TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) Tanaman suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown) merupakan tanaman perdu atau pohon kecil tegak dengan tinggi berkisar antara 2 hingga 8 meter. Tanaman suji biasa tumbuh secara liar atau ditanam di sekitar halaman dan untuk pagar-pagar. Tanaman suji dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian sampai 1200 m di atas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi botaninya, tanaman suji termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotiledoneae, ordo Liliflorae, famili Liliaceae, genus Pleomele, dan jenis Pleomele angustifolia N. E. Brown. Sinonim dari Pleomele angustifolia N.E. Brown adalah Dracaena angustifolia Roxb (http://bodd.cf.ac.uk/BotDermFolder/BotDermD/DRAC.html). Daun tanaman suji berbentuk lancet-garis, agak kaku, berwarna hijau gelap, meruncing atau sangat runcing dengan panjang 10 sampai 25 cm dan lebar 0.9 sampai 1.5 cm. Jenis bunga termasuk bunga majemuk, berbentuk malai dengan banyak bunga yang panjangnya 8 sampai 30 cm. Pada tiap kelopak terdapat 1-4 bunga, tangkai bunga pendek (2.5-2.7 cm). Mahkota bunga berwarna putih kekuningan, dan kalau malam hari berbau harum. Buah yang matang berwarna jingga dengan diameter 1-2 cm. (Heyne 1987). Tanaman suji dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman suji jenis minor (Pleomele angustifolia N.E. Brown)
7
Di setiap daerah di Indonesia, tanaman suji mempunyai nama daerah yang berbeda antara lain jejuang bukit atau pendusta utan (Ambon); ngase kolotide (Ternate); jingkang, hanjuwang merak atau suji (Jawa Barat); semar (Jawa Tengah dan Jawa Timur); kopoi (ponos), popopok im bolai, rereindeng im bolai, tawaang im bolai (Minahasa). Tanaman suji yang terdapat di pulau Jawa dibagi menjadi dua golongan, yaitu jenis typica dan jenis minor. Jenis typica daunnya panjang sampai kira-kira 60 cm dan lebar, mahkota bunga besar, hidup pada ketinggian di bawah 500 m di pulau Jawa bagian barat.
Jenis minor daunnya pendek dan
tidak besar,
mahkota bunga kecil, tumbuh liar sampai ketinggian 1000 m dan ditanam untuk pagar atau di sekitar sumur. Di Sulawesi terdapat jenis yang merupakan peralihan dari kedua jenis tanaman suji ini, yaitu dengan mahkota bunga besar tetapi daunnya pendek dan sempit. Cara propagasi (perbanyakan) tanaman suji mudah sekali, yaitu dengan stek atau bisa juga dengan biji (Heyne 1987). Secara tradisional, tanaman suji telah dimanfaatkan baik dalam bidang pangan, kosmetika maupun pengobatan. Di bidang pangan, ekstrak daun suji dalam medium air telah biasa digunakan sebagai pewarna berbagai makanan tradisional. Daun suji juga digunakan sebagai pewarna kertas, minyak jarak dan minyak kelapa. Di bidang kosmetika, ekstrak daun suji dapat digunakan sebagai penyubur rambut. Sedangkan di bidang pengobatan, air rebusan akar tanaman suji dapat digunakan sebagai campuran obat sakit gonorrhoe. Di Ambon, daun tanaman suji dimanfaatkan untuk mengobati penyakit beri-beri dengan cara menggosokkan kuat-kuat daun yang telah dipanaskan pada anggota tubuh penderita (Heyne 1987). Ekstrak metanol dari Nam ginseng, yaitu akar dan rhizoma dari Dracaena angustifolia memperlihatkan adanya 9 senyawa baru selain 8 senyawa steroidal saponin yang telah diketahui. Senyawa-senyawa tersebut adalah tiga macam spirostanol sapogenin yaitu namogenin A-C, empat macam spirostanol saponin yaitu namonin A-D, suatu senyawa furostanol saponin yaitu namonin E, dan suatu glikosida lain yaitu namonin F. Senyawa namonin A dan namonin B memiliki aktivitas antiproliferatif terhadap sel fibrosarcoma HT-1080 (Tran et al 2001). Rahayu dan Limantara (2005) melaporkan bahwa dari 17 suku tanaman yang terdiri dari
65 spesies
tanaman hijau di Salatiga dan sekitarnya, suku
Euphorbiaceae, Liliaceae, Apocynaceae, Acanthaceae dan Araliaceae berturut-turut
8
adalah yang memiliki kandungan klorofil daun tertinggi.
Pengukuran klorofil
dilakukan secara in vivo menggunakan Klorofilmeter Minolta SPAD-502 pada 5 titik dalam setiap daun. Pengukuran kandungan klorofil pada daun yang tua (nomor 5-7 dari pucuk cabang) menunjukkan bahwa daun suji (Pleomele angustifolia) menempati urutan ke-2 tertinggi setelah daun Landep (Barleria lupulina Lind L), sedangkan daun katuk urutan ke-3 dan daun singkong urutan ke-14. Klorofil dan Turunannya Klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu khloros (hijau kekuningan) dan phullon (daun). Klorofil pertama kali didokumentasikan oleh Pelletier dan Caventow dan diisolasi oleh Sorby pada tahun 1873. Organisme menghasilkan lebih dari 1 x 109 ton per tahun, dan 75% diantaranya berasal dari laut (Vargas dan Lopez 2003). Secara struktural, klorofil merupakan porfirin yang mengandung cincin dasar tetrapirol, dimana keempat cincin berikatan dengan ion Mg2+, dan memiliki cincin isosiklik yang kelima yang berada dekat dengan cincin pirol ketiga. Pada cincin keempat, substituen asam propionat diesterifikasi oleh gugus fitol, suatu diterpen alkohol (C20H39OH), yang
bersifat hidrofobik. Jika gugus ini dihilangkan dari
struktur intinya maka klorofil berubah menjadi turunannya yang bersifat hidrofilik (Gross 1991). Kandungan klorofil pada beberapa tanaman sekitar 1% basis kering. Semua tanaman hijau mengandung klorofil-a dan klorofil-b. Klorofil-a terdapat sekitar 75% dari pigmen hijau tanaman. Klorofil-a adalah suatu struktur tetrapirol melalui ikatan Mg, dengan substitusi metil pada posisi 1, 3, 5 dan 8, vinil pada posisi 2, etil pada posisi 4, propionat yang diesterifikasi dengan fitil alkohol (fitol) pada posisi 7, keto pada posisi 9 dan karbometoksi pada posisi 10 (Gambar 2).
9
Grup Fitil (-C20H39)
Komponen Mg R1 R2 Cincin isosiklik Klorofil a + CH3 Fitil 1 Klorofil b + CHO Fitil 1 Klorofil a’ + CH3 Fitil 2 Klorofil b’ + CHO Fitil 2 Klorofilid a + CH3 H 1 Klorofilid b + CHO H 1 Feofitin a CH3 Fitil 1 Feofitin b CHO Fitil 1 Feoforbid a CH3 H 1 Feoforbid b CHO H 1 Klorofil a-1 + CH3 Fitil 3 Pirofeofitin a CH3 Fitil 4
Gambar 2 Struktur kimia dari klorofil-a dan klorofil-b beserta turunannya (Gross 1991)
Rumus molekul klorofil-a adalah C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b adalah C55H70N4O6Mg. Klorofil-b berbeda dengan klorofil-a karena mempunyai satu grup formil (-CHO) menggantikan grup metil pada posisi 3 dari klorofil-a (Gross 1991). Berat molekul klorofil-a adalah 893.52 dan klorofil-b 907.51. Tabel 1 memperlihatkan bahwa jumlah klorofil-a dalam daun lebih banyak dibandingkan klorofil-b. Rasio klorofil-a terhadap klorofil-b pada daun umumnya sebesar 3:1 (Gross 1991).
10
Tabel 1 Kandungan klorofil berbagai sayuran hijau Kandungan klorofil (μg/g bahan)
No. Jenis Sayuran 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
a
Daun singkong Daun katuk Daun kangkung Daun bayam Caisin Kacang panjang Buncis Selada Daun kemangi
2853.2 1688.1 1493.6 1205.0 815.0 169.1 57.0 482.7 842.9
b 1114.3 513.9 519.9 255.9 393.1 55.5 18.5 148.6 479.8
Total 3967.5 2202.0 2013.5 1460.9 1208.1 224.6 75.4 631.3 1322.7
Rasio a : b 2.6 : 1 3.3 : 1 2.9 : 1 4.7 : 1 2.1 : 1 3.0 : 1 3.1 : 1 3.2 : 1 1.8 : 1
Sumber: Alsuhendra (2004)
Klorofil adalah pigmen utama berwarna hijau pada semua makhluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil terletak dalam badan-badan plastid yang disebut kloroplas.
