SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM PENANGANAN ANAK AUTISME DI TAMAN PELATIHAN HARAPAN KOTA MAKASSAR
IMTI AMALIYAH HARUN 21306200
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR MAKASSAR 2015
SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM PENANGANAN ANAK AUTISME DI TAMAN PELATIHAN HARAPAN KOTA MAKASSAR
IMTI AMALIYAH HARUN 21306200
Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR MAKASSAR 2015
ABSTRAK “HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM PENANAGANAN ANAK AUTISME DI TAMAN PELATIHAN HARAPAN KOTA MAKASSAR” (dibimbing oleh Suarni dan Esse Puji Pawenrusi)
IMTI AMALIYAH HARUN Autisme adalah gangguan perkembangan perilaku dengan cakupan yang sangat luas yang mempunyai ciri seperti kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi penderita autisme terus meningkat dan hal ini pula yang terjadi di salah satu terapis yang ada di kota makassar yaitu taman pelatihan harapan yang mana pada tahun 2014 meningkat menjadi 95 jumlah siswa. Peningkatan membuat penulis meneliti hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu dalam penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk diketahuinya hubungan pengetahuan ibu dalam penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar, diketahuinya hubungan sikap ibu dalam penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar dan diketahuinya kemampuan ibu dalam Penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan Cross sectional study dengan teknik pengambilan sampel secara total sampling yaitu jumlah populasi dan sampel sebanyak 95 responden. Hasil menunjukkan dari hubungan pengetahuan ibu dengan penaganan anak autisme diperoleh nilai ρ = 0,012 (ρ <0,05) berarti ada hubungan pengetahuan dengan penanganan anak autisme sementara hubungan sikap ibu dengan penanganan anak autisme diperoleh nilai ρ= 2,529 (ρ >0,05) berarti tidak ada hubungan sikap dengan penanganan anak autisme. Kesimpulan Dari hasil penilitian tentang pengetahuan dan sikap ibu dalam penanganan anak autisme ditaman pelatihan harapan bahwa ada hubungan pengetahuan ibu dengan penanganan anak autisme dan tidak ada hubungan sikap ibu dengan penanganan anak autisme di taman pelatihan harapan kota Makassar, di sarankan bahwa respon untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan sikapnya.
Kata Kunci
: Pengetahuan, Sikap, Ibu, Autisme
Daftar Pustaka : 25 (2002 - 2015)
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan taufiq-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul "Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam Penanganan Anak Autisme Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar". Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan. Istimewa ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ayahanda Drs. Harun Karim dan Ibunda Bangsuhari, S.Pdi Serta Kakanda Basmalah Harun, Ayahtullah Harun Dan Mubarak Harun yang telah penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan nasehat, didikan, dan do’anya yang tak henti-hentinya untuk keberhasilan dan kebahagian penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Esse Puji Pawenrusi, SKM, M.Kes selaku pembimbing I dan ibu Suarni, S.Kep, Ns, M.Kep selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak H. Suradi Efendi, S.Kep, Ns, M.Kes, CWCC dan ibu Andi. Arniyanti, S.Kep, Ns, M.Kes selaku tim penguji. Demikian pula ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada : 1. Bapak A. Endre Cecep Asaad Lantara, SE, Akt. Selaku Ketua Yayasan Pendidikan Makassar. 2. Ibu Esse Puji Pawenrusi, SKM, M.Kes selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Makassar.
3. Ibu Hj. Syamsiah Basri S.Pd, Amd, TW Sebagai Pimpinan Taman Harapan dan Seluruh Staf, Terapis, Orang tua anak penyandang autisme di Taman Harapan Kota Makassar. 4. Bapak H.Suradi Efendi, S.Kep, Ns, M.Kes, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Makassar. 5. Ibu A. Esse Puji Pawenrusi, SKM, M.Kes, selaku penasehat akademik. 6. Ibu Andi Sani Silwanah, selaku pengelola dan staf yang selalu membantu penulis dalam menyelesaikan urusannya. 7. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing dan mengajar penulis selama perkuliahan yang sangat berguna bagi penulis, serta staf akademik yang telah banyak membantu. 8. Buat rekan-rekan mahasiswa S1 Keperawatan dan yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu, kebersamaan bersama kalian takkan terlupakan. Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan ilmu pengetahuan kepada pembaca. Makassar, 13 Mei 2015 Penulis
Imti Amaliyah Harun
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL .............................................................................
i
HALAMAN JUDUL.................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI .........................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................
v
ABSTRAK ................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................
viii
DAFTAR ISI .............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN .................................
xv
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang ....................................................................... B. Rumusan Masalah .................................................................. C. Tujuan Penelitian.................................................................... D. Manfaat Penelitian..................................................................
1 8 8 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
10
A. Tinjauan Umum tentang Autisme .......................................... B. Tinjauan Umum tentang Pengetahuan Ibu terhadap Anak Autisme .................................................................................. C. Tinjauan Umum tentang Sikap Ibu terhadap Anak Autisme .
10
BAB III KERANGKA KONSEP..............................................................
48
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian ..................................... B. Pola Pikir Variabel Penelitian ................................................ C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif ............................ D. Hipotesis Penelitian ................................................................
48 49 49 50
30 43
BAB IV METODE PENELITIAN ...........................................................
51
A. Jenis Penelitian ....................................................................... B. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................. C. Populasi dan Sampel .............................................................. D. Pengumpulan Data ................................................................. E. Pengolahan Data ..................................................................... F. Analisa Data ........................................................................... G. Penyajian Data........................................................................ H. Etika Penelitian ......................................................................
51 51 51 51 52 53 54 54
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
55
A. Hasil Penelitian ...................................................................... B. Pembahasan ............................................................................
55 60
BAB VI PENUTUP ..................................................................................
70
A. Simpulan................................................................................. B. Saran .......................................................................................
70 70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 .........................................................
55
2. Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 .........................................
56
3. Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 ........................................
56
4. Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 .........................................
57
5. Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar 2015 ....................................................................
57
6. Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Penanganan Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 .........................................
58
7. Tabel 7 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Penanganan anak autisme Di Taman Pelatiahn Harapan Kota Makassar Tahun 2015 ..........
58
8. Tabel 8 Hubungan Sikap Responden dengan Penaganan anak autisme Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 .............................
59
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 2
: Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3
: Lembar Kuesioner Penelitian
Lampiran 4
: Master Tabel
Lampiran 5
: Hasil Olah Data SPSS
Lampiran 6
: Surat Izin Penelitian STIK Makassar
Lampiran 7
: Surat Izin Unit Pelaksana Teknis P2T Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Prop. Sul – sel di Makassar.
Lampiran 8
: Surat Izin Badan Kesatuan Dan Politik Prop. Sul – Sel Makassar.
Lampiran 9
: Surat Izin Penelitian Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar.
Lampiran 10 : Daftar Riwayat Hidup
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN Lambang dan Singkatan
Arti
CDC
Centre For Diseasse control and Prevention
BMI
Body Mass Index
MSG
Mono Sodium Glutamat
Cd
Kadminium
Hg
Air Raksa
Pb
Timbal
α
Altha
< atau >
Lebih Kecil atau Lebih Besar
MRR
Mump, Measles, and Rubbella
MRI
Magnetic Resonance Imaging
CATSCAN
Computer Assited Axial Tomography
ICD
International Classification of Diseases
DSM
Diagnostic Statistical Manual
BAB
Aplied Behavior Analysis
SPSS
Statistical Package Service Soluction
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Autisme merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa aspek bagaimana anak melihat dunia dan bagaimana belajar melalui pengalamannya. Anak – anak dengan gangguan autisme biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghidari kontak dengan orang. Orang dianggap sebagai objek (benda) bukan sebagai subjek yang dapat berinteraksi dan berkomunikasi (Hasdianah, 2013). Pada tahun 1867 Hery Maudley (dalam Sutadi, 2003) seorang psikiater pertama di dunia dengan serius mengamati “anak – anak usia muda yang disertai adanya gangguan mental berat, keterlambatan dan distorsi dalam proses perkembangan”. Pada awalnya gangguan yang ditemukannya pada anak – anak tersebut diduga sebagai suatu gejala psikosis pada anak. Pada tahun 1943, Leo Kanner (dalam Sutadi,2003) menulis tentang Autistic Disturbances of Affective Contact dan memberi istilah sebagai infantile autisme yang menerangkan berbagai gejala yang didapat pada masa kanak – kanak dengan menggambarkan kesendirian (menikmati bermain seorang diri), keterlambatan dalam perkembangan bahasa, menghafalkan sesuatu tanpa berpikir, melakukan aktifitas spontan terbatas, stereotip, obsesi terhadap cemas dan takut akan perubahan, kontak mata dan hubungan dengan orang lain. Seringkali bahasa maupun pikiran mereka mengalami kegagalan
sehingga sulit berkomunikasi dan bersosialisasi. Mereka pun kaku untuk mengikuti kegiatan rutinitas sehari – hari pola hidup keluarga. Beberapa anak autisme sejak lahir sudah memperlihatkan perilaku tertentu, namun ada gejala – gejala yang mulai tampak pada usia sekitar 18 – 36 bulan yang secara mendadak
menolak
kehadiran
dalam
berbicara
serta
keterampilan
bersosialisasi. Data dari CDC (Centre for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat pada bulan Maret 2013 menunjukkan peningkatan jumlah anak autisme yang jauh lebih besar yaitu sekitar 60 per 10.000 kelahiran, atau satu diantara 150 penduduk. Bahkan pada beberapa daerah di Amerika angka ini bisa mencapai satu di antara 100 penduduk. Angka sebesar ini dapat dikatakan sebagai “wabah”, sehingga di Amerika autisme telah dinyatakan sebagai national alarming. Dan angka peningkatan penyandang autisme di Amerika ini cukup besar yaitu 10% - 17% per tahun berdasarkan data dari Depertemen Pendidikan dan berbagai sumber lainnya di Amerika sehingga jumlah penyandang autisme di Amerika yang saat ini sebanyak 1,5 juta orang, maka pada dekade berikut diperkirakan akan terdapat sekitar empat juta penyandang autisme, dengan rasio perbandingan lima berbanding satu untuk anak laki – laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentang menyandang sidrom autisme dibandingkan anak perempuan. Di Indonesia belum ada data akurat oleh karena belum adanya pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka diatas. Autisme lebih banyak terjadi pada laki – laki dari pada perempuan, dengan perbandingan 4:1 pada umumnya, autisme
cenderung terdapat pada anak laki – laki, khususnya rentang usia 4-10 tahun. Hal ini juga menjadi fakta di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar. Penyandang autisme berdasarkan data dari Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar pada tahun 2012 terdapat 81 jumlah siswa. Dimana yang penyandang Autisme 72 orang, Tuna Rugu 2 orang, Dwon Sindrome 7 orang, Pada Tahun 2013 terdapat 87 jumlah siswa. Dimana yang penyandang Autisme 80 orang, Tuna Rugu 2 orang, Dwon Sindrome 7 orang. Sedangkan Pada Tahun 2014 terdapat 108 jumlah siswa. Dimana yang penyandang Autisme 95 orang (62 Laki – laki , 33 Perempuan), Tuna Rugu 5 orang (3 Laki – laki, 2 Perempuan), Dwon Sindrome 8 orang (5 laki – laki dan 3 Perempuan). Salah satu faktor penting yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat adalah perilaku masyarakat ini sendiri terhadap kesehatan yang meliputi aspek pengetahun, sikap maupun tindakan sehari – hari. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bakwa perilaku yang didasari oleh pengetahun akan lebih langgeng dari pada perilkau yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo, 2002). Sikap merupakan suatu pandangan tetapi dalam hal itu masih berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan mengenai suatu bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek itu (Purwanto, 1999). Sikap selalu berkesan dengan objek tertentu yaitu sikap pandangan atau perasaan yang memberi kecenderungan pada seseorang untuk bertindak sesuai dengan sikapnya terhadap objek (Gerungan, 1978 dalam Azwar, 1995).
Sikap adalah cara mengkomunikasikan suasana hati (mood) dalam diri sendiri kepada orang lain. Bila merasa
optimistik
dan
memperkirakan
akan
berhasil, hal – hal yang buruk, hali ini biasa menimbulkan sikap negatif (Chapman,1993). Sikap orang tua terhadap autisme sangat penting untuk melakukan penganan lebih lanjut terhadap lebih lanjut terhadap anak autisme. Purwanto (1999) mengemukakan bahwa sikap terbentuk melalui adopsi, deferensi berdasarkan perkembangan intelegensi, pengalaman, pengetahuan, dan usia, integrasi serta trauma. Azwa(1998) mengemukanakan bahwa sikap mempunyai tiga komponen penunjang, salah satunya yaitu komponen kognitif berupa kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Bila kepercayaan terbentuk tertentu maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang untuk mengambil sikap mengenai apa yang diharapkan dari objek tertentu. Kerja sama antara dokter, terapi dan orangtua sangat penting demi kemajuan anak. Orang tua sangat berperan dan dapat melaporkan kecuringan adanya gangguan perilaku. Penolakan kenyataan oleh orang tua dan keluarga karena keterlambatan intervensi (Majriani, 2003). Diyakini bahwa perhatian, cinta kasih dan ungkapan sayang dari orang tua memiliki efek terapeutik tersendiri bagi anak autisme. Dahulu orang berkeyakinan bahwa penyebab autisme adalah karena buruknya pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Walaupun ternyata teori ini tidak dapat dibenarkan, tetapi para psikiatri merekomendasikan bahwa pola pengetahuan orang tua sangat penting bagi anak autisme.
