i
NILAI INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.)
STACEY ATHALIA GUNAWAN
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2013
Stacey Athalia Gunawan NIM I14104025
iii
ABSTRACT STACEY ATHALIA GUNAWAN. Glycemic Indices of Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) Products. Under Direction of RIMBAWAN. The general objective of this study was to analyze the glycemic indices of fried, boiled, and steamed suweg. The specific objectives of this study were: (1) to analyse nutrient composition in processed suweg; (2) to analyse glycemic indices of processed suweg; (3) to analyse any statistical differences of glycemic indices of fried, boiled, and steamed suweg. This research consisted of three stages covered: (1) processing of suweg into three treatments (fried, boiled, and steamed), (2) analyzing of nutrient contents in suweg products, (3) measuring of glycemic index of three processed. Treatment affects the moisture(wet based/ wb) content of suweg which were on steamed, boiled, and fried suweg 73.61%, 80.25%, and 55.92% respectively. Protein content (dry based/ db) were 5.38%, 5.67%, and 3.92% respectively. Fat content (db) were 0.27% for steamed, 0.39% for boiled, and 11.41% for fried suweg. Total carbohydrate by difference content (db) for steamed, boiled, and fried suweg were 87.47%, 87.87%, and 79.03% respectively. Total dietary fiber (db) content were 29.02% for steamed, 34.99% for boiled, and 25.58% for fried suweg. Insoluble dietary fiber (db) content for steamed, boiled and fried suweg were 19.67%, 27.06% dan 19.47%, while soluble dietary fiber (db) were 7.93%, 11.72% dan 6.12% respectively. Glycemic index values of steamed, boiled, and fried suweg were 37.36, 45.58, and 24.68 respectively. Those three products were classified as low glycemic index category. Statistical analysis showed that treatment effected the glycemic index value. Key words: glycemic index, suweg
iv
RINGKASAN STACEY ATHALIA GUNAWAN. Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Dibimbing oleh Dr. RIMBAWAN. Karbohidrat seringkali dikelompokkan menurut struktur kimia yaitu karbohidrat sederhana dan kompleks. Namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini diketahui bahwa konsep tersebut tidak dapat menggambarkan dampak karbohidrat pada kadar glukosa darah. Konsep indeks glikemik muncul untuk menunjukkan efek karbohidrat terhadap kenaikan kadar gula darah dalam tubuh manusia (Rimbawan dan Siagian 2004). Dengan demikian maka jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat dapat dipilih untuk menjaga kesehatan tubuh. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik suatu pangan. Pangan dengan jenis bahan yang sama tetapi menggunakan cara pengolahan yang berbeda dapat menunjukkan nilai indeks glikemik yang berbeda-beda, karena pengolahan dapat merubah karakteristik dan sifat fisiko kimia bahan pangan. Adanya perubahan struktur tersebut dapat mempengaruhi daya cerna dan daya serap pangan tersebut. Lamanya penyerapan karbohidrat berbanding lurus dengan indeks glikemik pangan. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk diserap maka semakin rendah pula IG pangan dan sebaliknya. Suweg merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai pengganti beras. Umbi suweg merupakan umbi terbesar di Indonesia. Suweg merupakan salah satu pangan lokal dengan pembudidayaan yang relatif mudah dan dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat. Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal masyarakat adalah dengan pengukusan dan perebusan. Penelitian mengenai indeks glikemik pangan lokal yang dapat dijadikan sumber karbohidrat masih sangat terbatas. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mempelajari nilai indeks glikemik pada berbagai jenis olahan umbi suweg. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisa indeks glikemik produk olahan umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah (1) mengkaji komposisi zat gizi yang terkandung pada suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus; (2) menganalisis nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus; (3) menganalisis pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus. Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan September sampai dengan awal bulan November 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah Laboratorium Percobaan Pangan, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan, serta Teaching Cafetaria, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu pemilihan sampel dan persiapan, pengolahan suweg, analisis kandungan zat gizi, pemilihan subjek penelitian, pengukuran indeks glikemik produk olahan suweg. Data respon glukosa darah disebar pada sumbu x (waktu) dan sumbu y (respon glikemik), kemudian luas area dibawah kurva antara pangan acuan dan pangan uji dibandingkan dengan bantuan Microsoft Excel 2010 untuk mendapatkan nilai indeks glikemik. Pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (one way anova).
v
Bermacam jenis pengolahan pangan menghasilkan komposisi zat gizi yang berbeda pada produk olahan suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Perbedaan kandungan gizi ini disebabkan oleh penggunaan bahan pangan lain yang ditambahkan (air dan minyak) serta metode pengolahan yang berbeda (mengukus, merebus, dan menggoreng). Kadar air (bb) dalam suweg kukus, rebus dan goreng sebesar 73.61%, 80.25%, dan 55.92%. Kadar protein (bk) pada suweg kukus, rebus dan goreng berturut-turut 5.38%, 5.67%, dan 3.92%. Kadar lemak (bk) pada suweg kukus, rebus dan goreng 0.27%, 0.39%, dan 11.41%. Kandungan karbohidrat by difference (bk) dalam suweg kukus, rebus dan goreng sebesar 87.47%, 87.87%, dan 79.03%. Serat pangan total (bk) yang terkandung pada suweg kukus, rebus dan goreng 29.02%, 34.99%, dan 25.58%. Kadar serat pangan tidak larut (bk )untuk suweg kukus, rebus dan goreng 19.67%, 27.06% dan 19.47%, sedangkan serat pangan larut (bk) sebesar 7.93%, 11.72% dan 6.12%. Hasil pengukuran indeks glikemik menunjukkan bahwa tiap produk olahan suweg dengan pengolahan yang berbeda, memiliki respon glikemik yang juga berbeda. Nilai indek glikemik suweg kukus (37.36), suweg rebus (45.58), dan suweg goreng (24.68) berada pada kategori pangan dengan indeks glikemik rendah. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan suweg yang berbeda menunjukkan perbedaan respon glikemik secara nyata (p<0.05). Derajat gelatinisasi pada suweg kukus, rebus dan goreng berturut-turut 68.87%, 83.38%, dan 24.41%. Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat gelatinisasi, maka semakin tinggi pula IG yang dimiliki oleh pangan tersebut. hal ini sesuai dengan hasil analisis. Suweg goreng yang memiliki nilai indeks glikemik paling kecil, memiliki nilai derajat gelatinisasi yang paling kecil pula. Demikian pula pada bahan pangan suweg kukus dan rebus yang memiliki nilai derajat gelatinisasi yang lebih tinggi.
vi
NILAI INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.)
STACEY ATHALIA GUNAWAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
vii
Judul : Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) Nama : Stacey Athalia Gunawan NIM
: I14104025
Disetujui oleh:
Dr. Rimbawan Pembimbing
Diketahui oleh:
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen
Tanggal Disetujui :
viii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat penyertaan dan hikmat yang senantiasa dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)” sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Selama penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak baik bantuan moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Dr. Rimbawan selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan, serta motivasi yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Dr. Ir. Evy Damayanti, MS selaku dosen penguji sidang yang telah memberikan masukan untuk penyelesaian skripsi ini. 4. Dr. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan. 5. Kedua orang tua (Alm. David Ananto dan Vonny Broto Loekito), kakak (Stella Alvina) dan adik (Stefanus Andre dan Starlyn Angelica) yang senantiasa memberikan dukungan kekuatan, kasih sayang, perhatian, finansial, dan doa yang tulus kepada penulis yang tidak henti-hentinya selama ini. 6. Para teknisi laboratorium Departemen Gizi Masyarakat, Bapak Mashudi, Ibu Ir.Titi Riani, M.Biomed, Ibu Khusnul Rizqywati, B.Sc, Ibu Nina, S.Si yang senantiasa memberikan bantuan, kesediaan untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis selama melakukan penelitian. 7. dr. Naufal Muharram yang telah membantu dalam pengukuran kadar glukosa darah subjek. 8. Para pembahas seminar (Irani Rachmawati, Relina Kusumawardhani, Soni Fauzi dan Nindya Anindita) atas saran dan masuk untuk penyempurnaan skripsi ini. 9. Para subjek penelitian yaitu 10 orang mahasiswa Ilmu Gizi, FEMA, IPB, atas segala waktu yang diluangkan dan kesukarelaan menjadi subjek penelitian sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
ix
10. Sarah Melati Fu, Novita Mulyana, Sri Handayani (Nina), Ine Sunarya, Liliani, Eliza Nathania, Martin Suhendra, Hizkia Michael, dan Annanias Ryan yang selalu menjadi teman terbaik dan memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi. 11. Teman-teman anggota kelompok kesan Titin1 yang selalu memberikan motivasi dan dukungan doa 12. Resita Nurbayani teman seperjuangan dalam penyelesaian skripsi, Relina Kusumawardhani, Erni lestari dan Dwi Rusmawati sahabat semasa kuliah. 13. Teman-teman seperjuangan alih jenis Ilmu Gizi angkatan ke-4. 14. Seluruh teman-teman dan pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan doa kepada Penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis harapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, menambah keragaman ilmu pengetahuan terutama mengenaiindeks glikemik.
Bogor, Februari 2013
Stacey Athalia Gunawan
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1989. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara pasangan David Ananto dan Vonny Broto Loekito. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis yaitu taman kanak-kanak di TK Kartini Kecamatan Bangunsari, Caruban (1993-1995), Sekolah Dasar di SDN Kerajan 02 Kecamatan Mejayan, Caruban (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMPK Santo Yusuf Madiun (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMAK St. Louis 1 Surabaya (2004-2007). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Regular (Test) di Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi Diploma IPB. Penulis melakukan Praktek Usaha Jasa Boga di Hotel Kartika Chandra sejak tanggal 7 Oktober 2009 sampai tanggal 7 Januari 2010. Penulis Praktek Kerja Lapang di RS Angkatan Darat Salak Bogor sejak tanggal 2 Maret 2010 sampai tanggal 18 Juni 2010. Setelah menempuh pendidikan diploma, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya di program alih jenis (ekstensi) ilmu gizi IPB pada tahun 2010. Selama kuliah di program alih jenis, penulis pernah menjadi panitia Divisi Sponsorship dalam kegiatan Seminar Pangan dan Gizi Nasional ”FIT FESTIVAL” yang dilaksanakan di Hotel Brajamustika. Selain itu, penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi di Kecamatan Margasari Kabupaten Tegal selama 2 bulan. Penulis melakukan penelitian pada tahun 2012 sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dengan judul NILAI INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN SUWEG (Amorphophallus campanulatus Bl.) dibawah bimbingan Dr. Rimbawan.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Tujuan Umum
2
Tujuan Khusus
2
Kegunaan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Suweg
3
Karbohidrat
5
Pati
6
Serat Pangan
7
Indeks Glikemik
7
Beban Glikemik
8
Prosedur Penentuan Indeks Glikemik Pangan
9
Prinsip Pengukuran Indeks Glikemik
9
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan METODE PENELITIAN
10 14
Waktu dan Tempat
14
Bahan dan Alat
14
Tahapan Penelitian
15
Pemilihan Sampel dan Persiapan
15
Pengolahan Suweg
15
Analisis Kandungan Zat Gizi Produk Olahan Suweg
15
Pengukuran Derajat Gelatinisasi, Kadar Amilosa dan Amilopektin
16
Penentuan dan Pemilihan Subjek Penelitian
16
Pengukuran Indeks Glikemik Suweg Goreng, Suweg Rebus, dan Suweg Kukus Pengolahan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN
16 18 18
xii
Halaman Pengolahan Produk Olahan Suweg
19
Komposisi Zat Gizi Produk Olahan Suweg
20
Kadar Air
21
Kadar Abu
22
Kadar Protein
23
Kadar Lemak
24
Kadar Karbohidrat (by difference)
25
Kadar Serat Pangan Total
26
Derajat Gelatinisasi Pati Produk Olahan Suweg
28
Kadar Amilosa dan Amilopektin
30
Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg
31
Subjek Penelitian
31
Penentuan Jumlah Pangan Uji dan Acuan
32
Respon Glikemik
34
Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg
37
KESIMPULAN DAN SARAN
43
Kesimpulan
43
Saran DAFTAR PUSTAKA
43 43
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 5 8 17
1 Kandungan gizi 100 g suweg, uwi dan ubi jalar 2 Klasifikasi indeks glikemik 3 Jumlah subjek penelitian 4 Hasil uji proksimat dan serat pangan total pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus dan suweg goreng. 5 Jumlah pangan uji dan acuan yang diberikan kepada subjek penelitian setara dengan 25 gram karbohidrat tersedia. 6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Glikemik 7 Beban Glikemik berbagai produk olahan suweg
21 34 38 42
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman Suweg 2 Pengukuran glycemic index pangan 3 Berbagai produk olahan suweg 4. Kadar air (%b/b) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng 5. Kadar abu (% b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng 6. Kadar Protein (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. 7. Kadar Lemak (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. 8. Kadar karbohidrat by difference (%bk) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. 9. Kadar serat pangan (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. 10. Derajat gelatinisasi pada produk suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng 11. Kadar total pati, amilosa, amilopektin (%b/k) pada produk suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. 12. Perbandingan pengaruh glukosa murni 25 gram dan 50 gram 13. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg kukus 14. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg rebus 15. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg goreng 16. Nilai rata-rata indeks glikemik produk olahan suweg
3 9 19 21 22 23 24 26 27 28 30 33 35 36 36 37
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Cara Pengolahan Suweg Goreng, Suweg Kukus, dan Suweg Rebus 2 Uji Proksimat 3 Analisis kadar serat metode enzimatik (Fardiaz et al 1984) 4 Metode Analisis Derajat Gelatinisasi 5 Analisis kadar amilosa metode spektrofotometer 6 Informed Consent 7 Dokumentasi 8 Contoh Perhitungan Pangan Uji yang Diberikan 9 Uji Ragam Anova
48 50 54 57 59 60 61 62 63
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyakit Diabetes Mellitus (DM) atau lebih dikenal dengan penyakit kencing manis merupakan salah satu penyakit degeneratif sebagai akibat dari kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemi). Kadar gula tinggi dapat disebabkan karena jumlah hormon insulin yang cukup atau bahkan kadangkadang lebih tetapi kurang efektif (resistensi insulin) (Waspadji 2003). Hasil berbagai penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kejadian DM yaitu 171 juta orang di belahan bumi pada tahun 2003 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 2 kali lipat pada tahun 2030 (World Health Organization 2003). Di Indonesia jumlah penyakit DM mencapai 8.426.000 orang pada tahun 2000 atau prevalensi sekitar 4% dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlahnya akan mencapai 21.257.000 orang (World Health Organization 2005). Salah satu penyebab timbulnya diabetes melitus adalah karena konsumsi zat gizi khususnya karbohidrat yang tidak seimbang atau melebihi kebutuhan. Orang dengan diabetes mellitus disarankan untuk membatasi konsumsi karbohidrat. Karbohidrat pada dasarnya dikelompokkan menurut struktur kimianya
yaitu
karbohidrat
sederhana
dan
kompleks.
