MODAL AKTOR DAN PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN
SRI ANOM AMONGJATI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan di Desa Margamekar Kabupaten Bandung Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Sri Anom Amongjati NIM I34080077
ABSTRAK SRI ANOM AMONGJATI. Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan. Dibimbing oleh Sofyan Sjaf dan Lala M. Kolopaking. Pengaruh aktor dalam konflik dapat dipengaruhi oleh modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya. Pada kasus konflik kepentingan atas lahan sengketa, kepemilikan modal ekonomi dan modal sosial yang tinggi pada aktor cenderung mempengaruhi terjadinya konflik emerging dan manifest. Sebaliknya, tingginya kepemilikan modal simbolik dan modal budaya berpengaruh untuk menekan keterlibatan aktor dalam konflik namun tidak berpengaruh signifikan dalam menghilangkan konflik yang ada. Kepastian masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap modal ekonomi harus menjadi perhatian utama bagi seluruh pihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan konflik, khususnya dalam penyelesaian konflik secara non-hukum baik itu melalui arbitrase, mediasi, dan negosiasi. Oleh karena itu pengelolaan lahan bersama dengan proses bagi hasil antara pihak penggarap dan pemodal dengan landasan keadilan, partisipasi, dan kemakmuran bagi masyarakat perlu didorong dan dijamin sebagaimana ketentuan dari ketetapan MPR No. IX/MPR/2001. Kata kunci: aktor, modal, penyelesaian konflik
ABSTRACT SRI ANOM AMONGJATI. Actor Capital and Land Conflict Resolution. Supervised by Sofyan Sjaf and Lala M. Kolopaking The degree of actor contribution in the conflict could be influenced by quality of economic capital, social capital, symbolic capital, and cultural capital owned by actors. In case of conflict of interest over land disputes, ownership of economic capital and social capital are high on the actor are likely to affect emerging and manifest conflict. However the high ownership of symbolic capital and cultural capital could reduce the involvement of actors in the conflict, but had no significant effect in eliminating conflict. Public onfidence to obtain acces to economic capital should be a major concern for all stakeholders in resolving the conflict, especially through extrajudicial resolution of conflicts either through arbitration, mediation, and negotiation. Therefore mutual land management by profit sharing settlement between the tenants and investors with a basis of justice, participation, and prosperity for the people should be encouraged and secured as the provisions of the statutes MPR IX/MPR/2001. Key words: actor, capital, conflict resolution
MODAL AKTOR DAN PENYELESAIAN KONFLIK LAHAN
SRI ANOM AMONGJATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Modal Aktor dan Penyelesaian Konflik Lahan Nama : Sri Anom Amongjati NIM : I34080077
Disetujui oleh
Dr. Sofyan Sjaf, M.Si Pembimbing I
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Assalamualaikum Wr. Wb., Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena atas segala karunia-Nya skripsi berjudul “Pengaruh Kepemilikan Modal Aktor Masyarakat terhadap Konflik Mencuat dan Terbuka” ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Sofyan Sjaf, M.Si selaku dosen pembimbing pertama atas curahan perhatian dalam membimbing dan memberi motivasi, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan masukan yang sangat berharga terhadap kualitas penelitian ini. Di samping itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak. H. Rusanandar selaku ketua Pemuda Panca Marga dan Kang Toto selaku mantan ketua Karang Taruna Desa Margamekar yang telah banyak memberikan bantuan informasi selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda Dr. Ir. Darmono Taniwiryono, M.Sc dan ibunda Ir. Trisnarti Prihartini, serta seluruh keluarga penulis atas doa dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Iqbal, Arif, Eko, Novan, Faris, dan Rizky yang selama ini telah memberikan motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Aldi sebagai tempat bertukar pikiran serta Yusti, Inke, Ridha, Suci, Miftah serta seluruh rekan kerja sekaligus sahabat AQSHO yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas pengorbanan waktu dan tenaga selama ini dalam roda organisasi sehingga penulis dapat sampai pada tahapan ini, semoga kita akan dipertemukan dalam ikatan yang. Selain itu ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dian, Rodiah, dan rekan-rekan KPM 45 yang sudah banyak memberikan semangat kepada penulis. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Penulis menyadari bahwa karya ini masih mengandung berbagai kelemahan. Kritik dan saran pembaca akan digunakan untuk kepentingan pendidikan kedepannya.
Bogor, Mei 2013 Sri Anom Amongjati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
5
Sumber Konflik dan Wujudnya
5
Peran Aktor dalam Konflik di Pedesaan
6
Kepemilikan Modal
7
Tipologi Pengaruh Modal terhadap Wujud Konflik
12
Kerangka Pikiran
13
Hipotetis Penelitian
15
Definisi Operasional
15
PENDEKATAN LAPANGAN
17
Lokasi dan Waktu Penelitian
17
Pendekatan Penelitian
17
Teknik Pemilihan Responden dan Informan serta Tahapan Penelitian
18
Jenis, Teknik Pengolahan, dan Analisis Data
19
GAMBARAN UMUM
27
Kondisi Desa Margamekar
27
Karakterisitik Responden dalam Penelitian
28
Karakteristik Aktor
30
Sejarah Konflik
33
MODAL AKTOR DALAM KONFLIK LAHAN SAMPALAN
37
Modal Ekonomi
37
Modal Sosial
38
Modal Budaya
40
Modal Simbolik
43
Pengaruh Kepemilikan Modal
47
RELASI MODAL AKTOR TERHADAP WUJUD KONFLIK LAHAN SAMPALAN
49
Analisis Perbandingan Modal dan Keterlibatan Aktor dalam Konflik
49
Hubungan Keterkaitan antar Modal dan Konflik
50
Penyelesaian Konflik Lahan
55
Kebijakan Pengelolaan Lahan
59
SIMPULAN DAN SARAN
61
Simpulan
61
Saran
62
DAFTAR PUSTAKA
63
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Bentuk modal berdasarkan analisa kasus Tipologi wujud konflik dan pengaruh modal menurut hasil penelitian Metode pengambilan data dan informasi Jenis data dan teknik pengolahan data Karakterisitik responden berdasarkan jenis kelamin, status, dan umur Kronologi konflik lahan sampalan Nilai indeks modal ekonomi pada masing-masing aktor Nilai indeks modal sosial pada masing-maisng aktor Nilai indeks modal budaya pada masing-masing aktor Nilai indeks modal simbolik pada masing-masing aktor Sejarah aktor, modal, dan keterlibatan dalam konflik Total nilai indeks modal dan interpretasinya pada masing-masing aktor Hasil uji beda modal dan konflik pada aktor Nilai koefisien korelasi antara modal aktor dengan konflik Hubungan antar modal Hubungan modal dan konflik serta antar konflik Nilai keterlibatan aktor dalam konflik emerging Hasil uji beda modal dan konflik emerging Hasil regresi linear sederhana pengaruh modal aktor terhadap keterlibatan aktor dalam konflik emerging Nilai keterlibatan aktor dalam konflik manifest Hasil uji beda modal dan konflik manifest Hasil regresi linear sederhana pengaruh modal aktor terhadap keterlibatan aktor dalam konflik manifest Proses penyelesaian konflik dan modal yang dibutuhkan
8 12 17 19 28 34 37 39 41 43 44 47 49 50 51 52 54 54 55 56 56 57 60
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka analisis pengaruh kepemilikan modal aktor dalam konflik emerging dan manifest 2 Tahapan pengambilan data dan penentuan aktor 3 Pendidikan responden 4 Pekerjaan responden 5 Lama tinggal responden di Margamekar 6 Penghasilan responden berdasarkan UMR Kab. Bandung 2013 7 Urutan sejarah pengguna HGU lahan sampalan 8 Pola pengelolaan lahan sengketa 9 Peran perusahaan, pemerintah, dan masyarakat dalam kebijakan tanah di pedesaan
14 18 29 29 30 30 33 58 62
DAFTAR LAMPIRAN
1 Lokasi penelitian 2 Hasil perhitungan nilai uji beda modal dan konflik aktor ST dan WH dengan SPSS 3 Hasil uji korelasi modal aktor dan konflik 4 Panduan pertanyaan mendalam 5 Dokumentasi
69 70 71 73 75
PENDAHULUAN Latar Belakang Setiap masyarakat di dalam dirinya terkandung konflik-konflik atau dengan kata lain konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap masyarakat (Dahrendof dalam Durhadiantomo 2004). Adanya konflik tidak selalu membawa dampak yang negatif, tetapi dapat juga membawa dampak yang positif. Konflik dapat membawa dampak yang positif ketika terdapat pola manajemen dalam sebuah kelompok sehingga dapat memunculkan sikap kritis dan terbuka. Namun, konflik dapat berdampak negatif ketika memunculkan sikap anti terhadap individu atau komunitas lain yang berujung pada perselisihan bahkan perusakan. Sumber pencetus konflik menurut Astini dan Udiyana (2008) ditimbulkan oleh berbagai hal: pertama, kekuatan-kekuatan yang kurang lebih sama dan saling bertentangan yang berhubungan dengan organisasi yang muncul dari perbedaan mengenai masalah dan tujuan; kedua, perbedaan dalam pendekatan dan harapan satu terhadap lainnya; ketiga, perbedaan kepentingan mengenai pembagian kekuasaan dan tanggungjawab; keempat, perbedaan mengenai nilai atau persepsi terkait langsung dengan keyakinan dan kepercayaan. Oleh karena itu konflik tidak akan terlepas dari pertikaian untuk dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Konflik dapat terjadi dari berbagai lapisan masyarakat, baik itu dari elit pemerintah hingga masyarakat pedesaan atau dapat juga terjadi antar lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya pertentangan antar individu dan kelompok pada dasar minat bersaing, identitas berbeda, dan juga sikap berbeda (Schellenberg dalam John 2007). Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2006 dalam Nurlinda (2009) tercatat antara tahun 1999 hingga 2003 telah terjadi 1.080 kasus sengketa lahan dengan luas wilayah yang dipersengketakan sebesar 330.000 Ha. Konflik banyak terjadi ketika petani yang tidak memiliki tanah untuk digarap menggarap tanah-tanah kosong yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Konflik kemudian muncul ketika tanah-tanah tersebut akan dimanfaatkan oleh pemiliknya, petani meminta ganti rugi. Selain itu sengketa/konflik juga terjadi karena ketiadaan bukti yuridis formal dalam pembuktian hak penguasaan tanahnya. Kasus konflik lahan sampalan dalam penelitian ini yang diawali dengan pengambil alihan lahan oleh petani, demonstrasi, tindakan hukum dan berujung pada bentokan fisik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini disebabkan adanya interkasi yang tidak sejalan serta kontrol pemilikan dan kewenangan atas sumber daya yang tidak seimbang. Selain itu pemanfaatan lahan pertanian yang tidak terpakai oleh pemiliknya menjadi asal mula terjadinya sengketa lahan antara Civil Society Organizatioans yang menaungi petani dengan pihak Badan Usaha Milik Daerah. Menurut Nurlinda (2009), kualitas sengketa/konflik lahan dapat meningkat karena masalah pertanahan dan agraria tidak hanya berdimensi hukum, tetapi juga berdimensi ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan, dan keamanan. Penelitian yang dilakukan oleh Pattiselano (2008) di daerah Saparua, konflik yang terjadi di daerah tersebut banyak digerakkan oleh aktor internal dalam masyarakat yang memiliki pengaruh terhadap terjadinya konflik tersebut.
2 Aktor-aktor tersebut adalah pemimpin formal yang berada pada jabatan struktural desa maupun jabatan non formal seperti pemuka agama. Penyebab lainnya adalah ketidak berdayaan kepala suku untuk mengendalikan konflik-konflik yang terjadi di dalamnya. Kasus Saparua menggambarkan aktor yang memangku jabatan formal ataupun non formal memiliki posisi strategis dalam pengendalian konflik. Aktor merupakan individu yang memiliki tujuan tertentu, terlepas dari tujuan tersebut adalah menjadi tujuan kelompok atau tujuan pribadi. Aktor yang ada dalam suatu komunitas akan menggunakan berbagai cara dan upaya untuk dapat mencapai pada apa yang diharapkannya yang dalam hal ini aktor menggunakan segala potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bourdeu (1990) bahwa modal merupakan logika yang mengatur bagaimana sebuah tujuan dapat dicapai. Kepemilikan modal oleh aktor yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat akan menentukan bagaimana sikap masyarakat untuk menanggapi berbagai masalah dan konflik yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Contoh kasus dalam konflik di Sapparua berdasarkan hasil penelitian Pattiselano (2008), pemimpin agama ternyata memiliki pengaruh dalam memberikan doktrin-doktrin agama untuk melakukan perlawanan terhadap komunitas lain. Kasus tersebut menunjukkan bahwa aktor yang ada dalam komunitas masyarakat memiliki pengaruh dalam menggerakkan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan pemikiran dari aktor tersebut. Merujuk pada bentuk modal yang disampaikan oleh Bourdieu, peran aktor dapat dilihat berdasarkan bentuk-bentuk modal yang dimiliki oleh aktor tersebut. Bentuk-bentuk modal tersebut adalah modal sosial, modal budaya, modal ekonomi, dan modal simbolik. Atas dasar uraian diatas, maka dilakukanlah penelitian untuk dapat mengidentifikasi aktor-aktor utama yang ada dalam masyarakat, baik itu pemimpin agama, aparat desa, dan kepala suku untuk selanjutnya melihat bagaimana pengaruh aktor-aktor internal tersebut beserta modal yang dimilikinya dalam membuat wujud-wujud konflik yang ada dalam masyarakat khususnya dalam persoalan sengketa lahan sampalan. Perumusan Masalah Perbedaan cara pandang, tujuan hidup, atau perbedaan terhadap suatu bentuk kepemilikan akan selalu ada baik dalam tingkat individu maupun tingkat komunitas. Permasalahan ini akan berkembang ketika permasalahan tidak hanya menjadi masalah satu orang individu, tetapi menjadi menjadi masalah bersama sehingga terbentuklah sebuah permasalahan komunitas yang dirasakan secara kolektif dalam suatu masyarakat yang lebih besar. Kasus konflik lahan sampalan yang terjadi di desa Marga Mekar telah berlangsung cukup lama namun tidak terselesaikan hingga saat ini. Benturan antara hak pengelolaan tanah oleh perusahaan dengan petani penggarap yang tidak memiliki lahan sendiri menyebabkan konflik yang semulanya hanya bersifat mencuat menjadi terbuka. Tidak adanya pemetaan atau tipologi serta pengidentifikasian yang jelas terkait sumber-sumber terjadinya konflik dapat menyebabkan sulitnya mengidentifikasi resolusi yang tepat bagi penyelesaian konflik tersebut.
3 Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, penelitian ini memusatkan perhatian pada permasalahan yang disebutkan di bawah ini: 1. Bagaimana bentuk modal yang dimiliki oleh aktor yang ada di pedesaan? 2. Sejauh mana hubungan tinggi rendahnya kepemilikan modal aktor desa terhadap wujud konflik yang terjadi di pedesaan? 3. Bagaimana solusi penyelesaian konflik lahan berdasarkan kepemilikan modal yang telah diidentifikasi? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui bentuk modal yang dimiliki oleh aktor utama dalam komunitas yang mengalami konflik. 2. Mengetahui hubungan tinggi rendahnya kepemilikan modal aktor dalam komunitas terhadap wujud konflik yang terjadi di pedesaan. 3. Mengetahui solusi penyelesaian konflik lahan berdasarkan kepemilikan modal yang telah diidentifikasi. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan resolusi penyelesaian konflik berdasarkan pengaruh kepemilikan modal suatu komunitas terhadap wujud konflik. Adapun penelitian ini bertujuan untuk memberikan manfaat untuk mahasiswa selaku pengamat dan akademisi, masyarakat, perguruan tinggi, dan pemerintah. Manfaat yang diperoleh yaitu: 1. Bagi mahasiswa Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi tambahan literatur penelitian mengenai pengaruh kepemilikan modal aktor dalam suatu komunitas terhadap wujud konflik sehingga ke depannya dapat menganalisis topik mengenai konflik untuk penelitian selanjutnya. 2. Bagi perguruan tinggi Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pengetahuan dan menjadi sumber rujukan dalam topik konflik khususnya dalam menganalisis peran modal yang dimiliki aktor terhadap wujud konflik sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas perguruan tinggi. 3. Bagi pemerintah Hasil dari peneltian ini diharapkan dapat menawarkan resolusi yang sesuai dalam penanganan masalah konflik. Selain itu penelitian ini dapat mendukung Perpres No. 10 Tahun 2006 pasal 4 dalam penanganan konflik lahan oleh Badan Pertanahan Nasional.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA Sumber Konflik dan Wujudnya Konflik dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menentang dalam situasi biasa atau sebagai suatu kesenjangan antara berbagai tujuan dan kepentingan dalam suatu sistem sehingga menimbulkan pertentangan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Astini dan Udiyana (2008) bahwa sistem disini dapat berupa ikatan keluarga, hidup bertetangga, berkelompok, atau organisasi. Selain itu Rauf (2000) menyatakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena konflik merupakan salah satu produk dari hubungan sosial. Karena masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan sosial, selalu saja terjadi konflik antar warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan sosial. Adanya konflik banyak terjadi akibat hal-hal yang jelas dan dapat dirasakan secara materi atau juga terjadi dari hal-hal yang tidak dapat terlihat secara langsung. Faktor pencetus konflik biasanya transparan dan rasional, seperti persepsi terhadap proses dan tujuan, pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab (Astini dan Udiyana 2008). Selain itu menurut Coser dalam Kinseng (2008), konflik sosial adalah perjuangan atas nilai dan klaim terhadap status, wewenang, dan sumber penghasilan dengan menetralkan, melukai, atau melenyapkan lawan. Konflik akan senantiasa muncul karena memiliki latar belakang yang menyebabkan konflik itu terjadi. Konflik merupakan situasi pertentangan yang dipengaruhi oleh emosi, kepribadian, dan juga budaya, sehingga letupan terjadinya konflik banyak diakibatkan oleh hal-hal yang dapat terlihat dan dirasakan keberadaanya. Pattiselano (2008) menyatakan bahwa faktor terjadinya konflik yang berakibat hancurnya infrastruktur pemerintahan dan harta benda milik pribadi dimulai dari masalah kepemilikan tanah, ekonomi, hingga etnisitas dan prasangka. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah benturan yang terjadi antara pihak-pihak yang bertentangan karena perbedaan cara dan tujuan untuk mencapai kebutuhan yang diinginkan dengan perbedaan latar belakang yang dimiliki. Konflik yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh modal-modal yang dimiliki dalam komunitas atau masyarakat tersebut. Konflik sendiri terdiri dari berbagai macam istilah yang akan menggambarkan persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Fisher dalam Susan (2009) mengatakan bahwa tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan. Tanpa konflik menggambarkan situasi yang relatif stabil karena kemampuan masyarakat dapat menciptakan pencegahan terhadap konflik kekerasan atau sifat budaya yang memungkinkan menjauhi permusuhan. Konflik laten adalah suatu kondisi yang didalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi, dan perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani. Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasinya. Sedangkan konflik permukaan adalah konflik yang dangkal dan tidak memiliki akar yang timbul karena kesalahpahaman saja.
