BioETI
ISBN 978-602-14989-0-3
Keanekaragaman Fungi Ektomikoriza di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Unand FESKAHARNY ALAMSJAH1, ETI FARDA HUSIN2, ERDI SANTOSO3, DEDDI PRIMA PUTRA4 DAN SYAMSUARDI1 1
Jurusan Biology FMIPA Univ. Andalas, 2Fakultas Pertanian, Univ. Andalas, 3 Puslitbanghutan & Konservasi Alam, Bogor, 4 Farmasi Univ. Andalas E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Unand merupakan salah satu hutan tropis dataran rendah di Sumatera Barat. HPPB termasuk kawasan hutan lindung, namun saat ini kondisi vegetasinya telah banyak mengalami gangguan, seperti adanya areal bekas perladangan, penebangan pohon dan pembukaan lahan dengan cara pembakaran. Keadaan ini menyebabkan ekosistem di HPPB terganggu bahkan dapat menyebabkan kepunahan. Hilangnya berbagai jenis tumbuhan sebagai dampak pengrusakan hutan akan diikuti dengan hilangnya fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengannya. Hal ini sangat disayangkan karena fungi ektomikoriza indigenus di hutan ini belum tergali potensinya. Sebagian besar akar pohon hutan seperti Pinaceae, Dipterocarpaceae, Fagaceae, Gnetaceae dan Myrtaceae memiliki hubungan simbiosis mutualistis dengan fungi ekomikoriza. Sampai saat ini informasi mengenai keberadaan fungi ektomikoriza di Sumatera Barat masih sangat kurang terutama di HPPB. Oleh karena itu penelitian mengenai keanekaragaman fungi ektomikoriza di HPPB perlu dilakukan. Dari hasil survey dan koleksi sampel fungi ektomikoiza di HPPB, ditemukan 18 isolat yang menunjukkan variasi dalam bentuk, ukuran, warna dan tangkai dari basidiokarp serta warna spora. Secara morfologi isolat-isolat tersebut dikelompokkan ke dalam Famili Sclerodermataceae (3 jenis), Amanitaceae (5 jenis), Tricholomataceae (1 jenis), Russulaceae (8 jenis), Boletaceae (1 jenis). Setelah dikulturkan, ternyata tidak semua isolat mampu tumbuh pada media MMN,MEA dan Pawlesky. Hanya 8 isolat yang mampu tumbuh pada media tersebut. Key words: Keanekaragaman, Fungi,Ektomikoriza, Basidiokarp, simbiosis mutualistis, HPPB
Pendahuluan Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) merupakan hutan tropis dataran rendah yang perlu dijaga kelestariannya karena selain untuk kepentingan ekonomis dan kebutuhan akan jasa lingkungan sebagai paru-paru kota, HPPB juga dimanfaatkan untuk lahan penelitian dan pendidikan. Untuk mengembalikan kondisi hutan yang telah mengalami gangguan menyerupai kondisi semula, perlu introduksi fungi ektomikoriza, yang bisa berasal dari tumbuhan itu sendiri atau tumbuhan lain. Secara alami, sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi pada ekosistem hutan berasosiasi dengan fungi ektomikoriza. Fungi tersebut menguntungkan tumbuhan dengan cara meningkatkan kapasitas penyerapan hara oleh akar dan memberikan perlindungan terhadap serangan berbagai jenis patogen dan stres abiotik di sekitar rhizosfer. Adanya fungi ektomikoriza yang menginfeksi tumbuhan hutan, akan mempercepat tumbuhnya anakan pohon dan membantu mempercepat
merehabilitasi lahan terdegradasi. Oleh karena itu fungi ektomikoriza memiliki manfaat yang besar dalam fungsi ekologis dan berperan dalam rantai makanan di rizosfir akar (Brundrett et al., 1996). Fungi ektomikoriza sering digunakan sebagai pupuk hayati untuk membantu pertumbuhan dan produksi bibit tanaman bernilai ekonomi seperti meranti, pinus, eukaliptus dan melinjo. Terdapat perbedaan tingkat kompatibilitas fungi terhadap tanaman inangnya sehingga perlu dilakukan seleksi untuk mendapatkan isolat fungi yang akan digunakan sebagai inokulum secara komersial. Oleh karena itu pengembangan potensi daerah yang memanfaatkan sumber daya hayati perlu dilakukan, dengan pertimbangan ramah lingkungan dan penggunaan biaya yang jauh lebih murah. HPPB dengan keanekaragaman floranya, diharapkan keberadaan fungi ektomikoriza banyak di lantai hutan yang memberikan kontribusi pada tanaman hutan. Oleh karena itu, amat penting dilakukan eksploitasi dan studi keragamannya di HPPB.