Namun
dengan
perkembangan ilmu sekarang ini diketahui bahwa konsep tersebut tidak dapat menggambarkan dampak karbohidrat pada gula darah. Dari pemahaman tersebut muncul konsep indeks glikemik yang menunjukkan efek karbohidrat terhadap kenaikan kadar gula darah dalam tubuh manusia (Rimbawan dan Siagian 2004). Penerapan konsep ini dapat digunakan untuk memilih jumlah dan jenis pangan yang tepat untuk menjaga kesehatan tubuh. Orang dengan diabetes melitus sebaiknya memilih konsumsi makanan yang memiliki nilai indeks glikemik rendah Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik suatu pangan. Pangan dengan jenis bahan yang sama tetapi menggunakan cara pengolahan yang berbeda dapat menunjukkan nilai indeks glikemik yang berbeda-beda, karena pengolahan dapat merubah karakteristik dan sifat fisiko kimia bahan pangan. Adanya perubahan struktur tersebut dapat mempengaruhi daya cerna dan daya serap pangan tersebut. Lamanya penyerapan karbohidrat berbanding lurus dengan indeks glikemik pangan. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk diserap maka semakin rendah pula IG pangan dan sebaliknya.
2
Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat yang dapat digunakan sebagai pengganti beras. Menurut Pitodjo (2007) pada zaman penjajahan Jepang, umbi suweg berjasa mendukung ketahanan pangan keluarga bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi mereka yang kesulitan untuk menyediakan beras atau pangan sumber karbohidrat lainnya. Penelitian mengenai indeks glikemik pangan lokal yang dapat dijadikan sumber karbohidrat masih sangat terbatas. Suweg merupakan salah satu pangan lokal dengan pembudidayaan yang relatif mudah dan dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat. Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal masyarakat adalah dikukus dan direbus. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mempelajari nilai indeks glikemik pada berbagai jenis olahan umbi suweg. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pengukuran indeks glikemik produk olahan umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini meliputi: 1.
Mengkaji komposisi zat gizi yang terkandung pada suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.
2.
Menganalisis nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.
3.
Menganalisis pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data pasti mengenai nilai indeks glikemik suweg dan beberapa produk olahannya sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam memilih menu makanan dari produk olahan suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.).
3
TINJAUAN PUSTAKA Suweg Tanaman suweg merupakan salah satu jenis bunga bangkai dan memiliki nama latin Amorphophallus campanulatus BI. yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini biasa disebut suweg oleh masyarakat Jawa dan Sunda, sedangkan di daerah Madura orang menyebutnya sobek (Lingga 1986). Tanaman suweg tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl di daerah tropis dan subtropis, dengan pertumbuhan vegetatif aktif pada kondisi udara yang hangat dan lembab, dan kondisi dorman terjadi pada musim kering (Sakai 1993). Tanaman suweg tumbuh liar di lahan atau tanpa sentuhan teknologi budidaya yang memadai. Suweg dapat hidup menahun dan bertahan lama di lahan. Umbi suweg merupakan umbi terbesar di Indonesia. Pada budi daya intensif, tanaman suweg mampu menghasilkan lebih dari 7.5 kg umbi pada umur 3 tahun dan mencapai 11 kg pada umur 4 tahun (Pitodjo 2007). Bunga tanaman ini mengeluarkan aroma yang tidak sedap dan menyengat. Tanaman suweg tampak seperti sebatang tonggak dengan sedikit daun. Tanaman suweg dalam taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotilrdonae
Ordo
: Aracales
Genus
: Amorphophallus
Spesies
: Amorphophallus campanulatus Bl.
Tanaman suweg hidup selama satu musim dengan satu umbi yang berada di bawah tanah (Pitodjo 2007).
Gambar 1 Tanaman Suweg Umbi suweg berbentuk bulat dengan bagian atasnya berlekuk dangkal bekas tempat pangkal tangkai daun. Penampakannya seperti mangkuk. Umbi
4
suweg termasuk umbi batang, merupakan perubahan bentuk dari batang yang memiliki fungsi sebagai penyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Bagian teratas umbi suweg biasanya berada sekitar 10-15 cm di bawah tanah. Umbi suweg terdiri dari kulit umbi dan daging umbi. Kulit luar umbi suweg merupakan lapisan kutikula yang bersifat melindungi daging umbi. Kulit umbi suweg saat dipanen berwarna kuning muda dan setelah didiamkan beberapa saat di dalam tanah akan berwarna kuning kecoklatan. Pada kulit suweg melekat beberapa organ tanaman di bawah tanah, yaitu tunas tanaman, tunas akar, akar aktif, dan akar yang telah mati. Bagian kulit umbi yang terkupas akan mengeluarkan getah licin yang mengandung kalsium oksalat sehingga menimbulkan rasa gatal pada kulit. Daging umbi berwarna putih kemerahmerahan, dan terasa licin dan berlendir. Menurut fase perkembangan tanaman, daging umbi bersifat pulen, kenyal namun terkadang bertekstur keras (Pitodjo 2007). Menurut Lazenby (1998) seperti dikutip oleh Kurdi (2002), timbulnya rasa gatal terutama disebabkan oleh kalsium oksalat berbentuk raphide (jarum halus) yang tidak terbungkus atau dikelilingi oleh semacam getah, sehingga dapat melakukan kontak secara langsung dengan lidah, bibir, dan langit-langit mulut ketika dikunyah. Kandungan kalsium oksalat tersebut dapat dikurangi dengan perlakuan perendaman dalam air beberapa lama, juga dengan pemanasan (pemasakan) yang intensif (Sakai 1993). Pada masa penjajahan Jepang, Negara Indonesia mengalami kesulitan bahan pangan sehingga sebagian masyarakat khususnya daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah menggunakan umbi suweg sebagai makanan pokok. Selain itu umbi suweg dipercaya baik dikonsumsi oleh orang dengan diabetes mellitus. Perkembangan ilmu dan teknologi sekarang ini, umbi suweg telah banyak digunakan dalam industri makanan seperti tepung suweg, dan minuman jelly (konyaku) (Pitodjo 2007). Menurut Pitodjo (2007), umbi suweg mengandung gizi yang cukup baik, walaupun lebih rendah bila dibandingkan dengan uwi ataupun ubi jalar. Kandungan dari 100 g bahan umbi suweg, uwi dan ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 1.
5
Tabel 1 Kandungan gizi 100 g suweg, uwi dan ubi jalar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Zat Gizi Suweg Kalori (Kal) 69 Protein (g) 1.0 Lemak (g) 0.1 Karbohidrat (g) 15.7 Kalsium (mg) 62 Fosfor (mg) 41 Besi (mg) 4.2 Vitamin A (SI) 0 Vitamin B1 (mg) 0.07 Vitamin C (mg) 5 Air (g) 82.0 Bahan dapat dimakan (%) 86 Sumber: DepKes. RI dalam Pitodjo (2007)
Uwi 101 2.0 0.2 19.8 45 280 1.8 0 0.1 9 75 86
Ubi Jalar 123 1.8 0.7 27.9 30 49 0.7 60 0.09 22 68.5 86
Karbohidrat Karbohidrat merupakan gugusan yang terdiri dari dua unsur karbon dan hidrogen (Prijatmoko 2007). Karbohidrat dibagi berdasarkan struktur kimianya menjadi
monosakarida,
disakarida,
oligosakarida,
dan
polisakarida
(Hardjasasmita 2010). Monosakarida adalah karbohidrat yang sederhana, sehingga zat tersebut tidak dapat diuraikan menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Monosakarida dibagi menurut banyaknya atom karbon, misalnya diosa (mengandung 2 atom karbon), triosa, tetrosa, pentose hingga nanosa. Selain itu dapat juga dibagi atas aldose (mempunyai gugus aldehid) dan ketosa (mempunyai gugus keton). Heksosa merupakan bentuk monosakarida yang banyak terdapat dalam makanan, yaitu terdiri dari glukosa, fruktosa, galaktosa, dan mannosa (Prijatmoko 2007). Disakarida terbentuk dari dua molekul monosakarida. Kedua molekul tersebut dihubungkan dengan ikatan kovalen. Sukrosa mempunyai salah satu contoh dari disakarida yang popular di masyarakat dengan sebutan gula meja. Sukrosa terbentuk dari satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Contoh lain disakarida adalah laktosa, yaitu jenis karbohidrat yang merupakan komponen penting pada air susu mamalia. Satu molekul laktosa terbentuk dari satu molekul galaktosa dan satu molekul glukosa (Rimbawan dan Siagian 2004). Oligosakarida tersusun dari 3-10 monosakarida. Contoh oligosakarida antara lain raffinosa (3 molekul) dan stakiosa (4 molekul) (Rimbawan dan Siagian 2004). Polisakarida disusun oleh lebih dari 10 molekul monosakarida. Polisakarida dalam makanan berfungsi sebagai penguat tekstur (selulosa,
6
hemiselulosa, pektin, dan lignin) dan sebagai sumber energi (pati, dekstrin, glikogen, dan fruktan). Polisakarida penguat tekstur ini tidak dapat dicerna oleh tubuh, tetapi merupakan serat-serat (dietary fiber) yang dapat menstimulasi enzim-enzim pencernaan (Winarno 1997). Karbohidrat terdapat pada hewan dan manusia dalam bentuk glikogen yang banyak terdapat di dalam hati dan jaringan otot. Glikogen merupakan salah satu bentuk simpanan energi di dalam tubuh yang dapat dihasilkan melalui konsumsi karbohidrat dan dapat dikonversi kembali menjadi glukosa pada saat tubuh membutuhkannya (Rimbawan dan Siagian 2004). Pati Pati merupakan senyawa polisakarida yang terdiri dari monosakarida yang berikatan melalui ikatan oksigen. Pati merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan suatu polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Polimer linier dari D-glukosa membentuk amilosa dengan 1,4-glukosa, sedangkan polimer amilopektin adalah terbentuk ikatan 1,4-glukosida dan membentuk cabang pada ikatan 1,6glukosida. Pati dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman yang dibentuk (disintesa) di dalam daun (plastid) dan amiloplas seperti umbi, akar atau biji dan merupakan komponen terbesar pada singkong, beras, sagu, jagung, kentang, talas, dan ubi jalar (Hartati 2003). Jumlah unit glukosa dan susunannya dalam satu jenis pati berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman asalnya. Bentuk butiran pati ini berbeda satu sama lain dengan sifat tersendiri dalam daya larut, daya mengentalkan dan rasa. Amilosa merupakan unit glukosa dengan rantai panjang yang tidak bercabang, sedangkan amilopektin memiliki susunan yang bercabang-cabang.rantai glukosa terikat dengan ikatan alfa yang dapat dipecah dalam proses pencernaan. Komposisi amilosa dan amilopektin berbeda-beda dalam setiap jenis pangan. Rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal sehingga tidak larut dalam air dan memperlambat pencernaan oleh amylase pankreas (Almatsier 2004). Pati yang dimasukkan ke dalam air dingin akan membengkak karena granula pati menyerap air. Jumlah air yang terserap terbatas sesuai dengan pembengkakannya. Maksimal kadar air yang terserap mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55-65ºC merupakan
pembengkakan
yang
sesungguhnya
dan
setelah
proses
7
pembengkakan ini granula pati akan kembali pada keadaan semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa namun tidak dapat kembali pada kondisi semula. Proses perubahan tersebut yang disebut sebagai gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah adalah suhu gelatinisasi (Winarno 1997). Serat Pangan Serat terdapat pada berbagai tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan yang secara fisis terdapat dua bentuk yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat akan membentuk lapisan pada saluran pencernaan yang akan menghambat proses pencernaan dan absorbsi. Serat dapat terdiri atas selulosa, lignin, pentosan, asam uronat dan lain-lain yang dapat dianalisis. Ada sebagian serat yang mempunyai hubungan dengan indeks glikemik yang rendah seperti leguminosa, guar dan tragacantha (Waspadji 2007). Serat larut dan tidak larut mempunyai manfaat berbeda tetapi keduanya bekerja saling melengkapi. Di dalam lambung, serat yang larut air akan menimbulkan rasa kenyang dan menyebabkan makanan tinggal lebih lama. Serat tidak larut air, selain menimbulkan rasa kenyang, juga bermanfaat menjaga kesehatan usus besar, serta mencegah timbulnya tumor dan kanker. Di dalam saluran pencernaan, serat akan mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Semakin tinggi konsumsi serat, akan semakin banyak asam empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Hal tersebut secara otomatis akan mengurangi kadar kolesterol. Selain untuk mengendalikan kolesterol, serat
juga sangat berguna mencegah diabetes
melitus dan terjadinya kanker kolon (Sutanto 2007).
Indeks Glikemik Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa Indeks Glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. Pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan cepat memiliki Indeks Glikemik tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan lambat memiliki Indeks Glikemik rendah. Hal serupa juga dikemukakan oleh Prijatmoko (2007), indeks glikemik adalah sebagai respon glukosa darah terhadap makanan yang mengandung karbohidrat dalam takaran dan waktu tertentu.
8
Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki Indeks Glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan karbohidrat ini cepat dan tinggi. Dengan kata lain, glukosa dan aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki Indeks Glikemik rendah (slow release carbohydrate) sehingga melepaskan glukosa dalam darah dengan lambat. Indeks glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan Indeks Glikemik pangan lain (Rimbawan dan Siagian 2004). Makanan yang sedikit atau tidak mengandung karbohidrat, seperti daging, keju, dan gajih memiliki indeks glisemik mendekati nol. Semakin sedikit makanan mengandung pati dan gula yang mudah dicerna, semakin kecil indeks glikemiknya.
