Edisi 15 O Oktober 2009
PAPDI-PERKI: Kesepakatan Untuk Saling Menghargai ”Tak Cukup Hanya Besar, PAPDI Harus Kuat dan Solid” Kepingan Perjalanan Selama 52 Tahun
3 5 6 9 Geliat Internis di Daerah Tak Ada Kata Terlambat 12 untuk Wujudkan Cita-cita Diagnostik pada 14 Problema Kasus Tumor Mediastinum Modalitas Non Invasif untuk 15 Diagnosis Fibrosis Hati Tatalaksana Primary Viral Akibat 16 Pneumonia Influenza A Baru H1N1 PAPDI Medical Relief: 18 Internis untuk Ibu Pertiwi
Harapan dan Tantangan PAPDI Masa Depan akarta menjadi tuan rumah Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI) XIV. Pertemuan akbar dokter-dokter yang tergabung dalam PAPDI ini diselenggarakan pada 11-14 November 2009 dengan menempati tiga hotel, yaitu Hotel Grand Indonesia Kempinski, Hotel Grand Hyatt dan Hotel Sahid Jaya. Penunjukan Jakarta sebagai tuan rumah telah ditetapkan tiga tahun lalu ketika KOPAPDI XIII di Palembang. Event tiga tahunan ini dipadati berbagai agenda acara. Ada simposium ilmiah, rapat organisasi, laporan pertanggungjawaban Ketua Umum PAPDI periode 2006-2009 oleh DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP, dan pemilihan ketua yang baru periode 2009 – 2012. Selain itu, pada KOPAPDI XIV ini ada prosesi pemberian gelar FINASIM kepada anggota PAPDI yang telah memenuhi syarat menjadi Fellow. Menurut Dr. Aru, begitu biasa disapa, pada periode kepengurusannya, selain meneruskan program tetap, juga ada kegiatan-kegiatan baru, seperti P2KB, pemberian Fellow, roadshow ilmiah ke cabang-cabang di daerah, dan lain-lain. Mengingat PAPDI ini cukup besar, Dr. Aru lebih terkonsentrasi pada konsolidasi anggota. Ia menyambangi anggotaanggota PAPDI di daerah dengan mengadakan rapat organisasi di cabang sekaligus seminar ilmiah. Di penghujung kepemimpinannya untuk periode 2006-2009, ia merasa senang dengan dicapainya titik temu perbedaan antara PAPDI dan PERKI. Hal itu dilakukan dalam bentuk Penandatanganan Perjanjian Kesepakatan Bersama antara PAPDI dan PERKI, di ruang pertemuan PB IDI, 6 Oktober 2009 lalu. ”Ini adalah program yang besar,” imbuh dokter yang menerima Fellow dari American College of Physicians (ACP) ini. (HI)
J
Susunan Redaksi: Penanggung Jawab: DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD,K-HOM,FACP • Pemimpin Redaksi: Dr. Cosphiadi Irawan, SpPD,K-HOM • Bidang Materi dan Editing: Dr. Indra Marki, SpPD; Dr. Sally A. Nasution, SpPD; Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD,KGEH,MMB; Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD • Koresponden: Cabang Jakarta, Cabang Jawa Barat, Cabang Surabaya, Cabang Yogyakarta, Cabang Sumut, Cabang Semarang, Cabang Padang, Cabang Manado, Cabang Palembang/Sumbagsel, Cabang Makassar, Cabang Bali, Cabang Malang, Cabang Surakarta, Cabang Riau, Cabang Kaltim, Cabang Kalbar, Cabang Dista Aceh, Cabang Kalsel, Cabang Palu, Cabang Banten, Cabang Bogor, Cabang Purwokerto, Cabang Lampung, Cabang Kupang, Cabang Jambi, Cabang Kepulauan Riau, Cabang Gorontalo, Cabang Cirebon, Cabang Maluku, Cabang Papua, Cabang Maluku Utara, Cabang Bekasi, Cabang Nusa Tenggara Barat, Cabang Depok • Sekretariat: Dr. Triana Puspita Dewi, M.Kes (Sekretaris Eksekutif PAPDI); Sdr. M. Muchtar; Sdri. Siti Romlah; Sdr. Husni; Sdr. M. Yunus • Alamat: PB PAPDI Lt. 2 Departemen Penyakit Dalam, FKUI/RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Diponegoro 71 Jakarta 10430, Telp. (021) 31931384, Faks. (021) 3148163 • E-mail:
[email protected]
2 Sekapur Sirih
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009 Salam Sejawat, udah lebih dari setengah abad perjalanan panjang PAPDI (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia), diawali oleh Prof. Biran pada tahun 1957 yang mulai mengangkat ide pembentukan perhimpunan seprofesi. Namun demikian PAPDI baru berhasil menyelenggarakan kongres pertamanya pada tahun 1971, dengan ketuanya Prof. Utoyo Sukaton. Rentang waktu yang cukup panjang tersebut pernah dikomentari oleh salah seorang ketua PAPDI terdahulu bahwa “PAPDI pernah mati suri”. Itulah sekelumit perjalanan awal yang penuh dinamika dan tantangan sampai saat ini, yang mewarnai sejarah dan kiprah organisasi ini, baik yang datang dari dalam maupun dari pihak di luar PAPDI. Tim redaksi mengangkat tema Harapan dan Tantangan PAPDI Masa Depan sebagai topik utama Halo Internis edisi 15 kali ini. Tajuk Sorot Utama kali ini juga mengulas pemikiran ketua PB PAPDI saat ini bahwa anggota organisasi profesi ini tidak hanya mempunyai jumlah yang besar tapi juga harus kuat dan solid, dengan semangat kebersamaan dan profesionalisme yang didukung oleh loyalitas yang tinggi, sehingga fokus utama pada era kepengurusan 2006 – 2009 ini adalah melakukan konsolidasi anggota dan pengembangan cabang di seluruh Indonesia. Dimana telah terbentuk 13 cabang PAPDI baru, mulai dari Kepri sampai Papua. Salah satu kegiatan yang telah dilakukan adalah Road Show ke seluruh Indonesia. Ditengah tantangan yang begitu besar bagi anggota PAPDI untuk mempertahankan kompetensinya —khususnya Kardio-
S Tim Redaksi Halo Internis: Dr. Cosphiadi Irawan, SpPD, K--HOM, Pimpinan Redaksi, Dr. Indra Marki, SpPD dan Dr. Sally A. Nasution, SpPD.
logi dan Pulmunologi—, maka keberhasilan penanandatanganan kesepakatan perjanjian bersama antara PAPDI dan PERKI untuk saling mengakui eksistensi dan saling menghormati profesi masing-masing, adalah salah satu prestasi yang dicapai oleh kepengurusan PB PAPDI periode saat ini dan patut disyukuri. Untuk semakin melengkapi dan sekaligus menyongsong KOPAPDI XIV, maka tidak lupa diangkat sekelumit kisah para ketua PB PAPDI terdahulu. Topik lain yang kami tampilkan adalah kiprah para internis didaerah sampai kepada peran internis pada saat bencana (peristiwa gempa Padang 2009). Sedangkan profil PAPDI kali ini akan diisi oleh seorang Prof. DR. Dr. Harun Alrasyid Damanik, SpPD, SpGK yang tetap menunjukkan komitmen dan loyalitasnya sebagai seorang konsultan ahli penyakit dalam dan gizi klinik. Teknologi medis akan diisi tentang: Transient Elastografy oleh dr. Irsan Hasan, sedangkan DR. dr. C. Martin Rumende, SpPD, K-P yang akan membekali kita dengan Tatalaksana Influenza A baru H1N1. Kolom baru berupa ilustrasi kasus akan semakin memperkaya wacana keilmuan kita, yang kali ini menyoroti masalah diagnostik tumor mediastinum. Seperti biasa edisi Halo Internis akan ditutup dengan berita organisasi berupa kiprah PAPDI dan kabar PAPDI dari berbagai cabang. Selamat membaca… Salam Redaksi
Penandatanganan Perjanjian Kesepakatan Bersama PAPDI dan PERKI
Foto bersama pengurus PAPDI dan PERKI serta Ketua UMUM PB IDI setelah penandatanganan Perjanjian Kesepakatan Bersama yang dilaksanakan di Ruang Pertemuan PB IDI pada 6 Oktober 2009. Dari kiri ke kanan adalah Dr. Herry C. Bastari, SpJP; DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, MEpid; Dr. Ganesha M. Harimurti, SpJP; Dr. Anna Ulfah Rahayoe, SpJP; Dr. Bambang Setiyohadi, SpPD, K-R; Dr. Ari Fahrial Syam, MMB, SpPD, K-GEH; Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, SpPD, K-KV (berdiri dari kiri ke kanan), Prof. Dr. Harmani Kalim, SpJP; DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP; DR. Dr. Fachmi Idris, MKes; Dr. Sunarya Soerianata, SpJP(K); Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, K-HOM (duduk dari kiri ke kanan).
Redaksi menerima masukan dari sejawat, baik berupa kritik, saran, kiriman naskah/artikel dan foto-foto kegiatan PAPDI di cabang, yang dapat dikirimkan ke: REDAKSI HALO INTERNIS d/a. Sekretariat PB PAPDI, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 31931384, 31930808 ext. 6703, Faks. (021) 3148163 E-mail:
[email protected] SMS PB PAPDI : 0856 9578 5909
Sorot Utama 3
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
PAPDI-PERKI:
Kesepakatan Untuk Saling Menghargai elasa, 6 Oktober lalu, ruang rapat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang semula hening, sontak riuh. Tingkah polah Tom dan Jerry dalam adegan film “The Truce Hurts” mengocok perut sejawat yang ada di dalam ruang itu. Entah apa yang membuat sejawat dari PAPDI dan PERKI tak tahan menahan tawa menyaksikan aksi Tom dan Jerry berebut daging. Nonton bareng film kartun ini bagian dari acara penandatangan Perjanjian Kesepakatan Bersama antara Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Perjanjian itu ditandatangani oleh Ketua Umum PB PAPDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM. FACP serta Ketua Kolegium PB PAPDI, Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, K-HOM, dan Ketua Umum PP PERKI, Dr. Sunarya Soeriananta, SpJP(K), FIHA, serta Ketua Kolegium PP PERKI, Prof. Dr. Harmani Kalim, MPH, SpJP(K), FIHA. Penandatanganan kesepakatan bersama itu disaksikan oleh Ketua Umum PB IDI, DR. Dr. Fachmi Idris, MKes, ketua-ketua perhimpunan spesialis lain, dan pengurus dan perwakilan daerah dari PAPDI maupun PERKI. Format perjanjian itu dikemas singkat namun sarat makna. Isinya, kedua perhimpunan tersebut menyadari perlu adanya kesepakatan untuk saling mengakui peran masing-masing demi memajukan bidang kardiovaskular di Indonesia. Hal itu juga mencakup beberapa nilai dan prinsip dasar, yaitu saling menghormati profesi masing-masing, yang nantinya menjadi dasar kerjasama dan pengambilan langkah-langkah konstruktif. Hal-hal teknis yang berkaitan dengan kedua perhimpunan itu akan ditentukan kemudian. Seperti diketahui, perbedaan antara PAPDI dan PERKI sudah cukup lama. Api sengketa “warisan” para pendiri perhimpunan itu seolaholah tak bisa dipadamkan. Belakangan, beberapa kali upaya “rujuk” telah dilakukan oleh kedua pengurus perhimpunan tersebut, bahkan menteri sekali pun pernah turun tangan mendamaikan. Namun masih belum menemukan titik temu.
S
Pengurus PAPDI dan PERKI setelah Penandatanganan Perjanjian Kesepakatan Bersama di Kantor IDI.
”Oleh karena itu, penandatangan kesepakatan bersama yang terjadi hari ini merupakan momentum yang baik dan sangat berarti bagi perjalanan dokter di Indonesia. Untuk itu saya ucapkan selamat dan sukses untuk kedua ketua perhimpunan itu,” kata Ketua Umum PB IDI, DR. Dr. Fachmi Idris, MKes yang menjadi saksi dalam kesepakatan tersebut. Kesepakatan bersama ini, kata Dr. Fachmi dalam sambutannya, suatu keniscayaan yang mesti diwujudkan demi kepentingan bangsa. Di luar, masyarakat hanya mengenal dokter, bukan embel-embel spesialis yang disandangnya. Bila dokter spesialis tertentu terkena kasus, sejatinya muka dokter yang tercoreng. Semestinya organisasi yang maju dapat memelihara perbedaan. Tanpa ada perbedaan pendapat, organisasi itu tidak di-
”Tanpa ada perahu bersama, takkan sampai ke pelabuhan yang dituju. Paling tidak selama hidup kita tidak melihat kertas ini disobek di depan mata kita.” Tanpa kesepakatan ini, lanjut Dr. Aru, tak banyak yang dapat dibuat. Pasalnya, di antara kedua perhimpunan ini banyak kompetensi yang tumpang tindih. Untuk itu, ia meminta para ketua kolegium duduk bersama dengan dasar trust dan tekad serta keinginan menyelesaikan perbedaan ini. “Yang lebih penting adalah semangat untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang lebih baik,” ujar dokter kelahiran Washington DC, 29 Juni 1951 silam ini. Hal senada disampaikan juga oleh Dr. Sunarya Soeriananta, SpJP(K), FIHA dalam sambutannya. Menurutnya kesepakatan bersama ini sangat penting untuk namis. Kendati demikian, hendaknya sememberikan pelayanan jantung yang opticara profesional segala perbedaan itu damal ke masyarakat. “Apalagi dalam pat dijembatani dengan adanya konsenmenghadapi AFTA dan era globalisasi, sus bersama. “Konsensus antara PAPDI dokter di Indonesia tidak bisa terpisah-pidan PERKI ini mesti disah, mereka harus jaga dan dihormati sesatu barisan dan permua pihak,” ujar Dr. caya diri menyongFachmi yang mengaku song era globalisasi,” telah 13 tahun menanti jelas Ketua Umum PB konsensus ini. PERKI ini. Menilik konteks perOleh karena itu, janjian itu, Dr. Fachmi lanjut Dr. Sunarya, kemenilai sangat normasepakatan bersama tif, menyentuh dan funyang telah ditandatadamental. Dengan bangani ini mesti diduhasa yang ringkas dan kung. “Saya meminta singkat, perjanjian itu semua sejawat agar tidak perlu diper tensama-sama bisa tangkan. Memang sumengawal sosialisasi Ketua Umum PB IDI, dah menjadi sifat dasar perjanjian ini pada jaDR. Dr. Fachmi Idris, MKes manusia untuk lur sebenarnya, kares a l i n g na ini merupakan temenghormati satu sama lainkad dan niat kedua perhimpunan untuk nya. Kesepakatan ini seyogyamenyelesaikan berbagai masalah mulai nya tidak dipandang sebagai dari pendidikan hingga pelayanan janselembar kertas yang kapan tung,” tambahnya. saja dapat disobek. Semoga Tercapainya penandatanganan kesedapat ditindaklanjuti ke arah pakatan bersama ini tak lepas dari peran yang lebih konkrit dengan tetap berbagai sejawat, termasuk Prof. Dr. berbasis untuk kepentingan Bambang Hermani, SpTHT(K). Anggota masyarakat,” ungkap Dr. FachSenat Akademik FK UI yang turut berupami penuh haru. ya keras memfasilitasi terbentuknya keSoal teks kesepakatan yang sepakatan ini, mengaku sangat senang ringkas, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, dengan ditandatanganinya kesepakatan SpPD, K-HOM, FACP mengatabersama ini. “Apa yang terjadi hari ini mekan, hal itu meniru teks proklarupakan babak baru dalam kedokteran di masi RI. Kendati hanya terdiri Indonesia. Semoga ini menjadi titik awal dari tiga paragraf, namun dihauntuk menjalin hubungan yang lebih rapkan dapat menjadi landasan baik,” ujarnya. kuat untuk duduk bareng menyeBaik Dr. Aru maupun Dr. Sunarya melesaikan persoalan-persoalan di ngakui perlunya dukungan berbagai pihak antara kedua perhimpunan ini. baik dari IDI, ketua perhimpunan spe“Kami memutuskan untuk memsialis lain, ketua perhimpunan cabang di buat suatu kesepakatan yang sedaerah dan seluruh anggota PAPDI dan singkat mungkin dengan sedikit PERKI untuk menjaga dan mengamankan perbedaan. Namun keputusan ini kesepakatan ini. Kepada pihak-pihak dapat dipakai untuk dasar bersayang masih berseberangan diharapkan ma-sama. untuk membahas perdapat melunak hatinya dan menerima kesoalan-persoalan yang terjadi. Kasepakatan ini. Dengan begitu, apa yang mi membuat kesepakatan yang telah diikrarkan dalam Sumpah Dokter mirip dengan format teks proklaIndonesia, untuk memperlakukan teman masi, yaitu singkat, mengena dan sejawat layaknya saudara kandung dapat memberikan napas untuk selanjutterwujud. Sementara, Tom dan Jerry tenya. Hal-hal teknis akan dibicarataplah bermusuhan secara alamiah dakan kemudian hari,” kata DR. Dr. lam serial kartun yang menghibur sekaliAru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, gus mengkritik. FACP pada sambutannya. (HI)
4 Sorot Utama
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Pertama Kali PAPDI-PERKI Nonton Bareng onton bareng antara komunitas yang satu dengan lainnya sudah lazim terdengar. Tapi bagaimanakah bila pengurus PAPDI dan PERKI nonton bareng? Boleh jadi ada sebagian dokter berpendapat mustahil terjadi atau ada yang menganggap itu hal biasa. Nonton bareng pengurus PAPDI dan PERKI benar-benar terjadi dan itu bukan hal yang biasa. Anehnya, tayangan yang ditonton bukan pertunjukan sepak bola atau olah raga lain antar tim favorit, musik atau kesenian bertaraf internasional, melainkan film kartun Tom And Jerry. Bagaimanakah suasananya? Ramai, penuh tawa menyaksikan ulah tokoh kartun yang akrab dengan anakanak itu. Suasana seperti itu mengiringi penandatanganan Perjanjian Kesepakatan Bersama antara PAPDI dan PERKI. Meski tampak tegang di awal prosesi penandatanganan, namun suasananya mencair ketika kedua perhimpunan yang berselisih paham sudah puluhan tahun itu melihat tingkah pola Tom dan Jerry dalam serial yang bertema ”The Truce Hurts”.
N
Suasana nonton bareng pengurus PAPDI dan PERKI.
Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, SpPD, K-KV
Peristiwa itu bukan sekadar nonton bareng, melainkan ada makna tersirat yang mesti ditangkap. Prof. Dr. Lukman Hakim Makmun, SpPD, K-KV adalah orang yang menggagas acara nonton bareng film kartun tersebut dan juga turut berperan dalam penandatanganan itu. Ia mengaku secara spontan teringat film kartun ini ketika sedang rapat untuk menyiapkan acara penandatanganan kesepakatan itu. Ia pun langsung melempar ide tersebut dalam rapat dan disetujui untuk diputar pada acara nanti. ”Dulu saya pernah nonton film kartun ini bersama anak-anak. Begitu banyak judul film Tom And Jerry, membuat saya berupaya keras mengingat kembali judul yang cocok untuk acara penandatanganan nanti,” kata Prof. Lukman mengenang. Dengan bantuan internet, ia menjelajahi satu persatu judul serial kartun Tom And Jerry. Tiap judul dibaca sinopsisnya kemudian diputar lewat situs pemutar Youtube. Singkat cerita, judul ”The Truce Hurts” pun ditemuinya. Ia mencari CD film tersebut di Pondok Indah Mall. Namun
Dr. Taufik Indrajaya, SpPD, K-KV, PAPDI cabang Palembang
Perjanjian Kesepakatan Bersama ini Perlu Disosialisasikan ke Daerah enandatanganan Perjanjian Kesepakatan Bersama antara PAPDI dan PERKI merupakan usaha yang baik untuk menyelesaikan perbedaan yang telah terjadi bertahun-tahun. Kesepakatan ini jangan bersifat politis, yaitu hanya dirasakan pada tingkat top organisasi saja, tapi juga terasa imbasnya hingga anggota terutama yang di cabang-cabang dari kedua perhimpunan. Hal demikian disampaikan Dr. Taufik Indrajaya, SpPD,KKV, anggota PAPDI cabang Palembang, Sumatera Selatan. Dr. Indra appreciate kepada Ketua Umum PB PAPDI yang telah memperjuangkan terwujudnya kesepakatan ini. Namun ia berharap, agar setelah penandatanganan ini, juga dibicarakan langsung langkah-langkah konkrit selanjutnya agar persoalan-persoalan yang kerap ditemui, terutama di Palembang dapat segera diatasi. “Diperlukan lebih detail dari kesepakatan ini hingga pada tingkat operasionalnya. Jadi tidak sekadar politis saja,” ungkap Dr. Indra. Lebih lanjut Dr. Indra menambahkan, hal-hal detail dari kesepakatan ini segera dibuat. Pasalnya, bila tidak dibuat lebih hingga tataran operasional nanti akan sulit diteruskan oleh generasi berikutnya. Bahkan, boleh jadi timbul persepsi yang berbeda yang timbul dari masingmasing perhimpunan terutama cabang-cabang di daerah. “ Hal ini sangat memungkinkan, mengingat kondisi di tiap-tiap cabang berbeda-beda,” ujarnya. Di Palembang sendiri, lanjut Dr. Indra, perselisihan
P
Dr. Taufik Indrajaya, SpPD,K-KV
kedua perhimpunan ini tidak terlalu kentara seperti di Jakarta. Yang ada adalah perbedaan pendapat, dimana sekelompok sejawat menganggap lebih kompeten dan yang
menjelang hari penandatanganan, CD tersebut belum juga diperoleh. Akhirnya, Prof. Lukman meminta bantuan Dr. Eka untuk mendownloadnya dari internet. Dengan durasi waktu yang singkat, film tersebut akan ditonton oleh sejawat yang hadir. Sebelum dipakai pada saat penandatanganan, ia memastikan film itu dalam kondisi baik. Prof. Lukman juga menuliskan pesan yang tersirat dalam film tersebut untuk dibacakan diakhir penayangan. ”Agar pesan yang tersirat dalam film itu sampai dan ditangkap dengan persepsi yang sama, maka saya tulislah take home messages ini,” katanya. Film kartun itu diputar dalam suasana batin yang tepat. Ketika yang berselisih paham merasa sama-sama benar, sulit mengatakan pihak ini benar, yang lain salah. Maka nasehatpun disampaikan dalam bentuk yang jenaka, mengena, tepat sasaran, dan tetap dalam suasana saling menghormati. Cerdas! (HI)
lain tidak. “Kami bekerja sesuai dengan kompetensi yang kami miliki, kami tidak peduli dengan penilaian mereka karena yang menilai kompetensi kami adalah kolegium,” ujarnya. (HI)
Sorot Utama 5
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
”Tak Cukup Hanya Besar, PAPDI Juga Harus Kuat dan Solid”
S
ekitar 3 tahun lalu, persisnya tanggal 6 Juli 2006 di kota Palembang, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, KHOM, FACP yang baru saja dinobatkan menjadi Ketua Umum PB
nya arus informasi sampai ke daerahnya. Dr. H. Chairul Radjab Nasution, SpPD, K-GEH, MKes, yang duduk di Bidang Organisasi dalam kepengurusan PB PAPDI mengakui, pembukaan cabang baru da-
”Semangat kebersamaan dan profesionalisme yang didukung oleh loyalitas yang tinggi harus terus digalang.” tiap kali harus konsul ke spesialis tertentu. Ini menjadi tantangan kita. Harus terus diingatkan, bahwa ilmu penyakit dalam menjadi payung dalam pengobatan pasien,” katanya. Tersebarnya ahli penyakit dalam hingga ke daerah-daerah, membuat internis memiliki posisi yang strategis dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Peran internis tidak bisa dipandang sebelah mata.
Peran Internis yang Strategis
Pelantikan pengurus PB PAPDI periode 2006 – 2009 oleh Ketua PB IDI.
PAPDI periode 2006-2009 mengaku waswas menerima jabatan ini. Pasalnya, dia paham benar, begitu banyak hal yang harus dibereskan dalam menakhodai gerbong organisasi ahli penyakit dalam untuk melalui waktu ke depan. “Ini merupakan tanggung jawab yang tidak bisa saya elakkan,” katanya pada saat itu. Dokter kelahiran Washington DC, Amerika ini menyadari, organisasi yang dipimpinnya cukup besar, sehingga hal pertama yang dilakukannya saat itu adalah konsolidasi anggota. Dia sangat ingin menjadikan PAPDI sebagai suatu organisasi yang kuat. Penataan organisasi adalah hal pertama yang mampir di pikiran Dr. Aru. Ia mulai mendata anggota PAPDI hingga ke daerah-daerah terpencil. “Pendataan anggota ini sangat penting. Tanpa data yang lengkap, bagaimana bisa menggalang kekuatan,” ujar ahli hematologi-onkologi medik ini. Kekuatan itu, salah satunya digalakkan dengan membuka cabang-cabang PAPDI baru. Hingga kini, tak kurang ada 34 cabang PABDI tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa cabang baru yang dibuka antara lain PAPDI cabang Bekasi, Maluku Utara, Makasar, Lombok, Kupang, Tanah Papua dan sebagainya. “Sepanjang memenuhi syarat, pembukaan cabang baru kami setujui,” ujar Dr. Aru. Upaya memperluas cabang PAPDI ke daerah-daerah lain disambut hangat oleh anggota, terutama internis di daerah. Dr. Eko Sudarmo DP, SpPD, Ketua PAPDI cabang Maluku Utara yang dilantik 13 Juni 2009 lalu, misalnya, mengakui program itu sangat positif. Menurutnya, sebelum terbentuk PAPDI cabang Maluku Utara, ia harus menginduk ke PAPDI cabang Semarang dalam keanggotaan PAPDI. Kini, setelah dibuka cabang Maluku Utara, internis di sana dapat langsung mengontak Jakarta dan berhubungan langsung dengan Dr. Aru. Tanggapan positif juga dilontarkan oleh Dr. Samuel Baso, SpPD dari PAPDI cabang Papua yang juga baru dibentuk, yang merasakan lebih mudah-
pat lebih menjangkau internis di daerah dan memudahkan bagi pengurus pusat untuk mengetahui masalah-masalah yang terjadi di daerah tersebut. “Cabangcabang ini harus dibina oleh PB pusat,” ujarnya. Tujuannya, lanjut internis yang juga Direktur Utama RS Fatmawati ini, tidak lain agar lebih dapat menjalin persatuan dan kesatuan di antara anggota PAPDI. Dr. Chairul, begitu biasa disapa, juga mengatakan bahwa pembentukan koordinator wilayah diperlukan untuk mekanisme konsolidasi dalam PAPDI.
Divisi yang Terkotak-kotak Dr. Aru, masih kilas balik tiga tahun lalu di Palembang, sempat melontarkan bahwa masing-masing divisi di penyakit dalam mulai menampakkan gejala mengkotak-kotakkan diri. “Ini perlu dipertegas,” ujarnya. “Maka, misi saya sejak awal baik sebagai pribadi maupun organisasi adalah meningkatkan rasa memiliki setiap anggota. Internis harus lebih menggalang persatuan dan kesatuan,” ujar Dr. Aru. Dr. Chairul juga mengakui, ada kecenderungan dokter penyakit dalam lebih berorientasi ke sub spesialisasi sehingga organisasi profesi PAPDI terlupakan. Padahal, seperti yang dikatakan Direktur Utama RSUP Fatmawati, “Organisasi besar payungnya adalah PAPDI,” katanya. Dr. Aru pun menanggapinya dengan segera melakukan pembenahan dan konsolidasi bersama dengan tim pengurus PAPDI. Untungnya, pribadi-pribadi yang duduk di kepengurusannya pun dapat mendukung dan menyelaraskan gerak dalam kepengurusan PAPDI yang dibentuk 2006 lalu. Maka, Dr. Aru dan tim tidak bisa duduk diam di Jakarta. Mereka ‘berkelana’ ke daerah-daerah, melakukan serangkaian program PAPDI. Usai pelaksanaan kegiatan, dilanjutkan dengan pertemuan bersama pimpinan cabang. “Saya bicara dalam
ruangan tertutup dan dalam suasana santai,” ujar anak diplomat ini. Pembicaraan yang dilakukan termasuk mengenai masalah-masalah yang dihadapi internis di daerah. Dokter yang pernah menjabat sebagai Kepala Poliklinik Teratai RSCM ini mengatakan, kepemimpinannya dimatangkan dengan berpergian ke daerah. Ia berujar, betapa internis sangat dibutuhkan oleh rakyat. Dan internis itu, adalah internis generalis. “Di daerah saya melihat betapa pentingnya seorang internis generalis atau internis umum,” ujar Dr. Aru. Dokter penyakit dalam harus menjadi seorang ahli medis yang handal yang dapat mencakup semua spektrum. “Ini yang dibutuhkan rakyat kita. Karena, akan sangat tidak praktis jika pasien se-
DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP
Peran dokter penyakit dalam di tanah air dalam beberapa penentuan kebijakan, harus lebih mendapat perhatian. Salah satunya, seperti harapan yang diungkap Dr. Chairul agar PAPDI disertakan dalam pendistribusian ahli penyakit dalam di Indonesia. “Diperlukan masukan (dari PAPDI) agar pendistribusian tersebut menjadi lebih terarah,” ujar Konsultan Gastroenterologi RSCM ini. Sebagai organisasi yang besar, tentu saja banyak yang harus dihadapi PAPDI, seperti halnya peribahasa semakin tinggi dan besar pohon, semakin banyak angin yang menggoyang. “Namun sejarah akan mencatat mereka yang melakukan perjuangan,” kata Dr. Aru. PAPDI harus lebih bersatu dan solid dalam menghadapi berbagai hal yang datang dari luar dan mampu menggalang kekuatan di dalam organisasi. Semangat kebersamaan dan profesionalisme yang didukung oleh loyalitas yang tinggi harus terus digalang. Persatuan yang didengungkan Dr. Aru, sudah selayaknya dihayati oleh para ang-
6 Sorot Utama
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
PROGRAM KERJA KEPENGURUSAN PAPDI PERIODE 2006-2009 Bidang Profesionalisme
Dr. H. Chairul Radjab Nasution, SpPD, K-GEH, MKes
gota. Pasalnya, ke depan PAPDI akan menghadapi banyak tantangan termasuk masuknya dokter asing ke Indonesia sebagai dampak globalisasi. Oleh karena itu, organisasi ini ke depan harus menjaga komitmen, konsistensi, dan benar-benar bersatu. “Sesungguhnya PAPDI itu besar dan tersebar di seluruh Indonesia. Jadi sudah selayaknya lah PAPDI dilihat dan didengar,” ujar pria kelahiran 29 Juni 1951 ini di Palembang tiga tahun lalu.
Upaya Membangun Trust Dr. Chairul mengatakan dengan berbagai tantangan yang dihadapi PAPDI, maka dibutuhkan orang-orang militan untuk mengembangkan PAPDI. “Organisasi ini harus terus berani maju ke depan dan dipimpin oleh orang yang menyiapkan dirinya untuk membawa PAPDI,” ujar alumni Health Services Management RMIT, Australia ini. “Sebuah tantangan besar bagaimana organisasi ini membangun trust.” Hal lain yang dihadapi anggota PAPDI, adalah gesekan dengan sesama profesi dari organisasi lain, yang diakui atau tidak, kerap mewarnai hari seorang internis dalam melakukan kewajibannya terhadap pasien. Selama
beberapa generasi kepemimpinan, gesekan tersebut semakin terasa. Awal Oktober lalu, PAPDI bertemu dengan PERKI membuat kesepakatan mengenai peran mereka masing-masing dalam pelayanan kesehatan. Namun jalan masih panjang. “Masih banyak yang harus dilakukan oleh Dr. Aru,” ujar Prof. Dr. Slamet Suyono, SpPD,KEMD mengomentari rekonsiliasi tersebut. DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, K-HOM, yang duduk di bidang pengembangan profesi dalam kepengurusan PAPDI menyadari, salah satu hal yang harus secara kontinu dilakukan PAPDI adalah penyebaran informasi kepada pasien maupun masyarakat mengenai penatalaksanaan penyakit yang harus dievaluasi secara menyeluruh. Selain itu harus diberikan pemahaman kepada semua pihak termasuk rekan sejawat, bahwa bekerjasama bukan berarti menambah cost, namun memberikan yang terbaik untuk pasien. “Barangkali kita kurang dalam hal itu,” ujarnya. Dalam kaitan dengan peningkatan profesionalisme anggota PAPDI, ia mengatakan, “Roadshow yang dilakukan PAPDI sudah bagus, namun bisa lebih baik lagi dengan menjangkau lebih banyak daerah,” ujarnya. (HI)
• Menyusun strategi peningkatan profesionalisme di antara anggota (Kursus EKG untuk kardiologi, kuliah dan kursus untuk para internis di daerah) • Bersama Cabang setempat: menyelenggarakan CPD sesuai arahan Kolegium • Menyelenggarakan roadshow untuk penyebaran ilmu ke berbagai cabang PAPDI • Membentuk kelompok-kelompok/team untuk menjalankan kegiatan CPD • Koordinasi dengan Kolegium dalam penilaian terhadap tingkat profesionalisme anggota dalam mendapatkan resertifikasi sesuai keputusan Konsil kedokteran Indonesia • Pemberian gelar Fellow of The Indonesian Society of Internal Medicine (FINASIM) kepada anggota yang dianggap profesi memiliki peran ‘lebih dari biasa’.
Bidang Hukum • Membentuk Dewan Penasehat Hukum PAPDI • Misi Dewan adalah Pembelaan/advokasi dan edukasi/dukungan, sosialisasi hokum, serta rasa aman kepada anggota. • Ditunjuk sebagai Ketua Dewan adalah: Prof. DR. Dr. Hj. Andi Dinajani Setiawati H. Mahdi, SpPD, K-AI, SH.
Bidang Organisasi • Telah terbentuk 13 cabang PAPDI baru • Konsolidasi anggota dengan kunjungan ke cabang-cabang • Membentuk PAPDI menjadi perhimpunan yang berbadan hukum
Bidang Humas dan Publikasi Penerbitan tabloid Halo Internis secara berkala. Bekerjasama dengan CPD dalam pelaksanaan kursus-kursus Kerjasama dengan radio swasta dalam acara ‘talk show’ Kegiatan PAPDI FORUM : - September 2006: Tips Puasa pada Penderita Penyakit Kronis - November 2006: Seputar Masalah Kesehatan Haji - Februari 2007: Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit - September 2008: Kiat Sehat Berpuasa - September 2009: Puasa untuk Penderita Diabetes • Kerjasama dengan Koran Sindo sejak bulan Desember 2006 dalam mengisi: - Kolom Medika: 2 minggu/kali - Tanya Jawab: setiap minggu (hari Jumat) • Membuat situs PAPDI untuk akses semua anggota PAPDI ke seluruh Indonesia dengan nama www.papdi.net • • • •
Kepingan Perjalanan Selama 52 Tahun “Jika jiwa kebersamaan pada ahli penyakit dalam tetap terjaga, apapun tantangan tersebut dapat dihadapi.” November 1957. Sebuah perkumpulan ahli penyakit dalam Indonesia didirikan dengan nama Perkumpulan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). Yang dapat menjadi anggota: para dokter ahli yang diakui oleh Panitia Pendaftaran Dokter Ahli IDI, spesialis lain, dokter lain, dan sarjana umumnya yang menaruh minat besar terhadap ilmu penyakit dalam. Sebelumnya, pertemuan-pertemuan diadakan untuk membahas pembentukan organisasi tersebut. “Dokter penyakit dalam pada awalnya berkumpul di St. Carolus untuk rapat-rapat (pembentukan),” ujar Prof. Dr.
16
Kopapdi I, Jakarta 22 – 26 September 1971.
Sjaifoellah Noer, MD, SpPD, K-GEH, mantan Ketua Umum PB PAPDI tahun 19871993. Pada saat itu, terbentuk susunan pengurus, Prof. D. Biran sebagai ketua, Dr. Gan Tjong Bing sebagai panitera, dan Dr. Que Giok Sien sebagai bendahara. Program pertama, setiap bulan pada hari Rabu minggu ke-4 diselenggarakan malam klinik untuk
seluruh anggota. Dan, di sebuah ruang kuliah Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Jakarta, acara pertama dilakukan. Dr. Djoa Liang Ham berbicara tentang “Lupus Erythematosus” di malam klinik pertama, Rabu, 29 Januari 1958 pukul 20.00 WIB. Kongres pertama PAPDI dilakukan di Jakarta, pada 22-26 September 1971. Pada saat itu terpilih Prof. Dr. Utojo Suka-
ton, SpPD, K-EMD sebagai Ketua Umum PB PAPDI. Lamanya jeda saat PAPDI terbentuk hingga kongres pertama dijelaskan oleh Prof. Sjaifoellah Noer: “PAPDI sepertinya pernah mati suri,” ujar Prof. Sjaifoellah. Ia sendiri, mulai diajak untuk mengurus PAPDI, saat periode kepengurusan Prof. Utojo, sepulangnya ia dari Amerika. Ia masih ingat, betapa Prof. Utojo selalu bertanya, “Kapan pulang?” ketika ia masih berada di Amerika. Ia pun urung tinggal di negara Paman Sam, dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia Kongres kedua dilakukan di Surabaya pada 27-30 September 1973. Sidang ini dihadiri oleh semua cabang PAPDI pada saat itu yaitu 5 cabang: Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Tiga cabang baru juga disahkan yaitu Yogyakarta, Padang, dan Manado. Pemilihan ketua yang dilakukan pukul 17.00 mengesahkan Prof. Utojo Sukaton sebagai Ketua Umum untuk kedua kalinya. Bandung sebagai tempat acara kongres nasional ke-3 tahun 1975, mengadakan acara seksi wanita, yang diikuti oleh
Sorot Utama 7
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Sidang pemilihan lambang PAPDI.
110 keluarga peserta. Pada kongres ini juga dibuat keputusan di bidang pendidikan bahwa dibentuk National Board of Examination dan menetapkan lama pendidikan penyakit dalam sedikitnya 4,5 tahun. Untuk keseragaman kurikulum, ditetapkan subspesialisasi mencakup 7 bidang. Pembentukan perkumpulan ahli super spesialisasi/subspesialisasi Ilmu Penyakit Dalam hanya bisa atas persetujuan sementara PB PAPDI dan disahkan dalam kongres. Perkumpulan-perkumpulan ini tetap berinduk pada PAPDI. PAPDI juga mengutamakan pendidikan internis umum. Dalam kongres di Bandung ini juga ditetapkan bahwa ketua PB tidak usah menjadi Ketua Dewan Penilaian Keahlian.