6 Wujud Konflik menurut Malik et al. (2003) adalah: 1) konflik tertutup (laten); 2) konflik mencuat (emerging); dan 3) konflik terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan oleh adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan juga tidak berkembang. Sedangkan konflik mencuat dapat teridentifikasi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya dan diakui oleh pihak-pihak yang terlibat. Dalam konflik ini selalu terjadi ketegangan antara pihak yang terkait. Konflik terbuka terbagi ke dalam konflik diadik (mikro) dan konflik kolektif (makro). Konflik individu biasanya berhubungan dengan masalah ekonomi dan prestise. Selain itu, kehormatan dan martabat juga akan memicu konflik jenis ini. Berdasarkan analisis dari pengertian konflik serta wujud-wujud konflik, dapat disimpulkan maka wujud konflik adalah 1) konflik yang bersifat laten (tertutup), 2) konflik yang mencuat (emerging), dan 3) konflik yang terbuka (manifest). Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan dalam berbagai kasus oleh Habib (2007); Saprillah (2009); Tjondronegoro (2006); Shaliza (2004), Astini dan Udiyana (2008), ada banyak hal yang dapat menjadi sumber terjadinya konflik dalam masyarakat, baik itu dalam bentuk tertutup, mencuat, dan terbuka. Beberapa sumber tersebut diantaranya adalah persoalan sumber daya, masalah nilai budaya, kepemilikan teknologi pekerjaan, keyakinan, dan harga diri. Hal ini berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi dalam peneltian sebelumnya. Peran Aktor dalam Konflik di Pedesaan Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, peran figur dalam menentukan eskalasi suatu konflik dapat dilihat dalam berbagai hasil penelitian yang sudah dilakukan. Doni (2005) mengungkapkan bahwa dalam sejarah perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bangunjaya dan Desa Cimanggu, peran figur pemimpin sangat menentukan bagaimana kesiapan masyarakat untuk bergerak. Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Astini dan Udiyana (2008) bahwa sumber konflik tidak hanya bersumber dari barang materiil, tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku manusia yang terlibat dalam konflik tersebut, baik itu pemimpin maupun organisasi. Berdasarkan analisis hasil penelitian yang ada, terjadinya konflik tidak akan lepas dari aktor utama dalam sebuah komunitas, baik itu aktor sebagai individu maupun kelompok. Astini dan Udiyana (2008) menyatakan bahwa karakter, wawasan, dan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang aktor, dalam hal ini adalah pemimpin, sangat mempengaruhi kemunculan atau penyelesaian konflik. Hal ini tidak lepas dari peran aktor sebagai seorang figur dan panutan dalam masyarakat tersebut. Begitu juga berdasarkan apa yang disampaikan oleh Doni (2005) ketika menganalisa peran KH Abdul Hamid dalam menggerakkan perlawanan masyarakat desa yang semula hanya diam terhadap kolonialisme. Bila merujuk pada kasus-kasus konflik yang terjadi di masyarakat khususnya wilayah pedesaan, pihak-pihak yang menjadi aktor dalam masyarakat tiada lain adalah pemimpin formal maupun non- formal. Pemimpin formal adalah pemegang kebijakan dalam masyarakat yang memegang posisi dalam pemerintahan desa seperti kepala desa, ketua RW, dam ketua RT. Sedangkan pemimpin non formal tiada lain adalah mereka yang tidak memegang kebijakan dalam struktur desa, namun memiliki peran lebih sebagai individu atau kelompok
7 yang dihormati sesuai kondisi dan budaya wilayah masing-masing, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan orang-orang yang didengar oleh kebanyakan masyarakat. Kepemilikan Modal Bourdieu (1990) mendifinisikan modal sangat luas dan mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolik dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun dengan signifikasi secara kultural, misalnya prestis, status, dan otoritas yang dirujuk sebagai modal simbolik, serta modal budaya yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi. Selain itu, Bourdieu (1990) juga menyatakan bahwa modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi tertentu. Adapun bentuk-bentuk modal yang muncul dalam kaitannya dengan kasus konflik dapat dilihat dalam Tabel 1. Berdasarkan pengertian di atas, Bourdieu dalam Casey (2008) membagi modal kedalam empat pembagian, yaitu: 1. Modal Ekonomi Modal ekonomi menurut Bourdieu dalam Casey (2008) didefinisikan dalam bentuk uang dan properti. Modal ekonomi banyak ditunjukkan pada kemampuan seseorang untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber kehidupan khususnya yang berasal dari produksi material, uang, dan materi yang dihasilkan seseorang. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, modal ekonomi berkaitan dengan adanya sumber daya sebagai akses penghidupan. Masalah konflik terkait sumber daya muncul dari keterbatasan penguasaan lahan sehingga menimbulkan adanya perebuatan lahan atau juga dikarenakan ketidakmampuan dalam pengelolaan tanah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tjondronegoro (2006) bahwa dengan bertambahnya jumlah manusia, maka akan semakin sempit kepemilikan manusia terhadap tanah yang tidak bertambah besaran jumlahnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Habib (2007), pengelolaan tidak mungkin dapat dilepaskan dari kemampuan manusia untuk mengelola sumber daya yang ada. Selain pendidikan dalam teori Bordieu masuk dalam modal budaya, juga ada kepemilikan teknologi yang turut mempengaruhi pola pemanfaatan lahan serta kemampuan untuk mengakses sumber daya tersebut. Menjelaskan penelitian Shaliza (2004) bahwa perbedaan pola penguasaan teknologi yang menyebabkan terjadinya perselisihan dalam pola pemanfaataan sumberdaya untuk penghidupan. Selain itu, dalam penelitian Abas (2008), dijelaskan bahwa kesenjangan ekonomi juga mempengaruhi terjadinya konflik yang diduga akibat adanya kecemburuan sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tjondronegoro (2006); Habib (2007); Shaliza (2004); Abas (2008), terlihat bahwa tingkat pengaruh aktor terhadap wujud konflik dapat dilihat dari kepemilikan terhadap sumber
8 penghasilan atau lebih tepatnya adalah dukungan finanial dan kepemilikan terhadap teknologi. 2. Modal Sosial Menurut Bourdieu dalam Sjaf (2011), modal sosial merupakan jaringan sosial yang memudahkan aktor untuk menghimpun modal lainnya. Melihat dari definisi modal sosial menurut Bourdieu disertai analisis terhadap berbagai penelitian yang dilakukan, ada keterkaiatan dalam kepemilikan jaringan dengan pengakuan adanya keterikatan keluarga. Dalam berbagai kasus konflik yang ada di Indonesia, dimana kerusuhan diwali oleh konflik antar individu yang berujung pada konflik antar kelompok dalam bentuk solidaritas group atas latar belakang wilayah yang dalam kasus ini adalah dusun Saprillah (2009). Selain itu, masih dalam penelitian yang sama yang terbentuknya dukungan grup selain karena adanya faktor wilayah juga dimulai dari ikatan keluarga yang kuat untuk membentuk gerakan bersama berupa agitasi kekuatan dengan latar belakang solidaritas keluarga. Tabel 1 Bentuk modal berdasarkan analisa kasus Modal Modal Sosial Modal Modal Ekonomi Budaya Simbolik Definisi Uang dan Jaringan Seni, Simbol yang Modal Properti sosial yang Pendidikan, melegitimasi menurut memudahkan dan Bahasa dominasi Bourdieu aktor melalui strata mendapatkan sosial atau modal pembeda lainnya. terhadap orang lain. Bentuk- Dukungan Reputasi Tingkat Prestise bentuk Finansial pendidikan Tingkat Tingkat modal Otoritas Kepemilikan Dukungan Kesesuaian kaitan Teknologi Kelompok Nilai dengan Budaya Luas kasus Jaringan konflik Sumber: Diolah dari berbagai sumber (Tjondronegoro 2006; Pattiselano 2008; Astini dan Udiyana 2008; Doni 2005; Abas 2008; Habib 2006; Shaliza 2004; Saprillah 2009)
Selain aspek jaringan keluarga, aspek hubungan antar manusia juga turut mempengaruhi konflik. Berdasarkan hasil penelitian Pattiselano (2008), penyebaran konflik dapat terjadi ketika adanya persebaran jejaring sosial sehingga dapat menimbulkan tindak kekerasan yang meluas dengan berbagai aspek dan latar belakang, baik itu agama maupun suku. Melihat dari pendekatan teori serta hasil penelitian dalam beberapa kasus yang dilakukan oleh Pattiselano (2008) dan Saprillah (2009), kasus konflik
9 dengan latar belakang modal sosial banyak bergantung pada dukungan grup, posisi keluarga dan juga jaringan yang dimiliki aktor internal terhadap pihak-pihak yang ada di luar komunitas. 3. Modal Budaya Bourdieu (1990) mendefinisikan modal budaya sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi yang mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Adanya konflik yang terjadi dari penelitian Habib (2007) menunjukkan bahwa kemampuan untuk melakukan pengelolaan tanah secara maksimal juga turut mempengaruhi pertikaian antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan akses terhadap sumber kehidupan. Kemampuan ini juga berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk mengakses sumber daya penghidupan, baik dalam hal lapangan pekerjaan ataupun sumberdaya lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya konflik. Hal ini juga menekankan pada poin yang sama mengenai pentingnya fungsi pendidikan. Kasus yang lain dalam penelitian Fairuza (2009) menunjukkan bahwa konflik antara dua pihak diakibatkan oleh adanya perubahan nilai budaya yang selama ini ada. Dalam penelitian yang sama, disebutkan bahwa ketika nilai-nilai dan norma-norma kebersamaan, ikatan solidaritas dan gotong royong yang berada di bawah payung aturan telah hilang, akan terjadi perubahan dalam masyarakat, seperti polarisasi atau stratifikasi. Pertarungan antar berbagai kepentingan inilah yang menimbulkan konflik. Ditegaskan kembali oleh Astini dan Udiyana (2008) bahwa adanya kelompok yang saling berlawanan terjadi karena adanya perbedaan persepsi, keyakinan, dan nilai. Hal yang lebih rinci disampaikan oleh Pattiselano (2008), bahwa dengan terbawanya ideologi kelompok aliran dan ideologi kelompok, maka akan melemahkan posisi penyelesaian dengan jalur budaya lewat sistem Pela dan Gendong dalam kasus konflik di Saparua. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Habib (2007); Fairuza (2009); Astini dan Udiyana (2008); dan Pattiselano (2008) dapat dilihat bahwa keterlibatan pemimpin dalam konflik dengan latar belakang modal budaya menurut Bordieu (1990) banyak dilatar belakangi oleh tingkat pendidikan. Selain itu kesesuaian dengan nilai budaya turut mempengaruhi peran aktor dalam konflik. Adanya nilai budaya yang sama dapat menjadi penyebab tinggi atau rendahnya eskalasi konflik dengan pendekatan budaya tersebut. 4. Modal Simbolik Modal simbolik menurut Bourdieu (1990) dapat diartikan sebagai simbol yang melegitimasi dominasi melalui srata sosial atau pembeda terhadap orang lain, sehingga hal simbolik dapat memenuhi fungsi politik. Modal juga dispesifikan kedalam prestis, status, dan otoritas. Selain itu modal simbolik juga terkait dengan bentuk-bentuk kultur dan simbolik.
10 Konflik Dayak-Madura pada awalnya diduga sebagai konflik agama, namun ternyata lebih disebabkan ada strata sosial antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang (Abas 2008). Hal ini disebabkan oleh keinginan untuk membuktikan dominasi suatu kelompok atas kelompok yang lain, sehingga faktor prestis turut mempengaruhi dalam konflik ini. Selain itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Fairuza (2009) konflik yang terjadi antara Desa Depok dengan Balacanan diakibatkan oleh isu non realistic yang memiliki sasaran pada pengakuan atas harga diri. Sedangkan kasus yang terjadi pada konflik di Pulau Saparua, tersebarnya skala konflik secara cepat bukan hanya saja diakibatkan oleh jaringan informasi yang kuat, namun dikarenakan sentimen dengan latar belakang simbol keyakinan yang sama dan menimbulkan solidaritas. Bahkan dalam kasus konflik anatara Cina dan Jawa yang diteliti oleh Habib (2007), kesamaan agama akan menghilangkan segala batas-batas etnis sehingga dapat diterima menjadi bagian dari komunitas. Dengan demikian identitas agama memiliki posisi penting dalam masyarakat. Selain itu peran simbolik berupa gelar turut mempengaruhi bentukbentuk konflik. Keberadaan tokoh agama atau pemimpin lokal dalam masyarakat mengandung fungsi yang cukup penting. Dalam kasus Saparua, peran tokoh-tokoh agama untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan kelompok lain cukup memberikan kemampuan untuk mengagitasi massa dalam melakukan tindakan kekerasan (Pattiselano 2008). Terjadinya perlawanan terhadap Belanda pada zaman awal kemerdekaan oleh masyarakat dimulai dari pengaruh seorang pemimpinnya untuk membangkitkan semangat perlawanan (Doni 2005). Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Fairuza (2009); Habib (2007); Pattiselano (2008); Doni (2005); dan Saprillah (2009), maka dapat dianalisis bahwa terjadinya konflik akibat modal simbolik berdasarkan teori Bourdieu melibatkan peran aktor internal di dalamnya berdasarkan perbedaan prestise dalam relasi sosial komunitas. Selain itu otoritas kebijakan khususnya pemimpin informal dapat secara seketika membentuk eskalasi konflik yang besar ketika masalah keyakinan turut dicampurkan dalam gesekan yang terjadi. Tipologi Pengaruh Modal terhadap Wujud Konflik Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai kasus dalam literatur, penulis mencoba menganalisis berbagai wujud konflik berdasarkan latar belakang sumber permasalahan yang menyebabkan gesekan. Lima sumber penyebab terjadinya konflik yaitu sumber daya, nilai budaya, teknologi, keyakinan, dan status sosial. Selain itu penulis juga berusaha untuk melihat bentuk modal-modal yang dimiliki aktor dalam suatu komunitas yang berpengaruh terhadap terjadinya konflik dalam berbagai kasus. Setelah melakukan pengklasifikasian wujud konflik berdasarkan sumber-sumbernya serta pengaruh bentuk modal yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bertikai, maka didapatkan 12 peta konflik yang mengaitkan antara kepemilikan modal dengan wujud konflik. Berdasarkan 12 peta konflik tersebut, didapatkan empat pola tipologi utama pengaruh modal komunitas terhadap wujud konflik. Pola pertama, modal simbolik yang tinggi cenderung menghasilkan
11 konflik terbuka dengan prestise dalam bentuk kehormatan dan otoritas kebijakan yang mempengaruhi terjadinya gesekan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pattiselano (2008), elit agama yang memiliki pengaruh cukup besar dalam komunitas menggunakan pengaruhnya untuk merangsang dan mengagitasi massa dalam melakukan tindak kekerasan yang telah terlebih dahulu terbawa oleh ideologi aliran dan ideologi kelompok. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Saprillah (2009), konflik yang terjadi antara warga dusun Cappasolo dan Dusun Padang terjadi secara terbuka dengan adanya pembakaran dan penusukan terhadap salah satu keluarga dari petinggi di Desa Padang. Akar konflik dari relasi sosial dari kedua desa tersebut adalah pandangan warga Cappasolo terhadap Padang yang lebih rendah statusnya. Bentuk relasi sosial ini pada akhirnya menimbulkan perlawanan yang bersifat kolektif oleh komunitas yang dipandang sebagai kelompok bawah sebagai penegasan identitas masyarakat yang memiliki daya resistensi, bukan masyarakat lemah. Dengan analisis ini, prestise dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan yang dimiliki dari relasi sosial yang ada selama ini. Tipologi yang kedua adalah modal budaya yang berpengaruh terhadap konflik laten dengan nilai budaya dan pendidikan sebagai variabel yang mempengaruhinya. Lemahnya penyelesaian yang dilakukan dalam bentuk nilai budaya turut mengakibatkan terjadinya konflik (Pattiselano 2008). Semakin tinggi kepemilikan modal budaya oleh seorang aktor dan pemimpin akan mempengaruhi terjadinya konflik secara laten (tertutup) dengan faktor pendidikan dan kesiapan menjalankan proses budaya yang sudah disepakati selama ini. Tipologi yang ketiga adalah modal ekonomi berupa sumber penghidupan yang mempengaruhi terjadinya konflik mencuat. Hal ini merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Tjondronegoro (2006) bahwa gerakan protes yang dilakukan oleh petani sedikit banyak diakibatkan adanya penguasaan atas modal pokok yaitu tanah. Penguasaan tanah oleh petani secara tidak langsung akan memberikan ketenangan, sehingga bila diganggu akan menyebabkan protes yang bisa berujung konflik bila protes itu tidak mengubah apapun. Tipologi terakhir adalah modal sosial yang mempengaruhi terjadinya konflik terbuka dengan posisi keluarga dan jaringan sebagai bentuk yang mempengaruhinya. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Saprillah (2009) di Kecamatan Malangke, kerusuhan diawali oleh konflik antar individu dan berujung pada konflik antar kelompok sebagai bentuk solidaritas group atas dasar kesamaan wilayah dalam hal ini dusun. Selain itu juga konflik tersebut terbentuk dengan adanya ikatan keluarga sehingga membentuk gerakan bersama dengan latar belakang solidaritas keluarga menembus batas wilayah. Dengan melihat modal sosial ini, dapat diasumsikan bahwa pemimpin menggunakan jaringan yang dimiliki untuk memupuk bentuk solidaritas sehingga terjadinya eskalasi konflik yang lebih luas dalam bentuk konflik secara terbuka. Berdasarkan analisis dari seluruh tipologi dalam berbagai kasus dalam literatur, kepemilikan modal ekonomi dan modal sosial cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara terbuka. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus konflik yang terjadi di wilayah pesisir dan lahan pertanian, masalah ekonomi yang dimiliki oleh pemimpin lokal juga menjadi masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara umum dan menyangkut pada akses masyarakat kepada sumber penghidupan yang utama. Disisi lain, berdasarkan literatur kasus konflik yang ada
12 di Indonesia, modal sosial ikut mempengaruhi terjadinya konflik secara terbuka di mana dengan ikatan solidaritas dan jaringan, suatu masalah yang dimiliki oleh satu pihak akan turut dirasakan oleh pihak lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemilikan modal sosial dan modal ekonomi pada pemimpin cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara terbuka. Tabel 2 Tipologi wujud konflik dan pengaruh modal menurut hasil penelitian Wujud Modal Modal Ekonomi Modal Budaya Modal Simbolik Konflik Sosial Latent Kesenjangan Relasi sosial yang terjadi yang muncul akibat adalah bentuk kemampuan konflik laten petani dalam dari pandangan mengelola warga yang masih rendah. lebih rendah (Habib 2007) statusnya. (Saprillah 2009) Emerging
Manifest
Gerakan protes diakibatkan penguasaan atas modal pokok (Tjondronegoro 2006)
Konflik antar individu berujung pada konflik kelompok dengan bentuk solidaritas. (Saprillah 2009)
Teknologi tangkap menjadi indikator perebutan wilayah yang menjadi konflik (Shaliza 2004)
Antar kelompok saling berseberangan karena perbedaan persepsi, keyakinan, dan nilai (Astini dan Udiyana 2008) Elit yang memiliki pengaruh besar untuk mengagitasi masa untuk perlawanan. (Pattiselano,200 8) Penegasan sebagai identitas masyarakat yang tidak lemah (Saprillah 2009)
Sumber: (Habib 2007; Saprillah 2009; Tjondronegoro 2006; Shaliza 2007; Astini dan Udiyana 2008)
13 Berdasarkan analisis lainnya, modal simbolik dan modal budaya memiliki pengaruh terhadap wujud konflik secara terbuka dalam berbagai macam tindakan aksi pengrusakan dan bentrokan fisik. Namun, bila dianalisis dari berbagai macam kasus seperti yang terjadi pada kasus konflik internal Nahdatul Ulama, kesamaan modal budaya yang dimiliki oleh para pemimpin di Nahdatul Ulama memiliki peran untuk meredam perselisihan agar tidak berkembang dalam bentuk yang lebih besar secara terbuka. Hal ini dikarenakan kesamaan nilai budaya dalam Nahdatul Ulama dengan latar belakang Islam tradisional masih melekat dalam diri pemimpin organisasi Islam tersebut sehingga pertentangan antara pemimpin lebih terlihat dalam bentuk laten, namun bersifat mencuat ketika perselisihan menjalar pada para pendukung tokoh masing-masing ulama yang berselisih. Dalam kasus yang sama, modal simbolik juga memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan intensitas konflik yang terjadi, baik secara terbuka maupun mencuat. Hal ini dapat dilihat dengan gelar yang dimiliki oleh pemimpin, maka peluang untuk terjadinya konflik secara terbuka dapat saja terjadi. Namun dengan di dukung oleh modal budaya yang lain, termasuk dalam hal ini pendidikan dan nilai-nilai yang berlaku dalam komunitas, para pemimpin tidak akan menggunakan pengaruhnya lebih jauh lagi dalam konflik yang berskala terbuka. Adapun bentuk yang terjadi lebih banyak bersifat mencuat dalam bentuk protes dan pertentangan lainnya yang tidak menyebabkan eskalasi lebih besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemilikan modal budaya dan modal simbolik cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara mencuat. Kerangka Pikiran Berbagai hasil penelitian yang ditemukan menunjukkan sumber terjadinya konflik dapat terjadi dikarenakan perbedaan nilai budaya, persaingan terhadap teknologi, perebutan terhadap sumberdaya penghidupan, perbedaan keyakinan, maupun harga diri. Sumber permasalahan yang kemudian menjadi koflik dapat terjadi dalam berbagai macam wujud, baik itu dalam wujud konflik emerging maupun manifest. Konflik emerging terjadi dalam bentuk adanya pertentangan secara terbuka antara pihak-pihak yang bertikai baik itu dalam perdebatan maupun protes terbuka. Sedangkan konflik manifest terjadi dalam bentuk adanya kerusakan maupun agitasi massa dalam perselisihan yang terjadi. Terjadinya konflik tidak akan terlepas dari pengaruh aktor yang ada dalam masyarakat dengan modal-modal yang melekat pada aktor tersebut. Untuk melihat modal yang ada pada aktor, Bourdieu membagi modal menjadi empat bentuk yaitu modal sosial, modal simbolik, modal ekonomi, dan modal budaya. Modal sosial dilihat berdasarkan reputasi, tingkat dukungan, dan luas jaringan pada aktor. Modal simbolik dilihat berdasarkan prestise dan tingkat otoritas, modal ekonomi dilihat berdasarkan kepemilikan teknologi serta dukungan finansial, sedangkan modal budaya dilihat berdasarkan tingkat pendidikan dan kesesuaian nilai budaya. Berdasarkan pengaruh aktor dalam konflik di pedesaan beserta modal-modal yang dimiliki, maka penelitian ini menganalisa pengaruh modal sosial, modal simbolik, modal ekonomi, dan modal budaya yang dimiliki aktor terhadap terjadinya konflik secara emerging dan manifest dengan latar belakang konflik lahan. Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat pada Gambar 1.
