EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN HOTONG (Setaria italica)
RHAIS PRASETYO
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
RINGKASAN RHAIS PRASETYO. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Hotong (Setaria italica). Dibimbing oleh NURHENI SRI PALUPI dan SRI WIDOWATI Ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras akan menimbulkan bahaya yang besar terhadap sistem ketahanan pangan di Indonesia. Sebagai alternatif agar kebutuhan pangan masyarakat akan sumber karbohidrat tetap tercukupi, maka diperlukan diversifikasi pangan, terutama pangan lokal (indigenous). Salah satu sumber karbohidrat yang dapat digunakan adalah hotong (Setaria italica). Penelitian ini difokuskan pada evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik (IG) produk olahan hotong, yaitu kukis, mi instan, bubur instan, dan snack. Produk yang diuji diharapkan mempunyai mutu gizi yang baik dan dapat menjadi alternatif diet karena mempunyai nilai IG yang rendah. Penelitian ini dikerjakan dalam dua tahap, yaitu (1) pengujian sifat fisikokimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu tepung hotong, dan (2) mempelajari pengaruh pengolahan dan komposisi produk olahan hotong terhadap sifat kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu. Karakterisasi sifat fisik tepung hotong meliputi analisis warna (L*, a*, b*), derajat putih, densitas kamba dan padat, kelarutan dalam air, dan rendemen penyosohan. Karakterisasi sifat kimia meliputi analisis proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, dan kadar tanin. Karakterisasi nilai biologi menggunakan analisa daya cerna pati in vitro dan indeks glikemik. Karakterisasi mutu dilakukan dengan cara membandingkan komposisi zat gizi tepung hotong dan produk olahan hotong dengan standar yang telah ditetapkan (SNI). Informasi sifat fisik tepung hotong yang diperoleh adalah nilai L* sebesar 92.33, a* (1.15), b* 13.04, derajat putih 84.83, densitas kamba 0.57 g/ml, densitas padat 0.77 g/ml, kelarutan dalam air 13.88%, dan rendemen penyosohan 30.07%. Sedangkan informasi sifat kimia tepung hotong yang diperoleh adalah kadar air sebesar 7.93% bb, abu 0.66% bk, lemak 1.11% bk, protein 9.42% bk, karbohidrat 88.81% bk, amilosa 25.06% bk, serat pangan 7.25% bk, SPTL 5.03% bk, SPL 2.22% bk, dan tanin 1156.12 ppm. Daya cerna pati in vitro tepung hotong sebesar 51.33%. Karakteristik mutu tepung hotong memenuhi syarat mutu gizi untuk tepung beras, tepung jagung, dan tepung ubi kayu, namun tidak untuk syarat mutu gizi tepung garut, tepung sagu, dan tepung terigu, karena mempunyai kandungan kadar abu sebesar 0.66% bk. Dari penelitian diperoleh informasi sifat kimia produk olahan hotong. Kukis mempunyai kadar air 3.48% bb, abu 1.30% bk, lemak 21.75% bk, protein 6.52% bk, karbohidrat 70.43% bk, amilosa 7.19% bk, serat pangan 4.26% bk, SPTL 3.48% bk, SPL 0.78% bk, dan tanin 478.55 ppm. Mi instan mempunyai kadar air 2.33% bb, abu 1.90% bk, lemak 15.01% bk, protein 10.06% bk, karbohidrat 73.03% bk, amilosa 12.05% bk, serat pangan 7.27% bk, SPTL 5.44% bk, SPL 1.83% bk, dan tanin 462.92 ppm. Bubur instan mempunyai kadar air 6.33% bb, abu 0.83% bk, lemak 2.31% bk, protein 6.29% bk, karbohidrat 90.57% bk, amilosa 8.10% bk, serat pangan 5.44% bk, SPTL 4.85% bk, SPL 0.60% bk, dan tanin 532.92 ppm. Snack mempunyai kadar air 3.22% bb, abu 2.76% bk, lemak
23.26% bk, protein 8.37% bk, karbohidrat 65.61% bk, amilosa 2.47% bk, serat pangan 5.46% bk, SPTL 4.92% bk, SPL 0.54% bk, dan tanin 670.76 ppm. Untuk nilai biologi produk olahan hotong, kukis mempunyai IG sebesar 47.25 dan daya cerna pati in vitro 37.28%, IG mi instan 48.45 dan daya cerna pati in vitro 53.68%, IG bubur instan 59.57 dan daya cerna pati in vitro 56.64%, dan IG snack 45.31 dengan daya cerna pati in vitro 67.08%. Berdasarkan nilai IG yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kukis, mi instan, dan snack dapat dijadikan alternatif diet bagi penderita diabetes melitus karena mempunyai nilai IG yang rendah. Kukis belum memenuhi syarat mutu gizi untuk biskuit, karena hanya mengandung protein sebesar 6.52% bk. Mi instan memenuhi syarat mutu gizi untuk mi instan, karena mempunyai kandungan kadar air sebesar 2.33% bk dan kadar protein sebesar 10.06% bk. Bubur instan memenuhi syarat mutu gizi untuk sup instan, karena mempunyai kandungan kadar air sebesar 6.33% bk, kadar lemak sebesar 2.31% bk, dan kadar protein sebesar 6.29% bk. Snack juga memenuhi syarat mutu gizi untuk makanan ringan ekstrudat, karena mempunyai kandungan kadar air sebesar 3.22% bk dan kadar lemak sebesar 23.26% bk. Kata kunci: hotong, mutu, gizi, indeks glikemik
EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN HOTONG (Setaria italica)
RHAIS PRASETYO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Skripsi : Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Hotong (Setaria italica) Nama : Rhais Prasetyo NIM : F24104130
Disetujui
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si. Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sri Widowati, MAppSc. Dosen Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Tanggal Lulus :
September 2008
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2007 ini adalah indeks glikemik, dengan judul Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Hotong. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini, yaitu: 1. Keluarga tercinta, Bapak A.S. Sulistyo, Ibu A. Sri Astuti, dan Kakak Thadea Pratiwi atas segala pengorbanan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan, dan juga kepada seluruh keluarga besar atas perhatiannya. 2. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si. selaku pembimbing akademik I, atas saran, bimbingan, dan perhatian yang telah diberikan. 3. Dr. Ir. Sri Widowati, M.AppSc. selaku pembimbing II, atas tanggung jawab, saran, dan bimbingan yang telah diberikan. 4. Ibu Elvira Syamsir, STP, M.Si. atas kesediaan waktu dan pikirannya untuk menjadi penguji sidang. 5. Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian yang telah mendanai penelitian ini dan Dr. Ir. Sam Herodian, M.S. selaku penanggung jawab program yang telah memberikan bantuan dan saran selama penelitian. 6. Rekan-rekan mahasiswa Departemen ITP atas dukungan dan bantuannya, terutama M. Arief Fadli, Angga Ardian, VK Inggrid, Farah Sitaresmi, Yulizar VF, Agnes Krismawati, Listyawati, Vera Lisnan, Bima Sakti Aswan, Ratih Pratiwi, Dody Setyadi, M. Lutfi, M. Faried Ma’ruf, Tri Wulandari, Edy Gunawan, Wachyu Maslecha, Yuke Juanita, Hans CW, Anto Purwanto, Hardianzah Rahmat, Willine Esmelrada, Christine, Yuliana, Dyah Ayu P, Prita DLS, Sherly Valentina, Anggraeni GS, Arif MAMS, Pratiwi MMC, dan Kamalita Pertiwi.
7. Rekan-rekan mahasiswa IPB atas perhatiannya, yaitu: Petrus Asep, Charolina Margaretha, Novianda Rachmatia, Marcia Marsheilla T, dan Yekti Galihselowati. 8. Panelis uji Indeks Glikemik yang telah menyumbangkan waktu dan tenaga untuk penelitian ini, yaitu: Danang PK, Sarwo EW, Adie MR, M. Iqbal, Sofiyan Hadi, Tri Utama Argasasmita, Tri Wulandari, Mita AP, Prima Setyaningsih, Ihsaniati Nur Rahmatika, Hanifah, dan Apriliana CK. 9. Rekan-rekan sesama mahasiswa peneliti hotong atas segala bantuannya: Helmi Nashruddin, dan Siska Andriani. 10. Rekan-rekan sesama mahasiswa peneliti di BB Litbang Pascapanen atas dukungan dan bantuannya: Akhyar, Prima Setyaningsih, Tri Utama Argasasmita, Deni Septianti, Rizky Islamiawati, Imam, dan Egi Sonia. 11. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmu, dari jenjang TK sampai universitas. 12. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama kepada Ibu Pia, Bapak Danu, Bapak Yudi, Bapak Tri, Bapak Sobirin, dan Bapak Ibnu Wahid. 13. Para pustakawan di PITP, Perpustakaan PAU, dan Perpustakaan LSI atas bantuan yang telah diberikan dalam pencarian literatur, dan seluruh pegawai IPB. 14. Mahasiswa penghuni kost Kenanga 14 yang telah menjadi teman baik, yaitu: Sidharta Sugiono, Agus, Andreas Leomitro Kasih, M. Irvan, Indra Nur Rakhman, Pramuditya Aziz Fatiha, Onda Nariaki, Ahmad Rizaldie, Kaori Shiga, Anakuro Natsuko, Iwanaga Seiji, Yolanda Chandra, Budi Priyanto, dan Ibu Kost, Ibu Ruspitasari Subadi. 15. Teman-teman di Jakarta yang telah menjadi teman baik, terutama Genoveva Ernandang Prihatmoko, Wahyu Adi Nugroho, dan Stefano Mario Supit Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2008 Rhais Prasetyo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Desember 1986 dari ayah AS Sulistyo dan ibu A Sri Astuti. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Santa Ursula BSD dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih mayor Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Fisika Dasar pada tahun ajaran 2005/2006. Penulis juga aktif dalam kegiatan berorganisasi, yaitu Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (2006) dan Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (2006). Pada tahun 2007, penulis terpilih menjadi peserta Nutrifood Leadership Scholarship Program yang diadakan oleh PT Nutrifood Indonesia dan Dale Carnegie Training. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Hotong” yang didanai oleh Tim Pengembangan Hotong Buru sebagai bagian dari Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xii
I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................... B. Tujuan ................................................................................................... C. Manfaat Penelitian ................................................................................
1 2 2
II TINJAUAN PUSTAKA A. Hotong .................................................................................................. B. Pati ........................................................................................................ C. Produk Olahan Hotong ......................................................................... 1. Tepung ............................................................................................. 2. Kukis ................................................................................................ 3. Mi instan .......................................................................................... 4. Bubur instan ..................................................................................... 5. Snack ................................................................................................ G. Indeks Glikemik ................................................................................... H. Pangan Fungsional ...............................................................................
3 5 8 8 10 13 16 18 19 24
III METODOLOGI PENELITIAN A. Sampel Uji ............................................................................................ B. Bahan dan Alat ..................................................................................... C. Metode Penelitian ................................................................................. 1. Sifat Fisiko-Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu Tepung Hotong ................................................................................. 2. Pengaruh Pengolahan dan Komposisi Produk Olahan Hotong terhadap Sifat Fisiko-Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu D. Metode Analisis ................................................................................... 1. Analisis Sifat Fisik ........................................................................... 2. Analisis Sifat Kimia ......................................................................... 3. Analisis Nilai Biologi ....................................................................... 4. Analisis Data .................................................................................... IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisiko-Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu Tepung Hotong .................................................................................... 1. Sifat Fisiko-Kimia dan Nilai Biologi Tepung Hotong ..................... 2. Karakteristik Mutu Tepung Hotong ................................................. B. Pengaruh Pengolahan dan Komposisi Produk Olahan Hotong terhadap Sifat Fisiko-Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu ... 1. Sifat Kimia Produk Olahan Hotong ................................................. 2. Nilai Biologi Produk Olahan Hotong ............................................... 3. Karakteristik Mutu Produk Olahan Hotong .....................................
26 26 26 27 28 28 28 30 35 36
37 37 46 48 48 57 65
V KESIMPULAN A. Kesimpulan .......................................................................................... B. Saran .....................................................................................................
66 66
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
67
LAMPIRAN .....................................................................................................
73
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kandungan gizi biji hotong buru dibandingkan dengan komoditas serealia lain .................................................................................................
4
2 Kandungan gizi hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) per 100 g ................
4
3 Perbedaan sifat amilosa dan amilopektin ...................................................
7
4 Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan ..................................
9
5 Syarat mutu biskuit ....................................................................................
11
6 Syarat mutu mi instan ................................................................................
14
7 Syarat mutu sup instan ...............................................................................
17
8 Syarat mutu makanan ringan ekstrudat ......................................................
20
9 Komponen fungsional dalam pangan fungsional .......................................
24
10 Tahapan penelitian .....................................................................................
27
11 Sifat fisik tepung hotong .............................................................................
37
12 Sifat kimia dan nilai biologi tepung hotong ...............................................
41
13 Komposisi zat gizi tepung hotong dan produk tepung sejenis ...................
46
14 Komposisi zat gizi tepung hotong dan standar mutu produk tepung sejenis .............................................................................................
47
15 Komposisi zat gizi produk olahan hotong ..................................................
48
16 Beban glikemik produk olahan hotong ......................................................
65
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman hotong dan biji hotong ................................................................
3
2 Struktur amilosa .........................................................................................
5
3 Perangkapan iodine di dalam heliks amilosa .............................................
6
4 Struktur amilopektin ..................................................................................
7
5 Proses Pencernaan pati ...............................................................................
8
6 Diagram alir pembuatan tepung hotong .....................................................
10
7 Diagram alir pembuatan kukis hotong .......................................................
12
8 Diagram alir pembuatan mi instan hotong .................................................
15
9 Diagram alir pembuatan bubur instan hotong ............................................
18
10 Diagram alir pembuatan snack hotong .......................................................
21
11 Peran hormon insulin dan glukagon dalam menjaga kadar gula darah tetap dalam keadaan normal .......................................................................
23
12 Tepung hotong ...........................................................................................
37
13 Kukis hotong ..............................................................................................
49
14 Mi instan hotong ........................................................................................
49
15 Bubur instan hotong ...................................................................................
49
16 Snack hotong ..............................................................................................
49
17 Kadar amilosa produk olahan hotong ........................................................
55
18 Kadar serat pangan produk olahan hotong .................................................
56
19 Kadar tanin produk olahan tepung hotong .................................................
57
20 Nilai daya cerna pati produk olahan hotong ..............................................
59
21 Indeks glikemik produk olahan hotong ......................................................
61
22 Kurva kenaikan kadar glukosa darah produk olahan hotong .....................
62
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Formula terbaik produk olahan hotong ......................................................
74
2 Uji statistik kadar air produk olahan hotong ..............................................
75
3 Uji statistik kadar abu produk olahan hotong ............................................
75
4 Uji statistik kadar lemak produk olahan hotong ........................................
76
5 Uji statistik kadar protein produk olahan hotong .......................................
76
6 Uji statistik kadar karbohidrat produk olahan hotong ................................
77
7 Uji statistik kadar amilosa produk olahan hotong ......................................
77
8 Uji statistik kadar serat pangan produk olahan hotong ..............................
78
9 Uji statistik kadar serat pangan tidak larut produk olahan hotong ............
78
10 Uji statistik kadar serat pangan larut produk olahan hotong ......................
79
11 Uji statistik kadar tanin produk olahan hotong ..........................................
79
12 Uji statistik daya cerna pati produk olahan hotong ....................................
80
13 Uji statistik indeks glikemik produk olahan hotong ..................................
80
14 Pengujian indeks glikemik .........................................................................
81
14 Uji korelasi sifat kimia, nilai biologi, dan indeks glikemik produk olahan hotong .............................................................................................
82
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Saat ini yang terjadi di Indonesia adalah perubahan pola konsumsi makanan pokok dari makanan pokok lokal menjadi beras. Ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras akan menimbulkan bahaya yang besar terhadap sistem ketahanan pangan di Indonesia. Sebagai alternatif agar kebutuhan pangan masyarakat akan sumber karbohidrat tetap tercukupi, maka diperlukan diversifikasi pangan, terutama pangan lokal (indigenous). Salah satu sumber karbohidrat yang dapat digunakan adalah hotong. Di Indonesia, tanaman hotong (Setaria italica) tumbuh banyak di daerah pulau Buru (Maluku) sehingga tanaman ini sering disebut tanaman Hotong Buru. Di pulau Buru, hotong dijadikan makanan pokok bersama singkong, sagu, jagung, dan beras (Setyahadi 2007). Masyarakat pulau Buru sendiri juga sudah mengolah hotong secara tradisional menjadi bolu batik, sop ikan, nasi, bubur, dan wajik (Anonima 2008). Sebagai upaya diversifikasi dan peningkatan nilai tambah pangan lokal, tanaman hotong dikembangkan menjadi berbagai bentuk produk pangan olahan. Saat ini, produk dari tanaman hotong yang sedang dikembangkan adalah kukis, mi instan, bubur instan, dan snack. Umumnya produk yang dikembangkan berbasis tepung, karena tepung lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Widowati et al. 2002). Selain dilakukan pengembangan produk pangan olahan, juga perlu dilakukan evaluasi mutu gizi dan beberapa aspek yang berkaitan dengan sifat fungsional pada produk tersebut. Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan
kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Saat ini masyarakat sudah mulai peduli akan kesehatan, dan mulai belajar memilih pangan yang tepat. Konsep indeks glikemik (IG) merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih pangan yang baik (fungsional). Pangan yang memiliki IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, dan sebaliknya (Rimbawan dan Siagian 2004). Kadar glukosa darah yang tinggi berpotensi menimbulkan penyakit diabetes melitus (DM). Pangan dengan IG rendah dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional, karena terbukti mempunyai fungsi fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan, yaitu mengendalikan kadar glukosa darah untuk mencegah DM. Penelitian ini difokuskan pada evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik produk olahan hotong, yaitu kukis, mi instan, bubur instan, dan snack. Produk yang diuji diharapkan mempunyai mutu gizi yang baik dan dapat menjadi alternatif diet karena mempunyai nilai IG yang rendah.
B. Tujuan Penelitian 1) Menganalisis sifat fisiko-kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu tepung hotong 2) Mengevaluasi pengaruh pengolahan dan komposisi produk olahan hotong terhadap sifat kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu produk
C. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi mutu gizi dan indeks glikemik dari produk olahan hotong, yaitu kukis, mi instan, bubur instan, dan snack sehingga dapat diketahui oleh masyarakat umum, khususnya bagi penderita diabetes melitus (DM).
