Muh. Askari Zakariah
i
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Zakariah, M. Askari Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia/ M. Askari Zakariah, Makassar; Pusaka Almaida, 2016 vi, 126 hlm.; 16 X 23 cm ISBN: 978-602-6253-08-8
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa yang dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Desain Cover Layouter
: :
Ikhlas Kilat Sudarto
Penerbit
:
Pusaka Almaida Makassar
ii
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya buku berjudul “Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan ternak Rumansia” ini dapat selesai. Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia, semakin hari semakin meningkat. Konsumen mulai memperhatikan kualitas protein hewani yang dikonsumsinya. Kualitas protein hewani sangat ditentukan oleh nutrien pakan yang diberikan ke ternak. Fungsi pakan menjadi sangat penting dalam memelihara kesehatan, daya tahan tubuh, dan pertumbuhan bagi ternak, sehingga ternak tumbuh sesuai yang diinginkan. Upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak tidak terlepas dari penggunaan pakan yang baik dan efisien. Kulit buah Kakao sebagai limbah pada dasarnya memiliki pontensi sebagai bagian dari pakan ternak jika diolah dengan baik dan menjadi pakan ternak ruminansia. Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu atas penyelesaian buku ini. Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, semua saran, kritik, dan masukan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan buku ini. Semua komentar dan masukan dapat dikirim lewat email m.askari.zakariah@ mail.ugm.ac.id. Akhirnya semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Wallahu Muwaffieq Ila Aqwami Thorieq. Makassar, Penulis
iii
2016
iv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................
i
KATA PENGANTAR ..................................................................
iii
DAFTAR ISI ................................................................................
v
Bagian Pertama PENDAHULUAN ........................................................................
1
Bagian Kedua KEBERADAAN KULIT KAKAO ........................................ A. Kulit Buah Kakao sebagai Hasil Sisa Perkebunan .................................................................. B. Kulit Buah Kakao untuk Pakan Ternak Ruminansia .................................................................. C. Anti Nutrisi pada Kulit Buah Kakao ....................
8 13
Bagian Ketiga APA ITU SILASE ? ................................................................ A. Macam-macam Silo ................................................... B. Tahapan Proses Silase ............................................. C. Pengaruh Oksigen terhadap Proses Silase ....... D. Pengaruh Kadar Air terhadap Proses Silase ........
17 19 20 21 22
Bagian Keempat BAHAN ADIKTIF SILASE ................................................... A. Lactobacillus Plantarum ......................................... B. Saccharomyces Cerevisiae ..................................... C. Tepung Gaplek Sebagai Sumber Karbohidrat Terlarut Silase ............................................................. Bagian Kelima PENGOLAHAN PAKAN ........................................................ A. Pengolahan Secara Fisik, Kimiawi dan Biologi ............................................................................................ B. Fermentasi Pakan di dalam Rumen ................... v
7 7
23 24 27 29 33 33 34
Bagian Keenam KOMPOSISI KIMIA DAN KECERNAAN IN VITRO SILASE KULIT BUAH KAKAO JADI (Penggunaan Inokulum Campuran Lactobacillus Plantarum dan Saccharomyces Cerevisiae)............................................... A. Tujuan Komposisi Kimia Silase Kulit Buah Kakao .............................................................................. B. Komposisi Bahan Kering dan Bahan Organik Silase Kulit Buah Kakao ............................................ C. Komposisi Fraksi Serat Silase Kulit Buah Kakao .............................................................................. D. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara In Vitro ............................................................. E. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Silase Kulit Buah Kakao di dalam Rumen ......... Bagian Ketujuh KUALITAS SILASE KULIT BUAH KAKAO (Inokulasi Campuran Lactobacillus Plantarum dan Saccharomyces Cerevisiae) ............................................. A. Karakteristik Fisik Silase Kulit Buah Kakao ..... B. Karakteristik Fermentasi Silase Kulit Buah Kakao ............................................................................... C. Kandungan Theobromine Silase Kulit Buah Kakao ............................................................................... D. Produksi Gas Total Silase Kulit Buah Kakao .... E. Fraksi Potensial Terdegradasi dan Laju Degradasi di dalam Rumen .................................... F. Parameter Fermentasi dalam Rumen ................
39 39 51 59 63 66
69 69 73 77 78 83 90
Bagian Kedelapan P E N U T U P ........................................................................
99
DAFTAR PUSTAKA .............................................................
109
vi
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
F
aktor musim dan luas area tanam merupakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi ketersediaan pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Beberapa peternakan modern telah memiliki solusi untuk menangani kelangkaan pakan hijauan dengan pembuatan silase, bahan pembuatan silase diperoleh dari hasil sisa perkebunan. Sektor perkebunan di Indonesia seperti perkebunan sawit, dan kakao berkembang cukup pesat. Perkebunan kakao menjadi salah satu perkebunan di Indonesia yang memiliki area yang cukup luas. Limbah kakao yang hanya ditumpuk dapat menyebabkan sumber penyakit, bau dan polusi. Pengolahan limbah kakao untuk dijadikan sebagai pakan ternak merupakan solusi cerdas yang cukup efektif dan efisien. Kulit buah kakao memiliki batasan penggunaan sebagai pakan ternak karena adanya faktor anti nutrisi yang dimiliki oleh bahan tersebut, sehingga diperlukan suatu teknologi pengolahan pakan yang dapat meningkatkan kualitas nutrisi limbah kakao. Teknologi pengolahan hijauan seperti teknologi fermentasi silase dapat mempengaruhi kualitas nutrisi KBK. 1
2 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Kulit buah kakao memiliki kandungan air yang cukup tinggi, sehingga dalam pembuatan silase KBK diperlukan penambahan bahan aditif silase seperti bakteri ataupun jamur yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas silase. Inokulum Lactobacillus plantarum merupakan inokulum yang biasa digunakan untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik. Penambahan inokulum Lactobacillus plantarum memiliki fungsi untuk menstimulasi fermentasi selama proses silase. Inokulum Lactobacillus plantarum akan menghasilkan asam laktat, asam laktat akan menurunkan derajat keasaman silase yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen. Inokulum Lactobacillus plantarum memiliki kemampuan untuk menghasilkan peptida bioaktif yang dikenal dengan istilah bakteriosin, bakteriosin berfungsi untuk mengikat toksik dari beberapa mikroorganisme pembusuk dan patogen. Silase yang berkualitas baik diperoleh dengan memperpendek fase aerobik, akibat fase aerobik yang lama akan mengakibatkan kerusakan yang tinggi pada silase yang diindikasikan tumbuhnya mikroorganisme pembusuk seperti Clostridia yang mengkonversi asam laktat menjadi asam butirat. Upaya untuk mencegah fase aeorbik berkepanjangan yaitu dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae. Penambahan Saccharomyces cerevisiae berfungsi sebagai agen pengguna oksigen, karena proses metabolisme Saccharomyces cerevisiae bersifat fakultatif anaerobik. Aktivitas Saccharomyces cerevisiae secara aerobik (menggunakan oksigen) akan menghaslkan CO2 yang mengkondisikan kondisi silase menjadi anaerob. Inokulum Saccharomyces cerevisiae juga memiliki potensi untuk memproduksi enzim untuk merengganggkan dan mengurai fraksi serat. Oboh (2006), menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan untuk
Pendahuluan
_3
mensekresikan enzim ekstraseluler berupa amilase, linamarase dan selulase Fungsi interaksi antara Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae pada silase akan menghasilkan silase yang berkualitas yang baik. Gobetti (1998), menyatakan bahwa keberadaan S.cerevisiae dalam suatu medium pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) tidak menujukkan reaksi antagonis, dikarenakan aktivitas metabolisme Saccharomyces cerevisiae mendukung pertumbuhan BAL. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya penelitian terhadap silase KBK dengan penambahan bahan aditif silase berupa inokulum campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae terhadap kualitas silase, sehingga dapat meningkatkan penggunaan limbah kakao untuk subtitusi pakan hijauan dan tidak mengganggu produktivitas ternak. Terbatasnya ketersediaan hijauan, menjadikan peternak/ petani mencari bahan pakan sumber serat pilihan yang mempunyai faktor kuantitas dan kualitasnya dapat menggantikan hijauan. Limbah perkebunan menjadi salah satu pilihan dalam menangani persoalan kurangnya hijauan terutama pada musim kemarau. Limbah perkebunan kakao merupakan salah satu limbah perkebunan, apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dapat mencemari lingkungan. Dengan kata lain, penanganan yang tepat akan memberikan keuntungan bagi manusia. Peternakan tradisional yang berada di dekat perkebunan kakao, sudah terbiasa memberikan pakan ternak mereka dengan kulit buah kakao (KBK), namun dalam jumlah yang sedikit. Pemberian KBK dalam jumlah terbatas disebabkan karena adanya dampak yang negatif yang ditimbulkan oleh anti nutrisi yang terkandung didalamnya. Kulit buah kakao memiliki anti
4 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
kualitas berupa theobromine, sehingga menjadi terbatas pemberiannya sebagai pakan. Usaha untuk meningkatkan kualitas KBK telah banyak dilakukan antara lain melalui fermentasi. Fermentasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas KBK untuk dapat dijadikan pakan ternak. Usaha peningkatan kualitas KBK merupakan upaya yang penting dalam pemanfaatan limbah perkebunan sehingga dapat dimanfaatkan oleh ternak. Teknologi fermentasi seperti silase menjadikan salah satu fraksi serat yaitu hemiselulosa mengalami hidrolisis, sehingga menurunkan fraksi serat pada KBK. Oleh karena itu, KBK yang telah difermentasi dapat menjadi pakan sumber serat yang pemberiaannya dapat melebihi daripada pakan KBK yang tidak difermentasi. Selain itu, dengan menggunakan jenis mikrobia tertentu dapat menurunkan kadar anti nutrisi yang terdapat di dalam KBK seperti theobromine dan tannin sehingga dapat menurunkan dampak negatif yang dihasilkan jika dilakukan pemberiaan ke ternak. Penambahan bahan aditif silase seperti bakteri ataupun jamur dapat meningkatkan kualitas silase. Penggunaan Lactobacillus plantarum sebagai bahan aditif dapat menghasilkan silase yang berkualitas karena memiliki kemampuan untuk mengubah karbohidrat terlarut menjadi asam laktat selama proses silase. Produksi asam laktat yang dihasilkan selama proses silase berfungsi menurunkan derajat keasaman (pH) silase. Selanjutnya, penurunan pH silase menyebabkan terhambatnya pertumbuhan mikrobia pembusuk dan patogen. Selain Lactobacillus plantarum menghasilkan asam laktat, bakteri tersebut menghasilkan peptida bioaktif berupa bakteriosin berfungsi sebagai anti mikrobia. Galur yang berbeda pada Lactobacillus plantarum akan memiliki produksi
Pendahuluan
_5
bakteriosin yang berbeda. Chotiah (2013), menyatakan bahwa bakteriosin adalah peptida anti mikrobia yang disintesis secara ribosoma oleh beberapa spesies bakteri. Usmiati dan Marwati (2007), menyatakan bahwa tahapan seleksi dan optimasi Lactobacillus sp untuk menghasilkan bakteriosin yang optimal. Kulit buah kakao segar yang mengandung kadar air yang cukup tinggi, akibatnya akan mudah membusuk dan berwarna hitam, KBK yang sudah busuk dan berwarna hitam, tidak akan dikonsumsi oleh ternak ruminansia. Penggunaan Lactobacillus plantarum pada pembuatan silase KBK dengan kadar air yang cukup tinggi dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama untuk dipakai sebagai pakan berserat ternak ruminansia. Penggunaan Saccharomyces cerevisiae pada peternakan tradisional juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas pakan ternak. Inokulan Saccharomyces cerevisiae merupakan jenis khamir yang dapat memproduksi enzim selulase, yang diharapkan dapat merenggangkan fraksi dinding sel. Longgarnya fraksi dinding sel dapat mempermudah degradasi nutrien di dalam rumen. Inokulan S.cerevisiae memiliki kemampuan untuk menghasilkan bioaktif oxylipins untuk menekan pertumbuhan mikrobia pembusuk dan patogen. Strauss et al. (2007), menyatakan bahwa pertumbuhan (flokulasi) Saccharomyces cerevisiae akan mempengaruhi produksi oxylipin. Inokulasi Lactobacillus plantarum dilakukan untuk menghasilkan asam laktat pada kondisi anaerob, sehingga dibutuhkan agen yang memanfaatkan oksigen pada silase. Sacchromyces cerevisiae sebagai agen pengguna oksigen berfungsi untuk mempercepat periode aerobik yang menyebabkan fase anaerobik dapat cepat terjadi. Inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae akan
6 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
mempengaruhi komposisi kimia silase KBK, dengan adanya perubahan komposisi kimia dapat mempengaruhi proses fermentasi di dalam rumen, serta kecernaannya.
Bagian Kedua
KEBERADAAN KULIT BUAH KAKAO A. Kulit Buah Kakao sebagai Hasil Sisa Perkebunan uas perkebunan kakao di Indonesia meningkat sepanjang lima tahun terakhir, secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao dari tahun 2006 sampai 2009 sebesar 8,1%. Perkebunan kakao di Indoneisa didominasi oleh perkebunan rakyat yakni perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat (Indonesian Commercial Newspaper, 2010). Sentra kakao Indonesia tersebar di Sulawesi (63,8%), Sumatera (16,3%), Jawa (5,3%), Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali (4%), Kalimantan (3,6%) Maluku dan Papua (7,1%) (Ditjen Perkebunan, 2011). Buah kakao terdiri atas 74% kulit buah, 2% placenta dan 24% biji. Kulit buah kakao (kulit buah kakao) merupakan hasil samping (limbah) dari agrobisnis pemrosesan biji coklat yang sangat potensial untuk dijadikan pakan ternak. Kulit buah kakao adalah bagian terluar yang menyelubungi biji kakao dengan tekstur kasar, dan tebal. Kulit buah kakao memiliki 10 alur dengan ketebalan 1 - 2 cm. Pada waktu muda, biji menempel
L
7
8 _ Potensi Kulit buah kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
pada bagian dalam kulit, tetapi pada saat mengalami kemasakan biji akan terlepas dari kulit buah (Harsini dan Susilowati, 2010). Kulit buah kakao sebagai limbah perkebunan yang hanya ditumpuk di sudut kebun dapat menjadi sumber penyakit. Penyakit busuk yang disebabkan oleh jamur Phytopthora palmivora dapat menyerang ke seluruh areal perkebunan, sehingga kerugiannya dapat langsung dirasakan petani. Jamur ini dapat mempertahankan hidupnya di dalam tanah selama bertahun-tahun. Kerugian yang disebabkan penyakit akibat jamur ini mencapai 30 - 50% (Ditjen Perkebunan, 2011). Kulit buah kakao yang dicampurkan dengan bahan lain dapat menjadi sumber pakan yang potensial dan disukai ternak. Walaupun demikian, ternak memerlukan masa adaptasi terhadap hasil ikutan dalam bentuk kering terutama dari tepung biji yang diduga sedikit berasa pahit, sehingga pencampuran dengan bahan lain perlu untuk dipertimbangkan (Kuswandi dan Inounu, 2013) Penggunaan hasil sisa pertanian maupun perkebunan untuk dijadikan pakan ternak di Asia Pasifik memiiki peranan yang sangat penting. Hal ini berhubungan dengan faktor marginal environment, kompetisi penggunaan lahan untuk beberapa tanaman produksi menggeser lahan hijauan pakan ternak menjadikan hasil sisa perkebunan seperti palm kernel cake, baggase, ataupun kulit buah kakao menjadi salah satu pilihan pakan sumber serat dan energi untuk ternak ruminansia (Aregheore, 2000). B. Kulit Buah Kakao untuk Pakan Ternak Ruminansia Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak merupakan strategi utama yang potensial dilakukan di daerahdaerah penghasil komoditi kakao. Produktivitas ternak potong,
Keberadaan Kulit Buah Kakao
_9
tingkat reproduksi, dan berat hidup dipengaruhi/dibatasi oleh kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Penurunan produktivitas sering terjadi pada musim kemarau, yang ketersediaan hijauannya rendah. Para peternak sering menggunakan hasil sisa pertanian seperti kulit buah kakao sebagai pakan ternak untuk memenuhi kebutuhan pakan berseratnya. Program penerapan penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak sapi Bali pada musim kemarau cukup sukses di daerah Sulawesi Tenggara. Pemberian kulit buah kakao sebesar 10 g BK/kg berat badan ternak per hari sebelum pakan hijauan rumput native memiliki pertambahan berat badan, kecernaan bahan kering dan organik yang tidak berbeda nyata dengan pemberian pakan tunggal hijauan native daerah tersebut (Quigley et al., 2009). Pemberiaan kulit buah kakao dalam ransum pada kambing ettawa sebagai sumber serat memberikan data konsentrasi mineral Ca, Mg dan Zn yang paling tinggi dibanding sumber serat lain seperti rumput gajah, kulit kopi, dan jerami padi (Toharmat et al., 2006). Komposisi kimia kulit buah kakao dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia kulit buah kakao (% BK) No
BK
BO
PK
a
17,2 81,20 9,07
2
b
87,13
3
b
4
b
5
b
6
b
7
b
89,60
c
49,45 92,28
1
8
LK
SK
ETN NDF ADF Lignin Selulosa 73,9 58,98 20,15
38,65
83,79
8,69 2,74 42,55 31,41 75,36 68,70 38,45
30,24
88,14
1,39 1,18 42,79 45,67
88,96
9,14
35,74
91,8 88,90 6,2
1,4 45,90
2,48 55,67 20,63
6,20 0,87 32,10
59,78 47,04 21,16 56,60 43,80 61,38 56,42 31,18
26,15
10 _ Potensi Kulit buah kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia a
Kondisi kulit buah kakao dalam keadaan segar Kondisi kulit buah kakao dalam bentuk tepung c Kondisi kulit buah kakao dalam keadaan kering matahari b
Sumber: 1). Zain (2009); 2). Laconi dan Astuti (2000); 3). Moran (2005); 4). Syahrir dan Abdeli (2005); 5). Alemawor et al. (2009); 6). Aregheore (2000); 7). Hamzat dan Adeola (2011); 8). Suparjo et al. (2009).
Kulit buah kakao mengandung serat kasar dan lignin yang tinggi menyebabkan degradasi pakan menjadi rendah, persentase kadar PK yang rendah menjadikan peningkatan kualitas menjadi sangat penting dengan proses teknologi pakan yang efisien dan efektif (Suparjo et al., 2009). Hasil sisa pertanian atau perkebunan memiliki nilai kecernaan yang sangat lambat di dalam rumen karena memiliki kandungan karbohidrat yang siap untuk dipakai sangat rendah dan material dinding sel yang terlignifikasi. Hasil sisa pertanian atau perkebunan memiliki kandungan nitrogen yang tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan mikrobia yang terdapat di dalam rumen (Cheeke, 2005). Wahyuni et al. (2008), menyatakan bahwa kulit buah kakao terfermentasi dengan S.cerevisiae dapat digunakan sebagai pakan ternak kambing yang sedang tumbuh sampai level 40%. Puastuti et al. (2010), menyatakan bahwa pemberian ransum berbasis kulit buah kakao yang mendapatkan perlakuan amoniasi dan suplementasi Zn organik menghasilkan pertambahan berat badan harian setara dengan ransum berbasis rumput, pertumbuhan ini didukung oleh konsumsi dan kecernaan nutrien, retensi N dan parameter fermentasi yang baik. Ginting (2004), menyatakan bahwa pemberian kulit buah kakao lebih dari 15% dapat menurunkan kinerja kambing.
Keberadaan Kulit Buah Kakao
_ 11
Indonesia merupakan negara penghasil kakao ketiga di dunia dengan produksi terus tumbuh 3,5% tiap tahunnya. Indonesia memproduksi 574. 000 ton kakao di tahun 2010, sekitar 16% dari produksi kakao secara global (National Geographic, 2012). Sentra kakao Indonesia tersebar di Sulawesi (63,8%), Sumatera (16,3%), Jawa (5,3%), Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali (4%), Kalimantan (3,6%) Maluku dan Papua (7,1%) (Ditjen Perkebunan, 2012). Perkebunan kakao yang cukup luas di Indonesia menghasilkan sebuah limbah yang disebut kulit buah kakao (kulit buah kakao). Kulit buah kakao merupakan limbah perkebunan tanaman kakao yang berbentuk padat. Limbah ini diperoleh dari pemisahan biji buah kakao (Harsini dan Susilowati, 2010). Hasil samping dan limbah perkebunan memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai pakan ternak alternatif, tetapi perlu adanya pengolahan untuk peningkatan mutu limbah hasil perkebunan seperti perlakuan fisik (pemotongan, pengeringan), kimia (penambahan basa, asam dan oksidasi), biologi (fermentasi, penambahan enzim atau menumbuhkan jamur) maupun kombinasi diantara ketiga perlakuan (Indraningsih et al., 2006). Potensi kulit buah kakao untuk dijadikan sebagai pakan ternak ruminansia cukup baik, dengan ketersediaanya yang cukup banyak karena 75% dari satu buah kakao akan menghasilkan kulit buah kakao (Nuraini dan Mahata, 2009). Komposisi kimia kulit buah kakao tercantum pada Tabel 2.
12 _ Potensi Kulit buah kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Tabel 2. Komposisi kimia kulit buah kakao kering Variabel Kadar (%) Bahan kering (BK) 88,96 Bahan organik (BO) 87,13 Protein kasar (PK) 9,14 Lemak kasar (LK) 2,48 Serat kasar (SK) 35,74 Ekstrak tanpa nitrogen (ETN) 20,63 Neutral detergent fiber (NDF) 59,78 Acid detergent fiber (ADF) 47,04 Lignin 21,16 Selulosa 26,15 Sumber: Laconi dan Astuti (2000); Alemawor et al. (2009). Pemanfaatan kulit buah kakao fermentasi yang diinokulasikan 0,9% Phanerochaeta Chrysosporium dari bahan kering dan dikombinasikan dengan rumput gajah serta konsentrat menghasilkan konversi ransum dan pertambahan berat badan yang lebih baik dibandingkan dengan ransum yang hanya mengandung rumput gajah dan kulit buah kakao tanpa fermentasi (Suparjo et al., 2011). Penggunaan kulit buah kakao di atas 15% dalam ransum ternak kambing, yang setara dengan 0,15% theobromine dapat menurunkan performans, termasuk konsumsi pakan. Faktor serat kasar dan theobromine menjadi pembatas utama (Ginting, 2004). Theobromine merupakan salah satu senyawa alkaloid yang terdapat dalam tanaman kakao, yang merupakan salah satu faktor pembatas di dalam penggunaannya pada ransum ternak. Senyawa alkaloid ini dapat menghambat pertumbuhan ternak karena diduga mengganggu mekanisme aktivitas kelenjar tiroid
Keberadaan Kulit Buah Kakao
_ 13
(kelenjar pertumbuhan). Secara histopatolgis terjadi kerusakan sel tiroid dan ginjal pada ternak ayam pedaging yang diberi ransum yang mengandung senyawa theobromine (Zainuddin dan Hernomoadi, 1994). Kulit buah kakao memiliki faktor pembatas apabila digunakan langsung sebagai pakan ternak yaitu adanya kandungan serat kasar yang cukup tinggi, protein yang rendah, theobromine, dan asam fitat yang tinggi (Kementerian Pertanian, 2013). Tingkat kecernaan, konsumsi dan efisiensi penggunaan nutrisi bahan pakan asal limbah atau hasil sisa tanaman dipengaruhi oleh tingkat kandungan berbagai senyawa kimiawi yang bersifat penghambat. Bahan pakan asal tanaman pangan, faktor penghambat didominasi oleh kelompok senyawa polimer seperti lignin yang terdapat di dalam dinding sel (Ginting, 2004). C. Anti Nutrisi pada Kulit Buah Kakao Anti nutrisi didefinisikan sebagai zat yang dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, tingkah laku atau penyebaran populasi organisme lain. Tanaman mengandung sejumlah besar zat kimia yang aktif secara biologis. Umumnya diproduksi dari metabolisme skunder yang berfungsi untuk memberi beberapa tingkat perlindungan dari predator tanaman seperti serangga dan ruminan (Widodo, 2005). Pemamfaatan kulit buah kakao sebagai pakan ternak dibatasi oleh adanya faktor anti nutrisi yang disebut theobromine dan tanin (Mastika, 2011).
14 _ Potensi Kulit buah kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
1. Senyawa Theobromine Theobromine atau 3,7 dimethylxanthine termasuk dalam kelompok alkaloid, yang merupakan senyawa heterosiklik nitrogen dan dapat mengganggu proses pencernaan. Theobromine diduga menghambat pertumbuhan mikrobia rumen sehingga dapat menurunkan kemampuan nilai cernanya (Mastika, 2011). Alkaloid merupakan senyawa organik yang bersifat basa mengandung amino siklik skunder, dan tersier. Umumnya alkaloid memiliki substansi dasar yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen dan biasanya berkombinasi dengan bagian sistem siklik (Makkar et al., 2007). Kandungan theobromine pada kulit buah kakao sebesar 0,6 - 0,7% yang pada pemakaian tertentu dapat mengakibatkan keracuanan pada ternak (Ashihara et al., 2011). Theobromine yang terdapat pada bahan pakan extracted cocoa bean meal dapat menyebabkan kematian pada ayam dan toksik pada monogastrik dan ruminansia muda (McDonald et al., 2002). Theobromine dapat mempengaruhi level cyclic-nucleotide, dan diperkirakan penyebab peningkatan pemecahan glikogen, meningkatkan denyut jantung, cardiac output, dan menstimulasi urat daging kerangka. Pengaruhnya dalam saluran pencernaan dan diare bisa juga terjadi kalau konsumsi terlalu banyak (Lindar, 1992). Senyawa Theobromine pada KULIT BUAH KAKAO dilaporkan dapat memiliki efek negatif, karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen sehingga menurunkan kemampuan mencerna serat dan menyebabkan diare. Respon negatif muncul pada saat konsumsi thebromine lebih dari 300 mg/kg bobot hidup dengan indikasi penurunan konsumsi dan bobot hidup (Alexander et al., 2008).
