MODUL PENDIDIKAN PROGRAM PROFESI DOKTER BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 2016 1|Page
DAFTAR ISI
Judul Modul……………………………………………………………………………………1 Daftar Isi……………………………………………………………………………………….2 Kurikulum Program Profesi Dokter…………………………………………………………..3 Tujuan Pembelajaran………………………………………………………………………..3 Topik pembelajaran………………………………………………………………………….4 Pembahasan Pokok Bahasan……………………………………………………………….4 Referensi…………………………………………………………………………………….24 Jadwal dan Topik Bimbingan………………………………………………………………25 Kegiatan Kepaniteraan……………………………………………………………………..25 Pertanyaan………………………………………………………………………………….26
2|Page
MODUL PENDIDIKAN PROFESI DOKTER BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
Kurikulum Program Profesi Dokter Program pendidikan profesi dilaksanakan dengan menggunakan metode pelatihan berdasarkan kompetensi (Compentency Based Trainning), yang meliputi kompetensi klinik dan manajemen kesehatan masyarakat. Selama proses pendidikan mahasiswa mempelajari berbagai aspek yang berhubungan dengan pengelolaan penyakit pasien, keluarga dan masyarakat dengan menitikberatkan pada pelatihan keterampilan klinik, etika dan evidence-based medicine sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan. Tujuan Pembelajaran 1. Mahasiswa mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara baik dan benar. 2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk menunjang diagnosis. 3. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis kerja dan diagnosis banding berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana. 4. Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan 5. Mahasiswa mampu memberikan terapeutik 6. Mahasiswa mampu melakukan ketrampilan klinis yang penting 7. Mahasiswa mampu mengatasi kedaruratan klinik yang penting 8. Mahasiswa mampu memberikan edukasi sesuai diagnosis penyakit 9. Mahasiswa mengetahui patogenesis dan patofisiologi penyakit 10. Menghasilkan dokter yang profesional melalui proses yang terstandardisasi sesuai kebutuhan masyarakat
3|Page
Topik pembelajaran Selama menjalani satu siklus di bagian penyakit dalam terdapat keadaan klinis yang sering terjadi dan penting untuk diketahui seperti yang terdapat di uraian berikut ini. Daftar ini belum mencakup semua kelainan dan diberikan sebagai panduan mengenai topik –topik yang penting untuk diketahui. Mahasiswa setidaknya harus mengenal 70 % dari daftar penyakit yang disampaikan pada logbook . Pembahasan Pokok Bahasan 1. Renjatan Anafilatik a. Insiden Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotic golongan beta laktam, khususnya penisillin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002% pemakaian. Selanjutnya penybab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1: 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar. b. Tatalaksana - Untuk renjatan 1. Adrenalin larutan 1: 1000 0,3-0,5 ml subkutan/intramuskular pada lengan atas atau paha. Bila renjatan anafilaksis disebabkan serangan serangga berikan suntik adrenalin kedua 0,1-0,3 ml pada tempat serangan kecuali bila sengatan di kepala , leher, tangan atau kaki. Terapi dapat dilanjutkan dengan infus adrenalin 1 ml (1mg) dalam dekstrose 5% 250 cc dimulai dengan kecepatan 1µg/menit dapat ditingkatkan dengan sampai 4 µg/menit sesuai keadaan tekanan darah . hati-hati pada ornag tua dengan kelainan jantung atau gangguan kardiovaskuler lain 2. Pasang torniqet proksimal dari suntikan atau sengatan serangga, dilonggarkan 1-2 menit setiap 10 menit 3. Oksigen bila sesak , mengi, sianosis 3-5 l/menit dengan sungkup atau kanul nasal 4. Antihistamin intravena, intramuskular atau oral
4|Page
Rawat pasien di ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan terapi: 1. IVFD deksrose 5% dalam 0,45% NaCL 2-3 l/m permukaan tubuh 2. Dopamin 0,3-1,2 mg/kgBB/jam bila tekanan darah tidak membaik 3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kgBB intravena dilanjutkan 5 mg/kgBB tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam -
Bila disertai spasme bronkus maka pada pasien diberikan inhalasi beta-2 agonis. Jika spasme bronkus menetap aminofilin 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam Nacl 0,9% 10 ml diberikan perlahan-lahan dalam 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infus aminofilin0,2-1,2 mg/kgBB/jam
-
Bila disertai edema hebatsaluran nafas atas, maka pada pasien dilakukan intubasi dan trakeostomi
-
Pemantauan paling sedikit 24 jam
2. Diabetes mellitus tipe 1 a. Epidemiologi Sekitar 18,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM dan diantara pasien ini 5,2 juta orang tidak terdiagnosa. Risiko mengalami diabetes untuk bayi yang dilahirkan pada tahun 2000 diperkirakan adalah 32,8% untuk pria dan 38,5% untuk wanita. DM tipe 1 ditemukan pada 5% sampai 10% pasien dengan diabetes dan prevalensinya pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun adalah sekitar 1 dalam 400. DM tipe 1 tidak memiliki variasi musiman dan perbedaan jenis kelamin secara klinis tidak bermakna. b. Tatalaksana Non Farmakologis : •
Edukasi
