TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Makassar 1881/Pid.b/2010/PN.Mks)
OLEH : MUH. ISRA BIII 06 862
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
i
HALAMAN JUDUL TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Makassar 1881/Pid.b/2010/PN.Mks)
OLEH : MUH. ISRA B111 06862
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Penyelesaian Studi Untuk Menempuh Gelar Sarjana Hukum Dalam Program Kekhususan Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
ii
PENGESAHAN SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Makassar 1881/Pid.b/2010/PN.Mks)
Disusun dan diajukan oleh MUH. ISRA BIII 06 862 Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk Dalam rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Dan dinyatakan lulus Panitia Ujian Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H.,M.H
Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H
NIP. 19620711 198703 1 001
NIP. 19800710 20064 1 001 An. Dekan PembantuDekan I
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H NIP. 19630419 198903 1 003 iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING Diterangkan bahwa Mahasiswa
:
Nama
: Muh. Isra
NIM
: B111 06862
Program Kekhususan
: Hukum Pidana
Judul Skripsi
: Tinajauan YuridisTerhadap Tindak Pidana Perzinahan. (Putusan Nomor 1881/Pid.b.2010/PN.Mks)
Telah diperiksa dan dapat disetujui oleh pembimbing dan memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir program studi
Mengetahui Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H.,M.H. NIP. 19620711 198703 1 001
Dr. Amir Ilyas, S.H.,M.H. NIP.19800710 200604 1 001
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 003
iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI Diterangkan bahwa Mahasiswa
:
Nama
: Muh. Isra
NIM
: B111 06862
Program Kekhususan
: Hukum Pidana
Judul Skripsi
: Tinajauan YuridisTerhadap Tindak Pidana Perzinahan. (Putusan Nomor 1881/Pid.b.2010/PN.Mks)
Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir program studi Makassar, A.n. Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik
Prof.Dr.Ir. Abrar Saleng SH,.MH NIP. 19630419 198903 1 003
v
ABSTRAK MUHAMMAD ISRA ( B III 06 862 ) Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana perzinahan ( Studi Kasus Putusan No : 1881/ Pid.B/ 2010/ PN. Makassar ) Penulisan Skripsi ini ( dibimbing oleh Prof.Dr.H.M.Said Karim.SH.MH, selaku Pembimbing I dan Dr.Amir.Ilyas.SH.MH,selaku Pembimbing II ) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pidana serta pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana perzinahan dalam kasus yang penulis teliti, yaitu putusan dengan No : 1881/ Pid.B/ 2010/ PN. Makassar Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan beberapa tempat yang menyediakan bahan pustaka yaitu Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan.Data diperoleh baik data primer maupun data sekunder dari hasil wawancara dan dokumentasi diolah dan dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian antara lain: bahwa penerapan hukum pada tindak pidana perzinahan(Studi Kasus Putusan No:1881/Pid.B/2010/Pn.makassar) yaitu dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf b jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sudah menjelaskan unsur tindak pidana perzinahan dan sanksi yang diberikan meski terlalu ringan yaitu kurungan 2 (dua) bulan dengan masa percobaan 4 (empat) bulan akan tetapi sudah sesuai dengan pidana materil mengingat system pemidanan dalam KUHP menggunakan pidana maksimal. Adapun dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dengan Nomor: 1881/Pid.B/2010/PN.Mks dalam pertimbangan hukum oleh hakim lebih mengutamakan perbaikan diri terhadap terdakwa ini terlihat dalam pemberian hukuman berdasarkan Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf b jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, seharusnya mendapat hukuman yang sesuai yang diatur dalam Pasal tersebut tetapi karena berbagai pertimbangan hakim untuk memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum1/ Pid.B/ 2010/ PN..
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................
ii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Rumusan Masalah ......................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
9
A. Tindak Pidana .............................................................................
9
1. Pengertian Tindak Pidana ......................................................
9
2. Unsur-Unsur TindakPidana ....................................................
12
B. Pengertian Zina ...........................................................................
13
C. Tindak Pidana Perzinahan danUnsur – Unsurnya D. Menurut KUHP ............................................................................
16
E. Pidanadan Pemidanaan ..............................................................
18
1. Teori Tujuan Pemidanaan ......................................................
18
2. Jenis – Jenis Pemidanaan .....................................................
23
vii
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................
37
A. Lokasi Penelitian....................................................................
37
B. Jenis Dan Sumber Data .........................................................
37
C. Teknik Pengumpulan Data .....................................................
38
D. Analisis Data ..........................................................................
39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..............................
40
A. PenerapanHukum
Pidana
terhadap
Tindak
Pidana
Perzinahan dalam Putusan No.1881/Pid.B/2010/ PN.Mks .....
40
B. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap pelaku
Tindak
Pidana
Perzinahan
dalam
Putusan
No.1881/Pid.B/2010/ PN.Mks ................................................
47
BAB V PENUTUP .................................................................................
65
A. Kesimpulan ............................................................................
65
B. Saran .....................................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
67
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945, setiap tingkah laku warga negaranya tidak terlepas dari segala peraturan – peraturan yang bersumber dari hukum. Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan yang menjemuk mempunyai banyak aspek dimensi dan fasse, bila diibaratkan sebagai benda maka hukum sebagai permata yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. Negara Republik Indonesia merupakan Negara hukum yang berarti kedudukan hukum amatlah tinggi bagi negara Indonesia dimana segala aspek kehidupan tentunya harus diatur dalam suatu sistem hukum.Semenjak seseorang lahir ke Dunia hingga meninggalkan dunia, hukum telah mengikat dirinya baik sebagai subjek maupun objek hukum.Namun, walaupun kehidupan kita telah dibentengi oleh hukum, tapi tetap saja terjadi perubahan struktur tata nilai sosial budaya di dalam masyarakat dewasa ini.Perubahan struktur tersebut meliputi segala aspek kehidupan. Perubahan tersebut antara lain dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1
Dampak lain dari ilmu pengetahuan dan teknologi terkadang berakibat negatif terhadap pola tingkah laku individu, antara lain timbulnya berbagai bentuk kejahatan, yang mengalami perkembangan seiring dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kualitas yang semakin berat, kejam, dan sadistis, maka salah satu fungsi hukum adalah merupakan alat penyelesain sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat atau dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Segala upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia, untuk mewujudkan cita – cita bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki kehidupan masyarakat yang tentram dan tertib agar tidak seorangpun merasa ditindas dan diperlakukan tidak adil tentang hak – haknya, maka diperlukan adanya penegakan hukum yang tegas dan seadil – adilnya. Negara hukum menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga tanpa ada pengecualian.Hal ini untuk menciptakan
keamanan,
ketertiban,
kesejahteraan
dalam
kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
2
Adapun ketentuan – ketentuan hukum perzinahan yang telah ada sejak masa sebelum islam menjadi agama penduduk atau rakyat di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari undang – undang majapahit yang telah memuat larangan perzinahan dan hukuman terhadap para pelakunya. Perbuatan zina atau mukah, menurut Pasal 284 KUHP adalah hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan yang kedua – duanya atau salah satunya masih terkait dalam perkawinan dengan orang lain. Yang dimaksud dengan persetubuhan, menurut R. Soesilo, adalah peraduan antara kemaluan laki – laki dan perempuan yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak. Anggota kelamin laki – laki harus masuk ke dalam anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan air mani, sesuai dengan Arrest Hooge Raad. Larangan hubungan seksual yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana zina atau jarimah zina, selain zina itu dilakukan oleh orang yang masih terikat perkawinan, baik salah sorang pelaku zina atau kedua – duanya, menurut KUHP, juga termasuk orang yang melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang sedang dalam keadaan pingsan atau tidak beradaya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 286 KUHP yang berbunyi :
3
“ Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan isterinya, padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun “ . Selain itu menurut Pasal 287 KUHP yang berbunyi : (1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita yang buka isterinya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. (2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau bila salah satu hal tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294. Dalam ketentuan Pasal 287 KUHP yang melarang persetubuhan di luar nikah tersebut, memang tidak ada pemaksaan terhadap perempuan yang disetubuhinya dan / atau bukan perempuan yang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, tetapi ia lakukan dengan perempuan yang belum berumur lima belas tahun. Perempuan yang kondisinya seperti telah disebutkan, yaitu dalam kondisi pingsan, tidak berdaya, atau belum berumur lima belas tahun, yang
4
disetubuhi di luar perkawinan oleh seorang laki – laki, maka KUHP, RUU – KUHP 2008, dan KUHP Belanda, menentukan larangan yang sama, meskipun hukumannya berbeda. Berdasarkan uraian sederhana tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan persetubuhan di luar perkawinan yang dapat dimasukkan sebagai perbuatan pidana adalah : 1. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan yang kedua – duanya atau salah seorang pelakunya sedang dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain, atau 2. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki terhadap perempuan yang dalam keadaan pingsan, atau 3. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki terhadap perempuan yang dalam keadaan tidak berdaya, atau 4. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum berumur 15 (lima belas) tahun.