Anak autisme memberikan respon berbeda dalam otaknya saat berhadapan dengan orang lain dan saat berhdapan dengan orang tuanya. Hal ini memberikan keyakinan bahwa ikatan emosional memiliki arti penting dalam masalah perkembangan dan pertumbuhan anak autisme. Keuntungan peran aktif orang tua yaitu mempermudah ruang bagi terapi atau psikiatri untuk mengetahui simptom autisme yang disandang seorang anak secara detail dan orang tua dapat memiliki terapi yang tepat dan akurat untuk memperbaiki gejala pada anak (Wijayakusuma, 2004) Orang tua memilih peran besar dalam membantu kesembuhan anak autisme, sehingga orang tua harus, memperdayakan pengetahuannya mengenai autisme, terutama pengetahuan mengenai terapis yang tepat dan sesuai dengan anak. Hal ini sangat penting karena fasilitas terapi di Indonesia masih sangat terbatas dan ahlinya pun masih langka. Selain itu, orang tua juga perlu menguasai terapi karena orang tua selalu bersama anak, sedangkan pengajar atau terapis hanya sesaat dan saling bergantungan. Berdasarkan pengalaman secara intensif terhadap anaknya, akan memperoleh hasil memuaskan, anak menunjukkan kemajuan pesat dan juga membantu orang tua saat bertemu dan berbicara dengan sesama orang tua anak autisme (Danuatmadja, 2003). Pada keluarga dengan anak penderita autisme, keluarga memilki berbagai pengalaman, respon atau sikap orang tua terhadap anaknya yang mengalami autisme pada awalnya adalah akan mengalami shock dan tidak percaya (menolak) anaknya menderita autisme, kemudian orang tua akan depresi dan bersedih melihat keadaan anaknya, lalu akan masuk ke tahap
berpikir rasional dan optimis. Orang tua manapun tidak mau jika anaknya tidak normal, orang tua akan selalu berusaha agar anaknya bisa normal seperti anak – anak lainnya. Orang tua yang optimis akan mencari informasi mengenai pengebotan dan terapi yang cocok untuk anaknya yang menderita autisme. Setelah itu, orangtua akan menerima keadaan anaknya dan berusaha terlihat penuh dalam pengobatan dan terapi anaknya yang menderita autisme (Danuatmaja, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiyanti disekolah Laboratorium Autisme Universitas Negeri Malang yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan orang tua tentang autisme dengan sikap orangtua dalam mendidik anak autisme yang berupaya studi observasi dengan pendekatan desriptif didapatkan bahwa 12 responden berpengetahuan baik tapi mempunyai sikap mendukung 10 responden berpengetahuan baik tapi mempunyai sikap tidak mendukung 2 orang mempunyai pengetahuan cukup baik dan mempunyai sikap tidak mendukung. Kondisi Latar belakang orang tua yang tidak begitu mengetahui bagaimana pengetahuan dan sikap orang tua yang seharusnya dalam pelaksanaan terapi pada anak autisme akan sangat berpengaruh terhadap penanganan yang akan dilakukan pada anak dengan autisme sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan terapi anak autisme khususnya pada anak yang mengalami gangguan interaksi sosial. Selain itu sikap dan tindakan orang
tua
sangat
(Puspita, 2008).
berpengaruh
terhadap
kemajuan
anak
autisme
Pada wawancara saat pengambilan data awal di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar dengan ibu yang memiliki anak autisme penulis mendapatakan bahwa 7 dari 10 ibu memiliki pengetahuan autisme yang kurang mengenai autisme terutama pengertian autisme, ibu mengatakan autisme adalah penyakit bawaan, dan tidak bisa disembuhkan, dan 7 dari 10 tidak mengetahui tanda dan gejala autisme, keadaan anaknya yang menderita autisme harus diketahui setelah sikap anak dirasa tidak sama dengan anak usia sebayanya sehingga kemudian dikonsulkan ke dokter, demikian juga dengan sikap didapatkan 6 dari 10 orang tua tersebut merasa bahwa autisme yang dialami anak mereka menimbulkan beban dan rasa malu sehingga cenderung menutupi keadaan autisme anak mereka dari orang – orang disekitar tempat mereka tinggal. Berdasarkan fenomena dan latar belakang di atas penulis tertarik melakukan penelitian Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dalam Penanganan anak Autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada hubungan pengetahuan dan sikap
ibu dalam penanganan anak autisme di Taman
Pelatihan Harapan Kota Makassar tahun 2015 C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu dalam penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar.
2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya hubungan pengetahuan ibu dalam penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar. b. Diketahuinya hubungan sikap ibu dalam penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar c. Diketahuinya kemampuan ibu dalam Penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan bagi peneliti selanjutnya dan diharapkan lebih dikembangkan. 2. Manfaat Institusi Hasil penelitian ini diharapkan berfungsi sebagai bahan pertimbangan bagi institusi pendidikan dalam menyusun program pendidikan terutama dalam aplikasi asuhan keperawatan Anak, khususnya pada Anak Autisme. 3. Manfaat Peraktis Hasil penelitian ini diharapkan memberi masukan atau informasi bagi masyarakat bagaimana penanganan anak autisme
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Autisme 1. Pengertian Autisme Autisme berasal dari kata “auto” yang artinya sendiri. Istilah ini dipakai karena mereka yang mengidap gejala autisme seringkali memang terlihat seperti orang yang hidup sendiri. Mereka seolah-olah hidup di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak sosial yang ada disekitarnya. Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan saraf – saraf tertentu yang menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi
tumbuh
kembang,
kemampuan
komunikasi,
dan
kemampuan interaksi sosialnya (Sunu, 2012). Kata autistik diambil dari kata Yunani, autos = aku, yaitu seluruh sikap anak yang mengarah pada dunianya sendiri. Istilah autistik menunjukkan suatu gejala psikologis yang unik dan menonjol, yakni mengacuhkan suara, penglihatan atau kejadian-kejadian yang melibatkan dirinya (Pieter, dkk., 2011) Autisme adalah gangguan perkembangan perilaku dengan cakupan yang luas. Anak mungkin menderita autisme jika menunjukkan gabungan kesulitan-kesulitan seperti interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi ( Sastry, dkk, 2012).
2. Penyebab Autisme Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya autisme berdasarkan beberapa hasil penelitian: a. Faktor Psikologis dan Keluarga Faktor-faktor psikologis yang dapat menyebabkan gangguan autisme adalah ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri yang sebenarnya berbeda dengan orang lain, tidak memiliki percaya diri pada kekuatan dan potensinya, sikap menarik diri dari situasi sosial, pandangan dunia luar yang terlalu sempit, disabilitas kognitif (keterlambatan
kognitif),
kegagalan
dalam
relasi
sosial,
ketidakmampuan berbahasa, rendahnya kosep diri dan perilaku yang tidak lazim (Pieter, dkk, 2011). Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem, 1943) menganggap autisme sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autisme (Joko, 2013). b.
Faktor Biologis 1) Faktor genetik Yaitu keluarga yang terdapat anak autisme memiliki resiko lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal. Hal ini didasarkan pada pewarisan sifat-sifat induk melalui kromosom. Setiap
Manusia normalnya mengandung 46 kromosom, atau dapat dikatakan 23 kromosom dari laki-laki dan 23 kromosom dari perempuan. Sedangkan kromosom manusia yang tidak normal memiliki 45 atau 47 buah kromosom. Kromosom yang tidak normal inilah yang membawa sifat keturunan gangguan mental. Kromosom sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kromosom sek yang terdiri dari satu pasang kromosom yang menentukan jenis kelamin, dan kromosom otomos yang merupakan kromosom pasangan pertama sampai pasangan ke-22 yang mewarisi sifat-sifat induknya seperti bentuk badan, warna kulit, intelegensi, bakat-bakat khusus dan juga gangguan mental (Hasdianah, 2013). Menurut para peneliti, faktor genetik memegang peranan kuat sebagai penyebab autisme karena manusia banyak mengalami mutasi genetik akibat dari cara hidup yang semakin “modern” seperti penggunaan zat kimia dalam kehidupan seharihari, dan faktor udara yang
semakin terpolusi (Hasdianah,
2013). Hasil penelitian lain menemukan bahwa gangguan autisme lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, yakni sekitar 3-5 lebih banyak pada anak laki-laki. Namun tingkat keparahannya lebih banyak terjadi pada anak perempuan, apalagi jika memiliki riwayat keluarga autisme. Sementara penelitian Cook (2001) menemukan bahwa
gangguan autisme memiliki komponen genetik dari keluarga yang memiliki anak autisme berkisar 3-5%. Hasil penelitian pada anak kembar ternyata ditemukan bahwa adanya kesesuaian gen gangguan autisme pada anak kembar monozigotik dengan angka kontribusi diperkirakan sekitar 36% (Pieter, dkk., 2011). 2) Pre Natal Beberapa faktor yang dapat memicu munculnya autisme pada masa kehamilan terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan oleh polutan logam berat (Pb, Hg, Cd, Al), infeksi (toksoplasma, rubella, candida, dan sebagainya), zat adatif (pengawet dan pewarna), hiperemesis (muntah-muntah berat), perdarahan berat, dan alergi berat (Sunu, 2012). a)
Lama masa kehamilan Penelitian yang dilakukan Tommy Movsas dari Michigan State University menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur (sebelum usia kandungan cukup bulan) mempunyai risiko tinggi mengidap autisme. Demikian juga jika lahirnya lebih lama dari masa kehamilan normal, risiko mengidap autisme juga sama tinggi (Hasdianah, 2013). Usia kehamilan normal pada ibu hamil yaitu 37-42 minggu, Sedangkan kehamilan yang lebih dari 42 minggu
disebut
sebagai
kehamilan
lewat
waktu
(postterm), dan disebut kehamilan preterm jika usia
kehamilan kurang dari 37 minggu. Biasanya bayi yang lahir prematur akan mudah terserang penyakit, yaitu penyakit kuning. Disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Hal ini berdampak pada bayi dimana kekebalan tubuh bayi masih lemah karena
fungsi
organ
tubuhnya
belum
terbentuk
sempurna, sehingga perkembangan bayi terganggu ( Hasdianah, 2013). b) Obesitas Menurut Paula Krakowiak, epidemiolog dari UC Davis MIND Institute, penelitian terbaru yang dilakukan para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC Davis MIND Institute menemukan bahwa ibu yang obesitas beresiko 67% lebih besar melahirkan anak yang menyandang autisme (Solikhah, 2011). Menurut dr. Suririnah, bahwa selama kehamilan, ibu hamil perlu untuk bertambah berat badan. Berat badan wanita hamil akan mengalami kenaikan sekitar 6,5-16,5 kg. Metode yang biasa digunakan adalah BMI (Body Mass Index). Kenaikan berat badan terlalu banyak ditemukan pada kasus preeklampsi dan eklampsi. Hal ini berhubungan dengan hipertensi pada kehamilan yang dapat dengan cepat menimbulkan oliguria dan disfungsi
ginjal. Sehingga prognosis pada bayi dan ibunya menjadi serius ( Solikhah, 2011). c) Diabetes Selain obesitas, hasil penelitian para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC Davis MIND Institue juga menemukan bahwa penderita diabetes berisiko 2,3 kali lebih
besar
memiliki
anak
dengan
gangguan
perkembangan dibandingkan ibu dengan kondisi sehat. Namun, proporsi ibu dengan diabetes yang memiliki anak autisme lebih tinggi daripada ibu yang sehat, meski secara statistik tidak terlalu signifikan. Studi ini juga menemukan, anak autisme dari ibu penderita diabetes lebih
mungkin
mengalami
kecacatan
(rendahnya
pemahaman bahasa dan komunikasi) dari pada anak autisme yang lahir dari ibu yang sehat. Namun, anakanak tanpa autisme yang lahir dari ibu penderita diabetes juga rentang mengalami gangguan sosialisasi jika dibandingkan dengan anak tanpa autisme dari ibu yang sehat ( Joko, 2013). Menurut peneliti, pada ibu penderita diabetes dan kemungkinan kondisi pra-diabetes di masa kehamilan, pengaturan glukosa menjadi sulit diatur sehingga meningkatkan produksi insulin pada janin. Produksi insulin yang tinggi membuat kebutuhan akan oksigen
menjadi lebih besar, akibatnya suplai oksigen bagi janin menjadi berkurang ( Joko, 2013). Kejadian diabetes pada ibu hamil bisa didapat saat hamil atau sebelumnya memang memiliki kadar gula yang tinggi (Solikhah, 2011). Beberapa pengaruh penyakit diabetes terhadap janin atau bayi: (1) Bayi berisiko mengalami kelainan jiwa (2) Bayi berisiko mengidap penyakit gula (3) Bayi berisiko mengalami cacat bawaan (4) Kematian janin dalam rahim (> ke-36) dan lahir mati (5) Bayi dengan dismaturitas (Solikhah, 2011). d) Perdarahan selama masa kehamilan Perdarahan selama kehamilan sering bersumber dari placenta complication yang menyebabkan gangguan perkembangan otak. Perdarahan pada awal kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan memiliki berat bayi yang rendah, dimana kondisi ini sangat rentang terjadinya autisme. Dalam periode neonatus, anak autisme mempunyai insiden yang tinggi untuk mengalami sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa komplikasi yang timbul pada neonatus mempengaruhi
kondisi fisik bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah pada otak dan oksigen ke seluruh tubuh. Dan organ yang paling sensitif terkena autisme adalah otak (Pieter, dkk., 2011). Pada awal kehamilan, perdarahan abnormal adalah merah, banyak atau perdarahan dengan rasa nyeri Sedangkan, pada kehamilan lanjut perdarahan yang berbahaya antara 24-28 minggu. Hal ini dikarenakan sifat perdarahan yang cepat dan banyak yang berasal dari gangguan pada plasenta. Apabila diagnosa klinik dapat ditegakkan, itu berarti perdarahan telah terjadi sekurangkurangnya 500 ml. e) Usia orang tua saat hamil Menurut Alycia Halladay,2010. Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks, makin tua usia orang tua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen ( Admin, dkk, 2006 ). Terlalu tua untuk hamil (usia diatas 35 tahun) bisa jadi berakibat pada persalinan, yaitu persalinan memakan
waktu cukup lama, disertai perdarahan dan risiko cacat bawaan. Sedangkan hamil di bawah usia 20 tahun bisa berakibat kesulitan dalam melahirkan dan keracunan saat hamil ( Hasdianah, 2013). 3) Zat-zat aditif yang mencemari otak anak Menurut Sunu, beberapa faktor yang berpotensi menjadi penyebab autisme pada anak antara lain seperti: a)
Asupan MSG (Mono Sodium Glutamat)
b) Protein tepung terigu (gluten), dan protein susu sapi (kasein) c)
Zat perwarna
d) Bahan pengawet e)
Polutan logam berat. Dari hasil tes pada darah dan rambut beberapa anak autisme ditemukan kandungan logam berat dan beracun seperti arsenik, antimoni, kadmium (Cd), air raksa (Hg), atau timbal (Pb). Diduga kemampuan
tubuh
anak
autisme
tidak
mampu
melakukan sekresi terhadap logam berat akibat masalah yang sifatnya genetis. f)
Bahkan beberapa ahli juga berpendapat bahwa jenis imunisasi seperti MRR (Mump, Measles, and Rubbella) dan hepatitis B pada bayi dapat juga menjadi pemicu munculnya autisme, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan (Sunu, 2012). Selama ini pemberian vaksin
kombinasi three in one, yakni vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR) dan vaksin hepatitis B masih dianggap sebagai vaksin penyelamat manusia. Akan tetapi, dari data-data patologis ditemukan bahwa vaksin MMR juga dianggap bisa memberikan kontribusi pada pembentukan
autisme.
