Senja-Senja Ramadhan 1429 H Gurauan Kecil Seorang Steering Comittee RDK Mei-Desember 1429 H
Senja hari bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah awal dari hari esok. Tapi sedikit orang yang mengingatnya sebagai momen berharga. Padahal ia memberi inspirasi kepada banyak orang. Rona merahnya memancar keteduhan. Humanisme seakan sudah memukul K.O. egoisme manusia yang dipampang sepanjang siang. Ia berjalan menyusuri alur lurus di hadapan. Ya, Allah masih memberi kesempatan aku hidup di kala matahari redup. Ketika pagi jangan menunggu sore, ketika sore jangan menunggu pagi, kira-kira begitu kata Izzatul Islam menyitir perkataan Rasulullah. Sekarang sore itu datang. Nikmatilah! Turunnya senja akan menusuk seperti pelintiran kata penulis terkenal Pipit Senja. Bibir terkunci menyaksikan indahnya. Senja turut pula memanjakan telapak tangan. Ia menengadah bebas memohon ampunan. Tepat di kala setan-setan bersembunyi di balik bebatuan ketika adzan terlantunkan. Renungan Sore dari Suara Persaudaraan seakan menjadi sahabat terbaik saat bulir air mengalir di pipi. Alloh di sore ini kuhitung amalku Yang telah kulakukan hari ini Terimalah kebajikanku ampunkan resahku Ya Alloh kabulkan doaku Tak terkecuali senja saat Ramadhan di tahun 1429 H yang penuh dengan kehangatan. Rasanya kurang lega kalau kenangan ini hanya disimpan sendiri saja. Alangkah baiknya dibuatkan lembaran-lembaran khusus bernama buku. Aduhai...perasaan untuk menuliskan hal ini sebenarnya sudah lama. Syahdan, Allah baru memberikanku kesempatan tepat pada tanggal 25 Desember. Aku memulai lembaran-lembaran tersebut tepat ketika minggu tenang semester lima (sekarang aku semester 8). Tepat pula ketika sedang bingung-bingungnya menghadapi ujian semester lima. Tinta itu
mengalir seraya mengingat-ingat tentang lembaran pada tiap senja yang kulalui selama bulan itu. Tulisan-tulisan ini adalah sebuah kisah yang tak menarik bagi banyak orang, tapi sangat menarik bagi penulis. Cerita tentang aku bersama sembilan sahabat lain. Kami diberi kesempatan melakoni “mission imposible”. Ya, aku menyebutnya missi yang hampir tidak mungkin sukses dengan berbagai kondisi tersedia. Tapi tak dinyana, semua itu berjalan lancar dan meninggalkan serpihan-serpihan kenangan. Aku coba mengemis serpihan itu. Kemudian terangkailah dalam satu bingkai yang bernama SenjaSenja Ramadhan 1429 H. Judul yang tak semegah Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, atau Negeri Lima Menara. Tulisan ini aku persembahkan untuk saudaraku yang pernah berjuang bersamaku. Aku tahu, tulisanku tidak akan bisa adil menilai. Tidak juga bisa menggambarkan seluruh kenangan kami. Aku berterima kasih kepada teman Rohis di sekolah dan di rumah dulu. Mereka yang memberikanku harapan. Mereka pula yang memberikan guratan semangat melalui wajahwajah dalam setiap mimpiku di atas dipan. Mimpi mengenai masa depan. Masa depan harus tetap digenggam. Kejayaan islam harus tetap tegak menawan. Aku tak pandai membuat cerita dramatis. Walau aku pernah duduk satu meja dengan Kang Abik dan Salim A Fillah, kemampuan menulisku juga tak kunjung membaik. Tulisan ini bukan untuk dinilai bagus atau tidak. Aku hanya berusaha memberikan sesuatu dengan kemampuan seadanya. Kalau ada yang bersedia meluangkan waktu untuk membaca, itu sebuah kebahagiaan tak ternilai bagiku. Semenjak membaca buku Madilog-nya Tan Malaka, aku mengambil sebuah kesimpulan. Menulis adalah ekspresi diri. Ia salah satu bentuk perjuangan atas apa yang diyakini. Ia bukanlah perusahaan umum percetakan uang seperti Perum Peruri. Andai aku punya uang, aku pun akan mencetak dan memberikan cuma-cuma pada setiap jiwa yang mengabdi. Tentu pada apa yang diyakini. Demi sebuah kemanfaatan. Selamat menyimak dan semoga bermanfaat!
Dimulai pada akhir Desember 2008 (minggu tenang UAS semester 5) Berakhir pada awal Agustus 2010 (libur panjang semester 8) Dengan kerendahan hati Penulis
Untuk Ayah-Ibu tercinta dan para pejuang dakwah, Terutama ikhwan-akhwat SC RDK 29: Defri Sumarwan Mufti Fathonah Ashka Azhar Widodo Yunita Nurul Afifah Hana Qudsiah Yulniar Pribadi Rizkiyati Amalis
”maaf atas segala kesalahan”
Halaman Pertama ”If confusion is the first step to knowledge. I must be a genius,”
Kira-kira tengah Mei, di hari-hari yang tak lagi bersahabat. Berkutat dalam stagnasi dan inersi yang memecah pikiran. Jadwal akademik mendesak terus, mencekik tiap kesempatan jarum jam memperlambat diri. Hari-hari ini adalah masa-masa kritis bagi para mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Ujian Tengah Semester (UTS) telah berlalu sejak lama. Sekarang Ujian Akhir Semester (UAS) masih menunggu untuk dilayani. Deadline tugas menjadi teror tersediri bagi anak-anak muda di kampus Sukolilo, kampus teknik di ujung timur kota pahlawan. Menggentayangiku. Kehadirannya selalu tidak menyenangkan. Sudah tiga semester Bung! Nilai tidak pernah memuaskan. Boro-boro cumlaude, merasakan Indeks Prestasi (IP) “tiga koma” pun aku tak pernah. Sepertinya semester ini akan mengikuti jejak “kakak-kakaknya”. Prediksiku, hasilnya tak terbang jauh-jauh. Tugas gambarku saja belum selesai! Rasanya tidak adil. Tugas rencana garis hanya dibebankan satu SKS. Padahal kalau mau adil, tugas itu seharusnya seratus ribu SKS! Kerja kerasnya berminggu-minggu bahkan berbulanbulan. Daging sudah senikmat tempe, Bantal jadi seempuk rotan, dan cairan otak di kepala bisa buat masak mie. Masya Allah, padahal sebentar lagi tugas itu dikumpulkan. Jangan dibayangkan gambarnya. Anak-anak satu angkatanku harus menggambar garis air sebuah kapal di atas kertas A0 yang besarnya selebar karpet. Manual! Alias pakai tangan manusia dan mal, penggaris lengkung yang biasa digunakan mahasiswa desain. Belum lagi ada revisi. Yah... terpaksa ngulang dari stage satu lagi deh. Kenapa? Beda ketika sekolah dulu. Angka tujuh jadi barang langka di raport akademik. Tapi ketika kuliah, melihat nilai dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh (skala seratus) sudah pemandangan biasa, bahkan cenderung indah. Seperti kita makan nasi goreng campur jamur di tengah hujan lebat. Nikmat. Kehadirannya seakan bau belerang yang menyesakkan di tengah indahnya Kawah Ijen. Setiap akan ujian, aku baru mau belajar. SKS...Sistem Kebut Sejam, bukan lagi semalam. Huh! Sepertinya aku sudah tidak tawazun (seimbang) lagi. Ingin rasanya fokus sefokus-fokusnya pada kuliah. Tapi hati nurani berkata lain. Ajakan dakwah sama nikmatnya seperti rayuan candu. Asapnya menguap, hisapannya mantap, mata pun
mengkilap. Kehadirannya menyenangkan hati, tapi terkadang bisa membutakan hati. Kalau tidak membutakan, tak ada orang yang keluar dari jalan ini. Harumnya semerbak membelai telinga. Langkah kaki semakin cepat demi ajakan ini. Kata seorang alim, ajakan ini hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Entah, apakah aku sudah masuk kelompok yang dilansir orang alim tadi. Gejolak batin tak pernah berhenti terkoyak. Kadang aku bersedih sendiri melihat prestasi akademikku tak kunjung membaik. Masih sakit seperti dulu. Berbagai cara sudah aku coba. Banyak “dokter” sudah aku temui. Resep yang tak manjur, atau apoteker yang tak jujur? Sekali lagi kepalaku menggeleng. Obat “malas” itu malah meradang dengan koreng berwarna kuning menjijikan. Tangga stadium tertapak mudah sampai level kronis. Terakhir, jamu kuat yang legendaris itu dicoba. Merobek kertas kecil-kecil penuh rumus, membuntalnya, lalu dibakar. Masukkan dalam air, nikmati minuman andalan siswa yang otaknya sudah impoten. Jangan lupa, lilinnya dijaga sampai pagi. Kalau mati, kita akan berubah… “Bukan, itu namanya babi ngepet,” nuraniku nyeletuk tiba-tiba. “Terus..,” “Ini jurus, Mbah Dukun minum ramuan rumus,” kata si Nur (ani). Sahabatku yang selanjutnya aku panggil Nur Aini ini akan menginisiasi program “menganak-tirikan perjuangan hidup”. Pesannya, gunakan jalan pintas. Jalan pintas macam apa? Minum racun tikus maksudnya? Menurutnya, itu termasuk salah satunya. Berbagai gaya belajar sudah dipraktekkan. Mulai gaya total football-nya Belanda yang atraktif sampai gaya catenaccio-nya Italia yang cerdik. Bertanya dengan dosen sudah sering. Nihil! Malah jadi tambah bingung. Bertanya pada teman-teman yang lebih baik IP-nya, kadang connected tapi lebih sering Disco. Sayangnya tidak pernah ada evaluasi diri. Semua kulalui dengan dongkol seperti kepala ikan tongkol di-takol-takol (bahasa sunda, artinya pukul). Semuanya gagal. Aaaarrrgghh...IP tetap DUA KOMA! Mending koma besar, komanya pun sekarat. “I did it maaaaiiiiii…weeeeyyy…,” tarikan merdu Nur Aini bersama teman-temannya, si otak kecil, otak besar, dan otak-otak, menggema. Lagaknya meniru Frank Sinatra, klimis menggoda. Pakai taksido saja tak bisa, mau bergaya. Dasar…Taksido bertopeng gila. Ternyata, “My Way” yang kupilih selama ini, tak terbukti efektif. “My way or high way?” kata Fred Durst, vokalis Limp Bizkit. IP itu kini mengejek setiap aku membuka www.akademik.its.ac.id. Gayanya menantang seperti preman menagih hutang. Ia mencicit terjepit angka satu koma dan dua koma. Ibarat Liga Italia, aku sedang berada di jurang degradasi, mau masuk ke serie B. Ibarat Moto GP, aku sudah mau turun kelas. Dari Honda Repsol 500 cc jadi Honda CB penuh Kastol, 70 cc.
Doaku hanya satu. Semoga tidak DO (Drop Out) atau OD (Out Dhewe, keluar sendiri) dari ITS. Ya...sesukses-suksesnya Hermawan “Mark Plus” Kertajaya dan Hendy “Babarafi” Setiono yang DO dari ITS, bahkan Presiden SBY sekalipun yang katanya pernah (mau) kuliah di ITS, aku tetep emoh kalau harus DO atau OD walaupun nantinya jadi orang sukses. Terinspirasi kata-katanya Suhu Microsoft, ”Jangan meniru saya yang DO dari Harvard, pendidikan itu tetap wajib!”. Itu kata-kata Bill Gates ketika sowan ke Indonesia. Bill kubil mengkibil yang nyambi jadi foto model di Majalah Forbes saja bilang begitu. Masak aku yang anak seorang Oemar Bakri saja tidak mau mengikuti. Minatku mendalami ilmu Arsitek Kapal tidak seperti dulu ketika pertama kali masuk ITS. Dulu aku sangat bangga dan bersemangat. Tapi sekarang semangat itu sudah putar haluan. Padahal ilmu itu sengaja aku pilih di kala anak-anak SMA yang lain lebih bangga atas jurusan Kedokteran, Teknik Elektro atau Informatika dan jurusan-jurusan favorit lainnya. Aku lebih memilih jurusan “asing”. Seperti kata kebanyakan orang awam. Putusanku sudah mengeras dan sudah terlanjur tertancap. Kenapa harus disesali. Toh, semakin hari aku semakin cinta kepada ilmu yang aku dalami ini. Walau selama ini, asmara yang kujalani terlalu love is blind. “All of my friends think i’m crazy, but I don’t care,” ingatanku pada permainan piano Alicia Keys. IP yang terlanjur amburadul, harus segera diperbaiki ke depannya. Aku berpikir keras mencari solusi. Aha, sekejap dapat! Salah satu jalan keluar terbaik yang belum pernah aku coba adalah... FOKUS KULIAH!!! “Imagine there’s no Pak A, Pak B, Pak C…,” nurani menggodaku lagi. Gayanya ganti jadi berponi ala The Beatles. Tangannya melambaikan salam seakan Beatlemania(wati) berlari mengerubunginya, minta kecupan. Hidungnya mancung mirip JoJohn Menyon. Jari lentiknya memetik gitar seakan Yoko (ora) Ono sedang memeluknya. Langkah tangannya anggun melintasi tiap fret. Terenyuh, menikmati tiap bacaan not pada tablature. Ia seakan lupa kalau kemarin habis bertengkar dengan Pak Ulmek Karni. Titik kulminasi yang memantik bubarnya The Beatles. “All that phoney Beatlemania has bitten the dust!” aku membalas dengan lirik “London Calling”The Clash. Dengan beat kombinasi funk-reggae, nyanyianku pasti menghentak sama kerasnya seperti penyiar BBC berteriak panik merunduk di bawah raungan pesawat pembom Jerman, Junkers. Aku melawan ejekan Nur, layaknya seorang Joe Strummer, vokalis The Clash, yang memberontak di atas sisa-sisa kuburan John Lennon, dengan The Beatles-nya. Kakinya menyenggol kakiku. Pak A…Pak B…Pak C adalah dosen-dosen yang berjasa atas ketidaklulusanku di beberapa mata kuliah. Mata Nur Aini menerawang ke atas. Ia bersiul autis ke arah langit.
Kakiku diinjak. “Aww…,”. Kali ini Nur menyindir halus. Aku sering menebar sumpah serapah pada orang-orang tak berdosa. Entah dosen, teman, bahkan tukang sapu di kampus bisa kena umpatan karena IP-ku. “Imagine” seakan mengingatkanku bahwa apa yang kulakukan hanya akan membuat hati tambah galau. Padahal, aku sendiri yang memberlakukan standar ganda. Kuliahku diduakan. Aku tidak adil dalam berpoligami. Istri mudaku, organisasi, menuntut lebih. Aku tak bisa melawan. Sementara kuliah tak menampakkan rasa cemburu. Benar dugaanku. Diam-diam, mata kuliahku ramairamai mengajukan gugatan cerai. Ya, itu tekadku. Setelah dua tahun sibuk kegiatan non-akademis, aku ingin pensiun. Aku ingin mencampakkan hingar–bingar dinamika kegiatan sosial kemahasiswaan di kampus. Aku bukan pemuda desa yang kaget dengan dinamika kampus. Tentang organisasi, sejak SMP aku sudah mempelajarinya. Soal pergerakan mahasiswa, sebelum jadi mahasiswa aku sudah paham. Aku yang bukan eksponen 98, 74, apalagi 66, sudah hafal kisah heroik itu. Tentang berdirinya GMNI (underbouw PNI) dan kisah arogannya bersama CGMI (underbouw PKI) melawan ”si kepala batu” HMI pada jayanya Nasakom. Gara-gara hubungan mesranya dengan Masyumi, semua aktivis mahasiswa muslim yang waktu itu hanya satu wadah, HMI (sebenarnya ada PMII tapi tak setenar HMI), diganyang aktivis ”progresif-revolusioner”. Gelo sia! Tentang HMI bersama kelompok KAMI-nya yang berhasil mendirikan Orde Baru. Kebodohan yang tersembunyikan pun aku tahu. Arif Rahman Hakim yang ditokohkan eksponen 66 dan jadi jalan terkenal bagi mahasiswa ITS itu, justru kader GMNI yang waktu itu dikejar-kejar golongan anti komunis. Yang untung siapa? Ya, Golkar! (aku baru tahu di kemudian hari kalau Arif Rahman juga seorang Ahmadi, penganut Ahmadiyah tulen). Tentang Hariman Siregar yang membuat Jakarta terbakar tahun 74. Tahu apinya berasal dari mana? Dari barang elektronik dan otomotif buatan Jepang. Mereka membakarnya di depan Perdana Menteri Kakuei Tanaka. Tentang NKK/BKK? Ah, bahkan aku kenal Daoed Joesoef itu bajingan seperti apa. Tapi hikmahnya, ia berjasa juga bagi bangkitnya dakwah kampus. Gara-gara tindakan represifnya memaksakan sekulerisme ala Attaturk, para aktivis muslim yang sudah dikerdilkan setelah HMI mengakui kegagahan Pancasila, pun berontak lewat bawah tanah. Lahirlah FSLDK. Tentang eksistensi kanan-kiri radikal yang memuncak pada masa 90-an itu. Aku lihat Sri Bintang Pamungkas, Amien Rais, Gus Dur, sampai yang muda macam Budiman Sudjatmiko atau Rama Pratama berselancar dari kampus ke kampus membawa ideologinya masing-masing. Mereka tampil dalam usaha panas-memanasi suasana kampus menjelang suksesi. Mungkin tak banyak yang tahu, perebutan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa tahun 98 adalah perebutan supremasi. Ideologi siapakah yang menang atas suksesi ini?
Ngelontok! Maklum, di rumah banyak buku yang mendongengi ketika aku tidur. Ketika SMA, aku banyak dibekali cerita dari seniorku yang mahasiswa UI, ITB, IPB, dkk. Makannya, aku suka tertawa sendiri kalau ada mahasiswa yang mengaku aktivis tapi tak doyan baca buku sejarah. Ditambah lagi pengetahuan teori pergerakannya pas-pasan, apalagi prakteknya. Lebih tertawa lagi, kalau mahasiswa yang teriak ”revolusi!” tapi tak tahu bahwa Marx tak pernah mengajarkan kata revolusi. Lenin-lah yang banyak berjasa atas agresivitas gerakan komunis. Ia yang mematenkan kata ”revolusi” sebagai bentuk ”takbir”-nya seorang proletar. Bahkan Stalin lebih menekankan kata revolusi untuk menancapkan kuku kediktatorannya yang katanya atas nama rakyat itu. Mao juga menggunakan kata revolusi untuk menyatukan China seperti masa Shih Huang Ti. Bung Karno juga. Revolusi memang jadi perkara suci di dunia komunisme-praktis. ”Aku bukan Marxis” sebuah kata terkenal dari Karl Marx untuk menyindir orang-orang yang buta tentang esensi utama ”materialisme-historis dan dialektika-nya”. Mereka selalu menyatakan diri paling sosialis atau paling Marxis di antara kaum sosialis yang lain. Padahal sebenaranya mereka berasal dari satu sumber: Hegel, si pencipta Tuhan-Tuhan masyarakat sosialis. Itulah kira-kira simpulan hebat dari seorang Marx. Nyatanya, ketika ia masih hidup, ia pun bertengkar dengan pengikutnya sendiri. Internasionale pertama, atau pertama kalinya kaum sosialis berkumpul jadi satu, mereka sudah saling curiga. Di penghujung abad ke-18, gesekan terjadi kuat, contohnya Sosialis Perancis yang melecehkan otoritarian Marxisme, buruh Inggris yang liberal membenci betapa taklid-nya sosialis Rusia pada Marx, Sosialis Italia yang kerasukan fasisme, sosialis Spanyol yang berganti menjadi pengagum fanatik duet Bakunin-Proudhon. Bahkan di awal berdirinya saja mereka penganut sosialisme yang katanya cahaya di tengah kegelapan itu- sudah kacau balau. Ya, kiri memang seksi untuk orang-orang tak tahu diri. Bagiku, kebanyakan mereka yang sok Marxis adalah orang-orang yang bergelantungan di jenggot Marx dengan tangan kiri, dan menggenggam Coca Cola dengan tangan kanannya. Mereka cuma modal uang 30 ribu untuk beli kaus bergambar Che Guevarra dengan baret bintang merahnya. Ridiculous! Mereka memang terlihat gagah ketika berteriak,”Resist! Resist! Resist!”. Padahal mereka sekedar mencontoh persis reffrain lagu terkenal dari Rancid ”Out of Control”. Tentang sosialisme dengan anak-anaknya seperti Leninis yang masif, Stalinis yang pragmatis, Trotskyis yang puritan sampai anarkis-nya Proudhon yang kontra Marxis, memang baru aku pelajari secara otodidak di kampus. Tapi aku sudah kenal mereka lewat majalah-majalah Islam revivalis macam Sabili. Hanya saja, kurang puas kalau tidak dari sumbernya. Kurang cover both side. Ideologi Islam? So pasti. Lebih kaya pemahamanku daripada filsafat barat. Aku sudah kenal sejarah harokah di dunia lewat majalah itu juga, jauh lebih dini dari kawan-kawanku di LDK. Abduh, Rasyid Ridha, Al Banna, Quthb, An Nabhani, An Nadwi, Kandahlawi, sampai lokal macam Wahid Hasyim, Tjokroaminoto (ia juga tergila-gila sama sosialisme. Lebih tepatnya perkawinan
antara Islam dengan sosialisme. Jangan heran kalau muridnya, Ir Soekarno, cinta mati sama sosialisme), Ahmad Dahlan, Agus Salim, Natsir, Hamka dkk. Tentang kisah perjuangan jihad kontemporer, aku lebih hafal lagi. Azzam dengan globalisasi jihad yang berpusat di Afghan, Yassin dengan Intifadha-nya, Izetbegovic dengan perjuangan mempertahankan identitas muslim Balkan, Besayev dengan aliansi Kaukasus-nya, sampai Erbakan dengan politik Islam moderennya yang menggetarkan jala kiblat sekulerisme-IslamTurki. Nasionalisme? Huh, itu barang loakan di dunia pergerakan. Ideologi miskin konsep. Kesimpulannya, aku tak perlu belajar itu lagi di kampus, sudah cukup bagiku. Aku ingin jadi mahasiswa biasa saja. Aku lebih percaya pada Rene Descrates. “Corgito ergo sum”, aku berfikir maka aku ada. Atau berpihak pada filosof Denmark, Kierkegaard. “Eligo ergo sum” aku memilih maka aku ada. Biar kata orang, ini pilihanku. Study oriented saja! Masa bodoh dengan ejekan para mahasiswa yang sok-sok aktivis. Yang terpenting, aku bisa cumlaude, kerja mudah, gaji tinggal terima, mobil mewah, istri lima (mau bangun perternakan Mas?) dan berbagai fasilitas keduniaan. Mulailah menyusun acara “melarikan diri” Dari Himpunan Mahasiswa (Hima)... Dari Kajian Jurusan Assafiinah... Dari Lembaga Dakwah Kampus... Dari Lembaga Pers Kampus... Dari Keluarga Mahasiswa... Dari Sekolah tempatku mengajar.. Pokoknya dari semua beban yang masih hinggap di hati! Liang itu hanya diperuntukkan bagi urusan kuliah dan keluarga. Segera kukubur dalam-dalam. Harapannya, tak ada yang mencuri. Aku juga masih punya cita untuk meraih gelar cumlaude. Walaupun hal itu sudah tidak mungkin. Sangat tidak mungkin, melihat IPK tetap “mendua”. Ditambah beberapa mata kuliah yang tersangkut di tengah jalan. Belum lagi mata kuliah yang ganas-ganas akan semakin menghambat gerak akademis di semester penghujung. Jangka waktu normal (menurut adat istiadat) di jurusanku adalah empat setengah tahun sampai tak terbatas. Mereka yang lulus empat tahun, dikarunia Tuhan sebuah otak brilian. Rata-rata tiap angkatan, tidak lebih dari lima orang yang lulus tepat waktu.