•
Terapi gizi
•
Latihan jasmani
Farmakologis : Insulin
5|Page
•
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
•
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
•
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
•
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
•
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)
3. Diabetes mellitus tipe 2 a. Epidemiologi Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3 – 6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik diseluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya. Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6% kecuali di dua tempat yaitu Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. b. Kriteria Diagnosis 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl sudah cukup menegakkan diagnosis DM 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik. 3. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) c. Tatalaksana 1. Edukasi 2. Terapi gizi medis 3. Latihan jasmani 4. Intervensi farmakologis a. Obat Hipoglikemik Oral •
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonil urea dan glinid
•
Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin dan tiazolidindion
•
Penghambat glukoneogenesis
•
Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
•
DPP IV inhibitor
b. Insulin
6|Page
•
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
•
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
•
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
•
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
•
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)
4. Alergi makanan a. Epidemiologi Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Sifat fisikokimia yang berperan dalam alergenisitas masih belum banyak diketahui. Alergen dalam makanan terutama berupa protein yang terdapat didalamnya. Beberapa makanan seperti susu sapi, telur dan kacang mengandung beberapa protein alergen sekaligus. Di Amerika penderita alergi makanan pada orang dewasa berjumlah 2-2,5%, pada anak sekitar 6-8%. Setiap tahunnya diperkirakan 100-150 meninggal akibat alergi makanan. Penyebab tersebut karena syok anafilaktik. Kasus terbanyak terjadi pada anak berusia 8-12 tahun. Di Indonesia alergi berjumlah 25-40% anak pernah mengalami alergi makanan. Di negara berkembang, angka kejadian alergi masih rendah dibandingkan di negara maju. b. Tatalaksana Sebenarnya terapi alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab. Hal itu kadang sulit dilakukan, sehingga perlu konsultasi dengan ahli gizi. Pada reaksi alergi makanan ringan hanya diberikan antihistamin, dan jika perlu ditambahkan kortikosteroid pada reaksi sedang. Sedangkan pada serangan anafilaksis terapi utamanya adalah epinefrin/adrenalin. 5. Demam tifoid a. Epidemiologi Sejak awal abad XX insiden demam tifoid menurun di USA dan Eropa. Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan system pembuangan yang baik dan ini belum dimiliki oleh sebagian besar Negara berkembang. Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan kemungkinan Afrika selatan ( insiden > 100 kasus per 100.000 populasi pertahun ). Di Indonesia insiden demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Depkes RI tahun 2010 melaporkan demam tifoid menempati urutan ke – 3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia ( 41.081 kasus ) b. Tatalaksana Terapi Non Medikamentosa :
7|Page
•
Tirah baring
•
Makanan lunak rendah serat
Terapi Medikamentosa : Pilihan utama : kloramfenikol 4 x 500 mg Alternatif lain : •
Tiamfenikol 4 x 500 mg
•
Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
•
Ampisilin dan amoksisiklin 50- 150 mg/kgBB selama 2 minggu
•
Sefalosporin generasi III yang terbukti efektif adalah sefriakson 3- 4 gr dalam dektrose 100 cc selama setengah jam per-infus sekali sehari selama 3-5 hari
•
Fluorokuinolon (ciprofloksasin 2x 500 mg hari selama 7 hari)
Terapi Khusus : Kasus toksik tifoid ( demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4x 500 mg dengan ampisilin 4x I gr dan deksametason 3x 5 mg 6. Gastritis a. Epidemiologi Gastritis merupakan salahsatu masalah kesehatan saluran pencernaan yang paling sering terjadi. Badan penelitian WHO mengadakan tinjauan terhadap beberapa negara di dunia dan mendapatkan hasil persentase dari angka kejadian gastritis didunia diantaranya Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Menurut WHO di Indonesia angka kejadian gastritis dibeberapa daerah juga cukup tinggi. Di Surabaya angka kejadian gastritis sebesar 31,2%, Denpasar 46% dan kejadian gastritis yang tertinggi terdapat di kota Medan yaitu sebesar 91,6%. b. Tatalaksana
8|Page
•
Hentikan dan atasi etiologinya
•
Suportif : nutrisi diet lambung
•
Obat-obat penetral dan penyekat asam lambung (Antasida, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor), antiflatulen, sitoprotektif, prokinetik
•
Edukasi : Makan teratur, hindari OAINS, rokok, kopi, alkohol, makanan dan minuman yang merangsang peningkatan sekresi dan pembentukan gas lambung, hindari stress psikis.
