SKRIPSI KAJIAN INDEKS GLIKEMIK DAN KAPASITAS IN VITRO PENGIKATAN KOLESTEROL DARI UMBI SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.) DAN UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.)
Oleh : Asih Ratna Utami F24103006
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI KAJIAN INDEKS GLIKEMIK DAN KAPASITAS IN VITRO PENGIKATAN KOLESTEROL DARI UMBI SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.) DAN UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.)
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Asih Ratna Utami F24103006
2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KAJIAN INDEKS GLIKEMIK DAN KAPASITAS IN VITRO PENGIKATAN KOLESTEROL DARI UMBI SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.) DAN UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : Asih Ratna Utami F24103006 Dilahirkan pada tanggal 30 April 1985 Di Kalirejo, Lampung Tengah Tanggal lulus :
Januari 2008
Menyetujui, Bogor,
Januari 2008
Didah Nur Faridah, S.TP, MSi Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
Asih Ratna Utami. F24103006. Kajian Indeks Glikemik dan Kapasitas In Vitro Pengikatan Kolesterol dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dan Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.). Di bawah bimbingan Didah Nur Faridah, S.TP, MSi. dan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, Msi. 2008. ABSTRAK Pangan fungsional adalah pangan atau ingredien pangan yang memiliki manfaat kesehatan disamping manfaat gizi utamanya. Diet penderita diabetes dapat dikontrol dengan pangan fungsional yang bermanfaat untuk menekan peningkatan kadar glukosa darah sekaligus mengontrol kadar kolesterol plasma darah yaitu makanan yang memiliki indeks glikemik (IG) rendah dan memiliki efek hipokolesterolemik. Beberapa komponen serat pangan larut air dalam diet memiliki sifat fungsional hipoglikemik dan hipokolesterolemik. Pati resisten yang merupakan fraksi pati tidak tercerna juga memiliki fungsi fisiologis yang sama dengan serat pangan. Sebagai bahan sumber karbohidrat, umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dan umbi garut (Maranta arundinaceae L.) perlu dikaji nilai IG-nya. Sebagai bahan pangan nabati kedua umbi tentunya mengandung serat pangan. Selain itu, umbi juga dapat mengandung pati resisten akibat pengolahan termasuk bentuk tepungnya. Dengan demikian kedua jenis umbi diharapkan memiliki potensi manfaat fungsional sebagai pangan alternatif dalam terapi diet penderita diabetes. Penelitian ini bertujuan menganalisis karakter fisik tepung umbi suweg dan garut, menentukan kandungan pati resisten dan kadar serat pangan tepung, mengukur nilai IG dari umbi kukus dan menganalisis kapasitas penghambatan absorbsi kolesterol dari tepung umbi secara in vitro. Hasil penelitian diharapkan dapat menyediakan informasi sifat fungsional umbi suweg dan umbi garut terkait dengan kandungan serat pangan dan pati resistennya, serta menambah nilai positif umbi suweg dan umbi garut. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu tahap analisis proksimat umbi segar, tahap pembuatan dan karakterisasi tepung umbi yang meliputi penentuan kadar total pati, amilosa dan amilopektin, penentuan kadar serat pangan dan pati resisten, daya cerna pati, analisis warna, pengukuran absorbsi air dan minyak, uji sifat amilografi, dan pengamatan granula pati secara mikroskopis, tahap pengukuran IG yang diawali dengan analisis proksimat, dan tahap penentuan kapasitas in vitro pengikatan kolesterol sebagai parameter efek hipokolesterolemik dari tepung umbi. Komposisi kimia umbi segar yaitu kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat masing-masing sebesar 72.14 %, 1.10 %, 3.25 %, 0.33 % dan 23.18 % pada umbi suweg, dan 72.66 %, 0.81 %, 1.59 %, 0.28 %, dan 24.67 % pada umbi garut. Hasil pengamatan karakter fisik tepung umbi meliputi warna, ukuran ratarata granula pati, daya serap tepung suweg terhadap air, daya serap terhadap minyak, suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, dan viskositas puncak gelatinisasi masing-masing adalah sebesar L = 54.4, a = + 4.62, b = + 3.34, °hue = 35.8 atau berwarna merah kekuningan kurang cerah, 49.75 %, 1.09 g/g, 2.14 g/g, 84ºC, 895 BU, dan 93ºC untuk tepung umbi suweg dengan kadar air 5.23 %, dan L = 62.83, a = + 3.79, b = + 1.70, °hue 24.1 atau berwarna merah kekuningan
sedikit lebih cerah, 73.85 %, 1.16 g/g, 1.71 g/g, 76.1ºC, 1020 BU, dan 82.5ºC untuk tepung garut dengan kadar air 7.00 %. Hasil pengamatan karakter kimia tepung umbi meliputi kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, kadar serat pangan, pati resisten, dan daya cerna pati masing-masing adalah 63.45 % bk, 15.92 % pati, 84.08 % pati, 84.53 % pati, 15.10 % bk, 2.23 % bk dan 81.68 % pada tepung umbi suweg, dan 74.17 % bk, 15.47 % pati, 9.78 % bk, 2.63 % bk, dan 98.30 % pada tepung umbi garut. Beberapa karakter tersebut menjadikan tepung garut lebih baik terutama nilai derajat putih yang tinggi, daya serap minyak yang rendah, suhu awal dan puncak gelatinisasi yang rendah, dan viskositas puncak yang lebih tinggi dari tepung suweg. Nilai IG umbi suweg sebesar 36 sedikit lebih tinggi dari umbi garut yang memiliki nilai IG sebesar 32. Pada takaran saji 100 g, beban glikemik umbi garut kukus (8) lebih rendah dari beban glikemik umbi suweg kukus (10), sehingga umbi garut dapat dijadikan pilihan diet yang lebih baik untuk mengontrol kadar glukosa darah. Berdasarkan penentuan kapasitas pengikatan kolesterol, sampel tepung suweg (29,33 %) dapat dikatakan lebih baik dari sampel tepung garut (6.60 %) karena nilai persentase kolesterol terikatnya setara dengan nilai persentase kolesterol terikat dari produk oat instan (25.28 %) sebagai acuannya. Akan tetapi, persentase sterol terdialisis secara in vitro pada tepung suweg (3.10 %) tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa sampel (3.68 %) sebagai kontrol, sedangkan persentase sterol terdialisis pada tepung garut (2.91 %), tidak berbeda nyata dengan perlakuan tepung suweg tetapi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa sampel. Persentase sterol terdialisis pada kedua jenis tepung berbeda nyata dengan oat instant (0.47 %) yang menjadi produk acuan. Dengan demikian pengaruh sampel tepung umbi terhadap absorbsi kolesterol masih perlu dikaji lebih lanjut.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kalirejo, Lampung Tengah pada tanggal 30 April 1985, sebagai putra ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Wahidin dan Ibu Siti Hasanah. Pendidikan penulis dimulai dari TK Aisyiyah Bustanul Athfal Kalirejo pada tahun 1990, lalu SD Muhammadiyah Kalirejo hingga tahun 1997, dilanjutkan dengan SLTP Negeri 1 Kalirejo hingga tahun 2000, dan SMU Negeri 2 Bandar Lampung hingga tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa penulis sempat bergabung dalam kepengurusan organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) tahun 2004-2005, dan mengikuti beberapa kepanitiaan pada acara Lepas Landas Sarjana Fateta 2005, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan XIII, dan Baur 2005. Sebagai tugas akhir, penulis mengerjakan penelitian yang berjudul “Kajian Indeks Glikemik dan Kapasitas In Vitro Pengikatan Kolesterol dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dan Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.)” yang mendapat dana dari Program Penelitian Hibah Bersaing LPPM IPB dibawah bimbimgan Ibu Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.
KATA PENGANTAR Alhamdulillaahi robbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis tujukan hanya kepadaAllah SWT. atas rahmat dan hidayahNya sehingga tugas akhir berjudul Kajian Indeks Glikemik dan Kapasitas In Vitro Pengikatan Kolesterol dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dan Umbi Garut (Maranta aryndinaceae L.) ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis sampaikan pula rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung terelesaikannya tugas akhir ini antara lain : 1. Bapak dan Mama’ tersayang atas limpahan kasih sayang, dukungan dan doa tak terputus tanpa kami minta. 2. Ibu Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si. atas kesabarannya dalam membimbing penulis. 3. Ibu Dr.Ir. Endang Prangdimurti, M.Si. atas bimbingannya selama penyelesaian tugas akhir ini. 4. Ibu Elvira Syamsir, S.TP, M.Si. atas kesediaannya memberikan saran dan masukan bagi penulis. 5. Mba Iyang, Mas Adib dan Nahar, atas dukungan dan motivasinya. 6. Yanu, Icha, dan Erfan, yang tak lelah memberi semangat serta memfasilitasi penulis menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Itut dan Dhidy, selalu ada yang unik dalam persahabatan ini. 8. Intan, Nooy, Laste, Angie, Monce, Gading, Mae, Fitri, Mima, Teh Euis, Mba Echi, Mba Leni, kebersamaan dengan kalian menjadi oase kala hati sedang kering. 9. Shinta dan Bima, pengurus tikus yang sering direpotkan, semangat! 10. Mba Feni, Tilo, Kanin, dan teman-teman penelitian di Lab ITP dan SEAFAST Centre, makasi atas keceriaan yang mengobati kekakuan selama ngelab, juga pinjaman alat dan tenaganya. 11. Teman-teman seangkatan, Golongan A TPG’40 khususnya Kelompok A1 yang beberapa semester akhir penulis jarang tergabung di dalamnya; kalian partner yang tiada duanya menjalani praktikum ‘seru’ di TePeGe ini.
12. Pak Wahid, Pak Rojak, Pak Koko, Pak Jun, Pak Iyas Bu Rub, Bu Sri, para laboran dan teknisi lainnya di Laboratorium Departemen ITP dan SEAFAST Centre, atas bantuan dan kesabarannya dalam memberikan pelayanan. 13. Pak Dunung, Pa Marga, Bu Desnur, para pustakawan dan staff tata usaha Departemen ITP. 14. Program Penelitian Hibah Bersaing LPPM IPB yang mendanai penelitian ini. Semoga karya ini dapat memberi manfaat di kemudian hari. Bogor, Januari 2008 Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR TABEL ........................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1 B. TUJUAN ................................................................................................. 2 C. MANFAAT ............................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 A. SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.) ........................................ 3 B. GARUT (Maranta arundinaceae L.) ...................................................... 4 C. KARBOHIDRAT .................................................................................... 6 1. Pati ..................................................................................................... 7 2. Serat Pangan ....................................................................................... 8 D. PATI RESISTEN .................................................................................... 10 E. INDEKS GLIKEMIK .............................................................................. 11 F. KOLESTEROL ........................................................................................ 13 G. DIABETES MELLITUS ......................................................................... 16 III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 20 A. BAHAN DAN ALAT .............................................................................. 20 B. METODE PENELITIAN ........................................................................ 21 C. METODE PENGAMATAN .................................................................... 23 1. Analisis untuk Umbi Segar dan Umbi Kukus .................................... 23 2. Analisis Sifat Fisik Tepung Umbi ...................................................... 24 3. Analisis Sifat Kimia Tepung Umbi .................................................... 26 4. Penentuan Indeks Glikemik Umbi Kukus .......................................... 30 5. Pengujian Kapasitas Pengikatan Kolesterol Tepung Umbi secara In Vitro ................................................................................................ 32 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 36
A. KOMPOSISI KIMIA UMBI ................................................................... 36 B. PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI TEPUNG UMBI ................. 38 1.Pembuatan Tepung dan Pati................................................................. 38 2. Karakter Fisik Tepung Suweg dan Tepung Garut .............................. 40 3. Karakter Kimia Tepung Suweg dan Tepung Garut ............................ 48 C. INDEKS GLIKEMIK .............................................................................. 55 1. Analisis Proksimat Umbi Kukus ......................................................... 55 2. Indeks Glikemik Umbi Kukus............................................................. 56 3. Beban Glikemk Umbi Kukus .............................................................. 59 D. KAPASITAS IN VITRO PENGIKATAN KOLESTEROL .................... 60 1. Proses Pencernaan in Vitro ................................................................ 60 2. Kapasitas Pengikatan Kolesterol secara in Vitro ................................ 61 2. Persentase Kolesterol Terdalisis ........................................................ 63 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 67 A. KESIMPULAN ....................................................................................... 67 B. SARAN ................................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69 LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Umbi suweg ................................................................................ 3 Gambar 2. Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas................................... 5 Gambar 3. Struktur kimia kolesterol ............................................................ 13 Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung suweg dan tepung garut .......... 22 Gambar 5. Prosedur pencernaan secara in vitro ........................................... 33 Gambar 6. Struktur mikroskopis granula pati tepug suweg dan tepung garut perbesaran 200 X ........................................................................ 44 Gambar 7. Histogram komposisi serat pangan tepung suweg, tepung garut, dan oat instant ............................................................................. 51 Gambar 8. Kurva perubahan kadar glukosa darah salah satu relawan setelah konsumsi suweg kukus ............................................................... 57 Gambar 9. Kurva perubahan kadar glukosa darah salah satu relawan setelah konsumsi garut kukus ................................................................. 57
DAFTAR TABEL Tabel 1. Pembagian tahap penelitian............................................................... 21 Tabel 2. Hasil analisis proksimat umbi segar ................................................. 36 Tabel 3. Karakter fisik tepung suweg dan tepung garut ................................. 40 Tabel 4. Kategori warna menurut kisaran nilai ºhue ....................................... 41 Tabel 5. Karakter kimia tepung suweg dan tepung garut ............................... 48 Tabel 6. Hasil analisis proksimat sampel umbi kukus .................................... 55 Tabel 7. Beban glikemik umbi kukus.............................................................. 59 Tabel 8. Kapasitas pengikatan kolesterol secara in vitro ............................... 61 Tabel 9. Hasil penentuan persentase sterol terdialisis..................................... 65
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data dan perhitungan penentuan total pati ............................... 75 Lampiran 2. Data dan perhitungan kadar amilosa ......................................... 76 Lampiran 3. Data dan perhitungan daya cerna pati........................................ 77 Lampiran 4. Amilogram tepung suweg dan tepung garut ............................. 78 Lampiran 5. Hasil pengukuran kadar glukosa darah relawan ....................... 79 Lampiran 6. Data pengukuran kadar sterol .................................................... 80 Lampiran 7. Analisis sidik ragam kadar kolesterol tak terikat pada supernatan fraksi awal ................................................................................... 81 Lampiran 8. Analisis sidik ragam kandungan kolesterol fraksi dialisat ........ 82 Lampiran 9. Analisis sidik ragam persentase sterol terdialisis ..................... 83
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Jadikan pangan sebagai obatmu dan jadikan obat sebagai panganmu. Filosofi yang dikemukakan oleh Hippocrates lebih dari 2500 tahun yang lalu tersebut menandakan bahwa penggunaan pangan yang memiliki manfaat kesehatan atau yang akhir-akhir ini disebut dengan pangan fungsional telah dikenal sejak lama. Institute of Medicine of The National Academy of Science (1994) di dalam Milner (1999) mendefinisikan pangan fungsional sebagai bahan pangan maupun ingredien pangan yang dapat memberikan manfaat kesehatan disamping manfaat kandungan gizi utamanya. Berbagai jenis pangan maupun ingredien pangan telah dinyatakan sebagai pangan fungsional berdasarkan kajian mengenai khasiatnya untuk kesehatan dan kebugaran termasuk beberapa jenis umbi-umbian. Contohnya adalah ubi jalar yang kaya akan oligosakarida yang bersifat prebiotik. Umbi garut dan umbi suweg yang memiliki nilai indeks glikemik (IG) rendah yaitu masing-masing 14 (Marsono et al., 2002) dan 42 (Faridah, 2005) juga diharapkan memiliki sifat fungsional untuk terapi diet penderita diabetes karena dapat menekan peningkatan kadar glukosa darah penderita. Indeks glikemik menyatakan seberapa besar pengaruh konsumsi suatu pangan terhadap kenaikan kadar glukosa darah, semakin besar nilai IG semakin besar respon kadar glukosa darah (Mendosa, 2002). Akibat abnormalitas metabolisme, penderita diabetes dapat mengalami komplikasi metabolik berupa hiperlipidemia. Oleh sebab itu terapi diet bagi penderita diabetes idealnya tidak hanya ditujukan untuk menekan peningkatan kadar glukosa darah tetapi juga menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida plasma darah (Levine, 1993). Diet yang kaya akan serat pangan telah diketahui
dapat
menurunkan
kadar
kolesterol
plasma
darah
(efek
hipokolesterolemik), mengurangi respon glikemik dan respon insulin, meningkatkan volume feses dan mempercepat pengeluarannya. Efek fisiologis tersebut dihubungkan dengan pengaruh konsumsi serat pangan dalam
mengurangi
resiko
timbulnya
pengakit
degeneratif
seperti
penyakit
kardiovaskular, diabetes dan kanker kolon (Schneeman, 1999). Dewasa ini berkembang konsep tentang pati resisten yang menurut beberapa studi menunjukkan fungsi fisiologis yang sama dengan serat pangan. Pati resisten merupakan fraksi pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim dalam usus halus baik akibat proses pengolahan maupun akibat struktur alaminya dalam bahan pangan (Sajilata et al., 2006). Menurut penelitian Faridah (2005), umbi suweg juga mengandung serat pangan dalam kadar yang cukup tinggi yaitu sebesar 13.71%. Disamping itu, sebagai bahan pangan sumber pati, terdapat kemungkinan adanya kandungan pati resisten dalam umbi suweg maupun umbi garut. Potensi umbi suweg dan umbi garut sebagai altenatif pangan fungsional dalam terapi diet bagi penderita diabetes masih perlu dikaji lebih lanjut, terutama mengenai daya hipokolesterolemik dan nilai IG-nya terkait kandungan serat pangan dan pati resisten yang dimilikinya. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakter fisik dan kimia tepung umbi, serta menentukan nilai IG dari umbi suweg dan umbi garut, dan menganalisis kapasitas pengikatan kolesterol dari tepung kedua jenis umbi secara in vitro. C. MANFAAT PENELITIAN 1. Menyediakan informasi yang mendukung potensi umbi suweg dan umbi garut sebagai alternatif bahan pangan fungsional berkaitan dengan nilai IG dan daya hipokolesterolemiknya. 2. Menambah nilai positif bagi umbi suweg dan umbi garut.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.) Taksonomi dari tanaman suweg yaitu divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Arales, famili Araceae, genus Amorphophallus, dan spesies Amorphophallus campanulatus Bl. Tanaman ini diduga berasal dari India, dan tersebar ke Asia Tenggara sampai kepulauan di Pasifik. Terdapat dua varietas utama yang dikenal yaitu varietas hortensis yang umumnya dibudidayakan sebagai tanaman sampingan, dan varietas sylvestris yang tumbuh liar. Keduanya dapat dibedakan dari permukaan tangkai daunnya dimana varietas sylvestris memiliki permukaan tangkai daun yang kasar sedangkan varietas hortensis memiliki permukaan tangkai daun yang halus. Suweg dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl di daerah tropis dan subtropis, dengan pertumbuhan vegetatif aktif pada kondisi udara yang hangat dan lembab, dan kondisi dorman terjadi pada musim kering (Sakai, 1993). Tanaman suweg berupa herba tahunan dengan sebuah daun yang tumbuh tegak dari pusat umbi. Tangkai daun panjang hingga setinggi 60-90 cm, berdaging, permukaannya berwarna hijau berbelang-belang putih, ujung tangkai daun terbelah-belah dengan bagian akhir lembaran daun membujur atau melanset yang tidak simetris.
Gambar 1. Umbi suweg.
