SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh :
Sri Maharani A14204015
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN SRI MAHARANI (A14204015). Sikap Rasional Petani dan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan Saharuddin.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan bahwa kemerataan dalam struktur agraria akan membawa suatu komunitas menuju harmoni agraria dan ketimpangan dalam struktur agraria akan memungkinkan munculnya konflik agraria (Sitorus, 2004). Struktur agraria merupakan bentukan sosial dalam hubungan sosial terkait dengan distribusi akses terhadap tanah. Distribusi akses terhadap tanah memiliki dua kemungkinan yaitu merata (kesempatan yang sama untuk menguasai tanah) atau timpang (kesempatan yang tidak sama dalam akses menguasai tanah). Data struktur penguasaan dan pemilikan dalam sensus pertanian 2003 menyatakan adanya perubahan jumlah rumah tangga petani gurem yang meningkat sebesar 26,46 persen sejak tahun 1993 dan sangat potensial untuk menimbulkan konflik antar aktor yang terlibat dalam hubungan sosio agraria. Namun melihat kondisi ini tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan bahwa kondisi pedesaan selama ini terlihat harmonis seakan-akan tidak terjadi sesuatu permasalahan apapun. Selama ini konflik yang mencuat ke permukaan adalah konflik-konflik restoratif, yaitu didasari adanya keinginan untuk mempertahankan hak-hak atas tanah. Adanya dasar kenyataan ini, maka tujuan penelitian ini, yaitu menggambarkan
pola
hubungan
antara
aktor
yang
terlibat
dalam
penggunaan/pemanfaatan lahan pertanian. Pola hubungan ini terkait dengan
39
adanya ketimpangan dalam hal pemilikan/penguasaan lahan pertanian. Aktoraktor yang berhubungan memiliki pemaknaan tertentu terhadap hubungan yang mereka lakukan. Hubungan aktor-aktor tersebut berimplikasi terhadap timbulnya potensi konflik maupun harmonisasi yang terjadi di pedesaan. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif. Strategi yang digunakan adalah studi kasus yang meneliti gejala sosial yang terjadi. Data primer penelitian ini dikumpulkan melalui panduan wawancara serta data sekunder berupa dokumen laporan studi, dari kantor desa. Panduan wawancara ini bersifat fleksibel (luwes), bisa berubah sesuai keadaan di lapang. Hasil dan pembahasan menyatakan bahwa kondisi pemilikan
dan
penguasaan yang timpang di Desa Cibatok Satu dimana rata-rata pemilikan tanah pertanian di wilayah ini adalah 0,092 Ha per rumah tangga pertanian. Pemilikan dan penguasaan yang rendah ini berada jauh diambang nilai subsisten yaitu 0,5 Ha. Adanya pemilikan tanah yang kecil ini menuntut para petani sebagai aktor dan pemanfaat lahan pertanian di perdesaan untuk mencari tambahan dengan berhubungan dengan petani pemilik lahan luas. Bentuk pola hubungan antara pemanfaat lahan pertanian ini dilihat dari hubungannya dengan tanah pertanian maupun dengan sesama pemanfaat tanah. Hubungan dengan lahan pertanian dapat dilihat dari setiap tahap produksi tanaman dimulai dari pengolahan tanah, pembibitan, perawatan dan pemanenan hasil. Masing-masing tahap memiliki aktor yang berbeda dalam memanfaatkan lahan pertanian. Bentuk hubungan antara pemanfaat ini adalah hubungan kepemilikan, hubungan pengguasaan, hubungan jual-beli, hubungan kerja, hubungan kerja
40
sama, hubungan kerjasama ’tidak langsung’, pemanfaat langsung hasil sawah antara buruh dadakan dengan sawah. Para pemanfaat lahan pertanian tersebut berhubungan karena adanya kepentingan masing-masing. Pemilik lahan luas membutuhkan buruh untuk mengolah lahannya. Sementara para buruh, penggarap berhubungan karena mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Para pemilik lahan luas di desa ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap buruh yang dipekerjakan. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan para pemilik tanah. Perbedaan pandangan berpengaruh pada cara pemilik lahan ini memperlakukan para pekerjanya. Upah, makan, dan kebijakan kerja merupakan konsekuensi dari perbedaan pandangan tersebut, yang kemudian membuka terjadinya peluang ketidakpuasan terhadap apa yang mereka dapatkan khususnya mereka yang memiliki posisi tawar rendah, yaitu para buruh. Pola hubungan antara pemanfaat lahan pertanian ini sangat terkait dengan adanya aspek pemaknaan, kekuasaan dan konstruksi sosial. Aspek pemaknaan dari tingkat pengetahuan yang dimiliki, kekuasaan dari posisi tawar mereka terhadap pemilikan/penguasaan lahan dan terakhir konstruksi sosial dari lingkungan bagaimana seharusnya berhubungan antara buruh dan majikan. Ketiga hal ini sangat berpengaruh kemungkinan munculnya perlawanan para buruh terhadap ketidakadilan dan ketidakpuasan yang peroleh. Konflik tidak menjadi sebuah konflik terbuka karena konstruksi sosial dari lingkungan, yaitu bagaimana seharusnya para buruh bertindak. Bentuk perlawanan para buruh hanya terbatas pada tindakan-tindakan yang manipulatif. Tindakan ini dilakukan karena adanya rasionalitas pada diri petani untuk menghasilkan keuntungan.
41
SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh : Sri Maharani A14204015
SKRIPSI Sebagai prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian Pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
42
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Sri Maharani
Nomor Pokok : A14204015 Judul
: Sikap Rasional Petani dan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Saharuddin, MS NIP 132 047 078
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019 Tanggal Kelulusan:
43
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN (STUDI KASUS DESA CIBATOK SATU, KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT
DENGAN
SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI. Bogor, 21 Agustus 2008
Sri Maharani A14204015
44
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru, 12 Sepetember 1986, Provinsi Riau. Penulis merupakan putri ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Bambang Sudarto dan Wirda Kamuli, BA. Pendidikan yang ditempuh penulis pertama kali di
Taman
Kanak-Kanak
Baiturrahman
(1900-1992).
Kemudian
penulis
melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 12 Pekanbaru pada tahun 1992-1998, Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Pekanbaru tahun 1998-2001, Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Pekanbaru tahun 2001 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bogor tahun 2001-2004. Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) Pada masa kuliah penulis aktif sebagai anggota dan pengurus Organisai Masyarakat Daerah Riau IKPMR, Divisi Penelitian dan Pengembangan Sahabat PILI tahun 2006, anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia Miseta tahun 2006-2007. Disamping kegiatan organisasi, penulis juga aktif sebagai Asisten Matakuliah Dasar-dasar Komunikasi empat semester berturutturut 2006-2008, Asisten Matakuliah Pengantar Ilmu Kependudukan 2 semester 2007 dan 2008, Asisten Matakuliah Komunikasi Bisnis dua semester (2007) , Asisten Matakuliah Sosiologi Pedesaan semester ganjil tahun 2007. Pada saat kuliah penulis juga pernah magang pada Divisi Community Development di PT. International Power Mitsui Operation and Maintenance Indonesia periode JuliAgustus 2006.
45
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama masa penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan, baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat, karunia, dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sekaligus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1) Dr. Ir. Saharuddin, MSi. atas saran dan masukan untuk kelancaran proses penulisan Skripsi. 2) Keluarga besar, Bapak Bambang Sudarto dan Ibu Wirda Kamuli BA atas segala dukungan, rasa cinta dan kasih serta semua doa malam-malam mu. M’endang, m’dewi, m’juni, mas budi, m’nana, dan d’tri atas curahan kasih sayang, semangat dan dukungannya yang tak pernah henti dan tak akan pernah terhenti meskipun kita semua berjauhan. 3) Ir Said Rusli, MA selaku dosen penguji utama atas saran dan kritikannya. 4) Ratri Virianita S.Sos Msi selaku dosen penguji perwakilan departemen atas saran dan kritikannya. 5) Dr. Ninuk Purnaningsih atas dukungan dan semangatnya kepada peneliti selama masa penulisan skripsi ini. 6) Dr. Ekawati S. Wahyuni selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan masukan yang berharga.
46
7) Kepala Desa Cibatok Satu atas izin yang diberikan sehinggga penelitian ini dapat dilakukan. 8) Masyarakat Desa Cibatok Satu yang telah menerima peneliti dengan segala kekurangan yang saya miliki. 9) Teman-teman terbaiku, teman-teman senasib seperjuangan dalam mengejar impian Retno, Arta, Nurina, Leo, Nuricha, Tyas dan KPM 41 (Munir, llham, Rianti, Putu, Sukma, Yuliya, Adisty, Galuh, Gita, Lusy, Depu, Fitri, Cidta, Ina, Nesa, Nita, Any, Ayu, Desi, Tutut, Ria, Ubi, Tina, Bayu, Dhini, Uci, Intan, Elin, Hadim, Refi, Mira, Amie, meita, Yoyo, Dini, Yudie, Yundha, Frita, Momon, Lala, Nceq, Uphi, Sani, Tias, Dewi, Olin, Qori, Adi, Zay) 10) Mas Yusup Napiri atas kuliah singkat dan pinjaman buku-bukunya. 11) Mas Anton antas pinjaman buku-buku agrarianya. 12) Teman-teman satu kost Zulfa, IKPMR Bogor 13) Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, untuk segala perhatian, dorongan semangat, dukungan materiil dan moril berupa masukan maupun kritik.
47
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul : Sikap Rasional Petani dan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Kegiatan skripsi ini berupa penelitian yang menelaah aspek sosial yang aktual di masyarakat. Melalui skripsi ini, memungkinkan penulis mengenal, mempelajari, dan menganalisis permasalahan nyata di lapangan, tepatnya di tingkat komunitas. Demikianlah skripsi ini disusun dengan suatu tema tulisan yang dipandang cukup relevan untuk ditelaah lebih lanjut saat ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, 21 Agustus 2008
Penulis
48
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................
i
DAFTAR TABEL.........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN.......................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...............................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................
5
1.4 Kegunaan Penelitian ..............................................................
6
PENDEKATAN TEORITIS .....................................................
7
2.1 Tinjauan Pustaka ...................................................................
7
2.1.1 Lingkup Agraria dan Pola Hubungan Agraria .............
7
2.1.1.1 Objek dan Subjek Agraria................................
7
2.1.1.2 Pola Hubungan Agraria....................................
9
2.1.1.2.1 Pola Hubungan teknis .......................
10
2.1.1.2.2 Pola Hubungan Sosial .......................
12
2.1.1.2.3 Implikasi Hubungan Agraria.............
14
2.1.2 Ekonomi Moral dan Ekonomi Politik Petani ...............
14
2.1.3 Konflik Agraria di Perdesaan.......................................
17
49
2.2 Kerangka Pemikiran..............................................................
20
2.3 Hipotesis Pengarah................................................................
23
METODE PENELITIAN .........................................................
24
3.1 Strategi Penelitian .................................................................
24
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................
26
3.3 Teknik Pengumpulan Data....................................................
26
3.4 Teknik Analisis Data.............................................................
27
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .....................
29
4.1 Letak Administrasi dan Kondisi Geografis...........................
29
4.2 Sistem Peruntukan Tanah di Desa Cibatok Satu...................
30
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Cibatok Satu ..............
33
4.4 Sistem Sosial Budaya Masyarakat Desa Cibatok Satu .........
35
4.5 Kondisi Kependudukan Masyarakat Desa Cibatok Satu ......
37
POLA HUBUNGAN ANTAR AKTOR-AKTOR ....................
38
5.1 Aktor-aktor di Pedesaan........................................................
38
5.2 Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Desa Cibatok Satu ......
41
5.3 Pemanfaatan Lahan Pertanian ...............................................
49
5.4 Tahapan Kerja Produksi dan Aktor-aktor yang Terlibat.......
52
5.5 Memanfaatkan Peluang Produksi dari Sawah.......................
56
5.6 Pola Hubungan Produksi.......................................................
59
5.6.1 Hubungan Pemilik Sawah dengan Buruh Tani ............
60
BAB III
BAB V
5.6.2 Hubungan Pemilik Sawah dengan Penyewa dan ........
50
Penggadai .....................................................................
63
5.6.3 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Pembuat Bibit...............................................................
63
5.6.4 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Tengkulak.....................................................................
64
5.6.5 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Pengelola Traktor dan Pemilik Bajak ..........................
64
5.6.6 Hubungan Pemilik Sawah dengan Penggarap..............
65
5.6.7 Hubungan Antar Pemilik Tanah...................................
66
5.6.8 Hubungan Antar Buruh Tani........................................
66
5.6.9 Hubungan Antara Pemilik Tanah, Penggarap, Buruh .
BAB VI
Dadakan, dan Pekerja Penggilingan.............................
67
5.7 Ikhtisar ..................................................................................
67
KONFLIK AGRARIA DI PEDESAAN .................................
69
6.1 Relitas Ketimpangan di Desa Cibatok Satu ..........................
69
6.2 Latarbelakang Kehidupan Aktor ...........................................
70
6.3 Petani sebagai Pilihan Hidup atau Sampingan......................
75
6.4 Upah, Makan dan Kerja dalam Hubungan Antara ............... Pemilik dan Buruh ................................................................
80
6.5 Berstrategi Memilih dan Mencari Kerja untuk Upah dan Tenaga Kerja .........................................................................
85
6.6 Konflik yang Tersembunyi ...................................................
86
51
6.6.1 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Buruh Tani .....
86
6.6.2 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Penggarap.......
88
6.6.3 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Penggadai.......
89
6.6.4 Konflik Antar Buruh Tani............................................
90
6.7 Analisis Ekonomi Rasional dalam konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian................................................................................
91
6.8 Ikhtisar ..................................................................................
94
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
95
7.1 Kesimpulan ............................................................................
95
7.2 Saran.......................................................................................
97
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
98
LAMPIRAN..................................................................................................
100
52
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Data Pembagian Tanah di Desa Cibatok Satu ................................
31
Tabel 2. Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cibatok Satu ................
34
Tabel 3. Pembagian Jumlah Penduduk Desa Cibatok Satu...........................
36
Tabel 4. Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan.................................
42
53
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar.1 Pola hubungan teknis-sosio agraria.............................................
9
Gambar 2. Arah perubahan struktur agraria..................................................
13
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Kemunculan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan ...............................................................
22
Gambar 4. Perbandingan Peruntukan Tanah Pertanian dan Non-Pertanian pada Masing-Masing RW di Desa Cibatok Satu ........................
32
Gambar 5. Pola Hubungan Antar Aktor di Pedesaan....................................
40
Gambar 6. Bagan Hubungan Antar Pelaku yang Terlibat dalam Hubungan Produksi Pertanian ......................................................................
61
54
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Daftar Istilah .............................................................................
100
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian ..............................................................
101
Lampiran 3. Jadwal Penelitian ......................................................................
102
Lampiran 4. Kebutuhan Data Dalam Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ..........................................................................................
103
Lampiran 5. Panduan Pertanyaan .................................................................
105
Lampiran 6. Pedoma Pengamatan Berperanserta..........................................
108
Lampiran 7. Foto...........................................................................................
109
Lampiran 8. Data Kepemilikan Tanah Desa Cibatok Satu Tahun 1989 .......
110
55
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan bahwa kemerataan dalam struktur agraria akan membawa suatu komunitas menuju harmoni agraria dan ketimpangan dalam struktur agraria akan memungkinkan munculnya konflik agraria (Sitorus, 2004). Struktur agraria merupakan bentukan sosial dalam hubungan sosial terkait dengan distribusi akses terhadap tanah. Distribusi akses terhadap tanah memiliki dua kemungkinan, yaitu merata atau timpang. Merata apabila setiap orang bisa memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki dan menguasai tanah, sedangkan timpang apabila kesempatan setiap orang untuk memiliki dan menguasai tanah tidak sama. Kecenderungan kedua tampak jelas dalam hubungan masyarakat di perdesaan. Ketimpangan ini akan mempengaruhi dinamika hubungan antara masyarakat desa terhadap pemanfaatan lahan pertanian di perdesaan. Hal ini karena masyarakat desa selama ini sering diidentikkan dengan sektor pertanian. Salah satu fakta ketimpangan yang jelas terlihat, yaitu adanya perubahan struktur penguasaan
dan
pemilikan
sumber-sumber
agraria.
Perubahan
struktur
penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria ini bisa dilihat dari hasil sensus pertanian 2003 menyebutkan adanya perubahan jumlah rumah tangga petani gurem 4 yang meningkat sebesar 26,46% sejak tahun 1993 5 . 4
Petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar baik milik sendiri maupun menyewa. Jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia tahun 2003adalah 13.663.000, sementara petani pengguna lahan sebanyak 24.176.000. Hasil ini merupakan peningkatan jumlah sebesar 2.859.000 rumah tangga dari 10.804.000 pada tahun 1993. Khusus untuk Pulau Jawa rumah tangga petani gurem mengalami peningkatan sebesar 1.922.000, dari 8.076.000 pada tahun 1993 menjadi 9.989.000 pada tahun 2003.
5
56
Apabila data perubahan struktur penguasaan dan pemilikan dalam sensus pertanian 2003 dianalisis berdasarkan kecenderungan tersebut, tentulah sangat potensial untuk menimbulkan konflik antar masyarakat desa yang terlibat dalam hubungan sosio-agraria. Konflik yang terjadi misalnya antara petani pemilik tanah luas dengan buruh tani yang sama-sama memanfaatkan tanah pertanian untuk kelangsungan hidupnya atau antara sesama buruh dalam akses untuk mendapatkan kesempatan bekerja pada pemilik tanah. Tetapi, kondisi ini tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan bahwa kondisi pedesaan selama ini terlihat harmonis seakan-akan tidak terjadi sesuatu permasalahan apa pun. Selama ini konflik yang mencuat ke permukaan adalah konflik-konflik restoratif, yaitu konflik yang didasari adanya keinginan untuk mempertahankan hak-hak atas tanah, bukan karena ketimpangan distribusi akses terhadap tanah. Wiradi (2000) mengatakan bahwa konflik agraria merupakan suatu gejala dalam situasi proses interaksi dua orang atau lebih atau kelompok yang masingmasing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama yaitu sumberdaya agraria itu sendiri. Sitorus (2002) mengatakan bahwa konflik agraria sebagai suatu gejala struktural yang berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek dalam hubungan agraria. Tjondronegoro (1999) juga mengatakan bahwa konflik yang terjadi mencakup beberapa sudut pandang, yaitu sudut pandang ekonomi sebab tanah sebagai sumberdaya alam sangat penting, sudut pandang sosial mengingat adanya berbagai golongan masyarakat yang mempunyai hak dan kuasa yang berbedabeda atas tanah, dan sudut pandang politik serta hukum yang menegakkan dan
57
mengatur hak dan kuasa tersebut. Selain itu, pada saat ini masalah tanah juga disebabkan oleh sudut pandang ekonomi yang semulanya hanya untuk produksi kini berubah menjadi objek spekulan/barang dagang yang memiliki nilai tinggi. Perbedaan kepentingan antar aktor dan perubahan sudut pandang dalam hubungan agraria dilihat dari perilakunya sehari-hari. Perilaku antar aktor akan menciptakan suatu hubungan yang konfliktual. Adanya perbedaan kepentingan terhadap sumber-sumber agraria ini bisa menimbulkan kerjasama dan potensi konflik. Potensi konflik yang selama ini bisa diredam dan akhirnya tidak terjadi dalam bentuk yang terbuka. Beranjak dari adanya gejala sosial yang dipaparkan di atas, maka penelitian ini hendak melakukan pengkajian bagaimana
hubungan antara
ketimpangan struktur penguasaan pemilikan sumber-sumber agraria di pedesaan dengan kemungkinan timbulnya keadaan harmonis dan konflik agraria dalam hubungan-hubungan sosial antar aktor di pedesaan, dan bagaimana potensi konflik selama ini tidak muncul ke permukaan sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
1.2 Perumusan Masalah Dinamika masyarakat di perdesaan sangat terkait dengan distribusi lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah perdesaan masih dimanfaatkan untuk pertanian baik pertanian sawah maupun non sawah 6 . Sektor pertanian saat ini masih menjadi sumber penyerap tenaga kerja terbesar di
6
Luas sawah di Idonesia berdasarkan data BPN tahun 1999 dalam Husodo 2002 sebesar 7,8 juta Ha terdiri dari 4,2 juta Ha (53,8 %) berupa sawah beririgasi teknis dan 3,6 juta hektar (46,2%) berupa sawah non irigasi.
58
Indonesia. Data Sakernas 2003 dalam Sadikin (2005) menyebutkan bahwa 46% (42.001.437 orang) tenaga kerja di Indonesia berada pada sektor pertanian. Saat ini kondisi lahan pertanian dan masyarakat desa dan Indonesia mengalami gejala ketimpangan. Gejala ketimpangan (incompatibilities) menurut Wiradi (2000), yaitu ketimpangan dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah 7 , ketimpangan dalam hal peruntukan tanah,
ketimpangan dalam hal
persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Timbulnya berbagai gejala ketimpangan ini berpengaruh pada banyaknya permasalahan agraria pada saat ini. Persoalan peruntukan tanah untuk Indonesia juga merupakan masalah yang krusial. Dewasa ini terdapat konversi lahan pertanian ke non-pertanian secara besar-besaran, terutama di Jawa. Munculnya ketimpangan juga erat kaitannya dengan penerapan hukum positif dan hukum adat tentang tanah. Perbedaan konsepsi dan persepsi antara mereka yang menggunaan konsep-konsep hukum positif (formal/legal) dan mereka yang berada pada masyarakat adat, inilah penyebab ketimpangan. Adanya gejala ketimpangan dalam struktur agraria ini bisa mengakibatkan ketimpangan pada bidang-bidang lain misalnya struktur sosial, ekonomi maupun politik. Selanjutnya, ketimpangan ini mengakibatkan permasalahan penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik (Suhendar, 1997), yang keseluruhannya memiliki andil bagi munculnya konflik agraria.
7
Konsep “kepemilikan” berbeda dengan konsep “penguasaan” menurut Wiradi (2000). “Kepemilikan” menunjuk pada penguasaan formal (petani adalah pemilik lahan tersebut dan bisa dibuktikan dengan sertifikat pemilikan tanah (SPPT)) sedangkan “penguasaan” menunjukkan suatu penguasaan efektif (petani hanya mempunyai hak menggarap lahan pertanian yang didapatkannya melalui sewa, gadai, sakap)
59
Pada lahan pertanian munculnya konflik banyak disebabkan ketimpangan ekonomi akibat perbedaan penguasaan tanah, dimana sumber konflik terletak pada perbedaan kepentingan dan perbedaan persepsi diantara mereka yang memiliki akses terhadap lahan pertanian tersebut. Perbedaan kepentingan ini dapat dilihat dari pola hubungan sosial antar masyarakat desa dalam hal ini petani sebagai pemanfaat lahan pertanian yang terlibat dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Perbedaan persepsi menurut Sadikin (2005) misalnya adanya perbedaan pandangan terhadap sesuatu yang dianggap remeh, misalnya bagaimana cara penyajian makanan bagi para buruh tani, termasuk adanya modernisasi pertanian. Hal ini dirasa karena petani bukan lagi kelompok yang homogen, yang melihat tanah dan pertanian sebagai suatu hal yang sama maupun otonom yang tidak menerima pengaruh dari luar. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian dengan tema konflik agraria di pedesaan dapat dilihat dengan mengkaji: 1) Bagaimana ketimpangan berlangsung dan mempengaruhi pola hubungan antara aktor dalam pemanfaatan lahan pertanian? 2) Bagaimana implikasi pola hubungan tersebut terhadap sikap aktor dan potensi timbulnya konflik dalam pemanfaatan lahan pertanian di perdesaan?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian
dengan
tema
konflik
agraria
perdesaan
ini
ingin
menggambarkan pola hubungan antara aktor dalam pemanfaatan lahan pertanian. Pola
hubungan
ini
terkait
dengan
terjadinya
ketimpangan
dalam hal
pemilikan/penguasaan lahan pertanian. Aktor-aktor yang berhubungan memiliki
60
pemaknaan tertentu terhadap hubungan yang mereka lakukan. Hubungan aktoraktor tersebut akan berimplikasi terhadap sikap yang diperlihatkan oleh aktor dan potensi timbulnya konflik di perdesaan.
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis oleh berbagai kalangan, yaitu 1) Sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman penelitian dalam kegiatan ilmiah. 2) Memberikan pemahaman yang lebih mengenai hubungan antara ketimpangan penguasaan tanah dengan kemungkinan timbulnya konflik maupun harmonis di perdesaan. 3) Secara praktis dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai gambaran umum desa dewasa ini, bahwa petani bukanlah kelompok yang homogen melainkan heterogen yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Pihak pemerintah sebagai pihak pengambilan kebijakan
dalam
membantu masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan agraria yang terjadi di perdesaan, serta penguatan petani sebagai pemanfaat/pengguna lahan-lahan pertanian.
