DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
BISMILLAHIRRAHMANIRROHIM
STIT Muhammadiyah Kendal
i
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam
DIDAKTIKA ISLAMIKA ISSN: 2086 – 9797 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Kendal
Terbit 2 Kali dalam 1 Tahun
Vol. 3 No. 1 – Pebruari 2014
Penanggung Jawab: Ketua STIT Muhammadiyah Kendal (Prof. Dr. H. Muh. Dailamy SP) Pemimpin Redaksi: A. Ikhsan Intizam, Lc, M.Ag Sekretaris Redaksi: Mochammad Marjuki, S.Pd. I., M.Ag Anggota Redaksi: Drs. Nadhiroh, M.Pd Muhamad Nur, S.Ag., MSI Abdul Malik,S.Pd.I Sulis Mardiyanto, S.Pd.I Imam Santoso Zaenal Arifin Abdul Muslim Rais, S.Pd.I Nur Azizun Alamat Redaksi: Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Kendal Jl. Ar Rahman No. 18 Weleri Kendal Telp. (0294) ........ Jurnal DIDAKTIKA ISLAMIKA diterbitkan sebagai media komunikasi ilmiah dalam lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Kendal. Dewan Redaksi menerima sumbangan naskah dari berbagai pihak yang berkaitan dengan Ilmu Pendidikan Islam (tarbiyah) dan Kajian Keislaman. Tulisan diketik rapi sepanjang 10-20 halaman kwarto (A4) 1,5 spasi yang mengacu kepada standard penulisan ilmiah disertai dengan footnote, daftar pustaka, abstrak (maks. 250 kata), kata pengantar, judul, nama penulis, dan instansi penulis. Naskah dikirim dalam bentuk softcopy (file) dengan format Ms. Word versi Rich Text Format (rtf).
STIT Muhammadiyah Kendal
ii
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan petunjuk-Nya kami dapat menghadirkan Jurnal DIDAKTIKA ISLAMIKA untuk edisi pertama bulan juni 2009 ke hadapan pembaca yang budiman. Pada edisi ini kami mengangkat tema tentang pendidikan dan Keislaman dalam berbagai pandangan yang dikupas secara mendalam dan kontekstual. Pada tulisan ini kami tampilkan paparan dari Ira Puspita Jati yang berjudul: Telaah Konsep Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pandangan Islam. Judul itu mengkaji tentang konsep praktis pendidikan karakter di sekolah. Perbincangan pendidikan karakter saat ini hangat diperbincangkan, karena Indonesia tengah menyiapkan format system pendidikan yang berkualitas. Hasil pendidikan tidak saja memperoleh ilmu pengetahuan, lebih dari itu pendidikan bias menciptakan SDM yang memiliki karakter “baik”. Harapan itu menjadi cita-cita ditengah keterpurukan karakter bangsa Indonesia yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Banyak para pejabat yang justru menyelewengkan amanah jabatannya demi memperoleh keuntungan pribadi. Pada tulisan kedua dipaparkan oleh H. Muh. Dailamy. Beliau menampilkan kajian tentang Konsep Akhlak; Dalam Pandangan Al-Ghazali. Pada kajian ini disampaikan bahwa pandangan tentang akhlak terus diperbincangkan, mengingat memiliki keterkaitan dengan perkembangan dinamika masyarakat yang mengalami pasang surut. Dengan mempertimbangkan situasi kekinian, beliau mendasarkan pandangan dari tokoh besar pemikir Islam yaitu Al Ghazali. Hal itu diperlukan sebagai “hujjah” terhadap nilai-nilai akhlak yang terus mengalami dinamikanya ditengah perkembangan masyarakat modern. Ketiga kajian disampaikan oleh Abdul Malik. Beliau menyampaikan tema tentang Politik Pendidikan Terhadap Pendidikan Islam Di Indonesia. Pada kajian ini, penulis menyampaikan bahwa perkembangan sistem pendidikan di Indonesia selalu bersentuhan dengan perkembangan politik. Hal itu menjadikan “wajah” sistem pendidikan Indonesia terus mengalami orientasi. Sistem pendidikan yang dijalankan tergantung dari STIT Muhammadiyah Kendal
iii
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
harapan penguasa sendiri. Maka pada perkembangannya, system pendidikan di Indonesia terus mengalami perbedaan. Keempat, redaksi menampilkan tulisan tentang Kajian Analisis Tentang Kadar Zakat Profesi, yang disampaikan oleh H. Ikhsan Intizam. Dalam tulisan itu beliau menerangkan bahwa zakat profesi merupakan anjuran yang perlu diperhatikan. Pandangan ini didasarkan pada beberapa dalil tentang pentingnya zakat profesi. Zakat profesi dilakukan sebagai bentuk rasa syukur seorang hamba kepada Allah Swt atas kekayaannya yang diperoleh. Kelima, redaksi menampilkan paparan yang disampaikan oleh Utomo. Beliau menyampaikan tentang Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi. Dalam paparannya dijelaskan bahwa Profil K.H. Imam Zarkasyi bisa dibilang luar biasa. Walaupun berasal dari keturunan ningrat atau priyayi, sejak usia 8 tahun Gus Zarkasyi kecil sudah kehilangan ayah. Dua tahun kemudian, dia juga ditinggal ibunda tercintanya yang berpulang ke rahmatullah. Kondisi ini memukul perasaan Gus Zarkasyi, tetapi Gus Zarkasyi tetap tabah menghadapi kenyataan tersebut. Gus Zarkasyi tetap tekun menimba ilmu. Dia tidak hanya menimba ilmu keagamaan di pondok pesantren, melainkan juga di sekolah-sekolah umum. Gagasan dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi di dunia pendidikan juga tak kalah hebatnya. Moderninasi pesantren yang di-launching K.H. Imam Zarkasyi sangat luar biasa untuk ukuran zamannya. Ditengah-tengah masyarakat yang menolak segala sesuatu yang berbau Barat, K.H. Imam Zarkasyi malah melawan arus dengan menampilkan corak pendidikan pesantren yang jauh berbeda dengan trend yang berkembang ketika itu. Selain dari aspek kurikulum, metode, dan manajemennya. Keenam pemaparan disampaikan oleh Mochammad Marjuki. Paparan tentang Menuntut Ilmu Sebagai Transformasi Perubahan Paradigma (Studi Matan Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572). Secara mendasar menyampaikan bahwa Dalam kajian Hadis, kita telah paham bahwa setiap hadis memuat dua bagian: isnad (mata rantai para perawi) dan matn (teks atau lafadz hadis). Kedua bagian ini sama pentingnya bagi para ahli hadis. Matn merupakan rekaman perkataan atau perbuatan Nabi saw yang membentuk landasan ritual atau hukum Islam. Sementara isnad menunjukkan kebenaran adanya matn. Menurut Muhammad Zubayr Siddiqi pengertian tersebut mengandung pengertian bahwa para ahli hadis kemudian mencari dan menempatkan hadis-hadis dengan isnad yang satu dan sama tetapi menggunakan beberapa STIT Muhammadiyah Kendal
iv
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
teks yang berbeda, juga hadis-hadis dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad yang berbeda. Pada konteks kajian ini akan dikaitkan dengan pendidikan. Pendidikan (baca: “Thallab al ilm”, menuntut ilmu) sangat penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa pendidikan seorang anak manusia tidak akan menjadi pribadi yang berkembang. Selain itu menuntut ilmu dianggap sebagai sebuah titik tolak (turning point) yang sedahsyat dalam menumbuhkan kesadaran sikap. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengeksplorasi sebuah hadits tentang keutamaan menuntut ilmu yang terdapat pada kitab sunan at Tirmidzi terutama hadits nomor 2572. Ketujuh tulisan disampaikan oleh Sri Setiati yang memaparkan tema tentang Gobalisasi; “Perang Peradaban” atau “Perdamaian Dunia”. Pada paparan ini menjelaskan Globalisasi diartikan sebagai proses internasionalisasi produk, mobilisasi yang semakin membengkak dari modal dan masyarakat internasional, penggandaan dan intensifikasi ketergantungan ekonomi. Sementara dalam perspektif politikideologi, globalisasi dirumuskan sebagai liberasi perdagangan dan investasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Dari kacamata teknologi, globalisasi berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi dan informasi.Terlepas dari perbedaan perspektif dalam mendefinisikan globalisasi, yang jelas ia sangat berpengaruh terhadap hidup dan kehidupan masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati dengan munculnya globalisasi ini adalah kemungkinan munculnya benturan peradaban antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia lainnya, baik yang berakar dari budaya, teknologi, ideologi, maupun agama. Atau sebaliknya, globalisasi malah melahirkan perdamaian dunia seiring dengan gencarnya wacana demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan belakangan ini, multikultura-lisme. Kedelapan redaksi menyampaikan paparan dari Muhammad Nur yang berjudul tentang Kajian Jaringan Islam Liberal di Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa Liberal mengandung konotatif negatif bagi sebagian umat Islam, karena diposisikan dengan dominasi asing dengan politik kolonialisme yang sangat membuat menderita umat manusia khususnya umat Islam. Sementara bila dikaji lebih dalam, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis terhadap, keaneragaman idiologi dalam konsep itu secara mendalam. Salahnya analisis terhadap Islam liberal umumnya dihubungkan dengan liberalisme Barat, akan tetapi sejak kajian Islam liberal hanya terbatas pada dimensi keislaman keagamaan dengan liberalisme Barat. Sebagai wacana perkembangan Islam liberal di Indonesia, dapat ditarik signifikasinya dalam STIT Muhammadiyah Kendal
v
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
mengembangkan pemikiran yang produktif, kreatif dan konserfatif di kalangan masyarakat Islam. Secara jujur kita akui bahwa meski sebagai kelompok mayoritas, semangat Islam di Indonesia masih kelihatan gugup dan gamang dalam mengaitkan dokrin agama dengan persoalan publik seperti dalam merespon persoalan politik dan dalam isu tentang kesetaraan gender. Kesembilan redaksi menyampaikan tulisan tentang Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern, yang disampaikan oleh Masudah. Secara singkat beliau menyelaskan bahwa semakin berkualitas pendidikan yang diperoleh tentu dengan sendirinya akan semakin tegar dan berkualitas juga gagasannya dalam menjawab kebutuhan zaman. Untuk itu pendidikan merupakan cara strategis dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspeknya. Dalam sejarah umat manusia hampir semua umat manusia yang menggunakan pendidikan sebagai proses pemberdayaannya.Untuk itu dalam merealisasikan keinginan tersebut, maka lembaga pendidikan sampai saat ini masih dipandang sebagai tempat yang cukup kondusif guna dijadikan sebagai institusi yang sangat potensial dan strategis dalam memproduk, menciptakan, dan mengembangkan SDM yang berkualitas tinggi. Penguasaan di bidang Ilmu pengetahuan dan tehnologi juga disertai dengan penguasaan Iman dan taqwa (IMTAQ) sebagai basic dasar dari proses pendidikannya, sehingga diharapkan output pendidikan tidak saja berintelektual tinggi yang kropos dengan nilai-nilai fitrah kemanusiaannya, tetapi output pendidikan juga memiliki komitmen tanggung jawab terhadap baik terhadap diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan.. Kajian kesepuluh menampilkan kajian tentang Konsep Pengetahuan Dalam Islam, yang disampaikan oleh Nadhiroh. Beliau memaparkan bahwa Termenologi ilmu, berasal dari bahasa Arab yakni dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang memiliki arti ketidaktahuan atau kebodohan, kata ilmu biasanya disepadankan dengan kata Arab lainnya , yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Kata ma’rifah adalah padanan kata ilm yang sering digunakan. Dalam konsep Islam yang berlandaskan Al Qur’an, merupakan upaya menterjemahkan “ilmu” sebagai “pengetahuan” yang lebih luas, karena hal ini memiliki konsep yang luhur dan dan multidimensional. Ilmu memang mengandung unsur-unsur dari apa yang dipahami sekarang ini sebagai pengetahuan. Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut adalah STIT Muhammadiyah Kendal
vi
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pertama ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka taukhid atau teologi, kedua ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, ketiga orientasi pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya juga harus dimulai dengan suatu pemahaman yang mendasar tentang konsepsi ilmu itu sendiri, keempat ilmu pengetahuan dalam Islam harus dikembangkan secara integral. Akhirnya, semua kru redaksi menyampaikan selamat menyimak dan membaca karya-karya yang telah dihimpun dalam jurnal DIDAKTIKA ISLAMIKA STIT Muhammadiyah Kendal. Semoga himpunan karya ini bisa memberikan manfaat dan membuka cakrawala pengetahuan kita semua. Amin.
STIT Muhammadiyah Kendal
vii
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
DAFTAR ISI TELAAH KONSEP IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PANDANGAN ISLAM Oleh: Ira Puspita Jati ………………........................................................... 1 KONSEP AKHLAK; DALAM PANDANGAN AL-GHAZALI Oleh : H. Muh. Dailamy….…………………………………………………
17
POLITIK PENDIDIKAN TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Oleh : Abdul Malik ........................................................................................ 30 KAJIAN ANALISIS TENTANG KADAR ZAKAT PROFESI Oleh : Ikhsan Intizam ………………………………………………………. PE M I K I R A N PE N D I DI K A N K. H. I M A M Z A R K AS Y I Oleh : Utomo ……………..……………………………………………….....
41
52
MENUNTUT ILMU SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN PARADIGMA (Studi Matan Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572) Oleh : Mochammad Marjuki ............................................................................ 73 GLOBALISASI: “PERANG PERADABAN” ATAU “PERDAMAIAN DUNIA” Oleh : Sri Setiati ………..……………………………………………………… 97 KAJIAN JARINGAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA Oleh Muhammad Nur ………………………………………………………..
116
MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MODERN Oleh: Masudah ………………….……………………………………………..
124
KONSEP PENGETAHUAN DALAM ISLAM Oleh: Nadhiroh .……………………..………………………………………..
140
STIT Muhammadiyah Kendal
viii
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
TELAAH KONSEP IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PANDANGAN ISLAM Oleh: Ira Puspita Jati
Abstrak: Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakannya dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, serta digunakan sebagai moral dalam hidupnya. Dalam Islam, perilaku seseorang tidak terpisahkan dengan nilai etis. Perilaku itu terbangun dari akhlakul karimah. Pendidikan akhlak adalah proses pembinaan karakter anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlak karimah). Proses tersebut tidak lepas dari proses. pembinaan kehidupan beragama peserta didik secara totalitas. Pendidikan karakter berisi materi tentang pengembangan potensi individu (anak) yang mampu diterapkan ke dalam pembiasaan peserta didik. Materi pendidikan karakter itu ada 11 (sebelas) macam, yaitu: takwa, jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, orientasi pada keunggulan, gotong royong, menghargai, dan rela berkorban.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, moral, dan Pengetahuan Islam.
A. Pendahuluan Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut yaitu asli dan mengakar pada
Penulis adalah Guru DPK MTs. Qosim Al Hadi dilingkungan Kemenag Kota Semarang.
Ira Puspita Jati
1
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Thoib, 2008:5). Dalam teori kepribadian, karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, tabiat, watak, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Sehingga karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Kuswara, 1991:29). Secara harfiah karakter bermakna “kualitas mental atau moral, kekuatan moral” (Budiningsih, 2008:19). Menurut Kamisa (Budiningsih, 2008:25), berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Karakter akan memungkinkan individu untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan, karena karakter memberikan konsistensi, integritas, dan energi. Orang yang memiliki karakter yang kuat, akan memiliki momentum untuk mencapai tujuan. Begitu sebaliknya, mereka yang karakternya lemah, akan lebih lambat untuk bergerak dan tidak bisa menarik orang lain untuk bekerjasama dengannya. Dari beberapa pengertian itu dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakannya dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, serta digunakan sebagai moral dalam hidupnya. Dalam Islam, perilaku seseorang tidak terpisahkan dengan nilai etis. Perilaku itu terbangun dari akhlakul karimah. Pendidikan Pendidikan Karakter dalam Islam
2
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
akhlak adalah proses pembinaan karakter anak sehingga menjadi budi pekerti yang mulia (akhlak karimah). Proses tersebut tidak lepas dari proses pembinaan kehidupan beragama peserta didik secara totalitas. Sebagai contoh perilaku jujur dalam kehidupan. Sikap kejujuran dalam kehidupan perlu dibiasakan sejak dini sebagai bagian dari akhlak terpuji. sebagaimana dikemukakan Rasulullah saw dalam Shahih Muslim Vol. II, dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu mengenai keutamaan sikap jujur:
ﺼ ﺪْ َق ﯾَ ْﮭ ﺪِى إِﻟَﻰ ا ْﻟ ﺒ ِ ِّﺮ وَ إِ ﱠن اﻟْ ﺒِﺮﱠ ّ ِ ق ﻓَﺈ ِ ﱠن اﻟ ِ ْﺼ ﺪ ّ ِ ﻋَ ﻠَﯿْ ﻜُ ْﻢ ﺑِﺎﻟ ق وَ ﯾَﺘ َ َﺤ ﺮﱠ ى ُ ُﺼﺪ ْ َﯾَ ْﮭ ﺪِى إِﻟَﻰ اﻟْ َﺠ ﻨﱠ ِﺔ وَ ﻣَﺎ ﯾَﺰَ ا ُل اﻟﺮﱠ ُﺟ ُﻞ ﯾ ﺻ ﺪِّﯾﻘًﺎ وَ إِﯾﱠﺎﻛُ ْﻢ وَ اﻟْ ﻜَ ﺬِبَ ﻓَﺈ ِ ﱠن ِ ِ ﺼ ﺪْقَ َﺣ ﺘ ﱠﻰ ﯾ ُ ْﻜ ﺘ َﺐَ ِﻋ ﻨْ ﺪ َ ا ﱠ ّ ِ اﻟ اﻟْ ﻜَ ﺬِبَ ﯾَ ْﮭ ﺪِى إِﻟَﻰ اﻟْ ﻔ ُﺠُﻮرِ وَ إِ ﱠن اﻟْ ﻔ ُﺠُﻮرَ ﯾَ ْﮭ ﺪِى إِﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺎرِ وَ ﻣَﺎ ِ ﯾَﺰَ ا ُل اﻟﺮﱠ ُﺟ ُﻞ ﯾَ ْﻜ ﺬِبُ وَ ﯾَﺘ َ َﺤ ﺮﱠ ى اﻟْ ﻜَ ﺬِبَ َﺣ ﺘ ﱠﻰ ﯾ ُ ْﻜ ﺘ َﺐَ ِﻋ ﻨْ ﺪ َ ا ﱠ (ﻛَ ﺬ ﱠاﺑًﺎ )ﻣﺴﻠﻢ ﺑﻦ ﺣﺠﺎج Artinya: “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah SWT sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah SWT sebagai pendusta” (Muslim bin H̱ajjâj, 2006:1208).
Hadits tersebut memuat perintah untuk berperilaku jujur. Dijelaskan bahwa kejujuran akan membawa kepada kebaikan.
Ira Puspita Jati
3
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Diharapkan setiap umat agar selalu bersikap jujur sebagai perwujudan dari berakhlak mulia. Akhlak mulia dalam pandangan Islam merupakan suatu hal yang harus dimiliki oleh setiap umat (Kurdi, 2010:69). Agar setiap Muslim dapat memiliki akhlak mulia, maka setiap anak harus diajarkan tentang akhlak yang baik, salah satunya adalah pembiasaan berperilaku jujur pada setiap aktivitas kehidupan. Penegasan untuk berperilaku jujur seperti firman Allah SWT dalam Surat Muhammad ayat 21, sebagai berikut:
(21:ﺻ ﺪ َﻗ ُﻮا ا ﱠ َ ﻟَﻜَﺎ َن َﺧ ﯿْﺮً ا ﻟَ ُﮭ ْﻢ )ﺳﻮره ﷴ َ ْﻓَﻠَﻮ....
Artinya: “Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah SWT, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Depag RI, 1989: 833) Jadi, perilaku jujur merupakan akhlak terpuji dalam ajaran Islam dan Rasulullah saw selalu memperhatikan hal ini pada setiap aktivitasnya. Atas dasar itu, maka wajar Allah SWT telah memuji akhlak Rasulullah SAW sebagaimana tersirat dalam al Qur’an Surat al Qolam ayat 4, sebagai berikut:
(4: ﻖ ﻋَﻈِ ﯿﻢٍ ) ﺳﻮره اﻟﻘﻠﻢ ٍ ُ وَ إِﻧﱠﻚَ ﻟَﻌَﻠﻰ ُﺧ ﻠ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Depag RI, 1989: 960). Di ayat lain, Allah SWT juga berfirman dalam al Qur’an Surat Al Ahzab Ayat 21, sebagai berikut:
ﺟ ﻮ ا ﱠ َ وَ ا ﻟْ ﯿ َﻮْ َم ُ ْﻟ َ ﻘ َ ﺪ ْ ﻛَﺎ َن ﻟ َ ﻜ ُ ْﻢ ﻓ ِﻲ رَ ﺳ ُﻮ ِل ا ﱠ ِ أ ُﺳْﻮَ ة ٌ َﺣ ﺴَ ﻨ َ ﺔ ٌ ﻟِ َﻤ ﻦْ ﻛَﺎ َن ﯾ َﺮ ( 21 : ْاﻵ َﺧِ ﺮَ وَ ذ َﻛَﺮَ ا ﱠ َ ﻛَ ﺜ ِﯿ ًﺮ ا ) ﺳﻮره اﻻﺣﺰاب Artinya: Pendidikan Karakter dalam Islam
4
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah SWT dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah SWT” (Depag RI, 1989: 670). Beberapa dalil tersebut merupakan bukti bahwa Islam menempatkan karakter (akhlak karimah) sebagai perhatian utama bagi umat Islam, sebagaimana sikap yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam tafsir Ibnu Katsier Jilid 8 (delapan) dijelaskan bahwa sikap keteladanan Rasulullah saw yang demikian itu dipuji oleh Allah SWT sebagai sosok manusia yang berakhlak dan tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia (1993:180). Perhatian terhadap akhlak ini juga menjadi bukti bahwa ajaran Islam mampu tersebar di hampir seluruh penjuru dunia. Hampir sebagian besar umat manusia di dunia memeluk ajaran Islam sebagai agama yang mulia. Komparasi antara akal dan wahyu dalam menentukan nilai akhlak, menjadi satu kesatuan sebagai pribadi Muslim yang terbingkai pada akhlak karimah. Dalam Islam terdapat 3 (tiga) nilai utama yaitu; akhlak, adab, dan keteladanan. Akhlak merujuk pada tugas dan tanggungjawab selain syari’ah dan ajaran Islam secara umum. Adab merujuk pada sikap yang dihubungkan dengan tingkah laku yang baik. Keteladanan merujuk kepada kualitas karakter yang ditampilkan oleh seorang Muslim sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw (Majid dan Andayani, 2011:58). Ketiga nilai ini menjadi pilar pendidikan karakter Islam, sehingga dalam
perspektif
Islam
akhlak
Ira Puspita Jati
5
menjadi
karakter
yang
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
ditumbuhkembangkan pada setiap pribadi Muslim. Pada konteks menumbuhkembangkan itu, tidak saja tingkat pemahaman semata, tetapi diwujudkan di setiap perilaku. B. Pembahasan Karakter diyakini sebagai kunci penting bagi tampilnya Jepang sebagai bangsa besar. Bahkan ketika bencana gempa dan tsunami dahsyat memporak poranda negeri itu, bangsa Jepang tetap tegar menerima tragedi yang memilukan itu. Karakter seperti itu menjadi barang sangat mahal di negeri kita. Indonesia kini justru sedang menghadapi darurat karakter. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih saja merajalela, meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bekerja keras dan
perangkat
undang-undang
anti
korupsi
sudah
dibuat.
Meningkatnya intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa. Keburukan merajalela, sedang kebenaran sulit untuk mendapatkan tempatnya. Maka implementasi pendidikan karakter harus di wujudkan melalui: 1. Materi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter berisi materi tentang pengembangan potensi individu (anak) yang mampu diterapkan ke dalam pembiasaan peserta didik. Materi pendidikan karakter itu ada 11 (sebelas) macam, yaitu: takwa, jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, orientasi pada keunggulan, gotong royong, menghargai, dan rela berkorban. Pendidikan Karakter dalam Islam
6
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Kesebelas macam materi pendidikan karakter itu diuraikan pada indikator (Kemendiknas, 2010: 67-68), yaitu: Berkenaan dengan hal itu, pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter, pendidik sebagai pelaku di lapangan memiliki hak dalam memberikan andil untuk menyusun silabus rencana pembelajaran yang akan diajarkan. Ini karena pendidik memahami kondisi peserta didik dan selalu bersinggungan dengan kondisi di lapangan. Untuk itu, diharapkan seorang pendidik
memiliki
daya
inovatif
dan
kreativitas
dalam
mengembangkan model pembelajaran pendidikan karakter. Materi pendidikan karakter yang lebih berorientasi pada pemahaman dan praktek bisa diaplikasikan secara menarik bagi setiap peserta didik. Sehingga tanpa disadari materi pendidikan karakter mampu terinternalisasi pada diri setiap peserta didik, tanpa ada paksaan. 2. Model Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam Pada pelaksanaan proses pendidikan karakter, ada model tahapan pembentukan karakter sebagai berikut: a. Mempersiapkan pondasi budi pekerti luhur; b. Pembelajaran melalui teladan atau modeling; c. Pembelajaran melalui pembiasaan; dan
Ira Puspita Jati
7
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
d. Pembinaan pengetahuan (Rachmawati, 2001: 30). Terbentuknya Karakter Terbentuknyaerkarakter luhur
Pembinaan pengetahuan Pembelajaran melalui pembiasaan Pembelajaran melalui teladan Mempersiapkan pondasi mentalitas budi pekerti luhur “sentuhan estetika”
Pada tahap pertama kehidupan seorang anak, para pendidik perlu mempersiapkan pondasi bagi pertumbuhan mentalitas karakter luhur. Pondasi ini diperlukan sebagai modal awal sehingga anak dapat mengenal dengan mudah perilaku baik-buruk. Sebelum anak dapat memfungsikan logikanya untuk menilai baik-buruk anak akan menggunakan sense dan feeling-nya. Untuk melatih perasaan anak maka sejak dini mereka dibiasakan anak untuk mengenal dan peka terhadap hal-hal yang sifatnya harmoni dan proporsional. Kepekaan terhadap ukuran dan proporsi itu yang akan membekali anak dalam menilai baik dan buruk. Berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan oleh Rachmawati (2004:48) musik merupakan salah satu cara yang paling tepat untuk membantu anak melatih kepekaan perasaannya. Selain mudah dilakukan, setiap anak sangat menyukai musik. Melalui musik anak akan mengenal harmoni, proporsi, dan simetri. Anak juga dapat mengenal Pendidikan Karakter dalam Islam
8
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
berbagai emosi yang dapat membangkitkan perasaan cinta kasih, keberanian, semangat serta pengabdian. Semua itu merupakan kekayaan musik yang sangat diperlukan untuk membina dasar mentalitas budi pekerti anak. Dengan jiwa yang halus, maka seorang individu memiliki peluang untuk
dapat membina
hubungan
dengan Tuhan
(beragama) dengan lebih baik, memiliki cinta kasih yang besar, dapat mengembangkan sikap yang selaras dalam berhubungan sosialnya berdasarkan kepekaannya terhadap keindahan serta memiliki mental yang sehat. Musik memiliki muatan yang cukup
kental
dalam
membangun
Kemampuan dasar ini merupakan
pondasi
budi
pekerti.
Basic character yang
dibutuhkan guna terbangunnya budi pekerti luhur. Pada tahap kedua, anak membutuhkan teladan dari lingkungan. Pondasi yang baik dan kepekaan yang tinggi akan nilai-nilai dasar kebaikan belum cukup. Pada tahap awal hanya mempersiapkan “wadah” yang sifatnya masih potensial. Anak memerlukan contoh konkrit dari dorongan kebaikan yang sudah dimilikinya. Pembelajaran melalui teladan ini merupakan pengajaran yang cukup efektif untuk membantu peserta didik mengekspresikan perilakunya. Tanpa contoh langsung dari lingkungan, sulit bagi anak untuk melatih dan membiasakan perilaku-perilaku berbudi pekerti luhur. Pada tahap ini peranan pendidik dan orang tua sangat diperlukan untuk memberikan keteladanan kepada peserta didiknya. Sikap keteladanan hanya bisa ditemukan pada pribadi setiap pendidik.
Ira Puspita Jati
9
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Sebagai pendidik muslim, perlu memperhatikan nilainilai Islam sebagai pijakan untuk menjalankan tugasnya. Sebagaimana pendidik utama yang menjadi panutan umat muslim adalah Rasulullah SAW. Beliau mengemban misi mulia dari Allah SWT yang tercermin dalam surat Al Jumu’ah ayat 2, sebagai berikut:
ُﻮﻻ ِﻣ ﻨْ ُﮭ ْﻢ ﯾَﺘْﻠ ُﻮ ﻋَ ﻠَﯿْ ِﮭ ْﻢ آ َﯾَﺎﺗِ ِﮫ ً ھُﻮَ اﻟﱠﺬِي ﺑَﻌَﺚَ ﻓِﻲ ْاﻷ ُ ِّﻣ ﯿِّﯿ َﻦ رَ ﺳ وَ ﯾ ُﺰَ ِﻛّ ﯿ ِﮭ ْﻢ وَ ﯾ ُﻌَﻠِّ ُﻤ ُﮭ ُﻢ اﻟْ ِﻜ ﺘ َﺎبَ وَ اﻟْﺤِ ْﻜ َﻤ ﺔ َ وَ إِنْ ﻛَﺎﻧُﻮا ِﻣ ﻦْ ﻗَﺒْ ُﻞ (2 : ﻟَﻔِﻲ ﺿ ََﻼ ٍل ُﻣ ﺒِﯿﻦٍ )ﺳﻮره اﻟﺠﻤﻌﮫ
Artinya: ”Dia yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membedakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Depag RI, 1989:932) Pada ayat tersebut dijelaskan tugas Rasulullah SAW antara
lain
adalah
membacakan
ayat-ayat
Allah
SWT,
menyucikan, dan mengajar manusia. Beliau sebagai pendidik bukan hanya sekedar membacakan atau menyampaikan, tetapi menyucikan, yakni membersihkan jiwa dan mengembangkan kepribadian yang baik atau akhlak. Sedangkan mengajar adalah mengisi benak peserta didik dengan seperangkat pengetahuan melalui ajaran-ajaran Islam, dan keteladanan melalui sikap yang dikembangkannya dalam setiap aktivitas kehidupan Rasulullah SAW. Tahap ketiga adalah tahap pembiasaan atau pengulangan. Pada tahap ini potensi anak mulai dikembangkan dengan
Pendidikan Karakter dalam Islam
10
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
mendorong anak untuk melakukan pembiasaan bersikap baik sampai peserta didik menjadi terbiasa. Pembiasaan untuk bersikap baik ini pada akhirnya akan menjadi pengetahuan positif bagi diri peserta didik. Pada tradisi Islam, pembiasaan diri sudah sejak awal diajarkan kepada diri Rasulullah SAW. Dikisahkan saat turunnya surat Al Alaq, Malaikat Jibril menyuruh Rasulullah SAW untuk membaca sampai 3 (tiga) kali, yang awalnya Rasulullah SAW menyampaikan ”saya tidak bisa membaca”. Selanjutnya Malaikat Jibril mengulanginya lagi dan Nabi Muhammad SAW menjawab dengan perkataan yang sama. Kemudian Malaikat Jibril membacakan surat Al Alaq ayat 1-5, sebagai berikut:
ﻖ ٍ َاﻹ ﻧْ ﺴَﺎ َن ِﻣ ﻦْ ﻋَ ﻠ ِ ْ َ﴾ َﺧ ﻠَﻖ1﴿ َاﻗْﺮَ أْ ﺑِﺎﺳْﻢِ رَ ﺑِّﻚَ اﻟﱠﺬِي َﺧ ﻠَﻖ ﴾ ﻋَ ﻠﱠ َﻢ4﴿ ِ﴾ اﻟﱠﺬِي ﻋَ ﻠﱠ َﻢ ﺑِﺎﻟْ ﻘَﻠَﻢ3﴿ ﴾ اﻗْﺮَ أْ وَ رَ ﺑﱡﻚَ ْاﻷ َﻛْﺮَ ُم2﴿ (5 -1 :﴾ )ﺳﺮوه اﻟﻌﻠﻖ5﴿ اﻹ ﻧْ ﺴَﺎ َن ﻣَﺎ ﻟَ ْﻢ ﯾَﻌْ ﻠَ ْﻢ ِْ Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1); Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2); Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah (3); Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (4); Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5). (Depag RI, 1989:1079) Bacaan tersebut terus diulangi oleh Malaikat Jibril sampai Nabi Muhammad SAW hafal. Pelajaran yang diberikan Allah SWT untuk mengajar Rasulullah SAW melalui metode pembiasaan atau pengulangan merupakan sesuatu yang masih dipandang efektif. Dalam konteks itu, pembiasaan merupakan Ira Puspita Jati
11
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
upaya praktis dalam pendidikan dan pembinaan anak. Hasil dari pembiasaan yang dilakukan oleh seorang pendidik adalah terciptanya suatu kebiasaan bagi peserta didiknya. Seorang anak yang terbiasa mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam (berakhlak mulia), diharapkan sebagai bekal untuk mengarungi kehidupannya nanti sehingga menjadi seorang Muslim yang saleh. Tahap keempat anak memasuki usia remaja yaitu belajar melalui pengetahuan. Pada tahap remaja, mereka dapat menggunakan logika dalam
memahami baik-buruk. Anak
remaja akan mengerti hukum sebab-akibat dari suatu tata nilai perilaku, atau memahami hukum kebaikan yang lebih tinggi; agama dan Tuhan (Masithasari, 2001:56). Pada tahap ini pendekatan secara akademis baru akan berguna. Mata pelajaran agama dan budi pekerti baru dapat dicerna oleh setiap individu dengan baik. 3. Evaluasi Pendidikan Karakter Dalam arti khusus evaluasi mengandung dua pengertian, yakni pengukuran dan penilaian terhadap sesuatu hal. Dalam arti
luas,
evaluasi
memperoleh,
dan
adalah
suatu
menyediakan
keberhasilan.
Untuk
mengukur
pelaksanaan
pendidikan
karakter
proses
informasi
merencanakan, data
tingkat di
satuan
tentang
keberhasilan pendidikan
dilakukan melalui program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu.
Pendidikan Karakter dalam Islam
12
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut: a. Menetapkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan; b. Menyusun berbagai instrumen penilaian; c. Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator; d. Melakukan analisis dan evaluasi; dan e. Melakukan tindak lanjut (Sudjana, 2001: 37). Penilaian pencapaian pendidikan nilai dan karakter didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan: “mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat, diamati, dipelajari, atau dirasakan”
maka guru
mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya. Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan yang dibuat pendidik ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan
pendidik.
