ANAL LISIS PE ERSEPSI KONSUM MEN TER RHADAP P DAGING KELINC CI DI KO OTA BOG GOR
SKRIP PSI
HE ENGKI AG GUSTIAN H34070014
DEPART TEMEN AGRIBIS A SNIS FAKUL LTAS EK KONOMI DAN MA ANAJEM MEN IN NSTITUT T PERTA ANIAN BO OGOR BOGO OR 2011 1
RINGKASAN HENGKI AGUSTIAN Analisis Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci di Kota Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan FEBRIANTINA DEWI). Peternakan merupakan salah satu subsector pertanian penyuplai protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun saat ini kebutuhan tersebut sebagian besar masih dipenuhi dengan cara mengimpor. Oleh sebab itu perlu dikembangkan ternak lokal yang dapat membantu dalam penyediaan protein hewani. Salah satu potensi ternak lokal yang bisa dikembangkan adalah kelinci. Kelinci mempunyai banyak keunggulan untuk dikembangkan. Namun pada kenyataannya daging kelinci belum terlalu dikenal di Kota Bogor.Hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya masalah psikologis yang dihadapi masyarakat saat mengkonsumsi daging kelinci. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor (2) mengetahui persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci, (3) menganalisis variabel apa saja yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor, (4) mengetahui konsumen potensial daging kelinci, dan (5) memberikan rekomendasi bauran pemasaran produk daging kelinci di Kota Bogor. Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor selama bulan Mei 2011. Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 responden yang dipilih dengan metode convenience. Metode analisis data menggunakan metode deskriptif dan analisis regresi logistik biner. Karakteristik konsumen konsumen daging kelinci yang ada di Kota Bogor dapat dibagi berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran. Berdasarkan usia, mayoritas konsumen berada pada usia produktif, yaitu antara 31-40 tahun sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah pada kelompok usia 51-65 tahun. Konsumen tersebut mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi yang didominasi oleh sarjana. Adapun pekerjaan sebagian besar dari konsumen daging kelinci adalah pegawai swasta. Untuk tingkat pengeluaran, sebagian besar konsumen berada pada kisaran antara Rp 1.620.000,00 hingga Rp 2.700.000,00. Persepsi konsumen dari aspek budaya adalah sangat baik ditinjau dari adat istiadat dan agama konsumen. Dari aspek sosial, konsumen memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Untuk aspek psikologis konsumen juga memberikan persepsi yang baik, hal ini berarti masalah psikologis bagi konsumen yang mengkonsumsi daging kelinci, tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan aspek bauran pemasaran mendapatkan persepsi tidak baik dari konsumen, terutama dalam hal promosi. Untuk persepsi keseluruhan, konsumen memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam pembentukan persepsi konsumen terhadap daging kelinci ini adalah variabel jenis kelamin. Konsumen yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci 8,3 kali dibandingkan konsumen pria.
Pasar potensial dari daging kelinci inilah adalah para konsumen wanita golongan ekonomi menengah ke atas dengan menonjolkan aspek kesehatan yang ditawarkan oleh daging kelinci. Rekomendasi bauran pemasaran yang bisa dilakukan pemasar antara lain: membuat produk inovatif, bekerja sama dengan kelompok ternak kelinci, menetapkan pasar sasaran menengah ke atas, menciptakan layanan delivery order, membangun lokasi usaha di wilayah yang memiliki konsumen potensial yang lebih besar, menyebarkan pamflet dan brosur mengenai daging kelinci, mengikuti pameran-pameran, serta menggunakan media internet.
ANALISIS PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP DAGING KELINCI DI KOTA BOGOR
Hengki Agustian H34070014
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci di Kota Bogor” adalah hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan untuk skripsi atau karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Hengki Agustian H34070014
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup pada tanggal 10 Agustus 1988 dalam keluarga yang sederhana. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Ramli Sianipar dan Dahliana Silalahi. Penulis memulai pendidikan di SD Xaverius 20 Curup dari tahun 1995-2001. Lalu pada tahun 2001 hingga 2004 penulis melanjutkan studi di SMP Negeri 1 Curup. Kemudian pada tahun 2001 hingga 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Curup. Dari SD hingga SMA penulis mendapatkan beasiswa prestasi dari sekolah. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2007 dan mengikuti Tahap Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB). Setelah selesai melalui program TPB, Penulis melanjutkan pendidikan pada Mayor Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) dan mengambil minor Agronomi dan Hortikultura. Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi diantaranya sebagai Kepala Divisi Creativity and Career Development di HIPMA dan Ketua Divisi Kesejahteraan Masyarakat ISPC BEM KM. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan, diantaranya adalah Ketua Agricareer 2010 dan Ketua Web Business Workshop and Competition 2009. Pada tahun 2010 penulis pernah menjadi pembicara dalam kegiatan inisiasi dan pembentukan kelompok ternak kelinci di Desa Cileungsi, Kecamatan Ciawi Bogor. Selain itu dari tahun 2009 hingga 2011 Penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk matakuliah Ekonomi Umum.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Skripsi berjudul “Analisis Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci di Kota Bogor” bertujuan untuk memberi informasi kepada para konsumen daging kelinci, calon pengusaha, dan pemerintah daerah yang akan mengembangkan ternak kelinci mengenai persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci. Di samping itu, skripsi ini memberi rekomendasi alternatif bauran pemasaran berdasarkan analisis persepsi konsumen terhadap bauran pemasaran daging kelinci di Kota Bogor. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan dukungan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2011
Hengki Agustian
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat, hidayah, dan karunia, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Selama penyusunan skripsi ini penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Ibu Febriantina Dewi SE, MM, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, ilmu, saran, motivasi dan pengarahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
2.
Dr.Ir.Rita Nurmalina,MS selaku dosen penguji utama yang bersedia meluangkan waktunya serta berkenan memberikan segala bentuk saran dan kritik demi kesempurnaan hasil penelitian ini.
3.
Dr.Amzul Rifin,SP,MA selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan Departemen Agribisnis atas segala kritik dan saran yang telah diberikan demi kesempurnaan hasil penelitian ini.
4.
Dr.Wahyu Budi Priatna selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama Penulis kuliah.
5.
Orang tua tercinta (Ramli Sianipar dan Dahliana Silalahi), abang (Herianto dan Rudi Susanto), serta adik-adikku tercinta (Lestari dan Erni) yang selalu mendoakan, mendidik, memberi semangat dan memberikan dorongan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini. Juga buat tulang dan uda yang sudah banyak berkontribusi dalam bentuk moril dan materil dalam pendidikan yang dijalani Penulis.
6.
Anisa Apriyani yang selalu memberikan semangat, dorongan serta doanya sehingga penulis bisa menghadapi tantangan yang ada dalam penyelesaian skripsi ini.
7.
Kakak mentor (Kak Ani, Kak Echa,dan Bang Billy) dan teman-teman Komsel (Vera, Olin, Sisca, Boris, Retni, Mega, dan Tulus) yang memberikan semangat, motivasi, doa, bantuan
8.
Aristi Pramadita yang sudah turut membantu penulis dalam banyak hal selama proses penyelesaian skripsi ini.
9.
Seluruh staff pengajar dan staff pendidikan di Departemen Agribisnis, FEM IPB.
10. Sahabat-sahabat penulis, teman berekspresi, dan sumber inspirasi: Hatta, Felicia, Citra, Keluarga Osa, Keluarga Delahoya, dan Keluarga Biboki serta Biboka. 11. Teman-teman di Agribistic dan D’Cabs Band, semoga musik selalu menjadi bagian dari napas kita. 12. Teman-teman gladikarya yang sudah menjadi keluarga selama dua bulan: Ayu, Ungki, Tari dan Amel. 13. Seluruh teman-teman Agribisnis 44 yang selalu bersama-sama membuat kenangan indah selama kuliah. 14. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian Penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan
memberikan pahala atas kebaikan
kalian.
Bogor, Agustus 2011
Hengki Agustian
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………...
xiv
I
PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………... 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………………………... 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………... 1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………………….
1 1 6 7 7
II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 2.1 Sejarah Perkembangan Kelinci ……………………………………………… 2.2 Klasifikasi dan Jenis-jenis Kelinci ……………………………………………. 2.3 Karakteristik dan Kandungan Gizi Daging Kelinci …………………………. 2.4 Penelitian Terdahulu ………………………………………………………….
9 9 8 11 12
III KERANGKA PEMIKIRAN …………………………………………………… 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ………………………………………………... 3.1.1 Perilaku Konsumen dan Konsumen …………………………………… 3.1.2 Persepsi ……………………………………………………………....... 3.1.2.1 Elemen Persepsi ……………………………………… 3.1.2.2 Dinamika Persepsi …………………………………… 3.1.2.3 Proses Persepsi ………………………………………. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional …………………………………………....
15 15 15 16 17 17 19 20
VI METODE PENELITIAN …………………………………………………....... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………………... 4.2 Metode Penentuan Sampel ………………………………………………….. 4.3 Data dan Instrumentasi ………………………………………………............ 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data …………………………………….... 4.4.1 Metode Analisis Deskriptif ..................................................................... 4.4.2 Analisis Regresi Logistik ........................................................................ 4.4.2.1 Evaluasi Model Logistik ............................................................ 4.4.2.2 Nilai Odds ratio .......................................................................... 4.4.3 Skala Likert ............................................................................................ 4.5 Definisi Operasional .........................................................................................
24 24 24 25 26 26 28 28 28 32 33
V Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................................... 5.1 Letak Geografis Kota Bogor ............................................................................ 5.2 Keadaan Demografi ..........................................................................................
34 35 36
5.3 Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) Kota Bogor ..................................
39
VI Hasil dan Pembahasan ....................................................................................... 6.1 Karakteristik Umum Konsumen ...................................................................... 6.1.1 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Usia ................. 6.1.2 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin .. 6.1.3 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pendidikan....... 6.1.4 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pekerjaan ......... 6.1.5 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pengeluaran ..... 6.1.6 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Suku Bangsa.... 6.1.1 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Agama ............. 6.2 Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci ................................................ 6.2.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Budaya .................................. 6.2.2 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Sosial ..................................... 6.2.3 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Psikologis .............................. 6.2.4 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Bauran Pemasaran................. 6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Produk ....................... 6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Harga ......................... 6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Tempat ...................... 6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Promosi ..................... 6.3 Analisis Variabel yang Mempengaruhi Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci ................................................................................................. 6.5 Rekomendasi Bagi Pengusaha Daging Kelinci di Kota Bogor ........................ VII Kesimpulan dan Saran ....................................................................................... 7.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 7.2 Saran ................................................................................................................
40 40 40 41 42 42 44 45 45 46 46 49 52 53 54 55 56 58 60 70 69 69 69
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
71
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Angka Kecukupan Gizi (Energi dan Protein) Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Usia 7-19 Tahun (per orang per hari) .......................................................... 2. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Menurut Kelompok Makanan2005 – 2009 ................................
1 3
3. Perbandingan Komposisi Kimia Daging Kelinci Dengan Ternak Lainnya ..............................................................
4
4. Perbandingan Populai Beberapa Hewan Ternak Di kabupaten Bogor ....................................................................
6
5. Jumlah Responden pada Setiap Kecamatan di Kota Bogor ....... 6. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Berdasarkan Wilayah Kecamatan Di Kota Bogor
25
Pada Tahun 2010 ........................................................................
35
7. PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) ............................................ 8. PDRB Perkapita Kota Bogor 2005-2009 (Rupiah) hal 37 ......... 9. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Usia................................. 10. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin .............................. 11. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Tingkat Pendidikan.................................................................................. 12. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Pekerjaan ..................................... 13. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Pengeluaran ................................. 14. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Suku Bangsa ................................ 15. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Agama ......................................... 16. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Budaya ............................ 17. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Budaya (Agama) ....................................................................................
37 37 39 40 41 42 44 45 45 47 48
18. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Sosial (Keluarga) ................................................................................. 19. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Sosial (Kelompok atau komunitas) ...................................................... 20. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Psikologis (Proses Pemotongan) ................................................................ 21. Bentuk Olahan Daging Kelinci yang pernah Dikonsumsi Responden ............................................................ 22. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Produk (Rasa) ........................................................................................ 23. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Produk (Tekstur) ..................................................................................... 24. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Produk (Bau) ......................................................................................... 25. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Harga ............................. 26. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Lokasi Penjualan .................................................................................... 27. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Lokasi Penjualan .................................................................................... 28. Rataan Keseluruhan Aspek dan Sub Aspek Analisis Persepsi Konsumen ..................................................... 29. Hasil Estimasi Regresi Logistik Terhadap Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Responden untuk Memiliki Persepsi Baik Terhadap Daging Kelinci ..........................................................
49 50 51 52 53 53 54 55 56 56 57
59
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................
Halaman 22
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Kuesioner Karakteristik Konsumen .............................................. 2. Kuesioner Gambaran Umum Konsumsi Daging Kelinci ............. 3. Kuesioner Persepsi Konsumen .....................................................
Halaman 79 80 81
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peternakan memegang peranan penting dalam pembangunan nasional dan
perekonomian
Indonesia. Bidang peternakan memiliki kontribusi dalam
pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu sebagai komoditas utama penghasil daging, telur, susu, maupun produk sampingan berupa kotoran. Peternakan juga berkontribusi dalam menyediakan sumber protein dalam bentuk protein hewani. Protein hewani merupakan bagian yang sangat penting bagi tubuh manusia karena sifatnya yang sulit digantikan dan merupakan pembawa sifat keturunan dari generasi ke generasi dan sangat berperan dalam proses perkembangan kecerdasan manusia dan pembangunan bangsa. Indonesia, pada saat ini cukup banyak mengalami masalah kesehatan berupa malnutrisi protein yang cukup besar. Sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dari Departemen Kesehatan, konsumsi ideal protein untuk orang Indonesia dewasa rata-rata sebesar 55,14 gram/hari. Dari Tabel 1 dapat dilihat kebutuhan rata-rata protein masyarakat Indonesia. Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi (Energi dan Protein) Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Usia 7-19 Tahun (per orang per hari) Umur 7-9 tahun Pria : 10-12 tahun 13-15 tahun 16-19 tahun Wanita : 10-12 tahun 13-15 tahun 16-19 tahun
Berat Badan (Kg) 25
Tinggi Badan (Cm)
Energi (Kkal)
Protein (g)
120
1800
45
35 46 55
138 150 160
2050 2400 2600
50 60 65
37 48 50
145 153 154
2050 2350 2200
50 57 50
Sumber: Departemen Kesehatan (2004)
Pada kenyataannya pemenuhan protein di Indonesia masih di bawah AKG yaitu sebesar 54,35 gram/hari di mana 40,58 persen protein disokong oleh konsumsi serealia seperti beras. Sedangkan sumber-sumber protein seperti hewan ternak, susu, sayuran, dan telur hanya dikonsumsi masyarakat berkisar nol hingga enam persen saja (BPS, 2009). Hal ini dikarenakan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang sebagian besar menjadi beras sebagai makanan pokok sehingga
kontribusi serealia menjadi sangat besar. Pada Tabel 2 disajikan Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Menurut Kelompok Makanan. Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Menurut Kelompok Makanan (2005 – 2009) No.
Komoditi
2005
2006
2007
2008
2009
1
Padi-padian
23.69
23.33
22.43
22.75
22.06
2
Umbi-umbian
0.45
0.41
0.4
0.42
0.33
3
Ikan
8.02
7.49
7.77
7.94
7.28
4
Daging
2.61
1.95
2.62
2.4
2.22
5
Telur dan susu
2.71
2.51
3.23
3.05
2.96
6
Sayur-sayuran
2.52
2.66
3.02
3.01
2.58
7
Kacang-kacangan
6.31
5.88
6.51
5.49
5.19
8
Buah-buahan
0.43
0.39
0.57
0.52
0.41
9
Minyak dan lemak
0.48
0.45
0.46
0.39
0.34
10
Bahan minuman
1.08
1
1.13
1.06
0.98
11
Bumbu-bumbuan
0.82
0.81
0.76
0.73
0.68
12
Konsumsi lainnya
1.03
0.95
1.43
1.37
1.21
13
Makanan jadi
6,44
5.83
7,33
8,36
8,10
Jumlah
55.27
53.65
57.66
57.49
54.35
Sumber: BPS (2010)
Pada Tabel 2 dapat dilihat rata-rata konsumsi protein per kapita penduduk Indonesia sebagian besar masih bergantung pada beras-berasan yang kandungan proteinnya hanya berkisar antara dua hingga delapan gram, dibandingkan dengan daging dan telur yang kandungan proteinnya masing-masing berkisar antara 14 sampai 55 gram dan 10 sampai 17 gram. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya kemampuan Indonesia dalam mencukupi sumber protein hewani yang berupa daging, telur, dan susu melalui hasil dari ternak lokal. Padahal dalam kurun waktu lima tahun ke depan, kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia belum dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan hasil pemotongan ternak lokal, baik ruminansia maupun nonruminansia (Balitnak, 2008). Untuk memenuhi kebutuhan protein asal ternak tersebut, pemerintah melakukan impor ternak bakalan dan daging dari negara tetangga. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2003-2007) angka impor ternak dan hasil ternak meningkat cukup tajam, baik ternak, hasil ternak, dan bahan baku pakan dan bahan-bahan selain yang digunakan untuk pangan yang berasal dari
ternak. Sementara nilai ekspor yang masih jauh lebih kecil dibandingkan impor menyebabkan Indonesia mengalami deficit dalam neraca ekspor impor ternak seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Neraca Ekspor-Impor Komoditi Peternakan Tahun 2003-2007 (US$ 000) No Uraian Tahun/ Year .
