MDVI
Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 36s – 41s
Laporan Kasus
SKLERODERMA LOKALISATA: LAPORAN DUA KASUS Farida Tabri Bagian Ilmu kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Hasanuddin/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
ABSTRAK Morfea disebut juga skleroderma lokalisata, merupakan gangguan fibrosis pada kulit dan jaringan di bawahnya yang jarang terjadi. Keterlibatan morfea terbatas pada jaringan yang berasal dari mesoderm. Saat ini, dasar patogenesis morfea masih belum sepenuhnya dipahami, namun kemungkinan besar akibat ketidakseimbangan produksi dan destruksi kolagen. Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, gambaran histopatologis, tes ANA, antibodi SCL dan faktor rematoid. Pengobatan ditujukan pada komponen inflamasi, pelepasan, dan aktivasi sitokin serta deposisi kolagen. Dilaporkan 2 kasus morfea pada wanita. Kasus pertama, wanita berusia 22 tahun dengan bercak hipopigmentasi, kulit kencang dan mengkilap di leher dan dada, diobati dengan alpha hidroxy acid 8% secara topikal yang diaplikasikan dua kali sehari. Kasus kedua, wanita berusia 31 tahun dengan bercak hipopigmentasi yang dikelilingi tepi violaseus dan hiperpigmentasi pada bahu, dan bercak hipopigmentasi pada lengan kanan, diobati dengan metilprednisolon oral dan mometason topikal. Pengobatan pada kedua pasien menunjukkan perbaikan lesi dengan modalitas terapi yang berbeda. (MDVI 2013; 40/s: 36s - 41s) Kata kunci: Asam alfa hidroksi 8% - kortikosteroid - skleroderma lokalisata
ABSTRACT Morphea, also known as localized scleroderma, is a rare fibrosing disorder of the skin and underlying tissues. Involvement of morphea is almost uniformly limitted to those tissues derived from the mesoderm. The underlying pathogenesis of morphea is still incompletely understood at this time, but ultimately result in an imbalance of collagen production and destruction. Diagnose based on history taking, physical, laboratory, histopathological finding, ANA test, antibody Scl and rheumatoid factor. Treatment is directed at the inflammatory component, cytokine release and activation, and collagen deposition. Reported 2 cases of morphea in women. First case, a 22-year-old female with hypopigmented patch, tight and shiny skin on neck and chest, treated with topical Alpha Hidroxy Acid 8% applied twice daily. Second case, a 31-year-old female with athropic, violaceous and hyperpigmented ring surrounding hypopigmented patch on shoulder, and hipopigmented patch on the right upper arm, treated with oral methylprednisolone and topical momethasone furoate. The both patient have good improvement with different modality of therapy. (MDVI 2013; 40/s: 36s - 41s) Key words: Alpha Hidroxy Acid 8% - corticosteroid - localized scleroderma
Korespodensi : Jl.Perintis Kemerdekaan Km.11 Tamalanrea, Makassar Tel/Fax: 0411-582353 Email:
[email protected],
[email protected]
36 S
F Tabri
PENDAHULUAN Morfea adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai oleh sklerosis pada kulit.1 Morfea, dikenal juga sebagai skleroderma lokalisata, merupakan kondisi fibrosis yang terbatas pada kulit, jaringan subkutan, tulang di bawahnya dan jika mengenai bagian wajah dan kepala, sistem saraf pusat jarang terkena. Skleroderma merupakan istilah yang luas digunakan dan terkadang membingungkan untuk menggambarkan tipe gangguan fibrosis. Klasifikasi skleroderma digunakan untuk menentukan tipe penyakit.2 Secara umum, skleroderma dibagi dalam dua kelompok besar: skleroderma lokalisata/morfea dan skleroderma sistemik/sklerosis sistemik (SS).3 Morfea biasanya hanya terbatas pada kelainan kulit dan jarang melibatkan sistemik. Sebaliknya, sklerosis sistemik melibatkan berbagai sistem organ selain di kulit, dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup besar. Morfea dibedakan dari skleroderma sistemik berdasarkan temuan sklerodaktili, fenomena Raynaud, perubahan kapiler di lipatan kuku dan keterlibatan organ-organ dalam. Pasien morfea biasanya