Kloroplas memiliki bentuk yang teratur, di bawah
mikroskop lensa lemah tampak sebagai lempengan berwarna hijau dengan panjang sekitar 5-10 mikrometer dan lebar 1-2 mikrometer (Clydesdale dan Francis 1976). Menurut Gross (1991), klorofil berwarna hijau karena menyerap secara kuat daerah merah dan biru dari spektrum sinar tampak. Perbedaan kecil dalam struktur dari dua klorofil menghasilkan perbedaan dalam penyerapan spektrum, biru-hijau untuk klorofil-a dan kuning-hijau untuk klorofil-b. Posisi penyerapan maksimum bervariasi sesuai dengan pelarut yang digunakan. Klorofil merupakan ester dan larut pada pelarut organik. Klorofil sangat peka terhadap cahaya. Sinar dalam ruangan yang lemah, jika mengenai klorofil kurang dari satu detik dapat mengakibatkan reaksi protopigmen. Pengerjaan klorofil dan penyimpanan klorofil harus dilakukan dalam ruang gelap atau ruang redup dengan cahaya yang aman dan sejuk (Gross 1991) Pemanasan merupakan proses fisik yang dapat mengakibatkan kerusakan klorofil. Klorofil terdapat dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein yang diduga menstabilkan molekul klorofil dengan cara memberikan ligan tambahan. Pemanasan dapat mengakibatkan denaturasi protein sehingga klorofil menjadi tidak terlindungi lagi. Selama pemanasan, asam-asam organik dalam jaringan dibebaskan yang mengakibatkan pembentukan feofitin. Pemanasan juga memberi pengaruh terhadap
11
aktivitas enzim klorofilase dan enzim lipoksigenase. Pengaruh blansir pada sayuran hijau terhadap pembentukan klorofilid dan feoforbid menunjukkan bahwa blansir pada suhu 82,2oC meningkatkan aktivitas enzim klorofilase, tetapi blansir pada suhu 100oC membuat klorofilase inaktif (Gross 1991). Sifat Kimia Klorofil Salah satu sifat kimia klorofil yang penting adalah kelabilan yang ekstrim, seperti sensitif terhadap cahaya, panas, oksigen, dan degradasi kimia. Klorofil dapat diubah baik secara in vivo maupun in vitro ke dalam bentuk turunannya (Gambar 2 dan Gambar 3). Klorofil dapat terdegradasi secara kimia, yang meliputi reaksi feofitinisasi, reaksi pembentukan klorofilid, dan reaksi oksidasi (Gross 1991). Perubahan struktur turunan klorofil mengakibatkan perubahan pola absorpsi dan tingkat polaritas. Tabel 2 memperlihatkan beberapa nilai Rf beberapa turunan klorofil pada Thin Layer Chromatography (TLC) selulosa dan Tabel 3 memperlihatkan panjang gelombang maksimum beberapa turunan klorofil. Informasi dalam Tabel 2 dan Tabel 3 dapat digunakan untuk identifikasi turunan klorofil setelah diseparasi dengan TLC selulosa. klorofilase Klorofil + H2O
klorofilid + fitol
- fitol Klorofil
- metil Klorofilid
- Mg
Klorofilin
-Mg - fitol
Feofitin
Feoforbid
Gambar 3 Skema perubahan klorofil menjadi turunannya
Reaksi Feofitinisasi Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil terlepas dan diganti oleh ion H. Denaturasi protein pelindung dalam kloroplas mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan diganti ion hidrogen membentuk feofitin (Gross 1991).
12
Feofitin adalah turunan klorofil bebas magnesium. Feofitin-a dan b secara mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Reaksi terjadi 1 sampai 2 menit dan konsentrasi HCl yang digunakan 13%. Kecepatan pembentukan feofitin merupakan reaksi ordo pertama terhadap konsentrasi asam. Warna hijau dari sayuran dengan cepat berubah dari hijau terang menjadi hijau kecoklatan karena pemanasan dan penyimpanan. Diduga asam yang diproduksi dilepaskan dari jaringan tanaman selama pemanasan dan penyimpanan. Asam-asam yang terbentuk adalah asam asetat dan asam pirolidon karboksilat (Gross 1991). Menurut Gross (1991) klorofil-a lebih cepat berubah menjadi feofitin-a sebesar 5-10 kali dibandingkan dengan kecepatan perubahan klorofil-b menjadi feofitin-b. Dalam pelarut aseton pelepasan magnesium dari klorofil-a lebih cepat sembilan kali lipat dibandingkan dengan klorofil-b. Menurut Aronoff (1958) perbedaan kecepatan perubahan ini disebabkan oleh pengaruh induktif dari gugus formil (pada klorofil-b) yang mengakibatkan ikatan ion magnesium menjadi lebih kuat.
Reaksi Pembentukan Klorofilid Pada hampir semua tanaman hijau terdapat enzim klorofilase yang dapat menghidrolisis gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk klorofilid. Klorofilid merupakan senyawa yang berwarna hijau, mempunyai sifat spektral yang sama dengan klorofil, tetapi lebih larut dalam air. Klorofilid juga dapat kehilangan ion magnesium yang diganti dengan ion hidrogen membentuk feoforbid (Gross 1991). Klorofil dapat dengan mudah dihidrolisis untuk menghasilkan klorofilid dan fitol. Hidrolisis terjadi di bawah kondisi asam maupun basa. Klorofilid secara in vivo dibentuk oleh aksi klorofilase, suatu enzim yang terdapat dalam jaringan tanaman hijau. Konversi sempurna klorofil menjadi turunan yang bebas fitol dapat diverifikasi dengan memeriksa ketidaklarutannya dalam petroleum eter (Gross 1991). Konsep ini yang kemudian digunakan untuk pengukuran aktivitas klorofilase.
13
Enzim klorofilase (klorofil-klorofilid hidrolase) adalah jenis enzim esterase yang memiliki sifat unik. Enzim ini mengkatalisis hidrolisis ikatan ester antara residu asam 7-propionat pada cincin IV makrosiklik dengan fitol, baik pada klorofil maupun feofitin. Enzim ini berada intramembran pada membran tilakoid. Pada suhu kamar enzim ini hanya aktif jika ada pelarut-pelarut organik. Sedangkan dalam pelarut air, fungsi enzim akan optimum pada kisaran suhu 65-75oC. Diduga hal ini diakibatkan oleh keadaan enzim yang secara fisik terikat kuat pada lipoprotein lamela (Gross 1991). Beberapa usaha untuk menstabilkan warna hijau dari jaringan tanaman antara lain dilakukan dengan cara mengubah klorofil menjadi klorofilid. Clydesdale dan Francis (1976) menggunakan digitonin 0.1% pada pure bayam untuk membebaskan klorofil dan klorofilase dari ikatannya dengan lipoprotein dalam kloroplas. Surfaktan atau deterjen non ionik ini mampu melindungi warna hijau seperti halnya penambahan MgCO3 0.35% untuk membuat suasana alkali. Klorofilase menghidrolisis hanya 40% klorofil dalam kompleks klorofilprotein bayam, namun dengan keberadaan deterjen semua klorofil dapat dihidrolisis (Gross 1991). Jika reaksi hidrolisis gugus fitol oleh enzim klorofilase terjadi dalam pelarut-pelarut tertentu seperti etanol atau metanol, maka akan terjadi penukaran gugus fitol oleh pelarut, misalnya membentuk etil klorofilid (Aronoff 1958). Feoforbid-a dan feoforbid-b adalah klorofilid yang kehilangan magnesium, sehingga tidak memiliki gugus fitol maupun Mg. Senyawa ini dapat dibuat dengan cara memperlakukan klorofil dengan asam pekat (HCl 30%) atau dengan memberi perlakuan asam pada klorofilid (Gross 1991).
