ANALISIS KETERKAITAN DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN USAHATANI DENGANDISTRIBUSI PENDAPATAN PETANI PERDESAAN (Studi Kasus di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh )
HERMANSYAH DAULAY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA * Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Distribusi Penguasaan Lahan Usahatani dengan Distribusi Pendapatan Petani Perdesaan (Studi Kasus Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor
Bogor, 24 Juli 2013 Hermansyah Daulay NIM H152100031
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN HERMANSYAH DAULAY. Analisis Keterkaitan Distribusi Penguasaan Lahan Usahatani Dengan Distribusi Pendapatan Petani Perdesaan( Studi Kasus di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh ) dibawah bimbingan SETIA HADI dan ENDAH MURNININGTYAS Tekanan terhadap sumber daya lahan, hadir sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Pertambahan penduduk dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh negara dalam bentuk penetrasi hukum, ekonomi, politik dan budaya telah melahirkan ketimpangan penguasaan lahan. Di sektor pertanian, ketimpangan ini berpengaruh terhadap produktivitas usahatani dan pola hubungan antara tuan tanah dengan buruh tani. Akibatnya, tingkat kesejahteraan petani gurem di pedesaan terus menurun. Merebaknya konflik-konflik pertanahan, semakin menambah pelik permasalahan petani. Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting. Tanah merupakan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan dan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumah tangga petani. Oleh karena itu, ketiadaan atau sempitnya pemilikan dan penguasaan lahan merupakan awal terjadinya kemiskinan di pedesaan, seperti yang umumnya terjadi pada kemiskinan di pedesaan Jawa. Bila kita lihat angka kemiskinan pedesaan lebih tinggi dibandingkan di wilayah perkotaan. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Aceh Utara berada di daerah pedesaan yang merupakan bagian terbesar (80%) dari wilayah Kabupaten Aceh Utara. Meskipun hingga tahun 2010 angka kemiskinan di perdesaan Kabupaten Aceh Utara masih berkisar pada angka 20%, namun terlihat adanya kecenderungan menurun antara 1 hingga 1,5% setiap tahun.Kabupaten Aceh Utara diketahui bahwa luas lahan sawah terus bertambah dari tahun ke tahun, sebaliknya persentase angka kemiskinan sangat tinggi di perdesaan. Tujuan penelitian 1) Mengeksplorasi dan mendiskripsikan kelembagaan lahan usahatani.2)Menganalisis pengaruh luas penguasaan lahan terhadap pendapatan usahatani.3) Menganalisi keterkaitan distribusi penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan petani dan kemiskinan. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Utara Propinsi Aceh pada tiga kecamatan dengan waktu penelitian pada Juni – Agustus 2012.Jumlah sampel sebanyak 122 orang kepala keluarga petani dengan pengambilan sampel yang dilakukan dengan sampel acak sederhana.Alat Analisis tabulasi,PCA dan Regresi berganda, korelasi, serta Gini Ratio pendapatan dan Gini ratio penguasaan lahan. Kerjasama kelembagaan lahan sewa adalah yang paling dominan yaitu 55%, untuk meningkatkan penguasaan lahan petani gurem melakukan kerjasama lahan sewa. Pendapatan dari sumber usahatani menyubangkan share yang cukup besar dari pendapatan total yaitu sebesar 78,5 % ini menunjukan bahwa kegiatan usahatani masih merupakan penyumbang penghasilan yang paling besar dibandingkan dengan tambahan pendapatan diluar usahatani. variabel luas penguasaan lahan berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas variabel luas penguasaan lahan berpengaruh
positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 8,453 %. Variabel interaksi LPL x dummy berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 6,615%. Variabel umur berpengaruh negatif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas -0,227%. Variabel lama sekolah berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,912%. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,655%. Hubungan Gini ratio pendapatan dengan luas penguasaan lahan berbentuk kurva U.Berdasarkan hasil korelasi ada hubungan antar luas pengusaan lahan dengan besaran pendapatan usahatani yang diterima oleh petani. adanya pendapatan diluar pertanian mampu meningkatkan pendapatan total.Semakin luas proporsi lahan yang dikuasai maka maka sedikit presentase jumlah responden miskin. Strategi kebijakan antara lain adalah: Akses penguasaan lahan bagi petani lahan sempit perlu di usahakan dengan serius yaitu dengan pembukaan lahan baru.Mekanisme Sewa meyewa-lahan perlu diperlancar agar menigkatkan ekonomi masyarakat.Di perdesaan Aceh Utara perlu adanya kegiatan ekonomi diluar usahatani agar dapat menambah kesejahteraan masyarakat. Kelembagaan lahan yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara meliputi sewa, gadai/gala. Bagihasil/mawah. Kerjasama lahan sebagai cerminan kerjasama antar petani dalam tata cara menggunakan lahan dalam usahatani dapat dipengaruhi oleh posisi tawar petani dalam kelembagaan lahan. Sewa sebagai bentuk kelembagaan yang memilki posisi tawar berimbang. Bagihasil/mawah sebagai upaya pemilik lahan meningkatkan nilai guna lahan karena banyak penawaran tenaga kerja (buruh tani). Gadai/gala banyak dijumpai sebagai wujud posisi tawar pemilik lahan yang lemah karena terdesak kebutuhan mendapatkan uang tunai pada suatu saat. Secara bersama-sama variabel luas penguasaan lahan, umur, jumlah anggota keluarga, lama sekolah, status milik, milik+sewa, dan status sewa berpengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani. Hubungan distribusi pendapatan dengan distribusi luas lahan berbentuk kurva U dimana angka Gini ratio yang tinggi pada luas lahan kecil kemudian bergerak ke angka Gini ratio yang lebih kecil pada luas lahan yang lebih luas kemudian angka Gini ratio yang meningkat pada luas lahan yang sangat luas. Kata kunci : kelembagaan, lahan, distribusi lahan dan pendapatan usahatani
SUMMARY HERMANSYAH DAULAY. Linkage Analysis Between Distribution Of Farmland Tenure And Rural Farmers’ Income (Case Study Of North Aceh District, Aceh Province). Under Direction Of SETIA HADIand ENDAH MURNININGTYAS Pressure to land as a form of resources comes up along with population growth. Populatin growth and social construction formed by nation in the form of penetration of law, economic, politic and culture had raised disparity of land tenure. In agriculture sector, this disparity effected the farm productivity and pattern of relation between land owner and labor. Thus, the level of welfare of relatively landless (gurem) farmer getting worse. The emerge if land conflicts made the farmers’ problems more complicated. Land is the important input of production for farmers. land is the source of income for live sustainability. The square of ownership and tenure of land is one of the main factors determining level of a family’s income as well as farmer household. Limited or even the lack of land ownership and tenure become the beginning of rural poverty that generally happened in Java. The poverty rate in rural is higher than urbanarea. This also shown in North Aceh District which is composed of 80% rural area. In 2010, poverty rate in North Aceh District around 20%, but it tends to decrease from 1 to 1.5% annually. The square of wetland increase every year but the poverty rate in rural area is still high. This research was aimed to: 1) explore and describe farmland institution, 2) analye the influence of land tenure to farm income, 3) analye the linkage between land tenure and distribution of farmers income and poverty. This research took place in North Aceh District, Aceh Province from June to August 2012. Sampling method used was simple random sampling for 122 heads of farmer families. The analysis tools are tabulatin, multiple regression and PCA, correlation as well as Gini Ratio of income and land tenure. Rental of land is more dominant compared to other forms of institutional cooperation related to land. It reached 55% done by landless (gurem) farmers. Farming contributes 78.5% of total income, still dominant compare to other source of income. Each 1% of increasing of square of land tenure will lead to 8.453% farming income increasing. Each 1% change of LPL x dummy will increase 6.615% farming income. Farming income will increase up to 0.915% if length of school period rise 1%. Variable age negatively affect farm income with elasticity 0.227%.Every 1% addition of family members will cause farming income increase about 0.655. The relation between Gini Ratio and the square of land tenure formed U shape according to correlation of square of land tenure and farmers’ income. Source of income other than farming can increase the total income. Bigger land that owned by farmers, the poverty become reduced. The strategic policies recomended are: 1) land access for landless farmers should be trigged seriously by land expansion, 2) rental mechanism should be
simplified in order to rise income, 3) in North Aceh rural area, there should be activities other than farming to increase community welfare. Land institution in North Aceh District covers rental, mortgage/gala, and crop sharing/mawah. This kind of cooperation depend on farmers bergaining position in land institution. Rental refers to equal bargaining position. Mortgage found mostly as a form of weak land owners’ bargaining position because of pressure to gain cash in current time. Crops sharing can be seen as efforts of land owner to increase land utilization due to the abundance of labor. Simultantly, variables of square of land tenure, age, amunt of family members, school period length, own, own+rendstatus, and rend statussignificantly effect the farming income. Relation of income and square of land distribution forms U shape, where high Gini Ratio at narrow land, Gini Ratio lower in wider land, and Gini Ratio rise at larger land. Keywords: institutional, land, land and farming income distribution
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KETERKAITAN DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN USAHATANI DENGANDISTRIBUSI PENDAPATAN PETANI PERDESAAN (Studi Kasus di Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh )
HERMANSYAH DAULAY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada UjianTesis : Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
iii iv
1 PENDAHULUAN LatarBelakang PerumusanMasalah TujuanPenelitian ManfaatPenelitian
4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga Usaha Tani Distribusi Penguasaan Lahan dan Pendapatan Kerjasama dalam Kelembagaan Lahan Pengertian dan Penyebab Kemiskinan Ukuran-ukuran Kemiskinan Karakteristik Wilayah Perdesaan Penelitian Terdahuluan yang Relevan
5 5 7 7 8 11 12 15
3 METODELOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Hipotesis Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Populasi dan Sampel Populasi Ukuran Sampel Metode Pengambilan Sampel Metode Analisis Data PCA dan Regresi Linier Berganda Gini Rasio Pendapatan dan Gini Rasio Luas Lahan Analisis Data Kelembagaan Lahan Tujuan Penelitian, Jenis Data dan Metode Analisis
17 17 18 18 19 19 20 20 21 21 21 22 23 23
4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN ACEH UTARA Keadaan Umum Wilayah Penelitian PosisiGeografisdanLuas Wilayah Topografidan Tata GunaLahan Iklim 28 Pemerintahan Demografi MasaTurunKeSawah Provinsi NAD DalamRencanaPolaRuang Wilayah Nasional 31 KawasanBudidayaNasional (KawasanAndalan) 31 Rencana Tata Ruang di Kabupaten Aceh Utara
24
1 1
24 24 26 28 29 30
31
KecamatandanSistemPusatPelayanan di Kabupaten Aceh Utara 32 KarakteristikResponden 34 UmurResponden 34 TingkatanPendidikanResponden 35 JumlahTanggunganKeluarga 36 Alternatif Usaha Keluarga 36 SejarahKepemilikanLahanUsahatani 37 KepemilikandanPenguasaanLahan 39 Gini Ratio PendapatandanGini Ratio Lahan42 Pendapatan Rumah Tangga Responden 43 5 HASIL DAN PEMBAHASAN DeskripsiKerjasma Kelembagaan Lahan LuasPenguasaanLahandanPendapatan Usahatani Keterkaitan Luas Pengusaan Lahan dengan Kesenjangan Pendapatan Implikasi Kebijakan
45 45 49
6 KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
59 59 60
DAFTAR PUSTAKA
61
51 57
DAFTAR TABEL 1Daftar kecamatan terpilih sebagai sampel 2Alokasi proposional sampel penelitian di kabupaten aceh utara 3Tujuan penelitian, jenis data dan metode analisis 4Luaswilayahkabupatenacehutaramenurutkecamatan tahun2010 5 Penggunaanlahan di kabupatenAcehUtara, tahun 2006 – 2010(ha) 6 Jumlahdesadanjarakdariibukotakecamatankeibukota kabupatendanibukotaprovinsi 7SistemPusatPelayanan yang ditetapkan RTRW Kabupaten Aceh Utara33 8LuaskawasanlindungdanbudidayasetiapKabupaten/Kota Se Aceh Menurut RTRWA 2011 9Hak milik atas lahan di daerah penelitian 10Ukuran luasan lahan dan berat dalam berbagai satuan 11Rata-rata yang dikuasaimenurut status pengusaanlahan 12Profil luas lahan menurut status milik, sewa, milik+sewa responden 13Penguasaanlahanberdasarkankecamatan 14Keragaanrata-rata luaslahanmeyewa, diseewakan, gadai, bagihasil 42 15 Komposisilahanmilik yang disewakan 42 16Nilai gini ratio pendapatan dan gini ratio lahan dari berbagai kondisi 43 17 Luaslahan, produksi/panen, pendapatan44 18 Sistemtransaksipenguasaanlahan 46 19Rata-rata luaspemilikandanpenguasaanlahan 48 20Hasilanalisisregresibergandaterhadappeubahdugaan yang terkaitdenganpendapatanusahatani 49 21 Persentaserespondenmiskinmenurutluaslahan 56
20 21 23 25 27 29 34 39 39 40 41 41
DAFTAR GAMBAR 1 Gini ratio pendapatan Provinsi Aceh tahun 2002 - 2010 2 Angka kemiskinan di Propinsi Aceh tahun 2004 sampai dengan tahun 2011 3 Luas persawahan Kabupaten Aceh Utara tahun 2006 dan 2010 4Aliran pengusaan lahan 5Kurva Lorenz 6Kerangka pemikiran penelitian 7Peta lokasi penelitian 8Skema gugus bertahap 9PetaKabupaten Aceh Utara 10Peta kawasanhutan di KabupatenAcehUtara 11PerkembanganpendudukKabupatenAcehUtara, tahun 2006 – 2010 (jiwa) 12 Provinsi NAD dalamrencanapolaruangwilayahnasional 31 13RencanatataruangKabupaten Aceh Utara 32 14Jumlahrespondendirincimenurutkelompokumur 15Jumlahrespondenmenurutjenjangpendidikan 16Jumlahrespondenberdasarpenggunaanteknologi 17Jumlahanggotarumahtangga 18Alternatifusahakeluarga 19Status pengusaan lahan 20Boxplotpendapatanpertaniandanpendapatan total 21Rata-rata luas lahan menurut lahan sistem sewa,gadai dan bagi hasil 22 Angka Gini ratio pengusaan lahan berdasar luas lahan 23 Angka Gini ratio pendapatan berdasar luas lahan penguasaan lahan 24 Gini ratio pendapatan berdasarkan status lahan 25 Gini ratio penguasaan lahan berdasarkan status lahan 26Gini ratio berdasarkansumberpendapatan 27Angka rata-rata Gini ratio 28KurvaLorezn
2 3 3 5 12 18 19 20 25 27 30 34 35 36 36 37 40 44 47 52 52 53 54 54 55 56
PRAKATA Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga Tesis yang berjudul Analisis Keterkaitan Distribusi Penguasaan Lahan Usahatani dengan Distribusi Pendapatan Petani Perdesaan (Studi Kasus Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh) dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Setia Hadi, MSi. dan Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc, PhD yang telah mencurahkan waktu, pemikiran dan memberi pengarahan dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi dan juga sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi kelengkapan penulisan ini. Terima kasih kepada Walikota Langsa, Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Langsa dan, Kepala SMA Negeri 4 Langsa yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kecamatan Sawang, Kecamatan Matangkuli, dan Kecamatan Nibong beserta segenap masyarakat Gampong Teupin Resep, Gampong Blang Cut, Gampong Blang Manyak, Gampong Meunasah Punti, Gampong UDE, Gampong Tanjong Haji Muda, Gampong Alue ie Mirah, Gampong Maddi, Gampong Keude Nibong yang telah bersedia menjadi responden, Badan Pusat statistik (BPS) Aceh Utara, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura, yang telah membantu dalam penelitian ini. Sumber Doa yang terus mengalir tiada henti dari Ibunda Hj Khairani dan Ayahanda H Bachtiar Daulay (Alm) terimakasih atas pengorbanan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT senantiasa memberi kelimpahan ridho dan keberkahan bagi kita semua.Terima kasih penulis ucapkan kepada sumber kekuatan dan inspirasiku Istriku tercinta Maisura,SP.MP atas segala pengertian dan kesabaran dengan begitu banyak pengorbanan waktu kebersamaan yang hilang dalam menempuh studi dan meyelesaikan tesis. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada penyuluh lapangan di Kecamatan Sawang, Kecamatan Matangkuli dan, Kecamatan Nibong yang telah membantu penulis dalam pengambilan data dan survey di lapangan. Kepada para sahabat terima kasih atas bantuan dan kebersamaan yang senantiasa diberikan, beserta semua Sahabat S2 dan S3 PWD lintas angkatan terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan, berdiskusi, seminar, maupun kunjungan lapang yang pernah kita lalui bersama, banyak kenangan manis yang tidak terlupakan. Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan karena banyaknya keterbatasan, oleh karenanya dengan segala kekurangan penulis mengharapkan saran bagi perbaikan tesis ini untuk pengembangan pada penelitian berikutnya. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi kita semua. Bogor, Juli 2013 Hermansyah Daulay
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tekanan terhadap sumber daya lahan, hadir sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Pertambahanpenduduk dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh negara dalam bentuk penetrasi hukum, ekonomi, politik danbudaya telah melahirkan ketimpangan penguasaan lahan. Di sektor pertanian, ketimpangan iniberpengaruh terhadap produktivitas usahatani dan pola hubungan antara tuan tanah dengan buruh tani.Akibatnya, tingkat kesejahteraan petani gurem di pedesaan terus menurun. Merebaknya konflik-konflikpertanahan, semakin menambah pelik permasalahan petani. Di pihak lain, bias kebijakan di bidang pertanahancenderung melemahkan akses petani kecil dan buruh tani atas sumbersumber tanah. Lahan bagi petani merupakan faktor produksi yang sangat penting. Tanah merupakan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan dan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumahtangga petani. Oleh karena itu, ketiadaan atau sempitnya pemilikan dan penguasaan lahan merupakan awal terjadinya kemiskinan di pedesaan, seperti yang umumnya terjadi pada kemiskinan di pedesaan Jawa. Sajogjo (1984), Chayanov(1971),dan Tjondronegoro(1984) mengemukakan bahwa luas pemilikan lahan adalah salah satu faktor penentu untuk peluang berusaha dan bekerja bagi petani. Singarimbun dan Effendi (1989) menambahkan bahwa tingkat pendapatan usahatani diantaranya dipengaruhi oleh luas tanah dan jenis tanaman. Menurut Tan (1991) tingkat pendapatan usahatani ditentukan oleh luas tanah yang dimiliki, yang mencakup luas tanah pemilikan dan luas tanah usahatani. Pemilikan dan penguasaan merupakan dua hal yang berbeda; ”pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan penguasaan menunjuk kepada aspek efektifitas. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain, maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya Wiradi dan Tjondronegoro (2008).Berdasarkan pengertian tersebut berarti, seseorang yang memiliki lahan, ia dapat sekaligus sebagai orang yang menguasai tanah tersebut tetapi, dapat juga ia memiliki namun tidak menguasai, karena ia sewakan kepada orang lain. Dengan demikian, seseorang yang memiliki dapat sekaligus sebagai penguasa, sebaliknya seseorang yang menguasai sebidang tanah belum tentu ia sebagai pemiliknya. Kepemilikan lahan terbatas, distribusi kepemilikan lahan tidak merata, dan tekanan penduduk yang berat atas lahan menimbulkan kerjasama antara pemilik lahan luas dengan petani berlahan sempit atau petani tidak berlahan dalam suatu kelembagaan lahan menurut Hayami dan Kikuchi(1981), Fujimoto(1996), Sangwan(2000), Sharma(2000), Hartono et. all.(2001). Dalam hal ini Hayami dan Kikuchi (1981), Kasryno (1984), Gunawan dalam Taryoto(1995) menjelaskan bahwa pada kelembagaan lahan terdapat aturan-aturan kerjasama yang disepakati dan dipatuhi oleh suatu masyarakat. Berdasar kelembagaan lahan tersebut penguasaan lahan dalam usahatani dapat dibedakan atas pemilik, penggarap,penyakap, penyewa, dan penerima gadai.
2
Menurut Wiradi dan Makali (1984) terdapat 2 kelompokpakar/peneliti yang berbeda pendapat tentang struktur penguasaan tanah di pedesaan.Kelomok pertama, yaitu Geertz, Hayami dan Kikuchi berpendapat bahwa di masyarakatpedesaan di Jawa tidak terkutub menjadi petani luas (tuan tanah) dan petani gurem (hambatani), namun lebih merupakan stratifikasi yang meningkat. Kelompok lain adalah Sayogyo,Collier, Lyon dan Kano yang berpendapat bahwa pengutuban masyarakat desa dalam halpenguasaan tanah memang sedang terjadi. Dinamika struktur penguasaan tanah 1983-1993memperkuat pendapat kelompok kedua Sumaryanto dan Rusastra(2000), Rusastra dan Sudaryanto(1997). Hasil penelitian SDP di 15 desa menunjukkan bahwa apabila distribusi pendapatandikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, masih jelas nampak bahwa makin besar luastanah milik makin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Wiradi (2009)melihat hubungan antara Gini ratio pendapatan dan luas penguasaan lahan. Dari penelitian diperoleh hubungan yang erat antara distribusi pengusaan lahan dengan distribusi pendapatan petani. Studi distribusi lahan setelah stunami di Aceh dan Nias oleh Budidarsono et. all. (2007) memperlihatkan Gini ratio penggunaan lahan di Aceh Barat 0.48 dan Pidie 0.54. Gini ratio Aceh Barat 0.48 memperlihatkan adanya ketimpangan sedang dalam penggunaan lahan di Aceh Barat dan Gini ratio 0.54 di Pidie ketimpangannyatinggi. Berdasarkan kepada hasil perhitungan Gini ratio pendapatan oleh Badan Pusat Stastistik dari tahun 2002 – 2010 di Provinsi Aceh dapat dilihat dari Gambar 1 seperti yang terlihat dengan angka rata-rata Gini ratio 0.28. Atas dasar angka rata-rata Gini ratio 0.28 dapat dikatakan Propinsi Aceh memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang rendah dengan angka kemiskinan yang tinggi artinya merata miskin. Berdasarkan gambar 1 angka Gini ratio pendapatan Kabupaten Aceh Utara juga memiliki kecenderungan yang sama seperti yang terdapat di Propinsi Aceh.