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hotong Tanaman hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) termasuk dalam kelas monocotyledonae, famili poaceae. Hirarki taksonomi selengkapnya adalah sebagai berikut: kerajaan
: Plantae
subkerajaan
: Tracheobionta
divisi
: Magnoliophyta (Angiospermae)
kelas
: Liliopsida
subkelas
: Commelinidae
bangsa
: Cyperales
keluarga
: Poaceae (Gramineae)
genus / marga : Setaria Beauv. spesies
: Setaria italica (L.) Beauv. (Anonimb 2008).
Tanaman hotong merupakan tanaman asli pulau Buru, Maluku, sehingga hotong juga sering disebut sebagai hotong buru. Bagian dari tanaman hotong yang digunakan sebagai bahan pangan adalah bagian bijinya. Tepung dari biji hotong ini dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan dan bahan olahan. Proses penepungan biji hotong meliputi proses pembersihan, penyosohan, perendaman, dan penggilingan. Proses penyosohan tidak dapat menggunakan alat yang biasa dipakai untuk memenyosoh padi, karena biji buru hotong lebih kecil dibanding padi. Penampakan tanaman hotong dan biji hotong dapat dilihat pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1 Tanaman hotong (a) dan biji hotong (b)
Hasil analisis kandungan gizi yang dilakukan di Laboratorium Departemen Teknologi Pangan dan Gizi IPB menunjukkan bahwa biji hotong memiliki kandungan karbohidrat sebesar 73.36% dan protein sebesar 11.18%. Biji hotong buru memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan beras, sedangkan kandungan karbohidratnya hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada beras seperti terlihat pada Tabel 1. Selain itu hotong juga memiliki kandungan gizi yang tidak berbeda jauh dibandingkan dengan komoditas serealia lainnya seperti gandum, jagung, dan oats (Tabel 1).
Tabel 1 Kandungan gizi biji hotong buru dibandingkan dengan komoditas serealia lain Komponen Hotongc) Ganduma) Beras b) Jagung a) Oats a) Air (g) 11,8 11,0 12,0 13,8 8,3 Protein (g) 11,2 12,6 6,7 9,0 15,0 Lemak (g) 2,2 2,7 0,4 3,9 7,0 Karbohidrat (g) 73,4 72,4 80,4 72,2 69,0 Abu (g) 1,3 1,3 0,5 1,7 0,7 a)
Mann dan Truswell (2002) Vaclavik dan Christian (2003) c) Departemen TPG (2003) b)
Kandungan gizi dari biji hotong dalam 100 gram cukup lengkap, baik makronutrien maupun mikronutrien (Tabel 2). Dengan demikian, diharapkan biji hotong buru dapat dijadikan alternatif makanan pokok sumber karbohidrat nonberas, dengan tetap memperoleh protein dan lemak, dalam upaya mendukung program diversifikasi pangan.
Tabel 2 Kandungan gizi biji hotong (Setaria italica) per 100g Komponen Jumlah Komponen Jumlah Kalori 384 kalori Kalsium 37 mg Air 0 % Fosfor 275 mg Protein 10,7 gram Besi 6,2 mg Lemak 3,3 gram Magnesium 0 mg Karbohidrat 84,2 gram Sodium 8 mg Serat 1,4 gram Potassium 281 mg Abu 1,6 gram Seng 0 mg Vitamin A 0 mg Tiamin 0,48 mg Riboflavin 0,14 mg Niasin 2,48 mg Vitamin B6 0 mg Vitamin C 0 mg (Anonimc 2004)
B. Pati Pati merupakan hasil ekstraksi bahan dengan menggunakan air. Dalam pembuatan pati, bahan biasanya digiling dalam kondisi basah dengan dicampur air kemudian disaring untuk memisahkan ampas, bagian yang lolos saringan kemudian dipisahkan padatannya, misalnya dengan pengendapan atau sentrifugasi (Sugiyono 2002). Endapan padat inilah yang disebut dengan pati yang selanjutnya dikeringkan dan digiling. Pati merupakan komponen terbanyak dalam serealia dan umbi-umbian serta bersifat penting karena mempunyai sifat-sifat fungsional yang kompleks. Pati adalah homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa merupakan rantai lurus dari 250-2000 unit D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4-D-glukosa (Gambar 2) dan memiliki berat molekul sekitar 340 000. Kadang-kadang pada amilosa juga terdapat percabangan molekul, namun jumlahnya sangat terbatas. Percabangan akan timbul kurang lebih setelah 500 unit glukosa membentuk rantai lurus. Rantai lurus dan sifat hidrofilik amilosa menyebabkan molekul ini cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan afinitas amilosa dalam air akan menurun. Kumpulan molekul amilosa dalam air akan meningkat sampai terbentuk endapan bila konsentrasi rendah, dan terbentuk gel bila konsentrasi tinggi. Amilosa dapat menyerap air sekitar 4 kali beratnya dan menyebabkan viskositas meningkat. Amilosa normalnya tidak mudah larut dalam air. Sedangkan kelarutan dalam air dapat dibuat dengan memanaskan amilosa pada suhu ± 150oC dengan menggunakan alat penukar panas kontinu. Dengan adanya pemanasan dapat juga menyebabkan terjadinya depolimerisasi amilosa, walaupun pada suhu tinggi larutan amilosa sangat cepat membentuk gel.
Gambar 2 Struktur amilosa
Dalam larutan encer, amilosa memiliki bentuk lilitan. Lilitan ini cenderung menghilang jika pati larut. Bila ditambahkan senyawa seperti lemak, iodin, atau alifatik alkohol primer, sebuah struktur kompleks atau heliks dengan 6 atau 7 unit glukosa per siklus terbentuk dengan molekul pengkompleks yang menempati pusat rongga heliks (Gambar 3). Amilosa mampu membentuk struktur kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Hal ini terjadi bila larutan pekat amilosa didinginkan perlahan-lahan. Kristalisasi sering pula dilihat sebagai retrogradasi, yaitu proses dimana molekul pati menjadi tidak larut dalam air secara irreversible sehubungan dengan pembentukan ikatan intermolekul yang kuat.
Gambar 3 Pemerangkapan iodine di dalam heliks amilosa
Fraksi kedua dari pati adalah amilopektin. Amilopektin merupakan polimer dari D-glukosa yang mempunyai rantai lurus dan percabangan. Rantai lurus dihubungkan dengan ikatan α-1,4-D-glukosa, sedangkan pada titik percabangan dihubungkan oleh ikatan β-1,6-D-glukosa (Gambar 4). Molekul amilopektin terdiri dari beratus-ratus cabang dan berat molekulnya diperkirakan sekitar 1 juta. Amilopektin memiliki bentuk globula yang memperlihatkan peningkatan pembengkakan dan viskositas yang lebih tinggi dibanding amilosa dalam larutan. Proses kristalisasi amilopektin berbeda dengan amilosa. Pada amilopektin, kristalisasi terhalang oleh rantai cabang polimer. Hal ini dikarenakan kristalisasi
dipengaruhi oleh keteraturan bentuk dari rantai polimer. Perbedaan sifat amilosa dan amilopektin disajikan pada Tabel 3.
Gambar 4 Struktur amilopektin
Tabel 3 Perbedaan sifat amilopektin dan amilosa (Sugiyono 2002) Sifat Amilosa Amilopektin Reaksi dengan iod biru merah jingga Berat molekul 250 000 1 000 000 Jumlah residu glukosa / grup non pereduksi ≥ 2000 20 – 30 Kelarutan dalam air dingin larut tidak larut Kestabilan dalam larutan mengalami retrogradasi stabil Pembentukan lapisan (film) kuat rapuh
Pencernaan pati sudah dimulai di dalam mulut, karena di dalam saliva (air liur) terkandung amilase lingual yang disebut juga ptialin. Tetapi pencernaan di dalam mulut sangat terbatas, berhubung waktu kontak antara enzim dengan pati sangat singkat. Di dalam mulut pati akan dihidrolisis menjadi maltosa dan dekstrin. Di dalam lambung tidak terdapat enzim pemecah pati. Tetapi asam lambung (HCl) akan memberikan pengaruh mengembang (memuaikan) molekulmolekul pati agar nantinya lebih mudah dicerna oleh enzim amilase pankreas di dalam usus kecil. Selain α-amilase yang dapat menghidrolisis ikatan α-1,4 pada molekul amilosa, pankreas juga menghasilkan iso-amilase (debranching enzyme) yang dapat menghidrolisis ikatan α-1,6 pada molekul amilopektin. Selanjutnya sel-sel mukosa usus kecil memproduksi enzim maltase yang dapat menghidrolisis
maltosa hasil pencernaan amilase menjadi glukosa yang siap untuk diserap. Alur proses pencernaan pati di dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 5.
Pati
amilase lingual
Maltosa + Alfa-limit-dekstrin
(ptialin)
Pati
Alfa-amilase
Alfa-limit-dekstrin
Maltosa + Alfa-limit-dekstrin Debranching enzyme
Amilosa
(Iso-amilase)
Amilosa
Alfa-amilase
Maltosa
Maltosa
Maltase
Glukosa
Gambar 5 Proses pencernaan pati (Muchtadi et al. 2006)
C. Produk Olahan Hotong 1. Tepung Tepung merupakan hasil penggilingan dari bahan pangan (serealia, bijibijian, kacang-kacangan), yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna bahan. Sebenarnya istilah yang lebih tepat untuk menunjukkan bentuk fisik komoditas ini adalah bubuk (powder) (Sugiyono 2002). Tepung mempunyai partikel yang lebih besar (lebih kasar) dibandingkan dengan pati. Hal ini disebabkan karena tepung masih mengandung komponen serat kasar dan protein. Selain itu warna tepung lebih kurang cerah dibandingkan dengan pati. Hal ini disebabkan karena tepung masih mengandung pigmen, serat kasar, protein, dan komponen lain yang berwarna tidak putih (Sugiyono 2002). Suatu bahan serealia atau biji-bijian diolah menjadi tepung, bertujuan untuk meningkatkan daya larut bahan dan daya pemisahannya; mempercepat proses ekstraksi kandungan bahan mentah; membuat ukuran tertentu yang berguna untuk konsumsi makanan manusia dan ternak; meningkatkan luas permukaan bahan yang dapat mempersingkat waktu pengeringan dan waktu ekstraksi, mempercepat proses pemanasan dan pemasakan; mempermudah proses pencampuran; dan mempermudah proses penanganan lebih lanjut dan penyimpanan (Hubeis 1994).
Gandum merupakan salah satu contoh hasil pertanian yang umumnya diolah menjadi tepung (terigu) sebelum diolah lebih lanjut. Persyaratan mutu tepung terigu telah ditetapkan dalam SNI 01-3751-2000 tentang tepung terigu sebagai bahan makanan (Tabel 4). Menurut SNI 01-3751-2000, tepung terigu sebagai bahan makanan adalah tepung yang dibuat dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L. (Club wheat) dan / atau Triticum compactum Host.
No. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 15.1 15.2 15.3 16 17 17.1 17.2 17.3 D.
*)
Tabel 4 Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan dalam SNI 01-3751-2000 (BSN 2000) Jenis Uji Satuan Persyaratan Keadaan Bentuk serbuk Bau normal (bebas dari bau asing) Rasa normal (bebas dari bau asing) Warna putih, khas terigu Benda asing tidak boleh ada Serangga dalam semua bentuk dan tidak boleh ada potongan-potongannya yang tampak *) Kehalusan, lolos ayakan 212 min. 95% milimikron Air %, b/b maks 14.5% Abu %, b/b maks. 0.6% Protein (N x 5.7) %, b/b min. 7.0% Keasaman mg maks. 50/100 g KOH/100g contoh Falling number detik min. 300 Besi (Fe) mg/kg min. 50 Seng (Zn) mg/kg min. 30 Vitamin B1 (Thiamin) mg/kg min. 2.5 Vitamin B2 (Riboflavin) mg/kg min. 4 Asam folat mg/kg min. 2 Cemaran logam Timbal (Pb) mg/kg maks. 1.10 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0.05 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 10 Cemaran arsen mg/kg maks. 0.5 Cemaran mikroba Angka lempeng total koloni/g maks. 106 E. coli APM/g maks. 10 Kapang koloni/g maks. 104 Tepung terigu di tingkat produsen
Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Widowati et al. 2002). Salah satu komoditas serealia lokal yang berpotensi untuk dijadikan sumber karbohidrat adalah hotong. Hotong dapat diolah menjadi tepung, untuk dijadikan bahan baku produk jadi. Proses pembuatan tepung hotong dapat dilihat pada Gambar 6. Biji Hotong Pembersihan Penyosohan Pencucian Pengeringan (Fluid Bed Drier T=50oC, t=20’) Penepungan (Disc Mill) Pengayakan (100 mesh) Tepung Hotong Gambar 6 Diagram alir pembuatan tepung hotong
2. Kukis Biskuit merupakan produk pangan berbasis serealia yang dipanggang, dengan kandungan air kurang dari 5% (Manley 2001). Berdasarkan tekstur dan kekerasannya, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu biskuit keras, crackers, kukis (kukis), dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adnonan keras dan memiliki tekstur padar. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki struktur yang berlapis-lapis. Kukis merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak dengan sifat yang lebih renyah karena tekstur yang kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur berongga. Persyaratan mutu biskuit telah ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992
tentang biskuit (Tabel 5). Menurut SNI 01-2973-1992, biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan.
Tabel 5 Syarat mutu biskuit dalam SNI 01-2973-1992 (BSN 1992) No. Karakteristik Syarat Mutu 1. Air maks. 5% 2. Protein min. 9% 3. Lemak min. 9.5% 4. Abu maks. 1.5% 5. Serat kasar maks. 0.5% 6. Karbohidrat min. 70% 7. Kalori min. 400 kal/100 g 8. Jenis tepung terigu 9. Kadar logam berbahaya negatif 10. Warna normal 11. Bau dan rasa normal, tidak tengik Tidak hanya tepung terigu yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan kukis. Produk tepung-tepungan dari komoditas sumber karbohidrat lain, baik serealia maupun umbi-umbian juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kukis. Tepung hotong berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan kukis. Proses pembuatan kukis dengan menggunakan bahan baku tepung hotong dapat dilihat pada Gambar 7. Menurut Matz (1992), bahan baku utama pembuatan kukis adalah terigu, gula, minyak, dan lemak. Sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahanbahan pembuat kukis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tenderizing materials). Bahan pengikat terdiri dari tepung, susu, putih telur, dan air. Bahan-bahan ini berfungsi untuk membentuk adonan yang kompak. Sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, kuning telur, shortening, dan bahan pengembang. Umumnya kukis berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan, serta memiliki aroma yang khas. Menurut Matz (1992), tahapan proses pembuatan kukis meliputi pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan. Pada metode ini, bahan baku dicampur
secara bertahap. Pertama dengan pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna, flavor, dan garam. Pengembang dilarutkan dengan air atau susu cair lalu dimasukkan ke dalam krim. Terakhir yang dicampurkan adalah tepung. Metode ini baik untuk kukis karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan seperti pada pembuatan roti.
Tepung hotong & pati sagu, garam, baking powder Gula, margarin, mentega Pencampuran (1 menit) Krim Telur Pencampuran(1 menit) Campuran Krim danTelur
Pencampuran
Air
Adonan Pencetakan Pemanggangan (125oC, 18 menit) Pendinginan Kukis Hotong Gambar 7 Diagram alir pembuatan kukis hotong (Pratiwi 2008) Setelah adonan terbentuk, biasanya adonan mengalami aging. Waktu aging tergantung pada jenis pengembang yang digunakan. Sebelum dicetak, adonan mengalami penipisan terlebih dahulu sampai dengan ketebalan ±0.5 cm kemudian dicetak dengan bentuk tertentu. Untuk menghindari kelengketan adonan dengan alat digunakan tepung pada permukaan adonan untuk dusting atau digunakan alat yang gesekannya rendah seperti teflon.
Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Adonan dipanggang dalam oven pada suhu ±176.7ºC (350ºF) selama 10 menit. Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air kukis. Pada suhu 52-99ºC terjadi gelatinisasi pati. Pada waktu pemanggangan struktur kukis akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat sampai 4-5 kali. Kadar air dari 21% menjadi lebih kecil dari 1.5%. Setelah keluar dari oven, kukis harus cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan kukis akibat pemadatan gula dan lemak. Waktu mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu pemanggangan (Manley 2001).
3. Mi Instan Mi tergolong dalam produk pangan pasta, yaitu bentuk lunak dari serealia yang telah digiling (tepung), dan dibentuk dengan ekstruder atau dengan roller. Yang membedakan mi dengan produk pasta lainnya adalah mi harus mengandung tidak kurang dari 5.5% kuning telur (Vaclavik dan Christian 2003). Kadar air mi instan umumnya mencapai 5-8%, sehingga memiliki daya simpan yang lama (Astawan 1999). Persyaratan mutu mi instan telah ditetapkan dalam SNI 01-3551-1994 tentang mi instan (Tabel 6). Menurut SNI 01-3551-1994, mi instan adalah adonan terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya. Mi instan dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses pregelatinisasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lainnya. Definisi ini meliputi mi (dari terigu), bihun (dari beras dan sagu), sohun (dari pati kacang hijau dan atau sagu), dan kwetiau (dari beras dan atau terigu). Instan dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi. Untuk mi, tidak hanya tepung terigu yang dapat dijadikan sebagai bahan baku. Tepung hotong berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan mi instan. Proses pembuatan
mi instan dengan menggunakan bahan baku tepung hotong dapat dilihat pada Gambar 8.