2003
2004
2005
2006
2007
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Ekspor
336.492,6
356.370,1
354.644,8
288.784,9
377.671,9
512.753.0
694.099,1
817.668,2
886.754,4
1.386.482,8
(1) 1
/ Export 2
Impor/ Import
3
Neraca
(176.260,4 (337.729,0 (463.023,4 (597.969,5 (1.008.810,9
/
)
)
)
)
)
Balanc e Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan (2010)
Tahun 2003 nilai impor keseluruhan ternak, belum termasuk bahan baku pakan dan hasil-hasilnya berjumlah US$ 512.753.000 yang identik Rp 4,7 triliun. (kurs rupiah ekuvalen Rp 9.200). Kemudian pada tahun 2007 ini meningkat menjadi US$ 1.386.482,8 ribu atau menyedot devisa senilai Rp12,8 triliun, Tetapi nilai impor tahun 2007 akan semakin membengkak apabila kita memasukkan nilai impor bahan baku pakan unggas yang bernilai US$ 1.102.373.548,52 atau berjumlah Rp. 10,2 triliun sehingga nilai impor keseluruhan peternakan untuk tahun 2007 menjadi berjumlah Rp. 22,9 triliun (Ditjennak 2010). Melihat nilai impor tehadap hewan ternak yang terus mengalami peningkatan, sudah seharusnya dikembangkan sumber daya yang ada di negara kita sendiri, misalnya dengan mengembangkan ternak lokal yang potensial. Kelinci merupakan ternak potensial yang keberadaannya belum banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak. Menurut Sartika (2009), kelinci cepat dan mudah berkembang biak, sehingga sangat cocok dikembangkan pada masyarakat miskin karena hanya membutuhkan input pakan yang relatif murah. Dengan kemampuan berkembang biak yang sangat cepat, maka kelinci sangat
memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kekurangan pasokan daging di Indonesia. Selain itu daging kelinci juga lebih sehat, kandungan kolesterolnya rendah, kandungan proteinnya lebih baik dibandingkan ayam, babi, domba, dan sapi, serta kotorannya dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk organik sebagai salah satu solusi dalam mencegah pemanasan global yang saat ini menjadi perhatian dunia. Perbandingan komposisi kimia antara kelinci dengan ternak lain disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Komposisi Kimia Daging Kelinci dan Ternak Lainnya Jenis
Energi
Sodium
Lemak Jenuh
Kadar Air
Protein
Lemak
(kkal/kg)
(mg/g)
(mg/g)
(%)
(%)
(%)
Kelinci
160
40
Ayam
200
70
Sapi
380
65
Domba
345
Babi
330
37
70
21
8
67
19.5
12
41.3
49
15.5
35
75
55.4
53
15
31
70
38.6
54.5
15
29.5
Sumber: Sarwono (2001)
Komposisi gizi kelinci yang sehat tersebut membuat ternak ini cocok untuk dijadikan menu diet. Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai produk turunan, seperti abon, bakso, dendeng, dan sate kelinci. Selain untuk menu diet, daging kelinci juga bisa mencegah kanker dan menolong penderita asma. Hal ini dikarenakan kelinci mengandung niasin (8,43 mg/100 gr bahan, setara dengan 42% dari total kebutuhan harian), vitamin B12 (8,3 µg/100 gr bahan), dan selenium (Se) dengan kadar 38,5 µg/100 gr bahan, suatu jumlah yang dapat menutupi sekitar 55 persen kebutuhan harian tubuh akan unsur ini dan daging kelinci juga mengandung ketotifen, yaitu kandungan kimia organik yang mampu membantu meredakan asma.1 Dari keunggulan-keunggulan tersebut, kelinci sudah seharusnya mampu menjadi salah satu penyumbang protein nasional yang sangat potensial. Namun pada kenyataanya masyarakat sendiri secara psikologis masih belum nyaman mengkonsumsi daging kelinci. Hal ini dikarenakan kelinci umumnya dianggap sebagai hewan kesayangan yang lucu dan menggemaskan. Bahkan ada yang menganggap kelinci mirip dengan kucing sehingga tidak tega untuk 1
Pramita Y. 23 Juli 2009. Gizi Kelinci Memang “Nyeni”. Pikiran Rakyat
mengkonsumsinya. Hal ini membuat daya terima masyarakat terhadap daging kelinci juga menjadi sangat rendah. Bogor merupakan salah satu wilayah yang mulai mengembangkan kelinci sebagai komoditas hias dan pangan. Pertumbuhan populasi ternak kelinci di Kabupaten Bogor, yang merupakan lokasi terdekat penghasil daging kelinci bagi Kota Bogor, menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2008 hingga 2009, yaitu mencapai 24 persen di mana pada tahun 2008 jumlah populasi kelinci di Kabupaten Bogor sebanyak 11.362 menjadi 14.165 pada tahun 2008 (Disnakan 2010). Hal ini diikuti dengan mulai menjamurnya usaha pengolahan daging kelinci di kawasan puncak dan sekitarnya. Namun para pengusaha pengolah daging kelinci tersebut mengeluhkan antusiasme dari warga Bogor yang masih sangat rendah dalam mengkonsumsi daging kelinci. Sehingga pertumbuhan usaha mereka terkesan lambat. Kebanyakan dari masyarakat sekitar masih awam dengan daging kelinci untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan kelinci merupakan hewan kesayangan yang lucu dan sangat menggemaskan sehingga menimbulkan hambatan psikologis untuk mengkonsumsinya. Daging kelinci merupakan produk baru di Kota Bogor yang sangat prospektif dikembangkan namun belum mendapatkan penerimaan dari masyarakat luas, maka perlu dilakukan analisis mengenai konsumen daging kelinci di Kota Bogor. Adapun analisis yang akan dilakukan adalah mengenai persepsi konsumen dan penjabaran mengenai karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor. Hal ini sangat penting dilakukan agar para pengusaha maupun calon pengusaha yang akan masuk ke dalam industri pangan olahan berbahan baku daging kelinci memiliki gambaran mengenai konsumen yang akan menjadi sasaran mereka sehingga pemasaran yang dilakukan bisa lebih efektif. Selain itu, dari persepsi konsumen yang sudah mengkonsumsi daging kelinci tersebut, bisa menjadi acuan bagi konsumen lain yang belum pernah mengkonsumsi daging kelinci, sehingga diharapkan mampu meningkatkan penerimaan konsumen terhadap daging kelinci. 1.2 Rumusan Masalah Kelinci merupakan salah satu komoditas pangan penghasil daging yang mulai dikembangkan di wilayah Bogor. Hal ini dikarenakan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh daging kelinci dibandingkan dengan ternak lainnya. Di wilayah
Bogor sendiri populasi kelinci mengalami peningkatan sebesar 24,67 persen dimana tahun 2008 populasi kelinci sebanyak 11,362 ekor menjadi 14,165 ekor pada tahun 2009. Pertumbuhan ini dikarenakan pemerintah Bogor mulai gencar menggalakkan pengembangan ternak kelinci di wilayah Bogor, salah satunya melalui pembentukan kampong kelinci. Pemerintah daerah Bogor membagikan bantuan dalam bentuk ternak kelinci kepada kelompok tani dan masyarakat miskin di wilayah Bogor untuk dikembangkan menjadi usaha kelompok maupun keluarga. Pertumbuhan populasi kelinci di kawasan Bogor ini lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa ternak seperti ayam petelur, itik, sapi potong, kerbau, dan kambing non PE. Perbandingan tingkat pertumbuhan populasi beberapa hewan ternak tersebut disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Populasi Beberapa Hewan Ternak di Kabupaten Bogor (2008-2009) No.
Jenis Ternak
Tingkat Pertumbuhan Populasi (%)
1.
Kelinci
2.
Ayam Petelur
3.
Itik
4,27
4.
Sapi Potong
-3,98
5.
Kerbau
0,89
6.
Kambing Non PE
5,29
24,67 11
Sumber: Disnakan Kabupaten Bogor (2010) Pertumbuhan populasi kelinci tersebut ternyata tidak menunjang pertumbuhan usaha makanan olahan dari daging kelinci. Dari hasil wawancara dengan beberapa pemilik usaha yang menjual pangan olahan dari daging kelinci, dari waktu ke waktu pengunjung mereka mulai menurun. Sehingga pemesanan kelinci potong pun tidak rutin dilakukan, hanya sebatas jika ada pesanan. Meskipun daging kelinci mempunyai nilai gizi yang lebih unggul dibanding daging yang berasal dari ternak lainnya, namun pada kenyataannya daging kelinci belum memasyarakat. Hal ini dikarenakan adanya beberapa hambatan psikologis dan teknis, antara lain kelinci merupakan hewan kesayangan, dan bentuknya mirip kucing dan tikus, serta adanya anggapan bahwa kelinci tidak halal untuk dimakan.
Kehalalan daging kelinci telah terjamin dengan terbitnya Fatwa MUI pada tanggal 12 Maret 1983 M yang menetapkan bahwa memakan daging kelinci hukumnya halal (Balitnak, 2010). Kurang populernya daging kelinci di masyarakat kemungkinan pada adanya kebiasaan makan (food habit) yang susah dirubah karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan makannya, meskipun dalam jangka waktu yang lama dapat ditembus pula pola kebiasaan makan tersebut, disamping itu efek psikologis sangat mendominasi kebiasaan makan daging kelinci dan sementara pihak ada yang beranggapan bahwa daging kelinci mempunyai rasa khas yang belum tentu dapat diterima oleh semua orang (Suradi, 2003). Fannani (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perkembangan usaha sate kelinci di Kota Bogor, berjalan dengan sangat lambat. Hal itu bisa dilihat dari kuantitas produsen olahan daging kelinci yang bisa ditemui oleh penulis. Beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan usaha ini terhambat seperti: pasokan daging kelinci yang cukup sulit dan mahal, serta persepsi konsumen yang masih awam terhadap kelinci. Dari pemaparan di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor? 2. Bagaimana persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor? 3. Apa saja variabel yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor? 4. Apa saja yang dapat dilakukan dalam menjalankan usaha daging kelinci di Kota Bogor?
1.3 Tujuan 1. Menganalisis karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor. 2. Mengetahui persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci. 3. Menganalisis variabel apa saja yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor.
4. Memberikan rekomendasi kepada pihak pengusaha yang baru akan memulai usaha daging kelinci atau yang akan mengembangkan usaha daging kelinci di Kota Bogor. 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, diantaranya: 1. Bagi mahasiswa, penelitian ini menjadi sarana untuk menambah wawasan dan aplikasi dari teori yang didapatkan diperkuliahan. Diharapkan pula penelitian ini bisa menjadi referensi bagi mahasiswa lain untuk penelitian lainnya. 2. Bagi para pengusaha produk olahan daging kelinci, penelitian ini bermanfaat dalam memberikan data mengenai pasar potensial dan konsumen sasaran dari produk turunan daging kelinci. 3. Bagi para peternak kelinci, hasil penelitian ini bisa digunakan dalam mengambil keputusan mengenai komposisi pemeliharaan kelinci hias dan kelinci pedaging.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Perkembangan Kelinci Kelinci semula merupakan
hewan liar yang sulit dijinakkan. Kelinci
dijinakkan sejak 2000 tahun silam dengan tujuan keindahan, bahan pangan dan sebagai hewan percobaan. Hampir setiap negara di dunia memiliki ternak kelinci karena kelinci mempunyai daya adaptasi tubuh yang relatif tinggi sehingga mampu hidup di hampir seluruh dunia. Kelinci dikembangkan di daerah dengan populasi penduduk relatif tinggi, Adanya penyebaran kelinci juga menimbulkan sebutan yang berbeda, di Eropa disebut rabbit, Indonesia disebut kelinci, Jawa disebut trewelu dan sebagainya. Adapun menurut Kartadisastra (1994) domestikasi kelinci pertama kali dilakukan oleh bangsa romawi yang menginginkan sumber pangan yang mudah. Domesitikasi dilakukan dari kelincikelinci hutan yang liar, proses domestikasi ini pun untuk selanjutnya menyebar ke wilayah eropa tengah dan wilayah eropa timur. Peternakan kelinci sudah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1837 yang konon dibawa oleh orang-orang Belanda sebagai kelinci hias. Kelinci pada awalnya merupakan hewan kesayangan yang dimiliki oleh tuan tanah. Progam pengembangan kelinci ditujukan untuk mengurangi rawan gizi telah dilakukan pemerintah pada tahun 1980, selanjutnya pada Tahun 1990 pemerintah sudah menerbitkan Pedoman Teknis Perusahaan Peternakan Kelinci sebagai upaya mendorong perkembangan budidaya kelinci di masyarakat. Namun sampai saat ini perkembangannya mengalami hambatan karena perbedaan tujuan produksi dalam pengembangannya (Balitnak, 2010). 2.2 Klasifikasi dan Jenis-jenis Kelinci Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) yang ada saat ini berasal dari kelinci liar di Eropa dan Afrika Utara. Beberapa bangsa kelinci ditemukan pada abad ke 16 yang menyebar di Perancis dan Italia.
Pada mulanya kelinci
diklasifikasikan dalam ordo rodensia (binatang mengerat) yang bergigi seri empat, tetapi akhirnya dimasukkan dalam ordo lagomorpha karena bergigi seri enam). Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam Kerajaan Animalia, filum Chordata,
kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili
Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies O. cuniculus (Spacerad.com 2004).
Sementara Kartadisastra (1994) membagi genus kelinci menjadi kelompok yang lebih spesifik, antara lain: Lepus (Genuine Hare) , Orictalagos (European Rabbit), Sylvilagus (Cooton Tail Rabbit), Pronolagus (Red Hare), Bunolagus (Bushman Hare), Pentalagus (Riu,Kiu Rabbit), Caprolagus (Brietle Rabbit), Poelagus (African Rabbit), Nesolagus (Sumatera Rabbit), Romerolagus (Volcano Rabbit), dan Brachyalgus (Dwarft Rabbit). Lebas et al. (1986), diacu dalam Balitnak (2010) mengelompokkan kelinci menjadi kelinci besar, kelinci medium, kelinci ringan dan kelinci kecil berdasarkan ukuran tubuh dewasa, pertumbuhan rata-rata, dan umur mulai dewasa. 1.
Kelinci besar adalah kelinci dengan bobot dewasa lebih dari 5.0 kg, potensi pertumbuhan bangsa ini dapat dieksploitasi terutama untuk persilangan. Termasuk kelompok ini adalah kelinci Bouscat Giant White, French Lop, Flemish Giant dan French Giant Papillon. Bangsa ini secara genetik dapat memperbaiki pertumbuhan pada bangsa lain.
2. Kelinci medium adalah kelinci dengan bobot dewasa 3.5-4.5 kg, kelinci ini merupakan kelinci yang dapat dipelihara secara intensif untuk produksi daging. Kelinci ini memilki nilai productivitas unggul yaitu fertilitas yang tinggi, pertumbuhan cepat, perkembangan perototan yang bagus, kualitas daging yang baik. Bangsa kelinci yang termasuk kedalam bangsa ini adalah English Silver, German Silver, Champagne d’Argent, New Zealand Red, New Zealand White dan Grand Chinchilla. 3. Kelinci ringan adalah kelinci dengan bobot dewasa 2.5-3.0 kg, kelinci tipe ringan dapat berkembang dengan sangat cepat dan merupakan induk yang baik. Konsumsi pakan lebih sedikit daripada kelinci tipe besar dan medium, dan bisa disilangkan untuk menghasilkan tipe ringan dengan berat karkas 1.0-1.2 kg. Tipe ini terdiri atas Himalaya, Small Chinchilla, Dutch, dan French Havana. 4. Kelinci kecil (kerdil) adalah kelinci dengan bobot dewasa 1 kg, kelinci jenis ini banyak digunakan sebagai kelinci pertunjukkan dan sebagai hewan kesenangan. Kelinci tipe ini diantaranya adalah Netherland Dwarf dan Polish Dwarf. Jenis yang umum diternakkan adalah American Chinchilla, Angora, Belgian, Californian, Dutch, English Spot, Flemish Giant, Havana, Himalayan,
New Zealand Red, White dan Black, Rex Amerika. Kelinci lokal yang ada sebenarnya berasal dari dari Eropa yang telah bercampur dengan jenis lain hingga sulit dikenali lagi. Jenis New Zealand White dan Californian sangat baik untuk produksi daging, sedangkan Angora baik untuk bulu. 2.3 Karakteristik dan Kandungan Gizi Daging Kelinci Karakteristik daging kelinci diantaranya : berwarna putih, serat halus dan pendek seperti daging ayam dan juga rasa selezat daging ayam, warna sedikit pucat, lemak rendah, glikogen tinggi, kalori rendah, kolesterol rendah, Natrium rendah, mudah dikunyah, kadar air rendah, asam lemak tak jenuh dalam daging kelinci lebih banyak dibanding daging lainnya dan asam lemak jenuhnya lebih sedikit . Seperti kita ketahui bahwa asam lemak tidak jenuh tidak akan membentuk kolesterol dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Selain itu daging kelinci (yang disebut juga sebagai daging putih) memiliki tingkat keempukan yang lebih baik dibandingkan dengan daging merah. Hal ini dikarenakan seratnya yang lebih halus dan lebih besar dibandingkan dengan daging merah (Balitnak, 2010). Daging kelinci memiliki kandungan protein tinggi, rendah lemak dan rendah kolesterol, sehingga dapat disebut sebagai ‘daging sehat’ (Yono dan Ridwan 2004; Kusmayadi 2005). Daging kelinci diketahui memilki kandungan kolesterol yang rendah sehingga baik bagi kesehatan dan juga dapat digunakan dalam program diet. Komposisi gizi kelinci yang sehat tersebut membuat ternak ini cocok untuk dijadikan menu diet. Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai produk turunan, seperti abon, bakso, dendeng, dan sate kelinci. Selain untuk menu diet, daging kelinci juga bisa mencegah kanker dan menolong penderita asma. Hal ini dikarenakan kelinci mengandung niasin (8,43 mg/100 gr bahan, setara dengan 42 persen dari total kebutuhan harian), vitamin B12 (8,3 µg/100 gr bahan), dan selenium (Se) dengan kadar 38,5 µg/100 gr bahan, suatu jumlah yang dapat menutupi sekitar 55 persen kebutuhan harian tubuh akan unsur ini dan daging kelinci juga mengandung ketotifen untuk membantu para penderita asma. Daging kelinci sendiri dapat dijadikan sebagai pangan olahan dalam bentuk sate, nugget, abon, dendeng, dan bakso.