61
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Lingkup dan Pola Hubungan Agraria Istilah ‘agraria’ dalam Tjondronegoro dan Wiradi (2004) berasal dari kata bahasa latin ‘ager’ artinya lapangan, pedusunan (lawan kata perkotaan), wilayah, tanah negara. Berdasarkan asal kata tersebut terlihat bahwa istilah agraria tidak hanya mencakup tanah atau pertanian saja melainkan apa saja yang terwadahi didalamnya, misalnya bukit dan pedusunan. Lingkup agraria menurut Sitorus (2004) dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu lingkup objek dan lingkup subjek agraria.
2.1.1.1 Objek dan Subjek Agraria Lingkup objek agraria meliputi beragam sumber agraria sesuai Pasal 1 ayat 2,4,5,6 UUPA 1960, yaitu 1) Tanah, atau permukaaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Petani memerlukan tanah untuk lahan usahatani. Sementara peternak memerlukan tanah untuk padang rumput. 2) Perairan, sebagai modal alami utama dalam kegiatan perikanan; baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada dasarnya perairan merupakan area penagkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan. 3) Hutan, sebagai kesatuan flora dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah (kawasan) diluar kategori tanah pertanian. Jenis sumber agraria ini secara historis adalah modal alami uama dalam kegiatan ekonomi komunitas-
62
komunitas perhutanan, yang hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata kearifan lokal. 4) Bahan
tambang.
Jenis
sumber
agraria
ini
meliputi
ragam
bahan
mineral/tambang yang terkandung di dalam “tubuh bumi” (dibawah permukaan dan di bawah laut) seperti minyak, gas, bijih besi, timah, intan. 5) Udara. Jenis sumber agraria ini tidak saja merujuk pada “ruang diatas bumi dan air” tetapi juga materi “udara” (CO2) itu sendiri. Arti penting materi “udara” sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini, setelah polusi asap mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia. Lingkup subjek agraria menurut Sitorus (2004) meliputi tiga kategori sosial penguasa atau pemilik dan pemanfaat (pengguna) sumber-sumber agraria, yaitu komunitas, swasta (private sector), dan pemerintah (representasi negara). Masing-masing kelompok subjek kemudian dipilah dalam unsur yang saling terkait. Komunitas mencakup unsur-unsur individu, keluarga dan kelompok. Pemerintah mencakup unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa. Perusahaan swasta mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, perusahaan sedang, dan perusahaan besar. Secara khusus kelompok pemerintah juga mencakup badan usaha (perusahaan) milik pemerintah (pusat/daerah) yang merupakan salah satu wujud dari organisasi pemerintah. Subjek agraria yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pada tingkat komunitas sebagai pemanfaat lahan pertanian di perdesaan. Komunitas dalam tataran ini meliputi individu, rumahtangga dan kelompok petani. Sektor swasta
63
tidak dibahas dalam penelitian ini karena tidak relevan dengan kondisi di lapangan. Sementara pemerintah desa merupakan golongan netral yang tidak mempunyai kebijakan apapun berkaitan dengan pemanfaatan lahan pertanian.
2.1.1.2 Pola Hubungan Agraria Keterkaitan objek dan subjek agraria melahirkan memiliki hubungan teknis agraris atau hubungan kerja dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu, yang artikulasinya berbeda antara satu dan lain subjek menurut orientasi kepentingan sosial ekonominya. Selain memiliki hubungan teknis juga ada hubungan sosial agraria yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan
akses
(penguasaan/pemilikan/pemanfaatan)
terhadap
sumber-sumber agraria. Perbedaan antar subjek dalam hal hak penguasaan sumber agraria itu menghasilkan suatu tatanan sosial yang kemudian dikenal dengan struktur agraria (Sitorus, 2004). Komunitas
SSA Swasta
Pemerintah
Keterangan : Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria Gambar.1 Pola hubungan teknis-sosio agraria Sumber : Tulisan MT Felix Sitorus, 2004 dalam Kerangka dan Metode Kajian Agraria
64
2.1.1.2.1 Pola Hubungan Teknis Pembahasan mengenai pola hubungan teknis ini sangat terkait dengan sistem penguasaan tanah. Sistem ini meliputi pemilikan dan penguasaan lahan. Di perdesaan penerapannya diatur dalam hukum positif dan hukum adat. Hukum positif merujuk pada UUPA No.5 1960, TAP MPR IX/2001, Kepres No.34/2003, RUU Sumber Daya Agraria, Peores No.36/2005, Pepres No.10/2006. Berdasarkan hukum adat, dibagi menjadi hak tanah dan masyarakat hukum adat, serta hak-hak individu. Berdasarkan hukum adat tersebut, diatur suatu pola pemilikan lahan dalam Wiradi (1984) sebagai berikut : 1) Milik perorangan turun-temurun; merupakan suatu bentuk penguasaan tanah dimana
seseorang
menduduki
sebidang
tanah
secara
kekal,
dapat
menyerahkannya kepada ahli warisnya baik melalui pemindahtanganan hak penguasaan
tersebut
sebelum
meninggal,
atas
kemauannya,
atau
pemindahtanganan hak tersebut pada saat meninggalnya dan yang paling khas, dapat mengatur secara bebas dengan misalnya menjual, menyewakan, atau menggadaikan. 2) Milik komunal; merupakan bentuk penguasaan, dimana seseorang atau keluarga memanfaatkan tanah tertentu hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa, yaitu bahwa orang tersebut tidak diberi hak untuk menjualnya atau memindahtangankan tanah tersebut dan pemanfaatannya biasanya digilir secara berkala. Salah satu ciri khusus sawah “milik komunal” di Jawa adalah sistem kesamarataan formal dalam membagi bagian garapan kepada petanipetani yang memberikan layanan kerja. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku secara umum.
65
3) Tanah bengkok untuk pamong desa; diperuntukkan bagi pejabat untuk dimanfaatkan secara pribadi dibagi dalam dua golongan, yaitu bagi para penguasa pribumi yang berasal dari tanah apanage dan para lurah. Sementara itu pola penguasaan lahan di pedesaan antara lain berupa sewa, gadai dan sakap (bagi hasil) yang sifatnya sementara. Beberapa bentuk atau status penguasaan tanah tradisional dalam Wiradi (1984) antara lain : 1) Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnyalah yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status legal dalam UUPA 1960 sebagai tanah milik. 2) Tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan dan sejenisnya, adalah tanah pertanian milik bersama, dimana para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap dengan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh hak garap, umumnya diperlukan syarat bahwa si calon itu harus statusnya menjadi tanah milik bagi penggarapnya yang terakhir. 3) Tanah titisara, bondo deso, kas desa adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan dengan cara dilelang kepada siapa yang mau menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun pemeliharan desa. 4) Tanah bengkok, yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dianggap sebagai gaji selma menduduki jabatan itu.
66
Pola hubungan teknis ini tidak hanya dilihat dari pemilikan dan penguasaan tanah tetapi juga dilihat dari penggunaan tanah tersebut. Tanah di perdesaan dimanfaatkan untuk pertanian dan non-pertanian.
2.1.1.2.2 Pola Hubungan Sosial Hubungan sosial agraria dilihat dari pola hubungan antara subjek-subjek agraria yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Dalam konteks makro, hubungan ketiga subjek agraria ini berkaitan dengan tipe struktur agraria yang diterapkan pada suatu negara. Adapun tipe-tipenya sebagai berikut (Wiradi, 2000): 1. Tipe Naturalis: sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas adat atau secara kolektif. 2. Tipe Feodalis: sumber agraria dikuasai oleh minoritas “tuan tanah” yang biasanya juga merupakan “patron politik”. 3. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan). Hubungan antara non-penggarap dengan anggota komunitas menjadi hubungan majikan dan buruh. 4. Tipe Sosialis: sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja. Hubungan antara pemerintah dan anggota komunitas menjadi hubungan ketuaanggota. 5. Tipe Populis/neo-populis: sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tanga pengguna. Hubungan antara penguasa/pemanfaat dikatakan berdaulat.
67
Pola hubungan sosial antara suatu negara berbeda-beda. Untuk konteks Indonesia sendiri mengalami perubahan. Adapun arah perubahan sebagai berikut 8 :
Kapitalis Naturalis
Feodalis
Populis Sosialis
Gambar 2. Arah perubahan struktur agraria Arah perubahan ini dimulai dari awal penguasaan sumber-sumber agraria yaitu oleh suatu komunitas lokal secara kolektif. Penguasaan seperti ini berubah ketika adanya kolonial, VOC yang menguasai pemerintahan. Pada masa ini diberlakukannya tanam paksa, cuulturstelsel, agrarish wet. Setelah kemerdekaan, penguasa pun berubah dan berpihak pada petani. Kondisi seperti ini tidak berlangsung lama seiring dengan pergantian tampuk pemerintahan. Pemerintahan orde baru merubah tatanan populis ke kapitalis yang berorientasi kepada pembangunan fisik bukan pembangunan manusia. Era reformasi diharapkan adanya perubahan dan kembali kepada tipe populis meskipun dalam pelaksanaannya masih jauh dari populis. Pola perubahan tersebut hanya bisa dilihat dalam tataran secara luas, sementara konteksnya di perdesaan juga ikut mengalami perubahan. Masyarakat desa yang sebagian besar memanfaat lahan pertanian kini pun berubah. Masyarakat desa tidak lagi homogen dan otonom. Mereka memiliki kepentingan yang bebeda terhadap lahan-lahan pertanian dan siap menerima masukan atau pengaruh dari luar.
8
Dikutip dari bahan kuliah Sosiologi Agraria Minggu I-IX, semester ganjl tahun ajaran 2004/2005
68
2.1.1.2.3 Implikasi Pola Hubungan Agraria Pola hubungan agraria baik teknis maupun sosial tidak bisa dipisahkan. Adanya hubungan sosial terkait dengan adanya hubungan teknis begitupun sebaliknya. Hubungan teknis terlihat dari bentuk pemanfaatan lahan berdasarkan hak penguasaan tertentu. Hubungan sosial berpangkal pada perbedaan-perbedaan akses (penguasaan/pemilikan/pemanfaatan) terhadap sumber-sumber agraria. Sumber agraria yang dibahas dalam penelitian ini lebih kepada lahan-lahan pertanian. Bentuk penguasaan lahan pertanian, yaitu hak pemilikan dan penguasaan. Adanya pemilikan dan penguasaan itu dimanfaatkan oleh para subjek agraria di pedesaan yang kemudian saling berhubungan. Hubungan-hubungan yang terjadi antara pemanfaat menghasilkan hubungan
konfliktual.
Artinya
hubungan
yang
terjadi
bisa
berpotensi
menimbulkan konflik maupun kerjasama. Hal ini didasari karena adanya perbedaan akses terhadap tanah dan hasilnya antar pemanfaat. Konflik terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap hubungan yang dilakukan.
2.1.2 Ekonomi Moral dan Ekonomi Politik Petani Pembahasan tentang masyarakat desa tidak terlepas dari petani. Petani adalah salah satu subjek agraria yang memanfaatkan lahan pertanian. Banyak pengertian yang menjelaskan apa itu petani. Petani dalam Readfield (1984) dijelaskan memiliki kesamaan dalam hal pertaniannya sebagai suatu mata pencaharian dan suatu cara kehidupan bukan suatu kegiatan usaha untuk mencari keuntungan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa petani-petani yang mengerjakan pertanian untuk penanaman modal kembali dan usaha, melihat tanahnya sebagai
69
modal dan komoditi, bukanlah petani akan tetapi pengusaha pertanian. Pembedaan petani ini juga disebutkan oleh Wolf dalam Bahari (2002). Wolf mengatakan konsep petani sebagai petani pedesaan atau petani tradisional (peasant) dan petani moderen atau pengusaha pertanian (farmer). Ada tiga ciri utama petani yang melekat pada petani di perdesaan menurut pemikiran Eric R. Wolf dalam Bahari (2002) yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Kepemilikan tanah secara de facto merujuk pada pengertian bahwa tanah bagi petani bukan hanya punya arti secara material-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah adalah lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya. Subordinasi legal dilihat karena adanya penghisapan yang menjadi ciri sentral petani. Penghisapan ini dicirikan dengan adanya kewajiban pemindahan surplus produksi yang berlebihan kepada kelompok penguasa melalui upeti atau pajak. Pandangan tentang kekhususan kultural menekankan pada perkembangan nilai-nilai, persepsi dan kebudayaan petani terhadap lingkungan luarnya. Contohnya petani hidup dalam suatu komunitas yang tertutup dan terisolasi dari dunia luar. Hubungan pertanian keluarga memainkan peranan yang sangat besar, hubungan-hubungan ekonomi yang dibangun dilandasi nilai-nilai lokal yang berlaku, sehingga petani dikatakan sebagai masyarakat yang otonom 9 . Kondisi petani sekarang mengalami perubahan, petani tidak lagi otonom. Wiradi (1984) menggolongkan petani menjadi : 9
Masyarakat yang otonom dalam Bahari (2002) dikatakan sebagai masyarakat yang berada pada desa-desa yang tidak terbuka pada pengaruh luar.
70
1) Petani-penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap tanah miliknya sendiri. 2) Penyewa dan pengggarap murni, yaitu petani yang tidak memiliki tanah tetapi menguasai lahan garapan melalui sewa atau bagi hasil. 3) Pemilik-penyewa dan/atau pemilik-penyakap, yaitu petani yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain lewat persewaan atau bagi hasil. 4) Pemilik-bukan pengarap, yakni petani yang tanah miliknya disewakan atau disakap kepada orang lain (penyakap, penggarap dan buruh tani). 5) Petani tunakisma dan buruh tani yaitu petani yang benar-benar tidak memiliki lahan pertanian dan bukan penggarap. Para petani sebagai pemafaat lahan-lahan pertanian saling berhubungan. Dinamika hubungan yang terjadi tidak pernah terlepas dari adanya prinsip ekonomi moral Scott (1983) dan ekonomi politik Popkin (1986). Menurut Scott (1989) petani itu tidak mau mengambil resiko karena mereka berada pada garis subsistensi. Mereka adalah petani gurem dengan luas lahan yang sangat kecil, yang hanya mampu menghidupi pada batas yang minim. Pendekatan ekonomimoral menganggap hubungan petani didasarkan pada adanya institusi desa dan ikatan patron-klien
yang menopang kebutuhan subsisten petani (“etika
subsistensi”) dari komunitas pedesaan. Pendekatan ini banyak terjadi di dalam komunitas pedesaan tradisional (masyarakat pra-kapitalis). Para petani selalu berusaha
menyediakan
jaminan
penghidupan
melalui
aturan-aturan
“meminimalkan resiko” berdasarkan prinsip “utamakan keselamatan” (safety first).
71
Prinsip ekonomi politik Popkins (1986), mengatakan bahwa setiap petani sepenuhnya rasional. Petani akan rasional untuk berinvestasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, baik dalam bentuk hewan ternak, tanah, atau benda-benda milik pribadi.
Hal ini bisa dilakukan dengan menjual surplus-
surplus yang pernah diperoleh. Hubungan-hubungan sosial dipandang memiliki akar kepentingan ekonomi, misalnya hubungan patron-klien sengaja dipelihara patron untuk menjaga kekuasaan dan kekayaannya. Anak-anak pun merupakan salah satu bentuk investasi, karena ia akan menjamin hari tua. Rasional dalam kacamata Popkin adalah tindakan untuk selalu dan terutama memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarga. Kedua prinsip ini memiliki perbedaan yang sangat jelas dalam memandang pola hubungan yang dilakukan oleh para petani. Ekonomi moral memandang bahwa hubungan yang dilakukan petani didasarkan atas beberapa prinsip moral yang umum (budaya), sedangkan ekonomi politik didasarkan oleh perhitungan apakah hubungan semacam itu dapat/akan menguntungkan diri dan keluarganya atau tidak (untung atau rugi). Ekonomi moral dan ekonom politik merupakan konstruksi tentang pilihan tindakan dan perilaku yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
2.1.3 Konflik Agraria di Pedesaan Berdasarkan pembahasan sebelumnya, adanya pola antar pemanfaat lahan pertanian (petani) menimbulkan hubungan yang konfliktual. Hubungan ini didasari pada adanya perbedaan akses terhadap lahan-lahan pertanian dan hasilnya. Perbedaan akses ini menimbulkan ketimpangan agraria karena para
72
pemanfaat tersebut sama-sama menggantungkan hidupnya dari lahan-lahan pertanian. Ketimpangan agraria
ini akan mengakibatkan permasalahan
penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik (Suhendar, 1997). Hal terparah dari adanya ketimpangan ini yaitu munculnya konflik agraria. Fisher et.al (1999) mengatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik sangat terkait dengan isu-isu kekuasaan, budaya, identitas, jender, hak. Konflik terjadi karena adanya kebutuhan manusia yang berakar pada kebutuhan manusia dasar manusia-fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Konflik agraria terjadi akibat meningkatnya kebutuhan terhadap tanah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang besar sedangkan luasan tanah tetap. Wiradi (2000) mengatakan bahwa konflik agraria merupakan suatu gejala dalam situasi proses interaksi dua orang atau lebih atau kelompok yang masingmasing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama yaitu sumberdaya agraria itu sendiri. Sedangkan Sitorus (2002) mengatakan bahwa konflik agraria sebagai suatu gejala struktural yang berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek dalam hubungan agraria. Sumber konflik agraria pada dasarnya terletak pada adanya sejumlah ketimpangan, ketidakselarasan atau meminjam istilah Cristodoulou diacu dalam Wiradi (2000) apa yang disebut incompatibilities yaitu 1. Ketimpangan dalam hal
73
struktur pemilikan dan penguasaan tanah 2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah, 3. incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Adanya konflik di masyarakat dapat dilihat dari perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut. Beberapa perilaku yang mungkin muncul dan menyebabkan konflik menurut Hae (dalam Ilham, 2006) antara lain sebagai berikut: 1) Persepsi, kotak-kotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi dari pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya tak terpisahkan akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. 2) Stereotype. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya bersifat negatif, untuk merendahkan pihak lawan. 3) Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotype, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. 4) Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat massa Koran, radio, televise. 5) Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain. 6) Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan solid.
74
7) Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau lawannya. 8) Pengakuan citra diri. Scott (1990) mengatakan bahwa konflik yang terjadi pada pemanfaat lahan pertanian karena adanya kekuasaan. Timbulnya perlawanan dikonsepsikan sebagai “transkip tersembunyi” yang tampil pada “transkip publik” karena adanya kecenderungan mensubordinasikan pihak tertentu. Perlawanan yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang disubordinasikan ini dalam bentuk yang tak tertulis, misalnya bentuk-bentuk humor, gossip, dan sinisme. Akar permasalahan terletak pada otoritas moral sebagai basis hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial. Jika otoritas moral tidak lagi mampu menyediakan kepuasan pada individu maka potensi perlawanan akan timbul.
2.2 Kerangka Pemikiran Struktur agraria merupakan pola distribusi tanah pertanian dan SDA lainnya di dalam suatu masyarakat. Struktur agraria bukan saja bagian dari sistem produksi, namun merupakan faktor mendasar dari organisasi sosial dan politik dari masyarakat pedesaan. Sihaloho (2004) mengatakan bahwa struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana pola akses pihak-pihak tertentu dengan sumberdaya agraria. Struktur agraria dibentuk dari adanya pola hubungan agraria oleh subjek agraria di pedesaan yaitu antar para petani sebagai pemanfaat lahan pertanian. Pola hubungan itu adalah pola hubungan teknis dan pola hubungan sosial.
75
Hubungan teknis agraris atau hubungan kerja dengan sumber-sumber agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu, yang artikulasinya berbeda antara satu dan lain subjek menurut orientasi kepentingan sosial ekonominya. Hubungan sosial agraria berpangkal pada perbedaan-perbedaan
akses
(penguasaan/pemilikan/pemanfaatan)
terhadap
sumber-sumber agraria. Perbedaan akses dan perbedaan hak penguasaan ini merujuk pada timbulnya ketimpangan agraria di perdesaan. Ketimpangan ini menimbulkan adanya perbedaan kekuasaan antara
satu pemanfaat dengan yang lainnya.
Keadaan seperti ini akan merujuk terjadinya konflik antar pemanfaat lahan pertanian. Konflik agraria menurut Wiradi (2000) merupakan suatu gejala dalam situasi proses interaksi dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama yaitu sumberdaya agraria, dalam hal ini tanah pertanian. Konflik yang ada tidak selalu mencuat ke permukaan. Umumnya, konflik yang terjadi antara pemanfaat lahan-lahan pertanian adalah konflik yang tersembunyi. Akar permasalahan dalam konflik ini terletak pada otoritas moral sebagai basis hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial. Jika otoritas moral tidak lagi mampu menyediakan kepuasan pada pemanfaat lahan pertanian maka potensi konflik akan timbul. Bentuk konflik yang tersembunyi ini berupa tindakan manipulatif (penjelek-jelekan, steriotipe) dan tindakan-tindakan tak tertulis (humor, sinisme) oleh aktor. Pilihan-pilihan tindakan yang diambil oleh para aktor terkait dengan adanya prinsip ekonomi rasional dalam diri para aktor
76
Prinsip individu/ ekonomi politik didasarkan pada pemikiran Popkin (dalam Sadikin, 2005) kehidupan petani didasarkan pada tindakan-tindakan yang rasional, perhitungan untung-rugi. Intinya terletak pada upaya memaksimalkan keuntungan. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan kerangka pemikiran dibawah ini:
Hubungan teknis/penguasaan
Hubungan sosio antar aktor
Hak Penguasaan
Perbedaan akses
Struktur Agraria (Akses terhadap tanah)
Ketimpangan Agraria
Perbedaan kekuasaan
Realitas Konflik yang Bersumber pada Ekonomi Rasional
Keterangan : : Mempengaruhi : Keterkaitan Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Kemunculan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan
77
2.3 Hipotesis Pengarah Hipotesis pengarah dalam penelitian ini yaitu : 1) Struktur agraria di pedesaan terbentuk karena adanya pola hubungan teknis agraria dan pola hubungan sosial agraria. Pola hubungan teknis ini didasarkan karena adanya perbedaan hak penguasaan tertentu terhadap lahan pertanian. Hak penguasaan ini bisa berbentuk kepemilikan formal maupun kepemilikan efektif. Aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan lahan pertanian adalah para pemilik lahan, buruh tani, penggarap/petani kecil. 2) Adanya perbedaan akses dan hak penguasaan dalam struktur agraria ini menciptakan kondisi ketimpangan agraria. Ketimpangan agraria ini bersumber dari perbedaan kepentingan antara aktor yang terlibat dalam pemanfaatan lahan pertanian. Keadaan yang timpang ini posisi tawar yang berbeda pada para pemanfaat yang akan berujung pada perbedaan kekuasaan. 3) Perbedaan kekuasaan yang ada pada masing-masing pemanfaat ini menyebabkan terjdinya perlawanan oleh pihak yang tersubordinasi dalam hal ini adalah pihak yang memiliki posisi tawar yang rendah. Bentuk perlawanan yang terjadi berupa tindakan tak tertulis (sinisme, humor, gurauan). Perlawanan ini terjadi dalam hubungan keseharian antara para pemanfaat lahan pertanian. Hubungan keseharian para pemanfaat lahan pertanian dipengaruhi oleh prinsip individu (ekonomi rasional), dimana kehidupan para pemanfaat lahan pertanian didasarkan pada tindakan-tindakan yang rasional, perhitungan untung-rugi. Intinya terletak pada upaya memaksimalkan keuntungan. Kondisi inilah yang tidak menghasilkan konflik terbuka karena setiap aktor menyadari dan memiliki pola perilaku yang sama.