14
-
Sumber Konflik: Nilai Budaya Teknologi Sumberdaya Keyakinan Harga diri
Modal Sosial Reputasi Tingkat Dukungan Luas Jaringan
Konflik Emerging 1. Frekwensi Dialog dan Perdebatan 2. Banyaknya Protes Terbuka. Konflik Manifest 1. Frekwensi Benturan Fisik 2. Tingkat Kohesivitas Kelompok
Modal Simbolik Tingkat Kedudukan Tingkat Otoritas Modal Ekonomi Kepemilikan Teknologi Dukungan Finansial Modal Budaya Tingkat Pendidikan Tingkat Kesesuaian Nilai
Keterangan Hubungan pengaruh Hubungan yang tidak diukur Saling Mempengaruhi
Gambar 1 Kerangka Analisis Pengaruh Kepemilikan Modal Aktor dalam Konflik Emerging dan Manifest
15 Hipotetis Penelitian Modal yang dimiliki oleh suatu aktor dalam komunitas cenderung memiliki pengaruh terhadap wujud konflik yang akan terjadi. Oleh karena itu, perlu dilihat sejauh mana hubungan antara kepemilikan modal suatu komunitas dengan wujud konflik yang terjadi. Berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan, terdapat beberapa hipotetis, diantaranya adalah sebagai berikut. a) Tingginya kepemilikan modal budaya dan modal simbolik pada aktor cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara emerging (mencuat); dan b) Tingginya kepemilikan modal sosial dan modal ekonomi pada aktor cenderung mempengaruhi terjadinya konflik secara manifest (terbuka) Definisi Operasional Penelitian ini memiliki tiga konsep utama, yaitu aktor, modal, dan wujud konflik. Berdasarkan ketiga konsep tersebut, maka dirumuskan definisi operasional sebagai batasan dalam penelitian ini. Adapaun definisi operasional tersebut adalah: a. Aktor Masyarakat Seseorang yang terkenal dalam masyarakat serta dengan pengaruh dan kekuatan yang dimiliki, baik itu secara formal maupun informal, memiliki peran penting dalam menghadapi kasus konflik yang terjadi. b. Modal Suatu kepemilikan yang dimiliki aktor sehingga dapat mempengaruhi aktor untuk terlibat dalam konflik. b.1. Modal Sosial 1) Tingkat dukungan adalah tingkat dukungan masyarakat, kelompok, dan individu kepada aktor dengan sikap selalu mengikuti apa yang dicontohkan dan dilakukan. 2) Luas jaringan adalah besarnya luas jaringan yang dimiliki oleh aktor. 3) Reputasi adalah tingkat kedudukan aktor dan keluarga dalam pandangan masyarakat b.2. Modal Simbolik 1) Prestise adalah tingkat kewibawaan dan kehormatan yang dimiliki oleh aktor dalam mempengaruhi masyarakat 2) Tingkat otoritas adalah tingkat pengaruh dari otoritas yang dimiliki oleh aktor dalam mempengaruhi masyarakat b.3. Modal Ekonomi 1) Dukungan finansial adalah besarnya penghasilan dan ketergantungan terhadap sumber pemasukan yang dimiliki oleh aktor dalam menghidupi kesehariannya.
16 2) Kepemilikan teknologi adalah banyaknya aset kepemilikan teknologi dalam mendukung posisi aktor di masyarakat b.4. Modal Budaya 1) Kesesuaian nilai budaya adalah tingkat kesesuaian sikap yang dapat diterima oleh masyarakat dalam aktivitasnya sehari-hari. 2) Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir dan pengaruhnya terhadap sikap sehari-hari aktor. c. Wujud Konflik c.1. Konflik Mencuat (Emerging) 1) Dialog dan perdebatan adalah frekwensi keterlibatan aktor dalam dialog dan adu pendapat dengan pihakpihak yang bertikai. 2) Protes terbuka adalah banyaknya keterlibatan aktor dalam melakukan protes terbuka atas permasalahan yang dihadapi. c.2. Konflik Terbuka (Manifest) 1) Peran dalam bentrokan adalah frekwensi keterlibatan aktor dalam benturan fisik antara pihak yang bersangkutan sehingga terjadinya kerusakan. 2) Kemampuan mengerahkan massa adalah tingkat kemampuan aktor dalam menggerakkan pihak-pihak yang sejalan dalam pertikaian.
17
PENDEKATAN LAPANGAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai pengaruh kepemilikan modal aktor terhadap wujud konflik dilaksanakan di Desa Margamekar, Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung Selatan, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah tersebut pernah terjadi konflik dalam waktu yang relatif dekat dengan waktu penelitian. Selain itu desa tersebut memiliki bentuk konflik yang cukup banyak terjadi di Indonesia yaitu persoalan sengketa lahan. Pengumpulan data sekunder maupun primer dilaksanakan dalam kurun waktu antara tanggal 3 Agustus hingga 24 Agustus 2012. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber yang kemudian diakhiri dengan penyusunan laporan skripsi. Pendekatan Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan mixed method, yaitu mengolah hasil penelitian kualitatif untuk menjelaskan pendekatan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan melakukan focus group discussion (FGD) dengan kelompok-kelompok sosial, melakukan wawancara mendalam terhadap aktor dan juga pencarian informasi dari warga masyarakat.
Metode Kualitatif
Kuantitatif
Tabel 3 Metode pengambilan data dan informasi Pendekatan Pihak yang dituju FGD Kelompok Sosial Life History Aktor Wawancara Warga Masyarakat dan Tokoh Masyarakat Kuesioner Responden
Sedangkan Metode Kuantitatif yang digunakan adalah mencari kaitan antara variabel pengaruh dan variabel yang terpengaruhi serta melakukan pengujian hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun & Effendi 2008). Pendekatan yang dilakukan terhadap responden adalah dengan menggunakan kuesioner sebagai cara untuk mengetahui tingkat pengaruh modal yang dimiliki aktor terhadap wujud konflik yang terjadi. Pendekatan terhadap aktor dengan metode life history digunakan untuk mengetahui tiga aspek pada aktor, yaitu: 1) kepemilikan modal aktor; 2) latar belakang aktor; 3) sumber konflik yang terjadi menurut pandangan aktor.
/
18
Teknik Pemilihan Responden dan Informan serta Tahapan Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah penduduk yang bertempat tinggal di Desa Margamekar. Pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive (sengaja) dengan jumlah 38 orang yang dipilih dari populasi seluruh warga marga mekar dengan syarat warga yang kesehariannya bekerja di sekitar Margamekar, mengetahui konflik yang terjadi pada tahun 2011, dan mengenal aktor yang terlibat dalam konflik ini. Pemilihan informan dilakukan secara purposive dengan melihat kapasitas informan dan sejauh mana informan tersebut menjadi saksi dalam konflik yang ada di desa Margamekar pada tahun 2011. Hal ini dilakukan sebagai tambahan informasi bagi peneliti agar data yang didapatkan lebih akurat.
Wawancara terhadap informan terpilih
Analisis aktor hasil wawancara
FGD dengan kelompok sosial
Analisis aktor hasil FGD
Pengambilan kuesioner dari responden Modal Aktor Modal Budaya Modal Ekonomi Modal Simbolik Modal Sosial
Aktor
Need Assessment Aktor (10 orang warga)
Analisis Jawaban dari 10 orang
Wawancara bebas dan mendalam terhadap aktor Life History Actors: Mengetahui lebih dekat latar belakang aktor dan kejadian yang terjadi menurut aktor
Gambar 2 Tahapan pengambilan data dan penentuan aktor (Sjaf 2011) Tahapan penelitian, diawali dengan mengidentifikasi aktor dengan cara wawancara terhadap beberapa informan terpilih. Informan yang terpilih adalah pihak-pihak yang sudah sejak lama tinggal sebagai warga desa dan dianggap oleh masyarakat sebagai orang-orang mengetahui kejadian-kejadian yang penting di desa tersebut. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan didapatkan latar
19 belakang terjadinya konflik dan aktor-aktor dalam masyarakat yang memiliki peran dalam konflik lahan sampalan yang terjadi hingga tahun 2011. Selain bertanya kepada pemuka desa yang telah lama tinggal, maka dilakukan wawancara terhadap informan yang memiliki kedekatan dengan aktor sehingga diketahui hubungan informan dengan aktor, peristiwa besar yang terjadi di desa, peran aktor dalam konflik, serta modal-modal yang dimiliki oleh aktor. Setelah dilakukan wawancara terhadap para informan, selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan kelompok-kelompok sosial yang ada di desa. Beberapa diantaranya adalah kumpulan tukang ojeg, ibu-ibu petani yang sedang beristirahat di ladang, serta jamaah yang baru saja selesai melakukan sholat. Hal ini ditujukan selain untuk cross-check kembali aktor-aktor berdasarkan informasi yang disampaikan oleh informan, juga untuk melihat pandangan kelompok FGD atas permasalahan konflik yang muncul di desa dan modal-modal yang dimiliki berdasarkan pembagian modal menurut Bourdieu. Tahapan terakhir adalah memastikan kembali kepada sebanyak 10 warga masyarakat di tempat dan lokasi yang berbeda tentang keterkenalan warga terhadap aktor-aktor yang sudah dijabarkan dalam FGD maupun oleh informan. Berdasarkan identifikasi pada tahapan sebelumnya, maka aktor-aktor yang sudah dipilih dijadikan sebagai objek penelitian yang kemudian ditanyakan dalam bentuk kuesioner kepada warga masyarakat yang mengenal aktor tersebut dan mengetahui kasus konflik yang terjadi pada tahun 2011. Selain itu dilakukan wawancara langsung dengan aktor yang bersangkutan untuk mengetahui lebih dekat sejarah aktor, keterlibatan aktor dalam konflik, serta modal yang dimiliki (lihat gambar 2)
Jenis, Teknik Pengolahan, dan Analisis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang relevan mengenai penelitian, sementara itu data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara kepada informan dan responden dengan mengacu pada kuesioner yang sudah ada. Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi literatur adalah data yang dimiliki oleh Kantor Desa mengenai wilayah desa dari segi demografis, geografis, profil penduduk, infrastruktur desa, pendapatan dan pekerjaan warga. Pengolahan dengan jenis data kuantitatif dilakukan dengan tiga teknik pengolahan data. Indeks Casey digunakan untuk melihat tinggi rendahnya kepemilikan masing-masing modal pada aktor dan besarnya pengaruh dari masing-masing modal yang dimiliki oleh aktor dalam masyarakat. Uji beda digunakan untuk membandingkan berdasarkan perhitungan statistik besar kepemilikan antar masing-masing aktor dalam variabel modal sosial, modal simbolik, modal budaya, dan modal ekonomi serta perbandingan keterlibatan aktor dalam konflik. Uji korelasi spearmen digunakan untuk melihat hubungan antar masing-masing variabel yang diterjemahkan dengan interpretasi de Vaus sehingga dapat melihat tingkat kekuatan hubungan antar masing-masing variabel modal dan konflik. Adapun jenis data kualitatif adalah fakta-fakta lapang berdasarkan hasil wawancara terbuka terhadap responden, kelompok sosial,
20 maupun aktor untuk menjelaskan hasil penelitian kuantitatif yang dihitung dengan indeks casey, uji beda, uji korelasi spearmen, dan regresi linear.
Jenis Data Kuantitatif
Kualitatif
Tabel 4 Jenis data dan teknik pengolahan data Teknik Pengolahan Data Analisis Data -Indeks Casey -Pengukuran Casey -Uji Beda -SPSS -Uji Korelasi Spearmen -SPSS -Interpretasi de Vaus -Pengukuran Koefisien Korelasi de Vaus Pemetaan aktor, konflik, dan modal aktor
-Deskriptif -Analisa pengamatan lapang dan kaitan antar variabel
Kuesioner yang digunakan sebagai dasar penelitian kuantitaf dalam penelitian ini menggunakan skala likert untuk melihat tingkat jawaban dari pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner yang diberikan kepada responden terbagi menjadi 7 bagian. Pertama, berisi data responden, kedua dan ketiga berisi keterlibatan aktor dalam wujud konflik emerging dan manifest dilihat dari pandangan anggota masyarakat. Setiap indikator dalam variabel wujud konflik emerging dan manifest terdiri dari beberapa pertanyaan agar mendukung data yang diperlukan untuk selanjutnya dihitung rata-rata nilai yang didapatkan oleh setiap indikator berdasarkan pertanyaan yang ada. Tujuan dari perhitungan ratarata setiap indikator agar dapat terlihat tinggi rendahnya nilai masing-masing indikator pada setiap aktor yang menjadi objek penelitian. Bentuk konflik sosial yang terjadi dalam penelitian ini adalah perebutan terhadap akses lahan yang menjadi sengketa di masyarakat. Dalam melihat kasus sosial yang terjadi tersebut, Bourdieu melihat peran aktor dalam menggerakkan masyarakat dipengaruhi oleh empat modal yaitu, modal sosial, simbolik, ekonomi, dan budaya. Empat modal inilah yang menjadi motif dari peran aktor dalam konflik emerging maupun manifest. Pada bagian kuesioner ke-empat, kelima, keenam, dan ketujuh berisi kepemilikan modal aktor dari segi modal ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial. Masing-masing bagian adalah varibel yang terdiri dari beberapa indikator yang didapatkan berdasarkan teori Bordieu serta melihat pada beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia. Setiap indikator dalam variabel modal terdiri dari berbagai pertanyaan agar dapat mendukung nilai modal yang perlu diketahui untuk selanjutnya dihitung rata-rata nilai yang didapatkan oleh setiap indikator berdasarkan pertanyaan yang ada. Tujuan dari perhitungan rata-rata setiap indikator agar dapat melihat tinggi rendahnya kepemilikan setiap modal pada masing-masing aktor. Adapun perhitungan pada masing-masing variabel konflik dan modal menggunakan Microsoft Excel 2007. Pengukuran pada setiap bagian dalam kuesioner dilakukan dengan memberikan penilaian pada setiap indikator, seperti yang disajikan pada bagian berikut:
21
a. Wujud Konflik a.1. Konflik Mencuat Konflik yang bersifat Mencuat dapat diukur dengan melihat: 1) Frekwensi keterlibatan aktor dalam dialog dan adu pendapat dengan pihak-pihak yang bertikai o Selalu ikut = skor 5 o Sering = skor 4 o Kadang-kadang ikut = skor 3 o Jarang ikut = skor 2 = skor 1 o Tidak ikut 2) Banyaknya keterlibatan aktor dalam melakukan protes terbuka atas permasalahan yang dihadapi o Selalu ikut = skor 5 o Sering ikut = skor 4 o Kadang-kadang ikut = skor 3 o Jarang ikut = skor 2 o Tidak ikut sama sekali = skor 1 Untuk wujud konflik yang muncul dalam masyarakat dapat dilihat tinggi rendahnya masalah yang mencuat dengan mengakumulasikan jumlah skor keterlibatan aktor internal dalam musyawarah warga dalam membicarakan masalah yang dihadapi dan keterlibatan aktor dalam protes langsung dengan pihak yang bertentangan: o Tinggi =>8 o Sedang =8≤X<6 o Cukup =6≤X<4 o Cukup Rendah = 4 ≤ X < 2 o Sangat Rendah = ≤ 2 a.2. Terbuka Konflik yang bersifat terbuka dapat diukur dengan melihat: 1) Frekwensi keterlibatan aktor dalam benturan fisik antara pihak yang bersangkutan yang berujung pada kerusakan. = skor 5 o Terlibat o Cukup terlibat = skor 4 = skor 3 o Tidak terlalu terlibat o Kurang terlibat = skor 2 o Tidak terlibat = skor 1 2) Tingkat kemampuan aktor dalam perannya menggerakan pihak-pihak yang sejalan dalam pertikaian. o Sangat berperan = skor 5 o Berperan = skor 4 o Cukup berperan = skor 3
22 o Sedikit berperan o Tidak berperan
= skor 2 = skor 1
Untuk wujud manifest yang muncul dalam masyarakat dapat dilihat tinggi rendahnya keterlibatan aktor dalam masalah terbuka dengan mengakumulasikan jumlah skor adanya keterlibatan aktor internal komunitas dalam bentrokan fisik dan juga peran pada aktor internal dalam mengumpulkan warga dalam menghadapi benturan fisik: o Tinggi =>8 o Sedang =8≤X<6 o Cukup =6≤X<4 =4≤X<2 o Cukup rendah o Sangat rendah =≤2 b. Kepemilikan Modal b.1. Modal Sosial 1) Tingkat Dukungan : Sangat Mendukung Mendukung Cukup Mendukung Sedikit Mendukung Tidak Mendukung
Indeks Kepemilikan Modal Aktor dalam Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
2) Luas Jaringan :
Sangat Kuat Kuat Cukup Kuat Sedikit Kuat Tidak Kuat
Indeks Kepemilikan Modal Aktor menurut Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor
Indeks Kepemilikan Modal Aktor dalam Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
5 4 3 2 1
3) Reputasi : Sangat Kuat Kuat Cukup Kuat Sedikit Kuat Tidak Kuat
Kategori modal sosial yang diukur dengan mengakumulasi skor dari semua indikator tersebut dengan perhitungan sebagai berikut: o Sangat Berpengaruh =>3 o Berpengaruh =3≤X<0 o Cukup berpengaruh =0
23 o Sedikit Berpengaruh o Tidak berpengaruh
= 0 < X ≤ -3 = < -3
b.2. Modal Simbolik 1) Prestise : Sangat terhormat Terhormat Cukup terhormat Sedikit terhormat Tidak terhormat
Indeks Kepemilikan Modal Aktor menurut Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
2) Tingkat Otoritas : Sangat berpengaruh Berpengaruh Cukup berpengaruh Sedikit berpengaruh Tidak berpengaruh
Indeks Kepemilikan Modal Aktor dalam Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
Kategori modal simbolik yang diukur dengan mengakumulasi jumlah skor dari otoritas kebijakan dan prestise dengan kategori modal simbolik sebagai berikut: =>2 o Sangat Berpengaruh o Berpengaruh =2≤X<0 o Cukup berpengaruh =0 o Sedikit Berpengaruh = 0 < X ≤ -2 o Tidak berpengaruh = < -2 o b.3. Modal Ekonomi 1) Dukungan Finansial: Sangat mendukung Mendukung Cukup mendukung Sedikit mendukung Tidak mendukung
Indeks Kepemilikan Modal Aktor menurut Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
2) Kepemilikan Teknologi: Sangat mendukung Mendukung Cukup mendukung Sedikit mendukung Tidak mendukung
Indeks Kepemilikan Modal Aktor menurut Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
24
Kategori modal ekonomi yang diukur dengan mengakumulasikan jumlah skor dari dukungan finansial dan dukungan teknologi yang dimiliki oleh aktor dengan kategori modal sebagai berikut o Sangat Berpengaruh =>2 o Berpengaruh =2≤X<0 o Cukup berpengaruh =0 o Sedikit Berpengaruh = 0 < X ≤ -2 o Tidak berpengaruh = < -2 b.4. Modal Budaya 1) Kesesuaian Nilai:
Sangat sesuai Sesuai Cukup sesuai Sedikit sesuai Tidak sesuai
Indeks Kepemilikan Modal Aktor menurut Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemilikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
2) Tingkat pendidikan:
Sangat berpengaruh Berpengaruh Cukup berpengaruh Sedikit berpengaruh Tidak berpengaruh
Indeks Kepemilikan Modal Aktor menurut Casey +2 +1 0 -1 -2
Pengaruh kepemikan Modal Aktor 5 4 3 2 1
Kategori modal budaya yang diukur dengan mengakumulasikan jumlah skor dari tingkat pendidikan dan nilai budaya yang dimiliki aktor sehingga didapatkan kategori sebagai berikut: o Sangat Berpengaruh =>2 o Berpengaruh =2≤X<0 o Cukup Berpengaruh =0 o Sedikit Berpengaruh = 0 < X ≤ -2 o Tidak Berpengaruh = < -2 Sehingga untuk mengukur pengaruh kepemilikan modal oleh aktor, dapat dilihat dengan mengakumulasikan modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik, dan modal budaya yang dimiliki oleh aktor. Kategori tingkat pengaruh yang dimiliki aktor dapat dilihat sebagai berikut: o Sangat Berpengaruh =>9 o Berpengaruh =9≤X<0 o Cukup Berpengaruh =0 o Sedikit Berpengaruh = 0 < X ≤ -9 o Tidak Berpengaruh = < -9
25 Adapun rumus yang digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh modal yang dimiliki oleh aktor tehadap keterlibatan aktor dalam konflik adalah sebagai berikut: Mta = Msi + Mby + Me + Mso Ket: Mta Msi Mby Me Mso
: Modal Total Aktor : Modal Simbolik : Modal Budaya : Modal Ekonomi : Modal Sosial
Sementara itu untuk melihat sejauh mana tinggi rendahnya kepemilikan modal ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial berpengaruh terhadap wujud konflik yang terjadi serta mengetahui kuat lemahnya hubungan antara modal ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial serta konflik emerging dan konflik manifest maka digunakan rumus uji perhitungan korelasi spearmen sebagai berikut:
rs= 1-((6Σd²)/(n(n²-1)) Keterangan: rs: Korelasi antar variabel Σd²: Total Kuadrat antar selisih ranking n: jumlah sampel penelitian Perhitungan regresi linear dan uji korelasi spearmen menggunakan SPSS 16.0. Selain itu untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan pada korfiensi korelasi, maka digunakan interpretasi hubungan korelasi de Vaus (1985) sebagai berikut: Koefisien 0,00 0,01-0,09 0,10-0,29 0,30-0,49 0,50-0,69 0,70-0,89 0,90+
Kekuatan Hubungan Tidak ada hubungan Hubungan Kurang Berarti Hubungan Lemah Hubungan Moderat Hubungan Kuat Hubungan Sangat Kuat Hubungan Mendekati Sempurna
Data kualitatif yang didapatkan dalam penelitian ini digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang terjadi di lokasi penelitian setelah dilakukan perhitungan secara kuantitatif.