Makanan
berserat,
meskipun
mengandung
karbohidrat,
membutuhkan waktu untuk melewati sistem pencernaan, sehingga cenderung memiliki indeks glikemik rendah. Serat juga membantu memperlambat masuknya gula ke dalam aliran darah Anda (Wylio 2011). Pangan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan indeks glikemiknya. Kategori pertama, pangan dengan Indeks Glikemik rendah adalah pangan yang memiliki rentang IG < 55. Kategori kedua, pangan dengan Indeks Glikemik sedang adalah pangan yang berada pada rentang IG 55-70. Kategori ketiga, pangan dengan Indeks Glikemik tinggi adalah pangan dengan rentang IG>70. Klasifikasi indeks glikemik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi indeks glikemik Klasifikasi IG Rendah IG Sedang IG Tinggi
Kisaran GI < 55 56-70 >70
(Sumber: Miller et al. 1996)
Penderita diabetes mellitus dianjurkan paling sedikit mengkonsumsi 50% dari total asupan nasi berupa makanan yang memiliki indeks glikemik rendah. Berdasarkan hal tersebut informasi tentang nilai indeks suatu makanan sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes (Prijatmoko 2007). Beban Glikemik Indeks glikemik menunjukkan kecepatan karbohidrat berubah menjadi gula darah. Indeks Glikemik tidak memberikan informasi mengenai banyaknya karbohidrat dan dampaknya pada kadar gula darah. Seperti contohnya pada wortel yang memiliki Indeks Glikemik tinggi (IG= 131), namun pangan tersebut
9
tidak perlu dihindari karena tidak mungkin orang tersebut dapat mengkonsumsi 50 g karbohidrat dari wortel dalam sekali makan. Maka untuk hal itulah beban glikemik (BG) dari pangan perlu diketahui (Rimbawan dan Siagian 2004). Muatan glikemik (glycemic load atau GL) digunakan untuk mengukur dampak potensial makanan terhadap gula darah. Makanan mungkin memiliki indeks glikemik tinggi tetapi jika tidak mengandung banyak karbohidrat per ratarata penyajian, tidak akan banyak dampaknya pada gula darah. Perhitungan dari muatan glikemik makanan, yaitu mengalikan indeks glikemik dengan jumlah karbohidrat non-serat dalam satu porsi, kemudian dibagi dengan 100. Angka muatan glikemik 20 ke atas dikategorikan tinggi, 10-19 kategori menengah dan kurang dari 10 menunjukan nilai GL yang rendah (Kindo 2011). Prosedur Penentuan Indeks Glikemik Pangan Prosedur penentuan Indeks Glikemik pangan adalah sebagai berikut (Miller et al., 1996): a. Glukosa darah puasa diambil secara prick-test pada pengambilan sampel darah pertama. b. Pangan tunggal yang akan ditentukan IG-nya (yang mengandung 25 gram karbohidrat) diberikan kepada subjek. c. Sampel darah diambil untuk setiap 15 menit pada jam pertama kemudian setiap 30 menit pada jam kedua untuk diukur kadar glukosanya. d. Kadar glukosa darah diplot pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan glukosa darah (Y). Indeks Glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan uji dengan pangan acuan.
Gambar 2 Pengukuran glycemic index pangan Prinsip Pengukuran Indeks Glikemik Pengukuran indeks glikemik (IG) pangan dilakukan dengan memberikan pangan uji dengan jumlah yang setara dengan 25 gram karbohidrat kepada
10
seluruh subyek penelitian. Pangan tersebut diberikan kepada subyek setelah melakukan puasa selama 10 jam (overnight fasting). Hal ini dilakukan untuk mengurangi cadangan gula darah dalam tubuh yang dapat digunakan untuk mengasilkan energi sehingga gula darah yang diukur benar-benar merupakan respon terhadap pangan uji yang diberikan. Setelah itu, subyek diambil darahnya menggunakan fringer prick pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, dan menit ke 120. Kadar gula yang ditunjukkan oleh alat tersebut dibuatkan grafik menurut sumbu X dan Y, lalu dihitung luas daerah di bawah kurva baik menggunakan rumus integral maupun trapezoid. Nilai yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan luas kurva untuk pangan standar (dalam hal ini digunakan glukosa murni) untuk mendapatkan nilai indeks glikemik pangan tersebut (Miller 1996). Pengukuran kadar glukosa melalui plasma darah dilakukan menggunakan finger-prick capillary blood samples dan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah
persiapan
sebelum
pengambilan
darah
dan
dilanjutkan
proses
pengambilan darah. Tahapan-tahapan selama proses sebelum dan saat pengambilan darah terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut diantaranya meliputi keadaan ruangan yang nyaman, keadaan subyek dalam kondisi rileks selama lima menit sebelum pengambilan darah, serta pemberian intervensi pangan harus dapat dihabiskan dalam waktu 10 menit sebelum proses pengambilan darah (Reinaeur et al, 2002). Subyek mengkonsumsi pangan harus dengan berkelanjutan agar respon glikemik yang diakibatkan teratur. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks glikemik pangan adalah: (1) cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), (2) perbandingan amilosa dan amilopektin, (3) tingkat keasaman dan daya osmotic, (4) kadar serat, (5) kadar lemak dan protein, serta (6) kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian 2004). Proses Pengolahan. Dewasa ini teknik pengolahan pangan menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran dan rasa yang lebih enak. Proses penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna dan diserap menaikan kadar gula darah dengan cepat. Penumpukan dan penggilingan bijibijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah menyerap air menurut
11
Liljeberg dalam buku Indeks Glikemik Pangan, makin kecil ukuran partikel maka IG pangan makin tinggi. Butiran utuh serealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan insulin yang rendah. Namun ketika biji-bijian digiling sebelum direbus, respon glokusa dan insulin mengalami peningkatan yang bermakna. Proses pemasakan atau pemanasan akan menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi pada pati sehingga pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencernaan pada usus mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks glikemik pangan (Rimbawan dan Siagian 2004). Hasil penelitian Karimah (2011) menunjukkan bahwa bubur instan memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi karena ukuran granula pati singkong yang digunakan sebagai bahan utama relatif kecil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2010) pada berbagai produk olahan sukun, sukun kukus yang memiliki tingkat gelatinisasi lebih tinggi dibandingkan dengan sukun goreng, sukun rebus dan kukis sukun memiliki nilai indeks glikemik yang tertinggi pula. Kadar Amilosa dan Amilopektin. Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi akibatnya sulit cerna. Sementara amilopektin-polimer adalah gula sederhana memiliki ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga mudah tergelatinisasi akibatnya mudah cerna. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada amilosa,respon gula darah lebih tinggi (Rimbawan dan Siagian 2004). Pada penelitian Rasdiyanti (2010) semua produk olahan sukun termasuk ke dalam kriteria pangan dengan indeks glikemik tinggi, yang diduga karena pati sukun berkadar amilosa rendah dan berkadar amilopektin tinggi. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan. Pengaruh gula secara alami terdapat di dalam pangan dalam berbagai porsi terhadap respon gula darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsumsi gula apapun strukturnya (Waspadji 2003).
12
Kadar Serat Pangan. Pengaruh serat pada indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya indeks glikemik cenderung menjadi lebih rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kacangkacangan atau tepung biji-bijian memiliki indeks glikemik rendah (30-40). Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian proses pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon gula darah menjadi lebih rendah (Waspadji 2003). Kadar Lemak dan Protein Pangan. Pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu pangan berkadar lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah daripada sejenis berkadar lemak lebih rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Lemak dalam jumlah besar (50 gram lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Pada subjek normal pemberian 16 gram protein dapat mempengaruhi respon glukosa darah dan insulin (Wolever et al. 1996). Pada penelitian Maulana (2012) keripik ubi cilembu memiliki kandungan protein dan lemak tertinggi dibandingkan ubi cilembu yang dikukus dan dipanggang serta memiliki indeks glikemik terendah. Kadar Anti Gizi Pangan. Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat tersebut dinamakan zat anti gizi. Beberapa zat anti gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti gizi pada biji-bijian dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian 2004). Metode Pengolahan Menurut Widyati (2002) dalam Wijayanti (2010) terdapat dua metode pengolahan makanan, yaitu metode panas basah dan metode panas kering. Metode panas basah menggunakan bahan cair seperti kaldu, saus atau uap air sebagai penghantar panas. Metode panas kering menggunakan udara panas, metal panas, atau lemak panas sebagai media penghantar panas. Metode panas basah antara lain merebus dan mengukus, sedangkan metode panas kering seperti menggoreng.
13
Perebusan merupakan cara memasak dalam air mendidih cepat dan bergolak. Air mendidih pada temperatur 100ºC. Air yang mendidih dengan cepat akan mengurai kehalusan makanan (Wijayanti 2010). Pengukusan merupakan pemasakan bahan pangan pada uap air mendidih bersuhu 100ºC. Keuntungan dari metode ini antara lain pada proses kehilangan komponen larut air lebih sedikit dibandingkan dengan metode perebusan (Fellowss 2000). Menggoreng merupakan salah satu metode yang umum dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan pangan. Jumlah kalori makanan meningkat setelah digoreng. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna oleh tubuh karena keberadaan lemak pada makanan (Winarno 1999). Deep frying merupakan metode penggorengan yang menggunakan banyak minyak sehingga bahan pangan yang diolah akan terendam seluruhnya dalam minyak goreng. Proses pada metode menggoreng ini menggunakan suhu tinggi yaitu temperature antara 175-190ºC (Fellowss 2000).
14
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian mengenai Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) dilaksanakan pada pertengahan September sampai dengan awal bulan November 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian adalah Laboratorium Percobaan Makanan yang digunakan untuk memperoleh standar pengolahan produk suweg, Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan yang digunakan untuk menganalisis zat gizi produk olahan suweg, serta Teaching Cafetaria yang digunakan untuk mengukur respon glukosa darah subjek penelitian. Keseluruhan ruangan tersebut berada di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
suweg
(Amorphophallus campanulatus Bl.), minyak goreng, air. Suweg yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Desa Kawu Pilang Patok, Caruban, Jawa Timur. Bahan yang digunakan untuk uji proksimat produk olahan suweg (suweg goreng, suweg rebus, suweg kukus) adalah air destilata atau aquades, selenium mix, HCl (0.03 N; 0.1 M dan 6 M), NaOH 30%, asam borat (H3BO3 3%), etanol 95%, aseton, kertas saring (Whatman 40 dan 42), air bebas ion, buffer fosfat pH 6, asam nitrat (HNO3), asam sulfat (H2SO4) pekat, pepsin, natrium bikarbonat (NaHCO3), hexan dan sodium asetat. Bahan yang digunakan untuk uji derajat gelatinisasi adalah NaOH 10 M, HCl 0.5 M, larutan iod 0.1 N, dan air destilata atau aquades. Alat yang digunakan untuk uji proksimat antara alin adalah cawan alumunium, cawan porselen, desikator, oven, timbangan analitik, sudip, tanur, labu lemak, Soxhlet, labu Kjeldahl, labomixer, alat destruksi, alat destilasi, buret, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar, penangas air, Erlenmeyer, labu semprot, corong, pompa vakum, dan pipet volumetric. Peralatan yang digunakan untuk uji derajat gelatinisasi antara lain timbangan analitik, blender, pipet, sentrifuge, tabung reaksi, pipet volumetric dan Spektrofotometer UV-VIS 6505 (Jenway). Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan suweg (suweg goreng, suweg rebus, suweg kukus) antara lain timbangan digital, kompor,
15
baskom, piring, panci, panci kukus, penggorengan, pisau, talenan, spatula dan mangkuk. Alat yang digunakan pada pengukuran pengaruh glukosa darah adalah glucometer One Touch UltraTM. Tahapan Penelitian Kegiatan ini dilaksanakan dalam enam tahapan, yaitu tahap pemilihan sampel dan persiapan, tahap pengolahan suweg menjadi produk olahannya (suweg goreng, suweg rebus, suweg kukus), tahap analisis komposisi zat gizi produk olahan suweg, tahap pengukuran derajat gelatinisasi, tahap penentuan dan pemilihan subjek penelitian, dan tahap pengukuran indeks glikemik. Pemilihan Sampel dan Persiapan Suweg yang digunakan pada penelitian ini memiliki kulit umbi suweg berwarna kuning kecoklatan dan daging umbi yang berwarna putih kemerahan. Suweg yang digunakan memiliki umur tanam 3 tahun 2 bulan dengan berat setiap umbi sekitar 4-7 kg. Umbi suweg memalui tahap pengolahan antara lain pengupasan kulit umbi, pemotongan bentuk dadu, pencucian bahan dengan penambahan kapur sirih. Tujuan pada tahap persiapan ini adalah untuk mempersiapkan bahan baku, yaitu suweg yang selanjutnya akan diolah menjadi suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus. Pengolahan Suweg Tahapan ini dilakukan untuk mengolah suweg menjadi tiga produk olahan suweg dengan tiga metode pengolahan. Produk olahan tersebut adalah suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus. Proses pembuatan suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis Kandungan Zat Gizi Setelah suweg diolah menjadi tiga produk olahan, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis kandungan zat gizi umbi suweg dan produk olahan suweg. Analisis kandungan zat gizi umbi suweg dan produk olahan suweg meliputi uji proksimat: kadar air (Metode Oven Biasa), abu (metode pengabuan kering), protein (metode Kjedhal), lemak (metode Ekstraksi Soxhlet), dan karbohidrat (by difference), dan analisis total serat makanan (metode enzimatis). Setiap analisis dilakukan dengan dua kali pengulangan (duplo) analisis yang kemudian dirata-rata untuk memperoleh kadar pada produk olahan. Prosedur analisis zat gizi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
16
Pengukuran Derajat Gelatinisasi, Kadar Amilosa dan Amilopektin Pengukuran selanjutnya terhadap ketiga produk olahan suweg adalah uji derajat gelatinisasi. Analisis dilakukan dengan dua kali pengulangan yang kemudian dirata-rata untuk memperoleh kadar pada produk olahan. Prosedur analisis pengukuran derajat gelatinisasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Prosedur analisis pengukuran amilosa dan amilopektin pada Lampiran 5. Penentuan dan Pemilihan Subjek Penelitian Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive dikarenakan alasan kemudahan dalam melakukan penelitian. Mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang bersedia mengikuti penelitian sebanyak sepuluh orang (5 orang perempuan dan 5 orang laki-laki) dan telah memenuhi kriteria menjadi subjek penelitian. Subjek penelitian harus memenuhi dua kriteria, yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi terdiri atas subjek berumur 18-30 tahun, subjek memiliki indeks massa tubuh (IMT) normal antara 18.5-22.9 kg/m2 (WHO untuk Asia Pasifik 2000), dan subjek dalam kondisi yang sehat. Kriteria eksklusi subjek penelitian antara lain: memiliki riwayat penyakit DM, sedang mengalami gangguan pencernaan, menjalani pengobatan, menggunakan obat-obatan terlarang, meminum minuman beralkohol, dan perokok. Penentuan dan pemilihan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu (a) perekrutan calon subjek penelitian (dilakukan dengan sosialisasi verbal kepada calon subjek dan meminta kesediaan menjadi subjek penelitian), (b) penyeleksian calon subjek (calon subjek penelitian yang terdaftar kemudian diukur tinggi dan berat badan serta tekanan darah), (c) penjelasan rinci mengenai penelitian (subjek yang terpilih mendapatkan penjelasan mengenai penelitian, termasuk kompensasi yang akan diterima subjek dan hak untuk mengundurkan diri dari penelitian yang pada akhirnya subjek mengisi surat pernyataan kesediaan untuk informed consent). Pengukuran Indeks Glikemik Suweg Goreng, Suweg Rebus, dan Suweg Kukus Setelah subjek penelitian yang memenuhi kriteria terkumpul, langkah kerja yang selanjutnya dilakukan adalah memberikan tiga produk olahan suweg kepada subjek penelitian untuk dikonsumsi. Jumlah subjek untuk pengujian satu jenis pangan uji adalah masing-masing 10 orang (5 wanita dan 5 pria). Selain itu,
diberikan juga glukosa sebagai kontrol.