Keberadaan Kulit Buah Kakao
_ 15
Komponen anti nutrisi yang terdapat dalam produk kakao adalah alkaloid theobromine, suatu senyawa heterosiklik yang mengandung nitrogen dan dapat mengganggu atau menghambat proses pencernaan. Namun demikian, kehadiran mikrobia dalam rumen dilaporkan dapat meredam efek toksis theobromine (Mathius dan Sinurat, 2001). Hansen (2003), menyatakan bahwa kandungan theobromine pada kulit buah kakao sekitar 0,3 1,2%, kulit biji sekitar 1 - 4%. Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan Alexander et al. (2008), yaitu kulit buah kakao 0,15 0,40%, kulit biji 0,80 - 1,69% dan tepung kakao 2,00 - 3,30%. Theobromine dalam tubuh ternak ruminansia akan terdegradasi, jalur degradasi theobromine dapat dilihat pada Gambar 1. Theobromine 3-Methylxanthine
7-Methylxanthine
Xanthine
3-Methyluric acid
3,7-Dimethyluric acid
7-Methyluric acid
Uric acid
Allantoin Ureidoglycine
6-amino-5[N-methylformylamino]-1-methyluracil
Urea+Glyoxylate
Gambar 1. Jalur degradasi theobromine (Adamafio, 2013)
16 _ Potensi Kulit buah kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Metode detheobrominizing kulit buah kakao dapat dilakukan melalui metode fisik, kimia, bilogi dan kombinasi diantaranya. Metode perebusan hingga mencapai 90ºC dan penambahan alkali dapat menurunkan kandungan theobromine masing-masing sebesar 56% dan 72 %, sedangkan metode biologi seperti fermentasi menggunakan Aspergillus niger selama 7 hari dapat menurunkan theobromine sebanyak 71,8% (Adamafio, 2013). Efek pemanasan maupun perebusan dapat menurunkan kandungan theobromine (Sukha, 2003). Kandungan theobromine pada kakao fermentasi A. niger dengan pengeringan oven 55ºC sebesar 32,456 ppm lebih rendah dari pengeringan freeze dryer sebesar 44,006 ppm (Munier, 2012).
Bagian Ketiga
APA ITU SILASE ? ilase berasal dari hijauan makanan ternak ataupun limbah pertanian yang diawetkan dalam keadaan segar (dengan kandungan air 60 - 70%) melalui proses fermentasi (Hanafi, 2008). Faktor yang mempengaruhi kualitas silase adalah kandungan soluble carbohydrate yang digunakan sebagai substrat untuk menghasilkan asam laktat, sehingga dapat menurunkan pH secepatnya. Kandungan air juga menjadi faktor penting, kandungan air yang terlalu rendah menyebabkan keluarnya oksigen menjadi sulit sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan jamur dan panas. Kandungan air yang terlalu tinggi dapat meningkatkan fermentasi Clostridia untuk menghasilkan asam butirat yang tinggi (Cheeke, 2005). Moran (2007), menyatakan proses untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik melalui 4 fase yaitu fase aerob, fermentasi/anaerob, stabilisasi, dan kebocoran/pengeluaran dari silo. Fase aerobik merupakan fase awal, oksigen yang terdapat diantara partikel pakan akan digunakan oleh khamir, kapang, dan bakteri aerob untuk metabolisme. Kisaran pH pada fase ini
S
17
18 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
adalah 6 sampai 6,5. Fase kedua adalah fase fermentasi/anaerob, fase anaerob akan dimulai jika kandungan oksigen di dalam silo telah habis. Faktor yang mempengaruhi fase anaerob adalah kandungan bahan yang digunakan dan kondisi fermentasi. Silase akan berkualitas baik jika jumlah bakteri asam laktat mendominasi, kisaran pH pada fase ini adalah 3,5 sampai 4,5. Fase ketiga adalah fase stabilisasi, merupakan stabilisasi produk hasil silase seperti asam laktat. Fase pengeluaran dari silo, penurunan kualitas dapat terjadi pada saat dikeluarkannya silase dari silo untuk digunakan ataupun karena adanya kebocoran. Fase pengeluaran dari silo (terpapar oksigen) ditandai dengan meningkatnya temperatur pada silase dan adanya aktivitas mikroorganisme pembusuk dan patogen seperti Bacillus, kapang, dan Enterobacteria. Silase adalah hasil proses fermentasi terkontrol yang mengandung kadar air yag cukup tinggi (McDonald et al., 2002). Pembuatan silase merupakan teknik yang sangat penting, tidak hanya di daerah sub tropis, tetapi juga di daerah tropis. Hal ini karena silase bertujuan untuk menyediakan pakan secara baik dan kontinu sepanjang tahun. Teknik untuk memproduksi silase yang berkualitas ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tanaman pakan yang akan dijadikan silase memiliki kandungan bahan kering 35 - 40%, karbohidrat terlarut lebih dari 2%, memiliki tingkat kerapatan pengemasan yang tinggi, dan adanya bakteri asam laktat homofermentatif (Ohmomo et al., 2002). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu jenis tanaman pakan yang akan disilase, kesuburan tanah, penyakit pada tanaman, umur potong, dan kandungan bahan kering (Griffiths dan Burns, 2006). Vrotniakiene dan Jatkauskas (2006), menyatakan bahwa kualitas silase dan status nutrisinya
Apa itu Silase ?
_ 19
dipengaruhi oleh banyak faktor biologi dan teknis, yaitu spesies tanaman, stage of maturity, kandungan bahan kering, ukuran potongan tanaman, tipe silo, laju pengisian silo, kerapatan tanaman setelah dikemas, teknik pengemasan, kondisi iklim, dan penggunaan bahan aditif silase. A. Macam-macam Silo McDonald (1981), menyatakan bahwa “silo” (tempat penyimpanan silase) diklasifikan menjadi enam macam, yaitu: 1. Silo vertikal. Silo tipe vertikal umumnya berbentuk menara (tower silo). Kehilangan nutrien yang terjadi pada tower silo akan minimal, hal ini karena kondisi anaerob dapat segera tercapai. Kekurangan tipe silo ini adalah jumlah silase yang dapat ditampung cukup rendah dibandingkan dengan tipe horizontal. 2. Silo horizontal. Contoh silo horizontal yaitu bunker silo, silo ini umumnya terdiri dari tiga dinding padat, sering dibangung dibawah gudang untuk melindungi silase dari pengaruh cuaca. Bagian atas silase akan ditutup menggunakan terpal plastik dan dibebani dengan ban bekas untuk mencegah masuknya udara. 3. Silo fleksibel. Tipe silo ini adalah prototipe pengembangan dari National Institute of Agricultural Enginering, tipe silo ini menyerupai bunker silo tetapi dapat dipindahpindahkan ke tempat lain. Tipe silo ini dilengkapi dengan sisitem pengaturan yang dapat memungkinkan pengisian silo dengan tinggi 7 m tanpa mengerahkan tekanan berlebihan pada dinding silo. 4. Silo plastik. Silo plastik biasanya dalam bentuk kantong, yang terbuat dari polifenil khlorid atau polietilen. Inovasi terbaru penggunaan silo plastik pada pembuatan bales silase dengan ukuran yang cukup besar, hijauan yang akan
20 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
digunakan dibuat menjadi bales dengan berat sekitar 0,75 ton, lalu bales ditempatkan di silo plastik yang diikat bagian atasnya. 5. Silo vakum. Pada silo vakum, pakan yang akan dibuat silase ditempatkan di atas plastik dan ditumpuk hingga ketinggian tertentu. Udara di dalam silo dihisap menggunakan pompa vakum, yang juga berfungsi untuk mengompakkan hijauan. 6. Silo selongsong plastik. Pola silo ini dirancang di Jerman. Mesin khusus akan mengisi tabung plastik dengan hijauan yang telah dicacah, yang akan melewati saluran berbentuk corong. Silo selongsong plastik berdiameter 2,4 m dengan panjang 30 m. B. Tahapan Proses Silase Stefani et al. (2010), proses fermentasi silase memiliki 4 tahapan, yaitu: 1. Fase aerobik. Fase ini ditandai dengan adanya oksigen yang berasal dari atmosfir dan berada diantara partikel tanaman. Oksigen yang berada diantara partikel tanaman digunakan oleh sel tanaman, mikroorganisme aerob dan fakultatif aerob seperti yeast dan enterobacteria untuk melakukan proses respirasi. 2. Fase anaerobik/fermentasi, fase ini merupakan fase awal dari reaksi anaerob. Fase ini berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung dari komposisi bahan dan kondisi silase. Jika proses silase berjalan sempurna maka BAL akan sukses berkembang. Bakteri asam laktat pada fase ini menjadi bakteri predominan dengan pH silase sekitar 3,8.
Apa itu Silase ?
_ 21
3. Fase stabilisasi, fase ini merupakan kelanjutan dari fase kedua (anaerobik). 4. Fase pengeluaran silase dari silo, dan bila terjadi kebocoran (fase aerobik kembali). Silo yang sudah terbuka dan kontak langsung dengan lingkungan maka akan menjadikan proses aerobik terjadi. Hal yang sama terjadi jika terjadi kebocoran pada silo maka akan terjadi penurunan kualitas silase atau kerusakan silase. C. Pengaruh Oksigen Terhadap Proses Silase Silase yang berkualitas dihasilkan dibawah kondisi anaerob yang terjaga, karena kondisi aerob akan menyebabkan penurunan kualitas. Terdapat empat masa fase aerob yang terjadi selama proses silase, yaitu masa di lapangan, masa awal di dalam silo, masa infiltrasi udara dan masa pengeluaran hasil silase atau bila terjadi kebocoran. Selama masa di lapangan, hijauan yang akan dibuat silase akan diangin-anginkan, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan populasi mikrobia pada hijauan. Populasi mikrobia yang obligate anaerob akan berkurang dengan bertambahnya waktu pengangin-anginan serta menjadikan persentase kehilangan nutrien yang cukup besar (McDonald, 1981) Jumlah oksigen pada awal fase aerob yang terjadi di dalam silo akan mempengaruhi temperatur, derajat keasaman (pH) dan kehilangan nutrien. Bila silo mengalami kontak langsung dengan oksigen terus menerus maka akan terjadi kerusakan silase, hal ini disebabkan karena penggunaan nutrien oleh mikrobia pembusuk dan patogen. Akibatnya, kandungan amonia dan butirat meningkat, dan akhirnya kehilangan nutrien pada kondisi diatas cukup tinggi (McDonald, 1981). Mikrobia seperti
22 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Clostridia botulinum dan Listeria monocytogen merupakan mikrobia patogen yang dapat tumbuh di silase dengan kandungan oksigen yang cukup (Cheeke, 2005). Mikrobia yang dapat menyebabkan kerusakan dengan adanya oksigen pada silase yaitu yeast (Candida, Cryptococcus, Hansenulla, Pichia), Mould (Aspergillus, Fusarium, Geotricium, Monascus, Mucor, Penicillium, Rhizopus, Trichoderma), Bakteri aerob (Acetobacter, Bacillus, Stretomyces) (Van Soest, 1994). D. Pengaruh Kadar Air terhadap Proses Silase Proses pengurangan kadar air dengan mengangin anginkan rumput maupun legum dapat meningkatkan kualitas silase, sekaligus dapat mengurangi kehilangan nutrien. Tujuan diangin-anginkan adalah untuk menyiapkan bahan hijauan yang akan dibuat silase hingga memiliki bahan kering yang ideal untuk proses silase, secara umum kandungan BK 30% adalah syarat awal pembuatan silase. Kandungan BK yang lebih tinggi dapat menghasilkan panas yang memacu reaksi maillard serta akan diikuti dengan tumbunya jamur (Van Soest, 1994). Kandungan BK yang rendah akan menyebabkan kehilangan nutrien yang cukup besar secara nyata karena banyaknya air tirisan (McDonald et al ., 2002).
Bagian Keempat
BAHAN ADIKTIF SILASE
K
elllems dan Church (2010), menyatakan bahwa secara umum bahan aditif silase terdiri dari bahan aditif yang mengandung nutrien, bahan aditif pengawet, bahan aditif yang mendukung proses fermentasi, dan bahan aditif mikroorganisme. Barnes et al. (2007), menyatakan bahwa bahan aditif silase dapat memodifikasi proses fermentasi silase dan menjaga stabilitas kerusakan karena aerobik selama fase pengeluaran dari silo. Penambahan inokulan bakteri asam laktat merupakan salah satu bahan aditif silase yang dapat mempengaruhi kualitas fermentasi silase. Bahan aditif silase dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu, 1) bahan aditif yang mendukung proses fermentasi, seperti bahan yang mengandung tinggi gula, inokulan dan enzim, 2) bahan aditif yang menghambat proses fermentasi yang tidak diinginkan seperti asam dan formalin, hal ini bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikrobia pembusuk dan patogen di dalam silase (McDonald et al., 2002). 23
24 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Bahan aditif silase dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu bahan yang menstimulasi proses fermentasi dan bahan yang menghambat proses fermentasi. Bahan yang menstimulasi proses fermentasi seperti penambahan bahan pakan yang mengandung karbohidrat terlarut, inokulum dan enzim berfungsi untuk mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat. Bahan yang dapat menghambat proses fermentasi seperti asam dan formalin berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikrobia (McDonald et al., 2002). Bahan aditif silase berfungsi untuk memodifikasi fermentasi silase dan atau stabilitas aerob. Bahan aditif silase dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, meningkatkan populasi bakteri yang menguntungkan, memperbaiki nilai nutrisi dan mencegah kehilangan bahan kering, menghambat aktivitas degradasi protein dan deaminasi tanaman oleh mikrobia (Barnes et al., 2007). Inokulum bakteri yang digunakan harus mendominasi proses fermentasi, sehingga jumlah inokulum menjadi sangat penting pada awal proses silase (Kung, 2000). Jumlah inokulum yang diberikan sangat mempengaruhi proses fermentasi, sehingga silase dengan inokulum dibandingkan silase kontrol tanpa inokulum akan menghasilkan pH yang lebih rendah, kandungan karbohidrat terlarut dan asam laktat yang tinggi (McDonald et al., 2002). A. Lactobacillus Plantarum Lactobacillus plantarum merupakan salah satu spesies bakteri asam laktat yang termasuk homofermentatif. Bakteri asam laktat kelompok homofermentatif menghasilkan 90% asam
Bahan Adiktif Silase
_ 25
laktat murni sebagai produk utama dari fermentasi gula sedangkan kelompok heterofermentatif menghasilkan asam laktat dan senyawa lain, yaitu: CO2, etanol, asetaldehid, diasetil serta senyawa lainnya (Fardiaz, 1992). Penambahan bakteri L. plantarum pada pembuatan silase pucuk tebu menurunkan kandungan serat kasar pucuk tebu dan kandungan bahan organik (Hidayatik, 2012) Penambahan L. plantarum pada silase menyebabkan penurunan pH yang cukup cepat serta menghambat mikroorganisme pembusuk. Penggunaan L. plantarum dapat menurunkan fraksi NDF dan ADF, serta meningkatkan kandungan PK pada silase rumput benggala (Paniccum maximum) (Adesoji et al., 2010). Penggunaan inokulum campuran yang terdiri dari L. plantarum dan S. cerevisiae meningkatkan fermentasi dan kecernaan invitro, menurunkan kontaminasi Clostrodium, serta tidak memiliki efek negatif terhadap produksi asam lemak volatil dan kadar amonia di dalam rumen (Sofyan, 2011). Lactobacillus plantarum memiliki kemampuan untuk tumbuh bersama dengan S. cerevisiae, penggunaan kombinasi kedua inokulum dapat meningkatkan kualitas dan mencegah kerusakan yang disebabkan oleh Clostridia (Sofyan, 2010). Lactobacillus plantarum dapat menghasilkan senyawa bakteriosin, bakteriosin adalah bioaktif peptida yang diproduksi oleh beberapa strain bakteri asam laktat yang memiliki efek negatif terhadap mikroorganisme pembusuk dan patogen. Bakteriosin yang dihasilkan L. plantarum adalah pediosin AcH (Ray dan Bhunia, 2007). Genus Lactobacillus merupakan grup bakteri gram positif. Suhu optimal pertumbuhan sebagai kultur starter yaitu 25ºC
26 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
sampai 40ºC. Proses metabolisme karbohidrat yang dilakukan menjadikan adanya penurunan pH sekitar 3,5 sampai 5 (Ray dan Bhunia, 2008). Lactobacillus plantarum adalah bakteri asam laktat (BAL) yang bersifat fakultatif anaerob (dapat tumbuh pada kondisi ada ataupun tidak ada oksigen), dan homofermentatif. Golongan BAL homofermentatif akan memproduksi asam laktat secara efisien dibandingkan BAL heterofermentatif. Selama proses silase dapat juga terjadi hidrolisis hemiselulosa dan pembebasan pentosa yang dapat digunakan untuk menghasilkan asam laktat dan asam asetat oleh beberapa tipe BAL (McDonald et al., 2002). Penggunaan bakteri asam laktat pada proses silase berfungi untuk mempercepat laju fermentasi, menghasilkan asam laktat yang tinggi, menurunkan pH, mengurangi proteolisis serta dapat meningkatkan kinerja ternak (Barnes et al., 2007). Inokulan L. plantarum memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas silase dengan meningkatkan kandungan asam laktat, mengurangi kehilangan bahan kering, menurunkan pH, dan mengurangi degradasi protein (Aquilina et al., 2012). Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat yang dapat menggunakan arabinosa, selubiosa, fruktosa, galaktosa, glukosa, laktosa, maltosa, mannitol, mannosa, melibiosa, rafinosa, sukrosa, dan xylosa untuk diubah menjadi asam laktat (McDonald, 1981). Inokulan L. plantarum yang ditambahkan pada silase rumput benggala (Paniccum maximum) dapat menurunkan fraksi acid detergent fiber (ADF) dan neutral detergent fiber (NDF), serta meningkatkan kandungan protein kasar (Adesoji et al., 2010). Inokulan campuran BAL (L. plantarum, P. acidilactiti, E. faecium, dan L. lactis) yang ditambahkan dalam silase legum, dapat meningkatkan
Bahan Adiktif Silase
_ 27
konsentrasi asam laktat dan menurunkan asam butirat, amonia, serat kasar dan kehilangan bahan kering lebih rendah dibandingkan kontrol tanpa penambahan inokulan (Jatkaukas dan Vrotniakiene, 2008). Penggunaan L. plantarum pada biji kakao menghasilkan pH biji kakao fermentasi sekitar 5,84 dapat menekan pertumbuhan jamur patogen (Ramli et al., 2005). Zat antifungal yang dihasilkan L. plantarum cukup banyak seperti asam benzoat, metildantoin, mevalonolakton, dan asam fenilaktat. Metabolit antifungal L. plantarum dapat mereduksi kadar mycotoxin dengan mekanisme pengikatan (Dalié et al., 2010). Antimikrobia yang juga dihasilkan Lactobacillus sp adalah bakteriosin, berfungsi sebagai pengganti antibiotik untuk kesehatan hewan ternak dan keamanan pangan (Chotiah, 2013). Bakteriosin yang berasal dari Lactobacillus sp galur SCG 1223 dapat menghambat pertumbuhan Escherichia coli (Usmiati dan Rahayu, 2011). Inokulan L. plantarum memiliki potensi untuk menghasilkan enzim urikase (Iswantini et al., 2009). Penggunaan mikrobia yang memproduksi enzim seperti theobromine oxidase, xanthine dehydrogenase, xanthine oxidase, urease dan uricase dapat menurunkan theobromine (Bentil, 2012). Hal ini karena enzim-enzim tersebut berfungsi pada jalur degradasi theobromine (Adamafio, 2013). B. Saccharomyces Cerevisiae Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang termasuk ke dalam kelompok khamir. Perkembangbiakan khamir, akan membelah diri dan menghasilkan tunas yang
28 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
berkecambah multipolar. Spora berdiameter 5 sampai 10 µm. Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir bersel tunggal, yang berkembang biak dengan cepat secara seksual dan aseksual (Ahmad, 2008). Saccharomyces cerevisiae dapat berperan sebagai bahan imunostimulan dengan meningkatkan sistem pertahanan terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan bakteri dan virus. Komposisi kimia S. cerevisiae terdiri dari PK 52%, karbohidrat 37%, lemak 5%, dan mineral 8%. Enzim yang dihasilkan oleh S. cerevisiae yaitu kitinase, protease, invertase, asam fosfotase, melibiase, katalase, glukanase, glukosidase, glukoamilase, fosfolipase (Ahmad, 2007). Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti Clostridia, zat anti mikrobia yang dihasilkan oleh S. cerevisiae adalah oxylipin (Skrivanova et al., 2006). Penggunaan S. cerevisiae pada fermentasi KBK, menghasilkan tape KBK yang memiliki aroma yang baik dan mampu meningkatkan konsumsi. Taraf optimal penggunaan tape kulit buah kakao dalam ransum adalah 20% dan menghasilkan pertambahan bobot badan kambing yang tergolong tinggi (83 g/hari) (Ginting, 2009). Saccharomyces. cerevisiae merupakan organisme fakultatif yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan energi dari senyawa organik dalam kondisi aerob sehingga ragi dapat tumbuh dalam kondisi ekologi yang berbeda, dan dapat tumbuh serta berkembang biak lebih cepat daripada fungi yang bermiselium (Wina, 1999). Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang mampu beradaptasi dengan bahan kadar air tinggi, tahan terhadap alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat
Bahan Adiktif Silase
_ 29
mengadakan adaptasi (Dharmawati et al., 2012). Inokulan S. cerevisiae memecah karbohidrat akan diikuti dengan hilangnya energi dalam bentuk panas, CO2, dan air (McDonald et al., 2002). Peranan S. cerevisiae dalam rumen terbukti dapat menjaga kondisi anaerob untuk pertumbuhan bakteri asam laktat, karena khamir tersebut dalam pertumbuhannya menggunakan oksigen (Fonty dan Chaucheyras-Durand, 2006). Inokulan S. cerevisiae memiliki kemampuan untuk tumbuh bersama L. plantarum. Penggunaan inokulan campuran menghasilkan kualitas fermentasi silase yang baik dan meningkatkan kecernaan in vitro, menurunkan kontaminasi Clostrdia, serta tidak memiliki efek negatif terhadap produksi asam lemak volatil dan amonia di dalam rumen (Sofyan 2011). Zakariah (2014), melaporkan bahwa penggunaan inokulan campuran L. plantarum dan S. cerevisiae pada silase KBK memiliki kandungan NDF dan ADF yang lebih rendah dibandingkan silase KBK tanpa penggunaan inokulan. Beberapa jenis S. cerevisiae dapat menghasilkan oxylipin, senyawa tersebut berfungsi untuk menghambat mikrobia pembusuk (Strauss et al., 2005). Oxylipin merupakan senyawa derivat asam lemak yang berperan sebagai antimikrobia (Pohl et al., 2011). Selain itu, Inokulan S.cerevisiae dapat menghasilkan β-glukonase yang dapat mendegradasi dinding sel fungi. Inokulan S. cerevisiae juga memiliki potensi untuk mengikat aflatoxin B1 (Ray dan Bhunia, 2008). C. Tepung Gaplek Sebagai Sumber Karbohidrat Terlarut Silase
30 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Penambahan sumber karbohidrat terlarut pada silase bertujuan untuk meningkatkan BK, menstimulasi pertumbuhan BAL (Nishino et al., 2003). Sumber karbohidrat berupa tepung gaplek, memiliki kandungan BK 82,28%, PK 1,52% dan karbohidrat terlarut 5,04%. Penurunan pH akan terjadi secara cepat pada silase daun rami yang diberi gaplek. Hal ini disebabkan karena BAL dapat menggunakan karbohidrat terlarut secara optimal dan rendahnya kapasitas buffer pada silase yang diberi gaplek dibandingkan yang diberikan pollard, onggok, jagung, dan dedak. Penambahan gaplek 20% (w/w) berat segar, menghasilkan silase daun rami yang berkualitas lebih baik dibandingkan jagung dan pollard (Despal et al., 2011). Penambahan gaplek dapat mempercepat penurunan pH, penurunan pH yang cepat tersebut akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan, seperti enterobacteria dan clostridia (Santi et al., 2012). Degradasi teori bahan organik tepung gaplek adalah 93,50%, nilai yang cukup tinggi disebabkan oleh tingkat kelarutan dan laju degradasi fraksi potensial terdegradasi pada bahan organik ketela pohon yang cukup tinggi (Suratna, 1996). Komposisi kimia gaplek adalah 84,84% BK, 97,40% BO, 2%% PK, 1,93% SK, 0,54% LK, dan 84,08% TDN (Wibowo, 2005) Kandungan air yang tinggi pada bahan pakan yang akan dibuat silase menghasilkan silase yang berkualitas rendah (Miron et al., 2006). Kualitas silase akan berkualitas baik jika kandungan air bahan silase diturunkan hingga 60-70%, meningkatkan kandungan karbohidrat terlarut untuk stimulasi pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL), menghindari pertumbuhan jamur dan mikrobia merugikan, menurunkan kehilangan BK selama proses silase, salah satu upaya
Bahan Adiktif Silase
_ 31
peningkatan kualitas silase tropik dengan penggunaan bahan aditif silase berupa sumber karbohidrat terlarut (Nishino et al., 2003). Tepung gaplek memiliki kandungan BK 82,28%, abu 5,92%, PK 1,52%, SK 5,50%, LK 1,16% dan karbohidrat terlarut 5,04% (Despal et al., 2008). Penambahan gaplek sebagai sumber karbohidrat terlarut untuk nutrien pertumbuhan BAL dalam memproduksi asam laktat akan mempercepat penurunan pH, penurunan pH yang cepat akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme merugikan seperti Enterobacteria dan Clostridia (Santi et al., 2012). Penurunan pH akan terjadi secara cepat pada silase daun rami yang diberi gaplek. Hal ini disebabkan karena rendahnya kapasitas buffer pada silase yang diberi gaplek dibandingkan yang diberikan pollard, onggok, jagung, dan dedak. Penambahan gaplek 20% (w/w) menghasilkan silase daun rami yang berkualitas lebih baik dibandingkan jagung dan pollard (Despal et al., 2008).
