SKRIPSI STUDI KEMAMPUAN PENGIKATAN KOLESTEROL OLEH EKSTRAK DAUN SUJI (Pleomele angustifolia N. E. Brown) DALAM SIMULASI SISTEM PENCERNAAN IN VITRO
Oleh : KURNIAWATI WULAN SARI F24101008
2005 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI KEMAMPUAN PENGIKATAN KOLESTEROL OLEH EKSTRAK DAUN SUJI (Pleomele angustifolia N. E. Brown) DALAM SIMULASI SISTEM PENCERNAAN IN VITRO
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: KURNIAWATI WULAN SARI F24101008
2005 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN STUDI KEMAMPUAN PENGIKATAN KOLESTEROL OLEH EKSTRAK DAUN SUJI (Pleomele angustifolia N. E. Brown) DALAM SIMULASI SISTEM PENCERNAAN IN VITRO
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: KURNIAWATI WULAN SARI F24101008 Dilahirkan pada tanggal 4 Juli 1983 di Kudus Tanggal lulus : 27 Oktober 2005 Bogor,
Menyetujui, November 2005
Ir. Endang Prangdimurti, M.Si. Dosen Pembimbing Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departeman ITP
Kurniawati Wulan Sari. F24101008. Studi Kemampuan Pengikatan Kolesterol oleh Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown) dalam Simulasi Sistem Pencernaan In vitro. Di bawah bimbingan Ir. Endang Prangdimurti, M.Si. RINGKASAN Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang dapat disebabkan karena pola konsumsi yang salah. Tingginya konsumsi lemak dan kolesterol akan berakibat tingginya kolesterol darah dan memicu terjadinya aterosklerosis. Upaya penanggulangan penyakit degeneratif ini dapat dilakukan dengan mengkonsumsi senyawa-senyawa bioaktif yang memiliki kemampuan hipokolesterolemik. Meskipun masih sangat terbatas dan belum jelas mekanismenya, namun beberapa penelitian mengindikasikan adanya kemampuan hipokolesterol dari klorofil. Studi atau hasil penelitian mengenai efek penurunan kolesterol oleh klorofil secara in vivo telah dikemukakan oleh Vlad et al (1995). Penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian cuprofilin selama 90 hari secara nyata menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan lipida serum darah tikus yang sebelumnya memperlihatkan indikasi terkena aterosklerosis. Penelitian Alsuhendra (2002) menunjukkan bahwa konsumsi zinkofilin atau seng-feofitin dari daun singkong dengan dosis sebanyak 100.2 mg/hari/ekor bersama-sama dengan kolesterol 0.1% secara nyata menurunkan kadar total kolesterol dan LDL serum kelinci New Zealand White jantan setelah 4 minggu diintervensi. Diduga bahwa klorofil atau derivatnya dapat berikatan dengan kolesterol maupun garam empedu dalam saluran pencernaan. Oleh karena itu perlu penelitian untuk membuktikan dugaan adanya pengikatan antara kolesterol dengan klorofil. Dalam penelitian ini akan pelajari mengenai kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji sebagai sumber klorofil. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh data tentang kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pencegahan aterosklerosis. Sebagai pembanding digunakan SCC (Sodium Copper Chlorophyllin) yang merupakan klorofil larut air yang telah diteliti memiliki aktivitas biologis. Dalam penelitian ini ekstrak suji sebesar 0.1 g/ ml dan SCC 2.35 mM dilalukan dalam simulasi sistem pencernaan secara in vitro pada dua taraf konsentrasi kolesterol murni ( 0 % dan 2 %). Parameter yang diukur yaitu kadar klorofil, kadar kolesterol dan separasi pigmen menggunakan TLC (Thin Layer Chromatography) masing-masing pada fraksi awal, fraksi gastric, fraksi digesta dan fraksi dialisat. Banyaknya klorofil dan kolesterol yang tidak terserap ke dalam kantung dialisis menunjukkan dugaan adanya kapasitas pengikatan kolesterol oleh klorofil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama proses pencernaan in vitro, kadar klorofil dari ekstrak daun suji dan SCC mengalami penurunan. Hasil pengukuran klorofil pada fraksi dialisat menunjukkan bahwa klorofil terdialisis dari ekstrak daun suji lebih rendah bila dibandingkan SCC baik dengan perlakuan tanpa kolesterol maupun dengan penambahan kolesterol. Pada perlakuan tanpa kolesterol, diketahui bahwa rata-rata persentase klorofil terdialisis dari ekstrak
daun suji sebesar 5.76 %. Adapun persentase klorofil terdialisis dari SCC dengan perlakuan tanpa kolesterol lebih tinggi dibanding suji yaitu rata-rata sekitar 19.78% (p < 0.05). Pada perlakuan dengan penambahan kolesterol, nilai klorofil yang terdialisis kedua sampel yaitu ekstrak daun suji dan SCC menurun bila dibandingkan perlakuan tanpa kolesterol. Namun, secara statistik pada ekstrak daun suji tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) sedangkan pada SCC signifikan (p<0.05). Nilai klorofil yang terdialisis dari ekstrak daun suji dengan penambahan kolesterol lebih rendah bila dibandingkan dengan klorofil yang terdialisis dari SCC (p>0.05). Hasil analisis kadar kolesterol diperoleh keterangan bahwa baik sampel ekstrak daun suji maupun sampel larutan SCC keduanya menunjukkan adanya fitosterol pada fase awal. Hal ini karena reagen kit kolesterol dapat mengukur fitosterol juga. Pengukuran kadar kolesterol dialisat dari ekstrak daun suji yang ditambah kolesterol menunjukkan tidak ada kolesterol yang terukur (0%). Sedangkan untuk SCC yang ditambah kolesterol, banyaknya kolesterol terdialisis ke dalam kantung dialisis rata-rata sebesar 3.92%. Sebagai pembanding, kolesterol terdialisis pada sampel pelarut suji (0.75 % Tween 80 dalam Na sitrat) sangat besar dibandingkan ekstrak suji ataupun SCC yaitu 112 %. Hal ini adanya penambahan kolesterol dari ekstrak bile. Diduga bahwa terdapat komponen dalam ekstrak daun suji maupun SCC yang mampu menahan penyerapan kolesterol. Hasil separasi pigmen menunjukkan bahwa pada fase awal komponen yang teridentifikasi pada sampel ekstrak daun suji diduga adalah klorofil a, lutein, feofitin a dan beta karoten. Pada fase gastric, pigmen yang teridentifikasi diantaranya adalah lutein, feofitin a dan feofitin b serta beta karoten. Terdapatnya feofitin a dan feofitin b pada fase ini diduga karena pengaruh dari perlakuan asam pada pH 2 yang ada di lambung. Pigmen yang teridentifikasi pada fase ketiga yaitu fase digesta adalah changed klorofil b-1 bebas Mg, changed klorofil a-1 bebas Mg, changed klorofil b-2 bebas Mg, feofitin a dan b, lutein serta beta karoten. Pada fase akhir yaitu fase dialisat, tidak terdapat satu pigmenpun yang teridentifikasi. Pada fase awal sampai fase digesta diketahui bahwa beta karoten dan lutein selalu teridentifikasi keberadaanya.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di salah satu kota kecil di Jawa Tengah yaitu Kudus tepatnya pada tanggal 4 Juli 1983. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Ibunda Sularni dan Ayahanda Sukis Djasimin, BSc. Penulis mengawali karir akademiknya di TK Pertiwi Kedungdowo pada tahun 1988-1989. Kemudian dilanjutkan dengan menempuh pendidikan dasar di SDN Kedungdowo I Kaliwungu Kudus pada tahun 1989-1995. Jenjang pendidikan menengah penulis tempuh di SMP Muhammadiyah I Kudus hingga tahun 1998. Pada tahun tersebut juga, penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SMU Muhammadiyah I Kudus. Pada tahun 2001 penulis mendapatkan kesempatan belajar sebagai mahasiswa di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang diterima melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus. Diantaranya di DPM TPB IPB (2001-2002), DPM Fateta IPB (2002-2003), Badan Pengawas HIMITEPA (2002-2003) dan anggota UKM Tapak Suci IPB. Hingga saat ini penulis masih aktif di Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kab./Kota Bogor (2004-2006) sebagai ketua
bidang
kader,
Komunitas
Pendidikan
Pemberdayaan
Masyarakat
Mustadh’afiin “PERAMU” (2004-sekarang) dan juga masih tercatat sebagai staf pengajar Kimia di SMA Muhammadiyah Ciampea Bogor. Penulis pernah mengikuti lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tingkat IPB sebagai finalis di bidang penelitian (2003) dengan judul “Efektivitas Campuran Komponen Bioaktif Katekin Teh Hijau dan Minyak Kayu Putih sebagai Obat Kumur Untuk Menghambat Aktifitas Bakteri Streptococcus mutans Penyebab Plak Gigi” dan sebagai semi finalis pada PKM Dikti tingkat nasional (2002) dalam bidang kewirausahaan. Pada tahun 2004 penulis melakukan praktek lapang di PT Palur Raya Surakarta dengan judul “Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu MSG”. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjananya dengan skripsi berjudul “Studi Kemampuan Pengikatan Kolesterol oleh ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown) dalam Simulasi Sistem Pencernaan In vitro”, dibawah bimbingan Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan kekuatan Islam, iman dan ukhuwah sehingga terselesaikannya karya kecil ini. Shalawat dan salam kepada nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan ikutan terbaik bagi umat yang membawa cahaya Islam. Selama penelitian sampai dengan tersusunnya skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik moral maupun material dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Ibu dan Bapak atas segala cinta kasih dan do’a yang tak pernah putus diberikan, semangat dan pengertian serta perjuangan yang telah dilakukan. 2. Ibu Ir. Endang Prangdimurti, MSi selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Ir. Sutrisno Koswara, Msi dan Antung Sima, STP selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan evaluasi. 4. Laboran Departemen ITP (Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Gatot, Bu Rubiah, Teh Ida, Pak Yahya, Pak Rozak, Pak Sidik dan mbak Darsi) atas segala ilmu dan bantuannya demi kelancaran penelitian ini. 5. Keluarga tercinta di Kudus dan Surabaya, dik Ulil dan dik Abid, Mbak Yanti, Mas Ayik, Mas Ed dan Mas Andik serta mbah putri yang selalu memberikan semangat dan dukungan. 6. Teman seperjuangan Immawan/Immawati Rini, Nunik, Tito, Fikri dan Torik atas indahnya ukhuwah kebersamaan selama ini (we are a great team). 7. Kakak-kakakku dalam “Keluarga kecil” di Bogor yang penuh kekeluargaan dan selalu mengayomi, Mas Topik, Mas supreh, Mbak rifa, Mbak kus, Mbak Mutia dan Mbak Susi atas semua pengertian dan bimbingannya. 8. Rekan-rekan TPG’ers 38 semuanya, teman-teman penelitian, Lina, Wulan, Nita, Meli, Tantri, Okta, Inggrid, Maya, Wanda, Mimi, Sanjung, Derry, Irus, Anita, Sigit, Gesit, Umi, Gilang, Hendri dan yang lainnya atas kerjasama, bantuan, pengertian dan semangatnya. Khususnya kawan-kawan A2 (Riyadi, Wewen dan Ningrum) atas kebersamaannya dalam perjuangan menuntut ilmu
menggapai ridho-Nya di TPG. Tidak lupa juga, Kakak dan adik kelas TPG 36, 37, 39 dan 40. 9. Adik-adikku di IMM Ayu, Iin, Ambar, Citta, Didik, Icha, Vebi, Muad, Udin dan Budi (You’re all the inspiration). Selamat berfastabiqul khoirot. 10. Keluarga besarku di KKB (Keluarga Kudus-Bogor) khususnya Dasa, Avi, Zule, Itok, Heni dan Udin serta adik-adik KKB’ers. 11. Kawan-kawan di PERAMU yang telah menunjukkan realitas sosial. 12. Palma family dan Sausan atas kebersamaan, keceriaan dan ‘gangguan’ selama ini. 13. Saudara jauhku, Fia, Ita, Leli, Evi, Mbak Lela, Adnan dan Rudi. Terimakasih atas doanya. 14. Ustadz Prapto dan kawan-kawan PIR XXI dan XXII serta Kawan-kawan di JIMM-PTN, milis yang selalu membawa pencerahan. Semoga Bangsa ini semakin beradab. 15. Bapak dan Ibuku di Bogor, Pak Muhyidin, Pak Adang dan Bu Pri, terimakasih atas segala nasehatnya. Hanya karya kecil ini yang bisa penulis persembahkan untuk Bangsaku dalam rangka ikut membangun peradaban ilmu pengetahuan. Penulis hanya berharap semoga karya kecil ini mendapatkan ridho-Nya dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Akhirnya hanya ucapan terima kasih yang dapat penulis haturkan kepada semua pihak yang mungkin terlupa untuk disebutkan. Sesungguhnya Allah-lah sebaik-baik pembalas segala kebaikan kalian. Fastabiqul khoirot Jazakumullahu khairan katsiran. Bogor, November 2005 Penulis
DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR.................................................................................
i
DAFTAR ISI...............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL.......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
vii
I. PENDAHULUAN.................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG......................................................................
1
B. TUJUAN...........................................................................................
3
C. HIPOTESIS.......................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
4
A. DAUN SUJI.....................................................................................
4
B. KLOROFIL.....................................................................................
6
1. Klorofil dan Turunannya.........................................................
6
2. Pencernaan dan Penyerapan Klorofil......................................
14
3. Manfaat dan Aktivitas Biologis Klorofil.................................
16
C. KOLESTEROL...............................................................................
18
D. SEPARASI PIGMEN.....................................................................
21
III. METODOLOGI PENELITIAN............................................................
23
A. BAHAN DAN ALAT.....................................................................
23
B. METODE PENELITIAN................................................................
24
1. Pembuatan Ekstrak Daun Suji.............................................
24
2. Pembuatan Sampel SCC......................................................
24
3. Uji Klorofil dan Kolesterol Terdialisis Secara in vitro
25
C. PROSEDUR ANALISIS..................................................................
28 28
1. Analisis Kadar Klorofil.......................................................
28
2. Analisis Total Kolesterol....................................................
29
3. Analisis Separasi Pigmen....................................................
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................
30
A. PEMBUATAN EKSTRAK DAUN SUJI........................................
30
B. PEMBUATAN LARUTAN SCC....................................................
32
C. PROFIL EKSTRAK DAUN SUJI DAN SCC SELAMA PENCERNAAN IN VITRO............................................................
33
1. Profil Kadar Klorofil Selama Pencernaan in vitro..............
35
2. Profil Kadar Kolesterol Selama Pencernaan in vitro..........
41
3. Persentase Klorofil dan Kolesterol Terdialisis Secara in vitro.....................................................................................
44
D. SEPARASI PIGMEN....................................................................
48
V. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
52
A. KESIMPULAN..................................................................................
52
B. SARAN..............................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
55
LAMPIRAN.................................................................................................
59
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1.
Kandungan klorofil beberapa jenis daun..............................
8
Tabel 2.
Jenis-jenis senyawa turunan klorofil.....................................
9
Tabel 3.
Standar nilai Rf dan posisi relatif tiap-tiap komponen pada plate TLC selulosa................................................................
Tabel 4.
22
Persentase penurunan kadar klororil terhadap fraksi awal selama pencernaan in vitro ...................................................
37
Tabel 5.
Rata-rata persentase klorofil terdialisis.................................
45
Tabel 6.
Persentase kolesterol terdialisis.............................................
47
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1.
Tanaman suji jenis minor.....................................................
4
Gambar 2.
Daun tanaman suji jenis minor..............................................
5
Gambar 3.
Rumus bangun klorofil a dan b.............................................
7
Gambar 4.
Perubahan klorofil menjadi beberapa senyawa turunannya..
9
Gambar 5.
Reaksi feofitinisasi................................................................
11
Gambar 6.
Pengaruh pH terhadap kadar klorofil....................................
15
Gambar 7.
Struktur kimia kolesterol.......................................................
19
Gambar 8.
Skema pembuatan ekstrak daun suji.....................................
25
Gambar 9.
Skema pencernaan in vitro ...................................................
27
Gambar 10. Kurva standar SCC................................................................
33
Gambar 11. Histogram kandungan klorofil ekstrak daun suji dan SCC tanpa perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro ..................................................................................
35
Gambar 12. Histogram kandungan klorofil ekstrak daun suji dan SCC dengan perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro..............................................................
36
Gambar 13. Ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro .....................
38
Gambar 14. Larutan SCC selama pencernaan in vitro ............................
40
Gambar 15. Histogram kadar kolesterol ekstrak daun suji dan SCC tanpa perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro ..................................................................................
42
Gambar 16. Histogram kadar kolesterol ekstrak daun suji dan SCC dengan perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro ...............................................................
42
DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1.
Contoh cara perhitungan kadar klorofil………………......
57
Lampiran 2.
Cara perhitungan persentase penurunan kadar klorofil
58
terhadap fraksi awal………........... …………....................
59
Lampiran 3.
Contoh cara perhitungan persentase klorofil terdialisis.....
60
Lampiran 4.
Contoh cara perhitungan persentase kolesterol terdialisis..
61
Lampiran 5.
Uji statistik data klorofil terdialisis....................................