Umbi suweg berbentuk setengah bola dengan diameter hingga 30 cm tergantung kondisi tanam, kulit umbi berwarna coklat tua, sedangkan dagingnya berwarna jingga kusam sampai merah dengan jaringan yang bertekstur kasar (Winarno dan Koswara, 2002). Suweg mengandung kalsium oksalat berbentuk raphide (jarum halus) di seluruh bagian tanaman, yang dapat menimbulkan rasa gatal. Varietas liar umumnya lebih menimbulkan gatal dibandingkan dengan varietas budidaya. Menurut Lazenby (1998) seperti dikutip oleh Kurdi (2002), timbulnya rasa gatal terutama disebabkan oleh raphide yang tidak terbungkus atau dikelilingi oleh semacam getah, sehingga dapat melakukan kontak secara langsung dengan lidah, bibir, dan langit-langit mulut ketika dikunyah. Kandungan kalsium oksalat tersebut dapat dikurangi dengan perlakuan perendaman dalam air beberapa lama, juga dengan pemanasan (pemasakan) yang intensif (Sakai, 1993). Sifat kimia kalsium oksalat yang dapat dilarutkan dengan asam kuat sehingga terdekomposisi menjadi asam oksalat (Schumm, 1978) menjadi dasar penelitian Kurdi (2002) yang hasilnya menyatakan bahwa perendaman irisan umbi talas dalam larutan asam klorida 0.25 % selama 4 menit lalu dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan kalsium karbonat 1 % selama 5 menit, dinilai efektif mereduksi kandungan kalsium oksalat pada produk keripik talas yang dihasilkan. Umbi suweg merupakan sumber karbohidrat yang baik dengan kandungan total karbohidrat 18-21 %, dan pada beberapa sampel mengandung sejumlah penting protein tercerna. Umbi juga mengandung beberapa zat seperti asam betulinat,
-sitosterol, stigmasterol, lupeol dan lainnya yang
kemungkinan berhubungan dengan penggunaan hancuran umbi suweg sebagai obat di beberapa tempat seperti Filipina dan India (Sakai, 1993). B. GARUT (Maranta arundinacea L.) Tanaman terna tegak ini termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, subkelas Zingiberidae, ordo Zingiberales, famili Marantaceae, genus Maranta dan spesies Maranta arundinacea L. (Anonim, 2007). Tinggi tanaman 60-80 cm,
dengan batang sejati terdapat dalam tanah, berbentuk silinder yang menebal diujungnya. Daunnya berbentuk bulat telur hingga lanset bulat telur berwarna hijau polos atau berbercak putih. Umbinya berwarna putih ditutupi oleh kulit berupa sisik berwarna coklat muda yang tersusun bersesuaian. Daerah asal tanaman garut adalah Amerika tropis, yang kemudian tersebar luas ke daerah tropis lainnya termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl, dan tumbuh baik pada ketinggian 60-90 m dpl, pada tempat-tempat dengan tanah lembab yang terlindung dari sinar matahari langsung (Sastrapradja et al., 1977).
Gambar 2. Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas. Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati garut mudah dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, lem, alkohol, juga tablet yang diinginkan bersifat mudah larut. Sedangkan secara tradisional, umbi garut dapat dikonsumsi langsung hanya dengan dikukus atau dipanggang. Umbi garut juga dijadikan sebagai obat luka (Kay, 1973). Garut atau arrowroot memiliki dua kultivar utama yaitu creole dan banana. Kultivar creole memiliki rizoma yang kecil memanjang, dengan susunan menyebar di sekitar batang dan terpenetrasi lebih dalam ke dalam tanah, sedangkan kultivar banana berumbi pendek tebal, sedikit berserat, dan rizomanya terbentuk lebih dekat ke permukaan tanah (Kay, 1973).
C. KARBOHIDRAT Karbohidrat merupakan salah satu makromolekul organik yang tersusun terutama oleh tiga unsur yaitu karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), dengan rumus umumnya (CH2O)n. Berdasarkan jumlah molekul gula sederhana pembentuknya, karbohidrat digolongkan menjadi monosakarida, disakarida, oligosakarida dan polisakarida (Rimbawan dan Siagian, 2004). Sebutan gula biasanya digunakan untuk golongan monosakarida dan disakarida. Monosakarida merupakan bentuk karbohidrat paling sederhana, hanya terdiri dari satu molekul gula sederhana. Penamaan monosakarida didasarkan pada jumlah atom C penyusunnya mulai dari triosa dengan 3 molekul atom C, tetrosa (4 atom C), pentosa (5 atom C), heksosa 6 atom C), dan seterusnya. Monosakarida digolongkan juga berdasarkan gugus fungsional yang dimiliki, monosakarida digolongkan menjadi aldosa dengan gugus fungsional berupa aldehid, dan ketosa dengan gugus fungsional berupa keton (Winarno,1997). Monosakarida yang penting dalam pangan sebagai nutrisi adalah glukosa yang merupakan bentuk gula yang disirkulasikan oleh darah, galaktosa, dan fruktosa dengan tingkat rasa manis tertinggi diantara jenis-jenis gula yang banyak terkandung dalam buah-buahan dan madu (Bender, 2003). Disakarida tersusun dari dua molekul gula sederhana yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik yang terbentuk dari kondensasi dua gugus
hidroksil
masing-masing
dari
setiap
molekul
monosakarida
pembentuknya. Ikatan glikosidik dapat pecah kembali dengan bantuan air sehingga termasuk reaksi hidrolisis. Contoh disakarida yang penting adalah sukrosa atau gula meja yang tersusun dari satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa, maltosa yang tersusun dari dua molekul glukosa, dan laktosa atau gula susu yang tersusun dari satu molekul glukosa dan satu molekul galaktosa. Polisakarida adalah golongan karbohidrat yang paling banyak ditemukan pada tanaman seperti pati, selulosa, dan hemiselulosa, juga pada jaringan tubuh hewan yaitu glikogen pada otot (Rimbawan dan Siagian, 2004).
1. Pati Pati yang merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan, adalah bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al., 1996). Pati merupakan homopolimer yang tersusun dari banyak glukosa dengan ikatan glikosidik. Pati tersusun dari dua jenis polimer glukosa, yaitu amilosa yang merupakan polimer berantai lurus dan amilopektin yang merupakan struktur dengan rantai bercabang. Polimer glukosa berantai lurus terbentuk dari ikatan -(1-4)-D-glukosa, sedangkan percabangan polimer terbentuk dari ikatan -(1-6)-D-glukosa (BeMiller dan Whistler, 1996). Pada amilopektin, sebanyak 4 – 5 % glukosanya menyusun percabangan, dengan jumlah glukosa antarcabang sekitar 20 – 25 unit (Sajilata et al., 2006). Kandungan amilosa berbagai jenis pati bervariasi rata-rata 20-30 % (Bender, 2003). Jenis pati dapat dibedakan secara mikroskopis karena memiliki bentuk, ukuran, letak hilum, dan juga sifat birefringent yang unik. Granula pati memiliki sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal gelap terang, sifat inilah yang disebut sifat birefringent. Granula pati yang telah menyerap air, apabila dipanaskan akan mengalami pembengkakan yang pada suhu tertentu bersifat irreversibel. Perubahan ini disebut dengan proses gelatinisasi dan suhu saat terjadinya disebut suhu gelatinisasi yang berbeda-beda pada tiap jenis pati. Pada saat tergelatinisasi, sifat birefringent pati akan hilang. Pati tergelatinisasi yang kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal kembali, peristiwa ini disebut dengan retrogradasi (BeMiller dan Whistler, 1996). Sebagaimana halnya dengan semua jenis karbohidrat, pencernaan pati dimulai dalam mulut oleh enzim
-amilase (ptialin) dalam saliva.
Karbohidrat rantai panjang termasuk pati yang tercerna dalam proses ini hanya sebagian. Setelah melewati lambung, karbohidrat dicerna lebih lanjut dalam duodenum oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh pankreas menjadi rantai yang lebih pendek. Pencernaan karbohidrat diakhiri oleh enzim-enzim disakaridase yang dihasilkan oleh sel-sel mukosa usus halus,
menjadi monosakarida yang dapat diserap ke dalam aliran darah (Bender, 2003). Berdasarkan sifat pati terhadap aktivitas enzim, Berry (1986) didalam Sajilata et al., 1996 membagi jenis pati dalam tiga golongan yaitu pati yang cepat terhidrolisis, pati yang terhidrolisis dengan lambat, dan pati resisten. 2. Serat Pangan Sejumlah polisakarida bukan pati yang umumnya berupa pembentuk tekstur dalam bahan pangan, khususnya pangan nabati, tidak dapat dicerna oleh tubuh (Winarno, 1997). Secara kolektif kelompok ini disebut polisakarida non pati (non starch polysaccharides atau NSP), yang merupakan komponen utama serat pangan (Bender, 2003). Serat pangan dikelompokkan berdasarkan kemampuannya larut dalam air menjadi serat pangan larut (soluble dietary fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber atau IDF). Beberapa contoh NSP antara lain selulosa, hemiselulosa dan inulin yang termasuk IDF, lalu pektin, gum dan musil tanaman yang termasuk SDF. Selulosa merupakan polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan -(1-4) yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim amilase. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang tersusun dari xilosa, galaktosa, glukosa dan monosakarida lainnya yang terikat bersama-sama. Pektin merupakan polimer yang tersusun dari asam galakturonat dan monosakarida lain, banyak ditemukan pada dinding sel tanaman, gum adalah polimer dari galaktosa, asam glukuronat, dan monosakarida lain, ditemukan dalam eksudat dari batang tanaman, sedangkan musil adalah polimer dari galaktosa, mannosa dan monosakarida lain yang ditemukan dalam rumput laut (Wardlaw, 1999). Komponen lain yang penting dari serat pangan yaitu lignin yang bukan termasuk karbohidrat tetapi merupakan polimer kompleks dari berbagai jenis alkohol aromatik (Bender, 2003). Serat pangan tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, tetapi sebagian komponen serat larut air dapat difermentasi oleh bakteri usus menghasilkan produk yang dapat diserap dan dimetabolis menjadi energi (Bender, 2003). Beberapa komponen serat dapat lolos dari
pencernaan dalam usus halus menuju kolon relatif tanpa perubahan. Dalam kolon komponen serat yang berbeda mengalami degradasi bakterial yang bertingkat. Pektin, gum dan musil nyaris sempurna difermentasi, selulosa dan hemiselulosa hanya sebagian terfermentasi, sedangkan lignin yang bukan karbohidrat utuh dikeluarkan. Produk hasil fermentasi tersebut berupa asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA) seperti asam asetat, propionat dan butirat, produk lainnya yaitu air, karbon dioksida, hidrogen dan metana. Asam lemak rantai pendek hasil fermentasi tersebut dapat diserap oleh sel mukosa kolon untuk dijadikan sebagai sumber energinya (Sardesai, 2003). Efek fisiologis dari serat pangan bagi tubuh terutama adalah dalam saluran pencernaan, dimana komponen yang berbeda memberikan efek yang berlainan pula. Dalam mulut, serat menstimulasi aliran saliva dan meningkatkan volume makanan. Saat melewati lambung serat larut air dan komponen kental serat menunda pengosongan isi lambung. Dalam usus halus, serat membentuk larutan yang kental sehingga menghambat digesti dan absorbsi karbohidrat dan lemak, serta cenderung memperlambat absorbsi glukosa dan memperkecil kadar kolesterol plasma darah. Berlawanan halnya dengan serat pangan tidak larut, di dalam kolon komponen serat larut segera didegradasi oleh bakteri sehingga tidak mempengaruhi bobot feses dan tidak menimbulkan efek laksatif (Sardesai, 2003). Serat pangan tidak larut dapat memperbesar volume feses dan mempercepat pengeliminasiannya sehingga mengurangi transit time dan mengurangi resiko pembentukan kanker colorectal. Respon fisiologis dari konsumsi serat pangan menjadi dasar para pakar menghubungkan diet kaya serat dengan penurunan resiko terhadap penyakit kronis noninfeksi pada saluran pencernaan seperti konstipasi, penyakit divertikular dan kanker kolon, gangguan sistem sirkulasi tubuh seperti atherosklerosis dan penyakit jantung koroner (PJK), serta gangguan metabolisme seperti obesitas dan diabetes (Sardesai, 2003). American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat pangan bagi orang dewasa sekitar 20-35 gram per hari. Sebuah studi menunjukkan bahwa
konsumsi serat pangan lebih dari 25 gram per hari dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung 36 %, dan konsumsi 29 gram serat per hari dapat menurunkan resiko serangan jantung sebesar 41 % (Wardlaw, 1999). ADA (2002) juga melaporkan bahwa serat pangan dalam bentuk terasosiasi bersama-sama substansi lain dalam matriks alami bahan pangan akan lebih efektif manfaat fisiologisnya dibandingkan dengan bentuk isolat murninya. D. PATI RESISTEN Pati resisten (resistant starch atau RS) didefinisikan sebagai fraksi pati atau produk degradasi pati yang tidak terabsorbsi dalam usus halus individu yang sehat (Asp, 1992 di dalam Champ, 1996), karena masih diperoleh setelah melewati degradasi enzim secara sempurna (Shin et al., 2004). Sebutan pati resisten awalnya dikemukakan oleh Englyst et al. (1982) untuk menjelaskan sejumlah kecil fraksi yang bersifat resisten terhadap perlakuan hidrolisis oleh enzim -amilase lengkap dan pullulanase secara in vitro (Sajilata et al., 2006). EURESTA (1994) mendefinisikan pati resisten sebagai bagian pati atau hasil degradasi pati yang dapat lolos dari pencernaan dan absorbsi dalam usus halus manusia dan dapat mencapai usus besar pada subjek yang sehat (Akerberg et al., 1997). Seperti halnya serat pangan, pati resisten juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon, menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA). Profil SCFA yang diperoleh dari RS lebih banyak
mengandung
butirat
dan
lebih
sedikit
mengandung
asetat
dibandingkan dengan serat pangan konvensional. Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dikategorikan sebagai bagian dari serat pangan. Pati resisten memiliki efek fisologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi resiko pembentukan batu empedu, memiliki efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak dan meningkatkan absorbsi mineral (Sajilata et al., 2006). Penggantian 5.4 % total karbohidrat dalam diet dengan pati resisten juga mengindikasikan
peningkatan oksidasi lipida setelah makan sehingga dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang (Higgins et al., 2004). Pati resisten dibagi menjadi empat golongan yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS4. RS1 merupakan pati yang resisten secara fisik karena enkapsulasi dalam matriks alaminya seperti dalam biji-bijian yang tidak digiling sempurna. RS2 merupakan pati dengan bentuk granular tertentu dan secara alami lebih resisten terhadap pencernaan enzim, seperti yang ditemukan pada pisang yang belum matang dan pada pati kentang mentah (Akerberg et al., 1997). RS3 merupakan fraksi pati yang paling resisten, terutama berupa amilosa teretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati tergelatinisasi. RS3 benar-benar resisten terhadap pencernaan oleh amilase pankreas. RS4 adalah pati resisten yang memiliki ikatan kimia baru selain -(1-4) dan -(1-6) akibat perlakuan kimia seperti dengan garam trimetafosfat yang membentuk jembatan ester fosfat di antara dua molekul pati (Sajilata et al., 2006). E. INDEKS GLIKEMIK Bahan pangan sumber karbohidrat akan dicerna menjadi glukosa untuk dapat diserap ke dalam aliran darah dengan kecepatan yang berbeda-beda, sehingga kemampuannya untuk meningkatkan kadar gula darah juga berbedabeda. Hal ini menjadi dasar bagi berkembangnya konsep baru penggolongan karbohidrat oleh Jenkins et al. (1981) berdasarkan indeks glikemiknya. Indeks glikemik (IG) adalah penggolongan makanan berdasarkan respon kadar gula darah setelah makan (postprandial) yang diperbandingkan dengan suatu pangan acuan (Foster-Powell dan Miller, 1995). Sedangkan menurut Rimbawan dan Siagian (2004) indeks glikemik adalah tingkatan pangan menurut pengaruhnya terhadap kadar glukosa darah. Nilai IG ditentukan dengan cara membandingkan luas area di bawah kurva respon glikemik pangan yang diuji dengan luas area dibawah kurva respon glikemik pangan acuan. Kurva respon glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran kadar glukosa darah subjek setelah makan dengan inteval 30 menit. Kurva akan menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa
cepat tubuh merespon dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan (Whitney et al., 1990). Sebagai pangan acuan digunakan glukosa murni atau roti tawar yang dianggap memiliki nilai IG 100. Berdasarkan nilai IG-nya, pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan yang ber-IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan lambat sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Rimbawan dan Siagian, 2004). Penderita penyakit diabetes dianjurkan memilih pangan yang ber-IG rendah, sebab pangan tersebut tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis (Rimbawan dan Siagian, 2004). Nilai IG pangan tidak hanya berguna bagi penderita gangguan metabolisme glukosa seperti penderita diabetes dalam memilih jenis makanan yang tepat untuk dapat mengontrol kadar glukosa darahnya, tetapi juga bagi populasi umum untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut (El, 1998). Nilai IG sejumlah pangan telah ditentukan dan disajikan dalam bentuk tabel umum. Akan tetapi terdapat kemungkinan perbedaan nilai IG untuk jenis pangan yang sama antara dua daerah yang berbeda akibat perbedaan faktor tumbuh bahan pangan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya IG pangan adalah proses pengolahan terutama ukuran partikel dan tingkat gelatinisasi, perbandingan amilosa-amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Nilai IG hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat menjadi gula darah, tetapi tidak memberikan informasi mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar gula darah. Oleh karena itu, dikembangkan pula konsep yang dapat mengoreksi kelemahan dari IG, yaitu dengan menentukan nilai beban glikemik (BG). Nilai BG diperoleh dengan
mengalikan nilai IG pangan
dengan kadar
karbohidratnya. Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap
mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). F. KOLESTEROL Secara kimia, kolesterol termasuk molekul nonpolar yang digolongkan sebagai salah satu penyusun makromolekul lipida. Meskipun demikian, struktur kimia kolesterol sangat berbeda dengan trigliserida. Kolesterol mengandung komponen alkohol steroid. Kolesterol dapat ditemukan pada semua sel hewan, sehingga bahan pangan hewani seperti daging, telur, ikan dan sebagainya umumnya merupakan sumber kolesterol dalam diet manusia. Telur terutama bagian kuningnya diketahui mengandung kolesterol dalam jumlah yang tinggi yaitu sekitar 252 mg dalam sebutir telur ukuran besar. Bahan pangan nabati praktis tidak mengandung kolesterol karena mengandung sterol jenis lain yang disebut fitosterol (Sardesai, 2003).
Gambar 3. Struktur kimia kolesterol (Sardesai, 2003). Setiap sel tubuh manusia mengandung kolesterol, terutama pada jaringan otak, sistem syaraf, jaringan ikat dan otot. Darah mengandung sekitar 8 % kolesterol tubuh. Peran penting kolesterol bagi tubuh diantaranya adalah sebagai komponen utama membran sel yang menentukan permeabilitasnya, sebagai pelindung sel syaraf dalam bentuk selaput myelin yang menentukan kinerja penghantaran stimulus, sebagai prekursor asam empedu yang berperan dalam pencernaan dan penyerapan lemak, sebagai prekursor pembentukan hormon steroid dan adrenal, merupakan komponen penting lipoprotein plasma
sebagai alat transportasi lemak dan komponen larut lemak lainnya, serta sebagai prekursor vitamin D (Sardesai, 2003). Kolesterol dapat disintesis oleh semua jenis sel mamalia, dengan laju yang berbeda-beda. Kolesterol total dalam tubuh manusia sebagian besar berasal dari hasil sintesis de novo dan sisanya diperoleh dari diet yang dikonsumsi. Ketika kolesterol dari diet berkurang, sintesis kolesterol oleh hati dan usus halus akan meningkat untuk dapat memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lainnya. Diperkirakan 50 % total kolesterol tubuh disintesis dalam hati untuk dapat digunakan oleh sel lainnya. Struktur rantai karbon kolesterol diturunkan dari asetil koenzim A dengan melibatkan lebih dari 25 jenis enzim (Sardesai, 2003). Kolesterol bersama-sama dengan ester kolesterol dan triasilgliserol (TAG) seperti juga vitamin-vitamin larut lemak diangkut dalam plasma darah dalam bentuk terkompleks dengan protein yang disebut dengan apoprotein membentuk lipoprotein plasma. Apoprotein pada lipoprotein diantaranya berfungsi untuk mengaktivasi enzim-enzim lipase dan kolesterolesterase di permukaan sel yang memungkinkan lipida yang diangkut lipoprotein dapat diserap ke dalam sel, sebagai mediator yang berikatan dengan reseptor permukaan sel hati untuk proses endositosis lipoprotein yang akan dirombak dalam hati, dan fungsi lainnya dalam siklus lipoprotein. Terdapat empat klasifikasi utama lipoprotein plasma menurut densitasnya yang menunjukkan komposisi relatif bagian lipida terhadap bagian protein dalam sirkulasi lipida tubuh, yaitu kilomikron, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), dan high density lipoprotein (HDL) (Bender, 2003). Kilomikron tersusun dari TAG hasil re-esterifikasi asam lemak-asam lemak yang baru diserap dari lumen usus halus dengan beberapa jenis apoprotein yang ditambahkan dari HDL selama terangkut dalam aliran darah menuju hati. VLDL disusun dalam hati berisi TAG, kolesterol, ester kolesterol, fosfolipid, dan lipida-lipida hasil perombakan kilomikron. VLDL mengangkut lipida-lipida tersebut untuk diserap oleh jaringan perifer yang memiliki lipoprotein lipase, fosfolipase dan kolesterol esterase pada permukaan sel-selnya. VLDL yang kehilangan lipida akan ditransfer
apoproteinnya kepada HDL, sehingga VLDL akan menjadi partikel peralihan yang disebut intermediate-density lipoprotein (IDL). IDL lalu mengikat ester kolesterol dari HDL sehingga menjadi LDL. LDL diserap kembali oleh hati untuk dirombak dengan mekanisme penyerapan yang dimediasi adanya reseptor. Kolesterol dapat menghambat sintesis reseptor LDL dalam hati. HDL dikeluarkan oleh hati sebagai lipoprotein yang miskin lipida, fungsinya untuk mengikat kelebihan kolesterol dari jaringan perifer untuk dirombak kembali dalam hati (Bender, 2003). Peningkatan
kadar
kolesterol
LDL
merupakan
faktor
utama
pembentukan atherosklerosis dan penyakit kardiovaskular lainnya. Sebab, LDL yang tidak diserap oleh hati akan diikat oleh sel makrofag, dengan kemampuan pengikatan lipida LDL yang hampir tak terbatas, membentuk selsel busa penyebab penyempitan pembuluh darah. Kadar LDL yang tinggi dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti : peningkatan sintesis dan sekresi VLDL sebagai konsekuensi asupan lemak yang tinggi sebab makin banyak lipida hasil perombakan kilomikron oleh hati, penurunan kemampuan hati menyerap LDL karena penurunan sintesis reseptor LDL terutama akibat kadar kolesterol yang tinggi dalam hati, afinitas yang rendah dari beberapa varian apoprotein dalam hal ini apoprotein E terhadap reseptor LDL secara genetis atau akibat modifikasi selama sirkulasi (Bender, 2003). Kadar kolesterol darah dihubungkan dengan resiko terhadap penyakit jantung koroner (PJK). Untuk meminimalkan resiko PJK, kadar kolesterol darah dianjurkan tidak lebih dari 200 mg/dl, kolesterol darah di atas 240 mg/dl dianggap tinggi (hiperkolesterolemia). Pengeluaran kolesterol dari tubuh terutama adalah dengan konversi kolesterol menjadi asam empedu, dibantu mekanisme lainnya yaitu dengan pembentukan hormon steroid, dan ekskresi dalam feses. Tubuh mengubah sekitar 0.5 gram kolesterol menjadi asam empedu, dan lebih kurang 85 % garam empedu akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi darah (Sardesai, 2003). Oleh karena itu, konsumsi serat pangan terutama SDF sangat dianjurkan karena SDF terbukti memiliki efek hipokolesterolemik.