32 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Bagian Kelima
PENGOLAHAN PAKAN A. Pengolahan Secara Fisik, Kimiawi dan Biologi
P
engolahan pakan dapat diklasifikasikan menjadi pengolahan fisik, kimiawi, biologi dan campuran perlakuan tersebut. Peningkatan kecernaan pakan secara maksimal terjadi apabila energi dan nutrien esensial lainnnya (seperti sumber nitrogen dan mineral) tersedia secara cukup dan serasi. Oleh karena itu, tujuan utama dari pengolahan pakan tersebut pada pakan berserat tinggi adalah untuk menaikkan konsumsi dan kecernaannya, dengan jalan melarutkan sebagian komponen dinding sel atau memecah hubungan komplek antara lignin dengan komponen karbohidrat dinding sel (Soejono et al., 1987). Metode untuk memperbaiki penggunaan hasil sisa tanaman pertanian atau perkebunan yaitu metode kimiawi, fisik dan biologi. Faktor penyebab rendahnya pencernaan hasil sisa tanaman pertanian atau perkebunan karena material dinding sel yang terlignifikasi, dengan metode kimia seperti pemberian 33
34 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
alkali diharapkan dapat melonggarkan ikatan lignoselulosa. Metode kimiawi yang sering digunakan di negara-negara berkembang adalah pemberian urea (proses amoniasi), penggunaan urea dengan cukup air pada kondisi temperatur yang sesuai, mikrobia tertentu pada jerami padi akan menghasilkan enzim urease yang mampu mendegradasi urea membentuk senyawa amonium, seperti amonium karbonat, bikarbonat dan hidroksida, kemudian senyawa tersebut menyusup kedalam jerami sehingga merengganggkan ikatan lignoselulosa. Perlakuan ure terhadap jerami dapat meningkatkan kandungan nitrogen dan kecernaan in vitro sebesar 2 - 8% (Soejono et al., 1987). Metode fisik yang sering digunakan adalah grinding atau chopping yang berfungsi untuk mengurangi ukuran partikel, ukuran partikel yang kecil memberikan ruang yang luas untuk aktivitas enzim, sedangkan metode biologi dengan penambahan fungi aerobik dapat mendegradasi lignin, misalnya penambahan kultur Trichoderma viridie dapat menaikkan nilai nutrisi tongkol jagung (Cheeke, 2005). Perlakuan pengolahan pakan secara biologi dapat berupa pembuatan silase, penumbuhan jamur, dan penambahan enzim (Soejono et al., 1987). Silase merupakan pakan hasil fermentasi dari hijauan maupun limbah pertanian yang memiliki kadar air tinggi sekitar 60 – 65%. Pakan fermentasi dalam prosesnya sering ditambahkan bahan aditif silase, misalnya salah satu bahan aditif komersial biasanya ditambahkan dalam proses fermentasi adalah bakteri dari strain Lactobacillus sp. Enzim yang dihasilkan oleh inokulan bakteri tersebut dapat mendegredasi dinding sel tanaman (Bolsen et al., 1995).
Pengolahan Pakan
_ 35
B. Fermentasi Pakan di dalam Rumen 1. Ekologi Rumen Perbedaan antara ruminansia dengan non ruminansia terdapat pada jumlah kompartemen penyusun perut dan tinggi rendahnya aktivitas pencernaan yang dilakukan oleh mikrobia. Segmen terluas dari perut ruminan adalah rumen, yang memiliki fungsi sebagai tempat fermentasi. Populasi mikrobia rumen meliputi bakteri, protozoa, fungi, dan yeast. Populasi mikrobia rumen tersebut berperan untuk melakukan fermentasi pakan. Sumber utama energi yang diabsorbsi oleh ternak ruminan adalah produk akhir fermentasi berupa asam lemak volatil atau volatile fatty acids (VFA) (Cheeke, 2005). Selain produk akhir di dalam rumen berupa VFA, juga dihasilkan amonia yang digunakan untuk sintesis protein mikrobia. Mikrobia akan menjadi sumber protein ketika melewati rumen lalu dicerna di abomasum dan intestinum. Produk akhir lain yang dihasilkan dalam proses fermentasi adalah gas metan. Gas tersebut merupakan energi pakan yang terbuang (Moran, 2005). Kinerja sistem pencernaan rumen (pada ternak ruminansia) ditentukan oleh aktivitas mikrobia rumen. Sekitar 70 sampai 85% bahan pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia dicerna dengan bantuan mikroba. Mikrobia rumen terlibat dalam kecernaan dinding sel tanaman. Dinding sel tanaman didegradasi oleh kombinasi mikrobia dalam bentuk bakteri, jamur, dan protozoa. Bakteri dan jamur berkontribusi sebesar 80% dalam melakukan aktivitas degradasi dinding sel, sedangkan protozoa berkontribusi sebesar 20%. Bakteri fibrolitik seperti Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus flavefaciens, dan Ruminococcus albus, secara umum diketahui sebagai organisme utama yang
36 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
bertanggung jawab terhadap kecernaan dinding sel tanaman di dalam rumen (Wang dan McAllister, 2002). Laju kecernaan pakan di dalam rumen tergantung dari kualitas dan komposisi suatu bahan pakan, disisi lain komposisi bahan pakan mempengaruhi jumlah dan macam mikrobia, tinggi rendahnya pH rumen, tinggi rendahnya nutrien yang tersedia di dalam rumen. Energi dan protein merupakan nutrien utama untuk pertumbuhan mikrobia dan kinerja fermentasi rumen (Moran, 2005). 2. Fermentasi karbohidrat di dalam rumen Karbohidrat terbagi menjadi tiga yatu, 1) monosakarida, 2) oligosakarida, 3) polisakarida (misalnya selulosa, hemiselulosa dan amilum). Hasil antara proses degradasi karbohidrat di dalam rumen adalah asam piruvat, yang kemudian akan diubah menjadi VFA, CO2, dan CH4. Jumlah produk akhir tergantung dari beberapa faktor antara lain, yaitu tipe karbohidrat yang terfermentasi, spesies bakteri, dan ekologi rumen selama fermentasi. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa produk akhir fermentasi rumen VFA, VFA terdiri dari asetat, propionat, dan butirat. Asetat yang diabsorbsi akan menjadi prekursor utama untuk lipogenesis pada ternak ruminansia, misalnya pembentukan asam lemak pada susu, sedangkan propionat akan diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis (Church, 1988). Secara umum karbohidrat akan diubah oleh mikrobia rumen menjadi glukosa ataupun glukosa-1-fospat, yang akan dioksidasi menjadi asam piruvat melalui jalur EmbdenMeyerhof kemudian piruvat akan diubah menjadi asetat. Proses metabolisme pembentukan energi bakteri dihasilkan melalui proses fosporilasi yang terdiri dari dua macam reaksi, yaitu 1).
Pengolahan Pakan
_ 37
nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) akan mengalami dehidrogenesis dari gliseraldehid-3-fospat. 2). Asam piruvat akan menjadi Asetil-Coa, yang akan diubah menjadi asetat dan adenosin tri fospat (ATP). Pada reaksi pertama, akan terjadi transfer elektron dan proton ke NAD, lalu pada reaksi kedua elektron akan ditransfer ke ferredoksin yang akan menghasilkan asam format. Asam format akan diubah menjadi CH4 (Church, 1988). 3. Fermentasi protein di dalam rumen Sumber nitrogen dalam bentuk protein kasar dapat berasal dari protein murni dan non protein nitrogen (NPN). Sumber nitrogen terebut menjadi sangat penting untuk pertumbuhan normal mikrobia rumen. Mikroflora rumen memiliki aktivitas proteolitik yang tinggi sehingga protein yang masuk kedalam rumen akan didegradasi menjadi peptida, asam amino dan amonia. Faktor yang mempengaruhi fermentasi protein di dalam rumen adalah derajat keasaman, konsentrasi amonia, dan konsentrasi VFA. Protein mikrobia akan menjadi sumber protein yang tersedia untuk ternak ruminansia. Sekitar 80% protein mikrobia dapat digunakan sebagai sumber asam amino untuk kinerja ternak. Produksi protein mikrobia yang berasal dari rumen akan digunakan untuk menunjang perbaikan jaringan, pertumbuhan, maupun laktasi ternak inangnya (Ørskov, 1992).
38 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Bagian Keenam
KOMPOSISI KIMIA DAN KECERNAAN IN VITRO SILASE KULIT BUAH KAKAO (Penggunaan Inokulum Campuran Lactobacillus Plantarum dan Saccharomyces Cerevisiae) A. Komposisi Kimia Silase Kulit Buah Kakao
K
omposisi kimia dan perubahan kandungan silase kulit buah kakao yang diinokulasi dan tanpa inokulasi ditampilkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Perubahan komposisi kimia silase kulit buah kakao Silase
Parameter
K0
KSc
± 0,489c
BO 93,72 ± 0,244a 93,82 ± 0,105ab 94,27 ± 0,310bc 94,43
± 0,261c
SKns 18,92 ± 0,785
15,83
± 1,651
2,99
± 0,141
0,15
± 0,090a
73,22 ± 2,060ab 75,46
± 1,688b
(%BK)
ns
PK EE
18,16 ± 0,375
3,41 ± 0,094 0,87 ± 0,159
22,20 ± 1,312
bc
KLp+Sc 22,66
BK 20,38 ± 0,340 Kandungan
KLp a
17,51 ± 1,765
3,50 ± 0,440 c
0,71 ± 0,351
3,21 ± 0,197 bc
ETN 70,51 ± 1,036a 71,45 ± 0,388a
39
21,12 ± 0,045
ab
0,33 ± 0,230
ab
40 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
BK
-5,63
± 0,345a
-3,82 ± 1,309bc
-4,90 ± 0,051ab -3,36
± 0,489c
BO
-5,36
± 0,280a
-3,64 ± 1,207bc
-4,55 ± 0,068ab -3,07
± 0,466c
0,29
± 0,192
0,47 ± 0,325
ns Perubahan SK
(%BK)
b
PK
0,04
± 0,030
EE
0,04
± 0,035c
ETN -5,74
± 0,190a
0,12 ± 0,055
0,13 ± 0,380 a
0,02 ± 0,080bc -4,26 ± 0,88b
0,02
± 0,303
0,02
± 0,015b
-0,07 ± 0,050ab -0,10
± 0,020a
-4,64 ± 0,412ab -3,00
± 0,749c
0,03 ± 0,040
b
a, b dan c
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns Non significant Lp (L. plantarum), Sc (S. cerevisiae). 1. Perubahan Kandungan Bahan Kering Kandungan bahan kering (BK) silase kulit buah kakao dengan penambahan inokulan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Inokulasi L.plantarum memiliki karakteristik kandungan BK yang lebih tinggi dibandingkan dengan silase tanpa penambahan inokulan. Silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulan memiliki kandungan bahan kering terendah, hal ini karena secara alamiah hijauan ataupun hasil sisa perkebunan yang akan dijadikan silase mengandung atau membawa mikroorganisme, beragamnya mikroorganisme pada fase awal silase menjadikan kualitas silase menjadi jelek karena mikroorganisme pembusuk dapat menggunakan bahan kering untuk pertumbuhannya. Inokulasi L. plantarum yang menghasilkan asam laktat dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen. Gollop et al. (2005), melaporkan bahwa inokulan bakteri asam laktat memiliki aktivitas antibakterial. Silase kulit buah kakao pada inokulasi S. cerevisiae memiliki kandungan BK yang tidak berbeda nyata dibanding silase tanpa penambahan inokulan, tetapi jika dikombinasikan
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 41
dengan L. plantarum (KLp+Sc) akan memiliki kandungan BK tertinggi dibandingkan silase tanpa inokulan dan silase dengan penggunaan S.cerevisiae. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dengan adanya penambahan L. plantarum pada tumpukan silase kulit buah kakao. Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Contreras-Govea et al. (2013), bahwa penggunaan L.plantarum tidak memiliki pengaruh terhadap kandungan bahan kering silase alfalfa jika dibandingkan dengan silase kontrol. Kehilangan BK silase kulit buah kakao menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi L. plantarum memiliki nilai kehilangan BK yang lebih rendah dibandingkan dengan silase kontrol. Silase kontrol yang tidak diinokulasikan mikrobia pendukung fermentasi silase akan melalui proses metabolisme yang beragam karena memiiki populasi mikroorganisme yang beragam pula. Populasi mikroorganisme yang terdapat pada awal fase silase terdiri dari Clostridia, Yeast, Enterobacteria, dan BAL. Mikroorganisme aerobik seperti Clostridia akan menggunakan BK dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan BAL pada proses respirasi untuk menghasilkan energi, CO2, dan H2O. Inokulasi L. plantarum akan meminimalisir kehilangan BK. Muck (2000), menyatakan bahwa penggunaan inokulan BAL dapat meminimalisir kehilangan BK hingga 2 – 3%. Kehilangan BK silase kulit buah kakao pada inokulasi S. cerevisiae tidak berbeda nyata dibandingkan silase tanpa inokulan. Hal ini karena S. cerevisiae merupakan golongan khamir yang bersifat fakultatif aerob, pada fase aerobik inokulan S. cerevisiae akan menggunakan BK untuk dijadikan energi, CO2, dan H2O, sedangkan pada saat anaerob akan menghasilkan
42 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
etanol dengan bantuan enzim invartase dan zimase. Kehilangan BK tidak dapat dihindari karena selama proses silase terdapat fase respirasi aerobik. Penggunaan glukosa oleh mikroorganisme aerob menjadi alasan penurunan BK dan peningkatan kadar air pada silase kulit buah kakao. Silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki nilai kehilangan BK yang lebih rendah dibandingkan silase tanpa inokulan dan silase pada inokulasi S. cerevisiae. Inokulan campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki pengaruh untuk meminimalisir kehilangan BK karena inokulan S. cerevisiae yang merupakan mikroorganisme yang bersifat facultative anaerob , memanfaatkan oksigen pada fase awal ensilage. Oksigen yang telah digunakan oleh S. cerevisiae menjadikan fase arobik berganti menjadi fase anaerobik. Pada fase anaerobik L. plantarum akan menjadi dominan untuk menghasilkan asam laktat. Populasi L. plantarum yang dominan dalam tumpukan silase akan menghambat pertumbuhan mikrobia pembusuk dan patogen. Kehilangan BK pada silase tidak dapat terhindarkan, hal ini dipengaruhi oleh beberapa proses yaitu: 1) respirasi yang terjadi pada tanaman yang dapat mengaktifkan enzim tanaman itu sendiri yang menyebabkan 1 - 2% kehilangan BK, 2) proses fermentasi mikrobia menyebabkan kehilangan BK sebesar 2 – 4%, 3). Proses pengangin-anginan menyebabkan kehilangan BK 2 – lebih dari 7%, 4). Proses fermentasi sekunder menyebabkan kehilangan BK lebih dari 5%, 5). Kebocoran selama penyimpanan menyebabkan kehilangan BK 10%, 6). Kondisi ketika pengeluaran produk silase menyebabkan kehilangan BK lebih dari 15% (McDonald et al., 2010).
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 43
Penggunaan jenis inokulan yang digunakan pada kulit buah kakao fermentasi menghasilkan kandungan bahan kering yang berbeda pula. Nelson dan Suparjo (2011), melaporkan bahwa kehilangan BK kakao fermentasi menggunakan P.chrysosporium yaitu sekitar 5,24 – 10,96%. Aktivitas mikroba selama proses fermentasi menyebabkan perubahan komponen biomasa kulit buah kakao. Perubahan yang paling sering terjadi adalah kehilangan bahan kering dan bahan organik. Perbedaan penurunan kandungan bahan kering dapat terjadi karena dua faktor yaitu faktor fisik dan faktor kimia. Perubahan jumlah biomasa kapang dalam substrat merupakan faktor fisik yang menyebabkan perubahan bahan kering. 2. Perubahan kandungan bahan organik Kandungan bahan organik (BO) silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Inokulasi L.plantarum pada silase kulit buah kakao memiliki perbedaan yang tidak nyata pada kandungan bahan organik silase terhadap silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulan. Hal ini sesuai Adesoji et al. (2010), melaporkan bahwa penggunaan L.plantarum pada silase rumput benggala (P. maximum) dengan lama inkubasi 15 hari memiliki kandungan bahan organik yang tidak berbeda dengan silase tanpa penambahan inokulan. Silase kulit buah kakao pada inokulasi S. cerevisiae memiliki kandungan BO yang lebih tinggi dibandingkan silase tanpa inokulan. Biomassa pertumbuhan S.cerevisiae dapat mempengaruhi kandungan BO silase kulit buah kakao. Inokulasi S.cerevisiae, maupun campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi karena
44 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
terjadinya autolisis dari S.cerevisiae, autolisis ini dapat disebabkan karena kurangnya nutrisi sumber nitrogen, dan derajat keasaman yang dihasilkan asam laktat. Kehilangan BO silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi L.plantarum memiliki nilai kehilangan BO yang lebih rendah dibandingkan silase tanpa inokulan. Hal ini karena L. plantarum pada fase anaerob akan menghasilkan asam laktat dan bakteriosin yang berperan menghambat mikrobia pembusuk dan patogen dalam menggunakan BO kulit buah kakao. Kehilangan BO pada silase kulit buah kakao pada inokulasi S. cerevisiae memiliki perbedaan yang tidak nyata dibanding silase tanpa inokulan. Bahan organik substrat akan digunakan oleh inokulan untuk pertumbuhan, bahan organik menjadi sumber karbon utama untuk mikroorganisme heteretrof. Inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae cukup efektif untuk meminimalisir kehilangan BO silase kulit buah kakao, hal ini ditunjukkan dengan dengan nilai kehilangan BO terendah dibandingkan silase tanpa inokulan dan perlakuan yang lain. Kulit buah kakao fermentasi yang menggunakan jamur, memiliki karakteristik kandungan bahan organik yang lebih rendah dibandingkan kulit buah kakao tanpa fermentasi. Hal ini sesuai Alemawor et al. (2009), menyatakan kulit buah kakao fermentasi menggunakan inokulan P. ostreatus memiliki kandungan bahan organik yang lebih rendah dibandingkan kulit buah kakao tanpa fermentasi.
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 45
3. Perubahan kandungan serat kasar Kandungan serat kasar (SK) silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang cendrung nyata (Lihat Lampiran 15. Analisis statistika komposisi kimia). Inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae cendrung memiliki kandungan serat kasar yang lebih rendah dibandingkan perlakuan tanpa inokulan dan inokulasi L. plantarum. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Zakariah (2014), melaporkan inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae pada silase kulit buah kakao memiliki kandungan NDF sekitar 36,84%, lebih rendah dibandingkan dengan L.plantarum (45,72%), S. cerevisiae (41,71%), serta tanpa penggunaan inokulan (46,37%). Oboh (2006), melaporkan bahwa inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae menurunkan serat kasar pada kulit ubi fermentasi hingga 6,4%. Inokulan S. cerevisiae memilki potensi untuk menkonversi selobiosa menjadi etanol sekitar 0,40 – 0,47 g etanol/g selobiosa (Koesnandar, 2001). Inokulan S. cerevisiae memiliki potensi untuk menghasilkan enzim glukosidase untuk menghidrolisis selubiosa, tetapi tidak memiliki enzim eksoglukanase dan endoglukanase sehingga akan sulit untuk menghidrolisis selulosa kulit buah kakao. Apalagi fraksi dinding sel kulit buah kakao memiliki karakteristik yang sulit terdegradasi karena selulosa dan hemiselulosa terikat kuat dengan lignin. Kandungan SK silase kulit buah kakao dengan inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae yang cendrung lebih rendah dibandingkan silase kulit buah kakao tanpa inokulan dan inokulasi L. plantarum diduga karena adanya peningkatan yang cukup tinggi pada fraksi bahan ekstrak tanpa nitrogen.