62
Lampiran 6.
Nilai Rf separasi pigmen.....................................................
63
Lampiran 7.
Separasi pigmen ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro dengan TLC..............................................................
69
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang dapat disebabkan karena pola konsumsi yang salah. Saat ini tingkat kejadian penyakit degeneratif semakin tinggi. Salah satu penyakit degeneratif yang ditakuti orang adalah PJK (penyakit jantung koroner). Data pada tahun 1999 menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner tercatat sedikitnya 55,9 juta kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit jantung atau setara dengan 30,3% dari total kematian di dunia. Di Indonesia sendiri, angka kematian dan kesakitan karena penyakit jantung cenderung terus meningkat. Menurut hasil Survey Kesehatan Nasional tahun 2001, tiga dari 1.000 penduduk, menderita penyakit jantung koroner atau 4% dari masyarakat. Sebagian besar PJK terjadi akibat penurunan suplai oksigen pada otot jantung lantaran penyempitan pembuluh koroner oleh pengerasan di dinding dalam pembuluh koroner yang disebut plak aterosklerosis. Telah diketahui bahwa aterosklerosis disebabkan oleh kadar LDL (lipoprotein berdensitas rendah) serum yang tinggi (>130 mg/dl) dan diperparah oleh kondisi stress oksidatif. Dalam tahapan aterogenesis, makrofag melakukan endositosis terhadap LDL yang teroksidasi dan berubah menjadi sel busa, yang merupakan cikal bakal ateroma. Oleh karena itu, upaya pencegahan aterosklerosis akan lebih efektif apabila upaya penurunan kadar LDL atau kolesterol secara umum dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan kapasitas antioksidan dalam tubuh. Berkaitan dengan hal tersebut, klorofil dalam beberapa studi dilaporkan memiliki kapasitas antioksidan dan hipokolesterol, sehingga diperkirakan suplemen pangan kaya klorofil dapat membantu mengurangi potensi aterosklerosis. Studi atau hasil penelitian mengenai efek penurunan kolesterol oleh klorofil dikemukakan oleh Vlad et al (1995). Penelitiannya menunjukkan bahwa
pemberian Cuprofilin (kompleks Cu (II)-klorofil) selama 90 hari
secara nyata menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan lipida serum darah
tikus yang sebelumnya telah memperlihatkan indikasi terkena aterosklerosis. Selain itu pada aorta tikus yang diberi cuprofilin juga menampakkan infiltrasi lipid yang berkurang secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil atau derivatnya
berpengaruh
terhadap
metabolisme
kolesterol.
Penelitian
Alsuhendra (2002) menunjukkan bahwa konsumsi zinkofilin atau sengfeofitin (turunan klorofil yang ion Mg2+ pada inti porfirinnya telah digantikan oleh Zn2+) pada dosis 100,2 mg/hari/ekor bersama-sama dengan kolesterol 0.1% secara nyata menurunkan kadar total kolesterol dan LDL serum kelinci New Zealand White jantan setelah 4 minggu diintervensi. Studi mengenai mekanisme penurunan kolesterol darah belum jelas, karena itu perlu lebih banyak diteliti. Diduga bahwa klorofil atau derivatnya dapat berikatan dengan kolesterol maupun garam empedu dalam saluran pencernaan. Ma dan Dolphin (1999) menemukan adanya struktur ester klorinkolesterol di sedimen permukaan danau. Strukturnya memperlihatkan posisi kolesterol menggantikan gugus fitol dalam berikatan dengan klorin. Sedangkan Ferruzi et al (2001) menduga adanya kemampuan pengikatan derivat klorofil dengan garam empedu. Klorofilin adalah derivat klorofil yang telah kehilangan gugus fitol. Penelitian ini dilakukan untuk melihat kemungkinan terjadinya pengikatan kolesterol oleh klorofil dalam sistem pencernaan yang dilakukan secara in vitro. Sebagai sumber klorofil digunakan daun suji. Daun suji memiliki
keunggulan
yaitu
merupakan
produk
lokal
yang
mudah
dibudidayakan dan biasa digunakan sebagai pewarna hijau alami untuk pangan sehingga aman dikonsumsi, memiliki flavor yang mild sehingga dapat diaplikasikan dengan konsentrasi tinggi pada produk, serta secara tradisional berkhasiat sebagai obat. Menurut Prangdimurti (2005), proses ekstraksi daun suji dengan menggunakan pelarut
Tween 80 dalam Na-sitrat dapat meningkatkan
kapasitas antioksidan dan kadar klorofil terlarut ekstrak yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan ekstrak tersebut.
B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti secara in vitro kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji dibandingkan dengan SCC (Sodium Copper Chlorophyllin), suatu turunan klorofil. C. HIPOTESIS Derivat klorofil dari ekstrak daun suji memiliki kemampuan mengikat kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol yang terserap dalam tubuh yang diuji secara in vitro.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. DAUN SUJI (Pleomele angustifolia N. E. Brown) Tanaman Suji (Pleomele angustifolia, N. E. Brown) merupakan tanaman perdu atau pohon kecil tegak dengan tinggi berkisar antara 2 hingga 8 meter. Tanaman suji biasa tumbuh secara liar atau ditanam disekitar halaman dan untuk pagar-pagar. Tanaman suji dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian sampai 1200 m diatas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi botaninya, tanaman suji termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermai, kelas Monocotiledoneae, ordo Liliflorae, famili Liliaceae, genus Pleomele, dan jenis Pleomele angustifolia N. E. Brown (Keng, 1969).
Jenis lain dari suji adalah Cordyline Rumphii MIQ dan
Dracaena angustifolia ROXB (Heyne, 1987).
Gambar 1. Tanaman suji jenis minor (Pleomele angustifolia, N.E.Brown) Daun tanaman suji berbentuk lancet-garis, agak kaku, berwarna hijau gelap, meruncing atau sangat runcing dengan panjang 10 sampai 25 cm dan lebar 0.9 sampai 1.5 cm. Jenis bunga termasuk bunga majemuk, berbentuk malai dengan banyak bunga yang panjangnya 8 sampai 30 cm. Pada tiap kelopak terdapat 1-4 bunga, tangkai bunga pendek (2.5-2.7 cm). Mahkota bunga berwarna putih kekuningan, dan kalau malam hari berbau harum. Buah yang matang berwarna jingga dengan diameter 1-2 cm.
Gambar 2. Daun tanaman suji jenis minor Jenis-jenis tanaman suji yang ditemukan di Jawa dikelompokkan menjadi dua forma pokok yaitu forma typica dan forma minor. Ciri dari forma typica yaitu memiliki malai bunga yang besar dan berdaun panjang hingga 60 cm serta lebar. Forma minor memiliki ciri dengan malai bunga yang kecil dan daun-daun yang lebih pendek serta ciut. Forma pertama ditemukan tumbuh liar di Jawa di bawah ketinggian 500 m, terutama di bagian sebelah barat pulau Jawa. Jenis forma minor didapat liar atau menjadi liar di daerah-daerah kediaman, tetapi terutama ditanam orang di daerah dengan ketinggian hingga 1000 m diatas permukaan laut, ditanam dipagar-pagar dan di sekitar perigiperigi. Di Sulawesi telah ditemukan forma-forma alihan dengan malai-malai bunga yang besar dan daun-daun kecil (Heyne, 1987). Tanaman suji dapat diperbanyak dengan stek atau bisa juga dengan biji. Di setiap daerah di Indonesia, tanaman suji mempunyai nama daerah yang berbeda antara lain Jejuang bukit atau Pendusta utan (Ambon); Ngase kolotide (Ternate); Jingkang, Hanjuwang merak atau Suji (Jawa Barat); Semar (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Kopoi (Ponos), Popopok im bolai, Rereindeng im bolai, Tawaang im bolai (Minahasa) (Heyne, 1987) Secara tradisional, tanaman suji telah dimanfaatkan baik untuk bidang pangan, kosmetika maupun pengobatan. Di bidang pangan, ekstrak daun suji dalam medium air telah biasa digunakan sebagai pewarna berbagai makanan tradisional. Sedangkan pucuk-pucuk mudanya dapat dibuat sayur. Selain sebagai pewarna pangan, daun suji diketahui juga dapat digunakan sebagai pewarna kertas, minyak jarak dan minyak kelapa. Di bidang kosmetika, ekstrak daun suji dapat digunakan sebagai penyubur rambut.
Selain sebagai pewarna dan penyubur rambut, tanaman suji juga dapat digunakan di bidang pengobatan. Air rebusan akar tanaman suji dapat digunakan sebagai campuran obat sakit gonorrhoe. Di Ambon, daun tanaman suji dimanfaatkan untuk mengobati penyakit beri-beri dengan cara menggosokkan kuat-kuat daun yang telah dipanaskan pada anggota tubuh penderita. (Heyne, 1987). B.
KLOROFIL 1. Klorofil dan Turunannya Klorofil (chlorophyll) adalah zat pembawa warna hijau pada tumbuh-tumbuhan. Klorofil berasal dari bahasa Yunani: khloros (hijau kekuningan) dan phullon (daun). Nama klorofil pada mulanya diberikan pada pigmen-pigmen hijau yang berperan pada proses fotosintesis tanaman tingkat tinggi, yang kemudian diperluas kepada semua golongan pigmen porfirin fotosintetik (Francis, 1985). Secara kimiawi, klorofil adalah porfirin yang mengandung cincin dasar tetrapirol, dimana keempat cincin berikatan dengan ion Mg2+. Cincin isosiklik yang kelima berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Dalam cincin keempat, subtituen asam propionat diesterifikasi oleh diterpen alkohol fitol (C20H39OH) yang bersifat hidrofobik, dan jika dihilangkan menjadi hidrofilik (Gross, 1991). Molekul klorofil terdiri dari sebuah porfirin sebagai kepala, yang bersifat polar (larut dalam air), yang terbentuk dari cincin tetrapirol dengan sebuah atom Mg dan sebuah fitol sebagai ekor (Hall dan Rao, 1986). Klorofil dapat ditemukan pada daun dan permukaan batang, yaitu di dalam lapisan spongi di bawah kutikula. Menurut Clydesdale dan Francis (1976), klorofil terletak dalam badan-badan plastid yang disebut kloroplas. Kloroplas memiliki bentuk yang teratur, di bawah mikroskop lensa lemah tampak sebagai lempengan berwarna hijau dengan panjang sekitar 5-10 mikrometer dan lebar 1-2 mikrometer. Klorofil berikatan erat dengan lipid, protein dan lipoprotein. Kloroplas kering mengandung sekitar 10% klorofil dan 60% protein (Hutchings, 1994).
Beberapa jenis klorofil telah diketahui seperti klorofil a, b, c, d, bakterioklorofil a dan b, dan klorobium klorofil (Clydesdale et al., 1976). Beberapa tipe klorofil tersebut distribusinya kecil. Hanya dua yang perlu diperhatikan karena peranannya dalam warna hijau daun pada tanaman yaitu klorofil-a dan b. Klorofil a adalah suatu struktur tetrapirol melalui ikatan Mg, dengan subtitusi metil pada posisi 1, 3, 5 dan 8, vinil pada posisi 2, etil pada posisi 4, propionat yang diesterifikasi dengan fitil alkohol (fitol) pada posisi 7, keto pada posisi 9 dan karbometoksi pada posisi 10. Rumus molekul klorofil-a adalah C55H72N4O5Mg. Klorofil–b memiliki struktur yang sama dengan klorofil-a, kecuali pada posisi 3 terdapat gugus formil, bukan gugus metil yang dimiliki klorofil a. Rumus empiris dari klorofil-b adalah C55H70N4O6Mg. Rumus struktur dari klorofil ditentukan oleh Fischer (1940) di Jerman dan ditegaskan melalui sintesis molekul yang lengkap oleh Woodward (1960) di Harvard. Struktur molekul klorofil-a dan b dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rumus bangun klorofil a (R = CH3) dan klorofil b (R = CHO) (Hutchings, 1994). Perbedaan kecil dalam struktur dari dua klorofil menghasilkan perbedaan dalam penyerapan spektrum, biru-hijau untuk klorofil-a dan kuning-hijau untuk klorofil-b. Posisi penyerapan maksimum bervariasi sesuai dengan pelarut yang digunakan. Klorofil merupakan ester dan larut pada pelarut organik.
Kandungan klorofil pada beberapa tanaman sekitar 1% basis kering. Pada semua tanaman hijau, sebagian besar klorofil berada dalam dua bentuk yaitu klorofil-a dan klorofil-b dengan perbandingan 3:1 (Robinson, 1991). Tabel 1. memperlihatkan kandungan klorofil dari beberapa jenis daun. Klorofil-a terdapat sekitar 75% dari pigmen hijau tanaman. Dengan analisis yang sama, Hakim (2005) menyebutkan bahwa total klorofil daun suji sebesar 3773 µg/g bahan dengan rasio klorofil a dan klorofil b sebesar 2:1. Tabel 1. Kandungan klorofil beberapa jenis daun (Alsuhendra, 2004) Jenis
Kandungan klorofil (µg/g bahan) a
b
Total
Rasio a:b
Daun singkong
2853.2
1114.3
3967.5
2.6:1
Daun katuk
1688.1
513.9
2202.0
3.3:1
Daun poh-pohan
1495.4
587.1
2013.5
2.9:1
Daun kangkung
1493.6
519.9
2013.5
2.9:1
Daun bayam
1205.0
255.9
1460.9
4.7:1
Daun kemangi
842.9
479.8
1322.7
1.8:1
Caisin
815.0
393.1
1208.1
2.1:1
Selada
482.7
148.6
631.3
3.2:1
Alang-alang
1831.2
495.1
2326.3
3.7:1
Rumput gajah
2123.7
549.5
2673.2
3.9:1
Salah satu sifat kimia klorofil yang penting adalah kelabilan yang ekstrim, seperti sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen, dan degradasi kimia. Oleh karena itu, untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan pada klorofil, maka berbagai faktor tersebut harus diperhatikan. Klorofil dapat diubah baik secara in vivo maupun in vitro ke dalam bentuk derivatnya (Gross, 1991). Pada Tabel 2. dibawah ini disajikan jenis-jenis senyawa turunan klorofil.
Tabel 2. Jenis-jenis senyawa turunan klorofil (Robinson, 1991) Jenis
Keterangan
Turunan Klorin
Dihidroporfirin
Rodin
Dihidroporfirin dengan karbonil berdampingan dengan cincin pirol
Forbin
Dihidroporfirin dengan cincin karboksilik tambahan
Forbida
Ester dari forbin
Feoforbida
Ester metil dari forbin
Fitin
Ester fitil dari forbin
Feofitin
Ester metil dan fitil dari forbin
Filin
Turunan magnesium dari salah satu senyawa diatas
Klorofilin
Turunan magnesium dari fitin
Klorofilida
Turunan magnesium dari feoforbida
Perubahan klorofil menjadi senyawa derivatnya terjadi akibat ketidakstabilan senyawa klorofil sehingga terdegradasi. Menurut Eskin (1979) secara umum senyawa klorofil dapat terdegradasi secara kimia menjadi turunannya melalui salah satu atau lebih dari proses-proses berikut yaitu reaksi feofitinisasi, reaksi pembentukan klorofilid dan reaksi oksidasi. Hubungan dari reaksi-reaksi perubahan klorofil menjadi senyawa turunannya digambarkan dengan skema pada Gambar 4. Klorofil + H2O Klorofil -Mg2+ Feofitin -CH2CH3 Pirofeofitin
klorofilase
- fitol
- fitol
- fitol
Klorofilid + Fitol Klorofilid -Mg2+ Feoforbid -CH2CH3 Pirofeoforbid
Gambar 4. Perubahan klorofil menjadi beberapa senyawa turunannya (Clydesdale et al., 1976).
Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan. Reaksi feofitinisasi disebut juga dengan demetalasi atau reaksi pelepasan ion Mg. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil terlepas dan diganti oleh ion H. Denaturasi protein pelindung dalam kloroplas mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan diganti ion hidrogen membentuk feofitin. Ion magnesium dari klorofil akan semakin banyak lepas dengan proses pemanasan serta pengaruh keasaman. Menurut Gross (1991), feofitin adalah derivat klorofil bebas magnesium. Feofitin-a dan b mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit dan konsentrasi HCl yang digunakan 13 % . Mac Kinney dan Joslyn (1938) menemukan bahwa kecepatan pembentukan feofitin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam. Reaksi feofitinisasi yang biasa terjadi dapat dilihat pada proses perebusan sayuran yang mengandung klorofil. Klorofil terdapat dalam bentuk terikat secara kompleks dengan molekul protein. Pada proses perebusan tersebut, protein dari senyawa kompleks tersebut akan mengalami denaturasi, sehingga klorofil akan dibebaskan. Klorofil yang bebas ini sangat tidak stabil, dan ion magnesium yang terdapat didalamnya dapat dengan mudah digantikan oleh ion hidrogen. Akibatnya warna sayuran yang semula hijau berubah menjadi kecoklatan karena terbentuknya feofitin (Muchtadi, 1992). Disamping itu, bila pada proses perebusan tersebut wadahnya tertutup, maka asam-asam volatil dari sayuran yang dikeluarkan pada awal perebusan tidak dapat keluar dan akhirnya bereaksi dengan klorofil. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya perubahan klorofil menjadi feofitin. Reaksi feofitinasi yang secara kinetika merupakan reaksi pseudomono-molekular digambarkan secara skematis oleh Kyzlink (1990) seperti terlihat pada Gambar 5. Energi aktivasi yang dibutuhkan untuk perubahan klorofil a menjadi feofitin a adalah sebesar 25.2 kkal/mol dan untuk klorofil b sebesar 22.5 kkal/mol (Schwartz dan Von Elbe, 1983).
