SKRIPSI
UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)
Oleh : SUTANTO F14102021
2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sutanto. F14102021. Uji Performansi Mesin Penyosoh dan Penepung Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv). Di bawah bimbingan : Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi. 2006. RINGKASAN Pola konsumsi dan produksi nasional sampai sekarang sangat ditekankan pada beras. Ketergantungan kita pada beras akan merupakan suatu bahaya besar. Usaha-usaha diversivikasi pertanian serta usaha penganekaragaman bahan pangan sebagai sumber energi perlu segera dikembangkan, terutama penganekaragaman bahan pangan lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Salah satu contohnya adalah tanaman hotong (Setaria italica (L) beauv.), sejenis tanaman sorgum dari pulau Buru (Maluku). Beberapa permasalahan dalam penanganan pascapanen buru hotong adalah karakteristik biji/malai yang berbeda dengan padi baik ukuran maupun karakteristik fisik bahan lainnya seperti massa jenis dan kadar air bahan, sehingga pemilihan alat/mesin yang digunakan untuk perontokan maupun penggilingan hotong perlu pengkajian khusus. Penanganan pascapanen hotong meliputi kegiatan panen, pengeringan malai, perontokan, pembersihan, penyosohan, penepungan, dan penyimpanan. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kadar air terhadap penyosohan dan penepungan buru hotong. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan mutu biji hotong, mengetahui kinerja mesin penyosoh dan penepung hotong. Penelitian ini dilakukan dari Februari sampai Mei 2006. Penelitian ini dilakukan di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants), Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah malai tanaman buru hotong, gas dan bahan-bahan kimia untuk uji proksimat (K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3 dan HCl). Peralatan yang dipergunakan selama penelitian adalah mesin penyosoh, mesin penepung, pengering tipe rak, stop watch, timbangan dan meteran, fasilitas bengkel, oven, tabung erlenmeyer, desikator, cawan, labu soxhlet dan labu lemak, gelas ukur, kat dan timbangan analitik. Kegiatan penelitian meliputi penelitian pendahuluan diantaranya adalah untuk mengetahui karakteristik biji hotong dan kemudian dilakukan pengeringan sebagai perlakuan kadar air yakni 10.1%, 7.5%, dan 6.6%, penelitian utama yang bertujuan untuk mengetahui kinerja mesin penyosoh dan penepung biji hotong, pengolahan data, dan pembuatan laporan. Dimensi butir biji hotong adalah (1.57 x 1.26 x 0.96) mm dan panjang malai rata-rata sebesar (15.91 ± 3.58) cm dan diameter biji hotong sebesar (1.24 ± 0.03) mm. Pengamatan tentang sifat fisik bahan menunjukkan bahwa massa jenis rata-rata biji hotong adalah (0.64 ± 0.01) g/ml. Berat 1000 biji pada biji hotong sebesar (1.19 ± 0.03) g. Berat malai pada biji hotong mempunyai massa sebesar (4.17 ± 1.96) g, sedangkan persentase berat biji per malai sebesar (80.27 ± 2.53)%. Biji hotong memiliki kadar protein (13.30 ± 0.18)% dan karbohidrat (67.66 ± 0.19)%, lemak (3.86 ± 0.22)% dan kadar abu (3.35 ± 0.10)% serta kadar
(11.83 ± 0.61)%. Kandungan energi yang terdapat dalam hotong adalah 359 kal/100 gr. Malai hotong pada bagian tengah memiliki massa jenis dan kandungan gizi paling tinggi dibandingkan dengan bagian ujung dan pangkal, sedangkan diameter biji pada bagian pangkal malai lebih besar dari pada bagian ujung dan tengah malai. Biji hotong mempunyai sifat bahan liat. Bahan liat akan lebih mudah tersosoh jika bahan dalam keadaan kering, begitu juga sebaliknya jika kadar air terlalu tinggi akan sulit tersosoh, sedangkan untuk menghasilkan bahan tepung yang halus maka diperlukan kadar air yang tinggi namun akan mengakibatkan kapasitas yang rendah. Kadar air berpengaruh terhadap penyosohan biji hotong dalam hal kapasitas, rendemen, susut tercecer, efektifitas kipas dan kualitas penyosohan. Semakin tinggi kadar air biji hotong maka kapasitas penyosohan menjadi meningkat, kapasitas penyosohan tertinggi diperoleh pada kadar air 11.1% sebesar 26.32 kg/jam. Kapasitas penyosohan terendah diperoleh pada kadar air 6.2% sebesar 13.25 kg/jam. Besarnya rendemen penyosohan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 60.17%, 62.80% dan 68.97%. Besarnya susut tercecer penyosohan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 6.58%, 3.51% dan 5.83%. Persentase biji tersosoh tertinggi dan persentase biji pecah terendah diperoleh pada saat penyosohan pada kadar air 6.2%yaitu berturut-turut sebesar 93.00% sebesar 3.97%. Kadar air berpengaruh terhadap penepungan biji hotong dalam hal kapasitas, rendemen, susut tercecer, dan kualitas penepungan. Kapasitas penepungan tertinggi diperoleh pada kadar air 8.5% sebesar 7.282 kg/jam. Kapasitas penepungan terendah diperoleh pada kadar air 11.1% sebesar 6.618 kg/jam. Besarnya rendemen penepungan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 88.52%, 86.60% dan 84.64%. Besarnya susut tercecer penepungan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 11.48%, 13.40% dan 15.36%. Modulus kehalusan tertinggi pada proses penepungan buru hotong adalah pada kadar air 8.5% sebesar 1.63 dan terendah sebesar 1.25 pada kadar air 11.1%. Ukuran partikel yang dihasilkan dalam proses penepungan pada kadar air 11.1%, 8.5% dan 6.2% berturut-turut sebesar 0.014 inchi, 0.016 inchi dan 0.015 inchi. Berdasarkan pertimbangan kadar air biji hotong yang digunakan, pengoperasian mesin penyosoh dan penepung biji hotong akan lebih optimal pada saat kadar air biji hotong sebesar 11.1%. Mesin penyosoh dan penepung buru hotong perlu dikembangkan agar diperoleh performansi penyosohan dan penepungan yang bagus.
UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : SUTANTO F14102021
2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH DAN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG (Setaria italica (L) Beauv) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : SUTANTO F14102021 Dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1984 Di Pekalongan Tanggal Lulus : Bogor,
Agustus 2006
Disetujui oleh :
Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi Dosen Pembimbing Mengetahui :
Dr. Ir. Wawan Hermawan, M. S. Ketua Departemen Teknik Pertanian
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan, pada tanggal 15 Februari 1984. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Satimbul dan Ibu Chotijah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Bojong Wetan pada tahun 1996, kemudian penulis melanjutkan pendidikan lanjutan pada SLTPN 1 Bojong, dan lulus pada tahun 1999, pada tahun yang sama penulis melanjutkanpendidikan lanjutan tingkat atas di SMUN 1 Kajen kabupaten Pekalongan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005, penulis mengambil Sub Program Studi (SPS) Teknik Biosistem. Penulis melaksanakan Praktek Lapangan dengan judul “Mempelajari Teknik Pengolahan Pascapanen pada Pembuatan Gula di Pabrik Gula Madukismo Yogyakarta”, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Uji Performansi Mesin Penyosoh dan Penepung Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv)”. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yakni Himpunan Mahasiswa Pekalongan (HIMAPEKA), Koperasi Mahasiswa IPB (KOPMA), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA), Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Kerokhanian ISLAM Teknik Pertanian IPB (Rohis TEP). Pengalaman kerja penulis adalah magang kerja di Dinas Pertanian Sukoharjo, sebagai staf guru bantu matematika pada SDN 1 Bengle Ciampea Bogor, dan sebagai staf pengajar untuk mata pelajaran matematika pada lembaga bimbingan belajar College Education.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan pada Allah SWT atas karunia-Nya yang begitu besar kepada penulis, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir ini berjudul “Kajian Teknik Penyosohan dan Penepungan Biji Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv)”. Penyelesaian tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, bantuan dana penelitian, arahan dan nasehatnya selama masa studi, penelitian dan penyelesaian tugas akhir. 2. Dr. Ir. Dyah Wulandani, MSi dan Dr. Ir. Dewa Made Subrata, MAgr selaku dosen penguji atas nasehat dan masukannya terhadap skripsi penulis. 3. Staf di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants), bapak Basri, bapak Hendra, bapak Ujang, bapak Tolib dan ibu Iin serta staf AP4. 4. Yang penulis sayangi bapak, mamak, dan adik-adikku atas segala kasih sayang, doa, nasehat, dan dukungan moril dan material yang tiada terhitung kepada penulis. 5. Ibu Reggy, Ibu Waysima, Pak Impron, dan Pak Dinarwan yang telah banyak membantu penulis selama masa studi. 6. Teman-teman TEP’39 yang selalu setia dengan penulis. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas bantuan dan dukungannya. Mengingat keterbatasan penulis, kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan dari pembaca, semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya. Juni 2006 Penulis
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................. i RINGKASAN ........................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP.................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...........................................................................
vii
DAFTAR ISI .........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xiii
I.
II.
III.
IV.
V.
PENDAHULUAN ...............................................................
1
A. Latar Belakang ...............................................................
1
B. Tujuan ............................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................
4
A. Tanaman Buru Hotong ...................................................
4
B. Teknik Budidaya Buru Hotong ......................................
6
C. Penanganan Pascapanen Buru Hotong ...........................
8
D. Mesin Penyosoh Biji-Bijian ............................................
14
E. Mesin Penepung Biji-bijian ...........................................
17
METODOLOGI PENELITIAN ...........................................
21
A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................
21
B. Bahan dan Alat ...............................................................
21
C. Metode Penelitian ..........................................................
22
MESIN PENYOSOH BIJI BURU HOTONG ......................
30
A. Prinsip Kerja Mesin .......................................................
30
B. Mekanisme Kerja Mesin ................................................
31
C. Konstruksi Mesin ...........................................................
32
MESIN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG ......................
38
A. Prinsip Kerja Mesin .......................................................
38
B. Mekanisme Kerja Mesin ................................................
39
C. Konstruksi Mesin ...........................................................
40
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................
45
A. Karakteristik Fisiko-Kimia Buru Hotong ......................
45
1. Kandungan Gizi Biji Buru Hotong .................................
45
2. Dimensi Butir Biji Hotong ..............................................
46
3. Massa Jenis Biji Hotong .................................................
47
4. Perontokan secara manual ...............................................
49
5. Pengeringan .....................................................................
50
B. Uji Performansi Mesin Penyosoh Buru Hotong ............
52
a. Kapasitas Penyosohan Buru Hotong ..................
52
b. Rendemen Penyosohan Buru Hotong .................
53
c. Efektifitas Kipas Penyosohan Buru Hotong .......
55
d. Susut Tercecer Penyosohan Buru Hotong ..........
57
e. Kualitas Penyosohan Penyosohan Buru Hotong .
58
C. Uji Performansi Mesin Penepung Buru Hotong .............
60
a.
Kapasitas Penepungan Buru Hotong ...............
60
b.
Rendemen Penepungan Buru Hotong ..............
62
c.
Susut Tercecer Penepungan Buru Hotong .......
63
d.
Derajat Kehalusan Penepungan Buru Hotong
64
e.
Ukuran Partikel Tepung Buru Hotong ............
66
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................
68
A. KESIMPULAN ...............................................................
68
B. SARAN ...........................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
70
LAMPIRAN .........................................................................................
73
VII.
DAFTAR TABEL Tabel 1. Kandungan gizi biji buru hotong dibandingkan dengan
biji
hermada dan beras........................................................................
5
Tabel 2. Kandungan gizi buru hotong ........................................................
45
Tabel 3. Dimensi buru hotong ...................................................................
47
Tabel 4. Massa jenis dan persentase berat biji hotong per malai hotong ..
48
Tabel 5. Perontokan buru hotong secara manual ......................................
50
Tabel 6. Karakteristik teknik mesin penyosoh biji hotong ........................
52
Tabel 7. Karakteristik teknik mesin penepung biji hotong ........................
60
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Tanaman buru hotong ...........................................................
4
Gambar 2.
Bagan alir kegiatan pascapanen buru hotong.........................
8
Gambar 3.
Penyosoh tipe “vertikal abrasive whitening cone” ...............
15
Gambar 4.
Penyosoh tipe “horizontal abrasive whitening machine” .....
15
Gambar 5.
Penyosoh tipe ” horizontal friction” atau “jet pearler”…….
16
Gambar 6.
Mesin penyosoh buru hotong ................................................
30
Gambar 7.
Skematik proses penyosohan ..............................................
31
Gambar 8.
Kipas penyosoh buru hotong .................................................
34
Gambar 9.
Mesin penepung buru hotong ................................................
38
Gambar 10. Pisau penepung biji hotong ...................................................
39
Gambar 11. Pisau penepung buru hotong yang berputar .........................
41
Gambar 12. Pisau penepung buru hotong statis ........................................
41
Gambar 13. Saringan penepung buru hotong ukuran mesh 14 ................
42
Gambar 14. Pengering buatan tipe rak ......................................................
51
Gambar 15. Hubungan antara kadar air dengan kapasitas penyosohan ....
53
Gambar 16. Hubungan rendemen penyosohan dengan kadar air ..............
55
Gambar 17. Hubungan efektifitas kipas dengan kadar air ........................
57
Gambar 18. Hubungan susut tercecer dengan kadar air ............................
58
Gambar 19. Kualitas penyosohan buru hotong .........................................
58
Gambar 20. Hubungan kualitas penyosohan dengan kadar air .................
59
Gambar 21. Hubungan kadar air dengan kapasitas mesin penepung biji Hotong ...................................................................................
61
Gambar 22. Hubungan kadar air dengan rendemen penepungan biji hotong ....................................................................................
62
Gambar 23. Hubungan antara kadar air dengan susut tercecer pada proses penepungan ................................................................
64
Gambar 24. Kualitas tepung buru hotong berdasarkan meshnya..............
65
Gambar 25. Hubungan antara kadar air dengan derajat kehalusan tepung biji hotong .............................................................................
66
Gambar 26. Hubungan antara kadar air dengan ukuran partikel tepung...
67
I. A.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga
ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin, untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin, semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas, dan merata. Kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis sehingga negara menetapkan Sistem ketahanan pangan untuk kepentingan dalam negerinya. Perwujudan ketahanan pangan telah menjadi komitmen nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN. Dalam rangka memenuhi komitmen nasional tersebut, pemerintah melalui undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Propernas tahun 2000-2004, telah menetapkan program peningkatan ketahanan pangan. Program ini bertujuan untuk : 1.
meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, beserta produk-produk olahannya;
2.
mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih beragam;
3.
mengembangkan usaha bisnis pangan;
4.
menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat. Pola konsumsi dan produksi nasional sampai sekarang sangat ditekankan
pada beras. Ketergantungan kita pada beras merupakan suatu bahaya besar. Usaha-usaha diversivikasi pertanian serta usaha penganekaragaman bahan pangan sebagai sumber energi perlu segera dikembangkan, terutama penganekaragaman bahan pangan lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Salah satu contohnya adalah tanaman buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.), sejenis tanaman sorgum dari pulau Buru (Maluku). Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial, sudah sewajarnya harus mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya terutama dalam hal pemenuhan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral melalui pengembangan sumber daya lokal. Salah satu produk pertanian lokal yang cukup potensial untuk
dikembangkan adalah buru hotong. Tanaman ini telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat pedalaman di Kabupaten Buru. Biji hotong memiliki kandungan protein dan lemak yang jauh lebih tinggi dari beras, sedangkan
kandungan
karbohidratnya
hampir
sama
dengan
kandungan
karbohidrat pada beras, dengan demikian biji hotong diharapkan dapat dijadikan alternatif makanan pokok sumber karbohidrat dengan tetap memperoleh lemak dan protein. Masalah peningkatan produksi hotong tidak hanya terbatas pada masalah sebelum panen, tetapi juga pada masalah pascapanen. Masalah pascapanen pada penanganan hotong mencakup beberapa aspek diantaranya adalah pengeringan, penyimpanan dan pengolahan. Cara-cara pengolahan yang diterapkan pada bijibijian adalah penggilingan (ground), pengulitan dengan penggilingan berbentuk silinder (dry roller), perendaman (soaked), pemeletan (pelleted), pengolahan dengan silinder berisi uap panas (steam rolled), dan penggilingan dengan batu giling gurinda (Albin dan Drake, 1971). Penyosohan hotong adalah proses pelepasan kulit ari hotong. Penyosohan hotong menjadi beras hotong dapat dilakukan dengan cara tradisional, yaitu menggunakan alu atau lesung, dan dapat pula secara mekanis yaitu menggunakan alat penggilingan seperti mesin penyosoh hotong. Penyosohan hotong dengan cara tradisional
dilakukan
dengan
penumbukan
memakan
waktu
lama
dan
menghasilkan rendemen hotong sosoh yang rendah. Cara penyosohan hotong dengan mesin penyosoh agak berbeda dengan yang dilakukan pada penyosohan gabah menjadi beras, karena hotong tidak mempunyai sekam sebagaimana halnya dengan gabah, dan sifat kulit bijinya yang sukar dihilangkan. Penepungan hotong adalah proses penghancuran hotong menjadi butiran halus hingga menjadi tepung. Penepungan hotong menjadi tepung hotong dapat dilakukan dengan tradisional, yaitu menggunakan alat penumbuk, dan dapat pula secara mekanis yaitu menggunakan mesin penepung hotong. Seperti halnya penyosohan, penepungan secara tradisional dilakukan dengan penumbukan memakan waktu yang lama dan menghasilkan rendemen tepung yang rendah, sehingga perlu peningkatan kinerjanya dengan menggunakan mesin penepung.
Hasil penggilingan biji hotong dapat berupa dua produk, yaitu beras hotong giling dan tepung hotong. Beras hotong giling adalah beras hotong hasil penggilingan biji hotong dengan suatu alat penggiling untuk menguliti dan menyosoh biji hotong. Tepung hotong adalah beras hotong giling yang dihancurkan hingga menjadi halus. Pengembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi sumber daya manusia, menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah produk pertanian. Alsintan mempunyai arti penting pada pertanian pangan baik alat prapanen, alat panen maupun pascapanen. Faktor kapasitas dan ergonomika serta kualitas mesin merupakan alasan utama pembuatan alat. Mesin penyosoh dan penepung buru hotong telah dirancang oleh Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, namun demikian masih perlu penyempurnaan agar dihasilkan kinerja yang lebih baik.
B.
TUJUAN PENELITIAN Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kadar air
terhadap penyosohan dan penepungan buru hotong. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : 1.
mengetahui karakteristik dan mutu biji buru hotong pada tiap bagian yaitu bagian ujung, tengah dan pangkal malai,
2.
mengetahui kinerja mesin penyosoh biji hotong,
3.
mengetahui kinerja mesin penepung biji hotong.
II. A.
TINJAUAN PUSTAKA
TANAMAN BURU HOTONG Tanaman hotong merupakan sejenis alang-alang yang tumbuh di dataran
rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman ini termasuk dalam famili Gramineae (Poacceae), genus Setaria, dan spesies Setaria italica (L.) Beauv. Hotong mempunyai batang yang liat, semakin kering batang tanaman hotong setelah dikeringkan akan semakin berkurang sifat liatnya. Malai adalah lanjutan dari batang, hanya saja tumbuh cabang-cabang yang semakin ujung posisinya semakin kompak. Cabang terdiri dari koloni kulit ari yang berisi biji hotong. Panjang malai hotong rata-rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memiliki berat rata-rata 5.7 gram per malai. Biji buru hotong memiliki ukuran panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm dan ketebalan 1.1 mm (Kharisun, 2003). Umur panen tanaman buru hotong berkisar 80 – 90 hari. Gambar tanaman buru hotong dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Tanaman buru hotong Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pengganti beras dan sebagai bahan pembuat kue (wajik dan bubur). Pembudidayaan tanaman tidak memerlukan pemeliharaan yang sangat intensif sebagaimana tanaman padi,
sehingga memungkinkan untuk dapat ditanam hampir pada semua tempat dengan cara menaburkan biji. Tepung biji rumput ini bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan dan bahan olahan. Biji buru hotong memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan beras, sedangkan kandungan karbohidratnya hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada beras maupun hermada (Sorghum bicolour (L.) Moench) seperti dilihatkan pada Tabel 1 dengan demikian biji Buru Hotong diharapkan dapat dijadikan alternatif makanan pokok sumber karbohidrat nonberas dengan tetap memperoleh protein dan lemak untuk mendukung upaya diversifikasi pangan. Di Kabupaten Buru, biji buru hotong selain dimanfaatkan sebagai pengganti beras, juga dapat diolah menjadi aneka macam makanan seperti wajik, bubur, kue, tumpeng dan lain-lain. Tabel 1. Kandungan gizi biji buru hotong dibandingkan dengan biji hermada dan beras (Rokhani, et al., 2003) Komponen Biji Hermada Hotongb) Berasa) Jepanga)
ASa)
Karbohidrat
75
72
73
70 – 80
Protein
9.4
11.3
11.2
4.0 – 5.0
Lemak
4.2
5.2
2.4
1.0 – 2.0
Serat kasar
8.3
8.5
-
8.0 – 15.0
Abu
3.8
3.3
1.3
2.0 – 5.0
a) http.//www. Republika. co. id/9810/11/341.htm b) Hasil Analisa dari Laboratorium IPB Keberhasilan
penanaman
maupun
pengembangannya
akan
sangat
memberikan manfaat bagi daerah maupun negara. Pengembangan buru hotong akan memberikan dampak yang sangat positif terutama dalam rangka diversifikasi pangan, namun demikian untuk pengembangan diperlukan masukan teknologi agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal, langkah awal yang dapat dilakukan adalah dengan pembuatan mesin penggilingan buru hotong, menganalisa kandungan pada biji buru hotong, dan pembuatan pangan alternatif dari biji buru hotong.
B.
TEKNIK BUDIDAYA BURU HOTONG Pengembangan buru hotong untuk menunjang ketahanan pangan harus
didukung dengan ketersediaan : 1.
teknologi unggul mulai dari teknik budidaya, pasca panen sampai pengolahan dan pemasarannya,
2.
informasi teknologi unggul untuk penyuluhan,
3.
jaringan lembaga penelitian, pengembangan, penyuluhan yang profesional dan tenaga ahli, fasilitas dan dana untuk penelitian dan pengembangan. Suatu komoditas seperti halnya buru hotong dapat diolah menjadi berbagai
macam produk olahan untuk meningkatkan nilai tambah dan memenuhi keinginan pasar/konsumen. Penerapan teknologi yang tepat akan membantu proses transformasi dari keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Keberhasilan penanaman maupun pengembangannya akan sangat memberikan manfaat bagi daerah maupun negara. Pengembangan buru hotong akan memberikan dampak yang positif, namun untuk pengembangannya diperlukan masukan teknologi agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal, di dalam membudidayakan buru hotong memerlukan proses sebagai berikut : 1.