Hal
ini
dilakukan untuk
17
meminimalisasi adanya bias antar kelompok subjek. Rincian jumlah subjek penelitian terhadap tiga jenis produk olahan suweg disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah subjek penelitian Pangan Uji Jumlah Subjek Total (orang) Suweg goreng 5 wanita + 5 pria 10 Suweg kukus 5 wanita + 5 pria 10 Suweg rebus 5 wanita + 5 pria 10 Glukosa 5 wanita + 5 pria 10 Total Subjek 5 wanita + 5 pria Keterangan: masing-masing subjek penelitian mengalami 4 kali perlakuan intervensi, yaitu minggu pertama mengkonsumsi glukosa, minggu kedua mengkonsumsi suweg goreng, minggu ketiga mengkonsumsi suweg kukus, dan minggu keempat mengkonsumsi suweg rebus.
Setelah produk olahan suweg dikonsumsi oleh subjek penelitian, langkah selanjutnya adalah pengambilan sampel darah subjek untuk mengetahui indeks glikemik produk olahan suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Prosedur penentuan Indeks Glikemik pangan adalah sebagai berikut (Miller 1996 diacu dalam Rimbawan & Siagian 2004): a) Pangan yang akan ditentukan kadar Indeks Glikemik-nya setara dengan 25 g karbohidrat diberikan kepada subjek yang telah mengalami puasa penuh (kecuali air) selama semalam. b) Selama dua jam setelah pemberian pangan acuan (subjek sehat), sampel darah (1-2 µL) dengan menggunkan finger-prick capillary blood samples method berturut-turut, diambil pada menit ke-0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 setelah pemberian pangan uji. c) 7 hari kemudian hal yang sama dilakukan dengan pemberian pangan uji ke1, 7 hari berikutnya diberikan pangan uji ke-2, dan 7 hari berikutnya pangan uji ke-3. d) Kadar glukosa darah (pada setiap waktu pengambilan sampel), ditebar pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu dan kadar gula darah. e) Indeks Glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang akan diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan (glukosa). Setelah diperoleh indeks glikemik pada berbagai produk olahan suweg, kemudian dilakukan perhitungan beban glikemik. Beban glikemik mencerminkan beban karbohidrat secara aktual. Beban glikemik dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas karbohidrat serta interaksinya dalam pangan (Rimbawan & Siagian 2004).
18
Cara perhitungan beban glikemik: Beban Glikemik = Indeks Glikemik x kandungan KH pangan yang dikonsumsi (g)
Pengolahan dan Analisis Data Data terdiri dari data hasil analisis zat gizi, serat pangan, dan amilosa, serta data respon glikemik. Data hasil analisis zat gizi, serat pangan, dan amilosa diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 untuk memperoleh nilai ratarata. Data respon glukosa darah masing-masing subyek disebar pada sumbu x (waktu) dan sumbu y (respon glikemik), kemudian dibandingkan luas area dibawah kurva antara pangan acuan dan pangan uji dengan bantuan Microsoft Excel 2010 untuk mendapatkan nilai indeks glikemik. Nilai indeks glikemik setiap subyek
dirata-ratakan untuk
memperoleh
nilai
indeks
glikemik
pangan
sebenarnya. Pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (one way anova) dan uji lanjut Duncan.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan Produk Olahan Suweg Pengolahan umbi suweg menjadi produk olahan yang dilakukan pada penelitian ini dengan menggunakan metode pengolahan yang umum dilakukan oleh masyarakat. Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal oleh masyarakat adalah pengukusan dan perebusan, namun pada penelitian ini dilakukan pula dengan metode penggorengan. Sebelum pembuatan produk olahan, umbi suweg dicuci, dikupas dan dipotong dadu 2 x 2 cm terlebih dahulu agar diperoleh ukuran yang homogen dan merata. Pengolahan umbi suweg dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pengolahan yang berbeda, yaitu: perebusan (suweg rebus), pengukusan (suweg kukus), dan penggorengan (suweg goreng). Berikut gambar produk olahan umbi suweg:
Suweg Mentah
Suweg Rebus
Suweg Kukus
Suweg Goreng
Gambar 3 Berbagai produk olahan suweg Perbedaan metode pengolahan pada produk suweg membuat terjadinya proses fisiko kimia yang berbeda pula pada masing-masing produk olahan. Pengolahan menggunakan metode perebusan dengan bahan pangan yang direndam air dalam jumlah yang relatif banyak dan mengalami pemanasan menggunakan suhu yang tinggi (mendidih). Air yang digunakan adalah sebanyak 700 ml untuk setiap 250 gram. Bahan pangan suweg dimasukkan ke dalam air saat air sudah mendidih. Proses perebusan untuk umbi suweg ini dilakukan selama 23 menit. Waktu ini merupakan waktu yang diperlukan agar suweg
20
benar-benar matang dengan kriteria warna umbi menjadi bkuning muda dan memiliki tekstur yang lebih lunak. Metode pengukusan adalah proses pemasakan dengan menggunakan air panas atau uap air panas sebagai media penghantar panas. Bahan pangan tidak dimasukkan ke dalam air. Air yang digunakan adalah sebanyak 700 ml untuk setiap 250 gram. Dalam proses pengukusan sebisa mungkin diupayakan agar tidak terjadi penumpukan bahan. Bila bahan pangan tertumpuk akan mengalami proses pematangan yang kurang merata. Pada bagian luar tumpukan akan mengalami pematangan lebih dahulu dibandingkan bagian dalam, sehingga mengakibatkan perbedaan dalam tekstur pangan olahan. Proses pengukusan pada bahan pangan umbi suweg dilakukan selama 22 menit. Ciri-ciri suweg kukus yang telah matang antara lain suweg berubah warna menjadi kuning pucat dan warna kemerahan tak lagi Nampak dan memiliki tekstur yang lunak. Prinsip pengolahan dengan metode penggorengan adalah proses pamasakan bahan yang direndam dalam minyak dan menggunakan suhu yang relatif tinggi. Minyak yang digunakan adalah sebanyak 200 ml untuk setiap 250 gram. Bahan pangan dimasukkan ke dalam minyak saat minyak sudah benarbenar memiliki suhu yang cukup panas. Bila minyak belum cukup panas dapat mengakibat bahan menyerap minyak lebih banyak karena memerlukan waktu pamasakan yang lebih lama. Hal ini dapat terjadi karena semakin luas permukaan suweg yang berhadapan dengan minyak sawit. Suweg goreng memiliki cita rasa yang lebih gurih dan mengandung kalori yang lebih tinggi. Proses penggorengan pada suweg dilakukan selama 5 menit. Suweg goreng yang telah matang memiliki warna kuning keemasan menyerupain kentang goreng dan memiliki tekstur yang lunak.
Komposisi Zat Gizi Produk Olahan Suweg Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), proses pengolahan dapat mengubah struktur dan komposisi zat gizi penyusun pangan. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan analisis komposisi zat gizi umbi suweg mentah dan produk olahan umbi suweg, antara lain uji proksimat, total serat pangan dan karbohidrat by difference (melalui perhitungan). Hasil analisis komposisi zat gizi suweg mentah dan ketiga produk olahan umbi suweg yang menggambarkan pengaruh proses pengolahan disajikan pada Tabel 4.
21
Tabel 4 Hasil uji proksimat dan serat pangan total pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus dan suweg goreng. Kadar Sampel
Basis
Suweg mentah
%b/b %b/k
Total Serat pangan
Protein
Lemak
Karbohidrat by difference
2.03 9.83
1.00 4.81
0.23 1.11
17.43 84.28
9.04 43.69
8.40
%b/b 73.61 1.77 %b/k 6.70 %b/b 80.25 1.24 Suweg rebus %b/k 6.27 2.49 Suweg %b/b 55.92 goreng %b/k 5.65 Keterangan: b/b= basis basah b/k= basis kering
1.42 5.38 1.12 5.67 1.73 3.92
0.07 0.27 0.08 0.39 5.03 11.41
23.08 87.47 17.35 87.87 34.83 79.03
7.66 29.02 6.91 34.99 11.28 25.58
15.43
Suweg kukus
Air
79.32
Abu
KH tersedia
10.44 23.56
Kadar Air Tabel 4 menunjukkan hasil analisis proksimat air merupakan komponen terbesar yang ada pada masing-masing sampel. Terjadi perubahan kadar air dari suweg mentah menjadi suweg yang telah mengalami tahap pengolahan. Hasil analisis kandungan air suweg mentah dan ketiga produk olahan suweg disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kadar air (%b/b) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng
22
Suweg yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar air yang lebih rendah dari suweg mentah. Hal ini dikarenakan pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi serta penggunaan minyak sebagai media penghantar panas yang memungkinkan banyak kandungan air dari bahan pangan yang menguap. Sebaliknya terjadi pada suweg dengan metode pengolahan direbus. Suweg rebus memiliki kadar air yang lebih tinggi dari suweg mentah, karena suweg rebus dihasilkan melalui pemasakan dengan menggunakan
media
penghantar panas adalah air. Hal ini memungkinkan air terserap lebih banyak oleh suweg yang direbus. Kandungan air tertinggi pada suweg rebus yaitu sebesar 80.25%, dan terendah pada suweg goreng dengan nilai 55.92%. Hal serupa terjadi pada penelitian Rasdiyanti (2010) pada produk olahan sukun dengan kadar air sukun rebus sebesar 79.91%, sukun kukus 71.75%, dan sukun goreng sebesar 54.01%. Kadar Abu Abu merupakan zat anorganik dari sisa hasil pembakaran bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan kadar mineral yang terkandung pada suatu bahan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral suatu bahan tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya. Hasil analisis kadar abu pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kadar abu (% b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng
23
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui proses pengolahan mengakibatkan kecenderungan berubahnya kadar abu. Berkurangnya kadar abu terbesar terjadi pada suweg yang diolah dengan metode penggorengan yaitu dengan kadar abu sebesar 5.65%, yang pada mulanya suweg mentah memiliki kadar abu sebesar 9.83%. Kadar abu menggambarkan banyaknya zat anorganik atau mineral dalam bahan pangan tersebut.
Kadar Protein Analisis protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjedahl. Metode ini digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar secara tidak langsung, karena yang dianalisis adalah kadar nitrogennya. Hasil analisis tersebut dikali dengan angka konversi 6.25 untuk memperoleh kadar protein dalam bahan makanan tersebut. Angka 6.25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen. Namun cara ini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar protein (Winarno 1997). Protein merupakan zat gizi yang digunakan sebagai zat pembangun dan disamping itu juga sebagai sumber energi bagi tubuh. Kandungan protein dalam bahan pangan berbeda-beda. Hasil analisis kadar protein suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kadar Protein (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. Kandungan protein dalam basis kering dari keempat produk
berkisar
3.92%- 23.11%. Hasil analisis produk olahan suweg menunjukkan kadar yang
24
cenderung lebih tinggi pada produk olahan suweg kukus dan suweg rebus, sedangkan pada suweg goreng memiliki kadar protein yang cenderung lebih rendah dari suweg mentah. Menurut Palupi et.al (2007), proses pemanasan bahan pangan kacang-kacangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya. Kadar protein tertinggi terdapat pada suweg yang diolah dengan metode perebusan yaitu sebesar 5.67%. Suweg goreng memiliki kadar protein terendah sebesar 3.92%. Suweg goreng memiliki kadar protein yang cenderung lebih rendah karena penggunaan suhu yang lebih tinggi dibandingkan produk olahan yang lain diduga menyebabkan terjadi denaturasi protein selama proses pengolahan. Demikian pula seperti hasil penelitian Rasdiyanti (2011) pada produk olahan sukun, kadar protein sukun rebus yang tertinggi (3.20%), kemudian sukun kukus (2,11), dan sukun goreng dengan kadar protein terendah (1.22%). Hasil penelitian Wijayanti (2010) menunjukkan bahwa kadar protein jagung manis rebus lebih tinggi (19.69%) daripada jagung manis tumis (15.16%). Kadar Lemak Lemak merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan degan kandungan yang berbeda-beda. Hasil analisis kadar lemak pada suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Kadar Lemak (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.