46 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Perubahan kandungan SK silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Penggunaan teknologi silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan secara umum pada penelitian ini menaikkan kandungan SK dibandingkan kandungan SK pada awal silase. Kenaikan secara umum dipengaruhi oleh jenis inokulan yang digunakan, inokulan L. plantarum dan S. cerevisiae umumnya menggunakan nutrien yang berasal dari fraksi isi sel. Hal ini menjadikan persentase fraksi dinding sel akan meningkat. Hasil berbeda dilaporkan oleh Haghparvar et al. (2012), bahwa penggunaan L. plantarum pada silase jagung dengan stage of maturity yang berbeda menjadikan kandungan NDF turun. McDonald (1981), menyatakan bahwa selama proses silase juga terjadi beberapa hidrolisis terhadap hemiselulosa, membebaskan sejumlah gula pentosa (xylosa dan arabinosa), yang difermentasi menjadi laktat dan asan asetat oleh berbagai jenis bakteri asam laktat. Syahrir et al. (2013), melaporkan bahwa interaksi inokulan campuran Phanerochaeta chrysosporium (8 g/kg) dan Pleurotus ostreatus (15 g/kg) dapat menurunkan serat kasar kulit buah kakao fermentasi menjadi 33,1% lebih rendah dibandingkan kulit buah kakao tanpa fermentasi yaitu sekitar 44%. Selanjutnya dikatakan bahwa enzim ligninase yang dapat dihasilkan oleh 2 inokulan tersebut dapat mendegradasi lignin yang merupakan salah satu fraksi dinding sel tanaman. 4. Perubahan kandungan protein kasar Kandungan protein kasar (PK) silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan tidak nyata. Perubahan kandungan PK silase kulit
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 47
buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi L.plantarum berbeda nyata dibandingkan silase tanpa inokulan. Perubahan kandungan PK silase kulit buah kakao dengan penggunaan L. plantarum menujukkan peningkatan dibandingkan perlakuan yang lain. Selama proses silase, persentase kandungan nutrien lain akan berkurang, sehingga memiliki pengaruh terhadap kenaikan persentase kandungan PK silase kulit buah kakao. Contreras-Govea (2013), menyatakan inokulasi L. plantarum sebagai silage additive pada tanaman alfalfa dapat mengurangi degradasi protein dibandingkan silase kontrol selama ensilage, penambahan inokulan juga dapat meningkatkan microbial biomass yield sebanyak 47,3 mg/ 100mg TDM. Kenaikan PK pada silase kulit buah kakao pada inokulasi L. plantarum dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan biomassa dari mikrobia. Mairizal (2009), adanya kenaikan kandungan PK merupakan kontribusi dari inokulan mikrobia berupa protein sel tunggal. Hal ini sesuai dengan Kompiang et al. (1994), bahwa peningkatan kandungan PK juga disebabkan oleh pertumbuhan inokulan yang optimal dalam memanfaatkan nutrisi yang terdapat pada substrat. Kenaikan PK silase kulit buah kakao pada inokulasi S. cerevisiae maupun inokulan campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki perbedaan yang tidak nyata dibanding silase tanpa inokulan. Lama fermentasi dan dosis inokulan dapat menjadi faktor terjadinya fluktuasi kenaikan dan penurunan kandungan PK silase kulit buah kakao. Hal ini sesuai Adenipekun dan Dada (2013), melaporkan bahwa kulit buah kakao fermentasi dengan penambahan P. pulmonaris dengan
48 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
variasi lama inkubasi memberikan hasil kandungan protein kasar yang fluktuatif. Syahrir et al. (2013), melaporkan peningkatan level inokulan campuran Phanerochaeta chrysosporium dan Pleurotus ostreatus pada kulit buah kakao fermentasi diikuti dengan adanya peningkatan protein kasar. 5. Perubahan kandungan ekstrak eter Kandungan ekstrak eter (EE) silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Inokulasi L. plantarum memiliki perbedaan yang tidak nyata terhadap kandungan EE dibandingkan dengan silase tanpa inokulan. Inokulan L. plantarum memiliki potensi untuk menghasilkan enzim lipase, tetapi tidak cukup tinggi untuk dapat mempengaruhi kandungan EE silase kulit buah kakao. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Van Ranst et al. (2009), proses Lipolisis yang terjadi pada silase Trifolium pretens (red clover) dengan penggunaan L. plantarum yaitu sekitar 60% lebih tinggi dibandingkan dengan silase dengan penambahan asam format yaitu sekitar 48%. Silase kulit buah kakao pada inokulasi S. cerevisiae memiliki kandungan EE yang rendah dibandingkan dengan silase tanpa inokulan. Potensi untuk menghasilkan enzim lipase oleh S. cerevisiae cukup tinggi, sehingga menjadikan kandungan EE silase menjadi rendah. Potensi lipolitik yang dimiliki oleh S. cerevisiae lebih tinggi dibandingkan L. plantarum, hal ini dapat dilihat dari perbandingan kandungan EE dengan penggunaan L. plantarum sebesar 0,71% ± 0,351, S.cerevisiae 0,32% ± 0,230 dibandingkan dengan silase kontrol tanpa penambahan inokulan sebesar 0,87% ± 0,15. Perubahan kandungan EE silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 49
nyata (P<0,05). Perubahan kandungan EE pada silase kulit buah kakao dengan penggunaan L. plantarum memiliki perbedaan yang tidak nyata dibandingkan silase tanpa inokulan. Silase kulit buah kakao dengan penggunaan L. plantarum dan tanpa inokulan secara umum meningkatkan kandungan EE, jika dibandingkan dengan kandungan EE pada fase awal silase, meningkatnya kandungan EE dapat disebabkan dapat berasal dari single cell oil. Hal ini sesuai dengan Kurniati et al. (2012), yang melaporkan bahwa proses fermentasi modified cassava flour menggunakan L. plantarum dan R. oryzae mempengaruhi kenaikan kadar lemak kasar dengan bertambah lamanya fermentasi. Akindumila dan Glatz (1998), menyatakan bahwa kenaikan kadar lemak selama fermentasi karena mikroorganisme dapat memproduksi minyak mikrobia. Wynn dan Retladge (2005), menyatakan bahwa minyak yang dihasilkan disebut sebagai single cell oil (SCO) yang merupakan eufemisme mirip dengan single cell protein yang biasa digunakan untuk menujukkan protein berasal dari mikroorganisme tunggal. Perubahan kandungan EE dengan penggunaan S. cerevisiae mempengaruhi penurunan kandungan EE dibandingkan silase tanpa inokulan. Enzim lipase yang dihasilkan oleh S. cerevisiae berfungsi untuk merombak lemak untuk dijadikan sumber energi. Hasil ini sesuai dengan Umiyasih & Anggraeny (2008), melaporkan bahwa semakin lama masa fermentasi ampas pati aren menggunakan S. cerevisiae menjadikan kandungan EE semakin rendah. Inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae mempengaruhi penurunan kandungan EE dibandingkan silase tanpa inokulan. Penurunan EE akan berdampak pada adanya peningkatan kandungan bahan nitrogen ekstrak tanpa nitrogen, yang berasal dari hidrolisis EE. Penurunan kandungan EE
50 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
dengan penggunaan inokulan campuran cukup efektif, hal ini ditunjukkan dengan penurunan kandungan EE yang terendah. Fapohunda dan Afolayan (2012), melaporkan bahwa kulit buah kakao yang difermentasi memiliki kandungan lipid yang lebih rendah dibandingkan dengan kulit buah kakao tanpa fermentasi. 6. Perubahan kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen Kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Kandungan BETN silase kulit buah kakao pada inokulasi L. plantarum, S. cerevisiae memiliki perbedaan yang tidak nyata dibanding silase tanpa inokulan. Silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki nilai kandungan BETN yang lebih tinggi dibandingkan dengan silase tanpa inokulan. Penambahan tepung gaplek sebanyak 20% pada semua perlakuan memiliki pengaruh terhadap kandungan ETN silase kulit buah kakao. Isnandar (2011), menyatakan bahwa penambahan gula terlarut seperti molases pada pembuatan silase yang kurang mengandung gula terlarut sangat berpengaruh pada penurunan kandungan BETN dalam silase. Perubahan BETN silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi L.plantarum memiliki nilai kehilangan BETN yang lebih rendah dibandingkan silase tanpa inokulan. Inokulan L. plantarum akan menggunakan BETN kulit buah kakao untuk diubah menjadi asam laktat, setelah asam laktat cukup pada silase maka proses penggunaan nutrien BETN akan terhenti. Silase kontrol yang memiliki populasi mikroorganisme yang beragam akan menggunakan BETN sebagai sumber energinya, BETN
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 51
merupakan sumber utama nutrien mikroorganisme karena BETN merupakan fraksi mudah larut pada kulit buah kakao. Silase kulit buah kakao pada inokulasi S. cerevisiae memiliki kehilangan BETN yang berbeda tidak nyata dengan silase tanpa inokulan. Inokulan S. cerevisiae menggunakan BETN cukup besar pada fase aerob, sehingga kandungan BETNnya tidak berbeda dengan silase tanpa inokulan. Inokulasi campuran L.plantarum dan S. cerevisiae memiliki kehilangan BETN terendah dibandingkan silase kontrol dan perlakuan yang lain. Interaksi sinergitas antara L. plantarum dan S. cerevisiae menjadikan kehilangan BETN menjadi efektif, S. cerevisiae menjadi agen pengguna oksigen dan mengeluarkan bioaktif oxylipin sehingga dapat menekan mikroorganisme pada fase aerob silase, setelah oksigen yang terdapat pada tumpukan silase kulit buah kakao telah habis maka L. plantarum akan memulai pertumbuhan dan produksi asam laktat. B. Komposisi Bahan Kering dan Bahan Organik Silase Kulit Buah Kakao Data komposisi kimia BK dan BO silase kulit buah kakao tercantum pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi kimia bahan kering dan organik silase kulit buah kakao Perlakuan
Parameter Kontrol
Lp a
Sc bc
Lp + Sc ab
c Kandungan BK 20,38 ± 0,344 22,19 ± 1,306 21,12 ± 0,045 22,66 ± 0,495 (%BK) BO 93,72 ± 0,243a 93,83 ± 0,105a 94,37 ± 0,357b 94,43 ± 0,261b
52 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Kehilangan BK (%BK) BO
4,30 ± 0,344c
2,49 ± 1,311ab
3,57 ± 0,051bc 2,02 ± 0,495a
4,25 ± 0,281c
2,48 ± 1,292ab
3,44 ± 0,068bc 1,95 ± 0,461a
a, b dan c
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Lp (L. plantarum), Sc (S. cerevisiae). 1. Perubahan kandungan bahan kering Kandungan BK silase kulit buah kakao dengan penambahan inokulum dan tanpa penambahan inokulum memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05). Penggunaan inokulum L. plantarum secara tunggal maupun inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki kandungan BK yang lebih tinggi dibandingkan silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulum. Jatkauskas dan Vrotniakiene (2011), menyatakan bahwa silase yang diinokulasikan menggunakan campuran beberapa bakteri asam laktat akan memiliki karakteristik kandungan BK yang lebih tinggi dibandingkan dengan silase tanpa inokulasi. Hasil yang berbeda dilaporkan Irwana et al. (2002), bahwa penambahan bakteri asam laktat pada silase rumput gajah tidak memiliki perbedaan yang nyata pada kandungan BK silase terhadap silase kontrol yang hanya menggunakan molases tanpa penambahan inokulum. Silase Kulit Buah Kakao pada semua perlakuan pengolahan dan kontrol ditambahkan tepung gaplek sebanyak 20%, sehingga kandungan BK silase sebelum proses silase sekitar 24,69%. Penambahan bahan pakan yang kaya akan sumber karbohidrat terlarut dan BK yang tinggi, bertujuan untuk sumber karbohidrat terlarut sebagai nutrien tumbuh BAL, serta peningkatan kandungan BK pada awal silase. Tepung gaplek memiliki potensi sebagai bahan pakan yang ditambahkan pada
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 53
kulit buah kakao yang akan dibuat silase. Tepung gaplek memiliki kandungan BK yang tinggi, kandungan karbohidrat terlarut cukup tinggi, dan kandungan protein yang rendah menjadikan tepung gaplek sangat sesuai dalam upaya peningkatan kandungan BK. Kandungan protein yang cukup rendah dibandingkan pollard dan dedak halus, menjadikan tingkat buffering capacity yang dihasilkan oleh tepung gaplek pada silase akan lebih rendah dibandingkan pollard dan dedak halus. Silase kulit buah kakao dengan inokulasi L. plantarum secara tunggal memiliki kandungan BK yang lebih tinggi dibandingkan silase kulit buah kakao kontrol. Kemampuan L. plantarum memproduksi asam laktat menjadikan derajat keasaman (pH) menjadi rendah, kecepatan memproduksi asam laktat dan bakteriosin sebagai zat anti mikrobia menjadikan pertumbuhan kapang dan Clostridia terhambat. Pertumbuhan Clostrdia dan kapang yang terhambat menjadikan kandungan bahan kering tidak digunakan oleh kedua mikroorganisme pembusuk tersebut, sehingga kandungan BK silase kulit buah kakao dengan inokulasi L. plantarum memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan silase kontrol. Silase kulit buah kakao dengan inokulasi S. cerevisiae secara tunggal memiliki kandungan BK yang tidak berbeda secara nyata terhadap kandungan BK silase kontrol. Hal ini karena S. cerevisiae tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi asam laktat dalam upaya menurunkan derajat keasaman. Saccharomyces cerevisiae yang merupakan jenis khamir, membutuhkan nutrien yang lebih besar dibandingkan BAL dalam melakukan aktivitas metabolismenya. Aktivitas amiloglukosidase yang dihasilkan oleh S. cerevisiae akan
54 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
menggunakan amilosa pada silase kulit buah kakao untuk merubahnya menjadi glukosa, lalu menggunakan glukosa untuk menghasilkan energi untuk pertumbuhannya. Inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae yang diinokulasikan pada silase kulit buah kakao memiliki kandungan BK yang lebih tinggi dibandingkan silase kontrol. Adanya penggunaan L. plantarum pada inokulum campuran menjadikan adanya aktivitas untuk memproduksi asam laktat, inokulum S. cerevisiae yang digunakan secara bersamaan dengan L. plantarum berperan sebagai pengguna oksigen, oksigen yang digunakan oleh S. cerevisiae untuk metabolismenya menjadikan kondisi di dalam silo menjadi anaerob, kondisi anaerob yang tercapai menyebabkan L. plantarum dapat memproduksi asam laktat. Pertumbuhan inokulum L. plantarum dan S. cerevisiae yang terjadi selama proses ensilage tentunya membutuhkan nutrisi. Perombakan BK substrat yang akan digunakan sebagai sumber energi atau bahan pembentuk sel baru menyebabkan kandungan bahan kering yang bersumber dari pakan akan turun. Penggunaan gaplek sebagai bahan aditif silase hingga 20% bertujuan untuk meningkatkan bahan kering silase, tepung gaplek yang mengandung karbohidrat terlarut yang cukup tinggi akan digunakan oleh S. cerevisiae dalam proses metabolisme aerobiknya yang menjadikan oksigen sebagai aseptor elektron terakhir mengakibatkan fase anaerob pada proses silase dapat tercapai. Surono et al. (2006), menyatakan bahwa peningkatan level akselarator seperti gaplek diduga memacu aktivitas fermentasi sehingga menyebabkan produksi air menurun, penurunan kadar air selama ensilage menyebabkan kandungan BK silase meningkat.
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 55
Kehilangan BK pada silase kulit buah kakao antar perlakuan dan kontrol memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05). Penggunaan inokulum L. plantarum secara tunggal memiliki kehilangan BK yang lebih rendah dibandingkan silase kontrol. Inokulum L. plantarum memiliki nilai kehilangan BK yang rendah karena dapat memproduksi asam laktat, asam laktat yang diproduksi akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen yang dapat menggunakan BK substrat. Selain itu, L. plantarum memproduksi bakteriosin yang dapat menekan kehilangan BK substrat melalui aktivitas bakterisidal dan bakteriostatik terhadap mikroorganisme pembusuk. Ratnakomala et al. (2006), menyatakan bahwa penambahan 0,1% L. plantarum dan 3% dedak halus pada silase rumput raja secara nyata menyebabkan penurunan kandungan bahan kering 1,73% hingga 2%. Hal yang berbeda dilaporkan oleh Irwanto (2007), menyatakan bahwa silase jerami jagung yang menggunakan 1% inokulum bakteri asam laktat NWD 033 memiliki kandungan bahan kering yang tidak berbeda nyata dengan silase jerami jagung tanpa penambahan inokulum. Penambahan S. cerevisiae pada silase kulit buah kakao memiliki perbedaan yang tidak nyata terhadap kandungan BK silase kulit buah kakao kontrol. Silase kulit buah kakao kontrol yang mengandung variasi populasi mikoorganisme yang beragam seperti Clotrdia, Enterobacteria dan kapang menggunakan BK kulit buah kakao dalam jumlah yang cukup banyak. Saccharomyces cerevisiae merupakan fungi jenis khamir yang dalam metabolisme aerobiknya menggunakan nutrien yang cukup banyak pula. Umiyasih dan Anggraeny (2008), melaporkan penambahan S. cerevisiae hingga 8% dengan lama fermentasi tiga hari tidak secara nyata memberikan
56 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
pengaruh terhadap kandungan bahan kering ampas aren fermentasi. Kehilangan BK silase kulit buah kakao dengan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae lebih rendah dibandingkan silase kulit buah kakao kontrol. Interaksi sinergitas inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae tercapai, hal ini ditunjukkan kehilangan BK silase kulit buah kakao terendah. Kehilangan BK pada silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulum berpotensi lebih besar dibandingkan dengan silase kulit buah kakao dengan penambahan inokulum, karena alaminya hijauan ataupun limbah perkebunan yang akan dijadikan silase mengandung beberapa mikroorganisme seperti bakteri asam laktat, khamir, Clostridia, Enterobacter, dan lainlain. Mikroorganisme aerobik tersebut menggunakan nutrien untuk dikonversi menjadi CO2, H2O, dan panas. Apabila respirasi berlanjut maka akan terjadi perombakan karbohidrat dan protein sehingga menjadikan kualitas silase menjadi rendah. McDonald et al. (2002), menyatakan bahwa kehilangan bahan kering pada silase disebabkan oleh aerob (terpapar oksigen) dan kandungan air yang cukup tinggi. 2. Perubahan kandungan bahan organik Kandungan BO silase kulit buah kakao dengan penambahan inokulum dan tanpa penambahan inokulum memiliki hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao dengan penambahan L. plantarum memiliki perbedaan yang tidak nyata terhadap silase kulit buah kakao kontrol. Syamsuddin et al. (2004), menyatakan bahwa penambahan bakteri asam laktat pada silase rumput gajah menghasilkan pH yang rendah sekitar 4,2 tetapi memiliki kandungan karbohidrat terlarut yang relatif
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 57
sama. Hadi (2006), melaporkan bahwa tidak terdapat pengaruh penambahan inokulum bakteri asam laktat 1% serta penambahan dedak halus 1% terhadap kandungan BO silase rumput gajah. Silase kulit buah kakao dengan penambahan S. cerevisiae memiliki kandungan BO yang lebih tinggi dibandingkan silase kontrol dan silase dengan penambahan L. plantarum. Kandungan BO yang lebih tinggi dibandingkan silase kontrol dan silase dengan penambahan L. plantarum menunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan S. cerevisiae setelah proses inokulasi dilakukan, pertumbuhan S. cerevisiae ditandai dengan adanya peningkatan kandungan BO. Kandungan BO yang meningkat berasal dari total biomassa S. cerevisiae. Silase kulit buah kakao dengan penambahan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki kandungan BO yang lebih tinggi dibandingkan silase kontrol dan silase dengan penambahan L. plantarum. Kandungan BO yang lebih tinggi disebabkan adanya inokulasi S. cerevisiae yang dikombinasikan dengan L. plantarum. Kehilangan BO antara perlakuan dan kontrol memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05). Penggunaan inokulum L. plantarum secara tunggal pada silase kulit buah kakao memiliki nilai kehilangan BO yang lebih rendah dibandingkan silase kontrol. Kehilangan BO yang cukup besar pada silase kontrol disebabkan karena mikroorganisme pembusuk yang bersifat aerob akan menggunakan BO kulit buah kakao dalam proses metabolismenya. Hidayatik et al. (2012), bahwa penambahan bakteri L. plantarum 0,3% pada pembuatan silase pucuk tebu menurunkan kandungan bahan organik sebesar 0,3% dibandingkan kontrol.
58 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Kehilangan BO yang cukup besar pada silase kontrol karena populasi mikoorganisme yang beragam. Penggunaan nutrien antar inokulum (bakteri dan jamur) pasti berbeda, inokulum jenis jamur akan membutuhkan nutrien yang lebih besar dibandingkan inokulum bakteri sehingga penurunan kandungan BO pada silase dengan inokulasi jamur biasanya lebih tinggi dibandingkan penurunan BO silase yang menggunakan inokulum bakteri. Perbedaan penggunaan nutrien antara bakteri anaerob dan aerob juga terjadi, produk akhir yang dihasilkan juga akan berbeda, bakteri anaerob akan menghasilkan produk akhir berupa BO (seperti L. plantarum menghasilkan asam laktat), sedangkan bakteri aerob akan mengkonversi nutrien menjadi CO2, H2O, panas, dan energi. Silase kulit buah kakao dengan penambahan S. cerevisiae memiliki kehilangan BO yang tidak berbeda nyata terhadap kehilangan BO silase kontrol. Kehlangan BO yang cukup besar pada silase dengan penambahan S. cerevisiae dipengaruhi bahwa terdapat sumber karbohidrat terlarut yang berasal dari tepung gaplek yang ditambahkan pada saat sebelum proses silase. Kebutuhan BO yang cukup banyak oleh S. cerevisiae akan menjadikan nutrien terlarut yang tersedia pada fase aerob akan digunakan untuk pertumbuhannya, kebutuhan BO S. cerevisiae yang cukup banyak ditunjukkan dengan kehilangan BO pada silase kulit buah kakao dengan penambahan S. cerevisiae. Penggunaan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki nilai kehilangan bahan organik terendah yaitu 1,95%. Kehilangan BO silase kulit buah kakao menggunakan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae berbeda nyata terhadap silase kulit buah kakao yang menggunakan inokulum S. cerevisiae dan tanpa penambahan
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 59
inokulum yang masing-masing memiliki nilai kehilangan BO yaitu 3,44% dan 4,25%. Fungsi S. cerevisiae sebagai agen pengguna oksigen untuk mencapai kondisi anaerob, sehingga L. plantarum dapat memproduksi asam laktat. Inokulum S. cerevisiae pada perlakuan tunggal mengalami kehilangan BO yang cukup besar karena kebutuhan nutrien untuk metabolismenya yang cukup banyak pula selama fase aerob, tetapi setelah dikombinasikan dengan Inokulum L. plantarum terlihat terdapat penurunan kehilangan BO, hal ini menunjukkan bahwa kondisi anaerob yang cepat tercapai menjadikan L. plantarum dapat melakukan proses fermentasi, sehingga kehilangan BO silase kulit buah kakao yang diinokulasi inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan BO silase kulit buah kakao yang hanya ditambahkan S. cerevisiae secara tunggal dan tanpa penambahan inokulum. C. Komposisi Fraksi Serat Silase Kulit Buah Kakao Fraksi serat berupa neutral detergent fiber (NDF) dan acid detergent fiber (ADF) diketahui dapat mempengaruhi kualitas suatu bahan pakan, sehinnga penting untuk mengetahui kandungannya. Kandungan fraksi serat silase kulit buah kakao tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi fraksi serat silase kulit buah kakao Perlakuan
Parameter (%BK) NDF
Kontrol
Lp
46,37 ± 1,395b 45,72 ± 1,660b
Sc
Lp + Sc
41,71 ± 4,666ab 36,84 ± 4,716a
60 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
ADF a, b
30,07 ± 1,177b 28,99 ± 1,113b
27,22 ± 1,559b 23,48 ± 1,896a
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Lp (L. plantarum), Sc (S. cerevisiae).
1. Kandungan neutral detergent fiber Neutral detergent fiber merupakan fraksi dinding sel yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa dan protein yang berikatan dengan dinding sel. Bagian yang tidak terdapat pada NDF dikenal sebagai neutral detergent soluble (NDS) yang merupakan fraksi isi sel. Fraksi yang termasuk dalam NDS adalah lipid, gula, asam organik, non protein nitrogen, pektin, protein terlarut dan bahan terlarut dalam air lainnya. Kandungan NDF silase kulit buah kakao dengan menggunakan inokulum dan tanpa inokulum memiliki hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Penggunaan inokulum L. plantarum secara tunggal pada silase kulit buah kakao memiliki perbedaan yang tidak nyata terhadap kandungan NDF silase kulit buah kakao kontrol. Hal ini karena L. plantarum tidak memiliki potensi untuk menghasilkan enzim ekstraseluler ataupun intraseluler untuk merengganggkan dan mengurai fraksi dinding sel tanaman. Penggunaan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki kandungan NDF silase kulit buah kakao terendah dibandingkan silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulum (kontrol). Interaksi yang terjadi pada penggunaan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae menghasilkan kandungan NDF terendah dibandingkan perlakuan dan kontrol. Kandungan NDF yang rendah menujukkan bahwa terdapat interaksi antar kedua inokulum tersebut. Fungsi L. plantarum
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 61
yang dapat memproduksi asam laktat sehingga menurunkan derajat keasaman silase, sedangkan S. cerevisiae menjadi agen pengguna oksigen, serta dapat memproduksi selubiose dan menstimulasi pertumbuhan bakteri selulolitik menjadikan fraksi dinding tanaman merenggang dan teruarai. Menurut Medina et al. (2002); Chaucheyras-Durand dan Fonty (2001), menyatakan bahwa penggunaan S. cerevisiae dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri selulolitik. Menurut McDonald et al. (1991); Moran, (1996), menyatakan bahwa derajat keasaman yang rendah akan merombak fraksi NDF. Fungsi yang dimiliki oleh kedua inokulum tersebut menjadikan kandungan NDF silase kulit buah kakao yang dihasilkan memiliki nilai terendah. Penggunaan jenis inokulum yang ditambahkan pada kulit buah kakao akan menghasilkan nilai yang berbeda pula. Penggunaan inokulum seperti jamur lignolitik P.chyrososporium sebagai penghasil ligninase, enzim ligninase yang diproduksi oleh jamur tersebut dapat mendegradasi salah satu fraksi dinding sel tanaman yaitu lignin, penurunan kadar lignin menjadikan kadar NDF dan ADF kulit buah kakao turun. Suparjo et al. (2011), melaporkan penggunaan jamur lignin P. chyrososporium dengan lama fermentasi 25 hari memiliki pengaruh untuk menurunkan kandungan NDF kakao fermentasi (NDF kakao sebelum fermentasi yaitu 61,38%) menjadi 57,29%. 2. Kandungan acid detergent fiber Fraksi ADF mewakili selulosa dan lignin dinding sel tanaman. Analisis ADF dibutuhkan untuk evaluasi kualitas serat untuk pakan ternak ruminansia dan herbivora lain. Selisih antara NDF dan ADF adalah persentase kandungan hemiselulosa.
