KEANEKARAGAMAN FUNGI EKTOMIKORIZA DI HUTAN PENELITIAN MERANTI GUNUNG DAHU LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR
TRIA NURAINI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Fungi Ektomikoriza di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017 Tria Nuraini NIM E44110033
ABSTRAK TRIA NURAINI. Keanekaragaman Fungi Ektomikoriza di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh ARUM SEKAR WULANDARI. Shorea merupakan salah satu marga suku Dipterocarpaceae yang mampu berasosiasi dengan fungi ektomikoriza. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menduga keanekaragaman fungi ektomikoriza di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu. Pengambilan fungi ektomikoriza dilakukan dengan metode eksplorasi pada tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica dengan jarak tanam 2 m x 2 m, 3 m x 3 m dan 4 m x 4 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah ditemukan 9 jenis dari 5 suku fungi ektomikoriza yaitu Amanita sp. (Amanitaceae), Boletus sp1, Boletus sp2, Boletus sp3 (Boletaceae), Laccaria sp. (Hydnangiaceae), Russula sp1, Russula sp2, Russula sp3 (Russulaceae), dan Scleroderma sp. (Sclerodermataceae). Semakin lebar jarak tanam maka jumlah individu fungi ektomikoriza yang ditemukan semakin banyak. Jenis fungi ektomikoriza yang hanya ditemukan pada tegakan S. leprosula adalah Scleroderma sp., sedangkan jenis fungi ektomikoriza yang hanya ditemukan pada tegakan S. selanica adalah Amanita sp., Laccaria sp. and Boletus sp2. Indeks keanekaragaman jenis fungi ektomikoriza tergolong sedang, sedangkan indeks kekayaan dan indeks kemerataan jenis fungi ektomikoriza tergolong rendah. Berdasarkan indeks kesamaan komunitas fungi ektomikoriza menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok besar habitat fungi ektomikoriza. Kata kunci: ektomikoriza, keanekaragaman, Shorea leprosula, Shorea selanica
ABSTRA&7 TRIA NURAINI. Ectomycorrhiza Diversity in Gunung Dahu Research Forest Leuwiliang, Bogor. Supervised by ARUM SEKAR WULANDARI. Shorea is one of Dipterocarpaceae genera which is able to associate with ectomyorrhizal fungi. This study aimed to identify the ectomycorrhizal fungi and predict its diversity in Gunung Dahu Research Forest. The collection of ectomycorhizal fungi was conducted by exploration with each of spacing is 2 m x 2 m, 3 m x 3 m and 4 m x 4 m. The result showed that it was found 9 species from 5 family of ectomycorrhizal fungi in those area, namely Amanita sp. (Amanitaceae), Boletus sp1, Boletus sp2, Boletus sp3 (Boletaceae), Laccaria sp. (Hydnangiaceae), Russula sp1, Russula sp2, Russula sp3 (Russulaceae) and Scleroderma sp. (Sclerodermataceae). The only one ectomycorrhizal fungi that was found in S. leprosula stands is Scleroderma sp., while ectomycorrhizal fungi that was found only in S. selanica stands are Amanita sp., Laccaria sp. and Boletus sp2. The larger planting space will lead to more individual ectomycorrhizal fungi found. The diversity index of ectomycorrhizal fungi in all planting plot was medium, while the richness index and evenness index of ectomycorrhizal fungi were low. Based on community similarity index there were three groups according ectomycorrhizal fungi habitat. Keywords: ectomycorrhiza, diversity, Shorea leprosula, Shorea selanica
KEANEKARAGAMAN FUNGI EKTOMIKORIZA DI HUTAN PENELITIAN MERANTI GUNUNG DAHU LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR
TRIA NURAINI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2016 ini ialah fungi ektomikoriza, dengan judul Keanekaragaman Fungi Ektomikoriza di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penelitian berlokasi di Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS selaku pembimbing. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ir Atok Subiakto, MAppSc selaku Kepala Pusat Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) Litbang Kehutanan yang telah mengizinkan penulis melaksanakan penelitian di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Ibu Dr Atik Retnowati, SP MSc yang telah membantu penulis dalam proses identifikasi. Terima kasih penulis sampaikan kepada Laboratorium Entomologi Hutan dan Laboratorium Teknologi Mikoriza dan Peningkatan Kualitas Bibit, Departemen Silvikultur IPB. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah Tatang (Alm), ibu Yanti Sofiyanti, Rizwan, Tanti, Ira, Rifki, dan Ridhani, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ridwan Fachrudin, Fauzan Setya, Dieni Aryani, Atari Luthfia Rahmi, Dyah Nur Indah Lestari, Mega Ayu Putri, Lutpita Mahardika, rekan Silvikultur 48, serta rekan ASADER yang telah membantu selama penelitian. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2017 Tria Nuraini
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Alat dan Bahan
2
Metode
2
Analisis Data
6
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Hasil Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
9 16 19
Simpulan
19
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
20
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
lokasi plot tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica Persentase jumlah individu tiap jenis fungi ektomikoriza Kepadatan fungi ektomikoriza berdasarkan jenis (individu/ha) Indeks keanekaragaman fungi ektomikoriza pada tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica 5 Intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban rata-rata pada tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica
8 9 13 14 15
DAFTAR GAMBAR 1 Karakteristik makroskopik batang fungi: lamela, batang dan tudung (WHC 2016) 2 Warna spore print (del Conte dan Laessoe 2008) 3 Peta lokasi penelitian 4 Lokasi tegakan: (a) Shorea leprosula dan (b) Shorea selanica 5 Fungi ektomikoriza: (a) Amanita sp., (b) spora Amanita phalloides (Kuo 2013), (c) Laccaria sp., (d) spora Laccaria proxima (O’Reilly 2011), (e) Scleroderma sp., (f) spora Scleroderma sp. 6 Fungi ektomikoriza: (a) Boletus sp1, (b) spora Boletus sp1, (c) Boletus sp2, (d) spora Boletus luridus (Kuo 2015), (e) Boletus sp3, (f) spora Boletus subvelutipes (Kuo 2013) 7 Fungi ektomikoriza: (a) Russula sp1, (b) spora Russula sp1, (c) Russula sp2, (d) spora Russula queletii (O’Reilly 2011), (e) Russula sp3, (f) spora Russula sp3 8 Dendogram kesamaan komunitas pada tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica
4 5 7 8
10
11
12 15
PENDAHULUAN
Latar Belakang Dipterocarpaceae merupakan kelompok kayu perdagangan utama yang meliputi meranti atau Shorea, Anisoptera, Dipterocarpus, dan Dryobalanops. Dipterocarpaceae memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan banyak digunakan untuk berbagai macam kebutuhan seperti kayu pertukangan, kayu gergajian, industri pulp dan kertas, dan lain sebagainya. Penurunan populasi kayu hutan alam yang didominasi Dipterocarpaceae disebabkan adanya eksploitasi dan penebangan kayu secara ilegal (Bearley 2011, Wiati 2013). Shorea merupakan salah satu marga dari suku Dipterocarpaceae. Seluruh marga dari suku Dipterocarpaceae dapat membentuk ektomikoriza (Smith 1983). Ektomikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara akar tanaman dengan fungi tanah. Struktur kolonisasi pada ektomikoriza dicirikan dengan keberadaan miselium yang berproliferasi dan berdiferensiasi pada permukaan akar membentuk struktur mantel (Agerer 1991). Hifa juga melakukan penetrasi di antara sel-sel akar untuk membentuk struktur interseluler berupa jaringan hifa yang disebut dengan jaring Hartig (Smith dan Read 2008). Tubuh buah makroskopik ektomikoriza umumnya terbentuk di dalam atau di atas permukaan tanah (Brundrett et al. 1996). Manfaat ektomikoriza bagi pertumbuhan tanaman di antaranya; membantu penyerapan unsur hara dan nutrisi (Brundrett et al. 1996, Allen et al. 2003, Baghel et al. 2009); meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen (Onguene dan Kuyper 2002, Whipps 2004); meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Dell 2002, Dunabeitia et al. 2004); meningkatkan serapan hara fosfor dan nitrogen (Bechem dan Alexander 2012); meningkatkan toleransi tanaman terhadap toksisitas logam berat (Jonnarth et al. 2004). Beberapa suku fungi ektomikoriza yang dapat berasosiasi dengan Dipterocarpaceae dan dapat berasosiasi dengan lebih dari satu jenis tanaman inang di antaranya Thelephoraceae, Russulaceae, Amanitaceae, Cortinariaceae, Sclerodermataceae, Agaricaceae, Pisolitaceae, dan Boletaceae (Brundrett et al. 1996, Amornpitak et al. 2006). Marga fungi yang berasosiasi dengan akar Shorea spp. di antaranya Cantharellus (Eyssartier et al. 2009), Pisolithus (Reddy et al. 2005), Boletus enodensis, Lactarius spp. (Noor dan Saridan 2013), dan Lactarius (Stubbe et al. 2008, Tata 2008). Keanekaragaman merupakan salah satu variabel yang berguna bagi tujuan manajemen pengelolaan dalam konservasi (Nichols et al. 1998), namun penelitian mengenai keanekaragaman fungi ektomikoriza terutama di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu belum pernah dilakukan. Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu terletak di Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dengan luas sekitar 250 ha. Hutan penelitian ini dibangun pada tahun 1997 dengan kerjasama Pusat Konservasi dan Rehabilitasi bersama KOMATSU Ltd. Kekayaan hayati terutama fungi pada tegakan S. leprosula dan S. selanica pada lokasi penelitian ini belum pernah diamati dan ditelaah sebelumnya.