78
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Strategi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari pemanfaat lahan pertanian sebagai subjek penelitian ini. Hal ini didasarkan pada adanya keinginan untuk mendapatkan kesamaan makna antara peneliti dan subjek penelitian (Guba dan Lincoln (1985) dalam Sitorus (1998) Strategi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu studi kasus. Hal ini karena studi kasus merupakan studi aras mikro (menyoroti satu atau beberapa kasus) dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi metode (wawancara, pengamatan, analisis dokumen). Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai pola hubungan antar petani dan konflik yang sering terjadi. Wawancara dilakukan kepada para petani secara berulang-ulang. Proses wawancara tidak hanya dilakukan di rumah petani tetapi juga di tempat kerjanya . Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kebenaran dari wawancara yang dilakukan kepada informan. Proses pengamatan dilakukan di sekitar tempat kerja petani dan tempat tinggal. Analisi dokumen diambil dari data monografi desa. Metode studi kasus yang digunakan bersifat eksplanasi, dimana penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana adanya ketimpangan agraria sebagai
79
salah satu faktor penyebab timbulnya konflik agraria di perdesaan dan faktor penyebab lainnya yang diperoleh dari lapangan. Strategi studi kasus ini diharapkan mampu menggali informasi mendalam mengenai konflik agraria sebagai suatu gejala yang banyak ditemukan di perdesaan pada saat ini. Selain itu, juga untuk menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu (teori ekonomi moral dan ekonomi rasional) dan hanya berdasar pada penafsiran peneliti.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dengan tema konflik agraria di pedesaan ini ingin melihat apakah ada hubungan antara gejala ketimpangan agraria terhadap potensi timbulnya konflik di masyarakat. Lokasi penelitian adalah desa yang sebagian besar tanahnya digunakan masih dimanfaatkan untuk wilayah pertanian karena subjek penelitian saya adalah para pemanfaat lahan pertanian baik yang memiliki hak pemilikan maupun hanya hak penguasaan saja, terdapat ketimpangan dalam hal akses terhadap lahan pertanian, desa yang sering menerima akses dari luar/ bukan desa tradisional. Berdasarkan beberapa alasan tersebut diatas, maka Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dirasa dapat dijadikan sebagai lokasi penelitian. Lokasi penelitian ini juga sudah dipertimbangkan sebelumnya karena peneliti sudah pernah melakukan penelitian sebelumnya dengan tema yang berbeda. Hubungan sosial dengan tineliti sudah dibangun sebelumnya. Dengan demikian peneliti bisa memiliki peluang besar untuk menemukan permasalahan yang dikaji.
80
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2008 kurun waktu penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif berada di lokasi penelitian, sehingga penjajakan tidak termasuk dalam kurun waktu tersebut. Penjajakan awal telah dilakukan pada bulan Maret 2008.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data, peneliti menerapkan teknik triangulasi metode guna memperoleh kombinasi data yang akurat. Data kualitatif yang diperoleh dapat berupa data primer dan data sekuder. Data primer didapat melalui wawancara mendalam kepada informan yang diketahui melalui teknik bola salju (snowball) dan pengamatan berpartisipasi. Data deskriptif tersebut berupa katakata langsung atau tulisan dari responden dan informan. Pada awalnya pilihan terhadap informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive), yaitu dengan mendatangi aparatur pemerintah mapun tokoh masyarakat dimana penelitian dilakukan, yang selanjutnya mengiring informan lain. Responden merupakan pihak yang memberi keterangan mengenai diri dan keluarganya. Informan merupakan pihak yang memberi keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Informan ini kemudian membantu saya dalam memilih responden yang valid atau yang mampu memberikan keterangan tambahan tentang topik kajian yaitu konflik agraria di perdesaan. Responden yang dipilih peneliti adalah masyarakat Desa Cibatok Satu yang secara formal memiliki lahan pertanian, masyarakat asli Desa Cibatok Satu yang menggarap lahan pertanian orang lain baik milik orang luar maupun milik masyarakat Desa Cibatok Satu (penggarap/buruh
tani),
masyarakat
luar
Desa
Cibatok
Satu
yang
81
menyewa/menggarap/buruh tani di Desa Cibatok Satu, masyarakat Desa Cibatok yang menyewa/gadai lahan pertanian, masyarakat Desa Cibatok Satu yang memanfaatkan sumber irigasi dan yang pernah memanfaatkan, pemilik sumberdaya air untuk irigasi pertanian di Desa Cibatok Satu, aparat desa. Pengamatan berperanserta dilakukan oleh peneliti guna melihat, merasakan dan memaknai beragam peristiwa dan gejala sosial didalamnya sebagaimana subjek penelitian melihat, merasakan dan memaknainya sehingga memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama. pengamatan berpartisipasi yang dilakukan peneliti terbatas hanya pada beberapa kegiatan keseharian yang dilakukan oleh responden untuk membentuk rapport yang baik. Data sekunder merupakan dokumen atau data yang diperoleh dari laporan studi, dari kantor desa, dari data Kecamatan, serta dokumen lain seperti data BPS, buku/jurnal atau dari internet yang memuat teori atau hasil yang terkait dengan konflik agraria di pedesaan.
3.4 Teknik Analisis Data Pada saat melakukan pengumpulan data peneliti juga melakukan analisis data. Data-data yang didapat kemudian direduksi dengan tujuan menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan,
mengeliminasi
yang
tidak
perlu
dan
mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga didapat kesimpulan akhir. Reduksi ini mengandung makna peringkasan data, pengkodean, penelusuran tema, pembuatan gugus-gugus, pembuatan partisi dan penulisan memo. Pereduksian data yang mencakup pengkodean data dan penggugusan disesuaikan dengan keperluan penelitian. Penyusunan gugus ini pun masih terdapat kemungkinan
82
untuk menambah kolom maupun baris lagi guna menguji kesimpulan awal yang telah diambil dalam penyusuan usulan penelitian. Hal ini karena analisis data kualitatif merupakan analisis yang terus berlanjut, berulang dan terus-menerus (Sitorus, 1998). Data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks yang mengulas mengenai konflik agraria di pedesaan dan faktorfaktor penyebabnya. Pada saat pemaparan hasil penelitian, penulis juga melakukan penyempurnaan dan bahkan revisi kerangka berfikir yang disesuaikan dengan keadaan lapangan. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian.
83
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Administrasi dan Kondisi Geografis Penelitian ini mengambil lokasi
di Desa Cibatok Satu. Desa ini
merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Peta wilayah dapat dilihat di lampiran 2. Batas wilayah Desa Cibatok 1 adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan jalan raya Cibungbulang 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibatok Dua 3. Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Ciareuteun 4. Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Cibungbulang Desa Cibatok Satu memiliki 3 dusun yang kemudian terdapat dalam 7 Kampung. Dimana masing-masing dusun ini dikepalai oleh kepala dusun. Dusun 1 yang memiliki 4 RW yaitu RW1, RW 2, RW 7 dan RW 8. RW 1, RW 2, dan RW 8 termasuk dalam kampung Cibatok 1 dan RW 7 adalah Kampung Cisauk. Dusun 2 hanya memiliki 1 kampun yaitu Kampung Babakan Cibatok dimana didalamnya melingkupi RW 3 dan RW 4. Sisanya RW 5, RW 6 dan RW 9 merupakan bagian dari Dusun 3. Dusun tiga memiliki 4 kampung. Kampung Kalurahan Tongoh yaitu RW 5, Kampung Kalurahan Lebak terdiri dari RW 6 dan terakhir RW 9 termasuk dalam 2 kampung yaitu Kampung Cibojen dan Kampung Timbul. Curah hujan di Desa Cibatok Satu dapat dikatakan cukup tinggi yaitu 236 Mm dengan jumlah bulan hujan sekitar 10 bulan. Suhu rata-rata harian di Desa Cibatok Satu adalah 26° C. Dahulu suhu di Desa Cibatok Satu ini cukup dingin
84
tetapi sekarang suhu berubah naik rata-rata 28-30º. Hal ini disebabkan banyaknya pohon-pohon yang sudah ditebang sehingga tidak adanya penyangga panas dan mulai banyaknya bangunan/pemukiman di sekitar Desa Cibatok Satu. Adanya curah hujan dan bulan hujan yang cukup tinggi ini menyebabkan Desa Cibatok Satu ini sangat cocok digunakan untuk lokasi pertanian. Selain curah hujan yang tinggi, warna tanah di Desa Cibatok Satu adalah hitam dengan tekstur lempung dan kedalaman 126 meter. Irigasi di desa ini secara keselurahan mampu mengairi sawah-sawah meskipun ada bendungan yang tidak berfungsi di sini yaitu bendungan jeblongan. Beberapa mata air melewati desa ini yang sekaligus dimanfaatkan untuk pengairan dan kegiatan lainnya adalah Sungai Cibungbulang, Sungai Ciareuteun, Susukan
Luhur,
Susukan
Nyamplung,
Solokan
Jemblongan,
Solokan
Ranggagading, Susukan Tilu dan Solokan Panggilingan.
4.2 Sistem Peruntukan Tanah di Desa Cibatok Satu Tanah di Desa Cibatok Satu lebih banyak yang dimanfaatkan untuk areal pertanian
dibandingkan
dengan
non-pertanian/pemukiman.
Pemukiman
masyarakat secara berkelompok yang dikenal dengan kampung. Setiap kampung tersebut dikelilingi oleh hamparan sawah maupun tegalan. Luas Desa Cibatok Satu menurut data potensi desa tahun 2004 (terbaru) adalah sekitar 1.704.170 m² dengan pembagian pada Tabel 1.
85
Tabel 1. Data Pembagian Tanah di Desa Cibatok Satu No 1 2 3 4 5 6
Pembagian Tanah Sawah Irigasi ½ Teknis Tanah Kering/ Pemukiman Kas Desa Lapangan Perkantoran Pemerintah Lainnya Total Sumber: Data Potensi Desa Cibatok Satu Tahun 2004
Luas (m²) 1.278.020 412.800 2.450 200 2.000 8.700 1.704.170
% Luas (%) 74,99 24,22 0,14 0,01 0,18 0,51 100
Dari data potensi desa diatas sebesar 74,99 persen tanah di Desa Cibatok Satu dimanfaatkan untuk sawah irigasi teknis. Peruntukan tanah untuk perumahan/ pemukiman sebesar 24,22 persen. Kemudian disusul untuk Tanah kas desa 0,14 persen, Lapangan 0,01 persen, perkantoran pemerintah 0,18 persen dan sisanya lain-lain seluas 0,51 persen. Luasan tanah berdasarkan data potensi desa tahun 2004 diatas berbeda dengan data pembagian tanah tahun 1989 Desa Cibatok Satu. Data tahun 1989 tanah di Desa Cibatok Satu dibagi menjadi 78 persil (Lampiran 8) dengan jumlah total luas tanah adalah1.629.873 m². Dalam data tersebut terlihat jelas pembagian tanah berdasarkan pemiliknya pada tahun tersebut. Tapi sekarang pemiliknya sudah banyak yang berganti karena adanya proses jual beli maupun warisan. Dari kedua data tersebut yaitu data potensi desa tahun 2004 dan data pembagian tanah tahun 1989 terdapat selisisih luasan tanah di Desa Cibatok Satu yaitu seluas 74.297 m². Data-data kepemilikan tanah yang digunakan dalam penelitian ini lebih lanjut menggunakan data pembagian tanah tahun 1989. Data pembagian tanah Desa Cibatok Satu itu digunakan sebagai dasar pembayaran wajib pajak. Desa Cibatok Satu merupakan salah satu desa yang sektor pertaniannya cukup bagus di Kecamatan Cibungbulang selain Desa Situ Udik. Sektor ini
86
menyerap tenaga kerja yang cukup besar di wilayah Cibatok Satu disamping sektor perdagangan yang juga cukup tinggi. Dimana perbandingan antara penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan perdagangan sama besar yaitu masing-masing sebesar 30 persen dari jumlah penduduk Desa Cibatok Satu. Besarnya potensi di sektor pertanian dapat dilihat dari peruntukan tanah di Desa Cibatok Satu dimana tanah yang digunakan untuk sektor pertanian adalah 69,21 persen (1.128.109 m²) dan tanah untuk non-pertanian/pemukiman sebesar 30,78 persen (501764 m²). Perbandingan peruntukan tanah pertanian dan non pertanian pada masing-masing RW di Desa Cibatok Satu berbeda. Ada RW yang sama sekali tidak memiliki tanah pertanian dan ada pula yang tanah nonpertaniannya kecil. Pebandingan peruntukan tanah pertanian dan non-pertanian di Desa Cibatok Satu dapat dilihat di diagram di bawah ini: Perbandingan Peruntukan Tanah Pertanian dan Non-Pertanian Pada Masing-Masing RW di Desa Cibatok 1
P ersentase P eruntukan Tanah
120 100 80 % Tanah Pertanian
60
% Tanah Non-Pertanian
40 20 0 RW 1 RW 2 RW 3 RW 4 RW 5 RW 6 RW 7 RW 8 RW 9 Nama RW
Sumber : Data Kepemilikan Lahan Desa Ciatok Satu, 1989
Gambar 4. Perbandingan Peruntukan Tanah Pertanian dan Non-Pertanian pada Masing-Masing RW di Desa Cibatok Satu
87
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan peruntukan tanah pertanian dan non-pertanian pada masing-masing RW. Peruntukan tanah pertanian tertinggi ada di RW 9 sebesar 91,35 persen (167.687 m²) dan non pertaniannya sebesar 8,64 persen (15.870 m²). Peruntukan tanah pertanian terendah ada di RW 8 dimana pada RW ini tidak memiliki tanah pertanian, seluruh tanahnya untuk non-pertanian/pemukiman. Urutan peruntukan tanah pertanian mulai dari tertinggi diikuti oleh RW 5, tanah pertaniannya sebesar 89,94 persen (293.987 m²) dan tanah non-pertaniannya 10 persen (32.863 m²). RW 6 memiliki tanah pertanian sebesar 88,28 persen (191.822 m²) dan tanah nonpertanian 11,71 persen (25.457 m²). Selanjutnya diikuti oleh RW 1 dengan peruntukan lahan pertaniannya sebesar 80.92 persen (211969 m²) dan tanah nonpertaniannya sebesar 19 persen (49.954 m²). RW 2 memiliki peruntukan tanah pertanian sebesar 70,95 persen (99.465 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 29 persen (40.724 m²). RW 7 memiliki tanah pertanian sebesar 40,78 persen (71.266 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 59,21 persen (103.464 m²). RW 4 memiliki tanah pertanian sebesar 36,84 persen (80.651 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 63,15 persen (138.238 m²). RW 3 memiliki tanah pertanian sebesar 16,88 persen (11.262 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 83,11 persen (55.452 m²).
4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Cibatok Satu Mata pencaharian yang dominan di Desa Cibatok Satu adalah petani/buruh tani dan pedagang. Mereka terkadang memiliki pekerjaan rangkap misalnya kebanyakan petani itu bekerja sebagai pedagang baik pedagang besar maupun kecil. Para buruh tani juga terkadang merangkap sebagai petani tapi dengan luasan
88
tanah yang kecil. Mata pencaharian lain di Desa Cibatok Satu dan jumlah orang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: Tabel 2. Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cibatok Satu No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah Penduduk (Orang)
Petani Buruh Tani Swasta Pegawai Negeri Pengrajin Montir Dokter Peternak Jumlah Sumber: Data Potensi Desa Cibatok Satu Tahun 2004
1.753 656 306 75 127 5 1 1.257 4180
Persen Jumlah Penduduk (%) 41,94 15,69 7,32 1,79 3,04 0,12 0,02 30,07 100
Data potensi desa tahun 2004 menunjukkan bahwa 41.94 persen penduduk Desa Cibatok Satu bermata pencaharian sebagai petani. Selain petani sektor pertanian juga menyerap tenaga buruh tani sebesar 15,69 persen. Sektor swasta sebesar 7,31 persen. Disini juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri yaitu 1,79 persen pengrajin 3,04 persen, montir 0,12 persen dan dokter 0,02 persen. Jumlah penduduk diatas banyak yang tidak konsisten dengan kenyataan di lapangan bahwa jumlah antara petani yang terlalu berbeda jauh dengan buruh tani. Di Desa Cibatok Satu tanah pertanian banyak yang tidak diusahakan sendiri oleh pemiliknya melainkan digarap oleh orang lain yang pada akhirnya berprofesi sebagai buruh tani. Selain itu juga, jumlah penduduk yang bekerja sebagai pedagang juga mempunyai jumlah yang besar di Desa Cibatok Satu. Jumlah mereka sekitar 30 persen dari jumlah penduduk. Selain itu, Desa Cibatok Satu tidak memiliki banyak lapangan pekerjaan dibidang peternakan. Hal ini berbeda dengan fakta yang ditulis di data potensi Desa Cibatok Satu tahun 2004.
89
4.4 Sistem Sosial Budaya Masyarakat Desa Cibatok Satu Desa Cibatok Satu dilalui oleh jalan propinsi dan jalan kecamatan. Jalan yang melewati desa ini adalah jalan aspal yang dapat dilewati oleh kendaraan setiap musimnya. Jalan-jalan yang ada di dalam desa sendiri masih berupa jalan berbatu dan belum beraspal. Fasilitas pengangkutan untuk ke kota kabupaten maupun Kota Bogor cukup baik. Jarak dari Desa Cibatok Satu ke ibukota kabupaten yaitu sekitar 31 km dengan jarak tempuh 2 jam perjalan baik menggunakan kendaraan roda 4 maupun roda 2. Kendaraan umum untuk penumpang ataupun barang tersedia di desa ini, dengan batasan waktu dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB. Setelah itu tidak ada kendaraan umum yang masuk ke Desa Cibatok Satu. Dengan adanya fasilitas pengangkutan maka mobilitas penduduk bisa dikatakan baik. Jarak antara Desa Cibatok Satu dengan kantor kecamatan yaitu 2 km dengan jarak tempuh 10 menit dengan mengunakan kendaraan roda 2 maupun roda 4. Perjalanan ke kantor kecamatan melewati jalan yang beraspal, hal ini mempermudahkan masuknya informasi ke Desa Cibatok Satu sendiri. Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian tidak hanya bekerja di Desa Cibatok Satu maupun desa sekitar saja tetapi banyak yang bekerja di Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Jakarta . Mereka bekerja sebagai pedagang di Pasar TU Semplak, Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Ciawi dan lainnya. Mereka yang bekerja di luar desa tetap tinggal di desa ini karena mereka hanya melakukan komutasi 10
pada siang hari. Hal ini dikarenakan transportasi yang sudah
memadai di Desa Cibatok Satu. 10
Komutasi adalah gerak penduduk harian dimana gerak berulang hampir setiap hari antara tempat tinggal dan tempat tujuan.
90
4.5 Kondisi Kependudukan Masyarakat Desa Cibatok Satu Jumlah penduduk Desa Cibatok Satu menurut Data Sensus Daerah tahun 2006 yaitu 8.136 jiwa dengan pembagian jumlah laki-laki 4123 jiwa dan perempuan 4013 jiwa, dengan jumlah Rumah Tangga yaitu 1923 Rumah Tangga. Adapun pembagian jumlah penduduk dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 3. Pembagian Jumlah Penduduk Desa Cibatok Satu Σ Rumah Σ Laki-laki Tangga (Jiwa) (RT) RW 1 240 513 RW 2 350 754 RW 3 141 322 RW 4 305 686 RW 5 265 528 RW 6 113 229 RW 7 116 271 RW 8 235 484 RW 9 158 336 Jumlah 1.923 4.123 Sumber: Data Sensus Daerah Tahun 2006 No RW
Σ Perempuan (Jiwa) 528 756 290 625 523 216 244 504 318 4.013
Σ Total (Jiwa) 1.041 1.510 612 1.311 1.060 445 515 988 654 8.136
Rata-rata Anggota Keluarga 5 5 5 5 4 4 5 5 5
Wilayah Desa Cibatok Satu dibagi menjadi 3 dusun yaitu Dusun 1 meliputi RW 1, RW 2, RW 7 dan RW 8, Dusun 2 meliputi RW 3, RW 4 dan Dusun 3 meliputi RW 5, RW 6 dan RW 9. Dari 3 dusun dibagi menjadi 7 kampung yaitu Kampung Cibatok (RW 1, RW2, RW 8), Kampung Cisauk (RW7), Kampung Babakan Cibatok RW 3 dan RW 4, Kampung Kalurahan Tongok RW 5, Kampung Kalurahan Lebak RW 6, Kampung Timbul dan Kampung Cibojen RW 9. Desa Cibatok Satu yang terdiri dari 8 RW jumlah rumah tangga sebanyak 1929 rumah tangga. Dengan jumlah demikian maka, rata-rata masing-masing rumah tangga terdiri dari 4-5 orang per masing-masing RW. Berdasarkan data potensi desa tahun 2004, pendidikan masyarakat Desa Cibatok Satu adalah belum sekolah 902 orang, tidak sekolah 8 orang, tidak tamat
91
SD 99 orang, tamat SD 3154 orang, Sekolah Menengah Pertama 1876 orang, Sekolah Menengah Atas 1582, D1 42 orang, D2 17 orang, D3 21 orang, S1 41 orang, S2 3 orang, S3 2 orang. Dari data tersebut bisa dikatakan bahwa masyarakat Desa Cibatok Satu telah merasakan bangku sekolah.
92
BAB V POLA HUBUNGAN ANTAR AKTOR-AKTOR 5.1 Aktor-aktor di Pedesaan Penggambaran kondisi dinamika pedesaan dan lingkup permasalahan agraria dimulai dengan menganalisis siapa aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan lahan pertanian. Objek agraria yang dibahas dalam penelitian ini hany sebatas tanah pertanian. Tanah pertanian maksudnya adalah tanah-tanah yang baik secara peruntukan ataupun yang telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Sitorus (2004) mengatakan subjek agraria meliputi tiga kategori sosial penguasa atau pemilik dan pemanfaat (pengguna) sumber-sumber agraria, yaitu komunitas, swasta, dan pemerintah. Tiga ketegori sosial yang dikatakan Sitorus tersebut tidak ditemui secara nyata di lapangan. Subjek agraria dalam tulisan ini lebih lanjut dikatakan sebagai para pemanfaat lahan pertanian. Subjek agraria yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pemanfaat langsung tanah pertanian yaitu pada tataran komunitas (petani). Gambaran pedesaan sangat erat kaitannya dengan pertanian dan petani. Petani sebagai subjek yang terlibat dalam usaha-usaha di pedesaan dan kegiatan pertanian sebagai bentuk usaha yang dilaksanakan, termasuk untuk Desa Cibatok Satu. Berdasarkan data potensi desa tahun 2004 yang menyebutkan bahwa sebanyak 1753 orang penduduk Desa Cibatok Satu bermata pencaharian sebagai petani dan 656 orang bermata pencaharian sebagai buruh tani. Di samping itu juga ada data kepemilikan lahan di Desa Cibatok Satu tahun 1989 juga menjelaskan
93
bahwa
69,21 persen
dari total tanah di desa ini dimanfaatkan untuk areal
pertanian, baik itu untuk sawah maupun kebun. Berdasarkan data di atas dapat dikatakan bahwa petani merupakan aktor yang paling banyak terlibat dalam pemanfaatan lahan pertanian di perdesaan khususnya di Desa Cibatok Satu. Petani dikatakan sebagai aktor karena jumlahnya yang banyak dan secara sengaja melakukan kegiatan pertanian di Desa Cibatok Satu, baik itu untuk mencari keuntungan maupun hanya memenuhi kebutuhan pangan. Keduanya mempunyai kesamaan yaitu sama-sama bekerja dalam hal pertanian. Mereka adalah pera pemanfaat lahan pertanian. Petani yang mencari keuntungan dengan usaha pertaniannya dikatakan sebagai petani pemilik. Mereka selain mencari keuntungan juga membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat desa lainnya yang tidak memiliki lahan maupun memiliki lahan yang kecil. Ukuran petani pemilik di Desa Cibatok Satu pada saat ini adalah mereka yang mengusahakan lahan lebih dari 1 Ha. Pengelompokan yang termasuk petani yaitu pemilik yang memiliki luasan tanah sempit (kurang dari 1 Ha), buruh tani, dan penggarap. Lebih spesifik petani adalah orang yang melakukan kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Penggolongan petani dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Billah, 1984) : 1) Kelompok buruh tani/penggarap adalah kelompok petani yang tidak memiliki lahan yang bekerja pada pemilik lahan luas. 2) Peasant adalah kelompok petani kecil yang sering mengalami kesulitan. Petani dalam golongan ini memiliki lahan kurang dari 1 ha.
94
3) Farmer adalah golongan kelompok petani yang memiliki tanah lebih dari 1 ha. Kelompok ini cenderung untuk sering menanam kembali modalnya. Golongan ini biasanya memperkerjakan para buruh. Sektor swasta dan pemerintah tidak memainkan peranan yang besar sebagai subjek agraria di Desa Cibatok Satu ini. Sektor swasta sebagai badan usaha tidak ditemukan di desa ini. Pemerintah sebagai kelompok yang netral tidak memiliki kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan pertanian. Pemerintahan desa dikatakan sebagai tingkat administrasi yang terendah. Berdasarkan pemaparan di atas dapat digambarkan pihak-pihak yang terlibat sebagai pemanfaatan lahan pertanian di perdesaan terkait dengan konteks penelitian, yaitu masalah agraria: Peasant
Lahan pertanian Buruh tani/penggarap
Farmer
Keterangan :
Keterangan: Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria Gambar 5. Pola Hubungan Antar Aktor di Pedesaan Penulisan ini lebih lanjut menjelaskan bagaimana hubungan antara ke tiga aktor ini dalam kaitannya pemanfaatan lahan pertanian di Desa Cibatok Satu. Ketiganya memiliki kepentingan yang berbeda-beda dalam pemanfatan lahan pertanian.
