BAB I
PENDAHULUAN
S
ound Governance (SG) adalah konsep yang sama sekali baru di Indonesia. Konsep ini menyeruak hadir di tengah kegandrungan dunia yang teramat sangat dengan Good Governance (GG) yang seolah telah menjadi kebenaran absolut dalam wacana demokrasi dan administrasi publik. Buku ini dengan nekad hadir ke tengah kemapanan keyakinan masyarakat akan sistem nilai yang disebut GG. Mungkin saja konsep baru ini akan diabaikan begitu saja, ditentang habis karena dianggap telah melanggar pakem, atau mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan. Tetapi semoga tidak untuk menggantikan posisi dogmatis GG. Sejak lebih dari dua dekade terakhir perkembangan ilmu administrasi publik telah sampai pada konsep GG. Konsep ini telah menjadi kata ajaib (buzzword) yang bisa melewati batas-batas perbicangan dimensional dan sektoral. Batas dimensional adalah ketika kita berhadapan dengan semesta perbicangan ekonomi, politik, sosial, bahkan lingkungan hidup. Sedangkan batas sektoral adalah mencakup berbagai sektor seperti pertanian, kemiskinan, transportasi, bisnis perusahaan, kelautan, maupun pengendalian polusi. GG telah menjelma seperti hantu yang bisa merasuki setiap pojok ruang-ruang diskusi para sarjana dan pelaku dalam ilmu sosial. Tidak sedikit pihak yang telah mencoba untuk melakukan kritik terhadap GG dari berbagai sudut pandang dan posisi ideologis. Akan tetapi baru satu yang membuktikan bahwa dirinya
SG
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Pendahuluan
SG 1
tidak hanya mendekonstruksi, tetapi juga merekonstruksi. Memberikan solusi konkret ketika menyarankan untuk meninggalkan proyek-proyek Good Governance beralih menuju Sound Governance.
Berakhirnya era Good Governance
SG 2
Tak dipungkiri kehadiran GG cukup revolusioner dalam kancah ilmu sosial. GG juga telah melakukan revisi total atas term Administrasi Publik atau Pemerintahan yang selama ini telah terlanjur institusionalistik. Governance sudah bukan lagi secara eksklusif menjadi menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organisasinya (public sectors). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (dipersempit dalam tiga aktor kunci, yaitu negara, masyarakat dan bisnis) utamanya dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik atau public patrimony . GG kemudian bagai kanker ganas menyebar ke segala arah. Tidak hanya berkutat pada ilmu administrasi publik, tapi merambah pada berbagai kajian lain seperti pemberdayaan masyarakat, lingkungan hidup, ekonomi, politik, hukum, dan sosiologi terapan. Produk yang paling fenomenal dari GG adalah ketika dirinya berhasil menemukan missing link antara kerja refomasi pemerintah dengan penanggulangan kemiskinan. Argumentasinya adalah dengan GG maka distribusi anggaran pemerintah dan kalangan bisnis kepada masyarakat miskin makin terbuka lebar (Renzio, 1997). Kenyataannya memang tidaklah jauh dari harapan. Inovasi-inovasi seperti pilkada langsung, musrenbang, penjaringan aspirasi masyarakat, adalah merupakan hasil (output) dari penerapan GG. Dampak (outcome) yang diharapkan adalah makin eratnya interaksi antara rakyat dengan negara, utamanya dalam hal distribusi anggaran. Bukti-bukti ini juga dapat kita lihat di belahan dunia lain. Brazil telah sangat terkenal dengan program Orçamento Participativo-nya (Partisipasi Anggaran) di Porto Alegre. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Program PARPA di Mozambique yang telah berhasil meningkatkan alokasi pendidikan dan infrastruktur rakyat 20% dalam kurun waktu empat tahun (Samuels, 2008). Hanya saja prestasi gemilang dari GG tersebut menuai kritik tajam yang berangkat dari identitasnya itu sendiri. Kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik dan seragam. Proses penyeragaman atas sesuatu yang disebut “good” itu juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebutnya sebagai bagian dari praktek penyesuaian struktural ( structural adjustment programs/SAPs ). Sebab kenyataannya di berbagai belahan dunia GG adalah program yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional, seperti WB, IMF, ADB, UNDP, EU dan semacamnya. Indikator akan sesuatu yang disebut “good” itu juga dibawa jauh dari Amerika Serikat atau Eropa untuk kemudian dipakai dalam mengukur berbagai praktek di negaranegara berkembang, baik di Asia, Afrika maupun Amerika Selatan/Karibia. Tidak ada ruang bagi lokalitas untuk mendefinisikan “good” menurut keyakinan mereka. Term ‘good’ dalam GG adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa sehingga terkadang mendekati ‘god’. Kritik berikutnya terhadap GG adalah kegagalannya dalam memasukkan ar us globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam GG seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan berkuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. WTO, perusahaan multi nasional, UN, dan lembaga-lembaga donor secara nyata telah hadir dalam setiap relung kehidupan bernegara dan bermasyarakat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana kehadiran aktor-aktor ini sampai ke pelosok Pendahuluan
SG 3
SG 4
desa-desa. Program-program World Bank misalnya, telah merasuki alam pikir dan nilai-nilai masyarakat hingga di tingkatan desa, bahkan komunitas yang lebih kecil. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variabel, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk ke dalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal sebagai akibat hegemoni terma ‘good’ ala Barat dan dampak dari kekuatan kooptasi internasional. Ruang kosong inilah yang coba diisi oleh sebuah paradigma baru yang di sebut Sound Governance. Kritik-kritik di atas sama sekali tidak menunjukkan adanya perbedaan ideologi diantara yang mengkritik dan yang dikritik. Belum lagi kalau kita hendak mengambil posisi sejenak ke dalam ideologi sosialisme atau berbagai varian neo-Marxist. Tentu kita akan menemukan daftar panjang kritik atas GG sebagai alat bagi artikulasi kepentingan kapitalisme dunia. Prinsip-prinsip dari satu piranti kapitalisme lanjut yang disebut neo-liberalisme akan sangat mudah ditemukan dalam GG. Pemerintahan yang berorietasi pasar dan sangat akomodatif dengan kekuatan sektor swasta adalah bukti yang paling utama atas kritik tersebut. Dalam buku ini juga akan diulas sangat lengkap tentang kritik terhadap GG yang bersandar pada nuansa ideologi neo-Marxist ini. Di Indonesia, penerapan konsep Good Governance (GG) yang disponsori oleh lembaga donor internasional telah berlangsung lama. Di tengah kekuarangan di sana-sini, harus diakui bahwa transparansi, partispasi masyarakat, akuntablitas dan penegakan hukum di lingkup pemerintahan telah membaik dibandingkan sepuluh tahun terakhir. GG juga berhasil melewati garis demarkasi ideologi kanan versus kiri. Anggapan bahwa GG adalah alat lembaga neoliberal untuk melancarkan pembangunan kapitalisme SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
dunia (Wilson, 2000) telah terpatahkan dengan dicetuskannya “Deklarasi Dakar” dalam pertemuan Socialist International di Dakar pada Juli 2004 yang juga mencantumkan GG sebagai agenda besar mereka. Singkat kata, GG telah menjadi plattform global tentang kemana arah pembangunan dunia harus dicapai. Sebab dengan inklusivitas antara negara, masyarakat sipil dan bisnis, GG telah dianggap mampu menerobos pertentangan antara paradigma pertumbuhan versus pemerataan. Dengan makin inklusifnya hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah maka oligopoli dan korupsi akan menur un dan kesejahteraan rakyat akan meningkat (Putra, 1999). Transparansi Internasional mengatakan bahwa korupsi adalah sebab utama kemiskinan. Buktinya, secara kuantatif kita bisa bandingkan. Indonesia dengan Indeks korupsi 2,4 yang memiliki GDP nominal per kapita $1.812 dengan Malaysia yang Indeks korupsinya 5.0 memiliki GDP nominal per kapita $6.648. Sehingga, dalam perspektif ekonomi, GG adalah lem yang merekatkan antara kekuatan negara dan bisnis dengan rakyat. Secara konseptual, seharusnya “keberhasilan” penerapan GG di berbagai dunia itu juga dibarengi dengan “keberdampakannya” atas kuatnya fundamen ekonomi rakyat.
Perlunya Arah Baru
Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan GG tidaklah seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamen ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkret yang sekarang ada di depan mata. Bila GG telah berhasil mengurangi kesenjangan di tingkat domestik, lantas bagaimana dengan kesenjangan internasional? Bila GG telah berhasil mengadilkan distribusi kekuasaan dan dana di tingkat lokal, apakah hal yang Pendahuluan
SG 5
SG
sama juga telah terjadi di tingkatan global? Bila orang miskin di negara berkembang telah memiliki media untuk bernegosiasi dengan orang kaya, apakah negara-negara miskin telah memiliki media yang sama di arus global? Berbagai prinsip ideal GG apakah juga sudah diimplementasikan dalam tataran internasional? Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebutlah yang mengilhami Ali Farazmand (2004) untuk menggagas konsep Sound Governance (SG) sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah GG berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda SG.
Sound Governance
6
Sepuluh tahun lalu di depan Konferensi PBB, Presiden Tanzania Julius K. Nyerere, dengan lantang telah mengkritik habis-habisan GG yang dikatakanya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Sebab GG akan mengerdilkan struktur negara-negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik Sang Presiden, tapi gugatannya terhadap pengaruh struktur global terhadap reformasi pemerintahan inilah yang mengilhami Farazmand untuk tidak hanya terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society) tetapi juga kekuatan internasional. Hal ini didukung oleh fakta kesenjangan global yang kian melebar. Data dari UNDP tentang perbandingan GDP per kapita konstan negara kaya, menengah dan miskin sejak tahun 1960 sampai 2002 menunjukkan fakta yang sangat menarik. Gap antara negara miskin yang ditinggali sekitar 2,5 milyar jiwa dengan negara menengah (2,7 milyar jiwa) relatif stagnan yaitu berkisar $1.500. Secara mengejutkan, gap antara negara kaya (kurang dari 1 milyar jiwa) dengan negara menengah di era 1960 berkisar SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
$7.000 dan terus naik secara fantastis hingga tahun 2002 menjadi $25.000 lebih. Kita bisa melihat hasil pembangunan internasional mulai dari Growth Theory sampai terakhir GG hanya menghasilkan kerapuhan fundamen ekonomi dunia dan kesenjangan global yang semakin akut. Kosep Sound Governance sangat perhatian pada persoalan ini. Sebab diperbaiki sedemokratis dan secanggih apapun pemerintahan lokal, bila struktur global tetap tidak adil maka kesejahteraan rakyat akan sulit tercapai. Formula dasar Sound Governance adalah 4 aktor dan 5 komponen. Empat aktor sudah kita ketahui yaitu membangun inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis dan kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Sedangkan 5 komponen adalah mencakup reformasi struktur, proses, nilai, kebijakan dan manajemen. Kita menyadari bahwa dalam sebuah proses transformasi kelima hal tersebut merupakan bagian integral. Ekslusivitas yang terjadi selama ini adalah masing-masing organisasi/elemen menjalankan kelima komponen itu secara sendiri-sendiri. LSM memiliki nilai dan kebijakannya sendiri yang diejawantahkan dalam struktur dan manajemen organisasinya. Dimana proses tersebut sulit untuk dikompromikan dengan negara, swasta apalagi aktor-aktor global dan demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, Sound Governance juga menggagas sebuah konstruksi ideal bagi hubungan antara 4 aktor yang ada. Term “Sound” menggantikan “Good” adalah juga dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity) . Sebab ketika istilah “Good” yang dipakai maka di dalamnya akan terjadi pemaksaan standar nilai. Penulis menyaksikan berbagai proyek dari World Bank, ADB dan UNDP tentang GG juga telah memiliki alat ukur matematis tentang indikator “Good”. Sedangkan dalam konsep “Sound”, term ini bisa diartikan layak, pantas atau ideal dalam konteksnya. Dalam pepatah Pendahuluan
SG 7
SG 8
Jawa disebut empan papan. Sehingga SG pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau inovasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan. Akhirnya, SG sesungguhnya percaya bahwa reformasi tata pemerintahan dan pembangunan adalah kerja budaya bukannya teknis, matematis apalagi dogmatis. Deskripsi di atas adalah sekelumit dari apa yang hendak disampaikan dalam buku ini untuk mengupas habis konsep SG. Secara umum buku ini akan dibagi dalam tujuh bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang mengantarkan pemahaman umum tentang isi buku dan sekelumit gagasan inti dari SG. Bab dua dan bab tiga pada dasarnya membicarakan soal yang sama yakni konsep dasar GG serta kritik terhadapnya. Hanya saja pada bab dua lebih menekankan aspek tata ekonomi politik neo-kolonialistik dunia yang melingkupi GG. Sedangkan dalam bab tiga lebih pada kenyataan gelombang pasang neo-liberalisme yang didorong oleh GG sebagai sebuah konsep yang seolah ilmiah. Bab empat langsung akan membahas konsep dari SG itu sendiri mulai dari pengertian, konsep dasar, hingga aspek detail dan teknis darinya. Bab lima dan enam adalah berisi tentang dua fokus utama dari SG yaitu pentingnya memasukkan realitas globalisasi dalam reformasi administrasi publik dan demokratisasi serta kewajiban adanya penghormatan terhadap budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Bab tujuh adalah penutup yang berisi tentang tantangan dan peluang penerapan SG di masa mendatang. Sebagai sebuah konsep baru, sudah barang tentu SG akan ter us berkembang dan mendewasakan dirinya bersamaan dengan dukungan kritik terhadap dirinya. Kekuatan sebuah konsep justru terletak pada kemampuannya untuk survive di tengah pujian dan kritik. Pujian yang SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
bisa-bisa melambungkan dirinya ke angkasa sehingga jauh meninggalkan bumi serta kritikan yang dapat membenamkannya dalam lembah ketakpercayaan diri. Yang paling menakutkan adalah ketidakpedulian. Untuk itu segala bentuk apresiasi tentu akan sangat penulis hormati demi makin majunya peradaban manusia tentang bagaimana mereka seharusnya mengelola hidup dan dunia.
SG 9
Pendahuluan
BAB II GOOD GOVERNANCE DALAM BINGKAI NEOKOLONIALISME
SG 10
P
endaratan kapal-kapal Columbus di benua Amerika pada abad XV sangat menentukan sejarah dunia saat ini. Sejak saat itulah kolonialisme dimulai sekaligus memberi jalan yang sangat lapang bagi masuknya eurocentrism dalam berbagai aspek kehidupan saat ini. Standard kesejahteraan dan keabsahan argumen ilmiah dunia saat ini telah bersandar secara kuat dengan tradisi dan indikator-indkator dari barat. Studi-studi tentang tricontinental (Asia, Afrika dan Amerika Latin) telah sejak lama berkembang marak di perguruan-perguruan tinggi baik Eropa Barat maupun Amerika Utara. Semuanya lebih dimotivasi oleh kepentingan untuk melanggengkan dominasi ketimbang advokasi terhadap kemajuan negara berkembang di tiga benua itu sendiri. Mitos tentang European Miracle pun diciptakan melengkapi keseragaman mimpi yang menjadi idaman seluruh peradaban di dunia (Blaut, 1993). Tak mengherankan bila kemudian banyak yang mencurigai bahwa wacana pluralisme adalah sekedar alat untuk melenakan masyarakat dunia atas fakta ketidakadilan. Hubungan antar peradaban tidaklah seadil dan seharmonis yang dicita-citakan kaum pluralis dengan kata kunci kebersamaan (coexistence ). Perbedaan peradaban yang ada bukanlah sekedar berbeda bentuk, tapi juga berbeda ukuran kekuasaan (power). Peradaban satu lebih kuat dari lainnya. Maka polisentrisme, sebuah wacana -yang lebih melihat berbagai perbedaan dari segi hubungan SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
kuasa-, jauh lebih realistis ketimbang mimpi-mimpi indah kaum pluralis tentang unity in diversity (Shohat dan Stam, 1994). Melihat realitas dunia saat ini dalam kacamata polisentrisme adalah dengan memposisikan hubungan barat versus timur dan utara versus selatan dalam posisi eksploitatif, dominatif dan hegemonik. Perbedaan antar budaya bukanlah sekedar berbeda bentuk, melainkan juga berbeda power. Dalam posisi inilah kita tidak melihat perbedaan signifikan antara kolonialisme dan neo-kolonialisme. Secara formal memang tidak ada lagi satu negara yang menjajah negara lain. Secara substansial pola hubungan penjajah dan terjajah tetaplah ada dan terjadi dimana-mana. Partha Chatterjee, dalam konteks budaya, menjelaskan bagaimana keberadaan sebuah standar baku ( modular form ) melakukan kontrol atas semua ekspresi budaya sub-ordinat di berbagai tempat sebagai konsep dasar dari neokolonialisme. J.M. Blaut menyebutnya dengan standar progress yang harus diacu semua peradaban bila ingin disebut maju dan beradab (civilize). Hal ini secara tak langsung sesungguhnya merupakan proses peniruan ini juga dilanggengkan oleh elit-elit lokal sendiri melalui proses yang disebut Homi K. Bhaha (1990) sebagai mimicry. Dalam konteks ilmu pemerintahan akhir-akhir ini jelas sekali terlihat praktek mimicry ini melalui para birokrat dan intelektual yang selalu berbusa-busa mengobarkan keluhuran konsep Good Governance . Seorang birokrat belum kelihatan berkualitas dan seorang ilmuan belum kelihatan berkelas ketika mereka belum meniru bahasa dan cara berpikir barat. Mereka belum terlihat percaya diri bila dalam pidato dan ceramah-ceramahnya belum menyebut kata “ good governance” sebagaimana orangorang dari Bank Dunia, PBB maupun profesor-profesor dari Amerika dan Eropa melakukannya. Inilah proses mimicry. Di samping penjelasan psiko-kultural di atas, neokolonialisme juga bisa dijelaskan dalam konteks sejarah Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 11
SG 12
ekonomi politik internasional. Dalam hal ini, memahami neo-kolonialisme, utamanya yang dikendalikan oleh lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia dan IMF, kita perlu terlebih dahulu mengkaji tentang Perjanjian Bretton Woods. Perjanjian yang ditandatangani oleh negaranegara yang terlibat pada PD II ini dibuat sebagai jalan keluar atas krisis ekonomi yang terjadi di dunia pasca perang. Isi dari perjanjian ini adalah kewajiban bagi setiap negara untuk bersama-sama menjaga rata-rata nilai tukar mata uang dunia pada nilai yang baku, yaitu berkisar satu persen dengan mengacu pada nilai emas dan kemampuan IMF dalam menjembatani ketidakseimbangan pembayaran (Wiggin, 2006). Sistem ini sempat collaps di tahun 1971 akibat penundaan Amerika Serikat dalam hal mengubah standar moneter dari dolar ke emas. Sistem ini bersandar pada prinsip kapitalisme dan memaksa semua negara untuk mengikutinya meskipun kepercayaan sistem ekonomi mereka berbeda. Prancis contohnya, awalnya negara ini lebih percaya pada pentingnya intervensi dan proteksi ekonomi oleh negara. Tetapi karena ia menandatangani perjanjian ini, mau tidak mau Prancis harus mengubah kebijakan dasar perekonomiannya tersebut (Cohen dalam Jones, 2002). Kontrol negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat sangatlah kuat dalam lembaga-lembaga donor dan keuangan internasional ini. Memang secara teknis mereka merupakan bagian dari PBB yang idealnya menjadi organisasi yang netral. Tapi ketika kita melihat lebih jauh pada tata organisasinya, terlebih Bank Dunia dan IMF, terlihat sekali bahwa kendali penuh ada di tangan Amerika Serikat. Grup Bank Dunia misalnya, secara tegas dikatakan bahwa kepemilikannya adalah berdasarkan proporsi jumlah saham dari negara-negara anggota. Sehingga persis seperti dewan komisaris dalam sebuah perusahaan pada umumnya. Lebih lucu lagi dalam hal pemungutan suara (voting) tidaklah dilakukan one country one vote, melainkan SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
dimungkinkan adanya suara tambahan yang tergantung pada kontribusi finansial negara yang bersangkutan pada organisasi tersebut. Hingga data terakhir tahun 2006 tercatat bahwa Amerika Serikat memegang saham terbesar sebanyak 16,4%, Jepang 7,9%, Jerman 4,5% sementara Prancis dan Inggris 4,3%. Pemilihan pimpinan lembaga ini adalah dengan pengajuan nominasi dari pemerintah Amerika Serikat yang kemudian akan mendapatkan persetujuan dari dewan gubernur (Lobe, 2003). Dari penjelasan di atas terlihat bahwa lembaga-lembaga internasional yang ada, baik itu PBB maupun Bank Dunia adalah alat bagi kekuatan neo-kolonialisme dalam mengendalikan dunia. Lembaga-lembaga agen neo-kolonialisme ini juga dengan leluasa melancarkan aksi-aksi hegemoni dan kooptasi global selama enam puluh tahun terakhir dengan topik yang berganti-ganti. Setelah memperoleh sukses besar di era 1950-an dalam melakukan rekonstruksi ekonomi di Eropa melalui Marshall Plan yang diarsiteki oleh WW. Rostow dengan program developmentalisme-nya, lembaga-lembaga internasional ini mulai melancarkan kooptasinya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hingga akhir dekade 1990-an kata pembangunanisme telah menjadi kata sakti yang didengungkan ke seluruh dunia, persis seperti kata Good Governance saat ini. Alih-alih meraup sukses seperti yang terjadi di Eropa, proyek raksasa ini dengan didukung oleh konsep sosiologi struktural fungsional, Talcott Parson, malah menciptakan diktator-diktator pragmatis di berbagai negara berkembang. Pemerintahan diktator dan sentralistik yang ada di banyak negara berkembang sesungguhnya juga merupakan produk dari lembaga-lembaga neo-kolonial ini. Lalu dengan tampang tak bersalah, saat ini mereka datang menawar-nawarkan konsep yang seolah demokratis, Good Governance.
Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 13
SG 14
Buku kecil ini mungkin tak akan cukup untuk memuat seluruh daftar panjang kritik-kritik atas lembaga-lembaga internasional agen neo-kolonilaisme ini. Joseph Stiglitz sendiri, sebagai mantan kepala ekonomi Bank Dunia, juga melontarkan kritik yang sangat pedas. Ia mengatakan bahwa kebijakan reformasi pasar bebas dari lembagalembaga keuangan global telah turut berkontribusi dalam merusak tatanan ekonomi negara berkembang. Caufield (1996) juga mengatakan bahwa kemunduran ekonomi negara-negara selatan saat ini disebabkan oleh asumsiasumis yang ada di lembaga-lembaga keuangan ini. Ideologi yang disebutnya sebagai “western recipes” telah menyingkirkan konsep-konsep ekonomi tradisional yang kemungkinan jauh lebih tepat untuk dipakai negara-negara tertentu. Asumsi yang paling parah menurut Caufield adalah anggapan bahwa negara-negara berkembang tak akan pernah maju tanpa bantuan dari luar. Inilah praktek yang mengabadikan neo-kolonialisme hingga saat ini. Dalam hal ini kritik dari Arif Dirlik (Mongia, 1996) sangatlah tajam, yaitu: “The transnationalization of production is the source at once of unprecedented global unity and unprecedented fragmentation in history of capitalism. The homogenization of the globe economically, socially and culturally is such that Marx’s prediction finally seems to be on the point of vindication”. (transnasionalisasi produksi adalah sumber dari terjadinya penyatuan global dan fragmentasi dari sejarah kapitalisme. Hogomenisasi dunia baik secara ekonomi, sosial maupun budaya yang terjadi melalui hal itu adalah pembenaran dari prediksi Marx). Argumen tersebut didukung oleh kenyataan akan banyaknya intelektual-intelektual di negara berkembang yang ikut-ikutan mendukung asumsi-asumsi global tersebut. Mereka sibuk menyalahkan faktor internal negaraSOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
nya sebagai sumber masalah keterpur ukan ekonomi mereka. Dan mengagung-agungkan pentingnya intervensi dari luar (lembaga-lembaga donor internasional) sebagai satu-satunya solusi. Kritik-kritik beraliran kiri tersebut di atas adalah valid baik secara faktual maupun ilmiah. Kendati dalam alur paradigma lain, yakni poskolonial, ditemukan cara kritik yang agak berbeda. Dalam tradisi analisis poskolonial keadaan tidak dilihat dalam posisi hitam-putih sebagaimana kalangan Marxist melihatnya. Yaitu hubungan antara yang menghegemoni dan yang dihegemoni, yang mengeksploitasi dan dieksploitasi, yang menjajah dan yang dijajah. Hubungan antara [neo] kolonialis dan negaranegara terkoloni sangat kompleks. Dalam studi poskolonial, kedua belah pihak sama-sama terpengaruh oleh proses transformasi di antara keduanya. Dalam fase inilah konsep hybridity berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian kita tetap bisa melihat bahwa derajat pengaruh masing-masng pihak berbeda. Mungkin benar bahwa negara-negara kolonialis ter-pengaruh, akan tetapi tentu tidak sedahsyat apa yang terjadi pada negara terkoloni (Putra, 2008). Dalam konteks indoktrinasi GG misalnya, memang benar bahwa praktek-praktek implementasi GG di negara-negara berkembang berpengar uh terhadap pemahaman dan kebijakan GG di negara-negara maju. Akan tetapi dampak destruktif atas proses tasformasi itu lebih dirasakan oleh negara berkembang ketimbang negara maju. Sejak awal tahun 1990-an, organisasi-organisasi internasional besar, yang pertama dan terutama diantaranya ialah International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada negaranegara anggotanya untuk menerapkan “good governance”. Namun, definisi-definisi dari istilah ini, dan sejalan dengan hal itu, substansi dari istilah tersebut, sangat beragam dari satu institusi ke institusi lain. Hal ini kemudian mengGood Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 15
SG 16
halangi perumusan definisi legal yang tepat mengenai istilah tersebut terutama karena istilah governance bisa bersifat global dan corporate (Herrera, 2004). Di Indonesia, istilah Good Governance dianggap penjelasan dan sekaligus solusi paling canggih dari segenap penyakit-penyakit buruk birokrasi pemerintahan yang tak efisien dan tak demokratis. Tiba-tiba saja, ada begitu banyak pakar di dunia intelektual Indonesia yang jagoan dalam membincang good governance. Tiba-tiba saja, good governance menjadi “agama baru” bagi kaum intelektual dan birokrat jika tak ingin disebut sebagai pendukung proses pemerintahan yang buruk (atau mereka sebut sebagai bad governance). Bukankah jelas, bahwa mereka yang tak mendukung “yang-baik” (good) secara otomatis adalah pendukung “yang-buruk” (bad). Bukankah lawan good itu adalah bad? Apa yang dilupakan oleh kaum intelektual kita yang terobsesi dengan konsep tersebut ialah bahwa good governance itu adalah sebutan bagi sebuah agregat praktek-praktek pemerintahan dan kebijakan publik sebagaimana yang dikehendaki oleh lembaga-lembaga internasional, terutama ialah IMF dan Bank Dunia. Jadi, good governance bukanlah suatu konsep linguistik murni, juga bukan suatu konsep filsafat politik murni. Meski terdapat kata ‘good’ (yang secara harfiah berarti ‘baik’), namun kata tersebut sama sekali bukan lahir dari kontemplasi filosofis para filosof dunia. Ia dilahirkan dari badanbadan ekonomi internasional yang jelas punya agenda tertentu untuk membangun tata kehidupan bangsa-bangsa seluruh dunia. Sikap naif kaum intelektual di negeri kita yang menganggap bahwa kata ‘good’ (baik) dalam konsep Good Governance merupakan sesuatu yang netral atau bahkan bebas dari niat buruk merupakan sesuatu yang amat disayangkan. Mengapa? Karena dengan demikian, mereka melepaskan diri dari tanggung jawab keintelektualan mereka untuk senantiasa kritis dan reflektif SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
terhadap berbagai gagasan yang sekiranya turut berpengar uh pada pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara. Penerimaan secara mentah-mentah atas konsep tersebut malah menunjukkan betapa kaum intelektual kita menjadi apa yang dulu pernah disebut sebagai ‘Pak Turut’, orang yang hanya bisa mengekor suatu gagasan tanpa pernah sadar akan mau dibawa ke arah mana dan untuk tujuan apa gagasan itu dia emban. Konsekuensikonsekuensi jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang dari penerapan gagasan tersebut tak pernah dipikirkan karena dianggap bahwa dalam konsepnya terkandung kata ‘good’ (baik). Seakan dengan sendirinya akan menimbulkan konsekuansi yang selalu baik pula. Suatu logika pemikiran yang simplistik dan naif! Sesungguhnya, konsep ‘ good governance ’ itu sesuatu yang masih kabur substansinya. Bagaimana sesuatu yang remang-remang bisa disebut sebagai suatu kebaikan? Rémy Herrera pernah mengungkapkan betapa kaburnya substansi dari konsep tersebut di antara berbagai institusi ekonomi dunia. Kode Good Governance IMF memiliki kemampuan untuk diterapkan di negara-negara yang mendapatkan bantuan teknis darinya dan yang berhubungan dengan perang anti-korupsi yang dijalankannya. Kode ini bertujuan untuk menciptakan keputusan atau kebijakan ekonomi yang lebih transparan dalam menciptakan ketersediaan informasi yang maksimum akan keuangan publik, untuk menstandarisasi prosedur-prosedur audit, dan yang lebih mutakhir adalah untuk “memerangi pembiayaan terorisme”. Sementara menurut Bank Dunia, governance dari “negara-negara klien” haruslah bisa “mengatasi disfungsi sektor publik (yang merupakan ‘gejala umum’) dengan jalan membantu negara-negara tersebut untuk mengadopsi reformasi-reformasi” yang dirancang untuk meningkatkan mekanisme-mekanisme alokasi sumber daya publik. Selain itu juga untuk membantu “pembangunan institusional negara, proses-proses per umusan, Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 17
SG 18
pemilihan dan pengimplementasian kebijakan-kebijakan, dan relasi-relasi antara warga negara dan pemerintah mereka”. Jika UNDP mengkaitkan good governance dengan pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan, Bank Pembangunan Asia menekankan pada partisipasi sektor privat. Sementara itu, Inter-American Development Bank menekankan pada penguatan civil society dan OECD lebih menekankan pada akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektivitas, economic forecasting dan supremasi hukum. Di sisi lain, EBRD menekankan pada hak-hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi dsb. Ketika konsep good governance begitu kabur, maka apa yang terjadi kemudian ialah konsep tersebut menjadi cek kosong yang isinya bisa ditentukan oleh siapapun. Kelihatannya hal ini menarik karena ada demokratisasi penentuan isi konsep tersebut. Namun sesungguhnya tidak. Pada akhirnya, kekuasaan institusi-institusi keuangan internasional-lah yang menjadi penentu paling efektif bagi isi macam apa yang akan diadopsi oleh pemerintahpemerintah di seluruh dunia, yang tentu saja akan berdampak pada nasib warga-warga dari negara-bangsa di seluruh dunia. Justru karena kekaburan itulah, maka setiap institusi keuangan internasional lantas bisa menunjukkan kekuasaannya masing-masing terhadap negaranegara anggota yang membutuhkan bantuan darinya dengan menetapkan isi konsep yang harus diimplementasikan oleh negara-negara anggota tersebut. Bagi rezim politik dimana pun, baik di level lokal maupun nasional, istilah ‘good governance’ memiliki daya tarik yang luar biasa. Di satu sisi, dengan memakai konsep tersebut, rezim politik yang ada akan terhindar dari citra sebagai rezim yang buruk, apapun yang dilakukannya. Di sisi lain, dengan konsep tersebut pula, rezim politik yang ada bisa mendapatkan dukungan dari institusi-institusi keuangan internasional untuk membiayai proses pemerintahannya. Dengan kata lain, konsep Good Governance SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
menjadi alat pencitraan yang sungguh simpel dan efektif bagi rezim-rezim politik yang berkuasa untuk menegaskan “kebaikannya”. Apalagi jika terus-menerus dikumandangkan bahwa Good Governance akan menjanjikan ter wujudnya penghapusan kemiskinan, terwujudnya pemerintahan yang bersih dan efisien, terwujudnya partisipasi rakyat dan sebagainya dan sebagainya. Jelas janjijanji tersebut sungguh menarik dan menyenangkan untuk didengar. Tapi, tidak mungkinkah janji-janji itu tak lebih suatu bualan kosong seperti layaknya janji-janji kemakmuran dan “tahap lepas landas” yang ditawarkan oleh gagasan developmentalisme pada tahun 1970-an? Janji yang dilekatkan dengan konsep Good Governance, seperti apa yang ditegaskan oleh direktur-direktur Eksekutif IMF, bahwa ke depan tantangan kuncinya adalah memacu pertumbuhan ekonomi untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menurunkan tingkat pengangguran. Untuk tujuan ini, mereka memuji pihak pemerintah Indonesia karena telah mengadopsi agenda reformasi struktural yang mengesankan. Namun pujian ini diiringi dengan sambil menekankan bahwa penerapan secara sungguh-sungguh agenda tersebut akan menjadi kunci untuk meningkatkan kepercayaan investor dan memajukan pertumbuhan sektor swasta (IMF, 2006) Mengentaskan kemiskinan dan menurunkan tingkat pengangguran, siapa yang tidak tertarik? Bagaimana caranya? IMF memberi resep, “lakukan reformasi struktural”. Reformasi struktural yang macam apa? Reformasi struktural yang bisa meningkatkan kepercayaan investor dan memajukan pertumbuhan sektor swasta. Jadi, agar problem kemiskinan dan pengangguran teratasi, pemerintah harus melakukan reformasi struktural yang akan melayani rasa kepercayaan investor dan pertumbuhan sektor swasta. Karena sektor swasta ini pada intinya dijalankan oleh para investor, maka sesungguhnya yang dilayani hanya satu, yaitu para investor. Asumsinya: Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 19
SG 20
investor datang, rakyat senang. Janjinya, investor datang maka lapangan kerja berkembang, rakyat punya pekerjaan dan berkuranglah angka kemiskinan. Apakah yang dimaksud dengan ‘reformasi struktural’ itu? Barangkali penjelasan yang cukup sederhana dari arti istilah tersebut diberikan oleh David Jay Green, ADB Indonesia Resident Mission, berikut ini: Ladies and Gentlemen, I am pleased to open this seminar on regulatory improvements for development of a conducive business environment and good governance. The idea of using regulation to improve economic performance of the private sector in developing countries has a long history. In the United States, formal regulatory institutions were started in the beginning of the 19th century. The market system is generally regarded as the proper basis for modern economies. But markets themselves can be imperfect, incomplete or missing. In these circumstances there is often the need for governments and other institutions to play a role in helping markets to function efficiently. (Nyonya-nyonya dan tuan-tuan, Saya sungguh senang bisa membuka seminar mengenai perbaikan-perbaikan regulasi bagi pembangunan sebuah lingkungan bisnis dan good governance. Gagasan untuk menggunakan regulasi untuk meningkatkan kinerja ekonomi sektor swasta di negaranegara berkembang sesungguhnya telah memiliki sebuah sejarah panjang. Di Amerika Serikat, institusi-institusi pengatur regulasi yang bersifat formal bahkan telah dimulai pada awal abad ke-19 [hur uf miring dari penterjemah]. Sistem pasar secara umum telah dianggap sebagai basis yang tepat bagi perekonomian modern. Namun, pasar sendiri bisa saja tak sempurna, tak lengkap atau lenyap. Dalam lingkungan-lingkungan yang demikian, seringkali SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
muncul kebutuhan agar pemerintah dan institusi-institusi lain memainkan peran untuk membantu pasar agar berfungsi secara efisien.) David Jay Green mengungkapkan hal tersebut sebagai kata sambutan saat membuka Workshop on Conducive Businesss Environment and Good Regulatory Governance di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta pada tanggal 3 Maret 2003. Dan apakah kriteria dari regulasi yang baik itu? Ada banyak cara untuk meregulasi. Namun ada beberapa pendekatan umum untuk mengevaluasi apakah regulasi itu baik atau buruk. Pertama, regulasi itu haruslah “efektif” yaitu har us menjadikan pasar dan kerja perekonomian menjadi lebih baik. Kedua, regulasi itu harus konsisten dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance, yaitu penyusunan regulasi harus dilakukan secara transparan yang ini secara tersirat bisa terbaca arahnya. Jadi, jika dipahami sebagai keseluruhan, ‘reformasi struktural’ itu haruslah menjadikan pasar berfungsi secara efisien. Tentu saja, yang dimaksud disini bukanlah pasar tradisional atau pasar Senin-Kemis di desa-desa. Pasar yang dimaksud ialah proses dimana aktor-aktor privat dalam ekonomi bisa mencapai tujuan-tujuan ekonomis yaitu untuk akumulasi laba dan kapital yang sebesar-besarnya. Subyek dari pasar ini yang dimaksud tentu bukanlah mbok penjual sayur, mbok penjual tempe, mbah penjual jamu dan sebagainya. Namun yang menjadi pelaku pasar adalah para investor. Lebih spesifik lagi, investor multinasional yang sibuk dengan bagaimana memperlancar pencapaian tujuan akumulasi laba dan kapitalnya sendiri. Mengapa investor multinasional yang sibuk mengejar kepentingannya masing-masing ini harus dilayani? Sekali lagi logika “investor datang, rakyat senang” berlaku. Tapi, apakah investor asing itu selalu merupakan “Santa Klaus” yang baik hati dan dermawan? Tentu saja, investasi merupakan sesuatu yang vital bagi pembangunan dan kemakmuran suatu bangsa. Namun Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 21
SG 22
investasi seharusnya tidak selalu diidentikkan dengan investor asing. Ketergantungan terhadap investor asing merupakan hal yang sangat berbahaya bagi kemandirian dan kemerdekaan ekonomi-politik bangsa dan negara. Jika lengah, jalur-jalur dan cabang-cabang ekonominya akan dikuasai dan dikontrol oleh investor-investor asing. Dan ketika hal ini terjadi maka denyut nadi kehidupan dan nasib rakyat bangsa tersebut sungguh berada di bawah kontrol investor-investor asing. Dalam kesempatan ini, yang terpenting untuk diperhatikan ialah ketika Good Governance mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi regulasi yang melayani kepentingan investor asing. Sehingga yang tercipta sesungguhnya ialah bangunan ekonomi-politik yang rapuh karena harus bergantung kepada investor asing (Putra, 2005). Keterpukauan kebanyakan kaum intelektual dan birokrat atas konsep Good Governance sesungguhnya merupakan suatu yang wajar jika kita mengingat bahwa selama ini kaum intelektual maupun kaum birokrat kita memang kuat dengan tradisi text-book thinking-nya. Tradisi ini membentuk kesadaran dogmatik terhadap berbagai gagasan atau ide yang tertuang dalam teks-teks yang muncul di panggung internasional. Teks-teks dari luar dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan karena itu harus diterima sebagai suatu kebenaran mutlak. Elaborasi kritis belumlah menjadi bagian dari dunia intelektualitas dan birokrasi di negeri ini. Arus deras ide dari luar bukannya diposisikan sebagai suatu bahan yang masih har us ditimbang-timbang apakah selaras dengan -dan jika diterima, diolah lebih lanjut agar selaras dengan- tujuan bangsa dan negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Namun ide-ide asing tersebut malah diadopsi mentah-mentah menjadi paradigma fundamental dalam mempertimbangkan dan menyusun kebijakan. Bisa dikatakan, kebanyakan kaum intelektual dan birokrat di negeri ini hanya menjadi operator dan teknisi atas ide-ide SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
asing untuk dijalankan di negeri ini. Ide-ide asing pun mudah masuk ke dalam negeri ini secara lalu lalang karena kuatnya dogmatisme. Kerancuan antara berpikir ilmiah dengan text-book thinking menjadikan dogmatisme tetap marak dan lestari dalam tradisi intelektualitas dan birokrasi di negeri ini. Dogmatisme berlangsung tanpa ada imbangan refleksi yang memadai. Karena kerancuan berpikir itu, maka pemikiran yang dihasilkan pun rancu. Tidak jelas ke arah mana negar-bangsa ini akan dibawa. Semuanya hanya sekedar ikut arus ide-ide asing yang sedang tren. Sikap dogmatisme sendiri merupakan sikap yang melupakan asal-usul maupun dampak historis dari suatu gagasan atau ide. Sikap dogmatis lupa bahwa gagasan atau ide tidak muncul dalam atau dari suatu ruang yang hampa, namun senantiasa lahir dari ruang sosial tertentu. Yang ajaib dari sikap dogmatis ini ialah munculnya sikap puas dan bangga dengan kekaburan gagasan atau ide. Kekaburan atau “keabstrakan” gagasan atau ide justru dianggap sebagai bagian dari karakteristik kebenaran atau kecanggihan suatu gagasan. Gagasan atau ide yang benar dan canggih itu ialah gagasan atau ide yang kabur, yang jauh dari sederhana. Demikianlah paradigma yang umum dianut di kebanyakan intelektual dan birokrat di negeri ini. Tak sulit untuk menemukan bukti dari kekaburan atau keabstrakan cara berpikir mereka. Kita bisa melihatnya dalam berbagai produk pemikiran yang ada entah itu berupa karya pemikiran, makalah diskusi, atau berupa draft rencana kebijakan. Di situ pasti akan kita temukan berbagai istilah dan konsep yang tak jelas betul apa yang dimaksud dan bagaimana pengejawantahannya secara praktis. Niels Mulder pernah mengamati problem ini. Hanya saja dalam hubungannya dengan dunia pendidikan dengan mengatakan bahwa GG dipenuhi dengan skema-skema yang kabur dan kata-kata yang sukar. Tidak banyak dari Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 23
SG 24
mereka, termasuk pengajar mereka, yang mempunyai gambaran apa artinya teori dan untuk apa teori tersebut digunakan. Atau yang lebih mendalam, apa sesungguhnya makna mendasar sebuah penelitian sosial dilakukan. Bagi kebanyakan orang, penelitian hanya dianggap sebagai kerja pengumpulan data atau sesuatu yang har us dilakukan agar lulus dan lolos dalam sebuah tanggungjawab normatif. Bila sudah sampai tingkat tertinggi atau mapan, orang tidak pernah merasa perlu melakukan penelitian lagi. Tuduhan akan produk skema-skema yang kabur dalam penerjemahan sebuah gagasan mungkin mer upakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan potret kebanyakan kaum intelektual dan birokrat di negeri ini. Wajar jika kemudian karena dipenuhi dengan skemaskema yang kabur itu maka tak jelas pula hendak dibawa kemana organisasi besar yang disebut negara ini oleh mereka. Ide atau gagasan dihargai karena kualitas ide atau gagasan itu sendiri, bukan karena dampaknya atas realitas rakyat secara luas. Para intelektual dan birokrat telah menjadi terlalu sibuk berkutat di kantor-kantor dan berhadapan dengan tumpukan kertas-kertas kerja, bukan sibuk memperhatikan realitas nyata rakyat di desa-desa, di kota-kota, di jalan-jalan, di pasar-pasar tradisional dan sebagainya. Buku ini merupakan usaha penulis untuk menghadirkan perspektif kritis terhadap konsep Good Governance yang sedemikian kabur itu. Di sini yang terpenting sebagai bahan sorotan bukanlah kekaburan dari konsep tersebut, namun dalam konsekuensi praktis dari konsep tersebut terhadap alam kesadaran maupun proses pemerintahan dan pengambilan kebijakan. Konsep Good Governance dalam pandangan penulis bukan lagi merupakan sekedar konsep belaka dimana wilayah analisisnya berkutat hanya di wilayah diskursus belaka. Namun karena merupakan suatu agenda yang menjadi syarat bantuan (aid conditionality) SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
yang harus diikuti oleh pemerintah negara penerima utang dari Bank Dunia maupun IMF. Sehingga analisis terhadap konsep Good Governance juga harus mencakup pula analisis terhadap bangunan realitas macam apa yang hendak dibangun oleh konsep tersebut. Analisa yang disajikan dalam buku ini diusahakan sedemikian rupa agar bisa memberikan pengayaan wawasan kepada khalayak pembaca mengenai konsekuensi-konsekuensi kenegaraan macam apa yang mungkin terbangun jika rezim politik yang berkuasa memilih untuk tunduk pada setiap dan segenap agenda Good Governance yang disodorkan oleh Bank Dunia maupun IMF. Melihat sebuah peristiwa kecil dalam proses sejarah yang besar adalah prinsip yang melambari buku ini. Secara lebih spesifik, ‘peristiwa kecil’ yang dimaksud ialah ‘infiltrasi konsep Good Governance dalam gerak kehidupan berbangsa dan bernegara’. Sedangkan ‘proses sejarah yang besar’ itu ialah ‘proses sejarahnya bangsa Indonesia menuju masa depannya’. Kebiasaan untuk melihat sebuah peristiwa kecil dalam proses sejarah yang besar ini bagi penulis merupakan suatu kebiasaan mental-intelektual yang harus dikembangkan dalam dunia intelektual agar kemudian dunia intelektual Indonesia tidak terjerembab ke dalam lingkaran teks belaka sehingga hanya akan menghasilkan kepandaian retorika semata. Dunia intelektual Indonesia seharusnya diwarnai dengan tradisi intelektual yang selalu rajin mengembangkan tool of analysis bagi kepentingan-kepentingan bangsa dan negara. Bukan sekedar mengekor atau menjiplak tool of analysis orang lain demi kepentingan orang lain pula. Dunia intelektual Indonesia harus melangkah ke tahapan yang lebih bertanggungjawab. Tahapan dimana dirinya bukan lagi sekedar murid setia dari pemikiran asing -yang tentu saja asing bagi bangsa-negaranya-, namun menjadi dunia originalitas dan otentisitas bagi kemajuan kepentingan bangsa dan negaranya. Era ketidakotentikan harus diGood Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 25