Feskaharny Alamsjah, Eti Farda Husin, Erdi Santoso, Deddi Prima Putra dan Syamsuardi
Adanya penelitian dan informasi tentang fungi ektomikoriza indigenus di kawasan HPPB ini dapat bermanfaat dalam tata kelola hutan dataran rendah. Asosiasi ini dapat dimanipulasi untuk meningkatkan produktivitas dalam program reboisasi hutan. Penggunaan inokulum mikoriza secara komersial telah banyak dilakukan di berbagai negara (Dell et al., 1994; Brundrett et al., 1996). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan koleksi sampel fungi ektomikoriza indigenus di HPPB dan mengoleksi kultur isolat fungi ektomikoriza tersebut. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dengan survey lapangan dan eksperimen di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA Unand. Sampel yang digunakan adalah jenis–jenis fungi ektomikoriza yang terdapat di rhizosfir tanaman di HPPB. Kegiatan yang dilakukan adalah koleksi sampel fungi ektomikoriza dan kultur isolat. Koleksi Sampel Fungi Ektomikoriza Tubuh buah fungi Basidiomycetes yang diduga pembentuk ektomikoriza yang terdapat di rizosfir tanaman di HPPB, dikumpulkan dan dikoleksi untuk diidentifikasi. Basidiokarp fungi ektomikoriza digali secara hati-hati dengan sekop kecil di bawah tajuk tegakan tanaman. Basidiokarp kemudian dibersihkan dengan hati-hati dari sisa-sisa tanah atau kotoran yang melekat, lalu dimasukkan ke dalam kantong kertas coklat dan kantong plastik selanjutnya diberi label berdasarkan jenis tanaman yang berasosiasi dengannya. Setelah tubuh buah dikumpulkan, kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Basidiokarp fungi ektomikoriza yang akan dikoleksi basah dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa tanah atau kotoran, dicuci dengan air, kemudian dibilas dengan akuades steril dan alkohol lalu dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi larutan formalin 4 %. Kultur Isolat
188
Dari sampel yang telah diperoleh dipilih basidiokarp yang terbaik, dibersihkan dengan cara menyeka bagian permukaan tubuh buah yang relatif muda dengan alkohol 95 %. Isolasi miselium dari sporokarp fungi ektomikoriza yang berbentuk puffball dapat dilakukan dari bagian sporanya atau dari potongan jaringan sporokarp selain spora. Sporokarp yang akan diisolasi dipilih yang masih setengah matang karena pertumbuhan jaringannya masih dalam keadaan aktif sehingga kemungkinan cepat tumbuh miseliumnya. Isolasi miselium dari sporokarp fungi ektomikoriza yang berbentuk mushroom dapat dilakukan dari bagian sporanya atau dari potongan jaringan sporokarp selain spora. Sporanya dapat diambil secara langsung dengan menggunakan jarum inokulasi atau melalui metode spore print. Tubuh buah dapat pula dipatahkan secara aseptik kemudian hifa diambil dari daerah pusat gleba dengan jarum inokulasi untuk dikulturkan dalam media Modified Melin-Norkrans Agar (MMN), Malt Extract Agar (MEA) dan Pawlesky. Selanjutnya kultur diremajakan secara rutin tiap satu bulan sekali. Identifikasi Fungi Ektomikoriza Identifikasi dilakukan berdasarkan atas ciri–ciri dari tubuh buah (basidiokarp) menggunakan beberapa referensi yang ada, yaitu Sims et al. (1995); Brundrett et al., (1996); Konemann (1999); Harkonen et al., (2003). HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman Fungi Ektomikoriza Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa basidiokarp fungi ektomikoriza yang ditemukan menunjukkan bervariasi dalam hal: bentuk, ukuran, warna dan panjang tangkai basidiokarp, warna, dan ketebalan gleba, juga warna spora baik pada saat muda maupun tua. Dari data yang diperoleh ditemukan 18 isolat fungi ektomikoriza di HPPB. Berdasarkan kemiripan secara morfologi, isolat-isolat tersebut dikelompokkan ke dalam Famili
Feskaharny Alamsjah, Eti Farda Husin, Erdi Santoso, Deddi Prima Putra dan Syamsuardi
Sclerodermataceae (3 jenis), Amanitaceae (5 jenis), Tricholomataceae (1 jenis), Russulaceae (8 jenis), Boletaceae (1 jenis). Jenis fungi ektomikoriza tersebut dan asosiasinya pada tumbuhan di HPPB disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Fungi ektomikoriza dan asosiasinya pada tumbuhan di HPPB.
