SISTEM TENURIAL HUTAN RAKYAT DI DESA PURASARI KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
TENDY SETYO NOVELIYONO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sistem Tenurial Hutan Rakyat di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Tendy Setyo Noveliyono E14110050
ABSTRAK TENDY SETYO NOVELIYONO. Sistem Tenurial Hutan Rakyat di Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SONI TRISON. Semakin banyaknya masyarakat yang merasakan manfaat dari hutan rakyat menyebabkan terjadi peningkatan luas hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Desa Purasari merupakan salah satu desa yang sebagian kepemilikan hutan rakyatnya dimiliki oleh investor. Penguasaan lahan didominasi oleh masyarakat golongan atas/investor yang bermodal menyewa dan membeli lahan, sehingga masyarakat miskin tidak dapat memiliki lahan dan mengakibatkan masyarakat miskin hanya bekerja sebagai buruh tani. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan pengelolaan hutan rakyat serta perubahannya dan mengkaji dampak sosial dari tenurial. Masyarakat desa memperoleh lahan dengan cara membuka hutan, kemudian turun– temurun. Memasuki tahun 1980, sistem jual beli lahan banyak dilakukan oleh investor. Banyak investor yang memiliki kebun di desa sehingga saat ini. Telah terjadi perubahan pengelolaan yang dilakukan oleh petani pemilik dan petani pengelola pada subsistem produksi dan sub sistem pengolahan hasil. Adanya perubahan tenurial dapat berdampak terhadap keadaan sosial petani. Dampak yang dirasakan petani pemilik ialah menyempitnya lahan garapan (56.67%) dan kecemburuan sosial terhadap pengelola (26.67%). Dampak yang dirasakan petani pengelola antara lain menambah lapangan pekerjaan (90.00%), dan berubahnya model penanaman yang dilakukan oleh petani pengelola (30.00%). Kata kunci: dampak, pengelolaan hutan rakyat, perubahan, sistem tenurial
ABSTRACT TENDY SETYO NOVELIYONO. Private Forest Tenure System in the Purasari Village Leuwiliang District of Bogor Regency. Supervised by SONI TRISON. Increasing number of people who benefit from private forests led to an increase in forest area people in Bogor. Purasari village is a village that most people forest holdings owned by investors. Land tenure is dominated by upper class people/investors who have capital hire and purchase of land, so that the poor can not have land and resulted in poor communities only works as a laborer. The purpose of research is to describe the management of private forests as well as the changes and assess the social impact of tenure. Villagers acquire land by clearing forests, then hereditary. Entering 1980, the system of land selling is mostly done by the investor. Many investors who have a garden in the village so today. Have been changes in the management carried out by the farmer owners and managers of farmers in the production subsystem and processing sub-system. The change of tenure may impact social condition. The impact on farmers owners is narrowing of arable land (56.67%) and social jealousy to managers (26.67%). Meanwhile, the impact on farmers manager increase employment (90.00%), and change in model of planting undertaken by farmers managers (30.00%). Keywords: impact, private forest management, changes, tenure system
SISTEM TENURIAL HUTAN RAKYAT DI DESA PURASARI KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR
TENDY SETYO NOVELIYONO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia– Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Sistem Tenurial Hutan Rakyat di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan September hingga Oktober 2015 di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Soni Trison, S.Hut, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, Bapak Ishak, Bapak Sukron, Bapak Kandi serta seluruh responden yang telah membantu demi kelancaran penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, adik, dan seluruh keluarga, serta Novi N Lestari atas doa , dukungan, dan kasih sayangnya yang selalu memberi dukungan hingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu kritikan dan saran yang membangun untuk perbaikan penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pihak–pihak yang membutuhkan.
Bogor, April 2016
Tendy Setyo Noveliyono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
KATA PENGANTAR
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Waktu dan Lokasi Penelitian
3
Alat dan Bahan Penelitian
3
Pengambilan Data
3
Penentuan Responden
3
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
4
Karakteristik Responden
4
Sejarah Tenurial Hutan Rakyat
8
Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat
10
Dampak Sosial dari Aspek Tenurial Hutan Rakyat
14
SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
17
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
22
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Sebaran umur responden Tingkat pendidikan responden Jumlah anggota keluarga responden Luas hutan rakyat milik dan garapan responden Mata pencaharian responden Klasifikasi kesejahteraan responden Asal bibit tanaman
5 5 6 6 7 7 11
DAFTAR GAMBAR 1 Alasan penebangan petani pemilik dan petani pengelola
13
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Administratif Desa Purasari
21
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan hutan rakyat telah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat desa untuk menanam pohon di lahan yang dimilikinya. Tujuan dari berbagai penanaman tidak hanya berorientasi kepada manfaat lingkungan semata, tetapi juga mengarah kepada manfaat ekonomi dan sosial. Manfaat tersebut dapat dirasakan oleh pemiliknya maupun masyarakat sekitar. Semakin banyaknya masyarakat yang merasakan manfaat dari hutan rakyat menyebabkan terjadi peningkatan luas hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Selain itu, menurut Nugraha (2014) penambahan luas hutan rakyat disebabkan disebabkan juga oleh adanya kepastian kepemilikan lahan, ketertarikan menanam jenis tanaman kehutanan, dan kepastian akses pasar. Hutan rakyat di Jawa memiliki luas lahan yang relatif sempit dengan status kepemilikan lahan serta tata batas yang lebih jelas, pasar, informasi, dan aksessibilitas yang relatif lebih baik (Darusman dan Hardjanto 2006). Ariwijayanti (2011) menjelaskan bahwa sebagian besar petani yang memiliki lahan dengan luasan kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menjual kepada masyarakat luar/investor. Para investor memanfaatkan keadaan tersebut untuk membeli lahan dan mengusahakan hutan rakyat di desa bukan tempat tinggalnya. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat setempat yang dahulu mengelola dan memiliki lahan, kini hanya menjadi pengelola atau buruh tani dan terjadi ketidakmerataan distribusi kepemilikan lahan antara petani setempat dan investor. Sekretaris Desa Purasari yaitu Bapak Endang menyatakan bahwa, Desa Purasari merupakan salah satu desa yang sebagian kepemilikan hutan rakyatnya dimiliki oleh investor. Investor dapat menanamkan modal untuk membangun hutan rakyat di desa–desa bukan tempat tinggalnya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri. Selain itu, sebagian investor hanya membeli dan membiarkan lahan tersebut terbengkalai menjadi lahan tidur. Perubahan tenurial hutan rakyat dapat mengubah pengelolaan hutan rakyat dan menimbulkan dampak sosial masyarakat. Maka dari itu, penelitian perlu dilakukan untuk melakukan kajian sistem tenurial hutan rakyat di Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Perumusan Masalah Keberadaan hutan rakyat tidak hanya tumbuh semata–mata akibat interaksi alami antar komponen botani, mineral, mikroorganisme, air, dan udara melainkan peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan memiliki perbedaan antar kelompok masyarakat (Awang 2005). Suharjito (2000) menyatakan bahwa hutan–hutan yang tumbuh diatas lahan hak milik dan diusahakan oleh orang–orang kota yang menyewa atau membeli lahan masyarakat setempat masih dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Penguasaan atas lahan oleh masyarakat luar dapat menyebabkan ketidakmerataan distribusi kepemilikan lahan serta mengalami kesulitan dalam menggarap lahan dan hanya bisa menjadi buruh tani. Fenomena penguasaan lahan sebelumnya telah di teliti di beberapa lokasi di Kabupaten Bogor wilayah barat.