7. Hepatitis A a. Epidemiologi Virus hepatitis A telah menginfeksi manusia lebih dari 2000 tahun. Pada tahun 1947, hepatitis A pertama kali dapat diidentifikasi melalui specimen feses dengan mikroskop electron. Angka kejadian hepatitis A di seluruh dunia adalah 1,5 juta kasus pertahun, dimana diperkirakan jumlah kasus yang tidak dilaporkan adalah 80%. Infeksi virus hepatitis A tersebar ke seluruh dunia dengan endemisitas sangat rendah, rendah, intermediate dan tinggi. Perubahan epidemiologi infeksi virus hepatitis A mengalami perubahan, dimana pada Negara berkembang, infeksi terjadi pada usia anak-anak hingga dewasa, sedangkan pada negara maju dengan endemisitas rendah infeksi virus hepatitis A umumnya terjadi pada usia dewasa ( 30 tahun ke atas). b. Tatalaksana - Terapi simptomatik dan hidrasi yang adekuat - Hindari obat yang bersifat hepatotoksik seperti parasetamol - Pencegahan penularan seperti pemberian immunoglobulin, vaksinasi, kondisi higienis yang baik seperti cuci tangan dan desinfeksi. 8. Hipertensi a. Epidemiologi Hipertensi ditemukan pada kurang lebih 6% seluruh penduduk dunia dan merupakan sesuatu yang sifatnya umum pada seluruh populasi. Lebih dari separuh populasi diatas usia 65 tahun menderita hipertensi, baik hipertensi sistolik maupun kombinasi sistolik dan diastolic. Di Indonesia berdasarkan survey RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi penderita hipertensi adalah 31,7% terbanyak di Jawa Timur 37,4% dan terendah di Papua Barat 20,1%. Pada penduduk diatas usia 50
9|Page
tahun, penderita hipertensi ditemukan lebih banyak pada wanita yaitu 37% bila dibanding pria yaitu 28%. b. Tatalaksana Modifikasi gaya hidup dengan target tekanan darah <140/90 mmHg atau
•
<130/ 80 pada pasien DIM atau penyakit ginjal kronis. Bila target tidak tercapai maka diberikan obat inisial. Obat inisial dipilih berdasarkan:
•
1. Hipertensi tanpa compe1ling indication a. Pada hipertensi stage I dapat diberikan diuretic. Pertimbangan pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor beta, penghambat kalsium, atau kombinasi b. Pada hipertensi stage II dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik, tiazid dan penghambat ACE atau antagonis reseptor bloker atau penyekat reseptor beta atau penghambat kalsium 2.
Hipertensi dengan compelling indication. Lihat table petunjuk pemilihan obat pada compelling indication. Obat antihipertensi lain dapat diberikan bila dibutuhkan misalnya diuretik, antagonis reseptor α, penghambat ACE, penyekat reseptor beta. atau penghambat kalsium.
Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan untuk berkonsultasi pada spesialis hipertensi. Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor All:
•
evaluasi kreatinin dan kalium senim, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi obat harus dihentikan Kondisi khusus lain:
• a.
Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki >102 cm atau perempuan >89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa ? 110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/ 85 mmHg, trigliserida tinggi ? 150 mg/dl, kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan) —> modifikasi gaya hidup yang intensifdengan pilihan terapi utama golongan penghambatACE. Pilihan lain adalah antagonis
10 | P a g e
reseptorAll, penghambat kalsium, dan penghambat b.
Hipertrofi
ventrikel
kiri
—>
tatalaksana
tekanan
darah
yang
agresiftermasuk penuriman berat badan, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi kecuali vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil c.
Penvakit arteri perifer àsemua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan pemberian aspirin.
d.
Lanjut usia, termasuk- penderita hipertensi sistolik terisolasi à diuretik, (tiazid) sebagai line pertama. dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hr Penggunaan
obat
antihipertensi
lain
dengan
mernpertimbangkan
penyakit penyerta 9. Infeksi Saluran Kemih a. Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih (ISK) tergantung banyak factor seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan kecuali disertai factor predisposisi (pencetus). Prevalensi bakteriuria asimptomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah ( school girls ) 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimptomatik meningkat mencapai 30%, baik laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi. b. Tatalaksana - Infeksi Saluran Kemih Bawah Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat dan bila perlu terapi simptomatik untuk alkalinisasi urin : • Hampir 80% pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotia tunggal seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim 200 mg • Bila infeksi menetap disertai memperlihatkan kelainan urinalisis (leukosuria) diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari.
11 | P a g e
•
Pemeriksaan mikroskopis urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa leukosuria.
-
Infeksi Saluran Kemih Atas Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam. The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui MO sebagai penyebab, yaitu : •
Fluorokuinolon
•
Aminogliosida dengan atau tanpa ampisilin
•
Sefalosporin dengan spectrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida
10. Anemia Defisiensi Besi a. Epidemiologi Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai di negara berkembang. Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi ADB di Indonesia. Martoatmojo dkk memperkirakan ADB pada laki-laki 16-50% dan 2584% pada perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negri di Bali didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk suatu desa di Bali didapatkan angka prevalensi ADB sebesar 27%. Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang paling rentan pada ADB. Di India, Amerika latin dan Filipina prevalensi ADB pada perempuan hamil berkisar 35% sampai 99%. Sedangkan di Bali pada pada suatu pengunjung puskesmas didapatkan prevalensi anemia sebesar 50% dengan 75% anemia disebabkan oleh defisiensi besi. b. Tatalaksana Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah : - Terapi kausal. Terapi terhadap perdarahan, misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragi - Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
12 | P a g e
a. Terapi besi oral : Sulfas ferosus 3x200 mg. Pengobatan ini diberikan selama 3-6 bulan. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung besi seperti hati dan daging b. Terapi besi parenteral. Sangat efektif namun mempunyai risiko lebih besar dan mahal, sehingga hanya diberikan atas indikasi tertentu 11. Gagal jantung a. Epidemiologi Diperkirakan terdapat sekitar 23 juta orang mengidap gagal jantung diseluruh dunia. American Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa diperkirakan 1-2%. Insidensi dan prevalensi gagal jantung meningkat secara dramatis sesuai dengan peningkatan umur. Studi Framingham menunjukkan peningkatan prevalensi gagal jantung, mulai 0,8% untuk orang berusia 50-59 tahun hingga 2,3% untuk orang dengan usia 60-69 tahun. Gagal jantung dilaporkan sebagai diagnosis utama pada pasien di rumah sakit untuk kelompok usia lebih dari 65 tahun. b. Tatalaksana Non farmakologi •
Anjuran umum : a. Edukasi : b. Aktivitas sosial diusahakan agar dapat dilakukan seperti bias. c. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang. d. Vaksinasi terhadap infeksi pneumonia dan influensa bila mampu. e. Kontrasepsi sebaiknya dengan IUD
•
Tindakan Umum: a. Diet (Rendah Garam) b. Hentikan merokok c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati d. Aktivitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/mingguselama 20 menit.
13 | P a g e
e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut. Farmakologi : •
Diuretik : diuretik hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25-50mg/hari.
•
ACE Inhibitor
•
Beta Bloker
•
Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila KI dengan ACE inhibitor.
•
Digoksin diberikan pada pasien simptomatik dengan dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiridan terutama dengan AF, digunakan bersama sama diuretik, ACE inhibitor, penyekat beta. Antikoagulan dan anti platelet.
