PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI BERBAGAI DAERAH Bambang Sayaka, Kedi Suradisastra, Bambang Irawan, dan Sahat M. Pasaribu
Pesatnya pembangunan nasional yang meliputi semua sektor sangat memengaruhi penggunaan lahan. Sebagai salah satu modal dalam produksi, lahan memegang peranan penting dan memiliki nilai strategis dalam perekonomian. Luas lahan di suatu daerah secara relatif tidak bertambah, tetapi permintaan lahan untuk berbagai sektor terus meningkat. Lahan pertanian di suatu daerah umumnya memiliki nilai strategis, terutama lokasinya yang umumnya berada di dataran rendah dan topografinya relatif datar atau landai. Di samping itu, lahan pertanian juga memiliki sumber air atau saluran irigasi yang sangat diperlukan untuk kegiatan industri. Lahan pertanian di berbagai daerah sangat rentan terhadap konversi ke penggunaan non-pertanian. Alasan utama adalah desakan kepentingan umum yang lebih diutamakan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pertanian secara umum juga lebih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya sehingga pembangunan maupun pengembangan sektor lain lebih diutamakan. Pemerintah berupaya melindungi lahan pertanian melalui pengesahan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam UU tersebut disebutkan setiap kabupaten/kota harus mengalokasikan sebagian lahan pertanian yang ada untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan cadangan LP2B. Alokasi LP2B dan cadangannya harus dicantumkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota yang seharusnya selesai disahkan pada bulan November tahun 2011. Sedangkan RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota seharusnya sudah disahkan paling lambat akhir tahun 2010. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tampaknya berpacu dengan waktu penetapan RTRW yang mana di dalamnya termasuk penetapan LP2B. Hingga bulan September 2011, baru 7 provinsi dan 16 kabupaten/kota yang sudah mengesahkan RTRW melalui Peraturan Daerah yang berlaku 20 tahun. Perda RTRW dianggap sebagai salah satu instrumen untuk melindungi lahan pertanian dari konversi ke penggunaan lainnya. Walaupun demikian ada yang beranggapan Perda RTRW akan mempercepat konversi lahan pertanian, khususnya lahan pertanian nonirigasi teknis. Makalah ini menguraikan pemanfaatan lahan pertanian dari berbagai kabupaten/kota menyongsong pemberlakuan UU 41 Tahun 2009, serta tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan keberadaan lahan pertanian sebagai sumber pangan.
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Kediri Perda RTRW Kabupaten Kediri belum disahkan, tetapi sudah disiapkan melalui pembahasan tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten Kediri. Badan ini beranggotakan instansi terkait dan saat ini RTRW masih menunggu pengesahan Bupati. Dinas Pertanian sudah melakukan penetapan kawasan-kawasan pengembangan pertanian yang terdiri dari 26 kecamatan (Dinas Pertanian Kabupaten Kediri 2009). Pada rencana LP2B tahun 2020, Kabupaten Kediri sudah merinci setiap kecamatan dengan total luas 47.641 ha (lahan irigasi 45.740 ha). Rencana LP2B berkelanjutan diusulkan seluas 46.120 ha (lahan irigasi 44.370 ha). LP2B ini akan tetap dipertahankan dan jika ada lahan yang dikonversi akan dilakukan pergeseran lokasi lahan. Beberapa permasalahn untuk mempertahankan lahan pertanian timbul akibat perkembangan perkotaan, khususnya untuk menunjang kebutuhan lahan pemukiman dan industri. Sekitar 23 ha lahan pertanian saat ini sudah diminta oleh Universitas Brawijaya Malang untuk dibangun menjadi kampus baru di Kediri. Dampak yang bisa diantisipasi dari pembangunan kampus baru tersebut adalah berkembangnya kawasan sekitar yang semula lahan pertanian akan menjadi kawasan non-pertanian. Hasil tanaman pangan yang menonjol di Kabupaten Kediri (25 kecamatan) adalah padi, jagung, dan ubi kayu. Masing-masing produksinya pada tahun 2009 sebesar 3.317.125 kw, 3.274.494 kw, dan 1.043.616 kw. Wilayah penghasil padi terbesar adalah Kecamatan Pare, Kandangan, dan Plosoklaten. Penghasil jagung terbesar adalah Kecamatan Plemahan, Pare, dan Mojo. Sementara penghasil ubi kayu terbesar adalah Kecamatan Mojo dan Tarokan. Hasil produk perkebunan didominasi oleh tebu dan kelapa, dengan produksi masing-masing 1.795.370 kw dan 42.035 kw. Lahan perkebunan didominasi oleh areal perkebunan rakyat (tebu, kelapa, kopi) dengan luas 21.122 ha (tebu), sedangkan perkebunan swasta ( kopi, kakao, dan cengkeh) seluas 2.227 ha (kopi). Kabupaten Kediri memiliki surplus produksi jagung, tetapi relatif kekurangan padi. Lahan sawah untuk tanaman padi bersaing dengan tanaman tebu. Penetapan kawasan pangan berkelanjutan dilaksanakan dengan dua tahap, yaitu (i) koordinasi antarinstansi terkait (Dinas Pertanian, PU, dan