Lambang, Bendera, dan Mars PAPDI Sebuah organisasi tidak lengkap jika tidak memiliki atribut lambang. Dalam kongres ke-3 tersebut sidang memutuskan agar PB membentuk panitia khusus untuk menentukan lambang PAPDI, yang diketuai oleh Bandung dengan anggota-anggotanya yaitu Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Diputuskan agar diadakan sayembara untuk membuat lambang PAPDI. Lambang tersebut akhirnya disepakati pada kongres PAPDI ke-4 tahun 1978 di Medan, Sumatera Utara. Perhatian khusus pun dilakukan pada lambang, agar hanya dipancangkan pada kongres atau konker PAPDI saja. Disepakati pula vandel dapat disesuaikan warna aslinya tanpa tahun, dan stempel dibuat disesuaikan dengan lambang. Bendera PAPDI hanya dimiliki oleh dan dipasang pada waktu Kongres dan Konker. Bendera PAPDI harus merupakan pendamping bendera kebangsaan sebagaimana lazimnya. Pada kongres ke-4 di Medan tahun 1978 terdapat usul agar dibentuk Panitia Mars PAPDI yang diangkat oleh PB dengan memperhatikan lagu pada Kongres PAPDI IV yang diciptakan cabang Medan. Mars PAPDI yang dikumandangkan pada pembukaan kongres PAPDI V disetujui sidang dan dinyanyikan pada setiap kongres
Prof. Dr. Sjaifoellah Noer, MD, SpPD, K-GEH
PAPDI. Pada kongres ke-5, PAPDI mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan hari khusus sebagai perhatian terhadap kaum lanjut usia. Kongres PAPDI ke-8 di Ujung Pandang memilih Prof. Sjaifoellah Noer sebagai ketua. Sebelumnya Prof. Sjaifoellah Noer terpilih menjadi wakil ketua PB PAPDI. “Kami seperti urut kacang saja,” ujar Prof. Sjaifoellah Noer mengomentari terpilihnya ia sebagai Ketua. Pada pemilihan ketua umum PB tersebut, Prof. Sjaifoellah mengenang, secara aklamasi ia sudah didaulat menjadi ketua. Namun agar demokratis, sidang menghendaki agar paling tidak ada 3 nominasi ketua umum PB PAPDI. Akhirnya, Prof. Dr. Jose Roesma, Ph.D, Sp.PD, K-GEH, yang tengah tidur di kamarnya dibangunkan dan diminta sebagai nominator. Padahal, Prof. Roesma sebenarnya tidak bersedia untuk dicalonkan. Prof. Sjaifoellah Noer pun terpilih kembali menjadi ketua pada kongres PAPDI ke-8. Pada kongres PAPDI sebelumnya, yaitu Kongres PAPDI ke-6, diramaikan dengan usul dari cabang Bandung, agar diselenggarakan acara kesenian pada setiap kongres. Prof. Sjaifoellah mengenang, suatu kali Prof. Syahbudin Harun mengusulkan agar dibuat kartu dan nomor angggta. “Kartu anggota dibuat sedemikian rupa, sehingga jika orang melihat kartu anggota tersebut langsung mengetahui, apakah ini anggota penuh, masih dalam masa pendidikan, atau anggota luar biasa,” kata dokter yang menjalani pendidikan lanjutan Internist Gastroenterology di Universitas California, Amerika ini. Buku agenda dengan warna yang berganti setiap tahun, juga dibuat dalam masa kepemimpinan Prof. Sjaifoellah Noer. “Ada yang membantu mensponsori dan mendistribusikannya kepada seluruh anggota PAPDI,” aku pria kelahiran Palembang 28 Desember 1932 ini. “Periode kedua kepengurusan, saya mulai mengembangkan pusat-pusat pendidikan internis,” kata Prof. Sjaifoellah. “Yang paling menantang dalam masa kepengurusan saya, menurut saya adalah menyelenggarakan ujian nasional spesialisasi
Prof. Dr. Slamet Suyono, SpPD, K-EMD
penyakit dalam.” Ujian tersebut dilakukan 2 kali setahun. “Satu bulan sebelum penyelenggaraan kita sudah bekerja sungsang sumbel,” ujar suami dari H. Ratu Isoldiana Ratu Bagus Jayabuana ini. “Saya masih ingat, bagaimana Prof. Wiguno (Prof. Dr. Wiguno Pradjosudjadi Phd, SpPD-KGH) memikirkan dengan serius bagaimana bentuk dan komposisi soal.” Tak hanya soal ujian, Dewan Penilai yang juga harus mengatur orang-orang PAPDI cabang tertentu harus bertugas ke cabang mana untuk mengawasi ujian. “Kami juga harus mencari dana untuk biaya transportasi,” ujar mantan President of The Asian Pacific Association for the Study of the Liver ini. Satu hal yang diperjuangkan Prof. Sjaifoellah adalah agar dokter yang bekerja bukan di pusat pendidikan juga dapat memperoleh gelar spesialisasi. Kepada setiap dokter yang ingin menjadi ahli penyakit dalam, peraih tanda penghargaan Satya Lencana tahun 1988 ini selalu mengatakan, ”Kami tidak mencari ahli penyakit dalam yang pintar, tapi orang yang memiliki semangat kebersamaan untuk mengembangkan penyakit dalam untuk seterusnya,” ujarnya. “Jadilah orang penyakit dalam seumur hidup untuk penyakit dalam. Jika ingin cari uang, maka tempatnya bukan di sini.”
Subspesialis Lebih Berkembang Usai kepemimpinan Prof. Sjaifoellah Noer, Prof. Dr. Slamet Suyono, SpPD, KEMD melanjutkan kepemimpinan PAPDI yang disahkan pada kongres ke-9 tahun 1993 di kota Den Pasar. Prof. Slamet mengatakan, pada saat didirikan PAPDI sangat kuat, tapi kemudian sejak tahun 1970 subspesialis berkembang dengan cepat sekali dan PAPDI menjadi kurang solid, malah sampai keluar dari International Society of Internal Medicine (ISIM), tapi kemudian tahun 1994 kembali masuk kembali menjadi anggota. Prof. Slamet Suyono mengemukakan sistem core curriculum (kurikulum inti) untuk memperoleh tenaga medis dengan ge-
Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, K-AI
lar spesialisasinya. Seorang dokter umum baik lulusan baru atau yang sudah berpengalaman, setelah lulus ujian masuk, diharuskan mengikuti core curriculum selama kurang lebih 3 tahun, sebelum mengikuti pendidikan khusus spesialis. Kurikulum juga menekankan kompetensi seseorang. “Saya sering bermimpi, barangkali dengan cara seperti ini kemelut yang sudah lama berlangsung antara KKV dengan SpJP akan segera selesai,” kata pria kelahiran Bandung, 3 November 1937 ini, dalam pidatonya menjelang akhir masa jabatannya tahun 2003. Buah pikiran Prof. Slamet juga telah dipaparkan pada Forum Asean Federation of Internal Medicine di Manila tahun 1996. Sayangnya, konsep Prof. Slamet tidak pernah terealisir. “Seharusnya kita kembali ke sistem rujukan, tapi sayang pemerintah belum cukup kuat untuk memberikan pelayanan,” kata mantan President of the ASEAN Federation of Endocrine Societies (AFES) ini. Selama dua periode kepengurusan Prof. Slamet menjabat sebagai Ketua PB PAPDI. Kongres PAPDI ke-11 saat itu seharusnya diselenggarakan tahun 1999 bertempat di Surabaya. “Tapi karena saat itu ada pergantian millennium, maka kongres diundur menjadi tahun 2000. Kongres di Surabaya sekaligus merayakan millennium baru,” ujar Prof. Slamet. “Saya jadi menjabat sebagai ketua lebih lama 1 tahun.”
Double Burden Penyakit Kongres Surabaya, memilih Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, K-AI sebagai Ketua PB PAPDI baru untuk periode 20002003. “Periode tersebut PAPDI seperti biasa menjalankan fungsi pelayanan, pendidikan/pelatihan dan penelitian. Pada waktu itu peran kolegium sudah mulai nampak sehingga PAPDI sendiri lebih mengutamakan sumbangannya untuk pelayanan kesehatan. Dua masalah penting yang sering kita sebut double burden yaitu penyakit menular dan penyakit degeneratif merupakan masalah yang menjadi perhatian PAPDI,” ujar Prof. Samsuridjal. Penyakit menular baru yaitu HIV memperberat masalah kesehatan di negeri ini. “Pada umumnya anggota PAPDI termasuk pelopor dalam penanggulangan AIDS baik di tingkat pemerintahan maupun LSM,” ujar pria kelahiran Bukit Tinggi, 3 Mei 1945 ini. Periode tahun 2000-2004 juga adalah periode perjuangan untuk mengadakan obat antiretroviral di Indonesia. “Kita bersyukur obat ARV tersebut dapat tersedia secara cuma-cuma pada tahun 2004 dan yang lebih membanggakan lagi obat tersebut dapat diproduksi secara lokal. Kita juga bersyukur karena anggota PAPDI terlibat aktif dalam perjuangan ini.”
Prof. DR. A. Aziz Rani, SpPD, K-GEH
8 Sorot Utama Pada 2003, kongres PAPDI ke-12 di Manado memilih Prof. DR. A. Aziz Rani, SpPD, K-GEH sebagai Ketua PB. “Waktu itu kami memperkuat kelembagaan dan membuat standar profesi pelayanan penyakit dalam. Semua dokter penyakit dalam mengetahui hal itu, tapi tentu harus ada dokumentasinya,” ujar Prof. Aziz Rani. Demikian juga dibuat standar pendidikan beserta dokumentasinya. “Keseluruhan hal-hal yang mendasar sebetulnya sudah ada, tapi diusahakan dibuat dalam bentuk dokumen-dokumen yang resmi,” sambung pria kelahiran Palembang, 30 Mei 1946 ini. Suami dari Herawani, MKes ini mengatakan, pada waktu itu juga terjadi beberapa perubahan, seperti keluarnya Undang-undang Praktik Kedokteran. “Jadi, organisasi profesi mesti menyikapi dokumen legal tersebut untuk dijadikan acuan dengan adanya perubahan tadi.” PAPDI, menurut Prof. Azis, dari sisi identitas organisasi, adalah organisasi orang-orang yang senang berfikir, menetapkan masalah, dan mencari solusinya. “Cuma kecenderunganya menjadi terlalu berorientasi ke dalam, hanya untuk mencari yang terbaik untuk profesinya. Padahal, diharapkan juga berorientasi ke luar, ke masyarakat,” ujar bapak tiga anak ini. Ahli penyakit dalam tidak cukup hanya menguasai ilmunya. Mereka juga harus memberdayakan masyarakat. Di tingkat komunitas, hal ini harus disosialisasikan. PAPDI Medical Relief (PMR), merupakan salah satu pengembangan jaringan di tingkat masyarakat untuk berkontribusi tanpa harus meninggalkan tugas pokok. “PMR statusnya adalah lembaga swadaya masyarakat yang lepas dari PAPDI, tapi dia sebenarnya perpanjangan tangan PAPDI. PMR adalah salah satu jaringan yang digunakan PAPDI untuk berkiprah di masyarakat,” kata konsultan GastroenteroHepatologi ini. PMR mempunyai visi agar bisa mengakses sumber daya internasional untuk bencana yang terjadi di tanah air. “Intinya, jika mencari partner untuk program bersama kami siap.”
Tantangan dan Kebersamaan Prof. Sjaifoellah Noer mengatakan dalam perjalanannya PAPDI semakin menghadapi banyak tantangan. “Kita dulu masih berada pada masa konsolidasi, dan tantangannya juga banyak, seperti dibentuknya RS Jantung Harapan Kita, RS Persahabatan,” katanya. Namun, “Jika jiwa kebersamaan pada ahli penyakit dalam tetap terjaga, apapun tantangan tersebut dapat kita hadapi.” Tantangan tersebut, salah satunya menurut Prof. Slamet Suyono adalah bagaimana meningkatkan peran internis terutama peran internis plus, yaitu tenaga ahli penyakit dalam yang memiliki tambahan keahlian. Dengan adanya internis plus yang berperan lebih besar dalam sistem rujukan akan memangkas biaya kesehatan menjadi lebih sedikit. Selain itu, “Pasien akan dilayani secara holistik, dan tidak diobati secara parsial,” ujar Prof. Slamet. Prof. Samsuridjal Djauzi mengatakan, tantangan yang dihadapi PAPDI terdapat di dalam organisasi dan di luar organisasi. “Dari dalam organisasi kita perlu lebih menyamakan persepsi mengenai peran PAPDI sebagai dokter orang dewasa dan pendekatan holistik. Sedangkan tantangan di luar organisasi adalah pelayanan yang terpecah (terfragmentasi),” ujar Prof. Samsuridjal. “Pengembangan ilmu harus didorong sehingga wajar terjadi percabangan ilmu namun dalam bidang pelayanan cost effectiveness harus dipertimbangkan sehingga kita harus menjalankan pendekatan holistik.” Prof. Azis Rani mengatakan tantangan-tantangan tersebut akan selalu muncul. “Bahkan di negara maju sekalipun,” ujarnya. Meningkatkan kemampuan anggota, adanya UUPK, program resertifikasi, adalah hal-hal yang harus dibereskan oleh PAPDI. “Semua itu tidak bisa diselesaikan tanpa adanya upaya-upaya mendasar agar tujuan-tujuan yang ditetapkan dapat memuaskan semua pihak. Dengan demikian, organisasi profesi harus membuat program untuk kepentingan anggota sendiri. Setelah ada program, mesti dilanjutkan mengenai prosedur dan monitoring.” Selain itu, Prof. Azis Rani mengatakan, pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi. “Kalau semua orang berfikir bahwa yang melakukan pelayanan adalah orang kompeten, saya yakin tidak ada masalah. Muaranya adalah kepentingan pasien dan masyarakat.” Jalan ke depan telah dipetakan. Tantangan telah diprediksi. Tinggal bagaimana mengatur strategi untuk melalui semua itu agar seluruh anggota PAPDI dapat mencapai tujuan yang digariskan. Dan PAPDI, seharusnya telah siap! (HI)
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
PAPDI 1957 – 2009 PAPDI 1957
KOPAPDI VII di Ujung Pandang tanggal 22-27
• 16 November 1957, didirikan suatu Perkumpulan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) • Program malam klinik pertama dilaksanakan pada hari Rabu, 29 Januari 1958, jam 20.00 Wib dengan pembicara Dr. Djoa Liang Ham.
Agustus 1987
KOPAPDI I dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 2226 September 1971 KOPAPDI II di Surabaya pada tanggal 27-30 September 1973 • Prof. Dr. Utojo Sukaton, SpPD, KEMD ditunjuk sebagai Ketua Umum PB PAPDI Baru untuk periode 19731975 • Peserta anggota dan bukan anggota berjumlah sekitar 400 orang, dihadiri 5 cabang PAPDI: Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya. • Mengesahkan cabang-cabang baru: Yogyakarta, Padang, Manado. • Perlu dibentuk suatu dewan yang bertugas menentukan kebutuhan pendidikan, fasilitas, dan cara mengevaluasi pendidikan seorang internis. Dewan itu sekaligus merupakan Dewan Penilaian Keahlian Dokter Ahli Penyakit Dalam.
KOPAPDI III di Bandung tanggal 27-30 Agustus 1975
•
• • •
•
• Dr. H. Achmad Dachlan dipilih sebagai Ketua Umum untuk periode 19751978 • Diikuti oleh 522 peserta terdiri atas 108 dokter ahli dan 414 dokter umum. • Ditetapkan 2 (dua) jenis pusat pendidikan, yaitu: Pusat Pendidikan Pendahuluan Ahli Penyakit Dalam dan Pusat Pendidikan Penuh Ahli Penyakit Dalam. Keduanya harus seragam di seluruh Indonesia. Dasar kurikulum mencakup sub/super spesialisasi 7 bidang. Ditentukan, cabang dapat didirikan, bila kota/daerah bersangkutan sekurang-kurangnya terdapat 4 (empat) orang anggota biasa Ketua Umum hanya dapat dipilih untuk masa jabatan 2x berturut-turut. Konferensi Kerja akan diadakan sekurang-kurangnya 1,5 tahun sekali. PB membentuk panitia khusus untuk menentukan lambang PAPDI yang diketuai Bandung, dengan anggota: Jakarta, Yogyakarta, Surabaya. Sayembara diadakan untuk menentukan lambang tersebut dan PB PAPDI menyediakan hadiah. Medan diakui sebagai Pusat Pendidikan Penuh
KOPAPDI IV di Medan tanggal 27-30 Juni 1978 • Dr. H. Achmad Dachlan terpilih kembali menjadi Ketua Umum PB PAPDI periode 1978 - 1981 • Membentuk suatu panitia ad hoc yang beranggotakan Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta dengan tugas menyusun buku Pedoman Pendidikan Ahli Penyakit Dalam berdasarkan sistem kredit. • Ditentukan batas umur penderita penyakit dalam adalah 12 tahun keatas. • Pembentukan Board of Examination tetap merupakan tujuan akhir dari penilaian pendidikan ahli penyakit dalam.
KOPAPDI V di Semarang tanggal 16-20 Juni 1981 • Prof. Dr. Utojo Sukaton, SpPD, K-EMD terpilih menjadi Ketua Umum PB PAPDI periode 1981 – 1984 • Pendidikan Internist diambil alih oleh pemerintahan cq CMS dan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang disusun PAPDI. Pusat-pusat pendidikan penuh (sentra kategori I) dihimbau untuk tetap menerima/membuka kesempatan pada sentra kategori III (CMS) sebagai fasilitas pendidikan dari sentra kategori I dan tenaga-tenaga pendidikannya dipakai sebagai tenaga pendidik penuh. • Sementara pemerintah belum menanggulangi Pendidikan Dokter Subspesialis, maka PB PAPDI melaksanakan subspesialisasi. • Board of Study menetapkan sentrum-sentrum tambahan untuk pendidikan internis lengkap yaitu Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Andalas, Universitas Hasanudin, Universitas Gajah Mada, dan akan dikembangkan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sriwijaya. • Sidang menyetujui Mars PAPDI yang sudah dikumandangkan pada pembukaan KOPAPDI V dan agar dinyanyikan pada setiap KOPAPDI. • PB PAPDI mengusulkan kepada pemerintah agar ditetapkan suatu hari atau minggu yang dipersembahkan kepada orangorang usia lanjut.
KOPAPDI VI di Jakarta 24-26 Juli 1984 • Prof. Dr. Utojo Sukaton, SpPD, K-EMD terpilih kembali sebagai Ketua Umum PB PAPDI periode 1984 – 1987 • Kongres mengakui adanya eksistensi subpesialis Alergi Imunologi dan subspesialis Reumatologi selain dari subspesialisasi yang telah ada. • Kongres mengakui adanya eksistensi sentra pendidikan yang sudah ada sesuai dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
• Prof. Dr. Sjaifoellah Noer, MD, SpPD, K-GEH terpilih sebagai Ketua Umum PB PAPDI untuk periode 1987-1990 • Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya ditetapkan sebagai salah satu pusat pendidikan Dokter Ahli Penyakit Dalam
KOPAPDI VIII di Yogyakarta tanggal 24-30 Juni 1990 • Prof. Dr. Sjaifoellah Noer, MD, SpPD, K-GEH terpilih kembali sebagai Ketua Umum PB PAPDI untuk periode 1990–1993 • Integritas Ilmu Penyakit Dalam, yang berarti pelaksanaan Ilmu Penyakit Dalam secara holistik, harus tetap dipelihara • Mengupayakan pelaksanaan yang seragam dari adaptasi spesialisasi penyakit dalam lulusan luar negeri di berbagai pusat pendidikan. Agar Departemen Kesehatan menyamakan penempatan lulusan internis luar negeri dengn lulusan dalam negeri. • PAPDI menolak dokter dari luar negeri bekerja di Indonesia • Anggota PAPDI lanjut usia dibebaskan dari iuran
KOPAPDI IX di Denpasar tanggal 27 Juni–1 Juli 1993 • Prof. Dr. Slamet Suyono, SpPD, KEMD terpilih menjadi Ketua Umum PB PAPDI periode 1993 - 1996 • Menyetujui perubahan nama cabang: Cabang Medan menjadi Cabang Sumatera Utara, dan Cabang Bandung menjadi cabang Jawa Barat. • PAPDI sepakat untuk membuka kesempatan pendidikan subspesialis di kemudian hari bagi Spesialis Penyakit Dalam yang bekerja di luar Pusat-pusat Pendidikan dengan prioritas tetap spesialis penyakit dalam yang bekerja di Pusat-pusat Pendidikan.
KOPAPDI X di Padang tanggal 23-27 Juni 1996 • Prof. Dr. Slamet Suyono, SpPD, K-EMD terpilih kembali menjadi Ketua Umum PB PAPDI periode 1996 – 1999 • Akan diadakan National Board Examination bagi para peserta pendidikan dokter spesialis penyakit dalam • Menyepakati perlunya subbagian geriatrik dalam pendidikan spesialis penyakit dalam
KOPAPDI XI di Surabaya tanggal 7-11 Juli 2000 • Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, K-AI terpilih menjadi Ketua Umum PB PAPDI periode 2000-2003 • Di bidang pendidikan, hanya ada istilah internis (SpPD) dan konsulen. Tidak ada internis plus. • Dikembangkan konsep ‘General Internist’ dan dokter keluarga serta peningkatan kemampuan anggota dengan program khusus. • Penerimaan subspesialisasi perlu melibatkan organisasi seminat. • Terjemahan PAPDI dalam bahasa Inggris hanya satu, The Indonesian Society of Internal Medicine • Intensivis (Medical Care Medicine) tetap merupakan bagian integral dari pelayanan penyakit dalam.