62 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Hemiselulosa adalah polisakarida yang mempunyai tingkat kecernaan lebih baik dibanding selulosa dan lignin. Hasil silase kulit buah kakao memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase dengan penambahan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki kandungan fraksi ADF yang lebih rendah dibandingkan silase kulit buah kakao dengan penambahan L. plantarum dan tanpa penambahan inokulum, serta dengan penambahan S. cerevisiae. Penurunan kandungan ADF yang lebih rendah dengan penggunaan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae dapat disebabkan adanya proses sekresi enzim dari inokulum campuran ke fraksi dinding sel. Oboh (2006), melaporkan bahwa penggunaan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae menurunkan serat kasar pada kulit ubi fermentasi hingga 6,4%. Perubahan fraksi ADF pada suatu bahan pakan dapat terlihat jelas dengan penambahan jamur yang dapat menghasilkan enzim ligninase. Alemawor et al. (2009), menyatakan bahwa penggunaan jamur lignin Pleurotus ostreatus dengan suplementasi mineral MnCl2 dapat menurunkan kadar selulosa dan lignin sampai 26,34 dan 23,54%. Penurunan kadar lignin pada kulit buah kakao fermentasi karena Pleurotus ostreatus memiliki potensi untuk menghasilkan enzim ligninase seperti lakkase dan peroksidase. Suplementasi Mineral Mn2+ sangat penting, karena merupakan penyusun dari enzim ligninase tersebut. Suparjo et al. (2009), menyatakan bahwa penggunaan P. chyrososporium dapat mempengaruhi rasio selulosa lignin kulit buah kakao fermentasi. Lama fermentasi 10 hari dan suplementasi mineral mangan pada kulit buah kakao biofermentasi menghasilkan kandungan lignin terkecil sebesar 25,08%, selulosa sebesar
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 63
31,79%, sehingga menghasilkan rasio selulosa dan lignin terbesar yaitu 1,29. Penurunan ADF ataupun fraksi serat lainnya dapat mempengaruhi kecernaan bahan pakan di dalam rumen. Imsya dan Palupi (2009), menyatakan bahwa penurunan kandungan NDF, ADF, dan lignin merupakan indikasi yang positif. Semakin rendah kandungan NDF, ADF, dan lignin dalam suatu bahan pakan maka akan meningkatkan nilai kecernaan. D. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara In Vitro Data kecernaan BK dan BO in vitro silase kulit buah kakao ditampilkan pada Tabel 6, sedangkan analisis statistik terdapat pada Lampiran. Tabel 6. Kecernaan bahan kering dan bahan organik silase kulit buah kakao Parameter (%BK)
Silase K0
KLp
KSc
KLp + Sc
Kecernaan BK
ns
72,85 ± 1,52 73,72 ± 0,84 75,06 ± 1,69 76,26 ± 2,51
Kecernaan BO
ns
69,73 ± 1,35 70,61 ± 1,13 70,71 ± 1,59 71,48 ± 1,67
ns
Non significant
1. Kecernaan Bahan Kering Silase Kulit Buah Kakao Kecernaan BK silase kulit buah kakao dengan penambahan inokulan dibandingkan tanpa penambahan inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Kecernaan BK silase kulit buah kakao dipengaruhi oleh kandungan SK, kandungan SK yang memiliki perbedaan yang tidak nyata menjadikan kecernaan BK memiliki perbedaan yang tidak nyata antar perlakuan. Imsya dan
64 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Palupi (2009), menyatakan bahwa semakin rendah kandungan NDF, ADF, dan lignin dalam suatu bahan pakan maka akan meningkatkan nilai kecernaan. Kandungan lignin yang cukup tinggi dalam SK dapat menghambat degradasi BK di dalam rumen, hemiselulosa dan selulosa yang terikat cukup kuat pada lignin dapat menurunkan kecernaan BK silase kulit buah kakao. Puastuti et al. (2008), menyatakan bahwa ikatan lignin pada kulit buah kakao tidak peka terhadap amoniasi, diduga karena kulit buah kakao mengandung ester yang rendah dan gugus methoxyl yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumput-rumputan. Jung et al. (1996), menyatakan bahwa ternak ruminansia dapat mencerna 40 – 70 % BK di dalam dinding sel, nilai ini sangat bervariasi 20 -40% untuk tanaman leguminosa dan 50 -80% untuk tanaman rumput-rumputan. Hasil kecernaan BK silase kulit buah kakao kontrol dan perlakuan dengan inokulasi L. plantarum dan S. cerevisiae lebih dari yang dilaporkan oleh Sianipar dan Simanihuruk (2009), kecernaan silase kulit buah kakao yang mengandung 30% BK kulit buah kakao memiliki nilai kecernaan BK sekitar 49%. Suryani (2013), melaporkan kecernaan silase kulit buah kakao yang mengandung 40% BK kulit buah kakao memiliki nilai kecernaan BK sekitar 70,94%. Hasil yang berbeda dipengaruhi oleh adanya penambahan tepung gaplek pada kontrol dan perlakuan, yang menyebabkan kecernaan BK silase kulit buah kakao diatas beberapa literatur. 2. Kecernaan bahan organik silase kulit buah kakao Kecernaan BO silase kulit buah kakao dengan penambahan inokulan dan tanpa penambahan inokulan menunjukkan
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 65
perbedaan yang tidak nyata. Inokulasi L.plantarum dan S. cerevisiae tidak memiliki pengaruh terhadap kecernaan BO. Perubahan kandungan BETN dengan adanya penggunaan inokulan pada silase kulit buah kakao belum dapat mempengaruhi kecernaan BO. Kecernaan BO yang tidak nyata antar perlakuan mengikuti Kecernaan BK yang tidak nyata, hal ini karena BO adalah bagian dari BK. Kecernaan BO silase kulit buah kakao yang tidak nyata dipengaruhi oleh kandungan SK yang tidak nyata. Kandungan SK merupakan faktor pembatas kualitas sebuah bahan pakan, semakin rendah SK suatu bahan pakan akan meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut. Van Soest (1994), fraksi serat pada suatu bahan pakan mengandung lignin yang menjadi faktor penghambat dalam proses kecernaan BO. Hasil kecernaan BO silase kulit buah kakao pada penelitian ini dengan inokulasi L. plantarum dan S. cerevisiae lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Zain (2009), melaporkan bahwa pemberian 50% BK kulit buah kakao pada ransum domba memiliki nilai kecernaan BO 66,76%. Tillman et al. (1998), sebagian besar BO adalah komponen BK sehingga kenaikan kecernaan BK dapat menaikkan kecernaan BO. Silase kulit buah kakao pada penelitian ini memiliki kecernaan BO yang lebih rendah dibandingkan kecernaan BK pada semua perlakuan sesuai dengan Suryani (2013), melaporkan kulit buah kakao fermentasi dalam bentuk complete feed fermentation (terdiri dari 40% BK kulit buah kakao) memiliki kecernaan BO yang lebih rendah (sebesar 66,33%) dari kecernaan BK (sebesar 70,94%) pada domba. Aregheore (2002), menunjukkan bahwa ransum yang terdiri dari 50% BK kulit
66 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
buah kakao memiliki kecernaan BO yang lebih rendah (sebesar 55,3%) dibandingkan kecernaan BK (63,5%) pada kambing. Rendahnya kecernaan BO dibandingkan kecernaan BK pada silase kulit buah kakao dapat dipengaruhi oleh rasio NDF dan ADF. Tingginya fraksi ADF dibandingkan hemiselulosa dapat menjadikan kecernaan BO lebih rendah dibandingkan kecernaan BK. Zakariah (2014), menyatakan bahwa silase kulit buah kakao dengan inokulasi campuran L. plantarum dan S. cerevisiae memiliki fraksi ADF yang lebih tinggi dibandingkan hemiselulosa. Tillman et al. (1998), menyatakan bahwa peningkatan 1% serat kasar dalam tanaman menyebabkan penurunan daya cerna bahan organiknya sekitar 0,7 sampai 1 unit pada ruminansia. E. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Silase Kulit Buah Kakao di dalam Rumen Tingkat kecernaan pakan di dalam rumen penting untuk diketahui untuk mengetahui ketersediaan nutrien yang akan diberikan ke ternak. Kecernaan BK dan BO silase kulit buah kakao disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kecernaan bahan kering dan organik silase kulit buah kakao Perlakuan Parameter (%BK) Kontrol
Lp
Sc
Lp + Sc
Kecernaan BKns
63,73 ± 1,666 67,55 ± 4,961 67,65 ± 6,59 64,96 ± 5,119
Kecernaan BOns
59,27 ± 2,318 62,57 ± 3,074 66,94 ± 6,23 63,88 ± 4,693
ns
Non significant. Lp (L. plantarum), Sc (S. cerevisiae).
Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao
_ 67
1. Kecernaan Bahan Kering Pengukuran kecernaan yang terjadi dalam rumen secara in vitro menyesuaikan dengan kondisi dalam rumen yaitu rata-rata selama 48 jam, tetapi pada tahapan penelitian ini dilakukan pengamatan selama 72 jam untuk melihat seberapa besar kecernaan kandungan BK dan BO kulit buah kakao dengan bertambahnya lama inkubasi. Keberhasilan metode in vitro tergantung pada populasi mikrobia, pH medium, preparasi sampel dan cara kerja. Variasi populasi mikrobia yang sangat beragam, disebabkan karena perbedaan pemberiaan pakan pada ternak, dan metode penanganan cairan rumen sebelum digunakan. Hasil kecernaan BK silase kulit buah kakao tidak memiliki perbedaan yang nyata. Hasil kecernaan silase kulit buah kakao yang diperoleh memiliki nilai yang relatif lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Tuah dan Orskov (1989), bahwa kulit buah kakao amoniasi dan direndam air memiliki kecernaan BK sesuai metode Menke pada jam inkubasi ke- 72 masing–masing adalah 42,7% dan 27,7%. Nelson (2011), melaporkan bahwa metode pengujian in vitro Tilley dan Terry pada tahap 1 (tahapan fermentasi) memiliki nilai kecernaan bahan kering dengan biofermentasi kulit buah kakao dengan penambahan P. chrysosporium lama fermentasi 15 hari yang disuplementasi mineral Ca dan Mn memiliki rerata kecernaan sekitar 23,56%. Hal ini menunjukkan bahwa butuh waktu yang lama untuk dapat mencerna pakan silase kulit buah kakao. Waktu yang cukup lama untuk mencerna silase kulit buah kakao karena kandungan fraksi serat yang cukup tinggi.
68 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
2. Kecernaan bahan organik Hasil kecernaan BO silase kulit buah kakao tidak memiliki perbedaan yang nyata. Penggunaan inokulum campuran L. plantarum dan S. cerevisiae yang menurunkan kandungan fraksi ADF pada tabel. 4 ternyata tidak dapat mempengaruhi kecernaan BO pakan silase kulit buah kakao di dalam rumen. Hal ini berbeda yang dilaporkan Kurnianingtiyas et al. (2012), menyatakan bahwa kecernaan BO silase diduga juga dipengaruhi oleh kandungan fraksi serat yang terkandung pada bahan penyusun silase dan kemampuan mikrobia rumen dalam mencerna fraksi serat. Hasil penelitian kecernaan BO silase kulit buah kakao di dalam rumen yang tidak berbeda nyata sesuai yang dilaporkan Filya (2003), bahwa silase jagung dan shorgum yang dinokulasikan menggunakan L. plantarum tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kecernaan pakan di dalam rumen. Hal yang berbeda dilaporkan Irwanto (2007), melaporkan bahwa penambahan 1% bakteri asam laktat NWD 033 pada silase jerami jagung memiliki kecernaan BO yang lebih rendah sekitar 54,43% dibandingkan silase jerami jagung tanpa inokulasi sekitar 57,88%. Kecernaan BO silase menurun disebabkan karbohidrat terlarut yang terdapat di dalam pakan sebagian telah dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat selama proses silase, sehingga proporsi yang dapat dicerna oleh mikrobia rumen menjadi berkurang.
Bagian Ketujuh
KUALITAS SILASE KULIT BUAH KAKAO (Inokulasi Campuran Lactobacillus Plantarum dan Saccharomyces Cerevisiae) A. Karakteristik Fisik Silase Kulit Buah Kakao
S
kor kualitas fisik silase kulit buah kakao meliputi karaktersitik warna, aroma/bau, tekstur dan keberadaan jamur ditampilkan pada Tabel 8 (parameter penilaian panelis terdapat pada Lampiran1), sedangkan analisis statistik terdapat pada Lampiran 13). Tabel 8. Skor kualitas fisik silase kulit buah kakao Parameter Warna
Jamur
K0
ns
KLp
KSc
KLp+Sc
a
1,58 ± 0,554 1,58 ± 0,603
b
1,41 ± 0,500b
1,77 ± 0,865
1,41 ± 0,554 1,83 ± 0,736
1,63 ± 0,761
1,72 ± 0,659
1,53 ± 0,559 1,50 ± 0,507
1,47 ± 0,506
1,92 ± 0,649
Aromans Tekstur
Silase
1,17 ± 0,447
b
b
1,00
a
69
1,00
a
1,03 ± 0,167a
70 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia a, b
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns Non significant Lp (Lactobacillus plantarum), Sc (Saccharomyces cerevisiae)
1. Karakteristik warna Kualitas variabel warna silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum memiliki perbedaan dengan silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulan. Inokulasi Lactobacillus plantarum pada silase kulit buah kakao menghasilkan silase berwarna kuning kecoklatan, sedangkan silase tanpa penambahan inokulan menghasilkan silase yang berwarna coklat. Silase kulit buah kakao pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae maupun campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memiliki skoring warna yang berbeda terhadap silase kulit buah kakao tanpa inokulan. Sianipar dan Simanihuruk (2009), menyatakan bahwa karakteristik silase yang berkualitas baik beraroma asam, tidak lengket jika digenggam, warna dekat dengan aslinya (kecoklatan). Berdasarkan data diatas, warna yang dihasilkan silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulan dibandingkan warna silase dengan penambahan inokulan menujukkan perbedaan yang nyata. Hal ini karena kulit buah kakao segar yang akan ensilage memiliki jaringan yang masih hidup sehingga pada fase awal terjadi respirasi aerobik secara aktif yang menghasilkan air, CO2, dan panas. Panas yang dihasilkan meningkatkan temperatur di dalam silo, temperatur yang meningkat mempengaruhi perubahan warna silase. Panas yang dihasilkan
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 71
dapat menjadikan warna silase menjadi lebih gelap. Stefani et al. (2010), menyatakan bahwa fase aerobik merupakan fase pertama silase, hal ini karena adanya penggunaan oksigen yang berasal dari lingkungan pada proses pemasukan bahan silase ke dalam silo, ataupun oksigen yang berada diantara partikel tanaman. Oksigen tersebut digunakan jaringan tanaman, selain digunakan oleh sel tanaman juga digunakan oleh mikroorganisme aerob, dan fakultatif aerob untuk proses metabolisme. 2. Karakteristik aroma Aroma atau bau silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Aroma asam segar yang dihasilkan dari semua perlakuan dan kontrol merupakan salah satu ciri-ciri silase yang berkualitas baik. Fermentasi yang menghasilkan asam laktat pada silase memiliki aroma asam segar. Jumlah karbohidrat terlarut yang cukup pada silase dengan adanya penambahan tepung gaplek pada semua perlakuan dan kontrol menjadikan proses fermentasi pati menjadi asam laktat dapat berlangsung. Aroma silase kulit buah kakao dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan oleh mikrobia yang terdapat di dalam tumpukan silase. Bakteri asam laktat di dalam silase akan menghasilkan asam laktat yang menjadikan aroma asam segar, tetapi jika pertumbuhan Clostridia yang berkembang akan menghasilkan asam butirat yang memiliki aroma busuk. Produksi asam butirat yang menghasilkan bau busuk menandakan penurunan kualitas silase. Penurunan kualitas silase selain adanya asam butirat juga terjadi karena adanya degradasi nutrien baik dalam bentuk karbohidrat terlarut dan protein oleh mikrobia.
72 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
3. Karakteristik tekstur Tekstur silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Tekstur yang tidak menggumpal dan tidak berlendir, yang dimiliki oleh silase menunjukkan bahwa tidak terdapat kerusakan karena tidak adanya oksigen yang masuk kedalam silo ataupun tidak adanya pertumbuhan jamur yang tidak diharapkan. Ridla et al. (2007), menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik memiliki tekstur yang lembut, tidak berlendir, dan tidak berjamur. Lendir yang terdapat pada silase merupakan indikasi adanya mikrobia pembusuk. Lendir tersebut dihasilkan oleh mikrobia dari sistem kapsul, sistem kapsul inilah yang menjadikan mikrobia pembusuk dan patogen menjadi resisten terhadap fagositosis sehingga meningkatkan virulensinya terhadap ternak. Schlegel dan Schmidt (1994), menyatakan bahwa lendir dihasilkan dari pembebasan sebagian bahan penyusun kapsul mikrobia, adanya lendir sangat mencolok terjadi pada mikroorganisme apabila medium biakannya mengandung sukrosa. Larutan lendir ini seperti gel yang terdiri dari dekstrin. 4. Karakteristik keberadaan jamur Keberadaan jamur pada silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao tanpa inokulan memiliki skor keberadaan jamur lebih tinggi dibandingkan dengan silase perlakuan penambahan inokulan Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cerevisiae, serta inokulan campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae. Silase
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 73
kulit buah kakao tanpa inokulan memiliki potensi keberadaan jamur. Keberadaan jamur diperoleh dengan pengamatan adanya hyfa. Potensi L. pantarum yang memproduksi peptida bioaktif seperti bakteriosin dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen. Inokulan Saccharomyces cerevisiae memiliki potensi untk menghasikan oxylipin yang dapat berperan sebagai zat anti mikrobia, sehingga silase kulit buah kakao dapat terhindar dari penurunan kualitas akibat kontaminasi mikrobia perusak. Dalié et al. (2010), menyatakan bahwa penggunaan campuran L plantarum, L. bulgaricus dan Saccharomyces cerevisiae secara nyata mencegah terjadinya spoilage dari mould. B. Karakteristik Fermentasi Silase Kulit Buah Kakao Karakteristik fermentasi dari silase kulit buah kakao meliputi pH dan kadar asam laktat ditampilkan pada Tabel 9, sedangkan analisis statistika terdapat pada Lampiran 14. Tabel 9. Karakteristik fermentasi silase kulit buah kakao Silase
Karakteristik Fermentasi pH
ns
Asam laktat (% BK) ns
ns
K0
KLp
KSc
KLp+Sc
4,34 ± 0,095 4,11 ± 0,263 4,39 ± 0,118 4,31 ± 0,136 1,17 ± 0,159 1,52 ± 0,280 1,36 ± 0,488 1,04 ± 0,185
Non significant Lp (Lactobacillus plantarum), Sc (Saccharomyces cerevisiae)
74 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
1. Derajat keasaman (pH) silase Hasil pengukuran pH silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Silase kulit buah kakao tanpa inokulan memiliki pH asam, hal ini dipengaruhi bahwa BAL secara alami terdapat di alam, sehingga hijauan atapun hasil sisa pertanian yang akan disilase akan memiliki pH asam. Fermentasi yang terjadi selama proses silase akan menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang diproduksi menjadikan pH silase menjadi asam. Semakin banyak koloni bakteri asam laktat yang dihasilkan selama proses silase, maka silase tersebut akan semakin stabil yang ditandai dengan penurunan pH. Kisaran pH pada silase kulit buah kakao dengan penambahan maupun tanpa penambahan inokulan termasuk memiliki kategori kualitas silase sangat baik. McDonald (1991), menyatakan bahwa pH silase yang baik berkisar 3,8 – 4,2 dan jika pH silase lebih dari 4,8 ini berarti kegagalan fermentasi. Sandi et al. (2010), menyatakan bahwa nilai pH silase merupakan salah satu indikator kualitas silase, terutama dalam kaitannya dengan daya simpan silase yang dihasilkan. Kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kategori yaitu sangat baik (pH 3,2-4,2), baik (pH 4,2-4,5), sedang (pH 4,5-4,8) dan buruk (pH lebih dari 4,8). Tepung gaplek sebagai sumber karbohidrat terlarut yang ditambahkan pada silase dirasa cukup untuk pertumbuhan BAL yang terdapat pada silase untuk menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan pH silase. Cherney et al. (2004), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antar karbohidrat terlarut dan pH. Karbohidrat terlarut dibutuhkan oleh Lactobacillus
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 75
plantarum untuk memproduksi asam laktat yang menyebabkan penurunan pH. 2. Kadar asam laktat Kadar asam laktat silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Penggunaan sealer dan vacuum pada saat pemasukan bahan-bahan silase ke dalam silo menjadikan kondisi anaerob dapat tercapai pada waktu yang sama. Kondisi anaerob yang terjadi mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat di dalam silo. Johnson et al. (2005), menyatakan bahwa penggunaan vacuum pada pembuatan silase akan memperpendek fase aerobik. Kisaran produksi asam laktat silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa penambahan inokulan masih dalam kisaran normal. Aminah et al. (2010), menyatakan kualitas silase dari rumput dan hasil sisa pertanian di daerah tropis memiliki kisaran kadar asam laktat sekitar 1,08 – 3,75% BK. Hasil yang sama dilaporkan oleh Ando et al. (2006), kadar asam laktat yang dihasilkan dengan penambahan inokulan Lactobacillus plantarum pada silase rumput benggala yaitu sekitar 1,67% BK. Hal yang berbeda dilaporkan McDonald et al. (2002), menyatakan bahwa kandungan asam laktat silase pada umumnya berkisar 8 – 12% BK. Inokulasi Lactobacillus plantarum yang diketahui sebagai BAL homofermentatif, tidak memiliki pengaruh dalam produksi asam laktat pada silase kulit buah kakao dibandingkan dengan silase dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae dan kontrol tanpa penambahan inokulan. Isnandar (2011), melaporkan silase campuran isi rumen, onggok, dan molasses
76 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
yang diperam selama 21 hari dengan temperatur 300C, bahan kering 35% dengan inokulasi Lactobacillus plantarum memiliki kandungan asam laktat yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan inokulan Lactobacillus sp campuran dan tanpa menggunakan inokulan BAL. Muck (2000), menyatakan bahwa kemampuan fermentasi masing-masing spesies BAL tidak sama, hal ini ditentukan oleh kandungan gula terlarut, temperatur dan kandungan air bahan silase. Jumlah inokulan pada proses silase, lama fermentasi, jumlah substrat yang dapat digunakan oleh BAL, perlakuan sebelum disilase, serta jenis tanaman dapat mempengaruhi kualitas silase. Kulit buah kakao yang dijadikan sebagai bahan utama pembuatan silase diketahui mengandung senyawa theobromine termasuk ke dalam golongan alkaloid yang merupakan golongan basa nitrogen. Senyawa theobromine dapat meningkatkan buffering capacity selama proses silase. Penambahan tepung gaplek pada silase kontrol dan perlakuan berfungsi untuk meningkatkan bahan kering dan menurunkan buffering capacity yang terdapat di dalam kulit buah kakao. McDonald et al. (2002), menyatakan bahwa kadar asam laktat dipengaruhi oleh kandungan bahan kering dan tingkat buffering capacity dari bahan silase Jumlah bakteri asam laktat pada awal fermentasi merupakan faktor penting yang menentukan kualitas silase yang dihasilkan. Ohmomo et al. (2004), melaporkan penggunaan isolat Lactobacillus plantarum 102 cfu/g (diisolasi dari silase hijauan asli Thailand) dengan kode strains CS 2-3 dan lama fermentasi 21 hari memberikan nilai pH sekitar 4,35, serta produksi asam laktat 1,95% BK (atau sekitar 0,45% bahan segar), sedangkan penambahan Lactobacillus plantarum dengan
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 77
kode strain CS 2-3 105 cfu/g memberikan nilai pH 3,99 serta produksi asam laktat sebesar 2,47% BK (atau sekitar 0,57% bahan segar). C. Kandungan Theobromine Silase Kulit Buah Kakao Hasil uji di Laboratorium PAU-UGM kandungan theobromine kulit buah kakao segar sekitar 161,28 ppm, inokulasi L plantarum sebesar 0,09 ppm, Saccharomyces cerevisiae sebesar 22,05 ppm, campuran sebesar 3,88 ppm, dan tanpa inokulasi sebesar 7,80 ppm. Secara umum silase kulit buah kakao memiliki kandungan theobromine yang rendah dibandingkan pada awal fermentasi. Kandungan theobromine silase pada inokulasi Lactobacillus plantarum terendah dibandingkan perlakuan kontrol dan inokulasi Saccharomyces cerevisiae. Hal ini karena inokulan Lactobacillus plantarum memiliki kemampuan untuk menghasilkan salah satu enzim demetyhlase yaitu enzim urikase, enzim tersebut berperan dalam jalur degradasi theobromine. Wulandari et al. (2014), melaporkan bahwa penggunaan inokulan multimikrobia yang mengandung bakteri asam laktat dan selulolitik dapat menurunkan kandungan theobromine pada kulit buah kakao. Lefeber et al. (2012), melaporkan bahwa biji kakao yang difermentasi menggunakan inokulan campuran Lactobacillus fermentum dan Acetobacter pasteurianus memiliki kandungan theobromine yang cendrung lebih rendah dibandingkan dengan biji kakao yang difermentasi dengan inokulan campuran L. fermentum, A. pasteurianus dan Saccharomyces cerevisiae.