sebagainya) yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Hasil koordinasi berupa rancangan RTRW Kabupaten Kediri, termasuk kawasan cadangan pangan berkelanjutan, (ii) rancangan RTRW yang telah dibuat selanjutnya disinkronkan dengan RTRW provinsi. Rancangan RTRW Kabupaten Kediri sudah dibuat dan sedang dalam proses pengesahan oleh Provinsi Jatim. Kawasan LP2B di Kabupaten Kediri ditetapkan dengan ketentuan: (i) luas kawasan pangan dirancang untuk setiap periode 10 tahun (terhitung sejak tahun 2011), (ii) luas kawasan pangan ditetapkan sesuai dengan potensi lahan yang tersedia dan disahkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten, (iii) lokasi kawasan pangan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dan (iv) kriteria lokasi yang dijadikan kawasan pangan adalah lahan sawah irigasi agar produktivitas padi relatif tinggi. 234
PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI BERBAGAI DAERAH
Masalah utama yang dihadapi dalam penetapan kawasan pangan berkelanjutan adalah setiap kecamatan memiliki prioritas pembangunan yang berbeda. Dengan mempertimbangkan kebutuhan pembangunan wilayah/kecamatan yang bervariasi, maka ditempuh kebijakan lokasi kawasan pangan boleh berubah tetapi total luas kawasan pangan yang dicadangkan relatif tetap. Dengan kebijakan tersebut, lahan pertanian yang termasuk kawasan pangan di lokasi tertentu boleh saja dikonversi ke penggunaan non-pertanian asal diganti dengan lahan lainnya dengan luasan yang sama. Lokasi lahan pengganti boleh di desa lokasi konversi lahan atau di desa/kecamatan lainnya. Dengan konsep ini, lokasi kawasan pangan berkelanjutan dapat saja bergeser (pindah lokasi), tetapi luas kawasan pangan yang dicadangkan relatif tetap. Konsep ini berbeda dengan yang diinginkan dalam UU 41 Tahun 2009. LP2B hanya boleh dikonversi jika digunakan untuk kepentingan umum. Di samping itu, mekanisme penggantian LP2B yang dikonversi dalam UU 41 Tahun 2009 (Pasal 46, Ayat 1) adalah sebagai berikut. Penyediaan lahan pengganti terhadap LP2B yang dialihfungsikan dilakukan atas dasar kesesuaian lahan, dengan ketentuan: (a) paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi; (b) paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan (c) paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi. Setiap 10 tahun, evaluasi dilakukan terhadap keberadaan kawasan pangan yang dicadangkan dan penataan ulang tentang luas kawasan pangan yang dicadangkan. Untuk mendukung keberlanjutan kawasan pangan diperlukan upaya (meskipun belum dilaksanakan) sebagai berikut. (i) Pembangunan irigasi di kawasan tersebut. (ii) Peningkatan produktivitas padi di kawasan tersebut. Dinas Pertanian Kabupaten Kediri berpendapat upaya peningkatan produktivitas padi sebaiknya tidak mengandalkan varietas padi hibrida (program penanaman varietas padi hibrida dibatalkan) karena rentan terhadap OPT, tekstur nasi kurang disukai petani (beras pera), teknis penanaman varietas padi hibrida belum dikuasai petani, sehingga diperlukan pengawalan teknis seperti pada kasus jagung hibrida yang dikembangkan oleh swasta. (iii) Pengembangan industri pengolahan di lokasi kawasan tersebut untuk meningkatkan pendapatan petani. Sampai saat ini, belum ada mekanisme khusus untuk melindungi lahan sawah di dalam kawasan pangan dari konversi lahan. Instrumen yang digunakan untuk mengendalikan konversi lahan sawah masih mengandalkan izin pengeringan sawah dan izin lokasi. Juga belum ditetapkannya lembaga yang mengelola kawasan pangan. Potensi perluasan kawasan pangan di Kabupaten Kediri diupayakan melalui: (i) pengembangan tanaman sela (tanaman pangan) pada perkebunan karet; (ii) pengembangan tanaman sela (tanaman pangan) pada tanaman sengon di lahan kehutanan, dan (iii) pengembangan tanaman tumpang sari (tanaman pangan-tanaman kehutanan) di lahan kehutanan. Lahan bekas tebangan tanaman kehutanan selama ini dimanfaatkan petani untuk tanaman jagung dengan pola tanam tumpang sari dengan tanaman kehutanan, 235
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
yaitu pohon jati. Pola pemanfaatan lahan tersebut dapat dilakukan hingga tanaman jati berumur 2–3 tahun. Namun, luas lahan bekas tebangan yang dapat dimanfaatkan relatif sempit yaitu sekitar 300 ha per tahun. Luas garapan petani tanaman pangan sekitar 0,1–0,3 ha per petani. Luas garapan tersebut relatif tidak berkurang atau tidak terjadi fragmentasi lahan. Sebaliknya, luas garapan petani tebu cenderung semakin luas. Hal ini karena petani tanaman pangan yang memiliki lahan garapan sempit (kurang dari 0,2 ha) cenderung menyewakan lahannya pada petani tebu dengan pertimbangan: (i) jika ditanami tanaman pangan, luas lahan garapan tersebut tidak cukup untuk kebutuhan keluarga, (ii) jika ditanami tebu dibutuhkan modal besar, dan (iii) luas garapan tersebut tidak efisien jika ditanami tebu.