KOPAPDI XII di Manado tanggal 6-9 Agustus 2003 • Prof. DR. A. Aziz Rani, SpPD, K-GEH terpilih menjadi Ketua Umum PB PAPDI periode 2003-2006 • Public Relation memiliki tugas untuk mensosialisasikan visi dan misi PAPDI kepada masyarakat maupun dokter. Hal yang mesti disosialisasikan di antaranya bahwa anggota PAPDI berperan aktif dalam penanggulangan imunisasi dewasa, malaria, TBC, HIV/AIDS, hepatitis, dan osteoporosis. • PAPDI mempunyai sikap dalam menghadapi friksi antara disiplin ilmu penyakit dalam dengan disiplin ilmu lainnya. • Pendidikan Spesialis Dalam tetap dilakukan sertifikasi oleh Universitas, dan penetapan kurikulum oleh kolegium. • Materi psikosomatik tetap menjadi bagian pendidikan dokter spesialis penyakit dalam tak perlu sebagai subbagian. • Konsultan Endokrin (KE) menjadi Konsultan Endokrinologi Metabolisme dan Diabetes (KEMD).
KOPAPDI XIII di Palembang tanggal 5-9 Juli 2006 • DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, KHOM, terpilih menjadi Ketua Umum PB PAPDI periode 2006-2009 • Menyetujui pemberian Fellow Indonesian College of Physician (FICP) pada setiap internis, dengan peraturan dan ketentuan yang dibuat kolegium. • Membuat website dan mailing list PAPDI • Perlu dibentuk Medical Law Advisor • Peningkatan aktivitas Continuing Professional Development (CPD)
9
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Geliat Internis Di Daerah Selain minimnya persaingan, berkiprah di daerah tak menutup peluang pengembangan diri bahkan juga bisnis. Beragamnya jenis penyakit tropik yang timbul di daerah menawarkan pengetahuan lebih untuk bisa dikaji secara mendalam. rogram PB PAPDI untuk lebih mengaktifkan peran PAPDI cabang mendapat sambutan hangat dari anggotanya, terutama internis di daerah. Upaya yang dilakukan, mulai dari meng update data anggota, konsolidasi dan pembenahan organisasi hingga membentuk cabang-cabang baru. Hingga kini, tak kurang ada 33 cabang PAPDI tersebar di seluruh Indonesia. Dengan begitu, diharapkan arus informasi dapat lebih cepat dan efektif. ”Sebelumnya kami menginduk
P
ke PAPDI cabang Semarang. Tapi kini kami dapat langsung ngontak Ketua PB,” ujar Dr. Eko Sudarmo DP, SpPD, Ketua PAPDI cabang Maluku Utara. Di samping konsolidasi organisasi, peningkatan mutu internis tak lepas dari perhatian PB PAPDI. Pada kepengurusan ini, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, pengurus menggalakan roadshow ilmiah, seperti roadshow tentang antibiotik, nutrisi, onkologi, workshop EKG, dan lainlain, ke cabang-cabang. “Kami sangat me-
Dr. Eko Sudarmo DP, SpPD, Ketua PAPDI Cabang Maluku Utara
Gencar Menarik Minat Internis
onflik di Ambon tahun 2002, membawa pengalaman baru bagi Dr. Eko Sudarmo DP, SpPD. Saat itu, dokter yang kini menjabat Ketua PAPDI cabang Maluku Utara ini, tergerak untuk membantu masyarakat yang menjadi korban kerusahan di sana. Konflik meluas ke berbagai daerah di Maluku. Ia bersama dua internis lain mesti melakukan perjalanan laut dengan menggunakan kapal laut sederhana dari Marotai, daerah perbatasan IndonesiaFilipina, hingga ke Sarana. ”Waktu tempuh paling pendek 4 jam sedangkan paling lama 24 jam. Dengan minimnya peralatan medis, mau tak mau kami mesti benar-benar mengoptimalkan kemampuan diagnosis,” kenang internis lulusan FK Undip, Semarang ini. Kondisi Maluku Utara delapan tahun lalu berbeda dengan sekarang. Dari sisi kesehatan, peta penyakit infeksi, seperti malaria, yang dulu kerap ditemui kini menurun prevalensinya. Tren penyakit yang timbul di Maluku Utara, sejak tahun 2004 mirip dengan di kota-kota besar. Prevalensi penyakit seperti diabetes, jantung, dan hipertensi cenderung bertambah angka kejadiannya. Bahkan, menurut Dr. Eko, begitu biasa disapa, kejadian penyakit diabetes di Maluku Utara saat ini adalah yang tertinggi. Pergeseran peta penyakit ini menjadi perhatian pengurus PAPDI cabang Maluku Utara. Meski baru diresmikan, Januari 2009 lalu, internis di sana telah gencar melakukan kampanye untuk menurunkan prevalensi penyakit diabetes. Beberapa kali
K
rasakan manfaatnya, selain menambah pengetahuan klinis, kami juga dapat langsung mendiskusikan kasus-kasus yang kami hadapi dengan sejawat lain. Kami berharap roadshow ini dapat ditingkatkan dengan mendatangkan sejawat dari berbagai pusat pendidikan kedokteran,” kata Dr. Mochtar Zein Pattiha, SpPD, Seksi Ilmiah, PAPDI cabang Maluku Utara. Meski demikian, geliat dokter di daerah tak serupa di ibu kota. Tak banyak dokter yang benar-benar ingin berpraktik di daerah. Kendala lingkungan, geografis, sulit mengakses informasi dan pengetahuan, bahkan ketakutan akan kendala keuangan menjadi momok beberapa dokter, termasuk internis, untuk berkiprah di daerah. Namun dari beberapa internis yang di temui Halo Internis menampik alasan tersebut. Mereka justru mengatakan bahwa tinggal dan berpraktik di daerah cukup menjanjikan banyak peluang. Masih terbatasnya internis di suatu daerah, membuat minimnya persaingan sesama sejawat.
simposium mini digelar untuk menambah kemampuan medis internis beserta sejawat lain. Tak ketinggalan, seminar awam untuk menumbuhkan kesadaran pola hidup sehat masyarakat diselenggarakan dengan berkerjasama dengan instansi kesehatan dan Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia). “Inilah yang menjadi fokus PAPDI Maluku Utara sekarang,” ujarnya. PAPDI Maluku Utara menjalin kerjasama dengan pusat-pusat pendidikan kedokteran guna meningkatkan layanan kesehatan. Untuk penanganan pasien yang membutuhkan cuci darah, pengurus bekerjasama dengan FK Universitas Hasannudin. Penanganan HIV/AIDS bekerjasama dengan FK Universitas Indonesia. Di tahun depan, pengurus membuka divisi gastro enterologi yang bekerjasama dengan Universitas Samratulangi, Manado serta membuka sarana endoskopi dua tahun kemudian. Saat ini, tambah dokter yang juga Ketua Persadia wilayah Maluku Utara ini, jumlah internis sudah bertambah menjadi tujuh orang. Meski begitu, usaha untuk menarik para internis agar berminat berkiprah di daerah ini masih gencar dilakukan. Salah upayanya adalah mengajukan usulan insentif tambahan ke pemerintah daerah serta melakukan sosialisasi setiap kunjungan ke kampus-kampus. Memang bagi sebagian besar dokter, praktik di daerah tak seindah di kota besar. Meski tidak dimanjakan sarana dan fasilitas, Dr. Eko mengakui, praktik di daerah menawarkan banyak nilai lebih. Berkiprah di daerah tak menutup peluang pengembangan diri bahkan juga bisnis. Di samping berpraktik di rumah sakit, Dr. Eko juga telah sukses mendirikan klinik yang dilengkapi fasilitas fitness, kecantikan, laboratorium dan apotik. Klinik yang diberi nama “Klinik Medistra Health Center” ini, seperti diakuinya, banyak diminati masyarakat di sana. Ramainya klinik, tambah Dr. Eko, disebabkan kian meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarakat di sana. Jumlah dokter yang terbatas, sangat membuat sibuk dokter yang ada. “Setiap hari menerima pasien kurang lebih tujuh puluh orang,” ujar pengurus IDI wilayah Maluku Utara ini Selain itu menurutnya, menjadi dokter di daerah juga tidak akan sepusing di kota besar yang dengan beragam kasus penyakit. Contohnya Jakarta yang menjadi pusat rujukan dari berbagai penjuru tanah air. Di daerah variasi kasus penyakit relatif lebih sedikit. (HI)
Penghasilan yang diperoleh dari praktik juga akan ditambah dengan insentif khusus dari pemerintah daerah. “Jadi, masalah keuangan nggak perlu dikhawatirkan,” ujar Dr. Eko Sudarmo DP, SpPD, yang juga Ketua PAPDI cabang Maluku Utara ini. Bahkan, tambah Dr. Eko, peluang bisnis lain terbuka lebar di daerah. Internis dari FK Undip ini mengaku telah berhasil mendirikan sebuah klinik “plus”, dilengkapi dengan fasilitasi layanan fitness, kecantikan, apotik, dan laboratorium. “Klinik dengan fasilitas lebih ini pun ternyata mendapat minat cukup tinggi dari masyarakat Maluku Utara,” tambahnya. Lain lagi Dr. Kamilus Karangora, SpPD, Ketua PAPDI cabang Kupang. Soal lambatnya mengupdate ilmu kedokteran bagi dokter-dokter di daerah, menurutnya, dapat diatasi dengan memanfaatkan fasilitas internet. Bahkan banyaknya jenis penyakit tropik di daerah menawarkan pengetahuan lebih untuk bisa dikaji secara mendalam. (HI)
Dr. Samuel Maripadang Baso, SpPD, Ketua PAPDI cabang Papua
Daerah Menawarkan Pengetahuan Lebih Dalam abang PAPDI sampai juga ke kota paling Timur Indonesia, Papua. Tepatnya, 21 Februari 2009 lalu PAPDI cabang Papua diresmikan oleh Ketua Umum PB PAPDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP. Dengan demikian, internis di Papua dapat mengurus keperluan profesinya sendiri, tanpa mesti menginduk ke PAPDI cabang lainnya. PAPDI cabang Papua menjadi wadah internis dalam mengembangkan kompetensi ilmu penyakit dalam. Banyaknya kasus penyakit tropik, terutama tingginya prevalensi penderita HIV/AIDS menjadi perhatian pengurus. Penambahan jumlah penderita HIV/AIDS disana tiap tahunnya menunjukan peningkatan yang signifikan. Papua menjadi target utama upaya pemerintah untuk menekan prevalensi HIV/AIDS di Indonesia. Tak heran, kondisi ini menarik minat dokter, baik dari pemerintah maupun dari organisasi profesi dalam dan luar negeri untuk melakukan penelitian tentang HIV/AIDS. “Tingginya kasus HIV/AIDS disini membuka peluang kerjasama dengan berbagai organisasi kedokteran,” kata Ketua PAPDI cabang Papua, Dr. Samuel Baso, SpPD. Dengan riset bersama, lanjut Dr. Samuel, akan menambah pengetahuan internis soal penyakit-penyakit lokal. Sementara, untuk meng update ilmu kedokteran yang lain dapat melalui internet. “Saat ini dengan adanya internet, update pengetahuan sudah tidak terkendala lagi, sisi positif lainnya, penyakit tropik di daerah lebih beragam, jadi bisa dikaji lebih jauh sehingga menambahkan pengetahuan baru,” ujar Dr. Samuel. Kendati demikian, seperti diakui Dr. Samuel, menjalani kiprah di daerah memiliki beberapa kendala. Kondisi alam tanah Papua yang sangat luas, dengan area huni dan penduduk yang sebenarnya sedikit, menjadi kendala hubungan satu wilayah dengan wilayah lain. Apalagi sarana transportasi juga masih sulit. Secara geografis, letaknya yang jauh dari pusat pendidikan menjadi tantangan internis untuk saling berinteraksi dengan sejawat lain. Apalagi dengan terbatasnya peralatan dan laboratorium, menyulitkan untuk melakukan rujukan ke rumah sakit rujukan.”Modal utama seorang dokter di daerah, haruslah pandai-pandai melakukan diagnosis fisik,” ungkapnya. Seperti di daerah lain, Dr. Samuel juga mengakui ada insentif khusus yang diberikan pemerintah daerah kepada para dokter. Apalagi dengan adanya otonomi daerah juga menjanjikan insentif lebih. Selain itu ada tunjangan biaya untuk mengikuti simposium ke Jakarta selama dua kali setahun. “Jadi jangan takut berkiprah di daerah,” ujarnya. (HI)
C
10 Sorot Utama
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Dr. Azhari Gani, SpPD, K-KV, FCIC, PAPDI cabang Aceh
Dr. Kamilus Karangora, SpPD, Ketua PAPDI cabang Nusa Tenggara Timur
Keterbatasan Meningkatkan Skill eperti diketahui, pembangunan di Indonesia bagian Timur tidak sebaik di Indonesia bagian Barat. Hal serupa juga dirasakan dalam penyebaran tenaga kesehatan, termasuk distribusi internis. Di provinsi Nangro Aceh Darussalam, terhitung jumlah internis ada 20 orang. Sepuluh internis diantaranya berdomisili di Banda Aceh. Sisanya tersebar di kabupaten-kabupaten. ”Jumlah ini belum bisa memenuhi kebutuhan seluruh wilayah. Masih ada beberapa kabupaten yang belum memiliki internis,” kata Kepala Divisi Kardiologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah/ RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, Dr. Azhari Gani, SpPD, K-KV. Kurangnya tenaga internis ini menjadi perhatian PAPDI cabang Aceh. Pengurus mengupayakan mengisi tenaga internis di daerahdaerah yang belum memiliki dokter penyakit dalam. ”Pengiriman ini dilakukan hanya pada hari Sabtu dan Minggu dengan tenaga-tenaga yang didatangkan dari FK Unsyiah. Tentu saja konsekuensinya, masyarakat hanya menjumpai dokter internis di daerah mereka hanya pada hari-hari tersebut,” ujar Dr. Azhari menjelaskan. Kendati demikian, pengurus PAPDI cabang Aceh tak tinggal diam. Untuk memenuhi kebutuhan internis, kini dari FK Unsyiah akan mengirim 26 dokter umum yang akan mengikuti pendidikan spesialis ilmu penyakit dalam di FK Universitas Sumatera Utara (FK USU) Medan. Peralatan kedokteran yang terbatas merupakan tantangan tersendiri bagi internis di daerah. Apalagi penyakit yang dihadapi cukup beragam. Kondisi ini ”memaksa” dokter untuk melakukan inovasi dan terobosan dalam pelayanan kesehatan, termasuk memaksimalkan ketrampilan diagnosis fisiknya. (HI)
S
Menjadi Dokter Daerah Harus Memantapkan Hati ak kacang tak lupa kulitnya. Ungkapan ini cocok disandang Dr. Kamilus Karangora, SpPD. Setelah lulus dari FK Undip tahun 1984, kemudian ia melanjutkan ke jenjang spesialis Ilmu Penyakit Dalam di almamater yang sama. Tahun 1997, Dr. Kamilus, begitu biasa disapa, telah menjadi internis. Ia pun kembali ke tanah kelahirannya, Karangora, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Dr. Kamilus adalah internis pertama putera daerah Karangora, NTT. Kedekatan emosional dengan tanah kelahirannya membuat hatinya lebih mantap untuk berkiprah disana. Kenapa tidak! Tantangan yang dihadapi diawal ia merintis praktik disana cukup berat. Kendala umum yang dihadapinya serupa dengan dokter lain yang berpraktik di daerah terpencil. Baginya tantangan itu tidak membuat langkahnya surut ke belakang. Bahkan melihat kondisi itu, hatinya lebih mantap untuk tetap mengabdi disana. Menurutnya, kendala yang paling berat adalah mengubah pandangan masyarakat tentang pelayanan kesehatan. Maklum, masyarakat di sana telah turun temurun sangat mempercayai kekuatan mistik. ”Mayoritas masyarakat masih kuat percaya dukun. Padahal biaya mereka ke dukun juga besar, bisa 2 sampai 3 juta, tapi mereka malu mengakui walau terkadang merasa dirugikan,” keluh internis yang berpraktik di RSU Prof. Dr. WZ Johannes, Kupang ini. Bersama enam internis lain, sebelum PAPDI cabang Kupang yang diresmikan 21 Maret 2009 lalu, ia berupaya mengubah cara pandang masya-
B
PAPDI Cabang Banten
Galang Kebersamaan Antar Anggota abtu, 10 Oktober 2009 lalu, pengurus PAPDI cabang Banten dilantik oleh Wakil Ketua PB PAPDI, DR.Dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, MEpid, di Auditorium RS OMNI International, Tangerang. Pelantikan pengurus periode 20092012 ini, bagi Dr. Muthalib Abdullah, SpPD, merupakan kali kedua ia terpilih menjadi Ketua PAPDI cabang Banten yang sebelumnya pada periode 2006-2009. ”Untuk kedua kalinya saya dipilih kembali menjadi ketua,” kata Dr. Muthalib Abdullah ketika ditemui di sekretariat PAPDI cabang Banten. Bagi sebuah organisasi profesi, PAPDI cabang Banten terbilang masih muda. Pembentukan cabang Banten disetujui ketika Kongres PAPDI XII (KOPAPDI XII) tahun 2003 di Manado. Kala itu terpilih menjadi ketua pertama adalah Dr. Djoko Ishak, SpPD untuk periode kepengurusan 20032006 dengan jumlah internis sebanyak 12 orang. Seyogyanya cabang baru, PAPDI cabang Banten dalam misinya lebih terkonsentrasi pada persoalan internal. Mulai dari pendataan anggota, pembenahan kelengkapan organsasi hingga penambahan jumlah anggota. Dalam dua periode kepengurusan jumlah internis meningkat menjadi 43 orang. ”Ada lonjakan jumlah anggota yang cukup signifikan,” ujar Dr. Muthalib. Jumlah ini, lanjutnya, belum cukup untuk kebutuhan penduduk Banten. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen internis terkonsentrasi di Tangerang dan sekitarnya. Sedangkan sisanya tersebar di kabupaten lain. Meski demikian, kebutuhan internis
S
rakat di sana. Berbagai penyuluhan kesehatan untuk masyarakat terus dilakukan. Tak jarang mereka juga mengadakan seminar awam membahas topik-topik kesehatan. Upaya Dr. Kamilus bersama sejawat lain berbuah manis. Pendidikan dan kesadaran masyarakat bertambah. Ia pun sukses membantu berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana (FK Undana) setahun yang lalu. Bahkan di tahun pembukaan pertamanya fakultas ini sudah menerima 52 mahasiswa dan 50 mahasiswa di tahun ini. Ia berharap putera daerah yang mengenyam ilmu di luar NTT mau kembali ke daerah asalnya.” Saya memaklumi generasi sekarang banyak yang lebih memilih bekerja di luar NTT. Oleh karena itu kunci utama memilih berkiprah di daerah adalah memantapkan hati nurani yang ditopang denganh idealisme dan motivasi yang kuat,” kata suami Yuliana Winda Niran ini. (HI)
”Kekompakan adalah hal yang paling utama bagi kami, dengan demikian kami bisa langgeng.”