Gambar 5. Reaksi feofitinasi (Kyzlink, 1990) Beberapa peneliti melaporkan bahwa klorofil-a mengalami perubahan menjadi feofitin-a sebesar 5-10 kali lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan perubahan klorofil-b menjadi feofitin-b. Mac Kinney dan Joslyn (1940) melaporkan bahwa dalam pelarut aseton, pelepasan magnesium dari klorofil-a lebih cepat sembilan kali lipat dibandingkan dengan klorofil-b. Reaksi pembentukan klorofilid dapat terjadi melalui hidrolisis klorofil menjadi klorofilid dan fitol baik dalam kondisi asam maupun basa. Oleh karena itu, reaksi pembentukan klorofilid disebut juga dengan reaksi pelepasan fitol. Pembentukan klorofilid dikatalisis secara enzimatik oleh adanya enzim klorofilase. Enzim klorofilase biasa ditemukan dalam jaringan tanaman hijau. Enzim klorofilase dapat menghidrolisis gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk klorofilid. Penghilangan gugus fitol dari klorofil akan menghasilkan molekul klorofilid yang bersifat polar dan larut dalam air. Klorofilid juga dapat kehilangan ion magnesium yang diganti dengan ion hidrogen membentuk feoforbid (Clydesdale et al., 1976). Enzim klorofilase (klorofil klorofilid hidrolase, E.C.3.1.1.14) termasuk jenis enzim esterase. Enzim ini memiliki sifat dapat mengkatalisis hidrolisis ikatan ester antara residu asam 7-propionat pada cincin IV makrosiklik dengan fitol, baik pada klorofil maupun feofitin. Pada suhu kamar enzim ini hanya aktif jika ada pelarut-pelarut organik. Sedangkan dalam pelarut air, fungsi enzim akan optimum pada kisaran suhu 65-750C. Diduga hal ini diakibatkan oleh keadaan enzim
yang secara fisik terikat kuat pada lipoprotein lamela. Menurut laporan Mac Kinney dan Weast (1940) bahwa aktifitas maksimum dari enzim klorofilase adalah 750C. Jones et al. (1963) melaporkan bahwa blansir pada suhu 1000C selama 4 detik secara nyata menginaktivasi enzim klorofilase. Hal ini ditandai dengan sedikitnya atau tidak ada perubahan ke arah pembentukan klorofilid atau feoforbid. Salah satu upaya untuk mempertahankan warna hijau dari jaringan tanaman antara lain dilakukan dengan cara mengubah klorofil menjadi klorofilid. Clydesdale et al. (1976) menggunakan digitonin 0.1% pada pure bayam untuk membebaskan klorofil dan klorofilase dari ikatannya dengan lipoprotein dalam kloroplas. Surfaktan atau detergen non-ionik ini mampu melindungi warna hijau seperti halnya penambahan MgCO3 0.35% untuk membuat suasana alkali. Enzim klorofilase hanya mampu menghidrolisis klorofil 40% dalam kompleks klorofil-protein bayam. Namun, dengan adanya detergen hampir semua klorofil dapat dihidrolisis (Gross, 1991). Jika reaksi hidrolisa gugus fitol oleh enzim klorofilase terjadi dalam pelarut-pelarut tertentu seperti etanol atau metanol, maka akan terjadi penukaran gugus fitol oleh pelarut, misalnya membentuk etil klorofilid (Aronof, 1958). Feoforbid a dan b adalah klorofilid yang juga kehilangan magnesium, jadi tidak memiliki gugus fitol maupun Mg. Senyawa ini dapat dibuat dengan cara memperlakukan klorofil dengan asam pekat (HCl 30%) atau dengan memberi perlakuan asam pada klorofilid (Gross, 1991). Reaksi oksidasi klorofil terjadi pada grup fungsionalnya yaitu cincin isosiklik yang membentuk klorofil teralomerasi dan pecahnya cincin tetrapirol sehingga membentuk produk yang tidak berwarna (Clydasdale et al., 1976). Menurut Gross (1991), proses ini dinamakan alomerisasi karena produk oksidasi tersebut mempunyai absorbsi spektra yang identik dengan senyawa induknya. Klorofil dioksidasi secara spontan oleh oksigen atmosfer meskipun dalam kondisi gelap. Alomerisasi klorofil dapat diperoleh dengan melewatkan O2 selama 72 jam pada larutan klorofil dalam metanol. Senyawa ini juga dapat terbentuk selama
perebusan dedaunan. Proses otoksidasi klorofil dapat dihambat dengan karotenoid. Reaksi oksidasi dapat dibagi menjadi reaksi oksidasi non enzimatik dan reaksi oksidasi enzimatik.
Reaksi oksidasi non enzimatik terjadi
karena pemanasan dan selama penyimpanan. Menurut Eskin (1979), kecepatan degradasi oksidatif meningkat sejalan dengan lamanya pertambahan waktu blansir dan penyimpanan. Pengaruh blansir tampak dalam dua hal.
Pertama, blansir menginaktivasi enzim-enzim yang
membantu degradasi klorofil sehingga klorofil lebih stabil selama penyimpanan.
Kedua, blansir dalam waktu yang lama, meskipun
menginaktivasi
enzim,
tetapi
merangsang
reaksi
oksidasi
yang
mengakibatkan kehilangan klorofil. Waktu blansir yang paling optimum adalah 45 detik sampai satu menit, dimana aktivitas enzim dan perangsang reaksi oksidasi dihambat. Reaksi
oksidasi
enzimatik
terjadi
dengan
adanya
enzim
lipoksigenase (linoleat oksidoreduktase) yang terdapat di sebagian besar sayuran dan buah-buahan.
Enzim lipoksigenase diidentifikasi sebagai
enzim yang memberikan pengaruh pemucatan pada klorofil a dan klorofil b dengan kehadiran lemak dan oksigen. Enzim ini mengkatalisa reaksi oksidasi klorofil jika diinkubasi dengan asam linoleat atau linolenat. Klorofil sangat peka terhadap cahaya. Sinar dalam ruangan lemah, jika mengenai klorofil kurang dari satu detik dapat mengakibatkan reaksi protopigmen (Holden, 1976) yang dikutip oleh Oktaviani (1987). Pengerjaan klorofil dan penyimpanan zat warna harus dilakukan dalam ruang gelap atau ruang redup dengan cahaya yang aman dan sejuk. Klorofil-a dan feofitin-a larut dalam alkohol, eter dan aseton. Dalam keadan murni sedikit larut dalam petroleum eter dan tidak larut dalam air. Klorofilid dan feoforbid–a tidak larut dalam pelarut organik tetapi larut dalam air (Clydesdale et al., 1976) Pemanasan merupakan proses fisika yang dapat mengakibatkan kerusakan klorofil. Klorofil terdapat dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein yang diduga menstabilkan molekul klorofil dengan cara
memberikan ligan tambahan. Pemanasan dapat mengakibatkan denaturasi protein sehingga klorofil menjadi tidak terlindung lagi yang dikutip oleh Oktaviani (1987). Selama pemanasan, asam-asam organik dalam jaringan dibebaskan yang mengakibatkan pembentukan feofitin. Pemanasan juga memberi pengaruh terhadap aktivitas enzim klorofilase dan enzim lipoksigenase. Pengaruh blansir pada sayuran hijau terhadap pembentukan klorofilid dan feoforbid menunjukkan bahwa blansir pada suhu 82.20C meningkatkan aktivitas enzim klorofilase, tetapi blansir pada suhu 1000C membuat klorofilase inaktif. 2. Pencernaan dan Penyerapan Klorofil Hasil penelitian Ferruzi et al (2001) menyatakan bahwa studi mengenai absorbsi dan metabolisme klorofil belum banyak dilakukan. Sifat klorofil yang mudah terdegradasi oleh asam, panas, cahaya dan oksigen menjadi salah satu kendala dalam studi-studi absorpsi klorofil. Dikatakannya bahwa hanya dalam waktu ½ jam pada fase lambung (pH 2) lebih dari 95% klorofil-a dan klorofil-b berubah menjadi bentuk feofitinnya. Selanjutnya feofitin dimetabolisme oleh mikroflora usus antara lain menjadi feoforbid. Pengaruh pH lambung pada perubahan klorofil menjadi feofitin selama fase gastric dalam sistem pencernaan telah dikemukakan oleh Ferruzi et al (2001). Berdasarkan penelitiannya dengan menggunakan pure bayam segar diketahui bahwa kandungan awal klorofil a dari pure bayam segar tersebut adalah sekitar 77% dan klorofil b sekitar 23%. Dengan perlakuan pH 2 ternyata keduanya berubah mnenjadi feofitin a dan b dengan persentase masing-masing 70% dan 30%. Kemudian pada pH 4 kecenderungan klorofil a dan b stabil dengan persentase klorofil a 72% dan klorofil b 22% sedangkan sisanya adalah feofitin a dan feofitin b. Pada perlakuan pH 6, selama pencernaan klorofil a dan klorofil b relatif stabil.
pH 2
Ek s tr ak Bayam s e gar klorof il b, 23%
f e of itin b, 30%
f e of itin a, 70%
klorof il a , 77%
pH 4
feo a, klorofil 5% b, 22%
pH 6
feo b, 1% klorofil a, 72%
klorofil b, 23% klorofil a, 77%
Gambar 6. Pengaruh pH terhadap kandungan klorofil (Ferruzi et al, 2001) Bukti bahwa klorofil dapat diserap oleh sel usus dikemukakan oleh Ferruzi et al (2001). Dalam penelitiannya secara in vitro, mereka menggunakan pure bayam yang dicerna menggunakan enzim-enzim pencernaan dan diinkubasi bersama sel Caco-2 sebagai model sel enterosit manusia untuk melihat penyerapannya. Klorofil alami terdegradasi selama pencernaan. Derivat-derivat klorofil terakumulasi dalam sel sebanyak 510%. Egner et al (2001) berhasil membuktikan adanya penyerapan derivat klorofil dalam darah. Mereka melakukan studi intervensi SCC (sodium copper chlorophyllin) terhadap subyek manusia, dengan kandungan utamanya Cu(II)klorin e4 (CuCle4) dan Cu(II)klorin e6 (CuCle6). Setelah diintervensi dengan dosis 100 mg selama 3 kali sehari selama 4 bulan, dalam serum darah subyek ditemukan bentuk CuCle4 dan CuCle4 etil ester, bahkan ditemukan warna hijau dalam sampel serum subyek. Hal ini belum pernah dikemukakan sebelumnya dan penemuan awal ini menunjukkan adanya penyerapan in vivo derivat klorofil.
SCC merupakan campuran berwarna hijau terang yang berasal dari klorofil alami yang telah digunakan sebagai suplemen pangan dan pewarna. SCC komersial dibuat dari ekstrak klorofil menggunakan NaOHmetanol dan diikuti dengan penggantian atom Mg oleh logam Cu. Didasari oleh penelitian Egner et al. tersebut, maka Ferruzi et al (2002a) melanjutkan studi absorbsi klorofil menggunakan SCC. SCC komersial yang digunakan terdiri dari komponen utama Cu(II)klorin e4 (81%), Cu(II)klorin e6 (10%), Cu(II)rhodin g7 (3%) dan Cu(II)feoforbid (1%). Untuk melihat tingkat ketersediaan SCC digunakan sel Caco-2. SCC diinkubasi dalam kultur sel dengan konsentrasi 0.5-60 ppm (atas dasar pertimbangan konsumsi SCC: 1,0-100 mg SCC dalam 2 liter cairan usus dan lambung) pada 370C selama 4 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45-60% SCC terserap dalam sel. Rasio Cu(II)klorin e4 terhadap Cu(II)klorin e6 yang terserap intrasel sama dengan rasionya didalam media uji. Dengan kata lain penyerapan derivat-derivat klorofil berlangsung proporsional dengan konsentrasi didalam media. Transpor porfirin ke dalam sel enterosit diduga dimediasi oleh suatu reseptor. Selain itu dari studi tersebut diketahui bahwa Cu(II)klorin e4 merupakan komponen utama dalam fraksi digesta. Cu(II)klorin e6 memiliki kestabilan yang rendah selama pencernaan, namun dapat ditingkatkan kestabilannya apabila berada dalam matriks saus apel. Hal ini diduga karena adanya antioksidan lain dan matriks apel yang melindungi keberadaannya. 3. Manfaat dan Aktivitas Biologis Klorofil Telah lama diketahui bahwa pigmen yang terdapat dalam bahan pangan dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami dalam pembuatan produk-produk pangan. Pewarna alami ini dinilai lebih aman untuk dikonsumsi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pigmen alami tersebut tidak hanya dimanfaatkan sebagai pewarna pada bahan pangan saja, tetapi juga mempunyai peranan fungsional dalam bidang kesehatan.
Dari berbagai studi yang telah dilakukan, aktivitas biologis klorofil umumnya diperlihatkan oleh klorofilin yaitu derivat klorofil yang telah kehilangan gugus fitol dan metil sehingga memiliki kelarutan yang tinggi dalam air. Klorofilin komersial yang banyak digunakan dalam berbagai studi yang telah dilakukan adalah SCC yang sebagian besar berisi senyawa klorin. Baik klorin maupun rhodin adalah bentuk derivat klorofil yang teroksidasi yang ditandai dengan putusnya cincin isosiklik (cincin kelima). Hal ini mengindikasikan dugaan bahwa oksidasi klorofil belum tentu menurunkan aktivitas biologis klorofil. Telah dilaporkan bahwa klorofil dan derivatnya memiliki kemampuan
antimutagenik,
antikarsinogenik,
antioksidan
dan
hipokolesterolemik. Dalam kaitannya dengan pencegahan aterosklerosis diperlukan
data-data
mengenai
kapasitas
antioksidan
dan
hipokolesterolemik. Kemampuan hipokolesterolemik dikemukakan oleh Vlad et al (1995) yaitu pemberian Cuprofilin (kompleks Cu (II)-klorofil) selama 90 hari yang secara nyata dapat menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan lipida serum darah tikus yang sebelumnya telah memperlihatkan indikasi terkena aterosklerosis. Selain itu pada aorta tikus yang diberi cuprofilin juga menampakkan infiltrasi lipid yang berkurang secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil atau derivatnya berpengaruh terhadap metabolisme kolesterol. Penelitian Alsuhendra (2002) menunjukkan bahwa konsumsi zinkofilin atau seng-feofitin (turunan klorofil yang ion Mg2+ pada inti porfirinnya telah digantikan oleh Zn2+) pada dosis 100,2 mg/hari/ekor bersama-sama dengan kolesterol 0.1% secara nyata menurunkan kadar total kolesterol dan LDL serum kelinci New Zealand White jantan setelah 4 minggu diintervensi. Akibat lebih lanjut adalah pembentukan plak aterosklerosis aorta kelinci dapat dicegah, sehingga luas plak yang terbentuk relatif kecil serta frekuensi kejadian relatif rendah. Dugaan adanya kemampuan derivat klorofil, terutama yang telah kehilangan gugus fitolnya, berikatan dengan kolesterol adalah berdasarkan artikel yang ditulis oleh Ma dan Dolphin (1999). Mereka menyebutkan
ditemukannya beberapa ester klorin-kolesterol di sedimen permukaan danau. Strukturnya memperlihatkan posisi kolesterol menggantikan gugus fitol dalam berikatan dengan klorin. C.