Tabel 6 No. 1 1.1 1.2 1.3 1.4 2 3 4 4.1 4.2 5 5.1 5.2 1) 2)
Syarat mutu mi instan dalam SNI 01-3551-1994 (BSN 1994) Kriteria Uji Satuan Persyaratan 2) Keadaan Tekstur normal / dapat diterima Aroma normal / dapat diterima Rasa normal / dapat diterima Warna normal / dapat diterima Benda asing 2) tidak boleh ada 1) Keutuhan %, b/b min. 90 Kadar air 1) Proses penggorengan %, b/b maks. 10.0 Proses pengeringan %, b/b maks. 14.5 Kadar protein 2) Mi dari terigu %, b/b min. 8.0 Mi bukan dari terigu %, b/b min. 4.0
Berlaku untuk keping mi Berlaku untuk keping mi dan bumbunya
Berdasarkan proses pengeringannya, dikenal dua macam mi instan. Pengeringan yang dilakukan dengan cara menggoreng, menghasilkan mi instan goreng (instant fried noodle). Sedangkan bila dikeringkan dengan udara panas diperoleh mi instan kering (instant dried noodle). Selama penggorengan, mi instan menyerap minyak hingga 20% sehingga mi instan mempunyai cita rasa yang lezat (Astawan 1999). Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mi instan adalah tepung terigu, air, dan garam. Bahan pendukung lain yang digunakan adalah telur, CMC, soda abu, pewarna, pengawet, dan minyak nabati. Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terigu, tepung terigu bisa disubstitusi parsial dengan bahan lain, seperti tapioka, tepung singkong, atau tepung tempe. Bahan baku tersebut akan diproses secara bertahap untuk menghasilkan mi instan. Tahaptahap tersebut antara lain persiapan bahan, pencampuran bahan, pemipihan adonan (rolling), penguntaian mi (noodle formation), pemotongan adonan (cutting), pengukusan (steaming), pelipatan mi (molding), penggorengan (frying), pengemasan (packaging), dan penambahan bumbu (soup base) (Kim 1999).
Proses mixing ini bertujuan untuk mendistribusikan ingredient secara seragam dan membentuk adonan yang kompak. Rolling adalah pembentukan lembaran yang tipis dengan ukuran yang disesuaikan dengan kebutuhan, kemudian lembaran adonan dibentuk menjadi untaian mi (noodle formation). Proses selanjutnya adalah cutting yaitu proses pemotongan untaian mi dengan ukuran tertentu. Proses steaming adalah proses pengukusan untaian mi dengan menggunakan uap panas bersuhu 100-110oC. Proses ini bertujuan untuk memasak mi mentah menjadi sifat mi yang solid. Dalam proses ini, akan terjadi proses gelatinisasi pati sehingga menghasilkan mi dengan tekstur yang lembut, lunak, dan elastis.
Tepung hotong 300g + CMC 3g + baking powder 0.9g Proses mixing
Air 30 ml + garam 3g
Pengukusan adonan selama 10 menit disertai dengan pengulian Pembuatan lembaran (ketebalan 1.6 mm) dengan mesin mi Pencetakan mi Pengeringan (penjemuran ± 2 jam) Penggorengan ± 150 oC-170 oC selama 30 detik Pendinginan disertai dengan penirisan Mi hotong instan Gambar 8 Diagram alir pembuatan mi instan hotong (Wibowo 2008)
Mi yang telah dipotong sesuai ukuran dan telah dikukus, diletakkan di sebuah wadah yang disebut molder sebelum dilanjutkan ke penggorengan. Proses ini disebut molding. Penggorengan adalah proses pengeringan dengan menggunakan minyak sebagai media. Penggorengan dilakukan pada suhu
145-
150oC selama 60-70 detik untuk mi dalam kemasan biasa dan 157-160oC selama 90-120 detik untuk mi dalam cup. Selama proses penggorengan terjadi
penghilangan air dalam jumlah yang besar dan penyerapan minyak ke dalam mi. Selain itu, penggorengan juga memberikan proses gelatinisasi tambahan pada pati. Oleh karena itu, selama proses penggorengan akan terjadi kehilangan bobot mi sekitar 30-32% (mi dalam kemasan biasa) dan 32-33% (mi dalam cup). Pendinginan (cooling) dilakukan sebelum mi dikemas dengan hembusan udara atau kipas dalam lorong pendingin. Proses pendinginan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi minyak karena suhu mi setelah digoreng cukup tinggi yaitu 140oC. Setelah didinginkan, mi langsung dikemas, biasanya digunakan plastik propilen atau polietilen. Bumbu yang biasa ditambahkan adalah HVP (hydrolized vegetable protein), HAP (hydrolized animal protein), penyedap rasa, minyak, asam, pewarna, dan komponen lainnya (Kim 1999).
4. Bubur Instan Produk pangan instan merupakan jenis produk pangan yang mudah untuk disajikan dalam waktu relatif singkat. Pangan instan terdapat dalam bentuk kering atau konsentrat, mudah larut sehingga mudah untuk disajikan. Penyajiannya dapat dilakukan dengan menambahkan air panas atau air dingin ke dalam produk instan tersebut. Produk pangan instan berkembang untuk mengatasi masalah penggunaan dan penanganan produk pangan yang sering dihadapi seperti masalah penyimpanan, transportasi, dan waktu konsumsi. Hartono dan Widiatmoko (1992), menyatakan bahwa ada tiga kriteria yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk produk pangan instan, yaitu: a) sifat hidrofilik, bila bahan pangan mengandung lemak/minyak sebagai bagian hidrofobiknya maka perlu dilakukan peningkatan afinitasnya terhadap air,
b)
tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeable sebelum digunakan yang dapat menghambat laju pembasahan, c) waktu pembasahan yang tepat, yaitu harus segera turun (tenggelam tanpa menggumpal), dan d) mudah terdispersi, yaitu tidak membentuk endapan. Bubur merupakan makanan dengan tekstur yang lunak sehingga mudah untuk dicerna. Bubur dapat dibuat dari beras, kacang hijau, beras merah, ataupun dari beberapa campuran penyusun. Di dalam pengolahannya, bubur dapat dibuat
dengan memasak bahan penyusun dengan air seperti bubur nasi, mencampurkan dengan santan seperti bubur kacang hijau, ataupun mencampurkan dengan susu, yang dikenal dengan bubur susu. Bubur instan merupakan bubur yang memiliki komponen penyusun bubur bersifat instan sehingga di dalam penyajiannya tidak diperlukan proses pemasakan. Penyajian bubur instant dapat dilakukan dengan menambahkan air panas ataupun susu, sesuai dengan selera (Fellows 2000). Persyaratan mutu bubur instan telah ditetapkan dalam SNI 01-4321-1996 tentang sup instan (Tabel 7). Menurut SNI 01-4321-1996, sup instan adalah produk olahan kering instan yang dapat dibuat dari daging, ikan, sayuran, serealia, atau campurannya dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Salah satu produk bubur instan yang sedang dikembangkan adalah bubur instan hotong. Bubur instan ini mempunyai bahan baku salah satu komoditas serealia, yaitu hotong. Proses pembuatan bubur instan hotong dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 7 Syarat mutu sup instan dalam SNI 01-4321-1996 (BSN 1996) No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan 1.1 Warna khas/normal 1.2 Bau khas/normal 1.3 Rasa khas/normal 2 Air %, b/b 2–7 3 Protein %, b/b min. 2.0 4 Lemak %, b/b maks. 10 5 Bahan Tambahan Makanan Pewarna tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995 6 Cemaran logam 6.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 2.0 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5.0 6.3 Seng (Zn) mg/kg maks. 40.0 6.4 Timah (Sn) mg/kg maks. 40.0 6.5 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0.03 7 Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 1.0 8 Cemaran mikroba Angka lempeng total koloni/g maks. 104 Koliform APM/g maks. 20 E. coli APM/g <3 Salmonella/25 g negatif Kapang koloni/g maks. 102 Khamir koloni/g maks. 102
Bubur instan diperoleh dengan melakukan instanisasi terlebih dahulu pada komponen penyusun bubur. Instanisasi dapat dilakukan dengan memasak bijibijian komponen penyusun yang telah berbentuk tepung menjadi adonan kental. Dengan perlakuan panas dan pengadukan akan membuat partikel bubuk diperbesar menjadi aglomerat berstuktur pori. Kemudian adonan dikeringkan dengan menggunakan drum dryer, lalu hasil pengeringan akan dihancurkan dengan menggunakan pisau sehingga menghasilkan tepung yang berukuran 60 mesh. Bahan tepung yang diperoleh telah bersifat instan dan dikemas menjadi bubur instan (Perdana 2003).
Tepung hotong, pati sagu, gula halus, susu skim, minyak nabati Penanakan dengan air Minyak nabati Formula bubur tanak Pengeringan dengan Drum drier (P= 3-4 bar, T=140OC, V= 4-6 rpm)
Penggilingan dengan blender kering Penimbangan rendemen bubur hotong instan
susu skim, tepung gula
Gambar 9 Diagram alir pembuatan bubur instan hotong (Hanifah 2008)
5. Snack Istilah snack food sering disamakan artinya dengan savory food, karena umumnya snack diberi flavor savory, yaitu rasa asin atau berbumbu (seasoned). Menurut Lusas dan Rooney (2000), selain lezat, snack mempunyai ciri-ciri: 1. aman dan bebas dari bahaya kimia, substansi toksik dan mikroorganisme patogen sesuai peraturan yang berlaku, 2. biasanya dipersiapkan secara komersial dalam jumlah besar dengan proses yang kontinyu, 3. dibumbui, biasanya garam dan kadang-kadang ditambahkan flavor lainnya
4. stabil selama penyimpanan dan tidak membutuhkan pendingin untuk pengawetan, 5. dikemas dalam kemasan siap konsumsi (ready-to-eat), biasanya dibagi menjadi potongan-potongan ukuran makan (bite-size), mudah ditangani dengan jari dan memiliki penampakan berminyak atau kering tergantung dugaan konsumen untuk produk tertentu, 6. dijual kepada konsumen dalam kondisi segar, yang dicapai dengan: o pemakaian bahan pengemas untuk menghindari air, oksigen, dan cahaya, menjaga kerenyahan produk, memperlambat oksidasi alami minyak, dan menghilangkan katalis oksidasi, o menggunakan pengemasan atmosfer dengan gas inert (nitrogen) dan sistem antioksidan untuk proteksi minyak tambahan, dan o pengkodean tanggal
pada pengemas dan membuangnya dari rak
penyimpanan jika tidak terjual selama umur simpan produk Persyaratan mutu snack telah ditetapkan dalam SNI 01-2886-2000 tentang makanan ringan ekstrudat (Tabel 8). Menurut SNI 01-2886-2000, makanan ringan ekstrudat adalah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dengan atau tanpa melalui proses penggorengan. Hotong dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan snack atau makanan ringan. Bahan baku yang digunakan adalah biji hotong. Proses pembuatan snack hotong dapat dilihat pada Gambar 10.
E. Indeks Glikemik Indeks glikemik (IG) pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya (immediate effectt) terhadap kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian 2004). Pangan dengan IG tinggi mempunyai efek menaikkan kadar gula darah dengan cepat. Sebaliknya, pangan dengan IG rendah mempunyai efek menaikkan kadar gula darah dengan lambat. Glukosa murni dijadikan sebagai pembanding dengan nilai 100. Indeks glikemik disusun untuk semua orang, baik untuk orang sehat, penderita diabetes melitus, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan tubuh, dan olahragawan. Bagi orang sehat, memilih pangan berdasarkan IG adalah
sebuah pilihan bijak untuk hidup yang lebih baik. Bagi penderita diabetes melitus, memilih pangan dengan IG rendah akan mengontrol kadar gula darah pada tingkat yang aman. Mann (2002) menyatakan bahwa konsumsi pangan dengan IG rendah dan kaya serat sangat direkomendasikan bagi penderita diabetes melitus. Bagi orang yang sedang menurunkan berat badan, dapat memilih pangan dengan IG rendah, karena mengenyangkan dan tahan lama. Sedangkan bagi olahragawan, lebih baik memilih pangan dengan IG tinggi, karena akan menghasilkan energi dengan cepat.
No 1 1.1 1.2 1.3 2 3 3.1 3.2 4 5 5.1 5.2 6 6.1 6.2 6.3 6.4 7 8 8.1 8.3 8.3
Tabel 8 Syarat mutu makanan ringan ekstrudat dalam SNI 01-2886-2000 (BSN 2000) Jenis uji Satuan Persyaratan Keadaan Bau normal Rasa normal Warna normal Kadar air %, b/b maks. 4 Kadar lemak Tanpa proses %, b/b maks. 30 penggorengan Dengan proses %, b/b maks. 38 penggorengan Kadar silikat %, b/b maks. 0.1 Bahan tambahan makanan Pemanis buatan sesuai SNI 01-0222-1995 dan Permenkes no. 722/Menkes/Per/IX/1988 Pewarna s.d.a. Cemaran logam Timbal (Pb) mg/kg maks. 1.0 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 10 Seng (Zn) mg/kg maks. 40 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0.05 Arsen (As) mg/g maks. 0.5 Cematan mikroba Angka lempeng koloni/g maks. 1.0 x 104 total Kapang koloni/g maks.50 E. Coli APM/g negatif Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kenaikkan gula darah pada tiap
makanan. Daya cerna pati, interaksi antara pati dan protein, jumlah dan jenis
lemak, gula, dan serat, kehadiran komponen lain terutama yang mengikat pati, dan bentuk dari makanan tersebut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kenaikan gula darah (El 1999). Faktor lain yang mempengaruhi IG adalah proses pengolahan, kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan, dan kadar antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian 2004).
Biji Hotong tersosoh ↓ Air 200 ml dan santan 25 ml
→
Dimasak 4 menit ↓ Diangkat ↓ Dikukus 10 menit
Gula, garam, baking powder, lada bubuk, dan penyedap rasa
↓ →
Diadon ↓ Disheet ↓ Dipotong ↓ Dikeringkan dengan penjemuran matahari 12 jam ↓ Digoreng 4 detik suhu minyak 200oC ↓ Snack hotong
Gambar 10 Diagram alir pembuatan snack hotong Pengolahan pangan menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran, dan rasa yang lebih enak. Selain itu, proses pengolahan juga memudahkan pangan untuk dicerna dan diserap oleh tubuh. Sifat fisik yang berubah akibat pengolahan pangan dan mempengaruhi nilai IG antara lain ukuran partikel dan tingkat
gelatinisasi pati. Semakin kecil ukuran butiran pati, maka akan semakin mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan, akibatnya nilai IG menjadi tinggi. Semakin tinggi tingkat gelatinisasi, maka akan mempercepat laju pencernaan, akibatnya nilai IG menjadi tinggi. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas akan sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim (Rimbawan dan Siagian 2004). Semakin tinggi rasio amilosa-amilopektin (semakin tinggi kadar amilosa), maka akan semakin rendah laju pencernaan pati. Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang, sehingga terikat lebih kuat dan sulit tergelatinisasi, akibatnya sulit dicerna. Sedangkan amilopektin adalah polimer gula sederhana bercabang yang memiliki ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka, sehingga lebih mudah tergelatinisasi, akibatnya mudah dicerna. Semakin rendah laju pencernaan pati, maka akan menurunkan nilai IG. Serat pangan meningkatkan viskositas (kerapatan) campuran pangan di dalam usus. Hal ini akan menghambat interaksi enzim dengan campuran pangan (pati). Pangan berserat tinggi juga meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang. Hal ini akan menurunkan penyerapan zat gizi pada pangan oleh tubuh. Dengan menurunnya laju pencernaan dan penyerapan akibat konsumsi serat, maka juga akan menurunkan nilai IG dari pangan tersebut. Di dalam hati, fruktosa diubah menjadi glukosa secara lambat, akibatnya glukosa dilepaskan ke darah dengan lambat pula. Hal ini mengakibatkan melambatnya kenaikan kadar gula dalam darah, sehingga menurunkan nilai IG. Selain itu, kehadiran gula dalam pangan juga dapat menghambat gelatinisasi pati, karena mengikat air. Semakin tinggi tingkat gelatinisasi, maka akan mempercepat laju pencernaan, akibatnya nilai IG menjadi tinggi. Lemak memperlambat pengosongan lambung yang berakibat pada lambatnya pencernaan pati pada usus halus, akibatnya nilai IG menjadi rendah. Beberapa pangan juga mengandung zat yang menghambat pencernaan pati, misalnya pati dan tanin (Rimbawan dan Siagian 2004). Pencernaan pati yang terhambat akan menurunan nilai IG dari pangan tersebut.
Konsep IG berkaitan erat dengan kadar gula darah. Yang dimaksud dengan gula darah adalah glukosa yang terdapat dalam plasma darah dan sel darah merah. Glukosa yang terdapat dalam darah berasal dari dua sumber utama, yaitu: (a) eksogen (dari luar tubuh) berupa pati, glikogen, dekstrin atau oligosakarida yang dikonsumsi, dan (b) endogen (dari dalam tubuh) berupa glikogen, asam laktat, asam lemak, gliserol, dan asam amino. Kadar gula darah dalam keadaan normal adalah 70-110 mg / 100 ml darah. Kadar ini biasanya meningkat setelah makan, kemudian menurun secara perlahan mencapai kadar pada waktu puasa yang biasanya ditandai dengan munculnya rasa lapar. Pankreas memproduksi hormon insulin dan glukagon untuk menjaga kadar gula darah tetap dalam keadaan normal (Gambar 11). Keadaan hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) terjadi bila kadar gula darah melebihi 160 mg / 100 ml darah, sedangkan hipoglikemia (kadar gula darah rendah) terjadi bila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg / 100 ml darah.