Reaksi Oksidasi Cincin isosiklik dapat teroksidasi membentuk klorofil teralomerasi. Menurut Gross (1991), proses ini dinamakan alomerisasi karena produk oksidasi tersebut mempunyai absorpsi spektra yang identik dengan senyawa induknya. Klorofil dioksidasi secara spontan oleh oksigen atmosfer meskipun dalam kondisi gelap. Alomerisasi klorofil dapat diperoleh dengan melewatkan O2 selama 72 jam pada larutan klorofil dalam metanol. Senyawa ini juga dapat terbentuk selama perebusan dedaunan. Proses otooksidasi klorofil dapat dihambat dengan karotenoid. Oksidasi
14
lebih lanjut dapat menyebabkan pecahnya cincin tetrapirol sehingga membentuk produk yang tidak berwarna. Reaksi oksidasi dapat dibagi menjadi reaksi oksidasi non enzimatik dan oksidasi enzimatik. Reaksi oksidasi non enzimatik terjadi karena pemanasan dan selama penyimpanan. Menurut Eskin (1979) kecepatan degradasi oksidatif meningkat sejalan dengan lamanya pertambahan waktu blansir dan penyimpanan. Pengaruh blansir tampak dalam dua hal. Pertama, blansir menginaktivasi enzimenzim yang membantu degradasi klorofil, sehingga klorofil lebih stabil. Kedua, blansir dalam waktu yang lama, meskipun menginaktivasi enzim, tetapi merangsang reaksi oksidasi yang mengakibatkan kehilangan klorofil. Waktu blansir yang paling optimum adalah 45 detik sampai 1 menit, dimana aktivitas enzim dan perangsang reaksi oksidasi dihambat. Reaksi oksidasi enzimatik terjadi dengan adanya enzim lipoksigenase (linoleat oksidoreduktase) yang terdapat di sebagian besar sayuran dan buahbuahan. Enzim lipoksigenase diidentifikasi sebagai enzim yang memberikan pengaruh pemucatan pada klorofil-a dan klorofil-b dengan kehadiran lemak dan oksigen. Enzim ini mengkatalisis reaksi oksidasi klorofil jika diinkubasi dengan asam lemak linoleat atau linolenat (Eskin 1979). Tabel 2 dan Tabel 3 menampilkan nilai Rf dan panjang gelombang maksimum turunan-turunan klorofil, yang dapat digunakan untuk identifikasi.
15
Tabel 2 Standar nilai Rf dan posisi relatif turunan klorofil dan beberapa pigmen lain pada plat TLC selulosa Nilai Rf No. Komponen Warna Ia IIb 1.
β-karoten
orange, kuning
2.
Feofitin a
abu-abu
3.
Changed klorofil a-1 bebas Mg
abu-abu
4.
Lutein
kuning
5.
Feofitin b
kuning
6.
Changed klorofil a-2 bebas Mg
abu-abu
7.
Changed klorofil b-1 bebas Mg
kuning
8.
Klorofil a’
biru-hijau
9.
Violasantin
kuning
10.
Klorofil a
11.
Changed klorofil b-2 bebas Mg
12.
Changed klorofil a-1
13.
Klorofil b’
14.
Etil klorofilid a
15.
Klorofil b
16.
Changed klorofil a-2
biru-hijau
17.
Metil klorofilid a
biru-hijau
18.
Changed klorofil b-1
kuning-hijau
19.
Etil klorofilid b
kuning-hijau
20.
Neosantin
kuning
21.
Feoforbid a
abu-abu
22.
Changed klorofil b-2
kuning-hijau
23.
Metil klorofilid b
kuning-hijau
24.
Feoforbid b
kuning, coklat
0.08
25.
Klorofilid a
biru-hijau
0.03
26.
Klorofilid b
kuning
0.01
a
Bacon et al (1967) * Stahl (1969) * * yang diacu oleh Oktaviani (1987) b
biru-hijau
0.98 0.90
0.93
0.73
0.80
0.54
0.60
0.31
0.35
kuning biru-hijau kuning-hijau biru-hijau kuning-hijau
0.18
16
Tabel 3 Panjang gelombang maksimum pigmen klorofil dan turunannya dalam pelarut dietil eter λ maksimum (nm) No. Komponen Merah Biru 1.
Klorofil a
2.
Klorofil a’
3.
662c,661.5a,661c,660d
429.5a
654a, 652b
417a
Changed klorofil a-1
661a
428a
4.
Changed klorofil a-2
662a
429a
5.
Klorofilid a
660d
6.
Metil klorofilid a
7.
Etil klorofilid a
8.
Feofitin a
9.
Changed klorofil a-1 bebas Mg
10.
Changed klorofil a-2 bebas Mg
11.
Feoforbid a
12.
Klorofil b
644c, 643a, 642.5d
453a
13.
Klorofil b’
632a, 631b
442a,446b
14.
Changed klorofil b-1
642a
451a
15.
Changed klorofil b-2
642.5a
451a
16.
Klorofilid b
17.
Metil klorofilid b
18.
Etil klorofilid b
630a, 640.5c
440a
19.
Feofitin b
20.
Changed klorofil b-1 bebas Mg
21.
Changed klorofil b-2 bebas Mg
22.
Feoforbid b
655a, 660c
417a
667c, 666.5d
666.5d
655c, 653d
653d
a
Bacon et al (1967) * Strain (1954) * c Jones et al (1963) * d Zscheile et al (1941) * * yang diacu oleh Oktaviani (1987) b
Pencernaan dan Penyerapan Klorofil Sebelum publikasi yang dilakukan oleh Egner et al (2000), klorofil dianggap tidak diserap atau sangat sedikit diserap oleh tubuh karena belum ada penelitian yang berhasil menemukan struktur klorofil dan turunannya dalam darah. Namun
17
anggapan ini berubah setelah adanya laporan penelitian percobaan klinis Egner dan kawan-kawan mengenai pengaruh pemberian klorofilin terhadap penduduk dengan insiden kanker hati di daerah Qidong provinsi Jiangsu RRC. Di daerah ini terjadi insiden kanker hati yang tinggi dan pangan di daerah ini banyak yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 (AFB1). Mereka yang pertama kali menemukan adanya turunan klorofil dalam serum manusia yang berwarna hijau setelah pemberian Na-Cuklorofilin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 4 bulan. Struktur klorofil yang ditemukan dalam darah sama dengan yang terdapat dalam tablet yang diberikan. Dosis yang diberikan ini adalah dosis aman menurut United States Food and Drug Administration (US-FDA). Identifikasi dan karakterisasi terhadap serum yang berwarna hijau menemukan adanya CuCle4 (Cu-(II)-klorine4) yang berasal dari tablet yang diminum serta turunannya yaitu CuCle4 etil ester. Mereka menduga bahwa kedua komponen tersebut yang berperan sebagai antikarsinogen terhadap aflatoksin B1 dalam organ hati. Kedua komponen tersebut juga berperan menahan penyerapan karsinogen dalam saluran pencernaan. Diperkirakan dengan mengkonsumsi 3 tablet x 100 mg klorofilin memberikan asupan CuCle4 etil ester per hari sebesar 12 mg dan konsentrasi steady-state dalam plasma sekitar 2 μg/ml. Studi mengenai absorpsi dan metabolisme klorofil belum banyak dilakukan. Sifat klorofil yang mudah terdegradasi oleh asam, panas, cahaya dan oksigen, menjadi salah satu kendala dalam studi-studi absorpsi klorofil. Ferruzzi et al (2001) membuktikan bahwa klorofil dapat diserap oleh sel usus meskipun secara in vitro. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan pure bayam yang dicerna menggunakan enzim-enzim pencernaan dan sel Caco-2 (human intestine cell line) sebagai model sel usus manusia untuk melihat penyerapannya.
Hasilnya menunjukkan bahwa
klorofil alami terdegradasi selama pencernaan. Hanya dalam waktu ½ jam pada fase lambung (pH 2), lebih dari 95% klorofil-a dan klorofil-b berubah menjadi bentuk feofitinnya.
Turunan-turunan klorofil kemudian bergabung dengan misel lipid.
Setelah diinkubasi dengan sel Caco-2, ternyata sejumlah turunan-turunan klorofil yang bersifat lipofilik terakumulasi dalam sel, atau dengan kata lain dapat diserap sel usus sebesar 5-10% (Ferruzzi et al 2001). Merespon hasil penelitian Egner et al (2000, 2001), maka Ferruzzi et al (2002a) melanjutkan studi absorpsi klorofil menggunakan sodium copper
18
chlorophyllin (SCC) secara in vitro. SCC adalah campuran berwarna hijau terang yang berasal dari klorofil alami. SCC telah digunakan sebagai suplemen pangan dan pewarna pangan. SCC komersial dibuat dari ekstrak kasar klorofil menggunakan NaOH-metanol dan diikuti dengan penggantian atom Mg oleh logam Cu. SCC komersial yang digunakannya terdiri atas komponen utama Cu-(II)klorine4 (81%), Cu-(II)-klorine6 (10%), Cu-(II)-rhoding7 (3%) dan Cu-(II)-feoforbid (1%) (Gambar 4). Dalam penelitian tersebut masih menggunakan sel Caco-2 untuk melihat tingkat ketersediaaan SCC. SCC diinkubasi dalam kultur sel dengan konsentrasi 0,5-60 ppm (atas dasar pertimbangan konsumsi SCC: 1,0-100 mg SCC dalam 2 liter cairan usus dan lambung) pada 37°C selama 4 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45-60% SCC terserap dalam sel. Rasio Cu-(II)-klorine4 terhadap Cu-(II)-klorine6 yang terserap ke dalam sel sama dengan rasionya di dalam medium uji. Dengan kata lain penyerapan turunan-turunan klorofil berlangsung proporsional dengan konsentrasi di dalam media. Transpor porfirin ke dalam sel enterosit diduga dimediasi oleh suatu reseptor, yaitu transferin (Ferruzzi et al 2002a).
