STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM (PAPDI)
EDITOR
PROF. DR.H.A. AZIZ RANI, SpPD, KGEH DR. SIDARTAWAN SOEGONDO, SpPD, KEMD DR. ANNA UJAINAH NASIR, SpPD, KP
EDISI 2004
1 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS PENYAKIT DALAM (PAPDI)
EDITOR
PROF. DR.H.A. AZIZ RANI, SpPD, KGEH DR. SIDARTAWAN SOEGONDO, SpPD, KEMD DR. ANNA UJAINAH NASIR, SpPD, KP
EDISI 2004
2 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
KATA PENGANTAR
Dalam rangka menghadapi globalisasi dan menempuh pelayanan optimal sesuai dengan profesionalisme dalam menjalankan tugas profesi Dokter Spesialis Penyakit Dalam, maka Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM telah menginventarisasi dan menyusun Standar Pelayanan Medis dan Panduan Standar Operasional Prosedur Tindakan Dalam Pelayanan sehingga dapat diterapkan sebagai panduan kerja yang bermutu dan dapatdipertanggungjawabkan. Standar Pelayanan Medis di susun pertama kali dan telah dilaksanakan sejak tahun 1985. Pada tahun 1996 diadakan penyesuaian, perbaikan dan ditetapkan penggunaanya pada November 1996 dengan penanggung jawab Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Dengan berkembangnya Standar Pelayanan Medis dan berubahnya RSUPN-CM menjadi Perjan RSCM, maka pada tahun 2004 dilakukan penyesuaian dan perbaikan kembali dan ditetapkan penggunaanya oleh PB PAPDI pada Juli 2004. Tujuan dari perubahan dan penyesuaian tersebut oleh PB PAPDI agar buku Standar Pelayanan Medis (SPM) tersebut dapat dijadikan rujukan untuk seluruh Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang bekerja di rumah sakit seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, PB PAPDI berterima kasih kepada para Ketua Divisi dan Staf atas revisi yang diberikan untuk perbakan konsep SPM. Penghargaan juga diberikan kepada tim penyusun yang diketuai dr.Anna ujainah Nasir dan seluruh anggotanya. Semoga SPM ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jakarta, Juli 2004 Ketua Umum PB PAPDI
Prof.Dr.H.A.Aziz Rani, SpPD, KGEH
3 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar Langkah-langkah Penyusunan Standar Pelayanan Medik Pendahuluan Fasilitas Pelayanan Sub-Bagian Tatalaksana Poliklinik Tatalaksana Rawat Inap Tatalaksana Perawatan Tugas dan Wewenang Dokter di Poliklinik Tugas dan Kewajiba Dokter di Ruangan SMF IPD Tugas dan Kewajiban Dokter Jaga di SMF IPD
Standar Pelayan Medik: Reumatologi: Artritis Rematoid (RA) Arthritis Gout Sistemik Lupus Eritematosus Osteo Arthritis (OA) Scleroderma Prosedur Tindakan Injeksi Intra Artikuler Aspirasi cairan sendi Hepatologi: Sirosis Hati Hepatoma Hepatitis Akut Hepatitis Virus Kronik Cholecystitis Abses Hati Fatty Liver Tindakan Prosedur Biopsy Hati Aspriasi Pungsi Ascites ERCP Tropik dan Infeksi: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Demam Tifoid Sepsis Leptospirosis FUO Metabolik-Endokrin: 4 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Diabetes Mellitus Tirotoksikosis Ketoasidosis (KAD) Hipoglikemia Dislipidemia Gangren DM SNNT Kista Tiroid Ca Thyroid Cushing Syndrome Prosedur Tindakan Pungsi Kista FNAB Perawatan Ulkus DM Kardiologi: Arhytmia Congestive Heart Failure (CHF) Sindrom Koroner Akut (SKA) Endokarditis Infektif Prosedur Tindakan Catheterisasi Treadmill PTCA Pungsi Perikard Pemasangan Pace Maker Alergi dan Immunologi: Asthma Syok Anafilaktik HIV/AIDS Prosedur Tindakan Skin Test Provokasi Test Gastroenterologi: Hematemesis Melena Diare Kronik Pankreatitis Akut Ileus Paralitik Dispepsia Hematoskezia Ca Colon Ca Rectum Ca Gaster Peptic Ulcer Prosedur Tindakan Endoskopi 5 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Kolonoskopi Flokker Ligasi Skleroterapi Businasi Ginjal dan Hipertensi: Sindrom Nefrotik (SN) Penyakit Ginjal Kronik Infeksi Saluran Kemih (ISK) Gagal Ginjal Akut Hipertensi Prosedur Tindakan Hemodialisa/ HD Biopsy Ginjal Peritonialdialisis/ PD Hematologi-Onkologi Medik: Lymphoma Anemia Aplastik Leukemia Akut Leukemia Kronik Sindrom Lisis Tumor Idiopathic Trombositopenic Purpura (ITP) Deep Vein Thrombosis (DVT) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Prosedur Tindakan FNAB Kemoterapi Apheresis Phlebotomi Aspirasi Sumsum Tulang/ Bone Marrow Puncture (BMP) Biopsi Sumsum Tulang Nutricath Transfusi Darah Psikosomatik: Depresi Berorientasi Organ Ansietas Berorientasi Organ Pulmonologi: Hemoptisis Efusi Pleura Pneumothoraks Pneumonia Didapat di Masyarakat (CAP) Pneumonia Nosokomial Pneumonia Atipic Pneumonia Aspirasi 6 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Gagal Napas Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) TB Paru Ca Paru Emboli Paru Prosedur Tindakan Pungsi Cairan Guided USG FNAB TTB Pleurodesis Bronkoskopi Spirometri Geriatri: Pneumonia Dehidrasi Acute Confusional State (ACS) Incontinentia Urin Penutup Lampiran: Jadwal Kegiatan Departemen Jadwal Kegiatan Sub-Bagian Daftar Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM Alur Konsul dari Departemen Lain Alur Pasien Rawat Jalan Surat Keputusan Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM No. 469/PT02.FK25/cbu-93/2003 Penetapan Tim Revisi Standard Operating Procedure (SCP). Surat Keputusan Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM No. 682a/PT02.FK25/cbt-131/1996 Penetapan Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam.
7 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
KATA PENGANTAR
Dalam rangka menghadapi globalisasi dan menempuh pelayanan optimal sesuai visimisi RSCM, maka Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM telah menginventarisasi dan menyusun Standar Pelayanan Medis dan Panduan Standar Operasional Prosedur Tindakan Dalam Pelayanan sehingga dapat diterapkan sebagai panduan kerja yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. Standar Pelayanan Medis di susun pertama kali dan telah dilaksanakan sejak tahun 1985. Pada tahun 1996 diadakan penyesuaian, perbaikan dan ditetapkan penggunaanya pada November 1996 dengan penanggung jawab Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM. Dengan berkembangnya Standar Pelayanan Medis dan berubahnya RSUPN-CM menjadi Perjan RSCM, maka pada tahun 2003 dilakukan penyesuaian dan perbaikan kembali dan ditetapkan penggunaanya oleh PB PAPDI pada Desember 2003. Pada kesempatan ini, PB PAPDI berterima kasih kepada para Ketua Sub Bagian atas revisi yang diberikan untuk perbakan konsep SPM. Penghargaan juga diberikan kepada tim penyusun yang diketuai dr.Uyainah Zaini Nasir dan anggotanya dr.M. Syafiq, dr.Ikhwan Rinaldi, dr. Johanes, dr.Purwita, dr.Dyah, dan dr.Ariani. Semoga SPM ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jakarta, Desember 2003 Ketua Departemen/KSMF Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN-CM
Dr.H.A.Aziz Rani, SpPD, KGEH NIP 130 422 576
8 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM TAHUN 2003
Dalam Penyusunan Standar Pelayanan Medik (SPM) Ilmu Penyakit Dalam ada beberapa langkah yang ditempuh untuk mencapai hasil yang makasimal, sebagai berikut: 1. Departemen Ilmu Penyakit Dalam bersama Koordinator Pelayanan Medik membentuk tim khusus penyusun SPM tahun 2003 yang terdiri dari: 1. Satu orang staf Penyakit Dalam dari Koordinator Pelayanan Medik sebagai Koordinator. 2. Enam orang PPDS Ilmu Penyakit Dalam sebagai anggota. 3. Dua orang secretariat dari Koordinator Pelayanan Medik IPD. 2. Pembuatan SK Penugasan Penyusunan SPM Penyakit Dalam tahun 2003 oleh Ketua Departemen. PROSES PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN MEDIK ILMU PENYAKIT DALAM TAHUN 2003 1. Menentukan latar belakang penyusunan SPM. 2. Menentukan masalah yang ada dalam pelayanan di Departemen Penyakit Dalam. 3. Menentukan topik-topik yang perlu dimasukkan ke dalam SPM Topik-topik ditentukan berdasarkan: a. Sepuluh penyakit terbesar dari setiap subbagian. b. Penyakit-penyakit yang dianggap penting walaupun angka kejadian kecil. c. Penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan emergensi. 4. Pembagian topic kepada 6 orang PPDS, dengan ketentuan 2 subbagian untuk masingmasing PPDS (ada 12 subbagian). PEMBAGIAN TOPIK: 1. dr.Muh.Syafiq & Dwi Hargiati: Psikosomatik : - Depresi - Anxietas Reumatologi : - OA (Osteoarthritis) - RA (Arthritis Rheumatoid) - SLE (Systemic Lupus Eritematosus) - Arthritis Gout - Scleroderma Tindakan/prosedur : - Injeksi Intra Artikuler - Aspirasi Cairan Sendi 9 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. dr.Purwita Wijaya Laksmi & Dwi Hargiati: Ginjal- Hipertensi : - Penyakit Ginjal Kronik. - Sindrom Nefrotik (SN) - Gagal Ginjal Akut. - Hipertensi. - ISK (Infeksi Saluran Kemih) Tindakan/prosedur : - Hemodialisa/HD. - Biopsi Ginjal. - Peritonialdialisis (PD). Tropik- Infeksi : - DHF (Dengue Haemorrhagic Fever). - Typhoid Fever (Demam Tifoid). - Leptospirosis. - Sepsis. - FUO.
3. dr.Dyah Purnamasari & Dwi Hargiati: Hepatologi : - SH (Sirosis Hati). - Hepatoma. - Hepatitis Akut. - Hepatitis Virus Kronik. - Cholecystitis. - Abses Hati. - Fatty Liver. Tindakan/prosedur : - Biopsi Hati. - Aspirasi. - Pungsi Ascites. - ERCP. Hematologi-Onkologi Medik : - Lymphoma. - Anemia Aplastik. - Leukemia Akut. - Leukemia Kronik. - Sindrom Lisis Tumor. - ITP (Idiopathic Trombositopenic Purpura). - DVT (Deep Vein Thrombosis). - DIC. 10 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Tindakan/prosedur : -
FNAB. Kemoterapi. Apheresis. Phlebotomi. BMP (Aspirasi Sumsum Tulang). Biopsi Sumsum Tulang. Nutricath. Transfusi Darah.
4. dr.Ikhwan Rinaldi & Arti Lestari, SKM: Kardiologi : - Arhtymia. - CHF (Congestive Heart Failure). - SKA (SIndrom Koroner Akut). - Endokarditis Infektif. Tindakan/prosedur : - Catheterisasi. - Treadmil. - PTCA. - Pungsi Perikard. - Pemasangan Pace Maker. Alergi- Imunologi : - Asthma. - Syok Anafilaktik. - HIV/SIDA. Tindakan/prosedur : - Skin Test. - Provokasi Test. 5. dr.Ariani Intan Wardhani & Arti Lestari, SKM: Gastroenterologi : - Haematemesis Melena. - Diare Kronik. - Pankreatitis Akut. - Ileus Paralitik. - Dispepsia. - Haemtoskezia. - Ca Colon. - Ca Recti. - Ca Gaster. - Peptic Ulcer. Tindakan/prosedur : - Endoskopi. 11 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
-
Geriatri
Kolonoskopi. Flokker. Ligasi. Skleroterapi. Businasi.
:
- Pneumonia. - Dehidrasi. - ACS (Acute COnfusional State). - Incontinensia Urin. 6. dr.Johanes Poerwoto & Arti Lestari, SKM: Metabolik- Endokrinologi: - Diabetes Mellitus. - Tirotoksikosis. - KAD (Ketoasidosis). - Hipoglikemia. - Dislipidemia. - Gangren DM. - SNNT. - Kista Thyroid. - Ca Thyroid. - Cushing Syndrome. Tindakan/prosedur : - Pungsi Kista. - FNAB. - Perawatan Ulkus DM. Pulmonologi : - Hemoptisis. - Effusi Pleura. - Pneumothoraks. - Pneumonia. - Gagal Nafas. - PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik). - TB Paru. - Ca Paru. - Emboli Paru. TIndakan/prosedur : - Pungsi Cairan. - Guided USG. - FNAB. - TTB. 12 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
- Pleurodesis. - Bronkoskopi. 5. Pembagian tugas secretariat yaitu 1 orang secretariat untuk 3 orang PPDS yang bertugas menfollow-up, mengingatkan PPDS dan membantu proses kelancaran dalam menyusun SPM. 6. Menyusun sistematika penulisan SPM yaitu sebagai berikut: I. Penyakit Terdiri Dari: (1) Pengertian. (2) Diagnosis. (3) Differensial Diagnosis. (4) Pemeriksaan Penunjang. (5) Terapi. (6) Komplikasi. (7) Prognosis. (8) Wewenang. (9) Unit Terkait. II. Tindakan Terdiri Dari: (1) Pengertian. (2) Tujuan. (3) Indikasi. (4) Kontra Indikasi. (5) Persiapan. (6) Prosedur Tindakan. (7) Lama Tindakan. (8) Komplikasi. (9) Wewenang. (10) Unit Terkait 7. SPM meliputi pelayanan subbagian rawat jalan, rawat inap, dan kegawatdaruratan. 8. Menyusun SPM yang telah dibuat oleh 6 orang PPDS menjadi satu bentuk tulisan yang kemudian di koreksi oleh staf subbagian terkait yang ditunjuk oleh masingmasing subbagian. 9. Menyusun keseluruhan SPM yang telah dibuat mencakup didalamnya (SPM pelayanan subbagian, rawat jalan, rawat inap, kegawatdaruratan, dan SPM yang telah dikoreksi oleh masing-masing subbagian terkait) menjadi satu bentuk tulisan utuh. 10. Ketua Departemen mengirimkan SPM yang telah jadi ke subbagian-subbagian terkait untuk dikoreksi kembali. 11. Memperbaiki SPM yang telah dikoreksi oleh masing-masing subbagian. 12. Ketua Departemen menyetujui SPM yang telah diperbaiki, pembuatan SPM tahun 2003 selesai. 13. Sosialisasi SPM kepada seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan PPDSIPD. 14. Pelaksanaan SPM dilaksankan oleh seluruh Staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan PPDS-IPD dengan penuh tanggung jawab. I. PENDAHULUAN 13 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Rumah Sakit Perjan Dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah satu-satunya rumah sakit rujukan utama (top Referal) milik Pemerintah Indonesia. Selain itu RSCM juga merupakan rumah sakit pendidikan (Teaching hospital) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), baik untuk pendidikan dokter umum (S1), dokter spesialis (S2/Sp I, Sp II) dan doctor (S3). Visi dari RSCM adalah Rumah Sakit Pendidikan yang mandiri dan terkemuka di ASEAN Tahun 2005 dan di Asia Pasifik tahun 2010. Salah satu misi RSCM adalah memberikan pelayanan kesehatan paripurna, bermutu, dan terjangkau. Sedangkan salah satu tujuannya adalah tercapainya pelayanan prima yang menjamin kepuasan konsumen. Sebagai salah satu rumah sakit rujukan utama Perjan RSCM member pelayanan untuk hampir semua jenis cabang ilmu kedokteran. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM terdiri dari 12 subbagian, mempunyai 81 orang staf konsultan subspesialisasi dan tenaga ahli, termasuk diantaranya 14 orang guru besar dan 5 orang doctor/PhD/MSc. Selain itu terdapat 117 dokter asisten ahli, yang sedang menjalani pendidikan spesialis I. Pelayanan yang diberikan oleh Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM selalu ditekankan pada penanganan medis berdasarkan masalah (Problem Oriented Medical Management) dan Memperhatikan cost effectiveness. Dalam melayani pasien selalu diupayakan menegakkan permasalahan yang ada berdasarkan data-data yang didapat, dan dilakukan sintesis dan analisis untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat. Begitupula pemeriksaan dan pengobatan yang direncanakan selalu dipilih berdasarkan pertimbangan indikasi yang tepat dan biaya yang hemat. Konsultasi dengan Departemen lain akan dilakukan bila diperlukan sehingga pasien mendapat pelayanan yang Optimal terpadu, dan berkesinambungan. Pertimbangan utama dari setiap tindakan adalah kepentingan pasien. Selain di RSCM, pelayanan Departemen Ilmu Penyakit Dalam juga dilakukan di RS Persahabatan dan RSUD Tangerang.
14 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
II.
CARA MENDAPATKAN PELAYANAN DI DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM (IPD) RSCM
Sesuai dengan fungsinya sebagai rujukan utama, pelayanan di RSCM diutamakan sebagai rujukan. Pengertian ini berarti pasien yang dikirim ke Departemen IPD (RSCM) sebelumnya sudah diperiksa oleh dokter praktek umum, dokter puskesmas, dokter spesialis di Kabupaten dan Propinsi secara optimal. Departemen IPD RSCM juga melayani konsultasi baik dari dokter praktek umum maupun spesialis swasta. Bagi seorang pegawai negeri pada surat rujukan Asuransi Kesehatan (ASKES). Hal yang perlu dilakukan untuk rujukan ke Departemen IPD RSCM adalah sebagai berikut: 1. Membawa surat pengantar dari: Dokter luar (Puskesmas/ RS Pemda/Klinik Swasta/ RS Swasta). Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM. Dokter Departemen lain di RSCM. 2. Membeli karcis di loket yang telah disediakan. 3. Bagi peserta ASKES diminta mengisi formulir khusus. 4. Mendaftar ke loket Poliklinik Penyakit Dalam yaitu 2 jenis: a) Bagi pasien yang membwa rujukan dari dokter umum/Departemen lain, setelah mendaftar di loket Poli Penyakit Dalam, menunggu panggilan dari Poliklinik Penyakit Dalam, Apabila dikonsulkan ke polklinik subspesialis penyakit dalam, yang bersangkutan mendaftar kembali di Poliklinik Penyakit Dalam berdasarkan surat konsul tersebut, selanjutnya menunggu panggilan dari Poliklinik Subspesialis yang dituju. b) Bagi Pasien yang membawa rujukan dari dokter spesialis penyakit dalam luar yang ditujukan untuk subspesialis, setelah mendaftar di loket Poli Penyakit Dalam, langsung menuju panggilan dari Poliklinik subbagian yang dituju. Untuk penanganan kasus-kasus gawat darurat, bagian gawat darurat Departemen IPD RSCM selalu siap 24 jam sehari sepanjang tahun termasuk hari libur. Pelayanan subbagian di Departemen IPD RSCM: 1. Alergi Imunologi Klinik. 2. Metabolik – Endokrinologi. 3. Ginjal – Hipertensi. 4. Gastroenterologi. 5. Hepatologi. 6. Pulmonologi. 7. Hematologi- Onkologi Medik. 8. Tropik- Infeksi. 9. Reumatologi. 10. Kardiologi. 15 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
11. Psikosomatik. 12. Geriatri. III.
TATA LAKSANA POLIKLINIK
Jenis Pasien: 1. Dengan surat pengantar. 2. Tanpa surat pengantar.
A. Dengan surat pengantar dari: Dokter luar (Puskesmas/ RS Pemda/ Klinik Swasta/ RS Swasta). Instalasi Gawat Darurat RSCM. Dokter Departemen lain di RSCM. Dapat ke: 1. Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam: a. Langsung berobat/konsultasi di polilklinik spesialis penyakit dalam. b. Pada setiap konsultasi dilakukan pemeriksaan dan pembuatan status serta konsep surat jawaban konsultasi oleh peserta PPDS. c. Setiap surat jawaban konsul atau surat rawat harus di ketahui dan di tanda tangani oleh supervisor (c.q. Pelaksana harian yang bertugas). d. Pelaksana harian pada Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam, bertanggung jawab kepada Supervisor Poliklinik Penyakit Dalam. e. Bila dianggap perlu peserta PPDS dapat meminta konsultasi SMF lain sepengetahuan Pelaksana Harian/ Supervisor. f. Atas Indikasi, pasien dapat dikonsulkan ke Poli Subspesialis. 2. Poliklinik Subspesialis: a. Pasien dapat berobat langsung ke Poliklinik Subspesialis apabila surat pengantar langsung ditujukan ke Poliklinik Subspesialis. b. Setiap konsultasi dilakukan pemeriksaan dan pembuatan status serta konsep jawaban konsul oleh peserta PPDS. c. Setiap permintaan dan jawaban konsul harus diketahui dan ditandatangani oleh/bersama konsulen subbagian yang bersangkutan. d. Bila diperlukan tindakan khusus/ prosedur diagnostic/ terapi, dibuatkan surat pengantar ke Ruang Prosedur dan Pasien harus mendaftar di loket khusus. Poliklinik Subspesialis terdiri dari: 1. Alergi dan Imunologi Klinik. 2. Tropik Infeksi. 3. Reumatologi. 16 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4. Pulmonologi. 5. Ginjal dan Hipertensi. 6. Psikosomatik. 7. Hepatologi. 8. Metabolik dan Endokrin. 9. Gastroenterologi. 10. Jantung. 11. Hematologi- Onkologi Medik. 12. Geriatri. B. Tanpa surat pengantar: 1. Poliklinik Penyakit Dalam: a. Pasien harus berobat pada poliklinik penyakit dalam terlebih dahulu dan bila perlu dikonsulkan ke poliklinik subspesialis atau Departemen lain di RSCM. b. Dokter Poliklinik Penyakit Dalam yang akan merawat pasien harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pelaksana harian yang bertugas. 2. Instalasi Gawat Darurat: a. Menerima pasien yang gawat. b. Pasien mendaftar di loket IGD. c. Setiap pelayanan dilakukan pemeriksaan , pengobatan, dan pembuatan status serta pencatatan medik oleh PPDS (dokter jaga). d. Bila ada masalah/ kasus sulit yang belum terselesaikan dokter jaga harus melakukan konsul melalui telepon kepada konsulen jaga penyakit dalam dan atau konsulen subspesialis di Departemen Ilmu Penyakit Dalam. e. Bila ada indikasi, dokter jaga IGD bersama Chief jaga dapat langsung menyetujui perawatan pasien. f. Bila ada indikasi, pasien dapat dikonsulkan ke Departemen lain yang terkait. g. Bila ada indikasi, pasien dapat ditempatkan di ruang isolasi, IW, HCU. IV. 1. 2. 3.
4.
5.
ALUR PASIEN RAWAT JALAN Pasien langsung mendaftar ke loket Poliklinik Penyakit Dalam sesuai dengan surat pengantar (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). Di Poliklinik Penyakit Dalam dilakukan pemeriksaan dan pembuatan staus serta pencatatan medik oleh PPDS. Bila ada indikasi, pasien dapat dikonsulkanke Poliklinik Subspesialis di Penyakit Dalam. Kemudian Pasien mendaftar kembali ke loket Poliklinik Penyakit Dalam (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). Bila ada indikasi, pasien dapat dikonsulkan ke Departemen lain yang terkait (Pendaftaran langsung ke Poliklinik Departemen lain yang dituju, dengan pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan Departemen lain yang terkait: Umum/ Askes). Bila diperlukan tindakan khusus/ prosedur diagnostik/ terapi, dibuatkan surat pengantar ke Ruang Prosedur dan Pasien harus mendaftar di loket khusus tindakan
17 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
subbagian yang dituju (Pembayaran sesuai pembayaran sesuai kebijakan IPD dan Subbagian yang terkait dengan persetujuan RSCM: Umum/ Askes). 6. Hasil pembayaran dilaporkan ke ko/Admin ke IPD RSCM kemudian ke YanMed RSCM. V. ALUR KONSUL DARI DEPARTEMEN LAIN (ANTAR DEPARTEMEN) 1. Jika Konsul dilakukan pada jam Kerja: a. Bila surat pengantar diberikan untuk Poliklinik Penyakit Dalam, pasien mendaftar di Poliklinik Penyakit Dalam (Poliklinik Konsul PD) (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). b. Bila surat pengantar diberikan untuk Poliklinik Subspesialis Penyakit Dalam, pasien mendaftar di Poliklinik Penyakit Dalam (Poliklinik Konsul PD) (Pembayaran sesuai kebijakan RSCM dan IPD: Umum/ Askes). c. Bila ada indikasi alih rawat dan kondisi pasien sangat emergency/ perawatan intensif (Mengancam nyawa) maka pasien dapat ditempatkan di ICU, ruang rawat khusus, atau ruang resusitasi/ IGD lantai 1. d. Bila masalah emergency teratasi maka pasien dirawat lanjutan di ruang rawat Penyakit Dalam. e. Jika ruang rawat penuh, maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian terkait) dengan melapor terlebih dahulu ke supervisor/konsulen subbagian. f. Bila ada indikasi alih rawat tetapi kondisi pasien tidak emergency dan tempat penuh maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan ke subbagian terkait) dan dilaporkan terlebih dahulu ke supervisor/ konsulen subbagian. g. Bila diperlukan, pasien dapat rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian dengan terlebih dahulu lapor ke supervisor/konsulen subbagian). 2. Jika Konsul dilakukan di luar jam Kerja: a. Pasien dikonsulkan ke dokter jaga. b. Bila ada indikasi alih rawat dan kondisi pasien sangat emergency/ perawatan intensif (Mengancam nyawa) maka pasien dapat ditempatkan di ICU, ruang rawat khusus, atau ruang resusitasi/ IGD lantai 1. c. Bila masalah emergency teratasi maka pasien dirawat lanjutan di ruang rawat Penyakit Dalam. d. Jika ruang rawat penuh, maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian terkait) dengan melapor terlebih dahulu ke supervisor/konsulen subbagian. e. Bila ada indikasi alih rawat tetapi kondisi pasien tidak emergency dan tempat penuh maka dapat dilakukan rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan ke subbagian terkait) dan dilaporkan terlebih dahulu ke supervisor/ konsulen subbagian. f. Bila diperlukan, pasien dapat rawat bersama (disusulkan konsul lanjutan di subbagian dengan terlebih dahulu lapor ke supervisor/konsulen subbagian). 18 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
VI. FASILITAS PELAYANAN SUB-BAGIAN: A. SUB-BAGIAN ALERGI IMUNOLOGI KLINIK: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit alergi dan imunologi (misalnya Lupus Eritematosus Sistemik/ Systemic Lupus Erythematosus/ SLE), disamping menjawab konsultasi dari departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Selasa dan Kamis di lantai IV gedung Instalasi Rehabilitasi Medik (IRM). 2. Pemeriksaan Khusus: Pemeriksaan yang bisa dilakukan di sub-bagian ini mencakup uji faal paru (Spirometri), uji CMI (Cell Mediated Immunity/ Imunitas yang dihantarkan sel), uji kulit, uji provokasi obat, uji provokasi histamine. Uji CMI dan faal paru dilakukan setiap Senin, Rabu, dan Jum’at. Uji kulit dilakukan setiap hari Selasa, sementara uji provokasi obat dan histamin sesuai perjanjian. 3. Pengobatan: Di Poliklinik gedung IRM lantai IV dilakukan juga pengobatan inhalasi. 4. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. B. SUB-BAGIAN METABOLIK-ENDOKRIN: 1. Poliklinik: 1.1. Poliklinik Penyakit Endokrin: Di poliklinik ini dilakukan penanganan penyakit endokrin secara menyeluruh, yaitu deteksi dini, pemantauan sampai penilaian komplikasinya. Hari kerja Poliklinik adalah Setiap Senin, Selasa, Kamis, dan Jum’at bertempat di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II, pada jam kerja. 1.2. Poliklinik Penyakit Diabetes Mellitus: Di poliklinik ini dilakukan penanganan penyakit Diabetes Mellitus secara menyeluruh, yaitu deteksi dini, pemantauan sampai penilaian komplikasinya. Pelayanan juga mencakup tatalaksana diabetes pada kehamilan dan pada penyakit lain. Hari kerja Poliklinik adalah Setiap Selasa dan Jum’at bertempat di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II, pada jam kerja. 1.3. Poliklinik Lipid dan Obesitas: Di poliklinik ini dilakukan penanganan penyakit Lipid dan Obesitas secara menyeluruh, yaitu deteksi dini, pemantauan sampai penilaian komplikasinya. Hari kerja Poliklinik adalah Rabu bertempat di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II, pada jam kerja. 19 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
1.4. Klinik Penyuluhan Diabetes: Di poliklinik ini dilakukan penyuluhan pasien baru, pasien lama dengan masalah, konsultasi dari luar RSCM untuk penurunan glukosa darah, mengenal komplikasi seperti hipoglikemia dan merupakan rujukan klinik diabetes yang ada disekitar Pulau Jawa. 1.5. Klinik Perawatan Kaki Diabetes: Di Poliklinik ini dilakukan penanganan perawatan kaki diabetes. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1. Tindakan Diagnostik Penyakit Tiroid Meliputi USG, Biopsi, Aspirasi Tiroid untuk mencari diagnostik etiologik. Pemeriksaan dilakukan sesuai perjanjian. 2.2. Tes Dinamika Hormon Pertumbuhan, Adrenal, dan Hipofisis. 2.3. Pemeriksaan Laboratorium untuk Kadar Glukosa Darah dan tes toleransi glukosa, dilakukan Selasa dan Jum’at bersama Poliklinik Penyakit Diabetes Mellitus. 2.4. Pemeriksaan Laboratorium untuk kadar kolesterol dan lipid darah, dilakukan pada hari Poliklinik Lipid dan Obesitas yaitu Rabu. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi.
C. SUB-BAGIAN GINJAL HIPERTENSI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Ginjal dan Hipertensi, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Rabu, dan Jum’at di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II sayap kanan. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1.Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat struktur ginjal dan saluran kemih sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik dan perencanaan tindakan selanjutnya. Tindakan dilakukan sesuai perjanjian. 2.2.Biopsi Ginjal Tindakan diagnostik ini diperlukan untuk menilai struktur jaringan ginjal dengan tuntunan USG. Tindakan dilakukan sesuai perjanjian. 2.3.Renogram Effective Renal Plasma Flow (ERPF), Glomerular Filtration Rate (GFR), arteriografi, dan BPN dilakukan bekerjasama dengan Departemen Radiologi. 3. Hemodialisis (Cuci Darah):
20 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Sub-bagian Ginjal Hipertensi mempunyai ruangan khusus untuk tindakan ini yang dilakukan setiap Senin sampai Sabtu mulai jam 8 pagi sampai jam 8 malam termasuk hari libur. Tindakan hemodialisis dilakukan pada kasus dengan Chronic Kidney Disease Stadium 4 dan 5, atau ginjal akut dengan indikasi tertentu. 4. CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis/ Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan): Dengan bimbingan dari tenaga medis dan paramedik dari sub-bagian Ginjal Hipertensi, dialysis cara ini bisa dilakukan sendiri oleh pasien. 5. Transplantasi (Cangkok) Ginjal: Tindakan penuh tantangan dan ketelitian ini sudah dilakukan di RSCM bekerjasama dengan Departemen Bedah Urologi. 6. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. D. SUB-BAGIAN GASTROENTEROLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit saluran cerna, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Selasa dan Kamis di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II. 2. Pemeriksaan Khusus: Tindakan peneropongan saluran cerna dengan optik fiber ini bisa dilakukan untuk 2 fungsi yaitu diagnostik dan terapi. Tindakan diagnostic mencakup Esofago Gastro Duodenoskopi, ERCP (Bekerjasama dengan Departemen Radiologi) dan Kolonoskopi. Sedangkan tindakan terapi adalah untuk dilatasi esophagus (Bouginasi), pemasangan protesa esophagus, dilatasi pylorus, PEG (Percutaneus Endoscopic Gastroenterostomy/ Gastroenterostomi Endoskopi Perkutaneus). Kalau diperlukan, tindakan ini juga bisa dilanjutkan dengan pemasangan stent, polipektomi, skleroterapi hemoroid, dan ligasi hemoroid. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. E. SUB-BAGIAN HEPATOLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit hati, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. 21 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin dan Rabu di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1.Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat struktur hati dan bagian sistem pencernaan lainnya seperti limpa dan kandung empedu sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik dan dasar perencanaan tindakan selanjutnya. Prosedur ini bisa dilanjutkan dengan intervensi seperti aspirasi untuk kasus abses hati amuba ataupun piogenik. Tindakan dilakukan sesuai perjanjian. 2.2.Biopsi Hati: Tindakan diagnostik ini dilakukan dengan panduan USG, diperlukan untuk menilai struktur Patologi Anatomis jaringan hati misalnya pada kelainan hati kronis akibat virus ataupun non-virus, nodul di hati,dll. Penjadwalan dilakukan sesuai perjanjian. 2.3.Laparoskopi: Pemeriksaan ini dilakukan dengan peneropongan untuk melihat struktur permukaan organ dalam rongga perut. Prosedur ini bisa dilanjutkan dengan biopsi atas indikasi. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi.
F. SUB-BAGIAN PULMONOLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit saluran nafas, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Rabu, dan Jum’at di gedung Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik (IRM) lantai V. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1.Spirometri: Merupakan uji faal paru yang sangat berguna dalam menilai toleransi operasi, dan pemantauan terapi penyakit paru kronik. Pemantauan ini dilakukan setiap hari poliklinik, yaitu Senin, Rabu, dan Jum’at. 2.2.Bodyplethysmography: Pemeriksaan ini sangat bermanfaat dalam penilaian fungsi paru yang belum terdeteksi dengan spirometri (Standard). Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari poliklinik, yaitu Senin, Rabu, dan Jum’at atau dengan perjanjian. 22 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.3.Bronkoskopi: Pemeriksaan dengan teropong serabut optik ini dilakukan untuk menilai keadaan permukaan jalan nafas, bisa dilanjutkan dengan bilas bronkoalveolar, sikatan bronkus, atau biopsi transbronkial. Pemeriksaan ini dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa, dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.4.Punksi Cairan Pleura: Pengambilan cairan pleura ini berdasarkan indikasi sebagai penunjang diagnostik dan tindakan terapetik. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.5.Aspirasi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB): Aspirasi jarum halus dilakukan pada pembesaran Kelenjar Getah Bening, massa tumor di leher, subclavicula, ataupun ketiak untuk analisis sitologi keganasan. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.6.Biopsi Trans Torakal (Trans Thoracal Biopsy/ TTB): Biopsi trans torakal dilakukan pada tumor paru yang letaknya perifer. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 2.7.Biopsi Pleura: Biopsi pleura ini dilakukan untuk penunjang diagnostic. Pemeriksaan ini dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, atau dengan perjanjian. 3. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. G. SUB-BAGIAN HEMATOLOGI-ONKOLOGI MEDIK: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit darah dan keganasan, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari kerja di gedung Poliklinik Subbagian Penyakit Dalam Lantai II Sayap kiri. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1. Pemeriksaan darah perifer/tepi lengkap (DPL) termasuk sitomorfologi. 2.2. Analisis sitomorfologi dan pewarnaan khusus serta sitokimia sumsum tulang melalui Aspirasi (BMP) dan Biopsi Sumsum Tulang untuk mendapatkan data histopatologi (PA dari Departemen Patologi Anatomi. 2.3. Sitologi cairan tubuh (Cairan Pleura, Asites, Cairan Otak dsb) dengan teknik Cytospin. 2.4. Biopsi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB) terhadap Kelenjar Getah Bening atau Massa Tumor untuk Analisis Sitologi Keganasan. 2.5. Pemeriksaan pembekuan darah (Hemostasis Lengkap) dan agregrasi trombosit. 2.6. Analisis limfosit T dan B dengan Antibody Monoclonal dengan Immunofluoresensi untuk menilai kekebalan seluler dan diagnosis imunologik leukaemia (Immunofenotyping). 23 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.7. Deteksi virus HIV dalam darah. 2.8. Pemeriksaan sitogenetika untuk mencari kelainan kromosom pada keganasan dari darah tepi, aspirat sumsum tulang maupun jaringan tumor padat. 3. Pengobatan: 3.1. Poliklinik: Pelayanan transfusi komponen darah, flebotomi maupun pemberian sitostatika secara Perawatan Sehari (One Day Care). 3.2. Rawat Inap Khusus Kamar Steril: Perawatan dalam ruangan isolasi khusus/bebas kuman untuk pengobatan induksi sitostatika dan transplantasi sumsum tulang. 3.3. Pelayanan Hemaferesis Atau Pemisahan Komponen Darah: Berupa Terapi (Misalnya lekosit atau trombosit berlebihan) dan penambah untuk orang lain yang memerlukan. 4. Pengobatan: 4.1. Merancang: Memberikan dan melakukan penyediaan kemoterapi sitostatika pada penyakit keganasan (Misalnya Leukemia, limfoma malignum, myeloma multiple). 4.2. Berkerjasama: Dengan disiplin/sub-bagian terkait dalam pengelolaan medic penyakit kanker padat/ non-hematologik, baik secara konsultatif maupun tim/rawat bersama. 5. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi. H. SUB-BAGIAN TROPIK INFEKSI: 1. Poliklinik: Pelayanan sub-Bagian Tropik Infeksi dilakukan di RSUPN-CM dan RSUP Persahabatan Kegiatan yang dilakukan di kedua tempat adalah pemeriksaan dan pengobatan penyakit Tropik-Infeksi, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ Rumah Sakit lain, konsultasi dari Dokter Praktek Umum dan Spesialis di Luar Rumah Sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan di RSUPN-CM dilakukan setiap hari kerja di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam Lantai II sayap kanan, sementara di RSUP Persahabatan di lantai II gedung Poliklinik. . 2. Pemeriksaan Khusus: Pemeriksaan Laboratorium dilakukan setiap hari diantaranya: Serologi Malaria. Serologi Leptospirosis. Serologi Widal. Serologi Dengue. Kultur Bakteriologi. Mikologi. 24 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. Rawat Inap: Perawatan juga dilakukan di RSCM dan RSUP Persahabatan. Pelayanan sub-bagian ini di RSUP Persahabatan mempunyai fasilitas perawatan dan pelayanan khusus untuk diare. I. SUB-BAGIAN REUMATOLOGI: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Reumatologi, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Selasa dan kamis di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai II. 2. Pemeriksaan Khusus: Tindakan ini mencakup fungsi cairan sendi dan analisanya, pemeriksaan CRP, faktor rematoid, Autoantibodi (Latex, Rose Wahler), ANA, anti ds-DNA, anti scl 70, SS-A, SS-B, anti SN-RNP. 3. Terapi: Tercakup di sini adalah fungsi cairan sendi, injeksi steroid intraartikuler, dan terapi rehabilitasi (Kerjasama dengan Instalasi Rehabilitasi Medik). 4. Rawat Inap: Perawatan dilakukan sesuai indikasi. J. SUB-BAGIAN KARDIOLOGI: 1. Poliklinik: 1.1.Poliklinik Kardiologi: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Jantung, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Poliklinik ini melayani pasien setiap hari pada jam kerja. 1.2.Poliklinik Aritmia: Poliklinik ini melayani pasien 2 kali seminggu pada jam kerja. 2. Pemeriksaan Khusus: 2.1. Ekokardiografi Doppler dan Warna: Pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi. Gambaran pemeriksaan bisa dipantau bersama pasien melalui monitor komputer. Indikasi pemeriksaan antara lain adalah didapatkannya perikarditis, efusi pericardial, prolaps katup mitral (Mitral Valve Prolapse, MVP), kelainan katup, kerusakan sekat serambi dan bilik (Atrial Septal Defect, ASD dan Ventricular Septal Defect, VSD), Fungsi jantung. Waktu tindakan disesuaikan dengan perjanjian. 2.2. Ekokardiografi Trans-Esofagus (Transesophagus Echocardiography/ TEE): 25 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.3.
2.4. 2.5. 2.6. 2.7.
3. 3.1. 3.2. 4.
5.
Pemeriksaan ini di-indikasikan terutama untuk pasien muda yang menderita stroke dimana didapatkan kecurigaan adanya thrombus di appendage atrium kiri, melihat lebih jelas adanya kelainan katup, aorta, VSD, ASD. Waktu tindakan sesuai perjanjian. Ekokardiografi Stress: (Stress Echocardiography): Ini berguna untuk melihat hasil uji stress dengan lebih teliti. Treadmill (Uji Beban Jantung). Monitor Hotter (Melihat Aritmia). Fonokardiografi (Visualisasi Kelainan Bunyi Jantung). Kateterisasi Jantung. Pemeriksaan ini merupakan cara mengukur tekanan di ruang-ruang jantung, aliran balik (Regugirtasi), melihat kondisi kelianan bawaan, katup, dan stenosis pembuluh koroner. Kateterisasi juga bisa digunakan sebagai terapi seperti pada PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty/ Angioplastik Koroner Intralumen Perkutan), BMV (Ballon Mitral Valvuloplasti/ Mitral dengan Balon), EPS (Electro Physiology Study/ Pemantauan Elektrofisiologi). Tindakan ini juga bisa dilanjutkan dengan ablasi, pemasangan stent dan alat pacu jantung baik yang sifatnya temporer (Sementara) maupun yang permanen (Tetap). Perawatan: Rawat Inap: Fasilitas ini digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung yang perlu dirawat. Unit Perawatan Jantung Intensif (Intensive Coronary Care Unit, ICCU): Unit ini melakukan perawatan jantung secara intensif berdasarkan indikasi. Rehabilitasi Jantung: Pelayanan ini dilakukan bersama Yayasan Jantung Mas Isman, dilakukan di beberapa tempat di Jakarta. Rawat Inap: Rawat Inap dilakukan sesuai indikasi.
K. SUB-BAGIAN PSIKOSOMATIK: Departemen Penyakit Dalam RSUPN-CM selalu memegang prinsip bahwa penatalaksanaan pasien harus holistic, yaitu secara keseluruhan, tidak memandang jasad dan jiwa sebagai hal yang terpisah. Ada 4 Keadaan yang Berhubungan dengan gangguan psikosomatik: 1. Gejala Fisik yang penyebabnya murni psikis. 2. Gejala Fisik/ Organik yang disebabkan factor psikis lama. 3. Gangguan Fisik dan Psikis yang dijumpai bersama-sama tapi keduanya tak berhubungan (Koinsidensi). 4. Gangguan fisik lama yang menyebabkan gangguan psikis (Misalnya pada Arthritis Reumatoid, Diabetes, Penyakit Keganasan, atau Penyakit Jantung yang sudah lama. 26 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Fasilitas Pelayanan Yang Ada: 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Psikosomatik, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Selasa, dan Kamis di gedung Poliklinik Departemen Penyakit Dalam lantai V IRM (Instalasi Rehabilitasi Medik). 2. Pemeriksaan/ Uji Laboratorium: Pemeriksaan yang bisa dilakukan di sub-bagian ini mencakup uji insulin, uji adrenalin, dan uji air yang bertujuan menilai adanya ketidakseimbangan saraf otonom vegetative. 3. Rawat Inap: Perawatan dilakukan sesuai indikasi. L. SUB-BAGIAN GERIATRI: Memasuki usia lanjut tidak berarti hanya menjadi jompo dengan sederet penyakit dan segenggam obat yang harus tiap kali diminum. Geriatri adalah seni tersendiri dalam bidang penyakit dalam yang memerlukan tindakan holistic inter/multidisiplin. 1. Poliklinik: Kegiatan yang dilakukan di sini adalah pemeriksaan, pengobatan, pemantauan serta penyuluhan penyakit Geriatric, disamping menjawab konsultasi dari Departemen/ rumah sakit lain, konsultasi dokter praktek umum dan spesialis di luar rumah sakit maupun rujukan dari daerah. Edukasi dan latihan jasmani adalah hal yang tak kalah pentingnya. Kegiatan Poliklinik Subbagian ini dilakukan hari Senin, Selasa, Kamis, dan Jum’at di gedung Poliklinik Geriatric Departemen Penyakit Dalam. 2. Perawatan Sehari: Kegiatan ini dilakukan pada setiap hari Senin. Dalam proses ini dilakukan pengkajian (assessment) menyeluruh pada pasienpasien Geriatrik. Pelayanan ini dilakukan bersama-sama dokter dari Departemen Terkait seperti Unit Rehabilitasi Medik, Jiwa, dan Instalasi Gizi. 3. Penyuluhan: Kegiatan ini dilaksanakan sekali sebulan dengan pokok bahasan masalah-masalah yang sering dijumpai. 4. Rawat Inap: Perawatan dilakukan sesuai indikasi. 5. Kunjungan ke Panti Werdha Untuk Pemeriksaan dan Penyuluhan pada Pasien-paien di tempat tersebut. VII.
TATA LAKSANA RAWAT INAP
27 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
A. TATA CARA PERAWATAN a. Tata Cara Perawatan di Ruang Kelas IIB dan III: Pasien yang akan dirawat di ruang kelas II B dan III harus mendapat persetujuan lebih dahulu dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Pasien yang berasal dari poliklinik umum mendapat persetujuan dari pelaksana harian supervisor poliklinik spesialis penyakit dalam (PHS PSPD). 2. Pasien yang berasal dari poliklinik Spesialis Penyakit Dalam mendapat persetujuan dari pelaksana harian supervisor poliklinik spesialis penyakit dalam (PHS PSPD). 3. Pasien yang berasal dari poliklinik spesialis harus mendapat persetujuan dari konsulen poliklinik subspesialis. 4. Pasien yang berasal dari Instalasi Gawat Darurat (Pada jam Kerja) mendapat persetujuan dari Dokter Instalasi Gawat Darurat. 5. Pasien yang berasal dari Instalasi Gawat Darurat (Diluar jam Kerja) mendapat persetujuan dari Dokter Jaga Utama Penyakit Dalam 6. Pasien yang berasal dari ruang perawatan Departemen lain (di luar Departemen Penyakit Dalam) dipindahkan setelah mendapat persetujuan dari Pelaksana Harian Supervisor Poliklinik Spesialis Pada waktu jam kerja, dan diluar jam kerja mendapat persetujuan dari Dokter Jaga Utama Penyakit Dalam. b. Tata Cara Perawatan di Ruangan kelas I dan II: Pasien yang akan dirawat di ruang kelas I dan II harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Pasien pribdi staf Departemen Penyakit Dalam yang membawa surat dari dokter pribadinya dan datang pada jam kerja, dapat dirawat setelah mendapat persetujuan dari P3RN. 2. Pasien pribadi dari dokter staf Departemen Penyakit Dalam yang membawa surat dari dokter pribadinya dan datang di luar jam kerja, diperiksa dahulu oleh dokter jaga Penyakit Dalam IGD dan dapat dirawat setelah memenuhi persyaratan administrative. Dokter jaga memberitahukan ke staf tersebut bahwa pasiennya dirawat. 3. Pasien yang datang dengan indikasi rawat yang datang ke: Poliklinik Umum dan Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam tanpa pengantar surat pengantar dokter pribadi, dapat dirawat setelah mendapat persetujuan dari pelaksana harian supervisor poliklinik umum. Poliklinik Subspesialis tanpa surat pengantar dari dokter pribadi atau konsulen poliklinik subspesialis dapat dirawat setelah mendapat persetujuan dari P3RN. 4. Pasien dengan indikasi rawat yang datang di IGD pada jam kerja tanpa surat pengantar dokter pribadi, boleh memilih dokter yang dikehendaki, dan bila tidak maka pasien dirawat atas nama Koordinator Pelayanan Medik Setelah mendapat persetujuan P3RN. 28 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5. Pasien dengan indikasi rawat yang datang di IGD pada jam jaga tanpa surat pengantar dokter pribadi, dapat dirawat atas nama Koordinator Pelayanan Medik Setelah menyelesaikan persyaratan administrasi. 6. Pasien yang masuk rawat di luar jam kerja penanganannya sementara dapat dilakukan oleh dokter jaga. VIII. TATA LAKSANA PERAWATAN A. Pasien di ruang perawatan Kelas III: 1. Masuk Rawat Pada Jam Kerja: a. Setelah pasien tiba di ruangan maka dokter ruangan bersama dokter kepala ruangan (DKR) memeriksa penderita dan segera menetapkan kondisi pasien: baik, sedang, berat, kritis. b. Bila Kondisi Pasien Berat atau Kritis, maka: Masalah segera ditegakkan. Segera diatasi masalahnya dengan menetapkan keadaan vital (Vital sign) pemberian diet, cara perawatan, cara pemberian cairan I.V. dan medikamentosa, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya serta instruksi khusus (Konsultasi, perawatan khusus, tindakan khusus, dsb). Selanjutnya dokter ruangan bersama-sama dokter kepala ruangan segera melaporkan kepada supervisor dan bila perlu ke subbagian yang bersangkutan. Ringkasan pada waktu pasien masuk harus segera diisi dan catatan medic lengkap harus diselesaikan dalam waktu 24 jam. c. Bila pasien dalam kondisi baik atau sedang maka: Dokter ruangan bersama-sama dengan dokter kepala ruangan memeriksa pasien dan menegakkan masalah kemudian menetapkan diet, cara perawatan, medikamentosa, pemeriksaan laboratorium, dan penunjang. Melaporkan kepada supervisor ruangan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Catatan medik lengkap harus diselesaikan dalam waktu 2 jam. d. Supervisor mengkoordinasikan dan mengawasi kondisi pasien dan perkembangannya, rencana pemeriksaan penunjang dan pengobatan dengan menghubungkan “Cost Effectiveness” dan etik kedokteran dengan cara mengadakan ronde ruangan minimal 2x/ minggu. e. Bila pasien yang tiba di ruangan dalam keadaan baik, kemudian tiba-tiba jatuh dalam keadaan berat atau kritis maka dokter ruangan dan dokter kepala ruangan segera menetapkan tindakan dan pengobatan dan segera melaporkan pada supervisor. f. Bila pasien meninggal maka dokter ruangan membuat resume perawatan, dan bersama-sama dokter ruangan yang lain dan supervisor mendiskusikannya dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh supervisor (Minimal 1x minggu). g. Pemulangan pasien ditentukan oleh supervisor. Dokter ruangan berkewajiban membuat surat pengantar kepada dokter yang mengirim/ Puskesmas/ 29 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Poliklinik Sub-Spesialis, dan surat tersebut harus diketahui oleh supervisor ruangan. 2. Masuk Rawat Diluar Jam Kerja (Jam Jaga): a. Setelah pasien tiba di ruangan maka dokter jaga junior bersama-sama dokter jaga senior menetapkan kondisi pasien, karena umumnya yang dirawat pada jam jaga ialah pasien yang berat atau kritis maka langkah seperti dalam ad 1 segera dilaksanakan. b. Formulir status dan pengobatan/ tindakan yang dilakukan segera ditulis dan ditandatangani oleh yang bersangkutan dengan mencantumkan nama jelas. c. Keesokan harinya dokter jaga junior segera menimbang terimakan pada dokter ruangan. Dokter ruangan bersama-sama dokter kepala ruangan segera melaporkan kepada supervisor. 3. Segala sesuatu yang terjadi pada pasien yang baru tiba, pasien lama yang gawat atau meninggal dan setiap tindakan harus dicatat dalam catatan medik dan ditandatangi oleh yang bersangkutan disertai nama jelas. B. Pasien di ruang perawatan Kelas II: Prinsip tatalaksana perawatan sama dengan pasien ruang perawatan kelas III. C. Pasien di ruang perawatan kelas I: Karena pasien di ruangan kelas I tidak ada dokter kepala ruangan dan dokter ruangan, maka pasien ditujukan ke subbagian terkait apabila kasusnya sudah jelas dan ditujukan ke coordinator pelayanan masyarakat apabila kasusnya belum jelas.
30 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
STANDAR PELAYANAN MEDIK PENYAKIT
31 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
REUMATOLOGI NO
ARTRITIS PIRAI Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristalmonosodium urat(MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik. Kriteria ACR (1977): A. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam cairan sendi, atau B. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam tofus, atau C. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut: 1. Inflamasi maksimal pada hari pertama 2. Serangan artritis akut lebih dari 1 kali 3. Artiritis monoartikular 4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan 5. Pembengkakan sendi simetris pada gambaran radiologik 6. Serangan pada sendi MTP unilateral 7. Serangan pada sendi Tarsal Unilateral 8. Tofus 9. Hiperurisemia 10. Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologik 11. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologik 12. Kultur bakteri cairan sendi negative 1.Pseudogout khusus: Artritis Septik, Artritis Reumatoid LED, CRP Analisis cairan sendi Asam Urat darah dan urin 24 jam Ureum, Kreatinin, CCT Radiologi Sendi 1. Penyuluhan 2. Pengobatan Fase Akut: a. Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi perbaikan inflamasi atau terdapat tanda-tanda toksik atau dosis tidak melebihi 8mg/24 jam. b. Obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID) c. Glukokortikotoid dosis rendah bila ada kontraindikasi 3. Pengobatan Hiperurisemia: a. Diet Rendah Purin b. Obat penghambat Xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya Allopurinol c. Obat Urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) Catatan: Obat antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada stadium akut.
32 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Tofus Deformitas Sendi Nefropati Gout, Gagal Ginjal Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Reumatologi
ARTRITIS REUMATOID No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui Kriteria Diagnosis (ACR,1987) 1. Kaku Pagi, sekurangnya 1 jam 2. Artritis pada sekurangnya 3 sendi 3. Artiritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP) dan Proximal Interphalanx (PIP). 4. Artritis yang Simetris. 5. Nodul Reumatoid 6. Faktor Reumatoid serum positif 7. Gambaran Radiologik yang spesifik Catatan: Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut diatas, criteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu. Spondiloatropati seronegatif, sindrom Sjogren LED,CRP Faktor Reumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar kasus (85%), sedangkan hasil negative tidak menyingkirkan adanya AR. Analisis Cairan Sendi. Dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit diatas 2000/mm3. Analisis ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan adanya artropati Kristal. Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh Osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampah daerah subkondral. Biopsi sinovium/nodul rheumatoid. Penyuluhan Proteksi Sendi, terutama pada stadium akut Obat antiinflamasi non-steroid Obat remitif(DMARD), misalnya klorokuin dengan dosis 1x250mg/hari, metrotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu, salazopirin dosis 3-4x 500mg/hari, garam emas per oral dosis 3-9 mg/hari, atau subkutan dosis awal 10 g, dilanjutkan seminggu
33 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
kemudian dengan dosis 25 mg/minggu, dan dinaikan menjadi 50 mg/minggu selama 20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis kumulatif 2g. Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin, untuk mengatasi keadaan akut atau kekambuhan Dapat diberikan prednisone dengan dosis 20mg dosis terbagi dan segera Tappering off. Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid intraartikular seperti Triamcinolone Acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20-40 mg. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Operasi untuk memperbaiki deformitas. Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar) Sindrom Terowongan Karpal
Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam-Subbagian Reumatologi Departemen Bedah-Orthopedi
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Penyakit autoimun yang ditandai produksi antibody terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Kriteria Diagnosis ACR 1982. Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria dibawah ini. 1. Ruam Malar 2. Ruam Diskoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Artritis 6. Serositis (pleuritis dan perikarditis) 7. Kelainan ginjal (proteinuri>0,5g/hari), atau (silinder sel) 8. Kelainan Neurologi, kejang-kejang atau psikosis. 9. Kelainan Hematologi, anemia hemolitik, atau leucopenia, atau limfopenia, atau trombopenia. 10. Kelaian imunologik, Sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif, tes serologis untuk sifilis positif palsu. 11. Antiboid Antinuklear (ANA) positif. Mixed Connective Tissue Disease, Sindrom Vaskulitis LED, CRP C3 dan C4 ANA, ENA (Anti dsDNA dsb) Coomb Test, bila ada AIHA
34 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
BIopsi Kulit Penyuluhan Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, kadang-kadang juga sinar fluoresein Pada manifestasi non-organ vital(kulit, sendi, fatigue) dapat diberikan klorokuin 4 mg/kg/BB/hari. Bila terdapat peradangan terbatas pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid intraartikular Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan pulse metilprednisolon 1g/hari IV selama 3 hari berturut-turut, lalu diberikan prednisone 4060mg/hari per oral Bila Pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak memuaskan , maka dimulai pemberian imunosupresif lain, missal siklofosfamid 500-1000 mg/m2 sebulan sekali selama 6 bulan, kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun. Imunosupresan lain yang dapat diberikan adalah azatioprin, siklosporin-A Anemia hemolitik, thrombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder, osteonekrosis. Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi Departemen Kulit & Kelamin.
ARTRITIS SEPTIK No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Artritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai mikroorganisme (bakteri,non-gonokokal) Nyeri Sendi Akut, umumnya monoartikular. Umumnya terdapat penyakit lain yang mendasari DItemukan bakteri dari kultur cairan sendi. Artiritis gonokokal, bursitis septio Analisis Cairan Sendi Pewarnaan Gram dan kultur cairan Sendi Radiografi sendi yang terserang. LED,CRP, leukosit darah Kultur darah, bila ada tanda-tanda sepsis. 1. Aspirasi Cairan Sendi 2. Antibiotik berspektrum luas sebelum ada hasil kultur dan diubah setelah hasil kultur diperoleh. 3. Drainase sendi yang terinfeksi 4. Indikasi Tindakan bedah: a. Infeksi Koksa pada anak-anak. b. Infeksi mengenai sendi yang sulit dilakukan drainase secara adekuat. c. Terdapat Bukti Osteomielitis d. Infeksi Berkembang ke jaringan lunak sekitarnya
35 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
Osteomielitis, sepsis Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi Departemen Bedah- Orthopedi
OSTEOARTRITIS No. Dokumen No.Revisi
Hal.