di Banten dirasakan cukup karena ada internis dari memberikan penyuluhJakarta yang juga praktik di an diabetes pada masTangerang. ”Penyebaran inyarakat, ada juga angternis cukup proporsional, gota yang menjadi Keapalagi ada sejawat dari tua IDI dan Persadia,” Jakarta yang praktik disini. terang Kepala HemodiaItu tidak masalah bahkan lisis RSUD Tangerang membantu,” kata dokter ini. lulusan Fakultas KedokterDr. Muthollib mean Universitas Diponegoro nambahkan, anggotatahun 1980 itu. nya juga terlibat dalam Pertambahan jumlah berbagai pelayanan keanggota, juga diiringi desehatan. Di RSU TangeDr. Muthalib Abdullah, SpPD; Dr. Nyoman Sudirga, SpPD dan Dr. Ariani Intan Wardhana, SpPD ngan pembenahan organirang, misalnya, PAPDI (keempat, kelima dan keenam dari kiri). sasi. Saat ini, PAPDI cacabang Banten sedang bang Banten telah menempati sekretariat berupaya mendatangkan konsulen setiap Pertemuan yang dibarengi simposium di lantai dua ruang hemodialisis RSU minggunya. Dalam penanganan HIV yang ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan Tangerang. ”Di sini tempat rapat atau disebut dengan Care Support Treatment kompetensi anggota. Simposium mini mepertemuan anggota. Dan dibantu dengan (CST) diketuai Dr. Nyoman Sudirga, SpPD, ngulas berbagai topik dengan mengunsatu orang staf, Dwi, yang mengurus Ketua II PAPDI cabang Banten. Sementara dang sejawat lain sebagai narasumber. administratif organisasi,” katanya. Dr. Ariani Intan Wardhana, SpPD, sekretaDengan begitu anggota dapat mengupdate Di samping itu, yang menjadi perhatian informasi. Upaya lain yang dilakukan meris ditunjuk sebagai ketua tim Avian Inperngurus saat ini menumbuhkan sense ningkatkan mutu internis yaitu dukungan fluenza (AI). of belonging terhadap organisasi. Untuk untuk melanjutkan pendidikan spesialis Menurut Dr. Nyoman prevalensi HIV di dua (Sp2). ”Saya memelopori, agar sejaBanten saat ini memang terbilang tinggi. itu, PAPDI Banten secara rutin membentuk wat yang lain bisa mengikuti,” ujar internis Berbagai disiplin ilmu tergabung dalam forum pertemuan sekitar 2-3 bulan sekali, sedang menjalani pendidikan Sp2 bidang Tim CST. Diantaranya internis, psikolog, dengan format acara gabungan rapat dan ginjal dan hipertensi ini. psikiater, spesialis patologi klinik, dokter simposium mini atau round table discussion. Acara tersebut diharapkan mampu Dalam kegiatannya, PAPDI Cabang Banumum, dan perawat. Mereka juga membemenjadi media silaturahmi antar anggota ten tidak berjalan sendiri. Mereka juga rikan penyuluhan agar tim dan tenaga meuntuk saling mengenal sehingga PAPDI lemenjalin kerjasama dengan organisasi dis yang terlibat tidak ikut terkena bih solid. ”Kekompakan adalah hal yang lain, seperti IDI, Persadia, POGI, Perdami, Sedangkan untuk penanganan Flu Bupaling utama bagi kami, dengan demikian dan IKABI. “Ketika terjadi gempa, kita berung, menurut Dr. Ariani, juga telah disiapkami bisa langgeng, dan tidak ada deparkerjasama dengan IDI untuk memberikan kan tim khusus. Dengan bantuan dari temen atau disiplin lain yang mencoba bantuan paket selimut, susu, dan sebagaiAmerika, kini telah dibangun sebuah ruang nya, kita juga mengajar mahasiswa FKUI, khusus Avian Influenza. iseng terhadap kami,” kata dokter yang ludengan Persadia anggota kami membantu lus spesialis di FKUI tahun 1980 ini. (HI)
Sorot Utama 11
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Gesekan di Korps Jas Putih lmu penyakit dalam memandang pasien secara utuh sesuai harkat manusia. Dalam praktiknya, dokter ilmu penyakit dalam atau biasa dikenal internis melakukan pelayanan secara menyeluruh atau holistik terhadap pasiennya. Karena, internis adalah dokter penyakit dalam yang terbiasa menghadapi masalah-masalah klinis dengan pendekatan holistik yang telah dilatih berbagai dasar masalah kedokteran terkait jantung, paru, ginjal, usus, serta organ-organ lain. Spesialis penyakit dalam mampu melangkah menembus batas suatu organ atau teknik, untuk mencapai diagnosis. Kendati demikian, praktik ilmu penyakit dalam, seperti layak praktik bidang lain, harus dilandasi dengan etika kedokteran yang meliputi kewajiban dokter terhadap pasien, teman sejawat dan diri sendiri. Hal demikian dipaparkan Prof. Dr. Wiguno Prodjosudjadi, SpPD, K-GH pada Pertemuan Ilmiah Tahunan IPD 2009. Menurut Guru Besar FKUI ini internis wajib mengikuti aturan umum seperti yang diuraikan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Setiap tindakan medis yang diputuskan terhadap pasien semata-mata untuk kebaikan dan kepentingan pasien. Hubungan dokter dan pasien merupakan hubungan kontraktual, yang masing-masing memiliki kebebasan dan kesetaraan. Selain hubungan dokter — pasien, komunikasi antar sesama sejawat dalam praktik kedokteran menjadi bagian yang penting. Setiap aspek yang terkait dengan pasien mesti dilihat secara holistik dan tidak menutup kemungkinan bekerjasama dengan dokter lain. Dokter spesialis penyakit dalam dapat melakukan konsultasi atau merujuk ke spesialis penyakit dalam konsultan atau spesialis lain. Hal demikian dilakukan semata-mata demi kepentingan dan kebaikan pasien.
I
silahkan aja. Tapi terlalu naïf bila melarang dokter untuk melakukan suatu pengobatan dimana ia sudah memiliki kompetensinya. Sejauh para dokter memiliki kompetensi terhadap sesuatu disiplin ilmu maka mereka berhak untuk menjalankannya,” kata Prof. Ali Ghanie. Hal ini, lanjut Prof. Ali Ghanie, sama saja melarang menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. “Semua orang bisa menyanyikan lagu itu, masa kita dilarang. Atau saya mengajarkan lagu itu kepada orang lain, setelah mereka bisa masa saya mau larang, mereka tidak boleh menyanyikan. Yang boleh menyanyikan lagu tersebut hanya saya, karena suara yang lain tidak cocok. Semestinya yang bagus itu kita bernyanyi bersama-sama dengan karakter suara masing-masing, ada yang bas, tenor sehingga terdengar indah. Jadi bukan saling mematikan,” sesalnya. ”Semestinya dalam pengobatan menjadi satu tim. Kita saling melengkapi bukan saling mematikan. Tapi jangan sampai membatasi kerja dokter dimana mereka punya kompetensinya.” Setiap dokter yang memiliki kompetensi silahkan melakukan sesuai kompetensinya. ”Dokter umum yang bisa EKG silahkan melakukannya, kenapa mesti dilarang. Di luar negeri, teknisi dibekali pengetahuan tentang EKG dan boleh melakukannya. Itu tidak berbahaya,” kata ahli jantung FK Unsri ini.. Lebih lanjut Prof. Ali Ghanie mengatakan, kenapa memeriksa pasien jantung dengan pendekatan dokter umum diperbolehkan. Tapi dengan pendekatan internal medicine dilarang. ”Kenapa dokter umum boleh, tapi internis dilarang,” ungkapnya Sebaliknya, Prof. Ali Ghanie mengatakan seorang internis tidak boleh merasa paling tahu semuanya. Kalau pasien tersebut kasusnya mesti di lakukan dokter spesialis lain, maka internis tersebut wa-
Konflik Antar Dokter Tak dipungkiri, sesama dokter kerap terjadi konflik. Ketika berhadapan dengan pasien, disadari atau tidak, ada seorang dokter merasa lebih baik dari sejawat yang lain. Ada pula yang tanpa raguragu membuat stigma negatif terhadap dokter lain. Persoalannya sepele, saling berebut pasien. Lumrah atau tidak, hal ini terjadi, karena dokter juga manusia. Perselisihan antar dokter dipicu adanya perbedaan pendekatan dan tatalaksana dalam menangani pasien. Beda guru, beda pula ilmunya. Bahkan konflik yang lebih besar dengan melibatkan organsiasi profesi pun terjadi. Perbedaan PAPDI dengan PERKI misalnya. Sengketa “warisan” para pendiri kedua perhimpunan ini telah mencuat lama. Belakangan, beberapa kali upaya ‘rekonsialisasi’ dilakukan. Tapi belum membuahkan hasil, malah makin meruncing . Saat ini, seperti dikatakan Prof. Dr. Ali Ghanie, SpPD, K-KV dari Palembang, ada dokter tertentu yang tidak memperkenankan internis melakukan tindakan medis terhadap pasien jantung. Padahal, internis tersebut punya kompetensi terhadap pengobatan itu. “Sejauh mana ia mampu
DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, K-HOM
”Dengan bekerjasama malah lebih efektif. Dan ada proses pembelajaran dari kasus yang ditangani dokter lain.”
Prof. Dr. Ali Ghanie, SpPD, K-KV
jib merujuk atau mengkonsultasikan kepada sejawat yang lebih kompeten. ”Sekitar 30-40 persen, pasien jantung yang saya tangani, saya rujuk ke Rumah Sakit Harapan Kita,” ujarnya. Benchmark di Amerika, tambah Prof. Ali Ghanie, spesialis jantung berada di bawah American Board of Internal Medicine. Di negeri Paman Sam itu semua dokter yang ingin menjadi spesialis tertentu wajib melalui pendidikan ilmu penyakit dalam dulu. Sistem pendidikan serupa juga terjadi di Asia, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia Di samping perbedaan di bidang kardiologi, hal serupa juga terjadi pada bidang pulmonologi. Beberapa dokter internis, ditengarai tidak diperkenankan memegang pasien TB. Padahal mereka memiliki komptensi tentang pulmonologi. Gesekan antar sejawat ini, belakangan juga dirasakan divisi hematologi-onkologi medik. DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, KHOM meng a t a k a n , sejawat di divisi Hematologio n k o l o g i RSCM/FKUI, pernah mendapatkan pasien kanker yang kondisi sudah gawat dan mengalami komplikasi setelah menjalani operasi dan kemoterapi. Pasien tersebut dirujuk oleh dokter spesialis bedah. Padahal, dalam tatalaksana p e n y a k i t kanker, pengobatan yang ideal dilakukan dalam satu tim yang terdiri dari dokter bedah, radiologi dan onkologi medik.
”Seringkali, pasien yang datang ke dokter bedah langsung dioperasi tanpa konsultasi kepada sejawat spesialis lain. Bahkan ada dokter bedah yang juga melakukan kemoterapi tanpa mendiskusikan kepada sejawat lain. Bila tidak respon lalu dirujuk ke onkologi medik. Semestinya dalam pengobatan kanker, pasien tersebut hendaknya didiskusikan dulu langkah apa yang mesti diambil dengan begitu dapat mengurangi risiko efek samping dan komplikasinya lebih sedikit,” kata Lugy, begitu biasa disapa, disela-sela kesibukannya di ruang kerja RSCM/FKUI. Lantas apakah bila bekerja satu tim biaya lebih mahal? ”Lebih cost effectiveness, risikonya lebih kecil,” sanggahnya. Sebab, bekerja dalam tim itu bukan berarti ditangani banyak dokter. Sejawat lain terlibat ketika mendiskusikan kasus, dimana pasien dilibatkan.”Tetap satu dokter, bisa onkologi medik, radiologi atau bedah. Semua tergantung dari hasil diskusi kasus itu,” jelas Dr. Lugy. Bekerja dalam satu tim ini, lanjut Dr Lugy, tidak melulu bertemu satu meja. Bisa saja dokter radiologi meminta pendapat onkologi medik dengan hanya memberikan data-data riwayat kesehatan pasien tersebut. ”Cukup menuliskan, bagaimana tanggapan sejawat?” tambahnya. Apakah dengan begitu akan menambah biaya? ”Tidak,” jawabnya. Bahkan pasien akan mendapatkan pengobatan yang tepat sehingga risiko komplikasi bisa seminimal mungkin ditekan. ”Prinsipnya, lebih mengutamakan kepentingan dan kebaikan pasien.” Dr. Lugy melanjutkan, ”Imbal jasa seorang dokter akan datang sepantasnya bila dia bekerja dengan baik. Saya percaya itu. Beri yang terbaik buat pasien. Kalau memang mesti operasi saya akan rujuk ke dokter bedah. Bukannya setiap pasien yang datang langsung saya kemoterapi,” katanya sambil tertawa. Kendati demikian Dr. Lugy yakin tidak semua dokter melakukan hal itu. ”Tidak semua dokter bedah seperti itu, saya juga kenal dokter bedah yang dengannya saya sering berdiskusi, ” katanya Kondisi seperti itu, menurut Dr. Lugy, disebabkan dari masyarakat dan onkologi medik sendiri. Yang kerap terpikir oleh masyarakat adalah bila ada tumor mesti dioperasi. Padahal tidak semua kanker mesti di operasi, tergantung dari jenis dan stadiumnya. Sementara sejawat di onkologi medik kurang melakukan dissemination informasi. ”Saya tidak suka menyalahkan sejawat lain, lebih baik mengritik dan mengevaluasi diri sendiri,” tegasnya. Dr. Lugy berharap, ke depan dissemination informasi ini dapat dilakukan oleh organisasi profesinya. Penyebaran informasi bukan hanya ke masyarakat, tapi juga dilakukan ke sejawat lain, pihak rumah sakit dan juga pemerintah. (HI)
12 Profil PAPDI
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Prof. DR. Dr. Harun Alrasyid Damanik, SpPD, SpGK
Tak Ada Kata Terlambat untuk Wujudkan Cita-cita jadi keinginan dan citacita. “Umur tidak jadi halangan asal ada kemauan dan mau berkorban. Hal itu juga dapat dijadikan motivasi bukan hanya kepada anak-anak saya tetapi juga rekan dan anak didik kita.” Setelah selesai menjalani spesialis penyakit dalam, Prof. Harun tetap kembali ke depar temen gizi menjadi staf pengajar luar biasa Bagian Gizi FK-USU dan Koordinator KKS Gizi Klinik FK-USU.
“Jangan sampai masyarakat menganggap internis itu adalah dokter umum plus.” uatu hari, Prof. DR. Dr. Harun Alrasyid Damanik, SpPD, SpGK sedang berada di dalam pesawat dari Medan menuju Malaysia untuk mengajar di sebuah universitas di sana. Penumpang di sebelahnya bertanya, “Mau berobat ke Malaysia juga?” Prof. Harun, begitu biasa disapa, terperangah, tidak terpikir akan mendapat pertanyaan seperti ini. Sebegitu kuatkah image Malaysia sebagai tempat berobat untuk masyarakat Indonesia, terutama di Medan? Merasa terganggu dengan pertanyaan itu, Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ini lantas menjelaskan siapa dirinya, “Saya seorang professor medis yang justru mengajar para dokter di Malaysia sana.” Pria kelahiran Pematang Siantar 5 November 1950 silam ini gundah melihat fakta ada kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih senang berobat ke luar negeri. Menurutnya, hal itu didorong oleh gencarnya promosi mereka yang menggabungkan paket berobat dengan paket wisata. “Berobatnya itu wisata berobat, padahal pasien hanya melakukan check up. Mereka menjaring pasien-pasien kita di sini dengan sistem itu dan di-backing oleh pemerintahnya,” kata Prof. Harun. Sebagai contoh, tambahnya, Malaysia memiliki konsul jendral yang khusus mengurusi bagian pariwisata. Padahal, banyak pasien yang berusaha mengobati penyakitnya ke luar negeri justru tidak mendapatkan kesembuhan. “Mereka (pasien) akan kembali kepada kami, dokter di dalam negeri,” ujar Ketua PAPDI cabang Sumatera Utara ini. Kendati demikian, suami dari Dr. Meida Hartati, SpKK ini juga mengakui ada kelemahan pada sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Diantaranya, tingginya pajak alat kesehatan dan mahalnya harga obat yang mengakibatkan biaya pengobatan menjadi tinggi. Pelayanan pengobatan di luar negeri memang lebih unggul dibanding di Indonesia. Pasien, misalnya selalu ditangani oleh tim dokter, yang sedikit banyak membangun kepercayaan pasien. “Mereka menang dari sisi kredibilitas, fasilitas, dan sistem,” ujar Internist yang juga ahli gizi ini. Padahal, lanjutnya, banyak dokter Malaysia, justru mendapatkan pendidikan kedokteran di Indonesia. Program internasional di beberapa fakultas kedokteran membuka kesempatan bagi para mahasiswa asing untuk belajar di Indonesia. “Kalau dulu sempat ada pemahaman kita yang belajar ke luar negeri, tapi sekarang sebaliknya, mereka yang belajar ke sini. Ini perlu diketahui oleh masyarakat, agar mata mereka terbuka tentang kemampuan dokter Indonesia,” katanya geram. Salah satunya, anggota World Allergy Association ini mengharapkan agar event-event kedokteran dapat diselenggarakan di Medan ini. “Gaung acara-acara besar seperti ini akan sampai ke masyarakat,” katanya menunjuk acara PIN PAPDI VII yang Agustus 2009 lalu diselenggarakan di Medan. Tak hanya terhadap masyarakat, acara-acara kedokteran, sudah barang tentu akan membawa dampak langsung bagi para dokter di Medan dan daerah sekitarnya. Mereka bisa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru dari seminar maupun workshop yang diikuti. “Mereka (internis) yang berada di pulau Nias, Sibolga, Sidempuan, dan daerah lain bisa berdiskusi, melakukan endoskopi, USG, dan lain sebagainya,” ujar Pengurus IDI wilayah Sumatera Utara ini.
S
Dididik Ketat dan Disiplin oleh Orangtua
Internis Daerah: Garda Depan PAPDI Prof. Harun sangat concern terhadap berbagai persoalan yang menyangkut para dokter, terutama internis di Medan. Ada banyak hal yang menjadi perhatiannya, mulai dari meningkatkan keahlian dan kemampuan para ahli penyakit dalam hingga soal perlindungan hukum. “Mereka (internis) garda terdepan di masyarakat bagi organisasi,” katanya. Di balik perhatiannya kepada PAPDI, sebenarnya menjadi internis merupakan “pilihan” keduanya. Prof. Harun sendiri dapat dikatakan mulai menggeluti bidang penyakit dalam di umur yang tidak lagi muda. Karir medisnya dimulai dari Departemen Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU). Lulus dari FK USU Medan tahun 1977, ia langsung menjadi staf pengajar Departemen Ilmu Gizi FK-USU, kemudian menjadi sekretaris bagian ilmu gizi FK-USU tahun 1984, dan berlanjut sebagai Pelaksana Kepala Bagian Ilmu Gizi FK-USU tahun 1987 hingga akhirnya diangkat sebagai Kepala Departemen Ilmu Gizi FK-USU di tahun yang sama. Kepincut Ilmu Penyakit Dalam (IPD) lantaran orang tuanya menderita diabetes dan hepatitis. Ia pun mengurus izin melanjutkan studi di IPD di tengah sudah mapan berkarir di departemen gizi. “Usia saya 43 tahun ketika mulai menjalani PPDS penyakit dalam Padahal, saat itu ia sudah menjabat sebagai Kepala Departemen Ilmu Gizi FK-USU,” ujarnya membuka lembaran masa lalunya. Diakuinya, menggeluti IPD di saat sudah tidak muda lagi, merupakan perjuangan tersendiri. Tapi, untunglah, istri dan anak-anaknya sangat mendukung apapun yang men-
Keteguhan dalam menuntut ilmu, diakui Prof. Harun, karena hasil gemblengan orangtuanya. Kala itu, ayahnya selalu menanamkan prinsip, bahwa seseorang harus terus berbuat sesuatu dan tidak berputus asa dalam mencapainya. Ayahnya bekerja sebagai pegawai di Pengadilan Negeri Medan dengan jabatan yang cukup tinggi, yang memungkinkan ia dan saudarasaudaranya untuk menikmati segenap fasilitas dari jabatan orangtuanya. Tapi, orangtuanya justru selalu menanamkan kesederhanaan hidup pada keluarganya. Harun kecil juga dikenal sebagai anak baik yang tidak ‘neko-neko’ dalam menjalani kesehariannya. Alih-alih melakukan kegiatan yang membuat khawatir orang tua, Harun lebih memilih berkonsentrasi pada buku dan musik. Ya, ia begitu menggemari biola. Ia bahkan kursus untuk memainkan alat musik ini mulai kelas 6 SD hingga ia duduk di bangku kuliah. “Memainkan musik akan mengasah kepekaan kita,” ujar anak kedua dari delapan bersaudara ini Disiplin dan kesederhanaan yang diterapkannya juga diajarkan kepada istri dan anak-anaknya. Dokter yang juga penggemar musik melayu dan jazz ini menyunting teman sejawatnya Dr. Meida Hartati, SpKK ketika ia masih menjalani praktik keluar masuk kampung. Puluhan tahun menjalani kehidupan dengan istri tercinta, Prof. Harun memiliki prinsip, bahwa setinggi apapun gelar atau jabatan yang disandangnya tidak membuatnya bisa semena-mena dalam rumah tangga. “Kehidupan rumah tangga bukan sebuah korporasi, yang harus ada direktur dan bawahan-bawahan,” katanya. Sebaliknya, Prof. Harun bekerjasama dengan sang istri untuk melakukan semua aktivitas rumah tangga. Bukan hal yang tabu baginya untuk menyiapkan sarapan atau berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang terpenting, Prof. Harun menekankan agar ia bersama keluarga dapat melakukan sarapan pagi bersama-sama di rumah sebelum melakukan aktivitas masing-masing. Tiga anak mereka kini telah dewasa, dan dua di antaranya mengikuti jejak Prof. Harun dan istri menjadi seorang ahli medis. Putera pertamanya adalah Zulkarnain Syahputra, SSi, dan anak kedua Dr. Rini Miharty kini tengah menjalani PPDS Ilmu Penyakit Dalam di FK-USU, se-
Profil PAPDI 13
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Diagnosa Kejiwaan
Bersama istri dan anak di Austria.
mentara anak ketiga Andry Syahreza, masih menjadi mahasiswa S1 Kedokteran FK-USU. Waktunya, banyak diisi oleh kegiatan-kegiatan seputar medisnya. Itu juga yang menjadi komitmennya saat
menikah dulu, bahwa sebagai ahli medis ada sebagian waktu yang akan dimiliki masyarakat. “Pasien-pasien kita memiliki kita,” ujar Pengurus Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi) cabang Sumatera Utara ini.