KOLESTEROL Kolesterol merupakan komponen essensial dari membran sel dan merupakan komponen utama sel-sel otak dan jaringan syaraf (Krause dan Mahan, 1984). Sedangkan menurut Mayes et al., (1987) kolesterol adalah produk khas dari metabolisme hewan dan oleh karenanya terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan seperti daging, hati, otak dan kuning telur. Sebagian besar kolesterol berasal dari sintesis (kira-kira 1 g/hari) sedangkan sekitar 0.3 g/hari dilengkapi dari konsumsi makanan. Menurut Sitepoe (1993) bila ditinjau dari sudut kimiawi, kolesterol diklasifikasikan ke dalam golongan lipid (lemak), berkomponen alkohol steroid, sebagian besar berfungsi sebagai sumber kalori serta memberikan nilai tambah terhadap cita rasa makanan. Kolesterol diperlukan oleh tubuh antara lain untuk (a) sintesis asam/garam empedu yang diperlukan untuk proses pencernaan lemak atau minyak, (b) sintesis vitamin D dan (c) sebagai komponen membran sel (Muchtadi, 1996). Page (1989) menyatakan bahwa kolesterol mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tubuh karena tidak hanya merupakan pembentuk membran sel, tetapi juga merupakan pelopor biosintesa umum lain, termasuk hormon steroid dan asam empedu. Selanjutnya Muchtadi et al (1993) menambahkan bahwa kolesterol juga sebagai prekursor dari pengeluaran asam empedu yang disintesa dalam hati dan berfungsi untuk menyerap trigliserida (triasilgliserol) dan vitamin larut lemak dari makanan, serta sebagai prekursor dari hormon steroid, estrogen dan testosteron. Menurut Martin et al (1984) kolesterol di dalam tubuh manusia dapat berasal dari dua sumber yaitu dari makanan dan biosintesa de novo. Kolesterol yang bersumber dari makanan berasal dari bahan pangan hewani. Kolesterol yang berasal dari makanan memegang peranan penting, karena merupakan sterol utama didalam tubuh manusia serta komponen permukaan sel dan membran intraseluler. Biosintesa de novo kolesterol terjadi hampir pada
semua sel yang mengandung nukleus, tetapi yang terbesar terjadi pada hati, usus, korteks, adrenal dan jaringan reproduktif (Martin et al., 1984). Pada kondisi normal kolesterol disintesa dalam tubuh sejumlah dua kali dari kadar kolesterol di dalam makanan yang dimakan (Sitepoe, 1993). Muchtadi et al (1993) menyatakan bahwa jumlah laju sintesis kolesterol de novo berhubungan dengan jumlah kolesterol yang berasal dari makanan, jika jumlah kolesterol di dalam diet meningkat maka sintesis kolesterol dalam hati dan usus akan menurun, sebaliknya jika jumlah kolesterol dari makanan berkurang maka sintesis kolesterol di dalam hati dan usus akan meningkat. Kolesterol yang disintesa diubah menjadi jaringan, hormon dan vitamin yang kemudian beredar ke dalam tubuh melalui darah (Sitepoe, 1993). Namun demikian, kolesterol ada yang kembali ke hati untuk diubah menjadi asam empedu dan garam. Sitepoe (1993) menyatakan bahwa dalam keadaan normal bila terjadi gangguan konsumsi kolesterol, maka akan terjadi mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan kolesterol dengan semua faktor sebagai mekanisme pertahanan. Linder (1992) menyatakan bahwa orang dewasa rata-rata membutuhkan 1.1 gram kolesterol untuk kebutuhan tubuhnya Dari jumlah itu, 25-40% atau 200-300 mg secara normal berasal dari makanan dan selebihnya dari endogen (biosintesis) terutama oleh hati kemudian oleh usus kecil. Kadar kolesterol normal dalam plasma pada orang dewasa normal sebesar 3.1 sampai 5.7 mmol/l (120-220 mg/dl). Biasanya kadar kolesterol yang melebihi batas ini dianggap sebagai hiperkolesterolemia.
Gambar 7. Struktur kimia kolesterol Menurut Sitepoe (1993), terdapat beberapa faktor yang dapat menurunkan kolesterol dalam darah. Beberapa faktor tersebut diantaranya
adalah penurunan kalori yang dikonsumsi, penurunan konsumsi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh, penurunan konsumsi kolesterol, pengaruh penurunan kadar lipoprotein, pengaruh konsumsi serat pangan larut air (SDF) serta akibat dari beberapa jenis bahan kimia. Beberapa bahan kimia yang diindikasikan memiliki potensi hipokolesterolemik tersebut adalah sitosterol, niasin, vitamin C, vitamin E dan karoten. Adapun mekanisme penurunan kolesterol oleh serat pangan adalah : kolesterol yang disintesa maupun yang yang berasal dari makanan beredar dalam darah. Sebagian kolesterol akan diubah menjadi asam empedu, masuk ke dalam usus dan berubah menjadi feses, kemudian diekskresikan ke luar. Semakin banyak kolesterol tubuh yang diekskresikan melalui empedu, semakin banyak pula kolesterol dikurangi dari darah. Hal inilah yang menyebabkan penurunan kadar kolesterol di dalam darah. Peranan serat pangan adalah meningkatkan produksi asam empedu dan mengeliminasi ke dalam usus untuk diekskresikan sebagai feses. Pengaruh serat pangan terhadap penurunan kadar kolesterol apabila telah terjadi peningkatan kolesterol di dalam darah. Linder (1992) menyatakan bahwa peningkatan ekskresi asam empedu dalam feses dapat menyebabkan penurunan kadar kolesterol plasma sekitar 10-25%. Orten dan Neuhaus (1975), menyatakan bahwa defisiensi vitamin C dapat menurunkan produksi asam empedu pada guinea pig. Hal ini akibat dari reaksi hidroksilasi mikrosom derivat-derivat kolesterol pada lintasan untuk sintesis asam empedu yang mungkin melibatkan vitamin C. Pada vitamin E, fungsi yang paling utama adalah sebagai antioksidan dan anti radikal bebas. Bila defisiensi vitamin E terjadi pada hewan dan manusia, maka akan terjadi proses oksidasi lipid, terutama peroksidasi antara lain asam-asam lemak tidak jenuh dan kolesterol dalam membran sel dan ditempat lain dimana ada akumulasi lemak (Linder, 1992). Fitosterol merupakan sterol yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Mekanisme kerja fitosterol dalam menurunkan kadar kolesterol di dalam darah manusia yaitu dengan membentuk kompleks dengan kolesterol diet yang tidak dapat diserap oleh alat pencernaan. Selain itu juga mengurangi kolesterol
darah dengan jalan mengikatnya dan diekskresikan melalui alat pencernaan (Sitepoe, 1993). Menurut Ikeda dan Sugano (1998) bahwa mekanisme fitosterol dalam menurunkan kolesterol darah yaitu dengan menurunkan kelarutan kolesterol dalam fase minyak, dan menggantikan kolesterol di asam empedu. Selanjutnya dibuang ke feses sehingga asam empedu yang terserap sedikit. Oleh karena itu, dibutuhkan kolesterol darah untuk membuat asam empedu yang pada akhirnya kolesterol darah mengalami penurunan. Heinemann et al (1991) menyatakan bahwa sitostanol lebih efisien dalam mengurangi penyerapan kolesterol dari pada sitosterol. Ditambahkan oleh Becker et al (1993) yang menunjukkan bahwa 1.5 g/hari sitostanol meningkatkan ekskresi feses dan asam steroid lebih efisien (88%) dibandingkan dengan sitosterol sebanyak 6 g/hari (45%). Ester sitostanol pada level 2-3 g/hari menunjukkan mengurangi LDL kolesterol sebesar 10-15% (Nguyen, 1999). D. SEPARASI PIGMEN Pemisahan dan pemurnian ekstrak dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari empat teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik kromatografi tersebut adalah kromatografi kertas (PC), kromatografi lapis tipis (TLC), kromatografi gas cair (GLC), dan kromatografi cairan kerja tinggi (HPLC) (Harborne, 1987). Pada penelitian klorofil untuk tujuan kualitatif maupun kuantitatif, kromatografi lapis tipis (TLC) dan kromatografi cairan kerja tinggi (HPLC) sering digunakan , terutama HPLC. Hal ini karena efisiensi dan dan selektifnya teknik tersebut. Selain itu juga metode HPLC memungkinkan pemisahan yang cepat dengan resolusi dan sensitivitas yang tinggi. Keuntungan lainnya yaitu dimungkinkan untuk mengumpulkan sampel yang telah di elusi dari kolom kromatografi (Nur dan Adijuwana, 1989). Meskipun pemisahan senyawa klorofil dengan HPLC lebih banyak digunakan untuk analisis klorofil, caranya agak rumit (Holden, 1976) sehingga TLC merupakan cara pilihan. Pemisahan senyawa klorofil dengan TLC telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain seperti Daley et al., dan Cavaleiro
dan smith (di dalam Mosquera dan Fernandez, 1989). TLC dapat dilakukan pada selulosa MN 300 dalam gelap memakai eter minyak bumi-aseton-n propanol (90:10:0.45) dengan perambatan selama 30 menit (Bacon, 1967). Identifikasi pigmen setelah dilakukan separasi dengan TLC selulosa, yaitu dengan menggunakan standar nilai Rf dan panjang gelombang maksimum seperti yang tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Standar nilai Rf dan posisi relatif tiap-tiap komponen pada plate TLC selulosa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Komponen â-karoten Feofitin a Changed klorofil a-1 bebas Mg Lutein Feofitin b Changed klorofil a-2 bebas Mg Changed klorofil b-1 bebas Mg Klorofil a’ Violasantin Klorofil a Changed klorofil b-2 bebas Mg Changed klorofil a-1 Klorofil b’ Etil klorofilid a Klorofil b Changed klorofil a-2 Metil klorofilid a Changed klorofil b-1 Etil klorofilid b Neosantin Feoforbid a Changed klorofil b-2 Metil klorofilid b Feoforbid b Klorofilid a Klorofilid b a Bacon et al (1967) * b Stahl (1969) * * yang dikutip oleh Oktaviani (1987)
Warna orange, kuning abu-abu abu-abu kuning kuning abu-abu kuning biru-hijau kuning biru-hijau kuning biru-hijau kuning-hijau biru-hijau kuning-hijau biru-hijau biru-hijau kuning-hijau kuning-hijau kuning abu-abu kuning-hijau kuning-hijau kuning, coklat biru-hijau kuning
Nilai Rf Ia IIb 0.98 0.90 0.93 0.73
0.80
0.54
0.60
0.31
0.35
0.18 0.08 0.03 0.01
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan ekstrak adalah daun suji yang diperoleh dari pekarangan rumah di Bogor. Sebagai pelarut digunakan Tween 80 dan larutan Tri Na-sitrat dihidrat. Untuk pengujian kapasitas pengikatan kolesterol secara in vitro diantaranya dipakai enzim pepsin (P-7000) yang berasal dari mukosa lambung babi dengan aktivitas enzim 2200 unit/mg protein; enzim pankreatin (P-1750) yang berasal dari pankreas babi, dengan aktivitas ekuivalen dengan 4X U.S.P; ekstrak bile (B-8631) yang berasal dari babi dan lipase yang kesemuanya didapat dari Sigma Chemical Company, USA. Bahan lain yang digunakan juga adalah kolesterol (Sigma), kit kolesterol, SCC (Sodium Copper Chlorophyllin), CaCO3, aseton, NaHCO3, aquades, air bebas ion, HCl, plate TLC selulosa (Merck), petroleum eter, 1-propanol dan diethyl eter serta bahan-bahan kimia lainnya yang diperoleh dari stock room Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 2. Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam pembuatan ekstrak daun suji yaitu gunting stainless steel, blender stainless steel, penangas air, kain saring, sentrifuse besar, aluminium foil, dan botol gelap. Alat-alat untuk analisis kimia seperti sentrifuse, penangas air bergoyang (shaker waterbath), Spektrofotometer jenway, vorteks, kuvet kuarsa, pH-meter), kantung dialisis 6000-8000 MWCO, neraca analitik, kertas label, refrigerasi, gelas piala, pipet tetes, pipet mohr, gelas ukur, labu takar, tabung reaksi dan tutup, spatula, serta alat-alat gelas lainnya yang menunjang dalam kegiatan analisis.
B. METODE PENELITIAN Penelitian diawali dengan pembuatan ekstrak daun suji dan persiapan sampel lainnya. Dilanjutkan dengan uji klorofil dan kolesterol terdialisis secara in vitro dan analisis kadar klorofil serta kadar kolesterol dari tiap fraksi. 1. Pembuatan Ekstrak Daun Suji Pembuatan ekstrak daun suji mengikuti prosedur Prangdimurti et al (2005). Proses pembuatan ekstrak daun suji diawali dengan pencucian daun suji dengan menggunakan air. Daun yang telah dicuci kemudian dibersihkan dengan lap dan dikering-anginkan. Proses selanjutnya adalah pemotongan daun suji dalam bentuk yang kecil-kecil dengan ukuran + 1 cm. Potongan daun suji tersebut ditambah larutan Tween 80 0.75% dalam Na sitrat 12 mM dengan perbandingan 1:10 kemudian dihancurkan atau diekstrak dengan menggunakan blender selama beberapa menit. Setelah itu, hancuran daun suji diinkubasi pada suhu 750C selama 30 menit. Proses berikutnya adalah penyaringan ekstrak daun suji yang masih kasar dengan menggunakan kain saring. Ampas daun suji dibuang, sedangkan filtratnya disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 3500 rpm sehingga diperoleh ekstrak daun suji. 2. Pembuatan Sampel SCC Sejumlah SCC dalam bentuk serbuk ditimbang dan kemudian dilarutkan dengan akuades sehingga diperoleh seri konsentrasi larutan SCC secara berurut dari 0.10 mM, 0.20 mM, 0.30 mM, 0.40 mM dan 0.50 mM. Kemudian masing-masing konsentrasi tersebut diukur absorbansinya pada panjang gelombang 652 nm. Berikutnya dibuat kurva standar SCC untuk mendapatkan konsentrasi SCC yang setara dengan kadar klorofil ekstrak daun suji. Konsentrasi SCC yang setara dengan kadar klorofil ekstrak daun suji selanjutnya digunakan sebagai sampel SCC.
Daun Suji Dicuci Dikering-anginkan Dipotong kecil-kecil Ditimbang cuci
Tween 80 0.75% dalam Na-sitrat 12 mM (1:10)
Dihancurkan menggunakan blender Diinkubasi 75oC, 30 menit Disaring dengan kain saring Ampas Disentrifuse 3500 rpm, 10 menit Endapan Ekstrak Daun Suji
Gambar 8. Skema pembuatan ekstrak daun suji 3. Uji Klorofil dan Kolesterol Terdialisis Secara in vitro a. Persiapan bahan 1. Suspensi pepsin Pepsin sebanyak 1.6 gram dilarutkan dalam 10 ml 0.1 N HCl. Suspensi dibuat sewaktu akan digunakan. 2. Pankreatin - bile Pankreatin sebanyak 1.0 gram dan 6.25 gram ekstrak bile didispersikan dalam NaHCO3 0.1 M dan ditepatkan volumenya menjadi 250 ml. Campuran ini dibuat sewaktu akan digunakan.
3. Kantung dialisis Kantung dialisis yang digunakan adalah Spectrapor I yang berukuran 6000-8000 MWCO dipotong dengan panjang 15 cm kemudian direndam dalam air bebas ion sampai akan digunakan. b. Persiapan sampel Disiapkan masing–masing sampel sebanyak 100 ml meliputi 2 jenis sampel yaitu ekstrak daun suji dan sampel larutan SCC serta sebagai kontrol atau pembanding adalah larutan Tween 80 dalam Nasitrat (pelarut ekstrak daun suji). c. Prosedur Sampel suji dan SCC masing-masing sebanyak 100 ml mulamula dianalisis kadar klorofil maupun kadar total kolesterolnya (dalam hal ini fitosterol). Masing-masing sampel diberi dua perlakuan yaitu tanpa penambahan kolesterol dan dengan penambahan kolesterol sebanyak 2%. Untuk menyerupai kondisi di lambung, diatur menjadi pH 2 dengan HCl 4 N dan ditambah pepsin. Selanjutnya larutan sampel diinkubasi di penangas air bergoyang selama 1 jam pada 370C. Setelah 1 jam diinkubasi, diambil cuplikan dari fraksi gastric ini. Berikutnya kantung dialisis yang berisi 20 ml NaHCO3 0.1 M dimasukkan ke dalam larutan sampel. Kemudian diinkubasi lagi dalam penangas air bergoyang sampai pH 7 atau kurang lebih selama 30 menit. Setelah larutan sampel mencapai pH 7, maka ditambahkan larutan pankreatin-bile 5 ml dan lipase sebanyak 0.01 ml. Larutan sampel tersebut kemudian diinkubasi lagi selama 2 jam dalam penangas air bergoyang pada suhu 370C. Setelah 2 jam kemudian, maka dipisahkan antara fraksi digesta dan fraksi dialisat (yang terdapat dalam kantung dialisis). Masing-masing sampel dari tiap fraksi kemudian disentrifuse dan disaring dengan penyaring mikro (0.2 µm) untuk mendapatkan filtrat bebas padatan. Selanjutnya masing-masing fraksi dianalisis kadar klorofil dan kadar kolesterol serta dilakukan
separasi pigmen. Selain itu dilakukan perhitungan persentase klorofil dan kolesterol terdialisis dengan perhitungan sebagai berikut : %Klorofil terdialisis = kadar klorofil fraksi dialisat X 100 % kadar klorofil fraksi awal (F0) % Kolesterol terdialisis = kadar kolesterol fraksi dialisat X 100% kadar kolesterol fraksi awal+kolesterol (F1)
Gambar 9. Skema pencernaan in vitro
C. PROSEDUR ANALISIS 1. Analisis Kadar Klorofil (Yoshida et al., 1976) Sampel dihomogenisasi dengan 100 ml aseton 85% dengan penambahan 0.01 g CaCO3 dan kemudian didiamkan di ruang gelap selama 1 malam untuk memperoleh kelarutan klorofil yang lebih baik. Setelah itu disentrifuse dengan 3500 rpm selama 10 menit. Berikutnya dilakukan pembacaan absorbansi filtrat pada 663,0 nm dan 645,0 nm atau 652 nm. Karena kurva serapan kuantitatif klorofil a dan b dalam aseton 80% saling potong pada 652 nm. Perhitungan kadar klorofil dilakukan dengan menggunakan rumus: Total Klorofil (mg/L) = 0.0202 A645.0 nm + 0.00802 A663.0 nm Klorofil –a
= 0.0127 A663.0 nm – 0.00269 A645.0 nm
Klorofil – b atau Total klorofil
= 0.0229 A645.0 nm – 0.00468 A663.0 nm = A652 nm x 1000 /34.5
2. Analisis Total Kolesterol (Randox Kits) Kadar kolesterol total diukur dengan metode CHOD-PAP dengan prinsip pengujian secara enzimatis kalorimetri berdasarkan reaksi : Kolesterol ester + H2O Kolesterol + O2
kolesterol esterase
kolesterol oksidase
2 H2O2 + fenol+ 4-aminoanthipyrine
kolesterol + asam lemak
kolesterol-3-one + H2O2 peroksidase
red quinine + 4 H2O
Prosedur analisis: Sampel atau standar diambil sebanyak 0.01 ml dan dicampurkan dengan 1.00 ml reagent (kit komersial) kemudian dimasukkan ke dalam tabung lalu dicampurkan sampai homogen. Setelah campuran homogen kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 5 menit. Setelah itu dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. Perhitungan kadar kolesterol total dilakukan dengan menggunakan rumus : Kadar kolesterol (mg/dl): [absorbansi sampel] X 200 mg/dl [absorbansi standar]