25
Hasil analisis kandungan lemak pada empat produk olahan suweg menunjukkan perubahan kadar lemak dari suweg mentah menjadi suweg yang telah melalui tahap pengolahan. Suweg kukus dan suweg rebus memiliki kadar lemak yang cenderung lebih rendah dari suweg mentah, karena lemak yang terdapat pada bahan ke luar selama proses pemanasan. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Palupi et.al (2007), bahwa pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin besar. Suweg goreng memiliki kadar lemak yang cenderung lebih tinggi dari suweg mentah karena penggunaan minyak sebagai media penghantar panas, yang memungkinkan terjadi penyerapan minyak ke dalam suweg yang digoreng. Kadar lemak tertinggi terdapat pada suweg goreng yaitu sebesar 11.41%. suweg kukus memiliki kadar lemak terendah yaitu sebesar 1.11%. Kecenderungan
serupa terjadi pada penelitian Rasdiyanti (2011)
yang
menunjukkan bahwa sukun goreng memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi (20.07%) dibandingkan dengan produk olahan sukun lainnya yaitu sukun rebus (0.73%) dan sukun kukus (0.61%). Selanjutnya penelitian Wijayanti (2010) memberikan data bahwa jagung manis tumis memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi (40.41%) daripada jagung manis rebus (9.89%). Pada penelitian Rasdiyanti (2011) dan Wijayanti (2010) tersebut dapat dilihat bahwa pada bahan yang diolah dengan menggunakan minyak sebagai penghantar panas memiliki kadar lemak yang jauh lebih tinggi.
Kadar Karbohidrat (by difference) Analisis kadar karbohidrat suatu bahan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satu metode yang sering digunakan adalah pengukuran karbohidrat by difference. Metode ini merupakan pengukuran kadar karbohidrat dengan menggunakan perhitungan. Winarno (1997) menyatakan bahwa karbohidrat by difference merupakan penentuan karbohidrat secara kasar dan di dalamnya masih termasuk kandungan kadar serat kasar bahan pangan. Kadar karbohidrat by difference merupakan pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Kadar karbohidrat sangat dipengaruhi
26
oleh kadar zat gizi lainnya. Berikut adalah perhitungan metode analisis karbohidrat by difference: Kadar Karbohidrat (%)= 100%- (%Kadar Air + %Abu + %Lemak + %Protein) Hasil analisis karbohidrat by difference suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Kadar karbohidrat by difference (%bk) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. Hasil analisis kadar karbohidrat by difference menunjukkan bahwa terjadi perubahan kadar karbohidrat by difference dari masing-masing pengolahan. Suweg kukus (87.47%) memiliki kadar karbohidrat by difference yang relatif lebih tinggi dari suweg mentah. Hal ini dikarenakan berkurangnya kadar air, abu, dan lemak akibat proses pengolahan dengan metode pengukusan. Kadar karbohidrat by difference pada suweg rebus paling tinggi, karena memiliki kadar abu dan lemak yang lebih rendah. Kadar karbohidrat by difference terendah pada suweg goreng yang diperkirakan karena memiliki kadar lemak yang sangat tinggi akibat dari penyerapan minyak oleh bahan pangan tersebut. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar karbohidrat paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan dan pengukusan. Kadar Serat Pangan Total Serat pangan (dietary fiber) merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat
27
pangan berbeda dengan serat kasar. Serat kasar merupakan fraksi dari karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam kuat dan basa kuat dengan pemanasan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat dan natrium hidroksida. Serat kasar juga merupakan kumpulan dari semua serat yang tidak bisa dicerna oleh tubuh, komponen dari serat kasar terdiri dari selulosa, pentosa, lignin dan komponen-komponen lainnya. Serat pangan total (TDF atau Total Dietary Fiber) terdiri atas komponen serat pangan larut air (Soluble Dietary Fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut air (Insoluble Dietary Fiber atau IDF). SDF adalah serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air: etanol dengan perbandingan 1:4. IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau dingin. Serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut adalah non komponen struktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit gandum, biji-bijian, sayuran dan kacang-kacangan. Serat yang larut dalam air biasanya berupa gum dan pelitin (misalnya pelitin kulit jeruk dan apel) (Sudarmadji et al. 1996). Hasil analisis serat suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Kadar serat pangan (%b/k) suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng. Kadar serat pangan total merupakan penjumlahan dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Hasil analisis kadar serat pangan menunjukkan
28
kecenderungan perubahan kadar serat setelah pengolahan bila dibandingkan dengan suweg yang masih mentah (43.69%). Semua produk olahan memiliki kadar yang relatif lebih rendah dari suweg mentah walaupun dalam jumlah yang berbeda-beda. Kadar serat pangan total tertinggi terdapat pada suweg yang diolah dengan metode perebusan. Kadar serat pangan tidak larut untuk berbagai produk olahan suweg berkisar antara 19.47% hingga 27.06%, sedangkan serat pangan larut berkisar antara 6.12% hingga 11.72%. Kadar serat pangan tidak larut dan larut tertinggi terdapat pada suweg rebus. Hal serupa diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki kadar serat (16.5%) paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan (30.47%) dan pengukusan (25.76%). Derajat Gelatinisasi Pati Produk Olahan Suweg Selain analisis proksimat dan kadar serat, dilakukan pula analisis derajat gelatinisasi pati. Analisis derajat gelatinisasi pati dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik seperti yang disampaikan oleh Rimbawan dan Siagian (2004). Hasil analisis derajat gelatinisasi pada produk suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Derajat gelatinisasi pada produk suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng
29
Analisis derajat gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan metode IRRI (1978). Prinsip metode tersebut adalah reduksi pati oleh iod dalam suasana asam yang ditandai dengan warna nila. Penggunaan NaOH dalam metode ini ditujukan untuk menghidrolisis pati menjadi gula sederhana. HCl berfungsi untuk membuat suasana menjadi asam agar terjadi proses reduksi dari KI menjadi HI (Fardiaz 1984). Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi
semula
(irreversible)
(Belitz
dan
Grosch
1999).
Granula
pati
disuspensikan dalam air kemudian dipanaskan, granula akan menyerap air, jika dipanaskan secara kontinyu maka ikatan hidrogen granula akan melemah dan secara bertahap granula pati mulai mengembang. Pengembangan granula pati terjadi secara terus menerus sampai pecah sehingga terjadi perubahan yang tak dapat balik (irreversible). Granula pati kehilangan sifat-sifat yang dimilikinya dan terjadi proses gelatinisasi. Tingkat atau derajat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati. Hasil analisis derajat gelatinisasi menunjukkan adanya perubahan derajat gelatinisasi pada masing-masing metode pengolahan. Suweg kukus memiliki nilai derajat gelatinisasi sebesar 68.87%. Suweg rebus memiliki derajat gelatinisasi cenderung lebih tinggi yaitu 83.38%. Hal ini mungkin disebabkan karena selama pemasakan digunakan air sebagai penghantar panas, sehingga air dan panas mengakibatkan perbesaran granula pati. Suweg goreng memiliki derajat gelatinisasi
yang
paling
kecil
diantara
semua
produk,
karena
proses
pemasakannya yang lebih singkat dan karena penggunaan minyak sebagai penghantar panas sehingga air yang dapat digunakan untuk proses gelatinisasi hanya terbatas pada kandungan air yang terdapat pada suweg itu sendiri. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rasdiyanti (2011) bahwa bahan yang diolah dengan metode penggorengan memiliki derajat gelatinisasi paling rendah bila dibandingkan dengan bahan yang diolah dengan metode perebusan dan pengukusan. Pati dalam pangan mentah berada dalam bentuk granula yang tersusun rapat, hal ini yang mengakibatkan pangan mentah sulit dicerna. Oleh karena itu diperlukan pemasakan sebelum dikonsumsi, agar terjadi pembesaran granula
30
pati. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah untuk dicerna karena anzim pencerna pati dalam usus halus memperoleh permukaan lebih luas untuk kontak dengan molekul pati. Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat (Rimbawan dan Siagian 2004). Kadar Amilosa dan Amilopektin Pati tersusun dari dua molekul yang berbeda karakter yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin dalam pati akan menentukan sifat pati secara keseluruhan. Amilosa yang merupakan rantai lurus polimer glukosa berkontribusi terhadap sifat pembentukan gel sistem pati yang dipanaskan dan didinginkan, sedangkan amilopektin yang rantainya bercabang lebih berpengaruh terhadap kekentalan (Parker 2003). Kandungan amilosa dalam bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah dengan kadar <10%, kadar amilosa rendah 10-20%, kadar amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi >25% (Aliawati 2003). Kandungan amilosa dalam bahan pangan sumber karbohidrat menentukan karakter produk hasil olahannya, salah satunya adalah beras. Kadar amilosa pada beras akan menentukan sifat kepulenan yang dihasilkan, beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang lebih pulen dibandingkan beras beramilosa tinggi. Hasil analisis kadar amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Kadar total pati, amilosa, amilopektin (%b/k) pada produk suweg mentah, suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng.
31
Total pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Pada produk olahan suweg memiliki total pati 49.37%- 51.59%. Suweg goreng memiliki total pati terendah dan suweg rebus tertinggi. Menurut data dan perhitungan hasil analisis kadar amilosa pada suweg kukus 2.95% pati, suweg rebus 4.74% pati, dan suweg goreng 0.62% pati. Suweg goreng memiliki kadar amilosa terendah dan suweg rebus memiliki kadar amilosa tertinggi. Berdasarkan data yang diperoleh suweg termasuk dalam kategori kadar amilosa sangat rendah. Hal ini kurang sesuai dengan data yang diperoleh Mukhis (2003) bahwa kadar amilosa suweg sebesar 8.38% pati dan hasil penelitian Utami (2008) sebesar 15.92% pati, yang tergolong sebagai bahan pangan berkadar amilosa rendah. Setelah dikonversi menjadi kadar amilosa umbi segar dapat dilihat pada Gambar 11, diperoleh hasil kadar amilosa suweg kukus sebesar 1.5%, suweg rebus 2.44%, dan suweg goreng sebesar 0.30%. hal ini sesuai dengan hasil penelitian Utami (2008) bahwa kadar amilosa umbi suweg sebesar 1.49%. Kadar amilopektin masing-masing jenis ditentukan secara by difference, yaitu mengurangi nilai 100% dengan kadar amilosa. Kadar amilopektin produk olahan suweg kukus sebesar 97.05% pati, suweg rebus 95.26% pati, dan suweg goreng sebesar 99.38% pati. Selanjutnya hasil konversi umbi segar diperoleh kadar amilopektin suweg kukus sebesar 49.32%, suweg rebus 49.10%, dan suweg goreng sebesar 49.06%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Utami (2008) diperoleh kadar amilopektin umbi suweg sebesar 84.08% pati, sedangkan kadar amilopektin umbi suweg segar sebesar 7.87%. Terdapat perbedaan kadar amilosa dan amilopektin pada hasil analisis dan penelitian sebelumnya, hal ini diduga akibat perbedaan varietas umbi suweg yang digunakan.
Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg Subjek Penelitian Perekrutan
subjek
penelitian
dilakukan
dengan
cara
melakukan
sosialisasi kepada beberapa mahasiswa Departement Gizi Masyarakat, IPB. Kemudian subjek yang berminat diberikan kuesioner untuk diisi dan dilakukan wawancara mengenai riwayat kesehatan individu maupun keluarganya. Calon subjek penelitian diukur berat badan, tinggi badan dan tekanan darah pada saat wawancara. Nilai indeks glikemik diperoleh melalui perhitungan rata-rata respon kenaikan kadar glukosa darah dari sekurang-kurangnya 10 orang (FAO/ WHO
32
dalam Udani et.al 2009). Sebanyak sepuluh orang subjek yang diikutsertakan dalam penelitian terdiri dari lima orang laki-laki dan lima orang perempuan. Pemilihan jumlah subjek penelitian yang berimbang antara laki-laki dan perempuan dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias akibat jenis kelamin. Subjek penelitian kemudian memperoleh intervensi makanan berupa pangan acuan dan pangan uji. Jarak dari setiap pemberian pangan yaitu minimal lima hari. Hal ini bertujuan untuk proses pemulihan kondisi subjek. Pengambilan sampel darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat di jari tangan. Pembuluh darah kapiler dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh ini memiliki variasi kadar glukosa darah antar subjek yang lebih kecil dibandingkan dengan diambil dari pembuluh darah vena (Ragnhild et al. 2004). Teknik dalam pengambilan darah prick-test perlu diperhatikan. Menurut Snell (2006) dalam Maulana (2012), secara anatomi aliran darah arteri ulnaris mengalir pada jari kelingking dan arteri radialis mengalir pada ibu jari. Proses pengambilan darah disarankan tidak dilakukan pada jari kelingking dan ibu jari untuk menghindari terjadinya infeksi yang bersifat sistemik. Volume darah yang dibutuhkan untuk diukur minimal 1 µL. pengukuran glukosa darah dengan menggunakan alat Glukometer One Touch Ultra
TM
.
