SKRIPSI
KARAKTERISASI BERAS PANDAN WANGI DAN PENGARUH JENIS KEMASAN TERHADAP STABILITAS MUTU SELAMA PENYIMPANAN
Oleh NATALIA F24103100
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KARAKTERISASI BERAS PANDAN WANGI DAN PENGARUH JENIS KEMASAN TERHADAP STABILITAS MUTU SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : NATALIA Dilahirkan pada tanggal 1 Desember 1984 Lulus pada tanggal
Agustus 2007
Menyetujui, Bogor,
Agustus 2007
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Natalia. F24103100. Karakterisasi Beras Pandan Wangi dan Pengaruh Jenis Kemasan Terhadap Stabilitas Mutu Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Rizal Syarief, DESS. dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma. 2007 RINGKASAN Beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Didukung dengan kekayaan sumber daya alam, Indonesia memiliki berbagai jenis varietas beras. Hal ini memungkinkan para konsumen untuk memilih jenis beras yang disukai menurut citarasa yang diinginkan. Salah satu yang menjadi varietas unggul dan merupakan produk asli dari Indonesia adalah beras beraroma pandan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, komponen utama yang membentuk aroma pandan pada beras pandan wangi adalah 2-acetyl-1-pyrolline. Komponen aroma ini merupakan komponen yang identik dengan wangi pandan. Hal ini menyebabkan padi produksi Cianjur ini sejak tahun 1993 ditetapkan menjadi beras pandan wangi. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik beras pandan wangi sejak dari pasca panen hingga menjadi beras giling. Karakteristik yang diamati meliputi karakteristik fisiko-kimia gabah dan beras secara umum. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengetahui jenis kemasan plastik yang dapat menjadi alternatif untuk mempertahankan aroma pandan wangi. Pengujian organoleptik ini akan diuji menggunakan uji rangking dan rating selama delapan minggu. Parameter yang akan diamati antara lain rasa, aroma, dan kepulenan. Hasil pengukuran terhadap butiran gabah dan beras pandan wangi menunjukkan bahwa beras pandan wangi termasuk beras giling pandan wangi termasuk kategori beras berukuran panjang (rata-rata 6.2 mm) dan berbentuk agak bulat (rata-rata nisbah p/l 2.4). Densitas beras pandan wangi dalam 1 L wadah adalah sebesar 863,2 g. Persentase beras kepala, beras patah dan menir pada kadar air 14% (bobot basah) berturut-turut adalah 47,6%, 17,0%, dan 36,6%. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap 300 g beras pandan wangi giling yang dilakukan sebanyak 10 kali diketahui bahwa sudut curah sampel beras tersebut adalah sebesar 27,70 ± 1,6. Butir beras pandan wangi memiliki bagian berkapur pada bagian perut ditunjukkan dengan adanya bagian yang bewarna putih. Bagian berkapur yang ditemukan pada pandan wangi termasuk jenis white belly. Bagian ini tidak bisa menjadi penciri pandan wangi hal ini dapat dilihat dari analisis amilosa dengan metode IRRI dan menggunakan FTIR. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 8 minggu pengamatan, panelis lebih menyukai beras dan nasi yang dikemas dengan plastik LDPE
RIWAYAT HIDUP Lahir di Jakarta, 1 Desember 1984, penulis memiliki nama lengkap
Natalia.
Penulis
menamatkan
pendidikan
sekolah
menengah umum di SMU Kristen IPEKA Sunter pada tahun 2003. Penulis lalu melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui program SPMB. Selama kuliah penulis pernah menjadi Panitia Baur 2005 sebagai sie kesehatan, Panitia Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan 2006 sebagai sie kesekretariatan. Pada tahun 2006-2007, penulis melakukan penelitian dengan judul Karakterisasi Beras Varietas Pandan Wangi dan Pengaruh Kemasan Terhadap Stabilitas Mutu Selama Penyimpanan. Penulis menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2007.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas karunia dan pimpinanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis akhir ini tepat waktu dan memenuhi segala persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya tulis akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS sebagai pembimbing utama, yang telah mendukung penulis dalam pelaksanaan studi serta memberi kritik dan saran bagi penulis dalam menyusun skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA sebagai dosen pembimbing kedua yang telah menyedia akan waktu untuk membimbing dan memberi masukkan bagi penulis dan bersedia menjadi dosen penguji. 3. Bapak Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc. Atas kesediaan dan waktunya untuk menguji dan memberi masukan bagi penulis 4. Papi, mami, dan Christian yang telah mendukung dan mendoakan penulis selama penyelesaian studi ini. 5. Seluruh keluarga dan sanak famili di Cirebon, Bandung, Jakarta dan Surabaya yang telah mendukung penulis selama ini. 6. My beloved best friend, William, Santi, Hengky, Meylia, Imelda, Iin, Rudy, Indra, Hans, Tomas, Franky, Ellen, dan semua temen-temen IPEKA untuk semua dukungannya. 7. Pak Theja, Pak Jonny, Bu Ully, Bu Gretty, Bu Suryani, Bu Lucy, Pak Satya, Pak Pras, dan guru-guru IPEKA yang terus berdoa dan mendukung penulis hingga saat ini. 8. Anak-anak KTBku, Tata, JR, Susanti, Lisa, Mayland dan Febby yang selalu mendoakan dan mendukung penulis. 9. Semua senior ITP yang telah membantu penulis selama di IPB, terutama untuk ko Clement, kak Becky, ci Shienni, Shinta, Sandi, dan Fajar.
10. Teman-teman JSMP - Indy, Pauline, Nana, Ola, Dey, Fanny, Bebe dan Betsy11. Seluruh teman-teman seperjuangan ITP 40 (Agnes, Aji, Kanin, Erik, Martin, Andreas, Agus, Eko, Anggita, Nooy, Hendy, Meiko, Steph, Wati, Iin, Lala, Adie MR, Hizkia, dan semua yang ga bisa disebutin satu persatu) terutama untuk golongan C ”Ceria” untuk kebersamaan dan doanya. 12. Tya dan Tilo, teman satu dosen PA untuk semua bantuan, doa, dan semangatnya 13. Temen-temen anak dan “mantan” anak beras : Tya, Tilo, Reza, Anz, Lasty, Acha, Pauline, Widhi, dan Wati untuk semua dukungannya. 14. Anak-anak kos Perwira 52 untuk semua tawa dan kebersamaannya 15. Keluarga besar GKY Sunter atas seluruh doa dan kebersamaannya. 16. Seluruh staff dosen, teknisi laboratorium dan karyawan Departemen ITP yang telah banyak membantu penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Juli 2007
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………………..i DAFTAR ISI……………………………………………………………...………iii DAFTAR TABEL………………………………………………………………....v DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………..vi DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………......vii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG…………………………………………………….1 B. TUJUAN…...……………………………………………………………...2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. GABAH…………………………………………………………………...3 B. PROSES PENGOLAHAN GABAH MENJADI BERAS..........................4 C. BERAS PANDAN WANGI........................................................................6 D. WHITE BELLY……………………………………………………………….…..9 E. KADAR AMILOSA....................................................................................9 F. BAHAN PENGEMAS...............................................................................10 E.
KARAKTERISTIK
ORGANOLEPTIK...................................................12 III. BAHAN DAN METODE A. ALAT DAN BAHAN...............................................................................14 B. METODE PENELITIAN..........................................................................14 B.1. Analisis Efisiensi Pengolahan Beras Pandan Wangi di Cianjur.........14 B.2. Analisis Karakteristik Mutu Fisik Gabah dan Beras Pandan Wangi..15 B.3. Analisis Amilosa Beras Pandan Wangi……………………………..17 B.4. Analisis uji stabilitas ..........................................................................19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis
Efisiensi
Pengolahan
Beras
Pandan
Wangi
di
Cianjur...........................………..………………….....…………………21 B. Analisis Mutu Fisik Beras Dan Gabah Pandan Wangi..............................23 C. Analisis Amilosa Beras Pandan Wangi………………………………….30 D.Analisis Uji Stabilitas……………………………………………………33
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN…….……………………………………………………36 B. SARAN………………………………………………………………….37 DAFTARA PUSTAKA………………………………………………………….38 LAMPIRAN……………………………………………………………………...41
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Pengelompokkan gabah dan beras giling menurut USDA………………7 Tabel 2. Kandungan gizi beras pandan wangi per 100 g........................................8 Tabel 3. Pengelompokkan beras menurut kandungan amilosa.............................10 Tabel 4. Permeabilitas plastik tipis terhadap N2, O2, CO2, dan H20…….………11 Tabel 5. Perlakuan yang diberikan kepada pada beras selama uji stabilitas.........20 Tabel 6. Indeks kristalinitas pati beras pandan wangi pada absorbansi 1047 dan 1022 cm-1................................................................................................31
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur fisik gabah…………………………………………………...3 Gambar 2. Mekanisme pemecah kulit rubber roll husker......................................5 Gambar 3. Struktur gugus 2-acetyl-1-pyroline………………………………...…7 Gambar 4. Pengelompokkan chalkiness………………………………………….9 Gambar 5. Proses polimerisasi dalam pembentukkan nylon-6………………….12 Gambar 6. Pengeringan oleh petani......................................................................20 Gambar 7. Proses perontokkan gabah dari malainya……………………………21 Gambar 8. Proses penggilingan gabah menjadi beras pecah kulit………………21 Gambar 9. Rata-rata persentase beras dalam berbagai kadar air………………...26 Gambar 10. Bagian white belly pada beras pandan wangi……..………………..27 Gambar 11. Perbandingan kadar amilosa komponen white belly dan non white belly.....................................................................................................29 Gambar 12. Skema grafik hasil pengukuran dengan FTIR………………………30 Gambar 13. Kurva standar amilosa........................................................................32 Gambar 14. Grafik skor aroma beras selama penyimpanan............................…...33 Gambar 15. Grafik skor aroma nasi selama penyimpanan.....................................33 Gambar 16. Grafik skor warna beras selama penyimpanan...................................34 Gambar 17. Grafik skor kepulenan nasi selama penyimpanan..............................35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Rendemen beras dari bentuk gabah hingga beras giling...................42 Lampiran 2. Persentase butir hampa dan kotoran dari 100 g gabah......................42 Lampiran 3. Persentase butir hijau. butir kuning. dan butir kapur.........................42 Lampiran 4. Pengukuran nisbah panjang per lebar gabah dan beras pandan wangi. ........................................................................42 Lampiran 5. Pengukuran derajat putih beras utuh dengan Whiteness meter..........43 Lampiran 6. Pengukuran persentase beras kepala, beras patah, dan menir...........43 Lampiran 7. Pengukuran sudut curah beras pandan wangi....................................44 Lampiran 8. Perbandingan amilosa pada komponen white belly dan komponen yang tidak mengandung white belly..................................................44 Lampiran 9. Persentase jumlah white belly pada beras pandan wangi dari 5 g sampel..................................................................................45
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk Indonesia. Didukung dengan kekayaan sumber daya alam, Indonesia memiliki berbagai jenis varietas beras. Hal ini memungkinkan para konsumen untuk memilih jenis beras yang disukai menurut citarasa yang diinginkan. Salah satu yang menjadi varietas unggul dan merupakan produk asli dari Indonesia adalah beras beraroma pandan. Sebagaimana di wilayah Asia yang lain, Indonesia juga memiliki varietas beras beraroma. Beras beraroma di wilayah Asia menjadi suatu komoditi premium karena aroma, tekstur, dan flavor yang dihasilkan. Pandan wangi merupakan varietas lokal yang menjadi ciri khas daerah Cianjur, khususnya di Kecamatan Warungkondang. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, komponen utama yang membentuk aroma pandan pada beras pandan wangi adalah 2-acetyl-1-pyrolline. Komponen aroma ini merupakan komponen yang identik dengan wangi pandan. Hal ini menyebabkan padi produksi Cianjur ini sejak tahun 1993 ditetapkan menjadi beras pandan wangi. Padi pandan wangi merupakan varietas Javanica dengan ciri bentuk gabah (endosperm) bulat atau gemuk berperut, berbulu dan tahan rontok. Usia tanamnya adalah sekitar 150-160 hari dengan tinggi 150 cm. Keunggulan beras yang dihasilkan dari padi pandan wangi ini adalah kepulenan dan aroma khas (wangi pandan) yang dihasilkan ketika beras tersebut dimasak menjadi nasi. Selain itu, pandan wangi juga mengandung beberapa komponen gizi lainnya seperti protein, lemak, Cu, dan Fe. Keunikan pandan wangi membuat varietas ini menjadi komoditi yang mahal dan sulit dicari. Akibatnya banyak pedagang ataupun petani seringkali melakukan praktik pemalsuan yang pada akhirnya akan merugikan konsumen dan petani itu sendiri. Oleh karena itu karakteristik fisik maupun kimia beras pandan wangi asli perlu diketahui untuk meminimumkan praktik semacam itu yang beredar di masyarakat.