Efek hipokolesterolemik SDF dijelaskan oleh Sardesai (2003) dalam tiga mekanisme yaitu : (1) serat larut meningkatkan viskositas isi usus halus sehingga dapat menghambat absorbsi lemak dan kolesterol dari diet, (2) komponen serat pangan (pektin, lignin dan sebagainya) dapat mengikat garam empedu sehingga menghambat reabsorbsi asam empedu, dan (3) asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil fermentasi serat dalam kolon akan menghambat sintesis kolesterol oleh hati. Garam empedu yang terikat oleh serat pangan akan dibuang bersama feses. Proses ini mengharuskan hati memproduksi kekurangan garam empedu dari kolesterol plasma sehingga kadar kolesterol darah akan turun. Terdapat beberapa faktor yang dapat menurunkan kolesterol darah yaitu penurunan kalori yang dikonsumsi, pengurangan konsumsi asam lemak jenuh dan tak jenuh, pengurangan konsumsi kolesterol, pengaruh penurunan kadar lipoprotein, pengaruh konsumsi serat pangan larut, serta akibat dari beberapa bahan kimia. Beberapa komponen pangan yang diindikasikan
dapat
menurunkan
kolesterol
darah
(memiliki
efek
hipokolesterolemik) diantarnya adalah fitosterol, niasin, vitamin C, vitamin E dan karoten (Sitepoe, 1993). G. DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus (DM) atau biasa disebut diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan suatu manifestasi umum yaitu hiperglikemia atau kadar glukosa darah yang terlalu tinggi diatas batas normal. Badan kesehatan dunia (WHO) membagi diabetes menjadi dua kelompok utama yaitu insulindependent diabetes mellitus (IDDM) dan non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM). Kemudian klasifikasi baru dari Expert Committee on the Diagnosis on Classification of Diabetes Mellitus (ECDCDM) membagi DM menjadi DM tipe 1 yang sama dengan IDDM, DM tipe 2 yang sama dengan (NIDDM) dan gestational diabetes (Rimbawan dan Siagian, 2004). Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel
pankreas penghasil
insulin akibat infeksi virus atau kasus autoimun yang biasanya bersifat genetis sehingga penderitanya mengalami defisiensi insulin absolut. Injeksi insulin dan kontrol yang ketat terhadap konsumsi karbohidrat sangat penting untuk
memelihara kadar glukosa darah penderita pada kisaran normal. IDDM umumnya berkembang pada masa kanak-kanak sehingga disebut sebagai juvenile-onset diabetes. Diabetes tipe 2 (NIDDM) merupakan kasus berupa penurunan sensitifitas reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel (resistensi terhadap insulin) dan gangguan sekresi insulin oleh sel
pankreas.
Resistensi reseptor insulin ini mengakibatkan glukosa darah yang diperoleh dari diet tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga kadar gula darah tetap tinggi. NIDDM terjadi secara gradual dan berkembang pada kisaran usia paruh baya sehingga disebut sebagai maturity-onset diabetes (Bender, 2003). DM tipe 2 ini yang paling lazim terjadi selain oleh faktor riwayat diabetes keluarga, juga karena usia lanjut, obesitas, pola hidup yang tidak sehat. Penderitanya tidak begitu tergantung kepada injeksi insulin karena kondisi hiperglikemia yang terjadi dapat dikontrol dengan pengaturan diet, akivitas fisik, atau dengan obat hipoglikemik (Sardesai, 2003). Gestational diabetes adalah diabetes yang dialami oleh wanita hamil yang umumnya kembali normal setelah melahirkan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Indikasi yang tampak pada penderita diabetes biasanya berupa poliuria atau urin berlebih, polidipsia atau rasa haus berlebih, polifagia atau rasa lapar berlebih, dan penurunan berat badan. Khusus pada kasus NIDDM, penurunan berat badan yang drastis umumnya terjadi setelah sebelumnya penderita mengalami obesitas. Indikasi secara klinis dapat berupa glikouria yaitu terdapatnya gula pada urin penderita, ketouria atau terdapatnya senyawa keton pada urin, serta hiperglikemia yaitu kadar glukosa darah yang tinggi di atas rentang normal. Kadar gula darah puasa normal berkisar antara 70-120 mg/dl (Cahlil, 1993). ADA (American Diabetic Association) menetapkan batas kadar glukosa darah untuk dapat dijadikan diagnosis kejadian diabetes mellitus yaitu > 200 mg/dl saat tidak puasa, dan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl (Wijayakusuma, 2006). Defisiensi maupun resistensi insulin yang terjadi pada penderita DM menyebabkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Gangguan metabolik protein dapat berupa penurunan sintesis dan peningkatan katabolismenya, peningkatan kadar nitrogen dan potasium dalam urin, dan
peningkatan glukoneogenesis. Gangguan metabolik glukosa berupa penurunan ketersediaan glukosa dalam otot dan sel lemak, penurunan glikogenesis, peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis, hiperglikemia, glukosuria, peningkatan volume urin, dan dehidrasi. Gangguan metabolik lemak berupa penurunan sintesisnya, peningkatan lipolisis dan lipida darah, ketonemia, ketonuria, kehilangan natrium urin, dan asidosis (Sardesai, 2003). Siklus metabolisme lipida terutama proses mobilisasi asam lemak distimulasi oleh kerja beberapa jenis hormon. Hormon insulin berperan penting sebagai counterregulator dalam proses tersebut dengan menekan kerja enzim lipase intrasel tertentu yang sensitif hormon pada jaringan adiposa dan mereduksi flux asam lemak dari jaringan tersebut. Ketidakseimbangan faktor hormonal tersebut dapat menyebabkan gangguan metabolisme lipida seperti yang terjadi pada kasus diabetes mellitus (Wilson dan Brown, 1978). Dalam jangka panjang, gangguan kontrol glikemik dan tingginya konsentrasi glukosa plasma darah dapat menyebabkan kerusakan pembuluh kapiler terutama pada retina mata yang berakibat resiko kebutaan, kerusakan ginjal dan syaraf periferal, dan perkembangan katarak pada lensa mata, serta menyebabkan abnormalitas metabolisme lipoprotein plasma yang dapat meningkatkan resiko atherosklerosis dan penyakit kardiovaskular lainnya. Dua mekanisme utama yang dapat menjelaskan efek tersebut adalah : (1) pada konsentrasi tinggi glukosa dapat direduksi menjadi sorbitol oleh aldosa reduktase, dimana sorbitol tersebut tidak dapat dimetabolisme oleh jaringan tertentu seperti lensa mata dan sel syaraf sehingga terakumulasi dan menyebabkan kerusakan osmotik, (2) glukosa dapat bereaksi secara nonenzimatis dengan gugus amino bebas dari protein menghasilkan glikosilasi protein yang apabila terjadi pada protein fungsional akan menyebabkan gangguan proses kerjanya. Glikosilasi protein kolagen seperti pada bagian dasar membran menyebabkan kerusakan pembuluh kapiler dan ginjal, glikosilasi apoprotein B menyebabkan gangguan fungsi apoprotein tersebut dalam sirkulasi lipoprotein plasma sehingga menyebabkan abnormalitas komposisi lipida plasma darah, sedangkan glikosilasi protein -kristalin pada
lensa mata menjelaskan tingginya prevalensi katarak dengan diabetes dan kontrol glikemik yang buruk (Bender, 2003). Abnormalitas lipida yang umum terjadi pada penderita DM tipe 2 berupa hipertrigliseridemia dengan kadar kolesterol HDL yang rendah. Begitu pula kurangnya kontrol pada penderita DM tipe 1 menyebabkan peningkatan kadar kolesterol LDL dan trigliserida. Kondisi tersebut meningkatkan resiko terhadap penyakit kardiovaskular (Sardesai, 2003).
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan yaitu umbi suweg yang diperoleh dari daerah Sumedang dan umbi garut yang diperoleh dari Balit Biogen Cimanggu Bogor. Bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatan tepung yaitu HCl, NaHCO3 dan Na2S2O5. Bahan yang digunakan dalam pengukuran IG yaitu glukosa murni kualitas teknis yang diperoleh dari supplier lokal. Bahan-bahan untuk analisis yaitu buffer fosfat pH 6 dan pH 7, termamyl ( amilase Sigma A-3403), NaOH, enzim protease (Sigma P-3910), enzim amiloglukosidase (Sigma A-9913), etanol, aseton, enzim pepsin (Sigma P-7000), enzim pankreatin (Sigma P-1750), ekstrak bile (Sigma B-8631), tepung kuning telur, kit kolesterol, produk oat instant yang beredar di pasaran, NaHCO3, akuades, air bebas ion, HCl, heksana, H2SO4, K2SO4, larutan NaOH-Na2S2O3, indikator metil merah-metil biru, boraks, asam asetat, KI, I2, pereaksi Anthrone, asam dimetilsalisilat (DNS), enzim
-amilase (Fluca), pati murni (E Merck),
maltosa murni (E Merck), H3BO3, dan Na2S2O5. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung yaitu slicer, disc mill, dan oven pengering. Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu tanur, neraca analitik, desikator, perangkat Soxhlet, perangkat Kjeldahl, Glukometer One Touch Ultra™, shaker waterbath, penangas air, hotplate, penyedot vakum, spektrofotometer Jenway, spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20D+, sentrifuse, vorteks, pH-meter, kantung dialisis Spectra/Por® 6000-8000 MWCO, Brabender Amylograph, chromameter Minolta CR-310, mikroskop polarisasi cahaya yang dilengkapi kamera Olympus C-35A, gelas ukur, erlenmeyer, pipet volumetrik, gelas piala, dan alat-alat gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN Tahapan penelitian Penelitian ini dikerjakan dalam empat tahap, yaitu analisis bahan baku penelitian, pembuatan dan karakterisasi tepung dan pati umbi, penentuan nilai indeks glikemik umbi kukus, dan penentuan lapasitas pengikatan kolesterol secara in vitro. Analisis yang dilakukan pada masing-masing tahap penelitian dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1. Pembagian tahap penelitian. No Tahap penelitian 1 Analisis proksimat bahan baku
2
Pembuatan dan karakterisasi tepung
3
Penentuan nilai IG umbi
4
Penentuan kapasitas pengikatan kolesterol (in vitro)
Analisis - Kadar air - Kadar protein - Kadar lemak - Kadar abu - Kadar karbohidrat - Warna tepung - Absorbsi air dan minyak - Sifat gelatinisasi - Struktur mikroskopis granula pati - Kadar total pati - Kadar serat pangan - Daya cerna pati - Kadar amilosa - Kadar pati resisten - Kadar proksimat bahan - Kadar glukosa darah relawan - Kadar kolesterol fraksi awal dan fraksi dialisat hasil pencernaan in vitro, serta ekstrak air tepung umbi
Bentuk sampel Umbi segar
Tepung umbi
Pati umbi Umbi kukus Tepung umbi
Pembuatan Tepung dan Pati Umbi Tepung umbi dibuat dengan metode kering seperti pada Gambar 4. Sebagai tambahan, dilakukan pula ekstraksi pati umbi yang diperlukan untuk
sampel pada penentuan kadar amilosa. Ekstraksi pati dilakukan dengan metode basah. Umbi dihancurkan menggunakan blender dengan perbandingan umbi:air sebesar 1:5 untuk memaksimalkan proses ekstraksi pati, lalu disaring. Pati diendapkan, dicuci, dikeringkan dengan kombinasi suhu dan waktu sama seperti pada pembuatan tepung. Pati kering dihaluskan dengan dengan blender. Umbi suweg
dikupas kulitnya dan dicuci bersih
Umbi garut
dikupas kulitnya dan dicuci bersih
diiris dengan slicer
diiris dengan slicer
Irisan umbi
Irisan umbi
direndam dalam larutan HCl 0.25% selama 4 menit
direndam dalam larutan Na2S2O5 1000 ppm selama 15 menit
ditiriskan direndam dengan larutan NaHCO3 1% selama 5 menit dicuci dengan air mengalir sampai bersih dikeringkan dengan oven 60ºC selama 5 jam
dicuci dengan air bersih ditiriskan dikeringkan dengan oven 60ºC selama 5 jam
Irisan kering umbi
Irisan kering umbi
digiling dengan disc mill dengan ayakan 60 mesh
digiling dengan disc mill dengan ayakan 60 mesh
Tepung suweg
Tepung garut
(a)
(b)
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung suweg (Mukhis, 2003 yang dimodifikasi) (a) dan tepung garut (Mariati, 2001 yang dimodifikasi) (b).
C. METODE PENGAMATAN 1. Analisis untuk Umbi Segar dan Umbi Kukus a. Kadar air (AOAC, 1995) Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sebanyak 4-5 g sampel ditimbang dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya, lalu dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC selama 6 jam. Cawan dengan isinya kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal sampel sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan. Kadar air (%) = (berat awal-berat akhir) x 100 % berat akhir b. Kadar abu (AOAC, 1995) Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel dimasukkan dalam cawan porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan diabukan dalam tanur bersuhu 550 oC sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu) dan beratnya konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu (%) =
berat abu x 100 % berat sampel
c. Kadar protein, metode semi mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995) Ditimbang sejumlah kecil sampel (0.2 g) dalam labu kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Cairan didinginkan, ditambah 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke dalam alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator merah metil. Ujung selang kondensor harus terendam larutan untuk menampung hasil destilasi
sekitar 15 ml. Distilat dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (tanpa sampel). Jumlah titran sampel (a) dan titran blanko (b) dinyatakan dalam ml HCl 0.02 N. Kadar N (%) = (a - b) x N HCl x 14,007 x 100 % mg sampel Kadar protein (%) = Kadar N (%) x 6,25 d. Kadar lemak, metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 5 jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu ditimbang. Kadar lemak (%) = berat lemak x 100 % berat sampel e. Kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat pada sampel dihitung secara by difference, yaitu dengan cara mengurangkan 100 % dengan nilai total dari kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak) 2. Analisis Sifat Fisik Tepung Umbi a. Warna, metode hunter (Hutching, 1999 dalam Djuanda, 2003) Pengukuran untuk warna tepung dilakukan dengan menggunakan alat chromameter Minolta CR-310. Warna tepung dibaca dengan detektor digital, lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Beberapa jenis kombinasi sistem warna dapat disajikan oleh alat ini. Dalam penelitian ini diukur nilai-nilai L, a, dan b dengan ditambah nilai hº (hue).
L menunjukkan kecerahan dengan kisaran 0 – 100, nilai a merupakan warna campuran merah-hijau dengan a positif (+) antara 0 – 100 untuk warna merah dan a negatif (-) antara 0 – (-80) untuk warna hijau, nilai b merupakan warna campuran kuning-biru dengan b positif (+) antara 0 – 70 untuk warna kuning dan b negatif antara 0 – (-80) untuk warna biru, sedangkan nilai hº (hue) menyatakan parameter kisaran warna. b.Pengamatan mikroskopis granula pati (Ridal, 2003 yang dimodifikasi) Tepung dibuat suspensi encer dengan melarutkan 1 sudip sampel dalam + 20 ml air. Diambil beberapa tetes suspensi ke atas sebuah gelas objek. Gelas penutup dipasang, lalu preparat diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya dan gambar yang teramati dipotret dengan kamera dan foto granula pati yang dihasilkan dicetak pada film. c. Daya serap air dan minyak (Beuchat, 1977 dalam Shimelis et al., 2006 yang dimodifikasi) Sebanyak 1 gram tepung (A) ditambahkan 10 ml air destilata atau minyak yang telah ditimbang (W1), lalu diaduk selama 30 detik. Campuran dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar, lalu disentrifuse selama 30 menit pada putaran 4000 rpm. Supernatan dipisahkan dan ditimbang bobotnya (W2). Nilai absorbansi tepung terhadap cairan dinyatakan sebagai gram cairan per gram tepung. Absorbsi air atau minyak = W1 - W2 A d. Pengukuran sifat amilografi (AOAC, 1984) Pengukuran
sifat
amilografi
tepung
dilakukan
dengan
menggunakan alat Brabender Amylograph. Sebanyak 45 g (bk) tepung dilarutkan dengan 450 ml akuades di dalam bowl alat. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20ºC. Switch diatur agar suhu naik 1.5oC/menit. Alat dinyalakan. Begitu suspensi mencapai suhu 30oC, pena pencatat diatur
agar menyentuh kertas skala amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95ºC, mesin dimatikan. Parameter yang diamati adalah: - Suhu awal gelatinisasi (suhu saat kurva mulai naik). - Suhu puncak gelatinisasi (suhu saat puncak kurva tercapai) - Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). 3. Analisis Sifat Kimia Tepung Umbi a. Total pati (Apriyantono et al., 1989 yang dimodifikasi) Hidrolisis pati dengan asam Sebanyak 0.5 g sampel tepung ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml. Ditambahkan air destilata sebanyak 25 ml dan 5 ml larutan HCl 25 %. Erlenmeyer ditutup, lalu dipanaskan di atas penangas air suhu 100ºC selama 2.5 jam untuk menghidrolisis pati. Setelah didinginkan, larutan hasil hidrolisis dinetralkan dengan larutan NaOH 25 % dan diencerkan sampai volume 100 ml dan dihomogenkan dan disaring untuk kemudian disebut sebagai larutan stok. Penentuan total gula pereduksi dengan metode Anthrone Disiapkan larutan pereaksi Anthrone 0.1 % dengan melarutkan 0.1 g bubuk Anthrone dalam 100 ml asam sulfat pekat. Larutan dibuat sesaat sebelum digunakan. Larutan stok sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan dengan 5 ml pereaksi Anthrone. Untuk kurva standar, sampel diganti dengan larutan glukosa murni 0.2 mg/ml sebanyak 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml yang masingmasing kemudian ditepatkan menjadi 1 ml dengan air destilata. Tabung ditutup dan diinkubasikan dalam penangas air pada suhu 100ºC selama 12 menit. Larutan segera didinginkan dengan air mengalir, lalu dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Kadar glukosa sampel ditentukan berdasarkan kurva standar glukosa yang diperoleh dari plot kadar glukosa dan absorbansi larutan glukosa murni.
Penentuan kadar pati sampel Nilai kadar gula pereduksi yang diperoleh dikalikan dengan faktor pengenceran. Kadar total pati dalam sampel diperoleh dengan mengalikan kadar total gula dengan faktor konversi 0.9. b. Kadar amilosa (Apriyantono et al., 1989) Pembuatan kurva standar amilosa Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera sebagai larutan stok standar. Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dan dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi. Analisis sampel Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dipipet 5 ml larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan kurva standar yang diperoleh.
c. Kadar serat pangan metode enzimatis (AOAC, 1995) Sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit. Sejumlah 1 gram sampel bebas lemak (w) dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml 0.1 M buffer natrium fosfat pH 6 dan dibuat suspensi. Lalu ditambahkan 0.1 ml termamyl, ditutup dengan alufo dan diinkubasi pada suhu 100ºC selama 15 menit, diangkat dan didinginkan, kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40ºC dan diagitasi selama 60 menit. Kemudian
ditambahkan 20 ml
akuades dan pH diatur menjadi 6.8, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40ºC selama 60 menit sambil diagitasi, dan terakhir pH diatur dengan HCl menjadi 4.5. Selanjutnya disaring dengan crucible kering porositas 2 yang telah ditimbang bobotnya yang mengandung celite kering (bobot diketahui), lalu dicuci dua kali dengan akuades. Residu (serat makanan tidak larut/IDF) Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105ºC sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan dalam tanur 500ºC selama minimal 5 jam, dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat (serat makanan larut/SDF) Volume filtrat diatur dengan akuades sampai dengan 100 ml, lalu ditambah dengan 400 ml etanol 95% hangat (60ºC), diendapkan 1 jam. Lalu disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 gram celite kering dan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105ºC hingga berat konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Selanjutnya diabukan dalam tanur 500ºC selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2).