Selain
itu,
pendidik
dapat
pula
memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan yang memberikan
kesempatan
kepada
Ira Puspita Jati
13
peserta
didik
untuk
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
menunjukkan nilai yang dimilikinya (Sudjana, 2001:45). Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya. Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya, pendidik dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan
tentang pencapaian suatu
indikator
nilai.
atau
bahkan
suatu
Kesimpulan
atau
pertimbangan itu dapat dinyatakan dalam pernyataan kualitatif sebagai berikut: a. BT :
Belum Terlihat (apabila peserta didik belum
memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator). b. MT : Mulai Terlihat (apabila peserta
didik sudah mulai
memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten). c. MB
: Mulai Berkembang (apabila peserta didik sudah
memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten). d. MK : Membudaya (apabila peserta didik
terus menerus
memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten). Pernyataan kualitatif di atas dapat digunakan ketika pendidik melakukan asesmen pada setiap kegiatan belajar sehingga pendidik memperoleh profile peserta didik dalam satu semester tentang nilai terkait (jujur, kerja keras, peduli, cerdas, Pendidikan Karakter dalam Islam
14
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
dan sebagainya). Pendidik dapat pula menggunakan BT, MT, MB atau MK tersebut dalam rapor (Kemendiknas, 2010: 6768). B. Kesimpulan 1. Pendidikan karakter berisi materi tentang pengembangan potensi individu (anak) yang mampu diterapkan ke dalam pembiasaan peserta didik. Materi pendidikan karakter itu ada 11 (sebelas) macam, yaitu: takwa, jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, orientasi pada keunggulan, gotong royong, menghargai, dan rela berkorban. 2. Pelaksanaan proses pendidikan karakter, ada model tahapan pembentukan karakter sebagai berikut: a. Mempersiapkan pondasi budi pekerti luhur; b. Pembelajaran melalui teladan atau modeling; c. Pembelajaran melalui pembiasaan; dan d. Pembinaan pengetahuan 3. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui program penilaian
dengan
membandingkan
kondisi
awal
dengan
pencapaian dalam waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Meaning Learning; Re-invensi Kebermaknaan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Budiningsih, Asri, Pembelajaran Moral, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Ira Puspita Jati
15
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Gojali, Nanang, Manusia, Pendidikan, dan Sains, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Jakarta: Balitbang Pusat Kurikulum, 2010. Kesuma, Dharma, Pendidikan Karakter; Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Ki Fudyartanta, Membangun Kepribadian dan Watak Bangsa Indonesia yang Harmonis dan Integral, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Koesoema, Dony, Pendidikan Karakter, Jakarta: Kompas Gramedia, 2007. Kuswara, Teori-Teori Kepribadian, Bandung: Eresco, 1991. Kurdi, Hermeneutika Al Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010. Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006. Muslim bin H̱ ajjâj, Shahih Muslim Vol. II,Beirut: Dar al-Turas, 1976. Nata, Abudin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2010. Megawangi, Ratna, Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, Bagor: Indonesia Heritage Foundation. Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003. Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Pendidikan Karakter dalam Islam
16
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
KONSEP AKHLAK; DALAM PANDANGAN AL-GHAZALI Oleh: Muh. Dailamy
Abstrak: Masalah akhlak terus menjadi topik yang selalu diperbincangkan oleh berbagai kalangan, khususnya kaum agamawan. Mereka tidak jemu-jemu menyoroti masalah akhlak, sebab, menurut mereka, salah satu penyebab krisis multidimensi di negeri ini adalah krisis akhlak. Padahal, akhlak hakiki, menurut al-Ghazali, tidak terletak pada sikap dan perilaku yang indrawi atau empiris melainkan ada pada lubuk hati yang paling dalam. Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap itu lahir perbuatan terpuji, baik menurut akal sehat maupun syara’, maka ia disebut akhlak terpuji (akhlak mahmūdah). Jika yang lahir perbuatan tercela, ia disebut akhlak tercela (akhlak madzmūmah)”. KataKunci: Akhlak, Syara’, dan al-Khuluqu A. Pendahuluan Masalah akhlak terus menjadi topik yang selalu diperbincangkan oleh berbagai kalangan, khususnya kaum agamawan, dan lebih khusus lagi para mubaligh yang selalu memberi taushiyah-taushiyah kepada masyarakat. Mereka tidak jemu-jemu menyoroti masalah akhlak, sebab, menurut mereka, salah satu penyebab krisis multidimensi di negeri ini adalah krisis akhlak. Sayangnya, krisis akhlak dalam istilah agamawan itu terlalu sempit, sebab masih terbatas pada masalah seks
Penulis adalah Guru Besar STAIN Purwokerto, Pengurus PWM Jawa Tengah dan Ketua STIT Muhammadiyah Kendal
Muh Dailamy
17
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pra-nikah, korupsi, pakaian super seksi, atau tontonan yang kerap membuat jantung kita berdetak lebih kencang. Selain itu, pembicaraan akhlak juga terbatas pada sikap atau perilaku yang kasat mata, sedangkan aspek batiniah kurang mendapat porsi yang berimbang. Padahal, akhlak hakiki, menurut al-Ghazali, tidak terletak pada sikap dan perilaku yang indrawi atau empiris melainkan ada pada lubuk hati yang paling dalam. Berbicara mengenai akhlak, jelas tidak bisa melupakan nama alGhazali atau Imam Ghazali. Ulama yang diberi gelar hujjāt al-Islām ini memang memiliki perhatian yang cukup besar terhadap masalah akhlak. Ini barangkali dikarenakan spirit sufistiknya yang begitu kuat pada diri al-Ghazali, khususnya di masa-masa akhir petualangan intelektualnya. Karena itu, konsep akhlak al-Ghazali sangat menarik untuk dikaji secara seksama, dengan harapan kita mampu mengetahui hakikat akhlak yang sebenarnya. Kajian sederhana ini tentu tidak bisa mengurai seluruh konsep al-Ghazali. Maka, kajian ini hanya menguraikan beberapa sub-topik saja menyangkut konsep akhlak alGhazali, yaitu definisi akhlak, relasi akhlak dengan ilmu pengetahuan, macam-macam kebaikan dan kebahagiaan, dan cara membangun alakhlaq al-karimah. B. Definisi Akhlak Definisi akhlak menurut al-Ghazali ini sangat penting untuk dikemukakan, sehingga bisa membantu kita untuk menelaah konsep akhlak al-Ghazali. Menurutnya,
Konsep Akhlak Menurut al-Ghazali
18
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
“Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap itu lahir perbuatan terpuji, baik menurut akal sehat maupun syara’, maka ia disebut akhlak terpuji (akhlak mahmūdah). Jika yang lahir perbuatan tercela, ia disebut akhlak tercela (akhlak madzmūmah)” (AlGhazali, tth: 109). Definisi akhlak al-Ghazali ini sejatinya merupakan respons terhadap definisi-definisi akhlak yang dikemukakan oleh ulama-ulama ketika itu. Menurutnya, “orang-orang (baca: para ulama) memang telah membicarakan akhlak, akan tetapi sebenarnya tidak membicarakan hakikat akhlak, melainkan hanya ‘buahnya’ saja” (Al-Ghazali, 1984: 140). AlGhazali kemudian mengutip beberapa definisi akhlak yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain: Al-Hasan, akhlak baik adalah muka yang manis, banyak memberi, dan mencegah hal-hal yang melukai orang lain. Al-Wasithi, akhlak baik adalah kalau orang tidak bermusuhan dan tidak dimusuhi, karena sangat ma’rifat kepada Allah SWT. Suatu saat alWasithi juga mendefinisikan, akhlak baik ialah membuat senang orang banyak disaat senang dan susah. Syah al-Karmani, akhlak baik ialah mencegah hal-hal yang menyakiti orang lain (terutama perasaan) dan penderitaan orang mukmin. Abu Usman, akhlak baik adalah rela kepada Allah SWT. At-Tusturi, akhlak baik adalah apabila seseorang tidak salah sangka kepada Allah SWT tentang rizki, percaya kepada Allah bahwa rizkinya akan terjamin, tidak durhaka kepada Allah, dan menjaga hak-hak sesama. Ali r.a. pernah berkata: “Perangai baik itu ada pada tiga hal, yaitu: menjauhi segala yang haram, mencari yang halal, dan memberi keleluasaan kepada Allah. Al-Husam bin Manshur, akhlak baik adalah apabila engkau tidak terpengaruhi oleh kekasaran perangai orang banyak setelah engkau mengetahui mana yang benar. Abu Said al-Kharraz, budi pekerti baik ialah agar engkau tidak mempunyai tujuan selain Allah SWT (Al-Ghazali, 1984: 140). Muh Dailamy
19
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Definisi-definisi semacam inilah yang dikritik al-Ghazali sebagai definisi yang terbatas pada buah akhlak, bukan pada substansinya. Untuk memperkuat alasannya, al-Ghazali membedakan antara al-Khuluqu (budi pekerti) dan al-Khalqu (kejadian; bentuk lahir). Jadi yang dikehendaki oleh al-Khalqu meliputi “bentuk lahir”, sementara al-Khuluqu menekankan pada “bentuk
batin”-nya.
Al-Ghazali
menambahkan
bahwa
al-Khuluqu
menggambarkan perilaku yang meresap dalam jiwa (nafs), dan darinya memancarkan perbuatan-perbuatan yang tanpa melalui pikiran dan pertimbangan (Musthofa, 1997: 11). C. Relasi Akhlak dengan Ilmu Pengetahuan Pusat perbincangan akhlak al-Ghazali adalah kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang dicari, mathlūb, baik oleh orangorang terdahulu maupun orang-orang modern. Kebahagiaan, kata alGhazali, hanya bisa dijangkau melalui sinergisitas antara pengetahuan dan perbuatan. Pengetahuan menghendaki standar yang membedakannya dari aktivitas-aktivitas lainnya, sedangkan perbuatan menghendaki kriteria yang akan menentukan secara jelas dan singkat, memunculkan peniruan secara pasif dan memiliki tujuan pasti, sehingga suatu perbuatan dapat menghasilkan kebahagiaan dan membeda-kannya dari perbuatan yang membawa pada kesengsaraan (Madjid Fakhry, 1996: 126). Menurut al-Ghazali, dengan kebahagiaan kita dapat memahami bahwa kesenangan ukhrawi itu tidak palsu, penuh keberlimpahan yang tak
terhingga,
kesempurnaannya
tidak
pernah
berkurang,
dan
kemualiaannya tidak terbandingkan sepanjang waktu. Tak seorangpun yang meyakini eksistensi kesenangan ukhrawi semacam itu yang tidak Konsep Akhlak Menurut al-Ghazali
20
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
mencarinya; meskipun demikian, masih banyak orang-orang yang menolak kebahagiaan ukhrawi seperti kalangan ateis dan hedonis ((Madjid Fakhry, 1996: 126-7). Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh alGhazali bukan kebahagiaan duniawi semata, melainkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Konsep kebahagiaan al-Ghazali ini jelas berbeda dari teleologi Aristoteles dan hedonisme. Konsep kebahagiaan aristoteles “terlalu” umum, belum ada pembagian yang konkret kebahagiaan seperti apa yang ia maksud. Sementara itu, kebahagiaan kaum hedonis hanya terbatas pada kebahagiaan fisik saja. Padahal, dalam teori Abraham Maslow, selain kebutuhan fisik, manusia juga memiliki kebutuhan spiritual, spiritual need. Menurut al-Ghazali, manusia memang perlu menyibukkan diri dengan perbuatan, tetapi yang terpenting bagi manusia hanyalah mencari pengetahuan hakiki tentang perbuatan yang benar saja. Berangkat dari sini al-Ghazali kemudian sampai pada pembagian ilmu pengetahuan menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Ilmu pengetahuan teoritis meliputi keseluruhan ilmu filsafat yang membentuk inti silabus YunaniArab pada abad ke-10 dan 11 M. Subyek pembahasan ilmu ini meliputi pengetahuan tentang Tuhan, malaikat, rasul, makhluk fisik beserta cabang-cabangnya. Sementara yang termasuk ilmu praktis adalah etika yang didefinisikan sebagai pengetahuan tentang jiwa, sifat-sifat dan perilaku moralnya; ekonomi rumah tangga, dan politik atau pengaturan urusan-urusan kenegaraan ((Madjid Fakhry, 1996:278). Berdasar pada pembagian tersebut, al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak merupakan puncak ilmu praktis. Bagi al-Ghazali, penyelidikan etika atau akhlak harus dimulai dengan pengetahuan Muh Dailamy
21
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
tentang jiwa, kekuatan-kekuatan, dan sifat-sifatnya. Pengetahuan ini merupakan prasyarat untuk membersihkan jiwa sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu Asy-Syam: 9-10, “sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dalam sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya”. Pengetahuan itu juga merupakan pengenalan menuju pengenalan kepada Allah SWT, seperti yang dinyatakan dalam hadist qudsi-nya, “man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu” (barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia sungguh telah mengenal Tuhannya) (Madjid Fakhry, 1996: 128). Penting untuk dikemukakan juga tentang metode-metode dan alat-alat untuk memperoleh pengetahuan, berikut hubungannya dengan konsep akhlak al-Ghazali. Ibarat suatu benda, ilmu pengetahuan adalah air, dan manusia perlu mengetahui bagaimana cara “terbaik, mudah, dan cepat” untuk memperoleh ilmu itu. Al-Ghazali mengemukakan bahwa terdapat dua metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu: 1) metode ta`allum insāni (pengajaran secara manusiawi) adalah metode yang lazim kita alami sehari-hari, baik di lembaga pendidikan informal, formal, maupun nonformal; dan 2) metode ta`allum rabbani (pengajaran dari Allah) adalah metode pengajaran melalui proses komunikasi antara manusia dengan Allah. Allah sebagai pemberi ilmu, sedangkan manusia sebagai penerimanya (M. Solikin, 1998: 121). Adapun alat-alat memperoleh ilmu pengetahuan, menurut alGhazali, ada tiga macam, yaitu: panca indera, akal dan hati. Ilmu yang diperoleh melalui panca indera bisa diperoleh melalui proses-proses berikut: (1) refleksi, yaitu menerima rangsangan dari luar; (2) pencerapan yaitu obyek yang diterima setelah mengalami pengolahan; Konsep Akhlak Menurut al-Ghazali
22
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
(3) penggabungan unsur-unsur penginderaan, dan (4) fenomena dari luar dipantulkan secara khusus. Tingkat ini telah sampai pada tingkat abstraksi (M. Solikin, 1998: 123). Menurut al-Ghazali, akal manusia terbagi menjadi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis (M. Solikin, 1998: 126). Keduanya bukanlah dua hal yang benar-benar berbeda, melainkan saling mengisi satu sama lain. Istilah sekarang untuk menyebut kedua akal itu barangkali otak kanan dan otak kiri. Akal praktis atau otak kanan berfungsi untuk kreativitas, sementara akal teoritis atau otak kiri berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang abstrak. Akal teoritis sendiri, menurut al-Ghazali, mempunyai empat tingkatan kemampuan, yaitu: (1) al-`aql al-hayulanī, akal materiil, yakni potensi dan kemampuan untuk menangkap arti-arti murni yang tidak pernah berada dalam materi (masih belum tampak di permukaan); (2) al-`aql al-malakat, akal intelektual, yaitu akal kesanggupannya untuk berpikir abstrak secara murni sudah mulai kelihatan. Akal ini dapat menangkap pengertian-pengertian atau kaidah-kaidah umum, misalnya “keseluruhan lebih besar dari sebagian”; (3) al-`aql al-fi’il, akal aktual, yakni akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian-pengertian atau kaidah-kaidah umum tersebut; dan (4) al-`aql al-mustafad, akal perolehan, yakni akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang selamanya dapat dikeluarkan dengan mudah sekali (M. Solikin, 1998: 127). Sementara itu, alat terakhir untuk memperoleh ilmu, yakni hati (qalb) memperoleh ilmu pengetahuan yang jauh lebih penting dari ilmu yang diperoleh panca indera maupun akal. Qalb bisa memperoleh
Muh Dailamy
23
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
ilmu melalui ilham maupun adz-dzauq (daya tangkap yang sekaligus merasakan kehadiran apa yang ditangkap (M. Solikin, 1998: 129). Apabila mencermati definisi akhlak dan alat-alat untuk memperoleh
ilmu,
tampaknya
al-Ghazali
menekankan
lebih
menekankan pada kekuatan qalb. Qalb-lah yang menentukan apakah sikap dan perbuatan seseorang bisa dimasukkan dalam kategori akhlak, sebab akhlak menurut al-Ghazali muncul tanpa melalui proses pertimbangan akal, apalagi pertimbangan panca indera. Jadi ilmu pengetahuan yang menggerakkan manusia untuk berakhlak muncul dari ilham dan adz-dzauq dalam pengertian yang lebih sederhana, bukan pengertian dunia sufistik. Pengetahuan yang melalui ilham dan adz-dzauq itulah yang seketika mendorong manusia untuk berakhlak baik, sehingga sikap dan perbuatannya mampu melintasi panca indera dan akal. D. Macam-macam Kebaikan dan Kebahagiaan Sebagaimana telah disinggung di atas, al-Ghazali membagi kebahagiaan
menjadi
dua
macam
kebahagiaan
utama,
yaitu
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Menurutnya, kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan yang sejati, sedangkan kebahagiaan yang kedua hanyalah kebahagiaan yang bersifat metaforis. Keasyikan dengan kebahagiaan akhirat bagaimanapun tidak memalingkan perhatiannya pada kebahagiaan atau kebaikan lainnya. Bahkan alGhazali menyatakan, apapun yang baik untuk kebaikan akhirat maka ia merupakan kebaikan juga. Kebaikan sendiri menurut al-Ghazali bermacam-macam, antara lain: (1) kebaikan jasmaniah, seperti kesehatan, kekuatan, panjang Konsep Akhlak Menurut al-Ghazali
24
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
umur, dan lain-lain; (2) kebaikan eksternal, seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan lain-lain; (3) kebaikan-kebaikan Tuhan, seperti hidayah, bimbingan lurus (rusyd), pengarahan (tasdid), pertolongan (ta’yid), dan lain-lain (Madjid Fakhry, 1996: 135). Selain kebaikan dan kebahagiaan, al-Ghazali juga berbicara tentang kesenangan. Menurutnya, kesenangan terbagi menjadi 3 macam kesenangan, yaitu: 1) kesenangan intelektual, seperti kesenangan akan pengetahuan dan kebijaksanaan, 2) kesenangan biologis yang dimiliki manusia dan binatang, seperti makan, minum, seks dan lain-lain, dan 3) kesenangan sosial dan politik, seperti keinginan untuk memperoleh kemenangan dan kedudukan sosial. Bagi al-Ghazali, kesenangan yang paling terhormat dan hanya dimiliki oleh manusia adalah kesenangan yang pertama. Ia merupakan kesenangan yang abadi dan dibalas dengan kehormatan abadi dalam kehidupan ini hingga akhir nanti. Tidak seperti harta atau dunia yang seringkali menjerumuskan manusia ke dalam dosa, senantiasa harus menjaganya, dan jika digunakan semakin lama akan semakin habis (Madjid Fakhry, 1996: 137). E. Cara Membangun al-Akhlaq al-Karimah Seringkali terdengar ungkapan seseorang, “saya ini terlanjur jadi orang jahat, biarlah tetap jahat”. Ini bentuk sikap pesimis dari orang tersebut untuk merubah dirinya menjadi manusia yang baik, manusia yang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, ahsanu taqwim. Lebih parah lagi apabila dia merasa bahwa perangai jahatnya itu semata-mata takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah.
Muh Dailamy
25
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Pesimisme itu, kata al-Ghazali, muncul sebagai akibat nafsu menghalang-halangi seseorang untuk membersihkan diri dan mendidik akhlaknya. Al-Ghazali berpandangan bahwa akhlak manusia bisa dirubah dan didik. Alasan al-Ghazali tampak sederhana, tetapi cukup kuat. Menurutnya, “jika akhlak manusia tidak dapat dirubah, maka pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, dan pendidikan-pendidikan tidak ada artinya. Selain itu, mengapa Rasulullah SAW bersabda, “Perbaiki akhlak kalian” (Al-Ghazali, 1984: 147). Al-Ghazali kemudian mengkiaskan perubahan akhlak manusia dengan perubahan perangai asli binatang. Burung elang saja dapat dialihkan dari sifat liar kepada kejinakan, anjing dapat dirubah dari serakah menjadi “agak sopan” dan tidak memakan hasil buruan yang memang untuk pemiliknya. Demikian pula dengan kuda yang keras kepala dapat dirubah menjadi patuh dan penurut (Al-Ghazali, 1984: 147). Al-Ghazali sebenarnya hendak menyatakan, jika perangai binatang saja bisa dirubah, mengapa akhlak manusia tidak bisa. Artinya, pintu masuk menuju akhlaq al-karimah terbuka lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin memilikinya. Kias al-Ghazali di atas tentu tidak bisa dipahami apa adanya, sebab walau bagaimanapun ada perbedaan antara manusia dan binatang, khususnya yang terkait dengan masalah kejiwaan keduanya. Menurut al-Ghazali, di dalam batin manusia terdapat empat unsur yang harus baik agar akhlak manusia bisa menjadi baik, yaitu: (1) kekuatan ilmu pengetahuan, (2) kekuatan marah (ghadab), (3) kekuatan keinginan (syahwat), dan (4) kekuatan adil (al-‘adl) (Madjidi, 1989: 89). Perbedaan manusia dengan binatang yang paling mencolok terletak pada aspek yang pertama, yakni ilmu pengetahuan. Konsep Akhlak Menurut al-Ghazali
26
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Kekuatan ilmu yang sebenarnya adalah manakala orang yang memilikinya dengan mudah bisa membedakan benar dan salah, hak dan batil, serta baik dan buruk. Bilamana kekuatan ilmu ini menjadi sempurna,
maka
darinya
lahir
kebijaksanaan,
(al-Hikmah).
Sebagaimana firman Allah SWT, “Barang siapa diberi hikmah, maka sesungguhnya dia diberi kebajikan yang besar” (Q.S. al-Baqarah/2: 269) (Madjidi, 1989: 90). Kekuatan ghadab akan terlihat keindahannya pada saat terkendali dan terarah menurut garis hikmah. Demikian halnya dengan kekuatan syahwat dan al-‘adl. Kekuatan syahwat akan terlihat ketika dia berada di bawah bimbingan akal dan agama, dan kekuatan al-‘adl merupakan pengendalian kekuatan syahwat dan ghadab di bawah petunjuk akal dan agama (Madjidi, 1989: 90). Mengenai cara membangun manusia yang ber-akhlaq alkarimah, al-Ghazali mengibaratkannya dengan seorang dokter. Seorang dokter mengobati pasiennya sesuai penyakit yang dideritanya. Tidak mungkin ia mengobati bermacam-macam penyakit dengan satu jenis obat saja, karena kalau demikian malah bisa membunuh pasien. Demikian juga dengan seseorang yang berusaha membangun al-akhlaq al-karimah pada diri seseorang ia harus menggunakan bermacammacam pendekatan, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Abidin Ibnu Rusn, berkata: “Kalau guru melihat muridnya keras kepala, sombong dan congkak, maka dia disuruh ke pasar untuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri dan egois itu tidak bisa hancur kecuali dengan sifat hina diri. Tiada kehinaan yang lebih besar daripada kehinaan meminta-minta. Maka dipaksakan ia melakukan hal demikian beberapa lama sehingga hancurlah sifat sombong dan egois itu….Jika Muh Dailamy
27
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
guru melihat murid itu pemarah, hendaknya ia menyuruh supaya selalu bersikap sabar dan diam. Kemudian menyerahkannya kepada orang yang berperangai buruk agar mengabdi kepadanya, sehingga murid itu bisa melatih dirinya untuk bersabar” (Abidin Ibnu Rusn, 1998: 100101). Uraian al-Ghazali tentang cara membangun al-akhlaq al-karimah menunjukkan bahwa untuk menghilangkan perbuatan tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti karena penyakit jiwa yang berupa akhlak tercela itu sebagaimana penyakit badan atau raga. F. Penutup Konsep akhlak al-Ghazali lebih menekankan pada sesuatu yang batiniah yang sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, khususnya pengetahuan untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil. Puncak dari akhlak adalah kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan dan kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Hanya saja kebahagiaan ukhrawi jauh lebih bernilai daripada kebahagiaan duniawi. Karena itu, semua orang harus memiliki al-akhlaq al-karimah, sehingga ia bisa menikmati kebahagiaan tersebut, sebab Nabi Muhammad diutus oleh Allah memang untuk memperbaiki akhlak manusia. Artinya, al-akhlaq al-karimah bisa dimiliki oleh siapa saja dengan cara melatih diri sesuai dengan ajaranajaran agama.
Konsep Akhlak Menurut al-Ghazali
28
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zainal Abidin Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Al-Ghazali, Ihyā Ulumuddin, III, Beirut: Dar al-Fikr, tt ________, Keajaiban Hati, terj. Nurchikmah, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1984 Fakhry, Madjid, Etika Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan UMS Surakarta, 1996 Ghafur, Waryono Abdul, Kristologi Islam Telaah Kritis Kitab Rad al-Jamil Karya al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Nurchalish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997 Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997 Mubarak, Zaki, Al-Akhlaq `Inda al-Ghazali, Kairo: Asy-Syu`ub, tt Musthofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997 Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Solikin, M., Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Muh Dailamy
29
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
POLITIK PENDIDIKAN TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Abdul Malik 1 Abstract: politik pendidikan yaitu segala usaha kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Perkembangan selanjutnya politk pendidikan merupakan penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan menentukan tindakan dengan perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan di keanekaragaman beserta tujuan dan program untuk merealisasikannya Masa orde lama, politik pendidikan lebih diarahkan pada upaya memperbarui dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang bermutu segala dengan tuntutan zaman. Sayangnya pada masa ORLA berada dalam tarikan tiga kekuatan yaitu, NASIONALIS, SEKURALIS-KOMUNIS, dan ISLAMIS. Tiga kekuatan tersebut saling berbenturan, saling ingin mengalahkan. Berbeda dengan masa pemerintahan Orde Lama. Pendidikan pada Masa Orba mengacu kepada GBHN sejak 1973-1998. Padahal pada awal Orba berdasarkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, menerapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia berjiwa Pancasila, Cerdas, Terampil dan Berbudi pekerti luhur, serta berkepribadian Indonesia yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembangunan Sehubungan hal di atas, pemerintah Orba menggiring politik pendidikannya kepada: sebuah Sistem Setralistis, agar pemerintah mudah memonitor, mengontrol jalannya penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah Orba sadar bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk meningkatkan pemberdayaan masing-masing di berbagai bidang. Agar pemberdayaan masing-masing melalui pendidikan mengarah pada sasaran dan tujuan menurut pemerintah, untuk segala perencanaan pendidikan harus ditentukan dan dikontrol oleh pusat. Kata Kunci: Politik, Pendidikan, dan sistem sentralistik
1
Penulis adalah Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Kendal.
Abdul Malik
30
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Tulisan ini akan membahas perpolitikan pendidikan Islam di Indonesia, untuk itu penulis mengemukakan politik pendidikan dan tujuannya. A. POLITIK Kata politik berasal dari bahasa Inggris, hal ini dijelaskan oleh John M. Echols Shadily (1980: 437), artinya permainan politik. Sedang Purwadarminta
(1991:
763)
menjelaskan
bahwa
politk
diartikan
pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan; juga berarti segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan dibuat mengenai pemerintahan suatu negara terhadap negara lain. Jamil Saliba (1978: 45) lain lagi, ia mengetengahkan dalam bahasa Arab, kata politik dengan istilah Al Siyasah artinya Reka Cipta, upayaupaya strategi dan pengaturan tentang sesuatu. Sedangkan kata Pendidikan berasal dari kata dasar didik berawalan pen- dan berakhiran –an, bermakna perbuatan mendidik, pengetahuan tentang mendidik , berarti pula pemeliharaan, latihan-latihan meliputi lahir batin. H. M. Arifin (1994: 11), membeberkan pendapatnya bahwa pendidikan berarti sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia baik aspek ruhaniah maupun jasmaniah serta berlangsung setahap demi setahap. Sedang Anton Muliono (1998: 694) memberitahukan bahwa Pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran dan latihan.
Politik Pendidikan di Indonesia
31
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
B. PENDIDIKAN Dalam bahasa Arab kata pendidikan biasanya diwakili oleh kata Tarbiyah, Takdib, Taklim, Tadris, Tadzhiyah, Tadzkirah, Tahzib, Manidzah, dan Tadqim, secara keseluruhan menghimpun kegiatan yang terdapat dalam pendidikan, yaitu membina, memelihara, mengajarkan, melatih, menasehati, menyucikan jiwa, dan mengingatkan manusia terhadap hal-hal yang baik. Ahmad Zaki Badawi (1980: 200), menyatakan bahwa politik pendidikan yaitu segala usaha kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah
pendidikan.
Perkembangan
selanjutnya
politk
pendidikan
merupakan penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan
tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan
menentukan tindakan dengan perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan di keanekaragaman beserta tujuan dan program untuk merealisasikannya. Simpulannya Politik Pendidikan yaitu segala kebijakan pemerintah suatu negara dalam bidang pendidikan yang berupa peraturan perundangan untuk menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya tujuan negara. C. POLITIK PENDIDIKAN Mencermati pengertian dan pendapat diatas, politik pendidikan mengandung lima hal, yaitu: Pertama, politik pendidikan mengandung kebijakan pemerintah suatu negara yang berkenaan dengan pendidikan. Sebuah pemerintah negara dalam mengkomunikasikan masalah pendidikan dengan rakyatnya, biasanya menggunakan berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan oleh menteri yang terkait dengan pendidikan.
Abdul Malik
32
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Kedua, politik pendidikan bukan hanya berupa peraturan perundangan yang tertulis, melainkan juga termasuk kebijakan lain. Contoh situasi dan kondisi sosial politik, social budaya, keamanan dan hubungan pemerintah dengan dunia Internasional. Meskipun situasi dan kondisi tersebut tidak serta langsung berkaitan dengan pendidikan, tetapi cukup berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan pendidikan suatu negara. Ketiga,
politik
pendidikan
ditujukan
untuk
menyukseskan
penyelenggaraan pendidikan (David L. Sills, 1972: 51), meskipun kesuksesan penyelenggaraan pendidikan bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah saja melainkan juga masyarakat, namun pemerintah yang memiliki Infrastruktur dan Suprastruktur yang lebih kuat untuk memikul tugas dan tanggungjawab terselenggarannya pendidikan. Pemerintah bertugas menentukan berbagai kebijakan tentang pendidikan sebagai wujud rasa tanggungjawabnya terhadap masyarakat. Keempat, politik pendidikan dijalankan demi tercapainya tujuan negara.
Karena
tujuan
negara
menjadi
sasaran
utama
dalam
penyelenggaraan pendidikan, untuk itu segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak boleh elenceng dari tujuan negara. Meskipun praktiknya politik pendidikan, sebuah negara kadang-kadang tujuannya mengalami perubahan sesuai dengan orientasi pemerintahan yang sedang berkuasa, walaupun perubahan tersebut tidak jauh berbeda dari tujuan didirikannya sebuah negara. Kelima,
politik
pendidikan
merupakan
sebuah
system
penyelenggaraan pendidikan suatu negara, system penyelenggaraan ini berangkat dari tujuan negara, dilanjutkan dengan penentuan atau pengambilan kebijakan yang harus diimplementasikan dalam proses
Politik Pendidikan di Indonesia
33
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
penyelenggaraan pendidikan dan bermuara pada pencapaian tujuan negara (Lee C. Deighton, 1971: 169). D. KEBIJAKAN
POLITIK
PENDIDIKAN
PEMERINTAH
INDONESIA Abudin Nata (2003: 8) berpendapat bahwa kebijakan politik pemerintah Indonesia secara umum dapat dibagi empat periode atau orde. Pertama, kebijakan politik pemerintah pada masa pra-kemerdekaan. Kedua, kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa orde lama. Ketiga, Kebijakan politik pemerintah Indonesia pada masa orde baru; dan Keempat, kebijakan politik pemerintah Indonesia pada orde Reformasi. Abudin Nata (2003: 9), selanjutnya memberikan informasi bahwa pada masa pra-kemerdekaan kebijakan pemerintah Belanda membiarkan rakyat jajahannya dalam kebodohan. Hal ini berbeda dengan Inggris yang memperhatikan pendidikan rakyat jajahannya. Itulah sebabnya rakyat bekas jajahan Belanda umumnya bodoh, sedangkan rakyat jajahan Inggris seperti India, Malaysia, umumnya memiliki pendidikan. Belanda menerapkan politik diskriminasi terhadap rakyat jajahan terutama umat Islam. Belanda sengaja membiarkan rakyat jajahannya bodoh agar mudah ditindas, dijajah, diadu-domba. Hal tersebut baru berubah ketika mendapat tekanan dari dunia Internasional, itupun rakyat terbatas, untuk menghasilkan tenaga kerja. Terutama Belanda tidak senang terhadap keberadaan pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren, madrasah, sebab dituduh sebagai sarang pemberontak, pembangkang.
Abdul Malik
34
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Politik pendidikan Islam yang di terapkan oleh para pendidik masa itu, berjasa melahirkan kader-kader pemimpin bangsa yang berjiwa Nasionalis, patriotis, dan berkepribadian Indonesia. Masa orde lama, politik pendidikan lebih diarahkan pada upaya memperbarui dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang bermutu segala dengan tuntutan zaman. Sayangnya pada masa ORLA berada dalam tarikan tiga kekuatan yaitu, NASIONALIS, SEKURALIS-KOMUNIS, dan ISLAMIS. Tiga kekuatan tersebut saling berbenturan, saling ingin mengalahkan. Sejarah mencatat bahwa Soekarno menganut paham Ideologi Nasionalis, berbasis pada keIndonesiaan dan kultural. Anehnya kadang sering dekat dengan Islam dan terkadang dekat dengan kelompok Sekulariskomunis. Soekarno menjelang tahun 1960-an banyak terjebak ke dalam perangkap kaum sekuler-komunis, sampai akhirnya dituduh berada dibelakang G30S/PKI. Akibatnya, perhatian Soekarno terhadap pendidikan Islam kurang, bahkan terpinggirkan, dan banyak tokoh muslim yang dipenjarakan. Dengan demikian politik pendidikan Islam lebih diarahkan ke upaya membendung paham komunis. ORBA dimulai tahun 1966, umat Islam sangat berharap kepada pemerintah ORBA, sebab orba paling tidak ada 5 (lima) karakteristik. Pertama, pemerintah Orba merupakan pemerintahan yang kuat dan dominan. Kedua, pemerintahan Orba yaitu pemerintahan yang dipimpin dan di dukung oleh kekuatan militer yang bekerjasama dengan Teknokrat dan Birokrat sipil (A. S. Hikam, 1999: 3-4). Ketiga, pemerintahan Orba menglengkapi dirinya dengan aparat keamanan represif dan aparat politikideologis untuk melestarikan dan mereproduksi kekuasaannya. Keempat, Politik Pendidikan di Indonesia
35
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Pemerintah Orba sejak awal kebangkitannya mendapatkan dukungan dari kapitalisme Internasional; dan Kelima, jika pada suatu pemerintahan Orba mengalami Instabilitas, yang terjadi bukan karena menguatnya posisi politik masyarakat, melainkan lebih disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh negara sendiri dan faktor dunia Internasional. Akibatnya masyarakat pada masa Orba memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Masyarakat Orba mempunyai kedudukan yang lemah jika berhadapan dengan kekuasaan pemerintah. 2. Masyarakat Orba merupakan masyarakat yang disartikulatif dan Involutif. 3. Masyarakat Orba merupakan masyarakat yang mengalami fragmentasi baik yang bersifat kultural maupun struktural (Ahmad Zaini, 1995: 2000). Sebagai akibat pemerintahan Orba memiliki karakteristik (kuat, dominan, represif, dan militeris), padahal masyarakat berciri sebaliknya, (disartikulatif dan involutif) akibatnya hubungan antara pemerintah dan rakyat tidak harmonis dalam arti yang sebenarnya Pseudoharmonis. Situasi dan kondisi yang tampak stabil sebenarnya menyimpan bara Instabilitas yang tinggi, sifatnya konspiratif, kooperatif dan dominatif (H. Syaifi dan Ali Anwar, 1995: 75-81) Menurut penulis uraian di atas muncul fenomena yang kontrakdiktif dan kontroversial. Adanya perbedaan yang cukup mencolok antara kebijakan politik pemerintah secara teoritis yang bersifat formal konstitusonal dengan implikasi yang bersifat represif dominatif. Kebijakan politik pemerintah yang berupa peraturan perundangan selama Orba bukanya meningkatkan pemberdayaan masyarakat di bidang politik, tetapi Abdul Malik
36
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
justru sebaliknya meghasilkan aspirasi dan aktivitas politik masyarakat sehingga tidak berdaya sama sekali. Melihat politik pendidikan pada masa Orba mengacu kepada GBHN sejak 1973-1998. Padahal pada awal Orba berdasarkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, menerapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia berjiwa Pancasila, Cerdas, Terampil dan Berbudi pekerti luhur, serta berkepribadian Indonesia yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembangunan (Hasbullah, 1985: 81). Permasalahan yang timbul dalam bidang pendidikan diantaranya masalah: pemerataan, peningkatan kualitas, efektifitas dan efisiensi, serta relevansi pendidikan dengan pembangunan nasional. Ary H. Gunawan (1986: 5) mengatakan bahwa paling tidak ada 6 (enam) kebijakan: 1.