Banyak sebabnya. Mulai dari tugas merancang yang berlapis tiga sampai iklim akademik yang memaksa untuk itu. Sisi lain aku harus merekam jelas, syarat untuk meraih cumlaude adalah empat tahun teng! Fixed price! Bisakah? “Harapan itu masih ada…,” Nur yang duduk di dadaku berulah lagi. “Buktinya mana?” balasku sewot. “Sampean mau sukses kan Cak?” Tanya Nur. Kemudian kuiringi anggukan. “Tahu nggak, sukses itu standarnya apa?” Bodohnya Si Nur. Aku lagi pusing pikir UTS, eh, dia malah kasih soal. Langsung saja aku jawab,”Meneketehe…”. Gaya Nur malah jadi semakin filosofis. Alisnya mengerut. Keningnya pun diurut-urut. Bukan pening, tapi berfikir hening. Nampaknya ia akan menelurkan hipotesa hebat. Bisa jadi hipotesa ini akan mengalahkan Nietzsche. Tapi kalau dipikir-pikir, Nur tampaknya tak berani membunuh Tuhan. Nihilisme-nya tak membuka harapan. Sedetik berlalu, matanya jadi juling. Instingku, ia sedang kemasukan arwah Jean-Paul Sartre. Pupilnya membuka pikiran tentang eksistensialisme. Ia mulai mampu melihat keberadaan manusia. Dengan fasilitas kesempurnaannya, manusia bisa mengubah jalannya. Dilihat semakin dekat, mulutnya yang bau mau berkata panjang lebar tentang psikoanalisa-nya Freud. Ya, seksualita menggila. Hawa nafsu tak terbendung. Dalam hati aku berkata,”Ah, kamu kira aku gila apa? Persetan dengan neurosis!”. IP jelek bukan berarti harus menginap di RSJ Menur kan? Di tengah arwahnya yang melayang, aku mengagetkan. “Kalau suksesnya mahasiswa ya lulus cepat, IP kumlot!” jawabku tangkas. Ia tersenyum kecut. “Kalau pengusaha?” “Ya untung sebesar-besarnya lah,” “Kalau tentara?” “Raih bintang sebanyak-banyaknya,” “Kalau pemain bola?” “Cetak gol sebanyak-banyaknya?” “Nah, kalau seorang fakir miskin yang sudah renta?” Hmmm…aku berpikir sejenak. Jangan sampai aku terjebak pertanyaan ini.
“Kalau ada yang memberinya makan keesokan harinya. Lebih seru lagi makanannya ayam goreng. Betul, betul, betul?” Soal yang sangat mudah. Kayak begini ditanyakan ke mahasiswa. Huh. “Bodoh kamu!” wajah Nur mendanga. Sekejap tangannya melayang. Tukk…aku dijitak. “Mereka sukses kalau mereka tidak sombong,” Nur nyengir. Ia menunggu tanggapanku. Loading…otakku tiba-tiba macet. Yah, begini ini kalau otak nggak dipanasin dulu sebelum dipakai. Akhirnya otak berputar tanpa pelumas. Benturan keras antar syaraf, menyebabkan kerusakan parah. Pada titik final, otak bisa turun mesin kalau tak rajin merawat. Dua jam berlalu. Nur Aini tidur pulas. Hahaha…sekarang aku bisa bebas berekspresi. Tanganku gatal. Sebuah kertas di sampingku melirik. Stempel di badannya jelas membuat gigi ngilu. “Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK)” begitu seingatku. Legalisasi itu malah semakin menghantam. Ia bertindak sebagai hakim bahwa aku memang mahasiswa “terbelakang”. Ketika keluar, bagai Justice Bao melempar tongkat emasnya yang masyhur itu. Transkrip seakan bisa menentukan hidup manusia. Bisa kebanggan, bisa kehinaan. Manusia dibuat bergulat memperebutkannya. Mirip pergulatan Inspektur Vijay melawan Tuan Takur. Kadang dimenangkan Vijay, kadang Tuan Takur Singh, atau bahkan kemudian malah menarinari nggak jelas, tergantung skenario. Dari empat transkrip yang aku pegang (semester satu sampai empat), tak ada yang bersih dari kata “tidak lulus”. Ibarat museum, ia mengoleksi barang langka. Rinciannya, 13 SKS ‘BC”, 7 SKS “C”, 15 SKS “D”, dan 3 SKS “E”. Total ada 18 SKS (D dan E) yang bermasalah dan musti diulang. Ini sama saja bermimpi ke bulan kalau masih beridealisme cumlaude. Aku menghela nafas. Angin kering itu terbang menyapa udara segar. Benar, sepertinya jalan terbaik itu harus aku ambil untuk memperbaiki kepercayaan orang tuaku. Sudah tiga semester, tiap kali pulang ke kampung halaman, aku membawa oleh-oleh menyakitkan. Tersedia seribu alasan ketika orang tua menanyakan tentang IP atau prestasi akademikku. Alasan itu sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, bahkan sampai antisipasi jika ada kroscek. Yah, kira-kira seperti diskusi panel saja.
Selepas Dzuhur Di Manarul “Wake up! To the world around you,” Anti-Flag.
“Bey...sini sebentar,” terdengar suara-suara yang tidak asing bagiku. Bola mataku segera berputar mencari arah suara. Badan pun masih tetap terpaku. Aku duduk menyila selepas sholat sunnah dan berdoa di sisi selatan masjid. Berdiam diri di samping sebuah tiang pondasi besar yang menjulang tinggi. Dari kejauhan aku melihat seorang yang melambaikan tangan. Ia sedang bersenda gurau dengan beberapa orang. Mereka duduk melingkar sambil bersandar di jendela masjid. Belum terlihat jelas mereka siapa. Aku berdiri dan segera mendekatinya. “Oh...Mas Fathir,” balasku. Ia seorang atasanku di Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Seorang yang memiliki kepribadian menarik. Perawakannya yang sangar ternyata tak mencerminkan hatinya yang lemah lembut. Selain cerdas, ia juga pandai bergaul. Tak salah kalau ia ditempatkan pada departemen yang berhubungan dengan pengaturan manusia. Yang paling penting lagi, ia suka sepak bola. Bukan hanya suka, fanatik. Gaya mainnya seperti Boas Salosa dikejar anjing. “Ada apa toh mas?,” tanyaku keheranan. Raut wajahnya dari dulu pragmatis. Aku harus mencurigai, jangan-jangan ada maunya. Tapi memang dasar supel, semua itu dikempit sampai tak kelihatan. Giginya yang berbaris tak sejajar, terus mengembang. Setiap kedipan matanya memberi pesan. Perkiraanku sepertinya menjadi nyata. “Mas Yusuf...eh ada Mas Pandu juga...apa kabar Mas?,” memulai pembicaraan dengan nada bersahabat. Aku sudah lama tak bertemu. Semenjak jadi panitia PSI 1, salah satu acara kaderisasi, aku tidak lagi intens bertemu mereka. Kangen. “Alhamdulillah...” semuanya menjawab sambil menghela nafas. Tetap dengan kembang senyum. Cukup kaget juga, ternyata tidak hanya Mas Fathir. Ada “pejabat” lain yang turut hadir. Mas Yusuf, pria spesial seorang Ketua Umum Lembaga Dakwah yang bernama Jamaah Masjid Manarul Ilmi (JMMI). Tak perlu aku ceritakan panjang lebar ia seperti apa. Pokoknya hampir perfect-lah. Pintar, berwibawa, tutur katanya indah, perawakannya tinggi semampai, belah pinggir, hidung bangir,
kulit putih, tidak sombong, suka menolong, rajin menabung, berbakti pada orang tua, dan tenggang rasa pada tetangga. Pokoknya daftar isi Pendidikan Kewarganegaraan kelas 6 SD banget deh. Kata orang, ia benar-benar seperti namanya. Yusuf...mirip seperti Nabi Yusuf. Suatu saat kalau punya anak, aku beri nama seperti dia saja, Ahmad Yusuf. Mudah-mudahan nama itu belum dipatenkan. Yang kusuka dari dirinya: ketenangannya dan rasa humorisnya yang kecut-manis jeruk lemon. Kalau ia sedang berbicara di depan, semua orang terkesima. Kharisma 125 cc-nya keluar, memaksa mata terus menatapnya. Bisik-bisik tetangga dan dibuktikan dengan penelitian, bila para kaum hawa menyaksikan ia lewat, niscaya pisau yang ada di tangan bisa memotong wortel. Lawas! Maksudnya, memotong jari sampai tepat di ruasnya. Macam mana pula ini. Belum lagi bau parfumnya yang bisa dikenal dari jarak berkilo-kilometer. Parfum minyak beli di Toserba Sakinah. Ketebak. Oh iya, dia juga jago main bola. Memang dasar lemah gemulai, gaya mainnya seperti Thiery Henry baru pulang dari les tari. Gocekannya manis menipu setiap pemain belakang yang membawa uang. Tepat disampingnya, Sang Sekertaris Umum (Sekum) yang selalu setia dengan nama Mas Pandu Kurniawan. Teman-teman banyak menyebutnya Pandu Sipil. Karena pada pos lain yaitu Kadept Syiar, ada juga yang bernama Pandu. Nama lengkapnya Pandu Syamsul Bahri Choirudin. Jadi di jajaran pengurus harian periode ini ada dua spesies Pandu. Untuk membedakan, maka kami ciptakan panggilan khusus yaitu Pandu Sipil dan Pandu Tekkim. Di satu sisi, Pandu Sipil suka menyebut dirinya Dupan (dunia penuh tantangan), sedikit terpengaruh gaya bahasa walikan Malang. Selanjutnya, di sudut biru, Pandu Tekkim dipanggil Panda. Tepatnya Panda Cina, saudaranya beruang madu. Pandu Sipil, pria yang punya pengalaman dan militansi tiada tara. Kaca matanya tebal, sehingga kalau dibuka akan terlihat matanya yang belo. Biasanya setiap akan tidur, ia buka kaca mata, dan tanpa rasa bersalah, Sering banget pamerin matanya. Bangga gitu punya mata belo. Kulitnya sawo (hampir) matang. Yang bikin klepek-klepek, jenggotnya yang gimbal merumbairumbai. Ia masih satu perguruan sepak bola dengan Mas Fathir. Sayang, tulang keringnya alot, nggak ada dagingnya, sebab itu aku takut main bola sama Mas yang satu ini. Pletak, kaki bisa patah. Aku biasa bercengkerama dengan mereka. Kalau aku, Mas Dupan, Mas Fathir bertemu, kita biasa bikin konser dagelan. Kalau tertawa, bisa bikin Pak Ustad Maksum yang rumahnya di samping sekretariat LDK, bangun dan mengetok pintu kamar. “Woy...siapa itu!” Telunjuk Pak Ustad mengacung-acung. Kami hanya bisa bilang,”Nggih Ustad,”. Tunggu tenang sedikit, kita lanjut lagi. Bahkan sampai tiga kali Pak Ustad menghampiri.
Yang keempat, Pak Ustad lari ke mimbar masjid. Nyalakan TOA,”Woy...ente semua bisa pada diem nggak sih?”. Ah, itu hanya leluconku saja. Tapi soal Pak Ustad marah-marah bisa diuji kebenarannya dengan operasi aritmatika yang ada. Memang salah kami juga yang tak bisa jaga unggah-ungguh. Kadang kala di tengan malam, sekretariat masih bergerumun seperti ada pembagian sembako gratis. Kadang kami tak dengar nasehatnya untuk bersihkan sekretariat dan halamannya. Lebih sering lagi, kami masih melanjutkan tidur setelah shubuh sampai matahari sudah memayungi bumi. Sebenarnya kalau ditambah Mas Panda lebih urakan lagi. Sayang, ia sekarang lebih memilih menjadi pertapa di ma’had setempat. Mudah-mudahan, itu gua pertapaan bisa jebol. Bukan karena kekuatan batinnya, tapi konstruksinya yang tak kuat menahan. Ada lagi Mas Faisal yang paling kalem sedunia akhirat. Ia hadir sebagai ksatria penghancur kegilaan Mas Dupan dan Mas Fathir. Tugasnya di LDK mengurus mentoring sedunia akhirat juga. Beruntung, Departemen Mentoring mendapatkan orang yang sabarnya minta ampun. Yang paling saya sukai, Suaranya yang merdu seperti Mustafa, vokalis Debu-Debu Intan. Cengkoknya melenggak-lenggok mirip Nazrey Johani, vokalis utama Raihan. Pantas saja, wong dia dulu anggota tim nasyid Shoutul Haq yang terkenal itu. Itu lho yang alirannya mendayudayu seperti musik usungan Arroyan, Tazakka, The Fikr, The Zikr, dan The Corrs. Cool, yang terakhir itu tim nasyid dari Irlandia kan? Hampir semua pengurus harian LDK suka sepak bola. Kalau yang tidak, pasti dari departemen keputrian. Minimal mereka memilih salah satu di antara unsur-unsur sepak bola. Entah pemain, penonton atau wasit. Mas Fathir suka jadi penyerang. Mas Yusuf juga. Mas Faisal lebih cocok jadi kiper. Sedangkan Mas Dupan jadi penonton. Ia mendapat bagian teriak paling keras kalau terjadi gol. Terus...Mas Panda mana? Dia jadi yang ditendang-tendang pemain. Kalau aku jadi anak gawang saja. Kalaupun fanatik bola, mereka benci setengah mati sama judi bola. Ingat kata Bang Haji. “Judi...!” pekik Bang Haji. “Judi!” backing vocal membalas. “Teott...,” Bang Haji unjuk aksi. Gerakan gitar neck buntung “steinberger” diserongkan 30 derajat ke arah depan dan belakang, begitu sebaliknya. “Meracuni kehidupa..a..a..a..a..nnn,” lanjut semua anggota kesebelasan Soneta Grup. Kemudian anganku buyar. Perbincangan pun dilanjutkan. “Kapan Forkommu kumpul?” tanya Mas Fathir setengah mengancam
“Eh, Ramadhan sebentar lagi lho. temen-temen Forkom segera dikumpulkan untuk bahas ini ya?!,” terusnya. Seperti dugaanku kan? Amanah itu seakan hadir tak pandang aku. Matanya setengah melotot memperhatikanku dalam. Jauh lebih galak dari Nur yang sekarang masih tidur. Tanpa dikomando, pundak tiba-tiba membungkuk, mata layu, cairan otak meleleh. Kurang lebih setahun aku memegang posisi sebagi Koordinator Forum Komunikasi (Forkom) alumni Pelatihan Studi Islam 2. Konspirasi. Mentang-mentang dalam agama Islam dimakruhkan minta jabatan, eh...anak-anak PSI 2 malah cari tumbal. Tunjuk-tunjukan yang terjadi. Pemilihan ketua atau koordinator di sebuah Lembaga Dakwah Kampus adalah yang paling aneh sedunia. Di kala orang-orang menggelontorkan uang untuk jadi pemimpin, para bocah lugu nan ingusan, meler pula, ini malah berlari menghindar. Tentu saja sambil ngelap ingusnya yang mengayun-ayun itu. Bahkan ada pameo bilang, kalau disuruh milih bunuh diri atau Ketua LDK, anak-anak pasti pilih lulus cepat, cumlaude, kaya raya, dan dapat istri sholehah. “Nggak ada dalam pilihan, Dodol!” Nur mengigau. Kisahnya setahun lalu. Aku ini sebenarnya bukan Aktivis Dakwah Kampus (ADK) tulen. Lebih banyak kontra ketimbang sepakat. Secara ideologi, walau pernah aktif di kegiatan kerohanian, Surabaya masih terlalu konservatif menurutku. Konservatif dalam arti terlalu membatasi diri. Ketahuan aneh sedikit, baik secara secara penampilan-sikap-pemikiran, langsung di-DO dari JMMI. Memang ada baiknya. JMMI jadi mudah dinetralisir. Jeleknya, jadi nggak kreatif blas! Ikut JMMI pun karena “ditipu” Mas Ridho, senior Perkapalan tiga tahun di atasku. Di sanalah aku mulai diracuni. Buku dan lembaran tentang dakwah kampus diberi gratis supaya aku sakau. Kata-katanya masuk seperti amphetamin, menghadirkan ilusi dan halusinasi. Angan meninggi, ini bukan sekedar kenikmatan tak berisi. Bukannya hanya ketagihan, aku semakin cinta. Aku masih ingat ketika aku ikut Muqim I di Tarik, Sidoarjo. Rambutku gondrong, muka kumuskumus, sandal japitan, kaosan, bawa baju seadanya, ngomong pun seadanya. Aku datang tanpa pemberitahuan, apalagi screening seperti yang dilakukan calon peserta lainnya. Cuma ingin mengisi liburan saja, pikirku. Bandingkan dengan bibit ADK yang lain. Satu stel baju koko-celana hitam berurai rapi menutupi tampilan klimis. Mereka kemana-mana bawa Quran atau minimal komat-kamit dzikir satu set lengkap “side A-side B”. Gayanya yang santun jelas tambah membuat suasana berbeda dari diriku. Terus? Yah...Kadang aku minder, tapi kadang bangga juga jadi point of view. “Jadi alien kok bangga,” Nahloh, suara dari mana nih?
Acara itu sukses membuatku kembali ke masa lalu. Setahun pertama kuliah, aku serasa bebas dari kekangan. Lagu Snada, Justice Voice (JV), dan Izzis yang menggema di sepanjang acara Muqim I, mengingatkanku pada kebiasaanku mengoleksi kaset nasyid. Itu dulu. Sekarang, aku lebih suka mendengar deretan lagu barat dari era british invasion The Beatles sampai era kebangkitan neo-gothic, My Chemical Romance. Hari itu, aku lihat Faris “JV” yang pendek menghantam muka banci Gerard Way “MCR” dengan album berjudul “Jangan Ngepetngepet” atau “Jangan Nyopet-Nyopet”. Yeah...That’s cool beybeh! Kembali dari acara itu, kembali pula sifat angin-anginanku. Kalau tidak ada yang mengajak, malas ikut serta. Yah, aku ini ibarat aktivis setengah matang. Namun digerogoti ulat-ulat kebebasan. Kemungkinan matang itu terjadi, kalau aku benar-benar dapat “kekuatan” merubahnya. Acara PSI 2 berlangsung beberapa bulan setelahnya. Tak ada yang berubah, aku masih bengal. Aku bolos dua materi awal, dan “cabut” di beberapa kesempatan. Walau ada alasan kuat, dua kali bolos adalah toleransi maksimal. Toh, aku yakin tetap dapat sertifikat. Kan mereka orang-orang santun dan cenderung tidak tegaan. Mungkin kalau aku sedikit memohon, disertai air mata yang aku teteskan dari gelas aqua, mereka terenyuh. Hap! Pikiran sederhanaku. Pucuk dicinta, Ujang pun tiba. Si Ujang bawa kerjaan baru di akhir acara. Seperti biasa, setelah pelatihan pasti ada KPP: Kegiatan Penting (nggak) Penting. Mas Wawan dan Mas Amiril, duo panitio, maju ke depan. Dengan pakaian ala sales marketing pabrik kosmetik yang sering aku bilang,”Libur dulu Mas...,” semasa aku di kampung halaman, ia mencoba meyakinkan audiens. Tunggu-tunggu, kalau bilang Libur dulu Mas, itu sama pengamen. Kalau sales jenis begitu, bilangnya,”Maaf Mas, udah ganteng, nggak pake whitening-whiteningan” sambil meratapi kulit yang semakin busik bersisik. “Iya, ini dia tugas teman-teman nanti,” Jelas Mas Wawan lalu meraih belah tengahnya yang terkibas angin AC. Mas Amiril hanya menunduk. Beda dengan Mas Wawan, angin AC meluncur cepat di atas kepalanya tanpa terkibas seperti mobil di jalan bebas hambatan. Tidak punya rambut. “Manarul Ilmi Expo, Sambut Maba, RDK, dan anak-anaknya,” cetus Mas Amiril. Kegiatan itu berangkai selama setahun kepengurusan “bayangan”. Tugas seorang koordinator adalah menjaga semua alumni turut serta dan aktif dalam menjaga perdamaian kegiatankegiatan JMMI selama satu periode. Tujuannya, memperluas syiar, menambah pengalaman sekaligus mempersiapkan kepengurusan mendatang. Enteng? Dari Hongkong! berat kaleee.
Pas pemilihan koordinator berlangsung, aku langsung pasang muka Rowan “Mr Bean” Atkinson. Selama pelatihan, nampak bakat-bakat hebat, kecuali aku. Calon kuat pun sudah muncul. Alhamdulillah, namaku tak muncul. Sampai makhluk bernama Udjo berteriak menyebut namaku. Aku menghilang. Meja jadi saksiku. Dodol tuh orang! Tiga orang maju ke depan, termasuk aku. Setelah ganti style jadi Jojon, sekali lagi kuyakinkan, aku bukan orang yang layak. Sikap dua orang di sampingku membantu meyakinkan penonton. Mereka berwibawa dan visioner. Jadilah kami mirip debat Caleg di TV-TV. Masing-masing melontarkan visi, misi, dan strategi. Aku menjelaskan malas-malasan. Ramadhan Di Kampus (RDK) sendiri sebuah agenda yang menjadi kewajiban bagi kami Forum Komunikasi Alumni (Forkom) PSI 2. Kami menyebutnya KPP (Kegiatan Pasca Pelatihan). PSI 2 adalah tahapan (marhalah) kaderisasi tingkat dua. Di sana tempat mengader calon-calon pengurus JMMI. Nantinya, jebolan PSI 2 akan menduduki jabatan strategis selevel kepala divisi. Bangga? Tentu saja karena JMMI menjadi acuan LDK wilayah Indonesia Timur. LDK yang berdiri kurun 80-an akhir ini juga pernah menjadi Pusat Komunikasi Nasional (Puskomnas) dan sekarang menjadi pusat komunikasi daerah (Puskomda) Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Surabaya Raya. Sial. Aku terpilih. Konspirasi, kompensasi, dan korporasi telah terjadi. Teman-teman berkomplot untuk memilihku, menjadikan aku berpikir ulang tentang akademikku dan tentunya akan muncul korporasi sinting antara jiwa dan raga untuk menjalankannya. Untung tidak sendiri, ada juga orang yang lagi sial hari itu. Rahma, koordinator akhwat. Perjalanan hampir setahun, kuusahakan betul menjaga solidaritas tim. Walau acara yang kugelar selalu sederhana, alhamdulillah, banyak alumni yang akhirnya ngilang. Lho! Yah, namanya juga pilihan hidup, mungkin mereka lebih punya fokus lain, atau tidak suka dengan acaraku yang monoton atau malah tidak suka dengan gayaku yang paspasan? Ah, nggak ngurus! Yang penting sudah berusaha. Flash back itu berhenti sekejap ketika tombol “stop” diinjak. “Ayo...cepat ndang dibuat!” tambah Mas Pandu dengan logat Balikpapannya yang sudah terkooptasi coro suroboyoan. Mas Yusuf yang memang dikenal hemat kata hanya dibiarkan tersenyum-senyum. “Tuh...dengerin kata Mas-Masmu Dik,” ujar Mas Yusuf sekali lagi sambil melempar senyum simpulnya yang menyejukkan itu. Kata-kata halus khas Solo keluar dari mulut dan gemulai jari yang sama halusnya. Tapi ia hanya melempar teori yang tidak penting bagiku. “Iya mas, aku juga lagi mikir,” jawabku, mencoba untuk bersuara “Kemarin sudah sepakat dengan akhwatnya untuk kumpul minggu ini. Agendanya tentang RDK itu sama dua agenda besar lain, Salam...sama Grand Opening Mentoring (GOM),”
“Kira-kira siapa yang cocok jadi SC RDK?” tanya Mas Fathir “Yah, Pokoknya asal jangan aku aja...,”. Berlatih mengelak. Mas Fathir tersenyum cerdik. “Aku kan sudah capek mas jadi Ketua Forkom hampir setahun, Masak harus ditambah lagi jadi SC?” tuturku sedikit pura-pura capek alias mengeluh. “Kok enak?” “Kamu kan ketuanya, jadi harus tanggung jawab sampai akhir,” Ia memulai perdebatan. “Oh...jadi gitu nih mas, okay-okay kalau maunya seperti itu!” suasana semakin memanas. *** Mari kita kaji kembali sebuah niatan awal. Apakah aku pantas menolak panggilan dakwah? Jangan beretorik tinggi-tinggi, seringkali dakwah diartikan kaku, hanya aktivitas di dalam masjid. Padahal, menyantuni orang miskin dan anak yatim juga dakwah. Pertanyaannya dirubah jadi, apakah aku sudah meninggalkan rasa humanis yang seringkali aku dengungkan bersama filosoffilosof sosial itu? Ah, terlalu panjang. Intinya, aku punya perasaan atau tidak sih? “Ini aku...,” Nur mengacungkan tangan setelah terdengar kata perasaan. Ia belum sadarkan diri. Tapi benar, memang hanya Nur yang kumiliki. Bohong! Kalau aku merasa tak jenuh menjalankan ini semua. Tapi sekali lagi, kita butuh refreshing bukan hibernasi. Tak ada cuti apalagi pensiun dalam dakwah, begitu seingatku perkataan seorang ustad. Dan aku benar-benar beku bagai hati yang tak bisa ditiup keharuman takwa. Badanku retak setelah beban yang ditimpa berulang. Syaraf yang bercabang-cabang itu telah mencapai yield point. Nadiku menegang, nafasku meregang. Sesak. Geometri sel darah hancur berantakan yang akhirnya menimbulkan celah-celah untuk dirasuki penyakit. Salah satunya, futur. Itu bukan asumsiku, Robert Hooke sendiri yang bilang. “Strain is directly proportional to stress,”. Syaratnya, tidak melampaui batas elastis benda. Pada satu titik dimana material tak mampu lagi bertahan menghadapi beban kesehariannya, ia akan mencapai ultimate strength, lalu patah alias crack. Sebelumnya, ia akan bending (bengkok) dulu sampai pada batas modulus Youngnya. Kalau materialnya kawat mah nggak apa-apa. Tapi kalau pesawat terbang atau kapal crack di tengah perjalanan, lak nggilani seh (nggak kebayang). Kata dosenku, konon hukum ini berlaku dimanapun, kapanpun, dan apapun...minumnya tetap teh botol sosro. Lho?! “Kecuali kalau kamu bawa ke bulan. Itu baru beda lagi urusannya,” Aha, kata dosen getaran kapal, Dr. Asjhar Imron. Halah ngomong apa coba. Sok ngenstein. Fisika dasar dapat E ae keakehan pola (banyak gaya).