Serat makanan total/TDF dan blanko Serat makanan total (TDF) ditentukan dengan menjumlahkan nilai SDF dan IDF. Nilai blanko untuk IDF dan SDF diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan sampel. Nilai IDF (% bb)
= ((D1 – I1 – B1)/w) x 100%
Nilai SDF(% bb)
= ((D2 – I2 – B2)/w) x 100%
Nilai TDF(% bb)
= Nilai IDF + SDF
d. Pati resisten (Kim, et al., 2003) Sebanyak 0.5 g sampel pati dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 M (pH 6.0) dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan aluminium foil. Kemudian ditambahkan 0.05 ml enzim termamyl, dan campuran diinkubasi dalam penangas air suhu 95ºC selama 15 menit, dengan diaduk lembut setiap 5 menit sekali. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diatur hingga 7.5 dengan 5 ml larutan NaOH 0.275 N dan ditambahkan 0.05 ml enzim protease (50 mg/ml protease dalam buffer fosfat), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang dengan suhu 60ºC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diturunkan menjadi 4.3 dengan menambahkan 5 ml larutan HCl 0.325 N, lalu ditambahkan 0.05 ml enzim amiloglukosidase, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60ºC selama 30 menit. Setelah inkubasi selesai, ditambahkan empat bagian etanol 95% dan campuran didiamkan selama satu malam pada suhu ruang. Endapan disaring dengan kertas saring Whatman 40. Residu yang tertinggal dicuci dengan 20 ml etanol 78% sebanyak tiga kali, lalu dengan 10 ml etanol murni sebanyak dua kali, dan dengan 10 ml aseton sebanyak dua kali. Residu tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 40ºC. Kadar pati resisten dihitung dengan cara membandingkan bobot residu dengan bobot sampel dikalikan 100. Nilai yang diperoleh dikonversi menjadi kadar pati resisten dalam umbi segar dan dalam tepung umbi, dengan menggunakan nilai rendemen pembuatan tepung dan kadar total pati tepung umbi. Kadar RS (%) = bobot residu x 100 % bobot sampel
e. Daya cerna pati (Muchtadi, 1992) Sebanyak 1 g sampel tepung atau pati murni dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90ºC sambil diaduk. Setelah suhu 90ºC tercapai, sampel segera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer fosfat pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 ml larutan enzim amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat pH 7) untuk sampel dan 5 ml buffer fosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit. Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml larutan DNS (asam dinitrosalisilat). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan ditambahkan 10 ml air destilata dan dibuat homogen dengan vortex, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar diperoleh dari perlakuan DNS terhadap 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan maltosa murni 0.5 mg/ml yang ditepatkan menjadi 1 ml dengan air destilata. Daya cerna pati = A - a B- b Dimana : A
x 100 %
= kadar maltosa sampel
a
= kadar maltosa blanko sampel
B
= kadar maltosa pati murni
b
= kadar maltosa blanko pati murni
3. Penentuan Indeks Glikemik Umbi Kukus (El, 1999 yang dimodifikasi) Umbi suweg disiapkan dengan diberi perlakuan terlebih dahulu untuk mngurangi kadar kalsium oksalat penyebab rasa gatal. Umbi yang telah dikupas diiris setebal 2-3 mm lalu direndam dengan larutan HCl 0.25 % selama 4 menit, ditiriskan, lalu direndam dalam larutan NaHCO3 1 %
selama 5 menit dan kemudian dibilas dengan air mengalir hingga bersih. Umbi garut dikupas kulitnya, dipotong sepanjang 7-8 ruas. Umbi kemudian dikukus hingga masak lebih kurang selama 45 menit. Sebelum dilakukan penentuan nilai indeks glikemik (IG), dilakukan analisis proksimat terhadap umbi kukus untuk menentukan jumlah sampel yang
harus
dikonsumsi oleh relawan.
Jumlah sampel
ditentukan
mengandung 50 g karbohidrat. Sebanyak 10 orang relawan dipilih yang memiliki kadar glukosa puasa normal (70 – 120 mg/dl). Relawan diminta melakukan puasa selama 10 jam pada malam hari kecuali air putih. Pagi harinya, sebanyak + 5 L darah relawan diambil melalui ujung jari (finger prick cappillary blood samples method) untuk diukur kadar glukosa darahnya dengan menggunakan alat glukometer One Touch Ultra™. Relawan kemudian diminta memakan umbi kukus yang telah disiapkan, dan kadar glukosa darahnya kembali diukur pada menit ke30, 60, 90, dan ke-120 setelah makan. Pengukuran respon kadar glukosa darah untuk pangan standar (50 g glukosa murni) dan sampel yang berbeda dilakukan pada hari yang berbeda dengan rentang waktu minimal tiga hari. Data yang diperoleh ditebar pada grafik dengan kadar glukosa darah (mg/dl) pada sumbu y dan waktu (menit) pada sumbu x, lalu dibuat kurva respon kadar glukosa darah untuk masing-masing relawan. Dari kurva yang terbentuk, dihitung luas area dibawah kurva dan ditentukan nilai IG masingmasing sampel dari setiap relawan, lalu dihitung rataannya. Selain nilai IG, ditentukan pula nilai beban glkemik (BG) untuk takaran saji umbi kukus sebanyak 100 g. IG =
luas area dibawah kurva respon glikemik sampel x 100 % luas area dibawah kurva respon glikemik standar glukosa
BG = IG x jumlah karbohidrat dalam 100 g sampel Jumlah karbohidrat (g) = kadar karbohidrat sampel (%) x 100 g
5. Pengujian
Kapasitas
Pengikatan
Kolesterol
secara
In
Vitro
(Prangdimurti, 2007) a. Persiapan bahan 1) Suspensi pepsin Sebanyak 1.6 g pepsin dilarutkan dalam 10 ml larutan HCl 0.1 N. Larutan dibuat ketika akan digunakan. 2) Campuran pankreatin-bile Sebanyak 0.4 g pankreatin dicampurkan dengan 2.5 g ekstrak empedu dilarutkan dalam 100 ml larutan NaHCO3 0.1 M. Larutan dibuat ketika akan digunakan. 3) Larutan tepung kuning telur Ditimbang 5 g tepung kuning telur kering, dilarutkan dengan air destilata dan ditera menjadi 100 ml. Dari hasil pengukuran diketahui kadar kolesterol larutan tersebut sebesar 415.83 mg/dl. 4) Kantung dialisis Kantung dialisis Spectra/Por® 6000-8000 MWCO dipotong sepanjang 12 cm lalu direndam dalam air destilata sampai akan digunakan (+ 30 menit). b. Prosedur analisis Ditimbang sejumlah sampel tepung, dalam hal ini sampel ditentukan mengandung 1 g serat pangan, ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Ditambahkan 10 ml larutan tepung kuning telur, campuran diaduk lalu diambil sejumlah cuplikan larutan sebagai fraksi awal. Larutan diinkubasikan mengikuti prosedur pencernaan in vitro seperti pada Gambar 5. Larutan diatur pHnya menjadi 2 dengan larutan HCl 4 N. Ke dalam larutan ditambahkan 1 ml suspensi pepsin, lalu diinkubasi dalam penangas bergoyang dengan suhu 37ºC. Setelah 1 jam inkubasi, ke dalam larutan dicelupkan kantung dialisis berisi 20 ml larutan NaHCO3 0.5 M. Inkubasi dilanjutkan sampai pH larutan naik menjadi 7 atau sekitar 30 menit. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan campuran pankreatin-bile, dan inkubasi dilanjutkan selama 2 jam. Setelah proses pencernaan selesai,
isi kantung dialisat diukur volumenya dan diambil sejumlah cuplikannya sebagai fraksi dialisat. Pengukuran kadar kolesterol cuplikan fraksi dilakukan menggunakan kit kolesterol. Prosedur yang sama dilakukan juga terhadap produk oat instant sebagai kontrol negatif, sedangkan kontrol positif hanya larutan tepung kuning telur tanpa sampel. Untuk menganalisis kemungkinan adanya kandungan fitosterol dalam sampel tepung umbi, dilakukan pengukuran kadar fitosterol dalam ekstrak tepung. Sampel tepung ditimbang dengan bobot sama dengan yang digunakan dalam perlakuan pencernaan in vitro, lalu dilarutkan dalam 100 ml air destilata. Larutan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 37ºC selama + 3.5 jam atau menyamai total waktu yang digunakan untuk pencernaan in vitro. Ekstrak tepung diambil dan diukur kadar sterolnya dengan kit kolesterol. Nilai yang terukur adalah kadar fitosterol karena tepung umbi termasuk bahan nabati yang tidak mengandung kolesterol. Larutan sampel Larutan tepung kuning telur
Fraksi awal
ditepatkan hingga pH 2 dengan HCl 4 N
Suspensi pepsin
diinkubasi bergoyang 37ºC, 1 jam Fraksi gastric diinkubasi bergoyang hingga pH 7 diinkubasi bergoyang 37ºC, 2 jam Fraksi dialisat
Kantung dialisis berisi NaHCO3 Campuran pankreatinekstrak bile
Fraksi digesta (di luar kantung)
Gambar 5. Prosedur pencernaan secara in vitro.
c. Pengukuran kadar kolesterol Kadar kolesterol sampel cuplikan fraksi pencernaan in vitro dilakukan dengan metode fotometrik enzimatis. Prinsipnya adalah penentuan kolesterol setelah dihidrolisis dan dioksidasi menjadi zat berwarna untuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu. Indikator warna yang terbentuk adalah quinoneimine yang terbentuk dari 4-aminoantipirin dan fenol oleh hidrogen peroksida di bawah aksi katalitik peroksidase. Reaksinya adalah sebagai berikut. Ester kolesterol + H2O
cholesterolesterase
cholesteroloxidase
Kolesterol + O2
2 H2O2 + 4 aminoantipirin + fenol
kolesterol + asam lemak kolesterol-3-one + H2O2
peroxidase
Quinoneimine + 4 H2O
Sampel atau standar (200 mg/dl) sebanyak 10
L dicampurkan
dengan 1000 L reagen, lalu diinkubasi pada suhu 37ºC selama 10 menit. Kemudian absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang 500 nm dengan kuvet 1 cm. Sebagai blanko dilakukan prosedur yang sama, hanya sampel digantikan dengan air destilata. Kadar kolesterol sampel dihitung dengan cara sebagai berikut: Kolesterol (mg/dl) = Absorbansi sampel x 200 mg/dl Absorbansi standar d. Penentuan kapasitas pengikatan kolesterol Larutan sampel yang telah diaduk dengan larutan tepung kuning telur dibiarkan mengendap, lalu diambil supernatannya (sebagai fraksi awal sebelum pencernaan) sebanyak 5 ml ke dalam botol kecil dan dibiarkan mengalami dekantasi selama + 4 jam. Supernatan yang dihasilkan
diukur
kadar
kolesterolnya.
Nilai
yang
diperoleh
menggambarkan kadar kolesterol dalam larutan yang tidak terikat oleh sampel. Perlakuan yang sama tanpa sampel digunakan untuk memperoleh kandungan kolesterol yang berasal dari larutan tepung kuning telur. Nilai kapasitas pengikatan kolesterol oleh sampel dihitung dengan cara sebagai berikut. % kolesterol terikat = (x – s) x 100 % x
dimana x = kolesterol yang berasal dari larutan tepung kuning telur (mg) s = kolesterol yang terukur dalam supernatan hasil dekantasi fraksi awal (mg) e. Penentuan persentase kolesterol terdialisis Data kadar kolesterol cuplikan fraksi yang terdialisis digunakan untuk menghitung % kolesterol terdialisis. % kolesterol terdialisis = kolesterol fraksi dialisat x 100 % total sterol dimana : •
untuk perlakuan kontrol tanpa sampel, total sterol = total kolesterol yang berasal dari tepung kuning telur.
•
untuk perlakuan sampel tepung umbi dan kontrol produk oat instant, total sterol = kolesterol yang berasal dari tepung kuning telur + kandungan fitosterol tepung umbi atau produk oat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI KIMIA UMBI Bahan baku umbi suweg yang digunakan dalam penelitian ini didatangkan dari daerah Sumedang. Menurut pemasok, umbi dipanen dengan umur beberapa bulan hingga sekitar dua tahun setelah tanam. Untuk dapat dipanen tanaman dipilih yang daunnya sudah tampak layu atau menguning. Umbi suweg yang diperoleh ukurannya bervariasi, umbi terkecil berdiameter + 10 cm sedangkan umbi terbesar berdiameter + 35 cm, dengan warna kulit umbi coklat tua dan warna daging umbi jingga kusam. Umbi garut yang digunakan, diperoleh dari Balai Penelitian Biologi dan Genetika, Cimanggu, Bogor. Menurut narasumber, tanaman yang dipanen sudah berumur 2 tahun setelah tanam, dan sudah menunjukkan tanda siap panen yaitu daun-daunnya mulai menguning. Berdasarkan ciri-ciri yang teramati, umbi garut tersebut memiliki diameter terbesar 2 – 2.5 cm dan panjang 10 – 25 cm, sehingga tampak berukuran kecil memanjang. Dalam satu tanaman, umbi-umbi yang dihasilkan tersusun menyebar disekitar batang utama, sehingga disimpulkan bahwa umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis creole. Warna sisik umbi putih kecoklatan dan warna daging umbi putih keruh. Tabel 2. Hasil analisis proksimat umbi segar. Komponen kimia Air (% bb) Abu (% bb) Protein (% bb) Lemak (% bb) Karbohidrat (% bb)
Umbi suweg Sampel Kay (1973) 72.14 74.9 – 78.7 1.10 1.2 – 1.6 3.25 1.2 – 5.1 0.33 0.4 – 2.1 23.18 18.1 – 18.4
Umbi garut Sampel Kay (1973) 72.66 69.1 – 72.0 0.81 1.3 – 1.4 1.59 1.0 – 2.2 0.28 0.1 24.67 24.3 – 28.5
Analisis proksimat yang terdiri dari kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat diperlukan sebagai data dasar suatu bahan pangan. Berdasarkan data proksimat beberapa karakter yang dianalisis selanjutnya dapat dijelaskan keterkaitannya. Hasil analisis bahan yang sama dapat memberikan hasil yang
berbeda-beda, terutama bahan segar yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tumbuh dan umur panennya. Perbedaan ini juga dapat dilihat pada hasil analisis umbi suweg dan umbi garut pada Tabel 1. Kandungan air dalam bahan makanan menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Berbagai reaksi biokimia yang menyebabkan kerusakan bahan dapat berlangsung dengan media air, sehingga makin tinggi kadar air suatu bahan makin besar resiko kerusakan bahan. Bahan makanan segar umumnya memiliki kadar air yang tinggi, salah satunya adalah umbi. Kadar air umbi suweg yang dianalisis adalah sebesar 72.4 % bb, lebih rendah dibandingkan dengan data yang dikemukakan Kay (1973) sebesar 74.9 – 78.7 % bb. Kadar air umbi garut yang dianalisis adalah sebesar 72.66 % bb, mendekati kisaran kadar air umbi garut yang dikemukakan oleh Kay (1973) sebesar 69.1 – 72.0 % bb. Untuk dapat disimpan dan dipergunakan dalam waktu yang lebih lama, umbi biasanya diawetkan dengan cara dikeringkan baik dalam bentuk tepung maupun irisan umbi dengan kadar air 14 % atau lebih rendah. Abu merupakan komponen anorganik yang tertinggal setelah semua karbon organik dibakar habis. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Kadar abu umbi suweg yang dianalisis yaitu 1.10 % bb, sedangkan umbi garut sebesar 0.81 % bb. Kandungan mineral bahan segar asal tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi mineral tanah tempat tumbuhnya. Sakai (1983) menyebutkan mineral yang terkandung dalam 100 gram bagian umbi suweg yang dapat dimakan diantaranya 50.0 mg kalsium, 0.6 mg besi, dan 20.0 mg fosfor. Umbi umumnya bukan merupakan sumber protein yang baik bagi diet karena kadar proteinnya yang kecil dalam bahan segar. Tetapi apabila umbi dikeringkan seperti dalam bentuk tepung, jumlah protein yang tetap per bobot keringnya tentu akan menyebabkan kadar protein tepung yang dihasilkan menjadi cukup tinggi. Kadar protein umbi suweg sebesar 3.25 % bb atau 11.67 % bk bila dijadikan tepung dengan kadar air 10 % akan menghasilkan tepung dengan kadar protein cukup tinggi sebesar 10.50 %. Kadar protein umbi garut diperoleh sebesar 1.59 % bb setara dengan 5.82 % bk. Bila umbi
garut tersebut dijadikan tepung dengan kadar air 10 % akan diperoleh tepung dengan kadar protein sebesar 4.26 %. Kadar lemak umbi-umbian biasanya sangat rendah, sehingga kadar lemak dalam tepung yang dihasilkannya pun akan rendah. Umbi suweg yang dianalisis mengandung 0.33 % lemak dalam basis basah, sedangkan umbi garut mengandung lemak yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 0.28 % bb. Sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, kandungan karbohidrat umbi penting diketahui. Penentuan kadar karbohidrat secara by difference menghasilkan perkiraan jumlah karbohidrat secara keseluruhan, baik karbohidrat sederhana maupun yang kompleks. Kadar karbohidrat umbi suweg dan umbi garut berturut-turut adalah sebesar 23.18 % bb dan 24.67 % bb, atau setara dengan 83.2 % bk dan 90.23 % bk. B. PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI TEPUNG DAN PATI UMBI 1. Pembuatan Tepung dan Pati a. Tepung suweg Pembuatan tepung suweg dilakukan dengan cara kering. Umbi dikupas dan dicuci dengan air, lalu dibuat menjadi irisan tipis (chips) dengan menggunakan slicer yang digerakkan dengan motor listrik. Chips basah kemudian diberi perlakuan perendaman untuk mereduksi kandungan kalsium oksalat yang menyebabkan umbi terasa gatal, menggunakan metode yang pernah dipakai oleh Kurdi (2002) yang dimodifikasi. Irisan umbi direndam dalam larutan asam klorida 0.25 % selama 4 menit untuk memberikan kesempatan asam kuat melarutkan garam kalsium oksalat pada jaringan umbi. Irisan umbi kemudian ditiriskan dan dipindahkan ke dalam larutan natrium bikarbonat 1 %, lalu direndam selama 5 menit untuk menetralkan residu asam yang tertinggal. Setelah perlakuan perendaman irisan umbi dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Irisan umbi lalu dikeringkan dengan menggunakan oven pengering pada suhu 60ºC hingga kering, yaitu saat chips dapat dengan mudah dipatahkan hanya dengan meremasnya. Pengeringan memakan waktu
sekitar 5 jam. Chips kering lalu digiling menggunakan discmill dengan saringan 60 mesh. Tepung diperoleh dengan rendemen sebesar 15.56 % dari total bobot umbi berkulit. Tepung tersebut lalu disimpan dalam wadah yang kedap udara untuk dianalisis. b. Tepung garut Pembuatan tepung garut juga dilakukan dengan cara kering. Umbi segar dikupas dan dicuci, lalu diiris dengan menggunakan slicer. Pengirisan bertujuan untuk memperbesar luas permukaan umbi yang dapat kontak dengan larutan perendam. Selain itu bentuk irisan juga akan membuat proses pengeringan dapat dilakukan dengan lebih cepat karena permukaan bahan yang kontak dengan udara panas lebih maksimal, dan air akan lebih mudah keluar dari dalam jaringan bahan. Irisan basah segera direndam dalam larutan sodium metabisulfit 1000 ppm selama 15 menit. Selesai perendaman, irisan umbi dibilas lalu ditebar di atas rak kawat dan dikeringkan dengan oven pengering suhu 60ºC selama + 5 jam. Irisan kering umbi yang diperoleh lalu digiling dengan discmill menggunakan saringan 60 mesh. Tidak semua bagian irisan kering umbi dapat lolos ayakan. Serat-serat kasar yang terdapat dalam umbi tidak dapat hancur sempurna oleh alat penggiling sehingga tidak lolos ayakan. Rendemen tepung yang diperoleh yaitu sebesar 20.57 % dari total bobot umbi berkulit. Tepung yang diperoleh disimpan dalam wadah kedap udara untuk dianalisis. c. Pati suweg dan pati garut Untuk analisis penentuan kadar amilosa dan kadar pati resisten diperlukan sampel pati umbi. Oleh karena itu dilakukan pula ekstraksi pati umbi. Ekstraksi dilakukan dengan cara basah. Umbi yang sudah dikupas dan dicuci bersih dihancurkan dengan blender. Perbandingan umbi dengan air yang digunakan sebesar 1 : 5 untuk memaksimalkan proses ekstraksi. Campuran hancuran umbi dan air disaring dengan menggunakan kain saring. Ampas sisa ekstraksi dibuang, dan filtrat hasil penyaringan
didiamkan selama + 12 jam agar pati mengendap. Supernatan lalu dibuang dan endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air bersih. Pati yang masih basah kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering suhu 60ºC selama + 5 jam untuk menyamakan proses pengeringan tepung umbi. Rendemen yang diperoleh adalah 4.58 gram pati suweg per 100 gram umbi segar berkulit dan 20.96 gram pati garut per 100 gram umbi segar berkulit. Pati kering kemudian dihaluskan dengan blender kering dan disimpan dalam wadah kedap udara untuk dianalisis. 2. Karakter Fisik Tepung Suweg dan Tepung Garut Beberapa karakter fisik tepung yang diamati adalah warna, daya serap tepung terhadap air dan minyak, sifat amilografi yang meliputi suhu awal gelatinisasi, viskositas puncak, dan suhu viskositas puncak, dan pengamatan struktur granula pati dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Karakter fisik tepung suweg dan tepung garut. Karakter kimia Warna : •L •a •b • hº (hue) Ukuran rata-rata granula pati (µm) Daya serap terhadap: - minyak (g/g sampel) - air (g/g sampel) Sifat amilografi: - suhu awal gelatinisasi (°C) - viskositas puncak (BU) - suhu viskositas puncak(°C)
Tepung Suweg Sampel Mukhis (2003)
Tepung Garut Sampel Mariati (2001)
54.44 + 4.62 + 3.34 35.8 13.44
38
62.83 + 3.79 + 1.70 24.1 26.37
15 - 20
1.09 2.14
2.98 4.13
1.16 1.71
0.77 – 0.80 0.93 – 1.22
84.0 895 93.0
81.0 93.0
76.1 1020 82.5
73.5 – 75.0 1130 – 1380 82.5 – 85.5
a. Warna Produk tepung-tepungan umumnya dikehendaki yang berwarna putih cerah, sebab warna tepung akan mempengaruhi warna produk akhir yang berbahan baku tepung tersebut. Penentuan warna sampel tepung umbi dilakukan dengan menggunakan chromameter Minolta CR-310. Warna tepung dinyatakan dengan notasi Hunter menggunakan parameter L, a, b, dan ºhue. Nilai L menunjukkan kecerahan (brightness) dan mempuyai kisaran nilai antara 0 (hitam) dan 100 (putih), sehingga semakin besar nilai L berarti sampel yang diukur semakin cerah. Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai positif antara 0 sampai 100 untuk warna merah, dan nilai negatif antara 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai positif antara 0 sampai 70 untuk warna kuning, dan nilai negatif antara 0 sampai -80 untuk warna biru. Kisaran nilai ºhue menyatakan warna produk sebenarnya seperti dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4. Kategori warna menurut kisaran nilai ºhue. Warna Kisaran nilai ºhue Merah – ungu 342 – 18 Merah 18 – 54 Kuning – merah 54 – 90 Kuning 90 – 126 Kuning – hijau 126 – 162 Hijau 162 – 198 Biru – hijau 198 – 234 Biru 234 – 270 Biru – ungu 270 – 306 Ungu 306 – 342 Sumber : Hutching (1999) di dalam Djuanda (2003) Tepung suweg memiliki nilai L, a, b, dan ºhue berturut-turut sebesar 54.44, +4.62, +3.34, dan 35.8. Dengan demikian tepung suweg berwarna merah kekuningan berdasarkan kombinasi nilai a dan b, atau merah berdasarkan nilai ºhue, dengan kecerahan yang rendah atau kurang cerah. Tepung garut memiliki nilai L, a, b, dan ºhue berturut-turut sebesar
62.3, +3.79, +1.70, dan 24.1, artinya tepung garut berwarna merah kekuningan berdasarkan kombinasi nilai a dan b, atau merah berdasarkan nilai ºhue, dengan intensitas warna yang lebih rendah atau kurang pekat dibandingkan tepung suweg, sedangkan nilai kecerahannya lebih besar atau lebih cerah dari tepung suweg. Secara umum dapat dilihat bahwa warna tepung garut lebih baik dibandingkan dengan tepung suweg. Perbedaan warna tepung dapat disebabkan oleh perbedaan bahan baku segar yang digunakan. Selain itu, proses pembuatan tepung yang digunakan juga dapat mempengaruhi kecerahan tepung yang dihasilkan. Daging umbi suweg berwarna kuning atau jingga. Warna ini kemungkinan dikontribusi oleh keberadaan pigmen yang dikandungnya. Sakai (1983) menyebutkan bahwa suweg yang dianalisis di Bangladesh mengandung pigmen karoten sebesar 0.9 mg dalam 100 g umbi segarnya. Selain kandungan pigmen, kandungan mineral dalam umbi yang tergantung pada kondisi mineral tanah tempat tumbuhnya juga dapat mempengaruhi warna umbi. Bahan baku yang berwarna selain putih menyebabkan tepung yang dihasilkan memiliki tingkat kecerahan yang rendah. Proses pengolahan tepung yang mengharuskan perlukaan terhadap jaringan umbi dapat membebaskan enzim polifenoloksidase dalam jaringan tanaman yang menyebabkan terjadinya pencoklatan enzimatis terhadap senyawa fenolik bila kontak dengan oksigen di udara. Reaksi pencoklatan ini akan terjadi dengan lebih intensif pada kondisi basa. Oleh karena itu, pada tahap perendaman dalam larutan HCl sebagai upaya mengurangi kadar kalsium oksalat penyebab rasa gatal pada umbi suweg, irisan umbi tampak berwarna cerah sedangkan pada tahap penetralan asam dalam larutan NaHCO3, irisan umbi suweg tampak menjadi lebih gelap, sehingga diperkirakan tahap ini menyebabkan warna akhir tepung suweg menjadi kurang cerah akibat reaksi pencoklatan yang terjadi karena sesudah proses tersebut irisan umbi langsung dikeringkan dalam oven.