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Malang Kabupaten Malang sudah menetapkan RTRW yang telah disahkan lewat Perda Kabupaten Malang (Pemerintah Kabupaten Malang 2010). Dalam kaitan dengan UU 41/2009, penetapan LP2B sudah dituangkan dalam RTRW Pasal 45 yang menyebutkan bahwa kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Perda RTRW meliputi kawasan pertanian sawah; kawasan tegalan (tanah ladang); kawasan pengelolaan lahan kering; kawasan perkebunan; kawasan hortikultura; kawasan peternakan; dan kawasan perikanan. Kawasan pertanian sawah meliputi: (a) lahan sawah irigasi terletak di Kecamatan Dampit, Gondanglegi, Karangploso, Kepanjen, Kromengan, Ngajum, Ngantang, Pagelaran, Pakis, Pakisaji, Poncokusumo, Singosari, Sumberpucung, Tajinan, Tumpang, Turen, Wajak, dan Wonosari; (b) sawah beririgasi teknis yang ditetapkan sebagai kawasan LP2B seluas 33.110,3 ha; (c) sawah beririgasi setengah teknis dan sederhana seluas 12.777,93 ha; (d) upaya pengelolaan kawasan pertanian sawah yang terdiri dari: (i) sawah beririgasi teknis harus dipertahankan luasannya; (ii) perubahan fungsi sawah ini hanya diizinkan pada kawasan perkotaan dengan perubahan maksimum 50% dan sebelum dilakukan perubahan atau alih fungsi harus sudah dilakukan peningkatan fungsi irigasi setengah teknis atau sederhana menjadi teknis, dua kali luas sawah yang akan dialihfungsikan dalam pelayanan daerah irigasi yang sama; (iii) pada kawasan perdesaan alih fungsi sawah diizinkan hanya pada sepanjang jalan utama (arteri, kolektor, lokal primer), dengan perubahan maksimum 20% dari luasan sawah yang ada dan harus dilakukan peningkatan irigasi setengah teknis atau sederhana menjadi irigasi teknis setidaknya dua kali luasan area yang akan diubah dalam pelayanan daerah irigasi yang sama; (iv) pada sawah beririgasi teknis yang telah ditetapkan sebagai LP2B tidak boleh dilakukan alih fungsi; (v) sawah beririgasi sederhana dan setengah teknis secara bertahap dilakukan peningkatan menjadi sawah beririgasi teknis; (vi) kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dengan mengembangkan kawasan cooperative farming dan hortikultura dengan mengembangkan kawasan good agriculture practices; (vii) kawasan tegalan (tanah 236
PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI BERBAGAI DAERAH
ladang) terletak di seluruh kecamatan terutama pada daerah yang kurang mendapatkan air dan mengandalkan air hujan (tadah hujan) seluas 113.582,12 ha atau 32,73% dari luas daerah. Upaya pengelolaan kawasan tegalan (tanah ladang) meliputi: (i) kawasan pertanian lahan kering secara spesifik dikembangkan dengan memberikan tanaman tahunan yang produktif. Lahan ini digunakan untuk menunjang kehidupan secara langsung sebagai lahan tumpang sari seperti palawija, hortikultura, maupun penunjang perkebunan dalam skala kecil; (ii) dalam beberapa hal kawasan ini merupakan kawasan yang boleh dialihfungsikan untuk kawasan terbangun dengan berbagai fungsi, sejauh sesuai dengan rencana detail tata ruang; serta (iii) alih fungsi lahan tegalan menjadi kawasan terbangun diarahkan untuk meningkatkan nilai ekonomi ruang ataupun pemenuhan kebutuhan fasilitas dan berbagai sarana masyarakat. Kawasan pengelolaan lahan kering terletak di wilayah bagian Timur Selatan, seluas 36.000 ha atau 10,4% dari luas daerah. Upaya pengelolaan kawasan lahan kering meliputi: (i) seperti umumnya lahan kering yang memiliki fungsi campuran untuk budi daya hortikultura dan palawija. Lahan ini ditingkatkan fungsinya melalui pengembangan komoditas tanaman keras tegakan tinggi yang memiliki nilai ekonomi tinggi. (ii) Kawasan ini memiliki potensi untuk menunjang ekonomi perdesaan dan wilayah, sehingga alih fungsi diizinkan pada beberapa area dengan catatan memiliki nilai tambah yang lebih besar dan sesuai dengan rencana detail tata ruang. (iii) Alih fungsi lahan pengelolaan lahan kering menjadi kawasan terbangun diarahkan meningkatkan nilai ekonomi ruang ataupun pemenuhan kebutuhan fasilitas dan berbagai sarana masyarakat. Kawasan perkebunan terletak di Kecamatan Lawang, Dampit, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, Wonosari dan Gondanglegi, seluas 54.834,18 ha atau 15,8% dari luas wilayah daerah. Upaya pemanfaatan perkebunan antara lain: (i) mengembangkan industri pengolahan hasil komoditas; (ii) pengembangan fasilitas sentra produksi dan pemasaran pada pusat kegiatan ekonomi di Mantung (Kecamatan Pujon); (iii) pengembangan perkebunan, misalnya merehabilitasi tanaman perkebunan yang rusak (seperti perkebunan teh) atau pada area yang telah mengalami kerusakan dengan cara mengembalikan fungsi perkebunan yang telah berubah pemanfaatannya, khususnya yang telah berubah menjadi area pertanian tanaman pangan; (iv) pengembangan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk tanaman perkebunan sesuai dengan rencana, seperti kelapa, cengkeh, tembakau, kopi, jahe, panili, teh, dan cokelat; (v) pengembangan kawasan-kawasan potensial untuk pertanian pangan lahan kering; (vi) pengembangan pasar produksi perkebunan; serta (vii) pengolahan hasil perkebunan terutama dengan membentuk keterikatan antarproduk. Upaya pengelolaan kawasan perkebunan, meliputi: (i) kawasan perkebunan yang dikembangkan di Kecamatan Lawang dan Kecamatan Singosari tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan yang lain dan dapat ditingkatkan perannya sebagai penunjang pariwisata dan penelitian, (ii) kawasan perkebunan di Kecamatan Wonosari, Ampelgading, Tirtoyudo, dan Sumbermanjing Wetan, memiliki fungsi perlindungan 237