2 Perumusan Masalah Shorea merupakan salah satu marga yang dikenal mampu berasosiasi dengan fungi ektomikoriza. Umumnya jenis fungi ektomikoriza yang paling banyak berasosiasi dengan Dipterocarpaceae adalah Boletaceae, Russulaceae, dan Amanitaceae (Amornpitak et al. 2006). Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu merupakan salah satu hutan penelitian yang terletak di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, dibangun dengan kerjasama Puskonser dan KOFFCO. Namun penelitian mengenai identifikasi dan keanekaragaman fungi ektomikoriza di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan pada tegakan S. leprosula dan S. selanica pada enam titik plot serta jarak tanam yang berbeda. Penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa saja jenis fungi ektomikoriza yang berada di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu? 2. Bagaimana tingkat keanekaragaman fungi ektomikoriza yang berada di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menduga keanekaragaman fungi ektomikoriza pada tegakan S. leprosula dan S. selanica di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh informasi mengenai keanekaragaman ektomikoriza pada tegakan S. leprosula dan S. selanica di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari sampai April 2016. Pengambilan fungi ektomikoriza dilakukan di bawah tegakan S. leprosula dan S. selanica di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS, kompas, peta lokasi Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu, termometer, lux meter, label, sudip, penggaris, gunting, plastik, kantong kertas coklat ukuran 19.5 cm x 27.5 cm, kertas HVS putih, kertas berwarna gelap, mikroskop, optilab, alat tulis, kamera digital, buku identifikasi, aplikasi MatchMaker, dan minitab v17. Bahan yang digunakan adalah tegakan S. leprosula dan S. selanica, fungi ektomikoriza yang terdapat pada tegakan S. leprosula dan S. selanica.
3 Metode Peninjauan Lapangan Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan survai pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian untuk mendapatkan gambaran umum dan menyeluruh mengenai kondisi lapangan. Jelajah plot dilakukan selama kegiatan survai lapangan berlangsung untuk menentukan titik pengamatan yang paling sering ditemukan fungi ektomikoriza. Penentuan Plot Pengambilan Fungi Ektomikoriza Plot penelitian yang digunakan berada pada tegakan S. leprosula dan S. selanica berdasarkan jarak tanam yaitu, 2 m x 2 m, 3 m x 3 m, dan 4 m x 4 m dengan jumlah keseluruhan plot pengamatan adalah enam plot. Satu plot jarak tanam memiliki ukuran 100 m x 100 m. Pengambilan fungi ektomikoriza dilakukan dengan mengeksplorasi seluruh plot dalam tegakan. Jelajah plot penelitian dilakukan dengan cara mencari tubuh buah fungi ektomikoriza yang berada di atas permukaan tanah. Penentuan titik pengamatan dan pengambilan fungi ektomikoriza berdasarkan lokasi yang paling sering ditemukannya fungi ektomikoriza. Pengukuran Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban Pengukuran intensitas cahaya, suhu dan kelembaban dilakukan sebanyak 3 ulangan waktu yaitu, pagi pukul 06.00–07.00, siang pukul 12.00–13.00 dan sore pukul 16.00–17.00. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas cahaya matahari adalah lux meter yang bekerja dengan sensor cahaya. Bagian sensor pada lux meter yang peka terhadap cahaya diarahkan pada pantulan datangnya cahaya dengan kisaran yang dipilih adalah 50 000 lux. Lux meter dipegang lebih kurang setinggi 75 cm di atas lantai hutan. Layar panel penunjuk akan menampilkan nilai pencahayaan pada titik pengukuran. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada semua plot jarak tanam dengan 5 titik perlakuan per plot. Pengambilan data intensitas cahaya dilakukan sebanyak 5 kali di setiap titik pengamatan yaitu, di tengah-tengah titik dan menghadap empat arah mata angin. Pengukuran suhu dilakukan di tengah-tengah setiap plot jarak tanam dengan menggunakan termometer. Pengambilan data suhu dilakukan sebanyak 3 kali dalam setiap plot. Data nilai suhu kemudian dicatat. Pengukuran kelembaban dilakukan dengan menggunakan perhitungan selisih suhu bola kering dan bola basah. Pengambilan data kelembaban dilakukan pada setiap plot jarak tanam. Setiap plot jarak tanam dilakukan pengukuran kelembaban di tengah-tengah plot. Data nilai suhu bola basah dan kering kemudian dicatat, kemudian dengan menggunakan tabel kelembaban dapat ditentukan nilai kelembaban nisbi udara (Tjasyono 2004). Koleksi Tubuh Buah Fungi Ektomikoriza Teknik pengambilan fungi ektomikoriza menggunakan metode eksplorasi dengan mengambil semua fungi ektomikoriza yang ditemui di setiap plot tegakan. Pengumpulan tubuh buah fungi dilakukan terhadap tubuh buah yang berada di atas permukaan tanah pada tegakan S. leprosula dan S. selanica. Pengambilan dilakukan setiap minggu sekali selama 15 minggu untuk kemudian diidentifikasi.
4 Tubuh buah diambil dengan hati-hati menggunakan sudip di bawah tajuk tegakan meranti. Tanah yang menempel pada tubuh buah dibersihkan dan segera dimasukkan pada kantong kertas coklat. Tubuh buah umumnya akan muncul ±10 cm dari permukaan tanah, terutama pada zona humus (Brundrett et al. 1996). Tubuh buah segar dimasukkan dalam kantong kertas kemudian dikumpulkan dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Identifikasi Fungi Ektomikoriza Tubuh buah diidentifikasi berdasarkan sifat makroskopiknya yang meliputi pengamatan karakteristik lamela, batang dan tudung (Gambar 1), warna dan ukuran sporokarp dan ada tidaknya struktur khusus serta bentuk dan warna spora. Identifikasi dilakukan hingga tingkat marga berdasarkan Largent dan Baroni (1988), Arora (1996), Laessoe (2003), del Conte dan Laessoe (2008) dan menggunakan aplikasi MatchMaker.
Gambar 1 Karakteristik makroskopik fungi: lamela, batang dan tudung (WHC 2016) Metode spore print (Brundrett et al. 1996) diperuntukkan bagi fungi yang memiliki lamela. Tubuh buah yang tua, muda atau kering tidak menghasilkan spore print. Tubuh buah yang dipilih adalah yang tidak terlalu tua. Batang fungi terlebih dahulu dilepaskan secara hati-hati dari tudung. Spore print dibuat dengan menempatkan tudung fungi menghadap ke bawah pada kertas putih dan gelap. Spora akan tercetak pada kertas setelah rentang waktu 1 sampai 24 jam
5 bergantung pada jenis dan ukuran fungi (Gambar 2). Warna spore print dicatat dan diberi label. Warna spora umumnya dibagi menjadi beberapa golongan warna yaitu hitam, krem, kuning, coklat, dan putih (Arora 1996).