3. Separasi Pigmen Separasi pigmen dilakukan dengan metode TLC menggunakan plate TLC selulosa (Bacon dan Holden, 1967).
Larutan pengembang yang
digunakan adalah petroleum eter ringan-aseton-n-propanol dengan perbandingan volume 90:10:0.45. Plate diaktifkan dalam oven bersuhu 105oC selama minimal 45 menit. Ekstrak diteteskan (dispot) pada plate sebanyak 20 ì l kemudian dimigrasi dalam ruang gelap Pigmen yang telah diseparasi dengan plate TLC selulosa akan membentuk spot-spot terpisah. Identifikasi pigmen setelah dilakukan separasi dengan TLC selulosa, yaitu dengan menggunakan standar nilai Rf Tiap spot dicatat nilai Rf-nya dan digambar posisinya, kemudian dibandingkan dengan nilai standar Rf seperti pada Tabel 3.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN EKSTRAK DAUN SUJI Jenis daun suji yang digunakan pada pembuatan ekstrak daun suji adalah daun suji tipe minor. Proses pembuatan ekstrak daun suji diawali dengan pembersihan daun suji dari kotoran dengan cara dicuci menggunakan air bersih. Daun suji yang telah dibersihkan dan dikeringanginkan kemudian dipotong kecil-kecil sebesar 1 cm. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses penghancuran daun suji, sehingga waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Proses penghancuran daun suji dilakukan dengan menggunakan blender stainless steel. Penggunaan blender jenis tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir klorofil yang terdegradasi oleh cahaya. Karena sifat klorofil yang sangat rentan terhadap cahaya. Menurut Holden (1976) yang dikutip oleh Oktaviani (1987) menyatakan bahwa sinar dalam ruangan yang lemah, jika mengenai klorofil kurang dari satu detik dapat mengakibatkan reaksi protopigmen. Daun suji diekstrak dengan menggunakan blender. Daun suji diekstrak dengan menggunakan pelarut Tween-Na sitrat dengan perbandingan 1: 10 (daun suji : larutan pengekstrak). Penggunaan larutan pengekstrak tersebut adalah berdasarkan hasil penelitian dari Prangdimurti et al. (2005). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prangdimurti et al. (2005) tersebut dinyatakan bahwa penggunaan Tween 80 0.75 % dalam larutan Na-sitrat 12 mM dan proses inkubasi pada suhu 75oC selama 30 menit menghasilkan ekstrak cair yang memiliki kadar klorofil dan kapasitas antioksidan tertinggi di antara larutan pengekstrak lain yang diuji (Na2CO3 0-0.5%, NaHCO3 0-0.5%, Tween 80 0-1% dalam larutan Na-sitrat 12 mM). Fungsi Tween 80 sebagai emulsifier sangat membantu dalam proses ekstraksi tersebut. Keberadaan Tween 80 diduga membantu klorofil yang bersifat hidrofobik sehingga dapat tersuspensi dalam air. Penggunaan Nasitrat 12 mM ditujukan untuk meningkatkan aktivitas enzim klorofilase dalam menghidrolisis rantai fitol. Menurut Sibarani (1994), laju hidrolisis klorofil dapat ditingkatkan dengan adanya aseton (35%) dan Na- sitrat 12 mM. Tanpa
kehadiran Na-sitrat dalam uji aktivitas enzim klorofilase, aktivitasnya turun sampai 50% (Lopez et al, 1992). Pelepasan gugus fitol akan mengubah hidrofobisitas klorofil menjadi hidrofilik (Gross, 1991) dan disinyalir dapat meningkatkan aktivitas antioksidan klorofil (Ferruzi, 2002). Daun suji yang telah diekstrak kemudian diinkubasi dalam penangas air selama 30 menit dengan suhu 750 C. Tahap ini dilakukan untuk mengaktifkan enzim klorofilase. Aktifitas enzim klorofilase tersebut dapat membantu menghidrolisis rantai fitol dari klorofil yang membentuk klorofilid. Enzim klorofilase merupakan jenis enzim esterase yang aktif pada suhu kamar dan hanya aktif jika ada pelarut-pelarut organik. Menurut hasil penelitian Sibarani (1994), diperoleh keterangan bahwa suhu optimum enzim klorofilase daun suji yang diekstrak dengan pelarut organik (aseton) adalah 39oC.
Sedangkan
dalam pelarut air, menurut Isabel et al (1993) fungsi enzim akan optimum pada kisaran suhu 70oC selama 45 menit. Garcia et al (1980) dan Lopez et al (1992) melaporkan bahwa pada selang waktu 30 menit, laju reaksi klorofilase dapat dianggap sebagai laju awal. Reaksi yang melibatkan enzim klorofilase ini merupakan reaksi yang berlangsung lambat (Klein dan Vishniac, 1961).
Salah satu faktor yang
mempengaruhi adalah ukuran molekul enzim yang besar sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama agar terjadi interaksi antara substrat dan molekul enzim (Scopes, 1982). Waktu inkubasi yang lebih lama dapat menurunkan laju reaksi karena salah satu produk hidrolisis yaitu fitol dapat bertindak sebagai inhibitor reaksi terutama pada tahap awal berlangsungnya reaksi sehingga akan terjadi penyimpangan terhadap aktivitas yang diperoleh (Garcia et al, 1980). Ekstrak daun suji yang telah diinkubasi kemudian disaring dengan kain saring 2 lapis. Proses penyaringan ini dilakukan untuk menghasilkan ekstrak daun suji bebas padatan kasar. Setelah disaring, filtrat yang dihasilkan kemudian disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Tujuan dari perlakuan ini adalah untuk memisahkan endapan halus. Filtrat hasil sentrifuse inilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai ekstrak daun suji.
Dalam penelitian ini, upaya untuk menghindari sinar yang berlebihan yang akan merusak klorofil dilakukan dengan membungkus wadah dengan kertas aluminium foil selama proses pembuatan ekstrak.
Demikian pula
penyimpanan ekstrak daun suji ini dalam ruangan yang sejuk dan gelap. B. PEMBUATAN LARUTAN SCC Penggunaan larutan SCC (Sodium Copper Chlorophyllin) dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pembanding untuk larutan ekstrak daun suji. Telah diketahui bahwa SCC merupakan ekstrak klorofil komersial yang selama ini dimanfaatkan pada bahan pangan sebagai pewarna maupun suplemen pangan. SCC memiliki penampakan warna hijau terang yang berasal dari klorofil alami. Pada umumnya SCC komersial dibuat dari ekstrak klorofil dengan menggunakan NaOH-metanol dan diikuti dengan penggantian atom Mg oleh logam seperti Cu. Pada penelitian ini larutan SCC digunakan sebagai pembanding bagi ekstrak daun suji. Oleh karena itu, kandungan klorofil di fraksi awal pada SCC disetarakan dengan kandungan klorofil di fraksi awal pada ekstrak daun suji. Penentuan konsentrasi SCC perlu dilakukan agar perbedaan kadar klorofil antara SCC dengan daun suji tidak terlalu jauh. Penentuan konsentrasi SCC yang memiliki kandungan klorofil awal setara dengan kandungan klorofil awal dari ekstrak daun suji dilakukan dengan pembuatan kurva standar SCC. Nilai kadar klorofil awal pada ekstrak daun suji yang telah diukur kemudian diplotkan pada kurva standar SCC yang telah dibuat sehingga didapatkan nilai konsentrasi SCC yang setara dengan kadar klorofil ekstrak daun suji. Pembuatan kurva standar SCC dengan membuat beberapa konsentrasi larutan SCC secara berurut dari 0.10 mM, 0.20 mM, 0.30 mM, 0.40 mM dan 0.50 mM. Kemudian masing-masing konsentrasi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 652 nm. Panjang gelombang ini merupakan panjang gelombang untuk mengukur kadar klorofil. Selain panjang gelombang 652 nm, untuk mengukur klorofil juga bisa digunakan panjang gelombang 645 dan 663 nm. Kurva serapan kuantitatif klorofil a dan b dalam aseton 80% saling
potong pada 652 nm, sehingga jumlah keseluruhan klorofil juga bisa diperoleh dengan menghitung konsentrasinya pada panjang gelombang 652 nm (Harborne, 1987). Hasil pembacaan absorbansi larutan SCC dan kurva standar SCC diperlihatkan pada Gambar 10 di bawah ini.
K urva S tandar S C C
Nilai Absorbansi
0 .3 5
y = 0 .5 7 3 x + 0 .0 0 3 1 R 2 = 0 .9 9 4
0 .3 0 .2 5 0 .2 0 .1 5 0 .1 0 .0 5 0 0 .0 0
0 .1 0
0 .2 0
0 .3 0
0 .4 0
0 .5 0
0 .6 0
Konse ntrasi SCC (mM )
Gambar 10. Kurva standar SCC Berdasarkan kurva standar SCC, ekstrak daun suji memiliki kesetaraan kadar klorofil dengan SCC 2.35 mM.
Untuk memastikan kesetaraan
konsentrasi SCC sebesar 2.35 mM dengan kadar klorofil awal ekstrak daun suji maka dilakukan pengukuran kembali kadar klorofil dari SCC dengan konsentrasi 2.35 mM. Larutan SCC dengan konsentrasi sebesar 2.35 mM tersebut yang selanjutnya digunakan sebagai sampel larutan SCC dalam penelitian ini. C. PROFIL EKSTRAK DAUN SUJI DAN SCC SELAMA PENCERNAAN IN VITRO Studi kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji selama pencernaan diuji dengan simulasi sistem pencernaan menggunakan teknik in vitro dengan melihat banyaknya klorofil dan kolesterol yang terdialisis ke dalam kantung. Metode ini dipakai untuk pengukuran ketersediaan Fe. Banyaknya Fe yang terdialisis berkorelasi positif terhadap Fe yang terserap.
Simulasi sistem pencernaan ini terdiri dari dua fase yaitu fase lambung dan fase usus halus. Pengujian dilakukan berdasarkan sistem pencernaan in vitro yang dikembangkan oleh Barbara et al. (1998) dan Ferruzi et al. (2002) yang telah dimodifikasi dengan penggunaan kantung dialisis sebagai model penyerapan. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah sampel dengan penambahan kolesterol dan tanpa penambahan kolesterol. Kolesterol yang ditambahkan sebanyak 2% dari sampel yaitu 200 mg. Hal ini berdasarkan konsumsi kolesterol diet maksimum pada bahan pangan telur. Simulasi sistem pencernaan pada fase lambung atau fase gastric yaitu dengan mengatur kondisinya menjadi pH 2 seperti kondisi pH yang terdapat di lambung. Penambahan asam klorida (HCl 4 N) dilakukan untuk mengatur pH menjadi pH 2. Selain dengan pengaturan pH, pada fase lambung juga ditambahkan enzim pepsin. Penambahan enzim ini dilakukan agar sesuai dengan kondisi di lambung. Kemudian, setelah dilakukan pengaturan pH 2 dan penambahan enzim pepsin, selanjutnya sampel diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C di dalam penangas air bergoyang. Proses inkubasi ini dilakukan untuk memberi kesempatan enzim pepsin bekerja. Pada fase kedua pencernaan yaitu fase usus halus, simulasi sistem pencernaannya dimulai dengan netralisasi fase gastric dengan NaHCO3. Proses netralisasi dilakukan dengan memasukkan kantung dialisis yang telah berisi NaHCO3 dan kemudian diinkubasi lagi sampai pH sampel di luar kantung menjadi 7. Proses inkubasi ini berlangsung selama kurang lebih sekitar 30 menit. Penggunaan kantung dialisis berisi NaHCO3 0.1 M selain berguna untuk netralisasi digesta secara gradual, juga untuk memperkirakan permeabilitas klorofil. Prosedur permeabilitas seperti ini telah digunakan untuk memperkirakan bioavaibilitas senyawa zat besi dalam bahan pangan dengan menggunakan kantung dialisis 6000-8000 MWCO. Namun, teknik in vitro yang memiliki korelasi tertinggi untuk memperkirakan tingkat absorbsi suatu senyawa yaitu dengan menggunakan sel Caco-2 yang ditumbuhkan pada membran. (Onofrey et al, 2004).
Setelah
proses
netralisasi
berlangsung,
selanjutnya
dilakukan
penambahan enzim pankreatin, lipase dan bile ekstrak serta perlakuan inkubasi selama 2 jam pada suhu 370C. Penambahan enzim-enzim tersebut adalah enzim –enzim yang terdapat dalam usus. 1. Profil Kadar Klorofil Selama Pencernaan in vitro Berdasarkan hasil analisis kandungan total klorofil selama pencernaan in vitro pada ekstrak daun suji maupun SCC dengan perlakuan tanpa kolesterol dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Adapun cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada perlakuan tanpa penambahan kolesterol tidak dilakukan perhitungan kadar klorofil pada fraksi kolesterol karena tidak ada pemberian kolesterol. 3
kadar klorofil (mg/g)
2.5
2.534
2.457
2 1.522 1.45
1.5
1.193
1 0.381
0.5
0.384 0.041
0
F0
F2 F3 Suji
Gambar 11. Kandungan
F4
F0
F2
F3
SCC
F4
klorofil ekstrak daun suji dan SCC tanpa
perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro. Keterangan : F0 = fraksi awal, F2 = fraksi gastric, F3 = fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat
3.5
Kadar Klorofil (m g/g)
3
2.928 2.882 2.61 2.282
2.5 2
1.489
1.5
1.356
1.181
1 0.5 0
0.14 F0
F1 S uji
F2
F3
F4
0.235
0.107 F0
F1
F2
F3
F4
S CC
Gambar 12. Kandungan klorofil ekstrak daun suji dan SCC dengan perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro. Keterangan : F0 = fraksi awal, F1 = fraksi awal+kolesterol, F2 = fraksi gastric, F3 = fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat Pada fraksi awal baik sampel ekstrak suji maupun sampel SCC memiliki kadar klorofil yang hampir setara yaitu 2.534 mg/g untuk ekstrak suji dan 2.457 mg/g untuk larutan SCC. Pengukuran tersebut dilakukan secara spektrofotometri. Kesetaraan nilai kadar klorofil pada fraksi awal tersebut didapatkan karena sebelumnya telah dilakukan kesetaraan. Pada fraksi selanjutnya kadar klorofil mengalami penurunan baik pada perlakuan pemberian kolesterol maupun tanpa kolesterol. Diduga sebagian besar klorofil terdegradasi menjadi turunannya. Persentase penurunan kadar klorofil dari tiap fraksi terhadap fraksi awal secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4 dan cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4. Persentase penurunan kadar klorofil terhadap fraksi awal selama pencernaan in vitro Sampel
Suji-Fraksi awal (F0) Suji-Fraksi awal + kolesterol (F1) Suji-Fraksi gastric (F2) Suji-Fraksi digesta (F3) Suji-Fraksi dialisat (F4) SCC-Fraksi awal (F0) SCC-Fraksi awal + kolesterol (F1) SCC-Fraksi gastric (F2) SCC-Fraksi digesta (F3) SCC-Fraksi dialisat (F4)
Persentase Penurunan Kadar klorofil Terhadap Fraksi Awal (%) Dengan Tanpa Kolesterol Kolesterol 0 0 12.57 42.95 39.94 54.75 42.78 94.64 84.96 0 0 1.57 96.35 98.33 53.69 51.45 91.97 84.37
Pengaturan kondisi pH 2 pada fase gastric sulit dicapai pada sampel ekstrak daun suji dibandingkan sampel SCC.