Sampel darah yang diperoleh pada permukaan kulit setelah sedikit perlukaan dengan menggunakan Lancet (alat penusuk khusus), disentuhkan pada celah sensor di ujung strip uji yang telah terpasang pada detector digital sedemikian sehingga kadar glukosa sampel terbaca. Penentuan Jumlah Pangan Uji dan Acuan Nilai indeks glikemik pangan diperoleh dari hasil perbandingan luas kurva pangan uji terhadap luas kurva pangan acuan. Maka dalam penelitian pengukuran nilai indeks glikemik diperlukan pangan acuan yang berguna sebagai pembanding. Pangan acuan yang umum digunakan adalah roti putih atau glukosa murni. Brouns et.al (2005) merekomendasikan glukosa murni yang digunakan sebagai pangan acuan dalam pengukuran nilai indeks glikemik, karena
roti
putih
memiliki
komposisi
yang
berbeda-beda
sehingga
memungkinkan terjadinya perbedaan hasil pada setiap penelitian. Menurut Powell et al(2002), penentuan nilai indeks glikemik pangan dapat dilakukan dengan menggunakan pangan acuan setara dengan 50 gram atau 25 gram karbohidrat. Berdasarkan pertimbangan tersebut pangan uji dan pangan
33
acuan yang digunakan dalam penelitian ini setara dengan 25 gram karbohidrat. Selain itu pada penelitian ini juga dibandingkan respon glikemik antara glukosa 50 gram dengan 25 gram untuk melihat perbedaan respon glikemik secara nyata. Proses ini dilakukan pada 3 orang subyek. Perbandingan pengaruh glukosa murni 25 gram dan 50 gram disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Perbandingan pengaruh glukosa murni 25 gram dan 50 gram
Pangan acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 gram glukosa murni yang dilarutkan ke dalam air ± 250 ml. Subjek meminum glukosa murni selama 1-2 menit. Pangan uji dengan jumlah setara dengan 25 gram karbohidrat kepada setiap subjek penelitian. Pangan uji yang diberikan berupa suweg kukus, suweg rebus dan suweg goreng. Subjek mengkonsumsi pangan uji selama 10- 20 menit secara berkelanjutan. Pemberian pangan acuan berupa glukosa murni diberikan pada minggu pertama, dan berikutnya berturut-turut suweg kukus, suweg goreng, dan suweg rebus pada minggu selanjutnya. Jarak pemberian antar pangan uji masing-masing minimal lima hari. Setiap orang memiliki kurva respon glikemik yang berbeda-beda, bahkan dengan puncak kurva yang berbeda pula. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain metabolisme, tingkat stress, metabolisme basal, kondisi fisiologi, dan waktu puasa. Jumlah suweg kukus, suweg rebus dan suweg goreng yang diberikan kepada subjek setara dengan 25 gram karbohidrat tersedia. Menurut Mendosa (2006), jumlah karbohidrat yang digunakan sebagai dasar penentuan jumlah
34
pangan yang diberikan kepada subjek penelitian didasarkan pada pendekatan karbohihrat by difference dalam basis basah yang dikurangi dengan jumlah kandungan total serat pangan dalam basis basah. Pengukuran kandungan karbohidrat dengan menggunakan pendekatan by difference yang dikurangi dengan total serat pangan ternyata memiliki perbedaan nilai yang cukup besar dibandingkan dengan karbohidrat tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa dengan metode tersebut memungkinkan masih banyak komponen karbohidrat lain yang terukur yang sebenarnya tidak dapat dicerna oleh tubuh namun tidak terukur sebagai serat pangan, karena metode pengukuran karbohidrat by difference merupakan pengukuran secara kasar. Oleh karena itu pada penelitian ini jumlah pemberian pangan uji tergantung pada kandungan
karbohidrat
hasil
analisis
karbohidrat
tersedia.
Kandungan
karbohidrat yang terukur dengan metode ini diharapkan dapat menggambarkan jumlah karbohidrat yang siap dicerna oleh tubuh. Jumlah produk olahan suweg (pangan uji) dan acuan yang diberikan kepada subjek disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah pangan uji dan acuan yang diberikan kepada subjek penelitian setara dengan 25 gram karbohidrat tersedia. KH (%b/b)
Serat Pangan Total (%b/b)
Karbohidrat Tersedia (%b/b)
Suweg kukus
23.08
7.66
15.43
Jumlah Pangan (gram) 162.07
Suweg rebus
17.35
6.91
10.44
239.38
Suweg goreng
34.83
11.28
23.56
106.13
100.00
25.00
Produk Olahan
Glukosa murni
Keterangan: b/b = basis basah Respon Glikemik Pengukuran kadar glukosa darah selama dua jam pada subjek penelitian merupakan tahapan dalam menentukan nilai indeks glikemik pangan. Sebelum dilakukan pengukuran kadar gula darah, subjek terlebih dahulu menjalani puasa selama minimal 10 jam, kecuali air putih. Puasa ini bertujuan untuk melihat kadar glukosa terendah pada subjek. Pada jangka waktu 10 jam tersebut diperkirakan subjek telah menggunakan cadangan glukosa yang terdapat pada tubuh. Subjek yang telah berpuasa penuh kemudian diukur kadar glukosa darahnya pada menit ke-0 yaitu sebelum subjek diberi pangan acuan atau pangan uji. Kemudian subjek mengkonsumsi pangan acuan atau pangan uji. Setelah subyek selesai
35
mengkonsumsi pangan, subjek diukur kembali glukosa darahnya setiap 15 menit pada satu jam pertama dan setiap 30 menit pada satu jam berikutnya. Hasil yang diperoleh dari pengukuran kadar glukosa darah subjek kemudian ditebarkan dalam sumbu X (waktu) dan sumbu Y (kadar glukosa darah) menggunakan Software Microsoft Excell 2010. Luas daerah
kurva
diperoleh dengan cara menggunakan trapezoid menggunakan Software Microsoft Excell 2010 pula. Nilai yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan luas kurva untuk pangan standar (dalam hal ini digunakan glukosa murni) untuk mendapatkan nilai indeks glikemik pangan tersebut yang disebut pula dengan metode area under curve (AUC) (Wolever et al. 2008). Nilai indeks glikemik masing-masing produk olahan suweg, seperti suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng diperoleh dari rata-rata nilai Indeks Glikemik individu subjek (ratarata dari 10 nilai individu). Kurva respon glikemik pangan uji terhadap pangan acuan salah satu subjek disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 13. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg kukus
36
Gambar 14. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg rebus
Gambar 15. Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap suweg goreng Berdasarkan Gambar 13 sampai 15 di atas, diketahui bahwa rata-rata peningkatan kadar glukosa darah subjek pada konsumsi suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng lebih rendah dibandingkan dengan pagan acuan berupa glukosa. Puncak peningkatan kadar glukosa darah berbeda-beda pada setiap produk olahan suweg. Setelah itu kurva mengalami penurunan kembali.
37
Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg Setelah diperoleh kurva respon glikemik dari masing produk olahan, kemudian dilakukan perhitungan nilai indeks glikemik. Berikut ini rumus pengukuran nilai indeks glikemik pangan uji:
IG = Luas area di bawah kurva pangan uji x 100% Luas area kurva pangan acuan Berdasarkan hasil perhitungan luas area dibawah kurva, diperoleh nilai rata-rata indeks glikemik suweg kukus, suweg rebus, dan suweg goreng yang disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Nilai rata-rata indeks glikemik produk olahan suweg Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), indeks glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dengan menggunakan glukosa murni sebagai pangan acuan dalam menentukan nilai indeks glikemik pangan lainnya. Kategori nilai indeks glikemik yaitu IG rendah kurang dari 55, IG sedang/ intermediate sekitar 55 hingga 70, dan IG tinggi dengan nilai lebih dari 70. Hasil analisis nilai indeks glikemik produk olahan suweg pada Gambar 16 diperoleh dari rata-rata sepuluh subjek. Data tersebut menunjukkan bahwa seluruh produk olahan suweg, baik yang diolah dengan pengukusan, perebusan dan penggorengan memiliki nilai indeks glikemik yang masuk dalam kategori IG rendah. Hal tersebut dikarenakan kandungan serat yang cukup tinggi pada pangan tersebut yang dapat memperlambat proses pencernaan berjalan lebih
38
lambat. Nilai indeks glikemik suweg kukus yaitu 37.36, suweg rebus 45.58, dan suweg goreng 24.68. Nilai tersebut berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa nilai Indeks Glikemik suweg adalah 42 (Faridah 2005). Nilai indeks glikemik suweg kukus dalam bentuk irisan adalah 36 (Utami 2008). Dalam penelitiannya, Utami (2008) menggunakan suweg dalam bentuk irisan tipis yang memungkinkan kematangan bahan lebih cepat bila dibandingkan pada penelitian ini yang menggunakan suweg dalam bentuk potongan dadu (2x2 cm). Hal tersebut yang mengakibatkan adanya perbedaan pada nilai indeks glikemik yang diperoleh. Perbedaan hasil penentuan Indeks Glikemik bahan pangan yang sama sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam metode dan proses pemasakan, karakter molekuler dan fisik granula pati. Meskipun demikian, secara keseluruhan nilai Indeks Glikemik suweg masih dalam kategori yang sama yaitu indeks glikemik rendah (IG <55), yang lebih dianjurkan dalam mengatur diet bagi penderita diabetes. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan, diantaranya adalah pengolahan, perbandingan amilosa dan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian 2004). Tabel 6 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Glikemik dan diteliti dalam penelitian ini.
Tabel 6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Glikemik Faktor Pengolahan
Suweg kukus Suweg rebus Suweg goreng
Kadar Protein (%)
Kadar Lemak (%)
Total Kadar Serat (%)
5.38
0.27
29.02
5.67
0.39
3.92
11.41
Kadar Serat Tidak Larut (%)
Kadar Serat Larut (%)
Derajat Gelatinisasi (%)
19.67
7.93
68.87
37.36
34.99
27.06
11.72
83.38
45.58
25.58
19.47
6.12
24.41
24.68
IG
Suweg goreng memiliki nilai indeks glikemik yang paling rendah disebabkan karena pada proses pengolahannya menggunakan lemak dalam bentuk minyak goreng. Hal tersebut menyebabkan retardasi pada serat dan memperlambat proses pengosongan lambung (Bahado-Singh et al. 2011), sehingga laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat serta indeks
39
glikemik produk olahan menjadi lebih rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Selain itu juga dipengaruhi oleh waktu pemasakan yang singkat yang menyebabkan suweg goreng memiliki derajat gelatinisasi yang cenderung lebih rendah. Suweg kukus memiliki nilai indeks glikemik yang lebih besar daripada suweg goreng. Perbedaan ini disebabkan proses pengolahan yang jauh lebih lama dan penggunaan uap air sebagai penghantar panas yang dapat menyebabkan karbohidrat lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh dan menyebabkan respon glikemik yang lebih tinggi. Suweg rebus memiliki nilai indeks glikemik yang paling tinggi bila dibandingkan dengan dua produk lainnya. Hal ini disebabkan proses pengolahan yang menggunakan air dan waktu yang cukup lama. Proses ini meningkatkan daya cerna pati dan berakibat pada peningkatan nilai indeks glikemik. Proses pencernaan kompleks antara karbohidrat dan protein atau lemak lebih lambat dibandingkan dengan karbohidrat saja (Waspadji et al. 2003). Namun berdasarkan hasil analisis kadar protein suweg rebus dengan kadar protein tertinggi (5.67%) justru memiliki nilai indeks glikemik lebih tinggi daripada produk olahan lainnya. Demikian pula pada suweg goreng dengan kadar protein yang rendah (3.92%) memiliki nilai indeks glikemik yang rendah pula. Menurut Fernandes et al. (2005), kadar protein tidak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap indeks glikemik walaupun mempunyai potensi untuk menurunkan nilai indeks glikemik pangan. Pada berbagai produk olahan suweg dapat diketahui bahwa ternyata umbi suweg memiliki kandungan serat yang cukup tinggi. Selain itu ternyata jauh lebih tinggi kadar serat pangan tidak larut dibandingkan dengan serat pangan larut. Serat pangan merupakan komponen yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan. Menurut Silalahi (2006) dalam Maulana (2012), serat pangan adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia, dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh. Kandungan serat yang tinggi dapat memperlambat respon glikemik suatu bahan pangan. Namun, pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa adanya kecenderungan semakin tinggi kadar serat pangan, maka semakin tinggi pula nilai indeks glikemik yang dimiliki produk tersebut. Hal ini diduga berkaitan dengan jenis pati yang terkandung di dalam suweg. Menurut Sajilata et.al (2006) dalam Karimah
40
(2011), berdasarkan kemampuan cerna oleh enzim, pati diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu RDS (Rapidly Digestible Starch), SDS (Slowly Digestible Starch), dan RS (Resistant Starch). RS dihitung sebagai total serat dikurangi dengan (RDS+SDS). Apabila dikaitkan maka total serat merupakan penjumlahan dari RS, RDS, dan SDS. Berdasarkan perhitungan tersebut, diduga bahwa jenis pati pada suweg proporsi terbesarnya jenis RDS, sehingga cepat dicerna, cepat dalam meningkatkan kadar glukosa darah dan memungkinkan nilai indeks glikemik lebih tinggi. Kecepatan RDS dicerna oleh enzim menjadi bentuk molekul glukosa dalam waktu 30 menit. Selain itu dapat terlihat pada respon glikemik akibat konsumsi umbi suweg, bahwa respon glikemik cepat mengalami peningkatan yang kemudian akan cepat turun kembali, sehingga umbi suweg tetap memiliki nilai indeks glikemik yang rendah. Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat gelatinisasi, maka semakin tinggi pula Indeks Glikemik yang dimiliki oleh pangan tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil yang disajikan pada Tabel 6. Suweg goreng yang memiliki nilai indeks glikemik paling kecil, memiliki nilai derajat gelatinisasi yang paling kecil pula. Demikian pula pada bahan pangan suweg kukus dan rebus yang memiliki nilai derajat gelatinisasi yang cenderung lebih tinggi. Kadar amilosa pati juga berpengaruh terhadap nilai Indeks Glikemik. Keberadaan amilosa dalam jumlah yang tinggi akan membuat nilai Indeks Glikemik pangan menjadi kecil, sebab struktur liniernya yang kompak lebih sulit dicerna oleh enzim. Amilosa juga lebih sulit tergelatinisasi, dan ketika terjadi retrogradasi pati, amilosa akan membentuk ikatan hidrogen yang lebih kuat dan lebih resisten terhadap hidrolisis enzim. Seperti pernyataan Miller et al. (1992) dan Behall et al (2000), pangan dengan kandungan amilosa lebih tinggi dibanding kandungan amilopektin akan menyebabkan respon gula darah lebih rendah dibanding pangan yang memiliki kandungan amilopektin lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Kadar amilosa suweg kukus sebesar 1.5%, suweg rebus 2.44%, dan suweg goreng sebesar 0.30%. Produk olahan suweg tersebut tergolong kadar amilosa sangat rendah, sehingga pengaruhnya terhadap nilai Indeks Glikemik kemungkinan tidak begitu nyata. Hal ini juga dikemukakan oleh Utami (2008). Nilai indeks glikemik suatu bahan makanan merupakan sesuatu yang unik. Indeks glikemik tidak dapat diprediksikan hanya berdasarkan komposisi kimia bahan-bahan terkandung di dalamnya saja karena nilai indeks glikemik
41
juga dipengaruhi oleh respon fisiologis masing-masing individu (Agrasasmita 2008 dalam Karimah 2011) Konsumsi pangan yang memiliki nilai indeks glikemik lebih rendah diyakini lebih baik dibandingkan dengan pangan bernilai indeks glikemik tinggi. Semakin tinggi nilai indeks glikemik pangan, semakin cepat pula pangan tersebut mempengaruhi kadar glukosa darah. Namun indeks glikemik tidak hanya perlu diperhatikan oleh penderita diabetes saja. Indeks glikemik juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan tubuh dan pengaturan diet bagi penderita kegemukan dan obesitas, serta olahragawan. Hasil analisis ragam menggunakan one way anova terhadap nilai indeks glikemik tiga pangan uji, menunjukkan pengolahan mempengaruhi nilai indeks glikemik pada selang kepercayaan 95%. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Rimbawan dan Siagian (2004), bahwa pemasakan atau pemanasan dapat memperbesar granula pati yang mengakibatkan pangan lebih mudah dicerna dan memiliki nilai indeks glikemik yang lebih tinggi. Pengolahan dengan nyata mempengaruhi nilai indeks glikemik, sehingga dilakukan analisis lanjutan Duncan. Hasil analisis Duncan menunjukkan nilai indeks glikemik suweg goreng lebih rendah secara tidak nyata dibandingkan suweg kukus pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan suweg goreng dan suweg kukus lebih rendah secara nyata dibandingkan dengan suweg rebus. Beban Glikemik Baik kuantitas dan kualitas dari karbohidrat mempengaruhi respon glikemik. Menurut definisi, indeks glikemik membandingkan jumlah yang sama dari karbohidrat dan menyediakan ukuran sebuah karbohidrat tetapi kualitas bukan kuantitas. Nilai beban glikemik disertakan untuk sebagian besar makanan dan dihitung dengan mengalikan jumlah karbohidrat yang terkandung dalam ukuran porsi tertentu dari makanan dengan nilai indeks glikemik makanan (penggunaan glukosa sebagai referensi makanan) yang kemudian dibagi dengan 100 (Powell et al 2002). Adapun kategori pangan menurut beban glikemik antara lain beban glikemik rendah <10, beban glikemik sedang 11-19, dan beban glikemik tinggi >20 (Powell et al 2002). Porsi yang diberikan kepada setiap probandus setara 25 gram karbohidrat. Beban glikemik pada berbagai produk olahan umbi suweg dapat dilihat pada Tabel 7.