2
Berdasarkan penelitian Nuroni (2006) dan Iriani (2008), penguasaan lahan didominasi oleh masyarakat golongan atas/investor yang bermodal menyewa dan membeli lahan, sehingga masyarakat miskin tidak dapat memiliki lahan dan mengakibatkan masyarakat miskin hanya bekerja sebagai buruh tani atau bagi hasil yang dalam bahasa sunda disebut maparo. Perubahan tenurial hutan rakyat dapat mengubah pola pengelolaan hutan rakyat yang semula sebagai petani pemilik menjadi petani pengelola, seluruh kontrol pengelolaannya diatur oleh pemilik lahan. Pengelolaan hutan rakyat dengan didasari kepemilikan lahan memungkinkan pengelolaan yang lebih baik dan mengedepankan kelestarian, serta lebih kreatif dalam pemilihan jenis tanaman dan pemanenan. Perubahan tenurial hutan rakyat dapat juga berdampak terhadap keadaan sosial masyarakat. Beberapa dampak sosial yang dapat ditimbulkan, diantaranya lahan garapan semakin sempit, berubahnya model penanaman yang dilakukan oleh petani pengelola, kecemburuan sosial terhadap pengelola, dan ketimpangan ekonomi meningkat antar petani dengan pengelola (Afianto 2002). Berkaitan dengan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat beberapa pertanyaan yang merupakan ruang lingkup kajian dalam penelitian, yaitu: 1. Bagaimana kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani Desa Purasari, serta perubahan pengelolaan hutan rakyatnya? 2. Bagaimana sistem tenurial dan dampak sosial yang terjadi dari perubahan tenurial hutan rakyat? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dan mengkaji pengelolaan hutan rakyat serta perubahan pengelolaanya. 2. Mengkaji sistem tenurial dan dampak sosialnya Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan memberi kontribusi, sebagai berikut: 1. Untuk akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan penelitian–penelitian terkait tenurial hutan rakyat. 2. Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya tenurial hutan rakyat. 3. Untuk Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
3
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Bulan September sampai Bulan Oktober 2015. Lokasi penelitian terletak di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam pengambilan data adalah alat tulis, camera digital, dan laptop yang dilengkapi dengan Microsoft Excel dan Microsoft Word untuk mengolah data. Bahan yang digunakan adalah kuesioner penelitian. Pengambilan Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden terpilih melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan/kuesioner. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data lapang mengenai pengelolaan hutan rakyat dan keadaan yang dirasakan petani setempat terhadap perubahan serta sistem tenurial yang terjadi di desa. Data sekunder diperoleh dari data Desa Purasari yang berbentuk monografi desa dan data statistik pertanian dan kehutanan Kabupaten Bogor. Penentuan Responden Pemilihan responden dilakukan melalui metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan sesuai tujuan penelitian. Jumlah responden ditentukan sebanyak 64 responden. Responden tersebut dipilih dari dua populasi petani berbeda. Populasi pertama, dipilih 30 responden yang merupakan petani pengelola lahan sendiri (petani pemilik). Populasi kedua, dipilih 30 responden yang merupakan petani pengelola lahan milik orang lain (petani pengelola). Selain itu, empat orang informan yang merupakan tokoh kunci di desa tersebut dan ditentukan secara sengaja guna menggali informasi sejarah tenurial desa tersebut dengan cara wawancara mendalam. Prosedur Analisis Data Analisis yang pertama kali dilakukan adalah mengolah dan mentabulasikan data berdasarkan pengelompokan responden, petani pemilik dan responden petani pengelola. Selanjutnya, data dengan menggunakan analisis statistika deskriptif sederhana yang disajikan dalam bentuk persentase, diagram/pie chart/tabel ataupun kalimat deskriptif.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Desa Purasari adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Luas wilayahnya 632.12 ha dengan terdiri atas 37.5 ha lahan rumah dan pekarangan, 158.844 ha lahan hutan rakyat, 105.896 ha lahan sawah, 326.33 ha lahan perkebunan negara, dan 3.55 ha lahan penggunaan lain. Pembagian wilayah administratif desa terbagi 5 Kepala Dusun, 12 RW, dan 50 RT. Dusun I, II, II, IV masing–masing terdiri dari 2 RW, sedangkan Dusun V terdiri dari 4 RW. Kemudian, Desa Purasari memiliki wilayah dengan batas–batas sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Karyasari 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cibitung Wetan Kecamatan Pamijahan 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Puraseda Berdasarkan data monografi Desa Purasari tahun 2015, jumlah penduduk Desa Purasari sebanyak 12.279 jiwa yang terdiri dari 6.393 jiwa laki–laki, 5.886 jiwa perempuan, dan sebanyak 3.032 kepala keluarga. Penduduk di Desa Purasari 589 jiwa tidak tamat SD, 1.876 jiwa tamatan SD/sederajat, 868 jiwa tamatan SMP/sederajat, 819 jiwa tamatan SMA/sederajat, dan 210 jiwa tamatan Diploma 1, 2, 3 juga Strata 1, 2. Mata pencaharian penduduk di desa ini sebagai buruh tani (2.370 jiwa), petani (751 jiwa), dan karyawan perusahaan (250 jiwa), sedangkan yang lainnya bermata pencaharian sebagai buruh harian, pedagang, tukang ojek, dan sebagainya. Wilayah Desa Purasari umumnya merupakan daerah datar hingga berbukit dan memiliki ketinggian tempat 600–950 mdpl. Sebagian besar wilayah Desa Purasari adalah tanah berbukit dengan kemiringan antara 200–800. Suhu rata– rata antara 24°C–28°C dan curah hujan rata–rata 1.200 mm/tahun. Prasarana perhubungan di Desa Purasari berupa jalan kabupaten, yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi, dan jalan desa. Sarana transportasi yang tersedia antara lain kendaraan umum seperti angkutan desa dan ojek. Karakteristik Responden Umur Klasifikasi umur berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa umur produktif (tenaga kerja), yaitu antara 15 – 64 tahun. Umur responden diklasifikasikan berdasarkan BPS–Jabar. Berdasarkan data yang diperoleh, persentase petani pemilik yang termasuk usia produktif sebanyak 76,67%, sedangkan petani pengelola 90.00% (Tabel 1). Hal ini menunjukan bahwa, hutan rakyat di Desa Purasari banyak dikelola oleh petani dengan usia produktif kerja. Sesuai dengan pernyataan Sultika (2010) bahwa kemampuan dalam mengelola hutan rakyat oleh petani yang masih berusia produktif dapat semakin baik. Selain itu, menurut data penelitian tentang umur petani hutan rakyat Desa Purasari yang masih melakukan kegiatan bertani berada direntang umur 30 tahun hingga 74 tahun. Rentang umur tersebut sejalan dengan penelitian Ermayanti (2002) yang menyatakan bahwa, rentang umur petani hutan rakyat yang masih melakukan kegiatan bertani berada direntang umur 33 – 75 tahun (Desa Karyasari),
5 31 – 72 tahun (Desa Purasari), 29 – 71 (Desa Curug Bitung), dan 32 – 92 tahun (Desa Bantar Karet). Interval umur (tahun) 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 – 74
Tabel 1 Sebaran umur responden Petani pemilik Petani pengelola (%) (%) 6.67 3.33 10.00 6.67 10.00 13.33 20.00 16.67 23.33 13.33 3.33 33.33 3.33 3.33 16.67 3.33 6.67 6.67
Sumber : data olahan
Tingkat Pendidikan Sebagian besar tingkat pendidikan kedua kelompok responden adalah tingkat Sekolah Dasar (Tabel 2). Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh kendala biaya dan fasilitas pendidikan tingkat lanjut belum tersedia di desa. Tingkat pendidikan petani dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat dan tingkat adopsi yang diterima oleh responden. Hal ini sejalan dengan pernyataan Putri et al. (2015) bahwa tingkat pendidikan sebagian besar petani hutan rakyat masih tergolong rendah, yaitu hingga tingkat Sekolah Dasar karena keadaan ekonomi yang terbatas dan kurangnya kesadaran orang tua untuk mengarahkan pendidikan formal. Tabel 2 Tingkat pendidikan responden Petani pemilik Petani pengelola Tingkat pendidikan (%) (%) Tidak sekolah 33.33 33.33 SD 66.67 66.67 SMP 6.67 6.67 Sumber : data olahan
Jumlah Anggota Keluarga Menurut BKKBN (1998), besar keluarga diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5 – 7 orang), dan keluarga besar (> 7 orang). Berdasarkan data yang diperoleh, sebesar 50.00% kedua kelompok responden termasuk ke dalam kategori keluarga sedang (Tabel 3). Semakin besar jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani dapat mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga. Pengaruh tersebut dapat berupa meningkatnya biaya hidup rumah tangga atau sebaliknya dapat mengurangi biaya produksi dalam usaha tani karena tersedianya tenaga kerja (gratis) dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan Palmolina (2015) yang menyatakan bahwa, sebagian besar jumlah anggota keluarga petani hutan rakyat di daerah penelitiannya berada di tingkat keluarga sedang.