SG 26
tinggalkan untuk melangkah ke era “berani mengeksplorasi diri sendiri”. Masa “takut-takut dicap tidak ilmiah dan tak berdasar teks” harus ditinggalkan berganti dengan masa “berani menemukan diri sendiri” di tengah rimba raya teks yang carut marut. Beranikah dunia intelektual Indonesia? Ataukah mereka akan terus menjadi murid-murid manis dari setiap gagasan atau pemikiran asing? Hal inilah yang menjadi perhatian serius pemikir terkemuka poskolonial, Edward Said, yang mengatakan bahwa sebenarnya dalam proses penulisan sejarah tidak ada sejarah yang lebih baik atau sejarah yang lebih buruk. Yang ada adalah artikulasi kuasa yang lebih kuat dan artikulasi kuasa yang lebih lemah. Sebab tiap jengkal sejarah yang tercatat adalah hasil dari sebuah kekuatan artikulasi satu kekuasaan tertentu. Ilmuwan-ilmuwan India dan Asia Selatan saat ini telah jauh melakukan gebrakan ilmiah ini. Kita tentu mengenal tokoh kredit mikro yang sangat fenomenal dari Bangladesh, Muhammad Yunus. Dan yang juga harus diperhatikan adalah pemikir perempuan berdarah India, Gayatri Chakavorty Spivak. Tokoh poskolonial India ini menyebutkan bahwa masalah mendasar mengapa masyarakat tertidas (subaltern) tak dapat bersuara adalah karena media untuk bersuara sudah dikuasai oleh kelas menengah dan elit. Tata bahasa, tata krama, dan tata aturan untuk mengungkapkan pendapat telah distandarisasi oleh budaya dan kebiasaan kelompok masyarakat tertentu yang jelas berbeda dengan budaya dan kebiasaan para subaltern (Spivak, 1988). Tatanan politik dunia juga tersusun seperti itu. Negaranegara miskin dan berkembang harus tunduk pada tata aturan dan norma global agar dapat bersuara di tingkat global. Masalahnya, setting dari tata aturan tersebut telah bias oleh budaya negara-negara kaya dan adikuasa. Sehingga ketika seorang dari negara-negara miskin di Sub SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Sahara atau Asia Tenggara ingin berbicara, maka dia harus dapat terlihat seperti standar modular form tersebut, atau paling tidak ia harus melakukan mimicry. Sayangnya ketika itu terjadi, dia sudah tidak lagi dapat merepresentasikan dirinya seratus persen sebagaimana masyarakat aslinya yang hendak ia suarakan kepentingannya. Hal ini pulalah yang disesalkan oleh seorang tokoh kulit hitam paling tersohor, Frantz Fanon. Fanon menyebut kondisi ini seperti orang berkulit hitam yang mengenakan topeng berwajahkan orang berkulit kulit putih agar dapat disebut ‘beradab’ dan diterima keberadaannya di tengah masyarakat (Fanon, 1967). Fanon menyebutkan: “To speak a language is to take on a world, a culture. The Antilles Negro who wants to be white will be the whiter as he gains greater mastery of the cultural tool that language is. Rather more than a year ago in Lyon, I remember, in a lecture I had drawn a parallel between the Negro and European poetr y, and a French acquaintance told me enthusiastically, ‘At the bottom you are a white man.’ The fact that I had been able to investigate so interesting a problem through the white man’s language gave me honorary citizenship” [berbicara menggunakan bahasa tertentu adalah juga menerima budayanya. Seorang Negro Antilles yang ingin menjadi kulit putih akan menjadi demikian sebesar ia menguasai budaya dari bahasa yang dipakainya. Setahun lalu di Lyon, dalam sebuah ceramah seorang teman Prancis mengatakan kepadaku dengan antusias, ‘jauh di dasar dirimu kamu adalah orang kulit putih.’ Sebab kenyataannya saya dapat melihat persoalan melalui cara orang kulit putih dan menggunakan bahasanya, dari itu pulalah saya dihormati sebagai seorang warga.] Pernyataan di atas menunjukkan betapa dominasi dan hegemoni global tengah terjadi di berbagai sisi kehidupan Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 27
SG 28
manusia. Indikator keberadaban dan kemajuan telah tersentral menjadi sebuah ukuran tunggal. Peradaban dunia menjadi sangat monolitik. Hal inilah sesungguhnya yang membuat capaian GG di berbagai belahan dunia sebenarnya sangat artifisial dan formalistik di atas kertas laporan belaka. Tapi secara substantif hubungan ideal negara, pasar dan masyarakat sipil tidaklah sungguhsungguh tercapai secara mendasar. Kenyataan ini sebenarnya telah diketahui secara luas oleh berbagai kalangan. Pada titik ini, pertanyaannya adalah mengapa lembagalembaga donor internasional begitu getol untuk mendesakkan program GG ini sehingga mengalokasikan anggaran yang begitu besar dalam jangka waktu yang begitu lama (umumnya antara 10 – 15 tahun)? Faktanya, di negaranegara berkembang kesempatan kerja sangatlah sempit. Bahwa beberapa negara berkembang yang pendidikannya cukup baik malah justr u banyak menciptakan pengangguran terdidik. Sehingga dengan adanya proyek GG yang datang dengan berbagai macam bentuk, donor dan daerah membuat masyarakat memandangnya sebagai kesempatan kerja. Mereka bekerja untuk proyek GG tetapi bukannya memetik manfaat dari outcome dari keberadaan ruh GG itu sendiri. Proyek yang dilahirkan oleh pihak lembaga donor ini tak lain merupakan kelanjutan dari episode terdahulu tentang deveoplentalisme. Setelah teori pertumbuhan Rostow yang didukung oleh lembaga-lembaga donor ini pada kurun waktu 1970-an sampai awal 1990-an gagal total secara mondial. Hal ini terbukti masih saja negaranegara berkembang kondisinya jauh tertinggal baik secara ekonomi maupun politik. Maka babak berikutnya adalah membawa barang dagangan baru yang bernama Good Governance. Fakta menunjukkan bahwa tingkat inflasi di seluruh negara berkembang selalu saja di atas negara maju sejak hampir 40 tahun. Konteks sejarah sangat penting untuk memahami sebenarnya dari mana asal muasal desentralsaisi hadir di negara-negara berkembang. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Kepedulian Ali Farazmand -yang sesungguhya sudah diinternaslir oleh World Bank (2005)- tentang perlunya melihat ketidakadilan global sebagai agenda utama dalam pembangunan negara berkembang adalah hal penting yang harus dipertimbangkan. Sebab berbicara tentang GG bukanlah untuk GG itu sendiri. Berbicara pembangunan adalah berbicara mengenai keberpihakan terhadap subaltern, yaitu masyarat yang umumnya miskin. Maka membuat GG sebagai sebuah wilayah kajian yang steril dari kancah kehidupan yang luas sangatlah naif. GG bukanlah sebuah akuarium dengan terumbu karang dan ikan-ikan yang indah-indah. Akan tetapi dia harus ditempatkan di dasar laut dimana keindahan dan kengerian bersatu padu dalam sebuah kehidupan nyata. Berbagai literatur sangat penuh sesak dengan melulu menyalahkan masalah domestik sebagai penyebab kegagalan pembangunan di negara berkembang. Apakah semua problem tersebut juga steril? Apakah korupsi, kelangkaan anggaran dan lemahnya kapasitas pemerintah lokal adalah masalah bawaan negara berkembang sejak lahir? Kita akan coba melihatnya satu persatu dalam kacamata yang lebih luas, konteks global. Gelombang kolonalisme yang berlangsung selama ratusan tahun meninggalkan bentuk formal negara di colonized countries . Konsep birokrasi rasional Weber terkirim secara internasional melalui proses kolonialisme tersebut. Hal ini terjadi karena para penjajah memerlukan sistem organisasi yang sesuai dengan kebiasaan mereka dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan kolonialnya. Gaya organisasi pemerintahan yang birokratis tersebut telah terintenalisir selama ratusan tahun di negaranegara colonized (yang sekarang menjadi negara berkembang). Meskipun para penjajah telah pergi tapi mereka tetap mempraktekkan gaya pemerintahan penjajah tersebut. Kolonalisme juga selalu dilangsungkan dengan cara sentralistik. Tidak hanya sentralistik di daerah tertentu Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 29
SG 30
di wilayah itu, tapi juga tersentral di negara penjajahnya (Blaut, 1993, p. 53). Maka perilaku pemerintahan negara bekas jajahan (berkembang) yang sentralisitik dan birokratis sesungguhnya juga merupakan warisan dari kolonialisme itu sendiri. Kelangkaan anggaran yang terjadi di negara bekas jajahan apakah dikarenakan mereka memang terlahir untuk menjadi miskin? Fakta menunjukkan bahwa sesunguhnya sebagian besar negara berkembang yang ada saat ini memiliki wilayah yang luas, penduduk yang besar dan sumber daya alam yang melimpah. Tapi kenyataannya negara-negara tersebut mengalami kelangkaan anggaran sehingga mereka harus melakukan hutang luar negeri. Akibatnya negara tidak cukup memiliki dana untuk melakukan pembangunan domestik. Transfer dana dari pusat ke daerah pun tidak dapat berlangsung secara maksimal. Lalu kita harus melihat pada praktek MNC dan TNC di negara-negara berkembang. Apa yang mereka dapat dan berapa banyak? Apakah sebanding penghasilan perusahaan-perusahaan raksasa dengan kontribusinya pada negara dimana sumber daya alam itu mereka keruk? Sebagai misal. Inggris adalah negara yang tidak memilki sumber minyak bumi. Namun negeri ini memiliki perusahaan minyak yang cukup besar (Knox, 2003, p. 77). Kita juga bisa melihat bagaimana perbandingan antara anggaran tambang minyak dengan APBN kita. Di sini terlihat masalah finance yang menjadi salah satu persoalan atas kegagalan desentralisasi juga terkait dengan aspek global. Sentralisasi, desentralisasi dan GG merupakan sebuah pemetasan yang diproduseri dan disutradaai oleh subyek yang sama. Fakta menunjukkan bahwa praktis sejak berakhirya PD II, hampir semua negara berkembang berada di bawah asuhan World Bank dan IMF, termasuk pada saat negara berkembang berada pada masa pradesentralisasi. Lembaga-lembaga donor ini ada dan SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
beroperasi di masa-masa tersebut. Dan merka tetap saja men-support (untuk tidak mengatakan mendikte) praktek pemerintahan yang terjadi di sana (Panayiotopoulos and Capps, 2001, p. 48). Hal ini menunjukkan bahwa pada masa otoritarian sentralistik pun sebenarnya keberadaan lembaga-lembaga donor sama persis ketika mereka mengkampanyekan desentrlisasi dan GG. Mereka samasama ada di dalam proses dan ada di balik dua praktek yang sebenarnya jauh bertentangan, yaitu sentralisasi dan desentralsisasi, bad governance dan good governance . Demikian pula korupsi yang menjalar di seluruh jaringan birokrasi pemerintahan yang diakibatkan hazard debt yang diberikan lembaga-lembaga donor kepada pemerintahanpemerintahan diktator sentralistik. Oleh karenanya yang paling penting saat ini adalah bagaimana untuk menerapkan keadilan global dalam rangka reformasi pemerintahan di negara berkembang. Konsep Ali Farazman “Sound Governance” (2004) merupakan sebuah terobosan yang sangat keras terhadap gaya neo-liberal bertajuk “good governance” yang hanya mempersepsi masalah negara berkembang sebagai melulu masalah domestik. Dengan strategi penataan kembali hubungan internasional yang dilakukan bersamaan dengan pembenahan internal, merupakan agenda yang paling tepat untuk perbaikan sistem pemerintahan di negara berkembang. Sebenarnya World Bank sendiri (2006) sudah menyadari adanya ketidakadilan struktural internasonal yang hal ini har us diperbaiki bersamaaan dengan perbaikan masalah domestik, seperti korupsi, finansial, kapasitas, dan lain-lain. Redistribusi kekuasaan pertumbuhan dan pemerataan jangan menjadi dikotomi. Hanya saja baik GG maupun World Bank belum cukup memberikan bekal teknis bagaimana cara mewujudkan itu semua. Keduanya masih bersifat wacana diskursif tentang perlunya hal tersebut tapi tak memberi bimbingan bagaimana mewujudkannya. Untuk mewujudkan keadilan Good Governance dalam Bingkai Neokolonialisme
SG 31
SG 32
dalam daya tawar internasional negara berkembang berhadapan dengan negara maju bukanlah soal mudah. Dari segi ekonomi konsolidasi negara maju baik melalui OECD maupun melalui G-8 sangatlah solid. Sukar bagi negara berkembang untuk menerobos bisnis skala global bila jaringan eksklusif negara maju dengan kekuatan modal yang luar biasa masih saja bertahan. Belum lagi berbicara tentang kekuatan militer negara maju yang sudah jauh di atas rata-rata. Hal-hal tersebut membuat daya tawar negara berkembang menjadi sangat lemah. Penekanan-penakan kebijakan negara berkembang agar berpihak pada kepentingan bisnis negara maju terus berjalan. Sementara perkembangan pembangunan saat ini sudah menghadapkan pembangunan sebagai pintu untuk memasuki bisnis global (Montgomery et all, 2003). Bila ini dipraktekkan, maka sama artinya dengan pembangunan di negara berkembang untuk memasuki arena pertarungan yang tak sebanding. Wajar bila Motogomery mengatakan bahwa pembangunan di negara berkembang tak mampu menjadi mesin penggerak ekonomi sebab ekonomi dunia masih ditentukan oleh segelitir negara kaya. Buku ini sama sekali tidak mengajak kita pada sikap oksidentalisme yang serba anti barat. Sebab kenyataan dunia saat ini sudah sangat kompleks dan tak lagi dikotomis. Yang paling penting untuk dilakukan adalah, sebagaimana dikatakan Prakash, reworking sejarah barat dan melakukan provinsionalisasi atas standar barat, bukan menghabisinya (Prakash, 1996). Artinya, bagaimana menempatkan segala standar-standar ideal versi barat, termasuk terma ‘good’ dalam GG hanya untuk konteks barat saja. Dan mempersilahkan tumbuh kembangnya berbagai indikator lain di daerah lain dalam konteksnya masingmasing. Hal ini menjadi semangat dasar SG yang didasarkan pada prinsip toleransi dan pengenalan dan pengakuan atas adanya keberagaman dalam reformasi tata pemerintahan. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
BAB III GOOD GOVERNANCE SEBAGAI ANAK IDEOLOGIS NEOLIBERALISME Sekilas Tentang Ideologi
‘Ideology is most effective when its working are least visible... And invisibility is achieved when ideologies are brought to discourse not as explicit elements of the text, but as the background assumptions which on the one hand lead the text producer to ‘textualise’ the world in a particular way, and on the other hand lead the interpreter to interpret the text in a particular way.’ (Fairclough, 1989: 85) (Ideologi itu paling efektif ketika dia bekerja dengan sangat tak terasa... Dan ketidakterasaan ini akan dicapai manakala ideologi-ideologi dihadirkan ke dalam diskursus bukan sebagai elemen-elemen yang bersifat eksplisit dari teks, namun sebagai asumsi-asumsi latar belakang yang di satu sisi mengarahkan produsen teks untuk ‘mentekstualisasikan’ dunia dengan cara tertentu) *** Bagi seorang petani, cangkul merupakan benda yang penting. Sementara bagi seorang tukang jahit, cangkul bukan termasuk benda yang penting jika dibandingkan dengan mesin jahit atau segulung benang. Mengapa benda yang sama bisa memiliki makna yang berbeda bagi dua orang tersebut? Karena adanya perbedaan cara pandang di antara keduanya. Dan perbedaan cara pandang tersebut pada gilirannya ditentukan oleh posisi kedua orang terebut dalam struktur sosio-ekonomi yang ada. Sebagai petani, Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 33
SG 34
seseorang akan melihat dunia secara berbeda dengan seorang nelayan. Bukan karena individualitasnya, namun karena profesi keduanya membutuhkan alat-alat dan cara kerja yang berbeda satu sama lain. Posisi yang berbeda dalam struktur sosio-ekonomi telah membentuk cara pandang yang berbeda diantara keduanya dalam memprioritaskan makna benda yang bernama ‘cangkul.’ Cara pandang itu sendiri bukanlah sesuatu yang fixed dan tak bisa diubah. Cara pandang adalah sesuatu yang cair dan senantiasa bisa dibentuk sekaligus membentuk cara pandang pihak lain. Pada dasarnya, cara pandang itu merupakan sesuatu yang berwatak sosio-historis. Artinya, cara pandang tertentu merupakan buah atau produk dari suatu proses sosial yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Proses sosial yang dimaksud ialah proses komunikasi. Apa yang sesungguhnya berlangsung dalam proses komunikasi bukanlah sekedar penyampaian pesan dari pihak pengirim ke pihak penerima, namun lebih dalam dari itu. Proses komunikasi merupakan proses dimana konsepsi-konsepsi atau cara-cara pandang dunia yang dianut oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam proses itu saling bertemu dan berhadap-hadapan satu sama lain. Ketika konsepsi atau cara pandang dunia itu relatif mirip, maka yang terjadi ialah penguatan atau pengukuhan cara pandang satu sama lain. Sementara ketika konsepsi atau cara pandang dunia itu saling bertentangan sehingga yang terjadi ialah sebuah pertarungan saling mendominasi. Ketika cara pandang itu mencakup suatu gagasan yang kohesif dan komprehensif mengenai dunia sosial ideal yang dicitakan maka secara sederhana cara pandang tersebut disebut sebagai ideology. Sebagai suatu cara pandang, ideologi ada dalam ruang kesadaran, bukan dalam ruang teks. Teks menyampaikan ideologi, namun teks bukan ideologi itu sendiri. Ideologi ada dan mengeram dalam diri manusia, bukan dalam aksara. Apa yang dilakukan aksara atau teks hanya sebagai perantara antara ruang kesadaran SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
yang satu dengan ruang kesadaran yang lain, antara satu cara pandang dengan cara pandang lain. Pemahaman bahwa ideologi ada dan mengeram dalam ruang kesadaran manusia dan bukan dalam teks, merupakan pemahaman yang penting artinya agar di kemudian hari tidak muncul anggapan bahwa seolah-olah ideologi itu hanyalah suatu debat wacana semata. Ideologi merupakan sesuatu yang hidup karena dia ada sebagai cara pandang manusia. Bukan ada dalam dunia teks atau sebagai bagian dari teks. Pemahaman seperti ini tentu saja bertentangan dengan anggapan umum yang menganggap bahwa ideologi itu ada dalam teks yang kemudian ditanamkan secara begitu saja dalam benak manusia seolah-olah benak manusia itu bagaikan tanah yang bisa ditancapi apa saja dengan gampangnya. Ideologi pertama-tama dan terutama ada tidak di awang-awang dunia teks. Namun ia ada dalam ruang kesadaran dan isi ruang kesadaran itu selalu akan tercermin dalam corak perilaku dan terartikulasi melalui tindakan dalam bentuk praktek yang dilakukan manusia. Ideologi bukanlah das Ding an sich, suatu benda yang ada dalam dirinya sendiri. Ideologi adalah cara manusia memandang dunia, atau dalam bahasa kerennya, suatu proyeksi atas dunia yang dilakukan manusia dalam alam batinnya. Ini tak berarti bahwa membicarakan teks dalam hubungannya dengan ideologi itu menjadi tidak penting. Justru sebaliknya, membincang teks menjadi penting disini. Hanya saja, harus dipahami posisi teks itu mewujud sebagai apa. Seperti sudah dikatakan, teks merupakan penyampai ideologi dari satu ruang kesadaran ke ruang kesadaran lain. Efektivitas teks sebagai penyampai sangat ditentukan oleh kecanggihan suatu ruang kesadaran (yaitu manusia) untuk membangun teks yang sedemikian rupa sehingga akan bisa diminimalisir sekecil mungkin resistensi dari ruang kesadaran lain (individu yang lain). Tidak setiap teks itu bisa diterima begitu saja oleh ruang kesadaran lain. Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 35
SG 36
Tidak setiap teks bisa mengeram begitu saja dalam ruang kesadaran lain. Kutipan Norman Fairclough di atas barangkali bisa memberikan wawasan sederhana mengenai bagaimana agar suatu ideologi bisa efektif mengeram di suatu r uang kesadaran lain lewat perantaraan teks atau diskursus. Kemampuan untuk menjadikan suatu teks diskursif bisa menyampaikan ide “secara tanpa terasa” atas cara pandang atau ideologi tertentu kepada ruang kesadaran (pikiran manusia) lain menjadi kunci dari efektivitas penyebarluasan ideologi ke khalayak yang lebih luas. Watak sosial dari teks inilah yang menjadikan perbincangan tentang teksdalm ruang ideologi itu merupakan hal amat vital karena dalam posisinya sebagai wahana komunikasi, teks mempunyai potensi secara efektif untuk menyebarluaskan ideologi ke berbagai ruang kesadaran secara luas. Bagaimanapun juga, setiap cara pandang itu agar bisa dikomunikasikan kepada pihak lain, kepada r uang kesadaran lain, akan dihadirkan dalam bentuk ungkapanungkapan diskursif seperti kalimat atau konsep. Maka setiap kalimat atau konsep sesungguhnya membawa cara pandang tertentu atas dunia, baik disadari atau tidak oleh pihak pewicaranya. Tak ada kalimat atau konsep yang netral dari penyampaian cara pandang tertentu, bahkan untuk kalimat yang nampaknya sederhana. Setiap kalimat atau konsep akan disampaikan dalam suatu konteks dan dengan cara tertentu. Sebuah kalimat akan mengubah konstelasi segenap alam kesadaran yang ada dalam konteks tersebut. Ambil satu contoh, misalkan ungkapan yang mengatakan “Dia adalah anaknya si X”. Kalimat tersebut akan menjadikan orang-orang yang mendengarnya lantas paham bagaimana memposisikan “dia” karena telah diketahui bahwa ternyata “dia” adalah anak anak dari si X. Informasi mengenai “anak si X” memberi petunjuk mengenai bagaimana cara memandang “dia”. Cara pandang
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
orang-orang terhadap si X ber ubah akibat adanya informasi yang terkandung dalam kalimat tersebut. Hanya saja, memang tidak setiap kalimat atau konsep itu membawa cara pandang yang kohesif dan komprehensif. Kohesivitas dan komprehensivitas cara pandang akan tercipta manakala cara pandang itu merupakan suatu cara pandang yang lebih saling kait-mengkait membentuk gambaran yang lebih luas tentang dunia. Kohesivitas berhubungan dengan bagaimana sesuatu dipandang memiliki hubungan (apapun jenis dan tingkatan hubungannya) dengan hal-hal yang lain. Sedangkan komprehensivitas berhubungan dengan banyaknya hal-hal yang disatukan menjadi satu untaian atau jalinan hubungan yang utuh. Jadi, ideologi tak memandang dunia sebagai keping-keping yang berserakan. Akan tetapi ia merupakan jalinan satu kisah yang mengarah atau menuju kepada hal-hal yang lain. Nah, setiap ideologi memiliki penjelasan mengenai segala sesuatu yang saling berhubungan dalam jenis dan tingkatan tertentu. Dalam konsep-konsep rasional, watak ideologis dari setiap konsep rasional tersebut niscaya ada. Hal ini karena konsep rasional senantiasa mengandung pengandaian-pengandaian tentang gambaran dunia yang utuh dan saling jalin-menjalin diantara bagianbagiannya. Dimana konsep tersebut merupakan proses penyederhanaan dalam merepresentasikan proses atau struktur rangkaian antara bagian-bagian yang ada atas gambaran dunia tersebut.
Sekilas tentang Neoliberalisme
Rodan, G, Kevin Hewison dan Richard Robinson (2001) secara gamblang memetakan posisi neoliberalisme di tengah ideologi-ideologi lainnya dan berbagai derivatif yang ada di dalamnya. Teori ekonomi neo-klasik adalah sebuah pendekatan (ideology) yang mengutamakan mekanisme pasar. Asumsinya adalah sifat alamian dari pasar (mencakup Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 37
SG 38
hukum-hukum internal serta pilihan rasional individuindividu yang ingin memaksimasi keuntungan) membuat pasar menjadi sebuah mekanisme yang paling effisien secara universal. Kebijakan publik yang baik, dengan demikian, adalah kebijakan yang dapat menjamin bergeraknya pasar secara bebas. Inter vensi Negara terhadap bergeraknya pasar secara bebas itu akan mengurangi efektifitas dari pasar dalam mengalokasikan sumber daya. Pada basis inilah World Bank dan IMF mendesakkah strategi deregulasi ekonomi, privatisasi dan fiskal ketat (yang kemudian disebut Washington Consensus) ke negara-negara berkembang ditahun 1980an sampai 1990an. Neo-klasik bermetamorfosis menjadi neoliberalisme saat prinsip-prinsip pasar diperluas penerapannya tidak hanya dalam bidang ekonomi tapi juga arahan umum dalam berbagai sisi dalam kehidupan sosial, termasuk pemerintahan. Dalam konteks ini, sekali lagi, tugas dari Negara adalah menjamin berlangusngnya pasar bebas. Pasar bebas yang dimaksud seringkali gagal berjalan dengan optimal karena adanya rent-seekers (pemburu rente), yaitu para aktor yang memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan sendiri dari pasar. Pasar, oleh para pemburu rente ini, dimanipulasi sehingga aliran sumberdayanya tidak mengarah pada kehendak pasar, melainkan mengarah pada kehendak para pemburu rente itu. Dari sini, tapmak bahwa konsep “rent-seeking society” juga merupakan bagian dari paham neoliberalisme. Negara, menurut para komprador neoliberalisme, dengan kekuasaannya, harus dapat mengeliminasi para pemburu rente dari muka publik. Kebijakan publik yang baik, oleh karenanya, harus mencakup setidaknya tiga hal. Pertama, kebijakan publik har us dapat meningkatkan kapasitas negara dalam mengeliminasi keberadaan dan tumbuhkembangnya SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
pemburu rente. Kedua, kebijakan publik harus mengarah pada perubahan peran negara sebagai pelaku utama pembangunan menjadi fasilitator, sebab pelaku utama pembangunan adalah pasar. Ketiga, kebijakan publik harus dapat memberikan piranti bagi negara (fasilitator) dalam menjamin keberlangsungan pasar secara efisien. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya paham neoliberalisme tidak sepenuhnya “anti-negara.” Pada level tertentu ia masih membuthkan peran negara, mseki dalam level yang sangat minimal. Salah satu problem inheren dari liberalisme klasik yang hendak dijawab oleh neo-liberalisme adalah masalah “collective action dillema.” Ketika motivasi memaksimalkan keuntungan pribadi menjadi fundamen inti dari mekanisme alamiah pasar dalam bekerja, maka masalah “collective action” ini muncul. Pertanyaannya adalah siapa yang rela mengorbankan tenaga dan waktunya untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat kebutuhan publik (public goods)? Utamanya saat di mana kebutuhan publik itu akan terpenuhi bila hanya cukup satu orang saja yang mengerjakannya, maka semua orang akan merasakan manfaatnya. Saat situasi seperti ini terjadi, siapakah orang yang mau bersukarela mengambil peran itu? Terlebih ketika insentif yang didapatkannya sama saja dengan insentif bagi mereka yang tidak mengerjakannya. Atau bahkan insentif yang didapat lebih sedikit dan merekamereka yang ikut menikmati hasilnya. Contohnya, di kota tertentu ada sebuah aktifitas industri yang menimbulkan polusi yang dapat membahayakan kesehatan seluruh warga kota. Semua orang di kota itu tahu kalau sistem pembuangan limbah per usahaan tersebut harus dievaluasi dan dikritisi. Akan tetapi tidak ada yang mengambil inisiatif, sebab mereka saling menunggu satu sama lain. Bila ada satu orang saja yang mengambil tindakan untuk berbicara pada pimpinan perusahaan dan pejabat setempat maka masalah akan Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 39
SG 40
selesai. Dampaknya seluruh kota akan merasakan manfaat (mendapatkan insentif) yang besarannya sama persis satu sama lain, bahkan dengan si insiator. Dalam neoliberal, sikap inisiator tadi adalah “irrasional” sebab dia bertindak tidak atas dasar memaksimasi keuntungan. Karena orang semacam itu adalah “irrasional,” maka kemuculannya tidak bisa diharapkan menjadi solusi atas masalah-masalah sosial ekonomi yang ada. Neoliberalisme menjawab masalah itu dengan pendekatan yang disebut ekonomi institusionalisme baru (new institutionalism economics). Pendekatan ini percaya bahwa manusia membangun insitusi (aturan) adalah untuk mengurangi biaya transaksi ( trasaction cost ). Biaya transaksi disini maksudnya adalah landasan untuk melakukan pertukaran, ditengah kelangkaan kepercayaan. Uang, adalah contoh dari insitusi itu. Kita semua sepakat bahwa insitusi yang bernama “uang” adalah bernilai sama pada r uang dan waktu tertentu. Sehingga kita rela menukarkan sapi kita yang seberat tigaratus kilogram dengan segepok uang (kertas) yang hanya berbobot kurang dari satu kilo. Atau menukarkan rumah yang beratnya puluhan ton hanya dengan selembar cheque atau bukti transfer bank elektrik. Insitusi berupa uang dan cheque tidak akan bekerja bila tidak ada institusi lain yang melingkupinya, yaitu kebijakan moneter misalnya. Kebijakan moneter sebuah negara menentukan seberapa besar nilai dari uang seratus ribu, sepuluh juta, satu miliar dan seterusnya. Uang dan kebijakan moneter sama-sama merupakan institusi, aturan, dimana semua orang harus berpijak dalam setiap aktifitas ekonomi yang dilakukan. Dengan mekanisme yang sama, neoliberal percaya bahwa masalah “collective action” juga bisa diatasi. Kembali pada contoh limbah pabrik tadi, maka harus ada petugas pemeriksa limbah dan kebijakan pengelolaan limbah. Sehingga masyarakat kota tidak perlu menunggu munculnya “orang berhati mulia” yang akan datang SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
menyelesaikan masalah itu. Sudah ada solusi mekanik atas setiap masalah yang muncul. Di sinilah salah satu perbedaan utama antara liberalisme klasik dengan neoliberal. Meskipun begitu neo-liberal tidak serta merta dapat disimpulkan mem-bangkitkan peran negara yang telah dikubur dalam-dalam oleh liberalisme klasik. Insitutsi publik (uang, kebijakan moneter, petugas lingkungan, kebijakan pengelolaan limbah, dll) adalah hasil dari berlangsungnya mekanisme pasar. Ini adalah prinsip dasar kedua setelah new institutionalism economic, yaitu public choice theory. Para komprador teori pilihan publik (seperti Krueger, Buchanan dan Tullock) berargumentasi bahwa r uang politik mer upakan pasar ( marketplace ) tempat terjadinya transaksi para politisi, pejabat dan kelompok kepentingan lainnya. Hasil dari pertukaran (transaksi) para “pelaku pasar” inilah yang kemudian menghasilkan kebijakan publik dan institusi. Neoliberal, kendati demikian, menyadari bahwa ada potensi laten yang tersimpan dari mekaniskme ini, yakni apa yang disebutnya sebagai the predatory interests of political leaders. Sebab, harus mereka akui juga bahwa dalam mekanisme ruang politik sebagai “pasar” pemimpin politik juga merupakan bagian dari “pedagang” di pasar politik tersebut. Masalahnya adalah, kekuatan pemimpin politik secara relatif lebih besar dibandingkan dengna “pedagang-pedagang” lainnya. Maka besar kemungkinan dengan mekanisme pasar yang “liar” maka siapa yang kuat dialah pemenangnya. Dalam pada ini, penguasa politik akan selalu menjadi yang terkuat, nota bene, selalu menjadi pemenang. Lagi-lagi, neoliberal mengaharapkan peran negara (dalam ini “negara” diartikan sebagai kumpulan peraturan bukan orang-perorang) dalam mengeliminasi munculnya “pemimpin-pemimpin predator.” Di atas semua itu, semua pengjawantahan insitusi dan negara adalah, sekali lagi, untuk membebaskan pasar Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 41
SG 42
menunjukkan performa terbaiknya. Ibarat aliran sungai, pasar selalu akan membawa air pada muara yang tepat. Negara, hukum, insitusi adalah petugas kebersihan sungai yang tugasnya mebersihkan sungai dari timbunan sampah yang bisa menyumbat aliran itu yang bisa mengakibatkan air meluber tak tentu arah. Mekanisme pasar ibarat gaya grafitasi yang absolute kebenarannya. Lelah banyak kritik atas neoliberalisme ini, terutama dari kalangan Marxis. Itu sudah sangat kentara. Berikut akan dipaparkan kritik atas neoliberalisme dari paham non-Marxis. Pertanyaannya mendasarnya adalah: benarkah pasar itu stabil? Benarkah mekanisme pasar akan menyediakan distribusi sumberdaya secara optimal? Dengan krisis finansial saat ini, orang yang fasih berbicara soal “ speculative bubble ” pastinya akan laris untuk menjadi narasumber di mana-mana. Tapi ini hanya menjelaskan keadaan, bukan menjawabnya. Seperti dikatakan oleh Hyman P. Minsky, bahwa sistem ekonomi dunia kini (liberalisme) sebenarnya dibangun di atas gelembung-gelembung spekulasi. Gelembung-gelembung rapuh yang menahan Bumi seberat 5 triliun biliun kilogram ini. Gelembung ekonomi yang dimaksud Minsky sama persis dengan mainan gelembung air sabun yang biasa dimainkan anak-anak itu. Mereka meniup kawat berbentuk lingkaran yang telah dicelupkan dalam air sabun. Lalu gelembung itu akan terbang tinggi sampai pada titik tertentu ia tak kuasa menahan tekanan udara, lalu meletus. Bukan hanya tekanan udara yang membuat gelembung itu meletus, tetapi juga substansinya yang makin menipis. Kalau sudah begitu anak-anak kembali mencoba membuat gelembung baru, dan seterusnya. Tak lebih dan tak kurang, begitulah sistem ekonomi dunia dibangun. Fenomena ini sangalah sederhana. Ambil contoh pedagang mainan gelembung tadi. Satu pedagang SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
berjualan gelembung di muka sekolah dan mendapatkan untung yang banyak. Hal ini akan menarik pedagangpedagang lainnya untuk ikut berjualan. Lama-kelamaan penawaran akan melebihi permintaan, yang berakibat keuntungan tidak dapat menutup biaya produksi. Pada saat persaingan bebas yang terjadi, maka semua pedagang akan mengalami kerugian yang sama. Lalu krisis ekonomi di sektor bisnis mainan gelembung pun akan terjadi. Kenyataan ini diamini oleh seluruh ekonom dari berbagai aliran. Hanya saja yang membuat mereka berbeda adalah apa yang terjadi kemudian. Apakah kepala sekolah harus datang dan mengatur kembali tata cara berbisnis mainan gelembung? Apakah orang tua murid harus menambah uang saku, agar anak-anaknya bisa beli lebih banyak mainan gelembung, sehingga para pedagang selamat dari kebangkrutan? Ataukah dibiarkan saja, dengan keyakinan bahwa pasar akan stabil dengan sendirinya (self-fulfiling stability). Model ekonomi liberal serupa ini terjadi di seluruh sektor dalam sistem ekonomi global hari ini. Di Amerika Serikat terjadi gelembung spekulasi di sektor perumahan atau “housing bubble”. Sebuah rumah yang dibeli dengan harga $160,000 di tahun 1996 dalam waktu tujuh tahun melonjak harganya menjadi $445,000 atau mengalami kenaikan sebesar 178%. Tentu hal ini sangat menggiurkan. Orang berbondong-bondong melakukan hal yang sama, membeli r umah sebagai bagian dari bisnis. Bahkan Harian Washington Post di bulan April 2006 pernah memberitakan bahwa ada orang yang membeli dalam menjual rumah pada hari yang sama! Akibatnya tabungan di bank pun menurun drastis, sebab semua uang habis berputar di bisnis jual beli rumah. Dan, secara ironis, akibatnya harga rumah menjadi makin mahal. Sebab keinginan orang untuk membeli rumah (untuk dijual kembali, bukan untuk ditinggali) meningkat tajam. Pada titik kenaikan harga tertentu, harga rumah menjadi terlalu mahal bagi pembeli, ter utama jika Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 43
SG 44
dibandingkan dengan harga sewa. Karena harga yang secara relatif mahal ini, orang pun makin malas membeli rumah, dan berpikir lebih baik menyewa saja. Sehingga permintaan akan rumah merosot tajam. Inilah titik di mana gelembung itu meletus. Yang tinggal kemudian adalah jutaan orang yang memiliki rumah, tapi tak bisa menjualnya sebab tak ada orang yang mau membeli, dan tak punya tabungan. Likuiditas membeku. Sejak tahun 2007 harga rumah di Amerika turun sebesar 30%. Jadi, kalau anda membeli rumah seharga 600 juta rupiah di tahun 2004 maka anda hanya akan mampu menjualnya seharga 420 juta rupiah di tahun 2007, atau rugi sebesar 180 juta! Bisa dihitung berapa total kerugian bila dianggap saja ada 20 juta orang Amerika yang melakukan bisnis semacam ini. Belum termasuk multiplier effects nya. Sekali lagi, “economic bubble” semacam ini terjadi di mana-mana di seluruh penjuru dunia dan di berbagai sektor. Pemenang Nobel Ekonomi 2008, Paul Krugman, juga pernah bercerita tentang gelembung finansial di negara dunia ketiga sebagai sebab krisis ekonomi 1997. Lalu “dot-com bubble” yang berakibat rontoknya bisnis internet di dunia pada tahun 2000. Kembali pada contoh “housing bubble” di Amerika, sebagian dari kita lalu akan bertanya, dari mana orangorang itu mendapatkan uang untuk menjalankan bisnis instan semacam jual beli rumah ini? Tentu jawabnya adalah dari pinjaman bank (mortgage), dari sistem finansial. Masyarakat mengajukan kredit pada bank untuk membeli rumah, dengan harapan akan membayarnya setelah berhasil menjual rumah itu kembali, dan meraup untung. Lantas, dari mana bank mendapatkan uang untuk memberi pinjaman pada orang-orang ini, jawabannya sungguh di luar dugaan: dengan meminjam uang ke bank lain! Ini disebut dengan proses sekuritisasi. Tentu saja SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
nama yang sangat aneh dan paradoks; sebab ini adalah sistem yang sama sekali tidak aman. Dengan sistem finansial semacam ini, kebangkrutan di satu bank bisa dengan cepat menular ke bank-lain. Parahnya, sistem finansial yang rapuh dan salingtergantung ini telah terinternasionalisasi dengan pusatnya adalah Amerika Serikat! Ilmuwan-ilmuwan semacam Paul Krugman, Dean Baker, James K. Galbraith, William Black dll mungkin akan berkata lantang: “kami sudah mengingatkan sejak jauhjauh hari, tapi mereka (katakanlah kepala bank sentral Amerika/the Fed Alan Greenspan) tak pernah mendengar!” Dari apologi semacam itu maka pertanyaanku adalah “Mengapa selama ini Alan tak mendengarkan kalian?” Tentu saja karena gagasan-gagasan mereka tak enak di dengar telinga, karena penuh dengan kekuatiran serta ancaman, dan, pastinya, tak nyaman bagi mengalirnya uang ke kantong. Alan Greenspan lebih mendengarkan omongan Myron Scholes, Robert C. Merton dan John Meriwether para petinggi perusahaan finansial raksasa bernama Long-Term Capital Management (LTCM). Perusahaan perdagangan saham yang menguasai seluruh sirkulasi dagang di Wall Street ini bertabur doktor-doktor paling genius lulusan Harvard, MIT, Stanford dan London School of Economics (LSE). Bahkan dua diantaranya adalah peraih Nobel di bidang ekonomi. Yang bekerja secara konkret menghasilkan milyaran US$ di perputaran saham Dow Jones. Kelompok-kelompok terakhir ini masih kuat posisinya dalam percaturan ekonomi politik internasional. Mereka adalah penyokong ideologi neoliberalisme. Mereka percaya dan yakin bahwa pasar adasalh solusi bagi segala hal. Krisis ekonomi dan kemiskinan bukanlah akibat kegagalan pasar, melainkan akibat ketidakmampuan negara dalam membersihkan sampah-sampah pasar. Oleh karenanya negara perlu memiliki piranti yang canggih dalam rangka membersihkan sampah-sampah pasar itu. Salah satu Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 45
piranti pamungkas dalam melakukan itu adalah Good Governance ! Akhirnya hubungan erat antara neoliberalisme dan Good Governance ditegaskan dengan sangat lugas oleh Rodan (2001):
SG 46
“…Thus the Bank began a somewhat vague advocacy of ‘good governance’, acknowledging the social underpinnings of corrupt or weak institutional frameworks (World Bank 1991:6-7)… The language of participation, civil society, social capital, and community organization became prominent as the social basis of sustainable markets was emphasised (see World Bank 1998). It was asserted that the state needed to work in concert with a range of social organizations to cement the social structures, values and norms supportive of markets.” (Rodan 2001:19). “…Bank Dunia (secara setengah-setengah) mulai mendukung diterapkannya ‘good governance’ dalam negatasi persoalan korupsi dan kelembagaan yang lemah (World Bank 1991:6-7)… kata-kata seperti partisipasi, masyarakat sipil, modal sosial, dan organisasi warga men-jadi populer sebagai basis sosial dari keberlangsungan pasar (World Bank 1998). Hal ini menekankan bahwa negara perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain-nya untuk mengokohkan struktur sosial, nilai dan norma dari pasar itu sendiri.” (Rodan 2001, p. 19)
Good Governance anak Ideologis Neoliberalisme
Good Governance merupakan suatu konsep rasional. Sebuah konsep yang lahir dari proses rasional manusia (meski tidak berarti bahwa karena lahir dari proses rasional, lantas bersifat rasional). Dan seperti konsep rasional lainnya, konsep Good Governance juga mengandung dalam dirinya suatu cara pandang dunia yang SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
kohesif dan komprehensif, sehingga (dan oleh karena itu) ia berwatak ideologis. Karena berwatak ideologis inilah, konsep Good Governance har us dikaji secara kritis. Pertanyaan utamanya ialah: “Cara pandang ideologis macam apakah yang diajarkan oleh konsep Good Governance?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita tengok kata-kata Paul Wolfowitz, Presiden Bank Dunia dalam sambutannya di Jakarta pada tanggal 11 April 2006. Beberapa poin kunci yang ada dalam pidatonya adalah sebagai berikut: “Dalam paro-abad terakhir, kami telah mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai apa-apa saja yang bisa membantu agar pemerintahan bisa ber fungsi secara efektif dan mencapai kemajuan ekonomi.” Asumsi yang ditransfer ialah: Bank Dunia memiliki pengetahuan tentang bagaimana menciptakan pemerintahan yang efektif dan sanggup mencapai kemajuan ekonomi. Bank Dunia adalah sosok yang maha tahu. Selain maha tahu, Bank Dunia punya sifat suka membantu karena pengetahuan itu dikembangkan untuk membantu pemerintah-pemerintah yang sedang membangun. Jadi, Bank Dunia adalah lembaga maha tahu dan baik hati. “Dalam komunitas pembangunan, kami punya sebuah frase untuk menyebut hal-hal yang bisa membantu pemerintah tersebut. Kami menyebutnya good governance .” Asumsi yang ditransfer ialah: Pengetahuan yang bisa membantu pemerintah agar menjadi pemerintah yang baik itu disebut sebagai Good Governance. Good Governance adalah konsep yang baik karena lahir dari institusi yang punya sifat baik dan maha tahu. “ Good governance pada esensinya mer upakan kombinasi antara institusi-institusi yang transparan Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 47
SG 48
dan akuntabel, mempunyai keterampilan dan kompetensi yang kuat, dan punya kesediaan mendasar untuk bertindak benar. Hal-hal itulah yang memungkinkan sebuah pemerintahan bisa memberikan layanan kepada masyarakatnya secara efisien.” Asumsi yang hendak ditransfer: Ketika konsep atau pengetahuan yang baik itu diterapkan oleh pemerintah, maka niscaya hasilnya mesti suatu pemerintahan yang baik pula. Inilah janji yang ditawarkan oleh Good Governance. “Sebuah lembaga pengadilan yang independen, pers yang bebas, dan civil society yang dinamis merupakan komponen-komponen penting dari Good Governance. Kesemuanya itu akan bisa menjadi penyeimbang kekuasaan pemerintahan. Dan mereka itulah yang mendorong pemerintah untuk akuntabel dalam penyediaan layanan publik yang lebih baik, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan standar hidup. Beberapa negara bisa saja mencapai pertumbuhan tanpa harus memiliki kesemua faktor tersebut. Sejarah Indonesia tahun 1970-an dan 1980an sendiri menjadi sebuah ilustrasi mengenai hal tersebut. Namun, krisis ekonomi yang melumpuhkan dan menimpa Indonesia menunjukkan betapa rapuhnya pertumbuhan itu ketika institusi-institusi yang menjaga agar pemerintah itu bisa akuntabel, transparan dan bertanggungjawab itu secara sistematis dilemahkan.” Asumsi yang hendak ditransfer: Pertumbuhan yang dicapai tanpa menggunakan resep konsep Good Governance pastilah menjadi pertumbuhan yang rapuh. Krisis ekonomi yang dialami Indonesia menjadi bukti yang nyata dari kesimpulan tersebut. Secara singkat bisa dikatakan bahwa meta-asumsi dari konsep Good Governance ialah: “Pemerintah-pemerintah SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
yang tak mau mengikuti resep Bank Dunia, pastilah akan gagal dan rapuh pertumbuhan ekonominya.” Dan pengalaman krisis ekonomi Indonesia menjadi bukti yang dijadikan justifikasi terhadap meta-asumsi tersebut. Bank Dunia (beserta lembaga keuangan dan donor internasional lainnya) adalah juru selamat dunia! Tak ada keselamatan di luar Bank Dunia dan lembaga donor! Dan ajaran apakah yang dikumandangkan oleh “Sang Juru Selamat” itu? “Adopsi Good Governance dan akan kalian temukan surga dengannya”. Sungguh menentramkan hati. Lantas dijelaskan pula oleh Wolfowitz, apa sesungguhnya tujuan besar dari Good Governance itu: What the Asian crisis of some 8 years ago shows, and nowhere more clearly than here in Indonesia, is that corruption is often at the very root of why governments do not work. Today one of the biggest threats to development in many countries, including I think here, is corruption. It weakens fundamental systems, it distorts markets, and it encourages people to apply their skills and energies in nonproductive ways. In the end, governments and citizens will pay a price, a price in lower incomes, in lower investment, and in more volatile economic fluctuations. That is a lesson Indonesia learned the hard way. C o rruption contributed significantly to the economic collapse of 1997-1998. It now looms as a major obstacle to achieving the development successes that I believe this country is capable of, and which the Indonesian people deserve.