No Famili Asosiasi dengan tumbuhan 1. Sclerodermataceae Scleroderma sp 1 Shorea sp, Quercus sp Scleroderma sp 2 Shorea sp, Lithocarpus sp, Quercus sp Scleroderma sp 3 Shorea sp, Quercus sp 2. Amanitaceae Amanita sp 1 Myrtaceae, Quercus sp Amanita sp 2 Quercus sp, Shorea sp Amanita sp 3 Lauraceae, Quercus sp, Lithocarpus sp Amanita sp 4 Quercus sp, Shorea sp Amanita sp 5 Quercus sp 3. Tricholomataceae Laccaria sp Quercus sp, Shorea sp 4. Russulaceae Russula sp 1 Quercus sp Russula sp 2 Quercus sp, Shorea sp Russula sp 3 Myrtacece, Quercus sp Russula sp 4 Quercus sp, Lithocarpus sp Lactarius sp 1 Quercus sp Lactarius sp 2 Lauraceae, Quercus sp, Lactarius sp 3 Myristicaceae, Quercus sp Lactarius sp 4 Quercus sp, Lithocarpus sp 5. Boletaceae Boletus sp Quercus sp, Shorea sp
Dari Tabel 1 terlihat bahwa suatu jenis fungi dapat membentuk ektomikoriza pada perakaran beberapa jenis pohon hutan dan sebaliknya, suatu jenis pohon hutan dapat membentuk ektomikoriza dengan beberapa jenis fungi. Menurut Santoso (1988), pertumbuhan bibit jenis pohon hutan tertentu paling cepat bila diinokulasi dengan jenis fungi ektomikoriza tertentu. Jadi kesesuaian fisiologi antara jenis fungi tertentu dan jenis pohon tertentu diperlukan agar dapat diperoleh pertumbuhan yang paling cepat. Kesesuaian yang diharapkan bahkan mungkin bisa terjadi antara klon tertentu suatu jenis pohon dan strain, isolat atau asal tertentu suatu jenis fungi pembentuk ektomikoriza. Dalam hubungan ini Dick (1995) menyarankan agar dalam pembangunan hutan di Indonesia, dapat dimanfaatkan berbagai jenis fungi yang potensial membentuk ektomikoriza yang ada diIndonesia Menurut Hadi (2000), ada tiga faktor yang menentukan tebentuk dan/atau perkembangan ektomikoriza serta pertumbuhan
189
bibit pohon hutan, yaitu pohon hutan, fungi ektomikoriza dan kondisi lingkungan. Beberapa jenis fungi ektomikoriza mampu membentuk tubuh buah (basidiokarp) di atas tanah dan hifa di dalam tanah, sementara jenisjenis lainnya hanya membentuk tubuh buah saja atau terdapat dalam bentuk hifa (Gardes & Bruns, 1996). Pemunculan tubuh buah di alam sangat tergantung kondisi lingkungan, diantaranya adalah curah hujan, suhu dan cahaya matahari. Biasanya tubuh buah banyak dijumpai pada awal dan akhir musim penghujan.. Sementara apabila curah hujan sangat kurang, basidiokarp agak sulit ditemukan. Menurut Watling et al. (2002) untuk melihat keanekaragaman ektomikoriza di suatu tempat dibutuhkan waktu yang lama. Pampolina et al. (2002) melihat keanekaragaman ektomikoriza di bewah tegakan Eucalyptus selama 2 tahun, Sementara itu, pengamatan tentang keanekaragaman ektomikoriza di Hutan hujan tropis di Pasoh, Malaysia yang telah dilakukan selama 3 tahun, berhasil menemukan 296 jenis ektomikoriza, 8 jenis diantaranya dari famili Sclerodermataceae (Lee, 2002). Hasil penelitian Alamsjah dan Husin (2010) diperoleh 16 isolat fungi