2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap konsumen daging kelinci masih sangat jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan perkembangan daging kelinci sebagai produk pangan masih tergolong baru. Hal ini menyebabkan sebagian besar pustaka diambil dari penelitian mengenai persepsi konsumen. Fannani (2006) menganalisis mengenai respon dan kepuasan konsumen terhadap sate kelinci Kedai Daci di Kelurahan Ciparigi, Kotamadya Bogor, Jawa Barat. Responden diambil secara Convenient Sampling, dimana responden adalah konsumen yang sedang membeli sate kelinci di Kedai Daci. Ditentukan pula responden merupakan warga yang benar-benar tinggal di Ciparigi. Dari data responden yang didapatkan oleh peneliti dapat dilihat bahwa, 51 persen responden berasal dari Keluarga Sejahtera II, 26 persen dari Keluarga Sejahtera III, dan Keluarga Sejahtera III Plus sebanyak 23 persen. Namun jika kita bandingkan secara langsung antara jumlah responden dari masing-masing kelas sosial dengan jumlah masyarakat dari masing-masing kelas sosial di atas, maka persentase terbesar dari responden yang berbelanja ke Kedai Daci adalah berasal dari Keluarga Sejahtera III yaitu sebesar 4,98 persen, dikuti oleh Keluarga Sejahtera III Plus dan Keluarga Sejahtera I, masing-masing sebesar 4,82 dan 2,44 persen. Jika dilihat dari tingkat pendidikan responden, mayoritas konsumen sate kelinci di Kedai Daci berpendidikan di atas SLTA dengan rincian sebagai berikut: sarjana/S1, D3, Pasca Sarjana, SLTA, dan SLTP masing-masing sebesar 41, 17, 13, 17, dan 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen daging kelinci adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Dan hal ini berkorelasi dengan alasan para responden membeli sate daging kelinci, dimana mayoritas (39 persen) mengonsumsi sate kelinci karena proteinnya yang tinggi. Pada hasil penelitiannya, Fannani telah menyinggung kurangnya minat masyarakat Bogor untuk mengonsumsi kelinci masih sangat rendah dipengaruhi oleh persepsi konsumen, namun Fannani belum membahas mengenai persepsi tersebut secara detail. Untuk karakteristik konsumen daging kelinci sendiri memang sudah sedikit dibahas oleh Fannani namun terbatas pada masyarakat di wilayah Ciparigi saja dan belum dibahas bagaimana pengaruh karakteristik
tersebut terhadap keinginan untuk mengonsumsi daging kelinci serta bagaimana signifikansi dari karakteristik tersebut. Sementara itu, Wicaksena (2006) menganalisis persepsi konsumen terhadap kopi bubuk torabika di Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis persepsi konsumen atas harga, merek, dan kualitas kopi bubuk torabika dibandingkan dengan produk pesaing. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, diagram ular, dan perceived quality analysis. Analisis deskriftif digunakan untuk menilai karakteristik responden dan persepsi konsumen terhadap harga kopi bubuk Torabika dan Kapal Api. Diagram ular digunakan untuk mengetahui bagaimana persepsi merek kopi bubuk Torabika terhadap kopi bubuk Kapal Api, sedangkan perceived quality analysis digunakan untuk mengukur apakah kopi bubuk Torabika memberikan nilai yang sesuai dengan harapan konsumen. Adapun untuk perolehan responden digunakan sampel fraction dari sepuluh kecamatan di Jakarta timur berdasarkan populasinya. Persamaan antara penelitian yang akan peneliti lakukan dan yang telah dilakukan Wicaksena terdapat pada metode perolehan sampel yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikarenakan peneliti memiliki kesamaan dalam hal lingkup geografis yang akan diteliti yaitu satu wilayah kota dengan jumlah populasi yang tidak diketahui. Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada komoditi yang dianalisis, lokasi penelitian, dan metode analisis. Penelitian mengenai persepsi konsumen juga dilakukan oleh Nurmarchus (2006) yang menganalisis mengenai pola konsumsi dan persepsi konsumen terhadap ikan laut di Kota Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik konsumen ikan laut di Kota Bogor, menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, pekerjaan dan status sosial dengan frekuensi ikan laut, mengetahui pola konsumsi ikan laut di Kota Bogor, dan menganalisis persepsi konsumen terhadap ikan laut di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskripstif untuk menganalisis pola konsumsi ikan laut, metode analisis Chi-square untuk menganalisis karakteristik konsumen, dan model sikap multiatribut Fishbein untuk menganalisis persepsi konsumen. Adapun pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan lingkungan fisik dan tempat tinggal dimana dari 100 sampel
ibu rumah tangga yang diambil kemudian dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas bawah, menengah, dan atas. Julaeha (2010) menganalisis mengenai persepsi dan sikap konsumen terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain, untuk menganalisis tingkat pengetahuan keamanan pangan responden, menganalisis tingkat persepsi konsumen terhadap produk oreo setelah adanya isu melamin, menganalisis tingkat sikap responden terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Cluster Sampling. Teknik pengolahan dan analisis data menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala Likert, dan regresi logistik. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada teknik analisis data, yaitu menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala Likert, dan regresi logistik. Pada analisis regresi logistic yang digunakan, terdapat beberapa perbedaan variabel. Untuk analisis regresi logistik, Julaeha menggunakan beberapa variabel, antara lain: jenis kelamin, usia, uang saku, tingkat pengetahuan keamanan pangan, dan tingkat pengetahuan terhadap produk oreo. Sedangkan untuk penelitian yang akan dilakukan ini, variabel yang digunakan antara lain: usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan tingkat pengeluaran. Dari hasil penelitian Julaeha, faktor yang memiliki pengaruh yang signifikan hanyalah faktor pengetahuan pangan1, yaitu tingkat pengetahuan pangan sedang. Perbedaan lain dari penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan Julaeha adalah dari sisi komoditas, lokasi penelitian, dan metode pengumpulan data.
III Kerangka Pemikiran 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Beberapa teori yang digunakan sebagai bahan acuan meliputi teori konsumen dan perilaku konsumen,teori persepsi, baik elemen-elemen persepsi maupun dinamika persepsi, dan teori sikap konsumen. 3.1.1 Konsumen dan Perilaku Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 mengenai perlindungan konsumen, konsumen didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dengan kata lain konsumen dapat didefinisikan sebagai orang yang melakukan tindakan menghabiskan nilai barang dan jasa setelah mengeluarkan sejumlah biaya dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan dan diukur sebagai kepuasan yang diperoleh. Besarnya kepuasan konsumen diukur dari sejumlah nilai yang diperoleh dari mengonsumsi suatu barang dan jasa terhadap biaya yang dikeluarkan (Kotler, 2000). Konsumen
memiliki
kekuasaan
penuh
untuk
menentukan
atau
memutuskan mengonsumsi suatu barang. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan dasar dan alami, sehingga kebutuhan tidak bisa diciptakan melainkan oleh konsumen itu sendiri. Namun dalam praktiknya, kebutuhan dapat ditimbulkan melalui stimuli yang diciptakan oleh pemasar. Perilaku konsumen menurut Loudon dan Della Bitta (1995) adalah "consumer behaviour may be defined as decision process and physical motivity indivials image in when evaluating, acquiting, using or disposing of goods and service". (perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik dalam mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau dapat mempergunakan barang dan jasa). Perilaku konsumen didefinisikan juga sebagai tindakan-tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakantindakan tersebut (Engel: et al 1994). Mempelajari perilaku konsumen berarti
mempelajari bagaimana konsumen membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya (waktu, uang, usaha) untuk memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. 3.1.2 Persepsi Menurut Kotler dan Amstrong (2001), terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengonsumsi yaitu faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor psikologis. Sebuah proses internal yang dinamakan persepsi, yang bermanfaat sebagai sebuah alat penyaring (filter) dan sebagai metode untuk mengorganisasi stimuli yang memungkinkan kita menghadapi lingkungan kita. Proses persepsi tersebut menyediakan mekanisme melalui seleksi stimuli dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti. Akibatnya adalah bahwa kita lebih dapat memahami gambaran mengenai lingkungan yang diwakili oleh stimuli tersebut. Persepsi merupakan aktivitas penting yang menghubungkan konsumen individual dengan kelompok, situasi dan pengaruh pemasar (Hawkins et al 1996). Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu memilih, mengorganisasi dan mengiterpretasikan stimuli ke dalam gambaran yang mempunyai arti dan masuk akal sehingga dapat dimengerti. Menurut Kotler (2001) persepsi merupakan proses bagaimana individu memilih, mengorganisasikan, dan mengintepretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan seseorang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya. Proses pemahaman ini melalui penglihatan, pendengaran, penyentuhan perasaan dan penciuman. Jika informasi berasal dari suatu situasi yang telah diketahui seseorang, maka informasi tersebut akan mempengaruhi cara seseorang mengorganisasikan persepsinya. Hasil pengorganisasian persepsinya mengenai suatu informasi dapat berupa pengertian tentang suatu obyek tersebut. Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan stimuli yang diterima oleh organ indera untuk diolah menjadi suatu informasi yang utuh dan menimbulkan suatu citra terhadap objek tertentu.
3.1.2.1 Elemen Persepsi Persepsi terdiri dari beberapa elemen yang terdiri dari sensasi, ambang mutlak, ambang diferensial, dan persepsi subliminal. Sensasi adalah jawaban atau tanggapan langsung dari organ sensorik, seperti mata, telinga, mulut, dan kulit terhadap stimuli yang sederhana. Sedangkan stimuli adalah unit input produk terhadap indera manusia, seperti produk, kemasan, merek, dan iklan. Sensasi sangat tergantung pada faktor seberapa efektif stimuli terjadi. Ambang mutlak adalah batas minimum yang menyebabkan konsumen dapat merasakan sensasi. Hal ini dapat digambarkan sebagai keadaan di mana konsumen dapat merasakan perbedaan antara ada dan tidaknya suatu stimuli. Ambang diferensial adalah perbedaan minimum yang dapat dideteksi antara dua stimuli yang serupa. Ambang diferensial memberikan gambaran bahwa semakin besar stimuli awal mengharuskan stimuli berikutnya lebih besar untuk menarik sensasi konsumen. Persepsi subliminal adalah kondisi dimana stimuli berada di bawah ambang, sehingga menyebabkan tidak timbulnya sensasi secara optimal bagi konsumen. 3.1.2.2 Dinamika Persepsi Persepsi yang dihasilkan individu tidak akan pernah serupa untuk realitas yang sama. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi akan diterima oleh sensor manusia dengan sensasi yang berbeda-beda. Persepsi setiap individu memiliki keunikan yang menyebabkan berbeda satu sama lain karena perbedaan individu dalam memiliki harapan, kebutuhan, keinginan, dan pengalaman sebelumnya dalam mengonsumsi suatu produk. Dalam dinamikanya, perbedaan persepsi setiap individu berawal dari perbedaan dalam perceptual selection, perceptual organization, dan perceptual interpretation. Perceptual selection merupakan kemampuan individu dalam menerima stimuli berdasarkan kemampuan otak. Stimuli yang diseleksi untuk diterima oleh otak manusia tergantung pada dua faktor, yaitu faktor stimuli dan faktor personal. Faktor stimuli merupakan stimulus yang dapat menarik perhatian konsumen, seperti: sifat alami produk dan keunikannya, merek produk, warna, kemasan, dan posisinya. Faktor personal adalah faktor yang berasal dari individu itu sendiri untuk menentukan stimuli diseleksi atau tidak. Faktor personal meliputi
harapan, pengalaman sebelumnya, motif pembelian, dan pengenalan kebutuhan. Faktor personal inilah yang menyebabkan perceptual selection setiap individu berbeda. Individu tidak langsung menyerap stimuli yang berasal dari lingkungan. Setiap stimuli yang ada di lingkungan sekitar akan diadakan pengorganisasian secara utuh dan menyatu, bukan secara terpisah-pisah. Pengorganisasian terhadap stimuli disebut perceptual organization. Perceptual organization dilakukan berdasarkan tiga prinsip, yaitu figure dan latar belakang (figure and ground), pengelompokan (grouping), dan penyelesaian (closure). Stimuli yang mudah diingat adalah stimuli yang memberikan sensasi berbeda kepada individu. Perceptual interpretation adalah proses memberikan arti kepada stimuli sensoris. Interpretasi juga memiliki keunikan tersendiri dari setiap individu karena dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kejelasan informasi, dan motif individu. Stimuli terkadang begitu ambigu bagi konsumen. Namun, pengalaman sebelumnya serta cara berinteraksi individu terhadap lingkungannnya dapat membantu untuk mendefinisikan stimuli. Ketika stimuli berada pada taraf ambiguitas maksimum, maka individu menginterpretasikan stimuli secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan, harapan, dan motif mereka masingmasing. Jauh dekatnya interpretasi individu dengan realitas tergantung pada kejelasan stimuli, pengalaman masa lalu serta motivasi dan minat individu tersebut saat pembentukan persepsi. Persepsi melekat pada benak konsumen dalam jangka waktu yang lama. Konsumen akan memandang suatu produk secara berbeda tergantung persepsinya. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen memandang berdasarkan citra (image) produk. Produk yang tidak memiliki citra berarti di mata konsumen belum mampu mendapatkan persepsi yang konsisten dalam waktu yang lama. Karena persepsi menyangkut citra produk, maka riset tentang persepsi sama dengan riset citra produk atau merek (brand image). 3.1.2.3 Proses Persepsi dan Sifat Persepsi Alport diacu dalam Mar’at (1991) menjelaskan proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk
dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada. Persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut, antara lain: 1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman atau
proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat
indera manusia. 2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf sensorik. 3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima reseptor. 4) Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yang berupa tanggapan dan perilaku. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan, bahwa proses persepsi melalui tiga tahap, yaitu: 1) Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial melalui alat indera manusia, yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada. 2) Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses seleksi serta pengorganisasian informasi. 3) Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam menanggapi lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, serta pengetahuan individu. Menurut Newcomb diacu dalam Arindita (2003), ada beberapa sifat yang menyertai proses persepsi yaitu: 1) Konstansi (menetap): di mana individu mempersepsikan seseorang sebagai orang itu sendiri walaupun perilaku yang ditampilkan berbeda-beda. 2) Selektif: persepsi dipengaruhi oleh keadaan psikologis si perseptor. Dalam arti bahwa banyaknya informasi dalam waktu yang bersamaan dan keterbatasan
kemampuan perseptor dalam mengelola dan menyerap informasi tersebut, sehingga hanya informasi tertentu saja yang diterima dan diserap. 3) Proses organisasi yang selektif: beberapa kumpulan informasi yang sama dapat disusun ke dalam pola-pola menurut cara yang berbeda-beda. 3.1.3
Strategi Pemasaran dan Bauran Pemasaran Menurut Kotler (2006) strategi pemasaran adalah logika pemasaran
dimana perusahaan berharap untuk menciptakan nilai pelanggan dan mencapai hubungan yang menguntungkan. Dengan dipandu oleh strategi pemasaran tersebut perusahaan merancang bauran pemasaran terintegrasi yang terdiri dari beberapa faktor dibawah kendalinya, yaitu produk (product), harga (price), tempat (plce), dan promosi (promotion) atau yang lebih dikenal dengan istilah Empat P (4P). Produk merupakan kombinasi barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan kepada pasar sasaran. Adapun komponen dari produk meliputi ragam, kualitas, desain, fitur, nama merek, layanan, dan kemasan. Harga adalah jumlah yang harus dibayarkan pelanggan untuk memperoleh produk. Harga menjadi salah satu elemen yang paling penting dalam menentukan pangsa pasar dan keuntungan suatu perusahaan. Adapun elemen dari harga antara lain, daftar harga, diskon, potongan
harga, periode pembayaran, persyaratan
kredit, dan lain-lain. Penetapan harga dapat dipertimbangkan melalui pendekatan nilai dan pendekatan biaya. Tempat meliputi kegiatan perusahaan yang membuat produk tersedia bagi pelanggan sasaran. Tempat ini meliputi saluran, cakupan, pemilahan, lokasi, persediaan, transportasi, dan logistik. Komponen terakhir bauran pemasaran adalah promosi. Promosi berarti aktifitas yang menyampaikan manfaat produk dan membujuk pelanggan untuk membelinya. Promosi dapat dilakukan dalam bentuk iklan, penjualan pribadi, promosi penjualan, dan hubungan masyarakat. 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai potensi besar untuk
dikembangbiakan sebagai penyedia daging, karena ternak ini mempunyai kemampuan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, kemampuan untuk memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian maupun industri pangan, dapat
dipelihara dengan skala pemeliharaan yang kecil
maupun besar, sehingga
diharapkan dalam waktu singkat dapat menyediakan daging untuk memenuh kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia yang setiap tahunnya meningkat. Banyak keunggulan yang diperoleh dari mengonsumsi daging kelinci, yaitu kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat, selain itu kulit dan kotorannya masih mempunyai nilai ekonomis, khususnya kulit bulu (fur) dari ternak kelinci Rex dan Satin mempunyai nilai komersiil yang tinggi sebagai bahan garmen yang dapat menggantikan fur dari binatang buas yang semakin langka. Penampilan ternak kelinci yang jinak dan lucu menjadikan ternak ini sebagai hewan kesayangan bagi penyayang binatang, disamping itu kemajuan industri farmasi yang pesat sangat membutuhkan ternak ini sebagai kelinci percobaan. Salah satu wilayah yang saat ini mulai serius dalam mengembangkan kelinci sebagai ternak lokal yang potensial adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Melalui kelompok-kelompok tani, pihak pemerintah menyalurkan bantuanbantuan berupa ternak kelinci bagi kelompok rumah tangga miskin untuk dijadikan salah satu sumber mata pencaharian. Selain itu pemerintah Kabupaten Bogor juga membentuk kampung kelinci sebagai daerah percontohan untuk menjadi sentra penghasil kelinci. Adanya upaya yang serius dari pemerintah inilah yang menyebabkan populasi kelinci di wilayah Bogor mengalami peningkatan dari 11.362 ekor pada tahun 2008 menjadi 14.165 ekor pada tahun 2009. Pada kenyataannya pengembangan ternak kelinci sebagai penyedia daging sampai saat ini masih menemui banyak kendala karena daging dari ternak ini belum populer dan diterima oleh sebagian masyarakat sehingga sulit dalam pemasarannya. Kesulitan pemasaran lebih banyak disebabkan oleh faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi dagingnya. Hal ini menyebabkan usaha penjualan daging kelinci olahan menjadi sepi pelanggan, salah satunya adalah Café Kelinci yang ada di wilayah Bogor. Jika dilihat dari manfaat dan keunggulan yang ditawarkan, selayaknyalah daging kelinci menjadi primadona dalam hal penyuplai protein hewani, terutama bagi kelompok menengah ke atas yang sudah menaruh perhatian besar pada
konsumsi daging yang rendah lemak. Namun faktanya daging kelinci masih belum bisa diterima oleh masyarakat luas untuk dikonsumsi. Adanya trade off tersebut menyebabkan pentingnya dilakukan analisis terhadap persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci. Hal ini bisa menjadi acuan bagi pengusaha yang ingin mengembangkan usaha berbasis pengolahan daging kelinci di Kota Bogor. Selain itu dari analisis persepsi tersebut bisa dikembangkan pula karakteristik konsumen potensial yang bisa menjadi sasaran pemasaran daging kelinci. Untuk menganalisis persepsi tersebut dapat digunakan metode analisis deskriptif, sementara untuk menganalisis karakteristik konsumen yang mengonsumsi daging kelinci dilakukan dengan metode analisis regresi logistik sehingga didapatkan gambaran mengenai konsumen sasaran untuk memasarkan daging kelinci tersebut. Setelah diketahui persepsi dan karakateristik konsumen yang mengonsumsi atau ingin mengonsumsi daging kelinci, maka pangsa pasar potensial daging kelinci bisa ditentukan dengan menggunakan datadata kependudukan yang ada di suatu wilayah.