Pengolahan Tanah Pengolahan tanah dilakukan pada musim kemarau menjelang musim hujan. Tujuan dilakukannya pengolahan tanah pada tanaman buru hotong adalah untuk memperbaiki aerasi atau tata udara tanah, merangsang berkecambahnya biji dan sekaligus memberantas gulma yang masih hidup.
2.
Perlakuan Benih Sebelum dilakukan penanaman sebaiknya benih buru hotong dicampur dengan pasir kali dan furadan 3G dengan perbandingan benih dan pasir 1 : 3, sedangkan rasio furadan dan benih adalah 1 : 1.
3.
Penanaman Penanaman dapat dilakukan dengan cara tugal, larikan, sebar dan transplanting dengan jarak tanam 30 x 30 cm dan jumlah benih per lubang 3 – 5 biji (5 kg benih per ha). Penugalan dilakukan dengan menggunakan taji air agar jarak tanam sesuai dengan yang dikehendaki. Berdasarkan hasil kajian terdahulu dari segi ekonomis, cara tanam benih langsung (tanpa semai selama 21 hari) dengan menggunakan tugal lebih menguntungkan.
4.
Penyiangan Penyiangan dilakukan dua sampai tiga kali yaitu pada waktu tanaman berumur tiga sampai empat minggu, jika tajuk tanaman buru hotong telah melebihi tinggi gulma maka peluang untuk tumbuhnya tanaman pengganggu semakin kecil.
5.
Penyulaman Penyulaman dilakukan jika tanaman berumur 7 sampai 14 hari setelah tanam (7 – 14 hst), bibit tanaman untuk sulam disemai bersamaan dengan waktu tanam benih di ladang.
6.
Pemupukan Urea diberikan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur 14 dan 30 hari setelah tanam dengan dosis 100 – 200 kg/ha, sedangkan SP 36 (100kg/ha) dan
KCl (50 kg/ha) diberikan saat tanam, pemberian pupuk dilakukan dalam larikan tanaman.
7.
Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika tanaman menunjukkan adanya gejala serangan hama penyakit. Hama utama yang umumnya menyerang adalah ulat penggerek dan dapat dicegah dengan furadan 3G. Dosis furadan 3G 20 kg/ha dan diberikan dengan cara menyebar merata diatas lahan.
8.
Panen Panen hasil dilakukan pada saat malai mulai berwarna coklat dengan keseragaman warna mencapai 90%. Panen dilakukan dengan memotong tangkai malai, diikat dan dijemur. Rata-rata umur panen hotong 80 – 90 hari setelah tanam.
C. PENANGANAN PASCA PANEN BURU HOTONG Beberapa permasalahan dalam penanganan pasca panen buru hotong adalah karakteristik biji/malai yang berbeda dengan padi baik ukuran maupun karakteristik fisik bahan lainnya seperti massa jenis dan kadar air bahan, sehingga pemilihan alat/mesin yang digunakan untuk penyosohan maupun penepungan hotong perlu pengkajian khusus. Penanganan pascapanen hotong meliputi kegiatan panen, pengeringan malai, perontokan, pembersihan, penyosohan,
penepungan, dan penyimpanan. Bagan alir kegiatan pascapanen hotong dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini :
Pengeringan malai
Panen
Sekam
Penepungan
Perontokan
Pengeringan
Malai
Penyosohan
Pengemasan
Pembersihan
Penyimpanan
Gambar 2. Bagan alir kegiatan pascapanen buru hotong
Uraian kegiatan pascapanen telah tercantum di bawah ini : 1.
Pemanenan Pemanenan dilakukan ketika buru hotong sudah masak atau pada kadar air
tertentu. Panen dilakukan pada saat malai mulai berwarna coklat dengan keseragaman warna mencapai 90%. Panen dilakukan dengan memotong tangkai malai, diikat dan dijemur. Rata-rata umur panen hotong 80 – 90 hari setelah tanam. Pemanenan di Indonesia umumnya masih menggunakan alat tradisional yaitu ani-ani dan sabit. Pemanenan dilakukan dengan memotong tangkai hotong
yang ada malainya. Menurut panjang pemotongan, ada dua macam cara pemanenan yaitu : 1) pemanenan jerami pendek, dan 2) pemanenan jerami panjang. Pada pemanenan jerami pendek, panjang jerami adalah 15 cm dan total dengan malainya adalah 30 cm, sedangkan pada pemanenan jerami panjang, panjang jerami adalah 60 cm dan total dengan malainya adalah 75 cm. Pemanenan jerami pendek umumnya dilakukan pada sawah yang tergenang air sepanjang tahun, untuk pemanenan jerami pendek ini membutuhkan tenaga lagi untuk memotong jerami apabila akan mengolah tanah. Pemanenan jerami panjang dilakukan apabila waktu panen, sawah tidak ada genangan air. Keuntungan pemanenan jerami panjang adalah penyiapan lahan baru akan lebih cepat.
2.
Perontokan Perontokan adalah pemisahan biji hotong dari malainya. Perontokan biji
hotong dapat dilakukan sesudah atau sebelum pengeringan, tetapi umumnya perontokan dilakukan sebelum pengeringan. Perontokan dapat dilakukan dengan “diiles” (diinjak), dibanting, dipukul dan dapat pula menggunakan alat perontok. Perontokan dengan cara diinjak dilakukan dengan meletakkan hotong yang telah dipanen pada lantai, kemudian hotong tadi diinjak-injak dengan menggesekkan antara malai yang satu dengan yang lainnya sehingga hotong akan rontok. Kecepatan perontokan dengan cara diinjak ini tergantung kepada hotong yang dirontokan. Hotong yang mudah rontok akan cepat perontokannya.
Alat perontok terdiri dari tiga bagian utama yaitu silinder perontok, tempat pemasukan hotong dan motor penggerak atau pedal. Sebagian alat perontok dilengkapi dengan ayakan atau saringan serta penghembus yang berfungsi sebagai alat pemisah butiran biji hotong yang berisi dengan kotoran, gabah hampa dan debu. Silinder perontok konvensional terdiri dari beberapa tipe yaitu silinder gigi paku, silinder pasak, dan silinder kawat bengkok. Berdasarkan cara pengoperasiannya, ada dua tipe perontok yaitu : 1) Tipe “throw-in”, yaitu jerami biji-bijian yang akan dirontokan seluruhnya dimasukkan ke dalam alat. 2) Tipe “hold-on”, yaitu jerami biji-bijian yang akan dirontokkan dipegang ujung tangkainya, sedangkan ujung yang berbulir dimasukkan ke dalam alat.
3.
Pembersihan Biji-bijian yang sudah dirontokan biasanya masih tercampur dengan
tangkai biji-bijian, jerami, gabah hampa maupun kotoran lain yang tercampur pada waktu dirontokan, oleh sebab itu perlu dibersihkan. Pembersihan yang paling sederhana adalah dengan penampi (tampah). Penggunaan penampi ini secara manual dan memerlukan keahlian/ketrampilan sendiri. Gerakan apabila bahan berputar-putar diatas penampi disebut “mengayak”, sedangkan apabila bahan meloncat-loncat disebut “menampi”. Pembersihan biji-bijian yang lebih modern adalah dengan menggunakan alat pembersih. Cara kerja alat pembersih biji-bijian ini adalah dengan prinsip perbedaan berat jenis.
4.
Pengeringan Proses pengeringan hasil pertanian dapat dilakukan dengan penjemuran di
bawah sinar matahari atau dengan cara pemberian udara panas secara buatan. Pengeringan dengan menjemur diatas suatu lamporan merupakan cara pengeringan alami yang memanfaatkan energi matahari. Pengeringan dengan cara ini memerlukan tempat yang luas, waktu yang lama, membutuhkan banyak tenaga manusia dan mutu hasil pengeringannya tergantung pada cuaca. Pengeringan buatan menggunakan alat pengering mekanis dimana suhu, kelembaban nisbi udara, kecepatan pengeringan dapat diatur dan diawasi. Pengeringan biji-bijian bertujuan untuk menurunkan kadar air sampai batas kadar air yang aman untuk penyimpanan. Pengeringan merupakan kunci untuk menjamin mutu produk selama penyimpanan. Untuk skala kecil, pengeringan umumnya dilakukan secara alami dengan penjemuran. Penjemuran dilakukan dengan menghamparkan biji hotong dengan ketebalan 10 cm dan dilakukan proses pembalikan secara berkala. Pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai 13% yang memerlukan waktu 3 – 4 hari tergantung kondisi cuaca. Sarana pokok yang diperlukan untuk penjemuran adalah lantai penjemuran atau lamporan. Penjemuran sebagai salah satu metode pengeringan memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya antara lain (a) tidak memerlukan bahan bakar sehingga biaya pengeringan dapat ditekan, (b) memerlukan banyak tenaga manusia sehingga menguntungkan dalam hal kesempatan kerja bagi tenaga tak
terlatih, (c) infra merah yang dipancarkan matahari mempunyai daya penetrasi yang dapat menembus sel biji-bijian sehingga memungkinkan panas merata ke seluruh biji-bijian dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, sedangkan kelemahannya adalah (a) memerlukan luasan lahan untuk lantai penjemuran, (b) tergantung kondisi cuaca, (c) suhu dan kelembaban pengeringan tidak terkontrol sehingga jika frekuensi pembalikan tidak optimum mengakibatkan kadar air bijibijian tidak merata, dan (d) kemungkinan terjadinya susut lebih besar akibat tercecer atau adanya gangguan burung maupun ternak lainnya. Pengeringan hotong secara mekanis dapat dilakukan dengan mesin pengering tipe bin dryer. Laju pengeringan dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara pengeringan, aliran udara pengering dan kadar air bahan yang dikeringkan. Suhu pengeringan yang dianjurkan adalah 43oC untuk tujuan benih, 60oC untuk penggilingan atau pengolahan pangan dan 82oC untuk pakan ternak.
5.
Penyosohan Penyosohan adalah suatu proses penghilangan sebagian atau seluruh katul
yang terdapat pada beras pecah kulit hingga dihasilkan beras sosoh yang putih dan bersih (Hardjosentono et. al., 1978). Proses penyosohan terbagi menjadi dua yaitu proses pemutihan dan penyosohan, pada proses pemutihan terjadi pengelupasan kulit perak dan lapisan dedak, sedangkan proses penyosohan biji-bijian menjadi biji-bijian putih, lapisan dedak yang masih tertinggal pada permukaan biji-bijian terpoles menjadi mengkilap. Proses penyosohan selalu terjadi setelah proses pemutihan selesai, kadang-kadang terjadi kerancuan tentang kata yang digunakan
dalam proses ini. Pemutihan (whitening) kadang-kadang disebut penyosohan (polishing or milling). Penyosohan kadang-kadang disebut pembersihan akhir (refiring or grinding) (Araullo et. al., 1976). Jika diinginkan hasil yang bagus, biji-bijian dari pemutih diproses lagi sekali atau lebih didalam penyosoh. Penyosoh sama dengan pemutih kecuali disamping sebuah batu penggosok, juga terdiri dari sebuah drum yang dibungkus dengan strip-strip dari kulit domba atau kulit kerbau liar (Grist, 1975). Proses pemutihan biji-bijian terjadi karena gesekan antara biji-bijian dengan permukaan kasar (abrasive) dan pengelupasan terjadi karena gesekan antara partikel biji-bijian pada tekanan tertentu. Penyosohan bertujuan untuk memisahkan kulit (sekam) dari butir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau menghasilkan biji pecah kulit yang maksimum. Pengertian penggilingan pada biji-bijian meliputi dua proses pokok, yaitu proses pengupasan kulit menjadi biji-bijian pecah kulit dan pengupasan kulit ari dari biji-bijian pecah kulit menjadi biji-bijian sosoh. Menurut esmay et al., (1979), penggilingan padi adalah proses penghilangan sekam dan dedak dari butir biji-bijian menghasilkan biji-bijian putih dan bersih. Kriteria operasi penggilingan biji-bijian yang baik adalah : a. biji-bijian yang dihasilkan maksimum, b. mendapatkan kualitas terbaik, c. meminimumkan kehilangan , d. minimum dalam ongkos pengolahan. Penyosohan biji-bijian bertujuan untuk mendapatkan biji-bijian sosoh. Dasar proses pengulitan dan penyosohan biji-bijian adalah sama seperti pada
penggilingan padi yaitu memberikan gaya gesek pada biji sehingga kulit biji tersosoh dari dagingnya (Purwadaria, 1980). Secara tradisional, penggilingan hotong dengan cara hotong dibersihkan dari sekamnya dengan cara penumbukan dan hasil yang diperoleh adalah biji pecah kulit dan dedak kasar. Biji pecah kulit tersebut kemudian ditumbuk lagi untuk memisahkan kulit arinya. Hasil yang diperoleh adalah beras hotong, dedak halus atau bekatul.
6.
Penepungan Penepungan merupakan proses pengecilan ukuran suatu bahan padat
secara mekanis tanpa diikuti oleh perubahan sifat kimia dari bahan yang ditepungkan. Proses penepungan dapat dilakukan beberapa kali sampai diperoleh hasil tepung dengan ukuran fraksi tertentu, namun tidak mudah untuk memperoleh hasil tepung dengan ukuran partikel tertentu. Ukuran partikel hasil gilingan tersebar dalam banyak fraksi (Handerson dan Perry, 1978). Proses pengecilan ukuran butiran hasil pertanian, menurut Handerson dan Perry (1978), ada tiga cara yaitu pemotongan , penggerusan (peremukan) dan pengguntingan, baik dilakukan sendiri-sendiri atau kombinasi dari ketiganya. Pemotongan adalah pemisahan atau pengecilan yang diperoleh dengan cara menekan pisau tipis dan tajam pada bahan yang akan dikecilkan dimana semakin tajam dan tipis pisau pemotong semakin baik hasilnya. Bahan yang diperkecil dengan cara ini misalnya buah-buahan dan sayur-sayuran. Produk hasil pemotongan mengalami perubahan/kerusakan yang minimum dengan permukaan
baru yang dihasilkan oleh pisau tajam relatif tidak rusak. Cara ini akan menghasilkan potongan yang halus dengan kebutuhan energi yang lebih kecil (Handerson dan Perry, 1978). Penggerusan adalah pengecilan ukuran dengan menggunakan gaya yang melebihi kekuatan bahan. Partikel yang dihasilkan mempunyai bentuk dan ukuran yang tidak beraturan. Sifat permukaan dan partikel tergantung dari jenis bahan dan cara penggunaan gaya. Gaya yang dipakai untuk penggerusan dapat digunakan secara statis dan dinamis. Gaya statis digunakan untuk alat yang memecah dengan rol, sedangkan hammer mill merupakan contoh penggunaan gaya dinamis (Handerson dan Perry, 1978). Pengguntingan adalah gabungan dari memotong dan menggerus, jika mata pengguntingan tipis dan tajam, kemampuan kerja mendekati proses pemotongan, jika mata pengguntingan tebal dan tumpul maka kemampuan kerja lebih menyerupai penggerusan. Bahan yang berserat liat sangat baik menggunakan alat dengan prinsip pengguntingan. Suatu proses penepungan tergantung dari sifat bahan yang akan digiling, bila kadar air dari bahan memiliki sifat relatif keras dan rapuh, untuk menggiling bahan yang demikian akan sesuai bila diterapkan gaya putaran atau gaya gesek (Leniger, 1975).
D. MESIN PENYOSOH BIJI-BIJIAN Mesin penyosoh biji-bijian adalah suatu alat pemutih biji-bijian pecah kulit menjadi biji-bijian putih dengan menggunakan tenaga mekanis, baik yang
bersumber dari tenaga motor listrik maupun daya dari tenaga penggerak (engine) dengan bahan bakar minyak bensin atau solar (Departemen Pertanian, 1983). Ruiten (1976) membagi mesin penyosoh menjadi tiga tipe yaitu :
1.
Tipe “Vertical Abrasive Whitening Cone” Mesin tipe ini pada dasarnya terdiri dari besi cor yang dilapisi lapisan
abrasive. Besi cor berbentuk kerucut yang memiliki dudukan pada sebuah bidang yang dihubungkan dengan sumbu vertikal (Araullo et. al., 1976). Bagian luar batu penyosoh terdapat kasa yang terbuat dari pelat baja, antara batu penyosoh dengan kasa terdapat sebuah ruang yang berjarak 11 – 17 mm (Hardjosentono et. al., 1978), pada kasa dipasang bantalan karet yang berfungsi sebagai penghambat perputaran biji. Jarak renggang antara bantalan dengan batu penyosoh adalah 3 – 5 mm. Lebar bantalan sekitar 30 – 50 mm tergantung ukuran mesin (Araullo et. al., 1976). Biji-bijian pecah kulit yang masuk ke dalam ruang penyosoh akan disebar secara merata akibat gaya sentrifugal perputaran silinder kerucut, selain proses gesekan oleh silinder penyosoh, juga terjadi pergesekan antara biji-bijian yang satu dengan biji-bijian yang lain sehingga dedaknya mudah dihilangkan (Hardjosentono, 1978). Gambar skematik mesin penyosoh tipe ini dapat dilihat pada Gambar 3.
2.
Tipe “Horizontal Abrasive Whitening Machine”
Mesin ini terdiri dari rol abrasive yang berbentuk silinder, dijepitkan pada poros horizontal (Esmay et. al., 1979). Poros ini berputar pada ruang penyosohan pada kecepatan sekitar 1000 rpm (Araullo et. al., 1976). Biji-bijian pecah kulit yang dimasukkan melalui corong masuk diteruskan oleh sekrup pengumpan (feeding screw) ke dalam ruang bebas antara rol abrasive dengan silinder penutup. Gambar skematik mesin penyosoh tipe “horizontal abrasive whitening machine” dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 3. Penyosoh tipe “vertikal abrasive whitening cone”
Gambar 4. Penyosoh tipe “horizontal abrasive whitening machine”
3.
Tipe “Horizontal Friction” atau “Jet Pearler”
Mesin ini disebut jet pearler karena aliran udara ditekan selama proses penyosohan (Esmay et. al., 1979), mesin rol silinder penyosoh terbuat dari besi baja yang dicetak dengan buah alur memanjang. Lubang ini sebagai jalan udara yang dihembuskan ke sapanjang sumbu berlubang. Silinder penyosoh berputar di bagian dalam ruangan hexagonal yang dibatasi setangkup saringan yang terbuat dari besi baja (Araullo et. al., 1976). Biji-bijian pecah kulit yang jatuh ke conveyor sekrup didorong masuk ke ruangan penyosohan. Di ruangan ini, biji-bijian akan bergesekan satu sama lain dan juga antara biji-bijian dengan kasa (Esmay et. al., 1979). Secara skematik, mesin penyosoh tipe jet pearler dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Penyosoh tipe ” horizontal friction” atau “jet pearler” E.
MESIN PENEPUNG BIJI-BIJIAN Menurut Leniger (1975), ada dua jenis alat penepungan bila dilihat dari
keadaan bahan selama penepungan yaitu : 1. penepungan tipe ”batch” dimana selama penepungan bahan akan tetap ada dalam bak dan baru dikeluarkan bila penepungan telah selesai, 2. penepungan tipe terusan (continue) dimana selama penepungan akan melewati penepung selama sekali lintasan, dengan tipe alat ini hasil gilingan akan mempunyai ukuran yang tidak merata, karena itu alat harus diatur sedemikian rupa sehingga ukuran bahan sesuai yang diizinkan. Ada beberapa tipe alat penepung menurut Perry dan Chilton, 1973 dan Leniger, 1975 yaitu : a) Penepung tipe palu (hammer), b). Penepung tipe gigi vertikal,
c)
Penepung dengan pasak berputar,
d) Penepung tipe piring. Perry dan Green (1984) membagi alat pengecil ukuran bahan menjadi empat kelompok menurut gaya yang dikenakan terhadap bahan, yaitu : 1) bila gaya yang bekerja di antara dua permukaan bahan disebut penggerusan, 2) gaya yang bekerja pada satu permukaan bahan disebut proses pemukulan, 3) gaya yang bekerja tidak pada permukaan bahan tetapi melalui aksi medium sekeliling, 4) gaya yang bekerja bukan dengan energi mekanik tetapi dengan aksi lain seperti kejutan panas dan elektrohidraulik. Hunt (1978) membagi alat penepung berdasarkan gaya yang bekerja terhadap bahan yaitu :
a.
Penepung Tipe Palu (hammer) Menurut Hunt (1977), penepung palu adalah suatu alat yang digunakan
untuk memperkecil ukuran bahan berdasarkan gaya pukulan/impak. Hammer mill terdiri dari palu/pemukul yang berputar pada porosnya. Bahan yang akan digiling masuk ke dalam ruang pemukulan melalui corong pemasukan. Susunan palu yang terdapat pada porosnya akan bergerak bolak-balik memberikan pukulan pada bahan. Menurut Ismayandi (1985), pengurangan ukuran bahan dapat diakibatkan karena : 1) pukulan/impak dari pemukul, 2) pemotongan oleh sisi pemukul, 3) keausan (atrinition) atau aksi gosokan (rubbing action). Penepung palu digunakan untuk penepungan sedang dan halus.
Modulus kehalusan dan indeks keseragaman hasil giling tergantung pada ukuran dari lubang saringan dan laju pengumpanan bahan (Handerson dan Perry, 1978). Kecepatan putar penepung dan bentuk dari pemukul juga merupakan faktor yang mempengaruhi (Pamudji, 1983). Kecepatan putar dari pemukul penepung palu adalah antara 1500 sampai 4000 rpm (Handerson dan Perry, 1978), secara umum dibutuhkan tenaga sebesar satu kilowatt (kw) untuk menggiling satu kilogram bahan permenit pada penepungan sedang (Ismayandi, 1985). Menurut Handerson dan Perry (1978), beberapa keuntungan dalam menggunakan penepung palu sebagai alat penepung antara lain adalah : 1) bentuk konstruksinya yang sederhana, 2) dapat digunakan untuk menghasilkan hasil giling dengan bermacam-macam ukuran, 3) tidak mudah rusak dengan adanya benda asing dalam ruang penepung, dan 4) biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih murah bila dibandingkan dengan penepung bergerigi. Beberapa kerugian dalam menggunakan penggiling palu adalah : 1) kekurang-mampuan untuk menghasilkan hasil giling yang seragam, 2) kebutuhan tenaga yang tinggi, dan 3) biaya investasi awal yang lebih tinggi dibandingkan penggilingan bergerigi.
b.