Gambar 2 Warna spore print (del Conte dan Laessoe 2008) Pengeringan dan Pengawetan Spesimen Fungi Pengawetan fungi dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode basah dan metode kering. Namun kedua metode dapat menyebabkan struktur makroskopik dari fungi menjadi rusak. Pengawetan dan pengeringan spesimen maupun herbarium lebih banyak menggunakan metode kering udara. Pertukaran udara yang baik dalam ruangan pengeringan menjadi salah satu persyaratan untuk memperoleh hasil pengeringan spesimen yang sempurna. Jenis fungi yang memiliki ukuran kecil sampai sedang dapat dikeringkan dengan cara pengeringan di bawah sinar matahari, menggunakan listrik atau gas dan gel silika. Tubuh buah fungi dapat dikeringkan dalam keadaan utuh atau dipotong secara melintang bila ukuran tinggi tubuh buah ±15 cm. Fungi ektomikoriza yang berbentuk payung dan memiliki panjang lebih dari 15 cm dipisahkan tudung dan batang dengan hati-hati. Tudung fungi dipotong melintang menjadi empat bagian sedangkan batang fungi hanya dipotong melintang. Persiapan spesimen untuk fungi ektomikoriza yang berbentuk puffballs/bola seperti Scleroderma dilakukan dengan memotong melintang sporokarp atau spesimen dikeringkan secara utuh. Beberapa jenis fungi yang berukuran besar seperti Boletus dapat dipotong menjadi beberapa bagian dengan ukuran ±2 cm (Brundrett et al. 1996). Spesimen fungi ektomikoriza yang telah dikeringkan selanjutnya dipisahkan sesuai dengan bagian-bagiannya yaitu batang, tudung, maupun sporokarp dari setiap jenis. Spesimen fungi yang telah dikeringkan dapat disimpan dalam kotak spesimen yang sudah disesuaikan dengan ukuran spesimen yang akan disimpan. Kotak penyimpanan spesimen dilapisi dengan kain kasa dan diisi dengan satu butir kamper yang bertujuan untuk pengawetan, kemudian diberi label pada tutup kotak penyimpanan. Informasi yang ditulis pada tutup kotak penyimpanan adalah nama jenis, bagian spesimen yang dikoleksi, tanggal koleksi, nama kolektor.
6 Analisis Data Analisis keanekaragaman, kekayaan, kemerataan dan kesamaan komunitas fungi ektomikoriza pada tegakan S. leprosula dan S. selanica dilakukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (Diversity Index), indeks kekayaan (Richness Index), indeks kemerataan Pielou (Evenness Index) (Maguran 2004) dan indeks kesamaan komunitas. Keanekaragaman jenis fungi ektomikoriza dapat dihitung dengan menggunakan indeks keanekaragaman (Diversity Index) Shannon-Wienner (Ludwig dan Renold 1988): H’ = -∑ [(ni/N) log (ni/N)] Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wienner ni = jumlah individu setiap jenis N = jumlah total individu fungi ektomikoriza Kriteria indeks keanekaragaman: H’ ≤ 1 = keanekaragaman rendah = keanekaragaman sedang 1 ≤ H’ ≥ 3 H’ > 3 = keanekaragaman tinggi Indeks kekayaan jenis (Richness Index) yang digunakan adalah indeks Margalef yang ditentukan dengan rumus (Ludwig dan Reynold 1988): R = (s-1)/ln N Keterangan: R = indeks kekayaan jenis s = jumlah jenis fungi ektomikoriza ln = logaritma natural N = jumlah total individu fungi ektomikoriza Kriteria indeks kekayaan: R ≤ 3.5 = kekayaan rendah 3.5 ≤ R ≥ 5 = kekayaan sedang R>5 = kekayaan tinggi Untuk mengetahui indeks kemerataan jenis (Eveness Index) Pielou (1984) pada suatu lokasi menggunakan persamaan: =
ln ( )
Keterangan: E = indeks kemerataan jenis H’ = indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wienner S = jumlah jenis Kriteria indeks kemerataan: ≤1 = kemerataan rendah 1≤ ≥3 = kemerataan sedang E>3 = kemerataan tinggi Indeks kesamaan komunitas dianalisis dengan menggunakan Ward’s Linkage Clustering dalam program minitab v17. Apabila nilai indeks kesamaan komunitas semakin besar, maka kesamaan jenis kedua komunitas yang dibandingkan semakin seragam koposisi jenisnya.
7
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Secara administratif Hutan Penelitian Gunung Dahu terletak di Desa Pabangbon, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Hutan penelitian ini terletak di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Leuwiliang, Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Leuwiliang, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor (Gambar 3). Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu memiliki area total seluas 250 ha. Secara umum hutan ini memiliki curah hujan 2500–2700 mm/tahun, topografi curam sampai bergelombang antara 15–45%, ketinggian sekitar 550–650 mdpl, berada pada 106°34’00’’–106°35’30’’ BT dan 06°36’30’’– 06°37’00’’ L dan jenis tanah latosol coklat kemerahan. Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu memiliki iklim tipe B dengan kelembaban relatif 80% dengan suhu rata-rata 30 °C. Pada tahun 1997 Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) bekerjasama dengan Komatsu membangun plot uji penanaman meranti di Gunung Dahu, Leuwiliang, Kabupaten Bogor pada lahan seluas 250 ha. Kawasan tersebut merupakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani yang dipinjam pakai untuk kegiatan penelitian. Pada kawasan tersebut telah dibangun plot uji tanaman meranti seluas 160.7 ha yang terdiri dari plot percobaan 75 ha, plot koleksi 88.57 ha, dan plot koleksi jenis Dipeterocarpaceae seluas 85.7 ha. Fasilitas yang terdapat di Gunung Dahu adalah bangunan camp berukuran 5 m x 30 m dan persemaian transit 10 m x 25 m. Perlakuan pada plot uji jenis meranti yaitu asal bahan tanaman, jarak tanam dan sistem penanaman.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
8 Selain plot uji, di Gunung Dahu juga dilakukan penanaman petak koleksi jenis-jenis Dipterocarpaceae sebanyak 15 jenis tanaman. Pada tahun 2008 dibangun plot uji jenis Dipterocarpaceae sebanyak 23 jenis yang diuji dengan rancangan acak kelompok (RAK) dan jumlah ulangannya adalah 5 blok. Pada umur 3 tahun jenis yang terbaik tumbuhnya adalah Shorea platyclados dan diikuti dengan S. leprosula dan Vatica sumatrana. Pengamatan yang dilakukan pada November 2011 pada tegakan plot uji jenis berumur 13–14 tahun menunjukkan bahwa diameter pohon ditentukan oleh kerapatan tanam. Hasil pengamatan menunjukan bahwa semakin rapat penanaman maka diameter pohon semakin kecil. Lokasi penelitian yang dipilih merupakan tegakan S. leprosula dan S. selanica dengan masing-masing jarak tanam yaitu 2 m x 2 m, 3 m x 3 m dan 4 m x 4 m (Tabel 1). Tabel 1 Lokasi plot tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica Tegakan No plot/JT Ketinggian Letak astronomis (m) (mdpl) S. leprosula 09/(2 x 2) 746 06⁰ 37’22.3’’ L dan 106⁰ 35’12.9’’ BT S. leprosula 02/(3 x 3) 719 06⁰ 37’24.5’’ L dan 106⁰ 35’16.5’’ BT S. leprosula 05/(4 x 4) 704 06⁰ 37’26.6’’ L dan 106⁰ 35’15.6’’ BT S. selanica 10/(2 x 2) 361 06⁰ 37’6.6’’ L dan 106⁰ 35’18.0’’ BT S. selanica 11/(3 x 3) 356 06⁰ 37’21.6’’ L dan 106⁰ 35’21.6’’ BT S. selanica 12/(4 x 4) 324 06⁰ 37’10.3’’ L dan 106⁰ 35’21.2’’ BT JT = jarak tanam
Jarak antara lokasi tegakan S. leprosula dan S. selanica adalah 1.5 km. Lantai hutan pada kedua tegakan tersebut cukup bersih dan hanya ditumbuhi oleh semak-semak rapat dengan tinggi 0–50 cm (Gambar 4). Kondisi tajuk pada kedua tegakan cukup rapat namun cahaya matahari masih dapat menembus lantai hutan. Umumnya tegakan S. selanica jauh lebih rapat tajuknya dan kondisi topografi cukup melandai. Kedua lokasi tegakan terpisah oleh sawah dan sebuah anak sungai kecil selebar 15 m.