Diperkirakan
vaksin
ini
mengandung zat pengawet (Pieter, dkk., 2011). 4) Neurobiologis Dari data prevalensi menunjukkan bahwa tiga dari empat penderita autisme memiliki kecenderungan retradasi mental dengan tingkat estimasi antara 30%-70%, sehingga penderita autisme memperlihatkan abnormalitas neurobiologis, seperti kekakuan gerakan tubuh dan cara berjalan yang abnormal. Hasil CATSCAN (Computer Assisted Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) menemukan adanya abnormalitas cerebellum pada penderita autisme. Penemuan ini diperkuat oleh penelitian Courchesne (1991) yang menemukan adanya keterkaitan abnormalitas otak bagian cerebellum terhadap gangguan autisme ( Pieter, dkk., 2011 ). 5) Gangguan sistem pencernaan Kurangnya enzim sekretin diketahui berhubungan dengan munculnya gejala autisme. Kasus semacam ini ditemukan pada seorang penderita autisme bernama Parker Back pada tahun 1997. Selain itu, hasil pemeriksaan usus anak-anak
yang mengalami autisme ditemukan adanya peradangan. Dari hasil penelitian, peradangan ini diketahui disebabkan oleh virus campak (Sunu, 2012). f. Faktor Sosio Kultural Yaitu faktor yang berlangsung dalam lingkungan hidup (kehidupan sosial). Faktor ini mempunyai daya dorong terhadap perkembangan kepribadian anak. Faktor sosio kultural ini juga meliputi objek dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat tekanan pada individu sehingga melahirkan berbagai gangguan, seperti suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi kekerasan, menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, politik, dan sebagainya, perubahan sosial dan IPTEK yang sangat cepat (Jurnal: Setyawan, 2012). 3. Ciri-Ciri Autis a.
Gangguan pada Kognitif Dalam bidang kognitif, mereka masih mempunyai ingatan yang cukup baik, namun kurang memiliki fantasi atau imajinasi sehingga memiliki sifat ketidaktertarikan yang kompleks baik kepada orang, karakter khayalan, binatang, ataupun peran orang dewasa.
b.
Gangguan pada Bidang Interaksi Sosial Anak autisme sering memperlihatkan kurangnya respons sosial dan gagal membentuk ikatan sosial sekalipun sudah terbiasa bergaul dengan
pengasuhnya.
Orang-orang
disekitarnya
kerap
kali
dimanifestasikan sebagai objek pencapaian kebutuhannya. Akibatnya anak autisme kurang memiliki respon sosial ketika dia terluka, sakit atau kelelahan, sehingga mereka sama sekali tidak mencari atau membutuhkan orang lain untuk mendapatkan pertolongan. c.
Gangguan Bidang Komunikasi Sejak dilahirkan, anak autisme memiliki kontak sosial yang sangat terbatas. Perhatian mereka hampir tidak ada, terfokus kepada orang lain, melainkan pada benda-benda mati yang disertai dengan taktil kenestesis, yakni gerakan yang dilakukan bersamaan dengan nafsu meraba-raba dirinya sendiri.
d.
Gangguan dalam Persepsi Sensoris Gangguan ini ditandai dengan perilaku mencium-cium, menggigitgigit mainan atau benda-benda, dan bila mendengarkan suara yang baru, mereka langsung menutup telinganya. Anak autisme juga tidak menyukai rabaan dan pelukan.
e.
Gangguan dalam Perilaku Gangguan perilaku pada anak autisme ditandai dengan perilaku yang berlebihan (excessive) dan perilaku yang sangat kurang (defisit), seperti impulsif, repetitif, dan pada waktu tertentu dia akan merasa terkesan dan melakukan permainan yang monoton. Hal ini diakibatkan pola kelekatan terhadap benda-benda tertentu.
f.
Gangguan dalam Bidang Perasaan Gangguan dalam bidang perasaan ditandai dengan kurangnya ras empati (kurang mampu berbagi perasaan), tidak memiliki simpati,
toleransi yang sangat rendah, misal tertawa, menangis, marah atau mengamuk (temper tantrum) tanpa sebab dan sulit dikendalikan, terutama apabila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, maka perilaku agresi atau merusaknya sulit dikontrol. Apalagi jika perubahan rutinitas hariannya terganggu, maka dia sering mengalami distress (Pieter, dkk., 2011). 4. Klasifikasi Autisme Menurut Yatim (2002), klasifikasi anak autisme dikelompokkan menjadi tiga, antar lain: a. Autisme Persepsi Dianggap autisme yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh. b. Autisme Reaksi Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orang tua meninggal, sakit berat, pindah rumah atau sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan memumculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang disertai kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6 sampai 7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis. c. Autisme yang timbul kemudian
Terjadi setelah anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat (Pertiwi, 2013). 5. Gejala Autisme Gejala-gejala pada penyandang autisme bervariasi, bisa ringan maupun berat. Gejala tersebut antara lain: a.
Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
b.
Selalu diam sepanjang waktu
c.
Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh ia akan mengucapkan atau menceritakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyendiri lagi
d.
Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan
yang
bermacam-macam,
serta
tidak
menyenangi
sekelilingnya e.
Tidak tampak ceria
f.
Tidak peduli terhadap sekelilingnya, kecuali pada benda yang disukainya (Delphie, 2006). Untuk menegakkan sebuah diagnosa bahwa seorang anak mengidap autisme, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Selama
ini panduan yang dipakai oleh para dokter, psikiater, atau psikolog biasanya merujuk pada ICD-10 (International Classification of Diseases)
1993,
atau
menggunakan
rumus
dalam
DSM-IV
(Diagnostic Statistical Manual) 1994 yang disusun oleh kelompok Psikiatri di Amerika Serikat sebagai panduan untuk menegakkan diagnosa. Pada
dasarnya
diagnosa
autisme
yang ditegakkan
berdasarkan ICD-10 atau DSM-IV menunjukkan kriteria yang sama (Sunu, 2012). 6. Penanganan Pada Anak Autisme Menurut Mirza Maulana dalam bukunya “Anak Autisme” penanganan Autisme mencakup 2 hal yaitu penanganan dini dan penanganan terpadu. a.
Pola penanganan anak penderita autisme (1) Intervensi Dini Autisme memang merupakan gangguan neurologis yang menetap. Gejala tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku. Gangguan neurologis tidak bisa diobati, tetapi gejala – gejala bisa dihilangkan atau dikurangi, sampai awam tidak lagi bisa membedakan mana anak non autisme, dan mana anak autisme. Semakin dini terdiagnosis dan terinteraksi, semakin besar kesempatan untuk “sembuh”. Penyandang Autisme dinyatakan sembuh bila gejala tidak kentara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakaat luas. Intervensi ini bisa dilakukan dengan
berbagai cara, yang penting berusaha merangsang anak secara intensif sedini mungkin agar ia mampu keluar dari dunia sendiri. (2) Dibantu Terapi di Rumah Salah satu metode intervensi dini yang banyak diterapkan di Indonesia adalah medifikasi perilaku atau lebih dikenal BAB (aplied behavior analysis), yang ditemukan psikolog amerika O.Ivar Lovas di tahun 1964. Penatalaksanaannya dilakukan 4 – 8 jam perhari. Melalui metode ini, anak dilatih melakukan berbagai macam keterampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat. Misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa, dll. Namun yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri (misalnya memaksakan kehendak) menjadi
perilaku
yang
lazim
dan
diterima
masyarakat.
Maklumlah,bila latihan ini tidak dijalankan secara konsisten, maka perilaku itu akan sulit diubah. Bila sudah dewasa nanti anak seperti itu acapkali akan dikatakan kurang mengenal sopansantun. Namun yang pertama – tamaa perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seanaknya sendiri menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Kelebihan metode intervensi ini ialah pendekatanya yang sistematis, struktur dan terukur pada penyandang autisme untuk mengetahui ketidakmampuan.
(3) Masuk Kelompok Khusus Biasanya setelah 1 – 2 tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk ke kelompok kecil, bahkan ada yang siap masuk ke kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk kelompok bermain, bisa diikutsertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapatkan kurikulum yang khusus dirancang secara individual. Di sini pula anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan berbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapi wicara, terapi okopasi dan ortopedagong. b.
Penanganan terpadu
c.
Berbagai jenis yang harus dijalankan secara terpadu mencakup : (1) Terapi Medikamentosa Adalah terapi yang diberikan pada anak autisme berupa obat – obatan seperti vitamin, obat khusus, mineral, food, suplement. Terapi ini diberikan guna mempercepat penyembuhan anak. Obat – obatan ini sifatnya individual dan perlu kehati – hatian dalam memberikannya, sebab reaksi anak pada obat berbeda – beda dan mempunyai ketahanan yang berbeda pula. (2) Terapi Wicara Adalah terapi yang diberikan pada anak autisme untuk membantu belajar berbicara. Karena semua penyandang autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan dalam berbicara. Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme, berbeda dengan anak
lain. Tetapi ini berjudul untuk mengajarkan atau mengajarkan atau memperbaiki kemampuan komunikasi verbal dengan baik dan fungsional. (3) Terapi Perilaku Terapi Perilaku berupa untuk melakukan perubahan pada anak autisme, dan dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku kekurangan, terapi perilaku yang di kenal di dunia adalah Applied Behavior Abalysis. ABA merupakan terapi gentak untuk memperbaiki perilaku anak autisme yang sering menyimpang. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah bersuara keras saat memberikan perintah pada anak. Kalau anak tidak mau melakukan apa yang di perintahkan, maka harus mengagetkan mereka, “kata dr Irawan dalam seminar yang di selenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia. Berbagai jenis terapi perilaku sangat penting untuk membantu
para
penyandang
autisme
untuk
lebih
bisa
menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bukan saja gurunya yang harus melakukan terapi perlakuan pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di harus bersikap sama dan koesisten dalam menghadapi penyandang autisme.. (4) Pendidikan Khusus Adalah pendidikan individual yang terstruktur bagi para penyandang autisme. Pada pendidikan ini diterapkan sistem satu guru untuk satu anak, sistem ini paling efektif karena mereka tak
mungkin dapat memuaskan perhatiannya dalam satu kelas yang besar. Banyak orang yang tetap memasukkan anaknya ke kelompok bermain atau kelas normal, dengan harapan bahwa anaknya bisa belajar bersosialisasi. Untuk penyandang autisme yang ringan hal ini bisa dilakukan, namun ia harus tetap mendapatkan pendidikan khusus. Untuk penyandang autisme sedang atau berat sebaiknya diberikan pendidikan individual dahulu, setelah mengalami kemajuan secara bertahap ia bisa dicoba dimasukkan kedalam kelas dengan kelompok kecil, misalnya 2 – 5 anak per kelas. Setelah lebih maju lagi, baru anak dicoba dimasukkan ke kelompok bermain atau kelas normal. Namun sebaliknya, jenis terapi yang lain terus dilanjutkan. (5) Terapi Okupasi Terapi Okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari rehabilitasi medis. Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorok dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi
dan menginhibisi lingkungan,
sehingga tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kemampuan anak. Sebagai
anak
autisme
mempunyai
perkembangan
mempunyai perkembanagn motorik yang kurang baik, oleh karena itu anak autisme perlu diberikan bantuan okupasi, untuk
membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan membuat otot halusnya bisa terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting dikuatkan dan dilatih agar anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya ( Maulana, 2007). B. Tinjauan Tentang Pengetahuan ibu terhadap anak autisme Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengetahuan berasal dari kata “tahu” yang berarti mengerti setelah melihat, menyaksikan atau setelah mengalami, sedangkan kata pengetahuan itu sendiri berarti segala sesuatu yang diketahui. Pengetahuan adalah apa yang diketahui tentang alam lingkungan sekitar. Pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar, menerima informasi dan melalui pengalaman. Manusia berinteraksi dengan lingkungan guna
memenuhi
kebutuhan
hidupnya.