Melanjutkan program pemberantasn buta huruf yang pada tahun 1972 di kembangkan lebih lanjut dengan memberikan ketrampilan tertentu.
2.
Melaksanakan pendidikan masyarakat agar memiliki kemampuan mental, spiritual, dan ketrampilan.
3.
Mengenalkan pendidikan luar sekolah yang berorientasi kepada hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai kebutuhan praktis.
4.
Mengenalkan kegiatan inovasi pendidikan, misalnya KKN, Universitas Terbuka, Wajib Belajar.
5.
Pembinaan generasi muda melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan sebagainya.
6.
Dilaksanakan program Orang Tua Asuh mulai tahun 1984. Ace Suryadi dan Tilaar (1994: 27), memberitakan bahwa upaya diatas
merupakan kebijakan pendidikan pemerintah Orba yang dicanangkan secara Politik Pendidikan di Indonesia
37
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
nasional. Walaupun realisasinya, kebijakan pendidikan tersebut mengarah ke satu tujuan untuk memperkuat hegemoni pemerintah Orba di masyarakat. Terbukti alokasi dan APBN sangat minim, sehingga bidang pendidikan sebagai sebuah sector yang sangat lemah dan terasa sulit untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Azyumardi Azra (1999: 225), mengemukakan bahwa politik pendidikan Orba lebih jauh akan tampak karekteristiknya sama dengan kebijakan social politiknya, yaitu sentralistis, depolitisasi masyarakat, penguatan kekuasaan pemerintah dan terkesan kurang serius. Sehubungan hal di atas, pemerintah Orba menggiring politik pendidikannya kepada: sebuah Sistem Setralistis, agar pemerintah mudah memonitor, mengontrol jalannya penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah Orba sadar bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk meningkatkan pemberdayaan masing-masing di berbagai bidang. Agar pemberdayaan masing-masing melalui pendidikan mengarah pada sasaran dan tujuan menurut pemerintah, untuk segala perencanaan pendidikan harus ditentukan dan dikontrol oleh pusat. Azyumardi Azra (1999: 255), menegaskan bahwa Orba berupaya menggiring politik pendidikannya pada upaya depolitisasi masyarakat. Berbagai kebijakan yang diambil Orba mengarah ke pengerdilan aspirasi politik masyarakat khususnya mahasiswa. Dalam struktur organisasi kemahasiswaan tidak diperkenankan adanya unit kegiatan mahasiswa yang menjadi wadah aktivitas politik secara praktis di Perguruan Tinggi. Mahasiswa tidak diperkenankan berpolitik praktis di kampus. NKK (Normalisasi
Kegiatan
Kampus)
dan
BKK
(Badan
Kegiatan
Kemahasiswaan) merupakan senjata ampuh untuk meredam meningkatkan pemberdayaan politik mahasiswa. Abdul Malik
38
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Sebagai penutup, penulis mengangkat pernyataan Moh. Mahfud, M.D (1999: 66), bahwa pemerintah Orba mengarahkan politik pendidikannya pada penguatan kekuasaan pemerintah atau Negara. Hal ini terlihat pada semua PNS yang berkecipung di bidang pendidikan tidak diperkenankan menjadi anggota PARPOL tertentu, selain sebuah orientasi LOYAL terhadap pemerintah. E. KESIMPULAN Peta politik pendidikan Islam di Indonesia senantiasa diwarnai oleh peta perpolitikan pemerintah. Lihat saja sejak zaman Pra-Kemerdekaan, Pasca Kemerdekaan (Orde Lama), Orba, dan Era Reformasi, Pendidikan Islam masih berada dalam posisi, secara umum belum berpihak kepada pemberdayaan umat. Pendidikan lebih merupakan alat pemerintah untuk menggiring rakyat atau umat kearah tujuan politik yang diinginkan, walaupun secara teoritis memang tidak salah jika pemerintah menginginkan agar produk – lulusan- lembaga pendidikan memberikan konstibusi pembangunan. Namun, pada saat yang sama khususnya pemerintah juga memberikan kebebasan kepada dunia pendidikan untuk menentukan arah agar tetap memperoleh bantuan, dukungan, dan fasilitas dari pemerintah. DAFTAR KEPUSTAKAAN Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet I. Buchori, Mochtar, Pendidikan Islam Pembangunan, (Jakarta, IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), Cet. I. Hikam, A. S., Politik Kewarganegaraan Landasan Redemokrasi Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 199).
Politik Pendidikan di Indonesia
39
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Mahfud M. D., Moh., Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta, UII Press, 1999) Michael Charles, Stanton., Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), Cet. I. Nata, Abuddin., Akhlak – Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), Cet. I. Poerwadarminto, W. J. S., Kamus Ilmu Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1991) Cet. 12.
Abdul Malik
40
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
KAJIAN ANALISIS TENTANG KADAR ZAKAT PROFESI Oleh: Ikhsan Intizam
Abstract: Besaran kadar zakat profesi tidak akan dijumpai dalam nash-nash Hadits apalagi dalam al Qur’an. Karena zakat profesi sendiri merupan hasil ijtihadiyah ulama kontemporer yang tidak dijumpai pada zaman Nabi Mumahammad SAW atau Khulafaur Rosidin. Banyaknya macam dan jenis profesi, menjadikan perselisihan yang memicu ketidak puasan penetapan dengan kadar zakat mal yang 2,5 %. Ketidak puasan itu dilatar belakangi perbedaan bentuk-bentuk usaha, besaran penghasilan, tingkat kemudahan dan kesulitan serta waktu memperolehnya. Pemicu perselisihan lainnya adalah karena tidak adanya kesamaan illat hukum yang akan dijadikan dasar untuk meng-qiyas-kan dengan kadar zakat yang lain. Kata Kunci: Zakat Profesi, Ijtihadiyah, dan Qiyas
A. Pendahuluan Besaran kadar zakat profesi tidak akan dijumpai dalam nash-nash Hadits apalagi dalam al Qur’an. Karena zakat profesi sendiri merupan hasil ijtihadiyah ulama kontemporer yang tidak dijumpai pada zaman Nabi Mumahammad SAW atau Khulafaur Rosidin. Banyaknya macam dan jenis profesi, menjadikan perselisihan yang memicu ketidak puasan penetapan dengan kadar zakat mal yang 2,5 %. Ketidak puasan itu dilatar belakangi perbedaan bentuk-bentuk usaha,
Penulis adalah Dosen STIT Muhammadiyah Kendal.
Ikhsan Intizam
41
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
besaran penghasilan, tingkat kemudahan dan kesulitan serta waktu memperolehnya. Seorang broker, kontraktor, dai kondang, pemain bola, pebulutangkis atau artis dan lainnya dapat memperoleh penghasilan yang sangat besar hanya dalam waktu yang singkat dan tidak membutuhkan energi yang banyak. Di sisi lain profesi seorang guru, karyawan, pegawai dan lainnya harus banting tulang untuk mendapatkan penghasilan yang tidak begitu besar dan dalam waktu yang lama. Apakah adil kalau kadar zakatnya disamakan yaitu, 2,5 % ? Sedang seorang petani saja yang mempunyai penghasilan 5 wasaq ( 750 kg) dibedakan kadarnya antara 5 % dan10 %, sesuai tingakat kesulitannya. Kalau tadah hujan zakatnya 10 % karena tidak banyak mengeluarkan biaya, sedang yang diairi irigasi kadarnya 5 % karena banyak mengeluarkan biaya. Pemicu perselisihan lainnya adalah karena tidak adanya kesamaan illat hukum yang akan dijadikan dasar untuk meng-qiyas-kan dengan kadar zakat yang lain. Oleh karena itu pembahasan ini akan meliputi pengertian kadar zakat, pendapat-pendapat ulama tentang kadar zakat profesi beserta alasanalasannya serta metode pengambilan hukumnya, munaqosatul adilah dan kesimpulan. Kemudian pengambilan pendapat yang lebih kuat.
B. Kadar Zakat Dalam penjelasan atas Undang-undang RI nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kadar zakat adalah besarnya perhitungan atau persentase zakat yang harus dikeluarkan (Penjelasan UU RI Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Kadar Zakat Profesi
42
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Zakat pasal 10 ayat 3). Kadar zakat dalam konsep fikih zakat berbeda- beda sesuai jenis harta yang dizakati. Berikut ini macam-macam harta yang wajib dizakti dengan kadar zakat yang ditentukan dengan nash (hadits): 1. 40 ekor kambing kadar zakatnya 1 ekor kambing (= 2,5%) 2. 5 ekor unta kadar zakatnya 1 ekor kambing
(= 2,5%)
3. 30 ekor kerbau, sapi, kuda kadar zakatnya 1 sapi umur 1 tahun lebih (= 2,5%) 4. 5 wasaq tanaman kadar zakatnya 5 % bila diairi air atau irigasi. 10 % jika tadah hujan. 5. 20 dinar emas kadar zakatnya ½ dinar. (= 2,5%) 6. 200 dirham perak kadar zakatnya 5 dirham.(= 2,5%) 7. Rikaz atau harta temuan kadar zakatnya 1/5 atau 20 % (Ibnu Rusyd, 1990: 545) Oleh karena macam harta yang wajib dikeluarkan zakatnya itu sangat terbatas, maka ulama-ulama sepakat bahwa harta yang tidak disebutkan kewajiban zakatnya oleh nash harus di-qiyas-kan kepada harta yang disebutkan didalam nash, sehingga dengan demikian kadar zakatnya juga menyesuaikan, apakah menganut prinsip 2,5 % atau 5 % atau 10 % atau 20 %. Contoh, zakat perdagangan. Nisab dan kadar zakat perdagangan tidak ditentukan oleh Rasulullah saw, padahal perdagangan pada zaman Rosul sudah sangat pesat dan meliputi berbagai macam barang dagangan. Karena tidak ada ketentuan nisab dan kadarnya maka ulama berbeda pendapat dalam menentukan zakat perdagangan
ini.
Madzhab
Dhohiriyah
berpendapat
bahwa
zakat
perdagangan tidak ada karena tidak ada nash yang mewajibkan. Madzhab Imamiyah mengatakan barang dagangan tidak wajib dizakati, tapi Ikhsan Intizam
43
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
keuntungan dari hasil perdagangan wajib dizakati. Menurut Imamiyah kadar zakatnya di kiaskan kepada harta rampasan perang yaitu 1/5 atau 20 %. Sedang menurut Jumhur ulama barang dagangan wajib dizakti dan kadarnya di-qiyas-kan kepada kadar zakat emas dan perak yaitu 2,5%. Hal ini karena emas dan perak lebih dekat illatnya dan lebih stabil.
C. Bagai mana dengan Kadar Zakat Profesi? Lazimnya para ulama dalam berijtihad adalah dengan menggunakan qiyas. Akan tetapi, penggunaan qiyas untuk permasalahan zakat profesi ini sangat rumit karena ketidak jelasan harus di-qiyaskan kemana, karena tidak ada illat yang sama. Sehingga banyak menimbulkan perselisihan. Dalam hal ini ulama terbagi dalam tiga pendapat; (Muhammad, 2002: 64). 1. Kadar zakat profesi di-qiyas-kan kepada zakat pertanian yaitu 5 % bila dialiri air atau irigasi, 10 % bila tadah hujan. Pendapat ini dikemukakan diantaranya oleh Syekh Muhammad al Ghozali. 2. Kadar zakat profesi di-qiyas-kan kepada zakat emas dan perak yaitu 2,5 %. Pendapat ini dikemukakan oleh Yusuf Qordhowi, Wahbah Zuhaily, Abdul Wahab Kholaf, Muhammad Abu Zahrah, dan lainnya. 3. Kadar zakat profesi di-qiyas-kan kepada kadar zakat rikaz yaitu 20 %. Pendapat ini muncul dari ulama-ulama zaman modern seperti Amin Rais pada Muktamar Muhammadiyah di Surakarta yang mengemukakan perlunya peninjauan ulang kadar zakat profesi yang 2,5 % karena semakin mudah dan besar penghasilan yang diperoleh dari profesinya. Juga dalam bukunya “Aspek sosial Pengelolaan Zakat”. Serta ulamaulama lainnya.
Kadar Zakat Profesi
44
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
D. Dalil-dalil 1. Pendapat yang meng-qiyas-kan dengan zakat pertanian didasari pada: a. Keumuman dalil diwajibkannya zakat atas pekerjaan Firman Allah Surat Al Baqoroh:16, Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya
melainkan
dengan
memincingkan
mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Kasabtum artinya semua hasil kerja kalian, baik pegawai, guru atau lainnya termasuk petani. b. Hadits Rosulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam shohihnya. “Bagi setiap muslim zakat itu dikeluarkan dari hartanya, dari hasil kerja tangannya yang bermanfaat dirinya” (HR Bukhori dari Abi Musa Asy’ari.). Dalam Shoheh Bukhri, Kitab Zakat II. 143. c. Syara’ telah mewajibkan zakat atas hasil-hasil pertanian sebagai hasil usaha dan jerih payah Pak Tani. Maka tidak ada perbedaan antara Pak Tani dengan hasil kejanya di sawah dengan Pegawai dari hasil usaha di kantor, atau buruh dari hasil usaha di pabrik dan lain sebagainya. Jadi kesamaan illat-nya adalah sama-sama merupakan upah dari hasil kerja.
Ikhsan Intizam
45
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Berdasar dalil-dalil tersebut, maka setelah mencapai nisab 5 wasaq (750 Kg) kadar yang di ambil adalah 5% bila diairi atau irigasi dan 10% bila tadah hujan. Artinya, kalau pekerjaan atau profesi itu membutuhkan tenaga dan biaya yang banyak maka kadarnya 5 % seperti sawah yang di airi irigasi. Sedang pekerjaan atau profesi yang tidak membutuhkan tenaga atau biaya banyak dan dengan mudah dapat memperoleh hasil yang lebih banyak maka kadarnya 10 %, seperti sawah tadah hujan. 2. Pendapat yang meng-qiyas-kan dengan emas dan perak berpedoman dengan dalil-dalil: a. Ijmak atau kesepakatan semua ulama dari mulai sahabat, tabi’in dan para fuqoha. Diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Muawiyah, Umar bin Abdul Aziz dan pemikir Islam modern seperti Yusuf Qordhowi. b. Kedekatan illat. Peng-qiyas-an kadar zakat profesi, kepada emas dan perak lebih dekat dan lebih cocok dari pada kepada pertanian, karena sama-sama berupa uang. Gaji, honor dan upah adalah berbentuk uang sehingga tidak ada alasan untuk tidak meng-qiyaskan kepada emas dan perak. c. Praktek langsung kholifah Umar bin Abdul Aziz yang memungut gaji dari para tentaranya sebesar 2,5 % (Muhammad, 2002: 65). 3. Pendapat yang meng-qiyas-kan dengan kadar zakat 20 % menggunakan dasar sebagai berikut: a. Pada Firman Allah Swt dalam Al Qur’an Al Anfal: 41 Artinya: Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa Kadar Zakat Profesi
46
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Kata Ghonimtum berasal dari kata ghonima yang artinya bukan hanya harta rampasan perang saja. Tapi dalam kamus Bahasa Arab Al Munjid fii lughoh wal a’lam karangan Luwis Makluf diterangkan bahwa Ghonimah juga berarti memperoleh sesuatu dengan tanpa kepayahan. Ghonimah juga berarti untung, manfaat dan faedah (Luwis Makluf, 1986: 561). Jadi, jika ditinjau dari makna lughowi ayat diatas berarti juga berlaku untuk penghasilan diluar perang juga. Kalau perang yang dilakukan dengan pengorbanan yang sangat berat baik tenaga, harta bahkan nyawa sekalipun harus mengeluarkan 20%, maka penghasilan yang banyak dan dapat diperoleh dengan tanpa susah payah seharusnya lebih pantas kalau kadar zakatnya 20%.
b. Praktik yang dilaksanakan Rasul SAW. 1) Rombongan Bani Qays menemui Nabi SAW, mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi SAW kecuali dibulan Haram. Mereka takut kepada kaum musyrik Mudhor. Nabi SAW memerintahkan mereka
mengucapkan
syahadat,
menegakkan
sholat
dan
mengeluarkan seperlima dari kelebihan penghasilan mereka. 2) Nabi mengutus Umar bin Hazm ke Yaman, Nabi SAW menyuruhnya untuk mengumpulkan perlimaan di samping zakat.
Ikhsan Intizam
47
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
c. Qiyas kepada Rikaz yang mempunyai kesamaan illat yaitu dalam kemudahan dalam memperoleh harta.
E. Munaqosatul Adilah 1. 5 % atau 10 % a. Pendapat yang menggunakan Surat Al Baqoroh ayat 267 dan hadits diatas sebagai dalil kadar zakat profesi 5% atau 10% adalah bentuk yang mengada-ada. Ayat dan Hadits tersebut sangat umum. Jika sebagai dalil untuk kewajiban zakat profesi masih dapat diterima tapi tidak untuk menetapkan kadar zakatnya 5% atau 10%. b. Bertentangan kesepakatan ulama dari mulai sahabat dan tabi’in serta praktek yang dilakukan kholifah Umar bin Abdul Aziz yang menarik zakat 2,5 %. c. Penggunaan Illat sama-sama upah hasil kerja tidak tepat. Karena menggembala kambing, sapi, unta dll termasuk perdagangan juga merupakan sebuah pekerjaan yang mendatangkan hasil. d. Zakat pertanian dikeluarkan langsung setelah panen. Hal ini menjadi sulit bagi pegawai, guru, dokter dan lain-lain yang memperoleh penghasilan harian, mingguan atau bulanan. Dan untuk menentukan mana yang harus 5% atau 10 % tidak ada standar yang jelas.
2. 2,5 % Peng-qiyas-an kepada zakat emas dan perak memang ada kedekatan illat, tapi zakat emas dan perak disyaratkan mencapai haul, sedang zakat profesi tidak semua pakai haul, tergantung jenis profesi dan pembayarannya. Ada yang sekali kerja hasilnya melebihi nisab seperti Kadar Zakat Profesi
48
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pebulutangkis professional, kontraktor, broker dan lainnya. apakah mereka harus menunggu haul untuk zakatnya? Qiyas seperti agak muskil karena ketidak samaan illat.
3. 20 % 1. Beristidlal dengan Surat Al Anfal ayat 41 sangat tidak relefan. Karena meskipun kata ghonimtum secara bahasa berarti bukan hanya harta rampasan perang, tapi secara urfi sudah maklum bahwa kata-kata ghonimah itu yang dimaksud tidak ada yang lain kecuali harta rampasan perang bukan usaha atau profesi yang lain. Membawa makna Ghonomtum kepada makna bahasanya tidak dibenarkan selama ada makna urf i (Al Qurtuby, 1995: 362). 2. Adapun praktik yang dilakukan Rasul mengambil 1/5 dari selain rampasan perang juga tidak serta merta menunjukkan bahwa penetapan kadar zakat profesi 1/5. 3. Penggunaan qiyas kepada rikaz adalah sangat jauh. Karena kalau rikaz itu benar-benar memperoleh harta yang banyak karena bukan kerja keras. Ia adalah anugerah dari Allah. Berbeda dengan profesi, ia harus usaha maksimal agar dapat hasil yang banyak. Meskipun akhirnya dapat memeperoleh hasil yang banyak dengan mudah tapi awalawalnya melalui perjuangan yang berat. Hasil keuletan modal, keahlian dan usaha maksimal.
Ikhsan Intizam
49
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
F. Kesimpulan Setelah melihat masing-masing pendapat dan dalil-dalil yang dikemukakan serta munaqosatul adilah, maka dapat dimabil pendapat yang lebih kuat dari ketiga pendapat diatas yaitu pendapat kedua yang mengatakan kadar zakat profesi 2,5 %. Pendapat ini dipilih oleh Yusuf Qordhowi,Wahbah Zuhaily, Abdul Wahab Kholaf, Muhammad Abu Zahrah dan lainnya. Alasannya: 1. Dalil yang dikemukakan lebih kuat dibanding dengan dalil-dalil pendapat lain. 2. Illatnya lebih dekat. 3. Pernah dipraktekkan oleh kholifah Umar bin Abdul Aziz. Adapun dalam munaqosah disebutkan ada ketidak cocokan dalam illat qiyas karena harus mencapai haul sedang penghasilan profesi tidak semua harus mencapai haul maka dapat katakan sebagai berikut: “Menurut Yusuf Qardhawi, persyaratan haul dalam seluruh harta termasuk harta penghasilan tidak berdasarkan nash yang mencapai tingkat shohih”. Oleh kerena itu zakat profesi dapat dikeluarkan saat menerima penghasilan yang sudah mencapai nisab.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Al Zuhaily, Wahbah, 1996, Al Fiqhu Al Islamiy wa Adilatuhu, Bairut: Dar el fikr. Al Buny, Djamaludin Ahmad, 1983, Problematika Harta dan Zakat, Surabaya:Bina Ilmu. Al Qurtuby, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshory, 1995, Al Jami’u Liahkami al Qur’an, Bairut: Dar El Fikr.
Kadar Zakat Profesi
50
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Dewan Syari’ah Lazis Muhammadiyah, 2004, Pedoman Zakat Praktis. Suara Muhammadiyah Makluf, luwis, 1986, Al Munjud fi Al Lughah wa Al A’lam, Bairut: Dar Al Masyriq. Muhammad, 2002, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer. Jakarta: Salemba Diniyah. Qardhawy, Yusuf , 1994, Fiqhu Zakat, Dirasah Muqaranah liahkamiha wa falsafatiha fii dhaui Al Qur’an wa As Sunah, Bairut: muasasah Ar Risalah. Rusyd, Ibnu, 1990, Bidayatul Mujtahid (Terjemahan: M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah) Semarang: CV. As Syfa’. Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Jakarta: Departemen Agama.
Ikhsan Intizam
51
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. IMAM ZARKASYI Oleh: Utomo Abstrak: Profil K.H. Imam Zarkasyi bisa dibilang luar biasa. Walaupun berasal dari keturunan ningrat atau priyayi, sejak usia 8 tahun Gus Zarkasyi kecil sudah kehilangan ayah. Dua tahun kemudian, dia juga ditinggal ibunda tercintanya yang berpulang ke rahmatullah. Kondisi ini memukul perasaan Gus Zarkasyi, tetapi Gus Zarkasyi tetap tabah menghadapi kenyataan tersebut. Gus Zarkasyi tetap tekun menimba ilmu. Dia tidak hanya menimba ilmu keagamaan di pondok pesantren, melainkan juga di sekolah-sekolah umum. Gagasan dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi di dunia pendidikan juga tak kalah hebatnya. Moderninasi pesantren yang di-launching K.H. Imam Zarkasyi sangat luar biasa untuk ukuran zamannya. Ditengah-tengah masyarakat yang menolak segala sesuatu yang berbau Barat, K.H. Imam Zarkasyi malah melawan arus dengan menampilkan corak pendidikan pesantren yang jauh berbeda dengan trend yang berkembang ketika itu. Selain dari aspek kurikulum, metode, dan manajemennya. Kata Kunci: Modernisasi, Pesantren, dan Pendidikan Islam
A. Pendahuluan GONTOR. Barangkali tidak asing bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan Timur Tengah dan Asia Tenggara. Konon, di desa ini berdiri sebuah Pondok Pesantren Modern bernama “Darussalam” (kampung damai), yang pada perkembangannya lebih akrab dengan sebutan Pondok Gontor. Nama besar pesantren ini melampaui popularitas para arsitek yang merintis dan mengembangkannya. Masyarakat, dalam hemat saya, barangkali lebih mengenal Pondok Gontor ketimbang para pengasuh
Penulis adalah Dosen STIT Muhammadiyah Kendal, Pengawas SMP, SMA, dan SMK di lingkungan Diknas Kabupaten Kendal serta saat ini sedang menempuh pendidikan Doktor di UNNES.
Utomo
52
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pesantren ini. Di balik keharuman Pondok Gontor sejatinya terdapat sosok kiai karismatik yang tak terlupakan dalam khazanah intelektual Indonesia, yaitu KH. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Imam Zarkasyi. Tetapi, nama K.H. Imam Zarkasyi lebih familiar bagi masyarakat, sehingga Pondok Gontor sangat identik dengan dirinya. Maklum, K.H. Imam Zarkasyi-lah yang menjadi arsitek pembaharu pondok pesantren tersebut. Profil K.H. Imam Zarkasyi bisa dibilang luar biasa. Walaupun berasal dari keturunan ningrat atau priyayi, sejak usia 8 tahun Gus Zarkasyi kecil sudah kehilangan ayah. Dua tahun kemudian, dia juga ditinggal ibunda tercintanya yang berpulang ke rahmatullah. Kondisi ini memukul perasaan Gus Zarkasyi, tetapi Gus Zarkasyi tetap tabah menghadapi kenyataan tersebut. Gus Zarkasyi tetap tekun menimba ilmu. Dia tidak hanya menimba ilmu keagamaan di pondok pesantren, melainkan juga di sekolah-sekolah umum, di antaranya Holand Arabische School (HAS) yang didirikan oleh kolonial Belanda sebagai salah satu implementasi politik etis pada abad ke20. Hebatnya lagi, Gus Zarkasyi pernah mondok di sejumlah pesantren, termasuk di Pondok Pesantren yang diasuh oleh Mahmud Yunus. Lebih dari itu, setelah selesai studi, pengalaman dan karir organisasi K.H. Imam Zarkasyi juga patut diacungi jempol. Beberapa jabatan strategis pernah didudukinya. Di antaranya sebagai anggota Dewan Pertimbangan MUI dan anggota Dewan Perancang Nasional yang didirikan oleh Soekarno. Gagasan dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi di dunia pendidikan juga tak kalah hebatnya. Moderninasi pesantren yang di-launching K.H. Imam Zarkasyi sangat luar biasa untuk ukuran zamannya. Ditengah-tengah masyarakat yang menolak segala sesuatu yang berbau Barat, K.H. Imam Zarkasyi malah melawan arus dengan menampilkan corak pendidikan pesantren yang jauh berbeda dengan trend yang berkembang ketika itu. Selain dari aspek kurikulum, metode, dan manajemennya, ada sesuatu yang sangat mencolok dan menarik untuk disinggung dari Pondok Gontor, yaitu mode pakaian yang dikenakan oleh santri dan siswa Pondok Gontor: celana, Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
53
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
kemeja dan dasi. Ini tentu berbeda dengan mode yang sudah mapan di pesantren-pesantren ketika itu, yaitu sarung dan theklek (sandal dari kayu). Masyhurnya, sarung adalah trade mark pesantren dan menjadi pakaian “wajib” setiap santri, khususnya di Jawa. Dan masyarakat masih sangat tabu dengan celana, kemeja atau dasi, bahkan di antaranya mengharamkan menggunakan pakaian ‘orang kafir’ itu. Pada titik yang paling ekstrim, orang yang mengenakan celana atau pakaian-pakaian ala Barat lainnya bisa divonis kafir. Alasannya jelas, man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (barang siapa yang identik atau mengidentikkan diri dengan suatu golongan, maka dia termasuk dari golongan itu). Dalam kondisi seperti itu, K.H. Imam Zarkasyi malah mewajibkan semua santri dan siswanya untuk mengenakan “celana, kemeja dan dasi”. Tak ayal lagi Pondok Gontor menjadi sorotan publik, dan kritikan pedas pun menerpa Pondok Gontor. Corak dan sistem pesantrennya “wis aneh” ditambah lagi dengan pakaian “ sing nyeleneh”. Rasanya, lengkap sudah “dosa-dosa” sosial Pondok Gontor kepada masyarakat. Namun Pondok Gontor menanggapinya dengan tenang-tenang saja. Sebab, penolakan adalah hal yang wajar di setiap munculnya gagasan perubahan. Inilah gambaran profil dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi yang akan diulas dalam makalah ini. Topik Pemikiran Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi ini ditujukan untuk mengupas pemikiran dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi di dunia pendidikan, yang kemudian dilanjutkan dengan pemetaan pemikirannya dengan menggunakan pemetaan ideologi-ideologi pendidikan. B. Profil, Karya dan Kiprah K.H. Imam Zarkasyi di Dunia Pendidikan Profil K.H. Imam Zarkasyi yang ada dalam makalah ini hanya sekilas saja. Sebab, saya yakin bahwa untuk mengurai sosok K.H. Imam Zarkasyi tidak cukup dalam sebuah makalah yang sangat ringkas nan sederhana ini. Pastinya memerlukan ratusan halaman atau lebih untuk Utomo
54
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
mengupas tuntas figur K.H. Imam Zarkasyi. Yang ada dalam makalah ini hanya selayang pandang tentang K.H. Imam Zarkasyi. Bila sering didengar adagium “tak kenal, maka tak sayang”, bisa saya plesetkan menjadi “tak kenal, maka tak paham”. Maksudnya, tanpa uraian tentang K.H. Imam Zarkasyi, sekali lagi walau hanya sekilas, saya khawatir “ikatan batin” kita dengan K.H. Imam Zarkasyi tidak muncul, akibatnya kita sulit untuk mencerna gagasan dan pemikiran brilian sosok modernis pendidikan pesantren ini. Dari catatan yang ada, Gus Imam Zarkasyi —ketika itu masih belum menyandang “gelar” Kiai Haji)— dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1910 M, di desa Gontor, Kecamatan Mlarak, 12 km ke arah tenggara kota Ponorogo, Jawa Timur. Dia meninggal juga pada bulan Maret, tanggal 30, tahun 1985, dengan meninggalkan seorang isteri dan 11 orang anak (Nata, 2003: 195). Jadi, K.H. Imam Zarkasyi tidak berpoligami. Ia merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara dengan ayah bernama Raden Santoso Anom Besari — sementara Hery Noer Aly (2003: 145) menulisnya dengan Raden Santausa Annam Bashari— dan ibu Rr. Sudarmi. Raden Santoso Anom Besari sendiri masih keturunan keenam dari kesepuhan Cirebon. Sedangkan sang ibu, Rr. Sudarmi adalah keturunan Surodiningrat, Bupati Madiun (Nasution, 1988: 406). Dari gambaran silsilah ini K.H. Imam Zarkasyi masih berasal dari keturunan ningrat, atau meminjam istilah Geertz, golongan priyayi. Sebagaimana disebutkan di atas, Gus Zarkasyi sejak usia 8 tahun sudah menjadi anak yatim. Dua tahun kemudian (tahun 1920) dia harus kehilangan ibundanya. Pendidikan awalnya ditempuh di Holland Inlansche School (HIS) Ongkoloro, setingkat Sekolah Dasar di Jetis Ponorogo (1923). Lembaga ini adalah lembaga pendidikan kolonial yang memang diperuntukkan bagi kalangan ningrat atau orang kaya. Gus Zarkasyi kecil bisa sekolah di lembaga itu karena dia memiliki “darah biru”. Di sela-sela pendidikan yang ditempuh di HIS, Gus Zarkasyi nyantri di Josari. Selain di Josari, Gus Zarkasyi juga pernah mondok di pesantren Joresan dan Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
55
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Tegalsari. Setelah tamat dari Sekolah Ongkoloro, Gus Zarkasy mondok lagi di Pondok Pesantren Jamsaren sambil belajardi Sekolah Mambaul Ulum, kedunya di Solo. Masih di kota yang sama, dia melanjutlan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah, sampai tahun 1930 (Nata, 203: 195). Ketika belajar di Solo inilah Gus Zarkasy sempat menimba ilmu pada Sayid alHasyimi, seorang ulama, sastrawan dan politisi dari Tunisia yang diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah jajahan Belanda dan akhirnya menetap di Indonesia. Sosok al-Hasyimi inilah yang disebut-sebut amat berpengaruh pada K.H. Imam Zarkasy (Nasution, 1988: 407). Dengan semangatnya menuntut ilmu, Gus Zarkasyi meneruskan studinya di Kweekschool Islam (versi lain menyebut “Normal Islam”), Padang Panjang, Sumatera Barat, di bawah asuhan Mahmud Yunus, hingga tahun 1935. Selanjutnya, oleh Mahmud Yunus Gus Zarkasyi diberi amanat untuk menjadi guru dan direktur lembaga itu. Namun berhubung Gus Zarkasyi sangat dibutuhkan di Pondok Gontor, dia menjadi direktur Kweekscholl Islam hanya selama satu tahun. Oleh dua kakaknya, K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin Fanani, Gus Zarkasyi diminta kembali ke Pondok Gontor, untuk sama-sama mengembangkan pondok warisan orang tua mereka. Akhirnya, pada tahun 1936, Gus Zarkasyi kembali ke kampung halamannya. Sejak saat itulah dia mulai aktif berkecimpung di Pondok Gontor. K.H. Imam Zarkasyi juga sosok yang produktif dalam dunia tulis menulis. Sejumlah karya ilmiah lahir dari tangannya, antara lain: 1. Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam 2. Pedoman Pendidikan Modern 3. Kursus Agama Islam 4. Ushuluddin 5. Pelajar Fiqh I dan II 6. Bimbingan Keimanan 7. Pelajaran Bahasa Arab I dan II 8. Kamus Bahasa Arab 9. dan lain-lain (Nata, 2995: 200) Utomo
56
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Selain ketekunannya menuntut ilmu dan kesibukannya di dunia pendidikan pesantren, plus kreativitasnya dalam tulis menulis, K.H. Imam Zarkasyi ternyata juga aktif di lembaga sosial dan politik, antara lain: 1. Kepala Kantor Agama Keresidenan Madiun, 1943-…. 2. Pengurus Pusat Hisbullah, 1947-… 3. Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dan Komite Penelitian Pendidikan, 1946-… 4. Aktif di Direktorat Pendidikan Agama, ketika H.M. Rasyidi menjadi Menteri Agama 5. Aktif di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada saat Ki Hajar Dewantara sebagai menterinya 6. Ketua PB Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), 1948-1955 (Nasution, 1988: 407) 7. Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama, 1951-1953 8. Ketua Dewan Pengawas Pendidikan Agama, 1953 9. Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama Departemen Agama, 1957 10. Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan, 1957 11. Anggota Dewan Perancang Nasional dan Dewan Ekonomi Nasional, 1956 12. Anggota Delegasi Indonesia dalam kunjungan ke Uni Soviet, 1962 13. Wakil Indonesia dalam Mu’tamar Majma al-Buhuts al-Islamiyah (Mu’tamar Islam se-Dunia) ke-7, Kairo, Mesir, 1972 14. Anggota Majelis Syuro Partai Masyumi, 1945-1952 15. Dewan Pertimbangan MUI Pusat (Nata, 2005: 1999). Dengan membaca riwayat hidup K.H. Imam Zarkasyi di atas, ada beberapa catatan menarik yang dapat kita angkat dari sosok K.H. Imam Zarkasyi. Pertama, dilihat dari tempatnya menuntut ilmu, tampak bahwa K.H. Imam Zarkasyi adalah ulama yang murni produk lokal. Ia tidak pernah menimba ilmu di Timur Tengah, sebagaimana ulama pada umumnya. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dalam negeri sejatinya tidak kalah baik dibanding dengan pendidikan luar negeri, khususnya Timur Tengah.
Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
57
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Kedua, dilihat dari segi aktivitasnya yang tidak hanya di dunia pesantren, melainkan juga di ranah sosial, politik dan kenegaraan, mencerminkan bahwa dia adalah ulama trans-nasional yang mampu berkomunikasi dengan berbagai lapisan masyarakat. Hal ini juga bisa dilihat dari motto Pondok Gontor “Gontor di atas dan untuk semua golongan”. Inilah yang menjadikan K.H. Imam Zarkasyi bisa diterima oleh semua kalangan. Ketiga, bila dilihat dari karya-karya dan pengalaman jabatan yang didudukinya bisa digaris bawahi bahwa K.H. Imam Zarkasyi memang lebih tanpak keahliannya di bidang pendidikan, di banding dengan dunia yang lain. C. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi Dari sejumlah pemikiran pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, dalam makalah ini hanya diurai empat aspek saja yang dianggap sangat penting dari sekian konsep pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi. 1. Tujuan Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi melihat bahwa kelemahan pesantren di masa lalu adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas, yang dituangkan dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Pendidikan seakan-akan berjalan mengikuti keahlian dan kehendak pesantren. Untuk itu dia melakukan studi banding ke sejumlah lembaga pendidikan, antara lain: 1) Universitas Al-Azhar, Mesir; 2) Pondok Syanggit, Afrika Utara, dekat Lybia; 3) Universitas Muslim Aligarch, Indiia, dan 4) Perguruan Shantiniketan, India. Sebuah perguruan yang didirikan oleh filosof Hindu, Rabendranath. Hasil studi banding ke sejumlah lembaga pendidikan itu diracik dengan realitas sosial dan pengalaman yang diperoleh, K.H. Imam Zarkasyi kemudian merumuskan tujuan pendidikannya. Menurut Burhanuddin dan Baedowi (dalam Nata, 2005: 205), K.H. Imam Zarkasyi merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut: Yang jelas hanya satu saja, yaitu untuk menjadi orang … Jadi masih bersifat dan belum menjurus, belum calon doktor, belum
Utomo
58
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
calon kusir, belum calon apa-apa. Katakanlah calon manusia. Manusia itu apa kerjanya? Dari pendidikan yang kami berikan itu mereka akan tahu nanti di masyarakat apa yang akan dikerjakan … Jadi persiapan untuk masuk masyarakat dan bukan untuk (masuk) perguruan tinggi. Maka dari itu, kami namakan pendidikan dengan pendidikan kemasyarakatan, dan itu yang kami utamakan.
Sepintas, tujuan pendidikan yang dirumuskan K.H. Imam Zarkasyi memang sangat sederhana, “untuk menjadi orang”. Sebenarnya istilah ini cukup familiar di kalangan masyarakat kita, khususnya orang-orang sepuh (wabil khusus orang-orang kampung alias pedalaman). Ketika mereka ditanya apa yang dicita-citakan atau diharapkan dari anak-anak mereka, umumnya mereka menjawab: “yang penting jadi orang”. Hemat saya, frasa ini memiliki makna yang sangat mendalam. Maksud frasa itu adalah menjadi manusia yang benar-benar manusia. Bukan manusia yang seperti binatang. Apalah artinya memiliki ilmu “segudang” tetapi tidak bermanfaat atau bahkan merugikan masyarakat. Padahal yang diharapkan dari pendidikan adalah melahirkan sosok manusia yang paham akan jati dirinya sebagai manusia, menukil istilah al-Qur’an: khalifah fi al-ardl. Sebab, jika manusia sadar akan eksistensi dan tanggung jawab dirinya sebagai insan alkamil yang bertugas menjadi the vice of God (wakil Tuhan), dia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Pendek kata, tujuan pendidikan K.H. Imam Zarkasyi adalah untuk melahirkan orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama —persis seperti jawaban siswa-siswi Sekolah Dasar, ketika ditanya apa cita-cita mereka. Ini sesuai dengan ajaran Rasul bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”. Atau jika tidak bermanfaat bagi orang lain, setidak-tidaknya tidak merugikan orang lain. Interpretasi selanjutnya dari tujuan pendidikan K.H. Imam Zarkasyi ini adalah menyiapkan manusia yang bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Ini bisa dicerna dari redaksi “mereka akan tahu nanti di
Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
59
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
masyarakat apa yang akan dikerjakan … Jadi persiapan untuk masuk masyarakat dan bukan untuk (masuk) perguruan tinggi”. Sudah barang tentu untuk hidup di tengah-tengah masyarakat tidak cukup dengan hanya berbekal kemampuan kognitif saja, tetapi juga psikomotorik yang dihiasi dengan afeksi yang benar-benar baik. Cukup banyak orang yang menimba ilmu hingga bertahun-tahun di pesantren atau bahkan hingga perguruan tinggi, tetapi sayangnya dia tidak tahu apa yang harus dilakukan (di dan untuk) masyarakat sekitarnya. Jangankan untuk berbuat sesuatu untuk masyarakatnya, untuk membantu dirinya sendiri saja dia tidak mampu. Terang saja mereka menjadi bahan gunjingan tetangganya. Efek sampingnya, masyarakat jadi emoh menyekolahkan anaknya. Sebab, yang ada di hadapan mereka adalah alumni-alumni dunia pendidikan “yang gagal total”. Kalau begini jadinya, ‘kan parah. Untuk itu, K.H. Imam Zarkasyi menghendaki agar pendidikan melahirkan sosok yang memiliki kemampuan intelektual yang baik, skill yang baik, serta sikap dan perilaku yang baik pula. Khusus untuk perilaku juga penting untuk dicermati. Sungguh banyak jebolan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan tertentu yang “hebat” secara kognitif dan psikomotorik, tetapi tidak didukung dengan afektif yang sama hebatnya. Konsekuensinya, pengetahuan dan keahliannya tidak difungsikan untuk membantu orang lain, tetapi malah merugikan orang lain. Dalam hal ini kita tidak perlu repot-repot mencari contoh. Tengok saja “tikus-tikus kantor” di negeri ini. Semuanya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan skill yang tinggi. Makanya mereka acapkali disebut dengan the white collar crime, penjahat kerah putih. Tentu, tanpa kemampuan dan skill yang baik, mereka tidak akan bisa atau setidak-tidaknya tidak ahli dalam korupsi. Justru karena mereka memiliki ilmu pengetahuan dan skill-lah, mereka canggih dalam melakukan korupsi. Ini terjadi, sekali lagi, karena dalam diri mereka tidak tertanam sikap dan perilaku yang baik. Sikap perilaku yang baik dalam Islam pastinya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Bukankah Utomo
60
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa “barang siapa yang mengikuti (petunjuk) Al-Qur’an dan Hadits dia akan selamat”. Orang yang mengikuti Al-Qur’an dan Hadits layak untuk mendapat gelar takwa. Sebab dia akan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah plus dihiasi dengan akhlak alkarimah. Dan Nabi Muhammad sendiri memang hadir untuk mengarahkan agar manusia bersikap dan berperilaku baik, “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”; dan Allah juga menegaskan bahwa “sejatinya pada diri Muhammad terdapat akhlak yang luar biasa”. Sebagai seorang muslim, kalau bukan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad yang menjadi cerminan kita, lantas apa dan siapa yang akan kita ikuti? 2. Kurikulum Pendidikan Ada sebuah pengalaman penting yang diperoleh K.H. Ahmad Sahal, kakak kandung K.H. Imam Zarkasyi, ketika mengikuti Kongres Umat Islam Indonesia yang berlangsung di Surabaya, tahun 1926 (berarti ketika itu K.H. Imam Zarkasyi masih + berusia 16 tahun). Di arena kongres itu, peserta kongres kebingungan untuk menentukan siapa delegasi yang akan dikirim untuk mengikuti Mu’tamar Umat Islam se-Dunia ke-7 yang akan dilaksanakan di Makkah. Sebab, persyaratan yang ditentukan oleh Panitia bagi peserta mu’tamar adalah harus bisa berbahasa Arab dan Inggris. Celakanya, dari sekian peserta kongres di Surabaya itu tidak satupun yang menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Maka, jalan keluarnya adalah mendelegasikan H.O.S. Cokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan K.H. Mas Mansyur yang bisa bahasa Arab (Nata, 2005: 208). Kejadian ini menjadi topik hangat diskusi antara K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin Fanani (keduanya kakak K.H. Imam Zarkasyi). Ketika itu, K.H. Imam Zarkasyi masih belum secara intens mengikuti perbincangan, sebab selain masih di bangku sekolah, usianya masih terbilang belia. Namun setelah selesai studi, keinginan ketiganya klop
Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
61
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
(sama). Mereka sama-sama mencita-citakan menjadikan Pondok Gontor memiliki keunggulan dalam bidang bahasa Arab dan bahasa Inggris. Selain dua bahasa itu, dalam kurikulum Pondok Gontor juga terdapat pengetahuan-pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar, dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya (Yunus, 1979: 251 dan Nata, 2003: 206). Selanjutnya, untuk menjaga moralitas dan kepribadian santri, diajarkan pula pendidikan sosial yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya Untuk itu, siswa dilatih untuk mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya dalam hidupnya di masyarakat kelak. Sejalan dengan itu, maka dalam Pondok Gontor diajarkan pelajaran ekstra seperti etika atau tata krama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin. kesopanan batin menyangkut akhlak jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, dan cara berpakaian (Ali, 1991: 53). Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para santri dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan, seperti menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya. Sebenarnya, secara konsepsional kurikulum yang dikembangkan K.H. Imam Zarkasyi bukan hal yang baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Mayoritas pemikir pendidikan Islam menyatakan bahwa tujuan utama (the main goal) pendidikan Islam adalah untuk merealisasikan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Tujuan ini seyogyanya diimplementasikan dalam sebuah kurikulum. Sayangnya, selama ini tujuan ideal itu hanya berada pada tataran konsep belaka, belum diwujudkan dalam kurikulum dan program konkret. Padahal, meminjam istilah pedagogian Brazil, Paulo Freire, dalam pendidikan harus ada kontinuitas antara refleksi dan aksi, antara teori dan praktik. Keduanya terus berputar tanpa akhir. Semangat seperti inilah yang ada dalam diri K.H. Imam Zarkasyi. Dia sadar Utomo
62
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
bahwa untuk mewujudkan bahwa pendidikan Islam dapat melahirkan orang yang siap di dunia dan akhirat tidak cukup dengan membekali peserta didik dengan konsep-konsep belaka, tetapi wajib dibekali dengan skill yang sangat bermanfaat dalam hidup peserta didik. Untuk itulah, K.H. Imam Zarkasyi memberi pendidikan keterampilan seperti sablon, kerajinan tangan, dekorasi, dan lain sebagainya. Pola-pola semacam ini masih belum ditemukan dalam praktik pendidikan Islam ketika itu. Singkatnya, kurikulum yang ditawarkan K.H. Imam Zarkasyi melampaui kurikulumkurikulum yang berkembang di pesantren-pesantren pada umumnya. 3. Metode Pengajaran; Kasus Pengajaran Bahasa Tujuan dan kurikulum yang ideal tidak akan menghasilkan out put yang berkualitas apabila prosesnya tidak didukung dengan proses yang bagus. Di antara bagian dari proses pendidikan adalah metode pengajaran. Dalam proses pendidikan acapkali ditemukan penggunaan metode pengajaran yang kurang pas. Taruhlah pengajaran bahasa Arab di pondokpondok pesantren. Hampir semua pesantren, di zaman K.H. Imam Zarkasyi, menerapkan metode pengajaran klasik. Santri dijejali dengan ilmu alat (baca: nahwu-sharaf) dengan cara hafalan. Maksimal praktik membaca kitab. Metode ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak serta merta kita lestarikan. Pasalnya, dengan metode semacam itu santri kebanyakan memang mahir dalam membaca kitab, sekaligus mengerti fungsi dan kedudukan masing-masing kata atau huruf. Tetapi mereka tidak bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab, tur tidak mampu mengarang tulisan dalam bahasa Arab. Pada dasarnya sudah dimafhumi bahwa seseorang bisa dikatakan menguasai bahasa apabila dia bisa bercakap-cakap dalam bahasa tersebut, baru kemudian, membaca atau menulis. Dari sini bisa dinyatakan bahwa selama ini santri di pondok-pondok pesantren tidak belajar bahasa Arab, tetapi belajar ilmu bahasa Arab. Ini jelas metode yang kurang pas, sehingga perlu diluruskan. Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
63
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Untuk mengatasi hal di atas, K.H. Imam Zarkasyi menerapkan metode langsung (direct method) yang diarahkan pada penguasaan bahasa aktif dengan cara memperbanyak latihan, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, pendidikan bahasa Arab diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan kalimat secara sempurna, bukan pada penguasaan ilmu alat an sich tanpa mampu berbahasa dengan baik. Dalam pengajaran bahasa Arab ini, K.H. Imam Zarkasyi memiliki semboyan alkalimat al-wahidah min alfi jumlatin khairun min alfi kalimatin min jumlatin wahidatin [kemampuan menggunakan satu kalimat dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kalimat dalam satu susunan kalimat saja] (Djumhur dan Danasaputra, 1976: 193). Metode pada pengajaran bahasa Arab di sini hanya salah satu contoh saja dari metodemetode yang lain. 4. Manajemen Pesantren Pesantren tradisional umumnya menerapkan sistem manajemen sentralistik, tertutup, emosional, dan tidak demokratis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan pesantren sepenuhnya hak prerogratif sang kyai. Kyai memiliki otoritas tak terbatas atas apa yang akan dia lakukan atas pesantrennya. Hal itu wajar-wajar saja. Sebab pesantren kebanyakan milik pribadi kyai. Dengan demikian, orang lain tidak berhak mengatur pesantren tanpa seizin kyai. Masalahnya kemudian, ketika kyai tersebut tidak sanggup lagi atau meninggal dunia. Biduk pesantren seketika kehilangan arah. Para santri ibarat anak ayam kehilangan induknya. Mereka tidak tahu harus ke mana dan berbuat apa. Kondisi demikian bisa tertolong apabila jauh-jauh hari sebelumnya sang kyai telah menyiapkan calon pengganti, apakah dari anaknya sendiri, menantu atau orang lain. Jika tidak, bukan mustahil para santri akan pindah pondok, dan pesantren akhirnya bubar. Atas dasar itu, Pondok Gontor mengambil langkah-langkah strategis dalam pengelolaannya. Pertama, Pondok Gontor diwakafkan kepada sebuah lembaga wakaf bernama, Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor. Ikrar Utomo
64
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pewakafan itu dinyatakan di depan umum oleh ketiga punggawa Pondok Gontor, K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Imam Zarkasyi. Dengan demikian, Pondok Gontor tidak lagi monopoli keluarga pendirinya, tetapi menjadi milik umat Islam, dan umat Islam pula yang harus bertanggung atas keberadaan Pondok Gontor. Kedua, pembagian tugas dan ketiga tokoh tersebut. K.H. Ahmad Sahal bertugas sebagai pengasuh yang bertugas atas pendidikan para santri (urusan kesantrian), K.H. Imam Zarkasyi menjadi direktur Kulliyatul Mu’allimin al-Islamitah (KMI) yang bertanggung jawab atas pendidikan siswa (urusan persekolahan) dan K.H. Zainyddin Fanani bertindak sebagai konsultan dan penyeimbang di antara dua pemimpin itu (Nata, 2005: 204). Ketiga, pengelolaan keuangan menjadi tanggung jawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa santri senior dan guru-guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan demikian pengaturan jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif (Nata, 2005: 214). Dari uraian di atas, cukup jelas bahwa dalam pengelolaan Pondok Gontor tidak ada ketergantungan pada satu figur kyai. Lembaga pendidikan, dengan demikian, tidak akan pernah kehilangan kepemimpinannya. Pemimpin Pondok Gontor akan tetap ada sepanjang pondok tersebut masih dikehendaki masyarakat. Sistem pengelolaan seperti jelas berbeda dengan pesantren kebanyakan. Dalam pesantren, umumnya, segala persoalan pesantren ada di tangan kyai, termasuk pengelolaan keuangan. Konsekuensinya, ketika seseorang ber-salam tempel, kadang tidak jelas apakah untuk kyai atau untuk pesantren. Dengan begitu, pembiayaan pesantren nunggu kemauan sang kyai, dan sirkulasi keuangannya pun pesantren sulit di kontrol. Tidak hanya dari sisi keuangan, dimensi-dimensi yang lain juga mengalami hal serupa. Misalnya, mata pelajaran santri. Hal itu juga tergantung “selera” kyai. Masyarakat dan asatidz tidak bisa
Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
65
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
berkomentar apa-apa apabila kyai telah memutuskan kitab apa yang akan dikaji. Dari tujuan, kurikulum, metode dan manajemen di atas, memang sangat pas kalau Pondok Gontor disebut pondok modern. Karena, apa yang ada di Pondok Gontor mencerminkan unsur-unsur modernitas. Perlu ditegaskan bahwa istilah Pondok Modern bukan “merek” yang dibuat kyai, tetapi sebutan dari masyarakat setelah melihat program-program dan pengelolaan Pondok Gontor yang memang berbeda dengan pesantren salaf pada umumnya. Selain gagasan modernisasinya terhadap pendidikan pesantren, kita tidak boleh melupakan jasa K.H. Imam Zarkasyi dalam mempertahankan pendidikan madrasah dan pesantren agar tetap berada di bawah naungan Departemen Agama. K.H. Imam Zarkasyi berpandangan bahwa tanggung jawab pembinaan dan pengelolaan pendidikan madrasah harus diserahkan pada ahlinya, dalam hal ini Departemen Agama. Begitu juga dengan pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi, juga wajib dikelola oleh yang ahli, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kalaupun ada perbedaan kualitas antara madrasah dan sekolah umum, gagasan Pendidikan Satu Atap tidak perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memperbaiki pendidikan madrasah, yang bisa diatur dengan Surat Keputusan Bersama (SKB). Dari sini kemudian lahir SKB tiga menteri: Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah yang ditandatangani pada 24 Maret 1974, di mana di dalamnya diatur perbandingan umum dan agama adalah 70:30 persen (Nata, 2005: 203). D. Ideologi Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi; Suatu Upaya Pemetaan Sebelum lebih jauh masuk pada pemetaan ideologi pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, penting untuk ditegaskan di sini bahwa ideologi seseorang sering kali tidak berjalan linier. Dia bisa dikategorikan berideologi A dalam Utomo
66
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
satu hal, tetapi juga bisa berideologi B pada hal lain. Bahkan bisa jadi, dia malah mengkomparasikan dua ideologi atau lebih dalam hal-hal tertentu. Frame seperti inilah yang digunakan dalam makalah ini dalam memetakan modernisasi pendidikan ala K.H. Imam Zarkasyi. Sebagaimana disinggung di atas bahwa pisau analisa yang digunakan dalam makalah ini pemetaan ideologi-ideologi pendidikan W.F. O’neil. Sebab, hingga saat ini, hanya O’neil yang secara khusus dan gamblang memetakan ideologi-ideologi pendidikan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan pemetaan-pemetaan ideologis lainnya. a. Tujuan Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi Tujuan Pendidikan yang dirumuskan K.H. Imam Zarkasyi pada prinsipnya adalah untuk menyiapkan manusia ideal, yaitu manusia yang benar-benar manusia. Manusia yang sadar akan posisi dirinya, sehingga keberadaannya bermanfaat bagi masyarakatnya. Tujuan pendidikan termasuk dalam kerangka Fundamentalisme Pendidikan. Dalam hemat O’neil (2002: 499), tujuan pendidikan bagi kalangan Fundamentalisme Pendidikan adalah untuk menyalurkan informasi dan keterampilanketerampilan yang diperlukan untuk berhasil dalam tatanan sosial (cetak tebal dari pemakalah). K.H. Imam Zarkasyi mempertegas istilah “menjadi orang” dengan kalimat “mereka nantinya akan tahu apa yang harus dilakukan di masyarakat”. Ini berarti sosok hasil pendidikan yang dicita-citakan K.H. Imam Zarkasyi adalah sosok yang berhasil di masyarakat. Orang yang berhasil di masyarakat janganlah dimaknai dengan orang yang kaya, punya jabatan tinggi atau menjadi sanjungan masyarakat. Orang yang berhasil adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya, walaupun ia tidak kaya, tidak memiliki jabatan apa-apa serta tidak disanjung-sanjung. Lagi pula, orang yang benar-benar bermanfaat kepada manusia, dalam perspektif Islam harus di dasarkan pada nilai-nilai agama, diantaranya ikhlas, sepi ing
Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
67
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pamrih. Jadi orang yang berguna di masyarakat dan di mata Allah tidak membutuhkan imbalan apa-apa, termasuk sanjungan. Pada kalimat terakhir K.H. Imam Zarkasyi menambahkan tujuan pendidikan dengan kalimat “kami namakan pendidikan ini dengan pendidikan kemasyarakatan”. Dalam kacamata Paulo Freire, pendidikan semacam ini disebut dengan Pendidikan Partisipatoris. Artinya, dalam proses pendidikan diupayakan agar masyarakat terlibat di dalamnya. Pendidikan partisipatoris umumnya dipahami dengan pendidikan yang melibatkan sikap pro aktif peserta didik. Tetapi, bagi saya, pendidikan partisipatoris juga melibatkan masyarakat. b. Kurikulum Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi Di atas telah disinggung bahwa kurikulum yang dirumuskan oleh K.H. Imam Zarkasyi adalah kurikulum duniawi dan ukhrawi. Dikatakan demikian, karena dia mencoba untuk mewujudkan keberhasilan di dunia dan keselamatan di akhirat. Untuk itu dimasukkanlah pelajaran-pelajaran yang mengarah pada peningkatan skill peserta didik. Tujuannya agar mereka siap hidup di masyarakat. Dalam kurikulumnya, K.H. Imam Zarkasyi juga memasukkan pendidikan moral. Menurutnya, hal itu sangat penting untuk ditanamkan dalam benak peserta didik. Moral di sini tidak hanya moral kepada manusia tetapi moral kepada Allah yang terletak di dalam jiwa. Kurikulum pendidikan ini menurut O’neil masuk dalam kategori Fundamentalisme Pendidikan. Pendidikan semacam ini, kata O’neil, ditandai dengan “penekanannya pada watak bermoral”. Sehingga tidak heran, masih kata O’neil, apabila mata pelajaran yang disuguhkan kepada siswa menekankan pada pelatihan moral, dan jenis-jenis keterampilan akademik serta praktis agar siswa menjadi anggota yang efektif dalam tatanan masyarakat, melatih watak, pendidikan kesehatan, sejarah, sastra, agama dan seterusnya (2002: 511-2). Sebenarnya, grand design kurikulum K.H. Imam Zarkasyi bukan hal baru dalam diskursus pendidikan Islam. Hampir semua pemikir pendidikan Utomo
68
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Islam menghendaki agar muatan kurikulum pendidikan Islam memiliki dua dimensi sekaligus, duniawi dan ukhrawi. Bukankah memang harapan semua insan (umat Islam) untuk sejahtera dunia akhirat. Terbukti, hampir setiap berdoa selalu dipungkasi dengan rabbana atina fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah waqina ‘adzab al-nar. Selain itu, K.H. Imam Zarkasyi juga melatih para peserta didiknya untuk menganalisa dan mencari solusi mengenai masalah-masalah yang sekiranya akan dihadapi mereka di kemudian hari. Berbeda dengan kurikulum di atas, bagi O’neil, disebut dengan Liberalisme Pendidikan. Ideologi ini, dalam kurikulumnya, memang ditujukan agar peserta didik “bisa memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya secara praksis” (2002: 511). Ini yang disebut Freire dengan Problem Posing Education (pendidikan hadap masalah). Pemikiran K.H. Imam Zarkasyi di atas sangat realitis. Sebab, tidak satupun manusia di dunia ini yang tidak menghadapi masalah. Kata banyak orang, life is problem. Jika demikian, adalah kewajiban bagi manusia untuk membekali diri agar bisa menghadapi masalah yang melintang dalam perjalanan hidupnya. Dan pendidikan, sebagai wahana paling strategis untuk menatap masa depan yang cerah, seyogyanya bisa menjadi the best training area untuk mempersiapkan generasi mendatang yang secara mandiri bisa menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi. c. Metode Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi Metode yang digunakan oleh K.H. Imam Zarkasyi sebenarnya cukup sederhana. Dengan direct method yang ia terapkan, sebenarnya ia menekankan agar dalam mempelajari sesuatu peserta didik tidak hanya bisa berteori saja, tetapi yang lebih penting adalah prakteknya, contohnya pada pendidikan bahasa Arab tersebut. Direct method K.H. Imam Zarkasyi merupakan kritik sekaligus solusi atas metode yang nge-trend saat itu, di mana banyak santri yang tidak bisa ngomong bahasa Arab walaupun bisa baca kitab kuning dengan penguasaan ilmu alat yang luar biasa. Dari Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
69
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
perspektif ini, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa ideologi dalam metode pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, dalam istilah sekarang, adalah fungsionalisme. Paham ini menggarisbawahi bahwa segala sesuatu harus diukur dari fungsi yang dimilikinya. Fungsi itulah yang menjadi nilai terpenting dari semua hal. Karenanya, agar bahasa yang dipelajari siswa tidak sia-sia, maka bahasa itu juga harus fungsional, yaitu berfungsi sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Jika hanya berfungsi sebagai bahasa tulisan saja, maka nilai fungsional bahasa tersebut sudah berkurang. Selain direct method, di Pondok Gontor juga terdapat metode ceramah ustadz, hafalan, tugas, diskusi dan kemampuan belajar secara otodidak. Metode semacam ini masih tergolong dalam metode Fundamentalisme Pendidikan. Disebutkan bahwa metode pengajaran fundamentalisme pendidikan cenderung pada pelaksanaan tatacara-tatacara kelas, misalnya ceramah, hafalan, belajar sendiri di bawah pengawasan guru atau ustadz, dan diskusi-diskusi kelompok yang sangat terstruktur (O’neil, 2002: 514). Diskusi-diskusi tersebut, dalam konteks Pondok Gontor, menurut informasi dari teman yang mondok di Gontor, diwujudkan dengan Bahts al-Masail. d. Manajemen Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi Manajemen pendidikan Pondok Gontor, menegaskan bahwa tidak ada otoritas personal dalam pondok tersebut. Semuanya dikelola secara profesional, dalam arti diserahkan kepada para ahlinya. Apalagi, Pondok Gontor sendiri sudah diserahkan kepada masyarakat. Artinya, keluarga Gontor tidak bisa bertindak semuanya sendiri, karena Gontor tidak lebih dari amanat masyarakat yang harus diurus dan dikelola dengan baik. Dari sisi ini, manajemen Pondok Gontor termasuk dalam Liberalisme Pendidikan. Ideologi ini ditandai dengan penyerahan wewenang kepada pendidik yang memiliki keterampilan tinggi, yang memiliki komitmen terhadap proses pendidikan dan mampu melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan dengan adanya informasi baru yang Utomo
70
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
relevan. Dan wewenang guru didasarkan pada keterampilannya dalam mendidik siswanya (O’neil, 2002: 210-211). Manajemen Pondok Gontor bisa dikategorikan dalam ideologi liberalisme, selain karena tidak ada otoritas absolut pada seseorang tertentu, juga karena personal-personal pengelola Pondok Gontor bisa diganti antar waktu. Jika dicermati, yang paling signifikan dari modernisasi pendidikan pesantren K.H. Imam Zarkasyi adalah pada dimensi manajemen pendidikannya. Manajemen yang dia terapkan benar-benar berbeda dengan manajemen konvensional yang ada saat itu, di mana kiai menjadi “superman” yang memiliki sejuta otoritas. E. Kesimpulan K.H. Imam Zarkasyi merupakan sosok yang luar biasa di zamannya. Pemikiran pendidikannya mampu menjadi pioneer yang menghembuskan angin perubahan pada pesantren. Pesantren yang ketika itu dikenal tertutup dengan dunia luar (baca: sesuatu yang berbau Barat), disulap menjadi pesantren yang akomodatif, pesantren yang bersedia menerima segala sesuatu yang positif (tidak peduli dari manapun datangnya), dan pesantren yang benar-benar menyiapkan peserta didiknya agar berguna dan berfungsi bagi masyarakat. Bagi K.H. Imam Zarkasyi, pesantren tidak boleh terpaku pada akhirat oriented saja, tetapi juga harus dunia oriented. Akhirat dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya wajib berjalan seiring dan seirama. Dia yakin bahwa pesantren akan out of date dan ditinggalkan konsumennya apabila sistem pendidikan pesantren tidak segera dibenahi. Karenanya, K.H. Imam Zarkasyi melakukan perubahan mendasar pada sistem pendidikan pesantren. Atas usahanya itulah, dia dipandang telah memodernisasi pesantren.
Pemikiran Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
71
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
DAFTAR KEPU STA KAAN Ali, A. Mukti, 1991, Ta’limul Muta’allim Cermin Imam Zarkasyi, Gontor, Trimurti Ali, Hery Noer, 2003, K.H. Imam Zarkasyi Tafsir Modern Pendidikan Islam, dalam Jajat Burhaduddin dan Ahmad Baedowi (ed), Transformasi Otoritas Keagamaan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Nasution, Harun, et.al., 1988, K.H. Imam Zarkasyi, dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid I, Jakarta, Departemen Agama RI Nata, Abuddin, 2003, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada ____________, 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada O’neil, William F., 2002, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Yunus, Mahmud, 1979, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Mutiara
Utomo
72
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
MENUNTUT ILMU SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN PARADIGMA (Studi Matan Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572) Oleh: Mochammad Marjuki Abstrak:
Dalam kajian Hadis, kita telah paham bahwa setiap hadis memuat dua bagian: isnad (mata rantai para perawi) dan matn (teks atau lafadz hadis). Kedua bagian ini sama pentingnya bagi para ahli hadis. Matn merupakan rekaman perkataan atau perbuatan Nabi saw yang membentuk landasan ritual atau hukum Islam. Sementara isnad menunjukkan kebenaran adanya matn. Menurut Muhammad Zubayr Siddiqi pengertian tersebut mengandung pengertian bahwa para ahli hadis kemudian mencari dan menempatkan hadis-hadis dengan isnad yang satu dan sama tetapi menggunakan beberapa teks yang berbeda, juga hadis-hadis dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad yang berbeda. Pada konteks kajian ini akan dikaitkan dengan pendidikan. Pendidikan (baca: “Thallab al ilm”, menuntut ilmu) sangat penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa pendidikan seorang anak manusia tidak akan menjadi pribadi yang berkembang. Selain itu menuntut ilmu dianggap sebagai sebuah titik tolak (turning point) yang sedahsyat dalam menumbuhkan kesadaran sikap. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengeksplorasi sebuah hadits tentang keutamaan menuntut ilmu yang terdapat pada kitab sunan at Tirmidzi terutama hadits nomor 2572. Kata Kunci: Isnad, Matn, dan Transformasi pendidikan
A. Pendahuluan Kajian terhadap hadis nabi saw. merupakan lapangan pengkajian yang tak akan pernah habis-habisnya untuk diselami yang tetap dilakukan oleh para pemikir muslim (insider) maupun oleh para orientalis (outsider).
Penulis adalah Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Kendal.
Mochammad Marjuki
73
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Diakui atau tidak, hadis selalu menjadi kajian yang problematik dan menarik bagi para pemikir muslim maupun para orientalis baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.2 Dalam kajian Hadis, kita telah paham bahwa setiap hadis memuat dua bagian: isnad (mata rantai para perawi) dan matn (teks atau lafadz hadis). Kedua bagian ini sama pentingnya bagi para ahli hadis. Matn merupakan rekaman perkataan atau perbuatan Nabi saw yang membentuk landasan ritual atau hukum Islam. Sementara isnad menunjukkan kebenaran adanya matn. Menurut Muhammad Zubayr Siddiqi pengertian tersebut mengandung pengertian bahwa para ahli hadis kemudian mencari dan menempatkan hadis-hadis dengan isnad yang satu dan sama tetapi menggunakan beberapa teks yang berbeda, juga hadis-hadis dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad yang berbeda. Sebagai hadis-hadis yang berdiri sendiri-sendiri, dengan demikian studi al Hadis memuat: studi tentang isnad3 dan studi tentang Matn.4. Diantara orientalis yang banyak mengkaji hadis dan cenderung meragukan bahkan menentang keontetisitas hadis, mereka itu adalah: A. Sprenger, Goldziher, J. Schact. Lihat G.G. A Juy boll, The Auntheticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1965), hlm. 1. 3 Studi tentang isnad hadis berarti mempelajari rangkaian para perawi dalam sanad dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum dan sebab-sebab kuat dan lemahnya perawi secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqathi’ nya perawi dalam rangkaian sanad, dengan cara mengetahui lahir dan wafatnya perawi, pentadlisan sebagian perawi, terutama jika meriwayatkan syarat perawinya adalah harus muttasil dan bebas dari pemalsuan serta adanya jaminan bertemunya orang yang meriwayatkan dengan guru yang meriwayatkan hadis) dan mengetahui pendapat para ulama jarh dan ta’dil bahwa seseorang pernah atau sama sekali tidak mendengar riwayat dari orang lain; mendalami semua sanad hadis guna menjelaskan illat hadis yang samar dan mengetahui sahaba, tabiin guna membedakan berhubungan dengan ilmu jarh wa ta’dil, serta mengetahui para perawi yang membutuhkan banyak ilmu seperti muttafiq, muftariq, mutasyabih, kunyah, laqab serta lainnya. Lihat Muhammad al-Tahhan, 2
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
74
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Untuk meneliti isnad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda, sedangkan untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, juga untuk menguji keasliannya diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan dan juga diperlukan kajian terhadap hubungannya dengan lafadz matn di hadis-hadis yang lain. Dalam proses penelitian Hadis, hal yang sering dan selalu dilakukan oleh peneliti hadis adalah melakukan pendekatan dalam pengkajiannya. Pendekatan terhadap penelitian hadis saat ini mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan ketat. Di antaranya adalah kajian penelitian yang tidak hanya menggunakan jalur sanad (karena dianggap sudah final dengan kodifikasi/tadwin hadis oleh ulama-ulama ahli hadis seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majjah dan sebagainya. Namun dalam kajian kontemporer saat ini, perkembangan penelitian hadis, sudah memulai melalui pendekatan yang lebih terfokus pada jalur matn, direformulasi sesuai dengan konteks kekinian.5
Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1995), hlm. 97-98. 4 Fazlur Rahman, dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 77. 5 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 4. Pendekatan pada jalur matan (baca: teks hadis Nabi saw.) juga banyak dikembangkan oleh intelektual muslim seperti Muhammad al Ghazali, Hasan Hanafi, Fazlurrahman, Mustafa al Azami yang merupakan salah satu bentuk ijtihad dalam upaya mendudukkan kembali semangat kenabian (pemahaman kembali teks hadis Nabi saw.) dengan mengambil ruh Islam dan mengontekskannya pada masa sekarang. Baca Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis …, Ibid., hlm. 55-75.