Diduga komponen-
komponen yang terdapat pada sampel ekstrak daun suji memiliki kapasitas buffer. Akibatnya asam yang harus ditambahkan untuk mengatur kondisi menjadi pH 2 pada sampel ekstrak daun suji lebih banyak dibandingkan dengan SCC. Diduga pada kondisi in vivo, hal ini akan memberi efek positif yaitu menahan degradasi klorofil menjadi feofitin. Pada fraksi gastric atau fraksi lambung, kadar klorofil ekstrak daun suji mengalami penurunan berkisar 39-42% dari kadar klorofil fraksi awal. Diduga sebagian besar klorofil terdegradasi menjadi turunannya akibat perlakuan pemberian HCl dan pepsin. Kondisi asam pada pH 2 tersebut sangat mempercepat degradasi klorofil. Perubahan klorofil menjadi turunannya ditandai dengan perubahan warna yang semakin coklat. Perubahan warna menjadi sangat jelas terlihat pada sampel ekstrak daun suji dibandingkan sampel larutan SCC. Diduga klorofil berubah menjadi feofitin. Perubahan ekstrak daun suji selama pencernaan dapat dilihat pada Gambar 13. Menurut hasil penelitian Ferruzi et al (2001), dikatakannya bahwa hanya dalam waktu ½ jam pada fase lambung (pH 2) lebih dari 95%
kandungan klorofil dari pure daun bayam segar menjadi bentuk feofitinnya. Selanjutnya feofitin dimetabolisme oleh mikroflora usus antara lain menjadi feoforbid.
Gambar 13. Ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro A = fraksi awal, B = fraksi gastric, C = fraksi digesta, D = fraksi dialisat Menurut Gross (1991), feofitin adalah klorofil bebas magnesium. Feofitin a dan b secara mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Dalam asam lemah ion Mg yang ada dalam klorofil akan disubstitusi oleh ion H+ yang akan menyebabkan berubahnya warna hijau menjadi coklat yaitu warna feofitin. Di samping itu, pengaruh pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein sehingga memudahkan terjadinya reaksi terhadap gugusan fitol, yang bila bereaksi dengan asam mengakibatkan terlepasnya fitol dari molekul klorofil (Hutchings, 1994). Pengaruh pH lambung pada perubahan klorofil menjadi feofitin selama fase gastric dalam sistem pencernaan telah dikemukakan oleh Ferruzi et al (2001). Berdasarkan penelitiannya dengan menggunakan pure bayam segar diketahui bahwa kandungan awal klorofil a dari pure bayam segar tersebut adalah sekitar 77% dan klorofil b sekitar 23% (Gambar 6). Dengan perlakuan pH 2 ternyata keduanya berubah menjadi feofitin a dan b dengan persentase masing-masing 70% dan 30%.
Kemudian pada pH 4 kecenderungan klorofil a dan b stabil dengan persentase klorofil a 72% dan klorofil b 22% sedangkan sisanya adalah feofitin a dan feofitin b. Pada perlakuan pH 6, selama pencernaan klorofil a dan klorofil b relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil sensitif terhadap kondisi asam. Berbeda dengan ekstrak daun suji, pada larutan SCC penurunan kadar klorofil pada fase gastric sangat tajam sekali yaitu 96-98%. Hal tersebut tampak sekali pada Gambar 14 yang memperlihatkan perubahan warna dari larutan SCC selama pencernaan in vitro. Penurunan kadar klorofil yang sangat rendah ini mungkin disebabkan karena kondisi asam yang terjadi. Kondisi yang sangat asam tersebut tidak mengakibatkan perubahan kadar klorofil secara keseluruhan menjadi feofitin. Hal ini bisa dibuktikan dengan naiknya kembali kadar klorofil pada fraksi digesta. Kondisi yang terjadi pada fraksi gastric di SCC adalah terjadinya gumpalan klorofil yang bersifat reversible dimana gumpalan tersebut dapat larut kembali pada pH usus di fraksi digesta (Gambar 14). Pengukuran kadar klorofil maupun kolesterol dilakukan secara spektrofotometri. Untuk itu dilakukan tahap sentrifuse dan penyaringan sebelum pengukuran. Dengan kata lain yang diukur adalah kadar klorofil yang terlarut. Pada fraksi gastric setelah disentrifuse dan disaring berwarna bening, sedangkan fraksi digesta kembali berwarna hijau. Oleh karena itu, kadar klorofil pada fraksi gastric tersebut rendah. Kemungkinan yang terjadi pada larutan SCC fraksi gastric tersebut adalah terbentuknya garam NaCl dari HCl dan SCC yang mengandung Natrium sehingga mengalami pengendapan.
Gambar 14. Larutan SCC selama pencernaan in vitro A = fraksi awal, B = fraksi gastric, C = fraksi digesta, D = fraksi dialisat Setelah melalui fase lambung, digesta kemudian dinetralisasi secara gradual oleh NaHCO3 yang berdifusi keluar kantung. Kondisi netral tercapai setelah 1 jam diinkubasi bergoyang. Setelah kondisi netral tercapai digesta kemudian diberi enzim pankreatin, ekstrak bile dan lipase. Netralisasi diperlukan agar enzim-enzim pankreatin dapat bekerja optimum seperti halnya yang terjadi didalam tubuh. Pada fase intestinal ini, degradasi klorofil masih tetap berlangsung hingga sekitar 44-56% dari fraksi awal. Namun, persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan fase gastric yaitu sekitar 20.68% dari kandungan klorofil fase lambung. Penurunan masih tetap terjadi diduga karena perlakuan inkubasi. Studi mengenai stabilitas SCC dalam pencernaan secara in vitro telah dilakukan oleh Ferruzi et al (2002). Dari studi tersebut diketahui bahwa Cu(II)klorin e4 merupakan komponen utama dalam fraksi digesta. Cu(II)klorin e6 memiliki kestabilan yang rendah selama pencernaan, namun dapat ditingkatkan kestabilannya apabila berada dalam matriks saus apel. Hal ini diduga karena adanya antioksidan lain dan matriks apel yang melindungi keberadaannya.
Pada fraksi dialisat, kadar klorofil yang terhitung menunjukkan adanya penyerapan klorofil dan derivatnya dalam kantung dialisis sebagai model penyerapan. Kadar klorofil terdialisis dari ekstrak daun suji perlakuan tanpa kolesterol hampir sama dengan kadar klorofil SCC terdialisis yaitu sebesar 0.38 mg/g (Gambar 11).
Sedangkan pada
perlakuan dengan penambahan kolesterol kadar klorofil ekstrak daun suji yang terdialisis lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar klorofil terdialisis dari SCC (Gambar 12). Apabila dibandingkan kadar klorofil yang terdialisis dari ekstrak daun dengan perlakuan tanpa kolesterol dan dengan perlakuan penambahan kolesterol diperoleh keterangan bahwa kadar klorofil yang terdialisis dari ekstrak daun suji dengan perlakuan penambahan kolesterol lebih sedikit. Rendahnya kadar klorofil terdialisis dari ekstrak daun suji pada perlakuan dengan penambahan kolesterol diduga karena adanya interaksi antara klorofil ekstrak daun suji dan kolesterol. Selain itu kemungkinan ekstrak daun suji memiliki komponen yang bisa mengikat kolesterol dibandingkan dengan SCC. Sedikitnya kadar klorofil yang terhitung menunjukkan bahwa tidak semua klorofil dan derivatnya terserap oleh kantung dialisis. 2. Profil Kadar Kolesterol Selama Pencernaan in vitro Selama proses pencernaan in vitro juga dilakukan pengamatan terhadap kadar kolesterol sampel dari tiap-tiap fase. Analisis dilakukan dengan menggunakan kit kolesterol dan kandungan kolesterol dihitung berdasarkan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 500 nm. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kandungan kolesterol terdialisis. Profil kadar kolesterol selama pencernaan in vitro baik pada perlakuan tanpa kolesterol maupun dengan penambahan kolesterol dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16 dibawah ini.
Kadar kolesterol (mg/dl)
60 48.467
50 40.356 40
35.017 30.663
30
26.113
20 10 0
6.33
F0
F2
F3
F4
3.759
F0
F2
Suji
1.387
F3
F4
SCC
Gambar 15. Perubahan kadar kolesterol ekstrak daun suji dan SCC dengan perlakuan tanpa penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro. Keterangan : F0 = fraksi awal, F2 = fraksi gastric, F3 = fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat 300 257.567
Kadar Kolesterol (m g/dl)
250
235.608
200 150
124.629
109.792
100 50 0
55.489
32.938
46.291
46.291 3.561
0
F0
F1
F2 S uji
F3
F4
F0
F1
F2
F3
F4
S CC
Gambar 16. Perubahan kadar kolesterol ekstrak daun suji dan SCC dengan perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro. Keterangan : F0 = fraksi awal, F1 = fraksi awal+kolesterol, F2 = fraksi gastric, F3 = fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat
Berdasarkan hasil analisis seperti yang ditampilkan pada Gambar 15 dan 16 di atas, diperoleh keterangan bahwa baik sampel ekstrak daun suji maupun sampel larutan SCC keduanya menunjukkan adanya kolesterol pada fase awal. Hal ini tampaknya tidak logis karena kedua sampel baik ekstrak daun suji maupun SCC termasuk golongan nabati yang diidentifikasi tidak mengandung kolesterol. Namun, kit kolesterol dapat digunakan untuk
menghitung fitosterol (Moreau, 2003). Karena itu,
diduga tingginya kadar kolesterol dari kedua sampel adalah karena adanya fitosterol yaitu sejenis steroid yang terdapat pada tanaman atau nabati. Dugaan terhadap adanya kandungan fitosterol dalam ekstrak daun suji dicoba diamati dengan menganalisis kandungan fitosterol dalam daun suji. Hasil analisis kandungan fitosterol dalam ekstrak daun suji yang dilakukan dengan metode spektrofotometri membuktikan adanya kadar fitosterol dalam ekstrak tersebut. Walaupun begitu, nilai absorbansi yang dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan dengan sampel uji lainnya yaitu bayam dan kangkung (data tidak dicantumkan).
Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan fitosterol dalam ekstrak daun suji sebenarnya tidak terlalu tinggi dibandingkan daun hijau lain. Pada fraksi gastric dari sampel perlakuan tanpa kolesterol baik pada ekstrak daun suji maupun SCC juga diduga yang terukur adalah komponen fitosterol.
Sedangkan pada sampel dengan perlakuan
penambahan kolesterol pada fraksi awal+kolesterol (F1), terdapat dua kemungkinan yang terukur yaitu kolesterol yang telah ditambahkan dan juga komponen fitosterol yang mungkin ada. Namun, nilai kadar kolesterol fraksi F1 pada ekstrak daun suji lebih tinggi dibandingkan pada larutan SCC. Hal ini karena kolesterol susah larut dalam larutan SCC karena pelarut SCC adalah air, sehingga ketika mengalami sentrifuse dan penyaringan sebelum di ukur kadar kolesterolnya banyak kolesterol yang tidak larut sehingga tidak terukur. Oleh karena itu nilai kadar kolesterol pada F0 dan F1 dari larutan SCC perlakuan dengan penambahan kolesterol hampir sama (Gambar. 16). Selain itu juga, rendahnya kadar kolesterol pada fraksi gastric setelah diberi penambahan kolesterol kemungkinan
akibat kondisi yang asam ataupun juga belum terhidrolisisnya kolesterol. Berbeda dengan yang terjadi pada sampel ekstrak daun suji, dimana nilai kadar kolesterol yang terukukr pada F1 lebih tinggi. Hal ini karena kolesterol mudah larut dalam pelarut ekstrak daun suji karena pelarutnya Tween 80 dalam Na sitrat merupakan emulsifier. Pada fraksi digesta, nilai kadar kolesterol dari kedua sampel baik pada perlakuan tanpa kolesterol maupun dengan penambahan kolesterol meningkat tajam. Hal ini diduga karena adanya pemberian ekstrak bile pada fase digesta, sehingga meningkatkan kadar kolesterol yang terukur. Jadi, pada sampel tanpa perlakuan penambahan kolesterol, kolesterol yang terukur adalah hanya yang berasal dari ekstrak bile. Adanya kandungan kolesterol pada fraksi dialisat menunjukkan adanya kemungkinan penyerapan kolesterol atau fitosterol dari digesta ke dalam kantung dialisis. Pada fraksi dialisat dari sampel ekstrak daun suji tanpa perlakuan penambahan kolesterol, terdapat kadar kolesterol yang terserap dalam kantung dialisis. Sebenarnya yang terukur dan terserap dalam kantung tersebut kemungkinan adalah ekstrak bile atau komponen fitosterol, bukan kolesterol. Begitu juga yang terjadi pada larutan SCC. Perbedaan nilai terdialisis dari sampel ekstrak daun suji dan SCC, dimana SCC lebih rendah nilainya kemungkinan adalah perbedaan komponen fitosterol pada kedua sampel. Pada fraksi dilaisat dari sampel ekstrak daun suji dengan perlakuan penambahan kolesterol tidak terdapat kadar kolesterol yang terukur. Berarti tidak terdapat kolesterol yang terdialisis ke dalam
kantung. Tetapi pada sampel larutan SCC, walaupun nilainya
rendah tetap ada kadar kolesterol yang terukur. 3. Persentase Klorofil dan Kolesterol Terdialisis Secara in vitro Banyaknya
klorofil
yang
terdialisis
dapat
menggambarkan
banyaknya klorofil yang terserap. Hal ini seperti apa yang telah dilakukan terhadap bioavaibilitas Fe.
Proses penyerapan klorofil digambarkan
dengan simulasi kantung dialisis sebagai model usus.
Klorofil dan
derivatnya yang terdapat di fraksi digesta akan masuk ke dalam kantung
dialisis. Semakin banyak klorofil yang dapat masuk (lolos) ke dalam kantung dialisis diduga berkolerasi positif dengan tingkat penyerapan klorofil. Dalam eksperimen ini, estimasi kasar tingkat penyerapan klorofil dilakukan dengan mengukur kadar klorofil dalam kantung dialisis terhadap kadar klorofil ekstrak awal yang telah dikoreksi dengan masing-masing pelarut (Lampiran 3). Rata-rata persentase klorofil terdialisis disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata persentase klorofil terdialisis Sampel Suji SCC
Perlakuan (%) Tanpa Kolesterol (-) Dengan kolesterol (+) 5.76 19.78
4.74 8.05
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh keterangan bahwa rata-rata klorofil terdialisis sampel ekstrak daun suji dari kedua perlakuan 5-6%. Klorofil terdialisis lebih tinggi pada perlakuan tanpa kolesterol dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan kolesterol. Pada perlakuan tanpa kolesterol, diketahui bahwa rata-rata persentase klorofil terdialisis ekstrak daun suji sebesar 5.76 %. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ferruzi et al bahwa penyerapan derivat-derivat klorofil dari pure bayam berkisar 5-10 %. Namun, pada penelitian Ferruzi tersebut untuk melihat penyerapannya digunakan sel Caco-2 sebagai model sel enterosit manusia. Adapun persentase SCC terdialisis dengan perlakuan tanpa kolesterol lebih tinggi dibanding suji yaitu rata-rata sekitar 19 %. Nilai signifikansi perbedaan klorofil terdialisis ekstrak daun suji dan SCC lebih kecil dari 0.05 (p<0.05) (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara nyata klorofil terdialisis dari kedua sampel. Berdasarkan hasil penelitian Ferruzi et al (2002) tentang studi absorbsi menggunakan SCC, dikemukakan bahwa SCC yang terserap dalam sel sebesar 45-60%. Penelitian tersebut juga masih menggunakan sel Caco-2 untuk melihat tingkat penyerapannya. Tingginya klorofil SCC yang
terdialisis dibandingkan klorofil dari ekstrak daun suji diduga akibat kelarutan SCC yang tinggi dalam digesta karena adanya komponen polar dalam SCC sehingga memudahkan klorofil terdialisis. Pada perlakuan dengan penambahan kolesterol, nilai klorofil terdialisis kedua sampel yaitu ekstrak daun suji dan SCC tampak menurun bila dibandingkan perlakuan tanpa kolesterol. Namun, setelah diolah secara statistik, klorofil dari ekstrak daun suji dengan penambahan kolesterol tidak berbeda bila dibandingkan dengan ekstrak daun suji tanpa kolesterol (p>0.05). Hal tersebut menunjukkan dugaan bahwa klorofil ekstrak daun suji kurang mampu mengikat kolesterol. Klorofil terdialisis yang terjadi pada SCC dengan penambahan kolesterol lebih rendah dibandingkan SCC tanpa kolesterol (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan kolesterol terjadi perbedaan secara nyata klorofil terdialisis dari SCC ke dalam kantung dialisis. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa komponen klorofil SCC diduga mampu mengikat kolesterol. Kemungkinan komponen klorofil dan derivatnya dari sampel SCC berinteraksi atau berikatan dengan kolesterol sehingga berat molekulnya menjadi lebih besar. Hal ini menyulitkan klorofil terdialisis ke dalam kantung dialisis, akibatnya klorofil yang terdialisis lebih sedikit. Berbeda halnya dengan perlakuan tanpa kolesterol, karena tidak adanya kolesterol maka tidak ada ikatan antara kolesterolklorofil sehingga klorofil lebih banyak terdialisis. Dugaan adanya kemampuan derivat klorofil, terutama yang telah kehilangan gugus fitolnya, berikatan dengan kolesterol adalah berdasarkan artikel yang ditulis oleh Ma dan Dolphin (1999). Mereka menyebutkan ditemukannya beberapa ester klorin-kolesterol di sedimen permukaan danau. Strukturnya memperlihatkan posisi kolesterol menggantikan gugus fitol dalam berikatan dengan klorin. SCC merupakan derivat klorofil yang telah kehilangan gugus fitol, sehingga kemampuan mengikat kolesterol lebih besar. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah klorofil terdialisis dari SCC berbeda nyata. Pada ekstrak suji diduga belum banyak kehilangan
gugus fitol, oleh karena itu kemampuan mengikat kolesterol lebih kecil dari SCC sehingga jumlah klorofil terdialisis tidak berbeda. Nilai klorofil terdialisis ekstrak daun suji dengan perlakuan penambahan kolesterol lebih rendah bila dibandingkan dengan SCC terdialisis dengan penambahan kolesterol. Namun, perbedaan tersebut menghasilkan nilai signifikansi lebih besar dari 0.05 (p>0.05). Artinya bahwa perbedaan klorofil terdialisis antara ekstrak daun suji dengan perlakuan
penambahan
kolesterol
dan
SCC
dengan
perlakuan
penambahan kolesterol tidak berbeda secara nyata. Perbedaan klorofil terdialisis dari kedua sampel karena adanya perbedaan komponen dari kedua sampel. Untuk melihat tingkat kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji, maka perlu dilihat seberapa besar kolesterol terdialisis dari sampel. Persentase kolesterol terdialisis dari masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase kolesterol terdialisis Ulangan ke1 0 2 0 Rata-rata 0
Suji
Sampel (%) SCC 4.97 2.86 3.92
Pelarut Suji 109.7 114.3 112
Berdasarkan data Tabel 6 di atas tentang kolesterol terdialisis, maka diperkirakan bahwa pada sampel ekstrak daun suji tidak terdapat kolesterol maupun fitosterol terdialisis dalam kantung dialisat. Sedangkan pada SCC, kolesterol dan fitosterol terdialisis ke dalam kantung dialisis rata-rata sebesar 3.92%. Adapun nilai kolesterol terdialisis pada sampel pelarut suji sangat besar dibandingkan suji ataupun SCC yaitu lebih dari 100 % yaitu 112 %. Dari data ini bisa diambil kesimpulan bahwa rendahnya kolesterol terdialisis dari ekstrak daun suji dan SCC diduga karena adanya suatu komponen yang terdapat pada ekstrak daun suji dan SCC yang mampu menahan kolesterol tedialisis. Diduga karena peran
fitosterol dari ekstrak daun suji dan SCC berikatan kompleks dengan kolesterol. Berdasarkan data klorofil terdialisis ekstrak daun suji yang tidak berbeda nyata, maka diduga kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji
adalah karena peran fitosterol bukan klorofil.