Angka Indeks Gini Ratio
0,35 0,3
0,31 0,28
0,28
2003
2004
0,25
0,27
0,27
2007
2008
0,29
0,3
2009
2010
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 2002
2006
Gambar 1 Gini ratio pendapatan Provinsi Aceh tahun 2002 – 2010
Dari Gambar 2 dapat dilihat porsentase penduduk miskin di Kabupaten Aceh Utara masih cukup tinggi. Daerah yang makmur dengan sumber daya alam melimpah, daratmaupun lautan, menyimpan kantong besarkemiskinan. Bila kita lihat angka kemiskinan pedesaan lebih tinggidibandingkan di wilayah perkotaan.
3
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kantong-kantongkemiskinan di Kabupaten Aceh Utara berada di daerah pedesaan yang merupakan bagianterbesar (80%) dari wilayah Kabupaten Aceh Utara.Meskipun hingga tahun 2010 angka kemiskinan di perdesaan Kabupaten Aceh Utara masih berkisar pada angka20%, namun terlihat adanya kecenderungan menurun antara 1 hingga 1,5% setiaptahun. 50 39
Persen
40
35,9 35 33,2 32,6 32,6 31,6 29,9 28,7 28,4 28,3 30 26,7 26,3 27,6 25,3 25,3 23,5 23,4 21,8 23,5 21,8 20,9 19 19 18,7 19,6 17,6 16,6 20 15,4 14,7 13,7 17,8 16,7 16,6 16 15,4 14,2 13,3 12,5 10 0 0 2004 Perdesaan
2005
2006
Perkotaan
2007
Aceh Utara
2008 Total Aceh
2009
2010
2011
Angka kemiskinan Indonesia
Gambar 2 Angka kemiskinandi Propinsi Aceh tahun 2004 sampai dengan tahun 2011
Luas Lahan Persawahan (ha)
Suatu keluarga atau rumahtangga tani yang memiliki dan menguasai lahan yang cukup luas mestinya akan memperoleh pendapatan yang lebih baik untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan dasar rumahtangganya secara memadai, tapi di kabupaten Aceh Utara dilihat dari Gambar 3 menunjukan bahwa luas lahan sawah terus bertambah dari tahun ke tahun, sebaliknya persentase angka kemiskinan sangat tinggi di perdesaan yang dapat dilihat pada Gambar 2. Penelitian ini mencoba melihat keterkaitan penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan serta pengaruhnya terhadapa tingkat kemiskinan di Aceh Utara.
40000
39773
40024
35000
Tahun
30000 2006
2010
Gambar 3 Luas lahan persawahan Kabupaten Aceh Utara tahun2006 dan 2010
4
1.2 Perumusan masalah Sebagian besar penduduk Indonesia berada di daerah perdesaan. Bagi petani lahan adalahmodal sumber mata pencaharian. Selain modal usaha lahan juga merupakan lambang status sosial ekonomi bagi seseorang yang menguasainya. Saat ini lahan merupakan faktor produksi yang langka, dimana kebutuhan akan lahan makin meningkat baik untuk keperluan perumahan, usaha tani, usaha perkebunan dan keperluan industri. Ditinjau dari luas lahan yang dikuasai, penguasaan pada umumnya dicirikan oleh luas penguasaan lahan yang sempit dan sangat terpencar. Ketimpangan dalam distribusi pendapatan merupakan cermin dari ketimpangan dalam penggunaan faktor produktif. Bagi daerah perdesaan faktor produktif yang menetukan kehidupan perekonomian adalah penguasaan terhadap lahan. Lahan adalah faktor produksi utama untuk kegiatan pertanian dan lahan merupakan penentu untuk menjangkau kegiatan ekonomi diluar pertanian. Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah : 1. Bagaimana Deskripsi kelembagaan lahan usahatani 2. Bagaimana pengaruh Luas penguasaan lahanterhadap pendapatan usahatani. 3. Bagaimanketerkaitan luas pengusahaan lahan dengan kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. 1.3 Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Mengeksplorasi dan mendiskripsikankelembagaan lahan usahatani. Menganalisis pengaruh luas penguasaan lahanterhadap pendapatan usahatani. Menganalisisketerkaitan distribusi penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan petani dan kemiskinan. 1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan, yaitu Pemerintah Aceh Utara Selain pemerintah swasta, dengan masyarakat diharapkan juga untuk memperoleh nilai guna penelitian ini, secara khusus penelitian ini diharapkan berguna : 1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. 2. Sebagai bahan masukan penelitian lanjutan bidang kemiskinan dan Perdesaan. 3. Sebagai bahan informasi bagi petani Kabupaten Aceh Utara untuk dapat melakukan upaya-upaya dalam meningkatkan tingkat pendapatan keluarganya pada masa mendatang.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penguasaan Lahan dan Pendapatan RumahTangga Usaha Tani Pendefinisian status kepemilikan (property right) sumber daya lahan adalah sumber daya publik yang pendefinisian kepemilikannya secara konsepsional dapat diupayakan namun dalam operasionalnya sangat lemah. Itu sebabnya istilah kepemilkikan lahan kurang dikenal dibanding kepemilikan tanah. Sekalipun demikian uapaya memasukan atribut atau karateristik penting ke dalam kepemilikan tanah harus diupayakan di dalam kebijakan lahan. Pemanfaatan lahan berkaitan dengan penguasaan lahan seperti hak pemilikan (property right) yang jelas dan pemilikan bersama (common property). Apabila lahan bersifat “common property” maka efisiensi input biasanya tidak tercapai, bahkan dapat melampaui, karena bersifat “open acces” dimana akan terjadi persaingan antar pemakai. Masing-masing akan berusaha memaksimumkan pangsanya dari “rent” yang diperolehnya. Keadaan ini akan mengakibatkan jumlah input (tenaga kerja) yang berlebihan, sehingga dapat menurunkan rent.Kalau kita tinjau dari aspek alokasi, maka yang mempengaruhi tata guna lahan berbeda menurut jauh dekat pasar atau pabrik pengelolaan bahan pertanian. Dekat dengan pasar atau pabrik, nilai lahan lebih tinggi, hal ini disebabkan biaya transportasi output lebih rendah. Semakin jauh letak lahan dari lokasi pasar atau pengelolaan bahan, maka biaya transportasi produksi per unit semakin tinggi, sehingga rent makin kecil, demikian seterusnya sampai rent habis. Batas habisnya rent oleh transport disebut “margin of cultivation” Anwar(2000) Status pengusaan lahan yang berbeda akan menentukan tingkat keragaman usaha tani, dalam hal ini meliputi tingkat produktivitas lahan dan distribusi pendapatan yang berlainan pula. Teori dasar yang dapat dipakai untuk menerangkan tingkah laku ekonomi dari pemilik –pengarap, petani penyewa dan pengarap adalah, Teori Hanning (1988) bahwa jika penawaran tenaga kerja tinggi maka pemilik lahan menghendaki lahannya untuk disakap/bagi hasil dalam upaya mendapat nilai guna yang lebih tinggimenyatakan karena petani bagi hasil hanya menerima sebagian produk marjinal dari masukan yang dikeluarkan (dalam hal ini tenaga kerja) maka petani dengan status penggusaan lahan ini tidak punya rangsangan yang cukup untuk sistem menggunakan masukan yang dimilikinya sampai pada tingkatan efisiensi. Guna melihat bagaimana distribusi pendapatan personal antar status penguasaan lahan, terlebih dahulu perlu melihat aliran pengusaan lahan yang biasa terdapat Sawit (1985). Perhatikan Gambar 4 berikut dijelaskan mengenai aliran penguasaan lahan. Menyewakan
Kelompok Miskin
Kelompok Kaya Menyakapkan
Gambar 4Aliran Pengusaan Lahan
6
Berdasarkan Gambar4 diatas terlihat bahwa penyakapan (bagi hasil) merupakan pengalihan penguasaan lahan dari kelompok yang relatif kaya kepada kelompok yang relatif miskin, sedangkan persewaan lahan merupakan pengalihan yang berjalan sebaliknya, dari petani yang relatif miskin ke patani yang relatif kaya. Penguasaan lahan menunjukkan penguasaan efektif terhadap tanah. Misalnya, jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri sebesar dua hektar, lalu menggarap juga tiga hektar tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai lima hektar Tjondronegoro dan Wiradi(1984). Pengertian penguasaan tanah menurut Siahaan ( 1977) adalah total dari luas tanah dari mana keluarga yang bersangkutan memperoleh pendapatan. Ada beberapa bentuk penguasaan tanah, yaitu milik sendiri, sewa, bagi hasil, gadai dan kombinasi dari beberapa bentuk penguasaan yang disebut tadi. Milik sendiri adalah penguasaan lahan, dimana petani menggarap lahannya dengan segala resiko ditanggung sendiri tanpa adanya pengaruh dari luar. Segala resiko yang berhubungan dengan cara produksi, pemakaian bibit dan biaya pengerjaan harus ditanggung sendiri. Sewa adalah seseorang menyewa lahan milik orang lain dengan memberi uang tunai atau natura kepada si pemilik. Sewa dapat berlangsung dalam kurun waktu tahunan maupun musiman, misalnya jangka satu musim tanam. Bagi hasil (sakap) adalah penguasaan lahan dimana sipenggarap memberi sebagian dari hasil panenannya kepada sipemilik didasarkan atas kesepakatanantara sipenggarap dan sipemilik. Gadai adalah penyerahan lahan oleh si pemilik kepada pihak lain untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang tunai dengan ketentuan sipelepas atau sipemilik tetap berhak atas pengembalian tanah dengan cara menebus lahannya kembali. Penguasaan lahan ini penting karena ia merupakan sumber dari mana pendapatan petani tersebut diperoleh. Sebab luas lahan yang dimiliki seseorang belum tentu seluas lahan yang dikuasainya. Mungkin ia menguasai lebih luas dari lahan miliknya sendiri ataupun lebih sempit dari lahan miliknya sendiri. Lebih luas karena mungkin dia mengusahakan lahan milik orang lain dengan sewa atau bagi hasil. Lebih sempit karena lahan miliknya diberikan kepada orang lain untuk diusahakan. Jika lahan dikombinasikan dengan input lain seperti tenaga kerja, pupuk, bibit, pestisida, untuk memproduksi output pertanian, maka jumlah input yang digunakan harus optimal, supaya memberikan rent yang maksimum. Rent adalah surplus perbedaan antara harga barang yang diproduksi dengan biaya pengelolaan dari sumberdaya alam menjadi barang. Biaya-biaya tersebut termasuk nilai tenaga kerja, modal, bahan-bahan, dan energi input yang digunakan untuk merubah sumberdaya alam menjadi barang atau produk Hartwick dan Olewiter(1986). Menurut Anwar (2000), rent adalah surplus atau residual yang dibayarkan kepada lahan atas jasanya yang merupakan nilai bersih. Pendapatan adalah penerimaan atau balas jasa dari faktor produksi. Dalam ilmu ekonomi faktor produksi dibedakan atas (a) tanah, (b) tenaga kerja, (c) modal dan (d) skill. Tanah menghasilkan balas jasa dalam bentuk sewa (rent) tenaga kerja dalam bentuk upah ( wage), modal dalam bentuk bunga (interest) dan skill dalam bentuk keuntungan (profit). Jumlah dari seluruh balas jasa tersebut
7
merupakan penerimaan atau pendapatan bagi pemilik faktor produksi. Karena itu dikatakan bahwa ketimpangan dalam distribusi pendapatan mencerminkan ketimpangan dalam pemilikan atau penguasaan faktor produksi. Pendapatan rumah tangga dari sisi penerimaan adalah semua penghasilan yang diterima oleh semua anggota rumah tangga dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan non pertanian. Jenis kegiatan pertanian seperti : usaha tani, buruh tani, perikanan dan beternak. Jenis kegiatan non pertanian seperti pedagang dan pengusaha. Dengan demikian semua penerimaan penghasilan anggota rumah tangga yakni baik suami, istri, anak-anak dan anggota lainnyadan menjadi tanggung jawab kepala rumah tangga ikut diperhitungkan. Pendapatan dihitung dalam satu kali musim tanam. Pendapatan bersih dari usaha tani adalah selisih dari nilai output dengan biaya tunai dari proses produksi. Besarnya pendapatan ini akan dihitung dengan produksi kotor dikurangi biaya-biaya tunai untuk produksi, seperti untuk pupuk, bibit, pestisida dan biaya tenaga kerja upahan. 2.2Distribusi Penguasaan Lahan dan Distribusi Pendapatan Distribusi penguasaan lahan sebagai faktor produksi dan distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi penguasaan lahan dan pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Misalnya jika sekelompok masyarakat proporsinya sebesar 40 persen dari total penduduk, maka seharusnya mereka juga menguasai pendapatan sebesar 40 persen dari total pendapatan. Untuk mengukur distribusi atau tingkat pemerataan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti Gini Ratio, Kuznet Indexs, Oshima Indexs, Theil Decompositon dan kriteria Bank Dunia. Diantara pendekatan tersebut Gini Ratio dan kriteria Bank Dunia merupakan ukuran tingkat pemerataan yang paling banyak digunakan oleh peneliti. Di Indonesia kedua pendekatan tersebut telah lazim digunakan untuk mengukur berbagai bentuk pemerataan, terutama untuk mengukur pemerataan pendapatan dan penguasaan lahan. Di pedesaan distribusi penguasaan lahan dan distribusi pendapatan merupakan dua hal yang cenderung menjadi perhatian., karena distribusi penguasaan lahan cenderung mempengaruhi distribusi pendapatan. Lahan bagi masyarakat pedesaan merupakan faktorproduksi yang menentukan tinggi atau rendahnya pendapatan Dengan demikian jika lahan terdistribusi secara merata, maka pendapatan juga akan terdistribusi pula secara merata. Menurut Oshima dalam Amar(1999), Gini Rasio dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu;Gini Ratio < 0,40 = Merata, > 0,40 Gini Ratio < 0,50 = Sedang, Gini Ratio > 0,50 = Timpang. 2.3 Kerjasama dalam Kelembagaan Lahan Unsur-unsur kerjasama dalam penguasaan tanah petani (pemilik, penggarap, penyewa), lahan pertanian (sawah, tegalan,pekarangan), desa sebagai kumpulan orang atau masyarakat, pamong desa sebagai pucuk pimpinan.
8
Sistem kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, mencakup ideolgi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari sistem perilaku dan lingkungan. Institusi sangat penting dalam pembangunan nasional mengingat kontribusinya yang besar dalam memecahkan masalah-maslah dalam pembagunan. Institusi merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol independensi antara manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi seperti hak pemilikan, aturan representasi dan batas juridiksi. Pakpahan (1990) memberi batasan bahwa kelembagaan (institution) adalah suatu sistem organisasi yang dapat mengontrol sumberdaya. Dalam proses pembagunan institusi dapat mengkoordinasi pemilik input dalam proses produksi. Pemilk input tersebut dapat secara individu, organisasi, pemerintah dan lain-lain. Menurut Anwar (1997), bahwa pengertian hak-hak milik bersama atas suatu sumberdaya seperti lahan tidak identik dengan kedaan lahan yang tidak ada yang punya (open acces), karena pada keadaan common resource, masih ada kelembagaan (istitusion) yang mengatur hak-hak secara bersama (musyawarah adat), termasuk pengaturan hak-hak garap, hak pengambilan hasil dari hutan diatas lahan komunal tersebut, sehingga pada keadaan common resource, kelestarian sumberdaya masih dapat dipelihara. Kerusuhan sosial dapat muncul jika individu-individu kehilangan hak-hak atas lahan mereka, khususnya kepada yang bukan anggota masyarakat setempat. Namun, ketika teknologi sudah maju dan limpahan tenaga kerja dan aset produksi lainnya berbeda diantara rumah tangga, maka keterbatasan dari aturan transfer atas hak milik lahan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap produktivitas. Pertimbangan efisiensi selanjutnya akan memotivasi perubahan baik aturan perundangan maupun tatanan kelembagaan berkaitan dengan hak-hak atas lahan Feder dan Feeney(1993). Kelembagaan pedesaan dapat berupa kelembagaan penguasaan lahan, kelembagaan hubungan kerja dan kelembagaan perkreditan Kasryno(1984). Kurang berkembangnya ekonomi pasar di pedesaan, maka hubungan kelembagaan ini memegang peranan penting dalam transaksi, baik untuk faktor produksi maupun untuk produksi. 2.4Pengertian dan Penyebab Kemiskinan. Pemahaman tentang definisi kemiskinan mutlak untuk dipahami, agar persepsi dan interpretasi tentang kemiskinan tidak multitafsir serta dalam intervensi kebijakan tidak salah sasaran. Secara umum kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut TKPK (2006) dan SNPK (2005). Dalam RPJM Nasional kemiskinan di definisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan)
9
wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah bersangkutan. Selain dari itu, Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa masyarakat miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivatiori). 2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif (unproduetiveness). 3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccecibilty). 4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan 5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah(no freedom for poor). Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri (proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergeney), (4) ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan Mas'oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata. Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi BPS (2008) yaitu: 1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Datakemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Data Susenas merupakan data yang bersifat makro, data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa, dimana alamatnya secara rinci, data ini hanya digunakan untuk mengevaluasi pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin. Sedangkan untuk menyalurkan BLT dalam rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat menunjukkan nama kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya. Sedangkan untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar makanan (setara 2.100 kalori per kapita per hari) dan bukan makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging, ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah tangga, dan asset yang dimiliki rumah tangga.
10
2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila
memenuhi kriteria berikutBPS (2008) : a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. 3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1,00 per kapita per hari BPS (2008). Ketiga kriteria tersebut di atas, belum mampu menunjukkan rumah tangga miskin dengan tepat dan benar, sehingga seringkali menyulitkan pelaksana dalam implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Banyaknya komplain dan reaksi yang menolak beberapa program dan kegiatan merupakan bukti lemahnya sistem pendataan yang dilakukan selama ini, terutama dalam penyaluran bantuan yang sifatnya sementara seperti bantuan langsung tunai (BLT). Beberapa lembaga seperti Smeru dan Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional mendorong pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Namun demikian, dalam prakteknya sangat sedikit pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia yang melakukan kreativitas terkait dengan kriteria kemiskinan tersebut. Selanjutnya, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki Suryawati (2005), yaitu: a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya. b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi). c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan. d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh modal usaha. e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain Makmun (2003) : 1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. 2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan 3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian.
11
Sedangkan Chronic Poverty Research Centre (CPRC) dalam Shepherd (2007) menggambarkan kategorisasi dinamika kemiskinan menjadi tiga bagian yaitu meliputi: selalu miskin dan biasa miskin (chronically poor) kemiskinan transisional meliputi kemiskinan yang fluktuatif dan kadang-kadang miskin (transitorily poor), dan tidak miskin (non-poor). Penduduk yang berada pada kategori kronis bukan hanya miskin di dalam pendapatan akan tetapi juga sangat terbatas dalam pendidikan, nutrisi, akses ke pelayanan kesehatan, atau mungkin terisolasi dan dieksploitasi oleh para elit. Dalam beberapa konteks perempuan miskin dan anak-anak perempuan, anak-anak perempuan dan orang tua (terutama janda) cenderung terjebak dalam kemiskinan. Selanjutnya penduduk yang berada dalam kategori transisional lebih rentan terhadap kemiskinan. Penyebabnya bisa disebabkan oleh faktor internal karena penduduk kategori ini tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kondisi eksternal. Di samping itu, guncangan dalam bentuk kesehatan karena sakit, guncangan lingkungan, bencana alam, kekerasan, dan ketidakpastian hukum dan rontoknya perekonomian penyebab keluar masukanya rumah tangga dalam kemiskinan. Ketika penduduk hanya memiliki asset terbatas, layanan dasar yang tidak memadai dan tidak efektifnya perlindungan sosial menjadi jebakan orang dalam kemiskinan. Memahami kemiskinan dengan pengkategorisasian tersebut mempermudah pengambil kebijakan dalam menentukan sifat dan jenis intervensi kebijakan yang akan dilakukan. 2.5Ukuran-Ukuran Kemiskinan Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia) yang berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai "dasar" dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (i) biaya untuk memperoleh sekeranjang "bundle" makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari, dan (ii) biaya untuk memperoleh "sekeranjang" bahan bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan,- kesehatan, transportasi, dan pendidikan BPS (2008). Garis kemiskinan yang banyak dirujuk untuk menentukan jumlah penduduk miskin dan tidak miskin diajukan oleh Sajogyo (1977). Pada awalnya garis kemiskinan adalah setara dengan harga beras 240 kg beras per orang per tahun untuk perdesaan dan 360 kg per orang per tahun untuk perkotaan. Perkembanganselanjutnya ketentuan garis kemiskinan pun berubah menjadi lebih rinci yaitu di bawah 240; 240-320; 320-480; dan lebih dari 480 kg ekuivalen beras. Klasifikasi ini biasa digunakan untuk mengelompokkan penduduk lebih
12
secara rinci. Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir berkecukupan, dan berkecukupan. Untuk mengukur distribusi pendapatan salah satu ukuran populer yang sering digunakan dalam penelitian empiris adalah koefisien gini (Gini Coefficient) dan kurva Lorenz (Lorenz Curve). Formula koefisien atau rasio gini (Tambunan 2003) adalah sebagai berikut : 𝑛 𝑛 1 𝐺𝑖𝑛𝑖 = 2 − 𝑌 𝑦𝑖 − 𝑦𝑖 2𝑛 𝑖=0 𝑗 =1
Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1: ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati sebagian besar pendapatan negara tersebut. Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien gini adalah rasio: (a) daerah di dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 45 derajat dan titik 0 dari sumbu y dan x) terhadap (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y dan x. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati satu atau semakin menjauh dari kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan, seperti dalam Gambar 2 berikut. % Kumulatif Pendapatan
% Kumulatif Populasi Gambar 5. KurvaLorenz
2.6 Karakteristik Wilayah Perdesaan Kehidupan masyarakat perdesaan yang pada umumnya memperihatinkan, terampas hak-hak mereka sehingga mereka menjadi miskin. Penyebab utama dari keadaan yang demikian adalah disebabkan karena terjadinya urban bias, terutama sebagai sikap elit politik yang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Dari sisi lain kemiskinan juga kemudian menjadi penyebab dan menjadi akibat dari terjadinya kerusakan sumbersumberdaya alam di wilayah perdesaan yang berdampak kepada masyarakat luas.