Daging Kelinci Dipopulerkan Sebagai Pangan Alternatif Sumber Protein Hewani di Kota Bogor
Keunggulan Daging Kelinci Sebagai Sumber Pangan Baru Sumber Protein Hewani: - Makanan sehat yang mengandung protein tinggi namun rendah lemak dan kolesterol. -176.260,4 Dapat mencegah Kanker dan menyembuhkan penyakit asma
Hambatan Psikologis Bagi Beberapa Orang Untuk Mengkonsumsi Daging Kelinci
Karakteristik Konsumen Yang Mengkonsumsi Daging Kelinci Dilihat dari: Persepsi Konsumen
-
Terhadap Daging Kelinci
Tingkat Pendidikan Tingkat Pengeluaran Usia Pekerjaan Jenis kelamin
Konsumen Potensial Yang Menjadi Target Pemasaran Produk Olahan Daging
Rekomendasi bagi pihak pemasar yang akan atau telah menjalankan usaha pengolahan daging kelinci di Kota Bogor
Keterangan: Lingkup Penelitian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kota Bogor merupakan kota berpenduduk padat di provinsi Jawa Barat dengan tingkat pendapatan per kapita yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga memungkinkan adanya potensi pemasaran daging kelinci yang cukup baik. Selain itu letak Kota Bogor sangat strategis, yaitu di tengah-tengah Kabupaten Bogor dan merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian, dimana terdapat pasar induk yang menjual berbagai komoditas termasuk kelinci. Pengumpulan data di lapang dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan, yaitu dimulai pada awal bulan Mei 2011. 4.2 Metode Penentuan Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah konsumen yang sudah pernah mengonsumsi daging kelinci dan berusia di atas 18 tahun serta berdomisili di Kota Bogor. Adapun teknik pemilihan responden yang digunakan adalah metode convenience sampling yaitu responden dipilih berdasarkan kemudahan ditemui dan kesediaan responden untuk mengisi kuisioner. Secara keseluruhan responden diambil dari enam kecamatan yang terdapat di Kota Bogor yaitu kecamatan Bogor Barat, Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Selatan, Bogor Utara, dan Tanah Sareal. Dengan pertimbangan waktu dan biaya, maka jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 50 responden. Responden akan diambil dari setiap kecamatan yang ada di Kota Bogor melalui pendekatan sample fraction yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk dimasing-masing kecamatan terhadap jumlah seluruh penduduk Kota Bogor. Menurut Nazir (2005), penentuan sampel dalam setiap kecamatan menggunakan metode alokasi sampel berimbang melalui pendekatan sample fraction dihitung dengan rumus: n1 = dimana: n1= jumlah sampel dalam tiap kecamatan
N1= jumlah populasi dalam tiap kecamatan N = jumlah populasi penduduk Kota Bogor n = besarnya ukuran sampel (50 orang) Berdasarkan perhitungan diperoleh sebaran responden dalam setiap kecamatan yang terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Responden pada Setiap Kecamatan di Kota Bogor Kecamatan sample frame Jumlah
(N1/N)
Penduduk
Jumlah
Jumlah penduduk
responden per
X sample frame
kecamatan (n1)
(N) Bogor Selatan
180.745
0.190445132
9.522256619
10
Bogor Timur
94.572
0.099647443
4.982372143
5
Bogor Utara
170.32
0.179460649
8.973032434
9
102.203
0.10768798
5.384398978
5
Bogor Barat
210.45
0.221744325
11.08721627
11
Tanah sareal
190.776
0.201014471
10.05072355
10
Total
949.066
50
50
Bogor Tengah
4.3 Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dari konsumen melalui wawancara langsung dan melalui pengisian kuesioner sebagai panduan, sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas-dinas dan instansi terkait , seperti Badan Pusat Statistik Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta referensi kepustakaan lainnya. Sementara itu instrumentasi yang digunakan berupa kuesioner. Kuesioner ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: bagian pertama untuk mengetahui karakteristik responden, bagian kedua untuk mengetahui pengetahuan responden mengenai gizi, dan bagian ketiga untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap daging kelinci.
Adapun pengumpulan data primer menggunakan kuesioner terbagi menjadi beberapa jenis pertanyaan, yaitu: 1) Pertanyaan tertutup (close ended question), adalah pertanyaan dengan jawaban yang telah ditentukan terlebih dahulu sehingga responden hanya dapat memilih jawaban yang telah disediakan dalam pertanyaan tersebut. 2) Pertanyaan terbuka (open ended question), merupakan pertanyaan dengan jawaban yang bersifat bebas sehingga responden dapat mengisi pertanyaan yang diajukan sesuai dengan pendapat pribadinya. 3) Pertanyaan kombinasi, yaitu pertanyaan dengan jawaban yang telah ditentukan serta diikuti dengan adanya jawaban yang tidak ditentukan terlebih dahulu, sehingga responden bebas untuk memberikan jawaban. 4.4 Metode Pengolahan Data Analisis data konsumen dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel, tulisan, diagram, atau grafik. Selanjutnya untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik responden, dalam penelitian digunakan metode analisis regresi logistik yang dikaitkan dengan persepsi responden terhadap konsumsi daging kelinci. 4.4.1 Metode Analisis Deskriptif Metode deskriptif merupakan metode analisis yang dirancang untuk mendeskripsikan, menggambarkan, dan melukiskan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir 1988). Teknik ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pertama adalah pemberian kuesioner kepada responden, mentabulasikan semua jawaban responden berdasarkan kuesioner, dan melakukan analisis berdasarkan hasil yang diperoleh dari pentabulasian. Metode ini akan memberikan keluaran berupa data karakteristik responden. 4.4.2 Metode Regresi Logistik Analisis regresi logistik merupakan bagian dari analisis regresi. Regresi logistik adalah persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antara variabel tak bebas dengan sejumlah variabel bebas. Pada model regresi logistik
variabel bebasnya bersifat biner atau dikotomi yakni memiliki nilai yang diskontinyu 1 dan 0. Menurut Harmini (2011) model analisis regresi logistik digunakan untuk pemodelan masalah, yang melibatkan satu variabel respon, berupa kategorik, dipengaruhi oleh satu atau lebih dari satu variabel independent, yang mencapai pengukuran metrik atau gabungan metrik dan nonmetrik. Tidak dibutuhkan asumsi normalitas atas variabel bebas yang digunakan dalam model. Banyaknya kategori variabel respon bisa hanya dua kategori saja (binary logistic regression), namun bisa pula lebih dari dua kategori (multinomial logistic regression). Pada penelitian ini yang digunakan adalah binary logistic regression karena variabel respon hanya terdiri dari dua kategori kemungkinan, yaitu persepsi baik (1) dan persepsi buruk (0). Nilai variabel tak bebas dari model logistik antara 0 dan 1, bentuk fungsi dari model logistik adalah: Ln [P/1-P] = α + βx + µ P adalah nilai peluang dari variabel tak bebas yang nilainya biner yaitu 0 dan 1, nilai P diperoleh dari: Y= Prob (Y=1) =
µ
Sebaran peluang yang digunakan dalam digunakan dalam fungsi logit adalah sebaran logistik, sehingga nilai harapan bersyarat Y jika diketahui X adalah: E (Y│X) = π (X) =
dengan g (X)= Ln [π(X)/ 1-π(X)]
Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel respon adalah persepsi konsumen terhadap daging kelinci yang dibagi menjadi dua kategori yaitu, konsumen mengonsumsi daging kelinci (1) dan konsumen tidak ingin mengonsumsi daging kelinci (0). Kotler (2000) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi konsumen ke dalam kategori budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Faktor pribadi atau karakteristik pribadi individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen. Variabel untuk karakteristik konsumen yang digunakan adalah variabel demografis tersebut meliputi usia, pekerjaan, pendidikan, pendapatan, jenis kelamin, dan lain-lain. Alasannya adalah variabel demografis lebih mudah diukur dibandingkan dengan variabel lainnya (Kotler 2006). Adapun variabel independent yang digunakan dalam penelitian ini meliputi karakteristik konsumen yang terdiri dari:
1) Usia sebagai karakteristik demografi konsumen yang memiliki pengaruh terhadap cara berperilaku, bertindak, dan berpikir konsumen. Variabel usia dikategorikan menjadi: a) 17-23 tahun (0) b) 24-30 tahun (1) c) 31-40 tahun (2) d) 41-50 tahun (3) e) 51-65 tahun (4) 2) Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang menentukan persepsi konsumen
terhadap
suatu
produk.
Perbedaan
jenis
kelamin
akan
mempengaruhi konsumen dalam menentukan produk yang dikonsumsinya. Jenis kelamin dibedakan menjadi dua kategori yaitu, laki-laki (0) dan perempuan (1). 3) Tingkat pendidikan, dikategorikan menjadi: rendah (0), sedang (1), dan tinggi (2). Tingkat pendidikan akan terkait dengan banyaknya informasi dan pada akhirnya menentukan keputusan seseorang dalam melakukan pembelian dan mempengaruhi persepsi konsumen. a) Rendah (Tamat SD dan SMP) b) Sedang (Tamat SMA/Sederajat) c) Tinggi (Tamat Diploma sampai dengan Pasca Sarjana) 4) Pekerjaan responden yang dikategorikan menjadi dua kategori berdasarkan profesi atau pekerjaan sehari-hari, yaitu: pegawai (1) dan nonpegawai (0). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan suatu pekerjaan, tingkat pendidikan menjadi salah satu ukuran pertimbangan. Adapun jenis pekerjaan akan mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang dan kemudian mempengaruhi pola konsumsi dan proses keputusan seseorang. a) Pegawai (Pegawai negeri, swasta, maupun wiraswasta) b) Non pegawai (tidak memiliki pekerjaan dan buruh kasar) 5) Tingkat pengeluaran, dikategorikan menjadi: bawah (0), menengah 1 (1), menengah 2 (2), menengah 3 (3), menengah 4 (4), atas (5). Tingkat pengeluaran identik dengan tingkat pendapatan. Persepsi konsumen salah
satunya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang terkait dengan daya beli konsumen. Adapun interval untuk setiap kategori pendapatan, adalah: a) bawah ( <540000) b) menengah 1 (540.000-1.080.000) c) menengah 2 (1.080.001-1.620.000) d) menengah 3 (1.620.001-2.700.000) e) menengah 4 (2.700.000-5.400.000) f) atas (>5.400.000) 6) Persepsi dikategorikan menjadi persepsi baik (1) dan persepsi buruk (0) yang dibagi sebaran rataan. Dengan demikian model regresi logistik yang didapatkan pada penelitian ini adalah: Pi=
.…
Setelah ditransformasikan kedalam logit menjadi: Logit (Pi) = Ln [Pi / (1- Pi)] = 0 =β0
1 1 β1usia
2 2
3 3
β2jenis kelamin
4 4
5 5
6 6
β3tingkat pendidikan
β4pekerjaan
β5tingkat pengeluaran Dimana: β0
= intercept
X1
= Usia
X2
= Jenis kelamin
X3
= Tingkat pendidikan
X4
= Pekerjaan
X5
= Tingkat pengeluaran
4.4.2.1 Evaluasi Model Dugaan Menurut Harmini (2011), perlu dilakukan uji signifikansi model regresi logistic dugaan dan uji signifikansi masing-masing variabel independent untuk memeriksa apakah model secara statistik signifikan, serta variabel independent apa saja yang berpengaruh signifikan terhadapa variabel dependent. 1) Uji Signifikansi Model Regresi Logistik Dugaan
Untuk menyimpulkan apakah model signifikan, dilakukan melaui uji hipotesa statistic, yang dinyatakan sebagai, H0: β1=β2=…= βj=…= βk=0 (model dugaan tidak signifikan) H1: Minimal ada satu βj 0
(model dugaan signifikan)
Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistic uji likehood ratio berikut ini, H
2
H
Dimana, Ln adalah logaritma dengan basis bilangan natural (e). Statistik G menyebar mengikuti sebaran Chi-square (X2) dengan derajat bebas=df=k. Pada output computer tersaji pula nilai P, dimana P=Peluang (X2df=dk>G). Apabila P<α atau G>X2(df=k)α maka disimpulkan tolak H0 pada taraf nyata α. 2) Uji Signifikansi Masing-masing Variabel Independent (Xj) Apabila dari uji sebelumnya, disimpulkan bahwa model dugaan signifikan, maka perlu ditelusuri lebih lanjut variabel independent mana yang pengaruhnya signifikan terhadap variabel dependent. Untuk itu, dilakukan melalui uji hipotesa statistik berikut ini, H0: βj=0 (variabel Xj tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel respon) H1: βj 0 (variabel Xj berpengaruh signifikan terhadap variabel respon) Statistik uji Wald di bawah ini, digunakan untuk menguji hipotesa tersebut. Wj=[
]
Dimana, bj
= Koefisien model dugaan untuk variabel independent Xj
SECoef (bj)
= Simpangan baku koefisien Xj
Statistik Wj menyebar mengikuti sebaran normal baku (Z). Jika P<α atau |
|>
Zα/2 maka disimpulkan tolak H0 pada tarafnyata α. 4.4.2.2 Nilai Odds Ratio Ukuran yang sering digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah tidak bebas dalam model logistic adalah nilai odds ratio (Ψ). Adapun nilai odds ratio untuk predictor Xj adalah sebagai berikut: 1) Untuk Xj dalam bentuk variabel dummy
Odds ratio untuk Xj =
=
= Artinya, peluang sukses kategori Xj=1 besarnya
kali lipat dibandingkan Xj=0,
cateris paribus. 2) Untuk Xj dalam bentuk matriks Odds ratio untuk Xj =
=
= Artinya, bila Xj bertambah satu satuan Xj,maka peluang suksesnya
kali lipat
dibandingkan sebelumnya, cateris paribus. Nilai odds ratio berkisar antara nol hingga tak hingga. Adapun nilai odds ratio dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu: a) Bila bj bertanda positif, maka odds ratio akan bernilai lebih dari satu, yang artinya Xj berpengaruh positif terhadap variabel respon sukses. b) Bila bj bertanda negatif, maka odds ratio akan bernilai antara satu dan nol, yang artinya Xj berpengaruh negatif terhadap variabel respon sukses. c) Bila bj bernilai nol, maka odds ratio akan bernilai satu, yang artinya Xj tidak berpengaruh terhadap variabel respon sukses. 4.4.3
Skala Likert Skala Likert yang juga dinamakan skala summated-rating, adalah salah
satu teknik pengukuran yang paling sering digunakan dalam riset konsumen maupun pemasaran. Teknik ini sangat bermanfaat karena memungkinkan responden untuk mengekspresikan intensitas mereka. Responden diminta untuk memberikan respon mereka terhadap suatu isu atau objek kemudian responden diminta untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap masing-masing pernyataan.m dan berbagai kadar kesetujuan akan diberikan nilai. Pada penelitian ini skala digunakan pada rentang nilai satu hingga lima, di mana satu untuk pernyataan yang paling negatif atau sangat tidak setuju dan lima untuk pernyataan yang paling posutuf atau sangat setuju (Churchill 2001).
Setelah didapatkan data dari setiap pernyataan konsumen terhadap suatu isu atau objek tersebut, maka langkah berikutnya adalah menghitung skor akhir dari setiap item pernyataan. Skor akhir ini didapatkan dengan cara menghitung total skor dari setiap pernyataan dan dibagi dengan jumlah responden. Untuk interpretasi maka skor ini dikelompok menjadi beberapa rentang nilai. Rentang atau interval tersebut dihitung dengan cara: nilai tertinggi, yaitu 5 dikurangi nilai terendah, yaitu 1 lalu dibagi dengan banyaknya kelompok interval yang diinginkan. Pada penelitian ini kelompok interval dibagi menjadi lima kelompok, sehingga cara menghitungnya adalah: (5-1)/5 = 0,8 (Durianto et al 2003). Rentang skala tersebut digunakan untuk menginterpretasikan persepsi konsumen berdasarkan masing-masing pernyataan. Adapun rentang skala tersebut adalah sebagai berikut: 0,8 – 1,6
= Sangat tidak baik
1,7 – 2,5
= Tidak baik
2,6 – 3,4
= Netral/ sedang/ biasa saja
3,5 – 4,2
= Baik
4,3 – 5,0
= Sangat baik.
Sedangkan untuk mengkategorikan nilai persepsi akhir yang merupakan gabungan dari skor setiap pernyataan, maka digunakan pendekatan seperti diatas, yaitu (Total skor tertinggi – total skor terendah)/ 2 karena persepsi pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu, persepsi baik dan persepsi buruk. 4.5 Definisi Operasional 1.