Gambar 4 Kromatogram HPLC yang memperlihatkan keberadaan Cu-klorin yang terdapat dalam kompleks Cu-klorofilin (Egner et al 2001) Dari studi tersebut diketahui pula bahwa Cu-(II)-klorine4 merupakan komponen utama dalam fraksi digesta. Cu-(II)-klorine6 memiliki kestabilan yang rendah selama pencernaan, namun dapat ditingkatkan kestabilannya apabila berada
19
dalam matriks saus apel. Hal ini diduga karena adanya antioksidan lain dan matriks apel yang melindungi keberadaannya (Ferruzzi et al 2002a). Efek Biologis Klorofil Rangkuman hasil-hasil penelitian hingga tahun 1980-an mengenai efek biologis turunan klorofil ditulis oleh Chernomorsky dan Segelman (1988) berikut ini. Awalnya, klorofil dan turunannya digunakan untuk pengobatan luka. Smith dan Sano pada tahun 1944 adalah orang pertama yang meneliti efek turunan klorofil terhadap pertumbuhan sel menggunakan kultur jaringan.
Penambahan 0,05 dan 0,5%
kompleks Cu-kloroflin (chlorophyllin copper complex/CCC) pada fibroblast hati embrio mencit meningkatkan kecepatan pertumbuhan kultur sebanyak 40%. Penggantian CCC dilakukan setiap 48 jam.
Terapi luka menggunakan klorofil
memperlihatkan jaringan granula yang bersih, epitelisasi yang cepat dan adanya kecepatan penyembuhan luka tanpa disertai inflamasi. Selain itu turunan klorofil juga meningkatkan jumlah saluran darah dan sirkulasi darah pada luka yang diberi klorofilin. Klorofilin merupakan senyawa penyembuh luka yang ideal karena selain dapat meregenerasi sel, juga bersifat antimikroba. CCC dan turunan klorofil yang lain bersifat bakteriostatik secara in vitro terutama terhadap bakteri gram positif (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman 1988) Pemberian senyawa turunan klorofil tunggal atau dengan komponen yang mengandung Fe menstimulir produksi hemoglobin dan eritrosit dalam hewan anemia. Hewan anemi yang diberi CCC (0.025 g/kg i.v atau 0.05 g/kg secara oral) atau dengan turunan-turunan klorofil yang lain memperlihatkan peningkatan jumlah eritrosit sebesar 70.5-83% dan menormalkan tingkat hemoglobin dalam 10-16 hari. Turunan klorofil yang larut lemak maupun yang larut air memperlihatkan efek antianemi. Tidak hanya eritrosit, regenerasi sel darah yang lain juga distimulir oleh senyawa tersebut. Pemberian secara oral turunan klorofil meningkatkan jumlah leukosit pada anak-anak leukopenia dengan berbagai macam penyebab (efek kuratif), dan juga melindungi dari leukopenia (efek preventif).
Dalam penanganan
trombositopenia, kombinasi terapi standar dengan pemberian klorofil memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian terapi standar saja (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman 1988).
20
Turunan klorofil juga melindungi kerusakan hati hewan coba yang diinduksi oleh karbon tetraklorida (CCl4). Pemberian CCC dengan dosis sebesar 100-300 mg/hari kepada berbagai hewan coba yaitu kelinci, anjing, kucing, hamster, marmot, tikus dan mencit selama 5-8 hari tidak ada yang memberi tanda-tanda keracunan. LD50 CCC untuk mencit yaitu 285 mg/kg i.v. atau 400 mg/kg i.p. atau 10 g/kg oral. Laporan lainnya menyebutkan LD50 CCC untuk mencit sebesar 7 g/kg oral dan 0.19 g/kg i.p. Sedangkan untuk tikus Sprague Dawley LD50 sebesar 50 g/kg, sehingga CCC tidak bersifat toksik akut maupun kronis (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman 1988). Laporan studi jangka pendek Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) untuk melihat toksisitas klorofil menyebutkan bahwa injeksi subkutan larutan Na-Cu klorofilin 0.05-5% melalui tulang belakang setiap hari selama 10 hari diikuti dengan penyinaran oleh cahaya matahari dan lampu UV menunjukkan adanya perubahan pada ginjal dan hati kelompok mencit yang diberi perlakuan penyinaran. Pemberian Na-Cu klorofilin secara oral sebesar 2000 mg/kg BB selama 18 minggu tidak memperlihatkan efek buruk pada tikus. Selain itu pemberian 0.5% Na-K-Cu klorofilin dalam air minum tikus selama 11 minggu tidak menyebabkan sakit maupun perubahan patologis. Pemberian secara oral Na-Cu klorofilin sebanyak 70 mg/kg BB selama 6 minggu pada ayam berumur 60 hari maupun pada unggas berumur 8 tahun dengan dosis 500 mg/kg BB selama 3 minggu tidak menyebabkan efek buruk, namun menghasilkan telur dengan bagian kuning telur yang berwarna hijau (Anonim 1969). Laporan yang sama mengenai toksisitas jangka panjang menyebutkan bahwa pemberian 0, 0.1, 1.0 dan 3.0% kompleks Na-K-Cu-klorofilin (mengandung 4-5% total Cu; 0.25% Cu ionik) dalam pakan tikus selama hidupnya menunjukkan tidak adanya perubahan histopatologis yang disebabkan kompleks tersebut dan tidak ada bukti mengenai toksisitas Cu dan deposit Cu di hati, ginjal dan limpa. Disebutkan lebih lanjut bahwa keberadaan Cu terikat kuat dalam kompleks, sehingga meskipun ada kenaikan kadar Cu plasma namun tidak signifikan terhadap kadarnya dalam jaringan. Jika diberikan secara oral kompleks Cu-klorofil tidak toksik, namun jika diberikan secara parenteral bersifat toksik. Dosis toksik akut untuk mencit melalui oral adalah > 10 g/kg BB. Evaluasi toksikologis menyebutkan bahwa pada kadar 3%
21
dalam pakan tikus atau setara dengan 1500 mg/kg BB/hari tidak menyebabkan efek toksik pada tikus. Untuk manusia, perkiraan dosis asupan harian yang diperbolehkan (acceptable daily intake/ADI) untuk kompleks Cu-klorofil maupun kompleks Na-KCu-klorofilin sebesar 0-15 mg/kg BB. Disebutkan pula bahwa klorofil diserap sebesar 3%, dan disekresi sebagai feofitin sebesar 43-77% (Anonim 1969). Pemberian secara oral tablet yang mengandung 100 mg CCC dengan dosis 100-200 mg per hari pada pasien colostomy cukup mengontrol bau (malodor) tanpa efek samping yang tidak diinginkan.
Turunan klorofil menginduksi perubahan-
perubahan metabolisme mikroba penyebab bau, seperti P. vulgaris, sehingga lebih sedikit H2S, amonia dan komponen metil-indol yang terbentuk. Mekanisme yang dikemukakan adalah adanya afinitas substansi turunan-turunan klorofil membentuk kompleks dengan protein, yang kemudian berakibat pada perubahan aktivitas biologis (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman 1988). Aplikasi medis yang lain yaitu turunan klorofil digunakan untuk menangani pasien pankreatitis yang diakibatkan karena perubahan patologis yang diinduksi oleh enzim-enzim tertentu.