13
Meskipun keadaan alam wilayah perdesaan dapat dirasakan sangat nyaman alamiah dan menarik untuk dikunjungi dengan ruang hijau terbuka (green openspace) yang luas, tetapi masalah kemiskinan sering kali menjadi ciri dan menjadi pemandangan yang umum dari sebagian besar kehidupan penduduk yang bermukim di wilayah perdesaan. Penyebab utama dari keadaan yang memprihatinkan ini terutama disebabkan oleh karena masyarakat perdesaan tidak mempunyai posisi bargaining (politik) dengan kemampuan politik yang kuat untuk mempengaruhi pemerintah pusat yang bersifat sentralistik. Sehingga keadaan ini menjadi penyebab terjadinya kegagalan kebijaksanaan pemerintah (government policy failure) yang melaksanakan pembangunan secara top-down, sehingga tidak mengetahui kondisi ekosistem dan tatanan nilai masyarakat wilayahnya serta keinginan yang terkandung dalam nilai-nilai kehidupan mereka. Keadaan ini juga didorong oleh terjadinya kesalahan dalam pengaturan dan perancangan (design) dari program-program dan proyek-proyek pembangunan yang memberi dampak kepada terjadinya proses pemiskinan dari masyarakat perdesaan tersebut. Pengurangan dan pengambilan/perampasan hak-hak penduduk komunal lokal dalam akses penguasaan dan penggunaan atas lahan yang didorong oleh kesalahan program pemerintah tersebut, menjadikan landasan yang menjadi kekuatan (politik) utama pada masyarakat perdesaan menjadi hilang, yaitu dengan hilangnya hak mereka kepada sumberdaya alam sebagai sumber mata pencaharian untuk bekerja dan sumber nafkah di atas lahannya. Banyak masyarakat perdesaan selama masa pembangunan lebih dari 30 tahun menjadi terampas hak-haknya atas lahannya oleh orang-orang pengusaha yang berasal dari kawasan perkotaan yang diberi ijin oleh pemerintah pusat untuk mengusahakan menjadi perusahaan HPH dan agribisnis besar-besaran yang sering merampas lahan masyarakat petani kecil. Sebagai akibatnya sumberdaya perdesaan menjadi terkuras dan karenanya potensi kemampuan mereka yang ada pada masyarakat perdesaan menjadi sirna atau menjadi tidak berdaya. Dalam program-program yang berkaitan dengan "pembangunan" kehutanan dan pembangunan perkebunan umpamanya, atau perusahaan real estate, sering terjadi perampasan hak-hak atas lahan-lahan kepunyaan para petani di perdesaan yang lahannya dirampas melalui atas nama program pemerintah dan haknya dialihkan kepada pengusaha-pengusaha besar yang berdiam di kawasan perkotaan. Sehingga sumberdaya dasar kekuatan masyarakat untuk pembangunan wilayah menjadi lemah, yang turut melemahkan kekuatan bargaining politik mereka, yang mengarah terjadinya aliran transfer sumberdaya secara besar-besaran dari wilayah perdesaan ke arah kawasan perkotaan. Keadaan penduduk secara spatial yang berdiam di wilayah perdesaan biasanya terpencar-pencar sesuai dengan penggunaan energi matahari dalamproduksi pertanian yang tersebar. Keadaan ini menyebabkan tingginya tingkat biaya dan kesulitan, serta mahalnya penyediaan fasilitas barang dan jasa publik secara efektif (infrastruktur, pendidikan kesehatan dll.) untuk masyarakat perdesaan. Kondisi ekonomi khusus seperti surplus (kelebihan) tenaga kerja
14
yang tidak disertai dengan penyiapan persediaan kesempatan kerja di wilayah ini berakibat pada kurangnya lapangan kerja dibandingkan dengan kawasan perkotaan, menjadikan mereka tidak produktif. Sektor pertanian pada umumnya merupakan sektor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan, sehingga menyebabkan wilayah perdesaan sangat bergantung kepada kinerja dari satu-satunya sektor tunggal ini, dimana investasi pada sektor ini sangat beresiko tinggi. Lagi pula penerimaan (revenues) yang dapat dikumpul oleh pemerintah desa lokal keadaannya sangat terbatas karena sumber pendapatan dari pajak sangat langka. Keadaan terakhir ini menyebabkan sangat sukar untuk memobilisasikan sumberdaya secara mencukupi guna mampu membiayai program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah lokal secara mandiri. Lebih lanjut wilayah perdesaan secara politik banyak dikesampingkan (marginalized), yang menyebabkan masyarakat perdesaan menjadi miskin, tidak mempunyai pengaruh kepada kekuatan politik dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah pusat sering bertindak secara diskriminatif kepada kebanyakan wilayah-wilayah perdesaan, terutama kepada wilayah yang belum maju dan berpenduduk jarang. Malah mereka banyak mengalami penderitaan karena hak-hak akses mereka terhadap sumberdaya disekelilingnya tidak diakui oleh pemerintah, sehingga akibatnya mereka menghadapi ketidakpastian hak-haknya dan cenderung menjadi perusak sumberdaya yang ada (hutan, lahan, bahari dll). Demikian juga adanya kebijaksanaan pemerintah yang secara konsisten melakukan diskriminasi di masa 10 tahun terakhir belakangan ini, mengakibatkan tidak menguntungkan sektor pertanian (secara luas) melalui kebijaksanaan perpajakan yang tinggi dan kebijaksanaan ekonomi makro (nilai tukar rupiah overvalued, inflasi dan suku bunga tinggi dll), yang kesemuanya berakibat buruk dan berdampak kepada kinerja sektor pertanian, menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah berupa transfer sumberdaya netto lari keluar wilayah perdesaan. Dampak dari kombinasi keadaan faktor-faktor geografi, ekonomi dan sosial politik, semuanya menimbulkan tingginya kejadian kemiskinan dan rendahnya tingkat pembangunan wilayah seperti yang diukur dengan: tingkat melek huruf, harapan hidup, mortalitas anak-anak balita dan Karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik (material capital: man-made dan natural), sumberdaya manusia (human capital) dansumberdaya sosial (social capital) dan kebijaksanaan pengembangan teknologitidak dilakukan secara memadai, bahkan di masa yang lalu banyak terabaikan.Melemahnya posisi masyarakat perdesaan yang menjadi rawan terhadap berbagaibentuk eksploitasi sehingga sumberdaya perdesaan banyak terkuras (depletion)dan terkikisnya nilai-nilai dan kemampuan masyarakat, yang manfaat nilaitambahnya banyak disedot oleh sektor-sektor kegiatan di kawasan perkotaanbesar. Sebaliknya, dampak negatifnya (externalities) yang tertinggal di wilayahperdesaan yang menimbulkan ekternalitas negatif dimana biaya-biaya sosial yangbesar harus ditanggung oleh masyarakat perdesaan yang lemah dan menerimasalah perlakuan. Sebagai akibatnya, maka beberapa sumberdaya
15
mengalamikelangkaan yang gawat bahkan ada yang mengarah kepada irriversibility yang pada gilirannya berdampak juga ke kawasan perkotaan. Sedangkan di lokasi kawasan perkotaan sendiri sumberdaya yang diolah menjadi produk-produk industri lanjut, yang meskipun menghasilkan nilai tambah, tetapi karena lemahnya hak-hak masyarakat lapisan menengah dan bawah di kawasan ini, maka kemudian menimbulkan dampak eksternalitas lagi dalam berbagai bentuk pencemaran-pencemaran kepada masyarakat kota sendiri yang merugikan masyarakat keseluruhan. 2.7Penelitian Terdahulu yang Relevan Pertama, studi oleh Sumarya (2002) dengan judul Hubungnan antara distribusi pengusaan lahan usahatani dengan kemiskinan di pedesaan (studi kasus di kecamatan ciampea dan nanggung, kabupaten bogor) Konsekuensi dan adanya tekanan penduduk terhadap lahan, menjadikannya sebagai barang langka dengan nilai yang semakin tinggi. Luas penguasaan lahan usahatani merupakan peubah yang sangat penting berkenaan dengan tingkat pendapatan keluarga di pedesaan yang menunjukkan kecenderungan bahwa semakin luas akan semakin tinggi pendapatannya, tetapi luas penguasaan lahan usahatani ternyata bukan satusatunya peubah yang menentukan tingkat pendapatan petani (kemiskinan) di pedesaan, karena ia juga dipengaruhi oleh peubah-peubah lain seperti jenis pekerjaan lain yang ditekuni, aksesibilitas fisik, aksesibilitas tertiadap sumberdaya modal maupun keeratan hubungan antar anggota keluarga. Kedua studi oleh Ginting (2004) Analisis Faktor Penyebab PendapatanPetani Miskin di Kecamatan Deli Tua. Demikian juga, pada penelitian AnalisisFaktor Penyebab Pendapatan Petani Miskin di Kecamatan Deli Tua ini didugapendapatan rumah tangga petani dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikankepala keluarga, luas penguasaan lahan, akses terhadap lembaga keuangan,keberadaan altematifusaha dan jumlah tanggungan keluarga.Tujuan penelitian tesis ini adalah; (I) untuk rnengetahui apakah luaspenguasaan laban, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, aksesibilitasterhadap lembaga keuangan dan keberadaan alternatif usaha berpengaruh terhadaptingkat pendapatan petani, (2) untuk mengetahui apakah ada pengaruh perbedaan luas lahan terhadap tingkat pendapatan, (3) untuk mengetahui apakah adapengaruh perbedaan status lahan milik sendiri dan menyewa terhadap tingkatpendapatan, dan (4) untuk mengetahui distribusi pcndapatan antara petaru yang menguasai luas garapan 0,5 ha dengan petani yang menguasai luas garapan yanglebih besar dari 0,5 ha. Ketiga, studi oleh Sugiarto (2009) dengan judul Keragaan Ketenagakerjaan Dan Distribusi Penguasaan Lahan : Kasus Di Perdesaan Patanas Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi keragaan ketenagakerjaan dan penguasaan lahan pertanian didalam menunjang sistem agribisnis di perdesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pertisipasi kerja secara keseluruhan di Jawa dan luar Jawa cukup tinggi dengan tingkat pengangguran relatif tinggi. Dilain pihak angkatan kerja di pertanian telah meningkat kearah pendidikan yang lebih tinggi dari tamat SD keatas. Penguasaan lahan menunjukan bahwa penguasaan lahan pertanian di Jawa dan luar Jawa dibawah 0,5 hektar yang
16
meliputi 75 persen petani. Dalam distribusi lahan sawah belum terjadi ketimpangan, kecuali penguasaan pada lahan kering telah mengarah ketimpangan (GI > 0,5).Hal ini disebabkan karena lahan pada awalnya mempunyai nilai sosial dan spiritual, beralih kenilai ekonomi dan sering terjadi ketidak seimbangan didalam pemilikan dan penguasaan (Gini indeks > 0,5). KeempatStudi oleh Suwarto at all (2010) dengan judul pilihan petani pada kelembagaan lahan usahatani tanaman pangan di Paranggupito Kabupaten Wonogiri, pemilihan lahan kelembagaan di pertanian tanaman bagi petani dapat dipengaruhi oleh situasi dankondisi para petani yang bekerja di bidang kelembagaan. Kelembagaan lahan di peternakan adalah penting, sehingga adalah sebuah kebutuhan untuk mengetahui tanah kelembagaan yang saat ini ada di suatu daerah bersama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tanah kelembagaan bagi petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerjasama di atas lahan tanah kelembagaan adalah gadai,sewa, 'sakap', dan pinjaman. Berbagai faktoryang mempengaruhi pilihan petani di daerah kelembagaan diketahui, yaitu: posisi tawar petani yang bekerja sama, jarak lahan oleh petani, dan kekerabatan.
3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Lahan sebagai sumberdaya utama dalam usahatani telah mengalami penyusutan baik kualintas maupun kualitas akibat adanya tekanan penduduk yang memerlukannya berbagai keperluan, baik keperluan publik maupun individu. Di pihak lain, terjadinya hirarki sosial (social hierarchy) yang terjadi di masyarakat, menyebabkan terjadinya perbedaan aksesibilitas seseorang atau kelompok sosial terhadap kekausaan dan atau terhadap sumberdaya, termasuk sumberdaya lahan usahatani. Golongan masyarakat yang mampu, memandang lahan usahatani bukan saja sebagai faktor produksi usahatani tetapi juga sebagai alat spekulasi yang mempunyai kepastian resiko yang lebih pasti karena equlital market lain sebagai sarana untuk menanamkan modal belum berkembang dan mempunyai resiko ketidakpastian (uncertainly) yang lebih tinggi. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya absentee land (lahan guntai) yang kerapkali tidak diusahakan. Sementara sebagai masyarakat lain sangat membutuhkan lahan tersebut untuk digunakan sebagai sumber pendapatan utama dan merupakan kekausan dasar (power base) untuk bisa bertahan hidup. Keberadaan (supply) lahan usahatani yang relatif tetap sementara kebutuhan akan lahan (demand) semakin meningkat, membawa implikasi semakin beratnya beban lahan yang ada untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia akan pangan sehingga diperlakukan tidak semestinya yang melebihi kemampuan dan daya dukungnya sehingga mengarah kepada degredasi. Selain itu, kebutuhan akan pangan yang semakin meningkat akan mengakibatkan dibukanya lahan-lahan baru bahkan pada lahan-lahan yang tidak layak untuk usahatani. Ketimpangan antara ketersediaan dan permintaan terhadap lahan selanjutnya akan berakibat langsung terhadap melambungnya nilai lahan menjadi mahal. Kelangkaan dan perbedaan aksesibilitas di antara golongan masyarakat tentu saja hanya akan memperbesar ketimpangan penguasaan lahan, karena hanya mereka yang kuat secara finansial yang akan menguasai/memiliki lahan, sementara yang lemah harus tetap berjuang lebih keras untuk dapat menguasai lahan usahatani sebagai sumber penghidupannya. Kerjasama kelembagaan lahan yang diwujudkan dengan sistem sewa, gadai, dan bagi hasil memberi suatu kesempatan bagi rumah tangga tani untuk memperluas akses kepada penguasaan lahan yang lebih luas. Akses yang lebih lancar dalam penguasaan lahan diyakini merupakan jawaban dari ketimpangan dalam penguasaan lahan. Analisis yang dilakukan antara lain mengunakan analisis deskiptif kerjasama kelembagaan lahan kemudian dilakukan analisis regresi berganda untuk meihat variabel apa saja yang dapat mempengaruhi mendapatan petani. Dengan mengunankan indek gini ratio dicari berapa tingkat ketimpangan baik dari sisi pengusaan lahan maupun dari sisi pendapatan. Kemiskinan dihubungkan dengan tingkat penguasaan lahan yang mampu dimiliki oleh petani sehingga pendapatannya dapat dibandingkan dengan angka garis kemiskinan BPS menurut perdesaan.
18
Pertumbuhan Penduduk Dan Perubahan Sosial Budaya
Supply Lahan - Kuantitas -kualitas
Kelangkaan
Harga
Demand Lahan -Pertanian -Non Pertanian
Kerjasama Kelembagaan Lahan (Sewa,Gadai, dan Bagi hasil)
DISTRIBUSI PENGUASAN LAHAN
Kemiskinan
ANALISIS
DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA TANI Gambar 6 Kerangka Pemikiran Penelitian 3.2 Hipotesis Berdasarkan dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Semakin luas penguasaan lahanusahatani di perdesaan maka pendapatan usahatani lebih besar, . 2. Semakin timpang distribusi penguasaan lahan maka semakin timpang distribusi pendapatan. 3. Semakin kecil pengusaan lahan maka semakin miskin rumah tanggatani. 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Aceh Utara Propinsi Aceh pada tiga kecamatan dengan waktu penelitian pada Juni – Agustus 2012.
19
Gambar 7Peta lokasi Penelitian 3.4 Jenis dan sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan melalui wawancara dengan instrument kuisioner kepada responden yang merupakan penduduk di wilayah Aceh Utara. Jenis data primer yang dibutuhkan berupa data kepemilikan lahan atau luas lahan yang dimiliki, data pendapatan, data jenis lahan, pengunaan teknologi, tingkat pendidikan, akses kelembaga keuangan serta data alternatif usaha. Data sekunder merupakan data dari instansi yang terkait dalam penelitian ini, antara lain Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura Kabupaten Aceh Utara, Pemerintah daerah Aceh Utara, Badan Pusat Statistik serta instansi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, data sekunder juga diperoleh melalui studi pustaka dan literatur serta sumber data lainnya yang menunjang Penelitian ini. 3.4.1 Populasi dan Sampel Populasi dari penelian ini adalah kepala keluarga petani Kabupaten Aceh Utara diambil dari data potensi desa tahun 2011. Teknik sampling yang digunakan adalah dengan teknik sampling gugus bertahap Bungin (2011) yaitu memilih sampling dengan bertahap. Tahap pertama memilih kecamatan berdasarkan data podes 2011 dengan kereteria jumlah kepala keluarga petani, kemudian apabila kecamatan telah kita peroleh maka selanjutnya dipilih desa apa yang akan menjadi sampling dengan kriteria jumlah kepala keluarga pertani berdasarkan data podes 2011 kemudian diambil tiga desa dari tiap-tiap kecamatan dengan kereteria jumlah kepala keluarga petani yang paling banyak, desa kedua dengan jumlah
20
kepala keluarga sedang dan desa ketiga dengan jumlah kepala keluarga sedikit. Serperti yang terlihat pada gambar 8 berikut Kabupaten Aceh Utara (Populasi Sampling I) (jumlah kepala kabupaten keluarga Petani Aceh Utara)
Sampel I (beberapa Kecamatan) Berdasar Data Podes 2011 Sampel II (Beberapa Desa)
Kecamatan Terpilih (Terbanyak, sedang, sedikit jumlah kepala keluarga petani)
Responden Sampel (10 % dari jumlah kepala keluarga petani)
(Populasi sampling II)
Desa Sampel
(Terbanyak, sedang, sedikit jumlah kepala keluarga petani)
Gambar 8 Skema gugus bertahap 3.4.2 Populasi
(Terbanyak, sedang, sedikit jumlah kepala keluarga petani
Dari Data populasi diatas maka kita ambil yang memiliki 3 (tiga) kriteria yaitu dengan jumlah kepala keluarga petani yang paling banyak, jumlah kepala keluarga petani sedang kemudian jumlah kepala keluarga petani paling sedikit. Maka didapatlah 3 (tiga) kecamatan. Berdasarkan data Podes 2011 menurut kepala keluarga petani maka Kecamatan yang terpilih adalah Kecamatan Sawang, Kecamatan Matang Kuli dan kecamatan Nibong dengan rincian sebagai berikut seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini : Tabel 1 Daftar kecamatan terpilih sebagai sampel No
Kecamatan
1
Sawang (mewakili jumlah kepala keluarga petani paling banyak)
2 3
Matang Kuli (mewakili jumlah kepala keluarga petani sedang) Nibong (mewakili jumlah kepala keluarga petani sedikit
Jumlah Kepala Keluarga Petani 7256 3018 1084
Sumber : data podes 2011 diolah
3.4.3 Ukuran Sampel Menurut Umar (2003) untuk populasi besar sekitar 10 % dari populasi dapat dijadikan sebagai sampel penelitian, sehingga besarnya ukuran sampel penelitian ini adalah 122 responden (sekitar 10 % dari 1166) kepala keluarga petani. Besarnya jumlah sampel masing-masing desa adalah 10 % dari jumlah kepala keluarga petani dari tiap-tiap desa. Ukuran populasi dan sampel penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
21
Tabel 2 Alokasi proposional sampel penelitian di Kabupaten Aceh Utara No
Kecamatan
1
Sawang
2
Matang Kuli
3
Nibong
4
Total
Desa Sampel Desa Jumlah KK Petani Teupin Resep 647 Blang Cut 101 Blang Manyak 25 Jumlah Responden
Jumlah Sampel 65 10 3 78
Meunasah Punti Desa UDE Tanjong Haji Muda Jumlah Responden
200 74 5
20 7 2 29
Alue ie Mirah Maddi Keude Nibong Jumlah Responden
100 30 4
10 3 2 15 122
1.166
Sumber : data podes 2011diolah 3.4.4 Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode pengambilan sampel yang dilakukan dengan sampel acak sederhanasehingga dari jumlah 1.166 kepala keluarga petani tersebut, diambil sampel sebanyak 122 orang kepala keluarga petani. 3.5 Metode Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui kuesioner diperiksa ulang 10 % diantaranya agar diyakini validitasnya, sementara data sekunder dicek silang antar beberapa sumber data, dan setelah itu baru diedit dan disusun secara tabulatif. Data tersebut kemudian diolah secara kuantitatif menggunakan perhitungan matematis dan metode statistik yang kemudian dilanjutkan dengan analisis stastistik deskriptif, yaitu dengan memaparkan hasil yang didapat dalam bentuk uraian yang sistematis. 3.5.1 PCA dan Regresi Linier Berganda PCA atau Analisis Komponen Utama merupakan analisis multivariate yang digunakan untuk mengatasi adanya multikolinieritas antar variabel. Oleh karena itu, Prinsip utama dari model regresi komponen utama ialah skor komponen utama yang diregresikan dengan peubah tak bebas atau dengan kata lain regresi komponen utama merupakan analisis regresi dari peubah tak bebas terhadap komponen-komponen utama yang tidak saling berkorelasi. Untuk melihat pengaruh dari luas pengusaan lahan terhadap pendapatan usahatani digunakan analisa regresi berganda. Sumber pendapatan adalah usahatani. Bentuk persamaan sebagai berikut :
22
Yi= α+β1Li+ β2LSi +β3Ui + β4JAKi+β5di+β5diLi+e Dimana Yi α βi Li JAKi LSi Ui Dummy diLi e
= = = = = = = = 0= 1= = =
Pendapatan Usahatani ke i konstanta koefisien regresi Luas penguasaan lahan usahatanike i Jumlah Anggota Keluarga ke i Lama Sekolah ke i Umur ke i Status Lahan ke i milik, milik+sewa sewa dummy x luas lahan ke i error
Analisis regresi dihitung untuk masing-masing status penguasan lahan. Nilai a dan b berupa nilai estimasi regresi atau disebut koefisien regresi. Dari persamaan regtesi diharapkan nilai b positif, karena dengan positifnya nilai b berarti antara pendapatan dan luas penguasaan lahan menpunyai hubungan yang searah. Dengan kata lain semakin luas lahan yang dikusai menyebabkan semakin besar pendapatan yang diterima, atau semakin sempit lahan yang dikuasai makin kecil pendapatan yang diterima, atau semakin sempit lahan yang dikusai makin kecil pendapatan yang diterima petani di pedesaan. 3.5.2 Gini Rasio Pendapatan dan Gini Rasio Luas Lahan Pendekatan Gini Ratio Pendapatandengan rumus sebagiberikut: 𝑛
𝐺 = 1−
𝑃𝑖 ∗ 𝑖=1
𝑄𝑖 − 𝑄𝑡−1 10.000
Di mana : GR = koefisien indeks gini N = Jumlah rumah tangga sampel Pi = Presentase rumahtangga atau penduduk pada kelas ke-i Qi = Presentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i Qt-1 = Presentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i Jumlah kelas 1 dan 10.000= Konstanta (Sumber: Toto Sugito, 1980) Indeks Gini mempunyai selang nilai antara 0 dan 1. Bila indeks Gini bernilai 0 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat merata, sedangkan bila bernilai 1 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat timpang. Biasanya indeks Gini tidak pernah mempunyai nilai 0 ataupun 1. Oleh karena itu Todaro (2000) menyatakan bahwa : a. Bila koefisien Gini berada di antara 0,2 sampai 0,35 maka distribusi pendapatan disebut sebagai merata. b. Bila koefisien Gini berada di antara 0,35 samapai 0,5 maka distribusi pendapatan disebut sebagai tidak merata,
23
c. Bila koefisien Gini berada diantara 0,5 sampai 0,7, maka distribusi pendapatan disebut sebagai sangat tidak merata. Sedangkan untuk melihat distribusipenguasaan lahandiugunakan indeks Gini (Gini Coeficient) dengan formula sebagai berikut (Szal danRobinson, 1992) : 𝐺 =1+
1 2 − 2 [ 𝑛 𝑛 𝑌𝑟
𝑌𝑖 ]
dimana : n = Jumlah rumah tangga contoh Yi = Luas lahan yang dimiliki/dikuasai oleh rumah tangga ke-i Yr = Rata-rata luas lahan yang dikuasai/dimiliki Kriteria Nilai indeks Gini (GI) bervariasi antara 0 – 1. Untuk mengukur tingkatketimpangan luas lahanmenurut Oshima (1976) adalah apabila nilai GI < 0,4 termasukketimpangan rendah, 0,4 < GI < 0,5 ketimpangan sedang dan GI > 0,5ketimpangan berat. 3.5.3 Analisis Data Kelembagaan Lahan Untuk mendapatkan informasi yang valid mengenai kelembagaan lahan pada usahatani selanjutnya data hasil survei dianalisis dengan tabulasi. Untuk memperjelas hasil survei dalam pembahasan data juga diperkuat dengan informasi yang diperoleh melalui studi pendalaman. 3.6 Tujuan Penelitian, Jenis Data dan Metode Analisis Tabel 3 Tujuan penelitian, jenis data dan metode analisis NO
Tujuan
Jenis Data
Sumber Data
Metode analisis
1.