Penepung Tipe Bergerigi Menurut Handerson dan Perry (1978), penepung bergerigi yang biasa
dikenal dengan atrition mill, plate atau disk mill bekerja berdasarkan gaya tekanan dan gesekan antara dua piringan yang satu berputar dan yang lainnya tetap. Penepung bergerigi biasa terdiri dari dua atau tiga piringan dimana bila dua piringan, satu piringan bergerak, sedangkan piringan yang lain diam atau
bergerak berlawanan, untuk tiga buah piringan yang lain disisinya diam (Ismayandi,1985). Menururt Handerson dan Perry (1978), laju pemasukan yang berlebihan akan memperkecil keefektifan dari alat dan akan menyebabkan panas yang berlebihan. Tenaga yang diperlukan untuk menggiling akan berkurang bila kecepatan penepungan bertambah (Ismayandi, 1985). Hasil penepungan dipengaruhi oleh kecepatan putar, kadar air biji, jenis biji yang digiling, laju pemasukan bahan serta kondisi dan jenis piringan penepung (Ismayandi, 1985). Handerson dan Perry (1978) menyebutkan bahwa terdapat beberapa piringan yang dirancang untuk berbagai jenis bahan, umumnya terbuat dari ”Chilled cast iron” walaupun kadang-kadang ada yang terbuat dari ”alloy steel”. Menurut Richey CB (1961), kecepatan putar gigi penepung bergerigi adalah 1800 rpm, sedangkan menurut Handerson dan Perry (1978) umumnya kecepatan putar penepung bergerigi adalah dibawah 1200 rpm. Menurut Handerson dan Perry (1978), beberapa keuntungan bila menggunakan penepung bergerigi adalah : 1) biaya pemasangan awal yang rendah, 2) hasil gilingan yang relatif seragam, 3) tenaga yang dibutuhkan lebih rendah bila dibandingkan dengan penepung palu, dan 4) lebih dapat menyesuaikan diri dengan gerusan kasar daripada penepung palu. Beberapa kerugian dalam menggunakan penggiling bergerigi adalah : 1) adanya benda-benda asing di dalam bahan yang digiling dapat menyebabkan kerusakan pada alat, dan 2) bila piringan
beroperasi tanpa bahan yang digiling maka akan mempercepat kerusakan piringan.
c.
Penepung Tipe Silinder Menurut Hall dan Davis (1978), ukuran penepung silinder didasarkan pada
ukuran diameter dan panjang silinder. Sebelum pemasukan bahan yang akan digiling, silinder harus dalam keadaan berputar dengan kecepatan tertentu, bila tidak, maka akan terjadi selip pada belt atau motor menjadi mati. Prinsip kerja dari alat ini adalah penggilasan bahan diantara celah-celah silinder. Celah antara silinder dapat diatur jaraknya untuk memperoleh derajat kehalusan yang diinginkan, bila jarak antara silinder terlalu dekat maka tenaga yang diperlukan akan menjadi lebih besar, kapasitas penepungan berkurang serta debu banyak terjadi, pada beberapa jenis satu silinder berputar lebih cepat dibandingkan dengan yang lain untuk mendapatkan aksi gilingan yang lebih ringan ketika bahan melalui celah silinder bergerigi sejajar dengan as silinder. Kebutuhan tenaga penggiling silinder tergantung kepada bentuk dan kuantitas biji yang digiling, derajat kehalusan yang diinginkan, kadar air bahan, laju pengumpanan, kecepatan operasi, tenaga yang tersedia serta kondisi dari silinder. Tipe dengan kecepatan putar silinder satu yang dua atau tiga kali dari silinder lain sudah banyak digunakan untuk industri tepung. Tahap akhir pembuatan tepung dipergunakan silinder halus dengan kecepatan silinder 25% lebih cepat dari silinder yang lain (Hall dan Davis, 1978).
d.
Penepung Tipe Pisau Menurut Perry dan Chilton (1978) penepung pisau terutama digunakan
untuk bahan yang liat atau berserat, dimana aksi pengguntingan lebih efektif dibandingkan dengan tekanan maupun pukulan/impak. Laju pemasukan bahan pada ruang pemotong hendaknya tidak melebihi panjang dari pisau pemotong dengan ketebalan bahan pengumpan tidak lebih dari 1 inchi. Bentuk umum dari alat penggiling ini adalah rotor dengan pisau pemotong berputar pada ruang pemotongan dan memotong bahan dengan bantuan pisau tetap pada keliling luar bahan yang digiling akan keluar melalui saringan dengan ukuran maksimum tergantung pada jenis saringan yang digunakan. Terdapat bermacam-macam penepung pisau tergantung kepada gaya dan banyaknya pisau pemotong (Loncin dan Merson, 1978).
III.
A.
METODOLOGI PENELITIAN
WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
1.
Waktu Penelitian ini dilakukan dari Februari sampai Mei 2006. Kegiatan
penelitian meliputi penelitian pendahuluan, penelitian utama, pengolahan data, dan pembuatan laporan. 2.
Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot
Plants), Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
B.
BAHAN DAN ALAT
1.
Bahan Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah malai tanaman buru hotong
(Setaria italica (L.) Beauv.), gas dan bahan-bahan kimia untuk uji proksimat (K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3 dan HCl). 2.
Alat Peralatan yang dipergunakan selama penelitian adalah mesin penyosoh,
mesin penepung, pengering tipe rak, stop watch, timbangan dan meteran, fasilitas bengkel, oven,
tabung erlenmeyer, desikator, cawan, labu soxhlet dan
labu
lemak, gelas ukur, kat dan timbangan analitik. Gambar timbangan analitik dan biasa dapat dilihat pada Lampiran 1 dan gambar gelas ukur, oven dan ayakan tyler dapat dilihat pada Lampiran 2.
C.
METODE PENELITIAN
1. Karakteristik Fisiko-Kimia Buru Hotong Karakteristik fisiko-kimia buru hotong bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan mutu biji hotong pada setiap malai. Pengamatan meliputi pengukuran dimensi panjang dan berat malai buru hotong, pengukuran berat tiap bagian malai yakni pangkal, tengah dan ujung malai buru hotong, pengukuran dimensi biji hotong, dan mengukur kadar air, massa jenis dan prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai serta
analisis proksimat buru
hotong. Analisa proksimat meliputi : a. Analisa Kadar Air Sampel sebanyak 1.0 gram dihancurkan dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah dikeringkan dan ditimbang, lalu dipanaskan di dalam oven dengan suhu 105oC sampai berat konstan, setelah itu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang beratnya. Kadar air ditentukan dengan rumus :
Kadar air =
berat awal sampel − berat akhir sampel x 100% .............. 1) berat awal sampel
b. Analisa Kadar Abu Sampel sebanyak 1.0 gram ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam cawan yang telah dikeringkan dan ditimbang, kemudian dibakar dalam pembakar gas selama 30 menit. Cawan dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC sampai menjadi abu, setelah itu sampel dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan rumus : % Abu =
berat abu dan cawan − berat cawan x100% ........................... 2) berat awal sampel
c. Analisa Kadar Protein
Sampel sebanyak 0.1 - 0.2 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100ml, lalu ditambahkan 2 gram K2SO4 dan HgO (1 : 1) dan 2.5 ml H2SO4 pekat, setelah itu didestruksi selama 30 menit sampai cairan mencapai warna hijau jernih, kemudian dibiarkan sampai dingin, lalu ditambah 35 ml air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai warna coklat kehitaman kemudian didestilasi. Hasilnya ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator merah metilmetilen blue 1 : 4, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N. Kadar protein ditentukan dengan rumus :
%N=
(ml HCl − ml Blangko) x 0.02 x 14.007 x 100 ........................... 3) mg Sampel
% Protein = % N x faktor konversi .......................................................... 4) d. Analisa Kadar Lemak Sebanyak 1.0 gram sampel yang telah kering di bungkus dengan kertas saring, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Sementara itu, heksan dimasukkan ke dalam labu lemak yang telah ditimbang beratnya, selanjutnya diekstrak selama 5 jam. Destilasi pelarut yang ada di dalam labu lemak, lalu labu dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC. Kadar lemak ditentukan dengan rumus :
KL =
berat labu akhir − berat labu awal x 100% .................................. 5) berat sampel
e. Analisa Kadar Karbohidrat Analisa kadar karbohidrat ditentukan secara by difference, yakni dengan rumus : % Kh = 100% - (Ka + K abu + K protein + KL) ...................................... 6) `
Kadar air bahan diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
Ka =
bb x100% ………………...………………………………….. 7) bb + bk
dimana : Ka = kadar air (%), bb = berat basah (gr),
bk = berat kering (gr). Massa jenis (bulk density) dari biji hotong diperoleh dengan cara menimbang 1 liter biji hotong dalam wadah (perbandingan berat biji hotong dengan volume biji hotong itu sendiri), secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
ρ=
m ………………………...………………………………………... 8) v
dimana : ρ
= massa jenis (gr/ml),
m
= massa (gr),
v
= volume (ml).
Pengukuran prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai dapat diukur dengan rumus : R=
mb …………………………………………………………………. 9) mm
dimana : R
= prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai (%),
mb = berat biji hotong (gr), mm = berat malai hotong (gr). Handerson dan Perry (1970), untuk biji-bijian berbentuk tidak beraturan dapat dianalisa dengan mengasumsikan diameter efektif biji-bijian sama dengan diameter bola yang volumenya sama. Mohsenin (1970) menyatakan bahwa ratarata geometris dari tiga dimensi aksial adalah pendekatan yang baik untuk menentukan diameter sepadan bola (volumenya) dengan memasukkan faktor bentuk. Penentuan panjang ketiga dimensi aksial adalah dengan memproyeksikan biji-bijian tersebut, setelah didapat proyeksi terbesar dan terkecil yang salah satu panjang proyeksi terkecil adalah panjang proyeksi terbesar, dapat ditentukan panjang a, b, dan c. Panjang a dan b berasal dari proyeksi terbesar dengan membuat empat persegi panjang terkecil pada sisi terluar. Panjang a adalah panjang terbesar sisi empat persegi panjang dan yang lebih pendek adalah b. Cara yang sama digunakan terhadap proyeksi terkecil untuk menentukan c (Mohsenin, 1970). Curay (1951) menyatakan bahwa bentuk biji-bijian yang tidak beraturan dapat ditentukan dimensi partikel rata-ratanya yaitu dengan menggunakan panjang
ketiga dimensi aksialnya. Secara sistematis, diameter biji dirumuskan sebagai berikut : D = (a x b x c)1/3 ...................................................................................... 10) dimana :
D
= diameter geometris rata-rata biji hotong (mm),
a, b, c = rata-rata proyeksi panjang, lebar, dan tebal biji dengan pengambilan sampel sebanyak 25 biji (mm).
2. Penelitian Utama
Penelitian utama bertujuan untuk mengkaji kinerja mesin penyosoh buru hotong yang meliputi kapasitas produksi, efisiensi kipas pada mesin penyosoh, rendemen dan susut tercecer serta mengetahui kualitas hasil penyosohan buru hotong. Penelitian utama juga bertujuan untuk mengkaji kinerja mesin penepung buru hotong yang meliputi kapasitas produksi, rendemen dan susut tercecer serta mengetahui kualitas tepung yang dihasilkan. Tahap penelitian utama ini akan menggunakan perlakuan terhadap biji hotong pada tingkat kadar air berbeda-beda dengan cara mengeringkan kadar air biji hotong, yaitu kadar air 6.2%, kadar air 8.5% dan kadar air 11.1%. Metode ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kadar air yang berbeda-beda terhadap performansi alat pada waktu beroperasi. Adapun dalam analisa data, parameter-parameter yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Kapasitas Penyosohan Kapasitas mesin penyosohan adalah jumlah bahan hotong yang dapat
disalurkan selama 1 (satu) jam. Kapasitas penyosohan merupakan kapasitas yang diperoleh sampai biji benar-benar tersosoh (bersih). Kapasitas penyosohan dapat diperoleh dari rumus dibawah ini : Kps =
Wpk × 3600 ................................................................................... .... 11) t
dimana :
Kps
= kapasitas penyosohan (kg/jam),
Wpk
= berat biji hotong pecah kulit (kg),
t
b.
= waktu penyosohan (detik).
Efektivitas Penyosohan (Rendemen) Rendemen penyosohan dapat diperoleh dari rumus di bawah ini :
ηp =
Wpk × 100% .................................................................................... 12) Wp
dimana : ηp
= efektivitas penyosohan (%),
Wpk = berat biji hotong pecah kulit (kg), Wp = berat biji hotong yang dimasukan ke penyosohan (kg). c.
Efektifitas Kipas (Blower) Efektifitas kipas dapat diperoleh dari rumus di bawah ini :
ηk =
Wkout × 100% ............................................................................... 13) Wkin
dimana : ηk
d.
= efektifitas kipas (%),
Wkout
= berat dedak yang Keluar menuju kipas (g),
Wkin
= berat dedak keseluruhan (g).
Susut Tercecer Penyosohan Susut tercecer pada proses penyosohan dapat diperoleh dari rumus di
bawah ini : Sts =
WbTc x100% .................................................................................. 14) WbTs
dimana
: Sts
= susut tercecer penyosohan (%),
WbTc = berat biji tercecer (g), WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g). e.
Kualitas Penyosohan Pengukuran kualitas penyosohan dari biji hotong dengan cara menghitung
persentase biji tersosoh, persentase biji tak tersosoh, dan berat biji pecah. Persentase tersebut dapat diperoleh dengan cara :
Wbtk x100% .............................................................................. 15) WbTs
%btk = dimana
:
%btk = persentase biji tersosoh (%), Wbtk = berat biji tersosoh (g), WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).
%bttk = dimana
Wbttk x100% ............................................................................. 16) WbTs
: %bttk = persentase biji tak tersosoh (%), Wbttk = berat biji tak tersosoh (g), WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).
%bpk = dimana
:
Wbp x100% ................................................................. 17) WbTs
%bpk = persentase biji tersosoh (%), Wbp
= berat biji pecah (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g). f. Kapasitas Penepungan Kapasitas mesin penepungan adalah jumlah bahan hotong yang dapat disalurkan selama 1 (satu) jam hingga menjadi tepung. Kapasitas mesin penepung merupakan nilai kapasitas yang diperoleh sampai biji benar-benar menjadi tepung yang halus. Rumus kapasitas penepungan diperoleh dengan rumus : Kpt =
Wpk × 3600 ................................................................................... 18) t
dimana :
g.
Kpt
= kapasitas penepungan (kg/jam),
Wpk
= berat biji hotong yang ditepungkan (kg),
t
= waktu penepungan (detik).
Efektivitas Penepungan (Rendemen) Rendemen penepungan dapat diperoleh dari rumus di bawah ini :
ηt =
Wt × 100% ................................................................................... 19) Wpk
dimana :
h.
ηt
= efektivitas penepungan (%),
Wt
= berat tepung hasil penepungan (kg),
Wpk
= berat biji hotong yang dimasukkan ke mesin penepung (kg).
Susut Tercecer Penepungan Susut tercecer penepungan pada proses penepungan dapat diperoleh dari
rumus di bawah ini : Stp =
WtTc x100% .................................................................................. 20) WtTs
dimana
: Stp
= susut tercecer penepungan (%),
WtTc = berat tepung tercecer (g), WtTs = berat tepung keseluruhan (g). i.
Kualitas Penepungan Mc Colly (1955) menyatakan bahwa setiap bahan berbeda kriteria kasar,
sedang, halus berdasarkan derajat kehalusannya, dengan menggunakan test pengayakan tyler dapat ditentukan ukuran partikel dan penyebaran fraksi-fraksi ukuran dalam produk hasil penepungan (Handerson dan Perry, 1978). Test pengayakan ini menggunakan tujuh macam ukuran ayakan yaitu 3/8, 4, 8, 14, 28, 48, 100 mesh dan baki pada tingkat terbawah. Hall dan Davis (1978) mengemukakan bahwa dalam penentuan mutu hasil giling digunakan dua macam kriteria, yaitu : 1. Derajat kehalusan yaitu merupakan bilangan yang mewakili ukuran rata-rata partikel bahan hasil penepungan. Derajat kehalusan dihitung berdasarkan jumlah fraksi bahan yang tertinggal pada setiap ayakan tyler dibagi dengan 100. 2.
Indeks keseragaman yaitu
merupakan perbandingan angka yang
menyatakan fraksi-fraksi kasar, sedang, halus dari partikel bahan hasil penepungan, untuk penentuan indeks keseragaman, bahan hasil penepungan dibagi menjadi tiga kategori yaitu kasar, sedang dan halus, yang termasuk
kategori kasar adalah jumlah fraksi berat yang tertahan pada tiga ayakan pertama dari satu set ayakan tyler, yaitu pada 3/8, 4, dan 8 mesh, sedangkan jumlah fraksi berat yang tertahan pada dua ayakan berikutnya, yaitu 14 dan 28 mesh termasuk dalam kategori sedang. Jumlah fraksi berat pada ayakan selanjutnya, yaitu 48, 100 mesh dan baki digolongkan dalam kategori halus. Perbandingan ketiga kategori bahan tersebut merupakan indeks keseragaman. Menurut handerson dan Perry (1978), ukuran partikel bahan berdasarkan modulus kehalusan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : D
= 0.0041 x (2)FM .......................................................................... 21)
Dimana
: D
= ukuran rata-rata partikel bahan (inchi),
FM
= modulus kehalusan (tanpa satuan).
IV. A.
MESIN PENYOSOH BIJI BURU HOTONG
PRINSIP KERJA MESIN Proses penyosohan biji hotong terjadi dalam rumah penyosohan yang di
dalamnya terdapat roller penyosoh dan plat penyosoh. Kombinasi antara roller penyosoh dan plat penyosoh ini menghasilkan gesekan dan tekanan pada biji hotong. Roller penyosohan berfungsi untuk menggesek biji hotong, sedangkan plat penyosohan berfungsi untuk menekan biji hotong sehingga biji hotong dapat tersosoh dengan baik. Gambar mesin penyosoh buru hotong dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Mesin penyosoh buru hotong Plat penyosoh terdiri dari 3 (tiga) buah plat di tiga titik sepanjang setengah lingkaran penutup roller. Jadi, proses penyosohan terjadi sebanyak 3 (tiga) kali penyosohan. Menurut Hall and Davis (1978), alat penggiling roller mill lebih tepat digunakan pada proses penyosohan biji hotong karena penggunaan roller mill (metode penyosohan dengan tekanan dan gesekan) cukup baik untuk biji hotong yang mempunyai ukuran diameter biji yang lebih kecil dibandingkan gabah.
Selanjutnya, proses pemisahan biji tersosoh dengan kulit bijinya adalah dengan pemasangan blower di bawah rumah penyosoh. Blower yang digunakan adalah blower siput yang mempunyai 2 buah lubang. Kedua lubang ini akan digunakan sebagai blower penghembus.
B.
MEKANISME KERJA MESIN Biji hotong dari hopper turun melewati lubang pemasukan dan langsung
digesek oleh roller penyosoh yang dikombinasikan dengan tiga buah plat besi di tiga titik sepanjang setengah lingkaran roller penyosoh. Proses penyosohan menggunakan metode gesekan antara roller penyosohan dengan plat penyosohan, yaitu sepanjang setengah lingkaran roller penyosoh, dengan pengaturan jarak renggang yang sebaik-baiknya antara roller penyosoh dengan plat besi maka kulit biji hotong yang kering tersebut akan disosoh dengan baik, dimana di dalam ruang penyosoh terjadi gesekan antara biji dengan roller, biji dengan plat dan antara biji dengan biji. Gambar skematik proses penyosohan dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
Gambar 7. Skematik proses penyosohan
Biji yang telah tersosoh dan kulit bijinya akan turun ke bawah, lalu disalurkan ke lubang pengeluaran. Sebelum bahan yang diproses keluar dari lubang pengeluaran, kulit biji yang massanya lebih ringan dari bijinya langsung dihisap oleh blower yang dihubungkan ke lubang pengeluaran. Perputaran roller penyosohan diatur dengan motor listrik yang dihubungkan oleh puli dan sabuk. Cara pengisian biji hotong ke dalam hopper dilakukan secara manual, begitu juga biji yang telah tersosoh ditampung dan diambil dari tempatnya secara manual. Kapasitas penyosohan yang optimum tercapai apabila biji yang tersosoh sebanyak mungkin atau biji yang tidak tersosoh seminimum mungkin. Kapasitas tinggi juga diperoleh apabila jumlah biji yang dapat disosoh persatuan waktu sebesar mungkin. Kapasitas penyosohan yang dihasilkan tergantung dari kecepatan mengumpan serta tenaga yang tersedia untuk penyosohan. Mesin penyosohan biji hotong dioperasikan oleh satu orang operator.
C.
KONSTRUKSI MESIN
C. 1. Desain Fungsional 1.
Hopper Hopper berfungsi sebagai tempat penampung biji hotong yang dilengkapi
dengan lubang pemasukan untuk mengatur jumlah biji yang akan masuk ke rumah penyosoh. 2.
Rumah Penyosoh Rumah penyosoh digunakan untuk menopang hopper, roller penyosoh,
dan dua buah penutup roller dimana satu bagian merupakan penyosoh dan satu bagian lagi merupakan penutup roller saja. Bagian-bagiannya dapat diuraikan di bawah ini : a.
Plat biji tebal 4 mm : digunakan sebagai dudukan roller penyosoh dan poros.
Roller Penyosoh : berfungsi sebagai unit penyosoh
b. kulit biji hotong yang
berputar bergesekan dengan tiga buah plat besi yang
dipasang di sisi salah satu penutup roller. c.
Penutup roller penyosoh : berfungsi untuk menutup roller penyosoh dan sebagai penyosoh yang dikombinasikan dengan roller penyosoh, dimana dua buah penutup roller satu bagiannya merupakan penyosoh dan satu bagian lagi merupakan penutup roller saja.
d.
Baut dengan panjang 19 cm dan 20 cm, pipa besi pejal yang kedua ujung ditap, dan pipa besi bolong diameter 1.2 cm dengan panjang 15 cm sebagai penghubung dua buah plat besi 44 mm.
3.
Sistem transmisi dan dudukannya Sistem transmisi dan dudukan mesin penyosoh biji buru hotong terdiri dari
bagian-bagian di bawah ini yaitu : a.
poros : berfungsi untuk meneruskan putaran dari poros motor listrik ke poros roller penyosoh. Selain itu, poros juga berfungsi sebagai tempat memasang puli.
b.
Puli : berfungsi untuk dudukan sabuk, selain itu ukuran diameter puli yang berbeda dapat memperbesar atau memperkecil kecepatan putaran mesin.
c.
Sabuk V-belt : berfungsi untuk menyalurkan putaran dari puli pada motor listrik ke puli pada poros roller penyosoh dan ke puli pada poros blower. Panjangnya disesuaikan dengan jarak antar puli yang digunakan. Sabuk yang dipakai tipe A karena mudah didapatkan di pasaran dan disesuaikan dengan tipe puli yang digunakan.
d.
Penutup sabuk V-belt dan puli : berfungsi untuk menutup sabuk V-belt dan puli, juga berfungsi sebagai pelindung.
e.
Rangka dudukan bearing
:
berfungsi
sebagai
dudukan bearing. f.
Bearing : berfungsi sebagai dudukan poros atau as. Ukuran bearing yang dipakai sesuai dengan ukuran diameter as yang digunakan.
4.
Saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan Saluran ini berada di bawah rumah penyosohan dan berfungsi sebagai
saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan yang belum terpisahkan. 5.