Dalam
berinteraksi
manusia
memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman mereka terhadap lingkungan mereka. Menurut “Bloom” pengetahuan adalah hal penginderaan manusia atau hal tahu seseorang terhadap sesuatu melalui indra yang dimilikinya. pengetahuan sebagai segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia. (Notoatmodjo, 2003) Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti sesudah melihat dan menyaksikan,
mengalami
atau
diajar.
Selanjutnya
Bloom
dalam
(Notoatmodjo.2003) mengatakan bahwa kemampuan dan pendidikan terdiri dari tiga rana yaitu, Rana Kognitif (peri cipta), rana Afektif (peri aktif), dan
Rana Psychomotor (peri tindak). Rana Kognitif yaitu ingatan dan kepercayaan, Rana Afektif yaitu perasaan, emosi, tingkat penerimaan atau penolakan, Rana Psychomotor yaitu hal-hal yang menyangkut keterampilan fisik. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengetahuan itu berupa simbol-simbol variabel, atribut, sifat, fakta yang dapat diingat dan dikenal kembali dengan pengetahuan seseorang maupun memberikan fakta - fakta dengan cara mengingat dan mengenali kembali ide-ide dan fenomena sebagai dampak proses pendidikan. Secara garis besarnya pengetahuan dibagi dalam 6 tingkatan yaitu tahu (know),
memahami
(comprehension),
aplikasi
(application),
analisis
(Analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation). Keenam jenjang itu adalah: 1.
Mengetahui, kemampuan mengetahui merupakan kemampuan mengingat sesuatu yang telah dipelajari,didengar atau dialami sebelumnya termasuk mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik, misalnya mengingat tentang istilah-istilah, rumus-rumus, hukum-hukum, faktafakta dan sebagainya, termasuk pula tatacara urutan langkah-langkah untuk dapat mengetahui sesuatu misalnya dalam suatu proses inkuri.
2.
Memahami, kemampuan memahami dapat diartikan sebagai kemampuan untuk dapat menerima pesan dari luar dalam suatu proses komunikasi, serta dapat menjelaskan dan menginterpretasikan secara benar tentang objek atau materi yang diketahui. Kemampuan memahami meliputi kemampuan menterjemahkan, menafsirkan, meramalkan atas dasar
ekstrapolasi, dapat memberi contoh, dapat menjelaskan, membuat rangkuman. 3.
Menerapkan, kemampuan aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan dapat menggunakan atau menerapkan konsep atau pemahaman yang ia miliki ke dalam situasi baru atau kondisi yang riil (sebenarnya).
4.
Menganalisis. kemampuan analisis dapat diartikan sebagai kemampuan untuk dapat menguraikan suatu hubungan pengertian atau mampu menjabarkan suatu objek kedalam komponen – komponen yang masih ada kaitannya satu sama lain. Misalnya suatu karangan. gambar bagan organisasi. menjadi komponen-komponen pembentuknya. Termasuk juga kemampuan analisis adalah kemampuan untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara komponen satu terhadap komponen lainnya.
5.
Mensintesis, kemampuan sintesis dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk yang laindan dapat menyusun suatu bangunan pengertian yang kompleks dari komponen-komponennya.
6.
Mengevaluasi, kemampuan evaluasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek dan dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian suatu objek (misalnya : bahan ajar, kurikulum, metode, media), baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Berdasarkan pengertian dan uraian pengetahuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah segenap apa yang diketahui dan mampu diingat setiap orang setelah melihat, mendengar
ataupun mengalami terhadap suatu objek yang melibatkan simbol-simbol variabel. atribut, sifat, hubungan dan fakta yang dapat diingat dan dikenal kembali yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pengalaman. Pemahaman tentang autisme adalah perilaku individu yang banyak dipengaruhi oleh faktor pengetahuan. Pemahaman tentang autisme merupakan
pengetahuan
yang
mencakup
segala
informasi
yang
berhubungan dengan gangguan pada anak dalam perilaku, bahasa, dan sosialisasi yang perlu diketahui oleh orang tua. Peran orang tua dalam penyembuhan anak penderita autisme sangatlah penting. Selain harus melakukan pengobatan secara medis, orang tua juga dituntut bijak dan sabar menghadapi kondisi anak. Sebagian besar karena orang tua tidak bijak dan sabar menghadapi kondisi anak. Sebagian besar karena orang tua tidak paham dengan penyakit anaknya. Mereka hanya mengandalkan terapi tanpa berusaha mencari tahu berbagai hal yang baik dan yang buruk selama proses penyembuhan ( Singgih, 2007). Sangat perlu dipahami oleh para orang tua bahwa terapi harus dimulai sedini mungkin sebelum susia 5 tahun. Perkembangan paling pesat dari otak manusia terjadi pada usia 2-3 tahun. Oleh karena itu penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lambat ( Y. Handoyo, 2009). Faktor utama kesembuhan anak sangat dipengaruhi peran orang tua. Orang tua anak penderita autisme dituntut lebih banyak tahu dan lebih bersahabat dengan anak. Cara ini bisa mempercepat proses penyembuhan (Singgih, 2007).
Peran orang tua dalam penyembuhan anak penderita autisme sangatlah penting. Ibu sebagai salah satu dari orang tua anak autisme sangat berberan penting dalam mengetahui perkembangan anak. Hal ini berkaitan dengan sikap penerimaan ibu terhadap anak autisme yang ditunjukkan dalam perilaku menghadapi anak autisme. Sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai langkah lanjutan pengertian yaitu berarti dengan segala kelemahan, kekurangan, dan kelebihanya ia seharusnya mendapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya (Singgih, 2007) Penerimaan ibu terhadap anak autisme memerlukan pengetahuan yang luas tentang autisme, sehingga ibu akan memahami arti dari autisme yang sebenarnya. Sesuai dengan pemahaman seorang ibu, maka ibu akan menerima kondisi anak dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan memahami perkembangan anak sejak dini. Jadi pemahaman tentang autisme terhadap penerimaan ibu yang mempunyai anak autisme perlu dan penting. Anak “special needs” atau anak dengan kebutuhan khusus termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya. Perilaku anak-anak ini yang terdiri dari wicara dan okupasi tidak berembang seperti anak-anak pada umumnya. Padahal perilaku ini penting untuk komunikasi dan sosialisasi. Sehingga bila hambatan ini tidak diatasi dengan cepat dan tepat maka proses belajar anak-anak tersebut juga akan terhambat. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan deteksi sedini mungkin bagi anak-anak ini.
Apabila orang tua sudah melakukan deteksi dini maka diharapkan para orang tua tersebut melakukan intervensi secara dini pula dengan metode yang ada saat ini, diantaranya adalah dengan menggunakan metode Lovaas atau ABA (Applied Behavioral Analysis). Metode ini dipilih karena beberapa alasan, antara lain karena metode ini sangat terstruktur sehingga dengan mudah dapat diajarkan kepada terapis yang akan menangani anak autisme. Program terapi anak-anak ini bukan suatu program yang singkat. Dibutuhkan waktu cukup lama yaitu kurang lebih 2-3 tahun sehingga seluruh keluarga yang terlibat harus termotivasi dengan baik dan menyediakan waktu secara sukarela. Semua yang terlibat harus menyadari sepenuhnya tentang apa, mengapa, dan bagaimana autisme itu ditangani. Mereka harus menangani anak mulai dari anak bangun sampai anak tidur, karena anak-anak ini tidak boleh sendiri dan harus ditemani secara interaktif. Hanya dengan demikian kita dapat mengisi kekurangan perilakunya dan meminimalkan gejala gangguan perilakunya, serta menjadikan “normal” kembali. Secara akademik materi dalam metode ini telah mencakup perilaku, sosialisasi, dan akademik sebagai persiapan masuk ke sekolah reguler. Jadi apabila anak mampu menguasai seluruh materi dari dasar, intermediate, dan advanced dari metode tersebut, maka anak siap masuk sekolah reguler. Tetapi bukan berarti tugas orang tua selesai. Mereka tetap perlu dipantau dan diberi arahan menghadapi lingkungan baru.
Sekali lagi sangat perlu dipahami oleh para orang tua bahwa terapi harus dimulai sedini mungkin sebelum usia 5 tahun. Perkembangan paling pesat dari otak manusia terjadi pada usia sebelum usia 5 tahun. Puncaknya terjadi pada usia 2-3 tahun. Oleh karena itu penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lambat. Sekalipun demikian tidak ada pilihan lain, anak usia lebih dari 5 tahun tetap perlu diterapi perilakunya (Singgih, 2007). Intensitas waktu yang ideal adalah 40 jam dalam seminggu. Jadi rata-rata 8 jam sehari. Tetapi untuk mencapai hasil yang maksimal anak harus ditangani selama anak bangun. Persyaratan ini sangat berat untuk siapapun. Oleh karena itu tidak mungkin terapi anak hanya dilakukan oleh satu orang saja. Jadi disamping terapi di sekolah khusus maka penanganan di rumah justru lebih lama. Untuk ini diperlakukan suatu kerja sama yang baik dan terkoordiinasi serta dipantau secara intensif agar seluruh program dapat berjalan dengan lancar dan tidak buang waktu. Banyak orang tua anak dengan kebutuhan khusus ini menyerahkan penanganan anaknya pasrah penuh pada institusi terapi atau sekolah khusus. Mereka tidak mau tahu lagi dengan urusan pendidikan anaknya. Mereka hanya menyediakan biaya dan pra-sarananya saja. Tetapi banyak juga mereka selalu ingin mencampuri proses terapi yang sedang berlangsung, sehingga anak-anak ini terdistraksi (teralih) konsentrasi dan perhatiannya dari materi. Kelancaran proses terapi menjadi sangat
terganggu bahkan terhenti. Kedua sikap ekstrem ini sangat merugikan dan menghambat kemajuan terapi. Penanganan anak autisme memerlukan waktu yang lama, bahkan bisa long life, sangat membutuhkan peranan dan partisipasi aktif dari para orang tua anak. Kemudian yang perlu diatur adalah waktu setiap harinya. Waktu sangat penting dan berharga terutama bagi anak yang masih kecil. Jangan ada hari terlewati tanpa interaksi dengan anak. Artinya jangan seharipun anak dibiarkan main sendiri atau dibiarkan menonton TV sendiri sehingga para orang tua dan dewasa dapat bersantai dengan bebas. Oleh karena itu para orang tua sebaiknya juga mengetahui apa yang harus diberikan kepada anaknya dan bagaimana kemampuan anaknya dalam menyerap materi yang diajarkan ( Y. Handoyo, 2009). Peran orang tua dalam pendidikan anak autisme lanjut sangat penting. Pertama adalah pekerjaan rumah, kedua generalisasi yaitu mentranfer kegiatan yang dipelajari di sekolah ke tempat lain. Hal ini membutuhkan peran dari orang tua. Juga mengenai sosialisasi orang tua harus ikut berperan sebab waktu di sekolah hanya sekitar 6 jam saja, sisa waktu lebih banyak di rumah karena itu kerja sama antara orang tua dan guru perlu sekali. Orang tua adalah orang yang paling kenal dengan anak, jadi guru, dokter, dan terapis harus mendengar informasi dari orang tua anak autisme. Bersama dengan guru, orang tua mencoba mencari keseimbangan antara harapan dan kenyataan. Sangat penting
ada program kunjungan rumah, orang tua membantu mempersiapkan jika ada perubahan di sekolah ( Y. Handoyo, 2009). Agar dapat menikmati hidup, anak autisme juga perlu diajarkan untuk bermain secara benar, berinteraksi dengan teman-temannya, dan mengungkapkan
emosi-emosinya.