ektomikoriza indigenus tanaman meranti (Shorea sp.) di Sumatera Barat (hutan tanaman meranti di Pasaman, Solok dan Gunung Gadut). Menurut Lu et. al, (1999), jenis mikoriza yang ditemukan di hutan alam jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan jenis mikoriza yang ada di hutan buatan. Kultur Isolat Semua isolat fungi ektomikoriza yang ditemukan di lapangan selanjutnya dikulturkan pada media MMN, MEA dan Pawlesky untuk mengetahui kemampuan tumbuhnya pada media sintetik. Tujuan dari pembuatan kultur isolat ini adalah untuk stok inokulum fungi ektomikoriza, karena inokulum dalam bentuk basidiokarp sulit diandalkan, berhubung keberadaan dan perkembangan basidiokarp sangat dipengaruhi oleh musim. Diharapkan dengan adanya kultur isolat ini, inokulum fungi
Feskaharny Alamsjah, Eti Farda Husin, Erdi Santoso, Deddi Prima Putra dan Syamsuardi
ektomikoriza senantiasa tersedia, tidak tergantung musim. Ternyata setelah dikulturkan pada media MMN, MEA dan Pawlesky, tidak semua isolat fungi ektomikoriza mampu tumbuh pada media sintetik tersebut, walaupun telah berulangkali dilakukan. Dari 18 jenis fungi ektomikoriza yang diperoleh, hanya 8 jenis yang mampu tumbuh pada media sintetik, meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 25-30 hari inkubasi. Hal ini mungkin disebabkan media MMN, MEA dan Pawlesky yang digunakan tidak sesuai untuk pertumbuhan fungi ektomikoriza lainnya, karena fungi tersebut memerlukan media yang lebih spesifik. Basidiokarp fungi ektomikoriza terdiri dari bagian generatif yaitu spora dan bagian vegetatif yaitu seluruh basidiokarp selain spora. Tiap genus fungi ektomikoriza dapat sangat berbeda dalam hal kemudahannya untuk diisolasi dari basidiokarp dan ditumbuhkan pada media biakan. Belum berhasilnya isolasi pada beberapa genus umumnya disebabkan belum sesuainya komposisi nutrisi dalam media biakan bagi genus yang bersangkutan (Kope dan Fortin, 1990 cit Wulandari et al., 1999). Diantara 8 jenis yang mampu tumbuh pada media MMN, MEA dan Pawlesky, isolat yang mempunyai waktu pertumbuhan yang sama di media tersebut ada 5 isolat, yaitu Scleroderma sp1, Scleroderma sp2,Scleroderma sp3, Laccaria sp dan Russula sp. Sedangkan 3 isolat lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama yaitu 2 bulan untuk bisa dikulturkan. KESIMPULAN Dari hasil penelitian diperoleh 18 isolat fungi ektomikoiza di rhizosfir tanaman di HPPB. Berdasarkan kemiripan secara morfologi, isolat-isolat tersebut dikelompokkan ke dalam Famili Sclerodermataceae (3 jenis), Amanitaceae (5 jenis), Tricholomataceae (1 jenis), Russulaceae (8 jenis), Boletaceae (1 jenis). Setelah dikulturkan, ternyata tidak semua isolat mampu tumbuh pada media
190