Gambar 11 Peran hormon insulin dan glukagon dalam menjaga kadar gula darah tetap dalam keadaan normal (Anonimd 2007)
F. Pangan Fungsional Sampai saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Secara sederhana, pangan fungsional dapat diartikan sebagai pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan disamping kandungan gizinya (Katan 1999). Ide pengembangan pangan fungsional awalnya berkembang di Jepang, di dekade 1980-an, yaitu untuk membantu masalah tingginya tekanan darah. Pemerintah Jepang lalu menetapkan standar agar suatu produk dapat dijadikan pangan fungsional, atau disebut juga FOSHU (Foods for Specified Health Use). Di Amerika Serikat, produk pangan dikembangkan untuk mencegah beberapa penyakit seperti kanker, diabetes melitus, penyakit jantung koroner (PJK), dan lainnya. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) membentuk Tim Mitra Bestari yang terdiri dari pakar di bidang teknologi pangan, gizi, dan kedokteran. Tim ini bertugas untuk mengkaji komponen pangan fungsional berkaitan dengan fungsi kesehatan. Komponen fungsional yang dimaksud, dikelompokkan menurut golongan tertentu (Tabel 9). Komponen lain dapat dipertimbangkan sebagai komponen fungsional dengan mengajukan bukti ilmiah dan klaim untuk dilakukan penilaian oleh Tim Mitra Bestari. Tabel 9 Komponen pangan fungsional dalam pangan fungsional KOMPONEN FUNGSIONAL DALAM PANGAN FUNGSIONAL 1. Vitamin 8. Prebiotik 2. Mineral 9. Probiotik 3. Gula Alkohol 10. Kolin, Lesitin, dan Inositol 4. Asam Lemak Tak Jenuh 11. Karnitin dan Skualen 5. Peptida dan Protein Tertentu 12. Isoflavon 6. Asam Amino 13. Fitosterol dan Fitostanol 7. Serat Pangan 14. Polifenol Perlu ditegaskan bahwa pangan pangan fungsional berbeda dengan suplemen pangan. Perbedaan utamanya adalah karena pangan fungsional
dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan dan minuman, bukan dalam bentuk kapsul dan bubuk (suplemen). Pangan fungsional harus mempunyai karakteristik sebagai makanan, yaitu memberikan karakteristik sensori, baik warna, tekstur dan citarasanya, serta mengandung zat gizi disamping mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Fungsi-fungsi fisiologis yang diberikan oleh pangan fungsional antara lain adalah mengatur daya tahan tubuh, mengatur ritmik kondisi fisik, memperlambat penuaan, dan mencegah penyakit yang berkaitan dengan pangan. Konsep indeks glikemik (IG) merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih pangan yang baik (fungsional). Pangan yang memiliki IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, dan sebaliknya (Rimbawan dan Siagian 2004). Kadar glukosa darah yang tinggi berpotensi menimbulkan penyakit diabetes melitus (DM). Pangan dengan IG rendah dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional, karena terbukti mempunyai fungsi fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan, yaitu mengendalikan kadar glukosa darah untuk mencegah DM.
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Sampel Uji Sampel yang diuji adalah tepung hotong dan produk olahan hotong, yaitu biskuit, mi instan, bubur instan, dan snack. Sampel didapat dari penelitian terdahulu, yang telah mengembangkan tepung hotong dan produk olahan hotong dalam Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian.
B. Bahan dan Alat Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bubuk K2SO4, bubuk HgO, larutan H2SO4, batu didih, larutan H3BO4, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0,02 N, pelarut heksan, air destilata, larutan buffer Na-fosfat 0,1 M dengan pH 7,0, larutan enzim α-amilase, pereaksi dinitrosalisilat, amilosa murni, etanol 95 %, NaOH 0.1 N, asam asetat 1 N, larutan iod, petroleum benzene, buffer natrium fosfat, enzim termamyl, HCl 4 M, pepsin, pankreatin, etanol 95 %, aseton, glukosa standar, pereaksi Folin Denis, larutan standar asam tanat, Na2CO3 jenuh, dan celite kering. Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, cawan alumunium, oven, tanur listrik, desikator, labu Kjeldahl, destilator, labu soxhlet, kertas saring, kapas bebas lemak, penangas air, tabung reaksi, spektrofotometer, labu takar, labu didih, pipet, erlenmeyer, stirrer, pH meter, crucible kering, glucometer, pompa penyaring vakum, dan alat-alat gelas.
C. Metode Penelitian Penelitian ini dikerjakan dalam dua tahap, yaitu (1) pengujian sifat fisikokimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu tepung hotong, dan (2) mempelajari pengaruh pengolahan terhadap sifat fisiko-kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu produk olahan hotong. Penelitian tahap 1 difokuskan pada bahan baku, yaitu tepung hotong. Sedangkan penelitian tahap 2 difokuskan pada produk olahan hotong, yaitu biskuit, mi instan, bubur instan, dan snack. Tahapan penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Tahapan Penelitian No. Tahap Penelitian Sampel 1. Pengujian sifat Tepung fisiko-kimia, nilai hotong biologi, dan karakteristik mutu tepung hotong
2.
Mempelajari pengaruh pengolahan dan komposisi produk olahan hotong terhadap sifat kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu
Biskuit, mi instan, bubur instan, snack
Analisis Warna Densitas kamba Densitas padat Kelarutan dalam air Rendemen penyosohan Proksimat Kadar amilosa Kadar Serat Pangan Kadar Tanin Daya cerna pati in vitro Proksimat Kadar amilosa Kadar Serat Pangan Kadar Tanin Daya cerna pati in vitro Indeks Glikemik
Hasil Informasi sifat fisiko-kimia, nilai biologi,dan karakteristik mutu tepung hotong
Pengaruh pengolahan terhadap sifat kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu produk olahan hotong
1. Sifat Fisiko-Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu Tepung Hotong Pada penelitian tahap 1 dilakukan pengujian sifat fisiko-kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu tepung hotong. Pengujian tepung hotong meliputi analisis sifat fisik (warna, densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, dan rendemen penyosohan), analisis sifat kimia (proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, dan kadar tanin), dan analisis nilai biologi (daya cerna pati in vitro). Hal ini dilakukan untuk mengetahui informasi sifat fisiko-kimia, nilai biologi, dan karakteristik mutu tepung hotong. Informasi ini dapat diberikan kepada masyarakat, khususnya bagi para produsen pangan yang memproduksi produk pangan dengan tepung-tepungan sebagai bahan baku sumber karbohidrat.
2. Pengaruh Pengolahan dan Komposisi Produk Olahan Hotong terhadap Sifat Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu Pada penelitian tahap kedua dipelajari pengaruh pengolahan dan komposisi terhadap sifat kimia, nilai biologis, dan karakteristik mutu produk olahan hotong. Produk olahan hotong yang diuji adalah biskuit, mi instan, bubur instan, dan snack. Karakterisasi produk olahan hotong meliputi analisis sifat kimia (proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, dan kadar tanin) dan nilai biologi (daya cerna pati in vitro dan indeks glikemik). Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengolahan dan komposisi terhadap sifat kimia, nilai biologis, dan karakteristik mutu produk olahan hotong. Hasil dari karakterisasi produk dapat dihubungkan dengan hasil dari uji indeks glikemik. Informasi nilai indeks glikemik produk olahan hotong dapat direkomendasikan kepada masyarakat untuk tujuan kesehatan tertentu, misalnya untuk para penderita diabetes melitus.
D. Metode Analisis 1. Analisis Sifat Fisik a. Analisis Warna Salah satu sistem yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan warna pangan adalah sistem Hunter. Sistem ini menjelaskan bahwa terdapat dua dimensi warna yang dilambangkan dengan huruf L*, a*, dan b*. Huruf L* melambangkan kecerahan, huruf a* melambangkan dimensi warna merah ke hijau, dan huruf b* melambangkan dimensi warna kuning ke biru (deMan 1997). Analisis warna untuk tepung dilakukan dengan menggunakan instrumen kromameter. Warna tepung akan terbaca pada detektor digital, dan angka hasil pengukuran dapat dibaca pada layar penampil. Pada instrumen ini akan diukur nilai L, a, dan b. Huruf-huruf ini merupakan lambang dari rentang warna tertentu. Keterangan: L : kecerahan (lightness) berkisar antara 0 – 100, 0 untuk gelap, 100 untuk cerah a : warna campuran merah-hijau a positif (+) antara 0 – 100 untuk warna merah a negatif (-) antara (-80) – 0 untuk warna hijau b : warna campuran biru-kuning b positif (+) antara 0 – 70 untuk warna kuning
b negatif (-) antara (-80) – 0 untuk warna biru Dengan menggunakan data L*, a*, dan b*, dapat juga dihitung derajat putih (tingkat keputihan) dengan menggunakn persamaan di bawah. Derajat putih ini berguna misalnya untuk menentukan tingkat keputihan dari tepung. Derajat Putih (WI) = [(100-L*) + a*2 + b*2]1/2 b. Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono 1992) Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
c. Densitas Padat (Muchtadi dan Sugiyono 1992) Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
d. Kelarutan (Fardiaz et al. 1992) Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100oC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100oC selama 3 jam (sampai mencapai berat konstan), didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang.
Keterangan: a : berat kering sampel (g) b : berat endapan dan kertas saring (g) c : berat kertas saring (g)
e. Efektifitas Penepungan (rendemen)
Keterangan: : rendemen penepungan (%) Wpn : berat hasil penepungan (kg) Ws : berat biji hotong tersosoh (kg) 2. Analisis Sifat Kimia a. Kadar Air (AOAC 1995) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit lalu ditimbang. Timbang sampel kurang lebih sebanyak 2 gram dalam cawan. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100oC selama 6 jam. Pindahkan cawan ke dalam desikator, kemudian didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
KA (% berat basah) =
W2
W 3 W 1 x100% W 3 W1
Keterangan: W1 : berat cawan (gram) W2 : berat sampel (gram) W3 : berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram) b. Kadar Abu (AOAC 1995) Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram di dalam cawan lalu dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4 sampai 6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Perhitungan:
A=
Wa x 100% Ws
Keterangan: Wa : berat abu (gram) Ws : berat sampel (gram) c. Kadar Lemak (AOAC 1995) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC, kemudian didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Ditimbang sebanyak 5 gram sampel dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi, kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, kemudian labu beserta lemak ditimbang dan dilakukan perhitungan kadar lemak. Perhitungan:
Kadar lemak (%) =
berat lemak x 100 % berat sampel ker ing
d. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 1995) Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3,8 ± 0,1 ml H2SO4. Tambahkan batu didih pada labu, lalu didihkan sampel selama 1 - 1,5 jam sampai cairan jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4. Larutan NaOHNa2S2O3 sebanyak 8 – 10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya sebesar kurang ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut lalu dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko. Perhitungan:
N=
ml HCl sampel ml HCl blanko x N HCl x 14 ,007 x 100 % mg contoh
Kadar protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6,25) e. Kadar Karbohidrat (by difference) (AOAC 1995) Perhitungan kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan cara: Kadar karbohidrat (%) = 100 %
P KA
A L
Keterangan: P : kadar protein (%) KA : kadar air (%) A : abu (%) L : kadar lemak (%) f. Analisis Kadar Amilosa (Juliano 1972) Mula-mula
dilakukan
pembuatan
kurva
amilosa
standar
dengan
menggunakan amilosa murni. Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 1 ml etanol 95 % dan 9 ml NaOH 0.1 N, dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit, didinginkan, kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam labu takar tersebut ditambahkan akuades sampai tanda tera. Sebanyak 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml larutan di atas dipipet, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan diasamkan dengan asam asetat 1 N sebanyak 0.2 ml, 0.4 ml, 0.6 ml, 0.8 ml, dan 1 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan 2 ml larutan iod dan akuades sampai tanda tera. Larutan digoyangkan dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya pada λ = 620 nm, dan dibuat kurva hubungan antara kadar amilosa dan absorbansinya. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar amilosa contoh. Sejumlah 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 1 ml etanol 95 % dan 9 ml NaOH 0.1 N, dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit. Seluruh gel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dengan pencucian berkali-kali menggunakan akuades dan diencerkan menjadi 100 ml.
Dari larutan di atas dipipet sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambah 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod serta akuades sampai tanda tera. Campuran dikocok, dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya pada λ = 620 nm. Absorbansi yang diperoleh diplotkan pada kurva standar. Kadar amilosa dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Kadar Amilosa (bk) :
A FP x x 100 % S W
Keterangan: A : absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm S : slope kemiringan pada kurva standar FP : faktor pengenceran W : berat sampel g. Analisis Kadar Serat Pangan (Asp et al. 1983) Sampel kering homogen diekstrak lemaknya dengan petroleum benzene pada suhu kamar selama 15 menit, jika kadar lemak sampel melebihi 6 – 8 %. Sejumlah 1 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ke dalamnya ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat, dan dibuat menjadi suspensi. Ditambah 100 µl enzim termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100 oC selama 15 menit, sambil berkali-kali diaduk, diangkat lalu didinginkan. Ditambah 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40oC dan diagitasi selama 60 menit. Ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 dengan NaOH. Ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40oC selama 60 menit sambil diagitasi, selanjutnya pH diatur dengan HCl sampai menjadi 4.5. Disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering (berat tepat diketahui), lalu dicucu dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu (serat makanan tidak larut) dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat tetap (± 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Diabukan dalam tanur 500oC
selama paling sedikit 5 jam, lalu ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat (serat makanan larut) ditepatkan volumenya dengan air sampai 100 ml. Ditambah 400 ml etanol 95 % hangat (60oC) dan diendapkan selama 1 jam. Disaring melalui crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 gram celite kering. Dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95 %, dan 2 x 10 ml aseton. Dikeringkan pada suhu 105oC semalam sampai berat konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Diabukan pada tanur 500oC selama paling sedikit 5 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2). Serat makanan total diperoleh dengan menjumlahkan nilai serat makanan tidak larut (SPTL) dan serat makanan larut (SPL). Blanko untuk serat makanan larut dan serat makanan tidak larut diperoleh dengan cara yang sama, tetapi tanpa sampel. Nilai blanko perlu diperiksa ulang, terutama jika menggunakan enzim dari kemasan yang baru. Rumus perhitungan nilai IDF dan SDF: D1 I1 B1 x100% W D2 I 2 B2 SPL (% bk) : x100% W Serat pangan : IDF SDF
SPTL (% bk) :
Keterangan: W : berat sampel (g) D : berat setelah analisis dan dikeringkan (g) I : berat setelah diabukan (g) B : berat blanko bebas serat (g) h. Analisis Kadar Tanin Metode Spektrofotometri (AOAC 1995) Ditambahkan 2 ml pereaksi Folin-Denis ke dalam labu takar 100 ml yang telah diisi dengan 50-70 ml air sulin, kemudian dipipet sejumlah 0.3, 0.6, 0.9, 1.2, dan 1.5 ml larutan standar asam tanat dan ditambahkan 5 ml larutan Na2CO3 jenuh ke dalam masing-masing labu, selanjutnya volume ditepatkan hingga 100 ml dengan air suling. Setelah itu dikocok dan dibiarkan selama 40 menit, kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm dan dibuat kurva standar.
Ditimbang sekitar 2 gram contoh yang telah dihaluskan dan dimasukkan ke dalam labu didih 500 ml, kemudian ditambahkan 350 ml air suling, direfluks selama 3 jam dan didinginkan. Setelah itu dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 500 ml dan volumenya ditepatkan dengan air suling. Setelah disaring, kemudian dipipet sebanyak 2 ml filtrat dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya ditambahkan 2 ml pereaksi Folin-Denis serta 5 ml Na2CO3 jenuh. Setelah volume ditepatkan, dibiarkan selama 40 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm. Ditentukan kadar tanin dalam mg, ditentukan menggunakan persamaan kurva standar Y = a + bX, dengan Y sebagai absorbansi dan X sebagai konsentrasi standar. Dengan demikian dapat diperoleh kadar tanin sampel berdasarkan rumus:
Keterangan: Fp : faktor pengenceran B : berat contoh (g) 3. Analisis Nilai Biologi a. Analisis Daya Cerna Pati in vitro (Muchtadi 1989) Daya cerna pati sample dihitung sebagai presentase terhadap pati murni (soluble starch). Suspensi sampel (1%) dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit untuk mencapai suhu 90oC, kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml larutan sampel dalam tabung reaksi ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-fosfat 0,1 M dengan pH 7,0, kemudian diinkubasikan pada penangas air 37oC selama 15 menit. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan enzim αamilase dan diinkubasikan pada penangas air 37oC selama 15 menit. Ke dalam tabung reaksi lain ditempatkan 1 ml campuran reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat lalu dipanaskan dalam penangas air 100oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. Warna oranye – merah yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan larutan maltosa
standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Daya cerna sampel dihitung sebagai persentase terhadap pati murni:
Daya cerna :
kadar maltosa sampel setelah reaksi enzimatis x 100 % kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzimatis
b. Uji Indeks Glisemik (Miller et al. 1996) Setiap porsi penyajian produk olahan hotong yang akan ditentukan IG-nya (mengandung 50 gram karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 keesokan harinya). Relawan yang digunakan adalah individu normal, tidak menderita diabetes, sebanyak 10 orang. Selama 2 jam pasca konsumsi pangan uji, sampel darah sebanyak 50 µL (finger-prick capillary blood samples method) diambil setiap 30 menit untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran kadar glukosa menit ke-30, 60, 90, dan 120). Selang 3 hari, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 gram glukosa murni sebagai pangan acuan kepada relawan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi efek keragaman glukosa darah dari hari ke hari. Kadar glukosa darah (pada waktu setiap pengambilan sampel) diplotkan pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (x) dan sumbu kadar glukosa darah (y). Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dikalikan 100.