5
5. Persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki terhadap perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum masanya untuk dikawini. Jenis delik zina yang ditentukan Pasal 287 ayat (2) KUHP adalah delik aduan absolute (absolute klacht delict). Jika anak yang disetubuhi di luat perkawinan itu belum berumur 12 (dua belas) tahun, atau perempuan tersebut mengalami luka berat atau kematian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 291 dan Pasal 294 KUHP, maka jenis delik tersebut, bukan lagi merupakan delik aduan, tetapi merupakan delik umum. Sebagaimana telah diketahui, bahwa perbuatan zina dalam KUHP termasuk kejahatan (misdrijven). Demikian pula menurut hukum Islam, sangat jelas bahwa setiap hubungan seksual atau persetubuhan yang dilakukan di luar perkawinan yang sah adalah merupakan zina. Jika perbuatan pidana zina itu dapat dibuktikan sesuai dengan syariah Islam, maka hubungannya merupakan hak Allah, yaitu hudud.Hukuman rajam adalah bagi pelaku zina yang sedang dalam ikatan perkawinan, atau orang yang sudah pernah melakukan perkawinan yang sah kemudian bercerai, baik janda ataupun duda (muhshan atau muhshanah).Sedangkan
6
hukuman jilid atau cambuk atau dera atau sebat dijatuhkan kepada pelaku zina yang belum pernah melakukan perkawinan, baik bujang maupun gadis. Jika perbuatan zina itu tidak dapat dibuktikan sesuai syariah Islam, maka menurut penulis hukumannya dapat di tentutukan berdasarkan ta’zir. Menurut J. M. Van Bemmelen, di Belanda, delik zina sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 284 KUHP (di Belanda di muat dalam Pasal 241 Sr) telah dihapus berdasarkna Undang – undang yang dikeluarkan pada tanggal 6 Mei 1971. Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas maka penulis bermaksud membahas judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak
Pidana
Perzinahan.(Studi
Kasus
Putusan
Nomor:
1881/Pid.B/2010/PN.Mks) “sebagai judul skripsi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian – uraian latar belakang, maka dapat dikemukakan rumusan masalah antara lain : 1. Bagaimanakah penerapan hukum atas tindak pidana perzinahan dalam putusan perkara No.1881/Pid.B/2010/PN.Mks? 2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan pidana dalam putusan perkara No. 1881/Pid.B/2010/PN.Mks?
7
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
penjatuhan
bagaimana
putusan
pidana
pertimbangan dalam
putusan
hakim perkara
dalam No.
1881/Pid.B/2010/PN.Mks. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum atas tindak pidana
perzinahan
dalam
putusan
perkara
No.
1881/Pid.B/2010/PN.Mks.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian dalam penulisan ini antara lain : 1. Secara Akademis/Teoritis Diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangsi pemikiran dalam pembangunan penegakan hukum di Indonesia terutama masalah yang menyangkut tindak pidana perzinahan. 2. Secara Praktik Dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam penegakan di Indonesia serta dalam upaya menyelesaikan permasalahan tindak pidana perzinahan.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum,
sehingga
dapat
dijatuhi
sanksi
terhadap
pelaku
tindak
pidana.Menurut Simons Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kasalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van Hamel merumuskan sebagai berikut :Strafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Moeljatno.2004 :54). Dengan pengertian diatas dapat kiranya tindak pidana kita samakan dengan istilah inggris Criminal Act. Untuk tindak pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan atas sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Untuk memberikan gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut ini penulis kemukakan beberapa pandangan para ahli hukum, antara lain :
9
Satochid Kartanegara yang cenderung untuk menggunakan istilah delik, yang memberikan pengertiaan bahwa straafbaarfeit adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman. Menurut Van hattum (Lamintang, 1997 : 184) mengatakan bahwa : “ Perkataanstraafbaarfeit itu berarti voor straaf inaanmerking komend atau straaf verdienend yang juga mempunyai arti sebagai “pantas untuk dihukum”. Sehingga perkataan straafbaarfeit seperti yang telah digunakan oleh pembuat undang-undang di dalam KUHP itu secara eliptis, harus diartikan sebagai suatu “tindakan”, oleh karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum, atau “feit terzekevan hetwelkeen person straafbaar is”. Jadi, menurut pendapat Van Hattum tersebut di atas, antara feit dan person yang melakukannya tidak dapat dipisahkan. Pompe (Lamintang, 1997 : 182) memberi pengertian straafbaarfeit itu dari dua segi yaitu : a. Dari segi teoritis, straafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai salah satu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib umum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku tersebut adalah perlu, demi
10
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. b. Dari segi hukum positif, straafbaarfeit itu sebenarnya adalah tindak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa perbedaan antara segi teori dan segi hukum positif tersebut hanya bersifat semu, oleh karena dari segi teori tidak seorang pun dapat dihukum kecuali apabila tindakan itu dengan kesalahan (schuld), baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.Sedangkan dari segi hukum positif, tidak ada suatu kesalahan tanpa adanya suatu “wederrechtelikheid”. Dengan kata lain untuk menjatuhkan suatu hukuman (pidana) tidaklah cukup apabila hanya perbuatan pidana, malainkan juga harus ada kemampuan bertanggung jawab, atau seseorang yang dapat dipidana apabila straafbaarfeit yang telah ia lakukan itu tidak bersifat “wederrechtelikheid” dan telah dilakukan, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Simons (Zainal Abidin, 2007 : 224) memakai istilah “straafbaarfeit”, dengan merumuskan sebagai salah suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat
11
dipertanggung jawabkan atas perbuatan itu. Zainal Abidin (1981 : 143) menguraikan bahwa : “Ditinjau
dari
segi
bahasa
Indonesia,
sesungguhnya
istilah
“straafbaarfeit” secara harfiah dapat diterjemahkan dengan peristiwa pidana adalah keliru, karena bukan peristiwa yang dipidana, akan tetapi orang yang mewujudkan peristiwa dilarang atau dijatuhi sanksi.” Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dari berbagai pengertian tindak pidana yang telah diuraikan, maka tindak pidana mempunyai unsur-unsur seperti yang dikemukakan oleh E.Y Kanter dan S.R Sianturi (Adami Chazawi, 2002 : 211) yaitu : 1. Subjek 2. Kesalahan 3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan) 4. Suatu tindakan yang dilarang dan diharuskan oleh undangundang dan terhadap pelanggaranya diancam dengan pidana. 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya)
12
Unsur tindak pidana yang dikenal dalam KUHP (Adami Chazawi 2002 : 82) ada 8 unsur yaitu : 1. Unsur tingkah laku 2. Unsur melawan hukum 3. Unsur kesalahan 4. Unsur akibat konstitutif 5. Unsur keadaan yang menyertai 6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana 7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana 8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. B. Pengertian Zina
Menurut Pasal 284 KUHP, zina adalah hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki dan perempuan yang kedua – duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan orang lain. Menurut Pasal 485 ayat (1) huruf e RUU – KUHP 2008, perbuatan zina tidak terbatas pada orang – orang yang terikat perkawinan saja melainkan antara orang – orang yang tidak terikat perkawinan, baik bujang, gadis, janda, ataupun duda.