6
Tabel 3 Jumlah anggota keluarga responden Petani pemilik Petani pengelola Interval Anggota Keluarga (%) (%) ≤4 16.66 26.67 5–7 50.00 50.00 ≥7 33.33 23.33 Sumber : data olahan
Luas Hutan Rakyat Hutan rakyat yang dikelola terbagi menjadi dua jenis, yaitu lahan milik dan lahan garapan. Lahan milik ialah lahan milik sendiri, sedangkan lahan garapan adalah lahan milik investor yang dikelola oleh petani pengelola. Persentase terbesar (46.67%) petani pemilik memiliki luas lahan milik antara 0.2 ha – 0.49 ha (Tabel.4). Hal ini sesuai dengan penelitian Hardjanto (2003) yang menyatakan bahwa luasan hutan rakyat yang dimiliki oleh petani relatif sempit (kurang dari 1 ha). Persentase terbesar lahan garapan milik investor ialah 36.67% dengan luas lahan sekitar 1 – 1.99 ha. Daerah asal investor sebesar 93.33% berada di luar Kabupaten Bogor yang meliputi Bogor kota, Jakarta, dan Depok. Tabel 4 Luas hutan rakyat milik dan garapan responden Lahan garapan per daerah asal (%) Interval luas Lahan milik lahan (ha) (%) Luar Luar Luar pulau kecamatan kabupaten ≤ 0.1 13.33 0.00 0.00 0.00 0.1 – 0.19 20.00 0.00 0.00 0.00 0.2 – 0.49 46.67 0.00 0.00 0.00 0.5 – 0.99 10.00 0.00 20.00 0.00 1.0 – 1.99 10.00 3.33 33.33 0.00 2.0 – 2.99 0.00 0.00 16.67 0.00 ≥ 3.0 0,00 0.00 23.33 3.33 Jumlah 3.33 93.33 3.33 Sumber : data olahan
Mata Pencaharian Seluruh responden petani pemilik bermata pencaharian utama sebagai petani dilahannya sendiri dan bermata pencaharian sampingan beragam. Responden petani pengelola memiliki pekerjaan utama bukan hanya sebagai petani pengelola, tetapi juga bekerja sebagai petani di lahannya sendiri (Tabel 5). Hal ini menjelaskan bahwa kedua kelompok responden petani masih memiliki waktu luang untuk bekerja meski telah mengelola lahan miliknya sendiri. Hal tersebut mendorong para petani untuk melakukan pekerjaan sampingan. Sejalan dengan Sanudin dan Fauziah (2015) yang menjelaskan bahwa, responden petani hutan rakyat di daerah penelitiannya sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani.
7 Tabel 5 Mata pencaharian responden Petani pemilik Petani pengelola Mata pencaharian (%) (%) Utama 1. Petani 100.00 36.67 2. Pengelola 0.00 63.33 Sampingan 1. Buruh tani 50.00 20.00 2. Pedagang 16.67 26.67 3. Tidak ada 23.33 20.00 4. Supir angkutan 0.00 13.33 5. Guru 0.00 6.67 6. Lainnya 10.00 10.00 Sumber : data olahan
Kesejahteraan Kesejahteraan petani pemilik dan petani pengelola dapat dilihat pada Tabel 6, yang menunjukkan sebaran pendapatan total per kapita dari perhitungan berdasarkan klasifikasi Sajogyo dan dinyatakan dalam nilai tukar beras (kg/jiwa/tahun). Nilai tukar beras di Desa Purasari yaitu Rp.10.000/kg. Sajogyo (1996) menyatakan bahwa klasifikasi kesejahteraan meliputi, sangat miskin (< 180 kg/jiwa/tahun), miskin (180 – 239 kg/jiwa/tahun), cukup (240 – 319 kg/jiwa/tahun), dan kaya (≥ 320 kg/jiwa/tahun). Klasifikasi kesejahteraan rata–rata pendapatan per kapita responden petani pengelola sebesar 323.6 kg/orang/tahun dan termasuk ke dalam golongan kaya. Berbeda dengan petani pengelola, rata–rata pendapatan per kapita responden petani pemilik hanya sebesar 280 kg/orang/tahun, yaitu termasuk ke dalam golongan diambang cukup. Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi ketimpangan pendapatan rata-rata responden antara petani pemilik dan petani pengelola yang disebabkan oleh ketimpangan luas lahan yang dikelola dan pekerjaan sampingan. Sejalan dengan Pratama et al. (2015) yang menyatakan bahwa, di desa penelitiannya rata-rata pendapatan rumah tangga per kapita pemilik hutan rakyat berada diatas garis kemiskinan, artinya pemilik hutan rakyat berada di tingkat kecukupan. Tabel 6 Klasifikasi kesejahteraan responden Petani pemilik Petani pengelola Klasifikasi kesejahteraan (%) (%) Kaya 26.67 43.33 Cukup 40.00 40.00 Miskin 16.67 13.33 Sangat miskin 16.67 3.33 Sumber : data olahan
8
Tenurial Hutan Rakyat Desa Purasari Sebelum masuknya investor (sebelum tahun 1980) Menurut sesepuh di Desa Purasari Bapak Odih, pemilikan lahan di desa ini secara garis besar diperoleh dengan cara membuka hutan. Lahan yang dimiliki dikelola secara perseorangan kemudian diwariskan secara turun–temurun. Pada masa penjajahan lahan dikuasai oleh tuan tanah. Tuan tanah merupakan masyarakat pribumi yang memihak kepada penjajah. Tuan tanah bertugas memungut upeti dari masyarakat setempat yang mengelola lahan. Upeti tersebut merupakan pengganti dari pajak berupa hasil tani berupa padi, jagung, singkong, pisang, kelapa, dan lainnya. Pertanian yang diusahakan pada zaman penjajahan masih sangat sederhana, yaitu hanya menanam tanaman yang dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Memasuki masa kemerdekaan, istilah tuan tanah mulai tidak berlaku. Menurut seorang tokoh setempat yaitu Bapak Tata, pada tahun 1952 terdapat kegiatan klasiran yaitu pendataan lahan yang dikelola masyarakat setempat. Pendataan tersebut berupa pengukuran dan penetapan lahan yang telah dikelola oleh masing–masing warga secara turun–temurun dari masa penjajahan. Selang lima tahun dari klasiran, pemerintah melakukan pengesaahan lahan (girik) yang dimiliki masyarakat setempat dari hasil klasiran. Girik mewajibkan masyarakat setempat membayar pajak