Sedangkan pada SCC yang berperan adalah fitosterol dan klorofil, karena berdasarkan data klorofil terdialisis SCC berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka SCC lebih berpotensi menahan kolesterol terdialisis. Namun, berdasarkan data kolesterol terdialisis oleh ekstrak daun suji lebih rendah dibandingkan SCC, meski lebih rendah tapi tidak berbeda dibandingkan tanpa kolesterol. berpotensi
menahan
Maka diduga ekstrak daun suji lebih
penyerapan
kolesterol
dibandingkan
SCC.
Kemungkinan jenis fitosterol pada ekstrak daun suji berbeda dengan SCC sehingga berbeda terhadap kapasitas pengikatan kolesterol.
D. SEPARASI PIGMEN Separasi pigmen dilakukan hanya pada sampel ekstrak daun suji. Separasi dilakukan terhadap masing-masing fase. Tidak dilakukannya separasi pigmen pada sampel SCC, karena pada awal penelitian, ditemukan bahwa SCC tidak dapat bermigrasi dalam plate TLC. Hal ini mungkin disebabkan karena SCC merupakan larutan polar. Komponen yang teridentifikasi pada sampel ekstrak daun suji fase awal diduga adalah klorofil a, lutein, feofitin a dan beta karoten (Lampiran 5). Gambar separasi pigmen dapat dilihat pada Lampiran 6. Pembentukan feofitin pada fase awal sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bacon et al (1967) yang dikutip oleh Oktaviani (1987), bahwa perubahan klorofil yang segera terjadi sebagai akibat dari pemanasan adalah pembentukan feofitin. Pemanasan tersebut mungkin akibat dari perlakuan inkubasi enzim pada waktu proses ekstraksi. Pada fase awal ini feofitin a telah terbentuk sedangkan feofitin b belum teridentifikasi kemunculannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa klorofil a lima sampai sepuluh kali lebih cepat berubah menjadi feofitin a dibandingkan
dengan kecepatan perubahan klorofil b menjadi feofitin b. Dalam pelarut aseton, pelepasan magnesium dari klorofil a lebih cepat sembilan kali lipat dibandingkan dengan klorofil b. Lutein yang teridentifikasi pada fase awal berwarna kuning dan memiliki nilai Rf 0.929. Lutein termasuk dalam golongan karotenoid. Lutein berperan sangat penting dalam melindungi mata. Seperti â-karoten, lutein juga merupakan antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas.
Namun, lutein tidak ditemukan dalam konsentrasi tinggi di sayuran
kuning/orange seperti wortel. Komponen yang juga teridentifikasi dari sampel ekstrak daun suji pada fase awal adalah â-karoten. Berdasarkan Tabel 3, â-karoten pada plate TLC selulosa memiliki warna orange- kuning dengan nilai Rf 0.98. Pada penelitian ini, â-karoten memiliki nilai Rf berkisar 0.97 – 1.00 dengan warna orange atau kuning. â-karoten termasuk golongan karotenoid.
Karotenoid adalah suatu
kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye atau merah-oranye, mempunyai sifat larut lemak atau pelarut organik lain, tetapi tidak larut dalam air (Muchtadi, 2000). Sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning biasanya banyak mengandung karoten. Menurut Winarno (1997), karotenoid terdapat dalam kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3 %), terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel-sel palisade.
Karotenoid tidak selalu
berdampingan dengan klorofil, tetapi sebaliknya klorofil selalu disertai oleh karotenoid.
Pada saat klorofil dan turunan-turunannya telah terdegradasi,
karotenoid mulai muncul. Hal ini terlihat dengan jelas pada daun hijau yang mulai layu, maka warnanya berubah menjadi kuning. Beberapa diantaranya juga teridentifikasi adanya pigmen changed klorofil b-1 bebas Mg dan changed klorofil a-1 bebas Mg pada fase awal ekstrak daun suji. Bentuk changed klorofil a-1 dan b-1 diduga adalah bentuk isomer optis dari changed klorofil a-2 dan b-2. Sampai sekarang belum diketahui struktur yang tepat dari changed klorofil. Dari berbagai uji yang dilakukan oleh beberapa peneliti akhirnya diduga bahwa changed klorofil
adalah turunan klorofil yang mengalami penggantian pada atom C10 dengan gugus hidroksi (Strain, 1954 & Bacon et al, 1967 yang dikutip oleh Oktaviani (1987)). Dengan adanya gugus hidroksi ini changed klorofil menjadi lebih polar dari klorofil, sehingga memiliki nilai Rf yang lebih rendah pada selulosa yang merupakan adsorben polar. Hasil separasi pigmen dan identifikasi pigmen pada fase gastric menunjukkan bahwa klorofil a dan klorofil b dari ekstrak daun suji telah terdegradasi. Pada fase gastric, pigmen yang
teridentifikasi diantaranya
adalah lutein, feofitin a dan feofitin b serta beta karoten. Terdapatnya feofitin a dan feofitin b pada fase ini diduga karena pengaruh dari perlakuan asam pada pH 2 yang ada di lambung. Hal tersebut sesuai yang dilaporkan bahwa feofitin merupakan derivat klorofil bebas magnesium yang mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit dan konsentrasi HCl yang digunakan 13 %. Seperti yang dilaporkan oleh Mac Kinney dan Joslyn (1938) bahwa kecepatan pembentukan feofitin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam. Pigmen yang teridentifikasi pada fase ketiga yaitu fase digesta adalah changed klorofil b-1 bebas Mg, changed klorofil a-1 bebas Mg, changed klorofil b-2 bebas Mg, feofitin a dan b, lutein serta beta karoten. Pada fase akhir yaitu fase dialisat, tidak terdapat satu pigmenpun yang teridentifikasi. Hal ini diduga karena pada fase dialisat mungkin pigmen yang ada adalah pigmen yang polar, sehingga tidak terbaca pada plate TLC. Hal seperti ini juga terjadi pada sampel SCC. Klorofilid yang diharapkan ada, ternyata tidak terbentuk (tidak teridentifikasi pada TLC). Padahal pada saat pengujian klorofil, kadar klorofil yang ditunjukkan oleh absorbansi fase aseton cukup tinggi. Kemungkinan ini disebabkan adanya Tween 80 yang merupakan emulsifier yang dapat membantu
kelarutan
klorofil
(Prangdimurti et al., 2005)
sehingga
larut
dalam
pelarut
aseton
Hal ini juga menimbulkan dugaan enzim
klorofilase belum berperan (aktivitasnya rendah) dalam ekstrak daun suji.
Larutan Na-sitrat 12 mM yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim klorofilase, belum memperlihatkan efeknya meskipun dilakukan inkubasi pada suhu optimum bagi enzim klorofilase (suhu 65-75 oC) selama 45 menit. Dengan kurang aktifnya enzim klorofilase, rantai fitol klorofil tidak dapat terhidrolisis sehingga klorofil a maupun b tidak berubah menjadi klorofilid. Pada fase awal sampai fase digesta diketahui bahwa beta karoten dan lutein selalu teridentifikasi keberadaanya. Pada ekstrak daun suji, â-karoten dan lutein muncul pada kromatogram, karena sebelumnya tidak dilakukan pemisahan lebih dahulu untuk menghilangkan senyawa karotenoid. Senyawa karotenoid memang larut dalam lemak, namun dengan adanya Tween 80 dapat membantu karotenoid sehingga dapat larut dalam pelarut air (larutan Nasitrat). Dengan demikian, karotenoid juga ikut dalam ekstrak daun suji.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis kandungan total klorofil selama pencernaan in vitro pada ekstrak daun suji maupun SCC dengan perlakuan tanpa kolesterol dan perlakuan penambahan kolesterol bisa disimpulkan bahwa kandungan total klorofil mengalami penurunan selama proses pencernaan in vitro dari fase awal sampai fase dialisat. Hasil perhitungan klorofil terdialisis diperoleh keterangan bahwa klorofil terdialisis ekstrak daun suji lebih rendah bila dibandingkan SCC baik dengan perlakuan tanpa kolesterol maupun dengan penambahan kolesterol. Pada perlakuan tanpa kolesterol, diketahui bahwa rata-rata persentase klorofil terdialisis ekstrak daun suji sebesar 5.76 %. Adapun persentase klorofil terdialisis dari SCC dengan perlakuan tanpa kolesterol lebih tinggi (p<0.05) dibanding suji yaitu rata-rata sekitar 19 %. Pada perlakuan dengan penambahan kolesterol, nilai klorofil terdialisis kedua sampel yaitu ekstrak daun suji dan SCC tampak menurun bila dibandingkan perlakuan tanpa kolesterol. Namun,
secara statistik tidak
terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05). Klorofil terdialisis yang terjadi pada SCC perlakuan penambahan kolesterol lebih rendah bila dibandingkan SCC tanpa kolesterol. (p<0.05). Nilai klorofil terdialisis ekstrak daun suji perlakuan penambahan kolesterol tidak berbeda bila dibandingkan dengan klororfil terdialisis dari SCC penambahan kolesterol (p>0.05). Rendahnya nilai klorofil terdialisis dengan perlakuan penambahan kolesterol dibandingkan perlakuan tanpa kolesterol diduga bahwa ada kemungkinan komponen klorofil dan derivatnya dari sampel berinteraksi atau berikatan dengan kolesterol sehingga berat molekulnya menjadi lebih besar. Hal ini menyulitkan klorofil terdialisis ke dalam kantung dialisis, akibatnya klorofil yang terdialisis lebih sedikit. Hasil analisis pada fase awal dari sampel ekstrak daun suji maupun sampel larutan SCC diketahui keduanya menunjukkan adanya fitosterol. Berdasarkan hasil kolesterol terdialisis, maka bisa disimpulkan bahwa pada sampel ekstrak daun suji, tidak terdapat kolesterol yang terdialisis dalam
kantung dialisat (0%). Sedangkan pada SCC, kolesterol yang terdialisis oleh kantung dialisis rata-rata sebesar 3.92%. Adapun kolesterol terdialisis pada sampel pelarut suji sangat besar dibandingkan suji ataupun SCC. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa komponen yang terdapat pada ekstrak daun suji maupun SCC mampu menahan kolesterol terdialisis. Berdasarkan data klorofil terdialisis ekstrak daun suji yang tidak berbeda nyata, maka diduga kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji adalah karena peran fitosterol bukan klorofil. Sedangkan pada SCC yang berperan adalah fitosterol dan klorofil, karena berdasarkan data klorofil terdialisis SCC berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka SCC lebih berpotensi menahan kolesterol terdialisis. Namun, berdasarkan data kolesterol terdialisis oleh ekstrak daun suji lebih rendah dibandingkan SCC, meski lebih rendah tapi tidak berbeda dibandingkan tanpa kolesterol. ekstrak daun suji lebih
Maka diduga
berpotensi menahan penyerapan kolesterol
dibandingkan SCC. Kemungkinan jenis fitosterol pada ekstrak daun suji berbeda dengan SCC sehingga berbeda terhadap kapasitas pengikatan kolesterol. Hasil separasi pigmen menunjukkan bahwa pada fase awal komponen yang teridentifikasi pada sampel ekstrak daun suji diduga adalah klorofil a, lutein, feofitin a dan beta karoten. Pada fase gastric, pigmen yang teridentifikasi diantaranya adalah lutein, feofitin a dan feofitin b serta beta karoten. Pigmen yang teridentifikasi pada fase ketiga yaitu fase digesta adalah changed klorofil b-1 bebas Mg, changed klorofil a-1 bebas Mg, changed klorofil b-2 bebas Mg, feofitin a dan b, lutein serta beta karoten. Pada fase akhir yaitu fase dialisat, tidak terdapat satu pigmenpun yang teridentifikasi. B. SARAN 1. Perlu dipelajari lebih lanjut komposisi dari komponen fitosterol pada ekstrak daun Suji dan SCC 2. Pada separasi pigmen (TLC), tidak ditemukan adanya klorofilid sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk mengaktifkan enzim klorofilase yang dapat menghidrolisis rantai fitol klorofil sehingga dapat berubah menjadi
klorofilid yang lebih stabil dan memiliki kemampuan mengikat kolesterol lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Alsuhendra. 2004. Daya Anti-Aterosklerosis Zn-Turunan Klorofil dari Daun Singkong (Manihot esculenta Crantz) pada Kelinci Percobaan. Disertasi. Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Alsuhendra, D. Muchtadi, D. Sastradipradja, dan T. Wresdiyati. 2002. Kajian Daya Antihiperkolesterolemimia ”Zinkofilin”. Seminar Nasional PATPI, Malang 30-31 Juli 2002. Aronoff, S. 1958. The Chemistry of Chlorophyll (with Special Reference to Foods) Didalam E. M. Mrak dan G. F. Stewart (eds). Advance in Food Research IV. Bacon, M.F. dan M. Holden. 1967. Changes in chlorophylls resulting from various chemical and physical treatments of leaves and leaf extracts. Phytochem. 6 ; 193 – 210. Barbara, R., M. J. Roig, A. Alegria, R. Farre dan M. J. Lagarda. 1998. Calcium dialysability as an estimation of bioavailaibility in human milk, cow milk and infant formulas. Food Chemistry. 64:403-405. Becker, M., Staab, D. dan von Bergmann, K. 1993. Treatment of severe famillial hypercholesterolemia in chillhood with sitosterol and sitostanol. J. Pediatr. 122:292-296. Clydesdale, F. M. dan F. J. Francis. 1976. Pigments Didalam O.R. Fennema. Principles of Food Science. Marcel Dekker, Inc. New York. Egner, P.A., J.B. Wang, Y.R zhu, B.C. Zhang, Y. Wu, Q.N. Zhang, G.S. Qian, S.Y. Kuang, S.J. Gange, L.P. Jacobson, K.J. Helzisouer, G.S. Bailey, J.D. Groopman dan T. W. Kensler. 2001. Chloropyllin Intervention Reduce Aflatoxin-DNA Adducts In Individuals at high Risk For Liver Cancer. Proc.Natl. Acad. Sci. 98 (25):14601-14606. Eskin, N. A. M. 1979. Plant Pigments, Flavor and Texture. The Chemistry and Biochemistry of Selected Compound. Academic Press. New York. Ferruzi, M. G., M. L. Failla, dan S. J. Schwartz. 2001. Assessment of degradation and intestinal cell uptake of carotenoid and chlorophyll derivates from spinach puree using an in vitro digestion and caco-2 human cell model. J.Agric. Food Chem (49): 2082-2089. Ferruzi, M. G., M. L. Failla, dan S. J. Schwartz. 2002a. Sodium copper chlorophyllin: In vitro digestive stability and accumulation by caco-2 human intestinalcells. J.Agric.Food Chem. 50: 2173-2179.