95
5.2 Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Desa Cibatok Satu Desa Cibatok Satu merupakan salah satu desa yang pertaniannya cukup bagus untuk wilayah Kecamatan Cibungbulang, selain Desa Situ Udik. Hal ini ditunjang dari besarnya tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian, di bandingkan dengan non-pertanian. Perbandingan penggunaan lahan pertanian dan non-pertanian sebesar 69,21 persen untuk lahan pertanian dan 30,78 persen untuk lahan non-pertanian . Menurut sekretaris Desa Cibatok Satu kepemilikan tanah di Desa Cibatok Satu ini baik untuk pertanian 90 persen di miliki oleh orang dalam Desa Cibatok Satu sendiri. ”Tanah-tanah pertanian di Desa Cibatok Satu ini 90 persen pemiliknya adalah orang asli Desa Cibatok Satu tapi mereka ada yang tinggal di sini ada juga di luar dari Desa Cibatok Satu misalnya kebanyakan di Jakarta, salah satunya Pak H. Engkos salah satu pemilik tanah terluas di Desa ini selain Pak H. Encih. Beliau memang tidak tinggal disini tetapi beliau asli orang Cibatok Satu. Orang tua beliau asli disini dan keluarga besarnya juga ada di sini”(Pak Erk/Sekretaris Desa Cibatok Satu) Menelusuri kepemilikan dan penguasaan tanah beserta struktur pemilikan tanah tidaklah mudah. Meskipun di Desa Cibatok Satu memiliki data kepemilikan tahun 1989, tapi kepemilikan tanah pada data tersebut sudah tidak akurat lagi. Nama pemilik tanah banyak yang tidak ada atau pun sudah meninggal. Tapi ada data Data kepemilikan lahan pertanian pangan di Desa Cibatok Satu yang di dapat dari buku potensi desa tahun 2004. Data tersebut juga kurang akurat dimana banyak data yang sengaja ditulis karena pada waktu itu desa akan mengikuti lomba desa tingkat Jawa Barat. Adapun kepemilikan tanah pertanian dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
96
Tabel 4. Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan No 1 2 3 4
Kepemilikan Tanah Pertanian
Tidak memiliki lahan pertanian < 0,5 Ha 0.5 – 1.0 Ha > 1,0 Ha Total Sumber: Data Potensi Desa Tahun 2004
Σ Rumah Tangga Tanaman Pertanian (RTP) 368 240 222 269 1.099
% Rumah Tangga Tanaman Pertanian (%) 33,48 22,74 20,20 24,48 100
Data kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan diatas menunjukkan bahwa kepemilikan lahan tertinggi per rumah tangga pertanian adalah tidak memiliki lahan pertanian. Artinya mereka yang tidak mempunyai lahan dan bekerja sebagai buruh tani atau penggarap. Kemudian diikuti oleh kepemilikan lahan diatas 1 Ha sebanyak 269 rumah tangga pertanian. Rumah tangga pertanian yang memiliki lahan antar 0,5 hingga 1 Ha, yaitu sebanyak 222. Dan kepemilikan di bawah 0,5 adalah 240 rumah tangga pertanian. Kepemilikan lahan pertanian diatas merupakan kepemilikan lahan pertanian oleh orang dalam Desa Cibatok Satu. Sehingga jika dilihat total kepemilikan oleh orang dalam Desa Cibatok Satu sebesar 90 persen dari luas total lahan pertanian di Desa Cibatok Satu yaitu 1.015.298,1 m². Maka bisa diperkirakan bahwa kepemilikan lahan pertanian rata-rata adalah sebesar 0,092 Ha per rumah tangga pertanian. Jika kebutuhan sawah minimum satu rumah tangga pertanian dengan 4 hingga 5 orang per masing-masing anggota keluarga adalah 0,25 Ha (Sadikin 2005), maka memiliki 0,092 Ha tentulah sangat jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan anggota keluarga.. Pemilikan tanah di Desa Cibatok Satu terjadi melalui beberapa cara yaitu: 1. Pembelian. Pembelian adalah cara yang paling umum digunakan di seluruh wilayah masyarakat termasuk untuk Desa Cibatok Satu. Pembelian terjadi
97
melalui sebuah transaksi jual-beli antara orang yang akan menjual tanahnya, baik yang dimilikinya dari pembelian sebelumnya atau warisan kepada orang yang akan membelinya. Proses jual beli di Desa Cibatok Satu ini biasanya dilakukan langsung antara si pembeli atau penjual maupun menggunakan perantara. Penggunaan perantara sering dilakukan, perantara biasanya orang daerah Cibatok Satu. Penggunaan perantara ini karena si penjual atau pembeli tidak mau repot untuk mengurus jual-beli tanah, mulai dari negosiasi hingga suratsurat. Bu Ntin sering menjadi perantara untuk menjual tanah. ”Kemarin ada neng yang minta di jualin tanahnya, dia kasih harga 20 juta, trus saya cari-cari orang yang mo beli, laku neng 25 juta. Kan lumayan, ya itung-itung bersih ke kita mah 3 jutaan lah. untuk ngurus ini itu surat-surat lah yang jual kan mau tau beres aja.” (Bu Ntn )
Harga tanah di Desa Cibatok Satu ini bervariasi, untuk tanah pemukiman harganya bisa mencapai Rp 200.000,00 per meter persegi sedangkan untuk sawah harga tanah cukup rendah yaitu sebesar Rp.10.000,00 hingga Rp 20.000,00 per meter. Harga tanah semakin mahal jika akses terhadap jalan mudah dan letak geografis yang strategis. Misalnya tanah yang dijual di berada di dekat pasar atau pun pertigaan Cibatok Satu. Nilai jual tanah untuk daerah tersebut cukup tinggi. Nilai jual sawah cukup rendah. Hal ini tergantung pada akses tehadap saluran irigasi dan kemampuan produktifitas lahan itu sendiri. Sawah yang berada di dekat saluran irigasi akan mempunyai nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan sawah yang jauh dari irigasi ataupun tidak terdapat
98
saluran irigasi. Sawah yang produktifitasnya tinggi juga mempunyai nilai jual tinggi. Produktifitas ini bisa diketahui dari ”omongan-omongan” orang-orang setempat mengenai tanah yang dijual. Setiap proses jual beli biasanya tercatat di kantor desa. Meskipun ada juga proses jual beli yang dilakukan di bawah tangan. Hal itu tidak sering terjadi tetapi ada. Bukti kepemilikan tanah yang sah di Desa Cibatok Satu umumnya adalah SPPT-PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang-Pajak Bumi Bangunan). Saat ini bukti kepemilikan tanah lain yang digunakan di Desa Cibatok Satu adalah Girik. 2. Warisan adalah pemilikan harta termasuk tanah melalui pembagian dari orang tua laki-laki ataupun orang tua perempuan kepada anaknya setelah orang tua sebagai pemilik harta atau pemberi waris tersebut meninggal dunia. Aturan pembagian waris yang berlaku di Desa Cibatok Satu adalah berdasarkan syariat Islam dan pembagian rata kepada setia anak. Berdasarkan aturan syariat Islam, yaitu anak laki-laki mendapat dua bagian sedangkan anak perempuan mendapatkan satu bagian dari harta waris yang dibagikan. “Pembagian waris menurut syariat Islam sering digunakan oleh masyarakat Desa Cibatok Satu, karena pembagian ini dianggap akan adil. Laki-laki mendapat bagian yang lebih besar karena memiliki tanggung jawab yang besar baik untuk orang tuanya dan saudara-saudaranya maupun keluarganya sendiri”. (Pak Erk) Selain sistem waris yang didasarkan pada syariat islam, sistem waris yang berlaku di Desa Cibatok Satu yaitu pembagian yang adil menurut pandangan orang tua untuk anak-anaknya. Salah satunya pembagian yang merata seluruh harta kepada anak-anaknya. Tanah yang didapat dari sistem waris ini sering
99
menimbulkan permasalahan apabila karena banyak tanah yang belum ada bukti kepemilikan tanah secara sah hanya lewat lisan saja. Penguasaan tanah di Desa Cibatok Satu dibedakan menjadi sistem bagi hasil, sewa. Untuk tanah bengkok yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dianggap sebagai gaji selama menduduki jabatan itu (Wiradi, 1984). Desa Cibatok Satu tidak memiliki tanah seperti kebanyakan daerah pedesaan Jawa pada umumnya. Salah satu faktornya adalah dahulunya tanah-tanah yang ada di desa ini milik tuan-tuan tanah dimana rakyat membayar pajak kepada mereka. Tuan tanah dalam Lyon (1984) memiliki beberapa peranan, yaitu melaksanakan hak-hak pertuanan atas penyewa dan petani bagi hasil, yaitu dengan menuntut komoditi-komoditi, kerja rodi, tugas jaga dan jasa lainnya. Desa Cibatok Satu tidak termasuk dalam wilayah yang memiliki sistem penguasaan komunal, sehingga umumnya tanahnya adalah kepemilikan individu bukan komunal (tanah ulayat). Tanah kas desa hanya untuk bangunan kantor desa dan lapangan, sehingga tidak ada yang dapat disewakan. Adapun bentuk-bentuk penguasaan tanah yang sering dilakukan di Desa Cibatok Satu adalah sebagai berikut: 1. Sewa. Sistem sewa yang biasanya diterapkan di Desa Cibatok Satu adalah penguasaan tanah sementara dalam jangka waktu 1 tahun atau per musim tanam. Sistem sewa jarang ditemukan di lahan pertanian di desa ini khususnya sawah. Harga sewa bergantung dengan luas lahan yang disewakan. Nilai sewa tanah rata-rata di Desa Cibatok 1 ini pertahunnya adalah 1,5 juta/Ha, jika permusim nilai sewanya yaitu 200 ribu/musim. Tapi umumnya orang-orang di
100
desa ini menyewa pertahun, per petak, dimana harga per petaknya adalah Rp 300.000,00. Alasan para pemilik menyewakan sawah-sawahnya karena biaya untuk mengolah sawah-sawah tersebut sangat mahal, bibit untuk nanam juga semakin mahal belum lagi obat-obat dan pupuk yang digunakan untuk menyuburkan tanaman harganya cukup tinggi. Daripada mereka menjual sawah yang merupakan warisan ataupun didapat dari jual beli mereka sewakan kepada orang lain yang ingin menggarap sawah tersebut. Sawah-sawah yang disewakan tersebut belum tentu ditanami padi juga tapi banyak yang berubah ke tanaman palawija dan hortikultura misalnya terong, timun, buncis, ubi. Istilah yang digunakan oleh masyarakat Desa Cibatok ini untuk sistem sewa adalah kontrak. 2. Gadai. Dalam transaksi gadai pemilik tanah menyerahkan hak atas tanahnya dan menerima pinjaman uang atau emas dari penerima gadai. Selama uang pinjaman ini belum dikembalikan si penerima gadai tetap menguasai tanahnya. Tanah gadaian ini dapat dikatakan berupa jaminan atas pinjaman tak berbunga ini. Penerima gadai boleh dikatakan mendapatkan balas jasa dari uang pinjamannya dari hasil bersih yang diperoleh dari tanah yang dikuasainya. Besarnya nilai gadaian ini biasanya lebih rendah dari nilai jual beli tanahnya. Transaksi gadai dilakukan oleh pemilik tanah karena sangat memerlukan uang dan merasa tidak ingin untuk menjual lepas tanahnya. Tempat dan fasilitas peminjaman uang tidak tersedia. Transaksi gadai ini dilakukan oleh pemilik tanah jika mereka terlilit hutang ataupun butuh uang untuk hidup.
101
Pembayaran sistem gadai ini ada yang menggunakan emas dan juga uang tergantung perjanjian. Jika menggunakan emas nilai tanahnya akan tetap karena disesuaikan dengan harga emas yang berkembang pada saat itu. Tapi jika menggunakan sistem uang, nilai akan berbeda pada saat menggadai dan melakukan pembayaran gadai. Disini ada pihak yang akan merasa dirugikan dan diuntungkan. Terkadang banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh gadai dengan sistem uang ini. Selama si peminjam uang belum mampu mengembalikan uang yang dipinjam, hak penggunaan tanah pertanian masih ada di pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman disini sangat beruntung karena mereka tidak perlu susah payah untuk menyewa tanah pertanian. Banyak juga dari hasil transaksi gadai ini, tanah-tanah yang digadai akhirnya dijual kepada si pemberi gadai. Hal ini disebabkan si pemilik tanah tersebut tidak mampu membayar uang gadai tersebut. Tanah-tanah yang digadai biasanya tidak membutuhkan waktu yang lama rata-rata 1 hingga 2 tahun. Tidak ditemui tanah-tanah yang telah digadai hingga puluhan tahun. Salah satu orang yang sering menggunakan hak gadai ini adalah Pak Bas pengusaha pertanian terbesar di Desa Cibatok Satu yang juga termasuk bandar sayur di Pasar TU Kemang yang menguasai sawah seluas 3 Ha yang terbagi dalam 29 petakan sawah. Sawah-sawah yang beliau usahakan rata-rata berasal dari gadaian. Beliau lebih suka nemerima tanah gadai dari pada menyewa ”Saya lebih suka menerima gadaian sawah daripada harus menyewa. Kalo menerima gadai itu ibaratnya membantu orang sekaligus berinvestasi. Uang kita ga kan hilang. ini saya
102
menerima gadai tanah yang kedua sebesar 350 gram emas dan duit 6 juta ada 11 petak ya kalo di uangkan setara 100 juta lah. Sawahnya udah dua tahun jalan. yang sebelumnya saya juga nerima gadai 5 petak dengan 100 gram emas duit 2,5 juta tapi sekarang sawahnya udah jdi milik saya karena mereka ga anggup bayar. Ya sudah saya tambahan sedikit jadi tanah saya. Padahal untung kalo nanam tapi butuh modal juga” (Pak Bas) Sebelum melakukan gadai biasanya ada perjanjian diantara kedua belah pihak. Bukti gadai adalah kwitansi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Selama ini tidak ada masalah dalam penggantian uang gadai karena kebanyakan mereka jarang yang bisa menebus uang gadai dan akhirnya menjual tanahnya kepada penerima gadai. 3. Bagi hasil. Cara bagi hasil sebenarnya sudah ada sejak dulu dan ada kebijakan yang mengaturnya yaitu Pasal 2 UUPA 1960. Sistem bagi hasil yang biasanya dilakukan di Desa Cibatok Satu adalah sistem ”Paroh”. Istilah ini lazim digunakan di Desa Cibatok Satu. Artinya pada sistem ini hasil sawah yang dikerjakan oleh penggarap dibagi dua sama besar. Pendapatan petani pemilik sawah sebagai sewa dari sawah itu sama besar dengan bagian penggarap sawah yang mengeluarkan tenaga untuk mengolah, memelihara dan mengolah usaha taninya. Caranya membagi hasil yang dilakukan setelah tanaman padi di panen. Hasil padi yang dibagi adalah hasil setelah dikurangi upah nandur dan panen (upah bawon 11 ) serta obat-obatan dan biaya perawatan lainnya. Alasan para pemilik memberikan sawahnya untuk digarap oleh orang lain agar sawah-sawah mereka tetap terpelihara, sebagai wujud investasi dan mereka tidak cukup waktu untuk menggarap tanah mereka. Sawah-sawah yang digarap biasanya pemiliknya tidak bertempat tinggal di Desa Cibatok 11
Upah yang dikeluarkan untuk orang yang memanen dan menandur/menanam padi. Upah bawon yang biasanya dikeluarkan adalah seperlima dari hasil panen.
103
Satu, tapi mereka ada yang orang asli Cibatok Satu ada juga yang sengaja membeli sawah di Desa Cibatok Satu. Cara bagi hasil seperti ini telah lama diterapkan di Desa Cibatok Satu. Meskipun ada pergantian jenis padi dari jenis padi lokal hingga masuknya jenis unggul sistem seperti ini tetap di gunakan. Termasuk juga adanya obatobat yang semakin mahal dan biaya pupuk yang tinggi. Biaya untuk obat dan pupuk ini ditanggung oleh kedua belah pihak.
5.3 Pemanfaatan Lahan Pertanian Lahan pertanian yang ada di Desa Cibatok Satu adalah untuk sawah dan kebun. Sawah yang digunakan disini adalah setengah teknis. Pada zaman pemerintahan Belanda sebelum kemerdekaan, lahan-lahan pertanian wajib ditanami padi. Kepemilikan lahan masing-masing petani pun antara 2-5 Ha, meskipun petani tak bertanah juga banyak. Padi dianggap membawa berkah meskipun hasil yang didapat sedikit dan ditambah pajak yang dibebani kepada petani tinggi. Pada saat sebelum kemerdekaan di masa pemerintahan Belanda ada perpanjangan tangan pemerintah di tingkat Kecamatan yang diberi nama tuan tanah. Mereka yang menjadi tuan tanah adalah yang bisa memberi sewa tertinggi kepada pemerintah Belanda. Untuk mengganti uang sewa, para tuan tanah memberlakukan pajak tanah kepada para petani. Tuan-tuan yang menguasai umumnya adalah bukan orang pribumi mereka orang Tionghoa, Arab. ”Disini dulu neng ada tuan tanah orang suruhan pemerintah Belanda, yang memerintahnya orang Yahudi poko nah mah. Ada orang Inggris, Arab, mata sipit, meni kejam”(Pak Amp)
104
Para tuan tanah ini memiliki Pencalang 12 yang banyak. Para pencalang ini tersebar di seluruh wilayah Kecamatan Cibungbulang. Para petani tidak bisa berbohong kepada tuan tanah mengenai luas sawah yang dimiliki. Pada saat panen para petani harus membayar pajak kepada tuan tanah di gudang-gudang beras yang ada di wilayah masing-masing. Di gudang beras pajak-pajak para petani yang berupa beras ini akan diterima oleh Ovsener 13 . Adapun perhitungan pembayaran pajak kepada tuan tanah untuk 1 Ha sawah adalah 80 gedeng. 1 Ha sawah rata-rata menghasilkan 250 gedeng. 1 gedeng itu biasanya ada 7 kg gabah. Jadi unuk luas sawah sebesar 1 Ha para petani harus menyerahkan pajak sebesar 560 kg gabah. Sisanya 1190 kg lagi tidak sepenuhnya untuk petani melainkan dikurangi biaya buruh. Buruh yang digunakan petani untuk membantunya di sawah adalah buruh matuh 14 . Buruh matuh mengerjakan seluruh apa yang diperintahkan oleh pemilik tanah tidak hanya di sawah, seorang buruh matuh bisa menjadi orang yang memelihara ternak pemilik tanah. Orang yang menjadi buruh matuh ini adalah para bujang gede 15 . Upah buruh matuh untuk lahan 1-2 hektar adalah 100 gedeng. Upah buruh matuh kira-kira 700 kg gabah/ tahun. Jadi hasil panen bersih yang diterima seorang petani selama setahun adalah 490 kg gabah. Para tuan tanah pada saat itu tidak mau tau apakah si petani panennya berhasil atau tidak. Pajak yang dibebankan kepada petani berbeda-beda tergantung kelas sawahnya. Sawah memiliki 2 kelas. Kelas 1 yaitu, sawah yang banyak
12
Pencalang adalah anak buah atau kaki tangan para tuan tanah. Ovsener adalah peneriman beras di gudang beras milik tuan tanah 14 Buruh matuh adalah buruh tetap yang digunakan oleh masyarakat Desa Cibatok 1 dulu pada saat masih zaman penjajahan 15 Bujang gede adalah orang yang sudah mulai dewasa 13
105
airnya dan sawah yang dilewati oleh air yang kotor biasanya lebih banyak dan enak. Kelas kedua adalah sawah yang pengairannya kurang bagus atau tidak lancar kemudian tidak dilewati air yang kotor. Kelas sawah ini dibedakan karena kedua produktifitas kedua sawah ini juga berbeda, sawah kelas 1 memiliki produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas 2. Selain itu rasa beras pada kelas 1 lebih nikmat dibandingkan dengan kelas 2. Kondisi sekarang berbeda dengan dulu, tuan tanah sudah tidak ada, tanaman yang ditanam pun berbeda. Lahan pertanian di Desa Cibatok sekarang banyak ditanami oleh tanaman hortikultura seperti, terong, timun, buncis, cabe, bengkuang dan tanaman palawija (ubi dan singkong). Salah satu orang yang membawa perubahan di Desa Cibatok Satu adalah Pak Bas. Lahan pertanian yang beliau kuasai tidak ditanam padi tetapi tanaman hortikultura. ”Yah neng Nani ngapain nanam padi bisa beli’ banyak yang jual. Kalo nanam buncis, timun kan untungnya banyak lagian banyak orang yang bisa kerja sama kita. Kalo padi mah untungnya dikit trus ga da yang kerja. Itung-itung bantuin orang yang ga mampu” (Pak Bas) Selain tanaman hortikultura, sawah di Desa Cibatok Satu banyak ditanami tanaman palawija misalnya ubi dan singkong. Sawah-sawah ini ditanami singkong dan ubi biasanya karena penghuninya tidak memiliki cukup waktu untuk mengurus sawahnya dan juga karena masalah pengairan yang tidak ada. Tanaman singkong bisanya dipanen 1 setelah usia 1 tahun dan tidak memerlukan perawatan yang banyak. Tanaman ini dibiarkan begitu saja, setelah setahun baru dipanen. Masalah irigasi yang mempengaruhi perubahan tanaman yang ditanam ini disebabkan karena tidak berfungsinya bendungan. Bendungan itu tidak berfungsi karena bangunannya rusak pada tahun 1984. Bendungan itu adalah bendungan
106
Jeblong. Bendungan ini sempat akan diperbaiki tapi desa tidak memiliki biaya yang cukup. Untuk memperbaiki bendungan tersebut diperlukan dana yang besar sekitar 100 juta rupiah. Sementara itu sawah-sawah yang dialiri oleh bendungan itu tidak begitu luas. Rusaknya bendungan itu berpengaruh pada peruntukan sawah-sawah tersebut. Sawah yang semula ditanam padi kini menjadi palawija dan yang lebih parah banyak yang berubah menjadi daerah pemukiman.
5.4 Tahapan Kerja Produksi dan Aktor Pemanfaat Lahan Pertanian Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam melakukan kegiatan pertanian. Tahapan persiapan dimulai dengan pengolahan tanah dan pembibitan. Pengolahan tanah di Desa Cibatok Satu menggunakan tenaga mesin dan manual. Tapi Umumnya petani disini menggunakan alat manual yaitu tenaga kerbau yaitu bajak bukan dengan mesin. Traktor yang ada di Desa Cibatok Satu merupakan bantuan operasional dari pemerintah daerah. Satu-satunya pengguna traktor ini adalah Pak Eng. Pak Eng menggunakan traktor untuk mengolah sawah garapannya. Dia juga merupakan satu-satunya orang yang bisa mengoperasikan traktor ini. Setiap penggunaan traktor dikenakan biaya sebesar Rp 50.000,00 per kotak atau Rp 700,00/meter². Biaya tersebut sudah termasuk upah operator dan biaya perawatan traktor yang dibayarkan ke desa. Selain itu bensin untuk traktor dibebankan ke penyewa, 1 liter untuk 0,5 Ha sawah. ”Di Desa Cibatok Satu ini hanya saya yang menggunakan traktor ini. Sayang kalo traktor yang di desa tidak ada yang make. Bayarnya Rp 50.000,00 per petak. Bensin isi sendiri. Kalo ketempat saya traktor bisa dibawa karena jalannya ada dan tidak merepotkan. tpi kalo untuk sawah yang diatas mesti dibuka dulu”(Pak Eng)
107
Pemilik tanah menyewa bajak dan pembajaknya dengan tarif Rp 50.000,00 atau Rp 40.000,00 per hari ditambah makan dan rokok. Lama waktu kerja per hari adalah dari jam 07.00 pagi hingga jam 12.00 siang. Pembajakan ini dilakukan untuk menggemburkan tanah. Para petani yang ingin cepat menanam biasanya langsung mengolah tanahnya sesudah panen tanpa diistirahatkan dulu. Lama waktu membajak bisa 1 hingga 2 hari tergantung luasan tanahnya. Dulu pada saat penanaman padi masih satu kali dalam setahun, pengolahan tanah bisa dilakukan hingga satu bulan. Banyak tahap yang harus dilewati dalam pengolahan tanah saja. Setelah selesai panen tanah diistirahatkan dulu dengan digenangi air, hal ini dilakukan agar jerami bisa hancur. Tahap pertama tanahtanah tersebut di bajak. Tanah-tanah yang selesai dibajak/wuluku’ 16 dengan menggunakan kerbau itu dilakukan agar tanah-tanah yang berada di bagian dalam naik ke atas. Setelah di bajak tanah kemudian di garu untuk diratakan . Setelah itu tanah diistirahatkan lagi dan dialiri air sehingga terendam air dengan ukuran setengah dari tinggi sawah dan diistirahatkan lagi. Kegiatan pertama
ini
dinamakan ngabedah. Selanjutanya, adalah tahap kedua dari pengolahan tanah yaitu ngambangkeun. Tanah tadi diluruskan kembali supaya rata dan di wuluku’ lagi dan terakhir diangler 17 biar rata. Banyaknya tahap yang harus dilalui, waktu yang dibutuhkan pun cukup lama. Berbeda dengan keadaan saat ini, pengolahan tanah bisa ditempuh dengan waktu satu hari, sehingga tanah-tanahnya pun kurang gembur karena kurang rata. Pada saat bersamaan dengan pengolahan tanah para petani melakukan pembibitan. Rata-rata petani melakukan pembibitan sendiri.