4. Analisis Data Analysis of Variance (ANOVA) dilakukan dengan menggunakan program SPSS untuk menganalisis pengaruh pengolahan dan komposisi terhadap perbedaan pada parameter sifat kimia dan nilai biologi produk olahan hotong. Tingkat signifikansinya dinyatakan dalam α = 5%. Khusus untuk analisis data indeks glikemik, tingkat signifikansinya dinyatakan dalam α = 10%. Selain itu juga dilakukan uji korelasi (bivariate correlations) dengan menggunakan program SPSS untuk menganalisis hubungan antara sifat kimia dengan nilai biologi produk olahan hotong.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisiko-Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu Tepung Hotong 1. Sifat Fisiko-Kimia dan Nilai Biologi Tepung Hotong Analisis fisik tepung hotong meliputi analisis warna (L*, a*, b*, derajat putih), densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, dan rendemen penyosohan. Sifat fisik tepung hotong dapat dilihat pada Tabel 11. Analisis kimia dan nilai biologi tepung hotong meliputi analisis proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, kadar tanin, dan daya cerna pati in vitro. Sifat kimia dan nilai biologi tepung hotong dapat dilihat pada Tabel 12. Penampakan tepung hotong dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Tepung hotong Tabel 11 Sifat fisik tepung hotong Parameter Nilai L* 92.33 a* (1.15) b* 13.04 Derajat Putih 84.83 Densitas Kamba (g/ml) 0.57 Densitas Padat (g/ml) 0.77 Kelarutan dalam air (% bk) 13.88 Rendemen Penyosohan (%) 30.07 a. Warna Secara visual (subyektif), tepung hotong mempunyai warna putih cenderung agak kekuningan, dan kurang cerah bila dibandingkan dengan tepung terigu. Berdasarkan perhitungan dengan kromameter (obyektif), tepung hotong mempunyai nilai L* sebesar 92.33, nilai a* sebesar (1.15), dan nilai b* sebesar
13.04 (Tabel 11). Data yang didapat menunjukkan bahwa tepung hotong mempunyai tingkat kecerahan (lightness) yang tinggi, dan mempunyai warna cenderung kekuningan. Dari nilai L*, a*, dan b* dapat diperoleh nilai derajat putih. Dari perhitungan didapat nilai derajat putih tepung hotong yang cukup tinggi, yaitu sebesar 84.83 (Tabel 11). Derajat putih yang tidak terlalu tinggi dapat dihubungkan dengan kandungan komponen polifenol tanin yang terdapat dalam biji hotong. Pada sorgum, kadar tanin yang tinggi dikaitkan dengan warna bijinya yang cokelat gelap atau cokelat kemerahan (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Selain itu, tepung masih mengandung pigmen, serat kasar, protein, dan komponen lain yang berwarna tidak putih (Sugiyono 2002). Warna tepung hotong yang semakin putih memegang peranan yang penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut, karena warna merupakan kesan pertama yang diperoleh konsumen dari suatu produk pangan. Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan pada suatu produk yang sering kali menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut secara keseluruhan. Warna juga mempunyai arti dan peranan penting pada produk pangan seperti penciri jenis, tanda-tanda pematangan (pada buah), tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu, pedoman proses pengolahan, dan sebagainya.
b. Densitas Kamba dan Densitas Padat Densitas kamba dan densitas padat merupakan sifat fisik pangan khusus bijibijian dan tepung-tepungan. Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Sedangkan densitas padat merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya (dipadatkan) dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan. Semakin tinggi densitas kamba menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Hasil analisis densitas kamba menunjukkan bahwa tepung hotong mempunyai nilai densitas kamba sebesar 0.57 g/ml, dan nilai densitas padat sebesar 0.77 g/ml (Tabel 11). Densitas dipengaruhi oleh kadar air, komposisi bahan, bentuk geometri, ukuran, dan karakteristik permukaan. Ukuran (volume)
partikel tepung yang besar mengakibatkan densitas kamba menjadi rendah. Adanya perbedaan antara nilai densitas kamba dan densitas padat, menunjukkan bahwa tepung hotong mempunyai sifat kohesivitas di antara partikelnya. Semakin besar selisih di antara densitas kamba dan densitas padat, berarti semakin besar daya kohesivitas antar partikel pada produk tersebut dan semakin poros produk tersebut. Dengan mengetahui densitas kamba dan densitas padat, kita dapat memperkirakan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan pangan dengan berat tertentu. Pengetahuan mengenai nilai densitas dapat bermanfaat pada saat pengisian bahan ke dalam wadah yang diam (densitas kamba) dan bergetar terutama pada saat transportasi (densitas padat). Densitas kamba berperan penting seperti pada proses pengisian silo, alat pencampur, maupun konveyor, dan juga dapat digunakan dalam perencanaan gudang penyimpanan, volume alat pengolahan, ataupun sarana transportasinya. Selain itu, kapasitas silo, kontainer, maupun kemasan seperti karung dapat diperkirakan dengan mengetahui besarnya nilai densitas padat.
c. Kelarutan dalam Air Kelarutan dalam air (dispersibility) adalah kemampuan tepung untuk didistribusikan dalam air, yang merupakan kemampuan gumpalan aglomerat untuk jatuh dan menyebar dalam air. Kelarutan dalam air menunjukkan jumlah partikel tepung hotong yang dapat larut dalam air. Nilai kelarutan dalam air tepung hotong adalah sebesar 13.88% bk (Tabel 11), lebih rendah dibandingkan komoditas lain, seperti tepung ubi jalar (19.71%) (Margareth 2006). Komponen yang larut dalam air ini kemungkinan adalah protein dan serat pangan larut. Serat pangan larut dapat berupa pektin, gum, dan beberapa hemiselulosa. Dalam industri pangan, pektin dan gum banyak dipakai sebagai penstabil, pemantap, dan pembentuk gel pada beberapa produk seperti susu (yogurt), krim, minuman, dan dressing (McClements 2005). Menurut Nussinovitch (1997), suatu bahan pangan dapat berperan baik sebagai hidrokoloid jika mempunyai nilai kelarutan dalam air lebih besar dari 8097%. Kelarutan dalam air pada tepung hotong masih rendah, dan dapat
ditingkatkan dengan melakukan perlakuan modifikasi pati, sehingga dapat dihasilkan pati tepung hotong yang dapat menjadi penstabil, pemantap, dan pembentuk gel baik pada air panas maupun air dingin, seperti halnya hidrokoloid (karagenan, agar, alginat, pektin, gum, dll). Pati termodifikasi ini banyak diaplikasikan sebagai pemantap, penstabil, dan pembentuk gel pada produk seperti saus, dressing, dan minuman (McClements 2005). Tepung yang terdispersi pada cairan juga dapat mempengaruhi mouthfeel dari sistem cairan tersebut. Selain itu menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati akan meningkat dengan meningkatnya suhu dan kecepatan peningkatan kelarutan khas untuk setiap pati. Dengan proses pemanasan, tepung hotong dapat ditingkatkan kelarutannya dan dapat dihasilkan produk yang sesuai, contohnya bubur instan.
d. Rendemen Penyoshan Pengujian rendemen penyosohan dilakukan dengan membandingkan berat produk yang diperoleh (tepung hotong) dengan berat bahan awal (biji hotong tersosoh). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rendemen penyosohan tepung hotong adalah sebesar 30.07% (Tabel 11). Nilai rendemen penyosohan yang rendah ini dapat disebabkan mesin penggiling (disc mill) yang dipakai terus menerus sehingga menaikkan suhu pada mesin tersebut dan membuat tepung hotong menempel (lengket) pada mesin penggiling. Tepung hotong menempel karena pati mengalami gelatinisasi akibat suhu yang tinggi. Kehilangan (lost) produk terjadi karena mesin yang berotasi pada kecepatan tinggi (5600 rpm), sehingga banyak biji hotong yang terpental keluar sebelum masuk ke dalam penggiling. Proses penepungan dilakukan dengan menggunakan penggiling tipe disc mill. Prinsip kerja alat ini adalah bahan yang akan dihancurkan masuk di antara dinding penutup dan cakram berputar. Disc mill umumnya dipakai untuk menggiling biji-bijian. Dari nilai rendemen penyosohan dapat dilihat efisiensi proses penepungan dari ketiga perlakuan pembuatan tepung. Semakin tinggi nilai rendemen penyosohan, berarti semakin efisien proses pembuatan tepung tersebut, karena dari jumlah bahan baku yang sama (biji hotong tersosoh), dapat dihasilkan jumlah tepung yang lebih banyak.
e. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu parameter yang cukup penting pada tepung, karena berkaitan dengan mutu tepung tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air tepung hotong adalah sebesar 7.93% (Tabel 12). Kadar air yang rendah ini menunjukkan rendahnya jumlah air terikat yang terdapat pada tepung hotong, sehingga kapasitas pengikatan air dari tepung hotong menjadi tinggi. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan pada saat penyimpanan tepung hotong. Selain itu, kadar air yang rendah dapat diakibatkan proses pengeringan yang dilakukan pada pembuatan tepung hotong. Proses pengeringan pada pembuatan tepung hotong bertujuan untuk menurunkan jumlah air yang dikandung oleh bahan mentah, sehingga seimbang dengan kondisi udara normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw) yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis, dan kimiawi. Perlakuan pengeringan yang dilakukan pada pembuatan tepung hotong adalah pengeringan dengan fluid bed dryer pada suhu 50oC selama 20 menit. Pada bahan pangan, kadar air yang tinggi akan menyulitkan pada saat penyimpanan, karena mikroba akan mudah hidup, sehingga pangan tidak dapat disimpan dalam waktu lama.
Tabel 12 Sifat kimia dan nilai biologi tepung hotong Parameter Hotong Air (%) 7.93 Abu (% bk) 0.66 Lemak (% bk) 1.11 Protein (% bk) 9.42 Karbohidrat (% bk) 88.81 Amilosa (% bk) 25.06 Serat Pangan (% bk) 7.25 5.03 SPTL (% bk) 2.22 SPL (% bk) Tanin (ppm) 1156.12 Daya Cerna Pati in vitro (%) 51.33 f. Kadar Abu Unsur mineral dikenal sebagai komponen anorganik, dan umumnya jumlahnya tidak lebih dari 4% dari total berat makanan. Mineral merupakan zat gizi yang esensial karena tubuh tidak dapat mensintesisnya sehingga harus
disuplai dari makanan yang dikonsumsi (Muchtadi et al. 2006). Pada proses pembakaran suhu tinggi (pada tanur), komponen organik akan terbakar, sedangkan komponen anorganik tidak terbakar, dan menjadi abu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu tepung hotong adalah sebesar 0.66% bk (Tabel 12). Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan, kemurnian, dan kebersihan bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu menunjukkan proses pengolahan yang kurang bersih. Kadar abu yang cukup tinggi pada tepung hotong juga dapat disebabkan oleh proses penyosohan yang belum optimal. Biji hotong sendiri mempunyai kadar abu sebesar 1.3 %.
g. Kadar Lemak Lemak (lipid) adalah istilah umum yang menunjukkan senyawa yang relatif tidak larut air dan dapat diekstrak oleh pelarut non-polar, seperti aseton, alkohol, eter, dan sebagainya (Muchtadi et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak tepung hotong adalah sebesar 1.11% bk (Tabel 12). Lemak pada makanan berfungsi sebagai sumber energi, pelarut dan pembawa vitamin larut lemak (A,D,E,K), dan sebagai peningkat palatabilitas (rasa enak dan lezat). Pada serealia, lemak terdapat dalam aleuron. Proses penyosohan menyebabkan penurunan kadar lemak, terutama pada bagian aleuron. Kandungan lemak pada biji hotong sendiri adalah sebesar 2.2%.
h. Kadar Protein Protein adalah zat gizi yang amat penting bagi manusia, karena berfungsi sebagai bahan bakar, pembangun, dan pengatur dalam tubuh (Muchtadi et al. 2006). Dalam tubuh, protein diserap dalam bentuk asam amino. Setiap asam amino selalu mempunyai unsur nitrogen. Jumlah unsur nitrogen dapat digunakan sebagai dasar penentuan kadar protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein tepung hotong adalah sebesar 9.42% bk (Tabel 12). Penurunan kadar protein ini dapat disebabkan protein yang larut ketika dilakukan pencucian. Protein mempunyai gugus polar yang dapat berikatan dengan air.
Kandungan jenis protein yang terdapat pada tepung hotong berbeda dengan jenis protein yang terdapat pada tepung terigu. Pada tepung terigu, terdapat gliadin dan glutenin yang memungkinkan terigu memiliki kemampuan untuk membentuk gluten. Namun tepung hotong tidak memiliki protein jenis ini. Oleh karena itu, penggunaan tepung hotong sebagai bahan baku pengganti tepung terigu memerlukan perlakuan tambahan. Sebagai contoh, pada pembuatan mi instan hotong dilakukan perlakuan awal pengukusan terhadap adonan sebelum dicetak (pragelatinisasi). Di samping itu, tepung hotong juga baik untuk dijadikan bahan baku untuk produk yang tidak membutuhkan pengembangan, seperti kukis.
i. Kadar Karbohidrat Serealia banyak dijadikan sebagai makanan pokok karena kandungan karbohidratnya yang tinggi. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai penghasil energi. Kadar karbohidrat diukur dengan metode by difference. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar karbohidrat tepung hotong adalah sebesar 88.81% bk (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa karbohidrat merupakan komponen gizi utama yang terdapat dalam tepung hotong. Pada produk setengah jadi seperti tepung, karbohidrat yang terkandung umumnya terdiri atas gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa, dan pati.
j. Kadar Amilosa Pati merupakan suatu bentuk homopolimer dengan ikatan α glikosidik. Pati terdiri dari dua polimer yang berbeda, yaitu senyawa yang lurus (amilosa) dan senyawa bercabang (amilopektin) (Muchtadi et al. 2006). Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda, antara lain hasil reaksi dengan iod. Jika bereaksi dengan iod, amilosa akan menghasilkan warna biru, sedangkan amilopektin akan menghasilkan warna merah jingga. Prinsip inilah yang digunakan pada analisis kadar amilosa. Pengukuran amilosa dilakukan berdasarkan prinsip iodine-binding. Amilosa akan berikatan dengan iodine pada pH rendah (4.5-4.8) sehingga terbentuk kompleks berbentuk heliks yang berwarna biru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar amilosa tepung hotong adalah sebesar 25.06% bk (Tabel 12). Berdasarkan klasifikasi dari IRRI (International
Rice Research Institute), kadar amilosa bahan berpati digolongkan menjadi tiga, yaitu amilosa rendah (<20%), amilosa sedang (20-25%), dan amilosa tinggi (>25%). Tepung hotong masuk dalam kategori bahan berpati dengan kandungan amilosa sedang. Perbandingan antara jumlah amilosa dan amilopektin dalam suatu jenis bahan pangan akan menentukan sifat fisiknya. Contohnya pada beras; semakin sedikit kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan amilopektin, maka akan semakin lengket (waxy) nasi yang dibuat dari beras tersebut.
k. Kadar Serat Pangan Serat pangan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu serat larut (soluble dietary fiber) dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber). Kadar serat pangan adalah jumlah dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut air. Serat pangan tidak larut (SPTL) adalah serat yang tidak larut dalam air, baik air panas maupun air dingin. Komponen yang tergolong dalam SPTL adalah selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, lilin tanaman, dan senyawa pektat (Muchtadi et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai SPTL tepung hotong adalah sebesar 5.03% bk (Tabel 12). Kadar SPTL yang cukup tinggi ini dapat dipahami karena dalam proses pembuatannya, tepung hotong hanya melalui proses pencucian yang tidak terlalu banyak melarutkan SPTL. Serat pangan larut (SPL) adalah serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau air panas dan dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat bagian etanol. Komponen yang tergolong dalam SPL adalah gum, pektin, dan hemiselulosa larut air (Muchtadi et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai SPL tepung hotong adalah sebesar 2.22% bk (Tabel 12). Ada kemungkinan terlarutnya beberapa komponen SPL ketika dilakukan proses pencucian. Namun secara umum, rasio antara SPL dan SPTL mendekati rasio SPL dan SPTL pada pangan, yaitu 1:3 (Muchtadi 2000). Berdasarkan jumlah SPTL dan SPL yang didapat, maka diperoleh hasil nilai serat pangan (DF) tepung hotong adalah sebesar 7.25% bk (Tabel 12). Serat pangan yang terdapat pada bahan pangan sudah terbukti secara ilmiah mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Secara umum, serat pangan pada bahan pangan mempunyai fungsi fisiologis bagi manusia, antara lain menurunkan IG pangan,
berperan sebagai prebiotik, dan mengurangi berbagai macam resiko penyakit degeneratif.
l. Kadar Tanin Tanin merupakan komponen polifenol pada tanaman. Tanin banyak terdapat pada buah-buahan (anggur), teh, cokelat, kacang-kacangan, dan sorgum. Tanin dapat berfungsi sebagai antioksidan, tetapi juga dapat berfungsi sebagai antigizi. Selama proses penepungan komersial, tanin akan tetap berada dalam tepung dan tidak dapat dihilangkan dengan pengayakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar tanin tepung hotong adalah sebesar 1156.12 ppm (Tabel 12). Menurut Mudjisihono dan Suprapto (1987), perendaman biji sorgum dalam air suling pada suhu 30oC selama 24 jam akan menghilangkan tanin sekitar 31%. Kadar tanin dari tepung hotong cukup rendah jika dibandingkan dengan kadar tanin pada sorgum, yaitu 3.6-4.0 % (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Pada hotong, tanin diduga banyak terdapat pada bagian kulit (mesokarp dan aleuron). Hal ini didukung hasil penelitian Suarni (2004) yang menyatakan bahwa kandungan tanin biji sorgum menurun drastis setelah dilakukan penyosohan.
m. Daya Cerna Pati in vitro Metode pengukuran daya cerna pati dilakukan secara in vitro (Muchtadi, 1989). Pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit maltosa. Maltosa yang terbentuk direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS) untuk memberi warna kuning-merah, lalu diukur dengan spektrofotometer. Jumlah maltosa dihitung melalui kurva standar maltosa. Daya cerna pati produk dihitung sebagai persentase terhadap pati murni (soluble starch). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai daya cerna pati tepung hotong adalah 51.33% (Tabel 12). Daya cerna pati yang rendah ini dapat disebabkan adanya kandungan serat pangan dan kemungkinan adanya pati resisten yang terdapat di dalam tepung hotong. Pati resisten adalah pati yang tahan dalam kondisi pencernaan di dalam tubuh, sehingga keberadaannya dapat menghambat pencernaan pati. Selain itu, faktor yang dapat menghambat pencernaan adalah
rasio amilosa-amilopektin. Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna. Sedangkan amilopektin memiliki rantai bercabang dengan ukuran molekul lebih besar dan terbuka sehingga lebih mudah untuk tergelatinisasi dan mudah dicerna (Rimbawan dan Siagian 2004). Amilosa yang terkandung pada tepung hotong cukup tinggi, yaitu 25.06%. Faktor lain yang dapat menurunkan nilai daya cerna pati adalah komponen antinutrisi. Pada tepung hotong terdapat kandungan komponen antinutrisi tanin (polifenol) sebesar 1156.12 ppm. Senyawa polifenol dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan, terutama amilase dan tripsin (Griffiths dan Moseley 1980; Despandhe dan Salunkhe 1982). Penurunan aktivitas enzim alfa amilase akan mempengaruhi nilai daya cerna pati dari suatu bahan pangan.
2. Karakteristik Mutu Tepung Hotong Banyak bahan berpati seperti serealia dan umbi-umbian yang telah dijadikan berbagai macam produk setengah jadi, salah satunya tepung. Ada berbagai macam tepung, antara lain tepung garut, tepung (arrowroot), tepung beras, tepung jagung, tepung kentang, tepung gaplek, tepung sagu, dan tepung terigu. Pada Tabel 13 dapat dilihat komposisi zat gizi tepung hotong, dibandingkan dengan komposisi tepung dari komoditas lain.