Beras giling yang berasal dari penggilingan padi di desa umumnya dikemas dengan bahan pengemas plastik. Karena aroma merupakan hal yang sangat penting dalam produk pandan wangi, dibutuhkan jenis bahan pengemas yang baik untuk menjaga aroma tersebut. Tiap jenis plastik memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan pengamatan selama waktu penyimpanan tertentu untuk mendapatkan jenis kemasan yang terbaik.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik beras pandan wangi sejak dari pasca panen hingga menjadi beras giling. Karakteristik yang diamati meliputi karakteristik fisiko-kimia gabah dan beras. Karakteristik fisik yang diamati antara lain bentuk dan ukuran gabah, densitas gabah, chalkiness serta perbandingan beras utuh, patah, dan menir. Karakteristik kimia yang akan diamati adalah kadar amilosa dari beras pandan wangi dengan metode FTIR maupun metode IRRI. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengetahui jenis kemasan plastik yang tepat untuk mempertahankan aroma pandan wangi. Pengujian organoleptik ini akan diuji menggunakan uji rangking dan rating selama delapan minggu sebanyak empat kali (minggu ke-1, minggu ke-3, minggu ke5, dan minggu ke-8). Parameter yang akan diamati adalah aroma, rasa, dan kepulenan dari beras yang telah dimasak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. GABAH Gabah merupakan hasil perontokkan padi dari malainya (Patiwiri, 2006). Butiran-butiran gabah ini memiliki bentuk oval memanjang, bewarna kecoklatan, dan teksturnya yang kasar. Pada proses berikutnya gabah akan dikupas kulitnya dan menjadi beras pecah kulit. Bagian terluar gabah merupakan sekam. Pada bagian dalam sekam terdapat bagian-bagian lain seperti epicarp, mesocarp, dan terakhir lapisan aleuron. Bagian paling dalam dari gabah merupakan endosperm yang tidak lain adalah isi butiran padi.
Gambar 1. Struktur fisik gabah ( Patiwiri, 2006) Pengupasan kulit gabah ini bertujuan untuk menghilangkan sekam dengan kerusakan pada lapisan dedak yang minimum serta menekan adanya kepatahan pada beras pecah kulit yang akan dihasilkan. Gabah yang telah dihilangkan sekamnya kemudian akan masuk dalam proses lebih lanjut menjadi beras pecah kulit. Beras pecah kulit tidak dapat langsung dikonsumsi, tetapi lebih dahulu harus melalui proses penggilingan dan penyosohan. Kedua proses ini bertujuan untuk meningkatkan derajat keputihan dan palatabilitas, menghilangkan kotoran dan benda asing serta meminimumkan terjadinya beras patah.
B. PROSES PENGOLAHAN GABAH MENJADI BERAS Pengolahan gabah menjadi beras meliputi beberapa proses seperti perontokkan, pemecahan kulit (sekam), dan penyosohan. Gabah pandan wangi sangat melekat kuat pada malainya. Karena itu proses penggebotan tidak dapat dilakukan sebagaimana padi jenis lainnya yang ada di Indonesia. Sebelum dilakukan penggilingan dan penyosohan, gabah pandan wangi perlu dirontokkan dari batangnya dengan mesin perontok padi. Perontokkan ini bertujuan membuang kotoran-kotoran dan benda-benda asing dari gabah sehingga beras giling yang dihasilkan terbebas dari kotoran-kotoran tersebut (Patiwiri, 2006). Prinsip dasar
perontokkan
ini hampir
sama dengan proses
pembersihan, yakni memanfaatkan perbedaan ukuran dan berat antara gabah dan benda asing. Benda asing yang berukuran besar antara lain jerami, gumpalann tanah, dan butiran batu. Benda asing yang berukuran lebih kecil dari gabah antara lain debu, pasir, serangga. Sedangkan benda asing yang berukuran hampir sama dengan gabah antara lain butir hampa, batu dan logam. Pemisahan benda-benda asing ini dilakukan dengan menggunakan aliran angin maupun ayakan. Setelah dilakukan perontokkan, proses selanjutnya adalah pemecahan kulit Proses ini bertujuan melepaskan kulit gabah dengan kerusakan yang seminimal mungkin pada butiran beras. Alat yang digunakan untuk pemecahan kulit disebut huller. Sebagian besar gabah yang masuk ke dalam alat ini ada yang sudah terkupas kulitnya dan ada yang belum. Proses ini dapat dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh gabah yang sekamnya benar-benar terbuang. Proses ini akan berjalan dengan baik apabila gabah memiliki kadar air antara 13-15 % (Patiwiri, 2006). Pada kadar air yang lebih tinggi proses pengupasan akan sulit karena sekam sukar lepas dari gabahnya. Di samping itu bila kadar airnya lebih rendah maka butiran padi yang dihasilkan akan mudah pecah. Hal ini akan berdampak pada tinggi rendahnya rendemen beras patah dan menir yang dihasilkan. Mekanisme kerja huller hampir sama dengan mekanisme kerja alu yang digunakan oleh petani tradisional. Gerakan alu yang menumbuk butiran
gabah pada bagian dasarnya memberikan tegangan geser pada sisi gabah yang menyebabkan sekam menjadi sobek dan terkupas. Prinsip ini digunakan untuk menggembangkan mesin-mesin pemecah kulit modern. Beberapa jenis mesin pemecah kulit ini antara lain engelberg husker, rubber roll husker, impeller husker, vaccuum husker. Mesin pemecah kulit yang banyak digunakan saat ini adalah tipe rol karet (rubber roll husker) memecah sekam dengan dua buah rol karet yang dipasang berdekatan. Kedua rol karet diputar dengan kecepatan yang berbeda dan arah yang berlawanan (Gambar 2).
Gambar 2. Mekanisme kerja pemecah kulit (rubber roll husker) Hasil dari pemecahan kulit merupakan beras pecah kulit yang berwarna agak kecoklatan dan tidak bercahaya. Di samping tidak menarik secara visual, bekatul membuat rasa nasi yang dihasilkan kurang enak dan beras menjadi cepat tengik karena tingginya kandungan lemak di dalamnya. Oleh karena itu diperlukan proses lebih lanjut untuk membuat beras menjadi lebih putih dan bersih. Proses ini dinamakan penyosohan. Berkaitan dengan kualitas proses penyosohan terdapat tiga besaran yang dipakai untuk mengukur yaitu derajat sosoh, hasil sosoh dan susut sosoh. Derajat sosoh adalah tingkat pembuangan lapisan bekatul dan lembaga pada beras pecah kulit. Semakin tinggi derajat sosoh maka kualitas penyosohan semakin baik. Standar sosoh yang diterapkan di Indonesia maupun negaranegara penghasil beras lainnya adalah derajat sosoh 90%, 95%, dan 100%. Hal ini didasarkan pada penghitungan bahwa bekatul yang ada pada beras pecah kulit maksimal terdapat sebanyak 10%. Semakin tinggi derajat sosoh, semakin putih beras yang dihasilkan. Terdapat dua cara menggosok yang diterapkan pada mesin penyosoh untuk mendapatkan hasil beras yang bebas dari bekatul yaitu menggerinda
dengan permukaan kasar dan menggesek dengan permukaan yang rata. Permukaan yang kasar berfungsi untuk mengikis lapisan bekatul yang terdapat pada beras pecah kulit sedangkan permukaan yang rata diperlukan untuk menghilangkan kulit ari sehingga diperoleh permukaan yang lebih mengkilap dan bersih. Setelah diperoleh beras giling, umumnya beras mengalami proses akhir yang disebut grading supaya diperoleh beras giling yang sesuai dengan mutu yang telah ditetapkan BULOG. Alat yang digunakan untuk melakukan proses ini adalah rice grader. Alat ini akan memisahkan beras giling menjadi beras kepala, beras patah dan menir. Semakin banyak rendemen beras kepala yang diperoleh maka penerimaan konsumen semakin baik. Menurut Juliano (1976), alat ini berupa suatu tabung yang pada bagian dalam dindingnya terdapat ratusan lubang-lubang kecil dengan ukuran jenis padi yang lebih panjang (beras kepala). Selain itu terdapat pula suatu wadah logam yang dapat berputar pada porosnya. Wadah ini diatur sudutnya sehingga dapat diperoleh jumlah beras kepala, beras patah, dan menir sesuai dengan yang diinginkan. Semakin tinggi sudut kemiringan wadah tersebut, semakin besar rendemen beras patah dan menir yang dihasilkan. Ketika mesin dinyalakan, butiran beras kepala yang memiliki ukuran lebih besar akan tertinggal pada lubang-lubang yang ada pada bagian dalam dinding tabung. Namun, beras patah maupun menir akan tertinggal dalam wadah berputar tersebut. Hal ini perlu dilakukan berulang-ulang supaya diperoleh rendemen beras kepala yang lebih baik.