Hal ini mengindikasikan bahwa turunan klorofil dapat
berpengaruh pada beberapa reaksi enzimatik. Terapi fotodinamik (PDT) untuk menangani kanker menunjukkan bahwa turunan klorofil lebih aktif sebagai fotosensitaiser antitumor dibandingkan turunan hematoporfirin (HPD). Pemberian HPD maupun turunan klorofil secara parenteral yang diikuti dengan pemberian sinar dengan λ panjang pada area pertumbuhan tumor akan menghasilkan pembentukan singlet O2 dan berakibat destruksi tumor (diacu oleh Chernomorsky dan Segelman 1988). Setelah tahun 1990-an, kajian aktivitas biologis turunan klorofil lebih banyak diarahkan pada kemampuan antimutagenik, antikarsinogenik, antioksidan, dan hipokolesterolemik. aterosklerosis
maka
Dalam
kaitannya
diperlukan
dengan
informasi
aspek
lebih
menurunkan
banyak
mengenai
resiko daya
hipokolesterolemik dan kapasitas antioksidan klorofil. Kajian aktivitas biologis klorofil umumnya dilakukan dengan menggunakan klorofilin, yaitu turunan klorofil yang telah kehilangan gugus fitol dan metil sehingga memiliki kelarutan yang tinggi dalam air. Klorofilin komersial yang banyak digunakan dalam studi yaitu SCC yang sebagian besar berisi senyawa klorin
22
(Gambar 4). Dari Gambar 4 tersebut terlihat bahwa baik klorin maupun rhodin adalah bentuk turunan klorofil dengan struktur cincin isosiklik (cincin kelima) yang terbuka. Kemampuan hipokolesterolemik klorofil dan turunannya telah dilakukan secara in vivo, meskipun belum ada penjelasan mekanismenya. Vlad et al (1995) menyebutkan bahwa pemberian cuprofilin (kompleks Cu (II)-klorofilin) selama 90 hari secara nyata menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan lipida serum darah tikus yang sebelumnya terindikasi terkena aterosklerosis. Selain itu pada aorta tikus yang diberi cuprofilin juga menampakkan infiltrasi lipid yang berkurang secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil atau turunannya berpengaruh terhadap metabolisme kolesterol. Penelitian Alsuhendra et al (2003) menunjukkan bahwa konsumsi kompleks Zn-turunan klorofil dari daun singkong pada dosis 100,2 mg/hari/ekor bersama-sama dengan kolesterol 0,1% secara nyata menurunkan kadar total kolesterol dan LDL serum kelinci New Zealand White jantan setelah 4 minggu diintervensi. Namun penelitian ini belum menjelaskan apakah turunan klorofil tersebut berpengaruh pada tingkat penyerapan kolesterol, ataukah pada metabolisme kolesterol darah, ataukah keduanya. Pengujian kapasitas antioksidan klorofil belum dilakukan secara in vivo. Namun pengujian secara in vitro menunjukkan bahwa tingkat kematian sel yang diinduksi oleh radikal hidroksil menurun oleh adanya klorofilin.
Klorofilin
menangkap radikal hidroksil (hasil reaksi Fenton) sebelum radikal tersebut menyerang sel.
Selain itu klorofilin menurunkan peroksidasi lipid dalam sel
fibroblast paru-paru hamster (lung fibroblast V79 chinese hamster). Dosis klorofilin yang digunakan untuk diinkubasi dengan sel makrofag adalah 10, 20, 50 µM. Pada konsentrasi 10 µM, produksi nitrit oksida (NO) dapat dihambat 1/3-nya (Cho et al 2000). Studi in vitro dan ex vivo yang dilakukan oleh peneliti dari India yaitu Kamat, Boloor dan Devasagayam menunjukkan bahwa pemberian klorofilin pada konsentrasi rendah sebesar 10 μM (studi in vitro) atau dalam air minum sebesar 1% (studi ex vivo) dapat melindungi kerusakan membran mitokondria hati tikus yang diakibatkan oleh radiasi gama dan fotosensitisasi. Kemampuan antioksidannya ini ditunjukkan oleh adanya penurunan peroksidasi lipid, yaitu thiobarbituric reactive
23
substances (TBARS) dan hidroksinonenal (4-HNE), penurunan protein yang teroksidasi (enzim sitokrom-c oksidase, suksinat dehidrogenase dan protein karbonil), serta restorasi enzim superoksida dismutase (SOD) dan glutation (GSH). Bahkan pada konsentrasi ekuimolar, kapasitas antioksidan klorofilin lebih besar daripada asam askorbat, glutation, manitol dan tert-butanol. Disimpulkan bahwa klorofilin merupakan antioksidan potensial pada membran mitokondria yang dapat melindungi membran dari kerusakan oksidatif oleh berbagai spesies oksigen reaktif (ROS) (Boloor et al 2000, Kamat et al 2000). Skrining terhadap inhibitor-inhibitor potensial untuk kanker kolorektal menyebutkan bahwa klorofilin merupakan inhibitor yang menjanjikan, termasuk juga asam linoleat terkonjugasi, indol-3-karbinol, dan polifenol teh. Parameter yang digunakan adalah biomarker abberant crypt foci (ACF), yaitu perubahan morfologis paling dini yang dapat terdeteksi. Komponen-komponen bioaktif tersebut kemudian ditambahkan ke dalam daftar senyawa-senyawa natural dan sintetik yang efektif melawan kanker kolon (Higdon 2005). Turunan klorofil bersifat antimutagenik dan antikarsinogenik antara lain terhadap amin heterosiklik seperti 2-amino-1-metil-6-fenilimidazol [4,5-b] piridin (PhIP) dan 2-amino-3-metilimidazo[4,5-f]quinolin (IQ) (Guo et al 1995; Dashwood dan Guo 1992; Guo dan Dashwood 1994), dibenzo[a,I]piren (Harttig dan Bailey 1998), aflatoksin B1 (Egner et al 2001). Studi terhadap mekanisme antikarsinogen menyebutkan bahwa klorofilin berperan sebagai “interceptor molecule” yang membentuk kompleks molekul non kovalen terutama dengan karsinogen aromatik dan planar, seperti aflatoksin B1 (AFB1). Kompleks antara klorofilin dan AFB1 diyakini mencegah absorpsi AFB1, sehingga menurunkan ketersediaan karsinogen bagi sel target. Yun et al (1995) mengatakan bahwa mekanisme perlindungan klorofil di hati dikarenakan aktivitas antioksidannya serta penghambatan non spesifik terhadap sitokrom P450 dimana sistem enzim ini terlibat dalam bioaktifasi karsinogen. Lebih lanjut dikatakannya bahwa kaitannya sebagai antigenotoksik, adanya aksi penghambatan sitokrom P450 oleh klorofil lebih dominan dibandingkan dengan adanya pembentukan komplek molekul antara karsinogen dengan klorofilin.
24
Reddy et al (2005) membandingkan kemampuan penghambatan peroksidasi lipid, enzim siklooksigenase dan proliferasi sel tumor dari beberapa pewarna pangan alami, yaitu betanin, sianidin-3-0-glukosida, likopen, biksin, β-karoten dan klorofil, berturut-turut diekstrak dari Beta vulgaris, Prunus cerasus, Lycopersicum esculentum, Bixa orellana, Daucus carota, dan Spinacia oleracea. Hasilnya menyebutkan bahwa di antara pigmen yang larut lemak, klorofil memperlihatkan efek penghambatan yang terbesar yaitu antara 60-80%, terhadap pertumbuhan sel kanker yang diujikan (MCF-7 (payudara), HCT-116 (kolon), AGS (lambung), CNS (sistem syaraf pusat), dan NCI-H460 (paru-paru). Kombinasi antara klorofil dan likopen menunjukkan penghambatan yang kuat terhadap proliferasi semua sel kanker yang diujikan. Selain itu, efek penghambatan pigmen larut air terhadap enzim siklooksigenase (COX) lebih lemah dibandingkan pigmen larut lemak. Enzim-enzim siklooksigenase, COX-1 dan COX-2, mengkatalisis konversi asam arahidonat membentuk mediator inflamasi. Klorofil memiliki penghambatan yang baik bagi COX-1 dan COX-2 yaitu masing-masing sebesar 67% dan 90%. Pemberian klorofilin secara oral dalam jangka pendek dilaporkan meningkatkan level glutation-S-transferase pada hati mencit. Terhadap enzim fase II, klorofil, klorofilin dan tetrapirol merupakan kelas baru induser enzim fase-2, dalam hal ini adalah NAD(P)H:quinon reduktase 1 (NQO1). Analisis dilakukan terhadap nilai CD yaitu konsentrasi yang diperlukan untuk melipatgandakan aktivitas NQO1. Hasil menunjukkan bahwa klorofil-a, feofitin-a, klorofilin dan Cu-klorin-e4 memiliki nilai CD berturut-turut 250, 250, 10-30, dan 5,5 μM. Semakin rendah nilai CD berarti semakin potensial.
Feoforbid-a tidak aktif sebagai induser.