42
Tabel 7 Beban Glikemik berbagai produk olahan suweg Jenis Pangan Suweg kukus Suweg rebus Suweg goreng
Besar Porsi (g) 200 200 200
Kandungan karbohidrat (g) 30.86 20.92 47.17
Indeks Glikemik 37.36 45.58 24.68
Beban Glikemik 11.53 9.53 11.64
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa beban glikemik setiap 200 gram untuk berbagai produk olahan suweg berbeda-beda. Beban glikemik produk olahan suweg berkisar antara 9.53 hingga 11.64. suweg rebus tergolong ke dalam kategori pangan dengan beban glikemik yang rendah, sedangkan suweg kukus dan suweg goreng merupakan pangan dengan beban glikemik sedang.
43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Bermacam jenis pengolahan pangan menghasilkan komposisi zat gizi yang berbeda pada produk olahan suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Pengolahan mempengaruhi kandungan
air dalam bahan, sehingga diperoleh
kadar air (bb) dalam suweg kukus, rebus dan goreng sebesar 73.61%, 80.25%, dan 55.92%. Analisis kadar protein (bk) tertinggi yaitu pada pada suweg rebus sebesar 5.67%, dan terendah pada suweg goreng sebesar 3.92%. Kadar lemak (bk) pada suweg kukus, rebus dan goreng berturut-turut 0.27%, 0.39%, dan 11.41%. Kandungan karbohidrat by difference (bk) berbagai produk olahan suweg berkisar antara 79.03% hingga 87.87%, yang tertinggi pada suweg rebus dan terendah pada suweg goreng. Serat pangan total (bk) yang terkandung pada suweg kukus, rebus dan goreng 29.02%, 34.99%, dan 25.58%. Hasil pengukuran indeks glikemik menunjukkan bahwa tiap produk olahan suweg dengan pengolahan yang berbeda, memiliki respon glikemik yang juga berbeda. Nilai indek glikemik suweg kukus (37.36), suweg rebus (45.58), dan suweg goreng (24.68) berada pada kategori pangan dengan indeks glikemik rendah. Pengolahan suweg yang berbeda secara nyata menunjukkan perbedaan respon glikemik (p<0.05). Suweg goreng tidak nyata lebih rendah dari suweg kukus (p>0.05). Suweg kukus dan suweg goreng lebih rendah secara nyata dari suweg rebus (p<0.05). Saran Nilai indeks glikemik suweg kukus, rebus dan goreng termasuk ke dalam kategori indeks glikemik rendah, sehingga cocok untuk direkomendasikan pada penderita diabetes sebagai pangan utama. Pembuatan produk diversifikasi dengan membuat komposit yang tetap mempertahankan keunggulan dari produk suweg yaitu sumber karbohidrat, nilai indeks glikemik rendah dan tinggi serat. Penelitian lebih lanjut mengenai nilai indeks glikemik produk olahan suweg lainnya masih perlu dilakukan sehingga mempermudah dalam pemilihan pangan yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Nilai indeks glikemik diharapkan dapat menjadi panduan diet tidak hanya bagi orang sakit namun juga bagi orang sehat dengan mempertimbangkan beban glikemik.
44
DAFTAR PUSTAKA Aliawati. 2003. Teknik analisis kadar amilosa dalam beras. Buletin Teknik Pertanian 8 (2):82-84 Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Bahado-Singh PS, Riley CK, Wheatley AO, dan Lowe HI. 2011. Relationship between processing method and the glycemic indices of ten sweet potato cultivars commonly consumed in Jamaica. Journal of Nutr and Metabolism, Vol.2011. Batki, A.D., Thomason H.L., Holder R., Nayyar P., dan Thorpe G.H.G. 2003. MDA Evaluation report: Bayer Esprit 2 Glucose Meter. MDA 02169. Februari 2003. Behall KM, Scholfield DJ, dan Canary J. 2000. Effect of starch structure on glucose and insulin response in adult. Am J Clin Nutr., Vol. 47: 428-432 Belitz, H. D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Fardiaz, D et al. 1984. Penuntun Praktikum Analisa Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan, IPB. Faridah, D.N. 2005. Kajian Sifat Fungsional Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl) secara In Vivo pada Manusia. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda-IPB. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practice. 2nd Ed. United States of America: Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC Fernandes G, Velangi A, Wolever TMS. 2005. Glycemic index of potatoes commonly consumed in Noerth America. J Am Diet Assoc 105: 557-562. Hardjasasmita. 2010. Ikhtisar Biokimia Dasar D. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Hartati NS dan Titik KP. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat. Yogyakarta: Kanisius. Karimah I. 2011. Nilai indeks glikemik bubur instan pati singkong dan bubur instan pati resisten singkong [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Kindo. 2011. Indeks Glikemik dan Manfaatnya. http://indodiabetes.com/apa-ituglikemik-indeks-gi-dan manfaatnya [27 Februari 2012]. Lingga P et al. 1986. Bertanam Ubi-Ubian. Jakarta: Penerbit Swadaya.
45
Maulana B. 2012. Pengaruh berbagai pengolahan terhadap indeks glikemik ubi jalar (Ipomea batatas) Cilembu [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Miller JCB. 1996. The GI Factor: The GI Solution Hodder and Stoughton. Australia: Hodder Headine Australia Pty Limited. Mukhis F. 2003. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung dan Pati Umbi Ganyong (Canna edulis Kerr.) dan Suweg (Amophophalus campanulatus BI.) serta sifat penerimaan α-amilase terhadap pati [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mustamir. 2011. Puasa Obat Dahsyat. Jakarta: PT Wahyumedia Palupi. NS, Zakaria FR dan Prangdimurti E. 2007. Modul e-Learning ENBP, Bogor: Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB Parker R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar. Thomson Learning. United States of America. Pitodjo S. 2007. Suweg. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Powell KF, SHA Holt, MillerJCB. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values.Am.J.Clin.Nutr.76 (1): 266S-73S Prijatmoko D. 2007. Indeks glikemik satu jam postprandial bahan makanan pokok jenis nasi, jagung, dan kentang. Cermin Dunia Kedokteran vol 34 no. 6/159 (November 2007) Ragnhild A.L., Asp N.L, Alexsen M, dan Rben A. 2004. Glicemic Index: relevance for health, dietary recommendation, and nutritional labeling. Scandinavian Journal of Nutrition. 482: 84-94. Rasdiyanti RFK. 2011. Nilai indeks glikemik produk olahan sukun [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Reinauer H, Home PD, Kanagasabapathy AS, Heuck C. 2002. Laboratory diagnosis and monitoring of diabetes mellitus. Geneva: World Healt Organization. Rimbawan dan Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penerbit Swadaya. Rimbawan et al. 2006. Pengaruh Indeks Glikemik, Komposisi, dan Cara Pemberian Pangan terhadap Respons Glikemik pada Subyek Obes dan Normal (Jurnal Penelitian Ilmiah). Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB Bogor dan Departemen Gizi Fakultas Kedokteran USU Medan, dalam http://www.ejournal.usu.ac.id (Februari 2012).
46
Snell R. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi 6. Jakarta: Penerbit EGC Sutanto. 2007. Menu Sehat. http//www.lucianasutanto.com [12 Januari 2012] Sudarmadji et al. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.Yogyakarta: Penerbit Liberty. Udani JK, Singh BB, Baret ML, dan Preuss HG. 2009. Lowering glycemic index of white bread using white bean extract. Bio Med. [artikel ilmiah]. Central: Nutrition Journal. Utami, A.R. 2008 Kajian Indeks Glikemik dan Kapasitas In Vitro Pengikatan Kolesterol dari Umbi Suweg dan Umbi Garut. [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Waspadji S. 2003. Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. ______. 2007. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Wijayanti, S.N.A. 2010. Nilai indeks glikemik produk olahan jagung manis (Zea mays sacchararata Sturt) varietas diamond sweet [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. ______. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor. Wolever TMS et al. 2008. Measuring the glycemic index of foods: Interlaboratory study. Am J Clin Nutr., Vol. 87: 247S-57S. Wylio. 2011. Indeks Glikemik: Arti dan Manfaatnya. http://majalahkesehatan.com [29 Februari 2012].
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1. Cara Pengolahan Suweg Goreng, Suweg Kukus, dan Suweg Rebus 1. Suweg Goreng Suweg terlebih dahulu dikupas kulitnya. Suweg dipotong-potong dengan bentuk dadu yang berukuran 2x2 cm. Suweg sebanyak 250 gram digoreng setelah minyak panas sebanyak 200 ml dan memiliki suhu ± 70ºC. Setelah matang dan berwarna agak kuning kecoklatan, kemudian suweg ditiriskan. Diagram alir proses pembuatan suweg goreng dapat dilihat di bawah ini. Suweg dikupas kulit Dipotong Digoreng Suweg yang sudah matang ditiriskan
2. Suweg Kukus Suweg terlebih dahulu dikupas kulitnya. Suweg dipotong-potong dengan bentuk dadu yang berukuran 2x2 cm. Suweg sebanyak 250 gram dikukus dalam panci pengukus. Suweg dimasukkan setelah air (700 ml) dalam panci pengukus mendidih. Setelah matang kemudian suweg ditiriskan. Diagram alir proses pembuatan suweg kukus dapat dilihat di bawah ini. Suweg dikupas kulit Dipotong Dikukus Suweg yang sudah matang ditiriskan
3. Suweg Rebus Suweg terlebih dahulu dikupas kulitnya. Suweg dipotong-potong dengan bentuk dadu yang berukuran 2x2 cm. Suweg sebanyak 250 gram direbus dalam panci. Suweg dimasukkan setelah air (700 ml) dalam panci mendidih. Setelah
49
matang kemudian suweg ditiriskan. Diagram alir proses pembuatan suweg rebus dapat dilihat di bawah ini. Suweg dikupas kulit Dipotong Direbus Suweg yang sudah matang ditiriskan
50
Lampiran 2 Uji Proksimat a. Analisis Kadar Air dengan Metode Oven Biasa (Fardiaz et al 1984) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105ºC selama kurang lebih 30 menit sampai diperoleh bobot tetap. Dinginkan dalam desikator sampai dingin (sekitar 30 menit). Bahan ditimbang bersama cawan seberat 2 gram, kemudian keringkan dalam oven pada suhu 100-105ºC selama 3-5 jam sampai diperoleh bobot tetap. Dinginkan dalam desikator sampai dingin (sekitar 30 menit). Diagram alir analisis kadar air dengan metode oven biasa dapat dilihat di bawah ini. Cawan alumunium
Dikeringkan dalam oven, suhu 100-105ºC, ±30 menit, sampai bobot tetap
Dinginkan dalam desikator, ±30 menit
Bahan ditimbang bersama cawan seberat 2 g
Dikeringkan dalam oven, suhu 100-105ºC, 3-5 jam, sampai bobot tetap
Dinginkan dalam desikator sampai dingin, ±30 menit
Perhitungan: % Kadar Air (basis basah) = {(B1-B2)/B} x 100% Keterangan: B = Berat contoh (gram) B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan
b. Analisis Kadar Abu (Sulaeman et al 1995) Bahan ditimbang sebanyak 3 gram dalam cawan, kemudian dibakar di atas api Bunsen sampai tidak berasap. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tanur dan pengabuan dilakukan dalam dua tahp, yaitu pengabuan pada suhu 450ºC, kemudian dinaikkan menjadi 550ºC. pengabuan dilakukan sekitar 2-3
51
jam. Dinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh berat tetap. Berikut ini diagram alir analisis kadar abu. Bahan ditimbang 3 g dalam cawan
Dibakar di atas api Bunsen sampai tidak berasap
Dimasukkan ke tanur Pengabuan selama 2-3 jam
Pengabuan suhu 450ºC
Dinaikkan menjadi 550ºC
Dinginkan dalam desikator, ditimbang hingga berat tetap
Perhitungan: % Abu = {Berat Abu (g)/Berat Sampel (g)} x 100% c. Analisis Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Soxhlet (Fardiaz et al 1984) Labu lemak dikeringkan dalam oven, suhu 105ºC selama 3 jam
Didinginkan dalam desikator, ±15 menit. Ditimbang (A)
5 g sampel (S) ditimbang dalam saringan timbel. Ditutup dengan kertas saring bebas lemak
Pelarut lemak dimasukkan ke dalam labu lemak
Timbel dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet.
Labu disuling kemabali. Labu lemak diangkat.