Terlanjur. Aku lanjutkan lagi. Hukum ini tokcer. Pantas saja kalau nama Hooke dipuja-puja di buku “Theory of Elasticity” edisi Ejaan Yang Disempurnakan. Eh bukan, maksudnya buku berstandar Kurikulum Berbasis Kolonialisme (KBK). Buku keluaran tukang percetakan yang namanya Mc Graw ini dikarang Timoschenko yang masih saudaraan sama Andriy Shevchenko, bintang AC Milan zaman aku SMP dulu. “Yah, KBK. Sekalian aja RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internazionale (of Milan), Mas” suara igauan Nur kembali terdengar. Sayangnya, kata yang keluar lagi-lagi ada Milan-nya, padahal aku bukan Milanisti atau Interisti. I’m Laziale! Irrudicibilli... Halah...tambah ngaco! Tentang keretakan, salah satu idolaku BJ Habibie, pernah mendapat julukan “Mr crack”. Sebabnya, ia mampu memecahkan permasalahan titik rambat keretakan pada sambungan sayap dan badan pesawat. Pada zamannya, masalah itu adalah yang paling mengkhawatirkan dan rumit dalam industri pesawat. Kelelahan material pesawat karena beban “berat berulang” terutama saat landing dan take off adalah pembelajaran bagiku. Yang perlu digarisbawahi, gejala crack itu tidak bisa diketahui secara kasat mata. Minimal perlu pengujian ultrasonik, itu pun tergantung kedalamannya. Sama seperti manusia. Apabila ia sedang crack, secara kasat ia masih tampak senyam-senyum. Tapi siapa sangka, kalau besok ternyata orang itu sudah tergeletak di kamar mandi dengan sayatan di nadinya. Manusia itu makhluk getas/mudah patah karena ia dibekali perasaan. Kalau manusia terus memaksakan diri pada kejenuhannya, ia akan patah. Pada hewan juga ada, hanya saja tidak berlebihan seperti manusia. Pernah dengar hewan gantung diri atau benturkan kepala ke tembok karena hari itu ia tidak dapat makanan? Tidak pernah tuh. Kalau manusia minum baygon gara-gara di-putusin pacar, eta mah sering atuh. Beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti umur material, penggunaan beban berlebihan, intensitas pembebanan di luar standar, faktor lingkungan seperti suhu, perlakuan material dll. Tiga faktor awal adalah sebuah aturan yang dilanggar. Produsen material pasti sudah mewantiwanti tiga faktor utama itu melalui perhitungan matang. Sementara faktor lingkungan banyak disebabkan ketidakpedulian. Sebuah material yang dibiarkan berpanas-panasan oleh pemiliknya jelas akan lebih cepat rusak ketimbang material yang diajak baik-baik masuk ke dalam rumah pemiliknya. Sebenarnya, jauh perlu dipentingkan adalah faktor kelelahan manusia. Namun ketika kapital berbicara, harga manusia jadi lebih rendah dari stainless steel. Ini yang jadi ide awal dan kemudian bara semangat kaum sosialis. Para kamerad menuntut keadilan dengan melawan tuan-tuan pemilik modal. Para buruh dididik paham pembebasan dari segala kekangan. Sebagian berkompromi dengan kapitalisme, namun lebih banyak yang akhirnya bergerak radikal untuk merebut haknya sebagai manusia. Ask them for jobs
If they don’t give you jobs, ask them for bread If they don’t give you bread TAKE BREAD! Itu kata-kata masyhur salah satu peletak dasar paham anarchist socialism, Emma Goldman. Prinsipnya, seorang Commandante akan terus memobilisasi proletar-proletar tertindas. Selama manusia masih difungsikan seperti barang yang dimanfaatkan lalu selesai dan dibuang sebagai rongsokan, suara untuk menuntut kesetaraan sebagai manusia dengan pemilik modal, tetap menggema. Aku dengar banyak cerita. Orang-orang yang (di/ter)-paksa bekerja lembur harus cacat seumur hidup atau mati karena kecelakaan kerja. Faktor utamanya kelelahan dan kejenuhan. Menurut penelitian, orang bekerja maksimal 8 jam/hari atau 40 jam/mingggu. Setelah bekerja selama 4 jam, orang harus diistirahatkan. Mengingat kata-kata Emma, aku jadi berkesimpulan. Bahkan di sebuah lembaga dakwah pun, apabila distribusi beban amanah tidak diperhitungkan matang dan strata kesetaraan yang menjurang dalam, maka saksikanlah sebuah pemberontakan. Bisa jadi hari ini ia berada di garda terdepan pembela ideologi. Namun tunggu saja besok. Ia akan tampil jadi orator untuk sebuah kelompok kontra-ideologi. BSH, Barisan Sakit Hati. Sekarang kita tidak bicara soal dogma dan teori ideal. Ini kewajaran perasaan manusia. Mereka minta diperhatikan. Tapi... “Wong jadi mahasiswa kerjanya nggak kenal waktu. Mau kerja ya kerja. Mau istirahat ya istirahat. Nanti tinggal lihat saja transkripnya,” Berarti seharusnya mahasiswa tidak begitu riskan dengan faktor kelelahan. Misalnya mahasiswa S1 yang ciri khas kuliahnya bolong-bolong. Jarang sekali ada kuliah satu hari penuh dari jam 07.00-17.00. Ada juga, jam 07.00-09.00 kuliah, lalu kosong. Baru jam 15.00-17.00 kuliah lagi. Nah, yang kosong itu dimanfaatkan apa ya? “Kok jadi kemana-mana bahasnya?” Kita kembali menyemangati diri. Jangan mengeluh terus. Kalau bukan karena sederet lagu Izzis di album “Kembali”, aku mungkin tak lagi ingat akan perjuangan ini. Kalau bukan karena lagu Pagi Ramadhan “Snada” yang membuatku terenyuh akhir-akhir ini, jelas aku tak akan ambil peduli masalah RDK. Walaupun eksistensi musik banyak didebat, itu caraku mengembalikan diriku yang sebenarnya. Musik adalah darah daging jiwaku. Bagiku, percuma saja kalau memaksakan diri membaca Qur’an tapi hati sedang kosong.
Aku memang sudah agak jenuh. Bayanganku ketika menjadi SC RDK akan menambah beban hidup saja. Padahal aku harus ingat tentang akademisku. Sekali lagi, IP! IP! IP! Pernah aku menganggap bahwa JMMI telah memanfaatkan militansiku untuk menyukseskan agendaagenda besarnya. Ternyata itu hanya halusinasiku. JMMI tak butuh aku, banyak orang yang mengantri untuk menggantikan aku. Akhirnya diriku menyesal juga karena telah berpikiran seperti itu. Karena hal itu hanya akan menghapus pahala-pahala yang telah terukir. Apalah gunanya melihat ke belakang. Aku sendiri merasa bahwa JMMI telah bermutualisme dengan diriku. Aku mendapatkan banyak hikmah dan pelajaran dari apa yang telah aku perbuat bersama JMMI. Apalagi saat ini sedang ramai karena Pemira (Pemilihan Raya). Aku termasuk partisipan di dalamnya. Aku mendaftar menjadi anggota Legislatif Mahasiswa (LM) untuk distrik Perkapalan. Tindakanku jelas hanya untuk memenuhi nafsu berpetualangku. Aku melakukannya untuk meloncat ke sayap lain. Dari dakwah menuju politik kampus. Rencanaku, tahun terakhir aku akan meloncat ke sayap akademik atau ilmiy. Dan aku akan membuktikan bahwa IP tak mencerminkan kemampuan akademikku sebenarnya. Yeah...That’s my simple plan. Hey Dad look at me Think back and look at me Did i grow according to plan? Do you think i’m wasting my time doing things i wanna do But it hurts when you disapprove all along “Perfect”-nya Simple Plan yang berani membenarkan tindakanku. “I just want to make you proud, Mom”. Kegiatan non-akademisku yang sering disalahkan, bukanlah biang keladi kegagalan akademikku. Aku hanya ingin tahu dunia luar, bukan ingin menghancurkan diriku. RDK jelas akan semakin menyita waktu dan pikiranku. Apalagi berkas pendaftaran LM juga sudah sulit dicabut. Pemilihan tinggal sebentar lagi, wajarlah kalau aku sedikit mengeluh. Tak mau kutambah lagi beban hidup ini dengan menjadi SC RDK. Kebetulan saat itu terbesit juga untuk menjadi Ketua Himpunan (Kahima) setelah teman-teman banyak mendukungku untuk ke sana. Tapi rasanya ultra ambisius bukanlah tipeku. Kuputuskan masuk LM yang lebih renggang tuntutannya. Aku sudah sering berdebat dengan pengurus harian yang rata-rata umurnya dua tahun di atasku. Entah itu masalah organisasi dan kegiatan sampai masalah-masalah kecil yang masingmasing kami jadikan prinsip atau idealisme. Tapi menyenangkan juga, karena dari perdebatan itu aku semakin akrab dan mengerti kondisi-kondisi dimana aku harus bertindak. Mereka memberikan wadah bagiku untuk brainstorming.
“Saiki ngene wes. Pilih jadi Kadiv di JMMI atau Kahima?” lagi-lagi Mas Fathir sedikit memaksa. Ia beranggapan aku sudah bersikeras untuk tidak jadi panitia RDK, sulit dirubah. “Gak Karo-karone, Mas!” (tidak keduanya) “Kalau jadi LM gampang itu, jangan-jangan cuma pelarian dari amanah-amanah yang seharusnya ada di pundakkmu” tambahnya lagi dengan mengesalkan. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Memang salah satu niatan (burukku) adalah menghindarkan diri dari amanah di JMMI atau di jurusan. Aku pikir dengan menjadi LM, aku dapat terhindar dari intaian tugas-tugas dakwah baik di JMMI maupun di Kajian Jurusan Assafinnah. Hal itu mengingat salah satu pasal dalam bagian ketiga Mubes III (kitab Undang-Undang Keluarga Mahasiswa ITS) yaitu pasal 18 tentang keanggotaan LM. Didalamnya menyatakan bahwa anggota LM ITS tidak boleh merangkap jabatan di Ormawa (organisasi mahasiswa) lainnya. Bahkan menjadi panitia salah satu kegiatan pun juga tidak boleh. Apa resikonya? Kalau ketahuan oleh Mahakamah Konstitusi Mahasiswa (MKM), bisa hancur namaku. Bahkan bisa membuat malu Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) tempatku bernaung karena ternyata aku telah menodai kepercayaan dari mereka. Perdebatan kembali dilanjutkan, priiiitttt...Pierluigi Collina, wasit terkenal asal Italia itu meniup panjang-panjang peluitnya. “Yeh..Mas kok pilihannya gitu?” aku mencoba membela diri. “Emang jadi LM gak sulit apa? wakil rakyat nih...jadi harus terus menyuarakan suara rakyat!” jawabku memancing perdebatan panjang. Alasan yang sebenarnya perlu diuji. Benarkah aku akan benar-benar menyuarakan usulan rakyat? “Ealah...LM lho nggak ada fungsinya disini, yasudah, kalau begitu nggak papa kamu jadi LM tapi tetap jadi SC RDK,” Mas Fathir mencoba memancing di air yang keruh. “Mas...anggota LM tuh nggak boleh struktural di ormawa lain apalagi jadi SC di sebuah kegiatan besar nan terkenal,” aku coba melawan dengan menunjukkan aturan hukum yang berlaku di Keluarga Mahasiswa (KM) ITS. Kitab suci para aktivis Ormawa itu aku bawa untuk beradu argumen. “Pokoknya, Nggak, ogah Mas!” “Emang, JMMI masuk struktur Ormawa (Organisasi Kemahasiswaan)?” Mas Fathir membalikkan keadaan “Nggak ada kan di struktur KM ITS?” ia melanjutkan. “Berarti nggak papa dong!” masih meneruskan argumennya.
“Tenang saja, kamu aman di JMMI,” ujarnya sambil mencairkan suasana. Gayanya sekali lagi menggoda. Bujukannya seperti rayuan maut memabukkan seperti “Anggur Merah” Meggy Z. “Lho...kok iso ngono Mas?! Sa’enake dhewe ae, hahaha!?” ujarku sambil bercanda melepas kebuntuan. Mereka pun melepas tawa. Tak terasa kami sudah berkerja sama lama sekali. Aku mengenal mereka sejak awal mereka menjadi pengurus harian. Wajar, mereka tak akan melupakan aku. Mungkin mereka dendam dengan adanya aku. Seandainya tidak ada aku, mungkin mereka akan bersyukur. Pasalnya, dengan adanya aku, yang namanya Majelis Akbar jadi terlaksana. Tapi sebenarnya juga bukan karena aku saja, hanya dulu aku yang jadi koordinator organizing comittee-nya. Majelis Akbar adalah sebuah momen suksesi pengurus harian. Orang-orang tua yang harus sudah memikirkan tugas akhirnya dilengserkan, diganti dengan yang lebih muda untuk masa kepengurusan satu tahun. Sebelumnya mereka dibina selama kurang lebih setahun dalam sebuah wadah Ahlul Hal Wal Aqdi (AHWA). AHWA yang akan menentukan kebijakan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) itu selama satu tahun ke depan. Majelis Akbar pula yang mengakibatkan mereka ketiban musibah menjadi nahkoda LDK terbesar di Jawa Timur ini. Masih terbesar ta? Au ah elap... Nyatanya, mereka begitu ikhlas dalam menjalankan amanah itu. Walaupun sesekali tampak merasa lelah dan bosan tetapi mereka tetap berusaha bertahan dengan semangat yang ada. Di detik-detik terakhir kepengurusan mereka, aku melihat kerut-kerut kejenuhan terhias di wajah mereka. Tapi yang membuat diri ini mengacungkan dua jempol, mereka adalah manusiamanusia yang tegar dan dewasa sekali dalam menyikapi permasalahan. Tawa canda mereka membuyarkan anggapan orang lain atas kejenuhan seorang pejuang dakwah. Tak ada lelah dalam melangkah. Tak akan jatuh walau berpeluh. Tak akan surut walau hati mengerut. Semuanya dilalui dengan sabar. Alangkah hebatnya mereka. “Ya sudah, ane percaya saja sama Mas, intinya semua dibangun karena komunikasi, jadi jangan sampai ada yang terdzholimi,” ujarku sedikit bertaruh. “Datang di pertemuan Forkom ya Mas! besok Jumat ba’da Ashar di Barat Utara dalam,” tambahku untuk memastikan agar mereka tidak lepas tangan. Aku sudah berpengalaman, tak mau dikerjai JMMI lagi. “Insya Allah Dik..,” ujar Mas Fathir yang dilanjutkan dengan anggukan dari Mas Pandu dan Mas Yusuf pertanda mereka akan turut hadir. Aku sadar bahwa RDK merupakan kewajibanku. Mau tidak mau, aku harus tetap berada di sana. Tapi sekali lagi, jangan tempatkan aku dalam struktur. Biarlah aku membantu tanpa dilibatkan
dalam penentuan keputusan. Seperti pembantu umum saja. Itu yang aku inginkan. Lebih praktis dan tidak menguras banyak pikiran. Sehingga aku bisa membagi pikiranku untuk meraih angananganku yang lain. Sore itu aku kembali merenung. Secepat-cepatnya aku berlari ke sebuah tempat di sisi barat utara Masjid. Aku ingin menyendiri. Orang tuaku jauh di sana. Aku tidak bisa bercerita panjang lebar kepada ibundaku. Permasalahan ini terlalu dilematis bagi diriku. Rintik hujan di Surabaya yang miskin hujan, seakan ikut berduka. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Ibu...Ayah...Apa yang harus aku lakukan. Di tempat itu, hanya Allah yang menjadi saksi ketika bulir-bulir itu jatuh dari mata lalu membasahi lantai. Saat itu, aku hanya pasrah kepada apa yang diputuskan Allah. Aku hanya yakin bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. “Ya Allah...segala sesuatu yang kumohonkan kepadamu adalah keinginan terbaik dariku. Seandainya suratanmu berkata lain. Aku akan tersenyum manis menyaksikan sesuatu yang terbaik menurut-Mu. Ya Rabb...Bimbinglah aku ke jalan-Mu Wahai yang Maha Adil,”. Kilat menyambar hujanpun turun semakin basah hatinya yang resah kapankah semua kini kan berakhir di jalanan penuh duri Ya Allah tunjukkan jalan-Mu pada si Alif kecil Agar dia dapat menahan cobaan dan rintangan yang datang menghadang -“Alif Kecil” Snada rearranged by Dygta-
Pertemuan Sore Itu, Awal Kenangan Kami “Kami telah memasuki sore dan kerajaan hanya milik Allah,” (HR Muslim)
Tiba di saat mentari belum pulang ke peraduan. Rona merah terpancar dari wajah langit yang makin hari kian membiru. Burung-burung terbang mengitari kubah masjid yang berbentuk setengah ketupat itu. Tua muda berjalan keluar dari masjid mencari rezeki di dunia selepas menunaikan kewajiban lima waktu. Apakah ini pertanda keindahan sejati akan datang pada sore ini? Tak tahulah aku! Yang pasti diriku meyakini bahwa perjuangan dakwah akan selalu berakhir dengan manis. Semoga aku termasuk pejuang di dalamya. Selepas sholat Ashar dan selepas membelah keindahan Al Qur’an, kusandarkan tanganku pada daguku sembari membiarkan mata ini menerawang melihat sekitar. Di serambi utara masjid, aku mencoba menyendiri. Aku rebahkan punggungku pada tiang masjid yang besar dan menjulang itu. Bulu mataku merasakan sejuknya angin menyelinap di balik tepi jendela masjid tak berkaca. Menengadahkan kepala ke atas, melihat godaan ornamen-ornamen di ruang utama masjid yang sungguh menarik. Setelah beberapa saat, sahabatku datang. “Eh...bengong aja! Tuh...anak-anak udah pada dateng,”. Nampak Najib datang menghampiri. Ia mahasiswa D 3 Teknik Sipil, salah satu sahabat terbaikku. Walau kampus D III Teknik Sipil jauh dari kampus utama di Sukolilo, ia masih menyempatkan hadir. Teman-teman mulai berdatangan. Mereka adalah anggota Forum Komunikasi PSI 2. Indah sekali senyumnya. Mulailah kami saling melepas salam dan mengobati kerinduan. Sudah tiga bulan lebih kami tak bertemu. Setelah pertemuan terakhir di Pantai Kenjeran, pantai terindah di Surabaya. Eeeiitts, Jangan bandingkan dengan Pantai Kuta, jauh banget. Jabat tangan kami bergitu erat. Kami lanjutkan dengan pelukan hangat bak seorang saudara jauh dari negeri seberang. Terkadang kami saling menepuk punggung. “Dulurku rek, jek urip ae?! nang endi ae koen Cak! (Saudaraku, masih idup aja, kemana aja slama ini, Mas)” kami saling menyapa dengan canda. Maklum selama ini kami jarang bertemu. Kebanyakan dari kami memiliki kesibukkan. Entah itu kuliah atau amanah di organisasi lain. “Yo opo kabare akh?? (kalimat “how are you” khas Surabaya)” sapa mereka padaku. “Ya gini...seperti yang antum lihat, alhamdulillah tetap sehat,” jawabku sambil tersenyum.
Sebelumnya, aku himpun mereka dengan handphone butut. HP ini sangat berjasa dalam interaksi dan mobilisasi di kampus. Jadi teringat perkataan bunda dan beberapa orang sahabat. “HP-nya udah jelek. Sini biar dbelikan yang baru,” ujar Ibuku. “Nggak usah Bu, dengan HP ini aja aku udah bersyukur ketimbang nggak ada HP,” sahutku. Akhirnya bunda bisa menerima. Wajarlah bagi seorang bunda menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Terkadang sahabatku juga menyindirku. HP-ku terkesan sangat kumal dan kuno. Kadang-kadang iri juga melihat HP zaman sekarang yang semakin canggih dan semakin modis saja. Tapi segera aku buang perasaan itu. Karena bagiku yang terpenting adalah fungsi dan manfaatnya bagi orang banyak Bung!. Percuma saja punya HP yang memiliki banyak fitur tapi tak digunakan bagi kemashlahatan orang banyak. Kenikmatan teknologi hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup. Useless… Seperti idiom yang terkenal baru-baru ini. ”Life was much simpler when Apple and Blackberry were just fruits,”. Kenyamanan teknologi kadang menyamarkan kehebatan manusia. Jangan heran kalau melihat orang menunda kewajibannya gara-gara asyik chatting via blackberry messenger (BBM). Bukankah Apple dan BB pada akhirnya jadi tuan bahkan Tuhan bagi kehidupan kita? Kembali lagi ke acara. Seperti biasa dengan saudariku yang bisa diajak jungkir balik mengurus acara dengan seorang diri. Kadang-kadang lucu juga, yang merencanakan, memutuskan dan mengeksekusi pertemuan-pertemuan Forkom hanya aku dan Rahma, si koordinator akhwat itu. Waduh, semua koordinasi hanya dilakukan via SMS. Kami tidak pernah syuro ribet-ribet. Dan sebenarnya sejak awal jadi Forkom sampai pada pertemuan ini, saya tak tahu siapa itu Rahma. Ah bodo amat, itu semua tidak penting. Terpenting adalah kegiatan silaturahim antar anggota bisa jalan terus. Pertemuan sore itu dihadiri banyak kawan. “Alhamdulillah,” ucapku bersyukur. Akhirnya setelah ada ceramah dan reme-temeh, masuk ke acara yang paling penting yaitu penentuan SC pada tiga acara. Acara penyambutan mahasiswa baru (Salam), Grand Opening Mentoring (GOM) dan yang terakhir Ramadhan Di Kampus (RDK). Mujahid-mujahidah pada kegiatan GOM dan Salam sudah dibacakan. Terakhir tinggalah menunggu hadirnya mujahid-mujahidah RDK. “Nah, sekarang yang terpenting,” ungkap Mas Fathir yang dalam kesempatan itu bertugas membacakan Steering Committee (SC) kegiatan. “Kira-kira siapa ya yang beruntung menjadi SC RDK 29?”. Jangan dibayangkan SC berfungsi sama seperti pada pagelaran profesional. Di sini, SC itu kuli. Nadanya meninggi tak beraturan menggoda dengan tatapan tajam nan menghujam. Beberapa orang yang hadir dalam pertemuan ini tampak gusar. Takut-takut mereka menjadi salah satu yang “beruntung” itu.
Dua acara sebelumnya jauh lebih sederhana ketimbang RDK. GOM hanya satu hari, Salam kirakira seminggu dan RDK sebulan. Jelas, sebuah “keberuntungan” bagi yang mendapatkannya. “Yang Pertama...,” Sekali lagi raut muka Mas Fathir mencoba mencairkan suasana dengan guyonan-guyonan yang tidak tepat waktunya. Saat pembacaan “daftar korban musibah RDK”. Aku pun tak begitu menggubrisnya, walaupun tatap matanya terus mengarah kepadaku. Tertarik padaku? Emang homo... Teman-teman yang belum disebut sebagai SC pada kegiatan sebelumnya mulai ketar-ketir. “Mimpi apa aku semalam?”. Plakkk...jidat hitamnya ditepuk. Disebutkanlah satu per satu nama pejuang-pejuang itu. Ketika itu tanganku masih belum berhenti membagikan snack kepada teman-teman yang hadir sembari sedikit melempar canda kepada mereka. Kami masih melepas kangen. Beberapa sahabatku yang memang jarang sekali (tidak pernah bertemu) sejak agenda PSI 2. “Bey... Marwan... Dodi.. Farhan.. Azhar... Maksum Sulaiman...” pungkasnya sambil tersenyum lega. Menghela nafas. Ia melanjutkan “Sementara untuk akhwatnya ada Qisti... Zhuraida... Yuni... Nurul... Yuli,” titahnya merampungkan bacaan pada secarik kertas yang ia pegang. Waduh....pelanggaran Bung! Perasaan cemas bercampur kecewa. Mas Fathir melanggar gentleman agreement yang belum kita sepakati. Aku belum pernah menyatakan sikap pada pertemuan yang terakhir di balik jendela sisi selatan masjid itu.