Sebagai
perbandingan, nilai CD untuk zeaxantin, beta karoten dan alfa karoten adalah 2.2, 7.2 dan 100 μM (Fahey et al 2005). Dalam artikel review mengenai metabolit-metabolit klorofil, Ma dan Dolphin (1999) menjelaskan bahwa dibandingkan dengan fitokimia pangan yang lain, yang memiliki reaktivitas kimiawi yang lebih rendah, klorofil sangat rentan terhadap kondisi pencernaan, terutama grup-grup di sekitar makrosiklik. Banyak metabolit dari diet klorofil-a yang mempunyai struktur baru dan unik yang sangat berbeda dengan produk turunan klorofil-a yang telah diketahui seperti feofitin-a, feoforbid-a, dan pirofeoforbid-a. Perbedaan itu antara lain adanya cincin tambahan eksosiklik
25
(cincin VI) dalam kerangka klorin. Beberapa klorin yang menampakkan aktivitas antioksidan yaitu 132,173 cyclopheophorbide-a enol yang diisolasi pertama kali dari bunga karang Darwinella oxeata tahun 1986, 132S-hydroxychlorophyllone a dari remis besar berleher pendek Ruditapes philippinarum di danau Hamana, Jepang. Dijelaskannya pula, aktivitas antioksidan klorin ini terlihat dari studi terhadap bilangan peroksida (POV) ekstrak berbagai spesies hewan laut yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Kadar POV yang rendah (kurang dari 10 meq/kg ekstrak) menimbulkan dugaan adanya sifat antioksidan yang kuat pada organisme tersebut. memperlihatkan
Skrining lebih lanjut pada ekstrak-ekstrak tersebut
keberadaan
antioksidan
klorin
yang
lain
hydroxychlorophyllonelactone-a, metil ester chlorophyllonic acid,
yaitu dan
151R132-
oxopyropheophorbide-a, pyropheophorbide-a, purpurin 18 dan metil ester purpurin 18 dalam bagian yang dapat dimakan (edible portion) dari Ruditapes sp. Klorinklorin tersebut yang diisolasi dengan ekstraksi oleh pelarut CH3Cl/MeOH, memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi pada dosis 3 µg dibandingkan dengan 20 µg αtokoferol dalam kondisi gelap. Artikel ini juga menyebutkan ditemukannya struktur kompleks antara steryl-klorin dimana adanya gugus kolesterol mensubstitusi posisi fitol yang berikatan dengan struktur klorin (Ma dan Dolphin 1999). Mekanisme Antioksidasi Klorofil Endo et al (1985) mengemukakan mengenai mekanisme antioksidatif klorofil dan turunannya. Mereka membandingkan aksi antioksidan antara klorofil a dan turunannya yaitu feofitin a, protoporfirin dan Mg-protoporfirin. Keempat senyawa memperlihatkan kapasitas antioksidatif terhadap metil linoleat dalam kondisi gelap dengan parameter bilangan peroksida (PV) dan bilangan karbonil (CV). Dalam hal menghambat pembentukan peroksida, klorofil dan Mg-protoporfirin memperlihatkan aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan feofitin dan protoporfirin. Namun pengujian menggunakan senyawa pirol, yaitu penyusun struktur porfirin, tidak menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang berarti. Hasil ini menunjukkan bahwa struktur porfirin penting untuk aksi antioksidatif klorofil dan juga keberadaan Mg meningkatkan aktivitas antioksidan klorofil. Penelusuran lebih lanjut mengenai pengaruh Mg menyimpulkan bahwa Mg akan memberi pengaruh terhadap aktivitas
26
antioksidan klorofil jika terdapat dalam bentuk terkelat dalam struktur klorofil, bukan dalam bentuk ionik (sebagai MgCl2). Endo et al (1985) selanjutnya melihat kemampuan klorofil dan feofitin dalam mendegradasi hidroperoksida, yaitu dengan cara menginkubasikannya dalam substrat metil linoleat hidroperoksida.
Hasilnya menunjukkan keduanya tidak memiliki
kemampuan mendegradasi hidroperoksida.
Pengujian terhadap kemampuan
menangkap radikal DPPH menunjukkan bahwa klorofil memiliki kemampuan menangkap radikal DPPH dan disimpulkan bahwa klorofil memiliki kemampuan menangkap (scavenge) radikal lipid yang dihasilkan selama proses otooksidasi minyak sehingga dapat memutus rantai oksidasi. Untuk melihat terjadinya reaksi antara klorofil dengan radikal lipid dilakukan dengan bantuan spektrum electron spin resonance (ESR).
Disimpulkan bahwa
struktur penting untuk aktivitas antioksidan klorofil ditemukan pada porfirin bukan pada pirol, fitol, logam maupun cincin isosiklik. Radikal π-kation dari komponen porfirin merupakan senyawa yang memegang peranan dalam mekanisme antioksidan klorofil.
Umumnya senyawa-senyawa antioksidan berperan sebagai donor atom
hidrogen kepada radikal bebas sehingga memutus rantai oksidasi, namun hal ini tidak mungkin terjadi pada struktur kimia porfirin (Endo et al 1985). Mekanisme antioksidan yang dikemukakan oleh Endo et al (1985) adalah: ROO• + CHL Æ ROO:(-)CHL•(+) ROO:(-)CHL•(+) + ROO• Æ produk inaktif Klorofil bereaksi dengan radikal peroksi ROO• yang dihasilkan pada tahap awal oksidasi minyak dan berubah menjadi radikal π-kation. Radikal π-kation dari klorofil ini berikatan dengan radikal peroksi bermuatan negatif dengan ikatan yang longgar (tidak kuat), dan membentuk suatu kompleks yang bersifat antara (intermediat). Kompleks ini kemudian bereaksi dengan radikal peroksi yang lain dan akhirnya membentuk produk yang inaktif. Kesimpulan yang mereka peroleh adalah: (1) efek antioksidatif klorofil adalah berasal dari struktur porfirinnya, (2) Mg dapat memperkuat aktivitas antioksidan klorofil hanya jika dalam bentuk terkelat, (3) klorofil mereduksi radikal bebas DPPH, (4) Radikal π-kation dihasilkan oleh klorofil jika klorofil dioksidasi dalam sistem metil linoleat.
27
Kumar et al (2001) melihat lebih jauh senyawa-senyawa ROS yang dapat diredam oleh klorofilin. Dengan menggunakan ESR spektroskopi, terlihat bahwa klorofilin mampu menghambat pembentukan adduct 5,5-dimetil-1-pirolin-N-oksida dengan radikal hidroksil (DMPO-*OH adduct) bahkan pada konsentrasi 1 mM dapat menghambat lebih dari 90%. Klorofilin juga mampu menghambat pembentukan radikal
2,2,6,6-tetrametil-piperidin
oksida
(TEMPO)
yang
pembentukannya
tergantung pada keberadaan 1O2. Selain itu, klorofilin mampu menghambat oksidasi merah fenol yang diinduksi oleh H2O2. Terlihat bahwa klorofilin mampu meredam berbagai ROS diantaranya radikal hidroksil (*OH), singlet oksigen (1O2) dan hidrogen peroksida (H2O2). Tabel 4 yang menampilkan konstanta reaksi antara klorofilin dengan berbagai ROS menunjukkan bahwa klorofilin memiliki kemampuan sebagai radical scavenger. Tabel 4 Konstanta reaksi klorofilin dengan berbagai spesies oksigen reaktif (ROS) Jenis ROS Konstanta (M-1.s-1) Referensi *OH ROO* 1
O2
H2O2
6.1 ± 0.4 X 109
Kumar et al 2001
7
Kumar et al 2001
5.0 ± 1.3 X 10 8
Kamat et al 2000
6
Kumar et al 2001
1.3 X 10 2.7 X 10
Ferruzzi et al (2002b) menguji kapasitas menangkap radikal bebas berbagai turunan klorofil dalam sistem in vitro (Tabel 5), dan dinyatakan dalam satuan Trolox Equivalen Antioxidant Capacity (TEAC). Klorofil yang kehilangan logamnya pada pusat cincin porfirin akan menurun kapasitas antioksidannya. Hal ini karena logam yang terkelat akan mengakibatkan lebih terkonsentrasinya densitas elektron di pusat cincin dan menjauhi kerangka porfirinnya, sehingga meningkatkan kemampuan mendonorkan elektron dari sistem porfirin yang terkonjugasi. Klorofil yang kehilangan grup fitilnya menampakkan peningkatan antioksidasi. Dari kedua pernyataan diatas terlihat bahwa kerangka klorin atau porfirin dan keberadaan logam terkelat adalah 2 hal yang penting untuk kapasitas antioksidan.