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
kawasan dan sebagian kawasan telah dialihfungsikan menjadi tanaman semusim. Lokasi ini harus dikembalikan menjadi kawasan perkebunan dengan melibatkan masyarakat; (iii) peningkatan pemanfaatan kawasan perkebunan dilakukan melalui peningkatan peran serta masyarakat yang tergabung dalam kawasan masing-masing; serta (iv) penetapan komoditas tanaman tahunan selain mempertimbangkan kesesuaian lahan, konservasi tanah dan air, juga perlu mempertimbangkan aspek sosial ekonomi dan estetika. Kawasan hortikultura terletak di Kecamatan Poncokusumo, Pujon, Ngantang, dan Sumbermanjing Wetan. Upaya pemanfaatan kawasan hortikultura antara lain: (i) pada setiap kawasan sentra produksi di perdesaan akan dilengkapi dengan lumbung desa modern, juga pasar komoditas unggulan; (ii) pengembangan sistem agropolitan dan pengembangan kawasan perdesaan khususnya pada pusat sentra produksi pertanian; (iii) pengembangan sektor pertanian untuk kegiatan agribisnis, agrowisata, dan industri pengolahan pertanian dari bahan mentah menjadi makanan dan sejenisnya, maka sektor ini harus tetap dipacu dan dikembangkan produksinya secara intensif dan ekstensif; serta (iv) pengembangan komoditas unggulan dengan pemasaran nasional dan ekspor. Upaya pengelolaan kawasan hortikultura, meliputi: (i) kawasan hortikultura sebagai penunjang komoditas unggulan di daerah dilakukan dengan memperhatikan besaran supply dan permintaan pasar untuk menstabilkan harga produk; (ii) lbih mengutamakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memiliki kemampuan pemasaran yang luas terutama ekspor; (iii) kawasan ini sebaiknya tidak diadakan alih fungsi lahan kecuali untuk kegiatan pertanian dengan catatan memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang lebih luas; (iv) beberapa bagian kawasan hortikultura, khususnya sayuran, terletak pada ketinggian di atas 1.000 m dpl, dan memiliki kelerengan >40%, kawasan ini harus diupayakan peningkatan konservasi lahan dengan mengolah secara teknis dan vegetatif; serta (v) kawasan hortikultura buah-buahan harus dikembangkan dengan memperhatikan nilai ekonomi yang tinggi dengan mengembalikan berbagai jenis komoditas yang menunjukkan ciri khas daerah, seperti duku singosari, klengkeng tumpang, dan apel poncokusumo. RTRW dapat dilakukan peninjauan kembali 5 (lima) tahun sekali. Distribusi dan pemanfaatan lahan dalam RTRW sesuai dengan peruntukannya, sebagai berikut. (i) Kawasan hutan produksi seluas 45.239,90 ha atau 13,51% dari luas, terletak di 24 kecamatan di seluruh daerah: (ii) Kawasan hutan rakyat seluas 33.664 ha atau 9,70% dari luas, terletak di seluruh wilayah Kabupaten Malang yang tersebar pada 33 kecamatan. (iii) Sawah beririgasi teknis yang ditetapkan sebagai kawasan lahan berkelanjutan pertanian pangan seluas 33.110,3 ha. Sawah beririgasi setengah teknis dan sederhana seluas 12.777,93 ha. Lahan sawah irigasi antara lain: Dampit, Gondanglegi, Karangploso, Kepanjen, Kromengan, Ngajum, Ngantang, Pagelaran, Pakis, Pakisaji, Poncokusumo, Singosari, Sumberpucung, Tajinan, Tumpang, Turen, Wajak, dan Wonosari. (iv) Kawasan tegalan (tanah ladang) pada daerah yang kurang mendapatkan air dan mengandalkan air hujan 238
PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI BERBAGAI DAERAH
(tadah hujan) seluas 113.582,12 ha atau 32,73% dari luas daerah. (v) Kawasan pengelolaan lahan kering terletak di wlayah bagian timur selatan, seluas 36.000 ha atau 10,4% dari luas daerah. (vi) Kawasan perkebunan terletak di Kecamatan Lawang, Dampit, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, Wonosari dan Gondanglegi, seluas 54.834,18 ha atau 15,8% dari luas wilayah daerah. (vii) Kawasan hortikultura terletak di Kecamatan Poncokusumo, Pujon, Ngantang, dan Sumbermanjing Wetan. Penataan ruang sesuai dengan RTRW dilaksanakan secara sinergis dengan Peraturan Daerah lain yang ada di daerah. Penataan ruang dilaksanakan secara terus-menerus dan sinergis antara perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Koordinasi penataan ruang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Daerah yang ditetapkan oleh Keputusan Bupati Malang. Tugas