Selang pemisahan kulit dengan biji Saluran ini menghubungkan saluran pengeluaran biji dan kulit tersosoh
yang belum terpisah dengan blower penghisap.
6.
Kipas (blower) Blower berfungsi untuk memisahkan partikel kecil dari biji hotong yang
sudah tersosoh, seperti kulit biji dan kotoran yang terkandung di dalamnya. Biji yang lebih berat akan tetap jatuh ke bawah pada lubang pengeluaran, dan kulit serta kotoran yang dikandung akan dihisap dan dikeluarkan dari blower menuju siklon. Gambar kipas dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kipas penyosoh buru hotong 7.
Motor Penggerak Motor penggerak dari mesin penyosohan kulit biji hotong ini adalah motor
listrik yang berfungsi untuk menghasilkan putaran sebagai sumber tenaga.
Rangka penyangga
8.
Rangka penyangga berfungsi sebagai dudukan rumah penyosoh, motor listrik, saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan, dan blower penghisap.
C. 2. Desain Struktural Mesin ini terdiri atas delapan bagian utama, yaitu : Hopper, rumah penyosoh, sistem transmisi dan dudukannya, saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan, saluran pemisahan kulit dengan biji, kipas, motor listrik, dan rangka penyangga. Gambar teknik mesin penyosoh hotong dapat dilihat pada Lampiran 22. 9.
Hopper Hopper merupakan penampung biji yang terbuat dari plat besi dengan
bentuk limas terbalik yang terpotong di bagian bawah. Ukuran Hopper ini adalah pada bagian atas memiliki ukuran (20 x 30) cm, dan pada bagian bawah mempunyai ukuran (13 x 7) cm, sedangkan tingginya 21 cm. Hopper ini menempel pada penutup rumah penyosoh berbentuk huruf U terbalik dan memiliki ukuran. 10.
Rumah penyosohan Rumah penyosoh terdiri dari dua buah plat besi tebal 4 mm dengan ukuran
26.5 cm x 26 cm, dan di bagian bawah diberi besi siku sebagai penyangga dengan ukuran 26.5 cm x 3.5 cm. Bagian roller penyosoh merupakan silinder karet dengan diameter 22 cm, tebal 4 cm, dan panjang 15 cm, sedangkan bagian tengahnya terdapat dudukan poros 1 inchi. Penutup roller penyosoh terdiri dari dua buah plat besi yang masingmasing diberi bentuk setengah lingkaran dengan keliling setengah lingkarannya 37 cm dan panjangnya 15 cm. Satu bagian dari plat besi ini merupakan penyosoh dan satu bagian lagi merupakan penutup roller saja. Bagian penutup sekaligus penyosoh ini mempunyai tiga sisi bagian dalam penutup roller penyosoh. Plat besi (3 cm x 15 cm) ini dikombinasikan dengan roller penyosoh sehingga bisa
dimanfaatkan sebagai penyosoh dengan metode gesekan antara bahan dengan plat dan roller. Di bagian atas penutup roller penyosoh terdapat pipa besi bolong sebagai dudukan baut penghubung antara dua buah plat besi tebal 4 mm, dan di bagian bawah penutup roller penyosoh terdapat besi siku 4.5 cm x 1 cm panjang 15 cm yang dihubungkan oleh baut dengan diameter 2 cm dan panjang 10 cm. Baut dengan diameter 2 cm ini berfungsi sebagai pengatur jarak renggang antara roller penyosoh dengan penutup roller penyosoh. Untuk menghubungkan dua buah plat besi tebal 4 mm digunakan dua jenis baut, yaitu baut biasa ukuran 8 mm dengan panjang 20 cm sebanyak dua buah, dan besi pipa pejal diameter 6 mm yang kedua ujungnya ditap dan dijadikan baut dengan panjang 19 cm sebanyak 4 buah. Sebagai penutup besi pipa yang ditap dan dijadikan baut digunakan pipa besi bolong diameter 1.2 cm dan panjang 15 cm. 11. Sistem transmisi dan dudukannya Sistem transmisi terdiri dari satu bauh poros yang ditempatkan pada roller penyosoh. Penghubung antara puli adalah sabuk V-belt tipe A, pada sistem transmisi dibuat juga penutup sabuk dan puli yang terbuat dari plat. 12. Saluran pengeluaran biji dan kulit hasil sosoh Saluran ini berada di bawah rumah penyosoh yang dihubungkan dengan 4 buah baut 8 mm yang dibuat ke rangka penyangga. Bagian ini terbuat dari besi plat dan mempunyai bentuk balok dengan ukuran ( 10 x 9) cm. 13.
Selang pemisahan kulit dengan biji Bagian ini memiliki bentuk silinder dengan panjang selang 1 meter dan
diameter 8 cm. 14. Kipas Kipas penghisap terbuat dari kipas model siput dengan diameter kipas 25 cm, dan diameter saluran udara penghembus 8 cm. Kipas ini banyak terdapat di pasaran. Dudukannya langsung dihubungkan ke kerangka penyangga dengan mempergunakan baut 8 mm. Klasifikasi motor penggerak kipas ini adalah
menggunakan motor 1 phase, sedangkan tegangan yang digunakan 220 V dan mempunyai rpm sebesar 3000/3666 rpm. 15. Motor penggerak Motor penggerak mesin penyosoh kulit biji hotong ini adalah motor listrik yang menggunakan arus AC tiga fasa, dengan daya 2.2 kw, sedangkan tegangan yang digunakan 500 V dan mempunyai rpm sebesar 1425 rpm.
16.
Rangka penyangga Rangka penyangga merupakan meja persegi panjang yang terbuat dari besi
plat dengan ukuran (57 x 23) cm dan tinggi kaki 65 cm (posisi kaki miring). Diatas meja besi plat akan diletakkan rumah penyosoh dan kipas, sedangkan di bawah besi plat diletakkan motor penggerak dan saluran pengeluaran biji dan kulit hasil penyosohan.
V. A.
MESIN PENEPUNG BIJI BURU HOTONG
PRINSIP KERJA MESIN Proses penepungan biji hotong terjadi dalam rumah penepungan yang di
dalamnya terdapat pisau penepung yang berbentuk balok pejal yang berputar dan balok pejal statis. Kombinasi antara pisau penepung berbentuk balok pejal yang berputar dan balok pejal statis menghasilkan tumbukan dan tekanan pada biji hotong. Pisau penepung berbentuk balok yang berputar berfungsi untuk menumbuk
biji hotong, sedangkan pisau balok yang diam berfungsi untuk
menekan biji hotong sehingga biji hotong dapat menjadi tepung yang berkualitas baik (halus). Gambar mesin penepung buru hotong dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Mesin penepung buru hotong
Menurut Perry dan Chilton (1978), penggiling pisau digunakan untuk bahan yang liat atau berserat, dimana aksi pengguntingan lebih efektif dibandingkan dengan tekanan maupun pukulan/impak. Laju pemasukan bahan pada ruang pemotong hendaknya tidak melebihi panjang dari pisau pemotong dengan ketebalan bahan pengumpan tidak lebih dari 1 inchi. Bentuk umum dari alat penggiling ini adalah rotor dengan pisau pemotong berputar pada ruang pemotongan dan memotong bahan dengan bantuan pisau tetap pada keliling luar bahan yang digiling akan keluar melalui saringan dengan ukuran maksimum tergantung pada jenis saringan yang digunakan. Setelah terjadi penepungan di dalam rumah penepungan, tepung akan dilanjutkan menuju lubang pengeluaran mesin penepung. Tepung akan ditampung pada wadah mesin penepung yang berupa karung.
B.
MEKANISME KERJA MESIN Biji hotong dari hopper turun melewati lubang pemasukan dan langsung
ditumbuk oleh pisau penepung yang berbentuk balok dan berputar yang dikombinasikan dengan pisau penepung statis. Proses penepungan menggunakan metode
pemotongan antara
pisau penepung yang berputar dengan pisau
penepung statis, yaitu sepanjang satu putaran pisau penepung yang berputar satu lingkaran penuh. Pisau penepung yang menumbuk biji hotong yang akan ditepungkan dengan kecepatan putar yang tinggi maka akan didapatkan kualitas tepung yang bagus (halus). Gambar skematik pisau penepung dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10. Pisau penepung biji hotong Biji yang telah menjadi tepung akan turun ke bawah karena terdorong oleh pisau untuk keluar dari rumah penepungan melalui saringan, lalu disalurkan ke lubang pengeluaran. Partikel yang lebih kecil atau sama ukuran partikelnya dengan ukuran mesh saringan maka partikel tepung akan disalurkan ke lubang pengeluaran mesin penepung. Perputaran pisau penepung diatur dengan motor listrik yang dihubungkan oleh puli dan sabuk. Cara pengisian biji hotong ke dalam hopper dilakukan secara manual, begitu juga biji yang telah menjadi tepung ditampung dan diambil dari tempatnya secara manual. Kapasitas penepungan yang optimum tercapai apabila biji yang menjadi tepung dengan kualitas baik (halus) yang dihasilkan banyak atau biji yang tidak halus seminimum mungkin. Kapasitas tinggi juga diperoleh apabila jumlah biji yang dapat ditepungkan persatuan waktu sebesar mungkin. Kapasitas penepungan yang dihasilkan tergantung dari kecepatan mengumpan serta tenaga yang tersedia untuk penepungan. Mesin penyosohan biji hotong dioperasikan oleh satu orang operator.
C.
KONSTRUKSI MESIN
C.1. Desain Fungsional Bagian-bagian dari mesin penepungan buru hotong antara lain : 1. Hopper Hopper berfungsi sebagai tempat penampung biji hotong yang dilengkapi dengan lubang pemasukan untuk mengatur jumlah biji yang akan masuk ke rumah penepungan. 2.
Rumah penepung
Rumah penepung digunakan untuk menopang hopper, pisau penepung, dan saringan serta penutup pisau penepung. Bagian-bagiannya dapat diuraikan di bawah ini : Pisau penepung
a.
Pisau penepung berfungsi sebagai unit penepung biji hotong yang berputar bertumbukan dengan pisau penepung yang lain dimana pisau yang lain tersebut diam. Pisau penepung ini terdiri dari 4 pisau, di mana pisau ini akan bergesekan dengan pisau yang lainnya. Gambar pisau penepung buru hotong yang berputar dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Pisau penepung buru hotong yang berputar b.
Penutup pisau penepung Penutup pisau penepung berfungsi untuk menutup pisau penepung dan
sebagai penepung yang dikombinasikan dengan pisau penepung yang berputar, dimana di dalam penutup pisau penepung ini terdapat bagian pisau penepung statis. Gambar penutup pisau penepung buru hotong statis dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Pisau penepung buru hotong statis c.
Saringan Saringan berfungsi sebagai penentu ukuran partikel tepung yang
diinginkan sehingga diperoleh hasil tepung yang halus sesuai ukuran meshnya. Saringan ini berbentuk lingkaran dimana ukurannya disesuaikan dengan lingkaran rumah penepung. Gambar saringan penepung buru hotong dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Saringan penepung buru hotong ukuran mesh 14 3.
Sistem transmisi dan dudukannya Sistem transmisi dan dudukan mesin penepung biji buru hotong terdiri dari
bagian-bagian di bawah ini yaitu : a.
poros : berfungsi untuk meneruskan putaran dari poros motor listrik ke poros roller penepung, selain itu juga berfungsi sebagai tempat memasang puli.
Puli : berfungsi untuk dudukan sabuk, selain itu
b.
ukuran diameter puli yang berbeda dapat memperbesar atau memperkecil kecepatan putaran mesin. c.
Sabuk V-belt : berfungsi untuk menyalurkan putaran dari puli pada motor listrik ke puli pada poros pisau penepung. Panjangnya disesuaikan dengan jarak antar puli yang digunakan. Sabuk yang dipakai tipe A karena mudah didapatkan di pasaran dan disesuaikan dengan tipe puli yang digunakan.
d.
Penutup sabuk V-belt dan puli : berfungsi untuk menutup sabuk V-belt dan puli, juga berfungsi sebagai pelindung.
e.
Rangka dudukan bearing
:
berfungsi
sebagai
dudukan bearing. f.
Bearing : berfungsi sebagai dudukan poros atau as. Ukuran bearing yang dipakai sesuai dengan ukuran diameter as yang digunakan.
4.
Saluran pengeluaran tepung hasil penepungan Saluran ini berada di bawah rumah penepungan dan berfungsi sebagai
saluran pengeluaran tepung yang dihasilkan dari proses penepungan yang ada di rumah penepung. 5.
Motor Penggerak Motor penggerak dari mesin penepungan biji hotong ini adalah motor
listrik yang berfungsi untuk menghasilkan putaran sebagai sumber tenaga. 6.
Rangka penyangga Rangka penyangga berfungsi sebagai dudukan rumah penepung dan
hopper, motor listrik, dan saluran pengeluaran tepung.
C.2. Desain Struktural Mesin ini terdiri atas enam bagian utama, yaitu : Hopper, rumah penepung, sistem transmisi dan dudukannya, saluran pengeluaran tepung, motor listrik, dan rangka penyangga. Gambar teknik mesin penepung hotong dapat dilihat pada Lampiran 23.
7.
Hopper Hopper merupakan penampung biji yang terbuat dari plat besi dengan
bentuk limas terbalik yang terpotong di bagian bawah. Ukuran Hopper ini adalah (27 x 20 x 21) cm. Hopper ini menempel pada penutup rumah penyosoh berbentuk huruf U terbalik dan memiliki ukuran. 8.
Rumah penepung Rumah penepung terdiri dari pisau penepung baik yang berputar maupun
statis dan terdapat saringan dengan ukuran 14 mesh. Pisau penepung yang berputar terdiri dari pisau balok sebanyak empat buah dengan ukuran (3 x 2 x 2) cm dan pisau silinder sebanyak delapan buah dengan diameter 1.5 cm dan panjangnya 2.5 cm. Pisau statis terdiri dari pisau balok sebanyak 24 buah dengan ukuran (2 x 2 x 1.5) cm. 9. Sistem transmisi dan dudukannya Sistem transmisi terdiri dari satu bauh poros yang ditempatkan pada roller penyosoh. Penghubung antara puli adalah sabuk V-belt tipe A, pada sistem transmisi dibuat juga penutup sabuk dan puli yang terbuat dari plat. 10. Saluran pengeluaran tepung hasil penepungan Saluran ini berada di bawah rumah penyosoh yang dihubungkan dengan 4 buah baut 8 mm yang dibuat ke rangka penyangga. Bagian ini terbuat dari besi plat dan mempunyai bentuk balok ukuran (15 x 6) cm. 11. Motor penggerak
Motor penggerak mesin penyosoh kulit biji hotong ini adalah motor listrik yang menggunakan arus AC tiga fasa, , dengan daya 2.2 kw, sedangkan tegangan yang digunakan 380 V dan mempunyai rpm sebesar 1425 rpm. 12.
Rangka penyangga Rangka penyangga merupakan meja persegi panjang yang terbuat dari besi
plat dengan ukuran (37 x 13.5) cm dan tinggi kaki 29 cm (posisi kaki miring). Diatas meja besi plat akan diletakkan rumah penepung dan hopper, sedangkan di bawah besi plat diletakkan motor penggerak dan saluran pengeluaran tepung.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA BURU HOTONG 1. Kandungan Gizi Biji Buru Hotong Kandungan gizi biji hotong cukup bagus sebagai bahan pangan karena terlihat bahwa kadar protein dan karbohidrat yang tinggi yakni kadar proteinnya sebesar (13.30 ± 0.18)% dan kadar karbohidratnya sebesar (67.66 ± 0.19)%, sedangkan kadar lemaknya sebesar (3.86 ± 0.22)% dan kadar abunya sebesar (3.35 ± 0.10)% serta kadar airnya adalah (11.83 ± 0.61)%. Kandungan energi yang terdapat dalam hotong adalah 359 kal/100 g. Analisa sidik ragam
menunjukkan bahwa kandungan gizi tiap bagian malai tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05, kecuali pada kandungan abu tiap bagian malai berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. Pengukuran analisis keragaman ini menggunakan anova single factor dengan taraf nyata 0.05, analisa ini dapat dilihat pada Lampiran 18. Kandungan gizi pada bagian tengah malai buru hotong sangat bagus apabila dibandingkan dengan bagian ujung dan pangkal malai hotong, yakni terlihat bahwa kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan pada bagian yang lainnya. Kadar protein dan kadar karbohidrat pada bagian tengah yaitu (13.36 ± 0.28)% dan (67.91 ± 0.09)%, pada bagian pangkal memiliki kadar protein dan kadar karbohidrat sebesar (13.18 ± 0.14)% dan (67.59 ± 0.28)%, sedangkan kadar protein dan kadar karbohidrat pada bagian ujung buru hotong sebesar (13.36 ± 0.12)% dan (67.49 ± 0.21)%. Kandungan gizi tiap bagian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi buru hotong Komponen Pangkal (%) Tengah (%)
Ujung (%)
Keseluruhan (%)
Kadar Air
11.85 ± 0.04
11.82 ± 0.05
11.84 ± 0.10
11.83 ± 0.61
Kadar Protein
13.18 ± 0.14
13.36 ± 0.28
13.36 ± 0.12
13.30 ± 0.18
Kadar Lemak
3.72 ± 0.23
3.84 ± 4.04
4.04 ± 0.11
3.86 ± 0.22
Kadar Karbohidrat
67.59 ± 0.28
67.91 ± 0.09
67.49 ± 0.21
67.66 ± 0.19
Kadar Abu
3.68 ± 0.13
3.08 ± 0.07
3.28 ± 0.08
3.35 ± 0.10
Kadar lemak pada bagian ujung buru hotong merupakan kandungan terbesar bila dibandingkan dengan pada bagian pangkal dan tengah yaitu sebesar (4.04 ± 0.11)%, pada bagian pangkal mempunyai kadar lemak sebesar (3.72 ± 0.23)%, sedangkan pada bagian tengah mempunyai kadar lemak sebesar (3.84 ± 4.04)%. Bagian tengah buru hotong mempunyai kadar abu yang paling rendah dibandingkan dengan kadar abu pada bagian yang lainnya yaitu sebesar (3.08 ± 0.07)%. Kadar abu pada bagian pangkal buru hotong sebesar (3.68 ± 0.13)%, sedangkan pada bagian ujung buru hotong mempunyai kadar abu sebesar (3.28 ± 0.08)%.
Kadar air pada bagian tengah buru hotong cukup rendah dibandingkan dengan kadar air pada bagian pangkal dan ujung yaitu besar kadar air pada tengah sebesar (11.82 ± 0.05)%, sedangkan pada bagian pangkal buru hotong kadar airnya sebesar (11.85 ± 0.04)% dan bagian ujung buru hotong memiliki kadar air sebesar (11.84 ± 0.10)%. Analisa proksimat dapat dilihat pada Lampiran 3.
2. Dimensi Butir Biji Hotong Hasil pengukuran terhadap besar kecilnya dimensi butir biji hotong menunjukkan diameter dan tebal yang berbeda-beda, seperti disajikan dalam Tabel 3. Ukuran butir biji hotong yang terbesar akan ditentukan sebagai pendekatan dalam menentukan jarak antara roller penyosoh pada mesin penyosoh kulit biji hotong. Diameter biji pada bagian pangkal malai lebih besar dari diameter biji pada bagian ujung dan tengah malai yakni diameter pada bagian pangkal malai ini sebesar (1.25 ± 0.05) mm dan mempunyai ukuran dimensi biji hotong sebesar (1.59 x 1.27 x 0.97) mm, sedangkan diameter biji pada bagian ujung malai sebesar (1.23 ± 0.05) mm dan mempunyai dimensi biji hotong sebesar (1.55 x 1.26 x 0.95) mm dan pada bagian tengah malai sebesar (1.23 ± 0.06) mm dan mempunyai ukuran dimensi sebesar (1.56 x 1.26 x 0.95) mm. Ukuran dimensi butir biji hotong dapat disajikan pada Tabel 3. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa dimensi biji hotong tiap bagian malai tidak berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. Contoh perhitungan pada karakteristik fisik buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 19. Tabel 3. Dimensi buru hotong Komponen Pangkal
Tengah
Ujung
Keseluruhan
Panjang biji (mm)
1.59 ± 0.12
1.56 ± 0.11
1.55 ± 0.11
1.57 ± 0.06
Lebar biji (mm)
1.27 ± 0.07
1.26 ± 0.10
1.26 ± 0.06
1.26 ± 0.04
Tebal biji (mm)
0.97 ± 0.10
0.95 ± 0.07
0.95 ± 0.05
0.96 ± 0.04
Diameter biji (mm)
1.25 ± 0.05
1.23 ± 0.06
1.23 ± 0.05
1.24 ± 0.03
Panjang malai (cm)
5.30 ± 1.19
5.30 ± 1.19
5.304 ± 1.19
15.91 ± 3.58
Tabel diatas menunjukkan bahwa ukuran dimensi butir biji hotong adalah (1.57 x 1.26 x 0.96) mm dan panjang malai rata-rata sebesar (15.91 ± 3.58) cm, sedangkan diameter hotong merupakan faktor pembatas dalam penentuan jarak antara roller penyosoh. Diameter biji hotong ditentukan dengan rumus sebagai berikut : D = (a x b x c)1/3 Dimana
D = diameter biji (mm) a = panjang biji (mm) b = lebar biji (mm) c = tebal biji (mm)
Diameter biji hotong sebesar (1.24 ± 0.03) mm diperoleh dari rumus diatas. Pengukuran dimensi ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
3. Massa Jenis Biji Hotong Pengamatan tentang sifat fisik bahan menunjukkan bahwa massa jenis rata-rata biji hotong adalah (0.64 ± 0.01) g/ml. Berat 1000 biji pada biji hotong sebesar (1.19 ± 0.03) g. Berat malai pada biji hotong mempunyai massa sebesar (4.17 ± 1.96) g, sedangkan persentase berat biji per malai sebesar (80.27 ± 2.53)%. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa massa jenis biji hotong tiap bagian malai berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. Pengukuran berat 1000 biji dapat dilihat pada Lampiran 5. Bagian tengah malai massa jenis bijinya paling besar dibandingkan dengan massa jenis pada bagian malai yang lainnya yakni sebesar (0.65 ± 0.01) g/ml, pada bagian pangkal malai biji hotong mempunyai massa jenis sebesar (0.64 ± 0.01) g/ml dan pada bagian ujung mempunyai massa jenis sebesar (0.63 ± 0.01) gr/ml. Pengukuran massa jenis buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 7. Bagian ujung mempunyai berat bijinya paling berat dibandingkan pada bagian malai yang lainnya yakni 1000 biji mempunyai massa (1.24 ± 0.12) g, sedangkan pada bagian pangkal sebesar (1.14 ± 0.01) g dan pada bagian tengah malai buru hotong mempunyai massa 1000 biji sebesar (1.22 ± 0.07) g. Bagian tengah malai mempunyai berat malai yang paling tinggi dibandingkan berat malai pada bagian malai yang lainnya yaitu sebesar (1.29 ±
0.64) g. Hal ini disebabkan karena massa jenis pada bagian tengah malai yang juga lebih tinggi dibandingkan massa jenis pada bagian malai yang lainnya. Bagian ujung mempunyai berat malai sebesar (1.25 ± 0.68) g, sedangkan pada bagian pangkal mempunyai berat sebesar (1.29 ± 0.64) g. Pengukuran massa jenis ini dapat disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Massa jenis dan persentase berat biji hotong per malai hotong Komponen Pangkal Tengah Ujung
Keseluruhan
Massa jenis (g/ml)
0.64 ± 0.01
0.65 ± 0.01
0.63 ± 0.01
0.64 ± 0.01
Berat 1000 biji (g)
1.14 ± 0.01
1.22 ± 0.07
1.24 ± 0.12
1.19 ± 0.03
Berat malai (g)
1.29 ± 0.64
1.63 ± 0.75
1.25 ± 0.68
4.17 ± 1.96
Berat biji/malai (g)
0.99 ± 0.48
1.32 ± 0.60
1.02 ± 0.55
3.35 ± 1.54
77.23 ± 4.30
81.49 ± 3.10 81.31 ± 3.47
80.27 ± 2.53
Persentase berat biji per malai (%)
Tabel diatas menunjukkan bahwa persentase berat biji per malai pada bagian tengah paling besar dibandingkan dengan pada bagian yang lainnya yaitu sebesar (81.49 ± 3.10)%, sedangkan yang terkecil pada bagian pangkal sebesar (77.23 ± 4.30) % dan pada bagian ujung mempunyai persentase berat biji per malai sebesar (81.31 ± 3.47)%. Pengukuran karakteristik malai buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 6 dan persentase berat biji per malai dapat dilihat pada Lampiran 9.