16 17
Wuluku’ adalah nama lain pembajakan sawah Angler adalah meratakan tanah
108
Ketika tahapan persiapan telah selesai dilakukan, tahapan berikutnya adalah memindahkan bibit tersebut ke sawah atau nandur
18
. Kegiatan nandur ini
biasanya dilakukan oleh para buruh tani/ ngepak 19 . Tapi tidak jarang pemilik lahan terlibat menandur sawah mereka jika mereka memiliki waktu dan sawah yang mereka punya tidak terlalu luas. Para buruh yang bekerja pada saat nandur ini juga bekerja pada saat panen. Tidak ada pembatasan jam kerja mereka karena mereka wajib menyelesaikan nandur. Tapi jika mereka hanya ngepak mereka dibayar dengan standar upah buruh per hari di Desa Cibatok Satu. Jam kerja per hari dari jam 07.00 pagi hingga jam 12.00 siang atau hingga waktu dugcir 20 . Jenis varietas padi yang banyak ditanam di Desa Cibatok Satu saat ini adalah Ciherang, Rojolele, Super 46. Tahap berikutnya adalah perawatan tanaman, untuk tanaman padi ini setelah nandur banyak yang dibiarkan saja. Perawatan seperti ini dilakukan untuk mengurangi serangan hama dan meningkatkan produksi. Jika tanaman terkena serangan keong maka para buruh ini juga harus mengoyos 21 tanaman tersebut. Saat padi berusia 120 hari, tanaman tersebut sudah dapat dipanen. Kegiatan panen dilakukan oleh para buruh tani yang sama pada saat menandur. Dulu, karena ukuran padi yang bisa mencapai 1 meter pemotongan padi menggunakan ani-ani, tapi sekarang alat yang digunakan untuk memotong padi yang di gunakan oleh masyarakat Desa Cibatok 1 adalah cengkrong/curilit. Ada juga perbedaan panen dulu dengan sekarang. Sekarang, petani tidak memperhatikan hari memanen. Setiap hari bisa digunakan untuk memanen. Kalau 18
Nandur adalah kegiatan memindahkan bibit ke sawah Ngepak adalah orang yang nandur 20 Dugcir adalah kepanjangan dari bedug ngacir. Waktu ini merupakan pertanda habisnya jam kerja bagi para buruh tani 21 Oyos adalah mengambil keong yang memakan tanaman padi 19
109
dulu hari Senin dan Jum’at merupakan hari yang dilarang untuk memanen. Meskipun hari-hari yang lain hujan petani tetap akan memanen yang penting tidak pada kedua hari tersebut, biar berkah menurut mitosnya. Setelah semua padi selesai dipanen, kemudian dibawa ke penggilingan. Padi tersebut dimasukkan ke dalam karung untuk ditimbang. Umumnya, bawon 22
yang dibagikan kepada buruh yang bekerja pada saat nandur dan panen adalah
1/5 bagian dari hasil panen. Sebelum disimpan atau dijual padi-padi basah dijemur agar kering. Tujuannya ketika disimpan padi tidak rusak dan berbau apek. Penjemuran biasanya dilakukan di tempat penggilingan karena jarang para petani maupun buruh tani mempunyai halaman yang luas. Para petani maupun buruh terkadang mengupahkan penjemuran padi mereka ke tempat penggilingan. Setelah padi kering bisa langsung digiling untuk menghasilkan beras ataupun disimpan terlebih dahulu. Masyarakat dulu biasanya memberi jarak antara penjemuran dan penggilingan. Tanaman padi boleh digiling setelah 40 hari panen. Sebelum itu, padi disimpan di gudang rumah masing-masing. Tapi sekarang, aturan ini sudah tidak berlaku lagi. Pada saat peneliti berada di lokasi penelitian harga gabah per kilogramnya adalah Rp 1.800,00. Upah penggilingan padi tidak di bayar dengan uang tetapi dibayar dengan beras. Setiap menggiling 20 liter beras diberi upah sebanyak 1,5 liter beras. Selain mendapatkan beras, ampas padi atau sekam juga dikembalikan kepada petani. Sekam ini bisa dijual untuk pupuk ataupun pakan ternak. Bagi petani yang tidak mau repot mulai dari penjemuran
22
Bawon adalah upah yang diperikan kepada buruh tani yang menandur dan memanen
110
hingga penggilingan padi, petani bisa mengupahkan semuanya. Biaya upahnya setara dengan harga ampas yang mereka terima. Tahapan kerja produksi untuk tanaman padi berbeda dengan tanaman hortikultura maupun tanaman palawija. Tanaman palawija tidak membutuhkan banyak perawatan, hanya pengolahan tanah, pemberian pupuk, dan membersihan rumput. Sedangkan tanaman hortikultura lebih repot mulai dari pengolahan tanah, pemberian pupuk, nandur, menyulam, pemberian obat, dan panen. Pengolahan tanah untuk tanaman hortikultura itu menggunakan tenaga manusia karena tanah tersebut harus dicangkul. Waktu yang diperlukan untuk mengolah satu petak sawah, dengan 50 garis jarak 1 meter biasanya membutuhkan waktu 10 hari. Upah mengolah tanah ini sekitar Rp 200.000,00 hingga selesai. Tapi banyak pemilik tanah yang menanam tanaman hortikultura biasanya memiliki buruh tetap yang dibayar setiap hari kerja.
5.5 Memanfaatkan Peluang Produksi dari Sawah Kegiatan pertanian dan sawah (khususnya pada saat pengolahan dan produksi) membuka peluang bagi siapa saja. Peluang ini bukan hanya bisa diakses oleh pemilik ataupun orang yang mempunyai kuasa atas sawah tapi juga bagi mereka yang tidak mempunyai sawah. Mereka ini bisa mengakses mulai dari tahap persiapan hingga sisa hasil panen. Permasalahannya
apakah
orang-orang
yang
mengakses
tersebut
mendapatkan pengakuan atau tidak. Pengakuan disini didapat dari pemberian hak untuk mengolah, ataupun menikmati seluruh tahapan produksi dari awal hingga panen.
111
Peluang pemanfaatan produksi pertanian dapat dibagi menjadi beberapa berdasarkan tahap-tahap produksi, yaitu: 1) Tahap awal produksi bisa dilihat dari pengolahan tanah. Para petani pemilik maupun penguasa lahan bisa memanfaatkan tenaga pembajak maupun traktor dalam mengolah lahan. Traktor di Desa Cibatok 1 hanya ada satu buah. Traktor ini beroperasi di wilayah sawah yang berada di belakang kantor desa. Hal ini dikarenakan adanya akses jalan menuju sawah di belakang desa tersebut. Siapa saja sebenarnya bisa mengakses penggunaan traktor ini. Tidak ada pembatasan dan diakui oleh desa sebagai pihak yang mengelola traktor. 2) Peluang pada tahap pengolahan tanah juga dimanfaatkan oleh pembajak. Ada beberapa orang yang memanfaatkan peluang ini diantaranya Pak Adn, Pak Jam, Pak Idi. Mereka secara tidak langsung memiliki wilayah kerja masingmasing. Meskipun wilayah kerja ini tidak ada pengakuan secara mutlak oleh peraturan desa. Wilayah kerja ini secara tidak langsung terbentuk karena tempat tinggal. Misalnya Pak Adn yang biasanya dipanggil Mang Adn ini tinggal di RW 1 wilayah kerjanya adalah sawah-sawah yang berada di RW 1, Pak Jam berada di RW 2 wilayah kerjanya di RW 2 dan Bapak Idi tinggal di RW 7 maka wilayah kerjanya di RW 7. Selain karena tempat tinggal, para petani memanfaatkan para pembajak ini karena kebiasaan menggunakan tenaga mereka. Dengan adanya pembagian secara tidak langsung dapat mengurangi konflik yang terjadi. 3) Tahap kedua, yaitu pada saat nandur. Para petani ada yang memanfaat jasa pembuat bibit. Tapi sekarang jarang orang yang melakukan pembuatan bibit. Salah satu orang yang pernah melakukan pembuatan bibit komersil adalah Pak
112
Amp. Usaha ini hanya ia jalani selama setahun, tapi sekarang sudah tidak lagi karena para pemilik lahan jarang yang memiliki lahan luas, jadi tidak memerlukan banyak bibit. 4) Pemanfaat peluang tebesar adalah para buruh. Buruh ini ada yang memanfaatkan pada satu tahap saja tetapi juga ada banyak tahap. Buruh tani menurut Sadikin (2005) adalah suatu profesi dan tenaga kerja. Sebagai profesi buruh tani memang tidak memiliki tanah dan menyandarkan hampir seluruh penghasilannya dari bekerja sebagai buruh tani. Buruh tani sebagai tenaga kerja berarti bahwa si buruh tani memiliki sawah bukan buruh tuna kisma. Hal ini banyak ditemukan di Desa Cibatok Satu. Para pemilik lahan kecil memanfaatkan peluang bekerja di sawah milik orang lain sebagai buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 5) Para buruh tani memanfaatkan peluang itu untuk bekerja pada saat nandur panen dan perawatan. Ataupun mereka juga menjadi buruh dadakan pada saat panen. 6) Pemanfaat peluang pada tahap panen yaitu para buruh dadakan yang membantu petani pemilik lahan dalam memanen hasil pertaniannya. Buruh dadakan ini ada yang sudah biasa ada dalam setiap panen maupun karena tau ada yang akan panen. Para buruh dadakan ini biasanya tidak dibayar tetapi bisa memanfaatkan hasil panen yang kurang layak untuk dijual misalnya singkong yang kecil. Sisa-sisa ini dipungut termasuk batang-batang singkong untuk bahan bakar. Para buruh ini tidak boleh mengambil hasil panen yang layak untuk dijual meskipun ada. Para pemilik lahan biasanya memberi informasi sebelum panen kepada para tetangga. Para tetangga inilah yang
113
kemudian banyak yang menjadi buruh dadakan. Buruh dadakan ini membantu pemilik lahan untuk memanen hasil tanamannya dan sekaligus membantu membersihkan lahan pemilik tanah tersebut. Kedua pihak saling diuntungkan, tapi tidak ada ikatan diantara keduanya. 7) Pada tahap pasca panen juga terbuka peluang yaitu orang-orang yang mau menjemur hingga penggilingan padi. Mereka biasanya mendapatkan upah dari para petani. Para petani mencari pekerja ini di penggilingan gabah. 8) Pemanfaat peluang terakhir adalah pada tengkulak yang memanfaatkan ketidakberdayaan petani dalam bentuk modal awal. Para tengkulak memberlakukan sistem kasbon dengan memberikan bantuan modal baik dalam bentuk barang maupun uang. Para pemilik tanah yang tidak memiliki modal akan memanfaatkan pinjaman dari para tengkulak. Sebagai balasannya pada saat panen mereka wajib menjual hasil panennya kepada para tengkulak. Bentuk pemanfaatan ini sering ditemui pada petani palawija dan hortikultura. Untuk petani padi jarang. Pemanfaatan peluang produksi secara tidak langsung diakui oleh komunitas pertanian di Desa Cibatok Satu. Pemanfaat dan yang memanfaatkan sama-sama mempunyai kepentingan untuk mencari keuntungan masing-masing. Disini terlihat bahwa tidak adanya pengakuan secara formal tidak mempengaruhi kegiatan pertanian di pedesaan.
5.6 Pola Hubungan Produksi Kegiatan-kegiatan yang bersumber pada pemanfaatan sawah dan hasilhasilnya melibatkan para pelaku dengan hubungan-hubungan tertentu. Hubungan-
114
hubungan itu dilandasi oleh masing-masing kedudukan pelaku dalam pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah. Hampir seluruh pelaku yang terlibat di dalam kegiatan penggarapan tanah sawah memiliki kekuatan untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Gambar 6 memperlihatkan kaitan antara pelaku dalam hubungan produksi pertanian di Desa Cibatok Satu
5.6.1 Hubungan Pemilik Sawah dengan Buruh Tani Menggambarkan pola hubungan antara pemilik sawah dengan buruh tani sebagai aktor sentral yang memainkan peran utama dalam banyak kegiatan produksi pertanian tidak hanya dari adanya kepentingan tetapi juga adanya kedekatan emosional antara keduanya. Pemilik tanah sebagai orang yang memiliki kuasa mutlak atas tanahnya membutuhkan para buruh tani untuk membantu mengolah sawah yang mereka miliki. Sementara para buruh tani membutuhkan lapangan kerja untuk menghidupi diri dan keluarganya. Pemilik tanah memiliki hak penuh untuk menentukan siapa orang yang akan kerja mengolah lahan miliknya. Orang yang akan bekerja pada pemilik tanah tidak hanya berasal dari dalam desa maupun luar Desa Cibatok 1. Pemilik tanah yang akan memproduksi padi tidak membutuhkan buruh tetap. Mereka membutuhkan buruh pada saat nandur dan panen saja. Berbeda dengan petani yang menanam padi, petani yang menanam tanaman hortikultura membutuhkan buruh tetap. Buruh tetap ini akan bekerja sesuai peraturan yang ditetapkan oleh pemilik tanah.
115
Penyewa/penggadai
Pemilik Tanah
Buruh Tani
Pembuat bibit
Pengelola traktor/ Pemilik bajak SAWAH Operator Traktor/ Pembajak
Penggarap
Buruh dadakan
Pekerja Penggilingan
Tengkulak
Keterangan : = Hubungan kepemilikan = Hubungan pengguasaan = Hubungan jual beli = Hubungan kerja = Hubungan kerja sama = Hubungan kerjasama ’tidak langsung’ = Pemanfaat langsung hasil sawah Gambar 6. Bagan Hubungan Antar Pelaku yang Terlibat dalam Hubungan Produksi Pertanian
116
Pada umumnya pemilik tanah menempatkan dirinya sebagai patron dan para buruh tani sebagai klien. Meskipun konsep patron-klien disini tidak sepenuhnya seperti konsep patron-klien untuk desa-desa tradisional menurut Leg (dalam Gini, 2008) dimana dalam ikatan ini pihak patron memiliki kewajiban untuk memberi perhatian kepada kliennya layaknya seorang bapak kepada anaknya. Dia juga harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan kliennya. Sebaliknya, pihak klien memiliki kewajiban untuk menunjukkan perhatian dan kesetiaan kepada patronnya layaknya seorang anak kepada bapaknya. Langgeng tidaknya sebuah ikatan patron-klien bergantung pada keselarasan antara patron dan kliennya dalam menjalankan hak dan kewajiban yang melekat pada masingmasing pihak – terjalinnya hubungan yang saling menguntungkan, dan saling memberi dan menerima. Pemilik tanah di Desa Cibatok Satu tidak hanya membina hubungan dengan buruh di sawah tapi memiliki hubungan sosial di luarnya. Seperti memberikan bantuan jika ada yang sakit, memberikan sembako pada saat bulan Ramadhan. Para buruh tani kadang kala juga mendapat bonus pada saat panen namanya uang kadedeh 20 Minimnya ketersediaan buruh tani di Desa Cibatok Satu ini membuka peluang kerja bagi para buruh luar desa untuk mencari pekerjaan di Desa Cibatok Satu. Hal ini karena kurang menariknya sektor pertanian bagi masyarakat di Desa Cibatok Satu, khususnya generasi muda.
20
Uang kasihan
117
5.6.2 Hubungan Pemilik Sawah dengan Penyewa dan Penggadai Hubungan antara pemilik sawah dengan penyewa maupun penggadai adalah hubungan penguasaan. Pemilik sawah memberikan hak penguasaan kepada penyewa atau penggadai untuk memanfaatkan tanah yang dipunyai dengan imbalan tertentu. Imbalan atau uang sewa ini disesuaikan dengan perjanjian antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemilik dengan pemberi gadai/penyewa. Penyewa memiliki hak penguasaan biasanya per tahun sedangkan penggadai memiliki hak penguasaan tak terbatas selama si pemilik belum bisa menebus uang pinjaman/mas yang diberikan oleh pemberi gadai.
5.6.3 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Pembuat Bibit Hubungan antara pemilik, penyewa/penggadai dengan pembuat bibit adalah hubungan jual beli. Pembuat bibit menjual bibit sedangkan pemilik, penyewa/penggadai membeli bibit yang telah siap ditanam. Transaksi ini dilakukan sebelum para pemilik menanam bibit tersebut. Keberadaan para pembuat bibit sangat membantu pemilik tanah untuk mempercepat dan mempermudah mereka dalam melaksanakan tahap produksi. Hubungan ini kini telah jarang ditemui karena para pemilik jarang yang membeli bibit jadi mereka lebih sering membuat sendiri. Hal ini dikerenakan pemilikan tanah yang tidak terlalu luas sehingga tidak membutuhan bibit dalam jumlah banyak. Bibit yang banyak dijual adalah tanaman padi sedangkan hortikultura jarang ada yang menjual bibitnya.
118
5.6.4 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Tengkulak Hubungan antara pemilik, penyewa/penggadai dengan para tengkulak ini sama dengan hubungan dengan pembuat bibit yaitu hubungan jual beli. Bedanya adalah para pembuat bibit berhubungan sebelum tandur sedangkan dengan para tengkulak ini setelah panen. Para tengkulak ini sebenarnya sudah berhubungan dengan pemilik, penyewa/penggadai sejak awal sebelum mulai berproduksi. Bagi para pemilik, penyewa/penggadai yang tidak memiliki cukup modal untuk berproduksi bisa meminjam dana awal untuk berproduksi dengan kesepakatan hasil tanamannya akan dijual kepada para tengkulak tersebut. Tanaman yang diusahakan pun atas anjuran para tengkulak yang mengetahui kondisi di pasar. Hubungan antara tengkulak dengan pemilik, penyewa/penggadai seperti ini dinamakan sistem kasbon. Sistem kasbon ini dilakukan hanya untuk tanaman hortikultura saja, sementara tanaman pangan msalnya badu tidak berlaku sistem kasbon. Hubungan antara tengkulak dan pemilik, penyewa/penggadai bisa juga terjalin hanya pada saat panen saja. Para pemilik, penyewa/penggadai ini mecari tengkulak yang mau menerima tanaman yang diproduksi. Hubungan seperti ini banyak dilakukan oleh petani yang menanam tanaman palawija seperti singkong dan ubi.
5.6.5 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Pengelola Traktor dan Pemilik Bajak Hubungan antara pemilik, penyewa/penggadai dengan pengelola dan pemilik bajak adalah hubungan penguasaan. Pengelola traktor dan pemilik bajak diberi hak kuasa untuk mengolah tanah para pemilik sawah ini dengan imbalan
119
tertentu. Imbalan yang diberikan oleh pemilik, penyewa/penggadai kepada pemilik bajak adalah perhari dan ada ketentuan kerjanya seperti lama waktu kerjanya. Imbalan yang diberikan kepada pengelola traktor dengan ketentuan luasan sawah. Para pemilik bajak ini mempunyai hubungan dengan orang yang menjalankan bajak, yaitu hubungan kerja. Kebanyakan pemilik bajak merangkap sebagai orang yang menjalankan bajak. Hal ini berbeda dengan hubungan pengelola traktor dengan operator traktor. Pengelola traktor adalah pemerintah desa sedangkan operator adalah orang luar dari pemerintaha desa yang diberi wewenang untuk menjalankan traktor. Keduanya memiliki hubungan kerja. Pengelola traktor memberikan upah kepada operator traktor berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak desa.
5.6.6 Hubungan Pemilik Sawah dengan Penggarap Pemilik sawah yang tidak memiliki banyak waktu untuk mengelola sawahnya bisa mencari orang untuk menggantikannya mengelola sawah miliknya. Orang yang mengelola sawahnya tersebut dinamakan penggarap. Penggarap ini memiliki kewajiban mengolah produksi pertanian dari tahap awal hingga masa panen. Antara pemilik sawah dengan penggarap memiliki hubungan kerjasama. Keduanya biasanya memiliki perjanjian kerja pada saat awal memulai kegiatan produksi. Perjanjian keduanya ini berkaitan dengan sistem bagi hasil 21 , biaya yang dikeluarkan. Umumnya yang menjadi penggarap adalah petani yang memiliki lahan sempit (2-3 petak) atau tidak memiliki tanah sama sekali. 21
Sistem bagi hasil adalah perpindahan hak garap sementara berdasarkan perjanjian kedua belah pihak dimana petani pemilik tanah memberikan izin untuk menggarap tanahnya pada petani lain.
120
Penggarap pada tanaman hortikultura tidak berbeda jauh dengan penggarap pada tanaman padi. Hasil yang mereka dapatkan akan dibagi dua dengan pemilik tanah setelah dikurangi dengan biaya perawatan.
5.6.7 Hubungan Antar Pemilik Tanah Pemilik tanah disini tidak hanya terbatas dari pada pemilik lahan luas tapi juga pemilik lahan sempit. Mereka tidak hanya berhubungan berdasarkan status ekonomi tetapi antar masing-masing status ekonomi. Hubungan keduanya terjalin dari hubungan kerja. Pemilik lahan sempit banyak yang menjadi buruh atau tenaga kerja di pemilik lahan luas. Hubungan seperti ini diakui di Desa Cibatok Satu. Ada juga fenomena lain rumah tangga petani berlahan sempit membagi tugas antara suami dan istri. Suami mengolah lahan milik sendiri sementara istrinya menjadi buruh atau bekerja di pemilik lahan luas.
5.6.8 Hubungan Antar Buruh Tani Buruh tani merupakan aktor yang mempunyai posisi lemah dibandingkan pemilik lahan. Kontrol pemilik terhadap para buruh terjadi pada saat produksi saja. Buruh-buruh tani ini juga memiliki hubungan antar sesama yaitu hubungan sebagai patner kerja. Kegiatan buruh tani yang berkelompok membuat mereka selektif dalam memilik rekan kerja. Hal ini terkait dengan upah yang akan diterima. Para buruh yang mendapat tawaran untuk mengepak
akan mencari
rekan kerja yang memiliki kemampuan setara dengan dia. Jika buruh tersebut tidak mampu bekerja cepat sesuai yang diharapkan maka tidak akan diajak
121
bergabung dalam kelompok buruh tersebut. Para buruh yang berkelompok itu bekerja cepat karena mengejar kesempatan untuk bekerja pada pemilik lain. Berbeda dengan hubungan antara buruh yang bekerja pada pemilik sawah yang digunakan untuk tanaman hortikultura, para buruh memiliki hubungan kerja. Tidak ada hubungan kesetaraan disini karena yang menentukan kerja atau tidaknya adalah pemilik lahan. Selain itu, para buruh sudah memiliki tugas masing-masing.
5.6.9 Hubungan Antara Pemilik Tanah, Penggarap, Buruh Dadakan, dan Pekerja Penggilingan Hubungan antara pemilik tanah dan penggarap dengan buruh dadakan dan pekerja penggilingan terjadi setelah masa panen. Buruh dadakan biasanya datang secara berkelompok. Jika dilihat, adanya buruh dadakan ini sebenarnya bisa mengurangi hasil panen yang mampu dijual oleh pemilik maupun penggarap tanah. Tapi ada motif lain para pemilik maupun penggarap menerima buruh dadakan, ini yaitu membantu para pemilik dan penggarap dalam memanen tanamannya. Pemilik dan penggarap ini tidak perlu mengeluarkan upah pada buruh dadakan ini. Selain itu, sisa-sisa pada saat panen misalnya batang tanaman akan dibersihkan ataupun dibawa pulang oleh para buruh ini.