dan fungsi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD): a. Merumuskan kebijakan pemanfaatan ruang di wilayah. b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah dan daerah serta keserasian antarsektor. c. Memanfaatkan segenap sumber daya yang tersedia secara optimal untuk mencapai hasil pembangunan secara maksimal. d. Mengarahkan dan mengantisipasi pemanfaatan ruang untuk pelaksanaan pembangunan yang bersifat dinamis. e. Mengendalikan fungsi pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, nilai sejarah, serta budaya bangsa. Kabupaten Malang sudah membuat Perda tentang RTRW, termasuk alokasi lahan pertanian. Akan tetapi, belum secara spesifik menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan cadangannya untuk tingkat kecamatan, yaitu belum ada usulan khusus dari Dinas Pertanian. Pemkab Malang perlu menyelesaikan rincian LP2B tingkat kecamatan pada akhir tahun ini sebelum tenggat waktu habis seperti tertulis dalam UU 41 Tahun 2009. Tantangan yang dihadapi Pemkab malang dalam melaksanakan RTRW, khususnya pemanfaatan lahan pertanian adalah perkembangan ekonomi terutama sektor industri yang memerlukan lahan dalam jumlah yang signifikan. Alih fungsi lahan walaupun secara resmi harus mendapat izin dari Pemkab, tetapi banyak pemilik perorangan yang mengalihfungsikan lahannya tanpa ijin. Di samping itu, pembangunan jalan Lintas Selatan Jawa juga akan mengubah penggunaan lahan pertanian yang telah ditetapkan dalam RTRW.
239
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Mojokerto Mulai tahun 2008 Kabupaten Mojokerto dimasukkan ke dalam Megapolitan GERBANG KERTOSUSILO (Gresik, Bangkalan, Kertosono, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan). Wilayah tersebut akan dihubungkan rel kereta api dalam 15 tahun yang akan datang. Perda RTRW Kabupaten Mojokerto belum disahkan oleh DPRD. Luas LP2B yang diusulkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Mojokerto adalah 30.000 ha, Bappeda mengusulkan 29.000 ha, dan provinsi 27.500 ha dari total luas lahan pertanian 48.752 ha (Pemerintah Kabupaten Mojokerto 2010). Hal ini menunjukkan kepentingan yang berbeda antarinstansi, terutama dalam pemanfaatan lahan pertanian. Kebijakan penataan ruang di Kabupaten Mojokerto meliputi: (i) pengembangan kawasan industri, perdagangan dan jasa, serta kegiatan pariwisata yang mendukung sektor pertanian; (ii) pengembangan sistem pusat kegiatan secara berimbang antara wilayah utara dan selatan; (iii) pelaksanaan mitigasi dan pengembangan manajemen risiko pada kawasan rawan bencana; (iv) pengembangan interkoneksi antara prasarana dan sarana lokal dengan nasional dan regional untuk mendukung potensi wilayah; (v) peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang dapat mendukung peningkatan, pemerataan pelayanan masyarakat, serta pelestarian lingkungan; (vi) pemulihan kawasan lindung yang telah beralih fungsi dan pencegahan meluasnya alih fungsi kawasan lindung; (vii) pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan budi daya untuk mendukung perekonomian wilayah sesuai daya dukung lingkungan; (viii) penentuan kawasan strategis yang mendukung pengembangan sektor ekonomi potensial, pengembangan wilayah utara, dan daya dukung lingkungan hidup; dan (ix) peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan. Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan meliputi: (i) pengembangan pusat agropolitan untuk mendorong pertumbuhan kawasan perdesaan; (ii) pengoptimalkan kawasan pertanian; (iii) menekan pengurangan luasan lahan sawah beririgasi teknis; dan (iv) mempertahankan secara ketat serta meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Kendala pengembangan kawasan agropolitan adalah: (i) rata-rata pemilikan lahan 0,3 ha (8 tahun lalu), sekarang mungkin kurang dari 0,25 ha/KK, dengan petani penggarap sekitar 60 persen; (ii) areal pertanian berkurang karena penggunaan perumahan, kompleks industri, dan jalan tol (Surabaya-Mojokerto dan Mojokerto-Kertosono), (iii) peningkatan produksi melalui peningkatan indeks pertanaman (IP); (iv) IP 400 di Kecamatan Jatirejo 30 ha (tahun 2010), 40 ha (tahun 2011), MT II 2011 semua tanaman padi diserang wereng; (v) LP2B hanya untuk lahan irigasi teknis, harus disosialisasikan per desa; (vi) sering kali sawah dikeringkan, dibuldoser, lalu izin baru diurus, (vii) petani pemilik lebih sedikit (40%) dibanding petani penggarap (60%); (viii) pemecahan persil terjadi tetapi Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) tetap satu karena biaya pajak dan
240
PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI BERBAGAI DAERAH
pembuatan SPPT mahal; (ix) Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Alih Fungsi Lahan tidak mencantumkan insentif bagi petani atau daerah; dan (x) jika Perda RTRW semakin lambat ditetapkan, maka alih fungsi lahan akan semakin cepat.