26
27
GAMBARAN UMUM Kondisi Desa Margamekar Desa Margamekar merupakan salah satu desa dari tiga belas desa yang termasuk wilayah administratif Kecamatan Pangalengan. Desa ini termasuk desa di wilayah pegunungan karena memiliki topografi dataran tinggi dengan ketinggian 1.449,93 mdl. Adapun curah hujan yang dimiliki adalah 2200 mm/tahun dengan suhu udara antara 16-190 C. Secara administratif batas-batas wilayah Desa Margamekar adalah sebagai berikut: Sebelah utara : Desa Pangalengan : Desa Banjarsari Sebelah selatan Sebelah barat : Desa Pulosari Sebelah timur : Desa Sukamanah Desa Margamekar memiliki jarak 3,2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Pangalengan dan 32,2 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Bandung Selatan. Selain itu Desa Dramaga memiliki luas wilayah 817,993 ha yang terdapat 54 Rukun Tetangga (RT) dan 13 Rukun Warga (RW). Desa Margamekar merupakan desa yang memiliki luas tanah kering yang lebih luas bila dibandingkan dengan tanah basah dan tanah fasilitas umum. Luas tanah kering sebesar 576.170 ha adalah ladang dan 96.088 ha adalah pekarangan. Sedangkan luas lahan yang dipergunakan untuk fasilitas umum sebesar 17.108 ha. Desa Margamekar memiliki jumlah penduduk sekitar 8056 orang dengan 4.052 orang adalah laki-laki dan 4.004 orang adalah perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.419 kepala keluarga. Berdasarkan total penduduk tersebut, didapatkan sebanyak 2.297 penduduk berprofesi sebagai petani, buruh tani, dan peternak. Sedangkan sisanya sebanyak 1.340 penduduk berprofesi sebagai PNS, pengrajin industri, pedagang keliling, karyawan swasta dan sebagainya. Berdasarkan perbandingan tersebut, dapat dilihat jumlah penduduk yang memiliki ketergantungan dengan sektor pertanian jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Berdasarkan kualitas angkatan kerja yang ada di Desa Margamekar, sebanyak 2889 jumlah penduduk usia kerja antara 18 – 56 tahun pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) namun tidak lulus. Hanya ada 1028 penduduk yang pernah tamat SD. Sedangkan mereka yang tamat sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA) sebanyak 953 orang. Mendukung data tersebut, diketahui jumlah penduduk usia produktif yang memiliki pekerjaan adalah sebesar 2.350 sedangkan sebanyak 1.784 penduduk usia produktif belum memiliki pekerjaan. Dengan total petani yang tidak memiliki lahan pertanian sebanyak 1.694 orang, didukung dengan angkatan kerja yang sudah memiliki pekerjaan dan belum memiliki pekerjaan hampir berimbang, serta tingkat pendidikan yang rendah maka dapat diasumsikan bahwa potensi terjadinya konflik cukup tinggi di Desa Margamekar.
28 Karakterisitik Responden dalam Penelitian Aktor dalam kapasitasnya sebagai orang yang memiliki pengaruh dan cukup dikenal luas di desa tentu akan banyak diperhatikan oleh masyarakat yang mengenalnya. Begitu juga dalam kasus konflik yang ada di desa tidak akan lepas dari pengaruh aktor terhadap kondisi konflik yang ada desa tersebut. Dengan demikian perlu di pilih aktor yang memiliki latar belakang dan sikap yang berbeda dalam penelitian ini untuk melihat sejauh mana keterlibatan aktor tersebut. Aktor pada penelitian ini adalah orang-orang yang paling banyak disebutkan oleh kelompok-kelompok sosial seperti kumpulan petani, pekerja tukang ojeg, jamaah sholat, perkumpulan ibu-ibu, dan juga oleh tokoh-tokoh penting didesa seperti pemuka masyarakat setempat yang direkomendasikan oleh kelompok sosial tersebut. Selain itu agar dapat lebih mendukung nama aktor yang diasumsikan memiliki pengaruh yang kuat di desa, maka dilakukan wawancara secara acak kepada 10 orang warga yang tersebar di sekeliling wilayah konflik yang ada. Responden dalam penelitian ini berjumlah 38 orang. Proses pemilihan dalam responden dalam penelitian ini dilakukan secara acak dengan berbagai macam latar belakang profesi yang bertempat tinggal di desa Margamekar dengan syarat bahwa mereka mengenal aktor yang sudah dipilih dan juga mengetahui konflik yang terjadi. Adapun karakteristik dari responden berdasarkan masingmasing kategorinya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, status, dan umur Menikah Usia non- Usia produktif produktif 23,68 60,52
Laki-laki (%) Belum Menikah Usia nonUsia produktif produktif 0 2,63
Perempuan (%) Menikah Belum Menikah Usia nonUsia Usia nonUsia produktif produktif produktif produktif 0 13,15 0 0
Tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah laki-laki sebesar 86,83 persen dan perempuan sebesar 13,15 persen. Dari total responden laki-laki, 84,2 persen sudah menikah dan hanya 2,63 persen yang belujm menikah. Sedangkan responden perempuan seluruhnya sebanyak 13,15 persen sudah menikah. Berdasarkan data yang sama, didapatkan mayoritas responden laki-laki dan perempuan adalah mereka yang berada pada usia produktif kerja antara 18 sampai dengan 56 tahun. Total responden yang masuk dalam angka usia produktif kerja adalah sebanyak 76,3 persen. Selain itu didapatkan mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir SD. Akan tetapi pendidikan SMA menempati posisi kedua terbanyak yang dimiliki oleh responden. Sedangkan yang ketiga adalah pendidikan SMP dan sarjana adalah pendidikan terbanyak terakhir yang dimiliki oleh responden sebesar 10,52 persen. Sedangkan total responden yang memiliki pendidikan berada pada tingkat SMP dan SMA adalah sebesar 50%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setengah dari responden telah mendapatkan pendidikan yang cukup. lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
29
10.52% 39.47%
26.31%
SD SMP
23.68%
SMA Sarjana
Gambar 3 Pendidikan responden Berdasarkan pekerjaan yang dijalani oleh responden, peneliti mendapatkan 10 jenis pekerjaan. Adapun mayoritas pekerjaan dari responden dalam penelitian ini adalah sebagai petani sebesar 47,36% baik itu sebagai buruh tani maupun mandor. Sedangkan sebanyak 13,15% adalah mereka yang bekerja sebagai buruh non-pertanian. Sebanyak 13,42% menekuni pekerjaan yang cukup beragam baik itu sebagai karyawan KBPS, Tengkulak, Bandar Sayur, maupun pemotong kayu. Untuk lebih jelasnya, pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 4. Petani
5.26% 7.89%
Buruh
13.42% 47.36%
Pensiunan Peternak
7.89%
Wiraswasta 13.15%
Perangkat Desa dll
5.26%
Gambar 4 Pekerjaan responden Selain pendidikan dan pekerjaan responden, peneliti juga melihat lama tinggal responden di Desa Margamekar sebagai tambahan informasi dalam penelitian. Berdasarkan hasil pengambilan data penelitian di lapang, didapatkan 100% dari responden adalah mereka yang berada di Desa Margamekar dan mengetahui terkait kasus konflik yang terjadi pada tahun 2011. Mayoritas dari responden adalah mereka yang tinggal lebih dari 10 tahun di Desa Margamekar sejak data penelitian ini diambil pada bulan juli-agustus 2012. Hal ini disebabkan banyak dari responden adalah pendatang yang sudah lama menetap maupun warga yang tidak pernah berpindah sejak lahir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
30
>50 th 26%
≤ 10th 11% 10< th ≤30 26%
30< th ≤50 37%
Gambar 5 Lama tinggal responden di Desa Margamekar Penghasilan responden juga menjadi informasi tambahan dalam penelitian ini. Pembagian kelompok penghasilan responden dilakukan berdasarkan UMR di Kabupaten Bandung tahun 2013. Total responden yang mendapatkan penghasilan dibawah UMR setiap bulannya adalah sebanyak 44,73%. Sedangkan responden yang mendapatkan penghasilan dibawah UMR adalah sebesar 18,42%. Adapun sisanya sebanyak 36,84% dari responden tidak mengetahui secara pasti pendapatan yang didapatkan setiap bulannya. 50.00% 45.00% 40.00% 35.00% 30.00% Responden 25.00% 20.00% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00%
Penghasilan berdasarkan UMR 2013
> Rp 1.338.333,00
18.42%
< Rp 1.338.333,00
44.73%
Tidak Tentu
36.84%
Gambar 6 Penghasilan responden berdasarkan UMR Kab. Bandung 2013 Sehingga dapat disimpulkan dari total seluruh responden terdapat 81,17 % responden yang belum mendapatkan jaminan penghasilan yang sesuai dengan ketentuan UMR Kab. Bandung 2013. Karakteristik Aktor Pada penelitian ini terdapat dua aktor dalam masyarakat yang berdasarkan hasil Focus Group Discusion dengan kelompok sosial, tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat Marga Mekar cenderung dikenal dan memiliki pengaruh dalam
31 masyarakat serta memiliki andil dalam menghadapi kasus konflik lahan. Aktoraktor tersebut adalah ST dan WH. Kedua aktor tersebut juga memiliki latar belakang, peran sosial, dan kepentingan yang berbeda. Adapun penjelasan mengenai kedua aktor tersebut dibahas secara rinci di bawah ini.
Aktor WH Aktor WH merupakan warga asli Desa Margamekar dan salah satu tokoh masyarakat di desa tersebut. Selain sebagai Kepala desa, WH merupakan salah satu orang yang banyak aktif dalam kegiatan-kegiatan desa maupun lingkungan sekitarnya. Mertuanya yang berasal dari kalangan militer turut mempengaruhi WH untuk banyak dikenal oleh masyarakat. Keaktifan WH dalam berbagai kegiatan desa sudah dimulai jauh sebelum menjadi kepala desa. Sebelum menjalankan tugasnya sebagai kepala desa pada periode yang kedua, WH aktif dalam perangkat desa sejak tahun 1989 sebagai sekretaris desa. Selanjutnya pada tahun 1994 hingga tahun 2003, WH menjalankan tugasnya sebagai LPMD selama tiga tahun dan sebagai ketua RW selama enam tahun. Pada saat pemilihan kepala desa, WH ikut mencalonkan diri namun gagal. Kegemarannya aktif dalam organisasi tidak menyebabkan aktor WH menjadi oposisi, namun tetap berkontribusi di tempat lainnya. Dalam membangun hubungannya dengan masyarakat, sebagai kepala desa WH menyadari bahwa kepercayaan tidak datang tiba-tiba. Oleh karena itu WH terus berupaya bekerja sehingga beberapa hasil yang dicapainya selama menjadi kepala desa adalah dibangunnya agropolitan dalam membantu perekonomian petani perkebunan di desa Margamekar. Aktor dalam penelitian ini adalah individu yang mempunyai pengaruh besar di desa yang ditunjukkan dengan keterkenalan individu dalam masyarakat dan kemampuan individu untuk mempengaruhi masyarakat atas berbagai kejadian dalam masyarakat. Disaat menjadi calon kepala desa untuk kedua kalinya, ada dua hal yang mendukung aktor untuk terpilih kembali. Pertama adalah track record aktor sebagai orang yang sudah dikenal lama oleh masyarakat memiliki pengalaman dalam pemerintahan desa. Selain itu tidak banyak dari calon-calon lainnya yang dianggap memiliki pengalaman bila dibandingkan aktor WH. Kedua adalah dukungan yang muncul dari orang-orang yang memiliki peranan di desa, seperti ketua karang taruna (ketika penelitian ini dilakukan sudah tidak menjabat lagi), ketua kelompok tani, dsb. Namun seiring waktu, mulai banyak muncul tanggapan positif maupun negatif dari kinerja yang dilakukan selama menjadi kepala desa, sebagaimana yang diakui oleh aktor itu sendiri. Kasus konflik lahan Sampalan sudah mulai mengemuka ketika aktor masih menjabat sebagai sekretaris desa dan mencapai puncaknya pada tahun 2011. Kasus konflik lahan ini sejak lama membuat WH cukup dilematis. Banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa WH tidak mau terlalu jauh terlibat pertikaian antara pihak-pihak yang bertikai. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh WH bahwa peran yang dapat dilakukan sebatas melakukan mediasi, sedangkan kewenangan hukum berkaitan antara pihak petani wong cilik yang dimotori oleh AGRA dengan pemerintah daerah. Selama kurun waktu aktor WH menjabat sebagai kepala desa hingga saat ini, aktor WH hanya menjalankan peran sebagai mediator dan melakukan pendekatan-pendekatan persuasif terhadap masyarakat
32 wong cilik. Adapun terkait permasalahan hukum yang dikenakan kepada tokoh AGRA pengalengan, aktor tidak akan melakukan intervensi apapun walaupun yang bersangkutan berharap segala permasalahan dapat diselesaikan dengan kekeluargaan. Akan tetapi yang bersangkutan cukup kecewa dikarenakan menganggap dari pemerintah pusat maupun dari masyarakat yang bersengketa dalam kasus lahan tidak memiliki sikap untuk menyelesaikannya secara serius konflik ini sehingga posisinya sebagai Kepala Desa terapit oleh kepentingan dari “atas” maupun “bawah”. Walaupun WH tidak sepakat dengan apa yang dilakukan oleh pihak masyarakat yang menyerobot lahan, namun yang bersangkutan mengaku tidak membeda perlakuan dan pelayanan terhadap masyarakat sampalan dengan masyarakat lainnya.WH sendiri mengaku dalam kebijakannya sebagai kepala desa banyak diantara mereka yang setuju, namun tidak sedikit dari mereka yang tidak setuju dengan segala sikap dan kebijakannya sebagai kepala desa. Dalam mengisi kebutuhan hariannya selain menjalankan tugasnya sebagai kepala desa, WH juga memiliki lahan pertanian sebesar 150 tumbak yang ditanami dengan berbagai komoditas salah satunya adalah kentang. Dalam aktivitas hariannya yang bersangkutan juga ditunjang oleh mobil sehingga memiliki kemampuan secara cepat memantau kondisi pedesaan yang menjadi tanggungjawabnya. Aktor ST Sama seperti halnya WH, aktor ST adalah warga asli dari desa Margamekar dan cukup dikenal oleh masyarakat luas sebagai ketua AGRA Pengalengan sekaligus orang penting dalam masyarakat penggarap lahan Sampalan. Aktifnya ST dalam organisasi dimulai ketika 2006 ST bergabung menjadi anggota AGRA dan kemudian diangkat sebagai ketua AGRA pangalengan hingga saat ini. Terkait dengan konflik lahan yang terjadi, aktor ST mengaku bahwa dirinya bergerak bersama dengan orang-orang yang tertindas akibat ketidak adilan yang ada. Apa yang dilakukannya sebagai ketua AGRA hingga saat ini merupakan wujud dari pertanggungjawabannya terhadap warga sampalan. Peran aktor ST dalam konflik lahan diakui oleh banyak pihak sebagai tokoh yang mampu mengorganisir massa petani, baik itu dalam diskusi dan dialog terkait penyelesaian konflik lahan maupun aksi massa seperti demonstrasi bila adanya hari buruh ataupun dirasa adanya ketidak adilan terhadap petani. Terakhir aktor ST dikenai proses hukum karena dianggap bertanggungjawab dalam penyerobotan lahan dan bentrokan yang terjadi pada tanggal 24 Oktober 2011. Dalam membangun hubungan yang baik dengan kelompoknya, ST selalu mengadakan pertemuan rutin dengan anggotanya untuk melaksanakan konsolidasi setiap hari Kamis. Selain itu, sikap sama rasa dan sama rata dengan masyarakat menjadi andalan bagi dirinya agar dapat diterima dan dihormati oleh kalangan masyarakat. Walaupun demikian hubungan ST dengan warga masyarakat umumnya menurut AG sebagai mantan rekan ST di AGRA terdapat dua versi, yaitu warga yang mengucilkan ST atau ST sendiri yang mengucilkan dirinya dan hanya bergaul dengan orang-orang terdekatnya di AGRA. Hal ini diperkuat oleh beberapa responden yang menyatakan bahwa ST dahulu adalah tokoh agama di Desa Margamekar, namun sekarang tidak lagi. Hal tersebut diakibatkan sikap ST
33 yang mulai menentang keras perusahaan daerah agribisnis dan perkebunan (PDAP) sehingga banyak masyarakat yang setuju dan tidak setuju dengan sikap ST. Hingga saat ini selain menjadi ketua AGRA Pengalengan, sampai dengan tahun 2006 yang bersangkutan pernah menjadi ketua BPD sebelum akhirnya bergabung dengan AGRA. Aktor ST sendiri memiliki pendidikan terakhir yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Aktivitas pekerjaan dalam menopang kehidupan sehari-hari didapatkannya dari hasil bertani di wilayah lahan sampalan. Adapun lahan yang dimiliki oleh ST serta diolahanya sendiri adalah sebesar 100 tumbak dan ditanami dengan sayur-sayuran. Dalam kesehariannya banyak yang mengenal ST sebagai orang yang pendiam dalam lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. Tidak banyak bicara namun lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang dekat dengannya di AGRA dan lahan sampalan. ST lebih dikenal sebagai orang yang berwatak tegas dan cenderung keras, khususnya ketika melakukan aksi demonstrasi maupun berhadapan dengan orang-orang yang tidak sejalan dalam masalah lahan. Sejarah Konflik Konflik dan sengketa lahan pertanian seluas ± 134 Hektar yang berada di wilayah Desa Margamekar bersumber dari perebutan hak dan kuasa pengelolaan lahan antara pihak perusahaan daerah agribisnis dan pertambangan (PDAP) sebagai pemilik kuasa yang sah atas lahan dengan pihak petani penggarap yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dalam upaya mengambil alih pengelohan lahan agar dapat dikelola sepenuhnya oleh petani yang tidak memiliki tanah. Sengketa yang terjadi sejak tahun 2003 berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama hingga puncaknya pada tanggal 24 Oktober 2011 terjadinya bentrokan fisik yang menurut pihak penggarap berujung proses hukum pada beberapa orang dari pihak penggarap. Tuntutan yang diinginkan oleh wong cilik/AGRA adalah adanya pemberian jaminan hukum/SK garap kepada petani wong cilik dan tidak adanya pihak ketiga (PDAP), namun langsung berhubungan dengan pihak pusat. Hal itu dikarenakan PDAP dianggap tidak transparan dan berpihak kepada petani kaya. Sikap ini diperkuat dengan pernyataan oleh salah satu ketua kelompok tani bernama YY di wilayah Margamekar yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber konflik adalah adanya kecemburuan sosial antara petani kaya dan petani miskin dengan adanya perbedaan penguasaan tanah dan hasil produksi yang didapatkan. Penguasaan sepihak oleh AGRA yang mengatasnamakan wong cilik atas tanah yang menjadi Hak Guna Usaha (HGU) dari PDAP selain dengan alasan dikarenakan adanya kecemburuan sosial, juga diakibatkan beralihnya fungsi PDAP dari penyediaan bibit unggul bagi petani menjadi lahan produksi.
Gambar 7 Urutan Sejarah Pengguna HGU Tanah Sampalan
34 Tanah milik negara seluas 134 hektar telah digunakan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) oleh 5 perusahaan hingga pada tahun 2003 beralih kepada PDAP. Penguasaan lahan oleh petani penggarap wong cilik menyebabkan PDAP sebagai pemegang Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan kehilangan sebesar 124 hektar, sedangkan 10 hektar lahan yang tersisa digunakan oleh kelompok tani Tresna Mekar dengan sistem sewa lahan. Sebagaimana yang diakui oleh DD sebagai asisten rumah tangga PDAP Pengalengan, walaupun 124 hektar telah dikuasai oleh AGRA namun pembayaran pajak secara berkala kepada pemerintah terus dilakukan oleh pihak PDAP.
Waktu Tahun 2003
Tabel 6 Kronologi Konflik Lahan Sampalan Momentum Keterangan Konsolidasi Buruh Pengambil alihan lahan oleh petani dari tani PT Kertasari Makmin
Februari 2011- Pembahasan Sebanyak tiga kali diadakan gagal tengah Maret kerjasama antara menemui kesepakatan 2011 PDAP dan Petani Tengah Maret Pembentukan Tim 30 Penolakan secara tegas dari AGRA - April 2011 oleh PDAP dengan keberadaan tim 30 beserta fungsinya Mei 2011
Masuk dalam ranah Pengaduan PDAP dengan tuntutan hukum 1. KUHP pasal 385 tentang penggelapan tanah di atas lahan bersertifikat, 2. Perpu No 51 pasal 06 th 1960 tentang kondisi darurat Panggilan pertama dengan status sebagai saksi kepada pimpinan AGRA, panggilan tidak dipenuhi
Juni 2011
Aksi massa AGRA di gedung sate
Juli 2011
Penetapan AGRA tersangka
petani Tuntutan: depan 1. Bubarkan Tim 30 2. Hentikan kriminalisasi PDAP 3. Hentikan tindakan intimidasi terhadap petani Panggilan Saksi kedua bagi pimpinan AGRA, panggilan dipenuhi
Pimpinan Dikenakan tahanan kota dengan sebagai ketentuan wajib lapor setiap Senin dan Kamis
24 Oktober Pematokan lahan oleh Bentrokan terjadi di Lahan sengketa 2011 PDAP, Bentrokan berlanjut di depan kantor PDAP Fisik
35
Upaya untuk dapat menjembatani persoalan ini menurut catatan yang didapat oleh penulis dilakukan pada jeda antara Februari hingga Maret tahun 2011 sebanyak 3 kali dengan agenda pembahasan kerjasama di bidang pertanian dengan bentuk pemberian modal, bibit, dan obat. Namun, karena lahan yang dijadikan sebagai bagian dari program adalah lahan sampalan, maka tidak menemui kesepakatan di dalamnya yang diakui oleh kedua belah pihak. Berdasarkan pengakuan yang didapatkan oleh penulis dari pihak AGRA, PDAP membentuk tim 30 yang bertujuan untuk menghimpun tanda tangan, fotocopy kartu tanda penduduk, serta kartu keluarga dari para petani AGRA sebagai bukti kesepakatan program yang ditawarkan pada tiga pertemuan sebelumnya tanpa sepengetahuan pihak AGRA. Berdasarkan hal tersebut, pihak AGRA menolak secara tegas segala rayuan yang dilakukan oleh pihak tim 30 yang dibentuk oleh PDAP.Pada jeda antara bulan Mei hingga Juni 2011, konflik antara AGRA dan PDAP berlanjut pada jalur hukum dengan tuntutan KUHP pasal 385 tentang Penggelapan Tanah di atas Lahan Bersertifikat dan Perpu No 51 pasala 06 Th 1960 tentang Kondisi Darurat. Masuknya konflik antara petani AGRA dan PDAP kedalam jalur hukum menyebabkan dipanggilnya beberapa pimpinan AGRA sebagai saksi dalam kasus ini dan berujung pada penetapan beberapa tersangka sebagai tahanan kota pada bulan Juli 2011. Pada bulan Juni 2011, AGRA Pengalengan menggelar aksi massa di gedung sate dengan tuntutan agar dicabutnya tuntutan hukum PDAP, Pembubaran Tim 30 bentukan PDAP, dan penghentian segala bentuk intimidasi terhadap petani penggarap Sampalan. Konflik yang terjadi antara AGRA dan PDAP mencapai puncaknya pada tanggal 24 Oktober 2012 pada saat dilakukan upaya pematokan lahan yang dilakukan oleh PDAP. Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa PDAP memiliki hak penguasaan lahan berdasarkan hukum yang sah. Akibat dari upaya pematokan tersebut, terjadi bentrokan antara petani penggarap dengan pihak PDAP yang menyebabkan terjadinya benturan fisik dan kerusakan fasilitas kantor PDAP dan melibatkan pihak aparat kepolisian dan dalmas dalam mengamankan bentrokan yang terjadi.