Konsumen adalah masyarakat yang tinggal di Kota Bogor dan yang sudah mengonsumsi daging kelinci serta berusia di atas 18 tahun.
2.
Daging Kelinci adalah semua produk turunan seperti: sate dan gulai.
3.
Karakterisitik Konsumen adalah gambaran sosial yang melekat pada konsumen dalam hal ini meliputi: tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pengetahuan gizi, pekerjaan responden, status kelas ekonomi, dan jenis kelamin.
4.
Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang dijalani oleh responden.
5.
Tingkat Pengeluaran adalah jumlah uang yang dikeluarkan responden dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara pribadi maupun keluarga.
6.
Usia merupakan masa hidup responden yang diukur dari kelahiran responden hingga waktu penelitian ini dilaksanakan.
7.
Pekerjaan adalah aktifitas responden dalam rangka memenuhi perekonomian keluarga atau individu.
8.
Persepsi Konsumen adalah pandangan yang dimiliki konsumen terhadap konsumsi daging kelinci yang kemudian dijabarkan menjadi pandangan buruk dan pandangan baik.
V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Bogor Kota Bogor secara geografis terletak diantara 106°43’30”BT 106°51’00”BT dan
6°30’30”LS - 6°41’00”LS, serta mempunyai rata-rata
ketinggian minimal 190 meter dan maksimal 350 meter dengan batas-batas wilayahnya semua berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Jarak antara Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dengan Kota Bogor sekitar 60 kilometer, sehingga Kota Bogor termasuk daerah penyangga (buffer zone) DKI Jakarta. Posisi Kota Bogor yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Ibu Kota Jakarta, memungkinkan Kota ini dijadikan sebagai Kota Internasional. Dalam Keppres tentang rencana tata ruang wilayah Jabotabek dan Depok, Kota Bogor difungsikan sebagai sebuah Counter magnet bagi perkembangan DKI Jakarta. Daerah Kota Bogor ini diarahkan sebagai pusat kegiatan wilayah yang memiliki kegiatan utama sebagai kota perdagangan regional, jasa, pemukiman, dan industri. Parameter sebuah kota internasional antara lain ditandai oleh peruntukan sebagaian besar lahan untuk mendukung fungsi kota tersebut sebagai kota pemukiman, jasa, perdagangan regional, industri dan wisata ilmiah. Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,570 km2 dan mengalir beberapa sungai yang letak permukaan airnya jauh di bawah letak permukaan Kota. Sungai tersebut seperti sungai Cilliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Cipangi, dan Cibalok. Kondisi Kota Bogor yang terletak jauh di atas permukaan air beberapa sungai tersebut, membuat Kota Bogor relative aman dari bahaya banjir. Batas Wilayah Kota Bogor dibatasi oleh beberapa kecamatan yang ada di Bogor. Batas sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor, sedangkan untuk bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0 – 15 persen dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15 – 30 persen. Jenis tanah hampir seluruh wilayahnya adalah latosol coklat kemerahan dengan kedalaman efektif
tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Kedudukan topografis dokumen Kota Bogor yang berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibu Kota Negara merupakan potensi yang strategis untuk pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya, yang didalamnya terdapat Istana Bogor di pusat Kota merupakan tujuan wisata yang menarik wisatawan dan dapat mendatangkan pendapatan bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Kota Bogor dengan ketinggian dari laut minimal 190 meter dan maksimal 350 meter, disebut pula sebagai kota hujan dengan keadaan cuaca dan udara yang sejuk. Suhu udara rata-rata tiap bulannya adakah 26°C dengan kelembapan udara sekitar 70% dan suhu udara terendah 21,8°C dengan jumlah terbesar pada bulan Desember dan Januari. Arah mata angin sebagian besar dipengaruhi oleh angin muson, dan untuk bulan Mei sampai dengan Maret dipengaruhi oleh angin muson barat. Berdasarkan struktural pemerintahan, Kota Bogor terbagi atas enam kecamatan yang mencakup 68 Kelurahan terdiri dari 722 Rukun Warga dan 3.214 Rukun Tetangga. Enam kecamatan tersebut adalah Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Kecamatan Tanah Sareal. 5.2 Keadaan Demografi Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Bogor sementara adalah 949.066 orang, yang terdiri atas 484.648 laki-laki dan 464.418 perempuan. Dari hasil SP2010 tersebut masih tampak bahwa penyebaran/distribusi penduduk Kota Bogor masih bertumpu di Kecamatan Bogor Barat yakni sebesar 22,17 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Tanah Sareal sebesar 20,10 persen, sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya di bawah 20 persen. Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Tanah Sareal, dan Kecamatan Bogor Selatan adalah tiga kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang masing-masing berjumlah 210.450 orang, 190.776 orang, dan 180.745 orang. Sedangkan Kecamatan Bogor Timur merupakan kecamatan yang berjumlah penduduk paling kecil yakni sebanyak 94.572 orang. Dengan luas wilayah Kota Bogor sekitar 111,73 kilometer persegi yang didiami
oleh 949.066 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Bogor adalah sebanyak 8.494 orang per kilometer persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Bogor Tengah yakni sebanyak 12.791 orang per kilometer persegi sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Bogor Selatan yakni sebanyak 5.880 orang per kilometer persegi. Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Berdasarkan Wilayah Kecamatan Di Kota Bogor Pada Tahun 2010 Jenis Kelamin Kecamatan
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Penduduk
(jiwa)
(jiwa)
(jiwa)
Sex Ratio
Luas Wilayah (km2)
Bogor Selatan
93. 203
87.542
180.745
106
28.61
Bogor Timur
47. 984
46.588
94.572
103
10.15
Bogor Utara
74.975
83.405
170.320
104
17.72
Bogor Tengah
86. 915
49.997
102.203
104
8.33
Bogor Barat
107. 072
103.378
210.450
104
32.62
Tanah Sareal
97. 268
93.508
190.776
104
21.07
464.418
949.066
104
118.50
Kota Bogor
484. 648
Sumber: BPS Kota Bogor 2010
Penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1961, ketika sensus penduduk pertama setelah Indonesia merdeka, jumlah penduduk Kota Bogor sebanyak 154,1 ribu jiwa. Pada tahun 1971 penduduk Kota Bogor sebanyak 195,9 ribu jiwa, tahun 1980 sebanyak 246,9 ribu jiwa, tahun 1990 sebanyak 271,7 ribu jiwa, tahun 2000 sebanyak 750,8 ribu jiwa, dan pada tahun 2010 sebanyak 949,1 ribu jiwa. Kenaikan yang cukup tinggi dalam kurun waktu 1990 – 2000 disebabkan wilayah Kota Bogor bertambah 46 kelurahan dari kabupaten Bogor berdasarkan PP No. 2/1995. Pertambahan jumlah penduduk di Kota Bogor tersebut merupakan salah satu indikasi pangsa pasar dari industri yang bergerak di sektor pangan juga mengalami peningkatan. 5. 3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor Salah satu faktor pendukung guns terciptanya perencanaan pembangunan perekonomian yang baik adalah tersedianya data statistik yang dapat dijadikan bahan evaluasi hasil pembangunan yang telah dicapai dan sebagai pereancanaan dimasa yang akan datang. Salah satu data yang dibutuhkan, terutama dibidang ekonomi adalah data Produk Domestik Bruto (PDRB).
Selain untuk melihat perkembangan ekonomi di Kota Bogor, besaran PDRB (per kecamatan) juga digunakan sebagai bahan pembanding tingkat pembangunan antar kecamatan. Dengan demikian dapat diketahui posisi masingmasing kecamatan berdasarkan aktivitas pembangunan, karena angka PDRB ini dapat mencerminkan hasil pembangunan. Angka PDRB ini dapat juga digunakan sebagai indikator ekonomi yang bermanfaat diantaranya: pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, tingkat kesejahteraan rakyat, dan tingkat inflasi dan deflasi. Ditinjau Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Kota Bogor tahun 2009 secara umum seluruh sektor lapangan usaha mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar 17,98 persen dibanding tahun 2008, yaitu dari Rp 10.089.943,96 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 11.904.599,66 juta di tahun 2009. PDRB Atas Harga Konstan dengan tahun 2000 sebagia tahun dasar, mengalami pertumbuhan sebesar 6,01 persen dari Rp 4.252.821,78 juta menjadi Rp 4.508.601,05 juta pada tahun 2009. Keadaan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga konstan 2000 dari kurun waktu 2005 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada tabel berikut Tabel 8. PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) No.
Tahun
PDRB Atas Dasar Harga
PDRB Atas Dasar
Berlaku
Harga Konstan
(1)
(2)
(3)
(4)
1
2005
6.191.918,90
3.567.230,91
2
2006
7.257.742,09
3.782.273,71
3
2007
8.558.035,70
4.012.743,17
4
2008 *)
10.089.943,96
4.252.821,78
5
2009 **)
11.904.599,66
4.508.601,05
*) Angka Perbaikan
**) Angka Sementara
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 2009
Berdasarkan Tabel 8 dapat kita lihat bahwa Kota Bogor dari tahun 2005 hingga 2009 terus mengalami peningkatan PDRB Agregat baik berdasarkan Harga Berlaku maupun Harga Konstan (tahun 2000). Namun dengan melihat peningkatan dari sisi PDRB Agregat saja belum bisa disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Kota Bogor. Untuk itulah diperlukan
data mengenai PDRB Perkapita (Pendapatan Perkapita) yang merupakan hasil bagi antara Pendapatan Regional (Nilai PDRB) dengan jumlah penduduk (pertengahan tahun). Pendapatan perkapita ini menunjukkan rata-rata banyaknya pendapatan yang diterima oleh setipa penduduk. Adapun pendapatan perkapita penduduk Kota Bogor disajikan pada tabel berikut, Tabel 9. PDRB Perkapita Kota Bogor 2005-2009 (Rupiah) No.
Uraian
Tahun 2005
2006
2008*)
2007
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1.
PDRB
7.510.609,11
8.626.510,51
9.975.446,96
11.634.895,15
Perkapita
2009**) (7) 13.464.091 ,07
Atas Dasar Harga 2
Berlaku
4.326.942,49
4.495.588,79
4.677.347,48
PDRB
4.902.344,97
5.099.212, 20
Perkapita Berdasar kan Harga Konstan
*) Angka Perbaikan
**)Angka Sementara
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 2009
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa Atas Dasar Harga Berlaku, pendapatan perkapita Kota Bogor tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan pendapatan perkapita pada tahun 2005. Demikian juga ditinjau Atas Dasar Harga Konstan 2000, terlihat bahwa pendapatan perkapita Kota Bogor pada tahun 2009 meningkat jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita tahun 2005, walaupun peningkatan yang terjadi belum terlalu menggembirakan. Ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Kota Bogor semakin meningkat. Peningkatan pendapatan perkapita ini akan merangsang peningkatan konsumsi pangan hewani. Dibanding wilayah desa, partisipasi rumah tangga kota yang mengkonsumsi pangan hewani relatif tinggi. Semakin tinggi pendapatan, jenis pangan hewani yang dikonsumsi semakin beragam (Martianto 1995).
Secara umum pertumbuhan ekonomi Kota Bogor semakin membaik beberapa tahun terakhir ini dengan struktur ekonomi Kota Bogor yang di dominasi oleh Sektor Perdagangan Besar dan eceran, Hotel, dan Restoran sebesar 38,04 persen dan Sektor Industri Pengolahan sebesar 25,57 persen dimana kedua sektor ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat. Dengan demikian ada suatu peluang yang terbuka untuk mengambangkan sektor industri pangan berbahan baku daging kelinci di Kota Bogor jika dilihat dari daya beli masyarakat dan pertumbuhan penduduk Kota Bogor.
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6. 1 Karakteristik Umum Konsumen Karakteristik umum konsumen yang diambil dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran per bulan. Penelitian terhadap karakteristik konsumen diperlukan untuk menganalisis gambaran umum dari konsumen daging kelinci di Kota Bogor. Adapun jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 50 orang yang merupakan warga Kota Bogor yang pernah mengonsumsi daging kelinci. Berdasarkan kuesioner yang disebar, maka didapatkan data karakterisitik konsumen berdasarkan masing-masing kategori sebagai berikut: 6.1.1 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Usia Usia sebagai karakteristik demografi konsumen memiliki pengaruh terhadap cara berperilaku, bertindak, dan berpikir konsumen. Berdasarkan tingkatan karir (Khasali 2003 yang diacu dalam Amalia 2009) konsumen dapat dibagi menjadi beberapa rentang usia, antara lain antara 17 hingga 23 tahun, 24 hingga 30 tahun, 31 hingga 40 tahun, 41 hingga 50 tahun, 51 hingga 65 tahun, dan 65 tahun ke atas. Berdasarkan tabulasi dan perhitungan tabel maka di dapatkan hasil seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Usia Usia Frekuensi Persentase (%) 17-23 tahun 11 22 24-30 tahun 11 22 31-40 tahun 13 26 41-50 tahun 10 20 51-65 tahun 5 10 50 100 Total Dari hasil pengolahan data didapatkan mayoritas konsumen daging kelinci yang berada di Kota Bogor berada pada rentang usia 31-40 tahun yaitu sebanyak 26 persen. Hal ini dikarenakan pada rentang usia tersebut konsumen berada pada masa produktif. Menurut Papilia dan Olds (1986) rentang usia 20-40 tahun merupakan masa paling produktif dalam siklus hidup manusia. Sehingga mobilitas dan pencarian informasi pun lebih tinggi. Sedangkan jumlah konsumen yang
paling sedikit berdasarkan usia berada pada rentang usia 51-65 tahun atau yang sering disebut sebagai usia emas, yaitu sebanyak 10 persen. Hal ini dikarenakan untuk rentang usia tersebut, kemampuan fisik seseorang sudah sangat menurun, sehingga untuk pencarian lokasi penjualan akan terasa sangat menyulitkan. Selain itu kapasitas dan kemampuan pencernaan pun semakin menurun sehingga tingkat konsumsi daging akan berkurang. 6.1.2 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin Perbedaan
jenis
kelamin
akan
mempengaruhi
konsumen
dalam
menentukan produk yang dikonsumsinya. Berdasarkan pengolahan data, maka komposisi konsumen berdasarkan jenis kelamin bisa dilihat pada Tabel 11 berikut: Tabel 11. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%) Perempuan 28 56 Laki-laki 22 44 50 100 Total Berdasarkan variabel jenis kelamin, konsumen daging kelinci di Kota Bogor didominasi oleh perempuan, yaitu sebanyak 56 persen. Hal ini dikarenakan adanya keunggulan daging kelinci yang rendah kolesterol sehingga baik untuk dijadikan menu diet sehingga perempuan lebih banyak yang mengonsumsi daging kelinci. Sedangkan untuk responden pria jumlahnya tidak terlalu berbeda signifikan dari responden wanita yaitu sebesar 44 persen. 6.1.3 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan akan terkait dengan banyaknya informasi dan pada akhirnya menentukan keputusan seseorang dalam melakukan pembelian. Sebagian besar konsumen daging kelinci di Kota Bogor memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12 berikut: Tabel 12. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%) SD
2
4
SMA
15
30
Diploma
8
16
Sarjana
23
46
Pasca Sarjana
2
4
Berdasarkan data tersebut mayoritas konsumen daging kelinci di Kota Bogor memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (di atas SMA), yaitu 66 persen yang didominasi oleh lulusan sarjana. Hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat kesadaran terhadap nilai gizi dari suatu makanan akan semakin tinggi pula. Menurut Sumarwan (2003), semakin tinggi tingkat pendidikannya maka konsumen akan semakin responsif dalam mengolah informasi. Daging kelinci sendiri memiliki daya tarik dalam hal kandungan protein yang tinggi namun rendah lemak. Hal ini tentunya menjadi salah satu pertimbangan konsumen yang mengonsumsi daging kelinci karena nilai gizinya yang sangat baik untuk kesehatan. 6.1.4 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pekerjaan Tingkat pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan suatu pekerjaan, tingkat pendidikan menjadi salah satu ukuran pertimbangan. Adapun jenis pekerjaan akan mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang dan kemudian mempengaruhi pola konsumsi dan proses keputusan seseorang. Sebaran variabel pekerjaan konsumen daging kelinci dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:
Tabel 13. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Pekerjaan Status Pekerjaan Frekuensi Persentase a) Non Pegawai Buruh 5 10 Ibu Rumah Tangga 9 18 Pelajar 6 12 Total Non Pegawai 20 40 b) Pegawai Pegawai Swasta 13 26 Pegawai Negeri 10 20 Profesional 2 4 Wiraswasta 5 10
Total Pegawai Total
30 50
60 100
Konsumen daging kelinci di Kota Bogor sebagian besar termasuk dalam golongan pegawai atau memiliki pekerjaan yang tetap, yaitu sebesar 60 persen di mana 43,3 persen komposisi tersebut diisi oleh pegawai swasta. Hal ini dikarenakan tingkat pendapatan pegawai swasta cenderung lebih tinggi, sehingga lebih mudah dalam melakukan pembelian daging kelinci yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan daging yang lain. Untuk persentase konsumen yang termasuk dalam non pegawai (tidak memiliki pekerjaan tetap) sebesar 40 persen yang di dominasi oleh ibu rumah tangga yaitu sebesar 45 persen dari komposisi tersebut. Responden dengan profesi sebagai ibu rumah tangga memiliki porsi yang cukup tinggi dalam komposisi non pegawai dikarenakan mereka memiliki peran sebagai figur yang menentukan keputusan pembelian dan turut dalam mempengaruhi keputusan pembelian. Selain itu konsumen dengan profesi ibu rumah tangga itu sendiri 77,7 persen berada pada rentang usia di atas 40 tahun dan sisanya masih di bawah 40 tahun. Sehingga kebutuhan mereka akan konsumsi makanan yang sehat menjadi lebih tinggi. Dari Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa konsumen daging kelinci di Kota Bogor adalah mereka yang memiliki pekerjaan tetap.