Mengeksplorasi dan mendiskripsikankelembagaan lahan usahatani.
Data Luas lahan
Data Primer
Analisis Deskriptif dengan Grafik
2
Menganalisis pengaruh Luas penguasaan lahan dengan pendapatan usahatani . Menganalisis keterkaitan distribusi penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan petani dan kemiskinan
Data luas lahan
Data Primer
PCA, Analisis Regresi Berganda
Data Pendapatan petani, data luas penguasaan Lahan.
Data Primer
Analisis Gini Rasio lahan dengan Gini Rasio Pendapatan, korelasi
3
4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN ACEH UTARA 4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian 4.1.1Posisi Geografis dan Luas Wilayah Kabupaten Aceh Utara terbentuk berdasarkan Undang-undang No.7/DRT/1956.Sebagai salah satu kabupaten tertua di Aceh, Kabupaten Aceh Utara menempati posisigeografis yang sangat strategis yang berbatasan langsung dengan Kota Lhokseumawe,Bireuen, Aceh Timur, dan Bener Meriah. Secara geografis, Aceh Utara terletak padaposisi antara 96.52.000–97.31.000 Bujur Timur (BT) dan 04.46.000–05.00.400 LintangUtara. Kabupaten Aceh Utara yang termasuk zona industri di Aceh berbatasanlangsung dengan : Sebelah Utara dengan Kota Lhokseumawe dan Selat Malaka; Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bener Meriah; Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur; dan Sebelah Barat dengan Kabupaten Bireuen; Sebagai zona industri di Aceh, di Aceh Utara berkembang industri–industri besaryang menghasilkan devisa bagi negara, seperti PT. Arun NGL, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan Exxon Mobil.Kondisi terakhir menyiratkan aktivitas industri tersebut semakin menurun. Bahkan, PT.Kertas Kraf Aceh dan PT. Asean Aceh Fertilizer tidak berfungsi lagi akibat keterbatasan pasokan bahan baku. Ditaksirke depan, aktivitas industri PT. Arun NGL, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan Exxon Mobil juga semakinberkurang sehingga menyebabkan pula kontribusi terhadap daerah menurun. Olehkarena itu, perlu upaya yang signifikan untuk menguatkan sektor non-migas sebagaipendorong perekonomian daerah dan penyediaan lapangan kerja yang memadai diKabupaten Aceh Utara di masa mendatang. Kabupaten Aceh Utara menempati posisi yang sangat strategis di Aceh.Tepatnya, berada di jalur lintas nasional di wilayah pantai utara-timur Provinsi Aceh,yang menghubungkan daerah hiterlandnya, seperti Bireuen, Lhokseumawe, dan AcehTimur. Selain itu, Aceh Utara juga berada pada posisi mata rantai jaringan transportasiutama pantai utara-timur yang menghubungkan Provinsi Aceh dengan Medan, ProvinsiSumatera Utara. Karena itu, Pemerintah Aceh Utara harus memanfaatkan peluangposisi tersebut untuk kepentingan pengembangan ekonomi wilayah dan percepatanpertumbuhan ekonomi daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara harusmenyiapkan pula sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas sebagai upaya meraih berbagai peluang dan potensi ekonomi untuk kemakmuran masyarakat dankepentingan daerah. Luas wilayah Kabupaten Aceh Utara mencapai 3.296,86 kilometer persegi(km2), atau setara 5,75 persen dari luas wilayah Provinsi Aceh. Dari 27 kecamatan yangada di Aceh Utara, terlihat dua kecamatan memiliki luas wilayah yang cukup menonjol.Kecamatan tersebut adalah Paya Bakong dan Sawang. Luas wilayah Kecamatan PayaBakong mencapai 418,32 km 2, atau sekitar 12,69 persen dari total luas wilayah AcehUtara. Luas wilayah Kecamatan Sawang mencapai 384,65 km2 (11,67 persen).Kecamatan Lhoksukon sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Utara memilikiluas wilayah tidak lebih dari 7,37 persen, atau
25
hampir 243 km2. Geureudong Pase danMeurah Mulia termasuk pula yang cukup memadai luas wilayahnya, yakni masing-masing269,28 km2 (8,17 persen) dan 202,57 km2 (6,14 persen).
Gambar 9 Peta Kabupaten Aceh Utara Sementara itu, terdapat beberapa kecamatan dengan luas wilayahnya ratarataberkisar antara 100 km2 hingga 200 km2, adalah Kuta Makmur, Cot Girek, TanahJambo Aye, Langkahan, Baktiya, dan Seunuddon. Sedangkan kecamatan yang memilikiluas wilayah kurang dari 100 km 2, sangat menonjol di Aceh Utara. Hampir 59,26 persen(16 kecamatan) dengan luas wilayah tersebut, meliputi Bandar Baro, Lapang, TanahPasir, Syamtalira Aron, Nisam, Nisam Antara, Tanah Luas, Muara Batu, Dewantara,Samudera, Nibong, Pirak Timu, Syamtalira Bayu, Matangkuli, Simpang Keuramat, danBaktiya Barat. Luas wilayah antarkecamatan yang relatif merata dan bervariasi menjadi tantangan bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Tantangan tersebut adalah bagaimana mengupayakan pemerataan pembangunan berkualitas di setiap kecamatan, termasuk pelayanan infrastruktur publik, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kelembagaan sosial-ekonomi. Lebih lanjut, Kondisi tersebut berimplikasi pula terhadap distribusi penduduk yang tidak merata. Umumnya masyarakat akan memilih tempat tinggal yang layak yang dibarengi ketersediaan infrastruktur publik yang memadai. Tabel 4 Luas wilayah Kabupaten Aceh Utara menurut kecamatan tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Sawang Nisam Nisam Antara Bandar Baro Kuta Makmur Simpang Keramat
Luas Wilayah (Km2) 384,65 42,74 84,38 42,35 151,32 79,78
Persentase 11,67 3,48 2,56 1,28 4,59 2,42
26 Lanjutan Tabel 4 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Syamtalira Bayu Geurudong Pase Meurah Mulia Matang Kuli Paya Bakong Pirak Timu Cot Girek Tanah Jambo Aye Langkahan Seunuddon Baktiya Baktiya Barat Lhoksukon Tanah Luas Nibong Samudera Syamtalira Aron Tanah Pasir Lapang Muara Batu Dewantara Kabupaten Sumber Data : Aceh Utara Dalam Angka 2011
77,53 269,28 202,57 56,94 418,32 67,70 189,00 162,98 150,52 100,63 158,67 83,08 243,00 30,64 44,91 43,28 28,13 20,38 19,27 33,34 39,47 3.296,86
2,35 8,17 6,14 1,73 12,69 2,05 5,73 4,94 4,98 3,05 4,81 2,52 7,37 0,93 1,36 1,31 0,85 0,62 0,58 1,01 1,20 100,00
4.1.2 Topografi dan Tata Guna Lahan Dari sisi topografi, dapat dipastikan sebagian besar wilayah Kabupaten AcehUtara adalah dataran rendah. Hampir 44,31 persen (146.096 ha), dari luas wilayahAceh Utara bertopografi datar dengan ketinggian antara 0-25 m dibawah permukaanlaut (dpl). Dari data yang dihimpun, sekitar 91,55 persen atau paling kurang 780gampong, dari keseluruhan 852 gampong/kelurahan yang ada di Aceh Utaramerupakan gampong-gampong bertopografi dataran, termasuk pula gampong dikawasan pesisir. Gampong bertopografi berbukit sedikitnya 72 gampong (8,45persen).Gampong bertopografi dataran cukup dominan ditemui di KecamatanLhoksukon (75 gampong), termasuk Tanah Luas (57 gampong), Meurah Mulia (49Gampong), Matangkuli (49 gampong) dan Tanah Jambo Aye (45 gampong).Gampong-gampong bertopografi berbukit patut menjadi perhatian PemerintahKabupaten Aceh Utara, terutama menyangkut akses pelayanan pendidikan dankesehatan. Umumnya gampong tersebut relatif berkembang dibanding gampongbertopografi dataran. Gampong tersebut cukup menonjol terdapat di KecamatanSawang (18 gampong) dan Geureudong Pase (11 gampong), disamping juga MuaraBatu (7 gampong).Mengutip data Yayasan Leuser Internasional (YLI) diketahui, bahwa hampir50,38 persen lahan di Aceh Utara dengan tingkat kemiringan kemiringan 0-2 persen,atau ditaksir hampir 166.063 ha.Kondisi lahan tersebut sangat cocok untukpengembangan pertanian tanaman pangan. Disamping itu, dipastikan pula memenuhipersyaratan untuk pembangunan prasarana pendidikan. Selain itu, sekitar 62.146 ha(18,85 persen) dengan tingkat kemiringan lahan 2-8 persen. Lebih lanjut, kemiringanlahan 8-15 persen mencapai 34.749 ha (10,54 persen). Selebihnya adalah lahandengan tingkat kemiringan 15-25 persen sebesar 31.617 ha (9,59 ha) dan kemiringanlahan 25-40
27
persen sebesar 23.935 ha (7,26 persen). Kemiringan lahan diatas 40persen tidak lebih dari 1.176 ha (3,39 persen). Lahan hutan dan lahan perkebunan sangat menonjol di Kabupaten Aceh Utara.Hutan yang dikelola rakyat mencapai seluas 51.129 ha, atau paling kurang dari 15,51persen dari total luas lahan. Keberadaan hutan rakyat tersebut diharapkan berdampakterhadap peningkatan income generating warga yang mendiami di sekitar hutan. Lebihlanjut, hutan yang dikelola negara seluas 51.129 ha (15,20 persen). Secarakeseluruhan luas hutan di Aceh Utara mencapai 101.245 ha. Besarnya potensi hutantersebut harus diawasi secara ketat, terpadu, dan berbasis partisipasi masyarakat.Dengan demikian, fungsinya bagi kelansungan ekosistem dan kehidupan manusiatetap terjaga sepanjang masa. Tabel 5 Penggunaan lahan di Kabupaten Aceh Utara, tahun 2006 – 2010 (ha) No.
Penggunaan Lahan
Luas lahan (Ha)
1. 2. 3. 4. 5.
Persawahan Pekarangan/Bangunan Tegalan/Kebun Ladang/huma Pengembalaan/Padang Rumput
2006 39.773 34.753 38.838 30.142 7.862
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Sementara Tidak Diusahakan Ditanam Pohon/Hutan Rakyat Hutan Negara Perkebunan Lain-lain Tambak Kolam/Tebat/Empang Rawa-rawa Jumlah
12.713 34.738 58.275 43.537 15.625 9.540 748 3.142 329.686
% 12,06 10,54 11,78 9,14 2,38
2010 40.024 40.518 36.459 25.768 5.712
% 12,14 12,29 11,06 7,82 1,73
3,86 10,54 17,68 13,21 4,74 2,89 0,23 0,95 100,00
9.163 51.129 50.116 40.771 16.446 9.456 714 3.410 329.686
2,78 15,51 15,20 12,37 4,99 2,87 0,22 1,03 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Utara 2011
Gambar 10Peta kawasan hutan di Kabupaten Aceh Utara
28
Penggunaan lahan untuk perkebunan juga terlihat cukup memadai di AcehUtara, yakni hampir 40.771 ha (12,37 persen). Lahan perkebunan tersebutdimanfaatkan masyarakat untuk ditanami bermacam jenis komoditas, seperti kelapasawit, kakao, pinang, kelapa, cengkeh, karet, dan lainnya. Disamping diusahatanikanmasyarakat, perkebunan juga dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PTPerusahaan Nusantara I (PTPN I). Lahan perkebunan paling luas terdapat di KecamatanSawang dan Kecamatan Cot Girek, yakni masing-masing 9.787 ha dan 9.415 ha.Penggunaan lahan untuk pemukiman (pekarangan/bangunan) dan sawah juga cukupmenonjol, disamping lahan lainnya diperuntukkan untuk tegalan/kebun, ladang/huma,tambak, sementara tidak digunakan, rawa, dan lainnya. 4.1.3Iklim Daerah Kabupaten Aceh Utara dipengaruhi oleh angin musim. Pada musim penghujan terdapat bulan-bulan basah sedang pada musim kemarau tidak terlalu kering. Keadaan suhu sedang tidak terlalu panas dan tidak terlalu ingin suhu ratarata berkisar antara 28° — 36°C. Setiap tahun di daerah ini terdapat banjir yang merupakan bencana bagi penduduk. Bencana banjir ini biasanya terjadi di sekitar bulan-bulan Nopember s/d Desember setiap tahun daerah-daerah yang sering diserang bencana banjir, ini adalah daerah sebelah Timur Aceh Utara. Banjir terjadi 3— 4 kali dalam setahun dengan ketinggian air rata-rata 0,5 — 0,75 m. Lamanya tergenang air antara 1 — 3 hari, menurut perkiraan setiap tahun jumlah kerusakan tanaman rakyat, terutama padi, akibat bencana banjir ini berkisar antara 100 — 200 ha. Dalam beberapa tahun ini di Kabupaten Aceh Utara telah terjadi kemarau panjang. Hal ini mungkin disebabkan terlalu bebasnya pemotongan kayu dan penebangan hutan di gunung-gunung. 4.1.4Pemerintahan Secara administratif, hingga akhir tahun 2010 Kabupaten Aceh Utara terdiriatas 27 kecamatan, 852 gampong dan 70 mukim. Sebelumnya tahun 2006, terdapat22 kecamatan, 852 gampong/kelurahan, dan 56 mukim. Sepanjang tahun 2006-2010telah terjadi pemekaran kecamatan dan penambahan mukim di Kabupaten Aceh Utara.Distribusi gampong antarkecamatan relatif merata dan sangat dipengaruhi olehperkembangan dan kemajuan pembangunan di setiap kecamatan. Gampong cukupmenonjol terdapat di Kecamatan Lhoksukon yaitu sekitar 8,82 persen (75 gampong).Kecamatan Tanah Luas dan Baktiya juga cukup memadai jumlah gampongnya, yaknimasing-masing 57 gampong. Jumlah gampong yang relatif sedikit ditemui di KecamatanNisam Antara sebanyak 6 gampong, Bandar Baro 9 gampong, Geureudong Pase 11gampong, dan Lapang 11 gampong. Beberapa kecamatan yang cukup dominan jumlahgampong dinilai memungkinkan untuk dilakukan pemekaran kecamatan sebagai upayapeningkatan kualitas pelayanan pemerintahan dan pembangunan bagi masyarakat. Salah satu persoalan mendasar kurang optimalnya pelayanan pemerintahanadalah apabila jarak ibukota kecamatan dengan ibukota kabupaten yang relatif jauh.Kondisi tersebut semakin buruk apabila tidak ditunjang dengan prasarana transportasiyang layak, disamping juga akses informasi dan komunikasi yang memadai.
29
Tabel 6 Jumlah desa dan jarak dari ibu kota kecamatan ke ibu kota kabupaten dan ibu kota provinsi Kecamatan
Jumlah Desa
Ibu Kota Kecamatan
Sawang 39 Sawang Nisam 29 Keude Amplah Nisam Atara 5 Alue Dua Banda Baro 9 Ulee Nyeue Kuta Makmur 39 Buloh Biang Ara Simpang Keramat 16 Kedee Simpang Empat Syamtalira Bayu 38 Bayu Geureudong Pase 11 Mbang Meurah Mulia 50 Jungka Gajah Matang Kuli 49 Matang Kuli Paya Bakong 39 Keude Paya Bakong Pirak Timu 23 Alue Bungkoh Cot Girek 24 Cot Girek Tanah Jambo Aye 47 Panton Labu Langkahan 23 Langkahan Seunuddon 33 Seunuddon Baktiya 57 Alue le Puteh Baktiya Barat 26 Keude Sampoiniet Lhoksukon 75 Lhoksukon Tanah Luas 57 Biang Jruen Nibong 20 Keude Nibong Samudera 40 Geudong Syamtalira Aron 34 Simpang Muling Tanah Pasir 18 Jrat Manyang Lapang 11 Lapang Muara Batu 24 Krueng Mane Dewantara 15 Krueng Geukueh Sumber: BPS Kab. Aceh Utara, 2011
Jarak ke Ibukota Kec. Ke Kabupaten (km) 47 24 40 30 14 16 12 34 24 32 41 35 43 54 70 60 46 40 31 24 22 15 19 25 19 31 16
Provinsi (km) 260 283 350 264 289 291 285 300 297 305 314 350 325 336 352 340 328 322 313 297 295 297 301 307 370 244 259
Di AcehUtara, terdapat 2 kecamatan yang paling jauh jaraknya dari pusat kecamatan keibukota kabupaten, meliputi Langkahan dan Seunuddon. Ke pusat ibukota kabupaten,masyarakat yang mendiami di Langkahan harus menempuh jarak paling kurang 70 kmdan masyarakat di Seunuddon menempuh paling kurang 60 km. Kondisi yang tidak jauhberbeda juga ditemui di Sawang dan Baktiya. Jaraknya ke ibukota kabupaten masingmasingmencapai 47 km dan 46 km. Menyikapi kondisi tersebut, sudah sepatutnyaPemerintah Kabupaten Aceh Utara mengupayakan tersedianya prasarana perhubungandarat yang layak sehingga memudahkan masyarakat untuk memperoleh pelayananpemerintahan yang efektif dan efisien 4.1.5Demografi Mengutip data hasil sensus penduduk 2010, tercatat penduduk di KabupatenAceh Utara mencapai 529.746 jiwa, jauh lebih tinggi dibanding tahun 2006 yang masihsebanyak 502.288 jiwa. Selama periode 2006-2010,
30
(Dalam Ratusan Ribu)
pertumbuhan kenaikan jumlahpenduduk di Aceh Utara relatif rendah, yakni ratarata hampir 1,33 persen setiaptahunnya. Penyebaran penduduk relatif merata di setiap kecamatan. KecamatanLhoksukon sebagai pusat pemerintahan di Aceh Utara dihuni penduduk yang cukupdominan, dibanding kecamatan lainnya. Tercatat penduduk di Lhoksukon mencapai42.902 jiwa, atau sekitar 8,09 persen dari total penduduk Aceh Utara. Beberapa kecamatan yang masih menjadi incaran pendatang untuk menetapatau dihuni penduduk yang cukup memadai adalah Dewantara, Tanah Jambo Aye,Sawang, dan Baktiya. Sedangkan yang relatif sedikit penduduk ditemui di KecamatanGeureudong Pase, Pirak Timu, Bandar Baro, Lapang, Simpang Keuramat, Nibong, danTanah Pasir.Sepanjang tahun 2006-2010, struktur penduduk Aceh Utara dari sisi jeniskelamin masih didominasi kaum perempuan. Pada tahun 2006, tercatat pendudukperempuan sebanyak 255.407 jiwa (50,85 persen) dan laki-laki sebanyak 246.881 jiwa(49,48 persen). Kondisi tahun 2010 memperlihatkan bahwa dari 529.746 jiwapenduduk Aceh Utara, hampir 50,52 persen (267.645 jiwa) merupakan kaumperempuan dan sekitar 49,48 persen (262.101 jiwa) adalah laki-laki. Meski demikian,tidak semua kecamatan terlihat didominasi kaum perempuan 5,35 5,25
5,27
5,33
2008
2009
5,30
5,16
5,15 5,05
5,02
4,95 4,85 2006
2007
2010* Tahun
Gambar 11 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Aceh Utara, tahun 2006 – 2010(Jiwa) Di Lhoksukon, misalnya,penduduk laki-laki cukup menonjol dibanding perempuan. Tercatat laki-laki palingkurang 50,80 persen dan perempuan 49,20 persen. Kondisi serupa juga terjadi diKecamatan Simpang Keuramat, Geureudong Pase, Langkahan, Lhoksukon, danDewantara.Perkembangan penduduk di Kabupaten Aceh Utara selama tahun 2006-2010dapat dilihat pada gambar 11. 4.1.7 Masa Turun Ke Sawah. Bagi kecamatan-kecamatan yang ada irigasinya, biasanya masa turun ke sawah berkisar sekitar bulan Oktober s/d Desember untuk padi rendengan dan bulan April s/d Juni untuk padi gadu. Sedangkan bagi kecamatan kecamatan yang tidak ada irigasinya(sawah tadah hujan), masa turun ke sawah sangat tergantung kepada musim, dan biasanya berkisar sekitar bulan-bulan September s/d Januari. Masa turun ke sawah untuk seluruh Kabupaten Aceh Utara boleh dikatakan belum begitu serentak. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
31
a. Tidak seluruh areal sawah yang ada sudah mempunyai irigasi yang teratur sehingga masa tanamnya sangat dipengaruhi oleh hujan yang tidak jarang musimnya sangatbervariasi antara satu tempat dengan tempat lain. b. Adanya penanaman padi dua kali dalam setahun dan penanamannya tidak serentak dilakukan meskipun dalam satu areal persawahan. Hal ini tentu saja merajalela hama dan penyakit tanaman padi yang dapat mengakibatkan menurunnya hasil. c. Petani penanaman yang belum begitu mantap antara tanaman padi dan palawija 4.1.8Provinsi NAD Dalam Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional Pada Gambar 12digambarkan Rencana Pola Ruang Nasional yang berkenaan dengan wilayah Provinsi NAD berdasarkan Peta Pola Ruang Wilayah Nasional dalam RTRWN. 4.1.8.1 Kawasan Budidaya Nasional (Kawasan Andalan) Berdasarkan Gambar 12, dapat diindikasikan Kawasan Lindung di wilayah Provinsi NAD, dengan sebaran utamanya adalah di bagian timur wilayah, di bagian barat wilayah, dan di bagian tengah wilayah (yang dilingkungi oleh kawasan lindung).Untuk pengembangan kawasan budidaya ini ditetapkan Kawasan Andalan, yang terdiri atas Kawasan Andalan darat dan Kawasan Andalan laut, seperti ditetapkan RTRWN.