a
b
Gambar 4 Lokasi tegakan: (a) Shorea leprosula dan (b) Shorea selanica
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Fungi Ektomikoriza pada Tegakan S. leprosula dan S. selanica Hasil pengambilan fungi ektomikoriza di lapangan menunjukkan bahwa tubuh buah fungi ektomikoriza yang ditemukan di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna, batang, tudung, dan lamela. Kesulitan dalam mengidentifikasi fungi ektomikoriza yang dijumpai adalah masih ada beberapa fungi yang masih muda dan belum berkembang sempurna terutama pada fungi yang berbentuk payung. Tudung fungi ektomikoriza yang masih muda belum terlihat dengan jelas warna sporanya, serta sedikit ditemukan fungi yang ukurannya mewakili seluruh fase pertumbuhan. Jumlah jenis ektomikoriza yang berhasil ditemukan di bawah tegakan S. leprosula dan S. selanica yaitu sebanyak 9 jenis dari 5 suku. Jumlah dari masingmasing suku yaitu suku Amanitaceae (1 jenis), suku Boletaceae (3 jenis), suku Hydnangiaceae (1 jenis), suku Russulaceae (3 jenis), suku Sclerodermataceae (1 jenis). Jenis yang mewakili jumlah individu terbanyak adalah Russula sp1 (29.90%) fungi ektomikoriza yang paling sedikit ditemukan adalah Boletus sp2 (1.44%) (Tabel 2). Tabel 2 Persentase jumlah individu tiap jenis fungi ektomikoriza No Suku/Jenis ∑ Individu % Asosiasi 1. Amanitaceae Amanita sp. 17 3.49 S. selanica 2. Boletaceae Boletus sp1 64 13.14 S. leprosula, S. selanica Boletus sp2 7 1.44 S. selanica Boletus sp3 17 3.49 S. leprosula, S. selanica 3. Hydnangiaceae Laccaria sp. 24 4.93 S. selanica 4. Russulaceae Russula sp1 146 29.98 S. leprosula, S. selanica Russula sp2 99 20.33 S. leprosula, S. selanica Russula sp3 88 18.07 S. leprosula, S. selanica 5. Sclerodermataceae Scleroderma sp. 25 5.13 S. leprosula Amanita sp. (Gambar 5a) memiliki ukuran diameter tudung 15–17 cm dan panjang batang 14–17 cm. Tudung fungi berwarna coklat terang dengan permukaan yang halus. Batang fungi berwarna coklat dan memiliki cincin di tengah-tengah batang, tinggi cincin dari pangkal batang dengan rentang 5–7 cm. spora berwarna krem. Fungi ini ditemukan di bawah tegakan S. selanica dan hidup soliter. Spora Amanita phalloides (Gambar 5b) berwarna krem, berukuran 6.5–9 μm dan berbentuk elips (Breitenbach dan Kranzlin 1991). Laccaria sp. (Gambar 5c) termasuk dalam suku Hydnangiceae, memiliki tudung dengan permukaan yang kasar dan berwarna coklat. Laccaria sp. yang ditemukan berukuran panjang batang 3.5–9 cm dengan diameter tudung 2.5–4.5
10 cm. Laccaria sp. memiliki daging tudung yang tipis. Spora Laccaria proxima (Gambar 5d) berwarna coklat berukuran 7–9 μm (O’Reilly 2011) dan berbatang halus. Fungi ini hidup secara koloni dan menempel di tanah. Scleroderma sp. (Gambar 5e) merupakan salah satu fungi yang berbentuk puffballs/bola. Scleroderma sp. yang ditemukan memiliki permukaan yang kasar beralur, berwarna coklat terang, dan ditemukan menempel pada tanah (institious) serta hidup berkoloni. Fungi ini memiliki ukuran diameter 2–3.5 cm. Hampir semua Scleroderma sp. yang ditemukan memiliki akar dan jika puffballs dibelah maka akan berwarna hitam keabu-abuan. Spora yang berhasil diamati berukuran 7.76–9.36 μm, berwarna jingga, berbentuk granular dan populasi spora sangat padat (Gambar 5f).
1 cm
1 cm
Gambar 5 Fungi ektomikoriza (a) Amanita sp., (b) spora Amanita phalloides (Kuo 2013), (c) Laccaria sp., (d) spora Laccaria proxima (O’Reilly 2011), (e) Scleroderma sp., (f) spora Scleroderma sp. Boletus sp1 (Gambar 6a) termasuk dalam suku Boletaceae, memiliki tudung dengan permukaan yang kasar dan berwarna cokelat kekuningan. Spora berwarna kuning berukuran 10.76 μm (Gambar 6b). Boletus sp1 yang ditemukan berukuran
11 panjang batang 3–11 cm dengan diameter tudung 2–8 cm. Fungi ini ditemukan di tegakan S. leprosula dan S. selanica. Boletus sp1 hidup secara koloni dan menempel di tanah. Boletus sp2 (Gambar 6c) hidup secara koloni dengan menempel langsung pada tanah. Permukaan tudung halus berwarna coklat serta memiliki permukaan batang yang halus berwarna coklat kekuningan. Boletus sp2 yang ditemukan berukuran panjang batang 4.5–12 cm dengan diameter tudung 5–13.5 cm. Spora fungi ini berwarna kuning dan berbentuk lonjong (Gambar 6d). Fungi ini ditemukan di bawah tegakan S. selanica dan hidup soliter.
1 cm
10 cm
10 cm
Gambar 6 Fungi ektomikoriza (a) Boletus sp1, (b) spora Boletus sp1, (c) Boletus sp2, (d) spora Boletus luridus (Kuo 2015), (e) Boletus sp3, (f) spora Boletus subvelutipes (Kuo 2013) Boletus sp3 (Gambar 6e) memiliki bentuk tudung membundar dan berwarna coklat gelap. Boletus sp3 yang ditemukan berukuran panjang batang 4.5–12 cm dengan diameter tudung 5–13.5 cm. Permukaan tudung fungi kasar dan agak beralur dengan daging tudung tebal. Batang fungi memiliki ukuran panjang dengan rentang 8–10 cm, permukaan batang kasar dan berwarna coklat gelap.
12 Fungi ini hidup menempel secara instititous dan hidup secara soliter. Spora fungi ini berwarna coklat (Gambar 6f). Russula sp1 (Gambar 7a) merupakan fungi yang paling banyak dijumpai di dua tegakan yang diamati. Russula sp1 memiliki tudung fungi yang halus berwarna putih hingga krem. Daging buah Russula sp1 tebal dengan spora berwarna putih berukuran 8.09–9.75 μm (Gambar 7b). Russula sp1 yang ditemukan berukuran panjang batang 7–18 cm dengan diameter tudung 5–15 cm. Batang fungi halus dengan warna putih, hidup secara berkoloni dan menempel dengan tanah (institious). Bentuk lamela memita dan rapat.