6.1.5 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pengeluaran Para peneliti seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan data pendapatan responden. Responden cenderung merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan pendapatan yang diterimanya dan bagi beberapa orang pendapatan merupakan hal yang sangat pribadi sehingga sangat sensitif jika diberitahukan kepada orang lain. Untuk mengatasi persoalan di atas, penelitian ini menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan seorang konsumen, yakni melalui pendekatan pengeluaran perbulan (Sumarwan, 2003). Konsumen cenderung menyesuaikan pengeluarannya berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Pada kelas ekonomi menengah ke atas tingkat pengeluaran yang tinggi dikarenakan tingkat kebutuhannya yang tinggi pula. Sebagian besar pengeluaran tersebut dialokasikan untuk konsumsi kebutuhan non pangan. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan Engel et al (1994) bahwa dengan semakin meningkatnya pendapatan maka alokasi pengeluaran terbesar bukan lagi untuk pemenuhan konsumsi pangan tapi konsumsi non pangan. Dengan kata lain, untuk kelas ekonomi dengan pendapatan yang tinggi maka kebutuhan akan konsumsi pangan sudah terpenuhi dengan baik sehingga bukan menjadi prioritas bagi anggaran pengeluaran mereka. Namun menurut hukum Bennet, peningkatan pendapatan akan mengarah pada meningkatnya proporsi pengeluaran untuk lemak dan protein (Purba,
2006)
Pengeluaran
konsumen
daging
kelinci
di
Kota
Bogor
dikelompokkan berdasarkan kriteria Bank Dunia seperti ditampilkan pada Tabel 14 berikut ini: Tabel 14. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Pengeluaran Pengeluaran Kelas Ekonomi Frekuensi Persentase (%) < 540.000
Miskin
4
8
540.000-1.080.000
menengah 1
11
22
menengah 2
8
16
menengah 3
13
26
5.400.000
menengah 4
8
16
>5.400.000
Atas
6
12
50
100
1.080.0011.620.000 1.620.0012.700.000 2.700.000-
TOTAL
Berdasarkan data sebaran pengeluaran perkapita di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar konsumen daging kelinci di Kota Bogor berada pada kelas ekonomi menengah tiga atau biasa disebut ekonomi menengah tengah, yaitu sebesar 26 persen. Sementara dari kelompok miskin hanya 8 persen dari total responden. Hal ini dikarenakan daging kelinci lebih mahal dibandingkan dengan harga daging yang lain sehingga konsumen dengan pengeluaran kurang dari Rp 540.000,00 lebih cenderung untuk membeli sumber protein dalam bentuk daging yang lain dengan harga yang lebih murah. Sementara untuk kalangan dengan
tingkat pengeluaran yang tinggi cenderung lebih selektif dalam memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dan lebih memperhatikan kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Selain itu hal ini dikarenakan masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah yang berpendapatan rendah akan meningkatkan
pengeluaran
untuk
pangan
pokok
sebaliknya
kelompok
berpendapatan tinggi dengan kelas sosial menengah ke atas memiliki pengeluaran yang menurun untuk makanan pokok tetapi pengeluaran untuk pangan hewani, sayur, dan buah meningkat (Martianto et al, diacu dalam Purba 2006). 6.1.6 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Suku Bangsa Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsumen daging kelinci berasal dari berbagai suku bangsa. Kota Bogor yang tergolong dalam tanah Sunda ternyata memiliki masyarakat dari beragam suku yang berdomisili di wilayah tersebut. Dari hasil penelitian, mayoritas responden berasal dari suku sunda yaitu sebesar 54 persen. Hal ini dapat dipahami dikarenakan penelitian dilakukan di Kota Bogor yang merupakan salah satu dari wilayah tanah Sunda. Selain itu 18 persen dari responden berasal dari suku Jawa. Sisanya berasal dari suku Batak, Jawa-Sunda, Manado, Tionghoa, dan Aceh dengan proporsi masingmasing sebesar 8, 8, 6, 4, dan 2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar suku yang ada di Indonesia dapat mengonsumsi daging kelinci sehingga usaha pengolahan daging kelinci tidak menutup kemungkinan dpat dilakukan di luar wilayah Bogor atau Jawa Barat secara umum. Tabel 15 berikut ini menampilkan sebaran data karakteristik konsumen daging kelinci berdasarkan suku bangsa. Tabel 15. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Suku Bangsa Suku
Frekuensi
Persentase (%)
Sunda
27
54
Batak
4
8
Jawa
9
18
Manado
3
6
Tionghoa
2
4
Jawa-sunda
4
8
Aceh
1
2
50
100
TOTAL
6.1.7 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Agama Agama merupakan salah satu bagian dari sub-budaya. Agama turut menentukan konsumsi terhadap suatu produk terutama terkait kehalalannya atau aturan-aturan sakral tertentu yang menjadi kepercayaan seseorang. Tabel 16 berikut menampilkan sebaran responden berdasarkan agama: Tabel 16. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Agama Agama Frekuensi Persentase (%) Islam
41
82
Kristen
6
12
Katolik
2
4
Budha
1
2
Sebagian besar responden berasal dari agama Islam, yaitu sebesar 82 persen. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Kota Bogor merupakan pemeluk agama Islam. Agama Kristen sendiri sebanyak 12 persen dan sisanya adalah pemeluk agama Katolik dan Budha sebesar empat dan dua persen. 6.2 Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci Persepsi merupakan cara seseorang konsumen memandang realitas di luar dirinya atau lingkungan sekelilingnya (Engel et al., 1995). Persepsi turut menentukan pengambilan keputusan konsumsi yang dilakukan oleh konsumen. Persepsi yang baik terhadap suatu produk bisa mendorong konsumen untuk melakukan pembelian yang berkelanjutan, namun sebaliknya persepsi yang buruk akan menghalangi konsumen untuk melakukan konsumsi terhadap suatu produk. Daging kelinci merupakan salah satu produk yang belum terlalu familiar dikalangan masyarakat sehingga perlu dianalisis persepsi konsumen terhadap daging kelinci dari berbagai aspek. Penelitian kali ini akan membahas persepsi konsumen dari aspek budaya, sosial, psikologi, dan bauran pemasaran (4P). Besarnya skor persepsi diukur dengan menggunakan skala Likert dengan nilai antara 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). 6.2.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Budaya
Budaya merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan para kelompok pemasar dalam menentukan target pasarnya. Hal ini dikarenakan budaya merupakan hal tumbuh di dalam suatu masyarakat dan mempengaruhi pengambilan keputusan konsumsi seseorang. Antar suatu kelompok masyarakat memiliki budaya yang berbeda-beda.
Kegagalan dalam menyesuaikan diri
terhadap perbedaan ini dapat menghasilkan pemasaran yang tidak efektif dan kesalahan yang memalukan (Kotler, 2008). Aspek budaya dapat dibagi menjadi beberapa subbudaya, beberapa diantaranya adalah adat budaya kesukuan dan agama. Persepsi konsumen ditinjau dari segi adat dan agama sangat penting dilakukan karena penduduk di Kota Bogor khususnya terdiri dari beragam suku bangsa dan agama di mana kedua hal tersebut sangat kuat mempengaruhi nilai-nilai yang ada pada diri seseorang sehingga pada akhirnya mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan termasuk dalam hal konsumsi. Berikut dipaparkan persepsi konsumen terhadap daging kelinci berdasarkan kedua subbudaya tersebut. 6.2.1.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Segi Adat Budaya Hasil pengolahan data responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden (62 persen) setuju bahwa adat dan budaya dari suku mereka tidak melarang untuk mengonsumsi daging kelinci. Sementara 36 persen menyatakan sangat setuju bahwa adat dan budaya mereka tidak ada larangan untuk mengonsumsi daging kelinci dan sisanya sebesar 2 persen menyatakan netral. Dari rataan yang didapat, yaitu sebesar 4,34 persen, dapat disimpulkan bahwa persepsi konsumen sangat baik terhadap daging kelinci jika dilihat dari aspek budaya. Dengan kata lain tidak ada hambatan budaya bagi pemasar untuk mengembangkan produk berbahan baku daging kelinci di Kota Bogor. Sebaran jawaban responden untuk aspek budaya dapat dilihat pada Tabel 17 berikut: Tabel 17. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Adat Dari segi adat dan budaya konsumen, tidak ada larangan untuk mengonsumsi daging kelinci: Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat setuju
18
36
90
Setuju
31
62
124
Netral TOTAL
1
2
3
50
100
217
RATA-RATA
4,34
6.2.1.2 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Segi Agama Selain dilihat dari suku bangsa, agama merupakan salah satu bagian dari budaya (subbudaya). Agama memberikan peran yang sangat besar dalam membangun nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang. Kota Bogor merupakan salah satu wilayah yang masih sangat kuat menanamkan nilai-nilai keagamaan bagi masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dari moto wilayah ini, yaitu ‘Bogor Kota Beriman’, dimana sebagian besar penduduknya beragama islam. Agama penting dimasukkan dalam penelitian ini dikarenakan sebelum dikeluarkannya Fatwa MUI pada tanggal 12 Maret 1983, beberapa kelompok masyarakat masih menganggap kelinci haram untuk dikonsumsi. Sehingga saat ini perlu dilakukan penelitian mengenai persepsi konsunen terhadap daging kelinci yang ditinjau dari aspek agama sebagai salah satu subbudaya. Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Tabel 18, mayoritas responden (sebesar 58 persen) setuju bahwa agama yang mereka anut tidak melarang untuk mengonsumsi daging kelinci, 40 persen lainnya bahkan menyatakan sangat setuju bahwa agama mereka tidak ada larangan untuk mengonsumsi daging kelinci. Ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat bahwa daging kelinci layak dan halal untuk dikonsumsi ditinjau dari aspek agama sudah sangat baik. Tabel 18. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Agama Ttidak ada larangan untuk mengonsumsi daging kelinci dari segi agama konsumen: Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat setuju
20
40
100
Setuju
29
58
116
Netral
1
2
3
50
100
219
TOTAL RATA-RATA
4.38
Dari gabungan antara subbudaya adat dan agama di atas, didapatkan rataan skor sebesar 4,36 yang berarti bahwa persepsi konsumen terhadap daging kelinci
ditinjau dari aspek budaya sudah sangat baik. Hal ini menunjukkan tidak ada halangan budaya bagi pemasar produk olahan daging kelinci. 6.2.2
Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Sosial Keputusan konsumsi seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya, seperti kelompok kecil, keluarga, serta peran dan status sosial konsumen. Keluarga merupakan organisasi yang paling penting dalam masyarakat. Di dalam anggota keluarga sendiri terdapat beberapa peran yang menentukan pembelian. Salah satunya adalah peran sebagai influencer (pemberi pengaruh). Pemberi pengaruh sendiri bisa menjadi orang yang mengajak untuk menkonsumsi maupun yang memberikan pengaruh untuk tidak mengonsumsi suatu produk. Pemberi pengaruh sendiri melaksanakan perannya berdasarkan pengalaman yang pada akhirnya membentuk persepsinya terhadap suatu produk (Engel, 1994). Dengan demikian mereka yang mengajak anggota keluarganya untuk turut mengonsumsi suatu produk tentunya memiliki persepsi yang baik terhadap produk tersebut. Berikut dipaparkan mengenai persepsi konsumen ditinjau dari aspek sosial berdasarkan lingkungan keluarga dan kelompok pertemanan.
6.2.2.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Sisi Keluarga Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa 48 persen menyatakan setuju bahwa anggota keluarga mereka memiliki pengaruh bagi mereka untuk mengonsumsi daging kelinci, 28 persen netral, 18 persen sangat setuju, empat persen tidak setuju, dan sisanya sebesar satu persen menyatakan sangat tidak setuju. Rata-rata yang didapatkan adalah sebesar 3,76. Hal ini berarti secara keseluruhan sebagian besar konsumen mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci yang dibuktikan dengan adanya peran serta lingkungan sosial mereka dalam mempengaruhi konsumen untuk mengonsumsi daging kelinci. Tabel 19. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Sisi Keluarga Ada pengaruh dari keluarga bagi konsumen dalam mengkonsumsi daging
kelinci: Jawaban Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
9
18
45
Setuju
24
48
96
Netral
14
28
42
2
4
4
1
2
1
50
100
188
Tidak Setuju Sangat
Tidak
Setuju TOTAL RATA-RATA
3,76
6.2.2.2 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Sisi Kelompok Pertemanan atau Komunitas Selain keluarga, kelompok kecil atau komunitas merupakan salah satu bagian dari kehidupan sosial konsumen yang turut dalam membentuk nilai-nilai di dalam diri konsumen. Jika di dalam keluarga terdapat peran influencer (pemberi pengaruh), maka dalam kelompok terdapat kelompok referensi, yaitu kelompok yang memperkenalkan perilaku dan gaya hidup baru kepada seseorang, mempengaruhi sikap dan konsep diri seseorang, dan menciptakan tekanan untuk menegaskan apa yang mungkin mempengaruhi pilihan produk dan merek seseorang (Kotler, 2006). Seperti halnya influencer, kelompok referensi merupakan orang yang mengajak untuk mengonsumsi suatu produk atau merek jika mereka memiliki persepsi yang baik terhadap suatu produk atau merek, dan sebaliknya. Untuk konsumen daging kelinci di Kota Bogor yang menjadi responden sendiri, 48 persen menyatakan setuju bahwa teman atau komunitas mereka berperan dalam mempengaruhi mereka untuk mengonsumsi daging kelinci. Sisanya sebesar 28, 18, 4, dan 2 persen menyatakan netral, sangat setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Rataan yang diperoleh adalah sebesar 3,76. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki persepsi yang baik terhadap daging kelinci ditinjau dari sisi kelompok atau komunitas sosial. Tabel 20 berikut menyajikan sebaran jawaban responden Kota Bogor berdasarkan aspek sosial melalui pendekatan peran dalam kelompok:
Tabel 20. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Sisi Kelompok Pertemanan atau Komunitas Ada pengaruh teman-teman atau kelompok sosial terhadap konsumen dalam mengkonsumsi daging kelinci: Jawaban Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
9
18
45
Setuju
24
48
96
Netral
14
28
42
Tidak Setuju
2
4
4
Sangat Tidak Setuju
1
2
1
50
100
188
TOTAL RATA-RATA
3,76
Dari rataan skor yang didapat pada persepsi konsumen terhadap daging kelinci ditinjau dari sisi keluarga dan komunitas, maka didapatkan rataan sebesar 3,76. Hal ini menunjukkan jika ditinjau dari aspek sosial, maka persepsi konsumen terhadap daging kelinci sudah baik. Sehingga aspek sosial bisa menjadi salah satu celah bagi para pemasar untuk memasarkan produknya karena adanya pihak yang berpersepsi baik terhadap daging kelinci dan berperan mempengaruhi orang lain untuk turut mengonsumsi daging kelinci. 6.2.3
Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Psikologis Salah satu masalah yang dihadapi konsumen daging kelinci adalah
masalah psikologis dikarenakan kelinci merupakan binatang yang lucu dan menggemaskan dan ada hambatan tersendiri jika konsumen melihat proses pemotongan daging kelinci maka akan menyebabkan perasaan yang kurang nyaman dalam mengonsumsi daging kelinci. Berdasarkan hasil penelitian yang di tampilkan Tabel 21, ternyata 44 persen responden menyatakan tidak setuju bahwa mereka menjadi kurang nyaman dalam mengonsumsi daging kelinci karena kelinci binatang yang lucu dan menggemaskan. Sementara 34 persen menyatakan netral, 14 dan 8 persen sisanya menyatakan setuju dan sangat tidak setuju. Jika dilihat dari jenis kelamin, maka 14 persen dari responden yang setuju bahwa mereka kurang nyaman
mengonsumsi daging kelinci dikarenakan kelinci binatang yang lucu dan menggemaskan seluruhnya adalah wanita sebanyak tujuh responden. Sedangkan yang memilih sangat tidak setuju berjumlah empat responden dimana tiga diantaranya adalah responden pria. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan psikologis karena gambaran kelinci sebagai binatang yang lucu memang lebih banyak dialami oleh responden wanita. Tabel 21. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Psikologis (Kelinci Bianatang yang Lucu dan Menggemaskan) Konsumen menjadi kurang nyaman dalam mengkonsumsi daging kelinci karena citra kelinci sebagai binatang yang lucu dan menggemaskan: Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Setuju
7
14
14
Netral
17
34
51
Tidak Setuju
22
44
88
4
8
20
50
100
173
Sangat
Tidak
Setuju TOTAL RATA-RATA
3,46
Sementara terkait hambatan psikologis karena melihat proses pemotongan, 44 persen menyatakan tidak setuju bahwa mereka menjadi kurang nyaman mengonsumsi daging kelinci jika melihat proses pemotongannya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak menghadapi gangguan psikologis tersendiri saat melihat proses pemotongan daging kelinci. Sementara 24 persen menyatakan setuju. Persentase ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil pada tabel 15 yang hanya sebesar 14 persen. Hal ini berarti memperlihatkan proses pemotongan pada konsumen memiliki pengaruh psikologis yang lebih besar dibandingkan gambaran yang terbentuk dalam benak konsumen bahwa kelinci binatang yang lucu dan menggemaskan. Sisanya sebesar 20 persen menyatakan netral, 10 persen menyatakan sangat tidak setuju, dan 2 persen menyatakan sangat setuju. Tabel 22 berikut menyajikan sebaran responden
berdasarkan skor rata-rata persepsi konsumen untuk aspek psikologis terkait proses pemotongan. Tabel 22. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Psikologis (Proses Pemotongan) Konsumen kurang nyaman mengkonsumsi daging kelinci karena melihat proses pemotongan kelinci: Jawaban Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
1
2
1
Setuju
12
24
24
Netral
10
20
30
Tidak Setuju
22
44
88
5
10
25
50
100
168
Sangat
Tidak
Setuju TOTAL RATA-RATA
3,36
Jika digabungkan rataan dari kedua pendekatan diatas maka didapatkan rataan total sebesar 3,42. Hal ini berarti konsumen memberikan persepsi yang baik bila ditinjau dari psikologis. Artinya bahwa hambatan psikologis tidak menjadi pengaruh yang signifikan bagi konsumen daging kelinici untuk melakukan konsumsi. 6.2.4
Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Bauran Pemasaran Strategi pemasaran adalah seperangkat tindakan yang terintegrasi dalam
upaya memberikan nilai bagi konsumen dan keunggulan bersaing bagi perusahaan (Kotler, 2005). Starategi pemasaran ini salah satunya diaplikasikan dalam bentuk bauran pemasaran yang terdiri dari 4P, yaitu product, price, place, dan promotion. Bauran pemasaran merupakan hal yang sangat penting bagi konsumen dalam mengambil keputusan untuk melakukan konsumsi sehingga pemasar harus mampu membangun bauran pemasaran yang tepat dimata konsumen.