Tentulah ia tidak pernah lupa karena selalu menghadapkan diriku pada dua pilihan antara Kahima atau Kadiv dan antara SC RDK atau senator? Aku mencoba menahan diri. Sementara teman-teman lain tidak kalah hebohnya. “Selamat ya Akh...,” ujar beberapa kawan sambil cekikikan di belakang. Mungkin dalam hatinya mereka bilang,”Hehehe...untung bukan ane, JMMI udah dapet tumbal baru,”. Sial, mereka menari-nari di atas penderitaan orang. “Nggak salah JMMI memilih antum untuk amanah itu,” komentar saudaraku yang lain. Senyum setengah terpaksa sengaja kulemparkan ke wajah mereka yang memberikan selamat. Ya...ya...terserah, mau ngasih ucapan selamat atau bunga duka cita juga tidak mengapa.
Kuburan Aktivis “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia” (QS 3: 110)
Percaya tidak percaya, RDK menjadi semacam momok. Bagiku, mirip pelajaran yang berhubungan dengan hitung-hitungan. Cacing-cacing integral seakan merambat masuk ke lubang telinga. Mereka melumat jaringan otak, membuatku gila. Entah siapa yang memulai, istilah RDK adalah kuburan aktivis JMMI, sudah jadi kalimat yang dipatenkan. Akhirnya munculah RDK-phobia, masih berkerabat dengan Acrophobia (takut ketinggian), Hydrophobia (takut air), Xenophobia (takut orang asing), dan Venustraphobia (takut wanita cantik). Hadirnya ibarat Stalin paska meninggalnya Lenin. Perawakannya tinggi besar semantap pasukan merah Jenderal Zhukov. Seruannya kadang sevulgar rencana jangka panjang Mein Kampf! yang dihembuskan Hitler. Kepalannya mirip Benito “Il Duce” Mussolini ketika memimpin pasukan hitam menjungkalkan pemerintah liberal, kemudian digantinya dengan wajah fasis. Dan segala kengerian-kengerian yang dilokalisasi oleh para pelakunya sendiri. Aku tahu dengan mata kepalaku sendiri bahwa menerima amanah ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Atau seindah mentari di pagi hari yang menyejukkan itu. Tahun kemarin aku jadi salah satu Organizing Committee (OC) di sana. Aku kenal dekat SC tahun sebelumnya. Mas-mas SC bercerita bagaimana mereka harus berjuang melawan pengekangan kesibukkan akademik. Terkadang mereka terima batunya. Nilai ujian jadi korban selanjutnya. Wah...aku tak mau seperti itu. Di sisi lain mereka bercerita tentang pontang-pantingnya mereka dalam menggerakkan acara tersebut. Apalagi ketika itu sedang berpuasa. Tak jarang dari mereka yang akhirnya jatuh sakit. Belum lagi urusan birokrasi yang muter-muter kayak helikopter. Terbiasalah mereka dengan semprotan-semprotan maut dari bapak atau ibu pemegang kuasa. Itu semua sudah terbayang dalam benakku. Tapi namaku sudah terlanjur dikumandangkan. Pantang bagi seorang pejuang sejati untuk mundur selangkah pun. Kecuali hanya untuk mengatur strategi atau bergabung dengan pasukan yang lain. Teorinya begitu. Namun, di tengah “kekejaman” itu, aku yakin ada hikmah yang tingkat kualitasnya sama dengan “kekejaman” itu. Artinya, semakin berat rintangannya, yang didapatkan juga semakin banyak. Tantangan itu harus dihadapi, walau saat ini sedang jenuh.
“Even the strongest have their momments of fatigue,” kata Nietzsche. Walau ia pernah kelihatan bodoh ketika menyuruh manusia jadi superman (Uebermensch), aku sepakat dengan kutipan terakhir. Yeah...orang kuat pun bisa merasa lelah. Lihat apa yang Rasulullah lakukan. Tentu semua umat muslim tak akan lupa dengan sumur Pak Badar. Setelah mendengar sebatalyon pasukan Quraisy atau sekitar seribu orang bergerak menuju Madinah, Rasulullah mulai membariskan pasukan. Pasukan muslim yang siap berangkat jihad hanya satu kompi (313 orang). Berarti akan terjadi kekuatan yang tidak imbang, satu banding tiga. Ditambah, saat itu tepat pada bulan Ramadhan (puasa) dan ini kali pertama terbentuknya legiun militer muslim. Karena ini adalah “penampilan” perdana, Rasulullah cukup khawatir dengan kesiapan tentara muslim. Belum ada di antara mereka yang memiliki kapasitas militer setaraf Abu Sufyan, jenderal Quraisy. Keyakinan mereka hanya satu. Mereka yakin akan dimenangkan Allah SWT. Asal sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, Insya Allah semua akan berakhir dengan kemenangan. Tidak halnya seperti perang Uhud yang berujung kekalahan karena ketidakpatuhan pada Rasulullah. Kami menghitung hari. Tinggal tiga bulan efektif! Seperti mission imposible. Atau seperti cerita Bandung Bondowoso ketika membangun seribu kuil dalam semalam. Walaupun pakai bantuan jin dan syetan, mereka ternyata tak mampu. Apakah kami juga harus minta bantuan jin dan syetan? Nggak lah yauw... Pada tahun-tahun sebelumnya, panitia RDK sudah dibentuk sejak bulan Februari. Berarti Hsetengah tahun! Adilkah bagi para SC RDK 29? Mereka dibebankan dengan missi memperbaiki RDK 28 yang lumayan ambradul dalam waktu efektif sekitar tiga bulan saja. Kami sudah kalah start. Belum lagi tantangan birokrasi yang semakin rumit. Jadwal akademik yang tak kenal ampun menghajar semua aktivis hingga tewas seketika di kelas. Dengan waktu yang tersisa dan kondisi yang sedemikian rumit, mungkinkah kami berhasil? Rasanya ini seperti sebuah skenario. Bukan skenario manusia tapi skenario yang disutradarai oleh Rabb Sang pencipta alam semesta ini. Yang bersanding dengan namaku adalah sahabatsahabatku dulu. Mereka orang-orang yang aku kenal selama ini. Terkecuali SC akhwat, aku hanya kenal beberapa. Dodi dan Azhar, dua orang yang menjadi sahabatku di Muqim 1 dulu. Mereka pasti tak akan lupa dengan sosok diriku. Pria yang dikenal sebagai preman dengan rambut gondrongnya dan perkataan ceplas-ceplosnya. Lama aku mengenal mereka. Terutama Azhar yang sempat bersama-sama menjadi SC PSI 1 dulu. Begitu juga Marwan, tak mungkin kami saling melupakan. Wong kami satu jurusan dan pernah merasakan perjuangan berat ketika pengkaderan di jurusan Teknik Perkapalan.
Sementara Farhan, anak Riau yang aku kenal pada suatu acara pelatihan kajian jurusan. Ia orang yang ramah dan dibalik energi senyumnya tersimpan kekuatan dashyat. Lalu Maksum Sulaiman, saudara tercintaku yang kukenal dekat sekali dalam sesi “Mabit” di Masjid. Ketika acara PSI 1, kami berjaga di tempat akhwat mabit. Di sanalah kami saling mengenal secara mendalam. Di tengah rintik hujan yang dingin menusuk, kami tidur di lantai teras masjid, berhadapan langsung dengan angin bebas. Ah, indahnya...Aku menemukan orang yang dalam kesehariannya tidak ada yang spesial, tapi secara jiwa ia menyimpan energi besar. Hari itu, aku benar-benar bahagia. Pertama aku menemukan saudara yang bisa berbagi. Kedua, aku masuk angin kronis! “Cintamuuu...hembuskan nafas cinta, yang tlah lama sirna...” kata Lembu Clubeighties. Lagu ini pas untuk menggambarkan. Eh, tapi aku bukan Maho lho. Aku berani bertaruh, bahwa mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah dimiliki oleh JMMI. Aku tak menyangkal bahwa mereka memang pantas menerima amanah ini. Namun sayang, Maksum tidak bersedia untuk melakoni agenda ini karena berbagai alasan. Jadi kekuatan kami tinggal lima orang. Tapi aku tetap menghormati Maksum karena ia terus memberikanku dukungan. Dari kubu wanita-wanita terhormat di sudut biru, hanya kudapati beberapa orang yang kukenal. Qisti yang kukenal karena ia satu daerah asal dengan diriku. Ia salah satu pejuang dakwah tangguh yang pernah dimiliki Fakultas Teknologi Kelautan (FTK). Zhuraida yang kukenal sebagai seorang yang tegas dan cerdas. Pernah berinteraksi dalam beberapa kesempatan kepanitiaan. Aku akui ia sangat matang dalam mengorganisir kegiatan. Sementara sahabatnya Yuni, hanya kudengar kecemerlangan otaknya dari bisik-bisik tetangga. Namun aku tak tahu siapa dia. Nurul, salah satu tetangga jurusanku. Tapi sekali lagi aku juga tak mengenalnya secara pasti. Apalagi Yuli, nama yang tak pernah sama sekali kudengar. Nama yang sangat jarang berdengung di dunia persilatan. Eh..salah, dunia JMMI’ers. Pantas saja, setelah ditilik ternyata ia memang banyak aktif di BEM bukan JMMI. Jadilah kami pasukan RDK 29 dengan sepuluh ribu kekuatan tempur. Sahabat Rasul terdahulu mencontohkan kami bagaimana mereka berjuang dengan orang yang terhitung jari. Mereka yakin kekuatan ukhuwah dan keimanan adalah kekuatan yang paling dashyat. Tiada tara tandingannya. Kami coba buktikan hal itu. Satu orang pasukan mukmin sejati nilainya sama dengan seribu pasukan tak beriman. Sepuluh elang berterbangan menyibak sore yang mulai padam. Gumam adzan mulai berbisik. Hari menjelang malam. Bulan mengibaskan tabir cahayanya. Hari ini kami berikrar untuk memberikan yang terbaik pada ummat. Ramadhan...kami akan menjemputmu. Biarkan kepak sayap kami terus melaju mencari keridoan-MU. Sampaikan umur kami pada Ramadhan-MU.
Sepuluh elang ini sedang membumbung tinggi ke atas. Memandang dari kejauhan sebuah amanah yang ingin kami terjang. Setidaknya, sebelum kami mati tersambar badai, kami bisa raih kemenangan manis itu. Untuk kami berikan pada umat yang menunggu kehadiran kami. Sayap yang mengembang pantang tertutup sebelum kemenangan itu diraih. Runcingkan paruhmu wahai kawan! Robeklah setiap dahan daunan menghijau nan indah yang menghalangi pandanganmu. Bukalah pintu hati dengan pandangan syurgawi dan bersegeralah menjemput sang bidadari. Melesatlah menghadapi hujan badai. Jangan mundur karena terik matahari. Kuatkanlah jiwa dan ragamu. Karena sebentar lagi kita akan terbang tinggi tanpa makanan dan air.
Pertolongan-Nya “Sesungguhnya hanya orang-orang bersabar sajalah yang dicukupkan pahala mereka tanpa perhitungan,” (Azzumar:10)
Entah kenapa, aku selalu tertarik dengan sosok Abdullah Azzam. Sejak muda sudah menjadi da’i potensial. Ia adalah siswa cemerlang sampai mampu meraih gelar doktor dari Al Azhar. Ketika panggilan jihad membahana, ia menanggalkan posisinya sebagai dosen di King Abdul Aziz University, dan segera berkemas menuju Islamabad. Tujuannya, masuk ke Afghanistan untuk membantu umat muslim yang sedang ditindas komunis Uni Sovyet. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar,” QS Al Imran: 142. Azzam berjasa menampar setiap orang yang mengaku muslim untuk merebut kejayaannya. Termasuk diriku. “He was the reviver of Jihad in the 20th,” ulas majalah Time dalam suatu edisi tentang bangkitnya Islam abad ke-20. Ya, Azzam berjasa mengembalikan lagi harga diri itu. Umat Islam telah berabad-abad menderita di bawah kolonialisme. Kita bukan lagi diingat sebagai peradaban besar, tapi diingat sebagai ”sick man” from somewhere people don’t know. “Sesungguhnya kejayaan Islam diraih melalui dua hal: hitam tinta para ulama dan merah darah para syuhada,” perkataan terkenal Ustad Azzam. “Sangat berat meninggalkan orang-orang yang telah menulis sejarah dengan darahnya,” perkataan Azzam ketika ia diminta mengisi sebuah acara di luar negeri. Ia ke luar negeri dengan maksud “mempromosikan” perjuangan jihad. “Aku dengan jihad, seperti ikan dengan air,” Dua perkataan terakhir adalah sebuah perumpamaan cerdas seorang Azzam. Ikan tidaklah ingin berlama-lama di luar air. Begitu pula seorang mujahid sejati. Ia tidak ingin berlama-lama di luar medan jihad. Walaupun sekiranya air itu keruh, tentu baginya jauh lebih nikmat ketimbang di tanah walau bersanding emas. Aku juga sangat terpukau dengan tulisannya. Salah satu bukunya yang berjudul Ayaturrahman Fii Jihadil Afghan (keajaiban ayat Allah dalam jihad Afghan), kadang membuatku bermimpi. Buku itu ditulis dengan intelektualitas dan sastra yang luar biasa baik, bagi ukuran orang yang menulis di bawah desingan peluru. Menurut Syaikh Abdul Azis Bin Bazz, Ulama terhormat dari
tanah suci Mekkah, buku ini adalah sebuah kabar gembira. “Sebaik-baiknya kabar gembira adalah kemenangan mujahidin,” tegasnya. Buku ini bersemayam di hati tiap pembacanya dimanapun ia berada. Tak peduli Mekkah atau Al Quds, kota peradaban barat seperti London, Paris, Madrid, Los Angeles, pun goncang perihal buku ini. Ribuan pemuda tak pandang ras, berlarian menuju Afghan. Mereka ingin membuktikan kata-kata dalam buku itu. Benarkah ada keajaiban itu? Maaf, aku ingin bercerita sedikit tentang jihad. Bagiku, ketika seorang aktivis dakwah mengerjakan agenda-agenda dakwah tanpa semangat jihad, semua jadi hampa. Walaupun nyatanya kita tak memanggul senjata dan tak sedang berhadapan dengan musuh yang nyata. Aku tipe orang dengan garis berpikir rasionalistik kuat. Namun, didikan agama sejak kecil, memberi warna lain. Sehingga aku yakin bahwa logika manusia memiliki batasan minimal. Ia hanya bisa melakukan pendekatan pada sebuah misteri. Ada hal-hal non logis yang tak bisa dijawab dengan hitungan “rumus sakti” Newton sekalipun. Unsur mistik dalam agama pasti menjadi gunjingan kaum atheis yang salah satunya dihembuskan kaum Marxis dengan dogma “Agama itu racun”. Sebenarnya bukan hanya masyarakat konservatif seperti komunis saja, masyarakat liberal di barat sudah mengganti agamanya dengan filsafat sosial. Bagi mereka, mistisisme tak memberi dampak bagi kemajuan berpikir suatu bangsa. Khusus untuk kaum komunis. Logika menuhankan pada benda (materialisme) berakhir pada klasifikasi “ketakwaan” terhadap masyarakat industri menjadi tiga kelas: tuan tanah, birokrat, dan kaum pekerja. Tentu yang jadi “wali” dengan segala keistimewaannya adalah kaum pekerja. Sedang yang akan masuk “neraka”, mereka para tuan tanah dan kapitalis birokrat. “Alangkah bodohnya, Bahkan sepasang nabi mereka (Marx dan Engels) pun tak pernah merasakan sengsaranya jadi pekerja kasar,” ujarku dalam hati. Kalau mereka benci pada mistisisme, mengapa pula mereka memahat gagah patung Lenin berpidato di Oktober 1917, melebihi menjulangnya menara katedral ortodoks. Mengapa pula mereka memajang foto Mao di tengah Yin dan Yang, ibarat Tuhan penengah dan pembawa kabar kedamaian. Ia berdiri sombong di atas banjir darah Tiananmen, persis sama yang dilakukan diktator di belahan bumi manapun. “Dakwah” Mao berlangsung sadis di masa-masa revolusi kebudayaan. Dipaksakan semua orang China menelan mentah-mentah “buku merah” hasil pertapaannya. Dalam sebuah riwayat, Tuhan Mao akhirnya mati dengan nanah berlumuran di kelaminnya karena hobi berganti gundik. Yang paling membuatku tertawa, betapa bodohnya rakyat Korea Utara yang miskin-miskin itu menyembah seorang Kim Il Sung, padahal di belakang rumah Tuhan Kim berderet mobil Mercedez Benz dengan berbagai seri. Juche/Kimilsungism? Sebuah agama campur aduk MarxisMaois-Konfusianis? Rasa-rasanya sebuah logika yang ditaruh di dengkul untuk menyembah
seorang penghisap darah hambanya sendiri. Kim memang tampak seperti malaikat, itu tidak lain karena propaganda. Propaganda adalah senjata andalan politbiro komunis. Sudah kubilang, untuk meyakinkan bahwa manusia itu lemah, salah satunya dengan kejadian non-logis. Buku Azzam banyak mengungkap karomah Allah di arena jihad yang benar-benar tak masuk logika. Maksud Azzam di sini, untuk membangkitkan semangat dan keyakinan bahwa Allah bersama orang-orang yang berjuang di jalan-Nya. Bisakah membayangkan para mujahid menempuh perjalanan gerilya selama lima tahun? Selama itu, tiap harinya mereka bahkan rutin dihujani roket jenis BM 12 dan BM 13. Padahal di dalam satu roket itu terdapat 52 roket kecil. Bahkan serangan udara biasa menjatuhkan setengah ton bom sekali melintas. Hujan bom itu sampai bisa membuat banyak lubang dengan kedalaman 8 meter dan luas 64 meter persegi. Hal itu sudah jadi makanan keseharian selama lima tahun! Adapula kisah romantik dimana 20 mujahidin terkepung rombongan besar 10.000 tentara komunis Rusia bersama ratusan tank. Saat itu bulan Ramadhan, bahkan dua hari terakhir mereka belum menemukan makanan. Mereka melawan dengan senjata seadanya. Kemudian terjadilah pertempuran sengit. Sembilan mujahid menemui syahidnya. Tiba saatnya tank Rusia mendekati pasukan mujahidin dengan maksud menangkap hidup-hidup. Ketika mereka sampai dengan tiba-tiba, mujahidin yang tersisa secara spontan bertakbir. Takbir itu seakan diikuti seluruh penduduk kota yang sebenarnya sudah pergi mengungsi. Kemudian, tentara Rusia malah lari meninggalkan mereka. Kabarnya, ada sepasukan berkuda yang menyerang. Mereka terheran-heran. Kemudian hari muncul kabar, bila memasuki sebuah desa, tentara komunis itu selalu bertanya dimanakah kandang-kandang kuda para mujahid itu. Lantas warga desa tertawa, di antara mereka tidak ada yang mempunyai kuda. Sumpah, ini nggak masuk logika sedikitpun! Bahkan pasukan paling elit di Indonesia, Kopasuss, walaupun bergerak dengan kekuatan kecil, pegangannya kan tetap M 16 model terbaru. Atau minimal senjata bren yang sekali muntah bisa ratusan peluru. Para mujahid hanya mengandalkan Kalashnikov tua. Itu pun tanpa fasilitas perawatan yang baik. Kalau senjata rusak, biasanya “dioplos” dari onderdil tank yang tinggal rangka. Cerita lain tentu tak membuatku paham. Bagaimana mungkin peluru yang ditembakkan ke dada seorang mujahid, kemudian peluru itu justru jatuh ke kantong bajunya. Azzam pula mengaku berkali-kali melihat utuh dan harumnya jasad seorang syuhada yang berumur beberapa bulan. Kisah lainnya, sebuah tank pernah jatuh dari jembatan gara-gara tembakan jarak jauh sebuah senapan tanpa peluru. Lalu bagaimana segerombolan burung bisa memberitahu para mujahid bahwa akan ada serangan udara. Burung itu terbang di atas kamp mujahidin setiap akan ada serangan. Pasukan mujahidin jua mendapati para tentara Rusia berlindung dan menangis di
balik parit-parit padahal di sampingnya ada senjata dengan peluru terisi penuh. Mereka benarbenar ketakutan. Aku jadi ingat sebuah kisah. Dulu ketika SMA, masjid di dekat rumahku kedatangan rombongan Jamaah Tabligh (JT) yang sedang khuruj fi sabilillah. Beberapa di antara karkun (aktivis JT) yang datang itu adalah alumni jihad Ambon. Khuruj atau Jaulah artinya keluar ke daerah lain untuk berdakwah. JT biasa menggelar khuruj 3 hari tiap bulan atau minimal 4 bulan selama hidupnya, terutama dengan tujuan ke India, Pakistan, dan Bangladesh (IPB). Mereka bergerak dari satu masjid ke masjid lain untuk mengajak warga sekitar bersama-sama memakmurkan masjid. Landasan mereka sebuah hadist yang berbunyi “Apabila ummatku di akhir zaman mengorbankan 1/10 waktunya di jalan Allah, akan diselamatkan,”. Aku tidak paham apakah hadist ini bertipe shahih atau dhoif. Tapi kalau diresapi, esensi kata-kata ini baik untuk membangkitkan semangat. Tak perlu aku ceritakan mengapa konflik Ambon aku sebut “jihad”. Butuh berbuku-buku untuk meyakinkan pembaca, bahwa konflik sektarian di Maluku adalah perjuangan membela agama. Apalagi bagi pembaca yang hanya berkiblat pada bacaan koran nasional seperti Kompas atau Suara Pembaruan, ataupun Internet. Tentu lebih sulit meyakinkan, karena di sana yang digambarkan hanya taring-taring tajam dengan muka ganas dari lasykar jihad. Atau kesimpulan tercela human right community tentang Christianity Cleansing dalam konflik Ambon, genosida pengikut kristen yang sering digambarkan lebih kejam dari Moslem Cleansing dalam Perang Balkan. Padahal yang terjadi sebaliknya. Kembali ke kisah alumni jihad tadi. Ia bercerita kalau pada posisi sulit, keajaiban Allah benarbenar terjadi. Suatu saat ia benar-benar terjebak di masjid. Di sekitarnya ada lima ribuan musuh yang siap mencincangnya. Kekuatan mujahid hanya 30 orang dan hampir-hampir tak mungkin bisa memberi perlawanan. Di saat getar takbir dari mulutnya terus terlantun, mereka memutuskan menyerang dengan sisa kekuatan. Apa yang terjadi? Ribuan orang itu tunggang langgang saat puluhan orang keluar dari masjid untuk melawan. Ada beberapa dari mereka ditangkap. Para tawanan itu mengaku, ketika takbir dilantunkan, hati mereka terasa merinding kecut. Dan ketika mereka keluar dari masjid, yang tampak bukan puluhan orang, tapi ribuan pasukan berjubah putih yang menyerang mereka dengan cepat. Itu yang membuat mereka lari ketakutan. Anggota JT yang sedari tadi bercerita sambil memijiti kakiku ini langsung tertawa lebar. “Lucu kalau ngebayangin,” katanya. Subhanalloh “Jangan pernah mendahulukan nafsu dan teruslah berdoa,” pesan sang alumni. Azzam pun memenuhi citanya. Ia syahid setelah musuh menanam bom di jalan dimana Azzam sering melewati untuk pergi ke masjid. Tidak ada satu pun anggota tubuhnya terkoyak. Hanya sedikit darah keluar dari mulutnya yang sedang mengembangkan senyum. “Sesungguhnya para mujahidin telah kehilangan segala kenikmatan dunia, primer maupun sekunder. Mereka tidak punya apa-apa. Mereka hanya memiliki satu harta yang lebih berharga
dari segala sesuatu, yaitu iman kepada Allah SWT, ridha dengan takdir-Nya, dan bersabar atas segala cobaan,” kenang Azzam di akhir bukunya. Dengan semangat ini, aku akan menjalani RDK bersama ujian dan keberhasilan.
Persiapan Rihlah “Rekreasi umatku adalah berjihad,” kata Rasulullah.