menunjukkan gejala sistemik yaitu malaise, sakit kepala, artralgia, mialgia serta pemeriksaan serologi autoantibodi yang positif.2 Klasifikasi morfea didasarkan atas gambaran klinis. Peterson dkk. (1995) Peterson dkk. merekomendasikan 5 subklasifikasi morfea: plak (antara lain: morphea en plaque, gutata, atropoderma of Pasini dan Pierini, keloidal dan lichen sclerosis et atrophicus); generalisata (melibatkan lebih dari dua area tubuh); bulosa, linear (antara lain: ekstremitas, en coup de sabre, dan hemiatrofi fasial progresif); dan dalam (antara lain; morfea profunda, fasitis eosinofilik dan morfea pansklerotik).2 Studi epidemologi melaporkan insidens morfea 0,42,7/100.000 orang. Semua varian dapat terjadi pada semua usia. Skleroderma linear lebih sering terjadi pada anak-anak, dan muncul pada dekade pertama atau kedua, sedangkan generalisata lebih sering terjadi pada orang dewasa dan biasanya terjadi pada usia remaja.2-4 Frekuensi relatif varian morfologi yang berbeda tidak jelas, dan dapat ditemukan pada tingkat yang berbeda. Pada orang dewasa yang terkena, 35% - 65% jenis morfea plak, 8% - 9% jenis morfea generelisata, 6% - 46% skleroderma linear, 3,5% en coup de sabre dan Parry-Romberg syndrome.3 Etiologi skleroderma lokalisata tidak diketahui. Saat ini patogenesis yang mendasari morfea belum diketahui secara pasti tetapi diduga akibat ketidakseimbangan antara produksi dan penghancuran kolagen. Pencetus kejadian fibrosis yang berlebihan merupakan kombinasi respons imun abnormal dan kerusakan pembuluh darah serta akibat dari
Skleroderma lokalisata
akumulasi lokal growth factors yang bekerja pada fibroblas dan stimulasi serta produksi kolagen.2-4 Gambaran klinis lesi awal morfea berupa bercak eritematosa hingga ungu kehitaman dan plak yang beresolusi menjadi plak sklerotik, tidak berambut, anhidrosis dengan sejumlah hiperpigmentasi pasca inflamasi.2 Dalam banyak kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi tidak aktif secara spontan, namun lebih banyak kasus parah yang menyebabkan fibrosis ireversibel pada kulit dan jaringan subkutan. Terapi ditujukan untuk komponen inflamasi, pelapasan sitokin serta aktivasi dan deposit kolagen.3
KASUS I Seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin RS. Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan kulit terasa keras dan kaku di daerah leher dan dada yang dialami sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya, kulit mengeras di leher dialami sejak 5 tahun yang lalu, lama kelamaan menyebar ke bagian tubuh yaitu perut dan punggung. Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya. Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama tidak ada. Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam batas normal. Pada inspeksi tampak kulit kencang dan mengkilat di daerah leher dan dada. Pada leher sebelah kanan, trunkus anterior, abdomen dan trunkus posterior tampak lesi hiperpigmentasi. Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan fisis ditegakkan diagnosis kerja skleroderma lokalisata dan diberikan terapi krim alpha hidroxy acid 8% (AHA 8%) yang harus dioleskan pagi dan sore hari. Setelah itu pasien tidak datang lagi. Pada kunjungan ulang setelah 3 minggu di daerah leher sebelah kanan, trunkus anterior, abdomen dan trunkus posterior lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi sudah menghilang. Pada pemeriksaan laboratorium, Hb: 14,9 g//dL, laju endap darah; 12 mm/jam, SGOT: 13 u/L, SGPT: 15 u/L. Pemeriksaan antinuclear antibody (ANA) secara immunofluorcensi (IF) positif pola: granular nucleoplasm/speckled, titer 1:100. Pada pemeriksaan profil autoantibodi tidak didapatkan titer anti SS-A dan anti Scl-70. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan epidermis hiperkeratosis, dermis atas sampai bawah terdapat pertambahan jaringan ikat, kolagen yang berwarna merah terang dengan adanya adneksa di antaranya tampak terjepit. Dapat disimpulkan bahwa secara histopatologis sesuai dengan skleroderma.