C. BERAS PANDAN WANGI Beras merupakan salah satu makanan pokok dunia. Budaya yang berbeda mempunyai pilihan yang berbeda pula terhadap jenis beras yang dikonsumsi. Menurut Winarno (1981), masyarakat Asia pada umumnya memiliki kelas-kelas tersendiri untuk beras dengan ciri khas rasa dan aroma tertentu. Beras ini dikenal dengan nama beras menak. Mahalnya harga berasberas tersebut disebabkan antara lain karena rendahnya produksi per hektar,
lama waktu tanam, rendemen yang rendah, serta ketahanan terhadap penyakit yang rendah. Beras pandan wangi merupakan salah satu komoditi beras unggulan yang banyak beredar di Indonesia. Komoditi beras ini banyak terdapat di lumpung padi di Cianjur, Jawa Barat. Merek dagang “Pandan Wangi” merupakan ciri khas padi produksi Cianjur dan sudah dikenal sejak tahun 1993 (Ramadhan, 2002). Subspesies padi yang ditanam di dunia secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga subspesies yaitu tipe japonica, javanica (bulu), dan indica. Pengelompokkan ini didasarkan pada bentuk gabah baik dari ukuran panjang maupun lebarnya. Japonica memiliki butiran yang pendek membulat , sedangkan indica memiliki bentuk memanjang. Subspesies javanica memiliki ukuran butiran yang besar, yaitu memiliki panjang dan lebar butiran yang tinggi. Tabel 1. Pengelompokkan gabah dan beras giling menurut USDA Ukuran
Skala USDA Gabah
Beras giling
Ukuran (mm) Sangat panjang (extra long)
7.0
Panjang (long grain)
>6,6
6.0-6.99
Sedang (medium grain)
5,5-6,6
5.5-5.99
Pendek (short grain)
<5,5
5.5
Bentuk (rasio panjang per lebar) Lonjong (slender)
>3,1
3.0
Sedang (medium)
2,1-3,1
-
Agak bulat (bold)
<2,1
2.0-3.0
Bulat (round)
2.0
Sumber : Soenarjo et al. (1991) Keunggulan beras yang dihasilkan dari padi pandan wangi ini adalah kepulenan dan aroma khas (wangi pandan) yang dihasilkan ketika beras tersbut dimasak menjadi nasi (Ramadhan, 2002). Aroma pandan yang terdeteksi dari beras pandan wangi ini merupakan komponen 2-acetyl-1-
pyrroline. Menurut Buttery et al. (1983), komponen ini juga ditemukan pada analisis
terhadap
komponen
volatile
dari
daun
pandan
(Pandanus
amaryllifolius). Selain pada padi pandan wangi, aroma ini juga ditemukan pada berbagai padi beraroma yang terdapat di seluruh Asia. Komponen 2acetyl-1-pyrolline paling banyak mengandung gugus alkohol, kemudia aldehid dan keton, serta asam dan komponen lainnya.
Gambar 3. Struktur gugus 2-acetil-1-pirolin Varietas unggul lokal Pandan Wangi umumnya ditanam di dataran sedang dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Pandan wangi mengandung berbagai zat gizi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, gula pereduksi, zat besi, dan tembaga. Persentase kadar gula yang dikandung dalam beras pandan wangi lebih besar dibandingkan kadar protein dan lemak. Kandungan gizi beras ini lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 2. Kandungan zat gizi beras pandan wangi per 100 g. No. Parameter Satuan Jumlah 1. Kadar protein % 8.97 2. Kadar lemak % 0.32 3. Kadar gula pereduksi % 63.39 4. Fe Ppm 4.65 5. Cu Ppm 6.42 6. Kalori g/kg 14.81 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur (2001) Perbedaan yang dimiliki oleh teknik budidaya pandan wangi dibandingkan varietas padi jenis lainnya, antara lain terletak pada awal proses pengolahan lahan dan pemanenannya. Alat panen yang biasa digunakan untuk memanen beras pandan wangi adalah gunting atau ani-ani. Alasan penggunaan alat ini karena padi pandan wangi memiliki postur batang yang yang tinggi dengan butir padi yang melekat kuat pada malainya. Kuatnya butiran padi yang
terikat ini menyebabkan pandan wangi sulit dirontokkan dengan cara tradisional (penggebotan), melainkan harus menggunakan mesin perontok padi. Tingginya harga beras pandan wangi seringkali membuat beras istimewa ini hanya dapat dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke atas saja. Perbedaan harga yang cukup signifikan antara petani dan distributor membuat praktik pencampuran semakin mungkin dilakukan oleh para pedagang maupun distributor. Hal ini banyak dilakukan untuk meningkatkan keuntungan sekaligus meningkatkan daya saing dengan produk impor yang semakin banyak di pasaran. D. WHITE BELLY Pengapuran atau chalkiness adalah suatu hal yang cukup berpengaruh dalam menentukkan nilai jual beras giling. Chalkiness dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tipe, seperti white centre, white belly, milky white,dan opaque. Perbedaan keempat tipe ini dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4. Pengelompokkan chalkiness (Hoshikawa, 1975) White Belly merupakan suatu area pada bagian ventral dari beras yang berwarna putih dan opaque (Juliano, 1998). Area yang berwarna putih ini merupakan hasil dari perkembangan pati yang sangat sedikit di daerah peripheral dari endosperm. Hal ini disebabkan oleh transpor karbohidrat yang tidak mencukupi sewaktu pematangan beras. Namun demikian keberadaan white belly tidak mengurangi kualitas beras yang dihasilkan.
E. KADAR AMILOSA Sebagian besar karakteristik mutu rasa dan mutu tanak nasi dipengaruhi oleh perbandingan antara dua jenis pati, yakni kadar amilosa dan
amilopektin (Cruz dan Kush, 2000). Pati disusun dari unit-unit glukosa yang berupa gugus yang bercabang (amilopektin) dan gugus yang berupa rantai lurus (amilosa). Amilosa merupakan polimer yang dibentuk dari linear D-glukosa dengan ikatan α-1,4-D-glukosida, sedangkan polimer amilopektin tersusun dari kombinasi ikatan α-1,4-D-glukosida pada rantai lurus dan ikatan α-1,6-Dglukosida pada titik percabangan. Amilopektin merupakan fraksi utama dari pati beras tetapi dalam analisis beras lebih sering dilakukan pengukuran terhadap amilosa. Berdasarkan kadar amilosa dan amilopektinnya beras dikelompokkan ke dalam waxy rice dan nonwaxy rice (Juliano, 1980). Tabel 3. Pengelompokkan beras menurut kandungan amilosa Kategori Waxy rice Nonwaxy rice
Kelompok
% amilosa 1-2 10-20 20-25 25-30
Amilosa rendah Amilosa sedang Amilosa tinggi
F. BAHAN PENGEMAS Pengemasan
bahan
pangan
mempunyai
tujuan
utama
yaitu
mengawetkan makanan, mempertahankan mutu kesegaran, menarik selera konsumen,
memberikan
kemudahan
penyimpanan,
serta
menekan
kontamninasi dari mikroba yang berbahaya bagi kesehatan. Pengemasan bahan pangan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis bahan pengemas seperti plastik, kaca, kertas, dan karton berlapis. Bahan pengemas yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain tahan terhadap serangan hama, tidak mempunyai rasa, tidak berbau, dan mampu menekan laju keluar masuknya uap air maupun flavor tertentu (Winarno dan Jenie, 1984). Menurut Brody (1970), kerusakan yang terjadi pada bahan pangan dapat berlangsung secara spontan, tetapi seringkali terjadi karena pengaruh lingkungan luar dan pengaruh kemasan yang digunakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat digolongkan menjadi dua golongan. Menurut Winarno dan Jenie (1984), pada golongan pertama, kerusakan ditentukan oleh sifat alamiah
dari produk dan tidak dapat dicegah dengan pengemasan (kerusakan kimia, biokimia, dan mikrobiologi). Golongan kedua adalah jenis kerusakan yang ditentukan oleh lingkungan dan hampir seluruhnya dapat dikontrol dengan pengemasan yang digunakan (kerusakan mekanis, perubahan kadar air, absorbsi, dan interaksi dengan oksigen). Kemasan plastik berkembang dengan pesat baik yang fleksibel, berbentuk lembaran dan kantung, maupun kemasan kaku. Dalam penelitian ini akan digunakan tiga macam kemasan plastik, yakni LDPE, laminasi (LDPE dan nilon), dan selophan yang dilapisi dengan LDPE untuk diuji kemasan plastik mana yang dapat mempertahankan aroma beras pandan wangi selama waktu penyimpanan. Dalam menentukan pilihan bahan kemasan perlu diketahui berbagai info tentang persyaratan yang dibutuhkan. Salah satunya adalah permeabilitas kemasan tersebut terhadap kadar air, gas, dan cahaya. Beberapa gangguan terhadap parameter tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kualitas bahan pangan yang disimpan. kemasan plastik maupun laminasi harus memenuhi persyaratan :1) memiliki daya lindung yang cukup baik dari uap air, 2) memiliki daya lindung yang baik dari gas, dan 3) melindungi dari cahaya. Tabel 4. Permeabilitas plastik tipis terhadap N2, O2, CO2, dan H2O Permeabilitas (cm3/cm2/ mm/ dtk/ cmHg)x 1010 N2 O2 CO2 H2 O 300C 250C, 90% RH LDPE 19 55 353 800 Selophan 2,8 7,8 68 130000 Nylon-6 0,1 0,38 1,6 7000 Sumber : Buckle et al. (1978) Menurut Brody (1992), PE merupakan polimer olefinik pertama yang digunakan untuk kemasan pangan. PE dikelompokkan menjadi LDPE, MDPE, dan HDPE. Pengelompokkan ini didasarkan pada transmisi gas dan uap, daya elongasi, LTI, ESCR, kekakuan, daya tarik, dan resistensi kimianya. LDPE dibuat dengan menggunakan tekanan tinggi melalui polimerisasi radikal bebas. Plastik ini merupakan plastik yang fleksibel, mudah meleleh, dan memberikan barier yang baik terhadap gas dan uap.