Corruption not only undermines the ability of governments to function properly, it also stifles the growth of the private sector. We hear it from investors, domestic and foreign, investors who worry that where corruption is rampant, contracts are unenforceable, Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 49
SG 50
competition is skewed, and the costs of doing business becomes stifling. When investors see that, they take their money somewhere else. To give you an idea, in Indonesia, a survey of firms said that 56 percent of them, a majority, were willing to pay more taxes, in fact, half were willing to pay up to 5 percent of their revenues, if corruption could be eliminated. When businessmen offer to pay more taxes to solve a problem, you know it is a real problem.
than three-and-a-half times their annual income to obtain all the necessary licenses and permits. But perhaps the most important challenge lies in the enforcement of contracts. On this front, Indonesia ranks amongst the lowest in the world, 145 out of 155. In fact, investors’ lack of trust in the legal system is one of the problems that have brought investment levels down to half of those of your fast-growing neighbors.
Corruption thrives in countries where private investors face cumbersome procedures and excessive regulations. When extra licenses are needed to start a business, when extra signatures are required to import goods, that creates opportunities for abuse of authority and for corruption.
Jadi, Good Governance akan menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Tapi mengapa kor upsi har us dilawan? Apakah karena kor upsi itu menguras uang rakyat? Sama sekali bukan. Dalam konsep Good Governance, korupsi harus dilawan karena korupsi menghalangi preferensi investor asing untuk masuk ke negeri itu sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi pun menjadi rendah. Korupsi harus dilawan karena menyusahkan investor. Dan jika investor susah, maka negarapun ikut susah. Korupsi harus dilawan karena dibutuhkan waktu 151 hari untuk membuka usaha di negeri ini. Ini berarti lebih lama tiga kali lipat dari waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk membuka usaha di berbagai negeri selain Indonesia. Kor upsi adalah dosa, mengapa? Karena menghalangi kepentingan ekspansi modal investor asing. Setiap yang menghalangi kepentingan ekspansi modal investor asing adalah dosa, dan setiap dosa pasti berbuah karma. Apakah karmanya? Yaitu rendahnya tingkat pertumbuhan. Di tangan investor asinglah, nasib suatu bangsa-negara tergenggam. Pada akhirnya, ia menyingkapkan siapa sesungguhnya yang sedang dilayaninya, atau lebih tegas lagi siapa yang menjadi ‘pengutusnya’ yang tak lain adalah investorinvestor asing. Ajaran ‘jangan berbuat salah terhadap investor asing agar tak bernasib buruk!’ merupakan petunjuk paling tegas tentang siapa kuasa tertinggi yang
One of the most interesting and useful products of the World Bank Group is something we started a few years ago called the Doing Business report which looks at the investment climate in 155 different countries around the world and ranks them in various categories according to ease of doing business. That kind of analysis is already, I think, having a useful impact here in Indonesia. When the new government learned in 2004 that it took 151 days to launch a business here, three times the average for the world, your President announced that this would be reduced to 30 days. Our estimates show that the time to start a business has already fallen to below 80 days, and we are hopeful the government will reach its target. That would be a wonderful success story. But the government faces many challenges ahead. It costs Indonesian entrepreneurs the equivalent of one year’s income to register a business, and more SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 51
SG 52
menjadi tujuan “pengabdian” dalam konsep Good Governance . Malapetaka ekonomi maupun politik akan datang kepada rezim politik yang tak mau tunduk pada kuasa tertinggi itu. Dalam bahasa eufemisme, investorinvestor atau pemodal-pemodal raksasa multinasional tersebut biasa disebut sebagai “pasar”. Pernyataanpernyataan seperti ‘pasar sedang bergejolak’, ‘sentimen pasar menguat’, dan semacamnya sesungguhnya menunjuk pada para pemodal raksasa multinasional. Mungkin di dalamnya ada pula investor-investor dalam negeri. Namun jika diukur berdasarkan skala kekuatan ekonominya, maka bisa kita katakan posisi investor-investor dalam negeri tersebut tidak terlalu signifikan. Dan memang bukan investor-investor dalam negeri yang sedang diperjuangkan oleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor intenrasional ( International Financial Institutions/IFIs ). Jadi, bila disederhanakan, rezim-rezim politik harus mengabdi kepada “pasar” jika ingin selamat. Sekali lagi, tak ada keselamatan di luar “pasar”. Tentu saja, “pasar” disini adalah sebagaimana yang dimaksud oleh Bank Dunia dan IFIs beserta bala punggawanya. Inilah yang lantas disebut sebagai ajaran ‘neoliberalisme’. Sebuah ajaran -yang bagi rezim-rezim politik yang suka bergantung pada Bank Dunia dan IFIsstatusnya laksana agama penyelamatan. Paul Wolfowitz sendiri menyebutkan kasus krisis ekonomi Indonesia sebagai salah satu bentuk “sanksi” yang akan diterima jika tidak patuh pada ajaran agama ‘neo-liberalisme’. Mengenai pengertian neo-liberalisme sendiri, kita harus memahaminya lebih sebagai sebuah proyek sosio-historis ketimbang sebagai istilah linguistik. Bob Jessop menjelaskan: Before developing my critique of the World Report, let me relate it to the global neo-liberal project. This has two interrelated sets of features. The first concern the pursuit of a new accumulation strategy based on SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
privatization, liberalization, de-regulation, the introduction of market proxies and benchmarking into the public sector, tax cuts, and internationalization bzw. globalization. The second concerns the search for new forms of social regulation to create a multitiered market society that complements the globalizing market economy (Jessop, 2001). (Sebelum membahas kritik saya terhadap World Report, ijinkan saya untuk mengaitkan kritik saya itu dengan proyek neo-liberal. Proyek tersebut memiliki dua kelompok fitur yang saling berhubungan. Yang pertama berhubungan dengan upaya strategi akumulasi baru yang didasarkan pada privatisasi, liberalisasi, de-regulasi, penerapan standar baku dan metode-metode pasar ke dalam sektor publik, potongan-potongan pajak, dan internasionalisasi alias globalisasi. Yang kedua berhubungan dengan usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk baru regulasi sosial untuk menciptakan sebuah masyarakat pasar yang multi-level yang komplementer terhadap usaha globalisasi ekonomi pasar.) Dari uraian Bob Jessop tersebut, kita bisa lihat bahwa tujuan besar dari proyek neo-liberalisme ialah penciptaan sebuah sistem ekonomi pasar yang berlaku secara global. Untuk itu, proses pemerintahan dan kebijakan publik harus disesuaikan sedemikian r upa agar selaras dengan terciptanya ekonomi pasar yang bersifat global itu. Baik regulasi sosial maupun praktek-praktek pemerintahan dalam negeri harus dibentuk agar cocok dengan berbagai kepentingan dan kemajuan proyek globalisasi ekonomi pasar. Tantangan terbesar ialah bagaimana agar proyek neo-globalisasi itu bisa tampil -meminjam istilah Bob Jessop- ‘with a human face’ (dengan wajah manusiawi). Sehingga resistensi dari pemerintah-pemerintah negarabangsa di seluruh dunia bisa diminimalisir. Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 53
SG 54
Konsep Good Governance dalam konteks ini memiliki peran yang sangat strategis untuk menanamkan sebuah cara pandang tertentu dalam diri pemerintah-pemerintah di seluruh dunia yang sejatinya cocok dengan kepentingan proyek neo-liberal dengan topeng yang sama sekali beda. Penggunaan pilihan kata good sungguh jitu karena dengan demikian, setiap pandangan yang tidak selaras dengan konsep tersebut secara otomatis akan terbayang sebagai bad (lawan kata dari good ). Permainan kata ini jelas bukanlah sesuatu yang tak signifikan dalam proyek besar neo-liberalisasi. Permainan kata ini vital maknanya dalam rangka penanaman cara pandang ideologis tertentu yang cocok dengan proyek neo-liberalisasi secara global. Dalam konteks inilah, konsep Good Governance menjadi ideologi bagi kepentingan neo-liberal. Saat menginterpretasi kata sambutan Paul Wolfowitz di atas, kita bisa lihat betapa kata good (baik) memainkan peran kunci dalam fungsi konsep good governance sebagai ideologi. Kata itu menciptakan bayangan asumsi bahwa lembaga-lembaga donor dunia yang melahirkan konsep itu baik dan punya itikad baik. Bahwa konsep itu mempunyai maksud dan dampak baik terhadap negara-bangsa. Dan bahwa pemerintah yang baik ialah pemerintah yang mengadopsi konsepsi yang baik, yakni Good Governance. Kata good ini sejak awal mencegah berbagai kalangan untuk mempertanyakan isinya. Apapun isinya, sepanjang berada di bawah payung Good Governance, niscaya dan pasti baik. Orang tak pernah mempertanyakan bagaimana konsep itu bisa mendapatkan nama Good Governance. Apa legitimasi dari penggunaan kata ‘good’ (baik) dan apa arti ‘good’ dalam konsep tersebut belum banyak dikaji secara publik dan luas sebelum ditetapkan menjadi satu istilah baku dalam konteks kehidupan dunia. Lebih aneh lagi, meski ada begitu banyak tafsiran antar lembaga internasional, mereka bisa sama-sama menggunakan istilah
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
yang sama, ‘ good governance ’. Isi belum ditentukan, namun sudah dinyatakan sebagai ‘good’. Robert McChesney menyatakan: A superior term would be “neoliberalism”; this refers to the set of national and international policies that call for business domination of all social affairs with minimal countervailing force. Neoliberalism is almost always intertwined with a deep belief in the ability of markets to use new technologies to solve social problems far better than any alternative course (McChesney, 2006). (Istilah yang lebih tepat ialah “neoliberalisme”; istilah ini merujuk pada serangkaian kebijakan nasional dan internasional yang menghendaki dominasi bisnis atas selur uh ur usan sosial dengan kekuatan tandingan yang minimal. Neoliberalisme nyaris selalu jalin-menjalin dengan kepercayaan yang mendalam akan kemampuan pasar untuk bisa memanfaatkan teknologi-teknologi baru untuk memecahkan problemproblem sosial secara jauh lebih baik ketimbang alternatif lain.)
Good Governance berperan sebagai ideologi yang akan membuka jalan rintisan bagi terbentangnya jalan yang lebih luas bagi masuknya neo-liberalisme ke dalam ruang kesadaran warga negara-bangsa di selur uh dunia. Bagaikan pasukan komando yang bertugas sebagai pasukan perintis untuk membukakan jalan bagi pasukan reguler, konsep Good Governance merupakan suatu unit elit yang akan mer untuhkan basis paling inti dari pertahanan kesadaran anti-liberalisme dan antineoliberalisme, yaitu konsep mengenai apa yang baik (good) dalam pengelolaan negara-bangsa. Dalam hal ini, konsep Good Governance sungguh menerapkan secara bagus kekuatan tersembunyi dari bahasa.
Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 55
SG 56
Sebagai kesimpulan akhir, dalam fungsinya sebagai ideologi, konsep good governance secara sistematis dan intensif bergerak dengan metodologi langkah-langkah sebagai berikut: 1. konsep tersebut mengajarkan bahwa ada faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang sehingga karenanya faktor-faktor tersebut harus dieliminasi; 2. konsep tersebut mengajarkan bahwa Bank Dunia dan IFIs telah berhasil menemukan resep mujarab untuk mengeliminir faktor-faktor tersebut, yang tak lain ialah konsep Good Governance itu sendiri; 3. konsep tersebut mengajarkan bahwa konsep tersebut merupakan satu-satunya resep manjur bagi penyelesaian problem kegagalan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang; 4. konsep tersebut mengajarkan bahwa faktor-faktor penyebab kegagalan itu membuat pembangunan ekonomi gagal karena menghambat berfungsinya secara sempurna mekanisme pasar, dan karena itu strategi inti dari resep itu ialah mendorong pemerintah negara-negara berkembang agar menyelaraskan proses pemerintahan dan kebijakannya sedemikian r upa sehingga kondusif bagi berlangsungnya mekanisme pasar bebas yang sempurna dan tanpa hambatan; dan 5. konsep tersebut mengajarkan bahwa pemerintah negara-negara berkembang yang tak menerapkan konsep good governance akan dianggap sebagai pemerintah yang poor governance atau bad governance , sehingga karena itu bukanlah pemerintah yang baik. Semua itu diajarkan dengan sedemikian intensif dan ekstensif sehingga pada akhirnya membentuk semacam atmosfer ruang kesadaran kolektif yang mencengkeram begitu kuat. Siapapun yang mengambil jalur di luar SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
mainstream akan terstigmatisasi sebagai anti- goodgovernance dan pro- bad-governance . Ketika konsep itu begitu kuat mencengkeram sedemikian rupa, maka pada saat itulah fungsi ideologis dari konsep Good Governance berhasil mencapai tujuan ideologisnya. Yaitu menstigmatisasi cara pandang dunia yang berbeda dan memistifikasi cara pandangnya sendiri serta melanggengkan dominasi neo-liberalisme. Ideologi neo-liberalisme saat ini masih menjadi bahan diskusi yang sangat marak di for um-for um ilmiah internasional. Bagaimana sikap penerimaan developing countries terhadap ideologi ini (termasuk piranti teknisnya yaitu GG) dan apa dampak jangka panjangnya? Rainer Tetzlaff pernah menyatakan bahwa diskusi tentang peranperan negara dan pasar yang berbeda dalam proses pembangunan diangkat ke level yang baru melalui tuntutan akan “ good governance ’’. Tujuannya bukanlah untuk melenyapkan peran negara sebesar mungkin, namun untuk mengubah arah yang lebih besar ke arah tujuan-tujuan dan efisiensi. Tuntutan akan “ good governance ” -yang pertama kali dimunculkan oleh Bank Dunia- sejak itu juga diadopsi oleh lembaga-lembaga donor lain (Tetzlaff, 2006). Namun, konsep Good Governance bukanlah sekedar wacana yang hidup dan bergerak di wilayah teks belaka. Konsep Good Governance juga bergerak di wilayah praktis ekonomi-politik. Justru karena konsep itu diusung oleh Bank Dunia dan IFIs, maka konsep itu sama sekali berbeda statusnya jika diusung oleh akademisi-akademisi Universitas Sorbonne atau Universitas Leiden. Bank Dunia dan IFIs, seperti kita tahu, bukanlah lembaga tempat dimana konsep-konsep didiskusikan dan dikaji demi kepentingan-kepentingan kepuasan kontemplatif atau teoretis. Mereka adalah lembaga-lembaga penjaga stabilitas ekonomi pasar dunia. Keduanya merupakan lembaga-lembaga internasional yang bertanggungjawab terhadap peran untuk merumuskan dan sekaligus Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 57
SG 58
menjalankan strategi untuk menjaga stabilitas ekonomi global demi kepentingan pasar bebas. Karena itu, konsepkonsep yang dibawanya juga sama sekali tidak muncul demi kepentingan-kepentingan kemajuan teoretis, melainkan demi kemajuan kepentingan ekonomi pasar global. Jika pada bagian sebelumnya, kita telah membahas Good Governance sebagai ideologi yang mengajak kita untuk melihat dunia dengan cara tertentu, maka pada bagian ini, kita akan membahas bagaimana Good Governance membuat kita mengalami pengalaman-pengalaman sosiohistoris tertentu. Pengalaman-pengalaman sosio-historis macam apa yang telah, tengah dan akan kita alami, bukan sebagai individu namun sebagai warga negara-bangsa, jika Good Governance sungguh-sungguh diadopsi sebagaimana yang digariskan oleh Bank Dunia dan lembaga donor asing? Dalam berbagai diskursusnya, Good Governance selalu saja menawarkan janji-janji kehidupan yang lebih baik sebagai bangsa dan negara. Janji-janji berupa negeri yang bersih dari korupsi, pemerintahan yang transparan dan demokratis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sebagainya. Persoalannya ialah: “Apakah janji-janji itu sungguh merupakan janji manis buat rakyat, atau buat investor asing?” Untuk mengerti janji-janji itu janji manis buat siapa, maka kita harus melihat orientasi baru macam apa yang diajarkan konsep Good Governance terhadap praktek-praktek pemerintahan dan kebijakan publik. Secara mendasar, dua gagasan besar tentang posisi dan peran negara (atau pemerintah) yang digariskan oleh Good Governance adalah sebagai berikut: 1. Intervensi minimal dari negara/pemerintah atas banyak aspek kehidupan negara-bangsa, dan lebih mengambil sikap ‘biarkan pasar yang bekerja’, dan 2. Negara/pemerintah harus dikontrol oleh mekanisme checks and balances dimana mekanisme itu pada akhirnya tunduk pada kemauan ‘pasar internasional dan dalam negeri.’ SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Gagasan pertama ini tampak jelas dengan terlalu banyaknya penekanan fungsi pemerintah hanya sebagai pelancar bekerjanya mekanisme pasar bebas dan penyedia layanan publik yang efisien. Namun, yang terpenting ialah bahwa Bank Dunia melihat proyeksi tersebut sebagai sebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan; Good Governance ‘yang bersinonim dengan manajemen pembangunan yang baik’ (World Bank 1992: 1). Manajemen semacam itu tidak saja hanya membutuhkan pembatasan peran pemerintah, namun juga pemerintah yang lebih baik, yaitu pemerintah yang berkonsentrasi mengurangi upayaupayanya untuk turut campur secara langsung dan lebih memberdayakan pihak-pihak lain untuk menjadi produktif (World Bank 1989:5). Argumen yang dipetik dari karya pertama Bank Dunia mengenai konsep good governance ini mengulang argumen-argumen klasik neo-liberal bahwa belanja negara merupakan sesuatu yang tak produktif dan bahwa pengeluaran negara itu menghalangi terciptanya kemakmuran yang dihasilkan dari aktivitas entrepreneurentrepreneur individual yang rasional. Peran negara seharusnya memberi jalan kepada sektor swasta untuk mengarahkan aktivitas ekonomi. Dengan kata lain, aktivitas negara haruslah ramah pasar. Seperti kata Schmitz (1995:69), inti utama dari apa yang diminta terhadap negara-negara sedang berkembang bukanlah apakah mereka harus demokratis atau otokratis, namun yang menjadi perhatian adalah apakah mereka memiliki kehendak untuk mengelola dan menciptakan ‘kerangka kerja kebijakan yang cocok’ yang dibutuhkan untuk menciptakan pasar-pasar yang efisien. Juga apakah mereka bersedia mengawal berhasilnya implementasi program-program liberalisasi ekonomi seperti yang dimandatkan lembaga-lembaga donor dan kreditor internasional. Ringkasnya, pemerintah harus ramah pasar. Definisi dari ramah pasar itu tentu bermakna bahwa segala Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 59
SG 60
aktivitas dan kebijakan pemerintah harus memfasilitasi terciptanya ekonomi pasar bebas di negara tersebut. Namun, karena pasar bebas tidak hanya membutuhkan regulasi-regulasi dan praktek-praktek pemerintahan yang kondusif bagi dirinya, akan tetapi juga membutuhkan masyarakat yang punya daya beli, maka pemerintah yang ramah pasar juga har us bisa menciptakan suatu masyarakat yang paling tidak terpenuhi sekian kebutuhan dasarnya sehingga punya uang lebih untuk turut serta dalam arus konsumsi pasar. Ini artinya, pemerintah harus menanggung tugas untuk menyediakan layanan jasa yang pokok bagi masyarakat. Tentu saja, bukan karena alasan kesejahteraan masyarakat itu sendiri, namun demi kepentingan semakin besarnya arus uang yang berputar dalam ekonomi pasar. Untuk tujuan tersebut, Bank Dunia bersedia memberikan bantuan utang kepada pemerintah yang mau menjalankan program penyediaan layanan publik dasar. Tak heran jika Wolfowitz menyatakan: The World Bank Group’s country strategy for Indonesia is in many ways leading the World Bank as a whole. It is one that particularly emphasizes governance. In partnership with the Indonesian government, we are committing $900 million this year to strengthen governance with the goal of improving service delivery in education, health, and other essential services, and enhancing the investment climate. (Strategi Kelompok Bank Dunia untuk negara Indonesia dalam banyak cara telah memberi arah buat Bank Dunia secara menyeluruh. Strategi itu terutama memberikan penekanan pada governance . Dalam kemitraannya dengan pemerintah Indonesia, kami telah berkomitmen untuk memberikan dana bantuan $900 juta tahun ini dalam rangka memperkuat governance dengan tujuan untuk meningkatkan SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
layanan jasa di bidang pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lainnya, dan meningkatkan iklim investasi.) Hal ini secara sekilas merupakan suatu gagasan yang mulia, namun kita lupa apa status dari dana sebesar $900 juta itu. Apakah mungkin Bank Dunia akan demikian mudah memberikan dana hibah gratis? Tentu saja tidak. Pada akhirnya, uang tersebut harus dikembalikan lengkap dengan bunganya. Dan siapakah yang menanggung utang plus bunga tersebut? Tentu saja rakyat. Di sisi lain, justru aneh bahwa kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan publik yang dasar harus bergantung pada utang terhadap Bank Dunia. Bagaimana pemerintah yang bergantung pada utang asing untuk membiayai pelayanan publik dasar itu bisa disebut sebagai pemerintah yang “good governance”? Bagaimana pemerintah yang terusmenerus berutang -yang pada akhirnya harus dibebankan pada rakyat dalam berbagai bentuknya- bisa disebut sebagai pemerintah yang “baik”? Jadi, secara individual, warga negara-bangsa mungkin bisa merasakan adanya penyediaan layanan publik yang lebih efisien dan modern. Namun sebagai masyarakat negara-bangsa, mereka harus membayar lebih mahal penyediaan layanan publik itu karena layanan publik itu dibiayai oleh utang pada lembaga donor yang jelas tak murah dan tak mudah. Mereka harus membayar baik secara finansial maupun secara non-finansial, seperti halnya pemberian konsesi-konsesi kepada pihak kreditor untuk menjalankan program-programnya di negerinya. Pemerintah yang ramah pasar, seperti yang diidamkan Good Governance, barangkali terlihat “dermawan” dalam hal penyediaan layanan publik, namun sesungguhnya “kedermawanan” itu adalah “kedermawanan palsu” karena menggunakan uang utang luar negeri yang pada gilirannya harus dilunasi beserta bunganya oleh rakyat. Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 61
Inilah paradoks dari gagasan pertama konsep Good Governance tentang posisi dan peran negara. Pemerintah harus ramah pasar. Agar pemerintah bisa ramah pasar, maka pemerintah harus bergantung pada utang luar negeri. Jika dibuat bagannya, maka bagan sederhananya barangkali seperti di bawah ini:
SG 62
Pada akhirnya, pemerintah negara berkembang beserta rakyatnya justru harus berutang pada lembaga kreditor asing bagi terciptanya negeri yang ramah untuk investasi bagi investor asing. Janji-janji bahwa investor asing akan membawa kemakmuran sendiri sepanjang sejarah negeri ini juga tak banyak terbukti. Terbukti dengan kehadiran raksasa Freeport tak menjadikan Indonesia sebagai negeri paling makmur sedunia. Padahal Freeport sudah puluhan tahun ada di negeri ini untuk mengeksploitasi lahan seluas gunung. Bahkan agar pemerintahnya bisa menyediakan
layanan publik, negara yang sedang berkembang harus bergantung pada utang luar negeri. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Inilah pengalaman sosio-historis yang dialami oleh rakyat negara sedang berkembang yang telah, sedang dan akan mengadopsi konsep Good Governance. Dia hidup di sebuah negeri yang semakin hari semakin terjerat utang dan dalam waktu yang bersamaan, sedikit demi sedikit berbagai cabang-cabang ekonomi dan sumber-sumber alamnya dikuasai oleh investor asing. Gagasan yang kedua berusaha menciptakan suatu pemerintah yang dikontrol oleh lembaga-lembaga di luar dirinya yang pada akhirnya, kontrol itu sangat ditentukan oleh kemauan ‘pasar’ atau kekuatan-kekuatan pemodal multinasional. Jika kita gabungkan elemen-elemen yang diposisikan sebagai “pahlawan kontrol” pemerintah agar pemerintah bisa menjadi “pemerintah yang good governance”, maka elemen-elemen tersebut ialah: 1. Lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB dan sebagainya; 2. Sektor swasta, yang meliputi investor-investor dan perusahaan-perusahaan swasta; dan 3. Civil society, yang meliputi beragam kelompok civil society, namun yang terutama disebut-sebut ialah akademisi, NGO, organisasi kemasyarakatan, dan media massa. Tentu saja, agar komponen-komponen tersebut bisa berfungsi efektif dan sempurna, dibutuhkan ruang yang kondusif agar komponen-komponen itu bisa bersuara lantang. Ruang tersebut dinamakan sebagai ‘r uang demokrasi’. Ruang demokrasi menjadi prasyarat bagi terciptanya kontrol yang sempurna dari komponenkomponen tersebut. Semuanya demi terciptanya pemerintah yang “good governance”. Persoalannya adalah ‘Siapakah yang menentukan apa yang dinilai dari pemerintahan dan bagaimana cara menilainya?” Apakah kinerja Good Governance untuk kasus Indonesia misalnya, diukur berdasarkan dengan citaGood Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 63
SG 64
cita Proklamasi Kemerdekaan? Apakah UUD 1945 menjadi sumber penilaian untuk melaksanakan pengawasan terhadap kerja dan kinerja pemerintah? Apakah semangat ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ mer upakan semangat yang dipunyai oleh komponenkomponen tersebut dalam aktivitas kontrolnya terhadap pemerintah? Jawabnya tentu saja: “Tidak!” Jadi, siapa yang menentukan nilai yang menjadi tolok ukur kontrol atas kerja dan kinerja pemerintahan itu? Tentu saja Bank Dunia dan IFIs. Sebagai lembaga pencetus dan penyebarluas konsep Good Governance, keduanya niscaya tak ingin agar konsep tersebut bergeser dari jalur atau track yang telah mereka tetapkan. Karena itu, wajar jika keduanya lantas menyusun kategori-kategori tolok ukur penilaian yang cocok dengan kepentingan-kepentingan mereka. Dan kategori-kategori yang telah mereka susun itulah yang kemudian mereka ajarkan kepada berbagai komponen tersebut. Pada akhirnya, setiap dan semua komponen “kontrol” pemerintah itu sesungguhnya akan menyuarakan hal yang sama, melihat dan menilai pemerintahan dengan kaca mata yang tak jauh berbeda satu sama lain. Hal ini terjadi karena mereka memang telah dikondisikan untuk melihat dengan tolok ukur yang telah ditetapkan oleh institusiinstitusi yang sama, Bank Dunia dan IFIs. Setiap dan semua komponen tersebut diajarkan untuk menilai pemerintah berdasarkan kriteria Good Governance yang dicanangkan dan didesain oleh dua institusi keuangan global itu. Dengan kata lain, komponen-komponen tersebut tak lain dari agen-agen Good Governance yang bekerja di wilayah-wilayah yang bersifat komplementer terhadap gerak aktivitas Bank Dunia dan IFIs. Dari sini, kita bisa melihat fungsi konsep Good Governance sebagai medan perjuangan Bank Dunia dan IFis sebagai perpanjangan tangan neo-liberalisme untuk mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang ada untuk SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
mendesak pemerintah agar mengadopsi konsep Good Governance. Organ-organ civil society diredusir perannya hanya sebagai agen-agen pemantau implementasi Good Governance oleh pemerintah. Apa yang kemudian akan dialami oleh rakyat negara-bangsa jika yang terjadi demikian? Organisasi-organisasi yang seharusnya menjadi organisasi-organisasi rakyat yang berjuang dengan kekuatannya sendiri demi kepentingan rakyat malah menjadi organisasi yang meredusir diri menjadi organisasiorganisasi massa atau underbouw dari suatu gagasan besar yang bernama “good governance”. Pemerintah diposisikan harus selalu mendengar organ-organ civil society yang menjadi agen Good Governance jika tak ingin mendapatkan konsekuensi finansial maupun non-finansial dari Bank Dunia, IFIs dan segenap bala neo-liberalnya. Akibatnya, proses penyelenggaraan negara lebih mirip merupakan hasil kompromi antara pemerintah, sektor swasta, dan organ-organ civil society (sebagai agen Good Governance). Proses penyelenggaraan negara bukan lagi merupakan dialog dan kontak terus-menerus antara pemerintah dan rakyat. Jika disederhanakan, maka bagan realitas yang akan tercipta dari implementasi gagasan kedua di atas ialah sebagai berikut:
Dari bagan di atas, bisa dilihat bahwa arah dan isi dari kebijakan publik yang diputuskan pemerintah dan lembaga negara lain (seperti halnya Komisi-Komisi Independen, Bank sentral dan sebagainya), sangat dipengaruhi oleh Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 65
SG 66
pandangan-pandangan tiga subyek yang sesungguhnya memperjuangkan satu hal yang sama, yaitu Good Governance . Secara praktis, pemerintah dan lembaga negara lain ‘dikepung’ oleh agen-agen Good Governance dari segala penjuru. Apa yang terlupakan atau tak ada dari gambar bagan di atas? Jawabannya adalah rakyat. Tentu saja agen-agen Good Governance akan berdalih bahwa telah ada NGO-NGO atau LSM-LSM yang berperan sebagai representasi atas kepentingan dan suara rakyat. Namun, jika kita telusuri secara empiris ternyata NGONGO atau LSM-LSM itu justru pembiayaan kerjanya bergantung pada lembaga-lembaga pendanaan asing secara rutin. Maka terasa ganjil pula bahwa “organisasi rakyat” bergantung pada gaji rutin dari luar negeri. Dalam kesempatan ini, cukup dinyatakan bahwa klaim rakyat diwakili oleh NGO atau LSM yang pro-good governance merupakan klaim yang lemah terutama karena adanya sifat NGO atau LSM yang hanya bergerak jika dana asing mengucur. Dari paparan di atas, lantas bisa dipahami bagaimana konsep good governance ber fungsi sebagai medan perjuangan bagi kepentingan neo-liberalisme. Menjadi medan perjuangan artinya menjadi r uang dimana kepentingan neo-liberalisme bermain-main membentuk realitas ke arah seperti yang dicitakannya. Pada bagianbagian awal, sempat kita singgung tentang masalah kekaburan arti dan makna dari konsep Good Governance. Kita sempat singgung bagaimana setiap lembaga donor dan kreditor internasional punya pemaknaan masingmasing terhadap konsep tersebut. Dengan memandang konsep Good Governance sebagai medan perjuangan bagi kepentingannya, kekaburan itu justru memiliki arti vital. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena ketika suatu konsep begitu kabur sehingga otoritas pemaknaan atas konsep itu tentu akan berada di tangan pendeklarasi konsep tersebut. Atau SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
setidaknya berada di tangan motor penggerak utama konsep tersebut. Berbeda halnya jika suatu konsep itu begitu jernih dan terang benderang, maka setiap subyek akan bisa menjadi penafsir bagi dirinya sendiri. Dia tak perlu bergantung pada pihak lain karena begitu jernih dan terang benderangnya suatu konsep. Ketika konsep itu itu begitu general dan abstrak, sehingga tak bisa langsung ditangkap ke mana arah dan isi dari konsep tersebut, pada saat itulah konsep itu memberi ruang bagi munculnya otoritas-otoritas penafsir utama. Otoritas-otoritas inilah yang memegang kuasa bagaimana pihak lain har us menafsirkan konsep tersebut baik secara teoretis maupun praksis. Ketika pihak lain memasrahkan arah dan gerak dirinya pada otoritas tersebut, maka sangat mudah bagi pemilik otoritas tersebut untuk mendikte pihak lain tersebut. Prinsip ‘kekaburan menciptakan otoritas’ inilah yang juga berlaku dalam kasus Good Governance. Siapa otoritas utama dalam menafsirkan bagaimana Good Governance dan apa kriteria pemerintah yang Good Governance dan mana yang tidak? Jawabnya menjadi dimonopoli oleh otoritas utamanya, yakni Bank Dunia dan IFIs. Secara intensif dan kontinu, kedua institusi tersebut terus-menerus mempercanggih definisi dan instr umen ukur Good Governance mereka. Apa tujuannya? Jelas untuk semakin meneguhkan otoritas mereka. Dan ketika otoritas mereka semakin menguat, maka lebih mudah bagi mereka untuk mendikte pemerintah-pemerintah yang butuh bantuan teknis maupun finansial dari mereka. ‘Pengetahuan adalah kekuasaan’. Barangkali pernyataan ini bisa meringkaskan strategi besar dari Bank Dunia dan IFIs untuk mendikte negara-negara Dunia Ketiga. Namun, agar pengetahuan itu dibutuhkan, maka harus diciptakan kebutuhan akan pengetahuan tersebut. Konsep Good Governance menjadi alat yang berguna untuk tujuan besar itu. Melalui kuasa pengetahuan, disebarGood Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
SG 67
SG 68
luaskan pandangan bahwa kegagalan negara-negara Dunia Ketiga dalam membangun ekonominya ialah karena mereka belum menjalankan konsep yang bernama Good Governance. Setelah konsep itu diterima secara luas, lantas pada tahap berikutnya akan muncul pertanyaan: “Bagaimanakah konsep Good Governance itu har us dilaksanakan?”. Ketika ditebarkan sebagai konsep, Good Governance sama sekali hanya berkutat di wilayah teori general dan belum mendeskripsikan bagaimana secara teknis pelaksanaannya. Jadi, Bank Dunia dan IFIs menciptakan suatu ruang kosong atau r uang penuh tanda tanya mengenai bagaimana konsep Good Governance itu. Kemudian ketika pemerintah negara-negara Dunia Ketiga mengalami kebingungan dalam ruang kosong tersebut, Bank Dunia dan IFIs dengan cepat dan efektif menguasai ruang kosong dan mengisinya dengan apapun yang dimaui keduanya. Keduanya memposisikan seperti seorang psikolog yang punya kekuasaan menentukan apa penyakit sang klien dan apa obat bagi sang klien. Jika ingin sembuh, sang klien tak boleh membantah. Ruang kosong dari kekaburan konsep Good Governance menjadikan daya sugesti IFIs terhadap negara-negara yang menjadi kliennya begitu kuat mencengkeram. Memang, bahkan kita pun bisa menafsirkan Good Governance sesuai kemauan kita jika kita mau. Hanya saja persoalannya ialah seberapa hebat daya kita untuk memaksakan agar tafsiran kita tersebut diterima dan diadopsi oleh khalayak luas. Kita bisa saja menafsirkannya sesuka kita, namun ketika dilempar ke publik, seberapa besar publik akan menerima apalagi mengadopsinya? Memangnya siapa kita sehingga bisa memaksakan tafsiran kita itu? Pada akhirnya, ‘siapa kita’ sungguh amat menentukan? Dalam konteks inilah, Bank Dunia dan IFIs menjadi jauh lebih unggul dan menentukan dari siapapun. Mereka SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
memiliki apa yang dibutuhkan oleh pemerintah-pemerintah negara Dunia Ketiga. Mereka memiliki dana yang dibutuhkan oleh negara Dunia Ketiga untuk membangun. Power mereka -sebagaimana telaah polisentrisme pada bab terdahulu- timbul karena sumber daya dana yang mereka punyai. Persoalan bagi keduanya hanyalah bagaimana agar bisa punya kesempatan mendompleng bantuan dana tersebut untuk membentuk tata dunia seperti yang mereka inginkan, dunia yang neo-liberal. Kekuasaan otoritatif untuk menginterpretasi isi dari konsep Good Governance menjadikan kesempatan itu terbentang luas. Dengan kekuasaan otoritatif itu, mereka bisa memposisikan diri sebagai shaman yang serba tahu penyakit kliennya dan serba tahu apa obatnya. Nah, melakukan restrukturisasi distrubusi kuasa yang lebih adil dalam skala internasional inilah salah satu hal pokok yang hendak diperjuangkan oleh Sound Governance.