Untuk menjaga kebugaran tubuh, Prof. Harun melakukan olahraga berenang satu kali seminggu selama 1 hingga 2 jam. Di luar buku-buku kedokteran, ia membaca buku-buku lain yang bertema humanisme. “Ilmu penyakit dalam itu luas, dengan menyelami hal-hal yang bersifat kejiwaan, dapat membantu kita untuk menelusuri diagnosa,” kata Anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) ini. Di bidang penyakit dalam, bidang yang menjadi curahan pikirannya saat ini, ia memiliki obsesi, bahwa dapat dilakukan audit terhadap bidang penyakit dalam terutama yang menyangkut sistem pengobatan. Internis juga harus terus mengembangkan diri dengan ilmu yang semakin berkembang. Pendidikan spesialis 2, ia sadari masih memiliki kendala bagi internis-internis di daerahdaerah tertentu, terutama terkait waktu dan biaya. Tak hanya meningkatkan kemampuan di dalam, bagi Prof. Harun penting mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang sumberdaya yang dimiliki bangsa ini. “Kita besar baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif,” katanya. Dan satu hal lagi ia katakan, “Jangan sampai masyarakat menganggap internis itu adalah dokter umum plus.” (HI)
Kiprah PAPDI
Prof. DR. Dr. Hj. Andi Dinajani Setiawati H. Mahdi, Sp.PD, K-AI, SH:
Berkiprah di Jalur Legislatif rof. Dr. dr. Hj. Andi Dinajani Setiawati H. Mahdi Sp.PD, K-AI, Sp KL, SH memutuskan bergabung dengan Partai Demokrat, partai yang mengusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memulai kiprah politiknya sebagai anggota DPR. “Sebenarnya ada beberapa partai yang ‘melamar’ saya,” ujarnya. Namun Prof. Dina memutuskan untuk jatuh ke ‘pelukan’ Demokrat karena merasa sejalan dengan visi dan misinya. Selain itu, ia juga cukup mengenal Susilo Bambang Yudhoyono, yang ia katakan sebagai seorang yang santun, Profesor di Bidang Alergi Imunologi ini berhasil masuk ke Senayan sebagai anggota legislatif pada Pemilu lalu, untuk daerah pemilihan Dapil III Jawa Barat. Seringnya berinteraksi dengan yang sudah terjun lebih dahulu di bidang ini, membuat ia berminat untuk mendalami dan berperan di ranah politik. Bagi Prof. Dina, politik sangat penting dengan situasi yang ada sekarang, Bagaimana mengentaskan kemiskinan, meningkatkan derajat kesehatan, mensukseskan Millenium Development Goal’s. “Saya ingin memperjuangkan kepentingan rakyat,” ujarnya. Wanita kelahiran 14 Juni 1943 ini pada tahun 1998 mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Lemhanas KSA VIII. Itulah yang menjadi awal baginya “berkenalan” dengan dunia politik. “Perkenalan” ini menjadi lebih lengkap setelah mendapat jabatan sebagai Staff Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat tahun 1998-2000, Staff Pribadi Wakil Presiden RI tahun 20002002 merangkap Tim Dokter Kepresidenan RI dan Staff Ahli Menteri Sekretaris Negara tahun 2002–2005. “Ini rahmat Allah. Mungkin sudah jalannya, dan saya hanya mampu bersujud syukur,” ujarnya ditanya tentang perasaan-
P
“Kemampuan lobi jelas diperlukan dan bagaimana membawa visi dan misi kita.” nya setelah dinyatakan terpilih sebagai Anggota Legislatif untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal lain yang ia rasakan adalah apa yang ia jalani adalah untuk meneruskan cita–cita ayahandanya, berjuang untuk rakyat. Prof. Dina menceritakan, sang ayah, Andi Zainal Abidin SH semasa hidupnya berkarir di bidang politik sebagai anggota DPR yang juga banyak berjuang untuk rakyat marginal. Kenang-kenangan tentang ayahnya mewarnai kiprahnya untuk menjalankan peran baru nanti. Tak heran dalam kampanyenya, istri dari Dr. Harijanto Mahdi, SpTHT, SpKL ini banyak menyoal soal kemiskinan, kesehatan rakyat, dan kesetaraan gender. Sebagai dokter, Prof. Dina mengadakan pengobatan atau bakti sosial di bidang kesehatan di pelosok-pelosok desa. Prof. Dina tak akan pernah lupa menyusuri jalan berpuluh kilometer di pelosok Jawa Barat, berkendara di malam hari pada waktu hujan
Prof. Dina di Senayan.
di tepi jurang. Tapi, ia sangat menikmati semua yang ia jalani. Ia merasa berarti ketika melihat rakyat sangat antusias dengan kehadiran dokter di desa mereka. Wanita yang mendapat gelar Professor tahun 1995 dari Universitas Airlangga ini memperoleh banyak suara di kantong-kantong daerah seperti ini. Prof. Dina mengatakan ingin fokus mengurusi bidang kesehatan ketika saatnya tiba nanti untuk mulai bertugas di Senayan. Dengan latar belakang birokrasi dan ilmu medisnya ia merasa lebih paham di bidang ini. Menurutnya hal yang mendesak untuk diprioritaskan salah satunya adalah mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang sudah memiliki payung perundangan. Setiap keluarga, ujarnya, dapat membayar iuran dengan jumlah nominal tertentu, dan nantinya mereka akan mendapatkan pengobatan gratis sesuai pagu “Nanti dapat dirancang apakah (sistem ini) ‘ditempelkan’ dengan askes atau bagaimana. Nanti ada institusi khusus yang menangani. Pelan-pelan kita cari mekanisme yang mana yang paling cocok,” ujar wanita yang kini memiliki 8 cucu ini. Selain sebagai ahli medis, Prof. Dina juga memiliki keahlian lain sebagai ahli hukum, yang bisa ia terapkan untuk bekerja
nantinya. Prof. Dina juga telah membuat 10 buku bertema tentang hukum kedokteran dan Allergi Imunologi. Nantinya ia akan memiliki tim ahli untuk membantunya bekerja. Menyoal kesetaraan gender, ia mengatakan wanita itu harus maju dan berbuat banyak untuk sekitarnya. Ia berpendapat, wanita tidak bisa diremehkan dalam berkiprah, karena jika bekerja mereka cenderung serius, tangguh dan ada kasih sayang. “Harus ada kesetaraan Gender,” ujar wanita yang menguasai bahasa Inggris, Jerman dan Belanda ini. Seusai di pilih, ia bersama anggota partai demokrat lain yang juga berhasil masuk ke Senayan, sedang sibuk menjalani pembekalan-pembekalan, seperti tata cara berpolitik, team work, dan sebagainya. Ketika ditanyakan apa tantangan di bidang politik di banding medis, ia menjawab bahwa kedua bidang tersebut sama–sama memberikan ‘challenge’ bagi dirinya. Ia mengakui bahwa ada anggapan bahwa tidak ada teman sejati di politik yang ada adalah kepentingan sejati. “Tapi semuanya tergantung itikad baik. Kemampuan lobi jelas diperlukan dan bagaimana membawa visi dan misi kita,” kata staf pengajar di FKUI-RSCM ini. Setelah mulai bekerja di senayan nanti, Prof. Dina mengatakan mungkin agak sulit baginya untuk terus berpraktek sebagai dokter seperti sebelumnya “Untuk terus berpraktek seperti biasa, jelas waktunya tidak mungkin. Saya harus minta pensiun,” ujarnya. Tapi jika diminta keahliannya sebagai dokter konsultan, berbicara di seminar, Prof. Dina merasa masih bisa memenuhinya. Selain itu, ia tidak akan menolak, jika sewaktu-waktu keahliannya sebagai ahli medis diperlukan. “Secara etis, saya tidak boleh menolak,” tegasnya. “Dan jika saya melakukan praktek kedokteran penekanannya adalah masalah kemanusiaan dan jangan lupa bahwa saya masih anggota dan mengabdi bagi PAPDI.” (HI)
14 Laporan Kasus
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
ILUSTRASI KASUS:
Problema Diagnostik Pada Kasus Tumor Mediastinum asien, Tn S, 32 tahun dirawat di RSCM dengan keluhan utama batuk-batuk dan sesak napas yang semakin memberat sejak 1 hari sebelum masuk RS (SMRS). Tiga Bulan SMRS Pasien mengeluh sering batuk hilang timbul, tanpa dahak dan demam Pasien menganggap sakit flu biasa. Keluhan dirasakan tidak membaik, berat badannya turun sekitar 15 kg. Satu bulan SMRS pasien makin sering merasakan keluhan batuk-batuk disertai nyeri dada kiri, sesak napas (+), dahak (-), demam kadangkadang. Pasien berobat ke RSU dan dikatakan suspek tumor paru; sampai akhirnya 1 hari SMRS, keluhan semakin memberat, dan pasien dirujuk ke RSCM. Pasien bekerja sebagai cleaning service di bandara, dan bertugas membersihkan pesawat dengan menggunakan cairan kimia bernama Ardrox. Kira-kira 6 bulan SMRS, pasien pernah terminum cairan tersebut tanpa sengaja. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 120 kali/menit, regular, isi cukup, frekuensi napas 32 kali/menit, teratur, dan suhu 37ºC. Tinggi badan 170 cm dan berat badan 54 kg, BMI 18,68. Dari pemeriksaan paru didapatkan paru kiri tertinggal, fremitus kiri lebih lemah daripada kanan, perkusi paru kiri didapatkan pekak mulai sela iga III, suara napas dasar vesikuler menurun di paru kiri, terdengar rhonkhi basah kasar di kedua lapang paru, tidak terdapat wheezing. Dari pemeriksaan penunjang darah didapatkan Hb: 9,6 g/dl, hematokrit 28%, lekosit 10.200/ul, trombosit 292.000/uL, MCV 79, MCH 28, MCHC 35; fungsi hati, ginjal dan elektrolit normal. Pada pemeriksaan AGD didapatkan pH 7,461, pCO2 29,5, pO2 83,9, HCO3 21,2, BE -2,8, Sat O2 96,2. Pada foto thorax didapatkan massa padat di mediastinum anteromedial sisi kiri dan gambaran pleuropneumonia kiri.
P
Rontgen foto 29-4-2009
Rontgen foto 21-4-2009
Radio Terapi 13 Gy
Yusalena Sophia Indreswari*, Cosphiadi Irawan** *Peserta Program Pendidikan SP1 Ilmu Penyakit Dalam RSCM –FKUI ** Divisi Hematologi-Medikal Onkologi RSCM -FKUI
kologi medik, patologi anatomi dan pulmonologi (chest meeting), diputuskan untuk dilakukan sternotomi + VC (terapetik sekaligus diagnostik). Persiapan, pasien dievaluasi oleh bagian neurologi dimana gejala miastenia gravis negatip, sedangkan pada pemeriksaan EMG ( Harvay Masland Test), didapatkan hasil: pemeriksaan repetitive nerve stimulation pada m. Deltoid, m. Trapezius dan m. Nasalis didapatkan decreament > 10% (U shaped). Kesimpulan: Harvay Masland Test positif. Diputuskan untuk dilakukan plasmaferesis sebelum dan sesudah tindakan operasi, dan diberikan tambahan terapi Mestinon 3 x 1 tablet. Pemeriksaan ekokardiografi pre operasi menunjukkan: EF 63%, fungsi diastolik LV pseudonormal, TAPSE 1,9 cm, dengan indikator lain normal. Disimpulkan , ada gangguan fungsi diastolik sedang dengan fungsi sistolik RV menurun. Saat itu dipikirkan bahwa pasien merupakan suatu kasus timoma. Dalam evaluasi pemeriksaan Rontgen thoraks 2 minggu kemudian (25/5) didapatkan hasil: dibandingkan rontgen thorak sebelumnya kesan massa tumor membesar. Pasien kemudian dilakukan tindakan torakotomi. Tetapi pada saat di meja operasi, pasien mengalami desaturasi, sehingga operasi dibatalkan. Dan pada saat itu, dilakukan rontgen thorak ulangan (28/5) didapatkan hasil massa tumor semakin membesar. Diputuskan kemudian untuk menyiapkan Endo Tracheal Tube (ETT) double lumen dan modifikasi teknik dari bagian anestesi, mengingat kegagalan dalam persiapan operasi sebelumnya. Juga dipikirkan bahwa terjadinya desaturasi pada saat tindakan operasi I adalah karena penekanan massa tumor pada paru kiri pada saat posisi pasien ditelentangkan. Akan tetapi bila posisi pasien dipertahankan duduk, posisi ini tidak memungkinkan untuk dapat dilakukan tindakan torakotomi. Kemudian pasien dilakukan Trans Thoracal Biopsy ulang dan radioterapi menimbang kondisi pasien yang semakin sesak, dan saat itu pasien sama sekali tidak bisa berbaring karena sesak napas yang semakin memberat jika berbaring. Hasil sitologi dari TTB ulangan, yaitu: Mikroskopis: sediaan sitologi aspirasi massa di mediastinum mengandung sel tumor tersebar dan berkelompok, inti sel pleomorfik, hiperkromatik, anak inti mencolok, sitoplasma banyak serta beberapa limfosit. Kesimpulan: positif, tumor ganas, dipikirkan malignant germ cell tumor. Selama dilakukan radioterapi, secara klinis pasien mengalami perbaikan tetapi dari hasil rontgen thorak ulang 12-6-2009 didapatkan hasil: massa mediastinum post radioterapi dibandingkan dengan foto tgl 28 Mei 2009 relatif stqa. Rö: 12 – 6 – 2009
Terapi awal diberikan : Nasal kanul O2 4 l/m, IVFD NaCl 0,9% 500cc/8 jam, diet lunak 2500 kkal/hari, UMU balans cairan seimbang / 24 jam, Ceftriaxon injeksi 1 x 2 g, Azithromicin tablet 1 x 500mg, Inhalasi: salbutamol , bromhexin NS/1:1:1/6 jam, ambroxol syr 3 x C1, paracetamol tab.3 x 500mg (prn). Pada perawatan hari ke-2, pasien merasakan batuk-batuk yang semakin parah disertai makin sesak napas dan nyeri dada. Pasien dicurigai mengalami Sindrom Vena Cava Superior, dan kemudian dilakukan radioterapi selama 4 hari, dengan dosis 13 Gy, dan diberikan tambahan terapi Dexamethason 3 x 2 ampul. Secara klinis pasien mengalami perbaikan, tetapi dari hasil rontgen thorak ulang, (29/4) kesan stq dengan sebelumnya. Pasien tetap diberikan Dexamethason 3 x 2 ampul. Pemeriksaan CT scan thorax menunjukkan massa padat heterogen di mediastinum superoanteromedial terutama kiri. Pada pemeriksaan ECG didapatkan sinus takikardia, NA, QRS rate 150x/m tanpa gambaran abnormalitas lain. Masalah ditegakkan: 1. Massa mediastinum superoanteromedial kiri dipikirkan jenis Limfoma, dengan diagnosa pembanding (dd/ ): Timoma, Germ cell tumor, 2. Pneumonia dd/TB paru dengan infeksi sekunder, 3. Anemia Mikrositik Hipokrom dipikirkan karena defisiensi besi dd/ anemia pada penyakit kronik. Seminggu kemudian (7/5) dilakukan rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan massa tumor mengecil. Didapatkan kesan massa tumor respon dengan kortikosteroid, apalagi didapatkan hasil LDH: 788 IU, dipikirkan massa tumor adalah suatu limfoma. Tetapi dalam pemeriksaan fisik tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. Begitu juga dengan pemeriksaan USG abdomen, tidak didapatkan pembesaran organ intraabdomen. Rontgen 7-5-2009
Rö : 25-5-2009
Tampak massa tumor membesar
Trans Thoracal Biopsy yang dilakukan, sitologinya tidak ditemukan sel tumor ganas; sedangkan bronkhoskopi tak berhasil dikerjakan karena saat diberikan anestesi dengan lidokain spray, pasien batuk-batuk sangat hebat, sesak dan mengeluarkan banyak sputum sehingga bronkhoskopi tidak bisa dilakukan. Dari analisa sitologi sputum yang keluar: tidak ditemukan sel tumor ganas. Konferensi bersama antara bedah torak, radiologi, on-
Hasil USG abdomen: tampak multipel lesi dikedua lobus
Hasil pemeriksaan β-HCG pasien ini normal, dengan AFP sangat tinggi: 4066 IU. Pasien juga dipikirkan merupakan suatu kasus Yolk sac carcinoma. Tetapi pada pasien tidak didapatkan kelainan organ genitalia. Dalam evaluasi USG abdomen ulang, karena pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hepar, dan pasien mengalami peningkatan enzim transaminase, hipoalbumin serta penurunan cholineesterase, menunjukkan: tampak lesi hiperekoik multipel dengan hipoekhoik ring di sekitarnya pada ke-2 lobus hepar, kesan metastase hepar. Dari hasil diskusi dengan bagian Patologi Anatomi setelah dilakukan reevaluasi berdasarkan perjalanan penyakit, klinis pasien, dan hasil pemeriksaan penunjang, disimpulkan: gambaran sediaan sitologi menunjukkan sel-sel tumor dengan inti sangat pleimorfik, kromatin kasar, sehingga lebih sesuai dengan Thymic Carcinoma. Hasil sitologi TTB ulang ( kedua ) : Dengan kasus thymic carcinoma yang telah mengalami metastase ke hepar, divisi hematologi-onkologi melakukan kemoterapi dengan bleomycin, etoposide dan cisplatin (BEP), Kemoterapi rencana diberikan dalam 6 siklus, dengan jarak persiklus 3 minggu. Setelah menyelesaikan siklus pertama, pasien memutuskan untuk pulang atas permintaan sendiri. Dan kabar terakhir, pasien melakukan pengobatan alternatif, dan pada tanggal 22/5 dikabarkan oleh keluarga pasien, bahwa pasien meninggal dunia saat sedang berobat alternatif. Telah dilaporkan satu kasus problem diagnostik tumor mediastinum: Thymic carcinoma , pada seorang pria muda. dengan perjalanan klinis yang sangat progresif, dimana belajar dari kasus ini, untuk mencapai hasil optimal pada kasus tumor ganas(–dan demikian seharusnya pada setiap kasus keganasan–) penanganannya memerlukan kerjasama multi disiplin secara terpadu cepat dan tepat. (HI)
Teknologi Medis 15
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Transient Elastography:
Modalitas Non Invasif Untuk Diagnosis Fibrosis Hati
Dr. Irsan Hasan, SpPD, K-GEH Divisi Gastroenterologi dan Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM
ibrosis hati merupakan salah satu komplikasi penyakit hati kronik yang dapat berakibat fatal. Sampai saat ini biopsi hati merupakan baku emas untuk mendiagnosis fibrosis hati. Namun karena sifatnya yang invasif, sering kali pasien menjadi enggan untuk dilakukan biopsi hati, yang akhirnya menjadi salah satu penyulit dalam menegakkan diagnosis. Keadaan tersebut menyebabkan penatalaksanaan pasien menjadi tidak optimal. Selama dekade terakhir ini, para ahli mengembangkan metode baru untuk mencari alternatif diagnosis fibrosis hati yang non invasif,
ngukur kecepatan hantaran, dimana kecepatan hantaran tersebut menunjukkan elastisitas jaringan hati yang dinyatakan dalam satuan kilo Pascal (kPa). Semakin padat suatu jaringan, maka gelombang yang dihantarkan semakin cepat. Transient elastography mengukur elastisitas jaringan hati pada kedalaman antara 25-65 mm dibawah permukaan kulit. Volume jaringan hati yang diukur kira-kira sebesar silinder dengan ukuran diameter 1 cm dan tinggi 4 cm. Volume tersebut setidaknya 100 kali lebih besar daripada volume jaringan hati yang diperiksa melalui biopsi hati, dimana pada biopsi hati hanya 1 : 50.000 jaringan hati yang diperiksa, sehingga ukuran tersebut dianggap lebih representatif menggambarkan keadaan parenkim hati.