Mochammad Marjuki
75
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Pada dasarnya penelitian matn dan isnad yang ada pada hadis merupakan bagian kegiatan untuk membuktikan keontentisitasan hadis,6 sehingga kita bisa mengetahui nilai (baca: derajat atau klasifikasi) sebuah hadis yang kita teliti, apakah hadis tersebut shahih, hasan atau dhaif. B. Teks Hadis Sunan al Turmudzi kitab al ilm an Rasulullah bab Fadh Thallab al ilm dengan nomer hadis 2572 Pendidikan (baca: “Thallab al ilm”, menuntut ilmu) sangat penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa pendidikan seorang anak manusia tidak akan menjadi pribadi yang berkembang. Selain itu menuntut ilmu dianggap sebagai sebuah titik tolak (turning point) yang sedahsyat dalam menumbuhkan kesadaran sikap7. Menurut pandangan Driyakara yang terdapat dalam buku membangun pendidikan yang memberdayakan dan mencerahkan. Dikatakan bahwa proses mencari ilmu merupakan media kultural untuk membentuk manusia (humanisasi) yaitu media dan proses untuk membimbing manusia muda menjadi dewasa dan seterusnya menjadi lebih manusiawi. Dengan kata lain melalui proses menuntut ilmu; “pendidikan” merupakan sebuah garapan kultural yang diorientasikan untuk mencapai cita-cita kemanusiaan.8 6 Menurut Mustafa Azami yang dikutip oleh Abdul Mustaqim, bahwa otentisitas sebuah hadis sesungguhnya dapat dibuktikan juga secara ilmiah melalui metodolgi kritis hadis antara lain dengan (1) membandingkan hadis-hadis dari berbagai murid dari seorang Syeikh (guru); (2) memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan (3) memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis; (4) memperbandingkan hadis-hadis dengan ayat Al-Qur'an; (5) pendekatan rasional atau dengan akal sehat yang dikontekskan masa kekinian yang tidak menafikan asbabul wurud hadis. Lihat Fazlur Rahman, dkk, Waacna Studi Hadis…, Ibid., hlm. 74. 7 Nadjamudin Ramly, Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerdaskan, (Jakarta: Grafindo, 2005), hlm. xii 8 Ibid
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
76
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Dalam Islam sendiri menuntut ilmu bukan hanya sekedar imbauan belaka, tapi sudah dijadikan kewajiban bagi setiap umat manusia. Hal ini terbukti begitu banyaknya perintah yang terdapat dalam Al-Qur'an ataupun hadits yang membahas tentang menuntut ilmu, penting penguasaan ilmu serta berbagai hal yang mengarah kepada kewajiban mencari ilmu.9 Dalam tulisan ini, penulis ingin mengeksplorasi sebuah hadits tentang keutamaan menuntut ilmu yang terdapat pada kitab sunan at Tirmidzi terutama hadits nomor 2572. Mengenai teks hadis tentang keutamaan orang yang menuntut ilmu, yang diriwayatkan dalam kitab sunan al Turmudzi yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah :
ُﷴ ﺑْﻦُ ا ْﻟ ُﻤﻌَﻠﱠﻰ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ِزﯾَﺎد ُ ﺑْﻦ ُي َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ َﱠ ﷴ ﺑْﻦُ ُﺣ َﻤ ْﯿ ٍﺪ اﻟﺮﱠ ِاز ﱡ َُﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ َﱠ َْﺧ ْﯿﺜ َ َﻤﺔَ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ دَاوُ دَ ﻋَﻦْ َﻋ ْﺒ ِﺪ ا ﱠ ِ ﺑْﻦِ ﺳَﺨْ ﺒَﺮَ ة َ ﻋَﻦْ ﺳَﺨْ ﺒَﺮَ ةَ ﻋَﻦ طﻠَﺐَ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ﻛَﺎنَ َﻛﻔﱠﺎرَ ة ً ِﻟﻤَﺎ َ ْﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل ﻣَﻦ َ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َ ِﻲ ّ ِاﻟﻨﱠﺒ َاﻹ ْﺳﻨَﺎ ِد أَﺑُﻮ دَاوُ د ِ ْ ُﺿﻌِﯿﻒ َ ٌَﻣﻀَﻰ ﻗَﺎ َل أَﺑُﻮ ﻋِﯿﺴَﻰ َھﺬَا َﺣﺪِﯾﺚ ٍﺷ ْﻲء َ َﺚ وَ َﻻ ﻧَﻌ ِْﺮفُ ِﻟ َﻌ ْﺒ ِﺪ ا ﱠ ِ ﺑْﻦِ ﺳَﺨْ ﺒَﺮَ ة َ َﻛﺒِﯿﺮ ِ ﻀﻌﱠﻒُ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺤﺪِﯾ َ ُﯾ ﻏﯿْﺮُ وَ اﺣِ ٍﺪ َ َوَ َﻻ ِﻷَﺑِﯿ ِﮫ وَ ا ْﺳ ُﻢ أَﺑِﻲ دَاوُ دَ ﻧُﻔَ ْﯿ ٌﻊ ْاﻷ َ ْﻋﻤَﻰ ﺗَ َﻜﻠﱠ َﻢ ﻓِﯿ ِﮫ ﻗَﺘ َﺎدَة ُ و 10 ِﻣِ ﻦْ أ َ ْھ ِﻞ ا ْﻟ ِﻌﻠْﻢ
Adapun syarah hadis di atas adalah sebagai berikut:
) أﺧﺒﺮﻧﺎ ﷴ ﺑﻦ اﻟﻤﻌﻠﻰ ( ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻜﺮﯾﻢ اﻟﮭﻤﺪاﻧﻲ اﻟﯿﺎﻣﻲ: ﻗﻮﻟﮫ ﻧﺰﯾﻞ اﻟﺮي ﺻﺪوق ﻣﻦ اﻟﺜﺎﻣﻨﺔ ) أﺧﺒﺮﻧﺎ, ﺑﺎﻟﺘﺤﺘﺎﻧﯿﺔ اﻟﻜﻮﻓﻲ 9
Sebagai contoh: Datangnya iman yang dideklarasikan melalui wahyu pertama QS. Al aq 1-5 memperlihatkan keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan pembebasan dalam iman. Kelima ayat tersebut menegaskan bahwa praktis liberatif mengharuskan penguasaan ilmu pengetahuan, karena dengan ilmu dapat membuka cakrawala. Dalam konteks inilah maka ayat itu dalam batasbatas tertentu justru lebih mengesankan sebagai manifesto pendidikan yang berisi ajaran untuk melakukan perubahan sehingga menggugah terbentuknya kesadaran massif di kalangan umat Islam untuk melakukan gerakan perubahan sosial. Singgih Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan Sistem (yogya: Pondok Edukasi, 2005) hlm. 1-2 10 CD Mausu'ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub at-Tis'ah, 1997.
Mochammad Marjuki
77
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
زﯾﺎد ﺑﻦ ﺧﯿﺜﻤﺔ ( اﻟﺠﻌﻔﻲ اﻟﻜﻮﻓﻲ ﺛﻘﺔ ﻣﻦ اﻟﺴﺎﺑﻌﺔ .ﻗﻮﻟﮫ ) :ﻣﻦ طﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ ( ,أي اﻟﻌﻠﻢ اﻟﺸﺮﻋﻲ ﻟﯿﻌﻤﻞ ﺑﮫ ) ﻛﺎن ( أي طﻠﺒﮫ ﻟﻠﻌﻠﻢ ) ﻛﻔﺎرة ( وھﻲ ﻣﺎ ﯾﺴﺘﺮ اﻟﺬﻧﻮب وﯾﺰﯾﻠﮭﺎ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ إذا ﺳﺘﺮ ) ﻟﻤﺎ ﻣﻀﻰ ( أي ﻣﻦ ذﻧﻮﺑﮫ ﻗﯿﻞ ھﺬا اﻟﺤﺪﯾﺚ ﻣﻊ ﻣﺎ ﻓﯿﮫ ﻣﻦ اﻟﻀﻌﻒ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻠﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﻦ اﻟﻤﺸﮭﻮرة ﻓﻲ إﯾﺠﺎب اﻟﻜﻔﺎرات واﻟﺤﺪود إﻻ إذا ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﻟﺘﺨﺼﯿﺺ ﯾﻌﻨﻲ ﺑﺎﻟﺼﻐﺎﺋﺮ وھﻮ ﻣﻮﺿﻊ ﺑﺤﺚ .ﻛﺬا ﻓﻲ زﯾﻦ اﻟﻌﺮب ﻧﻘﻠﮫ اﻟﺴﯿﺪ ,واﻟﻈﺎھﺮ أن اﻟﻜﻔﺎرة ﻣﺨﺘﺼﺔ ﺑﺎﻟﺼﻐﺎﺋﺮ أو ﺑﺤﻘﻮق ﷲ اﻟﺘﻲ ﻟﯿﺲ ﻟﮭﺎ ﺗﺪارك أو ﯾﺸﻤﻞ ﺣﻘﻮق اﻟﻌﺒﺎد اﻟﺘﻲ ﻻ ﯾﻤﻜﻦ ﺗﺪارﻛﮫ ﻟﮭﺎ .وﯾﻤﻜﻦ أن ﯾﻜﻮن اﻟﻤﻌﻨﻰ :أن طﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ وﺳﯿﻠﺔ إﻟﻰ ﻣﺎ ﯾﻜﻔﺮ ﺑﮫ ذﻧﻮﺑﮫ ﻛﻠﮫ ﻣﻦ اﻟﺘﻮﺑﺔ ورد اﻟﻤﻈﺎﻟﻢ وﻏﯿﺮھﺎ . .ﻛﺬا ﻓﻲ اﻟﻤﺮﻗﺎة .ﻗﻮﻟﮫ ) :ھﺬا ﺣﺪﯾﺚ ﺿﻌﯿﻒ اﻹﺳﻨﺎد( وأﺧﺮﺟﮫ اﻟﺪارﻣﻲ .ﻗﻮﻟﮫ ) :أﺑﻮ داود اﺳﻤﮫ ﻧﻔﯿﻊ اﻷﻋﻤﻰ( ﻣﺸﮭﻮر ﺑﻜﻨﯿﺘﮫ ﻛﻮﻓﻲ ,وﯾﻘﺎل ﻟﮫ ﻧﺎﻓﻊ ) ﯾﻀﻌﻒ ﻓﻲ اﻟﺤﺪﯾﺚ( ﻗﺎل اﻟﺤﺎﻓﻆ ﻣﺘﺮوك ,وﻗﺪ ﻛﺬﺑﮫ اﺑﻦ ﻣﻌﯿﻦ ﻣﻦ اﻟﺨﺎﻣﺴﺔ ) وﻻ ﻧﻌﺮف ( ﯾﻔﺘﺢ اﻟﻨﻮن وﻛﺴﺮ اﻟﺮاء أو ﺑﻀﻢ اﻟﺘﺤﺘﯿﺔ وﻓﺘﺢ اﻟﺮاء)ﻟﻌﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﺳﺨﺒﺮة( ﻗﺎل ﻓﻲ ﺗﮭﺬﯾﺐ اﻟﺘﮭﺬﯾﺐ :روى ﻋﻦ أﺑﯿﮫ وﻋﻨﮫ أﺑﻮ داود اﻷﻋﻤﻰ ,روى ﻟﮫ اﻟﺘﺮﻣﺬي ﺣﺪﯾﺜﺎ واﺣﺪا وﺿﻌﻔﮫ ,وﻗﺎل ﻓﻲ اﻟﺘﻘﺮﯾﺐ ﻣﺠﮭﻮل ﻣﻦ اﻟﺮاﺑﻌﺔ ) ﻛﺒﯿﺮ ﺷﻲء ( أي ﻛﺜﯿﺮ ﺷﻲء ﻣﻦ اﻷﺣﺎدﯾﺚ ) وﻻ ﻷﺑﯿﮫ ( ھﻮ ﺳﺨﺒﺮة ﺑﻔﺘﺢ اﻟﺴﯿﻦ اﻟﻤﮭﻤﻠﺔ وﺳﻜﻮن اﻟﺨﺎء اﻟﻤﻌﺠﻤﺔ وﻓﺘﺢ اﻟﻤﻮﺣﺪة وﺑﺎﻟﺮاء. ﻗﺎل ﻓﻲ اﻟﺘﻘﺮﯾﺐ :ﺳﺨﺒﺮ ﻓﻲ إﺳﻨﺎد ﺣﺪﯾﺜﮫ ﺿﻌﻒ وﻋﻨﺪ اﻟﺘﺮﻣﺬي ﻋﻦ ﺳﺨﺒﺮة وﻟﯿﺲ ﺑﺎﻷزدي ,وﻗﺎل ,ﻏﯿﺮ ھﻮ اﻷزدي.11 Dari penelusuran yang dilakukan mengenai hadis di atas, melalui CD mausuah ditemukan pula hadis dengan redaksi matan yang sama dalam kitab musnad Ad darimi hadis no. 560 sebagai berikut:
Ibid.
11
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
78
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
أ َﺧْ ﺒَﺮَ ﻧَﺎ ﷴَﱠُ ْﺑ ُﻦ ُﺣ َﻤ ْﯿ ٍﺪ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﷴَﱠُ ْﺑ ُﻦ ا ْﻟ ُﻤﻌَﻠﱠﻰ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ِزﯾَﺎدُ ْﺑ ُﻦ َﺧ ْﯿﺜ َ َﻤ َﺔ ِ ّﻋ ْﺒ ِﺪ ا ﱠ ِ ﺑْﻦِ ﺳَﺨْ ﺒَﺮَ ةَ ﻋَﻦْ ﺳَﺨْ ﺒَﺮَ ةَ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠﺒِﻲ َ ْﻋَﻦْ أَﺑِﻲ دَاوُ دَ ﻋَﻦ 12ﻣﻀَﻰ َ طﻠَﺐَ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ﻛَﺎنَ َﻛﻔﱠﺎرَ ةً ِﻟﻤَﺎ َ ْﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل ﻣَﻦ َ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َ C. Kritik Editis Setelah membahas teks hadis diatas selanjutnya penulis akan menjelaskan teks hadis tersebut melalui kajian kritik editis. Kritik editis ini dimaksudkan untuk mengetahui tema dari teks hadis tersebut yang mengungkapkan keutamaan dari menuntut ilmu yang selanjutnya dielaborasi dari 2 kajian yang meliputi: 1. Analisis Isi : yaitu pemahaman terhadap muatan makna hadis melalui beberapa kajian, di antaranya: 2. Kajian Linguistik atau kebahasaan. Yaitu kajian dengan menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa arab. Kajian ini sangat diperlukan untuk mengetahui teks hadis tersebut yang harus ditafsirkan ke dalam bahasa aslinya yaitu bahasa arab. Dari tinjauan kajian linguistik ini bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Sakhbarah ini dapat dianalisa dengan pendekatan arti kata perkata (secara harfiah) maupun pendekatan arti secara kalimat utuh (secara istilah). Beberapa kata yang menjadi tema sentral dalam hadis ini adalah kata : طﻠﺐ, اﻟﻌﻠﻢdan ﻛﻔّﺎرة. Pada lafadz dari matan hadis di atas kata طﻠﺐdalam kamus al Munawwir dijelaskan bahwa kata طﻠﺐatau طﻠﺐ اﻟﺸﺊdiartikan طﻠﺐ ﻓﻰ ﻣﮭﻠﺔyang memiliki arti mencari dengan pelan-pelan13 artinya ada sebuah proses yang dilalui.
Ibid. Ahmad Warsun Munawwir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Cet. Ke -25, hlm. 857. 12 13
Mochammad Marjuki
79
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Sedangkan dalam kamusnya Ali al-Mascatie menyebutkan, kata طﻠﺐyang berarti mencari (to seek, look for).14 Kemudian kata yang mengikuti kata طﻠﺐadalah kata ﻋﻠﻢyang bermakna pengetahuan. Dalam kamus lisan al arab kata ilm hanya dimaknai sebagai lawan kata jahlun.15 Dalam kamus al Munawir kata .اﻟﻌﻠﻢ )ج اﻟﻤﻌﺮﻓﺔ:( ﻋﻠﻮمdiartikan pengetahuan dan dapat juga diartikan واﺣﺪ اﻟﻌﻠﻮم اﻟﻤﺒﻨﯿّﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺒﺤﺚ وأﻷﺧﺘﺒﺎرyaitu (suatu ilmu yang dibangun atas dasar penelitian) “ilmu pengetahuan”, bisa juga diartikan ﻋﻠﻢ واﺣﺪ ﺗﻌﻠﻮمatau ﻣﺤﺘﺺ ﺑﻌﻠﻢyang bermakna pengetahuan (science, scientific).16 Jika kita melihat dalam ensiklopedi Al-Qur'an, ilmu berasal dari bahasa arab ilm, kata jadian dari kata alima, ya’lamu menjadi ilmun, ma’lumun dan seterusnya yang berarti juga pengetahuan.17 Adapun kata ilm dalam konteks hadis menuntut ilmu masih bersifat umum, maka kata ilm tersebut terkena kaidah bahwa suatu kata dalam suatu redaksi yang tidak disebutkan objeknya maka objek yang dimaksud adalah masih bersifat umum.18 Kata yang menjadi tema sentral berikutnya adalah kata ﻛﻔّﺎرة. Kata ﻛﻔّﺎرةmerupakan bentuk muannas dari lafadz ﻛﻔّﺎرdalam kamus Mu’jamat al Washit, kata ﻛﻔّﺮjika diberi ﻋﻦ ﻛﻔّﺮت ﻋﻦ ﯾﻤﯿﻨﮫmemiliki arti أﻋﻄﻰ اﻟﻜﻔّﺎرةcontoh pada lafadz ( أﻋﻄﯿﺖ اﻟﻜﻔّﺎرةmembayar denda), dan jika digabungkan dengan اﻟﺸﺊmemiliki arti ﻏﻄﺎه وﺳﺘﺮه (memiliki arti menutupi). Lafadz ﻛﻔّﺮdapat dinisbatkan pada lafadz Ali al Mascatie, Kamus-Arab-Inggris-Indonesia (Bandung: Al Ma’arif, 1983), cet. I, hlm. 624. 15 Jamal ad Diin, Muhammad Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Beirut: Dar al Fikr, 1990), hlm. 870. 16 Al Mascatie, … Ibid., hlm. 700. 17 Ensiklopedi Al-Qur'an, Ilmu dalam Jurnal Ulumul Qur’an no. 4 vol. 1. 1990, hlm. 56-64. 18 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 168. 14
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
80
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
( اﻟﻜﻔﺮpengampunan); وﻛﻔّﺮ ﷲ ﻋﻨﮫ اﻟﺬﻧﺐcontoh lafadz ini mengandung maksud ( ﻏﻔﺮmengampuni).19 Dalam al Munawir ditemukan, bahwa lafadz ﻛﻔّﺎرةmempunyai arti menutupi, menyelubungi,20 bisa juga berarti menjauhkan dari (to expiate), mengampuni (a tone for), menutupi, menyembunyikan (to cover, hide), juga dapat diartikan penance for a sin (penebusan dosa).21 Dalam kitab syarah al sunan at tirmidzi, hadis tersebut memiliki arti secara istilah sebagai berikut: kata ﻣﻦ طﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ( اى طﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ ) اﻟﺸﺮﻋﻰ ﻟﯿﻌﻤﻞ ﺑﮫmenuntut ilmu syar’i untuk diamalkannya. Kata ﻋﻠﻢ dalam teks hadis di atas terdapat )اﻟﻌﻠﻢ( الyang menunjukkan ma’rifat “sesuatu ilmu yang sifatnya sudah diketahui atau sudah khusus. Dari arti di atas maka yang dimaksud اﻟﻌﻠﻢadalah ilmu agama/ ilmu syariah). Kemudian diikuti kata ﻛﻔّﺎرةmemiliki maksud: ( ) ﻣﺎ ﯾﺴﺘﺮ اﻟﺬﻧﻮب وﯾﺰﯾﻠﮭﺎ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ إذا ﺳﺘﺮsesuatu yang menutupi dosa dan menghilangkannya dari kekufuran ketika melakukan dosa. Lafadz ﻟﻤﺎ ﻣﻀﻰdiartikan dengan dimaafkannya dari dosa-dosa yang telah lalu. Namun demikian lafadz ﻟﻤﺎ ﻣﻀﻰdiartikan oleh Bapak Suryadi sebagai suatu yang telah lalu yang lingkupnya lebih besar yaitu tidak sekedar dosa saja namun bisa tentang banyak hal misalnya tadinya bodoh setelah mau belajar menjadi lebih baik dari sebelumnya, dari perilaku yang tidak baik menjadi baik dan sebagainya.22 Ibrahim Anis, Mu’jam al washit Juz II (Mesir: Dar al Maarif 1973), hlm. 791, lihat juga Ibrahim Madkur, Mu’jam Lughah al Arabi, Mu’jam Wajiz (tt., 1995), hlm. 537. 20 Warsun Munawir, Kamus Al Munawwir, …., hlm. 1217. 21 Al Mascatie…, ibid., hlm. 917-918. lihat juga Hanswehr, A Diction of Modern Written Arabic (Ithaca: Spoken Language service, 1994), hlm. 975. 22 Dalam kuliah Studi Hadis hari Jum’at 8 Desember 2006 di kelas A pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 19
Mochammad Marjuki
81
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Dari penelusuran kebahasaan, hadis no. 2572 dapat penulis disimpulkan bahwa sesungguhnya proses menuntut ilmu itu merupakan penyebab atau menjadi perantara (sarana) terhapusnya beberapa dosa yang telah dilalui, karena proses pencarian ilmu tersebut merupakan langkah “taubat” yang bisa menjadikan terhapusnya dosa dan segala kedzaliman dan lain-lain. a. Kajian Tematis Komprehensif Setelah membahas hadis dari tinjauan kebahasaan, selanjutnya akan dikaji melalui kajian tematis komprehensif, yaitu kajian teks hadis dengan mempertimbangkan teks-teks hadis lain yang memiliki tema yang relevan dengan tema hadis no. 2572 dalam kitab sunan al Tirmidzi, dengan bahasa sederhana mengkaji lafadz matan hadis yang berbeda-beda namun pada intinya menerangkan tentang pokok permasalahan yang sama. Dalam konteks hadis tentang keutamaan menuntut ilmu misalnya terdapat beberapa perawi yang meriwayatkannya dengan lafadz masing-masing. Hal ini dilakukan atau dimaksudkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Pada hadis no. 2578 kitab sunan at Tirmidzi diterangkan :
ي َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ أ ُ َﻣﯿﱠﺔُ ﺑْﻦُ ﺧَﺎ ِﻟ ٍﺪ ﻲ ا ْﻟﺒَﺼ ِْﺮ ﱡ ﺚ أ َﺣْ َﻤﺪُ ﺑْﻦُ اﻟْﻤِ ْﻘﺪَامِ ا ْﻟﻌِﺠْ ِﻠ ﱡ ِ ََﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ أَﺑُﻮ ْاﻷ َ ْﺷﻌ ﺐ ﺑْﻦِ ﻣَﺎﻟِﻚٍ ﻋَﻦْ أَﺑِﯿ ِﮫ ﻗَﺎ َل ِ ط ْﻠ َﺤﺔَ َﺣﺪﱠﺛَﻨِﻲ اﺑْﻦُ َﻛ ْﻌ َ َِﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ إِ ْﺳﺤَﻖُ ﺑْﻦُ ﯾَﺤْ ﯿَﻰ ﺑْﻦ ي ﺑِ ِﮫ َ َﺎر ِ طﻠَﺐَ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ِﻟﯿُﺠ َ ْﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَﻘُﻮ ُل ﻣَﻦ َ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َ ِ ﺳَﻤِ ﻌْﺖُ رَ ﺳُﻮ َل ا ﱠ ُ ﱠﺎس إِﻟَ ْﯿ ِﮫ أ َ ْد َﺧﻠَﮫُ ا ﱠ ِ ﺴﻔَﮭَﺎ َء أ َوْ ﯾَﺼ ِْﺮفَ ﺑِ ِﮫ وُ ﺟُﻮهَ اﻟﻨ ي ﺑِ ِﮫ اﻟ ﱡ َ ِا ْﻟﻌُﻠَﻤَﺎ َء أ َوْ ِﻟﯿُﻤَﺎر اﻟﻨﱠﺎرَ ﻗَﺎ َل أَﺑُﻮ ﻋِﯿﺴَﻰ َھﺬَا َﺣﺪِﯾﺚٌ ﻏ َِﺮﯾﺐٌ َﻻ ﻧَﻌ ِْﺮﻓُﮫُ إ ﱠِﻻ ﻣِ ﻦْ َھﺬَا اﻟْﻮَ ﺟْ ِﮫ ي ِ ِﻋ ْﻨﺪَ ُھ ْﻢ ﺗ ُ ُﻜ ِﻠّ َﻢ ﻓِﯿ ِﮫ ﻣِ ﻦْ ﻗِﺒَ ِﻞ ّ ْﺲ ﺑِﺬَاكَ ا ْﻟﻘَ ِﻮ َ ط ْﻠ َﺤﺔَ ﻟَﯿ َ ِوَ إِ ْﺳﺤَﻖُ ﺑْﻦُ ﯾَﺤْ ﯿَﻰ ﺑْﻦ ﺣِ ﻔْﻈِ ِﮫ Rasulullah saw. besabda: barang siapa menuntut ilmu hanya berobsesi untuk berdebat mengalahkan orang bodoh atau untuk mengejar popularitas maka Allah akan memasukkannya ke neraka.
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
82
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Hadis lain dalam sunan Ibn Majah no. 222 diterangkan:
َﺎﺻﻢِ ﺑْﻦِ أَﺑِﻲ ِ ق أ َ ْﻧﺒَﺄَﻧَﺎ َﻣ ْﻌﻤَﺮٌ ﻋَﻦْ ﻋ ِ ﻋ ْﺒﺪُ اﻟﺮﱠ زﱠ ا َ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﷴَﱠُ ﺑْﻦُ ﯾَﺤْ ﯿَﻰ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ي ﻓَﻘَﺎ َل ﻣَﺎ ﻋﺴﱠﺎ ٍل ا ْﻟﻤُﺮَ ا ِد ﱠ َ َﺻﻔْﻮَ انَ ﺑْﻦ َ ُاﻟﻨﱠﺠُﻮ ِد ﻋَﻦْ ِز ِ ّر ﺑْﻦِ ُﺣﺒَﯿ ٍْﺶ ﻗَﺎ َل أَﺗَﯿْﺖ ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َ ِ ﻂ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ ﻗَﺎ َل ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺳَﻤِ ﻌْﺖُ رَ ﺳُﻮ َل ا ﱠ ُ ِﺟَﺎ َء ﺑِﻚَ ﻗُﻠْﺖُ أ ُ ْﻧﺒ ُﺿﻌَﺖْ ﻟَﮫ َ َﺐ ا ْﻟ ِﻌﻠْﻢِ إ ﱠِﻻ و ِ َطﻠ َ َﺎرجٍ ﺧَﺮَ َج ﻣِ ﻦْ ﺑَ ْﯿﺘِ ِﮫ ﻓِﻲ ِ ﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَﻘُﻮ ُل ﻣَﺎ ﻣِ ﻦْ ﺧ َ َو ﺼﻨَ ُﻊ ْ َا ْﻟﻤ ََﻼﺋِ َﻜﺔُ أ َﺟْ ﻨِ َﺤﺘَﮭَﺎ ِرﺿًﺎ ﺑِﻤَﺎ ﯾ Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam rangka menuntut ilmu, kecuali para malaikat akan membentangkan sayapnya karena puas akan apa yang diperbuatnya. Dalam sunan at Tirmidzi no. 2571 dijelaskan:
ﻲ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ﻲ ٍ ﻗَﺎ َل َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﺧَﺎ ِﻟﺪ ُ ﺑْﻦُ ﯾ َِﺰﯾﺪَ ا ْﻟﻌَﺘَ ِﻜ ﱡ ّ ﻋ ِﻠ َ َُﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻧَﺼْﺮُ ﺑْﻦ ي ِ ﻋَﻦْ اﻟﺮﱠ ﺑِﯿﻊِ ﺑْﻦِ أَﻧ ٍَﺲ ﻋَﻦْ أَﻧ َِﺲ ﺑْﻦِ ﻣَﺎﻟِﻚٍ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل ّ َﺟ ْﻌﻔ ٍَﺮ اﻟﺮﱠ ِاز َﺐ ا ْﻟ ِﻌﻠْﻢِ ﻛَﺎن ِ ط َﻠ َ ﺳﻠﱠ َﻢ ﻣَﻦْ ﺧَﺮَ َج ﻓِﻲ َ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َ ِ رَ ﺳُﻮ ُل ا ﱠ ٌﺳﺒِﯿ ِﻞ ا ﱠ ِ َﺣﺘ ﱠﻰ ﯾَﺮْ ﺟِ َﻊ ﻗَﺎ َل أَﺑُﻮ ﻋِﯿﺴَﻰ َھﺬَا َﺣﺪِﯾﺚٌ َﺣﺴَﻦ َ ﻓِﻲ ُﻀ ُﮭ ْﻢ ﻓَﻠَ ْﻢ ﯾَﺮْ ﻓَ ْﻌﮫ ُ ﻏ َِﺮﯾﺐٌ وَ رَ وَ اهُ ﺑَ ْﻌ
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa keluar/berkelana (baca: pergi) untuk menuntut ilmu maka dia seperti dalam keadaan jihad di jalan Allah. Dalam sunan at Tirmidzi no. 2570 disebutkan:
َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻣَﺤْ ﻤُﻮدُ ﺑْﻦُ َﻏﯿ َْﻼنَ َﺣﺪﱠﺛَﻨَﺎ أَﺑُﻮ أُﺳَﺎ َﻣﺔَ ﻋَﻦْ ْاﻷ َ ْﻋﻤ َِﺶ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ﺳﻠﱠ َﻢ َ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ و َ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠ َ ِ ﺻَﺎ ِﻟﺢٍ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ھُﺮَ ﯾْﺮَ ة َ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل رَ ﺳُﻮ ُل ا ﱠ ﺳ ﱠﮭ َﻞ ا ﱠ ُ ﻟَﮫُ ط َِﺮﯾﻘًﺎ إِﻟَﻰ ا ْﻟ َﺠﻨﱠ ِﺔ َ ﺳﻠَﻚَ ط َِﺮﯾﻘًﺎ ﯾَ ْﻠﺘَﻤِ ﺲُ ﻓِﯿ ِﮫ ِﻋ ْﻠﻤًﺎ َ ْﻣَﻦ ٌﻗَﺎ َل أَﺑُﻮ ﻋِﯿﺴَﻰ َھﺬَا َﺣﺪِﯾﺚٌ َﺣﺴَﻦ
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya menuju surga.
Dari beberapa hadis di atas dapat disimpulkan bahwa subtansi dari teks hadis diatas dapat diambil hikmah bagi kita untuk Mochammad Marjuki
83
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
memberikan dorongan atau pemberi motivasi tentang pentingnya sebuah pengetahuan yang harus dicari dan yang diharapkan nantinya adalah menjadikan seseorang berubah ke arah yang lebih positif, yaitu berubah dari hal yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tadinya tidak bisa menjadi bisa,dan dari seorang yang memiliki sifat tidak arif menjadi bijaksana, karena pengetahuan atau ilmu yang didapatkannya tersebut menunjukkan kepada jalan ke surga sebagai balasannya dari akibat berbuat kebaikan. Dan karena ilmu, manusia dapat mengenal dirinya, tahu tujuannya, tahu tugas dan kewajiban. Selain itu pula, dari penjelasan hadis-hadis di atas tersirat makna esensial bahwa manusia (umat Islam) didorong untuk selalu mengkaji dan menggali ilmu. Tetapi penulis memiliki anggapan bahwa ilmu di sini tidak terbatas hanya pada ilmu agama saja, tetapi semua ilmu. Lebih dari itu menurut penulis pribadi, mengacu teks hadis di atas kata اﻟﻌﻠﻢyang dimaksudkan adalah perlu adanya prioritas keilmuan yang perlu diutamakan, dalam kasus ini yang dimaksud adalah agama. Tapi bukan berarti ilmu yang lain tidak penting karena penulis memiliki keyakinan kuat bahwa semua pengetahuan (baca: ilmu agama dan ilmu umum) itu bersumber dari satu sumber yaitu Allah swt, selain itu ilmu agama merupakan ilmu yang mendasari keimanan seseorang “sebuah baju yang melekat”. Sehingga maksud kata اﻟﻌﻠﻢdi atas lebih condong ke arti ilmu agama. Dari sekian hadis tentang keutamaan ilmu membuktikan begitu besar apresiasi Islam yang diberikan terhadap pengetahuan, sehingga tidak heran jika Umar bin Khattab mengatakan “Wahai semua manusia, hendaklah kalian menuntut ilmu, karena sesungguhnya Allah swt memiliki ‘selendang kecintaan’, siapa yang
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
84
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
mempelajari ilmu sebanyak satu bab, Allah swt akan menyelimutinya dengan selendang tersebut.23 Selanjutnya apa yang dapat kita jadikan pelajaran dari hadishadis di atas? Adapun yang perlu digaris bawahi, bahwa nilai-nilai yang dapat kita ambil untuk dijadikan pedoman adalah adanya semangat (ghirrah) dalam menuntut ilmu dan penggalian terhadap ilmu pengetahuan yang memiliki tujuan pada perubahan ke arah yang lebih baik. b. Kajian Konfirmatif Pada kajian ini sesungguhnya hanya cara bagaimana kita mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk AlQur'an sebagai sumber tertinggi. Adapun hadis no. 2572 yang terdapat dalam kitab sunan at Tirmidzi dalam syarahnya dikatakan bahwa isi (matan) hadis ini dhoif karena menyalahi Al-Qur'an dan sunah yang masyhur dalam hal “keharusan peleburan dosa dan denda” kecuali jika kita berpendapat bahwa matan hadis ini ditakhsis (dikhususkan) dengan maksud, membatasinya pada dosa-dosa kecil saja. Demikian penjelasan Zaenal Arobi dalam syarah kitab sunan at Turmudzi, yang mengatakan bahwa secara literal sesungguhnya peleburan dosa hanya dikhususkan pada dosa kecil atau dosa yang tidak mungkin dimaafkan. Barangkali ada kemungkinan makna lain yang dikehendaki, sehingga tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Makna lain tersebut adalah menuntut ilmu menjadi sarana menuju “taubat” yang bisa menjadi penghapus (baca: mentipe-x) dosa dan segala kedzaliman yang pernah dilakukan.
23
hlm. 70.
Lihat, Ibnu Abdil Barr, Jamiu al Bayani al Ilm, jilid I (ttp, tt.),
Mochammad Marjuki
85
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Ayat Al-Qur'an yang menyinggung tentang penghapusan dosa misalnya dalam surat al Ankabut ayat 7. Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benarbenar akan kami beri mereka ganjaran yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya mengandung janji baik kepada yang taat, yang berarti mengandung dorongan untuk beramal saleh, sedangkan yang ingin ditekankan dalam kaitan ayat ke 7 dengan hadis no. 2572 adalah kata ( ّ )ﻧﻜﻔّﺮنyang terambil dari akar kata ﻛﻔﺮyang diartikan oleh Quraish dengan “menutup”. Dalam konteks ini Quraish Shihab memperkuat argumentasinya dalam al Misbah dengan sabda Nabi saw, bahwa Nabi berpesan: Ikutkanlah amal saleh setelah amal buruk niscaya ini menghapusnya. (HR. Tirmidzi).24 c. Analisis Realitas Historis Tahapan selanjutnya dalam usaha memahami konteks suatu hadis adalah dengan melakukan kajian historis. Apakah ada hal-hal yang melatarbelakangi turunnya (baca: munculnya) hadis, baik secara mikro atau makro. Dari penelusuran yang penulis lakukan dan karena keterbatasan pengetahuan penulis serta literatur tentang tema makalah ini, tidak ditemukan adanya asbabul wurud hadis, namun demikian kita dapat menghubungkan dengan sebab-sebab makro sesuai dengan kondisi Nabi saw pada saat itu. Dalam bahasa Arab sehari-hari sebelum turunnya Al-Qur'an, ilmu hanya bermakna pengetahuan biasa. Tapi melalui ayat-ayat Al-Qur'an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri, yang terstruktur. Memang, kata ilmu itu bisa sekedar dapat diartikan sebagai “pengetahuan” biasa, tetapi bisa lebih dari itu, Quraish Shihab, Tafsir al Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 10, hlm. 443 – 445. 24
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
86
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
tergantung dari pemahaman orang terhadap makna kata tersebut, jika pemahaman itu dilakukan dengan mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam AlQur'an. Tapi yang jelas, kata-kata itu kemungkinan besar berkembang karena pernyataan Nabi yang mengandung anjuran, bahkan perintah, seperti yang kita kenal: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Muslim”; “Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”; “Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat”; “Barang siapa mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di surga ia sederajat di bawah para Nabi”; “Para ilmuwan adalah pewaris (tugas) para nabi”; “ilmu pengetahuan itu adalah milik orang mukmin yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain”. Pernyataan-pernyataan Nabi ini diperkuat oleh firman Allah dalam surat Al Mujadalah ayat 11, yang berbunyi: Allah akan meninggikan martabat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslimin pun menjalankannya sebagai ibadah. Ada pula sebuah hadis yang mengatakan bahwa “barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga”. Dan di dalam Al-Qur'an ilmu terdapat dalam doa: “Ya Tuhanku, tambahkan padaku ilmu pengetahuan” (Q.S. Thoha : 114) Tapi lebih dari itu timbul pertanyaan; mengapa menuntut ilmu itu diwajibkan? Maka orangpun mencari keutamaan ilmu itu. Di samping itu, timbul pula proses belajar mengajar sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah itu. Dalam kenyataan sejarah perkembangan Islam, proses belajar-mengajar itu menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama maupun baru, dalam berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan perkembangan Mochammad Marjuki
87
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
masyarakat. Hal itu terjadi karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat kaum Muslimin di masa lampau.25 Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa Nabi saw juga senantiasa menghidupkan tradisi keilmuan di kalangan umat Islam saat itu. Sehingga tidak heran jika banyak ungkapan Nabi saw mengenai keutamaan ilmu seperti halnya hadis dalam sunan al tirmidzii no. 2572 (meskipun banyak kalangan muhaddisun, hadis no. 2572 tersebut itu termasuk hadis garib bahkan masuk pada klasifikasi hadis dhoif). d. Analisis Generalisasi Dalam analisis generalisasi ini, dimaksudkan untuk menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis yang merupakan inti dan esensi dari sebuah hadis yang kita teliti. Hadis yang menjadi tema sentral dari makalah ini secara makna tekstual adalah: “sabda Rasulullah saw. “Barang siapa yang menuntut ilmu maka akan diampuni dosa yang telah lalu”. Dalam konteks ini penulis cenderung pada pengertian bahwa ilmu adalah suatu proses menuju kepada hal yang lebih baik, sehingga tingkah laku jelek seolah tidak nampak atau tertutupi dengan hal-hal (perilaku) yang baik-baik. Kalimat “proses menuju ke arah yang lebih baik” dapat dibahasakan dalam tujuan pendidikan. Karena menurut penulis tindakan pendidikan merupakan sebuah (baca: sebagai) proses. Dari pemahaman di atas tentang menuntut ilmu adalah bagian dari sebuah proses ke arah positif. Maka pendidikan Islam-pun Ensiklopedi Al-Qur'an “ilmu” dalam jurnal Ulumul Qur’an No. 4 vol I 1990, hlm. 57. 25
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
88
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
dapat dipahami sebagai proses transformasi ilmu, dengan berupaya mewujudkan tujuan akhir yaitu mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa. Nilai-nilai yang akan ditransformasikan adalah pelajaran yang lebih identik dengan kurikulum. Selain pendidikan diartikan proses transformasi keilmuan, pendidikan juga merupakan prosees pemanusiaan manusia. Suatu pandangan yang mengimplikasikan pada proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek kemanusiaan manusia baik secara fisik atau biologis maupun ruhaniah psikologis.26 Aspek fisik biologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan pertumbuhan dan penuaan. Sedangkan aspek ruhaniah psikologis manusia melalui pendidikan dicoba “didewasakan” disadarkan dan diinsan kamilkan. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam kontek pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan manusia yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai elemen yang berpretensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berbudaya dan berkeadaban. Dengan dasar di atas hadis yang memiliki tema sentral pada kata ﻋﻠﻢ, طﻠﺐdan ﻛﻔّﺎ ّرةdapat dipahami pada suatu proses transfer keilmuan, karena dengan ilmu dapat dijadikan petunjuk menuju kebenaran dan memanusiakan manusia sebagai proses. Kata ﻛﻔّﺎ ّرة dalam hadis yang diartikan dengan “menutupi”, dimaksudkan dengan ilmu dan mengamalkannya, seseorang dengan sendirinya akan tertutupi perbuatan yang buruk itu dengan hal yang baik, sehingga perbuatan jelek tertutupi. Selain lafadz , ﻛﻔّﺎرة طﻠﺐ, ﻋﻠﻢlafadz yang menjadi perdebatan penafsiran dalam hadis di atas adalah
26
Malik Fajar, Kembalii ke Jiwa Pendidikan dalam Imam Tolhah dan A. Barizi “membuka jendela pendidikan … hlm v)
Mochammad Marjuki
89
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
lafadz ﻟﻤﺎ ﻣﻀﻰ. Lafadz ﻟﻤﺎ ﻣﻀﻰdalam syarah sunan al tirmidzi ( )ﻟﻤﺎdi situ
diartikan
dengan
dosa.