28
Tabel 5 Kapasitas antioksidan dari 15 macam turunan klorofil dan SCC menggunakan radikal DPPH (1,1-diphenyl 2-pycryl hydrazyl) dan ABTS (2,2’azinobis-[3-ethylbenzothiazoline-6-sulphonicacid]) Senyawa klorofil dan Kapasitas Senyawa klorofil dan Kapasitas turunannya antioksidan turunannya antioksidan (TEAC) (TEAC) menggunakan menggunakan radikal DPPH radikal ABTS Pirofeofitin-a
0.02 ± 0.01 a
Feofitin-a
0.02 ± 0.02 a
Feofitin-a
0.04 ± 0.02 a
Feofitin-b
0.08 ± 0.06 a
Feofitin-b
0.05 ± 0.02 ab
Pirofeofitin-a
0.16 ± 0.04 ab
Klorofil-b
0.06 ± 0.03 b
Klorofil-b
0.23 ± 0.07 b
Zn-feofitin-b
0.13 ± 0.03 c
Zn-feofitin-b
0.29 ± 0.11 c
Klorofil-a
0.19 ± 0.02 d
Zn-feofitin-a
0.43 ± 0.07 d
Feoforbid-a
0.21 ± 0.02 d
Feoforbid-a
0.45 ± 0.04 d
Klorin e4
0.26 ± 0.01 d
Klorin e4
0.53 ± 0.02 e
Zn-pirofeofitin-a
0.44 ± 0.04 e
Cu-feofitin-a
0.58 ± 0.03 f
Zn-feofitin-a
0.51 ± 0.04 f
Klorin e6
0.64 ± 0.03 g
Klorin e6
0.60 ± 0.01 g
Zn-pirofeofitin-a
0.67 ± 0.05 gh
Cu-klorin e4
0.81 ± 0.02 h
Klorofil-a
0.73 ± 0.05 h
Cu-feoforbid-a
0.98 ± 0.09 i
SCC
1.25 ± 0.28 i
Cu-feofitin-a
0.99 ± 0.03 i
Cu-klorin e4
1.35 ± 0.14 i
SCC
1.04 ± 0.11 i
Cu-klorin e6
2.25 ± 0.13 j
Cu-klorin e6
2.88 ± 0.06 k
Cu-feoforbid-a
2.40 ± 0.13 j
Ket.
: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.01) Sumber: Ferruzzi et al (2002b)
Metabolisme Kolesterol Kolesterol di dalam tubuh manusia dapat berasal dari dua sumber yaitu dari makanan dan biosintesis de novo. Kolesterol yang bersumber dari makanan berasal dari bahan pangan hewani. Biosintesis de novo kolesterol terjadi hampir pada semua sel yang mengandung nukleus, tetapi yang terbesar terjadi pada hati, usus, korteks adrenal dan jaringan reproduktif. Muchtadi et al (1993) menyatakan bahwa jumlah laju sintesis kolesterol de novo berhubungan dengan jumlah kolesterol yang berasal dari makanan, jika jumlah kolesterol di dalam makanan meningkat maka sintesis kolesterol dalam hati dan usus akan menurun, sebaliknya jika jumlah kolesterol dari
29
makanan berkurang maka sintesis kolesterol di dalam hati dan usus akan meningkat. Kolesterol diperlukan oleh tubuh antara lain untuk: (a) sintesis asam/garam empedu yang diperlukan untuk proses pencernaan lemak atau minyak, (b) sintesis vitamin D dan hormon steroid, (c) sebagai komponen membran sel. Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 5 dan biosintesis kolesterol pada Gambar 6. Linder (1992) menyatakan bahwa orang dewasa rata-rata membutuhkan 1.1 gram kolesterol untuk kebutuhan tubuhnya. Dari jumlah itu, 2540% atau 200-300 mg secara normal berasal dari makanan dan selebihnya dari endogen (biosintesis) terutama oleh hati kemudian oleh usus kecil. Kadar kolesterol normal dalam plasma pada orang dewasa normal sebesar 3.1 sampai 5.7 mmol/l (120-220 mg/dl). Biasanya kadar kolesterol yang melebihi batas ini dianggap sebagai hiperkolesterolemia.
Gambar 5 Struktur kimia kolesterol (http://www.web.indstate.edu/theme/mwking/cholesterol.html)
30
Gambar 6 Biosintesis kolesterol (http://www.web.indstate.edu/theme/mwking/cholesterol.html)
Gambar 7 Sintesis asam empedu primer (asam kolat dan asam kenodeoksikolat) (http://www.web.indstate.edu/theme/mwking/cholesterol.html)
31
Sintesis asam empedu merupakan salah satu mekanisme ekskresi kolesterol tubuh. Asam empedu yang paling banyak terdapat dalam cairan empedu manusia adalah asam kenodeoksikolat (45%) dan asam kolat (31%).
Keduanya disebut
sebagai asam empedu primer. Pada Gambar 7 dapat dilihat sintesis asam empedu primer dari kolesterol terjadi di dalam hati. Di dalam usus, asam empedu primer dikonversi oleh bakteri menjadi asam empedu sekunder yaitu asam kolat menjadi asam deoksikolat dan asam kenodeoksikolat menjadi asam litokolat. Asam empedu primer maupun sekunder keduanya direabsorpsi oleh usus dan kembali ke hati melalui siklus enterohepatik (King 2006). Apabila reabsorpsi asam empedu dihambat, misalnya oleh serat makanan, maka jumlah asam empedu yang kembali ke hati menjadi lebih rendah. Hal ini berakibat pada peningkatan sintesis asam empedu untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Oleh karena asam empedu disintesis oleh kolesterol, maka peningkatan sintesis asam empedu mengakibatkan penurunan kadar kolesterol darah (King 2006). Kolesterol yang terkandung di dalam hati akan diangkut ke seluruh tubuh melalui jalur endogen. Lipoprotein yang berperan dalam pengangkutan tersebut terdiri atas lipoprotein berdensitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein berdensitas rendah (LDL), lipoprotein berdensitas tinggi (HDL).
Diantara ketiganya, LDL
dianggap sebagai lipoprotein yang paling aterogenik karena peningkatan kadar LDL akan meningkatkan resiko aterosklerosis yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Sebaliknya kadar HDL berkorelasi negatif dengan resiko terkena PJK. Oleh sebab itu distribusi kolesterol dalam lipoprotein perlu diketahui karena kadar total kolesterol (TK) yang tinggi belum tentu aterogenik bila diimbangi dengan peningkatan kadar HDL (Myant 1990). Hiperkolesterolemia merupakan suatu kondisi dimana kolesterol dalam darah meningkat melebihi ambang batas normal yang ditandai dengan meningkatnya kadar LDL dan total kolesterol. Menurut Grundy (1991), konsentrasi kolesterol yang diinginkan untuk menurunkan resiko terjadinya aterosklerosis pada manusia adalah TK < 200 mg/dL, LDL < 130 mg/dL, serta HDL 50-60 mg/dL. Kisaran kadar TK 200-239 mg/dL dan LDL 130-159 mg/dL adalah batas antara keadaan beresiko rendah dan tinggi untuk terbentuknya aterosklerosis. Rasio kadar LDL/HDL
32
merupakan indikator resiko aterosklerosis, yaitu beresiko tinggi terkena PJK jika ≥ 5 pada pria dan ≥ 4.4 pada wanita.
Fitokimia yang Bersifat Hipokolesterolemik Beberapa komponen fitokimia dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Kolesterol darah dapat diturunkan melalui efeknya terhadap sintesis kolesterol dan/atau efeknya terhadap eksresi kolesterol darah. Beberapa senyawa fitokimia dapat menghambat jumlah kolesterol diet yang terserap oleh usus. Hal ini berakibat pada peningkatan penggunaan kolesterol darah untuk kebutuhan tubuh, misalnya pembentukan hormon steroid. Selain itu beberapa fitokimia dapat mempengaruhi aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis kolesterol, seperti HMG co-A reduktase, sehingga kadar kolesterol darah tidak meningkat (King 2006). Berkenaan dengan eksresi kolesterol dalam darah, hal ini banyak berkaitan dengan metabolisme asam empedu. Seperti disebutkan di atas bahwa kolesterol merupakan komponen penyusun asam empedu, sehingga apabila asam empedu banyak yang terbuang atau tidak dapat direabsorpsi maka hati akan menggunakan kolesterol darah untuk kebutuhan sintesis asam empedu (King 2006).