1 cm
10 cm
10 cm
Gambar 7 Fungi ektomikoriza (a) Russula sp1, (b) spora Russula sp1, (c) Russula sp2, (d) spora Russula queletii (O’Reilly 2011), (e) Russula sp3, (f) spora Russula sp3 Russula sp2 (Gambar 7c) memiliki tudung fungi yang halus berwarna pink hingga merah, daging buah tebal dengan spora berwarna putih. Batang fungi halus dengan warna putih, hidup secara berkoloni dan menempel dengan tanah (institious). Bentuk lamela memita dan rapat. Russula sp2 yang ditemukan berukuran panjang batang 6.5–16 cm dengan diameter tudung 4–16 cm. Spora
13 Russula queletii memiliki bentuk granular dengan ukuran 6.1–7.0 μm (Gambar 7d). Russula sp3 (Gambar 7e) memiliki tudung fungi yang halus berwarna ungu kehitaman, daging buah tebal dengan spora berwarna putih dengan ukuran 6.21 μm. Russula sp3 yang ditemukan berukuran panjang batang 7–17 cm dengan diameter tudung 6–18 cm. Batang fungi Russula sp3 memiliki permukaan yang halus berwarna putih, hidup secara berkoloni dan menempel di tanah (institious) serta bentuk lamela memita dan rapat. Spora Russula sp3 yang berhasil diamati berukuran 6.21 μm (Gambar 7f). Sebanyak 487 individu fungi ektomikoriza yang berhasil ditemukan selama penelitian. Secara umum jumlah individu terbanyak ditemukan di bawah tegakan S. selanica dan tegakan S. leprosula pada jarak tanam 4 m x 4 m. Berdasarkan kedua lokasi eksplorasi, fungi ektomikoriza yang ditemukan hanya 5 jenis yang memiliki inang yang sama yaitu Boletus sp1, Boletus sp3, Russula sp1, Russula sp2 dan Russula sp3 yang ditemukan di bawah tegakan S. leprosula dan S. selanica. Jumlah jenis fungi ektomikoriza terbanyak ditemukan di bawah tegakan S. selanica jarak tanam 4 m x 4 m. Suku Russulaceae dan Boletaceae memiliki jumlah individu terbanyak yaitu masing-masing 68.37% dan 18.07% yang berhasil ditemukan, kemudian suku Sclerodermataceae (5.13%), suku Hydnangiaceae (4.93%) dan suku Amanitaceae (3.49%). Komposisi dan Kepadatan Fungi Ektomikoriza pada Tegakan S. leprosula dan S. selanica Kepadatan ektomikoriza mengacu pada jumlah fungi ektomikoriza yang ditemukan pada plot jarak tanam yang diamati (Tabel 3). Semakin tinggi jumlah suatu jenis ektomikoriza maka semakin tinggi kepadatannya. Komposisi dan kepadatan fungi ektomikoriza pada tegakan S. selanica disusun oleh 8 jenis dari 4 suku dengan kepadatan fungi ektomikoriza yaitu 103 individu/ha. Komposisi dan kepadatan pada tegakan S. leprosula disusun oleh 6 jenis dari 4 suku dengan kepadatan fungi ektomikoriza sebanyak 69 individu/ha. Marga fungi ektomikoriza yang mendominasi pada tegakan S. leprosula dan S. selanica adalah marga Russula dari suku Russulaceae. Tabel 3 Tabel kepadatan fungi ektomikoriza berdasarkan jenis (individu/ha) Kepadatan (individu/ha) No Jenis fungi ektomikoriza Shorea leprosula Shorea selanica 1 Amanita sp. 0.00 5.67 2 Boletus sp1 13.00 8.33 3 Boletus sp2 0.00 2.33 4 Boletus sp3 1.00 14.67 5 Laccaria sp. 0.00 8.00 6 Russula sp1 24.67 24.00 7 Russula sp2 13.33 19.67 8 Russula sp3 8.67 20.67 9 Scleroderma sp. 8.33 0.00 Jumlah 69.00 103.34
14 Indeks Keanekaragaman Fungi Ektomikoriza Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis fungi ektomikoriza berdasarkan Shannon-Wienner (Tabel 4) menunjukkan bahwa seluruh jarak tanam pada tegakan S. leprosula dan S. selanica memiliki rentang nilai indeks keanekaragaman antara 1.41–1.93, sehingga kategori indeks keanekaragaman fungi ektomikoriza tergolong sedang. Tabel 4 Indeks keanekaragaman fungi ektomikoriza pada tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica Tegakan Σ Individu Σ Jenis Σ Marga Σ Suku Hꞌ R S. leprosula 2mx2m 58 5 3 3 1.55 1.01 3mx3m 81 5 3 3 1.45 1.19 4mx4m 92 6 3 3 1.60 1.12 S. selanica 2mx2m 56 6 3 3 1.41 1.24 3mx3m 77 8 4 4 1.79 1.61 4mx4m 147 8 4 4 1.93 1.40
E 0.96 0.81 0.89 0.79 0.86 0.93
Ʃ = jumlah, H’ = indeks keanekaragaman jenis, R = indeks kekayaan jenis, E = indeks kemerataan jenis
Nilai kekayaan jenis (richness) adalah banyaknya jenis yang ditemukan di suatu ekosistem. Nilai indek kekayaan fungi ektomikoriza memiliki rentang antara 1.01–1.61, sehingga kategori indeks kekayaan jenis fungi ektomikoriza pada seluruh plot pengamatan tergolong rendah. Semakin lebar jarak tanam maka jumlah individu fungi ektomikoriza yang ditemukan semakin banyak. Plot jarak tanam 4 m x 4 m baik pada tegakan S. leprosula maupun S. selanica memiliki jumlah individu yang paling banyak dengan jumlah jenis yang paling kaya. Nilai kemerataan (evenness) fungi ektomikoriza digunakan untuk membandingkan jumlah individu jenis fungi ektomikoriza pada habitat tertentu. Nilai kemerataan jenis fungi ektomikoriza memiliki rentang antara 0.79–0.96, sehingga kategori indeks kemerataan jenis fungi ektomikoriza pada seluruh plot pengamatan tergolong rendah. Jenis fungi ektomikoriza yang dapat ditemukan pada semua plot jarak tanam adalah jenis Boletus sp1, Russula sp1, Russula sp2 dan Russula sp3. Keempat fungi ektomikoriza tersebut menyebar secara acak. Jenis Amanita sp., Boletus sp2 dan Laccaria sp. hanya ditemukan di tegakan S. selanica dengan menyebar secara acak, sedangkan yang hanya ditemukan pada tegakan S. leprosula saja adalah Scleroderma sp. Jenis fungi ektomikoriza yang memiliki kepadatan yang paling rendah adalah Boletus sp1, jenis fungi ekromikoriza ini hanya ditemukan pada awal musim penghujan dan menyebar secara acak. Jenis fungi ektomikoriza yang terdistribusi di tegakan S. leprosula dan S. selanica adalah Boletus sp1, Boletus sp3, Russula sp1, Russula sp2 dan Russula sp3. Kesamaan komunitas digunakan untuk melihat keberadaan individu tiap jenis di tiap lokasi. Kesamaan komunitas dihitung menggunakan jarak Euclidean dan dikelompokkan menggunakan metode Ward. Hasil perhitungan indeks kesamaan menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok besar (Gambar 8). Kelompok pertama adalah lokasi pengamatan S. leprosula (2 m x 2 m) mengelompok dengan S. leprosula (4 m x 4 m), kelompok kedua tegakan S.
15 leprosula (3 m x 3 m) mengelopok dengan S. selanica (3 m x 3 m) dan S. selanica (2 m x 2 m) dan kelompok ketiga terdiri atas satu yaitu S. selanica (4 m x 4 m).
Gambar 8 Dendogram kesamaan komunitas pada tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica Intensitas Cahaya, Suhu dan Kelembaban pada Tegakan S. leprosula dan S. selanica Intensitas cahaya pada tegakan S. leprosula berkisar antara 900–25000 lux, sedangkan pada tegakan S. selanica berkisar antara 500–8400 lux. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban yang dilakukan pada kedua lokasi tegakan berkisar antara 26.1–27.9 °C dengan kelembaban berkisar antara 71–74 % (Tabel 5). Tabel 5 Intensitas cahaya, suhu dan kelembaban rata-rata pada tegakan Shorea leprosula dan Shorea selanica Tegakan JT (m) Intensitas cahaya (lux) Suhu (°C) Kelembaban (%) S. leprosula 2x2 900–25000 27.40 74.00 S. leprosula 3x3 1500–23000 27.90 73.00 S. leprosula 4x4 1700–22000 27.24 73.00 S. selanica 2x2 500–7300 26.74 71.00 S. selanica 3x3 550–8000 26.70 72.00 S. selanica 4x4 1800–8400 26.10 74.00 JT = jarak tanam
Nilai suhu terendah berada pada tegakan S. selanica jarak tanam 4 m x 4 m sedangkan pengukuran nilai suhu tertinggi pada plot tegakan S. leprosula jarak tanam 3 m x 3 m. Pengukuran kelembaban tertinggi berada pada tegakan S.
16 selanica jarak tanam 4 m x 4 m dan terendah berada pada tegakan S. selanica jarak tanam 2 m x 2 m.