SG 69
Good Governance sebagai Anak Ideologis Neoliberalisme
BAB IV
SOUND GOVERNANCE
Mengapa Harus Sound Governance?
SG 70
Pada bagian-bagian terdahulu telah banyak dipaparkan tentang berbagai kelemahan konsep Good Governance (GG). Hal yang membuat mengapa menjadi sangat penting saat ini untuk merumuskan konsep baru yang dapat menjawab kegagalan epistemologis GG. Solusi dari masalah ini adalah dengan menghentikan arus besar kesalahkaprahan GG yang meluas dengan menggantinya dengan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable, yaitu Sound Governance (SG). Terdapat lima alasan pokok yang medasari kesegeraan dalam pergantian paradigma ini. Pertama, SG jauh lebih komprehensif dari pada GG terutama dalam melihat aktor-aktor kunci yang harus dipertimbangkan dalam sebuah proses tata pemerintahan. Tidak hanya melihat proses interaksi antara aktor-aktor domestik, yaitu pemerintah, pasar dan masyarakat sipil, akan tetapi SG juga melihat besarnya peran konkret dari aktor-aktor ekonomi politik internasional. Aktor-aktor internasional di sini mencakup kebijakan luar negeri dari negara-negara maju, organisasi-organisasi multi lateral, korporasi global multinational corporation/transnational corporation (MNC/TNC) dan lembaga donor dan keuangan internasional dan big NGOs. Di Indonesia sendiri telah banyak bukti dan argumen-argumen ilmiah tentang besarnya pengaruh aktor-aktor ini dalam dinamika sosial, politik dan ekonomi dalam negeri yang juga berdampak
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
pada proses tata pemerntahan (Mansour, 2003). Lebih jauh tentang analisis aktor dalam SG ini akan dijelaskan lebih detail pada bagian lain dari buku ini. Kedua, SG juga mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tata pemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah lama terkubur. Selama ini, kita, terutama bangsa Indonesia, telah lama me[di]lupakan oleh kekayaan budaya kita sendiri. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia adalah sejarah yang sangat panjang, bahkan jauh lebih panjang dari usia negara ini sendiri. Akan tetap model pemerintahan barat telah ditransplantasi seiring dengan masuknya kolonialisme di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia, penyeragaman atas sistem pemerintahan barat telah banyak mengubur hidup-hidup keragaman yang luar biasa atas sistem pemerintahan original lokal. Ali Farazmand mencontohkah kebesaran Kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan. Di Indonesia, berbagai sistem pemerintahan berbasis budaya lokal juga sudah banyak terabaikan (Andi, 2007). Tetapi sejarah dan riset ilmiah seolah hanya mulai dibuka semenjak Max Weber mengkonstruksi konsep birokrasi modernnya. Disusul perkembangan ilmu administrasi publik berikutnya, termasuk GG, semuanya adalah cerita tentang pembantaian massal budaya lokal sistem pemerintahan. Itulah sebabnya SG menyeruak untuk melihat apakah masih ada peluang untuk menyelamatkan keragaman budaya pemerintahan itu. Ketiga, adalah orientasi SG yang lebih kepada keseimbangan dan fleksibilitas antara proses dan output dari sebuah proses tata pemerintahan. SG percaya pada pepatah ‘banyak jalan menuju Roma’. Artinya untuk mewujudkan diri sebagai pemerintahan yang baik tidak harus dengan satu cara. Melainkan bisa dengan berbagai Sound Governance
SG 71
SG 72
cara. Hal ini utamanya dipicu oleh tumpang tindih antara hubungan proses dan output yang ada di dalam GG. Seperti telah disadari bahwa tujuan utama dari pemerintah adalah menegakkan keadilan, menjamin keamanan publik, pertahanan nasional, kesejahteraan umum dan menjamin hak-hak masyarakat (McDowell, 2008). Nah, dalam rangka mencapai tujuan itu, GG bersikukuh bahwa hanya ada satu jalan untuk menuju kesana, yaitu dengan menjalankan prinsip-prinsip GG. Persis seperti perilaku pembangunanisme di masa Orde Baru, yaitu hanya ada satu jalan saja untuk maju, yakni pertumbuhan ekonomi. SG lebih mengedepankan pencapaian tujuan ketimbang ribut soal bagaimana cara tujuan itu tercapai. Kendati demikian di dalam SG ada prasarat-prasarat dasar universal terkait demokrasi, transparansi dan akuntabilitas tetap harus ditegakkan. Fleksibilitas yang menjadi titik tekan SG adalah ‘inovasi’, yang merupakan ruh dari implementasi SG dalam praktek pemerintahan sehari-hari (Farazmand, 2004). Keempat, selaras dengan hukum, perjanjian dan norma internasional. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan besar yang dilakukan SG dalam dunia administrasi publik yang ‘sadar globalisasi’. Memutus begitu saja hubungan antara dinamika di tingkatan lokal dengan konteks global adalah sesuatu yang naif. Jangankan di tingkatan lokal, di tingkat nasional pun masalah ini masih sangat akut. Selama ini yang terjadi adalah hukum-hukum ratifikasi atas perjanjian-perjanjian internasional yang ada di sekretariat negara masih hanya merupakan tumpukan peraturan yang tidak pernah diimplementasikan dengan baik. Ambil saja contohnya UU No. 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Di situ diatur banyak hal jaminan internasional atas hak-hak bur uh, tapi kenyataannya di Indonesia praktek pelanggaran hak buruh masih saja marak. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Proses tata pemerintahan seharusnya sinkron dengn arah dan strategi global jangka panjang yang tertuang dalam hukum, perjanjian atau norma internasional. Ini merupakan gerakan sentrifugal dari tata pemerintahan di tingkat lokal, yang juga pada gilirannya akan berkontribusi pada perbaikan tata pemerintahan global ( global governance). Di samping ada nilai-nilai lokal yang harus tetap dijaga dalam konteks SG, dunia harus juga makin terkoneksi secara produktif untuk menciptakan kemakmuran bersama. Ketika SG menganjurkan untuk menghormati dan mencoba untuk menerapkan budaya lokal dalam praktek perintahan, bukan berarti mengajak masyarakat untuk menjadi nativist, yaitu sikap yang hanya memikirkan masyarakat lokal dan budaya lokalnya tanpa peduli, dan cenderung membenci, aspek-aspek yang lebih luas terlebih global. Penghormatan terhadap budaya lokal dalam SG adalah untuk menjaga kekayaan ragam budaya tata pemerintahan yang pada gilirannya akan berkontribusi untuk perbaikan satu-sama lain. Kelima, pada dasarnya SG bukanlah sebuah konsep administrasi publik pada umumnya baik dari Birokrasi Weber hingga GG yang dipaksakan (imposed) dari Barat. SG adalah sebuah konsep ilmiah yang digali dari Persia. Keberhasilan Kerajaan Persia pada Abad 500 SM dalam mengelola wilayah yang begitu luas, terbentang mulai dari Asia, Timur Tengah, Eropa Timur hingga Afrika Utara (Daniel, 2001), adalah berkat diterapkannya prinsip “toleransi” dalam pemerintahannya. Sebab disadari atau tidak, dengan wilayah yang begitu luas pada jaman itu, identitas perbedaan budaya masing-masing daerah masih sangat kental. Memang hari ini banyak negara yang lebih luas daripada Kerajaan Persia waktu itu. Namun hari ini pula perkembangan ilmu pemerintahan dan perangkat adminstrasi tata pemerintahan hadir lebih kompleks dan maju. Utamanya dengan adanya teknologi informasi dan perlintasan antara budaya yang terjadi jauh lebih intensif. Sound Governance
SG 73
SG 74
Sehingga integrasi relatif lebih mudah tercapai. Pada zaman tersebut, sebuah negara besar dengan tingkat keragaman budaya yang tinggi nyatanya dapat bertahan hingga lebih dari 600 tahun. Ini harus diakui sebagai sebuah prestasi yang luar biasa. Dibutuhkan kejeniusan dalam menciptakan sistem pemerintahan yang memungkinkan hal itu terjadi. Toleransi adalah kunci rahasia dari keberhasilan itu. Dalam prakteknya saat ini, strategi itu adalah dengan tidak lagi diberlakukan mekanisme cetrum-pheriphery dalam tata pemerintahan. Hubungan eksploitatif antara pusat dan daerah harus mulai ditinggalkan. Ide brilian ini sesungguhnya bukanlah sebagaimana selama ini diklaim dari Barat. Justru SG membuktikan bahwa konsep-konsep non-Barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Sound Governance dipakai tidak hanya untuk menunjuk pada sistem pemerintahan yang layak dan efektif secara domestik dan sempurna secara ekonomis, politis, manajerial, konstitusional dan terlebih etis. Hal inilah yang menjadikan dasar pembalikan besar-besaran dalam perkembangan ilmu administrasi publik yang ada selama ini. Sebab ambisi keberhasilan administrasi publik yang ingin dicapai dalam SG itu jelas tetapi tidak mendikte. SG dengan jelas dan spesifik menyebutkan dimensi-dimensi yang harus dicapai dalam sebuah proses pemerintahan, tetapi tidak mendikte bagaimana masing-masing dimensi harus dicapai.
Mendefinisikan Kembali Realitas
Interaksi berbagai elemen adalah realitas yang tak bisa dipungkiri dari SG (Farazmand, 2004). Seperti telah dikatakan pada bagian pendahuluan, bahwa matrik kehidupan saat ini sangatlah kompleks. Akibatnya angka probabilitas menjadi tak terhingga, sementara proses kerja tata pemerintahan tetap harus terarah. Memang telah banyak perangkat teknis untuk mengatasi dunia yang SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
penuh dengan ketidakpastian seperti ini, seperti dengan menggunakan Bayesian Theory. Tetapi masalahnya adalah disamping kapasitas pelaku-pelaku di lapangan belum dapat menggunkan teknik ini dengan trampil, pun tidak mungkin seluruh semesta persoalan di lapangan dapat diselesaikan dengan teknik–teknik semacam ini. Sehingga pertanyaannya bagaimana tata pemerintahan berurusan dengan soal semacam ini? Bagaimana dimensi-dimensi yang ada dalam SG dapat menjadi jawaban atas kerumitan ini? Sebagian besar birokrat dan pemimpin politik mengalami frustrasi menghadapi masalah ini. Maka mereka cenderung hanya menyelesaikan masalah-masalah permukaan yang hanya akan berujung publisitas semata. Hal yang pertama kali harus dilakukan oleh para birokrat adalah memahami realitas situasi ini. Situasi yang tidak mungkin bisa dijawab dengan cara yang sangat sederhana, yaitu rutinitas prosedural. Memang masalah yang ada adalah persoalan laporan dan akuntabilitas menjadi lebih rumit. Akan tetapi itu adalah harga yang harus dibayar bila organisasi pemerintahan ingin menjadi lebih baik dalam mengemban tugas-tugas kepublikannya. Semangat kepublikan seperti dikatakan Irfan Islamy (1997) tidak lagi hanya sekedar berada pada tingkatan mental atau etika, akan tetapi harus segera menjelma menjadi paradigma. Yang artinya ia haruslah menjadi sebuah sistem solid dalam tiap individual birokrat mulai dari tingkat kesadaran yang lebih tunduk pada pemecahan masalah ketimbang prosedur juga dalam perilaku teknis mereka di lapangan. Memang harapan ini terdengar sangat naif. Mengingat kondisi kenyataan birokrat di seluruh dunia sangat jauh dari hal tersebut. Tetapi sebuah perubahan budaya dan paradigmatik memang tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Dengan kenyataan sosial yang sarat dengan interaksi yang dinamis ini maka harus memunculkan tiga hal pokok, yaitu keragaman, kompleksitas dan ketegangan (FarazSound Governance
SG 75
SG 76
mand, 2004). Tiga perwujudan inilah yang akan menjadi dasar bagi konstruksi konseptual SG itu sendiri. Tentu saja perkembangan konsep SG saat ini sedang dan terus akan berproses. Tapi setidaknya kita tahu dimana kita dulu, dari mana kita berangkat dan kemana kita hendak pergi. Tiga realitas dasar, sebagai kesadaran SG dalam mencandra realitas sosial, berikut ini adalah tonggak dasar dari mana kita berangkat. Realitas dasar pertama adalah keragaman (diversity). Interaksi dinamis yang ada secara niscaya akan memunculkan umpan balik ( feedbacks ) dan check and balances. Di dalam kehidupan sehari-hari setiap pendapat yang kita ungkapkan, di rumah atau di kantor pasti akan selalu mendapat dua hal tersebut baik secara langsung maupun tak langsung, dalam skala yang besar maupun kecil. Proses ini menjadi makin tinggi intensitasnya ketika media teknologi komunikasi sekarang sudah semakin merapatkan jarak dan waktu. Dalam bidang pemerintahan tentu hal ini menjadi sangat konkret. Setiap pernyataan pejabat publik, kebijakan yang dibuat dan perilaku aparat di lapangan juga pasti akan menarik datangnya feedback dan check and balances. Hal ini muncul karena keragaman (diversity) adalah kenyataan hidup (Wilson, 2006). Tidak ada masyarakat yang monolitik dan akan setuju seratus persen dengan apapun yang dikatakan orang lain, bahkan di dalam keluarga sekalipun. Kenyataan bukannya menjadikan para birokrat putus haparan (hopeless) atas betapa rumitnya dunia. Sebaliknya, harus dapat dijadikan energi untuk mendorong tumbuh suburnya inovasi dan kreatifitas di dalam tubuh organisasi pemerintahan. Realitas dasar kedua adalah kompleksitas (complexity). Sebagai dampak dari realitas dasar pertama (diversity), menjadi perlu untuk membuat kelompok-kelompok oposisi dan mereka-mereka yang ada di lingkaran pheriphery merangsek ke dalam inti pemerintahan dan kebijakan publik. Hal ini juga didorong oleh gerakan demokratisasi SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
yang hari ini juga telah menjadi gelombang besar dalam sejarah peradaban dunia kontemporer. Singkatnya dapat dikatakan bahwa keberagaman dan demokratisasi secara simultan menciptakan kompleksitas dalam tata pemerintahan kita saat ini. Sekali lagi, realitas ini seringkali diabaikan, baik tingkatan praktek maupun perkembangan konseptual dalam ilmu administrasi publik dan pemerintahan selama ini. SG, sekali lagi, ingin mengajak kita untuk melihat sesuatu yang kompleks semacam ini untuk disikapi secara optimis. Kompleksitas ini pada gilirannya akan membuat tata pemerintahan ( governance ) menjadi tetap sibuk (Farazmand, 2004). Karena mereka setiap hari harus bertemu dan berhadapan secara tangkas dengan masalah-masalah yang kompleks. Sibuk bukan mengerjakan sesuatu yang itu-itu saja dan bersifat fisik semata, tetapi sibuk yang membuat mereka berpikir, mencari jalan keluar dan solusi terbaik di tengah kompleksitas tersebut. Realitas dasar ketiga adalah ketegangan ( intensity ). Kompleksitas menghasilkan berbagai macam derajat ketegangan atau intensitas dalam proses tata pemerintahan baik secara domestik hingga internasional. Ketegangan yang dimaksud bukanlah dalam pengertian negatif, yaitu yang berkonotasi konflik destr uktif. Ketegangan di sini lebih pada makin intesifnya komunikasi diantara elemen-elemen yang ada. Derajat intensitas komunikasi yang tinggi menyebabkan faktor psikologis dan ‘rasa’ juga terlibat di dalamnya. Sebuah interaksi dan komunikasi yang tidak lagi formal, kaku dan ala kadarnya sebagaimana proses interaksi umumnya terjadi di dalam birokrasi. Memang, proses interaksi yang intens bisa menyebabkan konflik. Tetapi harus diingat, peluang ke arah konflik sama-sama besarnya dengan peluang makin eratnya hubungan antar elemen yang berinteraksi. Untuk itulah dibutuhkan juga jiwa yang senang tantangan (risk averse) demi mencapai sesuatu yang lebih baik. Tetapi juga Sound Governance
SG 77
SG 78
harus cepat berbenah ketika menyadari ada kesalahan di dalam dirinya. Dalam konteks tata pemerntahan, SG menyadari bahwa ketegangan ini akan makin meninggi derajatnya dalam era modern. Birokrat harus tangkas dalam menyikapi berbagai kemungkinan yang timbul, dan memetik manfaat terbaik dari tingginya derajat intensitas komunikasi hari ini. Sekali lagi, adaptasi, kelenturan dan inovasi merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh para birokrat di semua level. Ketiga realitas itu menjadi dasar bagi konsep SG itu sendiri. Penolakan SG atas adanya wacana tunggal bukan semata wujud ketidaksenangan terhadap hegemoni GG. Melainkan lebih didasarkan pada pembacaan realitas sesungguhnya yang terjadi di masyarakat yang serba kompleks. Tuntutan SG akan adanya kemampuan para pejabat publik yang lentur, inovatif dan adaptif bukan semata harapan indah ( wishful thinking ), melainkan sebuah tuntutan zaman yang tak bisa dihindari begitu saja. Keinginan SG untuk lebih menyeimbangkan antara output dan proses adalah berangkat dari perspektif yang kompleks dan diverse tentang cara bagaimana tujuan-tujuan baik bisa digapai.
Pentingnya Egalitarianisme
Untuk mencapai hasil yang maksimal atas tujuan ideal tersebut, peran dari lembaga-lembaga internasional cukup penting. Hal ini tidak dapat dipungkiri mengingat untuk kasus Indonesia sebagian proyek-proyek pemberdayaan dan peningkatan kapasitas pemerintahan didanai oleh lembaga-lembaga donor ini. Hanya saja yang menjadi masalah selama ini adalah telah terjadi kesalahan cara mengelola dan mempersepsi kegiatan-kegiatan tersebut. Hubungan antara lembaga donor dan pemerintah (baik pusat ataupun daerah) masih banyak terjadi ketidakharmonisan.
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Kegiatan peningkatan kapasitas yang ada selama ini hanya dipandang sebagai ‘proyek’ semata. Lahan untuk mencari uang bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Hal ini tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga harus melihat pada hasil yang harus dicapai. Dana-dana dari lembaga asing umumnya masuk dan menandatangani kontrak dengan pemerintah pusat sebelum masuk ke daerah. Di tingkat pusat sudah banyak broker-broker proyek yang memainkan pengucuran dana ke tingkat daerah. Sehingga daerahpun akan mempersepsi kegiatan atau program peningkatan kapasitas dari lembaga donor asing itu juga hanya sebatas proyek. Bila hal ini terus berlanjut, ketergantungan akan keberadaan dana-dana asing akan semakin kuat. Dan lembaga donor yang tahu kondisi ini akan memanfaatkannya untuk makin merepresifkan pendekatan dan pola hubungannya dengan negara atau institusi-institusi penerima donor. Kekuatan internasional semacam itu sehar usnya memberikan dukungan dan peluang daripada memberikan tekanan dan hambatan, seperti sanksi, propaganda, sikap permusuhan, konflik perbatasan, perang, ataupun tekanan finansial internasional. Hal inilah yang terjadi pada hubungan lembaga pemberi donor dan negara penerima donor yang bersifat neo-kolonialistik. Di dasar niat sebaik apapun kalau hubungan neo-kolonialistik yang terjadi, maka kemajuan dan perbaikan yang hakiki di negaranegara berkembang tak akan pernah tercapai. Sebab hubungan neo-kolonialistik hanya akan melanggengkan kesenjangan antara negara maju dan negara miskin, hanya akan memperkokoh struktur tidak adil antara centrumperiphery , serta menciptakan tatanan ekonomi politik internasional yang eksploitatif. Utamanya ketika kemajuan (progress) telah menjadi bagian dari praktek hegemoni dan patokan sistem baku (modular form) yang harus dipatuhi, kapanpun dan dimanapun (Chatterjee, 1993 Blaut, 1993; Shohat dan Stam, 1994). Sound Governance
SG 79
SG 80
Pola hubungan antara lembaga pemberi donor dan penerima donor yang lebh egaliter dan emansipatoris sangat penting untuk segera ditegakkan agar proses operasional dari berjalannya peningkatan kapasitas sistem pemerintahan lebih smooth. Sebab para aktor yang menjadi sasaran untuk ditingkatkan kapasitasnya melakukan segala perbaikan atas dasar kesadaran dan kebutuhan mereka. Bukan sebagai kewajiban dan keharusan yang kerap kali mereka lakukan atas dasar tekanan dan keterpaksaan. Sering kita melihat dalam skema proyekperoyek di daerah yang mengatakan bahwa kalau daerah tertentu tidak berhasil mengimplementasikan modul proyek, maka daerah itu tidak akan mendapatkan proyek lagi. Pernyataan ini bersifat ancaman dan koersif. Ini adalah sebuah hubungan yang neo-kolonialis dan dangkal. Sebab mereka tidak melihat secara mendalam apa sebab-sebab kegagalan suatu daerah dalam implementasi proyek tersebur. Jangan-jangan memang ada yang salah dengan desain proyeknya. Dalam SG pola hubungan inter-personal maupun interinstitusional antara pemberi donor dan penerima donor ini sangat penting. Penting untuk mendorong pada terciptanya capacity building , inovasi, kreatifitas dan responsivitas yang adaptif. Tiap-tiap daerah tentu memiliki keunikan sendiri-sendiri, maka perbedaan capaian adalah sesuatu yang wajar terjadi. Semua pihak yang terlibat harus terbuka dan egaliter untuk memahami persoalan dan bersama mencari solusinya. Yang terjadi selama ini adalah hubungan antara juragan dan buruh. Para buruh selalu diliputi rasa segan dan takut ketika berhadapan dengan juragan, takut dipecat dan takut tak lagi mendapatkan gaji dari sang juragan. Sehingga agar selamat dari amukan juragan, para buruh berusaha sedapat mungkin membuat juragan senang dan gembira. Caranya dengan memberikan laporan-laporan tentang hal-hal yang baik-baik dan menutupi hal-hal yang buruk. Sang juragan juga menikmati SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
previllege ini. Senang ketika semua orang berusaha untuk membuatnya senang, meskipun dengan laporan-laporan fiktif dan palsu. Dan hanya akan marah-marah ketika kedapatan ada anak buahnya yang kurang berhasil dalam pelaksanaan tugas. Persis seperti hubungan penjajah dan terjajah. Dan kenyataannya, pola hubungan seperti ini di abad XXI masih cukup lestari di negeri kita tercinta. Tidak hanya antara bupati dengan para birokrat di bawahnya, tapi juga yang lebih memperihatinkan adalah antara lembaga-lembaga donor dengan pemerintah. Hal inilah yang menjadi titik tolak SG dalam hal melakukan reformasi atas keberadaan dana-dana asing di negara-negara berkembang. Berbeda dengan kalangan Marxist ekstem yang selalu menolak mentah-mentah segala sesuatu yang datangnya dari World Bank atau IFIs, karena menganggapnya sebagai agen neo-liberalisme yang selalu eksploitatif. Memang betul bahwa lembaga-lebaga tersebut mengemban misi neoliberal (Alavi, 1991), akan tetapi dalam konteks kekinian menolak mentah-mentah segala bentuk kehadiran mereka juga bukan pilihan gampang. Di samping itu, sikap penolakan mentah-mentah semacam itu juga tidak sejalan dengan solusi arif poskolonial, yaitu provisionalisme. Sebab di beberapa negara (Eropa Barat, Korea Selatan, Jepang, Taiwan dan Amerika Utara) harus diakui faktanya bahwa neo-liberalisme berhasil memajukan ekonomi mereka. Fakta tersebut sama validnya dengan kenyataan bahwa neoliberalisme juga memiskin-kan negara di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin. Pun SG berbeda dengan kelompok ekstrem kanan yang selalu dengan membabi buta mengatakan bahwa neoliberalisme dan segala keturunannya (termasuk GG), adalah selalu baik dan ideal. Dan oleh karena itu satusatunya pilihan bagi negara-negara di seluruh dunia untuk menjadi sejahtera maka harus menerapkan neoliberalisme. Dua sikap ekstrem tersebut sama-sama kekanak-kanakan. Provisionalisme penting dalam rangka mencegah kita untuk Sound Governance
SG 81
SG 82
bersikap anti-pati terhadap sesuatu hal. Strategi SG dalam menata ulang hubungan lembaga pemberi donor dengan penerima donor bukanlah semata ditunjukkan dalam sikap manis dan senyum ramah setiap kali bertemu. Tetapi juga harus nampak pada keramahan ideologis. Artinya, para petinggi World Bank dan IFIs lainnya berhentilah berskap seperti juragan dan memperlakukan negara-negara penerima dana sebagai hamba sahaya. Atau para konsultan lembaga asing yang merasa paling pintar dan paling mengerti atas kondisi yang dihadapi negara penerima donor. Mungkin memang banyak informasi yang diketahui para petinggi di World Bank yang tidak diketahui masyarakat dan birokrat di Indonesia. Tetapi harus diingat bahwa sebaliknya, banyak pula hal yang diketahui pelaku-pelaku lokal dan tidak diketahui pejabat-pejabat World Bank. Terlebih dari pada itu, mungkin ada keyakinan ideologis yang kuat yang dimiliki IFIs dan itu berbeda dengan keyakinan ideologis para pelaku di lapangan. Bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan-perbedaan ini? Satu kata saja; egalitarianisme. Egaliter dalam bersikap dan bernegosiasi atas informasi, nilai, kepentingan dan ideologi.
Dimensi-dimensi dalam Sound Governance
Kata dimensi di sini penting untuk mengatakan istilah ‘indikator’. Sebab sebagaimana dalam GG dan konsepkonsep hegemonik lainnya, indikator keberhasilan adalah sebuah prasyarat mutlak bagi sebuah ide agar dapat dikatakan implementatif. Sebab sebuah ide yang implementatif adalah ide yang bisa diimplementasikan, dan dapat diukur sampai sejauh mana kinerjanya dapat dicapai di lapangan. Tidak ada yang salah dengan pemahaman seperti itu, utamanya bila kita hendak menelorkan sebuah ide yang akan diterapkan di tataran mikro. Akan tetapi hal ini akan menjadi masalah besar ketika hendak diterapkan pada proses epistemoligis pada konsep makro, terlebih global. Indikator yang digunakan sebagai SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
alat ukur keberhasilan serta merta akan berubah menjadi awal kegagalan besar. Sebab indikator akan mengabaikan kompleksnya variasi yang ada di lapangan serta mengabaikan fitrah kehidupan yang tak tunggal. Keindahan tidak harus satu bentuk. Oleh karena SG tidak ingin mengulang kesalahan-kesalahan konseptual yang sama, maka SG lebih mengedepankan dimensi ketimbang indikator. Dengan konsep dimensi, keleluasaan dalam wilayah implementasi, keragaman serta kreatifitas pelaku-pelaku di lapangan menjadi dapat terekspresikan secara luas, tanpa harus menjadi chaos. Sebab dimensi tetap memiliki standar ideal, meski sangat normatif yang bisa diukur meski tidak harus dikuantifikasi. Di dalam SG terdapat sepuluh dimensi yang diharapkan dapat menjadi peta dalam pelaksananaan reformasi administrasi publik. Istilah peta di sini digunakan sebab sepuluh hal yang ada ini bukan merupakan harga mati dan keharusan. Ibarat sebuah peta, tentu kita akan dapat melihat berbagai pilihan alternatif jalan untuk menuju satu tempat. Jalan mana yang hendak dipilih tentulah sangat tergantung pada pertimbangan dan keadaan masingmasing yang kontekstual. Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1. Proses Proses di sini artinya adalah hubungan dan interaksi antara berbagai elemen yang ada dalam proses tata pemerintahan. Dalam hal ini berarti termasuk pula elemenelemen yang ada dalam GG (negara, swasta dan masyarakat sipil) dan juga ditambakan satu aktor dalam SG yaitu aktor-aktor internasional. Yang hendaknya dilakukan dalam dimensi ini adalah mencapai dan mencermati kualitas proses dari interaksi antar elemen tersebut. Sehingga tidak seperti dalam GG yang indikator interaksi antar aktornya hanya penuh dengan lembar kehadiran dan tanda tangan dari para peserta rapat, lengkap dengan kolom asal insitusinya. SG tidak melihat Sound Governance
SG 83
SG 84
melulu pada aspek permukaan itu, melainkan proses seperti apa yang terjadi atas hubungan empat aktor yang ada di tiap-tiap daerah, dicari sebabnya dan arah perbaikan sesuai dengan konteks lokal. Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah SG tidak hanya terfokus pada proses internal, tapi juga eksternal dan struktur dari proses itu sendiri. Proses eksternal yang dimaksudkan di sini adalah berangkat dari kenyataan tentang dunia yang saling terkoneksi. Maka ketika kita melihat proses interaksi empat aktor di satu lokus tertentu, jangan lupa bahwa ada proses di lokus yang lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap formasi tersebut. Ibarat menikmati keindahan ikan, SG tidak melihatnya di dalam sebuah akuarium, melainkan melihat ikan-ikan tersebut langsung dari dasar lautan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘struktur dari proses’ adalah distribusi kuasa yang terbangun di dalamnya. Sebab dalam proses interaksi yang polisentris, disadari bahwa hubungan antar elemen itu selalu terkait dengan besaran kuasa (Shohat and Stam, 1994). Nah tugas SG adalah untuk mencermati hal itu dan berupaya untuk mengegaliterkannya.
2. Struktur Kalau proses adalah tentang bagaimana pemerintahan bekerja, struktur menunjukkan dan memandu arah pada proses tersebut. Arahan yang diberikan oleh struktur ini berada pada keseluruhan sistem tata pemerintahan, tetapi dapat pula berada di masing-masing elemen yang ada dalam tata pemerintahan. Sehingga tiap-tiap elemen yang ada, dengan struktur yang ada di dalam dirinya, tahu apa yang harus diperbuat dan kemana harus melangkah sesuai dengan tujuan kolektif yang telah ditetapkan. Sehingga, yang dimaksud struktur di sini adalah tubuh konstitutif dari elemen, aktor, peraturan, regulasi, prosedur, sistem pengambilan keputusan dan otoritas (Farazmand, 2004). Hal ini merupakan aturan atas peranSOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
an yang harus dimainkan masing-masing hal tersebut. Contohnya harus ada konstitusi yang jelas yang mengatur tentang sejauh mana otoritas yang dimiliki seorang pejabat publik utamanya dalam proses pengambilan keputusan. Atau struktur yang mengatur tentang regulasi, utamanya menyangkut kaitan antara satu regulasi dengan regulasi lainnya serta alasan-alasan mengapa regulasi tersebut harus berbentuk demikian. Dengan demikian, SG berharap setiap tata pemerintahan dapat mengidentifikasi struktur dari elemen-elemen yang ada di dalamnya. Hal ini bertujuan agar tata pemerintahan yang ada benar-beanr mengerti dan mengenali elemen-elemen yang dimilikinya, tahu cara memanfaatkannya dengan baik dan memperbaiki dengan segera bila terdapat kesalahan.
3. Kesadaran dan Nilai Nilai demokrasi harus disandarkan sebagai kebutuhan, bukan dipaksakan sebagai proyek. Hal inilah yang kerap kali menjadi kesalahan dalam program-program demokratisasi di dalam pemerintahan. Banyak birokrat dan politisi yang tidak menginternalisasi demokrasi dengan baik. Mereka menggunakan kata-kata itu hanya untuk kebutuhan kampanye dalam pidato-pidato formal. Tetapi ketika diantara mereka sedang berbicara, mereka sering kali tertawa lebar setelah mengucapkan kata-kata ‘demokrasi’. Sebab demokrasi bagi mereka bukanlah sesuatu yang konkret, akan tetapi hanyalah wacana. Dan mereka beranggapan bahwa pekerjaan sebagai birokrat dan politisi bukanlah pekerjaan yang berurusan dengan wacana, melainkan sesuatu yang konkret. Wacana adalah menu bagi dosen dan para aktivis mahasiswa belaka, termasuk wacana tentang pentingnya demokrasi. Hal ini terjadi karena selama ini internalisasi nilai tidak dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya nilai itu. Demokrasi selalu saja dikaitkan tentang hal-hal yang sifatnya jangka
Sound Governance
SG 85
SG 86
panjang. Belum dapat diturunkan ke dalam sesuatu yang pragmatis. Internalisasi terhadap demokrasi yang dipaksakan oleh lembaga-lebaga donor juga makin terkikis kedigdayaannya oleh standar ganda dari lembaga-lembaga keuangan tersebut. Sebab, di beberapa tempat ternyata lembagalebaga internasional ini juga menyokong pemerintahanpemerintahan yang anti-demokrasi. Banyak kasus rezim yang otoriter tapi disokong dan keberadaannya tergantung pada dukungan internasional hanya karena terjadi transaksi bisnis yang saling menguntungkan di antara mereka. Artinya, segala macam proyek tentang demokratisasi yang ada itu tidak hanya bermasalah di tingkatan penerima tapi juga di tingkatan pemberi. Kesadaran akan pentingnya nilai demokrasi tidak hanya tidak dipahami oleh penerima, tetapi juga tidak dihayati oleh para penganjur proyek demokratisasi itu sendiri.
4. Konstitusi Pada prisipnya konsitusi adalah dokumen yang memberikan blue print dari pemerintahan. Namun demikian dalam sistem yang lemah, atau organsasi yang buruk dan tidak kuat –jika ini disebut sebagai sistem– konstitusi tidak lebih dari dokumen formal. Ini diabaikan dan diterobos oleh sebagian besar orang dan waktu serta digunakan secara selektif untuk melayani kepentingan kekuasaan khusus. Ini adalah ‘formalisme’ atau dualitas dalam proses tata pemerintahan di seluruh dunia yang sangat dipengaruhi atau didikte oleh struktur kekuasaan globalisasi eksternal. Formalisme terjadi ketika aturan dan regulasi formal dilengkapi oleh norma dan perilaku informal dan tidak resmi dalam politik, tata pemerintahan, dan administrasi untuk melayani tujuan khusus, tetapi mereka diaplikasikan secara kaku (Farazmand, 1989). Konstitusi di dalam SG tidak diposisikan dalam konteks tersebut. Penyakit formalisme konsitusi seperti itu juga SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
melanda negara-negara industrialisasi sangat maju dari Barat dan problem tersebut lebih kronis dalam negaranegara berkembang dan negara-negara kurang maju (Riggs, 1966). Sebuah tingkat formalisme tinggi telah mengikis legitimasi sistem. Sebuah konstitusi berfungsi sebagai sumber legitimasi paling penting atas sistem tata pemerintahan. Sebuah konstitusi kerja juga memberikan kontribusi terhadap kekuatan pemerintahan pada level nasional.
5. Organisasi dan Institusi SG adalah sebuah konsep yang sangat mengedapankan implementasi. Bukan hanya sebuah kumpulan nilai-nilai ideal yang abstrak. Dalam administrasi pemerintahan, organisasi dan institusi adalah alat untuk membuat sebuah tujuan dan cita-cita kolektif menjadi kenyataan. Apapun namanya, perencanaan strategi jangka panjang, menengah maupun pendek tidak mungkin bisa tercapai bila perangkat fisik untuk mencapainya tidak memadai. Organisasi dan institusi adalah peralatan pokok yang harus dimiliki guna mencapai tujuan sebuah pemerintahan. Namun demikian, sekali lagi, SG tidak mematok organisasi dan institusi seperti apa yang bisa dibilang baik atau buruk. Sebab hal ini sangatlah kontekstual. Panduan yang bisa dipakai adalah kesesuaian kondisi organisasi dengan tujuan dan konteks lokal. Organisasi adalah wujud konkret dari institusi. Institusi berisi tugas-tugas dan alasan kenapa organisasi tertentu diperlukan. Insitusi adalah jiwa dan organisasi adalah tubuhnya. Sehingga untuk mencapai kondisi organisasi yang baik bukanlah dengan mendaftar sekian banyak indikator dan mencocokkan apakah kondisi organiasi dan institusi yang ada sudah cocok dengan indikator tersebut atau belum. Tetapi dengan mengajukan pertanyaan misalnya tentang apa saja organisasi yang ada dalam pemerintahan? Dan bagaimana mereka bekerja? Sehingga dalam hal ini tidak Sound Governance
SG 87
ada penghakiman yang bersifat langsung terhadap organisasi-organisasi yang ada. Kita harus melihat organisasi-organisasi yang ada di dalam pemerintahan dalam kaca mata yang utuh. Tidak mencari siapa yang salah atau siapa yang benar dalam menilai kualitas organisasi. Melainkan yang harus dicari adalah apa yang salah dan bagaimana cara memperbaikinya. Sekali lagi, mengontrol kondisi setiap jengkal organisasi dan insitutsi yang ada di dalam sebuah sistem pemerintahan adalah hal yang sangat penting di dalam SG. Tanpa institusi tidak akan ada tata pemerintahan, dan insitusi tanpa organisasi akan rapuh.
SG 88
6. Manajemen dan Performa Manajemen adalah sebuah proses yang berjalan di dalam organisasi. Bila instisusi adalah jiwa dari organsasi yang membuat organisasi memiliki karakter, manajemen adalah bagaimana organisasi mengatur hidupnya dan mengekspresikan dirinya. Oleh karenanya banyak organisasi yang memiliki insitusi yang sama tetapi menajemennya berbeda. Misalnya, organisasi di satu tempat yang pekerjaannya adalah membuat perencanaan tidak harus sama manajemennya dengan organisasi perencanaan di tempat lain. Masalah manajenen yang penting untuk diperhatikan di dalam SG bukanlah terletak pada manajemen gaya apa yang dipakai tetapi fokusnya adalah manajemen yang dipilih itu harus dapat mengantarkan organisasi pada dampak yang diinginkan. Apa dampak yang diinginkan? Tentu sangat tergantung dari fungsi dasar organisasi itu, kontribusi apa yang diharapkan dapat diberikannya pada masyarakat. Inilah yang disebut dengan performa. Performa merupakan alat ukur utama dalam SG untuk melihat kualitas manajemen dalam sebuah prses pemerintahan. Oleh karenanya, manajemen harus dinamis dan mengikuti teknologi dan ilmu terbaru. Ini pulalah yang membuat SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
SG tidak mendukung adanya stagnasi dalam sebuah proses pemerintahan. Selama ini birokrasi selalu malas bahkan takut untuk melakukan perubahan. Kita bisa melihat dimana-mana di seluruh kantor pemerintahan di tanah air sebuah alur atau prosedur tertentu yang usianya sangat tua masih terpampang di dinding kantor. Beberapa malah ada yang masih ditulis dengan ejaan yang belum disempurnakan. Tidak hanya itu, para pemimpin dan birokrat di lapangan juga hanya mengekor pada kebiasaankebiasaan yang selama ini sudah berlangsung. Ada kemalasan yang masif untuk mempelajari perkembanganperkembangan dan ilmu terbaru tentang manajenen untuk coba diterapkan di kantornya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya. Keterpisahan antara dunia kerja dengan dunia wacana begitu terbentang luas. Bekerja dan berpikir menjadi dua aktifitas yang saling berbenturan. Birokrat dan politisi yang dibayangkan hanya berkutat pada sesuatu yang bersifat kerja konkrit dan jarang berpikir. Sementara di sisi yang berseberangan, aktifis dan intelektual selalu dibayangkan dengan kerja-kerja wacana pemikiran yang abstrak dan tidak riil. Manajemen dalam SG adalah ditandai dengan tidak adanya lagi dikotomi itu. Sebab, dalam rangka memperbaiki performanya, birokrat harus selalu membaca dan mendiskusikan hal-hal baru dalam mana-jemen sebagai bekal dalam melakukan pekerjaan riil.