atas lahan yang dikuasainya. Setelah terjadinya girik, masyarakat sekitar mulai mengusahakan lahan keringnya dengan menanam dominasi tanaman kayu keras yang biasa disebut hutan rakyat atau kebun. Sampai pada tahun 1970, komoditas tanaman karet dan sengon mendominasi di desa ini. Menurut penuturan Bapak Isak, dahulu luas kebun karet di desa ini seluas 10 ha dan seluruhnya merupakan milik petani setempat, sedangkan sisanya diusahakan menjadi kebun campuran ataupun hanya menjadi lahan tidur. Kurang lebih 50% lahan pertanian kering tidak diusahakan oleh pemiliknya (masyarakat setempat). Hal tersebut disebabkan oleh, penduduk yang masih sedikit sehingga kebutuhan penggunaan lahan tidak terlalu banyak. Memasuki pertengahan tahun 70–an, harga karet menurun dan menyebabkan tanaman karet tidak lagi diminati oleh petani setempat dan banyak yang ditebang. Seorang warga desa yang bernama H. Abung mulai mencoba menanam tanaman cengkih di lahan miliknya. Tanaman tersebut cocok ditanam di desa ini dan berhasil berbuah. Hal tersebut akhirnya diikuti pula oleh beberapa petani setempat. Namun, para petani belum mengetahui bahwa harga cengkih sangat diperhitungkan di pasaran dan dapat terus meningkat. Menurut Bapak Tata hingga akhir tahun 70–an kebun cengkih di desa ini seluas kurang lebih 9 ha. Setelah masuknya investor (tahun 1980) Jual beli lahan pertanian mulai terjadi saat masyarakat luar desa/investor masuk ke Desa Purasari. Menurut Sekretaris Desa (Sekdes) Endang, sebelum masuknya para investor, transfer kepemilikan lahan hanya melalui sistem waris. Pada tahun 1980, seorang ahli tanaman cengkih yang berasal dari luar desa (H. Gober) membeli lahan seluas 1 ha di Desa Purasari. H. Gober menjadi investor pertama yang membeli lahan di desa ini. H. Gober juga mengajarkan dan memberikan penyuluhan kepada para petani setempat tentang tata cara menanam dan memelihara tanaman cengkih yang baik dan benar. Hal tersebut mengakibatkan
9 semakin bertambahnya para petani setempat yang menanam cengkih. Petani pemilik menanam tanaman cengkih dengan mencampurkan dengan tanaman lainnya di kebun campuran miliknya tanpa merubah menjadi kebun sejenis. Hal tersebut disebabkan oleh, harga bibit tanaman cengkih yang cukup mahal yaitu Rp10/bibit. Cocoknya tanaman cengkih ditanam di desa ini mengundang lebih banyak para investor untuk membeli lahan. Para investor mendapatkan informasi tersebut berdasarkan cerita dari teman maupun kerabat di Desa Purasari dan membeli lahan melalui aparat desa. Investor hanya membeli lahan–lahan yang tidak ditanami /diusahakan oleh pemiliknya. Dahulu, harga lahan relatif cukup murah, yaitu sebesar Rp2.000/m2. Menurut penuturan Bapak Tata pada tahun 80–an, terjadi pembelian lahan secara besar–besaran oleh para investor. Lahan tidur milik petani setempat hampir tidak ada karena berubah menjadi kebun, baik diusahakan sendiri maupun diusahakan oleh investor dengan cara dijual. Menurut Bapak Isak, pada awal tahun 90–an hampir seluruh lahan pertanian kering Desa Purasari ditanami tanaman cengkih. Tidak ada data pasti mengenai jumlah lahan cengkih yang diusahakan pada tahun 90–an. Tepatnya tahun 1998, harga cengkih mengalami penurunan yang sangat drastis, disebabkan oleh terjadinya kasus Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC). Pada saat itu, banyak petani mengalami kerugian. Sebagian besar petani setempat menebang seluruh tanaman cengkih dan mengubahnya kembali menjadi kebun campuran yang didominasi oleh tanaman sengon. Para investor tetap mempertahankan kebun cengkih dengan cara membiarkannya tidak terpelihara. Hal yang terjadi pada akhir masa Orde Baru mengakibatkan hingga saat ini petani setempat lebih sedikit yang mengusahakan kebun cengkih dibandingkan dengan para investor. Petani setempat lebih memilih menebang ataupun menjual lahannya daripada memanen buah cengkih yang tidak memiliki harga. Selain menjual kebun cengkih, beberapa petani pemilik kembali mengusahakan hutan rakyat campuran dengan didominasi tanaman sengon dan afrika. Hampir seluruh petani setempat yang dahulu mengusahakan cengkih melakukan hal tersebut. Akibatnya, hampir 50% lahan yang ditanami cengkih di Desa Purasari di konversi menjadi kebun campuran. Hingga saat ini, ara investor membeli lahan yang telah diusahakan oleh petani setempat maupun investor yang tidak mengusahakan lahannya lagi. Proses pembelian lahan malalui bantuan makelar tanah. Lahan hutan rakyat di daerah Dusun II dan Dusun IV banyak menjadi target pembelian oleh para investor saat ini. Hal ini disebabkan oleh akses menuju kedua dusun tersebut sangat mudah dilalui jalan kabupaten. Investor dari luar tidak hanya membuat kebun cengkih, namun juga membuat kebun sengon. Pemilik lahan memperoleh dan menetapkan seorang pengelola sesuai pilihannya sendiri. Selain itu, terdapat pula yang berdasarkan atas dasar masukan dari makelar yang telah membantu mendapatkan lahan tersebut. Makelar akan mencari seorang pengelola sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pemilik lahan. Kriteria yang diinginkan oleh pemilik lahan adalah seseorang yang jujur dalam segala hal yang dikerjakan, bertanggung jawab, ahli, dan berpengalaman dalam pengelolaan hutan rakyat.