4. Perontokan secara manual Pengukuran terhadap perontokan secara manual meliputi kapasitas perontokan, rendemen dan susut tercecer biji. Kapasitas perontokan, rendemen dan susut tercecer dapat dilihat pada Tabel 5. Kerontokan biji hotong dari malainya dapat dilakukan dengan empat metode yaitu : a. Biji dirontokan dengan cara diurut sampai 15 kali oleh tangan bertekanan rendah, biji yang berhasil dirontokan lebih dari 85% seluruh biji pada malai dan malai tidak patah.
b. Biji dirontokan dengan cara digilas oleh tangan diatas permukaan meja sampai 5 kali bertekanan rendah, biji yang berhasil dirontokan lebih dari 85% dari seluruh biji pada malai dan malai tidak patah. c. Biji dirontokan dengan digilas oleh kedua tangan sampai 9 kali bertenaga agak kuat, biji yang berhasil dirontokan lebih besar dari 85% dari seluruh biji pada malai dan malai tidak patah. d. Biji dirontokan dengan dibanting ke permukaan meja sampai 10 kali bertenaga kuat, biji yang berhasil dirontokan sekitar 20% dari seluruh biji pada malai dan malai tidak patah. Perontokan secara manual dilakukan dengan berbagai kecepatan yakni kecepatan rendah, kecepatan sedang dan kecepatan tinggi. Cara perontokan secara manual ini yaitu dengan cara menggerak-gerakkan jari telunjuk yang bertemu dengan ibu jari sambil menekan atau semacam mengurut searah dari pangkal sampai ujung malai. Kapasitas perontokan didapat dari berat biji terontokan dibagi dengan berat malai awal.
Tabel 5. Perontokan buru hotong secara manual Komponen Kecepatan tinggi Kecepatan sedang
Kecepatan rendah
Kapasitas (kg/jam)
0.59 ± 0.004
0.51 ± 0.012
0.41 ± 0.008
Rendemen (%)
70.70 ± 1.30
72.62 ± 0.67
75.84 ± 0.19
Susut tercecer (%)
8.11 ± 1.58
5.64 ± 0.97
1.51 ± 0.02
Tabel diatas menunjukkan bahwa perontokan pada kecepatan tinggi diperoleh kapasitas yang tinggi yakni (0.59 ± 0.004) kg/jam, tetapi diperoleh rendemen yang kecil dan susut tercecer yang besar yakni rendemennya sebesar (70.70 ± 1.30)% dan susut tercecernya sebesar (8.11 ± 1.58)%, sedangkan dengan kecepatan yang rendah diperoleh kapasitas yang rendah sebesar (0.41 ± 0.008) kg/jam, tetapi diperoleh rendemen yang besar yakni (75.84 ± 0.19)% dan susut
tercecer yang cukup kecil sebesar (1.51 ± 0.02)%. Perontokan dengan kecepatan sedang menghasilkan kapasitas sebesar (0.51 ± 0.012) kg/jam, dan menghasilkan rendemen sebesar (72.62 ± 0.67)%, serta menghasilkan susut tercecer sebesar (5.64 ± 0.97)%. Perontokan secara manual ini menghasilkan kapasitas yang sangat rendah maka diperlukan suatu alat yang dapat membantu untuk meningkatkan kapasitas perontokan. Perhitungan perontokan manual dapat dilihat pada Lampiran 10.
5. Pengeringan Proses pengeringan hasil pertanian dapat dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan cara pemberian udara panas secara buatan. Pengeringan dengan menjemur diatas suatu lamporan merupakan cara pengeringan alami yang memanfaatkan energi matahari. Pengeringan dengan cara ini memerlukan tempat yang luas, waktu yang lama, membutuhkan banyak tenaga manusia dan mutu hasil pengeringannya tergantung pada cuaca. Pengeringan buatan menggunakan alat pengering mekanis dimana suhu, kelembaban nisbi udara, kecepatan pengeringan dapat diatur dan diawasi. Gambar pengering buatan yang di pakai untuk pengeringan buru hotong dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Pengering buatan tipe rak
Pengeringan ini bertujuan untuk memperoleh nilai kadar air biji hotong yang akan disosoh dengan mesin penyosoh dan setelah disosoh akan ditepungkan dengan mesin penepung biji hotong sebagai bahan perbandingan. Pengeringan biji hotong ini dilakukan dengan menggunakan alat pengering tipe rak yang terletak di AP4 (Agricultural Products Processing Pilot Plants). Proses pengeringan dilakukan pada suhu 60oC untuk keperluan bahan baku pangan. Pengeringan menghasilkan kadar air berturut-turut 6.2%, 8.5% dan 11.1%. Perhitungan pengeringan buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 8.
B. UJI PERFORMANSI MESIN PENYOSOH BURU HOTONG Data hasil pengujian dari mesin penyosoh biji hotong pada berbagai tingkat kadar air biji hotong dapat dilihat pada Tabel 6. Dari Tabel 6, perubahan kadar air biji hotong berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas mesin penyosoh kulit biji hotong, rendemen penyosohan, efektifitas kipas penyosoh, susut tercecer, dan kualitas penyosohan buru hotong. Contoh perhitungan performansi mesin penyosoh buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 20. Tabel 6. Karakteristik teknik mesin penyosoh biji hotong Kriteria
Kadar air 11.1%
Kadar air 8.5%
Kadar air 6.2%
Kapasitas penyosohan (kg/jam)
44.86
40.90
32.15
Rendemen (%)
60.17
62.80
68.97
Efektifitas kipas (%)
14.95
15.29
14.56
Susut tercecer (%)
6.58
3.51
5.83
Persentase biji Tersosoh (%)
91.86
92.97
93.00
Persentase biji tak tersosoh (%)
1.00
1.93
3.03
Persentase biji pecah (%)
7.14
5.11
3.97
a. Kapasitas Penyosohan Buru Hotong Kapasitas penyosohan adalah banyaknya bahan yang disosoh per satuan waktu (jam). Semakin banyak bahan yang tersosoh dalam waktu yang relatif singkat menunjukkan bahwa kapasitas yang dicapai semakin tinggi, dan sebaliknya semakin sedikit bahan yang tersosoh dalam waktu yang lama berarti kapasitas penyosohan yang dicapai akan rendah. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas penyosohan pada penyosohan biji hotong menggunakan mesin penyosoh pada taraf nyata 0.05. Peningkatan kadar air bahan menunjukkan peningkatan pada kapasitas penyosohan. Kapasitas penyosohan yang tertinggi adalah pada
kadar air 11.1% yakni sebesar 44.86 kg/jam. Kapasitas penyosohan yang terendah adalah pada kadar air 6.2% yakni sebesar 32.15 kg/jam, sedangkan pada kadar air 8.5% mempunyai kapasitas penyosoh sebesar 40.90 kg/jam. Peningkatan kapasitas penyosohan pada tingkat kadar air yang meningkat dapat disebabkan karena faktor bahan. Kadar air bahan diturunkan dengan cara pengeringan menyebabkan ukuran bahan tersebut menjadi lebih kecil dibandingkan jika tidak dikeringkan. Kadar air yang lebih tinggi dapat menyebabkan biji hotong mudah tersosoh karena dengan ukuran biji yang besar maka memungkinkan terjadinya gesekan antara biji dengan biji, biji dengan roller, dan biji dengan plat dan begitu juga sebaliknya jika kadar air lebih rendah maka proses penyosohan semakin lambat, oleh karena itu kapasitas penyosohan semakin menurun pula. Hubungan antara kadar air dengan kapasitas penyosohan dapat dilihat pada Gambar 15. Pengukuran kapasitas penyosohan buru hotong dapat dilihat
Kapasitas Penyosohan (Kg/jam)
pada Lampiran 11.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 15. Hubungan antara kadar air dengan kapasitas penyosohan b. Rendemen Penyosohan Buru Hotong Rendemen penyosohan biji bersih hasil penyosohan diperoleh dengan cara membagi berat biji hasil penyosohan dengan berat awal bahan yang disosoh kemudian dikali dengan 100%. Rendemen ini merupakan hasil dari 3 (tiga) kali proses penyosohan dengan cara pengulangan pada
proses penyosohan. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen penyosohan pada penyosohan biji hotong menggunakan mesin penyosoh pada taraf nyata 0.05. Data hasil pengujian mesin penyosoh biji hotong ini menunjukkan bahwa
peningkatan
kapasitas
mesin
pada
proses
penyosohan
mengakibatkan rendemen penyosohan mengalami penurunan. Rendemen tertinggi diperoleh ketika kadar airnya rendah yakni pada kadar air 6.2% sebesar 68.97% dan rendemen terkecil diperoleh ketika kadar air 11.1% sebesar 60.17%, sedangkan pada kadar air 8.5% maka diperoleh rendemen 62.80%. Hal ini disebabkan karena ketika pada kadar air tinggi akan mengakibatkan biji hotong saling menempel dan menempel pada roller dan menempel pada rumah penyosoh akibatnya biji hotong yang keluar akan sedikit karena tertahan pada rumah penyosoh sehingga rendemen penyosohan akan semakin menurun. biji hotong banyak yang keluar melalui celah yang ada pada rumah penyosoh. Begitu juga sebaliknya, kadar air rendah akan mengakibatkan biji tidak saling menempel dan juga tidak menempel pada roller dan tidak menempel pada rumah penyosoh, sehingga biji hotong akan sedikit tertahan pada rumah penyosoh, akibatnya rendemen yang dihasilkan akan tinggi karena banyak biji hotong yang keluar melalui lubang pengeluaran. Hubungan antara kadar air dengan peningkatan rendemen dapat dilihat pada Gambar 16. Pengukuran rendemen penyosohan buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 11.
Rendemen Penyosohan (%)
70 68 66 64 62 60 58 56 54 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 16. Hubungan rendemen penyosohan dengan kadar air
c. Efektifitas Kipas Penyosohan Buru Hotong Setelah melalui proses penyosohan di dalam rumah penyosoh, kulit biji yang telah tersosoh, debu dan kotoran masih bercampur dengan biji yang telah tersosoh, untuk memisahkan kulit biji dan kotoran tersebut supaya mendapatkan hasil penyosohan yang bersih, maka diperlukan suatu aliran udara dengan kecepatan tertentu sehingga kulit biji dan kotoran dapat dipisahkan dengan biji yang tersosoh. Hal ini menggunakan prinsip bahwa aliran udara dapat menghisap sekaligus menghembuskan kulit biji dan kotoran. Aliran udara penghisap sekaligus penghembus ini dapat dihasilkan oleh blower (kipas) tipe sentrifugal berbentuk siput. Efektifitas kipas sangat rendah, efektifitas kipas diperoleh dengan cara membagi jumlah dedak yang dapat dihisap oleh kipas dengan jumlah dedak keseluruhan yang dihasilkan dari proses penyosohan ini. Efektifitas kipas yang rendah diakibatkan oleh adanya celah pada pada blower dan panjang selang yang menghubungkan antara lubang pengeluaran biji hotong dengan lubang pengeluaran dedak terlalu panjang serta diameter selang yang terlalu lebar. Adanya celah pada blower mengakibatkan dedak keluar melalui celah kipas sehingga dedak berhamburan keluar dan menyebabkan keadaan sekitar mesin penyosoh kotor. Panjang selang yang terlalu panjang mengakibatkan penghisapan dedak menuju saluran pengeluaran dedak sangat sulit karena energi yang dibutuhkannya sangat
besar, akibatnya banyak dedak hotong keluar bersama-sama dengan biji hotong sosoh melalui saluran pengeluaran biji hotong sosoh. Diameter yang terlalu lebar akan mengakibatkan kecepatan hisap semakin berkurang, sehingga kemampuan menghisap dedak berkurang pula, dengan demikian dedak akan keluar bersama-sama dengan biji hotong sosoh. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap efektifitas kipas penyosohan pada penyosohan biji hotong menggunakan mesin penyosoh pada taraf nyata 0.05. Pengukuran efektifitas kipas dapat dilihat pada Lampiran 12. Perbedaan kadar air berpengaruh terhadap efektifitas kipas hal ini dapat dilihat pada Gambar 17, yakni bahwa pada kadar air 8.5% diperoleh efisien yang paling tinggi dibandingkan dengan kadar air yang lainnya, yakni sebesar 15.29%, pada kadar air 6.2% diperoleh efektifitas kipas sebesar 14.56%, sedangkan pada kadar air 11.1% diperoleh efektifitas sebesar 14.95%. Ini menunjukkan bahwa dengan kandungan kadar air yang tinggi menyebabkan efektifitas kipas yang rendah, ini disebabkan karena dedak biji hotong tersebut juga mempunyai kadar air yang tinggi sehingga kipas kurang mampu menghisap dedak, akibatnya dedak akan keluar bersama-sama dengan biji hotong sosoh melalui saluran biji hotong sosoh, dan bila kadar air terlalu rendah maka dedak biji banyak yang keluar melalui celah akibatnya dedak yang keluar melalui kipas sedikit yang menagkibatkan efektifitas kipas terlalui rendah.
Efektifitas Kipas (%)
15.4 15.2 15 14.8 14.6 14.4 14.2 14 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 17. Hubungan efektifitas kipas dengan kadar air
d. Susut Tercecer Penyosohan Buru Hotong Susut tercecer biji hotong hasil penyosohan diperoleh dengan cara membagi berat biji yang tercecer pada penyosohan dengan berat biji yang disosoh kemudian dikali dengan 100%. Susut tercecer ini diperoleh dengan cara mengambil biji yang tercecer ketika waktu penyosohan berlangsung dan biji tidak tertampung pada tempat penampung. Hubungan antara susut tercecer dengan kadar air dapat dilihat pada Gambar 4. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap susut tercecer penyosohan pada taraf nyata 0.05. Biji tercecer terjadi karena ketika penyosohan biji hotong ada yang keluar dari celah mesin dan ada pula yang keluar dari tempat penampungan. Gambar 18 menunjukkan bahwa susut tercecer terendah terjadi pada kadar air 8.5% sebesar 3.51%, sedangkan susut tercecer terbesar terjadi pada kadar air 11.1% sebesar 6.58%. Susut tercecer pada kadar air 6.2% sebesar 5.83%. Hal ini disebabkan karena dengan kadar air yang tinggi yaitu 11.1% maka menghasilkan kapasitas yang tinggi sehingga biji banyak yang keluar dari penampungan penyosoh dan keluar dari celah yang ada pada rumah penyosoh, akibatnya susut tercecer juga akan semakin besar, begitu juga dengan kadar air yang rendah yaitu 6.2%
juga menyebabkan susut tercecer yang cukup besar pula. Pengukuran persentase susut tercecer dapat dilihat pada Lampiran 13.
Susut Tercecer (%)
7 6 5 4 3 2 1 0 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 18. Hubungan susut tercecer dengan kadar air
e. Kualitas Penyosohan Buru Hotong Biji yang tersosoh dengan baik adalah biji yang telah bersih dari kulitnya, warna hasil penyosohan kuning terang. Kualitas penyosohan yang baik adalah persentasi biji utuh dan tersosoh setinggi mungkin, biji tidak tersosoh dan biji pecah serendah mungkin. Kualitas penyosohan dapat dilihat pada Gambar 19. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap kualitas penyosohan pada taraf nyata 0.05.
Gambar 19. Kualitas penyosohan buru hotong Persentase biji tersosoh tertinggi diperoleh pada saat penyosohan pada kadar air 6.2% sebesar 93.00% dan mempunyai persentase biji pecah
yang paling rendah yaitu sebesar 3.97%, namun persentase biji tidak tersosoh paling tinggi sebesar 3.03%. Hal ini disebabkan karena dengan kadar air yang rendah maka biji yang mempunyai kadar air yang rendah akan memerlukan waktu yang cukup lama dalam penyosohan sehingga biji yang akan tersosoh kemungkinan besar akan banyak, tetapi kelemahan penyosohan dengan kadar air yang cukup rendah akan menyebabkan biji sulit tersosoh karena kulit dengan biji melekat sangat kuat. Gambar hubungan antara kadar air dengan kualitas penyosohan dapat dilihat pada
Kualitas Penyosohan (%)
Gambar 20.
100 80
Biji Tersosoh
60
Biji Tidak Tersosoh
40
Biji Pecah
20 0 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 20. Hubungan kualitas penyosohan dengan kadar air Persentase biji tersosoh terendah diperoleh pada saat penyosohan pada kadar air 11.1% sebesar 91.86% dan mempunyai persentase biji pecah yang paling tinggi yakni sebesar 7.14%. Persentase biji tidak tersosoh pada kadar air 11.1% merupakan persentase yang paling rendah dibandingkan pada kadar air yang lainnya yaitu sebesar 1.00%. Hal ini disebabkan karena dengan kadar air yang tinggi maka biji
akan
memerlukan waktu yang cukup cepat untuk disosoh sehingga biji yang akan tersosoh kemungkinan akan sedikit, tetapi kelebihannya penyosohan dengan kadar air yang cukup tinggi akan menyebabkan biji yang tidak tersosoh sedikit. Persentase biji tersosoh pada kadar air 8.5% adalah sebesar 92.97%, sedangkan persentase biji tidak tersosoh sebesar 1.93% dan
persentase biji pecah sebesar 5.11%. Pengukuran persentase kualitas penyosohan dapat dilihat pada Lampiran 13. Rata-rata biji hotong yang tersosoh dapat dilihat bahwa besarnya daiatas 90% tetapi dibawah 100%, jadi bila dibandingkan dengan kualitas sosohan beras maka biji sosoh buru hotong ini termasuk kualitas B yaitu dengan syarat biji yang tersosoh diatas 90%. Beras sosoh yang termasuk kualitas yang paling bagus yaitu tidak ada beras yang tidak tersosoh atau dengan kata lain bahwa beras tersosoh 100%. Ini digolongkan pada Kualitas A.
C. UJI PERFORMANSI MESIN PENEPUNG BURU HOTONG Data hasil pengujian dari mesin penepungan biji hotong pada berbagai tingkat kadar air biji hotong dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7, perubahan kadar air biji hotong berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas mesin penepung buru hotong, rendemen penepungan, susut tercecer, dan kualitas penyosohan buru hotong. Contoh perhitungan performansi mesin penepung buru hotong dapat dilihat pada Lampiran 21. Tabel 7. Karakteristik teknik mesin penepung biji hotong Kriteria
Kadar air 11.1%
Kadar air 8.5%
Kadar air 6.2%
Kapasitas penepungan (kg/jam)
6.618
7.928
7.282
Rendemen penepungan (%)
88.52
86.6
84.64
Susut tercecer (%)
11.48
13.4
15.36
Modulus Kehalusan
1.25
1.63
1.29
Ukuran Tepung (inchi)
0.014
0.016
0.015
a. Kapasitas Penepungan Buru Hotong Kapasitas penepungan menunjukkan kemampuan alat penepung, yaitu kemampuan menepung sejumlah bahan dalam waktu tertentu. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap kapasitas penepungan biji hotong pada taraf nyata 0.05.
Tabel 7 menunjukkan bahwa hubungan antara kadar air dengan kapasitas penepungan adalah apabila kadar air biji hotong terlalu basah dan terlalu kering maka menghasilkan kapasitas yang rendah yakni pada kadar air 6.6% menghasilkan kapasitas mesin penepung sebesar 7.282kg/jam dan pada kadar air 11.1% menghasilkan kapasitas 6.618kg/jam, dan apabila kadar air biji hotong sebesar 8.5% menghasilkan kapasitas mesin yang paling bagus dibandingkan dengan kadar air yang lainnya yaitu menghasilkan kapasitas mesin sebesar 7.928kg/jam. Hal ini disebabkan karena apabila kadar air yang terlalu tinggi maka biji yang menjadi tepung akan banyak menempel pada pisau akibatnya akan memerlukan waktu yang lama untuk menepungkan biji hotong, oleh sebab itu kapasitas yang dihasilkan akan rendah. Begitu juga pada kadar air yang rendah, penepungan akan memerlukan waktu yang lama karena banyak biji tepung yang tidak saling menempel akibatnya pisau akan kesulitan dalam menepungkan biji hotong. Hubungan kadar air dengan kapasitas mesin penepung dapat dilihat pada Gambar 21. Pengukuran kapasitas
Kapasitas Penepungan (%)
penepungan dapat dilihat pada Lampiran 14.
8.50 8.00 7.50 7.00 6.50 6.00 5.50 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 21. Hubungan kadar air dengan kapasitas mesin penepung biji Hotong
b. Rendemen Penepungan Buru Hotong Rendemen menunjukkan persen hasil, yaitu perbandingan berat akhir dan berat awal penepungan dikalikan dengan 100. Rendemen ini menunjukkan pula persen tepung yang hilang selama proses penepungan. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen tepung pada penepungan biji hotong menggunakan mesin penepung pada taraf nyata 0.05. Tabel 7 menunjukkan bahwa hubungan kadar air dengan rendemen tepung pada penepungan biji hotong menggunakan mesin penepung adalah semakin tinggi kadar air biji hotong maka rendemen yang dihasilkan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya, apabila kadar air biji hotong semakin rendah maka rendemen yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena apabila kadar air terlalu tinggi maka penepungan akan lebih mudah terjadi, sebab sifat biji hotong adalah liat. Proses ini juga
Rendemen Penepungan (%)
terlihat pada Gambar 22.