7. Kebijakan Kebijakan memberi arah dan kendali pada proses, struktur dan menejemnen dari sebuah pemerintahan. Dari situ semakin tegas bahwa orientasi dari studi kebijakan publik itu adalah kepentingan publik. Dimana dengan demikian dapat diartikan pula bahwa studi ini pada tataran konseptual har us memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan masyarakat, dan berorientasi pada pelayanan kepentingan tersebut. Sebab seperti telah sering Sound Governance
SG 89
SG 90
diungkap di muka bahwa studi kebijakan publik adalah sebuah formula problem solver. Sementara problem yang sesungguhnya itu ada di tengah-tengah riil kehidupan bermasyarakat. Artinya, problem kebijakan itu tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Dan oleh karena itulah ia juga tumbuh bersama dengan kepentingan publik itu sendiri (Putra, 2001). Yang harus diingat adalah ketika dikatakan bahwa studi kebijakan publik itu berorientasi pada kepentingan publik. Itu berarti ia juga berorientasi pada berbagai kepentingan yang beragam di masyarakat. Dan lebih jauh dari itu, studi kebijakan publik juga berbasis pada proses dialogis dari berbagai kepentingan tersebut. Yang kemudian hasil persepakatan proses dialog demokratik itulah yang menjelma menjadi sebuah kebijakan publik. Di dalam SG dikenal adanya dua tipe kebijakan. Pertama, kebijakan eksternal kepada individu atau organisasi. Yaitu kebijakan yang diangkat dari aspirasi masyarakat (langsung maupun per wakilan) untuk dijadikan sebagai arah gerak organisasi. Kebijakan pada jenis pertama ini terkait dengan keputusan politik demokratis dari sebuah sistem tata pemerintahan. Yang diangkat dari aspirasi masyarakat politik di luar organisasi untuk diformulasi menjadi kebijakan yang akan mengatur organisasi pemerintahan. Kedua, adalah kebijakan internal. Yaitu kebijakan tentang aturan, regulasi dan prosedur untuk mencapai tujuan organisasi. Sehingga ketika kebijakan pertama (politik) telah ditetapkan, maka berikutnya adalah membuat kebijakan-kebijakan di dalam organiasi pemerintahan yang dibuat untuk, dari dan oleh organisasi itu sendiri. Dari sini jelas terlihat bahwa pentingnya partispasi dan demokrasi adalah untuk menjamin kualitas kebijakan di level pertama. Tidak hanya itu, dengan transparansi, masyarakat juga dapat melakukan evaluasi tak langsung terhadap kebijakan di level kedua. SG menghendaki hubungan antara kedua level SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
kebijakan ini menjadi seimbang. Sehingga demokrasi dan implementasi pembangunan di titik ini dapat menemukan titik pragmatisnya. Demokrasi bukan lagi sebatas wacana ilmiah yang tidak membumi dalam pelaksanaan konkret sebuah tata pemerintahan.
8. Sektor Dalam sebuah pemerintahan, sektor sangatlah penting. Karena ujung tombak dari pelaksanaan pelayanan publik ada pada masing-masing sektor ini. SG sangat mengharapkan agar ada keahlian (expertise) yang sangat tinggi dalam sebuah penempatan personalia. Pentingnya expertise itu salah satunya adalah guna menjaga kualitas sektor-sektor dalam sebuah sistem pemerintahan. Sektor sifatnya juga sangat kontekstual. Kebutuhan sektoral dari satu pemerintahan dengan pemerintahan lain tentunya berbeda-beda. Tidak hanya masalah tempat yang menyebabkan perbedaan sektor ini. Akan tetapi masalah waktu juga bisa menjadi sebab. Karena, dalam waktu tertentu, bisa jadi sebuah sektor diperlukan keberadaannya, namun di waktu lain tidak dibutuhkan. Maka, dinamika organisasi pemerintahan juga akan sangat tinggi di semesta pembicaraan sektor ini. Sektor-sektor yang umumnya kita kenali di dalam organisasi pemerintahan adalah seperti sektor indusri, agrikultur, pedesaan, budaya, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Membutuhkan pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni dari para birokrat yang ada di dalamnya dalam pengelolaan ini. Akan tetapi SG juga tidak mensyaratkan agar organisasi pemerintahan itu menjadi super body yang bisa menangani segala hal. Expertise bisa juga diwujudkan dengan cara kerja sama antar lembaga. Dalam hal ini keterkaitan yang cair antara organisasi-organisasi pemerintahan di semua sektor dengan lembaga atau perseorangan yang memiliki keahlian di sektor tertentu sangatlah dianjurkan. Dan tata aturan Sound Governance
SG 91
birokrasi harus sedapat mungkin menfasilitasi terjadinya hal tersebut, bukan malah menghambat dan mempersulit.
SG 92
9. Faktor International Sebagaimana telah berulang kali disampaikan, selama ini peranan Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga-lebaga internasional lainnya memainkan peran yang penting dalam mendefinisikan parameter dari kualitas governace di berbegai negara. Sekarang, dalam zaman peningkatan globalisasi dan interdependensi global, negara, pemerintah dan warga negara semakin ditarik –secara sukarela atau terpaksa– untuk menumbuhkan sekumpulan rezim yang menunjukkan intoleransi terhadap perilaku governance tertentu yang sebelumnya dan secara tradisional dianggap normal dan internal bagi kedaulatan pemerintah (misalnya rezim Apartheid di Afrika Selatan, atau genocide di Afrika). Juga tuntutan implementasi bermacam-macam aturan, regulasi, dan protokol yang disetujui dan didasarkan pada level global dan kolektif. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan juga berkembang trend glocalism sebagai antitesis dari gagasan globalisasi berikut anomali-anomalinya. Interaksi diantara kedua arus besar ini membuat kompleksitas global governance juga semakin rumit. Ini jugalah yang menjadi agenda penting dalam SG, yang tidak hanya melakukan perbaikan pada local and national governance melainkan jauh lebih penting juga melakukan reformasi di tingkatan global governance. Sikap lembaga donor yang mendikte justru membuat tata pemerintahan di negara-negara berkembang menjadi lemah. Sebab reformasi yang diselenggarakan itu bersifat cangkokan, bukan tumbuh secara alami dan memiliki akar yang kuat menghujam dalam bumi. Urgensi reformasi tata pemerintahan global menjadi semakin mendesak atas adanya situasi semacam ini. Kita bisa menghitung berapa banyak uang dan sumber daya yang selama ini dikeluarkan dalam hal penyelengaraan proyek-proyek dari lembaga SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
donor ini. Dan itu semua masih terus berlangsung hingga kini. Di tengah ketidakefektifan pelaksaannya, kita dengan demikian juga dapat menghitung berapa banyak uang yang telah dihamburkan secara mubazir setiap harinya. SG menginginkan reforamsi tata pemerintahan global dilakukan secara segera utamanya adalah agar pemanfaatan dana-dana dari institusi-insitusi pendonor internasional itu tidak terbuang percuma. Lebih dari itu, tidak pula semua itu dilakukan hanya untuk memperkokoh noe-kolonialisme tanpa sedikitpun ada niat untuk memperbaiki kondisi pemerintahan yang ada di negara berkembang.
10. Etika Meski seringkali dipandang sinis, etika dalam administrasi publik tetaplah merupakan hal yang penting. Kelemahan perbicangan etika dalam administrasi publik selama ini terletak pada konsepnya yang terlalu filosofis dan tidak membumi. SG dengan demikian ingin agar etika dalam adimistrasi publik menjadi sesuatu yang benarbenar hadir dalam realitas. Hal ini juga disadari bahwa stadar etik masing-masing tempat berbeda-beda dan tentu berada dalam konteksnya masing-masing. Proses pembelajaran yang bersifat komparatif sangatlah penting. Misalnya tentang penghormatan atas hak cipta, mengapa di satu tempat dijunjung tinggi dengan sangat sakral sementara di tempat lain tidak begitu dipedulikan. Mengapa di satu tempat asertifisme dianggap hal yang biasa dan normal sementara di tempat lain dianggap egois dan mementingkan diri sendiri. Artinya, tidak ada yang mutlak dalam etika. Penerimaan dan internalisasi etika adalah masalah pembelajaran. Pandangan konstruktivisme mempercayai bahwa semua hal yang ada di muka ini merupakan proses pembelajaran (Wendt, 1999). Tidak ada satupun hal yang ada memiliki sifat absolut dan tak mungkin diubah. Hanya saja proses per ubahan dan pengubahan itu harus dilakukan secara perlahan dan mengedepankan kesadaran ketimbang paksaan. Sound Governance
SG 93
SG 94
Demikian pula dalam koteks etika, internalisasi nilai masih sangat mungkin dilakukan asalkan ada strategi yang kuat dan handal. Kekuatan dan kehadalan strategi dalam internaslisasi nilai-nilai etik di dalam administrasi publik tidak ditentukan dari seberapa koersifnya dia, melainkan seberapa mampunya dia menjelmakan nilai etik menjadi kesadaran. Sistem dan struktur juga dapat dibangun untuk menciptakan akuntabilias dan tansparansi sebagai bagian dari upaya internalisasi etika. Etika yang implementatif juga dapat mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, juga mencegah orientasi kerja birokrasi yang hanya murni ekonomis dan administratif semata. Birokrasi bekerja untuk mencapai efektivitas dan efisiensi, bukan untuk membuat birokasi menjadi berpikiran sempit sebagaimana layaknya kalangan bisnis. Efektivitas dan efisiensi dalam birokrasi itu hanyalah alat, bukan tujuan. Etika yang harus diemban adalah tetap kepentingan publik yang berada di atas segalanya. Jadi efektivitas dan efisiensi adalah untuk pelayanan publik, bukannya untuk efektivitas dan efisiensi itu sendiri.
Paradigma Baru Administrasi Publik
Empat Level Sasaran Reformasi Dua kebar uan yang mencolok dalam SG adalah lokusnya yang sensitif terhadap fakta kontemporer globalisasi dan pentingnya inovasi dalam proses tata pemerintahan di lapangan. Level dari tata pemerintahan (governance) dalam SG mencakup empat tingkatan, yaitu lokal, nasional, regional dan internasional. Keempatnya tidak hanya didekati secara mendalam satu persatu, melainkan juga dilihat keterkaitannya satu sama lain. Hal inilah yang membedakan dengan sangat mencolok antara GG dan SG. Sebab berbagai ide dan konsep yang ada dalam GG hanya berkutat pada dua level saja, yaitu reformasi tata pemrintahan di tingkat lokal dan nasional. Bahkan seringkali GG terlalu SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
terfokus memperhatikan hanya pada level lokal saja. Perhatian yang lebih dari SG terhadap keempat level tata pemerintahan itu berangkat dari kesadaran bahwa keberadaan keempat level tersebut adalah nyata. Tetapi mengapa seolah ilmu adminisrasi publik mengabaikan level regional dan level internasional sebagai lokus kajiannya. Sejak kapan administrasi publik terkotak hanya mengurusi urusan domestik sebuah negara tertentu, dan tak boleh menyentuh sama sekali aspek tata pemrintahan di atasnya? Lantas bila administrasi publik tidak membicarakan proses tata pemerintahan di atas institusi negara, siapa yang akan memikirkan hal tersebut? Oleh karenanya, SG sudah sepatutnya menjadi paradigma baru dalam adinistrasi publik karena dia telah menerobos batas-batas mitologi ketabuan khazanah ilmu administrasi publik yang ada selama ini. Yaitu mitos yang menganggap bahwa persoalan hubungan antar negara bukanlah wilayah kajian administrasi publik. Proses manajerial, politik, dan administrasi di atas organisasi negara bukanlah wilayah administrasi publik. Administrasi publik hanya dan harus mengurusi soal-soal domestik satu negara tertentu saja. Itu semua adalah pandangan tradisional dari administrasi publik yang sudah harus mulai ditinggalkan. Termasuk GG yang ternyata juga masih terjebak dalam identifikasi tradisional tersebut. Ketika berbicara pada tingkatan lokal maka yan menjadi fokus adalah bagaimana keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan kebijakan publik yang ada di daerah. Pada dasarnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan otonomi daerah harus dipahami sebagai wujud representativeness dari suatu produk kebijakan. Pendapat umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer karena ketidakmampuanya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat akan lebih akan dan tentram dengan badan Sound Governance
SG 95
SG 96
pemerintah lokal yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis. Selain dari pada itu, memberikan keleluasaan otonomi kepada daerah, diakuinya pula, tidak akan menimbulkan “disintegrasi” dan tidak akan menur unkan derajat kewibawaan pemerintah nasional. Malah sebaliknya kondisi ini akan menimbulkan respek daerah terhadap pemerintah pusat (Smith, 1986). Karena itu, ada sebuah slogan yang sering dilancarkan : “…. as much autonomy as possible, as much central power as necessary” (Buckelman dalam Koswara, 1999). Refomasi tata pemerintahan di tingkat nasional dalam konteks SG berarti bagaimana formulasi gabungan antara partispasi masyarakat dengan keselarasan internasional, norms and rules dapat terejawantahkan dalam kebijakan skala nasional. Di Indonesia kita telah memiliki proses perencanaan pembangunan yang cukup sistematis dari tingkat lokal hingga tingkat nasional (UU no 25/2004). Sayangnya pada tingkatan musyarawah pembangunan nasional tidak cukup disertakan apa peran dan pengaruh pelaksanaan pembangunan di Indonesia dengan capaian internasional. Sehingga dilihat dari kacamata global corak perencanaan pembangunan di Indonesia masih sangat egosektoral. Kita bisa membandingkan dengan perencanaan pembangunan di negara lain yang telah memiliki cukup peran yang signifikan dalam memberi kontribusi pada pembangunan dunia. Memang alasan klise yang selalu muncul adalah bahwa kita negara miskin sehingga tak mungkin memiliki cukup dana untuk membantu negara lain. Tetapi harus disadari bahwa bentuk kontribusi kita saat ini bukan melulu bantuan finansial, melainkan bisa berupa partisipasi kita dalam bentuk kepedulian dan empati atas berbagai upaya untuk perbaikan kondisi global, baik ekonomi, politik, sosial maupun lingkungan hidup. Hal ini juga penting dalam memperkuat posisi tawar bangsa ini di mata internasional yaitu dengan menggunakan apa yag disebut soft power (Nye, 1990). Sehingga apa SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
yang terwujud dalam perencanaan pembangunan tingkat nasional kita ternyata juga memiliki kepedulian terhadap kondisi global, bukan perencanaan pembangunan yang egosentris. Di tingkat regional adalah kerjasama antar negara yang saling menguntungkan. Kita telah memiliki ASEAN dan APEC khususnya untuk kerja sama ekonomi di tingkatan regional. Dan harus pula disadari bahwa ada misi-misi ideologis ekonomi politik di balik organisasi-organisasi itu. Tetapi, sebagaimana pandangan konstruktivisme, bahwa segala sesuatunya tidak ada yang baku. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan kita dalam memanfaatkan peluang yang ada dari lembaga-lembaga kerjasama regional yang tersedia itu. Sedangkan internasional adalah bagaimana agar negara-negara yang selama ini lemah dan dilemahkan dapat muncul. Di lain pihak, negara-negara yang selama ini mendominasi dapat “dilemahkan”. Hubungan antar negara dalam percaturan global kurang lebih sama dengan konsep Machiavelli tentang hubungan oposisi biner antara negara dan rakyat. Kita bisa melihat dengan mudah kenyataan ini dalam kepemilikan senjata nuklir misalnya. Negara-negara besar dan mendominiasi tatanan politik dunia dapat dengan leluasa memiliki perangkat senjata nuklir sedangkan bila ada negara lain yang hendak memiliki hal yang sama, mereka anggap sebagai sebuah ancaman. Kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara besar ini kemudian membuat posisi politik mereka di percaturan internasional menjadi sangat kuat. Di dalam struktur organisasi PBB kita juga bisa melihat praktek yang serupa. Proses pemilihan dan penetapan direktur-direktur strategis serta proses pengambilan kebijakan di dalam PBB juga masih didominasi oleh kekuatan negara-negara besar Eropa dan Amerika Serikat. Belum lagi kalau kita melihat pangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat yang tersebar di seluruh penjuru dunia, membuat kekuatan Sound Governance
SG 97
negara adi kuasa ini menjadi sangat dominan di kancah internasional. Sehingga yang dimaksud upaya ‘pelemahan’ atas negara-negara kuat adalah dalam konteks menyeimbangkan dan mengegaliterkan hubungan antar negara di kancah internasional. Egalitarianisme adalah kata kuci dalam SG, tidak hanya dalam konteks reformasi tata pemerintahan domestik tapi juga tata pemerintahan global.
SG 98
Inovasi Sebagai Inti Sound Governance Hal kedua yang sangat menonjol atas kebaruan dari SG adalah pengutamaan adanya inovasi dalam kebijakan dan adminstrasi publik. Dalam konsepsi pemerintahan mutakhir, inovasi dan kreativitas adalah hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap pemerintahan. Sebab, pemerintahan hari ini tidak lagi berhadapan dengan masalah dan realitas yang itu-itu saja. Apel pagi, rapat-rapat rutin, urusan surat-menyurat dan implementasi prosedur sudah bukan merupakan tugas inti dari sebuah pemerintahan. Pada saatnya sistem mekanis akan mengerjakan hal-hal membosankan itu. Pemerintahan modern berhadapan dengan banyak situasi yang kompleks dan kurang terduga sebagai akibat dari realitas yang makin terkoneksi secara ekstrem. Globalisasi bahkan membuat matrik kehidupan menjadi lebih rumit dari sebelumnya (Farazmand, 2004). “Don’t rock the boat” adalah pepatah yang terlanjur mendarah daging dalam tubuh birokrasi kita. Keadaan yang sudah ada telah membuat semua orang senang dan aman, maka janganlah sekali-kali mencoba untuk menggoyangkan perahu yang sudah tenang mengapung di tengah danau. Tapi ketenangan dan kenyamanan itu membuat perahu diam di tempat, tidak bergerak kemanapun. Kepentingan para birokrat untuk memperoleh rasa ‘aman’ itulah merupakan tantangan terbesar dalam menumbuhkan inovasi dalam tubuh pemerintahan. Sistem SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar dalam proses birokrasi pemerintahan telah menciptakan resistensi yang sangat kuat bagi datangnya inovasi. Konfigurasi politik juga turut andil dalam proses pengerdilan inovasi. Kita telah sama-sama menyaksikan bagaimana dominasi tokoh-tokoh konservatif dalam kepemimpinan di tanah air. Kader-kader muda yang diharapkan dapat membawa inovasi tak bisa leluasa muncul ke dalam kancah politik tanpa menggantungkan karirnya pada tokoh-tokoh tua. Kebanyakan tokoh tua juga berperilaku mendikte pilihan dan langkah-langkah politik kaum muda. Kita bisa melihat betapa partai-partai politik besar hari ini sangat tergantung pada figur tokoh tua dan konser vatif yang sangat hegemonik. Sistem mapan birokrasi dan konfigurasi politik di Indonesia telah membuat banyak inisiatif inovasi mengalami proses penuaan dini dan layu sebelum berkembang. Secara psikis, perilaku politik para inovator ketika memasuki sistem menjadi tak dinamis dan cenderung mengekor pada tuntunan para patron. Ini seakan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Pemimpin-pemimpin muda itu kemudian tercerabut dari akarnya. Keharusan untuk mengikuti ‘pakem’ ketika memasuki sebuah sistem harus mulai dipersepsi sebagai mitos, atau setidaknya tantangan. Solusi yang ditawarkan oleh kosep Sound Governance adalah perubahan struktur pemerintahan yang berbasis pada fungsi (kompartementalistik) menuju berbasis pada klien. Dalam hal ini istilah TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) adalah hambatan terbesar dalam reformasi tata pemerintahan. Menemukan solusi brilian atas masalah pokok yang dihadapi masyarakat dan mencari jalan yang lebih baik atas hal yang sedang berjalan, adalah tugas pokok yang diemban semua birokrat. Inovasi tidak mesti harus bersifat revolusioner dan fragmentatif. Dalam level tertentu bisa saja inovasi adalah revisi atas sistem yang sedang berjalan serta masih dalam Sound Governance
SG 99
SG 100
koridor struktur perencanaan jangka panjang. Yang terpenting dalam inovasi tata pemerintahan adalah selalu adanya hal-hal baru (besar atau kecil) di dalam praktek birokrasi keseharian. Inilah saat dimana SG mengharapkan agar inovasi menjadi ‘rutinitas’ baru di dalam birokrasi. Inovasi yang dimaksudkan dalam SG berada pada berbagai aspek. Di bidang teknologi dilakukan dalam hal menemukan teknik dan berbagai metoda baru dalam melancarkan berbagai proses perencanaan maupun pengantaran pelayanan publik. Di bidang pembangunan/ pengelolaan sumber daya, inovasi diperlukan dalam hal menemukan cara yang tidak hanya efektif dan efisien melainkan juga membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Inovasi dalam sistem komunikasi adalah terkait dengan makin terbukanya ruang publik sehingga memudahkan sarana dan prasaran komunikasi yang egaliter antara aktor-aktor dalam tata pemerintahan. Inovasi juga har us marak dalam kegiatan-kegiatan operasional seperti di dalam pengelolaan organisasi dan manajemen, pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Tak hanya di bidang teknologi, di bidang ideologi inovasi juga sangat diperlukan. Utamanya dalam membongkar berbagai paradigma lama tentang birokrasi yang rutin dan monoton yang masih kuat terbenam menuju pada pemahaman birokrasi yang lebih dinamis. Inovasi merupakan keniscayaan dari dunia global yang ter us ber ubah secara cepat. Sebab dengan adanya perubahan globalisasi ini banyak asumsi-asumsi yang harus segera dikoreksi sewaktu-waktu. Tidak mungkin, misalnya, dalam menyusun APBD kita hanya bergerak pada asumsi yang monoton dan hanya merubah angka sedikit dari anggaran-anggaran terdahulu. Sikap seperti itu sungguh jauh dari cita-cita birokrasi SG yang dinamis. Maka tanpa inovasi dan adaptasi, pemerintahan akan cepat rusak ( soundless ). Akan tetapi, memang inovasi harus didukung oleh kapasitas organisasi yang memadai SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
dan kemampuan organisasi itu untuk mengimplementasikannya. Oleh karenanya, dalam dimensi SG juga dicantumkan tentang pentingnya aspek organisasi dan institusi di dalam reformasi tata pemerintahan modern. Inovasi dalam SG juga har us disertai dengan kemampuan birokrasi yang tangguh dalam antisipasi dan luwes dalam melakukan adaptasi. Hal ini dikarenakan watak inovatif juga mencakup kemahiran dalam melakukan prediksi. Dalam pengertian mahir dan ahli dalam memilih berbagai variabel yang berpengaruh terhadap kondisi saat ini dan masa depan. Kemampuan itu akan membawa pada sikap antisipatif atas segala perubahan. Sehingga birokasi tidak mudah shock dalam menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan kondisi serba mungkin yang ada di depan mata. Di samping itu, bila memang ternyata yang terjadi adalah sesuatu yang benar-benar di luar perhitungan, birokrasi juga harus mampu dengan luwes beradaptasi dengan lingkungan baru. Situasi politik dan ekonomi dapat berubah setiap waktu. Maka birokrasi harus dapat segera beradaptasi tanpa harus terfragmentasi. Istilah ‘ganti menteri ganti kebijakan’ bukanlah sikap luwes yang dimaksudkan di sini. Fleksibilitas artinya adalah dalam tataran teknis dan strategis, bukan fleksibel dalam tujuan dan komitmen. Hal ini juga yang ditegaskan oleh Golembiewski bahwa birokrasi harus digerakkan oleh komitmen bukannya kepatuhan. Watak birokrasi yang hanya mengekor pimpinan politik baru adalah watak birokrasi yang pengecut dan hanya mengandalkan kepatuhan tetapi tidak memiliki komitmen. Komitmen pada tujuan dasar pemerintahan, yaitu melayani kepentingan rakyat. Bukannya melayani kepentingan atasan.
Sound Governance
SG 101
BAB V
AKTOR DALAM SOUND GOVERNANCE
SG 102
B
ab ini dimaksudkan tidak hanya untuk melakukan inventarisasi atas aktor-aktor yang harus terlibat dalam proses sound governance tetapi juga mengevaluasi peran aktor-aktor dalam pelaksanaan GG selama ini. Termasuk di dalamnya tentang sebab-sebab mengapa peran ideal masing-masing aktor yang ada dalam GG itu tidak tercapai. Serta bagaimana SG dapat hadir dan mencoba untuk mencegah agar kesalahan-kesalahan itu tidak terulang kembali di kemudian hari. Tentu saja dari empat aktor yang ada di dalam SG (yaitu negara, masyarakat sipil, swasta dan pelaku intenrasional) tiga diantaranya adalah juga aktor yang ada dalam GG. Kendati begitu, SG tidak serta merta hanya memindahkan ketiga aktor dalam GG ke dalam SG, melainkan juga merubah cara pandang GG selama ini terhadap peran dan posisi negara, masyarakat sipil, dan swasta dalam penyelenggaraan tata pemerintahan.
Negara: Pusat Konspirasi
Komponen pertama yang dikatakan sebagai sebuah entitas oleh konsep good governance adalah State/Negara. Tentu banyak teori-teori klasik yang akan sangat baik dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep negara sesungguhnya, berikut berbagai model yang berkembang di dalamnya. Namun, kita tentu sudah sama tahu bahwa negara saat ini adalah capaian fundamental SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
politik dalam kehidupan sosial tertinggi secara formal di dunia saat ini. Ya, sebab warga negara internasional masih sangat eksklusif dan lembaga politik internasional belum setangguh negara dalam melakukan regulasi sosial hingga ke tataran yang paling teknis dan pribadi (Hoffman, 2000). Di tengah berbagai variasi model negara yang dikenal dalam teori negara, tentu yang paling populer hingga saat ini adalah Trias Politika (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) yang entah disikapi sebagai pembagian atau pemisahan nampaknya itu tak lagi penting saat ini. Bahkan sekarang negara-negara monarkhi juga telah banyak yang mengadopsi konsep ini dan mereformasi diri mereka menjadi negara monarkhi konstitusional, bahkan monarkhi demokratik (memang agak sulit dimengerti). Yang pasti saat berbicara tentang negara maka kita tentu tak bisa lepas untuk mencandra tiga institusi sosial tersebut. Saat ini tak sedikit kalangan yang mencoba untuk memisahkan entitas negara dengan rakyat. Sehingga lembaga trias politika adalah institusi yang tak memiliki derajat representasi, maka tak jarang harus dibenturkan dengan rakyat. Dalam hal ini kita seringkali mendengar kalimat yang mengatakan: “... konflik antara negara dengan rakyat...”. Kalimat itu sangatlah akrab di telinga kita, hingga pada suatu saat kita terkejut atas permakluman kita bahwa negara tidak lagi memiliki representativitas (Putra, 1999). Dia hadir bukan lagi penjelmaan rakyat, melainkan negara datang sebagai leviathan yang siap mengamuk dan memporak-porandakan semua yang ada di depannya. Negara leviathan tak mengenal di masyarakat penganut paradigma apa ia hidup. Apakah itu tradisi anglo saxon ataupun continental, dua-duanya dapat menjadi habitat yang cocok untuk berkembang sehatnya monster ini. Hanya saja memang keduanya akan menghasilkan ras yang berbeda, tetapi tetap saja species yang sama. Mungkin bila pikiran Lord Acton diteruskan, bisa jadi implikasinya Aktor dalam Sound Governance
SG 103
SG 104
adalah bahwa apabila semua sumber daya yang ada diserahkan pengelolaannya pada negara, maka secara terus menerus organisasi-organisasi trias politika menjadi terus gemuk dan mengobjektifikasi rakyat. Korupsi yang sesungguhnya adalah proses objektifikasi rakyat itu, yang mana pada saat ini mereka akan menjadi sangat rukun seolah mendapat common enemy. Akan tetapi ketika rakyat telah berhasil mereka taklukkan, maka mereka akan kembali bertikai. Begitulah sifat dasar dari leviathan. Hubungan antara tiga lembaga trias politika ini tidak pernah benar-benar ideal di lapangan. Pilihannya cuma dua; pertikaian atau persekongkolan. Yang paling sering muncul ke permukaan adalah hubungan antara eksekutif dan legislatif. Karena memang dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan berbagai negara demokrasi pada umumnya di dunia, yang dimaksud dengan policy makers itu adalah eksekutif dan legislatif. Eksekutif yang seharusnya hanya menjadi pelaksana saja, entah kenapa saat ini mereka naik pangkat menjadi perumus kebijakan. Yang lebih lucu lagi tak sedikit regulasi yang mengatur bahwa eksekutif punya wewenang yang lebih besar ketimbang legislatif. Pada posisi normatif ini saja sudah nampak bahwa hubungan keduanya sangatlah tidak harmonis. Penuh dengan potensi konflik yang sewaktuwaktu dapat berubah menjadi bahan peledak berkekuatan high explosive. Dua lembaga ini sama-sama arogan. Keduanya merasa bahwa konstitusi mengatur bahwa dirinyalah yang lebih berkuasa ketimbang yang lain. Dan apabila ada beberapa pasal dalam undang-undang yang melemahkan posisi legislatif maka langsung kecurigaan muncul bahwa itu adalah ulah dari eksekutif untuk mengkerdilkan mereka. Demikian pula sebaliknya, eksekutif dalam menjalankan pekerjaannya merasa selalu terancam dengan keberadaan legislatif yang bisa saja sewaktu-waktu melakukan impeachment dengan alasan yang paling tidak rasional SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
sekalipun. Distribusi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif telah menjadi sebuah garis kontinu yang saling tarik satu sama lain. Siapa yang lebih kuat pada waktu dan tempat tertentu maka ialah yang akan mendapat kekuasaan lebih besar. Hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif di berbagai negara, khususnya di Indonesia, sering ber ujung dalam bentuk persekongkolan dan atau permusuhan. Di sini eksekutif dan legislatif disebut-sebut sebagai policy maker dan masyarakat tidak begitu berperan atau bahkan memang sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Padahal Indonesia merupakan negara yang demokratis dimana seharusnya masyarakat berperan kuat serta mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasinya melalui lembaga legislatif dalam proses pembuatan kebijakan publik. Tapi pada kenyataannya lembaga legislatif kurang begitu mendengarkan aspirasi masyarakat. Lalu siapa yang akan mendengarkan serta menyampaikan aspirasi masyarakat jika lembaga ini tidak begitu melaksanakan tugas serta fungsinya sebagai wakil rakyat? Pada bagian ini akan dibahas permasalahan mengenai persekongkolan dan permusuhan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang ada di Indonesia. Pertanyaan kritisnya adalah: mengapa di negara Indonesia hanya lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang berperan sebagai policy maker s? Lalu bagaimana dengan peran masyarakat? Bagaimana hubungan antara governance theory dengan kenyataan yang ada di negara Indonesia? Dan, apakah benar bahwa terdapat hubungan yang tidak harmonis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif? Secara normatif, di Indonesia terdapat lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga tertinggi negara adalah MPR sedangkan lembaga tinggi negara terdiri dari DPR selaku lembaga legislatif, presiden sebagai lembaga eksekutif dan MA yang mempunyai peran sebagai lembaga Aktor dalam Sound Governance
SG 105
SG 106
yudikatif. Secara prosedural, sebenarnya pembuat kebijakan di Indonesia dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, namun pada kenyataannya hanya kedua lembaga saja yang berfungsi yaitu lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Negara kita memang negara yang demokratis, dimana masyarakat mempunyai hak untuk menyatakan dan menyalurkan aspirasinya melalui lembaga legislatif. Namun pada kenyataannya saat ini lembaga legislatif tidak pernah mendengarkan atau bahkan mempedulikan suara rakyat. Padahal sebenarnya keberadaan lembaga legislatif ini adalah sebagai wakil rakyat. Jika lembaga legislatif sudah tidak mampu menyalurkan aspirasi rakyat, maka mengapa lembaga ini tidak dibubarkan? Jawaban yang mutlak adalah bahwa lembaga legislatif tidak mungkin dibubarkan karena lembaga ini masih dianggap penting dan dibutuhkan dalam mekanisme pemerintahan yang berkaitan dengan lembaga eksekutif. Yaitu bahwa setiap keputusan-keputusan yang diambil oleh lembaga eksekutif harus melalui dan mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif. Sehingga pada akhirnya masyarakat hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan saja dan tidak ikut dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menjalankan tugasnya, badan eksekutif ditunjang oleh tenaga kerja yang trampil dan ahli serta persediaan bermacam-macam fasilitas dan alat-alat pada masingmasing kementerian. Sebaliknya, keahlian serta fasilitas yang tersedia bagi badan legislatif jauh lebih terbatas. Oleh karena itu badan legislatif berada pada posisi yang lemah dibanding dengan badan eksekutif. Dalam negara demokratis, legislatif tetap memegang peran yang penting untuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh badan legislatif. Keberadaan lembaga legislatif tetap merupakan penghalang atas kecenderungan yang terdapat pada hampir setiap badan eksekutif untuk memperluas ruang lingkup wewenangnya. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Dalam sistem parlementer, badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dibantu pula oleh menteri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Kemudian badan legislatif saling bergantung satu sama lain. Kabinet, bagian dari badan eksekutif yang “bertanggung jawab” diharapkan mampu mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya. Jatuh bangunnya kabinet tergantung kepada dukungan dalam badan legislatif. Sedangkan dalam sistem presidensial, badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang presiden yang dibantu oleh para menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Kelangsungan hidup badan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif. Badan eksekutif mempunyai masa jabatan yang ditentukan. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif mengakibatkan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Lagipula menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan partai politik. Perkembangan teknologi dan proses modernisasi yang sudah berjalan jauh dan semakin terbukanya hubungan politik dan ekonomi antar negara telah mendorong badan eksekutif untuk memiliki ruang gerak yang lebih leluasa. Ini berarti tugas-tugas badan eksekutif tidak lagi terbatas hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Akan tetapi badan eksekutif dewasa ini dianggap bertanggung jawab untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya. Pemerintahan yang baik adalah suatu bentuk pemerintahan dimana pemerintah mampu mengelola input berupa masukan, dukungan, serta tuntutan dari rakyat yang mencakup sebuah keinginan nyata yang terjabarkan tapi tidak terpenuhi dan bahkan tidak dikenali. Tuntutan tersebut dilakukan untuk merumuskan masalah sehingga menghasilkan otoritatif yang sah, yaitu lahirnya kebijakan Aktor dalam Sound Governance
SG 107
SG 108
dan input yang dikelola yang kemudian dilanjutkan dalam proses konversi. Setelah melalui proses tersebut, input itu dikeluarkan dalam bentuk output berupa keputusankeputusan dan tindakan-tindakan yang otoritatif dan mengikat pada para anggota sistem, termasuk masyarakat karena output tersebut mampu mempengaruhi peristiwaperistiwa dalam masyarakat. Misalnya output berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inspres), Keputusan Menteri (Kep Men) dan lain sebagainya. Eksekutif dan legislatif adalah dua lembaga yang dalam konsep trias politika ditakdirkan bekerja sama. Kebijakan eksekutif haruslah mendapat restu dari para legislator yang mewakili jutaan rakyat sebagai pendukungnya. Demikian juga sebaliknya, rancangan hukum yang merupakan inisiatif dewan tetap harus melibatkan eksekutif sebagai pihak pelaksana. Inilah kemitraan kesejajaran dalam birokrasi. Sayangnya, konsep kemitraan ini berkembang menjadi perselingkuhan kepentingan akibat longgarnya rambu-rambu hukum. Celah yang relatif kecil tetap bisa dikelola dua lembaga ini untuk kepentingan mengatasnamakan rakyat. Bahkan, dalam pengelolaan keuangan sering kali terjadi barter kepentingan agar sama-sama untung. Mengapa ini mesti terjadi dan bagaimana penyiapan perangkat hukum sebagai solusinya? Perselingkuhan kepentingan yang sering dikonotasikan dengan penganggaran keuangan negara untuk kepentingan pribadi, bisa menjadi legal karena lemahnya hukum. Ini terjadi ketika legislatif diberikan hak pengelolaan keuangan secara otonomi. Akibatnya, ancaman pidana pun membayangi perilaku semacam ini. Kasus ini tercermin dalam bidikan kejaksaan atas kasus dugaan korupsi dana APBD sampai milyaran rupiah. Dalam konteks ini, undang-undang pengelolaan keuangan kedua negara dirancang otonom. Para wakil rakyat akan memiliki hak yang lebih jelas dalam pengelolaSOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
an keuangan. Dewan selama ini terkesan ‘disusui’ eksekutif karena nafkahnya ada di tangan eksekutif. Tak jarang kondisi ini memunculkan nilai tawar, mengingat para wakil rakyat juga punya hak mengkritisi pemerintah. Pengelolaan keuangan negara yang otonom akan menjadi salah satu solusi menekan terjadinya kolusi kepentingan. Ia tak sependapat jika kolusi legislatif-eksekutif menggurita akibat tak adanya lembaga independen yang mengawasi hubungan kerja mereka. Dalam negara demokratis, legislatif tetap memegang peran yang penting untuk menjaga agar jangan sampai badan eksekutif keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh badan legislatif, dan tetap merupakan penghalang atas kecenderungan yang terdapat pada hampir setiap badan eksekutif untuk memperluas r uang lingkup wewenangnya. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif mengakibatkan bahwa badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan legislatif. Implikasi negatif yang dikhawatirkan akan muncul adalah adanya otonomi keuangan yang seringkali akhirnya berbuah sangkaan korupsi. Aturan hukum dengan pasalpasal karet sangat rawan dalam pengelolaan keuangan. Aturan hukum otonomi pengelolaan keuangan harus dirancang simpel agar tak bisa ditafsirkan ganda. Yang selama ini terjadi adalah kebijakan yang aroma politiknya amat kental. Pemindahan pengalokasian keuangan dewan kepada pos eksekutif dinilai sebagai upaya memutus hubungan wakil rakyat dengan massa yang diwakilinya. Aturan hukum yang dirancang untuk penyelamatan kekuasaan dan kepentingan partai penguasa har us dihindari. Jika ini terjadi, kebijakan yang mengatasnamakan hukum administrasi pengelolaan negara, tetap saja tak sehat bagi kehidupan berbangsa. Kelompokkelompok pro-kekuasaan menilai tudingan kongkalikong eksekutif-legislatif mer upakan bentuk-bentuk salah kaprah. Kesan ini bisa muncul karena kalangan kritis Aktor dalam Sound Governance
SG 109
SG 110
melihatnya dari satu sisi. Bagi mereka, pengelolaan pemerintahan mutlak didasari hubungan selaras antara eksekutif-legislaif dan yudikatif. Selama ini, hanya legislatif dan eksekutif saja yang disoroti miring. Lembaga-lembaga yudikatif kondisinya tak lebih baik. Isu akan keberadaan mafia peradilan bagai gelombang angin el nino yang tak kasat mata tapi dapat menghancurkan ribuan hektar lahan para petani. Keadilan dan hukum menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh para mafia ini. Bak sebuah pasar sapi, keberadaan mafia menelusup kesana kemari dengan sangat gesit, tangkas dan rapi, jauh lebih canggih ketimbang para penjual, pembeli apalagi sapinya itu sendiri. Masalah korupsi saat ini menjadi sebuah barang empuk untuk melakukan pemerasan di sana-sini. Pasal-pasal karet dan peraturan yang tak jelas dan tumpang tindih seolah sesuatu yang sengaja diciptakan untuk menjerat berbagai pejabat dengan tuduhan korupsi. Lembaga kejaksaan sekarang menjadi berubah total dari kucing anggora yang manis menjadi singa hutan yang begitu garang lengkap dengan taring dan cakarnya yang siap mengoyak eksistensi para pejabat publik, pejabat politik dan pebisnis. Yang jadi masalah adalah apakah singa ini benar-benar bersih dalam menegakkan supremasi hukum yang alamiah, ataukah dikepalanya telah ditancapi oleh chip yang bisa mengendalikan kapan dia harus garang dan kapan dia har us jinak. Tergantung Sang Pawang yang mengendalikannya dengan sistem navigasi jarak jauh? Tak sedikit fakta di lapangan yang secara jelas menunjukkan bahwa pemberantasan kor upsi adalah strategi tebang pilih. Institusi-institusi hukum seperti mendapat proyek besar yang disebut TIPIKOR (Tindak Pidana Korupsi). Maka pialang-pialang hukum pun bertebaran dimana-mana ada yang menyaru sebagai aktifis NGO ada yang secara sungguh-sungguh dan ’profesional’ memang berprofesi sebagai pialang hukum. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Mereka biasa mendatangi para pejabat yang kebetulan kurang rapi dalam melakukan korupsi dan akhirnya diperas. Institusi hukum tak jarang juga turut andil dalam konspirasi ini. Hanya saja, karena sebagai pakar-pakar hukum, rumor ini sulit sekali terbukti karena tersimpan dengan sangat rapi. Supremasi hukum sulit untuk diberi ekspektasi tinggi dikarenakan lembaga yudikatifnya yang juga masih belum cukup terpercaya. Sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan pengalokasian keuangan rakyat, legislatif-eksekutif sangat rentan disalahkan. Ketika yudikatif melihat atau menafsirkan bahasa hukum berbeda dengan pandangan legislatifeksekutif, maka tudingan korupsi akan muncul. Padahal, kebijakan itu dalam konteks otonomi keuangan legislatifeksekutif didasari undang-undang. Banyak kalangan berharap agar payung hukum yang menjadi dasar legislatif melaksanakan hak dan kewajibannya bahasanya simpel dan memiliki rentang angka yang jelas. Dalam kasus terakhir, ia mengatakan tak adanya rentang angka-angka pengalokasian hak Dewan, membuat pembahasan APBD molor. Kewenangan eksekutif dalam menyortir hasil kerja legislatif haruslah dipertegas baik dari batas waktu dan item yang layak dikaji. Sayangnya, konsep kemitraan ini berkembang menjadi perselingkuhan kepentingan yang mengatasnamakan rakyat. Bahkan, dalam pengelolaan keuangan sering kali terjadi barter kepentingan agar sama-sama untung. Perselingkuhan kepentingan yang sering dikonotasikan dengan penganggaran keuangan negara untuk kepentingan pribadi, bisa menjadi legal karena lemahnya hukum. Kewenangan eksekutif dalam menyortir hasil kerja legislatif haruslah dipertegas baik dari batas waktu dan item yang layak dikaji. Ini penting agar kesan bahwa legislatifeksekutif berselingkuh untuk kepentingan pribadi bisa ditekan. Inilah konstelasi masalah yang seharusnya dihadapi oleh para aparatus yudikatif di Indonesia, bukannya malah memperburuk keadaan. Aktor dalam Sound Governance
SG 111
SG 112
Trias politika di Indonesia yang telah menginjak usia puluhan tahun masih menunjukkan fakta bahwa insitusi negara, di level internalnya masih banyak sekali masalah. Dan fenomena tersebut kiranya tidak hanya terjadi di negara yang usia trias politikanya puluhan tahun seperti Indonesia saja. Di negara yang usia trias politika telah menginjak usia satu abad pun masih menghadapi masalah yang sama. Ini yang menjadi dasar argumentasi bahwa kita tak bisa hanya menyalahkan pada tataran implementasi saja. Kecurigaan harus sudah mulai ditempatkan pada wilayah konseptual. Konsep negara masih harus terus dicari titik puncak idealitasnya. Di tengah masih kaburnya masalah yang ada ini, GG secara terburu-buru langsung saja menempatkannya dalam sebuah komponen yang harus bersinergi. Padahal pertarungan di dalam berbagai elemen dalam negara masih terus terjadi. Institusi politik terus saja mengecam dan mengintimidasi eksekutif untuk melakukan banyak hal atas nama rakyat. Eksekutif menjadi arogan karena menguasai berbagai sumber daya dan infrastruktur. Yudikatif menjadi tak pernah lepas dari berbagai konspirasi dan mafia peradilan. Sungguh, ia masih belum siap untuk secara terbuka dan progresif memberi kontribusi bagi yang lain. SG berupaya untuk mencari titik kesalahan fundamental atas konsep negara sembari melakukan capacity building yang berbasis nilai terhadap institusi negara. Hal ini menjadi sesuatu yang lebih mendesak untuk dilakukan saat ini. Ketika good governance telah memisahkan entitas negara dengan rakyat (civil society), maka hal ini justru akan mempersulit upaya untuk mempelajari konsep negara itu sendiri. Sesungguhnya Cicero, de Toqueville dan banyak pakar lain ketika menempatkan konsep civil society bukanlah bermaksud untuk memisahkannya dari entitas negara (Kaldor, 2003). Konsep civil society hadir sebagai tanda dari sekelompok manusia yang bebas dari tugas formalisme negara, kendati secara hukum mereka masih SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
menjadi bagian dari keabsahan keberadaan negara itu sendiri.