tal. Untuk menentukan lobus kanan, maka dilakukan perkusi untuk mencari batas paru kanan dan lobus kanan hati. Ujung dari probe transduser dioleskan dengan jelly dan diletakkan ke permukaan kulit. Dengan bantuan gambaran gelombang ultrasonik yang bergerak (time-motion images), probe diletakkan pada daerah hati dengan tebal jaringan minimal 6 cm dan bebas dari struktur vaskular yang besar. Permukaan probe harus tegak lurus dengan permukaan kulit. Keadaan tersebut diketahui melalui gambaran gelombang yang seperti kue lapis.
sient elastography mempunyai sensitivitas 70% (95% CI, 67-73%), spesivisitas 84% (95% CI, 80-88%), positive likelihood ratio 4,2 (95% CI, 2,4-7,2%), dan negative likelihood ratio 0,31 (95% CI, 0,230,43%). Keunggulan transient elastography bila dibandingkan dengan biopsi hati, selain ukuran jaringan hati yang diperiksa lebih besar, metode tersebut juga non invasif, pasien tidak perlu puasa, prosedur cepat (kurang dari 5 menit), mudah dilakukan pada pasien rawat jalan, relatif murah, tidak operator-dependent, serta
F
Gambar 1. Transient elastography Gambar 4. Posisi pasien dan operator. Gambar 5. Korelasi hasil transient elastography dan stadium fibrosis Metavir
Gambar 2. Gambaran hasil transient elastography
mudah dikerjakan, aman bagi pasien, Pemeriksaan dilakukan dengan posisi dan dengan hasil yang akurat. Transient pasien terlentang dan agak lateral dekuelastography merupakan metode non inbitus. Lengan kanan dalam keadaan abvasif yang relatif baru untuk mendiagnoduksi maksimal. Pengukuran dilakukan sis fibrosis hati dengan cara mengukur pada lobus kanan hati, melalui interkoselastisitas jaringan hati, yang pada awalnya dikembangkan di Perancis. Alat tersebut terdiri dari probe transduser ultrasonik dengan amplitudo dan frekuensi yang rendah. Dengan metode ini, gelombang ultrasonik diteruskan melalui aksis dari vibrator. Vibrasi dari amplitudo rendah dan frekuensi rendah akan ditransmisikan melalui transduser, yang menginduksi gelombang elastic shear dan diteruskan ke jaringan. Akuisisi dari gelombang yang dipantulkan digunakan untuk me- Gambar 3. Posisi probe transient elastography
Keterangan: (A) Hepatitis C. (B) Koinfeksi Hepatitis C-HIV. (C) Hepatitis C rekurens setelah transplantasi hati. (D) Hepatitis B. (E) Penyakit kolestasis kronik.
Berdasarkan penelitian Roulot dkk dalam Journal of Hepatology 2008, nilai stiffness normal pada laki-laki sehat adalah 5,8 + 1,6 kPA, perempuan sehat 5,2 + 1,6 kPA, laki-laki dengan indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2 6,3 + 1,9 kPA, perempuan dengan IMT > 30 kg/m2 5,4 + 1,5 kPA. Usia tidak mempengaruhi stiffness. Coco dkk melaporkan peningkatan stiffness hati 1,3-3 kali lipat pada pasien dengan kadar ALT yang sangat meningkat. Dari hasil metaanalisis 7 studi, tran-
hasil yang cepat dan akurat. Kelemahan dari transient elastography adalah prosedur tersebut sulit dilakukan pada orang yang gemuk, jarak interkostal yang sempit, dan pasien dengan asites. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa transient elastography merupakan salah satu alat uji diagnostik non invasif yang dapat diandalkan untuk mendiagnosis fibrosis hati. Namun, dalam interpretasi hasil diperlukan kombinasi dengan keadaan klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya.
16 Info Medis
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Tatalaksana Primary Viral Pneumonia Akibat Influenza A Baru H1N1 A. Pendahuluan nfluenza A baru (H1N1) adalah virus influenza baru yang berasal dari babi yang awalnya menyerang Mexico dan AS pada bulan Maret dan April 2009. Penyebaran virus baru ini diduga sama dengan penyebaran virus influenza musiman yaitu terutama melalui batuk dan bersin Penyebaran dapat juga terjadi akibat memegang obyek yang terkontaminasi oleh virus dan kemudian memegang mulut atau hidung. Kasus influenza A baru pertama di AS didapatkan pada tanggal 15 April 2009 dan kasus kedua pada tanggal 17 Juli 2009 berdasarkan pemeriksaan laboratorium CDC, yang kemudian menyebar ke Mexico dan Eropa. Pada tanggal 27 April 2009 WHO menetapkan fase 4 pandemi karena penyebaran virus influenza A baru tersebut terjadi secara human-to-human dan bersifat menetap. Dua hari kemudian fase pandemi tersebut ditingkatkan menjadi fase 5 dan akhirnya pada tanggal 11 Juni WHO meningkatkan kembali fase pandemi ketingkat tertinggi yaitu fase 6. Diseluruh dunia hingga bulan Oktober 2009 didapatkan jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak lebih dari 375.000 pasien, dan 4500 pasien diantaranya meninggal. Case fatality rate influenza A ini diperkirakan 0,4 % ( 0,3 % - 1,5 %). Secara kumulatif jumlah total kasus di Indonesia hingga September 2009 adalah 1097 pasien, dimana 10 pasien diantaranya meninggal.
I
B. Patogenesis Virus influenza A baru H1N1 termasuk dalam family orthomyxovirus dengan inti RNA dan dinding kapsulnya mengandung antigen haemaglutinin (H) dan neuraminidase (N) (Gambar 1).
Gambar 1. Struktur virus influenza A
Mekanisme transmisi human-to-human pada influenza belum seluruhnya dapat dijelaskan. Kemungkinan partikel yang besar (droplet) dan partikel yang kecil (aerosol) keluar pada saat pasien batuk dan bersin. Virus yang terhindar dari sistem imun lokal (specific secretory antibody/IgA, gerakan mukosilier) akan terdeposit pada epitel saluran napas dan virus yang melekat tersebut selanjutnya akan melakukan penetrasi kedalam epitel kolumnar. Virion progeni yang terbentuk akan menyebar ke sel-sel epitel yang berdekatan dimana siklus replikasi virus tersebut kemudian terjadi kembali. Neuraminidase virus akan menurunkan viskositas film mukosa saluran napas, membuka reseptor permukaan seluler dan memudahkan penyebaran cairan yang mengandung virus tersebut kesaluran napas
bagian bawah. Lamanya masa inkubasi hingga onset penyakit dan lamanya pelepasan virus (viral shedding) bervariasi yaitu 18 – 72 jam tergantung dari jumlah inokulum. Pelepasan virus pada saluran napas mulai didapat 24 jam sebelum onset penyakit, dan akan meningkat dengan cepat serta mencapai puncak selama 24 – 48 jam untuk kemudian menurun hingga mencapai kadar yang rendah. Umumnya virus influenza tidak akan terdeteksi lagi setelah 5 – 10 hari. Pada anak-anak viral shedding umumnya lebih lama dan lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa. Umumnya perjalanan penyakit yang timbul berkaitan dengan pola pelepasan virus, dan beratnya penyakit berkaitan dengan jumlah virus yang dikeluarkan. Interferon dapat dideteksi dalam sekret saluran napas sekitar 1 hari setelah pelepasan virus dimulai. Virus influenza peka terhadap efek antivirus interferon, dan diduga bahwa respon interferon berperan dalam penyembuhan infeksi (Gambar 2).
Gambar 2. Skema perjalanan penyakit influenza A
Respon sitokin yang aberrant diduga berperan dalam patogenesis influenza khususnya pada infeksi oleh virus H5N1. Secara invitro kadar TNF-à dan sitokin proinflamasi lain pada sel yang terifeksi oleh virus H5N1 lebih tinggi dibandingkan dengan sel yang terinfeksi oleh virus H3N2 dan H1N1. Faktor yang mempermudah terjadinya komplikasi primary viral pneumonia dapat berasal dari pasien sebagai pejamu maupun agen (virus). Pada animal study didapat bahwa perubahan pada nukleoprotein dapat meningkatkan replikasi virus, meningkatkan tingkat ekspresi gen dan kematian pada binatang percobaan menjadi lebih cepat. Lebih lanjut substitusi tunggal pada asam amino ke 184 pada nukleoprotein akan meningkatkan titer virus dan kadar oksida nitrit pada jaringan, meningkatkan ekspresi gen respon imun pejamu dan meningkatkan kadar TNF-à sehingga mempercepat kematian pada binatang percobaan. Selanjutnya pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya komplikasi akibat infeksi virus influenza A baru H1N1 adalah anak < 5 tahun, pasien usia lanjut ≥ 65 tahun, pasien dengan penyakit dasar paru (asma, PPOK), penyakit jantung, pasien dengan sirosis hepatis, chronic kidney disease, DM, kelainan neuromuskular, pasien yang mendapat terapi imunosupresif, pasien HIV dan wanita hamil. Pada otopsi pasien yang meninggal didapatkan adanya perubahan berupa reactive hemophagocytic syndrome, ARDS dan gagal multi organ. Semua kelainan terse-
DR. Dr. C. Martin Rumende, SpPD, K-P Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM
Gambar 3. Mekanisme peningkatan sitokin pada ARDS akibat influenza A
but berkaitan dengan adanya peningkatan produksi sitokin (cytokine storm) yang menyerupai TNF-à dan interferon (Gambar 3). Infeksi virus influenza A menyebabkan hancurnya sel-sel epitel dan deskuamasi mukosa superfisial saluran napas, namun lapisan basal epitel tetap utuh. Gejala lokal timbul diduga akibat adanya edema dan infiltasi sel-sel mononuklear sebagai respons terhadap kematian dan deskuamasi sel tersebut. Gambaran bronkoskopi yang tipikal pada pasien influenza tanpa komplikasi didapatkan adanya tanda-tanda inflamasi yang difus pada trakea, larings dan bronkus disertai dengan tanda-tanda injeksi dan edema mukosa. Pemeriksaan otopsi pada pasien yang meniggsl memperlihatkan adanya trakeobronkitis nekrotikans yang luas disertai ulcerasi dan sloughing mukosa endobronkial, perdarahan yang ekstensif, pembentukan membrane hialin dengan infiltrasi sel-sel yang sedikit mengandung polimorfonulear. Kerusakan epitel saluran napas akibat virus influenza akan menurunkan resistensi mukosa terhadap invasi sekunder akibat bakteri.
C. Gejala Klinis Infuenza-like illness merupakan gejala awal yang sering dijumpai berupa demam, batuk, pilek dan nyeri tenggorok. Gejala lain yang bisa didaipatkan adalah mual, muntah, diare dan lethargy (Gambar 4)
Gambar 4. Gejala klinis influenza
Pada primary viral pneumonia didapatkan gejala batuk non produktif dan pada keadaan yang berat bisa didapatkan frothy, pink tinged sputum. Pada keadaan pneumonia yang berat bisa didapatan tanda-tanda sianosis dan hipoksemia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala non spesifik dimana bisa didapatkan konjungktivitis, rhinitis dan bila disertai dengan trakheitis maka akan didapatkan keluhan nyeri pada daerah trakhea. Frekwensi napas meningkat dan didapatkan ronkhi basah pada seluruh lapangan paru dengan atau tanpa disertai mengi. Pada pemeriksaan foto dada didapatkan gambaran infiltrat bilateral yang difus, dan gambaran radiologis tersebut tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri. Bila terjadi komplikasi ARDS maka akan didapatkan infiltrat yang semakin bertambah secara progresif dalam beberapa hari (gambar 5).
Gambar 5. Gambaran infiltrat yang semakin bertambah pada hari ke 3 (a), ke 4 (b) dan ke 6 (c) pada primary viral pneumonia.
Infeksi sekunder akibat bakteri sering didapat pada pasien dengan primary viral pneumonia dengan gambar klasik berupa perbaikan sementara dari gejala klinis yang dialami pasien yang kemudian memburuk kembali, dan umumnya perjalanan penyakitnya sudah > 7 hari. Pada foto dada didapatkan adanya gambaran infiltrat namun secara radiologis sulit dibedakan dengan infiltrat akibat infeksi virusnya sendiri. Pneumonia bakterial tersebut dapat terjadi akibat berbagai macam kuman namun yang sering didapatkan adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Pada pasien dengan risiko tinggi akan didapatkan juga tanda-tanda dan gejala penyakit dasar misalnya PPOK (gambaran paru yang emfisematous) dan pembesaran jantung pada pasien dengan kelainan katup jantung. Sebanyak 46-50 % pasien yang rawat inap di US dan 46 % pasien yang meninggal di Mexico merupakan kelompok dengan risiko tinggi yaitu masing-masing dengan keha-
Info Medis 17
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009 milan, dan dengan penyakit dasar lainnya yaitu asma, penyakit paru kronik, DM, penyakit autoimun yang mendapat terapi imunosupresif, gangguan neurologi dan penyakit kardiovaskuler. Pada 45 pasien yang meninggal di Mexico 54 % diantaranya tanpa adanya penyakit dasar. Gagal napas yang terjadi secara progresif terjadi pada sebagian besar kasus yang berat/kasus fatal. Kasus-kasus fatal di Mexico median waktu antara mulai sakit sampai dirawat adalah 6 hari (1 – 20 hari), sedang di US median waktunya adalah 4 hari. Manifestasi yang banyak didapatkan pada kasuskasus yang fatal adalah demam, sesak napas, mialgia, malaise berat, takhikardi, takhipnu dan kadang-kadang hipotensi serta sianosis. Pada pasien dengan pneumonia berat di Mexico secara radiologis didapatkan adanya infiltrat yang noduler/alveolar, dan kadang-kadang berupa infiltrat pada bagian basal paru serta gambaran edema paru non kardiak (ARDS). Median waktu mulai timbulnya gejala sampai meninggal adalah 10 hari (2 – 33 hari). Pada pemeriksaan darah tepi bisa didapatkan leukopeni maupun leukositosis. Pada pasien-pasien yang dirawat di Mexico didapatkan juga adanya limfopeni, peningkatan enzim transaminase, LDH dan pada beberapa pasien didapatkan juga adanya insufiensi ginjal akibat hipotensi dan dehidrasi. Pada beberapa pasien juga diduga adanya miokarditis akut. Pada beberapa pasien didapatkan bukti adanya infeksi sekunder oleh bakteri dengan manifestasi empiema, pneumonia nekrotikans dan ventilator associated peumoniae.Pada pemeriksaan otopsi pada pasien-pasien yang meninggal didapatkan kelainan patologi yang sesuai dengan ARDS akibat primary
viral pneumonia yaitu berupa kerusakan alveolar yang difus, infiltrat peribronkhial dan perivaskuler, hiperplasi saluran napas dan bronkiolitis obliterans.
drasi. Pemberian steroid secara rutin harus dihidarkan. Kortikosteroid dosis rendah dapat dipertimbangkan pada pasien dengan syok septik yang memerlukan vasopresor dan pada pasien yang diduga mengalami insufisiensi adrenal.6,7
D. Diagnosis Primary viral pneumonia ditegakkan berdasarkan adanya gejala sesak napas yang memberat secara progresif disertai batuk dan sianosis serta pada foto toraks didapatkan adanya infitrat yang dapat semakin bertambah dalam waktu beberapa hari atau adanya gambaran edema paru. Perburukan gejala klinis tersebut terjadi dalam waktu 3 – 5 hari sejak onset penyakit dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya leukopeni, limfopeni dan trombositopeni. Pada kasus yang berat didapatkan adanya hipoksia akibat gagal napas dengan gradien oksigen antara alveoli dan kapiler (pO2/FiO2) < 200. Sebaliknya pneumonia bakterial yang terjadi akibat infeksi sekunder oleh bakteri timbul setelah ≥ 7 hari sejak timbulnya keluhan influenza-like illness dimana pada pemeriksaan laboratorium pada awalnya didapatkan leukopeni namun kemudian terjadi leukositosis. Untuk konfirmasi diagnosis dilakukan pemeriksaan RT-PCR dari spesimen yang berasal dari usapan nasofarings dan orofarings.
F. Prognosis Gambar 6. Oseltamifir (Tamiflu)
selain oseltamivir diberikan juga antibiotika berdasarkan pola kuman sesuai dengan pedoman yang terdapat pada communityacquired pneumonia. Procalcitonin sebagai petanda inflamasi yang spesifik untuk bakteri dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam pemilihan antibiotik. Oksigen diberikan pada pasien yang mengalami hipoksia dengan mempertahankan saturasi oksigen > 90 %. Ventilasi mekanik bila perlu dilakukan pada pasien dengan gagal napas akibat pneumonia berat dan ARDS. Terapi suportif juga diberikan dengan memberikan antipiretik golongan asetaminofen serta cairan untuk mengatasi dehi-
Infeksi influenza A baru H1N1 pada pasien dengan sistem imun yang baik menunjukkan prognosis yang baik karena sebagian besar pasien akan sembuh. Pada kelompok pasien dengan risiko tinggi dapat terjadi komplikasi yang fatal. Sejauh ini angka mortalitas akibat virus influenza A baru H1N1 tersebut didapatkan sebesar 6 % (angka kematian di Mexico), angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan flu burung (83 %). Oseltamivir hingga saat ini masih efektif terutama bila diberikan secara dini, sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi primary viral peumonia.
G. Kepustakaan Kepustakaan ada pada Redaksi.
R
E. Tatalaksana Untuk mencegah terjadi komplikasi primary viral pneumonia maka pada pasien suspek, probable maupun terkonfirmasi influenza A baru H1N1 yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi harus segera diberikan terapi oseltamivir 2 x 75 mg selama 5 hari (Gambar 6). Obat antivirus oseltamivir harus diberikan sedini mungkin (< 48 jam sejak onset penyakit) Pada primary viral pneumonia tersebut
Kiprah PAPDI
Peresmian Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Konsultan (Sp2) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Hasan Sadikin Bandung ada 7 September 2009 yang lalu telah diresmikan Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Konsultan (Sp2) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RS Hasan Sadikin Bandung, bertempat di lantai 5 Gedung Ilmu Penyakit Dalam, RS Hasan Sadikin Bandung. Pada acara ini hadir Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam yang merangkap sebagai Ketua Program Pendidikan Sp2 Ilmu Penyakit Dalam Prof. DR. dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH; Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, dr. Ery Surahman, SpAn-K; Direktur Umum RS Hasan Sadikin Bandung Prof. dr. Cissy B Kartasasmita, MSc., SpA(K), PhD dan wakil dari Kolegium Ilmu Penyakit Dalam Indonesia, dr. Imam Subekti SpPD-KEMD, serta seluruh staf bagian Ilmu Penyakit Dalam dan para undangan. Peserta yang diterima pada angkatan pertama dalam semester ini berjumlah 8 orang, dengan peminatan khusus antara lain di subbagian endokrin 2 orang, subbagian ginjal 1 orang, subbagian hemato onkologi 2 orang, gastro enterologi 1 orang, dan infeksi 2 orang. Sementara 3 peserta lainnya telah menempuh pro-
P
gram lama, masing-masing 1 orang di subbagian pulmonologi, ginjal hipertensi dan infeksi. Dalam sambutannya Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam melaporkan sejak visitasi yang telah dilakukan Kolegium Ilmu Penyakit Dalam dan disusul rekomendasi program pendidikan Sp2 pada September 2008, Bagian Ilmu Penyakit Dalam terus mempersiapkan diri sampai akhirnya program ini dapat resmi dimulai tanggal 7 September 2009 ini. Program Pendidikan Profesi Spesialis ini menerima peserta baik dari staf bagian Ilmu Penyakit Dalam Universitas Padjadjaran sendiri maupun dari swasta. Beliau juga meminta dukungan dari semua pihak untuk membantu terselenggaranya pendidikan ini dengan baik, termasuk dukungan dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dalam sambutannya juga menghimbau agar program ini dapat disetarakan dengan jenjang S3 pada pendidikan akademik. Sementara Prof. Cissy, Direktur RS Hasan Sadikin, mengharapkan agar dengan pendidikan yang semakin tinggi ini tidak menambah beban biaya bagi para pasien yang ditangani, ter-
utama para pasien yang tidak mampu di RS Hasan Sadikin ini. Dr. Imam dari Kolegium Ilmu Penyakit Dalam, menyampaikan selamat kepada Bagian IPD FK Universitas Padjadjaran / RS Hasan Sadikin atas terselenggaranya pendidikan ini, dan menyerahkan secara simbolik nomor registrasi peserta didik program yang telah diterima dari kolegium sebagai tanda penerimaan, sekaligus meresmikan program pendidikan jenjang profesi ini.