Gambar 12 Provinsi NAD dalam rencana pola ruang wilayah nasional 4.1.9 Rencana Tata Ruang di Kabupaten Aceh Utara Pasca diterbitkannya Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) di Indonesia pada tahun 1992 (UU No. 14 Tahun 1992; selanjutnya diubah dengan diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007), Pemerintah Kabupaten Aceh Utara
32
telah menyusun beberapa dokumen perencanaan ruang. Dokumen tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah kabupaten dalam menerbitkan izin pemanfaatan ruang dan dalam mengendalikan proses pemanfaatan ruang daerah, serta pedoman bagi investor/masyarakat untuk mengetahui jenis fungsi dan lokasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan fungsi-fungsi tertentu. Tidak semua rencana tata ruang ditetapkan sebagai dokumen hukum. Data yang ada menunjukkan hanya 2 (dua) dokumen tata ruang di Kabupaten Aceh Utara yang mempunyai kekuatan hukum. Pertama adalah Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kawasan Perkotaan Lhokseumawe Tahun 1996-2006 (Perda Kabupaten Aceh Utara No. 5 Tahun 1997, perda ini kemudian menjadi tidak berlaku dengan ditetapkannya UU No. 2 Tahun 2001 yang menetapkan Kota Lhokseumawe sebagai daerah otonom yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Utara). Kedua, RUTR Lhoksukon (RUTR dengan kedalaman Rencana Detil Tata Ruang/RDTR Kota Lhoksukon yang ditetapkan melalui Perda Kabupaten Aceh Utara No. 31 Tahun 2002, Lembaran Daerah No. 31 Seri E Nomor 6). Perubahan regulasi penataan ruang terutama dengan pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebabkan sebagian besar dokumen rencana tata ruang harus disusun ulang/direvisi untuk menyesuaikan dengan norma, standar, pedoman dan manual (NSPM) terbaru dalam bidang penataan ruang. Berdasarkan data pada tabel diatas, diketahui bahwa hanya dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Utara Tahun 2012-2032 yang masih sesuai dengan peraturan tentang penataan ruang yang saat ini berlaku.
Gambar 13Rencana tata ruang Kabupaten Aceh Utara 4.1.8.1 Kecamatan dan Sistem Pusat Pelayanan di Kabupaten Aceh Utara Berdasarkan Tabel 7 secara administratif, Kabupaten Aceh Utara terbagi atas 27 kecamatan. Dari rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Utara Tahun 2012-2032, diperoleh informasi sebagai berikut Kecamatan Sawang adalah pusat pelayanan kawasan/kecamatan dengan ibukota kecamatan Sawang, Kecamatan Nibong adalah pusat pelayanan kawasan/kecamatan dengan ibukota
33
Nibong dan Kecamatan Matangkuli adalah pusat pelayanan kawasan/kecamatan dengan ibukota Matangkuli. Tabel 7 Sistem pusat pelayanan yang ditetapkan RTRW Kabupaten Aceh Utara. No.
Nama Kecamatan
Ibu Kota
Fungsi Pelayanan
1
Muara Batu
Krueng Mane
PKN (Pusat Kegiatan Nasional)
2
Sawang
Sawang
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
3
Banda Baro
Ulee Nyeue
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
4 5
Dewantara Nisam
Krueng Geukueh Keude Amplah
PKN (Pusat Kegiatan Nasional) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
6 7
Nisam Antara Kuta Makmur
Alue Dua Buloh Blang Ara
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
8
Simpang Keuramat
Simpang Keuramat
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
9 10
Geureudong Pase Syamtalira Bayu
Mbang Bayu
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
11 12
Meurah Mulia Samudera
Jungka Gajah Geudong
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
13
Tanah Pasir
Matang Manyang
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
14 15
Syamtalira Aron Nibong
Simpang Mulieng Nibong
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
16
Lhoksukon
Lhoksukon
PKL (Pusat Kegiatan Lokal)
17 18
Lapang Tanah Luas
Keude Lapang Blang Jruen
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
19 20
Matangkuli Paya Bakong
Matangkuli Paya Bakong
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
21
Pirak Timu
Alue Bungkoh
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
22 23
Baktiya Barat Baktiya
Sampoiniet Alue Ie Puteh
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
24 25
Seunuddon Cot Girek
Seunuddon Cot Girek
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan) PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
26
Langkahan
Langkahan
PPK (Pusat Pelayanan Kawasan/Kecamatan)
27
Tanah Jambo Aye
Panton Labu
PKLp (PKL Promosi)
Suber : RTRW Kabupaten Aceh Utara
Berdasarkan Tabel 8 diketahui total lahan budidaya 76,9 % dari luas Kabupaten aceh utara dan hanya 3,65 % dari luas lahan Propinsi Aceh sedangkan lahan lindung 23 % dari luas lahan aceh utara dan hanya 1,09 % dari luas lahan Aceh. Lahan budidaya Kabupaten Aceh Utara sudah cukup luas jika dilihat dari luas lahan yang ada. Adanya perkembangan jumlah penduduk yang terus bertambah dan juga terjadinya migrasi membuat kemungkinan adanya pengurangan dari luas lahan budidaya. Propinsi Aceh lahan lindung masih sangat kecil luasnya ini merupakan potensi untuk dapat memperluas lahan budidaya denagn pencetakan sawah baru maupun dengan program transmigrasi.
34
Tabel 8 Luas kawasan lindung dan budidayasetiap kabupaten/Kota Se Aceh menurut RTRWA 2011 Kabupaten/Kota No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kawasan Lindung (Ha)
Budidaya Strategis
Kawasan Budidaya Budidaya Total Lainnya Budidaya
(Ha)
Luas Wilayah Aceh
Banda Aceh Sabang Aceh Besar Pidie Pidie Jaya Bireun Aceh Utara Lhokseumawe Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Tenggara Gayo Lues Aceh Tengah Bener Meriah Simeulue
6.374,11 152.755,69 207.353,88 60.266,54 75.739,61 62.019,04 327.746,57 3.359,62 101.351,86 295.090,56 151.999,98 255.366,13 166.772,36 378.720,92 103.018,62 388.681,41 500.777,36 327.125,43 132.643,35 121.696,72
50.921,01 47.290,58 4.083,98 16.976,29 35.349,95 17.007,68 6.224,44 10.701,79 14.747,90 525,18 16.595,43 11.927,00 9.969,37 5.836,04 13.624,00 22.034,04 41.257,18 18.497,43 10.345,07
(Ha) 6.314,42 5.835,10 85.887,42 62.279,11 30.444,09 86.914,99 172.096,96 15.343,52 197.996,63 9.988,64 102.645,37 77.867,69 123.347,00 82.529,50 9.505,68 28.968,57 75.733,30 14.657,12 32.179,22 77.021.52 39.259,78 50.680,13
(Ha) 6.314,42 5.835,10 136.808,43 109.569,69 34.528.07 103.891,28 207.446,92 15.343,52 215.004,31 14.213,08 113.347,16 92.615,59 123.872,18 99.124,93 21.432,68 38.937,94 81.569,34 28.281,12 54.213,26 118.278,70 57.757,21 61.025,20
(Ha) 6.314,42 12.209,21 289.564,12 316.923,57 94.794,61 179.630,89 269.465,96 15.343,52 542.750.88 17.572,70 214.699,02 387.706,15 275.872,16 354.491,06 188.205,04 417.658,86 184.587,96 416.962,53 554.990,62 445.404.13 190.400,56 182.721.92
ACEH Persentase
3.894.758,33
353.946,81
1.427.135,31
1.781.082,12
5.675.840,45
68,62
6,24
25,14
31,38
Sumber : RTRWA 2011 4.2 Karakteristik Responden 4.2.1 Umur Responden Faktor umur memegang peranan yang cukup penting dalam menghasilkan barang dan jasa, karena hal ini akan mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Seorang yang berada pada umur produktif/potensial, akan berbeda tingkat prodiktivitasnya jika dibandingkan dengan mereka yang berumur di luar umur pontensial ( < 15 - > 55 tahun ). 25 19,5
Persen
20 15
21,1 17,8
16,2 13,1
12,1
10 5 0 20 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
> 55 Tahun
Gambar 14Jumlah responden dirinci menurut kelompok umur Berdasarkan Gambar 14 menunjukan bahwa secara umum rata-rata umur responden adalah 45 tahun. Untuk melihat lebih jelas, berikut ini rincian
35
responden yang dikelompokan menurut golongan umur : Dari tabel nampak bahwa mayoritas responden berumur dia atas 55 tahun ( 21,1 %). Hal ini menunjukan bahwa mayorotas reponden memiliki usia lanjut.Menurut Mudakir (2011) umur rata-rata responden 50 tahun Pada tingkat umur ini menunjukan bahwa secara fisik mereka dapat dianggap masih cukup produktif dalam melakukan suatu pekerjaan namun lanjutnya usia para petani ini mengkhuatirkan sebab semakin tua usia seseorang maka praduktifitasnyapun semakin berkurang mungkin akan berdampak kepada menurunya hasil produksi maksimal oleh para petani. 4.2.2 Tingkatan Pendidikan Responden
Persen
Tingkatan pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pendidikan formal yang telah ditempuh responden yang terdiri dari tidak pernah sekolah (TPS), tamat sekolah dasar (SD/sederajat), tamat sekolah Menegah Pertama (SMP/sederajat), dan tamat sekolah Menegah Atas (SMA dan sederajat). Untuk melihat lebih jelas tentang jumlah responden dirindi menurut jenjang pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut : 60 50 40 30 20 10 0
52,46
17,21
22,13
8,20
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SLTA Keatas
Gambar 15 Jumlah responden menurut jenjang pendidikan Berdasarkan Gambar15 dapat dilihat bahwa 52,46 persen dari keseluruhan responden berhasil mencapai jenjang pendidikan sampai Sekolah Dasar/sederajat, sisanya sebesar 8,20 persen tidak tamat SD, kemudian sebesar 17,21 persen mencapai jenjang pendidikan tamat sekolah menegah pertama dan 22,13 persen mencapai jenjang pendidikan sampai tamat Menegah Atas atau sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kurangnya informasi tentang pendidikan pada masa lampau, kurangnya kesempatan mengikuti pendidikan karena mereka miskin, sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk bekerja membatu orang tuanya mencari tambahan pendapatan. Implikasi dari keadaan rendahnya tingkat pendidikan responden mengakibtanya sulitnya menerima hal-hal inovasi yang sifatnya dapat menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri ini juga dapat dibuktikan rendahnya tingkat penggunaan teknologi oleh petani seperti dapat dilihat Gambar 14. Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat bahwa hanya 23,5 persen petani yang ada penggunaan teknologi dalam pekerjaan pertaniannya dan 76,4 persen petani tidak ada penggunaan teknologi . Rendahnya penggunaan teknologi ini dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendidikan para petani yang lebih banyak berpendidikan SD yaitu 53 persen petani. Kaitan rendahnya pendidikan petani
36
membawa dampak kepada rendahnya penggunaan teknologi dan pada akhirnya produksi pertanian juga menurun. Rendahnya penggunaan teknologi dikalangan petani menunjukan pada daerah penelitian masih kedalam pertanian tradisional. Pertanian tradisional masih mengandalkan alat-alat tradisional seperti bajak, cangkul, serta cara bercocok tanam yang masih sederhana. Perlu usaha yang lebih baik lagi agar petani mau menggunakan teknologi dalam proses tanam menanam, misalnya dengan penyuluhan serta adanya pelatihan-pelatihan bagi petani dalam usahatani serta tersedianya alat-alat pertanian yang modren yang dapat disewa oleh petani. 100 76,4
Persen
80 60 40
23,5
20 0 Tidak ada penggunaan Teknologi
Ada Penggunaan teknologi
Gambar 16 Jumlah responden berdasar penggunaan teknologi 4.2.3 Jumlah Tanggungan Keluarga Besarnya jumlah tanggungan keluarga beberapa responden berkisar antara 1 – 9 orang. Jumlah ini merupakan jumlah tanggungan kepala keluarga yang terdiri dari istri, anak, mertua, orang tua, ipar dan lain-lain (yang berada dalam satu atap dan sekaligus menjadi tanggungan kepala keluarga) Dari jumlah 122 orang responden, rumah tangga yang mempunyai jumlah tanggungan 4 – 6 orang menempati urutan tertinggi yaitu 53,2 persen. Untuk melihat lebih jelas mengenai jumlah responden yang dirinci menurut jumlah besarnya jumlah tanggungan dapat dilihat pada Gambar 17berikut : 60
53,2
Persen
50
36,8
40 30 20 10
7,3
2,4
0 0
1 -- 3
3 -- 4
>6
Jumlah
Gambar 17 Jumlah anggota rumah tangga Banyak anak banyak rezeki istilah ini sering kita dengar dikalangan masyarakat, bagi masyarkat Aceh hal ini diyakini sebagai suatu kebenaran yang dilandasi oleh keyakinan agama oleh karenanya maka akan terdapat rumah tangga yang mempunyai jumlah tanggungan yang relatif banak . selanjutnya jika kondisi
37
di atas dikaitkan dengan tingkat kemiskinan, akan banyak rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan. 4.2.4 Alternatif Usaha Keluarga Alternatif Usaha Keluarga petani merupakan salah satu usaha agar dapat menambah pendapatan petani, dengan adanya usaha keluarga lain ini nantinya akan dapat lebih mensejahterakan petani namaun dari hasil dilapangan dapat kita lihat sebagai berikut ternyata hanya 19,5 persen saja yang memiliki usaha alternatif keluarga sedangkan 80,4 persen hanya sebagai petani. Hal ini menunjukan bahwa kemiskinan petani di perdesaan ini juga disebakan masyarakat kurang mendapat akses ekonomi. Rendahnya akses ekonomi petani diluar bidang pertanian dapat dihubungkan dengan rendahnya tinggkat pendidikan responden serta usia lanjut para petani serta yang paling penting adalah tidak adanya kesempatan bekerja pada bidang lainnya. 100
80,4
Persen
80 60 40
19,5
20 0 Tidak ada usaha lain di luar pertanian
ada usaha lain di luar pertanian
Gambar 18 Alternatif usaha keluarga 4.2.5Sejarah Kepemilikan Lahan Usahatani Pemilihan tanahumumnya tanah-tanah sawah di daerah ini adalah merupakan hak milik. Tanah hak milik ini (tanah rakyat) pada umumnya tidak mempunyai sertifikat hak milik sesuai undang-undang agraris, oleh karena pemilihan hak atas tanah ini sudah turun temurun. Apabila terjadi transaksi peralihan hak milik dari satu orang ke pihak lain misalnya terima pusaka, jual beli, hilah dan sebagainya cukup dengan membuat surat di atas materai dan diketahui oleh Kepala Kampung serta Camat/Kepala Pemerintahan setempat. Dengan demikian peralihan hak milik atas tanah dipandang sudah sah. Pada umumnya petani di Kabupaten Aceh Utara memiliki sawah berkisar antara 0,25 Ha sampai 1 Ha. Dan tidak ada perorangan ataupun badan-badan lain yang memiliki sawah yang luas-luas Kepemilikan lahan di Aceh dapat kita telusuri dari asal usul lahan/tanah milik petani. Bagaiman asal usul lahan petani/penduduk diuraikan sebagai berikut Hak milik atas lahan di daerah penelitian dapat diperoleh penduduk melalui beberapa cara : 1. Membuka tanah baru, pada mulanya dimulai dengan membubuhi tanda berupa pagar, yang berarti bahwa tanah itu akan dibuka. Menurut adat Aceh setiap tanaman harus dilindungi dengan pagar yang terdiri atas tiga buah tiang yang ditanam secara tegak lurus, disebut jeuneurob. Tanah yang dibuka tersebut
38
hanya dibolehkan bagi orang Islam saja. Pembukaan itu tidak dibatasi, karena tanah mati itu sangat luas, dengan catatan tanah yang dibuka itu harus benarbenar dikerjakan. Adapun yang berhak memberikan izin untuk membuka tanah yang mati itu kepada seseorang adalah keucik, kepala mukim dan panglima sagoe atau uleebalang di wilayah mereka yang bersangkutan. Selain itu, Sultan Aceh juga dapat memberikan hak kepada seseorang untuk membuka tanah yang belum digarap menurut kewajaran. Hak pembukaan atas tanah dapat dianggap hilang kembali apabila bekas-bekas pembukaan itu sudah tidak ada lagi, begitu pula bekas-bekas hutan yang ditebang, dibakar atau dibersihkan sudah tidak dikenali lagi. Terdapat suatu ketentuan di masyarakat bahwa tanah-tanah yang tidak dikerjakan lebih dari enam bulan karena pemiliknya tidak mau mengerjakannya lagi, maka tanah itu dapat diberikan kepada orang lain yang sungguh-sungguh menghendakinya untuk dikerjakan. 2. Peunulang, menurut adat Aceh, setiap anak laki-laki yang baru memasuki jenjang perkawinan, ia tinggal di rumah keluarga istrinya. Setelah beberapa tahun perkawinan berlangsung, kepada suami-istri ini dianjurkan untuk berdiri sendiri atau disebut dengan peumeukleh. Biasanya sebelum hal itu dilakukan, pihak orang tua istri telah mempersiapkan harta pemberian berupa tanah untuk anak perempuannya. Pada saat harta itu diberikan, dihadiri oleh famili, keucik dan tokoh masyarakat. Pemberian harta itu diberikan secara simbolis kepada si suami karena dialah yang bertanggungjawab untuk mengusahakan tanah itu. Apabila terjadi penceraian maka tanah itu akan kembali kepada pihak istri, kecuali apabila istri meninggal maka tanah itu akan menjadi harta warisan. 3. Warisan, orang tua yang memiliki harta berupa tanah biasanya apabila usianya telah lanjut maka tanah itu diberikan menurut perkara agama kepada ahli warisnya, yang disebut dengan peurae. Warisan itu juga dapat terjadi apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka semua ahli waris mendapat bahagian sesuai dengan hukum waris Islam. Harta benda milik orang yang meninggal itu dibagi (dipeurae) kepada ahli warisnya, di antaranya adalah tanah apabila meninggalkan tanah. 4. Bloe-publoe, jual beli pada zaman dahulu dilakukan dengan upacara tertentu baik berdasarkan syariat Islam maupun adat. Untuk jual beli biasanya harus dipenuhi tiga syarat, yaitu : hadirnya pimpinan gampong dari pihak penjual, adanya saksi paling sedikit dua orang, dan peusambot (penyerahan) oleh yang menjual dan harus disambot (disambut) oleh pembelinya. Untuk itu, terlebih dahulu keucik memberitahukan kepada hadirin tentang transaksi yang akan terjadi. Setelah terjadi ijab-qabul dengan harga yang sudah disepakati, keucik bertanya kepada hadirin, apakah mereka itu jelas mendengar semuanya itu, lalu si pembeli membayar dengan tunai maka selesailah urusan jual-beli tanah itu. 5. Hibah, hak atas tanah dapat juga diperoleh melalui hibah, yang pelaksanaannya hampir sama dengan peunulang, namun dalam bentuk yang lebih luas, tidak hanya terbatas terhadap anak tetapi dapat juga kepada orang lain sesuai dengan yang diinginkan oleh yang menghibah. Uraian hak milik atas lahan dirangkum dan dapat dilihat pada Tabel9
39
Tabel 9 Hak milik atas lahan di daerah penelitian Istilah Membuka tanah baru Peunulang Warisan
Bloepubloe Hibah
Uraian Adapun yang berhak memberikan izin untuk membuka tanah yang mati itu kepada seseorang adalah keucik, kepala mukim dan panglima sagoe atau uleebalang di wilayah mereka yang bersangkutan Pemberian dari pihak orang tua istri yang telah mempersiapkan harta pemberian berupa tanah untuk anak perempuannya yang diserahkan kepada suaminya sebagai kepala keluarga. orang tua yang memiliki harta berupa tanah biasanya apabila usianya telah lanjut maka tanah itu diberikan menurut perkara agama kepada ahli warisnya, yang disebut dengan peurae Warisan itu juga dapat terjadi apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka semua ahli waris mendapat bahagian sesuai dengan hukum waris Islam jual beli pada zaman dahulu dilakukan dengan upacara tertentu baik berdasarkan syariat Islam maupun adat hak atas tanah dapat juga diperoleh melalui hibah
Sebagai aturan main (kelembagaan lahan di Aceh Utara) maka ada beberapa pengaturan yang tidak tertulis namun sudah menjadi hukum atau kebiasaan dalam hal kepemilikan dan sewa lahan di lokasi penelitian (Aceh). Satu mah sama dengan tiga rante atau sama dengan 1600 m2, jika dikonpersi kedalam hektar maka sama dengan 0,16 ha. Kemudian untuk luas lahan enam rante maka istilahnya adalah kupang atau sama dengan 2400 m2 jika dikompersikan ke hektar sama dengan 0,24 ha. Ukuran mah digunakan juga dalam sistem pengupahan dan sewa meyewa di daerah penelitian Pilihan kelembagaan lahan pada usahatani tanaman pangan bagi para petani dapat berimbas kepada biaya produksi, penggunaan input dan pemeliharaan atau konservasi lahan. Tabel 10Ukuran luasan lahan dan berat dalam berbagai satuan Sebutan Aceh Rante m2 Hektar 2 1 mah 3 rante 1200 m 0,16 ha 1 Kupang 6 rante 2400 m2 0,24 ha 1 Gunca 200 Kg 4.2.6Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Lahan merupakan asset utama bagi masyarakat perdesaan dan pemilikan lahan akan menentukan kesejahteraan dan status sosial pemiliknya semakin tinggi pendapatan dan status sosialnya. Profil responden menurut luas pemilik lahan terlihat pada Tabel 12.