•
12. Askariasis a. Epidemiologi Penyakit ini disebabkan oleh infestasi cacing Ascaris Lumricoides atau cacing gelang. Pada umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Prevalensi ascariasis di daerah pedesaan lebih tinggi, hal ini terjadi karena buruknya system sanitasi lingkungan didaerah pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang rendah sehingga memiliki kebiasaan defekasi di tanah yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemis. b. Tata laksana Obat-obat yang digunakan adalah : •
Piperazin : dosis sesuai berat badan. BB 0-15 kg : 1 g/hari, 15-25 kg : 2 g/hari, 25-50 kg : 3 g/hari, lebih dari 50 kg : 3,5 g/hari. Dosis diberikan sekali sehari selama 2 hari berturut-turut
•
Heksilresosinol : obat diberikan setelah pasien dipuasakan terlebih dahulu, lalu baru diberikan 1 g heksilresosinol sekaligus disusul pemberian laksans sebanyak 30 g MgSO4 yang di ulang lagi 3 jam kemudian. Bila perlu pengobatan ini dapat diberikan lagi 3 hari kemudian.
14 | P a g e
•
Pirantel pamoat : Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB, maksimum 1 g.
•
Levamisol : Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 150 mg.
•
Albendazol : Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg.
•
Mebendazol : Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 200 mg, 2 kali sehari selama 3 hari.
13. Asma Bronkial a. Epidemiologi Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak factor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, factor keturunan serta factor lingkungan. Pada masa kanakkanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. b. Tatalaksana 1. Asma intermiten tidak memerlukan obat pengendali 2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi (500 µg BDP atau ekuivalennya) atau pilihannya: teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien 3. Asma persisten sedang, memerlukan obat pengendali berupa kortikosteroid inhalasi (200-1000µg BDP atau ekuivalennya ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau pilihan lain kortikosteroid inhalasi (500-1000µg BDP atau ekuivalennya) + teofilin lepas lambat atau kortikosteroid inhalasi (5001000 µg BDP atau ekuivalennya) + LABA oral atau kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (>1000µg BDP atau ekuivalennya) atau kortikosteroid inhalasi 500-1000 µg BDP atau ekuivalennya + antileukotrien 4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid inhalasi ( >1000 µg BDP atau ekuivalennya) + LABA . 15 | P a g e
Inhalasi + salah satu pilihan berikut: -‐
Teofilin lepas lambat
-‐
Antileukotrien
-‐
LABA oral
Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan inhalasi beta-2 agonis kerja singkat tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Inhalasi antikolinergik, agonis beta 2 kerja singkat oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selain agonis beta 2 kerja singkat inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut: 1. Oksigen 2. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respon terapi awal 3. Inhalasi anti kolinergikk (ipatropium bromida) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat (atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta-2) 4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60 mg/hari setara prednison 5. Aminofilin tidak dianjurkan (bila diberikan dosis awal 5-6mg/kgBB dilanjutkan infus aminofilin 0,5-0,6 mg/kgBB/jam 6. Antibiotik bila ada infeksi sekunder 7. Pasien diobservasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis beta-2 diteruskan , steroid oral diteruskan, penyuluhan dan pengobatan dilanjutkan, antibiotik diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat 8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau termasuk golongan risiko tinggi: pemeriksaan fisik tambah berat, APE ( arus puncak ekspirasi) >50% dan <70% dan tidak ada perbaikan hipoksemia( dari hasil analisis gas darah)pasien harus dirawat Pasien harus dirawat di ICU bila tidak berespon terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan/burukbya atau tanda-tanda henti nafas, hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan kadar pO2<60mmHg dan/ atau pCO2 > 45 mmHg walaupun mendapat pengobatan oksigen yang adekuat
16 | P a g e
14. Disentri basiler a. Epidemiologi Penyebab disentri basiler adalah Shigella sp. dari genus shigella. Di Amerika serikat dilaporkan sekitar 8-12 kasus per 100.000 populasi selama 30 tahun. WHO memperkirakan jumlah total kasus pada tahun 1996-1997 diperkirakan 165 juta dan 69% kasus terjadi pada anak kurang dari 5 tahun dengan kematian tiap tahunnya diperkirakan antara 500.000 hingga 1,1 juta. Data tahun 2000 – 2004 dari 6 negara di Asia ( Bangladesh, Cina, Pakistan, Indonesia, Vietnam dan Thailand ) menunjukkan insidensi shigellosis masih stabil meskipun angka kematian menurun. b. Tatalaksana 1. Rehidrasi dan nutrisi 2. Antibiotik
15. Tuberkulosis paru a. Epidemiologi Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh dunia. Sebagian besar kasus TB dan kematiannya terjadi di negara - negara berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relative terlepas dari angka pandemic infeksi HIV karena masih relative rendah infeksi
17 | P a g e
HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun. b. Algoritma A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh 1. Tuberkulosis paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura dan kelenjar pada hilus 2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kecing, alat kelamin dan lain-lain. B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis 1. TB paru BTA positif a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT 2. TB paru BTA negatif a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b. Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberikan pengobatan. C. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya 1. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau Kasus yang sebelumnya diobati atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif. 2. Kasus yang sebelumnya diobati.