89 88 87 86 85 84 83 82 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 22. Hubungan kadar air dengan rendemen penepungan biji hotong Gambar diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar airnya maka semakin tinggi rendemen tepung pada proses penepungan biji hotong. Rendemen yang dihasilkan pada kadar air 6.2% merupakan rendemen yang paling rendah yaitu sebesar 84.64%, sedangkan pada kadar
air 8.5%, rendemen penepungannya sebesar 86.6%. Rendemen sebesar 88.52% merupakan rendemen penepungan pada kadar air 11.1% yang merupakan rendemen penepungan buru hotong yang paling besar. Pengukuran rendemen penepungan dapat dilihat pada Lampiran 14.
c. Susut Tercecer Penepungan Buru Hotong Besarnya susut tercecer biji hotong hasil penepungan diperoleh dengan cara membagi berat biji yang tercecer pada proses penepungan dengan berat tepung kemudian dikali dengan 100%. Susut tercecer ini diperoleh dengan cara mengambil tepung yang tercecer ketika waktu penepungan berlangsung dan tepung tidak tertampung pada tempat penampung. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap susut tercecer tepung pada penepungan biji hotong menggunakan mesin penepung pada taraf nyata 0.05. Tepung tercecer terjadi karena ketika penepungan terjadi banyak tepung yang menempel pada rumah penepung dan pisau mesin penepung dan ada pula yang keluar dari tempat penampungan. Gambar 23 menunjukkan bahwa susut tercecer terendah terjadi pada kadar air 11.1% sebesar 11.48%, sedangkan susut tercecer terbesar terjadi pada kadar air 6.2% sebesar 15.36%. Susut tercecer pada kadar air 8.5% sebesar 13.4%. Hal ini menunjukkan bahwa apabila kadar air sangat tinggi maka susut tercecer akan kecil karena dengan kadar air yang tinggi maka proses penepungan akan lebih mudah terjadi karena sifat prinsip mesin penepung adalah dengan cara pemotongan dan cocok untuk bahan yang liat. Begitu juga sebaliknya, kadar air yang rendah akan menimbulkan susut tercecer yang tinggi, hal ini disebabkan karena proses penepungan sulit terjadi sebab biji hotong terlalu kering akibatnya pisau yang memotong biji yang kering sulit untuk mengecilkan ukuran biji tersebut. Pengukuran susut tercecer penepungan dapat dilihat pada Lampiran 14.
18
Susut Tercecer (%)
16 14 12 10 8 6 4 2 0 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 23. Hubungan antara kadar air dengan susut tercecer pada proses penepungan
d. Derajat Kehalusan Penepungan Buru Hotong Derajat kehalusan (fineness modulus) merupakan bilangan yang mewakili ukuran rata-rata partikel bahan hasil penepungan, dengan menggunakan test pengayakan Tyler maka dapat diketahui derajat kehalusannya dengan menggunakan jumlah masing-masing fraksi yang tertahan pada tiap ayakan dikalikan dengan menggunakan faktor pengalinya dan dibagi 100. pengukuran berat tepung buru hotong yang tertampung pada tiap mesh pada ayakan tyler pada bebagai kadar air dapat dilihat pada Lampiran 15. Lampiran tersebut menunjukkan bahwa yang lolos pada mesh 60 pada perlakuan kadar air 6.2%, 8.5% dan 11.1% adalah berturut-turut sebesar 17.44%, 20.77% dan 21.78%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tepung ini sangat rendah karena tepung yang lolos pada mesh 60 di bawah 90%, dimana angka 90% ini syarat sebagai tepung tapioka dapat dipasarkan, untuk itu perlu penanganan khusus pada penepungan hotong agar diperoleh kualitas tepung yang bagus. pada kadar air 6.2% mempunyai derajat kehalusan yang rendah yakni 1.29, begitu juga pada kadar air yang rendah yakni pada kadar air 11.1% maka derajat kehalusannya sebesar 1.25. Derajat kehalusan pada kadar air 8.5% adalah sebesar 1.63. Perbedaan kadar air biji hotong
berpengaruh sangat nyata terhadap derajat kehalusan tepung pada taraf nyata 0.05. Pengukuran persentase berat tepung buru hotong yang tertampung pada tiap mesh pada ayakan tyler pada bebagai kadar air dapat dilihat pada Lampiran 16. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara derajat kehalusan yang satu dengan yang lainnya pada proses penepungan dengan perbedaan kadar air. Kadar air 11.1% dan 6.2% merupakan kadar air yang cocok untuk memperoleh derajat kehalusan yang bagus, karena menghasilkan kehalusan tepung yang cukup baik. Ini disebabkan karena dengan kadar air yang rendah maka pisau penepung akan lebih mudah memecahkan biji hotong hingga halus dan dengan kadar air yang tinggi maka kehalusan tepung akan diperoleh karena sifat biji hotong adalah liat sehingga hotong akan menempel pada pisau akibatnya pisau akan menghaluskan biji hotong menjadi tepung yang halus. Gambar kualitas penepungan buru hotong dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Kualitas tepung buru hotong sosoh berdasarkan meshnya Hasil test pengayakan tyler menunjukkan bahwa tepung biji hotong yang dihasilkan oleh mesin penepung biji hotong tertahan pada fraksi halus dan sedang, yaitu mulai ayakan 28 mesh sampai pan. Hubungan kadar air buru hotong terhadap derajat kehalusan tepung biji hotong dapat dilihat pada Gambar 25. Pengukuran derajat kehalusan tepung biji hotong dapat dilihat pada Lampiran 17.
1.80
Derajat Kehalusan
1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 25. Hubungan antara kadar air dengan derajat kehalusan tepung biji hotong
e. Ukuran Partikel Tepung Buru Hotong Ukuran partikel tepung dapat menunjukkan kehalusan tepung, semakin kecil ukuran tepung maka semakin halus tepung tersebut, dan sebaliknya, bila ukuran tepung semakin besar maka tingkat kehalusan tepung semakin kasar. Ukuran partikel ini dapat diperoleh dengan rumus D = 0.0041 x (2)FM dimana D adalah ukuran partikel tepung, sedangkan FM adalah derajat kehalusan. Gambar 26 menunjukkan bahwa pada kadar air sebesar 6.2% mempunyai ukuran partikel tepung buru hotong sebesar 0.015 inchi, sedangkan pada kadar air 8.5% menghasilkan ukuran rata-rata tepung biji hotong sebesar 0.016 inchi. Ukuran rata-rata tepung pada kadar air 11.1% adalah sebesar 0.014 inchi. Jadi, penepungan dengan kadar air 11.1% mempunyai kehalusan tepung yang paling bagus karena ukuran rata-rata partikel tepungnya paling rendah. Perbedaan kadar air biji hotong berpengaruh sangat nyata terhadap ukuran partikel tepung pada taraf nyata 0.05. Hubungan kadar air Buru hotong dengan ukuran partikel tepung dapat dilihat pada Gambar 23. Pengukuran ukuran partikel tepung biji hotong Lampiran 17.
Ukuran Partikel Tepung (inchi)
0.0165 0.0160 0.0155 0.0150 0.0145 0.0140 0.0135 0.0130 6.20%
8.50%
11.10%
Kadar Air
Gambar 26. Hubungan antara kadar air dengan ukuran partikel tepung Berdasarkan pertimbangan kadar air biji hotong yang digunakan, pengoperasian mesin penyosoh dan penepung biji hotong akan lebih optimal pada saat kadar air biji hotong sebesar 11.1%. Dalam kondisi operasional dengan menggunakan kadar air biji hotong 11.1%, mesin penyosoh dapat menghasilkan kapasitas yang lebih tinggi (44.86kg/jam), persentase biji tak tersosoh paling sedikit (1%), efektifitas kipas yang cukup tinggi (14.95%), dan persentase biji tersosoh yang cukup besar (91.86%). Dalam kondisi operasional dengan menggunakan kadar air biji hotong 11.1%, mesin penepung dapat menghasilkan rendemen paling tinggi (88.52%), susut tercecer paling rendah (11.48%), derajat kehalusan paling kecil (1.25), dan ukuran partikel tepung paling kecil (0.014 inchi).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN 1.
Posisi
biji
dalam
setiap
malai
berpengaruh terhadap kandungan gizi biji hotong, malai bagian tengah mengandung kadar protein dan karbohidrat yang lebih tinggi dan kadar abu dan kadar air lebih rendah dibandingkan dengan bagian ujung dan pangkal malai, sedangkan kadar Lemak tertinggi terdapat pada bagian ujung malai. Dimensi biji hotong pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan pada bagian tengah dan ujung. Massa jenis rata-rata biji hotong paling besar terletak pada bagian tengah. Berdasarkan pertimbangan posisi malai, konsumsi hotong sebagai bahan pangan akan lebih bagus pada posisi malai bagian tengah. 2.
Kadar
air
berpengaruh
terhadap
kapasitas, rendemen, susut tercecer, dan kualitas selama proses penyosohan. •
Kapasitas penyosohan tertinggi adalah pada kadar air
11.1% yaitu sebesar 26.32 kg/jam. •
Rendemen tertinggi, persentase biji tersosoh tertinggi,
dan persentase biji pecah yang paling rendah terjadi pada saat penyosohan dengan kadar air 6.2%, yaitu berturut-turut sebesar 68.97%, 93% dan 3.97%. 3.
Kadar
air
berpengaruh
terhadap
kapasitas, rendemen, susut tercecer, dan kualitas selama proses penepungan. •
Rendemen tertinggi, susut tercecer penepungan yang
paling rendah,
derajat kehalusan dan ukuran partikel tepung
terkecil terjadi pada saat penepungan dengan kadar air 11.1%, yaitu berturut-turut sebesar 88.52%, 11.48%, 1.25 dan 0.014 inchi. •
Kapasitas penepungan tertinggi terjadi pada saat
penepungan dengan kadar air 8.5% sebesar 7.282 kg/jam.
Berdasarkan pertimbangan kadar air
4.
biji hotong yang digunakan, pengoperasian mesin penyosoh dan penepung biji hotong akan lebih optimal pada saat kadar air biji hotong sebesar 11.1%.
B.
SARAN 1.
Blower dan selang untuk menyerap sampah perlu dikaji lagi karena menghasilkan efisiensi yang rendah dan perlu perbaikan pada rumah penyosoh karena biji hotong dan dedak ada yang keluar lewat celah yang ada pada rumah penyosoh.
2.
Mesin penepung buru hotong perlu dimodifikasi lagi terutama pada putaran pisau penepung perlu ditambah rpmnya sehingga dapat diperoleh kapasitas dan kualitas penepungan yang baik.
3.
Mesin penyosoh dan penepung buru hotong
perlu
dikembangkan
lagi
agar
penyosohan dan penepungan yang bagus.
diperoleh
performansi
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K., Atjeng M. Syarief, Ervan A, Nugroho, Darmawan Subekti. 1989. Teknik Pengolahan Hasil Pertanian Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Albin, R., Drake, c. 1971. Sorghum grain can be improved. In The Grain Sorghum Research and Utilization Conference. Grain Sorghum Producers Association, Texas. Anonim. 2005. Hotong : Budidaya, Analisis Untung Rugi dan kandungan Gizi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Namlea, Pemda Kabupaten Buru. Araullo, E. V., D. B. Padua and M. Graham. 1976. Rice Post Harvest Technology. International development Research Centre, Jakarta. Arifudin, R. 1993. Pembuatan Tepung Ikan. Sub Balai Penelitian Laut Slipi, Jakarta. As’ady, A. S. 1986. Rancangan dan Uji Teknis Prototipe Alat Penepung Ikan Semi Mekanis. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Brennan, J. G., J. R. Butters, N. D. Cowwel and A. E. V. Lilly. 1969. Food Engginering Operations. Elsevier Publishing Co., New York. Curay . 1951. Di Dalam Mohsenin, N. N. 1970. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and Breach Science Publisher, Inc., New York. Daywin, F. J., Moelyarno D., dan R. G. Sitompul. 1990. Motor Bakar Internal dan Tenaga di Bidang Pertanian. JICA-IPB, Bogor. Esmay, M., Soemangat, Eriyatno Allan Philips. 1979. rice Post Production in The Tropica. The University Press Hawai, Honolulu. Grist, D. H. 1975. rice. 5 th ed, Lungmans, London. Gunarto, B. 1978. Rice Milling in Indonesia, its Problem in 1978. Directorate of Food Crop Economics. Departement of Agriculture, Jakarta.
Hadiwiyoto, S., Hardiman, dan Soehardi, 1980. Penanganan Lepas Panen I. Bagian Proyek Pengadaan Buku, Departemen Pendidikan Kebudayaan RI. Jakarta. Hall, C. W., dan D. C. Davis. 1978. Processing Equipment for Agricultural Product 2nd edition. The AVI Pub. Company, Inc., Westport, Conecticut. Handerson, S. M. and R. L. Perry. 1978. Agricultural Process Engineering. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connectcut, USA. Hardjosentono, M., Wiyono, Elon Rachman, I. Y. Badra dan Dadang Tarmana. 1978. Mesin-Mesin Pertanian. CV Yasaguna, Jakarta. Hunt, D. 1983. Farm Power and Machinery Management. 8th edition. Iowa State University Press, Ames, Iowa. Ismayandi. 1985. Desain dan Uji Teknis Alat Penggiling Jagung. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Kharisun, A. 2003. Uji Performansi Perontok Hotong (Setaria italica (L.) Beauv) pada Berbagai Ukuran Puli II. Skripsi. Fakultas teknologi Pertanian IPB, Bogor. Kurniawan, K. L. 1977. Mempelajari Pengaruh Varietas, Kadar Air, dan waktu Sosoh Terhadap Rendemen dan Mutu Sorgum Sosoh. Tesis. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta-IPB, Bogor. Kusmiarso, B. 1987. Pengkajian Performansi Teknik pada Proses Penggilingan Tepung Sekam dengan Penggiling Pisau. Fateta, IPB, Bogor. Leniger, H. A., dan W. A. Baverloo. 1975. Food Process Engineering. D. Reidel Publishing Company, Dordreht, Holland. Loncin, M. dan R. L. Merson. 1979. Food Engineering Principles and Selected Applications. Academic Press, New York, Toronto, London. Mohsenin, N. N. 1970. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and Breach Science Piblisher, Inc., New York. Okristian, J. 1999. Proses Produksi Tepung Terigu di PT. Bogasari Fluor Mills. Laporan Praktek Lapang. Jurusan Teknik Pertanian, IPB, Bogor. Pamudji, H. 1983. Mempelajari Pengaruh Kecepatan Gigi dan Intensitas Gilingan serta Bentuk Pemukul terhadap Kebutuhan Tenaga dan Mutu Hasil Gilingan Jagung pada Hammer Mill. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
Pratomo, Moedjijarto. 1975. Teknik Pengolahan Hasil Pertanian. Pedoman Kuliah. Departemen Mekanisasi Pertanian. Fakultas Mekanisasi Teknologi Hasil Pertanian, IPB, Bogor. Purwadaria, H. K. 1980. Pengolahan Sorgum Terutama pada Penyosohannya. IPB, Bogor. Rokhani. 1989. Uji Performansi Pengering Tipe Rak pada Pengeringan Jahe dan Kunyit serta Pengaruh Perlakuan Bahan Terhadap Mutu yang Dihasilkan. Fateta, IPB, Bogor. Rokhani, H., Sutrisno, dan Sam Herodian. 2003. Teknologi Pengolahan Hermada dalam Rangka Diversivikasi Usaha Tani Hotong. Makalah Lokakarya Pengembangan Hotong-Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. Hotel Indonesia. Jakarta 6 – 7 Oktober 2003. Soesarsono, W. 1977. Teknik Pengolahan dan Penyimpanan Hasil Panen. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta-IPB, Bogor. Suwelo, I. S. 1980. Laporan Kemajuan Penelitian Pemuliaan Jagung, Sorgum dan Gandum. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar timbangan analitik dan timbangan biasa
Timbangan analitik
Timbangan biasa Lampiran 2. Gambar gelas ukur, oven dan ayakan tyler
Gelas ukur
Oven
Ayakan tyler Lampiran 3. Analisa proksimat untuk mengetahui kandungan gizi buru hotong Komponen Portein Total Karbohidrat Total Lemak Total Kadar air
Pangkal 13.28 13.08 13.18 ±0.14 67.39 67.78 67.59 ±0.28 3.88 3.55 3.72 ±0.23 11.87 11.82
Tengah 13.16 13.56 13.36 ±0.28 67.97 67.85 67.91 ±0.09 4.06 3.61 3.84 ±0.32 11.78 11.85
Ujung 13.43 13.28 13.36 ±0.11 67.34 67.63 67.49 ±0.21 4.12 3.96 4.04 ±0.11 11.77 11.91
Total Abu Total
11.85 ±0.04 3.58 3.77 3.68 ±0.13
11.82 ±0.05 3.03 3.13 3.08 ±0.07
11.84 ±0.10 3.34 3.22 3.28 ±0.08
Lampiran 4. Dimensi biji tiap bagian malai hotong Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Ratarata
Panjang Biji (mm) Pangkal Tengah Ujung
Lebar Biji (mm) Pangkal Tengah Ujung
Tebal Biji (mm) Pangkal Tengah Ujung
1.65 1.61 1.48 1.48 1.62 1.65 1.69 1.63 1.51 1.45 1.75 1.56 1.23 1.59 1.54 1.41 1.63 1.52 1.68 1.66 1.68 1.70 1.65 1.72 1.62 1.59 ±0.12
1.33 1.33 1.16 1.22 1.21 1.34 1.10 1.28 1.29 1.39 1.28 1.27 1.18 1.29 1.26 1.27 1.30 1.28 1.21 1.32 1.32 1.26 1.21 1.29 1.36 1.27 ±0.07
0.86 0.90 1.00 0.87 0.96 1.21 1.00 0.82 1.07 1.01 1.01 0.86 1.13 0.96 0.98 1.08 0.90 0.94 0.98 1.05 0.90 0.95 0.86 1.10 0.96 0.97 ±0.10
1.46 1.57 1.62 1.58 1.64 1.66 1.66 1.68 1.60 1.58 1.52 1.68 1.75 1.44 1.34 1.47 1.42 1.47 1.55 1.38 1.53 1.44 1.62 1.69 1.68 1.56 ±0.11
1.66 1.65 1.52 1.51 1.47 1.46 1.46 1.54 1.55 1.31 1.64 1.61 1.58 1.28 1.76 1.62 1.55 1.54 1.60 1.57 1.66 1.63 1.46 1.65 1.49 1.55 ±0.11
1.17 1.39 1.41 1.34 1.32 1.41 1.27 1.37 1.04 1.29 1.26 1.34 1.37 1.21 1.18 1.21 1.21 1.26 1.31 1.05 1.29 1.29 1.19 1.10 1.21 1.26 ±0.1
1.25 1.22 1.19 1.20 1.31 1.29 1.28 1.23 1.23 1.14 1.33 1.35 1.22 1.18 1.24 1.34 1.35 1.26 1.25 1.24 1.32 1.25 1.18 1.31 1.22 1.26 ±0.06
0.94 0.92 1.00 0.88 1.07 0.89 0.92 1.07 0.94 0.95 1.01 0.92 0.84 1.07 0.98 0.94 0.85 0.99 0.81 1.01 0.96 0.89 1.02 0.85 1.03 0.95 ±0.07
1.02 1.01 0.90 0.99 0.99 1.01 0.91 0.94 0.96 0.99 0.87 1.00 1.02 0.87 0.88 0.87 0.93 0.96 0.91 0.95 0.96 0.92 0.91 1.00 0.90 0.95 ±0.05
Diameter Biji (mm) Pangkal Tengah Ujung 1.24 1.28 1.21 1.16 1.23 1.39 1.23 1.20 1.28 1.27 1.31 1.19 1.18 1.25 1.24 1.25 1.24 1.22 1.26 1.32 1.26 1.27 1.20 1.35 1.28 1.25 ±0.05
1.17 1.26 1.32 1.23 1.32 1.28 1.25 1.35 1.16 1.25 1.25 1.27 1.26 1.23 1.16 1.19 1.13 1.22 1.18 1.14 1.24 1.18 1.25 1.16 1.28 1.23 ±0.06
1.28 1.27 1.18 1.22 1.24 1.24 1.19 1.21 1.22 1.14 1.24 1.30 1.25 1.10 1.24 1.24 1.25 1.23 1.22 1.23 1.28 1.23 1.16 1.29 1.22 1.23 ±0.05
Lampiran 5. Kadar air dan berat 1000 biji Sampel Pangkal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Rata-rata
15.10 15.00 15.08 15.04 15.02 15.20 15.00 15.02 15.02 15.10 15.00 15.02 15.00 15.04 15.00 15.04 15.02 15.05 15.00 15.15 15.00 15.02 15.00 15.02 15.00 15.04 ±0.05