Selophan berasal dari serat selulosa yang dilarutkan dalam larutan basa sehingga
diperoleh larutan yang cukup kental. Larutan ini akan
diekstrusi melalui suatu lubang sehingga dihasilkan lembaran-lembaran rayon (Anonim, 2007). Lembaran plastik selophane memiliki permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas, minyak, dan bakteri sehingga plastik ini sangat berguna untuk pengemasan makanan. Plastik nilon-6 dibentuk melalui pemanasan komponen kaprolaktam (komponen utama pada nilon-6) pada suhu 533 K dalam kondisi atmosfer yang inert dan diekspos dengan gas N2 selama 4-5 jam. Proses ini menyebabkan putusnya rantai cincin dan terjadi polimerisasi gugus. Proses ini lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Proses polimerisasi dalam pembentukan nilon-6
G. KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK Menurut Meilgaard et al. (1999), uji organoleptik merupakan metode yang cukup cepat meskipun tidak menggunakan panelis terlatih. Uji ini dapat digunakan untuk skala pengujian yang lebih luas jika sampel yang diberikan maksimal berjumlah tiga. Teknik
pengujian
dengan
metode
rating
digunakan
untuk
menunjukkan seberapa kuat atribut tertentu yang dirasakan oleh panelis. Metode uji jenis ini telah banyak digunakan di berbagai tempat dan dianjurkan untuk digunakan sebagai uji penentuan awal. Keuntungan penggunakan uji rating dapat tercapai bila : (1) teknik rating yang digunakan sudah sesuai dengan atribut sampel yang ingin diamati, (2) panelis telah diperkenalkan sebelumnya dengan sampel yang akan diuji, dan (3) panelis dapat membedakan tingkatan skala yang diberikan pada atribut sampel tersebut. Uji ini dapat digunakan untuk menunjukkan respon panelis yang lebih informatif sesuai jenis skala yang digunakan.
Uji rating dapat dibagi menjadi tiga cara, yakni category scaling, line scaling, dan magnitude estimation scaling. Dalam penelitian ini digunakan category scaling supaya panelis lebih mudah untuk menentukan sampai di mana intensitas atribut yang mereka rasakan.
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras dan gabah pandan wangi yang diperoleh dari Kecamatan Warungkondang, Cianjur. Alat yang digunakan adalah 3 jenis kemasan plastik, alat untuk mengolah gabah menjadi beras, alat uji organoleptik, dan alat keperluan analisis. Ketiga jenis kemasan plastik ini meliputi LDPE, laminasi (LDPE dan Nylon-6), serta selopan yang dibungkus dengan LDPE. Alat untuk mengolah gabah menjadi beras meliputi huller, polisher, dan grader. Alat yang digunakan untuk uji organoleptik adalah piring kecil dan sendok kecil. Sedangkan, alat yang digunakan untuk analisis adalah moisture tester, spektrofotometer, alat-alat gelas dan neraca analitik.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini mencakup dua macam kegiatan yang akan dilakukan. Pertama adalah penelitian mengenai karakteristik beras pandan wangi secara fisik dan kimia. Kedua adalah uji stabilitas mutu pandan wangi selama penyimpanan menggunakan tiga bahan pengemas plastik yang berbeda. B.1.Analisis Efisiensi Pengolahan Beras Pandan Wangi di Cianjur 1.
Rendemen Pengeringan, perontokkan dan penggilingan Perhitungan rendemen pada saat pengeringan dilakukan dengan cara menghitung bobot akhir masing-masing perlakuan (kondisi kering giling) dihitung lalu dibandingkan dengan bobot awal sebelum dijemur (kering panen). Perhitungan rendemen penjemuran adalah sebagai berikut : Susut pengeringan =
Ba × 100% Bm
Bm : Bobot sampel awal Ba : Bobot sampel akhir setelah dijemur/ dirontokkan/ digiling
B.2. Analisis Karakteristik Mutu Fisik Gabah dan Beras Pandan Wangi Mutu fisik beras yang akan diamati antara lain 1. Persentase Butir Hampa dan Kotoran Sampel gabah sebanyak 100 gram ditempatkan pada tampah. Kemudian, gabah tersebut ditampi beberapa kali hingga seluruh kotoran dan butir hampa jatuh ke tanah karena perbedaan bobot. Kemudian persentase butir hampa dan kotoran dihitung dengan rumus : % butir hampa dan kotoran =
Ba − Bak × 100% Ba
Keterangan : Ba = bobot awal sebelum ditampi Bak = bobot akhir setelah ditampi 2. Butir hijau, Butir Kuning Rusak dan Butir Kapur Sampel BPK (beras pecah kulit) diambil sebanyak 50 gram. Kemudian dari sampel tersebut dianalisis secara manual butir hijau, butir kuning rusak, dan butir berkapur, kemudian masing-masing ditimbang dan dihitung presentasenya terhadap bobot awal contoh. Perhitungan butir hijau, butir kuning/ rusak, butir mengapur adalah sebagai berikut : B (%) =
a × 100% b
Keterangan: a = bobot masing-masing butir (butir hijau, kuning, dan berkapur) b = bobot awal beras pecah kulit (50 g) 3. Ukuran dan bentuk gabah serta beras pandan wangi Butir gabah dan beras giling dari masing-masing varietas diukur dengan menggunakan mikrometer. Dari setiap varietas diukur 10 butir gabah dan beras giling diukur panjang dan lebarnya kemudian dibandingkan. Seluruh data akan dihitung sebagai perbandingan panjang dan lebar gabah atau beras giling.
4. Densitas beras giling Beras dimasukkan ke dalam penampung sampel, kemudian kran dibuka sehingga beras mengalir dan memenuhi alat literan. Beras diratakan dengan penggaris untuk memperoleh volume 1 liter dan kemudian ditimbang. Densitas biji dinyatakan sebagai gram/ liter. 5. Persentase beras kepala, beras patah dan menir Butir kepala adalah beras yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 0,60 bagian dari panjang rata-rata butir beras. Butir patah adalah butir yang mempunyai ukuran lebih kecil dari ¾ bagian tetapi lebih kecil dari 0,60 bagian panjang rata-rata beras utuh, sedangkan menir adalah beras patah yang mempunyai ukuran lebih kecil atau sama dengan 0,25 bagian butir beras utuh. Sampel beras giling sebanyak 100 g diayak dengan saringan British standar no. 6 (ukuran lubang 1,4 mm) untuk memisahkan butir menir, kemudian sampel sisanya dimasukkan ke dalam alat Satake Drum Grader untuk memisahkan butir patah. Agar lebih akurat, dilakukan pemisahan secara manual terhadap sampel yang lolos dari alat Satake Drum Grader. Masing-masing kriteria beras tersebut ditimbang, lalu dibandingkan bobotnya terhadap bobot awal (100 gr). 6. White belly Chalkiness / pengapuran ditetapkan berdasarkan kekeruhan (Opacity) endosperm, yaitu bagian biji yang tampak putih keruh. Pengamatan untuk parameter white belly ini dilakukan dengan mengambil sebanyak 5 gram sampel untuk dianalisis berapa persentase white belly yang ada pada hasil panen tahun 2006 dan 2007. 7. Sudut curah (Angle of Repose) (AOAC, 1984) Koefisien friksi antara materi granula sebanding dengan tangen sudut dari friksi internal material tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara menuang beras (dengan bobot tertentu) ke atas permukaan rata dari
ketinggian 10-15 cm hingga membentuk sebuah gunungan. Kemudian sudut curah diukur dengan rumus berikut : α0 = arc tan
t 0,5 × d
Keterangan : t = tinggi gundukan
(cm)
D = diameter gundukan (cm)
B.3. Analisis Kimia Beras Pandan Wangi 1. Kadar amilosa Penentuan kadar amilosa dilakukan menurut metode IRRI (Apriyantono et al., 1989). Pada prinsipnya, amilosa akan bewarna biru apabila bereaksi dengan senyawa iod. Intensitas warna biru akan berbeda tergantung jenis kadar amilosa yang terdapat pada sampel. Sampel yang akan dianalisis meliputi bagian white belly serta bagian tanpa white belly pada beras pandan wangi yang dipanen tahun 2006 dan tahun 2007. Mula-mula ditimbang 100 mg sampel dalam bentuk tepung. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih selama ± 10 menit sampai terbentuk gel. Setelah itu seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kocok, tepatkan sampai tanda tera dengan air. Kemudian pipet 5 ml larutan tersebut dan masukkan ke dalam labu takar 100 ml. Tambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Tepatkan sampi tanda tera dengan air, kocok serta diamkan selama 20 menit. Setelah itu, intensitas warna diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625nm, dan diukur kadar amilosa sampel, dibandingkan dengan kurva standar yang telah dibuat dengan larutan standar. % amilosa =
(
( A) × 100 B
5
)× V ×
100 × 100% 100 − Ka
Keterangan : A = absorbansi amilosa V = volume awal (5 ml) B = bobot sampel (100 mg) Ka = Kadar air sampel kering
2. Pengukuran dengan FTIR Pengukuran dengan metode ini digunakan untuk mengetahui komposisi amilosa yang ada pada beras secara keseluruhan, bagian white belly dan bagian yang tidak mengandung white belly. Mula-mula ditimbang masing-masing 5 gr beras pandan wangi berdasarkan bagian-bagiannya yaitu bagian white belly, bagian tanpa white belly, dan beras pandan wangi secara utuh. Dari 5 gr bagian-bagian tersebut, masing-masing ditepungkan dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh dan diambil sebanyak 2 mg untuk dianalisis. Kemudian, bubuk tersebut dicampur dengan kristal KBr (2 mg bahan pada 200 mg KBr) sebelum diletakkan di atas palet tipis untuk dianalisis dengan spektrofotometer FTIR. Setelah itu, sampel dianalisis dengan spektrofotometer dengan 16 scanning pada resolusi 4cm-1.
B.4. Analisis uji stabilitas 1. Uji Ranking (Poste, 1991) Panelis yang terlibat dalam uji organoleptik untuk menentukan stabilitas mutu oleh konsumen merupakan panelis tidak terlatih yang berjumlah 25 orang. Pada percobaan ini dilakukan uji organoleptik dengan metode uji rangking. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi kepulenan, aroma dan rasa. Nilai uji ini dinyatakan dalam skor terukur yang akan dibandingkan dari minggu ke minggu untuk melihat perubahan parameter yang dirasakan oleh panelis. 2. Uji Rating ( Mailgaard et al., 1999 ) Teknik pengujian dengan metode rating digunakan untuk menunjukkan seberapa kuat atribut tertentu yang dirasakan oleh panelis. Keuntungan penggunakan uji rating dapat tercapai bila : (1) teknik rating yang digunakan sudah sesuai dengan atribut sampel yang ingin diamati, (2) panelis telah diperkenalkan sebelumnya dengan sampel yang akan diuji, dan (3) panelis dapat membedakan tingkatan skala yang diberikan pada atribut sampel tersebut. Uji ini dapat
digunakan untuk menunjukkan respon panelis yang lebih informatif sesuai jenis skala yang digunakan. Uji rating dapat dibagi menjadi tiga cara, yakni category scaling, line scaling, dan magnitude estimation scaling. Dalam penelitian ini digunakan category scaling supaya panelis lebih mudah untuk menentukan sampai dimana intensitas atribut yang mereka rasakan. Nilai uji ini dinyatakan dalam skor terukur yang akan dibandingkan dari minggu ke minggu untuk melihat perubahan parameter yang dirasakan oleh panelis. 3. Rancangan percobaan untuk uji stabilitas Selama uji stabilitas, beras pandan wangi sebanyak 200 g disimpan dalam tiga kemasan plastik yang berbeda, yaitu plastik LDPE, Laminasi (LDPE dan Nylon-6), dan selopan yang dilapisi dengan LDPE. Selama penyimpanan yang dilakukan dalam suhu ruang, pengamatan terhadap sifat organoleptik beras yang dimasak mula-mula pada minggu ke-1, ke-3, ke-5, dan ke-8 setelah penyimpanan.