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo termasuk megapolitan Gerbang Kertosusilo. LP2B secara implisit ditetapkan melalui Perda No. 6/2009 tentang RTRW 2009–2029 (Pemerintah Kabupaten Sidoarjo 2009). Dalam Perda RTRW disebutkan bahwa LP2B ditetapkan seluas 13.000 ha dengan potensi luas lahan 22.000 ha, terdiri dari lahan tebu 5.000 ha dan padi 17.000 ha. Luas tanam pada musim hujan dan musim kemarau mencapai 30.000 ha. Luas lahan sawah terus menyusut, yaitu 26.334 ha (2002), 22.460 ha (2010), dan diperkirakan 13.544 ha (2009–2029). Pola tanam yang umum adalah padi-padi-palawija. Irigasi yang banyak digunakan adalah pompa karena banyak saluran irigasi mati akibat pembangunan rumah di areal persawahan. Konversi lahan pertanian terjadi karena pembangunan perumahan, kompleks industri, relokasi rel KA, dan relokasi tol (karena lumpur LAPINDO). Dinas Pertanian merupakan anggota tim perizinan konversi lahan (terdiri dari 9 instansi), tetapi sering kalah dalam voting. Pengeringan sawah SECARA RESMI dilakukan melalui tahapan berikut: (i) rekomendasi BKPR (tidak boleh sawah LP2B), (ii) izin lokasi; dan (iii) pengeringan. Anggota BKPR meliputi Satpol Polisi Pamongpraja, Bappeda, Dinas PU, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan, Camat, Pemda Kabupaten, dan Desa. Master Plan Agropolitan Kabupaten Sidoarjo dibuat untuk periode 2009–2024. Dalam hal ini, master plan terebut mengikuti KAPUK (Kawasan Pengembangan Utama Komoditas) Jawa Timur. KAPUK Pertanian meliputi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Magetan, Nganjuk, Ngawi, Lamongan, Bojonegoro, Blitar, Malang, Pasuruan, dan Sidoarjo. KAPUK Perikanan Payau berpusat di Kecamatan Sedati. Pusat KAPUK tebu dengan dukungan industri gula berlokasi di Sidoarjo, Madiun, dan Kediri. Insentif yang disarankan untuk petani yang lahannya sesuai dengan penggunaannya antara lain membayar PBB rendah, jika tidak sesuai PBB dinaikkan. Konversi lahan pertanian oleh petani secara perorangan terus berlangsung dan Pemda tidak bisa berbuat apa-apa. Insentif lainnya yang disarankan meliputi: (a) pemberian hand tractor; (b) pompa untuk irigasi; (c) perbaikan irigasi tingkat petani; (d) pengerukan sawah (pendangkalan karena lumpur); (e) keluarga petani bebas biaya kesehatan; dan (f) anak petani bebas biaya sekolah sampai SMA karena umumnya anak muda tidak mau bertani, yang ada tinggal petani tua.
241
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Bandung RTRW Kabupaten Bandung sudah ditetapkan dengan PERDA No. 32 tahun 2008 (Pemerintah Kabupaten Bandung 2008). Kabupaten Bandung dibagi menjadi 7 wilayah pengembangan (WP), yaitu: a)
WP Soreang – Kutawaringin – Katapang: pemerintahan, jasa dan perdagangan, permukiman, pertanian, pariwisata, dan industri nonpolutif di Kecamatan Katapang. b) WP Banjaran: industri nonpolutif, jasa dan perdagangan, permukiman, pertanian, serta pariwisata. c) WP Baleendah: jasa dan perdagangan, pertanian, industri nonpolutif, permukiman, dan pendidikan. d) WP Majalaya: jasa dan perdagangan, pertanian, industri, dan permukiman. e) WP Cileunyi-Rancaekek: jasa dan perdagangan, pertanian, industri, permukiman, dan konservasi. f) WP Cicalengka: jasa dan perdagangan, pertanian, industri nonpolutif, dan permukiman. g) Wilayah-wilayah yang berada di luar wilayah pengembangan, meliputi: t Margahayu dan Margaasih berfungsi sebagai kawasan jasa dan perdagangan, industri nonpolutif, serta permukiman. t Cilengkrang dan Cimenyan berfungsi sebagai kawasan jasa dan perdagangan, pertanian, permukiman, pariwisata, dan konservasi. Insentif untuk mendukung pengembangan Ibukota Soreang dilakukan melalui: (a) keringanan pajak dan retribusi, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham; (b) pembangunan serta pengadaan infrastruktur; (c) kemudahan prosedur perizinan; dan/atau (d) pemberian penghargaan kepada masyarakat dan swasta. Disinsentif dilakukan untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa: (a) pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang dan/atau (b) pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan, kompensasi, dan penalti. Pola ruang untuk pengembangan kawasan budi daya perdesaan/pertanian adalah seluas ± 46.161 ha dari 36.398 ha sawah serta 134.308 ha ladang dan pekarangan. Kawasan pertanian meliputi: perkebunan, pertanian, perikanan, serta peternakan dimungkinkan dilakukan pengembangan di luar kawasan pertanian sesuai potensi wilayah dengan syarat memenuhi kriteria teknis. Alih fungsi lahan saat ini yang terjadi secara sistematis dan skala luas karena: (i) pembangunan jalan tol Pasirkoja–Soreang; (ii) pembangunan interchange Tol Majalaya Gedebage; (iii) kawasan Industri Margaasih; (iv) pembangunan perumahan di Kabupaten 242
PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI BERBAGAI DAERAH
Bandung karena harga lahan lebih murah; dan (vi) alih fungsi lahan pertanian dengan perusakan saluran irigasi.