Mereka
juga
perlu
dipenuhi
kebutuhan-kebutuhannya akan kasih sayang tak bersyarat, perhatian, penerimaan, bimbingan, dan penghargaan dari orang lain. Bila anakanak autisme merasa bahwa orang tua dan orang-orang sekitarnya dapat memahami dan menerima keterbatasan yang mereka miliki, maka mereka akan lebih tertarik untuk berinteraksi. Sebaliknya bila mereka merasa bahwa lingkungannya ingin merubah dirinya dan tidak menghargai keunikan-nya atau bila mereka hanya memperolah kasih sayang bila melakukan sesuatu dan berprestasi maka mereka akan merasa tertekan dan menutup diri. Peran orang tua dan guru/terapis dalam mengembangkan potensi amak secara menyeluruh sangatlah besar. Dibutuhkan usaha dan kerja keras tanpa henti serta kesediaan untuk mencoba berbagai cara untuk menggali potensi anak dan mengembangkannya seoptinml mungkin. Dalam hal ini penting sekali adanya kerja sama yang baik antara suamiistri serta anggota keluarga lainnya. Jangan sampai anak memperolah perlakuan yang berbeda-beda karena orang tua tidak berhasil mencapai kata sepakat tentang bagaimana cara mendidik anak. Bila dapat terjalin kerja sama serta terdapat penerapan disiplin yang sama dan konsisten di antara seluruh anggota keluarga, pengasuh, terapis, dan pihak sekolah,
maka perkembangan anak tentunya akan lebih pesat dan terarah ( Y. Handoyo, 2009). Tahapan yang tidak kalah pentingnya dalam kehidupan anak autisme adalah bagaimana orang tua mengatur kehidupannya di luar sesi terapi. Akan terjadi perbedaan yang sangat luar biasa bila seorang anak diterapi dan dipantau terus menerus oleh orang tua sehingga ia hidup secara disiplin, teratur, tetapi penuh dengan kesempatan untuk mencoba dengan hal baru, sementara anak lain hidupnya dari satu ruang terapi ke ruang terapi lain. Tetapi di luar itu menjalani kehidupan yang sangat bebas tanpa arah. Berbagai bukti sudah menunjukkan bahwa tata laksana perilaku yang hanya dilaksanakan di ruang terapi dan tidak digeneralisasikan tidak terlalu memberikan hasil yang memuaskan. Sebaliknya banyak kejadian dimana seorang anak tidak menjalani terapi secara intensif (karena keterbatasan orang tua) namun diasuh dengan sangat baik oleh orang tuanya hasilnya sangat tidak mengecewakan, mengingat bahwa waktu yang dihabiskan di rumah tentu lebih banyak dari pada di ruang terapi. Perlu diingat pula bahwa sesi terapi ini sebaiknya dilakukan secara intensif namun terkendali. Maksudnya dipastikan jadwal kehidupan anak berlangsung seimbang antara terapi, bermain bebas, dan bersantai. Jangan sampai orang tua panik dengan ketinggalan anak sehingga terlalu memusatkan perhatian pada perkembangan kognisi dan melupakan aspek perkembangan anak secara utuh.
Apa yang dapat dilakukan di luar sesi terapi oleh keluarga banyak sekali. Paling tidak anggota keluarga dapat membimbing anak untuk melakukan eksplorasi dunia secara intensif dengan teknik yang khusus. Belum lagi bila orang tua menjalani terapi lalu di rumah juga mengajarkan anak untuk menerapkan pengetahuannya tersebut. Atau orang tua membantu anak menerapkan pengetahuan itu di lingkungan luar rumah seperti di tempat umum. Dengan demikian anak berkembang
secara
utuh
dan
pengetahuannya
segera
dapat
diaplikasikan di lingkungan masyarakat. Orang tua juga dapat memastikan bahwa anak memiliki ketrampilan sosial, kemampuan bina diri, dan kemandirian sesuai dengan tahap perkembangannya. Selain itu orang
tua
harus
mengupayakan
kemampuan
adaptasi
dengan
lingkungan baru dan itu sulit diperoleh di ruang terapi yang cenderung rutin dan sama. Menurut Grace Ketterman (dalam Kasih 2006)memahami anak memerlukan informasi dan waktu untuk memikirkan fakta-faktanya dan meng-aplikasikan pengetahuan tersebut pada setiap anak. Pemahaman autisme merupakan pengetahuan yang mencakup segala informasi yang berhubungan
dengan
autisme
yaitu
merupakan
gangguan
perkembangan pada anak dalam hal perilaku, sosialisasi, dan bahasa yang harus diketahui oleh orang tua. Ibu sebagai salah satu orang tua anak yang autisme sekiranya membutuhkan pengetahuan tentang autisme dengan begitu sang ibu akan bisa memahami dan mengetahui tentang autisme.
Singgih D. Gunarsa menyatakan bahwa sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai langkah kelanjutan pengertian yaitu dengan segala kelemahan dan kelebihannya ia seharusnya mendapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya. Penerimaan ibu terhadap anak yang autis memerlukan pengetahuan yang luas tentang autisme sehingga ibu akan memahami arti dari autisme yang sebenarnya. Sesuai dengan pemahaman yang dimiliki seorang ibu, maka ibu akan menerima kondisi anaknya dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan mampu untuk memahami perkembangan anak sejak dini. Penerimaan ibu tidak hanya secara moral saja, tetapi dapat diaplikasikan ke dalam bentuk perilaku yang memberikan pendidikan pada anaknya dengan menyekolahkan pada sekolah khusus autisme atau lembaga pusat terapi anak kebutuhan khusus. Pendidikan anak autisme tidak hanya dari sekolah atau terapi saja tetapi juga dibutuhkan peran orang tua dan anggota keluarga di rumah. Adapun pendidikan di rumah adalah menyesuaikan dengan tugas perkembangan anak dan melanjutkan materi dari sekolah khusus autisme. Apabila orang tua kurang memiliki pemahaman tentang autisme maka bisa berakibat kurangnya perhatian pada anak dan menganggap anak mengalami cacat atau bahkan tidak bisa berbicara selamanya. Orang tua adalah penentu kehidupan anak sebelum dan sesudah dilahirkan. Karena itu adalah tanggung jawab orang tua sepenuhnya untuk menentukan apakah akan menggunakan teknik khusus dalam mendidik anak - anak autisme atau yang tidak jelas anak - anak ini tidak
meminta untuk dilahirkan. Mereka ada karena kita para orang tua. Mereka tidak pernah meminta untuk menjadi anak dengan penyandang autisme dan menjadi penyandang autisme tidaklah mudah. Apapun metode dan terapi yang dipilih penanganan harus terpadu, ter-struktur, dan terorganisir. Pendidikan memang penting, tetapi penanganan lain harus pula dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan dan usia anak. Terimalah keadaan anak apa adanya lengkap dengan kelebihan dan kekurangan sehingga penanganan sesuai dengan kebutuhan. Anak merupakan titipan Allah SWT yang harus diasuh dan dijaga dengan baik, dikasihani sebagaimana anak
yang sebaya dan
yang normal. Faktor utama yang harus diperhatikan guna keberhasilan dalam pelayanan penyembuhan atau bantuan bagi perkembangan anak autisme berhubungan dengan ketepatan dalam menentukan spesifikasi problem serta kekurangan dan kelebihan yang ada pada anak yang utama yang harus diidentifikasi. Hal ini perlu pengetahuan dan pemahaman serta kejelian atas perkembangan anak dari orang tua apakah sudah sesuai dengan tugas perkembangan anak atau belum. Jika sudah terdeteksi sejak dini tentunya akan semakin cepat proses penangannya Banyak metode dan cara untuk mendidik anak autisme. Tujuan utama dari layanan terhadap anak yang khusus (autisme) adalah mengurangi gejala perilaku yang mempengaruhi fungsi perkembangan
anak
dan
mendorong
mengembangkan
fungsi
perkembangan anak seperti mengembangkan kemampuan berbahasa,
tingkah laku, penyesuaian diri, sosialisasi, dan ketrampilan bina diri. Jika guru dan orang tua akan mengembangkan program, maka terlebih dahulu tentukan tujuan yang akan dicapai dan dilihat kemungkinankemungkinan yang dapat dicapai anak. C. Tinjauan Umum Tentang Sikap ibu terhadap Penanganan Anak Autisme Endry Boeriswati dalam Ensiklopedia Nasional (1991) menjelaskan bahwa sikap yang ada pada diri setiap manusia adalah faktor yang mendorong atau menimbulkan tingkah laku tertentu. Sikap menurut Soekidjo adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Sikap nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan tindakan atau aktifitas. Sikap ini masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Sikap merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab sikap merupakan salah satu aspek yang turut menentukan kepribadian seseorang. Karena itu apabila manusia tidak memiliki sikap yang baik terhadap suatu hal, maka ia pun menampakkan kepribadian yang kurang baik terhadap hal tersebut. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap memiliki 4 tingkatan yaitu sikap mau menerima, sikap mau memberi tanggapan, sikap mau menghargai, sikap mau bertanggung jawab. Lebih lanjut diuraikan ke empat tingkatan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Sikap mau menerima (Receiving)
Sikap mau menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek). Seseorang yang bersikap mau menerima, artinya minimal ia tidak menolak terhadap suatu sistem mulus atau objek tertentu. Tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seseorang berada pada jenjang ini antara lain : a.
Mau mendengarkan,
b.
Mau menghadiri kegiatan
c.
Bersikap sopan terhadap objek
d.
Menaruh perhatian dan
e.
Tidak mengganggu.
2. Sikap mau menanggapi (Responding) Menanggapi disini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Disini ia tampak menunjukkan aktifitasnya. Aktivitas itulah sebenarnya menunjukkan sikapnya yang ada dalam hari sanubarinya. Adapun tanda-tanda bahwa seseorang telah berada pada jenjang ini antara lain : a.
Mau mengikuti peraturan
b.
Mau bertanya
c.
Mau memberikan pendapat
d.
Menunjukkan sifat/rasa senang
e.
Mau mencatat dan
f.
Mau berdialog.
3. Sikap mau Menghargai (Valuing) Menghargai diartikan subject atau seorang memberikan nilai positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak, mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon. Tanda-tanda bahwa seseorang telah sampai pada taraf atau jenjang sikap ini antara lain : a.
Menunjukan adanya perhatian yang mendalam terhadap objek tertentu
b.
Memprakarsai sesuati kegiatan
c.
Mengusulkan sesuatu
d.
Mau mempelajari dengan bersungguh-sungguh
e.
Menunjukkan sikap yakin dan
f.
Mau bekerja sama.
4. Sikap mau bertanggung jawab (Responsible). Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang diyakininya. Adapun tanda-tanda bahwa seseorang telah berada pada jenjang ini antara lain : a.
Mau melibatkan diri secara aktif
b.
Mau menerima tanggung jawab
c.
Mau mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, untuk sesuatu yang diyakininya itu.
Berdasarkan dari pengalaman keluarga yang memiliki anak dengan autisme, respon atau sikap orangtua terhadap autisme antara lain. Pertama – tama orangtua akan shok dan tidak percaya (menolak) kalau buah hatinya menderita autisme, kemudian orangtua akan depresi dan bersediah melihat keadaan anaknya, lalu akan masuk ke tahap berpikir rasional dan optimis selalu berusaha agar anaknya bisa normal seperti anak – anak lainnya. Orang tua yang optimis akan mencari informasi mengenai pengobatan dan terapi yang cocok untuk anaknya yang menderita autisme (Danuatmaja, 2003). Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya, shock, sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang autisme untuk mengalami fase ini, sebelum anaknya sampai pada tahap penerimaan (acceptance). Ada masa orang tua merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa yang harus diperbuat. Tidak sedikit orang tua yang kemudian memilih tidak terbuka mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga bahkan keluarag dekat sekalipun, kecuali pada dokter yang menangani anaknya tersebut (Puspita, 2004). Penerimaan ditandai dengan sikap positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai – nilai individual terapi menyertakan pengakuan terhadap tingkah lakunya (Chaplin, 2000). Roger (dalam Sutikno, 1993) mengatakan bahwa penerimaan merupakan dasar bagi setiap orang untuk dapat menerima kenyataan hidup, semua pengalaman baik ataupun buruk.
Penerimaan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak autisme dikemudian hari. Sikap orang tua yang tidak dapat menerima kenyataaan bahwa anaknya memiliki gangguan autisme akan sangat buruk dampaknya, karena hal tersebut hanya akan membuat anak autisme merasa tidak di megerti dan tidak di terima apa adanya serta dapat menimbulkan
penolakan
termanifestasikan
dari
anak
(resentment)
dan
lalu
dalam bentuk perilaku yang tidak diinginkan
(Marijani, 2003) bagaimanpun anak dengan gangguan autisme tetaplah seorang anak yang membutuhkan kasih sayang, perhatian dan cinta dari orang tua, saudara, dan keluarganya (Safaria, 2005).
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti Pemahaman tentang autisme adalah perilaku individu yang banyak dipengaruhi
oleh
faktor
pengetahuan.