OA merupakan penyakit degenerative yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang (Osteofit) Osteoartritis sendi lutut: 1. Nyeri lutut, dan a. Usia > 50 tahun b. Kaku Sendi < 30 menit c. Krepitasi+ Osteofit 2. Salah satu dari 3 kriteria berikut: Osteoartritis sendi tangan: 1. Nyeri tangan atau kaku, dan 2. Tiga dari 4 kriteria berikut: a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III ki&ka, CMC I ki&ka). b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP. c. Pembengkakan pada <3 sendi MCP d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu. Osteoartritis sendi pinggul: 1. Nyeri pinggul, dan 2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut: a. LED <20 mm/jam b. Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum c. Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial) Artritis rheumatoid, arthritis gout, arthritis Septic, spondilitis ankilosa LED, pada OA inflamatif, LED akan meningkat. Analisis Cairan Sendi Radiografi Sendi yang terserang. Artroskopi. 1. Penyuluhan 2. Proteksi sendi, terutama pada Stadium AKut 3. Obat antiinflamasi non-steroid. Dapat digunakan seperti sodium diklofenak 50 mg t.i.d, piroksikam 20 mg o.d. meloksikam 7,5 mg. o.d dan sebagainya. 4. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis 5. Operasi untuk memperbaiki deformitas Deformitas Sendi
36 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7.
Komplikasi Prognosis
Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi Departemen Orthopedi.
SPONDILITIS ANKILOSA No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Spondilitis Ankilosa (SA) merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai tulang aksial. Dikenal dua bentuk yaitu spondilitis ankilosa primer (idiopatik) dan sekunder yang berkaitan dengan arthritis reaktif,psoriasis atau penyakit kolon inflamatif. Kriteria New York: 1. Nyeri padavertebra lumbal atau dorsolumbal 2. Keterbatasan gerak fleksi anterior, fleksi lateral, dan ekstensi lumbal 3. Keterbatasan ekspansi dada sebesar ≤ 2,5 cm pada sela iga ke-IV Diagnosis definitive ditegakkan berdasarkan: 1. Gambaran radiografi sakrolitis bilateral derajat 3-4 ditambah 1 atau lebih criteria diatas, atau 2. Gambaran radiografi sakroilitis unilateral derajat 3-4 atau sakroilitis bilateral derajat 2, ditambah criteria 1 atau criteria 2+3. Diagnosis kemungkinan SA (Probable) ditegakkan berdasarkan gambaran radiografi sakroilitis derajat 3-4, tanpa disertai criteria tersebut di atas. Penyakit Reiter, Spondiloartropati juvenile, arthritis psoriatic, artropati enteropatik. LED, CRP, Seperti halnya AR, LED dan CRP diharapkan meningkat di mana hal ini menunjukkan adanya proses inflamasi. Faktor Rheumatoid serum, biasanya negative Analisis cairan Sendi. Tidak ada parameter spesifik untuk menyingkirkan kelainan lain. Radiologi sendi sakroiliakal, vertebra lumbal, dan vertebra torakal. HLA-B27, Hasil positif sangat mendukung kejadian SA. Faktor risiko berkaitan dengan adanya subtype dari HLA-B27 Penyuluhan Proteksi sendi, terutama pada stadium akut Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID) Obat remitif (DMARD), biasanya salazopirin dengan dosis 2 x 1 gram/hari. Fisioterapi yang intensif, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. Operasi untuk memperbaiki deformitas. Bamboo Spine, Fraktur dislokasi Malam
37 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Rematologi Departemen Rehabilitasi Medik
HEPATOLOGI NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5. 6.
Terapi Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
HEPATITIS VIRUS AKUT No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama < 6 bulan Anamnesis: Mual, malaise, anoreksia, urin berwarna gelap Pemeriksaan fisik: Ikterus, hepatomegali Laboratorium: ALT dan AST meningkat > 3xN Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis. Laboratorium: AST, ALT, bilirubin, seromarker (IgM anti HAV,HbsAg, IgM anti HBc, anti HCV, IgM anti HEV) Tirah baring, diet seimbang, pengobatan suportif Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi
HEPATITIS VIRUS KRONIK No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati. Anamnesis: Umumnya tanpa keluhan Pemeriksaan Fisik: Bisa ditemukan hepatomegali Laboratorium: Pertanda Virus hepatitis B atau C positif USG:Hepatitis Kronik Biopsy hati: Peradangan dan fibrosis pada hati. Perlemakan hati Laboratorium seperti pada hepatitis akut USG hati Biopsi hati Hepatitis B Kronik:Lamivudin Hepatitis C Kronik: Interferon α +Ribavirin Sirosis hati,Karsinoma Hepatoseluler 20% akan berkembang menjadi sirosis hati Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi Departemen Patologi Anatomi
38 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
ABSES HATI No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Rongga Patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi amuba atau bakteri Anamnesis: Demam Pemeriksaan Fisik: Ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri perut kanan atas Laboratorium: Leukositosis, gangguan fungsi hati USG: Rongga dalam hati Aspirasi: Pus(+) Hepatoma, Kolesititis, TBC hati, aktinomikosis hati Laboratorium: DPL, ALP, Biliruibn, serologi amuba, USG, Kultur cairan pus Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein Pada Abses amuba: Metronidazol 4 x 500-750 mg/hari selama 5-10 hari Pada Abses piogenik; Antibiotika spectrum luas atau sesuai dengan hasil kultur kuman Pada Abses Campuran: Kombinasi metronidazol dan antibiotika. Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif atau bila apses berukuran besar (>5) Ruptur Abses (ke Pleura, Paru, Perikardium, usus, Intraperitoneal atau kulit), Perdarahan dalam abses, sepsis Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi
KOLESISTITIS AKUT No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Anamnesis: Nyeri Epigastrium atau perut kanan atas, dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam Pemeriksaan fisik: Teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik. Laboratorium: Leukositosis USG: Penebalan dinding kandung empedu, seringkali ditemukan pula sludge atau batu. Angina Pektoris, Infark Miokard Akut, Appendisitis Akut Retrosaekal, tukak peptik, perforasi, pankreatitis akut, Obstruksi Intestinal. Laboratorium: DPL, AST, ALT, ALP, bilirubin, kultur
39 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal
darah, USG hati. Tirah baring, puasa sampai nyeri berkurang/hilang Pengobatan suportif (Antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan elektrolit) Antibiotika parenteral Kolesistektomi bila diperlukan. Gangren/Empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula, peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronis Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi Departemen Bedah Digestif.
PERLEMAKAN HEPATITIS NON ALKOHOLIK No. Dokumen No.Revisi
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Hal.
Suatu sindrom klinis dan patologis akibat perlemakan hati ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati Anamnesis: Rasa mengganjal di perut kanan atas Pemeriksaan Fisik: Kelebihan berat badan USG: Gambaran Bright Liver. Biopsi Hati: Ditemukan perlemakan hati, perdangan lobulus, kerusakan hepatoseluler, hialin Mallory dengan atau tanpa fibrosis. Hepatitis Virus Kronik Laboratorium: Gula darah, profil lipid, AST, ALT, ALP, Gamma GT, Seromarker Hepatitis, ANA, anti dsDNA Biopsi Hati Mengoreksi Faktor risiko (Penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki profil lipid dan olah raga) Sirosis hati Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Hepatologi Departemen Patologi Anatomi.
TROPIK INFEKSI 40 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4. 5.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang Terapi
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Penyakit Demam Akut yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. Kriteria Diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memenuhi: Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini: Uji Tourniquet positif (>20 petekie dalam 2,54 cm2) Peteki, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain. Hematemesis atau melena. Trombositopenia (≤100.000/mm3) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage: Hematokrit meningkat ≥20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin, dan populasi yang sama. Hematokrit turun hingga ≥20% dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan hipoproteinemia Derajat I: Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif dan/atau mudah memar. II: Derajat I disertai perdarahan spontan. III: Terdapat kegagalan sirkulasi: nadi cepat dan lemah, atau hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah. IV: Renjatan: Tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III dan IV digolongkan dalam sindrom renjatan dengue Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia Hb,Ht, Leukosit, Trombosit, Serologi Dengue. Nonfarmakologis: Tirah baring, makanan lunak Farmakologis: Simtomatis: Antipiretik parasetamol bila demam Tatalaksana Terinci dapat dilihat pada lampiran protokol tatalaksana DBD Cairan Intravena: Ringer Laktat atau Ringer Asetat 4-6 jam/kolf koloid/ plasma ekspander pada DBD Stadium III dan IV bila diperlukan. Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi. Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III atau IV dengan koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)
41 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Renjatan, Perdarahan, KID Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian TropikInfeksi
DEMAM TIFOID No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhi Anamnesis: Demam naik secara bertangga lalu menetap selama beberapa hari, demam terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare. PF: ebris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif( peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia) Lab: Dapat ditemukan leukopenia, Leukositosis, atau leukosit normal, aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, Anemia ringan, Trombositopenia, gangguan Fungsi hati. Kultur Darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal ≥ 4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titer antibodi O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis. Hepatitis tifosa : bila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosiat 1. Hepatomegali. 2. Ikterik, 3. Kelainan Laboratorium antara lain: Bilirubin >30,6 umol/l, Peningkatan SGOT/SGPT Penurunan indeksi PT 4. Kelainan histopatologi Tifoid Karier: ditemukannya kuman Salmonella Typhii dalam biakan feses atau urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid. Infeksi virus, malaria DPL,Test fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu) NonFarmakologis: Tirah baring, makanan lunak renda serat Farmakologis: Simtomatis Antimikroba Pilihan Utama: Kloramfenikol 4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
42 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Alternatif lain: Tiamfenikol 4 x 500 mg (Komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan Kloramfenikol) Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu. Ampisilin dan amoksisilin 50 -150 mg/kg/BB selama 2 minggu. Sefalosporin generasi III, yang terbukti efektif adalah Seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan Sefotaksim 2-3 x 1 gram, Sofeperazon 2 x 1 gram Florokuinolon (Demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV): o Norfloksasin 2x 400 mg/hari selama 14 hari. o Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari. o Oflofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari. o Peflofloksasin 400mg/hari selama 7 hari. o Flerofloksasin 400 mg/hari selama 7 hari. Kasus Toksik Tifoid (Demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. Kombinasi Antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, renjatan septik. Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tidoid yang mengalami renjatan septik dengan dosis 3x5 mg Kasus Tifoid Karier: Tanpa Kolesitasis Pilihan rejimen terapi selama 3 bulan: Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari Amoksisilin 100mg/kgBB/hari +Probenesid 30 mg/kgBB/hari Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari Dengan Kolelitiasis kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau kolesistektomi + salah satu rejimen: Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari Norfloflaksasin 2 x 400 mg/hari Dengan infeksi Shicstosoma Haematobium pada traktur urinarius Eradikasi Schistosoma Haematobium: Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila diperlu diberikan 3 43 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
dosis interval 2 minggu. Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Perhatian: Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimoksasol tidak boleh digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III, Tiamfenikol tidak dianjurkan pada Trimester I, Obat yang dianjurkan golongan beta laktam: Ampisilin, amoksisilin dan sefalosporin generasi III(Seftriakson) Intestinal: Perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis. Ekstra-Intestinal:Kardiovaskular (Kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, tromboflebitis), hematologik ( Anemia hemolitik, trombositopenia, KID), Paru (Pneumonia, empiema, pleuritis), Hepatobilier ( Hepatitis, Kolesistitis), Ginjal 7 (Glomerulonefritis, Pielonefritis, Pernefritis), Tulang (Osteomielitis, Periosistitis, Spondilitis, Artritis), Neuropsikiatrik (Toksik Tifoid). Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi Departemen Bedah- Subbagian Bedah Digestif.
LEPTOSPIROSIS No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili Leptospiraceae Anamnesis: Demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, Mual, muntah, diare. PF: Injeksi konjungtiva. Ikterik, fotofobia, hepatomegali, splenomegali, penurunan kesadaran Lab: Dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amilase,lipase, dan CK, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal Serologi leptospira positif (titer I ≥100 atau terdapat peningkatan ≥ 4 kali pada titer ulangan). Hepatitis tifosa, ikterus obstruktif, malaria,kolangitis, hepatitis fulminan DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase, lipase, serologi leptospira Non Farmakologis: Tirah baring,makanan/ cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat. Farmakologis: Simtomatis Antimikroba: Pilihan utama: Penisilin G 4 x 1,5 juta unit selamat 5- 7 hari. Alternatif: Tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon.
44 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Gagal ginjal, pankreatitis, miokarditis, perdarahan masif, meningitis aseptik. Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Ginjal Hipertensi
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Sepsis: Sindrom respon inflamasi Sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi. Renjatan septik: sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS <90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari TD awal, tanpa adanya obatobatan yang dapat menurunkan TD 1. SIRS ditandai dengan 2 gejala awal atau lebih berikut: Suhu badan C Frekuensi denyut jantung >90x/menit Frekuensi Pernapasan >24x/menit atau PaCO2 <32 tor Hitung Leukosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm 3 adanya > 10% sel batang 2. Adanya fokus infeksi yang bermakna untuk menyebabkan sepsis 3. Gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik. Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit, kultur darah dan infeksi fokal (urin,pus, sputum dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks. Eradikasi fokus infeksi Antimikroba empirik, sesuai dengan Tempat infeksi Dugaan kuman penyebab Profil antimikroba (Farmakokinetik dan farmakodinamik) Antimikroba Definitif: bila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme. Suportif:Resusitasi ABC, oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respon secepatnya. Resusitasi Cairan Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respon klinis (respon terlihat
45 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
dari peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin dan perbaikan kesadaran) dan perlu diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan JVP, ronki, galop S3 dan penurunan saturasi oksigen). Sebaiknya dievaluasi dengan CVP (dipertahankan 1012 cmH2O), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari. Oksigenasi sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis, atau kegagalan otot pernapasan. Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mencapai tekanan darah sistolik ≥90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan > 30 ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis > 8 mcg/kgBB/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kgBB/menit, fenilefrin 0,5-8 mcg/kgBB/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2- 28 mcg/kgBB/menit, Dopamin 3-8 mcg/kgBB/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon). Transfusi komponen darah sesuai indikasi Koreksi gangguan metabolik: Elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik( secara empiris dapat diberikan bila pH<7,2 atau bikarbonat serum <9 mEq/l, dengan disertai upaya perbaikan hemodinamik) Nutrisi yang adekuat Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal. Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal. Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya. Gagal napas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel. Dubia ad malam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
46 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi Departemen Anestesi/ICU, Departemen Bedah
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN No. Dokumen No.Revisi
Hal.
FUO klasik:Infeksi, Neoplasma, penyakit kolagen Demam > , C selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan pemeriksaan intensif, selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum ditentukan penyebab demam. FUO pada pasien HIV:Infeksi Demam , C selama 4 minggu atau lebih pada pasien rawat jalan atau minimal 4 hari pada pasien yang dirawat deng an hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi FUO pada pasien neutropenia (Jumlah Leukosit PMN <500/mm3): Infeksi Demam , C, dalam 3 hari perawatan pertumbuhan mikroorganisme masih negatif dari dugaan fokus infeksi FUO pada pasien Geriatri: eoplasma, penyakit kolagen, infeksi Demam , C, dalam 3 hari perawatan atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan belum dapat ditentukan penyebab dari demam. FUO pada pasien Pediatri (Usia<18 tahun): Infeksi, Penyakit Kolagen, Neoplasma. Demam , C selama lebih dari 8 hari, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. FUO pada pasien Nosokomial:Infeksi Demam , C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai dirawat serta pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi, penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus infeksi FUO Iatrogenik: Demam , C akibat penggunaan obat: penisilin, Sefalosporin, sulfonamida,atropin, fenitoin, prokainamida, amfoterisin, interferon, interleukin, rifampisin, INH, Makrolida, Klindamisin, Vankomisin, Aminoglikosida, Allopurinol. Anamnesis dan PF: Cermat, teliti, dan berulang Riwayat penyakit secara terperinci: Pola demam, ada tidaknya infeksi saluran napas atas, infeksi saluran napas bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit pinggang, diare, abses atau radang tonsil dan otot, nyeri dan pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik. Riwayat pekerjaan, perjalanan, kontak dengan orang sakit atau hewan, trauma fisik atau bedah, obat-obatan (termasuk rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien, kelenjar getah bening, lubang
47 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
orifices pasien Lab: Sesuai mikroorganisme dari organ terdekat. Infeksi, Penyakit Kolagen, Neoplasma, Efek Samping Obat Pemeriksaan hematologi, Kimia Darah, UL, mikrobiologi, imunologi, radiologi, EKG, biopsi jaringan tubuh, pencitraan sidikan (scanning), endoskopi/peritoneoskopi,angiografi, limfografi, tindakan bedah (laparotomi percobaan), uji pengobatan. Simtomatis Uji Terapeutik dengan antibiotika, kortikosteroid, atau obat antiinflamasi nonsteroid tidak dianjurkan kecuali bila penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik diperlukan. Sepsis, renjatan sepsis Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi
MALARIA No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium falsiparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, atau Plasmodium malariae dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles Anamnesis: Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah endemik malaria, trias malaria (Keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian timbul keringat yang banyak; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama) PF: Konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali Lab: Sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+) [Sebagai penunjang] Malaria berat:Ditemukan P.Falsiparum dalam stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala berikut. 1. Malaria serebral: koma dalam yang tak dapat/sulit dibangunkan dan buka disebabkan oleh penyakit lain. 2. Anemia Berat (Normositik) pada keadaan hitung parasit >10.000/ul; (Hb<5 g/dl atau hematokrit <15%). 3. Gagal ginjal akut (urin<400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mg/dl) 4. Edema paru/acute respiratory distress syndrome (ARDS) 5. Hipoglikemia (gula darah <40mg/dl) 6. Gagal sirkulasi atau syok (Tekanan sistolik <70 mmHg, diserta keringat dingin atau perbedaan
48 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
temperatur kulit-mukosa 1C) 7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna, dan/ atau disertai gangguan koagulasi intravaskular, 8. Kejang berulang lebih dari 2 kali dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia 9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mEq/l) 10. Hemoglobinuria makroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek samping obat anti malaria pada pasien dengan defisiensi G6PD) 11. Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P.falsiparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan otak. Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat: 1. Gangguan kesadaran 2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan) 3. Hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria 4. Ikterus (bilirubin >3mg/dl) 5. Hiperpireksia (temperatur rektal 40C) Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, ensefalitis Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula darah, UL, AGD, elektrolit, hemostasis, rontgen toraks, EKG I. Infeksi P.Vivax atau P.Ovale 1. Daerah sensitif klorokuin: Klorokuin basa 150 mg: Hari I: 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian), Hari II& III: 2 tablet Atau Hari I&II : 4 tablet Hari III 2 tablet Terapi radikal: Primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari bila gagal dengan terapi klorokuin kina Sulfat 400-600 mg/hari selama 7 hari. 2. Daerah resisten klorokuin: Klorokuin basa 150 mg: Hari I :4 tablet +2 tablet (6 jam kemudian), hari II&III 2 tablet Atau Hari I&II : 4 tablet, Hari III:2 tablet ditambah SP 3 tablet (Dosis tunggal) Terapi radikal: Primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari. II. Infeksi P.Falsiparum ringan/sedang, infeksi campur P.Falsiparum dan P.Vivax Klorokuin basa 150 mg: Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian), hari II&III 2 tablet Atau
49 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7.
Komplikasi Prognosis
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal
Hari I&II: 4 tablet, Hari III:2 tablet Bila perlu terapi radikal: Falsiparum: Primakuin 45 mg( dosis tunggal); infeksi campur: primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari bila resisten dengan pengobatan tersebut SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat 3x 400-600 mg/hari selama 7 hari. III. Malaria Berat Drip kina HCL 500 mg (10ml/kgBB) dalam 250-500 ml D5% diberikan dalam 6-8 jam (maksimum 2000 mg) dengan pemantauan EKG dan kadar guladarah tiap 8-12 jam sampai pasien dapat minum obat per oral atau sampai hitung parasit malaria sesuai target (total pemberian oarenteral dan per oral selama 7 hari dengan dosis per oral 10 mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari) Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan Tetrasiklin 94mg/kgBB diberikan 4 kali sehari atau doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari. Perhatian: SP tidak boleh diberikan pada bayi dan ibu hamil. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, bayi, dan penderita G6PD. Klorokuin tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong. Pada pemberian kina parenteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam tetapi belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal, maka dosis selanjutnya diturunkan sampai 30-50%. Kortikosteroid merupakan kontraindikasi pada malaria serebral. Pemantauan pengobatan: Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasi pada H1 50%, H0 dan H3 <25% H0 . Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut. Pencegahan: Klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/minggu atau SP dengan dosis sulfadoksin 1015mg/kgBB atau pirimetamin 0,5-7,5 mg/kgBB diminum tiap minggu sejak 1 minggu sebelum masuk daerah endemik sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik. Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut Malaria falsiparum ringan/ sedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam. Malaria berat: dubia ada malam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi Departemen Anestesi/ICU, Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian ginjal Hipertensi/Unit hemodialisis, Departemen Parasitologi, Departemen Neurologi.
INTOKSIKASI OPIAT No. Dokumen No.Revisi
50 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Hal.
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat:morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan Anamnesis: Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada PF: Pupil miosis-pin point pupil, depresi napas, penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle track sign, sianosis, spasme saluran cerna dan bilier, kejang. Lab:Opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi. Intoksikasi obat sedatif: barbiturat, benzodiazepin, etanol Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks A. Penanganan Kegawatan: Resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan universal) Bebaskan jalan napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan sesuai kebutuhan. B. Pemberian antidot Nalokson: 1. Tanpa Hipoventilasi: Dosis awal diberikan 0,4 mg IV pelan-pelan atau diencerkan. 2. Dengan Hipoventilasi: Dosis awal diberikan 1-2 mg IV pelan-pelan atau diencerkan. 3. Bila tidak ada respon, diberikam nalokson 1-2 mg IV tiap 5-10 menit hingga timbul respon (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil) atau lelah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang, lapor konsulen Tim Narkoba Bagian IPD RSCM. 4. Efek Nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip Nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4- 6 jam. 5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan rontgen toraks. 6. Pertimbangkan pemasangan ETT bila: pernapasan tidak adekuat setelah pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian Nalokson yang optimal. 7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada intoksikasi opiat oral. 8. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240 ml
51 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO Hal 1. 2.
Pengertian Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram. 9. Bila terjadi kejang dapat diberkan diazepam IV 5-10mg dan dapat diulang bila perlu Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian IPD RSCM untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi. Aspirasi, gagal napas, edema paru akut Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi Departemen Anestesi/ICU, Tim Narkoba Bagian IPD RSCM
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat Anamnesi: Riwayat minum/kontak dengan zat yang mengandung organofosfat, muntah. PF:Bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tandatanda aspirasi Lab: Pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat. DPL, elektrolit, rontgen toraks, EKG,pemeriksaan organofosfat. Bilas lambung melalui NGT Atropinisasi Gagal napas, blok AV Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Penyakit Dalam- Subbagian Tropik Infeksi
METABOLIK ENDOKRINOLOGI 52 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
DIABETES MELLITUS No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada: 1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan perifer (otot dan lemak). 2. Sekresi Insulin oleh sel Beta Pankreas 3. Atau keduanya. Klasifikasi DM: 1. DM tipe 1 (destruksi sel β, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut): Immune-mediated, Idiopatik. 2. DM tipe 2 (Bervariasi mulai dari yang: Predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatifpredominan defek sekretorik dengan resistensi insulin). 3. Tipe Spesifik lain: Defek genetik pada fungsi sel β. Defek genetik pada kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Diinduksi obat atau zat kimia. Infeksi Bentuk tidak lazim dari Immune Mediated DM. Sindrom genetik lain, yang kadang berkaitan dengan DM 4. DM Gestasional Terdiri dari: Diagnosis DM Diagnosis komplikasi DM Diagnosis penyakit penyerta Pemantauan pengendalian DM Anamnesis: Keluhan khas DM: Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan tidak khas DM: Lemah, Kesemutan, Gatal, Mata kabur, Disfungsi ereksi pada pria, Pruritus vulvae pada wanita. Faktor Resiko DM tipe 2: Usia > 45 tahun
53 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Berat badan lebih:>110% BB idaman atau IMT>23 kg/m2 Hipertensi (TD≥ 140/90 mmHg) Riwayat DM dalam garis keturunan. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi >4.000 gram Riwayat DM gestasional. Riwayat TGT atau GDPT Penderita penyakit jantung koroner, tuberkulosis, hipertiroidisme. Kolesterol HDL ≤ 5 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL Anamnesis Komplikasi DM (Lihat Komplikasi. Pemeriksaan fisik lengkap, Termasuk: TB,BB, TD, Lingkar pinggang. Tanda neuropati Mata (visus,lensa mata dan retina) Gigi mulut Keadaan Kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku Kriteria diagnosti kDM dan Gangguan Toleransi Glukosa: 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dL, Atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena)≥ 126 mg/dL, Atau 3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO. Pemeriksaan Laboratorium: Hb,Leukosit, hitung jenis leukosit, LED. Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan. Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur. Kreatinin SGPT, Albumin/ Globulin. Kolesterol Total, Kolesterol LDL, Kolesterol HDL, Trigliserida. A1C Albuminuri mikro. Pemeriksaan Penunjang lain: EKG. Foto Thoraks. Funduskopi. Hiperglikemia reaktif Toleransi Glukosa Terganggu (TGT=IGT) Glukosa Darah Puasa Terganggu (GPDT=IFG) Pemeriksaan Laboratorium: Hb,Leukosit, hitung jenis leukositf, LED Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur, Kreatinin SGPT, Albumin/Globulin Kolesterol Total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida A1C
54 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
Albuminuri mikro Pemeriksaan Penunjang lain: EKG. Foto Thoraks. Funduskopi. Edukasi Meliputi pemahaman tentang: Penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM Intervensi farmakologis dan non-farmakologis Hipoglikemia Masalah khusus yang dihadapi Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan Perencanaan Makan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60-70% Protein 10-15% Lemak 20-25% Jumlah kandungan kolesterol disarankan <300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA= Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g/hari, diutamakn serat larut. Jumlah kalori basal per hari: Laki-laki :30 kal/kg BB Idaman Wanita : 25 kal/kg BB Idaman Penyesuaian (Terhadap kalor basal.hari): Status gizi: a. BB gemuk -20% b. BB Lebih -10% c. BB Kurang + 20% Umur>40 tahun -5% Stres Metabolik (Infeksi, operasi, dll): +(10 s/d 30%) Aktifitas: a. Ringan +10% b. Sedang +20% c. Berat +30% Hamil: a. Trimester I,II +300 kal b. Trimester III/ laktasi +500 kal Rumus Broca:* Berat badan Idaman = (TB-100)-10% *Pria <160 cm dan wanita <150 cm, tidak dikurangi 10% lagi BB kurang : <90% BB Idaman BB normal : 90-110% BB Idaman
55 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
BB lebih : 110-120% BB Idaman Gemuk : >120% BB Idaman Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur 93-4kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Prinsip: CONTINUOS-RYTHMICAL-INTERVALPROGRESSIVE-ENDURANCE Intervensi Farmakologis Obat Hipoglikemia Oral (OHO): Pemicu sekresi Insulin (Insulin secretagogue): Sulfonilurea Glinid Penambah sensitivitas terhadap insulin: Metformin Tiazoldindion Penghambat absorpsi glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa Insulin Indikasi: Penurunan berat badan yang cepat. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis. Ketoasidosis Diabetik. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik. Hiperglikemia dengan asidosis Laktat. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal. Stres berat (Infeksi Sistemik, IMA, Stroke). Kehamilan dengan DM/ Diabetes Mellitus gestasional yang tidak terkendai dengan perencanaan makan. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah, kalau dengan OHO tunggal, sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Pengelolaan DM tipe 2 Gemuk: Non-farmakologis evaluasi 2- 4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis. Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: +1 macam OHO 56 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Biguanid/ Penghambat glukosidase α/ Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara: Biguanid/ Penghambat glukosidase α/ Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO: Biguanid/+Penghambat glukosidase α+ Glitazon Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: Kombinasi 4 macam OHO Biguanid+ Penghambat glukosidase α+ Glitazon+ Secretagogue Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai: Insulin Bila sasaran tercapai: teruskan terapi terakhir. Pengelolaan DM tipe 2 Tidak Gemuk: Non-farmakologis evaluasi 2- 4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Non-farmakologis+Secretagogue. Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara: Secretagogue + Penghambat glukosidase α/ Biguanid/ Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO: Secretagogue + Penghambat glukosidase α+Biguanid/ Glitazon Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): 57 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: Kombinasi 4 macam OHO Secretagogue +Penghambat glukosidase α+ Biguanid+ Glitazon Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin Atau: Terapi Kombinasi OHO siang hari+ Insulin Malam Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai: Insulin
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Bila sasaran tercapai: teruskan terapi terakhir. Penilaian Hasil Terapi: 1. Pemeriksaan Glukosa Darah 2. Pemeriksaan A1C 3. Pemeriksaan Glukosa Darah Mandiri 4. Pemeriksaan Glukosa Urin 5. Penentuan Benda Keton Kriteria pengendalian DM (Lihat tabel Lampiran) A. Akut: Ketoasidosis diabetik Hiperosmolar non Ketotik Hipoglikemia B. Kronik: Makroangiopati: 1. Pembuluh koroner 2. Vaskular perifer 3. Vaskular Otak Mikroangiopati: 1. Kapiler retina 2. Kapiler renal Neuropati Gabungan: 1. Kadiopati: PJK, kardiomiopati 2. Rentan Infeksi 3. Kaki diabetik 4. Disfungsi ereksi Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Divisi Kardiologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Bagian Patologi Klinik FKUI/ RSUPN CM. Bagian Mata FKUI/ RSUPN CM. Bagian Gizi RSUPN CM
58 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Referensi: 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2002. 2. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. 2002. 3. The Expert Comittee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of The Expert Comittee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003;26(Suppl. 1):S5-20. 4. Suyono S.Type 2 Diabetes Mellitus is a β- Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002: The Recent Management in Diabetes and its Complications: From Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November 2000:185-99. Keterangan: TB = Tinggi Badan BB= Berat Badan IMT= Indeks Massa Tubuh TD = Tekanan Darah TTGO= Tes Toleransi Glukosa Oral Tabel: Kriteria Pengendalian DM No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kriteria GD puasa (mg/dL) GD 2 jam PP (mg/dL) A1C (%) Kolesterol Total (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigliserida IMT Tekanan Darah (mmHg)
NO Hal 1.
Pengertian
Baik 80- 109 80- 144 < 6,5 < 200 < 100 >45 <150 18,5-22,9 <130/80
Sedang 110-125 145-179 6,5-8 200-239 100-129
Buruk ≥ 126 ≥1 0 >8 ≥ 240 ≥1 0
150-199 23-25 130-140 80-90
≥ 200 >25 >140/90
TIROTOKSIKOSIS No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormon tiroid. Berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimiawi yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori: Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme. Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme.
59 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
Hipertiroidisme Tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid, Akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit Graves, struma multinodosa toksik (Plummer), dan adenoma toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblastik, pemakaian berlebihan Yodium, obat hormon tiroid dll. Krisis Tiroid Keadaan Klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam jiwa. Umumnya timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus: Infeksi, Operasi, Trauma, Zat kontras beriodium, Hipoglikemia, Partus, Stres Emosi, Penghentian obat anti- tiroid, Terapi I131, Ketoasidosis Diabetikum, Tromboemboli paru, CVD/ Stroke, Palpasi Tiroid terlalu kuat. Gejala dan tanda Tirotoksikosis: Hiperaktivitas Palpitasi Berat badan turun Nafsu makan meningkat Tidak tahan panas, banyak keringat Mudah lelah BAB sering Oligomenore/amenore dan libido turun Takikardia Fibrilasi Atrial Tremor Halus Refleks Meningkat Kulit hangat & basah Rambut rontok Bruit Gambaran Klinis Graves: Struma Difus Tirotoksikosis Oftalmopati/Eksoftalmus Dermopati lokal Thyroid acropachy Laboratorium: TSHs rendah T4 atau FT4 tinggi Pada T3 Toksikosis: T3 atau FT3 meningkat
60 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Penderita yang dicurigai krisis tiroid. Anamnesis: Riwayat penyakit hipertiroidsme dengan gejala yang khas. Berat Badan Turun Perubahan Suasana hati, bingung Diare Amenorea Pemeriksaan Fisik: Gejala 7 tanda khas hipertiroidisme, karena Graves atau yang lain. Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma Demam tinggi s/d 40C Takikardia s/d 130-200 x/m Sering:Fibrilasi Atrial dengan respons ventrikular cepat Dapat memperlihatkan gagal jantung kongestif Dapat ditemukan ikterus. Laboratorium: TSHs sangat rendah T4 /FT4/ T3 tinggi. Anemia normokrom normositik, limfositosis relatif. Hiperglikemia Peningkatan enzim transaminase hati Azotemia prerenal EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat. Hipertirodisme Primer: Penyakit Graves Struma Multinodosa Toksik Adenoma toksik Metastasis Karsinoma Tiroid Fungsional Struma Ovarii Mutasi Reseptor TSH Obat: Kelebihan Iodium (Fenomena Jod Basedow) Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme Tiroiditis subakut Tiroiditis silent Destruksi tiroid karena: amiodarone, radias, infark adenoma. Asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis facitia) Hipertiroidisme sekunder Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH Sindrom resistensi hormon tiroid Tumor yang mensekresi HCG Tirotoksikosis gestasional Laboratorium: TSHs T4 atau FT4 T3 atau FT3 TSH Rab Kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid). Sidik Tiroid/ Thyroid Scan: terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit Graves dengan
61 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
komponen nodosa. EKG Foto Thoraks 5.
Terapi
Tata laksana Penyakit Graves: OBAT ANTITIROID PTU dosis awal 300-600 mg/ hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari Metimazol dosis awal 20-30 mg/ hari. Indikasi: Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringna- sedang dan tirotoksikosis Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif Persiapan tiroidektomi Pasien hamil, lanjut usia Krisis Tiroid Penyekat adrenergik β: pada awal terapi, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40200mg dalam 4 dosis. Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali. Memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT4 /T4/ T3 dan TSHs . Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps. Tindakan Bedah Indikasi: Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodiumradioaktif Adenoma toksik, struma multinodosa toksik Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul. Radioablasi Indikasi: Pasien berusia ≥ 5 tahun Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid Adenoma toksik, Struma multinodosa toksik.
62 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Tata laksana krisis Tiroid: (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid) 1. Perawatan suportif: Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen) Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan elektrolit: infus Dextrose 5% dan NaCl 0,9%, Mengatasi gagal jantung: O2, diuretik, digitalis. 2. Antagonis aktivitas hormon tiroid: Blokade produksi hormon tiroid Propitiourasil (PTU) dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif: Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO. Pada keadaan sangat berat: dapat per NGT, PTU 600- 1.000 mg atau metimazol 60-100 mg. Blokade Ekskresi hormon tiroid: Solutio Lugol (saturated solution of potassium iodida) 8 tetes tiap 6 jam: Β-Blocker: Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target:frekuensi jantung <90x/m) Glukokortikoid: Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam Bila Refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik, dll Penyakit Graves: Penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. Krisis tiroid: Mortalitas Dubia ad bonam Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 1015% Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Sub Bagian Kedokteran Nuklir, Departemen Radiologi FKUI/ RSUPN CM Sub Bagian Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUI/ RSUPN CM
Referensi: 1. Sumual A, Pandelaki K. Hipertirodisme. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:766-72.
63 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. Jameson JL, Weetman Ap. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw- Hill, 2001:2060-84. 3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:78-82. 4. Suyono S, Subekti I. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. Waspadji S. Pengelolaan Medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM (KAD) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis Utama KAD adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik. Faktor Pencetus: Infeksi, Infark Miokard Akut, Pankreatitis Akut, Penggunaan Obat Golongan Steroid Penghentian atau Pengurangan dosis Insulin Klinis: Keluhan poliuri, polidipsi Riwayat berhenti menyuntik insulin Demam/ Infeksi Muntah Nyeri Perut Kesadaran: CM-delirium-koma Pernafasan cepat dan dalam (Kuusmaul) Dehidrasi (↓Turgor kulit, lidah dan bibir kering) Dapat disertai syok hipovolemik Kriteria Diagnosis Kadar Glukosa : >250 mg/dL pH : <7,35 HCO3 : Rendah Anion Gap : Tinggi Keton Serum : Positif, dan atau ketonuria. Ketosis Diabetik Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik/ hyperglycemic hyperosmolar state. Ensefalopati uremikum, asidosis uremikum Minum Alkohol, Ketosis Alkoholik Ketosis Hipoglikemia Ketosis Starvasi Asidosis Laktat Asidosis hiperkloremik Kelebihan salisilat Drug-induced acidosis Ensefalopati karena infeksi
64 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Trauma Kapitis Pemeriksaan Cito: Gula darah Elektrolit Ureum, kreatinin Aseton darah Urine rutin Analisa Gas Darah EKG Pemantauan: Gula darah :tiap jam Na+,K+,Cl- :Tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan. Analisa gas darah: bila pH<7 saat masuk diperiksa setiap 6 jam s/d pH > 7,1. Selanjutnya setiap hari sampai stabil. Pemeriksaan lain (Sesuai Indikasi): Kultur darah, Kultur urin, Kultur pus Akses IV 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way: I. Cairan: a. NaCl 0,9 % diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ±1L pada jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan keeempat, dan ± 0,25 L. Pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan. b. Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5L. c. Jika Na+ > 155 mEq/L ganti cairan dengan NaCl 0,45%. d. Jika GD <200 mg/dL ganti cairan dengan Dextrose 5%. II. Insulin (regular insulin = RI): a. Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan. b. RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan; c. RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9 % d. Jika GD < 200 mg/dL; kecepatan dikurangi RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9%. e. Jika GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam RI drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding scale setiap 6 jam: GD RI (mg/dL) (Unit, subkutan) <200 0 200-250 5 250-300 10 300-350 15 >350 20 f. Jika kadar GD ada yang <100 mg/dL; drip RI dihentikan. g. Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan
65 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
III.
(bila pasien sudah makan) Kalium Kalium (KCl)drip dimulai bersamaan dengan drip RI dengan dosis 50 mEq/ 6 jam. Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup adekuat. Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua: <3,5 drip KCL 75 mEq/6 jam 3,0- 4,5 drip KCL 50 mEq/6 jam 4,5- 6,0 drip KCL 25 mEq/6 jam >6,0 drip distop
IV.
V.
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu Bicarbonat Drip 100 mEq bila pH <7,0 disertai KCl 26 mEq drip Drip 50 mEq bila pH 7,0 – 7,1 disertai KCl 13 mEq drip Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam. Tata laksana Umum: O2 bila PO2 <80mmHg Antibiotika adekuat Heparin: bila ada DIC atau hiperosmolar (>380 mOsm/L)
Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis: Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam, Kesadaran setiap jam Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam, Produksi urin setiap jam balans cairan Cairan infus yang masuk setiap jam Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang) Syok hipovolemik Edema paru Hipertrigliseridemia Infark Miokard Akut Hipoglikemia Hipokalemia Hiperkloremia Edema otak Hipokalsemia Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid,(???) Infark miokard akut, sepsis, syok. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM.
66 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10.
Unit Yang Terkait
Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM.
Referensi: 1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002. 2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalasanaan kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam,jakarta, 15-16 April 2000:83-8. 3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:89-95. 4. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barret EJ, Kreisberg RA, Malone Jl, et al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients with Diabetes. Diabetes Care, Jan 2001;24 (1):131-51. NO Hal 1.
2.
Pengertian
Diagnosis
HIPOGLIKEMIA No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kadar glukosa darah <60 mg/dL, atau kadar glukosa darah <80 mg/dL dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi karena: Kelebihan obat/dosis obat: terutama insulin, atau obat hipolikemik oral. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun gagal ginjal kronik, pasca persalinan. Asupan makan tidak adekuat: Jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat. Kegiatan jasmani berlebihan. Gejala dan Tanda Klinis: Stadium parasimpatik:lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar. Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang. Anamnesis: Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral, dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis. Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi. Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya. Lama menderita DM, komplikasi DM. Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll. Penggunaan obat sistemik lainnya: Penghambat adrenergik β, dll. Pemeriksaan Fisik: Pucat, diaphorecis. Tekanan darah Frekuensi denyut jantung Penurunan kesadaran
67 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Defisit neurologik fokal transien Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia. 2. Kadar glukosa plasma rendah 3. Gejela mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat. Hipoglikemia karena Obat: a. (sering): Insulin, sulfonilurea, alkohol, b. (kadang):Kinin, pentamidine. c. (jarang):Salisilat, sulfonamid Hiperinsulnisme endogen: a. Insulinoma b. Kelainan sel β jenis lain. c. Secretagogue:sulfonilurea d. Autoimun e. Sekresi Insulin Ektopik. Penyakit kritis: a. Gagal hati b. Gagal ginjal c. Gagal jantung d. Sepsis e. Starvasi dan inanisi Defisiensi endokrin: a. Kortisol, growth hormone. b. Glukagon, epinefrin. Tumor non-sel β: a. Sarkoma b. Tumor adrenokortikal, hepatoma c. Leukemia, limfoma, melanoma Pasca-prandial: a. Reaktif (setelah operasi gaster). b. Diinduksi alkohol. Kadar glukosa darah (GD) Test fungsi ginjal. Test fungsi hati. C-peptide Stadium permulaan (sadar) Berikangula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat. Stop obat hipoglikemik sementara. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam Pertahankan GD sekitar 200mg/dl.(bila sebelumnya tidak sadar). Cari penyebab. Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia): 1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)bolus intra vena, 2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf,
68 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV 4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%: Bila GDs < 50 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV Bila GDs < 100 mg/dL + bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV Bila GDs 100-200 mg/dL Tanpa bolus Dekstrosa 40% Bila GDs >200 mg/dL Pertimbangkan menurunkan kecepatan Drip Dekstrosa 10%. 5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturutturut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs > 200mg/dl pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. 6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturutturut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dL Pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. 7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturutturut, sliding scale setiap 6 jam. GD RI (mg/dL) (Unit, subkutan) <200 0 200-250 5 250-300 10 300-350 15 >350 20 Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebabnya insulin). Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadaran menurun. Mortalitas Dubia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM
69 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Departemen Neurologi FKUI/RSUPN CM.
Referensi: 1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2.2002. 2. Waspadji S. Kegawatan pada Diabetes Mellitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:838. 3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th ed. New York: McGraw-Hill, 2001:2138-43. NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
DISLIPIDEMIA No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma.Kelainan fraksi lipid yang utam adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan. Sehingga dikenal sebagai triad lipid. Secara klinis, diklasifikasikan menjadi: Hiperkolesterolemia Hipertrigliseridemia Campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia. Klasifikasi kadar kolesterol: Kolesterol LDL Klasifikasi <100 mg/dL Optimal 100-129 mg/dL Hampir Optimal 130-159 mg/dL Borderline tinggi 160-189 mg/dL Tinggi ≥190 mg/dL Sangat tinggi Kolesterol total: <200 mg/dL 200-239 mg/dL ≥240 mg/dL Kolesterol HDL <40 mg/dL ≥60 mg/dL
Klasifikasi Idaman Borderline tinggi Tinggi Klasifikasi Rendah Tinggi
Untuk mengevaluasi resiko penyakit jantung koroner(PJK) diperhatikan faktor-faktor resiko lainnya: Faktor Resiko Positif: Merokok Umur ( Pria ≥ 45 tahun, wanita ≥ 55 tahun). Kolesterol HDL rendah Hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau dalam terapi antihipertensi) Riwayat PJK dini dalam keluarga (first degree: Pria <55 tahun, wanita <65 tahun). Faktor resiko negatif: 70 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor resiko dari perhitungan total. ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung besarnya resiko PJK pada pasien dengan ≥ 2 faktor resiko, meliputi : umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi, Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka persentase resiko PJK dalam 10 tahun. Ekivalen resiko PJK mengandung resiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan kejadian PJK, yakni > 20% dalam 10 tahun, terdiri dari: Bentuk klinis lain dari arterosklerosis: penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang simtomatis. Diabetes Faktor resiko multipel yang mempnyai resiko PJK dalam 10 tahun >20%
Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida: Obesitas, berat badan lebih Inaktivitas fisik Merokok Asupan alkohol berlebih Diet tinggi karbohidrat (>60% asupan energi). Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik-beta dosis tinggi. Kelainan genetik (riwayat keluarga). Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia: Normal : <150 mg/dL Borderline-tinggi: 150-199 mg/dL Tinggi :200-499 mg/dL Sangat Tinggi : ≥500 mg/dL 3.
Diagnosis Banding
Hiperkolesterolemia sekunder, karena: Hipotiroidisme, Penyakit hati obstruksi, Sindrom Nefrotik, Anoreksia Nervosa, Porfiria Intermitten Akut, Obat:Progestin, siklosporin, thiazide Hipertrigliseridemia sekunder, karena: Obesitas DM Gagal ginjal kronik Lipodistrofi Glycogen storage disease Alkohol
71 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Bedah bypass ileal Stress Sepsis Kehamilan Obat: Estrogen, isoretinoin, penghambat beta glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, thiazide Hepatitis akut Lupus eritematosus sistemik Gammopati monoklonal: Myeloma multipel, limfoma, AIDS: Inhibitor protease HDL rendah sekunder karena: Malnutrisi Obesitas Merokok Penghambat beta Steroid anabolik 4.
Pemeriksaan Penunjang
Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia ≥ 20 tahun, setiap 5 tahun sekali: Kadar kolesterol total Kadar kolesterol LDL Kadar kolesterol HDL Kadar Trigliserida Kadar glukosa darah Tes fungsi hati Urine lengkap Tes fungsi ginjal, TSH EKG.
5.
Terapi
Untuk hiperkolesterolemia: Penatalaksanaan Non-Farmakologis (Perubahan Gaya Hidup): 1. Diet, dengan komposisi: Lemak jenuh <7% kalori total PUFA hingga 10% kalori total MUFA hingga 10% kalori total Lemak total 25-35% kalori total Karbohidrat 50-60% kalori total Protein hingga 15% kalori total Serat 20-30 g/ hari Kolesterol <200 mg/hari 2. Latihan Jasmani 3. Penurunan berat badan bagi yang gemuk 4. Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di bawah ini, pemantaua setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai: intensifkan penurunan lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/ steroid
72 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
nabati, tingkatkan konsumsi serat, dan kerja sama dengan dietisien. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi nonfarmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi Farmakologis: 1. Golongan Statin: Simvastatin : 5-40 mg Lovastatin : 10-80 mg Pravastatin : 10-40 mg Fluvastatin : 20-80 mg Atorvastatin :10-80 mg 2. Golongan bile acid sequestrant: Cholestyramine 4- 16 g 3. Golongan nicotinic acid: Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s/d 1,5 – 3 g Target Kolesterol LDL (md/dL): Kategori Target Kadar LDL Kadar LDL Resiko LDL untuk mulai u ntuk mulai PGH terapi farmakologis PJK atau <100 ≥ 100 ≥1 0 Ekivalen PJK (100-129: opsional) (FRS > 20%) aktor resiko≥ 2 <1 0 ( RS ≤ 20%) Faktor resiko 0-1 <160
≥1 0 ≥160
≥1 0( RS 10-20%) ≥160( RS <10%) ≥190 (160-189: opsional)
Terapi hiperkolesteromeia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid. 1. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai ( lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. 2. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. 3. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi nonfarmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dL Pasien dengan hipertrigliseridemia: Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas. Penatalaksanaan farmakologis: 73 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Target Terapi: a. Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL. b. Pasien trigliserida tinggi : target sekunder adalah kolestero non-HDL yakni sebesar 30mg/dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di atas). Pendekatan terapi obat: 1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau 2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dari: Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg Fenofibrat 1 x 200 mg.
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Penyebab primer dari dislipedemia sekunder, juga harus ditatalaksana. Aterosklerosis Penyakit jantung koroner Stroke Pankreatitis akut Dubia ad Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM
Referensi: 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Mellitus di Indonesia. 1995. 2. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults. Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults ( Adult Treatment Panel III). JAMA, May 16, 2001;285(19):2486-97. 3. Semiardji G. National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III (NCEPATP III): Adakah hal yang baru? Makalah Siang Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian Ilmu Penyakit Dama, 2002. 4. Ginsberg HN, Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein Metabolism. in Braunwald E. Fauci AS, kasper DL, Hauser SL, Longo DL. Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw-Hill, 2001:2245-57. 5. Suyono S. Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai Kapan? Prosiding Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November 2000:185-99. Keterangan: Kolesterol HDL = Kolesterol High Density Lipoprotein Kolesterol LDL= Kolesterol Low Density Lipoprotein PGH= Perubahan Gaya Hidup
74 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
MUFA= Mono Unsaturated Fatty Acid PUFA= Poly Unsaturated Fatty Acid
NO Hal
STRUMA NODOSA NON TOKSIK (SNNT) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. Berdasarkan jumlah nodul, dibagi: Struma mononodosa non toksik Struma multinodosa non toksik Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif: Nodul dingin, Nodul hangat, Nodul panas, Berdasarkan konsistensinya: Nodul lunak; Nodul kistik; Nodul keras; Nodul sangat keras.
2.
Diagnosis
Anamnesis Umum: Sejak kapan benjolan timbul. Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap. Cara membesarnya: cepat atau lambat. Pada awalnya berupa satu benjolan atau hanya pembesaran leher saja. Riwayat keluarga. Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda Perubahan suara Gangguan menelan, Sesak nafas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis Pemeriksaan fisik: Umum Lokal Nodus tunggal atau majemuk, atau difus Nyeri tekan Konsistensi Permukaan Perlekatan pada jaringan sekitarnya Pendesakan atau pendorongan trakea Pembesaran kelenjar getah bening regional Pemberton’s sign Penilaian resiko keganasan: Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan
75 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid. Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak. Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit autoimun. Gejala hipo atau hipertiroidisme. Nyeri berhubungan dengan nodul. Nodul lunak, mudah digerakkan. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: Umur <20 tahun atau >70 tahun Gender laki-laki Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas. Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan) Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak). Riwayat keluarga kanker tiroid meduler. Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan. Paralisis pita suara, Temuan limfadenopati servikal Metastasis jauh (paru-paru, dll)
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Langkah diagnostik I: TSHS, FT4 Hasil: Non-toksik Langkah diagnostik II:BAJAH nodul tiroid Hasil: A. Ganas B. Curiga C. Jinak D. Tak cukup/sediaan tak representatif (dilanjutkan di kolom Terapi) 1. Struma Nodosa pada: Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan, menopause, infeksi, stres lain. 2. Tiroiditis akut 3. Tiroiditis subakut 4. Tiroiditis kronis:Limfositik (Hashimoto), fibrousinvasif (Riedel) 5. Simple goiter 6. Struma endemik 7. Kista tiroid, kista degenerasi 8. Adenoma 9. Karsinoma tiroid primer, metastatik 10. Limfoma 1. Lab:T4 atau FT4, T3, dan TSH 2. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) nodul tiroid: Bila hasil lab: non-toksik Bila hasil lab. (awal) toksik, tetapi hasil scan: cold
76 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
nodule. syarat: sudah menjadi eutiroid 3. USG tiroid: Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi Pemandu pada BAJAH 4. Sidik Tiroid: Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2x): jinak, Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas. 5. Petanda kegansan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid meduler, diperiksakan kalsitonin) 6. Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto. Sesuai hasil BAJAH, maka terapi: A. Ganas Operasi Tiroidektomi near-total B. Curiga Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC): Bila hasil = ganas Operasi Tiroidektomi near-total. Bila hasil= jinak Operasi Lobektomi, atau Tiroidektomi near-total. Alternatif: Sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule Operasi C. Tak cukup/ sediaan tak representatif Jika nodul Solid (saat BAJAH):ulang BAJAH Bila klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi.. Bila klinis curiga ganas rendah Observasi. Jika nodul Kistik (saat BAJAH):Aspirasi. Bila kista regresi Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah Observasi Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi D. Jinak Terapi dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis. Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3hari). Dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari). Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis ↑ menjadi 2 x 100 ug sampai 4-6 minggu, kemudian evaluasi TSH (target 0,10,3ulU/L) Supresi TSH dipertahankan sampai 6 bulan Evaluasi dengan USG: Apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil bila mengecil >50% dari volume awal) Bila Nodul mengecil atau tetap L-tiroksin distop dan diobservasi: Bila setelah itu struma membesar lagi maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 ulU/L). Bila setelah L-tiroksin distop, struma tidak berubah, diobservasi saja.
77 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Bila Nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi ==< obat dihentikan dan operasi Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hasil PA: o Jinak: Terapi dengan L-Tiroksin: Target TSH 0,5-3,0 ulU/L o Ganas: Terapi dengan L- Tiroksin Individu dengan resiko ganas tinggi: Target TSH <0,01-0,05 ulU/L Individu dengan resiko ganas rendah: Target TSH 0,05-0,1 ulU/L
6.
Komplikasi
7. 8. 9.
Prognosis Wewenang Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut/subakut Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSUPN CM Sub Bag. Kedokteran Nuklir, Departemen Radiologi FKUI/RSUPN CM Sub Bag. Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM
Referensi: 1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65. 2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S, Setiati S. Gani RA. Alwi (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta, 1997:207-13. 3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,1999:187-9. 4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York:McGraw-Hill, 2001:2060-84.
NO Hal 1.
Pengertian
KISTA TIROID No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10-25 % dari seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan.
78 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid. Seperti pada Struma Nodosa Non Toksik: Anamnesis Umum: Sejak kapan benjolan timbul Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap Cara membesarnya cepat, atau lambat Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja. Riwayat keluarga Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda. Perubahan suara Gangguan menelan, Sesak nafas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis. Pemeriksaan fisik: Umum Lokal: Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak. Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun. Gejala hipo atau hipertiroidisme. Nyeri berhubungan dengan nodul. Nodul lunak, mudah digerakkan. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah keganasan tiroid: Umur <20 tahun atau >70 tahun Gender laki-laki Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas. Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan) Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak). Riwayat keluarga kanker tiroid meduler. Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan. Paralisis pita suara, Temuan limfadenopati servikal Metastasis jauh (paru-paru, dll) Langkah diagnostik I: TSHS, FT4 Hasil: Non-toksik Langkah diagnostik II: Pungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid. Kista tiroid, Kista degenerasi Karsinoma tiroid USG tiroid:
79 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
6. 7.
Komplikasi Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Dapat membedakan bagian pada dan cair. Dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid. Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tipis. Sitologi Cairan Kista dengan prosedur sitospin. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH): pada bagian yang solid. Pungsi aspirasi seluruh cairan kista: Bila kista regresi Observasi Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah Pungsi aspirasi dan Observasi Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi Operasi Lobektomi Tidak ada Dubia ada bonam. Tergantung tipe dan jenis histopatolognya. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSUPN CM SSub Bag. Bedah Tumor, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM
Referensi: 1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65. 2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S, Setiati S. Gani RA. Alwi (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta, 1997:207-13. 3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI,1999:187-9. 4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
KARDIOLOGI NO Hal 1.
Pengertian
BRADIARITMIA No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Perlambatan denyut jantung di bawah 50 kali/menit yang dapat disebabkan oleh disfungsi sinus noda, hipersensitivitas/ kelainan system persarafan dengan atau adanya gangguan konduksi atrioventikular. Dua keadaan
80 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
yang sering ditemukan: 1. Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) 2. Gangguan konduksi atrioventikular/ Blok AV (AV block): blok AV derajat satu, blok AV derajat dua, blok AV total. Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) Keluhan: Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam bentuk letih, pening, limbung, pingsan. Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas Bila disertai takikardia disebut braditakiaritmia; terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina pektoris atau sinkop (pingsan) Dapat pula menyebabkan kelainan/Perubahan kepribadian, lupa ingatan, dan emboli sistemik. EKG: EKG monitoring baik selama dirawat di rumah sakit maupun dalam perawatan jalan (ambulatory/holter ECG monitoring), dapat menemukan kelainan EKG berupa bradikardia sinus persisten. Blok AV Blok AV derajat Satu Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebihi 0,2 detik. Blok AV derajat dua Mobitz tipe I (Wenckebach) Gelombang P bentuk normal dan irama atrium yang teratur, pemanjangan PR secara progresif lalu terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan, sehingga terlihat interval RR memendek dan kemudian siklus tersebut berulang kembali. Mobitz tipe II Irama atrium teratur dengan gelombang P normal. Setiap gelombang P diikuti gelombang QRS kecuali yang tidak dihantarkan dan bisa lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang tidak dihantarkan. Irama QRS bisa teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut yang tidak dihantarkan. Kompleks QRS bisa sempit bila hambatan terjadi pada berkas his, namun bisa lebar seperti pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang berkas. Blok Total AV (Complete AV Block): Hambatan total konduksi antara atrium dan ventrikel. Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel < frekuensi atrium) Keluhan: Sinkop, vertigo, denyut jantung (<50 kali/menit) EKG: Disosiasi atrioventrikular Denyut atrium biasanya lebih cepat.
EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi
81 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
Angiografi koroner EPS (Electro Physiology Study) Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) Pada keadaan gawat darurat: Dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total (0,04 mg/kgBB) jika tidak ada respon diberikan drip isoproterenol dimulai dengan dosis 1ug/menit sampai 10 ug/kg/menit secara bertahap. Kemudian dapat dilanjutkan dengan memasang pacu jantung, tergantung sarana yang tesedia (transcutaneous temporary pace maker dan transvenous temporary pace maker) Pada penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. Blok AV Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik, walaupun demikian etiologi penyakit dan riwayat alamiah penyakit ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya obat-obatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila penyebabnya oleh karena faktor metabolik yang reversibel maka faktor-faktor tersebut juga harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme, asidosis, gangguan elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat sementara, maka mungkin hanya perlu diberikan pengobatan sementara (pacu jantung sementara) seperti halnya pada infark miokard akut inferior. Pada penderita yang simptomatik perlu dipasang pacu jantung yang tetap.
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Blok AV total Pada keadaan gawat darurat (simptomatik/asimptomatik). Dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5-1 mg IV (total 0,04 mg/kgBB) atau isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat pacu jantung sementara selanjutnya pemasangan pacu jantung permanen. Sinkop, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung. Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU
Referensi:
82 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
1. Panggabean MM. Bradiaritmia. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 161-5. 2. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p.275-88. 3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 1005-1014. NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
EDEMA PARU AKUT (KARDIAK) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peninggian tekanan intravaskular. Anamnesis: Riwayat sesak nafas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan Pemeriksaan fisik: 1. Sianosis sentral. 2. Sesak nafas dengan bunyi napas melalui mukus berbuih. 3. Ronkhi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru; kadangkadang disertai ronkhi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut asma kardial. 4. Takikardia dengan gallop S3 5. Murmur bila ada kelainan katup. Elektrokardiografi: Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung Gambaran infark, LVH atau aritmia bisa ditemukan. Laboratorium: Gas darah menunjukkan pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard. Foto Toraks: Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru Kadang-kadang timbul efusi pleura Ekokardiografi tergantung penyebab gagal jantung: 1. Kelainan katup 2. Hipertrofi ventrikel (hipertensi) 3. Segmental wall motion abnormality (PJK) 4. Umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.
3.
Diagnosis Banding
1. Edema paru akut non kardiak
83 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
2. Emboli paru 3. Asma Bronkial Darah rutin, ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit, urinalisa, foto toraks, EKG, Enzim Jantung (CK-CKMB, Troponin T), Echocardiografi transtorakal, angiografi koroner 1. Posisi ½ duduk 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker, Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator/bipep. 3. Infus emergensi 4. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. 5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. 6. Morfin sulfat: 3-5 mg IV, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg. 7. Diuretik: Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1ml/kgBB/jam. 8. Bila perlu (tekanan darah turun/ tanda hipoperfusi): Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. 9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. 10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak berhasil dengan terapi oksigen. 11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. 12. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regugirtasi,VSD, dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendeniae. Gagal napas Tergantung penyebab. Beratnya gejala dan respon terapi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
84 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU
Referensi: 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 140-54. NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
ENDOKARDITIS INFEKTIF No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Inflamasi pada endokard yang biasanya melibatkan katup dari jaringan sekitarnya yang terkait dengan agen penyebab infeksi. Kriteria Klinis Duke untuk Endokarditis Infektik (EI): EI definite: Kriteria Patologis: Mikroorganisme: Ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang mengalami emboli datau dalam suatu abses intrakardiak. Lesi Patologis: Vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis aktif. Kriteria klinis: Menggunakan definisi spesifik. dua kriteria mayor atau satu mayor dan tiga kriteria minor atau lima kriteria minor Kriteria Mayor: 1. Kultur darah positif untuk Endokarditis Infektif (EI) A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis dibawah ini: i. Streptococci viridans, Streptococcus bovis atau grup HACEK atau, ii. Community Aquired Staphylococcus Aureus atau Enterococci tanpa ada fokus primer. B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten didefinisikan sebagai: i. ≥2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah >12 jam atau, ii. Semua dari atau mayoritas dari ≥ 4 kultur darah terpisah (Dengan sampel awal dan akhir diambil terpisah ≥ 1 jam).
85 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. Bukti keterlibatan kardial. A. Ekokardiogram positif untuk EI didefinisikan sebagai: i. Massa intrakardiak oscillating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur aliran jet regugirtasi atau pada material yang diimplantasikan tanpa ada alternatif anatomi yang dapat menerangkan, atau, ii. Abses, atau, iii. Tonjolan baru pada katup prostetik atau, B. Regugirtasi valvular yang baru terjadi (Memburuk atau berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup). Kriteria Minor: 1. Predisposisi: Predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena. 2. Demam: Suhu ≥ C 3. Fenomena vascular: emboli arteri besar, infark pulmonal septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway. 4. enmena imunologis: Glomerulonefritis, Osler’s nodes, Roth Spots, dan Faktor Rheumatoid. 5. Bukti mikrobiologi: Kultur darah positif terapi tidak memenuhi kriteria mayor seperti tertulis diatas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI. 6. Temuan kardiografi: Konsistensi dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis diatas. EI possible: Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria rejected.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
EI Rejected: Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokarditis atau resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotik selama ≤ 4 hari atau Tidak ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau autopsi setelah terapi antibiotik ≤ 4 hari. 1. Demam Reumatika Akut dengan Karditis. 2. Sepsis. 3. Tuberkulosis Milier. 4. Lupus Eritematosus Sistemik. 5. Pasca Glomerulonefritis Streptokokal. 6. Pielonefritis. 7. Poliarteritis Nodosa. 8. Reaksi Obat. Darah ruin, EKG, foto toraks, echocardiografi, transesogaflea echocardiografi, kultur darah. Oksigenasi Cairan intravena yang cukup Antipiretik
86 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Antibiotika: Regimen yang dianjurkan (AHA) 1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Streptococcus Bovis: Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 4 minggu atau seftriakson 2 g 1 kali/hari iv atau im selama 4 minggu. Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 2 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB IM atau IV tiap 8 jam selama 2 minggu. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2 g/24 jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4 minggu. 2. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Streptococcus Bovis relatif resisten terhadap Penisilin G: Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam IV kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB IM atau IV tiap 8 jam selama 2 minggu. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4 minggu. 3. Endokarditis karena Enterococci: Penisilin G kristal 18-30 juta unit/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB IM atau IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu. Ampisilin 12g/24 jam IV kontinu atau 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB IM atau IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2 g/24 jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4-6 minggu, dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB IM atau IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu. 4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik. a. Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci: Nafsilin atau oksasilin 2g IV tiap 4 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamicin sulfat 1 mg/kgBB IM atau IV tiap 8 jam selama 35 hari. b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam: Cefazolin (atau sefalosporin generasi I lain dalam dosis setara) 2 g IV tiap 8 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah ditambah gentamicin sulfat 1 mg/kgBB IM atau IV tiap 8 jam selama 3-5 hari. Vankomicin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam IV dalam 2 dosis terbagi, tidak >2 g/24 87 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
jam kecuali kadar serum dipantau, selama 4-6 minggu.
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Operasi bila: Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat, Gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis, Vegetasi yang menetap setelah emboli sistemik dan, Ekstensi perivalvular. Gagal jantung, emboli, aneurisma nekrotik, gangguan neurologi, perikarditis. Tergantung beratnya gejala dan komplikasi Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM
Referensi: 1. Alwi I. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektif pada Penyalahgunaan Obat Intravena. Dalam: Setiati S, Sudoyo W, Alwi I, Bawazier LA, Soejono CH, Lydia A, et al, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2000. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000;p.171-186. NO Hal
FIBRILASI ATRIAL No. Dokumen No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Adanya iregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang “P” dengan frekuensi antara 350-650 permenit.
2.
Diagnosis
Gambaran EKG berupa adanya iregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang “P” dengan frekuensi antara 50650 permenit. Klasifikasi: Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari: 1. Primer:bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang menimbulkan aritmia. 2. Sekunder: bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia. Berdasarkan waktu timbulnya AF serta kemungkinan keberhasilan usaha konversi ke irama sinus: 1. Paroksismal, bila AF berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun. 2. Persisten, bila AF menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi pengobatan atau tindakan. 3. Permanen bila AF berlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan tetap tidak berubah.
88 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Dapat pula dibagi sebagai: 1. Akut, bila timbul kurang dari 48 jam. 2. Kronik, bila timbul lebih dari 48 jam. 3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
EKG bila perlu dengan Holter Monitoring bila menghadapi pasien AF paroksismal. Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya penyakit primer. Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali untuk kepentingan akademik. Fibrilasi atrial paroksismal: 1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya diberi penerangan saja. 2. Bila menimbulkan keluhanyang memerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jantung atau disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta atau obat antiaritmia kelas IC seperti propafenon atau flekainid. 3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan amiodaron. 4. Bila dengan obat-obat itu juga tidak berhasil dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obat antiaritmia lain. 5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amiodaron merupakan obat pilihan. Fibrilasi atrial Persisten: 1. FA tidak kembali ke irama sinus yang secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik tanpa pemberian antikoagulan sebelumnya. Setelah kardioversi diberikan obat antikoagulan paling sedikit selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas IC (Propafenon dan Flekainid). 2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan secara oral paling sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik. Selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel. Alternatif lain pada pasien tersebut dapat diberikan heparin dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan adanya tombus kardiak sebelum kardioversi. 3. FA persisten episode pertama, setelah dilakukan kardioversi tidak diberikan obat antiaritmia profilaksis. Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini dapat diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat beta, golongan kelas IC (Propafenon, Flekainid), sotalol, atau amiodarone. Fibrilasi Atrial Permanen:
89 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
1. Kardioversi tidak efektif. 2. Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium. 3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV atau pemasangan pacemaker permanen. 4. FA resisten, perlu pemberian antitromboemboli. Emboli, stroke, trombus intrakardiak. Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respon terapi Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU
Referensi: 1. Ismail D. Fibrilasi Atrial:Aspek Pencegahan Terjadinya Stroke. Dalam: Setiati S, Sudoyo W, Alwi I, Bawazier LA, Soejono CH, Lydia A, et al, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2000. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000;p.97-114. 2. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p.275-88. 3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 1005-1014. 4. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 155-60.
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
GAGAL JANTUNG KRONIK No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan fungsi atau struktural jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa. Anamnesis: Dispnea on Effort; Orthopnea; Paroksismal Nokturnal Dispnea; Lemas; Anoreksia dan mual; Gangguan mental pada usia tua. Pemeriksaan Fisik: Takikardia, Gallop bunyi jantung ketiga; Peningkatan/ekstensi vena jugularis; Refluks hepatojugular;
90 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Pulsus alternans; Kardiomegali; Ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat; Edema pretibial pada pasien yang dirawat jalan, edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif; Hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik; ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin; Ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat. Pemeriksaan Penunjang: Foto rontgen dada: Pembesaran Jantung, distensi vena pulmonal dan redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks). Peningkatan tekanan vaskular pulmonar; Efusi Pleura, kadang-kadang. Elektrokardiografi: Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain). Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan lain-lain. Laboratorium: Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi liver, dan lipid darah Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria. Ekokardiografi: Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup, dan perikard. Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah <35%-40% atau normal, kelainan katup (mitral stenosis, mitral regugirtasi, trikuspid stenosis atau trikuspid regugirtasi), LVH, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, atau perikarditis. Kriteria Diagnosis Kriteria Framingham Kriteria Mayor: 1. Paroksismal Nokturna Dispnea. 2. Distensi vena-vena leher. 3. Peningkatan Vena jugularis 4. Ronkhi. 5. Kardiomegali. 6. Edema paru Akut. 7. Gallop bunyi jantung III (S3) 8. Refluks hepatojugular positif. 91 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Kriteria Minor: 1. Edema ekstremitas. 2. Batuk malam. 3. Dispnea pada aktivitas. 4. Hepatomegali. 5. Efusi pleura. 6. Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal. 7. Takikardia (>120 denyut permenit) Mayor atau minor: Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari terapi.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. 1. Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat misalnya ARDS, emboli paru. 2. Penyakit ginjal: gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik. 3. Penyakit hati: Sirosis hepatis. Pemeriksaan Penunjang: Foto rontgen dada: Pembesaran Jantung, distensi vena pulmonal dan redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks). Peningkatan tekanan vaskular pulmonar; Efusi Pleura, kadang-kadang. Elektrokardiografi: Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain). Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan lain-lain. Laboratorium: Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi liver, dan lipid darah Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria.
5.
Terapi
Ekokardiografi: Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup, dan perikard. Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah <35%-40% atau normal, kelainan katup (mitral stenosis, mitral regugirtasi, trikuspid stenosis atau trikuspid regugirtasi), LVH, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, atau perikarditis. Non Farmakologi: 1. Anjuran Umum: a. Edukasi: terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan. b. Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih
92 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
bisa dilakukan. c. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang. d. Vaksinasi terhadap infeksi influenza dan pneumokokus bila mampu. e. Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon dosis rendah masih dapat dianjurkan. 2. Tindakan Umum: a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat, dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan. b. Hentikan rokok. c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya. d. Aktivitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang). e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat, dan eksaserbasi akut. Farmakologi: 1. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV yang disebabkan gagal jantung sistolik. 2. ACE inhibitor, bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. 3. Beta blocker, bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa mingu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Beta bloker yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan ACE inhibitor dan diuretik. 4. Angiotensin II antagonis reseptor, dapat digunakan 93 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
bila ada kontraindikasi penggunaan ACE inhibitor. 5. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide Dinitrat memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan ACE inhibitor dapat dipertimbangkan. 6. Digoksin, diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta bloker. 7. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis, dan Transient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak, dan aneurisma ventrikel. 8. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia Klas i harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia Kelas III terutama Amiodarone dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak. 9. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobat angina atau hipertensi pada gagal jantung. Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit Tergantung klas fungsionalnya. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. ICCU
Referensi: 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 140-54. 2. ACC/AHA. ACC/AHA. Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in Adult: Executive Summary. A Report of The American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for theEvaluation and Management of Heart Failure). Circulation 2001; 104:2996-3007. NO
TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Takikardia yang terjadi karena perangsangan yang berasal
94 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
dari AV node dimana sebagian rangsangan antegrad ke ventrikel sebagian ke atrium. Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di belakang kompleks QRS atau sama sekali tidak ada karena berada dalam kompleks QRS. Jarak R-R teratur. Kompleks QRS langsing, kecuali pada rate ascendent aberrant conduction. EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Pemeriksaan Elektrofisiologi Ekokardiografi. Angiografi koroner. TEE(Transesofageal Echocardiografi) 1. Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ball pressure, pemijitan sinus karotikus dan sebagainya. 2. Pemberian obat yang memblok nodus AV: a. Adenosin atau Adenosin Tri Phosphate (ATP) IV. Obat ini harus diberikan secara IV dan cepat. b. Verapamil IV. c. Obat penghambat beta. d. Digitalisasi. 3. Bilasering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih dahulu EPS untuk menentukan lokasi bypass tract atau ICD (Defibrillator Intra Cardial) Emboli, kematian mendadak Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU
Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p.275-88. 2. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 1005-1014. 3. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 155-60.
95 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
PERIKADITIS Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Peradangan pada perikard parietalis, viseralis atau keduaduanya, yang dapat bermanifestasi sebagai: 1. Perikarditis akut. 2. Efusi perikard tanpa tamponade. 3. Efusi perikard dengan tamponade. 4. Perikarditis konstriktiva. Tergantung manifestasi klinis perikarditis: A. Perikarditis akut: Sakit dada tiba-tiba substernal atau prekordial, yang berkurang bila duduk dan bertambah sakit bila menarik napas (sehingga perlu dibedakan dengan pleuritis). Pemeriksaan fisik: Friction rub 2-3 komponen EKG: ST elevasi cekung )bedakan dengan infark jantung akut dan repolarisasi dini). Foto: jantung normal atau membesar. B. Tamponade Awal: Peninggian tekanan vena jugularis dengan cekungan X prominen dan hilangnya cekungan Y (juga terlihat pada CVP) Kemudian: Kusmaull sign (Peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi). Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah >1215 mmHg pada inspirasi, terlihat pada arterial line atau tensimeter). Penurunan tekanan darah umumnya disertai: Pekak hati yang meluas, bunyi jantung melemah, friction rub, takikardia. Foto toraks menunjukkan: Paru normal kecuali bila sebabnya kelainan paru seperti tumor. Jantung membesar membentuk kendi (bila cairan >250ml) EKG low voltage, elektrikal alternans (gelombang QRS saja, atau P, QRS, dan T). Ekokardiografi: Efusi perikard moderat sampai berat, swinging heart dengan kompresi diastolic vena kava inferior, atrium kanan dan ventrikel kanan. Kateterisasi: Peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang X prominen serta gelombang Y menurun atau menghilang. Pulsus paradoksus dan ekualisasi tekanan diastolic di ke 4 ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiri dan PCW) C. Perikarditis Konstriktiva Kelelahan, denyut jantung cepat, dan bengkak. Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda gagal jantung
96 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
seperti peningkatan tekanan vena jugularis dengan cekungan X dan Y yang prominen, hepatomegali, asites, dan edema. Pulsus paradoksus (pada bentuk subakut) End diastolic sound (knock) (lebih sering pada kronik) Kusmaull sign (Peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi) terutama pada yang kronik. Foto toraks: kalsifikasi perikard, jantung bisa membesar tapi bisa normal. CT Scan dan MRI bisa mengkonfirmasi foto toraks, Bila, CT Scan/MRI normal maka diagnosis perikarditis konstriktiva hampir pasi sudah bisa disingkirkan. Kateterisasi menunjukkan perbedaan tekanan atrium kanan, diastolic ventrikel kanan, ventrikel kiri , dan rata-rata PCW <5 mmHg. Gambaran dil dan plateu pada tekanan ventrikel. 1. Perikarditis: a. Infark jantung akut, b. Emboli paru, c. Pleuropneumonia, d. Disesksi aorta, e. Akut Abdomen. 2. Efusi Pleura/Tamponade: a. Kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, b. Emboli paru, 3. Perikarditis Konstriktiva: a. Kardiomiopati restriktif. EKG, foto toraks,ekokardiografi (terutama bila tersangka pericardial effusion), Kateterisasi, CT Scan, MRI. Perikarditis Akut: 1. Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan diagnosis banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade. 2. Simptomatik dengan aspirin 650mg/4 jam atau OAINS Indometasin 25-50 mg/6 jam atau petidin 25-0 mg/4 jam, hindarkan steroid karena sering menyebabkan ketergantungan. Bila tidak membaik dalam 72 jam, maka prednison 60-80 mg/hari dapat dipertimbangkan selama 5-7 hari dan kemudian tapering off. 3. Cari etiologi/kausal EFUSI PERIKARD 4. Sama dengan perikarditis akut, disertai pungsi perikard untuk diagnostik. TAMPONADE JANTUNG 1. Perikardiosentesis perkutan. 2. Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500 ml dalam 30-60 menit disertai dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit atau isoproterenol 2-20 ug/menit. 3. Kalau perlu membuat jendela percardial dengan: a. Dilatasi balon melalui perikardiostomi jarum perkutan.
97 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
5.
1. 2. 6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
b. Pembedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) Untuk membuat jendela pericardial dapat dilakukan bila: tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosentesis, tidak membaik dengan perikardiosentesis, kausanya Trauma. Pembedahan yang dapat dilakukan: a. Bedah sub-xyphoid perikardiostomi. b. Reseksi perikard lokal dengan bantuan video. c. Reseksi perikard anterolateral jantung. Pengobatan Kausal: bila sebabnya antikoagulan, harus dihentikan; antibiotik, antituberkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard bila etiologinya tumor. PERIKARDITIS KONSTRIKTIVA Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS. Bila Progresif, dapat dilakukan perikadiektomi.
1. Perikarditis akut: a. Chronic relapsing perikarditis. b. Efusi perikard. c. Tamponade perikarditis konstriktiva. 2. Efusi Perikard/Tamponade a. Henti jantung. b. Aritmia: Fibrilasi atrial atau Flutter. c. Perikarditis Konstriktiva 3. Perikarditis Kontriktiva Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yang terjadi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM
Referensi: 1. Ismail D, Panggabean MM.Perikarditis. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 1077-1081. 2. Panggabean MM , Mansjoer H. Perikarditis. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 173-177. NO
SINDROM KORONER AKUT Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard.
98 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Sindrom koroner akut mencakup: 1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST. 2. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST. 3. Angina pektoris tak stabil (Unstable angina pectoris) 2.
Diagnosis
Anamnesis: Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrosternal, dan prekordial. Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakarm seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat, atau tidak. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Dapat disertai gejala mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, dan lemas. Elektrokardiogram: Angina pektoris tidak stabil: Depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q. Infark miokard ST elevasi: Hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q inversi gelombang T. Infark Miokard Non ST Elevasi: Depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam. Petanda Biokimia CK, CKMB, Troponin-T, DLL Enzim meingkat minimal 2 x nilai batas atas normal.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
1. Angina Pektoris tak Stabil: a. Infark Miokard akut. 2. Infark Miokard akut: a. Diseksi aorta, b. Perikarditis akut, c. Emboli paru akut, d. Penyakit dinding dada, e. Sindrom Tietze, 3. Gangguan gastrointestinal seperti: a. Hiatus hernia dan refluks esofagitis, b. Spasme atau ruptur esofagus, c. Kolesistitis akut, d. Tukak lambung, dan pankreatitis akut. EKG Foto rontgen dada Petanda biokimia: darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll, Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin. Echocardiografi, Treadmill tes (untuk stratifikasi setelah infark miokard) Angiografi koroner.
99 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
1. Tirah baring di ruang rawat intensif jantung (ICCU) 2. Pasang infus Intravena dengan NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%. 3. Oksigen dimulai dengan 2 liter/menit 2-3 jam, dilanjutkan bila saturasi oksigen arteri rendah (<90%). 4. Diet: Puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. 5. Selanjutnya diet jantung. 6. Pasang monitor EKG secara kontinu. 7. Atasi nyeri dengan: a. Nitrat sublingual/transdermal/ nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik <90 mmHg), bradikardia (<50 kali/menit), takikardia. Atau. b. Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena. 8. Antitrombotik: a. Aspirin (160-345 mg), bila alergi atau intoleransi / tidak responsif diganti dengan tiklopidin atau klopidogrel. b. Trombolitik dengan Streptokinase 1,5 juta U dalam 1 jam atau aktivator plasminogen jaringan (t-PA) bolus 15 mg, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35mg) dalam 60 menit jika. Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau >0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi <12 jam, usia <75 tahun. c. Blok cabang (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut. 9. Antikoagulan: a. Heparin direkomendasikan untuk pasien yang menjalani revaskularisasi perkutam atau bedah, pasien dengan resiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark miokard anterior atau luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus ventrikel kiri yang tidak ada kontraindikasi heparin. b. Heparin diberikan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol pada angina pektoris tak stabil heparin 5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000 unit/ jam sampai angina terkontrol dengan menyesuaikan aPTT 1,5-s kali nilai kontrol. c. Pada Infark Miokard akut yang ST elevasi>12 jam diberikan heparin bolus intravena 5000 unit dilanjutkan dengan infus selama rata-rata 5 hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol. d. Pada Infark Miokard anterior Transmural luas, antikoagulan diberikan sampai saat pulang rawat. Pada penderita dengan trombus ventrikular atau dengan diskinesi yang luas di daerah apeks ventrikel kiri, antikoagulan oral diberikan secara tumpang tindih dengan heparin sejak beberapa hari
100 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10. 11. 12. 13.
14.
15.
sebelum heparin dihentikan. e. Antikoagulan oral diberikan sekurang-kurangnya 3 bulan dengan menyesuaikan nilai INR (2-3). Atasi Rasa takut atau cemas: Diazepam 3x 25 mg oral atau IV. Pelunak Tinja: Laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml. Beta Bloker: Diberikan bila tidak ada kontraindikasi. ACE Inhibitor: Diberikan bila keadaan mengizinkan terutama pada Infark Miokard Akut yang luas, atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard. Antagonis Kalsium: Verapamil untuk Infark Miokard non ST Elevasi atau Angina Pektoris tak stabil bila nyeri tidak teratasi. Atasi Komplikasi: a. Fibrilasi Atrium: Kardioversi elektrik untuk pasien dengan gangguan hemodinamik berat atau iskemia intraktabel. Digitalisasi cepat Beta Bloker Diltiazem atau verapamil bila beta bloker dikontraindikasikan. Heparinisasi. b. Fibrilasi ventrikel: DC Shock Unsynchronized dengan energi awal 200 J jika tak berhasil harus diberikan shock kedua 200-300J dan jika perlu Shock ketiga 360 J. c. Takikardia Ventrikel: VT polimorfik menetap (>30 detik) atau menyebabkan gangguan hemodinamik: DC Shock Unsynchronized dengan energi awal 200J, jika gagal harus diberikan shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360J. VT monomorfik yang menetap diikuti angina, edema paru, atau hipotensi harus diterapi DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal. VT monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru, atau hipotensi dapat diberikan: Lidokain bolus 1-15 mg/kgBB. Bolus tambahan 0,5-0,75 mg/kgBB tiap 5-10 menit sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kgBB/ Kemudian loading dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kgBB/menit). Atau. Disopiramid: bolus 1-2 mg/kgBB dalam 5-10 menit, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1mg/kgBB/jam. Atau.
101 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Amiodarone 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB 20-60 menit dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliharaan 0,5 mg/menit. Atau Kardioversi elektrik synchronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya). d. Bradiaritmia dan Blok Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung <50 kali/menit disertai hipotensi, iskemia aritmia ventrikel escape). Asistol ventrikel Blok AV simtomatik terjadi pada tingkat nodus AV (derajat dua tipe 1 atau derajat tiga dengan ritme escape kompleks sempit) Terapi dengan sulfas atropin 0,5-2 mg Isoproterenol 0,5-4 ug/menit bila atropin gagal, sementara menunggu pacu jantung sementara. e. Gagal Jantung Akut, edema paru, syok kardiogenik diterapi sesuai standar pelayanan medis mengenai kasus ini. f. Perikarditis Aspirin (160-325 mg/hari) Indometasin, ibuprofen Kortikosteroid. g. Komplikasi Mekanik Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel ditatalaksana operasi. 6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
1. Angina pektoris tak stabil: Payah jantung, Syok kardiogenik, Aritmia, Infark Miokard akut, 2. Infark Miokard Akut (dengan atau tanpa ST elevasi): Gagal jantung, Syok Kardiogenik, Ruptur korda, Ruptur septum, Ruptur dinding bebas, Aritmia gangguan hantaran, Aritmia gangguan pembentukan rangsang Perikarditis, Sindrom dresier, Emboli Paru, Tergantung daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada tidaknya komplikasi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM.
102 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10.
Unit Yang Terkait
ICCU
Referensi: 1. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut Dalam:Bawazier LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R, Mansjoer A, eds. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001:p.32-42. 2. Harun S, Alwi I, Rasyidi K. Infark Miokard Akut. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 165-72. 3. Santoso T. Tatalaksana Infark Miokard Akut Dalam:Subekti I, Lydia A, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprohaita, eds. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam.. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000:p.1-10.
NO
RENJATAN KARDIOGENIK Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kegagalan sirkulasi akut karena ketidakmampuan daya pompa jantung. Trias tekanan darah <90 mmHg, takikardia, dan oliguria. Pemeriksaan fisik: 1. Tanda-tanda gagal jantung. 2. Kemungkinan: komplikasi infark miokard akut seperti ruptur septum interventrikel atau muskulus papilaris. Infark Ventrikel kanan pada infark inferior dimana denyut jantung rendah karena blok AV, tanda gagal jantung kanan dengan paru yang tidak kongestif. Murmur: Regugirtasi akut aorta, mitral, stenosis aorta berat, atau trombosis katup prostetik. Elektrokardiografi: 1. Tanda iskemia, infark, hipertrofi, low voltage. 2. Aritmia: AV blok, bradiaritmia, takiaritmia. Foto Toraks: Opasifikasi hilus dan bagian basal paru, kemudian makin ke arah apeks paru. Kadang-kadang efusi pleura. Ekokardiografi: Kontraktilitas ventrikel kiri atau atrium kiri atau arteri pulmonalis. Regugirasi katup, Miksoma atrium, Efusi perikard dengan tamponade, Kardiomiopati hipertrofik, Perikarditis Konstriktiva,
103 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Syok Hipovolemik, Syok Obstruktif (emboli paru, tension pneumotoraks), Syok Distributif (Syok anafilaksis, sepsis, toksik, overdosis obat). Infark Jantung kanan. Darah rutin,ureum, kreatinin, analisa gas darah, elektrolit, foto toraks, EKG Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T). Echocardiografi, Angiografi koroner. 1. Posisi ½ duduk bila ada edema paru kecuali hipotensi berat. 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipneu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipotensi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator. 3. Infus emergensi 4. Bila ada tension pneumotoraks segera diidentifikasi dan ditatalaksana untuk dekompresi dengan chest tube torakotomi. 5. Atasi segera aritmia dengan obat atau DC. 6. Jika ada defisit volume yang ikut berperan berikan normal salin 250-500 ml kecuali ada edema paru akut. Jika terapi cairan gagal pasang kateter Swan Ganz. 7. EKG prekordial kanan untuk deteksi gagal jantung kanan bila ada infark akut inferior. 8. Penilaian cukup tidaknya volume paling baik dengan kateter Swan Ganz untuk mendapatkan PAWP. Jika pemberian cairan kontraindikasi atau tidak efektif berikan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 100mmHg. Dopamin dimulai dengan 5ug/kgBB/menit dititrasi sampai tercapai target mempertahankan tekanan darah atau sampai 15 ug/kgBB/menit. Tambahkan norepinefrin bila tekanan darah < 80mmHg dengan dosis 0,1-30 ug/kgBB/menit. Jika tidak ada respon dengan dopamin dapat juga ditambahkan dobutamin dengan dosis titrasi 2,5-20 ug/kgBB/menit atau milrinon/amrinon. 9. IABP (Intra Aortic Ballon Pump) bila tidak ada responsif dengan terapi adekuat sambil menunggu tindakan intervensi bedah. 10. Jika tekanan darah sudah stabil dapat diberikan vasodilator untuk mengurangi afterload dan memperbaiki fungsi pompa terutama berguna pada hipertensi berat, edema paru, dekompensasi katup. 11. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa
104 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. 12. Bila perlu diberikan: Bila perlu (tekanan darah turun/ tanda hipoperfusi): Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit. Untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis. 13. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. 14. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis, atau tidak berhasil dengan terapi oksigen. 15. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. 16. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regugirtasi,VSD, dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendeniae. Gagal Napas Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU
Referensi: 1. Panggabean MM , Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 140-54. 2. Trinohadi HB. Syok Kardiogenik. Dalam:Subekti I, Lydia A, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprohaita, eds. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam.. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000:p.11-16. 3. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut Dalam:Bawazier LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R, Mansjoer A, eds. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001:p.32-42. 105 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
FIBRILASI VENTRIKULAR Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tidak ditemukan depolarisasi ventrikel yang terorganisasi sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan dengan irama yang sangat kacau serta tidak terlihat gelombang P, QRS maupun T. Kompleks QRS sudah berubah sama sekali Amplitudo R sudah mengecil sekali. EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi Angiografi Koroner 1. DC Shock dengan evaluasi dan Shock sampai 3 kali jika perlu dimulai dengan 200 Joule, kemudian 200300 Joule dan 360 Joule. 2. Resusitasi jantung paru selama tidak ada irama jantung efektif (pulsasi di pembuluh nadi besar tidak teraba). 3. Bila teratasi penatalaksanaan seperti takikardia ventrikular. Emboli paru, emboli otak, henti jantung Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU
Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p.275-88. 2. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 1005-1014. 3. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 155-60. NO
TAKIKARDIA VENTRIKULAR Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tiga atau lebih kompleks yang berasal dari ventrikel secara berurutan dengan laju lebih dari 100 per menit.
106 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
1. Frekuensi kompleks QRS meningkat, 150-200 kali/menit. 2. Kompleks QRS melebar. 3. Hubungan gelombang P dan kompleks QRS tidak tetap. Supraventrikular takikardia dengan konduksi aberans EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi Angiografi koroner Pemeriksaan Elektrofisiologi. 1. Atasi penyakit dasar: bila iskemia maka dilakukan revaskularisasi koroner, bila payah jantung maka diatasi payah jantungnya. 2. Pada keadaan akut: 3. DC Shock diberikan dan dievaluasi sampai 3 kali (200 Joule, 200-300 Joule, 360 Joule atau bifasik ekuivalen) jika perlu. 4. Antiaritmia yang diberikan: lidokain atau amiodaron. 5. Lidokain diberikan mulai dengan bolus dosis 1 mg/kgBB (50-75 mg dilanjutkan dengan rumatan 24 mg/kgBB). 6. Bila masih timbul bisa diulangi bolus 50 mg/kgBB. Untuk Amiodaron dapat diberikan 15 mg/kgBB bolus 1 jam dilanjutkan 5 mg/kgBB bolus/drip dalam 24 jam sampai dengan 1000mg/24 jam. Untuk jangka panjang: 7. Bilamana selama takikardia tidak memberikan gangguan hemodinamik maka dapat dilakukan tindakan ablasi kateter dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan. 8. Hal ini terutama untuk ventrikular takikardia reentran cabang berkas. 9. Bilamana selama takikardia memberikan gangguan hemodinamik diperlukan tindakan konversi dengan defibrilator, kalau perlu pemasangan defibrilator jantung otomatik. Emboli paru, emboli otak, kematian Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICCU ICU
Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p.275-88. 107 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 1005-1014. 3. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 155-60. NO
EKSTRASISTOL VENTRIKULAR Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Suatu Kompleks ventrikel prematur timbul secara dini di salah satu ventrikel akibat cetusan dini dari suatu fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri. 1. P sinus biasanya terbenam dalam kompleks QRS, segmen ST atau gelombang T. 2. Kompleks QRS muncul lebih awal dari seharusnya. 3. QRS melebar (≥0,12 detik). 4. Gambaran QRS wide and bizzare. 5. Segmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS. 6. Bila karena mekanisme reentri maka interval antara kompleks QRS normal yang mendahuluinya dengan kompleks ekstrasistol Ventrikel akan selalu sama. Bila berbeda maka asalnya dari fokus ventrikel yang berbeda. EKG 12 sadapan Rekaman EKG 24 jam Ekokardiografi Angiografi koroner. 1. Tidak perlu diobati jika jarang, timbul pada pasien tanpa/ tidak dicurigai kelainan jantung organik. 2. Perlu pengobatan bila terdapat pada keadaan iskemia miokard akut, bigemini, trigemini, atau multifokal, alvo ventrikel. 3. Koreksi gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan hipoksia. 4. Obat: yang sering digunakan Xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit. Obat alternatif: Prokainamid, disopiramid, amiodaron, meksiletin. Bila pengobatan tidak perlu segera, obat-obat tersebut dapat diberikan secara oral. VT/VF, kematian mendadak Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Divisi Kardiologi dan Kardiovaskular, Departemen Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM. Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN
108 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
CM ICCU ICU
Referensi: 1. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, eds.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1999:p.275-88. 2. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Yang Spesifik. Dalam: Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 1005-1014.
ALERGI IMUNOLOGI NO
AIDS Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pasien yang terbukti terinfeksi HIV dengan hitung sel T CD4 <200 dan pasien yang terinfeksi HIV dengan satu atau lebih penyakit yang dipertimbangkan sebagai indikator gangguan imunitas selular yang berat. Adanya faktor risiko penularan Berdasarkan gejala: Sindrom HIV akut: 1. Timbul 3-6 minggu setelah infeksi primer. 2. Ditemukan gejala: 3. Umum:demam, faringitis, limfadenopati. 4. Headache/retroorbital pain, atralgia/mialgia, letargi/malaise, anoreksia/berat badan turun, mual/muntah/diare. 5. Neurologi: Meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopati. 6. Dermatologi: Rash eritematosus makulopapular, ulserasi mukokutan. Asimptomatik: 1. Tanpa gejala sama sekali. 2. Pembesaran kelenjar getah bening. Simptomatik: 1. Penurunan berat badan (<10%). 2. Kelainan mulut, kulit, saluran nafas yang ringan (sariawan, kelitis, dermatitis seboroika, prurigo, infeksi jamur pada kuku). Simptomatik Lanjut: 1. Penurunan berat badan yang lebih mencolok. 2. Diare lebih 1 bulan. 3. Panas hilang timbul maupun terus-menerus tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan. 4. Kandidiasis mulut. 5. Hairy leukoplakia. 6. Tuberkulosis paru. 7. Infeksi bakterial yang berat misalnya pneumonia.
109 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Infeksi Oportunistik: 1. Pneumonia Pneumosistis Karinii 2. Toksoplasmosis otak. 3. Kriptosporidiosis dengan diare > 1 bulan. 4. Kriptokokosis di paru. 5. Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali limpa, hati, atau kelenjar getah bening. 6. Infeksi virus, herpes simplek di mukokutan lebih dari 1 bulan atau di alat dalam (viseral) lamanya tidak dibatasi. 7. Leukoensefalopati multifokal progresif. 8. Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis koksidiodomikosis) yang endemik, menyerang banyak organ tubuh (diseminata). 9. Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, atau paru. 10. Mikobateriosis atipik (mirip bakteri tuberkulosis) diseminata. 11. Septikemia salmonella non tifoid. 12. Tuberkulosis di luar paru. 13. Limfoma 14. Sarkoma kaposi. 15. Ensefaopati HIV, sesuai kriteria CDC yaitu gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
Laboratorium: Tes skrining ELISA 2x positif ditambah tes konfirmasi. Western Blot 1x positif. Infeksi oportunistik. Penyakit imunodefisiensi primer. 1. Kimia rutin dan hematologi. 2. Foto thoraks. 3. Anti HIV dengan cara ELISA dan Western Blot. 4. Kadar HIV RNA dengan RT-PCR. 5. Hitung CD 4+. 6. Antitoksoplasma antibodi. 7. VDRL. 8. PPD test. 9. Pemeriksaan status mini-mental. 10. Serologi hepatitis A dan B. 1. Konseling tentang HIV/AIDS. 2. Terapi infeksi oportunistik/infeksi sekunder baik untuk profilaksis maupun pengobatan. 3. Terapi neoplasma. 4. Terapi antiretroviral. 5. Vaksin hepatitis A. 6. Vaksin hepatitis B. 7. Vaksin Influensa. 8. Vaksin Streptococcus Pneumonia. Infeksi oportunistik, sepsis. Tergantung hitung CD 4+. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
110 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian AlergiImunologi. Pokdissus AIDS-RSCM Departemen Patologi Klinik FKUI/RSUPN CM Sub Bag. Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Bedah FKUI/RSUPN CM
Referensi: 1. Fauci A, Lane HC.Human Immunodeficiency Virus (HIV) disease: AIDS and Related Disorders in:Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL. Jameson JL, Ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 15th eds. New York: McGraw-Hill, 2001; 18521913 NO
RENJATAN ANAFILAKSIS Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Keadaan gawat darurat yang ditandai dengan (hipotensi) penurunan tekanan darah sistolik < 90 mmHg akibat respon hipersensitifitas tipe I (adanya reaksi antigen dengan antibodi igE). 1. Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat disertai gejala klinis lain berupa: 2. Reaksi sistemik ringan: rasa geli/gatal serta hangat, rasa penuh di mulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin-bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen. 3. Reaksi sistemik sedang: seperti reaksi sistemik ringan ditambah spasme bronkus dan atau edema saluran nafas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaktik ringan. 4. Reaksi sistemik berat:Terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang bertambah berat. Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak nafas, sianosis, henti nafas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit menelan, kejang perut, diare, dan muntah. Kejang uterus, kejang umum, gangguan kardiovaskuler, aritmia jantung, koma Renjatan Kardiogenik, Renjatan hipovolemik Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah, EKG. A. Untuk renjatan: 1. Adrenalin larutan 1:1000, 0,3-0,5 ml Subkutan/intramuskular pada lengan atas atau paha. Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml pada tempat sengatan kecuali
111 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
bila sengatan di kepala, leher, tangan dan kaki. Dapat dilanjutkan dengan infus adrenalin 1 ml(1mg) dalam: Dekstrosa 5% 250 cc dimulai dengan kecepatan 1 ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai keadaan tekanan darah. Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan kardiovaskular lainnya. 2. Pasang Tourniqet proksimal dan suntikan atau sengatan serangga dilonggarkan 1-2 menit setiap 10 menit. 3. O2 bila sesak, mengi, sianosis 3-5 l/menit dengan sungkup atau kanul nasal. 4. Antihistamin Intravena, intramuskular atau oral, Rawat ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan terapi: I. IVFD Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl 2-3 l/m2 permukaan tubuh. II. Dopamin 0,3-1,2 mg/kgBB/jam bila tekanan darah tidak membaik. III. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kgBB intravena dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam. B. Bila disertai spasme bronkus maka dapat diberikan: 1. Agonis inhalasi beta-2 2. Jika spasme bronkus menetap Aminofilin 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10 ml diberikan perlahan-lahan dalam 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infus aminofilin 0,21,2 mg/kgBB/jam. C. Bila disertai edema hebat saluran nafas atas: Intubasi dan trakeostomi.
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
D. Pemantauan paling sedikit 24 jam. Renjatan ireversibel, Multi organ failure. Tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian AlergiImunologi. Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICU
Referensi: 1. Samsuridjal Djauzi. Syok Anafilaktik. Dalam:Subekti I, Lydia A, Rumende CM, Syan AF, Mansjoer A, Suprohaita, eds.penyunting. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam.. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000:p.97-100. 112 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. Mahdi AD. Syok Anafilaktik. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds.penyunting. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 8-10.
NO
ASMA BRONKIAL Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan obstruksi jalan nafas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktifitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, netrofil, dan epitel. Episode berulang sesak nafas, dengan atau tanpa mengi dan rasa berat di dada akibat faktor pencetus. Dibagi menjadi: 1. Asma intermiten, gejala asma < 1 kali/minggu asimptomatik, APE diantara serangan normal, asma malam ≤ 2 kali/bulan, APE ≥ 0%, variabilitas <20%. 2. Asma persisten ringan, gejala asma ≥ 1 kali/minggu, <1 kali/hari, asma malam 2 kali bulan, APE ≥ 0%, variabilitas 20-30%. 3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari menggunakan beta-2 agonis kerja singkat, aktivitas terganggu saat serangan, asma malam >1 kali/minggu, APE > 60% dan < 80% prediksi atau variabilitas > 30%. 4. Asma persisten berat, gejala sama terus menerus, asma malam sering, aktivitas terbatas, dan APE ≤60% prediksi atau variabilitas >30%. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada semua tingkatan derajat asma. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), Gagal Jantung. Laboratorium: 1. Jumlah eosinofil darah dan sputum. 2. Foto toraks, 3. Spirometri, 4. Uji tusuk kulit(skin prick test/SPT), 5. Uji bronkodilator atas indikasi, 6. Uji provokasi bronkus atas indikasi, 7. Analisa Gas Darah atas indikasi. 1. Asma intermitten tidak memerlukan obat pengendali. 2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi (300 ug BDP atau ekuivalennya atau pilihan lainnya: Teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien. 3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali berupa kortikosteroid inhalasi (200-
113 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
1000 ug BDF atau ekuivalennya) ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau pilihan lain. Kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya)+ LABA oral atau kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (>1000 ug BDP atau ekuivalennya) atau kortikosteroid inhalasi 500-1000 ug BDP atau ekuivalennya)+ antileukotrien. 4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid inhalasi (>1000 ug BDP atau ekuivalennya)+LABA Inhalasi+ salah satu pilihan berikut: Teofilin lepas lambat. Antileukotrien. LABA oral. BDP= Budesonide Propionat. Sedangkan untuk penghilang sesak diberikan beta-2 agonis kerja singkat inhalasi tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Antikolinergik inhalasi, agonis beta-2 kerja singkat oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selain agonis beta-2 kerja singkat inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut: 1. Oksigen. 2. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respon terapi awal. 3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromida) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat (atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta-2). 4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 4060 mg/hari setara prednison. 5. Aminofilin tidak dianjurkan, bila diberikan dosis awal 5-6 mg/kgBB dilanjutkan infus aminofilin 0,50,6 mg/kgBB/jam. 6. Antibiotik bila ada infeksi sekunder. 7. Pasien diobservasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis beta-2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasi terus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari): inhalasi agonis beta-2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan, dan pengobatan lanjutan, antibiotik diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat. 8. Bila setelah vasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan risiko tinggi: pemeriksaan fisik tambah berat, APE (Arus Puncak Ekspirasi) > 50% dan <70 % dan tidak ada perbaikan hipoksemia (dari hasil analisa gas darah) pasien harus dirawat. Pasien dirawat di ICU bila tidak ada berespon terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan/buruknya keadaan setelah perawatan 612 jam, adanya penurunan kesadaran, atau tanda-tanda henti napas, hasil pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hipoksemia dengan kadar pO2<60 mmHg dan/atau pCO2>45 mmHg walaupun mendapat pengobatan oksigen 114 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
yang adekuat. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), gagal jantung. Pada keadaan eksaserbasi akut dapat terjadi gagal napas dan pneumotoraks. Tergantung beratnya gejala Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian AlergiImunologi. Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICU
URTIKARIA KARENA OBAT Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kelainan kulit dan mukosa yang diinduksi obat berupa papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi penyakit, misal: NSAID, Sulfonamida, antikonvulsan, penicillin, dan tetrasiklin. Gejala prodromal berupa gejala radang saluran nafas atas, demam, batuk, sakit kepala, malaise, nyeri menelan. Dalam beberapa hari terjadi erosi multipel pada membran mukosa, lepuhan, makula purpura. Daerah yang terkena lepuhan dan pelepasan kulit ≤ 10%. TEN, eritema multiformis. Hitung eosinofil, elektrolit, foto thoraks, kultur pus dari kulit, kultur sputum. 1. Hentikan obat penyebab. 2. Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah infeksi bakteri. 3. Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah urin. 4. Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala dan darah dan mukokutan. 5. Pemberian makanan tinggi kalori. 6. Penggantian cairan dan elektrolit. 7. Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru segera. 8. Konsultasi mata. 9. Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata. 10. Antasida cairan dan antagonis H2 bila ada ulserasi gastrointestinal. 11. Antibiotika tergantung hasil kultur. Sepsis, syok hipovolemik, syok sepsis. Tergantung beratnya gejala Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian AlergiImunologi.
115 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10.
Unit Yang Terkait
Departemen Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN CM Departemen Bedah- Unit Luka Bakar FKUI/RSUPN CM Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSUPN CM ICU
GASTROENTEROLOGI NO
ULKUS PEPTIKUM Hal
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Ulkus peptikum adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis. Faktor risiko: Umur, penggunaan obat-obatan, aspirin, atau NSAID. Anamnesis: Terdapat nyeri epigastrium, dispepsia, nausea, vomitus, anoreksia, dan kembung.
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
Ulkus gaster, ulkus duodenum, dispepsia non ulkus.
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Barium dobel kontras. Endoskopi saluran cerna bagian atas. A. Tanpa Komplikasi: 1. Suporif: Nutrisi. 2. Memperbaiki/ menghindari faktor risiko. 3. Pemberian obat-obatan: i. Antasida, ii. Antimuskarinik, iii. Antagonis resepto H2, iv. Proton Pump Inhibitor, v. Pemberian obat-obatan untuk mengikat asam empedu, vi. Pemberian obat-obatan untuk mempercepat pengosongan lambung, vii. Pemberian obat-obatan untuk eradikasi kuman Helicobacter Pylori, viii. Pemberian obat-obatan untuk meningkatkan faktor defensif. B. Dengan Komplikasi: 1. Tukak peptik yang berdarah Penatalaksanaan umum atau suportif sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum. 2. Penatalaksanaan/ tindakan khusus: Tindakan/terapi hemostatik per endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe. 3. Pemberian obat somatostatin jangka pendek.
116 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
4. Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi. 5. Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan, tetap masuk keadaan gawat I s/d II maka penderita masuk dalam indikasi operasi. Perdarahan Ulkus Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. Departemen Bedah- Subbagian Bedah Digestif.
DISPEPSIA Hal
1.
Pengertian
2. 3.
Diagnosis Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, dan sendawa. Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas. Penyakit refluks gastroesofageal. Irritable Bowel Syndrome. Karsinoma Saluran Cerna Bagian Atas. Kelainan Pankreas dan Kelainan Hepar, Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi, analisis cairan lambungm pemeriksaan terhadap adanya infeksi Helicobacter Pylori, pemeriksaan fungsi hati, amylase, dan lipase, fosfatase alkali dan gamma GT. Suportif:Nutrisi. Pengobatan empirik selama 4 minggu (terdiri dari...) Pengobatan berdasarkan etiologi. Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
KARSINOMA GASTER Hal
1. 2.
Pengertian Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Keganasan pada lambung. Anamnesis dapat ditemukan adanya sindrom dyspepsia. Berat badan yang turun tanpa penyebab Pemeriksaan fisik:..... Karsinoma esophagus, esofagitis. DPL, endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsy, USG abdomen, CT scan abdomen.
117 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5. 6. 7. 8.
Terapi Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
Berdasarkan staging, bedah atau kemoterapi. Obstruksi saluran cerna bagian atas. Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif.
HEMATEMESIS MELENA Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasa dari saluran cerna bagian atas. Melena yaitu buang air besar berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esophagus. Muntah dan BAB darah warna hitam ter. Sindrom Dyspepsia, bila ada riwayat makan obat NSAID, jamu pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum. Keadaan Umum: pasien sakit ringan sampai berat, daoat disertai gangguan kesadaran (prekoma/koma hepatikum), Dapat terjadi syok hipovolemik. Hemoptoe. Hematoskezia. Darah perifer lengkap, hemostasis lengkap atau, masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, elektrolit (Na, K, Cl), pemeriksaan fungsi hati (Cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT, petanda hepatitis B dan C, endoskopi SCBA diagnostik atau foto rontgen OMD, USG hati.) Nonfarmakologis: Tirah baring, puasa, diet hati/ lambung pasang NGT untuk dekompresi, pantau perdarahan. Farmakologis: Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varices transfusi sampai dengan Hb 10 g% pada kasus non varices, transfusi samapi dengan Hb 12g%. Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau NaCl 0,9% atau RL. Untuk penyebab non varices: 1. Injeksi antagonis resptor H2 atau penghambat pompa proton. 2. Sitoprotektor: Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab. 3. Antasida. 4. Injeksi Vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati.
118 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Untuk penyebab varices: 1. Somatostatin bolus 20 ug + drip 250 mikro gram intravena atau ocreotide (sandostatin) 0,1mg/2jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varices esophagus. 2. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan sampai tekanan Diastolic turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20%. 3. Isosorbid dinitrat/mononitrat 2x 1 tablet/hari. 4. Metoklorpamid 3 x 10mg/hari Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan. Pada pasien dengan, pecah varices/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan: a. Laktulosa 4 x 1 sendok makan. b. Neomisin 4 x 500 mg. Obat ini diberikan sampai tinja normal. Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif. Bedah emergensi di indikasikan bila pasien masuk dalam keadaan gawat I-II. 6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan. Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif.
119 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
DIARE KRONIK Hal
1.
Pengertian
2. 3.
Diagnosis Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Diare kronik yang berlangsung lebih dari 15 hari sejak awal diare. Diare dengan lama lebih dari 15 hari. Kelainan pankreas, kelainan usus halus dan usus besar, kelainan PEM dan tirotoksikosis, kelainan hati,IBS tipe diare. 1. Pemeriksaan tinja. 2. Pemeriksaan darah: DPL, kadar feritin, SHBC, kadar Vitamin B12 darah, kadar asam folat darah, albumin serum, eosinofil darah, serologi amuba (IDT), Widal, pemeriksaan imunodefisiensi (CD4, CD8). 3. Pemeriksaan anatomi usus: Barium enema/colon in loop (didahului BNO), kolonskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CT Scan abdomen. 4. Fungsi usus dan pankreas: Tes fungsi ileum dan jejunum, tes fungsi pankreas, tes Schiling, CEA dan CA 19-9 A. Non Farmakologis: 1. Diet lunak tidak merangsang, tinggi kalori, tinggi protein, bila tidak tahan laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah lemak, bila penyakit Crohn dan colitis ulserosa diberikan rendah serat pada keadaan akut. Pertahankan minum yang baik, bila perlu infus untuk mencegah dehidrasi. B. Farmakologis: 1. Bila sesak nafas dapat diberikan oksigen infus untuk memberikan cairan dan elektrolit. 2. Antibiotika bila terdapat infeksi. 3. Bila penyebab amuba/parasit/giardiasis dapat diberikan metronidazol. 4. Bila alergi makanan/obat/susu, diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab alergi tersebut. 5. TBC usus diobati dengan OAT. 6. Diare karena kelainan endokrin, diobati dengan kelainan endokrinnya. 7. Malabsorbsi diatasi dengan pemberian enzim. 8. Kolitis diatasi sesuai jenis kolitis. Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/ gas darah, gagal ginjal akut, kematian. Dubia ada bonam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
120 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
Departemen Ilmu Gastroenterologi.
Penyakit
Dalam-Subbagian
PANKREATITIS AKUT Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pankreatitis akut yaitu reaksi peradangan pankreas yang akut. Keadaan umum pasien seperti sakit dyspepsia sedang sampai berat, gelisah kadang disertai gangguan kesadaran. Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok, dan takikardia, bising usus menurun (ileus paralitik). Penyakit penyerta yang meninggalkan resiko: batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, DM, hipertiroidisme, alkoholisme, ulkus peptikum, leptospirosis, DHF. Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut, appendisitis akut, nefrolitiasis kanan akut, infark miokard akut inferior. Laboratorium: Klasifikasi berat/prognosis: kriteria Ranson, DPL, amylase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum, LDh serum, fungsi ginjal, SGOT/SGPT, AGD elektrolit. Non farmakologis: puasa dan pemasangan infus untuk nutrisi parenteral total sampai amylase dan lipase serum normal/ mendekati normal dan pada selang nasogastrik cairan lambung <300cc, pasien tak nyeri ulu hati. Farmakologis: 1. Analgesik dan sedative, infus cairan, pasang selang lambung: 2. Antibiotika bila ada infeksi, 3. Penghambat sekresi enzim pankreas, 4. Prosedur bedah pada infeksi berat berupa drainase cairan. Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis organ sekitar, pembentukan fistel, ulkus duodenum, ikterus obstruksi, asites. Sepsis. Dubia ad bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif.
121 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
ILEUS PARALITIK Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
No.Revisi
Hal.
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung/distensi usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismotilitas), pasien tidak dapat BAB. 1. Perut kembung (distensi), bising usus menurun, dan menghilang. 2. Muntah, bisa disertai diare, tak bisa BAB. 3. Dapat disertai demam, 4. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran. 5. Dapat terjadi syok, 6. Pada colok dubur: rectum tidak kolaps, tidak ada kontraksi, 7. Adanya penyakit yang meningkatkan resiko:batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, DM, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis infeksi tubuh. 8. Pemeriksaan fisik: bising usus menghilang Ileus obstruktif Laboratorium: DPL, amylase-lipase, gula darah, kalium serum, elektrolit dan AGD. A. Non Farmakologis: 1. puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang angin melalui dubur. 2. Pasang selang lambung dan dekompresi. 3. Pasang kateter urin. B. Farmakologis: 1. Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter/hari disertai elektrolit. 2. Natrium dan Kalium sesuai kebutuhan /24 jam. 3. Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal di tambah kebutuhan lain. 4. Terapi etiologi. Syok hopovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi. Dubia ad bonam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi. Departemen Bedah-Subbagian Bedah Digestif.
HEMATOSKEZIA Hal
1.
No. Dokumen
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Hematoskezia adalah BAB darah segar berwarna merah yang berasal dari saluran cerna bagian bawah.
122 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
1. BAB darah merah segar sampai merah tua. 2. Demam bila penyebabnya infeksi usus. 3. Nyeri perut di atas umbilikus seperti kejang/kolik, atau perut kanan bawah yang hilang timbul dapat akut, atau kronik, dapat ditemukan massa. 4. Dapat disertai diare sampai dehidrasi, dapat terjadi syok hipovolemik. 5. Bising usus menurun atau menghilang. 6. Berat bada dapat menurun. 7. Ada riwayat kontak dengan pasien lain, memakan makan yang tidak biasanya, mendapat terapi antibiotik, penyakit kardiovaskular, dapat disertai gejala ekstraintestinal seperti kelainan kulit, sendi, dan radang mata. Melena, hemoroid, infeksi usus, penyakit usus/inflamatorik, Divertikulosis kolon dan/atau usus halus, angiodisplasia, tumor kolon dan/atau usus halus colitis iskemik, colitis radiasi. 1. Laboratorium: DPL tiap 6 jam, analisis gas dan elektrolit darah. 2. Pemeriksaan hemostasis lengkap. Pemeriksaan etiologi: Kultur widal-Gall, serologi amuba, serologi IDT amuba, kultur Salmonella-Shigella feses-urin, pemeriksaan mikroskopik parasit di feses. 3. Kolonoskopi, ileoskopi, jejunoskopi, dan biopsy. Pada demam tifoid, kolonoskopi sebaiknya dilakukan bila demam sudah menghilang, dan keadaan umum membaik. 4. Foto abdomen 3 posisi. 5. Kolon in loop kontras ganda. 6. USG abdomen, 7. CT Scan abdomen/foto usus halus, 8. Foto dada, 9. EKG. A. Non Farmakologis: puasa, cairan infus, perbaikan hermodinamik. Jika Hemodinamik stabil dapat nutrisi enteral. B. Farmakologis: Transfusi darah PRC/WB sampai dengan Hb>10 g% Infus cairan Pengobatan infeksi sesuai penyebab. Bila ada kelainan hemostasis di obati sesuai penyebabnya. Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan. Dubia ad Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
123 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
GINJAL HIPERTENSI NO
PENYAKIT GINJAL KRONIK Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kriteria: 1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal. Dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), berdasarkan: 2. LFG <60ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Anamnesis: Lemas, mual, muntah, sesak napas, pucat, BAK berkurang. PF: Anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru. Lab: Gangguan fungsi ginjal. Batasan dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik LFG (ml/menit/1,73 m 2) ≥ 90 60-89 30-59 15-29 <15 dialisis)
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Dengan Kerusakan Tanpa Kerusakan Ginjal Ginjal Dengan Tanpa Dengan Tanpa Hipertensi Hipertensi Hipertensi Hipertensi 1 1 Hipertensi “ ormal” 2 2 Hipertensi+ ↓L G ↓L G 3 3 3 3 4 4 4 4 (atau 5 5 5 5
Gagal ginjal akut DPL, ureum, kreatinin, UL(Urinalisa Lengkap), CCT ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), Profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG, Ekokardiografi, biopsi ginjal, HbsAg, Anti HCV, Anti HIV. 1. Non Farmakologis: 1. Pengaturan Asupan Protein: Pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB/ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien. Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari. Pasien peritonealdialisis 1,3 gram/kgBB/hari. 2. Pengaturan Asupan Kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari. 3. Pengaturan Asupan Lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh. 4. Pengaturan Asupan Karbohidrat: 50-60% dari kalori total. 5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari. 6. Kalium :40-70 mEq/kgBB/hari. 7. Fosfor :5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD:17 mg/hari.