13
Menurut hukum islam, zina adalah setiap perbuatan atau hubungan seksual (alat kelamin pria telah masuk ke dalam alat kelamin wanita) yang dilakukan di luar perkawinan yang sah. Zina menurut Neng Djubaedah ( 2010 : 119 ) adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki – laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah secara syariah Islam, atas dasar suka sama suka dari kedua belah pihak, tanpa keraguan (syubhat) dari pelaku zina bersangkutan. Zina menurut R. Soesilo,adalah peraduan antara kemaluan laki – laki dan perempuansehingga mengeluarkan air mani yang bisa dijalankan untuk mendapatkan anak. Menurut Ensikopledia Hukum Islam, zina adalah Hubungan seksual antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut. Menurut Wirjono Projodikoro, zina yaitu bersetubuh dengan orang lain daripada suami atau isterinya. Menurut fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi, zina adalah hubungan seksual yang dilakukan seorang laki – laki secara sadar terhadap perempuan yang di sertai nafsu seksual dan di antara mereka tidak atau belum ada 14
ikatan perkawinan secara sah atau ikatan perkawinan syubhat, yaitu perkawinan tanpa wali nikah, tanpa saksi, atau kawin mut’ah. Menurut Abdul Qader Oudah, hubungan seksual yang diharamkan itu, adalah memasukkan penis laki-laki ke vagina perempuan, baik seluruhnya atau sebagian. Menurut Fadhel Ilahi, zina adalah seorang laki – laki yang menyetubuhi perempuan melalui qubul ( vagina atau kemaluan ), yang bukan dengan isterinya, tanpa melalui perkawinan atau syubhatun nikah. Menurut M. Quraish Shihab merumuskan pengertian zina adalah persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda dan yang tidak terikat oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran) Menurut para mufassirin dari Tim Penasihat Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, merumuskan pengertian zina adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh pria dengan wanita diluar pernikahan, baik pria ataupun wanita itu sudah pernah melakukan hubungan kelamin yang sah, ataupun belum di luar perkawinan yang sah bukan karena kekeliruan.
15
C. Tindak Pidana Perzinahan dan Unsur – UnsurnyaMenurut KUHP Delik perzinahan ini diatur dalam Buku II Bab XIV KUHP, sebagaimana dalam awal pembahasan buku ini dikemukakan, bahwa tindak pidana perzinahan ini merupakan tindak pidana yang erat kaitannya dengan delik kejahatan terhadap kesusilaan. Delik perzinahan ini diatur dalam ketentuan Pasal 284 KUHP yang menyatakan : 1) Dipidana dengan pidana penjara selama – lamanya Sembilan bulan : a) Laki – laki yang beristeri sedang diketahuinya, bahwa Pasal 27 KUHPerdata belaku baginya. b) Perempuan yang bersuami yang berzina. 2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami atau istri yang terhina dan dalam hal bagi suami istri itu berlaku Pasal 27 KUHPerdata kalau dalam waktu tiga bulan sesudah pengaduan itu ia memasukkan permintaan untuk bercerai atau hal dibebaskan dari pada kewajiban berdiam serumah oleh karena hal itu juga. 3) Bagi pengaduan itu tidak berlaku Pasal 27, 72, dan 75
16
4) Pengaduan itu dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam siding pengadilan belum dimulai 5) Kalau bagi laki – istri itu berlaku pasal 27 KUHPerdata, maka pengaduan
itu
tiada
diindahkan
sebelum
perkawinan
diputuskan karena perceraian, atau sebelum keputusan yang membebaskan mereka dari pada kewajiban berdiam serumah menjadi tetap. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian dari tindak pidana perzinahan adalah hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki – laki dan seorang perempuan yang kedua – duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perzinahan Suatu perbuatan untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana perzinahan harus memenuhi unsur – unsur sebagai berikut : a. Unsur setiap orang. Setiap orang yang dimaksud yaitu, sebagai subyek atau pelaku dari tindak pidana perzinahan. b. Unsur telah melakukan, menyuruh, dan turut serta melakukan zina.
17
Perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau dengan maksud tertentu artinya perbuatan tersebut benar – benar diinginkan oleh pelaku ( ingin berbuat zina ). D. Pidana dan Pemidanaan 1. Teori Tujuan Pemidanaan Dalam menguraikan teori pemidanaan, penulis berpatokan pada Adami Chazawi (2008 : 157 – 166) yang pada garis besarnya teori pemidanaan dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan yaitu : a. Teori absolute atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien) Dasar pijakan teori ini ialah pembalasan.Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada pelaku tindak pidana.Negara berhak menjatuhkan pidana karena pelaku tindak pidana tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi.Oleh karena itu, pelaku tindak pidana harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada pelaku tindak pidana dibenarkan karena pelaku tindak pidana telah membuat penderitaan bagi orang lain. Setiap kejahatan tidak boleh
18
tidak diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat – akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatikan masa depan, baik terhadap diri pelaku tindak pidana
maupun
masyarakat.
Menjatuhkan
pidana
tidak
dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu - satunya penderitaan bagi pelaku tindak pidana. Tindakan
pembalasan
di
dalam
penjatuhan
pidana
mempunyai dua arah yaitu : 1. Ditujukan pada pelaku tindak pidananya (sudut subjektif dari pembalasan) 2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan). b. Teori relative atau Teori Tujuan (doel theorien) Teori relative atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat yaitu ;
19
1. Bersifat menakut-nakuti 2. Bersifat memperbaiki 3. Bersifat membinasakan Sementara itu, sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam yaitu : 1. Pencegahan umum (general preventive) Menurut teori pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana ditujukan agar orang - orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan.Pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan pelaku tindak pidana itu. 2. Pencegahan Khusus (speciale preventive) Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam yaitu :
20
a. Menakut - nakutinya b. Memperbaikinya, dan c.
Membuat jadi tidak berdaya
c. Teori Gabungan (vernegings theorien) Teori penggabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu : 1.Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Sedangkan,
pemikiran
mengenai
tujuan
dari
suatu
pemidanaan yang dianut orang dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari pemikiran - pemikiran para pemikir atau para penulis beberapa abad yang lalu, yang pernah
mengeluarkan
pendapat
mereka
tentang
dasar 21
pembenaran daru satu pemidanaan, baik yang telah melihat pemidanaan itu semata - mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang telah mengaitkan pemidanaan itu dengan tujuan atau dengan tujuan - tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaanya itu sendiri. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan yaitu : a) Untuk memperbaiki pribadi dari pelaku tindak pidana itu sendiri. b) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan c) Untuk membuat pelaku tindak pidana tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni pelaku tindak pidana dengan cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Simons
(Lamintang,
1984
:11)
berpendapat
bahwa
:
Praktek
pemidanaan itu berada dibawah pengaruh dari paham pembalasan atau vergeldingsidee dan paham membuat jera atau afschrikkingsdee. M. Solahuddin (2004 : 127), rancangan KUHP Nasional dalam pasal 50 ayat 1 telah menetapkan tujuan pemidanaan sebagai berikut :
22
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. b. Memasyarakatkan
terpidana
dengan
mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. c. Menyelesaikan konflik yang ditmbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan
tidak
bermaksud
untuk
menderitakan
dan
tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. 2. Jenis-jenis Pemidanaan KUHP sebagai induk atau sumber daya utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut Stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan. 1. Pidana Pokok, terdiri dari : a. Pidana mati Berdasarkan Pasal 69 KUHP maupun berdasarkan hak yang tinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup
23
bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. Kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atau jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik kekeliriuan terhadap orang atau pembuatnya/petindaknya, maupun kekeliruan terhadap tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan dan juga kekeliriuan atas kesalahan terpidana. Dalam KUHP, kejahatan- kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya juga sangat terbatas seperti : 1) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan Negara (Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3) jo, Pasal 129 KUHP)
24
2) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor - faktor pemberat, misalnya :Pasal 140 ayat (3), Pasal 340 KUHP. 3) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (Pasal 365 ayat (4), pasal 368 (2) KUHP). 4) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai ( Pasal 444 KUHP). Tentang
bagaimana
pidana
mati
dilaksanakan,
ketentuan dalam Pasal 11 KUHP (dijalankan oleh algojo di tempat tiang gantungan/digantung) telah ditiadakan, dan di ganti dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati, yang pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci dalam UU No.2 (PNPS) tahun 1964. b. Pidana Penjara Adami chazawi (2008 : 34-35), stelsel pidana penjara menurut pasal 12 ayat 1, dibedakan menjadi : 1. Pidana penjara seumur hidup; dan 2. Pidana penjara sementara waktu.
25
Pidana
penjara
seumur
hidup
diancamkan
pada
kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni : -
Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti Pasal 104, Pasal 365 ayat (4), Pasal 368 ayat (2) KUHP; dan
-
Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya pasal 106 dan pasal 108 ayat (2) KUHP.
Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi (maksimun umum) 15 tahun ( Pasal 12 ayat (2)). Pidana penjara sementara waktu (mungkin dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam pasal 12 ayat (3), yaitu sebagai berikut : -
Dalam hal kejahatan-kejahatan yang hakim boleh memilih : 1. Apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara maksimun 20 tahun ( misalnya Pasal 104 KUHP, Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat
26
(2) KUHP; atau 2. Dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu yang memang diancam dengan pidana penjara maksimun 20 tahun sebagai alternatif dari pidana penjara seumur hidup ( Pasal 106 dan Pasal 108 ayat (2) KUHP. -
Dalam hal telah terjadi : 1. Perbarengan, atau 2. Pengulangan dan, 3. Kejahatan-kejahatan yang berkaitan
dengan
pasal
52
(pada
kejahatan-
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara sementara maksimun 15 tahun, seperti Pasal 338 KUHP, Pasal 365 ayat (3) dan Pasal 140 ayat (1) KUHP. c.
Pidana Kurungan Niniek
Suparmi
(
Adami
chazawi,
2008:38)
mengemukakan : “pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan
si
terhukum
dari
pergaulan
hidup
masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang.”
27
Adami Chazawi (2008 : 38-39), dalam beberapa hal pidana kurungan adalah sama dengan pidana penjara, yaitu sebagai berikut : 1) Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak 2) Mengenal maksimun umum, maksimun khusus dan minimun umum, dan tidak mengenal minimum khusus. Maksimun umum pidana penjara 15 tahun yang
karena
alasan
-alasan
tertentu
dapat
diperpanjang menjadi maksimun 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimun 1 tahun 4 bulan. Minimun umum pidana penjara maupun pidana kurungan sama 1 hari. Sementara itu, maksimun khusus disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana tertentu sendirisendiri, yang tidak sama bagi setiap tindak pidana, bergantung dari pertimbangan berat ringannya tindak pidana yang bersangkutan. 3) Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk menjalankan (bekerja) pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan lebih ringan dari pada narapidana penjara.
28
4) Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan, yaitu harus dipisah. 5) Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan tetap) dijalankan/dieksekusi,
yaitu
pada
saat
pejabat
kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Akan tetapi, apabila pada saat putusan hakim di bacakan, terpidana kurungan maupun penjara sudah berada dalam tahanan sementara sehingga putusan itu dimulai berlaku (dijalankan) pada hari ketika putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (inkercht van gewijsdezaak). d. Pidana Denda Pidana
denda
diancamkan
pada
banyak
jenis
pelanggaran (Buku III) baik sebagai alternatif pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan
ringan
maupun
kejahatan
culpa,
pidana denda sering diancamkan sebagai alternatif dari
29
pidana kurungan.Sementara itu, bagi kejahatan - kejahatan selebihnya jarang sekali di ancam penjara maupun berdiri sendiri. Dalam praktek hukum selama ini, pidana denda jarang sekali
dijatuhkan.
Hakim
selalu
menjatuhkan
pidana
kurungan atau penjara jika pidana itu diancamkan sebagai alternatif
saja
dalam
rumusan
tindak
pidana
yang
bersangkutan, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana denda saja, yang tidak memungkinkan hakim menjatuhkan pidana lain selain denda. Hal ini dikarenakan nilai uang yang semakin lama semakin merosot, menyebabkan angka/nilai uang yang diancamkan dalam rumusan tindak pidana tidak dapat mengikuti
nilai
uang
dipasaran.Dapat
menyebabkan
ketidakadilan bila pidana denda maksimun pada petindak pelanggaran Pasal 362 KUHP pencurian sebuah mobil dengan pidana denda sembilan ratus rupiah walaupun putusan ini tidak adil. Seperti diterangkan di atas, jika denda tidak dibayar maka harus menjalani kurungan pengganti denda.Pidana kurungan pengganti denda ini dapat ditetapkan yang
30
lamanya berkisar antara satu hari sampai enam bulan. Dalam keadaan-keadaan tertentu yang memberatkan, batas waktu maksimun enam bulan ini dapat dilampaui sampai paling tinggi menjadi delapan bulan ( Pasal 30 ayat (5) dan (6) KUHP). Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda. Akan tetapi, bila kemudian ia membayar denda, ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan penggantinya. 2. Pidana Tambahan Melihat dari namanya, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan.Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan, tetapi tidaklah harus ada hal-hal tertentu dimana pidana tambahan bersifat imperatif, yaitu dalam Pasal 250 bis, Pasal 261 dan Pasal 275. Pidana tambahan disebut dalam Pasal 10 KUHP pada bagian yang terdiri dari :
31
a. Pencabutan Hak-hak Tertentu Menurut Vos (Andi hamzah, 2005 : 205), pencabutan hak-hak tertentu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal : - Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim - Tidak berlakunya selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim. Pencabutan hak-hak tertentu hanya untuk delikdelik
yang
tegas
ditentukan
oleh
undang-
undang.Kadang-kadang dimungkinkan oleh undangundang mencabut beberapa hak bersamaan dalam suatu perbuatan, misalnya Pasal 350 KUHP. Lamanya
jangka
waktu
pencabutan
hak-hak
tertentu : Pada pidana seumur hidup, lamanya adalah seumur hidup. Pada pidana penjara atau kurungan sementara lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya. Dalam pidana denda, lamanya
32
pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan ( Pasal 38 KUHP). Keistimewaan pencabutan hak berlaku tanpa eksekusi. Menurut Jonkers, pencabutan hak berlaku juga bagi terpidana mati dapat berubah karena terpidana lari dari eksekusi atau juga mungkin mendapat grasi. Hak-hak yang dapat dicabut disebut dalam Pasal 35 KUHP yaitu : -
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
-
Hak memasuki angkatan bersenjata
-
Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang di adakan berdasarkan aturan-aturan umum.
-
Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.
-
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampuan atas anak sendiri.
-
Hak menjalankan pencaharian tertentu.
33
b. Pidana Perampasan Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti
juga
halnya
dengan
pidana
denda.Pidana
perampasan telah dikenal sejak sekian lama. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu pertama barang-barang yang didapat karena kejahatan dan kedua, barang-barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.Dalam hal ini, berlaku ketentuan umum,
yaitu
haruslah
kepunyaan
terpidana.Ada
pengecualian, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 250 bis KUHP dan juga di dalam perundang-undangan di luar KUHP. Pasal 250 bis berbunyi : “pada waktu menjatuhkan pidana karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini maka dirampas : mata uang palsu, yang dipalsukan atau yang dirusakkan itu ; uang kertas Negara atau uang kertas bank yang palsu atau dipalsukan itu ; bahan-bahan atau perkakas itu, yang menurut sifatnya dipergunakan untuk meniru memalsukan atau untuk mempergunakan harga mata uang kertas bank, yang terdapat dalam kejahatan
34
itu, biarpun benda-denda tersebut bukan kepunyaan terpidana ” . Dalam
ketentuan
pasal
tersebut,
dapat
ditarik
kesimpulan bahwa dalam hak kejahatan mata uang, maka pidana perampasan menjadi imperatif, berbeda dengan yang umum yang bersifat fakultatif, lagi pula dapat dirampas walaupun bukan kepunyaan terpidana. Benda yang dirampas di eksekusi dengan jalan dilelang di muka umum oleh jaksa, kemudian harganya disetor di kas negara sesuai dengan pos hasil dinas kejaksaan. Kalau benda itu tidak disita sebelumnya, maka barang itu ditaksir dan terpidana boleh memiliki menyerahkan atau harganya berupa uang yang diserahkan ( Pasal 41 KUHP). c. Pengumuman Putusan Hakim Pasal 43 KUUHP menentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan Kitab Undang-undang ini atau aturan umum yang lain, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana.
35
Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim halnya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undangundang.Contoh ialah pasal 128 ayat (3) KUUHP (menunjuk pasal 127 KUUHP), yaitu dalam masa perang menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan angkatan laut dan angkatan darat, pasal 206 ayat (2) KUUHP menunjuk pasal 204 dan pasal 205 KUUHP, yaitu menjual dan seterusnya, atau karena kealpaannya menyerahkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa orang atau kesehatan orang.Pasal 261 KUUHP (menunjuk pasal 359-360 KUUHP, yaitu karena kealpaanya menyebabkan orang mati atau luka berat). Pasal 377 ayat (1) menunjuk pasal 372,
pasal
374
dan
pasal 375
KUUHP,
yaitu kejahatan
penggelapan, Pasal 395 ayat (1) menunjuk pasal 402 KUUHP, yaitu kejahatan curang/bedrog, Pasal 405 ayat (2) KUUHP menunjuk pasal 395-402 KUUHP, yaitu merugikan yang berpiutang atau yang berhak. Kalau kita perhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat disimpulkan, bahwa tujuan pidana tambahan ini ialah agar masyarakat
waspada
terhadap
kejahatan-kejahatan
seperti
penggelapan, perbuatan curang dan sebagainya.