Pemahaman
tentang
autisme
merupakan pengetahuan yang mencakup segala informasi yang berhubungan dengan gangguan pada anak dalam perilaku, bahasa, dan sosialisasi yang perlu diketahui oleh orang tua. Peran orang tua dalam penyembuhan anak penderita autisme sangatlah penting. Selain harus melakukan pengobatan secara medis, orang tua juga dituntut bijak dan sabar menghadapi kondisi anak serta mempunyai sikap yang dapat menerima kondisi anaknya. Sebagian besar karena orang tua tidak paham dengan penyakit anaknya. Mereka hanya mengandalkan terapi tanpa berusaha mencari tahu berbagai hal yang baik dan yang buruk selama proses penyembuhan (Alia dalam Kasih, 2011) Menurut Handojo (2010) sangat perlu dipahami oleh para orang tua bahwa terapi harus dimulai sedini mungkin sebelum usia 5 tahun. Perkembangan paling pesat dari otak manusia terjadi pada usia 2-3 tahun. Oleh karena itu penatalaksanaan terapi setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lambat. Oleh karena itu penanganan yang harus dilakukan oleh orang tua adalah memberikan penanganan secara dini dan penanganan yang terpadu dari hal inilah baik pengetahuan yang baik dari ibu dan penanganan yang tepat yang diberikan keanaknya akan dapat memberikan penyembuhan yang lebih baik.
B. Pola Pikir Variabel Yang di Teliti
Pengetahuan Ibu
Penanganan Anak Autisme Sikap Ibu
Gambar I : Bagan Kerangka Konsep Keterangan : : Variabel Independent : Variabel Dependent C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif 1. Defenisi Operasional a.
Penanganan anak Autisme Penanganan anak autisme dalam penelitian ini adalah penanganan yang mencakup 2 hal yaitu penanganan dini dan penanganan terpadu. Penanganan dini yang dimaksud yaitu intervensi secara dini, melakukan terapi dirumah, memasukkan anak dalam kelompok khusus sedangkan penanganan terpadu yaitu melakukan terapi medikamentosa, terapi wicara, terapi perilaku, pendidikan khusus dan terapi okupasi. Kriteria Objektif: Kurang
: Jika Jawaban responden < 50 %
Cukup
: Jika jawaban responden ≥ 50 %.
b.
Pengetahuan ibu Pengetahuan ibu dalam penelitain ini adalah segala sesuatu yang ibu ketahui tentang anak autisme baik dari segi pola asuhan dan penanganannya. Kriteria Objektif
c.
Kurang
: Jika jawaban responden < 50 %
Cukup
: Jika jawaban responden ≥ 50 %.
Sikap Ibu Sikap ibu dalam penelitian ini merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktifitas. Sikap ini masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka. Dalam penelitian ini yang dimaksud sikap ibu adalah bagaimana reaksi atau respon ibu dalam penanganan anak autime. Kriteria Objektif : Kurang
: Jika jawaban responden < 50 %
Cukup
: Jika jawaban responden ≥ 50 %.
D. Hipotesis Penelitian 1.
Ada hubungan pengetahuan ibu dengan penanganan anak autisme di taman pelatiahan harapan Kota Makassar.
2.
Ada hubungan Sikap dengan penanganan anak autisme di taman pelatihan kota Makassar.
BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian Analitik dengan pendekatan “cross sectional study’’ yang
sifatnya
mengeksplorasi informasi dari informan terhadap Pengetahuan ibu serta penanganan secara dini dan terpadu yang diberikan kepada anak penderita autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar tahun 2015. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di lakukan Taman Pelatihan Kota Makassar karena tempat tersebut salah satu tempat terapis terbesar di kota Makassar dan waktu tanggal 1 sampai 21 bulan April 2015 C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak autisme yang melakukan terapi di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar sebanyak 95 Orang 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah 95 orang yang mana teknik sampel yang digunakan adalah total sampling yaitu mengambil jumlah keseluruhan populasi yang ada. D. Pengumpulan Data 1. Data primer adalah data yang dikumpulkan melalui alat ukur kuesioner yang diberikan kepada ibu ataupun wali pada anak yang ikut terapi pada
taman pelatihan harapan kota Makassar dan melakukan pengamatan secara langsung situasi dan tempat penelitian. 2. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari bagian informasi dan administrasi Sekolah Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar, serta lembaga - lembaga terkait. E. Pengolahan Data Data terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package Sercvice Solucition) dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Editing Setelah lembar observasi diisi oleh responden, kemudian dikumpulkan dalam bentuk data, data tersebut dilakukan pengecekan dan memeriksa kelengkapan data, kesinambungan, dan memeriksa keseragaman data. 2. Koding Untuk memudahkan pengolahan data, semua data atau jawaban disederhanakan dengan memberikan simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban. 3. Tabulasi Data dikelompokkan ke dalam suatu tabel menurut sifat-sifat yang dimiliki, kemudian data dianalisa secara statistik. F.
Analisa Data Analisis data dilakukan menggunakan uji chi-square dengan menggunakan SPSS (Statistical Package Sercvice Solucition), data akan diolah dalam bentuk :
1.
Analisa Univariat Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel yang diteliti.
2.
Analisa Bivariat Dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel indevenden (Pengetahuan
ibu,
Sikap
ibu)
dengan
variabel
dependen
(Pananganan anak autisme) apakah variabel tersebut mempunyai hubungan yang signifikasi atau hanya hubungan secara kebetulan. Dalam analisis ini uji statistik yang dilakukan adalah Uji Chi Square (X²) dengan alternatif Uji Fisher Exact. Dalam penelitian kesehatan uji signifikasi dilakukan dengan menggunakan batas kemanaan (α) = 0,05 dan 95% confidence interval dengan ketentuan bila : a.
P.Value < 0.05 berarti Hipotesis diterima ( P.Value < α). Uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikasi.
b.
P.Value ≥ 0.05 berarti Hipotesis ditolak ( P.Value ≥ α). Uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikasi.
G. Penyajian Data Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi persentase disertai penjelasan - penjelasan tabel. Selain itu dilakukan dalam bentuk tabel analisis hubungan antara variabel dengan skala dikotomi (tabel 2x2). Pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis.
H. Etika Penelitian Dalam
melakukan
penelitian,
rekomendasi dari institusinya
penelitian
perlu mendapat
adanya
atas pihak lain dengan mengajukan
permohonan izin kepada institusi / lembaga tempat penelitian, dalam pelaksanaan penelitian tetap memperhatikan masalah etik meliputi : 1.
Informed Consent (Lembar persetujuan) Lembar persetujuan yang diberikan pada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi.
2.
Anonimity (Tanpa nama) Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.
3.
Confidentiality (Kerahasiaan) Kerahasiaan
informasi
dari
responden
dijamin,
melaporkan data tertentu sebagai hasil penelitian.
peneliti
hanya
BAB V PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di Taman Pelatihan Kota Makassar pada tanggal 1 sampai 21 bulan April 2015 pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey analitik dengan pendekatan Cross Sectional Study. Hasil Penelitiannya sebagai berikut : 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden mencakup umur, pendidikan,dan pekerjaann. Hasil penelitian ini disajikan sebagai berikut: a. Umur Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Umur (Tahun) 20 – 29 30 – 39 >40 Jumlah Sumber : Data Primer
n 47 33 15 19
% 49,5 34,7 15,8 100,0
Tabel 1 menunjukkan bahwa responden umur 20 - 29 tahun sebanyak 47orang (49,5%),dan responden umur 30-39 tahun sebanyak 33 orang (34,7%) dan responden (15,8%).
>40 tahun sebanyak 15 orang
b. Pendidikan Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Pendidikan SMA Sarjana SI S2 Jumlah
n 20 70 5 95
% 21,1 73,7 5,3 100,0
Sumber : Data Primer Tabel 2 menunjukkan bahwa pendidikan responden terendah S2 sebanyak 5 orang (5,3 %) dan tertinggi tamat S1 sebanyak 70 orang (21,1%). c. Pekerjaan Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Pendidikan IRT PNS Wiraswasta Jumlah Sumber : Data Primer
n 38 4 53 95
% 40,0 4,2 55,8 100,0
Tabel 3 menunjukkan bahwa responden dengan Pekerjaan dengan jumlah terendah sebangai PNS sebanyak 4 orang (4,2%) dan tertinggi pekerjaan sebangai wiraswasta sebanya 53 orang (55,8 %) .
2. Deskriptif variabel yang diteliti a. Pengetahuan Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Pengetahuan Kurang Cukup Jumlah Sumber : Data Primer
n 21 74 95
% 22,1 77,9 100,0
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan kurang 21 orang (22,1%) dan responden dengan pengetahuan cukup sebanyak 74 orang (77,9%) b. Sikap Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Sikap Kurang Cukup Jumlah Sumber : Data Primer
n 26 69 95
% 27,4 72,6 100,0
Tabel 5 menunjukkan bahwa responden dengan sikap yang kurang sebanyak 26 orang (27,4%) dan sikap yang cukup sebanyak 69 orang (72,6%).
c.
Penanganan Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Penanganan Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Penanganan Kurang Cukup Jumlah Sumber : Data Primer
n 36 59 95
% 37,1 62,1 100,0
Tabel 6 menjelaskan bahwa penanganan anak autisme dari 95 responden yang mempunyai penanganan yang kurang 36 (37,1 %), dan yang cukup sebanyak 59 orang (62,1%) 3.
Analisis hubungan variabel penelitian a. Hubungan pengetahuan dengan penanganan anak autisme di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar. Tabel 7 Hubungan Pengetahuan Responden dengan Penanganan anak autisme Di Taman Pelatiahn Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Pengetahuan Kurang Cukup Jumlah Sumber : Data Primer
Penaganan Anak Autis Kurang Cukup n % n % 3 14,3 18 85,7 33 44,6 41 55,4 36 37,9 59 62,1
Jumlah n 21 74 95
% 100,0 100,0 100,0
ρ
0,012
Dari tabel 7 diatas menjelaskan pengetahuan ibu yang kurang dengan penanganan anak autisme yang kurang sebanyak 3 orang (14,3 %) sedangkan pengetahuan ibu yang kurang tetapi mempunyai penanganan yang cukup sebanyak 18 orang (85,7%) sementara
pengetahuan yang cukup dengan penanganan yang kurang sebanyak 33 orang (44,6%), pengetahuan ibu yang cukup dengan penanganan yang cukup sebanyak 41orang (55,4 %). Berdasarkan hasil analisis dari penelitian dengan menggunakan Uji Chi Square diperoleh nilai ρ = 0,012 (ρ < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan anatara pengetahuan dengan penanganan anak autisme dan menandakan hipotesis penelitian diterima. b. Hubungan Sikap ibu dengan penanganan anak autisme Tabel 8 Hubungan Sikap Responden dengan Penaganan anak autisme Di Taman Pelatihan Harapan Kota Makassar Tahun 2015 Penanganan Anak Autisme Sikap Kurang Cukup n % n % Kurang 6 23,1 20 76,9 Cukup 30 43,5 39 56,5 Jumlah 36 37,9 59 62,1 Sumber : Data Primer
Jumlah n 26 69 95
% 100,0 100,0 100,0
ρ
3,340
Dari tabel 8 menjelaskan bahwa sikap yang kurang dengan penanganan anak autisme yang kurang sebanyak 6 (23,1%) dan sikap yang kurang dengan penanganan yang cukup sebanyak 20 orang (76,9%) sementara sikap ibu yang cukup dari penanganan yang kurang sebanyak 30 (43,5%) serta sikap ibu yang cukup dan penanganan yang cukup sebanyak 59 orang (62,1%).