40
100
87 71,3
Persen
80 60 40
26
20
9
21,3
7,3
0 Milik
Sewa Jumlah Responden
Milik+Sewa Persen
Gambar 19 Status penguasaan lahan Penguasaan dan pemilikaan lahan oleh petani responden yang tinggal di daerah penelitian, menunjukan derajat kekuatan hak (property right) dari masyarakat yang menguasai lahan tersebut. Berdasarkan Gambar 19 gambaran status penguasaan lahan petani responden sebanyak 87 orang (71,3 %) adalah milik sendiri, sewa dari orang lain sebanyak 9 orang (7,3 %) serta milik + Sewa sebanyak 26 orang (21,3 %). Berdasarkan Tabel 11 penguasaan lahan untuk status milik 8127 m 2, status milik+sewa 20.439 m2, dan status sewa 2600 m2. Untuk status milik+sewa rataratanya memperlihatkan angka yang tertinggi jika dibandingkan dengan status lainnya. Tabel 11 Rata-rata yang dikuasai menurut status pengusaan lahan Jumlah Status Pengusaan Rata-rata tanah yang dikuasai (m2) Responden Milik 87 8127 Milik+sewa 26 20439 sewa 9 2600 Total 122 Berdasarkan pada Tabel 12 secara lebih rinci luas lahan < 2000 m 2 status milik 19 responden, status sewa 4 responden, status milik+seaw 2 responden dengan total 25 responden. Luas lahan 2001- 5000 m2 status milik 17 responden, sewa 5 responden, milik+sewa 4 responden dengan total 26 responden. Luas lahan 5001 – 10.000 m2 status milik 29 responden, status sewa tidak ada responden, status milik+sewa 6 responden dengan total 35 responden. Luas lahan 10.001 – 20.000 m2status milik 14 responden, status sewa tidak ada responden, status milik+sewa 8 responden dengan total 22 responden, dan luas > 20.000 m2status milik 8 responden, status sewa tidak ada responden, status milik 6 responden dengan total 22 responden.35 responden dominan memiliki luas lahan 5001 10.000 m2, sedangkan 9 responden paling sedikit dengan luas lahan > 20.000 m2. Tabel 12 Profil luas lahan responden menurut status milik, sewa, milik+sewa
41
Jumlah responden Luas Lahan <2.000 2.001-5.000 5.001-10.000 10.001-20.000 >20.000 Total
Milik 19 17 29 14 8 87
Sewa 4 5 0 0 0 9
Milik+sewa 2 4 6 8 6 26
total 25 26 35 22 14 122
Berdasarkan pada Tabel 13ditampilkan luas lahan <2.000 m2 Kecamatan Sawang 19 responden, Kecamatan Matangkuli 6 responden, Kecamatan Nibong 3 responden dengan total 28 responden. Luas lahan 2.001 – 5.000 m2 Kecamatan Sawang 16 responden, Kecamatan Matangkuli 11 responden, Kecamatan Nibong 29 responden dengan total 29 responden. Luas lahan 5.001 – 10.000 m2 Kecamatan Sawang 23 responden, Kecamatan Matangkuli 9 responden, Kecamatan Nibong 4 responden dengan total 36 responden. Luas lahan 10.001 – 20.000 m2 Kecamatan Sawang 16 responden, Kecamatan Matangkuli 1 responden, Kecamatan Nibong 3 responden dengan total 20 responden. luas lahan > 20.000 m2Kecamatan Sawang 4 responden, Kecamatan Matangkuli 2 responden, Kecamatan Nibong 3 responden dengan total 9 responden. 36 responden dominan memiliki luas lahan 5001 - 10.000 m2, memiliki jumlah 9 responden paling sedikit dengan luas lahan > 20.000 m 2. Tabel 13Penguasaan lahan berdasarkan kecamatan Luas Lahan Kecamatan Sawang Matangkuli <2.000 19 6 2.001-5.000 16 11 5.001 – 10.000 23 9 10.001-20.000 16 1 >20.000 4 2 Total 78 29
Nibong
total 3 2 4 3 3 15
28 29 36 20 9 122
Pada Tabel 14 responden petani tanpa lahan (tunakisma) di lokasi penelitian ada sebelas kepala keluarga dengan rata-rata luas lahan sewa 2.600 m2, Petani tunakisma ini menyewa rata-rata diatas 2000 m2 dan dibawah 5000 m2, ini menunjukan lahan ekonomis yang harus digarap petani tanpa lahan ini adalah diatas 2000m2 agar mampu membayar sewa lahan dan mendapatkan laba, rata-rata lahan disewakan 4.720 m2, karena berbagai alasan maka ada beberapa petani yang memiliki lahan sawah diatas 5.000 m 2 meyewakan lahannya kepada petani lain, rata-rata lahan gadai 3.800 m2, karena alasan kebutuhan uang yang mendesak misalnya untuk menikahkan anak, untuk biaya sekolah maka mereka mengadaikan lahan yang mereka miliki, dan rata-rata lahan bagi hasil 1.600 m2. Tabel 14Keragaan rata-rata luas lahan meyewa, diseewakan, gadai, bagi hasil Keragaan Lahan Sewa,gadai, bagi hasil luas lahan (m2)
42
rata rata Sewa tanpa lahan rata-rata lahan disewakan rata-rata lahan gadai Rata-rata bagi hasil
2.600 4.720 3.800 1.600
Pada Tabel 15 komposisi lahan milik yang disewakan menunjukan asal dari lahan yang disewa oleh petani tanpa lahan, dimana berasal dari petani yang memiliki luas lahan rata-rata 11.720 m2. Luas lahan yang disewakan rata-rata 4.720 m2, ini berarti lahan yang digarap adalah luasan lahan antara 2.000 – 5.000 m2 termasuk dalam luas lahan sedang, diharapkan dengan menyewa lahan mereka mampu membayar sewa lahan dan kemudian berhasil memperoleh laba atau keuntungan untuk membiayai kehidupan mereka, ada satu responden yang memiliki luas lahan 1.600 m2, katagori lahan sempit menyewakan seluruh lahannya kepada orang lain karena pemiliknya seorang ibu janda tua. Tabel 15 Komposisi lahan milik yang disewakan Lahan milik m2 1.600 6.600 8.000 12.400 30.000 Rata-rata
11.720
m2
lahan disewakan 1.600 1.600 8.000 2.400 10.000 4.720
4.2.7 Gini Ratio Pendapatan dan Gini Ratio Lahan Berdasarkan Tabel 16 gini ratio berdasarkan luas lahan didapat luas lahan < 2000 m2 angka Gini ratio pendapatan 0.41, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.22. Luas lahan 2001-5000 m2 angka Gini ratio pendapatan 0.38, angka Gini ratio penguasaan lahan 0,14. Luas lahan 5001-10.000 m2 angka Gini ratio pendapatan 0.34, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.12. Luas lahan 10.00120.000 m2 angka Gini ratio pendapatan 0.44, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.11. Luas lahan > 20.000 m2 angka Gini ratio pendapatan 0.42, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.26. Berdasarkan Kecamatan Sawang angka Gini ratio pendapatan 0.43, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.46.Berdasarkan Kecamatan Matangkuli angka Gini ratio pendapatan 0.40, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.42. Berdasarkan Kecamatan Nibong angka Gini ratio pendapatan 0.36, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.47. Berdasarkan status milik angka Gini ratio pendapatan 0.44, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.46.Berdasarkan status sewa angka Gini ratio pendapatan 0.38, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.28. Berdasarkan status milik+sewa angka Gini ratio pendapatan 0.31, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.46. Angka rata-rata Gini ratio pendapatan 0.43, angka Gini ratio pengusaan lahan 0.33. Berdasarkan sumber pendapatan angka Gini ratio pendapatan usahatani 0.47, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.45. Angka Gini ratio berdasar sumber pendapatan total 0.45, angka Gini ratio penguasaan lahan 0.28. Tabel 16 Nilai Gini ratio pendapatan dan Gini ratio lahan dari berbagai kondisi
43
Uraian Sumber
Gini Ratio Pendapatan
< 2000 m2 2.001 – 5.000 5.001 – 10.000 10.001 – 20.000 >20.000 Kec Sawang Kec Matangkuli Kec Nibong Status Milik Status Sewa Status Milik + Sewa Usahatani Dari luar usahatani Rata-rata
Gini Ratio Pengusaan Lahan 0,41 0,38 0,34 0,44 0,42 0,43 0,40 0,36 0,44 0,38 0,31 0,47 0,45 0,40
0,22 0,14 0,12 0,11 0,26 0,46 0,42 0,47 0,46 0,28 0,36 0,45 0.45 0,28
4.2.8Pendapatan Rumah Tangga Responden Hasil studi ini menunjukan jika dibandingkan tingkat pendapatan usahatani dalam boxplot yaitu Rp 2.655.000,00 sampai Rp 5.920.000,00 dibandingkan dengan pendapatan total responden di lokasi studi, maka terlihat bahwa pendapatan total memiliki pendapatan yang lebih tinggi yaitu berkisar pada pendapatan Rp 3.380.000,00 sampai dengan Rp 7.880.000,00 Namun jika dilihat sebaran distribusi pendapatan usahatani dan pendapatan total hampir sama yaitu mengumpul pada sebaran pendapatan pertahun antara Rp. 2.650.000,00 sampai dengan Rp. 7.880.000,00 seperti terlihat pada boxplot berikut. Berdasarkan uraian diatas dapat dijelaskan pendapatan dari sumber usahatani menyubangkan share yang cukup besar dari pendapatantotal yaitu sebesar 78,5 % ini menunjukan bahwa kegiatan usahatani masih merupakan penyumbang penghasilan yang paling besar dibandingkan dengan tambahan pendapatan diluar usahatani. Gejala ini menunjukan bahwa di daerah penelitian masih merupakan wilayah agraris yaitu masyarakat yang hidup dari hasil usahatani. Padahal di wilayah penelitian terdapat banyak pabrik besar seperti PT. ARUN, PT. KRAF ACEH, Pabrik Pupuk Asean, Pabrik Pupuk Iskandar Muda, dan juga banyaknya perusahaan jasa yang mendukung kegiatan perusahaan-perusahaan besar.
44
38000000 36000000 34000000 32000000
Rp/ Jutaan /Tahun
30000000 28000000 26000000 24000000 22000000 20000000 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0
pendapatan Usahatani
pendapatan total
Gambar : 20 Boxplot pendapatan usahatani dan pendapatan total Berdasasarkan Pendapatan setara GK BPS Maret 2012 Rp 320.013/perkapita/bulan. Jika dibandingkan dengan hitungan pendapatan setara garis kemiskinan berdasarkan pendapatan keluarga pada Maret 2012 Rp 15.360.624/keluarga/thn. Dengan mengunakan informasi jumlah produksi perluas lahan dengan pendapatan. Tabel 17 Luas lahan, produksi/panen, pendapatan Luas Lahan
Produksi/panen
Pendapatan
10.000 m2 7500 m2 5000 m2 2000 m2 1 Kg Gabah
5200 Kg 3900 Kg 2600 Kg 1040 Kg
Rp. 20.800.000 Rp 15.600.000 Rp. 10.400.000 Rp. 416.000 Rp.4.000
Menurut Wiradi (2009) pemilikan dan atau penguasaan lahan yang luas bukanlah merupakan satu-satunya yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumahtangga. Lahan yang luas jika tidak dikelola atau diusahakan tidak dapat memberikan hasil yang optimal bagi pemiliknya, apalagi jika dibiarkan terlantar, (tidak diusahakan). Suatu lahan dapat memberikan hasil yang optimal bagi suatu keluarga atau rumahtangga jika lahan tersebut milik sendiri dan diusahakan sendiri.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Deskripsi Kerjasama Kelembagaan Lahan Sesuai dengan tujuan pertama studi ini, yaitu Mengeksplorasi dan mendiskripsikan kelembagaan lahan usahatani makaSumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan adalah faktor yang menentukan dalam pembangunan pertanian, keberhasilan pengembangan usahatani tidak cukup dengan hanya meintroduksi teknologi, tetapi diperlukan adanya dukungan melalui pembinaan dan pengembangan kelembagaan sebagai sistem penunjang kegiatan usahatani. Dengan adanya kelembagaan diharapkan mampu mendukung sistem usahatani berikut pemecahan masalah yang dihadapi petani. Dalam hal ini penting diketahui kelembagaan yang eksis saat ini pada suatu masyarakat di lokasi penelitian.Uraian berikut mengambarkan kepada kita beberapa istilah adat Aceh dan aturan dalam pemilikan dan pengusaan lahan yang hidup dan berkemban secara tradisional yang menyelma menjadi kelembagaan adat. Petani pemilik adalah petani yang memiliki tanah dan lahan sendiri. Biasanya mereka menyewakan tanah kepada masyarakat dengan membagi keuntungan ketika panen. Biasanya para pemilik tanah sering disebut urueng po umeng (pemilik sawah). Urueng po umeng adalah salah satu masyarakat yang memiliki tanah dan disewakan kepada buruh tani. Kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat di Aceh Utara adalah sewa menyewa. Dalam hal ini cara berlaku dalam masyarakat di Aceh Utara adalah terserah kepada kemauan kedua pihak yang membuat perjanjian sewa menyewa itu misalnya dalam hal sewa menyewa tanah Pertanian Pihak penyewa berkewajiban menyerahkan barang atau uang sejumlah yang disetujui dalam perjanjian. Pihak penyewanya bebas memanfaatkan seluruh hasil dari tanah tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan perjanjian yang sudah dibuatnya. Bila sudah sampai waktunya, tanah tersebut harus dikembalikan kepada yang empunya dalam keadaan seperti semula Mawah adalah suatu praktik ekonomi yang sangat populer dalam masyarakat Aceh yang berdasarkan kepada azas bagi hasil antara pemilik modal dengan pengelola. Mawah merupakan suatu mekanisme di mana seorang pemilik aset menyerahkan hak pengelolaan aset tersebut kepada orang lain dengan hasil yang disepakati. Sistem mawah banyak dipraktikkan pada bidang pertanian (sawah, ladang, dsb) dan peternakan (lembu, kambing, unggas, dsb) dimana hasil yang dibagikan sangat tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak. Bagi hasil yang disepakati tergantung pada biaya pengelolaan, baik yang langsung maupun tidak langsung. Dalam sektor pertanian, misalnya, jika pengelola menanggung segala biaya atas tanaman yang ditanami seperti pupuk, upah pekerja, air, dan lain-lain, maka bagi hasilnya mungkin 2/3 untuk pengelola dan 1/3 pemilik modal. Jika lahan tersebut berada jauh dari perkampungan penduduk, bagi hasil yang biasa berlaku dalam masyarakat adalah satu bagian untuk pemilik tanah, tiga bagian untuk penggarap. Karena penggunaan input pertanian yang semakin intensif, bagi hasil dewasa ini dilakukan dari jumlah yang relatif lebih kecil karena hasil bersih
46
adalah jumlah setelah dipotong biaya bibit, pupuk, penyemprotan hama, dan sebagainya. Hal ini berbeda dengan praktik masa lalu di mana jumlah yang dibagi adalah jumlah setelah dipotong biaya bibit saja. Dengan demikian, hasil yang dibagi menjadi lebih kecil karena biaya penggarapan lahan menjadi lebih besar, yang paling penting juga adalah pembagian hasil itu sendiri sangat tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak. Malahan, dalam beberapa kasus yang terjadi sistem mawah ini diperuntukkan untuk membantu golongan ekonomi lemah oleh golongan ekonomi yang lebih mapan, sehingga bagi hasil-pun tidak terlalu dipentingkan dalam kasus-kasus yang seperti ini. Gala merupakan praktik ekonomi dengan bentuk gadai yang dipraktikkan oleh masyarakat Aceh sejak berabad-abad yang lalu. Gala adalah suatu mekanisme pinjaman di mana seseorang menggadaikan tanah, emas, atau harta benda berharga lainnya untuk memenuhi kebutuhan uang yang mendesak yang biasanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif harian. Pada dekade di bawah tahun 80-an, bentuk perjanjian yang dibuat tidak berdasarkan “hitam di atas putih”, setelah itu telah mulai menggunakan penjanjian tertulis dengan jangka waktu yang tidak terbatas. Praktik gala ini banyak terjadi dalam bidang pertanian terutama tanah sawah. Hukum adat ekonomi yang dipraktikkan oleh masyarakat Aceh dengan bentuk gadai ini berbeda dengan hukum agraria nasional yang menyebutkan bahwa gadai untuk tanah hanya boleh berlangsung maksimal 7 tahun. Setelah waktu 7 tahun berlalu, tanah yang digadaikan harus dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam sistem gala, penggala (pemilik harta) memberikan hak kepada pemegang gala (orang yang memberi pinjaman) untuk menggunakan harta galaan yang dijadikan agunan selama pemilik belum menebus harta tersebut. Hasil yang diperoleh pemegang gala dari penggunaan barang galaan tersebut dianggap sebagai balas jasa atas uang yang dipinjamkan. Pengalihan hak milik atas harta gala hanya dapat terjadi jika pemilik harta yang digalakan mengizinkan hal demikian terjadi. Jika peminjam tidak mampu mengembalikan pinjaman, harta galaan tersebut dapat dijual kepada pihak ketiga dan hasilnya dapat digunakan untuk melunasi pinjaman. Dalam masyarakat Aceh dapat juga terjadi pemegang gala menguasai (membeli) harta galaan tersebut dan membayar sejumlah uang kepada pemilik harta setelah dipotong jumlah pinjaman. Rangkuman dari ketiga sistem kelembagaan lahan diatas dirangkum pada tabel 18. Tabel 18Sistem transaksi penguasaan lahan Sistem Transaksi Sewa
Definisi
Transaksi Lahan
Sewa menyewa tanah pertanian pihak penyewa berkewajiban menyerahkan barang atau uang sejumlah yang disetujui dalam perjanjian. Pihak penyewanya bebas memanfaatkan seluruh hasil dari tanah tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan perjanjian yang sudah dibuatnya. Bila sudah sampai waktunya, tanah tersebut harus dikembalikan kepada yang empunya dalam keadaan seperti semula.
Terserah kepada kemauan keduapihak yang membuatperjanjian sewa menyewa. Ada dengan 40 : 60, pembayaran didepan dengan uang.