6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Produk Produk merupakan elemen kunci dalam keseluruhan penawaran pasar. Sehingga membentuk citra produk yang baik di mata konsumen merupakan hal
yang sangat penting. Bicara tentang citra produk sama halnya berbicara tentang persepsi konsumen terhadap suatu produk atau dengan kata lain brand image dari suatu produk. Persepsi terhadap suatu produk terbentuk melalui adanya stimulus yang diterima oleh indra. Untuk daging kelinci sendiri akan dibahas berdasarkan rasa, tekstur, dan bau. Adapun untuk produk sendiri diolah dalam bentuk sate, gulai, bakso, nugget, dendeng, tongseng, dan lain-lain. Tabel 23 berikut menunjukkan sebaran jumlah responden dan jenis bentuk olahan daging kelinci yang pernah dikonsumsi: Tabel 23. Bentuk Olahan Daging Kelinci yang pernah Dikonsumsi Responden Bentuk Olahan
Responden
Persentase
Sate
48
96
Gulai
15
30
Abon
2
4
Nugget
5
10
Sop
4
8
Baso
6
12
Tongseng
2
4
Sebagian besar responden, yaitu sebesar 96 persen, pernah mengonsumsi daging kelinci dalam bentuk sate. Sedangkan 30 persen pernah mengonsumsi dalam bentuk gulai. Untuk abon, nugget, sop, baso, dan tongseng sendiri masingmasing pernah dikonsumsi oleh 4, 10, 8, 12, dan 4 persen dari responden. Tabel 18 menunjukkan persepsi responden terhadap daging kelinci berdasarkan rasa. Dari 50 respondenm 58 persen menyatakan setuju bahwa daging kelinci enak dikonsumsi, 38 persen menyatakan sangat setuju, dan 4 persen menyatakan netral. Secara keseluruhan skor rata-rata untuk rasa adalah sebesar 4,34. Hal ini menunjukkan persepsi konsumen terhadap rasa daging kelinci sangat baik. Tabel 24. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Rasa Dari segi rasa, menurut konsumen daging kelinci enak dikonsumsi Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
19
38
95
Setuju
29
58
116
Netral
2
4
6
TOTAL
50
100
217
RATA-RATA
4,34
Tabel 25 menunjukkan persepsi konsumen terhadap daging kelinci berdasarkan tekstur. Berdasarkan tekstur, sebagian besar responden,yaitu sebesar 54 persen, setuju bahwa daging kelinci memiliki tekstur yang empuk, 30 persen menyatakan sangat setuju, dan 16 persen sisanya menyatakan netral. Dari frekuensi keseluruhan setelah dikalikan dengan masing-masing skor jawaban, maka didapatkan rata-rata skor sebesar 4,14. Ini menunjukkan bahwa konsumen mempunyai persepsi yang baik terhadap tekstur daging kelinci. Tabel 25. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Tekstur Dari segi tekstur, menurut konsumen daging kelinci memiliki tekstur yang empuk: Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
15
30
75
Setuju
27
54
108
Netral
8
16
24
50
100
207
TOTAL RATA-RATA
4,14
Ditinjau dari aroma, beberapa literatur menyatakan bahwa daging kelinci tidak berbau amis. Tabel 25 berikut menunjukkan persepsi konsumen terhadap daging kelinci berdasarkan aroma. Sebanyak 44 persen responden menyatakan setuju bahwa daging kelinci tidak berbau amis, 36 persen lainnya menyatakan netral, dan 20 persen menyatakan sangat setuju bahwa daging kelinci tidak berbau amis. Rataan skor dari keseluruhan jawaban responden adalah sebesar 3,48 sehingga bisa dikategorikan bahwa konsumen memiliki persepsi yang baik terhadap daging kelinci berdasarkan aromanya. Tabel 26. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Aroma Dari segi aroma menurut konsumen daging kelinci tidak berbau amis Jawaban Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase 10
Skor 20
50
Setuju
22
44
88
Netral
18
36
54
TOTAL
50
100
192
RATA-RATA
3,84
Secara keseluruhan, jika kita merata-ratakan skor yang dihasilkan dari ketiga segi produk di atas, maka akan didapatkan rata-rata sebesar 4,11. Hal ini berarti konsumen mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci dilihat dari aspek produk. Dengan adanya persepsi yang baik terhadap produk daging kelinci tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsumen menyukai daging kelinci. 6.2.4.2 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Harga Secara luas harga merupakan jumlah semua nilai yang diberikan oleh pelanggan untuk mendapatkan keuntungan dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa. Sepanjang sejarahnya, harga telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan para pembeli. Sehingga harga menjadi salah satu elemen yang paling penting dalam menentukan pangsa pasar dan keuntungan suatu perusahaan (Kotler, 2008). Oleh sebab itu menganalisis persepsi konsumen terhadap harga suatu produk sangat penting untuk dilakukan agar pemasar lebih mudah dalam melakukan penyesuaian dan melakukan persaingan. Untuk daging kelinci sendiri responden memang tidak membeli pada tingkat harga yang sama. Namun hal tersebut tidak menjadi halangan untuk mengukur persepsi konsumen, karena persepsi dibangun atas dasar pengalaman responden sendiri. Tabel 27 berikut menyajikan sebaran persepsi konsumen terhadap harga daging kelinci. Tabel 27. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Harga Menurut konsumen daging kelinci harganya mahal Jawaban Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
1
2
1
Setuju
11
22
22
Netral
28
56
84
Tidak Setuju
10
20
40
TOTAL
50
100
147
RATA-RATA
2,94
Sebanyak 56 persen responden menyatakan netral terhadap pernyataan yang diajukan. Hal ini berarti sebagian besar responden menganggap harga daging kelinci sudah cukup baik. Sementara 22 responden menyatakan setuju bahwa harga daging kelinci mahal, 20 persen menyatakan tidak setuju dan 2 persen sangat setuju. Adapun rataan skor yang didapat adalah sebesar 2,94. Hal ini berarti persepsi konsumen terhadap harga daging kelinci cukup baik.
6.2.4.3 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Lokasi Penjualan Kemudahan untuk mendapatkan produk menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen terhadap suatu produk. Sehingga faktor lokasi penjualan menjadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam mengembangkan pemasaran suatu produk. Untuk Kota Bogor sendiri lokasi penjualan yang ditemukan oleh peneliti hanya di Kecamatan Bogor Barat. Tabel 28 berikut menunjukkan persepsi konsumen terhadap kemudahan menjangkau lokasi penjualan daging kelinci: Tabel 28. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Lokasi Penjualan Menurut konsumen tempat-tempat yang menjual daging kelinci sulit ditemukan: Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
15
30
15
Setuju
27
54
54
Netral
6
12
18
Tidak Setuju
2
4
8
50
100
95
TOTAL RATA-RATA
1,9
Sebanyak 54 persen responden menyatakan setuju bahwa tempat-tempat yang menjual daging kelinci sulit ditemukan. Bahkan 30 persen menyatakan sangat setuju bahwa tempat-tempat yang menjual daging kelinci sulit untuk ditemukan. Sedangkan 12 dan 4 persen lainnya menyatakan netral dan tidak
setuju. Setelah dikalikan dengan masing-masing skor jawaban, maka didapat rataan sebesar 1,9. Hal ini menggambarkan persepsi yang tidak baik dari konsumen terhadap daging kelinci ditinjau dari aspek lokasi penjualan. Bisa jadi permasalahan utama kurangnya respon konsumen di Kota Bogor terhadap daging kelinci disebabkan karena kesulitan menemukan lokasi penjualan makanan olahan daging kelinci. 6.2.4.4 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Promosi Dalam pengambilan keputusan, konsumen melewati fase pencarian informasi. Minimnya informasi mengenai suatu produk akan menyebabkan kegagalan tersendiri dalam pemasaran produk karena konsumen akhirnya tidak mampu mengenali produk yang ditawarkan tersebut. Disinilah promosi sebagai salah satu bagian dari pemberian informasi mengenai produk perlu dilakukan. Daging kelinci sebagai produk yang masih awam dikonsumsi banyak orang tentunya harus lebih gencar dilakukan promosi dalam proses pemasarannya. Tabel 29 berikut menunjukkan persepsi konsumen terhadap promosi tentang daging kelinci: Tabel 29. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen dari Aspek Lokasi Penjualan Menurut konsumen, promosi tentang daging kelinci masih sangat kurang: Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
18
36
18
Setuju
28
56
56
Netral
3
6
9
Tidak Setuju
1
2
4
50
100
87
TOTAL RATA-RATA
1,74
Berdasarkan data yang didapat di lapang, 56 persen responden menyatakan setuju bahawa promosi mengenai daging kelinci masih sangat kurang. Sedangkan 36 persen lainnya menyatakan sangat setuju bahwa promosi tentang daging kelinci masih sangat kurang. Adapun 6 dan 2 persen lainnya menytakan netral dan tidak setuju. Dari data tersebut setelah dikalikan dengan skor masing-masing
jawaban dan dirata-ratakan, maka didapatkan rata-rata sebesar 1,74. Hal ini menggambarkan bahwa promosi mengenai daging kelinci sangat tidak baik atau sangat buruk sekali di mata konsumen. Di Kota Bogor sendiri promosi mengenai daging kelinci dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Peternakan hanya ada pada kegiatan-kegiatan tertentu saja, misalnya bazar, sehingga khalayak yang mengetahui mengenai daging kelinci hanya terbatas pada beberapa orang saja. Berdasarkan seluruh aspek bauran pemasaran di atas, yaitu meliputi produk, tempat penjualan, harga, dan promosi, jika hitung rata-rata kseluruhan maka skor yang didapat adalah sebesar 2.6. Dapat disimpulkan bahwa persepsi konsumen terhadap bauran pemasaran daging kelinci masih tidak baik. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya skor dari setiap aspek bauran pemasaran daging kelinci terutama pada bagian promosi. Jika kita kelompokkan secara keseluruhan dari semua aspek yang diujikan di atas, maka akan di dapat hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 30 berikut ini: Tabel 30. Rataan Keseluruhan Aspek dan Sub Aspek Analisis Persepsi Konsumen Aspek Budaya Sosial Psikologis Bauran Pemasaran
Sub Aspek Adat Agama Keluarga Teman Citra kelinci Proses pemotongan Produk Tempat Penjualan Harga Promosi
Rataan Sub Aspek 4,34 4,38 3,76 3,76 3,46 3,36 4,11 2,94 1,9 1,74
Rataan Aspek 4,4 3,8 3,4 2,6
TOTAL
14,2
RATAAN
3,55
Berdasarkan Tabel 30 tersebut, maka aspek budaya mendapatkan persepsi yang sangat baik di mata konsumen. Hal ini berarti bagi pemasar, aspek budaya konsumen Kota Bogor tidak menjadi hambatan dalam pengembangan pemasaran daging kelinci. Aspek sosial mendapatkan persepsi yang baik di mata konsumen, dimana konsumen turut berperan dalam memperkenalkan daging kelinci kepada lingkungannya. Aspek psikologis sendiri dipersepsikan cukup baik oleh
konsumen. Artinya konsumen memang mengalami masalah psikologis dalam mengonsumsi daging kelinci, namun hambatan tersebut tidak terlalu signifikan bagi konsumen. Adapun aspek yang mendapat persepsi buruk atau tidak baik di mata konsumen adalah aspek bauran pemasaran, terutama untuk bagian promosi. Bauran pemasaran mendapatkan skor keselurahan sebesar 2,6. Hal ini menandakan bahwa permasalahn utama dalam minimnya konsumsi daging kelinci di Kota Bogor adalah pada masalah bauran pemasaran bukan pada aspek psikologi. Oleh sebab itu para pemasar harus lebih gencar dalam melakukan promosi dan didukung oleh pihak pemerintah. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan, maka skor yang didapatkan adalah sebesar 3,55 yang artinya persepsi konsumen ditinjau dari seluruh aspek terhadap daging kelinci sudah baik. hal inilah yang bisa digunakan untuk menjadi acuan bagi konsumen yang belum mengonsumsi daging kelinci agar tertarik untuk menjadi konsumen daging kelinci. 6.3 Analisis Variabel yang Mempengaruhi Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci Model logit yang digunakan dalam mengolah data pada penelitian ini digunakan untuk menentukan variabel-variabel yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor. Adapun variabel terikat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu Y=0 (persepsi buruk) dan Y=1 (persepsi baik). Sedangkan variabel bebasnya terbagi menjadi lima variabel yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengeluaran. Berdasarkan hasil penelitian, dari 50 responden sebanyak 27 orang mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci dan 23 orang mempunyai persepsi yang buruk. Hasil dugaan model logistik menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 85 persen didapatkan nilai signifikansi Hosmer dan Lemeshow Test sebesar 0,639. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai alpha 0,15 sehingga dapat disimpulkan bahwa keselurahan model yang dihasilkan cukup baik, artinya paling sedikitnya terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh nyata (nilai koefisien tidak sama dengan nol) terhadap tingkat persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor. Dengan kata lain model telah mampu menjelaskan data dengan baik (Goodness of Fit). Adapun
nilai Nagelkerke R-square yang dihasilkan adalah sebesar 0,409. Hal ini menunjukkan bahwa kelima variabel, yaitu usia,jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengeluaran dapat menjelaskan varians persepsi konsumen sebesar 40,9 persen dan sisanya yaitu 59,1 persen dijelaskan oleh faktor lain. Adapun variabel yang berpengaruh nyata terhadap persepsi konsumen adalah variabel yang memiliki nilai signifikansi di bawah nilai alpa 15 persen (0,15). Nilai signifikansi dari masing-masing kategori variabel dapat dilihat pada Tabel 31 berikut: Tabel 31. Hasil Estimasi Regresi Logistik Terhadap Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Responden untuk Memiliki Persepsi Baik Terhadap Daging Kelinci B Step 1(a)
USIA USIA(1) USIA(2) USIA(3) USIA(4) JK(1) PDDIKAN PDDIKAN(1) PDDIKAN(2) PKRJAAN(1) PNGLUARN PNGLUARN(1) PNGLUARN(2) PNGLUARN(3) PNGLUARN(4) PNGLUARN(5) Constant
S.E.
19.783 21.057 19.673 -1.170 -2.115
16974.325 16974.325 16974.325 1.488 .957
-.879 -.930 1.213
2.288 .998 1.099
-21.324 -20.724 -19.937 -19.719 1.081 1.383
16974.325 16974.325 16974.325 16974.325 1.608 1.422
Wald 2.405 .000 .000 .000 .618 4.890 .883 .148 .869 1.218 1.804 .000 .000 .000 .000 .452 .945
df
Sig.
4 1 1 1 1 1 2 1 1 1 5 1 1 1 1 1 1
.662 .999 .999 .999 .432 .027 .643 .701 .351 .270 .875 .999 .999 .999 .999 .501 .331
Exp(B)
390509754.404 1396209451.917 349777782.440 .310 .121 .415 .395 3.363 .000 .000 .000 .000 2.949 3.986
Berdasarkan Tabel 31, maka dapat dilihat bahwa hanya variabel jenis kelamin yang memiliki pengaruh nyata terhadap persepsi konsumen. Hal ini dikarenakan variabel tersebut memiliki P-value (Sig.) lebih kecil dari alpha yang ditetapkan (α=0,15). Pengaruh dari masing-masing variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Usia
Semua kategori pada variabel usia memiliki P-value lebih besar dari 0,15 sehingga usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi persepsi konsumen terhadap daging kelinci. Hal ini dikarenakan daging kelinci bisa dikonsumsi oleh semua usia. Sehingga variabel usia tidak terlalu berpengaruh nyata dalam membentuk persepsi konsumen terhadap daging kelinci. 2. Jenis Kelamin Variabel jenis kelamin memiliki nilai P-value (Sig.) lebih besar dari alpha yang ditetapkan, dimana nilai P-valuenya sebesar 0,27. Sehingga variabel jenis kelamin memiliki pengaruh yang nyata dalam membentuk persepsi konsumen terhadap daging kelinci. Dengan nilai odds ratio atau Exp(B) sebesar 0,121 dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin pria memiliki peluang sebesar 0,121 kali lipat dibandingkan jenis kelamin wanita untuk memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Dengan melihat nilai koefisien variabel yang bernilai negatif (-2,115) menunjukkan bahwa jenis kelamin pria cenderung memberikan persepsi yang buruk terhadap daging kelinci dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan daging kelinci yang sangat baik untuk menu diet, sehingga para wanita lebih cenderung mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci. 3. Pendidikan Nilai P-value untuk variabel tingkat pendidikan lebih besar dari 0,15 sehingga tidak memiliki pengaruh yang nyata bagi persepsi konsumen terhadap daging kelinci. Hal ini dikarenakan pada fakta di lapang, ternyata responden pada setiap tingkatan pendidikan memiliki pengetahuan dan informasi yang relatif sama mengenai daging kelinci. Baik responden dengan tingkat pendidikan yang rendah, sedang, maupun tinggi mengonsumsi daging kelinci dengan alasan kesehatan. Sehingga walaupun jenjang pendidikan berbeda, namun tidak membedakan secara nyata persepsi mereka terhadap daging kelinci. 4. Pekerjaan
Variabel pekerjaan memiliki P-value sebesar 0.27 sehingga lebih besar daripada nilai alpha. Hal ini berarti variabel pekerjaan tidak memiliki pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap daging kelinci. Seperti halnya yang sudah dijelaskan pada variabel tingkat pendidikan, konsumen yang mengonsumsi daging kelinci cenderung menjadikan daging kelinci sebagai ‘obat’ sehingga untuk jenis pekerjaan yang berbeda, responden memiliki kesamaan tujuan dalam mengonsumsi yaitu alasan kesehatan. Sehingga variabel pekerjaan tidak berpengaruh terhadap persepsi konsumen daging kelinci. 5. Pengeluaran Nilai P-value dari variabel pengeluaran untuk setiap kategori bernilai lebih besar dari 0,15. Hal ini berarti variabel pengeluaran tidak memiliki pengaruh dalam pembentukan persepsi baik konsumen terhadap daging kelinci. Bagi beberapa kalangan daging kelinci memang relatif lebih mahal. Namun jika pengetahuan konsumen mengenai daging kelinci sudah sangat bagus, maka konsumen akan bisa memahami kesenjangan harga tersebut yang salah satunya disebabkan oleh sulitnya mendapatkan pasokan daging kelinci. Dari hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap daging kelinci adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel usia, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran tidak berpengaruh nyata dalam membentuk persepsi konsumen terhadap daging kelinci.