Berdasarkan hasil analisis dari penelitian dengan menggunakan Uji Chi Square diperoleh nilai ρ = 3,340 (ρ > 0,05). Hal ini berarti tidak ada hubungan anatara sikap dengan penanganan anak autisme dan menandakan hipotesis di tolak. B. Pembahasan 1. Pengetahuan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 95 responden dengan pengetahuan. Yang pengetahuan kurang 21 orang (22,1%) dan pengetahuan yang cukup sebanyak 74 orang (77,9%). Hal ini menunjukkan bahwa pada perinsipnya ibu yang mempunyai anak autisme yang berada di taman pelatihan harapan kota makassar rata – rata ibu mempunyai pengetahuan yang baik terhadap pemahaman tentang anak autisme seperti halnya ciri – ciri anak autisme berdasarkan hasil kuesioner kebanyakan ibu mengetahui bahwa anak autisme bisa di identifikasi dengan lemahnya komunikasi dari sang anak serta sulitnya untuk bermain dalam kelompok akan tetapi dipenelitian ini kami juga menemukan bahwa kebanyakan ibu hanya mengetahui anak menderita autisme pada usia diatas satu atau dua tahun sementara ciri anak pada usia dibawah satu tahun kebanyakan ibu belum dapat megidentifikasi karena berdasarkan jawaban yang saya peroleh ibu tidak mengetahui adanya perbedaan tingkah laku antara anak autisme dengan anak normal lainya ketika berusia 0 -1 tahun akan tetapi berdasarkan hasil wawancara kami dengan salah satu terapis dan dokter yang menangani anak autisme mengatakan ciri utama anak autisme dibawah usia satu tahun bisa diidentifikasi dengan
ciri, bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis), terlalu sensitive, cepat terganggu atau terusik, gerakan tangan dan kaki berlebihan bila mandi, tidak babbling (mengoceh), tidak ditemukan senyum sosial di atas 10 minggu, tidak kontak mata di atas umur 3 bulan dan usia 6 -12 bulan ciri khas yang dapat dilihat seperti Usia 6-12 bulan, bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis), terlalu sensitive, cepat terganggu atau terusik, gerakan tangan dan kaki berlebihan bila mandi, sulit digendong, tidak babbling (mengoceh), mengigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan, tidak ditemukan senyum sosial, tidak kontak mata di atas umur 3 bulan. Selain pengetahuan ibu yang bisa memahami ciri anak autisme dari hasil kuesioner dan wawancara juga ditemukan bahwa beberapa ibu yang sudah memahami tentang penanganan anak autisme secara tepat seperti penanganan terpadu, terapi wicara, sampai terapi okupasi yang mana mereka peroleh informasi dari tempat terapi anak mereka yaitu ditaman pelatihan harapan kota Makassar yang mana peran ibu juga sangat dituntut untuk membantu terapis yaitu tetap memberikan perhatian khusus dan penanganan yang tepat ketika anak autisme berada di rumah. Penerimaan ibu terhadap anak autisme memerlukan pengetahuan yang luas tentang autisme, sehingga ibu akan memahami arti dari autisme yang sebenarnya. Sesuai dengan pemahaman seorang ibu, maka ibu akan menerima kondisi anak dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan memahami perkembangan anak sejak dini. Jadi pemahaman tentang autisme terhadap penerimaan ibu yang mempunyai anak autisme perlu dan penting. Berdasarkan hasil analisis dari penelitian dengan menggunakan
Uji Chi Square di peroleh nilai ρ= 0,012 (ρ < 0,05) menunjukkan bahwa hipotesis di terima berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan penanganan anak autisme di dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian ini juga diperoleh bahwa dari 95 responden diketahui pengetahuan ibu yang kurang dengan penanganan anak autisme yang kurang sebanyak 3 orang (14,3 %) sedangkan pengetahuan ibu yang kurang tetapi mempunyai penanganan yang cukup sebanyak 18 orang (85,7%) sementara pengetahuan yang cukup dengan penanganan yang kurang sebanyak 33 orang (44,6%), pengetahuan ibu yang cukup dengan penanganan yang cukup sebanyak 41 orang (55,4 %). Dari data tersebut diatas diperoleh bahwa tidak selamanya pengetahuan ibu yang baik akan menjamin penanganan anak autisme dengan baik ini terbukti bahwa masih ada sekitar 3 orang dari 95 orang yang mempunyai pengetahuan baik tapi tidak memberikan penanganan yang baik walaupun dalam penelitian ini persentasenya sangat kecil sebab pada prinsipnya pengetahuan adalah salah satu faktor yang sangat menunjang terlaksananya tindakan yang baik pada ibu ini dapat dilihat bahwa dari hasil penelitian pengetahuan ibu yang cukup dengan penanganan yang cukup sebanyak 41 orang (55,4 %) dari 95 responden yang ada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhasanah, 2013 tentang perilaku ibu terhadap pola asuhan anak penderita autisme di Kabupaten Bone yang mana ditemukan oleh peneliti bahwa adanya hubungan pengetahuan yang baik dengan perilaku ibu dalam memberikan asuhan kepada anak autisme. 2. Sikap
Bedasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dari 95 responden yang memiliki sikap yang kurang sebanyak 26 orang (27,4%) dan yang cukup sebanyak 69 orang (72,6%). Ini membuktikan bahwa rata – rata ibu yang memiliki anak autisme di taman pelatihan harapan kota Makassar memiliki sikap yang bisa menerima keadaan anak mereka dan berusaha melakukan terapis agar anak mereka bisa disembuhkan karena dari hasil koesioner mereka mengakui bahwa karena kemampuan komunikasi yang kurang serta segala ciri anak autisme ada pada anak mereka dan dengan sikap terbuka para ibu – ibu tersebut mau menerima, mendengarkan, segala terapi yang diberikan kepada anak mereka serta mereka mau menambah pengetahuan agar terapi pada anak mereka dapat dibantu di rumah menurut Singgih D. Gunarsa menyatakan bahwa sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai langkah kelanjutan pengertian yaitu dengan segala kelemahan dan kelebihannya ia seharusnya mendapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya. Penerimaan ibu terhadap anak yang autisme memerlukan sikap yang menerima tentang autisme sehingga ibu akan memahami arti dari autisme yang sebenarnya. Sesuai dengan pemahaman yang dimiliki seorang ibu, maka ibu akan menerima kondisi anaknya dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan mampu untuk memahami perkembangan anak sejak dini. Penerimaan ibu tidak hanya secara moral saja, tetapi dapat diaplikasikan ke dalam bentuk perilaku yang memberikan pendidikan pada anaknya dengan menyekolahkan pada sekolah khusus autisme atau lembaga pusat terapi anak kebutuhan
khusus. Pendidikan anak autisme tidak hanya dari sekolah atau terapi saja tetapi juga dibutuhkan peran orang tua dan anggota keluarga di rumah. Adapun pendidikan di rumah adalah menyesuaikan dengan tugas perkembangan anak dan melanjutkan materi dari sekolah khusus autisme. Dari hasil penelitian sikap yang kurang dengan penanganan anak autisme yang kurang sebanyak 6 (23,1%) dan sikap yang kurang dengan penanganan yang cukup sebanyak 20 orang (76,9%) sementara sikap yang cukup dari ibu dan penanganan yang kurang sebanyak 30 (43,5%) serta sikap ibu yang cukup dan penanganan yang cukup sebanyak 59 orang (62,1%). Dari data tersebut terlihat dari 95 responden ternyata masih ada ibu yang mempunyai sikap yang kurang bisa memberikan sikap yang cukup kepada penerimaan anak mereka yang di diagnosa sebahagian anak autisme sehingga sikap ini yang membuat ibu/responden tersebut tidak menerima dengan baik segala yang diberikan penanganan oleh
terapis
seperti
pemberian
penanganan
terpadu,
terapi
medikamentosa seperti memberikan obat atau vitamin, terapi okupasi ataupun yang lainnya walupun nilai persentasenya sangat kecil yaitu sebanyak 6 (23,1%) dari 95 responden yang ada selain itu sikap ibu yang cukup dan penanganan yang cukup sebanyak 59 orang (62,1%) hal ini membuktikan sikap menerima yang diberikan ibu terhadap anak dan tindakan yang diberikan terapis serta saran dan pengetahuan yang diberikan oleh dokter maupun terapis yang ada di taman pelatihan harapan kota Makassar memberikan penanganan yang baik dan tepat
kepada anak mereka sehingga nanti dengan sikap sabar anak mereka dapat disembuhkan. Berdasarkan hasil analisis dari penelitian dengan menggunakan Uji Chi Square ρ= 3,340 (ρ > 0,05) menunjukkan bahwa hipotesis di tolak berarti tidak ada hubungan antara sikap dengan penanganan anak autisme di dalam penelitian ini, hal ini memberikan informasi bahwa faktor sikap ibu tidak mempunyai hubungan dengan penanganan anak autisme di taman pelatihan harapan kota Makassar karena dari hasil penelitian menunjukkan sikap yang diberikan oleh ibu terhadap penerimaan anak sudah cukup baik begitu pula dengan memasukkannya anak mereka ke taman pelatihan harapan kota Makassar maka seorang ibu telah siap dan menerima segala penanganan anak mereka sehingga faktor sikap ibu bukanlah hal yang akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan terapi yang ada di taman pelatihan harapan kota Makassar. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Andarini, 2012 tentang Hubungan motivasi orangtua untuk mencapai kesempuan anak dengan tingkat pengetahuan dan sikap dalam penanganan anak penyandang autisme di Malang yang mana ditemukan oleh peneliti bahwa tidak ada hubungan pengetahuan dan sikap dalam penanganan anak autisme. 3. Penanganan anak autisme Dari hasil penelitian di peroleh 95 responden yang mempunyai penanganan yang kurang 36 (37,1 %) dan penanganan yang
cukup
sebanyak 59 orang (62,1%). Hal ini menggambarkan bahwa penanganan anak autisme di taman pelatihan harapan kota Makassar sudah cukup baik
dimana berdasarkan hasil observasi saya sebagai peneliti di taman pelatihan harapan telah memberikan beragam penanganan oleh dokter maupun terapis seperti intervensi dini, autisme memang merupakan gangguan neurologis yang menetap. Gejala tampak pada gangguan bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku. Gangguan neurologis tidak bisa diobati, tetapi gejala – gejala bisa dihilangkan atau dikurangi, sampai awam tidak lagi bisa membedakan mana anak non autisme, dan mana anak autisme. Semakin dini terdiagnosis dan terinteraksi, semakin besar kesempatan untuk “sembuh”. di taman pelatihan harapan kota Makassar Penyandang Autisme dinyatakan sembuh bila gejala tidak kentara lagi sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakaat luas. Intervensi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, yang penting berusaha merangsang anak secara intensif sedini mungkin agar ia mampu keluar dari dunia sendiri. Salah satu yang mengakibatkan penanganan autisme tidak dapat disembuhkan dengan baik jika tidak adanya kerja sama yang baik oleh orang tua dengan terapis yaitu dimana orang tua sangat diharapkan selain anak dapat di terapi disekolah ia juga dapat dibantu terapi di rumah dan hal inilah yang diharuskan dilakukan oleh orang tua menurut terapi yang ada di taman pelatihan harapan yaitu dilatih melakukan berbagai macam keterampilan yang berguna bagi hidup bermasyarakat.
Misalnya
berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, berbahasa, dll. Namun yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri
(misalnya memaksakan kehendak) menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Maklumlah, bila latihan ini tidak dijalankan secara konsisten, maka perilaku itu akan sulit diubah. Bila sudah dewasa nanti anak seperti itu acapkali akan dikatakan kurang mengenal sopan-santun. Namun yang pertama–tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting agar mereka dapat mengubah perilaku seanaknya sendiri menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Kelebihan metode intervensi ini ialah pendekatanya yang sistematis, struktur dan terukur pada penyandang autisme untuk mengetahui ketidakmampuan. Metode yang lain pula yang di lakukan di Taman pelatihan harapan yaitu Masuk Kelompok Khusus Biasanya setelah 1 – 2 tahun menjalani intervensi dini dengan baik, si anak siap untuk masuk ke kelompok kecil, bahkan ada yang siap masuk ke kelompok bermain. Mereka yang belum siap masuk kelompok bermain, bisa diikut sertakan ke kelompok khusus. Di kelompok ini mereka mendapatkan kurikulum yang khusus dirancang secara individual. Di sini pula anak akan mendapatkan penanganan terpadu, yang melibatkan berbagai tenaga ahli, seperti psikiater, psikolog, terapi wicara, terapi okopasi dan ortopedagong. Selain terapi yang telah dijelaskan diatas berdasarkan hasil penelitian di Taman pelatihan harapan kota Makassar juga melakukan Penanganan terpadu, berbagai jenis yang harus dijalankan seorang anak ketika berada di tempat terapis seperti terapi medikamentosa adalah terapi yang diberikan pada anak autisme berupa obat – obatan seperti vitamin, obat khusus, mineral, food, suplement. Terapi ini diberikan guna
mempercepat penyembuhan anak. Obat – obatan ini sifatnya individual dan perlu kehati – hatian dalam memberikannya, sebab reaksi anak pada obat berbeda – beda dan mempunyai ketahanan yang berbeda pula. Terapi wicara adalah terapi yang diberikan pada anak autisme untuk membantu belajar berbicara. Karena semua penyandang autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan dalam berbicara. Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme, berbeda dengan anak lain. Tetapi ini berjudul untuk mengajarkan atau memperbaiki kemampuan komunikasi verbal dengan baik dan fungsional. Terapi Perilaku berupa untuk melakukan perubahan pada anak autisme, dan dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku kekurangan, terapi perilaku yang di kenal di dunia adalah Applied Behavior Abalysis. ABA merupakan terapi gentak untuk memperbaiki perilaku anak autis yang sering menyimpang. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah bersuara keras saat memberikan perintah pada anak. Kalau anak tidak mau melakukan apa yang di perintahkan, maka harus mengagetkan mereka. Berbagai jenis terapi perilaku sangat penting untuk membantu para penyandanh autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bukan saja gurunya yang harus melakukan terapi perlakuan pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di harus bersikap sama dan koesisten dalam menghadapi penyandang autisme. Terapi Okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari rehabilitasi medis. Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara memanipulasi,
memfasilitasi
dan
menginhibisi
peningkatan,
perbaikan
dan
lingkungan, pemeliharaan
sehingga kemampuan
tercapai anak.
Sebagai anak autisme mempunyai perkembangan mempunyai perkembanagan motorik yang kurang baik, oleh karena itu anak autisme perlu
diberikan bantuan
okupasi,
untuk
membantu menguatkan,
memperbaiki koordinasi dan membuat otot halusnya bisa terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting dikuatkan dan dilatih agar anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya Hal ini sejalan penelitian yang dilakukan oleh Moh Abu Suhud, 2010, tentang Pola Penanganan Anak Autisme di yayasan sayap ibu (YSI), yang mana ditemukan oleh peneliti bahwa adanya hubungan pengetahuan dan penanganan anak autisme.