Dikeringkan dalam oven suhu 105ºC, sampai berat tetap. Didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit. Ditimbang (B)
52
Kadar lemak ditentukan dengan Metode ekstraksi Soxhlet. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 3 jam, kemudian didinginkan dalam desikator (15 menit) dan ditimbang (A). sampel (S) sebanyak 5 gram ditimbang dalam saringan timbel dan ditutup dengan kertas saring yang bebas lemak. Pelarut lemak, dimasukkan ke dalam labu lemak dan juga timbel dimasukkan ke dalam ekstraksi Soxhlet. Labu disulingkan kembali dan labu lemak diangkat serta dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC sampai berat tetap. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang (B).
Perhitungan: % Lemak = {(B-A)/S} x 100% d. Analisis Kadar Protein dengan Metode Kjedhal (Fardiaz et al 1984) Sampel ditimbang dalam labu kjedhal sebanyak 0.1-0.2 gram. Selain itu ditambahkan juga 0.5 gram selenium mix dan 7 mL asam sulfat pekat. Sampel kemudian didestruksi sampai diperoleh larutan berwarna jernaih kehijauan dan uap SO2 hilang. Kemudian hasil didestruksi ditambahkan aquades dan dimasukkan ke dalam
labu destilasi. Destilasi ditampung
dalam 20 mL larutan asam borat 3%, lalu dititras8i dengan HCl standar (indikator metal merah). Diagram alir analisis kadar protein dengan metode Kjedhal dapat dilihat di bawah ini. Sampel 0.1-0.2 g dalam labu kjedhal
Ditambahkan selenium mix 0.5 g dan 7 ml as. sulfat pekat
Didestruksi sampai diperoleh larutan berwarna kehijauan dan uap SO2 hilang.
Ditambahkan aquades. Dimasukkan dalam labu destilasi
Destilasi ditampung dalam 20 ml as. borat 3%
Dititrasi dengan HCl standar (indikator metil merah)
Perhitungan: % Kadar Protein = (mL titrasi x 14 x N HCl x 6.25)/(mg contoh)
53
e. Analisis Kadar Karbohidrat dengan Metode Carbohydrate by Difference (Winarno 2008) % Kadar Karbohidrat = 100% - (Kadar Air + Abu + Lemak +Protein)
54
Lampiran 3 Analisis kadar serat metode enzimatik (Fardiaz et al 1984) a. Analisis kadar serat pangan total Sampel dihaluskan dihomogenkan dan diliofilisasi diekstraksi lemak dengan Soxhlet ± 1 gr sampel (A) 10.47 gr NaH2PO4 anhydrat + 1.80 gr NaH2PO4 anhydrat diencerkan menjadi 1000 ml dengan akuades atau 13.27 gr NaH2PO4 2H2O + 2.21 gr NaH2PO4 2H2O diencerkan menjadi 1000 ml dengan akuades
+ 25 ml Buffer Phospat pH 6.0 + 0.1 ml Enzym Thermamyl
Karena sampel ditimbang dalam keadaan tanpa lemak dan air maka bentuk konversi untuk mencari berat sampel semula (sbg A) adalah : (Berat sampel x 100) / (100-(kadar lemak+kadar Air))
dipanaskan 80oC 15 menit didinginkan
diatur pH menjadi 1.5 dg HCl 4N
+ 1 ml suspensi Pepsin O
diinkubasi 37 C selama 1 jam diatur pH menjadi 6.8 dengan NaOH 4N 1 gr pankreatin + 10 ml akuades (0.1 gr pankreatin/ml)
+ 1 ml Suspensi Pankreatin O
diinkubasi 37 C selama 1 jam
334.4 ml HCl 37% atau 494.9 ml HCl 25% diencerkan menjadi 1000 ml dengan akuades
1 gr Pepsin + 10 ml akuades pH 1.5 (0.1 gr pepsin / ml)
160 gr NaOH dilarutkan menjadi 1000 ml dengan akuades
diatur pH menjadi 4.5 dengan HCl 4 N
Blanko : Blanko untuk serat yang tidak larut dan serat yang larut diperoleh seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 dan B2) Perhitungan : Kadar serat pangan larut Kadar serat pangan tidak larut Kadar serat pangan
= serat pangan larut – serat pangan tidak larut
55
b. Analisis kadar serat pangan larut Filtrat ditambah 400-500 ml Ethanol 95% (teknis) lalu panaskan sampai 60oC dlm waterbath
Kertas Saring Whatman 40 dipanaskan dalam Oven 105OC selama 1 – 3 jam
didiamkan selama 1 jam
didinginkan
disaring dengan bantuan vakum
Timbang (F)
Residu dalam kertas saring dibilas dengan akuades dicuci dengan 50 ml Ethanol 78 %
821 ml Ethanol teknis 95% diencerkan sampai 1000 ml dengan akuades
dicuci dengan Aceton dipanaskan dalam Oven 105OC
Cawan Porselen
3 jam didinginkan
dipanaskan dalam Oven 105OC selama 1 – 3 jam
ditimbang (G)
Didinginkan
Dimasukan dalam cawan poselen dan diarangkan
ditimbang (H)
diabukan dalam Tanur 550OC didinginkan ditimbang (I)
Serat Makanan Larut (%) (( G - F) - ( I - H ))-Blanko =------------------------------------------------------- x 100 A
A= Berat sampel F= Berat kertas saring kosong G= Berat Kertas saring + residu setelah di oven H= Berat cawan porselen kosong I= Cawan porselen + abu setelah ditanur
56
c. Analisis kadar serat pangan tidak larut Kertas Saring Whatman 40
Larutan sampel pH 4.5
dipanaskan dalam Oven O 105 C selama 1 – 3 jam didinginkan disaring dengan bantuan vakum Residu dalam kertas saring
ditimbang (B)
Filtrat
Dilanjutkan ke kadar Serat Makanan Larut
dibilas dengan akuades
dicuci dengan 50 ml Ethanol 78 %
821 ml Ethanol teknis 95% diencerkan sampai 1000 ml dg akuades
dicuci dengan Aceton
dipanaskan dalam Oven O 105 C
Cawan Porselen
3 jam didinginkan
dipanaskan dlm Oven O 105 C selama 1 – 3 jam
ditimbang (C)
didinginkan
Dimasukan dalam cawan porselen dan diarangkan
ditimbang (D)
O
diabukan dlmTanur 550 C
Didinginkan
ditimbang (E)
57
Lampiran 4 Metode Analisis Derajat Gelatinisasi Ditimbang masing-masing sampel sebanyak 1 gram. Pada perlakuan pertama, 1 gram sampel ditambahkan dengan aquades 100 mL, kemudian diblender selama 1 menit dan hasilnya dipipet sebanyak 10 mL. pada perlakuan kedua, 1 gram sampel ditambahkan dengan aquades 65 mL, kemudian diblender 1 menit dan ditambahkan 5 mL NaOH 10 M. setelah itu dikocok dengan labomixer 5 menit dan dipipet 10 mL. masing-masing perlakuan sampel tersebut di-sentrifuge selama 15 menit pada 3500rpm. Sampel yang telah disentrifuge (supernatan) kemudian dipipet masingmasing sebanyak 0.5 mL. Supernatan pada perlakuan pertama dipipet sebanyak 0.5 mL ditambahkan 0.5 mL HCl 0.5 M dan 9 mL aquades. Sampel tersebut dikocok dan dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm (A). Supernatan pada perlakuan pertama dipipet sebanyak 0.5 mL ditambahkan 0.5 mL HCl 0.5 M dan 0.1 mL larutan iod serta 8.9 mL aquades. Sampel tersebut dikocok dan dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm (B). Supernatan pada perlakuan kedua dipipet sebanyak 0.5 mL ditambahkan 0.5 mL HCl 0.5 M dan 9 mL aquades. Sampel tersebut dikocok dan dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm (C). Supernatan pada perlakuan kedua dipipet sebanyak 0.5 mL ditambahkan 0.5 mL HCl 0.5 M dan
9
mL
aquades.
Sampel
tersebut
dikocok
dan
dibaca
dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm (D). Diagram alir analisis derajat gelatinisasi metode IRRI (1987) dapat dilihat pada Gambar 9. Keterangan: A : sebagai blanko pembacaan untuk B C : sebagai blanko pembacaan untuk D Perhitungan: Derajat Gelatinisasi (%) = (B/D) x 100%
58
ditimbang 1 g sampel
ditimbang 1 g sampel
Ditambah aquades 100 ml
Ditambah aquades 95 ml
diblender 1 menit
diblender 1 menit + 5 ml NaOH 10 M Dikocok dengan labomixer 5 menit
dipipet 10 ml
dipipet 10 ml
disentrifuge 15 menit 3500 rpm
disentrifuge 15 menit 3500 rpm
+ supernatan 0.5 ml
+ supernatan 0.5 ml
+ supernatan 0.5 ml
+ supernatan 0.5 ml
+ 0.5 ml HCl 0.5 M
+ 0.5 ml HCl 0.5 M
+ 0.5 ml HCl 0.5 M
+ 0.5 ml HCl 0.5 M
0.1 ml larutan iod 0.1 N
0.1 ml larutan iod 0.1 N
+ aquades 9 ml
+ aquades 8.9 ml
+ aquades 9 ml
+ aquades 8.9 ml
dikocok & dibaca pada λ 625 nm
dikocok & dibaca pada λ 625 nm
dikocok & dibaca pada λ 625 nm
dikocok & dibaca pada λ 625 nm
A
B
C
D
59
Lampiran 5 Analisis kadar amilosa metode spektrofotometer
Sampel dihaluskan
ditimbang ± 0.1 gr dalam tabung reaksi + 1 ml Ethanol 95 % + 9 ml NaOH 1 N dipanaskan dlm air mendidih selama 10 menit
Kurva standar
dipindahkan ke labu ukur 100 ml dan tera dg akuades
ditimbang 100 mg Amilosa dikocok dimasukkan dlm tb reaksi dipipet 25 ml dalam labu 50 ml + 1 ml Ethanol p.a + 9 ml NaOH 1 N
+ 2 ml CH3COOH 1 N + 3 ml larutan Iod
O
diencerkan sampai tera , dikocok dan diamkan 20 menit
dipanaskan dalam air 100 C 10 menit dipindahkan ke labu 100 ml dibilas dan diencerkan sampai tera
diukur pada λ 625 nm
0 ml + 2 ml CH3COOH 1N + 3 ml
Lar. Iod
Persamaan Regresi Y = a + bx X = (Y-a)/b X x faktor pengencer % Amillosa =------------------------x100 berat sampel (mg)
0.25ml+2ml CH3COOH 1N +3ml Lar. Iod
0.5ml+2ml
1 ml + 2 ml
1.5 ml+2ml
CH3COOH 1N +3ml Lar. Iod
CH3COOH 1N + 3 ml
CH3COOH 1N + 3 ml
Lar. Iod
Lar. Iod
ditera sampai 100 ml dengan akuades dikocok dan dibiarkan selama 20 menit dibaca pada λ 625 nm
60
Lampiran 6 Informed Consent Surat Persetujuan Untuk Berpartisipasi Dalam Penelitian (INFORMED CONSENT) PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI INDEKS GLIKEMIK BEBERAPA PANGAN LOKAL SUMBER KARBOHIDRAT INSTITUT PERTANIAN BOGOR Setelah memperoleh penjelasan tentang tujuan, manfaat, prosedur, dan kemungkinan risiko, serta jawaban atas pertanyaan saya yang diberikan oleh tim peneliti pada penelitian NILAI INDEKS GLIKEMIK PANGAN OLAHAN BERBASIS SUWEG, GEMBILI, DAN PISANG KEPOK UNTI SAYANG maka saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama Jenis Kelamin Umur Alamat
: ........................................................................... : ……………………………………………………………………. : ……………………………............................................. : ...........................................................................
dengan ini menyatakan dengan penuh kesadaran bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian tersebut di atas dan bersedia untuk menjalani pemeriksaan darah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam penelitian NILAI INDEKS GLIKEMIK PANGAN OLAHAN BERBASIS SUWEG, GEMBILI, DAN PISANG KEPOK UNTI SAYANG, dengan catatan semua data mengenai diri saya dirahasiakan. Selanjutnya, bila suatu ketika, dalam masa penelitian, saya merasa dirugikan karena penelitian ini, saya berhak mengundurkan diri dari keterlibatan saya serta membatalkan persetujuan ini, tanpa sanksi apa pun dan dari pihak manapun.
Bogor, …………………, 2012 Mengetahui,
Yang Menyetujui,
Penanggungjawab Kegiatan
Peserta Kegiatan,
DR. Rimbawan NIP. 19620406 198603 1 002
(………………………….)
61
Lampiran 7 Dokumentasi
Umbi Suweg
Suweg mentah
Suweg rebus
Suweg kukus
Suweg goreng
62
Lampiran 8 Contoh Perhitungan Pangan Uji yang Diberikan Misal pangan uji adalah suweg kukus % karbohidrat by difference (bb)
= 100% - %(air + abu + lemak + protein) = 100% - %(73.61+ 6.70+ 5.38+ 0.27) = 23.08 %
% karbohidrat tersedia (bb)
= %karbohidrat by difference (bb) – serat pangan total (bb) = 23.08 % - 7.66% = 15.42 %
Jumlah suweg kukus yang diberikan (g) = 100 x 25 % karbohidrat tersedia = 100 x 25 15.42 % = 162 g
63
Lampiran 9 Uji Ragam Anova
Descriptives IG Mean pada selang kepercayaan 95% N
Mean
Std. Deviasi
Std. Error Batas Bawah
Batas Atas
Minimum Maksimum
kukus
10
37.3630
15.01573
4.74839
26.6214
48.1046
18.31
71.61
rebus
10
45.5816
17.65564
5.58320
32.9515
58.2117
15.82
72.65
goreng
10
24.6788
8.01661
2.53507
18.9441
30.4136
9.66
35.34
Total
30
35.8745
16.22154
2.96163
29.8173
41.9317
9.66
72.65
ANOVA IG Jumlah kuadrat
df
Mean kuadrat
Between Groups
2217.871
2
1108.936
Within Groups
5413.137
27
200.487
Total
7631.008
29
IG Duncan alpha = 0.05 pengolahan
N
1
2
goreng
10
24.6788
kukus
10
37.3630
rebus
10
Sig.
37.3630 45.5816
.055
.205
F 5.531
Sig. .010