Civil Society: Lahan Bisnis Baru
Kesalahan konseptual yang paling akut dari konsep GG ketika ia menanggapi konsep civil society sebagai entitas yang terpisah dari negara. Padahal dari epistimologi kemunculan konsep ini sungguh bukan merupakan upaya untuk menarik masyarakat ‘keluar’ dari negaranya dan berdiri diametral dengan negara. Civil society secara institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan dari anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara yang mandiri serta dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. Termasuk di dalamnya adalah jaringan-jaringan dan pengelompokan-pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga, organisasi-organisasi sukarela, sampai dengan organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara tetapi melayani kepentingan masyarakat. Mereka hadir sebagai perantara bagi negara di satu pihak dan individu atau masyarakat di lain pihak. Namun demikian, civil society harus dibedakan dengan suku, klan atau jaringan-jaringan klientelisme, karena variabel utama di dalamnya adalah sifat otonomi, publik dan civic (Alagappa, 2004). Hal ini menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingankepentingan di muka umum. Sehingga skema hubungan antara negara dengan masyarakat sipil seharusnya masih dalam sebuah bingkai yang utuh. Penguasa yang sedang menempati struktur negara adalah persoalan tersendiri, dan negara sebagai sebuah jaringan komunal yang legal adalah masalah lain. Atas nama negara, bisa saja para penguasa yang ada Aktor dalam Sound Governance
SG 113
SG 114
melakukan aksi penghisapan dengan mengeluarkan berbagai regulasi yang itu sangat meminggirkan masyarakat sipil. Tapi bila substansi negara itu sudah menjadi sebuah organisme yang hidup maka regulasi dan kebijakan semacam itu pasti akan tertolak dengan sendirinya. Ini bisa diibaratkan dengan tubuh manusia. Ketika ada zat-zat asing yang tak sesuai dengan metabolisme tubuh, maka pasti self defend mecanism tubuh akan menolaknya. Dan apabila antibodi yang ada dalam tubuh tak mampu mengeluarkan toksin tersebut maka tubuh manusia itu akan mengalami sakit. Deskripsi di atas adalah gambaran yang terjadi akan nasib negara di berbagai belahan dunia saat ini. Banyak penguasa-penguasa negara yang meracuni tubuh negaranya sendiri dengan kebijakan yang menghisap rakyat dan meniadakan demokrasi. Indonesia merupakan satu contoh terbaik untuk membuktikan teori tersebut. Menghadapi kondisi ini, maka ide tentang tumbuhnya negara sebagai monster leviathan harus dihadapi dengan cara mengembalikan kesejatian negara itu. Tapi GG justru membiarkan mutasi negara itu tetap terjadi. Kemudian ia mengeluarkan beberapa anggota tubuh dari makhluk yang bernama negara itu untuk menjadi lawan tandingnya. Ini bisa jadi merupakan sebuah proses evolusi dari organisme negara. Negara telah berubah bentuk karena adanya perlakuan alam yang berubah. Hanya saja yang menjadi masalah adalah proses evolusi ini bukan sebuah perubahan gradual yang progresif. Karenanya, alam harus direcovery. Alam harus dikembalikan keasliannya. Dengan demikian, negara harus kembali pada keasliannya. Yakni negara sebagai ikatan kolektif atas berbagai elemen yang ada di dalamnya untuk kemudian bersepakat merumuskan dan mencapai cita-cita kemajuan bersama. Klaim bahwa civil society yang dikeluarkan dari ikatan negara dan menjadikannya sebagai lawan tanding membuat seolah tidak ada masalah sedikitpun darinya. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Pepatah klasik vox populi vox dei telah mengalami hiperbola yang luar biasa. NGO’s, GRO’s dan rakyat pada umumnya seolah pasti benar dan tak ada masalah bawaan di dalam diri mereka yang bisa jadi pelibatannya justru membuat masalah menjadi semakin akut. Konspirasi elit NGO dan tokoh masyarakat tertentu dengan berbagai penguasa dan pengusaha hitam malah akan membuat runyam keadaan. Kelompok masyarakat sipil yang kritis terhadap kebijakan penguasa namun tidak didasari oleh keberpihakannya pada rakyat adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Ada banyak kepentingan yang membalut kelompok-kelompok semacam ini yang terkadang tak murni. Apakah itu akibat desakan donatur asing atau justru digerakkan oleh kelas-kelas elit yang kecewa akibat distrubusi kekuasaan yang tak sesuai dengan ekspektasinya (Farazamnd, 2004). Bahkan yang terjadi di lapangan kita melihat bahwa ternyata tidak sedikit elemen rakyat yang juga aktif dalam melakukan tindakan korupsi. Dulu pada masa orde baru kita sering mendengar cemooh yang ditujukan pada para pejabat pemerintah, bahwa mereka adalah tukang korupsi. Lalu muncul ide-ide agar rakyat diberi kepercayaan untuk mengelola pembangunan, maka dipastikan korupsi tidak akan terjadi. Tapi benarkah demikian? Kasus KUT (kredit usaha tani) misalnya. Proyek ini menjadi sangat terkenal di Indonesia. Tapi bukan karena suksesnya program ini dalam penyejahteraan petani, melainkan karena banyak sekali kebocoran di sana. Banyak sekali kasus yang sudah masuk ke pengadilan atas penyelewengan dana KUT ini. Tak sedikit dari mereka yang saat ini juga sudah masuk hotel prodeo. Dan pelakunya bukan pejabat negara melainkan masyarakat sendiri. Atau berbagai program bantuan dana langsung ke masyarakat (BLM) dari berbagai proyek pemerintah yang juga banyak ditilap oleh masyarakat sendiri.
Aktor dalam Sound Governance
SG 115
SG 116
Elemen civil society lainnya yang sering didengungdengungkan sebagai benteng terakhir moralitas publik adalah LSM atau Ornop. Lembaga swadaya masyarakat atau disebut pula Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) ini didefinisikan sebagai lembaga-lembaga yang berada di luar sektor pemerintah maupun bisnis swasta, yang bergerak dalam berbagai kegiatan pembangunan atau pembelaan kepentingan umum, dan menekankan pencarian pola-pola alternatif serta pemberdayaan masyarakat. Adapun jenis kegiatan LSM hadir beragam mulai dari advokasi publik, pekerja sosial, pemberdayaan dan penyadaran, bantuan kemanusiaan, lingkungan hidup, hak konsumen hingga soal penggusuran rumah. Selama ini memang LSM diidentikkan dengan pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Dalam paradigma GG, NGO’s dikonseptualisasi sebagai salah satu pilar utama elemen masyarakat sipil ( civil society). Isu yang paling keras dalam membincang NGO adalah dari mana asal muasal sumber dana organisasi tersebut. Ini menjadi pembahasan penting sebab masalah yang melingkupi perihal pendanaan NGO ini sangat dekat dengan pepatah kaum marxist modes of production. Suara dan isu yang diangkat oleh NGO 99% sangat ditentukan siapa yang mem-back up dapur finansialnya. Konsep paling ideal pendanaan NGO adalah ketika organisasi tersebut memiliki sumber pendanaannya sendiri. Hal ini sering dikenal dengan istilah fund rising. Tapi kalau dilihat secara cermat sesungguhnya sangat sedikit NGO di dunia ini yang mampu memiliki sumber pendanaan internal yang tangguh. Umumnya NGO masih menggantungkan energi pendanaannya dari sumber luar. Bahkan di negaranegara maju sekalipun sebagian besar NGO didanai oleh sumber dari luar. Mekanismenya adalah dana-dana sosial dari perusahaan-perusahaan besar ( Corporate Social Responsibility ) diserahkan pada negara, lalu negara mendistribusikan dana tersebut ke berbagai lembaga sosial
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
untuk dirupakan dalam berbagai program NGO. Atau ada juga per usahaan yang langsung menyerahkan dana tersebut pada berbagai NGO yang ada, baik skala nasional maupun internasional. Dana-dana inilah yang kemudian tersebar ke berbagai lembaga donor (funding agencies) di seluruh dunia. Dan akhirnya sebagian dana tersebut sampai ke berbagai NGO di Indonesia. Ada juga sumber pendanaan NGO yang langsung dari dana negara yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan NGO. Ini biasanya dapat terlihat jelas dalam perencanaan keuangan negara baik tingkat nasional maupun daerah (di Indonesia bisa melalui APBN atau APBD). Kalau seperti ini maka sumber dana menjadi tidak jelas, artinya tidak hanya dari berbagai korporasi melainkan bisa juga dari pajak ataupun sumber keuangan negara lainnya. Informasi mengenai sumber dana memberikan beberapa masukan yang menarik. Kebanyakan organisasi tergantung pada gabungan dari sumber dana yang berbedabeda; pada umumnya sumber-sumber dana tersebut merupakan kombinasi antara swadana (iuran keanggotaan, sumbangan swasta), pendapatan yang berasal dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan (biaya konsultasi, pendapatan dari koperasi), dan lembaga-lembaga pemberi dana baik dalam negeri maupun internasional. Perluasan sumber dana swadaya adalah bukti kreativitas dan komitmen organisasi-organisasi tersebut dan juga merupakan tanda penghargaan dari komunitas lokal atas dukungan yang diberikan oleh mereka. Kenyataan bahwa kurang dari seperempat organisasi yang terdaftar menerima dana internasional barangkali dapat mengurangi kesan bahwa peace building “dikendalikan oleh donatur.” Dalam konteks ini maka pertanyaan besarnya adalah bagaimana dengan konsep independensi NGO dalam menyuarakan kepentingan rakyat? Apakah keberpihakan fundamental mereka kepada kaum tertindas mendapat legitimasi yang cukup kuat ketika penghidupannya justru tergantung pada kekuatan-keuatan mainstresam ? Aktor dalam Sound Governance
SG 117
SG 118
Independensi sebuah gerakan sosial hanya dibatasi dengan istilah non-partisan belaka. Konsep non-partisan itu sendiri juga dipersempit lagi dengan tidak ada keterikatan formal antara NGO dengan partai politik. Ide religius tentang value free tentu tak akan cocok bila dipakai untuk memotret fenomena gerakan sosial termasuk juga aktifitas ornop. Independensi ornop tidak ditentukan ada tidak kepentingan di balik tindak tanduknya, melainkan dari pertanyaan apakah ada kepentingan partai politik di situ. Padahal bisa jadi kekuatan-kekuatan di luar partai akan lebih politis ketimbang kepentingan partai politik itu sendiri. Sejarah perkembangan ornop di Indonesia pun tak lepas dari ambigu. Pada saat Orde Baru tumbang dan beralih menjadi Orde Reformasi maka keberadaan LSM bagaikan cendawan di musim hujan. Memang tidak sedikit LSM yang lantang menyuarakan dan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apalagi bila ada kebijakan pemerintah yang dilahirkan ternyata dinilai merugikan kepentingan rakyat, mereka pun ramai berteriak. Tetapi apakah keberadaan mereka memang semata-mata untuk menyuarakan kepentingan dan memperjuangkan nasib rakyat? Nyatanya memang tidak semua LSM yang berdiri tersebut benarbenar murni karena kepentingan rakyat. Berdirinya mereka sebagian disebabkan pula oleh persyaratan-persyaratan yang diterapkan oleh lembaga keuangan internasional. Ambil contoh Bank Dunia, yang mensyaratkan perlunya pemerintah bekerja sama dengan LSM dalam proyek yang akan mereka kucurkan. Maka tak heran bila akhirnya muncul LSM ‘jadi-jadian’ dan juga LSM yang dinamakan plat merah. Dengan kata lain, munculnya LSM disebabkan dua hal. Pertama , karena kebutuhan riil masyarakat. Kedua, karena adanya kucuran dana dari lembaga donor (funding). Bila pada akhirnya pihak donor mengucurkan dananya kepada para LSM tersebut, baik secara langsung ataupun tidak, apakah memang tidak terdapat agenda SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
tersembunyi dari pihak donor tersebut ataupun dari negara yang diwakilinya? Yang jelas, pihak lembaga donor yang mengucurkan bantuannya tidak akan sembarangan dalam menyetujui proposal program yang ditawarkan oleh pihak LSM. Mereka akan memilah dan memilih program yang memang dirasakan ‘pas’ bagi mereka. Hingga pada akhirnya akan muncul sebuah indikasi ketergantungan dari LSM tersebut terhadap pihak pemberi dana. Dari kondisi tersebut yang lebih menggelikan lagi di Indonesia mengenal 3 kategori LSM, yaitu plat merah, plat kuning dan plat hitam. LSM plat merah adalah LSM “bentukan” dari pemerintah dimana seringkali hanya dijadikan alat “penutup” kedok agenda GG yang melibatkan 3 pilar utama dalam menjalankan pemerintahan yaitu civil, privat dan society . Dalam pandangan pemerintah sendiri, dibentuknya LSM Plat Merah yang notabene berisi istri-istri pejabat ini adalah agar jika mereka memiliki proyek yang harus melibatkan LSM maka LSM-LSM plat merah inilah yang kemudian dirangkul agar seakan-akan pemerintah telah menjalankan GG dengan baik. Padahal alangkah piciknya jika semua tahu bahwa LSM tersebut tidak lebih memang telah dipersiapkan dan dikondisikan seperti itu. Jadi mereka menyetujui apa yang menjadi kata pemerintah bukan karena mereka tahu bawa programprogram tersebut menguntunkan masyarakat tetapi lebih kepada wujud “kesetiaan” kepada sang tuannya. LSM plat merah ini juga disinyalir membela kepentingan pejabatpejabat pemerintah yang biasanya dilakukan untuk mengejar posisi tertentu, seperti bupati, gubernur atau lebih ke atas lagi. LSM seperti ini menyalahgunakan perannya dan mereka menjadi backing pemerintah. Artinya, jadi setiap kegiatan yang dijalankan adalah untuk kepentingan pemerintah. Adapun sumber dana dari LSM plat merah ini sudah pasti dan sudah tentu dari pemerintah terlepas apakah itu dana memang sudah dianggarkan untuk itu ataukan dana-dana lain yang ada di pemerintahan yang mungkin semestinya tidak dialokasikan untuk itu. Aktor dalam Sound Governance
SG 119
SG 120
LSM plat kuning bukan hasil bentukan dari pemerintah tetapi LSM ini terbentuk semata-mata untuk mencari keuntungan. Sehingga orientasinya lebih kepada keuntungan dan laba dari organisasi tersebut dan bukannya malah menjadi media pengontrol bagi kinerja pemerintah. LSM plat kuning ini bisa ditumpangi siapa saja dengan maksud apapun asalkan “cocok harga”. Karena terbentuknya LSM ini lebih berorientasi pada uang, maka setiap proyek yang masuk akan mereka terima walaupun bukan pada bidang tugasnya. Adapun sumber dana LSM plat kuning ini seringkali berasal dari donor terlepas apakah itu donor asing maupun dari dana swadaya masyarakat dan juga anggotanya sendiri. Dan karena orientasinya pada keuntungan maka mereka pasti berusaha mencari input yang setinggi-tingginya bahkan mengkhianati rakyat akan dilakukan asalkan mendapatkan uang. Sedangkan LSM plat hitam adalah yang disebut-sebut sebagai satu-satunya LSM yang murni menjalankan fungsi sebagaimana mestinya yaitu sebagai media pengontrol kinerja pemerintah dan juga mengkritisi kebijakankebijakan pemerintah yang dirasa tidak akuntabel dan tidak membawa manfaat bagi masyarakat umum. LSM ini merupakan LSM yang independen. LSM ini juga merupakan satu-satunya LSM yang konsisten pada satu bidang tugasnya. Karena LSM ini disinyalir sebagai satusatunya LSM yang benar-benar murni terbentuk untuk mengkritisi kinerja pemerintah maka mereka pasti berusaha mendapatkan dana untuk menjalankan organisasinya. Adapun sumber dana ini tidak mungkin jika berasal dari pemerintah karena seperti kita tahu pemerintah telah memiliki tugas untuk menghidupi LSM bentukan mereka. Oleh karena itu dana ini sebagian besar didapat dari donor asing. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah karena ketergantungannya pada donor asing sehingga tidak jarang mereka dianggap menjadi corong asing dan sedikit melenceng dari komitmen awalnya. Jumlah LSM plat hitam ini di Indonesia sangatlah sedikit. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Jika kenyataanya seperti ini masihkan agenda GG yang dikehendaki akan mampu dilaksanakan dengan benar karena pada akhirnya keterlibatan ketiga sektor tersebut juga merupakan akal-akalan dari pemerintah. Dimana letak transparansinya jika NGOs yang profit oreinted tersebut dengan sukarela dan sudah pasti selalu mengiyakan dan menjalankan apa kata tuannya serta menyetujui semua kebijakan yang mungkin justr u membawa kemunduran bagi bangsa ini. Alangkah lebih bijaksana jika kita mencoba melihat NGO yang ada di luar negeri dimana mereka benar-benar mampu menjadi alat pengontrol pemerintah karena mereka murni terbentuk untuk itu tanpa tendensi apapun daripada harus kebingungan mencari dana dari luar atau harus menjalankan apa kata tuannya. Di sinilah pentingnya capacity building yang diprogramkan secara eksplisit dalam SG. SG beranggapan bahwa idealnya NGO adalah yang dapat mendanai semua kegiatannya dan aktifitasnya secara mandiri. Tidak tergantung dari pihak luar, baik pemerintah maupun donor asing. Tetapi SG juga tidak anti terhadap berbagai program sokongan dana yang diberikan pada LSM asalkan niatnya adalah dalam kerangka peningkatan kapasitas. Akan lebih bagus bila semua bentuk bantuan dana kepada NGO atau GRO berupa program yang langsung mengarah pada capacity building. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pula bila suntikan-suntkan dana itu bersifat program sektoral, tetapi target utamanya tetap peningkatan kapasitas. Sehingga SG berharap semua bantuan dana pada masyarakat sipil itu sifatnya adalah penyiapan kemandirian mereka dalam jangka panjang.
Aktor dalam Sound Governance
SG 121
Sektor Swasta: Dieksplotasi dan/atau Mengeksploitasi
SG 122
GG mengasumsikan bahwa antara pemerintah, masyarakat dan pelaku bisnis hanyalah tiga entitas yang berbeda sektor saja. Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa secara psikologis sektor bisnis agak jauh berbeda dengan masyarakat sipil dan pemerintah. Kita bisa saksikan perbedaan ekstrem ini pada berbagai rapat atau pertemuan yang diselenggarakan untuk mempertemukan mereka. Sangat mudah untuk menghadirkan unsur masyarakat dan pemerintah, tetapi tidak untuk unsur dunia usaha. Kenyataan di lapangan, dunia usaha adalah unsur yang paling sulit diajak bekerja sama dan bermusyawarah untuk membahas berbagai persoalan publik. Di berbagai tempat di selur uh Indonesia, partispasi dunia usaha dalam pertemuan-pertemuan sosial semacam ini adalah yang paling rendah dan memprihatinkan. Mereka, unsur dunia usaha, hanya akan datang pada acara-acara yang terkait dengan bisnis dan sejauh itu menguntungkan saja, misalnya pada acara-acara tender. Kalangan bisnis sangat jauh dari atmosfer perbicangan masyarakat dan pemerintah khususnya dalam membicarakan pembangunan baik di tingkat daerah maupun pusat. Kalau toh ada satu dua perwakilan dari dunia usaha yang datang, umumnya adalah dari sektor yang sangat kecil. Adapun pelaku-pelaku bisnis yang besar umumnya mereka lebih senang bermain lobby dengan pejabat-pejabat tinggi untuk mendapatkan tender ketimbang duduk bersama rakyat, bermusyawarah untuk membicarakan arah pembangunan dan perbaikan kondisi sosial ekonomi secara makro. Parahnya partisipasi private sector dalam proses pembangunan partisipatif ini sekaligus membuktikan bahwa klaim keberhasilan GG selama ini hanya di atas kertas semata. Bukti bahwa pihak pemerintah, swasta dan
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
masyarakat sipil telah bahu-membahu berkerja menyejahterakan rakyat hanyalah ada di dokumen-dokumen laporan kegiatan semata. Secara substantif, sektor swasta tetap saja hanya memperhatikan keuntungan bisnisnya semata. Itu masih lebih baik. Di beberapa tempat sektor swasta justru melakukan banyak hal yang kontraproduktif dengan proses demorkatisasi pembangunan itu sendiri. Mereka melakukan lobby pada elite birokrasi dan elit politik untuk menggolkan proyek mereka, atau memenangkan mereka dalam proses tender. Oleh karena itulah SG lebih terfokus pada penegasan paradigmatik peran dan tanggungjawab private sector dalam pembangunan. Hal ini jauh lebih penting ketimbang memikirkan bagaimana pola hubungannya dengan aktoraktor lain yang ada di masyarakat seperti yang dilakukan GG. Bila hanya terfokus pada penciptaan hubungan dengan aktor-aktor yang ada maka yang jadi masalah adalah adanya pola hubungan yang justru saling memanipulasi atau mengkooptasi. Bila pola hubungan yang seperti ini yang terjadi maka benar apa yang berulang dikatakan Shohat dan Stam (1994) bahwa ketidaadilan pola hubungan antar kuasalah yang akan terjadi. Masyarakat sipil yang secara komparatif memiliki kuasa lebih kecil dibanding pemerintah dan swasta akan menjadi korban. Maka SG dalam melihat sektor swasta terlebih dahulu penting untuk menegaskan tugas dan tanggungjawabnya. Dan itu harus tertuang dengan jelas dalam regulasi. Kontribusi pihak swasta dalam proses pembangunan ini sebenarnya berada dalam pembahasan yang sangat sulit. Hanya saja studi-studi administrasi publik selama ini tidak cukup banyak membicarakannya. Bila kita membuat regulasi yang terlalu ketat akan dipersalahkan. Sebaliknya, bila terlalu longgarpun akan salah. Ada persoalan besar tentang batasan penentuan derajat dan proporsi yang tepat dalam hal keterlibatan sektor bisnis dalam pembangunan. Sejauh ini GG sama sekali belum memberikan arah yang Aktor dalam Sound Governance
SG 123
SG 124
jelas dari komplikasi ini. Adapun dua kutub dilematis itu bersandar pada dua paradigma dasar, pertama paragdima pajak dan yang kedua adalah tanggungjawab sosial perusahaan. Pertama, beberapa kalangan menganggap bahwa satusatunya wujud tanggung jawab per usahaan dalam pembangunan adalah pajak. Ketika pemerintah telah membuat regulasi perpajakan yang di dalamnya juga mengatur bagaimana dan seberapa besar pajak yang harus dibayarkan, maka sebesar itu pulalah tanggung jawab perusahaan yang harus ditunaikan. Perusahaan tidak perlu lagi ditambahi beban-beban lainnya yang hanya akan mengganggu pekerjaan utama mereka menghasilkan produk dan profit sebanyak-banyaknya. Lebih dari itu, kehadiran dunia bisnis sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi makro sebuah bangsa. Oleh karenanya penciptaan suasana bisnis yang nyaman dan aman bagi investor adalah hal yang sangat penting untuk menggerakkan ekonomi sebuah bangsa. Bila tak ada sektor bisnis yang bergerak di sebuah daerah atau negara tertentu, maka bisa dipastikan lokasi tersebut akan segera terkena krisis perekonomian yang cukup akut. Mengingat Indonesia tidak menganut sosialisme secara ekstrem, maka tugas-tugas melakukan proses produksi ini tidak bisa diserahkan seratus persen pada negara. Pemberian banyak beban tambahan pada sektor bisnis tidak lain hanya akan membuat iklim usaha di daerah tersebut akan menjadi buruk. Hal ini akan berujung pada banyaknya kerugian dan krisis sosial ekonomi yang akan diderita oleh masyarakat dan derah itu sendiri. Paradigma ini beranggapan bahwa, jangankan untuk membebani perusahaan-perusahaan dengan beban dan tanggung jawab tambahan, memberikan pajak yang terlalu besar pun akan berkontribusi secara negatif terhadap tumbuh kembangnya iklim usaha di sebuah daerah. Sehingga penentuan jumlah dan besaran pajak kepada
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
perusahaan itu berbanding terbalik dengan iklim usaha dan investasi. Semakin kecil beban pajak yang diberikan semakin senang pelaku bisnis untuk melakukan bisnisnya di daerah atau negara itu. Sebaliknya, semakin tinggi pajak yang dikenakan, semakin enggan mereka melakukan aktifitas bisnis di sana. Hal ini makin diperkuat dengan kenyataan tentang leluasanya aliran modal berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga hari ini daerah A memiliki banyak investor, bisa saja keesokan harinya ditinggalkan oleh seluruh investor yang dimilikinya itu gara-gara daerah tetangganya memberikan banyak tawaran regulasi pajak yang menggiurkan bagi investor (jauh lebih rendah), dan membuat para investor itu memindahkan seluruh aktifitas bisnis dan modalnya ke daerah tersebut. Pandangan yang ada di paradigma ini tentu saja hanya mengharapkan kepatuhan para pemilik perusahaan untuk membayar pajak sebagai kontribusi tertinggi mereka dalam pembangunan. Di Indonesia hal ini menjadi masalah klasik dan akut sejak bertahun-tahun. Berdasarkan informasi dari Dirjen Pajak, kasus penggelapan pajak yang sedang diselidiki per awal tahun 2008 sebanyak 50 kasus dugaan penggelapan pajak. Total perkiraan kerugian negara akibat penggelapan itu sekitar Rp 325 miliar. Jumlah kerugian negara digabungkan dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp 1,625 triliun. Data dari Dirjen Pajak juga menunjukkan bahwa jumlah kasus yang ada dari tahun ketahun terus meningkat. Hal tersebut sekaligus sebagai tantangan bagi pandangan yang menganggap bahwa pajak adalah satusatunya dan sekaligus bentuk kontribusi tertinggi dari sektor swasta pada pembangunan. Ketika kita hanya mendasarkan pada pajak, dan kenyataan kecurangan dan penggelapan pajak yang dilakukan oleh para pebisnis masih begitu parah, lalu sampai kapan rakyat akan menunggu kontribusi yang nyata dari pihak swasta yang telah Aktor dalam Sound Governance
SG 125
SG 126
menjalankan binisnya dan mengeruk banyak keuntungan dari daerahnya? Penegakan hukum dan pendisiplinan, baik bagi aparatur pajak maupun pembayar pajak masih merupakan pekerjaan rumah yang sangat panjang. Sementara pembangunan dan kesejahteraan rakyat adalah persoalan yang harus segera diselesaikan dalam jangka pendek. Hal ini pulalah yang sebenarnya mengantarkan pada paradigma kedua yang lebih menekankan pentingnya tanggungjawab sosial perusahaan. Paradigma berikutnya berpandangan bahwa perusahaan harus memiliki peran dan tanggungjawab lebih dalam pembangunan dan kemasyarakatan serta tidak hanya sebatas membayar pajak. Asumsi yang dipakai adalah bahwa perusahaan dan para pebisnis tersebut telah menggunakan berbagai sumber daya yang ada di daerah tertentu. Sehingga sudah sewajarnya masyarakat dan daerah yang ditempati tersebut juga mendapatkan keutungan dari keberadaan lembaga-lembaga bisnis itu. Di samping itu, dalam struktur sosial ekonomi yang lebih luas, kesenjangan ekonomi yang ada di masyarakat saat ini sangatlah tinggi. Dan keberadaan berbagai sektor bisnis yang ada di Indonesia saat ini tidak banyak membantu dalam memperkecil kesenjangan ekonomi yang ada. Lebih buruk lagi, kesenjangan yang ada malah cenderung makin parah dengan adanya berbagai sektor bisnis tersebut. Di Indonesia sekaligus terdapat orang terkaya se Asia Tenggara, dan hampir dapat pastikan mungkin juga akan didapatkan orang termiskin. Keberadaan para pelaku bisnis kaya yang hidup di tengah masyarakat Indonesia –yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan- membuat banyak kalangan berharap agar sektor bisnis ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan. Kontribusi yang dimaksudkan di sini tidak hanya melulu terkait dengan bantuan dana yang bersifat charity , melainkan lebih merupakan keterlibatan secara aktif dan strategis SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
untuk ikut memikirkan dan menemukan solusi bagi masalah kemiskinan. Sektor swasta yang selama ini beroperasi di berbagai daerah di Indionesia dianggap telah banyak membuat para pemilik modal atau kelas menengah atas dari perusahaan-perusahaan tersebut menjadi kaya, tetapi tidak berdampak apapun bagi masyarakat banyak. Tidak terbuktinya teori trickle down effect telah semakin memperkuat anggapan bahwa perusahaan memang harus memberikan dan menunjukkan peran nyata dalam pembangunan dan berbagai urusan sosial kemasyarakatan lainnya. Kerja murni untuk produksi dan mengakumulasi kapital tidak lagi menjadi satu-satunya alasan keberadaan sektor bisnis tumbuh dalam ruang kehidupan. Belum lagi ketika melihat kenyataan bahwa pada sektor sosial terdekat pun ternyata dunia usaha di Indonesia belum bisa dipercaya sepenuhnya mampu menyejahterakan mereka, yakni kaum buruh. Ada janji bahwa tumbuhnya sektor industri sektor industri di sebuah daerah atau negara akan membuat kesempatan kerja di lokasi itu mengalami peningkatan sehingga terwujud kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Kenyataan yang bisa dilihat sampai hari ini adalah fakta bahwa kaum buruh masih tertindas. Dalam dunia ekonomi politik fenomena ini dikenal dengan istilah race to the bottom (Singh, 2004). Race to the bottom adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena industri yang berusaha menekan biaya-biaya sosial dan lingkungan demi menekan biaya produksi yang dikeluarkan oleh pemodal. Sebagai akibat umum dari praktek race to the bottom ini maka upah dan kesejahteraan buruh harus ditekan. Demikian pula berbagai pengeluaran lain terkait dengan pembuangan limbah. Sehingga tak jarang peningkatan jumlah perusahaan yang beroperasi di sebuah tempat berbanding lurus dengan makin besarnya tingkat pencemaran lingkungan hidup (tanah, air maupun udara) di daerah tersebut.
Aktor dalam Sound Governance
SG 127
SG 128
Berbagai cerita tentang wajah buruk dunia usaha di Indonesia, mulai penggelapan pajak, penindasan buruh dan pencemaran lingkungan makin mempertegas bahwa tidak cukup tanggung jawab sosial, politik dan ekonomi mereka hanya tertunaikan melalui pajak. Harus ada berbagai beban tambahan yang bersifat taktis maupun strategis yang diberikan kepada mereka sebagai wujud kontribusi konkretnya dalam pembangunan. Paradigma kedua ini pun masih menyisakan persoalan yang tidak sederhana. Semakin perusahaan ditekan dengan berbagai beban tambahan maka para investor akan berpikir bahwa di daerah tersebut memiliki high cost economy . Dan sesungguhnya hal inilah yang selama ini terjadi di Indonesia. Sebagaimana layaknya praktek preman pasar yang sudah menarik “uang keamanan” bagi para pedagang, di dalam skala yang lebih luas praktek ala ‘preman pasar’ ini juga melanda dunia investasi kita. Ketika sebuah investasi direncanakan hendak datang ke sebuah daerah, maka para aktor-aktor penting di daerah tersebut telah berbondong-bondong mendatangi kantor perusahaan tersebut untuk meminta jatah ataupun “uang kemananan”. Mulai dari pejabat eksekutif maupun legislatif yang membawa daya tawar regulasi untuk mendapat jatah dari si investor, para aparat keamanan, hingga LSM jadi-jadian yang mengancam akan melakukan demo besar-besaran jika si pengusaha tidak memberi mereka sejumlah konpensasi yang diminta. Hal-hal seperti tersebut di atas makin memperumit konsep peran sektor swasta dalam pembangunan. Dan sekali lagi kerumitan ini masih menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab dalam wacana tata pemerintahan, khususnya di Indonesia. Lubang besar itu pun belum terjawab dalam konsepsi GG. Dalam GG ada anggapam ideal bahwa perusahaan memiliki peran langsung dan terlibat dalam proses-proses sosial dan demokrasi baik pada level perencanaan maupun SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
dalam pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Bagaimana mereka bisa terlibat bila posisi mereka saat ini berada dalam dua titik ekstem, yaitu mengeksploitasi masyarakat daerah atau dieksploitasi oleh mereka. Maka, SG mempersepsi peran swasta dalam proses tata pemerintahan tidak lagi pada ukuran seberapa banyak dia terlibat dalam rapat-rapat atau seberapa banyak dana yang dia berikan pada pemerintah (dalam bentuk pajak). Sebab hal terakhir tersebut sangat terkait dengan berbagai upaya supremasi hukum yang juga harus dilakukan secara simultan. SG memandang peran penting dari sektor swasta adalah bagaimana kehadirannya di tengah-tengah masyarakat dapat berdampak secara signifikan bagi kesejahteraan secara umum dan memperkecil gap pendapatan yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks inilah maka konsep-konsep seperti public-private partnerships (PPP) ataupun berbagai konsep dan teori tentang community devolpment mengambil peran sebagai pilihan-pilihan taktis. Bukan sebagai tujuan dan keharusan sebagaimana umumnya para pendukung GG anjurkan.