5.7 Ikhtisar Pada bab ini dijelaskan bagaimana struktur agraria berlangsung di Desa Cibatok Satu. Struktur agraria ini terkait antara subjek, objek agraria, dan pola hubungan agraria (teknis dan sosial). Subek agraria dalam penelitian ini adalah pera petani sebagai pemanfaat lahan pertanian, pihak swasta dan pemerintah tidak
122
dibahas dalam penelitian ini. Hal ini karena tidak adanya badan usaha swasta di Desa ini yang berkaitan dengan lahan pertanian dan tidak adanya kebijakan pemerintah mengenai pemanfaatan lahan pertanian. Objek agraria dalam penelitian ini, yaitu lahan pertanian. Subjek dan objek agraria berhubungan dalam pola hubungan agraria. Pola hubungan teknis terjadi karena adanya kepetingan ekonomi antara masing-masing subjek untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hubungan teknis ini dilihat dari hak pemilikan maupun penguasaan lahan-lahan pertanian. Hak pemilikan diperoleh dari pembelian dan warisan. Sementara hak penguasaan diperoleh dari sewa, gadai dan bagi hasil. Pola hubungan sosial terjadi karena adanya perbedaan akses terhadap tanah terkait dengan pola hubungan teknis. Pola hubungan sosial ini terlihat dari proses produksi tanaman. Pola hubungan yang terjadi adalah hubungan jual beli, hubungan kerja, hubungan kerja sama baik langsung atau tidak.
123
BAB VI KONFLIK AGRARIA DI PERDESAAN 5.1 Realitas Ketimpangan di Desa Cibatok Satu Tulisan dalam bab ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana pola hubungan antar pemanfaat lahan pertanian bisa terjadi dan berlanjut. Hubungan antar pemanfaat ini terjadi karena adanya ketidakmerataan kepemilikan dan penguasaan lahan-lahan pertanian. Ketidakmerataan ini tidak langsung menciptakan polarisasi ekonomi yang timpang dalam sektor pertanian karena sektor ini di Desa Cibatok Satu yang tidak lagi dijadikan sebagai mata pencaharian utama meskipun 69 persen tanahnya untuk lahan pertanian. Hal ini dikarenakan banyak perubahan pemilikan dan penguasaaan tanah di Cibatok Satu sehingga kepemilikan lahan pertanian pun kecil meskipun ada beberapa yang memiliki tanah luas tapi tidak terlalu besar. Sektor pertanian di Desa Cibatok Satu ini dijalankan oleh kaum tua, sedangkan kaum mudanya banyak yang menjadi pedagang. Kecilnya rata-rata kepemilikan lahan pertanian menyebabkan banyak para petani lahan sempit dan tuna kisma bekerja di lahan petani berlahan luas. Mereka terlibat hubungan kerja dengan pemilik tanah. Akses untuk mendapatkan pekerjaan pada petani pemilik lahan luas juga tidak sama antar petani lahan sempit maupun buruh tani. Para aktor yang berhubungan dalam pemanfaatan tanah pertanian ini memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap pola hubungan yang mereka lakukan. Adanya perbedaan persepsi itu bisa disebabkan karena latarbelakang dan kepentingan yang berbeda diantara mereka. Masing-masing golongan misalnya
124
para petani pemilik tanah luas memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap para petani berlahan sempit maupun buruh yang bekerja pada mereka. Begitupun buruh-buruh yang bekerja pada petani pemilik lahan memiliki pandangan yang berbeda. Kondisi-kondisi seperti inilah yang menimbulkan banyak ketimpangan, ketimpangan disini terkait akses terhadap lahan pertanian yang tidak sama antar pemanfaat lahan pertanian. Ketimpangan ini bisa merujuk pada bentuk ketimpangan lain misalnya ketimpangan ekonomi antar sesama buruh. Realitas seperti inilah yang menjadi dasar dalam pembahasan konflik. Pembahasan mengenai konflik yang terjadi ini mengambil contoh pada beberapa kasus rumahtangga pertanian antara golongan petani. Mereka dijadikan objek penelitian sebagai gambaran bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan tanah pertanian ini memaknai setiap hubungan yang dilakukan.
6.2 Latarbelakang Kehidupan Aktor Latarbelakang
kehidupan
aktor
sangat
berkaitan
dengan
kondisi
lingkungan dan pendidikan yang ditempuh. Pendidikan masyarakat di Desa Cibatok Satu bisa dikatakan cukup rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini berkaitan dengan sejarah masyarakat di Desa Cibatok Satu. Pada zaman tuan tanah, tidak semua penduduk desa ini bisa merasakan bangku sekolah. Mereka yang bersekolah adalah orang-orang yang memiliki latarbelakang keluarga mampu dilihat dari luasnya kepemilikan lahan pertanian. “Saya beruntung neng dulu bisa sekolah. Dulu bapak saya punya sawah banyak lebih dari 5 ha tapi sekarang udah banyak yang dijual ma anak-anaknya. Kan semuanya udah dapat warisan. Saya aja dapat
125
1 ha lebih tapisekarang tinggal beberapa petak aja sawahnya. Tapi sebenarnya dulu kalo orang-orang sini mo sekolah mah bisa aja, tinggal bohong bilang ma tuan tanah kalo tanahnya luas, tapi pada ga mau takut. padahal ga di lacak kok”(Pak Amp). Kepemilikan lahan seseorang dahulu dikatakan luas apabila
memiliki
lahan sekitar 5 ha. Tapi kondisi sekarang sangat berbeda. Seseorang yang memiliki lahan 1 ha saja bisa dikatakan pemilik lahan luas. Pemilik lahan luas tersebut bisa memasukkan anak mereka ke sekolah yang berada di sekitar wilayah Desa Cibatok Satu. Para petani berlahan sempit dan buruh tani jarang mendapatkan kesempatan untuk memasukkan anak mereka ke sekolah-sekolah. Rendahnya pendidikan ini juga disebabkan kurang adanya sarana pendidikan di Desa Cibatok Satu. Mereka yang pada saat itu ingin bersekolah harus pergi keluar desa untuk bersekolah. Sarana pendidikan ini baru dibangun pada tahun 1960 untuk Sekolah Dasar dan masih ada hingga sekarang yaitu SD Negeri Cibatok Satu. Pendidikan menengah pertama baru didirikan tahun 1970 dan itupun hanya SMP persiapan. Sekolah mengah atas baru ada sekitar tahun 2000-an yang terletak di sebelah Kantor Desa Cibatok Satu. Rendahnya pendidikan juga sangat dipengaruhi tidak adanya penerangan dimalam hari di Desa Cibatok Satu pada saat itu. Rumah-rumah yang menghidupkan penerangan pada malam hari akan terlihat jelas karena rata-rata dulu rumah terbuat dari bambu dan berbentuk rumah panggung yang bagian bawahnya digunakan untuk memelihara hewan. Suasana pada malam hari sangat sunyi. Tuan tanah dan anak buahnya biasanya sering berpatroli pada malam hari. Mereka yang lampu rumahnya hidup akan dipanggil oleh tuan tanah dan dicurigai melakukan sesuatu yang tidak benar. Para tuan tanah mengganggap orang kecil itu harus bodoh sehingga tidak boleh ada penerangan apapun dimalam hari di rumah
126
warga. Tidak adanya penerangan pada malam hari membuat warga yang berada di usia sekolah tidak bisa belajar karena tidak ada kesempatan. Listrik baru masuk ke Desa Cibatok Satu pada tahun 1970-an dan pada saat itu sudah tidak ada lagi tuan tanah di Desa Cibatok Satu. Pendidikan yang rendah ini tidak hanya dimiliki oleh para pemilik lahan sempit atau buruh tani saja tetapi pemilik lahan luas juga ada yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu pendidikan tinggi untuk mengolah lahan yang penting tekun dan ingin mencoba untuk mendapatkan keuntungan yang besar meskipun ada juga petani yang tingkat pendidikannya tinggi. Tingkat pendidikan tinggi tidak menentukan keberhasilan dalam pertanian. Keberhasilan dalam pertanian dilihat apabila produktivitas tanaman yang baik dan laku dijual. Percuma apabila produktivitas tinggi tapi tidak laku di pasaran. ”Neng pendidikan ga terlalu penting untuk menjadi petani yang penting mah tekun dan mau mencoba sendiri dan paling penting ga rugi kalo dijual ke pasar” (Pak Bas). Pak Bas salah satu pemilik lahan pertanian terluas pada saat ini yaitu sekitar 3 ha merupakan salah satu gambaran petani sukses yang tidak menempuh tingkat pendidikan tinggi. Selain sebagai petani beliau adalah seorang pedagang besar di Pasar TU Kemang dan sebagai tengkulak yang menampung hasil-hasil pertanian bagi petani-petani yang berada di wilayah Cibungbulang. Beliau hanya menempuh pendidikan Sekolah Dasar hingga kelas 1 saja. Begitupun anak-anak beliau sekarangpun paling tinggi hanya menamatkan pendidikan formal di Sekolah Dasar. Dari ketiga anaknya hanya 1 orang yang melanjutkan usaha di bidang pertanian dan yang lainnya bekerja menjadi pedagang.
127
Rendahnya tingkat pendidikan ini berpengaruh pada keterbukaan mereka terhadap perubahan dari luar padahal Desa Cibatok Satu merupakan desa yang sering menerima masukan-masukan dari luar. Misalnya masuknya bibit baru, pupuk, obat-obatan serta penyuluhan. Hal ini terbukti dari rendahnya minat para petani untuk ikut serta dalam kelompok tani di Desa Cibatok Satu. Para petani lebih cenderung untuk menggunakan cara-cara yang efektif menurut pemikiran mereka tanpa mau menerima masukan dari luar. Kelompok tani dibentuk hanya sebagai formalitas untuk mendapatkan bantuan dana yang setelah itu hilang setelah dananya mengucur. Istilah biasa yang digunakan untuk pembentukan kelompok tani ini dikenal dengan nama tukcing 22 . Menurut pihak desa, mereka sudah menfasilitasi terbentuknya kelompok tani dan mengaktifkan kelompok tani yang ada tetapi partisipasi masyarakat sangat kurang. Saat ini ada kelompok tani di Desa Cibatok Satu yang kembali mulai aktif adalah Nusa Jati, Nusa Jaya, Silih Asih dan Silih Asuh.
Salah satu usaha
pemerintah desa untuk mengaktifkan kembali kelompok tani adalah menfasilitasi warga untuk membuat proposal pengajuan dana perbaikan bendungan yang merupakan kebutuhan petani sendiri. Usaha ini tidak berhasil karena untuk mengumpulkan petani saja tidak berhasil padahal proposalnya sudah dibuat oleh pihak desa. Para petani hanya diminta untuk membuat kepanitiaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Pak Bhr sebagi tokoh masyarakat atau orang yang dituakan di Desa Cibatok Satu. ”Disini orangnya pada malas-malas mungkin karena tingkat pendidikan mereka yang rendah, kan waktu dulu ga boleh sekolah. Tapi mereka ga mau terbuka dengan sesuatu yang baru padahal untuk 22
Tukcing adalah dibentuk cicing
128
keuntungan mereka sendiri. Coba neng, waktu itu kan ada pembentukan panitian pembuatan bendungan, proposal udah di buat mereka tinggal buat kepanitian saja tapi tidak ada yang mau. Padahal dulu yang minta membuat perbaikan bendungan itu mereka juga, aneh memang. kasian pihak desanya” (Pak Bhr) Tidak ikut sertanya beberapa golongan petani pada kelompok tani di Desa Cibatok Satu ini juga dipengaruhi kondisi politik di desa ini. Petani yang ikut serta dalam kelompok tani disamping karena keinginan sendiri juga mereka yang pro pada kepemimpinan lurah sekarang. Sebaliknya petani yang tidak ikut serta umumnya bukan pendukung lurah. Alasan lain para petani banyak yang tidak ikut serta adalah tidak tepatnya waktu jika diadakannya pertemuan kelompok tani. Pertemuan kelompok tani sering diadakan pada siang hari. Waktu siang hari merupakan waktu untuk mencari nafkah bagi para petani. Petani akan kehilangan satu hari kerja, apabila meninggalkannya. Sementara hasil dari rapat tidak akan langsung didapatkan dalam bentuk uang. Makanya petani memilih untuk bekerja daripada ikut serta dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh pihak desa. ”Ah neng pihak desa kalo mau ngadain pertemuan pasti siang hari. kita kan yang buruh gini kerja, kalo ga keja kan ga dapat duit. Trus kalo di desa Cuma duduk-duduk aja, ngapain neng ga da duitnya. trus kalo dapat bantuan ntar susah balikinnya malas ah mending ga ikut sekalian”(Pak Adn) Modernisasi lain, yaitu masuknya bibit, pupuk dan obat-obat kepada petani tidak diterima begitu saja, petani mau menggunakan apabila telah melihat kelebihan langsung produk tersebut. Para petani tersebut lebih percaya kepada apa yang dikatakan oleh petani lain yang berhasil dalam pengolahan pertanian dibandingkan para penyuluh. Para penyuluh dalam mata petani bukanlah orang yang benar-benar mengetahui tentang pertanian. Para penyuluh dianggap petani sebagai orang-orang yang hanya mengetahui mengenai teoritis saja tapi tidak
129
pernah praktek sendiri. Jadi akurasi perkataan menurut petani tidak penting yang terpenting adalah bukti dari perkataan. Para petani kadang kala banyak yang ingin menguji para penyuluh yang datang.
6.3 Petani sebagai Pilihan Hidup atau Sampingan Menjadi seorang petani bisa dikatakan sebagai sebuah pilihan hidup yang harus dijalani untuk kelangsungan hidup atau dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Umumnya petani pemilik tanah di Desa Cibatok Satu menjadi petani adalah sebuah pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama adalah seorang pedagang di pasar. Disebut pekerjaan sampingan karena petani merupakan pekerjaan yang mereka lakukan setelah sebelumnya memiliki pekerjaan tetap. Pak Ang misalnya dia adalah seorang depelover dan pedagang di Sentul. Tahun 2003, saat beliau pidah ke Desa Cibatok Satu itulah menjadi petani dengan menerima gadai beberapa Ha lahan pertanian di desa ini. Saat itulah beliau mulai mempekerjakan para buruh. Menurutnya para buruh itu merupakan orang yang tidak pernah mengeluh dan menerima apa saja , kokoh tidak nakal (KKN). ”Para petani itu tidak mau atau jarang mengeluh, mereka menerima apa saja yang kita suruh, kokoh, kuat sacara fisik, tidak nakal misalnya jaran melakukan kecurangan apapun seperti KKN, karena apanya yang mau di KKn di sawah, trus orangnya ga enakan ma majikan. Dan paling penting menjadi petani itu mulian”(Pak Ang) Pak Bas berbeda dari Pak Ang, beliau memulai menjadi petani sejak tahun 1979. Awalnya beliau adalah seorang bandar tomat yang mempunyai lapak. Hatinya bergerak menjadi seorang petani karena jiwa dagangnya sendiri. Beliau memikirkan betapa keuntungan yang akan diperoleh apabila beliau menjadi seorang petani dan memasarkan langsung hasil pertanian yang didapatkan.
130
Pedagang menurut beliau tidak telalu mendapat keuntungan yang besar dibanding menjadi seorang petani yang mengetahui keadaan pasar. Saat itulah beliau memulai menjadi seorang petani, yang penting tekun dan mau mencoba hal baru maka keuntungan akan diperoleh. Hal paling penting menurut beliau adalah memprediksi tanaman yang akan ditanam sehingga tidak rugi. Beliau sudah mahir dalam memprediksi hal semacam ini karena latar belakang beliau sebagai pedagang sayur. Jadi tidak heran kalau banyak petani yang bertanya kepada beliau tentang tanaman apa yang sebaiknya ditanam. ”Petani itu kaya lho sebenarnya. Coba kalo jadi pedagang paling cuma ngambil untung dua ratus sampe liratus rupiah aja. Kalo petani mah banyak, apalagi kalo dia pintar nanem dan tau keadaan pasar berapa untung yang akan diperolah berapa ratus kali lipat akan diperolehnya. Salahnya orang-orang ga tekun ga mau coba yang baru, tapi coba sendiri bukan kata orang”(Pak Bas) Berbeda dengan petani pemilik lahan luas, petani pemilik lahan sempit, penggarap dan buruh tani, menjadi petani bukan lagi sebagai pekerjaan samping melainkan pekerjaan utama mereka. Itupun belum tentu mampu mencukupi segala kebutuhan hidup para petani berlahan sempit maupun buruh tani. Nek Awg seorang buruh di lahan milik Pak Bas. Beliau telah delapan tahun ikut bekerja dengan Pak Bas. Usia beliau saat ini adalah 76 tahun tetapi masih kuat untuk bekerja di sawah. Nek Awg sudah tidak punya tanggungan lagi sehingga upah yang didapatkan olehnya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lain hal dengan Bu Yat seorang janda beranak 2 yang juga bekerja di lahan milik Pak Bas. Upah yang Rp 7.500,00 yang diterimanya per hari untuk memenuhi kebutuhan 3 orang jauh dari cukup. Makanya perlu kerja tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
131
Hart (dalam Suharso, 2002) mengatakan bahwa ukuran kecukupan seseorang mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinnya adalah 300 kg. Berdasarkan hal itu dikatakan lagi setidaknya para petani miskin itu menguasai minimal 0,5 ha. Apabila mereka tidak memenuhi 0,5 ha pada tingkat subsisten maka mereka akan berusaha meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan minimum. Data pemilikan tanah di Desa Cibatok Satu dimana rata-rata satu rumahtangga pertanian memiliki 0,25 lahan pertanian. Hal ini bisa dikatakan jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Banyak usaha yang dilakukan oleh para petani berlahan sempit maupun buruh tani untuk memenuhi kebutuhannya. Diantaranya adalah menggarap lahan pertanian milik orang lain. Berbagai usaha yang dilakukan oleh para petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya oleh Suharso (2002) dikatakan sebagai bentuk strategi survival. Lebih lanjut, strategi survival itu pada umumnya dikategorikan pada dua hal, yaitu aktivitas pada sektor pertanian dan aktivitas di luar sektor pertanian. Kebanyakan petani berlahan sempit di Desa Cibatok Satu ini tetap pada aktivitas pertanian juga. Mereka memiliki pekerjaan ganda yaitu bekerja di lahan sendiri dan bekerja di lahan milik orang lain dengan menyewakan tenaga yang dimiliki atau menjadi pembajak bagi yang memiliki kerbau. Menurut Safri Mangkuprawira (dalam Suharso, 2002) strategi hidup masyarakat pedesaan berkaitan erat dengan sistem nilai yang hidup di masyarakat itu, apakah itu kekuatan lokal (kekerabatan) ataupun solidaritas sosial. Solidaritas sosial dengan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan, serta ikatan adat cenderung ikut mendorong variasi bentuk strategi hidup. Hal ini dapat ditemui di Desa
132
Cibatok Satu, mereka cenderung menjadi buruh pada pemilik yang memiliki kedekatan sosial baik itu masih ada hubungan kelurga maupun karena jarak rumah yang berdekatan. Salah satu pemilik lahan luas Pak Bas memperkerjakan orang untuk menjadi buruh di lahannya adalah orang yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya. Jumlah total tenaga kerjanya adalah 16 orang, dari 16 orang itu 9 orang adalah tetangga dekat rumah dan lainnya hanya beda RT saja. Begitupun para buruh tani mereka mencari pekerjaan juga pada pemilik lahan dekat dengan rumah. Pak Ang pemilik lahan luas juga memperkerjakan tenaga kerja yang tempat tinggalnya hanya berjarak 1 rumah dari rumahnya. Jadi asas kedekatan ini dijadikan alasan untuk mempekerjakan tenaga kerja pada lahan-lahan milik mereka. Meskipun ada juga para pemilik lahan luas yang menjadikan buruh dari luar desa untuk bekerja di lahan miliknya. Para pemilik lahan luas yang menjadi petani sebagai pekerjaan sampingan memiliki pandangan-pandangan berbeda terhadap para buruh yang diperkerjakan seperti yang telah dituliskan diatas. Pandangan yang berbeda ini sangat mempengaruhi hubungan kerja antar mereka dengan tenaga kerjanya. Pemilik tanah mempunyai kriteria tertentu dalam memperkerjakan para buruhnya. Pak Bas memperkerjakan buruh perempuan dan janda sebanyak 12 orang. Hal ini karena menurutnya para perempuan dan janda ini akan bekerja untuk memenuhi kehidupan keluarganya bukan untuk dirinya sendiri. Berbeda jika ia memperkerjakan para buruh laki-laki karena uang yang didapatkan belum tentu untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara keseluruhan. Kadang kala uang yang diperoleh sebagian membeli rokok padahal upah yang didapatkan tidak
133
besar. Buruh laki-laki dipekerjakan oleh Pak Bas ini karena kekuatan fisiknya yang lebih besar dari perempuan. Lebih dari itu semua, memperkerjakan buruh perempuan lebih murah dibandingkan laki-laki, sehingga tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk upah. Pak Ang mempunyai kriteria berbeda dalam memperkerjakan buruh di lahan miliknya. Tenaga kerja tetapnya adalah empat orang laki-laki dan tidak ada batasan umur. Buruh perempuan dibutuhkan pada saat panen yang dibayar per hari. Alasan Pak Ang memperkerjakan buruh laki-laki karena mereka adalah kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. ”Buruh tuh neng sebaiknya laki-laki kan dia kepala keluarga, wajib memenuhi kebutuhan keluarganya. Disini banyak laki-laki yang ga punya kerjaan. Kan kasian anak-anaknya mau dikasih makan apa. Kalo saya ga suka pake perempuan untuk buruh tetap. Karena menurut saya perempuan itu sensitif, perempuan bukan untuk disuruh tapi untuk dimanja. Kasian. Tapi kalo pas panen ada juga buruh perempuan yang datang dan saya bayar”(Pak Ang)
6.4 Upah, Makan dan Kerja dalam Hubungan Antara Pemilik dan Buruh ”Alhamdulliah neng upah udah naik limaratus. Kemarinkan cuma tujuh ribu sekarang udah tujuh ribu lima ratus”(Nek Awg) Ucapan ini yang pertama kali diucapkan Nek Awg setelah menerima kenaikan upahnya. Meskipun hanya lima ratus rupiah kenaikan ini telah lama diharapkan oleh para buruh yang bekerja di Pak Bas. Uapah pertama kali Nek Awg saat delapan tahun yang lalu adalah sebesar empat ribu rupiah. Kenaikan
134
upah ini bertahap. Nek Awg merupakan tenaga kerja yang paling lama di lahan milik Pak Bas. Beliau ditawarkan oleh Pak Bas untuk bekerja karena dikenal ulet dan kuat di Kampung Cibatok, serta termasuk orang yang suka kerja keras. Nek Awg merupakan teman kecil ayahnya Pak Bas, sehingga ketika Pak Bas menawarkan untuk bekerja di lahan miliknya Nek Awg menerima meskipun upah yang ditawarkan tidak besar. Hubungan Nek Awg dan ayahnya Pak Bas yang menjadi alasan utamanya. Buruh lainnya Pak Bas menanggapi biasa saja kenaikan upah yang diberikan Pak Bas. Buruh menganggap wajar saja kalau upah harus dinaikkan. Beberapa hari peneliti berinteraksi dengan para buruh, hal yang paling dikeluhkan adalah masalah upah yang rendah. Sering para buruh mengeluarkan keinginan untuk menaikkan upah dengan gurauan tapi tanggapan Pak Bas biasa saja. Lain halnya dengan upah yang diberikan Pak Ang kepada buruhnya. Pak Ang memberikan upah Rp. 20.000,00 per orang setiap harinya. Jauh sekali perbedaan dengan upah yang diberikan oleh Pak Bas. ”Buruh tuh udah miskin neng, kok ditambah miskin seh. Mereka udah baik ma kita kok ga dibayar sepadan. Disini memang standar upah buruh sangat rendah tapi ya ditambahlah sedikit, nah emang banyak orang yang mau bertani disini karena upah buruhnya rendah baik perempuan ato laki”(Pak Ang) Segi upah kedua pemilik lahan disini sangat kontras, yang satu memberikan upah tinggi dan yang satu lagi memberikan upah rendah. Hasil produksi keduanya pun berbeda, produktivitas tanaman Pak Bas lebih tinggi dibandingkan dengan Pak Ang. Hal ini sangat menarik padahal insentif yang diberikan oleh Pak Ang lebih besar.