Tabel 13 Komposisi gizi tepung hotong dan produk tepung sejenis Parameter Air (%) Abu (% bk) Lemak (% bk) Protein (% bk) KH (% bk) a)
Hotong Terigua Berasa Sorgumc Jagunga Garuta Kasavab Sagua 7.93 12.00 12.00 11.11 12.00 13.60 11.50 14.00 0.66 0.57 0.57 1.08 1.36 0.35 0.79 0.47 1.11 1.48 0.57 1.36 4.43 0.23 1.02 0.23 9.42 10.11 7.95 9.31 10.45 0.81 1.13 0.81 88.81 87.84 90.91 88.26 83.75 98.61 97.06 98.49
Depkes (1981), b)Tanudjaja (1990), c)Indriani (2005)
Tepung hotong memiliki kandungan gizi yang tidak berbeda jauh dibandingkan dengan tepung dari komoditas lain terutama tepung terigu (gandum), dan juga tepung beras, tepung sorgum, tepung jagung, tepung garut, tepung kasava, dan tepung sagu. Dari berbagai macam tepung tersebut, yang paling banyak digunakan oleh produsen pangan sebagai bahan baku adalah tepung
terigu, terutama karena ketersediaannya yang tinggi dan sifatnya yang unggul karena mengandung gluten. Tepung terigu menjadi bahan baku utama dalam pembuatan produk bakery (roti dan biskuit) dan pasta (makaroni, spaghetti, dan mi). Sedangkan tepung beras banyak digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan bihun, makanan bayi, dan berbagai macam kue. Karakteristik mutu tepung hotong dapat dilakukan dengan membandingkan komposisi zat gizi tepung hotong dengan standar tepung yang berasal dari komoditas lain. Standar yang digunakan adalah SNI (Standar Nasional Indonesia) yang dikeluarkan oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional). Beberapa jenis tepung sudah mempunyai SNI, yaitu tepung beras (SNI 01-3549-1994), tepung jagung (SNI 01-3727-1995), tepung garut (SNI 01-6057-1999), tepung singkong (SNI 01-2997-1992), tepung sagu (SNI 01-3729-1995), dan tepung terigu (SNI 01-3751-2000). Perbandingan antara tepung hotong dengan standar dapat dilihat pada Tabel 14. Bila dibandingkan dengan standar, tepung hotong memenuhi standar mutu gizi untuk tepung beras, tepung jagung, dan tepung ubi kayu. Namun tepung hotong tidak memenuhi standar mutu gizi untuk tepung sagu dan tepung terigu. Kadar abu tepung hotong sebesar 0.66% bk melebihi kadar abu pada SNI untuk tepung garut (maks. 0.5%), tepung sagu (maks 0.5%) dan tepung terigu (maks. 0.6%).
Parameter Air (%) Abu (% bk) Lemak (% bk) Protein (% bk) KH (% bk) a)
Tabel 14 Komposisi zat gizi tepung hotong dan standar mutu produk tepung sejenis Garutc Ubi kayud Sagub Hotong Berasa Jagungb Terigue 7.93 Maks. 11 Maks. 10 Maks. 16 Maks. 12 Maks. 13 Maks. 14.5 0.66 Maks. 1.0 Maks. 1.5 Maks. 0.5 Maks. 1.5 Maks. 0.5 Maks. 0.6 1.11 9.42 Min. 7.0 88.81 -
BSN (1994), b)BSN (1995), c)BSN (1999), d)BSN (1992), e)BSN (2000)
Walaupun tidak memenuhi standar mutu gizi untuk tepung garut, tepung sagu, dan terigu terigu, secara umum mutu tepung hotong tetap bisa diterima, karena tepung hotong dengan tepung sagu dan tepung terigu merupakan produk yang berbeda satu sama lain. Pengacuan kepada tepung dari komoditas lain
dilakukan karena tepung hotong belum mempunyai standar sendiri. Dalam jangka panjang, perlu dilakukan pembuatan persyaratan mutu untuk tepung hotong.
B. Pengaruh Pengolahan dan Komposisi terhadap Sifat Kimia, Nilai Biologi, dan Karakteristik Mutu Produk Olahan Hotong 1. Sifat Kimia Produk Olahan Hotong Analisis kimia produk olahan hotong meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat), kadar amilosa, kadar serat pangan, dan kadar tanin. Hasil analisis proksimat produk olahan hotong dapat dilihat pada Tabel 15. Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis yang biasa dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan komponen utama pada bahan. Analisis ini meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Sedangkan kadar karbohidrat ditentukan by difference, yaitu dengan menghitung selisih antara nilai 100 dengan total kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.
Tabel 15 Komposisi zat gizi produk olahan hotong Parameter Kukis Mi Instan Bubur Instan Snack Air (%) 3.48 c 2.33 a 6.33 d 3.22 b b c Abu (% bk) 1.30 1.90 0.83 a 2.76 d Lemak (% bk) 21.75 c 15.01 b 2.31 a 23.26 d a c Protein (% bk) 6.52 10.06 6.29 a 8.37 b Karbohidrat (% bk) 70.43 b 73.03 c 90.57 d 65.61 a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Hasil analisis menunjukkan bahwa keempat produk olahan hotong mempunyai komposisi zat gizi yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05. Perbedaan karakteristik ini terutama disebabkan oleh komposisi bahan dan proses pembuatannya yang berbeda satu sama lain. Komponen pangan dan proses pengolahan dari tiap produk akan mempengaruhi indeks glikemik produk. Penampakan produk olahan hotong dapat dilihat pada Gambar 13-16.
Gambar 13 Kukis hotong
Gambar 14 Mi instan hotong
Gambar 15 bubur instan hotong
Gambar 16 Snack hotong
a. Kadar Air Air merupakan komponen yang selalu ada dalam setiap komponen pangan, walau dalam jumlah yang sangat kecil. Air mempunyai densitas 1000 kg/m3, lebih berat daripada komponen lemak dalam pangan. Lemak mempunyai densitas pada rentang 850-950 kg/m3 (Cybulska dan Doe 2002). Dalam jumlah yang cukup, air dapat mempengaruhi tekstur dari bahan pangan. Contohnya, tekstur sayur dan buah-buahan yang masih segar, serta keempukan (tenderness) daging (Vaclavik dan Christian 2003). Sedangkan pada beberapa produk, kadar air harus rendah untuk memperpanjang masa simpan produk. Menurut deMan (1997), kadar air dapat mempengaruhi penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi. Beberapa kerusakan yang disebabkan oleh kadar air yang tinggi pada bahan pangan adalah pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, dan hidrolisis lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 2.33-6.33 % dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Tabel 15). Mi instan mempunyai kadar air terendah dengan nilai 2.33%, sedangkan bubur instan mempunyai nilai tertinggi, yaitu 6.33%. Hal ini disebabkan proses pembuatan mi instan yang banyak mendapat perlakuan panas, yaitu pengeringan (20 menit) dan penggorengan (30 detik). Sedangkan pada pembuatan bubur instan, proses perlakuan panas yang dilakukan pada
pembuatan produk hanyalah pengeringan dengan drum dryer. Kukis mempunyai kadar air sebanyak 3.48%, karena mendapat perlakuan panas pemanggangan selama 125oC, 18 menit. Snack mempunyai kadar air yang lebih sedikit daripada kukis, yaitu 3.22%, karena mendapat dua perlakuan panas yaitu pengeringan dengan matahari selama 12 jam dan penggorengan selama 4 detik pada suhu 200oC. Penggorengan dapat mengakibatkan suhu permukaan bahan pangan meningkat dan air menguap, sehingga permukaan menjadi kering dan membentuk kerak. Kerak ini mempunyai struktur yang berongga dimana air di dalamnya digantikan oleh minyak. Hal inilah yang menyebabkan mengapa perlakuan penggorengan dapat mengurangi kadar air. Proses pemanggangan juga dapat mengurangi kadar air suatu produk, karena menggunakan udara panas sebagai media panas untuk merubah mutu makan suatu bahan pangan. Sedangkan perlakuan dengan drum dryer memang bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan, terutama bahan pangan cair atau pasta (Subarna et al. 2007). Pengeringan juga dapat dilakukan secara alami, yaitu dengan sumber panas sinar matahari.
b. Kadar Abu Mineral dalam bahan pangan dibutuhkan untuk memelihara dan menjaga metabolisme normal dari tubuh dan fungsi-fungsi dari jaringan tubuh (Nabryzki 2002). Zat gizi mikro ini berperan besar dalam berbagai reaksi biokimia dan fisiologis yang berguna untuk kesehatan tubuh. Tetapi di sisi lain, mineral juga dapat mengakibatkan pengaruh yang tidak diinginkan terhadap nilai gizi dari pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 0.83-2.76% bk dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Tabel 15). Bubur instan mempunyai kadar abu terendah dengan nilai 0.83% bk, sedangkan snack mempunyai nilai tertinggi, yaitu 2.76% bk. Kadar abu yang rendah pada bubur instan disebabkan oleh sedikitnya sumber mineral pada formula bubur instan hotong (Lampiran 1). Sedangkan kadar abu yang tinggi pada snack disebabkan oleh beragamnya sumber mineral pada
formula snack hotong (Lampiran 1), antara lain garam, baking powder, dan penyedap rasa. Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat atau tartarat. Kukis mempunyai kadar abu sebesar 1.30% bk, dikarenakan kurang bervariasinya sumber mineral pada formula kukis (Lampiran 1), antara lain garam dan baking powder. Mi instan mempunyai kadar abu yang lebih tinggi dari kukis, yaitu 1.90% bk, dikarenakan jumlah sumber mineral yang lebih banyak pada formula mi instan hotong (Lampiran 1), antara lain garam NaCl dan baking powder.
c. Kadar Lemak Lemak (lipid) meliputi trigliserida sebagai komponen utama dan juga fosfolipid dan sterol (Vaclavik dan Christian 2003). Lipid tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti eter, alkohol, dan heksana. Lemak mempunyai nilai energi yang tinggi, yaitu 9 kkal/g. Konsumsi lemak yang tinggi berkaitan dengan meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, obesitas, dan beberapa penyakit kanker (Chu dan Hwang 2002). Menurut Almatsier (2001), konsumsi lemak sebanyak 15-30% dari kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan. Namun lemak juga berperan penting dalam fungsi fisiologis dan sensori dari suatu produk pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 2.31-23.26 % bk dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Tabel 15). Bubur instan mempunyai kadar lemak terendah dengan nilai 2.31% bk, sedangkan snack mempunyai nilai tertinggi, yaitu 23.26% bk. Hal ini berhubungan dengan komposisi sumber lemak pada formula tiap produk. Pada bubur instan, sumber lemak utama hanyalah minyak sebanyak 5 gram (Lampiran 1). Sedangkan pada snack, sumber lemaknya didominasi oleh santan, sebanyak 25 ml (Lampiran 1). Menurut Depkes (1981), kandungan lemak dalam santan adalah sebesar 34.3%. Selain itu, snack juga mengalami proses penggorengan pada pembuatannya. Kadar lemak mi instan yang sebesar 15.01% bk lebih disebabkan oleh proses penggorengan yang dilakukan pada proses pembuatan mi instan. Pada proses penggorengan, air yang menguap meninggalkan kerak, dan diisi dengan minyak. Sedangkan untuk kukis, kadar lemaknya lebih
tinggi daripada mi instan, yaitu sebesar 21.75% bk, dikarenakan sumber lemak yang cukup bervariasi pada formula kukis hotong (Lampiran 1), antara lain margarin, mentega, dan telur. Depkes (1981) menyatakan bahwa margarin mengandung 81% lemak, dan telur mengandung 11.5% lemak yang terdapat pada kuning telur.
d. Kadar Protein Protein dibentuk oleh kumpulan asam amino. Ada setidaknya 20 jenis asam amino yang telah diketahui di alam, dan setiap asam amino mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda satu sama lain, bergantung pada struktur dan komposisinya. Pada pangan, protein mempunyai peran penting baik sebagai zat gizi maupun sebagai senyawa fungsional (Vaclavik dan Christian 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 6.29-10.06 % bk dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Tabel 15). Bubur instan mempunyai kadar protein terendah dengan nilai 6.29% bk, sedangkan mi instan mempunyai nilai tertinggi, yaitu 10.06% bk. Kadar protein bubur instan yang rendah disebabkan oleh penggunaan tepung hotong yang dikombinasikan dengan pati sagu dengan perbandingan 70:30 (Lampiran 1). Hal yang sama juga terjadi pada formula kukis, dimana tepung hotong dikombinasikan dengan pati sagu, tetapi dengan perbandingan yang berbeda, yaitu 97.5 : 32.5 (Lampiran 1). Jika dibandingkan dengan mi instan, jelas mi instan mempunyai kadar protein yang tinggi karena kandungan tepung hotong yang tinggi, yaitu 100% bahan baku (Lampiran 1). Sedangkan untuk snack, diperoleh kadar protein yang cukup tinggi, yaitu 8.37% bk, yang disebabkan oleh penggunaan sumber protein berupa biji hotong tersosoh dan santan (Lampiran 1). Menurut Depkes (1981), santan mengandung protein sebesar 4.2%.
e. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan komponen organik yang terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen, dan dapat berupa molekul sederhana dan kompleks (Vaclavik dan Christian 2003). Karbohidrat pangan meliputi gula sederhana, dekstrin, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin, dan gum. Pada pangan, karbohidrat
dapat berperan sebagai pemanis, pengental, penstabil, gelling agent, dan juga pengganti lemak. Karbohidrat tetap dibutuhkan sebagai sumber energi utama, meskipun terdapat lemak sebagai sumber energi yang lain, disebabkan tubuh membutuhkan glukosa sebagai sumber energi bagi otak dan syaraf (Almatsier 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar karbohidrat untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 65.61-90.57 % bk dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Tabel 15). Bubur instan mempunyai kadar protein terendah dengan nilai 6.29% bk, sedangkan mi instan mempunyai nilai tertinggi, yaitu 10.06% bk. Snack mempunyai kadar karbohidrat terendah dengan nilai 65.61% bk, sedangakan bubur instan mempunyai kadar karbohidrat tertinggi dengan nilai 90.57% bk. Bubur instan mempunyai kadar karbohidrat tertinggi disebabkan kandungan sumber karbohidrat yang tinggi pada formulanya, yaitu tepung hotong, pati sagu, dan tepung gula (Lampiran 1). Sedangkan snack mempunyai kadar karbohidrat terendah disebabkan oleh sumber karbohidrat yang tidak banyak pada formulanya, yaitu biji hotong tersosoh dan gula (Lampiran 1). Mi instan mempunyai kadar karbohidrat yang cukup tinggi sebesar 73.03% bk disusul oleh kukis dengan nilai sebesar 70.43% bk. Meskipun mi instan hanya menggunakan tepung hotong sebagai sumber karbohidrat, namun persentase tepung hotong yang tinggi pada formula (Lampiran 1) mengakibatkan nilai kadar karbohidrat mi instan cukup tinggi. Sedangkan pada kukis, kadar karbohidrat cukup tinggi, disebabkan oleh komposisi sumber karbohidrat yang beragam, yaitu tepung hotong, pati sagu, dan gula halus (Lampiran 1).
f. Kadar Amilosa Pati terdiri dari dua molekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa terhadap amilopektin berbeda-beda pada tiap bahan pangan. Amilosa merupakan rantai panjang linear yang terdiri dari ribuan unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4-glikosidik. Sedangkan amilopektin selain mempunyai ikatan α-1,4 glikosidik, juga mempunyai percabangan pada ikatan α-1,6-glikosidik pada setiap 15-30 unit glukosa (Vaclavik dan Christian 2003).
Analisis kadar amilosa dilakukan berdasarkan prinsip iodine binding, yaitu molekul amilosa akan berikatan dengan molekul iodine dan menghasilkan warna biru yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm. Pati bereaksi dengan iod pada daerah amorfnya. Fraksi amilosa bereaksi dengan iod menghasilkan warna biru, sedangkan amilopektin bereaksi dengan iod member warna kemerahan hingga coklat. Reaksi amilosa dengan iod terjadi melalui mekanisme pemerangkapan iod di dalam heliks amilosa, sedangkan amilopektin tidak memiliki heliks yang cukup untuk merangkap iod. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar amilosa untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 2.47-12.05% bk dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Gambar 17). Snack mempunyai kadar amilosa terendah sebesar 2.47%, sedangkan mi instan mempunyai kadar amilosa tertinggi sebesar 12.05%. Selain itu, kukis mempunyai kadar amilosa sebesar 7.19% dan bubur instan sebesar 8.10%. berkaitan dengan tingginya kadar lemak pada snack, yaitu 23.26%. Berdasarkan klasifikasi dari IRRI (International Rice Research Institute), kadar amilosa bahan berpati digolongkan menjadi tiga, yaitu amilosa rendah (<20%), amilosa sedang (20-25%), dan amilosa tinggi (>25%). Keempat produk hotong yang dihasilkan mempunyai kadar amilosa pada kategori rendah. Ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan rendahnya nilai kadar amilosa. Lemak pada pangan dapat membentuk kompleks dengan amilosa dan membentuk heliks pada saat gelatinisasi. Kompleks lemak dan amilosa akan mengakibatkan terhambatnya reaksi amilosa dengan iodine, sehingga mengurangi intensitas warna biru dan mengakibatkan kecilnya kadar amilosa (Eliasson 2004). Kukis, mi instan, dan snack mempunyai kadar lemak yang tinggi (Tabel 15). Selain itu, sebagian pati dari produk mungkin sudah mengalami retrogradasi pati. Selama retrogradasi pati, terbentuk daerah kristalin yang terutama dibentuk oleh molekul amilosa. Akibatnya, daerah kristalin tidak dapat bereaksi dengan iod, dan menurunkan kadar amilosa produk (Gheotacha dan Sriburi 2003). Pada bubur instan, walaupun kandungan lemaknya sedikit, namun pada proses pembuatannya, diduga pati sudah mengalami retrogradasi.
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Gambar 17 Kadar amilosa produk olahan tepung hotong
g. Serat Pangan Serat pangan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu serat pangan larut (SPL) dan serat pangan tidak larut (SPTL). Kadar serat pangan adalah jumlah dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut air. Serat pangan larut (pektin, gum) umumnya dapat difermentasi oleh mikroorganisme di dalam usus besar, sedangkan serat pangan tidak larut (selulosa, lignin) lebih sulit untuk didegradasi oleh mikroorganisme. Hanya sekitar 5% dari selulosa yang terfermentasi (Mann dan Truswell 2002). Hasil dari fermentasi adalah gas berupa asam lemak rantai pendek (SCFA = Short Chain Fatty Acids), dan peningkatan jumlah mikroflora usus. Secara umum, konsumsi serat pangan dapat mencegah beberapa penyakit, yaitu diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung koroner (PJK), konstipasi, divertikular, dan kanker usus besar. SPL berguna untuk memperlambat kecepatan pencernaan dalam usus, memberikan rasa kenyang yang lebih lama, serta memperlambat peningkatan glukosa darah. Sedangkan SPTL mempunyai fungsi yang berhubungan dengan pencegahan penyakit saluran pencernaan, seperti wasir, divertikulosis, dan kanker usus besar.