18 | P a g e
a. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur) b. Kasus setelah putus obat (default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif c. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 3. Kasus pindahan Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatan. 4.
Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti: a. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya b. Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya c. Kembali diobati dengan BTA negatif.
c. Tata laksana 1. Kategori 1: (2HRZE/4H3R3) Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: §
Pasien baru TB paru BTA positif
§
Pasien TB paru BTA negatif
§
Pasien TB ekstra paru
2. Kategori 2: (2HRZES/HRZE/5 H3R3E3) Panduan ini diberikan untuk yang telah diobati sebelumnya:
19 | P a g e
§
Pasien kambuh
§
Pasien gagal
§
Pasien setelah putus berobat (default)
16. Refluks Gastroesofageal a. Epidemiologi Refluks Gastroesofageal umum ditemukan pada populasi di negara-negara barat, namun dilaporkan relative rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluks. b. Tatalaksana Tanpa komplikasi
•
o Suportif : Nutrisi diet lambung, rendah lemak, porsi kecil/sering o Modifikasi gaya hidup (memperbaiki/ menghindari faktor resiko) seperti, stop merokok, turunkan BB, elevasi kepala sewaktu tidur, hindari berbaring setelah makan. o Pemberian obat- obatan penetralisir dan penyekat asam lambung: Antasida, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor o Pemberian obat obatan sitoprotektif: sukralfat, rebamipid, teprenon o Pemberian obat-obatan prokinetik Dengan komplikasi
•
Bila terjadi striktur → operasi Terapi Endoskopi
•
Aplikasi radiofrekuensi pada daerah LES (sphinter esophagus bagian bawah, teknik penjahitan untuk mengurangi refluks. Dan tekhnik terapi injeksi kolagen pada LES. Edukasi : Modifikasi Pola hidup : bagian kepala tempat tidur yang dielevasi, makan makanan rendah lemak, makan porsi kecil tapi sering, berhenti merokok, hindari berbaring setelah makan, menurunkan berat badan dapat menurunkan kemungkinan proses refluks. Menghindari makanan/ minuman yang dapat mencetuskan serangan gejala. 17. Malaria a. Epidemiologi Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika bagian selatan dan daerah Oceania dan kepulauan Karibia. Lebih dari 1,6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan 20 | P a g e
mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. P. falcifarum dan P. malariae umumnya dijumpai pada semua negara dengan malaria Di Indonesia bagian timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi tengah sampai utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombok sampai NTT serta timor timur merupakan daerah endemis malaria dengan P. falcifarum dan P. vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam kasus malaria cenderung meningkat. Populasi yang berisiko terhadap malaria ialah 113 juta dari 218 juta masyarakat Indonesia. Walaupun demikian jumlah kasus malaria telah menurun dari 2,8 juta tahun 2001 menjadi 1,2 juta kasus pada tahun 2008. b. Tatalaksana I. a. Daerah sensitif klorokuin: Klorokuin basa 150 mg: Hari 1: 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian), hari II &III : 2 tab!et atau Hari 1& II : 4 tablet, hari III: 2 tablet Terapi radikal: primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari Bila gagal dengan terapi klorokuin --> kina sulfat 3 x 400-600.mg/hari i selama 7 hari, b. Daerah resisten kiorokuin Klorokuin basa 150 mg: Hari 1: 4 tablet + 2 tablet (6 jarn kemudian), hari 1WIL 2 tablet atau Hari W1: 4 tablet, hari Ill: 2 tablet ditambah SP 3 tablet dosis tunggal) Terapi radikal: primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari II. Infeksi P.falsiparumringan/sedang, infeksi campurP.Falsiparum dan P. vivax a. Klorokuin basa 150 mg: Hari 1: 4 tablet + 2 tablei (6 jam kemudian), hari II&III: 2 tablet atau Hari I dan II : 4 tablet, hari Ill: 2 tablet b. Bila perlu terapi radikal: Falsiparum: primakuin 45 mg (dosis tunggal); infeksi campur: primakuin 1 x 15 mg selama 14 hari bila resisten dengan pengobatan tersebut: SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari
21 | P a g e