124 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari. 9. Besi: 10-18 mg/hari. 10. Magnesium 200-300 mg/hari. 11. Asam Folat pasien HD : 5mg 12. Air: Jumlah urin 24 jam + 500 ml (Insensible Water Loss) pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan BB di antara waktu HD < 5% BB kering. 2.
6.
Komplikasi
7. 8. 9.
Prognosis Wewenang Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
10.
Farmakologis: 1. Kontrol Tekanan darah: Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan. Penghambat kalsium. Diuretik. 2. Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin, dan obat-obatan sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%. 3. Koreksi anemia dengan target Hb10-12 g/dl. 4. Kontrol hiperfosfatemi: Polimer kationik (Renagel), Kalsitriol. 5. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l 6. Koreksi hiperkalemi. 7. Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin. 8. Terapi ginjal pengganti. Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit, osteodistrofi renal, anemia. Dubia Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Bedah-Subbagian Bedah Urologi.
NO
SINDROM NEFROTIK (SN) Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
SN merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masih > 3,5 gram/24 jam/1,73 m2 disertai lipiduria. Anamnesis: Bengkak seluruh tubuh, BAK keruh. PF: Edema anasarka, asites. Lab: Proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m2, lipiduria, hipoalbuminemia (3,5 gram/dl), dislipidemia. Diagnosis etiologi berdasarkan biospi ginjal. Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN. UL( Urinalisa Lengkap), ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biospi ginjal.
125 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
A. Non Farmakologis: 1. Istirahat. 2. Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari+ ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. 3. Diet rendah kolesterol <600 mg/hari. 4. Berhenti merokok. 5. Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema. B. Farmakologis: 1. Pengobatan edema: diuretik loop. 2. Pengobatan proteinuria dengan penghambat EKA dan/atau antagonis reseptor Angiotensin II. 3. Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin. 4. Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah <125/75 mmHg. Penghambat EKA dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama. 5. Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat SOP penyakit glomerular).
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
Penyakit ginjal kronik, tromboemboli. Tergantung jenis kelainan/glomerular. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi
10.
Unit Yang Terkait
NO
PENYAKIT GLOMERULAR Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus, dapat merupakan penyakit glomerular primer atau sekunder. Penyakit glomerular primer: 1. Kelainan minimal. 2. Glomerulosklerosis fokal segmental. 3. Glomerulonefritis (GN) difus: a. GN membranosa (Nefropati membranosa). b. GN proliferatif (terdapat sedimen aktif pada UL sedimen eritrosit (+), hematuria: GN proliferatif mesangial, GN proliferatif endokapiler, GN membranoproliferatif (Mesangiokapiler). GN kresentik dan necrotizing. c. GN Sclerosing. 4. Nefropati IgA. Penyakit glomerular sekunder: 1. Nefropati diabetik. 2. Nefritis lupus. 3. GN pasca infeksi. 4. GN terkait hepatitis.
126 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5. GN terkait HIV.
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Keterangan: Difus: Lesi mencakup > 80% glomerulus. Fokal: lesi mencakup <80% glomerulus. Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus. Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus. Manifestasi klinis penyakit glomerular dapat berupa: 1. Sindrom nefrotik. 2. Hematuria persisten. 3. Proteinuria persisten. 4. Sindrom nefritik (Hipertensi, hematuria, azotemia). 5. Rapid Progressive Glomerulonephritis (RPGN). Etiologi dari penyakit glomerular. UL ( Urinalisa Lengkap), ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, gula darah, tes fungsi hati. Sesuai etiologi, penyakit glomerular primer: A. Kelainan Minimal: 1. Diberikan steroid yang setara dengan prednison 60 mg/m2 (maksimal 80 m2) selama 4-6 minggu. 2. Setelah 4-6 minggu dosis prednison diberikan 40 mg/m2 selang sehari selama 4-6 minggu 3. Bila terjadi relaps: dosis prednison kembali 60 mg/m2 (maksimal 80 mg) setiap hari sampai 3 hari bebas protein dalam urin, kemudian kembali selang sehari dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. 4. Bila sering relaps (>2kali): Prednison selang sehari ditambah dengan siklofosfamid 2 mg/kgBB atau klorambusil 0,15 mg/kgBB selama 8 minggu. Bila gagal diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan. 5. Bila tergantung steroid (relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 2 minggu pasca obat sudah dihentikan, 2 kali beruturut-turut): siklofosfamid 2 mg/kgBB selama 8-12 minggu. Bila gagal, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan. 6. Bila resisten terhadap steroid, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan. B. Glomerulonefritis fokal segmental: 1. Diberikan steroid yang setara dengan prednison 60 mg/hari selama 6 bulan. 2. Bila resisten atau tergantung steroid: Siklosporin 5 mg/kgBB selama 6 bulan: Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan 25% setiap dua bulan. Bila gagal, siklosporin dihentikan. C. Nefropati membranosa: 1. Diberikan bolus IV metil prednisolon 1 gram/hari selama 3 hari. 2. Kemudian diberikan steroid yang setara dengan
127 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
prednison 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan lalu diganti dengan Klorambusil 0,2 mg/kgBB/hari atau siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari selama 1 bulan. Prosedur no 2 diulangi kembali sampai seluruhnya dari prosedur no.2 sebanyak 3 kali.
D. Glomerulonefritis membranoproliferatif: 1. Steroid tidak terbukti efektif pada pasien dewasa. Dianjurkan pemberian aspirin 325 mg/hari atau dipiridamol 3 x 75-100 mg/hari atau kombinasi keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak memberikan respon, pengobatan dihentikan sama sekali. E.
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
Nefropati IgA: 1. Bila proteinuria<1 gram. Hanya observasi. 2. Bila proteinuria 1-3 gram, dengan fungsi ginjal normal, hanya observasi. Bila dengan gangguan fungsi ginjal, diberikan minyak ikan. 3. Bila proteinuria >3 gram dengan CCT >70 ml/menit. Diberikan steroid yang setara dengan prednison 1 mg/kgBB selama 2 bulan lalu tappering off secara perlahan sampai dengan 6 bulan. Bila CCT <70 ml/menit, hanya diberikan minyak ikan.
Catatan: Suplementasi kalsium selama terapi dengan steroid. Penyakit ginjal kronik. Tergantung jenis kelainan/glomerular. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi
GAGAL GINJAL AKUT(GGA) Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Sindrom yang ditandai oleh penurunan LFG secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu) yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kreatinin serum 0,5 mg/dl dari nilai sebelumnya, penurunan CCT hitung sampai 50% atau penurunan fungsi ginjal yang mengakibatkan kebutuhan akan dialisis. Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan GGA: 1. Pre-renal: Akibat hipoperfusi ginjal (Dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung dan hipotensi oleh sebab lain). 2. Renal: Akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat,zat kimia/toksin, iskemia ginjal, penyakit glomerular).
128 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
3. Post-renal: Akibat obstruksi akut traktus urinarius ( batu saluran kemih), hipertrofi prostat, keganasan ginekologis). Fase anuria: (Produksi urin <100 mg/24 jam), oliguria (produksi urin <400 ml/24 jam), poliuria (produksi urin>3500 ml/24 jam). Episode akut pada penyakit ginjal kronik, penyakit ginjal kronik. Tes fungsi ginjal, DPL, UL(Urinalisa Lengkap), Elektrolit, AGD, Gula darah. A. Asupan Nutrisi 1. Kebutuhan kalori 30 Kal/kgBB ideal/ hari pada GGA tanpa komplikasi; kebutuhan ditambah 1520% pada GGA berat (terdapat komplikasi/stres). 2. Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram kg/BB ideal/hari pada GGA tanpa komplikasi; 1-1,5 gram/kgBB Ideal/hari pada GGA berat. 3. Perbandingan karbohidrat dan lemak 70:30. 4. Suplementasi asam amino tidak dianjurkan. B. Asupan Cairan tentukan status hidrasi pasien, catat cairan yang masuk dan keluar tiap hari, pengukuran BB setiap hari bila memungkinkan, dan pengukuran tekanan vena sentral bila ada fasilitas. 1. Hipovolemia: Rehidrasi sesuai kebutuhan. Bila perdarahan diberikan transfusi darah PRC dan cairan isotonik, hematokrit dipertahankan sekitar 30%. Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang kurang dapat diberikan cairan kristaloid. 2. Normovolemia: Cairan seimbang (input=output). 3. Hipervolemia: Restriksi cairan (input
129 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
E.
Pemberian furosemid bersamaan dengan dopamin dapat membantu pemeliharaan fase nonoligurik, tapi terapi harus dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan. Indikasi Dialisis: 1. Oliguria. 2. Anuria. 3. Hiperkalemia (K>6,5 mEq/l). 4. Asidosis berat (pH < 7,1). 5. Azotemia (ureum>98 mg/dl). 6. Edema paru. 7. Ensefalopati uremikum. 8. Perikarditis uremik. 9. Nefropati/miopati uremik. 10. Disnatremia berat (Na >160 mEq/l atau <115 mEq/l). 11. Hipertermia. 12. Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan).
F.
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
N O 1.
Gangguan asam basa dan elektrolit, sindrom uremik, edema paru, infeksi. Dubia ad bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Anestesi/ICU, Departemen Ilmu Penyakit Dalam/ Unit Dialisis.
HIPERTENSI Hal Pengertia n
No. Dokumen
Diagnosis
Hal.
Tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat antihipertensi. Klasifikasi
2.
No.Revisi
TD Sitolik (mmHg)
TD Diastolik (mmHg) <80 80-89
Normal <120 Dan Pre120-139 Atau hipertensi Hipertensi 140-159 Atau 90-99 Stage 1 Hipertensi ≥160 Atau ≥100 Stage 2 1. Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff yang meliputi minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit. 2. Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5. 3. Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan
130 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksa an Penunjang
5.
Terapi
kelainan pembuluh darah perifer. 4. Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri dindikasikan pada pasien dengan risiko hipertensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll). 5. Faktor risiko kardiovaskular: Hipertensi. Merokok. Obesitas (IMT ≥ 0). Inaktivitas fisik. Dislipidemia. Diabetes Mellitus. Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit. Usia (laki-laki >55 tahun, perempuan >65 tahun). Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (Laki-laki <55 tahun atau perempuan <65 tahun). 6. Kerusakan organ sasaran: Jantung: Hipertrofi ventrikel kiri, angina, atau riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung. Otak: Stroke atau Transient Ischemic Attack (TIA). Penyakit ginjal kronik. Penyakit arteri perifer. Retinopati. 7. Penyebab hipertensi: yang telah diidentifikasi: sleep apnea, akibat obat atau berkaitan dengan obat, penyakit ginjal kronik, aldosteronisme primer, penyakit renovaskular, terapi steroid kronik dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid. Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat dll. UL (Urinalisa Lengkap), tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi. Algoritme Penatalaksanaan Hipertensi
131 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Modifikasi Gaya Hidup Target tekanan darah tidak tercapai (<140/90 mmHg atau <130/80 mmHg pada pasien dengan DM atau penyakit ginjal kronik). Pilihan Obat inisial Hipertensi tanpa compelling indication Hipertensi Stage 2
Hipertensi Stage 1 Obat Indications Golongan diuretic tiazid bila pertimbangkan antagonis penghambat EKA antagonis reseptor AII, reseptor β penghambat reseptor β penghambat kalsium atau kombinasi
Kombinasi 2 obat (biasanya gol diuretik tiazid dan pemghambat EKA atau antagonis reseptor AII atau penghambat reseptor β atau penghambat kalsium
Target tekanan darah tidak tercapai
Optimalisasi dosis atau tambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai Pertimbangkan untuk konsultasi kepada spesialis hipertensi
132 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Hipertensi dengan compelling indication. Lihat petunjuk pemilihan dengan compelling Obat anti hipertensi lain dibutuhkan (Diuretik, reseptor AII, penghambat kalsium
Petunjuk Pemilihan obat pada Compelling Indications Kondisi Obat Yang Direkomendasikan Risiko Diuret Pengham Pengham Antagon Pengham tinggi dg ik bat bat EKA is bat compellin reseptor β (ACI Resepto Kalsium g (Beta Inhibitor) r AII (CCB) Indicatio Bloker) (ARB) ns Gagal √ √ √ √ Jantung Pasca √ √ Infark Miokard Risiko √ √ √ √ Tinggi Penyakit Koroner DM √ √ √ √ √ Penyakit √ √ Ginjal Kronik Pencegah √ √ an Stroke Berulang
6.
Komplika si
Antagoni s Aldoster on √ √
Pada penggunaan penghambat EKA(Ace Inhibitor) atau antagonis reseptor AII (ARB): evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan. Kondisi khusus lain: 1. Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki >102 cm atau perempuan >89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa ≥ 110 mg/dL, tekanan darah minimal 130/85 mmHg, trigliserida tinggi ≥150 mg/dL, kolesterol HDL rendah <40 mg/dL pada laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan) Modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan penghambat EKA (ACE inhibitor). Pilihan lain adalah Antagonis Reseptor AII, penghambat kalsium, dan penghambat α. 2. Hipertrofi Ventrikel kiri Tatalaksana tekanan darah yang agresif termasuk penurunan BB, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi kecuali vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil. 3. Penyakit arteri perifer Semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan pemberian aspirin. 4. Lanjut Usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi diuretik (tiazid) sebagai lini pertama, dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hari. Penggunaan obat antihipertensi lain dengan mempertimbangkan penyakit penyerta. 5. Kehamilan Pilihan terapi adalah golongan metildopa, penghambat reseptor β, antagonis kalsium, dan vasodilator, Penghambat EKA dan antagonis reseptor AII tidak boleh digunakan selama kehamilan. Hipertrofi Ventrikel Kiri, proteinuria, dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis pembuluh darah, retinopati, stroke, atau TIA, infark miokard, angina pectoris, gagal
133 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
7. 8. 9.
10 .
Prognosis Wewenan g Unit Yang Menangan i Unit Yang Terkait
jantung. Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi
Departemen Mata, Departemen Neurologi.
NO
KRISIS HIPERTENSI Hal
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Krisis hipertensi: Keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua: 1. Hipertensi Emergency: Situasi dimana diperlukan penurunan tekanan darah yang segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau progresif. 2. Hipertensi Urgency: Situasi dimana terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna tanpa adanya gejela yang berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam beberapa jam.
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
Anamnesis: Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien, tekanan darah rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik, dan steroid, kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung, dan gangguan penglihatan. PF: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis. Lab: Sesuai dengan penyakit dasar, penyakit penyerta, dan kerusakan organ target. Penyebab hipertensi Emergency: 1. Hipertensi maligna terakselerasi dengan papiledema, 2. Kondisi Serebrovaskular, ensefalopati hipertensi, infark otak aterotombotik dengan hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan trauma kepala. 3. Kondisi jantung: Diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut, pasca operasi bypass koroner. 4. Kondisi ginjal: GN akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit kolagen-vaskular,
134 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
hipertensi berat pasca transplantasi ginjal. 5. Akibat katekolamin di sirkulasi: Krisis feckromositoma. Interaksi makanan atau obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis. 6. Eklamsia. 7. Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera, hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular. 8. Luka bakar berat. 9. Epistaksis berat. 10. Thrombotic Thrombocytopenic Purpura. DPL, UL(Urinalisa Lengkap), ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG. Pemeriksaan khusus sesuai indikasi: Foto Thoraks, Ekokardiografi, aktivitas renin plasma, aldosteron, metanefrin/ katekolamin, USG abdomen, CT Scan, dan MRI. 1. Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolik kurang lebih 110mmHg atau berkurangnya Mean Arterial Blood Pressure tidak lebih dari 25% dalam waktu beberapa menit sampai 2 jam (Pada stroke penurunan hanya boleh 20% dan khusus pada stroke iskemik, tekanan darah, baru diturunkan secara bertahap bila sangat tinggi, >220/130 mmHg). Setelah diyakinkan bila tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 12-16 jam selanjutnya sampai mendekati normal. 2. Target terapi penurunan tekanan darah pada hipertensi urgency sama seperti hipertensi emergency tetapi dilakukan secara bertahap dalam waktu 24-48 jam. Hipertensi Urgency: Obat Dosis
Awitan
Penghambat EKA (ACE Inhibitor) Kaptopril 6,25- 50 mg 15 menit per oral atau sublingual bila tidak dapat menelan Penyekat β Adrenergik( Beta Bloker) Klonidin Dosis awal 0,5-2 jam per oral 0,15 mg, selanjutnya 0,15 mg tiap jam dapat 135 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Lama Kerja 4- 6 jam
6-8 jam
Labetalol Diuretik Furosemid
diberikan sampai dengan dosis total 0,9 mg 100-200 mg 0,5 -2 jam per oral 20-40 mg 0,5-1 jam per oral
Hipertensi Emergency: Obat Dosis Diuretik Furosemid
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Awitan
20-10 mg, dapat 5-15 diulang. Hanya menit diberikan bila terdapat retensi cairan.
8- 12 jam
6-8 jam
Lama Kerja 2-3 jam
Vasodilator: Nitrogliserin Infus 5-100 2- 5 menit 5-10 mcg/menit. menit Dosis awal 5 mcg/menit dapat ditingkatkan 5 mcg/menit tiap 3-5 menit. Nitroprusid Infus 0,25-10 segera 1-2 menit mcg/kgBB/menit (maksimum 10 menit) Antagonis Kalsium (CCB) Diltiazem Bolus IV 10 mg (0,25 mg/kgBB), dilanjutkan infus 5-10 mg/jam Penyekat reseptor α Klonidin 6 ampul (900 mcg) dalam 250 ml cairan infus, dosis diberikan dengan titrasi mikrodrip. Kerusakan organ target. Dubia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Anestesi/ ICU
136 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
N O
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Infeksi akibat terbentuknya koloni kuman di saluran kemih. Kuman mencapai saluran kemih melalui cara hematogen dan ascending. Faktor risiko: Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, endapan obat intratubular, refluks ,instrumentasi saluran kemih, konstriksi arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM atau pengaruh obat-obat estrogen. ISK sederhana/tak terkomplikasi: ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat difungsi struktural ataupun ginjal.
2.
Diagnosis
ISK terkomplikasi: ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil. Anamnesis: ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas nyeri pinggang, demam, menggigil, mual, dan muntah, hematuria. PF: Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra.
3. 4.
5.
Diagnosis Banding Pemeriksaa n Penunjang Terapi
Lab: Leukositosis, lekosituria, kultur urin(+): bakteriuria >105/ml urin ISK sederhana, ISK terkomplikasi DPL, UL(Urinalisa Lengkap, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah, foto BNO-IVP, USG ginjal. A. Nonfarmakologis: 1. Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik. 2. Menjaga higiene genitalia eksterna. B. Farmakologis: 1. Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada, Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan. Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi Antimikroba Dosis Lama Terapi Trimetoprim2 x 160/800mg 3 hari Sulfametoksazol Trimetoprim 2 x 100 mg 3 hari Siprofloksasin 2 x 100-250 mg 3 hari Levofloksasin 2 x 250 mg 3 hari Sefiksim 1 x 400 mg 5 hari Salpodoksim prokesil 2 x 100 mg 5 hari Nitrofurantoin 4 x 50 mg 7 hari Makrokristal Nitrofurantoin 2 x 100 mg 7 hari Monohidrat Makrokristal Amoksisilin/klavulanat 2 x 500 mg 7 hari Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi Antimikroba Dosis Interval
137 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Sefepim Siprofloksasin Levofloksasin Ofloksasin Gentamisin (+Ampisilin) Ampisilin (+gentamisin TikarsilinKlavulanat Piperasilintazobaktam Imipenem-silastatin
1 gram 400 mg 500 mg 400 mg 3-5 mg/kgBB 1 mg/kgBB 1-2 gram
12 jam 12 jam 24 jam 12 jam 24 jam 8 jam 6 jam
3,2 gram
8 jam
3,375 gram
2-8 jam
250-500 mg
6-8 jam
ISK pada Perempuan Perempuan dengan keluhan disuria dan sering BAK
Pengobatan selama 3 hari. Follow up selama 1-7 hari
Tak Bergeja la
Urinalisis, biakan urin
Tak perlu intervensi lebih lanjut
Keduanya negatif Observasi pengobatan dg analgetika saluran kemih
Bergej ala
Bakteriuria dg atau tanpa piuria
Pengobatan utk kuman klamidia
Piuria tanpa Bakteriuria Pengobatan diperpanjang.
ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu pengobatan. ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan. Meski tidak
138 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
bergejala. Pengobatan untuk ISK pada laki-laki usia <50 tahun harus diberikan selama 14 hari, usia >50 tahun pengobatan selama 4-6 minggu. Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol 200-400 mg/hari selama 14 hari. Bila inferksi terjadi pada pasien dengan kater, kateter dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih dengan amfoterisin selama 5 hari.
ISK Berulang Riwayat ISK berulang Gejala ISK baru
Pengobatan 3 hari
Follow up selama 47 hari
Pengobatan berhasil
Pengobatan gagal
Urinalisis, biakan urin
Pasien dg reinfeksi berulang
Calon utk terapi jangka panjang dosis rendah
Infeksi Kuman resisten antimikroba
Infeksi kuman peka antimikroba
Terapi 3 hari utk kuman yg peka
Terapi dosis tinggi selama 6 minggu
Terapi jangka panjang: trimetoprim-sulfametoksazol dosis rendah (40200 mg) tiga kali seminggu setiap malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi.
139 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7. 8. 9.
Prognosis Wewenang Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
10.
Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multiresisten, gangguan fungsi ginjal Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Radiologi, Departemen Mikrobiologi.
NO
BATU SALURAN KEMIH Hal
1. 2.
Pengertian Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Batu di traktus urinarius Anamnesis: Nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih, hematuria, riwayat keluarga. PF: Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah. Terdapat tanda balotemen. Lab:Hematuria, bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau pielografi antegrad/retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis pada USG. Nefrokalsinosis; lokasi batu: batu di ginjal, batu ureter, batu vesika, jenis batu: asam urat, kalsium, struvite. UL (Urinalisa Lengkap, kultur urin, dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, elektrolit darah (kalsium, fosfor) dan urin 24 jam (kalsium, sitrat, oksalat, asam urat), asam urat darah, hormon paratiroid, foto BNO-IVP, USG abdomen, pielografi antegrad/retrograd, renogram, analisis batu. A. Non Farmakologis: Batu Kalsium: diet rendah kalsium. Batu urat: Diet rendah asam urat. Minum banyak (2,5 l/hari) bila fungsi ginjal masih baik. B. Farmakologis: Antispasmodik bila ada kolik. Antimikroba bila ada infeksi. Batu kalsium:Kalium sitrat. Batu urat: Allopurinol. C. Bedah: Pielotomi. ESWL. Nefrostomi. Kolik, obstruksi, infeksi saluran kemih, gangguan fungsi ginjal. Bonam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi
140 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10.
Unit Yang Terkait
NO
NEFRITIS LUPUS Hal
1. 2.
Departemen Bedah- Subbagian Bedah urologi.
Pengertian Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
SLE yang disertai keterlibatan ginjal. Memenuhi kriteria SLE menurut ACR 1982. Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasienSLE terdapat proteinuria 1 gram/24 jam dengan/atau hematuria (>8LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi, untuk menentukan pilihan pengobatan berdasarkan kelas nefritis lupus. Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO 1995) Nefritis Lupus Histopatologi Gejala Klinis Kelas I Glomeruli Hanya Normal proteinuria, kelainan sedimen urin tidak ada Kelas II Perubahan pada Kelas II a:Hanya mesangial proteinuria, kelainan sedimen urin tidak ada. KelasII b:Hematuria mikroskopik da/atau proteinuria, tanpa hipertensi tidak pernah terjadi SN atau gangguan fungsi ginjal. Kelas III Glomerulonefritis Hematuria dan fokal segmental proteinuria pada seluruh pasien. Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada sebagian pasien. Kelas IV Glomerulonefritis Hematuria dan difus proteinuria pada seluruh pasien. Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada hampir seluruh pasien. Kelas V Glomerulonefritis SN pada seluruh
141 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
membranosa difus
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
pasien, sebagian dengan hematuria atau hipertensi namun fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun. Kelas VI Glomerulonefritis Penurunan fungsi sklerotik lanjut. ginjal yang lambat, dengan kelainan urin yang relatif normal. Glomerulonefritis oleh sebab lain. UL(Urinalisa Lengkap), protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, biopsi ginjal, albumin serum, profil lipid, komplemen C3 C4, anti ds-DNA. Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. A. Penatalaksanaan Umum: Diet rendah garam bila terdapat hipertensi, rendah lemak bila terdapat dislipidemia atau sindrom nefrotik, rendah protein sesuai derajat penyakit. Diuretik diberikan sesuai dengan kebutuhan. Tatalaksanan hipertensi dengan baik. Pemeriksaan rutin periodik meliputi: Sedimen urin, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, albumin serum, komplemen C3C4, anti ds-DNA. Monitor efek samping steroid dan imunosupresan serta komplikasi selama pengobatan. Suplementasi kalsium untuk mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid. Hindari pemberian salisilat dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang akan memperberat fungsi ginjal. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada sindrom antifosfolipid. Hindari kehamilan bila nefritis lupus masih aktif. B. Penatalaksanaan Khusus: Nefritis Lupus Pengobatan Kelas I Tidak ada pengobatan khusus, terapi ditujukan untuk gejala ekstrarenal. Kelas II II a tidak memerlukan pengobatan. II b dengan protein >1 gram, titer anti ds-DNA tinggi, dan C3 rendah dapat diberikan
142 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Kelas III dan Kelas IV
Kelas V
143 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
prednison 20 mg/hari selama 6 minggu- 3 bulan, kemudian dosis diturunkan secara bertahap. Kombinasi steroid dosis rendah dan siklofosfamid Prednison 0,5 mg/kgBB/hari selama 4 minggu, lalu dosis diturunkan perlahan-lahan sampai dosis minimal untuk mengendalikan kelainan ekstrarenal; Siklofosfamid 0,52 1gram/m tiap bulan selama 6 bulan, kemudian setiap 2 bulan dengan dosis yang sama sampai 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap 3 bulan juga 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap 3 bulan juga 6 kali pemberian (total pengobatan 3 tahun). Alternatif lain: Azatioprin 2 mg/kgBB.( Relatif aman untuk perempuan hamil) dikombinasi dengan prednison. Siklosporin dikombinas dengan prednison. Dosis awal siklosporin 5 mg/kgBB/hari, lalu diturunkan menjadi 2,5 mg/kgBB/hari setelah 6 bulan. Mycophenolate moletil (MMF) dengan dosis 0,52 gram/hari, terutama bila terapi dengan siklofosfamid tidak berhasil. Terapi MMF dikombinasi dengan prednison 0,5 mg/kgBB/hari yang kemudian diturunkan dosisnya perlahanlahan. Lama terapi bisa mencapai 24 bulan. Terapi prednison 1 mg/kgBB/hari selama 6-12
minggu respon klinis tak ada:Prednison dihentikan. Terdapat respon: Prednison dipertahankan selama 1-2 tahun dengan dosis 10mg/hari. Dapat pula diberikan siklosporin. Terapi manifestasi ekstrarenal. Terapi suportif untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal: restriksi protein, penatalaksanaan hipertensi, pengikat fosfor oral, dan vitamin D.
Kelas VI
6. 7.
Komplikasi Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
Gagal ginjal Tergantung kelas nefritis lupus, Kelas I dan II prognosis baik, Kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Kelas V prognosisnya cukup baik. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Ginjal Hipertensi Unit hemodialisis, rematologi, alergi-imunologi.
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK NO
LYMPHOMA Hal
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
1. 2.
Pengertian Diagnosis
Penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat. 1. Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/ massa tumor di tempat lain (tulang, intra abdomen, hidung, lambung dsb) 2. Riwayat demam-demam tanpa sebab yang jelas. 3. Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan. 4. Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai. 5. Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma non Hodgkin.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Limfoma Hodgkin Limfadenitis TB Toxoplasmosis Filariasis Tumor padat yang lain. 1. Laboratorium: Darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, imunoglobulin. 2. Pemeriksaan sitologi: Kelenjar/massa tumor untuk mengetahui subtype LNH
144 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
tersebut serta keterlibatan kelenjar lain yang membesar. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. 3. CT scan atau USG abdomen: Untuk mengetahui adanya pembesaran KGB paraaorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen. 4. Foto thoraks: Untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum. 5. Pemeriksaan THT: Untuk melihat keterlibatan cincin waldeyer. 6. Gastroskopi: Untuk melihat keterlibatan lambung. 7. Bone Scan atau foto Bone Survey: Untuk melihat keterlibatan tulang. 1. Derajat Keganasan Rendah. Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral. Radioterapi paliatif. 2. Derajat Keganasan Menengah. Stadium I s/d IIa: Radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi. Stadium Iib s/d IV: Kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliatif. 3. Derajat Keganasan Tinggi. Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif). Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif. 4. Reevaluasi hasil pengobatan: Setelah siklus kemoterapi keempat. Setelah selesai pengobatan lengkap. 1. Akibat langsung penyakitnya: Penekanan terhadap organ khsususnya jalan nafas, usus dan saraf. Mudah terjadi infeksi, bisa fatal. 2. Akibat efek samping pengobatan: Aplasia sumsum tulang. Gagal jantung oleh obat golongan, antrasiklin. Neuritis oleh obat vinkristin. Tergantung derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass, keadaan umum pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi pengobatan. 1. Derajat keganasan rendah: Tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lama. 2. Derajat keganasan menegah: Sebagian dapat disembuhkan. 3. Derajat keganasan tinggi: Dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik Departemen THT, Departemen Patologi Anatomi, Departemen Radiologi.
145 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
ANEMIA APLASTIK Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Anemia akibat aplasia dari sumsum tulang dimana jaringan hemopoiesis diganti oleh jaringan lemak. Dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Anemia aplastik berat: Selularitas sumsum tilang <25% Terdapat 2 dari 3 gejala berikut. Granulosit <500/ul Trombosit<20.000/ui Retikulosit<10%/mg 2. Anemia aplastik: Sumsum tulang hipoplastik. Pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan darah seperti pada anemia aplastik berat. 1. Anamnesis: Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi). Menderita infeksi virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah. Gejala anemia: rasa lemas/ lemah, pucat, pusing, sesak nafas/ gagal jantung, berkunangkunang. Tanda- tanda infeksiP: sering demam. Akibat trombositpenia: Perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, BAB campur darah, muntah darah). 2. Pemeriksaan Fisik: Konjuntiva pucat, takikardia, tanda perdarahan. 3. Pemeriksaan Penunjang: Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus (hepatitis, parvovirus). 4. Diagnosis pasti: Sitologi dan histopatologi sumsum tulang. Mielofibrosis. Anemia hemolitik. Anemia defisiensi. Anemia karena penyakit kronik. Anemia karena penyakit keganasan sumsum tulang. Hipersplenisme. Leukemia akut. Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus, aspirasi dan biopsi sumsum tulang. Terapi penunjang: Transfusi komponen darah (PRC dan/TC) sesuai indikasi (pada bab transfusi darah). Menghindari dan mengatasi infeksi. Kortikosteroid: Prednison 1-2 mg/kgBB/hari. Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/hari,
146 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
maksimal diberikan selama 3 bulan. Splenektomi, bila tidak respon dengan steroid. Bila menolak splenektomi dapat diberikan: A. Immunosupresif: a. Siklosporin 5 mg/kgBB/hari. b. ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/kgBB/hari intravena selama 5 hari. B. Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok. Respon terapi: Complete: Granulosit >1000/ul, trombosit >100.000/ul, Hb N. Partial: Granulosit >500/ul, tidak membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit. Minimal: Granulosit>500/ul, membutuhkan transfusi darha merah dan trombosit. Tidak respon: Anemia aplastik berat menetap. Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia yang berat. Dubia, tergantung tingkat hipoplasinya. Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau komplikasi transfusi darah. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik Departemen Patologi Anatomi.
LEUKEMIA AKUT Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan sel induk darah (sel blas dan atau satu tingkat diatasnya.) Dibagi 2 yaitu: 1. Leukemia mielositik akut. 2. Leukemia limfositik akut. Anamnesis: Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/ gagal jantung, berkunang-kunang. Tanda-tanda infeksi: sering demam. Akibat trombositopenia: Perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan dibawah kulit, hematuria, BAB campur darah, muntah darah). Pemeriksaan fisik: Pucat, demam, pembesaran KGB superfisial, organomegali, petekie/purpura/ekimosis. Pemeriksaan Penunjang: Aspirasi sumsum tulang: Hitung jenis sel blas dan/atau progranulosit >30% MDS (Sindrom mielodisplasia), reaksi leukemoid, leukemia
147 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
kronis. Laboratorium: darah perifer lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (Hepatitis, HSV, EBV, CMV). Sitologi Aspirasi Sumsum tulang, sitogenetik. Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun: 1. Persiapan pengobatan sitoreduksi Central Venous line. Anti Emetik. Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup >2000 ml/24 jam, alkalinisasi urin dengan bicnat oral 4 x 500-1000 mg/hari (target pH urin>7). Tunda haid (lynestrenol). Antibiotika dekontaminasi parsial. Profilaksis streptokokus (Benzylpenicilline 4 x 1 g). Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg peroral. Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu. Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit > 100.000/uL dikombinasi metilprednisolon 5 mg/kg/hari. 2. Pemeriksaan rutin: Turn over rate sel tumor (LDH, asam urat). Elektrolit (Na, K, Ca). Hemostasis lengkap. Fungsi ginjal (Ureum, kreatinin). Keasaman urin. Fungsi hati (Bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP). Gula darah. Serologi virus. Surveillance bakteriologi. Foto dada. Pungsi lumbal diagnostik jangkitan otak. 3. Kuratif: Sitoreduksi dengan sitostatika mulai dari yang ringan hingga yang agresif dengan membutuhkan rescue sel induk darah pasien dari darah perifer untuk penyelamatan pada ablasi sumsum tulang. Transplantasi sel induk darah alogenik atau autogenik dari darah perifer, sumsum tulang, atau tali pusar. 4. Paliatif 5. Respon Terapi: 6. Complete: Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit <5% pada sitologi aspirat sumsum tulang. Pada darah tepi tidak ditemukan blas, leukosit>3000/ul, granulosit > 1500/ul dan trombosit >100.000/ul 7. Partial:
148 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit 5-10% pada sitologi aspirat sumsum tulang. Pada darah tepi dapat ditemukan sel blas. 8. Tidak Respon: Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit >10% pada sitologi aspirat sumsum tulang. 6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia, dan perdarahan trombopenia/ KID. Malam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
SINDROM LISIS TUMOR Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat, dan hipokalsemia yang disebabkan oleh pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat. Anamnesis: Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (Limfoma Burkitt, leukemia limfoblastik akut, dan limfoma derajat tinggi lainnya). Pemeriksaan Fisik: Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi ( misalnya: pernafasan kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada hiperkalemia). Laboratorium: Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah ,penurunan kalsium darah, analisa gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa menunjukkan pH urin<7 dan/terdapat kristal asam urat. Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain. Laboratorium: DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD, urinalisa. 1. Mencegah dan mendeteksi faktor risiko lebih penting. 2. Hidrasi adekuat 3000 ml/m2 perhari. 3. Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat. 4. Allopurinol 300 mg/m2 per hari. 5. Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD, dan asam urat. 6. Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K>6 mEq/l, asam urat >10mg/dl, kreatinin >10 mg/dl, F>10 mg/dl, atau semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka
149 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
NO
1. 2.
dilanjutkan hemodialisa. Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak. Malam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
IDIOPATIC THROMBOCYTOPENIC PURPURA (ITP) Hal No. Dokumen No.Revisi Pengertian Diagnosis
Hal.
Untuk menyingkirkan kemungkinan ITP sekunder: 1. Anamnesis: Riwayat obat-obatan (Heparin, alkohol, sulfonamides, kuinidin/ kuinin, aspirin) dan bahan kimia. Gejala sistemik: pusing, demam ↓BB. Gejala penyakit autoimun:artralgia, rash kulit, rambut rontok, riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), risiko infeksi HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat pada keluarga( Trombositopenia, gejala perdarahan, dan kelainan autoimun). Penyakit, penyerta yang dapat, ↑ risiko perdarahan (kel. Gastrointestinal, kel. Sistem saraf pusat, dan kel. Urologi). Kebiasaan/hobi: Aktivitas yang traumatik. 2. Pemeriksaan Fisik: Perdarahan (Lokasi dan beratnya). Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau stigmata penyakit hati kronik. Tanda infeksi (Bakteremia/ infeksi HIV). Tanda Penyakit Autoimun (Artritis, Goiter, Nefritis, Vaskulitis). 3. Pemeriksaan Penunjang: Darah tepi: Hitung trombosit <150.000/uL dengan tidak dijumpai sitopenia lainnya, pemeriksaan morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih besar. Laboratorium kimia rutin dan enzim hati. Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, Rubella). Pemeriksaan ACA, Coomb’s test, C , C4, A A, anti dsDNA. Pemeriksaan imunoelektroforesis protein. Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi, kecuali masa perdarahan yang memanjang.
150 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: Megakariosit /↑. Pemeriksaan autoantibodi trombosit.
Berkurangnya produksi trombosit/ aplasia megakariosit baik yang kongenital atau didapat. Gangguan distribusi trombosit (Hipersplenisme, hipotermia). Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced, kehamilan dll.) Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada tabung darah. Laboratorium: Darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA, Coomb’s test, C3, C4, ANA, anti ds-DNA, serologi virus, anti HIV, antibodi , trombosit, Sitologi: Aspirasi sumsum tulang. A. ITP akut: (Anak-anak, Self Limiting). 1. Trombosit > 30.000/ul, asimtomatik/ purpura minimal tidak diterapi rutin. 2. Trombosit > 20.000 dengan perdarahan bermakna atau <10.000/ul dengan purpura minimal Steroid (~ Prednison 1- 2 mg/kgBB/hari). 3. Mengingat ITP pada anak bersifat self limiting, maka lama terapi dibatasi selama 21 hari. Dapat juga diberikan IV Ig 1 g/kg 1hari. 4. Perdarahan yang mengancam jiwa dirawat, steroid injeksi dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi (~Prednison 4-8 mg/kg/hari) dan transfusi trombosit. B. ITP kronik: (Dewasa) 1. Membatasi aktivitas yang berisiko trauma. 2. Menghindari obat-obat yang menggangu fungsi trombosit. 3. Transfusi PRC sesuai kebutuhan. 4. Transfusi trombosit bila: Perdarahan masif. Adanya ancaman perdarahan otak/SSP. Persiapan untuk operasi besar. 5. Perawatan RS untuk pasien dengan: Perdarahan berat yang mengancam jiwa. Trombosit <20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna. Trombosit >50.000/ul asimtomatik/ dengan purpura minimal tidak diterapi. Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan yang bermakna, kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa diterapi: Steroid (~Prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp down, maksimal selama 6 bulan, Prednison tidak boleh diberikan dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak respon.
151 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9.
Unit Yang Menangani
10.
Unit Yang Terkait
N O
Splenektomi: Indikasi: Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan observasi. Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi. Adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap steroid. 7. Pilihan terapi yang lain: Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin). Preparat androgen (Danazol). Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat. Hormonal anovulatoir. Infeksi, ITP berat, DM Induced Steroid, hipertensi immunocompromised. ITP akut: Bonam. ITP kronik: Dubia ad Malam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pemberkuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama pada vena tungkai bawah. Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis). Pasien dengan risiko tinggi yaitu apabila: 1. Riwayat trombosis, stroke. 2. Paska tindakan bedah terutama bedah ortopedi. 3. Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit berat. 4. Luka bakar. 5. Gagal jantung akut atau kronik. 6. Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi. 7. Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok. 8. Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen. 9. Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk trombosis. Anamnesis: 1. Nyeri lokal, bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena. Pemeriksaan Fisik: 1. Edema, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh darah vena teraba, homan’s sign (+). 2. Berdasarkan data tersebut diatas sering ditemukan negatif palsu. 3. Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi. Pemeriksaan Penunjang: 1. Kadar antitrombin III(AT III) menurun (N:85-125%).
152 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. Kadar Fibrinogen Degradation Product (FDP) meningkat. 3. Titer D dimer meningkat.
Diagram pendekatan diagnosis DVT Tersangka DVT Ultrasono grafi Ada 3 pilihan
DVT Pertimban gan klinis
Rendah DVT dapat disingkirk an
3.
Diagnosis Banding
1 Minggu Ultrasonog rafi
Sedang/tin ggi
(+)
Obati
D-dimer (+)
(-)
(-)
DVT dapat disingkirk an
1 minggu Ultrasonogr afi
DVT dapat disingkirk an
Sindrom paska flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, Gout, dermatitis kontak, eritema nodosum, kehamilan, flebitis superfisial, paralisis.
153 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Pemeriksaa n Penunjang
5.
Terapi
Radiologi: Venographi/ flebografi, USG vena-B mode atau Colour Doppler. Laboratorium: Kadar AT III, prot C, prot. S, Antibody, Antikardiolipin, profil lipid, agregrasi trombosit. A. Non Farmakologis: 1. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena. 2. Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskuler. 3. Latihan lingkup gerak sendi (Range of Motion/ ROM) seperti gerakan fleksi-ekstensi, menggengam dll, tindakan ini akan meningkatkan aliran darah di vena2 yang masih terbuka (patent). 4. Pemakaian kaus kaki elastik (Elastic Stocking), alat ini dapat meningkatkan aliran darah vena. B. Farmakologis: 1. Antikoagulan: Heparin (Unfractionated). Bolus IV 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000 IU/jam. Target ApTT 1,5-2,5 x kontrol, bila. ApTT < 1,5x kontrol, dosis ↑100-200 IU/jam. ApTT 1,5-2x kontrol, dosis tetap. ApTT 2,5x kontrol, dosis ↓100-200 IU/jam. Hari I ApTT diperiksa tiap 6 jam. Hari II ApTT diperiksa tiap 12 jam. Hari III ApTT diperiksa tiap 24 jam. LMWH (Low Molecular Weight Heparin). Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam. Enoxaparin 1mg/kg/12 jam. Tidak perlu pemantauan. Warfarin Dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin. Dosis hari I 6-10 mg malam hari, Hari II diturunkan INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan target 2-3. Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya. Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor risiko. Bila tidak ada faktor risiko, dapat distop dalam 3-6 bulan. Bila ada faktor risiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur hidup. Cara Penyesuaian dosis INR: 1. INR 1,1 -1,4. Hari I Naikan 5-10% dari total dosis mingguan. Mingguan Naikan 10-20% dari total dosis mingguan. Kembali 1 minggu. 2. INR 1,5- 1,9. Hari I Naikan 5-10% dari total dosis mingguan. Mingguan Naikan 5-10% dari total dosis mingguan. Kembali 2 minggu. 3. INR 2,0- 3,0. Tidak ada perubahan. Kembali 1 minggu. 4. INR 3,1- 3,9. Hari I Kurangi 5-10% dari total dosis mingguan. Mingguan Kurangi 5-15% dari total dosis mingguan. Kembali 2 minggu. 5. INR 4,0- 5,0
154 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Hari I Tidak dapat obat. Mingguan Kurangi 10-20% dari total dosis mingguan. Kembali 1 minggu. 6. INR > 5,0 Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0 Mulai dengan dosis kurang 20-50%. Kembali Tiap hari.
6.
Komplikasi
7. 8. 9.
Prognosis Wewenang Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
10.
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
2. Trombolisis (Streptokinase, tPA): Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah pembentukan thrombus (Trombosis vena iliaka atau vena femoralis akut atau subakut). Tidak dianjurkan untuk thrombus yang berusia lebih dari 4 minggu. 3. Antiagregrasi trombosit (Aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon): Bukan merupakan terapi utama. Pemakaian dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau warfarin. Perdarahan akibat antikoagulan/ antiagregrasi trombosit, trombositopenia akibat heparin, osteoporosis pada pasien yang mendapat heparin >6 bulan dengan dosis 10.000 U/hari. Tergantung penyebab, pada yang tidak disertai komplikasi baik. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik Departemen Radiologi, Departemen Bedah-Bedah Vaskuler.
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISSEMINATA (KID/ DIC) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi bersamaan. Klinis: Dapat ditemukan gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria dll. Adanya tanda-tanda perdarahan (Petekie, purpura, ekimosis, hematoma, hematemesis-melena, hematuria, epistaksis, dll). Trombosis gagal organ (Paru, ginjal,hati, dll). Merupakan akibat dari kausa primer yang lain: Bidang Obstetri (Emboli cairan amnion, IUFD, Abortus Septik). Bidang Hematologi (Reaksi Transfusi, Hemolisis berat, Leukemia). Infeksi (Septisemia, gram (-), gram (+); virus HIV, hepatitis, dengue; parasit malaria). Trauma, penyakit hati akut, luka bakar. Pemeriksaan penunjang: Darah tepi:Trombositopenia atau normal, burr cell (+) Pemeriksaan hemostasis pada KID.
155 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang Terapi
Komplikasi Prognosis Wewenang Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Pemeriksaan Kompensasi Hiperkompensasi Dekompensasi Trombosit N N ↓ PTT N /↑ ↑ PT N /↑ ↑ Fibrinogen N /↑ ↓ d-Dimer +/↑ +/↑ ++/↑↑ Fibrinolosis primer, penyakit hati berat, pseudo KID. Laboratorium: DPL, hemostasis lengkap (PT, APTT, fibrinogen, ddimer). A. Suportif: Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik. Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah. Membebaskan jalan nafas. Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa. Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit. B. Mengobati Penyakit Primer: C. Menghambat Proses Patologis: Antikoagulan Heparin IV bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi APTT dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan keempat. Bila pada Jam Kedua: APTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U. APTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap. APTT > 2,5 x kontrol, evaluasi APTT pada jam keempat, bila: APTT <1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U. APTT> 2,5 x kontrol, heparin dikurangi menjadi 2500 U> Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC, TC, FFP, Kriopresipitat). Gagal organ, syok/ hipoperfusi, DVT, KID fulminan. Malam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik
156 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
AFERESIS Hal
1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Prosedur pemisahan komponen darah seseorang secara langsung dengan menggunakan mesin pemisah komponen darah. Mengeluarkan sebagian komponen darah, dapat berupa sel (Cytapheresis) atau plasma (plasmapheresis/ plasma exchange). A. Terapeutik: 1. Sitoferesis. 2. Eritroferesis: Sickle cell anemia, malaria dengan parasitemia. 3. Tromboferesis: Trombositema simtomatik. 4. Leukoferesis: Leukemia dengan hiperkleukositosis, arthritis rheumatoid ( Dalam keadaan tertentu). 5. Plasmafaresis: Kelainan paraprotein (Sindrom hiperviskositas, krioglobulinemia, penyakit cold agglutinin), Kelainan akibat metabolik toksik (Penyakit Refsum, penyakit Fabry, hiperkolesterolemia familial), Kelainan imunologis (Sindrom goodpasture, miastenia gravis, sindrom eaton-lambert, sindrom guilain barre, pemfigus, ITP, inhibitor faktor koagulasi), Vaskulitides (SLE, glomerulonefritis mesangiokapiler, granulomatosis wagener), Defisiensi faktor plasma (TTP), keracunan obat atau bahan racun lainnya. B. Donor: 1. Untuk memenuhi kebutuhan komponen darah pasien: 2. Tromboferesis. 3. Plasmaferesis. 4. Leukoferesis, untuk mendukung program PBSCT.
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
1. Aferesis terapeutik : Pasien dengan kondisi buruk dan gangguan hemodinamik, 2. Aferesis Donor: Kadar trombosit/ leukosit/ albumin/ hemoglobin/ hematokrit di bawah normal. Golongan ABO-Rh tidak cocok, cross matching hasil (+). Mengandung HbsAg/ anti HCV/ HIV/ VDRL dan Malaria. Berat badan kurang, usia tua, anak-anak. Menderita penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal kronik atau penyakit akut lainnya. A. Bahan dan Alat: 1. Mesin aferesis.
157 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
6.
Prosedur Tindakan
7. 8.
Lama Tindakan Komplikasi
9.
Wewenang
Sel Aferesis disposable, set trombofaresis, set plasmaferesis, set leukaferesis, set eritositaferesis. Antikoagulan ACD-A. Akses intravena. AV fistula. Heparin injeksi. Infus Salin(NaCl) 0,9%. Albumin (Untuk plasmaferesis). Obat-obat darurat: Injeksi Ca glukonas, inj adrenalin, inj. Kortikosteroid, inj. Antihistamin, infuse salin, plasma expander, oksigen, alat resusitasi, dan obat darurat untuk resusitasi.
B. Pasien: 1. Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani. 2. Pemeriksaan: Fisik: Hemodinamik, berat badan, tinggi badan. Laboratorium: Gol. Darah ABO-Rh, crossmatching, DPL, HbsAg, anti HCV. 3. Informed Consent: Menelan tablet kalsium sehari sebelumnya. 1. Mesin aferesis dihidupkan dan dinilai apakah layak beroperasi, 2. Memasang set aferesis disposable (set tunggal atau ganda) pada mesin aferesis, beserta infus NaCl 0,9%, antikoagulan ACD-A, 3. Melakukan koleksi komponen darah dari donor via vena di lengan kanan, kiri (set ganda) atau satu lengan, 4. Mengisi data donor pada komputer mesin, 5. Menghubungkan mesin set dan sel aferesis disposable dengan donor, memulai prosedur. 6. Prosedur donor trombosit dan plasma berlangsung 100 menit, 7. Sedangkan prosedur donor sel asal darah dalam darah tepi berlangsung 4-8 jam. 8. Bila prosedur selesai dilakukan, start rinseback mode, kemudian lepaskan set aferesis dari donor, trombosit yang dikoleksi segera diberikan ke pasien atau bila disimpan harus diatas blood rotator (yang bergoyang) selama maksimal 5 hari. 9. Selama prosedur aferesis berjalan, dokter dan perawat harus mengawasi keluhan, dan bila perlu menilai hemodinamik. 10. Untuk aferesis terapeutik, prosedurnya sama dengan aferesis donor, namun khusus untuk plasmaferesis, awasi kemungkinan syok hipovolemik, dan tidak lupa memberikan infus albumin, saat pertengahan prosedur serta awasi 1-2 jam setelah prosedur untuk mencegah kemungkinan syok. Hipokalsemia (Kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, pandangan gelap), gangguan hemodinamik dan penurunan kesadaran. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit
158 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10.
Unit Yang Menangani
11.
Unit Yang Terkait
Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik Bank darah.
PSIKOSOMATIK NO
DEPRESI Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Gangguan afektif yang ditandai adanya mood depresi (sedih) A. Gejala utama: Perasaan sedih (depresif), tidak bisa menikmati hidup. Kurang atau tidak ada perhatian pada lingkungan. Mudah lelah. B. Gejala lain: Konsentrasi dan perhatian kurang. Harga diri dan kepercayaan diri kurang. Perasaan bersalah/ tidak berguna. Pandangan masa depan suram/ pesimis. Tidur terganggu. Nafsu makan kurang/ bertambah. C. Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala-gejala tesebut dengan ataupun tanpa gejala somatik. D. Derajat Depresi: 1. Ringan : 2 gejala A dan 2 gejala B. 2. Sedang: 2 gejala A dan 3 gejala B. 3. Berat: 3 gejala A dan 4 gejala B. Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi). Hb,Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap. Analisis gas darah, K, Na, Ca, T3,T4, TSH, sesuai indikasi. Foto toraks. Elektrokardiogram,elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu. Endoskopi, kolonoskopi, ultrasonografi. Semua pemeriksaan diatas dilakukan bila perlu, sesuai indikasi/ sesuai keluhan pasien. A. Non Farmakologis : Edukasi, reassurance, psikoterapi. B. Farmakologis : a. Antidepresan: Maprotilin, amineptin; moklobemid; dan obat golongan SSRI seperti Sertralin, paroksetin, dan lain-lain. b. Simtomatik, sesuai indikasi. Kurang/ tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari
159 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO
(bekerja), bunuh diri. Bonam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Psikosomatik
ANSIETAS Hal
1. 2.
Pengertian Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Fenomena psikologis yang kompleks. A. Perasaan cemas yang berlebihan, subyektif, dan tidak realistis. B. Tedapat keluhan dan gejala-gejala: Ketegangan motorik:Kedutan otot, kaku, pegal, sakit dada, sakit persendian dan lain-lain. Hiperreaktif autonom: Sesak napas, jantung berdebar, telapak tangan basah, mulut kering, rasa mual, mules, diare, dan lain-lain. Bila ditemukan adanya kelainan organik pada umumnya keluhan tidak sebanding dengan kelainan organ yang ditemukan. Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang: Mudah terkejut, cepat tersinggung, sulit konsentrasik suka tidur, dan lain-lain. C. Aktivitas sehari-hari terganggu: kemampuan kerja menurun, hubungan sosial terganggu, kurang merawat diri, dan lain-lain. D. Ada 5 varian Ansietas: Gangguan cemas menyeluruh (GAD), Gangguan panik, Obsesifkompulsif, Fobia, dan Gangguan stress pasca trauma. E. Gangguan cemas menyeluruh ditandai oleh? Gangguan campuran ansietas dan depresi? Depresi. Gangguan somatisasi. Kelainan organik yang ditemukan (koinsidensi). Darah lengkap, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap. Analisis Gas Darah, K, Na, Ca, T3, T4, TSH. Foto toraks, Elektrokardiogram, elektromiogram, elektroensefalogram, Endoskopi, kolonoskopi, ultrasonografi. Semua pemeriksaan diatas dilakukan bila perlu, sesuai indikasi/ sesuai keluhan pasien. 1. Non Farmakologis : Edukasi, reassurance, psikoterapi. 2. Farmakologis : a. Benzodiazepin: Diazepam; Alprazolam;
160 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Clobazam; b. Non Benzodiazepin: Buspiron. c. Penyekat Beta (Beta Blocker):Bila gejala hiperaktivitas autonom menonjol. d. Simtomatik: sesuai indikasi. 6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Kurang atau tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja). Tergantung jenis kelainan/glomerular. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Subbagian Psikosomatik Departemen Neurologi, Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa.
PULMONOLOGI NO
HEMOPTISIS Hal
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Ekspektorasi darah dari saluran pernafasan. Darah bervariasi dari dahak disertai bercak/lapisan darah s/d batuk berisi darah saja. Batuk darah masih = batuk darah > 100 mL s/d >600 ml darah dalam 24 jam.
2.
Diagnosis
A. Anamnesis: 1. Batuk, darah berwarna merah segar, bercampur busa, 2. Batuk sebelumnya, dahak (jumlah, bau, penampilan), demam, sesak, nyeri dada, riwayat penyakit paru, penurunan berat badan, anoreksia. 3. Penyakit komorbid, riwayat penyakit sebelumnya. 4. Kelainan perdarahan, penggunaan obat antikoagulen/ obat yang dapat menginduksi trombositopenia. 5. Kebiasaan: Merokok. B. Pemeriksaan Fisik: 1. Orofaring, nasofaring: Tidak ada sumber perdarahan, 2. Paru: Ronkhi basah, atau kering, pleural friction rub, 3. Jantung: Tanda-tanda hipertensi pulmonal, mitral stenosis, gagal jantung. C. Pemeriksaan Penunjang: 1. Foto Thoraks : Menentukan lesi paru (fokal/difus), kardiak, 2. Laboratorium: DPL, LED, Ureum, Creatinin, Urine Lengkap. Hemostasis (aPTT): Bila perlu.