Francis, F. J. 1985. Pigments and Other Colorant in Fennema, O.R. (ed.). Food Chemistry. 2nd Ed. Mercekl Dekker. New York. Garcia, A.L., L. Galindo, and S. Navaro. 1980. Chlorophyllase in citrus leaves. kinetic aspects of reaction. Biol. Plant. 22(4):255-262. Gross, J. 1991. Pigments in Vegetables, Chlorophylls and Carotenoids. Van Nostrand Reinhold, New York. Hakim, Nurlina. 2005. Evaluasi Sifat Fisiko Kimia dan Mikrobiologis Ekstrak Daun suji (Pleomele angustifolia, N.E. Brown) Selama Penyimpana suhu Rendah. Skripsi. Fateta IPB. Bogor Hall, D. O. and K.K Rao. 1986. Photosynthesis. Fourth Edition. Edward Arnold, London. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. (Terjemahan) Padmawinata, k. Dan I. Soediro. Penerbit ITB Bandung. Bandung. Heinemann, T., Kullack-Ublick, G.A., Pietruck, B. dan von Bergmann, K. 1991. Mechanism of action of plant sterols on inhibition of cholesterol absorption. Comparison of sitosterol and sitostanol. Eur J. Clin. Pharmacol. 40 (suppl 1):S59-S63. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Holden, M., 1976. Chlorophylls, Analitical Methods. Di dalam T.W.Goodwin (ed) Chemistry and Biochemistry Plant Pigments. Academic Press London. London. Ikeda, I dan Sugano, M. 1998. Inhibition of cholesterol absorption by plant sterols for mass intervention. Curr. Opin. Lipidol. 9:527-531. Isabel, M., Beatriz Gandul Rojas, dan Lourdes Gallardo Guerrero. 1993. Deesterification of chlorophylls in olives by activation of chlorophyllase. J. Agric. Food Chem. 41:2254-2258. Hutchings, J.B. 1994. Food Colour and Appearance. Blackie Academic & Profesional, London : p. 367-376. Jones, I. D., R. C. white dan E. Gibbs. 1963. Influence of blanching or brining treatment on the formation of chlorophyl, pheophytin and pheoforbides. J. Food Sci. 28:437. Joslyn, M. A. dan G. Mackinney. 1938. The rate of conversion of chlorophyl to pheophytin. J. Am. Chem. Soc. 60:1132.
Joslyn, M. A. dan G. Mackinney. 1940. The conversion of chlorophyl to pheophytin. J. Am. Chem. Soc. 62:231. Keng, Hsuan. 1969. Orders and Families of Malayan Seed Plants. University of Malayan Press. Kualalumpur. Klein, A.O., and W. Vishniac. 1961. Activity and partial purification of chlorophyllase in aqueous system. J. Biol. Chem. 236(9):2344-2347 Krause, M. V. dan Mahan, L. K. 1984. Food Nutrition and Diet Theraphy. Sunders Company. Canada. Kyzlink, V. 1990. Principles of Food Preservation. Elsevier. Tokyo. Linder, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. UI Press. Jakarta. Ma, L. dan D. Dolphin. 1999. The Metabolites of dietary chlorophylls. Phytochemistry 50: 195-202. Mackinney, G., dan C. A. Weast. 1940. Color changes in green vegetables. Ind. Eng. Chem. 32:392 Martin, D. W., P. A. Mayes dan V. W. Rodwell. 1984. Review of Biochemistry. Lange Medical Publications. California. Mayes, P. A., Danyl K. G., Victor, W. R. dan David W. M. 1987. Review of biochemistry ed 20 (terjemahan). Lange Medical. Publication. California. Moreau, A. Robert., M. J. Powell dan Kevin B. Hicks. 2003. Evaluation of a commercial enzyme-based serum cholesterol test kit for analysis of phytosterol and phytostanol products. J. Agr. Food Chem (51): 6663-6667. Mosquera, M. I. M. dan J. G. Fernandez. 1989. Chlorophyll and carotenoid presence in olive fruit (Olea european). J. Agric. Food Chem. 37 (1):1-7. Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen sayuran dan Buah-buahan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Muchtadi, D., N.S. Palupi dan M. Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi: Sumber, Fungsi dan Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Muchtadi, D. 1996. Pencegahan Gizi Lebih dan Penyakit kronis Melalui Perbaikan Pola Konsumsi Pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Metabolisme Zat Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Nguyen, Tu. T. 1999. The cholesterol –lowering action of plant stanol esters. J. Am. Society for Nut Sci. 129:2109-2112.
Nur, M. A. dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor. Onofrey, T., J. Lynch, dan D. Smidt. 2004. Automated multiscreen PAMPA and permeability assay system. Millipore Corp Life Science Division, Danver USA. Oktaviani, L. 1987. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Ekstrak Warna Hijau Daun Suji (Pleomele angustifolia) Selama Penyimpanan. Skripsi. Fateta, IPB. Bogor. Orten, J. M., dan O. W. Nehaus. 1975. Human Biochemistry. C.V. Mosby., St. Louis. Page, D. S. 1989. Prinsip-prinsip Biokimia. Penerjemah : R, Soendoro. Erlangga. Jakarta. Prangdimurti, E., D. Muchtadi, F.R. Zakaria, M. Astawan. 2005. The effect of extraction solutions and incubation time on chlorophyll solubility and antioxidant capacity of suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) leaf extracts. Dept. of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University. Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Padmawinata, K, penerjemah). Institut Teknologi Bandung, Bandung. Schwartz, S. J. dan J. H. von Elbe. 1983. Kinetics of chlorophyl degradation to pyripheophytin in vegetable. J. Food Sci. 48:1303. Scopes, R.K. 1982. Protein Purification : Principles and Practice. Springer-Verlag. New York, Inc, New York. Sibarani, J. 1994. Pemurnian Parsial dan Pengujian Aktivitas Enzim Klorofilase dari Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). Skripsi. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Bogor. Sitepoe, M. 1993. Kolesterol FOBIA: Keterkaitan dengan Penyakit Jantung. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sofro, A.S., W. Lestariana & Haryadi. 1992. Protein, Vitamin dan Bahan Ikutan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta: hal.227-281. Vlad, M., E. Bordas, E. Caseanu, G. Uza, E. Creteanu, dan C. Polinicenco.1995. Effect of clorophyllin on experimental atherosclerosis. Biol. Trace Elem. Res. 48 (1): 99-109. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh cara perhitungan kadar klorofil Sampel
Abs λ = 645
Abs λ = 663
Abs = 652
Vol dial
Suji-fase awal Suji-fase gastric Suji-fase digesta Suji-fase dialisat
0.823 0.471 0.374 0.006
1.349 1.048 0.873 0.010
1.153 0.781 0.634 0.008
16
Total klorofil (mg/g) 2.228 1.509 1.225 0.247
Rumus : Total klorofil (mg/g) = (20.2 x A645) + (8.02 x A663) x 10 x 100 x 1 x vol dial (jika ada) 1.5 10 1000 atau Total klorofil (mg/g) = A652 x1000 x 10 x 100 x 1 x vol dial (jika ada) 34.5 1.5 10 1000 Keterangan : Total Volume yang dibaca absorbansinya = 10 ml Volume sampel yang diambil untuk dibaca absorbansinya = 1.5 ml Total volume sampel = 100 ml Berat sampel = 10 gram 1/1000 = konversi satuan dari mg/l menjadi mg/g Contoh perhitungan : Fase dialisat = (0.008x1000) x 10 x 100 x 1 34.5 1.5 10 1000
.
x 16 = 0.247 mg/g
Lampiran 2. Cara perhitungan persentase penurunan kadar klorofil terhadap fraksi awal SAMPEL -FRAKSI
Suji-Fraksi awal Suji-Fraksi kolesterol Suji-Fraksi gastric Suji-Fraksi digesta Suji-Fraksi dialisat SCC-Fraksi awal SCC-Fraksi kolesterol SCC-Fraksi gastric SCC-Fraksi digesta SCC-Fraksi dialisat
RATA-RATA KADAR KLOROFIL (mg/g) DENGAN TANPA KOLESTEROL KOLESTEROL 2.610 2.282 1.489 1.181 0.140 2.928 2.882 0.107 1.356 0.235
2.534 0 1.522 1.450 0.381 2.457 0 0.041 1.193 0.384
Rumus = Persentase penurunan kadar klorofil terhadap fraksi awal = (Kadar klorofil fraksi awal-kadar klorofil fraksi yang dihitung) X 100 % Kadar klorofil fraksi awal Contoh perhitungan : Pada sampel ekstrak daun suji Fraksi dialisat perlakuan dengan kolesterol Persentase penurunan kadar klorofilnya = (2.610-0.140) x 100 % 2.610 = 94 % jadi besarnya penurunan kadar klorofil ekstrak daun suji fraksi dialisat pada perlakuan dengan penambahan kolesterol terhadap fraksi awal sebesar 94 %
Lampiran 3. Contoh cara perhitungan persentase klorofil terdialisis Sampel A1B1F0 -------F2 -------F3 -------F4 A2B1F0 -------F2 -------F3 -------F4 A3B1F0 -------F2 -------F3 -------F4 A4B1F0 -------F2 -------F3 -------F4
Kadar klorofil Ulangan 1 2.228 1.509 1.225 0.240 2.817 0.035 1.681 0.729 0.104 0 0.006 0.128 -0.002 0 0.002 0.072
Rumus = Persentase klorofil terdialisis = Kadar klorofil dialisat terkoreksi x 100% atau (A1F4-A3F4) x 100 % kadar klorofil awal terkoreksi (A1F0- A3F0) Contoh Perhitungan = Klorofil terdialisis pada ekstrak daun suji ; (0.240 – 0.128) x 100 % = 0.112 x 100 % = 5.27 % (2.228-0.104) 2.124
Lampiran 4. Contoh cara perhitungan kolesterol terdialisis Sampel/standar Standar A1B2F0 -------F1 -------F2 -------F3 -------F4 A2B2F0 -------F1 -------F2 -------F3 -------F4 A3B2F0 -------F1 -------F2 -------F3 -------F4
Kadar kolesterol Ulangan-3 0.337 200 0.075 44.510 0.145 86.053 0.050 29.673 0.457 271.216 -0.001 -0.593 0.088 52.225 0.161 95.549 0.323 191.691 0.730 433.234 0.008 4.747 0.001 0.593 0.031 18.398 0.224 132.938 0.905 537.092 0.034 20.178
Rumus = Persentase kolesterol terdialisis = Kadar kolesterol fraksi dialisat kadar kolesterol fraksi awal+kolesterol
x 100% atau F4 x 100 % F1
Contoh Perhitungan = Kolesterol terdialisis pada sampel larutan SCC ; A2F4 x 100 % = 4.747 x 100 % = 4.97 % A2F1 95.549
Lampiran 5. Uji statistik data klorofil terdialisis Uji Normalitas data sebelum Transformasi Tests of Normality a
PERSENTASE KLOROFIL
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .281 9 .039
Statistic .763
Shapiro-Wilk df 9
Sig. .008
Shapiro-Wilk df 9
Sig. .090
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas Sebelum Transformasi a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: PERSENTASE KLOROFIL F 34.769
df1
3
df2
5
Sig. .001
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+KOLES+SAMPEL+KOLES * SAMPEL
Uji Normalitas Data Setelah Transformasi Tests of Normality a
PERSENTASE KLOROFIL
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .223 9 .200*
Statistic .857
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas Setelah Transformasi a Levene's Test of Equality of Error Variances
Dependent Variable: PERSENTASE KLOROFIL F 1.910
df1
df2 3
5
Sig. .246
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept+KOLES+SAMPEL+KOLES * SAMPEL
Uji Anova Kolesterol dan Sampel terhadap Persentase Klorofil Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors KOLESTEROL
Value Label Tanpa Kolesterol Plus Kolesterol Suji SCC
0 1
SAMPEL
1 2
N 5 4 5 4
Descriptive Statistics Dependent Variable: PERSENTASE KLOROFIL KOLESTEROL tanpa kolesterol
plus kolesterol
Total
SAMPEL suji scc Total suji scc Total suji scc Total
Mean 5.7600 19.7800 11.3680 4.7350 8.0450 6.3900 5.3500 13.9125 9.1556
Std. Deviation 1.34376 5.00632 8.13245 .68589 2.04354 2.28054 1.15570 7.45988 6.47319
N 3 2 5 2 2 4 5 4 9
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: PERSENTASE KLOROFIL Source Corrected Model Intercept KOLES SAMPEL KOLES * SAMPEL Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .252 a 20.325 6.687E-02 .163 3.317E-02 2.442E-02 20.900 .276
df 3 1 1 1 1 5 9 8
Mean Square 8.393E-02 20.325 6.687E-02 .163 3.317E-02 4.883E-03
a. R Squared = .912 (Adjusted R Squared = .859)
F 17.188 4162.392 13.695 33.329 6.793
Sig. .005 .000 .014 .002 .048
Multiple Comparisons Dependent Variable: PERSENTASE KLOROFIL
LSD
(I) INTERAKSI TANPA VS SUJI
PLUS VS SUJI
TANPA VS SCC
PLUS VS SCC
(J) INTERAKSI PLUS VS SUJI TANPA VS SCC PLUS VS SCC TANPA VS SUJI TANPA VS SCC PLUS VS SCC TANPA VS SUJI PLUS VS SUJI PLUS VS SCC TANPA VS SUJI PLUS VS SUJI TANPA VS SCC
Mean Difference (I-J) .0518 -.3964* -.0980 -.0518 -.4482* -.1498 .3964* .4482* .2984* .0980 .1498 -.2984*
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Std. Error .06379 .06379 .06379 .06379 .06988 .06988 .06379 .06988 .06988 .06379 .06988 .06988
Sig. .454 .002 .185 .454 .001 .085 .002 .001 .008 .185 .085 .008
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.1122 .2157 -.5604 -.2324 -.2620 .0659 -.2157 .1122 -.6278 -.2686 -.3294 .0298 .2324 .5604 .2686 .6278 .1187 .4780 -.0659 .2620 -.0298 .3294 -.4780 -.1187
PERSENTASE KLOROFIL
Duncan a,b
INTERAKSI PLUS VS SUJI TANPA VS SUJI PLUS VS SCC TANPA VS SCC Sig.
N 2 3 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 1.3636 1.4154 1.5134 1.8118 .082 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.182. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 6. Nilai Rf Separasi Pigmen Sampel Ekstrak suji Fraksi---Spot A1B1C1F0—a ---------------- b ---------------- c ---------------- d A1B1C1F2---e -----------------f -----------------g A1B1C1F3—h
(Ulangan-1) Nilai Rf 0.912 0.929 0.947 0.982 0.853 0.965 0.988 0.706
Warna Hijau Kuning Abu-abu Kuning Hijau-kuning Abu-abu Kuning Kuning
-----------------i -----------------j -----------------k
0.9 0.953 0.988
Hijau-kuning Abu-abu Kuning
Lutein Feofitin a Beta karoten Lutein Feofitin a Beta karoten ”changed” klorofil b-1 bebas Mg Feofitin b Feofititn a Beta karoten
Sampel ekstrak suji Fraksi---Spot A1B1C2F0—a ---------------- b ---------------- c ---------------- d ---------------- e -----------------f A1B1C2F2---g --------------—h -----------------i A1B1C2F3---j -----------------k -----------------l
(Ulangan-2) Nilai Rf 0.618 0.794 0.823 0.918 0.953 0.982 0.794 0.953 0.982 0.823 0.9 0.971
Warna Hijau Hijau Kuning Kuning Abu-abu Kuning,oranye Kuning Abu-abu Kuning Kuning Abu-abu kuning
Komponen Klorofil a Feofitin b Lutein Lutein Feofitin a Beta karoten Feofitin b Feofitin a Beta karoten Feofitin b Feofitin a karoten
Sampel ekstrak suji(Ulangan-3) Fraksi---Spot Nilai Rf A1B1C3F0—a 0.588
Warna kuning
---------------- b ---------------- c ---------------- d ---------------- e A1B1C3F2---f ----------------g --------------—h
hijau Kuning Abu-abu Kuning Kuning Kuning Abu-abu
Komponen ”Changed” klorofil b-2 bebas Mg
0.871 0.912 0.923 0.965 0.894 0.912 0.929
Komponen
Lutein Feofitin a Beta karoten Feofitin b lutein Feofitin a
-----------------i A1B1C3F3---j -----------------k
0.971 0.823 0.912
Kuning Kuning Kuning
-----------------l -----------------m
0.929 0.971
Abu-abu kuning
Sampel ekstrak suji (Ulangan-4) Fraksi---Spot Nilai Rf A1B1C4F0— a 0.681
Warna kuning
---------------- b ---------------- c
0.805 0.892
hijau Abu-abu
---------------- d A1B1C4F2-- e -----------------f -----------------g A1B1C4F3— h -----------------i -----------------j -----------------k
0.99 0.795 0.957 0.99 0.724 0.838 0.941 0.99
kuning kuning Abu-abu kuning kuning kuning Abu-abu kuning
Beta karoten Feofitin b ”changed” klorofil a-1 bebas Mg Feofitin a Beta karoten Komponen ”changed” klorofil b-1 bebas Mg Feofitin b ”changed” klorofil a-1 bebas Mg Beta karoten Feofitin b Feofitin a Beta karoten Feofitin b lutein Feofitin a Beta karoten
Lampiran 7. Separasi Pigmen Ekstrak Daun Suji Selama Pencernaan in vitro dengan TLC
TLC Ulangan 1 dan 2
TLC Ulangan 2 dan 3
TLC Ulangan 4