36
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penyusunan skripsi ini akan didahului dengan suatu penelitian awal. Oleh karena itu penulis mengadakan penelitian awal berupa mengumpulkan data yang menunjang masalah yang diteliti.Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Makassar dan beberapa tempat yang menyediakan bahan pustaka yaitu di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
B. Jenis dan Sumber data Jenis dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer Data Primer yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang dapat memberikan informasi secara langsung di lokasi penelitian mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian ini.Data Primer diperoleh melalui penelitian lapangan yang berupa wawancara langsung kepada narasumber.
37
b. Data Sekunder Data Sekunder yaitu sejumlah keterangan atau fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library reseacrh) baik dengan teknik pengumpulan dan inventarisasi buku-buku, karya-karya ilmiah, artikel-artikel dari internet serta dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. C. Teknik Pengumpulan Data 1. Metode Penelitian : Pengumpulan data dilakukan 2 (dua) cara yakni melalui metode penelitian kepustakaan (library reseacrh) dan metode penelitian lapangan (field research) a. Metode penelitian kepustakaan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan guna mengumpulkan data dari berbagai literatur yang ada berhubungan dengan masalah yang dibahas. b. Metode Penelitian Lapangan (field research), yakni penelitian yang dilakukan melalui wawancara langsung dan terbuka dalam bentuk tanya jawab kepada narasumber berkaitan dengan permasalahan dalam tulisan ini, sehingga diperoleh data-data yang diperlukan.
38
2. Metode Pengumpulan Data : a. Wawancara (interview), yakni penulis mengadakan tanya jawab dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan masalah yang dibahas. b. Dokumentasi, yakni penulis mengambil data dengan mengamati dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang diberikan oleh pihak yang terkait dalam hal ini di Pengadilan Negeri Makassar.
D. Metode Analisis Data Data yang telah diperoleh baik data primer maupun data sekunder kemudian akan dianalisis dan diolah dengan metode kualitatif untuk menghasilkan kesimpulan. Kemudian disajikan secara deskriptif, guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian nantinya.
39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan
Hukum
Pidana
Materil
Terhadap
Tindak
Pidana
Perzinahan dalam Putusan No.1881/Pid.B/2010/PN.Mks 1. Posisi Kasus Bahwa para terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal baik bersama-sama pada hari Kamis tanggal 30 September 2010 Pukul 19.00 WITA atausekitar waktu itu setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2010, bertempat di Jalan Pampang IV Kecamatan Panakukkang Kota Makassar atau setidak-tidaknya suatu tempat yang masih didalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar seorang wanita yang telah bersuami dan seorang pria (laki-laki) yang telah beristri telah melakukan dan turut serta melakukan zina. Adapun perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut : Pada awalnya saksi iwan curiga melihat istrinya terdakwa I Ernawati alias Erna keluar rumah pada malam hari, kemudian secara diam-diam saksi iwan yang merupakan suami terdakwa I Ernawati alias Erna mengikuti terdakwa I dari belakang menuju ke rumah kosong yang jaraknya dengan rumah saksi iwan hanya 100 meter.Didalam rumah kosong tersebut telah menunggu terdakwa II Sangkala alias Rijal yang kemudian mereka langsung melakukan 40
perzinahan. Adapun perzinaan dilakukan dengan cara pertama-tama terdakwa I Ernawati alias Erna dalam posisi berdiri saling berciuman dengan cara bibir saling ketemu, kemudian terdakwa I Ernawati alias Erna membuka celana dalam dan mengangkat roknya ke atas dan pada saat itu juga terdakwa II Sangkala alias Rijal menurunkan celana dalam dan celana pendeknya kemudian memasukkan alat kelamin (penis)nya kedalam alat kelamin terdakwa I Ernawati sambil memegang pinggulnya dan menggoyangkan pantatnya maju mundur secara berulang kali. Kemudian sekitar 3 menit terdakwa I Ernawati mengganti posisi dengan cara berbaring
menghadap keatas
beralaskan sarung, kemudian terdakwa II Sangkala alias Rijal mengambil posisi berlutut diatas terdakwa I Ernawati memasukkan dan menggoyang maju mundur alat kelaminnya sehingga alat kelamin terdakwa II Sangkala alias Rijal keluar masuk kedalam alat kelamin terdakwa I Ernawati. Sekitar 5 menit kemudian terdakwa II Sangkala alias Rijal merasakan cairannya (sperma) keluar dan menumpahkan sperma tersebut kedalam alat kelamin terdakwa I Ernawati, saat itu pula disampaikan kepada terdakwa I bahwa “KELUAR MI SPERMAKU” Kemudian saksi Iwan mendekati para terdakwa secara diamdiam dengan menyalakn lampu handphone. Selanjutnya didapati terdakwa I Ernawati dan terdakwa II Sangkala alias Rijal saling 41
berhadapan dalam kondisi setengah telanjang dimana terdakwa I Ernawati alias Erna roknya terangkat naik dan celana dalamnya turun sampai lutut, sedangkan terdakwa II Sangkala alias Rijal tidak memakai celana dalam dan hanya mereka berdua. Terdakwa I Ernawati alais Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal masingmasing telah menikah dan dikaruniai masing-masing 1 orang anak. Setelah menemukan terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal dalm keadaan setengah telanjang tersebut, mereka kaget dan terdakwa I Ernawati alias Erna melarikan diri dan dikejar oleh saksi Iwan tetap tidak ditemukan.Kemudian saksi Iwan kembali ke rumah kosong tersebut dan terdakwa II Sangkala alias Rijal sudah menghilang.Akibat ada kejadian tersebut saksi Iwan marah dan melaporkan terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal ke Mapolsek Panakukkang untuk diproses lebih lanjut.
2. Dakwaan Penuntut Umum Adapun isi dakwaan penuntut umum terhadap tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal yang dibacakan pada persidangan dihadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Makassar yang pada pokoknya mengatakan sebagai berikut : 42
Bahwa para terdakwaa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal baik bersama-sama pada hari kamis tanggal 30 September 2010 pukul 19.00 WITA atau sekitar waktu itu setidaktidaknya pada waktu lain dalam bulan September 2010, bertempat di Jalan Pampang IV Kecamatan Panakukang Kota Makassar atau setidak-tidaknya suatu tempat yang masih di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar seorang wanita yang telah bersuami dan seorang pria (laki-laki) yang telah beristri telah melakukan dan turut serta melakukan zina. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka sampailah kepada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, sebagaimana diketahui bahwa terdakwa diajukan kedepan persidangan dengan dakwaan sebagai berikut : - Dakwaan Primer : Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf b jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. - Dakwaan Subsider : Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan secara berturut-turut berupa : 1. Alat
bukti
keterangan
saksi-saksi
(saksi
Iwan
dan
saksiKartini) 43
2. Alat bukti surat (berdasarka perkara ini terdapat bukti surat yaitu Berita acara pemerikasaa saksi Iwan, saksi Kartini, serta Berita Acara Pemeriksaan terdakwa Ernawati dan terdakwa
Sangkala alias Rijal yang dibuat oleh penyidik
Polsek Panakukkang yang terangkum dalam berkas perkara no pol BP/77/X/2010/Reskrim tanggal 02 Oktober 2010 serta Berita Acara Penerimaan dan Penelitian tersangka Ernawati dan Rijal (BA-15) yang dibuat dengan sebenarnya pada hari Selasa 21 Desember 2010 di hadapan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Makassar) 3. Alat
bukti petunjuk (berdasarkan fakta persidangan yang
diperoleh dari berbagai alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan terdakwa, surat dan barang bukti (1 (satu) lembar sarung bermotif bunga warna kombinasi ungu, kuning dan orange yang disita oleh kejaksaan dengan nomor register RB-2/1121/MKS/Ep/2010) telah diperoleh adanmya persesuaian satu sama lain yang kemudian membentuk petunjuk bahwa benar telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan dan terdakwa sebagai pelakunya), serta 4. Alat bukti keterangan terdakwa (Ernawati alias Erna dan Sangkala alias Rijal). 44
3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Mengenai tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal, maka penuntut umum mengajukan kepada Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan antara lain sebagai berikut : - Menyatakan terdakwa Ernawati alias Erna dan terdakwa Sangkala alias Rijal bersalah melakukan tindak pidana “Perzinahan” sebagaiman diatur dan diancam pidana dalam Pasal 284 ke 1 huruf b jo Pasal 55 ayat 1 KUHP. - Menjatuhkan pidan kepada terdakwa Ernawati alia Erna dan terdakwa Sangkala alias Rijal dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan 4 (empat) bulan. - Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) 4. Komentar Berdasarkan putusan perkara nomor 1881/Pid.B/2010/PN.Mks menyatakan bahwa terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak perzinahan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf b jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
45
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis dapat melihat penerapan hukum dalam kasus tersebut sudah tepat, karna kasus ini menggambarkan sebuah diskriminasi yang bisa dinilai positif yang menghukum seorang terdakwa sesuai dengan kapasitasnya.Kasus ini merupakan delik aduan dimana pelakunya baru dapat diproses jika pihak yang dirugikan melaporkan perbuatan tersebut ke pihak yang berwajib dalam hal ini Pihak Kepolisian Republik Indonesia. Namun hal lain yang dapat penulis kemukakan adalah betapa ringannya tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dilihat dari aspek perbuatan para terdakwa yang merugikan dan meresahkan pasangan suami atau istri dari si terdakwa sendiri, padahal inilah salah satu dasar Hakim dalam menjatuhkan putusan sebagaiman apa yang dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan menuntut pidana kurungan selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan 4 (empat) bulan. Menurut pendapat penulis hukuman ini terlalu ringan sehingga kurang memberikan efek jera kepada para terdakwa dan tidak menutup kemungkinan dikemudian hari pelaku tindak pidana yang serupa dapat mengulangi perbuatannya bahkan dapat memunculkan pelaku-pelaku tindak pidana perzinahan baru.