10
Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat Perbedaan pengelolaan hutan rakyat disebabkan adanya perubahan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani pemilik dan petani pengelola. Perubahan pengelolaan hutan rakyat hanya terjadi pada sub sistem produksi dan pengolahan hasil. Persiapan lahan Perubahan pengelolaan hutan rakyat terjadi pada sub sistem produksi. Tahap awal dari sub sistem produksi adalah persiapan lahan. Berdasarkan data yang diperoleh, seluruh petani pemilik melakukan persiapan lahan sebelum penanaman meliputi kegiatan pembersihan lahan dan pembuatan lubang tanam. Pembersihan lahan yang dilakukan petani pemilik cenderung tidak secara keseluruhan, namun hanya dilakukan pembersihan gulma pengganggu di sekitar lahan yang akan ditanami. Lahan hutan rakyat yang akan ditanami umumnya berupa hutan rakyat yang memiliki tanaman lain dan relatif jarang mengandung tumbuhan liar. Pembuatan lubang tanam yang dilakukan petani pemilik hanya mencungkil sebagian tanah dan langsung ditanami anakan, tanpa melakukan pengolahan tanah. Sebagian besar petani pengelola melakukan kegiatan persiapan lahan meliputi kegiatan pembersihan lahan, pembuatan lubang tanam, dan pengolahan tanah (80.00%). Pembersihan lahan dengan cara menebang habis seluruh tanaman. Hal tersebut disebabkan, para investor lebih tertarik mengusahakan kebun sejenis. Saat pembuatan lubang tanam, petani pengelola membiarkan lubang tanam yang telah dibuat terbuka dan terkena sinar matahari langsung untuk beberapa minggu. Selain itu, pengolahan tanah dilakukan dengan cara mencampurkan tanah dengan pupuk kandang. Hal tersebut, bertujuan untuk menyuburkan lubang tanam yang akan ditanami anakan. Kegiatan persiapan lahan 13.33% petani pemilik dan 30.00% petani pengelola dilakukan dengan cara diburuhkan. Upah buruh tani dari kegiatan ini sebesar Rp40.000/hari/orang. Alat yang digunakan oleh petani pemilik untuk persiapan lahan, yaitu cangkul, garpu, dan parang. Petani pengelola pun menggunakan alat yang sama seperti petani pemilik, tetapi memiliki alat tambahan berupa mesin pemotong rumput. Penanaman Jenis hutan rakyat yang lebih banyak diusahakan petani pemilik adalah jenis hutan rakyat campuran. Jarak antar tanaman kayu tidak menjadi hal utama karena para petani pemilik ingin mengoptimalkan luasan lahan yang sempit. Petani pemilik menggunakan jarak tanam hanya pada tanaman cengkih, yaitu dengan jarak 3×3 m dan 4×4 m. Jarak tanam tersebut tidak memenuhi kriteria dalam penanaman cengkih yang seharusnya. Jarak tanam yang harus digunakan dalam penanaman cengkih adalah 7×8 m atau 8×8 m untuk topografi yang bergelombang (Distanhut Kab. Bogor 2014). Pemilihan jenis tanaman yang dilakukan petani pengelola merupakan perintah dari pemilik lahan. Sebesar 73.33% pemilik lahan memilih tanaman cengkih sebagai tanaman inti di lahan miliknya. Jarak tanam yang digunakan petani pengelola dalam penanaman cengkih adalah 6×6 m hingga 8×8.m. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan petani pemilik karena luasan hutan rakyat yang dimiliki setiap investor lebih luas daripada petani setempat. Jika petani
11 pengelola menanam sengon sebagai tanaman inti, maka jarak tanam yang digunakan adalah 2m×2m. Kegiatan penanaman 13.33% petani pemilik dan petani pengelola dilakukan dengan cara diburuhkan. Upah buruh tani dari kegiatan ini sebesar Rp40.000/hari/orang. Alat yang digunakan oleh petani pemilik untuk kegiatan ini, yaitu cangkul, garpu, dan parang dan begitu pula yang digunakan petani pengelola.
Jenis tanaman
Tanaman kayu
Tanaman buah
Tabel 7 Asal bibit tanaman Cara memperoleh bibit Petani tanaman pemilik (%) Usaha sendiri 100.00 1. Beli 13.33 2. Cabutan 56.66 3. Campuran 30.00 Pemberian 0.00 1. Bantuan pemerintah 0.00 2. Pemilik lahan sebelumnya 0.00 Usaha sendiri 63.33 1. Beli 33.33 2. Cabutan 20.00 3. Campuran 46.66 Pemberian 36.66 1. Bantuan pemerintah 100.00 2. Pemilik lahan sebelumnya 0.00
Petani pengelola (%) 100.00 12.50 50.00 37.50 0.00 0.00 0.00 72.73 86.36 0.00 13.64 27.27 0.00 100.00
Sumber : data olahan
Petani pemilik dan petani pengelola dalam menyediakan bibit tanaman terdapat dua sumber, yaitu berasal dari usaha sendiri dan pemberian. Usaha sendiri terdiri dari membeli, cabutan, dan campuran keduanya. Jika bibit berasaal dari pemberian, maka pemberian dari pemerintah dan pemilik lahan sebelumnya. Petani pemilik (56.66%) dan petani pengelola (50.00%) lebih memilih cabutan anakan alami dalam penyediaan bibit tanaman kayu (Tabel 7). Anakan alami tersebut sangat memudahkan kedua kelompok petani karena tidak perlu mengeluarkan modal untuk membeli bibit. Meskipun, petani pengelola memiliki modal yang cukup dari pemilik lahan. Selain itu, bibit sengon dari hasil anakan alami lebih tahan terhadap hama dan penyakit. Berbeda dengan bibit yang diperoleh dari hasil membeli, bibit cenderung mudah terserang penyakit. Hal ini berbeda dengan penelitian Fanuzia (2013) bahwa bibit yang diperoleh dengan cara membeli akan lebih mudah dilakukan dan tidak memerlukan persemaian. Perbedaan cara memperoleh bibit tanaman kayu antara petani pemilik dan petani pengelola ialah ketika diharuskan membeli bibit tanaman. Petani pemilik membeli bibit dengan modal sendiri, sedangkan petani pemilik membeli bibit dengan seizin pemilik lahan. Harga bibit sengon dari pedagang keliling yaitu Rp1.000/bibit dengan ukuran tinggi 30 cm. Selain tanaman kayu, kedua kelompok petani juga menanam tanaman buah. Proses dalam memperoleh bibit tanaman buah berasal dari usaha sendiri dan pemberian. Petani pemilik (46.66%) memadukan campuran antara membeli dan cabutan anakan alami dalam menyediakan bibit buah. Hal tersebut disebabkan, modal petani pemilik yang terbatas untuk melakukan pembelian bibit tanaman buah
12