Demikian peresmian program pendidikan profesi ini memberikan harapan dan wacana bagi bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Padjadjaran/ RS Hasan Sadikin Bandung untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sekaligus memberikan pelayanan yang lebih baik bagi para pasien baik di lingkungan RS Hasan Sadikin maupun dalam masyarakat luas. (HI)
18 Kiprah PAPDI
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
PAPDI Medical Relief :
Internis Untuk Ibu Pertiwi
anah air kembali berduka. Gempa 7,6 SR mendera belahan wilayah Sumatera Barat pada 30 September 2009. Ratusan jiwa menjadi korban, tiga kampung di Pariaman rata dengan tanah, bangunan, termasuk pusat layanan kesehatan porakporanda. Bumi Andalas luluh lantak. Internis lewat PAPDI Medical Relief (PMR) kembali ambil bagian membantu saudarasaudara korban gempa. Sehari setelah gempa, PMR memberangkat tim medis sebanyak 7 orang ke Padang. PMR akan berada di lokasi gempa selama satu bulan. Mereka dibantu LSM Aksi Cepat Tanggap (ACT) membuka posko kesehatan, posko layanan bergerak, dan menempatkan internis di RSU Pariaman. “Sehari setelah terjadinya gempa, kami langsung mengirim tim terdiri dari tujuh tenaga medis ke lokasi. Tim ini dilengkapi obat-obatan yang diperkirakan mampu melayani 1000 pasien. Langkah pertama, mereka pun membuka layanan puskesmas darurat yang beroperasi selama 24 jam sekaligus sebagai tim advance, mendata kebutuhan kesehatan selanjutnya,” ujar Dr. Ari Fahrial Syam SpPD, K-GEH,MMB, pada jumpa persnya di ruang Ilmu Penyakit Dalam, RSCM/FKUI, 8 Oktober lalu.
T
Sempat Diancam Boikot Warga Setelah menempuh perjalanan darat dari Jakarta, Dr. Erwin Mulya, SpPD dan timnya yang terdiri tujuh orang sampai di Padang Pariaman. Posko kesehatan segera didirikan. Sontak, pasien yang datang langsung membludak. Apalagi situasi di Padang Pariaman saat itu memang terbilang belum tersentuh bantuan. Maklumlah sejak gempa terjadi pada Rabu, 30 September 2009, hampir semua mata dan bantuan mengarah ke pusat kota, Padang. Posko yang dibangun tak mampu menampung pasien korban gempa. Untunglah, ada warga menawarkan rumahnya yang kosong untuk ditempati. “Kelihatan rumah itu cukup kuat, namun karena masih antisipasi, korban kita tempatkan di ruang tamu,” terang Dr. Erwin. Namun masalah belum selesai sampai di sini. Banyak korban gempa tiba-tiba datang meminta obat hipertensi dan diabetes. Dr. Erwin mencoba menanyakan pada rekan relawan medis lainnya perihal tersebut, tapi jawaban yang ia terima, “Kita hanya membawabawa obat-obat luka,” kata salah satu tim medis itu. Maka mereka memutuskan salah satu anggota timnya untuk membeli obat-obatan lain yang dibutuhkan warga selain obat luka ke kota. “Kalau gempa diidentikkan dengan luka, itu tidak benar ya. Sejak hari pertama kita datang, sudah ada tiga jenis pasien yang kita temui. Pertama, korban gempa langsung yang ketiban reruntuhan, kedua, orang sakit yang karena gempa jadi terganggu pengobatannya seperti pasien hipertensi tadi, ketiga, korban yang tadinya tidak sakit apapun tapi karena psikologis atau karena gempa fisiknya tidak terjaga, pola makan terganggu, jadinya sakit,” ujar Erwin yang menuturkan bahwa timnya sampai harus tiga kali membeli obat-obatan lain ini.
Setelah permasalahan yang satu terpecahkan, aktifitas pun berlanjut. Kesibukan kian bertambah lantaran satu personel ke kota untuk membeli obat. Tiba-tiba saja, suasana bertambah riuh ketika datang serombongan warga mendekati posko. “Mereka adalah warga desa sebelah yang merasa cemburu karena poskonya tidak ditempatkan di desa mereka, padahal kami jelaskan bahwa mereka juga bisa datang kemari, tapi mereka menolak bahkan mengancam akan memblokir jalan keluar kami yang kebetulan melewati desa mereka,” tutur Dr. Erwin. Maka Dr. Erwin dan timnya berunding. Strategi baru pun rancang, tim harus dibagi antara yang menetap di posko dan mobile clinic. Belum lagi mereka juga harus mengurus perijinan dan penempatan salah seorang dokter internis untuk ditempatkan di RS setempat. Sikap sebagian warga yang agak menjengkelkan, lanjut Dr. Erwin, karena mereka tidak kenal bahwa PAPDI itu organisasi kedokteran yang akan memberi bantuan medis. Ia pun menyayangkan minimnya atribut PAPDI, seperti kaos, yang melekat pada tim medis. ”Nama PAPDI masih terdengar asing di telinga warga. Awalnya banyak warga yang tidak tahu kalau kita dokter, dikiranya relawan biasa sehingga mereka meminta makanan ke kami dan mengancam akan membakar kalau tidak diberi, padahal itu kan bukan kapasitas kami,” terangnya.
Gempa Jawa Barat Dr. Irfan Maulani, Koordinator Bidang Relawan PMR, Tim PMR bertolak ke lokasi korban gempa sehari setelah gempa terjadi, Rabu, 2 September 2009 lalu. Tim pertama, yang terdiri dari tenaga medis denga dilengkapi obat-obatan berangkat menuju Cianjur Selatan. Seperti diketahui, Cianjur Selatan merupakan wilayah yang terkena gempa paling parah. Pasca gempa PMR melanjutkan dengan tiga program rehabilitasi, yaitu trauma hearing, klinik berjalan, dan membuat desa binaan. “Program daerah binaan masih terus berjalan, karena identifikasi masalah masih kami lakukan dan untuk sementara ini juga terhalang oleh datangnya gempa baru di Padang dimana tenaga medis kami sekarang semua fokus ke sana,” kata Dr. Irfan yang saat diwawancarai lewat saluran telepon berada di posko gempa Padang, Pariaman. (HI)
Kiprah PAPDI 19
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
Dr. Irza Wahid, SpPD, K-HOM (PAPDI Cabang Sumbar)
Pengabdian di Tengah Duka Dilema itu tak terperi di hati Dr. Irza Wahid, SpPD, K-HOM. Trauma yang dihadapi pasca gempa masih menghantui. Sang Bunda yang menderita osteoporosis pun belum jelas kabarnya. Sementara adik ipar pun terjebak diantara reruntuhan dan belum terselamatkan. Di sisi lain, hatinya terketuk oleh tanggung jawab moral dan sosialnya sebagai internis.
Bagian rumah Dr. Irza yang porak poranda.
agi itu, 30 September 2009, Dr. Irza berangkat ke tempat kerjanya di RSUP Dr. M Djamil, Padang. Siang hari, seorang paramedis mengeluhkan kurangnya jumlah perawat dengan jumlah pasien yang mencapai 150 orang. “Akan saya usulkan penambahan ini, tapi sementara kita harus mengoptimalkan tenaga yang ada,” ujar Dr. Irza sambil menggurau bahwa bila kita tidak demikian, pelayanan bisa ditutup. Dan kata-kata Dr. Irza ada yang menjadi kenyataan. Ketika gempa terjadi, gedung 3 lantai ini ambruk habis sehingga memang harus ditutup. Sorenya, perasaan Dr.Irza tidak menentu. Biasanya pukul 16.30, dia sudah visit sore di RSU BMC, Padang. Tapi entah mengapa, ia baru keluar dari rumahnya di Jl. Cendana Mata Air, Padang, pada pukul 17.10 WIB. Baru 5 menit menyetir mobil, tiba-tiba terjadi goncangan dahsyat hingga terdengar bunyi gemuruh bangunan yang nampak akan runtuh. Pohon besar di seberang jalan pun terlihat hendak rubuh. Semenit kemudian, ia melihat penduduk berhamburan keluar rumah bertangisan dan berpelukan. Mobil angkutan kota ’rebah kuda’ dengan roda kanan berada di atas. Beberapa saat kemudian, nampak penduduk di sepanjang jalan bergegas menuju daerah ketinggian. “Waktu itu ada rumor gempa ini akan disertai tsunami,” terang Dr. Irza. Instingnya seketika mengatakan bahwa dia harus kembali ke rumah memastikan keluarganya aman. Dalam perjalanan, dilihatnya 4 ruko berlantai 4 dekat rumahnya ambruk habis disertai api yang mulai membakar. Hatinya seketika lega mendapati istri dan kedua anaknya berdiri di depan rumah dalam keadaan sehat. “Saya mencoba masuk ke dalam rumah, kondisinya sudah seperti kapal pecah, lemari mencium lantai, dua pesawat televisi saya terjun bebas, kaca dan perabot rumah berserakan dilantai, serta air nampak menggenang,” ujar Dr. Irza pilu. Namun dia bersyukur selebihnya kondisi rumahnya masih utuh meski terdapat retak-retak ringan. Setelah itu Dr. Irza mencoba mencari kabar berita. Namun, bahkan radio mobilnya pun tak memperdengarkan siaran. Pikirannya kian dikaluti oleh kekhawatiran pada sang ibu (75 tahun) yang menderita osteoporosis pasca operasi protesa fraktur kolum femoris 3 bulan sebelumnya.
P
Ketika dia mencoba menghubungi, sang pembantu, satu-satunya orang yang menemani ibunya mengatakan sang ibu jatuh tertelentang. “Hati saya kian gundah,” aku Dr. Irza. Maka, Dr. Irza meluncur menuju sang ibu, menerobos kemacetan dan gulita yang melanda karena listrik langsung mati total pasca kejadian. Di tengah perjalanan itulah dia menyaksikan gedung-gedung yang ambruk, diantaranya Lembaga Bimbingan Belajar Gamma yang kemudian diketahui banyak menelan korban. Dari jauh ia melihat orang berkumpul di depan rumah ibunya. “Saat saya melihat ibu saya duduk di kursi, hati saya langsung lega,” kesahnya. Sang ibu lalu dibawanya menuju rumahnya. Meski keadaannya masih bengkak dan nyeri di belakang kepala serta berjalan dengan tongkat. Setibanya di rumah, ruko yang terbakar tadi apinya ternyata kian membesar, bahkan mengancam rumahnya. Dr. Irza
ki Finance-Adira, meski jam sudah menunjukkan 00.30 dini hari. Terdengar rintihan, ”Tolooong …., Udaaa…., lamo lai …….... (tolong.. kakak.. lama sekali engkau datang)” Sekitar jam 02.30 sang adik ipar berhasil dievakuasi dalam keadaan lemas dengan ekstremitas kanan bawah dalam keadaan remuk dan di rawat ke RS Dr M Djamil Padang. ”Saya kembali ke rumah dan merenung perihal ujian yang maha dahsyat dari Yang Maha Kuasa. Saya hidup di kota Padang dan sudah merasakan gempa yang berulangulang sejak yang saya rasakan pertama kali kelas 1 SD pada tahun 1973, Tetapi untuk gempa yang sekali ini saya sangat memohon kepada Allah SWT untuk tidak terjadi lagi,” tutur Dr. Irza pilu. Sayangnya, usia sang adik ipar hanya mampu bertahan seminggu. Jumat, 9 Oktober 2009, sang adik ipar menghembuskan nafas yang terakhir di High Care Unit Bagian Bedah RS. Dr. M Djamil Padang. Sebelumnya ia sempat menjalani 2 kali tindakan operasi dan 1 kali tindakan hemodialisis.
Dr. Irza Wahid, SpPD, K-HOM (baju putih) di pos pengobatan gratis PAPDI cabang Sumatera Barat.
sempat gelisah. Apalagi angin mulai berhembus kencang. Untungnya, mobil pemadam kebakaran datang sekitar pukul 23.30 dan berhasil memadamkan api ser ta mengevakuasi beberapa orang yang terjebak dalam reruntuhan gedung. Kabar kemudian datang. Adik ipar, isteri adik sepupunya masih terjebak di reruntuhan gedung Suzuki Finance-Adira di jalan Agus Salim, Sawahan Padang. “Padahal suaminya masih bekerja di Jambi, dan adik sepupu saya itu sudah seperti anak saya, mereka baru menikah sekitar 5 bulan ini,” terangnya. Maka, Dr. Irza memutuskan untuk menuju gedung Suzu-
Guru Besar pun Jadi Korban RS. Dr. M. Djamil, tempat yang banyak merawat para korban gempa, bagian poliklinik/administrasinya telah ambruk. Dokter, perawat dan staf yang sibuk berbaur dengan sirene ambulan dan pasienpasien rawat inap yang terpaksa di tempatkan di lorong-lorong paviliun Ambun Pagi dan tenda-tenda di jalan. Posko Jenazah yang berada dekat pintu gerbang RS M. Djamil Padang menebarkan bau yang tidak enak. “Diantara pasien-pasien itulah, terba-
ring sesepuh Bagian Penyakit Dalam, Guru Besar kami yang sangat kami hormati dan kami cintai Prof Dr H Hanif SpPD, KHOM,” kenang Dr. Irza pilu. Dr. Irza mengaku miris jika mengenang masa ini. Namun, dia merasa berterimakasih, fase akut pasca gempa ini mampu teratasi dengan kerjasama berbagai pihak, baik dari bagian bedah maupun bagian penyakit dalam. Menurutnya, kepiawaian fisis diagnostic sangat diuji karena fasilitas penunjang seperti laboratorium dan radiologi tidak berfungsi. Tak hanya rumah dan bangunan rumah sakit, ternyata bangunan tempat ibadah seperti masjid turut runtuh akibat korban gempa. Penduduk, termasuk Dr. Irza, terpaksa menjalankan sholat jum’at di tenda.
Memulai Aktivitas Penyakit Dalam Seminggu setelah kejadian atau pada Selasa, 6 Oktober 2009, kegiatan ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam mulai dilanjutkan walau tidak maksimal. Rapat membahas kegiatan PAPDI dalam membantu masyarakat korban gempa dihadiri. Rapat ini dohadiri Ketua Bagian, Prof DR. Dr. H. Nasrul Zubir, Ketua Program Studi, Prof. DR. Dr. H. Asman Manaf, Ketua PAPDI Cabang Sumbar, Prof. Dr. H. Nuzirwan Acang, serta para Staf dan Residen. Dr. Irza tahu, sebagai dokter, baktinya dibutuhkan. Terlebih ada anggota keluarganya turut menjadi korban dalam gempa ini. Masih berada dalam suasana berkabung, ia bersama koleganya justru bersemangat untuk membantu korban gempa di tanah leluhurnya. Bendera PAPDI Medical Relief pun berkibar sebagai simbol pengabdian internis di bumi Andalas yang luluh lantak. Bersama-sama dengan anggota PAPDI Cabang Sumbar, Prof. Dr. H. Syafril Syahbuddin, SpPD, K-EMD, Dr. H. Arina WM, SpPD juga bersama sekitar 15 orang residen dan PAPDI Cabang Riau yang dipimpin oleh ketuanya Dr. H. Jazil Karimi SpPD, Dr. Irza mengadakan pengobatan gratis kepada masyarakat. Sebanyak 200 paket sembako, tenda, peralatan masak dan generator listrik dibagikan di dua tempat di Padang Pariaman. “Lokasinya dipilih pada daerah-daerah yang kurang terjamah oleh bantuan,” terangnya. Pengabdian tak pernah sia-sia. Masyarakat terlihat antusias dan berterima kasih dengan semua yang dilakukan korps PAPDI. Selamat berjuang, Dok! (HI)
20 Kabar PAPDI PIN VII PB PAPDI
Pertemuan Ilmiah Nasional VII PB PAPDI diselenggarakan di Medan tanggal 7-9 Agustus 2009. Dalam gambar tampak ketua PAPDI cabang Sumatera Utara, Prof. DR. Dr. Harun Alrasyid Damanik, SpPD, SpGK; Ketua Panitia Dr. Irsan Hasan, SpPD, K-GEH; dan Ketua PB PAPDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP dalam acara pembukaan.
PAPDI Medical Relief
PAPDI Medical Relief menerima bantuan dari PT. Eisai Indonesia untuk disumbangkan kepada korban gempa Sumatera Barat pada Rabu, 7 Oktober 2009. Sumbangan diserahkan oleh President Director PT. Esai Indonesia, Mr. Philip Etcubanez Tan, dan diterima oleh Sekretaris Jenderal PB PAPDI, Dr. Bambang Setyohadi, SpPD, K-R.
PAPDI Cabang Lampung
PAPDI Cabang Lampung menyelenggarakan acara Update Management of Infection in Internal Medicine. Acara yang berlangsung Sabtu, 7 Maret 2009, di Hotel Sahid Bundar, Lampung tersebut memfokuskan tema pada penyakit malaria, demam berdarah, dan tifoid.
PAPDI Cabang Jakarta Raya
PAPDI Cabang Jakarta Raya. Roadshow onkologi diselenggarakan oleh PB PAPDI dan PAPDI Jaya pada tanggal 24 Oktober 2009 di Hotel Borobudur. Tampak dalam foto antara lain Dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD, DR. Dr. Idrus Alwi, SpPD, K-KV dan DR. Dr. Lugyanti Sukrisman, SpPD, K-HOM.
Halo INTERNIS O Edisi 15 O Oktober 2009
PAPDI Cabang Nusa Tenggara Barat
PAPDI Cabang Nusa Tenggara Barat. Ketua PB PAPDI, DR. Dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, KHOM, FACP melantik PAPDI cabang Nusa Tenggara Barat, yang diketuai oleh Dr. I Gede Palgunadi, SpPD. Acara diselenggarakan pada 17 Oktober 2009, di Hotel Lombok Garden, Mataram.
PAPDI Forum
PB PAPDI menyelenggarakan simposium PAPDI Forum yang bertema Tetap Sehat dan Bugar Selama Bulan Ramadhan. Acara yang diselenggarakan pada Rabu, 19 Agustus 2009 di Aula FK UI, menghadirkan pembicara Dr. Ari Fahrial Syam, MMB, SpPD, K-GEH; DR. Dr. Siti Setiati, SpPD, K-Ger, MEpid; Dr. H. Dante Saksono, SpPD.
PAPDI Cabang Makasar
PAPDI Cabang Makasar. Roadshow antibiotik diselenggarakan oleh PB PAPDI dan PAPDI cabang Makasar pada tanggal 10 Oktober 2009 di Hotel Horison Makasar yang dihadiri oleh 110 peserta terdiri dari Internis dan Dokter Umum. Dalam roadshow tersebut juga dilakukan kursus penyegaran EKG yang dibawakan oleh Dr. Sally A. Nasution, SpPD.
PAPDI Cabang Banten
PAPDI Cabang Banten. Pada 10 Oktober 2009 lalu telah dilaksanakan pelantikan pengurus PAPDI cabang Banten periode 2009 – 2012 di Auditorium RS OMNI Internasional Tangerang. Dalam gambar tampak Wakil Ketua PB PAPDI DR. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, MEpid memimpin prosesi pelantikan. Dr. Muthalib Abdullah, SpPD untuk kali kedua terpilih menjadi Ketua cabang.