Tabel 5 . Perlakuan yang diberikan pada beras selama uji stabilitas
Plastik
Kode
Kode
Kode Perlakuan
Perlakuan B1 B2 LDPE
862
A1
B3 B4 B1
Laminasi
B2
(LDPE dan
245
A2
Nylon-6)
B3 B4 B1 B2
Selopan +
458
LDPE
A3
B3 B4
Keterangan : A1B1 = beras yang disimpan pada plastik LDPE selama 1 minggu A1B2 = beras yang disimpan pada plastik LDPE selama 3 minggu A1B3 = beras yang disimpan pada plastik LDPE selama 5 minggu A1B4 = beras yang disimpan pada plastik LDPE selama 8 minggu A2B1= beras yang disimpan pada plastik Laminasi (LDPE dan Nylon-6) selama 1 minggu A2B2 = beras yang disimpan pada plastik Laminasi (LDPE dan Nylon-6) selama 3 minggu A2B3 = beras yang disimpan pada plastik Laminasi (LDPE dan Nylon-6) selama 5 minggu A2B4 = beras yang disimpan pada plastik Laminasi (LDPE dan Nylon-6) selama 8 minggu A3B1=beras yang disimpan pada plastik Selopan+LDPE selama 1 minggu A3B2=beras yang disimpan pada plastik Selopan+LDPE selama 3 minggu A3B3=beras yang disimpan pada plastik Selopan+LDPE selama 5 minggu A3B4=beras yang disimpan pada plastik Selopan+LDPE selama 8 minggu
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN E.
ANALISIS EFISIENSI PENGOLAHAN BERAS PANDAN WANGI Pengeringan yang dilakukan oleh petani di desa Warungkondang, Cianjur dilakukan dengan pengeringan alami menggunakan sinar matahari di atas lapangan. Pengeringan ini dilakukan selama 1-2 hari sehingga diperoleh kadar air sekitar 14 % sehingga gabah siap dirontokkan dari malainya untuk kemudian digiling. Hasil pengamatan efisiensi dapat dilihat pada lampiran 1.
Gambar 5. Pengeringan padi oleh petani Berdasarkan pengamatan diperoleh bahwa gabah kering panen yang telah dikeringkan secara alami diperoleh gabah kering giling sebanyak 79,5% ± 0,34 dari keseluruhan tiga sampel gabah yang dikeringkan (10 kg). Hasil ini menunjukkan bahwa pengeringan dengan menggunakan sinar matahari cukup efektif karena nilai standar deviasi yang cukup rendah. Hal ini ditunjang dengan cuaca pada waktu pengeringan cukup panas sehingga dalam waktu 1-2 hari gabah kering panen dapat mencapai kadar air 14 % (bobot basah) dan siap digiling. Menurut Patiwiri (2006), kadar air 13-15% merupakan kadar air optimum untuk melakukan penggilingan. Pada kadar air yang lebih tinggi gabah sulit dikupas, sedangkan pada kadar air yang lebih rendah, butiran menjadi mudah patah. Petani yang mengusahakan beras pandan wangi tidak melakukan perontokkan di sawah. Namun, mereka sudah memiliki tempat penggilingan dan perontokkan sekaligus sehingga padi yang sudah
dipanen dapat segera dirontokkan dan digiling sekaligus dengan menggunakan alat. Keunikan pandan wangi ada pada butirnya yang terikat kuat pada malainya sehingga proses perontokkan tidak dilakukan secara terpisah di sawah, melainkan digabung dengan proses penggilingan. Meskipun kegiatan perontokkan dan penggilingan dilakukan dalam satu tempat, mesin yang digunakan masih bersifat semi kontinu. Perpindahan bahan dari alat perontokkan ke alat penggilingan masih dilakukan secara manual. Hal ini membuat banyak gabah yang tertinggal dan terbuang percuma.
Gambar 6 . Proses perontokkan gabah dari malainya.
Gambar 7. Proses penggilingan gabah menjadi beras pecah kulit Setelah gabah dirontokkan dari malainya diperoleh persentase bobot sebesar 73,33% ± 3,92. Setelah batang padi dirontokkan, maka dilanjutkan dengan proses pengupasan kulit gabah atau sekam sehingga menjadi beras pecah kulit. Beras pecah kulit yang dihasilkan dari gabah
tersebut memiliki rendemen sebesar 69,5% ± 2,55. Beras pecah kulit ini kemudian akan disosoh sehingga dihasilkan beras yang lebih putih dan bebas dari lapisan bekatul. Rendemen beras giling yang dihasilkan adalah sebesar 58,2 ± 2,45. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa rendemen padi pandan wangi yang digiling menjadi beras cukup besar. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain (1) kondisi kadar air beras yang akan digiling sudah tepat, (2) penggunaan mesin penggiling yang cukup efisien, (3) malai padi yang telah dipanen tidak terinfestasi oleh serangga.
F.
ANALISIS MUTU FISIK BERAS DAN GABAH PANDAN WANGI Menurut Webb (1985) yang diacu dalam Damardjati dan Purwani (1991), bentuk, ukuran, bobot, dan keseragaman biji merupakan faktor penting dalam industri beras. Dimensi beras sangat menentukan pasaran beras di tingkat nasional dan internasional. Oleh karena itu ditetapkanlah suatu standar di tiap negara yang mengacu pada standar USDA mengenai dimensi beras. 1. Persentase butir hampa dan kotoran Persentase butir hampa dan kotoran dilakukan dengan menampi 100 g beras dengan beberapa kali penampian sehingga seluruh butir hampa dan kotoran jatuh dan terpisah. Berdasarkan selisih antara bobot awal gabah sebelum dan sesudah ditampi maka diperoleh hasil seperti yang terdapat pada lampiran 2. Salah satu mutu gabah yang termasuk dalam standar mutu yang telah ditetapkan BULOG adalah persen butir hampa. Besarnya butir hampa dan kotoran akan mempengaruhi secara langsung terhadap rendemen. Setelah ditampi diperoleh bobot persentase butir hampa dan kotoran sebesar 0,59% ± 0,35. Berdasarkan hasil penampian diketahui bahwa butir hampa dari beras ini sangat rendah, bahkan tidak mencapai 1 % dari 100 g gabah yang ditampi. Tingkat butir hampa yang rendah akan berdampak pada meningkatnya rendemen beras giling yang akan dihasilkan. Jumlah butir hampa yang diperoleh dari sampel beras pandan
wangi Cianjur menunjukkan bahwa beras tersebut sudah memenuhi standar menurut SNI kelas I (≤ 1%). Menurut Puspitasari (2001), butir hampa yang ada pada hasil produksi beras giling dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya sifat genetis dari varietas tersebut dan keterlambatan pengisian gabah. Karbohidrat yang terbentuk tidak cukup untuk pengisian sejumlah spikelet yang ada karena asimilasi karbon terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah gabah yang terbentuk. Selain itu, butir hampa juga dapat disebabkan oleh proses pembuahan yang tidak terjadi karena dipengaruhi faktor lingkungan. 2. Persentase butir hijau, butir kuning rusak, dan butir kapur Kadar butir hijau yang ada pada sampel beras pandan wangi di Cianjur masih memenuhi syarat yang ditetapkan SNI untuk kelas mutu I (≤ 1%). Berdasarkan hasil pengamatan pada 50 g beras pecah kulit yang telah disosoh diperoleh rata-rata 0,69 % ± 0,22 (Lampiran 3). Pembentukkan butir hijau antara lain dipengaruhi oleh pematangan gabah pada suhu tinggi sehingga proses pematangan berlangsung terlalu cepat (Partohardjono et. al, 1982). Pembentukkan butir mengapur ini dipengaruhi antara lain oleh sifat genetis, kondisi prapanen, dan umur pemanenan (Webb dan Stermer, 1972). Granula pati pada bagian yang mengapur cenderung menjadi bentuk perikal dengan dinding yang mulai berubah. Bagian ini berperan penting dalam proses pemecahan beras saat digiling (Juliano, 1973). Persentase butir mengapur yang diperoleh dari pengamatan 50 g beras pecah kulit sampel rata-rata adalah sebesar 0,76 % ± 0,20 (Lampiran 3). Di samping itu butir kuning atau yang biasa disebut butir rusak terdapat sekitar 0,30% ± 0,16 (Lampiran 3) dari 50 g beras pecah kulit yang diamati. Jumlah ini masih memenuhi standar SNI untuk kelas mutu III berdasarkan SNI 1999, yakni maksimum butir kuning sebanyak 1 %. Butir kuning umumnya terjadi pada masa penyimpanan. Suhu
penyimpanan yang tinggi dan lembab mendorong terjadinya proses fermentasi beras menjadi butir kuning (Soetoyo et. al., 1981). Butir rusak ini berpengaruh terhadap penampilan beras giling yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga jual beras. 3. Ukuran dan bentuk gabah dan beras giling Penampakan biji, bentuk, ukuran, berat dan keseragaman biji merupakan faktor-faktor penting dalam industri beras. Berdasarkan ukuran dan bentuk beras dalam standardisasi internasional, dikenal 4 tipe ukuran panjang beras, yaitu biji sangat panjang (extra long grain), biji panjang (long grain), biji sedang (medium grain), dan biji pendek (short grain). Sementara berdasarkan bentuknya yang ditetapkan berdasarkan nisbah panjang per lebar, beras juga dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu lonjong (slender), sedang (medium), agak bulat (bold), dan bulat (round). Perbandingan panjang dan lebar ukuran gabah dan beras giling disajikan pada lampiran 4. Gabah pandan wangi memiliki rata-rata panjang sebesar 8.52 mm ± 0.07. Karena rata-rata panjang gabah pandan wangi lebih besar dari 7,7 mm, pandan wangi dikategorikan ke dalam subspesies javanica (Patiwiri, 2006). Ukuran panjang gabah sangat ditentukan oleh lapisan sekamnya. Semakin panjang gabah, semakin tebal lapisan sekam yang membungkus butiran padi tersebut.