secara keseluruhan. Selain itu, harga bibit tanaman cengkih yang cukup mahal sehingga kurang terjangkau oleh petani pemilik, yaitu Rp15.000/bibit dengan ukuran 50 cm. Selain usaha sendiri, petani pemilik juga mendapatkan pemberian bibit tanaman buah dari pemerintah. Bantuan tersebut dikhususkan untuk petani pemilik setempat. Hal tersebut sangat membantu petani pemilik untuk menanam cengkih, meskipun bantuan tersebut baru pertama kali terjadi di desa tersebut. Petani pengelola memperoleh bibit tanaman buah terutama cengkih dari proses membeli sebesar 86.36%, ditunjukan pada Tabel 7. Perbedaan dengan petani pemilik adalah modal yang cukup dari pemilik lahan sehingga sebagian besar petani pengelola memperoleh bibit dengan cara membeli. Selain itu, petani pengelola memperoleh tanaman cengkih dari proses pemberian. Perbedaan proses pemberian antara petani pemilik dan petani pengelola adalah subjek yang memberi. Petani pemilik memperoleh tanaman cengkih dari pemerintah, sedangkan petani pengelola merupakan warisan dari pemilik sebelumnya. Petani pengelola tidak memperoleh bibit tanaman cengkih dari bantuan pemerintah karena bantuan tersebut hanya diperuntukan bagi petani pemilik. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit. Kegiatan penyiangan dan pendangiran dilakukan oleh kedua kelompok petani, baik petani pemilik dan petani pengelola. Kegiatan tersebut dilakukan hanya di sekitar pangkal pohon dengan cara memotong rumput liar dan membalikkan tanah. Kegiatan pemeliharaan selanjutnya, yaitu penyulaman. Kegiatan ini dilakukan oleh petani pemilik dan petani pengelola dengan cara mengganti anakan yang mati dengan anakan yang baru. Kegiatan pemupukan adalah kegiatan lain yang dilakukan oleh kedua kelompok petani. Perbedaan pemupukan antara kedua kelompok petani diantaranya adalah jumlah pupuk yang digunakan dan frekuensi pemupukan dalam satu tahun. Petani pemilik biasanya menggunakan jenis pupuk kandang, NPK, TSP, Urea, dan phonska dengan dosis bergantung pada modal yang dimiliki. Frekuensi pemupukan rata–rata dua kali dalam satu tahun. Hal tersebut disebabkan oleh lahan hutan rakyat yang banyak ditanami jenis tanaman terutama tanaman musiman sehingga perlu pemberian pupuk yang teratur. Petani pengelola mengguanakan jenis pupuk yang sama seperti petani pemilik. Kegiatan pemupukan oleh petani pengelola menggunakan jumlah yang lebih banyak dari pada petani pemilik. Pemupukan rata– rata dilakukan satu kali dalam satu tahun karena sebagian besar hutan rakyat milik masyarakat luar didominasi tanaman cengkih. Pemupukan cengkih dilakukan setiap satu bulan sebelum atau setelah dilakukannya pemanenan. Pemeliharaan hutan rakyat yang terakhir dilakukan adalah pemberantasan terhadap hama dan penyakit. Pemeliharaan ini dilakukan untuk menjaga agar tanaman di hutan rakyat tidak terserang hama dan penyakit. Beberapa penyakit seperti karat puru, yang disebabkan oleh jamur Uromycladium sp, dan penggerek batang (uter–uter), disebabkan oleh ulat surendang (Xystrocera festiva), seringkali menyerang tanaman dan sukar untuk diberantas sehingga mengganggu tanaman petani. Pemberantasan terhadap hama dan penyakit yang dilakukan oleh kedua kelompok petani, yaitu pemangkasan, pembedahan, dan penyemprotan menggunakan insektisida. Tetapi, pemberantasan hama tersebut tidak terlalu efektif
13 sehingga hama dan penyakit tetap merusak tanaman, baik tanaman penghasil kayu ataupun penghasil buah. Oleh karena itu, beberapa petani baik petani pemilik maupun petani pengelola membiarkan dan tidak memberantasnya karena bingung serta tidak mengetahui obat yang dapat memberantas hama dan penyakit tersebut. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani pemilik (6.66%) dan petani pengelola (40.00%) dengan cara diburuhkan. Upah buruh tani dari kegiatan ini sebesar Rp40.000/hari/orang. Alat yang digunakan oleh petani pemilik untuk persiapan lahan, yaitu cangkul dan parang. Petani pengelola pun menggunakan alat yang sama seperti petani pemilik, tetapi memiliki alat tambahan berupa mesin pemotong rumput. Pemanenan Akhir dari sub sistem produksi adalah pemanenan. Sebesar 76.67% petani pemilik melakukan pemanenan disebabkan oleh kebutuhan (Gambar 1). Sesuai dengan penelitian Umam (2010) bahwa sebagian besar petani desa melakukan penebangan dengan alasan kebutuhan ekonomi dan mendesak. Selain itu, terdapat pula petani pemilik yang memanen ketika tanaman kayu telah masak tebang sekitar lima tahun tanam (23.33%). Pemanenan saat telah masak tebang ini memiliki tujuan dari sebagian petani, yaitu untuk memaksimalkan pendapatan dari kebun. Menurut sebagian petani pemilik, pemanenan yang belum cukup waktu penebangan dapat mengurangi pendapatan. Petani pengelola (73.33%) melakukan pemanenan pada saat masak tebang atau panen (Gambar 1). Hal tersebut karena pemilik lahan menginginkan hasil panen yang optimal dari kebun yang diusahakannya. 100.00% 80.00%
76.67%
73.33%
60.00% 40.00%
23.33%
20.00%
20.00%
6.67%
0.00% Kebutuhan
Hama penyakit
Petani pemilik
Masak tebang/panen
Petani pengelola
Sumber : data olahan
Gambar 1 Alasan penebangan petani pemilik dan petani pengelola Petani pengelola yang melakukan penebangan selain perintah pemilik lahan merupakan pengecualian. Sebagian kecil petani pengelola (33.33%) diberi kebebasan menanam tanaman di lahan kelolaannya selain tanaman inti, tetapi tidak diberi gaji. Kebebasan tersebut sebagai imbalan pemilik lahan terhadap pekerjaan yang dilakkan petani pengelola. Petani pengelola seperti ini diberi kebebasan menanam tanaman selain tanaman inti sehingga dapat memanen sesuai keperluan sendiri. Kemudian sebagian besarnya (76.66%) tidak diberi kebebasan sedikitpun untuk menanamam tanaman di lahan kelolaannya selain tanaman inti, tetapi diberi gaji rata-rata sebesar Rp1.000.000/bulan. Antara petani pengelola dan pemilik lahan dalam hal ini tidak melakukan bagi hasil. Seluruh hasil dari tanaman inti menjadi hak milik pemilik lahan.