Pembahasan Fungi pembentuk ektomikoriza umumnya berasal dari golongan Basidiomycetes dan Ascomycetes. Golongan Basidiomycetes di antaranya Agaricales dan Boletales, sedangkan yang tergolong dalam Ascomycetes termasuk dalam Tuberales. Umumnya jenis pohon suku Pinaceae, Fagaceae, Caesalpiniaceae, Betulaceae, Dipterocarpaceae, Myrtaceae, Casuarinaceae dan Acaciaceae mampu berasosiasi dengan jenis fungi ektomikoriza (Molina et al. 1992, Alexander dan Lee 2005). Ektomikoriza merupakan bentuk hubungan mutualistik antara fungi pembentuk ektomikoriza dengan akar tanaman tingkat tinggi, tanaman memperoleh hara nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis (Smith dan Read 2008). Beberapa jenis ektomikoriza dapat dikonsumsi oleh manusia seperti Pleurotus radiatus (Anderson dan Fellers 1942), Boletus edulis (Ramsbottom 1979, Arora 1996), S. sinnamariense (Wulandari 2002), Cantharellus (Eyssartier et al. 2009), dan Boletus sp. (Hidayati 2010). Sebagian jenis termasuk kategori fungi yang mengandung bahan kimia berbahaya bagi kesehatan manusia seperti Pleurotus lignitalis, Clitocybe sp. (Laessoe 2003), Amanita virosa, A. phalloides, A. pantherina (del Conte dan Laessoe 2008). Di Indonesia dijumpai fungi ektomikoriza seperti S. sinnamariense yang berasosiasi dengan tanaman melinjo (Gnetum gnemon), S. dyctosporum berasosiasi dengan Pinus merkusii, dan S. columnare berasosiasi dengan Dipterocarpaceae (Wulandari 2002, Turjaman 2006). Beberapa laporan penelitian aplikasi fungi ektomikoriza pada jenis-jenis pohon meranti (Dipterocarpaceae) yang telah dilakukan di Indonesia yaitu Smits (1994), Tata (2001), Turjaman et al. (2005), Turjaman et al. (2006), dan Turjaman et al. (2011). Pada umumnya hasil aplikasi fungi ektomikoriza memberikan respon yang positif bagi pertumbuhan meranti pada tingkat semai saat di persemaian maupun di lapangan. Jenis Dipterocarpaceae memiliki hubungan yang erat dengan ektomikoriza. Menurut Nuhamara (1984) di Indonesia ditemukan sebanyak 18 jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan Dipterocarpaceae. Jenis S. leprosula dan S. selanica umumnya berasosiasi dengan Boletus sp. dan Russula sp. (Nuhamara 1984). Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu menunjukkan bahwa jenis Russula sp. dan Boletus sp. merupakan fungi ektomikoriza terbanyak yang ditemukan. Terbentuknya tubuh buah di atas permukaan tanah tidak selalu menggambarkan keberadaan keadaan mikoriza di dalam tanah. Beberapa jenis ektomikoriza ada yang mampu membentuk tubuh buah di atas tanah dan di bawah tanah (Gardes dan Bruns 1996). Perkembangan tubuh buah (basidiocarp) sangat dipengaruhi oleh musim. Tubuh buah umumnya akan lebih banyak dijumpai pada saat awal musim hujan dan akhir musim hujan (Amornpitak et al. 2006). Metode yang umum digunakan untuk mengidentifikasi fungi ektomikoriza adalah dengan menelusuri secara langsung melalui rizomorf (Werner 1992). Namun metode ini memiliki kekurangan, yaitu tubuh buah fungi ektomikoriza
17 tidak selalu ada setiap waktu (Darwo dan Sugiarti 2008). Menurut Brundrett et al. (1996), beberapa jenis ektomikoriza jarang memproduksi tubuh buah terutama saat kondisi lingkungan kurang menguntungkan seperti kondisi lingkungan yang kering atau panas. Menurut Carlile dan Watkinson (1994) fungi umumnya tumbuh optimal di tempat yang lembab dengan kisaran suhu 20–30 °C. Menurut Susilawati dan Raharjo (2010), cahaya matahari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh buah Pleurotus sp. berkisar antara 50–300 lux. Ektomikoriza memiliki sifat spesifik untuk setiap jenis tumbuhan inang dan kondisi tapak tertentu. Dari satu jenis tumbuhan inang dapat dimungkinkan adanya beberapa jenis fungi ektomikoriza yang menjadi simbionnya dan dari satu jenis fungi ektomikoriza dapat bersimbiosis dengan beberapa jenis tumbuhan inang (Darwo dan Sugiarti 2008). Werner (1992) menyatakan bahwa ada spesifikasi antara inang dengan simbion terhadap satu sama lain. Jenis fungi ektomikoriza yang memiliki kisaran inang lebar di antaranya Amanita muscaria, Boletus edulis, Laccaria laccata, Lactarius deliciosus, Pisolithus tinctorius, Telephora terrestris, Hebeloma crustuliniforme, Picea abis dan Cenococcum geophilum (Giovanni 1985, Werner 1992, Arora 1996). Jenis fungi ektomikoriza yang memiliki inang yang spesifik seperti jamur pelawan yang diidentifikasi merupakan Boletus berasosiasi dengan pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis) (Hidayati 2010). Selain itu, Nugroho et al. (2010) melaporkan bahwa fungi ektomikoriza Scleroderma sp. berasosiasi spesifik dengan pohon merbau (Intsia bijuga). Fungi pembentuk ektomikoriza yang berhasil ditemukan di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu berbentuk payung (mushrooms), bola (puffballs), dan bolet (boletus). Scleroderma sp. termasuk dalam suku Sclerodermataceae. Fungi Scleroderma sp. mengandung spora lebih banyak dibandingkan dengan jenis ektomikoriza yang berbentuk payung. Umumnya Scleroderma sp. memiliki kulit luar yang tebal sehingga lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (Brundrett et al. 1996). Hasil pengamatan spora menunjukkan bahwa spora dari marga Scleroderma lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan spora dari marga Russula. Fungi ektomikoriza yang berbentuk payung umumnya mempunyai warna yang lebih menarik, menyolok dan siklus hidupnya lebih singkat dibandingkan dengan yang berbentuk mushrooms/payung yaitu maksimal satu minggu (Darwo dan Sugiarti 2008). Marga Russula mudah diidentifikasi dan ditemukan saat di lapangan karena umumnya Russula memiliki tudung yang berwarna cerah, namun untuk mengidentifikasi Russula hingga tingkat spesies cukup sulit dilakukan karena masih kurangnya laporan ilmiah maupun penelitian mengenai Russula serta masih minimnya buku identifikasi manual mengenai Russula (Largent dan Baroni 1988). Hasil pengamatan fungi ektomikoriza di lapangan ditemukan 3 jenis fungi ektomikoriza dari suku Russulaceae. Russula sp1 memiliki tudung yang berwarna putih hingga krem, Russula sp2 memiliki tudung warna pink hingga merah sedangkan Russula sp3 dengan tudung berwarna ungu kehitaman. Ketiga jenis Russula yang ditemukan memiliki batang dengan warna yang sama yaitu putih bertekstur halus. Russula yang ditemukan menempel langsung pada tanah (institious) dan hidup berkoloni. Jenis fungi ektomikoriza seperti Suillus sp. Russula sp. dan Boletus sp. memiliki spora yang sukar dikumpulkan dari tubuh buah dan hanya mampu