36
37
MODAL AKTOR DALAM KONFLIK LAHAN SAMPALAN Bab ini menyajikan data mengenai indikator kepemilikan modal yang dimiliki masing-masing aktor. Modal yang dinilai indikatornya adalah modal ekonomi, modal sosial, modal simbolik dan modal budaya serta tingkat pengaruhnya terhadap konflik lahan sampalan. Selain itu penyajian data kualitatif melalui hasil wawancara digunakan untuk mendukung data kuantitatif yang didapatkan dengan kuesioner. Modal Ekonomi Modal ekonomi adalah modal pertama yang dibahas dalam kepemilikan modal yang dimiliki oleh aktor. Modal ekonomi dapat dilihat dari dua indikator, yaitu dukungan finansial dan kepemilikan teknologi. Dukungan finansial digambarkan sebagai daya dukung keuangan yang dimiliki oleh aktor dalam membiayai segala aktivitas kesehariannya, khususnya dalam jumlah penghasilan yang dimiliki oleh aktor yang lebih tinggi di atas batas kemiskinan maupun ketergantungan aktor terhadap lahan konflik yang dipersengketakan. Sedangkan terkait dukungan teknologi, dapat dilihat dengan dukungan aset kepemilikan sehari-hari yang mencukupi bagi aktor dan juga dukungan kekayaan dalam menentukan sikap masyarakat terhadap aktor. Nilai modal ekonomi pada masing-masing aktor masyarakat dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Nilai indeks modal ekonomi pada masing-masing Indikator Aktor Masyarakat ST WH Dukungan Finansial 1,17 -0,60 Kepemilikan Teknologi -1,25 -0,42 Total -0,08 -1,02 Berdasarkan Tabel 7 di atas, dapat terlihat bahwa setiap aktor memiliki nilai modal ekonomi yang sedikit berpengaruh. Ini ditunjukkan dengan total dukungan finansial dari aktor ST sebesar -0,08 dan -1,02 bagi aktor WH. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktor ST memiliki dukungan finansial yang jauh lebih besar pengaruhnya bila dibandingkan dengan aktor WH walau secara garis besar modal ekonomi sedikit berpengaruh bagi kedua aktor. Namun, hal yang menarik adalah perbedaan nilai indikator yang dimiliki oleh aktor ST dan WH dimana aktor ST unggul dalam kepemilikan teknologi sehari-hari sedangkan aktor WH unggul dalam dukungan keuangan. Dalam indikator dukungan keuangan, aktor ST memiliki nilai 1,17 yang artinya dukungan keuangan terhadap aktor memiliki pengaruh yang sesuai. Hal ini dapat dipahami bahwa mengingat dalam kasus konflik ini, aktor memiliki ketergantungan yang besar pada lahan pertanian yang menjadi lahan sengketa. Hal seperti itu diungkapkan secara langsung oleh ST bahwa aktivitas hariannya sebagai petani adalah bekerja di lahan sengketa tersebut yang diakuinya sebesar
38 50 tumbak dan juga yang dimiliki oleh istrinya sebesar 50 tumbak sehingga total adalah 100 tumbak. Namun menurut beberapa informasi dari mantan anggota AGRA, aktor ST tidak hanya memiliki 100 tumbak namun juga tanah yang sudah dimiliki oleh anaknya yang berjumlah tiga orang dengan total 150 tumbak. Sehingga dapat diasumsikan bahwa aktor memiliki lahan yang cukup besar sebesar 250 tumbak dalam lahan sengketa tersebut. Berbeda halnya dengan ST, aktor WH hanya memiliki dukungan keuangan sebesar -0,60 dalam kategori sedikit berpengaruh. Hal ini bukan dikarenakan nilai penghasilan yang lebih rendah dari ST, tetapi dalam pertanyaan mengenai jumlah penghasilan, rata-rata responden menilai WH memiliki penghasilan yang tinggi dengan skor 1,42 berbanding 0,63. Namun WH tidak memiliki lahan pertanian dari kasus sengketa tersebut. Aktor WH lebih banyak menggantungkan penghasilan dari sumber non pertanian seperti jabatannya sebagai kepala desa ataupun juga lahan pertanian yang dimiliki di luar wilayah sengketya lahan sebesar 150 tumbak. Pada indikator dukungan teknologi di luar, aktor WH memiliki nilai indikator sebesar -0,42 sedangkan ST memiliki indikator -1,25 dengan interpretasi sedikit mendukung. Berdasarkan nilai tersebut, dapat dikatakan bahwa dukungan teknologi yang dimiliki oleh WH jauh lebih besar bila dibandingkan dengan ST . Bila dianalisis lebih jauh lagi, faktor aset dukungan teknologi dilihat berdasarkan kepemilikan aset dan sikap hormat masyarakat terhadap pengaruh dari aset kekayaan yang dimiliki. Hal yang menarik disini, bahwa di satu sisi hasil perhitungan memperlihatkan indikator dukungan teknologi memiliki pengaruh yang sedikit dikarenakan memiliki nilai minus pada kedua aktor. Namun bila melihat faktorfaktor yang mempengaruhi nilai indikator dukungan teknologi, ternyata dengan aset kepemilikan aktor yang jauh lebih baik pada WH sebesar rata-rata 0,03 berbanding -1,16 tidak serta merta membuat responden melihat faktor kekayaan yang membuat aktor dihormati karena keduanya mendapatkan nilai minus sebesar -1,34 bagi ST dan -0,87. Oleh karena itu dengan hasil perhitungan dari dua faktor tersebut, kedua aktor mendapatkan nilai minus pada indikator dukungan teknologi atau sedikit mendukung bagi kedua aktor. Modal Sosial Modal berikutnya setelah modal aktor dalam keseluruhan modal yang dianalisis dari aktor adalah modal sosial. Modal sosial adalah modal yang terdiri dari tiga indikator, yaitu dukungan grup, jaringan, dan reputasi. Masing-masing aktor memiliki nilai indeks modal sosial yang berbeda. Untuk melihat nilai indeks total, harus dengan melihat nilai dari masing-masing indikator yang ada dalam modal sosial. Pada Tabel 8 dapat terlihat bahwa nilai indeks modal sosial yang dimiliki oleh aktor ST lebih tinggi dengan nilai indeks 1,71, khususnya pada indikator jaringan dan dukungan grup yang berarti menunjukkan . Sedangkan aktor WH memiliki nilai indeks -0,03 dengan keunggulan pada indikator reputasi
39 Tabel 8. Nilai indeks modal sosial masing-masing aktor Indikator Aktor Masyarakat ST WH Reputasi -0,18 0,08 Luas Jaringan 1,08 0,11 Tingkat Dukungan 0,82 -0,21 Total 1,71 -0,03 Salah satu indikator dari modal sosial adalah dukungan grup. Dukungan grup yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dukungan yang diberikan oleh masyarakat, kelompok, maupun individu kepada aktor dalam menjalankan segala kebijakan yang dikeluarkan oleh aktor. Dalam indikator dukungan grup ini, untuk tokoh ST sebanyak 39,47% responden menjawab tokoh sangat didukung dan sebanyak 21,05% menyatakan tokoh didukung. Hal ini sangat berbeda dengan aktor WH dimana sebanyak 47,36% responden menyatakan aktor cukup didukung dan 36,84% menyatakan sedikit didukung. Hal ini menunjukkan bahwa aktor ST dianggap oleh seluruh responden mendapat dukungan dalam setiap kebijakan dan tingkah lakunya. Lain halnya dengan aktor WH yang tidak begitu banyak mendapatkan dukungan yang kuat. Sehingga indikator dari dukungan grup bagi ST adalah 0,82 sedangkan bagi WH adalah sebesar -0,21. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut, dapat diketahui bahwa dukungan yang diberikan kepada ST banyak berasal dari kalangan wong cilik yaitu para penggarap di lahan sengketa ataupun mereka yang tergabung dalam AGRA di mana ST berlaku sebagai ketua wilayah kecamatan Pangalengan dan ikut memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan kelompoknya. Sedangkan basis dukungan bagi WH lebih banyak didapatkan dari kalangan perangkat desa dan orang-orang yang dekat dengan WH. Namun dapat dianalisis berdasarkan pengamatan lapang, secara umum responden melihat bahwa ST lebih dianggap sebagai “pahlawan” bagi orang-orang yang menggarap lahan sampalan dibandingkan WH yang bagi masyarakat umum adalah seorang Kepala Desa yang fungsi hariannya memang menjalankan pembangunan di pedesaan. Sedangkan dalam indikator jaringan, dapat terlihat bahwa ST memiliki jaringan yang lebih tinggi dibandingkan WH dengan nilai indikator sebesar 0,82 bagi ST dan 0,11 pada WH. Sebanyak 44,7 persen responden menyatakan bahwa ST memiliki jaringan yang sangat kuat berbanding 5,26 persen yang menyatakan WH memiliki jaringan yang sangat kuat dan 28,9 persen yang menyatakan WH memiliki jaringan yang kuat. Hal ini dapat dianalisa berdasarkan pengamatan secara kualitatif di lapang bahwa banyak dari responden yang melihat ST memiliki keunggulan dalam hal jaringan yang kuat dari luar masyarakat. Ini ditunjukkan dalam kaitannya kasus konflik lahan Sampalan ini, ST memiliki dukungan dari sruktur AGRA dan juga pihak-pihak luar dari Desa Margamekar yang oleh masyarakat dikatakan mengaku sebagai mahasiswa. Sehingga selain mendapatkan dukungan dari kelompok wong cilik para penggarap lahan sampalan, ST juga mendapatkan dukungan dari pihak luar. Hal ini berbeda dengan WH yang selama dua kali periode kepengurusan menjadi Kepala Desa, lebih banyak membangun jaringannya di wilayah pedesaan.
40 Indikator yang ketiga adalah reputasi yang dilihat dari kedudukan pribadi beserta keluarganya di hadapan masyarakat baik dalam keterkenalan maupun penghormatan masyarakat pada aktor. Dalam indikator ini, WH memiliki nilai yang lebih tinggi dengan nilai 0,08 berbanding dengan ST sebesar -0,18. Hal ini dapat dianalisis berdasarkan fakta-fakta yang ada di lapang bahwa banyak dari masyarakat yang walaupun mengakui jaringan dan dukungan kelompok yang cukup dalam seorang ST, bukan berarti memiliki reputasi yang lebih baik. Sebanyak 31,5 % responden menyatakan bahwa aktor ST adalah orang yang tidak terhormat dan 50 % responden menyatakan bahwa aktor ST sedikit terhormat. Sedangkan sebanyak 42,1 % responden menyatakan bahwa aktor WH sedikit dihormati dan 5,2 %menyatakan tidak dihormati. Sedangkan masing-masing bagi ST dan WH mendapatkan 15,7 % dan 34,2 % dalam indikator cukup dihormati. Berdasarkan pengamatan yang ada dalam kuesioner ini, WH jauh lebih dihormati daripada ST. Hal ini dikarenakan berdasarkan pengamatan di lapang, banyak muncul sikap tidak respek dari masyarakat dengan gerakan yang dilakukan oleh ST dalam kaitannya dengan kasus penyerobotan lahan. Banyak dari warga masyarakat yang tidak setuju dengan upaya yang dilakukan oleh ST dalam mengambil alih lahan yang oleh masyarakat dianggap bukan menjadi hak milik ST. Pendapat berkembang dalam masyarakat bahwa apa yang dilakukan oleh ST sama seperti yang dilakukan PKI. Sedangkan bagi WH, dalam kapasitasnya sebagai kepala desa yang selalu berinteraksi dengan masyarakat dalam programprogram desa dan pemenang dalam pemilihan kepala desa, dapat dikatakan bahwa Kepala desa cukup dihormati di kalangan masyarakat. Selain itu rata-rata tingkat keterkenalan masyarakat terhadap kedua aktor dapat dikatakan cukup. Hal ini bisa disadari karena masyarakat cukup mengetahui track record kedua aktor baik itu ST sebagai pemimpin wong cilik maupun WH sebagai kepala desa yang telah dua periode menjabat. Modal Budaya Modal berikutnya dalam karakterisitik modal yang dimiliki oleh aktor adalah modal budaya. Modal budaya dalam penelitian ini melihat indikator tingkat pendidikan dan juga nilai budaya sebagai indikator dalam menentukan nilai budaya yang dimiliki oleh aktor. Indikator tingkat pendidikan melihat sejauh mana tingkat pendidikan yang dimiliki oleh aktor dan pengaruhnya terhadap sikap yang ditunjukkan dalam merespon setiap permasalahan yang terjadi. Sedangkan nilai budaya ditunjukkan dengan kesesuaian budaya aktor dalam nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam komunitas tempat responden dan aktor berada. Nilai indeks modal pada masing-masing aktor dapat dilihat pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terlihat bahwa modal budaya yang dimiliki oleh kedua aktor memiliki pengaruh yang berbeda. Nilai pada kategori modal budaya yang dimiliki oleh aktor WH sebesar 0,14 sehingga masuk kedalam kategori berpengaruh. Sedangkan nilai yang dimiliki oleh aktor ST sebesar -1,87 sehingga masuk kedalam kategori sedikit berpengaruh. Rendahnya nilai modal aktor ST yang cukup jauh bila dibandingkan dengan nilai modal yang dimiliki oleh aktor WH dapat dianalisis melalui hasil pendekatan wawancara maupun juga penilaian berdasarkan kuesioner yang yang diisi oleh responden.
41
Tabel 9 Nilai indeks modal budaya pada masing-masing aktor Indikator Aktor Masyarakat ST WH Tingkat Pendidikan -0,80 -0,12 Kesesuaian Nilai Budaya -1,07 0,26 Total -1,87 0,14 Nilai dari indikator modal budaya yang dimiliki oleh aktor tentunya dipengaruhi oleh penilaian responden terhadap masing-masing aktor. Dalam indikator tingkat pendidikan banyak dari para responden tidak mengetahui secara pasti tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dan hanya memandang tingkat pendidikan dari tinggi atau rendahnya pendidikan aktor dalam pandangan masyarakat. Ini dapat dilihat pada aktor ST sebanyak 52,63 % responden menyatakan bahwa aktor ST memiliki pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Sedangkan 68,42 % responden menyatakan bahwa pendidikan yang dimiliki oleh aktor WH cukup tinggi. Hal ini dapat dinyatakan hampir sesuai dengan fakta yang sebenarnya bahwa aktor ST memiliki pendidikan akhir SMP sedangkan WH memiliki pendidikan akhir hingga SMA, sehingga memang tingkat pendidikan yang diketahui oleh responden tidak terlampau jauh sebagaimana apa yang sebenarnya. Sedangkan dalam pengaruh tingkat pendidikan terhadap upaya penyelesaian konflik, sebanyak 71,05 % responden menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh aktor WH sangat mempengaruhi, mempengaruhi, dan cukup mempengaruhi upaya penyelesaian konflik oleh aktor secara damai. Sedangkan 39,47 % responden menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh aktor ST sangat mempengaruhi, mempengaruhi, dan cukup mempengaruhi upaya penyelesaian aktor dengan jalan terbuka diluar sarana mediasi yang disediakan. Hal ini dapat dianalisa dari berbagai fakta-fakta yang ada di lapang. Seperti yang diungkapkan langsung oleh WH: “ Sebagai orang intelek, harusnya kita mau nyelesaikan masalah ini dengan duduk bareng” Pernyataan ini menunjukkan bahwa WH berpikir dirinya sebagai seseorang yang memiliki intelektualitas harus menunjukkan penyelesaian yang damai. Hal ini sesuai dengan apa yang didapatkan dari responden dimana WH dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dimilikinya. Lain halnya dengan ST, dimana sebanyak 60,53 % responden menyatakan bahwa tingkat pendidikan ST tidak mempengaruhi penyelesaian yang dilakukan aktor dalam bentuk tindakan protes terbuka di luar jalur mediasi. Dapat dianalisis bahwa apa yang dilakukan oleh ST lebih dipengaruhi faktor diluar pendidikan yang lebih kuat, seperti jaringan, pengaruh, dan sebagainya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh AG: “ST-mah gak ada apa-apanya sebetulnya..tuh yang banyak provokasi si WO”
42
Indikator berikutnya setelah tingkat pendidikan adalah indikator nilai budaya. Sebagaimana yang ada dalam Tabel 9, nilai indikator nilai budaya dalam kategori modal budaya yang dimiliki oleh WH adalah sebesar 0,26, lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai indikator nilai budaya milik ST sebesar -1,07. Nilai indikator tersebut tentu saja akan dipengaruhi oleh penilaian responden terhadap sikap aktor dalam menjunjung nilai-nilai norma yang ada, kebijakan yang dibuat sesuai dengan nilai yang ada, dan pendekatan budaya yang dilakukan dalam penyelesaian masalah. Terkait dalam sikap aktor dalam menjunjung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, aktor WH dinilai oleh 34,21 % responden sangat menjunjung dan menjunjung nilai-nilai norma yang ada di masyarakat umum. Sedangkan sebanyak 5,67 % responden menyatakan bahwa ST sangat menjunjung dan menjunjung nilai-nilai norma yang ada di masyarakat umum. Namun bila dianalisis lebih mendalam ternyata terdapat 39,47 % responden yang menyatakan bahwa ST cukup menjunjung nilai dan norma dalam masyarakat. Artinya walaupun jumlah responden yang menilai WH menjunjung nilai norma dalam masyarakat lebih tinggi dari ST, namun masih ada banyak pihak yang menyatakan ST menjunjung nilai dan norma di masyarakat. Hal ini didukung dengan data bahwa sebanyak 39,47 % responden menyatakan bahwa ST cukup menjunjung nilai dan norma yang ada. Bila dianalisis lebih jauh berdasarkan pendapat masyarakat di lingkungan tempat ST dan WH tinggal, hal ini terjadi karena ST dalam kesehariannya masih tinggal di sekitar lingkungan tempat tinggal masyarakat umum berada dan dalam keseharian tidak memiliki masalah berarti dengan lingkungan sekitarnya. Berbeda dengan sebelumnya, sebanyak 81,57 % responden ternyata menilai aktor ST sedikit atau bahkan tidak membuat kebijakan sesuai dengan nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Hal ini bertolak belakang dengan sebanyak 39,47 % responden yang menyatakan bahwa aktor WH sangat menjunjung dan menjung nilai budaya dalam kebijakan yang dibuat sehari-hari walaupun sebanyak 34,21 % responden menyatakan hal yang berkebalikannya. Hal ini dapat dianalisis dimana kebijakan yang dibuat oleh ST dalam kapasitasnya sebagai pemimpin AGRA tingkat kecamatan tidak dianggap sesuai nilai dan norma yang sesuai di masyarakat. Sedangkan bagi WH, ada sebagian masyarakat yang merasa sikap dari WH sudah sebagaimana semestinya dan sebagian lag menganggap tidak. Seperti yang diunggkapkan langsung oleh WH: “Yah dek selama saya jadi kepala desa ada yang menerima ada yang tidak…” Begitu juga dengan menggunakan analisa yang sama seperti yang sebelumnya tedapat 86,84 % resoponden menyatakan bahwa aktor ST sedikit bahkan tidak melakukan pendekatan budaya yang ada dalam masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan bagi aktor WH terdapat 39,47 % responden yang menyatakan aktor sangat melakukan dan melakukan pendekatan budaya dalam dalam penyelesaian masalah, meskipun 42,10 % menyatakan yang sebaliknya.