Bulan Mei, tim ini dibentuk. Jujur, saat awal aku merasa benar-benar kesulitan menyatukan teman-teman SC. Kami masih sibuk dengan urusan masing-masing. Apalagi saat itu sudah detikdetik akhir semester. Tugas-tugas besar menumpuk, tidak terkecuali. Semua masih berkutat dengan tugasnya. Aku belum berani memberikan mereka tugas. Nah, ini juga yang menjadi masalah. Di antara SC, hanya aku yang pernah ada di kepanitiaan RDK, itu pun tidak membuatku paham tentang RDK. Salah JMMI juga. Menurut SOP (Standard Operating Procedure) yang pernah kubaca tertanggal 21 Januari 2007, calon SC RDK harus dipersiapkan dan dibekali. Bahkan pemilihan SC harus melalui fit and proper test. Really? Sepertinya selama ini SC dipilih hanya melalui prinsip yang kusebut dengan “asas kebutuhan mendesak”. Menurut prosedur, khusus untuk SC RDK harus dibentuk minimal setengah tahun sebelum acara. Segera setelah SK Ketum turun, maka SC bisa membentuk panitia segemuk-gemuknya. Teorinya, setengah tahun sebelum acara, SC sudah dibentuk, dan tiga bulan sebelum acara proposal sudah jadi. Seharusnya dengan persiapan yang lama ini, RDK mampu mengadakan acara-acara bombastis. Langkah pertama yang dilakukan adalah memilih koordinator SC. Terlihat sepele tapi penting untuk kelanjutan tim. Beberapa kasus membuktikan bahwa salah memilih pemimpin, sangat berpengaruh pada kinerja tim. Pemimpin harus dipilih atas track record, beban akademis, dan unsur lainnya seperti mobilisasinya. Penunjukan secara random harus dihindari. Walaupun telunjuk ini mudah ditudingkan, tapi izikanlah otak berpikir masak-masak. Walaupun JMMI beserta kegiatan-kegiatannya adalah tempat pembelajaran, bukan berarti orang yang awam boleh duduk di posisi puncak. Tugas berat harus dipikul orang yang kuat. Memang semasa mahasiswa belum tampak track record yang jelas. Namun dari perilaku keseharian, kita bisa menilai. Beban akademis jangan lupa dipertimbangkan. Ini berhubungan dengan psikologis. Semua mahasiswa kalau ditanya tugas utamanya di ITS adalah kuliah. Itu pasti. Walaupun ada anekdot berkata,“Dahulukan kuliah. Utamakan dakwah”. Orang yang akademik-sentris susah diajak sedikit melupakan kuliahnya. Sementara menjadi seorang ketua, gara-gara beban yang berat bahkan makan pun bisa-bisa ia lupa. Bukan berarti
semua orang yang ber-IP bagus itu tak bisa diajak kerja sama. Aku menemukan banyak sekali contoh di ITS. Mereka benar-benar bisa menerima beban berat dari dua arah bahkan lebih. Beban datang dari akademik, organisasi, bahkan pekerjaan, bagi mereka yang sudah mandiri. Aku pernah menemukan seorang Kahima yang masih bisa mempertahankan cumlaude-nya dan jadwal mengajar privatnya yang padat. Tidak hanya satu, tapi banyak. Jujur, Aku masih jauh dari level itu. Kemampuan berpikirku tak sebaik mereka. Tapi perlu hati-hati juga dengan orang-orang pragmatis. Ia biasa menipu dengan tameng akademis. Ia dengan santai melarikan diri dari tanggung jawab mengatasnamakan tugas utamanya, kuliah. Aku paling benci orang macam ini. Memang, kuliah jadi tugas utamanya saja? aku juga punya kewajiban yang sama! Kecuali kalau aku sudah di-DO dari ITS, baru boleh beralasan seperti itu. Kasus khusus juga ada, seperti mobilisasi, tanggung jawab keluarga, kewajiban beasiswa dll. Memilih ketua yang rumahnya jauh dan tak memiliki kendaraan pribadi, penting dipikirkan. Apabila suatu waktu ada permasalahan serius, ketua harus hadir bersama rakyatnya. Tak bisa lewat SMS, chatting atau teleconference sekali pun. Rasanya berbeda bila dibandingkan seorang pemimpin yang ada di samping para prajuritnya di masa-masa sulit. Ada juga beberapa mahasiswa yang jadi tumpuan keluarga. Kehadirannya dibutuhkan sekali oleh keluarga. Ketika permasalahan organisasi bertatap muka dengan permasalahan keluarga, mau tidak mau, ia pasti memilih keluarga. Ketika putusan organisasi dibutuhkan mendesak, hasil dari putusannya biasanya jadi kurang bijak. Semua tadi hanya pertimbangan. Bukan KUHP yang harus diartikan saklek. Kalau memang ada pemimpin yang mampu membagi bebannya, itu malah bagus. Setiap pengikut akan menjadikan pemimpinnya tauladan. Otomatis, pemimpin harus “lebih” dari pengikutnya. Itu yang namanya kepemimpinan. *** Sore ini, ba’da Ashar adalah kumpul pertama SC RDK. Sebulan lebih sedikit sebelum masa-masa UAS. Nur bangun. Matanya merah. Berhari-hari ia tidur. Aku pun bebas bercerita panjang lebar. Sekarang, Ia ingin menemaniku di ujung barat masjid. Walau rapat di serambi Timur Utara Lantai dua, aku ingin menatap dari kejauhan, siapa saja yang sudah datang. “Jam berapa mulainya?” “Udah...cuci muka dulu, jangan lupa iler-nya dilap,” balasku. Aku memang bertugas mengundang mereka. Itu tugas terakhirku sebagai Koordinator alumni PSI 2. Jujur, aku tak ingin jadi koordinator RDK. Itu sebabnya, aku ingin telat datang rapat.
Skenarionya, biar mereka memulai rapat, lalu setelah kira-kira koordinator terpilih, baru aku datang seperti pahlawan kesiangan. “Pahlawan bertopeng, ha-ha-ha!” “Oh...Pancen nakalan koen iku (Memang dasar kamu itu licik)!” gerutu Nur. Senyumnya kecut. Alisnya meloncat-loncat. “Bodo amat...,” jawabku singkat. Aku membuang muka. Sombong! HP berdering, SMS masuk. Aku sudah bisa menebak siapa yang mengirim. Aku diamkan. “Krriiingggg...,” telpon masuk. Dilema. “Halo...Assalamualaykum, Akh, teman-teman sudah hadir semua. Tinggal nunggu antum,” jawab Azhar. “Iya nih, ane lagi sibuk. Antum mulai dulu aja,” jawabku sambil mengelus-elus kucing. Dari tadi ia nampak manja di sampingku. Aku sibuk bermain. “Yah...anak-anak nggak mau mulai kalau nggak ada antum,” balasnya kemudian. Nadanya meninggi. Mungkin ini mendesak. Setengah jam lagi Maghrib. “Antum manja banget sih. Tinggal buka aja repot,” aku tak terima. “Tuttt...tuuutttt...,” kontak terputus. “Sudah sana, nggak amanah banget sih,” Nur sok bijak. Gayanya jadi kayak murobbiku. “Okey...okey..,” aku meninggalkan kucing berbulu halus itu. Tas digendong a-simetris karena memang tas slempang. Jangan lupa, aku juga bawa tabung gambar setinggi satu meter. Huh, merepotkan saja! Benar, teman-teman sudah kumpul semua. Mereka sibuk menggosip sendiri-sendiri, terutama akhwat. Suaranya sampai terdengar ke balik hijab. Kata Nur, mungkin lagi ngomongin harga sayur di pasar keputih tadi pagi. Atau bisa jadi ngomongin tetangga kos pas beli ikan bandeng di depan kos. Yang pasti nggak akan mungkin ngomong RDK. Seperti tidak ada topik lain saja. “Ehm jeh, Bose wes teko rek (bosnya sudah datang)!” Azhar berkomentar. “musuh”-ku bersaing di tiap pelatihan JMMI ini, memang sering bercanda semi sarkastik. “Lho...belum dimulai ta?” mereka menggeleng. “Antum semua kan pernah jadi ketua panitia, masak buka rapat aja nggak bisa,” “Terus abis itu ngapain? Kan antum yang tahu agendanya.” Farhan menjawab. Aku terjepit. Kali ini mereka menang. Syuro perdana dimulai. Apa yang mau dibahas juga tidak tahu. Semua berjalan tanpa persiapan. Setelah itu, pemilihan koordinator. Semua berjalan sangat singkat. Tak ada kampanye, tak ada penyampaian visi dan misi, datar-datar saja.
“Siapa yang mau jadi koordinator?” pintaku yang kemudian langsung disambut Nur dengan kalimat khas,”Duodol Puoolll, ya mana ada yang mau lah!”. Benar juga Si Nur. Kalau aku tawarkan uang semilyar, baru mereka mengacungkan tangan. “Langsung, yang lagi di depan aja jadi koordinator,” sahut Dodi. Itu aku. “Enak aja...,” “Kita voting saja,” lanjutku. Satu per satu nama akan disebutkan. “Siapa pilih Azhar?” Semua terdiam. Bisik-bisik terdengar. “Benar nih nggak ada?” tanyaku meyakinkan. “Azhar itu orangnya cerdas, tegas, ganteng pula,” aku coba meyakinkan lagi, walau kata terakhir sebenarnya tidak ikhlas aku menyebutnya. Suasana tetap tidak bergeming. Satu per satu nama sudah disebutkan. Semua hening. Yang muncul justru bisikan-bisikan gaib. Tidak solutif. “Karena tidak ada yang mau jadi koordinator, jadi RDK dibubarkan saja, setuju?” “Stujuuuuu....,” jawab mereka serentak. Lah...aku tambah bingung. Ini orang-orang maunya apa sih. “Mereka mau uang Bey,” Nur yang sejak lahir mata duitan balas nyeletuk. “Udah, yang sekarang lagi ngomong di depan aja jadi ketuanya,” sahut salah seorang dari balik hijab. “Wah...ngajak ribut dia bos,” Nur memanas-manasi. “Iya...iya...ente aja. Daripada lama,” perkataan dari akhwat tadi meluncurkan bola panas. Ia sukses menggiring opini publik bahwa aku yang pantas. Padahal, tidak sama sekali. Namun, setelah ada sedikit suara “bubar” kalau ketua tak segera terbentuk, aku kembali ditempatkan di engsel pintu. Terjepit. Di satu sisi, aku sebagai ketua Forkom bertanggung jawab menyukseskan ini karena termasuk KPP utama bersama GOM dan Salam, di sisi lain, sekali lagi, bosan (baca: malas)! Desakan itu makin deras. Bendungan Nur tak mampu lagi menahan. Aku pikir matang-matang lagi. Luruskah niatku? Hmm, aku coba membenarkan baju Nur. Ia harus nampak rapih, karena aku selalu bersamanya pada tiap keputusan. Biar Nur Aini berbicara. Di sela-sela chaos, aku berdiskusi dengan Nur. “Amanah itu apa?” tanya Nur. “Kakaknya Aminah?” candaku. “Serius!” raut mukanya berubah galak. Sama seperti anjing herder K-9. Lidahnya melet, liurnya meleleh. Sepertinya ia tak sabar membuatku jatuh tersungkur. Menerkam sampai daging lapisan terakhir tersayat penuh darah.
“Emang, kalau kamu nggak mau jadi apa-apa. Mau jadi pengamat dakwah? Hah?!” pertanyaannya menantang. Aku tahu, pekerjaan itu tidak ada dalam barisan mujahid. Menjadi seorang pengamat dakwah, bagai seorang profesor ekonomi yang sedang mengajari tukang sayur dengan teori-teori Keynesisme supaya dagangannya laku. Mereka memang bergelar tinggi, tapi kerjaannya membual. John Maynard Keynes memang mampu membuat Kapitalisme bangkit dari masa malaise. Tapi ia tak bisa membuat tukang sayur kaya! Artinya, dakwah tidak berdiri hanya dengan pengamatan yang melahirkan teori. Semua orang, tua-muda, berpengalaman atau tidak, muslim dari kecil atau muallaf, berkewajiban membawa batu bata untuk pondasi dakwah global. Memang dibutuhkan pemikir, namun terkadang pemikiran itu hanya “gado-gado” pemikiran usang karena tak pernah turun di lapangan. Nur mengutip sebuah kalimat seorang salaf. “Tuhanku, kalaulah tidak terhalang lautan ini, aku pasti berjalan di banyak negeri untuk berdakwah,”. Kata-kata itu membuatku merenung. Aku ingat kisah Khalid bin Walid. Ia sudah menjadi jenderal sebelum ia masuk Islam. Kemampuan dan pengalamannya luar biasa kembali diuji. Kali ini untuk membela Islam. Ia sukses besar. Tapi di tengah kecemerlangan karir militernya, tibatiba ia dicopot dari jabatannnya pada masa khlaifah Umar Bin Khattab. Ia pun menjadi tentara biasa. Apa yang ia katakan. “Aku berperang bukan untuk Umar”. Ini kata-kata yang nusuk banget. Kalau aku jadi Khalid, mungkin aku sudah jadi tentara desertir (pemberontak) sama seperti Mayor Alfredo di Timor Leste baru-baru ini. Sungguh tak ada tandingannya kepahlawanan itu. Seberapa ikhlaskah perjuangan dakwahku? “Selama ini kamu bekerja (dakwah) untuk siapa?” tanya Nur melanjutkan interogasi. “Allah..,” “Bohong! Kamu berdakwah untuk JMMI,” Nur memang tak bisa dibohongi. Ya, selama ini aku tidak ikhlas. Aku merasa di atas angin karena posisiku sedang di atas. Aku kira amanah ketua dalam dakwah seperti supervisor dalam sebuah perusahaan. Mereka hanya mengawasi dan memarahi kalau ada kesalahan. Bahkan cattlepack-nya yang putih bersih akan terus bersih sampai ia pensiun. Jangankan oli, debu saja tak boleh bermesraan dengan pakaian khas petugas lapangan itu. Bahkan Umar pun menangis. Ia memanggul sendiri beras untuk rakyatnya yang seharian menggoreng batu, makanan untuk anaknya yang seharian menangis. Umar bukan Presiden. Ia adalah kaisar dari sebuah imperium besar yang tak ada tandingannya hingga detik ini. Hanya Alexander the Great dan Jengish Khan yang mampu menyaingi. Namun, mereka tak se-nelangsa Umar. “Jabatan koordinator itu hanya simbol. Tidak ada artinya!” tegas Nur.
Ya, memang. Setelah itu, semua berhak berlomba dalam menuai kebaikan. Bisa jadi seorang OC yang hanya sesekali membantu bisa mendapat pahala jauh lebih banyak dari seorang SC yang selalu tampil di depan. Kalau saja ia ikhlas menjalankan. Bahkan bisa jadi, seorang khatib yang berkoar di atas mimbar sampai serak bisa mendapat pahala jauh lebih sedikit dari seorang tukang sapu masjid. Kalau saja ia sombong. “Baik, ane yang jadi koordinator. Fungsi koordinator hanya mengkoordinasi. Selebihnya masingmasing dari kita punya tugas,” jawabku tegas kepada teman-teman yang lain. Mereka hanya mengangguk. Langkah kedua adalah brainstorming. Pengetahuan kami pas-pasan. kalau kami tidak segera menambah pengetahuan, akan tambah membuat lingkaran setan menyesatkan. Rekomendasi pertamaku setelah terpilih jadi koordinator tanpa melalui pertumpahan darah itu adalah menugaskan tiap SC mencari informasi tentang RDK yang dilakukan di kampus lain. Beberapa ditunjuk jadi acuan seperti ITB, UI, IPB, UGM, UB, dan Unand. Tiba saatnya kami mengumpulkan hasil pengamatan. Konsep RDK lahir di UGM. Wajar sekiranya, di sana memang kampus tua. Konsep ini menjamur ke kampus lain. UI menggelar Pesona Ramadhan Kampus (Perak), ITB dengan P 3 R (Panitia pelaksana program Ramadhan), dan Unpad membentuk pasukan Paramadika (Panitia Ramahdan dan Idul Fitri di Kampus). Namun rasanya, RDK JMMI banyak tertinggal dari kampus lain. Mereka bisa membuat acara begitu atraktif. Bahkan dengar-dengar, di ITB, UI dan UGM, dalam bulan Ramdhan mampu menggelar seminar nasional bahkan internasional sampai empat kali. Orang-orang yang diundang bukan hanya ulama, tapi pejabat dan tokoh berpengaruh. Tema yang diangkat juga menyengat seperti misalnya menggugat terorisme, Islam Liberal, westernisasi, politik Islam, sampai kemerdekaan Palestina. Tak heran karena UI langganan mengundang pemimpin Palestina seperti seorang mufti atau pejabat sekalipun. RDK saja baru mampu mengundang tokoh nasional seperti AA Gym, Yusuf Mansyur dll. Itu pun hanya sekali. Setelah diteliti, mereka benar-benar memanfaatkan momen Ramadhan. Syiar yang digemakan all out! Mereka membentuk panitia jauh-jauh hari dengan kekuatan 50-100 orang. Mereka bekerja dalam bentuk cluster-cluster terpisah namun integral. Misalnya, sebuah seminar internasional diisi sekitar 30-an orang yang fix bekerja memaksimalkan di sana tanpa menyambi di kegiatan RDK lainnya. Mungkinkah? Aku harus berfikir sejenak untuk mengatakan mungkin. Walaupun ada yang bilang, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, bukan berarti kita diizinkan terbiasa berfikir unreal. Butuh dukungan bukan hanya berasal dari SC RDK, tapi niatan besar dari JMMI. Bukan juga bisa dirubah selama satu kepengurusan, ini membutuhkan rencana jangka panjang, sama seperti pembinaan mentoring atau pembentukan FSLDK. Setelah tercerahkan, kami putuskan menyusun time schedule. Supaya terlihat norak, maka aku berikan schedule itu. Bisa dilihat sendiri, monggo...
Kali ini kami memasang strategi empat-empat dua. Ujung tombak diisi dua pemain yaitu tim dana dan acara. Ada satu pemain kunci yang tak disebutkan di atas, tim kaderisasi. Ia bertugas sebagai playmaker atau pengatur ritme permainan. Ia akan banyak memasok aliran pemain ke berbagai sektor. Ia pula yang bertanggung jawab memainkan tempo agar semua pemain terlihat selalu fit. Selebihnya gelandang pembantu serangan dan pertahanan akan dipegang tim administrasi dan tim publikasi. Tim administrasi lebih banyak bermain di area pertahanan. Di balik layar komputer, mereka bertugas menjaga database semua rekaman yang penting bagi RDK. Tim publikasi akan memainkan peran penting untuk mengumpan ke tim acara, agar RDK sesuai dengan goal setting. Sementara tim dana akan berharap dari gocekan empat gelandang mengecoh permainan tengah. Dengan daya luncur yang cepat, tim dana siap meraih umpan-umpan terobosan dari tengah untuk segera meraih sumber-sumber dana. Untuk pemain belakang, tidaklah perlu khawatir. Kami punya bala bantuan dari berbagai macam departemen di JMMI. Kekompakkan kami untuk selalu berada segaris, akan memudahkan kami menerapkan jebakan offside, apabila mengalami kebuntuan disebabkan bertele-telenya birokrasi. Ingat, kami sedang bermain Total Football. Sebisa mungkin semua orang mempunyai kesempatan dan kemampuan bermain di banyak lini. Tentu yang bertanggung jawab, sang playmaker. Sekarang, perhatikan lagi schedule panitia. Dari awal timbul keganjilan. Memang terlihat ada ruang waktu satu bulan lebih satu minggu menjelang UAS. Kenyataanya? Tidak lebih dari dua minggu yang berjalan efektif. Target proposal rampung sebelum UAS karena menurut jadwal,
ba’da UAS langsung diperbanyak. Nyatanya? Sampai dua minggu setelah UAS, proposal masih dalam keadaan “under construction”. Dampaknya hebat. Semua rencana mundur berjamaah. Penggalian dana otomatis mundur karena semua pengajuan butuh proposal. Konsep acara juga belum menemukan jati dirinya, berhubungan dengan revisi itu. Akhirnya tim administrasi dan publikasi turut macet. Mau tidak mau, mereka bekerja karena dua tim di atasnya. Khusus masalah dana yang menjadi ujung tombak. Butuh waktu minimal sebulan untuk memasukkan proposal di beberapa tempat bonafit. Butuh juga proses penyebaran proposal, maklum pekerjaan kami bukan sebagai penyebar proposal saja. Begitu juga acara. Acara besar pasti membutuhkan pematangan dalam waktu lama. Terutama diperhatikan adalah perubahaperubahan mendadak yang membuat kita pusing kalau acara ini dikerjakan dalam waktu sempit. Waktu itu kami masih terlalu polos dengan melihat proposal harus sesuai realita nantinya. Padahal, namanya propose akan berisi rencana ideal. Entah nantinya terlaksana, hanya Allah yang bisa menentukan. Sebenarnya tak perlu sama persis, hanya dekati saja realita. Misalnya acara kajian menyambut Ramadhan kalau kita tulis pembicaranya Presiden SBY, realistiskah? Apalagi misalnya SBY baru saja terpilih jadi presiden sehingga sibuk membangun rencana kerjanya. Kalau misalnya AA Gym yang waktu itu pamornya lagi turun. Sekarang ia tidak sesibuk ketika masih tenar sampai-sampai harus booking 2 tahun sebelumnya. AA Gym baru realistis, minimal masih ada peluang. Apalagi waktu kita masih tiga bulanan misalnya. Sayangnya sudah terlambat. Seharusnya proposal itu bagaimanapun harus segera di-fix-kan. Ini akan berefek pada lini yang lain. Kita hanya berusaha meyakinkan pihak pemberi tanda tangan seperti pembantu rektor bidang kemahasiswaan dan pembina. Kalau ada perubahan di sepanjang perjalanan, biarlah berlelah-leah untuk mengonfirmasi pihak terkait. Yang penting, “surat jalan” sudah kita pegang. Hal terakhir yang sering dilupakan: Komitmen. Kami di sini ibarat sedang membangun biduk rumah tangga. Kami terikat oleh ijab qabul saat launching. Nama kami juga tercatat seperti catatan sipil di kantor urusan agama. Surat dari ketua umum menegaskan bahwa kami adalah tim legal dan dilindungi hukum. Sebelum menikah, sekuno apapun pernikahan tersebut -misalnya kisah Siti Nurbaya- mereka akan saling mengikat komitmen. Misalnya, Sang Istri ingin bekerja sebagai wanita karir, Sang suami tentu tak ingin anaknya “diadopsi” baby sitter. Ia pasti akan mengikat janji. “Pokoknya papa kasih izin kamu kerja. Tapi jangan lupa mengurus anak-anakmu ya!” begitu kira-kira pesannya. Misalnya pula seorang wanita mendapat suami seorang pelaut. Begitu pelik permasalahannya. Kadangkala suami tak pulang 6 bulan, bahkan kadang bertahun-tahun tak pulang. Ini bukan masalah gaji yang dikirim atau tidak. Namun, sebagai dua sejoli, mereka butuh mengasihi satu sama lain.
Masing-masing butuh semangat dalam menghadapi hidup. Dan semangat itu tidak cukup melalui surat yang dikirim sebulan sekali atau model zaman sekarang dengan chatting walau tiap hari. Komitmen agar Sang Suami sebisa mungkin pulang ke rumah sekedar menjenguk anak-istri, akan semakin penting untuk keutuhan rumah tangga. Berapa banyak wanita atau pria yang selingkuh karena tak saling mengasihi satu sama lain. Betapapun cantik atau tampannya dua sejoli itu. Begitu juga di RDK. Maklum, di antara kami banyak yang jadi aktivis di dua atau lebih organisasi sekaligus. Kadang dengan amanah yang tak kalah pentingnya. Di sini kami membangun komitmen. Amanah apa yang kami prioritaskan? Tentu saja di luar amanah kuliah. Kuliah pasti menempati urutan pertama. Tanpa debat panjang lebar, kami semua memilih RDK. Mungkin juga karena aku melancarkan psy war pada mereka. Di luar RDK, aku juga punya amanah segunung. Kalau mulai dari diriku berkomitmen, mudah-mudahan kawan lainnya mengikuti. Itu harapanku. Beragam amanah yang mereka pegang. Ada fungsionaris himpunan, middle di JMMI, aktivis tulen BEM, penggerak kajian jurusan, asisten dosen, dan lain macamnya. Intinya, bila ada kepentingan RDK dan organisasi lainnya, semua itu harus dikorbankan demi RDK. Tak ada toleransi karena ini kepentingan dakwah yang lebih besar. Sebagaimana sebuah keluarga, tim ini juga berbagi peran penting. Akhwat mengurusi bidang yang tak bisa diurus ikhwan, dan begitu sebaliknya. Jangan sampai tugas itu tertukar. Karena sudah kodratnya, ibu memasak di dapur dan ayah bekerja di kantor. Sesekali dibolehkan untuk mencegah kebosanan atau saling membantu. Jangan pula berbicara emansipasi dengan memasang pembawa acara seorang akhwat untuk acara pengajian umum yang besar. Kecuali kalau ITS sudah tidak lagi menerima mahasiswa lakilaki. Bukan maksudku mengecilkan potensi manusia. Akhwat tersebut bisa menjadi pembawa acara di acara kemuslimahan kok. Begitu pula ikhwan. Bukanlah tugasnya untuk menghubungi pembicara akhwat untuk seminar kemuslimahan. Adil kan? Harapan terbesar bukanlah kami bisa membagi amanah ini dengan seadil-adilnya. Penilaian keadilan hanya milik Allah. Boleh jadi pahalanya berbeda, jikalau Dodi hanya kebagian membersihkan masjid sebelum waktu tarawih, dan aku kebagian menghubungi pembicara misalnya sekelas presiden RI. Andai aku menyombongkan diri karena telah berhasil mengundang presiden, sementara jamaah tarawih tidak mengetahui siapa yang membuat lantai masjid harum pda malam itu, Insya Allah pahala Dodi lebih banyak. Terpenting adalah bagaimana kami berusaha semaksimal mungkin mengerjakan tiap amanah yang diberikan. Tanpa peduli pendapat orang lain.