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Majalengka RTRW Kabupaten Majalengka belum ditetapkan dengan Perda. Luas LP2B pertanian ditetapkan seluas 39.190 ha, semula hanya 17.000 ha, dari total luas lahan pertanian 51.899 ha (Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka 2009). RTRW sudah dipresentasikan di Kementerian PU Jakarta pada bulan Februari 2011. Alih fungsi lahan pertanian diizinkan selama belum melampaui ambang batas rencana luas lahan pertanian tiap kecamatan. Lahan pertanian di pinggir jalan raya paling mudah dikonversi. RTRW yang ada direncanakan untuk 20 tahun ke depan. Alih fungsi lahan pertanian 20 tahun ke depan sekitar 12.709 ha di luar kawasan yang sudah ditetapkan (39.190 ha). Tantangan perlindungan kawasan pertanian di kabupaten ini meliputi: (i) rencana pembangunan bandara nasional seluas 5.000 ha (inti bandara 1.800 ha, penunjang 3.200 ha); (ii) jalan tol Cikampek-Palimanan 50 km (lebar 20 meter); (iii) jalan tol CileunyiSumedang-Dawuan 4 km; (iv) jalan lingkar luar kota, selatan, kadipaten, dan MajalengkaLemahsugih; dan (v) irigasi Waduk Jatigede akan digunakan untuk air baku bandara, bukan untuk lahan pertanian.
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Deli Serdang Belum ada Perda RTRW di Kabupaten Deli Serdang dan pada bulan Juni 2011 Rancangan RTRW masih dibahas di Kementerian Pekerjaan Umum Jakarta. Total luas sawah di kabupaten ini (teknis, semi teknis, sederhana) adalah 43.000 ha dengan hasil gabah sebanyak 326.000 ton GKG. Luas sawah irigasi potensial untuk LP2B adalah 21.883 ha (50%). Konversi lahan lebih banyak dari sawah yang ditanami padi berubah ke kelapa sawit. Lahan ditanami padi pada MT I, mulai MT II ditanami padi dan sawit, secara bertahap akhirnya semua ditanami sawit. Konversi juga terjadi dari sawah ke non-pertanian (bangunan). Lahan sawah ditimbun dulu sampai 6 tahun, lalu diajukan izin penggunaan non-pertanian. Di samping itu, harga lahan sawah (Rp20.000/m2) lebih murah dari harga lahan darat (Rp45.000–Rp50.000/m2). Untuk itu lahan sawah ditimbun lebih dulu sebelum dikonversi agar lebih mahal. Sudah ada pembukaan lahan hutan untuk pertanian, tetapi masih relatif kecil (80 ha). Target Dinas PU Kabupaten Deli Serdang adalah membuka lahan pertanian periode 2011–2014 seluas 5.000 ha (Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang 2007), walaupun demikian sulit untuk membuka lahan pertanian karena tidak ada lahan lagi. Alih fungsi lahan pertanian banyak dijumpai di sekitar perbatasan Medan-Deli Serdang 243
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
dan Jalur Lintas Sumatra (Tanjung Morawa-perbatasan Serdang Bedagai). Rencana alih fungsi lahan meliputi pembangunan Bandara Kualanamu (1.365 ha) yang semuanya berasal dari lahan perkebunan dan jalan tol Tanjung Morawa-Kualanamu-Lubuk PakamTebing Tinggi (80 km). Penggantian lahan pertanian untuk penggunaan non-pertanian tidak bisa dilaksanakan. Di kabupaten ini secara alami proses alih fungsi lahan tidak ada yang mengawasi.
Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kabupaten Serdang Bedagai Kabupaten Serdang Bedagai belum mengesahkan RTRW dan pada bulan Juni 2011 masih dibahas di Kementerian PU. Total luas sawah adalah 40.588 ha dan luas sawah irigasi teknis 35.000 ha yang potensial untuk LP2B. Produksi gabah tahun 2010 sebanyak 225.000 ton atau surplus sebanyak 81.000 ton (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai 2010). Saat ini Kabupaten Serdang Bedagai tidak bisa lagi memperluas lahan sawah. Konversi lahan sawah relatif kecil karena sebagian besar wilayah Kabupaten Serdang Bedagai masih merupakan kawasan pedesaan dibanding Kabupaten Deli Serdang. Sawah yang kekurangan air irigasi sebagian dikonversi ke sawit dengan laju rata-rata sekitar 2,5% per tahun. Tahun 2009 ada konflik pemilikan lahan antara PTPN III dengan masyarakat, tetapi sekarang sudah selesai dan dimenangkan PTPN III. Tantangan konversi lahan adalah pembangunan jalan tol dari Kualanamu–Tebing Tinggi (80 km). Di samping itu juga, perlu diantisipasi dampak pembangunan Bandara Kualanamu yang akan mengubah sebagian wilayah kabupaten ini menjadi kawasan industri atau kawasan penyangga bagi Kabupaten Deli Serdang. Saran untuk mengatasi konversi lahan antara lain: lahan sawah mendapat irigasi yang mencukupi dan saluran irigasi dipelihara dengan baik. Di samping itu, harga input (pupuk dan pestisida) harus terjangkau oleh petani, ketersediaan pupuk terjamin, harga gabah terjamin, dan penegakan hukum untuk mempertahankan LP2B.
Penutup Baru sebagian kecil provinsi dan kabupaten yang memiliki Perda RTRW, walaupun batas akhir pengesahannya adalah akhir tahun 2010. Keterlambatan pengesahan Perda RTRW bukan hanya karena pemerintah daerah lambat mengesahkan, tetapi juga karena Kementerian PU terlambat membahas substansi RTRW yang masih berlangsung hingga tahun 2011. Keterlambatan penetapan Perda RTRW bisa mendorong laju konversi lahan pertanian semakin cepat. LP2B yang dimasukkan ke dalam RTRW tidak serta merta menghambat, apalagi mencegah konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Secara perorangan masih banyak petani yang menjual atau mengonversi lahannya untuk perluan non-pertanian. Walaupun 244
PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI BERBAGAI DAERAH
lahan tersebut ditetapkan sebagai LP2B, Pemerintah Kabupaten tidak bisa menjatuhkan sanksi seperti diatur dalam UU 41/2009. Sedangkan secara sistematis, konversi lahan pertanian terus terjadi terutama karena pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol dan bandar udara. Di samping itu, pertumbuhan kawasan industri dan perumahan juga mempercepat konversi lahan. Sebagian lahan pertanian, khususnya sawah bisa memperoleh irigasi secara baik sehingga fungsinya sebagai lahan produksi pangan bisa berlangsung. Akan tetapi, sebagian jaringan irigasi rusak atau tidak berfungsi optimal, sehingga lahan sawah dikonversi menjadi lahan perkebunan atau untuk bangunan. Rusaknya irigasi di lahan sawah tersebut karena kurang perawatan maupun kesengajaan pihak-pihak yang ingin mengonversi lahan tersebut. Mempertahankan lahan pertanian yang ada merupakan masalah tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten. Jaminan suplai input pertanian termasuk irigasi secara memadai, terjangkau, dan tepat waktu bisa mendorong petani tetap menanam padi atau tanaman pangan lainnya. Perluasan lahan pertanian sangat mendesak dilakukan, termasuk di luar Jawa, kecuali mengonversi hutan. Bahkan lambat laun fragmentasi lahan terus terjadi dengan semakin sempitnya lahan pertanian dan pertumbuhan jumlah penduduk. Insentif Pemerintah Pusat bagi Pemerintah Daerah untuk mempertahankan lahan pertanian perlu mendapat perhatian. PAD dari sektor non-pertanian jauh lebih menarik dari sektor pertanian sehingga membuat insentif mempertahakan lahan pertanian di tingkat menjadi semakin kecil. Di samping itu, Pemerintah Pusat perlu memberikan insentif bagi petani dan keluarganya yang masih bersedia mengelola lahan pertaniannya dengan baik. Ancaman sangsi dalam UU 41/2009 jika terjadi alih fungsi LP2B tidak akan ada maknanya tanpa insentif yang memadai dan bermanfaat langsung bagi keluarga petani maupun Pemerintah Kabupaten.
Daftar Pustaka Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka. 2009. Luas Lahan Kabupaten Majalengka 2009, Bahan Dengar-Pendapat dengan DPRD Kabupaten Majalengka. Majalengka. Dinas Pertanian Kabupaten Kediri. 2009. Matrik Rencana Strategis Pembangunan Tahun 2010 - 2015. Pemerintah Kabupaten Kediri. Pemerintah Kabupaten Bandung. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Tahun 2007 Sampai 2027. Bandung. 74 hal. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Deli Serdang 2007-2027 (Gambar 3. Rencana Pola Ruang Kabupaten Deli Serdang). Kabupaten Deli Serdang. 245
UPAYA MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN
Pemerintah Kabupaten Malang. 2010. Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang. Malang. 81 hal. Pemerintah Kabupaten Mojokerto. 2010. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Mojokerto Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mojokerto Tahun 2011 – 2031. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai 2010-2030. Serdang Bedagai. Pemeritah Kabupaten Sidoarjo. 2009. Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo No. 6/2009 tentang RTRW 2009-2029. Sidoarjo.
246