Kadar Air (%) Tengah Ujung 15.25 15.40 15.28 15.26 15.40 15.38 15.40 15.40 15.32 15.34 15.35 15.30 15.40 15.30 15.32 15.36 15.36 15.30 15.28 15.40 15.24 15.30 15.25 15.28 15.25 15.32 ±0.06
15.42 15.41 15.60 15.46 15.48 15.44 15.42 15.42 15.40 15.41 15.40 15.40 15.40 15.42 15.42 15.41 15.40 15.42 15.44 15.41 15.44 15.40 15.42 15.42 15.40 15.43 ±0.04
Berat 1000 Biji (gram) Pangkal Tengah Ujung 1.13 1.12 1.14 1.14 1.16 1.13 1.14 1.13 1.13 1.12 1.11 1.11 1.12 1.13 1.12 1.14 1.15 1.14 1.14 1.15 1.14 1.14 1.14 1.16 1.15 1.14 ±0.01
1.32 1.30 1.30 1.32 1.33 1.20 1.20 1.18 1.17 1.19 1.17 1.20 1.20 1.20 1.20 1.17 1.10 1.12 1.15 1.10 1.27 1.27 1.24 1.24 1.24 1.22 ±0.07
1.21 1.23 1.27 1.27 1.26 1.21 1.19 1.23 1.21 1.19 1.20 1.21 1.21 1.23 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.20 1.19 1.20 1.19 1.80 1.24 ±0.12
Lampiran 6. Karakteristik malai buru hotong Sampel
Kadar Air (%)
Berat 1000 Biji (gram)
Panjang Biji (mm)
Lebar Biji (mm)
Tebal Biji (mm)
Diameter Biji (mm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
15.26 15.27 15.32 15.25 15.30 15.34 15.27 15.28 15.25 15.28 15.25 15.24 15.27 15.25 15.25 15.27 15.26 15.26 15.24 15.32 15.23 15.24 15.22 15.24 15.22 15.26 ±0.03
1.22 1.22 1.24 1.24 1.25 1.18 1.18 1.18 1.18 1.17 1.16 1.17 1.18 1.19 1.19 1.18 1.16 1.17 1.17 1.16 1.20 1.20 1.19 1.19 1.19 1.19 ±0.03
1.59 1.61 1.54 1.52 1.58 1.59 1.60 1.62 1.55 1.45 1.64 1.62 1.52 1.44 1.55 1.50 1.53 1.51 1.61 1.54 1.62 1.59 1.58 1.69 1.60 1.57 ±0.06
1.25 1.31 1.26 1.25 1.28 1.35 1.22 1.29 1.19 1.27 1.29 1.32 1.26 1.23 1.23 1.27 1.29 1.27 1.26 1.20 1.31 1.27 1.19 1.23 1.26 1.26 ±0.04
0.94 0.94 0.97 0.91 1.01 1.04 0.94 0.94 0.99 0.98 0.96 0.93 1.00 0.97 0.95 0.96 0.89 0.96 0.90 1.00 0.94 0.92 0.93 0.98 0.96 0.96 ±0.04
1.23 1.27 1.24 1.20 1.26 1.30 1.22 1.25 1.22 1.22 1.27 1.25 1.23 1.19 1.21 1.23 1.21 1.22 1.22 1.23 1.26 1.23 1.20 1.27 1.26 1.24 ±0.03
Rata-rata
Panjang Malai (cm)
13.7 18.5 21.4 15.7 12.3 15.4 14.6 19.2 15.6 12.0 22.1 19.3 11.9 11.1 17.5 22.2 11.8 10.7 13.1 18.8 20.1 17.1 12.5 14.6 16.6 15.91 ±3.58
Berat Malai (gram) 3.32 5.85 8.26 3.89 2.79 3.15 3.63 3.99 2.49 1.92 5.23 5.02 2.42 1.39 5.52 7.40 2.62 1.77 2.87 5.73 8.39 4.57 2.63 3.57 5.95 4.17 ±1.96
Berat Biji Tiap Malai (gram) 2.72 4.72 6.44 3.04 2.39 2.55 2.90 3.16 1.99 1.47 3.83 4.10 2.05 1.15 4.43 6.00 2.07 1.44 2.32 4.53 6.59 3.58 2.14 2.94 4.83 3.34 ±1.54
Persentase Berat Biji per Berat Malai (%) 81.93 80.68 77.97 78.15 85.66 80.95 79.89 79.20 79.92 76.56 73.23 81.67 84.71 82.73 80.25 81.08 79.01 81.36 80.84 79.06 78.55 78.34 81.37 82.35 81.18 80.27 ±2.53
Massa Jenis (gram/ml) 0.64 0.64 0.65 0.64 0.64 0.64 0.65 0.65 0.63 0.64 0.64 0.64 0.63 0.65 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.65 0.65 0.65 0.64 0.64 0.64 0.64 ±0.01
Lampiran 7. Massa jenis tiap bagian malai hotong Sampel Pangkal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Rata-rata
634.30 635.61 630.07 637.89 642.11 644.92 670.08 637.68 626.49 647.40 651.70 641.50 624.86 644.43 624.59 641.21 635.95 645.98 627.52 636.49 643.11 648.77 635.67 648.96 630.93 639.53 ±10.08
Berat 1000 ml Biji (gram) Tengah Ujung 659.83 650.94 672.72 641.75 650.27 632.63 660.84 651.49 660.84 641.14 633.08 639.53 654.07 655.11 648.45 653.57 651.59 632.78 645.60 659.17 673.44 660.94 660.84 627.78 655.52 650.96 ±11.98
625.84 635.40 644.95 635.51 640.62 653.16 609.69 653.20 617.98 637.63 632.93 636.65 621.91 635.62 643.29 621.33 629.55 642.87 640.18 649.43 620.76 641.90 627.62 629.40 623.96 634.05 ±11.20
Volume (ml) Pangkal 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000
0.6343 0.6356 0.6301 0.6379 0.6421 0.6449 0.6701 0.6377 0.6265 0.6474 0.6517 0.6415 0.6249 0.6444 0.6246 0.6412 0.6359 0.6460 0.6275 0.6365 0.6431 0.6488 0.6357 0.6490 0.6309 0.6395 ±0.01
Massa Jenis (g/ml) Tengah 0.6598 0.6509 0.6727 0.6417 0.6503 0.6326 0.6608 0.6515 0.6608 0.6411 0.6331 0.6395 0.6541 0.6551 0.6485 0.6536 0.6516 0.6328 0.6456 0.6592 0.6734 0.6609 0.6608 0.6278 0.6555 0.651 ±0.01
Ujung 0.6258 0.6354 0.6449 0.6355 0.6406 0.6532 0.6097 0.6532 0.6180 0.6376 0.6329 0.6366 0.6219 0.6356 0.6433 0.6213 0.6295 0.6429 0.6402 0.6494 0.6208 0.6419 0.6276 0.6294 0.6240 0.6341 ±0.01
Lampiran 8. Pengukuran kadar air awal dan kadar air pengeringan buru hotong dengan menggunakan oven dan pengering tipe rak Pengukuran kadar air awal menggunakan oven Kriteria Bo (g) Btaw (g) ∆ B (g) Kabb (%) Kabk (%)
Sampel 1 10.00 8.08 1.92 19.2 23.8
Kadar Air Awal Sampel 2 Sampel 3 10.00 10.00 8.06 8.07 1.94 1.93 19.4 19.3 24.1 23.9
Rata-rata 10.00 8.07 1.93 19.3 23.9
Pengukuran kadar air buru hotong dengan menggunakan pengering tipe rak Kriteria Kadar Air I Kadar Air II Sampel Sampel Sampel Rata- Sampel Sampel Sampel 1 2 3 rata 1 2 3 Kaawal 19.3 Btaw (g) 8.07 Bo (g) Btak (g) ∆ B (g) Kabb (%) Kabk (%)
10.00 8.58
10.00 8.61
10.00 8.60
10.00 8.60 0.53 6.2 6.6
10.00 8.82
10.00 8.81
10.00 8.84
Ratarata 19.3 8.07 10.00 8.82 0.75 8.5 9.3
Kadar Air III Sampel Sampel Sampel 1 2 3
10.00 9.07
10.00 9.08
10.00 9.08
Ratarata 19.3 8.07 10.00 9.08 1.01 11.1 12.5
Lampiran 9. Persentase berat biji per berat malai tiap bagian buru hotong Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Rata-rata
Berat Tiap Bagian Malai (gram)
Pangkal 1.02 2.14 2.12 1.45 0.80 1.02 0.99 1.03 0.82 0.45 1.31 1.16 0.82 0.43 1.95 1.97 0.87 0.63 1.06 1.90 3.06 1.86 0.67 1.06 1.74 1.29 ±0.64
Tengah 1.48 2.35 3.38 1.40 1.16 1.19 1.40 1.66 1.02 0.87 1.81 2.41 1.13 0.49 1.87 3.05 0.97 0.63 1.06 1.99 2.63 1.81 1.08 1.36 2.53 1.63 ±0.75
Ujung 0.82 1.36 2.76 1.04 0.83 0.94 1.24 1.30 0.65 0.60 2.11 1.45 0.46 0.47 1.69 2.38 0.78 0.51 0.75 1.84 2.69 0.90 0.88 1.15 1.67 1.25 ±0.68
Berat Biji Tiap Bagian Malai (gram)
Pangkal 0.78 1.60 1.51 1.10 0.66 0.84 0.77 0.76 0.67 0.31 0.91 0.84 0.71 0.34 1.48 1.53 0.70 0.49 0.85 1.37 2.33 1.48 0.53 0.85 1.37 0.99 ±0.48
Tengah 1.23 1.99 2.64 1.11 1.02 0.99 1.14 1.36 0.82 0.69 1.32 2.02 0.96 0.40 1.52 2.51 0.76 0.53 0.83 1.65 2.10 1.41 0.92 1.11 2.09 1.32 ±0.60
Ujung 0.71 1.12 2.30 0.83 0.70 0.70 1.00 1.04 0.50 0.47 1.59 1.23 0.38 0.41 1.43 1.95 0.61 0.42 0.63 1.51 2.16 0.68 0.70 0.98 1.37 1.02 ±0.55
Persentase Berat Biji per Berat Malai (%)
Pangkal 76.47 74.77 71.23 75.86 82.50 82.35 77.78 73.79 81.71 68.89 69.47 72.41 86.59 79.07 75.90 77.66 80.46 77.78 80.19 72.11 76.14 79.57 79.10 80.19 78.74 77.23 ±4.30
Tengah 83.11 84.68 78.11 79.29 87.93 83.19 81.43 81.93 80.39 79.31 72.93 83.82 84.96 81.63 81.28 82.30 78.35 84.13 78.30 82.91 79.85 77.90 85.19 81.62 82.61 81.49 ±3.10
Ujung 86.59 82.35 83.33 79.81 84.34 74.47 80.65 80.00 76.92 78.33 75.36 84.83 82.61 87.23 84.62 81.93 78.21 82.35 84.00 82.07 80.30 75.56 79.55 85.22 82.04 81.31 ±3.47
Lampiran 10. Perontokan dengan tenaga manusia Sampel I
Ulangan
Waktu (s)
1 2 3 4 5
623 599 644 614 618 619.60 ±16.32 960 704 707 746 692 761.80 ±112.64 857 908 922 876 891 890.80 ±25.65
Rata-rata II
1 2 3 4 5
Rata-rata III
Rata-rata
1 2 3 4 5
Biji+Sampah Biji (gram) Terontokkan (gram) 102.04 98.12 101.95 100.67 99.64 100.48 ±1.65 99.71 99.75 100.20 101.49 99.95 100.22 ±0.74 100.01 100.93 102.40 99.76 101.48 100.92 ±1.08
70.71 68.10 73.27 71.36 71.76 71.04 ±1.89 71.72 72.20 72.39 74.74 72.84 72.78 ±1.17 75.54 76.73 77.65 75.65 77.11 76.54 ±0.92
Sampah (gram)
Biji Tercecer (gram)
23.57 22.89 23.42 23.04 22.99 23.18 ±0.30 22.87 22.76 23.31 23.52 23.01 23.09 ±0.32 23.30 23.04 23.55 22.95 23.18 23.20 ±0.24
7.76 7.13 5.26 6.27 4.89 6.26 ±1.21 5.12 4.79 4.50 3.23 4.10 4.35 ±0.73 1.17 1.16 1.20 1.16 1.19 1.18 ±0.02
Kapasitas (kg/Jam) 0.59 0.59 0.59 0.59 0.58 0.59 ±0.004 0.52 0.51 0.51 0.49 0.52 0.51 ±0.01 0.42 0.40 0.40 0.41 0.41 0.41 ±0.01
Rendemen (%) 69.30 69.40 71.87 70.89 72.02 70.70 ±1.30 71.93 72.38 72.25 73.64 72.88 72.62 ±0.67 75.53 76.02 75.83 75.84 75.99 75.84 ±0.19
Susut Tercecer (%) 9.89 9.48 6.70 8.08 6.38 8.10 ±1.58 6.66 6.22 5.85 4.14 5.33 5.64 ±0.97 1.53 1.49 1.52 1.51 1.52 1.51 ±0.02
Lampiran 11. Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan pada berbagai kadar air Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 6.2% Sampel Ulangan Bo (gram) Bt (gram) I
1 2 3
500.0 398.2 365.6
398.2 365.6 344.4
500.0 389.9 357.4
389.9 357.4 340.6
500.0 410.0 369.1
410 369.1 355.6
500.0 390.3 360.8
390.3 360.8 345.6
500.0 387.9 354.4
387.9 354.4 338.1
Total II
1 2 3
Total III
1 2 3
Total IV
1 2 3
Total V
1 2 3
Total Rata-Rata Total
t (detik) 51 44 40 135 47 43 39 129 54 49 47 150 49 46 42 137 47 43 40 130
Kapasitas (kg/Jam) 35.29 32.58 32.90 33.59 38.30 32.64 32.99 34.64 33.33 30.12 28.27 30.57 36.73 30.55 30.93 32.74 38.30 32.48 31.90 34.23 32.15
Rendemen (%) 79.64 73.12 68.88 68.88 77.98 71.48 68.12 68.12 82.00 73.82 71.12 71.12 78.06 72.16 69.12 69.12 77.58 70.88 67.62 67.62 68.97
Lampiran 11. (Lanjutan) Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 8.5% Sampel Ulangan Bo (gram) Bt (gram) I
1 2 3
500.0 367.3 329.7
367.3 329.7 312.8
500.0 363.2 330.3
363.2 330.3 315.3
500.0 366.4 335.3
366.4 335.3 313.3
500.0 375.2 344.7
375.2 344.7 313.4
500.0 362.8 344.9
362.8 344.9 315.2
Total II
1 2 3
Total III
1 2 3
Total IV
1 2 3
Total V
1 2 3
Total Rata-rata total
t (detik) 42 32 30 104 43 32 31 106 44 33 30 107 42 33 31 106 42 32 31 105
Kapasitas (kg/Jam) 42.85 41.32 39.56 41.24 41.86 40.86 38.36 40.36 40.91 39.97 40.26 40.38 42.86 40.93 40.03 41.27 42.86 40.82 40.05 41.24 40.90
Rendemen (%) 73.46 65.94 62.56 62.56 72.64 66.06 63.06 63.06 73.28 67.06 62.66 62.66 75.04 68.94 62.68 62.68 72.56 68.98 63.04 63.04 62.80
Lampiran 11. (Lanjutan) Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 11.1% Sampel Ulangan Bo (gram) Bt (gram I
1 2
500.0 352.1
352.1 300.6
500.0 349.6
349.6 300.7
500.0 360.0
360 301.2
500.0 361.1
361.1 300.9
Total II
1 2
Total III
1 2
Total IV
1 2
Total V
1 2
Total Rata-Rata Total
500.0 351.7
t (detik) 39 29 68 39 28 67 41 30 71 38 30 68 39 29 68
Kapasitas (kg/Jam) 46.15 43.71 44.93 46.15 44.95 45.55 43.90 43.20 43.55 47.37 43.33 45.35 46.15 43.66 44.91 44.86
Rendemen (%) 70.42 60.12 60.12 69.92 60.14 60.14 72.00 60.24 60.24 72.22 60.18 60.18 70.34 60.16 60.16 60.17
Lampiran 12. Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan pada berbagai kadar air Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 6.2% Kualitas enyosohan (gr) Sampel Ulangan Bt (gram) Bso Bsk Biji Ŋ (gram) (gram) Tercecer Kipas Tersosoh Tidak Pecah (%) (gram) tersosoh I 1 398.2 75.61 12.87 13.32 14.55 239.76 154.60 3.82 2 3
365.6 344.4
II
1 2 3
389.9 357.4 340.6
III
1 2 3
410.0 369.1 355.6
IV
1 2 3
390.3 360.8 345.6
V
1 2 3
387.9 354.4 338.1
Rata-Rata Total
26.34 17.60 119.55 72.51 26.42 13.45 112.38 75.38 24.04 6.28 105.70 76.28 26.39 11.44 114.11 78.64 25.06 11.08 114.78 113.30
4.46 3.02 20.35 12.45 4.51 2.31 19.27 12.83 4.09 1.07 17.99 12.93 4.50 1.94 19.37 13.40 4.25 1.88 19.53 19.30
1.80 0.58 15.70 25.14 1.57 1.04 27.75 1.79 12.77 6.15 20.71 20.49 1.39 1.82 23.70 20.06 4.19 3.34 27.59 23.10
14.48 14.65 14.55 14.65 14.58 14.66 14.64 14.54 14.54 14.56 14.54 14.49 14.57 14.50 14.51 14.56 14.50 14.51 14.54 14.56
310.56 317.92 317.92 232.50 303.90 314.44 314.44 246.94 309.86 331.99 331.99 233.01 310.79 322.96 322.96 232.04 301.13 316.33 316.33 320.73
49.14 13.50 13.50 153.20 47.39 11.89 11.89 158.4 50.97 9.32 9.32 156.20 43.69 9.37 9.37 151.8 47.81 8.08 8.08 10.43
5.90 12.98 12.98 4.17 6.11 14.27 14.27 4.68 8.27 14.29 14.29 1.05 6.32 13.27 13.27 4.03 5.46 13.69 13.69 13.70
Lampiran 12. (Lanjutan) Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 8.5% Kualitas Penyosohan (gr) Sampel Ulangan Bt Bso Bsk Biji Ŋ (gram) (gram) (gram) Tercecer Kipas Tersosoh Tidak Pecah (%) (gram) tersosoh I 1 367.3 107.90 19.66 5.14 15.41 239.59 121.02 6.69 2 3
329.7 312.8
Total II
1 2 3
363.2 330.3 315.3
Total III
1 2 3
366.4 335.3 313.3
Total IV
1 2 3
375.2 344.7 313.4
Total V
1 2 3
Total Rata-rata Total
362.8 344.9 315.2
27.42 13.52 148.84 113.84 22.48 10.32 146.64 105.71 25.05 16.39 147.15 104.88 21.88 16.51 143.27 114.51 14.90 20.76 150.17 147.21
4.92 2.42 27.00 19.33 4.02 1.86 25.21 20.00 4.62 2.86 27.48 19.23 4.03 3.03 26.29 20.52 2.69 3.72 26.93 26.58
5.26 0.96 11.36 3.63 6.40 2.82 12.85 7.89 1.43 2.75 12.07 0.60 4.59 11.76 16.95 2.17 0.31 5.22 7.70 12.19
15.21 15.18 15.27 14.52 15.17 15.27 14.99 15.91 15.57 14.86 14.86 15.49 15.55 15.51 15.52 15.20 15.29 15.20 15.23 15.29
283.51 292.19 292.19 220.06 281.81 291.71 291.71 245.05 287.52 289.87 289.87 245.05 287.52 289.87 289.87 240.79 288.16 293.64 293.64 291.46
37.85 5.94 5.94 135.65 35.67 5.83 5.83 113.34 34.43 6.39 6.39 141.26 43.54 6.46 6.46 114.83 46.42 5.64 5.64 6.052
8.34 14.67 14.67 7.49 12.82 17.76 17.76 7.51 13.35 17.04 17.04 7.62 11.82 14.79 14.79 7.18 10.32 15.92 15.92 16.036
Lampiran 12. (Lanjutan) Pengukuran efektifitas kipas, susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 11.1% Kualitas Penyosohan (gr) Sampel Ulangan Bt Bso Bsk Biji Ŋ (gram) (gram) (gram) Tercecer Kipas Tersosoh Tidak Pecah (%) (gram) tersosoh I 1 352.1 115.35 20.36 12.19 15.00 231.19 112.67 8.24 2
300.6
Total II
1 2
349.6 300.7
Total III
1 2
360.0 301.2
Total IV
1 2
361.1 300.9
Total V
1 2
Total Rata-Rata Total
351.7 300.0
29.68 145.03 123.97 29.84 153.81 108.41 41.76 150.17 116.13 38.85 154.98 114.17 36.25 150.42 150.88
5.30 25.66 21.05 5.29 26.34 19.34 7.22 26.56 20.16 6.93 27.09 20.14 6.39 26.53 26.44
16.52 28.71 5.38 13.77 19.15 12.25 9.82 22.07 2.61 14.42 17.03 13.99 9.06 23.05 22.00
15.15 15.08 14.52 15.06 14.79 15.14 14.74 14.94 14.79 15.14 14.96 15.00 14.99 14.99 14.95
279.05 279.05 234.13 275.08 275.08 237.10 277.77 277.77 235.54 275.41 275.41 233.46 273.66 273.66 276.19
4.54 4.54 106.52 2.80 2.80 113.76 2.53 2.53 116.06 2.38 2.38 107.94 2.82 2.82 3.01
17.01 17.01 8.95 22.82 22.82 9.14 20.90 20.90 9.50 23.11 23.11 10.30 23.52 23.52 21.47
Lampiran 13. Persentase susut tercecer dan kualitas penyosohan pada berbagai kadar air Persentase susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 6.2% Sampel
Ulangan 1 2 3 Total
I
1 2 3 Total
II
1 2 3 Total
III
1 2 3
IV
Total 1 2 3 Total
V
Rata-rata total
Susut Tercecer (%) 3.24 0.49 0.17 3.90 6.06 0.44 0.30 6.80 0.43 3.34 1.70 5.47 4.99 0.38 0.52 5.89 4.92 1.17 0.98 7.07 5.83
Persentase Kualitas Penyosohan (%) Tersosoh Tidak tersosoh Pecah 60.21 84.95 92.31 92.31 59.63 85.03 92.32 92.32 60.23 83.95 93.36 93.36 59.70 86.14 93.45 93.45 59.82 84.97 93.56 93.56 93.00
38.83 13.44 3.92 3.92 39.30 13.26 3.49 3.49 38.63 13.81 2.62 2.62 40.03 12.11 2.71 2.71 39.14 13.49 2.39 2.39 3.03
0.96 1.61 3.77 3.77 1.07 1.71 4.19 4.19 1.14 2.24 4.02 4.02 0.27 1.75 3.84 3.84 1.04 1.54 4.05 4.05 3.97
Lampiran 13. (Lanjutan) Persentase susut tercecer dan kualitas penyosohan untuk kadar air 8.5% Sampel
Ulangan 1 2 3 Total
I
1 2 3 Total
II
1 2 3 Total
III
1 2 3
IV
Total 1 2 3 Total
V
Rata-rata total
Susut Tercecer (%) 1.38 1.57 0.03 2.98 0.99 1.90 0.89 3.78 2.11 0.42 0.87 3.40 0.16 1.31 3.62 5.09 0.60 0.09 1.63 2.32 3.51
Persentase Kualitas Penyosohan (%) Tersosoh Tidak tersosoh 65.23 85.99 93.41 93.41 60.59 85.32 92.52 92.52 66.88 85.75 92.52 92.52 60.32 83.94 93.22 93.22 66.37 83.55 93.16 93.16 92.966
32.95 11.48 1.90 1.90 37.35 10.8 1.85 1.85 31.07 10.27 2.04 2.04 37.65 12.63 2.06 2.06 31.65 13.46 1.79 1.79 1.928
Pecah 1.82 2.53 4.69 4.69 2.06 3.88 5.63 5.63 2.05 3.98 5.44 5.44 2.03 3.43 4.72 4.72 1.98 2.99 5.05 5.05 5.106
Lampiran 13. (Lanjutan) Pengukuran kapasitas dan rendemen penyosohan untuk kadar air 11.1% Sampel Ulangan Susut Tercecer (%) Tersosoh I
II
III
IV
V
Rata-rata total
1 2 3 Total 1 2 3 Total 1 2 3 Total 1 2 3 Total 1 2 3 Total
Persentase Kualitas Penyosohan (%) Tidak Tersosoh
Pecah
3.35 5.21
65.66 92.83
32.00 1.51
2.34 5.66
8.56 1.52 4.38
92.83 66.97 91.48
1.51 30.50 0.93
5.66 2.56 7.59
5.90 3.29 3.12
91.48 65.86 92.22
0.93 31.6 0.84
7.59 2.54 6.94
6.41 0.72 4.57
92.22 65.23 91.53
0.84 32.10 0.79
6.94 2.63 7.68
5.29 3.83 2.93
91.53 66.38 91.22
0.79 30.70 0.94
7.68 2.93 7.84
6.76 6.58
91.22 91.86
0.94 1.00
7.84 7.14
Lampiran 14. Pengukuran kapasitas, rendemen dan susut tercecer pada penepungan biji hotong pada berbagai kadar air Kadar air
11.1% 8.5%
6.2%
Waktu (detik) 276 283 269 259 274 230 218 228 233 227 246 258 243 247 243
berat tepung (g) 440 436 448 447 442 432 438 435 432 428 423 416 428 424 425
berat tercecer (g) 60 64 52 53 58 68 62 65 68 72 77 84 72 76 75
Kapasitas (kg/jam) 6.52 6.36 6.69 6.95 6.57 7.83 8.27 7.89 7.73 7.93 7.32 6.98 7.41 7.29 7.41
Rendemen (%) 88.0 87.2 89.6 89.4 88.4 86.4 87.6 87.0 86.4 85.6 84.6 83.2 85.6 84.8 85.0
susut tercecer (%) 12.0 12.8 10.4 10.6 11.6 13.6 12.4 13.0 13.6 14.4 15.4 16.8 14.4 15.2 15.0
Lampiran 15. Berat tepung buru hotong yang tertampung pada tiap mesh pada ayakan tyler pada bebagai kadar air Kadar air
11.1% 8.5%
6.2%
mesh 3/8
4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 14.58 12.73 15.59 14.93 14.06 63.89 68.58 55.90 55.86 55.98 23.71 26.42 25.38 24.30 24.65
48 332.28 327.78 335.82 331.18 332.03 278.73 277.04 286.93 286.16 286.16 329.01 320.82 326.78 322.79 323.09
100 90.50 92.96 94.30 98.30 93.84 85.66 89.19 88.57 86.31 82.30 68.87 67.56 74.34 75.13 75.82
pan 2.64 2.53 2.29 2.59 2.07 3.72 3.19 3.61 3.67 3.56 1.41 1.20 1.50 1.78 1.44