43 Modal Simbolik Modal simbolik adalah modal terakhir dalam empat kategori kepemilikan modal yang dimiliki oleh aktor. Modal simbolik merupakan modal yang terdiri dari dua indikator yaitu prestise dan otoritas kebijakan. Prestise adalah penghargaan dan penghormatan yang dimiliki oleh aktor dalam masyarakat. Sedangkan otoritas kebijakan adalah otoritas yang dimiliki oleh aktor dalam mempengaruhi masyarakat. Tabel 10 Nilai indeks modal simbolik pada masing-masing aktor Indikator Aktor Masyarakat ST WH Prestise -1,01 0,30 Tingkat Otoritas -0,68 -0,04 Total -1,69 0,27 Pada tabel di atas terlihat bahwa aktor WH memiliki nilai modal simbolik yang lebih tinggi sebesar 0,27 bila dibandingkan dengan aktor ST yang memiliki nilai sebesar -1,69. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa nilai modal yang dimiliki oleh WH berada pada kategori berpengaruh sedangkan nilai modal yang dimiliki oleh ST berada pada kategori sedikit berpengaruh. Kategori yang dimiliki oleh aktor pada modal simbolik aktor dipengaruhi oleh dua indikator yaitu prestise dan otoritas kebijakan. Prestise adalah penghormatan atas wibawa dan jasa yang dimiliki oleh aktor tersebut sedangkan otoritas kebijakan adalah pengaruh dari otoritas kebijakan yang dimiliki oleh aktor dalam mempengaruhi masyarakat. Pada indikator prestise, terlihat aktor memiliki nilai yang cukup jauh bila dibandingkan oleh ST dimana nilai indikator yang dimiliki WH adalah sebesar 0,30 sedangkan ST sebesar -1,01. Dalam indikator ini banyak responden yang mengatakan bahwa aktor ST bukanlah termasuk orang yang cukup dihormati Sebanyak 68,42 % responden melihat bahwa ST sedikit terhormat dan tidak terhormat di kalangan masyarakat desa maupun luar masyarakat. Berbeda halnya dengan aktor WH dimana sebanyak 42,10 % responden menyatakan aktor terhormat dan sangat terhormat dikalangan masyarakat desa maupun luar masyarakat. Sebanyak 43,37 % menyatakan cukup terhormat, dan sisanya sebanyak 10,52 % menyatakan sedikit terhormat dan tidak terhormat. Hal ini dapat diartikan bahwa banyak yang melihat ST bukanlah sosok yang banyak dihormati bila dibandingkan oleh WH. Hal ini dapat dipahami mengingat posisi aktor WH sebagai kepala desa yang memimpin masyarakat secara keseluruhan dianggap jauh lebih dihormati oleh masyarakat bila dibandingkan ST yang menjabat sebagai ketua AGRA wilayah kecamatan Pengalengan, di mana hanya sebagian saja petani yang bergabung dengan AGRA. Hal yang sama juga dapat dikaitkan terhadap pandangan masyarakat atas jasa yang diberikan oleh masing-masing aktor bagi masyarakat desa maupn luar desa. Sebanyak 50,00 persen responden menyatakan bahwa aktor WH berjasa dan sangat berjasa bagi masyarakat desa maupul luar desa. Hal ini berbeda sangat jauh dengan ST dimana 81,57 persen responden menyatakan bahwa ST sedikit berjasa
44 ataupun tidak berjasa bagi masyarakat desa maupun luar desa. Mengutip pada apa yang disampaikan oleh ST: “Saya melakukan ini semua habis-habisan cuman buat ngebela masyarakat kecil yang ditindas.” Namun apa yang dilakukan ST oleh beberapa sumber informasi sebatas untuk kepentingan kelompoknya saja di AGRA. Hal ini dikuatkan oleh apa yang dikatakan BG: “ ST cuman ngelakuin ini (perjuangan lahan) cuman buat kelompok dia doang” Berbeda dengan WH yang dalam kontribusinya bagi masyarakat sebagai Kepala Desa telah merencanakan membangun agropolitan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan juga pelaksanaan keluarga berencana (KB). Hal itu juga dibuktikan dengan penghargaan yang didapatkan oleh WH sebagai kepala desa yang dapat memberikan tingkat pengembalian sebesar 100 persen dalam PNPM Mandiri. Tabel 11 Sejarah Aktor, Modal, dan Keterlibatan dalam Konflik Aspek Aktor Sejarah Aktor
ST
WH
Kelahiran
Tinggal sejak lahir di desa Tinggal sejak lahir di desa Margamekar Margamekar
Pendapatan
Pendapatan didapat dari bercocok tanam: 50 tumbak milik ST, 50 tumbak milik Istrinya. 150 tumbak tambahan milik ketiga anaknya
Pendapatan didapat dari bercocok tanam: 150 tumbak dan Peternakan Sapi sebanyak ± 11 ekor sapi
Aktivitas Formal – Formal: BPD Desa Non Formal Non-Formal: Ketua AGRA, Oleh masyarakat pernah diaanggap tokoh agama
Formal: Sekretaris Desa, Ketua RW, LMD, Kepala Desa Non-Formal: -
Latar Belakang
Latar belakang keluarga WH adalah petani perkebunan. Istrinya adalah anak dari kalangan militer.
Latar belakang keluarga besar ST beserta istrinya adalah Petani perkebunan yang ada di pengalengan
45 Modal
ST
WH
Modal Ekonomi
Dukungan keuangan Dukungan keuangan bersumber dari hasil bersumber dari hasil pertanian di lahan pertanian non- lahan sampalan. sampalan. Kepemilikan teknologi Kepemilikan teknologi dalam sehari-hari tidak dalam sehari-hari cukup. tinggi. Kendaraan sepeda Kendaraan mobil dan motor dan rumah satu rumah dua tingkat. tingkat.
Modal Sosial
Reputasi di masyarakat Reputasi dan Jaringan tidak terlalu bagus cukup kuat dalam semenjak terlibat dalam kapasitasnya sebagai pengambilan lahan. kepala desa. Namun Jaringan hubungan kuat lemah dalam dukungan dalam konteks petani grup akibat munculnya penggarap lahan pro kontra terhadap sampalan dari dalam kebijakan-kebijakan yang maupun luar desa muncul di desa. margamekar. Dukungan grup dalam menyokong kepemimpinan di organisasi kuat.
Modal Budaya
Tingkat pendidikan SMP. Tingkat pendidikan SMA. Meyakini aksi protes dan Selau berupaya pendudukan lahan adalah mengedepankan upaya puncak dari kekecewaan duduk dan dialog bersama terhadap pemerintah demi mencapai selama ini dan berjuang kesepakatan dan bagi orang-orang wongmenguntungkan kedua cilik belah pihak.
Modal Simbolik
Aktor memiliki prestise Dikenal sebagai kepala yang rendah dihadapan desa yang telah menjabat masyarakat karena selama dua periode dan dengan posisinya sebagai cukup dihargai oleh ketua LSM tidak masyarakat atas dianggap memiliki jasa kontribusinya. Namun yang besar bagi dengan jabatannya masyarakat. sebagai kepala desa tidak membuat aktor selalu didukung dalam segala kebijakannya.
46 Wujud Konflik
ST
WH
Konflik Emerging
Aktor terlibat dalam Menjalankan upaya proses mediasi yang dengan menjembatani pernah diadakan untuk proses mediasi antara menjembatani AGRA dan PDAP atas permasalahan yang ada. sengketa lahan dalam kapasitasnya sebagai Menjadi penggerak utama kepala desa. di masyarakat pengalengan dalam aksi protes yang dilakukan
Konflik Manifest
Aktor dianggap terlibat oleh masyarakat dalam kasus sengketa lahan dan dianggap menjadi profokator bagi masyarat penggarap untuk datang ke lahan sampalan pada tanggal 24 Oktober 2011.
Aktor tidak terlibat sebagai aktor utama penggerak massa, namun ada dalam upaya untuk menetralkan suasana ricuh yang terjadi.
Berikutnya kedua aktor memiliki nilai indeks sedikit berpengaruh pada indikator otoritas kebijakan dengan nilai sebesar -0,68 bagi ST dan -0,04 bagi WH. Dalam pandangan responden terhadap aktor, sebanyak 65,78 % menyatakan bahwa aktor WH terkenal dan sangat terkenal dengan gelar dan kedudukannya yang dimilikinya di masyarakat. Berbeda dengan 78,94 % responden yang menyatakan bahwa aktor ST sedikit dan tidak terkenal dengan gelar serta kedudukannya yang dimiliki dalam masyarakat. Dapat dijelaskan bahwa walaupun tidak ada gelar khusus yang dimiliki dalam masyarakat, namun kedudukan dalam perangkat pemerintahan turut berpengaruh, sehingga banyak responden yang mengenal kedudukan WH sebagai Kepala Desa. Hal ini dapat diperkuat oleh pengalaman WH sendiri yang pernah menjadi RW selama enam tahun dan LMD selama tiga tahun. Sedangkan bagi ST, walaupun pernah memiliki kedudukan sebagai uztad, banyak yang menganggap bahwa hal tersebut adalah masa lalu ST yang sudah terkikis dan pandangan masyarakat lebih melihat ST sebagai penggerak masa aksi pada konflik tahun 2011. Kedua aktor memiliki presentase yang sama dari segi wibawa dan pengaruhnya dimana sebanyak 31,57 % responden menyatakan bahwa dengan wibawa yang dimilikinya, masyarakat terpengaruh dan sangat terpengaruh dengan apa yang dilakukannya. Sedangkan masing-masing bagi ST dan WH sebesar 47,36 % dan 44,73 % responden menilai masyarakat sedikit terpengaruh dan juga tidak terpengaruh pada apa yang dilakukan oleh masing-masing aktor. Hal ini dapat dijelaskan dan diakui oleh kedua aktor bahwa dengan apa yang dijalaninya selama ini baik oleh ST sebagai ketua AGRA maupun WH sebagai kepala desa, ada banyak orang yang suka ataupun tidak suka dengan kebijakan yang mereka lakukan selama ini.
47 Pengaruh Kepemilikan Modal Pembahasan pada bagian sebelumnya telah mengungkapkan kepemilikan keempat kategori modal oleh masing-masing aktor secara spesifik berdasarkan indikator yang dimilikinya. Untuk melihat pengaruh modal-modal tersebut terhadap masyarakat perlu dilakukan akumulasikan total nilai indeks dari masingmasing modal. Tabel 12 Total nilai indeks modal dan interpretasinya pada masing-masing aktor Aktor Modal Total Interpretasi Masyarakat Sosial Ekonomi Budaya Simbolik ST 1,71 -0,08 -1,87 -1,69 -1,93 Sedikit Berpengaruh WH -0,03 -1,02 0,14 0,27 -0,64 Sedikit Berpengaruh Merujuk pada Tabel 12 terlihat bahwa akumulasi modal yang dimiliki WH jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan ST. Namun tingginya akumulasi nilai indeks kepemilikan modal pada WH tidak menunjukkan bahwa WH tinggi dalam segala bentuk modal. Bila dibandingkan, ST memiliki keunggulan modal pada modal sosial dan ekonomi bila dibandingkan dengan WH, sedangkan WH memiliki keunggulan dalan modal budaya dan modal simbolik. Modal tertinggi yang dimiliki aktor ST adalah modal sosial. Artinya dukungan grup, jaringan, dan reputasi yang dimiliki oleh aktor ST merupakan indikator yang paling berpengaruh terhadap kepemilikan modal. Sedangkan modal yang terendah adalah modal budaya, yang artinya dengan tingkat pendidikan yang dimiliki serta kesesuaian nilai budaya yang dimiliki oleh aktor memiliki pengaruh yang sedikit terhadap modal yang dimiliki aktor ST. Berbeda dengan aktor ST yang memiliki modal sosial tertinggi, aktor WH justru memiliki modal simbolik yang paling tinggi. Artinya prestise dan otoritas kebijakan yang dimiliki oleh aktor WH memiliki pengaruh paling besar terhadap kepemilikan modal yang dimilikinya. Sedangkan modal yang terendah adalah modal ekonomi, yang artinya dukungan keuangan dan kepemilikan teknologi memiliki pengaruh yang sedikit terhadap modal yang dimiliki oleh aktor. Bila dilihat secara keseluruhan, aktor ST memiliki keunggulan dalam modal sosial dan ekonomi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan aktor WH. Sedangkan aktor WH memiliki keunggulan dalam hal modal simbolik dan budaya. Berdasarkan data total kepemilikan modal, kedua aktor memiliki nilai masng-masing ST sebesar -1,93 dan WH sebesar -0,64. Dengan merujuk pada indikator dalam metodologi penelitian, dengan nilai indeks total modal yang dimiliki oleh kedua aktor dapat dinyatakan bahwa aktor ST dan WH memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat Desa Margamekar. Berdasarkan Tabel 12, kedua aktor memiliki interpretasi total modal yang sedikit berpengaruh terhadap keterlibatan aktor dalam konflik. Hasil -1,93 pada aktor ST dan -0,64 pada WH mengindikasikan bahwa kepemilikan total modal mendekati nilai berpengaruh pada nilai total diatas nol. Selain itu berdasarkan hasil perhitungan total modal dari yang aktor miliki, terjadi penumpukan jawaban
48 yang bernilai negatif pada satu buah modal, sehingga menyebabkan nilai negatif yang dimiliki aktor sangat tinggi pada satu atau dua buah modal bila dibandingkan dengan modal lainnya yang memiliki nilai positif. Hal ini diambil pada kasus aktor ST. Selain itu, dari seluruh pertanyaan terkait modal yang diajukan mengenai aktor WH, didapatkan banyak pertanyaan yang mendapatkan jawaban cukup yang artinya bernilai 0. Kondisi ini diperkuat oleh jumlah pertanyaan yang mendapatkan nilai positif dan negatif cukup berimbang sehingga didapatkan nilai total negatif mendekati angka nol dengan interpretasi cukup berpengaruh.
49
RELASI MODAL AKTOR TERHADAP WUJUD KONFLIK LAHAN SAMPALAN Analisis Perbandingan Modal dan Keterlibatan Aktor dalam Konflik Bourdieu (1990) mendefinisikan modal sangat luas dan mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai simbolik dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun dengan signifikansi secara kultural, misalnya prestis, status, dan otoritas yang dirujuk sebagai modal simbolik, serta modal budaya yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi. Selain itu, Bordeu juga menyatakan bahwa modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi tertentu. Fisher (2001) mengatakan bahwa tipe-tipe konflik terdiri atas tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan. Sedangkan menurut Malik et al. (2003), wujud konflik adalah: 1) konflik tertutup (laten); 2) konflik mencuat (emerging); dan konflik terbuka (Manifest). Melalui analisis kualitatif dan pendekatan lapang, didapatkan kasus konflik yang terjadi di Desa Margamekar merupakan Konflik Mencuat dan Konflik Terbuka. Berdasarkan rumusan terkait modal dan konflik, maka peneliti mencoba menganalisa dengan menggunakan uji beda kepemilikan modal dan keterlibatan dalam konflik antar kedua aktor. Hal ini ditujukan untuk membandingkan secara lebih rinci berdasarkan hitungan kuantitatif dengan menggunakan analisa SPSS. Tabel 13 Hasil uji beda modal dan konflik pada aktor Variabel ST WH Modal Sosial 13,53 12,05 Modal Simbolik 10,95 15,50 Modal Ekonomi 16,00 12,37 Modal Budaya 12,39 17,89 Konflik Emerging 25,63 12,08 Konflik Manifest 17,39 6,92
p-value 0,019* 0,000** 0,000** 0,000** 0,000** 0,000**
Ket: * signifikan pada p-value <0,05, ** sangat signifikan pada p-value <0,01
Berdasarkan hasil uji beda pada Tabel 13, modal sosial yang dimiliki oleh aktor berbeda signifikan pada p-value 0,019* dimana kepemilikan modal sosial oleh ST lebih tinggi dibandingkan dengan WH. Begitu pula dengan kepemilikan modal ekonomi oleh aktor ST memiliki perbedaan sangat signifikan pada p-value 0,000** lebih tinggi dibandingkan aktor WH. Namun, dari hasil uji beda ini didapatkan bahwa modal budaya dan simbolik yang dimiliki oleh aktor WH lebih tinggi berbeda sangat signifikan pada p-value 0,000**. Terkait keterlibatan aktor dalam konflik, nilai uji beda yang dimiliki oleh aktor ST jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan keterlibatan aktor WH dalam konflik. Dengan p-value pada 0,000**, aktor ST memiliki nilai keterlibatan dalam konflik emerging sebesar 25,63 berbanding WH yang keterlibatannya dalam
50 konflik emerging sebesar 12,08. Sedangkan dalam nilai keterlibatan aktor terhadap konflik manifest sebesar 17,39 berbanding WH yang keterlibatannya dalam konflik manifest sebesar 6,92. Keterlibatan aktor pada konflik emerging dapat dilihat dari dua indikator yaitu dari pengakuan adanya pertentangan serta adanya hubungan yang terbuka secara langsung dalam bentuk protes terbuka. Pengakuan adanya pertentangan yang dimaksud adalah keterlibatan aktor dalam masalah lahan tersebut, intensitas kehadiran aktor dalam pembahasan-pembahasan terkait konflik tersebut, serta pengaruhnya dalam pertemuan tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan protes terbuka adalah peran aktor dalam menggalang aksi protes, intensitas kehadiran aktor dalam aksi serta pengaruhnya dalam aksi. Tabel 14 Nilai keterlibatan aktor dalam konflik emerging Aktor Masyarakat Indikator ST WH Dialog dan Perdebatan 4,00 2,65 Protes Terbuka 4,54 1,38 Total 8,54 4,03 Berdasarkan Tabel 14, dapat disimpulkan bahwa aktor ST memiliki kategori keterlibatan dalam konflik emerging yang tinggi, sedangkan aktor WH memiliki kategori keterlibatan dalam konflik yang cukup. Aktor ST memiliki nilai indikator yang lebih tinggi dalam indikator protes terbuka. Hal ini dapat dijelaskan bahwa masyarakat mengetahui aktor senantiasa menjadi penggerak dalam aksi protes mengenai kasus sengketa lahan tersebut. Sedangkan aktor WH memiliki nilai yang lebih tinggi dalam pengakuan adanya pertentangan dikarenakan aktor selalu berusaha membuka pintu mediasi dalam masalah sengketa lahan sampalan tersebut. Selain itu keterlibatan aktor dalam konflik manifest dapat dilihat dari dua indikator, yaitu benturan fisik yang terjadi dan kohesifitas kelompok atas konflik yang terjadi. Yang dimaksud dengan benturan fisik adalah keterlibatan aktor dalam bentrokan fisik yang terjadi pada konflik lahan tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan kohesifitas kelompok adalah sejauh mana pengaruh aktor dalam mengumpulkan massa dan menarik simpati warga dalam bentrokan fisik yang terjadi. Tabel 15. Nilai keterlibatan aktor dalam konflik manifest Indikator Peran dalam Bentrokan Kemampuan Menyatukan Kelompok Total
ST 4,53 4,17 8,70
Aktor Masyarakat WH 1,50 1,96 3,46
Merujuk pada Tabel 15, aktor ST memiliki kategori keterlibatan dalam konflik manifest yang tinggi, sedangkan aktor WH memiliki kategori keterlibatan dalam konflik manifest yang rendah. Hal ini dapat dipahami mengingat aktor ST diakui oleh beberapa pihak memiliki andil dalam bentrokan yang terjadi pada
51 tahun 2011 di kantor PDAP sekaligus sebagai penggerak kelompok masyarakat petani sampalan. Melihat dari hasil uji beda pada tabel 13, dapat disimpulkan bahwa aktor ST memiliki tingkat modal sosial dan ekonomi yang lebih tinggi bilda dibandingkan aktor WH. Sebaliknya aktor WH memiliki tingkat modal budaya dan simbolik lebih tinggi. Kedua hasil perhitungan mendukung hasil perhitungan indikator kepemilikan modal pada bab sebelumnya dimana aktor WH memiliki nilai budaya dan simbolik yang lebih berpengaruh besar dalam permasalahan konflik. Sedangkan aktor ST dianggap oleh masyarakat memiliki pengaruh keterlibatan dalam persoalan konflik dengan modal ekonomi dan modal sosial. Terkait aktor ST, selain memiliki nilai modal ekonomi dan modal sosial yang lebih mendominasi bila dibandingkan dengan modal budaya dan modal simbolik juga memiliki keterlibatan dalam konflik emerging dan juga konflik manifest yang tinggi. Sedangkan aktor WH dengan kepemilikan modal budaya dan simbolik yang tinggi memiliki nilai keterlibatan dalam konflik emerging maupun manifest yang rendah. Oleh karena itu dengan melihat hasil uji beda dan nilai indikator keterlibatan aktot dalam konflik, maka dapat disimpulkan modal ekonomi dan modal sosial memberikan pengaruh terhadap keterlibatan dalam konflik emerging dan manifest yang tinggi. Sedangkan modal budaya dan modal simbolik memberikan pengaruh terhadap rendahnya keterlibatan dalam konflik emerging dan manifest. Hubungan Keterkaitan antar Modal dan Konflik Keterlibatan aktor dalam konflik dipengaruhi oleh modal yang dimiliki oleh aktor. Oleh sebab itu perlu dilihat sejauh mana hubungan kepemilikan modal oleh suatu yang saling berkaitan dan sejauh mana hubungannya dengan konflik yang terjadi. Untuk melihat sejauh mana hubungan antar masing-masing variabel, baik itu antar modal maupun modal dengan konflik, maka dilakukan uji hubungan dengan menggunakan korelasi Spearman. Berdasarkan hasil uji hubungan, didapatkan data sebagaimana yang disajikan pada tabel 16. Tabel 16 Nilai koefisien korelasi antara modal aktor dengan konflik MSos MSim ME MB KE KM MSos 1,000 MSim 0,234* 1,000 ME 0,376** -0,044 1,000 MB -0,029 0,561** -0,345** 1,000 KE 0,340** -0,334** 0,664** -0.515** 1,000 KM 0,297** -0,480** 0,618** -0,579** 0,774** 1,000 Ket: *Signifikan pada p-value <0,05; **Sangat Signifikan pada p-value <0,01 MSos: Modal Sosial; MSim: Modal Simbolik; ME: Modal Ekonomi; MB: Modal Budaya: KE: Konflik Emerging; KM: Konflik Manifest
Tabel 16 menunjukkan bahwa modal sosial berhubungan signifikan dengan modal simbolik dan berhubungan sangat signifikan dengan modal ekonomi, namun berhubungan negatif dengan modal budaya dan berhubungan sangat signifikan terhadap konflik manifest dan konflik emerging. Selain itu
52 modal simbolik berhubungan positif sangat signifikan dengan modal budaya. Akan tetapi berhubungan negatif signifikan dengan modal ekonomi dan berhubungan negatif sangat signifikan terhadap konflik emerging dan manifest berhubungan negatif sangat signifikan. Modal ekonomi sendiri berhubungan negatif sangat signifikan dengan modal budaya dan berhubungan positif sangat signifikan dengan konflik emerging dan manifest. Adapun modal budaya berhubungan negatif sangat signifikan dengan konflik emerging dan manifest. Sedangkan antara konflik manifest dan konflik emerging terdapat sebuah hubungan positif yang sangat signifikan. Hubungan Antar Modal Terkait uji hubungan yang dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman, de Vaus (1985) menginterpretasikan jika koefisien korelasi 0,00 (no association/ tidak ada hubungan), 0,01-0,09 (trivial relationship/hubungan kurang berarti), 0,10-0,29 (low to moderate relationship/ hubungan lemah), 0,30- 0,49 (moderate to substantial relationship/ hubungan moderat), 0,50-0,69 (substantial to very strong/ hubungan kuat), 0,70-0,89 (very strong substantional/ hubungan sangat kuat), > 0,90 (near perfect/ hubungan mendekati sempurna). Berdasarkan interpretasi pada Tabel 17 didapatkan kesimpulan bahwa hubungan modal yang terjadi antara modal ekonomi dengan modal sosial berhubungan moderat/ menengah. Hal ini dapat dijelaskan pada fakta di lapangan bahwa dengan ketergantungan aktor ST pada lahan sampalan sebagai sumber utama penghasilannya mendorong aktor untuk bersama-sama warga sampalan lainnya mempertahankan klaim atas lahan yang telah diduduki sejak tahun 2005. Sehingga secara tidak langsung kebutuhan untuk mempertahankan sumber ekonomi menyebabkan aktor membentuk basis sosial bernama wong cilik. Lain halnya dengan aktor WH dimana yang bersangkutan tidak memiliki sumber ekonomi di lahan sampalan dan tidak ada kasus yang menyebabkan sumbersumber ekonominya terancam, menyebabkan aktor WH tidak memiliki kepentingan apapun untuk membentuk basis sosial kecuali pada basis yang dimilikinya sebagai perangkat desa.