47 Lanjutan Tabel 18 Gadai/gala
penggala (pemilik harta) memberikan hak kepada pemegang gala (orang yang memberi pinjaman) untuk menggunakan harta galaan yang dijadikan agunan selama pemilik belum menebus harta tersebut
Hasil yang diperoleh pemegang gala dianggap sebagai balas jasa atas uang yang dipinjamkan
Bagi hasil/Mawah
Mawah merupakan suatu mekanisme di mana seorang pemilik tanah menyerahkan hak pengelolaan tanah tersebut kepada orang lain dengan hasil yang disepakati
jika pengelola menanggung segala biaya atas tanaman yang ditanami seperti pupuk, upah pekerja, air, dan lain-lain bagi hasilnya 1/3 pemilik modal dan 2/3 untuk pengelola. Jika lahan tersebut berada jauh dari perkampungan penduduk, bagi hasil yang biasa berlaku dalam masyarakat adalah satu bagian untuk pemilik tanah, tiga bagian untuk penggarap
Berdasarkan Gambar 21 persentase luas penguasaan lahan rata-rata sistem sewa 55,5 persen kemudian bagi hasil/mawah 13 persen, serta sistem gadai/gala 31 persen. Lahan yang disewakan petani adalah lahan yang rata-rata paling luas yaitu 4.720m2, sedang luas lahan menyewa dengan rata-rata luas 2127m2, kemudian baru gadai nomor dua terluas dengan luas 3.800 m2, gadai dengan luas rata-rata 1.600 m2 , sistem gadai menunjukan posisi tawar yang rendah dari pemilik lahan karena alasan kebutukan ekonomi yang mendesak. Bagi hasil; 13% Gadai; 31%
Sewa; 55%
Gambar 21Rata-rata luas lahan menurut sistem sewa, gadai dan, bagi hasil Luas lahan sewa yang ketiga terluas rata-ratanya, dari responden bahwa mereka kebanyakan menyewa karena alasan tidak memiliki lahan sama sekali atau tunakisma(tidak memiliki tanah). Bagi hasil adalah yang memiliki rata-rata luas lahan paling kecil, dimana ini adalah cara pemilik tanah untuk memaksimalkan nilai guna tanah yang dimiliki. Teori Hanning (1988) bahwa jika penawaran
48
tenaga kerja tinggi maka pemilik lahan menghendaki lahannya untuk disakap/bagi hasil dalam upaya mendapat nilai guna yang lebih tinggi. Pada kasus daerah penelitian karena penawaran tenaga kerja sektor formal yang terus meningkat dan jumlah penganguran yang terus menurun dari tahun 2007 sampai 2010 rata-rata sebesar 1,44 persen artinya banyak dari kaum muda yang mendapat pekerjaan di sektor formal serta usia lanjut para petani dengan rata-rata usia 55 tahun, maka sistem sewa lah yang paling banyak digunakan dalam kelembagaan lahan. Berdasarkan Tabel 19 luas lahan < 2.000 m2 dilihat dari perubahan angka rata-rata luas pemilikan lahan dari 971,4 m2 menjadi rata-rata luas penguasaan lahan 1.200 m2 menunjukan adanya penambahan rata-rata luas lahan setelah terjadinya aktivitas sewa,bagi hasil, dan gadai. Penambahan luas lahan rata-rata seluas 345 m2 penambahan luas lahan ini menunjukan adanya aktivitas sewa lahan dari pemilik lahan kecil. Pada petani dengan luas lahan 2.001 – 5.000 m2 tidak terdapat perubahan luas lahan dikarenakan tidak ada aktivitas sewa, gadai maupun bagi hasil. Pada petani dengan luas lahan 5.001 – 10.000 m2adanya aktivitas menyewakan lahan sehingga luas lahan rata-ratanya berkurang. Pada petani yang memiliki luas lahan 10.001 – 20.000 m2 jumlah lahan juga bertambah karena adanya aktivitas menyewa lahan dari lahan yang lebih luas.Pada petani dengan luas lahan 20.000 m2adanya aktivitas menyewakan lahan dapat dilihat dari berkurangnya luas lahan rata-rata. Tabel 19Rata-rata luas pemilikan dan penguasaan lahan Luas Lahan (m2) < 2000 2100 – 5000 5001 – 10000 10001 – 20000 >20000
Rata-rata Pemilikan lahan (m2) 971,4 3.550 7.516,667 12.787,5 35.072,73
Rata-rata Penguasaan lahan (m2) 1.200 3.550 7.427,027 13.372,73 34.563,64
Sewa /menyewa (m2) 345,3 0 (-89,63) 585,22 (-509,1)
Keterangan
Sewa Tetap Disewakan Sewa Disewakan
Terjadinya pengalihan garapan pemilik ke penggarap mengakibatkan adanya renting-out dari sisi pemilik dan renting-in bagi penggarap. Secara umum total garapan merupakan lahan milik dikurangi renting-out ditambah renting-in (garapan bukan milik). Adanya pengalihan hak penggarapan lahan dari pemilik ke penggarap akan menyebabkan perbedaan antara luasan pemilikan dan luasan garapan. Menurut Wiradi (2009) yang menyatakan bahwa di daerah pedesaan, terutama Jawa,sedang terjadi proses “diferensiasi kelas”. Proses pemusatan penguasaan lahan, baik melalui sewa-menyewa, gadai-menggadai, maupunmelalui pemilikan dengan pembelian memang sedang berjalan.Sangwa (2000) meneliti kelembagaan lahan di Haryana India, wilayah yang paling banyak kerjasama lahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sewa berkembang menjadi model penting dalam kerjasama lahan.
49
5.2 Luas Penguasaan Lahan dan Pendapatan Usahatani Sesuai dengan tujuan kedua studi ini, yaitu Menganalisis pengaruh luas penguasaan lahan terhadap pendapatan usahatani.Hubungan antara penguasaan lahan dengan pendapatan dalampenelitian dikaji melalui analisisPCA (Principal Component Analysis) dan uji Regresi Linier Berganda pendapatan usahatani dengan luas pengusaan lahan, umur,jumlah keluarga, lama bersekolah, dummystatus lahan dan, interaksi LPL x dummy. Hasil PCA (Principal Component Analysis) dan analisis regresi berganda dengan menggunakan program Minitab 15 hasilnya sebagai berikut : Analisis PCA dan Regresi Berganda Tabel 20 Hasil analisis regresi berganda terhadap peubah dugaan yang terkait dengan pendapatan usahatani variabel konstanta Luas Umur J keluarga Lama sekolah Dummy Status Lahan LPL x Dummy
koefisien -3439625 3689604 -41898 1354559 1026889 -661625 3240343
St dev 0.00052267 0.00065278 0.00020251 0.00064237 0.00037234 0.0004975
T hit 7059174829 -64184233.8 6688809611 1598603618 -1776950160 6513221644
Keterangan signifikan signifikan signifikan signifikan signifikan signifikan
Elastisitas 8.4532259 -0.22775 0.6559639 0.9121979 -0.072729 6.6152693
Keterangan|t-hitung| > t-tabel (1.96) artinyasemua variable X (luas, umur, jkel, lama sekolah, dummy status lahan, dan LPLx dummy) berpengaruhnyataterhadappendapatan usahatani.
Berdasarkan Tabel 20 dapat ditunjukan model estimasi fungsi pendapatan usahatani sebagai berikut Yi = −3439625 + 3689604 luas − 41898 umur + 1354559 Jkel + 1026889 lama sekolah − 661625 d + 3240343 d luas + e
Secara Parsial Variabel luas penguasaan lahan berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan usahatani dengan koefisien sebesar 3689604. Artinya jika luas lahan bertambah 1 (satu) hektar centeribus paribus akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 3.689.604. Berdasarkan uji t variabel luas lahan menunjukan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel umur berpengaruh negatif terhadap tingkat pendapatan usahatani dengan koefisien sebesar -41898. Artinya jika umur bertambah 1 (satu) tahun akan mengurangi pendapatan usahatani sebesar Rp 41.898.Berdasarkan uji t variabel luas lahan menunjukan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan usahatani dengan koefisien sebesar 1354559. Artinya jika jumlah anggota keluarga bertambah satu orang dengan menganggap faktor lain tetap, maka akan meningkatkan pendapatan usahatani sebesar Rp. 1.354.559.Berdasarkan uji t variabel luas lahan menunjukan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel lama pendidikan kepala keluarga berpengaruh positif terhadap tingkat pendapatan usahatani dengan koefisien sebesar 1026889. Artinya jikalama pendidikan kepala keluarga bertambah satu tahun dengan menganggap faktor lain tetap, maka akan meningkatkan pendapatan usahatani sebesar Rp.
50
1.026.889.Berdasarkan uji t variabel luas lahan menunjukan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Persamaan variabel dummy untuk status lahan milik, milik+sewa Yi = −3439625 + 3689604 luas − 41898 umur + 1354559 Jkel + 1026889 lama sekolah + 3240343 d luas + e
Persamaan variabel dummy untuk status lahan sewa Yi = (−3439625 − 661625) + 3689604 luas − 41898 umur + 1354559 Jkel + 1026889 lama sekolah + 3240343 d luas + e
Sehingga bisa dikatakan bahwa ada dua model regresi dengan perbedaan intersep atau dapat diinterprestasikan bahwa rata-rata pendapatan usahatani status milik,milik +sewa dengan status sewa berbeda. Persamaan interaksi Variabel LPL x dummy status lahan Yi = −3439625 + 3689604 + 3240343 luas − 41898 umur + 1354559 Jkel + 1026889 lama sekolah − 661625 d + e
Dari persamaan diatas dapat disimpulkan status lahan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani. Secara serentak Variabel luas penguasaan lahan, umur, lama sekolah, jumlah anggota keluarga, dummy status lahan daninteraksi LPL x dummy berpengaruh terhadap tingkat pendapatan usahatani. Berdasarkan uji F, menunjukan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Artinya secara bersama-sama variabel luas penguasaan lahan, status milik,milik+sewa, umur, lama sekolah, jumlah anggota keluarga, dummy status lahan dan, interaksi LPL x dummy berpengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan. Analisis Elastisitas Berdasarkan Tabel 20 urutan angka elastisitas dari yang paling besar sampai yang paling kecil sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Luas pengusaan lahan dengan elastisitas = 8,453 Luas penguasaan lahan x Dummy dengan elastisitas = 6,615 Umur dengan elastisitas = - 0,227 Lama Sekolah dengan elastisitas = 0,912 Jumlah Keluarga dengan elastisitas = 0,655 Dummy status lahan dengan elastisitas = - 0,072
Variabel luas penguasaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap pendapatan usahatani sebesar 8,10 persen, kedua variabel interaksi LPL x dummy yang paling besar kedua pengaruh terhadap pendapatan usahatani sebesar 6,615 persen. Kedua variabel diatas memiliki elastisitas diatas 1, artinya perubahan penguasaan lahan dan Interaksi LPL x dummy akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan usahatani. Variabel umur, lama sekolah, jumlah keluarga dan dummy satus lahan memiliki angka elastis dibawah 1, artinya kenaikan pendapatan usahatani tidak terlalu berpengaruh. Variabel luas penguasaan lahan berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 8,1062. Artinya Setiap kenaikan 1% dalam luas
51
penguasaan lahan akan mengakibatkan kenaikan 8,1062% dalam pendapatan usahatani. Berdasarkan uji t, variabel luas menunjukan sangat signifikan atau berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel Interaksi LPL x dummyberpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 6,615. Artinya Setiap ada perubahan1% dalam interaksi LPL x dummy akan mengakibatkan kenaikan 6,6157% dalam pendapatan usahatani.Berdasarkan uji t, variabel interaksi LPL x dummymenunjukan sangat signifikan atau berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel umur berpengaruh negatif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas -0,227. Artinya Setiap kenaikan 1% dalam umur akan mengakibatkan penurunan 0,227% dalam pendapatan usahatani.Berdasarkan uji t, variabel umur menunjukan sangat signifikan atau berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel lama sekolah berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,912. Artinya Setiap kenaikan 1% dalam lama sekolah akan mengakibatkan kenaikan 0,912 % dalam pendapatan usahatani. Berdasarkan uji t, variabel lama sekolah menunjukan sangat signifikan atau berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,655. Artinya Setiap kenaikan 1% dalam jumlah anggota keluarga akan mengakibatkan kenaikan 0,655 % dalam pendapatan usahatani. Berdasarkan uji t, variabel jumlah anggota keluarga menunjukan sangat signifikan atau berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Variabel dummy status lahan memiliki elastisitas negatif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas -0,072. Dummy statuslahan negatif menunjukan adanya perbedaan dalam pendapatan status milik,milik+sewa dengan sewa dimana setiap status lahan sewa akan menurunkan pendapatan usahatani 0,072 %, dikarenakan dummy 0 untuk status lahan milik,milik+sewa dan dummy 1 untuk status sewa. Berdasarkan uji t, dummy status lahan menunjukan sangat signifikan atau berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. 5.3 Keterkaitan Luas Pengusahaan Lahan dengan Kesenjangan Pendapatan Sesuai dengan tujuan ketiga studi ini,Menganalisis keterkaitan distribusi penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan petani dan kemiskinan. Sebagai alat analisisdistribusi lahan milik danpenguasaan lahan dihitung dengan Indek Gini(G), besaran nilai koefisien indek gini berkisar antara 0 sampai 1, semakin besar nilai koefisien indek gini menunjukkan bahwa distribusi lahan milik, dan lahan garapan semakin tidak merata atau ketimpangannya semakin besar. Menurut Oshima (1976) dalam Sumaryanto dan Pasaribu (1977), ketimpangan dibagi dalam tiga kelompok yaitu apabila G <0.4 ketimpangan tergolong rendah, 0,4 < G <0,5 ketimpangan tergolong sedang, dan G >0,5 menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi. Pada Gambar 22 nilai Gini ratio penguasaan lahan yang lebih kecil dari 2.000m2 nilai indeks Gini ratio 0.22 dengan jumlah 21 persen responden, luas lahan 2.001- 5.000 m2 nilai indeks Gini pengusaan lahan 0.14 dengan persentase
52
jumlah responden 22 persen, luas lahan 5001 – 10000m2 nilai indeks Gini pengusaan lahan 0.12 dengan persentase responden 30 persen, luas lahan 10.001 – 20.000m2 nilai indeks Gini ratio pengusaan lahan 0.11 dengan persentase jumlah responden 18 persen, dan luas lahan lebih besar 20.000m2 nilai indeks Gini 0.26 dengan jumlah responden 9 persen. Angka indek gini cenderung terus menurun dengan penambahan luas lahan terutama terjadi pada luas lahan kurang dari 20.000m2. Pada luas lahan diatas 20.000 m2 kita melihat indek Gini meningkat dan nilai indeks Gini ratio kembali menurun pada luasan diatas 20.000m 2. Hubungan Gini ratio pengusaan lahan dengan luas lahan berbentuk kurva U dimana angka Gini ratio yang tinggi pada luas lahan kecil kemudian bergerak ke angka Gini ratio yang lebih kecil pada luas lahan yang lebih luas kemudian angka Gini ratio yang meningkat pada luas lahan yang sangat luas. 0,35 0,30
Angka Gini Ratio
0,3 0,25
0,26 0,22
0,22 0,21
0,18
0,2 0,14
0,15
0,12
0,11
0,09
0,1 0,05 0 <2000
2001-5000
Gini Ratio Lahan
5001-10000
10001-20000
>200000
Persentase Responden (sebelum X 100%)
Gambar 22 Angka Gini ratio pengusaan lahan berdasarkan luas lahan Berdasarkan Gambar 23 nilai Gini ratio pendapatan dilihat dari luas penguasan lahan yang lebih keci dari 2.000m2 nilai indeks Gini ratio 0.41 dengan jumlah 21 persen responden, luas lahan 2.001- 5.000 m2 nilai indeks Gini pendapatan 0.38 dengan persentase jumlah responden 22 persen, luas lahan 5001 – 10.000m2 nilai indeks Gini pendapatan 0.34 dengan persentase responden 30 persen, luas lahan 10.001 – 20.000m2nilai indeks Gini ratio pendapatan 0.44 dengan persentase jumlah responden 18 persen, dan luas lahan lebih besar 20.000m2 nilai indeks Gini pendapatan 0.42 dengan jumlah responden 9 persen.
53
Angka Gini Ratio
0,5
0,44
0,41
0,38
0,4 0,3
0,34
0,30
0,22
0,21
0,42
0,18
0,2
0,09
0,1 0
<2000
2001-5000
Angka Gini ratio Pendapatan Usahatani
5001-10000
10001-20000
>200000
Persentase Responden (sebelum x 100%)
Gambar 23Angka Gini ratio pendapatan berdasarkan luas penguasaan lahan Angka indek Gini cenderung terus menurun dengan penambahan luas lahan terutama terjadi pada luas lahan kurang dari 10.000 m 2. Pada luas lahan diatas 10.000 – 20.000 m2 kita melihat indek Gini pendapatan meningkat dan nilai indeks Gini ratio kembali menurun pada luasan diatas 20.000 m 2. Berdasarkan dari uraian diatas dapat disimpulkan hubungan Gini ratio pendapatan dengan luas penguasaan lahan berbentuk kurva U dimana angka Gini ratio yang tinggi pada luas lahan kecil kemudian bergerak ke angka Gini ratio yang lebih kecil pada luas lahan yang lebih luas kemudian angka Gini ratio yang meningkat pada luas lahan yang sangat luas. Dari penelitian Mudakir (2011) mengatakan status pengusaan lahan mempunyai pengaruh terhadap distribusi pendapatan, petani yang mempunyai pengusaan lahan yang lebih luas cenderung mempunyai pendapatan yang lebih besar dibanding pengusaan lahan yang lebih sempit. Menurut Wiradi (2009) bahwa hasil produksi per hektar umumnya berkorelasi negatif dengan luas usahatani, sehingga usaha pemerataan penguasaan atas tanahmelalui land reform secara potensial dapat menunjang sekaligusdua tujuan utama pembangunan, yaitu kenaikan produksidan pemerataanusahatani, sehingga usaha pemerataan penguasaan atas tanahmelalui land reform secara potensial dapat menunjang sekaligusdua tujuan utama pembangunan, yaitu kenaikan produksidan pemerataan. Analisis Korelasi Pearson Korelasi Gini ratio pendapatan dengan Gini ratio luas pengusaan lahan menurut luasan yang berbeda dengan menggunakan minitab 15 maka didapat angka sebagai berikut : Pearson correlation of Gini ratio pendapatan usahatani and Gini Ratio Pengusaan Lahan r = 0,338P-Value = 0,578 Nilai r = 0,33 menunjukan adanya korelasi yang rendah antara Nilai Gini ratio pendapatan usahatani dengan nilai gini ratio pendapatan usahatani
Berdasarkan hasil korelasi ada hubungan antar luas pengusaan lahan dengan besaran pendapatan usahatani yang diterima oleh petani. Mengenai distribusi lahan, Wiradi (2009) memperlihatkan Gini ratio pengusaan lahan rata-rata diatas 0.70 untuk daerah pedesaan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Wiradi juga mencoba melihat hubungan antara Gini
54
Angka Gini Ratio
ratio pendapatan dan luas penguasaan lahan. Dari penelitian diperoleh hubungan yang erat antara distribusi pengusaan lahan dengan distribusi pendapatan petani. 0,5 0,4 0,3
0,44
0,38 0,31
0,2 0,1 0 Status Milik
Status Sewa
Status Milik + Sewa
Gambar 24 Gini Ratio pendapatan berdasarkan status lahan Berdasarkan Gambar 24 nilai Gini ratio pendapatan status milik 0.44 ketimpangan sedang, nilai gini ratio pendapatan status sewa 0.38 ketimpangan sedang, nilai Gini ratio pendapatan milik+sewa 0.31 ketimpangan rendah. Status milik+sewa mampu memperlihatkan distribusi pendapatan lebih merata. Menurut Adnyana(2000)Indeks Gini di Jawa cenderung meningkat dari 0.72 menjadi 0,78, demikian juga di luar Jawa, meningkat dari 0.53 menjadi 0.54. Ketimpangan pemilikan tanah di Jawa lebih besar dibandingkan luar Jawa. Berdasarkan Gambar 25 nilai Gini ratio pengusaan lahan menurut status milik 0.46 ketimpangan sedang, nilai Gini ratio penguasaan lahan menurut status sewa 0.28 ketimpangan rendah, nilai Gini ratio pengusaan lahan menurut status miliks+sewa 0.36 ketimpangan sedang. Status sewa memiliki nilai Gini ratio yang paling merata dibanding dengan sistem milik maupun sistem milik+sewa, karena pada sistem sewa jumlah 11 responden dari 122 responden dengan luas rata-rata sewa 2.174 m2.
Angka Gini Ratio
0,5
0,46 0,36
0,4 0,28
0,3 0,2 0,1 0 Status Milik
Status Sewa
Status Milik + Sewa
Gambar 25 Gini Ratio penguasaan lahan berdasarkan status lahan Berdasarkan Gambar 26 memperlihat nilai angkaGini ratio pendapatan usahatani 0.47 dibandingkan dengan nilai angka Gini ratio pendapatan total 0.45. Artinya dengan adanya pendapatan dari luar pertanian mampu menurunkan nilai angka indeks Gini dari 0.47 menjadi 0.45. Berdasarkan angka indeks Gini pada gambar menunjukan bahwa ketika terdapat pendapatan diluar hasil pertanian, ketimpangan jadi lebih kecil. Dari perubahan indeks tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya pendapatan diluar pertanian mampu meningkatkan pendapatan total. Menurut Mudakir(2011) tingkat ketimpangan pendapatan petani tanpa pendapatan di luar pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan ketimpangan
55
Angka Gini Ratio
pendapatan petani yang telah memasukan pendapatan dari luar pertanian, Pendapatan petani di luar hasil pertanian mampu mengurangi ketimpangan pendapatan. 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
0,47
0,45
Pendapatan Usahatani
pendapatan Total
Gambar 26Gini ratio berdasarkan sumber pendapatan
Angka gini Ratio
Berdasarkan Gambar 27 ditampilkan angka rata-rata Gini ratio pendapatan 0.4 menunjukan ketimpangan sedang, kemudian angka Gini ratio pengusaan lahan 0.28 dikatagorikan kedalam ketimpangan sedang. Dilihat dari distribusi luas lahan yang sedang menunjukan bahwa masih terdapat ketimpangan dalam pemilikan maupun pengusaan luas lahan,ditinjau dari distribusi pendapatan dengan ketimpangan sedang menunjukan adanya kondisi yang kurang baik dalam jumlah pendapatan yang diterima. Angka Gini ratio rata-rata penguasaan lahan lebih merata dibanding dengan angka rata-rata Gini ratio pendapatan dikarenakan lahan terprahmentasi karena adanya hukum waris.
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
0,4 0,28
Rata-rata Gini ratio Pendapatan
Rata-rata Gini ratio Penguasaan Lahan
Gambar 27 Angka rata-rata Gini ratio Besarnya pendapatan rumah tangga petani di pedesaan akan berpengaruh dalam pengeluaran untuk barang dan jasa yang akan dibeli. Jumlah pendapatan yang diperoleh tiap rumah tangga di perdesaan tidak sama besarnya, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam : (1) penguasaan lahan pertanian, (2) modal usaha, (3) kesempatan untuk memperoleh lapangan kerja, baikdi sektor pertanian maupun diluar sektor pertanian. Perbedaan dalam pendapatan akan berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga petani kecil, yang hanya mampu membeli barang kebutuhan pokok saja, seperti beras dan lauk pauk ala kadarnya. Distribusi pengusaan lahan dapat dilihat dari kurva Lorenz berdasarkan gambar 28A menunjukan distribusi pendapatan untuk masing-masing status
56
pengusaan lahan. Garis distribusi sewa dan milik sewa hampir berhimpitan dan paling dekat dengan garis diagonal (garis kemerataan), yang berati tingkat kepincangan lebih rendah jika dibandingkan dengan satus milik. Gambar 28B menunjukan kurva Lorenz pengusaan lahan menurut status sewa, serta status milik + sewa juga saling berhimpitan dan juga lebih mendekati garis diagonal, artinya lebih merata pengusaan lahan menurut status sewa,maupun milik + sewa. Secara teoritis, petani yang memiliki dan menguasai lahan yang luas akan mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang berlahan sempit, karena luas pemilikan dan pengusaan lahan merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani, seperti dikemukakan oleh Sajogyo (1989), Tan (1991) dan Singarimbun dan Effendi (1989). Jumlah penduduk miskin dilihat dari luas lahan kurang dari 1 ha sangat banyak dilihat menurut pendapatan pertanian maupun pendapatan total baik dilihat dari sisi kecamatan maupun dari sisi status kepemilikan lahan.