46
B. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku Tindak
Pidana
Perzinahan
dalam
Putusan
No.1881/Pid.B/2010/PN.Mks. Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti
dengan
pertimbangan
hukum
semata-mata,
melainkan
persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari keadilan, dan itu berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari keadilan. Penting kiranya untuk memberika pemahaman bahwa sebuah keadilan
itu
bersifat
abstrak,
tergantung
dari
sisi
mana
kita
memandangnya.Oleh karena itu dalam rangka memaksimalkan tujuan hukum maka kita tidak hanya memenuhi rasa kepastian hukum tetapi juga memenuhi rasa keadilan. Berikut ini penulis akan menguraikan mengenai pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Makassar No.1881/ Pid.B/ 2010/ PN.Mks, yaitu sebagai berikut : 1. Pertimbangan Hakim Adapun
yang
menjadi
pertimbangan-pertimbangan
hakim
terhadap tindak pidana perzinahan yang dilakukan terdakwa Ernawati alias Erna dan terdakwa Sangkala alias Rijal bersalah adalah sebagai berikut : 47
Telah mendengar pembelaan dari para terdakwa yang pada pokoknya mohon keringanan putusan dengan alasan: para terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Menimbang, bahwa para terdakwa diajukan di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan sebagaimana dalam Surat Dakwaan No. REG. PERK: PDM-1582/ Mks/ Ep/ 12/ 2010 yang melanggar Pasal sebagaimana dalam dakwaan : Primer : Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf b jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana; atau Subsider : Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Menimbang bahwa di persidangan Jaksa Penuntut Umum telah menghadapkan
1
(satu)
orang
saksi
yang
telah
didengar
keterangannya dibawah sumpah yakni: 1. Saksi Kartini, juga Jaksa Penuntut Umum telah membacakan keterangan saksi Iwan dibawah sumpah, sebagaimana termuat selengkapnya dalam Berita Acara Persidangan. Menimbang, bahwa para terdakwa membenarkan keterangan saksi tersebut.
48
Menimbang, bahwa di persidangan telah didengar keterangan para terdakwa sebagaimana termuat selengkapnya dalam Berita Acara. Menimbang, bahwa di persidangan Penuntut Umum telah mengajukan barang bukti berupa: 1 (satu) lembar sarung bermotif bunga warna kombinasi ungu, kuning dan orange. Menimbang, bahwa keterangan saksi dan keterangan para terdakwa telah saling bersesuaian sehingga melahirkan kesimpulan bahwa para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pidana “ZINA” Menimbang, bahwa karena disusun secara alternatif dan berdasrkan fakta di persidangan Majelis akan mempertimbangkan dakwaan Pertama Pasal 284 ke 1 huruf b jo Pasal 55 ayat 1 KUHP sebagaiman dalam dakwaan Penuntut Umum. Menimbang, bahwa dengan terpenuhnya Pasal Pertama tersebut diatas, maka terbuktilah menurut Hukum, oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan bersalah. Menimbang, bahwa dari fakta hukum yang terungkap dalam persidangan tidak ternyata adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan
para
terdakwa,
maka
para
terdakwa
mampu
bertanggungjawab atas perbuatannya. 49
Menimbang, bahwa para terdakwa bersalah maka harus dijatuhi pidana dan dibebani membayar biaya perkara. Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan dalam persidangan berupa: -
1 (satu) lembar sarung bermotif
bunga warna kombinasi
ungu, kuning dan orange, dirampas untuk dimusnahkan. Menimbang,
bahwa
dipertimbangkan hal-hal
sebelum yang
menjatuhkan
pidana
perlu
memberatkan dan hal-hal yang
meringankan: Hal-hal yang memberatkan : -
Perbuatan para terdakwa sangat memalukan
-
Perbuatan para terdakwa tidak mencerminkan sebagai orang tua yang baik dan memberikan contoh yang buruk kepada masyarakat dan lingkungan sekitar.
Hal-hal yang meringankan : -
Terdakwa bersikap sopan selama persidangan
-
Terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesalinya
Mengingat Pasal 284 ke-1 huruf b jo Pasal 55 ayat 1 KUHP dan ketentuan-ketentuan hukum lain yang berkenaan dengan perkara ini. 2. Amar Putusan Adapun yang menjadi amar putusan dalam perkara ini adalah sebagai berikut: 50
MENGADILI 1. Menyatakan terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal yang identitasnya seperti tersebut diatas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ZINA”. 2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. 3. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan dijalani kecuali apabila dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim karena terpidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum sebelum berakhir masa percobaan selama 4 (empat) bulan. 4. Menetapkan barang bukti beruap: 1 (satu) lembar sarung bermotif bunga warna kombinasi ungu, kuning, orange, dirampas untuk dimusnahkan. 5. Menetapkan pula terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) 3. Komentar Sebelum penulis mengomentari pertimbangan dari putusan majelis hakim diatas maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan unsur-unsur tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh para terdakwa, sebagai berikut: 1. Unsur “Barangsiapa” 51
Yang dimaksud dengan unsur barangsiapa disini adalah setiap orang sebagai subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
perbuatannya.