18. Demam berdarah dengue a. Epidemiologi Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk ( 1985 hingga 1995 ) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes ( terutama A. aegypti dan A. albopictus ). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih ( bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya ). b. Algoritme
Gambar 1. Observasi dan pemberian cairan suspek DBD
22 | P a g e
Gambar 2. Pemberian cairan suspek DBD di ruang rawat
Gambar 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
23 | P a g e
Gambar 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD c. Tatalaksana - Tirah baring, diet lunak - Simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam - Cairan intravena : Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jam/kolf - Koloid/plasma ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan - Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi Referensi 1. Djauzi S. syok anafilaktik. In: SUbekti , Lidya. Penatalaksanaan kedaruratan di bidang ilmu penyakit dalam . jakarta: pusat informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2000.p 97-100 2. Mahdi AD. Syok anafilaktik. In: Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani.Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: pusat Informasi dan penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1999.p.8-10 3. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. ed.VI.Jakarta : Interna Publishing 2014 4. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. 5. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2011.
24 | P a g e
6. The Expert Comminitte on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care. Jan 2003 : 26(Suppl. I) : S5-20. 7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. ed.VI.Jakarta : Interna Publishing 2014 8. Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a β-Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002 : The Recent Management in Diabetes and its Compliocations : From Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November 2000 : 185-99. 9. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberculosis care (ISTC). 3rded. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2014 10. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan, 2014 11. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. ed.VI.Jakarta : Interna Publishing 2014 Jadwal dan Topik Bimbingan Mahasiswa belajar dalam kelompok kecil yang maksimal terdiri dari 10 orang dengan pembimbing satu orang preceptor, yang bertugas selama rotasi dan bertindak sebagai role model untuk aspek bioetika dan humaniora. Mahasiswa melakukan bimbingan tatap muka dengan preceptor dan resource person paling sedikit selama 12 jam setiap minggu. Kegiatan Kepaniteraan Kegiatan akademik dilakukan berupa tatap muka dengan preseptor selama kurang lebih 120 menit/hari berupa : a.
Setara perkuliahan - Clinical science session Merupakan diskusi ilmiah yang dilakukan tentang salah satu topik yang berkaitan dengan masalah pasien pada BST, dilaksanakan 1 kali dalam seminggu selama 2 jam.
25 | P a g e
- Case report session Merupakan diskusi ilmiah mahasiswa berupa laporan hasil pemeriksaan dan rencana penatalaksanaan pasien yang diperoleh melalui BST, dilaksanakan 1 kali dalam seminggu selama 2 jam. - Meet the expert Merupakan forum diskusi ilmiah dengan pakar dari masing-masing bagian dan merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendiskusikan hal-hal yang masih belum jelas. b.
Setara Praktikum - Bed Side Teaching (BST) Merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan pasien yang dilakukan di poliklinik, ruang rawat inap, ruang gawat darurat atau ruang operasi untuk pemeriksaan pasien dan diskusi yang akan melatih proses berfikir dan keterampilan pemecahan masalah mahasiswa. Selama 1 minggu, dilaksanakan 2 kali, masingmasing selama 2 jam.
Pertanyaan a. Sebutkan gejala dan tanda anafilaktik berdasarkan organ sasaran b. Jelaskan komplikasi DM c. Jelaskan cara melakukan tes toleransi glukosa oral ( TTGO ) d. Jenis – jenis obat anti hipertensi e. Kriteria diagnostik DHF menurut WHO
Padang, Agustus 2016 Bagian Ilmu Penyakit Dalam Ketua,
dr. Najirman, SpPD-KR, FINASIM NIP. 19620804 199011 1 001
26 | P a g e