18 bertahan dalam waktu yang relatif singkat (Noor 2013). Berdasarkan hasil pengamatan hanya spora dari Russula sp1 dan Russula sp3 yang berhasil ditemukan sporanya sedangkan Russula sp2 tidak berhasil ditemukan. Boletaceae merupakan suku fungi ektomikoriza yang sering ditemui pada akar Dipterocarpaceae yang terkolonisasi ektomikoriza dark brown dan light brown (Smits 1994). Berdasarkan hasil pengamatan spora seluruh jenis yang ditemukan di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu hanya 4 jenis yang berhasil diamati sporanya yaitu spora Boletus sp1, Russula sp1, Russula sp3, dan Scleroderma sp. Komposisi dan kepadatan jenis fungi ektomikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sifat jenis fungi itu sendiri. Komposisi jenis fungi ektomikoriza pada tegakan S. selanica lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan S. leprosula. Jenis fungi ektomikoriza yang mendominasi pada tegakan S. leprosula dan S. selanica adalah Russula sp1 dengan kepadatan fungi tertinggi. Russula sp1 merupakan jenis yang ditemukan selama musim penghujan bila dibandingkan dengan jenis fungi ektomikoriza yang lain. Perhitungan nilai indeks keanekaragaman jenis tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah individu saja tetapi juga dipengaruhi oleh kemerataan jenis. Jumlah individu yang tinggi belum tentu diikuti dengan tingginya nilai H’. Menurut Jeffries (1997) faktor yang dapat mempengaruhi keanekaragaman meliputi lokasi, ketinggian dan keragaman habitat. Suatu komunitas dapat dikatakan memiliki nilai keanekaragaman jenis tinggi jika pada komunitas tersebut terdapat jenis dengan tingkat kelimpahan jenis yang seimbang atau hampir sama. Namun jika pada suatu komunitas terdapat banyak jenis dan beberapa jenis saja yang dominan, maka nilai keanekaragaman jenis akan menurun. Keanekaragaman jenis akan berubah dan berbeda seiring berjalannya waktu dan terjadi alih fungsi dari tempat tersebut (Jeffries 1997). Lokasi penelitian yang semakin luas menghasilkan keanekaragaman habitat yang lebih besar. Menurut Watling et al. (2002) untuk melihat keanekaragaman ektomikoriza di suatu tempat dibutuhkan waktu yang lama. Pengamatan tentang keanekaragaman ektomikoriza di hutan hujan tropis di Pasoh, Malaysia yang telah dilakukan selama 3 tahun berhasil menemukan 296 jenis ektomikoriza, 8 jenis di antaranya dari suku Sclerodermataceae (Lee 2002). Jenis ektomikoriza yang ditemukan di hutan alam memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ektomikoriza yang ada di hutan tanaman (Lu et al. 1999). Indeks kemerataan dipengaruhi oleh kepadatan dan jumlah jenis. Kemerataan (evenness) indeks berkisar antara 0–1, nilai E dikatakan semakin merata jika mendekati nilai 1 dan tidak merata jika mendekati nilai 0 (Maguran 2004). Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis fungi ektomikoriza yang ditemukan pada keenam plot jarak tanam mempunyai penyebaran acak dan cenderung merata. Hal ini ditunjukkan oleh nilai indeks kemerataan yang tidak bernilai 0. Kemerataan jenis didukung oleh kondisi lingkungan dari masingmasing tegakan yaitu suhu, kelembaban dan intensitas cahaya serta kemampuan adaptasi dari fungi ektomikoriza itu sendiri seperti kemampuan beradaptasi. Nilai kemerataan menunjukkan pola sebaran suatu jenis dalam suatu komunitas, semakin besar nilainya maka akan semakin seimbang pola sebaran suatu jenis di dalam komunitas begitu pula sebaliknya (Watling et al. 2002). Kesamaan komunitas digunakan untuk melihat kesamaan jenis yang ditemukan pada tiap lokasi jarak tanam. Kesamaan komunitas dapat dihitung
19 menggunakan jarak Euclidean dan dikelompokkan menggunakan metode Ward. Pengaruh lingkungan dapat mempengaruhi keberadaan fungi ektomikoriza pada kedua lokasi tegakan. Tampubolon (2010) menyatakan bahwa cahaya, suhu dan air secara ekologis merupakan faktor lingkungan yang penting. Kesamaan jenis fungi ektomikoriza yang ditemukan dapat disebabkan oleh iklim mikro pada setiap lokasi pengamatan. Hasil pengukuran kondisi iklim mikro pada lokasi pengamatan menunjukkan tidak terdapat perbedaan suhu dan kelembaban yang signifikan, namun memiliki rentang nilai intensitas cahaya yang berbeda antara tegakan S. leprosula dan S. selanica. Seluruh plot jarak tanam pada tegakan S. leprosula memiliki karakteristik yang sama, yaitu tajuk yang tidak terlalu rapat sehingga cahaya matahari mampu menembus lantai hutan. Rentang intensitas cahaya matahari yaitu 900–25000 lux. Tegakan S. selanica (2 m x 2 m) dan S. selanica (3 m x 3 m) memiliki karakteristik yang sama yaitu, tutupan tajuk yang rapat sehingga cahaya matahari tidak sampai menembus lantai hutan dengan rentang intensitas cahaya matahari yaitu 500–7300 lux dan 550–8000 lux, sedangkan tegakan S. selanica (4 m x 4 m) memiliki tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat sehingga cahaya matahari masih mampu menembus lantai hutan dengan rentang intensitas cahaya yaitu 1800–8400 lux. Menurut Santos-Silva et al. (2011) peran kanopi hutan dan lahan terlindung sangat mempengaruhi struktur fungi. Kanopi hutan berpengaruh terhadap peningkatan keragaman fungi terutama yang termasuk dalam ektomikoriza.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu jumlah jenis fungi ektomikoriza yang ditemukan sebanyak 9 jenis dari 5 marga yaitu, Amanita sp. (Amanitaceae), Boletus sp1, Boletus sp2, Boletus sp3 (Boletaceae), Laccaria sp. (Hydnangiaceae), Russula sp1, Russula sp2, Russula sp3 (Russulaceae) dan Scleroderma sp. (Sclerodermataceae). Semakin lebar jarak tanam maka jumlah individu jenis ektomikoriza yang ditemukan semakin banyak. Jenis fungi ektomikoriza yang hanya ditemukan pada tegakan S. leprosula adalah Scleroderma sp., sedangkan jenis yang hanya ditemukan pada tegakan S. selanica adalah Amanita sp., Laccaria sp. dan Boletus sp2. Indeks keanekaragaman jenis fungi ektomikoriza untuk seluruh plot jarak tanam pada tegakan S. leprosula dan S. selanica tergolong sedang. Indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis fungi ektomikoriza pada seluruh plot jarak tanam tergolong rendah. Indeks kesamaan komunitas menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok besar fungi ektomikoriza berdasarkan habitat.
20 Saran Perlu dilakukan penelitian keanekaragaman fungi ektomikoriza di Hutan Penelitian Meranti Gunung Dahu dengan area pengamatan yang lebih luas untuk memperoleh nilai keanekaragaman yang lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA Agerer R. 1991. Characterization on Ectomycorrhiza. Noris JR, Read DJ. Varma AK, editor. London (UK): Academic Press. Alexander I, Lee SS. 2005. Mycorrhizas and ecosystems processes in tropical rain forest: implication for diversity. In: Burslem DFRP, Pinard MA, Hartley SE, editor. Biotic Interactions in the Tropics: Their role in the maintenance of species diversity. Cambridge University Press. hlm 165-203. Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol. 41:271-303. Amornpitak TY, Vichitsoonthonkul T, Tantichaeron M. Cheevadhanarak S, Ratchadawong S. 2006. Diversity of ectomycorrhizal fungi on Dipterocarpaceae in Thailand. J Bio Sci. 6(6):1059-1064. Anderson EE, Fellers RC. 1942. The food value of mushrooms. Proc Amer Soc Hort Sci. 41:301-304. Arora D. 1996. Mushroom Demystified. Berkeley (US): Ten Speed Press. Baghel RK, Sharma R, Pandey AK. 2009. Activity of acid phosphatase in the ectomycorrhizal fungus Chantarellus tropicalis under controlled conditions. J Trop For Sci. 21(3):218-222. Bearley FQ. 2011 The importance of ectomycorrhizal inoculation for the growth of dipterocarps and the efficacy of ectomycorrhizal inoculation schemes: Di dalam Rai M, Varma A, editor. Diversity and Biotecnology of Ectomycorrhizae. Heidelberg (DE): Springer. hlm 3-18. Bechem EET, Alexander IJ. 2012. Phosphorus nutrition of ectomycorrhizal Gnetum africanum plantlets from Cameroon. Plant Soil 353:379393.doi:10.1007/s11104-011-1038-x. Breitenbach J, Kranzlin F. 1991. Fungi of Switzerland Vol 3. Boletes and Agarics. Switzerland (CH): Mycologia Lucerne. Brundrett MN, Bougher B, Dell T, Grove, Malajczuk N. 1996. Working With Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra (AU): Canberra. Carlile MJ, Watkinson SC. 1994. The Fungi. London (AU): Academic Press. Darwo, Sugiarti. 2008. Berberapa jenis cendawan ektomikoriza di kawasan hutan Sipirok, Tongkoh, dan Aek Nauli, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(2):157-173. del Conte A, Laessoe T. 2008. The Edible Mushrooms Book. New York (US): DK Publishing. Dell B. 2002. Role of mycorrhiza fungi in ecosystems. CMU J. 1:47-55.