161 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Sputum: Pemeriksaan BTA langsung dan kultur pewarnaan Gram, kultur MOR,
3.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Bronkoskopi: Menentukanlokasi sumber perdarahan dan diagnosis. 4. CT Scan Thoraks: Menemukan bronkiektasis, malformasi AV, 5. Angiografi: Menemukan emboli paru, malformasi AV. A. Sumber Trakeobronkial: Neoplasma (Karsinoma bronkogenik, tumor metastasis endobronkial, dll). Bronkitis (Akut dan Kronik). Bronkiektasis. Bronkiolitiasis. Trauma. Benda Asing. B. Sumber Parenkim Paru: Tuberkulosis Paru. Pneumonia. Abses Paru. Mycetoma (Fungus Ball). Sindrom Goodpasture. Granulomatosis Wegener. Pneumonitis lupus. C. Sumber Vaskular: Peningkatan tekanan vena pulmonal (MS). Emboli Paru. Malformasi AV. Hematemesis. Perdarahan nasofaring. Koagulopati,pengobatan trombolitik/antikoagulan. A. Foto Thoraks B. Laboratorium: DPL, LED, ureum, creatinin, urine lengkap. Hemostasis: Bila perlu. Sputum: Pemeriksaan BTA, pewarnaan Gram, Kultur MOR. C. Bronkoskopi: Bila perlu. D. CT Scan Thoraks: Bila Perlu. A. Hemoptisis Masif: Tujuan terapi: Mempertahankan jalan napas, proteksi paru yang sehat, menghentikan perdarahan. 1. Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh miring ke sisi sakit. 2. Oksigen. 3. Infus, bila perlu transfusi darah. 4. Medikamentosa: Antibiotika. Kodein tablet untuk supresi batuk. Koreksi koagulopati: Vitamin K IV. 5. Bronkoskopi:
162 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Diagnostik dan terapeutik topikal (bilas air es, instilasi epinefrin), 6. Intubasi selektif pada bronkus paru yang tidak berdarah. (bila perlu). 7. Indikasi Operasi pada pasien batuk darah masif: Batuk darah ≥ 600 cc/24 jam. Pada Observasi tidak berhenti. Batuk darah 100-250 cc/24jam. Hb < 10 g/dL Pada Observasi tidak berhenti. Batuk darah 100-250 cc/24 jam. Hb> 10 g/dL, Pada Observasi 48 jam tidak berhenti. B. Hemoptisis Non-Masif: Tujuan: Mengendalikan penyakit dasar. Terapi konservatif sesuai penyakit dasar. 6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Asfiksia, Atelektasis, Anemia. Tergantung pada penyebabnya. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Bedah – Subbagian Bedah Thoraks. Departemen Radiologi- Subbagian Radiodiagnostik.
Referensi: 1. Uyainah A. Hemoptisis. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 215-6. 2. Approach to the Patient. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002: 16-21. 3. Weinberger SE, Braunwald E. Cough and Hemoptysis. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw- Hill, 2001:203-7. NO
EFUSI PLEURA Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Adanya cairan di rongga pleura > 15 ml, akibat: Ketidakseimbangan gaya Starling. Abnormalitas struktur endotel & mesotel, Drainase limfatik terganggu, Abnormalitas site of entry (Defek diafragma). Tipe Efusi Pleura: 1. Efusi transudatif: Cairan pleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi protein atau molekul besar lain rendah). Efusi transudatif terjadi karena perubahan
163 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Penyebab: Gagal jantung kongestif, Sindrom Nefrotik, Sirosis Hati, Sindrom Meigs, Hidronefrosis, Dialisis peritoneal, Efusi pleura maligna/ paramaligna: Karena atelektasis pada obstruksi bronkial, atau stadium awal obstruksi limfatik. 2.
Efusi Eksudatif: Cairan pleura bersifat eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat). Efusi eksudatif terjadi karena perubahan faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Penyebab: Tuberkulosis. Efusi parapneumonia: Efusi pada pneumonia. Keganasan: Metastasis (Karsinoma paru, kanker mammae, limfoma, ovarium, dll), Mesothelioma. Emboli paru. Penyakit abdomen: Penyakit pankreas, abses intraabdominal, hernia diafragmatika. Penyakit kolagen (SLE,dll). Trauma. Chylothorax Uremia. Radiasi. Sindrom Dressler. Pasca CABG. Penyakit pleura diinduksi obat: Amiodarone, bromocriptine, Penyakit perikardium.
3.
Chylothoraks: Timbul bila terjadi disrupsi ductus thoracicus dan akumulasi chylus di rongga pleura. Disebabkan trauma, atau tumor mediastinum. Hemothoraks: Cairan pleura mengandung darah, dan Ht cairan pleura > 50% Ht darah tepi. Disebabkan trauma atau ruptur pembuluh darah atau tumor. Efusi Pleura Maligna: Bila ditemukan sel-sel ganas yang terbawa pada cairan pleura atau ditemukan pada jaringan pleura saat biopsi pleura. Efusi Pleura Para Maligna: Efusi yang disebabkan keganasan, tetapi sel-sel neoplasma tidak dapat ditemukan pada cairan pleura atau jaringan pleura. Efusi paramaligna. Dapat berupa cairan transudat.
4.
5.
6.
2.
Diagnosis
A. Keluhan: Nyeri. Sesak. Demam. B. Pemeriksaan Fisik:
164 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada. Bila > 300ml cairan: Bagian bawah/ daerah cairan: Perkusi :Redup. Fremitus taktil &fokal: Menghilang. Suara nafas :Melemah s/d menghilang. Fremitus (saat awal). Trakea :Terdorong ke kontralateral. Di atas dari cairan: Penekanan paru/ konsolidasi. C. Foto Thoraks: PA: Sudut kostofrenikus tumpul (bila>500 ml cairan). Lateral : Sudut kostofrenikus tumpul (>200ml cairan). PA/ Lateral: Gambaran perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah, biasanya relatif radioopak, permukaan atas cekung. D. USG: Menentukan adanya & lokasi cairan di rongga pleura, membimbing aspirasi efusi terlokulasi (terutama bila ketebalan efusi <10mm atau terlokulasi). E. CT Scan (Bila perlu) : Menunjukkan efusi yang belum terdeteksi dengan radiologi konvensional, memperlihatkan parenkim paru, identifikasi penebalan pleura dan kalsifikasi karena paparan asbestos, membedakan abses paru perifer dengan empyema terlokulasi. F. Pungsi Pleura(Thoracentesis) & Analisa cairan pleura: Melihat komposisi cairan pleura dan membandingkan komposisi ciaran pleura dengan darah, dinilai secara: 1. Makroskopis: Transudat: Jernih, sedikit kekuningan. Eksudat: Warna lebih gelap, keruh, Empyema: Opak, kental, Efusi kaya kolesterol: Berkilau seperti satin. Efusi Chylous: Seperti susu. 2. Mikroskopis: Sel Leukosit <1000/mm3:Transudat. Sel Leukosit meningkat, predominasi limfosit matur: Neoplasma, limfoma TBC. Sel Leukosit predominasi PMN: Pneumonia; Pankreatitis. G. Kimiawi: Protein. LDH. Cairan disebut Eksudat bila memenuhi salah satu dari 3 kriteria: Rasio kadar protein total di cairan pleura : di serum >0,5. Radio kadar LDH di cairan pleura: di serum >0,6. 165 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Kadar LDH > 200 IU atau > 2/3 batas atas nilai normal serum. Jika Efusi pleura Eksudat, selanjutnya diperiksakan: Kadar glukosa. Kadar Amilase. pH. Hitung Jenis. Kadar lipid: Trigliserida. Pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi. Amylase. Tes bakteriologi: Pewarnaan gram, kultur MOR, pemeriksaan BTA langsung, dan kultur BTA. Sitologi. Transudat, eksudat, chylothoraks, empiema (lihat di atas). Foto Thoraks PA, lateral dan lateral dekubitus, Analisa cairan pleura. Pemeriksaan cairan pleura: BTA langsung, kultur BTA, kultur mikroorganisme+ Resistensi. Sitologi cairan pleura (Dengan atau tanpa cytospin). USG thoraks. CT Scan. 1. Efusi karena gagal Jantung: Diuretik. Thoracocentesis diagnostik bila: Efusi menetap dengan terapi diuretik. Efusi unilateral. Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna. Efusi + febris. Efusi + Nyeri dada pleuritik. 2. Efusi Parapneumonia/Empiema: Thoracocentesis + Antibiotika ± Drainase (Lihat lampiran algoritme). 3. Efusi Pleura karena pleuritis TB: Obat anti TB (minimal 9 bulan) (+) Kortikosteroid dosis 0,75 – 1 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, setelah ada respons diturunkan bertahap. (+) Thoracocentesis terapeutik, bila sesak atau efusi tinggi dari sela iga III. 4. Efusi pleura keganasan: Drainase dengan chest tube + pleurodesis kimiawi, kandidat yang baik untuk pleurodesis ialah: Terjadi rekurens yang cepat. Angka harapan hidup: Minimal beberapa bulan. Pasien tidak debilitasi. Cairan pleura dengan pH > 7,30. Alternatif pasien yang tidak dapat dilakukan pleurodesis ialah pleuroperitoneal shunt. Terapi kanker paru (lihat SOP kanker paru).
166 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Kemoterapi Sistemik pada limfoma, kanker Mammae dan karsinoma paru small cell. Radioterapi pada limfoma dan chylotorax limfomatous dengan keterlibatan KGb mediastinum. Pasien dengan lama harapan hidup pendek atau keadaan buruk: thoracocentesis terapeutik periodik. 5. Chylothoraks: Chest tube/ thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt. 6. Hemothoraks: Chest tube/ thoracostomy, Bila Perdarahan > 200 ml/jam, pertimbangkan thoracotomy. 7. Efusi karena Penyebab lain: Atasi Penyakit primer. Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal nafas. Dubia: Tergantung penyebab, dan penyakit komorbid. Prognosis buruk pada efusi pleura maligna. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Bedah- Subbagian Bedah Toraks. Departemen Radiologi- Subbagian Radiodiagnostik. Dep
Referensi: 1. Uyainah A. Efusi Pleura. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 210-1. 2. Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002: 487-506. 3. Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw- Hill, 2001:1513-6.
167 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Algoritme Penatalaksanaan Efusi Parapneumonia
Tersangka efusi Parapneumonia atau Empiema.
Thoracosentesis +Antibiotik. Cairan Purulen Ya
Tidak Simple Parapneumonic Effusion (pH >7, glukosa ≥ 60; Empiema LDH <200 atau radio LDH < 0,6
Complicated Parapneumonic Effusion (pH <7, glukosa < 40; Empiema LDH >1000
Sedikit
Chest Tube/ CT Dada
Banyak CT Dada
Observasi atau Chest Tube
Observasi atau lokulasi thoracocentesis dalam 12-48 jam
Fibrinopur ulen Perbaikan VATS dan Observasi
Inkomplit
CT Dada Fibrinolitik
Observasi
pH ↓ LDH↑ pH sama/↑ LDH sama/↓
Drainase komplit/ Foto thoraks perbaikan
Chest tube Peel Tebal Multilokulasi
Ulangi foto thoraks tipis Chest Tube
Tidak Perbaikan
Tidak Perbaikan
Observasi
Akumulasi Tinggi
US/ CT Guided Chest Tube
Multilokulasi
Stadium organisasi perburukan Thorakotomi dan Chest Tube
168 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Perbaikan
VATS
Thorakoto mi
NO
PNEUMOTHORAKS Hal
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumothoraks spontan : Terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas: Pneumothoraks spontan primer: Pada orang sehat. Faktor risiko : Merokok. Penyebab: Umumnya Ruptur bleb subpleural atau bullae. Pneumothoraks spontan sekunder: Pada penderita PPOK, TB paru, Asma, Cystic Fibrosis, Pneumonia Pneumocytstis carini, dll. Pneumothoraks Traumatik: Didahului Trauma, termasuk: Biopsi trans thorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral, thoracocentesis, biopsi trans bronchial, dll. Menurut jenis fistulanya, dibagi atas: 1. Pneumothoraks Ventil. 2. Pneumothoraks terbuka. 3. Pneumothoraks tertutup.
2.
Diagnosis
Gejala: PF:
Nyeri Dada, Akut, Terlokalisir. Dyspnea ( Pada P.Ventil: Tiba-tiba makin hebat). Batuk. Hemoptysis. Takipneu Sisi Terkena (Ipsilateral): Statis lebih menonjol, Dinamis: Pergerakan berkurang/ tertinggal, Fremitus: Menghilang, Perkusi: Hipersonor, Auskultasi: Suara nafas melemah-menghilang. Tanda Pneumothoraks Tension: KU sakit berat, Denyut jantung >140 x/m, Hipotensi, Takipneu, pernafasan berat, Sianosis, Diaphoresis, Deviasi trakea ke sisi kontralateral, Distensi Vena leher; Foto Thoraks: Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen, PA tegak pneumothoraks kecil: Tampak ruangan antara paru, dan dinding dada pada apex. Bila perlu foto saat ekspirasi: Mediastinal shift, depresi diafragma, ekspansi rib cage,
169 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
CT Scan:Membedakan pneumothoraks terlokulasi dari kista atau bullae. AGD:Hipoxemia, mungkin disertai hipokarbia (Karena hiperventilasi) atau hiperkarbia. Penyakit Tromboemboli paru. Pneumonia. Infark Miokardium. PPOK Eksaserbasi akut. Efusi Pleura. Kanker Paru. Foto Thoraks. CT Scan Thoraks. Analisa Gas Darah (AGD): Bila Diperlukan A. Pneumothoraks unilateral kecil (<20%) dan asimptomatik. Observasi, foto thoraks serial. B. Aspirasi: Anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan kateter 16 F atau 18 F, s/d tidak ada gas lagi keluar. C. Jika Tidak Resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: D. Konsul Bagian Bedah/ Subbagian bedah Thoraks untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube. Tube disambungkan ke water sealed chamber, dapat disertai suction 24 jam pertama atau selama masih ada kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi pneumothoraks lagi: tube dapat dicabut oleh TS bagian Bedah. E. Jika Pneumothoraks Rekuren F. Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau: G. Konsul Bagian Bedah/ Subbagian Bedah Thoraks untuk pertimbangan: Pleurodesis mekanik (Abrasi permukaan pleura parietal atau stripping pleura parietal), atau Thorakoskopi, atau Open Thoracotomy. Indikasi Absolut: Kebocoran udara memanjang. Reekspansi paru tidak sempurna. Bullae besar. Risiko pekerjaan. Indikasi Relatif: Pneumothoraks tension. Hemopneumothoraks. Bilateral Pneumothoraks. Rekurens Ipsilateral/ kontralateral.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
Gagal nafas, pneumothoraks tension, hemopneumothoraks, infeksi/ pyopneumothoraks, penebalan pleura, atelektasis, pneumothoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema paru reekspansi.
7.
Prognosis
Dubia: Tergantung tipe, penyakit dasar, faktor pemberat/
170 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
komorbid. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Subbagian Bedah Thoraks, Bagian Bedah RSCM. Subbagian Radiodiagnostik, Bagian Radiologi RSCM
Referensi: 1. Bahar A. Pneumothoraks. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 221-2. 2. Rosenbluth DB. Pneumothorax. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002: 507. 3. Light RW. Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw- Hill, 2001:1513-6.
NO
Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT (Community-Acquired Pneumonia = CAP) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Pneumonia Inflamasi parenkim paru yang disebabkan mikroorganisme selain Mycobacterium Tuberculosis. CAP Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit. Infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi thorak atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (Perubahan suara nafas dan atau ronkhi setempat). Pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum timbulnya gejala (IDSA 2000) Etiologi Penyebab: Lihat tabel 1 Rencana diagnostik bertujuan: 1. Diagnostik adanya CAP: Foto paru terdapat infiltrat baru atau infiltrat yang bertambah. Terdapat 2 dari 3 gejala berikut: Demam, batuk + sputum produktif, leukositosis (Pada penderita usia lanjut: Gejala dapat tidak khas/tersamar, seperti lesu, tidak mau makan, dll).
171 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Pengkajian awal derajat berat penyakit dengan The Pneumonia PORT prediction rule atau Pneumonia Severity of Illness Index (PSI): Berdasarkan proses dua langkah yang mengevaluasi faktor demografis, penyakit komorbid, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan radiologis, pasien distratifikasi menjadi lima kelas resiko mortalitas dan outcome (Lihat tabel 2,3,4, dan gambar 1). 3. Identifikasi penyebab mikrobiologis (Lihat Tabel 4): Pewarnaan Gram sputum, Kultur sputum, Kultur darah, Pemeriksaan serologis, pemeriksaan antigen, pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), dan tes invasif (thorakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transthorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi): Bila diperlukan. Tuberkulosis paru. Jamur. Foto Thoraks, Pulse Oxymetry, Laboratorium Rutin: DPL, hitnung jenis, LED, Glukosa Darah, Ureum, Creatinin, SGOT, SGPT. Analisa Gas Darah, elektrolit. Pewarnaan Gram Sputum, Kultur Sputum, Kultur Darah, Pemeriksaan Serologis, Pemeriksaan Antigen, Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), Tes Invasif (Thorakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transthorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi). Tatalaksana Umum: Rawat Jalan: Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan. Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan paracetamol, Ekspektoran/mukolitik, Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan, Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan, Bila tidak membaik dalam 48 jam: Dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto thoraks, Keputusan Merawat Pasien di RS ditentukan Oleh: Derajat berat CAP (lihat diatas), Penyakit terkait; Faktor prognostik lain,
172 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
Kondisi dan dukungan orang di rumah, Kepatuhan, keinginan pasien. Rawat Inap di RS: Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi. Tujuannya: Mempertahankan PaO2 ≥ kPa dan SaO2 ≥ 92%. Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal nafas dituntun dengan pengukuran analisa gas darah berkala, Cairan: Bila perlu dengan cairan intravena, Nutrisi, Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan paracetamol, Ekspektoran/mukolitik, Foto Thoraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan. Rawat di ICU: Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial. Terapi Antibiotika: Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin berdasarkan perkiraan etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien tertentu, sesuai pedoman terapi empirik inisial ATS 2001 (Lihat tabel 1,5 dan gambar 2). Syarat untuk alih Terapi (ATS 2001): Berkurangnya keluhan batuk dan sesak nafas. Suhu afebris (<100F) pada dua pengukuran yang terpisah 8 jam lamanya. Leukosit berkurang/ menjadi normal. Saluran gastrointestinal berfungsi baik, masukan oral adekuat. Syarat Pemulangan dapat merujuk pada kriteria Weingarten atau Ramirez (lihat tabel 6) CAP berat: Bila memenuhi satu kriteria mayor (dari 2 kriteria modifikasi) atau dua kriteria minor ( dari 3 kriteria minor modifikasi). Kriteria Minor yang dikaji saat masuk RS: 1. Gagal nafas berat (PaO2/FIO2 <250), 2. Foto Thoraks : Pneumonia multilobaris, 3. TD sistolik ≤ 90 mmHg, Kriteria Mayor yang dikaji saat masuk RS atau dalam perjalanan penyakit: 1. Perlunya ventilator mekanis, 2. Syok sepsis. Gagal Nafas. Sepsis, syok sepsis. Gagal ginjal akut. Efusi parapneumonik. Bronkiektasis. Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid,
173 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
status imunologis, dll. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Subbag Tropik dan Penyakit Infeksi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam. Subbag Radiodiagnostik, Departemen Radiologi. Departemen Patologi Klinik. Departemen Mikrobiologi. Departemen Parasitologi. Departemen Anestesi/ ICU.
Referensi: 1. American Thoracic Society. Guidlines for the Management of Adults with CommunityAcquired Pneumonia: Diagnosis, Assesment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med, 2001;163:1730-54 2. British Thoracic Society Standards of Care Comittee. British Thoracic Society Guidelines for The Management of Community Acquired Pneumonia in Adults. Thorax 2001;56 (suppl IV): 1-64. Avaible at URL:http://thorax.bmjjournals.com/cgi/content/full/56/suppl_4/... 3. Rhaw DC, Weingarten SR. Achieving A Safe and Early Discharge for patients With Community-Acquired Pneumonia. Medical Clinic of North America, November 2001;85(6):1427-40. 4. Bartlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File Jr TM, Musher DM, Fine MJ. Guidelines from the Infectious Diesease Society of America: Practice Guidlines for the Management of Community-Acquired in Adults. Clinical Infectious Disease 2000;31:347-82.
174 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Tabel 1.Patogen Penyebab CAP menurut Klasifikasi Pasien (ATS 2001) Grup I: Rawat Jalan, Tanpa Penyakit Kardiopulmonal, Tanpa Faktor Modifikasi Streptococcus Pneumoniae Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae (tunggal atau infeksi campuran). Hemophilus Influenzae. Respiratory Viruses Lain-lain: Legionella spp. Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, Grup III: Rawat Inap Non-ICU a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (termasuk penghuni panti jompo). Streptococcus Pneumoniae (Termasuk DRSP). Hemophilus Influenzae. Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae (bakteri + patogen atipik atau virus). Enterik gram negatif. Aspirasi (Anaerob) Virus Legionella spp Lain-lain: Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, Pneumocystis carinii. b. Tanpa penyakit kardiopulmonal, Tanpa faktor modifikasi.
Streptococcus Pneumoniae Hemophilus Influenzae. Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae Infeksi canmpuran (bakteri + patogen atipik). Virus Legionella spp. Lain-lain: Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik, Pneumocystis carinii
Grup II Rawat Jalan, Dengan Penyakit Kardiopulmonal, Dan/Atau Faktor Modifikasi.
Streptococcus Pneumoniae (Termasuk DRSP). Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae (bakteri + patogen atipik atau virus). Hemophilus Influenzae. Enterik gram negatif. Respiratory Viruses Lain-lain: Moraxella catarrhalis, Legionella spp. Aspirasi (anaerob). Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik,
Grup IV Rawat ICU a. Tanpa risiko infeksi Pseudomonas aeruginosa. Streptococcus Pneumoniae (Termasuk DRSP). Legionella spp. Hemophilus Influenzae. Enterik gram nefatif. Staphylococcus Aureus Mycoplasma Pneumoniae Respiratory Viruses Lain-lain: Chlamydia Pneumoniae Mycobacterium tuberculosis. Fungi endemik,
b. Ada risiko infeksi Pseudomonas Aeruginosa. Semua patogen diatas (IV.a) +Pseudomonas aeruginosa
175 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Gambar 1. Langkah Pertama Rumus Prediksi Pneumonia: Mendeteksi Pasien dengan Kelas Resiko I Pasien dengan CAP
Ya
Usia > 50 tahun? Tidak
Akibat Riwayat komorbid: -Neoplasma -gagal Jantung Kongestif -Penyakit Serebrovaskuler. -Penyakit Ginjal. Penyakit hati
Ya
Pasien dimasukkan dalam kelas Resiko. II-V Sesuai Langkah Kedua/ Sistem skor rumus
Tidak
Adakah Kelainan Pada Pemeriksaan Fisik: -Perubahan Status Mental. - adi ≥ 125 x /menit - Pernafasan ≥ 30x/menit. -Tekanan Darah Sistolik <90 mmHg. Suhu < 5C atau ≥ 40C. Pasien dimasukkan dalam kelas Resiko.
Ya
Tidak
176 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Tabel 2. Langkah Kedua Sistem Skor Rumus Prediksi Pneumonia Karakterisik Pasien Faktor Demografik: Usia Laki-Laki Perempuan Penghuni Panti Jompo Penyakit Ko-morbid: Neoplasma Penyakit Hati. Gagal Jantung Kongestif Penyakit Serebrovaskular Penyakit Ginjal Temuan Pemeriksaan Fisik: Perubahan Status Mental rekuensi Pernafasan ≥ 0x/menit Tekanan Darah Sistolik <90 mmHg Suhu 5C atau ≥ 40C rekuensi adi ≥125x/menit Hasil Laboratorium dan Radiologis: AGD : pH < 7,35 Blood Urea itrogen ≥ 0 mg/dl (11 mmol/L) Natrium <130 mmol/L Glukosa ≥ 250 mg/dl Hematokrit <30% AGD : PaO2 <60 mmHg Efusi Pleura
Nilai
Umur(Tahun) Umur (Tahun)-10 +10 +30 +20 +10 +10 +10 +20 +20 +20 +15 +10 +30 +20 +20 +10 +10 +10 +10 +10
Tabel 3. Stratifikasi Pneumonia Berdasarkan Skor Resiko, Angka Kematian dan Rekomendasi Tempat Rawat. Kelas Risiko
Jumlah Nilai
I II III
≤ 70 71 -90
IV V
91 -130 >130
Mortalitas Cohort Validasi Pneumonia PORT (%) Rawat Rawat Semua Inap Jalan Pasien 0,5 0,0 0,1 0,9 0,4 0,6 1,2 0,0 0,9 9,0 27,1
12,5 0,0
177 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
9,3 27,0
Penatalaksanaan
Rawat Jalan Rawat Jalan Rawat Inap Singkat Rawat Inap Rawat Inap
Tabel 4. Perbandingan Pemeriksaan Diagnostik CAP Pemeriksaa n Lab Rutin
ATS 2001
BTS 2001
CIDS 2000
Rawat Jalan: Pasien yang masih mungkin dirawat RS, >65 th, komorbid: Rawat Inap: Semua Pasien
Rawat Jalan: Tak perlu untuk mayoritas pasien
Rawat Jalan: Jika klinis/ro mengarah ke prognosis buruk
Rawat Inap: Harus
Rawat Inap/ Datang ke IGD: Direkomendasik an
CRP Pemeriksaa n Oksigenasi: Pulse Oxymetry
Rawat Jalan: Penyakit dasar Jantung/paru Rawat Inap: Semua
Rawat Inap: Bila Tersedia Rawat Jalan: Dipertimbangka n.
Rawat Inap: Semua
Pemeriksaa n Oksigenasi: Analisa Gas Darah (AGD). Foto Thorax
Gram Sputum
Kultur Sputum
Rawat Inap: Penyakit Berat Penyakit Paru Kronis Rawat Jalan & Inap: Harus
Rawat Jalan & Inap: Bila curiga bakteri resisten, atau bakteri tak sensitif thd AB yang biasa.
Rawat Jalan & Inap:
Rawat Inap: Direkomendasikan
Rawat Jalan: Jika klinis/ro mengarah ke prognosis buruk Rawat Inap/ Datang ke IGD: Direkomendasik an Rawat Jalan & Inap: PPOK
Rawat Inap: SaO2 <92% CAP berat.
Rawat Inap: Pasien Tertentu
Rawat Inap: Pasien Tertentu
Rawat Jalan: Tak perlu untuk mayoritas pasien
Rawat Jalan: Direkomendasik an bila memungkinkan
Rawat Inap: Harus Rawat Jalan: Tidak respons thd AB empiris.
Rawat Inap: Harus Rawat Jalan: Mayoritas tidak direkomendasik an.
Rawat Inap: CAP berat komplikasi (+)
IDSA 2000
Rawat Inap: Direkomendasik an
Rawat Jalan: Tidak respons
178 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Rawat Jalan & Inap: Harus
Rawat Jalan: Optional.
Rawat Inap: Direkomendasikan
Rawat Jalan: Optional.
Bila curiga bakteri resisten, atau bakteri tak sensitif thd AB yang biasa.
Kultur Darah Tes Serologis
Pneumococc al Antigen test Tes Antigen (A), Serologis (S), Kultur (K) Legionella Pemeriksaa n Sputum BTA langsung ± Kultur BTA
Rawat Inap: Direkomendasik an Rawat Inap: Tidak direkomendasik an
Rawat Inap(A): CAP berat
thd AB empiris.
Rawat Inap: Bukan CAP berat + dahak purulen+ belum AB, CAP berat, tidak respons thd AB empiris Rawat Inap: Direkomendasik an Rawat Inap: CAP berat, tak respons thd Beta Lactam, Faktor resiko, wabah Rawat Inap: CAP berat
Rawat Inap: Direkomendasik an
Rawat Inap: Direkomendasikan
Rawat Inap: Direkomendasik an Tidak direkomendasik an
Rawat Inap: Direkomendasikan
Rawat Inap(A,S,K): CAP berat, faktor resiko, wabah
Rawat Inap(A): CAP berat
Rawat Inap: Batuk produktif persisten, teruama malaise, BB↓, keringat malam, faktor resiko.
Bila klinis sesuai, faktor resiko
Tidak direkomendasikan
Direkomendasikan
179 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Rawat Inap(A,K): CAP berat >40 th, tak respons thd Beta Lactam, Immunocompromis ed, kecurigaan klinis, wabah. Rawat Inap: Pasien tertentu: Batuk>1 bulan, gejala & Radiologis mendukung (+ kultur BTA).
Gambar 2. Stratifikasi Pasien CAP (ATS 2001). Faktor-f
CAP
Tatalaksana Rawat jalan
Tatalaksana Rawat Inap
Sakit ringan-sedang
Severe CAP
Tanpa Penyakit Kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi Grup I
Tanpa Penyakit Kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi Grup III A
Tanpa Resiko P. Aeruginosa Grup IV A
Penyakit Kardiopulmonal (+) atau faktor modifikasi Grup II
Penyakit Kardiopulmonal (+) atau faktor modifikasi Grup III B
Dengan Resiko P. Aeruginosa Grup IV B
Faktor-faktor modifikasi: 1. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko infeksi patogen pneumococcus resisten penicillin dan resisten obat (Drug Resistant Streptococcus Pneumoniae = DRSP): Usia > 65 tahun, terapi beta-lactam dalam 3 bulan terakhir, pecandu alkohol, penyakit imunosupresif (Termasuk terapi kortikosteroid), lebih dari satu komorbid, dan terpajan pada anak di pusat penitipan anak. 2. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko patogen enterik gram negatif: Penghuni panti jompo, penyakit dasar kardiopulmonal, lebih dari satu komorbid, dan terapi antibiotik dalam beberapa waktu terakhir. 3. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko Pseudomonas Aeruginosa:
180 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Kelainan struktural paru (Bronkiektasis), Terapi kortikosteroid (>10mg prednison perhari), terapi antbiotika spektrum lebar selama >7 hari dalam 1 bulan terakhir, dan malnutrisi.
Tabel 5. Rekomendasi terapi empiris (ATS 2001) Grup
I
II
Karakteristik
Rawat jalan, Penyakit kardiopulmonal (-) Faktor Modifikasi (-) Rawat jalan, Penyakit kardiopulmonal (+) Dan/atau Faktor Modifikasi (+)
III A
Rawat Inap, Penyakit kardiopulmonal (+) Dan/atau Faktor Modifikasi (+)
IIIB
Rawat Inap, Penyakit kardiopulmonal (-) Faktor Modifikasi (-)
IV A
Rawat ICU Tanpa Resiko Ps. Aeruginosa.
IV B
Rawat ICU Dengan Resiko Ps. Aeruginosa.
Antibiotik Pilihan (Kedua pilihan ini Setingkat) MAKROLID DOXYCYCLINE GENERASI BARU
β-Lactam Oral Cefpodoxime, Cefuroxime, Amoxcillin dosis tinggi. Amoxicillin/ clavunulat. Atau Parenteral: Ceftriaxone, diikuti Cefpodoxime oral, Dikombinasi dengan: Makrolid atau Doxycycline. β-Lactam IV Cefotaxime, Ceftriaxone, Ampicillin/ sulbactam, Ampicillin dosis tinggi. Dikombinasi dengan: Makrolid IV atau oral Doxycycline. Azithromycin IV Atau: Doxycycline dan βLactam β-Lactam IV Cefotaxime, Ceftriaxone, Dikombinasi dengan: Makrolid IV (Azithromycin) atau Fluoroquinolone IV. β-Lactam antipseduomonas IV
181 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Fluoroquinolone: Antipneumococcus.
Fluoroquinolone: Antipneumococcus IV.
Fluoroquinolone: Antipneumococcus.
β-Lactam antipseduomonas IV
tertentu Cefepime Imipenem Meropenem Piperacillin/tazobactam Dikombinasi dengan: Quinolone antipseduomonas IV Ciprofloxacin.
tertentu Cefepime Imipenem Meropenem Piperacillin/tazobactam Dikombinasi dengan: Aminoglikosida IV Dikombinasi dengan: Makrolid IV (Azithromycin) atau Fluoroquinolone nonpseduomonas IV
Tabel 6. Kriteria Alih Terapi dan Pemulangan Pasien ( Weingarten dan Ramirez). Kriteria Kriteria Alih Terapi
Waktu Alih Terapi Kriteria Pulang
Weingarten Tidak ada alasan yang jelas untuk tetap dirawat: TD Sistolik <100 mmHg, dehidrasi seperti ditunjukkan oleh hipernatremia (Na> 155 mmol/l), rasio BUN: Creatinin >20: 1, Perubahan TD sistolik Ortostatik > 20 mmHg, Perubahan Mental akut, Hipoksia (Saturasi gas darah arteri pada udara kamar < 90% atau PO2 <55 mmHg. Asidosis respiratorik akut dengan pH < 7,30, Ketidakmampuan minum obat atau cairan per oral, Penjalaran infeksi (Meningitis), Penyakit komorbid yang tak stabil. Tak ada patogen ber-resiko tinggi: Staphylococcus Aurerus, Aspirasi, Pasca-Obstruksi, Mycobacterial, Fungi. Tidak ada komplikasi fatal selama perawatan; infark myocard akut, fibrilasi ventricular, takikardia ventricular, asystole, blok jantung total, fibrilasi atrial tak stabil atau baru, flutter atrial tak stabil atau baru, takikardia supraventikular, Pneumothoraks, Gagal jantung kongestif, Tidak ada imunosupresi, atau infeksi HIV. Hari ke-3 Tidak ada
182 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Ramirez Perbaikan batuk dan sesak nafas. Absorpsi gastrointestinal adekuat. Suhu menjadi ormal (< 7, C selama minimal 8 jam). Leukosit menjadi normal.
Jika Kriteria alih terapi terpenuhi Kandidat terapi oral, Tak perlu tata laksana
Waktu Pulang
Hari ke-4
183 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
kondisi komorbid (CHF,dll). Tak perlu tindakan diagnostik (Bronkoskopi untuk massa paru). Tak ada indikasi sosial untuk melanjutkan perawatan (Kondisi rumah tak stabil). Jika kriteria pulang terpenuhi.
NO
PNEUMONIA ATIPIK Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pneumonia yang disebabkan infeksi bakterial, tapi mempunyai gambaran klinis, radiologis, tersendiri yang berbeda dari pneumonia umumnya, yakni onset yang insidious, demam ringan sampai berat, batuk tanpa produksi sputum, dan tidak berespons dengan terapi anbiotik βlaktam. Etiologi: Mycoplasma Pneumoniae Chlamydia Pneumoniae Legionella spp. Influenza virus tipe A dan B. Pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroba atipik, gejala sistem pernapasan dapat tidak khas, sedangkan gejala sistemik seperti sakit kepala, nyeri otot/sendi dapat menonjol. Batuk tanpasputum, kecuali bila penyakit memberat/ infeksi sekunder. Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat s/d menggigil. Malaise, kelemahan seluruh anggota tubuh. Sakit kepala, nyeri otot (sering). Nyeri dada (jarang), sesak nafas (bila berat). PF: Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru: Suara nafas bronkhial, ronkhi, Efusi pleura, abses paru (bila berat). Gejala gangguan ekstra paru (terutama oleh Legionella dan Mycoplasma): Infeksi saluran nafas atas: Laryngitis, faringitis, rhinitis. Saluran gastrointestinal: Diare, muntah, nyeri perut, hepato-splenomegali. Sistem kardiovaskular: Bradikardia relatif, mikoarditis, perikarditis. Gangguan sistem syaraf: Confusion, ensefalitis, meningismus, paralisis, Guillain Barre, kelumpuhan saraf kranial, neuropati perifer. Gangguan dermato-muskuloskeletal : Rash, eritema, myalgia, artritis, athralgia, Gangguan sistem urogenital: Glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tubo-ovarian. Mata: Bullous myringitis. Teliga: Otitis media. Laboratorium: Leukositosis (Jarang), biasanya <15.000/mL. Trombositopenia, anemia hemolitik (kadangkadang). LED meningkat. AST, ALT meningkat. Foto Thoraks: Bervariasi:
184 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Fase awal: Infiltrat paru retikuler dan intersitial. Unilateral, terutama lobus bawah, segmental atau satu lobus. Pembesaran KGB hilus. Pneumonia didapat di masyarakat (CAP) Bronkitis kronik. Laboratorium: DPL, Retikulosit, LED, AST, ALT, Serologis. Foto Thoraks. Antibiotik: Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin: Makrolid: Erythromycin. Clarythromycin 2 x 500 mg. Azithromycin 1 x 500 mg. Roxythromycin 2 x 500 mg. Doxycycline. Respiratory-Fluoroquinolone. +Rifampicin (Bila curiga Legionella) Tata laksana Umum Pneumonia (=Tata laksana umum CAP): Rawat Jalan: Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan, Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan paracetamol, Ekspektoran/ mukolitik. Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan, Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan, Bila tidak membaik dalam 48 jam: Dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto thoraks, Keputusan Merawat pasien di RS ditentukan oleh: Derajat berat. Penyakit terkait. Faktor prognostik lain, Kondisi dan dukungan orang di rumah, Kepatuhan, keinginan pasien. Rawat Inap di RS: Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi. Tujuannya: Mempertahankan PaO2 ≥ kPa dan SaO2 ≥ 92%. Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal nafas dituntun dengan pengukuran analisa gas darah berkala, Cairan: Bila perlu dengan cairan intravena, Nutrisi, Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan paracetamol, Ekspektoran/mukolitik,
185 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Foto Thoraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan. Perbaikan yang memuaskan, Rawat di ICU: Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial. Efusi Pleura. Empiema. Abses Paru. Atelektasis. Gagal Nafas. Kor Pulmonal. Pneumothoraks. Septikemia. Herpes labialis. Penyakit Thromboemboli. Dubia: Tergantung derajat berat penyakit, penyakit terkait, faktor prognostik lain. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Subbagian Radiodiagnostik, Bagian Radiologi RSCM. Departemen Patologi Klinik RSCM.
Referensi: 1. Bahar A. Diagnosis Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/RSUPN CM, 25 Maret 1999. 2. Suwondo A. Penatalaksanaan Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/RSUPN CM, 25 Maret 1999. 3. American Thoracic Society. Guidlines for the Management of Adults with CommunityAcquired Pneumonia: Diagnosis, Assesment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med, 2001;163:1730-54 4. British Thoracic Society Standards of Care Comittee. British Thoracic Society Guidelines for The Management of Community Acquired Pneumonia in Adults. Thorax 2001;56 (suppl IV): 1-64. Avaible at URL:http://thorax.bmjjournals.com/cgi/content/full/56/suppl_4/...
NO
GAGAL NAFAS Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Ketidakmampuan mempertahankan nilai pH (keasaman), Oksigen (O2), dan karbondioksida (CO2) darah arteri supaya tetap dalam batas normal. Etiologi:
186 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
1. Penyakit Saluran Napas: Bronkitis Kronik. Emfisema. Asma Bronkial. Bronkiektasis. 2. Penyakit Paru Parenkim: Pneumonia. Edema Paru. Aspirasi. Inhalasi asap, gas. 3. Gangguan Hipermeabilitas: Edema Paru. ARDS. 4. Penyakit Pembuluh Darah: Emboli Paru. Syok Kardiogenik. Fistula A.V. Pulmoner. 5. Trauma: Trauma dada. Trauma leher. Trauma kepala. 6. Gangguan Neuromuskular: Poliomielitis, sindrom tetanus. Guillain Barre, paralisis diafragma. 7. Obat-obat: Barbiturat. Narkotik. Sedatif. Obat-obat relaksasi. 8. Kelainan dinding dada: Kifoskoliosis. Ankylosing spondylitis. 9. Lain-lain: Hipotermia. Sesak napas berat. Batuk. Sianosis. Pulsus paradoksus. Stridor. Aritmia. Takikardia. Konstriksi pupil. Gagal napas tipe I: PCO2 normal atau meningkat. PO2 menurun. Umumnya kurus. Warna kulit: Pink Puffer. Hiperventilasi. Pernapasan: Purse-lips. Gagal napas tipe II: PCO2 meningkat. PO2 menurun. Sianosis Umumnya kegemukan. Hipoventilasi.
187 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Tremor CO2 Edema.
Edema paru. ARDS Analisa Gas Darah. Foto Thoraks. Kateter Swan Ganz dengan monitor-tekanan kapiler paru (PCWP). EKG. Tahap I: 1. Perbaiki gangguan hipoksemia dengan terapi O2 . 2. Bronkodilator nebulizer. 3. Humidifikasi. 4. Fisioterapi dada. 5. Antibiotika. Tahap II: 6. Bronkodilator parenteral. 7. Kortikosteroid. Tahap III: 8. Stimulan Pernapasan. 9. Mini trakeostomi jika retensi sputum. Tahap IV: 10. Ventilasi Mekanik. Mortalitas Malam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Anestesi/ ICU
Referensi: 1. Bahar A. Gagal Nafas. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 213-4.
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Diagnosis
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK ) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Penyakit yang ditandai dnegan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Perlambatan aliran udara umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan( GOLD 2001). 1. Keluhan: Sesak napas. Batuk-batuk kronis, Sputum yang produktif,
188 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Faktor resiko (+). PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala.
2. Anamnesis riwayat paparan dengan faktor resiko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi, dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadapt aktivitas-dll, kemungkinan mengurangi faktor resiko. 3.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Fisik Pernafasan pursed lips, Takipnea, Dada emfisematous atau barrel chest. Dengan tampilan fisik pink puffer atau blue bloater. Bunyi nafas vesikuler melemah. Ekspirasi memanjang. Ronki kering atau wheezing. Bunyi jantung jauh.
4. Diagnostik pasti dengan uji spirometri: FEV1/ FVC < 70%. Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan): FEV1. Pasca Bronkodilator < 80% Prediksi. 5. Uji coba kortikosteroid. 6. Analisa Gas Darah pada: Semua pasien dengan VEP1 <40% prediksi. Secara klinis diperkirakan gagal napas atau payah jantung kanan. 7. PPOK Eksasebasi Akut Gejala Eksaserbasi: Bertambahnya sesak napas, kadang-kadang disertai mengi, bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau berubah warna. Gejala non-spesifik: Malaise, insomnia, fatigue, depresi. Spirometri: Fungsi paru sangat menurun. 8. Etiologi Eksaserbasi: 9. Infeksi Mukosa Trakeobronkial. Terutama Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae, Moraxella Cattarrhalis. 10. Pajanan polusi Udara. 11. Klasifikasi PPOK menurut National Heart, Lung, and Blood Institute dan WHO (Lihat tabel 1). Asma Bronkial. Bronkiektasis. Gagal jantung kongestif. Pneumonia. 1. Spirometri. 2. Foto thoraks. 3. Bila eksaserbasi akut: Analisa Gas Darah. DPL. Sputum Gram, Kultur MDR.
189 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
Usaha Mengurangi Faktor Fesiko Edukasi-Motivasi Berhenti Merokok. Farmakoterapi stop Merokok. Terapi PPOK Stabil A. Terapi Farmakologis: 1. Bronkodilator: Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia/ tak terjangkau. Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten). 3 Golongan: Agonis β-2 Fenopterol, Salbutamol, Albuterol, terbutalis, formoterol, salmeterol, Antikolinergik: Ipratropium bromid, oksitoprium bromid. Metilxantin: Teofilin lepas lambat, bila kombinasi β-2 dan steroid belum memuaskan. Dianjurkan Bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi. 2. Steroid pada: PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid, PPOK dengan FEV1 <50% prediksi (Stadium IIB dan III). Eksaserbasi akut. 3. Obat-obat tambahan lain: Mukolitik (Mukokinetik, Mukoregulator): Ambroxol, karbosistein, Gliserol iodida. Antioksidan: N-asetil-sistein. Imunoregulator (Imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin. Antitusif : Tidak rutin. Vaksinasi: Influenza, Pneumokok B. Terapi Non-Farmakologis: 1. Rehabilitasi: Latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan, rehabilitasi psikososial. 2. Terapi dengan Oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): Pada PPOK stadium III, AGD = PaO2<55 mmHg, atau SaO2 ≤ % dengan/ tanpa hiperkapnia. PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 ≤ % disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, Polisitemia. 3. 4.
Nutrisi. Pembedahan: Pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan mekanik paru).
190 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Terapi PPOK Eksaserbasi Akut.
6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut di Rumah: 1. Bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. 2. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. 3. Bila infeksi: Diberikan antibiotika spektrum luas (Termasuk S. Pneumoniae, H. Influenzae, M Catarrhalis). Terapi Eksaserbasi Akut di Rumah Sakit: 1. Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask. 2. Bronkodilator: Inhalasi agonis β2 (Dosis & Frekuensi ditingkatkan) + antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat + Aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam). 3. Steroid: Prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. 4. Steroid Intravena: Pada keadaan berat. 5. Antibiotika terhadap S. Pneumoniae, H. Influenzae, M. Catarrhalis, 6. Ventilasi mekanik. Indikasi: Gagal nafas akut atau kronik. Gagal Nafas. Kor Pulmonal. Septikemia. Dubia, tergantung dari stage, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Rehabilitasi Medik, RSCM. Departemen Anestesi/ ICU- RSCM.
Referensi: 1. Uyainah A. Standardisasi Baru dalam Diagnosis dan Terapi PPOK. Dalam: Setiati S, Alwi I, Kasjmir YI, Bawazier LA, Lydia A, Syam AF, et al (eds). Prosiding Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2002:55-64.
Tabel 1. Klasifikasi PPOK menurut National Heart, Lung, and Blood Institute dan WHO. Stadium
Derajat
0
Beresiko PPOK
I
PPOK
Karakteristik Gejala kronik. Paparan Faktor Resiko. Spirometri Normal. FEV1/FVC <70%
191 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Anjuran Pengobatan Hindari faktor resiko. Vaksinasi.
Bronkodilator kerja
Ringan
II
PPOK Sedang
III
PPOK Berat
EV1 ≥ 0% prediksi, ± Keluhan kronik. FEV1/FVC < 70% 30% < FEV1<80% prediksi,
cepat (P r n)
IIA 50%
IIA: Pengobatan rutin dengan ≥ 1 bronkodilator. Steroid inhalasi: jika uji steroid (+) Rehabilitasi.
IIB 30%
IIB = II A ditambah: Steroid inhalasi jika uji steroid (+) atau eksaserbasi berulang. Pengobatan rutin dengan ≥ 1 bronkodilator. Steroid inhalasi: jika uji steroid (+) atau eksaserbasi berulang. Pengobatan komplikasi. Rehabilitasi. Terapi O2: Jika gagal napas. Hindari faktor resiko. Vaksinasi.
Semua Stadium
NO Hal 1.
Pengertian
TUBERKULOSIS PARU ( TB PARU ) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, dibagi dalam: 1. TB Paru BTA positif: Sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif. 2. TB Paru BTA negatif: dari 3 spesimen sputum BTA negatif ,foto rontgen positif. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang ditunjukkan oleh foto rontgen, dibagi dalam: 1. TB paru dengan kelainan paru luas. 2. TB paru dengan kelainan paru sedikit.
192 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Berdasarkan organ selain paru yang terserang, dibagi dalam: 1. TB Ekstra Paru Ringan: TB kelenjar limfe, TB tulang non-vertebra, TB sendi, TB adrenal. 2. TB Ekstra Paru Berat: Meningitis, TB Milier, TB Disseminata, Perikarditis, Pleuritis, Peritonitis, TB Vertebra, TB usus, TB Genitourinarius. Berdasarkan riwayat pengobatannya, dibagi dalam: 1. Kasus Baru. 2. Kambuh (relaps). 3. Drop-out/ default. 4. Gagal terapi. 5. Kronis. 2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
Keluhan (Tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): 1. Batuk-batuk ≥ minggu. 2. Batuk berdarah. 3. Sesak nafas. 4. Nyeri dada. 5. Malaise, lemah. 6. Berat badan turun. 7. Nafsu makan turun. 8. Keringat malam. 9. Demam. Gejala yang ditemukan (Tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): 1. KU lemah, cachexia. 2. Takipnea. 3. Febris. 4. Paru: Tanda-tanda konsolidasi (Redup, fremitus mengeras/ melemah, suara nafas bronkhial/ melemah, ronkhi basah/ kering). 5. Dll. 6. Laboratorium: LED meningkat. 7. Mikrobiologis: BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS, Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (Diagnosis pasti). 8. Radiologis: Foto thoraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : Infiltrat, pembesaran KGB hilus/ KGb paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. 9. Imuno-Serologis: Uji kulit dengan tuberkulin (Mantoux) positif > 15 mm pada orang indonesia yang imunokompeten, Tes PAP, ICT-TBC positif 10. PCR-TB dari sputum (hanya menunjang klinis). Pneumonia, Tumor/ keganasan Paru, Jamur Paru, Penyakit Paru Akibat Kerja. Laboratorium: LED.
193 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Terapi
Mikrobiologis: BTA sputum, kultur resistensi sputum terhadap M.tuberculosis. Pada kategori 1 dan 3: Sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 4, dan 6. Pada kategori 2 : Sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 5, dan 8. Kultur BTA sputum diulangi pada akhir bulan ke 2 dan akhir terapi. Radiologis : Foto thoraks PA, lateral pada saat diagnosis awal dan akhir terapi. Selama terapi: Evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan. Imuno- Serologis: Uji Kulit dengan tuberkulin (Mantoux). Tes PAP, ICT-TBC. PCR-TB dari sputum Terapi Umum: Istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana komordibitas, nutrisi, vitamin. Medikamentosa obat anti TB (OAT): Kategori 1: Untuk Penderita baru TB Paru, sputum BTA positif. Penderita TB Paru, sputum BTA negatif, rontgen Positif dengan kelainan Paru luas. Penderita TB Ekstra Paru berat. Diterapi dengan: 2 RHZE/4 RH. 2 RHZE/ 4 R3H3. 2 RHZE/ 6 HE. Kategori 2: Untuk: Penderita kambuh. Penderita gagal. Penderita after default. Diterapi dengan: 2 RHZES / 1 RHZE/ 5 RHE. 2 RHZES/ 1 RHZE/ 5 R3H3E3. Kategori 3 : Untuk: Penderita baru TB Paru, sputum BTA negatif, rontgen positif dengan kelainan paru tidak luas. Penderita TB Ekstra Paru : Ringan. Diterapi dengan: 2 RHZ/ 4 RH. 2 RHZ/ 4 R3H3. 2 RHZ/ 6 HE.
6.
Komplikasi
Kategori 4 : Untuk: Penderita TB kronik. Diterapi dengan: H seumur hidup, Bila mampu : OAT lini kedua. Komplikasi Paru: Atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumothoraks, gagal nafas, TB Ekstra Paru: Pleuritis, efusi Pleura, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe, dll.
194 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO
KARSINOMA PARU Hal
1.
2.
Cor Pulmonal. Dubia: Tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status imun, komordibitas. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Patologi Klinik. Departemen Mikrobiologi Klinik. Departemen Radiologi. Sub-bagian di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB. Bagian lain di RSUPN-CM yang terkait dengan keterlibatan organ/ komplikasi TB.
Pengertian
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Umumnya berarti tumor yang berasal dari epitel pernafasan (bronkus, bronkiolus, alveolus). Tipe sel yang paling sering ditemukan menurut klasifikasi WHO untuk neoplasma paru primer: 1. Karsinoma sel skuamosa (Epidermoid). 2. Karsinoma sel kecil (Oat cell Carcinoma). 3. Adenokarsinoma (Termasuk Bronkioalveolar). 4. Karsinoma sel besar. Faktor Risiko: Merokok (Aktif, pasif), Polusi lingkungan kerja: Asbestos (Galangan kapal, konstruksi, pertambangan). Arsenik (Kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam). Hidrokarbon aromatik polisiklik (Industri Baja). Kromat dan Kromium (Pekerja Industri, Pelapis Krom), Silika (Penemuan baja), Pabrik Gas beracun, penyulingan nikel, Tambang uranium, radon, dan turunannya. Polusi Udara: Gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidrokarbon aromatik polisiklik. Radiasi non-ionisasi (Telepon selular), Radiasi prosedur diagnostik. Gambaran Klinis: Asimptomatis. Klinis lokal: Batuk, hemoptisis, wheezing, stridor, abses, atelektasis. Klinis Invasi Lokal: Nyeri dada, Dypsnea karena efusi pleura, aritmia
195 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
(Invasi ke pericardium), sindrom vena cava superior, sindrom Horner (Facial anhidrosis, ptosis, miosis), suara serak (Penekanan pada n laryngeak recurrent), Sindrom Pancoast (Invasi pleksus brakialis & Saraf simpatis servikalis). Metastasis: Nyeri tulang, sakit kepala, ikterus, perubahan neurologis, suara serak, sulit menelan, sesak nafas, pembesaran kelenjar getah bening. Sindrom Paraneoplastik: Gejala Sistemik: Penurunan berat badan, anoreksia, demam, Hematologi: Leukositosis, anemia, hiperkoagulasi, Neurologik: Demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer, Endokrin: Sekresi PTH (hiperkalsemia), Dermatologi: Eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh, Renal : SIADH, Osteoarthropati hipertrofi. Diagnostik pada pasien dengan kanker paru terdiri dari: 1. Diagnosis adanya kanker paru. 2. Diagnosis tipe histologis kanker paru. 3. Staging kanker paru. 4. Anatomic staging: Penentuan lokasi tumor. 5. Physiologic staging: Pengkajian kemampuan pasien menerima berbagai terapi anti-tumor. 6. Terutama untuk kanker paru non-small cell: Resektabilitas ( Apakah tumor dapat diangkat seluruhnya dengan prosedur bedah standar seperti lobektomi atau pneumonektomi). Dan operabilitas (Apakah pasien dapat mentoleransi prosedur bedah). 3.
Diagnosis Banding
Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain. Tumor jinak paru: Tersering ialah adenoma bronchial dan hamartoma. Yang lebih jarang kondroma, fibroma, lipoma, hemangioma, leiomyoma, teratoma, endometriosis. Infeksi (TB paru, Infeksi non-spesifik), granuloma.
4.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi sputum merupakan pemeriksaan rutin pada pasien dengan batuk dan gambaran klinis dicurigai suatu keganasan. Pemeriksaan sitologi lain dapat dilakukan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening, biopsi transthorakal, transbronchial needle aspiration (TBNA), bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas, dilakukan melalui cara: bronkoskopi, thorakoskopi, mediastinoskopi, thorakotomi. Foto thoraks: Untuk penapisan pasien dengan resiko tinggi, menentukan adanya massa di paru, melihat adanya efusi pleura. CT Scan thoraks: Memastikan adanya lesi di paru
196 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
menentukan lokasi dan ukuran lesi secara tepat, menilai KGB hilus dan mediastinum, mencari metastasis paru supra renalis dan hepar, menilai respons terapi, mendeteksi kekambuhan tumor. Pencitraan lain: CT Scan abdomen, USG abdomen, CT kepala, bone scan, bone survey, angiografi, MRI.
Prosedur Staging untuk pasien Kanker Paru: A. Untuk Semua Pasien: Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik lengkap. Penentuan status tampilan. Laboratorium: Darah perifer lengkap, elektrolit, glukosa, Calcium Phosphate, Fungsi ginjal, fungsi hati. EKG. Tes kulit untuk tuberculosis. Foto Thoraks. CT Scan Thoraks. CT Scan abdomen atau USG abdomen. CT Scan otak. Bone Scan. Bone Survey atau foto daerah tulang yang dicurigai berdasarkan bone scan atau klinis. Foto Barium bila ada keluhan esophagus. Fungsi Paru/ spirometri dan Analisa Gas Darah bila ada gangguan pernafasan. Biopsi dari lesi yang dicurigai kanker yang dapat dijangkau: Lesi sentral: Bronkoskopi dengan bilasan bronkus, sikatan bronkus, TBNA, biopsi forsep. Lesi perifer: Biopsi aspirasi jarum halus transthorakal dengan atau tanpa bimbingan USG/ CT scan, biopsi dengan thorakoskopi. Sitologi Cairan pleura bila ada efusi pleura. B. Untuk Pasien dengan NSCLC tanpa kontraindikasi untuk pembedahan kuratif atau radioterapi: Seperti butir A, ditambah: Tes koagulasi, Jika rencana bedah: Evaluasi mediastinum oleh bagian. Bedah pada saat mediastinoskopi atau thorakotomi. C. Untuk Pasien dengan SCLC: Seperti butir A, ditambah: Aspirasi sumsum tulang dan biopsi. 5.
Terapi
Berdasarkan tipe histopatologis dan taging TNM menurut IUCC 1997: NSCLC: 1. Stage I A-B, II A-B, beberapa III A: St. I A-B & II A-B : Reseksi. 2. St. III A dengan keterlibatan N2 minimal (Ditentukan saat thorakotomi atau mediastinoskopi): Reseksi + Diseksi KGB Mediastinum lengkap + Pertimbangkan Kemoterapi Neoajuvan.
197 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Keterlibatan N2 ( Bila tidak diberikan Kemoterapi Neoajuvan) : Radioterapi pasca-op. Kemoterapi/ Ajuvan: Diskusikan resiko/ keuntungan bagi pasien.
3. Non-operabel: Radioterapi berpotensi kuratif: 4. Stage III A dengan tipe tertentu dari tumor stage T3: Invasi dinding dada (T3): Reseksi en block tumor + dinding dada yang terlibat, pertimbangkan Radioterapi pasca-op. 5. Tumor Pancoast (T3): Radioterapi pre-op (30-45 Gy) dilanjutkan Reseksi en block tumor + dinding dada yang terlibat, pertimbangkan Radioterapi pasca-op atau Brakiterapi intra-op. 6. Keterlibatan saluran nafas proksimal (<2 cm dari karina) tanpa KGB Mediastinum: Reseksi sleeve (Jika mungkin mempertahankan paru distal yang normal), atau, Pnemonektomi. 7. Stage III A Lanjut , bulky, klinis terbukti N2 (pre-op), & 8. Stage III B yang toleran terhadap Radioterapi port: Radioterapi potensial kuratif+ Kemoterapi (jika status tampilan dan kondisi umum memungkinkan), atau Radioterapi saja ( bila tidak memungkinkan kemoterapi). 9. Stage III A dengan N2 Lanjut. Pertimbangkan Kemoterapi Neoajuvan dan Reseksi. 10. Stage III B dengan invasi karina (T4) tanpa adanya N2: Pertimbangkan Pneumonektomi dengan Reseksi Sleeve Trakea dan Reanastomosis langsung ke bronkus mainstem kontralateral. 11. Stage IV dan III B yang lebih lanjut: Radioterapi pada daerah lokal yang simptomatik. Kemoterapi untuk pasien rawat jalan. Drainase chest tube untuk efusi pleura maligna yang banyak. Pertimbangkan Reseksi Tumor Primer/ Metastasis untuk kasus Metastasis Otak atau Adrenal yang terisolasi. 12. SCLC: Limited Stage (Status tampilan baik): Kemoterapi Kombinasi + Radiotx/ thoraks. 198 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Extensive Stage ( Status tampilan baik): Kemoterapi Kombinasi. Respons Tumor komplit ( Semua Stage): Radioterapi kranial profilaktik. Status Tampilan Buruk ( Semua Stage): Kemoterapi Kombinasi dengan modifikasi dosis. Radioterapi Paliatif.