A
B
Gambar 28 Kurva Lorenz Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia) yang berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai "dasar" dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Berdasarkan Tabel 21 pada luas lahan 0 – 2000 m2 jumlah penduduk miskin 100 %, luas lahan 2.001- 10.000 m2 jumlah penduduk miskin 46,1 %, dan luas lahan > 10.000 m2 jumlah penduduk miskin 6,8 %. Jika dilihat dari 122 responden maka 49,1 % responden tergolong miskin. Semakin luas proporsi lahan yang dikuasai maka maka sedikit presentase jumlah responden miskin. Menurut Wiradi (2009) penyebaran keluarga miskin menurut luas pemilikan tanah, bahwa dalam strata pemilikan tanah yang lebih rendahlah terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar.
57
Tabel 21 Persentase responden miskin menurut luas lahan Jumlah Keluarga Persentase Responden Miskin Luas lahan Keluarga miskin berdasar luas lahan 0 – 2.000 m2 28 28 100 2.001 – 10.000 m2
65
30
46,1
>10.000 m2
29
2
6,8
Total
122
60
49,1
Luas lahan yang sempit mengakibatkan pendapatan petani rendah selain luas lahan, faktor umur responden yang rata rata berumur 55 tahun ini akan membuat rendah tingkat produktifitas produk petani karena usia yang sudah lanjut. Usia lanjut ini adalah masalah utama di sektor pertanian saat ini karena orang yang lebih muda tidak terlalu tertarik untuk terjun ke sektor pertanian karena tingkat upah yang sangat rendah, bagi kaum muda lebih baik menjadi tukang ojek dengan pekerjaan yang lebih ringgan dan pendapatan yang lebih tinggi. Jumlah tanggungan keluarga di daerah penelitian rata-rata 4 orang perkepala keluarga. Jumlah tanggungan keluarga yang banyak ini seharusnya dapat meningkatkan ekonomi keluarga seandainya mereka juga dapat menjadi tenaga kerja tambahan di lahan yang mereka miliki namun, pada kenyataan yang bekerja tetaplah hanya satu orang saja pada lahan yang mereka miliki. Juamlah Responden yang berpendidikan hanya Sekolah Dasar adalah yang paling banyak di daerah penelitian yaitu 53 persen responden berpendidikan SD/sederajat. Rendahnya tinggka pendidikan petani ini diduga berpengaruh terhadap kemampuan penggunaan teknologi ini dapat dibuktikan ternyata hanya 23 persen petani yang menggunakan teknologi dalam membantu proses tanam. Ditinjau dari segi kondisi perumahan responden banyaknya petani miskin dapat dilihat ada 57 persen rumah non permanen, 51 persen memakai air minum dari sumur sendiri, ada 45 persen pengguna kayu bakar sebagai bahan bakar. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa memang jumlah pemilik lahan sempit yang banyak sebanding dengan jumlah rumah non permanen yang cukup banyak pula. Serta kondisi lainnya yang juga cukup memperihatinkan. Bank Dunia dalam laporan tahunannya menyatakan bahwa untuk dapat memerangi kemiskinan di perdesaan maka petani harus diberi kesempatan untuk dapat memperoleh bantuan kredit bagi petani. Namun di daerah peneliatan di dapatkan fakta tidak ada satupun responden yang pernah berhubungan dengan lembaga keuangan baik melaui Bank atau koperasi. Kondisi ini dapat saja terjadi dikarenakan wilayah penelitian masyarakat masih mengharamkan bunga bank dan juga takut tidak mampu mengembalikan pinjaman. Kemiskinan juga terjadi karena petani tidak memperoleh akses kepada kegiatan ekonomi di luar peranian oleh karena umur, rendahnnya pendidikan mereka tidak dapat memperoleh pendapatan tambahan dari pekerjaan sampingan lain. Hanya ada 20 persen responden yang memilik pekerjaan di luar sektor pertanian ini sejalan dengan jumlah keluarga yang tidak miskin di daerah penelitian.
58
5.7 Implikasi Kebijakan Unsur-unsur dalam pengusaan lahan petani (pemilik, pengarap, penyewa) dalam lahan pertanian (sawah, kebun), desa sebagai kumpulan orang atau masyarakat , pamong desa sebagai sosok pemimpin. Hubungan antara petani dalam pengusaan lahan semakin komplek akibat dari keterbatasan lahan diantara mereka. Adanya kombinasi dari status pengusaan lahan bagi petani yang tak mempunyai lahan akan dapat meningkatkan pendapatannya, dengan cara gadaimaupun bagi hasil yang kurang populer di daerah penelitian sedangkan cara sewa adalah yang paling populer. Bagi yang mempunyai lahan yang luas menyewakan lahan kepada petani yang mempunyai lahan yang sempit atau tak mempunyai lahan sama sekali. Dalam setiap status perlu adanya motivasi untuk meningkatkan produktivitas petani agar pendapatan besar. Perkembangan penduduk di perdesaan merupakan masalah dalam ketenagakerjaan, di pedesaan lahan sawah, tegalan, kebun atau lahan untuk tempat tinggal merupakan faktor yang dominan. Pertambahan jumlah penduduk haruslah diikuti oleh pertambahan luas lahan yang memadai agar terdapat keseimbangan. Bagi lahan-lahan yang luas yan dikuasai bagian kecil para petani perlu adanya pembatasan yang nyata. Pembagian lahan merupakan salah satu cara yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan Dari hasil penelitian diperoleh bahwa 76 persen respondenmenguasai berdasarkan status pengusaan lahan kurang dari 1 hektar. Status lahan milik dan diolah sendiri memperlihatkan jumlah yang terbanyak jika dibanding dengan status penguasaan lahan lainnya. Dilihat dari sisi pendapatan dari sumber usahatani menyubangkan share yang cukup besar dari pendapatan total yaitu sebesar 78,5 % ini menunjukan bahwa kegiatan usahatani masih merupakan penyumbang penghasilan yang paling besar dibandingkan dengan tambahan pendapatan diluar usahatani. Setiap kenaikan 1% dalam luas penguasaan lahan akan mengakibatkan kenaikan 8,453% dalam pendapatan usahatani,kenaikan 1% dalam umur akan mengakibatkan penurunan 0,227 % dalam pendapatan usahatani, setiap kenaikan 1% dalam lama sekolah akan mengakibatkan kenaikan 0,915 % dalam pendapatan usahatani,setiap kenaikan 1% jumlah anggota keluarga akan mengakibatkan kenaikan 0,655 % dalam pendapatan usahatani. Adanya hubungan yang positif antara distribusi pengusaan lahan dan distribusi pendapatan artinya kalau ketimpangan distribusi pengusaan lahan rendah maka ketimpangan pendapatan juga akan rendah atau sebaliknya. Dari uraian diatas maka strategi kebijakan antara lain adalah: 1. Akses penguasaan lahan bagi petani lahan sempit perlu di usahakan dengan serius yaitu dengan pembukaan lahan baru. 2. Mekanisme Sewa meyewa-lahan perlu diperlancar agar menigkatkan ekonomi masyarakat. 3. Di perdesaan Aceh Utara perlu adanya kegiatan ekonomi diluar usahatani agar dapat menambah kesejahteraan masyarakat.
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1.
2.
3.
Kelembagaan lahan yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara meliputi sewa, gadai/gala. Bagihasil/mawah. Kerjasama lahan sebagai cerminan kerjasama antar petani dalam tata cara menggunakan lahan dalam usahatani dapat dipengaruhi oleh posisi tawar petani dalam kelembagaan lahan. Sewa sebagai bentuk kelembagaan yang memilki posisi tawar berimbang. Bagihasil/mawah sebagai upaya pemilik lahan meningkatkan nilai guna lahan karena banyak penawaran tenaga kerja (buruh tani). Gadai/gala banyak dijumpai sebagai wujud posisi tawar pemilik lahan yang lemah karena terdesak kebutuhan mendapatkan uang tunai pada suatu saat. Secara bersama-sama variabel luas penguasaan lahan, umur, jumlah anggota keluarga, lama sekolah, dummy status lahan, dan interaksi LPL x dummy berpengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani. Secara parsial variabel luas penguasaan lahan berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 8,453 %. Variabel interaksi LPL x dummy berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 6,615%. Variabel umur berpengaruh negatif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas -0,227%. Variabel lama sekolah berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,912%. Variabel jumlah anggota keluarga berpengaruh positif terhadap pendapatan usahatani dengan angka elastisitas 0,655%. Hubungan distribusi pendapatan dengan distribusi luas lahan berbentuk kurva U dimana angka Gini ratio yang tinggi pada luas lahan kecil kemudian bergerak ke angka Gini ratio yang lebih kecil pada luas lahan yang lebih luas, kemudian angka Gini ratio yang meningkat pada luas lahan yang sangat luas. Ada korelasi antara distribusi pendapatan dengan distribusi penguasaan lahan.Pendapatan petani di luar hasil pertanian mampu mengurangi ketimpangan pendapatan.Angka rata-rata Gini ratio pendapatan 0.4 menunjukan ketimpangan sedang, kemudian angka Gini ratio pengusaan lahan 0.28 dikatagorikan kedalam ketimpangan sedang. Angka Gini ratio rata-rata penguasaan lahan lebih merata dibanding dengan angka rata-rata Gini ratio pendapatan dikarenakan lahan terprahmentasi karena adanya hukum waris. Luas lahan 0 – 2000 m2 jumlah penduduk miskin 100 % , luas lahan 2.001- 10.000 m2 jumlah penduduk miskin 46,1 %, dan luas lahan > 10.000 m2 jumlah penduduk miskin 6,8 %. Jika dilihat dari 122 responden maka 49,1 % responden tergolong miskin. Semakin luas proporsi lahan yang dikuasai maka maka sedikit presentase jumlah responden mikin.
60
6.2 Saran Perbaikan dalam distribusi lahan mempunyai efek yang positif dalam mengurangi penduduk miskin. Dari hasil studi ini perlu adanya kebijakan dari pemerintah Kabupaten Aceh Utara dalam mencapai pemerataan pendapatan. Kebijakan tersebut dapat ditinjau dari segi pemilikan lahan, kelembagaan pengusaan lahan. Berdasarkan hasil studi ini penulis menyarankan agar di perdesaan sebaiknya diprogramkan kegiatan ekonomi yang produktif yang dapat melibatkan petani dalam usaha ekonomi, sehinga petani selain bertani juga memiliki alternatif usaha lain diluar sektor pertanian.
DAFTAR PUSTAKA SyamsulA.1999. Analisis Ekonomi tentang Kemiskinan dan Implikasi. Kebijaksanaan Pengentasannya di Pedesaan Propinsi Sumatera Barat, Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, tidak diterbitkan. Anwar A. 2000. Ekonomi Sumberdaya Alam. Bahan Kuliah. ProgramStudi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anwar A dan RustiadiE. 2000. Perspektif Pembangunan Tata Ruang (Spatial) Wilayah Perdesaan dalam rangka Pembangunan Regional. IPB. Bogor, Barlowe R. 1978. Land Resource Economics ; The Economics of Real Estate. 3rd. Prentice Hall. USA Bahrin, Basitas G, Sugihen, Susanto G, dan Asbgari SP.2008. Luas Lahan dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Kasus Rumahtangga Petani Miskin di Daerah Dataran Tinggi Kabupaten Kepahiang), Jurnal Penyuluhan , September 2008, Vol 4 No. 2 Budidarsono S.,Yuliana C,Wulan, Budi.,Joshi, L, And Hendratno S. 2007.Livelihoods and Forest Resources in Aceh and Niasfor a Sustainable Forest ResourceManagement andEconomic Progress, Report of the project identification study. © ICRAF Southeast Asia 2007. ICRAF Working Paper Number 55 Bonnie S. 1990.Demokrasidi Pedesaan, Prisma Ho. 7 Harsono B. 1988 Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit Djambatan Jakarta. Biro Pusat Statistik. 1999. Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial Ekonominya 1996 - 1999. Sebuah Kajian Sederhana. Seri Publikasi Susenas Mini 1999 Buku 2. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Biro Pusat Stastistik Aceh, Aceh Dalam Angka, 2011 Biro Pusat Stastistik Aceh Utara, Kecamatan Dalam Angka, 2011 Juanda B. 2009. Metodelogi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press Bogor Bungin B. 2011. Metodelgi Penelitian Kuantitatif:Komunikasi,Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial lainya.edisi ke 2 Kencana Predana Media group. Chambers R. 2001. The World Development Report : concepts, content and a chapter 12. Journal of International Development 13:299-306. DjoyohadikusumoS. 1994. Dasar Teory Ekonomi Pertumbuhan danEkonomi Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Fujimoto A, 1996. “Share Tenancy and Rice Production: Lesson from Two Village Studies in West Java.” Fujimoto, A. and T. Matsuda (eds). An EconomicStudy of Rice Farming in West Java, A Farm Houshold Survey of Two Villages in Bandung and Subang. Nodai Research InstituteTokyo University of Agriculture, DGHE-JSPS PROGRAM, Tokyo: 81-99. HartwickJM. and Nancy DO. 1986. The Ekconomic of Natural Reseources Use. Harper and Row Publisher. New York. Hayami Y., and M Kikuchi.1981. Asian Village Economy at theCrossroads, An EconomicApproach to Institutional Change. University of Tokyo Press. Hayami dan M Kikuchi. 1989. Dilema Ekonomi Desa (Terjemahan). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
62
Harniati. 2007. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroteknologi dan implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan (Disertasi) Sekolah Pascasarjana Institu Pertanian Bogor. Hartono S., Iwamoto N, and Fukui S.2001. “Characteristics of Farm Household Economy and Its Flexibility, A Case Study in Central Java Villages.” Proceedings of The 1st Seminar, Toward Harmonization betweenDevelopment and EnvironmentalConservation in BiologicalProduction, February 21-23, 2001, Yayoi Auditorium Graduate School of Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo, Japan: 23-30. Grootaert C. and Van Bastelear T. 2002. The Role of Social Capital In Development: An Empirical Assesment. New York: Cambridge University Press. Greetz C. 1963. Agriculture Involution The Process of Ecologycal Change. Berkeley : University of California Press. KasryrtoF. 1984. Prospek Perkembangan Ekonomi Pedesaan Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Kuznets S. 1933. “National Income” in The American Economic Assosiation. 1955.Reading in the Theory of Income Distribution. Philadelphia: The Blakiston Company Alfred M. 1959. Principle of Economics. London: Macmillan & Co.Ltd. Makmun. 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penanganannya. Jurnal : Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol 7, No, 2 Juni 2003 Bagio M. 2011 Produktivitas Lahan dan Disribusi Pendapatan Berdasarkan Status Penguasaan Lahan pada Usahatani Padi (Kasus di Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah), Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Dipenegoro Semarang. Nanga M. 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Sebuah Analisis Simulasi Kebijakan (Desertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nasikun. 2001. Isu dan Kebijakan Penaggulangan Kemiskinan (Diklat Mata Kuliah) Magister Administrasi Publik. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. PutnamR. 1995. The Prosperous Community - Social Capital and Public Life”. American Prospect. Washington DC: World Bank Pakpahan A., Syafaat, Purwoto A, Saliem HP, dan Hardono GS, 1992. Kelembagaan Lahan danKonservasi Tanah dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor. OshimaH and Bruno B, 1978. Reprinted The Philipine Journal Volume XV No. 3. Rusastra IW. dan Sudaryanto T. 1997. Dinamika Ekonomi Pedesaan Dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Prosiding: Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian (Buku I). Puslit Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sangwan SS. 2000. “Emerging Credit Demand of Tenants in Haryana.” Indian Journal of AgriculturalEconomics. Indian Society of Agricultural Economics, Mumbai. 55 (3): 317-330.
63
Sawit HM. 1985. Status Penguasaan Tanah di Usaha Tani padi dan Implikasi Ekonominya: Sebuah Studi di Pedesaan Jawa Barat EKI, Vol XXXIII, No. 1, Maret 1985. Setiabudi B.2002. Pendampingan yang Mandiri dan Berkelanjutan dalam Pengembangan Keuangan Mikro Guna Mananggulangi Kemiskinan di Perdesaan. (Makalah). Disampaikan dalam Temu Nasional Lembaga Keungan Mikro yang diselengarakan oleh Gema PKM dan BI serta KPK, Jakarta 22-25 Juli, 2002. Sumodiningrat G.2005. Sambutan dan Laporan Panitia Kerja Nasional Penanggulangan Kemiskinan oleh Sekretaris Komite Penaggulangan Kemiskinan Selaku Sekretaris Panitia Pengarah. Jogyakarta. Supriyati, Saptana dan Supriyatna Y., 2002 Hubungan Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumahtangga di Pedesaan (Kasus di Propinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian , Bogor Suryawati C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensi. JMPK Vol. 08/No. 03 September/2005 Shephered A, 2007. Understanding and Explaining Chronic Poverty an Evolving Framework for Phase III of CPRC’s Research. [CPRC Working Papers 80] Overseas Development Institute (ODI) 111 Westminster Bridge Road London SE1 7 JD, UK
[email protected] [20 Pebruari 2010 Saefulhakim S. 1998. An Evaluation of Earlier Programmesto Strengtenth RuralUrban Linkages (Ringkasan Eksekutif). Poverty Allevation Through Rural Urban Linkages. GOI-UNDP-UNCHS Smeru. 2001. Paket Informasi Dasar: Penanggulangan Kemiskinan. Disusun untuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Agustus, 2001.http.//www.smeru.or.id. [5 Januari 2010] Sayogyo. 1977. Garis Kemiskinan Dan Kebutuhan Minimum Pangan, Harian Kompas, November. ----------. 1982. Bunga Rampai Pembangunan Desa. SDP - SAE. Bogor. ----------. 1984. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: GrasindoSamuelson, P.A. 1973. Economics. International Student Edition. McGraw - Hill, Kogakusha. Sumarya A. 2002. Hubungan Antara Distribusi Penguasaan Lahan Usahatani dengan Kemiskinan Pedesaan (Thesis) Sekolah Pascasarjana Institu Pertanian Bogor. Sutomo. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah. Analisis Sistim Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi. PS Institut Pertanian BogorRustiadi, E., S.Saefulhakim, D.R. Panuju. 2009. Perencanaan dan PengembanganWilayah. Crestpent Press. Bogor. Sudjatmoko Z.(1984) Metodologi Penelitian Pedesaan: Korelasi danPembenaran, LPIS UKSW. Salatiga Satriani, S. 2008. Dinamika Sejarah Gampong dan Kampung di Aceh,Publikasi Ilmiah, Jakarta Szal R. dan Robinson R. 1977. Measuring Income Inequalitydalam C.R. Frank and R.C. Webb (eds). Income Distribution and Growth in Less Developeed Countries. The Brooking Institution. Pp.: 491-533.
64
Suyanto, Bagong (1995), Tolok Ukur Kemiskinan Harus Menyentuh Aspek Keadilan, Perangkap Kemiskinan: Problem dan Strategi Pengentasannya, Airlangga University Press, Surabaya. SingarimbunM., dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Siahaan H. 1977. Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Adopsi Teknologi Pertanian Modern dan Disparitas Pendapatan di Daerah Pedesaan, Tesis sarjana, Pada Universitas Gajah Mada. Tambunan T, 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Ghalia Indonesia Taryoto AH., 1995. “Analisis Kelembagaan dalam Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Suatu Pengantar.” ProsidingPengembangan Hasil Penelitian. Kelembagaan dan Prospekpengembangan BeberapaKomiditas Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian: 1-6. Tan, Melly G. 1991. Perubahan Struktur Sosial di Bengkulu. Yogyakarta: UGM Press. Tohir KA. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia. Renata Cipta. Jakarta. Tjondronegoro SMP danWiradi G. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa Edisi Revisi. Yayasan Obor Indonesia. PT Gramedia Jakarta. Todaro MP dan Smith SC. 2000. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesimbilan. Terjemahan oleh Munandar,H. Penerbit Erlangga.Jakarta Umar H. 2003. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. World Bank. 1998. The Initiative on Defining, monitoring and Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding.The World Bank, Social Development Family, Environmentally and Socially Sustainable development Network. http://www.worldbank.org/prem/poverty/scapital/wkrppr/sciwp2.pdf. 9 Mei 2005. Wiradi G., White B, Collier LW, Soentoro, Makali, and Manning C.2009. RANAH STUDI AGRARIA: Pengusaan Tanah dan Hubungan Agraris, Sleman, Yogyakarta. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Sajogyo Institute Wiradi G. 2009. Metodologi STUDI AGRARIA : Karya Terpilih Gunawan Winardi. Sajogyo Istitute, Bogor. WiradiG., dan Tjondronegoro SMP. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia.
65
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Langsa Provinsi Aceh pada tanggal 20 Februari 1972. Penulis adalah putra pertama dari lima bersaudara dari keluarga Bapak H. Bachtiar Daulay,dan Ibunda Hj. Chairani, Menikah dengan Maisura SP, MP. Saat ini bertempat tinggal di Gampung Meutia lr 1 no 65 Langsa. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 8 Langsa pada tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Langsa pada tahun 1988, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Langsa pada tahun 1991. Pada tahun 1998 penulis menamatkan program S1 Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Studi Pembagunan, Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2004-2007 penulis bekerja sebagai guru honorer, dan sejak tahun 2007 hingga saat ini Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada SMANegeri 4 Langsa sebagai Tenaga Guru.