Di
samping itu, beras giling pandan wangi memiliki rata-rata panjang adalah 6,24 mm ± 0,02. Perbandingan panjang dan lebar gabah adalah 2,56 mm ± 0,013, sedangkan beras pandan wangi memiliki rata-rata perbandingan panjang dan lebar adalah 2,44 mm ± 0,22 . Berdasarkan persyaratan USDA, beras giling pandan wangi termasuk kategori beras berukuran sedang (rata-rata 6.226 mm) dan berbentuk agak bulat (rata-rata 2.44).
4. Densitas beras giling Densitas merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam mengukur kualitas beras. Penetapan ini berhubungan dengan gabah berisi atau bernas yang diperlukan dalam menentukan kriteria mutu gabah. Data densitas beras selanjutnya dapat digunakan untuk menduga besarnya rendemen beras giling, jumlah kotoran, benda asing, dan butir hampa. Menurut Bala (1997), densitas dari suatu biji-bijian umumnya ditentukan dengan mengukur bobot sejumlah sampel biji-bijian dalam wadah yang sudah diketahui sebelumnya. Beras giling pandan wangi memiliki bobot 863,2 g dalam 1 L wadah. 5. Derajat putih Hasil pengukuran derajat putih pada beras giling pandan wangi (Lampiran 5) adalah 54,67±0,45. Derajat putih yang dikehendaki pada beras adalah yang mendekati standar BaSO4 yaitu sebesar 87. Warna putih pada beras sangat dipengaruhi oleh proses penyosohan. Beras yang bewarna putih bersih merupakan beras yang telah dipisahkan bekatulnya. Namun, semakin tinggi derajat putih belum tentu derajat sosohnya makin tinggi karena tingkat keputihan beras tidak hanya dipengaruhi tingkat penyosohan tetapi juga sifat genetis varietasnya (Suismono, 2000). 6. Persentase beras kepala, beras patah dan menir Gambar 8 adalah penyajian data mengenai persentase beras kepala, beras patah dan menir dari 200 g gabah yang digiling di laboratorium.
80 70 persentase (%)
60 50
Beras kepala
40
beras patah
30
menir
20 10 0 -10
12
14
15
Kadar air (%BB)
Gambar 8. Rata-rata persentase beras dalam berbagai kadar air Data tersebut dapat menunjukkan bahwa pada kadar air 12 %, rendemen beras kepala menunjukkan hasil yang paling tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa penyimpanan gabah pada kadar air 12 %, akan meningkatkan rendemen beras kepala yang akan diperoleh. Pada kadar air ini aw bahan cukup aman dari serangan mikroba dan serangga yang mungkin merusak struktur gabah sehingga beras kepala yang dihasilkan akan berkurang. Menurut Siebenmorgen dan Meullenet (2003), kekerasan butiran beras akan berkurang dengan meningkatnya kadar air. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Tamaki et al. (1993) yang diacu dalam Siebenmorgen dan Meullenet (2003), beras yang disimpan pada kadar air 12 % butiran beras yang disimpan umumnya lebih keras dibandingkan bila disimpan pada kadar air 14 % atau lebih. Sedangkan pada kadar air 14 % justru komposisi beras patahnya cukup besar dan komposisi beras kepala lebih rendah dibandingkan Meningkatnya persentase beras patah dan menir yang terjadi pada kadar air ideal antara lain disebabkan oleh beberapa faktor antara lain teknik budidaya yang dilakukan. Menurut Nugraha et al. (1982), teknik bercocok tanam yang meliputi pengaturan bibit, jumlah bibit dan jarak tanam akan mempengaruhi pembentukkan anakan.
7. Sudut curah (angle of repose) Berdasarkan hasil pengukuran terhadap 300 g beras pandan wangi giling yang dilakukan sebanyak 10 kali diketahui bahwa sudut curah sampel beras tersebut adalah sebesar 27,6930 ± 1,561. Menurut Peleg dan Barley (1983), sudut curah suatu bahan pangan dapat dijadikan suatu indikator kasar kemudahan mengalir bahan tersebut dalam sistem pengepakan dan penyimpanan. Sudut curah suatu bahan yang
≤350 menandakan bahwa material tersebut termasuk dalam bahan yang mudah mengalir. Oleh karena itu berdasarkan perhitungan yang dilakukan terhadap beras giling pandan wangi termasuk material yang mudah mengalir. Hal ini memungkinkan beras tersebut dikemas dalam berbagai jenis kemasan dengan bobot yang bervariasi. 8. White belly Hasil pengamatan secara visual pada beras pandan wangi diketahui bahwa butir beras pandan wangi memiliki bagian berkapur pada bagian perut. Oleh karena itu jenis pengapuran yang ada pada pandan wangi tergolong jenis white belly. Hal ini ditunjukkan adanya bagian yang bewarna putih (Gambar 10 ).
Gambar 10. Bagian berkapur pada beras pandan wangi Menurut Tashiro dan Ebata (1975), pembentukan chalkiness sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti infeksi oleh penyakit dan kekeringan selama proses pematangan. Hal ini akan mengganggu proses pengisian gabah selama pematangan. Bagian ini akan lebih rapuh dibandingkan butiran yang tidak mengandung white belly sehingga hal
inipun akan menyebabkan butiran beras mudah patah (Khush, et al 1979). Namun demikian, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa munculnya fenomena ini disebabkan oleh faktor genetik beberapa jenis varietas. Pengamatan yang dilakukan terhadap beras pandan wangi dari Kecamatan Warungkondang, Cianjur diketahui bahwa white belly banyak terdapat pada beras yang dipanen pada tahun lalu (2006) dibanding tahun ini (2007). Jumlah butiran beras yang mengandung white belly dari 5 g sampel yang dianalisis pada beras hasil panen tahun 2006 adalah sebanyak 69.15%± 5.78, sedangkan pada tahun 2007 adalah sebesar 52.03 % ± 2.68 (Lampiran 9). Faktor utama yang menyebabkan hal ini terjadi adalah musim kering yang berkepanjangan pada tahun lalu. Akibatnya proses pengisian komponen-komponen pati, seperti amilosa pada gabah terganggu sehingga ada sebagian endosperm yang bewarna putih sedangkan yang lain bewarna bening (des Rosario et al., 1968). Hal ini ditunjukkan pula dengan hasil analisis amilosa pada komponen white belly dan non white belly. Berdasarkan hasil pengukuran dengan spektrometer pada panjang gelombang 625 nm, diperoleh data berikut.
Kategori
non w hite belly (panen 2007) w hite belly (panen 2007) non w hite belly (panen 2006) w hite belly (panen 2006) 0
5
10
15
20
% am ilosa
Gambar 11. Perbandingan kadar amilosa komponen white belly dan non white belly.
Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa amilosa yang terbentuk pada bagian white belly tidak seimbang dengan kadar amilosa yang terdapat pada bagian non white belly. Oleh karena itu, berdasarkan data pengamatan ini keberadaan white belly tidak tepat digunakan sebagai penciri bahwa beras tersebut merupakan beras pandan wangi atau bukan. Akan tetapi hal tersebut justru mengindikasikan adanya gangguan dalam proses
pematangan.
Annissa
(2007),
juga
menunjukkan
adanya
ketidakkonsistenan keberadaan white belly pada pandan wangi yang dicampur dengan beras jenis lain untuk mengidentifikasi kemurnian beras pandan wangi.
C. ANALISIS AMILOSA BERAS PANDAN WANGI 1. Pengukuran pantulan spektrum dengan FTIR
c
b
a
Gambar 12. Spektra FTIR dari (a)white belly, (b) nonwhite belly, dan (c) beras utuh Menurut Smith et al. (1998), spektroskopi inframerah telah banyak digunakan untuk mengamati perubahan dalam struktur pati dalam tingkat
molekuler. Selang yang cukup lebar pada panjang gelombang 3348 cm-1 menunjukkan adanya perengangan gugus –OH pada pati beras. Pada hasil pengamatan pada sampel white belly, non white belly, dan beras utuh menunjukkan bahwa peak tersebut dapat diamati pada panjang gelombang 3400 cm-1. Selang antara 2924 cm-1 menunjukkan adanya peregangan asimetrik dari gugus C-H pada seluruh sampel. Namun, pada bagian white belly terdapat peak lain yang berbeda yaitu pada panjang gelombang 2854 cm-1 sedangkan pada bagian non white belly terdapat peak lain pada 2333 cm-1. Di samping itu pada selang 1461 cm-1 pada ketiga sampel dijumpai adanya perubahan sudut dari ikatan C-H. Ikatan eter C-O ditemukan meregang pada panjang gelombang antara 1159 cm-1 dan ikatan alkohol CO pada panjang gelombang 1019 cm-1. Penentuan kekuatan struktur bagian white belly dan non white belly, serta beras utuh dapat ditentukan dengan membandingkan nilai absorban yang diamati pada panjang gelombang 1047 cm-1 dan 1042 cm-1 (A1047/A1022). (Kazimierezak et al, 2007). Tabel 6. Indeks kristalinitas pati beras pandan wangi pada panjang gelombang 1047 dan 1022 cm-1 Sampel Nilai A1047cm-1 Nilai A1022 cm-1 Rasio A1047/A1022 A
0,763
1,004
0,759
B
1,093
1,046
1,045
C
1,164
1,118
1,041
Keterangan : A=white belly, B=non white belly, C= beras utuh Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa indeks kristalinitas bagian white belly memiliki nilai terendah yaitu 0,759. Menurut Kazimierzek et al (2007), semakin tinggi perbandingan antara nilai (A1047/A1022), semakin kokoh struktur kristal dari pati tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan white belly bukanlah ciri khas pandan wangi melainkan disebabkan karena adanya faktor lingkungan dan genetik yang mengganggu pertumbuhan yang kurang sempurna. Nilai (A1047/A1022) pada beras utuh cenderung mendekati nilai (A1047/A1022) pada bagian non white
belly karena beras utuh sebagian besar terdiri dari bagian yang tidak mengandung white belly. 2. Pengukuran kadar amilosa dengan metode IRRI Pengukuran kadar amilosa dengan metode ini menggunakan proses pewarnaan atau kolorimetri menggunakan iodin yang dilakukan dalam suasana asam. Persamaan garis yang diperoleh dari regresi linear antara konsentrasi dan absorban adalah y= 0.0236x + 0.006, r2= 0.9995. Gambar 13 menunjukkan grakfik kurva standar amilosa yang diperlukan untuk mengukur konsentrasi amilosa pada sampel yang diamati. 0.6 y = 0.0236x + 0.006 R2 = 0.9995
0.5 0.4
Absorban
0.3
Linear (Absorban)
0.2 0.1 0 0
5
10
15
20
25
Ko ns e nt ra s i
Gambar 13. Kurva standar amilosa Berdasarkan hasil yang telah diperoleh kandungan amilosa yang terdapat pada beras giling pandan wangi adalah 24.83%. Menurut kategori yang telah dipaparkan oleh Cruz dan Khush (2000), beras dengan kadar amilosa antara 20-25 % dapat dikategorikan sebagai beras dengan kadar amilosa sedang. Beberapa varietas beras yang tumbuh di wilayah Filipina, Malaysia dan Indonesia memiliki kadar amilosa sedang. Beras dengan kadar amilosa bila dimasak teksturnya akan menjadi lebih lunak dan berair dan tidak mengeras selama didiamkan di tempat terbuka. Menurut Damardjati dan Purwani (1991), kadar amilosa berkorelasi dengan sangat berpengaruh terhadap pemilihan konsumen terhadap beras yang disukainya. Di wilayah Indonesia pada umumnya beras dengan kadar amilosa
yang rendah sampai sedang (≤ 25%) umumnya lebih disukai karena teksturnya yang pulen ketika dimasak.