13. Semua Pasien: Radioterapi untuk: Metastasis otak, Kompresi Medulla Spinalis, Lesi titik pada tulang penahan beban, Lesi lokal simptomatik ( Paralysis nervus, obstruksi saluran nafas, hemoptisis pada NSCLC dan SCLC yang tidak respons terhadap kemoterapi). Diagnosis dan tata laksana masalah medis lain dan supportive care selama kemoterapi. Mendorong stop merokok. 6.
Komplikasi
7.
Prognosis
8.
Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Obstruksi jalan nafas. Gagal Nafas. Perdarahan/ hemoptisis. Abses. Atelektasis. Nyeri Kanker. Efusi Pleura. Aritmia. Sindrom Vena Cava Superior. Sindrom Horner. Dysphonia. Sindrom Pancoast. Metastasis ke organ: Otak, tulang, hepar, limfatik. Sindrom Paraneoplastik: Penurunan berat badan, anoreksia, demam, Leukositosis, anemia, hiperkoagulasi, Hiperkalsemia, SIADH, Demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer. Tergantung tipe histologi, staging, resektabilitas, dan operabilitas. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Subbagian Hematologi- Onkologi Medik, Dept. IPD RSCM. Subbagian Bedah Onkologi, Departemen Bedah RSCM. Subbagian Radioterapi, Departemen Radiologi RSCM. Departemen Patologi Anatomi RSCM.
199 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Referensi: 1. Uyainah A. Pendekatan Diagnostik Kanker Paru. Dalam : Alwi I, Setiati S, Kasjmir YI, Bawazier LA, Syam AF, Mansjoer A (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. 2002. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2002:p 91-8. 2. Minna JD. Neoplasms of Lung. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGrawHill, 2001:562-71.
NO
EMBOLI PARU Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh embolus pada arteri pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri pulmonalis, merupakan komplikasi trombosis vena dalam (DVT) yang umumnya terjadi pada kaki atau panggul. Faktor Predisposisi Trombolisis Vena, dikaitkan dengan Trias Virchow: A. Stasis: Imobilitas. Tirah baring. Anestesi. Gagal jantung kongestif/ Kor Pulmonal. Trombosis vena sebelumnya. B. Hiperkoagulabilitas: Keganasan. Antibodi antikardiolipin. Sindrom Nefrotik. Trombositosis essensial. Terapi Estrogen. Heparin-induced Thrombocytopenia. Inflammatory Bowel Disease. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Koagulasi Intravaskular Diseminata. Defisiensi protein C dan S. Defisiensi antitrombin III. C. Kerusakan dinding Pembuluh Darah: Trauma. Pembedahan. D. Manifestasi Klinis terbagi atas: 1. Akut: Oklusi masif. Infark Paru. Emboli Paru tanpa infark.
200 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
2. Kronik: Emboli Paru Unresolved. A. Anamnesis: Keluhan: Sesak nafas, nyeri dada, hemoptisis. B. Pemeriksaan Fisik: Takipneu, takikardia, pleural rub, tanda-tanda efusi pleura. Tanda-tanda gagal jantung kanan akut: JVP meningkat bunyi P2 mengeras, murmur sistolik daerah katup pulmonal. C. Pemeriksaan Penunjang: EKG: Terutama menyingkirkan penyakit lain. Perubahan ST: Tidak spesifik, inversi gelombang T di V1-V4. Kadang-kadang RBBB, AF, Pada Emboli Paru Masif: RAD, P Pulmonal, S1 Q3 T3. D. Foto Thoraks: Menyingkirkan penyebab lain. Infiltrat, efusi, atelektasis. Gambaran khas: Hampton’s sign, Westermark’s sign, Palla’s sign. Sebagian kasus tidak tampak kelainan. E. Analisa Gas Darah : Hipoksemia, alkalosis respiratorik. F. D-dimer plasma: Meningkat (sensitif, tidak spesifik). Bila >500 ng/mL, dilanjutkan dengan pemeriksaan: G. Ventilation/ Perfusion Lung Scan: (sensitif, tidak spesifik): Pada emboli paru: Kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi, atau kelainan perfusi lebih menonjol. Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi-perfusi, hasil dibagi atas : highprobablity lung scan, non-high probablity (= low dan intermediate probability lung scan), normal lung scan. H. USG kompresi Kaki: Indikasi: Hasil scan menunjukkan non-high probability lung scan, sedangkan klinis sangat mengarah ke emboli paru.
↓
I.
Jika hasil scan adalah high-probability lung scan, atau USG kaki positif DVT: diterapi sebagai emboli paru.
Angiografi Pulmoner:
201 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Baku emas. Indikasi: Hasil diagnostik lain tidak jelas, dan dibutuhkan diagnosis pasti (Seperti pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki resiko tinggi bila diterapi antikoagulan, atau trombolitik).
3.
Diagnosis Banding
Pneumonia. Bronkitis. Asma Bronkial. Bronkitis Kronis Eksaserbasi Akut. Infark Miokard. Edema Paru. Kanker Paru. Pneumothoraks. Costochondritis. Aorta Diessekans. Tamponade. Fraktur Iga. Hipertensi Pulmoner Primer. Nyeri Muskuloskeletal. Ansietas.
4.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: DPL, AGD, D-dimer plasma, hemostasis (PT, aPTT, INR, aktivitas protrombin, kadar fibrinogen), kadar protein C dan S, ACA, urine lengkap. Ventilation/ Perfusion Lung Scan. USG Doppler. EKG. Angiografi Pulmoner.
5.
Terapi
A. Terapi Primer: Dengan obat trombolitik. Indikasi emboli paru masif yang menyebabkan instabilitas hemodinamik atau gagal nafas. Streptokoinase: Dosis loading 250.000 IU drip IV dalam 30 menit. Dilanjutkan 100.000 IU perjam drip IV, selama total 24 jam. B. Terapi Preventif: Antikoagulan: Unfractionated Heparin: Secara Intravena, diberikan kontinyu atau intermiten, bolus inisial IV 80 IU/kgBB atau sekitar 5000 IU, Dilanjutkan dengan drip 18 IU/kgBB/jam IV. Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: Target 1,5-2,5x kontrol. Bila Hasil aPTT >2,5 x kontrol : dosis diturunkan 100-200 IU/jam. Bila hasil aPTT < 1,5 x kontrol : dosis dinaikkan 100-200 IU/jam. Bila hasil aPTT 1,5- 2,5 x kontrol : dosis dipertahankan.
202 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Pemantauan aPTT hari II setiap 12 jam, hari III setiap 24 jam. Setelah 7 hari heparinisasi: Ditambahkan (overlapping) antikoagulan oral selama ± 5 hari, hingga tercapai target INR pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut. Selama pemberian antikoagulan : Diperhatikan lesi fokal di tempat lain, prosedur invasif yang direncanakan, dipantau jumlah trombosit. Low Molecular Weight Heparin: Diberikan Subkutan, setiap 12 jam, Enoxaparin 1 mg/kgBB, atau Nadroparin 0,1 mL/kgBB, Pada Obesitas, BB < 50 kg. Gagal ginjal kronik, kehamilan, dapat diperiksakan anti faktor Xa: Target 0,3-0,7 IU.
Anti Koagulan Oral (Warfarin): Dimulai sesudah 7 hari pemberian heparin. Dosis awal 5 mg/hari, Pemantuan dengan pemeriksaan INR tiap 1-3 hari: Target INR 2-3. Bila INR < 2 : Dosis Dinaikkan ½ tablet /hari. Bila INR >3 : Dosis Diturunkan. Bila INR 2-3 : Dosis Dipertahankan. C. Terapi Suportif: O2. Infus Cairan. Inotropik : Dobutamin drip, bila hipotensi, atau tanda- tanda gagal jantung akut lain. Vasopresor sesuai indikasi. Antiaritmia sesuai indikasi. Analgetik. 6.
Komplikasi
Komplikasi Emboli Paru: Gagal nafas, gagal jantung kanan akut, hipotensi, syok kardiogenik. Komplikasi Diagnostik: Reaksi alergi terhadap zat kontras.
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Komplikasi Terapi: Perdarahan (termasuk intra-kranial), heparin-induced thrombocytopenia, nekrosis kulit, warfarin embryopathy. Malam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Subbagian Hematologi- Onkologi Medik, Dept. IPD RSCM. Subbagian Radiodiagnostik, Bagian Radiologi RSCM.
203 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Referensi: 1. Bahar A. Diagnostik Klinik dan Diagnosis Banding Emboli Paru. Prosiding Simposium Cardiovascular Respiratory Immunology: From Pathogenesis to Clinical Application 2003. Jakarta,2003:16-8. 2. Fishman AP. Pulmonary Thromboembolic Disease. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002: 461-8. 3. Goldhaber SZ. Pulmonary Thromboembolism. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw- Hill, 2001:1508-13. 4. Bahar A. Emboli Paru. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999:p 211-2. 5. Tambunan KL. Deteksi dan Tata Laksana Trombosis Vena Dalam. Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II Jakarta, 2002:28-33. 6. Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. N Eng J Med, July 9, 1998;339(2):93-104. 7. Agnelli G. Anticoagulation in the Prevention and Treatment of Pulmonary Embolism. Chest, Jan 1995;107(1):39S-44S. 8. Hyers TM, Agnelli G, Hull RD. Morris TA, Samama M, Tapson V, et al. Antithrombotic Therapy for Venous Thromboembolic Disease. Sixth ACCP Consensus Conference on Antithrombotic Therapy. Chest, Jan 2001:119(1):176-93S.
GERIATRI NO
DEHIDRASI Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3. 4.
Diagnosis Banding Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Berkurangnya Cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium ( Dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air, dan natrium dalam jumlah yang sama (Dehidrasi isotonik) atau hilangnya natrium lebih banyak daripada hilangnya air (Dehidrasi hipotonik). Riwayat asupan yang kurang atau kehilangan cairan yang berlebihan melalui panas, keringat, takipnea, muntah, atau diare, jumlah urin sedikit (<30cc/jam). Pada pemeriksaan fisik terdapat gangguan kesadaran, hipotensi dan jumlah urin sedikit. Rasio ureum/kreatinin < 25, umumnya kadar natrium plasma 145 mmol/L, BJ urin ↑ dan osmolalitas serum 290 mosm/liter, walaupun dehidrasi dengan kadar natrium osmolalitas serum normal atau rendah. Pemeriksaan Ureum, kreatinin, kadar Natrium Plasma, osmolalitas serum, CVP, BJ urin. Cairan kristaloid secukupnya. Pemberian harus hati-hati untuk mencegah kelebihan cairan dan hiponatremia.
204 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Jumlah cairan yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus: -Defisit cairan : Cairan Tubuh Total ( TBW) yang diinginkan – TBW saat ini. - TBW yang diinginkan: Kadar Na/140 x TBW saat ini. - TBW saat ini = 50% x Berat Badan. - Pada wanita 45% x Berat Badan. Pada dehidrasi ringan : 1. Dapat diberikan terapi cairan peroral 1500-2500 ml/ 24 jam (30 ml/kgBB/24 jam) untuk kebutuhan dasar (Pemeliharaan), ditambah penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. 2. Menghitung kebutuhan cairan sehari, dilakukan tiap hari. 3. Pada Pasien dehidrasi yang memerlukan cairan infus dapat diberikan NaCl 0,9 % atau Dextrose 5% dengan kecepatan 25-30% dari jumlah cairan total perhari (Termasuk kebutuhan dasar + defisit) pada dehidrasi isotonic, sedangkan pada dehidrasi hipernatremik diberikan NaCl 0,9% dengan kecepatan 45%. 6. 7. 8.
Komplikasi Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO
Gagal ginjal, delirium Dubia ad Bonam Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Geriatri.
ACUTE CONFUSIONAL STATE Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
3.
Diagnosis Banding
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Sindrom Mental Organik yang ditandai dengan gangguan kognitif global, perubahan kesadaran, dan aktivitas psikomotor, gangguan siklus tidur, terjadi akut dan fluktuatif. 1. Gangguan Kognitif Global. 2. Gangguan Proses Berpikir. 3. Gangguan Daya Ingat, terutama jangka pendek. 4. Gangguan Persepsi, Halusinasi. 5. Gangguan Perhatian. 6. Penurunan Kesadaran. 7. Perubahan Siklus Tidur. 8. Perubahan Aktivitas Psikomotor. Demensia. Psikosis Fungsional. Kelainan Neurologist.
205 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Pemeriksaan Penunjang
Diperlukan untuk membantu menegakkan penyebab/ pencetus. Elektrolit darah. Terutama natrium dan kalium. Analisa Gas Darah. Ureum dan Kreatinin Darah. Gula Darah.
diagnosis
Lakukan Pemeriksaan Neurologis untuk Mendeteksi Deficit Neurologis Fokal, adakah CVD atau TIA. 5.
Terapi
Rehidrasi bila terdapat tanda dehidrasi, antisipasi kemungkinan penurunan volume intravascular tanpa respon takikardia. 1. Pasang Infus NaCl 0,9% dengan kecepatan 22 tetes/menit. 2. Berikan Oksigen 4 liter/menit. Tujuan Utama terapi ialah mengatasi faktor pencetus. Fraktur femur, tangan, vertebra, hipotensi sampai renjatan, Trombosis Vena Dalam, Emboli Paru.
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO
Dubia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Geriatri
INKONTINENSIA URIN Hal
1.
Pengertian
2.
Diagnosis
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Keluarnya urin tanpa dikehendaki dalam jumlah yang cukup banyak atau sering sehingga menimbulkan masalah sosial, psikologis, ekonomi, dan kesehatan. Mengompol, urin tak bisa ditahan. 1. Inkontinensia Fungsional merupakan inkontinensia tanpa gangguan pada sistem saluran kemih, merupakan akibat ketidakmampuan mencapai toilet, lumpuh, imobilitas, kelemahan) sehingga tidak dapat berkemih secara normal. 2. Inkontinesia Urgensi merupakan Inkontinensia akibat ketidakmampuan untuk menunda berkemih begitu sensasi berkemih muncul, jumlah urin agak banyak, frekuensi berkemih sering. 3. Inkontinensia Stress, disebabkan kelemahan otot dasar panggul, muncul pada saat batuk, bersin, atau mengedan, jumlah urin sedikit.
3.
Diagnosis Banding
Inkontinensia Akut.
206 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik yang Paripurna dan Rinci. Urinalisis. Kultur Urin. Gula darah & Glukosa urin. Kalsium serum dan urin. Kartu Catatan Berkemih. Tes Urodinamik. A. Non-Farmakologis: Koreksi penyebab yang mendasari. Latihan menahan kemih. Latihan otot dasar panggul. Membiasakan berkemih pada waktu yang telah ditentukan sesuai kebiasaan pasien. Pasien dengan trauma medulla spinalis, stroke, atau demensia mungkin memerlukan pemasangan kateter jangka panjang atau selamanya. B. Farmakologis: Antikolinergik: Untuk inkontinensia Urgensi : (Anti Muskarinik Selektif) / (Anti Mus Karinok Selektif) seperti : Toltxrodin. Agonis Alfa : Untuk Inkontinensia Stress atau Estrogen Topikan
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO
PNEUMONIA PADA GERIATRI Hal
1.
C. Pembedahan: Dapat dipertimbangkan pada inkontinesia tipe stress atau campuran stress dan urgensi, bila terapi farmakologis, dan nonfarmakologi tidak berhasil. Inkontinesia tipe overflow memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Dekubitus: Infeksi Saluran Kemih; karena penggunaan kateter agar tidak mengompol, jatuh (Terutama bila mengompol malam hari), menyebabkan fraktur, depresi, isolasi, ketergantungan pada orang lain dan alat (Kateter/Pampers). Dubia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Geriatri
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri meliputi mikoplasma, klamidia, virus, jamur, dan parasit.
207 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Diagnosis
Infiltrat baru atau perubahan infiltrat progresif pada rontgen dada, dengan disertai sekurang-kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor. Mayor: 1. Batuk. 2. Sputum Produktif. 3. Demam (S 7, C) Minor: 1. Sesak Nafas. 2. Nyeri Dada. 3. Konsolidasi Paru pada pemeriksaan fisik. 4. Leukosit > 12.000.
3.
Diagnosis Banding
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Terapi
6.
Komplikasi
7. 8.
Prognosis Wewenang
9. 10.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Pasien seringkali datan dengan keluhan penurunan kesadaran ataupun tidak mau makan. Emboli Paru. Gagal Jantung. TB Paru. DPL dengan diff.count, ureum, dan kreatinin, Analisa Gas Darah, Oksimetri, Albumin, Foto Rontgen Dada, EKG, Kultur Sputum. Suportif: Oksigen, Cairan, Nutrisi, Mukolitik-Ekspektoran. Farmakologis: Antibiotika (Ampisilin-snebaktum), Kuinolon, Sefalosporin Generasi 2-4). Empiema, Efusi Pleura, Gagal Napas, Sepsis sampai Syok Sepsis. Dubia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Geriatri
208 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
STANDAR PELAYANAN MEDIK PROSEDUR TINDAKAN
209 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
REUMATOLOGI NO
PENYUNTIKAN INTRA-ARTIKULER Hal
1.
Pengertian
2.
Tujuan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Suatu terapi lokal dengan tujuan memberikan, efek analgesik anti inflamasi di daerah sendi. 1. Aspirasi cairan sendi: Tindakan ini penting dalam rangka memastikan diagnosis jika penyebab efusi sendi berupa sepsis, deposit kristal, atau perdarahan. Juga berguna dalam membedakan kelainan sendi-inflamatif atau non inflamatif. Aspirasi juga mempunyai anti terapeutik dengan jalan mengeluarkan darah, pus, cairan sendi yang terlalu banyak atau yang mengandung kristal. 2. Suntikan Pemberian Obat: Penyuntikan cairan tertentu ke dalam ruang sendi merupakan prosedur terapeutik,dan dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut, dengan syarat infeksi harus telah disingkirkan: a. Hanya 1 atau beberapa sendi yang meradang. b. Hanya 1 atau beberapa sendi yang lebih meradang dari yang lain. c. Jika terapi sistemik dikontra-indikasikan. d. Sebagai pelengkap terapi sistemik terhadap kelainan/ keradangan sendi yang sulit diatasi. e. Membantu mobilisasi dan mencegah deformitas sendi, bersama-sama dengan program rehabilitasi. f. Keluhan rematik ekstra-artikuler, bursitis, tensinovitis, Nerve Entrapment Syndrome, dsb. g. Menghilangkan nyeri dengan cepat. h. Biasanya tidak diberikan pada osteoarthritis. Kecuali pada kasus tertentu yaitu untuk menghilangkan nyeri pada osteoarthritis yang menunjukkan tanda inflamasi lokal.
3.
Indikasi
Dan dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut, dengan syarat infeksi harus telah disingkirkan: a. Hanya 1 atau beberapa sendi yang meradang. b. Hanya 1 atau beberapa sendi yang lebih meradang dari yang lain. c. Jika terapi sistemik dikontra-indikasikan. d. Sebagai pelengkap terapi sistemik terhadap kelainan/ keradangan sendi yang sulit diatasi. e. Membantu mobilisasi dan mencegah deformitas sendi, bersama-sama dengan program rehabilitasi. f. Keluhan rematik ekstra-artikuler, bursitis, tensinovitis, Nerve Entrapment Syndrome, dsb. g. Menghilangkan nyeri dengan cepat. h. Biasanya tidak diberikan pada osteoarthritis. Kecuali pada kasus tertentu yaitu untuk menghilangkan nyeri pada osteoarthritis yang
210 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
menunjukkan tanda inflamasi lokal. 4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Infeksi Lokal. Hipersensitifitas Terhadap Bahan yang Disuntikan. Diatesa Hemoragik. Sendi Yang Tidak Stabil. Fraktur Intra-Artikuler. Sendi Yang Tidak Dapat Dicapai. Osteoporosis Juxta-Artikuler Yang Berat. Kegagalan Suntikan Terdahulu. Tidak Ada Indikasi Yang Tepat. Lesi yang Mungkin Tidak Akan Memberikan Respon Terhadap Suntikan. 11. Psikologis: Penderita Neurosis Mungkin Akan Bergantung Kepada Suntikan. 12. Penderita Yang Takut Disuntik. Semua Perlengkapan Yang Dipakai Harus Steril Umumnya. 1. Dipakai spuit dan jarum yang diposable. 2. Ukuran jarum yang dipakai disesuaikan dengan besar sendi yang akan disuntik. 3. Misalnya jarum nomor 19 atau 21 untuk sendi besar, sedangkan untuk sendi kecil jarum nomor 23 atau 25. 4. Perlengkapan lain ialah ballpoint untuk menandai titik yang akan disuntik, 5. Anestetik lokal (lidokain atau spray etilklorida). 6. Kapas Alkohol, 7. Kain kasa, dan 8. Larutan pembersih kulit (misalnya larutan yang mengandung yodium). 9. Juga tak boleh dilupakan botol kecil tempat menampung aspirat guna pemeriksaan cairan sendi lebih lanjut. 1. Sebaiknya penyuntikan dilakukan dalam lingkungan yang aseptik. 2. Hendaklah ditimbulkan kesan pada penderita bahwa prosedur ini bukanlah prosedur yang sulit, 3. Jarang diperlukan obat penenang. 4. Penentuan tempat yang tepat sangat penting. 5. Keberhasilan suntikan lokal sangat bergantung kepada pengetahuan anatomis daerah yang bersangkutan. 6. Sebelum melakukan penyuntikan, Dokter harus mempunyai gambaran yang jelas tentang tempat yang akan disuntik. (Diperjelas dengan penekanan ujung ballpoint atau diberi tanda dengan kuku) dan jalur yang akan dilalui oleh jarum suntik. 7. Penderita harus dalam posisi yang sedemikian rupa, sehingga struktur disekitar sasaran suntikan dalam keadaan rileks. 8. Kemudian dilakukan pembersihan serta tindakan asepis dan antisepsis pada tempat yang akan disuntik. 9. Draping hanya diperlukan pada penderita imunokompromis atau jika diperkirakan prosedur akan berlangsung lama atau sulit.
211 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10. Tindakan untuk mengurangi sensasi tusukan jarum (misalnya semprotan etiklorida atau anestesi lokal dengan infiltrasi lidokain melalui jarum yang sangat halus), kadang-kadang diperlukan. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12. 13.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
10 menit. Komplikasi Suntikan lokal: 1. Infeksi dengan insidens 1 dari 1000-10.000 pada dokter yang berpengalaman. 2. Perdarahan, jika merata harus dicurigai trauma atau gangguan mekanisme perdarahan. Lalu lakukan aspirasi dan jangan lakukan penyuntikan. 3. Kerusakan rawan sendi, dapat terjadi akibat trauma oleh ujung jarum suntik. 4. Nekrosis aseptik, terjadi akibat infark tulang subchondral. 5. Atrofi kulit dan jaringan subkutan. 6. Sinovitis kristal. 7. Ruptur tendo/ ligament. 8. Supresi korteks adrenal. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Subbagian Reumatologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Reumatologi.
212 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
ASPIRASI CAIRAN SENDI/ ARTROSENTESIS Hal
1.
Pengertian
2. 3.
Tujuan Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Merupakan tindakan yang sering dilakukan di bidang Reumatologi. Tindakan aspirasi dan analisis cairan sendi sangat penting artinya dalam diagnosis dan tata laksana beberapa penyakit sendi seperti arthritis septik dan arthritis gout. Sendi-sendi tertentu seperti sendi lutut lebih sering mengalami efusi daripada sendi lainnya. Diagnostik: 1. Membantu diagnosis arthritis. 2. Memberikan konfirmasi diagnosis klinik. 3. Selama pengobatan arthritis septik, dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram, dan kultur cairan sendi. Terapeutik: 1. Artrosentesis: Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crystal induce arthritis yang lain. Evakuasi serial pada arthritis septik untuk mengurangi destruksi (Drainase). 2. Pemberian Kortikosteroid Intraartikular: Mengontrol inflamasi steril pada sendi-sendi secara maksimal merupakan kunci dimana obat anti-inflamasi nonsteroid telah gagal, kemungkinan akan gagal atau merupakan kontraindikasi . Mempersingkat periode kesakitan, pada inflamasi yang self limited (Gout). Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat. Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi.
4.
Kontra Indikasi
Diagnostik: Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi. Bakteremia. Anatomis tidak bisa dilakukan. Pasien tidak kooperatif. Terapeutik: Kontraindikasi diagnostik. Instabilitas sendi. Nekrosis avaskular. Arthritis septik. Osteonekrosis. Sendi Neurotropik.
5.
Persiapan
Bahan dan alat:
213 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
6.
Prosedur Tindakan
Spuit sesuai keperluan. Jarum spuit : No.25 untuk sendi kecil, no. 21 untuk sendi lain, no 15-18 untuk efusi yang pada (pus). Desinfektan iodine (betadine). Alkohol. Kassa Steril. Anestesi Lokal. Sarung tangan. Pulpen (Untuk Penanda). Plester. Tabung gelas. Tabung steril untuk kultur. Lain-lain sesuai kebutuhan : Media kultur, kortikosteroid.
Umum: 1. Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi, lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila diperlukan periksa foto sendi yang akan dilakukan aspirasi. Harus dikuasai anatomi regional sendi yang akan diaspirasi untuk menghindari kerusakan strukturstruktur vital seperti pembuluh darah dan saraf. Hati- hati jangan sampai mencongkel rawan sendi karena tidak cepat sembuh sehari. 2. Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghindari terjadinya arthritis septik. Untuk desinfeksi perlu dipakai iodine dan alkohol. Dokter harus memakai sarung tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan cairan sendi pasien. 3. Untuk mengurangi nyeri dapat digunakan semprotan etilklorida. Bila diperlukan dapat digunakan prokain untuk anestesi lokal. 4. Selama dilakukan prosedur aspirasi, harus diingatkan. 5. Kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak menggerakan sendi. Khusus: 1. Sendi lutut, pada efusi yangbesar, tusukan dari lateral secara langsung pada tengah-tengah tonjolan supra patella lebih mudah dan lebih enak untuk pasien. Tonjolan pada kantung supra patella ini dapat diperjelas dengan menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan ujung ballpoint dilakukan pemberian tanda pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas patella (mephadad border of patella). Tanda ini akan masih tetap terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan desinfeksi. Anestesi dan arthrosentesis. 2. Pada efusi sendi yang sedikit, lebih baik dilakukan melalui tusukan dari medial di bawah titik tengah patella. 3. Bahu: Pada pasien duduk, lakukan palpasi pada tonjolan korakoid. Pada 45 derajat inferior dan lateral dari tonjolan tersebut akan didapatkan sendi
214 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
glenohumeral. Pada lokasi tersebut tusukan jarum lurus ke posterior ke ruang sendi. 4. Subtalar: Pada pasien posisi terlentang kaki 90 derajat terhadap tungkai bawah, tusukan jarum secara horizontal ke ruang sendi di interior dari ujung maleolus lateral dan posterior dari sinus tarsus. 5. Metatarsofalangeal: Untuk mengidentifikasi garis sendi ini dapat dilakukan dengan fleksi dan ekstensi sendi. Untuk mempermudah memasuki sendi ini dilakukan tarikan dan plantar fleksi 30 derajat. Tusukan jarum pada garis sendi pada posisi 90 derajat. 6. Pergelangan tangan, sendi pergelangan tangan terletak di antara prosesus stilloideus radius dan ulna. Ruang sendi ini dapat dicapai melalui salah satu sisi pada bagian dorsal, yaitu sedikit di sebelah distal radius atau sedikit distal ulna. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12. 13.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
15 Menit. Infeksi Iatrogenic. Perdarahan pada tempat aspirasi. Hemarthrosis. Luka pada rawan sendi. Episode vesovagal pada saat atau setelah tindakan. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Subbagian Reumatologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Reumatologi
HEPATOLOGI NO Hal 1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS (HEPATOLOGI) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Suatu tindakan untuk menetapkan diagnosis jaringan dengan menggunakan jarum halus tanpa melalui prosedur pembedahan. Untuk menetapkan diagnosis lesi-lesi maligna organ intra abdomen seperti hati, pancreas, dan limpa. Untuk menentukan stadium suatu keganasan. Terdapat lesi fokal di hati. Terdapat dugaan adanya keganasan pada korpus dan kauda pancreas. Limfadenopati peripankreatik atau para aorta. Gangguan hemostasis. Pasien tidak kooperatif. Asites.
215 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
6.
Persiapan
Prosedur Tindakan
Bahan dan Alat: 1. Alat USG yang dilengkapi dengan probe yang khusus digunakan sebagai penuntun biopsy aspirasi. 2. Jarum chiba no.22G- 23 G dengan panjang 15 atau 20 cm. 3. Gelas Obyek. 4. Lidocain 2% 5 ampul. 5. Alcohol 95%. 6. Betadine. 7. Spuit disposable 10 cc dan 20 cc masing-masing 1 buah. 8. Aspirator. 9. Sarung tangan steril. 10. Kain duk steril. Pasien: 1. Pasien rawat inap. 2. Pasien tidak dipuasakan. 3. Diperiksa masa perdarahan, masa pembekuan dan masa protrombin. 4. Vitamin K 10mg I.M. mulai 1 hari sebelum tindakan. 5. Terpasang infus NaCl 0,9% atau dextrose 5%. 6. Surat persetujuan tindakan. Tindakan dilakukan secara lege artis meliputi: 1. Persiapan: Periksa kembali kelengkapan bahan dan alat. Periksa pasien tidak ada kontraindikasi. Sudah ada persetujuan tindakan. 2. Teknik Puncture: Asepsis dari antisepsis lapangan kerja dengan larutan betadine tentukan titik puncture USG. Infiltrasi anestesi lokal dengan lidokain 2% 610 cc dari titik puncture yang ditentukan sampai daerah kapsul hati atau peritoneum. Lakukan puncture dengan jarum chiba dengan dipandu USG sampai ke daerah sasaran. 3. Teknik Aspirasi: Setelah jarum mencapai sasaran yang dituju lepaskan mandrin di dalamnya. Lakukanlah aspirasi dengan spuit diposable 20 cc dengan cara membuat tekanan negatif serta menarik dan mendorong jarum ke atas dan ke bawah. Setelah didapatkan aspirat, tekanan negatif spuit dinetralkan kembali dan jarum kemudian ditarik. 4. Pembuatan slide: Keluarkan aspirat dari jarumnya dengan mendorongnya dengan mandrin atau spuit disposable ke atas gelas obyek. Buatlah sediaan apus.
216 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Preparat direndam dalam alkohol 95% selama 5 menit.
5. Pengawasan Pasca Tindakan: Setelah luka dirawat periksa tekanan darah dan pulsasi. 7. 8. 9.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan
10.
Komplikasi
11.
Wewenang
12. 13.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
NO
1. 2.
Pengertian Tujuan
3.
Indikasi
5.
Perdarahan, nyeri daerah tusukan, peradangan, seeding sepanjang tract jarum. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang/ sudah melalui Subbagian- Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hepatologi Departemen Patologi Anatomi.
PARASENTESIS ABDOMEN Hal
4.
30 menit.
Kontra Indikasi
Persiapan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Suatu tindakan untuk mengeluarkan cairan asites. Untuk membantu menegakkan diagnosis. Sebagai terapi, bila pengobatan dengan medikamentosa tidak memberi respon. Diagnostik: Untuk memastikan penyebab asites atau menentukan asites yang terinfeksi seperti SBP pada pasien sirosis hati. Terapeutik: Untuk mengatasi distensi abdomen atau sesak nafas akibat tekanan asites. Absolut: Gangguan pembekuan darah Masa protrombin memanjang > 5 detik kontrol. Trombosit < 50.000/mm. Ileus obstruktif. Infeksi pada dinding perut. Relatif: Pasien tidak kooperatif. Riwayat operasi laparotomi berulang. Bahan dan Alat: Sarung tangan steril. Betadine, alcohol. Kasa steril. Kain duk steril. Lidokain 1% (10cc). Spuit diposable 10 cc (2 buah), 50 cc (2buah). IV cath no 14 atau 16. Blood set. Tabung steril.
217 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Prosedur Tindakan
7. 8. 9.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan
10.
Komplikasi
11.
Wewenang
12. 13.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Pasien: Diperiksa darah perifer lengkap, masa perdarahan, masa pembekuan dan masa protrombin (paling lama 48 jam terakhir). Surat persetujuan tindakan. 1. Vesica urinaria harus kosong. 2. Pasien tidur berbaring dengan posisi kepala 45-90. 3. Identifikasi tempat aspirasi (A, B, C). Hindari venavena kolateral, pembuluh darah epigastrika inferior, lokasi bekas operasi dan limpa yang membesar. 4. Pakai sarung tangan steril. 5. Bersihkan lokasi tindakan dengan antiseptik. 6. Pasang duk steril. 7. Anestesi local dengan lidokain 1% sampai dengan peritoneum. 8. Pasang I.V. – cath no 14 atau 16 secara zigzag, sedot cairan dengan spuit 10 cc dan 50 cc untuk pemeriksaan. 9. Untuk tujuan terapi pasang set infus, lalu alirkan cairan keluar. 10. Tidak ada batas pasti jumlah maksimal yang boleh dikeluarkan. (Rata-rata 3-4 liter masih cukup aman). 11. Pada pasien sirosis hati sebaiknya ditambahkan 6-8 g albumin intravena untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan.
Parasentesis Diagnostik: 15 menit. Parasentesis Terapeutik: Tergantung jumlah cairan asites yang dikeluarkan. Lokal: Perdarahan, infeksi dinding perut, peritonitis, perforasi usus atau vesika urinaria. Umum: Hipovolemia, hipotensi, gagal ginjal, ensefalopati portosistemik. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang Sedang/ sudah melalui Subbagian- Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hepatologi.
KARDIOLOGI NO
KARDIOVERSI Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Upaya konversi secara elektrik pada aritmia atrial atau ventrikular memakai DC (Direct Current) Shock yang
218 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
synchronized dan DC Shock non-synchronized yang juga disebut defibrilation. Saat kejutan yang synchronized yaitu pada awal gelombang T kira-kira 30 ms sebelum apeks gelombang T. Menghentikan aritmia yang mengancam menjadi irama sinus yang normal. Fibrilasi ventrikular, fluter atrial, atau fibrilasi atrial yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan terapi farmakologi. Takikardia supraventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan obat antiaritmia atau manuver vagal. Takikardia ventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan obat antiaritmia. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
6.
Prosedur Tindakan
1. 2.
3. 4. 5. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
Fibrilasi atrial kronik pada stenosis mitral atau regugirtasi mitral dan tirotoksikosis. Fibrilasi atrial dengan slow ventricular rate. Hipokalemia. Keracunan digitalis. Penjelasan seperlunya kepada pasien dan keluarga. Alat Cardioverter dan monitor jantung berfungsi baik. Sebaiknya puasa untuk menghindari regugirtasi/ asfiksia. Pemakaian digitalis distop 1-2 hari sebelum tindakan. Kadar elektrolit serum harus optimal. Oksigen terpasang. Premedikasi meperidin 100 mg atau diazepam 5 mg I.V. Fluter atrial dimulai dengan dosis 20 joule bila gagal diulang memakai 50 atau 100 joule. Fibrilasi atrial diawali dengan dosis 100 joule bila gagal bisa 200- 300 joule. Sehari sebelumnya pasien diberi kuinidin oral tiap 6 jam. Kadangkala obat ini diperlukan untuk jangka waktu yang lama. Prokainamid dapat dipakai bila pasien tak toleran dengan kuinidin. Takikardia supraventrikular 10 joule biasanya efektif, 100 joule hampir selalu efektif. Fibrilasi ventrikular dosis awal 200 joule bila gagal segera pakai 360 joule.
Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung sementara. Takiaritmia (TV atau FV). Emboli. (Pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca tindakan). Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
219 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
Referensi: 1. Gumiwang I. Kardioversi. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.149-50.
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
KATETERISASI JANTUNG DAN ANGIOGRAFI KORONARIA No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Kateterisasi Jantung : Adalah tindakan memasukan kateter ke dalam arteri atau vena perifer sampai ke jantung untuk mendapatkan gambar arteri koronaria dan ruang jantung. Juga untuk mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (Hemodinamik Kardiak). Angiografi Koroner: Adalah tindakan menyuntikan kontras ke dalam arteri koronaria untuk memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut. Mendapatkan gambar arteri koronaria dan ruang jantung. Mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak). Memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut. Dugaan Penyakit Jantung Koroner: Angina awitan baru. Angina pektoris tidak stabil. Evaluasi preoperative tindakan bedah mayor. Iskemia silent. Positive ETT. Atypical chest pain. Infark Jantung: Angina pasca infark. Kegagalan trombolisis. Renjatan. VSD. Ruptur M.papillaris. Sudden Cardiac death. Penyakit katup jantung.
220 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Penyakit jantung bawaan. Diseksi aorta. Perikarditis konstriktif dan tamponade. Kardiomiopati. Persiapan dan pasca transplantasi jantung. 4.
5.
Kontra Indikasi
Persiapan
Kontraindikasi Absolut: Fasilitas dan peralatan laboratorium yang tidak memadai. Kontraindikasi Relatif: 1. Gagal jantung yang belum terkontrol. 2. Tekanan darah tinggi, dan 3. Aritmia. 4. Penyakit serebrovaskular (kurang dari 1 tahun). 5. Demam atau infeksi yang belum diketahui penyebabnya. 6. Ketidakseimbangan elektrolit. 7. Anemia dan perdarahan gastrointestinal. 8. Kehamilan. 9. Pengobatan dengan antikoagulan (Diatesis hemoragik yang sudah diketahui). 10. Pasien yang tidak kooperatif. 11. Intoksikasi obat (digitalis, fenotiazin). Bahan dan alat: 1. Unit kateterisasi yang terdiri dari fluoroskopi U, atau C arm, meja kateterisasi, dan monitor TV. 2. Alat perekam data fisiologis (EKG, tekanan intrakardiak, hemadon, kurva perekam dan lainlain). 3. Injektor kontras. 4. Defibrilator dam perlengkapan resusitasi kardiopulmonar dan Pipa O2 dan obat-obat emergensi. 5. Perlengkapan tindakan operasi steril. Pasien: 1. Identifikasi pasien dan izin operasi dengan penerangan tujuan, cara dan risiko. 2. Puasakan 4-6 jam sebelum kateterisasi, obat-obat penting diteruskan. Profikalsis antibiotik. 3. Resume klinis, laboratorium, EKG, foto dada, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. 4. Riwayat Alergi, obat-obatan yang digunakan saat ini. 5. Pemeriksaan jasmani. 6. Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, Hb, Leukosit. 7. Ureum, kreatinin, masa protrombin, dan masa tromboplastin parsial, natrium, kalium, dan gula darah. 8. Bila mendapat insulin diberikan hanya setengah dosis. 9. Foto dada. 10. EKG istirahat maupun hasil treadmill test.
221 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
11. Bila ada, hasil ekokardiografi atau hasil kateterisasi sebelumnya. 6.
Prosedur Tindakan
1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
Kateterisasi dilakukan di ruang kateterisasi. Memasang pemantau EKG. Infus emergensi tangan kiri. Premedikasi: Petidin 25 mg I.M., antistin 1 ampul I.M. Proteksi radiasi (apron Pb tebal 0,50 mm atau yang setara menutup badan sampai lutut dan lebar) bagi operator atau pasien hamil serta badge pengukur radiasi yang diperiksa setiap bulan. Aseptik dan antiseptik serta prosedur sterol seperti pada, tindakan operasi bagi operator maupun pasien. Pungsi pembuluh darah atau arteriotomi untuk akses pembuluh darah. Pungsi vena/arteri dengan jarum perkutan dengan teknik Seldinger pating. Sering dilakukan. Guidewire dimasukan ke dalam pembuluh darah melalui jarum pungsi disusul oleh sheat. Heparin 2500-5000 unit disuntikkan melalui sheat ke dalam pembuluh darah. Kateter dapat dimasukkan dalam pembuluh darah dengan mudah dan aman melalui sheat. Arteri/vena femoralis paling sering digunakan namun pembuluh brachialis atau radialis juga dapat digunakan. Arteriotomi dan venaseksi (Membuka arteri dan vena serta menjahit kembali) saat ini sudah jarang dilakukan. Pengukuran tekanan intrakardiak, pengambilan sampel saturasi darah dan penyuntikan kontras pada proyeksi tertenu. Evaluasi hasil sementara kateterisasi. Setelah dianggap cukup maka sheat dicabut, melakukan normostatik dan pembalut untuk mencegah perdarahan. Mengisi formulir hasil sementara dan instruksi pasca kateterrisasi yang berisi: Istirahat di tempat tidur (tidak menggerakan daerah kateterisasi selama 8 jam). Tekanan darah dan nadi setiap 15 menit selama 4 jam, dan selanjutnya setiap jam. Selama 8 jam. Hipotensi biasanya disebabkan oleh diuresis akibat kontras. Takikardia akibat perdarahan harus dilaporkan pada operator. Periksa adanya hematoma pada pembuluh yang mengalami pungsi, hilangnya denyut nadi pada bagian distal. Ekstremitas yang dingin bisa karena trombus spasme atau vasokonstriksi. Bila ada trombus dapat diberi aspirin 325 mg dan heparin bolus 5000 U dilanjutkan drip 1000 U/jam. Bila ada
222 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
iskemia ekstremitas, perlu intervensi bedah vaskuler. Mencatat produksi urin (sekitar 30ml/jam). 13. Menyimpulkan hasil akhir kateterisasi dan mendiskusikannya dengan pasien. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Kematian, infark jantung, stroke, aritmia ventrikel yang serius, trombosis, perdarahan yang memerlukan transfusi, pseudoaneurisma, diseksi aorta, perforasi jantung, tamponade, reaksi kontras, anafilaksis/nefropati, reaksi protamin, infeksi gagal jantung, reaksi vasovagal. Internist-cardiologist/cardiologist dengan keahlian khsusu dan didampingi oleh tim kateterisasi yang terdiri dari duatiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Kardiologi dan Kardiovaskular. Bedah Vaskuler.
Referensi: 1. Panggabean M. Kateterisasi Jantung Kiri dan Kanan dan Angiografi Koronaria. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.151-61.
NO
PACU JANTUNG SEMENTARA Hal
1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tindakan memberikan rangsangan listrik pada jantung kanan dengan elektroda endokardial perkutan. Terapeutik: Diagnosis: Penatalaksanaan siaga pada infark miokard akut, Kateterisasi jantung dan tindakan bedah. Terapeutik: Bradikardia simptomatik pada kondisi. Sick Sinus Syndrome, fibrilasi atau flutter atrial dengan blok AV derajat tinggi (Derajat II, Mobitz II), blok AV total (Derajat III). Takikardia simptomatik pada takikardia ventrikcular intermitten, fibrilasi ventrikcular intermitten yang memerlukan obat-obatan yang potensial menimbulkan bradiaritmia. Malfungsi Pacu Jantung Permanen. Sinkop Sinus Karotis.
223 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Diagnostik: Penelitian fungsi jaras: His. Penelitian fungsi nodus SA. Identifikasi ritme pada analisis aritmia. Indikasi Pencegahan dan Penatalaksanaan Siaga: Infark miokard akut dengan kondisi:
Asistol, bradikardia simptomatik, BBB bilateral, blok fasikular baru, atau tidak tergantung usia (RBBB dengan LAFB atau LPFB) dengan blok AV derajat satu, Blok AV derajat dua Mobitz tipe II.
4. 5.
Kontra Indikasi Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
Selama operasi dengan kondisi: Bradikardia berat (frekuensi jantung ≤ 40 kali/menit Bradikardia sinus (frekuensi jantung ≤ 60 kali/menit). Dengan penurunan respon nodus SA treadmill test dan/atau atropin IV (Laju sinus meningkat <90 kali/ menit setelah bolus SA 1 mg I.V. Blok AV Mobitz II atau Blok AV total, blok fasikular kronik yang dihubungkan dengan sinkop, angina tidak stabil, atau infark miokard akut. Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang. 1. Periksa EKG dan foto dada. 2. Periksa hitung trombosit, PT dan aPTT. 3. Pasang IV line. 4. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien termasuk risiko penyulit serta informed consent. 5. Akses vena: Jalur femoral: jarum Potts-Coumand, set kateter, scalpel nomor 11, klem mosquitto. Pacemaker elektroda pacu bipolar (6-7 F) dan generator, fluoroskop portable dan read aprons. 6. Desinfektan dan duk steril: Solusio antiseptik, sarung tangan steril, masker, tutup kepala, dan kasa steril. 7. Anestesi: Lidokain (1% 10ml, siring 10 ml, dan jarum 23 G. 8. Resusitasi : Defibrilator, oksigen. 1. Pasien pada posisi telentang dengan kaki seidkit abduksi. 2. Identifikasi anatomi vena femoralis yang akan dilakukan pungsi vena, letaknya medial dari A.femoralis dan sekitar 1 atau 2 inchi dibawah lipat inguinal. 3. Aseptik dan antiseptik daerah pungsi dan sekitarnya. 4. Anestesi kulit dan jaringan subkutan sekitar tempat pungsi. 5. Lakukang pungsi vena. Buat insisi kecil pada kulit dengan pisau skalpel nomor 11. Masukkan jarum Potts-Coumand dengan membentuk sudut 60 derajat, Aspirasi untuk memastikan daerah vena.
224 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. Kanulisasi vena dengan menggunakan teknik seldinger. 7. Masukkan elektroda pacu jantung. 8. Atur posisi fluoroskopi mengikuti elektroda, Kateter terus didorong sampai vena kava inferior. Kemudian masuk atrium kanan. Selanjutnya kateter akan melalui permukaan atas katup tricuspid dan masuk ke ventrikel kanan. 9. Hubungkan elektroda distal dengan bagian negatif generator dan elektroda proksimal dengan bagian positif generator. 10. Tentukan Treshold (ambang) pacu jantung, Nilai Treshold adalah miliampere terendah dimana pacu jantung akan pace, Setelah wire pada posisinya, maka: Tahap 1: Set miliampere pada 5 mA. Tahap 2: Putar mode pacu jantung tetap pada rate lebih tinggi dari rate pasien. Tahap 3: Putar miliampere turun 1mA sampa irama pacing hilang. Kemudian miliampere dinaikkan sampai timbul irama pacing. Level ini menunjukkan ambang. Tahap 4: Set mA 2 kali ambang. 11. Buat dokumen EKG 12 sadapan untuk melihat gambaran LBBB, jika terlihat gambaran RBBB berarti posisi elektroda tidak tepat. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Infeksi flebitis, emboli udara, hidrotoraks, pneumotorak, perforasi miokard, kegagalan pacing (pacing failure) dislokasi lead endokardial, stimulasi diafragma. Ahli Jantung dengan keahlian khusus dan didampingi oleh Tim Kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik Bedah Vaskuler, Pulmonologi bila terjadi komplikasi.
Referensi: 1. Harus S, Alwi I, Rasjidi K. Pacu Jantung Sementara. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.162-5.
NO
PERIKARDIOSENTESIS (PUNGSI PERIKARD) Hal
No. Dokumen
No.Revisi
225 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Hal.
1. 2.
Pengertian Tujuan
3. 4. 5.
Indikasi Kontra Indikasi Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
Tindakan aspirasi efusi perikard Konfirmasi dan mencari etiologi Terapi. Efusi Perikard Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang. 1. Penjelasan kepada pasien tentang tujuan, cara, dan risiko tindakan disertai infrom consent. 2. Pemeriksaan PT, APTT, 3. EKG, 4. Xilocain 2%, 5. Spuit 20 atau 50 ml. 6. Jarum pungsi nomor 16-18. 7. Trokar. 1. Pasien disandarkan pada sadapan dengan sudut 45 . 2. Dilakukan dengan ekokardiografi untuk melihat posisi cairan perikard. 3. Dilakukan asepsis dan antiseptik pada lokasi pungsi (sudut antara prosesus sifoideus dengan arkus iga kiri atau sela iga 5, kira-kira 2 cm medial dari perkusi pekak, atau sela iga ke 5 atau 6 garis sternal kiri atau sela iga ke 4 kanan, kira-kira 1 cm medial dari perkusi pekak, sela iga 5-6 garis sternal kanan atau sela iga 7-8 belakang, garis midskapula kiri). 4. Anestesi dengan xilocain 2% atau prokain 2% di lokasi pungsi. 5. Jarum nomor 16-18 dihubungkan dengan spuit 2050 ml dihubungkan dengan EKG (sadapan prekordial) melalui aligator atau hemostat, diarahkan ke posterosefalad, membentuk sudut 45 dengan permukaan dinding dada. 6. Jarum ditusukkan dengan mantap 2-4 cm smapai terasa tahanan. Bila jarum pungsi menembus perikard dan kontak dengan otot jantung akan timbul elevasi segment ST (injury) dan ekstrasistol ventrikel dengan amplitudo tinggi. Bila hal ini terjadi, maka jarum pungsi harus ditarik sedikit dan diarahkan ke tempat lain. 7. Apabila cairan perikard, dapat dipakai trokar yang lebih besar. 8. Pada pungsi di sela iga depan diusahakan agar tusukan jarum tepat di atas iga agar terhindar dari arteri interkostal yang berada tepat dibawah iga yang berada diatasnya. 9. Apabila tidak diperoleh cairan yang mengalir,
226 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
jarum ditarik perlahan-lahan dan ditusuk kembali ke arah lain atau lebih dalam sedikit. Hindarkan tusukan yang tiba-tiba, kasar, atau pemindahan arah tusukan secara kasar. 10. Perubahan arah tusukan harus dilakukan secara perlahan-lahan tapi konstan sambil diisap secara kontinyu. Pada aspirat berdarah sering sulit dibedakan dengan tusukan intraventrikula oleh karena itu periksa hematokrit, mekanisme pembekuan cairan aspirat dan darah arterial bersamaan. Bisa juga diperiksa Analisa Gas Darah. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Laserasi dinding ventrikel. Pneumotoraks. Laserasi Arteri Mammaria Interna. Ahli Jantung dengan kehalian khusus,didampingi tim dua perawat terlatih dan seorang penata rontgen. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Kardiologi dan Kardiovaskular. Bedah Vaskuler, Pulmonologi bila terjadi komplikasi.
Referensi: 1. Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis. Dalam : Noer S, Waspadji A, Rachaman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga Jakarta, Balai Penerbit FKUI 1996: p.1077-81. NO Hal 1.
Pengertian
2.
Tujuan
MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA OPERASI NONKARDIAK No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Usaha untuk menilai, memonitor, dan memperbaiki kondisi jantung sebelum, saat, maupun setelah operasi nonkardiak guna mengurangi risiko operasi terhadap jantung. 1. Mengevaluasi status kesehatan pasien terkini. 2. Membuat rekomendasi tentang evaluasi, manajemen, dan risiko. 3. Masalah jantung selama periode operasi. 4. Memberikan profil klinik sehingga pasien, dokter, anestesiologi, dan ahli bedah dapat membuat keputusan penatalaksanaan yang berpengaruh pada jantung jangka pendek maupun jangka panjang. 5. Identifikasi pemeriksaan dan strategi penatalaksanaan yang paling sesuai untuk mengoptimalisasikan perawatan pasien. 6. Memberikan pengkajian risiko jantung jangka pendek dan jangka panjang. 7. Menghindari pemeriksaan yang tidak perlu.
227 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. 4. 5.
Indikasi Kontra Indikasi Persiapan
Operasi Non-Kardiak. Penilaian preoperatif: 1. Anamnesis untuk menilai riwayat penyakit. 2. Pemeriksaan fisik. 3. Pemeriksaan EKG. 4. Pengkajian: Identifikasi kelainan jantung yang serius: CAD (Misal MCI dan angina pektoris, gagal jantung, aritmia simptomatik, adanya pacemaker atau defibrilator yang ditanam, atau riwayat intoleransi ortostatik, adanya anemia. Menilai berat penyakit, stabilitas penyakit, dan terapi sebelumnya. Kapasitas, fungsional. Usia. Kondisi komorbid (Diabetes Mellitus, penyakit pembuluh darah perifer, disfungsi ginjal, dan penyakit paru kronik). Tipe Operasi: Prosedur vaskuler dan prosedur yang lama, prosedur sulit dada, perut, kepala, dan leher risiko lebih tinggi). 5. Pengkajian tentang prediktor klinik peningkatan risiko kardiovaskular perioperatif (Infark miokard, gagal jantung, kematian). Mayor: Sindrom Koroner tak stabil. Infark Miokard akut atau recent dengan bukti risiko iskemia yang penting, baik simptom maupun pemeriksaan non invasif. Angina tak stabil atau angina berat (Canadian Clas III atau IV). Gagal jantung dekompensata. Aritmia bermakna. AV Blok derajat tinggi. Aritmia Ventrikular simptomatik dengan dasar Penyakit Jantung. Aritmia Supraventrikular dengan rate ventrikel yang tidak terkontrol. Penyakit katup berat. Intermediate: Angina Pektoris ringan (Canadian Clas I atau II). Infark Miokard lama diketahui dengan anamnesis atau adanya Q patologis. Gagal jantung sebelumnya atau kompensata. Diabetes Mellitus (Terutama yang tergantung insulin). Insufisiensi ginal. Minor: Usia Lanjut
228 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
EKG abnormal (LVH, Left Bundle-Branch Block, abnormalitas ST-T). Irama selain sinus (misal fibrilasi atrial). Kapasitas fungsional yang rendah (misal: tidak mampu memanjat tangga dengan tas punggung). Riwayat stroke. Hipertensi sistemik tidak terkontrol. 6. Pengkajian Stratifikasi risiko Jantung untuk Prosedur Operasi Non-Kardiak. Tinggi (Risiko jantung yang dilaporkan selalu >5%): Operasi mayor emergensi (Terutama pada usia lanjut). Operasi Aorta atau operasi pembuluh darah besar lainnya. Operasi Pembuluh Darah Perifer. Prosedur Operasi yang diantisipasi memanjang sehubungan dengan hilangnya darah dan atau pergantian cairan dalam jumlah besar. Intermediate: (Risiko Jantung Yang dilaporkan <5%): Endarterektomi karotis. Operasi leher dan kepala. Operasi Intratoraks dan Intraperitoneal. Operasi Ortopedi. Operasi Prostat. Rendah (Risiko Jantung Umumnya <1%): Prosedur endoskopi. Prosedur superfisial. Operasi Katarak. Operasi Payudara.
yang
dilaporkan
7. Penilaian Kapasitas Fungsional: Dengan memperkirakan energi dibutuhkan untuk berbagai aktivitas:
yang
a. 1MET Merawat diri. Makan, berpakaian, menggunakan toilet. Berjalan dalam rumah. Berjalan satu blok atau dua tingkat dengan kecepatan 3,2 sampai 4,8 km per jam atau 2-3 mph. b. 4 MET Bekerja di sekitar rumah seperti mencuci atau membersihkan debu. c. 4 MET Memanjat tangga atau berjalan ke bukit. Berjalan datar dengan kecepatan 4 mph atau 229 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Prosedur Tindakan
4 km perjam. Bekerja berat di rumah seperti membersihkan lantai atau mengangakat atau menggerakan furnitur yang berat. Ikut serta dalam aktivitas rekreasi yang sedang seperti golf, bowling, dansa, tenis ganda atau melempar bola basket atau bola sepak bolaall.
d. >10 MET Ikut dalam olahraga seperti berenang, tenis tunggal, sepak bola, bola basket, atau ski. Risiko Jantung dan jangka panjang perioperatif meningkat pada pasien yang tidak dapat mencapai 4 MET pada waktu kebanyakan aktivitas normal sehari-hari. 1. Tahap 1: Apakah Operasi Non-Kardiak merupakan sesuatu yang urgensi? Jika keadaan emergensi maka tidak ada waktu untuk evaluasi jantung preoperative. Stratifikasi risiko postoperative sesuai untuk pasien yang tidak dinilai sebelumnya. 2. Tahap 2: Apakah pasien menjalani revaskularisasi koroner 5 tahun terakhir? Jika ya dan jika status klinik tetap stabil tanpa gejala rekuren/ tanda-tanda iskemia, uji jantung, lebih jauh secara umum tidak dibutuhkan. 3. Tahap 3: Apakah pasien telah menjalani evaluasi koroner 2 tahun terakhir? Jika risiko koroner telah diuji secara adekuat dan penemuannya memuaskan, biasanya tidak diperlukan uji ulang kecuali pasien mempunyai pengalaman perubahan atau gejala baru iskemia koroner sejak evaluasi sebelumnya. 4. Tahap 4: Apakah pasien mempunyai sindrom koroner tak stabil atau risiko prediktor klinik mayor? Ketika operasi nonkardiak elektif dipertimbangkan, adanya penyakit koroner tak stabil, gagal jantung dekompensasi, aritmia simptomatik, dan atau penyakit jantung katup yang berat biasanya menunda operasi sampai masalah teridentifikasi dan diobati. 5. Tahap 5: Apakah pasien mempunyai risiko prediktor klinik intermediate? Ada atau tidak adanya infark miokard sebelumnya dari riawayat atau EKG, angina pectoris, gagal jantung terkompensasi atau gagal jantung sebelumnya, kreatinin preoperative> 2mg/dl, dan atau diabetes mellitus membantu untuk menstratifikasi risiko kejadian koroner perioperatif lebih jauh lagi. Pertimbangan kapasitas fungsional dan tingkat risikooperasi spesifik memberi pendekatan rasional untuk mengidentifikasi pasien untuk mencapai manfaat dari uji non invasif yang lebih jauh. 6. Tahap 6: Pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor tapi intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau
230 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
baik dapat menjalani operasi risiko intermediate dengan sedikit risiko kematian atau infark miokard perioperatif. Sebaliknya, uji noninvasif selalu dipertimbangkan untuk pasien dengan kapasitas fungsional yang buruk atau moderat tapi operasi risiko lebih tinggi, terutama untuk pasien dengan 2 atau lebih prediktor risiko intermediate. 7. Tahap 7: Operasi Non-Kardiak umumnya aman untuk pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau baik (4 METs atau lebih). Uji tambahan mungkin dipertimbangkan secara individual untuk pasien tanpa petanda klinik tapi kapasitas fungsionalnya buruk yang terpajan dengan risiko operasi yang lebih tinggi, terutama untuk mereka dengan beberapa prediktor risiko klinik minor yang dijadwalkan menjalani operasi vaskular. 8. Tahap 8 : Hasil uji noninvasif dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan uji tambahan preoperatif dan pengobatan. Pada beberapa pasien dengan CAD, risiko intervensi koroner atau operasi koreksi jantung mungkin mendekati atau melebihi risiko operasi non kardiak. Pendekatan ini sesuai, meskipun tidak secara signifikan memperbaiki prognosis jangka panjang.