21 Dunabeitia MK, Hormilla S, Garcia-Plazaola JI, Txarterina K, Arteche U, Becerril JM. 2004. Differential responses of three fungal species to environmental factors and their role in the mycorrhization of Pinus radiate D. Don. Mycorrhiza 14:11-18. Eyssartier S, Stubbe D, Walleyn R, Verbeken A. 2009. New record of Cantharellus species (Basidiomycota, Cantharellaceae) from Malaysian dipterocarp rainforest. Fungal Diversity 36:57-67. Gardes M, Bruns TD. 1996. Community structure of ectomycorrhizal fungi in a Pinus muricata forest: above and below grounds views. Can J Bot. 74:15721583. Giovanni P. 1985. MacDonald Encyclopedia of Mushrooms and Toadstolls. London (UK): MacDonald & Co (Publisher) Ltd. Hidayati AR. 2010. Analisis simbiotik ektomikoriza pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jeffries MJ. 1997. Biodiversity and Conservation. New York (US): Routledge. Jonnarth UA, Roitto M, Markkola AM, Ranta H, Neuvonen S. 2004. Effects of nickel and copper on growth and mycorrhiza of Scots pine seedlings inoculated with Gremmeniella abietina. For Path. 34:337-348. Kuo M. 2013. Amanita phalloides [internet]. [diunduh 2016 Nov 20]. Tersedia pada: http://www.mushroomexpert.com/amanita_phalloides.html. Kuo M. 2013. Boletus subvelutipes [internet]. [diunduh 2016 Nov 16]. Tersedia pada: http://www.mushroomexpert.com/boletus_subvelutipes.html. Kuo M. 2015. Boletus luridus [internet]. [diunduh 2016 Nov 19]. Tersedia pada: http://www.mushroomexpert.com/boletus_luridus.html. Laessoe T. 2003. Mushrooms. London (UK): Dorling Kindersley. Largent DL, Baroni TJ. 1988. How to Identify Mushrooms to Genus VI: Modern Genera. California (US): Mad River Press. Lee SS, Watling R, Turnbull E. 2002. Diversity of putative ectomycorrhizal fungi in Pasoh Forest Reserve. Dalam Okada T, editor. Pasoh: Ecology and Natural History of a Southeast Asia Lowland Tropical Rainforest. London (UK): Springer. Lu X, Malajczuk N, Brundrett M. 1999. Fruiting of putative ectomycorrhizal gungi under blue gum (Eucalyptus globulus) plantations of different ages in Western Australia. Mycorrhiza 8:225-261. Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Method and Computing. New York (US): John Wiley & Sons. Magurran AE. 2004. Measuring Biologycal Diversity. Oxford (UK): Blackwell Publishing. Molina R, Massicotte H, Trappe JM. 1992. Specificity phenomena in mycorrhizal symbiosis: community-ecological consequences and practical implications. In: Allen MF, editor. Mycorrhizal functioning, an integrated plant-fungal process. London (UK): Chapman and Hall. hlm 357-423. Nichols JD, Boulinier THE, Hines KH, Pollock, Sauer JR. 1998. Estimating rates of local species extinction, colonization and turnover in animal communities. Ecologycal Application 8(4):1213-1225. Noor M. 2013. Potensi fungi simbiotik (ektomikoriza) pada tegakan benih Dipterocarpaceae PT INHUTANI 1 Laban Berau dan PT Narkata Rimba Kecamatan Muara Wahau di Kalimantan Timur. Di dalam: Sumedi N, Sidiyasa
22 K, Turjaman M, Tata MHL, Komar TE, Wardani M, Gunawan H, Dharmawan IWS, Kutandi, editor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian BPTKSDA: Hasil-Hasil Riset untuk Mendukung Konservasi yang Bermanfaat dan Pemanfaatan yang Konservatif; 2011 Jul 3; Balikpapan, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. hlm 3946. Noor M, Saridan A. 2013. Keanekaragaman fungi makro pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 7(1):53-62. Nugroho JD, Mansur I, Purwito A, Suhendang E. 2010. Morphologycal characteristics of ectomycorrhizas on merbau [(Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. Hayati J Biosci. 17(2):68-72.doi:10.4308/hjb.17.2.68. Nuhamara ST. 1984. Mycorrhizae, new dimension on weed control in agricultural land. Seventh Indonesian Weed Science Association (HIGI) Conference; 1984 Feb 14-16; Solo, Indonesia. Solo (ID): University of Sebelas Maret. Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forest of South Cameroon. Mycorrhiza 12:13-17. O’Reilly P. 2011. Laccaria proxima [internet]. [diunduh 2016 Nov 19]. Tersedia pada: http://www.first-nature.com/fungi/laccaria-proxima.php. O’Reilly P. 2011. Russula queletii [internet]. [diunduh 2016 Nov 19]. Tersedia pada: http://www.first-nature.com/fungi/russula-queletii.php. Pielou EC. 1984. The Interpretation of Ecological Data. A Primer on Classification and Ordination. New York (US): John Wiley & Sons. Ramsbottom J. 1979. Mushrooms and Toadtools. London (UK): Bloombury Books. Reddy M, Singla S, Natarajan K, Senthilarasu G. 2005. Pisolithus indicus, a new species of ectomycorrhizal fungus associated with dipterocarps in India. Mycologia 97(4):839-843. Santos-Silva C, Goncalves A, Mueller GM. 1999. Macrofungal diversity of a temprate oak forest: A test of species richness estimators. Canadian Journal of Botany 77:1014-1027. See LS, Watling R, Turnbull E. 2002. Diversity of putative ectomycorrhizal fungi in Pasoh Forest Reserve. London (UK): Springer London. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. San Diego (US): Academic Press. Smith WTM. 1983. Dipterocarps and mycorrhiza-an ecological adaption and a factor in forest regeneration. Flora Malesiana Bull. 36:3926-3937. Smits WTM. 1994. Dipterocarpaceae: mycorrhizae and regeneration [tesis]. Wageningen (NL): Wageningen Agricultural University, The Netherlands. Stubbe D, Nuytinck J, Verbeken A. 2008. Lactarius submarga Plinthgalus of Malaysia. Fungal Diversity 32:125-156. Susilawati, Raharjo B. 2010. Petunjuk Teknis Budidaya Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) yang Ramah Lingkungan. Palembang (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Tampubolon J. 2010. Inventarisasi jamur makroskopis di Kawasan Ekowisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara [tesis]. Meda (ID): Program Studi Magister Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.
23 Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza Dipterocarpaceae [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolthus arhizus and Scleroderma sp. improve the early growth of Shorea pinanga in nursery seedlings. New Forest 30:67-73.doi:10.1007/s11056-004-1954-1. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J Trop For Sci. 18(4):166-172. Turjaman M, Santoso E, Susanto A, Gaman S, Limin SH, Tamai Y, Osaki M, Tawaraya K. 2011. Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forest. Wetland Ecology and Management 19:331-339. Watling R, Lee SS, Turbull E. 2002. The occurrence and distribution of Putative Ecstomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South-East Asian Rainforest. Di dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isooc S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology. Vol 1. Macromycetes. London (UK): CAB International Wellingtonford. Werner D. 1992. Symbiosis on Plant and Microbes. London (UK): Chapman & Hall. [WHC] Women’s and Children’s Hospital Adelaide Australia. 2016. Lamella spacing [internet]. [diunduh 2016 Des 10]. Tersedia pada: http://www.toxinology.com/generics_static_files/images_generic/MDlamellae_ spacing1.gif. [WHC] Women’s and Children’s Hospital Adelaide Australia. 2016. Stipe Shapes [internet]. [diunduh 2016 Des 10]. Tersedia pada: http://www.toxinology.com/generics_static_files/images_generic/MDstipe_sha pes1.gif. [WHC] Women’s and Children’s Hospital Adelaide Australia. 2016. Pilleus Shapes [internet]. [diunduh 2016 Des 10]. Tersedia pada: http://www.toxinology.com/generics_static_files/images_generic/MDpilleus_s hapes1.gif. Whipss JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can J Bot. 82:1198-1227. Wiati CB. 2013. Kajian pelaksanaan pelelangan kayu meranti di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterocarpa 7(1):19-28. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
24
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 15 November 1992 dari ayah H. Tatang (Alm.) dan ibu Yanti Sofiyanti. Penulis adalah putri ketiga dari enam bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Majalengka dan pada tahun yang sama penulis masuk seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalus USMI dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai anggota dalam divisi Seedling Group TGC (Tree Grower Community), anggota IFSA (International Forestry Students Association) dalam divisi Village Concept Project periode 2012/2013 dan 2013/2014, anggota divisi Penulisan dan Dokumentasi HPMB (Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Bogor) pada periode 2012/2013, asisten praktikum mata kuliah Silvikultur tahun ajaran 2015/2016, dan beberapa kegiatan kepanitiaan di dalam kampus maupun di luar kampus. Penulis juga aktif sebagai pengajar privat SMA kelas 3 pada tahun 2015. Selain kegiatan kampus, penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan yaitu panitia Seminar Nasional Silvikultur Tropika ke-3 dan Kongres Masyarakat Silvikultur Indonesia pada tahun 2015, panitia First International Seminar of Silviculture pada tahun 2015. Penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan praktik lapang di antaranya Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Sancang Barat-Kamojang (2013), Praktik Pengelolaan Hutan (2014), Praktik Kerja Profesi di Pusat Konservasi dan Rehabilitasi pada bulan Februari sampai April 2015.