78 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Adanya peningkatan kadar air pada silase akan menyebabkan penurunan kandungan theobromine. De Vuyst et al. (2010), melaporkan bahwa penurunan kandungan theobromine selama proses fermentasi karena larut pada cairan sel sehingga terdifusi keluar. Alexander (2007), menyatakan bahwa selama proses fermentasi terdapat penurunan methylxanthines, tetapi tidak mengindikasikan senyawa theobromine terdegradasi. Lama fermentasi silase kulit buah kakao 21 hari merupakan pilihan dari berbagai literatur, yang menujukan bahwa kondisi silase telah stabil pada waktu tersebut dan dapat disimpan lama. Silase kulit buah kakao dengan lama fermentasi selama 21 hari, dirasa cukup berpengaruh terhadap komposisi kimia dan penurunan kandungan theobromine Kandungan theobromine pada biji coklat mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu fermentasi (Brunetto et al., 2007). D. Produksi Gas Total Silase Kulit Buah Kakao Produksi gas total silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan selama inkubasi 72 jam ditampilkan pada Tabel 10, sedangkan analisis statistik terdapat pada Lampiran 17. Tabel 10. Produksi gas selama 72 jam (ml/ 200 mg BK) Produksi Silase
gas (Jam ke-) K0 2
ns
4
KLp
3,90 ± 0,40 6,22 ± 0,13
a
4,74 ±
KSc 0,57
8,16 ± 0,38
b
KLp+Sc
3,81 ± 0,28 3,69 ± 0,43 7,69 ± 0,40b 8,28 ± 0,38b
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 79
6
10,99 ± 0,39a 14,32 ± 0,02b 16,78 ± 0,47c 18,77 ± 0,32d
12
31,88 ± 0,99a 33,12 ± 1,72ab 34,45 ± 0,84b 37,05 ± 0,44c
24ns
37,90 ± 1,98 35,05 ±
1,59 37,38 ± 1,73 37,35 ± 0,44
b
48
47,09 ± 2,09 43,72 ± 1,53a 47,71 ± 2,13b 48,37 ± 0,18b
72
50,40 ± 1,80b 46,79 ± 1,45a 51,70 ± 2,15b 52,42 ± 0,15b
a, b, c dan d
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns Non significant Lp (Lactobacillus plantarum), Sc (Saccharomyces cerevisiae) Fermentasi nutrien yang terjadi di dalam rumen akan menghasilkan gas, bahan organik yang didegradasi oleh mikrobia rumen merupakan sumber utama dihasilkannya gas, semakin besar bahan organik yang digunakan oleh mikrobia rumen maka akan semakin tinggi pula gas yang dihasilkan. Menurut Prihartini et al. (2007), produksi gas merupakan parameter aktivitas mikrobia rumen dalam mendegradasi pakan. Inkubasi pakan silase kulit buah kakao pada jam ke-2 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena aktivitas mikrobia rumen belum optimal dalam mendegradasi silase kulit buah kakao. Produksi gas pada jam ke-4 dari inkubasi pakan memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05) antara silase kontrol dan perlakuan. Silase kulit buah kakao tanpa inokulan memiliki produksi gas yang rendah dibandingkan dengan silase yang ditambahkan inokulan, hal ini karena proses pradigesti secara biofermentatif menggunakan beberapa inokulan Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae menjadikan beberapa nutrien lebih siap didegradasi oleh mikrobia rumen, serta beberapa faktor anti nutrisi yang dapat menghambat proses fermentasi di dalam rumen
80 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
telah berkurang dengan adanya proses pradigesti secara biofermentatif. Kurva produksi gas silase kulit buah kakao secara in vitro selama 72 jam tercantum pada Gambar 2. (ml)
60 50 40
Kontrol
30
Lp Sc
20
Lp + Sc 10 0 0
20
40
60
80 (h)
Gambar 2. Kurva produksi gas selama inkubasi 72 jam Inkubasi silase kulit buah kakao pada jam ke-6 menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05). Produksi gas silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum lebih tinggi dibandingkan silase tanpa inokulan, produksi gas rendah pada silase tanpa inokulan disebabkan karena kandungan BK yang cukup rendah yang dapat digunakan oleh mikrobia rumen. Produksi gas silase kulit buah kakao pada inokulasi S.cerevisiae lebih tinggi dibandingkan dengan silase tanpa inokulan dan silase pada inokulasi Lactobacillus plantarum, produksi gas yang tinggi dipengaruhi oleh kandungan BO silase kulit buah kakao dengan penambahan Saccharomyces cerevisiae yang lebih tinggi
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 81
dibandingkan silase tanpa inokulan dan penggunaan Lactobacillus plantarum. Produksi gas silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan S.cerevisiae pada inkubasi jam ke-6 merupakan produksi gas tertinggi dibandingkan silase tanpa inokulan, Lactobacillus plantarum, dan Saccharomyces cerevisiae. Hal ini karena kandungan BETN silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae cukup tinggi dibandingkan silase kontrol dan perlakuan yang lain. Bahan ekstrak tanpa nitrogen akan didegradasi dan difermentasi oleh mikrobia rumen dijadikan VFA, CH4, CO2, dan energi. Fermentasi di dalam rumen juga dipengaruhi oleh kandungan LK, LK di dalam rumen dapat menghambat aktivitas selulolitik. Kandungan LK pada silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae yang cukup rendah menjadikan aktivitas mirobia selulolitik dapat berjalan secara efektif. Produksi gas pada inkubasi jam ke-12 menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05). Produksi gas silase kulit buah kakao pada inokulasi L.plantarum dibandingkan silase tanpa inokulan memiliki perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena kandungan BETN pada silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum mulai berkurang dengan bertambahnya inkubasi pakan. Produksi gas silase kulit buah kakao pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae dan campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae masih tetap tinggi pada inkubasi jam ke-12 karena kandungan BO dan BETN yang cukup tinggi dibandingkan silase tanpa inokulan.
82 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Produksi gas pada inkubasi jam ke-48 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Produksi gas yang dihasilkan silase kulit buah kakao pada inokulasi L.plantarum lebih rendah dengan silase tanpa inokulan. Rendahnya produksi gas silase pada inokulasi Lactobacillus plantarum menunjukkan bahwa fraksi nutrien yang larut dan terdegradasi semakin sedikit, sehingga menghasilkan produksi gas yang rendah pada jam ke48. Menurut Min et al. (2005), produksi gas yang tinggi menujukkan aktivitas mikroorganisme dan kaya nutrisi dalam rumen. Produksi gas semakin cepat mencapai puncak bila fraksi yang larut dan mudah terdegradasi semakin banyak. Produksi gas jam ke-48 pada silase kulit buah kakao pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae maupun campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memiliki perbedaan yang tidak nyata dibandingkan silase tanpa inokulan. Perbedaan yang tidak nyata ini dipengaruhi kandungan BETN yang akan didegradasi oleh mikrobia rumen telah berkurang dan berganti menjadi proses degradasi dan fermentasi fraksi dinding sel tanaman. Penambahan tepung gaplek sebagai sumber karbohidrat terlarut pada semua perlakuan mempengaruhi produksi gas silase kulit buah kakao yang cendrung tinggi. Kurniawati (2004), menyatakan bahwa peningkatan karbohidrat di dalam pakan dapat meningkatkan aktivitas metabolisme mikrobia, baik dalam mendegradasi protein maupun karbohdirat. Produksi gas yang dihasilkan oleh silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum pada jam ke-48 lebih rendah dibandingkan silase tanpa inokulan. Hal ini sesuai laporan Muck et al. (2007), bahwa silase alfalfa pada inokulasi Lactobacillus plantarum memiliki hasil produksi gas total yang
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 83
selalu rendah dibandingkan dengan kontrol. Getachew et al. (2005), menyatakan bahwa formulasi rasio bahan pakan yang menyusun silase dapat mempengaruhi bahan kering silase, bahan kering silase yang berbeda akan mempengaruhi produksi gas yang dihasilkan selama inkubasi. Hasil penilitian menujukkan bahwa produksi gas terus meningkat hingga jam ke-72. Laju produksi gas cendrung tinggi mulai jam ke-6 menuju jam ke-12 dan lambat mulai jam ke-48. Munier (2012), melaporkan bahwa kakao fermentasi dengan Aspergillus sp memiliki laju produksi gas cendrung naik pada jam ke-6, produksi gas yang tinggi menujukkan bahwa aktivitas mkrobia rumen lebih tinggi dalam mengurai bahan pakan. E. Fraksi Potensial Terdegradasi dan Laju Degradasi di dalam Rumen Pengukuran produksi gas akan menghasilkan beberapa nilai fraksi. Fraksi yang akan diperoleh yaitu fraksi nutrien yang larut atau cepat terdegradasi yang biasa diketahui sebagai fraksi a, fraksi nutrien yang potensial terdegradasi yang dikenal sebagai fraksi b, serta laju degradasi dari fraksi b yang dikenal dengan nilai fraksi c. Nilai fraksi a, b, dan c ditampilkan pada Tabel 11, sedangkan analisis statistik terdapat pada Lampiran 18. Tabel 11. Fraksi a+b, laju degradasi, dan degradasi teori silase kulit buah kakao Silase
Parameter K0 Fraksi pakan mudah -6,05 ± 0,93ab -4,84 larut (ml) Fraksi pakan yang 55,77 ± 2,707b 50,88 potensial terdegradasi
KLp ±
KSc 0,61
b
-5,59 ±
KLp + Sc 0,28
b
-7,06
± 0,93a
± 1,444a 55,03 ± 2,596b 56,37 ± 0,400b
84 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia (ml) Fraksi pakan yang terdegradasi secara 55,77 ± 2,707b 50,88 ± 1,444a 55,03 ± 2,596b 56,37 ± 0,400b optimal (ml) Laju degradasi pakan 0,0713 ± 0,00231a 0,0903 ± 0,00924bc0,086 ± 0,00361b 0,098 ± 0,00346c (ml/jam) Degradasi teori (%) 33,31 ± 1,853ab 31,99 ± 1,228a 34,68 ± 1,004b 37,30 ± 0,860c a, b dan c
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Lp (Lactobacillus plantarum), Sc (Saccharomyces cerevisiae) 1. Fraksi mudah larut (fraksi a) Pakan yang mengandung karbohidrat di dalam rumen akan terfermentasi menjadi volatile fatty acids dan gas. Produk tersebut digunakan untuk multiplication dari mikrobia rumen. Karbohidrat pada tanaman terbagi menjadi dua yaitu, karbohidrat yang mudah larut dan struktural. Karbohidrat struktural merupakan karbohidrat yang tidak mudah larut. Nilai fraksi a menggambarkan nutrien yang mudah larut dan terdegradasi di dalam rumen, yaitu bagian isi sel tanaman. Semakin tinggi kandungan isi sel tanaman pada sebuah pakan akan memiliki nilai fraksi a yang tinggi pula. Nilai fraksi a yang negatif pada Tabel 8, menunjukkan bahwa rendahnya jumlah fraksi pakan mudah larut pada silase kulit buah kakao. Ørskov dan Ryle (1990), menyatakan bahwa nilai a negatif dapat terjadi jika hanya sedikit atau tidak ada sama sekali bahan yang larut. Perhitungan fraksi a memiliki nilai negatif dengan Neway software program (Chen, 1997) berdasarkan persamaan eksponensial dari Ørskov dan McDonald (1979). Hal ini disebabkan fraksi a merupakan gambaran produksi gas dari fraksi a. Fraksi a diperoleh dari intercept ekstrapolasi kurva degradasi yang ditarik lurus memiliki titik awal pada daerah kuadran minus. Berbeda dengan kurva
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 85
degradasi in sacco (teknik pengukuran langsung degradasi bahan pakan terhadap waktu inkubasi) yang memiliki zero time washing loss (hilangnya material dari kantong diukur saat dicuci dengan air tanpa diinkubasi di dalam rumen) akan memiliki fraksi a yang positif. 2. Fraksi potesial terdegradasi (fraksi b) Fraksi potensial terdegradasi silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum sebagai bahan aditif silase memiliki nilai fraksi b terendah, sedangkan silase pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memiliki nilai fraksi b tertinggi. Nilai fraksi b merupakan nilai fraksi pakan yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat terdegradasi, yang termasuk di dalam fraksi ini adalah nutrien struktural seperi selulosa, hal ini karena aktivitas mikroorganisme rumen membutuhkan waktu tertentu untuk dapat mendegradasi fraksi pakan. Ørskov dan Ryle (1990), menyatakan bahwa fraksi b merupakan fraksi yang lambat terdegradasi yang menggambarkan banyaknya jumlah karbohidrat yang tidak mudah larut namun masih dapat difermentasi oleh mikrobia. 3. Fraksi pakan yang terdegradasi secara optimal (fraksi a+b) Fraksi pakan yang terdegradasi secara optimal silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05). Nilai fraksi a+b yang sama dengan fraksi b dipengaruhi oleh
86 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
fraksi a yang bernilai negatif dianggap nol. Silase kulit buah kakao pada inokulasi L.plantarum memiliki fraksi a+b lebih rendah dibandingkan dengan silase kontrol. Hal ini berbeda yang dilaporkan oleh Sofyan et al. (2011), penggunaan L.plantarum pada silase rumput raja memiliki fraksi a+b yang lebih tinggi dibandingkan silase kontrol tanpa penggunaan inokulan. Silase kulit buah kakao pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae dan inokulasi campuran L.plantarum dan Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan silase pada inokulasi L.plantarum. Hasil penelitian ini berbeda dengan Sofyan et al. (2011), melaporkan fraksi pakan yang potensial maksimum terdegradasi pada silase rumput raja penambahan bekatul sebanyak 10% yang diinkubasi selama 48 jam dengan penggunaan Lactobacillus plantarum secara tunggal lebih tinggi dibandingkan inokulan campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae. 4. Laju degradasi pakan fraksi b Tingkat laju degradasi dari pakan fraksi b silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Laju degradasi adalah tingkat dimana bahan pakan tersebut dipecah (didegradasi) oleh mikroorganisme rumen dalam interval waktu inkubasi tertentu (Ismartoyo, 2011). Laju degradasi silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum, S.cerevisiae lebih tinggi dibandingkan dengan silase kulit buah kakao kontrol (K0). Silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memiliki laju degradasi fraksi b lebih tinggi dibandingkan silase
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 87
tanpa inokulan, dan Saccharomyces cerevisiae. Kandungan fraksi serat silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae yang rendah, dan kandungan karbohidrat non struktural yang tinggi menjadikan laju degradasi di dalam rumen menjadi tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Zakariah (2014), melaporkan bahwa silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memiliki fraksi serat cukup rendah dibandingkan silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cerevisiae dan silase tanpa inokulan. Wati et al. (2012), menyatakan bahwa perbedaan laju degradasi fraksi b dipengaruhi oleh kandungan serat pada bahan pakan tersebut, semakin tinggi kandungan dinding sel suatu bahan pakan dapat menurunkan laju degradasinya. Hadi et al. (2011), menyatakan bahwa laju degradasi fraksi b kulit buah kakao tanpa fermentasi sebesar 0,04 ml/ jam. Laju degradasi fraksi b silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan silase tanpa inokulan. Hasil penelitian ini berbeda dengan Sofyan et al. (2011), melaporkan bahwa inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae dengan penambahan bekatul pada silase rumput raja yang di inkubasi selama 48 jam memiliki laju degradasi dari fraksi b yang tidak berbeda nyata dengan silase kontrol dan Lactobacillus plantarum secara tunggal. Laju degradasi fraksi b silase kulit buah kakao pada penelitian ini berbeda dengan Haniem et al. (2010), bahwa tepung kulit buah kakao yang difermentasi dengan inokulan selulolitik 5% dan difermentasi selama 21 hari sebesar 0,029
88 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
ml/jam. Munier (2012), bahwa kulit buah kakao fermentasi menggunakan inokulan Aspergillus niger memiliki laju degradasi fraksi b sebesar 0,024 ml/jam. Perbedaan laju degradasi pada penelitian ini dengan yang lain disebabkan karena kandungan SK yang berbeda, penambahan tepung gaplek pada kulit buah kakao sebelum disilase menjadikan komposisi kimia yang berbeda. Agriculture and Food Research Council (1995), mengestimasi bahwa kecepatan alir pakan berkaitan dengan jenis pakan, pakan yang berkualitas rendah memiliki nilai laju degradasi fraksi b sebesar 0,02 ml/jam, sedangkan pakan berkualitas tinggi sebesar 0,05 ml/jam. Menurut Hadi et al. (2011), waktu tinggal di dalam rumen yang semakin lama akan mengakibatkan meningkatnya kontak antara pakan dengan mikrobia rumen, hal ini akan memungkinkan aktivitas mikrobia rumen semakin besar dalam mendegradasi pakan. Keterkaitan keduanya dapat memperkecil nilai laju degradasi fraksi potensial terdegradasi. Perbedaan fraksi potensial larut dan laju degradasi fraksi potensial terdegradasi dipengaruhi oleh komposisi nutrien pakan, lama tinggal pakan di dalam rumen dan juga ketersediaan substrat untuk aktivitas mikrobia dalam mendegradasi pakan di dalam rumen. Ørskov dan Ryle (1990), menyatakan bahwa laju degradasi fraksi b akan rendah pada pakan yang mengandung selulosa yang tinggi, pakan dengan serat kasar yang rendah akan mudah dicerna dan memerlukan waktu yang pendek per satuan berat. 5. Degradasi teori Degradasi teori silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 89
nyata (P<0,05). Degradasi teori adalah degradasi yang efektif terjadi di dalam rumen dari suatu bahan pakan pada jam inkubasi tertentu. Degradasi teori silase kulit buah kakao pada inokulasi Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cerevisiae menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan silase tanpa inokulan. Silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae (KLp+Sc) menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan silase perlakuan yang lain. Hal ini karena laju degradasi silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan silase kontrol dan perlakuan yang lain dengan fraksi potensial maksimum terdegradasi (a+b) yang tidak nyata. Degradasi pakan dipengaruhi oleh laju degradasi dan fraksi potensial maksimum terdegradasi, laju degradasi silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan S.cerevisiae memiliki nilai tertinggi mempengaruhi degradasi teori silase kulit buah kakao. Ørskov (1992), menyatakan bahwa kelarutan bahan pakan, laju degradasi di dalam rumen, tingkat konsumsi, ketersediaan substrat terfermentasi, ukuran partikel, populasi mikrobia, bentuk fisik pakan, dan pH rumen dapat mempengaruhi degradasi pakan di dalam rumen. Degradasi teori kulit buah kakao sebesar 28,67% (Hadi et al., 2011). Hal ini berbeda pada penelitian ini yang berkisar 31,99 – 37,30% (silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan), penambahan tepung gaplek pada semua perlakuan sebelum proses silase menjadikan degradasi teori
90 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
silase kulit buah kakao diatas degradasi teori kulit buah kakao tanpa fermentasi. F. Parameter Fermentasi dalam Rumen Data parameter fermentasi di dalam rumen meliputi derajat keasaman, protein mikrobia, amonia, VFA, serta proporsi molar VFA ditampilkan pada Tabel 11, sedangkan analisis statistik terdapat pada Lampiran 19. Tabel 11. Parameter fermentasi di dalam rumen Silase
Parameter
K0
KLp
6,69 ± 0,04b
pH NH3 (mg/100 ml)
ns
6,63 ±
KSc
KLp+Sc
0,04b 6,39 ± 0,03a
6,34 ±
0,04a
23,50 ±
1,43 21,31 ±
3,52 19,37 ±
4,22 20,21 ±
0,37
48,52 ±
1,75 43,60 ±
3,54 45,91 ±
6,05 49,11 ±
4,25
Propionat (mM) ns 20,56 ±
0,93 18,53 ±
2,73 16,84 ±
2,05 18,92 ±
1,60
Asetat (mM)
ns
Butirat (mM)
8,48 ± 0,64
a
8,76 ±
a
b
0,58 10,70 ± 0,45 10,80 ±
0,51b
Asetat (%)ns
62,55 ±
Propionat (%)
26,52 ± 1,30c 26,05 ± 1,16bc 22,94 ± 0,31a 24,00 ± 0,93ab
Butirat (%)
10,93 ± 0,70a 12,40 ±
1,88 61,54 ±
0,64 62,48 ±
0,54 62,26 ±
0,92
1,08b 14,57 ± 0,32c 13,70 ± 0,40bc
Rasio Asetat: Propionat
2,37 ± 0,19a
2,37 ±
0,17a 2,73 ± 0,60b
2,60 ± 0,14ab
Protein Mikrobia (mg/ml) ns
0,23 ±
0,26 ±
0,05 0,27 ±
0,32 ±
a,
0,05
0,02
0,03
b
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). ns Non significant Lp (Lactobacillus plantarum), Sc (Saccharomyces cerevisiae). 1. Derajat keasaman (pH) rumen Kondisi pH rumen sangat mempengaruhi proses fermentasi dan degradasi nutrien di dalam rumen. Hal ini
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 91
disebabkan proses metabolisme yang terjadi di dalam sel mikrobia terjadi secara enzimatik, protein merupakan penyusun utama dari enzim, yang peka oleh faktor pH, sehingga terdapat titik optimal enzim. Menurut Van Soest (1994), mikroorganisme yang hidup di dalam rumen relatif pada pH netral sekitar 6 - 7, kondisi ini didukung oleh sistem buffer dari kelenjar saliva. Umumnya kondisi pH rumen yang rendah dibawah pH 6 akan menjadikan proses degradasi selulosa di dalam rumen akan terhambat, karena pH rendah menjadikan aktivitas selulolitik menjadi terhambat. Menurut Sung et al. (2007), pH rumen yang ideal untuk memelihara metabolisme rumen secara normal yaitu 6 - 7. Kecernaan serat akan terhambat pada pH di bawah 6. Hasil penilitian menunjukkan pH rumen pada pakan silase kulit buah kakao menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae maupun campurannya memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan dengan silase pada inokulasi Lactobacillus plantarum dan tanpa inokulan. Secara umum penambahan Saccharomyces cerevisiae secara tunggal maupun kombinasi menjadikan pH rumen menjadi lebih rendah dibandingkan perlakuan lain. Derajat keasaman (pH) rumen yang dihasilkan oleh silase kulit buah kakao cukup rendah, tetapi masih dalam kisaran normal. Faktor kandungan BETN silase kulit buah kakao yang cukup memiliki pengaruh pada derajat keasaman (pH) rumen. Kandungan BETN silase silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dan kontrol menjadikan derajat keasaman (pH) rumen terendah. Utomo (2001), menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) rumen antara
92 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
lain dipengaruhi oleh jenis pakan yang dimakan terutama karbohidrat nonstruktural, bahan pakan yang banyak mengandung karbohidrat non struktural akan cepat menurunkan pH cairan rumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan silase tanpa inokulan ataupun dengan inokulan memiliki nilai pH pada kisaran normal yaitu sekitar 6 - 7. Kisaran pH yang normal menjadi salah satu indikator terjadinya proses degradasi pakan yang baik, karena pada pH tersebut mikrobia penghasil enzim selulolitik dapat hidup secara optimum dalam rumen. Laconi (2009), melaporkan pH cairan rumen dengan adanya silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulan sekitar 6,21, silase dengan penambahan cairan rumen sebagai bahan aditif silase sekitar 6,15, serta kulit buah kakao fermentasi dengan penambahan P. chyrosporium sekitar 6,38. 2. Kadar amonia (NH3) rumen Kadar amonia (NH3) cairan rumen dari pakan silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hasil penelitian ini berbeda dengan Laconi (2009), yang melaporkan kandungan amonia (NH3) hasil fermentasi rumen silase kulit buah kakao memilki perbedaan yang nyata, silase kulit buah kakao tanpa penambahan inokulan sekitar 7,11 mg/ 100 ml, silase dengan penambahan cairan rumen sebagai bahan aditif silase sekitar 7,62 mg/ 100 ml, serta KULIT BUAH KAKAO fermentasi dengan penambahan P. chyrosporium sekitar 10,04 mg/ 100 ml. Ningrat dan Khasrad (2012), melaporkan bahwa kulit buah kakao yang terfermentasi di dalam rumen memiliki kandungan amonia sekitar 29,60 mg/ 100 ml.
