understanding telah memberikan horizon kepada pembaca. Pada kitab-kitab tafsir yang pernah dibaca menunjukkan adanya preunderstanding pembaca untuk reinterpretasi terhadap ayat tersebut. Pada prapemahaman, ayat di atas ditafsirkan bahwa Allah SWT. akan menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di bumi. Ayat tersebut juga ditafsirkan bahwa malaikat memberikan usulan kepada Allah tentang keputusan-Nya bahwasanya manusia tidak pantas menyandang gelar khalifah di bumi karena track record manusia yang buruk di mata malaikat. Akan tetapi Allah juga memantapkan pilihannya bahwa Dia Maha Mengetahui sesuatu yang malaikat belum ketahui. Pada ayat di atas juga terdapat penafsiran bahwa usulan malaikat berdasarkan bukti yang pernah terjadi bahwa manusia gagal dalam menjalankan tugasnya di bumi. Dengan kata lain, sudah pernah tercipta manusia sebelum Nabi Adam, akan tetapi manusia gagal dalam melaksanakan tugasnya. Dan pada akhirnya Allah memilih Nabi Adam sebagai manusia reformer serta dilengkapi berbagai fasilitas sehingga dipercaya Allah untuk mengemban tugas khalifah di bumi. 18 M. Nurkholis Setiawan, dkk, Upaya Integrasi Hermenetika dalam Kajian Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 36-41.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 89 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa Nabi Adam bukan manusia pertama, melainkan khalifah pertama di muka bumi. Khalifah disini dapat dipahami pula sebagai Nabi dan Rosul pertama yang dipilih Allah untuk bumi. Setelah terjadi prapemahaman dan keterpengaruhan oleh sejarah terhadap reader, terjadilah fusion of horizons antara teks atau ayat tersebut dengan reader dalam memahai ayat. Fusion of horizons terjadi ketika reader dan teks saling membuka diri, tidak saling mengintimidasi untuk memberikan penafsiran baru atau sintesa. Sintesa tersebut yaitu bahwa yang dimaksud khalifah pada ayat di atas adalah Nabi Muhammad. Sintesa ini diperkuat oleh pernyataan keberatan malaikat tentang perilaku manusia mulai Nabi Adam sampai sebelum diangkatnya Nabi Muhammad sebagai rasul. Pada waktu itu sering terjadi pertumpahan darah dan perusakan terhadap bumi. Selain itu, ayat tersebut juga dipahami sebagai penunjukan Nabi Muhammad sebagai Rasul reformer dari Rasul-rasul sebelumnya. Dan untuk mengemban tugas ini Nabi Muhammad diberi fasilitas yang lebih oleh Allah daripada Nabi-nabi sebelumnya. Fasilitas tersebut berupa pengetahuan yang luas dan kitab yang sempurna sebagai tuntunan berupa al-Quran dalam mengemban tugas di bumi. Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, maka misi khalifah di muka bumi tidak berhenti saja, melainkan diteruskan oleh umatnya yaitu memelihara, mensejahterakan dan memanfaatkan bumi beserta segala isinya. 2. Q.S. al-Dzariyat: 56
وﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﳉ ّﻦ واﻹﻧﺲ إﻻّ ﻟﻴﻌﺒﺪون Pada ayat tersebut prapemahaman reader bahwa manusia diciptakan hanya untuk beribadah semata. Seluruh aktifitas manusia baik yang berhubungan dengan manusia maupun berhubungan dengan Allah disebut sebagai ibadah. Atau dengan kata lain, manusia memposisikan dirinya sebagai ‘abid. Padahal, bagi reader ketika membaca ayat tersebut memahami bahwa manusia ketika posisinya sebagai ‘abid, dia secara langsung berurusan dengan Allah. ‘Abid ini merupakan posisi manusia dan segala aktifitasnya langsung berhadapan dengan Allah tidak berkaitan dengan makhluk. Bagi reader, yang termasuk ibadah dalam lima bangunan islam adalah shalat, puasa, dan haji. Sedangkan zakat tidak termasuk ibadah. Ketika manusia shalat, puasa, dan haji, maka posisi manusia sebagai ‘abid. Dan ini tidak ada kaitannya dengan makhluk. Tetapi ketika manusia membayar zakat,
90 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