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan Dari hasil penilitian tentang pengetahuan dan sikap ibu dalam penaganan anak autisme ditaman pelatihan harapan kota Makassar 1. Ada hubungan pengetahuan ibu dengan penanganan anak autisme 2. Tidak ada hubungan sikap ibu dengan penanganan anak autisme B. Saran Adapun Saran yang diberikan penelitian sebagai berikut: 1. Kepada Orang tua yang memiliki anak autisme sudah cukup aktif hanya saja diharapkan agar lebih banyak lagi melakukan pendampingan pada anak, baik dirumah maupun ditempat terapi dan sebisa mungkin untuk menyematkan diri menerapkan terapi dirumah yang sudah diajarkan, tidak hanya mengandalkan pada pengasuh, karena pengasuh sehari – hari akan lebih berdampak baik bagi hubungan anak dengan orang tuanya. 2. Kepada Pihak Taman Pelatiahan Harapan agar tetap menjaga dan mempertahankan segala program kerja yang diterapkan dan perlunya peningkatan pengawasan siswa dan siswi mereka setelah diluar lingkungan tempat terapi terkhususs hubungan pengetahuan dan sikap ibu pada penanganan anak autisme. 3. Perlu ditingkatkan kerja sama yang baik antara ibu dan keluarga anak autisme dengan pihak terapis sehingga segala program yang diberikan kepada anak nantinya dapat terjadi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Admin, dkk, 2006. Anak autisme tttp:_//dewo.wordpress.com, wordpress.com, diakses 12 februari 2015 Centre for disease control (cdc), 2013. Prevalensi of autis in brick township, new jersey. Http://www.cdc.yov/nceh/programs/dd/report.htm diakses tanggal 9 maret Chpman. E.n, 1993. Sikap kekayaan anda paling berharga. Jakarta: binarupa aksara Danuatmaja. B. 2003. Terapi aanak autisme di rumah. Jakarta: puspa swara Disorder http//puterakembar.org/rm/peran-ortu.htm di akses 12 februari 2015 Egc Hartati, diah 2010. Buku serba tahu kehamilan, persalinan & perawatan bayi, yogyakarta citra medika Hasdiana, 2013. Autis pada anak pengobatan), nuha medika, yogyakarta
(pencegahan,
Joko
autistik
yuwono, 2012. Memahami emperitik) , alfa beta, bandung.
anak
perwatan
(kajian
teoritik
dan
dan
Kamus besar, kamus, gizi, 2009. Perlengkapan kesehatan keluarga. Kompsa, jakarta. Kasih. M, 2005. Pengaruh pemahaman tentang autisme terhadap penerimaan ibu yang memiliki anak autisme di pusat terapi anak dengan kebutuhan khusus a plus malang. Skripsi (tidak diterbitkan) universitas wisnuwardana malang. Marijani. L, 2003. Bunga rampai seputar autisme dan permasalahannya. Jakarta: puterakembar foundation. Maulana, mirza. Mendidik anak autis dan gangguan mental lain menuju anak cerdas dan sehat, yogyakarta:kata hati:2010. Notoatmodjo, soekidjo, cipta,jakarta.
2002.
Metodologi
penelitian
kesehatan,pt.rineka
Pieter,dkk, 2011. Anakku autisme,aku harus bagaimana, PT bhuana ilmu populer, jakarta. Pawenrusi Esse P, dkk. 2015. Pedoman penulisan skripsi, Edisi II : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar. Makassar Purwanto. H, 1999. Pengantar perilaku manusia untuk keperawatan, jakarta.
Puspita. D, 2009. Peran keluarga pada penanganan individu autisme spectrum Safaria.t, 2005. Autisme: pemahaman baru untuk hidup berguna bagi orang tua, garaha ilmu, yogyakarta. Sastry anjalin, dkk, 2014. Parenting anak dengan autisme, pustaka pelajar, yogyakarta. Singgih d. Gunarsa, 2003. Peran orang tua yang memiliki anak autisme, file: ///d: peran orang tua yang memiliki anak autisme. Siswanto, dkk, 2013. Metode bursa ilmu, yogyakarta.
penelitian
kesehatan
dan
kedokteran,
Sunu,cristopher 2012. Paduan memrcahkan masalah autisme,unclocking autism , yogyakarta nuha medika. Sutadi. R, 2003. Penatalaksanaan holistik autisme. Jakarta: pusat informasi & penerbitan bagian ilmu penyakit dalam. Fakultas kedokteran universitas indonesia. Sutikno. D. A, 1993. Persepsi tentang penerimaan orang tua. Penerimaan orang tua, konsep diri , dan prestasi belajar pada anak remaja tunarugu, skripsi (tidak diterbitkan) fakultas psikologi universitas indonesia Wijayakusuma. H, 2004. Psikoterapi anak autisme, jakarta:pustaka populer Y.handoyo, 2009. Autisme pada anak menyiapkan anak untuk mandiri dan masuk sekolah reguler dengan metode aba, PT. Bhuana ilmu populer, jakarta
Lampiran I
LEMBAR PEMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth. Orang Tua Calon Responden Dengan Hormat, Kami yang bertanda tangan di bawah ini. Nama
: Imti Amaliyah Harun
Nim
: 21306200
Akan mengadakan penelitian dengan Judul “Hubungan Pengetahun dan Sikap Ibu dalam Penanganan Anak Autisme di Taman Pelatiahan Harapan Kota Makassar”. Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan anak / orang tua sebagai responden, kerahasiaan informasi yang bapak / ibu berikan merupakan tanggung jawab kami untuk menjaganya. Jika bapak / ibu bersediah ataupun menolak untuk menjadi responden, maka tidak ada paksaan bagi bapak / ibu Maupun keluarag. Jika selama menjadi responden bapak / ibu diperbolehkan untuk mengundurkan diri dan tidak berpartisipasi pada penelitian ini. Demikian surat permohonan ini kami buat, jika bapak / ibu menyetujui permohonan kami untuk menjadi responden, maka kami sebagian peneliti sangat mengharapkan keasediannya untuk menandatagani lembar persetujuan untuk menjadi responden dan menjawab segala pertanyaan yang kami berikan. Atas Perhatian dan partisipasi dari bapak / ibu responden, kami mengucapkan terima kasih.
Makassar, April 2015 Peneliti
( Imti Amaliyah. Harun)
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:
Alamat
:
Dengan ini menyatakan bersediah dan tidak keberatan menjadi responden di dalam penelitian yang dilakuakan mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIK) Makassar atas nama Imti Amaliyah.Harun dengan judul “Hubungan Pengetahun dan Sikap Ibu dalam Penanganan Anak Autisme di Taman Pelatiahan Harapan Kota Makassar”. Demikian syurat persetujuan ini saya buat dengan sukarela tanpa paksaan dari pihak dan kiranya dipergunakna sebagai mana mestinya.
Makassar, April 2015 Responden
Lampiran 3 KOESIONER TENTANG HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DAN PENANGANAN ANAK AUTISME DI TAMAN PELATIHAN HARAPAN KOTA MAKASSAR TAHUN 2015 A. Identitas Responden Tanggal/ Waktu
:
Tempat
:
Kode Responden
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan
:
Pekerjaan/ Jabatan
:
B. Daftar Pertayaan 1. Pengetahuan Ibu (1) Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang terjadi pada anak – anak a. Ya b. Tidak (2) Gangguan perkembangan meliputi gangguan bicara, berhubungan sosial dan gangguan aktifitas a. Ya b. Tidak (3) Autisme bukanlah gejala penyakit tetapi berupa kumpulan gejala a. Ya b. Tidak (4) Kelainan yang terjadi pada anak gangguan perkembangan tidak timbul sejak lahir a. Ya b. Tidak (5) Gejala gangguan perkembangan bisa terlihat pada anak usia kanak – kanak a. Ya b. Tidak (6) Salah satu ciri anak yang mengalami gangguan perkembangan tidak pernah menunjuk apa yang disukai a. Ya b. Tidak (7) Anak dengan gangguan perkembangan tidak pernah menatap mata ibu / orang lain lebih dari satu atau dua detik a. Ya b. Tidak
(8) Anak dengan gangguan perkembangan tidak mau bermain dengan teman sebayanya a. Ya b. Tidak (9) Anak dengan gangguan perkembangan selalu berbicara berulang – ulang a. Ya b. Tidak (10) Anak dengan gangguan perkembangan selalu melakukan gerakan berulang – ulang seperti mengerak – gerakkan tangan a. Ya b. Tidak (11) Apakah ibu mengetahui terapi medikamentosa yang mana memberikan obat – obatan seperti vitamin, obat khusus, kepada anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak (12) Apakah ibu ketahui tentang terapi wicara pada anak autisme ? a. Ya b. Tidak (13) Apakah ibu ketahui terapi perilaku pada anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak (14) Apakah ibu ketahui pendidikan khusus bagi anak penyandang autisme? a. Ya b. Tidak (15) Apakah ibu ketahui tentang terapi okupasi pada anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak 2. Sikap dan perilaku Ibu anak autisme (1) Apakah ibu setuju bahwa anak yang menyandang autisme memiliki ciri – ciri ? a. Ya b. Tidak (2) Apakah ibu setuju jika anak anda dikategorikan anak yang berkebutuhan khusus? a. Ya b. Tidak (3) Apakah ibu setuju bahwa ada pantangan makanan pada anak autisme ? a. Ya b. Tidak (4) Apakah ibu setuju tempat terapis yang baik bagi anak ibu adalah salah satunya di taman pelatihan harapan kota makassar ? a. Ya b. Tidak (5) Apakah ibu setuju bahwa ada 2 cara penaganan yang tepat dalam anak autisme ? a. Ya b. Tidak
(6) Apakah ibu setuju bahwa perlunya pola penaganan intervensi dini pada anak autisme ? a. Ya b. Tidak (7) Apakah ibu setuju pentingya memasukkan kelompok khusus anak yang menyandang autisme setelah umur 1- 2 tahun ? a. Ya b. Tidak (8) Apakah ibu setuju perlunya penanganan terpadu pada anak yang menyandang autisme ? a. Ya b. Tidak (9) Apakah ibu setuju perlunya melakukan terapi medikamentosa yang mana memberikan obat – obatan seperti vitamin, obat khusus, kepada anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak (10) Apakah ibu setuju perlunya terapi wicara pada anak autisme ? a. Ya b. Tidak (11) Apakah ibu setuju perlunya terapi perilaku pada anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak (12) Apakah ibu setuju pentingnya pendidikan khusus bagi anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak (13) Apakah ibu setuju perlunya terapi okupasi pada anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak b. Penanganan anak autisme 1. Apakah ibu memberikan penaganan yang tepat kepada anak ibu ? a. Ya b. Tidak 2. Apakah ibu memberikan makanan yang tepat kepada anak ibu dan menghindari pantangannya ? a. Ya b. Tidak 3. Apakah ibu membawa ke tempat terapis yang baik bagi anak ibu ? a. Ya b. Tidak 4. Apakah ibu mencari informasi tentang penaganan anak autisme ? a. Ya b. Tidak 5. Apakah ibu melakukan pola penaganan intervensi dini pada anak autisme ? a. Ya b. Tidak
6. Apakah ibu memasukkan kelompok khusus anak ibu sejak umur 1- 2 tahun ? a. Ya b. Tidak 7. Apakah ibu melakukan penanganan terpadu pada anak ibu ? a. Ya b. Tidak 8. Apakah ibu melakukan terapi medikamentosa yang mana memberikan obat – obatan seperti vitamin, obat khusus, kepada anak penyandang autisme ? a. Ya b. Tidak 9. Apakah ibu melakukan terapi wicara pada anak ibu ? a. Ya b. Tidak 10. Apakah ibu melakukan terapi perilaku pada anak ibu ? a. Ya b. Tidak 11. Apakah ibu melakukan pendidikan khusus bagi anak ibu ? a. Ya b. Tidak 12. Apakah ibu melakukan penaganan terapi okupasi pada anak ibu? a. Ya b. Tidak
Diketahui : Jumlah kategori
=2
Jumlah pertanyaan
= 15
Skor tertinggi
= 30
Skor terendah
= 15
Skor tertinggi jawaban responden (x) = jumlah pertanyaan x skor jawaban Persentase skor tertinggi = 15 x 2 = 30 30/30 x 100 % = 100% Skor terendah jawaban responden (y) Persentase skor terendah = 15 x 1 = 15 15/30 x 100% = 25 % Range (R) X-Y = 100 % - 25% = 75 % Maka Skor standar = 75 %
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Bahwa yang bertanda tangan dibawah ini “ DATA PRIBADI 1. 2. 3. 4.
Nama lengkap : Imti Amaliyah Harun Tempat / tanggal lahir : Pinrang, 21 Maret 1992 Jenis kelamin : Perempuan Alamat Makassar : Permata Sudiang Raya Blok. K.12 No. 14 5. Alamat Daerah : Jl. Andi Abdullah No. 95 Pinrang 6. Status : Belum Menikah 7. Email :
[email protected] Menerangkan dengan sesungguhnya RIWAYAT PENDIDIKAN 1. 2. 3. 4.
SD Inpres bertingkat Mts. Negeri Pinrang SMA. Negeri 1 Pinrang Akademi Keperawatan Makassar
(1997-2004) (2004-2007) (2007-2010) (2010-2013)
Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Makassar, 13 Mei 2015 Saya yang bersangkutan
Imti Amaliyah Harun