135
Tidak hanya dalam segi upah berbeda, makanan pun berbeda. Buruh Pak Ang sering diberikan makan siang oleh istri Pak Ang meskipun seadanya. Keadaan ini berbeda dengan Pak Bas dimana para buruhnya membawa makanan sendiri dari rumah masing-masing. Para buruh makan setelah disuruh makan oleh Pak Bas kira-kira jam sepuluh pagi. Begitupun pada saat panen, para buruh bisa bekerja hingga sore hari itu juga tidak dapat makan tapi upah sedikit ditambah. Kedua indikator ini meskipun sederhana sangat berpengaruh untuk lingkungannya. Penilaian para buruh terhadap tingkah laku para majikannya akan tersebar di masyarakat luas secara cepat melalui obrolan-obrolan. Penilaian ini pun berkembang di masyarakat dengan membandingkan bahwa Pak Ang sangat dikenal sebagai orang yang murah hati kepada siapa saja. Pak Bas dikenal sebagai orang yang pelit dan kasar omongannnya. ”Pak Bas itu neng pelit, sama buruhnya juga agak pelit. trus kalo ngomong ma orang ga tau itu muda atau tua darinya pasti kasar ma orang-orang, kalo Pak Ang itu dermawan suka nyumbang-nyumbang kalo ada acara di desa, dia dekat dengan pak lurah”(Pak Amp) Perlakuan para pemilik lahan ini kepada buruhnya juga berbeda. Pak Ang memberikan kewenangan untuk mengolah lahan pertanian yang ia miliki kepada buruhnya. Dia menunjuk salah satu buruhnya untuk menjadi orang yang paling dipercaya. Keempat tenaga kerjanya memiliki tugas yang berbeda-beda dan pembagian kerja yang jelas. Pak Ang jarang ikut serta membantu para buruhnya, beliau hanya mengontrol sekedarnya pada pagi hari, selebihnya beliau percayakan pada buruhnya. Azas percaya inilah yang beliau terapkan kepada para buruhnya, sehingga tidak ada keraguan untuk mempercayakan seluruh usahanya kepada para tenaga kerjanya. Begitupun untuk pekerjaan lainnnya, misalnya mengurus kerbau
136
yang di berikan kepada Pak Jam dengan bagi hasil. Kerbau ini kemudian digunakan untuk membajak sawah. Pak Bas berbeda dengan Pak Ang, beliau turun langsung ke sawah. Setiap pagi beliau sudah berada di sawah, sehingga para buruh jarang yang terlambat kerja karena segan dengan Pak Bas. Mereka yang terlambat biasanya akan kena sindiran halus oleh Pak Bas. ”Nenek mah ga enak kalo datang telat neng, jam tujuh mulainya tapi tuh mending jam setengah tujuh udah di sawah dari pada disindir ma Pak Bas. Nenek kan udah tua ga enak kalo diomongin ma orangorang. Anak-anak yang lain emang suka pada telat, mereka kan masih pada punya anak, kalo nenek udah ga da pa-pa lagi. Anak-anak kalo telat sering diomongin gitu ma Pak Bas.”(Nek Awg) Pak Bas biasanya berada di sawah hingga jam10 setelah itu beliau akan pergi ke pasar TU Kemang untuk berdagang. Selama di sawah beliau selalu mengontrol apa yang dilakukan oleh para buruhnya. Termasuk tanaman apa yang akan ditanam, obat yang digunakan, dosis pupuk yan diberikan itu semua sesuai apa yang diperintahkan oleh Pak Bas. Seluruh keputusan yang berkaitan dengan produksi tanaman ada di tangan Pak Bas. Buruh tidak memiliki kewenangan apapun untuk mengambil keputusan. Pak Bas sangat selektif menerima buruh, buruh yang bekerja di Pak Bas rata-rata sudah bekerja lama. Beliau tidak sembarangan menerima dan mengganti orang meskipun para buruh yang bekerja sering melakukan kesalahan. Alasan beliau tidak sering mengganti buruh yang tidak bekerja dengan baik adalah apabila ada buruh yana baru akan sulit untuk bisa langsung bekerja karena harus dilatih dan diberikan pengarahan sebelumnya.
137
Pak Bas tidak segan-segan marah kepada buruh yang bekerja tidak baik. Beliau sangat teliti sekali, misalnya ada buruh yang mengoret 23 tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan, beliau tidak segang-segan untuk langsung turun ke sawah mencontohkan bagaimana cara mengoret yang baik agar terlihat rapih. Sawah Pak Bas tidak pernah sepi dari kerjaan sehingga setiap hari para buruh bisa mendapatkan upah. Sementar sawah Pak Ang yang pada saat ini ditanami terong, buruhnya tidak setiap hari bekarja. Itulah salah satu kelebihan Pak Bas, beliau bisa mengatur pekerjaan sawahnya tidak pernah sepi pekerja. Setiap panen langsung ada kerja lagi, karena tanaman yang ditanam di sawah Pak Bas tidak ditanam serentak melainkan bergilir. Misalnya lima petak sawah yang ditanami buncis usianya satu bulan, si petakan yang lain bisa jadi tanaman timun yang baru ditanam.Tanaman yang ditanam pun tidak membutuhkan waktu yang lama paling lama masa tanam satu jenis tanaman hanya tiga bulan. Alasan beliau tidak mau ditanam serentak karena akan sulit untuk merawatnya dan membutuhkan pekerja yang banyak, sedangkan beliau tidak berniat untuk menambah tenaga kerja lagi. Selain itu, jika tanaman ditanam serentak apabila terserang hama akan bahaya dan yang paling penting panen bisa setiap saat. Hubungan kerja dengan buruh yang dibangun antar Pak Ang dan Pak Bas sangat berbeda. Pandangan keduanya pun berbeda sehingga hasil dan produktifitas juga berpengaruh. Sebenarnya produktifitas tanaman yang dihasilkan sawah Pak Ang bisa lebih besar daripada sekarang karena kelebihan perawatan. Buruh Pak Ang selalu memberikan obat-obatan untuk merangsang peningkatan 23
Kegiatan membersihkan rumput disela-sela tanaman
138
buah sehingga tanahnya menjadi rentan. Jika terlalu sering menggunakan obat, hasilnya tidak terlalu bagus. Pak Ang jarang mengontrol apa yang dilakukan para buruhnya sehingga hasilnya juga biasa saja padahal biaya yang dikeluarkan oleh Pak Ang sangat besar. Hal ini juga karena Pak Ang bertani bukan untuk mencari keuntungan tetapi untuk membantu tetangganya. Anak buah Pak Bas : ”Neng tau ga, tanaman Pak Ang itu kan udah jelek tapi tetap aja masih dikasih obat untuk merangsang buah, obatnya sangat kuat neng, duitnya juga besar. Pak Ang mana tau itu, buruhnya semua yang tau, hasilnya juga udah ga bagus. Dia mah coba semua obat yang baru yang mahal padahal mutunya ga bagus”(Pak Nn) Kejadian-kejadian kecil itu tidak semata-mata menunjukkan sebuah kondisi ketidakberdayaan buruh tani dalam hubungannya dengan pemilik tanah, namun juga memperlihatkan kenyataan lain mengenai ketidaksamaan persepsi diantara para aktor yang terlibat. Hubungan kerja antara pemilik tanah dan buruh tani yang bersifat majikan buruh dimana buruh tani tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap pemilik tanah, memang menjadi sebuah keumuman yang merupakan dari ketidakserataan kepemilikan tanah. Demikian pula upah dan makan yang menjadi konsekuensi dari hubungan itu.
6.5 Berstrategi Memilih dan Mencari Kerja untuk Upah dan Tenaga Kerja Di Desa Cibatok Satu penggunaan tenaga kerja buruhnya cenderung menerapkan tenaga kerja kelompok buruh tani, baik pada saat nandur, panen maupun pekerja tetap pada suatu lahan pertanian. Penggunaan tenaga kerja borongan ini banyak terjadi untuk menanam dan memanen padi. Para buruh banyak yang berkelompok untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Rata-rata para buruh sudah memiliki teman kerja masing-masing. Nek
139
Awg salah satu tenaga kerja di lahan milik Pak Bas misalnya cenderung untuk bekerjasama dengan Bu Yti dengan alasan sudah lama bekerja sama dan memiliki kerja yang baik serta tekun da tidak banyak omong. Nek Awg terkenal memiliki tangan dingin dan kerjanya rapih. Pak Mmt salah satu petani pemilik yang sering menggunakan jasa Nek Awg, beliau tidak mau menggunakan jasa buruh borongan lain. Kelompok buruh seperti ini sangat efektif untuk mencari uang tambahan. Buruh yang memiliki posisi tawar cenderung memiliki kesempatan yang besar untuk mendapatkan pekerjaan tambahan. Hal ini tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh Nek Awg karena beliau masih memiliki kewajiban bekerja di lahan milik Pak Bas dan itu harus dijalani. Bagi buruh, hal yang paling utama dalam bekerja secara borongan adalah kekuatan dan kecepatan kerja. Usia tidak menjadi permasalahan penting, karena tidak menjamin juga usia tua akan memperlambat kerja. Dua hal ini sangat berpengaruh karena semakin cepat dan kekuatan besar, maka pekerjaan semakin cepat selesai dan bisa mencari kerja baru. Pemilik sawah sangat berhati-hati mencari buruh yang bekerja karena hasil yang didapatkan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sendiri bukan untuk dijual. Hal ini karena kepemilikan lahan yang kecil. Pemilik sawah akan mencari buruh yang kerjanya cepat.
6.6 Konflik yang Tersembunyi Ketimpangan yang terjadi baik akses mendapat pekerjaan yang merujuk pada adanya ketimpangan dalam hal pendapatan tidak serta-merta menimbulkan
140
bentuk perlawanan yang terbuka. Perlawanan yang diberikan oleh mereka yang merasa disubordinasikan/ kekuasaan yang lebih rendah, terlihat dari perilaku hubungan sehari-harinya.
6.6.1 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Buruh Tani Perlawanan sering timbul antara pemilik dengan buruh tani, pemilik dengan penggarap. Inti dari konflik yang terjadi ini karena adanya perbedaan kekuasaan antara mereka yang berkonflik. Misalnya, para buruh yang memiliki posisi tawar rendah sering merasa tidak puas terhadap apa yang didapatkan. Hubungan antara pemilik tanah dengan buruh taninya tidak selamanya harmonis. Pemilik tanah yang merasa memiliki posisi tawar yang tinggi kadang kala tidak memperlakukan buruh tani sebagaimana mestinya. Upah yang rendah sebagai bentuk kecilnya penghargaan yang diberikan petani pemilik tanah kepada para buruhnya. Buruh dituntut untuk melakukan apa yang diinginkan tapi tidak dihargai jerih payahnya. Hal tersebut mendorong
perlawanan yang dilakukan oleh para buruh
terhadap ketidakpuasan yang diterima dan membandingkan apa yang didapatkan dengan buruh lain yang bekerja pada pemilik lahan yang berbeda. Bentuk perlawanan yang dilakukan para buruh adalah bekerja malas jika tidak ada petani pemilik yang memperhatikan, datang sering terlambat, sering tidak masuk alasannya sakit padahal bekerja pada lahan milik orang lain. ”Anak-anak sering neng ga masuk padahal mereka pergi ket tempat lain untuk bekerja, kadang ketahuan seh, kadang ga. Kalo ga ada Wak Bas mereka kerja malas, ngoret aja lama, banyak ombrolnya. Coba pas ada Wak Bas pasti mereka ga berani kayak gitu” (Nek Awg)
141
Perlawanan lain yang dilakukan adalah menyindir upah yang didapatkan di depan majikan dengan nada gurauan. Sindiran ini biasanya dilakukan pada saat istirahat. Biasanya pemilik lahan menanggapi gurauan dengan tersenyum dan membalas dengan sindiran lagi. Antara pemilik dan buruh kadang kala sama-sama menyimpan rasa ketidakpuasan. Tetapi ketidakpuasan ini masih bisa diredam. Hal ini dikarenakan keduanya sama-sama saling membutuhkan satu sama lain.
6.6.2 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Penggarap Konflik antara penggarap dengan pemilik tanah sering terjadi di desa ini. Konflik ini disebabkan karena adanya ketidakpuasan antara keduanya. Petani pemilik yang biasanya memberikan hak penguasaan lahan pertanian ke penggarap adalah yang tidak memiliki waktu untuk mengolah lahan pertanian yang dimiliki dan biasanya jumlah lahan yang dimiliki juga tidak terlalu luas. Ketidakpuasan ini biasanya berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan sebelum memulai kerjasama. Bagi hasil merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan. Kasus ini ditemukan ada sistem bagi hasil Pak Amp. Perjanjian awal Pak Amp dengan buruhnya adalah Pak Amp memberikan hak penuh kepada penggarap untuk mengusahakan lahan yang dia miliki. Hasil lahan dibagi dua setelah dikurangi oleh upah bawon. Biaya perawatan ditanggung oleh penggarap. Tetapi pada saat pengolahan lahan penggarap mendatangi pak Amp untuk meminta uang untuk mengolah lahan, begitupun pada saat perawatan dan membutuhkan biaya para penggarap biasanya juga datang kembali. Pak Amp tidak mau terima, hal inilah biasanya yang sering menimbulkan cekcok antara
142
petani pemilik dengan penggarap. Hal ini juga tidak langsung menimbulkan perlawanan. Sewaktu dikonfirmasi pada pihak pihak penggarap permasalahan seperti ini memang sering terjadi. Menurut mereka para pemilik tanah banyak yang pelit, padahal kebiasaan masyarakat disini biaya perawatan dan pengolahan tanah ditanggung berdua antara penggarap dan pemilik, tapi sering tidak diikuti. Pemilik tanah menyuruh penggarap untuk mengolah lahan padahal mereka tidak memiliki modal awal.
Konsekuensinya para penggarap meminta modal dari petani
pemilik dengan asumsi nanti pada waktu panen dibayar.
6.6.3 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Penggadai Proses penggadaian lahan pertanian di Desa Cibatok Satu tidak selalu menguntungkan kedua belah pihak. Kadang kala ada pihak yang dirugikan. Kerugian ini lebih kepada biaya yang diberikan. Setiap proses penggadaian dimulai dengan adanya perjanjian antara pihak penggadai dalam hal ini pemilik lahan dengan penerima gadai. Dalam transaksi gadai pemilik lahan menyerahkan hak atas tanahnya dan menerima pinjaman uang atau emas dari penerima gadai. Pak Bas salah satu orang yang sering menerima menerima gadai tanah. Tidak tanggung-tanggung saat ini pak Bas menerima gadaian tanah seluas 1 Ha dan memberikan pinjaman dalam bentuk emas 300 gram dan uang 2 juta. Jika diuangkan sekitar 100 juta rupiah. Menurut Pak Bas sistem gadai menggunakan emas lebih aman daripada menggunakan uang. Dahulu Pak Bas pernah menggunakan uang dan ia mendapakan kerugian karena nilai nominal uang akan terus menurun. Hal seperti
143
ini sering menimbulkan percekcokan antara penerima gadai dan pemberi gadai, meskipun tidak sampai adu fisik. Tapi hubungan keduanya jarang yang akan baik. Proses gadai ini kebanyakan akan berujung pada pemilikan secara legal karena pihak pemilik tanah biasanya tidak memiliki cukup dana untuk mengembalikan pinjaman mereka.
6.6.4 Konflik Antar Buruh Tani Hubungan antar buruh tidak selamanya akan baik meskipun mereka bekerja pada satu tempat yang sama. Hubungan yang tidak baik ini tidak terlihat pada saat mereka bekerja, tapi diluar pada saat mereka tidak sedang bekerja. Tidak baiknya hubungan merek dipicu karena adanya kecemburuan sosial. Kecemburuan ini didasari oleh kesempatan mendapatkan pekerjaan tambahan. Ada buruh-buruh yang mudah mendapatkan pekerjaan tambahan karena keahlian yang mereka miliki dan ada juga yang susah untuk mendapatkan pekerjaan. Buruh-buruh yang mudah mendapatkan pekerjaan akan mengajak buruh lain yang dirasa memiliki kemampuan bekerja yang baik. Nek Awg salah satu orang yang mudah mendapatkan pekerjaan, beliau juga merupakan buruh andalan Pak Bas selaku pemilik lahan. Buruh lain banyak yang salut dan kurang suka melihat keadaan ini. ”Nek Awg mah enak banyak kerjaan padahal dia sudah ga punya tanggungan lagi, dy mah dibagi-baginya cuma ma itu-itu aja ga yang lain. trus dy juga deket ma Wak Bas.”(Bu Tni) Saat ditanya kepada Nek Awg mengenai buruh-buruh di Pak Bas, beliau mengatakan bahwa buruh-buruh itu banyak yang pemalas, kerja datang terlambat
144
dan dalam bekerja tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Pak Bas. Nek Awg juga memiliki alasan untuk tidak mengajak mereka dalam satu tim yaitu tidak boleh oleh para pemilik lahan yang menyuruh beliau bekerja karena takut lama dan tidak berhasil. Mereka sering menyindir buruh-buruh lain. Bentuk-bentuk konflik ini merupakan gambaran bagaimana realitas hubungan antara para pemanfaat lahan pertanian di perdesaan. Keduanya terjadi karena adanya faktor siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Perlawanan yang terjadi hanya berbentuk omongan saja tanpa adanya perlakuan fisik, hal ini karena adanya perasaan tidak enak, baik pada buruh maupun penggarap, karena merasa berhutang budi dengan majikannya. Scott (1990) mengatakan bahwa konflik yang terjadi pada pemanfaat lahan pertanian karena adanya kekuasaan. Perlawanan yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang disubordinasikan ini dalam bentuk yang tak tertulis, misalnya bentuk-bentuk humor, gossip, dan sinisme. Menurut Scott akar permasalahan terletak pada otoritas moral sebagai basis hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial. Jika otoritas moral tidak lagi mampu menyediakan kepuasan pada individu maka potensi perlawanan akan timbul.
6.7 Analisis Ekonomi Rasional dalam Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian Ketimpangan yang terjadi, yaitu akses mendapat pekerjaan yang merujuk pada adanya ketimpangan dalam hal pendapatan tidak serta-merta menimbulkan bentuk perlawanan yang terbuka. Perlawanan yang diberikan oleh mereka yang merasa disubordinasikan terlihat dari perilaku hubungan sehari-harinya.
145
Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa pola hubungan antar aktor sangat terkait dengan adanya aspek pemaknaan, kekuasaan dan konstruksi sosial (Sadikin 2005). Pemaknaan terkait dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para aktor masing. Kekuasaan sebagai suatu kekuatan yang dimiliki oleh para aktor. Kekuasaan ini berhubungan dengan besar kecilnya lahan yang dimiliki oleh para pemanfaat lahan pertanian. Aktor yang memiliki lahan luas memiliki posisi tawar yang tinggi pula dimasyarakat. Posisi tawar ini tidak hanya dimiliki dalam hubungan dengan para buruhnya melainkan hubungan sosial di masayarakat Desa Cibatok Satu. Kepemilikan lahan masih dijadikan sebagai ukuran bahwa orang tersebut memiliki status yang tinggi di mata masyarakat. Rasa hormat yang tinggi juga diberikan kepada pemilik lahan. Kekuasaan yang besar ini mempengaruhi perilaku pemilik tanah dalam hubungan kerja dengan para buruhnya. Buruh tidak memiliki kekuasaan apapun di mata pemilik tanah, buruh adalah orang-orang yang diberi kerja untuk mengolah lahan yang mereka miliki.
Kekuasaan yang dimiliki dipengaruhi oleh latar
belakang kehidupannya. Kebanyakan para petani pemilik lahan luas merupakan seorang pedagang. Petani pemilik lahan ini
akan mencari keuntungan yang
setinggi-tingginya dengan usaha yang sekecil-kecilnya. Hal ini karena adanya prinsip ekonomi rasional yang dimiliki oleh aktor-aktor tersebut, sehingga segala sesuatu yang dilakukan terkait dengan perhitungan untung dan rugi yang akan didapatkan. Prinsip ekonomi rasional tidak hanya dimiliki oleh pemilik lahan luas. Para buruh dalam mencari upah borongan juga menganut paham ini. Buruh disini
146
adalah pekerja borongan yang memiliki kualitas yang tinggi. Berbeda dengan buruh-buruh yang bekerja tetap pada suatu pemilik lahan luas. Buruh-buruh ini kurang memiliki posisi tawar yang besar dimata pemilik tanahnya. Posisi
tawar
yang rendah terlihat dari adanya upah yang rendah, jam kerja yang lama dan ada tidaknya makan yang mereka dapatkan. Buruh-buruh yang bekerja pada pemilik tanah luas cenderung untuk menurut dengan apa yang diperintahkan oleh pemiliknya. Hal ini disamping rendahnya posisi tawar para buruh, kurangnya kemampuan untuk mencari pekerjaan di luar pertanian, kurangnya keahlian. Sementara buruh ini mempunyai tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga. Konsekuensi dari itu semua adalah kurang dihargainya apa yang dilakukan, yaitu upah rendah yang diberikan oleh para pemilik tanah. Adanya kondisi demikian tidak serta-merta membentuk para buruh untuk melakukan tuntutan terhadap apa yang mereka dapatkan. Kondisi hubungan antara pemilik dan buruhnya terlihat harmonis. Padahal di balik itu semua ada ketidakpuasan yang dipendam oleh para buruhnya. Sehingga konflik yang terjadi bukan secara terbuka tetapi dipendam. Menurut Scott (1990) konflik seperti ini adalah konflik tersembunyi. Konflik ini terjadi lebih pada adanya benturan kepentingan pribadi antar aktor tetapi kondisi lingkungan sangat berlawananan. Adanya konstruksi dari lingkungan dimana
seorang pemilik tanah merupakan penanggung jawab
kehidupan buruhnya. Meskipun apa yang diberikan tidak sebanding dengan apa yang akan mereka dapatkan. Pemilik tanah pada umumnya memiliki etika moral, dimana para pemilik ini bertanggungjawab terhadap keselamatan para buruhnya.
147
Hal ini ditunjukkan misalnya dengan memberikan bantuan uang sekolah untuk anak buruhnya, bantuan kesehatan jika para buruhnya sakit, meminjamkan uang kepada buruhnya jika si buruh mengalami kesulitan. Adanya pola hubungan komunal dimana si pemilik bertanggungjawab kepada buruhnya inilah yang mempengaruhi konflik terpendam itu tidak mencuat ke permukaan. Selain itu juga hubungan kekerabatan yang terjalin karena kedekatan rumah (tetangga) juga menjadi faktor yang mempengaruhi atau adanya ikatan sosial diantara pemilik dan buruhnya. Bentuk konfliknya adalah timbulnya perilaku-perilaku manipulatif yang dilakukan para buruh. Misalnya dihadapan para majikan mereka sopan tetapi dibelakangnya majikannya, para buruh ini membicarakan kejelekan sehingga menimbulkan
persepsi yang tidak baik
terhadap para majikan oleh orang lain. Perilaku ini sudah menjadi suatu hal yang umum diantara para buruh. Perilaku yang dilakukan oleh buruh dan pemilik tanah merupakan bentuk tanggapan yang mereka lakukan untuk memaksimalkan keuntungan bagi diri mereka masing-masing. Perlawanan yang dilakukan merubakan cara menyiasati ketidakpuasan yang mereka terima tanpa merugikan diri sendiri.
6.8 Iktisar Para pemanfaat lahan pertanian berhubungan karena adanya kepentingan masing-masing terkait dengan kondisi ekonomi. Pemilik lahan luas membutuhkan buruh untuk mengolah lahan yang dimiliknya untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara para buruh dan penggarap berhubungan karena mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemilik lahan luas di desa ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap buruh yang dipekerjakan. Perbedaan
148
pandangan ini dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan para petani, salah satunya tingkat pendidikan. Perbedaan pandangan ini berpengaruh bagaimana cara pemilik lahan ini memperlakukan para pekerjanya. Upah, makan, dan kebijakan kerja merupakan konsekuensi dari perbedaan pandangan tersebut. Perbedaan ini yang kemudian membuka terjadinya peluang ketidakpuasan terhadap apa yang didapatkan khususnya buruh yang memiliki posisi tawar rendah. Adanya bentuk ketimpangan yang terjadi di Desa Cibatok Satu tidak selalu dimaknai dengan adanya tindakan fisik sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
149
BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dalam penelitian ini yaitu : 1. Pola hubungan pemanfaatan lahan pertanian ini terjadi karena adanya ketidakmerataan pemilikan lahan. Bentuk pola hubungan antara pemanfaat lahan pertanian ini dilihat dari hubungannya dengan tanah pertanian maupun dengan sesama pemanfaat tanah sendiri. Hubungan dengan lahan pertanian dapat dilihat dari setiap tahap produksi tanaman dimulai dari pengolahan tanah, pembibitan, perawatan dan pemanenan hasil. Masing-masing tahap memiliki aktor yang berbeda dalam memanfaatkan lahan pertanian. Tahap pengolahan tanah dimanfaatkan oleh pemilik traktor, pembajak. Sebelum tahap nandur juga dimanfaatkan oleh pembuat bibit untuk menjual bibit mereka kepada pemilik tanah. Pemanfaat lahan terluas adalah buruh karena mereka ada yang memanfaatkan semua tahapan produksi tanaman. Pada saat panen pemanfaat lahan pertanian yaitu para buruh, buruh dadakan dan tengkulak. Bentuk hubungan antara para pemanfaat lahan pertanian sebagai berikut: hubungan kepemilikan yaitu antara pemilik dengan lahan pertanian yang dimilikinya.