D. Analisis Uji Stabilitas Pengaruh kemasan yang diuji dengan uji rating dan rangking terhadap beras maupun nasi pandan wangi dapat dilihat pada gambar-gambar berikut. 1. Skor aroma beras dan nasi Penilaian skor aroma beras dapat diuji berdasarkan ada tidaknya aroma khas pandan yang menjadi ciri khas pandan wangi. 4 3.5 3 2.5 plast ik 862
2
plast ik 245 plast ik 458
1.5 1 0.5 0 0
2
4
6
8
10
Keterangan : Plastik 862 = plastik LDPE Plastik 245 = plastik laminasi Plastik 458 = plastik selophan yang dilapis LDPE
P e nyim pa na n m inggu k e -
Gambar 14. Grafik skor aroma beras selama penyimpanan Berdasarkan gambar 14 dan 15, dapat diketahui bahwa selama penyimpanan selama 8 minggu beras yang dikemas ketiga jenis plastik mengalami penurunan tingkat kesukaan untuk parameter aroma baik untuk beras maupun nasi yang dihasilkan. Menurut Damardjati dan Purwani (1991), perubahan aroma ini dapat terjadi karena proses ketengikan minyak yang menghasilkan bau apek dan asam, serta bau fermentasi oleh proses fermentasi gula. Pada minggu ke-8 pengamatan diketahui bahwa plastik LDPE menduduki urutan pertama diikuti dengan plastik selophan dan plastik laminasi. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa beras dan nasi pandan wangi yang telah disimpan dalam plastik LDPE aromanya masih dapat diterima secara organoleptik oleh panelis.
6
skor aroma nasi
5
4
plastik 862 plastik 245
3
plastik 458 2
1
0 0
2
4
6
8
10
Keterangan : Plastik 862 = plastik LDPE Plastik 245 = plastik laminasi Plastik 458 = plastik selophan yang dilapis LDPE
Penyim panan m inggu ke-
Gambar 15. Grafik skor aroma nasi selama penyimpanan 2. Skor warna beras. Penilaian warna dikaitkan dengan warna putih atau tidaknya beras. Hal ini berkaitan dengan proses hidrolisis lemak yang mungkin terjadi selama penyimpanan. Pada gambar 16 terlihat adanya perubahan warna beras selama 8 minggu penyimpanan. 7 6 5 Plastik 862
4
plastik 245
3
plastik 458
2 1 0 0
2
4
6
8
10
Keterangan : Plastik 862 = plastik LDPE Plastik 245 = plastik laminasi Plastik 458 = plastik selophan yang dilapis LDPE
P e nyim pa na n m inggu k e -
Gambar 16. Grafik skor warna beras selama penyimpanan Warna pada beras yang dikemas dengan tiga plastik yang berbeda menunjukkan adanya penurunan kecerahan selama proses penyimpanan. Namun, perubahan warna ini tidak signifikan. Oleh karena itu hal ini perlu didukung dengan pengunaan alat pengukur intensitas warna seperti whiteness meter supaya diperoleh hasil yang lebih akurat. 3. Skor kepulenan nasi Penilaian skor kepulenan dapat diuji berdasarkan keras atau lunaknya nasi sewaktu dicicip. Nasi yang pulen akan memiliki tekstur yang lunak ketika
dikunyah, sedangkan nasi yang pera akan memiliki tekstur yang keras ketika dikunyah. 8 7
skor kepulenan
6 5
plastik 852 plastik 245
4
plastik 458
3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
Keterangan : Plastik 862 = plastik LDPE Plastik 245 = plastik laminasi Plastik 458 = plastik selophan yang dilapis LDPE
Penyim panan m inggu ke-
Gambar 18. Grafik skor kepulenan nasi selama penyimpanan Skor kepulenan yang diamati oleh panelis umumnya menurun selama penyimpanan. Hal ini berarti semakin lama waktu penyimpanan beras, nasi yang dihasilkan akan memiliki tekstur yang keras. Kekerasan nasi ini disebabkan adanya retrodegradasi amilosa. Menurut deMan (1997), jika pasta pati yang didinginkan, pasta tersebut akan membentuk gel sehingga komponen rantai lurus dapat membentuk endapan sferokristal (retrodegrasi). Berdasarkan jenis plastik yang diamati dapat terlihat dari gambar 18 bahwa plastik jenis LDPE memiliki kecenderungan yang lebih baik dalam memberikan perlindungan terhadap beras yang ada sehingga nasi yang dihasilkan lebih pulen dibandingankan beras yang dikemas dengan plastik jenis lainnya. Meskipun LDPE tidak dilaminasi dengan plastik jenis lain ataupun dibungkus dengan plastik jenis lain, penilaian konsumen untuk plastik jenis ini menduduki peringkat pertama. Penggunaan plastik laminasi yang tidak diikuti dengan proses vakum mungkin merupakan salah satu penyebab plastik laminasi kurang dapat memberikan barrier yang baik terhadap transfer gas dan uap air dalam mengemas produk pandan wangi ini.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bertujuan untuk mengamati beberapa parameter fisik, kimia, dan mutu organoleptik. Pengamatan secara fisik antara lain ukuran dan bentuk gabah, persentase kotoran dan butir hampa, persentase butiran rusak, chalkiness, derajat putih, densitas, dan sudut curah. Selain itu dilakukan juga terhadap komposisi amilosa melalui pengamatan dengan teknologi FTIR dan metode IRRI. Hal yang perlu diperhatikan dalam mengamati karakteristik pandan wangi adalah ada tidaknya white belly. Berdasarkan pengamatan, keberadaan white belly tidak lagi dapat menjadi penciri bahwa beras tersebut merupakan
beras
pandan
wangi.
Namun,
hal
tersebut
justru
mengindikasikan adanya gangguan dalam proses pematangan. Oleh karena itu, diperlukan cara lain yang lebih akurat untuk menganalisis keaslian pandan wangi. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi FTIR. Berdasarkan data yang diamati pada ketiga sampel tersebut diketahui bahwa indeks kristalinitas bagian white belly memiliki nilai terendah
yaitu
0,759.
Semakin
tinggi
perbandingan
antara
nilai
(A1047/A1022), semakin kokoh struktur kristal dari pati tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan white belly menunjukkan adanya faktor lingkungan dan genetik yang mengganggu pertumbuhan yang kurang sempurna. Hasil pengujian stabilitas mutu dengan menggunakan tiga jenis kemasanplastik menunjukkan bahwa LDPE mempertahankan mutu beras pandan wangi dibandingkan kedua jenis kemasan lainnya, baik dalam paramter aroma, warna, dan kepulenan. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan plastik jenis laminasi maupun plastik selopan yang dilapisi dengan LDPE tidak diikuti dengan penggunaan sistem vakum. Hal ini menyebabkan adanya peluang adanya perubahan fisiko kimia yang salah satunya ditimbulkan oleh reaksi hidrolisis lemak menghasilkan metabolit sekunder.
B.
SARAN Beberapa hal yang dapat disarankan untuk penelitian lebih lanjut adalah pengamatan proksimat terhadap komponen white belly tidak hanya komponen amilosa saja. Selain itu, dapat dikembangkan lebih lanjut pengamatan pandan wangi, seperti konsistensi gel dan kandungan gizi yang spesifik sehingga dapat meningkatkan kompetensi pandan wangi sebagai produk premium dengan kualitas yang terbaik. Penggunaan plastik untuk mengemas dapat menjadi salah satu alternatif untuk transportasi beras pandan wangi ke daerah-daerah lain. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada berbagai jenis kemasan plastik lain yang terdapat di pasar supaya aroma pandan wangi dapat tetap dipertahankan sampai di tangan konsumen. Eksplorasi komponen amilosa dan amilopektin dari beras pandan wangi perlu dikombinasikan dengan metode NMR selain dengan metode FTIR yang telah dilakukan. Hal ini diharapkan dapat memberikan data yang lebih akurat sehingga selanjutnya dapat digunakan untuk mengetahui keaslian pandan wangi yang ada di pasaran.
DAFTAR PUSTAKA Annissa. 2007. Pengembangan Metode Penentuan Kemurnian Beras Varietas Pandan Wangi Berdasarkan Karakteristik Fisik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Anonim. 2000. Fourier Transform Infrared Spectroscopy. http//www.meeinc.com/ftir.html.[31 Agustus 2006]. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, NL., Sedarnawati, dan Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Bala, BK. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. Science Publisher, New Hampshire. Brody, AL. 1970. Flexible Packaging of Foods. The Chemical Rubbers Co., Claveland. Buckle, KA. , Edwards, RA., Fleet, GH., dan Wooton, M.. 1978. A Course Manual in Food Science. Australian Vice Chancellors Committee. Watson and Ferguson and Co, Brisbane. Buttery, RG, Ling, LC, dan Juliano, BO. 1983. Identification of Rice Aroma Compound 2-acety-1-pyrroline in Pandan Leaves. J. Agriculture Food Chem. 31: 823-826. Cruz, ND dan GS. Kush. 2000. Rice Grain Quality Procedures. Di dalam: GS Kush, RK Singh, dan US Singh (ed). Aromatic Rice. Oxford and IBH Publishing, New Delhi, pp: 16-27. Damardjati, DS, Mudjisihono, G., Suwatryadi, dan Siwi, BH.. 1982. Evaluasi Mutu Beras dalam Hubungannya dengan Keragaman Varietas, sifat fisiko kimia, dan tingkat kematangan biji. Puslitbang Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi. Damardjati, DS dan EY. Purwani. 1991. Mutu Beras. Di dalam: E. Soenarjo, DS. Damardjati, dan M. Syam (ed). Padi Buku 3. BPPP Puslitbangtepa, Bogor,pp: 34-36. deMan, JM. 1997. Kimia Makanan. Terjemahan K. Panduwinata. ITB, Bandung. des Rosario, AR., Briones, VP., Vidal, AJ., dan Juliano, BO.. 1968. Composition and Endosperm Structure of Developing and Mature Rice Kernel. Cereal Chem. 45: 225-235.