Modal Sosial Modal Simbolik Modal Ekonomi Modal Budaya
Tabel 17 Hubungan antar modal MSos MSim ME 1,000 Lemah 1,000 Moderat Berhubungan 1,000 Negatif Berhubungan Kuat Berhubungan Negatif Negatif
MB
1,000
Ket: MSos: Modal Sosial; MSim: Modal Simbolik; ME: Modal Ekonomi; MB: Modal Budaya
Hubungan modal yang terjadi antara modal simbolik dan modal budaya berhubungan kuat. Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan fakta yang ada dalam penelitian di lapang bahwa aktor WH dalam kapasitasnya sebagai kepala desa berupaya menjalankan fungsi jabatannya agar dapat menjadi penengah dalam kasus sengketa lahan tersebut. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh WH,
53 “Saya paham dalam kapasitas saya sebagai kepala desa yang dipilih oleh warga masyarakat, fungsi saya adalah menjadi mediator. Karena disatu sisi yang bertikai adalah juga warga saya, lahannya ada di wilayah saya, tapi secara hukum yang punya orang lain..” Hal yang sama juga sempat diungkapkan oleh ST ketika dimintai pendapat mengenai keterlibatan WH dalam sengketa tersebut yang secara substansi mengatakan bahwa WH adalah bagian dari pemerintah dan tentu saja akan mencari langkah-langkah yang aman. Adapun hubungan antara modal simbolik dengan modal sosial berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan hubungan yang lemah. Berdasarkan fakta di lapang, banyak di antara masyarakat maupun diakui oleh aktor WH bahwa dalam kapasitasnya sebagai kepala desa, ada pihak-pihak yang sepakat ada juga yang tidak sepakat dengan kepemimpinannya. Hal ini lebih banyak dijelaskan dalam hasil perhitungan pada bab sebelumnya dalam Subbab Modal Sosial bahwa aktor WH memiliki dukungan yang berasal dari perangkat desa dan dianggap oleh responden tidak lebih kuat bila dibandingkan dengan aktor ST. Disisi lain dalam kapasitasnya sebagai pemimpin organisasi, berdasarkan fakta dalam penelitian di lokasi penelitian aktor ST memiliki kekuatan simbolik dalam lingkup organisasi yang ditunjukkan dengan otoritas kebijakan yang dimilikinya. Dengan otoritas kebijakan yang dimiliki sebagai pemimpin organisasi, aktor ST memiliki kekuatan untuk dapat membentuk modal sosial berupa dukungan dari kelompok yang memiliki tujuan yang bersama. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kepemilikan modal simbolik pada seorang aktor dapat mendorong terbetuknya modal sosial berupa dukungan grup, jaringan, maupun reputasu. Disisi lain kepemilikan modal simbolik pada aktor dapat juga mendorong terbentuknya modal budaya ataupun sebaliknya. Hubungan Relasi Modal dan Konflik Terkait sumber terjadinya konflik, Mack dan Snyder dalam Dahrendorf (1959) mengatakan bahwa konflik terjadi karena adanya keinginan manusia untuk menguasai sumber-sumber dan posisi-posisi yang langka. Pada kasus ini untuk melihat bagaimana seorang aktor terlibat dalam konflik perlu dilihat pengaruh modal yang dimiliki terhadap keterlibatannya dalam konflik. Selain hubungan antar modal, dengan menggunakan analisis Spearman dan interpretasi de Vaus (1985) dapat juga dianalisis hubungan antara modal dengan konflik serta antar konflik. Tabel 18 Hubungan modal dan konflik serta antar konflik MSo MSi ME MB KE KE Positif Negatif Positif Negatif 1,000 Lemah Moderat Kuat Kuat KM Positif Negatif Positif Negatif Positif Moderat Moderat Kuat Kuat Sangat Kuat
KM Hubungan sangat kuat 1,000
Ket: MSo: Modal Sosial; ME: Modal Ekonomi; MSi: Modal Simbolik; MB: Modal Budaya; KE: Konflik Emerging; KM: Konflik Manifest
54 Berdasarkan interpretasi yang ada Tabel 18, didapatkan hubungan modal sosial terhadap konflik emerging memiliki hubungan yang bersifat lemah sedangkan terhadap konflik manifest masuk kedalam kategori hubungan moderat. Begitu juga modal ekonomi sendiri masuk dalam kategori hubungan yang kuat dengan terjadinya konflik emerging maupun konflik manifest. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan pengamatan peneliti di lokasi penelitian, banyak diantara responden maupun masyarakat melihat bahwa faktor yang memperkuat aktor ST untuk terlibat dalam sengketa adalah adanya pihakpihak mendorong ST untuk melakukan perlawanan. Dengan perannya sebagai ketua organisasi petani tingkat kecamatan dan kuatnya dukungan organisai mendorong aktor terlibat dalam konflik. Selain itu, banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa keterlibatan aktor dalam sengketa lahan diakibatkan yang bersangkutan memiliki sumber penghidupan satu-satunya dari lahan sebesar 250 tumbak. Berdasarkan fakta yang ada di lokasi penelitian bahwa aktor ST dengan kepemilikan lahan yang besar di lahan sampalan serta dukungan kuat kelompok AGRA mendorong aktor terlibat dalam penyelesaian sengketa melalui jalan perundingan maupun aksi protes Hal tersebut bertolak belakang dengan aktor WH yang tidak memiliki ketergantungan yang tinggi pada lahan sengketa dan tidak memiliki dukungan grup yang tinggi sehingga tidak terlibat dalam konflik lebih jauh. Berdasarkan hasil uji beda aktor WH memiliki modal simbolik dan budaya yang lebih tinggi. Sebagai kepala desa dan tokoh masyarakat, WH dianggap terkenal oleh masyarakat tetapi memiliki keterlibatan yang sangat rendah dalam konflik. WH terlibat dalam sengketa sebagai pihak netral dan mediator dalam sengketa tidak terlibat lebih jauh dalam proses sengketa di luar perundingan. Kedudukan sebagai kepala desa turut mempengaruhi sikap aktor untuk menjaga sikap agar tidak terlibat dalam konflik lebih jauh. Oleh karena itu dapat disimpulkan, berdasarkan hasil uji hubungan, semakin tinggi modal simbolik dan budaya maka konflik emerging dan manifest yang ditimbulkan semakin rendah. Sedangkan modal ekonomi dan sosial berkorelasi positif dengan konflik emerging dan manifest. Semakin tinggi kepemilikan modal ekonomi dan modal sosial pada aktor, maka konflik emerging dan konflik manifest yang terjadi semakin tinggi. Sebaliknya semakin tinggi kepemilian modal simbolik dan modal budaya yang dimiliki oleh aktor, maka konflik emerging dan manifest yang terjadi semakin rendah. Rauf (2001) menyatakan bahwa konflik diartikan sebagai setiap pertentangan atau perbedaan pendapat paling tidak dua orang atau kelompok. Konflik seperti ini dapat dinamakan konflik lisan atau konflik non-fisik. Bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, ia dapat meningkat menjadi konflik fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam perbedaan pendapat. Selain itu dikatakan juga percekokan mulut antara dua orang adalah salah satu contoh konflik sosial yang masuk dalam kategori konflik lisan. Bila konflik lisan ini tidak dapat diselesaikan oleh mereka itu, konflik lisan ini dapat meningkat menjadi konflik fisik yang menggunakan benda-benda dalam membela pendapat masingmasing untuk mengalahkan pihak lain yang sudah berubah menjadi musuh. Apabila dianalisis berdasarkan ciri-cirinya dan dihubungkan dengan pendapat diatas serta berdasarkan analisis secara kuantitatif melalui uji hubungan, dapat
55 diambil kesimpulan bahwa konflik emerging dan konflik manifest dapat terjadi sebagai sebuah tahapan konflik. Berdasarkan hasil perhitungan koefiensi korelasi, didapatkan nilai hubungan antar keduanya sebesar 0,774**. Artinya keduanya memiliki hubungan korelasi yang sangat signifikan dengan hubungan yang sangat kuat. Hal ini diperkuat oleh fakta di lapang bahwa aktor ST memiliki intensitas keterlibatan sangat tinggi dalam kedua wujud konflik. Sedangkan aktor WH terlibat sangat rendah dalam intensitas konflik yang terjadi. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa antara konflik emerging dan konflik manifest saling berkaitan sebagai sebuah tahapan konflik. Penyelesaian Konflik Lahan Tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat. Perebutan kekuasaan atas wilayah subur Mesopotamia (sekarang Irak) sejak dahulu kala yang ditandai dengan silih bergantinya peradaban turut menguatkan fungsi dari tanah bagi kemajuan masyarakat. Selain itu, nilai ekonomis pada tanah sangat mempengaruhi adanya perebutan kepentingan atas tujuan yang sama yaitu kesejahteraan. Dalam bukunya Sumardjono (2008) menyatakan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya nilai ekonomis tanah mengakibatkan semakin tajamnya kesenjangan sosial antara mereka yang mempunyai akses yang memungkinkan penguasaan tanah bangunan yang melampaui batas kewajaran dihadapkan dengan mereka yang paling membutuhkan tanah, namun berada dalam posisi yang tersudut. Semakin subur tanah yang ada dalam suatu wilayah, maka akan semakin besar keuntungan yang didapatkan dari tanah tersebut. Kondisi topografi Tatar Pasundan (wilayah Jawa Barat) yang bergunung-gunung, sebagian diantaranya gunung berapi, membuat daerah sekitarnya menjadi subur (Aji 2008). Selain itu Sumardjono (2008) menyatakan tidak mustahil apabila kesenjangan sosial atas akses lahan dibiarkan berlangsung akan dapat menjadi pemicu berbagai kerawanan di bidang pertanahan, Sistem pengelolaan lahan sengketa sebesar 124 hektar hingga saat ini terpusat dibawah kepengurusan AGRA pengalengan. Sebagaimana yang diakui oleh AG sebagai mantan anggota ARGA, setiap petani yang bercocok tanam di lahan sengketa tersebut akan mendapatkan 50 tumbak/jiwa. Hal ini diperkuat oleh pengakuan oleh salah satu warga Magamekar, MS, bahwa pada tahun 2004 ada tawaran untuk bergabung bersama gerakan dengan janji diberikan wilayah garapan di lahan sampalan. Adapun sistem pembayaran oleh para petani dilakukan dengan penarikan iuran sebesar Rp 2.500/jiwa (versi lain mengatakan 5.000/jiwa) dengan tujuan biaya operasional aktivitas gerakan organisasi tanpa sama sekali melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.
56
Gambar 8 Pola pengelolaan lahan sengketa Disisi lain peran pemerintahan tingkat desa, khususnya kepala desa, walaupun memiliki fungsi simbolik dan otoritas sebagai pemimpin desa sejak tahun 2003, namun tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam mencarikan solusi bagi sengketa lahan. Begitu juga nilai norma yang berlaku di masyarakat tidak dapat memberikan hasil signifikan dalam meredam konflik atas masalah lahan sampalan. Hal ini diperkuat oleh Rahardjo (1999) yang menyatakan dengan semakin besarnya peranan sistem kapitalisme modern yang ditunjang oleh sainsteknologi yang menjadi inti dari proses globalisasi, aspek ekonomi telah menjadi kekuatan yang sangat besar pengaruhnya dalam proses perubahan yang terjadi di desa-desa dimana proses proses komersialisasi, khususnya dalam pertanian, semakin melembaga di kalangan masyarakat desa. Selanjutnya Rahardjo (1999) menyatakan retaknya tradisi lama beserta kerukunan-kerukunan yang terlekat pada tradisi. Peranan nilai ekonomi lahan dan hak penguasaan atas lahan adalah sebab utama terjadinya konflik lahan sampalan. Banyaknya masyarakat yang tidak memiliki lahan yang dianggap cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan ekonomi petani, ditambah ketimpangan antara petani kaya dan miskin menyebabkan persaingan antara kelompok-kelompok yang berbeda namun memiliki kepentingan yang sama atas produksi pertanian dari lahan sampalan. Adapun nilai budaya dan nilai simbolik yang dimiliki oleh masyarakat desa saat ini walau dapat menekan keterlibatan dalam konflik, namun tidak cukup kuat dalam menghilangkan persoalan konflik dikarenakan semakin rasionalnya kebutuhan masyarakat atas kebutuhan primer. Nurlida (2009) menyatakan bahwa kualitas konflik tanah dapat meningkat karena masalah pertanahan dan agrarian bersifat multidimensi yang artinya tidak hanya berdimensi hukum, namun juga ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan, dan keamanan. Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian dalam
57 konflik lahan sampalan, penyelesaian konflik lahan perlu melihat pada aspekaspek diluar hukum untuk mendapatkan solusi terhadap persoalan sengketa lahan. Penyelesaian melalui jalur hukum tidak serta merta dapat menyelesaikan persoalan konflik lahan. Hal ini dikarenakan proses peradilan dirasa tidak menguntungkan bagi pihak yang kalah dalam kasus sengketa lahan perkebunan sehingga menimbulkan perasaan curiga bahwa adanya ketidak adilan pada hukum. Seiring semakin banyaknya konflik yang tidak mampu tertampung dan tidak terselesaikan oleh lembaga peradilan, banyak pihak terdorong mencari lembaga alternatif untuk menyelesaikan konflik. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No 30/1999 dinyatakan “sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara ligitasi di pengadilan negeri”. Sejajar dengan itu dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dikatakan “penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. “ Selanjutnya Pasal 31 menyatakan “penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup”. Selain itu dalam pasal 32 dikatakan “dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan sebagaimana dimaksudakan dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”. Berdasarkan Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, tugas Deputi bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang diantaranya adalah pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa, dan konflik pertanahan, penanganan masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum, serta pelaksanana alternatif penyelesaian masalah, sengketa, dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya maka dibentuk model penyelesaian konflik lahan dalam penelitian ini (Tabel 23) berdasarkan kepemilikan modal sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik yang dimiliki oleh aktor dalam masyarakat sebagai interpretasi masyarakat. Terkait penyelesaian konflik diluar jalur pengadilan, Malik et al (2003) membagi proses penyelesaian konflik menjadi empat bentuk yaitu pertikaian, arbitrase, negoisasi, dan mediasi. Penyelesaian konflik dalam bentuk pertikaian adalah pertarungan tanpa menggunakan bantuan pihak lain dengan pihak yang kuat yang akan memenangkan persaingan. Dalam kasus konflik lahan sampalan, pertikaian yang terjadi antara masing-masing pihak menimbulkan kerusakan pada infrastruktur dan tuntutan hukum sehingga tidak menghasilkan keuntungan bagi pihak-pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik melalui jalur pertikaian dapat dilakukan dengan meningkatkan modal sosial dalam bentuk solidaritas sosial dalam kelompok sehingga munculnya sikap untuk dapat saling membela atas latar belakang organisasi dan kelompok.
58 Tabel 19 Proses penyelesaian konflik dan modal yang dibutuhkan Penyelesaian Wujud Konflik Modal yang Konflik yang terjadi dibutuhkan Pertikaian Manifest Modal Sosial Arbitrase
Emerging
Modal Ekonomi Modal Sosial
Negosiasi
Emerging & Manifest
Modal Ekonomi Modal Budaya
Mediasi
Emerging & Manifest
Modal Ekonomi Modal Budaya Modal Simbolik
Proses negosiasi adalah bentuk perundingan untuk mencapai kesepakatan agar dapat diterima oleh semua pihak, sedangkan proses mediasi adalah adanya perundingan dengan bantuan pihak ketiga yang tidak memihak (netral). Dalam kedua proses ini, modal budaya dan modal simbolik sangat berpengaruh untuk dapat menyukseskan proses negosiasi dan mediasi. Dalam konflik lahan sampalan, modal budaya dan modal simbolik yang ada dalam aktor memiliki pengaruh untuk meminimalisir keterlibatan dalam konflik namun tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan. Hal ini dikarenakan aktor tidak sepenuhnya memiliki modal budaya dan modal simbolik yang cukup dihadapan pihak yang bertikai. Modal budaya yang ada dalam masyarakat juga perlu didorong untuk dikembalikan dan menjadi perhatian bagi pemerintah desa, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama agar berjalannya proses penyelesaian konflik dilandaskan dengan nilai agama dan budaya lokal desa. Keterlibatan tokoh-tokoh penting yang berpengaruh terhadap masyarakat di desa dan diakui oleh semua pihak dalam menangani kasus sengketa lahan juga dapat menjadi solusi bagi penyelesaian konflik lahan. Hal ini akan sangat berguna ketika proses mediasi dan negosiasi dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, baik itu dari pihak pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Hal ini dikarenakan peran modal simbolik dari pihak-pihak yang berpengaruh dan dianggap dapat memberikan keadilan dapat dijadikan sebagai sebuah pertimbangan bagi pihak-pihak yang bertikai agar dapat meredam konflik yang terjadi. Lemahnya unsur budaya dalam pendekatan kasus konflik lahan sampalan menyebabkan perjuangan atas lahan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai, baik itu organisasi maupun perusahaan, lebih terlihat sebagai motif ekonomi. Terakhir, kebutuhan terhadap modal ekonomi yang mendominasi terjadinya konflik adalah kebutuhan utama yang harus diselesaikan dalam seluruh bentuk penyelesaian konflik sehingga mendapatkan solusi bagi pihak-pihak yang bertikai, baik keterjaminan petani untuk mendapatkan akses dalam mengolah lahan, sistem pembagian keuntungan yang disepakati, serta hal-hal yang dapat menguntungkan bagi seluruh pihak. Kebutuhan inti pihak-pihak yang bertikai terhadap sumber penghidupan menunjukkan bahwa pemenuhan modal ekonomi memiliki pengaruh yang lebih tinggi dari modal budaya, modal simbolik, dan modal sosial dalam menyelesaikan konflik lahan.
59
Kebijakan Pengelolaan Lahan Kebutuhan terhadap sumber penghidupan dalam penelitian ini menunjukkan salah satu sumber konflik dalam sengketa lahan sampalan. Jaminan terhadap ketersedian papan, sandang, dan pangan menjadi persoalan yang sangat penting untuk dapat terpenuhi. Disisi lain kehidupan masyarakat desa tidak dapat dipisahkan dari ketergantungannya terhadap lahan pertanian yang semakin terbatas. Persoalan muncul ketika lahirnya kecemburuan sosial antara petani kaya dan miskin ataupun petani kecil dengan perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, atau BUMD yang memiliki akses lebih besar terhadap modal. Akibat dari kecemburuan sosial inilah yang berujung pada konflik sebagaimana yang terjadi pada kasus konflik lahan sampalan. Ketentuan pasal 4 ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditetapkan dua belas prinsip pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam. Beberapa diantara kedua belas prinsip tersebut adalah menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, menyejahterakan rakyat terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi partisipasi rakyat, serta mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agrarian. Bersandar pada ketentuan ketetapan MPR No. IX/MPR/2001, maka jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi hal penting dalam setiap kebijakan yang dibuat sehingga tercapai keadilan dalam pemanfaatan lahan pertanian. Selain itu dalam menjamin demokrasi dan kepatuhan masyrakat, Tim Lapera dalam Nurlinda (2009) menyatakan demokrasi berkaitan dengan input atau sumber-sumber aspirasi, gagasan, dan potensi dalam proses pembangunan, berkaitan dengan proses dalam pengambilan keputusan, siapa yang terlibat, dan bagaimana proses tersebut dijalankan, serta berkaitan dengan output dari suatu proses distribusi dan siapa yang mempunyai akses untuk mengontrol distribusi. Adapun salah satu tujuan dibuatnya kebijakan di bidang pertanahan adalah tercapainya keadilan sosial seperti dalam aspek peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan, identifikasi pihak-pihak yang dirugikan dalam konflik serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat. (Sumardjono 2001). Upaya mendorong partisipasi masyarakat desa dalam menentukan masa depan pertanian dilahan sekitar desa adalah langkah penting yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang atas lahan dalam penerapan kebijakan agrarian sebagaimana yang tercantum dalam ketetapan MPR No.IX tahun 2001. Melibatkan secara besar-besaran partisipasi masyrakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan distribusi hasil pertanian perlu dilakukan agar terbangunnya mitra kerja antara petani dengan perusahaan. Selain itu bentuk tanggungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dalam konsep Corporate Social Responsibility (CSR) harus diperhatikan sebagai imbalan atas aktifitas perusahaan serta membangun hubungan yang baik dengan masyarakat.