Aktor Internasional
Yang membuat SG sama sekali baru dalam khazanah administrasi publik adalah perhatiannya yang kuat pada pengar uh aspek internasional dalam proses tata pemerintahan. Ambil salah satu contoh pada satu kekuatan besar yang beroperasi di peta politik dunia, WTO (World Trade Organization). Ia merupakan sebuah organisasi yang beranggotakan berbagai negara di dunia yang (dipaksa untuk) sepakat dalam mencapai cita-cita “perdagangan bebas internasional”. WTO sendiri tidak serta merta muncul menjadi kekuatan dominan yang akhirnya akan berpegaruh pada berbagai kebijakan domestik negara-negara anggotanya termasuk Indonesia. Ia di-back up oleh World Bank sebagai penata financial. Sementara Multi-National Corporation (MNC) berperan sebagai penguasa perdagangAktor dalam Sound Governance
SG 129
SG 130
an dan PBB sebagai penata politik global. Sedangkan sponsor utama dari lembaga-lembaga dominan itu adalah negara-negara maju dunia yang tergabung dalam G-8 (AS, Kanada, Jepang, Rusia, Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman). SG melihat bahwa praktek transforasi pasar bebas yang dilakukan secara sistematis ini sangat berpengaruh terhadap kualitas tata pemerintahan di seluruh dunia. Hanya saja, sangat mengherankan mengapa GG sama sekali tidak melibatkan faktor maha penting ini dalam semesta pembicaraannya. Berikutnya kita akan lihat bagaimana modus operandi mereka di sektor ekonomi dan politik. Per usahaan-per usahaan transnasional, menur u t laporan Investsai Dunia 1993 yang diterbitkan Perserikatan bangsa-bangsa (PBB), ada 37.000 perusahaan transnasional yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. Sembilan puluh persen dari per usahaanperusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara maju. Dengan menggabungkan data dari berbagai sumber, seorang akademisi Inggris Paul Hirst dan Graham Thompson, dalam Globalization in Question (Hirst, 1996) mencatat penjualan dan aset per usahaanperusahaan transnasional yang maha besar jumlahnya itu terkosentrasi di negara atau regional “rumah” mereka, “di samping semua spekulasi mengenai globalisasi”. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional di sektor manufaktur dengan kantor pusat mereka yang ada di Amerika Serikat pada tahun 1987, 70% dari penjualan mereka dan 67% dari aset mereka ada di Amerika Serikat sendiri. Di tahun 1993, 67% dari penjualan dan 73% aset mereka berada di Amerika. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada tahun 1987 dan 1993 ada di Eropa dan Kanada. Bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang berpusat di Eropa Barat, terjadi penyebaran penjualan dan aset mereka secara lebih luas. Akan tetapi antara 70-90% diantaranya ada di negara “induk” (negara asal perSOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
usahaan) dan di negara-negara Eropa Barat lainnya. Untuk perusahaan-perusahaan transnasional yang bergerak dalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75% dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang, begitu juga 97% aset mereka. Antara tahun 1987-1993, terjadi perkembangan konsentrasi aset-aset para perusahaan transnasional di negara “induk/asal” masingmasing, ketimbang trend ke arah “globalisasi”. Dari statistik di atas kita dapat melihat bahwa, jauh dari apa yang disebut sebagai penyebaran aset dan penjualan mereka, sekalipun menyeberangi bola bumi, justr u per usahaan-per usahaan transnasional telah memusatkan baik produksi dan penjualan komoditi mereka di negara-negara “induk”. Dan mereka telah menginternasionalisasikan operasi-operasi mereka ini yang dikonsentrasikan di negara-negara kapitalis maju lainnya. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tidak merata (uneven) dalam hal investasi langsung (Foreign Direct Investment atau investasi langsung) dan perdagangan dalam skala global. 100 per usahaan transnasional terbesar di dunia memiliki sepertiga dari modal ini. Dalam konteks dominasi politik, kita akan melihat bagaimana negara-negara G-8 memaksa untuk mempengaruhi peta politik dan kebijakan domestik di berbagai negara berkembang. Pertama, ketika kedelapan pemimpin membicarakan rencana AS untuk menyediakan 700 juta dolar guna menarik negara-negara lain untuk mengirim pasukannya ke Irak dan perang melawan terorisme. Kedua, akan menempatkan dana pembangunan Afrika sebagai prioritas. Ketiga, Kerjasama Baru bagi Pembangunan Afrika (NEPAD). Para pemimpin G-8 menggerojok bantuan miliaran dolar kepada NEPAD dalam upaya membantu memberantas kor upsi, melindungi demokrasi, dan melakukan reformasi terhadap ekonomi para anggota kelompok tersebut. Dalam KTT G-8 di Genoa, dimana Aktor dalam Sound Governance
SG 131
SG 132
kesenjangan digital ramai diperbincangkan, Italia menghimbau negara-negara lain untuk mengatasinya dengan membentuk DOT (Digital Opportunity Task). Sejauh ini, sekitar 12 juta euro telah dialokasikan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan TI di negara-negara berkembang. Akibatnya, arus informasi tak terbendung, dekadensi moral pasti datang mengiringi. Har us diakui bahwa dominasi yang terjadi menyebabkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju yang diakhiri dengan terposisikannya negara berkembang sebagai negara kapitalis pinggiran. Untuk mengetahui pokok-pokok pikiran dari teori ketergantungan, Frank (1996) mengungkapkan dua hal pokok. Pertama, negara yang ekonominya maju berarti tidak underdeveloped meskipun mungkin pernah mengalami kondisi underdeveloped . Bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi kapitalis, negara maju kemudian menyandarkan diri pada kekayaan sumber daya alam dari negara Dunia Ketiga. Kedua , menumpuknya modal merupakan kekuatan pendorong (driving force) di balik proses ini. Sebagai dampaknya adalah distributor besar, pemilik industri manufaktur, dan bankir mencari keuntungan sebesar-besarnya di negara Dunia Ketiga. Aspek tersebut di atas akan membawa dampak pada perilaku pedagang, produsen dan bankir untuk mengakumulasikan modalnya di negara Dunia Ketiga agar mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini akan menghasilkan surplus yang banyak dinikmati negaranegara maju. Dan, pemindahan surplus ke negara-negara maju dimaksudkan untuk mempertahankan supaya sistem ekonomi negara Dunia Ketiga ( periphery ) tetap berorientasi keluar dengan mengekspor bahan mentahnya dan mengimpor barang-barang siap pakai. Maka industri di negara Dunia Ketiga akan tetap tergantung pada kekuatan sentral (centruum forces) , utamnaya ketergantungan di bidang teknologi dan modal. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Selanjutnya, dinamika internal sistem ekonomi juga dikembangkan dalam Dunia Ketiga, yaitu dengan memperkuat sistem ketergantungan. Upah diupayakan serendah mungkin, pasar domestik ( internal market ) dibatasi dengan cara pembelanjaan income di negara maju oleh kalangan elite di negara Dunia Ketiga. Polarisasi kekayaan menuju negara maju tidak dapat dihindarkan. Pasar di negara Dunia Ketiga tidak lebih dari sekedar perwujudan tuntutan elite setempat. Hal ini diperparah dengan kelompok kapitalis negara Dunia Ketiga yang memiliki kecukupan modal justru mengadakan hubungan dengan kaum borjuis di negara maju. Sehingga memungkinkan berkembangnya negara-negara dengan sistem kolonial ekonomis atau yang dikenal dengan ketergantungan centruum-periphery . Sistem kapitalis dunia merupakan hasil dari suatu sistem yang ingin mempertahankan dominasinya atas negara Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, otonomi penuh bagi negara Dunia Ketiga tidak akan terwujud. Sehingga Cardoso (1979) mengatakan bahwa ketergantungan ini terjadi sebagai akibat adanya kondisi str uktural yang tidak menguntungkan bagi negara Dunia Ketiga. Baik di tingkat internasional maupun nasional. Aksioma yang dikembangkan adalah bahwa pembangunan negara Dunia Ketiga akan berkembang secara pesat bila mereka menjalin aliansi yang kuat dengan negara Dunia Pertama. Dengan kondisi ini relasi ketergantungan ekonomi politik centruum-periphery tidak akan pernah dapat teratasi. Dalam konteks inilah secara langsung proses tata pemerintahan, terutama di negara-negara berkembang terpengar uh. Kapitalisme peripher y menjadikan originalitas reformasi pemerintahan negara berkembang tidak terjadi. Proyek-proyek GG yang di impose ke negara berkembang dari lembaga-lebaga donor asing makin memperkuat pola hubungan dependensi antara centruum and periphery tersebut. Dalam lalu lintas perbincangan Aktor dalam Sound Governance
SG 133
SG 134
seputar kapitalisme periphery ini, kita akan melakukan elaborasi dari beberapa tawaran konsep dari Andre Gunder Frank tentang konsepnya underdevelopment (Budiman, 1999: 29). Teori underdevelopment dari Frank mengatakan bahwa keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga adalah berangkat dari akibat-akibat struktural. Artinya, seiring dengan makin maju pesatnya perkembangan ekonomi negara Dunia Pertama maka pada saat yang sama negara Dunia Ketiga makin teralienasi. Analisis Frank ini makin dipertajam oleh Immanuel Wallernstein dengan idenya yang sangat terkenal, world system theory. Teori ini mengatakan bahwa di dunia ini pada dasarnya hanya terdapat satu sistem besar yang mengatasi sistem-sistem lainnya. Sistem besar yang dimaksud di atas adalah pasar internasional. Sistem besar tersebut secara bertingkat melakukan eksploitasi pada berbagai level di bawahnya. Negara mengeksploitasi produsen domestik. Lalu, kelas yang dieksploitasi oleh produsen mengeksploitas kelas lain yang bukan produsen. Demikianlah terjadi secara menerus hingga terbentuk kelas-kelas yang keberadaannya baru dalam susunan sosial dan merupakan model baru dalam perkembangan produksi (Giddens, 1986: 63). Hamza Alavi menggagas pendapatnya dalam dua arus besar. Pertama, penjabaran proses feodalisme tradisional menuju feodalisme kapitalis. Kedua, subsumption under capital masyarakat prakapitalis golongan pekerja upahan. (Alavi 1991: 138). Di tengah arus globaliasi sekarang hal di atas tidak makin memudar. Sebaliknya, hubungan tak adil secara global itu malah makin mengental. Memang dalam paradigma konstrukvisme tidak diakui sepenuhnya bahwa pola hubungan saat ini adalah hitam putih, penjajah dan terjajah. Akan tetapi hubungan yang ada lebih bersifat saling pengaruh mempengaruhi secara kompleks. Tetapi dalam hal ini SG lebih menaruh sandaran pemahamannya pada konsep policentrism yang percaya bahwa sekompleks SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
apapun hubungan yang terjadi, tetap ada relasi kuasa yang bisa dilihat dan diukur. Satu pihak lebih berkuasa ketimbang lainnya. Yang demikian itu adalah juga fakta yang tak bisa dipungkiri. Policentrisme dalam ekonomi politik terejawantah pada represivitas aktor-aktor internasional yang pada giliranya juga menular pada aktor-aktor nasional terhadap warganya. Sugiono (1999) pernah memberikan ilustrasi yang sangat tajam tentang otoriteriansme dan pembangunan di negara berkembang. Yakni ketika semua pejabat negara ter fokus pada segala daya upaya peningkatan persentase pertumbuhan ekonomi, GNP, dan nilai investasi. Untuk menuju ke sana maka, pilihan satusatunya jatuh pada industrialisasi skala besar. Untuk menggenjot industrialisasi skala besar sangat dibutuhkan modal yang besar. Sedangkan kelemahan utama negara berkembang termasuk Indonesia adalah minimnya modal. Sehingga satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkan big push dari MNC/TNC serta berbagai lembaga kapitalis internasional lainnya yang jelas memiliki kecukupan modal. Untuk melancarkan misi pemasukan per usahaan mereka sebebas-bebasnya dan sebanyak-banyaknya ke berbagai belahan dunia, the death triangle ini menyerang berbagai sudut. Tidak hanya dari sudut perekonomian saja, namun juga menyentuh hingga sudut politik dan kebijakan nasional. Pada titik inilah kita mengenal istilah structural adjusment programme (SAPs), yaitu sebuah kebijakan penyesuian di berbagai sektor yang harus dilakukan negara berkembang untuk dapat mengakses modal MNC/TNC. SAPs adalah paket kebijakan standar yang ditentukan oleh lembaga keuangan internasional bagi setiap negara di kawasan selatan. Elemen-elemen paket standar dan pengaruh negatif yang potensial bagi masyarakat miskin mencakup: Pengurangan belanja pemerintah, yang artinya memangkas belanja pelayanan sosial; Aktor dalam Sound Governance
SG 135
SG 136
Pencabutan subsidi, termasuk subsidi yang menguntungkan masyarakat miskin; Pembatasan ketersediaan kredit, termasuk kredit untuk para petani; Swastanisasi perusahaan-perusahaan negara yang dapat memacu pemusatan aset; Liberalisasi perdagangan, yang dapat menghancurkan kapasitas produktif domestik dan lapangan pekerjaan; Reorientasi ekonomi ke arah pasar ekspor yang dapat menyediakan insentif bagi “penambangan” sumber daya alam; Perlucutan hambatan-hambatan, yaitu “perlakuan nasional” untuk investasi asing, yang tidak menguntungkan sektor swasta domestik; dan Deregulasi pasar tenaga kerja, yang dapat menekan upah minimum. Ambil contoh implikasi SAP ini di sektor perburuhan. Visi kebijakan sektor perburuhan yang lebih menekankan pada kepentingan investor ini bagi pemerintah adalah pilihan yang paling rasional bagi mereka. Sebab, memang bagi MNC/TNC, biaya untuk memindah perusahaan itu sangat murah. Kasus penutupan (lock out) Sony Corporation misalnya, tidak dapat dipungkiri berakar dari adanya demo buruh beberapa tahun sebelumnya. Dan biaya pemindahan dari Indonesia ke Vietnam ternyata tidak lebih dari 20% dari keuntungan pertahun yang telah mereka raih. Dari sini terlihat memang bargain pemerintah dengan MNC/TNC sangatlah lemah. Terlebih ketika kita ditekan oleh SAP dari IMF dan perjanjian free trade zones dari WTO. Lemahnya bargain negara ketika berhadapan dengan MNC/TNC pada akhirnya harus mengorbankan buruh. Itu menunjukkan diplomasi internasional yang dilakukan diplomat-diplomat kita sangat lemah di samping fundamen SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
ekonomi kita yang juga memang rapuh. Terlepas dari kedua faktor tersebut, hal pokok yang menyebabkan kondisi itu karena Indonesia masih merupakan kapitalis periphery, yang tengah gagap melalui masa transisi dari feodalisme seperti halnya yang terjadi di India pada awal 1980-an (sebagaimana diulas oleh Alavi). Di sektor lain, baik pertanian, pendidikan, subsidi BBM, dan sebagainya mengalami kondisi yang sama dan modus operandi yang sama pula. Intinya adalah negara tidak memiliki otonomi dalam menentukan arah kebijakannya. Negara telah dikendalikan oleh kekuatan interasional melalui sebuah peraturan yang dinamakan SAP’s. Sehingga ketika banyak permasalahan dan kekacauan tata pemerintahan akibat hal-hal itu, apakah kita tetap hanya bisa mengandalkan analisis pada aktor-aktor lokal, yakni pemerintah, swasta dan masyaakat sipil? Hal di atas adalah bukti nyata bagaimana aktor-aktor lokal yang dicantumkan dalam GG tidak bisa berbuat apaapa ketika berhadapan dengan aktor internasional (dalam contoh di atas adalah MNC). Sehingga keinginan SG untuk menambahkan aktor internasional ke dalam diskusi reformasi tata pemerintahan sangatlah beralasan. Sebab secara rasional dan empirikal, hal ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama, dan sudah disadari oleh para pakar dan pelaku di lapangan sejak lama pula. Tetapi mengapa dalam wacana administrasi publik, termasuk GG, dia seolah dihilangkan dalam berbagai diskusi reformasi pemerintahan. Secara naif ilmu administrasi publik dan pemerintahan juga seolah melokalisir bahwa lokus agenda reformasi hanya ada dalam wilayah domestik sebuah negara. Kenyataan dunia yang makin meng-global dan makin terkoneksi tentu membuat lokus administrasi publik yang lokalistik semacam itu menjadi sangat tidak relevan. Tidak relevan dari segi konseptual, juga tak relevan lagi dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.
Aktor dalam Sound Governance
SG 137
BAB VI
GLOBALISASI DAN BUDAYA LOKAL DALAM TATA PEMERINTAHAN
SG 138
S
ebagaimana telah disampaikan pada bagian-bagian terdahulu bahwa terdapat dua hal yang menonjol dari kebaruan konsep SG, yaitu kesadaran atas pengaruh faktor internsional dan pentingnya pengakuan atas budaya lokal dalam tata pemerintahan. Tentu tidak hanya dua hal tersebut faktor yang membuat SG menjadi pantas untuk menggeser dominasi paradigma GG yang ada selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Hal-hal semacam inovasi, perubahan tentang cara melihat konfigurasi aktoraktor dalam tata pemerintahan serta berbagai dimensi yang ada, sebagaimana telah di jelaskan pada bab-bab sebelumnya, juga sangat penting dalam memahami konsep baru yang disebut SG ini. Akan tetapi dalam buku kecil ini, yang lebih bersifat sebagai pengantar untuk memahami SG, nampaknya dua faktor ini yang akan menjadi fokus paling utama.
Globalisasi dalam Tata Pemerintahan
Hubungan antara globalisasi dan administrasi publik ibarat urat leher manusia. Ia sebenarnya sangat dekat dan sangat penting dalam kehidupan manusia, tapi tak satupun manusia di dunia ini yang dapat melihat urat lehernya secara langsung dengan mata kepalanya sendiri. Semua orang setiap hari telah menyaksikan bagaimana kejadiankejadian dan kebijakan-kebijakan yang dibuat baik di
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Eropa maupun di Amerika Serikat telah berpengaruh sangat besar bagi kebijakan sosial, ekonomi, maupun politik di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berbagai teori juga telah banyak yang membenarkan kenyataan ini. Akan tetapi ilmu pemerintahan dan administrasi publik yang berkembang di Indonesia seolah menganggapnya tak ada. Berbagai kurikulum di perguruan tinggi utamanya dalam pemerintahan dan sejenisnya telah ada diskusidiskusi tentang pentingnya faktor internasional ini. Perbicangan globalisasi juga bukanlah menu baru di sana. Termasuk kritik-kritik atas globalisasi sudah menjadi makanan sehari-hari para mahasiswa. Tetapi ketika berbicara tentang refomasi administrasi publik, faktor global ini sirna. Umumnya semua hanya berkutat pada masalah manajerial, politik lokal ataupun proses internal kebijakan publik. Termasuk paradigma GG yang nampaknya juga masih berkutat pada persoalan yang sama. Memang tidak ada yang salah secara mutlak terhadap ide-ide seperti perlunya, kerja sama antara pemerintah, swasta dengan masyarakat sipil. Ataupun tentang pentingnya penerapan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan penegakan hukum. Masalah muncul ketika penyelenggaraan hal-hal tersebut dilakukan bersamaan dengan proses penyeragaman (uniformization). Ada relasi subjek–objek dalam hal ini. Yaitu pihak yang merasa superior dan sekaligus merasa dirinyalah yang mampu melakukan perbaikan, berhadapan pihak yang inferior yang harus diperbaiki (Blaut, 1993). GG adalah alam pikir lembaga-lembaga donor (sebagai pihak pertama) tentang arah kemana pemerintahan harus diperbaiki, dimana pemerintah negara berkembang harus menerimanya. Pihak subjek (para donor) berperilaku bak seorang profesor yang sedang melakukan uji coba di dalam laboratorium, yang dengan demikian, bukan bagian dari percobaan itu sendiri. Memasukkan formula GG ke semua tabung-tabung Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 139
SG 140
percobaan, dan sekali lagi dirinya berada di luar masalah percobaan itu. Kenyataan yang jarang disadari justru pengaruh si profesor terhadap formasi kimiawi yang ada di dalam tabung-tabung itu. Keberadaan lembaga-lembaga donor ini sudah lama sekali ada di Indonesia. Mereka juga berkontribusi pada formasi ekonomi politik yang terjadi saat ini pada Indonesia yang dinilainya bad governance dan korup. Ada elemen sang profesor di dalam tabungtabung percobaannya yang tidak dimasukkan dalam hitungan. Inilah masalah utama dari GG, yang memandang seolah masalah pemerintahan yang ada di Indonensia adalah murni masalah relasi antara pemerintah setempat, pelaku bisnis setempat dan masyarakat sipil setempat. Persoalan ini dengan begitu tidak bisa dikatakan bahwa masalah GG tidak terletak pada konsepnya melainkan cara implementasinya. Sebab strategi implementasi yang cenderung dipaksakan dan menyeragamkan itu dilakukan di dalam konsep GG dengan tidak memasukkan lembagalembaga penyeragam (donor) itu sebagai bagian dari masalah pemerintahan (governance). Kesalahan konseptual ini makin diperparah ketika GG sama sekali tidak menyentuh realitas globalisasi kenyataan terkini yang makin tak terbantahkan. Contoh kecil adalah masalah terorisme misalnya. Apakah pengaruh 9/11 di New York City dengan APBD? Jawabnya sangat berpengaruh. Karena isu terorisme itu, pemerintah Indonesia harus membuktikan dirinya bahwa dia layak menjadi mitra terdepan AS dalam perang melawan terorisme di Asia Tenggara. Dampaknya pemerintah AS pada tahun 2006 menggerojok dana sebesar Rp 50 miliar sebagai dana penanggulangan terorisme (Surya Online, 16/06/07). Kemudian dana itu masuk dalam sistem anggaran kita, hingga ke daerah-daerah dan struktur APBD pun harus memasukkan mata anggaran “anti-teroris” di dalamnya. Kita bisa melihat bagaimana seandainya tidak ada insiden SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
9/11, apakah akan ada dana Rp 50 milyar masuk ke Indonesia? Apakah akan ada mata anggaran anti teroris di APBD? Banyak sekali contoh-contoh lainnya, apalagi di sektor bisnis. Pengaruh kebijakan pemerintah China dalam masalah upah terhadap lock out perusahaan multi-nasional di Indonesia dan membanjirnya pengangguran. Naiknya demand minyak dari Amerika Serikat juga berpengaruh terhadap naiknya harga sembako di Indonesia. Hubungannya adalah dengan naiknya permintaan minyak di AS maka harga minyak dunia akan naik. Karena Indonesia adalah pengimpor minyak jadi, maka harga BBM pun naik. Kenaikan harga BBM akan disusul oleh harga sembako yang juga melambung. Contoh-contoh di atas adalah realitas globalisasi yang terjadi secara tak langsung. Hubungan antara lembagalembaga donor, kerjasama bilateral atau multi lateral dan perjanjian-perjanjian internasional yang berimbas pada ratifikasi konstitusi adalah kenyataan relasi globalistik yang terjadi dan berimplikasi secara langsung. Hal ini sebenarnya juga bukan merupakan kenyataan yang baru. Misalnya, dalam bidang politik internasional sudah menjadi pembicaraan umum tentang pengaruh CIA dalam politik dalam negeri sebuah negara. Sebut saja Chile. Penggulingan pemerintahan sosialis Salvador Allende Gossens pada tahun 1973 yang pada akhirnya menenggelamkan Chile pada masa kediktatoran Augusto Pinochet selama 16 tahun tak lepas dari dukungan CIA. Kudeta yang mentransisikan pemerintahan sosialis ke pragmatis militeristik ini sama persis dengan yang terjadi di Indonesia para tahun 1965. Tak mengherankan bila dalam beberapa dokumen CIA disebutkan bahwa strategi kudeta Pinochet disebut dengan “Operasi Jakarta” (Grandin, 2002). Jauh sebelum itu, pada tahun 1920-an, Alexander Nahum Sack sudah mengintrodusir adanya praktek odious debt , yaitu utang luar negeri yang dipergunakan untuk pelanggengan kekuasaan atau Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 141
SG 142
pemupukan kekayaan pribadi para diktator, secara global. Atau ketika ditarik jauh lagi ke belakang pada era kolonialisme, bagaimana hubungan negara-negara centrum Eropa Barat (colonizers) dengan negara peripheri atau jajahan (colonized) yang telah terjadi sejak Abad XVI. Deskripsi di atas adalah gambaran singkat atas realitas dunia yang saling tergantung satu sama lain. Belum lagi ketika saat ini teknologi informasipun jauh sudah melewati batas-batas negara. Era digital yang berpengaruh pada cepatnya lalu lintas aliran modal dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dari satu negara ke negara lain yang bisa terjadi hanya dalam hitungan detik. Masalah-asalah konkret yang terabaikan oleh GG tersebut di atas akan dimasukkan dalam kalkulasi Sound Governance . Program-program restr ukturisasi dan refomasi yang dilakukan lembaga-lembaga internasional sudah saatnya mengarah pada stabilisasi dan mengadilkan hubungan internasional baik antar negara, negara dengan institusi maupun negara dengan masyarakat. Lebih jauh lagi, banyak argumentasi telah membuktikan bahwa ternyata GG sendiri adalah perwujudan dari indoktrinasi aspek global itu sendiri. Kembali padai metafora urat nadi tadi. Bahwa bagaimana mungkin GG menyadari dan melihat adanya masalah di urat nadinya? Dan ketika masalah ini masuk ke berbagai negara, termasuk Indonesia, maka semua orang akan terkena endemik yang sama. Entah latah atau histeris, konsep ini telah membungkam mulut, mata dan telinga kita sehingga kita yakin bahwa seakan tak ada cacat darinya. Ia telah menjadi sebuah mainstream global. Sehingga sudah saatnya untuk kita melakukan kritik dan dekonstruksi jika tidak ingin mainstream itu menjadi diktator yang menindas seluruh alam pikir kita kapanpun dan dimanapun. Ini bukan sebuah keharusan yang berangkat dari kesadaran “pokoknya harus”. Melainkan memang sesungguhnya bila dibaca dengan lebih sabar dan diamati SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
secara perlahan banyak sekali kesalahan genetik dari konsep ini. Maka keharusan untuk melakukan kritik atas GG adalah keharusan yang sifatnya wajib. Hal ini senada dengan konsep Giddens (2000) tentang juggernaut. Seperti ketika kita mendapati seorang sopir bis yang ternyata kurang waras atau mabuk, maka kita wajib memintanya berhenti untuk turun, atau jika ia tak mau maka kita pun wajib untuk memaksanya turun demi keselamatan para penumpang. Dengan good governance sesungguhnya kita ibarat penumpang yang sedang dikendalikan oleh sopir bis yang tengah mabuk, kendati dia memilki performa kuat dan meyakinkan. Ataukah kita tengah terpesona dengan penampilan perlentenya, sehingga seolah tak peduli bahwa dia sedang membawa kita pada batas kematian? SG mencoba untuk menjaga jarak dari lingkaran inti kekuasaan globalisasi. SG berusaha untuk keluar dari tubuh kuasa globalisasi, sehingga ia bisa melihat dengan mudah ada masalah apa dengan urat nadi globalisasi. Mengevaluasinya, mengamatinya dan mencarikan solusi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit eksploitatif yang ada dalam globalisasi itu sendiri. Hal inilah yang tak mampu dilakukan GG dan justru malah terkesan melanggengkan struktur kuasa tak adil yang ada dalam globalisasi itu sendiri. Hal lain yang membuat argumentasi bahwa GG adalah alat untuk melanggengkan ketimpangan yang ada dalam globalisasi adalah terkait dengan pemisahan tiga elemen dasar negara, yaitu pemerintah, pelaku pasar masyarakat sipil (Sjahrir, 1999). Dengan dalih merangkul ketiga elemen dasar itu, cara GG mendefiniskan mereka justr u menimbulkan kesan bahwa tiga hal tersebut adalah terpisah satu sama lain. Maka, mendekonstruksi GG adalah argumentasi yang harus dihadirkan. Sebab GG telah mengingkari dasar-dasar hakiki sebuah negara. Ia telah melepaskan elemen-elemen penting dalam negara menjadi puing-puing rapuh yang tak memiliki ikatan historis ke Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 143
SG 144
belakang. Political and social involvement dalam sebuah proses produksi yang dilakukan negara apakah mesti harus dilakukan dengan mencerai-beraikannya terlebih dulu dan kemudian melarutkannya ke dalam sistem global yang penuh dengan ketidakpastian? Tentu ketika entitas negara dicerai-berai seperti itu maka akan muncul apa yang disebut dengan internal networking. Yakni jejaring yang terbangun antara berbagai elemen dalam dunia bisnis, jejaring antar NGO dan jejaring antar state . Jejaring itu dibangun atas dasar kesamaan idea masing-masing. Otoritas negara sebagai kristalisasi berbagai kekuatan dalam negeri menjadi hilang. Digantikan oleh kekuatan jejaring itu. Maka tak heran jika berbagai NGO yang ada akan lebih berkomitmen pada jaringan domestik dan internasionalnya ketimbang berkomitmen dengan berbagai elemen politik dan birokrasi di negaranya sendiri. Demikian pula yang terjadi dengan dunia bisnis dan negara. Negara akan lebih menjaga hubungan baik dengan berbagai negara (Kaldor, 2003), ketimbang bermesra-mesra dengan NGO’s dan CSO’s (Civil Society Organizations ) milik anak bangsanya sendiri. Entah terbangun atas sejarah yang seperti apa, tiba-tiba diakui bahwa ada hubungan yang sangat buruk diantara 3 (tiga) elemen tersebut. Sehingga GG dibutuhkan untuk merukunkannya. Ataukah ketidakr ukunan itu adalah sebuah hyperreality yang sengaja dibentuk dalam level tertinggi kesadaran manusia untuk sebuah invasi memethic sehingga ide good governance menjadi memiliki akseptabilitas yang universal? Pengar uh globalisasi yang terbesar dalam tata pemerintahan adalah arus demokratisasi. Perbedaan term ‘demokrasi’ dan ‘demokratisasi’ adalah terletak pada aspek ideologisasinya. Demokrasi adalah sebuah konsep ideal yang bersifat generik. Sedangkan demokratisasi lebih merupakan penyebaran secara luas sebuah bentuk keyakinan dan definisi tentang demokrasi. Sehingga demokratisasi SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
yang dilakukan secara global saat ini lebih merupakan sebuah kerja politik dan ideologis. Prinsip-prinsip demokrasi juga telah dicuri oleh GG. Ia mengklaim berbagai pola yang dikenal sebagai bagian operasional dari demokrasi sebagai miliknya. Kendati itupun sesungguhnya hanya sebatas pada aras demokrasi liberal saja (Luebbert, 1991). Seperti kita tahu, bahwa ada dua arus besar dalam wacana demokrasi, yaitu Demokrasi Liberal dan Demokrasi Sosialis. Demokrasi liberal dicirikan dengan adanya kebebasan penuh pada individu. Sedangkan Demokrasi sosialis/komunis dicirikan dengan dominasi kekuasaan atau pemerintah untuk mengatur urusan-urusan warganya. Negara menempatkan diri sebagai gerakan yang mengusahakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam good governance gagasan demokrasi sosialisme akan dianggap sebagai sebuah masalah. Maka tak heran jika spirit dari good governance adalah meminimalkan peran negara ( minimizing state ) dan mengedepankan pasar ( market oriented ). Ini sekaligus menunjukkan betapa teori ini tidaklah mampu menempatkan dirinya secara konseptual untuk berpihak kepada rakyat, terlebih di negara berkembang. Kita semua sama-sama tahu bahwa pasar hari ini dikuasai oleh negaranegara maju. Kapital dan teknologi pengendali ekonomi dunia tidaklah berlaku secara equal. Negara berkembang selalu saja menjadi objek dari trend ekonomi global yang diciptakan oleh negara maju khususnya negara-negara G8. Oleh karena itu keberpihakan kepada pasar berarti memberi r uang yang makin luas pada diaspora kepentingan-kepentingan negara kapitalis untuk terus saja menjajah dan mengeksploitasi ekonomi negara berkembang termasuk Indonesia. Oleh karenanya, dalam konteks ini, SG berpendapat bahwa kebutuhan saat ini adalah negara yang kuat (strong state ) bukannya negara yang lemah. Kuat dalam pengertian andal ( sound ), bukan kuat dalam pengertian Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 145
SG 146
represif atau otriter. Kuat (andal) dalam menghadapi krisis, andal dalam mengelola anggaran juga kuat dalam membasmi korupsi. Ide pelemahan negara yang terkandung dalam GG jelas Machiavelist , dimana dikatakan untuk memperkuat rakyat, maka negara haruslah lemah. Hal ini pun masih ditambahi kesalahannya dengan “kalau ingin memperkuat pasar maka negara harus dilemahkan”. Ini adalah dasar filosofi dari teori GG yang jarang diketahui oleh khalayak. Sehingga semua orang menganggap bahwa GG baik-baik saja. Dalam ketimpangan ekonomi global seperti ini, SG menganggap yang menjadi pilihan dari negara berkembang adalah melakukan konsolidasi internal, yang secara bersamaan juga melakukan restrukturisasi sistem global. Negara-negara berkembang harus memperkuat dirinya dengan mengedepankan soft power (Ilgen, 2006). Yaitu pendekatan-pendekatan persuasif di internal mereka untuk memupuk secara lebih aktif nasionalisme mereka. Sehingga orientasi pasar harus diletakkan pada posisi paling belakang. Kesejahteraan rakyat ( social welfare ) hendaknya lebih dikedepankan ketimbang membuka luas intervensi pasar dalam memainkan ekonomi nasional. Logika pasar adalah logika provit taking yang seringkali bertolak belakang dengan ide dasar negara dalam penciptaan social welfare itu sendiri.
Reinventing Kearifan dalam Kultur Pemerintahan Lokal
Hal yang memprihatinkan dalam khazanah ilmu pemerintahan dan administrasi publik di Indonesia adalah sangat sedikitnya studi-studi tentang sejarah dan pengalaman tata pemerintahan tradisonal warisan leluhur di Indonesia. Padahal, sebagai bangsa yang kaya sejarah, bangsa ini dulu memiliki ratusan pemerintahan yang tersebar di seluruh penjuru pelosok negeri. Sejarah pemerintahan Indonesia jauh lebih tua di bandingkan pengalaman SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
sejarah pemerintahan yang dimiliki Amerika Serikat. Tetapi itu semua telah terkubur, tidak hanya oleh pengaruhpengaruh dari luar tapi juga telah dikubur oleh anak-anak bangsa sendiri. Para pofesor dan petinggi negeri ini emoh untuk melihat dan bercermin pada kekayaan sejarah budaya bangsa sendiri. Seperti disebutkan Homi K. Bhabha, para ahli di bidang pemerintahan lebih senang berbicara dan berpikir ke barat-baratan agar lebih terlihat mengagumkan, padahal itu semua hanya membuat mereka tak lebih dari seorang penjiplak. Praktis, ilmu administrasi publik di seluruh dunia, termasuk Indonesia saat ini telah berlangsung dengan sangat homogen dan menjemukan. Sejak zaman Birokrasi Weber yang telah mendapatkan banyak kritik. Perlakuan terhadap berbagai teori adminstrasi publik sejak dahulu hingga saat ini sebenanrya tidak ada yang berubah. Mungkin pernah mencuat pikiran Fredrickson di tahun 80an yang cukup radikal menolak segala bentuk pemikiran Weberian dalam birokrasi, hingga terakhir konsep GG. Atau berbagai perkembangan paradigma administrasi publik (Henry, 1975) yang telah menjadi doktrin wajib di dalam ruang-ruang perkualiahan mahasiswa semester awal. Dimana kesemua itu penuh dengan omong kosong yang membuat administrasi publik seolah-olah berubah dan berkembang namun dalam kenyataan tidak ada perubahan sama sekali. Apa yang membuat ia tidak berubah sama sekali? Jawabannya adalah kontrol dan homogenisasi atas nilai Barat dalam setiap paradigma yang muncul. SG hadir justru akan membongkar kejumudan itu. Bisa dibilang sebenarnya SG adalah paradigma kedua dalam administras publik. Sebab paradigma pertama adalah Adminitrasi Publik Eurocentrisme (mulai dari Weber sampai GG)yang saat ini harus segera di akhiri. Karena era kedua, yaitu SG, hadir untuk menghormati keragaman budaya dalam praktek administrasi publik di pelbagai belahan dunia. Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 147
SG 148
SG menjadi penting dalam konteks ini karena melihat proses perkembangan administrasi publik tidak bisa diseragamkan secara global. Negara berkembang memiliki masalah dan dimensi sendiri dalam administrasi publiknya. Demikian pula negara maju. Maka SG menyarankan adanya pendekatan dan paradgima teoritik yang berbedabeda untuk mendekati satu negara dengan negara lain. Di sinilah letak pentingnya budaya lokal dalam reformasi pemerintahan. Sebab kegagalan-kegagalan yang ada selama ini dalam penerapan pemerintahan adalah karena banyak teori-teori dan konsep-konsep yang tidak mengakar secara budaya. Sehingga penerapan konsep-kosep administrasi pemerintahan itu hanya di permukaan saja. Belum pernah ada kemauan dan kesempatan untuk menggali teori atau strategi pembangunan adminisras publik yang digali secara bottom up, berangkat dari budaya masyarakat untuk mencari strategi yang tepat. Bukannya mengimpor segala teori dan strategi mentah-mentah dari luar. Hal ini juga bukan berarti mendorong pada semangat nativisme, yang selalu berpandangan bahwa semua yang dari luar selalu jelek dan semua yang dari dalam selalu baik. Akan tetapi, yang jadi masalah adalah ketidakseimbangan dalam mengakomodasi aspek budaya sendiri dengan injeksi nilai dari barat. Inilah persoalan intinya. Yang terjadi selama ini bukanlah akulturasi ataupun asimilasi, melainkan lebh pada penaklukan budaya. Proses penaklukan budaya oleh Barat itulah yang dilawan dalam SG bukan ide Barat-nya per se. Masalahnya, yang terjadi selama ini, termasuk terakhir dilakukan oleh GG, kesadaran ini tidak muncul. Masyarakat dunia lebih memandang bahwa masalah tata pemerintahan adalah persoalan teknis yang steril cultural boundaries. Sebenarnya indoktrinasi global, terlebih yang dilakukan negara-negara barat bukanlah barang baru. J.M. Blaut (1993) misalnya, telah menjelaskan dengan gamblang bagaimana konsep “progress” sebenarnya sangat SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
monolitik. Progress atau “kemajuan” adalah bentuk impian atas masa depan dan konstruksi peradaban yang ideal menurut kaca mata Barat. Apalagi ketika pemetaan peradaban dunia hanya menjadi merupakan dua sisi biner, yaitu baik-buruk, maju-terbelakang dan Western-The Rest. Tentu saja, The Rest yang dimaksud di sini adalah trikontinental yang meliputi Asia, Afrika dan Amerika Selatan (Shohat dan Stam, 1994). Eurocentrism sudah menjadi pola dasar pembangunan peradaban sejak berpuluh tahun lalu yang sangat dogmatis. Semua orang merayakan eurocentrism ini, bahkan tak jarang orang non-Barat berpikir dan berperilaku lebih barat dari pada orang barat itu sendiri. Atau oleh Homi K. Bhabha disebut dengan mimicry. Sejak era 1960-an indoktrinasi eurocentrism yang dihelat di tri-kontinental adalah pembangunanisme, atau Growth Theory. Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat membuat program rekonstruksi ekonomi negara-negara Eropa Barat yang disebut Marshall Plan. WW Rostow adalah salah satu arsitek dari program ini. Hingga diterapkan kurang dari 5 tahun, strategi ini menuai sukses besar. Perekonomian Prancis, Italia, Swis dan beberapa negara Eropa lainnya pulih dalam waktu singkat. Kemudian melalui IBRD (sekarang World Bank) diperluaslah program ini hingga memasuki tri-kontinental. IBRD bercokol di sana hingga lebih dari dua dekade namun gagal di banyak tempat kecuali di Jepang, Korea Selatan dan akhir-akhir ini di Taiwan. Memasuki era 1980-1990an reformasi dan demokratisasi terjadi di banyak negara berkembang, terutama di Asia dan Amerika Selatan. Doktrin teori Growth yang ternyata begitu akrab dengan otoritariansme tak lagi laku dipasaran. Sementara lembaga-lembaga internasional seperti WB, IMF, UNDP, dan semacamnya harus segera melakukan perubahan strategi demi menjaga legitimasi keberadaannya. Di ruang seperti inilah kemudian di Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 149
SG 150
Indonesia saat itu muncul sebuah pendekatan yang di sebut Good Governance. Ini adalah doktrin baru. Yang proses internalisasinya di Indonesia dapat dilihat dalam lima lokus yaitu Akademis, Konstitusi, Program/Proyek, Pemerintahan dan Sosial Budaya. Di bidang akademis wacana ini telah menjadi menu wajib dalam setiap perkuliahan, utamanya dalam ilmu-ilmu administrasi atau pemerintahan. Tulisan ilmiah, modul kuliah, hingga ceramah-ceramah ilmiah belumlah absah bila tak ada kata sakti ( buzzword ) GG di dalamnya. Berbagai macam topik yang diperbincangkan dalam ruang-ruang akademis itu telah menjadikan GG sebagai bacaan wajib yang tidak hanya digunakan sebagai objek konseptual tetapi menjadi pisau analisis utama. Bila coba dilihat satu persatu kurikulum program Administrasi Publik atau Kebijakan Publik (utamanya program Pasca Sarjana) di kampus-kampus kita. Kurikulum yang ada masih melihat betapa GG merupakan menu wajib. Di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia bahkan masih mencantumkan Reinventing Government (yang lebih terbelakang) dalam kurikulum akademik. Belum lagi kalau kita melihat pada institusi-institusi pendidikan yang diprovide secara langsung oleh lembaga negara seperti Badan Kepegawaian Negara, Lembaga Administrasi Negara atau Lembaga Pertahanan Nasional. Meski beberapa masih terlihat tertatih-tatih dalam memahami GG, tetapi ambisi akademisnya terlihat kuat ke arah sana. Tak kalah serunya, di ranah konstitusional, kita juga melihat betapa GG bertebaran dalam hampir semua konsideran konstituti kita. Kita tentu tidak hanya berbicara tentang produk konsitusi yang berupa ratifikasi konvensi bilateral maupun multi-lateral yang sudah barang tentu mengandung banyak doktrin GG di dalamnya. Tetapi produk perundangan yang diproduksi murni oleh lembaga eksekutif dan legislatif kita pun tak luput dari doktrin GG ini. lihat saja UU no 32 tahun 2004 yang tentang SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Pemerintahan Daerah dalam Pasal 27, misalnya. Dalam undang-undang tersebut secara eksplisit dikatakan bahwa tugas utama kepala daerah adalah menjamin pelaksanaan GG (tata pemerintahan yang baik). Berbagai perangkat peraturan tentang pemberantasan korupsi, hingga UU no. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pun tak luput dari cengkraman GG dalam konsiderasi utamanya. Secara lebih serius lagi, BAPPENAS juga telah membentuk Sekretariat Pengembangan Public Good Governance yang secara periodik mengevaluasi sampai sejauh mana internalisasi doktrin GG telah masuk ke kepala-kepala perangkat pemerintahan di seluruh tanah air. Program proyek yang ada di Indonesia baik tingkat pusat maupun daerah, baik diselenggarakan oleh pemerintah maupun LSM, semua juga tak luput dari doktrin GG. Ambil contoh proyek paling masif di Indonesia dari World Bank saat ini yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dalam strategi dasar pemberdayaannya ( community empowerment approach ), PNPM mencantumkan GG sebagai prasyarat mutlak. USAID, tentu saja, melalui Local Governance Support Program (LGSP) telah memaksakan penerapan indikatorindikator “good” sebagai alat ukur kualitas penyelenggaraan pemerintahan di seluruh daerah. Lembaga kemitraan atau partnership sebagai salah satu NGO terbesar di Indonesia saat ini secara terang-terangan mengatakan dirinya sebagai institusi yang berupaya menyelenggarakan GG di Indonesia. Tak diragukan lagi lembaga-lembaga yang ada di balik “partnership” adalah lembaga donor negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Sub-sub proyek dari lembaga ini juga bertebaran di seluruh antero negeri, dengan melibatkan LSM-LSM lokal di berbagai daerah. Pemerintah tak mau kalah juga ter us ber usaha mencitrakan dirinya sebagai pelopor gerakan GG. Dalam pertemuan Asia Afrika tahun 2005 lalu, Presiden SBY Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 151
SG 152
dalam pidato sambutannya dengan lantang menyatakan dukungannya terhadap GG. Sangat jauh berbeda dengan apa yang dikatakan Julius K. Nyerere Presiden Tanzania yang berani mengkritik habis GG dalam pidatonya di hadapan Konfrensi PBB tahun 1998. Secara latah, kita juga akan dengan mudah menyaksikan kepala-kepala daerah dan para anggota dewan juga akan menyebutnyebut GG dalam pidato-pidato sambutan mereka. Singkat kata, internalisasi GG telah terjadi begitu masif di Indonesia, hingga menyentuh palung budaya terdalam. Sebagian mungkin akan berkata bahwa kalau hal tersebut memang baik apa salahnya diikuti. Yang menjadi perhatian dalam bagian ini bukan untuk menilai baik atau buruknya sebuah konsep. Akan tetapi tentang bagaimana proses indoktrinasi dari sebuah konsep dari luar yang diinternalisir ke dalam. Saat ini di dalam ranah ilmu sosial tengah marak digandrungi sebuah teori yang disebut dengan Good Governance (GG) atau sering diterjemahkan dengan Tata Pemerintahan Yang Baik. Berbagai pihak baik dari kalangan praktisi maupun akademisi di berbagai sektor terasa jengah jika tidak menyandarkan pikiran dan tindakannya pada teori ini. Salah satu pakar administrasi publik terkemuka dunia, Geroge H. Fredrickson, pernah menulis sebuah artikel pada tahun 2003 yang berjudul “Governance, Governance Everywhere”. Dalam artikelnya ini Fredrickson mengatakan bahwa saat ini seluruh sektor yang ada di dunia ini, baik publik maupun privat, tengah berlomba-lomba untuk mengatakan bahwa dirinyalah yang lebih baik dalam menerapkan prinsip-prinsip governance. Dan teori ini telah menjadi standar ukuran baik buruknya sebuah praktek pengelolaan organisasi modern. Tak pelak, lembaga-lembaga internasional seperti PBB, World Bank, USAID, dan sebagainya, mensyaratkan penerapan GG dalam setiap program yang mereka danai di semua negara. Seperti kanker, GG kemudian menjalar dengan cepat ke SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
selur uh pembuluh darah kehidupan dan budaya pemerintahan kita dan memakan setiap sel-sel tubuh originalitas budaya pemerintahan bangsa ini. Indonesia tak terhindar dari gerusan arus budaya global ini. Salah seorang tokoh ilmu sosial yang sangat terkemuka di negeri ini, Sutandyo Wignyosubroto, pada sebuah kesempatan tahun 2006 lalu juga pernah menyampaikan bahwa perkembangan teori demokrasi terkini adalah GG. Belum lagi ketika kita melihat pakar-pakar ilmu sosial lainnya yang juga seolah tak pernah sur ut dalam mendukung teori ini. Di tataran praktek jauh lebih kolosal. Mulai dari presiden, bupati, walikota, anggota dewan, aktifis LSM bahkan sampai jurnalis secara kompak mengkampanyekan betapa idealnya teori ini. Tak mengherankan karena memang ada banyak bantuan dana dari donor internasional bagi siapa saja yang mau memasarkan teori ini di Indonesia. Kenyataan yang paling fenomenal adalah Surat Keputusan Kepala Bappenas no. 354/m.ppm/11/23 tentang Pembentukan Tim Nasional Pembangunan Tata Pemerintahan Yang Baik. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah RI benar-benar telah menerima teori ini sebagaimana layaknya bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan berbagai elemen otentik lainnya di negeri ini. Kesuskesan konsep ini dalam hal merobohkan semua pandangan yang berbeda sangatlah luar biasa. Hingga saat ini kita sukar sekali melihat adanya perbedaan paradigmatik dalam ilmu-ilmu sosial yang sempat ramai di Abad XIX hingga XX. Dapat dipastikan seluruh belahan dunia sekarang tak berani berbeda pendapat ketika konsep good governance dikatakan sebagai solusi berbagai persoalan kehidupan di dunia ini. Mulai dari pengaturan pemerintahan di level nasional hingga pedesaan, konsep governance menjadi solusi. Bahkan sekolah, BUMN, perbankan, dunia bisnis, ketua RT, warung hingga penjual nasi goreng sekarang telah menyepakati bahwa mereka Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 153
SG 154
harus menerapkan governance theory dalam praktek keseharian mereka. Entah latah atau histeris, konsep ini telah membungkam mulut, mata dan telinga kita sehingga kita yakin bahwa seakan tak ada cacat darinya. Secara kultural, GG telah membuat bangsa ini sebagai bangsa mutant. Ini hebat, bahkan saat di berbagai portal gelap orang saling hujat antar agama, tapi ketika membincang governance tak ada secuilpun perbedaan. Semuanya satu pandangan, satu suara, saking seragamnya sampai-sampai melebihi keseragaman suara anggota DPR pada zaman Orde Baru. Keseragaman yang jumud membuat tak berlebihan ketika dengan nada sinis harus dikatakan bahwa good governance telah menjadi sebuah agama baru yang melewati batasbatas budaya. Agama yang tanpa kritik dan tanpa cela. Semua tindakan yang melakukan klaim bahwa ia berdasar padanya maka tindakan itu pasti benar. Semua pendapat yang di depannya mengutip kata itu, maka pendapat itu pasti benar. Semuanya yang ada di depan, di tengah, di belakang bahkan di balik good governance maka semuanya pastilah benar. Padahal sesungguhnya spirit dari good governance adalah meminimalkan peran negara (minimizing state) dan mengedepankan pasar ( market oriented ). Ini sekaligus menunjukkan betapa teori ini tidaklah mampu menempatkan dirinya, secara konseptual, berada pada pihak rakyat terlebih di negara berkembang. Kita semua sama-sama tahu bahwa pasar hari ini dikuasai oleh negara-negara maju. Kapital dan teknologi pengendali ekonomi dunia tidaklah berlaku secara equal. Negara berkembang selalu saja menjadi objek dari trend ekonomi global yang diciptakan oleh negara maju khususnya negara-negara G8. Oleh karena itu keberpihakan kepada pasar berarti memberi r uang yang makin luas pada diaspora kepentingan-kepentingan negara kapitalis untuk terus saja menjajah dan mengeksploitasi ekonomi negara berkembang termasuk Indonesia. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Seperti pernah diprediksikan oleh Alvin dan Heidi Toeffler (1970) trend global hari ini bahwa perusahaan multinasional mempunyai kecenderungan untuk memecah usahanya menjadi kecil-kecil. Dimana dengan demikian berarti perusahaan-perusahanaan multi-nasional/PMN (multi-national corporations) akan memiliki banyak tangantangan produksi dan pemasarannya di seluruh sudut belahan dunia. Dengan tangan-tangan guritanya itu perusahaan-perusahaan ini akan makin mudah untuk menjangkau pasar dan menumpuk keuntungannya. Berangkat dari kecenderungan itu maka perbincangan seperti GG ini selalu dilekati dengan kekhawatiran bahwa sebuah bangsa akan semakin dieksploitasi oleh kapitalisme global. Pikiran semacam ini muncul karena dalam konsep GG, daerah berhak mencari dan mengelola sumber dana dari luar negeri atas inisiatifnya sendiri. Dalam hal ini tentunya juga kerja sama bisnis dengan lembaga-lembaga perdagangan internasional. Kebebasan kerjasama antar daerah dan internasional ini apabila dilihat sekilas memang sangat membuka ruang bagi terkembangnya eksploitasi global. Proses eksplotasi yang difasilitasi oleh penaklukan budaya adalah cermin dari ekonomi politik dunia. Sistem tata pemerintahan yang monolitik juga tak lepas dari praktek tersebut. Sebuah studi yang sangat menarik dari Andi Ahmad Yani (2007) tentang Perilaku Politik Orang Bugis dalam Dinamika Politik Lokal sangat menarik untuk dikemukakan dalam konteks ini. Secara sangat detail dijelaskan dalam essai tersebut bahwa tidak hanya sejarah tata pemerintahan Bugis tetapi juga berbagai nilai yang terkandung di dalamnya. Lebih menarik lagi ketika Yani membongkar maksud filosofis dari sebuah sistem relasi sosial yang terbangun dalam proses governance di Bugis sebelum masa kolonialisme. Meskipun masih terkesan melakukan verifikasi atas kebenaran teori-teori barat seperti Hobbes, Locke dan Rousseau dalam pebentukan Globalisasi dan Budaya Lokal
SG 155
SG 156
masyarakat dan negara di pemerintahan Bugis kuno, tetapi bentuk penghormatan atas kearifan budaya lokal cukup nampak dalam tulisan itu. Contoh paling nyata adalah figur kepemimpinan kharismatik yang sangat dihormati dan diluhurkan oleh rakyat. Pempimpin yang melindungi dan mengayomi, sementara rakyat bekerja dan berakivitas dalam keseharian mereka dengan tentram. Pemimpin yang tidak didapat dari proses yang kompetitif, seperti konsep-konsep kepemimpinan yang jamak dikenal hari ini. Konsep pemimpin yang bukan penguasa. Legitimasi kepemimpinan yang didapat dari reciprocity atas apa yang diberikan pemimpin pada rakyatnya dan apa yang didapat pemimpin dari rakyatnya, bukan hubungan dominatf dan eksploitatif antar kelas. Konsep kepemimpinan seperti ini untuk saat sekarang tak lagi dianggap masuk akal. Sejak kapan pola hubungan kepemimpinan seperti ini tidak masuk akal? Sangat jelas, sejak pola pikir monolitik yang berdasar game theory menjalar di seluruh dunia, melalui kolonialisme, termasuk sampai jauh ke pedalaman masyarakat Bugis. Colombus dan kapal-kapalnya telah memulai sejarah baru dalam homogenisasi sejarah dunia. Hal ini pulalah yang secara langsung berpengar uh pada penguatan paradigma pertama dalam administrasi publik (Birokrasi Weber sampai GG) yang bertahan hingga lebih dari seratus tahun. Istilah hubungan patron-client misalnya, sekarang kata itu telah dikenal khalayak luas degan konotasi yang sangat buruk. Sekali lagi, Yani, dengan sangat gemilang menjelaskan bagaimana konsep origin dari patron-client sebelum kolonialisme, kemudian terjadinya pemelintiran di masa kolonial, dan kemunculan kembali hubungan patron client ala kolonial di masa sekarang. Dan orangorang ramai menghakimi patron-client kolinialisme jilid II ini tanpa mau menoleh nilai filosofi dasar dari versi aslinya. Masyarakat menjadi bingung menentukan yang salah, apakah hubungan patron-client itu ataukah kolonialismenya. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Hal di atas adalah hanyalah contoh kecil semata. SG memiliki perhatian yang sangat serius atas aspek budaya lokal dalam pembentukan sisten tata pemerintahan di seluruh dunia. Oleh karenanya sejak awal SG tidak mau ada standardisasi yang baku dan kaku untuk mengukur kualitas tata pemerintahan. Sebab hal itu hanya akan memungkiri kenyataan betapa beragamnya budaya di dunia ini. Dan tata pemerintaan adalah sebuah instrumen yang mengatur manusia, masyarakat dan peradaban. Oleh karenanya tidak mungkin hanya ada satu patokan yang dipakai dalam penyelenggraannya. Cara penyeragaman seperti itu hanya akan menghasilkan pemborosan, karena progam tak akan pernah mengakar pada budaya dan cara hidup masyarakat. Kualitas tata peerintahan kemudian hanya akan berakhir menjadi dokumen laporan bulanan atau tahunan yang akan menumpuk di sudut gudang yang gelap.