7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoprotenerol, dan pacu jantung sementara. Takiaritmia (TV atau FV). Emboli (Pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca tindakan). Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Kardiologi dan Kardiovaskular.
Referensi: 1. Eagie KA, Berger PB, Calkins H, Chaitman BR, EWY GA, Fleischmann KE, et al. Perioperative Cardiovascular Evaluation For Cardiac Sugery Update. A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee to Update the 1996 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery).
NO
PTCA
231 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Hal 1.
Pengertian
2. 3.
Tujuan Indikasi
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tindakan revaskularisasi koroner dimana lesi stenotik dilebarkan dengan menggunakan balon. Melebarkan lesi stenotik dengan menggunakan balon. Single Vessel Disease: Angina Persisten, kapasitas jasmaninya rendah, tidak dapat bekerja normal, dibutuhkan pengobatan polifarmasi jangka panjang. Multi Vessel Disease: Gejala simptomatik dengan angina kelas II-IV yang tak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau bila pasien tidak dapat mentoleransi obat. Bila tidak mempunyai keluhan, indikasi bila ada daerah iskemia miokardium khas (dengan tes non invasif) disertai salah satu dari : Iskemia berat pada tes noninvasif, pasca resusitasi henti jantung atau takikardia ventrikel tanpa adanya infark, pasien harus menjalani operasi nonkardiak resiko tinggi, adanya riwayat infark jantung, hipertensi dan depresi ST pada EKG. Sindrom Koroner Akut, termasuk Infark Jantung Akut. Faal Ventrikel Kiri Buruk. Alergi Zat Kontras, aspirin. Kardiovaskuar: Gagal jantung berat (Syok Kardiogenik akibat infark jantung akut, kadang-kadang justru merupakan indikasi), hipertensi berat, aritmia mayor, seperti takikardia ventrikel yang berulang, takikardia atrium dengan respon entrikel cepat. Diabetes Mellitus Berat Tak Terkontrol. Gangguan Elektrolit : Hipokalemia, Hiponatremia. Gastrointestinal: Hepatitis Akut, perdarahan saluran cerna. Hematologi: Trombositopenia < 50.000/dl, leukositosis tanpa sebab jelas, Hb <10g/dl. Neurologik: CVD dalam 2-4 bulan. Renal: Gagal ginjal. Sistemik: Infeksi Bakterial, demam tanpa sebab yang jelas. Evaluasi adanya indikasi dan kontraindikasi. Laboratorium rutin: darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, gula darah. EKG dibuat pada hari yang sama sebelum PTCA. Bila ada kecurigaan gagal jantugn atau kelainan paru perlu dibuat foto dada. Film angiografi terakhir harus dinilai sebelum menentukan strategi tindakan. Aspirin dan tiklopidin diberikan minimal 3 hari sebelum tindakan. 1. Akses pembuluh darah dapat memlalui arteri femoralis atau radialis.
232 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. Akses melalui arteri brakhialis jarang dilakukan. 3. Heparin (150 U/kgBB) diberikan intravena atau intraarteri dan selanjutnya diberikan tiap jam 2500 U untuk mempertahankan nilai ACT > 300 detik. 4. Pemasangan alat pacu jantung sementara tidak rutin dilakukan dan dilakukan bila dikhawatirkan akan terjadi penyulit gangguan hantaran atrioventrikular yang berat. 5. Melalui kateter (Guiding catheter) dimasukkan kawat penuntun (Guidewire) melewati lesi. Dipilih balon dengan diameter sesuai dengan pembuluh yang akan didilatasi. Balon dikembangkan dengan alat indeflator sampai stenosis terbuka. 6. Balon dikempiskan dan ditarik. Dinilai dengan penyuntikan kontras, apakah dilatasi telah cukup. 7. Bila hasil masih suboptimal atau terjadi diseksi dapat dilakukan dilatasi ulang atau dipasang stent. 8. Pada akhir tindakan harus diyakini bahwa pasien secara klinis stabil dan angiogram memperlihatkna hasil optimal dengan stenosis residual < 20%, aliran lancar, tak ada diseksi bermakna atau thrombus. 9. Selama tindakan PTCA, nitrat atau verapamil dapat diberikan intrakoroner bila diperlukan. Bila ada Abciximab dapat diebrikan pula. 10. Pasca tindakan pasien dipantau di ICCU, minimal sehari. 11. Sheath ditarik pada hari yang sama bila waktu pembekuan darah normal atau ACT kurang dari 150 detik. 12. Heparin tidak rutin diberikan pasca PTCA. Tiklopidin diberikan terutama bila dilakukan pemasangan stent. 13. Aspirin diberikan seterusnya bila tidak ada kontraindikasi. 14. Obat-obat anti iskemik seperti nitrat dan antagonis kalsium umumnya diberikan, kecuali bila ada kontraindikasi obat-obat tersebut. Bila tidak ada penyulit pasien dipulangkan 2 hari pasca PTCA. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
Bila ada nyeri dada berulang, teliti apakah hal tersebut bukan angina dan juga apakah ada perubahan EKG. Hipotensi karena: Dehidrasi, perdarahan, obat-obatan (nitrat, sedatif, antagonis kalsium), tamponade jantung (Jarang sekali), infark jantung akut akibat oklusi akut pembuluh yang didilatasi atau sepsis. Insufisiensi Ginjal Akut. Fistula AV. Pseudoaneurisma. Hematoma. Oklusi Trombotik. Diseksi.
233 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Gangguan Neurologis. Infeksi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Kardiologi dan Kardiovaskular.
Referensi: 1. Santoso T. Pemasangan Stent Intrakoroner. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.166-8.
NO
TREADMILL Hal
1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Salah satu modalitas noninvasif yang digunakan untuk menilai pasien dengan dugaan atau terbukti menderita penyakit jantung. Memperkirakan prognosis dan menentukan kapasitas fungsional. Untuk diagnosis penyakit jantung koroner. Penilaian risiko dan prognosis pada pasien dengan gejala atau riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Pada pasien dengan IMA untuk menilai prognosis, toleransi aktivitas, evaluasi terapi medis, dan rehabilitasi jantung. Evaluasi pasien dengan gejala berulang yang disertai iskemia pasca revaskularisasi Absolut: Infark Miokard Akut. Angina Pektoris tidak stabil yang belum stabil dengan terapi medis. Aritmia yang tidak terkendali yang menyebabkan keluhan atau gangguan hemodinamik. Stenosis aorta berat simtomatik. Gagal Jantung Simtomatik yang belum terkendali. Emboli Paru Akut atau Infark Paru. Miokarditis atau Perikarditis Akut. Diseksi Aorta Akut. Relatif: Stenosis Arteri Koroner “Left Main”. Penyakit jantung katup stenotik moderat. Gangguan elektrolit. Hipertensi berat. Bradiaritmia dan takiaritmia.
234 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
Kardiomiopati hipertropik dan bentuk obstruksi “ Out low Tract”. Penurunan fisik dan mental yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan latihan secara adekuat. Blok AV derajat tinggi. Pasien diberitahukanuntuk tidak makan atau merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum tes. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan kontraindikasi tes. Menanyakan obat-obat yang masih diminum. EKG 12 standar pada pasien terlentang dan berdiri sebelum tes dilakukan pemeriksaan.
1. Perekaman elektrokardiografi dilakukan sebelum, selama, dan setelah tes Treadmill diakhiri. 2. Sebelum tes treadmill, perekaman EKG dilakukan pada pasien dengan posisi tidur, posisi yang sesuai dengan posisi saat tes treadmill, dan setelah pasien diminta untuk bernapas dalam dan cepat (Hiperventilasi). 3. Selama tes treadmill gambaran EKG diambil melalui osiloskop, sedangkan perekamannya dikerjakan 10-20 detik terakhir dari setiap beban tes treadmill, setelah tes treadmill diakhiri, dan dalam interval-interval tertentu selaam 6 menit berikutnya atau setelah abnormalitas menghilang. 4. Biasanya minimal dikerjakan 1 perekaman baku dengan exploring electrode diletakan di posisi v5, sedangkan reference electrode disesuaikan dengan posisi listrik jantung. 5. Indikasi Penghentian tes: 6. Absolut: Tekanan darah sistolik turun (menetap di bawah baseline) walaupun dengan peningkatan beban latihan. Nyeri dada angina baru atau meningkat. Gejala susunan saraf pusat (Pusing, hampir sinkop, ataksia). Tanda perfusi perifer menurun (sianosis atau pucat). Aritmia serius (Ventrikular derajat tinggi seperti multiform, triplet, dan VT/SVT). Kesulitan teknis dalam pemantauan EKG atau tekanan darah sistolik. Pasien minta berhenti. 7. Relatif: Perubahan ST atau QRS seperti perubahan segmen ST ≥ - 4 mm, depresi junctional atau perubahan aksis QRS. Peningkatan rasa tidak enak di dada. Lelah, sesak napas, wheezing. Target HR 100% sudah tercapai.
235 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Penurunan tekanan darah. Angina sedang sampai berat. Pusing sinkop sebagai akibat peningkatan gejala sistem saraf. Sianosis atau pucat. Takikardia ventrikular. Aritmia. Gangguan konduksi. Iskemia miokard.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Kardiologi dan Kardiovaskular. ICCU
Referensi: 1. Sugiri. Elektrokardiografi Pada Uji Latih Jantung. Dalam: Noer S, Sjaifoellah N, Waspadji S, Rahman M, Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Penerbit FKUI 1996:p. 934-8. 2. Chaitman. Exercise Stress Testing. Dalam: Braunwald E, eds. Heart Disease. 6th ed.
ALERGI IMUNOLOGI NO
TES TEMPEL (PATCH TEST) Hal
1.
Pengertian
2. 3. 4.
Tujuan Indikasi Kontra Indikasi
5.
Persiapan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tes kulit yang pada umumnya dilakukan di punggung dengan menempelkan plester khusus dan dibaca setelah 48 jam (Reaksi hipersensitivitas tipe IV). Untuk mengetahui adanya kontak penyebab alergi. Dermatitis kontak. Daerah yang dites bebas dari dermatitis, pasien yang sedang minum obat antihistamin dan steroid. Bahan dan alat: Berbagai alergen yang sering menimbulkan alergi kontak. Plester khusus. Pasien: Tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period (3 hari sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum).
236 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Prosedur Tindakan
7. 8.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian
9. 10. 11.
Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
1. Tes tempel dilakukan di punggung. 2. Siapkan semua plester yang telah ditaruh alergen lalu tempelkan satu persatu di punggung. 3. Diamkan selama 48 jam, pasien tidak boleh mandi. 4. Setelah 48 jam plester dibuka dan tunggu ½ - 1 jam, baru dibaca.
(-) Tak ada reaksi. + reaksi lemah (nonvesikular). ++ reaksi kuat (Vesikular atau edematous). +++ Reaksi ekstrim (Bulosa atau ulseratif). 48 jam. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian AlergiImunologi Departemen Kulit dan Kelamin
Referensi: 1. Rengganis I. Tes Tempel ( Patch Test). Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.10-1.
NO
TES TUSUK (SKIN PRICK TEST) Hal
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Tes kulit yang pada umumnya dilakukan di bagian voler lengan bawah dengan memasukkan allergen melalui tusukan jarum di kulit.
2. 3.
Tujuan Indikasi
4.
Kontra Indikasi
Untuk mengetahui adanya sensitasi terhadap alergen. Pasien asma, rhinitis, konjungtivitis alergi, dermatitis atopi, dan urtikaria. Pasien dalam serangan asma, pasien yang sedang minum obat antihistamin dan steroid.
5.
Persiapan
Bahan dan Alat: Ekstrak alergen yang sering menimbulkan alergi, jarum khusus skin prick test atau dapat juga jarum G 26 x 0,5, kapas dan alkohol 70%. Pasien: Tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period (3 hari sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum).
237 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Prosedur Tindakan
7. 8.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian
9. 10.
Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
1. Tes dilakukan di voler lengan bawah. 2. Bersihkan bagian bawah yang akan dites dengan alkohol 70% tunggu sampai kering. 3. Gambar batas tiap alergen dengan pulpen sebanyak jumlah alergen yang akan dites. 4. Teteskan alergen ditempat yang telah ditandai. 5. Jarak tiap tetesan alergen 1,5-2,5 cm untuk menghindari bercampurnya dua alergen yang kemungkinan bereaksi positif. 6. Tes dibaca setelah 15 menit. (-) tak ada reaksi. + indurasi 1-2 mm. ++ Indurasi 3-5 mm. +++ Indurasi 6-9 mm. ++++ Indurasi > 9 mm. 15-30 menit. Reaksi alergi berupa asma, rinitis, urtikaria, syok anafilaksis. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian AlergiImunologi Departemen Kulit dan Kelamin
Referensi: 1. Rengganis I. Tes Tusuk ( Skin Prick Test). Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.12-3.
NO
TES PROVOKASI BRONKUS Hal
1. 2. 3.
Pengertian Tujuan Indikasi
4. 5.
Kontra Indikasi Persiapan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tes untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas bronkus. Mendiagnosis Asthma Bronchiale. Pasien Asthma Bronchiale yang tidak terdiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan non invasif. Adanya Obstruksi Saluran Nafas. Bahan dan Alat: Histamin dalam konsentrasi 5%; 2,5 %; 1,25%; 0,625%. NaCl 0,9%. Spirometri. Obat Bronkodilator (Adrenalin, beta-2 agonis, aminofilin). Tabung Oksigen.
238 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Prosedur Tindakan
7. 8.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian
9. 10. 11.
Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Pasien: Pasien bebas Asthma selama 12 jam. 1. Pasien menjalani pengukuran spirometri pertama. 2. Kemudian diminta membuka mulut selebarlebarnnya dan disemprotkan ke dalamnya NaCl 0,9% sebanyak 3-5 kali semprot lalu dihisap ke dalam paru-paru. 3. Ditunggu selama 1 menit lalu dilakukan spirometri kedua. 4. Ulang kembali spirometri ketiga setelah 1 menit kemudian. 5. Tunggu beberapa saat (1-2 menit) ulangi tindakan nomor 2-4 dengan menggunakan histamin 0,625%. 6. Lakukan hal yang sama pada konsentrasi histamin 1,25% dan seterusnya sampai dicapai konsentrasi histamin yang memberikan hasil provokasi positif.
Positif: Bila pada pengukuran menilai FEV1 setelah dilakukan provokasi dengan histamin dosis tertentu terdapat perbedaan sebesar > 20% dibandingkan FEV1 awal. Negatif: Bila dengan pengukuran spirometri setelah dilakukan provokasi dengan histamin smapai konsentrasi 5% tidak didapatkan perbedaan FEV1 sebesar > 20% dibandingkan dengan spirometri awal. 30-60 menit. Serangan Asthma Bronchiale. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alegiimunologi (Konsulen) dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Subbagian Alergi dibawah bimbingan konsulen Alergi Imunologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian AlergiImunologi
Referensi: 1. Karjadi TH. Tes Provokasi Bronkus. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Penyunting. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.3-4. NO
TES PROVOKASI OBAT Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang diharapkan.
239 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
Untuk mengetahui adanya sensitivitas terhadapt obat tersebut. Bila terjadi reaksi masih dalam tahap ringan sehingga prosedur dihentikan, dan gejala dapat diobati. Biasanya digunakan untuk menguji obat anestesi lokal sebelum digunakan dosis penuh. Jika dalam riwayat penyakit ada tanda-tanda yang mengarah ke alergi obat. 1. Pasien yang sudah jelas diketahui alergi terhadap obat tertentu tidak perlu dilakukan tes lagi. 2. Pasien yang sedang minum obat antihistamin dan steroid. 3. Pasien penyakit jantung dan penyakit berat lainnya. Bahan dan Alat: Kit Anafilaksis, infus set, obat/bahan yang akan dites. Pasien: Tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period (3 hari sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum).
6.
Prosedur Tindakan
7. 8.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian
9. 10.
Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
1. Tes dilakukan dengan jumlah yang sesuai dengan kadar yang akan digunakan dan jangan menggunakan bahan yang mengandung epinefrin. 2. Mula-mula dilakukan prick test dengan anestesi yang tidak diencerkan sebanyak satu tetes. 3. Bila Negatif, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:100 subkutan. 4. Bila Negatif, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:10 subkutan. 5. Bila Negatif, lanjutkan dengan 0,5 ml tidak diencerkan subkutan. 6. Bila Negatif, lanjutkan dengan 1 ml larutan tidak diencerkan subkutan. 7. Bila Negatif, lanjutkan dengan 2 ml larutan tidak diencerkan subkutan. Catatan:Suntikan diberikan dengan jarak 15 menit. Dianggap negatif bila pasien telah menerima 3 ml anestesi lokal tanpa reaksi yang berarti, tidak menunjukkan risiko yang lebih besar dibadning dengan populasi dalam masyarakat. 1 ½ - 2 jam. Reaksi alergi ringan, sedang, berat. Anafilaksis sampai kematian. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (Konsulen) dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Subbagian Alergi- Imunologi dibawah bimbingan Konsulen. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Alergi Imunologi. Departemen Anestesi dan Reanimasi/ ICU bila timbul
240 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
komplikasi berat.
Referensi: 1. Rengganis I. Tes Provokasi Obat. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Penyunting. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.149-50.
GASTROENTEROLOGI NO Hal 1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
SKLEROTERAPI DAN LIGASI VARICES ESOFAGUS No. Dokumen No.Revisi
Prosedur ini merupakan prosedur semi invasif yaitu pemeriksaan dengan menggunakan gastroskop dengan fungsi sebagai diagnostik dan terapi. Melakukan eradikasi varices esophagus dengan cara melakukan prosedur berulang dengan rata-rata sebanyak 6 kali. Perdarahan akibat pecahnya varices esophagus/ kardia pada sirosis hepatic dengan hipertensi portal. Perdarahan Ulkus Peptikum.
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
Hal.
Gagal Jantung Akut. Infark Jantung Akut. Gangguan Hemodinamik, Syok Hipovolemik. Gangguan Pernapasan, Respiratory Distress. Koagulasi Intravaskular Diseminata Akut/ Gangguan Hemostasis. Prekoma dan Koma Hepatikum merupakan Kontraindikasi Relatif. DPL, Laboratorium Kimia Darah: masa perdarahan, masa pembekuan. Puasa 6-8 jam.
1. Prosedur ini harus dilakukan secara legeartis oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman. Sebab resiko tindakan ini akan menignkat bila dilakukan oleh operator yang tidak berpengalaman dan
241 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
3. 4. 5. 6. 7. 7. 8.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian
9. 10.
Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
sebaliknya resiko akan menjadi kecil atau tanpa resiko bila dikerjakan oleh operator yang berpengalaman. Sifat Prosedur ini bisa elektif atau emergensi, Khususnya untuk prosedur emergensi preparasi sebelum tindakan dilakukan dengan sebaik mungkin, dengan memperhatikan resiko yang dapat terjadi pada saat tindakan maupun sesudah tindakan. Langkah-langkah tindakan: (Langkah Prosedur yang dilakukan dari awal sampai tindakan selesai: 1.... 2.... 3.... Dst.
1. Evaluasi : Hasil prosedur ini harus dilakukan evaluasi secara klinis dan endoskopi. Prosedur endoskopi dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tenggan waktu satu minggu sretelah itu dilakukan 1 bulan setelah prosedur ke 3 dan selanjutnya dengan tenggan waktu 1-6 bulan, tergantung pada kemajuan pengobatan. 2. Tindakan ini dapat dilakukan diluar jadwal bila terdapat tanda-tanda klinis perdarahan dalam bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis, penurunan Hb akibat perdarahan samara, disfagia akibat striktur pasca skleroterapi. 30 menit. Hipoksia, refleks vagal, perdarahan ulang, demam, pleuritis, empiema, dan disfagia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan Sertifikat Endoskopis dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
Referensi: 1. Gumiwang I. Kardioversi. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2001;p.149-50.
NO
SKLEROTERAPI HEMOROID Hal
No. Dokumen
No.Revisi
242 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Hal.
1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
Prosedur tindakan terapeutik untuk mengobati hemoroid dengan cara menyuntikkan obat sklerosan dengan bantuan anoskop/ endoskop dan jarum suntik. Untuk mengobati hemoroid menjadi sklerotik. Untuk menghentikan perdarahan aktif hemoroid. Hemoroid Interna derajat I- III dengan keluhan perdarahan. Benjolan. Infeksi akut/ abses pada hemoroid. Pasien tidak kooperatif. Keadaan Umum Buruk. DPL, Laboratorium: Masa Perdarahan, Masa Pembekuan. Diazepam 10 mg I. V. Dan tidur dengan posisi miring ke kiri (posisi Sim’S). Cara I: 1. Setelah dioleskan jeli, kolonoskop dimasukkan kedalam anus. 2. Untuk melihat posisi skop dapat langsung lurus foreward view atau melalui U turn. Kanul Jarum Sklerosing dimasukkan ke dalam Chanel Biopsy. 3. Setelah ujung kanul sklerosing ditempelkan ke hemoroid interna sasaran diatas linea dentate. Jarum dikeluarkan dan obat etoksisklerol disuntikkan sebanyak 0,5- 1 cc intra hemoroid. 4. Jarum dicabut atau dimasukkan dan kanul tetap pada hemoroid selaam 1-2 menit. 5. Setiap Hemoroid dapat disuntik obat etoksisklerol dengan cara yang sama. Penyuntikan etoksisklerol sebaiknya jangan diberikan para/peri hemoroid karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus. 6. Pasca tindakan: selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid suppositorial/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang tiap 1-2 minggu sampai hemeoroid sklerotik. Cara II: 1. Setelah dioleskan jeli pada anus dan anuskopnya, lalu anoskop dimasukkan ke dalam anus. 2. Jarum suntik berisi etoksisklerol ditusukkan ke dalam ehmoroid. Setelah disuntik, bekas suntikan di tekan dengan kasa steril yang telah dicelup betadin selama 1-2 menit. 3. Hemoroid lain dilakukan tindakan yang sama. Penyuntikan etoksisklerol sebaiknya jangan diberikan para/peri hemoroid, karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus. 4. Pasca tindakan: selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid suppositorial/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang tiap 1-2 minggu sampai hemeoroid sklerotik.
243 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
7. 8.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian
9. 10.
Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
Evaluasi: Tiga puluh Menit sesudah tindakan harus dipastikan bahwa tidak ada perdarahan peranum. Tujuh hari kemudian dilakukan endoskopi ulang untuk melihat hasil skleroterapi. 15 menit. Perdarahan, abses anus, demam, rasa sakit di dubur, bakteremia, ulkus ano-rektal, stenosis/striktur anus. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Gastroenterologi dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
BUSINASI Hal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pengertian Tujuan Indikasi Kontra Indikasi Persiapan Prosedur Tindakan Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tindakan dilatasi Esophagus. Dilatasi striktur Esophagus. Striktur Esophagus, Spasme Esophagus, akalsia. Keadaan Umum Buruk Puasa 6-8 jam. Dilatasi dengan menggunakan busi. 30 menit. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
KOLONOSKOPI Hal
1.
Pengertian
2. 3.
Tujuan Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kolonoskopi adalah suatu tindakan untuk mengadakan observasi keadaan lumen usus besar secara langsung dengan menggunakan endoskop. Identifikasi lesi dalam lumen usus besar. Diagnostik: Tindakan ligasi Hemorrhoid, mengevakuasi kelainan yang didapat pada pemeriksaan Colon in Loop. Perdarahan peranum yang tidak diketahui penyebabnya. Diare kronik/ Inflammatory Bowel Disease. Obstipasi. Menegakkan diagnosis keganasan kolon/ untuk
244 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
mendapatkan jaringan biopsy dari kolon. Evaluasi pasca anastomosis.
Surveillance: Kelompok resiko tinggi, misalnya collitis ulseratif, tindak lanjut sesudah operasi pengangkatan polip atau kanker.
4.
Kontra Indikasi
Terapeutik: Polipektomi, pengambilan benda asing, terapi laser. Absolut/ Mutlak: Pasien tidak kooperatif. Perforasi usus. Peritonitis. Kehamilan trimester III. Infark Jantung Baru. Pasien dalam keadaan Syok. Relatif: Semua proses peradangan akut dan berat yang akan memperbesar kemungkinan perforasi. Divertikulitis akut dengan gejala sistemik. Kehamilan trimester I dan penyakit peradangan panggul (Inflammatory Bowel Disease). Penyakit anal dan perianal akut. Obstruksi intestinal/ distensi perut akut. Demam. Aneurisma aorta abdominal atau aneurisma iliakal. Baru menjalani operasi. Visualisasi terganggu: Perdarahan akut gastointestinal masif, persiapan tidak baik.
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
Informed Consent: Persiapan usus besar: 1. Sejak 2 hari sebelum tindakan, pasien makan bubur kecap atau makan cair. Minum yang banyak 2-3 liter/hari. Jika sulit buang air besar minum laktulosa 2x 1 sendok makan atau bisacodyl 2x1 tab/hari. 2. Malam hari sebelum tindakan, puasa. Makan terakhir jam 20.00, setelah itu puasa tetapi minum tetap boleh kecuali susu. Pukul 21.00 minum garam inggris, 30 gram atau minyak castor 40 ml atau Dulcolax 4 tab. 3. Pukul 05.00 pagi (3 jam sebelum tindakan) dilakukan klisma (untuk pasien yang dirawat); atau bisacodyl 1 tab, suppositoria atau larutan yal 1 botol. 1. Meniup (Inflasi) udara diusahakan seminimal mungkin. 2. Sedapat mungkin ahrus melihat lumen kolon dengan baik dengan menarik alat atau memutarnya ke kiri atau ke kanan serta menghindari timbulnya loops. Kadang-kadang alat perlu di dorong menyusuri dinding kolon tanpa melihat lumennya. Hal ini dapat dilakukan tanpa resiko selama alat
245 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
4. 5. 6. 7. 8. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
10.
Wewenang
11.
Unit Yang Menangani
12.
Unit Yang Terkait
NO Hal 1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4. 5. 6.
Kontra Indikasi Persiapan Prosedur Tindakan
tersebut menyusur dengan mudah tanpa paksaan. Bila ada tahanan, apalagi pasien merasa sakit, sebaiknya alat ditarik mundur. Rasa sakit merupakan suatu tanda bahwa kita harus hati-hati menarik alat dan memendekkan kolon dengan cara menghisap merupakan salah satu cara keberhasilan mencapai caecum. Langkah-langkah tidnakan: (Langkah tindakan prosedur dari awal sampai tindakan selesai): 1... 2... 3... Dst.
30-60 menit. Gangguan kardiovaskular dan pernapasan. Perforasi kolon. Perdarahan. Distensi pasca kolonoskopi. Reaksi vasovagal. Flebitis. Infeksi. Volvulus. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK (NGT ATAU FLOCARE) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
Pemasangan selang kedalam lambung melalui hidung pada keadaan pasien tidak dapat menelan maknan oleh berbagai sebab untuk menjamin pemberian nutrisi enteral. Pemasangan NGT juga dilakukan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas, pankreatitis akut ileus paralitik/obstruksi. Pemberian nutrisi parenteral pada pasien yang tidak dapat menelan oleh berbagai sebab. Dekompresi/ menyalurkan cairan lambung keluar pada ileus paralitik/obstruktif dan pankreatitis akut. Bilas lambung pada perdarahan SCBA (Saluran Cerna Bagian Atas). Pasien tidak dapat menelan oleh berbagai sebab. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Pankreatitis akut, ileus obstruktif/paralitik. Pasien tidak kooperatif. Informed Consent 1. Pasien posisi telentang atau miring ke kiri/kanan
246 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
dengan kepala sedikit di tekuk ke depan. 2. Selang dimasukkan ke hidung setelah ujung diberi jeli. 3. Setelah mencapai lambung, biasanya pada tanda 3 strip hitam yaitu kira-kira 50 cm dari lambung dimasukkan udara melalui selang. Hal ini bisa menimbulkan suara yang dapat didengar dengan stetoskop yang ditempelkan kira-kira di atas lambung (perut kiri atas/sedikit di atas epigastrium). Jika terdapat banyak cairan lambung., biasanya cairan lambung keluar melalui selang. 7. 8. 9. 10. 11.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
ESOFAGO-GASTRO-DUODENOSKOPI Hal
1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
± 15 menit Erosi pada esophagus dan lambung. Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam dan Perawat terlatih untuk Pemasangan NGT. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
Kontra Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pemeriksaan intra lumen esophagus, gaster, dan duodenum dengan menggunakan alat endoskop (Serat optik atau EVIS). Identifikasi lesi mucosal intralumen di esophagus, gaster, dan duodenum pada umur > 40 tahun. Diagnostik: Dispepsia. Disfagia. Perdarahan gastrointestinal. Konfirmasi Abnormalitas pada Pemeriksaan Radiology. Penapisan Keganasan Saluran Cerna Bagian Atas. Muntah Hebat. Berat Badan turun tanpa sebab. Dispepsia yang menetap setelah terapi Empirik. Indikasi Terapeutik: Ligasi/ STE varises esofagus. Mengambil benda asing. Mutlak/ Absolut: Tak kooperatif atau psikotik. Infark Miokard Akut. Relatif: Kesadaran Menurun. Divertikulum Zenker. Gagal Jantung.
247 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
7. 8. 9. 10. 11.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Pneumonia Berat. Asma Akut. Aneurisma Aorta Intrakal Gastritis Korosif Akut.
Persiapan Psikologis dan Penjelasan tentang Tujuan (Informed Consent). Puasa 6-8 jam sebelum tindakan. Persiapan alat: 1.... 2... 3... Dst. 1. Melalui mouth piece, ujung skop diinsersikan ke dalam mulut, faring, sphincter esophagus superior dan amsuk ke dalam esophagus. 2. Esophagus di evaluasi, kemudian melalui sphincter esophagus bawah, skop dimasukkan ke dalam gaster. 3. Evaluasi dilakukan di daerah kardia, fundus, korpus, dan antrum. 4. Melalui pylorus skop dimasukkan ke dalam bulbus dan pars desenden duodenum.
± 30 menit. Refleks Vasovagal, perdarahan, aspirasi, perforasi. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan Sertifikat Endoskopis dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Gastroenterologi.
GINJAL HIPERTENSI NO
BIOPSI GINJAL Hal
1. 2. 3.
Pengertian Tujuan Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pengambilan contoh jaringan ginjal. Untuk mengetahui dan mengevaluasi penyakit ginjal. 1. Untuk mengevaluasi dan mengikuti perjalanan penyakit yang diduga mempunyai sindrom glomerular, interstisial, atau vaskular, seperti: 2. Gagal ginjal akut yang tidak jelas penyebabnya atau yang perjalanan penyakitnya cepat. 3. Penyakit sistemik yang diduga melibatkan ginjal seperti lupus eritematosus sistemik (SLE). 4. Pada resipien transplantasi ginjal yang mengalami rejeksi atau penyakit yang rekuren.
248 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kelainan pembekuan darah. Ginjal tidak berfungsi atau ginjal melisut. Hipertensi yang tidak terkontrol. Penderita yang tidak kooperatif. Kecurigaan adanya tumor ginjal. Infeksi Saluran Kemih. Uremia. Deformitas Tulang Vertebra Berat. Ginjal Tunggal.
Kontraindikasi ini sebagian besar relatif, karena dengan cara biopsi terbuka sebagian dapat dikerjakan. 1. Ijin Tindakan Medik Tertulis. 2. Dokter ruangan mengisi formulir biopsi ginjal sebagai syarat penjadwalan biopsi. Bila formulir ini tidak diisi maka biopsi tidak bisa dijadwalkan. 3. Buat perjanjian jadwal biopsi di Subbagian GinjalHipertensi. 4. Periksa hitung trombosit, bleeding time, clotting time, prothrombine time, dan activated partial prothrombine time. 5. Pinjam termos dengan es kering ke Bagian Patologi Anatomi. 6. Jarum suntik 5 cc, jarum eksplorasi, jarum biopsi USG (Tru-Cut Needle), duk steril, kasa steril, plester, botol untuk penyimpanan jaringan biopsi. 7. Lidokain 2%, alkohol, Betadine, formaline 10% gel untuk fiksasi pemeriksaan imunofluoresensi jaringan ginjal. 8. Isi status biopsi ginjal Subbagian-Hipertensi dan catat data pada buku biopsi. 9. Isi Formulir PA untuk dikirim ke Patologi Anatomi. 1. Pasien dalam posisi tengkurap dengan bantal diletakkan di bawah perut untuk memfiksasi ginjal terhadap punggung. 2. Kedua ginjal diperiksa dengan bantuan USG dan ditentukkan pada ginjal yang mana akan dilakukan biopsi, tandai titik biopsi dengan spidol. 3. Tempat biopsi biasanya 1 jari dibawah iga terakhir (XII) kira-kira 7-8 cm dari vertebra. 4. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis. 5. Dengan probe biopsi USG yang steril, tentukan lokasi yang tepat untuk titik biopsi. 6. Dilakukan anestesi lokal pada daerah biopsi. 7. Dilakukan biopsi perkutan dengan bantuan probe biopsi USG dengan menggunakan jarum biopsi Tru-Cut, sebelumnya tempat biopsi dilebarkan dengan jarum eksplorasi. 8. Pada saat biopsi pasien harus menahan napas (Inspirasi dalam). 9. Setelah dilakukan biopsi, pada tempat biopsi diberi pembalut tekan, penderita tetap dalam posisi tengkurap. 10. Jaringan Biopsi dibagi dua, sebagian dimasukan ke
249 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
dalam larutan formalin 10% untuk pemeriksaan mikroskop cahaya, sebagian lagi diberi gel dan disimpan dalam termos es untuk pemeriksaan imunofluoresen. 11. Pasca biopsi pasien tetap dalam posisi tengkurap selama ± 6 jam dan selama periode itu diobservasi kemungkinan timbulnya perdarahan ginjal. 7.
Instruksi Pasca Tindakan
8.. 9. 10.
Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
1. 2. 3. 4.
Tidur tengkurap sampai 6 jam pasca biopsi, setelah itu boleh telentang. Istirahat di tempat tidur sampai 24 jam pasca biopsi. Awasi tanda vital dan perdarahan. 1. 4 jam pertama pasca biopsi : tekanan darah, nadi, dan pernapasan tiap jam. 2. 4 jam kedua pasca biopsi: Tekanan darah, nadi, dan pernapasan tiap 4 jam. 24 jam pasca biopsi periksa urin untuk melihat perdarahan. Periksa daerah sekitar biopsi, apakah ditemukan nyeri, bengkak, hematom.
Hematuria (Mikroskopik atau gross). Hematom perirenal. Infeksi. Aneurisma.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis GinjalHipertensi dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian GinjalHipertensi Departemen Bedah- Subbagian Bedah Urologi.
PERITONEAL DIALISIS AKUT Hal
1.
Pengertian
2. 3.
Tujuan Indikasi
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Salah satu bentuk dialisis dimana membran peritoneal digunakan sebagai membran semipermeabel pada pasien dengan gagal ginjal. Dialisis dalam keadaan darurat. Pasien gagal ginjal dengan keadaan umum buruk yang memerlukan tindakan dialisis segera. Pasca Operasi organ abdomen, ileus, hernia. Penyakit paru yang menimbulkan Hipoksia berat. Gangguan Pembekuan Darah. Tidak Kooperatif. Persiapan Pasien: Penjelasan mengenai Peritoneal Dialisis. Informed Consent.
250 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Persiapan Alat: Set Bedah Minor. Kateter Dialisis Peritoneal. Cairan Perisolution dan giving set. Heparin. Antibiotika. Lidokain 2%. KCl Injeksi. Blood Set. Besturi. Jarum suntik disposable 3cc, 5 cc. Sarung Tangan. 6.
Prosedur Tindakan
1. Siapkan 2 kolf (1 kolf = 1 liter) cairan perisolution. Hangatkan dengan direndam dalam air panas sampai suhu ± 37 ºC Kolf I tambah 500 unit heparin, 3 mEq KCl, dan 10 mg Gentamisin. Kolf II tambah 250 unit heparin, 3 mEq KCI, dan 10 mg Gentamisin. 2. Operator menggunakan Sarung tangan. 3. Asepsis dan antisepsis lapangan operasi: Daerah umbilikus, dan sekitarnya dibersihkan dengan betadin kemudian alkohol 70%. 4. Pasang duk steril. 5. Anestesi lokal dengan lidokain ± 2 ml sekitar 2 cm di bawah umbilikus: kutis, subkutis, peritoneum. 6. Kira-kira 2 cm dibawah umbilikus dibuat insisi membujur dengan besturi sesuai diameter kateter. 7. Bebaskan jaringan dengan klem arteri secara tumpul sampai teraba lapisan peritoneal. 8. Bila Peritoneal telah tercapai: Ambil jarum infus dari Blood Set, tusuk sampai menembus peritoneum. Ambil konektor karet dari blood set, hubungkan dengan jarum yang tertanam pada rongga peritoneum, ujung yang satu lagi hubungkan dengan kateter cairan perisolution yang telah disiapkan pada tiang infus. 9. Isi rongga peritoneum dengan cairan perisolution 1 liter (kolf I), Bila tepat masuk, rongga peritoneum aliran akan lancar. 10. Cabut jarum dari rongga peritoneum. 11. Kemudian: a. Kateter peritoneal dialisis dengan stilet: Tembus dinding peritoneal dengan hati-hati, kateter kemudian dibelokkan menyusur dinding peritoneum ke arah SIAS sampai mentok. b. Kateter peritoenaldialisis tanpa stilet: Ujung kateter ini tumpul, terlebih dahulu dibuat insisi kecil pada dinding peritoneum dengan besturi sesuai diameter kateter. 12. Bila posisi kateter dinilai sudah betul; tes dulu dengan memasukkan cairan pada Kolf II dan mengeluarkannya sedikit. Bila cairan lancar berarti
251 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
7.
Instruksi Pasca Tindakan
8. 9.
Penilaian Lama Tindakan
10.
Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
posisi kateter sudah baik. 13. Jahit kulit sekitar kateter, benang diikat pada kateter sedemikian rupa sehingga kateter tertanam cukup baik. 14. Tutup luka dengan kasa yang diberikan betadin. 1. Siapkan siklus terdiri dari 2 kolf (1 kolf = 1 liter cairan perisolution). 2. Sebelum digunakan cairan pertioneal dialisis direndam dalam ari panas sampai suhu ± 37 ºC. Tiap Kolf (1 liter) ditambah heparin 250 unit, KCl 3 mEq, dan Gentamisin 10 mg. 3. Setelah cairan masuk semua, diamkan di dalam rongga peritoneum 30 menit, setelah itu cairan dikeluarkan jadisetiap siklus akan memerlukan waktu selama 60 menit dengan perincian: Memasukkan cairan 2 liter :10 menit. Lama cairan tinggal di rongga : 30 menit. Mengeluarkan cairan : 20 menit. 4. Lakukan tindakan 1-3 sampai siklus XII. 5. Catat jam masuk dan keluar cairan serta jumlah cairan yang masuk dan keluar pada formulir balasn cairan. 6. Pada siklus XII, cairan yang dikeluarkan hanya 1 liter. Sisakan 1 liter dalam rongga peritoneum. 7. Buat balans cairan dialisis peritoneal setiap hari. Balans ini ikut diperhitungkan dengan balans keseluruhan. 8. Keesokan harinya ulang tindakan 1-7. Satu siklus memakan waktu 60 menit, dilakukan 12 siklus tiap hari. Peritonitis, exit site infection, perdarahan, hernia, hidrotoraks. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis GinjalHipertensi dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian GinjalHipertensi.
PERITONEAL DIALISIS MANDIRI BERKESINAMBUNGAN (CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS/CAPD) Hal No. Dokumen No.Revisi Hal.
1.
Pengertian
2.
Tujuan
Proses dialisis berkesinambungan yang menggunakan selaput peritoneal sebagai membranalami yang dilakukan secara mandiri. Dialisis yang adekuat.
252 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3.
Indikasi
Pasien gagal ginjal terminal, tertuama yang mengalami: DM dengan komordibitas tinggi. Ketidakstabilan kardiovaskular akibat penyakit hemodinamik tidak stabil. Kesulitan/ kegagalan aterosklerosis dan lain-lain pada pasien HD. Kecenderungan perdarahan (Trombositopenia/ trombopati). Stroke Baru. Alergi terhadap bahan dialisat/asetat. Pasien gagal ginjal terminal dengan HD reguler yang mengalami: a. Gangguan serebral akut (Perdarahan intrakranial). b. Gagal jantung kongestif. c. Kardiomiopati. d. Penyakit Jantung Iskemik Berat. e. Gangguan Irama Jantung dnegan kelainan Hemodinamik.
4.
Kontra Indikasi
Mutlak/ Absolut: Permukaan selaput peritoneum sempit (Akibat adhesi peritoneal yang berlebihan/ peritonitis berulang). Relatif: Ostomi (Kolonostomi, Ileostomi, Nefrostomi). Peritonitis lokal (TBC/Jamur). Sangat Gemuk. Ginjal polikistik masif (Rongga perut sempit akibat massa tumor). Fistel abdominal/sepsis abdominal. Ketidakmampuan pasien untuk menjelaskan program sendiri (Buta, hemiparesis/kuadriplegia). Retardasi mental/psikosis. Motivasi rendah.
5.
Persiapan
Bahan dan Alat: Larutan dialisis. Volume larutan 1-2 liter. Susunan elektrolit tergantung pabriknya. Konsentrasi dekstrosa: a. Standar (Dekstrosa 1,5%). b. Hipertonis (Dekstrosa 2,5% atau 4,25%). Cairan transfer set. Variasi sambungan untuk CAPD. Modifikasi konektor pada CAPD. Kateter peritoneum yang bisa dipakai di Indonesia). Standard Double- Cuff Tenckhoff. 1. Obat-obatan harus diberikan intraperitoneal selama 10- 14 hari sebagai tindakan pencegahan penyulit: Heparin (1000 unit untuk setiap kantong dialisat). Antimikroba (Biasanya golongan
253 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
aminoglikosida/ sefalosporin 100 mg untuk setiap kantong dialisat). 2. Resep Program CAPD: Volume cairan dialisis: Pergantian cairan 4 kali sehari, masing-masing 2 liter ( 2 liter untuk 4 kali pertukaran = 8 liter/hari). Jam Pertukaran: 08.00, 12.00, 16.00, 22.00-24.00. (Sebelum tidur). Ultrafiltrasi: Untuk 3 kali pertukaran pertama, dialisat standar (1,5%), untuk malam sebelum tidur, dialisat hipertonis (4,25%). Komposisi cairan dialisat: Na 132 mEq/l, Cl 98 mEq/l, Ca 3,5 mEq/l, Mg 0,5 mEq/l, laktat 40 mEq/l. Urea klirens yang diharapkan perminggu: 57 liter klirens. Kreatinin klirens yang diharapkan perminggu : 47 liter klirens. 6.
Prosedur Tindakan
Perawatan Exit Site: Perawatan tempat lubang keluarnya kateter tenckhoff, dilakukan setiap hari oleh pasien sendiri atau bantuan anggota keluarga, untuk mencegah infeksi. Alat dan obat yang dibutuhkan: Kaca steril, plester, gunting, immobilizer untuk kateter, betadin, NaCl 0,9%. Cara: 1. Sebelum bekerja cuci tangan dengan sabun/ desinfektan. 2. Memakai masker penutup mulut. 3. Bersihkan darah exit site dengan kasa yang dibasahkan betadin (gunakan NaCl 0,9% bila pasien tidak tahan terhadap betadin dengan cara memutar dari bagian dalam ke luar). 4. Gunakan satu sisi kasa steril setiap kali pemakaian. 5. Bersihkan kateter. 6. Fiksasi kateter dengan immobilizer, sehingga tidak mudah ditarik. 7. Observasi daerah kateter untuk memeriksa apakah terdapat kebocoran, robek, atau rusak. 8. Jika pasien merasa sakit, kemerahan, bengkak, atau ada nanah pada daerah exit site, lakuka pemeriksaan kultur dan melapor ke dokter untuk mendapatkan pengobatan. 9. Anjurkan pasien untuk tidak memakai pakaian yang ketat. 10. Jika banyak berkeringat dianjurkan untuk membersihkan exit site sesering mungkin. Penggantian Transfer Set pada Sistem “O” Set.
254 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Alat yang dibutuhkan: Transfusi set, betadin, out post klem, disconnel shild klem, on of tray (3 buah kain steril + kasa steril), mint cup, klem kateter, masker. Cara: 1. Dilakukan di ruang tertutup dan bersih. 2. Pakai masker dan siapkan alat-alat di atas. 3. Cuci tangan dengan memakai sabun/ desinfektan. 4. Pasien dianjurkan telentang. 5. Buka on of tray, transfer set, mini cup, klem kateter. 6. Taruh betadin pada kain yang kering. 7. Ambil duk yang berlubang di tengahnya dengan menggunakan pinset. 8. Letakkan pada perut pasien. 9. Pakai sarung tangan. 10. Ambil dua duk yang tidak berlubang dan letakkan pada perut pasien. 11. Ambil kasa steril, letakkan pada titanium. 12. Gosok titanium dengan kasa steril+ Betadin selama 5 menit. 13. Rendam antara titanium dan transfer set dengan Betadin. 14. Ambil klem kateter lalu letakkan transfer set dan titanium selama 5 menit. 15. Rendam titanium dengan Betadin selama 5 menit 16. Sambungkan dengan transfer set. 17. Ambil mini cup lalu pasangkan pada transfer set. 18. Ambil “O” set lalu sambungkan sampai membentuk “O”. 19. Tusukkan ujung lancip pada kantong yang kosong. 20. Rapihkan pasien. 21. Ganti balutan pada exit site. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
Mekanik, infeksi, kardiovaskular, paru, neurologik, metabolik. Pasien dengan bimbingan dari Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subbagian Ginjal- Hipertensi, PPDS Penyakit Dalam, dan perawat terlatih. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian GinjalHipertensi.
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK NO
AFERESIS Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Prosedur pemisahan komponen darah seseorang secara
255 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Tujuan
3.
Indikasi
langsung dengan menggunakan mesin pemisah komponen darah. Mengeluarkan sebagian komponen darah, dapat berupa sel (Cytapheresis) atau plasma (plasmapheresis/ plasma exchange). A. Terapeutik: 1. Sitoferesis. 2. Eritroferesis: Sickle cell anemia, malaria dengan parasitemia. 3. Tromboferesis: Trombositema simtomatik. 4. Leukoferesis: Leukemia dengan hiperkleukositosis, arthritis rheumatoid ( Dalam keadaan tertentu). 5. Plasmafaresis: Kelainan paraprotein (Sindrom hiperviskositas, krioglobulinemia, penyakit cold agglutinin), Kelainan akibat metabolik toksik (Penyakit Refsum, penyakit Fabry, hiperkolesterolemia familial), Kelainan imunologis (Sindrom goodpasture, miastenia gravis, sindrom eaton-lambert, sindrom guilain barre, pemfigus, ITP, inhibitor faktor koagulasi), Vaskulitides (SLE, glomerulonefritis mesangiokapiler, granulomatosis wagener), Defisiensi faktor plasma (TTP), keracunan obat atau bahan racun lainnya. B. Donor: 1. Untuk memenuhi kebutuhan komponen darah pasien: 2. Tromboferesis. 3. Plasmaferesis. 4. Leukoferesis, untuk mendukung program PBSCT.
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
1. Aferesis terapeutik : Pasien dengan kondisi buruk dan gangguan hemodinamik, 2. Aferesis Donor: Kadar trombosit/ leukosit/ albumin/ hemoglobin/ hematokrit di bawah normal. Golongan ABO-Rh tidak cocok, cross matching hasil (+). Mengandung HbsAg/ anti HCV/ HIV/ VDRL dan Malaria. Berat badan kurang, usia tua, anak-anak. Menderita penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal kronik atau penyakit akut lainnya. A. Bahan dan Alat: 1. Mesin aferesis. 2. Sel Aferesis disposable, set trombofaresis, set plasmaferesis, set leukaferesis, set eritositaferesis. 3. Antikoagulan ACD-A. 4. Akses intravena. 5. AV fistula.
256 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7. 8. 9.
6.
Prosedur Tindakan
7. 8. 9.. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
Heparin injeksi. Infus Salin(NaCl) 0,9%. Albumin (Untuk plasmaferesis). Obat-obat darurat: Injeksi Ca glukonas, inj adrenalin, inj. Kortikosteroid, inj. Antihistamin, infuse salin, plasma expander, oksigen, alat resusitasi, dan obat darurat untuk resusitasi.
B. Pasien: 1. Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani. 2. Pemeriksaan: Fisik: Hemodinamik, berat badan, tinggi badan. Laboratorium: Gol. Darah ABO-Rh, crossmatching, DPL, HbsAg, anti HCV. 3. Informed Consent: Menelan tablet kalsium sehari sebelumnya. 1. Mesin aferesis dihidupkan dan dinilai apakah layak beroperasi, 2. Memasang set aferesis disposable (set tunggal atau ganda) pada mesin aferesis, beserta infus NaCl 0,9%, antikoagulan ACD-A, 3. Melakukan koleksi komponen darah dari donor via vena di lengan kanan, kiri (set ganda) atau satu lengan, 4. Mengisi data donor pada komputer mesin, 5. Menghubungkan mesin set dan sel aferesis disposable dengan donor, memulai prosedur. 6. Prosedur donor trombosit dan plasma berlangsung 100 menit, 7. Sedangkan prosedur donor sel asal darah dalam darah tepi berlangsung 4-8 jam. 8. Bila prosedur selesai dilakukan, start rinseback mode, kemudian lepaskan set aferesis dari donor, trombosit yang dikoleksi segera diberikan ke pasien atau bila disimpan harus diatas blood rotator (yang bergoyang) selama maksimal 5 hari. 9. Selama prosedur aferesis berjalan, dokter dan perawat harus mengawasi keluhan, dan bila perlu menilai hemodinamik. 10. Untuk aferesis terapeutik, prosedurnya sama dengan aferesis donor, namun khusus untuk plasmaferesis, awasi kemungkinan syok hipovolemik, dan tidak lupa memberikan infus albumin, saat pertengahan prosedur serta awasi 1-2 jam setelah prosedur untuk mencegah kemungkinan syok.
Hipokalsemia (Kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, pandangan gelap), gangguan hemodinamik dan penurunan kesadaran. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subbagian Hematologi Onkologi Medik dan PPDS Penyakit Dalam Tahap Yang Sedang/ Sudah Melalui Kepaniteraan Hematologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi-
257 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
13.
Unit Yang Terkait
NO
Onkologi Medik Bank darah.
PUNGSI SUMSUM TULANG Hal
1. 2.
Pengertian Tujuan
3.
Indikasi
4. 5.
Kontra Indikasi Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Diagnosis sitomorfologi/ evaluasi produk pematangan set asal darah (Stem Cell). Penilaian terhadap simpanan besi. Pengumpulan Colony Forming Unit (CFU-GM) pada transplantasi sumsum tulang. Mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan bakteriovirologis (Biakan Microbiologi). Anemia dan sitopenia lainnya yang tidak dapat diterangkan. Leukositosis dan/ atau trombositosis yang tidak dapat diterangkan. Dugaan leukemia atau mieloptisis. Keadaan Umum yang buruk. Bahan dan Alat: 1. Bahan dan tindakan aseptik. 2. Povidone Iodine. 3. Kapas lidi steril dan kapas steril. 4. Prokain/ lidokain 3% dan spuit 5 cc, spuit 20 cc dan jarum hipodermik 23-25 gaus. 5. Sarung tangan steril dan duk bolong steril. 6. Set Jarum Aspirasi sumsum tulang (14-16 G) yang sesuai dengan tempat yang akan dilakukan dan spuit yang sesuai dengan dengan jarum aspirasi sumsum tulang. 7. Tempat Aspirasi: 8. Spina Iliaka Posterior Superior (SIPS). 9. Spina Iliaka. 10. Spina Iliaka Anterior Superior (SIAS). 11. Sternum di antara iga ke-2 dan 3 garis Mid Sternal atau sedikit di kanannya (Jangan lebih dari 1 cm). 12. Spina Dorsalis/ Prosesus spinosus Vertebral Lumbalis (Jarang dilakukan karena alatnya tidak ada, sekitar 18 Gaus). 13. Botol Bersih untuk Koleksi Aspirat, Gelas Obyek untuk Blood Film. 14. Antikoagulan Titriplex, Heparin, atau EDTA. 15. Perlengkapan untuk mengatasi renjatan Neurogenik dan Renjatan Anafilaksis, seperti Adrenalin, Atropin Sulfat, dan Cairan set Infuse. 1. Pasien diminta untuk buang air besar/ kecil sebelum tindakan. 2. Periksa kelengkapan dan kelayakan bahan dan alat tindakan. 3. Cuci tangan yang bersih dan keringkan.
258 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4. Pakai sarung tangan steril. 5. Periksa kelengkapan dan kesesuaian Jarum Aspirasi, dan spuitnya. 6. Isi spuit untuk aspirasi tersebut dengan sedikit antikoagulan titriplex/ EDTA untuk pemeriksaan sitologi dan imunologi atau heparin tanpa pengawet untuk sitogenik. 7. Lakukan tindakan asepsis dan antiseptik daerah tindakan dan prosedur terjaga aseptik. Tentukan titik tindakan. 8. Lakukan anestesi lokal tegak lurus permukaan mulai dari subkutis sampai periosteal. 9. Lakukan penetrasi jarum aspirasi tegak lurus dengan diputar kiri kanan secara lembut menembus kulit sampai membentur tulang/ periosteum kemudian perhatikan tingginya jarum untuk jarum sternal sesuaikan pembatas/ pengaman setinggi ± 0,3- 0,5 cm dari kulit, 10. Kemudian lanjutkan penetrasi jarum untuk menembus tabula eksterna dengan memberikan tekanan lebih besar secara mantap dan lembut setelah terasa seperti menembus kertas pada saat menembus diploe dan perbedaan tinggi jarum yang masuk + 0,3- 0,5 cm untuk sternum, + 0,5-15 cm untuk SIPS/ SIAS/ Krista Iliaka, 11. Selanjutnya cabut mandrein dan pasang spuit 20 cc yang sudah dibilas antikoagulan tadi kemudian lakukan aspirasi perlahan tapi mantap (Pasien akan merasa sakit) sebanyak ± 1- 2 cc (Untuk sitomorfologi saja), 2 cc dengan heparin (Untuk pemeriksaan sitogenetik). 12. Jika terlalu banyak akan terencerkan darah perifer yang akan menyulitkan penilaian, kemudian spuit dicabut, jarumkan biarkan saja. 13. Teteskan aspirat secukupnya ke gelas obyek, diratakan diatas kaca slide, maka akan terlihat partikel sumsum tulang. 14. Sisanya masukkan ke dalam botol koleksi kemudian dikirim ke laboratorium. 15. Jika diperlukan untuk alasan lain dapat dilakukan aspirasi dengan spuit yang lain yang telah dibasahi antikoagulan, kemudian dikoleksi pada tempat lain yang telah diisi antikoagulan. 16. Setelah selesai jarum aspirasi dicabut pelan-pelan tetapi mantap dengan cara diputar seperti ketika memasukkannya. 17. Daerah perlukaan dilakukan penutupan luka (Dressing) dengan kassa yang telah diberi antiseptik jika diperlukan. 18. Bila ada trombositopenia atau fragilitas kapiler yang meningkat (Defisiensi hemostasis primer) dilakukan penekanan dulu sekitar 10- 15 menit, setelah yakin tidak ada perdarahan baru dilakukan dressing. 19. Daerah perlukaan jangan dibasahi selama 3 hari dan 259 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
dressing dibuka setelah 3 hari. 7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
BIOPSI SUMSUM TULANG Hal
1. 2.