6.4 Rekomendasi Bagi Pengusaha Daging Kelinci di Kota Bogor Salah satu keluaran dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor. Adapun rekomendasi yang diberikan berdasarkan dari data-data dan hasil analisis yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil analisis terhadap data hasil dari wawancara dan kuesioner, maka didapatkan beberapa matriks sebagai berikut:
Tabel 32. Matriks Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Variabel
Keterangan
Usia
31-40 Tahun
Jenis Kelamin
Perempuan
Pendidikan
Tinggi
Pekerjaan
Pegawai Swasta
Pengeluaran
Rp 1.620.000,00-Rp 2.700.000,00.
Sementara terkait dengan persepsi konsumen terhadap daging kelinci, didapatkan matriks berikut ini: Tabel 33. Matriks Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci Aspek Budaya Sosial Psikologis Bauran Pemasaran
Sub Aspek Adat Agama Keluarga Teman Citra kelinci Proses pemotongan Produk
Rataan Sub Aspek 4,34 (Sangat Baik) 4,38 (Sangat Baik) 3,76 (Baik) 3,76 (Baik) 3,46 (Cukup baik) 3,36 (Cukup Baik) 4,11 (Baik)
Tempat Penjualan Harga Promosi
2,94 (Cukup Baik) 1,9 (Kurang Baik) 1,74 (Sangat Tidak Baik)
Rataan Aspek 4,4 (Sangat Baik) 3,8 (Baik) 3,4 (Cukup Baik) 2,6 (Kurang Baik)
TOTAL
14,2
RATAAN
3,55
Berdasarkan matriks di atas, maka dapat diberikan beberapa rekomendasi dalam pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor diantaranya terkait dengan konsumen potensial daging kelinci dan pengembangan pemasaran daging kelinci. Untuk konsumen potensial daging kelinci dapat dilihat pada matriks pertama, mayoritas konsumen daging kelinci berada pada usia 31 hingga 40 tahun, berjenis kelamin perempuan, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, pekerjaan sebagai pegawai swasta, dan berada pada kelas ekonomi menengah ke atas. Diantara variabel-variabel tersebut yang memiliki pengaruh nyata dalam memberikan persepsi positif terhadap daging kelinci adalah variabel jenis kelamin. Jenis kelamin wanita lebih cenderung memberikan persepsi yang baik
terhadap daging kelinci dibandingkan jenis kelamin pria. Oleh sebab itu dapat direkomendasikan sebagai target pasar sasaran adalah jenis kelamin wanita. Positioning daging kelinci sebagai makanan yang rendah lemak namun tinggi protein dapat digunakan sebagai salah satu daya tarik bagi konsumen wanita. Masalah mengenai berat badan menjadi masalah yang sangat penting bagi para wanita saat ini. Bahkan berdasarkan hasil jajak pendapat yang pernah dilakukan di London, wanita lebih stres karena masalah berat badan daripada kanker2. Terdengar cukup ekstrim namun itu terjadi bahkan di Indonesia. Wanita cenderung sensitif jika disinggung mengenai berat badan mereka. Hal ini merupakan suatu peluang yang sangat baik untuk mengembangkan daging kelinci di mana wanita sebagai segmen pasar potensialnya. Wanita merupakan konsumen yang konsumtif
dan dalam lingkungan keluarga pun
keputusan konsumsi keluarga sebagian besar dipegang oleh wanita. Untuk target pasar yang lebih spesifik maka dari segmen wanita tersebut bisa dipersempit dengan menargetkan wanita dengan kelas ekonomi menengah ke atas. Hal ini dikarenakan mereka yang berada pada kelas sosial ini memiliki daya beli yang lebih tinggi dan kepedulian yang tinggi terhadap kandungan gizi makanan yang dikonsumsinya. Selain itu menurut Engel (1995) dalam analisis variabel sosioekonomi, menunjukkan bahwa orang dengan status sosial yang lebih tinggi memiliki hubungan yang positif dalam hal keinovatifan (kemungkinan mengkonsumsi produk baru). Orang dengan kelas sosial yang lebih tinggi tidak hanya mempunyai kemampuan untuk lebih banyak membeli produk baru, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengambil risko mengkonsumsi produk baru. Selain itu konsumen target juga bisa berasal dari wanita dengan tingkat pendidikan yang tinggi, bekerja sebagai pegawai swasta, atau yang berada pada usia yang produktif. Namun variabel kelas ekonomi merupakan variabel yang lebih sering digunakan karena permintaan terhadap suatu produk sangat terkait erat dengan daya beli yang ditunjukkan oleh tingkat pendapatan atau pengeluaran individu.
2
Vonisa M. 14 Januari 2009. Wanita Lebih Stres Dengan Berat Badan Daripada Kanker.Tempo Interaktif.
Selain konsumen potensial sebagai target sasaran, berdasarkan hasil penelitian dapat direkomendasikan juga beberapa hal terkait dengan bauran pemasaran. Pada matriks kedua ditunjukkan persepsi konsumen terhadap daging kelinci dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: aspek sosial, budaya, psikologis dan bauran pemasaran. Berdasarkan data yang didapat, ternyata bauran pemasaran daging kelinci masih kurang baik di persepsikan oleh konsumen. Adapun unsur bauran pemasaran yang belum mendapatkan persepsi yang baik adalah tempat harga, penjualan, dan promosi. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa langkah dalam mengatasi hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi konsumen terhadap harga produk olahan berbahan baku daging kelinci adalah cukup baik. Hal ini berarti harga produk olahan daging kelinci dimata konsumen merupakan harga yang normal. Namun jika dilihat perbandingan antara responden yang setuju bahwa harga daging kelinci mahal dengan responden yang menyatakan tidak setuju, maka frekuensi yang terbanyak adalah responden setuju bahwa daging kelinci memiliki harga yang mahal. Tentunya responden mendapatkan harga yang berbeda-beda karena tempat pembelian responden pun berbeda-beda. Untuk gambaran, peneliti membeli sate kelinci dengan harga Rp 15.000,00 per porsi, sedangkan harga sate ayam Rp 12.000,00 dan harga sate kambing Rp 14.000,00 per porsi untuk satu lokasi penjualan yang sama. Sulitnya mendapatkan bahan baku menjadi salah satu penyebab harga daging kelinci lebih mahal dibandingkan dengan daging ayam maupun kambing. Sehingga harga yang didapatkan konsumen juga lebih mahal. Untuk mengatasi hal tersebut, pengusaha produk olahan daging kelinci seperti sate kelinci, sebaiknya melakukan kemitraan dengan kelompok peternak kelinci yang ada di Bogor (Fannani, 2006). Selain harga yang lebih murah, ketersediaan bahan baku juga lebih terjamin. Untuk peternak sendiri juga lebih mudah menemukan pasar yang tepat untuk kelinci pedaging mereka. Selain bekerjasama dengan peternak, pengusaha juga bisa membuka peternakan kelinci sendiri. Hal ini jauh lebih menekan biaya karena kelinci merupakan hewan yang cepat berkembang biak dan mudah untuk dipelihara. Namun yang perlu diperhatikan adalah menjaga lokasi
peternakan dengan lokasi penjualan produk. Hal ini dilakukan agar konsumen tidak melihat kelinci hidup secara langsung ketika melakukan pembelian, karena mampu meningkatkan hambatan psikologis mereka untuk mengonsumsi daging kelinci. Persepsi konsumen terhadap tempat atau lokasi penjualan daging kelinci masih sangat tidak baik. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen mengalami kesulitan dalam mendapatkan produk daging kelinci. Fannani (2006) dalam penelitiannya mengurutkan peringkat atribut produk atas tingkat kepentingan dan dari hasil penelitian didapatkan bahwa kemudahan memperoleh produk menempati urutan kedua setelah harga. Berdasarkan keterangan tersebut dapat dilihat bahwa konsumen sangat mempertimbangkan ketersediaan produk dalam memutuskan produk yang akan dikonsumsinya. Seperti yang sudah dianalisis, konsumen potensial untuk daging kelinci adalah konsumen wanita yang jika disempitkan lagi dengan karakteristik yang lain konsumen wanita yang dimaksud adalah konsumen wanita dengan pendidikan tinggi, kelas ekonomi menengah ke atas, berada pada usia produktif, dan memiliki pekerjaan tetap. Untuk itu lokasi perumahan-perumahan menengah ke atas patut dicoba untuk dijadikan lokasi usaha. Terkait dengan promosi, persepsi konsumen masih sangat tidak baik. Kurangnya promosi menyebabkan informasi yang diterima konsumen juga menjadi lebih sedikit. Informasi mengenai produk sangat dibutuhkan oleh konsumen dalam rangka pengenalan akan produk tersebut dan berujung pada keputusan konsumen untuk mengonsumsi produk tersebut. Hal ini terutama dikarenakan daging kelinci yang belum terlalu familiar di kalangan masyarakat Kota Bogor. Yang bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan promosi adalah dengan menyebarkan pamflet atau brosur mengenai daging kelinci, mengikuti pameran-pameran kuliner, dengan media internet melalui situs pertemanan, dan dengan melakukan promosi seperti membagikan sampel produk kepada pembeli serta direct marketing (Tjiptono, 2008). Selain itu membuat papan nama usaha sehingga konsumen dapat mengetahui keberadaan usaha juga bisa dilakukan sebagai bentuk promosi.
Karena ini memudahkan konsumen untuk mengindetifikasi lokasi sehingga dapat meningkatkan jumlah pelanggan yang dating. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Fannani (2006), dimana 43 persen konsumen yang berkunjung ke Kedai Daci adalah orang-orang yang kebetulan lewat. Pengusaha harus mampu memberikan informasi bagi setiap pembeli yang dating, karena pembeli tersebut merupakan salah satu media promosi melalui word of mouth (WOM). Word of mouth ini biasanya cepat diterima pelanggan karena yang menyampaikannya adalah mereka yang dapat dipercayainya, seperti para ahli, teman, keluarga, dan publikasi media masa. Di samping itu, word of mouth juga cepat diterima sebagai referensi karena pelanggan sulit mengevaluasi produk yang belum pernah dikonsumsinya (Tjiptono, 2008). Oleh karena itu pemberian informasi yang komprehensif mengenail keunggulan daging kelinci harus mampu diinformasikan dengan baik kepada setiap pembeli yang datang sehingga mereka yang nantinya menjadi agen promosi perusahaan. Cara ini juga bisa dilakukan jika modal promosi yang dimiliki terbatas (Mayasari, 2010).
VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan Berdasarkan tujuan dan analisis hasil penelitian yang diperoleh maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik konsumen konsumen daging kelinci yang ada di Kota Bogor dapat dibagi berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran. Berdasarkan usia, mayoritas konsumen berada pada usia produktif, yaitu antara 31-40 tahun sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah pada kelompok usia 51-65 tahun. Konsumen tersebut mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi yang didominasi oleh sarjana. Adapun pekerjaan sebagian besar dari konsumen daging kelinci adalah pegawai swasta. Untuk tingkat pengeluaran, sebagian besar konsumen berada pada kisaran antara Rp 1.620.000,00 hingga Rp 2.700.000,00. 2. Persepsi konsumen terhadap daging kelinci ditinjau dari beberapa aspek, antara lain aspek budaya, sosial, psikologis, dan bauran pemasaran. Untuk aspek budaya, konsumen memberikan persepsi yang sangat baik ditinjau dari adat istiadat dan agama konsumen. Dari aspek sosial, konsumen memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Untuk aspek psikologis konsumen juga memberikan persepsi yang baik, hal ini berarti masalah psikologis bagi konsumen yang mengkonsumsi daging kelinci, tidak
terlalu
berpengaruh.
Sedangkan
aspek
bauran
pemasaran
mendapatkan persepsi tidak baik dari konsumen, terutama dalam hal promosi. Untuk persepsi keseluruhan, konsumen memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. 3. Variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam pembentukan persepsi konsumen terhadap daging kelinci ini adalah variabel jenis kelamin. Konsumen yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci 8,3 kali dibandingkan konsumen pria. 4. Untuk rekomendasi pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor, pihak pemasar dapat menetapkan wanita sebagai target pasar. Selain itu,
perlu dilakukan beberapa perbaikan terkait bauran pemasaran, yaitu harga, tempat, dan promosi. 7.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Pemerintah Kota Bogor sebaiknya turut dalam mempromosikan daging kelinci sebagai sumber protein hewani alternatif di Kota Bogor. Selain itu, pengembangan kelompok ternak kelinci di Kota Bogor juga harus di kembangkan agar suplai daging kelinci tidak hanya bergantung pada Kabupaten Bogor saja, karena kurangnya ketersediaan daging kelinci di Kota Bogor menyebabkan harga daging kelinci lebih mahal dibandingkan dengan daging yang lain. 2. Kepada pemasar sebaiknya menjadikan konsumen perempuan sebagai target pasar karena konsumen berjenis kelamin perempuan lebih cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci dibandingkan dengan konsumen berjenis kelamin laki-laki. Selain itu pihak pemasar yang hendak mengembangkan usaha daging kelinci di Kota Bogor sebaiknya meningkatkan promosi penjualan, menyesuaikan harga, dan memilih tempat yang strategis agar pasar sasaran lebih mudah dalam mendapatkan produk dari daging kelinci. 3. Untuk peneltian selanjutnya dapat ditambahkan beberapa variabel yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci. Salah satunya adalah pengetahuan konsumen terhadap kandungan gizi daging kelinci. Karena pada saat dilakukan wawancara, konsumen yang memiliki pengetahuan nilai gizi dagng kelinci yang lebih tinggi, cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Adapun variabel lain yang bisa ditambahkan adalah motivasi dan preferensi. Untuk penelitian selanjutnya akan lebih menarik jika dilakukan komparasi antara konsumen yang sudah mengkonsumsi daging kelinci dengan yang belum, sehingga pasar potensial dan strategi yang direkomendasikan semakin komprehensif. Untuk preferensi sendiri, bisa dilakukan komparasi antara preferensi konsumen daging kelinci dibandingkan dengan daging yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia R.2009. Strategi pengembangan usaha jus buah pada CV.Winner Perkasa Indo Unggul [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ariningsih E. 2002. Perilaku konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati sebelum dan pada masa krisis di Jawa [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Arindita S. 2003. Hubungan antara persepsi kualitas pelayanan dan citra bank dengan loyalitas nasabah [skripsi]. Surakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadyah Surakarta. [Balitnak] Balai Penelitian Ternak Ciawi. 2010. Pedoman pembibitan ternak kelinci yang baik. Bogor: Balitnak Kabupaten Bogor. [Balitnak] Balai Penelitian Ciawi. 2010. Teknologi budidaya ternak kelinci. Bogor: Balitnak Kabupaten Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2010. Kabupaten Bogor dalam angka. Bogor. BPS Kabupaten Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2010. Kota Bogor dalam angka. Bogor. BPS Kota Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2010. Produk domestik regional Kota Bogor 2005-2009. Bogor. BPS Kota Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2009. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Menurut Kelompok Makanan 1999, 2002 - 2009. Jakarta: BPS Indonesia. Churchill GA. 2001. Dasar-dasar riset pemasaran. Andriati, Yahya KD, Salim Emil, penerjemah; Saat Suryadi, Kristiaji WC, editor. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Basic Marketing Research, Fourth Edition. Engel JF, Blackwel RD, Miniard PW. 1994. Budijanto, penerjemah; Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Consumer Behavior. Engel JF, Blackwel RD, Miniard PW. 1995. Budijanto, penerjemah; Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Consumer Behavior 6th ed. [Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Analisa impor peternakan. Jakarta: Ditjennak Jakarta.
Fannani O. 2006. Analisis respon dan kepuasan konsumen terhadap sate kelinci Kedai Daci studi kasus di Kelurahan Ciparigi, Kecamatan Bogor Utara, Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanin, Institut Pertanian Bogor. Hawkins DI, Best RJ. 1996. Consumer Behavior Building Strategy. New York: Mc Graw Hill Inc. Kartadisatra HR. 1994. Kelinci Unggul. Yogyakarta: Kanisius. Kotler P, Amstrong. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran (Terjemahan Jilid I). Jakarta: Erlangga. Loudon DL, Albert JDB. 1993. Consumer Behaviour: Concepts and Aplicants. New York: Mc Graw Hill Inc. Mar’at, 1991. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Numarchus T. 2006. Analisis pola konsumsi dan persepsi konsumen ikan laut di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Papilia DG, Olds SW. 1986. Human Development . New York: McGraw-Hill Book Company Purba RP. 2004. Analisis perubahan pola konsumsi daging di Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Rismunandar. 1990. Meningkatkan Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci. Bandung: Sinar Baru. Setiawan A. 2006. Analisis persepsi dan pilihan konsumen terhadap produk teh di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Peranian Bogor. Sevilla, C. G et al.1993. Pengantar Metode Penelitoan. Tuwu A, Penerjemah: UI Press. Terjemahan dari: An Introduction to Research Methods. Sumarwan, U. 2003. Perilaku konsumen : teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Ghalia Indonesia. Jakarta Supranto, J.1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: Rhineka Cipta Tjiptono F. 2008. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Andi Offset Wicaksena B. 2006. Analisis persepsi konsumen terhadap kopi bubuk Torabika di Jkarta Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.