Sedangkan
menurut
Suryadi,
mengartikan ()ﻟﻤﺎ, ()ﻣﺎ-nya tersebut diartikan dengan sesuatu yang sifatnya luas tidak berhenti dengan pengertian dosa saja, karena lafadz (ﻟﻤﺎ ﻣﻀﻰ
) tersebut merupakan isim mausul
sehingga hadis di
atas dapat dibahasakan; “dengan menuntut ilmu seseorang dengan sendirinya menyadari hal yang tidak baik dan kemudian untuk ditinggalkannya atau orang yang menuntut ilmu itu akan tahu kesalahan yang sebelumnya dia tidak tahu.” Dari sini kita melihat bahwa hadis tersebut mengisyaratkan pentingnya “melakukan proses perubahan”. Konteks ini dapat dikaitkan dengan keurgensian pendidikan bagi kehidupan manusia, karena dengan pendidikan (baca: proses mencari/menuntut ilmu) merupakan bagian dari cara mengembangkan potensi dasar manusia yaitu rasa ingin tahu.27 Namun kalau kita memahami hadis di atas bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah “proses” dan di qiyaskan kepada arti “proses” dalam sebuah pendidikan, maka maksud hadis di atas dapat dimaknai sebagai pendidikan dan proses belajar. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia. Kant berkesimpulan bahwa manusia menjadi manusia karena pendidikan. Sedangkan Natsir juga menegaskan bahwa maju mundurnya suatu kaum bergantung kepada pendidikan yang berlaku di kalangan mereka.28 Hadis di atas merupakan isyarat dalam ajaran Islam bahwa menuntut ilmu merupakan satu hal yang sangat dianjurkan, karena hanya dengan ilmu manusia memperoleh kebahagiaan hidup. Ceramah kuliah terbatas (Kelas A) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hari Jum’at, tgl. 8 Desember 2006. 28 M. Natsir, Kapita Selecta (Jakarta: Bulang Bintang, 1973), hlm. 77. 27
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
90
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Kedudukan menuntut ilmu dalam Islam juga menempati posisi yang sangat penting. e. Kritik Praksis Setelah mengadakan analisis generalisasi, langkah-langkah metode dalam memahami hadis Nabi saw.,selanjutnya adalah langkah kritik praksis, yaitu mengkaitkan makna hadis yang diperoleh dari proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan kekinian, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan kekinian. Memahami hadis tentang menuntut ilmu dalam konteks kekinian dapat dibahasakan ke dalam proses belajar. Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses transfer yang ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, tingkah laku dan kemampuan seseorang yang relatif tetap sebagai hasil dari latihan dan pengalaman yang terjadi melalui aktifitas mental yang bersifat aktif, konstruktif, kumulatif dan berorientasi pada tujuan.29 Dari pengertian tersbut dapat diambil tiga pemahaman umum, pertama belajar ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan yang lebih baik, sikap, tingkah laku dan ketrampilan yang relatif tetap dalam diri seseorang sesuai dengan tujuan yang diharapkan, menerjemahkan, menjelaskan, menerapkan ajaran Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, belajar terjadi melalui latihan dan pengalaman yang bersifat kumulatif artinya hasil belajar tidak diperoleh secara tibatiba, akan tetapi berlangsung melalui proses demi tahap. Dengan kata lain belajar melibatkan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya (prior knowledge). Ketiga, belajar merupakan proses aktifAbdul Mu'thi, dkk, PBM – PAI di Sekolah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 94-95. 29
Mochammad Marjuki
91
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
konstruktif yang terjadi melalui persepsi, perhatian, mengingat (memory), berpikir (thinking, reasoning) memecahkan masalah (problem solving) dan lain-lain. Dalam konteks ini belajar tidak berarti hanya proses untuk memperoleh dan mengumpulkan pengetahuan, tetapi lebih merupakan proses menciptakan pengetahuan atau memecahkan masalah. Pengertian tersebut mengandung implikasi bahwa belajar merupakan proses yang unik yang bertumpu pada usaha perorangan untuk menciptakan atau memberi makna terhadap informasi atau secara singkat dapat dikatakan bahwa belajar adalah proses informasi yang dilakukan oleh masing-masing individu untuk memberi atau membentuk makna dari setiap informasi yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada konteks kekinian dan keindonesiaan, hadis tentang menuntut ilmu di atas dapat dipahami pula ke dalam pendidikan sebagai sarana perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut penulis esensi dasar dari hadis tentang keutamaan seseorang menuntut ilmu adalah proses perubahan, baik perubahan sikap intelektual, perubahan sosial, perubahan pemahaman keilmuan, pengetahuan dan sebagainya. Atas dasar itu hasilnya akan muncul kreatifitas. Untuk menjadi kreatif menurut Abdulrohman diantaranya diperlukan kecerdasan (intelegensi).30 Butir-butir tujuan pendidikan 30
Kecerdasan, yang sering disebut intelegensi adalah istilah yang melukiskan kemampuan manusia untuk mengetahui dan melihat problema seta memecahkannya dengan sukses, dan kemampuan untuk mempelajari dan menyesuaikan perilaku dengan lingkungan yang umumnya mempunyai bermacam aspek dan coraknya, karena dengan kecerdasan yang memadai, manusia mampu mengetahui hubungan faktor-faktor dan problem satu sama lain, mampu memberi solusi terhadap sesuatu permasalahan dengan benar dan cepat. Lihat Abdul Rohman, Pendidikan Islam dalam Perubanan Sosial dalam Ismail sm dkk (ed) Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 311 – 312.
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
92
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
nasional sendiri, sebagaimana dalam UUSPN, diantaranya dinyatakan bertujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan kata lain, tujuan pendidikan nasional diantaranya adalah mempersiapkan manusia-manusia yang cerdas. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia menjadi kreatif, dan dengan kreatifitasnya, seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya, mampu melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian masalah, mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Demikian pula kecerdasan, semakin cerdas seseorang akan semakin dapat menentukan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis di satu sisi, dan membuat perubahan di sisi yang lain. Sebab kreativitas yang merupakan produk kecerdasan yang menjadi bagian yang sangat inheren dengan perubahan, dan sangat tidak toleran adanya status quo, hal ini tidak lepas karena pengaruh dari proses pendidikan (baca: menuntut ilmu). Ilmu (al-‘ilm) di dalam Islam, yang seringkali diterjemahkan dengan sains (science), merupakan materi pokok pendidikan yang harus diajarkan di sekolah-sekolah karena fungsinya sebagai penentu pola hidup masyarakat, seperti mobilitas sosial (berpindahpindah atau bepergian dari satu tempat ke tempat lain), pengetahuan kehidupan (individual maupun sosial), kerangka nilai dan tradisi, dan sebagainya. Sepakat atau tidak, penulis memiliki keyakinan bahwa pendidikan (baca: proses belajar/proses menuntut ilmu) merupakan sarana mengubah masa depan. Pendidikan diyakini sebagai amunisi yang mampu memberikan kemampuan teknologis, fungsional, informatif, dan terbuka bagi pilihan utama masyarakat. Kecenderungan ini makin menguat manakala budaya global membuat masyarakat semakin terbuka dan sistematis yang lebih ditentukan oleh kompetensi rasional-individual, penguasaan Mochammad Marjuki
93
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
teknologi dan informasi, dan kerja keras, bukan lagi ditentukan oleh sesuatu yang tidak rasional seperti karisma, kesalehan lahiriah, keturunan.31 Penulis juga sependapat dengan Munir Mulkan, yang dikutip Imam Tholkhah dan A Barizi dalam bukunya Membuka Jendela Pendidikan yang menurutnya pendidikan dipersepsikan sebagai wahana bagi tumbuhnya daya kritis, kreatif, akan kecerdasan personal, sosial dan kemanusiaan di tengah-tengah pluralisme.32 Sebagai contoh mislanya: orang yang cerdas/pintar selalu menggunakan nalarnya secara benar dan objektif. Orang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi bisa menentukan pilihan tepat dan menolak cara-cara kekerasan. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama. Lebih dari itu, menurut Mulkhan, proses belajar haruslah dibebaskan dari doktrin legal formal, seperti baik-buruk, benarsalah, halal-haram, mukmin-kafir, dan sebagainya yang dapat mengebiri peserta didik kepada keberpihakan parsial. Proses pembelajaran hendaknya juga dijauhkan dari proses reproduksi ideologis kelas dominan yang memaksa nilai-nilai kependidikan ke arah komoditi bisnis dan langgengnya kekuasaan. Proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada terciptanya tranformasi dan edukasi sosial secara menyeluruh.33 Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa hadis keutamaan menuntut ilmu di atas dapat dijadikan spirit dalam melakukan berbagai perubahan dengan melalui proses belajar atau 31 32 33
Imam Thalkhah dan A. Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 41. Ibid., hlm. 40. Ibid., hlm. 41.
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
94
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
menuntut ilmu, sehingga dari proses itu diibiratkan pada akan terhapusnya “sesuatu” yang lama (baca: cara pandang) yang lain oleh cara berfiri yang baru dari pengetahuan yang diperoleh setelah menuntu ilmu, yang jelas, belajarlah! Karena dengan belajar semua menjadi mungkin dan kebebasan memilih menjadi lebih terbuka bagi munculnya alternatif masa depan yang lebih. Seorang pelajar akan senantiasa merasa bodoh dan haus akan ilmu baru, laksana seseorang dalam kehausan lalu ia meminum air garam maka ia justru semakin haus dan haus. Sabda Nabi Saw, “Ilmu akan menjaga dirimu dan karena itu, kamu mampu menjadi kekayaanmu” (al-‘ilm yahfazhuka wa ‘anta tahfazh al-mal). Jadi, ilmu dan orang berilmu merupakan pengawal sejati kelangsungan kehidupan manusia. D. Kesimpulan Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, karena dengan pendidikan (baca: belajar atau menuntut ilmu) manusia dapat meraih kesuksesan di dunia dan akhirat, selain itu, karena dengan ilmu manusia dapat membedakan mana yang khaq dan yang bathil, dan ilmu adalah suatu yang sangat mulia, sebab ilmu adalah pemberian Allah bagi manusia sebagai jalan menuju yang muttaqin. Hadis dalam sunan al Tirmidzi no. 2572 merupakan hadis yang dapat dijadikan motivasi kita untuk belajar dan belajar sebagai proses menuju suatu yang lebih baik, karena dengan ilmu kita akan mendapatkan pencerahan sebagaimana ungkapan al ilm nurun (ilmu itu cahaya).
Mochammad Marjuki
95
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdul Mu'thi, dkk. PBM – PAI di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Anis, Ibrahim. Mu’jam al washit Juz II, Mesir: Dar al Maarif 1973. Ibnu Abdil Bar , kitab Jamiu al Bayani al Ilm, jilid I,ttp, tt. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Madkur, Ibrahim Mu’jam Lughah al Arabi,Mu’jam Wajiz, tt., 1995. al Mascatie, Ali. Kamus-Arab-Inggris-Indonesia, Bandung: Al Maarif, cet. I, 1983. Muhammad Ibnu Manzur, Jamal ad Diin. Lisan al Arab, Beirut: Dar al Fikr, 1990. Munawwir, Ahmad Warsun. Kamus al Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. Ke -25, 2002. Natsir, M. Kapita Selecta, Jakarta: Bulang Bintang, 1973. Rahman, Fazlur. Dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Shihab, M.Quraish. Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992. -------------------. Tafsir al Misbah, Jakarta, Lentera Hati, 2002. SM, Ismail, dkk (ed). Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Taufikurohman, makalah; Kajian Hadis Tentang Menuntut Ilmu, Desember 2006. Tholkhah, Imam, dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Jurnal Ulumul Qur’an, no. 4 vol. I, 1990. CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah,1997.
Kajian Hadits Menuntut Ilmu
96
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
GLOBALISASI: “PERANG PERADABAN” ATAU “PERDAMAIAN DUNIA” Oleh: Sri Setiati Abstrak: Globalisasi diartikan sebagai proses internasionalisasi produk, mobilisasi yang semakin membengkak dari modal dan masyarakat internasional, penggandaan dan intensifikasi ketergantungan ekonomi. Sementara dalam perspektif politik-ideologi, globalisasi dirumuskan sebagai liberasi perdagangan dan investasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Dari kacamata teknologi, globalisasi berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi dan informasi.Terlepas dari perbedaan perspektif dalam mendefinisikan globalisasi, yang jelas ia sangat berpengaruh terhadap hidup dan kehidupan masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati dengan munculnya globalisasi ini adalah kemungkinan munculnya benturan peradaban antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia lainnya, baik yang berakar dari budaya, teknologi, ideologi, maupun agama. Atau sebaliknya, globalisasi malah melahirkan perdamaian dunia seiring dengan gencarnya wacana demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan belakangan ini, multikulturalisme. Kata Kunci: Globalisasi, Gerakan, dan Perubahan A. Pendahuluan Dewasa ini, globalisasi menjadi wacana publik (public opinion) yang menarik perhatian sejumlah kalangan. Wacana tersebut dapat ditemukan dalam bentuk buku, artikel lepas, seminar, simposium, dan wahana-wahana ilmiah lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang penting di balik globalisasi, sehingga masyarakat merasa “wajib”
Penulis adalah Guru PNS Bidang IPS Terpadu SMP Negeri 2 Patebon Kabupaten Kendal.
Sri Setiati
97
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
untuk meresponsnya. Respons masyarakat pun bermacam-macam: ada yang pro, ada yang kontra; ada yang optimis, dan ada juga yang pesimis. Dalam perspektif ekonomi, globalisasi diartikan sebagai proses internasionalisasi produk, mobilisasi yang semakin membengkak dari modal dan masyarakat internasional, penggandaan dan intensifikasi ketergantungan ekonomi. Sementara dalam perspektif politik-ideologi, globalisasi dirumuskan sebagai liberasi perdagangan dan investasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Dari kacamata teknologi, globalisasi berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi dan informasi.34 Kemudian dalam pengertian budaya, globalisasi merupakan proses akulturasi norma-norma, seperti pluralitas keagamaan, Hak Asasi Manusia (HAM), dan bahkan gaya hidup. Terlepas dari perbedaan perspektif dalam mendefinisikan globalisasi, yang jelas ia sangat berpengaruh terhadap hidup dan kehidupan masyarakat. Menurut Fromm, “kini manusia tidak berkutik di hadapan berhala materialis-me, kediktatoran uang, anomistis dan perbudakan. Materialisme fundamenta-listis telah menjebak manusia ke dalam belenggu alienasi (keterasingan manusia dari Tuhan, sesama manusia, lingkungan) dan sinisme.”35 Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati dengan munculnya globalisasi ini adalah kemungkinan munculnya benturan peradaban antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia lainnya, baik yang berakar dari budaya, teknologi, ideologi, maupun agama. Atau sebaliknya, globalisasi malah melahirkan perdamaian dunia seiring dengan gencarnya wacana demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, 34
Francis Wahono, Teologi Pembebesan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Yogyakarta, LKiS, 2000, hlm. xiv-xv 35 Muhidin M. Dahlan, “Sosialisme Religius”: Mendayung di antara Sosialisme dan Kapitalisme, dalam Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta, Kreasi Wacana, Cet. Ke-3, 2001, hlm. viii
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
98
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
dan belakangan ini, multikultura-lisme. Point inilah yang menjadi sentral kajian dalam makalah ini. B. Definisi Globalisasi Globalisasi secara harfiah berasal dari kata “global” yang berarti sedunia atau sejagat.36 Istilah yang konon dipopulerkan oleh Theodore Lavitte pada tahun 1985 ini, menurut Mukti Ali, “menunjukkan satu corak kesadaran baru yang memperhatikan persoalan-persoalan baru, hal-hal yang khusus dan universal, lokal, regional dan internasional yang saling berhubungan dengan cara yang dulu belum pernah terjadi”.37 Sementara itu, Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan memberi batasan bahwa “globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi, transformasi, dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi bisa ‘dijangkau’ dengan mudah”.38 Ahmed dan Donnan memberi contoh tentang kasus buku Sanatic Verses karya Salman Rusydie di akhir tahun 1980-an. Hanya dalam beberapa jam saja, apa yang terjadi di Inggris dengan begitu cepat sudah muncul respons di Pakistan dan India. Protes terhadap buku itu terjadi di berbagai belahan dunia. Begitu cepatnya berita tentang buku tersebut merupakan perwujudan era komunikasi, transformasi dan informasi. Situasi demikian tentunya tidak lepas dari kecanggihan di bidang komunikasi seperti radio, televisi, telepon, faximile, internet dan sebagainya. Melalui berbagai peralatan tersebut, berbagai peristiwa36
AS. Hornby, Oxford English Advanced Learner’s Dictionary, fifth edition, Oxford University Press, 1995, hlm. 503 37 Mukti Ali, Agama, Globalisasi dan Pembangunan, dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan (Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhannas, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, hlm. 314 38 Akbar S. Ahmed dan Hanstings Donnan, Islam, Globalization and Postmodernity, London, Routledge, 1994, hlm. 1
Sri Setiati
99
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia yang lain dapat diakses dengan mudah. Seolah-olah tidak ada pembatas antara dunia yang satu dengan dunia lainnya. Berangkat dari realitas tersebut, A. Qordri Azizi menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilainilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi hasil modernisasi di bidang teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan “kompetisi liar” yang saling mempengaruhi; saling bertabrakannya nilai-nilai yang berbeda; atau saling kerja sama yang akan menghasilkan sintesa dan antitesa baru.39 Dengan kata lain, globalisasi terkait dengan interaksi-interaksi transnasional yang melibatkan semua elemen masyarakat secara nyata. Elemen-elemen masyarakat itu terdiri dari pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga pendidikan, maupun individu-individu. Watak globalisasi yang imanen dalam segala bidang kehidupan merupakan fenomena sosiologis yang menyentuh wilayah kehidupan sosial dan spiritual yang sudah barang tentu berimplikasi pada interdependensi antara elemen-elemen masyarakat tersebut. Bila definisi-definisi di atas cenderung terbatas pada globalisasi dalam perspektif informasi, ada definisi lain yang cukup kritis di mana globalisasi dilihat dari kacamata ekonomi. Mansour Fakih, misalnya, mendefinisikan globalisasi sebagai “suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global”.40
39
A. Qordi Azizi, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 20 40 Mansor Fakih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajara, 2002, hlm. 194
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
100
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Hal ini berarti bahwa proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar merupakan banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, gaya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia. Mengingat luasnya cakupan wilayah perubahan ini menjadikan gerak perubahan global terasa sulit dibendung, sebab kekuatan tersebut datang bagaikan badai yang mengepung dan dilengkapi dengan instumen-instrumen super canggih, mulai dari yang bersifat persuasif hingga yang bersifat koersif.41
C. Akar Historis Globalisasi Sebelum “booming” term globalisasi, kita barangkali masih ingat dengan istilah developmentalisme atau pembangunanisme. Menurut Mansour Fakih, setidak-tidaknya ada tiga watak dari developmentalisme. Pertama, ia melanggengkan struktur ekonomi yang eksploitatif. Dalam skala regional ia melanggengkan hubungan dependensi antara negara berkembang dan maju, antara elit kota dan golongan miskin. Development dan underdevelopment adalah konsep yang berkaitan, yakni mundurnya suatu negara adalah akibat mundurnya negara lain, sehingga menimbulkan ketergantungan. Kedua, developmentalisme sendiri merupakan dominasi kultural dan ideologi terhadap Dunia Ketiga. Melalui proyek bantuan, pertukaran ahli, transfer teknologi, beasiswa dan sebagainya, ia menggusur budaya dan politik masyarakat bawah dan lokal. Ajaran agama, pendidikan, media massa, dan lembaga lain dipakai untuk menjinakkan rakyat. Akhirnya ia mampu menciptakan konsep realitas baru dengan
41
Ibid., hlm. 8-9
Sri Setiati
101
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
mempengaruhi selera, moralitas, kebiasaan, prinsip keberagaman, politik serta pola hubungan sosial. Ketiga, developmentalisme juga menjadi pengetahuan yang sarat ideologi dan kontrol. Mekanisme kontrol terjadi setelah Dunia Ketiga dilabeli underdevelopment, sehingga mereka merasa berhak untuk menganiaya. Karena pengetahuan itu mengandung kekuasaan, maka dengan developmentalime Dunia Ketiga menjadi didominasi.42 Setelah era developmentalisme yang dianggap gagal telah berakhir, maka masyarakat dunia kini memasuki era baru yang disebut globalisasi. Di antara ciri khas yang paling mencolok dari globalisasi adalah “pasar bebas” (liberalisasi perekonomian). Ini bisa dilihat dari munculnya, AFTA, NAFTA, APEC, WTO dan lembaga-lembaga sejenenisnya. Inti dari pasar bebas adalah setiap individu diberi hak untuk mengejar kepentingannya. Namun demikian tetap ada aturan main, yaitu bahwa setiap individu tidak boleh melanggar hak dan kepentingan individu lain. Makanya harus ada fair play termasuk juga kepatuhan terhadap aturan perdagangan. Dalam rangka mengejar kepentingan individu tersebut, maka tidak ada lagi batasan wilayah; dan dalam waktu bersamaan juga tidak dikehendaki campur tangan lebih besar dari pemerintah. Individu memiliki keleluasaan untuk menentukan corak perekonomiannya. Menurut paham pasar bebas ini, keberadaan negara tidak boleh memperkecil, apalagi merampas, hak-hak individu dalam praktik perdagangan, sebaliknya eksistensi negara justru untuk menjaga dan melindungi hak-hak individu tersebut. Individu-individu dalam hal ini berwujud TNCs-TNCs yang semakin memperlemah negara-negara dunia ketiga.
42
Ibid., hlm. 320-21
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
102
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Ini bisa dilihat dari melemahnya industri nasional, apalagi home industry. Salah satu contoh yang amat sederhana adalah harga beras atau gula. Kualitas beras atau gula impor ternyata jauh lebih bagus dan beras atau gula dalam negeri, harganya pun lebih murah dibanding dengan harga nasional. Dengan kenyataan semacam ini, masyarakat jelas memilih beras atau gula impor. Konsekuensinya, perusahaan dalam negeri tidak mampu berbuat apa-apa. Yang dapat mereka lakukan adalah secepatnya menutup usahanya agar tidak rugi semakin banyak. Kompetisi dalam pasar bebas adalah ibarat seorang petinju “kerempeng” kekurangan gizi melawan petinju tinggi-besar dengan gizi terpenuhi. Dalam pertarungan semacam ini, penonton sudah bisa memastikan siapa pemenangnya, sekalipun pertandingan belum dimulai. Petinju berbadan kerempeng dan kekurangan gizi itu adalah negaranegara miskin di Dunia Ketiga, sementara petinju dengan tubuh tinggibesar adalah negara-negara gaya yang dengan kualitas SDM yang luar biasa dan berikut TNCs-nya yang mengakui berbagai kegiatan perekonomian internasional. Dengan demikian, globalisasi pada dasarnya lebih merupakan agenda TNCs—melalui mekanisme yang diciptakan oleh WTO—untuk memaksakan kepentingannya melalui kebijakan reformasi atau aturan suatu negara dalam berbagai bidang seperti perpajakan, tenaga kerja, perdagangan, investasi dan segala aturan yang memudahkan pencapaian tujuan perdagangan mereka. Melalui cara semacam ini, maka akan memberi kemudahan kepada TNCs untuk dalam mengeksploitasi sumberdaya manusia atau alam melalui berbagai kesepakatan perdagangan bebas itu.43 43
Mahmutarom, Pembangunan Hukum dalam Konteks Global, dalam Muammar Ramadhan dan Ahmad Gunawan BS, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta, Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo, dan Program Doktor Undip Semarang, 2006, hlm. 182
Sri Setiati
103
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
D. Konfigurasi Globalisasi Bahruddin Darus mengajukan lima konfigurasi globalisasi, antara lain: (1) globalisasi informasi dan komunikasi, (2) globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, (3) globalisasi gaya hidup, pola konsumsi, budaya, dan kesadaran, (4) globalisasi media massa, (5) globalisasi politik dan wawasan.44 Sementara itu, Muhtarom melengkapinya dengan tiga konfigurasi yang lain, yaitu: globalisasi hukum, globalisasi ilmu pengetahuan, dan globalisasi agama.45 Delapan konfigurasi yang ditawarkan oleh Darus dan Muhtarom di atas bisa disederhanakan menjadi lima konfigurasi globalisasi, yaitu: 1. Globalisasi Informasi Informasi dan komunikasi yang didukung dengan menggunakan teknologi dapat dilakukan dengan mudah dan efektif. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan efektivitas dan efisiensi yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Proses komunikasi melalui media massa, seperti radio, televisi, internet, surat kabar, film dan semacamnya, dapat mengatasi perbedaan ruang dan waktu antara penyampai pesan dan penerima pesan. Fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi komunikasi melalui media massa di era seperti sekarang ini sudah barang tentu dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Akselerasi informasi tidak hanya disebabkan oleh penemuan-penemuan teknologiteknologi baru, akan tetapi juga disebabkan oleh kepentingan individu dan masyarakat untuk semakin memahami dan bekerjasama
44
Baharuddin Darus, “Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di Abad ke-21” dalam Syahrin Harahap (ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta, Tiara Wacana 1998, hlm. 165-6 45 Muhtarorm H.M., Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam), Yogyakarta, 2005, hlm. 54-67
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
104
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
dengan berbagai lapisan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri.46 Sayangnya, dinamika informasi yang mengagumkan tersebut cenderung lepas kontrol, di mana semua orang, baik anak-anak ataupun orang dewasa, sama-sama bisa menikmati informasi yang disediakan oleh media massa, tidak peduli apakah informasi itu positif atau tidak. Padahal, anak-anak (dan orang dewasa sekalipun) mudah terbius dan sekaligus menirukan sesuatu yang dia peroleh dari media massa. 2. Globalisasi Ekonomi Globalisasi ekonomi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global. Segenap aspek perekonomian; pasokan dan permintaan, bahan mentah. informasi dan transportasi, tenaga kerja, keuangan, distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran menyatu dan terjalin dalam hubungan interdependensi yang berskala global.47 Perjanjian internasional di Marakesh, Maroko, pada bulan April 1994 yang menghasilkan kesepakatan internasional yang disebut General Agreement on Tarif and Trade (GATT) menjadi tonggak awal dimulainya era globalisasi di bidang ekonomi. Substansi kesepakatan GATT menyebutkan bahwa setiap negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut harus patuh pada aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah dalam era perdagangan bebas.48 Sebagai tindak lanjut dari, pada tahun 1995 dibentuk sebuah organisasi pengawasan dan kontrol yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Kemudian disusul dengan pembentukan 46 47 48
Muhtarom, Op.Cit., hlm. 51 Muhtarorm, hlm. 52 Ibid, hlm. 52-53
Sri Setiati
105
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
blok-blok ekonomi; di Asia dibentuk Asean Free Trade Are (AFTA) yang dimulai tahun 2003, di negara-negara Asia Pasifik dibentuk Asia Pasific Economic Corporation (APEC) yang akan dilakukan mulai tahun 2020, lalu di Eropa didirikan Single European Market (SEM), dan di negara-negara Atlantik Utara juga didirikan sebuah organisasi yang bernama North Amerika Free Trade Area (NAFTA). 3. Globalisasi Budaya Di era globalisasi seakan-akan tidak ada pembatas antara dunia yang satu dengan dunia lainnya. Apa saja yang terjadi di negara tertentu bisa dengan mudah dan cepat diakses oleh negara-negara yang lain. Kondisi semacam ini tentu akan mempercepat transplantasi atau akulturasi budaya antara bangsa yang satu dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahkan pada titik klimaks, barangkali tidak ada lagi kekhasan budaya sebuah bangsa tertentu di planet ini, sebab semua budaya sudah lebur menjadi satu dalam sebuah komunitas global. Atau malah sebaliknya, globalisasi dapat merajut kembali dan memperkokoh budaya lokal dan nasional untuk dipopulerkan kepada masyarakat global sebagai sebuah ciri khas dan keunikan suatu bangsa, apalagi bangsa yang multietnik, multikultur, dan multireligius seperti Indonesia. Menurut Anthony Giddens, globalisasi dan pencerahan yang berkeinginan untuk menghancurkan mitos tradisi, hanya sebagian (kecil saja) yang berhasil. Tradisi masih tetap, hampir seluruh Eropa dan bahkan jauh lebih berurat akar dihampir seluruh bagian di dunia lain. Masih tetap bertahannnya tradisi, terutama di negeri industri, menunjukkan bahwa perubahan institusional yang ditandai oleh
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
106
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
modernitas sangat terbatas pada lembaga publik, terutama pemerintahan dan ekonomi.49 Terbukti, banyak tradisi lokal atau nasional suatu negara yang tergerus oleh budaya global yang tidak jelas asal-usulnya. Masyarakat hanya mengkonsumsi dan meniru suatu budaya tanpa berpikir dari mana dan milik siapa budaya itu. Contoh yang paling sederhana adalah soal pakaian. Pakaian lokal atau nasional masyarakat Indonesia, misalnya, hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada saat upacara pernikahan, kegiatan keagamaan, atau hanya dipakai oleh pejabat pemerintah di hari-hari tertentu saja. Selain hari-hari tersebut, praktis masyarakat memakai pakaian Barat sesuai dengan seleranya masing-masing. 4. Globalisasi Hukum Kehidupan ekonomi global dengan aktivitas perusahaan transnasional sangat berpengaruh terhadap hukum, dan sekaligus memberi peluang untuk mengubah logika dan praktik hukum. Globalisasi telah menghilangkan batas-batas kenegaraan, sehingga tidak ada lagi negara yang dapat mengklaim bahwa ia menganut sistem hukum secara absolut. Telah terjadi proses saling mempengaruhi antar sistem hukum. Sistem hukum Timur Tengah, misalnya, mengalami proses yang saling mempengaruhi dengan sistem hukum Timur Jauh.50 Tegaknya hukum yang beradab dan berkeadilan harus berdiri di tas hubungan moral antara warga negara dan hukum, dan kemampuan sistem hukum dan politik untuk memenuhi tuntutan 49
Anthony Giddens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry Kristiawan. dan Yustina Koen S., Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001: 39 50 Hudan Arif Fakrullah, “Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial di Indonesia dalam Kancah Trend Globalisasi” dalam Satjipto Rahardjo, Wajah Hukum di Era Globalisasi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 52
Sri Setiati
107
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
keadilan warga negara. Nasikun51 menulis bahwa antara keadilan dan hukum terkait erat. Hal ini sejalan dengan dua premis klasik. Pertama, perlu terjadinya korenspondensi resiprokal antara hukum dan keadilan. Hukum menuntut kewajiban-kewajiban timbal balik dari kedua belah pihak. Kewajiban setiap warga negara untuk tunduk terhadap otoritas-otoritas hukum haruslah berkorenspondensi dengan kewajiban hukum untuk mewujudkan keadilan. Kedua, hubungan timbal bak antara tertib hukum dan keadilan sosial harus dipandang suatu proses yang bersifat dinamis. Premis-premis tersebut menunjukkan bahwa konsep penegakan hukum tidaklah semata-mata hanya mewajibkan setiap warga negara untuk mematuhi dan tunduk kepada hukum, melainkan juga melihat sejauh mana hukum telah melaksanakan fungsinya sebagai sarana terwujudnya keadilan. Untuk mendapatkan keadilan harus melalui proses pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dengan mengacu pada hukum acara yang menjamin pemeriksaan obyektif oleh hakim yang jujur dan adil. Tujuannya adalah untuk memperoleh keputusan yang adil dan benar.52 5. Globalisasi Politik Kehidupan politik yang mencakup bermacam-macam kegiatan berkaitan dengan perilaku politik individu maupun kelompok kepentingan. Seorang individu atau kelompok dapat disebut berpolitik manakala mereka berpartisipasi dalam kehidupan
51
Nasikun, “Globalisasi dan Problematika Pembangunan Hukum, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Problem Globalisasi, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2000, hlm. 37 52 Darwan Prinst, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak asasi Manusia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 21
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
108
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
politik dan aktivitas mereka berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan untuk suatu masyarakat.53 Contoh yang paling mutakhir dalam hal ini adalah kasus invasi Israel ke Lebanon (baca: Hisbollah) yang telah menewaskan lebih dari seribu orang. Dalam masalah ini, berbagai negara dunia berpartisipasi untuk menghentikan pertikaian antara kedua belah pihak, termasuk Indonesia. Globalisasi politik juga masuk ke wilayah perekonomian. Kelompok-kelompok negara yang bekerjasama dalam bidang ekonomi seperti AFTA, APEC, SEM maupun NAFTA, pada hakikatnya tidak lepas dari kebijakan politik. Dunia barat yang memegang kebijakan ekonomi global itulah yang melontarkan isu demokratisasi. Demokrasi tidak sekedar menjamin hak politik dan tegaknya rule of law. Demokrasi juga mencakup bidang ekonomi dengan penguasaan kekuatan-kekuatan ekonomi dan upaya memperkecil perbedaan sosial dalam ekonomi terutama perbedaanperbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata.54 E. Gerakan “Globalisasi” Istilah perang peradaban kini menjadi istilah yang sangat populer, khususnya di kalangan akademisi dan pengamat politik global. Istilah tersebut diciptakan oleh Samuel P. Huntington melalui bukunya, The Class of Civilizations and The Remaking of World Order, yang diindonesiakan menjadi Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Perbincangan mengenai globalisasi dan hubungannya dengan perang peradaban atau perdamaian dunia tampaknya cukup menarik 53
Miriam Budiaharjo, Dasar-dasar Ilmu-ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1977, hlm. 32 54 Ibid, hlm. 34
Sri Setiati
109
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