Seputar Kaderisasi JMMI “Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya,” (H.R. Bukhari)
Kalau tidak salah, JMMI dalam promosinya dan bahkan dalam beberapa wawancara dengan media, mengaku memiliki kader 200-300 orang. Mudah-mudahan tidak salah ketik, seperti misalnya nol-nya kelebihan. Angka itulah yang membuatku bangga sebagai kader JMMI. Ia adalah lembaga terbesar di kampus ini. Ya, terbesar! Menurutku, JMMI sudah memiliki pabrik kader yang baik. Namun ibarat Indonesia yang tongkat-kayu saja dilempar ke tanah bisa jadi tanaman berguna, JMMI tak mampu memanfaatkan potensi itu. Seperti kebanyakan lembaga kemahasiswaan, mereka kaya konsep namun tak mampu menjaga kestabilan konsep tersebut. Dalam artian singkat, JMMI tak mampu memaksimalkan potensi kader secara keseluruhan. Jangankan keseluruhan, setengahnya pun tidak. Alur kaderisasi yang dimulai dari Program Studi Islam (PSI) 1, pasti menelurkan banyak kader. Bayangkan, dalam satu waktu, JMMI bisa mengader sekitar 100 calon anggota JMMI, ikhwan dan akhwat. Namun sekali lagi, 100 otak itu tiba-tiba hilang tanpa jejak. Aku pernah menjadi SC PSI 1. Tugas SC adalah memaksimalkan acara itu, bukan mempertahankan para peserta sampai ke jenjang tertinggi di JMMI. Kebanyakan dari kita menguatkan argumen dengan istilah “seleksi alam”. Padahal bukan itu permasalahan utamanya. Titik pokok bersimpul pada keinginan pengurus harian mematuhi sistem yang sudah dibuat dan disepakati. Setelah acara kaderisasi selesai, maka tahap selanjutnya ada di tangan para pengurus harian. Sebisa mungkin mereka harus mempertahankan kader yang sudah disebar merata pada masing-masing lini, sesuai hasil screening. Bahkan yang membuat tertawa, dulu ketika aku menjadi SC, mayoritas SC bukanlah alumni PSI 1. Jadilah kami kebingungan, sama seperti SC RDK yang melakukan perjalanan jauh tanpa bekal. Belum lagi, acara yang seharusnya jadi gawean utama departemen PSDM, justru SC berasal dari lintas departemen. Lantas, kemana para alumni PSI 1 dan kader departemen PSDM? Pertanyaan ini belum terjawab sampai sekarang. Forum alumni memang dibentuk. Kehadirannya merupakan harapan besar bagi JMMI. Kegiatan KPP pun dibuat apik. Coba, kita hitung beberapa bulan semenjak acara, paling nanti hilang dengan sendirinya. Bukan pesimis, aku berani bertaruh, peluang kegagalan itu 80%. Hangathangat tahi ayam.
Beberapa orang mengeluhkan, tidak ada support dan apresiasi dari anggota forum, bahkan juga dari JMMI secara organisasi yang menaungi forum ini. Aku tak tahu jawaban yang pasti. Hanya, pengalamanku jadi koordinator forum, keduanya masuk logika. Pemain cabutan, itu istilah dalam dunia sepak bola antar kampung. Dulu, aku sering jadi pemain cabutan sebuah klub untuk membantu memenangkan kejuaraan. Istilah itu terbawa-bawa ke organisasi JMMI. Pemain cabutan adalah orang-orang yang dinilai potensial untuk masuk dalam sebuah lini atau acara, namun lewat jalur belakang. Artinya, mereka datang bukan dari jalur resmi, hanya kepentingan pragmatis sesaat. Misalnya Ujang, aktivis super duper potensial. Selain punya kepemimpinan kuat, ia juga punya jaringan ke atas dan ke bawah yang dibinanya secara baik. Ia berpetualang di banyak organisasi, termasuk kajian jurusan, namun tidak pernah dengan JMMI. JMMI melihat ini sebagai peluang “membajak”. Ia tak pernah berinteraksi di JMMI namun sering ke masjid dan punya hubungan informal dengan punggawa JMMI. Jangan heran, kalau ia bisa tiba-tiba menjadi Kadiv atau manajer dalam Badan Semi Otonom (BSO). Bahkan kalau benar-benar kepepet, bisa tiba-tiba jadi kepala departemen. Bukan bermaksud suudzhon, ini realita. Tak bisa dipungkiri lagi, kaderisasi JMMI lumayan berantakan walau setiap agenda dikemas begitu apik. Kadang orang melihat dari luar, JMMI bisa menjalankan sekitar 200-an Prodak (Program Dakwah) dalam sekali kepengurusan. Mengenai acara yang dibuat, aku dan seluruh civitas ITS mengakui, excellent! Sebuah angka fantastis untuk orang awam. Kenyataannya, secara jiwa, agenda itu kosong makna. Orang-orang yang bekerja di dalamnya rata-rata single fighter atau kader dengan kesibukan dan amanah yang luar biasa banyak. Nilai dakwah secara implisit hilang. Seharusnya dengan adanya Prodak, banyak mahasiswa yang semakin tercerahkan dan tergerak dengan perjuangan dakwah. Nyatanya, yang pintar tambah pintar. Sedang yang bodoh, dibiarkan stagnan. Pertanyaan paling besar yang tak mampu kujawab. JMMI sudah memegang mentoring resmi bertahun-tahun lamanya. Dari ribuan orang yang ikut mentoring, tidak lebih dari 10 % yang aktif dalam lembaga dakwah tingkat institut atau jurusan. Jangan lagi bilang ini “seleksi alam”. Jangan pula bilang ini adalah kodrat dakwah, sedikit tapi berpengaruh. Bukankah untuk menguasai sebuah tataran sosial, kita butuh jaringan yang menggurita, mereka yang memimpin pada setiap pos dan peluang dakwah? Memang sudah ada beberapa aktivis yang berpengaruh di banyak bidang. Beberapa berpengaruh di politik kampus macam Presiden BEM atau Kahima (untuk posisi Kahima, aktivis dakwah hanya menguasai paling banyak 3 dari 28 kursi), atau mereka yang aktif di keilmiahan dan akademik, mereka yang ber-enterpreneur, mereka yang mendirikan komunitas nondakwah. Hanya saja, mereka tak tergabung dalam sistem terintegrasi. Hasilnya, potensi ini tak akan pernah bisa maksimal untuk kepentingan dakwah. Betul?
Aku hanya bisa beristighfar. Aku memang mampu berteori, tapi miskin aplikasi. Aku pun tak memberi solusi nyata. Bingung sendiri harus seperti apa. Tapi secara tersirat bisa jadi ini cambuk untuk maju. Sulit rasanya menjadikan JMMI lebih profesional, mengingat ya kita tahu bersama, ini lembaga kemahasiswaan Bung! Kalau sekiranya para kader JMMI dibayar untuk menggerakkan ini, mungkin bisa lebih profesional. Ngarep! Hehe...
Manusia Beruang “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi mereka yang sabar,” (Al Baqarah:155)
Sebelum masuk lebih jauh tentang RDK, aku hanya ingin menganalisis beberapa karakteristik RDK. Walaupun ini pengamatan luar yang sangat sederhana, mungkin saja bisa menjadi teorema bila kebenarannya sudah teruji. Permasalahan tentang Sumber Daya Manusia di RDK “Satu Orang, Ajari Satu Orang,” Bob Marley Sebuah risalah tentang Ustad Hasan Al Banna pernah ditulis Ustad Abul Hasan Ali AN Nadwi, seorang pendiri Jamaah Islamiyah, cikal bakal negara Pakistan. Ia menyebut Ustad Al Banna sebagai Dai brillian yang sengaja dihadirkan Allah SWT di kala Islam kehilangan jati dirinya. Mesir, salah satu kekuatan Islam disegani di wilayah Maghribi (Afrika Utara), sedang gandrung berkiblat pada sekuleris Turki. Perlu diketahui, Al Banna adalah peletak dasar gerakan dakwah modern, Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Islam). Walau dengan nama yang berbeda-beda, inspirasi Ikhwan sudah merambah di sekitar 70 negara. Konsep utamanya tentang pemurnian Islam hadir mencerahkan umat yang kehilangan arah. Toleransinya dalam beberapa perkembangan kontemporer global mengawali bangkitnya gerakan modern. Salah satunya, dorongan kepada umat untuk kembali membangun peradaban dengan menguasai ilmu yang sudah tertinggal jauh ini. Termasuk menguasai ilmu-ilmu barat yang dulu sempat “diharamkan” untuk dipelajari. Tujuannya bukan untuk gandrung pada barat, tapi menusuk balik dengan pisau mereka sendiri. Paling penting, Al Banna mengajak umat bernostalgia dengan kejayaan Islam sebelum barat berbalik unggul lewat momen renaissance. Saat itu adalah sebuah masa ketika dunia berkiblat pada Islam. Dimulai dari kedai kopi, dalam beberapa tahun Al Banna sudah bisa membentuk sel-sel halaqoh. Menurut ide Al Banna, merebut sebuah negara atau peradaban, harus dimulai dari akarnya. Pertama pembentukan kepribadian muslim secara perorangan, lalu membentuk keluarga sesuai tuntunan Rasulullah, kemudian membentuk masyarakat madani sesuai yang dicontohkan Rasulullah, dan slowly but sure, negara Islam dan khalifah akan terbentuk dengan sendirinya. Secara singkat, Ikhwan tak mengenal kata revolusi yang merubah tatanan masyarakat secara cepat dan radikal.
Kalau aku hubungkan dengan perkataan Bob Marley, pencetus gerakan anti kemapanan “Rastafara”, ada sebuah irisan di sana. Alangkah lebih menyerap, jikalau kita memahamkan orang secara personal. Mereka akan lebih merasakan kedekatan ini dan selanjutnya akan mengikuti ide awal yang ditanamkan. Di samping itu, prinsip one teach one memudahkan kita melakukan controlling. Kemudian, manusia yang sudah terbentuk bisa menjadi konduktor gerakan untuk manusia lainnya. Begitu seterusnya hingga massa membengkak tak terasa, dan cita-cita tinggal menunggu waktu untuk terlaksana. “Dalam burung merpati ada tulang yang lunak namun juga ada hati setajam burung nazar dan sekeras singa,” Begitulah ustad An Nadwi melukiskan generasi “sel-halaqoh” yang dibentuk Al Banna, mengutip penyair terkenal Muhammad Iqbal. Al Banna sukses membentuk pemuda Islam mendekati zaman sahabat Rasulullah. Saat itu, para sahabat dikenal dengan perangai yang lembut, namun tak segan mempertahankan harga dirinya dengan darah. Apa yang dilakukan Al Banna tentu sudah basi. Ia hanya mendaur ulang apa yang Rasulullah lakukan di “ma’had Arqam bin Abi Al Arqam”. Sahabat dalam lingkaran terdekat halaqah Rasulullah adalah bentuk duplikasi dirinya. Intensitas yang tinggi membuat mereka secara tidak langsung melakukan modelling terhadap sosok Rasulullah sampai taraf “persis alias podo plek”. Nah, aku menelurkan sebuah rekomendasi. Seorang SC dalam hal ini khususnya koordinator harus lebih dulu memahami visi, misi, sejarah, dan esensi RDK. SC difungsikan sebagai pusat energi acara RDK itu sendiri. Kemampuannya mempertahankan energi itu akan mempengaruhi keberhasilan RDK. Setelah mereka memahami inti dari RDK, mereka harus menyebarkan itu ke atas dan ke bawah. Dalam hal ini, aku akan banyak bercerita hubungan ke bawah saja karena berhubungan dengan SDM. Menurutku, kepanitiaan RDK harus dibentuk bukan seperti sebuah tentara kesatuan besar. Ia harus bermain secara gerilya. Dalam prinsip peperangan gerilya, sangat diharamkan pasukan bergerak secara rombongan. Mereka berjalan berkelompok (kecil) dan tidak terlihat. Tiap kelompok menguasai sebuah daerah dengan sangat baik. Koordinasi terpusat harus dihindari. Selain karena akan menimbulkan ketergantungan pada pusat yang kenyataan di lapangan butuh gerak cepat, dan alasan lain adalah alur yang dipakai juga akan rumit. Lebih baik koordinasi antar kelompok, dan pimpinan pusat cukup mengetahui. Asal sesuai prosedur, maka sebuah serangan sporadis hasil kerja sama dua kelompok atau lebih, bisa menghasilkan kemenangan besar. Arena peperangan yang tadinya luas, bisa menyempit dengan sendirinya. Tiap kelompok akan berusaha melokalisasi musuh dan mendesaknya ke ruang sempit yang telah disediakan. Inti perang gerilya, dengan ketapel pun kita bisa melawan tank. Jelas, tank sulit mengarahkan moncongnya pada satu orang ketimbang pada satu kawanan pasukan. Mungkin dalam sepak
bola mirip seperti total football-nya Belanda. Tiap pemain diwajibkan memberi tekanan ke segala arah. Bahkan seorang pemain belakang pun bisa mengancam gawang musuh. Seorang penyerang juga bisa membantu mengawal gawang mereka sendiri. Lebih gila lagi, seorang pemain di sisi kiri bisa tiba-tiba bertukar tempat ke tengah ataupun kanan. Terkadang, deskripsi tentang “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dengan bandingan seikat sapu lidi dan satu lidi, bisa salah. Lah kok? Kalau aku jadikan 100 lidi itu menjadi 20 lidi tiap ikat, maka itu jadi kekuatan besar. Selain bisa menimbulkan efek pukulan yang lebih sakit, aku juga punya kekuatan lima kali lipat. Belum lagi, musuh akan bingung, lidi mana yang akan dipatahkannya lebih dulu. Satu ikat patah, masih ada empat lagi dan semuanya berusaha saling melindungi. Teorinya seperti itu kira-kira. Secara ideal, pemikiranku tentang sel panitia RDK bisa jadi realistis. RDK tak butuh panitia sampai 100 orang seperti rata-rata demand para SC RDK. Memang 100 angka ideal melihat RDK biasa menggelar 20-an Program Dakwah selama Ramadhan. Kenyataannya? Hanya seperlima yang bisa dipertahankan pun sudah pantas disyukuri. Tak mengapa jikalau kita melakukan open recruitment sampai angka 100. Jelas, data ini akan disangsikan efektivitasnya. Aku pun harus cerdik melihat perkembangan kepanitiaan. Walau tak pernah belajar psikologi, kita harus memilah orang-orang potensial dan memetakannya. Ingat, orang potensial bukan berarti mereka yang punya kepemimpinan saja. Seorang OC yang pemalu tapi punya keahlian di depan komputer pun, ia potensial. Asal nggak malu-maluin aja. Tiap SC harus dibekali kemampuan Self Leadership and Organizational Leadership. Koordinator SC bertugas memainkan ritme ini. Seorang SC dengan kepemimpinan mumpuni bisa jadi tereduksi dengan kelabilan dirinya. Kenapa aku harus memikirkan ini begitu dalam, karena sekali lagi SC adalah pusat energi. Khusus mengenai self leadership, Rasulullah benar-benar memperhatikan hal ini. Misalnya, ketika pulang dari perang Badar Al Kubra, Rasulullah berkata pada para sahabatnya. “Kita pulang dari perang yang lebih kecil, menuju perang yang lebih besar,”. “Apa perang yang lebih besar itu wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. “Perang melawan hawa nafsu,” jawab Rasulullah singkat. Peristiwa ini mengingatkanku pada sebuah perkataan seorang salaf. “Setiap musuh yang anda perlakukan dengan sopan maka ia akan menjadi kawan, kecuali nafsu. Semakin lunak anda padanya, ia akan semakin menjadi lawan,”. Dalam struktur, SC adalah pimpinan sel. Mereka akan membawahi 3-10 orang binaan. Tidaklah sulit mencari 3-10 orang di tengah ribuan mahasiswa muslim di ITS. Jumlah mahasiswa baru yang muslim saja bisa melebihi angka tiga ribu. Masak, mencari seperseribunya saja tidak bisa.
SC sendiri sudah terbagi dalam bidangnya. Misalnya, ada SC khusus Dana, Acara, Publikasi, Administrasi, dan Kaderisasi. Setiap sel akan dibina sesuai spesifikasinya. Tentu, SC wajib punya ilmu lebih banyak dari OC-nya. Minimal pengetahuannya tidak nol. Seorang SC Acara wajib mendidik OC, bagaimana cara menyusun acara, bagaimana mencari link dengan pembicara besar, sampai pada taraf teknis bagaimana menjadi pembawa acara yang atraktif. Begitu juga SC Dana. Ia harus mengajari OC-nya dimana sumber dana potensial, bagaimana melobi orang, bagaimana strategi penyebaran proposal dll. Namun, permasalahan utamanya adalah tidak banyak orang yang mampu memimpin sel dengan baik. Ia harus punya kualifikasi sebagai pemimpin, pengajar, pendidik, pengarah, penyemangat, dan pemecah masalah. Secara teori, ia mampu menemukan jalan berpikir (way of thinking), merasakan sekitar (feeling), mendayagunakannya (functioning), menjadikan jalan hidup (way of life), dan menciptakan perubahan ke sesuatu yang lebih baik (transforming). Semua ini didapat setelah seseorang melalui tahapan self leadership. “Jika engkau ingin jadi pemimpinku, maka berdirilah di depanku,” sebuah pepatah kuno mengingatkan. Kekuatan leadership akan menjadi senjata utama sebuah tim. Tentu, kepemimpinan mempunyai jenjang. Seperti diskusi, harus ada yang berbicara dan yang lain mendengar. Semua komando harus diatur dengan baik. “Ibda’ bi nafsik (mulai dari diri sendiri)!” kalimat singkat yang sering ditekankan Rasulullah. Mungkin aku juga tak akan pernah lupa dengan 3 M-nya AA Gym. Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, mulai dari sekarang. Pemimpin sel akan mentransformasi pikiran anggota sel, dari tidak paham menjadi paham, lalu dari acuh jadi peduli dan terakhir yang lebih penting adalah dari diam jadi bergerak. Praktis, RDK memiliki 10 orang SC (ikhwan-akhwat) minimal mereka punya 30 dan maksimal 100 orang dengan tingkat militansi setara dengan SC. Selain berfungsi menyukseskan acara RDK pada momen tersebut, secara tidak langsung mereka telah menanam benih baru. RDK tahun depan, wajiblah sekiranya untuk menyuguhkan acara yang lebih baik dari tahun ini. Benang merah yang selama ini hilang, telah ditemukan. Kaderisasi berinti pada transfer pemahaman (understanding) dan kesadaran (consciousness) terhadap sesuatu. Kalau berjalan secara ideal, dengan jumlah 30 orang OC, kita bisa membuat acara setara dengan 300 orang OC. Pada akhirnya, simbol SC dan OC hanya ada di lembaran proposal saja (formalitas). Setiap orang yang mengaku tergabung dalam keluarga RDK, ia akan punya ghiroh (semangat) yang sama. Ketika Uang Tak Lagi Berpihak “Uang bukan segalanya, namun segalanya butuh uang,” anekdot. Aku benci paham uang-isme. Uang-isme atau duit-isme atau hepeng-isme mengatakan bahwa kehidupan di dunia tak akan berjalan tanpa uang. Walau benci, melihat pengalaman, memang
paham itu lebih banyak benarnya. Di tengah masyarakat yang sudah ter-uang-isasi, kita harus pintar berkompromi. Kecuali kita hidup di desa zaman Majapahit, tanpa uang bertahun-tahun pun kita masih tetap hidup. “Lagi-lagi uang...,” Nur bergaya atraktif seperti Nicky Astria, lengkap dengan aksesoris jaket kulit, rantai, dan sepatu boot khas rocker zaman glam rock. “Lelaki perlu jihad, dan jihad perlu dana,” kata Syaikh Abdullah Azzam. Perkataan ustad Azzam harus diamini seluruh elemen rebellion yang ingin meminta haknya dari jalur swadaya. Tak peduli itu perjuangan Islam, atau komunis sekali pun. Beberapa ide menarik masuk, salah satunya dengan menghasilkan dana melalui perdagangan ophium (candu) seperti yang dilakukan kaum kiri di Amerika Selatan. Walau tidak semua, pemberontak kiri banyak melindungi petani koka (bahan dasar kokain) dan memanfaatkan harga penjualan yang tinggi untuk membeli senjata. Tentu, Syaikh Azzam dan para pejuang Afghan Insya Allah tak akan melakukan itu. Yang aku tahu, ia berkeliling ke negara Islam untuk sekedar “mempromosikan” jihad Afghan. Secara otomatis, masyarakat Islam bersimpati dan mengirimkan jiwa raga serta dana mereka. Aku jadi ingat buku Dari Gerakan ke Negara. Di sana Anis Matta berpendapat bahwa keterbatasan dana adalah ironi besar yang membatasi ruang gerak dakwah. Hal itu disebabkan para kader dakwah tak begitu ambil peduli mengatasi keterbatasan ini dengan menciptakan keberlimpahan. “Maka selamanya keterbatasan itu menjadi realita kita,” tegasnya. Kembali ke persoalan RDK. Salah satu momok menakutkan adalah masalah dana. Bukan hanya RDK, hampir di setiap kegiatan pada setiap organisasi kampus, juga akan menghadapi hal yang sama. Karena di sini kita berbicara masalah RDK, maka kita akan melakukan pendekatan menurut kaca mata RDK. Berapakah kepeluan rata-rata RDK tiap tahunnya? Dari sebuah data yang coba aku ingat-ingat, RDK membutuhkan dana kurang lebih 100 juta rupiah dengan sedikit rincian RDK 26 (80 jutaan), RDK 27 (Rp 99.685.000), RDK 28 (melewati angka 100 juta) dst. Ini memang hanya terlukis di proposal yang biasanya hasil penggelembungan anggaran. Bukan bermaksud korupsi, tapi memang rata-rata SC RDK memasang safety factor terlalu tinggi untuk sebuah anggaran. Tak diharamkan kan? Entah karena faktor inflasi yang tinggi, yang pasti tiap tahunnya kebutuhan dana itu terus melonjak. Dan terlihat jadi tambah edan, ketika perhitungan sementara SC, RDK 29 membutuhkan dana 150 juta! Mimpi di siang bolong. Itu perhitungan kasar yang membuat pembina TPKI, Pak Triwikantoro, shock melihatnya. Setahuku, mungkin ini salah satu agenda mahasiswa yang paling banyak menyedot biaya. Menyimak perkataan Ustad Anis, rasanya memang solusi terbaik adalah menciptakan “pabrik uang” bukan mendirikan “yayasan”. Pabrik uang memang memberi janji kestabilan dan kehormatan tentang uang. Sementara sebagaimana kebanyakan yayasan, mereka bertumpu
pada simpati orang sekitar. Tapi menurutku, keduanya tidak negatif, asal tidak merugikan orang lain saja. Mungkinkah RDK membuat pabrik uang? Kemungkinan itu kecil. Jangankan RDK, tidak satu pun lembaga kemahasiswaan di ITS yang mampu hidup mandiri, termasuk JMMI ITS. Padahal JMMI ITS sudah terbentuk 20 tahun silam. Sebuah waktu yang cukup untuk membangun pondasi bisnis. Tapi ingat, ITS bukanlah kawasan industri yang segalanya bergerak karena uang. ITS masih tetap panci penggodok kader via kegiatan edukasi. Aku akrab dengan beberapa pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Koperasi Mahasiswa (Kopma). Mereka pun mengaku berjalan stagnan. Banyak faktor, mulai dari keterbatasan waktu dan pengetahuan tentang teori bisnis, kurangnya dukungan kampus sampai kecilnya daya beli civitas ITS. Wajar menurutku, karena memang mereka di sana bukan untuk membangun usaha. Hanya belajar bagaimana berusaha itu. Perlu digarisbawahi, Kopma sendiri organisasi dengan visi bisnis paling kuat di ITS. Seorang bijak bilang “Many greatmen started as newspapers boys,”. Namun, “loper koran” itu tak pernah ditemukan di JMMI. Kalaupun ada, iklim JMMI jelas tak cocok dengan mereka. Mereka pasti memilih keluar. Semua kader JMMI memang dididik untuk lihai mengumpulkan uang, bukan pandai menghasilkannya. Hard skill yang dilatih, bagaimana mengakali proposal sehingga menjadi lebih atraktif. Sedangkan Soft skill, bagaimana lobby-lobby dengan orang yang punya wibawa menyilaukan. “Pantas kalau akhirnya banyak yang jadi politikus,” Nur nyeletuk sembarangan. Mulutnya nggak disaring. Jalan ini memang terpaksa ditempuh, karena bisa banyak menghasilkan tanpa proses panjang. Ajukan proposal (dengan muka memelas), tunggu beberapa hari (dengan mulut membleh), turun deh (baru bisa nyengir). Pernah JMMI membangun usaha dari modal lembaga zakat ITS. Namun, permasalahan muncul mirip dengan Kopma, terpaksa badan usaha itu diberikan pada orang-orang profesional. Di RDK ini, kita bukan sedang memainkan fungsi pedagang melainkan penghimpun. Panitia RDK ibarat ketua RT yang pergi dari rumah ke rumah mengambil “pajak” untuk perayaan tujuh belasan. Momen tujuh belasan bagi bangsa Indonesia jelas seia sekata dengan Ramadhan bagi umat muslim. Logikanya, kalau mereka yang KTP-nya ada tulisan I.S.L.A.M, mau tidak mau, sadar atau tidak, akan turut bersimpati pada hal yang berhubungan dengannya. Namun ada sebuah irisan yang bisa kita ambil. Antara pedagang dan petugas yayasan samasama bermodal kepercayaan. Hubungan pedagang dengan konsumen sama seperti petugas yayasan dengan donatur. Bagaimana kita menjaga itu? Gampang saja, cukup menyesuaikan janji dengan realita lapangan. Misalnya, kita dapat kepercayaan membagikan uang 100 juta untuk buka puasa selama sebulan. Kalau bisa tiap hari kita kirim laporan pada donatur itu. Kalau tidak sanggup, cukup seminggu sekali. Tunjukanlah semua rincian struk jual-beli, foto buka bersama, kalkulasi dana
dan laporan yang rapih untuk menghormatinya. Walaupun biasanya mereka tak memeriksa rincian itu, minimal mereka lega karena uangnya tersalurkan dengan baik. Awas, sekali mereka kecewa, itu akan berbekas sampai bertahun-tahun. Kasihan adik-adik kita nanti. Tentang pabrik uang. Aku melacak bayangan potensi. RDK acara besar dan pasti menyedot perhatian banyak orang. Inilah media promosi bagi pelaku bisnis. Atas dasar saling berbagi, kita bisa memanfaatkan momen Ramadhan. Misal dengan membuka gerai makanan, minuman, pakaian muslim di sekitar masjid. Mereka nanti akan membayar komisi, atau memberi potongan dan kemudahan lain pada civitas. Intinya tidak selalu dalam bentuk uang. Tapi akhirnya aku berhadapan dengan realita. Di mata perusahaan bonafit, kegiatan yang dikelola mahasiswa biasanya tak berjalan sebagaimana adanya. Di proposal terlihat megah, kenyataannya jauh berbeda. Alhasil, kegiatan mahasiswa hanya bisa merangkul usaha kecil menengah yang tentu saja tak memberi insentif banyak bagi kegiatan. Namun, tak perlu menyerah, inilah salah satu bentuk usaha untuk menyukseskan kegiatan kita.