Dalam hal ini menunjuk kepada pelaku perbuatan yaitu terdakwa Ernawati alias Erna dan terdakwa Sangkala alias Rijal yang Identitasnya telah dibenarkan dalam surat dakwaan maupun dalam surat tuntutan ini. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap didalam persidangan, bahwa terdakwa adalah sehat jasmani dan rohani dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya serta yelah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa telah pula memberikan keterangan didepan persidangan dan keterangan saksi-saksi tersebut dan keterangan terdakwa saling berkesesuaian dan berhubungan sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan Jaksa Penuntut
Umum
kepada
diri
terdakwa
demikian
unsur
“barangsiapa” telah terpenuhi dan terbukti secara sah menurut hukum. 2. Unsur “Seorang wanita yang telah bersuami” Bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah seorang wanita yang telah dengan sah secara agama menikah dengan laki-laki yang tercatat di instansi yang ditunjuk oleh pemerintah tentunya terdakwa Ernawati dan terdakwa Sangkala alias Rijal masing52
masing telah memiliki pasangan suami atau istri bahkan masingmasing juga telah dikaruniai anak. Berdasarkan fakta di persidangan dari keterangan saksi-saksi, surat serta bersesuaian pula dengan keterangan terdakwa : bahwa benar kedua terdakwa yaitu terdakwa Sangkala alias Rijal dan terdakwa Ernawati masing-masing telah menikah dan dikaruniai anak. Dengan demikian unsur “seorang wanita yang telah bersuami telah terpenuhi”. 3. Unsur “Telah melakukan, menyuruh dan turut sertamelakukan Zinah” Unsur ini bersifat alternatif atau pilihan untuk dibuktikan yang artinya tidak perlu semua unsur yang termuat dibuktikan seluruhnya akan tetapi cukup salah satu unsur yang masuk kedalam perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa yakni melakukan Zinah. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan saksi-saksi masing-masing dibawah sumpah, serta bersesuaian dengan keterangan terdakwa yaitu : bahwa benar pada hari Kamis tanggal 30 September 2010 Pukul 19.00 WITA atau sekitar waktu itu setidak-tidaknya pada waktu lain dalam dalam bulan September 2010, awalnya saksi Iwan curiga melihat istrinya terdakwa I Ernawati alias Erna keluar rumah pada malam hari, kemudian secara diam-diam saksi Iwan yang 53
merupakan suami terdakwa I dari belakang menuju ke rumah kosong yang jaraknya dengan rumah saksi Iwan hanya 100 meter, didalam rumah kosong tersebut telah menunggu terdakwa II Sangkala alias Rijal yang kemudian mereka langsung melakukan perzinahan. Adapun
perzinahan
dilakukan
dengan
cara
pertama-tama
terdakwa I Ernawati alias Erna dalam posisi berdiri saling berciuman dengan cara bibir saling ketemu, kemudian terdakwa I Ernawati alias Erna membuka celana dalam dan mengangkat roknya ke atas dan pada saat itu juga terdakwa II Sangkala alias Rijal menurunkan celana dalam dan celana pendeknya kemudian memasukkan alat kelamin (penis)nya kedalam alat kelamin terdakwa
I
Ernawati
sambil
memegang
pinggulnya
dan
menggoyangkan pantatnya maju mundur secara berulang kembali. Kemudian sekitar 3 menit terdakwa I Ernawati mengganti posisi dengan cara berbaring menghadap keatas beralaskan sarung kemudian terdakwa II Sangkala alias Rijal mengambil posisi berlutut
diatas
terdakwa
II
Ernawati,
memasukkan
dan
menggoyang maju mundur alat kelaminnya sehingga alat kelamin terdakwa II Sangkala alias Rijal merasakan cairannya (sperma) keluar dan menumpahkan sperma tersebut kedalam alat kelamin terdakwa I Ernawati, saat itu pula disampaikan kepada terdakwa 54
Ibahwa “keluarmi spermaku” dan pada saat itu pula terdakwa Ernawati mengetahui telah ditangkap basah oleh suaminya saksi Iwan. Dengan demikian unsure ini telah terpenuhi dn terbukti secara sah menurut hukum. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan harusmencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan
pertimbangan
yuridisnya
tetapi
terdapat
juga
pertimbangan sosiologisnya. Berdasarkan
Putusan
Nomor
1881/Pid.B/2010/PN.Mks,
Menyatakan bahwa terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak perzinahan. Maka terdakwa dijatuhi
hukuman
pidana kurungan selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan 4 (empat)
bulan.
Dengan
demikian
perbuatan
terdakwa
adalah
perbuatan yang melawan hukum dan tidak terdapat alasan pembenar, terdakwa
juga
adalah
orang
yang
menurut
hukum
mampu
bertanggung jawab dan dia melakukan perbuatan dengan sengaja serta rtidak ada alasan pemaaf. Namun penulis tidak sependapat dengan putusan hakim yang menghukum terdakwa begitu ringan, jika dilihat dari perspektif orang yang dirugikan (suami atau istri dari si pelaku), maka hukuman pidana kurungan selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan 4 (empat) bulan sangatlah ringan dan tidak 55
akan menutup kemungkinan pelaku dapat mengulangi perbuatannya, bahkan bisa saja pelaku-pelaku zinah baru dapat bermunculan akibat hukuman yang dirasakan tidak sesuai (sangat ringan) dengan perbuatan pelaku. 4. Analisis Hukum Perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan dimana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Agar bisa dijerat dengan pasal ini, perzinahan tersebut dilakukan dengan suka sama suka.Tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Dalam pasal ini dibedakan antara mereka yang tunduk pada Pasal 27 BW (orang Eropa dan yang dipersamakan) dengan mereka yang tidak tunduk (orang yang beragama Islam).Pasal 27 BW mengatakan, seorang laki-laki hanya boleh menikah bersama seorang perempuan atau sebaliknya. Mereka yang tunduk pada pasal ini tidak boleh berzina dengan orang lain. Kalau melakukan, berarti dapat dipidana. Ancaman hukuman dalam Pasal 284 KUHP adalah Sembilan bulan penjara. Jika seseorang dihukum lima bulan, berarti hakim melihat ada unsur yang membuat pelaku tidak perlu dihukum maksimal. Dengan hukuman seberapa pun, jaksa atau terhukum berhak mengajukan banding. Tidak ada jaminan bahwa apabila terdakwa divonis bebas, jaksa tidak akan banding. Kalau sudah masuk 56
proses
hokum
di
pengadilan,
tentu
saja
semua
hak
dapat
dimanfaatkan oleh para pihak. Kelak, bila hakim banding menjatuhkan putusan maksimal, anda pun berhak mengajukan kasasi. Bukan berarti kasus zinah yang diatur Pasal 284 KUHP harus bergulir sepenuhnya ke meja hijau.Tindak pidana yang diatur pasal ini adalah delik aduan absolut.Artinya, pelaku tidak dapat dituntut apabila tidak
ada
pengaduan
dari
pihak
suami
atau
isteri
yang
dirugikan.Meskipun demikian, pengaduan dimaksud tetap adapat dicabut
asalkan
selama
perkara
ini
belum
diperiksa
dimuka
pengadilan. Dengan kata lain, karena perkaranya sudah dilimpahkan jaksa ke pengadilan, maka pencabutan pengaduan oleh orang yang merasa dirugikan (suami atau isteri pelaku) tidak bisa mempengaruhi perkara. Mungkin saja, hakim menjadikan pencabutan aduan itu sebagai unsur yang meringankan. Sifat lain yang perlu dicatat dari Pasal 284 KUHP adalah perkara tidak boleh dibelah. Maksudnya, apabila A (suami) mengadukan B (isteri) telah berzina dengan pria lain (C), maka A tidak boleh hanya mengadukan C dengan alasan masih saying kepada isterinya. Pelaku perzinahan, dalam kasus ini B dan C, harus sama-sama diproses hukum.Bahwa kemudian jaksa tidak menuntut B ke muka persidangan, itu merupakan hak oportunitas jaksa untuk mengesampingkan perkara.
57
Seorang
laki-laki
atau
perempuan
dikatakan
melakukan
kejahatan zinah, apabila memenuhi tiga syarat, yaitu : 1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan isterinya; 2. Bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW 3. Salah satu pelaku atau kedua-duanya sedang berada dalam perkawinan.
Apabila pada laki-laki atau perempuan yang melakukan zinah itu tidak berlaku Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) sedangkan
perempuan
atau
laki-laki
yang
menjadi
kawannya
melakukan zinah itu tunduk pada Pasal 27 BW, dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang berzinah itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah melakukan kejahatan zinah, akan tetapi telah turut serta melakukan zinah, yang dibebani tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zinah itu sendiri. Turut serta melakukan zinah ini, dilihat dari pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai pembuat peserta (mede pleger). Jadi untuk berkualitas turut serta dalam berzinah, diperlukan empat syarat, yaitu : 1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau bukan suaminya atau bukan isterinya. Orang ini tidak harus telah menikah; 58
2. Dirinya tidak tunduk pada Pasal 27 BW; 3. Temannya yang melakukan persetubuhan itu tunduk pada Pasal 27 BW; 4. Diketahuinya (unsure kesalahan: kesengajaan) bahwa : a. Temannya melakukan persetubuhan itu telah bersuami atau beristeri, dan b. Pasal 27 BW berlaku bagi temannya bersetubuh itu. Sementara itu, apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak tunduk pada Pasal 27 BW, kedua-duanya, baik laki-lakinya maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zinah, dengan demikian
juga
pesertanya.