Hasil penelitian Mariati (2001) menyebutkan bahwa beberapa jenis umbi garut lokal mengandung total fenol 11.30 – 37.10 ppm. Pada pembuatan tepung garut,
reaksi pencoklatan diantisipasi
dengan
perendaman dalam larutan sodium metabisulfit. Ion-ion oksida sulfur yang dibebaskan dalam larutan akan menghambat reaksi pencoklatan enzimatis berupa pembentukan pigmen warna coklat akibat oksidasi komponen fenolik yang dikatalis enzim (Lindsay, 1996). Keberadaan serat yang masih mengikat senyawa fenolik dalam tepung juga dapat menyebabkan warna tepung tidak dapat menjadi putih sempurna. Senyawa fenolik seperti asam ferulat, asam p-koumarat dan asam p-hidroksibenzoat diketahui terdapat dalam semua dinding sel tumbuhan yang merupakan penyusun serat pangan dalam diet. Sejumlah substansi lignin yang merupakan heteropolimer dari senyawa fenolik berupa coniferyl alcohol, sinapyl alcohol, dan p-hydroxycinnamyl alcohol terikat pada polisakarida dalam dinding sel (Smith, 1999), lignin juga merupakan bagian dari serat dalam bahan pangan nabati. b. Pengamatan mikroskopis granula pati Pengambilan gambar mikroskopis granula pati dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Dengan menggunakan mikroskop ini dapat dilihat sifat birefringent granula pati yang tampak sebagai pola gelap terang yang saling bersilangan. Pola gelap terang pada granula pati terbentuk oleh posisi relatif arah sumbu amilosa yang berbentuk heliks terhadap arah cahaya terpolarisasi. Apabila sumbu amilosa heliks sejajar dengan arah cahaya, maka cahaya akan diserap sehingga tampak sebagai daerah gelap, sedangkan bila posisinya tegak lurus dengan arah cahaya, maka cahaya akan direfleksikan dan tampak sebagai daerah terang (French, 1984). Sifat birefringent yang masih tampak pada granula pati menunjukkan bahwa pati tersebut belum mengalami gelatinisasi. Hasil pengambilan gambar mikroskopis granula pati tepung suweg dan pati tepung garut memperlihatkan sifat birefringent yang masih tampak jelas,
menandakan proses pengeringan pada suhu 60 ºC selama 5 jam dalam pembuatan tepung belum menyebabkan pati dari kedua jenis tepung umbi tergelatinisasi atau dengan kata lain pati kedua jenis tepung umbi tersebut masih dalam keadaan mentah. Dapat dilihat dalam Gambar 7, tepung suweg yang diamati mengandung komponen non pati di antara granula pati, yang tampak berupa serabut tidak beraturan berwarna gelap.
(a)
(b) Gambar 6. Struktur mikroskopis granula pati tepug suweg (a) dan tepung garut (b) perbesaran 200 X. Ukuran 1 skala = 10 µm. Berdasarkan gambar mikroskopis granula pati yang diperoleh, dapat diamati bentuk granula masing-masing jenis pati dan dapat pula ditentukan ukurannya. Bentuk granula pati suweg yang teramati adalah polihedral dengan ukuran 2 - 38 µm, dan ukuran rata-rata 13.44 µm, lebih
kecil dari ukuran rata-rata granula pati suweg yang dilaporkan oleh Mukhis (2003) sebesar 38 µm. Granula pati garut yang teramati berbentuk sigmoid atau elips dengan ukuran 10 – 55 µm,
dan ukuran rata-rata
sebesar 26.37 µm, lebih besar dibandingkan dengan ukuran rata-rata granula pati garut yang dilaporkan oleh Mariati sebesar 15 – 20 µm. Dalam Gambar 7 di atas, ukuran granula pati garut tampak lebih besar dari ukuran granula pati suweg sesuai hasil pengukuran. c. Daya serap terhadap air dan minyak Kemampuan tepung menyerap air perlu diketahui karena banyaknya air yang ditambahkan pada tepung akan berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik sistem pati. Banyaknya air yang diserap oleh tepung akan mempengaruhi pembentukan adonan tepung. Seperti dalam pembuatan mi contohnya, daya absorbsi tepung dapat berpengaruh terhadap proses sheeting, sifat adonan, penampakan dan sifat tekstural adonan (Park dan Baik, 2001). Proses gelatinisasi pati tepung juga dipengaruhi jumlah air yang tersedia. Daya serap air tepung suweg sampel sebesar 2.14 g/g lebih tinggi dibandingkan dengan tepung garut yaitu sebesar 1.71 g/g. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan serat pangan tepung suweg yang lebih besar dibandingkan dengan kadar serat pangan tepung garut. Kandungan serat dalam tepung dapat meningkatkan absorbsi air, sebab serat yang strukturnya kompleks dan banyak mengandung gugus OH dapat berikatan dengan lebih banyak air (Ristianti, 2003). Sajilata et al. (2006) mengatakan bahwa kapasitas pengikatan air dari serat pangan umumnya tinggi, lebih tinggi dari kapasitas pengikatan air dari pati resisten. Daya serap tepung terhadap minyak juga penting diketahui. Keberadaan lemak pada permukaan granula pati berpengaruh terhadap sifat termal dan rheologi pati. Molekul amilosa yang membentuk struktur heliks dapat memperangkap rantai asam lemak atau molekul lain yang bersesuaian dengan rongga heliks. Kompleks tersebut terbentuk tidak secara stoikiometri. Lemak yang terkompleks dengan amilosa dapat
menyebabkan pembengkakan granula pati terhambat selama proses gelatinisasi (Whistler dan Daniel, 1985). Daya serap tepung suweg terhadap minyak sebesar 1.09 g/g tidak begitu jauh bedanya dibandingkan dengan tepung garut sebesar 1.16 g/g. Hal ini mungkin disebabkan oleh kadar amilosa kedua sampel tepung yang juga tidak berbeda jauh. Penyerapan minyak yang tinggi oleh tepung tidak diinginkan dalam pembuatan beberapa jenis makanan. Contohnya adalah lapisan coating pada produk goreng. Shih dan Daigle (1999) menyatakan bahwa rasio amilosa-amilopektin yang tinggi dapat mengurangi penyerapan minyak oleh adonan tepung sebagai lapisan batter, sedangkan protein memiliki efek sebaliknya. d. Sifat amilografi Proses gelatinisasi diawali dengan penyerapan air oleh granula pati sampai kadar air sekitar 30 %. Penyerapan akan semakin intensif pada suhu 55 – 60ºC yang menyebabkan granula semakin membengkak hingga pada suatu titik pembengkakan yang terjadi bersifat irreversibel (tidak dapat kembali ke ukuran semula) (Winarno, 1997). Pembengkakan granula pati menyebabkan peningkatan viskositas larutan pati secara bertahap selama kenaikan suhu hingga tercapai sebuah puncak viskositas (Parker, 2003). Pengamatan fisik terhadap proses gelatinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Viscoamilograph. Alat ini akan mencatat kenaikan viskositas selama kenaikan suhu pada laju yang tetap, 1.5ºC per menit. Hasil pencatatan berupa kurva yang terbentuk pada kertas amilogram yang menyajikan hubungan antara viskositas dalam satuan BU pada sumbu y dan waktu proses dalam satuan menit pada sumbu x (Lampiran 4). Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat gelatinisasi mulai berlangsung. Pada kurva amilogram yang diperoleh, suhu awal gelatinisasi ditandai dengan mulai naiknya viskositas larutan tepung yang dapat dilihat pada titik dimana kurva mulai berbelok naik. Nilai suhu awal
gelatinisasi adalah suhu awal pengoperasian alat (30ºC) ditambahkan dengan jumlah waktu dikali laju kenaikan suhu. Suhu awal gelatinisasi larutan tepung yang diatur berkonsentrasi 10 % untuk tepung suweg adalah 84ºC lebih rendah dari suhu awal gelatinisasi tepung garut sebesar 76.1ºC. Hal ini dapat disebabkan oleh ukuran rata-rata granula pati garut sebesar 26.37 µm yang lebih besar dari ukuran rata-rata granula pati suweg sebesar 13.44 µm (Gambar 6). Suhu awal gelatinisasi yang berbeda-beda disebabkan oleh ukuran granula pati yang berbeda. Granula pati yang berukuran besar akan tergelatinisasi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan granula yang berukuran kecil (Parker, 2003). Proses gelatinisasi pati biasanya selesai pada suhu 80 – 90ºC. Setelah pembengkakan maksimal tercapai, granula pati akan pecah, sehingga pemanasan lebih lanjut akan menurunkan kembali viskositas larutan pati, dan kurva amilogram membentuk sebuah puncak viskositas (Parker, 2003). Viskositas puncak sistem pati perlu diketahui sebagai pertimbangan pemilihan jenis pati untuk dijadikan bahan suatu produk pangan. Suhu saat terjadi visositas puncak juga menjadi salah satu parameter penting sifat pati sebagai acuan suhu optimum untuk pemasakan bahan berpati untuk mencapai kekentalan yang diinginkan. Suhu puncak gelatinisasi diperoleh dari penjumlahan antara suhu awal pengoperasian alat (30ºC) dan hasil kali waktu dengan laju kenaikan suhu (1.5ºC per menit). Viskositas puncak larutan tepung suweg adalah 895 BU, lebih rendah dibandingkan dengan viskositas puncak tepung garut sebesar 1020 BU. Viskositas puncak larutan tepung suweg terjadi pada suhu 93ºC, lebih tinggi dari suhu viskositas puncak larutan tepung garut sebesar 82.5ºC. Tepung yang memiliki suhu awal gelatinisasi yang tinggi akan memiliki suhu puncak gelatinisasi yang tinggi pula. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa tepung garut dapat mencapai viskositas yang lebih tinggi pada suhu yang lebih rendah, sehingga mungkin akan lebih
baik jika digunakan sebagai bahan pengental produk pangan yang diproses pada suhu relatif rendah dibandingkan dengan tepung suweg. 3. Karakter Kimia Tepung Suweg dan Tepung Garut Beberapa karakter kimia tepung yang diamati adalah kadar air, kadar total pati dan kadar amilosa, kadar serat pangan, kadar pati resisten, dan daya cerna pati. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakter kimia tepung suweg dan tepung garut. Karakter kimia Kadar air (% bb) Kadar total pati (% bk) Kadar amilosa • dalam pati (%) • dalam tepung (%) (konversi) • dalam umbi segar (%) (konversi) Kadar amilopektin • dalam pati (%) (by difference) • dalam tepung (%) (konversi) • dalam umbi segar (%) (konversi) Kadar serat pangan : • serat larut (% bk) • serat tidak larut (% bk) • total serat (% bk) Kadar pati resisten • dalam pati (%) • dalam tepung (% bk) (konversi) Daya cerna pati (%)
Tepung Suweg Tepung Garut Sampel Mukhis Sampel Mariati (2001) (2003) 5.23 9.40 7.00 9.01 – 11.32 63.45 43.44 74.17 83.80 – 89.05 15.92 9.57 1.49
8.38 -
15.47 10.69 2.20
28.27 – 33.06 -
84.08 50.56 7.87
-
84.53 58.31 11.99
-
5.21 9.89 15.10
-
2.19 7.59 9.78
-
3.38 2.23
-
3.50 2.63
-
81.68
-
98.30
-
a. Kadar total pati Umbi merupakan salah satu tempat penyimpanan cadangan energi tumbuhan dalam bentuk pati. Dengan kandungan pati yang cukup tinggi umbi dijadikan salah satu sumber karbohidrat penting dalam diet manusia.
Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 1) kandungan total pati dalam tepung suweg sampel diperoleh sebesar 63.45 % (bk), lebih besar dibandingkan dengan kadar total pati tepung suweg hasil penelitian Mukhis (2003) sebesar 43.44 % (bk). Perbedaan ini masih mendekati kisaran kadar pati suweg yang pernah dilaporkan dalam Kay (1973) yaitu 4.5 – 12 % umbi basah atau sekitar 21.13 – 56.34 % (bk) dengan kadar air umbi 78.7 %. Kadar total pati dalam tepung garut diperoleh sebesar 74.17 % (bk), sedangkan Mariati (2001) memperoleh kadar pati tepung garut berkisar 83.80 – 89.05 % (bk). Kadar total pati tepung garut sampel lebih rendah, sebab pada proses pembuatan tepung yang dipakai oleh Mariati (2001) terdapat tahap pencampuran kembali pati yang terekstrak ketika irisan umbi basah direndam ataupun dicuci. Hal ini tidak dilakukan sehingga kadar pati yang terukur pun lebih rendah. Kandungan pati dalam umbi salah satunya dipengaruhi oleh umur tanamnya. Umbi biasanya dipanen ketika kadar patinya diperkirakan sedang dalam keadaan maksimal. Sastrapradja et al. (1977) menyatakan bahwa umbi suweg dapat dipanen setelah berumur 9 – 10 bulan setelah tanam, sedangkan umbi garut dapat dipanen setelah 10 – 11 bulan setelah tanam. b. Kadar amilosa dan amilopektin Pati tersusun dari dua molekul yang berbeda karakter yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa-amilopektin dalam pati akan menentukan sifat pati secara keseluruhan. Amilosa yang merupakan rantai lurus polimer glukosa berkontribusi terhadap sifat pembentukan gel sistem pati yang dipanaskan dan didinginkan, sedangkan amilopektin yang rantainya bercabang lebih berpengaruh terhadap kekentalan (Parker, 2003). Kandungan amilosa dalam bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah dengan kadar < 10 %, kadar amilosa rendah 10 - 20 %, dan kadar amilosa sedang 20 – 24 %, dan kadar amilosa tinggi > 25 % (Aliawati, 2003). Lebih lanjut Aliawati
(2003) menjelaskan bahwa kandungan amilosa dalam bahan pangan sumber karbohidrat menentukan karakter produk hasil olahannya, salah satunya pada beras. Kadar amilosa pada beras akan menentukan sifat kepulenan nasi yang dihasilkan, beras beramilosa rendah menghasilkan nasi yang lebih pulen dibandingkan beras beramilosa tinggi. Menurut data dan perhitungan (Lampiran 2) hasil analisis kadar amilosa suweg sebesar 15.92 % pati tidak jauh berbeda dengan kadar amilosa garut sebesar 15.47 % pati. Hal ini tampak berlawanan dengan data yang diperoleh dari Mukhis (2003) yang melaporkan kadar amilosa suweg sebesar 8.38 % pati, lebih kecil dibandingkan dengan kadar amilosa garut sebesar 28.7 – 33.06 % pati seperti yang dilaporkan oleh Mariati (2001). Berdasarkan data yang diperoleh, baik suweg maupun garut digolongkan sebagai bahan pangan berkadar amilosa rendah. Setelah dikonversikan menjadi kadar amilosa yang dihitung per umbi segarnya, kadar amilosa umbi garut segar sebesar 2.20 % sedikit lebih tinggi dari kadar amilosa dalam umbi suweg segar yaitu sebesar 1.49 %. Begitu pula hasil penentuan kadar amilosa dalam tepung umbi dengan memperhatikan rendemen tepung dan kadar total pati, kadar amilosa dalam tepung garut sebesar 10.69 % sedikit lebih tinggi dari kadar amilosa tepung suweg yaitu 9.57 %. Kadar amilopektin masing-masing jenis pati ditentukan secara by difference, yaitu mengurangkan nilai 100 % dengan kadar amilosa. Kadar amilopektin pati suweg sebesar 84.08 % tidak jauh bedanya dengan kadar amilopektin pati garut sebesar 84.53 %. Selain itu dihitung pula kadar amilopektin dalam umbi segar dan dalam tepung umbi dengan menggunakan besarnya rendemen hasil penepungan umbi segar dan kadar total pati dalam tepung umbi yang dihasilkan. Kadar amilopektin umbi garut diperoleh sebesar 11.99 % lebih besar dibandingkan dengan kadar amilopektin umbi suweg sebesar 7.87 %. Kadar amilopektin yang dihitung dalam tepung garut sebesar 58.31 % juga lebih besar dibandingkan dengan kadar amilopektin dalam tepung suweg sebesar 50.56 %.
c. Kadar serat pangan Serat pangan yang terkandung dalam bahan pangan akan mempengaruhi sifat fisiknya. Beberapa jenis pangan telah diketahui dapat dijadikan sebagai sumber serat pangan dalam diet yang terbukti efektif pengaruhnya terhadap kesehatan fungsi fisiologis tubuh, terutama serat larut produk serealia seperti oat bran, khususnya -glukan (Sayar et al., 2005) dan psyllium, suatu produk konsentrat serat larut dari beberapa
Kadar (%)
tanaman anggota genus Plantago (Trautwein et al., 1999). 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Tepung suweg
Tepung garut
Oat instant (Anonim, 2007)
Serat pangan tidak larut Serat pangan larut
Gambar 7. Histogram komposisi serat pangan tepung suweg, tepung garut, dan oat instant. Hasil analisis kadar serat pangan dalam kedua jenis tepung umbi menunjukkan bahwa tepung suweg dan tepung garut mengandung serat pangan dalam jumlah yang cukup tinggi. Tepung suweg mengandung 15.09 % (bk) total serat pangan terdiri dari 9.89 % (bk) serat tidak larut dan 5.21 % (bk) serat pangan larut, sedangkan tepung garut mengandung 9.79 % (bk) total serat pangan terdiri dari 7.59 % (bk) serat pangan tidak larut dan 2.19 % (bk) serat pangan larut. Kandungan serat pangan larut dalam tepung suweg mendekati kandungan serat pangan larut dalam produk oat instant yang telah dikenal luas sebagai pangan fungsional pengontrol kadar kolesterol darah, yaitu sebesar 5.80 % bk (Anonim, 2007). Kandungan serat pangan tepung suweg secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan tepung garut.