berarti manusia memposisikan dirinya sebagai khalifah di bumi yang mempunyai tugas mensejahterakan bumi dan isinya. Banyak amalanamalan atau aktifitas manusia seperti shadaqah, infaq, wakaf dan lain sebagainya dalam prapemahaman dianggap sebagai ibadah-dengan arti manusia posisinya sebagai ‘abid. Akan tetapi, bagi reader aktifitas tersebut bukan ibadah, atau posisi manusia bukan sebagai ‘abid, melainkan sebagai khalifah. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila teori hermenetik Gadamer diaplikasikan terhadap al-Quran terutama pada Q.S. al-Baqarah: 30, bahwa kata khalifah pada ayat tersebut yang dimaksud adalah Nabi Muhammad kemudian diteruskan oleh umatnya, bukan Nabi Adam, a.s. Sedangkan tugas manusia sebagai khalifah adalah mensejahterakan, melestarikan, dan memanfaatkan bumi beserta isinya. Sedangkan Q.S. al-Dzariyat: 56, bahwa selain sebagai khalifah manusia juga posisinya sebagai ‘abid yang harus beribadah kepada Allah. Ibadah disini tidak ada kaitannya dengan manusia. Ketika manusia posisinya sebagai ‘abid, maka manusia harus sebagai hamba Allah yang harus menyembah-Nya dengan sebaik-baiknya. Aktifitas, zakat, shadaqah, infaq, dan lain sebagainya-aktivitas social- bukan merupakan ibadah. Karena aktifitas tersebut berkaitan dengan makhluk Allah SWT. Atau dengan kata lain, ketika manusia melaksanakan aktifitas tersebut, merupakan kewajiban bagi manusia sebagai khalifah. Manusia yang sempurna adalah manusia yang bisa memposisikan dirinya dan melaksanakan tugasnya dengan baik yaitu sebagai khalifah dan ‘abid. Maksudnya antara khalifah dan ‘abid harus seimbang, tidak boleh ada salah satu yang menonjol atau lebih atas. Apabila manusia berjalan hanya sebagai khalifah, maka hidup terasa gersang. Jika manusia berjalan hanyalah seorang ‘abid, maka kehidupan terasa hampa. Dan apabila manusia menjalankan kedua fungsinya dengan seksama, maka akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa. Karena balancing dalam kehidupan harus berjalan secara berbarengan antara kebutuhan jasmani dan rohani, dan keduanya tidak boleh saling berkontradiksi terlebih lagi dari keduanya lebih diutamakan kepentingannya dari yang satunya. Penulis sadar akan keterbatasan pengetahuan, maka dari itu saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 91 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Daftar Pustaka Abror., Robby H, Tasawuf Sosial: Membeningkan Kehidupan dengan Kesadaran Spiritual, cet. Ke-1, Yogyakarta: AK Group – Fajar Pustaka Baru, 2002. Agus., Bustanuddin, al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran Pendidikan Agama Islam, cet. Ke-1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. Al-Baghdady., ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim, Tafsir alKhozin, jilid I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995. Al-Bashry., Abi Hasan Ali bi Muhammad bin Hubaib al-Mawardy, anNukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardy, jilid 4, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, t.th. Azizy., A. Qodri, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, cet. Ke-3, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. --------., A. Qodri, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), cet. Ke-2, Semarang: Aneka Ilmu, 2003. Azra., Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. Ke-3, Jakarta: Kalimah, 2001. Bisri., M. Kholil, Indahnya Tasawuf: al-Hikam Ibnu ‘Athaillah asSakandarany, cet. Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003. HD., Khaelany, Islam Kependudukan dan Lingkungan Hidup, cet. Ke-1, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996. Mochtar., Affandi, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Kalimah, 2001. Mulyono., Edi dkk, Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, cet. Ke-2, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013. Nata., Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. Ke-3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
92 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
Palmer., Richard E, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Alih Bahasa: Musnur Hery dan Damanhuri Mohammed, cet. Ke2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Qur’an Karim dan Terjemahnya, Yogyakarta: UII Press, 2000. Setiawan., M. Nur Kholis, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi, cet. Ke-1, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Shihab., M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, volume I, cet. Ke-2, Jakarta: Lentera Hati, 2004. --------., M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-15, Bandung: Penerbit Mizan, 2004.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 93 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
94 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015