14
Seluruh petani baik pemilik maupun pengelola melakukan penebangan pohon kayu menggunakan jasa tengkulak. Jasa tersebut membeli kayu saat masih berbentuk pohon berdiri. Jika petani melakukan penebangan sendiri dengan menggunakan jasa buruh harian, maka biasanya menggunakan buruh dengan upah Rp70.000/orang/hari. Upah tersebut merupakan upah untuk menebang, menyarad, dan mengangkut. Beberapa petani pemilik dan petani pengelola menggunakan jasa borongan atau jasa buruh panen saat memanen tanaman buah. Jika pemanenan tanaman buah menggunakan bantuan jasa borongan, maka hasil panen langsung menjadi hak milik pemborong. Jika pemanenan menggunakan jasa buruh panen, maka buruh panen hanya bekerja sebagai buruh dengan diberi upah dan hasil panen tetap dimiliki petani untuk dijual sendiri atau disetor ke pemilik lahan. Ketika pemanenan cengkih menggunakan jasa buruh panen maka upah buruh panen, yaitu sebesar Rp2.500/kg cengkih yang diperoleh. Pengolahan hasil Kegiatan setelah sub sistem produksi adalah sub sistem pengolahan hasil. Petani pemilik tidak melakukan pengolahan hasil terhadap tanaman kayu. Petani pemilik lebih memilih menjual langsung pohon berdiri kepada tengkulak. Pohon yang dapat dijual ialah pohon yang telah berdiameter 15 cm ke atas. Jika pohon yang dijual secara borongan maka harga berdasarkan sistem kubikasi. Harga untuk kayu sengon dan afrika ialah Rp450.000/m³. Hasil panen dari tanaman buah (cengkih) lebih banyak dijual sendiri dengan cara mengeringkan biji cengkih sehingga menjadi cengkih kering guna meningkatkan harga jual. Harga cengkih basah yaitu Rp30.000/kg, sedangkan harga cengkih kering rata–rata Rp120.000/kg. Hanya sebagian petani yang menjual langsung kepada pemborong. Hal berbeda dilakukan oleh petani pengelola, karena lahan yang digarap dan seluruh tanaman inti (tanaman kayu atau tanaman cengkih) milik pemilik lahan maka petani pengelola akan menyetorkan hasil panen kepada pemilik lahan. Hanya saja, menyetorkan hasil panen kayu yang disetorkan berupa uang. Hal tersebut disebabkan, petani pengelola langsung menjual ke tengkulak berupa pohon berdiri. Hasil cengkih disetorkan kepada pemilik lahan berupa cengkih basah. Dampak Sosial dari Aspek Tenurial Hutan Rakyat Keberadaan hutan rakyat di Desa Purasari yang banyak dimiliki oleh masyarakat luar/investor berdampak terhadap keadaan sosial masyarakat setempat. Beberapa indikator dampak sosial yang dapat terjadi akibat perubahan tenurial berdasarkan Afianto (2002) yaitu, lahan garapan semakin sempit, serta kecemburuan sosial terhadap petani pengelola, berubahnya model penanaman yang dilakukan oleh petani pengelola, dan menambah lapangan pekerjaan. Indikator tersebut terjadi di lingkungan masyarakat khususnya petani Desa Purasari, baik petani pemilik maupun petani pengelola. Petani pemilik a. Lahan garapan semakin sempit Menyempitnya lahan garapan yang dirasakan petani pemilik dapat disebabkan oleh adanya lahan milik investor. Selain itu, faktor pendukung lainnya ialah adanya sistem waris. Lahan yang diwariskan dari suatu keluarga masyarakat
15 dibagi-bagikan kepada pihak-pihak yang memiliki hak waris. Oleh karena itu, lahan yang dimiliki petani dari satu generasi ke generasi berikutnya akan semakin menyempit. Pada saat-saat tertentu, petani berlahan sempit cenderung akan menjual lahannya karena pendapatan yang diperoleh dari lahan yang dimiliki tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Sebagian besar pendapatan rumah tangga masyarakat Desa Purasari diperoleh dari kegiatan usaha tani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama. Hak menguasai atas lahan yang lemah menyebabkan para petani kecil kurang mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari–hari. Bagi masyarakat desa, luas lahan garapan mencerminkan kesejahteraan. Peran lahan sangat penting bagi kehidupan masyarakat desa, karena identik dengan status sosial rumah tangga. Iriani (2008) menyatakan bahwa kepemilikan lahan di suatu desa oleh petani setempat dinilai memiliki arti penting dalam sektor ekonomi dan sosial. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan disebabkan oleh kepemilikan lahan oleh investor yang sangat berlebihan. Ariwijayanti (2011) menyatakan bahwa kemiskinan di desa khususnya bagi para petani disebabkan oleh ketidakmerataan penguasaan atas lahan pertanian untuk dikelola. Situasi tersebut menjadikan lahan yang dimiliki petani asli setempat menjadi semakin sempit. Akibatnya, rata-rata kontribusi hutan rakyat terhadap total pendapatan responden petani pemilik hanya 36.9%. Hal itu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata kontibusi hutan rakyat terhadap total pendapatan responden petani pengelola yang sebesar 66.1%. Maka dari itu, sebesar 56.67% responden petani pemilik merasakan dampak tersebut. b. Kecemburuan sosial terhadap petani pengelola Ketika terjadi pembelian lahan oleh masyarakat luar, sedikitnya terdapat satu orang yang dikuasakan untuk mengelola lahan tersebut. Beberapa petani setempat sebagai pemilik sebelumnya akan tersingkir dari pekerjaan produktifnya sebagai petani di lahan tersebut. Dahulu, para petani pemilik sebelumnya dapat menggarap lahan untuk menghidupi keluarga. Namun sekarang, para petani tidak dapat menggarap lahan karena sebagian besar lahan hutan rakyat dibeli oleh masyarakat luar dan dikelolakan kepada petani pengelola pilihannya. Maka dari itu, akan timbul dampak kecemburuan sosial terhadap petani pengelola. Hal ini sesuai dengan penelitian Afianto (2002), bahwa petani tersingkir dari pekerjaan produktifnya karena terjadi alih fungsi lahan yang dikuasai oleh masyarakat luar. Hal inilah yang menyebabkan kecemburuan terhadap pengelola. Padahal, menurut Ruswandi (2005) menyatakan bahwa dengan menggarap lahan milik orang lain kontinuitas usaha pada lahan milik orang lain kurang terjamin. Apabila suatu lahan dijual pemiliknya atau diganti penggarapnya maka petani kehilangan lahan tersebut. Kecemburuan petani pemilik terlihat pada sikap iri yang ditujukan kepada petani pengelola. Sebesar 36.67% responden petani pemilik merasakan dampak tersebut. Petani pengelola a. Menambah lapangan pekerjaan Kepemilikan lahan oleh masyarakat luar secara besar–besaran ternyata tidak hanya berdampak negatif. Dampak positif pun dirasakan, tetapi hanya oleh petani pengelola. Beberapa responden petani pengelola (90.00%) menyatakan bahwa dengan adanya pemilikan lahan masyarakat luar dapat menambah lapangan pekerjaan. Hal itu terjadi karena para petani pengelola merasa tertolong dengan
16
adanya lahan–lahan milik investor. Petani pengelola diberikan izin untuk menjaga dan mengelolanya lahan tersebut. Dengan kata lain, para petani tersebut dapat bekerja sebagai petani pengelola sehingga memperoleh penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Hal ini sejalan dengan Winarso (2012), menjelaskan bahwa salah satu dampak positif adanya pemilikan lahan oleh masyarakat luar, yaitu meningkatkan lapangan pekerjaan bagi petani tunakisma (petani yang tidak memiliki lahan). b. Berubahnya model penanaman yang dilakukan oleh petani pengelola Selain itu, dampak yang terjadi ketika petani pemilik telah berubah menjadi petani pengelola ialah model penanaman yang dilakukan. Dahulu, ketika masih menjadi petani pemilik, penanaman yang dilakukan sesuai dengan keinginan sendiri baik jenis hutan rakyat yang diinginkan. Tanaman yang ditanam merupakan tanaman yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluannya, baik untuk di jual maupun konsumsi pribadi. Biasanya lahan yang dikelola petani pemilik berupa kebun campuran, dengan jenis tanaman kayu, buah-buahan, dan juga tanaman palawija sebagai tumpang sarinya. Namun saat menjadi petani pengelola, semua tanaman yang ditanam di lahan mengikuti keinginan pemilik lahan. Afianto (2002) menyatakan jika petani pengelola itu hanya memiliki kewajiban untuk mengolah lahan hingga menghasilkan produksi tanpa bisa menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. Lahan yang dahulu berupa hutan rakyat campuran dibabat habis dan diganti dengan tanaman satu jenis (sengon maupun cengkih). Model penanaman tersebut akan berubah. Hal tersebut juga akan berakibat pada kurang berkembangnya inisiatif dan inovasi dari petani pengelola. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 30.00% petani pengelola merasakan dampak tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Lahan di Desa Purasari secara garis besar diperoleh dengan cara membuka hutan kemudian diwariskan secara turun–temurun kepada generasi berikutnya. Memasuki tahun 1980 mulailah para investor luar berdatangan dan mengusahakan kebun cengkih. Oleh karena itu, pengelolaan hutan rakyat di Desa Purasari saat ini terdiri dari dua kategori, yaitu pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani pemilik dan pengelolaan yang dilakukan petani pengelola. Terdapat perbedaan pengelolaan yang dilakukan antara kedua kelompok responden tersebut, terutama pada sub sistem produksi dan sub sistem pengolahan hasil. Kegiatan persiapan lahan terdapat perbedaan dalam penggunaan jasa buruh tani, 13.33% petani pemilik dan 30.00% petani pengelola. Kegiatan penanaman petani pemilik menyediakan bibit tanaman kayu sebanyak 56.66% dari cabutan anakan alami sedangkan bibit tanaman buah sebanyak 46.66% dari campuran antara membeli dan cabutan anakan, sedangkan petani pengelola sebesar 50.00% bibit tanaman kayunya dari hasil cabutan anakan alami dan sebesar 86.36% bibit tanaman buah berasal dari pembelian. Kegiatan pemeliharaan 6.66% petani pemilik dan 40.00% petani pengelola dilakukan dengan cara diburuhkan. Kegiatan pemanenan 76.67% petani pemilik melakukan pemanenan disebabkan oleh biaya tak terduga, sedangkan
17 73.33% petani pengelola melakukannya pada saat masak tebang panen. Petani pemilik tidak melakukan pengolahan hasil terhadap kayu dan hanya mengolah pada buah cengkih, sedangkan petani pengelola seluruh hasil tanaman inti yang ditanam di kebun kelolaannya disetorkan kepada pemilik lahan. Adanya perubahan tenurial hutan rakyat di desa tersebut dapat berdampak terhadap keadaan sosial para petani. Dampak yang dirasakan petani pemilik antara lain menyempitnya lahan garapan (56.67%) dan kecemburuan sosial terhadap pengelola (36.67%). Dampak yang dirasakan petani pengelola antara lain menambah lapangan pekerjaan (90.00%), dan berubahnya model penanaman yang dilakukan oleh petani pengelola (30.00%). Saran Masyarakat diharapkan lebih sadar terhadap pentingnya lahan, baik untuk diri sendiri maupun anak cucunya kelak. Adapun bagi pemerintah desa setempat diharapkan dapat membuat peraturan desa mengenai pembatasan penjualan lahan kepada masyarakat luar desa agar masyarakat dapat mengelola lahan di desanya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Afianto ED. 2002. Perubahan Struktur Agraria di Pedesaan (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ariwijayanti E. 2011. Pengaruh Penguasaan Lahan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Kasus: Kampung Cijengkol, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Awang S. 2005. Pertanian, Ekonomi, dan Konservasi Aspek Penelitian dan Gagasan. Pustaka Hutan Rakyat. Yogyakarta (ID): Debut Press. [BAPPEDA Kab. Bogor] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2013. Penyusunan Perencanaan Target Indikator Ekonomi Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2014-2018 (Laporan Akhir). Kabupaten Bogor (ID): BAPPEDA Kab. Bogor. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan keluarga berencana dan keluarga sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013. Jawa Tengah (ID): BPS. Darusman D dan Hardjanto. 2006. Tinjauan Ekonomi Hutan Rakyat. Paper disampaikan pada Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan; 2006 Sep 21. Bogor (ID). Desa Purasari. 2015. Monografi Desa Purasari Tahun 2015. Bogor (ID): Kantor Desa Purasari. [Distanhut Kab. Bogor] Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2014. Buku Materi Budidaya Tanaman Cengkeh Kegiatan Rehabilitasi Cengkih Rakyat Tahun 2014. Kabupaten Bogor (ID): Distanhut.
18
Ermayanti D. 2002. Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bogor (Studi Kasus Hutan Rakyat di Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Nanggung) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Usaha Kayu Rakyat di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Iriani AY. 2008. Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian Dan Sistem Tenurial Di Desa–Kota (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nugraha LP. 2014. Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Hutan Rakyat Di Kecamatan Cikalong Kulon Cianjur Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nuroni AF, 2006. Penguasaan Tanah Dan Peran Tanah Bagi Masyarakat Miskin (Kasus Desa Bojong, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Palmolina M. 2015. Pengelolaan Hutan Rakyat pada Lahan Sempit. Di dalam: Setyiawan AD, Sugiarto, Pitoyo A, Hermawan UE, Widiastuti A, editor. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 2015 April; Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 732–737. Pratama AR, Yuwono SB, Hilmanto R. 2015. Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Kelompok Pemilik Hutan Rakyat di Desa Bandar Dalam Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Sylva Lestari. 3 (2): (99–112). Putri RW, Qurniati RR, Hilmanto R. 2015. Karakteristik Petani dalam Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Buana Sakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari. 3 (2): (89–98). Sanudin, Fauziah E. 2015. Karakteristik Hutan Rakyat Berdasarkan Orientasi Pengelolaannya: Studi Kasus di Desa Sukamaju, Ciamis dan Desa Kiarajangkung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di dalam: Setyiawan AD, Sugiarto, Pitoyo A, Hermawan UE, Widiastuti A, editor. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 2015 April; Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 696–701 Sajogyo. 1996. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia Prof. Dr. Sajogyo 70 Tahun. Jakarta (ID): PT. Grasindo. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat: Kreasi Budaya Bangsa dalam Hutan Rakyat Di Jawa. Perannya dalam Perekonomian Desa. Penyuting Didik Suharjito. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sultika LY. 2010. Analisis Pendapatan dan Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Rakyat (Studi Kasus: Hutan Rakyat di Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican dan Desa Bojong Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Umam AR. 2010. Kajian Pengelolaan Hutan Rakyat pada Subsistem Produksi (Studi kasus di Wilayah Cianjur Selatan) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Winarso B. 2012. Dinamika Pola Penguasaan Lahan Sawah di Wilayah Pedesaan di Indonesia. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 12 (3): 137–149.
19
LAMPIRAN
20
21 Lampiran 1 Peta Administratif Desa Purasari
22
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan, pada 12 November 1993 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Tri Setiyono dan Ibu Uni Wahyuni. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SD Langensari III tahun 1999–2005, SMP Negeri 2 Garut tahun 2005–2008 dan SMA Negeri 1 Garut tahun 2008–2011. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai Mahasiswa Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Undangan (SNMPTN Undangan). Selama menuntut ilmu di IPB, penulis telah mengikuti praktik lapang di antaranya Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Sancang Barat– Kamojang tahun 2013, Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Cianjur tahun 2014, dan Praktik Kerja Lapang (PKL) di Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat (APHR) Wonosobo tahun 2015. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Sistem Tenurial Hutan Rakyat di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor” dibawah bimbingan Bapak Dr. Soni Trison, S.Hut, MSi.