Serat pangan dalam diet memiliki manfaat fisiologis yang baik bagi
kesehatan.
Serat
pangan
larut
bersifat
hipoglikemik
dan
hipokolesterolemik serta dapat berfungsi sebagai prebiotik bagi mikroflora usus, sedangkan serat pangan tidak larut yang bersifat laksatif mengurangi resiko pembentukan kanker saluran pencernaan. Berdasarkan hasil analisis, kedua jenis tepung memiliki kandungan serat pangan yang cukup baik jika digunakan sebagai sumber serat pangan untuk diaplikasikan sebagai bahan makanan dalam diet. d. Kadar pati resisten Penggunaan tepung yang kaya akan serat pangan sebagai bahan pensubstitusi tepung konfensional dalam pembuatan beberapa produk makanan diketahui secara signifikan mengurangi mutu sensori dan keberterimaan produk yang dihasilkan. Di lain pihak, produk pangan kaya serat yang memiliki mutu sensori lebih baik tetap dibutuhkan. Tantangan untuk membuat suatu produk yang memiliki fungsionalitas seperti serat pangan dengan keterimaan yang baik ternyata dapat dipenuhi oleh pati resisten. Selain memiliki sifat fungsional sebagaimana serat pangan, produk pati resisten memiliki nilai lebih dibandingkan dengan serat pangan konvensional. Pati resisten memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan ukuran partikel serat pangan konvensional, sehingga tidak mempengaruhi tekstur produk, kapasitas pengikatan air (water holding capacity) dari pati resisten juga lebih rendah sehingga dapat memperbaiki tekstur, penampakan dan mouth feel produk panggang yang dihasilkan (Sajilata et al., 2006). Bahan pangan sumber pati maupun produk pangan yang dihasilkan berpotensi mengandung pati resisten. Tepung suweg dan tepung garut yang dianalisis ternyata juga mengandung pati resisten dengan kadar yang tidak terlalu jauh berbeda. Tepung garut mengandung 2.63 % (bk) pati resisten, sedikit lebih besar dari kandungan pati resisten tepung suweg sebesar 2.23 % (bk). Hasil analisis tersebut tidak jauh bedanya dengan
hasil penentuan kadar RS jenis tepung lainnya. Astawan dan Widowati (2006) melaporkan kadar RS tepung ubi jalar sebesar 3.80 % (bk). Penentuan kadar RS pati dari berbagai jenis bahan juga telah banyak dilakukan, Kim et al. (2003) melaporkan bahwa kadar RS pati jagung murni sebesar 4.9 + 0.3 %, sedangkan Shih et al. (2004) melaporkan kadar RS pati kentang maupun pati ubi jalar yang dianalisisnya sekitar 5.4 %. Struktur amilosa yang berantai lurus menjadi lebih kompak dibandingkan struktur amilopektin yang memiliki rantai bercabang. Hal ini menentukan pula sifat ketahanan masing-masing komponen struktural pati tersebut terhadap degradasi oleh enzim dimana amilosa bersifat lebih resisten terhadap serangan enzim dibandingkan dengan amilopektin. Rasio amilosa-amilopektin
merupakan
salah
satu
faktor
yang
dapat
mempengaruhi kadar pati resisten yang terukur dalam suatu produk pangan, semakin tinggi kandungan amilosa menyebabkan pati menjadi lebih sulit dicerna sehingga kandungan pati resisten makin besar (Sajilata et al., 2006). Kadar amilosa tepung garut sebesar 10.69 % yang lebih banyak dibandingkan dengan kadar amilosa tepung suweg sebesar 9.57 %, dapat menyebabkan hasil penentuan pati resisten dalam tepung garut (2.63 % bk) lebih besar dibandingkan dengan pati resisten yang terdapat dalam tepung suweg (2.23 % bk). Dalam analisis kadar pati resisten secara gravimetri, digunakan sampel pati yang diekstrak dari umbi segar dengan cara basah. Proses pengeringan sampel pati dikerjakan pada suhu sekitar 60ºC, lebih rendah dari suhu awal gelatinisasi kedua jenis tepung yaitu 84ºC untuk tepung suweg dan 76.1ºC, sehingga granula pati belum mengalami gelatinisasi. Pengeringan pati dengan udara panas pada suhu yang relatif rendah memungkinkan sejumlah besar air dalam suspensi pati dapat dengan cepat terevaporasi, sehingga granula pati kering yang diperoleh kemungkinan masih dalam bentuk mentahnya (native). Dengan demikian pati resisten yang diperoleh diperkirakan adalah RS2.
e. Daya cerna pati Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Penentuan daya cerna pati tepung suweg dan tepung garut dilakukan secara secara in vitro dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Muchtadi (1989). Dalam metode ini sampel dihidrolisis oleh enzim amilase menjadi unit-unit sederhana seperti maltosa. Jumlah
maltosa
hasil
hidrolisis
enzim
diukur
secara
spektrofotometri. Larutan hasil hidrolisis direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS) sehingga terbentuk warna jingga kemerahan yang kepekatannya berbanding lurus dengan kadar maltosa dalam larutan. Kandungan maltosa sampel ditentukan berdasarkan kurva standar maltosa (Lampiran 3). Sebagai koreksi ditentukan juga kandungan maltosa sampel yang tidak diberi perlakuan hidrolisis enzim untuk menentukan kandungan maltosa awal yang mungkin terdapat dalam sampel. Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (solube starch). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa daya cerna pati sampel tepung garut (98.30 %) lebih besar dibandingkan dengan daya cerna pati sampel tepung suweg (81.68 %). Hal ini dapat disebabkan oleh kadar total pati tepung garut (74.17 % bk) yang lebih besar dibandingkan kadar total pati tepung suweg (63.45 % bk), sehingga lebih banyak maltosa yang dihasilkan selama hidrolisis oleh enzim. Kandungan amilopektin yang lebih mudah dicerna oleh enzim juga dapat menentukan besarnya nilai daya cerna tepung yang diperoleh. Dari hasil perhitungan, diperoleh kandungan amilopektin tepung garut (58.31 %) lebih banyak dibandingkan dengan kandungan amilopektin dalam tepung suweg (50.56 %). Kandungan serat pangan tepung garut (9.69 % bk) yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar serat pangan tepung suweg (15.09 % bk) juga berpengaruh terhadap daya cerna pati yang terukur. Serat pangan diketahui sebagai bagian dari pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, serta dapat menghambat proses penyerapan gula-gula sederhana hasil pencernaan karbohidrat. Keberadaan pati resisten sebagai
fraksi pati yang tidak tercerna enzim pencernaan normal juga dapat menentukan daya cerna bahan pangan sumber karbohidrat. Namun kadar pati resisten tepung garut sebesar 2.63 % (bk) yang tidak terlalu jauh berbeda dengan kadar pati resisten tepung suweg sebesar 2.23 % (bk) tidak tampak pengaruhnya terhadap daya cerna pati dari sampel tepung. Daya cerna pati sampel tepung garut tinggi, mendekati daya cerna pati murni. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kay (1973) bahwa umbi garut menghasilkan pati yang mudah dicerna sehingga dapat digunakan sebagai makanan bayi dan orang yang mengalami gangguan pencernaan. C. INDEKS GLIKEMIK 1. Analisis Proksimat Umbi Kukus Penentuan indeks glikemik dilakukan terhadap umbi segar yang dikukus hingga masak. Pengolahan dengan pengukusan dipilih dengan pertimbangan uap panas dapat mematangkan umbi tanpa menyebabkan terlalu banyak perubahan dari komposisi awalnya. Umbi kukus dianalisis proksimat terlebih dahulu untuk menentukan jumlah sampel yang harus dikonsumsi oleh relawan dalam pengujian, yaitu mengandung 50 gram karbohidrat termasuk polisakarida non pati (El, 1999). Kadar karbohidrat suweg kukus diperoleh sebesar 26.95 %, lebih besar dari hasil penelitian Faridah (2005) sebesar 21.27 %, maka jumlah sampel yang harus ditimbang adalah sebesar 185 gram. Untuk garut kukus, diperoleh kadar karbohidrat 24.85 %, maka jumlah sampel yang harus ditimbang adalah sebesar 201 gram. Tabel 6. Hasil analisis proksimat sampel umbi kukus. Komponen kimia Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%)
Suweg kukus Sampel Faridah (2005) 69.48 75.64 1.06 0.99 2.30 2.02 0.23 0.08 26.95 21.27
Garut kukus Sampel 72.59 0.85 1.66 0.26 24.85
2. Indeks Glikemik Umbi Kukus Penentuan indeks glikemik yang dilakukan menggunakan subjek manusia. Metabolisme tubuh manusia sangat rumit sehingga sulit untuk ditiru secara in vitro (Ragnhild et al., 2004). Relawan yang digunakan dalam pengujian ini diseleksi yang memiliki kadar gula darah puasa normal. Seleksi dilakukan saat pengujian sampel yang pertama, dan terpilih 10 orang relawan. Sampel berikutnya dan pangan acuan diuji pada hari yang berlainan dengan interval minimal tiga hari. Setelah menjalani puasa 10 – 12 jam (overnight fasting), sampel darah diambil melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat di jari tangan. Pembuluh kapiler dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh ini memiliki variasi kadar glukosa darah antar subjek yang lebih kecil dibandingkan dengan darah yang diambil dari pembuluh vena (Ragnhild et al., 2004). Volume darah yang dibutuhkan untuk dapat diukur minimal 1 L. Pengukuran glukosa darah dengan menggunakan alat Glukometer One Touch Ultra™ dapat dijelaskan sebagai berikut. Sampel darah yang diperoleh pada permukaan kulit setelah sedikit perlukaan kecil dengan menggunakan lancet (alat penusuk) khusus, disentuhkan pada celah sensor di ujung strip uji yang telah terpasang pada detektor digital sedemikian sehingga kadar glukosa sampel terbaca. Celah sensor pada strip uji berisi reagen berupa enzim glucose oxidase dan kalium ferrisianida. Prinsip kerja sensor strip uji glukometer yaitu glukosa dalam cairan sampel akan diubah menjadi glukonolakton oleh glucose oxidase. Enzim tersebut akan direoksidasi
oleh
Ferrosianida
yang
ion
ferrisianida
dihasilkan
akan
menghasilkan terdeteksi
ion
melalui
ferrosianida. mekanisme
pengukuran chronoampherometric pada potensial listrik tertentu. Muatan listrik yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi glukosa dalam sampel (Batki et al., 2003). Berdasarkan data yang diperoleh (Lampiran 5), indeks glikemik umbi suweg kukus dalam bentuk irisan adalah 36 + 14 dan indeks glikemik umbi garut kukus dalam bentuk potongan adalah 32 + 21. Kurva perubahan kadar glukosa darah ditunjukkan pada Gambar 8 dan 9 .
Perubahan kadar glukosa darah (mg/dl)
50 40 30
glukosa
20
suw eg
10 0 0
50
100
150
Waktu (m enit)
Gambar 8. Kurva perubahan kadar glukosa darah salah satu relawan setelah konsumsi suweg kukus. Perubahan kadar glukosa darah(mg/dl)
50 40 30 glukosa
20
garut
10 0 -10
0
50
100
150
Waktu (m enit)
Gambar 9. Kurva perubahan kadar glukosa darah salah satu relawan setelah konsumsi garut kukus. Hasil penentuan nilai IG sampel yang dianalisis berbeda dengan hasil penentuan IG oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa nilai IG suweg adalah 42 (Faridah, 2005), sedangkan nilai IG garut adalah 14 (Marsono, 2002). Perbedaan hasil penentuan nilai IG bahan pangan yang sama biasa terjadi. Foster-Powell dan Miller (1995) menyatakan bahwa tidak ada nilai IG yang pasti untuk sebuah bahan pangan. Perbedaan metode dan proses pemasakan, karakter molekuler dan fisik granula pati dalam produk akhir berpengaruh terhadap nilai IG pangan. Lebih lanjut FosterPowell dan Miller (1995) juga menambahkan bahwa produk pangan dalam kemasan yang diproses dengan kondisi terkontrol menunjukkan variasi nilai IG yang lebih rendah dibandingkan dengan produk pertanian hortikultura yang diproses dalam kondisi bervariasi.
Meskipun demikian, secara
keseluruhan nilai IG suweg maupun garut masih dalam rentang penggolongan yang sama, keduanya digolongkan sebagai pangan dengan
indeks glikemik rendah (IG<55), yang lebih dianjurkan dalam mengatur diet penderita diabetes. Sampel untuk penentuan nilai IG berupa umbi yang dikukus dalam ukuran yang relatif besar tidak dalam bentuk tepung. Umbi garut dikukus dalam bentuk potongan sepanjang 5 – 6 ruas sedangkan umbi suweg dikukus dalam bentuk irisan kecil untuk memudahkan relawan mengkonsumsinya. Bentuk
tersebut
diperkirakan
membuat
proses
gelatinisasi
selama
pengukusan pada umbi suweg lebih intensif dibandingkan pada umbi garut. Mariati (2001) menyatakan bahwa setelah sisik pelindung umbi dibuka, umbi garut memiliki permukaan yang licin oleh semacam lapisan lilin pada permukaan epidermisnya. Hal ini mungkin menyebabkan uap panas selama pengukusan
sulit
menjangkau
pati
dalam
jaringan
untuk
dapat
tergelatinisasi. El (1999) menyatakan bahwa enkapsulasi zat nutrisi dalam dinding tanaman dapat menjadi mekanisme penting yang menghambat nutrisi tersebut untuk dapat dicerna. Enkapsulasi mengurangi kemampuan panas menjangkau granula pati selama proses pemasakan sehingga pati dalam sampel lebih sulit tergelatinisasi. Oleh karena itu bentuk umbi dalam ukuran besar dengan jaringan yang relatif utuh kemungkinan dapat mengurangi ketercernaan dan penyerapan karbohidrat umbi kukus sehingga nilai IG-nya menjadi rendah. Kadar amilosa pati juga berpengaruh terhadap nilai IG. Keberadaan amilosa dalam jumlah tinggi akan membuat nilai IG pangan menjadi kecil. Sebab, struktur linearnya yang kompak lebih sulit dicerna oleh enzim. Amilosa juga lebih sulit tergelatinisasi, dan ketika terjadi retrogradasi pati, amilosa akan membentuk ikatan hidrogen yang lebih kuat dan lebih resisten terhadap hidrolisis enzim. Kadar amilosa tepung suweg (15.92 %) tidak begitu jauh bedanya dengan kadar amilosa tepung garut (15.47 %), dan kedua
jenis
tepung termasuk berkadar amilosa
rendah,
sehingga
pengaruhnya terhadap nilai IG kemungkinan tidak begitu nyata. Kehadiran zat antinutrisi dalam pangan juga berpengaruh terhadap nilai IG pangan. Pratibha et al. (1995) melaporkan bahwa terjadi retensi kandungan zat antinutrisi pada beberapa jenis umbi-umbian yang dimasak
pada tekanan tinggi (pressure cooking), salah satunya yaitu umbi suweg yang masih mengandung inhibitor tripsin. Komponen fenolik dalam jaringan tanaman hadir sebagai penyusun dari molekul yang lebih kompleks seperti fitoalexin, koumarin, antosianin, tanin dan lignin (Chesworth et al., 1998). Hasil penelitian Mariati (2001) menyebutkan bahwa umbi garut yang dianalisisnya mengandung total fenol 11.30-37.10 ppm. Tidak menutup kemungkinan komponen fenolik tersebut berupa molekul kompleks seperti tanin yang diketahui dapat menghambat pencernaan pati (Rimbawan dan Siagian, 2004) atau seperti lignin yang diketahui sangat ekstrim resisten terhadap enzim pencernaan (Chesworth et al., 1998). 3. Beban Glikemik Umbi Kukus Selain
nilai
IG,
pangan
sumber
karbohidrat
juga
harus
diperhitungkan nilai beban glikemiknya (BG). Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah karena memperhitungkan pula jumlah karbohidrat riil yang dikonsumsi. Tabel 7. Beban glikemik umbi kukus. Jenis pangan Suweg kukus irisan Garut kukus potongan
Indeks glikemik 36 32
Karbohidrat per 100 g pangan (g) 26.95 24.85
Beban glikemik 10 8
Berdasarkan nilai BG-nya, satu takaran saji dari suatu pangan digolongkan bernilai BG rendah apabila memiliki nilai BG < 10, tergolong bernilai BG sedang apabila memiliki nilai BG 11 – 19, dan termasuk bernilai BG tinggi apabila memiliki nilai BG > 20 (Harris dan Karmas, 1989 di dalam Nisviati, 2006). Bila kedua umbi kukus disajikan dalam jumlah yang sama misalnya sebanyak 100 gram, maka beban glikemik suweg kukus irisan diperoleh sebesar 10 sehingga tergolong bernilai BG sedang, sedangkan beban glikemik garut kukus potongan diperoleh sebesar 8 sehingga tergolong pangan bernilai BG rendah.