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 93
Pengaruh inokulasi Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae pada silase kulit buah kakao terhadap kandungan amonia rumen tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan Wahjuni et al. (2010), menyatakan bahwa inokulasi L.plantarum dan Saccharomyces cerevisiae pada silase rumput gajah dan jerami padi yang dicampur konsentrat dan tetes tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap kadar amonia nitrogen cairan rumen. Kadar amonia didalam rumen merupakan indikasi terjadinya degradasi protein. Protein akan didegradasi menjadi oligopeptida, selanjutnya menjadi peptida dan asam amino, proses deaminasi asam amino menghasilkan amonia. Protein yang terdegradasi di dalam rumen merupakan sumber nitrogen untuk mikrobia rumen menghasilkan protein mikrobia. Hasil penilitian menujukan bahwa kadar amonia di dalam rumen dengan adanya silase kulit buah kakao sekitar 19 - 23 mg/ 100 ml berada pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan Harfiah (2006), menyatakan bahwa secara normal aktivitas mikroorganisme memerlukan konsentrasi amonia sebesar 8,5 – 30 mg/ 100 ml. Arifin dan Zulfanita (2012), kadar amonia di dalam rumen berkisar antara 2 - 50 mg/100 ml cukup untuk memenuhi kebutuhan sintesis protein mikroba rumen secara optimal. Ørskov (1992), menyatakan bahwa kadar amonia kurang dari 50 mg/L merupakan kadar efektif untuk optimalisasi protein mikrobia. McDonald et al. (2002), menyatakan kisaran normal konsentrasi N-NH3 untuk menunjang pertumbuhan mikrobia rumen yaitu sekitar 10,21 – 35,76 mg/ 100 ml. Kadar amonia silase kulit buah kakao masih pada kisaran normal, menunjukkan bahwa pemberian silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan dapat mempertahankan
94 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
kadar amonia cairan rumen pada kondisi normal. Kadar amonia yang tidak berbeda nyata dapat terjadi karena kandungan pakan silase kulit buah kakao yang dinokulasikan dan tanpa inokulasi memiliki kandungan PK yang tidak berbeda nyata pula. Hal ini terkait karena pakan yang mengandung PK yang rendah akan menghasilkan amonia yang rendah pula di dalam rumen. Mehrez dan Ørskov (1977), menyatakan bahwa laju degradasi bahan pakan akan meningkat sejalan dengan bertambanya konsentrasi amonia sampai konsetrasi maksimum yaitu 23,5 mg/ 100 ml. 3. Konsentrasi volatile fatty acids rumen Volatile fatty acids adalah hasil fermentasi karbohidrat, terdiri dari asetat, propionat dan butirat serta beberapa asam yang lain dalam jumlah sedikit. Kandungan volatile fatty acids dari fermentasi rumen akan berbeda jika terdapat perbedaan rasio antara karbohidrat terlarut dengan neutral detergent fiber (NDF). Menurut Sveinbjornsson et al. (2006), perbedaan level proporsi antara NDF dengan karbohidrat terlarut dapat mempengaruhi kandungan volatile fatty acids. Kadar asam asetat dan propionat pada silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Kadar asam butirat antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memberikan pengaruh tertinggi terhadap kandungan asam butirat yang dihasilkan dari fermentasi rumen yaitu sebesar 10,80 ± 0,51 mM. Tingginya kandungan asam butirat silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan S. cerevisiaae dibanding silase pada inokulasi Lactobacillus plantarum dan tanpa
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 95
inokulan menunjukkan bahwa aktivitas bakteri amilolitik di dalam rumen yang cukup tinggi. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Sofyan et al. (2011), bahwa penggunaan Lactobacillus plantarum dengan penambahan bekatul sebanyak 10% pada silase rumput raja yang di inkubasi selama 48 jam memiliki kadar VFA (asam asetat 101,03 mM, propionat 32,45 mM, butirat 12,11 mM) yang lebih tinggi dibandingkan silase dengan penggunaan inokulan campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae (kadar asam asetat 71,65 mM, propionat 27,99 mM, butirat 9,73 mM). 4. Proporsi volatile fatty acids dan rasio asam asetat : propionat Hasil analisis proporsi molar VFA dari silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan, proporsi molar asam asetat menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh inokulasi terhadap proporsi asetat di dalam rumen. Walaupun kandungan ETN yang cukup tinggi dari silase kulit buah kakao pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan S.cerevisiae tidak memberikan pengaruh yang cukup pada proporsi asam asetat di dalam rumen dibandingkan silase kulit buah kakao perlakuan dan kontrol yang lain. Hal ini berbeda dengan Utomo (2001), menyatakan bahwa kenaikan kandungan karbohidrat nonstruktural akan menurunkan kandungan asetat di dalam rumen. Hasil proporsi propionat dari silase kulit buah kakao dengan penambahan dan tanpa inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada
96 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
inokulasi Saccharomyces cerevisiae memiliki proporsi molar propionat terendah dibandingkan dengan silase tanpa inokulan dan Lactobacillus plantarum. Silase tanpa inokulan memiliki proporsi molar propionat tertinggi yaitu 26,52% tetapi tidak berbeda nyata dengan silase pada inokulasi Lactobacillus plantarum. Mujnisa (2007), proporsi molar propionat kulit buah kakao di dalam rumen sekitar 34,1%. Proporsi molar butirat antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Proporsi molar butirat diurut dari terendah ke tinggi yaitu silase tanpa inokulan, Lactobacillus plantarum, campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae, S.cerevisiae. Hasil kajian proporsi molar butirat yang dihasilkan dari fermentasi silase kulit buah kakao di dalam rumen menunjukkan dengan adanya penambahan inokulan dapat meningkat proporsi molar butirat. Jenis inokulan yang ditambahkan pada silase kulit buah kakao berpengaruh pada proporsi molar butirat. Inokulasi Saccharomyces cerevisiae ataupun campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae menujukkan dapat meningkatkan persentase molar butirat. Rasio asetat : propionat silase kulit buah kakao di dalam rumen menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase kulit buah kakao pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae memiliki nilai rasio asetat:propionat tertinggi yaitu 2,73%, tetapi tidak berbeda nyata terhadap silase KULIT BUAH KAKAO pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan S.cerevisiae. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi asetat dibandingkan propionat yang dihasilkan oleh silase kulit buah kakao pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae cukup tinggi dibandingkan dengan silase kulit buah kakao yang lain. Proporsi asetat yang
Kualitas Silase Kulit Buah Kakao
_ 97
lebih tinggi dibandingkan propionat menujukkan bahwa degradasi SK di dalam rumen cukup tinggi. Pakan yang mengandung SK di dalam rumen akan didegradasi oleh mikrobia rumen menjadi asam asetat. 5. Protein mikrobia rumen Protein mikrobia memiliki peranan sangat penting untuk ternak ruminansia. Protein mikrobia rumen merupakan salah satu sumber protein untuk ternak ruminansia. Menurut Ørskov (1992), protein mikrobia sebanyak 70 hingga 100% digunakan sebagai sumber protein untuk ternak ruminansia. Asam amino yang berasal dari protein mikrobia sekitar 80% dapat diabsorbsi di intestinum, sehingga produksi protein mikrobia relatif sangat dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan protein ternak ruminansia. Kadar protein mikrobia rumen menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena tidak selarasnya ketersediaan kerangka karbon dan nitrogen, kandungan PK yang rendah menjadikan sumber nitrogen yang rendah di dalam rumen. Sumber nitrogen akan digunakan oleh mikrobia rumen untuk dijadikan senyawa protein mikrobia. Protein mikrobia sangat dipengaruhi oleh degradasi karbohidrat dan protein. Degradasi karbohidrat menghasilkan kerangka karbon sedangkan hasil degradasi protein menghasilkan gugus amina. Kerangka karbon selain diperoleh dari karbohidrat, tetapi dapat berasal dari protein dan lipid pula. Fermentasi karbohidrat menghasilkan energi, ketersediaan energi menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar protein mikrobia. Menurut Widyobroto et al. (2007), efisiensi pertumbuhan dan produksi protein mikrobia dapat
98 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
ditingkatkan dengan adanya keseimbangan antara energi dan nitrogen yang terdian di dalam pakan, perbaikan sinkronisasi energi dan protein yang dibebaskan dalam rumen dapat meningkatkan sintesis protein mikrobia.
Bagian Kedelapan
PENUTUP etersediaan pakan sangat fluktuatif, penggunaan hasil sisa perkebunan menjadi salah satu alternatif dalam menangani persoalan kurangnya pakan pada musim kemarau. Limbah perkebunan kakao merupakan limbah yang potensial, hal ini didukung oleh produksi biji kakao yang setiap tahun meningkat. Kulit buah kakao (KBK) adalah limbah kakao yang berbentuk padat, mengandung senyawa antinutrisi theobromine menjadikan KBK terbatas dalam pemberiannya ke ternak. Selain itu, KBK memiliki kadar air yang cukup tinggi, hal tersebut menjadikan KBK mudah busuk dan berwarna gelap. Teknologi fermentasi silase merupakan salah satu teknologi untuk peningkatan penggunaan KBK. Hasil silase yang berkualitas rendah biasa terjadi di tingkat peternakan tradisional. Penggunaan bahan aditif silase berfungsi untuk memperbaiki proses silase yang terjadi dan menghindari dari penurunan kualitas. Bahan aditif seperti Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae telah biasa digunakan, inokulan Lactobacillus plantarum adalah bakteri yang
K
99
100 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
menghasilkan asam laktat sebagai zat pengawet. Sedangkan Saccharomyces cerevisiae berperan sebagai agen pengguna oksigen, oksigen yang telah digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae menyebabkan fase anaerobik dapat cepat terjadi sehingga Lactobacillus plantarum dapat optimal dalam memproduksi asam laktat. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh inokulasi Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae terhadap kualitas fisik (meliputi warna, bau, tekstur, dan keberadaan jamur), pH, kadar asam laktat, produksi gas, parameter fermentasi (meliputi pH, kandungan volatile fatty acid, kandungan amonia, dan protein mikrobia rumen), kandungan theobromine, kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik silase KBK. Tulisan dilakukan di Laboratorium Biokimia Nutrisi, Laboratorium Teknologi Makanan Ternak, Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Alat yang digunakan antara lain meliputi timbangan kapasitas 10 kg dengan kepekaan 0,1 kg, sealer dan vacuum, mesin grinder dengan diameter lubang saringan 1 mm, timbangan elektrik dengan kepekaaan 0,0001 g, pH meter, termometer digital, oven, seperangkat peralatan analisis kadar asam laktat, proksimat, amonia rumen, protein mikrobia dan kecernaan bahan kering (KcBK) dan bahan organik (KcBO), seperangkat gas chromatoghraphy, dan seprangkat high performance liquid chromatography (HPLC) Knauer, tipe UV 6000 LP. Bahan yang digunakan dalam tulisan ini berupa kulit buah kakao (KBK) segar, inokulan Lactobacillus plantarum (diperoleh dari Lab. Biokimia Nutrisi, FAPET-UGM), inokulan Saccharomyces cerevisiae (diperoleh dari PAU-UGM), gaplek,
Penutup
_ 101
air, bahan kimia untuk analisis proksimat, parameter fermentasi rumen, theobromine, kecernaan bahan kering, bahan organik. Proses fermentasi skala laboratorium dilakukan pada ruang steril. Ruang fermentasi disemprot dengan disinfektan, sedangkan peralatan disterilkan dengan alkohol 90%. Kulit buah kakao difermentasi dalam kantong fermentor plastik warna putih dengan kapasitas 1,5 kg. Satu kg KBK dan 200 g tepung gaplek digunakan untuk setiap kantong plastik, kemudian diinokulasikan Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae sebanyak 0,1% BK, dengan cara mencampur secara merata. Silo dibuat menjadi vakum menggunakan vacum dan sealer, lalu diperam selama 21 hari pada suhu kamar. Masa pemeraman selesai, silase KBK dihomogenkan berdasarkan tiap perlakuan, kemudian sampel silase segar diuji karakteristik fisik, pH, kandungan asam laktat, theobromine. Sampel silase sebanyak 500 g dari tiap replikasi diambil untuk dikeringkan dalam oven 55ºC. Sampel digiling dengan Wiley mill dengan ukuran saringan 1 mm kemudian di analisis proksimat, dan produksi gas total. Cairan rumen dari produksi gas total dianalisis parameter fermentasi rumen (meliputi pH, kadar amonia, VFA, dan protein mikrobia rumen). Data yang diperoleh dari pengujian tersebut dianalisis dengan analisis varian pola searah. Jika terjadi perbedaan karena perlakuan maka dilanjutkan uji Duncan’s new multiple range test (DMRT) (Astuti, 1980). Perhitungan dilakukan menggunakan bantuan software personal komputer statistical Product and service solution versi 16.0. (Soleh, 2005). Hasil pengujian karakteristik fisik meliputi warna, aroma, tekstur, dan keberadaan jamu. Karakteristik fisik warna menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) secara berturut-
102 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
turut antara kontrol dibandingkan inokulasi Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cerevisiae, dan campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae yaitu 1,92, 1,58, 1,58, dan 1,41. Karakteristik fisik keberadaan jamur pada silase menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) secara berturut turut 1,17, 1,00, 1,00, dan 1,03. Sedangkan karaktersitik fisik berupa aroma dan tekstur memiliki perbedaan yang tidak nyata. Sianipar dan Simanihuruk (2009), menyatakan bahwa karakteristik silase yang berkualitas baik beraroma asam, tidak lengket jika digenggam, warna dekat dengan aslinya (kecoklatan). Karakteristik fermentasi berupa pH dan kadar asam laktat silase memiliki perbedaan yang tidak nyata. Kisaran pH silase KBK memiliki kualitas silase yang baik. Sandi et al. (2010), menyakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kategori yaitu sangat baik (pH 3,2 - 4,2), baik (pH 4,2 4,5), sedang (pH 4,5 - 4,8) dan buruk (pH lebih dari 4,8). Produksi asam laktat silase KBK masih dalam kisaran normal. Hal ini sesuai dengan Aminah et al. (2010), menyatakan kualitas silase dari rumput dan hasil sisa pertanian di daerah tropis memiliki kisaran kadar asam laktat sekitar 1,08 – 3,75% BK. Kandungan BK antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturut-turut 20,38, 22,20, 21,12, dan 22,66%. Inokulasi Lactobacillus plantarum memiliki karakteristik kandungan BK yang lebih tinggi dibandingkan dengan silase kontrol tanpa penambahan inokulan. Hasil ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Contreras-Govea et al. (2013), bahwa penggunaan Lactobacillus plantarum tidak memiliki pengaruh terhadap kandungan bahan kering silase alfalfa jika dibandingkan dengan silase kontrol.
Penutup
_ 103
Kehilangan BK antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturut-turut -5,63, -3,82, -4,90, 3,36%. Silase KBK pada inokulasi Lactobacillus plantarum memiliki nilai kehilangan BK yang lebih rendah dibandingkan dengan silase kontrol. Muck (2000), menyatakan bahwa penggunaan inokulan BAL dapat meminimalisir kehilangan BK hingga 2 – 3%. Kandungan BO antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturut-turut 93,72, 93,82, 94,27, 94,43%. Inokulasi Lactobacillus plantarum secara tunggal pada silase KBK memiliki perbedaan yang tidak nyata pada kandungan bahan organik silase terhadap silase KBK kontrol tanpa penambahan inokulan. Hal ini sesuai Adesoji et al. (2010), melaporkan bahwa penggunaan Lactobacillus plantarum pada silase rumput benggala (P. maximum) dengan lama inkubasi 15 hari memiliki kandungan bahan organik yang tidak berbeda dengan silase tanpa penambahan inokulan. Kehilangan BO antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturut-turut -5,36, -3,64, -4,55, dan -3,07%. Silase KBK pada inokulasi Lactobacillus plantarum memiliki nilai kehilangan BO yang lebih rendah dibandingkan silase kontrol. Hal ini karena Lactobacillus plantarum pada fase anaerob akan menghasilkan asam laktat dan bakteriosin yang berperan menghambat mikrobia pembusuk dan patogen dalam menggunakan BO KBK. Kandungan dan Perubahan SK, serta kandungan PK menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Sedangkan perubahan PK menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturut-turut 0,04, 0,12, 0,03, dan 0,02%. Kenaikan PK dipengaruhi oleh terhindarnya degradasi protein silase dan
104 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
terdapatnya kehilangan persentase dari fraksi pakan yang lain. Contreras-Govea (2013), menyatakan inokulasi Lactobacillus plantarum sebagai bahan aditif silase pada tanaman alfalfa dapat mengurangi degradasi protein dibandingkan silase kontrol selama ensilage, penambahan inokulan juga dapat meningkatkan microbial biomass yield sebanyak 47,3 mg/ 100mg TDM. Kandungan EE antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturut-turut 0,87, 0,71, 0,33, dan 0,15%. Silase KBK pada inokulasi Saccharomyces cerevisiae memiliki kandungan EE yang rendah dibandingkan dengan silase kontrol. Potensi untuk menghasilkan enzim lipase oleh Saccharomyces cerevisiae cukup tinggi, sehingga menjadikan kandungan EE silase menjadi rendah. Perubahan EE antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05), secara berturut-turut 0,04, 0,02, -0,07, dan -0,10%. Hasil ini sesuai dengan Umiyasih dan Anggraeny (2008), melaporkan bahwa semakin lama masa fermentasi ampas pati aren menggunakan Saccharomyces cerevisiae menjadikan kandungan EE semakin rendah. Kandungan ETN antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturut-turut 70,51, 71,45, 73,22, dan 75,46%. Perubahan kandungan ETN antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), secara berturutturut -5,74, -4,26, -4,64, dan -3,00%. Inokulasi Lactobacillus plantarum memiliki nilai kehilangan BETN yang lebih rendah dibandingkan silase kontrol. Inokulan Lactobacillus plantarum akan menggunakan BETN KBK untuk diubah menjadi asam laktat, setelah asam laktat cukup pada silase maka proses penggunaan nutrien BETN akan terhenti. Silase kontrol yang memiliki populasi mikroorganisme yang beragam akan
Penutup
_ 105
menggunakan BETN sebagai sumber energinya, BETN merupakan sumber utama nutrien mikroorganisme karena BETN merupakan fraksi mudah larut pada KBK. Kandungan theobromine KBK segar sekitar 161,28 ppm, secara umum dengan proses silase pada KBK menjadikan kandungan theobromine lebih rendah dibandingkan KBK tanpa fermentasi. kandungan theobromine silase KBK kontrol sekitar 7,80 ppm, Lactobacillus plantarum sekitar 0,09 ppm, Saccharomyces cerevisiae sekitar 22,05 ppm, Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae sekitar 3,88 ppm. Fase aerob pada tahapan proses silase yang dapat menghasilkan energi panas akan mereduksi theobromine yang terdapat pada KBK. Hal lain yang dapat mempengaruhi kandungan theobromine adalah peningkatan kandungan air silase KBK, peningkatan kandungan air akan menjadikan theobromine dapat terdifusi keluar. De Vuyst et al. (2010), melaporkan bahwa penurunan kandungan theobromine selama proses fermentasi karena larut pada cairan sel sehingga terdifusi keluar. Produksi gas total antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Hasil penilitian menujukkan bahwa produksi gas terus meningkat hingga jam ke-72. Laju produksi gas cendrung tinggi mulai jam ke-6 menuju jam ke-12 dan lambat mulai jam ke-48. Munier (2012), melaporkan bahwa KBK fermentasi dengan Aspergillus sp memiliki laju produksi gas cendrung naik pada jam ke-6, produksi gas yang tinggi menujukkan bahwa aktivitas mkrobia rumen lebih tinggi dalam mengurai bahan pakan. Tingkat laju degradasi dari fraksi pakan b menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase KBK dengan inokulan campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces
106 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
cerevisiae memiliki laju degradasi fraksi b lebih tinggi dibandingkan silase kontrol dan inokulan Saccharomyces cerevisiae. Wati et al. (2012), menyatakan bahwa perbedaan laju degradasi pakan dipengaruhi oleh kandungan serat pada bahan pakan tersebut, semakin tinggi kandungan dinding sel suatu bahan pakan dapat menurunkan laju degradasinya. Degradasi teori silase KBK dengan penambahan inokulan dibandingkan tanpa penambahan inokulan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase KBK pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan silase kontrol dan perlakuan yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh laju degradasi yang cukup tinggi dibanding dengan perlakuan yang lain. Ørskov (1992), menyatakan bahwa kelarutan bahan pakan, laju degradasi di dalam rumen, tingkat konsumsi, ketersediaan substrat terfermentasi, ukuran partikel, populasi mikrobia, bentuk fisik pakan, dan pH rumen dapat mempengaruhi degradasi pakan di dalam rumen. Hasil penilitian menunjukkan pH rumen pada pakan silase KBK terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05). Derajat keasaman (pH) rumen yang dihasilkan oleh silase KBK cukup rendah, tetapi masih dalam kisaran normal. Faktor kandungan BETN silase KBK yang cukup memiliki pengaruh pada derajat keasaman (pH) rumen. Utomo (2001), menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) rumen antara lain dipengaruhi oleh jenis pakan yang dimakan terutama karbohidrat nonstruktural, bahan pakan yang banyak mengandung karbohidrat non struktural akan cepat menurunkan pH cairan rumen.
Penutup
_ 107
Kadar amonia (NH3) cairan rumen dari pakan silase KBK antar perlakuan memiliki perbedaan yang tidak nyata. Hasil tulisan ini berbeda dengan Laconi (2009), yang melaporkan kandungan amonia (NH3) hasil fermentasi rumen silase KBK memilki perbedaan yang nyata, silase KBK tanpa penambahan inokulan sekitar 7,11 mg/ 100 ml, silase dengan penambahan cairan rumen sebagai bahan aditif silase sekitar 7,62 mg/ 100 ml, serta KBK fermentasi dengan penambahan P. chyrosporium sekitar 10,04 mg/ 100 ml. Kadar asam asetat dan propionat pada silase KBK antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Kadar asam butirat antar perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Silase KBK pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae memberikan pengaruh tertinggi terhadap kandungan asam butirat yang dihasilkan dari fermentasi rumen yaitu sekitar 10,80 ± 0,51 mM. Kandungan asam butirat silase KBK pada inokulasi campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibanding silase pada inokulasi Lactobacillus plantarum dan silase kontrol menunjukkan bahwa aktivitas bakteri amilolitik di dalam rumen yang cukup tinggi. Kadar protein mikrobia rumen menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan karena tidak selarasnya ketersediaan kerangka karbon dan nitrogen, kandungan PK yang rendah menjadikan sumber nitrogen yang rendah di dalam rumen. Sumber nitrogen akan digunakan oleh mikrobia rumen untuk dijadikan senyawa protein mikrobia. Hasil kecernaan BK dan BO silase KBK menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Kandungan SK yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dari semua perlakuan, dapat
108 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
menjadikan kecernaan BK dan BO silase KBK menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antar perlakuan. Imsya dan Palupi (2009), menyatakan bahwa semakin rendah kandungan NDF, ADF, dan lignin dalam suatu bahan pakan maka akan meningkatkan nilai kecernaan.
DAFTAR PUSTAKA Adamafio, N. A. 2013. Theobromine toxicity and remediation of cocoa by-product; an review. J. Biol. Sci: 1 – 7. Adenipekun, C. O. and O. J. Dada. 2013. Biodegradation of three agricultural wastes by a white-rot fungi Pleurotus pulmonaris quetlet. Nature and Science 11 (2): 19 – 25. Adesoji, A. T., A. A. Ogunjubi, O. E. Fagede, and O. J. Babayemi. 2010. Effect of Lactobacillus plantarum starter culture on the microbial succession, chemical composition, aerobic stability and acceptability by ruminant of fermented Paniccum maximum grass. AU J. T. 14 (1): 11 – 24. Agricultural and Food Research Council. 1995. Energy and Protein Requirements of Ruminant. CAB International. Wallingford, UK. Akindumila, F. and B. A. Glatz. 1998. Growth and oil production of Apiotrichum curvatum in tomato juice. J. Food Prot. 61 (11): 1515 – 1517. Alemawor, F, V.P. Dzogbefia, E.O.K. Oddoye and J.H. Oldham. 2009. Enzyme cocktail for enhacing poultry utilisation of cocoa pod husk. Sci. Res. Essay. 4 (6): 555 - 559. 109
110 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Alemawor, F., V. P. Dzogbefia, E. O. K. Oddoye, and J. H. Oldham. 2009. Effect of Pleurotus ostreatus fermentation on cocoa pod husk composition: influence of fermentation period and Mn2+ supplementation on the fermentation process. Afr. J. Biotecnol. 8 (9): 1950 – 1958. Alexander, J., D. Benford, A. Cockburn, J. P. Cravedi, E. Dogliotti, A. Di Domenico, M. L. Fernandez-Cruz, P. Furst, J. Fink-Gremmels, C. L. Galli, P. Grandjean, J. Gzyl, G. Heinemeyer, N. Johnsson, A. mutti, J. Schlatter, R. van Leeuwen, C. Van Peteghem, and P. Verger. 2008. Theobromine as undesirable substance in animal feed. Scientific opinion of the Panel on Contaminations in The food chain. EFSA J. 752: 1 - 66 Aminah, A., A. Bakar, and A. Izham. 2010. Silage from tropical forage: Nutritional quality and milk production. FAO Electronic confrence on tropical silage. Ando, S., M. Ishida, S. Oshio, and O. Tanaka. 2006. Effect of isolated and commercial lactic acid bacteria on the silage quality, digestibility, voluntary intake and ruminal fluid charactersitic. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19 (3): 386 – 389. Aquilina, G., G. A. Chesson, P. S. Cocconcelli, J. de Knecht, N. A. Dierick, M. A. Gralak, J. Gropp, I. Halle, C. Hogstrand, R. Kroker, L. Leng, S. L. Puente, A. L. Haldorsen, A. Mantovani, G. Martelli, M. Mézes, D. Renshaw, M. Saarela, K. Sejrsen, and J. Westendorf. 2012. Scientific Opinion on the safety and efficacy of Lactobacillus plantarum (NCIMB 41028) and Lactobacillus plantarum (NCIMB 30148) as silage additives for all animal species. EFSA. J. 10(1): 1 - 11. Aregheore, E. M. 2000. Crop Residues and agro-industrial byproduct in four Pasific Island countries: availability, utilisation and potential value in ruminant nutrition. AsianAus. J. Anim. Sci. 13: 266 - 269.
Daftar Pustaka
_ 111
Aregheore, E. M. 2002. Chemical evaluation and digestibility of cocoa (Theobroma cacao) byproduct fed to goat. Trop. Anim. Health Prod. 34 (4) : 339 - 348. Arifin, H. D. and Zulfanita. 2012. Amonia rumen dan urea darah kambing Jawarandu pengaruh pemberian daun pepaya. Surya Agritama 1 (1): 38 - 47. Ashihara, H., M. Kato, and A. Crozier. 2011. Methyxanthines: Handbook of Experimental Pharmacology. SpringerVerlag. Berlin Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis. 18th Ed. The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC. Astuti, M. 1980. Rancangan Percobaan. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Baker, S. B. and Summerson, W. H. 1941. The colorimetric determination of lactic acid in biological material. J. Biol. Chem. 138: 546 - 554. Barnes, R. F., C. J. Nelson, K. J. Moore, and M. Collins. 2007. Forages The Science of grassland Agriculture. Blackwell publishing. Iowa. Bentil, J. A. 2012. Enhancement of the nutritive value of cocoa (Theobroma cacao) bean shell for use as feed for animal through a two stage solid state fermentation with Pleurotus osteretus and Aspergillus niger. Thesis. Kwame Nkrumah University of Science and Tecnology. Kumasi. Bolsen, K. K., G. Ashbell, and M. Wilkinson. 1995. Silage additive. Biotechnology in Animal Feds and Animal Feeding. Editors R. J. Wallace and A. Chesson. VCH. Basel. Brunetto, M. R., L. Gutierrez, Y. Delgado, M. Gallignani, A. Zambrano, A. Gomez, G. Ramos, and C. Romero. 2007.