Pneumomediastinum jika dilakukan pada Sternum, Perdarahan. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Tahap Yang Sedang/ Sudah Melalui Kepaniteraan Hematologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
Pengertian Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
No. Dokumen
No.Revisi
Menilai selularitas sumsum tulang. Menetukan adanya keganasan hematologi hematologi (Metastasis). Menentukan adanya fibrosis sumsum tulang.
Hal.
dan
non
Kecurigaan adanya gangguan produksi sel darah. Menentukan stadium keganasan Non-Hematologi. Tidak ada kontraindikasi Mutlak. Pada trombositopenia berat (< 20.000) pemberian transfusi trombosit sebelum tindakan akan lebih baik. Melakukan biopsi sumsum tulang pada sternum. Bahan dan Alat: 1. Jarum biopsi jamsnidi atau sejenis. 2. Perlengkapan standar minor set sederhana yaitu antiseptik, alkohol 70%, 3. Kapas lidi, 4. Duk bolong, 5. Semprit 5 cc, 6. Lidokain, 7. Sarung tangan steril, 8. Kasa steril, 9. Plester, 10. Botol kaca, 11. Formalin 10%. 1. Pasien diminta untuk buang air kecil/ besar sebelum tindakan dimulai. 2. Pasien pada posisi tengkurap. 3. Asepsis dan antisepsis pada daerah sekitar lokasi yaitu Krista Iliaka Superior Posterior. 4. Setiap tindakan dilakukan secara steril. 5. Pasang duk Bolong. 6. Anestesi dengan lidokain 2% pada Krista Iliaka
260 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Posterior 3-6 cc sampai mencapai periosteum. 7. Suntikan jarum biopsi dengan cara twisting motion sambil melakukan penekanan sampai terasa menembus tulang dan dilanjutkan sepanjang 1-2 cm. 8. Melakukan gerakan 4 arah (Atas, Bawah, Kiri, Kanan) setelah itu jarum diangkat. 9. Luka biopsi ditutup, dengan kasa steril yang dibasahi povidone iodine dan tidak boleh dibasahi selama 3 hari. 10. Pembuatan preparat. 11. Gosokkan bahan/jaringan sumsum tulang yang didapat pada kaca obyek (Slide) sebanyak 2-3 buah dan biarkan kering dengan pewarnaan. 12. Pewarnaan bisa berupa pewarnaan wright atau giemsa. 7. 8. 9. 10. 11.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
Perdarahan, Infeksi Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Yang sedang/ sudah melalui kepaniteraan Hematologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik Departemen Patologi Anatomi.
TRANSFUSI DARAH Hal
1.
Pengertian
2. 3.
Tujuan Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Memasukkan sel darah merah (Darah segar, Packed Red Blood Cell) kedalam tubuh melalui vena. Memberikan kebutuhan sel darah merah sesuai indikasi. 1. Sesuai dengan komponen darah yang ditransfusikan. 2. Darah lengkap (Whole Blood) 250-300 cc/unit: Meningkatkan volume darah merah dan volume plasma pada perdarahan akut dan pada kehilangan darah > 25% volume darah total. 3. Darah Merah Pekat (Packed Red Blood Cell) 150250 cc/unit: Meningkatkan massa sel darah merah dan kapasitas oksigen pada anemia normovolemik simtomatik termasuk anemia kronik pada kelainan ginjal kronik dan kanker. 4. Darah Merah dicuci (Saline Washed Red Blood Cell) 180 cc/unit: Meningkatkan massa sel darah merah, mengurangi risiko reaksi alergi terhadap protein
261 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
plasma. 5. Trombosit konsentrat (Platelet Concentrate) 50 cc/ unit: Perdarahan karena trombositopenia atau trombopati. 6. Trombosit Aferesis (Platelet Aferesis) 300 cc/ unit: Perdarahan karena trombositopenia atau trombopati, kecocokan HLA. 7. Plasma Beku (Fresh Frozen Plasma) 220 cc: Pengobatan beberapa gangguan Koagulasi. 8. Kriopresipitat (Cyroprecipitate/ Anti Haemophilic Factor) 15 cc/ unit: Defisiensi faktor VIII, faktor XIII, fibrinogen, pengobatan penyakit Von- Willebrand. 9. Darah Merah Minim Leukosit (Leucocyte Poor RBC) 200 cc/unit: Meningkatkan massa sel darah merah, mencegah reaksi demam karena antibodi leukosit, menurunkan kemungkinan aloimunisasi terhadap leukosit atau antigen HLA. 4.
Kontra Indikasi
Sesuai dengan komponen darah: 1. Darah Lengkap (Whole Blood): Anemia kronik normovolemik yang hanya memerlukan peningkatan massa sel darah merah. 2. Darah Merah Dicuci (Saline Washed Red Blood Cell): Bila sudah lebih dari 24 jam karena teknik pencucian sistem terbuka menyebabkan penggunaanya terbatas 24 jam (risiko kontaminasi bakterial). 3. Darah Merah Pekat (Packed Red Blood Cell) dan Darah Minim Leukosit (Leucocyte Poor RBC): Hati-hati risiko reaksi transfusi hemolitik, transimisi infeksi virus, reaksi alergi dan demam. 4. Trombosit Konsentrat (Platelet Concentrate) dan Trombosit Aferesis (Platelet Aferesis): Tidak efektif untuk pasien dengan destruksi trombosit yang cepat, termasuk ITP (Idiopathic Trombocytopenic Purpura) dan KID (Koagulasi Intravaskular Disseminata) (Disseminated Intravascular Coagulation) yang tidak diobati (kecuali pada perdarahan aktif), septikemia, dan hipersplenisme. 5. Plasma Beku (Fresh Frozen Plasma): Jangan diberikan bila tujuannya menambah volume darah.
262 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. Kriopresipitat (Cyroprecipitate/ Anti Haemophilic Factor): Untuk kasus selain indikasi. 5.
Persiapan
Bahan dan Alat: 1. Untuk Transfusi darah lengkap (WB), 2. Darah Merah Pekat (PRC), 3. Darah Merah Dicuci (SW-RBC), 4. Plasma Beku (FFP), dan 5. Kriopresipitat (Cyroprecipitate) 6. Gunakan Set Transfusi Khusus dengan penyaring/ filter atau blood set. 7. Untuk Transfusi Trombosit Concentrate (PC) atau Trombosit Aferesis (PA): 8. Gunakan infus set khusus untuk transfusi trombosit. 9. Hanya infus NaCl 0,9% yang diizinkan untuk diberikan bersama darah/ komponen darah. 10. Bila tersedia, dapat digunakan alat pemompa darah elektronik untuk transfusi darah. 11. Blood Warmer (Jika ada).
6.
Prosedur Tindakan
Persiapan Pengambilan Sampel Darah. 1. Permintaan darah atau komponen darah. 2. Formulir permintaan darah diisi lengkap, termasuk golongan darah ABO-Rh yang selama ini diketahui, nama pasien dan nama orang tua atau suami, 3. Reaksi transfusi yang pernah dialami, indikasi dan lain-lain. 4. Formulir tersebut ditandatangi oleh dokter yang meminta, sedangkan perawat ruangan menilai ulang kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir tersebut. 5. Perawat mengambil sampel darah minimal 2 cc, paling baik 5 cc, 6. Pada sampel darah ini harus ditempelkan label yang kuat bertuliskan nama lengkap (Sesuai formulir), jenis kelamin, umur, nomor rekam medik, tanggal pengambilan dan ruang perawatan. Pemberian Transfusi Darah atau Komponen Darah 1. Pemberian Transfusi darah atau Komponen Darah. 2. Identifikasi secara benar dan cermat bahwa nama pasien dan data lainnya cocok dengan tabel pada darah/ komponen darah yang akan diberikan, begitu juga kebenaran indikasi transfusi pada pasien ini. 3. Pada saat dimulai pemberian transfusi, pasien harus diawasi selama 5-10 menit pertama, kemudian diawasi secara periodik sampai tindakan transfusi selesai. 4. Dokter harus berada di area yang terjangkau (di RS) selama pemberian transfusi, sehingga bila timbul keadaan darurat dapat segera hadir menanganinya. 5. Bila alatnya tersedia, darah/ komponen darah dihangatkan dulut dengan alat blood warmer. Terutama pada kasus-kasus khusus antara lain
263 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
7.
8. 9.
7. 8. 9.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan
10.
Komplikasi
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
pasien dewasa yang menerima transfusi cepat dan ebrulang (>50 cc/kg/jam), exchange transfusion pada bayi. Anak-anak yang menerima transfusi dengan volume besar (>15 ml/kg/jam), dan infus cepat melalui Kateter Vena Sentral (Central Venous Catheter). Pada orang dewasa kecepatan transfusi darah/ komponen jangan melebihi 100 ml/menit, karena berkaitan dengan risiko tinggi henti jantung (Cardiac Arrest). Jangan menyimpan darah pada suhu kamar lebih lama. Bila kondisi klinik memerlukan waktu transfusi lebih dari 4 jam, darah/ komponen harus dicicil pengambilannya, sisanya disimpan di bank darah rumah sakit sampai saat yang diperlukan. Jangan menambah obat-obat ke dalam darah/ komponen. Juga jangan memberikan obat suntik bersamaan dengan pelaksanaan transfusi darah.
Tergantung banyaknya komponen darah yang ditransfusikan. Reaksi Transfusi Cepat: Reaksi hemolitik kuat, reaksi demam, reaksi alergi. Hipervolemia, edema paru non kardiogenik. Hemolisis non-imun, sepsis bakterial. Reaksi Transfusi Lambat: Reaksi hemolitik lambat. Penyakit Infeksi (Hepatitis B, C, HIV, EBV, HTLV-1, CMV, Malaria, Toksoplasmosis). Reaksi Lambat Lainnya. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik Bank Darah
PEMASANGAN NUTRICATH Hal
1. 2. 3.
Pengertian Tujuan Indikasi
4.
Kontra Indikasi
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Kebutuhan akses vena jangka lama untuk terapi atau nutrisi. Pengukuran Tekanan Vena Sentral. 1. Gangguan homeostasis yang berisiko perdarahan masif apabila dilakukan tindakan (Misalnya KID berat, Defisiensi Faktor Pembekuan tingkat sedangberat). 2. Trombositopenia (< 50.000/ul: Absolut ; 50.000-
264 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
100.000/ul: Relatif). 3. Kelainan lokal disekitar vena subklavia: Massa tumor, Paska Radioterapi karena seringkali terjadi penekanan terhadap vena subklavia sehingga menjadi sempit. 4. Kelainan tidak utuhnya) permukaan kulit di tempat insersi kateter (Misalnya pada luka bakar/ infeksi lokal, Steven Johnson Syndrome). 5.
Persiapan
Alat Yang Diperlukan: 1. Kateter vena sentral dengan diameter lumen yang sesuai untuk usia dan bentuk tubuh pasien. 2. Benang jahi, misalnya Prolene no 2,0. 3. Lidokain 2%, 10-20 cc. 4. Heparin. 5. Beberapa alat suntik, spuit 5 cc 1 buah, spuit 20 cc 2 buah. 6. Pinset Sirugis, 2 buah kom kecil, dan 1 buah bengkok (Kidney Basin). 7. Klem Anatomis Kecil (Dengan ujung yang membengkok). 8. Mata Pisau Bedah. 9. Kain Steril (Duk), ukruan minimal 60 cmx 60 cm, berlubang memanjang di bagian tengah. 10. Larutan infus NaCl, infus set three way 2 buah rubber stopper 2 buah, extension tube 1 buah. Jenis Kateter Vena: 1. Jenis-jenis katerer vena sentral untuk vena subklavia: 2. Pada Umumnya berukuran panjang 30-35 cm. 3. Untuk yang dipasang dengan guide wire berukuran panjang 20 cm. 4. Nutricath (Merk Vygon) no. 16 atau 14. Pemilihan Lokasi: 1. Pemilihan Lokasi Vena Subklavia 2. Diutamakan sebelah kanan, karena kemungkinan penyulit lebih kecil daripada kiri. 3. Apabila ada kelainan paru yang sedang sampai berat (Infeksi, efusi pleura, tumor, dll). Pada satu sisi atau bila paska bedah MRM) Axillary Dissection, dipilih vena subklavia kontralateral. Pemasangan: 1. Posisi Pasien terlentang, dengan letak kepala datar tanpa bantal dan menoleh ke arah yang berbeda dengan lokasi pemasangan kateter. 2. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis di daerah sekitar klavikula. 3. Siapkan NaCl 0,9% sekitar 100-200cc. 4. Isi alat suntik 10 cm (Sekitar 2 buah) dengan larutan NaCl 0,9% hingga terisi setengahnya, agar masih ada ruang melakukan aspirasi. 5. Pada kulit kira-kira 1 cm di sebelah bawah
265 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6. 7.
8.
9.
10.
11.
12.
13. 14.
15. 16. 17.
pertengahan klavikula yang dipilih, dilakukan penyuntikan lidokain 2% berturut-turut secara subkutan, masuk mengenai tulang klavikula, kemudian menyusur tepi bawah tulang klavikula sampai jarum suntik masuk habis ke dalam kulit. Ingat tiap kali menyuntik lidokain diaspirasi dulu, keluar darah atau tidak. Pada waktu jarum menyisir tepi bawah klavikula tersebut, alat suntik didorong pada posisi mendatar dengan mengarah ke tepi proksimal dari ujung medial klavikula, sambil melakukan aspirasi, sehingga apabila ujung jarum masuk ke dalam vena akan diketahui adanya darah vena yang teraspirasi ke dalam alat suntik. Pasang kanula plastik dengan jarum logam di dalamnya (Merupakan bagian dari set CVP) pada alat suntik yang berisi NaCl 0,9%. Masukkan ujung jarum tersebut dengan cara dan arah yang sama seperti yang diterangkan sebelumnya sampai menyentuh tulang klavikula, kemudian menyusur tepi bawah klavikula sambil dilakukan aspirasi. Apabila ujung jarum masuk ke dalam vena, akan ditandai terhisapnya darah vena ke dalam alat suntik. Pada tahap ini masukkan kanula plastik dengan mendorong sejauh 0,5 cm sambil menahan pangkal jarum logamnya dengan demikian maka ujung kanula diharapkan sudah berada di dalam vena. Tariklah pangkal jarum logam ke luar kanula, kemudian pasang alat suntik berisi heparin dan lakukan aspirasi. Apabila darah masuk ke adalam alat suntik, berarti ujung kanula telah berada di dalam vena. Pada saat ini posisi kepala pasien kembali melihat ke depan, tidak menoleh lagi, hal ini untuk mengurangi kemungkinan kateter nanti masuk ke vena jugularis. Masukkan kateter CVP/ Nutricath ke dalam ujung kateter mencapai atrium kanan. Untuk prosedur pemasangan CVP cukup sampai di sini. Sedangkan untuk pemasangan Nutricath setelah prosedur ini dilanjutkan dengan tunelisasi subkutis yaitu memasang kateter di bawah kulit sejauh kriakira 10 cm, baru kemudian dilakukan prosedur selanjutnya.
Prosedur Selanjutnya: 1. Tunelisasi Subkutis: 2. Lakukan sayatan menggunakan mata pisa bedah sepanjang 0,75 cm ke arah lateral, dengan kedalaman 0,3 cm dimulai dari lokasi kateter ke luar dari kulit. 3. Longgarkan jaringan bawah kulit secara tumpul 266 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
4. 5.
6.
7. 8.
9.
10.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
Prosedur Tindakan Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
menggunakan klem anatomis berukruan kecil, lebih baik bila ujungnya agak bengkok. Bebaskan jaringan ikat di sekitar kateter sehingga kateter dapat digerakkan longgar di lubang tersebut. Suntikkan secara subkutan, lidokain 10 cc pada titik sejauh 10 cm di bawah sayatan tersebut, ke arah bawah (Untuk menjahit kepala kateter nantinya) dan ke arah atas menuju lokasi sayatan untuk memasang kanula nanti. Masukkan kanula (Beserta jarum logam di dalamnya) di titik penyuntikan lidokain tadi, kemudian ke arah atas sambil menembus lubang sayatan pada posisi lateral dari kateter. Cabut jarum logam, tinggalkan kanula di tempatnya. Masukkan kateter ke dalam kanula dari arah atas sehingga keluar pada ujung kanula sebelah bawah, lakukan penjahitan luka sayatan tadi. Lakukan jahitan fiksasi kateter tepat di tempat keluarnya kulit dengan jahitan fiksasi kepala kateter (Yang akan disambungkan dengan T-way dan selang infus). Sambungkan kepala kateter dengan selang infus ataupun extension tube dengan perantaraan T-Way.
Pneumothorkas, Ruptur Vena Subklavia. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
FLEBOTOMI Hal
1.
Pengertian
2. 3.
Tujuan Indikasi
4. 5.
Kontra Indikasi Persiapan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Suatu tindakan menurunkan volume darah dengan cara mengeluarkannya melalui pembuluh vena secara bertahap dan cepat. Menghilangkan gejala-gejala distress dan flletora. Polisitemia vera, eritrositosis, hemokromatosis, prifiria cutanea tarda. Gagal Jantung. Bahan dan Alat: 1. Tensimeter (Sphygnomanometer) dan Stetoskop untuk memantau status hemodinaim sebelum, selama, dan sesudah tindakan dan juga untuk membendung vena pada vena seksi. 2. Tempat tidur untuk berbaring pasien.
267 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. Set donor: 4. Botol (Plaboof) atau kantong penampung darah dengan skala volume. 5. Set infus/ kateter intravena dan cairan plasma atau dekstran (Sebagai persiapan) terutama pada pasien di atas usia 65 tahun atau adanya penyakit/ penyulit kardiovaskular atau gejala-gejala hiperviskositas. 6. Perangkat standar antiseptik antara lain Gauge steril, povidone Iodine, alkohol dan plester. 6.
Prosedur Tindakan
7. 8. 9. 10. 11.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
1. Pasien diminta untuk buang air besar atau kecil sebelum tindakan. 2. Pasien dalam posisi berbaring dilakukan evaluasi status hemodinamik, 3. Sedang untuk pasien di atas usia 65 tahun sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dilakukan dalam posisi duduk/ berdiri karena mencerminkan tekanan darah yang sebenarnya. 4. Bila status hemodinamik stabil, pasien berbaring di tempat tidur. 5. Dilakukan tindakan aseptik dan antisepsis pada lengan daerah venaseksi yang dilanjutkan dengan pembendungan vena dengan tensimeter tekanan 60 mmHg (atau diantara sistolik dan diastolik). 6. Pada orang tua di atas 65 tahun, atau pasien dengan kecenderungan penyakit kardiovaskuler, di sisi lengan yang satunya dipasang infus set dengan cairan pengganti plasma (Plasma Expander), atau dekstran yang dimulai secara bersamaan dengan tindakan flebotomi dengan jumlah yang sama seperti darah yang dikeluarkan. 7. Kebanyakan pasien dapat menerima pengeluaran darah sebanyak 3 unit (Kira-kria 450-600 cc) per minggu, bahkan ada yang melakukan sebanyak 500 cc dengan interval 1-3 hari. 8. Untuk Usia lanjut dan pasien dengan penyakit kardiovaskuler dianjrukan sekitar 200-300 cc. 9. Setelah tercapai target pengobatan yaitu hematokrit antara 40-45%, maka kekerapan flebotomi biasanya dapat diturunkan antara 1 atau 2 kali tiap 3-4 bulan tergantung evaluasi rutin yaitu nilai hematokrit atau serum feritin dalam batas normal rendah 10-40 ug/ml untuk pasien-pasien dengan hemokromatosis.
Perdarahan/ hematom, gangguan hemodinamik. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Yang Sedang/ Sudah melalui Subbagian Hematologi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
268 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
PULMONOLOGI NO
PUNGSI CAIRAN PLEURA Hal
1.
Pengertian
2.
Tujuan
3. 4. 5.
Indikasi Kontra Indikasi Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Aspirasi cairan pleura dari rongga pleura dengan jarum perkutan (=Thoracocentesis). Aspriasi cairan pleura untuk diagnostik efusi pleura atau terapeutik/ drainase. Efusi Pleura. Keadaan Sepsis. 1. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, serta kemungkinan yang akan terjadi bila tidak dilakukan prosedur tersebut. 2. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. 3. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (Tekanan darah, nadi, Frekuensi Pernafasan, Suhu). 4. Menentukan lokasi cairan pleura dengan klinis dan radiologis. 5. Efusi pleura yang sedikit diperiksa foto thoraks lateral dekubitus, bila mungkin dengan ultrasonografi yang lebih baik membedakan cairan yang mengambang bebas dan terlokulasi. 6. Menyediakan Alat dan Bahan yang diperlukan: Lidokain 2% ampul (4 ampul). Spuit 5 ml, 20 ml, 50 ml. Abbocath/ IV Catheter No. 16 G/ No. 14 G. Three Way. Blood Set. 1. Pasien berada dalam posisi duduk tegak, kedua lengan ke depan, sebaiknya kepala dan kedua lengan ditopang meja. 2. Lokasi yang akan dipungsi diperiksa ulang dan diberi tanda dengan pena. Lokasi harus bebas dari penyakit lokal. 3. Untuk efusi yang besar, lokasi pungsi ialah di satu iga di bawah batas atas perkusi pekak, di linea axillaris posterior atau media. 4. Pendapat lain ialah sela iga VI atau VII linea axillaris posterior atau media. 5. Pada Efusi yang kecil, sebaiknya dengan dibimbing USG. 6. Menggunakan satung tangan steril. 7. Aseptik dan antisepsis daerah kulit di atas efusi pleura. 8. Bila aspriasi diagnostik hanya akan mengambil sedikit cairan, anestesi lokal umumnya tidak
269 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
diperlukan. Pada pasien yang tidak gemuk, digunakan jarum untuk pungsi vena ukuran 21-G dengan syringe 50 ml. 9. Jarum ditusukkan tegak lurus terhadap diinding dada 7. 8. 9. 10. 11.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
NO
Hal
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian HematologiOnkologi Medik
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS (FINE NEEDLE ASPIRATION BIOPSY) KELENJAR GETAH BENING (KGB) No. Dokumen No.Revisi
Hal.
1.
Pengertian
Pengambilan material jaringan kelenjar getah bening untuk dilakukan pemeriksaan sitologi dan mikrobiologi. Kelenjar Getah Bening yang dimaksud di sini ialah Kelenjar Getah Bening (KGB) Daerah.
2.
Tujuan
Mengambil bahan jaringan Kelenjar Getah Bening untuk pemeriksaan sitologi dan mikrobiologi.
3.
Indikasi
Pembesaran Kelenjar Getah Bening di daerah Submandibula, leher, supraklavikula, dengan kecurigaan kelainan paru yang berhubungan dengan KGB tersebut.
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
KI Mutlak/ Absolut : Tidak ada. KI Relatif: Gangguan Koagulasi Berat. Persiapan Pasien: 1. Pemeriksaan DPL, BT, CT. 2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, 3. Setelah mengerti dan setuju, pasien, dan keluarga menandatangai surat ijin tindakan. 4. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (Tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, suhu). 5. Pasien diminta untuk buang air besar/ kecil sebelum mulai tindakan. Bahan dan Alat: 1. Jarum Suntik ukuran 23 G atau 25 G. 2. Syringe 2,5 ml atau 5 ml tanpa jarum. 3. Kaca obyek 3 buah. 4. Kasa steril. 5. Larutan Povidon Iodine. 6. Sarung tangan steril.
270 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Prosedur Tindakan
7. 8. 9. 10. 11.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
1. Memakai sarung tangan steril. 2. Daerah benjolan/ KGB dan sekitarnya dibersihkan dengan kasa steril yang telah dibasahi dengan antiseptik, secara sentrigfugal. 3. Benjolan difiksasi dengan tangan kiri (Bila pemeriksa merupakan pengguna tangan kanan). 4. Jarum tanpa syringe ditusukkan ke benjolan dari pinggir ke tengah benjolan. 5. Setelah jarum masuk, ditarik sedikit lalu ditusukkan lagi ke arah kiri dan kanan arah sebelumnya, kirakira 3-7 kali tusukan. 6. Jarum ditarik keluar sambil menutup lubang pangkal jarum. 7. Syringe tanpa jarum mengaspirasi udara bebas. 8. Jarum dipasangkan kepada syringe. 9. Dekatkan ujung jarum ke tengah kaca obyek, lalu disemprotkan (Syringe dikosongkan). 10. Kaca obyek yang ada bahan aspirasi ditempelkan kepada kaca obyek bersih, sehingga didapatkan 2 buah kaca obyek dengan bahan aspirasi. 11. Kedua kaca obyek dibiarkan mengering di udara, lalu diberi tanda identitas dan segera dikirim ke laboratorium. 12. Bekas luka tusukan jarum ditutup dengan kasa steril yang telah dibubuhi cairan antiseptik. 5- 10 menit.
Perdarahan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Hematologi- Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Endokrinologi. Departemen Patologi Anatomi FKUI. Departemen Mikrobiologi Klinik FKUI.
Referensi: 1. Syafei S, Prayogo N. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH). Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, eds. Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999;p.103-4.
271 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
NO
PLEURODESIS Hal
1. 2. 3. 4. 5.
Pengertian Tujuan Indikasi Kontra Indikasi Persiapan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
1. Bila memungkinkan dilakukan bronkoskopi sebelum pleurodesis untuk menilai adakah obstruksi di bronkus yang memerlukan radioterapi atau terapi laser. 2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Ulang. 3. Dilakukan Pemeriksaan hemodinamik (Tekanan Darah, Nadi, Frekuensi Pernafasan, Suhu). 4. Hasil Laboratorium dilihat ulang. 5. Bila Belum terpasang Inseri Chest Tube. Semua cairan pleura dibiarkan keluar sampai habis, atau produksi cairan maksimal 100 cc per 24 jam. Idealnya slang berada pada posisi posterior-inferior. Alat-Alat: 1. Klem Chest Tube 2 buah. 2. Catheter tip syringe (60mL) 1 buah, 3. Mangkuk steril 1 buah, 4. Sarung tangan steril, 5. Drope/duk steril, 6. Kassa Steril, Bahan-Bahan: 1. Larutan Povidon-Iodine. 2. 10 Ampul lidocaine 2% 3. 1 Ampul Pethidin 50 mg. 4. Cairan NaCl 0,9% steril. Bahan Sclerosing (Salah Satu): 1. Agen sitotoksik: Bleomycin 40-80 unit, atau Mitoxantron 30 mg (20 mg/m2), dicampur dengan 30-100 mL NaCl 0,9%. 2. Tetracycline dan turunannya : Tetracycline 1.000 mg (35 mg/kgBB) atau Minocycline 300 mg (7 mg/kgBB) atau doxycycline 500-1.000 mg, dicampur dengan 30- 100 mL NaCl 0,9% dan 20 mL Lidocaine 2%. 3. Talc: 3-10 g bubuk talc steril dilarutkan dalam 100 ml NaCl 0,9% steril. Talc disterilkan dengan radiasi sigma atau dalam autoclave dengan suhu 270ºF. Bubuk dimasukkan dalam kolf NaCl 0,9%, dikocok, lalu dituang dalam mangkuk steril.
6.
Prosedur Tindakan
1. 2. 3. 4.
Tindakan dilakukan di ruangan pasien. Dipasang jalur infus NaCl 0,9%. Disiapkan O2. Posisikan pasien setengah lateral decubitus pada sisi kontra lateral (Sisi yang ada chest tube berada di
272 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5. 6. 7. 8.
9.
10. 11. 12. 13. 14.
15. a. b. c. d. e. f. g. h. i.
7.
Instruksi Pasca Tindakan
atas). Tempatkan handuk di antara pasien dan tempat tidur. Pethidin 50 mg I.M., 15- 30 menit sebelum memasukkan zat pleurodesis. Chest tube di-klem dengan 2 klem, lalu dilepaskan dari adaptor/ WSD. Klem dibuka sesaat, agar paru sedikit kolaps dalam rongga pleura. Lidocaine 2% 20 mL diinjeksikan melalui chest tube, kemudian klem kembali dipasang. Posisi pasien diubah-ubah agar merata di seluruh permukaan pleura. Dengan menggunakan teknik steril, agen schlerosing dicampur dengan larutan saline di mangkuk steril, campuran diaspirasi dengan syringe. Syringe dipasangkan pada chest tube. Bilas dengan NaCl 0,9%. Pasien diminta bernafas beberapa kali agar larutan tertarik ke rongga pleura. Klem segera dipasang kembali dan chest tube dihubungkan dengan adaptor/ WSD. Hindari suction negatif selama 2 jam setelah pleurodesis. Pasien diubah-ubah posisinya (Supine, decubitus lateral kanan-kiri) selama 2 jam, lalu klem dicabut. Rongga Pleura dihubungkan dengan suction bertekanan – 20 cmH2O. Pasca Tindakan: Dilakukan foto thoraks AP ulang untuk meyakinkan reekspansi paru, bila perlu setiap hari. Awasi tanda vital. Monitor drainase chest tube harian. Monitor kebocoran udara. Perban diganti tiap 48 jam. Kendalikan nyeri dengan analgetik. Bila perlu spirometri insentif. Mobilisasi bertahap, cegah Thrombosis Vena Dalam (DVT). Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase pleura harian <100 mL atau tidak terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD.
Pasca Tindakan: 1. Dilakukan foto thoraks AP ulang untuk meyakinkan reekspansi paru, bila perlu setiap hari. 2. Awasi tanda vital. 3. Monitor drainase chest tube harian. 4. Monitor kebocoran udara. 5. Perban diganti tiap 48 jam. 6. Kendalikan nyeri dengan analgetik. 7. Bila perlu spirometri insentif. 8. Mobilisasi bertahap, cegah Thrombosis Vena Dalam (DVT). 9. Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase
273 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
pleura harian <100 mL atau tidak terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD. 8. 9. 10.
Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12. 13.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
± 3 jam. Nyeri. Takikardia, Takipnea, Pneumonitis, atau, Gagal Nafas (Terutama setelah pemberian Talc Slurry), Edema Paru reekspansi, Umumnya reversibel. Demam. Berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam <48 jam. Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung. Reaksi terhadap obat. Syok Neurogenik. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Subbagian Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Bedah- Subbagian Bedah Toraks.
Referensi: 1. Colt HG, Mathur PN. Manual of Pleural Procedures. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins, 1999; p:155-161. 2. Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan: Diagnostik dan Terapi . Jakarta; Bagian Pulmonologi FKUI 2001;p.91-2.
NO
BRONKOSKOPI Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Proses visualisasi langsung dari percabangan trakeobronkial, menggunakan alat bronkoskop flexible atau rigid. Bilasan Bronkus (Bronchial Washing): Tindakan membilas daerah bronkus dan cabangcabangnya dengan cairan normal saline via bronkoskop, pada permukaan lesi Bronchoalveolar lavage (BAL) merujuk pada pengambilan sampel dari daerah yang tidak tervisualisasi- parenkim paru yang lebih distal- dengan ujung bronkoskop menutup suatu saluran subsegmental, kemudian normal saline diinjeksikan untuk mendapatkan set dan organisme dari ruang alveolar.
274 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2.
Tujuan
Sikatan Bronkus (Bronchial Brushing): Tindakan Menyikat daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. Biopsi Forsep: Tindakan biopsi dengan menggunakan alat biopsi forsep melalui bronkoskop. Biopsi Aspirasi Jarum Transbronkial (Transbronchial Needle Aspiratrion /TBNA): Tindakan biopsi menembus trakeobronkus dengan jarum melalui bronkoskop untuk lesi/ kelainan yang menekan trakeobronkial. Pengangkatan Benda Asing: Pengambilan benda asing dalam saluran nafas menggunakan bronkoskop. Biopsi Paru Transbronkial (Transbronchial Lung Biopsy/ TBLB): Karena membutuhkan fluoroskopi C-arm, terapi laser, atau pemasangan stent Trakeobronkial tidak dimasukkan disini. Tujuan Umum: 1. Menilai keadaan percabangan bronkus. 2. Mengambil spesimen untuk diagnostik. 3. Melakukan tindakan terapeutik. Tujuan Khusus: Bilasan Bronkus (Bronchial Washing): Untuk mendapatkan spesimen untuk diagnostik (Sitologi dan mikrobiologi) dan membersihkan bronkus dari sekret, darah, atau bekuan darah. Sikatan Bronkus (Bronchial Brushing): Untuk mendapatkan spesimen untuk pembuatan sediaan apus sitologi dan pemeriksaan mikrobiologi. Biopsi Forsep: Untuk mengambil spesimen dari mukosa trakeobronkial untuk pemeriksaan histopatologi. Pengangkatan Benda Asing: Untuk membebaskan saluran napas. Biopsi Aspirasi Jarum Transbronkial (Transbronchial Needle Aspiratrion /TBNA): Untuk mendapatkan spesimen sitologi dari lesi yang menekan trakeobronkial.
3.
Indikasi
Diagnostik: 1. Nodul Paru Soliter. 2. Penyakit Kanker Paru. 3. Penyakti Paru Interstisial (ILD) 4. TB endobronkial. 5. Batuk menetap atau terdapat keluhan perubahan sputum. 6. Kelainan foto thoraks yang belum jelas penyebabnya. 7. Pneumothoraks: Bila paru tidak mengembang. 8. Hemoptisis. 9. Sputum sitologi positif, tetapi foto thoraks normal.
275 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
10. Pengambilan spesimen pasien dengan ventilasi mekanik. 11. Paralisis n. Recurrens/ diafragma. 12. Suara serak yang belum jelas penyebabnya. 13. Wheezing lokal. 14. Cedera Inhalasi Akut. 15. Perioperatif. Terapeutik: 1. Lavage. 2. Pengeluaran benda asing. 3. Penanganan Hemoptisis Masif. 4. Abses Paru. 5. Terapi Paliatif Untuk Kanker. a. Bilasan Bronkus (Bronchial Washing): Diagnostik: Penyakit paru infeksi, penyakit paru kerja, ILD, keganasan. Terapeutik: Evakuasi Bahan yang Ter-aspirasi/ inhalasi. Pasca Operasi. b. Sikatan Bronkus (Bronchial Brushing): Kelainan di daerah trakeobronkhial: Jaringan Infiltratif. Curiga TB Endobronkial. Infeksi Saluran Nafas Bawah. c. Biopsi Forsep: Kelainan di daerah trakeobronkial: Massa Keganasan, jaringan granulomatosa. Benda Asing Kecil. d. Pengangkatan Benda Asing: Pengeluaran Benda Asing. e. Biopsi Aspirasi Jarum Transbronkial (Transbronchial Needle Aspiratrion /TBNA): Lesi yang mendesak dari luar trakea dan bronkus utama atau pembesaran KGB paratrakea, subkarina, tetapi tidak ditemukan lesi intralumen. Karina tumpul karena desakan dari luar. Tumor intralumen yang mudah berdarah, atau tidak memberikan hasil dengan sikatan bronkus. Pada Sebagian besar kasus, digunakan bronkoskop flexible, Bronkoskop rigid untuk kasus dimana dieprlukan patensi saluran nafas dan ventilasi yang baik (Salruan nafas yang kecil), pengambilan darah/ sekret/ jaringan tumor/ benda asing. 4.
Kontra Indikasi
Relatif: 1. Hipoksemia Ireversibel (PO2 ≤ 60 mmHg).
276 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
2. 3. 4. 5. 6.
5.
Persiapan
Aritmia. Penyakit Jantung Iskemik. Asthma. Obstruksi Vena Cava Superior. Diathesis perdarahan, termasuk trombositopenia, dan gagal ginjal kronik. 7. Pasien tidak kooperatif. Pasien: 1. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul. 2. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. 3. Pemeriksaan DPL, BT, CT, Ureum, Elektrolit, AGD. 4. Foto Thoraks PA dan Lateral. 5. Spirometri. 6. EKG. 7. Pasien dengan asma diberikan nebulisasi dengan beta 2 agonis 30 menit sebelum indakan. 8. Pasien dengan gangguan perdarahan/ pembekuan diberikan trombosit atau FFP segera sebelum tindakan. 9. Puasa minima 4 jam sebelum tindakan. 10. Dipasang IVFD. 11. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (Tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, suhu). Ruangan: 1. Dilakukan di ruang tindakan SubBagian Pulmonologi, kecuali darurat. Alat: 1 set peralatan bronkoskopi. Sumber O2 dengan aparatusnya. Mouth Piece. Larutan Povidon Iodine diencerkan untuk membersihkan bronkoskop. Kassa steril. Kain penutup mata pasien. Pulse Oxymeter. Mucus Collector/ Wadah Penampung Cairan bilasan. Untuk Sikatan Bronkus: Sikat tanpa selubung, sikat dengan selubung, sikat kateter ganda tertutup, polietilenglikol, gelas obyek 6 buah, alkohol 96%. Untuk Biopsi Forsep: Alat biopsi forsep, wadah berisi formalin 40%. Untuk TBNA: Alat jarum TBNA, syringe 10 ml, syringe 20 ml, wadah berisi formalin 40%. Bahan: Sulfas Atropin (SA) 0,25 mg, 1-2 ampul. Diazepam 5 mg, 1 ampul. Lidocaine 2%, 2 ampul @ 20 ml. Syringe 5 cc, 3 buah.
277 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
6.
Prosedur Tindakan
Syringe 20 cc, 3 buah. Cairan NaCl 0,9%. Xylocaine spray 10%. Obat Resusitasi: Adrenalin ampul, Dexamethasone Ampul, SA ampul, Bicnat (Natrium Bikarbonat) ampul, Bronkodilator Ampul..
Umum: 1. Diperiksa tanda vital, status paru, dan jantung. 2. Premedikasi dengan Sulfas Atropin 0,25 – 0,5 mg IM, 1 jam sebelum bronkoskopi. 3. Sesaat sebelum bronkoskopi. 4. Anestesi lokal: Kumur tenggorok dengan lidocaine 2% 5 mL, selama 5 menit dalam posisi duduk. Xylocaine spray 10% 5-7 semprot daerah laringofaring dan pita suara menggunakan kaca laring. Bila via hidung: Semprotkan 30 mg lidocaine 4% atau 10 % ke ostium nasal. Instilasi lidocaine 2% 2 ml ke trakea via pita suara. 5. Pasien terlentang, dengan tubuh bagian atas/ punggung disangga, membentuk sudut 45º. 6. Ditempatkan bantal di belakang kepala, supaya otot leher menjadi lemas. 7. Bronkoskopi diinspeksi dan kejernihan gambar diperiksa. 8. Sensor oxymeter ditempel pada jari telunuk pasien. 9. O2 3-4 L/m melalui kanul nasal. 10. Kedua mata pasien ditutup dengan kain penutup untuk mencegah terkena laruta lidocaine/ cairan pembilas. 11. Diletakkan mouth piece di antara gigi atas dan bawah untuk melindungi bronkoskop. 12. Bronkoskop mulai dimasukkan melalui celah mouth piece. 13. Faring diinspeksi. 14. Instrument dimasukkan ke dorsal/epiglotis, mobilitas pita suara dilihat pada saat pasien menyebutkan “ii” 15. Pita suara diinstalsi dengan lidocaine 1-2 ml, melalui saluran di bronkoskop. Sebelum diinstilasi, pasien diberitahu bahwa hal itu dapat merangsang batuk, instilasi lidocaine dengan jumlah yang sama dapat diulang bila pasien terbatuk selama dilakukan tindakan. Lidocaine yang berlebihan diasirasi dari sekitar laring. 16. Instrument dimasukkan melalui bagian terlebar dari glottis. Pada saatinsiprasi tanpa menyentuh pita suara sebelumnya pasien diberitahu bahwa hal ini dapat menimbulkan sensasi tercekik yang segera hilang. 17. Trakea, karina, dan percabangan bronkus dinilai
278 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
dan dianestesi dengan lidocaine 2% 2ml, maksimal 6 kali. Lobus superior paru kanan dan kiri dianestesi dengan injeksi langsung lidocaine (Dosis maksimal instilasi lidocaine 400mg). 18. Inspeksi menyeluruh dilakukan pada semua percabangan bronkus sampai bronkus subsegmental. 19. Bila pandangan terhalang oleh sekret pada lensa distal disemprot dengan 5 mL NaCl 0,9% yang diaspirasi kembali saat pasien batuk. Alternatif adalah mem-fleksikan ujung bronkoskop dan dengan hati-hati diusapkan pada mukosa trakea atau bronkus. Untuk Bilasan Bronkus: 1. Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai, dimasukkan cairan NaCl 0,9% hangat 5 mL. 2. Cairan segera diaspirasi lagi dan ditampung dalam wadah penampung khusus yang dipasang pada alat bronkoskop. 3. Tindakan ini diulangi sampai cukup bersih atau didapat spesimen. Untuk Sikatan Bronkus: 1. Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan, alat sikat dimasukkan melalui bronkoskop. 2. Dilakukan sikatan beberapa kali sampai dirasa cukup. 3. Setelah selesai melakukan sikatan, alat sikat ditarik ke dalam kanal bronkoskop, dan dikeluarkan dari trakeobronkial bersama bronkoskop. 4. Setelah berada di luar, sikat dikeluarkan dari ujung bronkoskop sepanjang ± 5 cm, kemudian sikat dijentikkan pada gelas obyek dan dibuat sediaan apus (Bila sikat tanpa selubung, untuk pemeriksaan kanker paru) atau ujung sikat digunting dan dimasukkan ke dalama pot steril berisi media transport/ media kultur(sikat kateter ganda untuk pemeriksaan mikroorganisme). 5. Sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi direndam dalam wadah berisi alkhohol 96%. Untuk Biopsi: 1. Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan, ujung bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut. 2. Alat biopsi forsep dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar dari ujung bronkoskop. 3. Asisten membuka forsep, lalu forsep didorong sampai terbenam di massa. 4. Forsep ditutup, lalu ditarik sambil melihat jaringan yang didapat (Jaringan Nekrotik Dihindari). 279 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5. Setelah biopsi selesai, forsep bersama material yang didapat ditarik keluar dari bronkoskop. 6. Spesimen direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40%. 7. Bronkoskop dilanjutkkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatas. Setelah tidak ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan. Untuk TBNA: 1. Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan, ujung bronkoskop ditempatkan ± 4 cm diatas daerah tersebut. 2. Alat biopsi jarum dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar dari ujung bronkoskop. 3. Jarum dikeluarkan dari selubungnya, bronkoskop didorong ke sasaran sampai jarum menembus mukosa bronkus atau menembus bronkus pada lesi yang menekan bronkus. 4. Operator melakukan biopsi dengan cara menekan dan menarik jarum, sementara asisten melakukan aspirasi dari ujung proksimal jarum dengan syringe 10-20 ml beberapa kali. 5. Bila sediaan dianggap cukup, pengisapan dengan semprit dihentikan dan jarum dimasukkan kembali ke dalam selubungnya. 6. Jarum dikeluarkan dari bronkoskop. 7. Setelah berada di luar, jarum dikeluarkan dari selubungnya dan ditempatkan di atas gelas obyek dan dengan menggunakan syringe 10-20 ml, yang dihubungkan dengan ujung jarum TBNA, material didorong ke gelas objek untuk dibuat sediaan apus. 8. Sediaan apus direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40%. 9. Bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan. Untuk Pengambilan benda asing, digunakan: 1. Grasping Forceps untuk mengeluarkan benda pipih atau tipis anorganik (Pin), atau organik tapi keras (Tulang). 2. Basket untuk benda berukuran besar dan bulky. 3. Magnet untuk benda logam yang kecil, jarum, klip. 4. Setelah spesimen sitologi, mikrobiologi, dan biopsi atau benda asing diambil, sekret berlebihan diaspirasi, hemostasis diyakinkan, dan instrumen dicabut. 5. Pasca tindakan diterangkan kepada pasien kemungkinan adanya sedikit darah saat batuk, yang akan hilang dalam 48 jam. Dianjurkan tidak makan atau minum selama 2 jam setelah tindakan karena efek anestesi topikal. 7.
Instruksi Pasca Tindakan
Pasca tindakan diterangkan kepada pasien kemungkinan
280 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
adanya sedikit darah saat batuk, yang akan hilang dalam 48 jam. Dianjurkan tidak makan atau minum selama 2 jam setelah tindakan karena efek anestesi topikal. 8. 9. 10.
Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
± 1 jam. A. Yang Berhubungan Dengan Premedikasi: Depresi pernafasan, Hipotensi transient, Syncope, Hipereksitabilitas. B. Yang Berhubungan Dengan Analgesia Topikal (Jarang dengan Lidocaine): Henti nafas, Konvulsi, Kolaps kardiovaskuler, Laryngospasme, MetHemoglobinemia. C. Yang Berhubungan Dengan Bronkoskopi: Laryngospasme, Respiratory Compromise/ Depresi Nafas, Bronkospasme, Demam pasca Bronkoskopi, Epistaksis (Bila Via Nasal), Henti jantung, Aritmia, Syncope, Pneumonia, Infeksi silang. D. Yang Berhubungan Dengan Biopsi Transbronkhial: Pneumothoraks. Perdarahan.
11.
Wewenang
12.
Unit Yang Menangani
13.
Unit Yang Terkait
E. Yang Berhubungan Dengan Lavage / BAL: Demam. Konsulen Subbagian Pulmonologi- Departemen IPD RSCM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Untuk Bronkoskopi untuk visualisasi trakeobronkhial: PPDS Penyakit Dalam tahap II, III yang sedang dan sudah melalui SubBagian Pulmonologi Deptartemen IPD RSCM dengan bimbingan langsung dari Konsulen Subbagian Pulmonologi- Departemen IPD RSCM Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi RSCM. Departemen Patologi Anatomi.
Referensi:
281 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
1. Halpin D. Collins J. Invasive Technique: Bronchoscopy and Lavage. Dalam: Brewis RAL, Corrin B, Geddes DM, Gibson GJ (eds.) Respiratory Medicine 2nd ed. London: WB Saunders 1995;p 362-73 2. Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan: Diagnostik dan Terapi . Jakarta; Bagian Pulmonologi FKUI 2001;p.2-15. 3. Sterman DH. Broncoscopy, Transthoracic Needle Aspiration, and Related Procedures. Dalam: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). ishman’s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3rd ed. New York:McGraw-Hill, 2002;p 75-91. 4. Weinberger SE, Drazen JM. Diagnosis Procedures in Respiratory Disease. Dalam: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw- Hill, 2001;p 1455.
NO
SPIROMETRI Hal
1.
Pengertian
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Pemeriksaan untuk mengukur volume paru statik dan dinamis dengan alat spirometer. Volume udara total di paru-paru terbagi atas kompartemen (Volume) dan kapasitas (Kombinasi dari 2 atau lebih volume. Volume Dalam Keadaan Statis: Tidak Volume :TV. Expiratory Reserve Volume :ERV. Inspiratory Reserve Volume :IRV. Residual Volume :RV. Vital Capacity :VC. Force Vital Capacity :FVC. Inspiratory Capacity :IC. Functional Residuat Capacity :FRC. Total Lung Capacity :TLC. Volume Dinamik: Volume Expired In The First Second :FEV 1 Maximal Voluntary Ventilation :MVV Interpretasi: Klasifikasi Pola Abnormal Terdiri Atas: 1. Pola Obstruksi (Karena Penyempitan Jalan Nafas dan Perlambatan Arus udara). 2. Pola Restriksi (Karena Penyakit Parenkim Paru, Dinding Dada, Rongga Pleura, Neuromuskular yang mengurangi kapasitas vital dan volume paru). 3. Pola Campuran Obstruksi-Restriksi (Karena Proses Yang Mengurangi Volume Udara, Kapasitas Vital arus udara, dan termasuk penyempitan jalan nafas). 4. Transfer Udara Abnormal (Abnormalitas Membran Alveoli Kapiler).
282 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
Kategori Obstruksi Berdasarkan Pengukuran FEV1/ FVC % Kategori Nilai FEV1/FVC % Normal: >69% Obstruksi Ringan 61-69 % Obstruksi Sedang 45-60% Obstruksi Berat <45% Kategori Restriksi Berdasarkan Rasio VC Didapat/VC Prediktor. Kategori VC % Normal: ≥ 1% Restriksi Ringan 66-80% Restriksi Sedang 51-65% Restriksi Berat ≤ 50%
2.
Tujuan
1. Menilai Status Faal Paru: Normal, hiperinflasi, Obstruksi, Restriksi, atau Campuran. 2. Menilai Manfaat intervensi/ pengobatan. 3. Evaluasi Perkembangan Penyakit. 4. Menentukan Prognosis. 5. Menentukan Toleransi Tindakan bedah: Menentukan resiko ringan, sedang, atau berat. Menentukan apakah dapat dilakukan reseksi paru.
3.
Indikasi
1. Penderita sesak napas. 2. Penderita asma dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar, selanjutnya setiap 6 bulan. 3. Penderita PPOK dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar PPOK dan penyakit Obstruksi. Lainnya, selanjutnya setiap 3- 6 bulan. 4. Penderita asma dan PPOK setelah pemberian bronkodilator untuk melihat efek pengobatan. 5. Penderita yang akan mengalami tindakan bedah torakotomi. 6. Pemeriksaan berkala pada orang-orang yang merokok sekali setahun.
4.
Kontra Indikasi
Absolut: Tidak ada. Relatif: Hemoptisis, Pneumothoraks, Infark Miokard,
283 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
5.
Persiapan
6.
Prosedur Tindakan
7. 8. 9. 10.
Instruksi Pasca Tindakan Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12. 13.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Alat:
Emboli Paru, Status Kardiovaskular tidak Stabil, Aneurisma Cerebri, Pasca Bedah Mata, Infeksi Viral (2-3 minggu terakhir).
Spirometri. Mouth Piece 1 buah.
Penderita: Tidak menggunakan obat bronkodilator minimal 8 jam (Kerja Singkat) atau 24 jam (Kerja Panjang). Tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 jam sebelum pemeriksaan. Tidak berpakaian ketat. Diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan pemeriksaan. Diukur tinggi badan, berat badan. 1. Posisi berdiri tegak, ekcuali jika tidak memungkinkan, dalam posisi dudu. 2. Penderita menghirup udara semaksimal mungkin. 3. Kemudian meniup melalui mouth piece sekuatkuatnya dari sampai semua udara dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang bocor melalui celah antara bibir dan mouth piece. 4. Pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (Beda antara 2 nilai terbesar dari ketiga percobaan ≤ 5% atau ≤ 100 mL).
± 10 menit. Pneumothoraks, Peningkatan Tekanan Intrakranial, Syncope, Sakit Kepala, Pusing, Nyeri Dada, Batuk, Infeksi Nosokomial, Desaturasi Oksigen, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam, dan Petugas Terlatih Untuk Spirometri. Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Lain Yang Melakukan Tindakan Operasi.
Referensi: 1. Grippi MA, Bellini LM. Pulmonary Function and Cardiopulmonary Exercise Testing. Philadephia: Lipincott Williams & Wilkins, 2002:31-40. 2. Yunus F. Pemeriksaan Spirometri. Prosiding Workshop on Respiratory Physiology and its Clinical Application. Jakarta, 28-29 Juni 1997. 284 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan: Diagnostik dan Terapi . Jakarta; Bagian Pulmonologi FKUI 2001;p.28-32.
NO
BIOPSI PLEURA Hal
1.
Pengertian
2.
Tujuan
3.
Indikasi
4.
Kontra Indikasi
5.
Persiapan
No. Dokumen
No.Revisi
Hal.
Tindakan Untuk Mengambil Spesimen Jaringan Pleura Parietal Secara Trans-Torakal. Untuk Mendiagnosis Penyakit-Penyakit Pleura Seperti Tuberkulosis dan Keganasan. Bila torakosentesis sebelumnya tidak memberikan hasil diagnostik yang diharapkan. Untuk meningkatkan ketepatan diagnostik pada saat torakosentesis inisial pada pasien dengan efusi pleura yang belum dapat diterangkan atau penebalan pleura, terutama jika dicurigai karsinomatosis pleura atau tuberkulosis.
Gangguan fungsi koagulasi yang belum teratasi. Pneumothoraks. Pasien tidak kooperatif. Pasien yang mendapatkan Positive Pressure Ventilation (PPV).
Bahan dan Alat: Jarum Biopsi. Skalpel no. 11. Klem Kelly. Cairan Antiseptik, sarung tangan steril, kasa, handuk steril. Lidokain 1% 20ml. Spuit 2 cc dan 10 cc. Jarum no.25 ¾ Inci. Jarum no. 20 1 ½ inci. Tempat Spesimen dengan larutan Formalin 10%. Persiapan Pasien: 1. Pemeriksaan DPL, BT, CT. 2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul. 3. Setelah mengerti dan setuju, pasien, dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. 4. Dilakukan Pemeriksaan Hemodinamik. (Tekanan Darah, Nadi, Frekuensi Pernafasan, Suhu).
6.
Prosedur Tindakan
Prosedur Tindakan. (Jarum Abrams): 1. Pasien duduk dengan posisi santai. 2. Tetapkan lokasi biopsi, pada sela iga linea aksilari posterior.
285 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum Abrams. 4. Asepsis dan Antisepsis daerah tidnakan. 5. Anestesi daerah tindakan dengan jarum no.25 untuk bagian luar dan jarum no.20 untuk bagian dalam. 6. Dilakukan sayatan 3mm dengan skalpel pada kulit/ jaringan interkostal yang dipilih. 7. Dorong jarum Abrams dengan gerakan memutar dalam posisi tertutup sampai terasa ada hambatan. Putar alat ke dalam posisi terbuka dan aspirasi dengan spuit. Adanya carian membuktikan pemotongan berada di ruang pleura. 8. Letakkan pemotongan pada posisi jam 6. Pemotongan dikeluarkan bila pleura parietal telah diperoleh, jarum pemotong diputar di posisi tertutup dan keluarkan. 9. Letakkan spesimen pada kaldu untuk M.Tuberkulosis dan kultur Jamur, sedangkan yang lainnya diletakkan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan histologi. 10. Ulang prosedur ini sampai 5 kali dengan jarum pemotong dan diarahkan ke bawah antara posisi jam 2 dan jam 10. Jarum pemotong jangan diarahkan ke atas oleh karena dapat merusak syaraf dan pemuluh darah interkostal. 11. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura gunakan jarum torakosentesi atau jarum Abrams. 12. Luka ditutup dengan Verban dan jika diperlukan dapat dijahit. Teknik Memakai Jarum Cope: 1. Pasien duduk dengan posisi santai dan nyaman. 2. Tetapkan lokasi biopsi, pada sela iga linea aksilaris posterior. 3. Gunakan sarung tangan steril dan latih Penggunaan Jarum Cope. 4. Asepsis dan Antisepsis daerah tindakan. 5. Anestesi daerah tindakan. 6. Buat insisi pada kulit sepanjang 3mm. 7. Masukkan ujung trokar ke dalam kanula luar, tusukkan ke dinding dada dan tarik trokar dengan gerakan memutar sampai cairan teraspirasi. 8. Keluarkan trokar dari kanula luar dan masukkan kaitan trokar biopsi dalam. Untuk mencegah udara memasuki ruang pleura ketika trokar dikeluarkan dari kanula luar, pasien dianjurkan untuk menahan napas. 9. Tempatkan pemotong kait trokar biopsi antara jam 2 dan jam 10, gunakan penutup metal pada proksimal trokar biopsi sebagai tuntunan biopsi. 10. Cabut perlahan-lahan trokar biopsi dan kanula bersama-sama sampai kait trokar terangkat. 11. Masukkan kanula luar ke dalam dada dengan gerakan memutar sambil tetap berusaha menarik trokar biopsi. 286 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004
12. Kanula luar memotong jaringan pleura yang kuat pada trokar biopsi. Tarik trokar biopsi dari kanula luar dan keluarkan hasil biopsi. 13. Trokar dapat dimasukkan ulagn ke dalam kanula luar dan dapat dilakukan biopsi tambahan, 3 sampai 6 spesimen dapat diperoleh dari kait biopsi dengan arah yang berbeda-beda. Letakkan 1 jaringan spesimen pada kaldu M. Tuberculosis dan kultur jamur. 14. Sedangkan lainnya dapat diletakkan pada cairan formalin 10% untuk pemeriksaan histologi. 15. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura dapat melalui kanula luar. 16. Tutup tempat pungsi dengan verban. Jika perlu dapat dijahit. Evaluasi Pasca-Biopsi Pleura Observasi tanda-tanda pneumothoraks. Foto Dada PA. 7.
Instruksi Pasca Tindakan
8. 9. 10.
Penilaian Lama Tindakan Komplikasi
11.
Wewenang
12. 13.
Unit Yang Menangani Unit Yang Terkait
Evaluasi Pasca-Biopsi Pleura Observasi tanda-tanda pneumothoraks. Foto Dada PA.
10-15 menit. Pneumothoraks. Perdarahan. Kerusakan saraf interkostal dengan gejala nyeri sisa dan berkurangnya sensibilitas. Nodul Tuberkulosis pada lokasi Biopsi. Emfisema subkutan. Reaksi Vasovagal. Konsulen Subbagian Pulmonologi- Departemen IPD RSCM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dan PPDS Penyakit Dalam Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Subbagian Pulmonologi. Departemen Patologi Anatomi.
Referensi: 1. Bahar A. Biopsi Pleura. Dalam: Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW. Simadibrata M, Setiati S, Gani RA, Mansjoer A, (eds). Prosedur Tindakan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam . Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI 1999;p.211-5. 2. Colt HG, Mathur PN. Manual of Pleural Procedures. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins, 1999; p:105-114.
287 | Standar Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam edisi-2004