Lampiran 16. Persentase berat tepung buru hotong yang tertampung pada tiap mesh pada ayakan tyler pada bebagai kadar air Kadar air 11.1%
7.5%
6.2%
Mesh 0.38
Mesh 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesh 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesh 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mesh 28 3.31 2.92 3.48 3.34 3.18 14.79 15.66 12.85 12.93 13.08 5.61 6.35 5.93 5.73 5.80
Mesh 48 75.52 75.18 74.96 74.09 75.12 64.52 63.25 65.96 66.24 66.86 77.78 77.12 76.35 76.13 76.02
Mesh 100 20.57 21.32 21.05 21.99 21.23 19.83 20.36 20.36 19.98 19.23 16.28 16.24 17.37 17.72 17.84
pan 0.60 0.58 0.51 0.58 0.47 0.86 0.73 0.83 0.85 0.83 0.33 0.29 0.35 0.42 0.34
Lampiran 17. Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong pada kadar air 11.1% sampel
I
mesh 0.375 4 8 14 28 48 100 pan
ukuran lubang (inchi) 0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
II
total
III
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
IV
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.371 0.185 0.093 0.046 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
V
total
%bahan tertinggal 0 0 0 0 3.31 75.52 20.57 0.60 100.00 0 0 0 0 2.92 75.18 21.32 0.58 100.00 0 0 0 0 3.48 74.96 21.05 0.51 100.00 0 0 0 0 3.34 74.09 21.99 0.58 100.00 0 0 0 0 3.18 75.12 21.23 0.47 100
dikalikan dengan pengali FM 0 0 0 0 9.93 151.04 20.57 0 181.54 0 0 0 0 8.76 150.36 21.32 0 180.44 0 0 0 0 10.44 149.92 21.05 0 181.41 0 0 0 0 10.02 148.18 21.99 0 180.19 0 0 0 0 9.54 150.24 21.23 0 181.01
FM
Ukuran rata-rata
1.8154
0.01443
1.8044
0.014321
1.8141
0.014417
1.8019
0.014296
1.8101
0.014377
Lampiran 17. (Lanjutan) Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong pada kadar air 8.5% sampel
I
mesh 0.375 4 8 14 28 48 100 pan
ukuran lubang (inchi) 0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
II
total
III
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
IV
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
V
total
%bahan tertinggal 0 0 0 0 14.79 64.52 19.83 0.86 100.00 0 0 0 0 15.66 63.25 20.36 0.73 100.00 0 0 0 0 12.85 65.96 20.36 0.83 100.00 0 0 0 0 12.93 66.24 19.98 0.85 100.00 0 0 0 0 13.08 66.86 19.23 0.83 100.00
dikalikan dengan pengali FM 0 0 0 0 44.37 129.04 19.83 0 193.24 0 0 0 0 46.98 126.5 20.36 0 193.84 0 0 0 0 38.55 131.92 20.36 0 190.83 0 0 0 0 38.79 132.48 19.98 0 191.25 0 0 0 0 39.24 133.72 19.23 0 192.19
FM
Ukuran rata-rata
1.9324
0.015649
1.9384
0.015714
1.9083
0.01539
1.9125
0.015435
1.9219
0.015536
Lampiran 17. (Lanjutan) Modulus kehalusan dan ukuran partikel tepung biji hotong pada kadar air 6.2% sampel
I
mesh 0.375 4 8 14 28 48 100 pan
ukuran lubang (inchi) 0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
II
total
III
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
IV
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
0.375 4 8 14 28 48 100 pan
0.3710 0.1850 0.0930 0.0460 0.0232 0.0116 0.0058 0
total
V
total
%bahan tertinggal 0 0 0 0 5.61 77.78 16.28 0.33 100.00 0 0 0 0 6.35 77.12 16.24 0.29 100.00 0 0 0 0 5.93 76.35 17.37 0.35 100.00 0 0 0 0 5.73 76.13 17.72 0.42 100.00 0 0 0 0 5.8 76.02 17.84 0.34 100.00
dikalikan dengan pengali FM 0 0 0 0 16.83 155.56 16.28 0 188.67 0 0 0 0 19.05 154.24 16.24 0 189.53 0 0 0 0 17.79 152.7 17.37 0 187.86 0 0 0 0 17.19 152.26 17.72 0 187.17 0 0 0 0 17.4 152.04 17.84 0 187.28
FM
Ukuran rata-rata
1.8867
0.015161
1.8953
0.015252
1.8786
0.015076
1.8717
0.015005
1.8728
0.015016
Lampiran 18. Analisis keragaman dengan menggunakan anova single factor dengan taraf nyata 0.05 1. Analisa Keragaman Kandungan Gizi a. Protein Groups Pangkal
Count
Tengah Ujung
Sum 2
26.36
13.18
0.02
2
26.72
13.36
0.08
2
26.71
13.355
0.01125
Source of Variation SS Between Groups 0.042033 Within Groups 0.11125 Total
Average Variance
df
0.153283
MS F P-value F crit 2 0.021017 0.566742 0.618312 9.552094 3 0.037083 5
Karena F
Count
Sum 2
23.69
11.845
0.00125
2
23.63
11.815
0.00245
2
23.68
11.84
0.0098
Source of Variation SS Between Groups 0.001033 Within Groups 0.0135 Total
Average Variance
0.014533
df
MS F P-value F crit 2 0.000517 0.114815 0.895267 9.552094 3 0.0045 5
Karena F
Lampiran 18. (Lanjutan) c. Kadar abu Groups Pangkal
Count
Tengah Ujung
Sum
Average Variance
2
7.35
3.675
0.01805
2
6.16
3.08
0.005
2
6.56
3.28
0.0072
Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0.3667 0.03025
Total
0.39695
df
MS F P-value F crit 2 0.18335 18.18347 0.021037 9.552094 3 0.010083 5
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kadar abu pada tiap bagian malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. d. Kadar Lemak Groups Pangkal Tengah Ujung
Count
Sum 2
7.43
3.715
0.05445
2
7.67
3.835
0.10125
2
8.08
4.04
0.0128
Source of Variation SS Between Groups 0.108033 Within Groups 0.1685 Total
Average Variance
0.276533
df
MS F P-value F crit 2 0.054017 0.961721 0.47564 9.552094 3 0.056167 5
Karena F
Lampiran 18. (Lanjutan) e. Kadar Karbohidrat Groups Pangkal
Count
Tengah Ujung
Sum
Average Variance
2
135.17
67.585
0.07605
2
135.82
67.91
0.0072
2
134.97
67.485
0.04205
Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0.1975 0.1253
Total
0.3228
df
MS F P-value F crit 2 0.09875 2.364326 0.241839 9.552094 3 0.041767 5
Karena F
Count
Sum
25
31.31
1.2524 0.002786
25
30.73
1.2292 0.003491
25
30.67
1.2268 0.002123
Source of Variation SS Between Groups 0.009995 Within Groups 0.201584 Total
Average Variance
0.211579
df
MS F P-value F crit 2 0.004997 1.784904 0.175158 3.123907 72 0.0028 74
Karena F
Lampiran 18. (Lanjutan) 3. Analisa Keragaman Berat 1000 Biji Hotong Groups Pangkal Tengah Ujung
Count
Sum
25
28.38
1.1352 0.000184
25
30.38
1.2152 0.004443
25
31.02
1.2408 0.014074
Source of Variation SS Between Groups 0.151723 Within Groups 0.448832 Total
Average Variance
df
0.600555
MS 2 0.075861 72 0.006234
F P-value F crit 12.1694 2.8E-05 3.123907
74
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa berat 1000 biji hotong pada tiap bagian malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. 4. Analisa Keragaman Massa Jenis Biji Hotong Groups Pangkal Tengah Ujung
Count 25
Sum
15.9882 0.639528 0.000102
25 16.27392 0.650957 0.000143 25 15.85136 0.634054 0.000125
Source of Variation SS Between Groups 0.003719 Within Groups 0.008893 Total
Average Variance
0.012612
df
MS F P-value F crit 2 0.001859 15.05394 3.45E-06 3.123907 72 0.000124 74
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa massa jenis pada tiap bagian malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) 5. Analisa Keragaman Berat Malai Biji Hotong Groups Pangkal
Count
Tengah Ujung
Sum
25
32.33
1.2932 0.413214
25
40.73
1.6292 0.560274
25
31.27
1.2508 0.456141
Source of Variation SS Between Groups 2.149003 Within Groups 34.31111 Total
Average Variance
df
36.46011
MS F P-value F crit 2 1.074501 2.254783 0.112254 3.123907 72 0.476543 74
Karena F
Count
Sum
Average
Variance
Pangkal
25
1930.71
77.22839
18.48533
Tengah
25
2037.131
81.48523
9.608182
Ujung
25
2032.635
81.30541
12.04225
Source of Variation
SS
Between Groups
289.7929
Within Groups Total
df
MS
F
P-value
F crit
2
144.8965
10.83048
7.72E-05
3.1239
963.2582
72
13.37859
1253.051
74
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa berat malai per berat biji pada tiap bagian malai biji hotong berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) 7. Analisa Keragaman berat Biji tiap Malai Biji Hotong Groups Pangkal Tengah Ujung
Count
Sum
25
24.78
0.9912 0.227794
25
33.12
1.3248 0.364376
25
25.42
1.0168 0.304356
Source of Variation SS Between Groups 1.723403 Within Groups 21.51663 Total
Average Variance
df
23.24003
MS F P-value F crit 2 0.861701 2.883467 0.062424 3.123907 72 0.298842 74
Karena F
Count
Sum 5
165.77
33.154
2.60113
5
204.49
40.898
0.23252
5
224.29
44.858
0.60992
Source of Variation SS Between Groups 354.3913 Within Groups 13.77428 Total
Average Variance
368.1655
df
MS F P-value F crit 2 177.1956 154.3709 2.74E-09 3.885294 12 1.147857 14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas mesin penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) b. Analisa Keragaman Rendemen Mesin Penyosoh Buru Hotong Groups Ka 6.2%
Count
Ka 8.5% Ka 11.1%
Source of Variation Between Groups Within Groups Total
Sum
Average Variance
5
344.86
68.972
1.79952
5
314
62.8
0.0542
5
300.84
60.168
0.00212
SS 204.219 7.42336
df
211.6424
MS F P-value F crit 2 102.1095 165.0619 1.86E-09 3.885294 12 0.618613 14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa Rendemen mesin penyosoh Buru Hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. c. Analisa Keragaman Efisiensi Kipas Mesin Penyosoh Buru Hotong Groups Ka 6.2%
Count
Ka 8.5% Ka 11.1%
Sum
Average Variance
5
72.78
14.556
0.00243
5
75.87
15.174
0.06613
5
74.76
14.952
0.01107
Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0.98004 0.31852
Total
1.29856
df
MS F P-value F crit 2 0.49002 18.46113 0.000218 3.885294 12 0.026543 14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa efisiensi kipas mesin penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) d. Analisa keragaman Susut Tercecer Mesin Penyosoh Buru Hotong Groups Ka 6.2%
Count
Ka 8.5% Ka 11.1%
Sum 5
29.13
5.826
1.58413
5
18.76
3.752
0.64237
5
32.92
6.584
1.52703
Source of Variation SS Between Groups 21.49377 Within Groups 15.01412 Total
Average Variance
df
36.50789
MS F P-value F crit 2 10.74689 8.589424 0.004838 3.885294 12 1.251177 14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa susut tercecer mesin penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. e. Analisa Kualitas Penyosohan Mesin Penyosoh Buru Hotong e. 1. Analisa Keragaman Biji Tersosoh Mesin Penyosoh Buru Hotong Groups Ka 6.2%
Count
Ka 8.5% Ka 11.1%
Sum 5
465
93
0.39605
5
464.83
92.966
0.17428
5
459.28
91.856
0.43333
Source of Variation SS Between Groups 4.236653 Within Groups 4.01464 Total
Average Variance
8.251293
df
MS F P-value F crit 2 2.118327 6.331806 0.013266 3.885294 12 0.334553 14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa biji tersosoh mesin penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) e. 2. Analisa Keragaman Biji Tak Tersosoh Mesin Penyosoh Buru Hotong Groups Ka 6.2%
Count
Ka 8.5% Ka 11.1%
Sum 5
15.13
3.026
0.42093
5
9.64
1.928
0.01397
5
5.01
1.002
0.08457
Source of Variation SS Between Groups 10.26609 Within Groups 2.07788 Total
Average Variance
df
12.34397
MS F P-value F crit 2 5.133047 29.64394 2.28E-05 3.885294 12 0.173157 14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa biji tak tersosoh mesin penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. e. 3. Analisa Keragaman Biji Pecah Mesin Penyosoh Buru Hotong Groups Ka 6.2% Ka 8.5% Ka 11.1%
Count
Sum 5
19.87
3.974
0.02853
5
25.53
5.106
0.17783
5
35.71
7.142
0.80362
Source of Variation SS Between Groups 25.77157 Within Groups 4.03992 Total
Average Variance
29.81149
df
MS F P-value F crit 2 12.88579 38.27537 6.19E-06 3.885294 12 0.33666 14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa biji pecah mesin penyosoh buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) 9. Analisa Keragaman Uji Performansi Mesin Penepung Biji Hotong a. Analisa Keragaman Kapasitas Mesin Penyosoh Groups Ka 6.2%
Count
Ka 7.5% Ka 10.1%
Sum
Average
Variance
5
36.41
7.282
0.03137
5
39.64
7.928
0.04012
5
33.09
6.618
0.04847
df
MS
F
2.14526 0.039987
53.64938
Source of Variation Between Groups Within Groups
4.29052 0.47984
2 12
Total
4.77036
14
SS
P-value 1.04E06
F crit 3.885294
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas mesin penepung buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. b. Analisa Keragaman Rendemen Buru Hotong Groups Ka 6.2%
Count
Ka 8.5% Ka 11.1%
Sum
Average
Variance
5
423.2
84.64
0.788
5
433
86.6
0.56
5
442.6
88.52
0.992
df
MS
F
18.81867 0.78
24.1265
Source of Variation Between Groups Within Groups
37.63733 9.36
2 12
Total
46.99733
14
SS
P-value 6.24E05
F crit 3.885294
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa rendemen tepung pada penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) c. Analisa Keragaman Susut Tercecer Buru Hotong Groups Ka 6.2%
Count
Ka 7.5% Ka 10.1%
Sum
Average
Variance
5
76.8
15.36
0.788
5
67
13.4
0.56
5
57.4
11.48
0.992
Source of Variation Between Groups Within Groups
37.63733 9.36
2 12
Total
46.99733
14
SS
df
MS
F
18.81867 0.78
24.1265
P-value 6.24E05
F crit 3.885294
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa susut tercecer tepung pada penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05. d. Analisa Keragaman Modulus Kehalusan Buru Hotong Groups Ka 6.2% Ka 7.5% Ka 10.1% Source of Variation Between Groups Within Groups Total
Count
Sum
Average
Variance
25
32.33
1.2932
0.413214
25
40.73
1.6292
0.560274
25
31.27
1.2508
0.456141
df
MS
F
0.01736 0.000123
140.7568
SS 0.03472 0.00148
2 12
0.0362
14
P-value 4.67E09
F crit 3.885294
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa modulus kehalusan tepung pada penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 18. (Lanjutan) e. Analisa Keragaman Ukuran Tepung Buru Hotong Groups Ka 6.2% Ka 8.5% Ka 11.1%
Source of Variation Between Groups
Count
Sum
Average
5
0.071841
0.014368
5
0.077724
0.015545
5
0.07551
0.015102
Within Groups
SS 3.53E06 1.33E07
Total
3.66E06
df 2 12
MS 1.77E06 1.11E08
Variance 3.43E09 1.89E08 1.09E08
F 159.6011
P-value 2.26E09
F crit 3.885294
14
Karena F>Fcrit maka dapat disimpulkan bahwa ukuran
tepung pada
penepungan menggunakan mesin penepung buru hotong pada perlakuan perbedaan kadar air berbeda nyata pada taraf nyata 0.05.
Lampiran 19. Contoh perhitungan pada karakteristik fisik buru hotong Massa Jenis Buru Hotong
1.
ρ=
m v
ρ=
623.96 =0.624 gr/ml 1000 dimana : ρ
= massa jenis (gr/ml),
m
= massa (gr),
v
= volume (ml).
2.
prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai
R=
mb mm
R=
1.37 = 82.04% 1.67
dimana :
R = prosentase perbandingan berat biji malai per berat malai (%), mb = berat biji hotong (gr), mm = berat malai hotong (gr).
3.
Diameter biji hotong
D = (a x b x c)1/3 D = (1.59 x 1.25 x 0.94)1/3 = 1.23 mm Dimana :
D a, b, c
= diameter geometris rata-rata biji hotong (mm), = rata-rata proyeksi panjang, lebar, dan tebal biji dengan pengambilan sampel sebanyak 25 biji (mm).
4.
Kadar Air
Kaawal = (Berat kering/Berat awal) x 100% = (1.93/10) x 100% = 19.3% Berat bahan kering = 10 – 1.93 = 8.07 g Kaakhir = ((Berat bahan pengeringan – berat bahan kering)/Berat bahan pengering) x 100% = ((8.60 – 8.07)/8.60) x 100% = 6.2%
Lampiran 20. Contoh perhitungan performansi mesin penyosoh buru hotong Kapasitas penyosohan
1. Kps =
Wpk × 3600 t
Kps =
500 × 3600 = 42.85% 42 x1000
dimana :
Kps
= kapasitas penyosohan (kg/jam),
Wpk
= berat biji hotong pecah kulit (kg),
t
= waktu penyosohan (detik).
2.
Rendemen penyosohan
ηp =
Wpk × 100% Wp
ηp =
312.8 × 100% = 62.56% 500
dimana :
ηp
= rendemen penyosohan (%),
Wpk = berat biji hotong pecah kulit(kg), Wp = berat biji hotong yang dimasukkan ke penyosohan (kg). 3.
Efektifitas kipas penyosoh
ηk =
Wkout × 100% Wkin
ηk =
19.66 × 100% = 15.41% 107.90
dimana :
ηk
= efektifitas kipas (%),
Wkout
= berat dedak yang keluar menuju kipas (g),
Wkin
= berat dedak keseluruhan (g).
4.
Susut tercecer
Sts =
WbTc x100% WbTs
Sts =
5.14 x100% = 1.38% 367.3
Lampiran 20. (Lanjutan) dimana
:
Sts
= susut tercecer penyosohan (%),
WbTc = berat biji tercecer (g), WbTs = berat biji tersosoh keseluruhan (g). 5.
Kualitas penyosohan
a. Persentase biji hotong tersosoh %btk =
Wbtk x100% WbTs
%btk =
292.19 x100% = 93.41% 312.8
dimana :
%btk = persentase biji tersosoh (%), Wbtk = berat biji terkupas (g), WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).
b. Persentase biji hotong tidak tersosoh %bttk =
Wbttk x100% WbTs
%bttk =
5.94 x100% = 1.9% 312.8
dimana :
%bttk = persentase biji tak tersosoh (%), Wbttk = berat biji tak tersosoh (g), WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).
c. Persentase biji hotong pecah %bpk =
Wbp x100% WbTs
%bpk =
14.67 x100% = 4.69% 312.8
dimana :
%bpk = persentase biji tersosoh (%), Wbp
= berat biji pecah (g),
WbTs = berat biji keseluruhan hasil penyosohan (g).
Lampiran 21. Contoh perhitungan performansi mesin penepung buru hotong 1.
Kapasitas penepungan
Kpt =
Wpk × 3600 t
Kpt =
500 × 3600 = 6.52 Kg/jam 276 x1000
dimana :
Kpt
= kapasitas penepungan (kg/jam),
Wpk
= berat biji hotong yang ditepungkan (kg),
t
= waktu penepungan (detik).
2.
Rendemen penepungan
ηt =
Wt × 100% Wpk
ηt =
440 × 100% = 88.00% 500
dimana : ηt
= efektivitas penepungan (%),
Wt
= berat tepung hasil penepungan (kg),
Wpk
= berat biji hotong yang dimasukkan ke mesin penepung (kg).
3.
Susut tercecer penepungan
Stp =
WtTc x100% WtTs
Stp =
60 x100% = 12.00% 500
dimana
:
Stp
= susut tercecer penepungan (%),
WtTc = berat tepung tercecer (g), WtTs = berat tepung keseluruhan (g).
Lampiran 21. (Lanjutan) 4.
Derajat Kehalusan
FM =
∑ wmeshxpengalinya ∑ wmesh
FM =
0 + 0 + 0 + 0 + 9.93 + 151.04 + 20.57 + 0 = 1.8154 0 + 0 + 0 + 0 + 3.31 + 75.52 + 20.57 + 0.60
dimana
:
FM
= derajat kehalusan
wmesh = berat tepung yang tertampung pada tiap mesh (g) 5.
Ukuran partikel tepung
D
= 0.0041 x (2)FM
D
= 0.0041 x (2)1.8154 = 0.01443
dimana : D
= ukuran rata-rata partikel bahan (inchi),
FM
= modulus kehalusan (tanpa satuan).