Hal ini
berakibat pada penurunan kadar kolesterol darah . Cukup banyak fitokimia yang berperan menghambat reabsorpsi asam empedu sekaligus juga menghambat absorpsi kolesterol. Hal ini karena asam empedu berguna untuk emulsifikasi lipid sehingga jika terikat maka lipid, termasuk kolesterol, menjadi tidak tercerna oleh enzim pencernaan. Untuk membedakan mekanisme yang terjadi dapat dilakukan melalui uji pengikatan asam empedu secara in vitro, seperti yang dilakukan oleh Sayar et al (2005) terhadap serat pangan. Beberapa bahan kimia yang diindikasikan memiliki potensi hipokolesterolemik tersebut antara lain fitosterol, saponin, flavonoid, tanin, dan serat pangan yang larut air (SDF). Fitosterol merupakan sterol yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Menurut Ikeda dan Sugano (1998) mekanisme fitosterol dalam menurunkan kolesterol darah yaitu dengan menurunkan kelarutan kolesterol dalam fase minyak, dan menahan reabsorpsi asam empedu. Heinemann et al (1991) menyatakan bahwa sitostanol lebih efisien dalam mengurangi penyerapan kolesterol dari pada sitosterol. Selain itu Becker et al (1993) yang menunjukkan bahwa 1.5 g/hari sitostanol meningkatkan
33
ekskresi feses dan asam steroid lebih efisien (88%) dibandingkan dengan sitosterol sebanyak 6 g/hari (45%). Ester sitostanol pada level 2-3 g/hari dapat mengurangi LDL kolesterol sebesar 10-15% (Nguyen 1999). King (2002) saponin dalam ekstrak etanol kedelai jika dihilangkan akan menurunkan kemampuan ekstrak tersebut dalam menurunkan kolesterol. Menurut Greaves et al (2000) efek hipokolesterolemik dari kedelai adalah karena komponen protein kedelai bukan karena isoflavonnya. Pemberian protein kedelai menurunkan absorpsi kolesterol diet kelompok kera, namun kelompok yang diberi pakan ekstrak kedelai kaya isoflavon tidak memperlihatkan penurunan lipid. Potensi isoflavon dalam menurunkan kolesterol akan terlihat apabila bersama-sama dengan komponen protein kedelai. Protein dan saponin dari kedelai dapat menurunkan absorpsi kolesterol diet dan/atau reabsorpsi asam empedu, dan berakibat lebih lanjut pada penurunan kadar kolesterol hati. Pada kondisi seperti ini, isoflavon berperan dalam meningkatkan aktivitas reseptor LDL sehingga lebih banyak LDL darah yang ditangkap oleh sel dan digunakan untuk sintesis asam empedu. Adapun mekanisme penurunan kolesterol oleh serat pangan adalah : (i) pengikatan asam empedu di dalam usus halus yang menyebabkan meningkatnya eksresi asam empedu fekal, (ii) penurunan absorpsi lemak dan kolesterol, (iii) penurunan laju insulin serum sehingga menurunkan rangsangan sintesis kolesterol dan lipoprotein, (iv) penghambatan sintesis kolesterol oleh asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat larut di dalam kolon (Wlever et al 1997 yang diacu dalam Astawan et al 2005). Linder (1992) menyatakan bahwa peningkatan ekskresi asam empedu dalam feses dapat menyebabkan penurunan kadar kolesterol plasma sekitar 10-25%. Selain itu menurut Suido et al (2000), serat pangan dapat mengubah rasio antara asam empedu primer dan asam sekunder sekunder. Peran Lipoprotein dalam Aterogenesis Aterogenesis merupakan kelanjutan dari kondisi hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia antara lain dapat terjadi karena kekurangan reseptor LDL (Steinberg 1991). Reseptor LDL merupakan glikoprotein asam yang mengikat LDL, dan lipoprotein lain yang mengandung apo B-100 dan apo E seperti VLDL dan IDL melalui kekuatan elektrostatik (Aviram 1991). Jumlah reseptor LDL yang sedikit
34
mengakibatkan kolesterol LDL tidak dapat masuk ke dalam sel dan kadar LDL dalam darah menjadi tinggi, sehingga berpotensi aterosklerosis. Pengambilan kolesterol LDL oleh reseptor LDL secara normal tidak menyebabkan aterosklerosis meskipun dilakukan oleh reseptor LDL pada sel makrofag. Reseptor LDL merupakan regulator keseimbangan profil kolesterol dalam plasma. Ketika sel makrofag membutuhkan kolesterol untuk pembentukan membran sel, sel mensintesis reseptor LDL. Pengikatan LDL oleh reseptornya mengakibatkan endositosis sehingga LDL masuk ke dalam sel. LDL kemudian didegradasi dalam lisosom. Kolesterol ester (EC) dari LDL dihidrolisis menjadi kolesterol bebas (FC) dan dilepaskan ke sitoplasma untuk sintesis membran sel. Bila kolesterol yang dibutuhkan sudah cukup, kolesterol bebas menekan aktivitas enzim HMG co-A reduktase sehingga sintesis kolesterol menurun, dan tidak mengakibatkan akumulasi kolesterol ester pada makrofag (Aviram 1991). Proses pengambilan kolesterol seperti di atas akan berbeda apabila LDL teroksidasi, baik oleh ROS atau senyawa kimia seperti asetil. LDL teroksidasi dapat dikenali oleh receptor scavenger pada sel makrofag sehingga dapat masuk ke dalam sel. Berbeda dengan reseptor LDL, reseptor ini jumlahnya tetap konstan meskipun makrofag telah mengakumulasi sejumlah besar kolesterol, atau dengan kata lain tidak ada mekanisme regulasi. Akibatnya, akumulasi kolesterol dalam sel makrofag yang berlanjut akan membentuk sel busa (Aviram 1991). Oksidasi LDL dapat dilakukan dengan besi (Fe) atau tembaga (Cu). Oksidasi LDL yang diperantarai oleh Fe hanya jika Fe berada dalam bentuk ion fero (Fe2+). Berbeda dengan oksidasi yang diperantarai oleh Fe, oksidasi LDL yang diperantarai oleh Cu tidak membutuhkan O2*, H2O2 maupun HO* karena hanya dengan menginkubasi LDL menggunakan ion Cu2+ telah menyumbang terjadinya oksidasi lipoprotein (Lynch dan Frei, 1996). Selain Fe dan Cu, oksidasi LDL dapat diperantarai oleh fosfolipase A2 dan lipoksigenase. Dibandingkan oksidasi LDL menggunakan fosfolipase A2 dan lipoksigenase, oksidasi LDL dengan Cu lebih dominan (Duthie dan Brown 1994). Jialal dan Devaraj (1997) menyebutkan oksidasi LDL diawali dengan abstraksi H dari ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJ) dari LDL. Selanjutnya akan terjadi pengaturan molekular yang menyebabkan pembentukan
35
ikatan rangkap terkonjugasi yang merupakan dien terkonjugasi. Pada tahap awal terjadi laju oksidasi yang tergantung antioksidan endogen. Fase ini merupakan fase lag dari oksidasi. Karena itu panjangnya masa lag menunjukkan banyaknya antioksidan dalam sistem tersebut. Fase lag kemudian diikuti dengan fase propagasi yang terjadi setelah penurunan jumlah antioksidan endogen. Pada fase propagasi terjadi peningkatan abstraksi H dari ALTJ, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi diena terkonjugasi. Fase propagasi kemudian diikuti dengan fase dekomposisi. Pada fase terakhir ini terbentuk aldehid seperti malondialdehid (MDA), 4 hidroksinonenal (HNE), dan heksanal. Pencegahan pembentukan sel busa dapat dilakukan dengan meningkatkan status antioksidan tubuh. Proses aterosklerosis dapat ditekan, dihentikan, atau bahkan dibalikkan/ regresi oleh kolesterol HDL. Hal ini antara lain karena HDL berperan dalam aktivasi reverse cholesterol transport dan aktivitas antioksidan. Dalam hal aktivasi reverse cholesterol transport, HDL mempunyai efek: meningkatkan mobilisasi/ penarikan kolesterol dari sel, menekan pertumbuhan plak aterosklerosis yang baru, stabilisasi plak aterosklerosis, dan menurunkan kemungkinan ruptur dari plak. aktivitas antioksidan HDL adalah:
Adapun
menurunkan oksidasi LDL (jumlah ox-LDL
menurun), menekan ekspresi VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule) dan MCP1 (monocyte chemotactic protein), dan menjaga integritas endotel. Keuntungan aspek molekuler lainnya adalah antiagregasi platelet, antifibrinogenesis, antiinflamasi dan antiapoptosis (Hendromartono 2006).