Hubungan
pengguasaan
yaitu
antara
pemilik
dengan
penggadai/penyewa, pemiliki dengan pengelola traktor/pembajak, penggarap dengan pengelola traktor/pembajak. Hubungan jual-beli antara pemilik dengan pembuat bibit, pemilik dengan tengkulak, penyewa/pengadai dengan tengkulak. Hubungan kerja antara pemilik tanah dengan buruh tani. Hubungan kerja sama antara pemilik tanah dengan peggarap. Hubungan kerjasama ’tidak
150
langsung’ antara pemilik tanah dengan buruh dadakan. Pemanfaat langsung hasil sawah antara buruh dadakan dengan sawah. 2. Para pemanfaat lahan pertanian tersebut berhubungan karena adanya kepentingan masing-masing terkait dengan kondisi ekonomi. Pemilik lahan luas membutuhkan buruh untuk mengolah lahan yang dimiliknya untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Sementara para buruh dan penggarap berhubungan karena mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemilik lahan luas di desa ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap buruh yang dipekerjakan. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan para pemanfaat lahan pertanian, salah satunya tingkat pendidikan. Perbedaan pandangan ini berpengaruh terhadap cara pemilik lahan ini memperlakukan para pekerjanya. Upah, makan, dan kebijakan kerja merupakan konsekuensi dari perbedaan pandangan tersebut. Perbedaan ini yang kemudian membuka terjadinya peluang ketidakpuasan terhadap apa yang didapatkan khususnya para buruh tani yang memiliki posisi tawar rendah. Pola hubungan antara pemanfaat lahan pertanian ini sangat terkait dengan adanya aspek pemaknaan, kekuasaan dan konstruksi sosial. Aspek pemaknaan dari tingkat pengetahuan yang dimiliki, kekuasaan dari posisi tawar terhadap pemilikan/penguasaan lahan dan terakhir konstruksi sosial dari lingkungan bagaimana seharusnya berhubungan antara buruh dan majikan. Ketiga hal ini sangat berpengaruh kemungkinan munculnya perlawanan para buruh terhadap ketidakadilan yang diperoleh. Konflik yang bermula dari ketidakpuasan ini tidak kemudian menjadi sebuah konflik terbuka. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk menyiasat ketidakpuasan yang didapat dan
151
meminimalkan resiko untuk mendapatkan keuntungan. Ini semua merupakan bentuk sikap rasional petani di perdesaan.
7.2 Saran Adapun saran yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut: 1. Pihak pemerintah sebagai pihak pengambilan dan penentu kebijakan sangat perlu memperhatikan kondisi masyarakat dan membina hubungan baik dengan masyarakat dalam membuat kebijakan untuk penguatan masyarakat khususnya petani di perdesaan sehingga mampu meningkatkan perekonomian para petani khususnya buruh tani/penggarap dan kebijakan yang akan dibuat dapat dijalankan dengan baik. 2. Adanya lembaga pendampingan masyarakat untuk seluruh lapisan masyarakat dan tidak hanya tertuju pada segilintir orang saja sehingga mampu membantu masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan agraria yang terjadi di perdesaan serta penguatan posisi tawar petani sebagai pemanfaat/pengguna lahan-lahan pertanian. 3. Peneliti menyadari penelitian ini masih banyak kekurangan, salah satunya adalah untuk melihat seberapa besarnya nilai ketimpangan yang terjadi. Untuk mengetahui nilai tersebut hendaknya penelitian seperti ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian konflik dan kehidupan petani dalam aras mikro di perdesaan belum banyak dilakukan sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam lagi.
152
DAFTAR PUSTAKA Fisher dkk. 2001. Mengelola Konflik Keterampilan dan Stretegi Untuk Bertindak. SMK Grafika Desa Putra. Jakarta Billah,MM dkk. 1984. Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa Tengah. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Penyunting: Tjonderonegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia Husodo, Siswono Yudo. 2002. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pembangunan Pertanian. Dalam Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi. Yayasan Akatiga. Bandung Kano, Hiroyoshi. 1984. Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad XIX. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Penyunting: Tjonderonegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia Kusumo, Bambang. 1999. Merebut Makna, Membangun Ruang Publik. Yogyakarta: Lapera, Pustaka Utama Landsberger, Henry A. dan Alexandrov Yu. G., 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Terjemahan. Cetakan Keempat. Jakarta YIIS Irham, Zul. 2003. Studi Konflik Dalam Rangka Menunjang Kebijakan Pembangunan Pembangunan yang Berkelanjutan di wilayah Kabupaten Lampung Tengah. TESIS. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2003. Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Popkin, Samuel, 1986. Petani Rasional, Terjemahan, Jakarta: Yayasan Padamu Negeri Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Terjemahan. Cetakan pertama. Jakarta: CV Rajawali Press Sadikin dan Shofwan Mandawai. 2005. Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa. Bandung: Akatiga Scott, James C., 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Terjemahan, Cetakan Kedua, Jakarta: LP3ES
153
Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Tesis. Pascasarjana. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Sebagai Perkenalan. Bogor: Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Sitorus, MT Felix. 2002. Lingkup Agraria. Dalam Menuju Keadilan Agraria:70 Tahun Gunawan Wiradi. Disunting Endang Suhendar. Penerbit Akatiga. Bandung Sitorus, MT Felix. 2004. Tanah, Etnisitas, dan Kekuasaan: Dinamika Agraria pada Komunitas Tepian Hutan di Sulawesi Tengah. Dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria Reforma Agraria: Tantangan dan Agenda Krja Pemerintah Baru 2004-2009. Volume 01/Tahun 1/2004.Yogyakarta: Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, Pusat Kajian Agraria IPB, Lapera Indonesia Sitorus, MT Felix. 2006. Krisis Paradigma Pertanahan: Masalah Konversi Lahan Pertanian di Indonesia dari Sudut Pandang Sosiologi Agraria dalam Prosiding Lokakarya “Penenganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi”. 13 Desember 2006. Bogor Suharso, Puji. 2002. Tanah, Petani, Politik Pedesaan. Solo: Pondok Edukasi Suhendar Endang. 1997. Kondisi dan Permasalahan di Sektor Pertanian. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria Bekerja Sama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Suhendar E dan Winarni B. Y. 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Yayasan AKATIGA Tjondronegoro, Sediono MP. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan Tulisan Terpilih. Laboratorium Sosiologi, antropologi, dan Kependudukan Faperta IPB bekerjasama dengan Yayasan AKATIGA, Bandung Wiradi. Gunawan. 2000. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist, KPA, Pusat Pelajar Offset. Wiradi. Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Penyunting: Tjonderonegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Gramedia.
154
Lampiran 1. DAFTAR ISTILAH DAFTAR ISTILAH Angler
: Alat yang digunakan untuk meratakan tanah sesudah tanah di olah dengan bajak yang kemudian siap untuk ditanam
Bujang gede
: Orang yang sudah mulai dewasa, dirasa sudah bisa mencari nafkah
Buruh matuh
: Buruh tetap yang digunakan oleh masyarakat Desa Cibatok 1 dulu pada saat masih zaman penjajahan
Dugcir
: Kepanjangan dari bedug ngacir. Waktu ini merupakan pertanda habisnya jam kerja bagi para buruh tani
Kadedeuh
: Biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kepada buruhnya diluar upah harian. Biaya ini dikeluarkan biasanya pada saat panen/ uang lembur/uang kasihan.
Nandur
: Kegiatan memindahkan bibit ke sawah, menanam padi
Ngepak
: Orang yang menanam padi
Ovsener
: Peneriman beras di gudang beras milik tuan tanah
Oyos
: Kegiatan mengambil keong yang memakan tanaman padi
Pencalang
: Anak buah atau kaki tangan para tuan tanah.
Tukcing
: Dibentuk cicing merupakan gambaran untuk beberapa kali pembentukan kelompok tani.
Upah Bawon
: Upah yang dikeluarkan untuk orang yang memanen dan menandur/menanam padi. Upah bawon yang biasanya dikeluarkan adalah seperlima dari hasil panen.
Wuluku’
: Membajak sawah
155
Lampiran 2. PETA LOKASI PENELITIAN
PETA ADMINISTRATIF DESA CIBATOK SATU KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR
N W
E S
SKALA 1 : 12000 683500
684000
684500
685000
9273000
9273000
Ki bo jem
Joh ar Ko ng si
Gumb ira Har ian g
Sa mi Ka um
Ko ng si
Dempo k
Harian g
Sa un g
Su ka ma ju
Alik in
Randu
m Ta ka ba
9272500
Te ng ah
9272500
n
Su ka Ba gu s Batu tumpa ng
Bu kti
Den ok
Pe ut eu y
Lame
Led en g
Jaya
Su ka hati
Har kat
Pa So lihin
Se ha t
Aile m
Me sjid
9272000
9272000
Pe ng ki Duku h
Se tr a
Pa ng an ten
Me kto s
Jaisin
Su ka bu nga h Pa yu ng
As tan a
Nusa jat i Pa bua ran
Wud uk
Nusa jaya
9271500 Mo mo ngg
or
9271500
Sa di
RW. 01 RW. 02 RW. 03 RW. 04 RW. 05 RW. 06 RW. 07 RW. 08 RW. 09
Me nco s
9271000
683500
400
684000
0
684500
9271000
685000
400 Meters BR_ERK_MMN _APY_ADM_062005
156
Lampiran 3. Jadwal Penelitian No
Kegiatan
I
PROPOSAL DAN KOLOKIUM Penyusunan Draf dan Resensi Orientasi Lapangan Kolokium STUDI LAPANGAN Pengumpulan Data Analisis Data PENULISAN LAPORAN Analisis Lanjutan Penyusunan Draf dan Revisi UJIAN SKRIPSI Ujian Perbaikan
Maret 1
II
III
IV
2
3
April 4
1
2
3
Mei 4
1
2
3
Juni 4
1
2
3
Agu s
Juli 4
1
2
3
4
157
Lampiran 4. KEBUTUHAN DATA DALAM PENELITIAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA No
Masalah
Data yang diperlukan
1
Pola hubungan antara subjek agraria: Hubungan teknis Hubungan sosial Hubungan sosial produksi dan sosial politik
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Data kepemilikan tanah di Desa Cibatok1 Siapa pemilik tanah pertanian terluas di Desa Cibatok 1 Siapa pemilik tanah pertanian tersempit di Desa Cibatok 1/tidak memiliki tanah Data tanah bengkok maupun tanah kas desa Sistem penggunaan tanah bengkok atau tanah kas desa Data jenis mata pencaharian penduduk Desa Cibatok 1 Data jenis tanaman yang dimanfaatkan di areal pertanian. Data peruntukan tanah di Desa Cibatok 1 dan perubahannya Data jual beli tanah di Desa Cibatok 1 Sistem kepemilikan tanah yang lazim digunakan di Desa Cibatok 1 Sistem jual beli tanah di Desa Cibatok 1 Sistem pewarisan tanah di Desa Cibatok 1 Sistem bagi hasil di Desa Cibatok 1 Sistem gadai di Desa Cibatok 1 Sistem sewa tanah di Desa Cibatok 1 Pola produksi pertanian di Desa Cibatok 1 Pola penggunaan saluran irigasi di Desa Cibatok 1 Sistem upah buruh tani di Desa Cibatok 1 Sistem pengaturan irigasi di Desa Ciabatok 1 Hubungan Pemilik tanah dengan pemilik tanah Hubungan pemilik tanah dengan buruh tani Hubungan pemilik tanah dengan penggarap Hubungan pemilik dengan penyewa Hubungan pemilik tanah dengan pemilik modal (gadai) Hubungan penyewa dengan penyewa Hubungan buruh tani dengan buruh tani Hubungan penggarap dengan penggarap
Sumber data • •
Data sekunder potensi Desa Cibatok 1 Data primer dari informan/responde n
Teknik Pengumpulan data • Analisis data sekunder pemerintah Desa Cibatok 1 • Pengamatan berperansaerta • Wawancara mendalam
158
• • • •
2
Konstruksi sumbersumber perbedaan sehingga menimbulkan konflik agraria.
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Tingkat pendidikan keluarga petani Hubungan antara petani dengan pengatur irigasi Data kelompok tani di Desa Cibatok 1 Peraturan desa yang berkaitan dengan penjualan , penggunaan, pemilikan dan peruntukan tanah pertanian di Desa Cibatok 1 Data kepemilikan alat-alat pertanian yang digunakan untuk mengolah tanah Data penggunaan tanah pertanian untuk sektor swasta Data kepemilikan/penguasaan tanah oleh masyarakat luar Desa Cibatok1 Data kepemilikan/penguasaan tanah masyarakat Desa Cibatok 1 Data penguasaan tanah oleh orang Desa Cibatok 1 Data perubahan kepemilikan tanah/penguasaan tanah dan peruntukan Persepsi masyarakat terhadap tanah. Hukum adat mengenai pemilikan dan penguasaan tanah di Desa Cibatok 1 Perilaku masyarakat sehari-hari dalam hubugan sosial sesama masyarakat Perilaku antara pemilik dengan pemilik Perilaku antara pemilik dengan buruh tanai Perilaku antara pemilik dengan penggarap Perilaku antara penggarap dengan penggarap Perilaku antara penggarap dengan buruh tani Perilaku penggarap dengan penyewa Perilau pemilik dengan penyewa Perilaku buruh tani dengan buruh tani Perilaku buruh tani dengan penyewa Perilaku buruh tani dengan penggarap Perilaku penyewa dengan penggarap Nilai sewa tanah Data rata-rata upah buruh pertanian di Desa Cibatok 1 Data penjualan tanah pertanian di Desa Cibatok 1 Data tanah sengketa di Desa Cibatok 1 Persepsi petani, buruh tani, penggarap, penyewa dari Desa Cibatok 1 dengan masuknya petani, penyewa, penggarap, buruh tani dari luar Desa Cibatok 1
• •
Data sekunder potensi Desa Cibatok 1 Data primer dari informan dan responden
•
• •
Analisis data sekunder pemerintah Desa Cibatok1 Pengamatan berperansaerta Wawancara mendalam
159
Lampran 5. PANDUAN PERTANYAAN PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan oleh peneliti untuk menggali secara langsung gambaran secara komprehensif yang berkaitan dengan aspekaspek kajian. Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang kosong di bawah aspekaspek yang ditanyakan dalam wawancara mendalam, untuk dikembangkan kemudian menjadi laporan. Konsep Hubungan Teknis • Berapa rata-rata kepemilikan tanah di Desa Cibatok 1? • Berapa perbandingan tanah untuk pertanian dengan non pertanian? • Berapa perbandingan tanah pertanian oleh masyarakat dalam dan luar di Desa Cibatok 1? • Apakah alasan untuk menjual dan membeli tanah di Desa Cibatok 1? • Berapa rata-rata jumah anggota rumah tangga masing-masing keluarga di Desa Cibatok 1? • Apakah Desa Cibatok 1 memiliki Tanah Bengkok? Berapa luas tanah bengkok tersebut? Peruntukannya untuk sapa saja? Siapa yang menguasai? Diusahakan untuk apa? Apakah dapat disewa? • Apakah Desa Cibatok 1 memiliki tanah kas Desa? Berapa luas tanah kas desa? Peruntukannya untuk apa saja? Bagaimana cara penguasaannya? Apakah dapat diakses oleh masyarakat? • Jenis mata pencaharian apa saja yang ada di Desa Cibatok 1? • Apa pendidikan rata-rata keluarga di Desa Cibatok 1? Termasuk petani dan keluarganya? • Apa golongan penguasaan tanah yang terbesar di Desa Cibatok 1 itu? • Bagaimana pola produksi pertanian di Desa Cibatok 1? Mulai dari nandur hingga panen? Siapa saja yang terlibat di dalamnya? • Bagaimana sistem pengolahan tanah pertanian di Desa Cibatok 1? • Bagaimana sistem irigasi untuk pertanian di Desa Cibatok1? Baik pada musim kemarau maupun musim hujan? • Bagaimana sistem penjualan hasil pertanian di Desa Cibatok? • Apa alat pengolahan tanah yang biasa digunakan di Desa Cibatok1? Apakah masih tradisional atau sudah modern? Siapa pemilik alat tersebut? • Bagaimana perbandingan penggunaan alat tradisional dengan modern dalam produksi pertanian? • Bagaimana pemanfaatan sisa hasil panen yang tercecer? Konsep Hubungan Sosio (produktif dan politik) • Bagaimana sistem jual beli yang diterapkan di Desa Cibatok1? • Bagaimana sistem gadai yang diterapkan di Desa Cibatok1? • Bagaimana sistem sewa-menyewa yang diterapkan di Desa Cibatok1? • Bagaimana sistem bagi hasil yang biasanya diterapkan di Desa Cibatok1? • Apa bukti kepemilikan yang lazim digunakan di Desa Cibatok1? • Bagaimana hubungan antara pemilik lahan dengan penyewa?
160
• • • • • • • • • • • • • • • • •
Bagaimana hubungan antara pemilik lahan dengan penggarap/buruh tani? Bagaimana hubungan antara pemilik lahan dengan pemilik modal? Bagaimana hubungan antara penggarap dengan penggarap? Bagaimana sistem upah yang berlaku di Desa Cibatok1? Apakah ada kesepakatan dalam sisem upah antara pemilik tanah dengan penggarap Bagaimana hubungan antara petani dengan pengatur irigasi? Apakah setiap petani pemilik tanah menggunakan buruh tani untuk menggarap tanahnya? Apakah ada yang tidak mau menggunakan jasa buruh tani? Mengapa? Bagaimana cara pemilikan dan penguasaan tanah di Desa Cibatok? Jelaskan? Bagaimana sistem pewarisan yang berlaku di Desa Cibatok1? Apakah ada hubungan antara aktor yang terlibat diluar hubungan kerja agraria? Bagaimana hubungan antara petani dengan pemilik alat produksi? Bagaimana hubungan antara petani dan organisasi sosial di Desa Cibatok1? Berapa jumlah kelompok tani di Desa Cibatok1? Apa alasan seseorang mengikuti kelompok tani? Bagaiman akses kelompok tani terhadap kredit usahatani? Kapan kelompok tani di Desa Cibatok1 mulai berdiri? Apakah ada hubungan antara tanah pertanian dengan dinamika politik lokal? Apa alasan buruh tani bekerja berkelompok? Bagaimana hubungannya dengan kelompok lain? Bagaimana cara pemilik sawah untuk mengontrol dan mengawasi buruh tani?
Konflik Agraria di Pedesaan • Apakah penafsiran masyarakat tentang seseorang yang disebut petani dari kelompok yang disebut petani dari kepemilikan dan penguasaan lahan? • Apakah setiap proses yang dilaksanakan berhubungan dengan tanah, misalnya jual beli tercatat di kantor desa? Jika tidak, mengapa? • Apakah ada peraturan desa tentang tanah pertanian dan pengaturannya? • Apakah ada perebutan tahapan kerja pada lahan pertanian? mengapa bisa terjadi? • Bagaimana penafsiran suatu kelopok terhadap kelompok yang lain? Misalnya persepsi petani terhadap buruh tani, begitupun sebaliknya? • Apakah buruh tani juga bisa disebut sebagai orang yang tidak punya tanah dan memiliki klasifikasi terendah? • Apakah ada hubungan antara status kepemilikan dan penguasaan tanah sebagai bagian penting identitas dalam masyarakat? • Apakah ada hubungan antara usia dengan keterlibatan sebagai buruh tani? • Apa alasan seorang pemilik untuk mempekerjakan seseorang buruh? Dari mana biasanya informasi seorang buruh yang cocok untuk bekerja ditempat mereka? • Apakah ada permasalahan mengenai sistem irigasi? • Pernahkah terjadi persaingan antara kerabat dalam hal pemilikan maupun penguasaan tanah?
161
• • • •
Permasalahan apa saja yang seringtimbul pada setiap tahapan produksi pertanian? Apakah ada sesuatu hal yang bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi? Misalnya agama? Apakah ada hukum adat yang berlaku di Desa Cibatok1 berkaitan dengan pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah di Desa Cibatok1? Apakah ada sektor swasta yang memanfaatkan tanah pertanian di Desa Cibatok1? Untuk apa?
162
Lampiran 6. PEDOMAN PENGAMATAN BERPERANSAERTA PEDOMAN PENGAMATAN BERPERANSERTA Pengamatan berperanserta dilakukan oleh peneliti secara langsung di lokasi kajian, selanjutnya peneliti diharuskan melakukan pencatatan hasil pengamatannya dengan alat pencatatan manual maupun alat bantu yang dapat merekam serta memotret kejadian yang berkaitan dengan substansi penelitian yang dilakukan. Catatan singkat ditulis dalam ruangan kosong dibawah kotak aspek-aspek yang diobservasi, untuk kemudian dikembangkan menjadi laporan. PENGAMATAN 1) Bagaimana pola hubungan antara aktor yang terlibat dalam penggunaan/pemanfaatan lahan pertanian? 2) Bagaimana implikasi pola hubungan tersebut terhadap potensi timbulnya konflik atau harmonis?
163
Lampiran 7. Foto
Buruh pulang dari sawah
Memberi pupuk
Pembuatan pupuk
Istrirahat
164
Lampiran 8. Data Pembagian Tanah Desa Cibatok Satu Tahun 1989 Nama Persil Persil 1 Persil 2 Persil 3 Persil 4 Persil 5 Persil 6 Persil 7 Persil 8 Persil 9 Persil 10 Persil 11 Persil 12 Persil 13 Persil 14 Persil 15 Persil 16 Persil 17 Persil 18 Persil 19 Persil 20 Persil 21 Persil 22 Persil 23 Persil 24 Persil 25 Persil 26 Persil 27 Persil 28 Persil 29 Persil 30 Persil 31 Persil 32 Persil 33 Persil 34 Persil 35 Persil 36 Persil 37 Persil 38 Persil 39 Persil 40
Luas
Letak 16187 6618 13320 35465 25879 2059 534 3292 2630 14048 2951 29595 14763 11777 5501 27761 27026 10622 5962 7638 19091 83526 45693 18795 7193 35190 22426 7911 15658 1597 12100 26159 3508 3359 44706 17076 19828 67306 12936 108954
RW 9 RW 9 RW 9 RW 6 RW 6 RW 9 RW 9 RW 6 RW 6 RW 6 RW 6 RW 9 RW 9 RW 6 RW 6 RW 9 RW 6 RW 6 RW 6 RW 6 RW 5 RW 5 RW 6 RW 6 RW 9 RW 9 RW 9 RW 9 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 1
Peruntukan Pertanian Non-Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Non-Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Non-Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Non-Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Non-Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian
165
Persil 41 Persil 42 Persil 43 Persil 44 Persil 45 Persil 46 Persil 47 Persil 48 Persil 49 Persil 50 Persil 51 Persil 52 Persil 53 Persil 54 Persil 55 Persil 56 Persil 57 Persil 58 Persil 59 Persil 60 Persil 61 Persil 62 Persil 63 Persil 64 Persil 65 Persil 66 Persil 67 Persil 68 Persil 69 Persil 70 Persil 71 Persil 72 Persil 73 Persil 74 Persil 75 Persil 76 Persil 77 Persil 78
33475 5143 69540 8035 105899 79337 484 5512 2002 500 49205 2808 8607 16549 82325 7222 6980 8689 4641 3940 24074 32353 19432 11622 13700 11454 4431 75391 11262 830 13856 9573 23059 8964 4454 19815 7612 458
RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 4 RW 4 RW 4 RW 7 RW 7 RW 7 RW 7 RW 7 RW 7 RW 7 RW 7 RW 7 RW 8 RW 8 RW 8 RW 2 RW 2 RW 2 RW 8 RW 1 RW 1 RW 1 RW 2 RW 2 RW 3 RW 4 RW 3 RW 3 RW 3 RW 3 RW 4 RW 4 RW 4 RW 4
Pertanian Non-Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian Non-Pertanian
166