SG 157
Globalisasi dan Budaya Lokal
BAB VII
PENUTUP
SG 158
B
erakhirnya era GG bukanlah disebabkan karena kekalahannya dalam menghadapi konsep tandingannya. Saat dimana GG harus ditinggalkan sebagai sebuah paradigma besar bukanlah saat seperti runtuhnya tembok Berlin atau masuknya China ke dalam WTO. Kegagalan GG bukanlah hasil dari sebuah peperangan dikotomik, tidak pula sama dengan kekalahan ide sosialisme atas kapitalsime. Berakhirnya GG adalah disebabkan kontradiksi internalnya yang tidak berhasil menjawab persoalan riil yang ada di depan mata. Bahkan proses bunuh diri ini terjadi akibat kegagalannya memahami realitas dunia dimana ia tinggal. Pun ketika SG hadir bukanlah sebagai pemenang dari sebuah pertarungan. SG hanya datang mengisi ruang kosong yang menganga baik semasa era kejayaan GG, maupun saat antiklimaks kekuasaannya. Dominasi GG sebagai sebuah paradigma tunggal yang diagung-agungkan orang di seluruh penjuru dunia memang telah melewati tengah hari, meski hari belumlah senja. Hegemoninya masih kita rasakan di banyak tempat hingga saat ini. Tidak hanya di ruang-ruang kuliah maupun jurnaljurnal ilmiah, di media massa dan bahkan kantor-kantor pemerintahan dan swasta pun masih dijangkiti wabah GG ini. Seperti agama bar u, ia telah menembus batas rasionalitas masyarakat pengikutnya sehingga tak ada ruang tanpa dosa bagi mereka untuk mempertanyakan
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
keabsahannya. Ibarat mantra sihir GG telah menghipnotis akal sehat orang-orang pandai di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga tak mampu mengelak untuk melakukan apapun perintah dari si tukang sihir. Tidak dengan menggunakan sapu lidi dan tingkat ajaib tentunya, tapi internalisasi ini dilakukan dengan sangat rapi dan kolosal melalui lembaga-lembaga donor internasional, institusi politik global dan perusahaan multinasional. Keberhasilan proses hegemoni ini selalu dirayakan dengan kata penutup wajib elite politik Amerika Serikat, yaitu menyebarluaskan ‘demokrasi’ ke seluruh penjuru dunia. Perdebatan tentang perbedaan ‘demokrasi’ dan ‘demokratisasi’ di dalam diskursus politik sudah cukup jelas. Term demokrasi sebagai sebuah ide memang baik dan harus ditegakkan dalam berbagai aspek kehidupan di muka bumi ini. Akan tetapi ketika ‘demokrasi’ telah didefinisikan secara sepihak dan pihak yang mendefinisikan itu memaksakan definisinya untuk juga diamini oleh pihak lain, itu lain soal. Dalam konteks tersebut demokrasi justru menemukan paradoksnya. Hal ini akan lebih terasa ketika kita bertemu dengan kata ‘demokratisasi’. Sebab dalam demokratisasi ada upaya secara sengaja, terencana, terorganisir dan sistemik untuk mewujudkan demokrasi. Sejauh ide yang hendak diwujudkan itu tidak monolitik dan tidak ada unsur pemaksaan di dalamnya, demokratisasi boleh-boleh saja. Tetapi ketika sudah ada paksaan, baik dari segi definisi maupun teknis pelaksanaan, pada saat itu demokratisasi juga telah membunuh makna dasar demokrasi itu sendiri. Dalam kenyataannya GG adalah bagian dari paradok demokratisasi seperti telah disebutkan di atas. Sebab dalam GG telah disebutkan secara eksplisit tentang defines demokrasi seperti apa yang harus dipakai. Bahkan juga tentang petunjuk yang sangat teknis tentang bagaimana ‘demokrasi’ itu harus dicapai. Pemaksaan konsep GG yang Penutup
SG 159
SG 160
dilakukan oleh lembaga-lembaga donor internasional adalah bentuk otoritarianisme dari sebuah gerakan demokratisasi. Sangat menyedihkan. Hal yang paling membuat GG menjadi tidak berhati dalam menghadapi kritikan adalah diabaikannya realitas besar globalisasi dalam skema teoritisasinya. Globalisasi adalah sebuah ide sekaligus realitas. Dikatakan realitas sebab fenomena ini bukan hanya baru muncul akhir-akhir ini setelah adanya revolusi informasi ataupun maraknya bisnis transnasional terutama dibidang finance. Akan tetapi jauh sejak ratusan tahun lalu akar-akar globalisasi juga telah ada yang kemudian mencapai puncaknya pada abad XIV saat dimulainya babak imperialisme di dunia. Sebagai sebuah realitas ada tidaknya globalisasi juga bisa dibilang sama saja, sebab dalam titik diskursus tertentu batas antara ‘yang lokal’ dan ‘yang global’ juga semakin kabur. Budaya bar u hanyalah mer upakan bentuk kombinasi baru antara budaya-budaya kuno. Sebagai sebuah ide, globalisasi tentu memiliki akar epistemologisnya sendiri. Seseorang telah menciptakan kata itu dan melekatkannya pada sebuah fenomena yang dianggapnya nyata. Dalam pada ini globalisasi menjadi tidak lagi bebas nilai. Seseorang mungkin hanya menjalankan bisnisnya untuk mencari untung, sebagaimana layaknya pedagang. Dan dia mulai menjual barang dagangannya ke Singapura dan Malaysia. Dari situ maka produk yang dijualnya masuk ke pasar dunia, maka saat itu dia telah menjadi salah satu aktor dalam globalisasi. Tetapi barangkali tidak bagi yang bersangkutan, dia hanya mencari uang, menjual barang. Pada titik inilah globalisasi menjadi barang yang juga diperdebatkan, apakah ia realitas objektif atau gagasan? Kenyataanya kita sudah melihat dengan jelas bagaimana perusahaan multi-nasional bekerja di seluruh dunia, dengan mudah me-lock out pabriknya di Indonesia karena banyaknya demo buruh dan memindahnya ke China, hanya dalam hitungan minggu. Atau masuknya ide-ide yang SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
disusun di sebuah ruang di Manhattan masuk sampai ke pelosok desa di Indonesia melalui proyek-proyek PBB, Bank Dunia, ADB dan sebagainya? Dan bagaimana serangan teroris di Madrid dan London membuat pemerintah menerima kucuran dana di dalam APBD nya untuk membuat program anti-teroris dari Uni Eropa? Itu semua adalah tanda-tanda yang paling tangible atas globalisasi yang secara aneh tidak disadari oleh GG. Dari semua resep yang ditawarkan GG dalam melakukan pembangunan sebuah negara dan pemerintahan aspek global ini selalu absen. Dari segi konseptual GG sama sekali mengabaikan bagaimana tata ekonomi politik dunia, secara langsung maupun tidak langsung, berpengaruh terhadap per wujudan praktek tata pemerintahan di dalam negeri. Dari segi praksis dapat terlihat bagaimana GG hanya melihat tiga aktor saja; pasar, negara dan masyarakat sipil sebagai pihak yang harus terlibat dalam tata pemerintahan. Sementara dalam kenyataannya aktor-aktor global sangat berperan dalam membentuk kenyataan sehari-hari. Sebenarnya hal ini tidaklah terlalu mengherankan, sebab GG adalah anak kandung dari neo-liberalisme yang bernenek moyangkan fungsionalisme, padangan yang bersiteguh bahwa sebab utama problem negara-negara berkembang hanya faktor internalnya belaka. SG hadir sekali lagi tidak dalam rangka menyerang dan mengalahkan GG. Secara prinsip ia hanya mengisi ruang kosong yang tidak tersentuh oleh GG, seperti faktor globalisasi ini. SG menempatkan pentingnya restrukturisasi global sebagai bagian dari upaya perbaikan tata pemerintahan dan menempatkan aktor internasional sejajar dengan tiga aktor lainnya yang juga harus duduk bersama secara egaliter memacahkan persoalan-persoalan rill sosial yang ada di depan mata. Seiring dengan adanya realitas buruk globalisasi dan demokratisasi yang mengantarkan dunia menjadi teruniformisasi, satu lagi kelemahan dasar GG terkuak. Yaitu Penutup
SG 161
SG 162
tidak ramahnya GG terhadap keberadaan kearifan budaya lokal. Di Indonesia sendiri sejarah pemerintahan bukanlah seumur jagung, bahkan lebih tua dari pohon asam yang mungkin telah tertanam jauh sebelum proklamasi 1945. Kebesaran kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Singosari, Kutai dan sebagainya seolah telah menjadi sebatas dongeng pengantar tidur. Secara keji pakar dan praktisi pemerintahan kita pada jaman itu telah diubah menjadi cerita-cerita sinetron sampah. Kaum terdidik lebih hormat pada sistem pemerinthana Eropa dan Amerika Utara dan tak pernah belajar tentang sistem pemerintahan bangsanya sendiri. Sejarah kejayaan nusantara telah digelapkan menjadi sebatas budaya primitif patron-client yang kuno dan tidak demokratis belaka. Dalam ilmu administrasi publik sendiri, sejak Konsep Birokrasi Weber hingga GG, praktis tidak melahirkan kajian yang bar u dan kritis. Semuanya monoton dan memberangus keberadaan budaya lokal lalu mencangkokkan sistem impor ke dalam tubuh bangsa ini. Kondisi itu mirip seperti keberadaan formalisasi enam agama resmi yang semuanya dicangkokkan ke bangsa ini, sehingga menegasikan keberadaan agama-agama lokal yang sejatinya sejak ratusan tahun sudah ada sebelum “agama-agama resmi” hadir ke bumi pertiwi. SG justru hadir dalam rangka menghapus penyeragaman itu dan mempersilahkan budaya-budaya lokal untuk tumbuh dan mengekspresikan dirinya secara lebih leluasa. Tentu ini bukan mengarahkan pada sikap nativisme. Hanya saja, ruang dan kesempatan budaya lokal dalam pemerintahan untuk secara adil berkontestasi dengan wacana modern yang sekarang ada. Toh sistem tata pemerintahan adalah sesuatu yang hidup bersama masyarakat, sehingga sudah seharusnya ia berangkat dari akar budaya yang telah lama hidup di masyarakat. Ada dua neo yang sangat kontekstual dalam membincang persoalan dunia hari ini, yaitu neo-kolonialisme dan neo-liberalisme. Dua-duanya sekaligus juga menjelasSOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
kan apa yang telah dan sedang dilakukan oleh GG khususnya pada Negara-negara berkembang. Neo-kolonialisme terlihat pada dua hal. Pertama, aspek psiko-kultural dimana masyarakat dunia berkembang saat ini terlalu mengiblatkan dirinya kepada semua produk budaya dan peradaban yang berasal dari barat. Proses ini sering disebut dengan mimicry, yang diterjemahkan bukan sekedar proses meniru atau menyerupakan diri, tetapi menghadirkan eksisitensi kolonial ke dalam sendi kehidupan bangsa terkoloni secara mendasar. Secara perlahan proses ini melanggengkan imperisalisme sebab proses kolonialisme akan berlangsung dengan sendirinya, bahkan dilakukan secara suka rela oleh bangsa sasaran dominasi itu sendiri. Frantz Fanon secara vulgar mengatakan bahwa keberadaannya dan kaumnya baru mendapat pengakuan dan penghargaan yang layak sebagai manusia seutuhnya bila telah menerima semua cara hidup, berpikir dan berperilaku ala barat (white). Dalam konteks GG, hal ini terlihat dari para pakar ilmu sosial khususnya administrasi publik dan para birokrat yang berbusa-busa meyakinkan orang bahwa mereka sungguh-sungguh membela apapun yang dimau oleh imperialis-imperialis penyokong GG. Kedua, secara ekonomi politik, neo-kolonialisme terlihat dari praktek internalisasi koersif yang dilakukan lembagalembaga donor besar dunia semacam World Bank, UN, USAID dan sebagainya agar Negara-negara berkembang mau menerima ide ini, sampai ke aspek-aspek teknisnya. Perilaku semacam ini sama sekali tidak ada bedanya dengan apa yang mereka lakukan jauh sebelum GG hadir ke muka bumi, yaitu melalui sebuah strategi yang dinamakan SAPs ( structural adjustment programs). Dan saat ini dalam bentuk yang berbeda ternyata GG sudah menjadi bagian dari SAPs yang telah banyak bukti hal itu menyengsarakan dan mengeksploitasi ekonomi Negara berkembang di tahun 1980an sampai 1990an. Penutup
SG 163
SG 164
Neo-liberalisme sangat jelas adalah fundamen ideologi dari GG itu sendiri. Upaya untuk mengerdilkan institusi negara dan membuka seluas-luasnya pintu pasar bebas adalah tujuan utama dari GG. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan dari petinggi-petinggi World Bank maupun IMF di berbagai pidato-pidato resmi mereka. Tak heran bila isu ini juga sering diangkat oleh pakar maupun politisi yang kritis terhadap gerakan ganas neo-liberalisme yang saat ini tengah berlangsung. Ideologi adalah sebuah cara pandang manusia atas dunianya, dan pandangan yang bersifat ideologis adalah pandangan picik yang menganggap bahwa semua orang harus sama dan sebangun dengan world view-nya. Dalam konteks GG, kata “good” adalah ideologis. Sebab untuk menjadi ‘baik’ semua orang harus melakukan sesuatu yang sama dan seragam. Yakni standar yang ditetapkan oleh para agen neo-liberalisme di kantor-kantor pusat IFIs. Pejabat-pejabat IFIs selalu mengatakan betapa pentingnya negara-negara berkembang mengikuti resep-resep reformasi ekonomi dan pemerinthana dari mereka agar segera terlepas dari kemiskinan. Dan GG adalah merupakan resep utama yang pasti selalu disyaratkan. Sejak zaman developmentalism praktek pemaksaan resep ini selalu dilakukan oleh IFIs. Apa hasilnya? Sampai sekarang gap antara negara maju dan negara berkembang kenyataannya masih sangatlah jauh. Tidak berubah meski dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir. Yang ada justru sebaliknya, negara kaya makin besar kekayaannya, tentu saja dengan mengaksploitasi berbagai macam sumber daya dari negara berkembang. Neo-liberalisme yang mengagungkan pasar bebas tidak lebih hanya akan menguntungkan perusahaanperusahaan multi-nasional. Dan GG pun hanyalah alat dari pencapaian tujuan ideologis neo-liberalisme tersebut. Yang lebih memprihatinkan adalah untuk menerima proses eksploitasi itu, negara-negara berkembang harus pula menerima masuknya proyek-proyek GG ke dalam negaranya. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Tidak gratis, semua proyek-proyek GG itu adalah berupa hutang! Di samping memasukkan faktor global dan budaya lokal dalam hitungan, ada beberapa hal pokok yang membuat SG layak dikatakan sebagai arah bar u paradigma pembangunan menggantikan GG. Salah satu hal terpenting adalah inovasi. Ketimbang membuat daftar panjang yang berisi indikator-indikator kelayakan untuk disebut ‘good’ yang bersifat hegemonic, SG lebih mengedapankan adanya dimensi-dimensi. Dimensi yang dimaksud di sini bukan untuk menjadi petunjuk teknis yang harus diikuti semua bangsa di dunia, melainkan ini hanya gambaran kondisi ideal yang bersifat sangat umum dan generik. Dengan demikian ruang bagi munculnya inovasi, utamanya dalam praktek pemerintahan dan kebijakan public, sangat terbentang luas. Dimensi-dimensi yang dijelaskan pada bab IV sangat berbeda sifatnya dengan 10 prinsip yang ada dalam GG. Sebab dalam dimensi-dimensi yang ada dalam SG ini hanya memuat garis besar, sedangkan bagaimana cara mencapainya tidak ada cara dan strategi tunggal. Semuanya mengandalkan inovasi. Keseimbangan antara orientasi output dan proses inilah yang menjadi ciri dasar SG sebagai sebuah metode. Berbeda dengan GG yang over confidence mengatakan bahwa bila semua negara melakukan 10 prinsipnya dengan baik maka secara otomatis output kesejahteraan akan tercapai. SG mengedepankan output kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pemerintahan. Akan tetapi inovasi tetapi tidak dilepas begitu saja. Tetap ada dasar-dasar nilai luhur yang sifatnya universal yang harus selalu dijunjung tinggi, seperti hak dasar kemanusiaan misalnya. Inilah yang membedakan inovasi dengan ‘seenaknya sendiri’. Inovasi memiliki tujuan yang jelas dan stanbdar universal luhur yang selalu dipatuhi. Sebab bila SG kembali membuat prinsip-prinsip dan indikator teknis yang harus dicapai, maka SG tak akan berbeda dengan GG, terjebak dalam perilaku dogmatisme. Penutup
SG 165
SG 166
Hal lain yang memberikan kebaruan dalam SG adalah semangatnya yang berusaha menjauh dari eurocentrism . Upaya menjauhkan diri SG dari Eurocentrism ini bukan berarti memberikan ruang bagi maraknya oksidentalisme yang bersifat anti-barat atau ‘pokoknya bukan barat’. Tetapi lebih menempatkan ide barat dalam konteks provinsionalisme, yaitu sebuah upaya yang menempatkan ide dan gagasan barat baik dan kontekstual untuk wilayah dan peradabannya, yang tidak perlu disebarluaskan secara global. Demikian juga dengan ide dan gagasan dari Timur yang merupakan gagasan untuk bangsa dan masyarakat Timur. Bila ternyata suatu saat ada persinggungan dan proses “dialog” di antara mereka, maka hal itu seharusnya terjadi secara alamiah dan melalui proses transformasi yang seimbang dan egaliter. Ketidakadilan yang dilakukan orientalisme selama ini bukan berarti harus dilawan dengan kekejaman yang sama berupa oksidentalisme. Sebab pada titik tertentu kedua kutub tersebut justru tiada beda satu sama lain. Ketidakadilan global yang selama ini ada membuat proses trasformasi ide berjalan timpang, hubungannya menjadi seperti juragan dan kacung (buruh). Lembagalembaga donor internasional (IFIs) bertingkah pongah seperti juragan, sementara pemerintah negara-negara berkembang nampak seperti kacung yang disuruh-suruh. Dengan provisionalisme bukan berarti akan dilakukan balas dendam, si kacung menindas si juragan, tapi menghilangkan hubungan dominatif itu. Ini agenda besar yang hendak dibangun oleh SG. Cara SG membangun agenda besar itu adalah dengan menempatkan empat level dasar yang harus dilakukan dalam reformasi tata pemerintahan dan harus dilakukan secara simultan. Empat level tersebut adalah; lokal, nasional, regional dan internasional. Bagaimana pola dan strategi untuk menciptakan reformasi yang egaliter dan sekaligus sistemik di empat level tersebut telah dijelaskan dalam bab IV. SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Kategorisasi aktor adalah hal yang paling fenomenal dalam SG. Tidak hanya berkutat pada tiga aktor dasar yang ada dalam GG, satu aktor tambahan yang justru sangat penting telah ditambahkan dalam konsep SG, yaitu aktor internasional. Aktor internasional ini mencakup lembaga-lembaga donor internasional, lembaga multilateral, perusahaan multi nasional dan aktor-aktor yang secara langsung berpengaruh terhadap tatanan politik dan ekonomi global. Mereka adalah aktor utama yang menyebabkan wajah dunia menjadi seperti apa yang kita lihat sekarang. Melalui investasi dan invasi yang mereka lakukan, perubahan dunia baik secara fisik maupun nonfisik telah terjadi. Sehingga sangat aneh ketika selama ini hanya disimplifikasi dalam tiga aktor; negara, pelaku bisnis dan masyarakat sipil saja. Hanya mereka yang harus berbicara, berembug dan beripikir bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan riil. Tetapi ‘biang kerok’nya justru tidak pernah diajak berbicara. Bukankah mereka yang paling bertanggungjawab atas semuanya dan sekaligus memiliki kapasitas yang sangat memadai untuk melaksanakan jalan keluar yang telah ditetapkan? Dalam konteks aktor ini, buku ini juga mengkritik realitas tiga aktor yang selama ini diandalkan GG dapat mengatasi permasalahan sosial. Negara yang sampai sejauh ini hanya menjadi pusat konspirasi politisi dan pengusahan untuk menumpuk harta dan kekuasaan dimana pada waktu yang bersamaan juga harus menjadi pelayan bagi perusahaan multi-nasional. Masyarakat sipil, dalam hal ini NGO yang ternyata juga banyak yang kebingungan menentukan jati diri dan keberpihakannya di tengah gerojokan dana-dana dari luar negeri yang membuat dirinya juga tak beda jauh dengan Negara, yakni menjadi “komprador”. Sementara pengusaha, selama ini juga masih asyik masyuk dengan urusan dapurnya sendiri, yakni mencari untung sebanyakbanyaknya. Semntara GG selama ini menutup mata atas realitas kegilaan aktor-aktor tersebut. GG hanya mePenutup
SG 167
SG 168
mandang bahwa seolah negara, bisnis dan masyarakat sipil hanya butuh dipertemukan dan diajak duduk semeja dan masalah akan selesai. GG tidak sadar bahwa di dalam diri para aktor itu sendiri tengah dilanda penyakit dalam yang telah lama membusuk. Tidak sedikit kalangan praktisi yang mengeluhkan dinamika perkembangan ilmu-ilmu sosial. Mereka merasa belum tuntas dalam mengerjakan satu konsep, tiba-tiba sudah muncul konsep lainnya. Belum selesai pekerjaan untuk mengimplementasikan satu ide sudah keburu muncul ide tandingannya. Tidak hanya di dunia profesional, kegelisahan ini juga ditemukan di kalangan akademisi. Beberapa dosen juga sempat mengeluhkan tentang dinamika konsep-konsep ilmu sosial khususnya administrasi publik. Karena belum selesai menuntaskan satu silabus perkuliahan, sudah muncul konsep baru. Beberapa justru mengeluhkan bahwa dinamika konseptual ini akan membuat mahasiswa menjadi bingung. Karena pada minggu kemarin baru saja diajarkan, tiba-tiba minggu ini konsep itu telah dir untuhkan dengan konsep bar u. Pandangan-pandangan seperti itu tentu saja sangat disayangkan. Perkembangan ilmu adalah hal yang wajar. Ilmuwan eksakta malah lebih dewasa menyikapi jatuh bangunnya sebuah teori. Mereka percaya bahwa kemunculan teori-toeri baru adalah tanda bahwa dunia tidak tidur. Manusia terus bergerak dan berpikir. Terus berusaha mencari jalan terbaik bagaimana caranya untuk “hidup”.
DAFTAR PUSTAKA
Samuels, K, 2008, Cities and Governance in Mozambique, paper in Public Affairs Seminar in LBJ School University of Texas at Austin Renzio, P., Good Governance and Poverty Some Reflections Based on UNDP’S Experience in Mozambique. UNDP: NY
SG
Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age of Globalization , in Ali Farazmand, ed., Sound Governance: Policy and Administrative Innovations (Westport, CT: Praeger, 2004)
169
Wilson R. H., Understanding Local Governance: An International Perspective, Revista de Administracao de Empresas, Vol 40, no. 2, April/June, 2000, pp. 5163. World Bank, Equity and Development, World Development Report: 2006 (Oxford University Press, 2005), Overview, pp. 1-17. Blaut, J. M., 1993, The Colonizer’s Model of the World: Geographical Diffusionism and Eurocentric History, Guilford Press, NY/London Shohat. E, Stam. R., Unthinking Eurocentrism : Multiculturalism and Media, New York: Routledge, 1994
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Daftar Pustaka
Bhabha, H., Nation and Narration, Routledge, 1990.
SG 170
Jones, R.J. (ed.), Bretton Woods System , Routledge Encyclopedia of International Political Economy (Routledge,2002)
Governance: Policy and Administrative Innovations (Westport, CT: Praeger, 2004)Farazmand, 1989. The state Bureaucracy and Revolution in Modern Iran: Agrarian Reform and Regima Politics. New York: Praeger
Lobe, J., US Blocks Stronger African Voice at World Bank – NGO, Inter Press Service, June 26, 2003 http:// www.globalpolicy.org/socecon/bwi-wto/wbank/2003/ 0626blocks.htm
Knox P. and Agnew J., The Geography of the World Economy , 4th edition (London: Arnold, 2003), Chapters 1 and 2.
Chatterjee, P., The Nation and Its Fragments, Princeton University Press, 1993
Panayiotopoulos P., and Capps G., eds., World Development: An Introduction (London: Pluto Press, 2001). pp. 3597
Caufield, C., Masters of Illusion: The World Bank and the Poverty of Nations. New York: Henry Holt and Co., 1997
Prakash, G., Who’s Afraid of Postcoloniality?, Social Text 49, Vol. 14, No. 4, Winter 1996, Duke University Press
Mongia, Contemporary Postcolonial Theory, London: Arnold, 1996 Moore, D., ‘The World Bank’, University of KwaZulu-Natal Press, 2007
Jessop, B., Good Governance and the Urban Question: On Managing the Contradictions of Neo-Liberalism, Comment on Urban21 Published in German in MieterEcho June (2000) (placed on www:12th May, 2001)
Herrera, R., Good Governance against Good Government?, Tuesday 2 March 2004 http://www.alternatives.ca/ article1144.html IMF Survey Vol. 35 No. 17 - 11 September 2006
McChesney, R. W., David Horowitz and the Attack on Independent Thought . Published on Tuesday, February 28, 2006 by CommonDreams.org
Spivak’s, G. C., Can the Subaltern Speak?, in Cary Nelson and Lawrence Grossberg’s Mar xism and the Interpretation of Culture, 1988
Kaldor, M., The Idea of Global Civil Society, International Affairs 79,3 (2003), pp. 583-593.
Fanon, F., 1986, Black Skin, White Mask, Pluto Press. London
Tetzlaff, R., International Organizations (World Bank, IMF, EU) as catalyst of democratic values, rule of law and human rights – successes and limits, A discussion paper for the panel: “Survey of Civic Education and Human Rights Curricular Materials Disseminated by
Farazmand A., Sound Governance in the Age of the Age of Globalization, in Ali Farazmand, ed., Sound SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Daftar Pustaka
SG 171
major International Organizations” In Denver/ Colorado September, 2006-09-13 Fairclough, N. 1989. Language and Power , London: Longman Alavi, Hamza, 1991, The Structure of Peripheral Capitalism, Sage Publication Ltd: London
Daniel, Elton, The History Of Iran, Greenwood Press, 2001 Islamy, M. Ir fan, 1997, Prinsip-Prinsip Per umusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta Wilson, Edward Osborne, The Diversity Of Life (Questions Of Science),Textbook Reviews, Ny
Cardoso, F. H., 1979, Dependency and Development in Latin America, UCLA Press, Los Angeles, Berkeley.
Fred W. Riggs, Comparative Government , Public Administration—Developing Countries, Developing Countries—Politics And Government, Duke University, Durham, Nc
SG
Budiman, Arief, 1991, Teori Pembangunan Negara Keitga, Gramedia: Jakarta
Putra, 1999. Devolusi: Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara-Rakyat, PB PMII Kopri dan Pustaka Pelajar
172
Giddens, Anthony, 1986, Kapitalisme Dalam Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim Dan Weber, Ui Press, Jakarta Sugiono, M., 1999, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga , Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Fakih, Mansour. 2003. Bebas Dari Neoliberalisme, Insist Pers, Yogyakarta Yani, A. A., Prilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika Politik Lokal, Tulisan Pengantar Diskusi dalam Acara Peluncuran Buku “Manusia Bugis” yang Ditulis Oleh Christian Pelras
The Five Functions Of Government
______, 2001, Paradigma Kritis dalam Kebijakan Publik, Universitas Sunan Giri dan Pustaka Pelajar ______, 2005, Kebijakan Tidak Untuk Publik, Resist Book, Yogyakarta ______, 2008, World Bank Hybridization, Working paper presented at Postcolonial Theory and Criticism class University of Texas at Austin Wendt, Alexander, Social Theory Of International Politics, Cambridge: Cambridge University Press, 1999, P.1 Koswara, E., 1999, Upaya Reformasi Undang-Undang Tentang Otonomi Daerah: Telaah Tentang PrinsipPrinsip yang Termuat Dalam RUU Tentang Pemerintahan Daerah, http://www.transparansi.or.id/ majalah/edisi6/6kolom_2.Html
McDowell, S. K., The Preamble To The U.S. Constitution Lists The Five Functions Of Government, All Based On Biblical Principles Http://Forer unner.Com/ Mandate/X0043_Five_Functions_Of_Go.Html SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
SG
Daftar Pustaka
173
Surya Online, 16 Juni 2007 Giddens, Anthony, Jalan Ketiga, Jakarta, Gramedia, 2000 Sjahrir: Good Governance Di Indonesia Masih Utopia:Tinjauan Kritis Good Governance , Jurnal Transparansi, No. 14 November 1999
New Series, Vol. 21, No. 4 (1996), pp. 716-718 Published by: Blackwell Publishing on behalf of The Royal Geographical Society (with the Institute of British Geographers)
Hoffmann, S., The Uses and Limits of International Law, in Robert J. Art and Robert Jervis, eds., International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues, 5th Edition, New York, Longman, 2000.
SG 174
Luebert, G. M., 1991 , Liberalism, Fascism, Or Social Democracy. Oxford University Press Ilgen, T. L., 2006, Hard Power, Sof t Power And The Future Of Transatlantic Relations. Ashgate Publishing, Ltd.
SG
Henry, N., Paradigms Of Public Administration Public Administration Review, Vol. 35, No. 4 (Jul. - Aug., 1975), Pp. 378-386 Published By: Blackwell Publishing On Behalf Of The American Society For Public Administration
175
Alagappa, M., (ed.), Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and Contracting Democratic Space. (CA: Stanford University Press, 2004), pp. 25-40 Singh, Ajit, 2004, Labour Standards And The “Race To The Bottom”: Rethinking Globalisation And Workers Rights From Developmental And Solidaristic Perspectives, ESRC Centre for Business Research, University of Cambridge Working Paper No. 279 Hirst, P., Globalization in Question. The International Economy and the Possibilities of Governance Transactions of the Institute of British Geographers,
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Daftar Pustaka
BIOGRAFI PENULIS
SG 176
FADILLAH PUTRA, lahir di Rengat, Riau, 27 Juni 1974, adalah aktifis dalam sebuah lembaga nirlaba progresif yakni Averroes Community. Pelaku aktif wisata kuliner dan mengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang. Gemar pada studi-studi kebijakan dan administrasi publik, pembangunan internasional, manajemen krisis dan studi poskolonial. Buku yang telah diterbitkan antara lain; Devolusi (1999), Kapitalisme Birokrasi (2000), Paradigma Kritis Kebijakan Publik (2001), Hukum dan Kebijakan Publik (2002), Partai Politik dan Kebijakan Publik (2003), Masa Depan Otonomi Daerah (2004), Kebijakan Tidak Untuk Publik (2005) , dan beberapa karya lainnya. Meraih beasiswa Ford Foundation untuk melakukan studi lanjut di Lyndon B. Johnson School University of Texas at Austin, Texas, USA. Telah mempresentasikan makalah berjudul “Border Conflicts: Are we getting closer together or further apart” di Society for Public Policy and Planning University of Texas at Austin, 17 April 2008 dan menjadi partisipan di The 21st Winter Course di Andalo, Italy, dari January 6 through 13, 2008 tentang “Fighting Terrorism, Protecting Human Rights” yang disponsori oleh Pugwash International.
SOUND GOVERNANCE Berakhirnya Era Good Governance
Biografi Penulis
SG 105