37 S
MDVI
Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 36s – 41s
1.b
1.a
1.c
Keterangan: Gambar 1.a: Pada regio colli dan trunkus anterior tampak kencang, mengkilat, lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi Gambar 1.b: Pada regio abdomen tampak lesi hiperpigmentasi Gambar 1.c: Pada trunkus posterior tampak lesi hiperpigmentasi
2.a
2.b
2.c
Keterangan: Gambar 2.a-c : daerah regio colli dextra, trunkus anterior, abdomen dan trunkus posterior yang tampak lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi sudah menghilang
3.a
3.b
Keterangan: Gambar 3.a-b: menunjukkan epidermis dengan hiperkeratosis, dermis atas sampai bawah terdapat pertambahan jaringan ikat, kolagen yang berwarna merah terang dengan adneksa di antaranya tampak terjepit
KASUS II Seorang perempuan, berusia 31 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan bercak kehitaman di daerah bahu dan bercak keputihan di lengan atas kanan dan teraba keras, yang telah dialami sejak 9 bulan. Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya. Riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal.
38 S
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam batas normal. Pada inspeksi tampak plak atrofi berwarna kuning kecoklatan dikelilingi lingkaran berwarna keunguan dengan hiperpigmentasi, yang pada perabaan terasa keras dan kaku. Pada lengan atas kanan terdapat makula hipopigmentasi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan tes ANA positif, titer autoantibodi Scl-70 didapatkan intensitas 4 (klas
F Tabri
Skleroderma lokalisata
o) dan faktor rematoid negatif. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan sediaan jaringan dilapisi epidermis dengan sedikit hiperkeratosis, seluruh dermis atas sampai bawah, terisi oleh jaringan ikat kolagen berwarna merah terang dengan serabut menuju berbagai arah, adneksa di antaranya terjepit. Gambaran histopatologis menyokong skleroderma.
4.a
Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis akhir skleroderma lokalisata, berupa metilprednisolon 4 mg 3 kali sehari per oral, dan krim mometason furoat. Setelah 2 minggu pengobatan tampak perbaikan lesi. (Gambar 6)
4.b
4.c
Keterangan: Gambar 4.a: Lesi plak atrofi hipopigmentasi yang mengkilap dikelilingi oleh lingkaran berwarna violet dan hiperpigmentasi, teraba keras Gambar 4.b: Lesi yang hipopigmentasi yang mengkilap pada bagian punggung Gambar 4.c: Lesi hipopigmentasi yang mengkilap pada bagian lengan kanan
Gambar 5. Pemeriksan histopatologi
6.a
6.b
6.c
Keterangan gambar lesi setelah pengobatan dengan metilprednison 3 kali/hari selama 2 minggu Gambar 6.a: Lesi plak atrofi mulai berkurang kekerasannya, tampak hipopigmentasi kulit yang mulai berkurang setelah pengobatan Gambar 6.b: Lesi hipopigmentasi pada punggung tampak berkurang setelah pengobatan Gambar 6.c: Lesi hipopigmentasi pada lengan sudah tampak berkurang
39 S
MDVI
DISKUSI Morfea mengenai semua ras, tetapi prevalensinya meningkat 72,7% - 82% pada kulit putih, meskipun populasi klinik yang heterogen. Predominasi penyakit ini pada perempuan dengan rasio 2,4 – 4,2 : 1 terhadap laki-laki. Prevalensinya sama pada orang dewasa dan anak-anak.2 Kasus ini terjadi pada perempuan umur 22 dan 31 tahun. Pada kedua kasus, pasien datang dengan keluhan berupa lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi yang terasa keras pada perabaan. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi merupakan perubahan warna kulit yang paling sering dijumpai.5,6 Gejala klinis skleroderma lokalisata pada stadium inflamasi awal (aktif) berupa bercak atau plak eritematosa hingga ungu kehitaman. Bagian tengah lesi kemudian menjadi putih dan sklerotik dengan tepi lesi yang khas berupa “violaceous ring”. Setelah stadium aktif mereda, terjadi kerusakan yang bermanifestasi sebagai plak putih sklerotik dengan hiperpigmentasi pasca inflamasi.2 Kulit yang keras berasal dari proliferasi dan deposit kolagen dan komponen matriks ekstraselular lainnya.7 Autoantibodi serum dilaporkan pada pasien dengan morfea termasuk ANA, anti-single-stranded DNA, antidouble-stranded DNA, anti-histon, anti-topoisomeraseIIα, anti-fosfolipid anti-sentromer, anti-Scl70 dan faktor rematoid (MMP1). ANA terdapat pada 39-80 % pasien dan lebih sering ditemukan pada pasien dengan penyakit morfea linear atau generalisata.1 Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi autoantibodi penting dilakukan pada pasien dengan dugaan penyakit jaringan konektif autoimun. Pemeriksaan ANA menggunakan teknik imunofluoresensi indirek dapat mendeteksi antibodi yang berikatan dengan antigen nuklear. Titer antibodi meningkat pada berbagai penyakit autoimun.8 Pada kedua kasus didapatkan pemeriksaan ANA (IF) positif. Selain itu pada pasien ini dilakukan pemeriksaan profil autoantibodi, tetapi tidak ditemukan titer anti-SS-A dan anti-Scl-70. Beberapa jenis autoantibodi penting dalam diagnosis sleroderma. Pemeriksaan autoantibodi terhadap topoisomerase-I (Scl70), sel endotel, protein sentromer, dan antigen nukleolar bermanfaat dalam menegakkan diagnosis dan menentukan prognosis skleroderma sistemik (SS).9 Autoantibodi yang sering dihubungkan dengan skleroderma adalah anti-sentomer dan anti DNA-topoisomerase-I (yang dikenal sebagai anti-Scl70).10 Pemeriksaan autoantibodi Scl-70 telah menjadi sarana dalam diagnosis sklerosis sistemik. Autoantibodi Scl-70 paling banyak ditemukan pada sklerosis Scleroderma Spectrum Disorder (SSD). Terdapat 37% pasien dengan SSD dan kurang dari 10% pasien dengan SS terbatas. Autoantibodi Scl-70 yang meningkat pada awal fenomena Raynaud’s meningkatkan risiko sklerosis sistemik.11 Antibodi anti SS-A lebih khas untuk penyakit lupus eritematosus dan sindrom Sjogren. Dengan radial imunodifusi,
40 S
Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 36s – 41s
antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien sindrom Sjogren. Selain itu, antibodi ini juga berhubungan erat dengan fotosensitivitas dan tingginya insidens vaskulitis.12 Gambaran histopatologi semua bentuk skleroderma sama.13 Morfea secara histopatologi berbentuk khas ditandai oleh tiga temuan yaitu deposisi kolagen pada dermis dan subkutis, perubahan vaskuaer dan infiltrasi sel-sel inflamasi, terutama pada lesi awal. Epidermis dapat tampak normal, atrofi atau sedikit menebal, dermis menebal dan collagen bundles. yang sklerotik, kolagen ini juga masuk di antara kelenjar keringat sampai subkutis. Ditemukan atropi struktur adneksa, terutama kelenjar pilosebasea, kelenjar ekrin relatif banyak terutama di dermis akibat deposit kolagen di bawahnya.14 Hasil pemeriksaan histopatologi pada kedua pasien menyokong skleroderma. Pengobatan pada skleroderma lokalisata berhubungan langsung dengan komponen inflamasi. Beberapa terapi yang digunakan untuk skleroderma lokalisata berupa: steroid oral dan topikal, analog vitamin D oral dan topikal, metotreksat, siklofosfamid, azatioprin, hidroksiklorokuin, interferon gamma intralesi, dan D-penisilamin. Beberapa penanganan alami yang menjanjikan pada kasus skleroderma antara lain para-aminobenzoic acid (PABA), vitamin E, vitamin D, evening primvose oil, estriol, N-acetylcysteine, bromelain dan ekstrak alpukat dan kedelai.15 Pada pasien ini diberikan terapi AHA 8%). Alpha hidroxy acid dapat mengurangi ketebalan stratum korneum yang hiperkeratotik melalui mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami. Asam melarutkan komponen protein dan desmosom atau mengaktifkan enzim hidrolitik endogen melalui perubahan pH stratum korneum sehinggga terjadi keratolisis. Juga melalui difusi ke stratum korneum serta berikatan dengan air, asam dapat berfungsi sebagai humektan yang meningkatkan kadar air dalam stratum korneum. Hal ini dapat mengurangi pembentukan skuama yang kering di permukaan kulit dan memungkinkan sedikit pengelupasan pada kulit ketika digunakan, sehingga jaringan yang berkeratin dapat dikeluarkan secara mekanis. Konsentrasi AHA, pH sediaan dan komposisi basa sangat menentukan aplikasinya pada umumnya. Semakin anhidrous sediaan semakin kurang mengiritasi, sehingga semakin tinggi konsentrasi asam yang dapat ditoleransi.16 Kami memberi terapi pasien kasus pertama sebelum mendapat hasil pemeriksaan laboratorium dan histopatologi yang menyokong skleroderma. Pasien tidak kontrol kembali, sehingga kemungkinan perbaikan hanya pada stratum korneum saja, tidak pada dermis. Pada kasus ke-2, pasien mendapatkan terapi berupa metilprednisolon secara oral dan kortikosteroid topikal setelah didapat hasil laboratorium dan histopatologi. Kortikosteroid oral 10 sampai 20 mg per hari, dapat digunakan selama fase inflamasi akut dan fase udem penyakit kulit. Untuk perawatan kulit dapat digunakan krim pelembab.17
F Tabri
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7.
8.
Daniel SS, Jacob HT. Morphea. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. h. 692-701. Fetta N, Werth VP. Update on morphea: Part I. Epidemiology, clinical presentation, and pathogenesis. J Am Acad Dermatol. 2011; 64: 217-28. Sator PG, Radakovic S, Schulmeister K, Ho¨nigsmann H, Tanew A. Medium-dose is more effective than low-dose ultraviolet A1 phototherapy for localized scleroderma as shown by 20-MHz ultrasound assessment. J Am Acad Dermatol. 2009; 60: 786-91. Denton CP, Black CM. Scleroderma (systemic sclerosis). Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill Medical; 2008. h. 1553-62. Gabrielli A, Avvedimento EV, Krieg T. Scleroderma. N Engl J Med. 2009; 360: 1989-2003. Chung L, Lin J, Furst DE, Fiorentino D. Systemic and localized scleroderma. Clindermatol. 2006; 24: 374– 92. Badea I, Taylor M, Rosenberg A, Foldvari M. Pathogenesis and therapeutic approaches for improved topical treatment in localized scleroderma and systemic sclerosis. 2009; 481: 213–22. Habif TP. Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy. Edisi ke-4. Edinburgh: Mosby; 2004.
Skleroderma lokalisata
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
Hamaguchi Y. Autoantibody profiles in systemic sclerosis: Predictive value for clinical evaluation and prognosis. J Dermatol. 2010; 37: 42–53. Gabrielli A, Svegliati S, Maroncini G, Avvedimento EV. Pathogenic autoantibodies in systemic sclerosis. Curr opin Immunol. 2007; 19: 640-5. Basu D, Reveille JD. Anti-scl-70. Autoimmunity. 2005; 38: 65-72. Mustasim DF, Adams BB. A practical guide for serologic evaluation of autoimmune connective tissue disease. J Am Acad Dermatol. 2000; 42: 159-74. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's disease of the skin clinical dermatology. Philadelphia: Saunder Elseiver; 2006. Weedon D. Disorder of collagen. Weedon's skin pathologi. London: Churchill livingstone; 2010 Gaby AR. Natural Remedies for Scleroderma. Altern Med Rev. 2006; 11: 188-94. Burkhat CN, Katz KA. Other topical medications. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. h. 2697-07. Adelmann DC, Casale TB, Corren J. Manual of allergy and imunology : Diagnosis and therapy. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
41 S