D. KAPASITAS IN VITRO PENGIKATAN KOLESTEROL 1. Proses Pencernaan in Vitro Pengukuran kapasitas penghambatan absorbsi kolesterol oleh sampel dilakukan dengan mengikuti prosedur pencernaan secara in vitro. Prosedur ini dikerjakan dengan tahap-tahap yang dimiripkan dengan proses pencernaan sebenarnya. Larutan sampel tepung yang dianalisis ditambahkan dengan kolesterol berupa larutan tepung kuning telur. Kuning telur dipilih sebagai sumber kolesterol karena kolesterol murni tidak dapat larut dalam air, sedangkan kuning telur yang merupakan pangan berkadar kolesterol tinggi (252 mg) mengandung sejumlah bahan yang berfungsi sebagai emulsifier seperti lesitin. Penambahannya dilakukan di awal proses pencernaan karena dianalogkan sebagai kolesterol yang diperoleh dari diet. Sebelum memasuki tahap pencernaan, larutan sampel yang telah diaduk dengan larutan tepung kuning telur dan dibiarkan mengendap diambil cuplikan supernatannya sebanyak 5 ml ke dalam botol kecil betutup. Cuplikan tersebut kemudian disimpan pada suhu ruang sampai perlakuan pencernaan in vitro selesai, sehingga mengalami proses dekantasi secara alami oleh pengaruh gravitasi. Memasuki tahap pencernaan, larutan sampel diatur keasamannya menjadi pH 2 lalu ditambahkan dengan pepsin. Tahap ini dianggap sebagai fase gastric dalam lambung dimana kolesterol sebagai bagian dari lipida dalam diet belum mengalami pencernaan sempurna. Setelah 1 jam, ke dalam larutan dimasukkan kantung dialisis berisi larutan NaHCO3. Tujuannya adalah untuk menaikkan pH larutan secara gradual menjadi normal seperti pada duodenum dimana pH larutan makanan yang keluar dari lambung dinetralkan oleh cairan empedu. Setelah tercapai pH 7 kurang lebih setelah 30 menit sampai 1 jam, ditambahkan larutan campuran pankreatin dan ekstrak empedu. Pankreatin merupakan campuran enzim yang terkandung di dalamnya amilase, lipase, dan enzim-enzim lain yang dikeluarkan oleh pankreas. Cairan empedu yang salah satu fungsinya untuk mengemulsikan lipida agar dapat diserap oleh sel mukosa usus
menuju sistem limfatik, dalam pencernaan ini digantikan oleh ekstrak empedu. Pencernaan oleh pankreatin dibiarkan selama 2 jam. Dalam proses ini akan terjadi difusi kolesterol ke dalam kantung dialisis yang fungsinya dianalogkan sebagai dinding usus halus dalam absorbsi kolesterol ke dalam sistem limfatik. Sampel yang diuji diharapkan berperan dalam tahap ini. Serat yang terkandung dalam sampel khususnya serat pangan larut idealnya dapat mengikat baik kolesterol maupun asam empedu yang ditambahkan, sehingga menghambat absorbsi keduanya ke dalam kantung dialisis. Setelah pencernaan selesai, diambil cuplikan dari dalam kantung dialisis sebagai fraksi dialisat. Supernatan cuplikan fraksi awal yang telah mengalami dekantasi dan cuplikan fraksi dialisat diukur kadar kolesterolnya dengan menggunakan kit kolesterol. 2. Kapasitas Pengikatan Kolesterol secara In Vitro Adanya kolesterol yang terikat oleh sampel dapat dilihat dari hasil pengukuran kandungan kolesterol dalam supernatan fraksi awal masingmasing perlakuan sampel sebelum dilakukan proses pencernaan secara in vitro. Makin banyak kolesterol terikat oleh sampel, kandungan kolesterol bebas dalam supernatan semakin kecil. Hasil pengukuran kadar kolesterol cuplikan fraksi hasil pencernaan in vitro dan hasil ekstraksi sampel tepung umbi dalam air dapat dilihat dalam Lampiran 6. Tabel 8. Kapasitas pengikatan kolesterol secara in vitro. Perlakuan Tepung suweg Tepung garut Oat instant Kontrol (tanpa sampel)
Kolesterol supernatan (tidak terikat) (mg) 29.4750a 38.9584b 31.1667a 41.7084b
Kolesterol terikat (mg)*) 12.2334 2.7500 10.5417 0.0000
% kolesterol terikat 29.33 6.60 25.28 0.00
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan = 5 %) *)Kolesterol terikat = total kolesterol tidak terikat pada perlakuan kontrol tanpa sampel – kolesterol tidak terikat pada perlakuan sampel
Pada Tabel 8 dapat dilihat hasil pengukuran kandungan kolesterol yang terdapat dalam supernatan fraksi awal untuk masing-masing perlakuan yang menunjukkan jumlah kolesterol bebas (tidak terikat oleh sampel). Analisis sidik ragam one way ANOVA dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa kandungan kolesterol supernatan fraksi awal pada perlakuan tepung garut tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa sampel meskipun nilainya lebih rendah. Sementara itu, kandungan kolesterol supernatan perlakuan tepung suweg berada pada subset yang sama dengan perlakuan produk oat instant, keduanya memiliki nilai yang secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan kandungan kolesterol dalam supernatan fraksi awal perlakuan tanpa sampel. Hal ini menunjukkan bahwa serat pangan terutama serat pangan larut pada perlakuan tepung suweg dan produk oat instant mampu mengikat kolesterol dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada perlakuan tepung garut. Untuk dapat melihat seberapa besar kemampuan masing-masing sampel dalam mengikat kolesterol, dihitung nilai persentase kolesterol terikat terhadap total kolesterol bebas yang berasal dari larutan tepung kuning telur. Nilai total kolesterol bebas dalam hal ini diperoleh dari kandungan kolesterol supernatan fraksi awal pada perlakuan tanpa sampel. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa tepung suweg memiliki kapasitas pengikatan kolesterol yang tinggi sebesar 29.33 %, diikuti oleh produk oat instant sebesar 25.28 %, dan tepung garut memiliki kapasitas pengikatan kolesterol yang rendah sebesar 6.60 %. Data tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pengikatan kolesterol oleh tepung suweg dapat dikatakan menyamai kemampuan produk oat instant, dan lebih tinggi dari kemampuan pengikatan kolesterol oleh tepung garut. Kolesterol yang dapat terikat oleh tepung suweg lebih banyak dibandingkan dengan kolesterol yang terikat oleh tepung garut. Hal ini dapat disebabkan oleh kadar serat pangan larut tepung suweg sebesar 5.21 % bk yang lebih besar dibandingkan dengan kadar serat pangan larut tepung garut sebesar 2.19 % bk, kadar serat pangan larut tepung suweg tersebut mendekati kadar serat pangan larut produk oat instant sebesar 5.80 % bk (Anonim, 2007).
3. Persentase Kolesterol Terdialisis Kadar kolesterol pada fraksi dialisat hasil pencernaan in vitro menunjukkan banyaknya kolesterol yang terserap ke dalam kantung dialisis. Oleh karena itu, sampel dikatakan dapat menahan penyerapan kolesterol apabila di akhir pencernaan menghasilkan fraksi dialisat dengan kadar kolesterol yang rendah. Kadar kolesterol fraksi dialisat yang terukur memperlihatkan kandungan kolesterol dalam kantung dialisis yang tidak berbeda nyata antara perlakuan sampel tepung garut maupun tepung suweg dengan perlakuan tanpa sampel, meskipun kedua sampel tepung diketahui memiliki kandungan serat pangan larut yang diperkirakan dapat mengikat kolesterol sehingga dapat menghambat penyerapan kolesterol ke dalam kantung dialisis. Besarnya kolesterol yang terkandung dalam fraksi dialisat perlakuan sampel tepung mungkin tidak hanya dikontribusi oleh kolesterol yang ditambahkan, tetapi dikontribusi juga oleh fitosterol yang diduga terdapat dalam sampel tepung sebagai bahan nabati. Sari (2005) menyebutkan bahwa ekstrak daun suji yang dianalisisnya memberikan hasil positif saat diuji dengan menggunakan kit untuk analisis kolesterol, karena kit tersebut dapat digunakan untuk mengukur kandungan fitosterol (Moreau, 2003). Fitosterol merupakan bentuk sterol yang berasal dari bahan nabati, termasuk di dalamnya sitosterol, stigmasterol dan campesterol. Disebutkan bahwa absorbsi kolesterol pada usus halus dapat dihambat oleh adanya fitostanol, turunan 5 -terjenuhkan dari fitosterol, dengan cara mengurangi solubilitas kolesterol dalam membentuk misel bersama asam empedu untuk dapat melewati sel mukosa usus (Nissinen et al., 2002). Untuk mendukung dugaan bahwa sampel tepung umbi mengandung fitosterol, dilakukan pengukuran terhadap ekstrak tepung suweg dan tepung garut dengan pelarut air hasil inkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 37ºC selama + 3.5 jam (menyamai total waktu untuk pencernaan in vitro). Hasil pengukuran (Lampiran 6) menunjukkan bahwa kedua jenis tepung umbi mengandung fitosterol dalam jumlah yang tidak jauh berbeda. Tepung
suweg dan tepung garut masing-masing mengandung 11.8750 mg dan 10.2083 mg fitosterol per bobot yang sama dengan yang digunakan dalam pencernaan in vitro. Sebagai bahan nabati, produk oat instant tentunya juga mengandung fitosterol. Normen et al. (2002) melaporkan kadar total fitosterol produk oat pipih yang dimasak sebesar 5.0 mg/100 g bagian yang dapat dimakan, atau sebesar 0.5401 mg per bobot yang sama seperti yang digunakan dalam pencernaan in vitro yang telah dikerjakan. Diduga fitosterol tersebut dapat turut berdifusi ke dalam kantung dialisis bersama kolesterol dari tepung kuning telur. Pada perlakuan sampel tepung umbi hal ini dapat menyebabkan kadar sterol yang terukur dalam kantung dialisis menjadi besar. Kemungkinan proses difusi pasif dengan menggunakan kantung dialisis seperti yang digunakan dalam prosedur pencernaan in vitro belum dapat memisahkan kolesterol dari campurannya dengan fitosterol. Oleh karena itu, parameter kapasitas penghambatan absorbsi kolesterol yang sebelumnya menggunakan nilai persentase kolesterol terdialisis, pada perhitungan berikutnya disesuaikan menjadi nilai persentase sterol terdialisis. Perhitungan penentuan persentase sterol terdialisis melibatkan nilai total sterol campuran larutan awal sebelum proses pencernaan in vitro sebagai nilai pembagi. Untuk perlakuan kontrol tanpa sampel, nilai total sterol hanya dikontribusi oleh kolesterol yang berasal dari tepung kuning telur, sedangkan untuk perlakuan sampel tepung umbi dan perlakuan kontrol produk oat instant, nilai total sterol merupakan jumlah dari kolesterol yang berasal dari tepung kuning telur dengan kandungan fitosterol masing-masing ekstrak tepung umbi, serta kadar fitosterol produk oat yang diperoleh dari literatur. Pada perlakuan produk oat instant, diduga terdapat sedikit fitosterol yang ikut berdifusi ke dalam kantung dialisis karena kandungan fitosterol dalam oat instant yang rendah, sehingga kandungan sterol pada fraksi dialisat menunjukkan angka yang sangat kecil yang berbeda nyata dengan ketiga perlakuan lainnya (Tabel 9). Kandungan sterol yang rendah dalam fraksi dialisat pada perlakuan kontrol oat instant menunjukkan bahwa
produk tersebut memang efektif menghambat difusi kolesterol dan fitosterol ke dalam kantung dialisat. Tabel 9. Hasil penentuan persentase sterol terdialisis. Perlakuan Tepung suweg Tepung garut Oat instant Tanpa sampel
Kandungan fitosterol (mg) 11.8750 10.2083 0.5401 0
Total sterol fraksi Sterol fraksi % sterol awal (mg) dialisat (mg) terdialisis 53.5834 1.6553b 3.10b,c b 51.9267 1.5104 2.91b 42.2485 0.1959a 0.46a b 41.7084 1.5334 3.68c
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan = 5 %)
Pada perlakuan sampel tepung umbi, kandungan sterol yang terukur dalam kantung dialisis jauh lebih besar dari kandungan sterol dalam kantung dialisis pada perlakuan kontrol oat instant. Diduga hal ini disebabkan oleh kontribusi fitosterol dalam sampel yang kandungannya lebih besar dari kandungan fitosterol oat instant. Kandungan fitosterol dalam sampel (11.8750 mg pada perlakuan tepung suweg dan 10.2083 mg pada perlakuan tepung garut) yang jauh lebih banyak dari kandungan fitosterol dalam produk oat instant (0.5401 mg) menyebabkan jumlah fitosterol yang dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis pada perlakuan sampel tepung umbi lebih banyak dari jumlah fitosterol yang dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis pada perlakuan kontrol oat instant. Kadar sterol dalam fraksi dialisat pada perlakuan tepung umbi secara statistik tidak berbeda nyata dengan kadar sterol dalam fraksi dialisat pada perlakuan tanpa sampel (Tabel 9). Akan tetapi diduga sterol dalam fraksi dialisat pada perlakuan sampel dikontribusi oleh fitosterol dalam jumlah cukup banyak sehingga kemungkinan kolesterol yang dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis sebenarnya lebih sedikit jumlahnya dibandingkan jumlah kolesterol yang dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis pada perlakuan tanpa sampel. Dengan demikian, kedua sampel tepung diduga memiliki kemampuan menghambat difusi kolesterol ke dalam kantung dialisis dengan adanya serat pangan larut yang dapat mengikat kolesterol yang terdapat di luar kantung dialisis. Hal ini sesuai dengan hasil penentuan
kapasitas pengikatan kolesterol sebelumnya yang menyatakan bahwa kedua sampel tepung memiliki kemampuan mengikat kolesterol yang berasal dari larutan tepung kuning telur. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai persentase sterol terdialisis pada perlakuan sampel tepung garut (2.91 %) lebih kecil dari perlakuan sampel tepung suweg (3.10 %), keduanya lebih kecil dari nilai persentase sterol terdialisis perlakuan tanpa sampel (3.68 %). Akan tetapi, secara statistik persentase sterol terdialisis perlakuan sampel tepung suweg tidak berbeda nyata dengan persentase sterol terdialisis pada perlakuan tanpa sampel. Pada perlakuan tepung garut, meskipun persentase sterol terdialisisnya tidak berbeda nyata dengan perlakuan tepung suweg, nilainya masih berbeda nyata dengan perlakuan tanpa sampel. Sedangkan pada perlakuan produk oat instant, persentase sterol terdialisis yang diperoleh berbeda nyata dengan tiga perlakuan lainnya, dengan nilai yang lebih rendah (0.46 %). Dilihat dari rendahnya persentase sterol terdialisis pada perlakuan tanpa sampel, diduga porositas kantung dialisis yang digunakan kurang tepat sehingga hanya sedikit kolesterol yang terdialisis ke dalam kantung meskipun dalam perlakuan ini tidak ada agen yang dapat mengikat kolesterol dari tepung kuning telur. Persentase sterol terdialisis pada perlakuan sampel tepung umbi lebih banyak dari persentase sterol terdialisis pada perlakuan produk oat instant sebagai acuan. Diduga hal ini disebabkan oleh kandungan fitosterol dalam tepung umbi lebih banyak dari kandungan fitosterol dalam produk oat instant sehingga total sterol terdialisis pada perlakuan sampel tepung umbi menjadi lebih banyak dibandingkan dengan total sterol terdialisis pada perlakuan oat instant. Selain porositas kantung dialisis yang masih dapat melewatkan baik kolesterol maupun fitosterol, kit analisis kolesterol yang digunakan juga belum secara tepat mengukur kadar kolesterol. Sebab, reagen yang digunakan dalam kit tersebut juga bereaksi positif dengan fitosterol sebagaimana yang dikemukakan oleh Morreau (2003). Dengan demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan kantung dialisis dan kit analisis yang tepat untuk mendapatkan nilai persen kolesterol terdialisis yang lebih tepat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Umbi suweg dan umbi garut yang dianalisis memiliki karakter fisik dan komposisi kimia yang serupa dengan yang dilaporkan dalam literatur maupun penelitian yang dilakukan sebelumnya. Umbi suweg yang digunakan ukurannya bervariasi dengan berdiameter + 10 - 35 cm, dengan warna kulit umbi coklat tua dan warna daging umbi jingga kusam, sedangkan umbi garut yang digunakan memiliki ukuran diameter terbesar 2 – 2.5 cm dan panjang 10 – 25 cm, dengan warna sisik umbi putih kecoklatan dan warna daging umbi putih keruh. Tepung umbi suweg memiliki kadar pati yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar pati tepung umbi garut. Kadar amilosa yang terukur dari pati kedua jenis umbi tidak jauh berbeda, kadar amilosa pati suweg sedikit lebih tinggi dari amilosa pati garut. Hasil pengukuran warna tepung umbi yang dibuat dengan cara kering memperlihatkan tepung umbi garut yang lebih cerah dibandingkan dengan tepung suweg. Daya serap tepung suweg terhadap air lebih besar daripada tepung garut, sedangkan daya serap tepung suweg terhadap minyak lebih rendah daripada tepung garut. Tepung garut mulai mengalami gelatinisasi pada suhu yang lebih rendah daripada tepung suweg, demikian pula suhu puncak gelatinisasi tepung garut juga lebih rendah dibandingkan tepung suweg. Puncak gelatinisasi tepung garut terjadi dengan viskositas yang lebih tinggi dibandingkan viskositas puncak gelatinisasi tepung suweg. Kadar serat pangan tepung suweg lebih besar daripada kadar serat pangan tepung garut. Komposisi serat pangan larut yang dikandungnya juga lebih tinggi dari kadar serat pangan larut pada tepung garut. Berbeda halnya dengan kadar serat pangan, pati resisten yang terkandung dalam tepung garut sedikit lebih tinggi dibandingkan yang terdapat pada tepung suweg. Jenis pati resisten yang terukur diperkirakan adalah RS tipe 2. Nilai IG umbi suweg sebesar 36 sedikit lebih tinggi dari umbi garut yang memiliki nilai IG sebesar 32, meskipun keduanya masih dalam golongan
pangan ber-IG rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh bentuk umbi garut kukus yang relatif masih dalam keadaan utuh untuk dikonsumsi oleh relawan. Bila disajikan dalam takaran yang sama, umbi garut kukus memiliki beban glikemik yang lebih rendah daripada umbi suweg kukus, sehingga umbi garut dapat dijadikan pilihan diet yang lebih baik untuk mengontrol kadar glukosa darah. Berdasarkan penentuan kapasitas pengikatan kolesterol, sampel tepung suweg dapat dikatakan lebih baik dari sampel tepung garut karena nilai persentase kolesterol terikatnya setara dengan nilai persentase kolesterol terikat dari produk oat instan sebagai acuannya. Akan tetapi, pada penentuan persentase sterol terdialisis secara in vitro sebagai parameter kapasitas penghambatan absorbsi sterol oleh dinding usus, diperoleh hasil bahwa kedua jenis tepung umbi belum dapat menyamai kemampuan produk acuan oat instant. Oleh karena itu, pengaruh kedua sampel tepung umbi terhadap absorbsi kolesterol perlu diteliti lebih lanjut. B. SARAN Data hasil karakterisasi tepung umbi, penentuan nilai IG dan kapasitas penghambatan absorbsi kolesterol terhadap umbi suweg dan garut yang diperoleh dalam penelitian ini sebenarnya masih terlalu minim untuk dijadikan sebagai acuan pemilihan jenis umbi yang memiliki sifat fungsionalitas yang lebih baik sebagai bahan pangan. Agar dapat diaplikasikan secara riil, nilai IG pangan hendaknya ditentukan secara spesifik untuk masing-masing jenis produk pangan hasil olahan sesuai dengan kebiasaan cara mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Kemampuan sampel dalam menghambat absorbsi kolesterol secara in vitro dalam penelitian ini masih perlu dikaji lebih lanjut secara in vivo untuk lebih menyerupai kondisi yang sesungguhnya terjadi dalam sistem pencernaan tubuh. Penggunaan kantung dialisis dan kit analisis kolesterol dalam penentuan kapasitas penyerapan kolesterol secara in vitro perlu dikoreksi dengan bahan dan alat yang lebih sesuai.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist. Inc. Washington D.C. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist. Inc. Washington D.C. Akerberg, A. K. E., H. G. M. Liljeberg, Y. E. Grandfeldt, A.W. Drews, dan I. M. E. Bjork. 1997. An in vitro method based on chewing, to predict resistant starch content in foods allows parallel determination of potentially available starch and dietary fiber. J. of Nutrition. 128 : 651-660. Aliawati, G. 2003. Teknik analisis kadar amilosa dalam beras. Buletin Teknik Pertanian. 8 (2) : 82-84. Anonim. 2007. Arrowroot. http://en.wikipedia.org/wiki/Arrowroot. [5 Mei 2007] Anonim, 2007. Oats. http://www.drugs.com/npc/oats.html. [6 Desember 07] Apriantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. Asp, N. G. 1992. European flair concerted action no. II in physiological implication of the consumption of resistant starch in man. Preface of Resistant Starch Proceedings from the 2nd Plenary Meeting of EURESTA. European Journal of Clinical Nutrition. 46 : Suppl. 2 S1. Astawan, M., dan S. Widowati. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) sebagai Dasar Pengembangan Produk Pangan Fungsional. Laporan Penelitian RUSNAS. Bogor. Batki, A.D., H.L. Thomason, R. Holder, P. Nayyar, dan G.H.G. Thorpe. 2003. MDA Evaluation Report : Bayer Esprit 2 Glucose Meter. MDA 02169. Februari 2003. BeMiller, J.N., dan R.L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Di dalam : O.R. Fennema. Food Chemistry. 3rd ed. Marcel Dekker. New York. Basel. Bender, D.A. 2003. Introduction to Nutrition and Metabolism. 3rd ed. Taylor & Francis. London. Berry, C. S. 1986. Resistant starch formation, and measurement of starch that survive exhaustive digestionwith amylolitic enzymes during the determination of dietary fiber. J. Cereal Sciences. 4 : 301-304.