tidak
Begitu
ada juga
yang apabila
berkualitas baik
sebagai
pembuat
laki-lakinya
maupun
perempuannya tidak sedang terikat perkawinan, artinya tidak sedang beristri atau tidak sedang bersuami walaupun dirinya tunduk pada Pasal 27 BW maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak melakukan zinah maupun turut serta melakukan zinah. Pasal 27 BW adalah mengenai asas monogamy, dimana dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh dengan satu isteri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami.Apa yang dimaksud dengan bersetubuh atau persetubuhan, Hoge Read dalam pertimbangan hukum suatu arrestnya (5-2-1912) menyatakan 59
bahwa “persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki masuk
kedalam
alat
kelamin
perempuan
yang
kemudian
mengeluarkan air mani” (R. Soesilo, 1980:181). Sampai kini pengertian bersetubuh seperti itu tetap dipertahankan dalam praktik hukum. Apabila alat penis tidak sampai masuk kedalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi persetubuhan. Namun, telah terjadi percobaan persetubuhan, dan menurut ketentuan Pasal 53 telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan berzinah. Pengertian zinah menurut pasal 284 yang disyaratkan harus laki-laki atau perempuan yang sedang kawin tersebut di atas, berlatar belakang pada pemikiran orang-orang Belanda bahwa zina itu sebagai pengingkaran perkawinan, yang berbeda menurut hukum adat yang berlatar
belakang
pada
penodaan
nilai-nilai
kesucian
pada
persetubuhan. Menurut hukum adat didalam persetubuhan itu terkandung nilai-nilai kesucian.Oleh karena itu, untuk melakukannya diperlukan
syarat,
yaitu
perkawinan.Apabila
dilakukan
diluar
perkawinan, dia berdosa dan telah melanggar nilai kesucian itu, dia telah berzinah, oleh sebab itu si pembuatnya harus dihukum. Berdasarkan yang telah diterangkan mengenai zinah tersebut diatas, nyatalah pembentuk undang-undang telah mengadakan 60
diskriminasi antara orang yang tunduk pada BW. Orang-orang Eropa dan orang Cina dengan orang-orang lainnya terutama penduduk asli Indonesia, yang pada umumnya orang-orang beragama islam yang tidak tunduk pada asas monogami. Oleh karena itu, penduduk asli Indonesia atau lainnya yang beragama islam, tidak dapat dipidana melakukan zinah, tetapi hanya dapat dipidana karena turut serta melakukan zinah dalam hal kawannya bersetubuh itu telah bersuami dan Pasal 27 BW berlaku baginya. Pengertian zinah dengan syarat-syarat tersebut di atas telah diberikan isi tafsiran yang lain oleh Mahkamah Agung melalui : 1. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 tahun 1980 tanggal 31 Desember 1980, yang pada dasarnya berisi hal sebagai berikut : a. Seorang suami yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW yang tidak ada izin beristri lebih dan seorang (menurut Pasal 3, jo 4, dan 5 UU NO. 1 Tahun 1974) berlaku pula asas monogami seperti yang terdapat pada Pasal 27 BW; b. Pasal 284 ayat (1) huruf a KUHP berlaku pula terhadap para suami yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW dan tidak ada izin dari Pengadilan Agama untuk beristri lebih dari seorang, yang melakukan perzinahan sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan;
61
c. Oleh karena itu, seorang suami yang berzinah baik hal tersebut dilakukan dengan seorang perempuan yang telah maupun yang tidak kawin, melakukan perzinahan ini sebagai pembuat (dader); 2. Bahkan ada putusan Mahkamah Agung yang telah sedemikian jauh menafsirkan pengertian zinah sehingga zinah menuruthukum adat pun dapat dipidana, sebagaiman dalam pertimbangan hukum putusannya Nomor 93 K/Kr/1976 tanggal 19 Nopember 1977, yang menyatakan sebagai berikut. Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap
sebagai
bandingannya
dalam
perbuatan KUHP.
pidana Delik
adat
yang
mempunyai
zinah
merupakan
perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tindak perbuatan tersebut dilakukan seperti disyaratkan oleh Pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksud oleh Pasal 284 KUHP (http://dhia-analisishukum-mengenai-tindak-pidana-perzinahan.html).
Dalam praktik pengadilan yang sekarang, SEMA tersebut di atas telah diturut oleh pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia.Kejahatan zinah merupakan tindak pidana aduan absolute, artinya dalam segala 62
kejadian perzinahan itu diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya si pembuat atau pembuat pesertanya dilakukan penuntutan.Mengingat kejahatan zinah adalah tindak pidana yang untuk terwujudnya diperlukan dua orang, disebut dengan penyertaan mutlak, yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain (onsplitsbaarheid), walaupun si pengadu mengadukan satu orang saja di antara dua manusia yang telah berzinah itu, tidak menyebabkan untuk tidak dilakukannya penuntutan terhadap orang yang tidak diadukan oleh si pengadu.Akan tetapi, Jaksa Penuntut Umum, tidak menjadikan hapus haknya untuk tidak melakukan penuntut terhadap orang yang tidak diadukan berdasarkan asas opportunitas. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukum putusannya No. 52 K/Kr/1953 tanggal 19 Maret 1955, yang menyatakan bahwa “suatu pengaduan perihal kejahatan perzinahan (operspel), yang oleh suami hanya diajukan terhadap si lelaki yang tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid) dan pengaduan itu (pendapat Jaksa Agung). Pengaduan semacam itu berarti pengaduan juga terhadap istri yang melakukan perzinahan, tetapi Penuntut Umum leluasa untuk tidak menuntut si istri itu berdasarkan asas opportuniteit”(http://dhia-analisis-hukum-mengenai-tindak-pidanaperzinahan.html). Pengaduan yang dimaksud dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan, bagi yang tunduk pada BW diikuti dengan permintaan 63
bercerai atau pisah meja dan tempat tidur.Akan tetapi, bagi yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW syarat yang disebutkan terakhir tidak diperlukan.Dalm hal ini pengaduan semacam ini, Pasal 72, 73 dan 75 tidak berlaku.Pasal 72 mengenai pengadu yang belum dewasa yang umurnya
belum
genap
enam
belas
tahun
atau
dibawah
pengampuan.Pasal 73 tentang korban yang berhak mengadu meninggal dunia.Pasal 75 tentang hak menarik pengaduan dalam waktu tiga bulan.Pengaduan dapat ditarik sewaktu-waktu sebelum dimulainya pemeriksaan di siding pengadilan. Dalam praktik, pada siding pertama hakim terlebih dulu menanyakan pada saksi pengadu apakah dia tetap akan meneruskan pengaduannya, ataukah akan menariknya. Apabila dalam siding itu si pengadu menyatakan dia menarik pengaduannya, maka hakim tidak melanjutkan dan menghentikan pemeriksaan.Apabila dalam sidang pertama itu pengadu tidak menariknya, untuk seterusnya dia tidak dapat lagi menarik pengaduan itu.
64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis menyimpulkan beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Penerapan sanksi pidana oleh Hakim terhadap pelaku tindak pidana
perzinahan
dalam
putusan
perkara
Nomor
:
1881/Pid.B/2010/PN.Mks dalam Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf b jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sudah menjelaskan unsur tindak pidana perzinahan dan sanksi yang diberikan meski terlalu ringan yaitu kurungan 2 (dua) bulan dengan masa percobaan 4 (empat) bulan akan tetapi sudah sesuai dengan pidana materil mengingat system pemidanaan dalam KUHP menggunakan pidana maksimal. 2. Pertimbangan hukum oleh hakim adalah menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh terdakwa I Ernawati alias Erna dan terdakwa II Sangkala alias Rijal dalam perkara putusan Nomor: 1881/Pid.B/2010/PN.Mks dalam pertimbangan hukum oleh hakim lebih mengutamakan perbaikan diri terhadap terdakwa ini terlihat dalam pemberian hukuman berdasarkan Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf b jo
65
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, seharusnya mendapat hukuman yang sesuai yang diatur dalam Pasal tersebut tetapi karena berbagai pertimbangan hakim untuk memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. B. Saran Berdasarkan
dari
kesimpulan
tersebut,
maka
penulis
menyarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih meningkatkan rasa kasih saying, perhatian dan peduli terhadap pasangannya sehingga meminimalisir tindak pidana perzinahan yang akan terjadi. 2. Diharapkan para hakim dalam menjatuhkan putusan perlu mempertimbangkan selain faktor sosiologis juga harus mempertimbangkan efek jera dari si pelaku tindak pidana agar putusan tersebut kedepannya dapat lebih obyektif dan pelaku tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
66
DAFTAR PUSTAKA Djubaedah, Neng. 2010. Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam. Kencana. Jakarta. Mljana, Slamet. 1967. Undang-Undang Majapahit. Bhratara. Jakarta. Soesilo, R. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.Bogor. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta. Shihab, M. Quraish. 2008. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qu’ran. Lentera Hati. Jakarta. Ilahi, Fadhel. 2001. Zina. Qisthi Press. Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta Audah, Abdul Qadi. 2007. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam.Kharisma Ilmu. Bandung.
67
Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sumber-Sumber Lain www.google.com www.wikipedia.com (http://dhia-analisis-hukum-mengenai-tindak-pidana-perzinahan.html).
68
LAMPIRAN
69