Reformasi RDK “Kesuksesan JMMI ditentukan dua hal: Mentoring dan RDK,” kata Dr. Triwikantoro, Ketua Tim Pembina Kerohanian Islam (TPKI).
Menimbang pernyataan di atas, kedua hal memang pantas jadi fokus utama. Bukan berarti mengecilkan Prodak lain, cuma kedua hal ini yang benar-benar jadi parameter penilaian dari civitas ITS. Interaksinya yang berhubungan dekat dengan masyarakat banyak serta faktor urgensinya, pasti jadi pertimbangan. Mentoring bertanggung jawab atas moral mahasiswa, RDK bertanggung jawab di agenda tahunan yang sakral. Sebuah apresiasi pantas dilayangkan pada pengurus harian JMMI periode 2007/2008. Majelis Istimewa (MI) yang -kalau tidak salah- hampir 10 tahun tidak pernah terjadi di tubuh JMMI, terjadi lagi. MI sendiri adalah sebuah forum untuk melengserkan ketua umum saat masa periodenya belum habis karena berbagai sebab. Kalau dulu, aku tak tahu pasti penyebabnya apa. Tapi tahun ini, Mas Yusuf menolak untuk melanjutkan kepemimpinan berhubung kondisi akademik yang mengharuskan dia keluar dari JMMI. Ia memutuskan lulus tepat waktu. Lah? Orang mau memutuskan lulus tepat waktu kok dilarang? Bukan begitu maksudnya. Melihat gonjang-ganjing dunia persilatan, pengurus 2007/2008 memutuskan untuk memperpanjang periode jadi enam bulan lagi. Seharusnya, kepengurusan selesai Mei, namun diperpanjang sampai Oktober. Berhubung di tengah periode itu ada wisuda dan Mas Yusuf memutuskan untuk lulus, berarti status kemahasiswaannya hilang. Sementara beberapa teman PH memang masih berada di kampus. Kuliahnya molor atau sengaja dimolorkan? Tak tahu... Maksud mereka memolorkan adalah mempersiapkan tiga agenda besar dan satu agenda terbesar. Ketiga agenda tersebut adalah Salam (Sambut Maba), GOM (Grand Opening Mentoring), dan RDK. Sementara yang terbesar adalah Mentoring Wajib Maba. Secara kebetulan agenda tersebut terjadi hanya beberapa saat setelah suksesi. Mereka khawatir, kalau jadi suksesi, kepengurusan baru belum sempat beradaptasi. Di kepengurusan perpanjangan, para calon pengurus untuk sementara jadi pengurus bayangan. Semuanya berjalan mepet. Khusus untuk mentoring, JMMI baru saja mendapat amanah berat. Secara keseluruhan, Rektorat menyerahkan tanggung jawab penuh pada JMMI untuk mengelola mentoring di tahun pertama Maba. Selama ini hanya bertanggung jawab pada TPKI, lalu dilanjutkan dari TPKI ke rektorat. Sekarang, teman-teman Departemen Mentoring langsung berinteraksi dengan Rektorat. Tentu dengan bimbingan TPKI.
Makannya, Mas Faishal dibuat pusing untuk hal ini. Ia mewanti-wanti masalah profesionalitas. Kalau tidak bisa se-JMMI, minimal se-Dept. Mentoring. Dua tahun ke depan adalah tahun evaluasi. Seandainya JMMI mampu menjalankan dengan baik, maka kepercayaan itu akan diberikan. Kalau tidak, selamanya tak akan diberikan. RDK juga menjadi perhatian serius. Tahun-tahun sebelumnya, SC RDK berfungsi sebagai koordinator berbagai agenda yang diadakan departemen selama Ramadhan. Saat itu, boleh dibilang, kepanitiaan berjalan sendiri-sendiri. Sementara saat ini, RDK lebih mandiri. Semua kepanitiaan dari atas sampai bawah disusun langsung SC. Semua agenda langsung di bawah koordinasi SC tanpa melalui tangan departemen. Satu sisi memudahkan. Panitia RDK tak perlu alur komunikasi yang panjang karena sudah tergabung jadi satu. Sisi lain menyusahkan karena dalam hal ini sama saja memimpin JMMI saat Ramadhan. Pada waktu Ramadhan agenda JMMI kosong, semua berpusat di RDK. Akhirnya ditemukan formulasi yang lebih baik. Setiap departemen menyusun agendanya di bulan Ramadhan dan mengkorelasi dengan usulan kegiatan RDK. Kalau ada irisan, maka dibentuk kepanitiaan bersama. Kalau tidak, ya harus ditangguhkan. Tapi kebanyakan acara itu pasti diakomodir SC RDK. Alhasil, ada beberapa kegiatan yang terbantukan oleh departemen dan ada yang mengandalkan panitia internal RDK. Kepanitiaan internal RDK memainkan posisi penting. Sebelumnya, RDK hanya dikerjakan kader JMMI sendiri. Namun sekarang, dengan adanya open recruitment besar-besaran dan kerja sama apik dengan Dept. PSDM untuk meng-upgrade sukarelawan RDK ini, secara tidak langsung meluaskan dakwah JMMI. Orang luar JMMI bisa turut merasakan indahnya Ramadhan lewat kepanitiaan RDK. Hasil recruitment RDK bisa mencapai 100 orang. Apakah akan terjadi losing kader? Sudah pasti. Dari sana, SC RDK bisa mempertahankan 30 orang panitia non-JMMI. Itu sudah prestasi bagus karena SC RDK terbentur pada masa-masa liburan yang menyulitkan untuk menggerakkan panitia. Departemen PSDM seperti fungsinya, memberikan pelatihan Skill and Motivation Training (SMT). Pelatihan ini berlangsung dua kali dan dipusatkan. Artinya, seluruh panitia terdaftar (100 orang tadi), menjadi target utama. Materi yang disampaikan meluas seputar pemahaman kepemimpinan dan urgensi dakwah. Harapannya, panitia yang awam semakin paham tentang kerja JMMI. Ini salah satu bentuk eduksasi. Selebihnya, lini kaderisasi SC RDK akan meng-upgrade melalui kelompok-kelompok kecil sesuai lini yang ada. Di sini, fokus utama pembahasan adalah motivasi agar RDK bisa berjalan dengan baik. Secara global, SC kaderisasi bertanggung jawab atas seluruh kader. Namun dalam skala kecil nan penting, masing-masing SC secara langsung bertanggung jawab kader di lini yang dipimpinnya.
Intinya, format RDK pada zamanku berubah total. Tanggung jawab semakin besar. Bagaimana memberdayakan internal JMMI, juga civitas yang lain di luar JMMI namun memiliki visi-misi dan tekad yang sama. Bagiku, RDK adalah JMMI ad interim (pengganti) pada masa bulan Ramadhan.
Hujan Turun Membahagiakan “I start when the last man left off,” Thomas Alva Edison.
Syuro di hari-hari pertama adalah yang paling berat bagi kami. Kami saat ini, ibarat mengendarai truk di jalan sempit dan tanpa penerangan jalan. Pertemuan dengan pendahulu hanya sekali. Itu pun tak sampai setengah SC hadir. Kecewa, tentu saja. Tapi kehadiran mereka tetap dibutuhkan. Meskipun apa yang mereka utarakan seperti seorang pasien berkunjung ke psikolog. Mereka curhat, tanpa solusi, tanpa warisan yang bisa kita buka lembarannya setiap waktu. Kami memang sudah melihat bagaimana saudara-saudara kami di kampus lain memeriahkan Ramadhan. Ingin rasanya menggelar “revolusi” di Ramadhan kali ini. Tapi nyali kami tak cukup kuat. Kami terlahir pincang. Cara terbaik adalah pergi ke dokter untuk minta dibuatkan kaki palsu, bukan pergi ke panitia pendaftaran lomba lari marathon. Di bagian mana kepincangan itu, beberapa sudah aku utarakan. Pertama, kami tidak diberikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) RDK tahun sebelumnya. Ketika diminta pada yang bersangkutan-para senior yang terhormat-, kami jadi sungkan. Bukannya bersahabat, kami jadi dianggap seperti petugas penagih pajak. Kakak-kakak kami beralasan, RDK sudah terlewat lama, LPJ sudah basi. Ada lagi alasan, setelah Ramadhan, teman-teman sudah ngilang sibuk sendirisendiri. Apa sih pentingnya LPJ? Jelas, kami tak mau jadi keledai, apalagi kacang kedelai. LPJ adalah gambaran pas untuk sebuah aktivitas. Tanpa perlu SC berpanjang lebar, LPJ yang dijilid manis ujungnya, bisa bercerita lebih seru. Segala kesan, implikasi, kelebihan, dan kekurangan, pantas kami pelajari. Aku sendiri mengakui, aku tak banyak paham tentang RDK. Bisa dikatakan hanya sok tahu, supaya membangkitkan semangat teman-teman yang lain saja. Data-data menjadi begitu penting bagi kami. Bila ada poster atau spanduk misalnya, kami tinggal modifikasi, lalu jadi. Kalau ada surat-menyurat dari RDK terdahulu, tentu juga lebih memudahkan kami. Penyimpanan itu memang ada, tapi setengah-setengah, kurang tuntas. Ya sudah, bersyukur saja, maksimalkan yang ada. Kedua, duit! Ah, memang kita tak bisa jauh dari uang. Sebuah kata sindiran berbunyi,”Money is better than poverty, if only for financial reasons,”. Bahkan selama ini, untuk mengumpulkan orang penting, OC, dan pelatihan sekalipun, semua berasal dari kantong yang kempes ini. Hanya saja aku pernah diwariskan salah satu senior, uang recehan sekitar 500 ribu.
Bagaimana aku tidak lupa, uang itu datang dari kotak amal Ramadhan tahun kemarin. Bentuknya saja masih koin. Aku dan Marwan -bendahara RDK- pergi ke Sakinah untuk menukarkan dengan uang kertas. Bisa membayangkan uang 500 ribu dalam bentuk koin recehan? Kami harus berpikir ulang kalau mau menyaingi Lisa Rumbewas, peraih medali emas angkat besi di Olimpiade Sydney. Ketiga, fasilitas. Permasalahan sepele tapi bikin stres. Sebenarnya aku tak berani bicara banyak tentang ini. Aku sendiri merasa prihatin. Untuk perlengkapan syuro saja, spidol sakit semua. Tutupnya warna hijau, ketika dibuka dan dicoretkan ke papan, berubah biru, marker pula. Aduh...mau di-tiban spidol non-marker? Halah, nemu spidol yang bisa buat nulis “Bismillah” di bagian atas papan saja, kami sudah sujud syukur. Akhirnya bensin motor yang parkir di Sekpa jadi penghapus tinta permanen. Penghapus juga barang langka di Sekpa. Kadang kain pel jadi pengganti. Lebih sering lagi selembar kertas yang sebenarnya dibuat notulensi. Karena terlupa, akhirnya jadi penghapus. Padahal semua catatan ada di sana. Tentang papan tulis yang mirip lukisan kubisme-Picasso. Papan tulis yang sudah terlalu sering dipakai memberi seni abstrak, layak dilelang di eksebisi lukisan. Tentang rebutan tempat syuro seperti rebutan lahan parkir. Masing-masing kegiatan memperebutkan 3 tempat syuro. Tentang hijab kayu yang patah dan akhirnya mencium kepala. dan tentang yang lainnya. Komputer dan printer adalah barang berharga yang pernah dimiliki JMMI. Ada perlu ia disayang, kalau eror ia ditendang. CPU-nya saja tampil panas. Ia berpose seksi, topless seperti motor brondol. Kabelnya menjalar seperti dahan anggur. Setrumnya fantastik, menghentikan sejenak kerja jantung si tukang ngetik. Kipas pendinginnya bernyanyi semerdu diesel truk Fuso. “Tiitt...tiitt...tiiitt” Suaranya kalau sedang ngambek. Honey, kau tetap kami cintai. Seburuk apapun rupamu, kami tetap menunggu kapan kamu digadaikan. Tunggu, kalau JMMI punya uang. Lemari seperti brankas menjadi ciri khas JMMI. Ketika ia berpindah, itu tandanya kepengurusan JMMI juga berpindah. Di setiap kotak ada tulisan: Ketua Umum, Sekertaris Umum, Departemen PSDM, Departemen...dst. Kotak RDK ada di posisi dua kotak ke mendatar dan empat kotak menurun. Terlihat jelas dengan stiker RDK pada masing-masing tahun ditempel sebagai kenang-kenangan. Lubang kunci sudah dijebol kunci “T”, kunci andalan maling Curanmor. Ketika aku buka pertama kali, isinya onggokan kertas, debu, dan sesekali kecoa menyapa. So sweet banget... Ya, begitulah adanya. JMMI tetap pada salah satu slogannya. “Santuni dan Ber-sambat”. Sambat berasal dari bahasa jawa yang berarti mengeluh. JMMI memang tempat untuk disantuni dan disambati. Kejadian itu datang. Uang kami di loker tak berkunci, ludes. Aku curiga, kucing Sekpa yang sering kami elus-elus lambungnya, menikam dari belakang. Siapa tahu? Pasalnya, makan siang terakhir, ia tidak dapat jatah tulang ayam. Maklum penghuni Sekpa sedang busung lapar.
Sekarang saldo kami nol rupiah. Kami harus menggalang dana lebih giat dari penggalangan untuk munashoroh Palestina. Tentu cubles kantong sendiri. Aku tidak tahu, bagaimana caranya memulai acara tanpa modal sedikitpun. Aha, mungkin bendahara JMMI bisa kami palak. Nice idea... Perjalanan waktu, kami menemukan arah. Itu pun setelah bertanya pada Pak Polisi, penjaga masjid, tukang bakso yang sering jadi langganan, satpam kampus dan keluarga besarnya. Semua berinti pada penulusuran melelahkan. Maklumlah, kami masih puber, mencari jati diri, dan gaya hidup coba-coba. Alhamdulillah, kami mulai bisa berjalan, walau tertatih. Kami pun bisa menghentikan kebiasaan minum Aspirin selepas syuro. *** Teduh rasanya kalau syuro berjalan mulus. Ia datang berintik di tengah tanah kering nan tandus. Perciknya melegakan kerongkongan yang haus. Bunga-bunga pun tak ragu lagi menari di atas genangan sebuah kakus. Aku tahu, Surabaya kota miskin hujan. Secara tidak langsung membentuk karakter orangorangnya yang pantang menyerah. Hawa panas selalu membakar semangat hidup warganya. Dagunya bertirus tajam menemani sorotan mata seperti elang mencari anak kelinci dari balik awan. Senja itu aku merenung. Masih sanggupkah aku? Perjalanan ini masih panjang. Bahkan tak akan diam, selalu menggentayangi alam pikiran. Kulihat hari itu senja terik. Entah kata siapa, kabarnya matahari enggan melihat hujan. Ia memilih bersembunyi di balik awan gelap. Kata burung yang terbang, ia sedang sedih. Tapi kata kodok yang bermain air di got, matahari malu menampakkan senyum bahagia. Awan menutupi simpul bibirnya, seperti lesung pipi seorang putri bersembunyi di balik kipas yang mengembang. Sore itu hujan. Hampir setengah tahun tidak hujan. Matahari tetap tersenyum tanpa malu. Awan pun cerah walau air matanya jatuh. Bayanganku melayang jauh melupakan segala permasalahan. Terngiang wajah riang Dodi, senyum simpul Farhan, tawa bahagia Marwan, canda kelakar Azhar. Sayang, aku tak bisa terbayang teman-teman akhwat. Tapi hijab yang berkibar itu berbaik hati memberitahuku: mereka juga sedang bahagia.
Subhanalloh, Ternyata… “Di kala orang lain melupakanmu, jangan lupakan mereka. Temui mereka, duduk bersama, ambil kepalanya, benturkan pada kaca!”
Boleh jadi, kalau ada pemilihan orang terpolos sedunia, mungkin aku yang jadi pemenang. Bukan sekedar polos, aku ini mudah dibohongi. Aku dengan mudah percaya pada orang lain. Kemudian orang itu mengkhianatiku. Bodohnya, kemudian hari aku masih taruh percaya padanya. Ya, prinsipku semua manusia pada dasarnya baik, kalau ia sedang menjadi manusia, bukan hewan. Sebabnya, aku berusaha memanusiakan manusia yang kutemui. Kata sebagian orang, aku termasuk orang yang tak peduli pada diri sendiri. Buktinya, aku jarang sekali memenuhi kebutuhan sendiri, kecuali primer. Bahkan untuk perawatan wajah pun aku tak peduli. Aku lebih suka berpenampilan seadanya. Lucunya, aku justru sering membelikan sahabat-sahabatku, sesuatu yang tak pernah kubeli untuk diriku sendiri. Padahal aku tahu mereka berpenampilan jauh lebih mentereng ketimbang aku. Pantasnya, kawanku itulah yang seharusnya mentraktir aku. Aku belajar banyak dari RDK. Setiap bekerja sama, aku selalu menaruh percaya pada orang lain. Menurutku, rasa saling percaya penting sekali bagi perjalanan tim. Seiring berjalannya waktu, kepercayaan berlebihan itu bisa membahayakan diri. Bahkan pragmatisme itu tak memandang ini lembaga dakwah atau ini kartel Narkoba sekalipun. Lembaga dakwah dibangun atas prinsip tsiqoh (kepercayaan). Sebuah kartel terkenal di Meksiko ataupun sebuah mafia di Sisilia, juga membangun prinsip loyalitas yang sama persis dengan terminologi tsiqoh. Kata suporter sepak bola fanatik,”Loyalitas tanpa batas,”. Dulu di awal-awal kenal halaqoh, aku diajarkan untuk membenci taklid buta seperti seorang santri terhadap kyainya. Ini terpatri kuat di otakku. Ketika aku dewasa, aku baru sadar. Tiap komunitas butuh komitmen dan rasa saling percaya. Jamaah dakwah modern sekalipun ternyata memberlakukan tsiqoh yang terkadang selevel dengan taklid buta. Padahal mereka berkembang di kampus yang dipenuhi pemahaman egalitarian dan rasionalis. Ingat, tak ada satupun tim yang bisa seia sekata dalam segala perbuatan. Setiap otak punya kepentingan dan tujuan masing-masing, walau secara kasat itu menjadi hal yang merabunkan. Kepercayaan memang penting, tapi jangan tinggalkan sikap skeptis dalam sebuah permasalahan.
Aku tak akan lupa dengan momen ini. Aku mulai kenal dekat dengan mereka. Sampai pada titik aku tahu bagaimana rekam jejak hidup mereka di kampus, terutama akademik. Dan aku pun semakin malu. Di antara ke semua SC, akademikku-lah yang paling buruk. Walau dalam hati tak heran, tetap saja aku merasa kerdil bila berhadapan dengan mereka. Boleh saja aku banyak berkoar tentang organisasi dengan segala seluk beluknya, tapi ketika di antara kami membicarakan tentang akademik, aku lebih memilih ke toilet untuk menghindar. Tertekan. Sampai detik ini, tidak pernah full team ketika syuro. Ada saja yang izin. Sampai detik ini pula, aku selalu memimpin rapat tanpa sebuah absen. Aku selalu berusaha menyelaraskan lidah dan tindak-tanduk. Tentu mereka tidak lupa, kalau dulu mereka pernah berjanji tidak akan izin syuro kecuali ada kuliah pengganti di jam yang telah disepakati. Bahkan untuk tugas pun, tidak ditolerir dalam tim. Solusinya, hadir syuro, malamnya begadang mengerjakan tugas. Itu konsekuensi. Lagipula, syuro tak akan memakan waktu lebih dari dua jam. Kata Mas Yusuf, ada lima alasan logis untuk meninggalkan syuro: kuliah, sakit, urusan keluarga, pergi ke luar angkasa, dan meninggal dunia. Kenapa ini harus dipaksakan? Jawabannya mudah, kehadirannya saja bisa memberi semangat bagi yang lain. Rasanya, hidup jadi hambar kalau pada akhirnya syuro tidak jadi karena tidak ada yang hadir. Tentu aku sebagai koordinator sangat berharap kehadiran mereka. Minimal, mendengar cekikikan mereka saja bisa membuatku berpikir ulang untuk menyerah pada sebuah masalah. Hari demi hari, syuro akhirnya berlangsung membosankan. Setelah tiga minggu, atau sekitar dua minggu lagi sebelum UAS, kami sudah menjalankan syuro-syuro marathon. Kami ingin mengejar target. Sebelum UAS, proposal sudah harus jadi. Sementara saat ini, konsep acara masih dalam perdebatan baik internal maupun pembina. Di tengah kejar-kejaran dengan waktu, masih ada saja SC yang tidak menjalankan tugasnya yang telah dibagi merata. Ditambah lagi, ketika tugas itu tidak dikerjakan, mereka juga tidak hadir dalam syuro untuk memberi laporan. Hasilnya, tim berjalan pincang dan tak akan bisa berlari sampai tujuan. Alasan paling sakral untuk meninggalkan syuro adalah ”mengerjakan tugas”. Dan itu terjadi berkali-kali dengan orang yang berbeda-beda. EGOIS! Dalam hati aku geram. Waktu pelaksanaan syuro biasanya ditentukan satu minggu sebelumnya. Itupun dengan memperhatikan jadwal kuliah masing-masing orang. Sehingga, jalan keluarnya biasanya sabtu-minggu atau jum’at sore. Jadwal paling pas karena tidak ada kuliah. Kesabaranku hampir punah. UAS memang makin mendekat. Semua SC dikerjar deadline tugas kuliah masing-masing. Walau begitu, ada komitmen awal yang mengikat. Ketika kami berjanji atas nama RDK, maka semua kepentingan pribadi harap disingkirkan dulu. Di sini aku tak bisa menahan emosi.