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05), SPTL: Serat Pangan Tidak Larut, dan SPL: Serat Pangan Larut
Gambar 18 Kadar serat pangan produk olahan hotong
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar serat pangan total (DF) untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 4.26-7.27% bk dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Gambar 18). Kukis mempunyai kadar serat terendah, yaitu 4.26% bk, sedangkan mi instan mempunyai kadar serat tertinggi, sebesar 7.27% bk. Sementara itu, bubur instan dan snack mempunyai kadar serat yang tidak berbeda nyata satu sama lain. Konsumsi serat pangan yang direkomendasikan adalah 25-30 g per hari, atau setara dengan 10 g / 1000 kkal energi.
h. Kadar Tanin Tanin merupakan komponen polifenol pada tanaman. Tanin merupakan komponen pereduksi kuat yang banyak terdapat pada tanaman pangan. Tanin dapat berfungsi sebagai antioksidan, tetapi juga dapat berfungsi sebagai antigizi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar tanin untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 462.92 – 532.92 ppm dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Gambar 19). Mi instan mempunyai kadar tanin terendah, yaitu 462.92 ppm, dan tidak berbeda nyata dengan kukis, yaitu sebesar 478.55 ppm. Sedangkan bubur instan mempunyai kadar tanin tertinggi sebesar 532.92
ppm. Selain itu, snack mempunyai nilai kadar tanin sebesar 532.92 ppm. Senyawa polifenol dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan, terutama amilase dan tripsin (Griffiths & Moseley 1980; Despandhe & Salunkhe 1982). Penurunan aktivitas enzim alfa amilase akan mempengaruhi nilai daya cerna pati dari suatu bahan pangan.
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Gambar 19 Kadar tanin produk olahan hotong
2. Nilai Biologi Produk Olahan Hotong Ketika suatu pangan dikonsumsi, tidak seluruh komponen yang ada didalamnya dapat diserap dalam tubuh. Istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah bioavailability. Bagian dari zat gizi yang dikonsumsi yang tersedia dan dapat digunakan untuk fungsi fisiologis normal dan penyimpanan disebut bioavailability, atau ketersediaan biologis. Jika didapat nilai sebesar 100%, maka berarti semua komponen pangan yang dikonsumsi dapat diserap dan tersedia untuk digunakan di dalam tubuh. Evaluasi nilai biologi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi evaluasi daya cerna pati in vitro dan uji indeks glikemik (in vivo).
a. Daya Cerna Pati in vitro
Daya cerna pati adalah kemampuan pati untuk dihidrolisis oleh enzim pemecah pati sehingga menjadi unit-unit yang lebih kecil, seperti gula sederhana (maltosa dan glukosa) dan alfa limit dekstrin. Pengukuran daya cerna pati dapat dilakukan secara in vitro dengan menggunakan enzim α-amilase pada kondisi tertentu, seperti pH, buffer, waktu inkubasi, dan suhu. Enzim α-amilase dapat menghidrolisis ikatan α-1,4 pada molekul amilosa (Muchtadi et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai daya cerna pati untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 37.28-56.64 % dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Gambar 20). Kukis mempunyai nilai daya cerna pati terendah dengan nilai 37.28%, sedangkan bubur instan mempunyai nilai daya cerna pati tertinggi sebesar 56.64%. Selain itu, nilai daya cerna pati mi instan sebesar 53.68% dan snack sebesar 67.08%. Nilai daya cerna pati dipengaruhi proses pengolahan (panas) yang dilakukan pada saat pembuatan produk. Proses pemanasan akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen pada pati sehingga amilosa dan amilopektin dapat keluar dari granula pati. Amilosa yang lepas dari granula pati akan dapat terhidrolisis oleh enzim α-amilase. Pada kukis, perlakuan panas yang didapat hanyalah pemanggangan
(baking).
Namun
pada
kukis,
perlakuan
panas
tidak
mengakibatkan gelatinisasi, karena kandungan airnya yang sedikit. Pada kukis diduga telah terjadi heat moisture treatment (HMT), yaitu proses pemanasan pati dengan kadar air rendah (<35%) pada suhu di bawah suhu gelatinisasi (Jacobs dan Delcour 1998). HMT dapat merubah struktur kristalin pati, dan menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi. Selain itu, HMT juga diketahui dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan mengurangi jumlah amilosa yang luluh. Semakin tinggi suhu gelatinisasi, maka akan menurunkan tingkat gelatinisasi, sehingga mengurangi daya cerna pati. Sementara pada snack, perlakuan panas yang didapat meliputi pemasakan (4 menit), pengukusan (10 menit), pengeringan matahari (12 jam), dan penggorengan (4 detik, 200oC). Sedangkan pada mi instan dan bubur instan, perlakuan panas tidak memberikan nilai daya cerna pati yang berbeda nyata di antara keduanya.
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Gambar 20 Nilai daya cerna pati in vitro produk olahan hotong Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penggunaan enzim α-amilase sebagai satu-satunya penghidrolisis pati. Pada kenyataannya, pati juga akan dicerna oleh iso-amilase (debranching enzyme) yang akan menghidrolisis amilopektin dan juga alfa-limit-dekstrin (Muchtadi et al. 2006).
b. Indeks Glikemik Metode analisis IG yang dilakukan pada penelitian ini adalah menurut El (1999). Pengujian IG merupakan uji in vivo, karena menggunakan darah manusia sebagai subjek. Manusia digunakan sebagai subjek karena metabolisme manusia sangat rumit sehingga sulit untuk ditiru secara in vitro (Ragnhild et al. 2004). Syarat-syarat panelis yang dapat digunakan untuk uji IG adalah sehat, tidak menderita diabetes melitus, dan memiliki indeks massa tubuh (IMT) pada kisaran normal. Indeks massa tubuh adalah suatu besaran yang menggambarkan suatu kondisi umum tubuh berdasarkan perbandingan berat dan tinggi badan. Kisaran IMT normal adalah 18.5-24.9 kg/m2, yaitu 18.5-22.9 kg/m2 untuk wanita dan 2024.9 kg/m2 untuk pria. Seleksi panelis awal dilakukan pada saat uji IG awal, yaitu saat pengujian standar glukosa. Pada uji IG awal (glukosa), digunakan 12 panelis, yang akan diseleksi menjadi 10 panelis. Dari 10 panelis yang diuji untuk uji IG
produk, data yang ditampilkan hanyalah dari 8 panelis. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi variasi yang mungkin timbul antar panelis. Pengambilan darah dilakukan pada pembuluh darah kapiler di jari tangan. Pengambilan darah bukan dari pembuluh vena karena darah pada pembuluh kapiler mempunyai variasi kadar glukosa darah antara panelis yang lebih kecil (Ragnhild et al. 2004). Glukosa darah akan bereaksi dengan enzim glucose oxydase (GOD) dan potassium ferricyanide yang terdapat dalam test strip, dan dihasilkan potassium ferrocyanide. Jumlah potassium ferrocyanide yang dihasilkan setara dengan jumlah glukosa yang terkandung pada sampel (Arkray 2001). Produk yang diberikan kepada panelis mempunyai berat setara dengan 50 gram karbohidrat total (El 1999). Sampel diberikan kepada panelis setelah panelis menjalani puasa selama ± 10 jam sebelumnya (overnight fasting), kecuali air putih. Kukis mempunyai kadar karbohidrat sebesar 67.98% bb, sehingga untuk mendapatkan kukis yang mengandung karbohidrat setara 50 gram diberikan 73.55 gram kukis per panelis. Mi instan mempunyai kadar karbohidrat sebesar 71,33% bb, sehingga diberikan sampel mi instan yang mengandung karbohidrat setara 50 gram sebesar 70.10 gram per panelis. Bubur instan mempunyai kadar karbohidrat sebesar 84.83% bb, sehingga diberikan sampel bubur instan yang mengandung karbohidrat setara 50 gram sebesar 58.94 gram per panelis. Sedangkan snack mempunyai kadar karbohidrat sebesar 63.49% bb, sehingga diberikan sampel snack yang mengandung karbohidrat setara 50 gram sebesar 78.74 gram per panelis. Sedangkan glukosa bubuk digunakan sebagai standar dengan berat sebesar 50 gram yang dilarutkan dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks glikemik untuk keempat produk olahan tepung hotong berkisar pada nilai 45.31 – 59.57 dan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (Gambar 21). Snack mempunyai nilai IG terendah yaitu 45.31, sedangkan bubur instan mempunyai nilai IG tertinggi sebesar 59.57. Selain itu, kukis mempunyai nilai IG sebesar 47.25 dan mi instan sebesar 48.45. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai IG adalah sebagai berikut: (1) bahan pangan dengan IG rendah (<55), (2) bahan pangan dengan IG sedang (55 – 69), dan (3) bahan pangan dengan IG tinggi (>70) (Foster-Powell et
al. 2002). Berdasarkan klasifikasi tersebut, kukis, mi instan, dan snack dapat digolongkan ke dalam pangan dengan IG rendah, sedangkan bubur instan tergolong dalam pangan dengan IG sedang. Konsumsi pangan yang memiliki IG rendah dapat meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas (Ragnhild et al 2004). Selain itu, bahan pangan dengan nilai IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar gula darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh (Gambar 22). Dengan demikian, kukis, mi instan, dan snack dapat diaplikasikan sebagai pangan alternatif untuk tujuan diet, terutama untuk penderita diabetes melitus.
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.1)
Gambar 21 Indeks glikemik produk olahan hotong
Indeks glikemik merupakan sifat bahan yang unik. Nilainya tidak dapat diprediksi oleh komposisi kimia bahan saja. Hal ini berhubungan erat dengan respon fisiologis tiap individu panelis. Namun masing-masing komponen bahan pangan memberikan kontribusi dan saling berpengaruh sinergis antar sifat bahan pangan bagi nilai indeks glikemik. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kenaikkan gula darah pada tiap makanan. Daya cerna pati, interaksi antara pati dan protein, jumlah dan jenis lemak, gula, dan serat, kehadiran komponen lain terutama yang mengikat pati, dan bentuk dari makanan tersebut adalah beberapa
faktor yang mempengaruhi tingkat kenaikan gula darah (El 1999). Faktor lain yang mempengaruhi IG adalah proses pengolahan, kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan, dan kadar antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian 2004).
Gambar 22 Kurva kenaikan kadar glukosa darah produk olahan hotong
Rendahnya nilai IG pada kukis berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain tingginya kadar lemak (21.75% bk), rendahnya daya cerna pati (37.28%), adanya serat pangan (4.26% bk) dengan serat pangan larut sebesar 0.78% bk, dan adanya komponen polifenol tanin (478.55 ppm). Selain itu, proses pengolahan yang berpengaruh dalam penurunan IG adalah proses pemanggangan, yang merupakan heat moisture treatment (HMT). HMT diketahui dapat menghasilkan struktur kristalin yang kuat pada pati, sehingga dapat menurunkan nilai daya cerna pati. Pada mi instan, rendahnya nilai IG berkaitan dengan tingginya kadar lemak (15.01% bk) dan kadar protein (10.06% bk), rendahnya daya cerna pati (53.68%), adanya kadar serat pangan (7.27% bk) dengan serat pangan larut sebesar 1.83% bk, dan adanya komponen polifenol tanin (462.92 ppm). Proses pengolahan yang berpengaruh dalam penurunan IG adalah proses pengukusan adonan selama 10 menit dan penggorengan ± 150-170oC selama 30 detik. Pengukusan dapat meningkatkan daya cerna pati, karena terjadinya proses gelatinisasi. Sedangkan
penggorengan dapat mengikat banyak minyak ke dalam bahan pangan, yang dapat menghambat proses pengosongan lambung ketika pangan tersebut dikonsumsi, sehingga menghambat laju pencernaan pati. Pada bubur instan, nilai IG sangat berkaitan dengan rendahnya kadar lemak yaitu 2.31% bk, meskipun mempunyai nilai daya cerna pati yang tidak berbeda nyata dengan mi instan (56.64% bk), adanya serat pangan (5.44% bk) dengan serat pangan larut sebesar 0.60%, dan adanya kandungan senyawa polifenol tanin (532.92 ppm). Proses pengolahan yang dapat mempengaruhi nilai IG bubur instan adalah proses penanakan dan proses pengeringan dengan drum dryer. Pada kedua proses tersebut terjadi proses gelatinisasi pati, yang dapat meningkatkan nilai daya cerna pati produk. Untuk snack, nilai IG yang rendah berkaitan dengan tingginya kadar lemak (23.26% bk), rendahnya kadar amilosa (2.47% bk), kadar serat pangan (5.46% bk) terutama serat pangan larut (0.54% bk), dan kandungan senyawa polifenol tanin (670.7 ppm). Hal yang diduga paling mempengaruhi nilai IG pada snack adalah kadar amilosa. Menurut Lehninger (1982), amilosa merupakan polimer gula sederhana yang tidak bercabang, sehingga dapat dihidrolisis dengan sempurna oleh satu enzim saja (α-amilase), dengan kata lain mudah dicerna. Sedangkan amilopektin merupakan polimer gula sederhana yang mempunyai cabang dan memiliki ukuran molekul lebih besar dibandingkan dengan amilosa, sehingga untuk menghidrolisis amilopektin membutuhkan dua enzim, yaitu α-amilase dan α (1,6) glukosidase (Lehninger 1982), sehingga sulit dicerna. Berdasarkan pengertian di atas, maka pangan yang mengandung amilosa rendah akan memiliki daya cerna yang rendah, sehingga menghasilkan IG yang rendah. Berdasarkan uji korelasi secara statistik, dapat dilihat adanya faktor yang secara signifikan mempengaruhi nilai IG. Faktor yang mempengaruhi nilai IG tersebut adalah kadar lemak dan kadar karbohidrat. Kadar lemak mempunyai pengaruh negatif terhadap nilai IG, dengan nilai Pearson Correlation sebesar (0.975*). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa lemak dapat menurunkan nilai IG. Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa pangan berkadar lemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Akibatnya, laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Laju
pencernaan yang melambat akan memperlambat penyerapan bahan pangan tersebut, sehingga menurunkan nilai IG pangan tersebut. Hal ini terlihat jelas pada sampel bubur instan yang mempunyai kadar lemak jauh berbeda dengan sampel lainnya, yaitu hanya 2.31% (bk). Walaupun sifat kimia yang lain dari bubur instan tidak terlalu berbeda jauh dengan ketiga sampel lainnya, namun karena rendahnya kadar lemak, berpengaruh ke hasil IG dari bubur instan. Bubur instan mempunyai nilai IG pada golongan sedang, yaitu 59.57. Sementara itu, kadar karbohidrat mempunyai korelasi positif terhadap nilai IG, dengan nilai Pearson Correlation sebesar 0.996**. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar karbohidrat, maka akan semakin tinggi nilai IG yang dihasilkan. Namun tetap perlu diingat bahwa tidak semua karbohidrat pada pangan akan mampu dicerna dan diserap oleh tubuh. IG hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat menjadi glukosa darah, tetapi tidak memberikan informasi mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar glukosa darah. Untuk mengetahui jenis pangan yang baik bagi kesehatan (efek pangan terhadap kadar gula darah) maka karbohidrat dan indeks glikemik pangan harus diketahui. Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian 2004). Sebagai contoh, IG kentang panggang adalah 121 (IG tinggi). Dengan demikian, menjadikan kentang sebagai pangan harus dihindari. Demikian juga wortel, pangan ini termasuk pangan ber-IG tinggi (IG=131). Namun, tidak bijaksana menjauhi wortel dan tidak mungkin orang mampu mengonsumsi 50 g karbohidrat dari wortel dalam sekali makan. Beban glikemik (BG) didefinisikan sebagai IG pangan dikalikan dengan kandungan karbohidrat pangan tersebut. Bahan pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai BG sebagai berikut: (1) bahan pangan dengan nilai BG rendah (<10), (2) bahan pangan dengan nilai BG sedang (11-19), dan (3) bahan pangan dengan nilai BG tinggi (>20). Berdasarkan perhitungan beban glikemik yang dilakukan, didapat hasil bahwa kukis, mi instan, dan snack mempunyai beban glikemik sedang, sedangkan bubur instan mempunyai beban glikemik tinggi, yaitu 25.27 (Tabel 16).
Tabel 16 Beban glikemik produk olahan hotong Sampel IG Takaran Saji (g) Karbohidrat (% bb) Beban Glikemik Kukis 47.25 50 33.99 16.06 Mi instan 48.45 50 35.66 17.28 Bubur instan 59.57 50 42.42 25.27 Snack 45.31 50 31.75 14.39 Hal ini menunjukkan bahwa bubur instan memiliki pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan kadar glukosa darah berdasarkan konsumsi pangan aktual. Nilai BG bubur instan yang tinggi berkaitan dengan nilai IG bubur instan yang berada dalam taraf sedang, yaitu 59.57 dan juga kandungan karbohidrat yang tinggi sebesar 90.57% bk.