MMN,MEA dan Pawlesky. Hanya 8 isolat yang mampu tumbuh pada media tersebut. DAFTAR PUSTAKA Alamsjah, F., dan E. F. Husin. 2010. Keanekaragaman fungi ektomikoriza di rizosfir tanaman meranti (Shorea sp) di Sumatera Barat. Jurnal Biospectrum. Vol. 6. No.3. Hal 155-160. Brundrett, M,N; Bougher, B. Dell, T. Grove and N. Malajczuk. 1996. Working With Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Pirie Printers . Canberr, Australia.. p.374. Dell, B., N. Malajczuk., N.L. Bougher, and G. Tomsom. 1994. Development and function of Psilothus and Scleroderma ectomycorrhizas formed in vivo with Allocasuarina and Eucalyptus. Mycorrhiza. 5: 129–138. Dick, J.M., R. Effendi, R.C. Munro, K.Ingleby, A. Saridan & P.A.Mason. 1995. Clonal selection and Mycorrhizal inoculation of Dipterocarps. Halaman 140-144 dalam BIO-REFOR Proceedings: Kangar Workshop. W.Ratnam, Peny. BIOREFOR/IUFRO/SPDC Gardes, M. and T.D. Bruns . 1996. Community strukture of ectomycorrhizal fungi in a Pinus muricata forest : above and below ground views. Can. J. Bot. 74: 1572-1583. Hadi, S. 2000. Status Ektomikoriza pada tanaman hutan di Indonesia. Seminar Nasional Mikoriza I. Bogor Harkonen, M.,Niemela, T., and L. Mwasumbi. 2003. Tanzanian mushrooms. Edible, harmful and other fungi. Botanical Museum, Finnish Museum of Natural History, Helsinki. Lee, S. S., R. Watling, and E. Turnbull. 2002. Diversity of putative ectomycorrhizal fungi in Pasoh Forest Reserve. In : Okada, T (ed.) Pasoh : Ecology and Natural History of a Southeast Asia Lowland Tropical Rainforest. Springer. London. Lu, X. N. Malajczuk, M. Brundrett. 1999. Fruiting of putative ectomycorrhizal fungi under blue gum (Eucalyptus globulus) plantations of different ages in Western Australia. Mycorrhiza 8:255-261. Pampolina, N.M., B. Dell and N. Malajczuk. 2002. Dynamics of ectomycorrhizal fungi in Eucalyptus globulus plantation : effect of phosphorus fertilization. In : Forest
Feskaharny Alamsjah, Eti Farda Husin, Erdi Santoso, Deddi Prima Putra dan Syamsuardi
Ecology and Management 158 : 291-304. Elsevier Science B.V. Santoso, E. 1988. Pengaruh fungi mikoriza terhadap pertumbuhan Dipterocarpaceae. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sims, K.P., R. Watling, and P. Jeffries. 1995. A revised to the Genus Scleroderma. Mycotaxon. 61: 403–420. Watling, R. , S.S. Lee and E. Turbull. 2002. The occurrence and distribution of Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South-east Asian Rainforest. In : Watling, R. J.C. Frankland, A.M., Ainsworth, S. Isooc and C.H. Robinson (eds.) Tropical Mycology. Vol. 1. Macromycetes. CAB. International Wellingtonford. UK. Wulandari, A.S., Supriyanto.,Guharja, E., Rifai, M.A., Fakuara, Y. dan N. Sukarno. 1999.
191
Effect of a thermal-shock on fruiting-body induction of Scleroderma sinnamariense associated with Gnetum gnemon seedlings. Didalam: Smith, F.A.,Kramadibrata, Simanungkalit, R.D.M., Sukarno, N.,dan S.T. Nuhamara, editors.Mycorrhizas in sustainable tropical agriculture and forest ecosystems. Proceedings of International Conference on Mycorrhizas. Bogor. P. 195-198