apabila dikaitkan dengan suhu politik mutakhir yang berkembang belakangan ini, khususnya setelah Korea Utara mengumumkan bahwa dirinya sukses melakukan uji coba nuklir di bawah tanah pada tanggal 9 Oktober lalu. Kontan saja, perbuatan tersebut memicu respon dan komentar beragam dari publik internasional. Ada yang mengecam, ada yang mendukung dan ada pula yang diam. Indonesia tampaknya termasuk dalam kelompok yang diam, tidak pro dan tidak kontra. Apa yang dilakukan oleh Korut itu merupakan sebuah keberanian tersendiri setelah sekian lama mendapat tekanan dan kecaman dari sejumlah negara internasional. Bagi sebagian pengamat masalah Asia Timur, langkah Korut itu adalah sesuatu yang telah lama diperkirakan. Korut telah lama mengembangkan teknologi nuklirnya. Banyak ahli meyakini negara ini memiliki cadangan material yang mampu memproduksi hingga 10 bom nuklir sekelas bom yang dijatuhkan AS di Nagasaki dan Hiroshima. Menurut Prof Shen Dingli, Dekan Jurusan Kajian AS di Universitas Fudan, China, Korut ada dalam titik kepercayaan tinggi dalam menghadapi tekanan dan ancaman internasional, khususnya AS dan sekutunya di Asia Timur. Menurut Dingli, Korut begitu yakin bahwa ia tidak akan begitu saja diserang oleh AS. Kim Jong Il juga yakin bahwa kemarahan Gedung Putih terhadap tindakan Korut itu tidak akan sampai pada hal terburuk, yakni AS menyerang Korut.55 Bagi korut, uji coba itu adalah pembuktian falsafah “pertahanan diri” yang ingin ditunjukkan kepada dunia. Falsafah ini menjadi pedoman yang menganjurkan Korut mengontrol sendiri keamanan negaranya, bukan menggantungkan diri pada perbaikan hubungan dengan AS yang berlagak menjadi polisi dunia. Lebih dari itu, Korut kini malah mengancam akan melakukan uji coba nuklir yang kedua. 55
Lily Yulianti Farid, Mengapa Korea Utara Tak Gentar?, KOMPAS, 12 Oktober 2006, hlm. 6
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
110
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Sikap Korut ini menjadikan kondisi keamanan Asia Timur yang amat bergantung kepada AS kini menghadapi tantangan yang lebih besar. Pemandangan ini merupakan cermin dari eskalasi politik global saat ini. Politik global menurut Huntington berbeda dengan politik lokal. “Politik global adalah peradaban; politik lokal adalah etnisitas. Persaingan antara negara adidaya digantikan oleh benturan antara peradaban”.56 Lebih lanjut Huntington menulis, “konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, antara golongan kaya dan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Pertikaian antarsuku dan konflik antaretnis—dalam konteks peradaban—akan sangat sering terjadi.”57 Pertanyaannya, bisakah tindakan Korut melawan AS dan kawankawan disebut “perang” antarsuku atau antarkonflik? Dalam hemat penulis, sikap Korut itu bukan ketegangan antarsuku atau perang antaretnis, tetapi ketegangan antara penindas dan tertindas, antara penguasa dunia dan negara terisolir. Barangkali kita akan mengatakan bahwa ketegangan antara Korut dan AS cs merupakan konflik ideologi. Ini barangkali benar kalau melihat siapa saja yang menjadi sekutu Korut, yaitu Rusia dan Cina yang sama-sama berhaluan komunis. Sementara itu AS dan sejumlah negara Eropa bermadzhab kapitalis. Akan tetapi kita jangan lupa bahwa Korut juga didukung oleh Pakistan dan Iran. Keduanya adalah tidak berdiri di atas ideologi komunis-sosialis, melainkan agama yang nota bene Islam. Kita tahu bahwa beberapa tahun terakhir ini juga muncul ketegangan antara Iran 56
Samuel P. Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail, 2004, hlm. 9 57 Ibid
Sri Setiati
111
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
dan AS cs. Masalahnya juga sama dengan Korut, yaitu soal nuklir. Karena itu, penulis menganggap bahwa ketegangan antar negara-negara tersebut adalah bukan masalah etnis, suku ideologi, atau agama, melainkan soal persaingan menjadi negara terkuat dalam konteks militer. Berbicara soal kekuatan militer, yang menjadi indikator utamanya adalah nuklir. Jika suatu negara mampu mempersenjatai militernya dengan nuklir yang canggih, maka kekuatan militer negara tersebut pasti diperhitungkan. Negara seperti Korut, Iran dan Pakistan tidak akan mampu mengembangkan nuklir tanpa adanya intensitas dan sirkulasi informasi di bidang Iptek yang mengalir begitu cepat dari negara satu ke negaranegara lainnya. Dan Iptek inilah yang menjadi ikon globalisasi. Tanpa adanya kemajuan Iptek, maka tidak akan pernah ada yang namanya globalisasi. Melihat fenomena di atas, globalisasi tampaknya tidak akan menjadi pendorong terciptanya perdamaian dunia, sekalipun usahausaha ke arah sana selalu di usahakan, akan tetapi malah menjadi pemicu meletusnya perang peradaban, khususnya dalam konteks nuklir (dalam konteks militer). Bukan mustahil, beberapa waktu mendatang muncul negara-negara lain yang meniru Iran atau Korut dengan mengembangkan nuklir sebagai alat resistensi terhadap AS dan kawankawan yang berlagak menjadi raja diraja di dunia ini. Kita bisa membayangkan apa jadinya dunia ini jika musuh-musuh AS sama-sama mempersenjatai militernya dengan kekuatan nuklir. Maka yang akan terjadi bukan saja benturan peradaban dalam konteks pemikiran Huntington, lebih dari itu yang terjadi justru Perang Dunia Jilid III. Perang Jilid III ini kemungkinan besar akan lebih dahsyat, sebab perang yang muncul adalah perang nuklir yang sekali luncur sanggup merenggut jutaan nyawa anak manusia. Akhirnya, kita akan bergumam, “Inikah tanda kiamat sudah dekat?” Globalisasi dan Perdamaian Dunia
112
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Akan kontras dengan fenomena di atas apabila kita mengamati serangkaian pertemuan-pertemuan bilateral atau multilateral antara beberapa petinggi negara, baik dari dunia pertama maupun dunia ketiga. Terlepas dari kepentingan pada masing-masing pihak, hal itu mengindikasikan bahwa arus globalisasi dapat mempererat perdamaian dunia. Ambil contoh, belakangan ini seantero jagat dihebohkan dengan masalah terorisme, khususnya pasca tragedi 11/9—yang anehnya dikaitkan dengan jaringan “Islam garis keras. Masyarakat dunia tampaknya memiliki satu persepsi bahwa terorisme sangat mengancam perdamaian dunia yang telah mereka semai sejak pasca meletusnya Perang Dunia II. Warga dunia kemudian ramai-ramai memperbincangkan terorisme dan tentu saja bagaimana mengatasinya. Contoh lain adalah tragedi kemanusiaan yang menimba bangsa Indonesia dan sebagian negara-negara tetangga, yaitu tsunami dan gempa susulan, mulai dari Aceh hingga Yogyakarta. Dalam waktu yang sangat sebentar, bantuan datang dari banyak negara, baik berupa makanan, obat-obatan, pakaian, pembangunan infrastruktur, dan semacamnya. Ini bukti bahwa globalisasi yang ditandai dengan cepatnya arus informasi, selain berdampak pada ketegangan-ketegangan antara negara, juga menjadi jarum emas untuk merajut kedamaian hakiki. F. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Globalisasi adalah sebuah kondisi di mana hampir tidak ada pembatas ruang dan waktu antara dunia yang satu dengan dunia lainnya, baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi maupun budaya. 2. Secara historis, globalisasi merupakan perkembangan lebih lanjut dari ideologi kapitalisme yang mengangung-angungkan liberalisasi Sri Setiati
113
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
ekonomi (pasar bebas). Menurut ideologi ini, negara tidak boleh ikut campur dalam kegiatan perekonomian. Biarkanlah masalah tersebut ditangani oleh pihak swasta, sebab campur tangan pemerintah dinilai akan menghambat dinamika perekonomian. Untuk itulah saat ini bermunculan organisasi-organisasi internasional seperti AFTA, NAFTA, APEC, WTO dan lembagalembaga sejenenisnya yang menjadi induk dari pasar bebas tersebut. 3. Ada lima konfigurasi globalisasi, yaitu: (1) globalisasi informasi, (2) globalisasi ekonomi, (3) globalisasi budaya, (4) globalisasi politik, dan (5) globalisasi hukum. 4. Globalisasi tampaknya tidak akan melahirkan perdamaian dunia akan tetapi malah memicu perang peradaban. Perang peradaban ini ditandai dengan perang peradaban nuklir yang belakangan ini semakin gencar diperbincangkan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Ahmed, Akbar S., dan Donnan, Hanstings, Islam, Globalization and Postmodernity, London, Routledge, 1994 Ali, Mukti, Agama, Globalisasi dan Pembangunan, dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan (Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhannas, Jakarta, Sinar Harapan, 1995 Azizi, A. Qordi, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Budiaharjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu-ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1977 Dahlan, Muhidin M., “Sosialisme Religius”: Mendayung di antara Sosialisme dan Kapitalisme, dalam Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta, Kreasi Wacana, Cet. Ke-3, 2001
Globalisasi dan Perdamaian Dunia
114
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Darus, Baharuddin, “Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di Abad ke-21” dalam Syahrin Harahap (ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta, Tiara Wacana 1998 Fakih, Mansour, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajara, 2002 Fakrullah, Hudan Arif, “Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial di Indonesia dalam Kancah Trend Globalisasi” dalam Satjipto Rahardjo, Wajah Hukum di Era Globalisasi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000 Farid, Lily Yulianti, Mengapa Korea Utara Tak Gentar?, KOMPAS, 12 Oktober 2006 Giddens, Anthony, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry Kristiawan. dan Yustina Koen S., Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001 Hornby, AS., Oxford English Advanced Learner’s Dictionary, fifth edition, Oxford University Press, 1995 Huntington, Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail, 2004 Mahmutarom, Pembangunan Hukum dalam Konteks Global, dalam Muammar Ramadhan dan Ahmad Gunawan BS, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta, Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo, dan Program Doktor Undip Semarang, 2006 Muhtarorm H.M., Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam), Yogyakarta, 2005 Nasikun, “Globalisasi dan Problematika Pembangunan Hukum, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Problem Globalisasi, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2000 Prinst, Darwan, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak asasi Manusia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001 Wahono, Francis, Teologi Pembebesan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Yogyakarta, LKiS, 2000
Sri Setiati
115
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
KAJIAN JARINGAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA Oleh: Muhamad Nur Abstrak: Liberal mengandung konotatif negatif bagi sebagian umat Islam, karena diposisikan dengan dominasi asing dengan politik kolonialisme yang sangat membuat menderita umat manusia khususnya umat Islam. Sementara bila dikaji lebih dalam, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis terhadap, keaneragaman idiologi dalam konsep itu secara mendalam. Salahnya analisis terhadap Islam liberal umumnya dihubungkan dengan liberalisme Barat, akan tetapi sejak kajian Islam liberal hanya terbatas pada dimensi keislaman keagamaan dengan liberalisme Barat. Sebagai wacana perkembangan Islam liberal di Indonesia, dapat ditarik signifikasinya dalam mengembangkan pemikiran yang produktif, kreatif dan konserfatif di kalangan masyarakat Islam. Secara jujur kita akui bahwa meski sebagai kelompok mayoritas, semangat Islam di Indonesia masih kelihatan gugup dan gamang dalam mengaitkan dokrin agama dengan persoalan publik seperti dalam merespon persoalan politik dan dalam isu tentang kesetaraan gender. Kata Kunci: Liberalisme, Islam, dan Barat A. Pendahuluan Liberalisme dapat di intrepretasikan beranekaragam, baik yang bernada positif maupun yang bernada negatif. Walaupun demikian apapun tafsirannya tidak dapat dipungkiri bahwa istilah tersebut merupakan fenomena yang penting dan menarik untuk di kaji. Istilah liberalisme merupakan kreasi barat sehingga oleh sebagian kalangan di anggap tidak otentik atau sekalipun benar tidak dapat di terima, hal ini tidak terlepas dari kesalahan barat dalam memahami
Penulis adalah Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Kendal.
Muhamad Nur
116
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Islam yang pada awalnya menganggap Islam sebagai agama yang paling primitif. Istilah liberal mengandung konotatif negatif bagi sebagian umat Islam, karena diposisikan dengan dominasi asing dengan politik kolonialisme yang sangat membuat menderita umat manusia khususnya umat Islam. Sementara bila dikaji lebih dalam, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis terhadap, keaneragaman idiologi dalam konsep itu secara mendalam. Salahnya analisis terhadap Islam liberal umumnya di hubungkan dengan liberalisme Barat, akan tetapi sejak kajian Islam liberal hanya terbatas pada dimensi keislamannya keagamaan dengan liberalisme Barat dapat dihindari. Sebagai wacana perkembangan Islam liberal di Indonesia, dapat ditarik signifikasinya dalam mengembangkan pemikiran yang produktif, kreatif dan konserfatif di kalangan masyarakat Islam. Secara jujur kita akui bahwa meski sebagai kelompok mayoritas, semangat Islam di Indonesia masih kelihatan gugup dan gamang dalam mengaitkan dokrin agama dengan persoalan publik seperti dalam merespon persoalan politik dan dalam isu tentang kesetaraan gender. Karena paradigma berfikir umat Islam terutama pada kalangan pemikirnya (cendekiawan muslim) belum memadai, akibatnya hasil dari pemikiran tersebut dalam merespon persoalan publik terkesan dangkal, tidak utuh dan parsial1. Karena itu Islam Liberal perlu dipertimbangkan sebagai mana paradigma dalam mengembangkan pemikiran keislaman secara utuh dan mendalam dimasa mendatang. B. Perkembangan Islam Liberal Islam liberal muncul di antara gerakan-gerakan rebibalis pada abad 18, masa yang subur bagi peradaban keIslaman. Islam liberal 1
Syamsul Arifin, Islam Indonesia, (UMM; Malang, 2003): hal. 180
Jaringan Islam Liberal di Indonesia
117
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
berakar pada diri Syah Waliyullah di India pada 1703-1762. Syah Waliyullah meliht bahwa Islam sedang dalam bahaya, ia berupaya untuk melakukan perubahan dalam komunitas Islam dengan menggabungkan antara pembaharuan teologi dan organisasi sosial potilik, serta mengembalikan tradisi Islam yang benar sebagai sumber utama, guna mengatasi semua masalah dalam dunia Islam. Namun demikian Syah Waliyullah mengembangkan sebuah tanggapan yang lebih humanistik terhadap tradisi Islam, dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh kelompok wahabidan para pelopor kebangkitan Islam lainnya. Pada abad ke 19 Islam liberal mulai membedakan dirinya secara lebih jelas dari kelompok rasionalisme. Baik secara intelektual maupun institusional. Islam liberal pada abad ini dengan tokoh-tokohnya antara lain jamaluddin al Afghani (iran, 1838-1897), Sayyid Ahmad Khan (India, 1817-1898), Muhammad Abduh (Mesir, 1849-1905). Secara umum dikenal sebagai “modernisme Islam” (Islamic Modernism). Pemahaman itu terkait dengan sikap yang memberikan pengaruh terhadap “modernitas”, yang menaruh perhatian terhadap warisan intelektual Islam pada masa lampau di samping perhatian terhadap ilmu-ilmu Barat. Lebih liberal juga diberikan kepada aliran yang muncul belakangan, yakni neo modernisme. Dikatakan mislanya neo modernisme merupakan liberalisme Islam2. Dalam ungkapan yang lain dikatakan bahwa teologi neo modernisme sering di identikkan dengan “Islam liberal” dalam konteks kekinian3. Ciri-ciri neo modernisme menurut Fazlur Rahman yang diidentifikasi sebagai salah seorang dari tokoh aliran ini adalah 2
Abd Ala, Dari NeoModernisme ke Islam Liberal, (Paramadina; Jakarta, 2003): hal. 6. 3 Azumardi Azra, Kata Pengantar, Ibid, hal. XV
Muhamad Nur
118
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
sikapnya yang liberal, kritis sekaligus apresiatifterhadap warisan pemikiran Islam dan Barat sekaligus. Selain itu kelompok ini menekankan akan pentingnya ijtihad yang sistematis dan komperhensif. Sesuai dengan ciri-ciri tersebut Islam liberal dikatakan berjalan dalam dua konteks intelektual yaitu dunia Islam dan dunia Barat. Warisan pemikiran Islam dari masa lalu disaring secara kreatif dengan tetap berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagai sumber pokok dalam ajaran Islam, sejalan dengan hal tersebut pra cendekiawan Islam yang semangat pembaharuannya tersebut tetap memerlukan pikiran-pikiran Barat, mereka beranggapan bahwa tidak semua yang dari Barat itu adalah hal yang buruk/ salah. Aliran neo modernisme menilai metode pemahaman agama yang diterapkan oleh aliran ini sebelumnya memiliki berbagai kelemahan, misalnya dalam pola berfikirnya bersifat parsial. Untuk itu mereka menawarkan pendekatan yang sistematis dan koperhensif. Khuzman mengidentifikasikan tiga “bentuk” (modus)utama Islam liberal. Hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumbersumber primer Islam, yakni Al Qur’an dan As Sunnah, yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam. Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai suatu yang secara eksplisit di dukung oleh syari’ah; bentuk kedua menyarankan bahwa kaum muslimin bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari’ah di biarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan tingkat kecerdasan manusia; bentuk ketiga memberi kesan bahwa syari’ah yang bersifat lahiriyah di perbolehkan bagi manusia sehingga memunculkan penafsiran yang beragam4.
4
Charles Kazman, Wacana Islam Liberal, (Paramdina; Jakarta, 2003) hal. xxxiii
Jaringan Islam Liberal di Indonesia
119
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
C. Jaringan Islam Liberal di Indonesia Mengkaji eksistensi jaringan Islam liberal, sesungguhnya tak lepas dari konteks idiologi, politik, sosologis dan historis yang melingkupinya. Menurut Greg Barton, Islam liberal (dalam konteks keIndonesiaan) merupakan sintesis dari Islam tradisional dan pemikiran Barat modern, dengan penekanan modernisme atas rasionalitas dan ijtihad yang konprehensif, kontekstual dan trus menerus diantara gagasan-gagasan yang di lakukan oleh Islam liberal adalah: 1. Menentang bentuk pemerintahan teokrasi yang menjadi cita-cita sosial politik kaum rasionalis. 2. Memahami dan membangun demokrasi. 3. 4. 5.
Menggagas kesetaraan jenderkebebasan beragama dan perlindungan atas hak-hak non muslim. Kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat secara lesan maupun tulisan. 6. Pentingnya progresifitas bagi kaum muslimin. Dengan banyaknya bermunculan para cendekiawan muslim dinegara kita (Indonesia) merupakan sebuah fenomena baru yang dapat dikatakan kemunculan mereka sebagai gelombang pembaharuan pemikir Islam di negara Indonesia ini. Dengan tipologi pemikirannya yang begitu beragam menjadi petunjuk penting bahwa mereka secara sinergis menggarap tema-tema yang juga menjadi persoalan umat Islam di Indonesia seperti pembangunan, modernisasi, sekularisasi, pembaharuan Islam, demokrasi, pluralisme, itu hanyalah sebagian dari sekian banyaknya bidang garapan para intelektual muslim tersebut, yang tentunya mempunyai pengaruh terhadap liberalisasi, perubahan dan pemikiran umat Islam. Perkembangan dominasi Islam liberal ditanah air agaknya telah memetakkan, bahwa ia tak lebih sebagai bentuk persaingan intelektual
Muhamad Nur
120
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
dari komunitas tertentu yang segera akan menghadapi titik jenuh5. Nyatanya Islam liberal terus berkembang kearah yang lebih progresif,oleh sekelompok intelektual muslim muda Islam terus menerus diberi sentuhan yang lebih kontekstual dengan permasalahan dan perkembangan jaman ditanah air. Dalam visi mereka Islam liberal adalah Islam liberal yang ramah, terbuka dan aprematifterhadap seluruh proses demokratisasi di Indonesia. Karena keramahan pada visi ini, Islam liberal telah memperoleh dukungan penuh antara lain dari sejumlah media masa, seperti yang dilakukan oleh Jawa Post sehingga di semangati oleh gagasan Islam liberal, yang begitu progresif dan pada akhirnya telah menyebar luas. Menurut Islam liberal tersebut, dalam menghadapi persoalanpersoalan global itu umat Islam tidak harus mengambil pemikiran dari luar (pikiran Barat). Umat Islam juga tidak perlu terlampau jauh bersikap seperti kaum restorasi yang terlalu curiga terhadap segala sesuatu yang datang dari luar Islam, karena hanya akan menjadikan cemas dan akhirnya umat Islam semakin mundur dan mengalami keterputusan dengan situasi global. Bagi Islam liberal dalam menghadapi persoalan-persoalan global, dasar berpijak umat Islam sudah jelas, yaitu syari’ah yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah6. Tiga modal yang ditawarkan Islam liberal dalam memahami syari’ah, adalah sebagai berikut: 1. Syari’ah liberal, menurut model ini, sebenarnya syari’ah sejak awal telah memiliki sifat liberal. Wajah liberal dari syari’ah ini selain melalui pada Al Qur’an juga telah terdeteksi secara sempurna dalam sejarah Islam. Oleh karena itu Islam sebenarnya telah menyediakan argumen autentik dalam merespon persoalan-
5. Syamsul Arifin, Op Cit, hal. 181. 6 Ibid, 178.
Jaringan Islam Liberal di Indonesia
121
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
2.
3.
persoalan global, misalnya pengalaman Rasulullah dalam merumuskan Piagam Madinah. Syari’ah yang diam (silent sharia), yaitu umat Islam memiliki kebebasan merespon persoalan global karena syari’ah terutama yang berhubungan dengan kehidupan publik, seperti bentuk negara yang meskipun tidak memberikan argumen secara rinci, dengan demikian umat Islam memiliki keluasan dalam menghadapi dan mengadopsi bentuk-bentuk kehidupan publik secara idealnya. Syari’ah yang ditafsirkan, model ini berpandangan, bahwa dibalik keilahian syari’ah, manusia sesungguhnya mempunyai peluang dalam memberikan penafsiran secara beragam. Sehingga Islam
tetap memiliki keterkaitan secara kontekstual dengan perkembangan zamannya. Jika kita amati secara seksama dalam kehidupan politik ditanah air, obyektifikasi doktrin agama bukan sepenuhnya di arahkan bagi pengembangan kehidupan yang lebih demokratis, yang menonjol malah kecenderungan mepolitisasi agama guna memperkuat kepentingan kelompok seperti carut marutnya suasana partai politik menjelang pemilu 2004 ini, sehingga artikulasi politik umat Islam lebih menggunakan unsur-unsur primordialistik. Dengan memahami model syari’ah yang ditawarkan di atas, Islam liberal memberikan banyak pilihan kepada umat Islam dalam memahami agamanya,karena Islam sendiri, merupakan agama yang multi intrepretatif. Dari segi otentisitas tidak perlu dicurigai karena Islam liberal justru tetap menjaga validitas syari’ah sebagai pijakan Islam, dan tidak dapat dihindari bahwa Islam liberal kadang-kadang bersinggungan dengan dunia luar (Barat). Hal ini karena peradapan dapat berkembang hanya karena adanya persingungan dengan dunia lain.
Muhamad Nur
122
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
D. Kesimpulan Berdasar uraian tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebagai sebuah gerakan pemikir, fenomena jaringan Islam liberal merupakan respon terhadap dinamika kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin marak, dengan instabilitas sosial politik, ketidak adilan struktural, kesulitan relasi ekonomi dan tersumbatnya proses demokratisasi serta masih kurangnya eksistensi kedamaian antar kelompok agama, karena demokrasi di Indonesia membutuhkan cara keberagamaan yang terbuka, plural dan humanis. Maka Islam liberal sebagai salah satu solusinya. 2. Bagi Islam liberal dalam menghadapi problem-problem global, dasar berpijak umat Islam sudah jelas jaitu syari’ah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arifin, Syamsul, Islam Indonesia, UMM Press, Malang, 2003. Abd. ‘Ala, Dari neo Modernisme ke Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, 2003. Charles Kuzman, Wacana Islam Liberal, Terj. Bahrul Ulum dan Hari Junaidi, Paramadina, Jakarta, 2003. Ltonard Binder, Islamic Libralism; A Critiqu of Development Ideologis, University of Chicago Press, Chicago, 1988.
Jaringan Islam Liberal di Indonesia
123
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MODERN Oleh: Masudah
Abstrak: semakin berkualitas pendidikan yang diperoleh tentu dengan sendirinya akan semakin tegar dan berkualitas juga gagasannya dalam menjawab kebutuhan zaman. Untuk itu pendidikan merupakan cara strategis dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspeknya. Dalam sejarah umat manusia hampir semua umat manusia yang menggunakan pendidikan sebagai proses pemberdayaannya. Untuk itu dalam merealisasikan keinginan tersebut, maka lembaga pendidikan sampai saat ini masih dipandang sebagai tempat yang cukup kondusif guna dijadikan sebagai institusi yang sangat potensial dan strategis dalam memproduk, menciptakan, dan mengembangkan SDM yang berkualitas tinggi. Penguasaan di bidang Ilmu pengetahuan dan tehnologi juga disertai dengan penguasaan Iman dan taqwa (IMTAQ) sebagai basic dasar dari proses pendidikannya, sehingga diharapkan output pendidikan tidak saja berintelektual tinggi yang kropos dengan nilai-nilai fitrah kemanusiaannya, tetapi output pendidikan juga memiliki komitmen tanggung jawab terhadap baik terhadap diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Kata Kunci: Pendidikan Islam, IPTEK, IMTAK, dan Paradigma
A. Pendahuluan Gerakan globalisasi dan liberasi perdagangan Internasional sedang berlangsung di pentas dunia, yang disertai dengan dampak yang luas bagi kehidupan manusia disegala aspek1. Maka, bukan tidak
Penulis adalah Guru DPK Kemenag Kabupaten Kendal dan saat ini menjabat Kepala MI Sukolilan Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal. 1 . Digambarkan bahwa dalam mengarungi proses globalisasi yang identik dengan bentuk masyarakat terbuka, dimana komunikasi antar manusia dalam berbagai kehidupan akan bebas dari hambatan-hambatan yang dimunculkan oleh
Masudah
124
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
mungkin pengaruh dari globalisasi dan perdagangan bebas ini, perlu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, agar mampu 2 mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi . Sedangkan kalimat globalisasi menurut Ishomuddin, berasal dari kata “Globe” yang berarti “baca dunia”, sehingga globalisasi disebut pula sebagai gerakan mendunia, yakni suatu perkembangan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global3. Apabila demikian yang terjadi, hal ini menjadi runtuhnya sekat yang membatasi pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat ekonomi, politik, sosial dan budaya, karena akibat dari pengaruh gerakan globalisasi tersebut. Yang secara mendasar di bidang perekonomian4 sekat-sekat wilayah dari suatu negara manapun, hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan manusia dibelahan bumi ini seolah semakin mengerut, sehingga kita tidak lagi berbicara tentang atom-atom tetapi dengan “bit”. Maka hal ini semakin memperkecil wilayah keberadaan manusia. Baca Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), 52. 2 . Globalisasi dan liberasi ingin menciptakan suatu bentuk jaringan internasional. Realitas yang demikian akan memudahkan hubungan komunikasi baik dibidang politik, sosial, budaya antar manusia akan semakin lebih dekat, seolah telah menghilangkan batas, sekat, wilayah. Semuanya menjadi dekat dan tanpa batas, apalagi didukung dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan tehnologi, oleh manusia, maka akan semakin memudahkan manusia dalam mencapai segala impiannya walau jauh dari tempat tinggalnya. Dari bentuk kenyataan yang demikian akan mendatangkan dan memperkuat adanya tiga situasi, yakni; pertama meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global, kedua persaingan sumber daya antar bangsa semakin ketat, ketiga semakin besar kemungkinan terjadinya eksploitasi bagi negara maju kepada negaranegara yang belum maju (belum mampu bersaing). Lihat Kasih dan Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5. 3 Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 16. Demikian juga penterjemahan dalam Kamus Ilmiah kalimat globalisasi memiliki makna gerakan penggelobalan pada seluruh dimensi kehidupan/ perwujudan (perombakan/ peningkatan/ perubahan) secara menyeluruh di segala aspek kehidupan; al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah, (Surabaya: Arkola, 1994), 203. 4 Sebenarnya gejala globalisasi pada awal mulanya adalah membuat jaringan bisnis (perdagangan Internasional) secara luas, tanpa mempertimbangkan status di mana dan dari mana mereka berasal. Yang
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
125
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
negara-negara di dunia, berkembang secara ekspansif (meluas). Arus barang, jasa, modal, tehnologi5 dan informasi semakin meningkat, dikarenakan banyak negara di dunia semakin terbuka. Kekhawatiran yang terjadi adalah timbulnya jurang pemisah yang semakin melebar antara negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang bahkan bagi negara miskin (terlebih lagi negara yang masih konflik) sungguh naif nasibnya. Begitulah masyarakat global diera globalisasi dewasa ini. Apalagi ditopang oleh kemajuan tehnologi, khususnya tehnologi komunikasi maka, seolah-olah manusia dengan yang lainnya menjadi dekat (menyatu) dalam satu keluarga. Tidak ada lagi sudut-sudut di bumi ini yang terisolasi berkat kemajuan tehnologi komunikasi. Sehingga manusia yang hidup dibelahan dunia manapun seakan tanpa sekat, akibat menipisnya batas-batas kenegaraan suatu bangsa dan akan terciptanya suatu sistem interaksi antar manusia dalam jagad raya secara lebih intensif, tentu dalam dimensi yang lebih luas. Akibat perluasan interaksi antar manusia bukan hanya dalam bentuk jaringan kerjasama saja, tetapi juga menimbulkan persaingan terpenting arus barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan kendali kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa. Bagi bangsa yang memiliki daya saing, akan mendapat peluang untuk bermain dalam jaringan ekonomi global yang sangat berarti bagi bangsanya kedepan. Bagi bangsa yang tidak memiliki daya saing yang memadai hal tersebut akan mendatangkan masalah baru, terutama dalam perkembangan selanjutnya sebagai bangsa yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi kepada bangsa lain. 5 Ada dua hal yang bisa dihadirkan oleh kemajuan tehnologi di era globalisasi, diantaranya; pertama mudahnya perkembangan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang diakibatkan oleh luasnya dan cepatnya jaringan komunikasi bekerja, kedua adalah semakin meningkat (menonjolnya) peranan satuan-satuan kecil dalam masyarakat, seperti: suku, golongan, kelompok dan bahkan individu manusia yang diakibatkan oleh semakin mudahnya setiap orang memperoleh informasi lengkap yang dibutuhkan, utamanya untuk mengambil keputusan strategis bagi dirinya sendiri, kelompok, suku maupun golongannya. Baca Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visidan aksi, Ibid: 17
Masudah
126
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
yang ekstra ketat. Artinya kekompleksitasan lingkungan akibat persaingan global akan menimbulkan tantangan yang lebih berat, maka saat ini bagaimana cara atau strategi untuk meningkatkan strandard produk, jasa maupun kapabilitas seseorang dalam action untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pada umumnya. Sebagaimana digambarkan oleh Sukiswo Dirdjopuparto yang dikutip oleh Ishomuddin, ini merupakan progressive problem yang memerlukan kemampuan belajar dan kreatifitas lebih tinggi, ibarat pertandingan tingkat nasional berubah pada tingkat internasional, tentu persaingan akan lebih berat6. Dari uraian tersebut diatas bahwa globalisasi akan membawa sekian implikasi yang berupa pergeseran sistem dan nilai dalam setiap dimensi kehidupan umat manusia. Implikasi tersebut mempunyai aspek positif dengan suatu gambaran terciptanya masyarakat yang mega kompetitif artinya menumbuhkan semangat bagi setiap individu untuk selalu tampil secara kompetitif. Sedangkan implikasi negatif secara mendasar, bahwa tekanan kapitalisme internasional yang tidak ditopang oleh kesiapan SDM yang memadai akan menjadi obyek semata dan menimbulkan budaya konsumeristik serta materialistik. Maka Guna mengantisipasi untuk memperoleh manfaat dan juga bisa terlindung atau bahkan terhindar dari dampak negatif itu, masyarakat membutuhkan SDM yang tidak hanya bertaraf lokal, tetapi bertaraf Internasional, SDM yang tidak hanya berteori semata tetapi juga handal dalam prakteknya, SDM yang memiliki pengetahuan luas dan berkualitas tinggi sesuai dengan tuntutan zamannya.
6
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam Retropeksi Visi dan Aksi, Ibid,
18.
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
127
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
B. Peranserta Pendidikan Bagi Kehidupan Manusia Untuk menciptakan manusia yang berkualitas disegala bidang, diperlukan sebuah proses, dan proses itu tidak serta merta ada dengan sendirinya tanpa adanya suatu “rekayasa”, yang tentunya di manaj dengan tepat dalam “kawah candradimuka” yakni sebuah pendidikan7 yang kondusif. Yang ini kemudian semakin berkualitas pendidikan yang diperoleh tentu dengan sendirinya akan semakin tegar dan berkualitas juga gagasannya dalam menjawab kebutuhan zaman8. Untuk itu pendidikan merupakan cara strategis dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspeknya. Dalam sejarah umat manusia9, hampir 7
Karena melalui pendidikan, masyarakat akan belajar untuk mengerti dan merubah hubungannya dengan alam serta lingkungan sosialnya secara kontruktif; Kadir dan Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982),15; Bandingkan, bahwa proses pendidikan juga dapat difahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang; Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000),1; Bandingkan, bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, khususnya peserta didik, dan proses pendidikan merupakan bentuk ikhtiar dalam menyiapkan generasi muda untuk mempengaruhi kehidupan yang akan datang; Wahid, Marzuki, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 171; bandingkan juga, bahwa Presiden Soeharto ketika membuka Konfrensi Dewan Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke-17menyampaikan bahwa pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap bangsa, lebih-lebih bagi yang sedang membangun; Furchan, Arief, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), vii. 8 Karena pendidikan yang ada dibelahan dunia manapun (baik negara berkembang atau negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk membentuk dan mengembangkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat sekitar. Nasrib, Ibrahim, Keteladanan Pendidik Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, Mimbar Depaq Jatim,(No. 175 April, 2001), 32. 9 Apabila ditelusuri dari segi sejarahnya, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Hal ini dapat dipahami sebenarnya pendidikan telah dijalankan sejak mulainya manusia dimuka bumi ini. Penguasaan terhadap alam semesta, memberikan contoh pendidikan kepada manusia. Dan dilanjutkan dengan mendidik keluarganya. Baca Ma’ar if, Syafi’i, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, Jurnal Pendidikan Islam, (No. 2. Fak. Tar. UII, Oktober 1999), 6.