112 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Determination of theobromine, theophylline, and caffein in cocoa samples by a high-performance liquid chromatographic method with on-line sample cleanup in a switching-column system. Food Chem. 100: 459 – 467. Chaney, A. L. dan E. P. Marbach. 1962. Modified reagent for determination of urea and ammonia. Clin. Chem. J. 8:130 - 132. Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition Feeds And Feeding. Prentice Hall. New Jersey. Chen, X.B. 1997. Neway-Excel Microsoft Office: A Utility for Processing Data of Feed Degradability and In vitro Gas Production. Rowett Research Institute. Aberdeen, UK. Cherney, D. J. R., J. H. Cherney, and L. E. Chase. 2004. Lactation performance F. Holstein cows fed fescue, orchardgrass, or alfalfa silage. J. Dairy Sci. 87: 2268 – 2276. Chotiah, S. 2013. Potensi bakteriosin untuk kesehatan hewan dan keamanan bahan pangan. Wartazoa. 23(2): 94 – 101. Church, D. C. 1988. The Ruminant Animal Digestive Physiology And Nutrition. Prentice Hall. New Jersey. Contreras-Govea, F. E., R. E. Muck, G. A. Broderick, and P. J. Weimer. 2013. Lacbacillus plantarum effect on silage fermentation and in vitro microbial yield. Anim. Feed Sci. Technol. 179: 61 – 68. Conway, E. J. 1962. Microdifussion Analysis And Volumetric Error. 5th edition. Crosby Lockwood and Son. London. Despal, I. G. Permana, S. N. Safarina, dan A. J.Tatra. 2011. Penggunaan berbagai sumber karbohidrat terlarut air untuk meningkatkan kualitas silase daun rami. Media Peternakan 34 (1): 69 – 76.
Daftar Pustaka
_ 113
De Vuyst, L., T. Lefeber, Z. Papalexandratou, and N. Camu. 2010. The functional role of lactic acid bacteria in cocoa bean fermentation. Biotechnology of Lactic Acid Bacteria. Editors F. Mozzi, R. R. Raya, and G.M. Vignolo. WilleyBlackwell. Iowa. Dharmawati, S., S.Djaya, dan L. Khafiza. 2012. Kualitas protein dan serat kasar silase keong rawa “kalambuai” yang menggunakan sumber aditif dedak dan onggok dengan pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae. Ziraa’ah. 33(1): 67 – 72. Fapohunda, S. O. and A. Afolayan. 2012. Fermentation of cocoa beans and antimicrobial potential of the pod husk phytochemicals. J. Physio. Phamacol. Adv. 2 (3): 158 – 164. Filipek, J. and R. Dvorak. 2009. Determination of the volatile fatty acid content in the rumen liquid: comparison of gas chromatograpy and capillary isotachophoresis. Acta Vet. Brno. 78: 627 – 633. Fonty, G. and F. Chaucheyrass-Durand. 2006. Effect and modes of action of live yeast in the rumen. Biol. Bratislava. 61 (6): 741 – 750. Food Agriculture Organization. 2012. Renewable biological system for alternative sustainable energy production. http://www.fao.org. Diakses pada 23/09/2012 Gandjar, I., W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Getachew, G., E. J. De Peters, P. H. Robinson, and J. G. Fadel. 2005. Use of an in vitro rumen gas production technique to evaluate microbial fermentation of ruminant feeeds and its impact on fermentation product. Anim. Feed Sci. Technol. 123: 547 - 559.
114 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Ginting, S. P. 2004. Tantangan dan peluang pemanfaatan pakan lokal untuk pengembangan peternakan kambing di Indonesia. Proceeding Lokakarya Nasional Kambing Potong: 61 - 77. Ginting, S. P. dan R. Krisnan. 2006. Pengaruh fermentasi menggunakan beberapa strain trichoderma dan masa inkubasi berbeda terhadap komposisi kimiawi bungkil inti sawit. Proceeding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 939 - 944. Gollop, N., V. Zakin, and Z. G. Weinberg. 2005. Antibacterial activity of lactic acid bacteria include in inoculants for silage and in silage treated with these inoculant. J. Appl. Microbiol. 98: 662 – 666. Griffi, N. W. and H. M. Burns. 2006. Successful Silage (Top Fodder Silage Manual): silage from pastures and forage crops. NSW Departement of Primary Industry. New South Wales. Hadi, R. F., Kustantinah, dan H. Hartadi. 2011. Kecernaan in sacco hijauan leguminosa dan hijauan non-leguminosa dalam rumen sapi Peranakan Ongole. Buletin Peternakan. 35 (2):79 - 85. Haghparvar, R., K. Shojaian, E. Rowghani, S. Parsaei, and M. Y. Ellahi. 2012. The effect of Lactobacillus plantarum on chemical composition, rumen degradability, in vitro gas production and energy content of whole-plant corn at different stages of maturity. IJVR. 13 (1): 8 – 15. Hamzat, R. A. and O. Adeola. 2011. Chemical evaluation of coproduct of cocoa and kola as livestock feeding stuffs. J. Anim. Sci. Adv. 1 (1): 61-68. Hanafi, N.D. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Daftar Pustaka
_ 115
Hanim, C., L. M. Yusiati and V. P. Budyastuti. 2010. In vitro gas production of fermented cocoa pod (Theobroma cacao) added with cellulolytic inoculum from cattle rumen fluid. Proccedings 5th International Seminar on Tropical Anim. Production. Part I. Yogyakarta 19-22 October 2010. Fac. Anim. Sci. Univ. Gadjah Mada. Pp 171-176. Harfiah. 2006. Perbandingan daya cerna in vitro bahan kering rumput gajah dan hasil fermentasi campuran rumput lapangan dengan isi rumen. Jurnal Sains dan Ethiologi 6 (2): 67 – 70. Harsini, T. dan Susilowati. 2010. Pemanfaatan kulit buah kakao dari limbah perkebunan kakao sebagai bahan baku pulp dengan proses organosolv. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 2(2): 80 – 89. Imsya, A. dan R. Palupi. 2009. Perubahan kandungan lignin, neutral detergent fiber, dan acid detergent fiber pelepah sawit melalui proses biodegumming sebagai sumber bahan pakan berserat ternak ruminansia. JITV. 14 (4): 284 - 287. Iriani, N. 2004. Perubahan kandungan oksalat selama proses silase rumput setaria. Prosiding temu teknis nasional tenaga fungsional pertanian. Iswantini, D., N. Nurhidayat, Trivadalia, and E. Mardiah. 2009. Aktivitas urikase yang dihasilkan dari berbagai sel L. plantarum dan parameter kinetikanya. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 14 (3): 163 - 169. Ismartoyo. 2011. Ilmu Nutrisi Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. Ismartoyo. 2011. Pengantar Teknik Penelitian Degradasi Pakan Ternak Ruminansia. Brilian Internasional. Surabaya. Isnandar. 2011. Silase Isi Rumen Sebagai Pakan Pengganti Hijauan Jagung Terhadap Produksi Susu Sapi Perah
116 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Peranakan Frisien Holstein. Disertasi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Jatkaukas, J. and V. Vrotniakiene. 2008. Effect of Lactobacillus plantarum, Pediococcus acidilactici, Enterecoccus faecium and Lactobacillus lactis microbial supplementation of grass silage on the fermentation characteristic in rumen dairy cows. Vet. Zootech. 40 (62): 29 – 34. Johnson. H. E., R. J. Merry, D. R. Davies, D. B. Kell, M. K. Theodorou, and G. W. Graffith. 2005. Vacuum packing: a model system for laboratory scale silage fermentations. J. Appl. Microbiol. 98:106-113. Jung, H. D., D. Buxton, R. hatflied, D. Mertens, J. Ralph, and P. Wermer. 1996. Improving forage fibre digestibility. Feedmix 4(6): 30 – 33. Kamal, M. 1997. Kontrol Kualitas Pakan Ternak. Laboratorium Makanan Ternak. Jurusan Nutrisi Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kellems, R. O, and D. C. Church. 2010. Livestock Feeds and Feeding. Prentice Hall. New York. Koesnandar. 2001. Biokonversi selobiosa langsung menjadi etanol menggunakan ko-imobilisasi sel lipomyces starkeyi dan saccharomyces cerevisiae secara fed-batch. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 6 (1): 15 – 18. Kompiang, L.P., J. Dharma, T. Purwadaria, A. Sinurat, dan Supriyati. 1994. Protein enrichment: Study cassava enrichment melalui bioproses biologi untuk ternak monogastrik. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 1993/1994. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Daftar Pustaka
_ 117
Kompiang, I. P., T. Haryati, dan J. Darma. 1994. Nilai gizi dari singkong yang dipekerja protein: cassapro. Ilmu dan Peternakan. 7 (2): 22 – 25. Kurniawati, A. 2004. Pertumbuhan mikrobia rumen dan efisiensi pemanfaatan nitrogen pada silase red clover (Trifolium pratense cv. sabatron). Risalah Seminar Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. Kuswandi. dan I. Inounu. 2013. Sistem Integrasi Sapi dengan Tanaman Padi Sawit dan kakao: Teknologi Pengayaan pakan sapi terintegrasi dengan tanaman kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Laconi, E. B. dan D. A. Astuti. 2000. Pemanfaatan pod kakao sebagai sumber serat pada ransum sapi potong: evaluasi neraca protein dan energi. Buletein Peternakan Edisi tambahan: 108 - 112. Laconi, E. B. 2009. The evaluation of rumen metabolism of Fries Holstein (FH) calves fed biofermented cocoa pods using Phanerochaeta chrysosporium. Proceedings The 1st International Seminar on Animal Industry 2009 at Faculty of Animal Science. Bogor Agricultural University. Lefeber,T., Z. Papalexandratou, W. Gobert, N. Camu, and L. De Vuyst. 2012. On-farm implementation of a starter culture for improved cocoa beans fermentation and its influence on flavour of chocolates produced thereof. Food Microbiol. 30: 379 – 392. Lindar, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. UI-Press. Jakarta. Mairizal. 2009. Pengaruh pemberian kulit ari biji kedelai hasil fermentasi dengan Aspergillus niger sebagai pengganti jagung dan bungkil kedelai dalam ransum terhadap retensi bahan kering, bahan organik, dan serat kasar pada ayam
118 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
pedaging. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan 12(1): 35 – 40. Makkar, H. P. S., P. Siddhuraju, and K. Becker. 2007. Plant Secondary Metabolites. Humana Press. New Jersey. Mastika, I. M. 2011. Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian Untuk Makanan Ternak. Udayana University Press. Bali. Mathius, I. W. dan A.P. Sinurat. 2001. Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional untuk ternak. Wartazoa 11 (2): 20 31. Mazzafera, P. 2002. Degradartion of caffeine by micoorganisms and potential use of decaffeinated coffe husk and pulp in animal feeding. Sci. Agric. 59 (4); 815 - 821. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan, L. A. Sinclair, and R. G. Wilkinson. 2010. Animal Nutrition. Prentice Hall. London. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. Prentice Hall. London. McDonald, P. 1981. The Biochemistry of Silage. John Wiey and Sons. New York. Mehrez, A. Z. and Ørskov. E. R. 1977. A study of the artificial fibre bag technique for determining the digestibility of feeds in the rumen. J. Agric. Sci. 88: 645 - 650. Menke, K. H., L. Raab, A. Salewski, H. Steingass, D. Fritz, and W. Schneider. 1979. The estimation of the digestibility and metabolisable energy content of ruminant feedingstuffs from the gas production when they are incubated with rumen liquor. J. Agric. Sci. 3:217-222 Min, B.R., W.E. Pinchak, J.D. Fulford, and R. Puchala. 2005. Wheat pasture bloat dynamics in vitro ruminal gas
Daftar Pustaka
_ 119
production and potensial bloat mitigation with condensed tannins. J. Anim. Sci. 83: 1322 - 1331 Moran, J. 2005. Tropical Dairy Farming. Department of Primary Industries. Victoria Muck, R. E. 2000. Inoculant for Legume-Grass Silage. Information Resource of The University of Wisconsin. US Dairy Forage Research Centre. Muck, R. E. I. Fillyaa, and F. E. Contreras-Govea. 2007. Inoculant effect on Alfalfa Silage; in vitro gas and volatile fatty acid production. J. Dairy Sci. 90:5115 - 5125. Mujnisa, A. 2007. Kecernaan bahan kering in vitro, proporsi molar asam lemak terbang dan produksi gas pada kulit kakao, biji kapuk, kulit markisa dan biji markisa. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 6 (2): 31- 36. Munier, F. F. 2012. Kajian Fermentasi Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) menggunakan Aspergillus spp. terhadap Kecernaan dan Konsumsi pada Kambing Peranakan Etawah Jantan. Disertasi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Nahm, K. H. 1992. Practical Guide to Feed, Forage, and Water Analysis. Seoul. Nelson dan Suparjo. 2011. Penentuan lama fermentasi kulit buah kakao dengan Phanerochaeta chrysosporium : evaluasi kualitas nutrisi secara kimiawi. Agrinak 1 (1): 110. Ningrat, R. W. S. and Khasrad. 2012. Effect of waste product ruminal microbe population and rumen characteristics in vitro. Proceeding of the 2nd International Seminar on Animal Industry 381 – 383. Nishino, N., H. Harada, and E. Sakaguchi. 2003. Evaluation of fermentation and aerobic stability of wet brewer’s grains
120 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
ensiled alone or in combination with various feeds as a total mixed ration. J. Sci. Food. Agric. 883: 557 – 563. Oboh, G. 2006. Nutrient enrichment of cassava peels using mixed culture of Saccaharomyces cerevisiae and Lactobacillus spp solid media fermentation tehniques. Electron J. Biotehnol. 9: 46 – 49. Ohmomo, S. S. Nitisinprasert, D. Kraykaw, P. Laemkorn, S. Tanomwongwattana, and S. Hiranpradit. 2004. Evaluation of lactic acid bacteria isolates for silage fermentation inoculant in Thailand by using a modified pouch method. JARQ. 38 (3): 199 – 208. Ohmomo, S., S. Nitisinprasart, and S. Hiranpradit. 2002. Silagemaking and recent trend of dairy farming in Thailand. JARQ. 36(4): 227-234. Ørskov, E. R. and I. McDonald. 1979. The estimation of protein degradability in the rumen from incubation measurements weighted according to rate of passage. J. Agric. Sci. 92:499-503 Ørskov, E. R. 2002. Trails and Trials In Livestock Research. Andi Offset. Yogyakarta. Ørskov, E. R. 1992. Protein nutrition in ruminant. Academic Press. London. Ørskov, E. R. and M. Reyle. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. Elsevier App Sci. London. Parente E., F. Ciocia, A. Ricciardi, T. Zotta, G. Felis, and Torriani S. 2010. Diversity of stress tolerance in Lactobacillus plantarum, Lactobacillus pentosus and Lactobacillus paraplantarum: a multivariate screening study. I. J. Food. Micro.144: 270-279. Plummer D.T. 1971. An Introduction Practical Biochemistry. McGraw-Hill Book Company LTD., Bombay, New Delhi.
Daftar Pustaka
_ 121
Pohl, W. A., J. L. F. Kock, and V. S. Thibane. 2011. Antifungal free fatty acids: a review. Formatex: 61 – 71. Prihartini, I., S. Chuzaemi, dan O. Sofjan. 2007. Parameter fermentasi rumen dan produksi gas in vitro jerami padi hasil fermentasi inokulum lignochloritik. Jurnal Protein 15 (1): 24 - 32. Puastuti, W., D. Yulistiani, dan Supriyati. 2008. Ransum berbasis kulit buah kakao diperkaya mineral: tinjauan pada kecernaan dan fermentasi rumen in vitro. Proceeding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 442 – 448. Puastuti, W., D. Yulistiani, I. W. Mathius, F. Giyai, dan E. Dihansih. 2010. Ransum berbasis kulit buah kakao yang disuplementasi zn organik: respon pertumbuhan pada domba. JITV. 15 (4): 269 – 277. Quigley, S., D. Poppi, M. Rusman, T. Saili, E. Budisantoso, Dahlanuddin, and Marseto. 2009. Opportunities to use cocoa pods and forages to address feed gaps during the dry season in Southeast Sulawesi. ACIAR. Canberra. Ramli, N., R. A. Haryadi, dan D. G. Dinata. 2005. Evaluasi kualitas nutrisi dedak gandum hasil olahan enzim yang diproduksi Aspergillus niger dan Trichoderma viride pada ransum ayam broiler. Media Peternakan 29 (3): 124 - 129. Ratnakomala, S., R. Ridwan, G. Kartina, Y. Widyastuti. 2006. Pengaruh inokulum Lactobacillus palnatarum 1A-2 dan 1BL-2 terhadap kualitas silase rumput gajah (Pennisetum purpureum). Biodiversitas 7 (2): 131 – 134. Ray, B. and A. Bhunia. 2008. Fundamental Food Microbiology. 4th ed. CRC Press, Taylor and Francis Grup. New York. Ridla, M., N. Ramli, L. Abdullah, and T. Toharmat. 2007. Milk yield quality and safety of dairy cattle fed silage composed
122 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
of organic components of garbage. J. Ferment. Bioeng. 77: 572 - 574. Sandi, S., E. B. Laconi, A. Sudarman, , K. G. Wiryawan, dan D. Mangundjaja. 2010. Kualitas nutrisi silase berbahan singkong yang diberi cairan rumen sapi dan Leuconostoc mesentroides. Media Peternakan. 33(1): 25 – 36. Santi, R. K., D. Fatmasari, S. D. Widyawati, dan W. P. S. Suprayogi. 2012. Kualitas dan nilai kecernaan in vitro silase batang pisang (Musa paradisiaca) dengan penambahan beberapa akselerator. Tropical Anim. Husb. 1(1): 15 – 23. Schlegal, H. G. dan K. Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sianipar,J. dan K. Simanihuruk. 2009. Performans kambing sedang tumbuh yang mendapat pakan tambahan mengandung silase kulit buah kakao. Proceeding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 435 - 441. Soejono, M., R. Utomo, dan Widyantoro. 1987. Peningkatan nilai nutrisi jerami padi dengan berbegai perlakuan. Editor M. Soejono, A. Musofie., R. Utomo, N. K. Wardhani, dan J.B. Schiere. Proceeding Bioconversion Project Workshop on Residues for Feed and Other Purpose. Grati. Sofyan, A., L. M. Yusiati, and R. Utomo. 2011. Microbiological characteristic and fermentability of king grass (Pennisetum hybrid) silage treated by lactic acid bacteria-yeast inoculant consortium combined with rice bran addtion. J. Indonesian Trop. Anim. Agric. 34 (4): 265 - 272. Sofyan, A. 2011. Efektivitas Inokulum Bakteri Asam Laktat dan Khamir Dari Isolat Alami dengan Penambahan Dedak Padi Terhadap Kualitas Silase Rumput Raja (Pennisetum
Daftar Pustaka
_ 123
Hybrid). Tesis. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soleh, A. Z. 2005. Ilmu Statistika Pendekatan Teoritis dan Aplikatif disertai Contoh Penggunaan SPSS. Penerbit Rakayasa Sains.Bandung. Stefani, J. W. H., F. Driehuis, J. C. Gottschal, and S. F. Spoelstra. 2010. Silage fermentation processes and their manipulation: Electronic Conference on Tropical Silage. FAO: 6 – 33. Strauss, C. J., J. L. F. Kock, P. W. J. Van Wyk, E. J. Lodolo, C. H. Pohl, and P. J. Botes. 2005. Bioactive oxylipins in Saccharomyces cerevisiae. J.Inst. Brew. 111 (3): 304 – 308. Strauss, C. J., P. W. J. van Wyk, E. J. Lodolo, P. J. Botes, C. H. Pohl, S. Nigam, and J. L. F. Kock. 2007. Mitochondrial associated yeast flocculation – the effect of acetylsalicylic acid. J. Inst. Brew. 113 (1): 42 – 47. Sukha, A. D. 2003. The utilization of cocoa and cocoa byproduct. Cocoa research unit. UWI. Sung, H. G.,Y. Kobayashi, J. Chang, A. Ha, I. H. Wang, and J. K. Ha. 2007. Low ruminal pH reduce dietary fiber digestion reduced microbial attachment. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 20: 200 - 207. Suparjo, K. G. Wiryawan, E. B. Laconi, dan D. Mangunwidjaja. 2008. Performa kambing yang diberi kulit buah kakao terfermentasi. Media Peternakan 34 (1): 35 - 41 Suparjo, K. G. Wiryawan, E. B. Laconi, dan D. Mangunwidjaja. 2009. Perubahan komposisi kimia kulit buah kakao akibat penambahan mangan dan kalsium dalam biokonversi dengan kapang Phanerochaeta chrysosporium. Media Peternakan 32 (3): 204 - 211
124 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Suratna. 1996. Degradasi In Sacco Empat Sumber Energi. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suryani, A. T. 2013. Pengaruh Fermentasi Pakan Lengkap Berbasis Kulit Buah Kakao Terhadap Konsumsi dan Kecernaan Nutrien pada Domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sveinbjornsson, J., M. Murphy, and P. Uden. 2006. Effect of the proportion of neutral detergent fiber and starch, and their degradation rates, on in vitro ruminal fermentation. Anim. Feed Sci. Technol. 130: 172 - 190. Syahrir, dan M. Abdeli. 2005. Analisis kandungan zat-zat makanan kulit buah kakao yang difermentasi dengan Trichoderma sp. sebagai pakan ternak ruminansia. J. Agrisains. 6 (3): 157 - 165. Tilley, J. M. A. and R. A. Terry. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of forage crop. J. British Grassl. Soc.18: 104 - 111. Tillman, A. D., H. Hartadi, dan S. Reksohadiprojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Toharmat, T., E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, T. Q. Noerzihad, N. A. Sigit, dan Y. Retnani. 2006. Sifat fisik pakan kaya serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan nutrien ransum kambing. Media Peternakan. 29 (3): 146 - 157. Umiyasih, U. dan Y. N. Aggraeny. 2008. Pengaruh fermentasi Saccharomyces cerevisiae terhadap kandungan nutrisi dan kecernaan ampas pati aren (Arenga pinnata). Proceeding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 241 - 247
Daftar Pustaka
_ 125
Usmiawati, S. dan W. P. Rahayu. 2011. Aktivitas hambat bubuk ekstrak bakteriosin dari Lactobacillus sp. galur SCG 1223. Proceeding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 388 – 397. Usmiawati, S. dan T. Marwati. 2007. Seleksi dan optimasi proses produksi bakteriosin dari Lactobacillus sp. J. Pascapanen 4 (1): 27 – 31. Utomo, R. 2001. Penggunaan Jerami Padi Sebagai Pakan Basal: Suplementasi Sumber Energi dan Protein Terhadap Transit Partikel Pakan, Sintesis Protein Mikrobia, Kecernaan, dan Kinerja Sapi Potong. Disertasi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Utomo, R. 2010. Modifikasi metode kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik. Buletin Sintesis 14 (1): 1 – 11. Van Ranst, G., V. Fievez, J. De Riek, and E. Van Bockstaele. 2009. Influence of ensiling forages at different dry matters and silage additives on lipid metabolism and fatty acid composition. Anim. Feed. Sci. Technol. 150: 62 – 74. Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. Cornell university Press. London. Vrotniakiene, V. and J. Jatkauskas. 2006. Influence of different silage making technologies on fermentation characrestics and nutritive value of legume-grass silage. Grassl. Sci. Eur. 11: 562 - 564. Wahyuni, T. H., I. sembiring, dan W. J. Sihombing. 2008. Tape kulit buah kakao sebagai pakan kambing boerka. Jurnal Agribisnis Peternakan 4 (2): 65 - 68 Wahjuni, R. S., R. Bijanti, dan R. Sidik. 2010. Produk metabolit cairan rumen domba yang diberi starter bakteri asam laktat dan yeast pada rumput gajah dan jerami padi. Veterinaria Medika 3 (1): 35 – 40.
126 _ Potensi Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Wati, N. E., J. Achmadi, dan E. Pangestu. 2012. Degradasi nutrien bahan pakan limbah pertanian dalam rumen kambing secara in sacco. Anim. Agr. J. 1 (1): 485 – 498. Wibowo, N. A. 2005. Penggunaan Produk Ketela Pohon Sebagai Suplemen Pakan dan Anti Koksidia Saluran Pencernaan Kambing Bligon. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Widodo, W. 2005.Tanaman Beracun Bagi Kehidupan Ternak. UMM Press. Malang. Widyobroto, B. P., S. P. S. Budhi, dan A. Agus. 2007. Pengaruh aras undegraded protein dan energi terhadap kinetika fermentasi rumen dan sintesis protein mikroba pada sapi. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 32 (3): 194 - 200. Wina, E. 1999. Pemanfaatan ragi (yeast) sebagai pakan tambahan untuk meningkatkan produktivitas ternak ruminansia. Wartazoa 9(2): 1 – 8. Wulandari, S., A. Agus, M. Soejono, dan M. N. Cahyanto. 2014. Nilai cerna dan biodegradasi theobromine pod kakao dengan perlakuan fermentasi menggunakan inokulum multimikrobia. Agritech. 32 (2): 160 – 169. Wynn, J. P. and C. Ratledge. 2005. Bailey’s industrial oil and fat product. John Wiley and Sons, Inc. Zain, M. 2009. Subtitusi rumput lapangan dengan kulit buah coklat amoniasi dalam ransum domba lokal. Media Peternakan 32 (1): 47 - 52. Zakariah, M. A. 2014. Pengaruh Penggunaan Inokulum Campuran Lactobacillus plantarum dan Saccharomyces cerevisiae pada Silase Kulit Buah Terhadap Komposisi Kimia dan Kecernaan In Vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.