60 Masyarakat Petani -Peningkatan SDM -Bantuan kredit, koperasi, dsb -Penguatan unsur budaya dalam masyarakat
-Kemitraan -Bagi Hasil -CSR
Perusahaan
Pemerintah
Pengawasan Kebijakan
Gambar 9 Peran perusahaan, pemerintah, dan masyarakat dalam kebijakan tanah di pedesaan Selain itu peran pemerintah dalam menetapkan kebijakan tanah menjadi persoalan yang penting dalam menghindari konflik dalam masyarakat akibat ketidak jelasan pola pengelolaan lahan yang diatur oleh pemerintah. Salah satu strategi yang dipakai adalah distribusi tanah pertanian. Namun persoalan distribusi tanah tidak akan selesai dengan adanya pembagian tanah. Semakin sempitnya lahan yang tidak diiringi dengan pertambahan jumlah penduduk maka redistribusi tanah perlu dikaji kembali efektifitasnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sumardjono (2001) tanpa dukungan yang nyata dalam memperoleh kredit, bantuan pemasaran hasil produksi, dan dorongan untuk ikut dalam koperasi, petani yang mengalami kesulitan hidup akan kembali menjual tanahnya kepada pihak lain. Hal ini yang terjadi pada persoalan konflik lahan sampalan dimana klaim individu terhadap lahan tidak serta merta menyelesaikan pengelolaan lahan. Oleh karena itu pembentukan kelompok-kelompok penggarap dalam mengelola lahan dengan didukung oleh bantuan kredit pemerintah, peningkatan sumber daya manusia, dan koperasi petani perlu didorong dalam mendukung kehidupan petani. Selain itu Undang- Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian, layak diperkuat fungsinya dalam memberikan kepastian hukum kepada pemilik tanah dan penggarap. Kesepakatan yang didasarkan kepada keadilan, demokrasi, dan partisipasi sebagaimana tujuan kebijakan agraria dalam ketetapan MPR No. IX tahun 2001 dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memiliki hak atas tanah dengan petani disertai pengawasan oleh pemerintah. Hal ini dapat mendorong tanggungjawab perusahaan dalam menjalankan kesepakatannya dengan masyarakat serta membantu meminimalisir kerugian yang akan dialami oleh masyarakat desa khususnya petani secara langsung dalam pengelolaan tanah. Oleh karena itu sinergitas antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat desa khususnya petani perlu dipahami dan dikedepankan dalam mencapai keadilan. Selain itu penguatan unsur budaya seperti pendidikan, kekeluargaan, gotong royong, dan religi perlu menjadi perhatian pemerintah agar konflik yang ada dalam masyarakat tidak dengan mudah diselesaikan melalui kekerasan namun mengedepankan pendekatan persuasif.
61
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dikemukakan kesimpulan bahwa aktor masyarakat yang berpengaruh dan banyak dikenal oleh masyarakat khususnya dalam konflik lahan sampalan ada dua. Pertama, aktor WH yang merupakan pemimpin dengan basis institusi pemerintahan yaitu sebagai kepala desa. Kedua, aktor ST yang merupakan pemimpin dengan basis organisasi non-institusi pemerintahan sebagai ketua AGRA. Aktor WH memiliki indeks modal simbolik dan budaya yang lebih tinggi dibandingkan modal ekonomi dan modal sosial di dalam masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari tingkat pendidikan WH yang cukup tinggi dalam masyarakat dan sikap aktor untuk selalu membangun hubungan yang baik dengan warga masyarakat agar dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat, khususnya dalam menanggapi persoalan kasus konflik lahan sampalan yang ada di desa Margamekar. Selain itu WH cukup banyak memiliki jasa bagi pembangunan desa selama dua periode kepemimpinannya sebagai kepala desa. Sedangkan aktor ST memiliki indeks modal sosial dan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan modal simbolik dan modal budaya di dalam masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari ketergantungan aktor ST terhadap lahan perkebunan yang ada di wilayah lahan sampalan sebagai satu-satunya sumber penghidupan dukungan yang solid dalam kelembagaan non-pemerintahan yang dipimpinnya di tingkat kecamatan yaitu AGRA yang memungkinkan aktor ST tidak bergerak sendirian. Selain itu kemampuan aktor untuk menggalang massa dalam menghadapi kasus konflik lahan sampalan dianggap oleh masyarakat sebagai modal yang menonjol dari aktor. Berdasarkan kepemilikan modal yang ada pada masing-masing aktor, dapat disimpulkan bahwa modal simbolik dan modal budaya yang lebih tinggi berpengaruh dalam terjadinya konflik emerging dan manifest. Sedangkan kepemilikan modal ekonomi dan modal sosial yang lebih tinggi berpengaruh dalam terjadinya konflik emerging dan manifest. Ketergantungan terhadap sumber utama pengahasilan dan dukungan atas pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama menyebabkan tersulutnya perselisihan menjadi bentuk yang lebih besar dalam wujud konflik. Sedangkan peran dan posisi dalam masyarakat serta kepahaman tentang pentingnya pendekatan kekeluargaan dan persuasif menyebabkan penyelesaian melalui jalur konflik terbuka lebih dihindarkan. Penyelesaian konflik melalui jalur hukum tidak selalu menyelesaikan persoalan konflik. Oleh karena itu perlu dicari solusi alternatif untuk dapat menyelesaikan persoalan melalui jalur non- hukum. Penyelesaian diluar jalur nonhukum diantaranya adalah arbitrase, mediasi, dan negosisasi. Dalam penyelesaian konflik melalui jalur arbitrase perlu mendorong terbentuknya modal sosial untuk memperkuat kelompok yang memiliki kepentingan. Sedangkan penyelesaian melalui jalur mediasi dan negoisasi memerlukan penguatan dalam modal simbolik dan modal budaya. Hal ini diperlukan karena peran nilai budaya serta pihak-pihak yang dianggap memiliki pengaruh dapat meredam eskalasi konflik lebih rendah serta dapat membentuk solusi melalui jalan damai. Namun dalam seluruh bentuk
62 penyelesaian tersebut, modal ekonomi perlu menjadi perhatian dalam segala bentuk penyelesaian. Ini dikarenakan faktor utama dari munculnya konflik adalah rasionalitas masyarakat saat ini akan kebutuhan hidup dari tanah. Sehingga kebutuhan dan akses masyarakat terhadap sumber penghidupan perlu menjadi prioritas yang diangkat dalam segala bentuk penyelesaian konflik di luar jalur hukum. Dalam pengelolaan lahan, kerjasama dan kesaling pemahaman antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat perlu menjadi dasar untuk mencapai keadilan bagi masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam amanat MPR nomor 9 tahun 2001. Peran pemerintah menjamin dalam meningkatkan sumber daya manusia, bantuan kredit dan koperasi, serta mendorong peran budaya agar kembali menguat dalam masyarakat serta melakukan pengawasan yang adil terhadap kebijakan mengenai tanah. Disisi lain perusahaan memiliki tanggungjawab sosial kepada masyarakat serta memastikan masyarakat terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap fungsi lahan. Selain itu sistem bagi hasil dalam pengelolaan dirasa jauh lebih efektif bila dibandingakan dengan program redistribusi tanah. Hal ini demi mengantisipasi semakin sempitnya lahan yang tidak diimbangi dengan semakin banyaknya jumlah penduduk serta meminimalisir masyarakat penggarap desa dalam menangggung sendiri kerugian yang dialami ketika melakukan pengelolaan tanah. Saran Terkait analisa dalam penyelesaian persoalan konflik lahan, untuk meminimalisir konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan melihat faktor aktor yang berpengaruh dalam masyarakat serta modal-modal yang berpengaruh pada aktor tersebut. Oleh karena itu pengambilan kebijakan yang tepat dalam menyelesaikan persoalan konflik lahan seoptimal mungkin dilakukan tanpa menggunakan tindakan represif. Berdasarkan analisa statistik, variabel yang berpengaruh terhadap konflik emerging adalah sebesar 61,7% dan konflik manifest adalah sebesar 64,6%. Artinya masih ada sisa variabel di luar modal simbolik, sosial, ekonomi, dan budaya yang turut mempengaruhi terjadinya konflik. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hal di luar keempat modal di atas yang mempengaruhi terjadinya konflik untuk meningkatkan wawasan pengetahuan serta solusi alternatif bagi penanganan konflik di Indonesia.
63
DAFTAR PUSTAKA Abas M. 2008. Konflik etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat: kajian dan perspektif sosiologi. Selami IPS. [dikutip:10 Januari 2012]; Vol 01(24): hal 52-59. Dapat diunduh dari :http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html Astini NNS, Udiyana IBG. 2008. Antisipasi konflik terkendali menjadi konflik radikal pada Desa Pekraman: tinjauan dari segi manajemen. Forum Manajemen: Jurnal Ilmiah. [dikutip: 8 Januari 2012]; Vol 06 (2): hal 8491. Dapat diunduh dari :http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html Aji GB. 2005. Tanah untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor (ID): Lembaga Alam Tropika Indonesia. Bordieu P.1990. Posisi teoritis dasar. Mahar C, Harker R, Wilkes C (eds). Pengantar Paling Komperhensif kepada Pemikiran Pierre Bordieu. Bandung (ID): Jalasutra Casey KL. 2008. Defining Politic Capital: A Reconsideration of Bordieu’s Interconvertibility Theory. St. Louis (US): University of Missouri. Darmayanti, T. 2010. Modal Sosial dan Modal Manusia pada Pendidikan Jarak Jauh di Unniversitas Terbuka. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. [Dikutip 4 Februari 2012]. Vol 11(1) hal. 26-34. Dapat diunduh dari: http://library.gunadarma.ac.id/journal/view/5544/modal-sosial-dan-modalmanusia-pada-pendidikan-jarak-jauh-di-universitas-terbuka.html/ de Vaus DA. 1985. Surveys in Social Research. Australia (AU): National Library of Australia. Dahrendorf R. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. Standford (US): Standford University Press. Durhadiantomo. 2004. Konflik-Konflik Sosial pri dan non pri dan Hukum Keadilan. Yogyakarta (ID): Muhammadiyah University Press. Doni. 2005. Konflik tanah kawasan hutan sebagai perbedaan kepentingan politik dan ekonomi (Studi kasus di desa Bangunjaya dan desa Cimanggu, Kecamatan Langkap Lancar, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat) [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Fairuza. 2009. Studi tentang kekerasan dan fungsi konflik (Kasus konflik antar kelompok masyarakat di Kabupaten Pekalongan). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Habib A. 2007. Konflik Antar Etnik di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan CinaJawa. Yogyakarta (ID): LkiS Yogyakarta. John SL, Mency KD. 2007. Communications, Conflict, and the Management of Difference (US): Waveland Press. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor: IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kinseng R A. 2008. Kecamatan di Era Otonomi Daerah: Status dan Wewenang Serta Konflik Sosial. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM IPB bekerja sama dengan Democratic Reform Support Program.
64 Malik I, Wijardjo B, Fauzi N, Royo A. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan, Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam. Jakarta (ID): Yayasan Kemala. Nurlinda I. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Pattiselanno AE. 2008. Jejaring sosial dan konflik masyarakat pedesaan (kasus di Pulau Saparua, Provinsi Maluku). [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Rauf M. 2000. Konsensus Politik: Sebuah Penjagaan Teoritis. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Saprillah. 2009. Konflik Sosial di Desa Benteng Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu Utara. Alqalam: Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan. [Internet].[dikutip 12 Januari 2012]. Vol 01, No 15. Dapat diunduh dari: http://jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/ Search.html?act= tampil&id=63342&idc=41 Shaliza F. 2004. Perbedaan Teknologi dan Konflik Nelayan. Shaliza,Savitri, dan Fadilah, editor. Kontrol Sosial dalam Konstelasi Politik Pedesaan. Seri Sistem Hukum Pedesaan. Bogor: Program Studi Sosiologi Pedesaan Program Pascasarjana. Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES. Sjaf S. 2011. Panduan Kualitatif: Mengetahui Aktor dan Pengaruhnya di Pedesaan. Bogor (ID):[penerbit tidak diketahui]. Sumardjono MSW. 2001. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara. ___________________2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara. Susan N. 2009. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group. Tjondronegoro SMP. 2006. Gejala Konflik Pertanahan di Indonesia. Sitorus dan Wiradi, editor. Bandung (ID): Yayasan AKATIGA. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
65 Lampiran 1 Peta lokasi penelitian (lingkaran merah) di Margamekar, Pangalengan, Bandung Selatan, yang dapat diakses dari kota Bandung (garis anak panah merah)
66 Lampiran 2 Hasil perhitungan uji beda modal dan konflik aktor ST dan WHdengan SPSS Group Statistics Respond en Modal_Sosial Modal_Simbolik Modal_Ekonomi Modal_Budaya Konflik_Emerging Konflik_Manifest
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
S
38
13.53
2.748
.446
W
38
12.05
2.630
.427
S
38
10.95
3.777
.613
W
38
15.50
5.510
.894
S
38
16.00
1.986
.322
W
38
12.37
2.432
.395
S
38
12.39
3.226
.523
W
38
17.89
4.267
.692
S
38
25.63
3.420
.555
W
38
12.08
2.210
.359
S
38
17.39
2.224
.361
W
38
6.92
2.161
.351
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
Independent Samples Test
Mean Std. Error Sig. (2- Differenc Differenc tailed) e e Lower
t
df
Equal variances assumed
2.388
74
.019
1.474
.617
.244
2.703
Equal variances not assumed
2.388
73.857
.019
1.474
.617
.244
2.703
Modal Equal variances Simbolik assumed
-4.201
74
.000
-4.553
1.084
-6.712
-2.393
-4.201 65.482
.000
-4.553
1.084
-6.717
-2.389
Modal Equal variances Ekonomi assumed
7.129
74
.000
3.632
.509
2.617
4.647
Equal variances not assumed
7.129
71.163
.000
3.632
.509
2.616
4.647
Equal variances a ssumed
-6.338
74
.000
-5.500
.868
-7.229
-3.771
Equal variances not assumed
-6.338 68.884
.000
-5.500
.868
-7.231
-3.769
20.515
.000
13.553
.661
12.236
14.869
20.515 63.314
.000
13.553
.661
12.233
14.873
20.819
.000
10.474
.503
9.471
11.476
.000
10.474
.503
9.471
11.476
Modal Sosial
Equal variances not assumed
Modal Budaya
Konflik Equal variances emerging assumed Equal variances not assumed Konflik Equal variances Manifest assumed Equal variances not assumed
74
74
20.819 73.938
Upper
67 Lampiran 3 Hasil uji korelasi modal dan konflik Correlations Modal Modal Modal Sosial Simbolik Ekonomi Modal Sosial
.234
Sig. (2-tailed)
.042
N Modal Simbolik
Sig. (2-tailed)
76
Sig. (2-tailed)
.003
.009
.042
.
.704
.000
.003
.000
76
76
76
76
76
76
**
-.044
76
**
76 **
1.000
-.345
**
76
-.334
.664
**
**
-.480
.618
**
**
.001
.704
.
.002
.000
.000
76
76
76
76
76
76
**
.000
.801 76
76 **
76
Correlation Coefficient .297 N
.801
.297
.561
Sig. (2-tailed)
Sig. (2-tailed)
.340
76
Konflik Correlation Coefficient .340 Emerging Sig. (2-tailed) .003 Konflik Manifest
.001
**
-.029
-.044
.561
N
**
76 *
Correlation Coefficient -.029 N
.376
1.000
Correlation Coefficient .376 N
Modal Budaya
.
Correlation Coefficient .234 N
Modal Ekonomi
*
Correlation Coefficient 1.000
Modal Konflik Konflik Budaya Emerging Manifest
**
-.334
-.345
**
.002 76
**
.664
1.000
-.515
.
.000
76 **
-.515
**
76 .000
.000
.
76
76
76
-.480
.618
-.579
.000 .774
.000
**
.774
**
76 **
1.000
.009
.000
.000
.000
.000
.
76
76
76
76
76
76
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2tailed).
**
76
76
**
-.579
1.000
.003 **
**
68 Lampiran 4 Panduan pertanyaan mendalam Sasaran Informan Terpilih
FGD dengan kelompok sosial
Pertanyaan 1. Apa yang bapak pahami mengenai aktor/tokoh? apakah mereka yang punya pengaruh atau memiliki jabatan? 2. Siapakah tokoh yang bapak anggap paling berpengaruh di Desa? 3. Menurut bapak, dalam kategori apa aktor tersebut berada? apakah dalam kategori aktor pendidikan, ekonomi, dsb? 4. Sejauhmana keterlibatan aktor dalam konflik tersebut? 5. Apakah aktor tersebut banyak terlibat bersama masyarakat untuk terlibat dalam konflik? 6. Siapakah menurut bapak orang-orang yang paling dekat dengan aktor? 1. Apa yang bapak/ibu pahami tentang tokoh? 2. Menurut bapak, tokoh ini dimasukkan kedalam golongan apa? Apakah agama, pendidikan, pemuda, lembaga formal? 3. Siapa yang bapak dan ibu anggap di desa ini sebagai tokoh utama? 4. Sejauh mana menurut bapak aktor ini terlibat dalam konflik tersebut? 5. Menurut bapak dan ibu sekalian, apakah menurut anda tokoh-tokoh ini memiliki pengaruh yang berbeda antara satu dengan lainnya? Jika ada, menurut bapak dan ibu sekalian kenapa ada perbedaan pengaruh antara satu tokoh dengan lainnya?
Secara acak pada masyarakat
1. Menurut bapak dan ibu sekalian, apa yang bapak dan ibu pahami tentang tokoh? 2. Menurut bapak/ibu, siapa yang bapak/ibu paling hormati di desa ini? 3. Mengapa ibu menghormati tokoh itu? 4. Siapa saja yang bapak/ ibu anggap punya pengaruh di desa ini? 5. Kenapa Bapak/ibu anggap mereka punya pengaruh di desa ini?
Aktor
1. Apakah aktor/tokoh merupakan asli dari desa penelitian? Jika tidak darimana asal desa/daerah aktor? 2. Bagaimana Riwayat Hidup Aktor dan latar belakang aktor? 3. Apa saja peran aktor dalam konflik lahan yang terjadi? Bagaimana aktor memberikan solusi bagi permasalahan yang terjadi pada masyarakat? 4. Apa bentuk keterlibatan aktor dalam protes yang dilakukan
69
5. Modal Budaya Aktor
1. 2. 3. 4. 5.
Modal Ekonomi Aktor
1.
2. 3. 4. 5.
Modal Simbolik Aktor
Modal Sosial Aktor
oleh masyarakat? Apa bentuk keterlibatan aktor dalam pertikaian fisik yang terjadi? Bagaimana cara aktor menghargai budaya yang ada dalam masyarakat? Apa gelar pendidikan aktor yang telah diraih saat ini? Bagaimana cara aktor menyelesaikana masalah yang dihadapi masyarakat? Apakah masyarakat bisa menerima nilai-nilai yang bapak contohkan pada masyarakat? Apakah ada strategi khusus dari aktor untuk dapat bergaul dengan masyarakat? Berapa luas lahan yang dimiliki oleh aktor? Adakah pihakpihak lain yang ikut membantu menyelesaikan/menggarap lahan-lahan yang dimiliki oleh aktor? Apakah aktor sudah merasa cukup dengan pendapatannya yang didapatkannya? Adakah aktor memiliki kendaraan-kendaraan penunjang pekerjaan dan sehari-hari? Apakah aktor mendapatkan kekayaan yang dimiliki saat ini atau melalui warisan orang tua? Apakah aktor memiliki sumber penghidupan lain selain pertanian?
1. Apakah aktor memiliki gelar tertentu di desa ini? bagaimana tanggapan masyarakat dengan gelar yang aktor miliki? 2. Apakah aktor merasa cukup di terima dan dihormati oleh masyarakat? Menurut aktor apakah karena gelar aktor atau cara pergaulan sehingga aktor dihormati oleh masyarakat? 3. Menurut aktor, apa saja penghargaan yang pernah aktor pernah di capai? apakah dengan penghargaan tersebut berpengaruh cukup banyak terhadap masyarakat desa? 4. Apakah dengan aktor memiliki gelar, posisi, wibawa yang dimilikinya menjadikan diri aktor cukup di dengar dan diikuti dalam kebijakannya? 1. Bagaimana strategi aktor dalam membangun hubungan dengan pihak-pihak yang ada di luar desa? 2. Siapa saja pihak-pihak yang merupakan jaringan aktor? 3. Apakah pernah dalam memecahkan masalah konflik lahan, aktor menggunakan jaringan keluar masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah desa? 4. Apa bentuk dukungan yang biasa diberikan oleh jaringan tersebut? Apakah masyarakat ikut terbantu dengan jaringan yang dimiliki oleh aktor?
70 Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian
Piagam penghargaan kepala desa dan peta wilayah desa. Warna hijau pada peta adalah wilayah lahan sengketa.
Lahan sampalan yang menjadi wilayah sengketa adalah wilayah subur dengan beragam komoditi tanaman
Sisa-sisa kerusakan pasca bentrokan pada tahun 2011 di kantor PDAP
71
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Sri Anom Amongjati dilahirkan di Wisconsin pada tanggal 15 Juli 1990. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Dr. Ir. H. Darmono Taniwiryono M.Sc dan Ir. Trisnarti Prihatini. Penulis telah menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN Polisi 4 Bogor, dilanjutkan di SMP Negeri 1 Bogor dan SMA Negeri 3 Bogor. Studi pendidikan dilanjutkan di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah tergabung ke dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama sebagai wakil ketua BEM. Penulis juga aktif di dalam Lembaga Dakwah Fakultas FEMA sebagai ketua Umum pada tahun 2009-2010. Dan kemudian pada tahun 2010-2011, penulis diangkat menjadi Ketua Divisi Politik, Kajian Strategis, dan Advokasi BEM FEMA. Selain aktif dalam organisasi, penulis pun aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan kepanitian skala IPB, Fakultas, maupun Departemen. Diantaranya adalah Masa Perkenalan KM IPB tahun 2008-2009 dan Masa Pekenalam Fakultas Ekologi Manusia tahun 2009-2010 sebagai koordinator divisi acara serta Masa Perkenalan Departeman Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selain itu, penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Pendidikan Agama Islam.