Masudah
128
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
semua umat manusia yang menggunakan pendidikan sebagai proses pemberdayaannya. Dengan demikian, hampir dipastikan bagi setiap orang akan mendambakan dan turut berupaya ingin melahirkan generasi penerus yang selain memiliki keunggulan bersaing untuk menjadi subyek dalam percaturan dunia juga hendaknya memiliki kepribadian yang utuh, sehingga dapat memakmurkan dan memuliyakan pada kehidupan materi dan spiritual diri, keluarga serta masyarakatnya. Untuk itu dalam merealisasikan keinginan tersebut, maka lembaga pendidikan sampai saat ini masih dipandang sebagai tempat yang cukup kondusif guna dijadikan sebagai institusi yang sangat potensial dan strategis dalam memproduk, menciptakan, dan mengembangkan SDM yang berkualitas10 tinggi. Hal ini disadari bahwa dalam setiap proses pendidikan, utamanya melalui sekolah, terjadi berbagai bentuk penemuan baru yang berguna bagi kepentingan manusia. Karena, bagaimanapun instrumen pendidikan diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan guna menggapainya. Tidak berlebihan bila semua orang sepakat bahwa pendidikan merupakan prasarat (indikator) kemajuan. 10
Istilah Sumber Daya Manusia lahir dari wilayah dan keperluan industri. Industrialisasi, yang kemudian menjadi ideologi industrialisme, yang lahir dari suatu visi dan versi pandangan yang dominan mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Maka tekanan makna Sumber Daya Manusia itu sendiri adalah daya manajerial (software-nya) dan profesionalisme serta keterampilan kerja (hardware-nya). Kedua hal tadi ditambah dengan faktor-faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme industri; etos kerja, disiplin, semangat untuk maju. Pada akhirnya konsep Sumber Daya Manusia mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk produktif. Anshori, Dadang S., Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, (Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000), 50. Bandingkan juga pendapat bahwa, SDM yang berkualitas adalah kaum intelektual yang mampu menciptakan gagasan dan mampu menggerakkannya untuk mewujudkan gagasan itu kepada kerja nyata. Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Ibid, 12.
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
129
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Bagaimanapun upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu kelompok, bangsa, negara tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan bagi kemajuannya, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang paling asasi bagi manusia, bahkan M. Natsir menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan manusia11. pernyataan itu kiranya memang didasari oleh indikasi tentang pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia, karena pendidikan itu sendiri memegang peranan utama dalam mendorong setiap individu manusia untuk meningkatkan kualitas di segala aspek kehidupan demi tercapainya tujuan serta menunjang perannya dimasa yang akan datang. Tentunya bukan hanya proses dari pendidikan tersebut, yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi (IPTEK) semata-mata kepada setiap pribadi manusia, tetapi lebih dari itu juga diharapkan bahwa dari proses pendidikan juga mampu memberikan penguasaan yang lebih utuh12. Dalam arti penguasaan di bidang Ilmu pengetahuan dan tehnologi juga disertai dengan penguasaan Iman dan taqwa (IMTAQ) sebagai basic dasar dari proses pendidikannya, sehingga diharapkan output pendidikan tidak saja berintelektual tinggi yang 11
Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 78. Sebagaimana harapan Bangsa Indonesia yang termaktub dalam UU No. 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) BAB I Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Demikian juga pada BAB II Pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. 12
Masudah
130
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
kropos dengan nilai-nilai fitrah kemanusiaannya, tetapi output pendidikan juga memiliki komitmen tanggung jawab terhadap baik terhadap diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Dari gambaran tersebut, diharapkan dua target ini bisa berjalan bersamaan. Bila demikian yang terjadi, maka sangat tepat jika institusi lembaga pendidikan Islam13 yang itu dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif, tentu hal ini sangat memungkinkan guna melahirkan lulusan yang benar-benar memiliki ilmu pengetahuan dan tehnologi yang luas dan jasmani yang kuat, disamping itu juga dilandasi oleh sikap hati yang bersih dengan pondasi keimanan dan ketaqwaan dalam arti pengetahuan yang benar-benar lahir batin. C. Modernisasi Pendidikan Islam Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, baik itu negara maupun pemerintah, maka sepantasnya bila proses pendidikan hendaknya selalu memiliki orientasi kedepan bagi pemenuhan kebutuhan manusia di setiap zamannya, terutama bagi 13
Karena bila ditinjau dari tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam secara umum hendaknya memiliki 3 (tiga) unsur yang bisa memenuhi fitrah manusia yaitu pemenuhan unsur ragawi (jismiyah), pemenuhan unsur akal (aqliyah) dan pemenuhan unsur spiritual (ruhiyyah) dengan seimbang sehingga terbentuk sebuah pribadi yang benar-benar berkualifikasi sebagai kholifatullah yang kualifaid. Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, ibid, 42. Bandingkan juga hasil konfrensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 bahwa yang hendak dicapai dalam pendidikan Islam adalah pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui pelatihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu maupun secara kolektif dan mendorong semua aspek ini kearah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 57.
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
131
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
kepentingan generasi muda yang akan hidup dan dituntut untuk mampu menjawab persoalan pada masa yang akan datang14. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan baik oleh suatu kelompok, golongan, bangsa, dan negara selalu harus memiliki hubungan yang signifikan bagi gambaran (prediksi) perkembangan zaman dimasa mendatang, oleh karena itu bahwa proses pendidikan tidak bisa bersifat statis, dia (proses pendidikan), harus mampu merespon perubahan15, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Dengan demikian, wajar kalau pendidikan harus selalu didesain mengikuti irama perubahan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Untuk itu, maka tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu keharusan di setiap jenis dan jenjang pendidikan (termasuk didalamnya adalah pendidikan Islam). Pembaharuan pendidikan harus selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum, proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga, sumber daya pengelola pendidikan. Secara mendasar bahwa format modernisasi16 ke sistem pendidikan pada dunia Islam, harus diakui oleh kaum muslim sendiri,
14
Lihat pada footnote nomor 7 halaman 4 di makalah ini. sebagaimana disampaikan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa Penyelenggaraan pendidikan yang relevan bagi kehidupan masyarakat adalah menjadi tuntutan utama yang tidak bisa dihindari oleh setiap lembaga pendidikan yang ada, baca Madjid, Nurchalish, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), 122. 16 Perkataan “modern” merupakan suatu pengertian yang kurang menentu, sehingga dapat dipergunakan untuk mensifati segala macam ide, cita-cita atau keinginan-keinginan. Istilah “modernisasi” lebih sering dipergunakan untuk menunjukkan pertumbuhan pemikiran atau penemuan-penemuan yang serba rasional. digambarkan dalam bahasa Indonesia telah dan selalu dipakai kata modern, modernisasi, dan modernisme. Didalam komunitas pandangan masyarakat Barat modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern. 15
Masudah
132
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
bahwa hal tersebut berawal dari kalangan kaum non Islam17. Sejak pertama kalinya sistem pendidikan dilakukan dengan model sangat sederhana di dunia Islam, yakni dengan menggunakan masjid, muslhollah (dalam bahasa Jawanya langgar) sebagai tempat belajar, bahkan ada juga menggunakan rumah kiainya untuk melakukan proses belajar, karena semakin banyak murid yang berdatangan terutama dari luar daerah dibuatlah sebuah asrama dengan melibatkan perpaduan diantara ketiga komponen tersebut adalah masjid, asrama dan rumah kiai dalam satu lingkungan, kesemuanya guna memperdalam ilmu-ilmu keislaman dan kurikulumnya pun belum bersifat klasikal, berjenjang secara teratur dengan kata lain formatnya masih sangat sederhana (dikenal tradisional). Pembaharuan pendidikan terjadi karena adanya tantangan kebutuhan masyarakat pada saat itu dan lewat proses pendidikan itu sendiri diharapkan dapat menyiapkan produk manusia yang mampu mengatasi kebutuhan masyarakat yang tidak saja hanya persoalan agama (religius) tetapi persoalan kehidupan manusia pada umumnya, seperti sekarang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak hanya sebatas sebagai fungsi inkulturasi, yakni sekedar berfungsi sebagai 17
Bisa disimak di dunia Islam ketika pertama kali Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir (manyoritas umat Muslim), dengan memperkenalkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dikuasai oleh bangsa Eropa kepada kaum Muslimin, dan singkat cerita ketika Mesir dibawah pimpinan Muhammad Ali Pasya, dia mengirimkan banyak pemuda-pemuda Mesir untuk belajar ke Eropa guna mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang nanti diharapkan bisa dikembangkan guna kesejahteraan dan kemakmuran Mesir. Dari sini muncul tokoh pembaharu Mesir (khususnya bagi dunia Islam) seperti Al Tahtawi yang pada akhirnya diikuti oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam lainnya seperti; Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Amir Ali, Iqbal, dan lain-lainnya berusaha melakukan pembaharuan di berbagai bidang kehidupan lewat gerakan diplomatis maupun gerakan pemberdayaan,. Baca Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
133
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pewaris nilai-nilai yang ada sekarang ke generasi mendatang, tetapi lebih dari itu hendaknya juga diarahkan untuk menyiapkan generasi dalam menghadapi tantangan hidup dimasanya18. Apabila mengamati awal-awal gagasan modernisasi Islam di wilayah pendidikan, telah direalisasikannya lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadobsi dari sistem pendidikan Barat. Mencermati konsep pendidikan ini, maka pembaharuan pendidikan Islam merupakan suatu usaha atau proses multidimensional yang cukup kompleks, dan tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan, tetapi lebih utama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru dan lebih utama selalu berorientasi pada perubahan masyarakat19. D. Paradigma Pembaharuan Pendidikan Islam Guna menindaklanjuti tingkat perkembangan kebutuhan hidup masyarakat yang demikian kompleks disertai dengan saratnya perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, dengan tingkat kompetitif yang sangat tinggi akibat proses modernisasi, globalisasi dan liberasi, maka setidaknya pendidikan Islam harus mampu memberikan jawaban dan siap melakukan paradigma pembaharuan pendidikan Islam20 disegala aspek, sehingga mampu melahirkan, mencetak, memproduk dan menghasilkan manusia yang berkualitas tinggi sebagaimana harapan masyarakat luas, hal itu dilakukan semata-mata untuk merespon 18
Baca Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999), 209. 19 Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 65. 20 Perhatikan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam lihat footnote nomor 13 halaman 6 dan juga pertimbangkan eksistensi sebuah lembaga pendidikan sebagaimana bisa di lihat footnote nomor 15 halaman 7 pada makalah ini.
Masudah
134
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
kebutuhan masyarakat luas bila pendidikan Islam tidak inggin ditinggalkan oleh komunitasnya (umat). Pendidikan Islam tidak bisa lagi bertahan dalam posisi dan perannya yang bersifat tradisional kepada generasi berikutnya. Karena bagaimanapun, pendidikan Islam dituntut melakukan fungsi yang bersifat reflektif dan juga progresif. Dalam fungsi yang pertama, pendidikan Islam harus mampu menggambarkan corak dan dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung, sedangkan fungsi kedua pendidikan Islam dituntut mampu memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan agar dicapai kemajuan21. Pada fungsi yang kedua ini maka pendidikan Islam harus segera melakukan langkah transformatifnya. Memang, lebih rinci lembaga pendidikan Islam telah teridentifikasi sebagaimana menurut Zarkowi Syuyuti yang dikutip oleh Abdul Halim Soebahar, menjelaskan bahwa: Pertama pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang penyelenggaraannya di dorong oleh hastrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatankegiatan yang diselenggarakan. Kedua pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus memberikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi, sebagai ilmu dan diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Ketiga pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang mencakup kedua dari pengertian tersebut22. Dari rincian tersebut, maka kata “Islam” ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang diselenggarakan. Kiranya bisa di fahami bahwa eksistensi pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut ketiga-tiganya, 21
Soebahar, Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jember: makalah diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah, 2000),3 22 Soebahar, Abdul Halim, Rekontruksi Pendidikan Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, (Jember: Jurnal Al-‘Adalah Vol. 3 Desember 2000), 60.
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
135
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
karena memang ketiga-tiganya itu yang selama ini sudah tumbuh dan berkembang sebagai bentuk realitas yang terjadi dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari andil umat Islam untuk turut serta memberdayakan umat. Bila dikaji lebih lanjut paradigma pembaharuan pendidikan Islam akhir-akhir ini lebih mengarah pada pembaharuan yang bersifat sistemik, bukan parsial, dan itu dikenal dengan reformasi. Agar reformasi tidak mejelma sebagai “bola liar”, maka diperlukan platform, dengan tujuan agenda reformasi tersebut memiliki arah dan koridor yang jelas (bukan hanya sekedar pergantian kursi jabatan dan penambahan fasilitas serta perubahan materi semata), sehingga akan dihasilkan suatu konstruk hasil pembaharuan pendidikan Islam yang secara konseptual dapat diterima oleh logika, secara kultural sesuai dengan budaya bangsa dan secara politis dapat diterima dikalangan masyarakat luas. Dalam proses perubahan tersebut, minimal diharapkan pendidikan Islam mampu mengembangkan dua peran sebagai pandangan strategisnya, yakni pertama; pendidikan Islam bisa mempengaruhi terhadap perubahan masyarakat dan kedua; pendidikan Islam mampu memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi menuju terwujudnya masyarakat yang berdaya. Dengan demikian, maka pendidikan Islam secara kultural perlu mempertegas kembali orientasinya. Reorientasi yang perlu dilakukan adalah perlunya mempertegas kembali posisi dan peran pendidikan Islam tersebut. Baik dalam gerak transformasi sosial, kultural dan struktural yang demikian cepat dan bersifat universal seperti sekarang ini. Ketika pendidikan Islam telah mejelma sebagai wacana maupun praksisnya di era modernisasi, globalisasi dan liberasi, maka wajar jika
Masudah
136
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
pendidikan Islam dituntut merumuskan kembali visi dan misinya23. Visi pendidikan Islam merupakan suatu wawasan atau kenyakinan bersama seluruh komponen lembaga akan keadaan masa depan yang diinginkan. Visi ini setidaknya akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh komponen lembaga untuk bekerja lebih giat dan efektif24. Setidaknya, Visi ini harus dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif maupun realistis. kalau visi pendidikan Islam merupakan pernyataan tentang gambaran global masa depan pendidikan Islam, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi visi merupakan ide, cita-cita, wawasan dan gambaran di masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi merupakan upaya kongkritisasi visi dari wujud tujuan dasar pendidikan Islam yang akan diwujudkan. Visi dan misi pendidikan Islam itu pada akhirnya akan terus membanyangi segenap SDM atau segenap warga suatu lembaga, pimpinan, pendidik, peserta didik, wali peserta didik, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing untuk bekerja secara efektif berdasar misi guna mewujudkan visi yang sudah di idealitaskan. E. Kesimpulan uraian tersebut penulis memiliki kesimpulan bahwa; pertama berdasarkan realitas pada era sekarang bahwa akibat pengaruh modernisasi, globalisasi dan liberasi maka, dibutuhkan SDM yang berkualitas tinggi; kedua proses pendidikan masih di pandang cukup kondusif dan intensif guna menciptakan Sumber Daya Manusia yang 23
Soebahar, Abdul Halim, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, (Situbondo, Materi Diskusi Pendalaman dalam Upaya Peningkatan Kinerja Bidang Komisi E DPRD Kabupaten Situbondo, November 2001), 2. 24 Karena visi pada umumnya dirumuskan dalam kalimat yang filosofis, dengan memberikan inspirasi kepada misi sebagai realisasi dari visi. Deppennas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), 34
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
137
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
berkualitas, dalam arti SDM yang menguasai di bidang IPTEK dan IMTAQ yang dibutuhkan di era modernisasi, globalisasi dan liberasi. Hal ini akan terwujud bila pendidikan tersebut dimanaj dengan tepat; ketiga mengingat pendidikan merupakan kebutuhan yang penting bagi kehidupan manusia, maka sepantasnya bila proses pendidikan selalu memiliki orientasi kedepan di setiap zamannya, untuk itu pendidikan harus selalu didesain mengikuti irama perubahan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Maka tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu keharusan di setiap jenis dan jenjang pendidikan (termasuk didalamnya adalah pendidikan Islam); keempat dengan demikian, pendidikan Islam harus mampu memberikan jawaban dan siap melakukan paradigma pembaharuan. Sehingga mampu melahirkan, mencetak, memproduk dan menghasilkan manusia yang berkualitas tinggi sebagaimana harapan masyarakat luas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah, Suarabaya, Arkola, 1994. Anshori, Dadang S., Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung, Al Qopriat Jatinangor, 2000. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999. Deppenas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999. Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995. Furchan, Arief, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1982. Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang, UMM Press, 1996. Masudah
138
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Kasih, Eka Wahyu dan Suganda, Azis, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta, Grasindo, 1999. Kadir, Sardjan dan Ma’sum, Umar, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya, Usaha Nasional, 1982. Ma’arif, Syafi’i, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat, Jurnal Pendidikan Islam, No.2, Fakultas Tarbiyah UII, Oktober, 1999. Madjid, Nurchalish, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997. Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1992. Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, Jakarta, Bulan Bintang, 1980. Nasrib, Ibrahim, Keteladanan Pendidik Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, Mimbar Depaq Jatim, No. 175, April 2001. Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan; Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam Disampaikan di Hadapan Sidang Senat Terbuka IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 2001. Soebahar, Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, Makalah Diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah Oleh HMJ T. STAIN Jember, 2000. ____________________, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, Jurnal Al ‘adalah STAIN Jember, Vol. 3, Desember 2000. ____________________, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Materi Diskusi Pendalaman Dalam Upaya Peningkatan Kinerja Bidang Komisi “E” DPRD Kabupaten Situbondo, November 2001. Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif Abad 21, Magelang, Tera Indonesia, 1999. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wahid, Marzuki, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999.
Membangun Paradigma Pendidikan Islam Modern
139
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
KONSEP PENGETAHUAN DALAM ISLAM Oleh: Nadhiroh Abstrak: Termenologi ilmu, berasal dari bahasa Arab yakni dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang memiliki arti ketidaktahuan atau kebodohan, kata ilmu biasanya disepadankan dengan kata Arab lainnya , yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Kata ma’rifah adalah padanan kata ilm yang sering digunakan. dalam konsep Islam yang berlandaskan Al Qur’an, merupakan upaya menterjemahkan “ilmu” sebagai “pengetahuan” yang lebih luas, karena hal ini memiliki konsep yang luhur dan dan multidimensional. Ilmu memang mengandung unsur-unsur dari apa yang dipahami sekarang ini sebagai pengetahuan. Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut adalah pertama ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka taukhid atau teologi, kedua ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, ketiga orientasi pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya juga harus dimulai dengan suatu pemahaman yang mendasar tentang konsepsi ilmu itu sendiri, keempat ilmu pengetahuan dalam Islam harus dikembangkan secara integral, Kata Kunci: Pengetahuan, Sains, dan Keislaman
Penulis adalah Dosen STIT Muhammadiyah Kendal dan Guru DPK Kemenag Kabupaten Kendal serta Kepala MI Turunrejo Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal.
Nadhiroh
140
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
B. Pendahuluan Konsep pengetahuan yang menyeluruh bermula dari pengetahuan tentang segala sesuatu yang dapat dilihat dan apa yang dibalik kehidupan alam indrawi serta meliputi alam kejiwaan seseorang. Al Qur’an adalah firman-firman Allah SWT yang sarat dengan kandungan pengetahuan tentang hal-hal yang tampak dalam hal-hal yang tersembunyi, ia memberikan dasar-dasar yang rasional untuk mendapatkan kebenaran1. Agar pesan-pesan kebenaran itu dapat dipahami dengan benar oleh manusia maka diutuslah Rasullullah untuk membimbing, mengarahkan dan mengajarkan manusia kepada jalan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan demikian seorang Muslim percaya bahwa konsep pengetahuan yang menyeluruh tentang ilmu pengetahuan bukanlah semata-mata dibuat oleh manusia melainkan dianugrakkan oleh Allah SWT dan harus diwujudkan oleh setiap individu Muslim melalui bimbingan wahyu yang ada dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Al-Qur’an adalah kitab suci yang selalu mengajak umatnya agar senantiasa membaca dan menulis serta menggunakan segenap potensi kekuatan intelektualnya untuk mencari kebenaran. Tujuan dari ajakan itu adalah untuk mensucikan hati orang-orang yang telah beriman kepada Allah SWT semata2, dan agar terbentuk manusia yang sempurna sesuai dengan kaidah-kaidah Islam sebagai wujud dari kehendak-Nya3. 1
Bahwa tujuan dari pencapaian pengetahuan adalah dicapainya kesempurnaan ahlaq bagi manusia . Baca Hery Noer Aly dan Munzier.S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), 112. Bandingkan juga Buku Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, Mendidik Anak Sukses Masa Depan; Pandai dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), 107, Bahwa pembekalan pengetahuan bagi setiap manusia adalah untuk membentuk sifat dan karakter yang baik. 2 H.H. Bilgrami and S.A. Ashraf, The Islamic Academy, Cambridge, 2. Bandingkan dengan pandangan Imam Al Ghazali bahwa tujuan orang mencari Ilmu tidak lain adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga hal ini menjadikan manusia yang sempurna . Baca Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 56. Juga bandingkan dalam buku Abdurrahman An
Konsep Pengetahuan dalam Islam
141
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Adapun perintah membaca dan menulis yang termaktub dalam AlQur’an diantaranya dalam surat Al Alaq ayat 3 sampai dengan ayat 5 yang artinya Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya4. Dari ayat tersebut diperoleh pengertian bahwa kita yang salah satu tugasnya adalah sebagai khalifah di bumi ini, diperintahkan untuk terus menggali potensi ilmu pengetahuan dengan jalan membaca ayat-ayat Allah, baik yang terucap (berupa Al Qur’an sebagai sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan) maupun membaca ayat-ayat Allah yang tercipta (berupa ciptaan alam semesta beserta dengan segala macam isinya). Oleh karena itu dalam makalah ini akan memaparkan “Konsep Pengetahuan dalam Islam”. C. Pengertian Pengetahuan dalam Islam Termenologi ilmu, berasal dari bahasa Arab yakni dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang memiliki arti ketidaktahuan atau kebodohan, kata ilmu biasanya disepadankan dengan kata Arab lainnya , yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Kata ma’rifah adalah padanan kata ilm yang sering digunakan5.
Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 116, dinyatakan bahwa pengetahuan yang didapatkan adalah semata-mata sebagai landasan dasar untuk memperkuat kenyakinan dan keimanan manusia atas keberadaan Allah SWT. 3 Baca Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1993), 20. 4 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1989). 5 Tim Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), 201
Nadhiroh
142
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Pandangan tersebut menurut Munawar Ahmad Anes bahwa dalam konsep Islam yang berlandaskan Al Qur’an, merupakan upaya menterjemahkan “ilmu” sebagai “pengetahuan” yang lebih luas, karena hal ini memiliki konsep yang luhur dan dan multidimensional. Ilmu memang mengandung unsur-unsur dari apa yang dipahami sekarang ini sebagai pengetahuan. Tetapi ia juga menghasilkan hikmah dari proses tersebut6. Sehingga dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al Qur’an dan juga bimbingan Nabi Muhammad Saw lewat beberapa hadits yang diriwayatkan7. Selanjutnya dalam perkembangannya, Al Qur’an ditafsirkan di surat Al Alaq 1-5 yang merupakan pertama dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an ini berarti merupakan bukti bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan sebagai posisi yang sangat penting. Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut adalah pertama ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka taukhid atau teologi, kedua ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, ketiga orientasi pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya juga harus dimulai dengan suatu pemahaman yang mendasar tentang konsepsi ilmu itu sendiri, keempat ilmu pengetahuan dalam Islam harus dikembangkan secara integral, yakni tidak mendikotomikkan antara ilmu agama dengan ilmu
6
Munawar Ahmad Anes, Menghidupkan Kembali Ilmu dalam Hikmah, (Yogyakarta: SIPRESS, 1996), 72. 7 Tim Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Jilid 2, Ibid, 201.
Konsep Pengetahuan dalam Islam
143
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
umum, walaupun bentuk formalnya berbeda, tetapi hakekatnya sama yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah SWT8. D. Al-Qur’an dan Al-Hadits Sebagai Sumber Acuan Berfikir Sesungguhnya keseluruhan ayat-ayat Al Qur’an adalah berisikan tentang berbagai macam ilmu-ilmu pengetahuan. Apalagi jika ditambah dengan perintah Nabi Muhammad Saw tentang masalah Ilmu9. Dengan demikian kekuatan spiritual dari ajaran Islam yang termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits telah mendorong setiap Muslim untuk selalu belajar membaca dan menulis10. Dari pandangan tersebut tidak mengherankan jika para sarjana Muslim telah banyak mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan Al Qur’an telah banyak menjadi sumber acuan dalam mengembangkan pemikiran manusia, diantaranya ada 3 aspek yakni, Pertama aspek etika yang meliputi aspek persepsi tentang ilmu pengetahuan, kedua aspek historis dan psikologis, ketiga aspek observatif dan eksperimental ilmu pengetahuan11. Etika yang berkenaan dengan prinsip-prinsip dasar tentang kebenaran, perbuatan dan moralitas baik untuk individu maupun masyarakat dengan jalan memberikan sebuah sistem cara hidup yang lengkap untuk kemaslakhatan di dunia dan akhirat. Aspek historis dan psikologis berkenaan dengan prilaku dan cara berfikir manusia yang ada kaitannya dengan negara berdasarkan dengan norma-norma yang telah digariskan oleh agama. 8
Baca Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 103 – 107. 9 Seperti hadits Nabi yang menyatakan artinya; “Carilah ilmu mulai dari ayunan ibundamu sampai masuk ke Lianglahat (kubur)”, “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Wajib menuntut ilmu bagi Muslim laki-laki dan Muslim perempuan” dan lain sebagainya. 10 H.H. Bilgrami and S.A. Ashraf, The Islamic Academy, Ibid, 2. 11 H.H. Bilgrami and S.A. Ashraf, The Islamic Academy, Ibid.
Nadhiroh
144
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Aspek observatif dan aspek eksperimental berhubungan dengan sumber acuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang syah sesuai yang ada kaitannya dengan komunikasi vertikal dengan Sang Pencipta maupun komunikasi horizontal dengan sesama makhluk. Ketiga aspek tersebut hanyalah sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menjadikan prinsip-prinsip tauhid yang selalu hidup dalam hati, jiwa dan intelektualitas manusia yang selanjutnya menjadi dasar terhadap pengembangan prinsip-prinsip pendidikan ilmu pengetahuan Islam. Ismail Raji al Faruqi dalam bukunya “Toward Islamic English” yang menggambarkan usaha keras dalam islamisasi ilmu pengetahuan baik dari segi bahasa maupun subtansinya. Disini juga, Raji al Faruqi memperkenalkan bahasa Al Qur’an/ bahasa Arab di artikan ke dalam bahasa Inggris, dengan tujuan agar istilah dalam agama Islam tidak akan dipahami dengan pemahaman yang menyimpang. Ia menghendaki agar semua kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia mampu mengaplikasikannya dengan baik, meskipun mereka orang Inggris12. Dari sini bertujuan untuk memudahkan bagi para ilmuwan dalam mempelajari Islam secara utuh. Pada masa kenabian dan kehidupan para sahabat, perkembangan ilmu-ilmu keislaman masih sekitar bagaimana Al Qur’an bisa dijaga kemurniannya dan mampu tersebarluaskan di segenap lapisan masyarakat secara luas, dengan cara mengajarkan cara membaca dan cara menghafal serta mengajarkan cara menulisnya. Disamping itu juga mempelajari bagaimana Hadits-hadits Nabi yang tercecer itu dapat dikumpulkan dan diabadikan dalam satu tulisan yang tertib. Namun karena dunia Islam semakin luas wilayahnya, maka sebagai konsekwensinya , ajaran-ajaran Islam di tantang untuk menyelesaikan 12
Ismail Raji al Faruqi, Toward Islamic English, (International Institute of Islamic Thoght Heradon Firginia, USA, 1986), 7.
Konsep Pengetahuan dalam Islam
145
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
proses alam kehidupan masyarakat yang semakin majemuk dan kompleks. Oleh karena itu muncullah cabang ilmu Islam yang lain yakni fiqih yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat Islam, mulai dari persoalan ibadah sampai pada persoalan-persoalan muamalah yakni transaksi ekonomi, utang-piutang, hukum waris, pernikahan, perceraian dan lain sebagainya yang muncul dalam fenomena masyarakat Muslim. Dari paparan tersebut diatas jelaslah bahwa Al Qur’an dan Al Hadits merupakan sumber bagi ilmu-ilmu Islam dalam arti yang seluasluasnya. Kedua sumber pokok Islam ini memainkan peranan ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip seluruh ilmu terdapat dalam Al Qur’an dimana pemahaman terhadap Al Qur’an terdapat pula penafsiran yang esoteris (maknawi) terhadap kitab suci ini yang tidak hanya mengungkap misteri-misteri yang dikandungnya, namun juga pencarian makna secara lebih mendalam yang berguna bagi pembangunan paradigma ilmu pengetahuan. Al Qr’an dan Al Hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan dalam menuntut ilmu. Pencarian ilmu dari segi apapun berujung pada penegasan tauhid, keunikan dan keesaan Tuhan. Karenanya seluruh metafisika dan kosmologi yang terbit dari kandungan Al Qur’an dan Al Hadits merupakan sumber dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Kedua sumberpokok ini menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktifitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam13. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aplikasi aktifitas intelektual ini harus selalu merujuk dan tunduk pada rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an. Pengertian pendidikan Agma Islam disini, berfungsi mengintegratifkan wawasan keilmuan dan 13
Ayumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), 13.
Nadhiroh
146
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
keagamaan dalam sistem pendidikan Islam adalah terletak pada perwujudan ketundukan manusia kepada Allah SWT baik secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia14. E. Kajian Bahasa Konsep pengetahuan tidak terbatas pada aspek teologis (aqidah) dan mistis semata, namun berbagai macam cabang ilmu juga di pelajari. Disamping bahasa Inggris yang telah dipaparkan dimuka yang telah dipelopori oleh Ismail Raji al Faruqi juga bahasa Arab banyak sekali dipelajari, karena memang Islam tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Arab. Kita juga mafhum bahwa syariat Islam dengan pemahaman yang benar sesuai dengan konteks masyarakat dimana wahyu itu diturunkan yang tentunya juga harus mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat Arab tersebut sehingga tidak mengherankan jika pada awal perkembangan agama Islam, struktur bahasa Arab mendapat perhatian yang serius untuk dipelajari. Salah seorang sahabat Nabi yang ahli dalam tata bahasa Arab adalahsahabat Ali bin Abi Tholib. Sepeninggal sahabat tersebut masih ada ahli bahasa diantaranya Kholil dan muridnya Sibuwaih serta Ibnu Sina. Para ilmuwan Muslim telah mencatat beberapa prestasi keilmuan, antara lain adalah: 1. Mereka banyak mencurahkan perhatian pada Al Qur’an dengan cara membaca, mengartikan, menghafal dan mengklasifikasikan ayatayat yang tergolong muhkammat dan ayat-ayat yang tergolong mutasyabihad serta qiyas.
14
Achmadi, Pendidikan Islam Antisipatoris, Dalam Jurnal Edukasi, Vol. II, No. 1, Januari 2004, 144. Bandingkan juga A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi; Reintrepretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 84.
Konsep Pengetahuan dalam Islam
147
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
2. Ilmu Hadits, secara ilmiah diformulasi dan dikembangkan serta ditemukannya metode untuk menentukan keaslian hadits serta dikumpulkannya hadits-hadits yang shahih. 3. Ilmu fiqih termasuk ilmu ushul fiqh yang berhasil disusun dan dikembangkan. 4. Ilmu tasawuf kala itu, telah berkembang dengan pesatnya. 5. Cabang-cabang ilmu yang lain seperti pengobatan, astronomi dan keahlian dalam jihad juga tidak diabaikan begitu saja15. F. Kajian Filsafat, Sain dan Sejarah Pada masa dinasti Abbasiyah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam konsep ilmu pengetahuan Islam. Konsep ilmu pengetahuan berkembang lebih luas, bukan saja meliputi di bidang spiritual, namun telah merambah pada bidang filsafat dan sains16. faktor yang berpengaruh mengapa demikian adalah karena adanya pengaruh budaya persia. Bagdad sebagai ibu kota pemerintahan Islam memang menjadi pusat pertemuan antara budaya Arab Islam dengan budaya Persi. Pada masa ini, ilmu pengetahuan Islam berkembang dengan pesat dan mengalami puncak kejayaannya. Disamping perkembangan tersebut juga muncul pemikiran liberal, dimana pemikiran yang dikembangkan banyak menyimpang dari ajaran Islam, serti aliran Mu’tzilah yang mendapat pengaruh kuat dalam dinasti Abbasiyah sehingga pada saat itu sering terjadi perdebatan sengit antara aliran ini dengan golongan ahli sunnah wal jamma’ah. Berkembangnya filsafat dan rasionalitas dalam belajar ilmu pengetahuan sehingga muncul dan berkembang berbagai cabang-cabang ilmu pengetahuan seperti filsafat, matematika, astronomi, kimia, fisika dan geografi. Tokoh-tokoh ilmuwan Muslim yang muncul pada masa ini 15 16
H.H. Bilgrami and S.A. Ashraf, The Islamic Academy, Ibid. 7. Ibid, 8.
Nadhiroh
148
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
diantaranya adalah Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali dan Ibnu Khaldun. Disamping pemikiran filsafat, eksperimen-eksperimen ilmiah juga banyak dilakukan. Para ilmuwan Muslim menyusun teori-teori tentang ilmu pengetahuan, baik ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Bahkan juga untuk cabang geografi banyak ilmuwan bermunculan diantaranya adalah Muslim bin Humair, Ja’far bin Ahmad, Ibnu Hauqal, Al Biruni dan lain sebagainya. G. Tantangan dan Peluang Dewasa ini banyak masyarakat Muslim telah semakin menyadari tentang keterbatasan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang mereka miliki. Kesadaran itu diwujudkan dengan cara menyediakan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi umat Islam. Namun untuk menyediakan sistem pendidikan yang yang islami tentu tidak mudah mengingat telah banyak dan mapannya pendidikan sekuler, yang terkadang banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam sangat menghargai adanya nilai-nilai spiritual sedangkan pendidikan sekuler lebih bersifat matrealistis. Dengan melihat konsep masing-masing sistem pendidikan tersebut, maka rasanya sulit untuk menyatukan baik dalam konsep, prilaku maupun dalam pendekatan-pendekatan yang digunakan. Di dunia Islam, sistem pendidikan Islam selama ini telah berkembang secara signifikan, dimana telah terjadi evolusi konsep ilmu pengetahuan kearah yang lebih baik, dimana universitas-universitas Islam dapat diharapkan memainkan perannya dimasa yang akan datang. H. Kesimpulan Uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Konsep Pengetahuan dalam Islam
149
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
1. Al Qur’an dan Al Hadits merupakan sumber pokok ilmu pengetahuan, dimana setelah dikembangkan menjadi beberapa cabang ilmu yang sangat luas cakupannya. 2. Kajian pengetahuan dapat dikembangkan dengan berbagai macam bahasa dengan kata lain bahwa melalui bahasa, beberapa cabang pengetahuan terutama pengetahuan keislaman dapat digali dengan menggunakan kajian yang berbahasa Arab, lalu dikembangkan melalui bahasa-bahasa lain sehingga pengetahuan Islam dapat berkembang diseluruh penjuru dunia. 3. Sistem pendidikan yang sekarang mulai dikembangkan adalah sistem pendidikan non dikhotomik, sehingga cabang-cabang ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan. Ini merupakan peluang bagi pengembangan pengetahuan. 4. Sistem informasi dan komunikasi berkembang dengan pesat dan masyarakat Muslim semakin menyadari tentang keterbatasan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, sehingga ini merupakan tantangan bagi pakar-pakar ilmuwan Muslim untuk mengantisipasi keterbatasan tersebut dimasa yang akan datang, sehingga diharapkan kaum Muslimin selalu menjadi inovator dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2003. Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 1993. Nadhiroh
150
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Pebruari 2014
Achmadi, Pendidikan Islam Antisipatoris, Dalam Jurnal Edukasi, Vol. II, No. 1, Januari 2004. A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi; Reintrepretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. A. Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, Mendidik Anak Sukses Masa Depan; Pandai dan Bermanfaat, Semarang: Aneka Ilmu, 2002. Ayumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1989. Hery Noer Aly dan Munzier.S., Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000. H.H. Bilgrami and S.A. Ashraf, The Islamic Academy, Cambridge. Ismail Raji al Faruqi, Toward Islamic English, International Institute of Islamic Thoght Heradon Firginia, USA, 1986. Munawar Ahmad Anes, Menghidupkan Kembali Ilmu dalam Hikmah, Yogyakarta: SIPRESS, 1996. Tim Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Konsep Pengetahuan dalam Islam
151