Beuchat, L.R. 1977. Functional and electrophoretic characteristics of succinylated peanut flour protein. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 25: 258-261. Chalil, G. F. 1993. Diabetes mellitus-an overview. Di dalam. M. Winnick. (ed). Nutrition and Killer Diseases. Willey Interscience Publ. New York. Champ, M. M. J. 1996. The analysis of of complex carbohydrate : relevance of values obtained in vitro. Proceedings of of the Nutrient Societies. 55 : 863880. Chesworth, J.M., T. Stuchburry, dan J.R. Scaife. 1998. An Introduction to Agricultural Biochemistry. Chapman & Hall. London. Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomea batatas) Berdasarkan Preferensi Konsumen. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. El, S.N. 1999. Determination of glicemic index for some breads. Journal of Food Chemistry. 67:67-69. Eliasson, A.C., T.L.G. Carlson, dan K. Larsson. 1981. Some effects of starch lipids on the thermal and rheological properties of wheat starch. Starch – Starke. 33 (4) : 130 – 134. Englyst, H. N., H. N. Wiggins, dan J. H. Cummings. 1982. Determination of the non starch polysaccharide in plant foods by gas liquid chromatography of constituent sugars as alditol acetates. Analyst. 107 : 307-318. Faridah, D.N. 2005. Kajian Sifat Fungsional Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) secara In Vivo pada Manusia. Laporan Akhir Penelitian Doen Muda-IPB. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Foster-Powell, K., dan B. Miller. 1995. International tables of glicemic index. American Journal of Clinical Nutrition. 62 : 871s-893s. French, D. 1985. Organization of starch granules. Di dalam : R. L. Whistler, J.N. BeMiller, dan S. Paschal. (Eds.). Starch Chemistry and Technology. Elsevier. London. Guthrie, H.A. 1986. Introductory Nutrition. 6th ed. Times Mirror / Mosby College Publ. St. Louis. Toronto. Harris, R.S., dan R.S. Karmas. 1989. Evaluasi Nilai Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit ITB. Bandung.
Higgins, J.A., D. R. Higbee, W. T. Donahoo, I. L. Brown, M. L Bell, dan D.H.Bessesen. 2004. Resistant starch consumption promotes lipid oxidation. Nutrition & Metabolism. 1:8. Institute of Medicine, National Academy of Science.1994. Opportunities in The Nutrition and Food Sciences (Thomas, P.R. dan Earl, R. eds.). p.109. National Academy Press. Washington D.C. Jenkins, D. J. A., T. M. Wolever, dan R. H. Taylor. 1982. Slow release dietary carbohydrates, improves second meal tolerance. American Journal of Clinical Nutrition. 35 : 1339-1346. Kay, D. E. 1973. Root Crops. The Tropical Product Institute. London. Kim, S.K., J.K Kwok, dan W.K. Kim. 2003. A simple method for estimation of enzyme-resistant starch content. Starch/Starke 55 (2003) 366-368. Kurdi, W. 2002. Reduksi Kalsium Oksalat pada Talas Bogor sebagai upaya Meningkatkan Mutu Keripik Talas. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Lazenby, W.B. 1998. Why certain plants are acrid. Di dalam R. Goldsworth (ed.). Abundant of Plant Varieties. World Wide, Inc. New York. Levine, R.A., 1983. Fiber as a binding agent. Di dalam. M. Winick (ed.). Nutrition and The Killer Diseases. Willey Interscience Publ. New York. Mariati. 2001. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati dan Tepung Garut (Maranta arundinacea) dari Beberapa Varietas Lokal. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Marsono, Y. 2002. Indeks glisemik umbi-umbian. Agritech 22:13-16. Mendosa, D. 2002. Revised international table of glycemic index (gi) and glycemic load (gl) values—2002. http://www.mendosa.com/gilists.htm. [20 Mei 2007] Milner, J.A.1999. Functional food and health promotion. The Journal of Nutrition. 129 (7S): 1395s-1397s. Moreau, A. Robert, M.J. Powell, dan K. B. Hicks. 2003. Evaluaion of a commercial enzyme-based serum cholesterol test kit for analysis of phytosterol and phytostanol products. J. Agr. Food Chem. 51 : 6663-6667. Mukhis, F. 2003. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Pati Umbi Ganyong (Canna edulis Kerr.) dan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) serta Sifat Penerimaan -amilase terhadap Pati. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Nissinen, M., H. Gylling, M. Vouristo, dan T.A. Miettinen. 2002. Micellar distribution of cholesterol and phytosterol after duodenal plant stanol ester infusion. Am. J. Physiol. Gastrointest. Liver Physiol 282 : G1009-G1015. Nisviaty, A. 2006. Pemanfaatan Tepung Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Klon BB00105.10 sebagai Bahan Dasar Produk Olahan Kukus serta Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemiknya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Normen, L., S. Bryngelsson, M. Johnsson, P. Evheden, L. Ellergard, H. Brants, H. Andersson, dan P. Dutta. 2002. The phytosterol content in some cereal foods commonly consumed in Sweden and in the Netherlands. J. of Food Composition and Analysis 15 : 693 – 704. Park, C.S., dan B.K. Baik. 2001. Characteristics of flour related to water absorption for making white salted noodles. Department of Food Science & Human Nutrition and IMPACT. Washington State University. Pullman. WA 99164-6376. Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar. Thomson Learning. United States of America. Prangdimurti, E. 2007. Kapasitas Antioksidan dan Daya Hipokolesterolemik Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pratibha, S., B. Nambisan, dan S. Leelamma. 1995. Enzyme inhibitors in tuber crops and their thermal stability. Plant-Foods-Hum-Nutr. 48(3): 247-57. Ragnhild, A.L., N.L.Asp, M. Alexsen, dan A. Rben. 2004. Glicemic index : relevance for health, dietary recommendation, and nutritional labeling. Scandinavian Journal of Nutrition. 482 : 84 – 94. Ridal, S. 2003. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung dan Pati Talas (Colocasia escilenta Crantz.) dan Kimpul (Xanthosoma Sp.) dan Uji Penerimaan Amilase terhadap Patinya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Rimbawan, dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Jakarta. Ristianti. 2003. Pembuatan Tepung Rumput Laut (Eucheuma cotonii) sebagai Sumber Iodium dan Dietary Fiber. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Sajilata, M.G., R.S. Singhal, dan P.R. Kulkarni. 2006. Resistant starch-a review. Comprehemsive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol. 5.
Sakai, W. S. 1983. Aroid root crops : Alocasia, Cyrtosperma, and Amorphophallus. Di dalam. H. T. Chan, Jr. (ed.). Handbook of Tropical Plants. Marcel Dekker. New York dan Basel. Sardesai, V. M. 2003. Introduction of Clinical Nutrition. 2nd ed. Marcel Dekker Inc. New York. Sari, K.W. 2005. Studi Kemampuan Pengikatan Kolesterol oleh Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown) dalam Simulasi Sistem Pencernaan in Vitro. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Sastrapradja, S., N.W. Soetjipto, S. Danimihardja, dan R. Soejono. 1977. UbiUbian. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. Balai Pustaka. Bogor. Sayar, S., J.L. Jannink, dan P.J. White. In vitro bile acid binding of flours from oat lianes varying in percentage and molecular weight distribution of glucan. J. of Agric. And Food Chemistry. 53 : 8797 – 8803. Schneeman, B.O. 1999. Fiber, inulin and oligofructose: similarities and differences. Journal of Nutrition. 129 (7S): 1424s-1427s. Schumm, W. 1978. Chemistry. Interscience Publ. Inc. New York. Shih, F., dan K. Daigle. 1999. Oil uptake properties of fried batters from rice flour. American Chemical Society. 47 : 1611-1615. Shimelis, E. A., M. Meaza, dan S.K. Rakshit. 2006. Physico-chemical properties, pasting behavior and functional characteristics of flours and starches from improved bean (Phaseolus vulgaris l.) varieties grown in East Africa. CIGR Ejournal. Manuscript FP 05 015. Vol. VIII. 1-19. Shin, S., J. Byun, K. W. Park, dan T.W. Moon. 2004. Effect of parcial acid and heat moisture treatment of formation of resistant tuber starch. Cereal Cemistry. 81(2):194-198. Smith, C.J. 1999. Carbohydrate chemistry. Di dalam. P.J. Lea dan R.C. Leegood (Eds.). Plant Biochemistry and Molecular Biology. 2nd ed. John Willey & Sons. New York. Sitepoe, M. 1993. Kolesterol FOBIA : Keterkaitan dengan Penyakit Jantung. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Trautwein, E.A., A. Kunath-Rau, dan H.F. Erbersdobler. 1999. Increased fecal bile acid excretion and changes in the circulating bile acid pool are involved in the hypocholesterolemic and gallstone preventive action of psyllium in hamsters. J of Nutrition. 129 (4) : 896 – 902. Wardlaw, G.M. 1999. Perspective in Nutrition. 4th ed. McGraw-Hill. Boston.
Whitney, E.N., E.M.N. Hamilton, dan S.R. Rolfes. 1990. Understanding Nutrition. 5th ed. West Publishing. New York. Whistler, R.L., dan J.N. Daniel. 1985. Carbohidrates. Di dalam : O.R. Fennema (Ed.). Food Chemistry. 2nd ed. Marcel Dekker. New York. Basel. Wijayakusuma, H. 2006. Bebas Diabetes Mellitus ala Hembing. Puspa Sehat. Jakarta. Wilson, D.E., dan W.V. Brown. 1978. Lipids and lipoproteins in diabetes mellitus. Di dalam : H.M. Katzen dan R.J. Mohler (Eds.). Diabetes, Obesity, and Vascular Diseases, Metabolic and Molecular Interrelation. John Willey and Son. New York. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pngan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G., dan S. Koswara. 2002. Iles-Iles dan Hasil Olahannya. MBrio Press. Bogor.
Lampiran 1. Data dan perhitungan penentuan total pati. Tabel 1. Data pengukuran total gula metode Anthrone pada penentuan total pati. Analat Standar glukosa - 0.0 ml - 0.2 ml - 0.4 ml - 0.6 ml - 0.8 ml - 1.0 ml Sampel - Tepung suweg U1 - Tepung suweg U2 - Tepung garut U1 - Tepung garut U2
Absorbansi
Kandungan glukosa (mg)
0.000 0.232 0.374 0.462 0.540 0.586
0.0000 0.0433 0.0866 0.1298 0.1731 0.2164
0.259 0.264 0.299 0.293
0.0672 0.0691 0.0825 0.0801
Kurva Standar Glukosa 0.7
Absorbansi
0.6 0.5 0.4
Kurva Standar
0.3
Linear (Kurva Standar)
y = 2.6027x + 0.0841 R2 = 0.9255
0.2 0.1 0 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
Kandungan glukosa (mg)
Contoh perhitungan : Bobot tepung suweg = 0.5072 g = 507.2 mg Absorbansi tepung suweg : 0.259 Kandungan glukosa dalam sampel hasil pengenceran = a = 0.0672 mg Faktor pengenceran = fp = 5000 Kadar total pati = a x fp x 0.9 x 100 = 59.66 % Bobot tepung (mg)
Lampiran 2. Data dan perhitungan kadar amilosa Tabel 1. Hasil pengukuran absorbansi amilosa standar dan sampel Analat Amilosa standar: - 0 ml -1 ml - 2 ml - 3 ml - 4 ml - 5 ml Sampel: - Pati suweg U1 - Pati suweg U2 - Pati garut U1 - Pati garut U2
Absorbansi
Kandungan amilosa (mg)
0.000 0.126 0.293 0.482 0.654 0.910
0.000 0.004 0.008 0.012 0.016 0.020
0.331 0.310 0.312 0.307
0.0082 0.0078 0.0078 0.0077
Kurva standar amilosa 1
y = 45.164x - 0.0408 R2 = 0.9896
Absorbansi
0.8 0.6
Kurva standar amilosa
0.4
Linear (Kurva standar amilosa)
0.2 0 -0.2
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
Kandungan amilosa (mg)
Contoh perhitungan : Bobot pati suweg = 100.6 mg Absorbansi pati suweg : 0.331 Kandungan amilosa dalam sampel hasil pengenceran = b = 0.0082 mg Faktor pengenceran = fp = 2000 Kadar amilosa = b x fp x 100 = 16.30 % Bobot pati (mg)
Lampiran 3. Data dan perhitungan daya cerna pati. Analat Maltosa standar - 0.0 ml - 0.2 ml - 0.4 ml - 0.6 ml - 0.8 ml - 1.0 ml Sampel - Pati murni - Blanko pati murni - Tepung suweg U1 - Blanko tepung suweg U1 - Tepung suweg U2 - Blanko tepung suweg U2 - Tepung garut U1 - Blanko tepung garut U1 - Tepung garut U1 - Blanko tepung garut U1
Absorbansi
Kandungan maltosa (mg)
0.000 0.030 0.082 0.128 0.178 0.218
0.000 0.106 0.212 0.318 0.424 0.530
0.352 0.003 0.290 0.006 0.306 0.010 0.354 0.000 0.347 0.001
0.8427 0.0232 0.6971 0.0303 0.7347 0.0397 0.8474 0.0162 0.8309 0.0186
Kurva standar maltosa 0.25 y = 0.4259x - 0.0069 R2 = 0.9962
Absorbansi
0.2 0.15
Kurva standar maltosa
0.1
Linear (Kurva standar maltosa)
0.05 0 -0.05
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Kandungan maltosa (mg)
Contoh perhitungan : Sampel tepung suweg U1: A = 0.6971 mg, a = 0.0303 mg, Pati murni : B = 0.8427 mg, b = 0.0232 mg Daya Cerna Pati sampel tepung suweg U1 = A - a B- b = 79.99 %
x 100 %
Lampiran 4. Amilogram tepung suweg dan tepung garut.
Puncak gelatinisasi
Titik awal gelatinisasi Gambar 1. Amilogram tepung suweg.
Puncak gelatinisasi
Titik awal gelatinisasi Gambar 2. Amilogram tepung garut.
Lampiran 5. Hasil pengukuran kadar glukosa darah relawan. Tabel 1. Data respon glukosa darah relawan terhadap glukosa Relawan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kadar glukosa darah (mg/dl) menit ke0 30 60 90 120 84 179 140 113 85 74 106 108 103 58 81 134 113 104 102 72 171 113 76 54 85 157 159 112 89 87 137 145 118 120 82 132 110 89 91 81 165 125 89 72 82 127 115 105 89 85 155 146 139 98
Luas area dibawah kurva (mg/dl.menit) 4830 2695.3 3585 4271 5250 4665 2685 4016.5 3135 5745
Tabel 2. Data respon glukosa darah relawan terhadap umbi suweg. Relawan Kadar glukosa darah (mg/dl) Luas area dibawah Indeks menit kekurva Glikemik (mg/dl.menit) 0 30 60 90 120 1 95 112 134 95 88 1680 34.78 2 71 97 72 80 82 1245 46.19 3 78 111 90 80 81 1455 40.59 4 76 108 71 69 73 895.1 20.95 5 80 135 94 73 75 2000 38.10 6 80 111 114 90 81 2265 48.55 7 69 107 81 73 71 1650 61.45 8 79 94 78 77 77 657 16.36 9 78 101 84 87 80 1170 37.32 10 87 117 82 89 80 851 14.81 Nilai IG rata-rata 36 + 14 Tabel 3. Data respon glukosa darah relawan terhadap umbi garut. Relawan Kadar glukosa darah (mg/dl) Luas area dibawah Indeks menit kekurva (mg/dl.menit) Glikemik 0 30 60 90 120 1 92 110 88 73 74 495 10.25 2 84 112 67 64 70 686 25.45 3 80 147 104 79 56 2718 75.82 4 76 118 93 63 63 1629.5 38.15 5 82 110 63 57 64 672 12.80 6 91 110 83 79 79 484.5 10.39 7 80 108 77 66 66 798 29.72 8 76 115 104 77 70 2030.5 50.55 9 77 82 85 80 74 457.5 14.59 10 95 158 127 90 88 2785.1 48.45 Nilai IG rata-rata 32 + 21
Lampiran 6. Data pengukuran kadar sterol. Tabel 1. Hasil pengukuran kadar kolesterol Perlakuan Tepung suweg - Fraksi awal S1 - Fraksi dialisat S1 - Fraksi awal S2 - Fraksi dialisat S2 Tepung garut - Fraksi awal G1 - Fraksi dialisat G1 - Fraksi awal G2 - Fraksi dialisat G2 Produk oat instant - Fraksi awal O1 - Fraksi dialisat O1 - Fraksi awal O2 - Fraksi dialisat O2 Tanpa sampel - Fraksi awal N1 - Fraksi dialisat N1 - Fraksi awal N2 - Fraksi dialisat N2 Ekstrak tepung - Ekstrak tepung suweg 1 - Ekstrak tepung suweg 2 - Ekstrak tepung garut 1 - Ekstrak tepung garut 2 Absorbansi larutan standar
Absorbansi
Kadar kolesterol (mg/dl)
Volume total (ml)
Jumlah kolesterol (mg)
0.034 0.009 0.030 0.008
28.3333 7.5000 25.0000 6.6667
111.00 23.25 110.00 23.50
31.4500 1.7438 27.5000 1.5667
0.043 0.007 0.042 0.009
35.8333 5.8333 35.0000 7.5000
110.00 23.50 110.00 22.00
39.4167 1.3708 38.5000 1.6500
0.035 0.001 0.033 0.001
29.1667 0.8333 27.5000 0.8333
110.00 23.00 110.00 24.00
32.0833 0.1917 30.2500 0.2000
0.045 0.008 0.046 0.008
37.5000 6.6667 38.3333 6.6667
110.00 23.50 110.00 22.50
41.2500 1.5667 42.1667 1.5000
0.030 0.027 0.025 0.024
25.0000 22.5000 20.8333 20.0000
50.00 50.00 50.00 50.00
12.5000 11.2500 10.4167 10.0000
= 0.240 = 200 mg kolesterol /dl
Absorbansi larutan tepung telur 5 % = 0.499 = 415.8333 mg kolesterol /dl Absorbansi larutan pankreatin-bile = 0.035 = 29.1667 mg kolesterol /dl
Lampiran 7. Analisis sidik ragam kadar kolesterol tak terikat pada supernatan fraksi awal.
Oneway Descriptives Kandungan kolesterol tak terikat pada fraksi awal (mg)
Tepung suweg Tepung garut Oat instant Tanpa sampel Total
N
Mean 229,475000 238,955300 231,166650 241,708350 835,326325
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum 2,793072 1,975000 4,380246 54,569754 27,5000 ,643891 ,455300 33,170165 44,740435 38,5000 1,296339 ,916650 19,519507 42,813793 30,2500 ,648205 ,458350 35,884461 47,532239 41,2500 5,621359 1,987450 30,626752 40,025898 27,5000
ANOVA Kandungan kolesterol tak terikat pada fraksi awal (mg)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 210,881 10,317 221,198
df 3 4 7
Mean Square 70,294 2,579
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Kandungan kolesterol tak terikat pada fraksi awal (mg) Duncan
a
SAMPEL Tepung suweg Oat instant Tepung garut Tanpa sampel Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 29,475000 31,166650 38,955300 41,708350 ,352 ,162
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
F 27,255
Sig. ,004
Maximum 31,4500 39,4106 32,0833 42,1667 42,1667
Lampiran 8. Analisis sidik ragam kandungan kolesterol fraksi dialisat.
Oneway Descriptives Kandungan kolesterol (mg)
Tepung suweg Tepung garut Oat instant Tanpa sampel Total
N 2 2 2 2 8
Mean 1,655250 1,510400 ,195850 1,533350 1,223713
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum ,125229 8,86E-02 ,530116 2,780384 1,5667 1,7438 ,197424 ,139600 -,263386 3,284186 1,3708 1,6500 5,86899E-03 4,15E-03 ,143119 ,248581 ,1917 ,2000 4,71640E-02 3,33E-02 1,109598 1,957102 1,5000 1,5667 ,643484 ,227506 ,685747 1,761678 ,1917 1,7438 ANOVA
Kandungan kolesterol (mg)
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2,842 5,692E-02 2,898
df 3 4 7
Mean Square ,947 1,423E-02
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Kandungan kolesterol (mg) Duncan
a
SAMPEL Oat instant Tepung garut Tanpa sampel Tepung suweg Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 ,195850 1,510400 1,533350 1,655250 1,000 ,297
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
F 66,566
Sig. ,001
Lampiran 9. Analisis sidik ragam persentase sterol terdialisis.
Oneway Descriptives % Sterol Terdialisis
Tepung suweg Tepung garut Oat instant Tanpa sampel Total
N 2 2 2 2 8
Mean 3.089150 2.908750 .469550 3.676350 2.535950
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum .2336988 .1652500 .989450 5.188850 2.9239 3.2544 .3802113 .2688500 -.507313 6.324813 2.6399 3.1776 .0140714 .0099500 .343123 .595977 .4596 .4795 .1130664 .0799500 2.660489 4.692211 3.5964 3.7563 1.3225095 .4675777 1.430304 3.641596 .4596 3.7563
ANOVA % Sterol Terdialisis
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 12.031 .212 12.243
df 3 4 7
Mean Square 4.010 .053
F 75.611
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets % Sterol Terdialisis Duncan
a
SAMPEL Oat instant Tepung garut Tepung suweg Tanpa sampel Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 3 .469550 2.908750 3.089150 3.089150 3.676350 1.000 .477 .063
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
Sig. .001