3. Karakteristik Mutu Gizi Produk Olahan Hotong Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui apakah produk olahan hotong, yaitu kukis, mi instan, bubur instan, dan snack, memenuhi syarat mutu yang ditetapkan di SNI (Standar Nasional Indonesia) ditinjau dari aspek nilai gizi. Berdasarkan SNI 01-2973-1992 tentang kukis, dapat dilihat bahwa kadar protein kukis hotong yang hanya 6.52% bk tidak memenuhi syarat kadar protein untuk kukis, yaitu minimal 9%. Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu kandungan protein tepung hotong yang memang berada di bawah kandungan protein tepung terigu (tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan cookies pada umumnya berasal dari terigu lunak, dengan kadar protein 8-9%) dan kurangnya sumber protein tambahan pada bahan penyusun cookies selain tepung (Pratiwi 2008). Berdasarkan SNI 01-3551-2000 tentang mi instan, dapat dilihat bahwa kadar air dan kadar protein mi instan hotong memenuhi standar yang ditetapkan. Berdasarkan SNI 01-4321-1996 tentang sup instan, dapat dilihat bahwa kadar air, protein, dan lemak bubur instan hotong memenuhi standar yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk snack hotong, berdasarkan SNI 01-2886-2000 tentang makanan ringan ekstrudat, dapat dilihat bahwa kadar air dan lemak snack hotong memenuhi standar yang telah ditetapkan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Informasi sifat fisik tepung hotong yang diperoleh adalah nilai L* sebesar 92.33, a* (1.15), b* 13.04, derajat putih 84.83, densitas kamba 0.57 g/ml, densitas padat 0.77 g/ml, kelarutan dalam air 13.88%, dan rendemen penyosohan 30.07%. Sedangkan informasi sifat kimia tepung hotong yang diperoleh adalah kadar air sebesar 7.93% bb, abu 0.66% bk, lemak 1.11% bk, protein 9.42% bk, karbohidrat 88.81% bk, amilosa 25.06% bk, serat pangan 7.25% bk, SPTL 5.03% bk, SPL 2.22% bk, dan tanin 1156.12 ppm. Daya cerna pati in vitro tepung hotong sebesar 51.33%. Secara umum mutu tepung hotong dapat diterima, dibandingkan dengan produk tepung sejenis. Kukis mempunyai IG sebesar 47.25 dan daya cerna pati in vitro 37.28%, IG mi instan 48.45 dan daya cerna pati in vitro 53.68%, IG bubur instan 59.57 dan daya cerna pati in vitro 56.64%, dan IG snack 45.31 dengan daya cerna pati in vitro 67.08%. Berdasarkan nilai IG yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kukis, mi instan, dan snack dapat dijadikan alternatif diet bagi penderita diabetes karena mempunyai nilai IG yang rendah (<55). Faktor yang dapat mempengaruhi nilai IG adalah kadar lemak dan kadar karbohidrat. Semakin tinggi kadar lemak dan semakin rendah kadar karbohidrat, akan menyebabkan nilai IG semakin rendah.
B. Saran Perlu dilakukan optimasi proses pembuatan tepung hotong, agar didapat kualitas tepung hotong yang optimal. Dalam jangka panjang, perlu dilakukan standardisasi mutu tepung hotong agar kualitasnya terjaga, sehingga memudahkan produsen dalam penggunaannya sebagai bahan baku.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [Anonima]. 2008. Resep Ibu-ibu PKK Kabupaten Buru: Hotong http://burukab.go.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=1 24&Itemid=94 [16 April 2008] [Anonimb]. 2008. Setaria italica (L.) P. Beauv. Foxtail Bristlegrass. http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=SEIT [16 April 2008] [Anonimc]. 2004. Setaria italica – (L.) P. Beauv. Foxtail Millet. http://www.pfaf.org/database/plants.php?Setaria+italica [16 April 2008] [Anonimd]. 2007. Normal Regulation of Blood Glucose, The Important Roles of Insulin and Glucagon: Diabetes and Hypoglycemia. http://www.endocrineweb.com/insulin.html [12 Agustus 2008] AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Offical Agricultural Chemistry. Washington DC: Association of Official Agriculture Chemistry. Argasasmita TU. 2008. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik Varietas Beras Beramilosa Rendah dan Tinggi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Arkray Inc. 2001. Instruction Manual for Glucometer. Kyoto: Arkrar Corp. Asp NG, Johansson CG, Hallmer H, Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. Journal of Agricultural Food Chemistry 31:476-482. Astawan M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-3751-2000 tentang Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-2886-2000 tentang Makanan Ringan Ekstrudat. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1999. SNI 01-6057-1999 tentang Tepung Garut. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1996. SNI 01-4321-1996 tentang Sup Instan. Jakarta: BSN.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3729-1995 tentang Tepung Sagu. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3727-1995 tentang Tepung Jagung. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1994. SNI 01-3551-1994 tentang Mi Instan. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1994. SNI 01-3594-1994 tentang Tepung Beras. Jakarta: BSN [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2997-1992 tentang Tepung Singkong. Jakarta: BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2973-1992 tentang Biskuit. Jakarta: BSN. Chu YW, Hwang LS. 2002. Food Lipids. Di dalam: Sikorski ZE. Chemical and Functional Properties of Food Components.2nd Ed. Boca Raton: CRC Press. hlmn 115-132. Cybulska B, Doe PE. 2002. Water and Food Quality. Di dalam: Sikorski ZE. Chemical and Functional Properties of Food Components.2nd Ed. Boca Raton: CRC Press. hlmn 3-50. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Ed. ke-2. Diterjemahkan oleh: Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. [Departemen TPG] Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. 2003. Hasil Analisa Kandungan Gizi Biji Tanaman Hotong Buru (Setaria italica (L.) Beauv.) Nomor 51/K.13.6.3/LL/03/2003. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Penerbit Bhatara Karya Aksara. Despandhe SS, Salunkhe DK. 1982. Interactions of tannin acid and catechin with legume starches. J Food Sci 47:2080-2081. El SN. 1999. Determination of glycemic index for some breads. Journal of Food Chemistry 67:67-69. Eliasson AC. 2004. Starch in Food. Cambridge: Woodhead Publishing Limited. Fardiaz D, Andarwulan N, Wijaya H, Puspitasari NL. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknik Analisis Sifat Fisik dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practise. Ed ke-2. Cambridge: Woodhead Publishing Ltd. Foster-Powell K, Holt SHA, Brand-Miller JC. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values. American Journal of Clinical Nutrition 75:5-56. Gheotacha R, Sriburi P. 2003. Influence of Ascorbic Acid and Oleic Acid on Gelatinization and Retrogradation of Starch. Chiang Mai: Department of Chemistry, Chiang Mai University. Griffiths DW, Moseley G. 1980. The effect of diets containing field beans of high or low polyphenolic content on the activity of digestive enzymes in the intestines of rats. J Sci Food Agric 31:255-259. Hanifah. 2008. Formulasi Bubur Instan Berbasis Hotong (Setaria italica (L.) Beauv) sebagai Makanan Tinggi Kalori [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hartono AJ, Widiatmoko MC. 1992. Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Yogyakarta:Andi Offset. Hubeis M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-Bijian. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Indriani S. 2005. Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Instan dari Campuran Tepung Sorghum (Sorghum bicolor L.), Pati Jagung, dan Gluten Terigu [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jacobs H, Delcour JA. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch, with retention of the granular structure: a review. Journal of Agricultural and Food Chemistry 46:1395-1400. Juliano BO. 1972. The rice caryopsis and its composition. Di dalam: Houston DF, editor, Rice Chemistry and Technology. Minnesota: American Association of Chemist, Inc. St. Paul. hlmn 16-74 Katan MB. 1999. Functional Foods. Di dalam: Mann J, Truswell AS, editor. Essentials of Human Nutrition. Ed ke-2. New York: Oxford University Press Inc. hlmn 633-642. Kim S-K. 1999. Instant Noodles. Di dalam: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW. Pasta and Noodle Technology. Minnesota: American Association of Cereal Chemist, Inc. hlmn 195-226. Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Diterjemahkan oleh: Maggy Thenawidjaja. Jakarta: Erlangga.
Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Diterjemahkan oleh: Maggy Thenawidjja. Jakarta: Erlangga. Lusas RW, Rooney LW. 2001. Snack Foods Processing. Florida: CRC Press, Boca Raton. Lutfika E. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Panggang Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon Unggul BB00105.10 [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mann J, Truswell AS. 2002. Essentials of Human Nutrition. Ed ke-2. New Yotk: Oxford University Press Inc. Manley D. 2001. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipes for The Food Industry. Cambridge: Woodhead Publishing Ltd. Margareth J. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Goreng Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon BB00105.10 [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marsono Y, Wiyono P, Noor Z. 2002. Indeks glisemik kacang-kacangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 13(3): 2002. Matz SA. 1992. Bakery Technology and Engineering. Ed. ke-3. Texas: Pan-tech International Inc. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Ed ke3. Florida: CRC Press, Boca Raton. Miller JB, Powel KF, Colagiuri S. 1996. The GI Factor: The GI Solution. Sydney: Hodder Headline Australia Pty Limited. Muchtadi D. 2000. Sayur-sayuran, Sumber Serat dan Antioksidan: Mencegah Penyakit Degeneratif. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi D, Astawan M, Palupi NS. 2006. Metabolisme Zat Gizi Pangan. Jakarta: Universitas Terbuka. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Praktikum: Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Mudjisihono R, Suprapto. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Jakarta: Penebar Swadaya. Nabryzki M. 2002. Mineral Components. Di dalam: Sikorski ZE. Chemical and Functional Properties of Food Components.2nd Ed. Boca Raton: CRC Press. hlmn 51-79. Nussinovitch A. 1997. Hydrocolloid Applications: Gum Technology in The Food and Other Industries. London: Blackie Academic and Professional. Opdhart C. 2003. Starch-Iodine Virtual Chembook. Elmhurst College. www.elmhurst.edu/~chm/vchembook/548starchiodine.html [7 Mei 2008] Perdana D. 2003. Dampak Penerapan ISO 9001 Terhadap Peningkatan Mutu Berkesinambungan Pada Proses Produksi Bubur Bayi Instan di PT. Gizindo Prima Nusantara [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pomeranz Y. 1991. Functional Proterties of Food Components. California: Academic Press Inc. Pratiwi MA. 2008. Pemanfaatan Tepung Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) dan Pati Sagu Dalam Pembuatan Cookies [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ragnhild AL, Asp NL, Axelsen M, Raben A. 2004. Glycemic index relevance for health, dietary recommendations, and nutritional labeling. Scandinavian Journal of Nutrition 48(2): 84 – 94. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glisemik Pangan: Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta: Penebar Swadaya. Saputra I. 2008. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung Terigu yang Disubstitusi Parsial dengan Tepung Bekatul [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setiyaningsih P. 2008. Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia dan Indeks Glikemik Beras Berkadar Amilosa Sedang [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setyahadi A. 2007. Kearifan Lokal Buru: Bebas Beras ala Lumbung Suku Rana. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/01/humaniora/3349968.htm [16 April 2008]. Sikorski ZE. 2002. Chemical and Functional Properties of Food Components.2nd Ed. Boca Raton: CRC Press.
Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 23(4):145-151. Subarna, Adawiyah DR, Syamsir E, Wulandari N, Hariyadi P, Kusnandar F. 2007. Penuntun Praktikum Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Sugiyono. 2002. Teknologi Tepung dan Pati. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Tanudjaja JK. 1990. Substitusi Parsial Tepung Gandum (Triticum vulgare) dengan Tepung Singkong (Manihot esculanta Crantz.) pada Pembuatan Roti Manis [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Utami AR. 2008. Kajian Indeks Glikemik dan Kapasitas in vitro Pengikatan Kolesterol dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus BL) dan Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Vlacavik V, Christian EW. 2003. Essential of Food Science Ed ke-2. New York: Kluwer Academic/Plenum Plubishers. Wibowo SE. 2008. Pembuatan Mi Instan dari Buru Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.) dan Pendugaan Umur Simpan Mi Hotong Instan dengan Metode Akselerasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widowati S. 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Widowati S, Suismono, Suarni, Sutrisno, Komalasari O. 2002. Petunjuk Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Bogor: Balai Penelitian Pascapanen Pertanian.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Formula terbaik produk olahan hotong Formula kukis hotong (Pratiwi 2008) Bahan Baku Berat (g) Tepung hotong 97.5 Pati sagu 32.5 Margarin 37.5 Mentega 15.0 Gula halus 72.0 Kuning telur 18.0 Putih telur 5.5 Garam 0.8 Baking powder 0.7 Air 2.0 Total 301.5 Formula mi instan hotong (Wibowo 2008) Bahan Baku Persentase (%) Jumlah Tepung hotong (g) 100 399 NaCl (g) 1 3 CMC (g) 1 3 Baking powder (g) 0.3 0.9 Air (ml) 30 90 Formula bubur instan hotong (Hanifah 2008) Bahan Baku Berat (g) Tepung hotong 70 Pati sagu 30 Skim 20 Tepung gula 30 Minyak 5 Total 155 Formula snack hotong Bahan Baku Jumlah Biji hotong tersosoh (g) 100 Air (ml) 200 Gula (g) 3.5 Garam (g) 2 Baking Powder (g) 1.5 Lada bubuk (g) 0.3 Santan (ml) 25 Penyedap rasa (g) 0.5
Lampiran 2 Uji statistik kadar air produk olahan hotong ANOVA air produk
Between Groups
Sum of Squares 20.087
Within Groups Total
df 3
Mean Square 6.696
.055
6
.009
20.142
9
F 730.658
Sig. .000
air produk Duncan Subset for alpha = .05 air produk Mie instan
N
1 3
Snack
2
Kukis
3
Bubur instan
2
2
3
4
2.3267 3.2150 3.4767 6.3300
Sig.
1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 3 Uji statistik kadar abu produk olahan hotong ANOVA abu produk
Between Groups
Sum of Squares 4.361
Within Groups Total
df 3
Mean Square 1.454
.032
6
.005
4.393
9
F 271.024
Sig. .000
abu produk Duncan Subset for alpha = .05 abu produk Bubur instan
N
1 2
Kukis
3
Mie instan
3
Snack
2
Sig.
2
3
4
.8250 1.3033 1.8967 2.7600
1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 4 Uji statistik kadar lemak produk olahan hotong ANOVA lemak produk
Between Groups
Sum of Squares 582.174
3
Mean Square 194.058
.098
6
.016
582.272
9
Within Groups Total
df
F 11856.895
Sig. .000
lemak produk Duncan Subset for alpha = .05 lemak produk Bubur instan
N
1 2
Mie instan
3
Kukis
3
Snack
2
2
3
4
2.3100 15.0100 21.7500 23.2600
Sig.
1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 5 Uji statistik kadar protein produk olahan hotong ANOVA protein produk
Between Groups
Sum of Squares 25.379
Within Groups Total
df 3
Mean Square 8.460
.232
6
.039
25.611
9
F 218.343
Sig. .000
protein produk Duncan Subset for alpha = .05 protein produk Bubur instan
N
1 2
6.2900
Kukis
3
6.5200
Snack
2
Mie instan
3
Sig.
2
3
8.3700 10.0633
.248 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 6 Uji statistik kadar karbohidrat produk olahan hotong ANOVA karbohidrat produk
Between Groups
Sum of Squares 729.920
3
Mean Square 243.307
.279
6
.046
730.198
9
Within Groups Total
df
F 5237.718
Sig. .000
karbohidrat produk Duncan Subset for alpha = .05 karbohidrat produk Snack
N
1 2
Kukis
3
Mie instan
3
Bubur instan
2
2
3
4
65.6100 70.4300 73.0267 90.5650
Sig.
1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.400. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 7 Uji statistik kadar amilosa produk olahan hotong ANOVA Amilosa produk
Between Groups
Sum of Squares 92.691
3
Mean Square 30.897
.124
4
.031
92.816
7
Within Groups Total
df
F 995.076
Sig. .000
Amilosa produk Duncan Subset for alpha = .05 Amilosa produk Snack
N
1 2
Kukis
2
Bubur instan
2
Mie instan
2
Sig.
2
3
4
2.4750 7.1950
1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
8.0950 12.0450 1.000
1.000
Lampiran 8 Uji statistik kadar serat pangan produk olahan hotong ANOVA DF produk
Between Groups
Sum of Squares 9.289
Within Groups Total
df 3
Mean Square 3.096
1.197
4
.299
10.485
7
F 10.351
Sig. .023
DF produk Duncan Subset for alpha = .05 DF produk Kukis
N
1
2
2
4.2600
Bubur instan
2
5.4450
Snack
2
5.4600
Mie instan
2
7.2750
Sig.
.098 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
Lampiran 9 Uji statistik kadar serat pangan tidak larut produk olahan hotong ANOVA IDF produk Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
4.233
3
1.411
.768
4
.192
5.001
7 IDF produk
Duncan Subset for alpha = .05 IDF produk Kukis
N 2
1 3.4750
2
Bubur instan
2
4.8450
Snack
2
4.9250
Mie instan
2
Sig.
5.4400 1.000
.252
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
F 7.350
Sig. .042
Lampiran 10 Uji statistik kadar serat pangan larut produk olahan hotong ANOVA SDF produk
Between Groups
Sum of Squares 2.198
Within Groups Total
df 3
Mean Square .733
.128
4
.032
2.326
7
F 22.907
Sig. .006
SDF produk Duncan Subset for alpha = .05 SDF produk Snack
N
1
2
2
.5350
Bubur instan
2
.5950
Kukis
2
.7850
Mie instan
2
1.8300
Sig.
.241 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
Lampiran 11 Uji statistik kadar tanin produk olahan hotong ANOVA Tanin produk Sum of Squares Between Groups
Mean Square
F
53623.961
3
17874.654
560.697
4
140.174
54184.658
7
Within Groups Total
df
127.517
Tanin produk Duncan Subset for alpha = .05 Tanin produk Mie instan
2
1 462.9200
Kukis
2
478.5500
Bubur instan
2
Snack
2
Sig.
N
2
3
532.9150 670.7650 .257
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
1.000
Sig. .000
Lampiran 12 Uji statistik daya cerna pati in vitro produk olahan hotong ANOVA daya cerna pati produk
Between Groups
Sum of Squares 914.890
Within Groups Total
df 3
Mean Square 304.963
37.240
4
9.310
952.130
7
F 32.756
Sig. .003
daya cerna pati produk Duncan Subset for alpha = .05 daya cerna pati produk Kukis
N
1 2
2
3
37.2800
Mie instan
2
53.6800
Bubur instan
2
56.6450
Snack
2
67.0850
Sig.
1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
.386
1.000
Lampiran 13 Uji statistik indeks glikemik produk olahan hotong ANOVA IG x_8 Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
987.507
3
329.169
9278.634
28
331.380
10266.141
31
IG x_8 Duncan Subset for alpha = .05 IG x_8 Snack
N
1 8
45.3063
Kukis
8
47.2500
Mie Instan
8
48.4538
Bubut Instan
8
59.5675
Sig.
.163 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000.
F
Sig. .993
.410
Lampiran 14 Pengujian indeks glikemik
Pengambilan sampel darah panelis
Pengukuran kadar gula darah panelis