Dragunsuki, DC. dan Pawlicka, A.. 2000. Preparation and Characterization of Starch Grafted with Toluene Poly(propylene oxide) Diisocyanate. Material Research 4: 77-81. Juliano, BO. 1973. The Chemical Basis of Rice Grain Quality. Proceedings of The Workshop on : Chemical Aspects of Rice Grain Quality. IRRI. Los Banos, Philipina. Juliano, BO. 1980. Properties of The Rice Caryopsis. Di dalam : BS. Luh (ed). Rice: Production and Utilization. AVI Publishing Company Inc, Connecticut, pp: 98-101. Kazimierezak, J., Ciechanska, D., Wawro, D., dan Giuzinska, K. 2007. Enzymatic Modification of Potato Starch. Fibers and Textile in Eastern Europe 15: 100-104. Khush, GS, Paule, CM. dan de La Cruz, NM.. 1979. Rice Grain Quality Evaluation and Improvement at IRRI. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Chemical Aspects of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos, Filipina, pp: 21-30. Laporan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. 2001. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur, Cianjur. Meilgaard, M., Civille, GV., dan Carr, BT.. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press. New York. Nugraha, US., Subardjo, AS., Damardjati, DS., dan Fagi, AM.. 1982. Pengaruh Teknik Bercocok Tanam Terhadap Mutu Gabah. Risalah Lokakarya Pascapanen Tanaman Pangan, 5-6 April 1982, Cibogo, Bogor. BPPP, Pusbangtepa, Bogor. Partohardjono. 1982. Beberapa Usaha Agronomis Prapanen untuk Meningkatkan Mutu Hasil. Risalah Lokakarya Pascapanen Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Patiwiri, AW. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Peleg, M, dan Barley, EB.. 1983. Physical Properties of Food. Di dalam : M. Peleg (ed). Physical Characteristic of Food Powders. AVI Publishing Company, Inc, Connecticut, pp: 68-71. Poste, LM., Mackie, DA, Butler, G., dan Larmon, E. 1991. Laboratory Method for Sensory Analysis of Food. Research Brance Agriculture Canada Publisher.
Puspitasari. 2001. Produksi dan Perhitungan Kehilangan Hasil Padi Serta Pengujian Terhadap Mutu Fisik Gabah dan Beras di Balai Penelitian Padi Sukamandi. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian, IPB, Bogor. Ramadhan, A. 2002. Pernah Dicoba di Beberapa Daerah, Tapi Hasilnya Tak Memuaskan "Si Uni" Padi Pandanwangi dari Cianjur http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0602/18/0604.htm [31 Agustus 2006]. Siebenmorgen, TJ., Meullenet, J. 2003. Impact of Drying, Storage, and Milling on Rice Quality abd Functionality. Di dalam: Champagne, ET (ed). Rice: Chemistry and Technology 3 rd edition. AACC, Minnesota. pp:312-313. Smith, ALM., Ruhnau, FC., Vliegenthart, JFG, Utrecth, dan van Soest, JJG. 1998. Ageing of Starch Based Systems as Observed with FT-IT and Solid State NMR Spectroscopy. Starch. 11-12: 478-483. Soetoyo, RS, Santosa dan Soemardi. 1981. Hasil Penelitian Padi dan Palawija. Lokakarya Pascapanen Padi dan Palawija. BPTP, Bogor. Suismono. 2000. Respon Konsumen Terhadap Karakteristik Mutu Beras. Makalah. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. (Unpublished). 7 hal. Tamaki, MT. Tahiro, M., Ishidawa, M., dan Ebata, M. 1993. Phsyico-ecological Studies on Quality Formation of Rice Kernel: IV. J. Corp. Sci. 62:540546. Tashiro, T dan Ebata, M.. 1975. Studies On White Belly Rice Kernel. III. Effect of Ripening Condition and Occurrence of White Belly Kernel. Proc. Crop Sci. Soc. Japan 44: 86-92. Webb, BD. 1985. Criteria of Rice Quality in the US. Di dalam : DF Hudson (ed). Rice Chemistry and Technology. Amer Ass. Of Cereal Chemistry Inc, Minnesota, pp: 75-78. Webb, BD. dan Stermer, RA.. 1972. Criteria of Rice Quality. Di dalam : DF Hudson (ed). Rice Chemistry and Technology. Amer Ass. Of Cereal Chemistry Inc, Minnesota, pp: 121-125. Wehling, RL. 2003. Infrared Spectroscopy. Di dalam: S. S. Nielsen (ed). Food Analysis 3rd edition. Kluwer Academic/ Plenum Publishers, New York, pp: 237-239. Winarno, FG. 1981. Padi dan Beras. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan, Bogor. Winarno, FG. dan Jenie, S. L. B. 1984. Kerusakan Bahan Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lampiran 1. Tabel rendemen beras dari bentuk gabah hingga beras giling No. Kering Setelah Setelah Setelah Beras panen pengeringan perontokkan penyosohan Bobot KA Bobot KA Bobot KA Bobot KA Bobot KA (kg) (%) (kg) (%) (kg) (%) (kg) (%) (kg) (%) 1. 10 17,8 7,94 13,7 7,25 6,85 5,6 2. 10 17,8 7,92 14,0 6,90 6,7 5,65 3. 10 17,8 8,00 14,3 7,85 7,3 6,17 Lampiran 2. Tabel persentase butir hampa dan kotoran dari 100 g gabah Ulangan Bobot awal gabah Bobot akhir gabah % butir hampa dan (g) (g) kotoran 1 100.1 99.3 0.79 2 100.1 99.2 0.89 3 100.2 100.1 0.10 Rata-rata 0.59 ± 0,35 Lampiran 3. Tabel persentase butir hijau. butir kuning. dan butir kapur Ulangan 1 2 3
Butir hijau Butir kuning rusak Butir berkapur Bobot % Bobot % Bobot % (g) (g) (g) 0.50 1.01 0.51 1.02 0.09 0.19 0.28 0.56 0.37 0.74 0.27 0.53 0.26 0.52 0.27 0.53 0.09 0.19 0.69±0,22 0.76±0,20 0.30±0,16
Lampiran 4. Pengukuran nisbah panjang per lebar gabah dan beras Pandan Wangi Tabel pengukuran terhadap panjang dan lebar gabah
Panjang (mm)
Lebar (mm)
Nisbah P/L
Ulangan
Ulangan
Ulangan
1
2
1
2
1
2
8.440
8.435
3.200
3.600
2.638
2.343
8.045
8.220
3.400
3.000
2.366
2.740
8.470
8.435
3.000
3.500
2.823
2.410
9.375
8.950
3.000
3.000
3.125
2.983
8.185
8.100
3.500
3.300
2.339
2.455
9.130
8.960
3.200
3.300
2.853
2.715
9.215
9.000
3.500
3.300
2.633
2.727
8.370
8.210
3.500
3.300
2.391
2.488
8.255
8.200
3.300
3.400
2.502
2.411
8.185
8.150
4.000
3.600
8.52 mm ± 0.07
2.046
2.264
2,56 mm ± 0,013
Tabel pengukuran terhadap panjang dan lebar beras giling
Panjang (mm)
Lebar (mm)
Nisbah P/L
Ulangan
Ulangan
Ulangan
1
2
1
2
6.165
6.105
3.000
2.700
2.055
2.261
6.240
6.265
2.350
2.700
2.655
2.320
6.270
6.220
2.350
2.800
2.668
2.221
6.090
6.150
2.450
2.700
2.486
2.277
6.215
6.195
2.350
2.700
2.644
2.294
6.175
6.100
2.400
2.900
2.573
2.103
6.225
6.245
2.250
2.700
2.766
2.313
6.500
6.350
2.350
3.000
2.765
2.116
6.210
6.245
2.350
2.700
2.643
2.657
6.300
6.250
2.300
2.700
2.739
2.315
6.22 mm± 0.02
1
2
2,44 mm ± 0,22
Lampiran 5. Pengukuran derajat putih beras utuh dengan Whiteness meter Ulangan 1 2 3 Rata-rata
Butir beras utuh 54.4 55.3 54.3 54.67 ±0,45
Lampiran 6. Pengukuran persentase beras kepala, beras patah, dan menir Kadar Beras kepala beras patah menir air (%) (%) (%) 12 63.41 7.45 32.99 14 47.56 16.96 36.62 15 54.39 10.98 35.09
Lampiran 7. Pengukuran sudut curah beras Pandan Wangi Ulangan Tinggi (cm) ½ diameter (cm) Arc tan (0) 1. 5 8 32,01 2. 4 7,5 28,07 3. 4 8 26,56 4. 4 8 26,56 5. 4,2 8 27,70 6. 4,2 8 27,70 7. 4 7,5 18,07 8. 4 8 26,56 9. 4,1 8 27,14 10. 4 8 26,56 Rata-rata 27,630± 1,561 Lampiran 8. Perbandingan persentase amilosa pada komponen white belly dan komponen yang tidak mengandung white belly Ulangan
Ulangan
Ulangan
Ulangan
Absorban 1 0.134 2 0.133 3 0.132 Rata-rata
Kadar amilosa (%)
Absorban 1 0.088 2 0.089 3 0.087 Rata-rata
Kadar amilosa (%)
Absorban 1 0.133 2 0.130 3 0.130 Rata-rata
Kadar amilosa (%)
Absorban 1 0.090 2 0.096 3 0.093 Rata-rata
Kadar amilosa (%)
15.48 15.36 15.25 15.36
10.17 10.28 10.05 10.17
Kadar air 13.5 13.4 13.45 Kadar air 13.5 13.4 13.45 Kadar air
15.36 15.02 15.02 15.17
12 12.1 12.05 Kadar air
10.40 11.09 10.74 10.74
12 12.1 12.05
1
2
3
Rata-rata
15.48 10.17
15.36 10.28
15.25 10.05
15.36 10.17
10.4 15.37
11.09 15.02
10.74 15.02
10.17 15.14
non white belly
(panen 2006) white belly (panen 2006) non white belly
(panen 2007) white belly (panen 2007)
Lampiran 9. Persentase jumlah white belly pada beras Pandan Wangi dari 5 g sampel Panen tahun 2006 Panen tahun 2007 Persentase 64.16 % 49.73 % 67.82 % 51.39 % 75.48 % 54.97 % Rata-rata 69.15 % ± 5.78 52.03 % ± 2.68