Suatu kali, syuro akhirnya gagal lagi karena secara kebetulan teman-teman SC izin mengerjakan tugas kuliah. Waktu itu aku sudah di tempat syuro. Dan kebanyakan mereka izin pada saat jam yang seharusnya syuro itu dimulai. Inbox pesan langsung datang bertubi-tubi. Ah... Padahal sama seperti mereka, besok aku harus asistensi tugas gambar. Gara-gara amanah ini aku jadi bolong-bolong asistensi. Besok adalah toleransi terakhir kalau tugas gambarku masih mau di-ACC. Bolehlah kalau sekiranya orang-orang menyalahkanku karena tidak pandai memilah waktu. Ya, terserah saja. Sekarang saatnya membalas dendam. Semenjak sms terakhir mereka, aku berjanji tak akan SMS mereka sampai mereka yang meng-sms aku. Aku tak mau lagi bersungut memohon agar mereka hadir syuro. Selama ini inisiatif hanya datang dariku. Kalau perlu mereka sendiri yang akhirnya sadar. Kubuka kembali lembaran kertas A0 yang selama ini aku lupakan. Tugas itu benar-benar terbengkalai. Mungkin hanya 10 % yang baru kukerjakan. Sementara, deadline-nya berbarengan dengan deadline rampungnya proposal RDK. Karena aku punya otak tak secerdas teman-teman yang lain, aku harus memilih dua hal: RDK atau tugas. Setelah kejadian itu, aku membenturkan kepala ke tembok agar lupa dengan RDK. Jelas, temanteman yang lain saja bisa meninggalkan RDK dengan santainya, masak aku tidak? Pikiranku tidak bisa disambi dengan lainnya. Aku pun tak mau lagi mengambil inisiatif tentang RDK. Aku hanya ingin tugas gambarku selesai dengan selamat. Luar biasa, kalau aku benar-benar fokus, tugas itu bisa digarap seminggu saja. Beda dengan sebelumnya, kerjaanku pasti tersendat oleh adanya keperluan lain. Selama seminggu siklus hidupku hanya makan, tidur, sholat, sesekali mandi, dan nggambar. Tadinya 10 %, seminggu kemudian sudah 80%. Sisanya merupakan revisi dari dosen pembimbing. Tugasku pun selesai di menit-menit akhir deadline. Kata teman-teman jurusan, aku ini gila. Mereka sudah memulai tugas ini sejak awal semester, sementara aku baru beli kertas A0 setelah Ujian Tengah Semester. Lembar asistensi mereka sudah penuh, sementara aku baru ada dua tanda tangan dosen pembimbing. Mereka berkali-kali revisi, sementara aku hanya satu dua kali saja. Pantas kalau sebagian yang lain bilang aku nggak niat kuliah atau aku lebih rajin ”kuliah” di tempat lain. Banyak benarnya juga sih. Di sini aku merenungi. Seandainya ada hakim yang mengadili kami, mungkin pula aku yang jadi tersangka. Bukan mereka yang melanggar jadwal syuro karena tugas kuliah. Mereka melakukan hal yang benar. Sementara tindakanku menyalahkan mereka, sangat tidak dibenarkan. Renungi lagi. Walaupun kita berjihad di JMMI, bukan berarti berjuang di lahan akademik bukanlah berjihad. Keduanya berjalan beriringan. Bahkan akademik mendapat tempat khusus karena tanggung jawabnya pada banyak orang, seperti bangsa, negara, keluarga, orang tua, bahkan agama. Namun tidak dibenarkan juga menjadikan alasan itu untuk melanggar janji lain
yang tak kalah besarnya. Toh kita punya waktu 24 jam yang sama persis. Tergantung keadilan kita membagi waktu. Akhirnya aku mendapati sebuah kesimpulan. Mengapa aku tidak bisa fokus dalam akademik? karena aku masih belum bisa menentukan urutan prioritas. Walau sekiranya fiqh prioritas-nya Yusuf Qardhawi jadi materi yang biasa aku kunyah, tidaklah penting kalau tidak dipraktekan secara konsisten. Akhirnya, setelah teman-teman sadar akan RDK, kami mulai bangkit. Di syuro pertama setelah peristiwa itu, aku berbicara. ”Kalau kita sudah janjian syuro, ya sebisa mungkin hadir. Kalau sekedar mengerjakan tugas, bukankah itu sesuatu yang bisa ditunda? Ana juga punya tugas kuliah sama seperti antum semua. Kalau begini caranya, antum berarti menganggap ana bukan mahasiswa ITS karena tidak punya beban yang sama dengan antum semua,” begitu pesanku setelah akhirnya aku cukup lama tak peduli lagi dengan RDK. *** Minggu depan, minggu tenang, minggu yang biasa mengiringi Ujian Akhir Semester. Selama tiga minggu ke depan (satu minggu tenang dan dua minggu UAS), panitia RDK akan menggelar hibernasi berjamaah. Tak boleh ada pembicaraan tentang RDK sedikitpun, itu komitmen kami. Kami harus fokus ke akademik. Hip Hip Huray...
Menggadai Malam-Malam Liburan “Berjaga sehari saja di jalan Allah SWT, adalah lebih baik daripada seribu hari berjaga di selain tempat tersebut,”
Gambar di samping adalah Sejarah evolusi lambang RDK 29
Masa-masa UAS akhirnya lancar. Hasilnya? Jangan tanya dulu, Insya Allah sesuai standarku. Ikatan komitmen pula yang akhirnya mengumpulkan kami kembali. Selepas UAS, kami baru bisa mencurahkan segala perhatian pada RDK. Aku berulang kali menatap schedule tugas-tugas apa yang belum kami jalankan. Menumpuk berdebu. Pertama dan paling sulit, fiksasi program dakwah selama Ramadhan. Setelah menelaah kondisi lapangan, muncul banyak usulan. Yang paling penting, bagaimana memecahkan kebuntuan syiar yang selama ini berkutat di Manarul. Gema Ramadhan seakan tidak turun ke bawah sampai ke tingkat jurusan. Boleh jadi, Manarul ramai kegiatan, tapi di jurusan hawa sejuk itu tidak terasa sama sekali. Ingin rasanya mengadakan safari Ramadhan dari jurusan ke jurusan. Jadi kajian-kajian Ramadhan dengan ustad yang beragam akan dihadirkan ke masing-masing jurusan. Pesertanya bisa mahasiswa, karyawan atau dosen di jurusan tersebut, bahkan jurusan lain di sekitarnya juga boleh turut serta. Kegiatan ini jauh lebih mengena. Namun sekali lagi kami harus berhadapan dengan realita. Tidak semua jurusan memiliki lembaga dakwah yang bisa kami andalkan untuk itu. Rata-rata fungsionaris mereka hanya segelintir orang yang tak berpengaruh besar. Lagipula, kami juga harus balik ke belakang. Fokus terpenting RDK 29 adalah memperbaiki keuangan yang sedang collapse ini. Akhirnya kami ambil jalan tengah. Kami tak menambah prodak baru, namun coba memaksimalkan. Menanggapi permasalahan di atas, kami punya prodak kajian tiap sore di Manarul. kajian itu dikelola langsung oleh Lembaga Dakwah Jurusan (LDJ). Ramadhan berlangsung 25 hari, minimal kami bisa membagi hari-hari itu untuk 26 jurusan di ITS dan 2 politeknik. Untuk memaksimalkan, kami coba sedikit memaksa agar LDJ mampu menggerakkan massa terutama dari jurusannya dan jurusan sekitarnya. Kami memberi banyak kebebasan. Mereka sendiri yang memilih ustad dan mengundangnya.
Apabila mereka butuh uang misalnya untuk publikasi atau konsumsi, kami siap menyediakan uang itu. Berapapun yang mereka mau, asal realistis. Itu sudah menjadi tugas kami untuk menggali dana dengan memanfaatkan nama RDK ITS. Kami memang tak banyak membawa iklim perubahan. Kami hanya memodifikasi nama dari RDK sebelumnya. Alasannya, refreshing. Sebagai contoh, pada RDk sebelumnya Kajian Ramadhan di Senja Manarul atau disingkat Karisma atau KRSM, kami ganti dengan Ngabuburit di Manarul. Lalu nama lain seperti Tebar Manarul (Terawih dan ceramah bareng di manarul), kami ganti dengan Wisma Manarul (Tarawih bersama di Manarul). Buka bersama yang tadinya bernama Bursa diganti Buko Bareng (Kobar) biar lebih garang. Ada juga pergeseran sedikit, Kajian Tafsir Manarul (KTM) kami hapuskan, dan di-include-kan ke dalam ngabuburit tadi. Kalau masalah nama, aku sih tidak begitu ambil pusing. Asal tidak nekoneko saja. Para SC pun segera menuntaskan konsep kegiatan. Konsep itu terdiri dari poin-poin seperti gambaran umum, planning, kebutuhan panitia dan tugas-tugasnya, estimasi kebutuhan dana, strategi pengoptimalan, parameter keberhasilan, dan schedule pra-saat-pasca kegiatan. Semua itu dikumpulkan dari masing-masing SC yang bertugas sebagai penanggung jawab kegiatan. Setiap kegiatan diurus satu SC ikhwan dan satu SC akhwat. Proposal pun jadi. Kami mengusung 15 program dakwah selama Ramadhan. Empat di antaranya berlangsung setiap hari, satu kegiatan berlangsung tiap minggu, dan satu lagi berlangsung full di sepuluh malam terakhir. Sisanya -9 Prodak- ialah kegiatan insidental yang tak kalah berat dengan kegiatan sebelumnya. Intinya, tak jauh beda dengan Ramadhan kemarin. Itu agenda bersihnya. Di sela-sela, bisa jadi ada agenda tambahan. *** Ramadhan tepat sepuluh minggu lagi. Setiap minggu yang kami langkahi, mendekatkan kami pada sebuah misteri. Ia berputar di pikiran bahkan turut mewarnai mimpi di malam-malam yang penuh gigitan nyamuk itu. Hmmm...15 Program Dakwah dalam waktu sebulan. Bayangan melelahkan segera menyergap. UAS memang sudah lewat, tapi sekarang, tidur malam masih tak pernah di bawah jam 24.00. Atas nama komitmen, kami, para SC ikhwan berjanji melewati malam-malam menuju Ramadhan di Sekpa. Dua hari sekali, kami sediakan waktu untuk Mabit. Kami juga sudah membagi jadwal pulang kampung, masing-masing satu minggu. Kecuali Farhan, pemuda asli Riau, ia diberi waktu dua minggu. Di samping itu, ada dua di antara kami yang melakukan Kerja Praktek di masa-masa itu. Sedangkan aku sendiri, di pertengahan bulan Juli juga melakukan magang. Kalaulah kami berpikir malam-malam itu menjadi mimpi buruk nan menyeramkan, maka kehadiran itu menjadi niscaya. Nyatanya, semua dilewati dengan ceria. Syuro internal ikhwan
selalu dimulai kira-kira pukul sembilan malam. Datang dengan muka setengah mengantuk. Wajar, biasanya sorenya kami rapat komunal dengan akhwat. Bel syuro pasti dari adzan maghrib yang dilantunkan Cak Jo. Setelah magrhib berjamaah, masing-masing pulang ke kos sekedar mandi bebek. Isya berkumandang, sholat lagi. Selepas sholat, jalan kaki ke warung makan terdekat dan tentunya termurah. Lima belas menit berjalan, lima menit mengantri, dan setengah jam makan. Selanjutnya istirahat, menunggu makanan turun ke lambung. Itu kira-kira sepuluh menit. Kemudian dimulai perjalanan lagi ke kampus. Kira-kira perjalanan lima belas menit dari keputih, jalan kaki. Jadilah jam sembilan malam baru sampai di Sekpa. Ajaib kalau rapat dimulai tepat pukul sembilan. Yang terjadi biasanya, justru bercanda-canda dulu. Atau terkadang menunggu kawan yang belum datang. Nanti kalau sudah mengantuk, baru rapat dimulai. Bukan pemadangan aneh, satu per satu kepala tertunduk khusyu’ saat rapat. Suaranya merdu, grookkkk....zzzz....grookkk...zzzz... Kalau aku tak perlu repot-repot. Aku tinggal di Sidoarjo. Selama ini menumpang mandi dan tidur di Sekpa. Bahkan pinjam sabun, shampo, odol, termasuk sikat giginya juga dari temanteman PH yang menetap di Sekpa. Untuk mengatasi rasa malu, biasanya aku menebar pinjaman. Maksudnya, sabun minta Mas Fathir, shampo minta Mas Yusuf, dst. Bahkan kalau aku lupa bawa baju, di antara mereka ada yang bersedia meminjamkan. Namun aku sedikit lupa, apa aku pernah meminjam daleman juga ya?! Kejadian itu berlangsung selama sepuluh minggu. Berulang terus seperti de javu. Pagi bangun shubuh, tidur lagi kalau tidak kuat. Siang pergi mengantarkan proposal. Sore janjian rapat dengan akhwat. Malam rapat internal dengan SC ikhwan ataupun PH ikhwan. Pagi bangun lagi. Yang paling susah kalau janjian syuro dengan akhwat pagi-pagi buta (jam 6). Rata-rata masih molor. Begitu seterusnya. Liburan yang aneh! Jatah cuti satu minggu itu ibarat kemerdekaan bagi bangsa Asia-Afrika. Sekpa dan Manarul diam-diam menyamar jadi penjara. Setiap SC menunggu jatah tersebut. Komitmen kami, kalau SC sedang cuti satu minggu, maka tak boleh ada lagi telepon berdering atau sms memanggil untuk membahas RDK. Mereka diberi kesempatan menghirup udara bebas. Semakin hari, syuro makin menggila. Terkadang syuro bisa sampai pukul 02.00. Yang lucu kalau bendahara sedang bahas keuangan. Karena sudah malam, kadang-kadang angka dua juta bisa jadi dua ratus ribu, angka sepuluh ribu bisa jadi sejuta. Tidur tak lagi berbaris rapih seperti ikan pindang sedang upacara bendera. Lebih mirip seperti barak pengungsian. Setiap kotak lantai terisi penuh. Memasuki kamar Sekpa layaknya melihat mayat bergelimpangan setelah dijatuhi bom atom.
Di luar kamar, tak jauh beda. Orang tidur dengan berbagai gaya. Ada yang di teras seperti gelandangan. Ada yang di depan komputer persis menindih keyboard. Padahal sedang menulis sebuah surat pengajuan proposal. Alhasil, berhalaman-halaman word itu berisi “fhafreufhqwgfwuegh…,”. Sebuah kode rahasia yang tak mungkin dipecahkan Dan Brown, walaupin ia terampil memecahkan teka-teki monalisa. Dan orang yang paling bahagia saat itu, mereka yang tidur di depan kipas, beralaskan karpet tebal, berselimut, dan di bawah cahaya terang. Hanya satu yang bisa mendapatkannya. Siapa cepat, dia dapat. Malam itu terasa semakin menarik setelah jangkrik, tokek, dan kodok menggelar konser orkestranya on air. Nadanya harmonik, dan kali itu seekor kodok besar di bawah lorong selokan, memainkan nyanyian seriosa khas Pavarotti. Kadang kucing Sekpa menemani tidur di tengah-tengah gelimpangan mayat tadi. Rasanya, hubungan manusia dan hewan sudah mulai membaik. Bulu putihnya yang halus kadang mengenai bulu hidung kami. “Hacing...,”. Besoknya, satu kamar pilek semua. Tiba jatahku menikmati cuti. Aku tak mengambil. Sekarang aku sedang magang. Sebagian kecil SC yang lain juga begitu, kerja praktek. Bedanya, magangku bukan untuk kepentingan akademik. Aku sedang belajar media di sebuah koran lokal di Surabaya. Kerjaanku keliling Surabaya memburu berita. Prinsipnya, anjing menggigit manusia bukanlah berita. Sebaliknya, kalau manusia menggigit anjing barulah sebuah berita. Jadi, selama aku bisa menggoda manusia untuk menggigit anjing, maka aku bisa pulang kerja lebih cepat. Hap! Semenjak magang, alur hidupku berubah. Pagi bangun, berangkat magang, sorenya pulang dan langsung ke Manarul untuk rapat. Ba’da maghrib aku baru bisa membersihkan badan dari debu polusi jalanan Surabaya. Malamnya, seperti biasa, berbagi rezeki-darah-dengan nyamuknyamuk itu lagi. Alhamdulillah, sampai detik ini kami masih diberi kesehatan. Farhan pernah jatuh tipes karena kelelahan. Tapi segera sembuh. Semuanya berjalan tanpa hambatan berarti. Hanya saja, tiap malam itu aku merasa ada yang istimewa. Mengingat wajah mereka mengantuk ketika syuro, mulut mereka menganga ketika tidur, kadang disertai igauan, rambut mereka yang berantakan ketika bangun, mata mereka yang merah setiap syuro sore hari, memberiku sebuah semangat. “Kami memang tak memberikan yang terbaik, tapi minimal kami sudah berusaha yang terbaik,”
Sekarat “Are you afraid to die? It’s death whether by killing or by cancer, it’s the same thing. Nothing will change if it’s an apache (helicopter) or cardiac arrest. But I prefer to be killed by Apache,” Dr. Abdul Azis Arrantissi.
Selepas syuro’ melelahkan itu, malam itu juga aku pulang ke rumah. Sudah hampir sebulan aku selalu pulang malam. Paling cepat jam 20.00. Ditambah lagi aku sudah jarang tidur di rumah. Dua hari sekali aku tidur di rumah. Sisanya tidur bersama teman-teman seperjuangan di Sekretariat Putra JMMI. Hari ini aku lelah dan aku ingin segera merebahkan badan. Sampai di rumah, tak lupa kusempatkan sejenak ke kamar nenek. Ia tertidur lelap. Kemudian aku pergi ke kamarku. Keesokan harinya aku balik lagi ke kampus, lengkap dengan persiapan menginap semalam. Setiap perjalanan ke kampus, aku hanya mengingat satu hal. Nenekku sedang sakit parah. Sudah tiga minggu ia hanya mendapat perawatan di rumah saja. Tentunya, dengan alat dan pelayanan seadanya. Sebenarnya aku tak kuasa meninggalkan beliau di rumah dalam keadaan sakit. Seharusnya aku ikut menjaga dan melayani di rumah. Tapi apa boleh buat, aku harus tetap ke kampus untuk mengontrol panitia di sana. Padahal hati Nur terus berteriak, “Woy! Dasar anak nggak tahu diuntung, orang tua sakit malah terus-terusan ke Kampus,”. Kalau Nur sudah berbicara seperti itu, aku hanya menunduk. Tak tahu apa jawaban yang bisa aku lontarkan. Sungguh sebuah dilema. Tidak mungkin aku tinggalkan panitia yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Tak tega juga aku meninggalkan beliau yang hanya terbaring di kasur. Aku akui, aku banyak belajar dari kesabaran nenekku. Beliau bukanlah tipe manusia yang cengeng. Bahkan beliau bisa merawat dirinya dalam keadaan apapun. Tetap saja aku tidak tega. Beliau sudah sangat renta. Harusnya beliau yang dilayani, bukannya melayani. Tapi sekali lagi, beliau sangat mandiri. Selama itu bisa dilakukan dirinya tak perlu ia menyuruh anak atau cucunya. Itulah yang membuatku salut. Tidak banyak orang seperti beliau. “Ma’aji masuk rumah sakit,” bunyi SMS pada malam hari setelah rapat, kira-kira pukul 23.00. Mak aji adalah panggilan untuk nenekku karena ia sudah menunaikan ibadah haji. Informasi ini datang seperti serangan Jepang ke Pearl Harbour. Ketika bibiku bilang kalau ia langsung masuk ruang ICU atau UGD, bagiku, ibarat serangan blitzkreig tentara NAZI Jerman ke Eropa Timur. Cepat, mengagetkan, dan tak terkira rasanya.
“The kids are losing their minds. The Blitzkreig Bop...,” aku terngiang suara Joey vokalis The Ramones, band Punk-Rock favoritku dulu. Teman-teman sudah tidur. Aku pergi diam-diam. Jadwal Mabit yang kudengung-dengungkan, aku langgar sendiri. Ini kasus khusus, penting! Sepeda motorku yang sudah lama tak diservis itu kupaksa berlari kencang. Jalan sepanjang Ahmad Yani mulus tanpa hambatan. Setengah jam kemudian aku sampai di RSU Sidoarjo. Di suasana khas rumah sakit yang sedikit menyeramkan, aku mencari kamar nenekku. Ketemu. Di sana sudah banyak sanak saudara. Mata mereka bengap seperti habis menangis seharian. Aku memberi salam dengan lirih. Baru kali ini aku merasakan suasana rumah sakit yang sangat hening. Selama ini, ke rumah sakit hanya keperluan menjenguk kerabat saja. Alhamdulillah, belum ada keluarga yang sakit sampai rawat inap, sebelum ini. Di sana aku melihat pasien dengan berbagai kondisi. Dari pasien yang senyam-senyum karena cuma sakit pilek, sampai pasien yang berlumuran darah seperti video kerusuhan Ambon, Poso atau Sampit. “Mak Aji...,” sapaku. Ia tak menjawab. Wajahnya pucat, matanya kosong, badannya dingin. Hanya suara kardiografi. Cepat geraknya. Sepertinya jantung habis dipaksa berlari oleh sebuah obat dosis tinggi. Aku khawatir. Pangkal Infus yang menempel di nadinya sudah bercampur darah. Tetesan sari makanan itu pun makin cepat. Sepertinya memang benar-benar kekurangan cairan. Aku takut. Sanak saudara lain tak berani berucap sepatah kata pun. “Apa kata dokter?” tanyaku memecah kebekuan. “Tadi tekanan darahnya sampai 200,” Bibiku coba mengabarkan. Aku belum menuntaskan rasa shock. Pagi tadi, saat aku berpamitan ke kampus, ia masih bisa berucap,”Hati-hati ya,”. Sekarang, mulutnya terus menganga. Hanya nafas tanpa nada yang keluar dengan jeda pendek. Tersengal. Nenekku memang punya darah tinggi. Di saat normal saja, tekanan darahnya 160. Bandingkan dengan orang normal yang hanya 110-130. Tapi dulu, ketika aku mengantarkannya ke dokter, dokter bilang itu wajar. “Maklum sudah tua,” kata dokter. Aku juga memaklumi karena Ibuku juga darah tinggi. Darahnya sekitar segitu. Kalau normal, kenapa pula Nenekku setiap pagi selalu merasa pusing. Sekarang, ia hanya bergantung pada Neuralgin, obat yang bisa menghilangkan rasa pusingnya. Kalau tidak meminumnya sehari saja, ia tidak bisa bangun dari tempat tidur. Namun kata sepupuku yang kuliah di Farmasi Unair, Neuralgin tidak terlalu keras. Tapi menurutku, namanya zat kimia buatan manusia yang dimasukkan secara paksa untuk bertemu zat kimia buatan Tuhan, jelas berbeda. Tentu, ada efek sampingnya. Setahuku, hypertensi rawan mengakibatkan Penyakit Jantung Koroner (PJK). Kata itu yang akhirnya populer di masyarakat awam dengan sebutan “serangan jantung”. Hantaman itu
bertuju pada otot penggerak kerja jantung. Secepat kilat geraknya menutup aliran oksigen ke otot itu. Lima detik saja jantung mogok memompa, usai sudah harapan hidup. PJK bersumber dari menyempitnya pembuluh darah oksigen penyalur oksigen tadi. Alasannya beragam seperti tertutup timbunan lemak, berkurangnya elastisitas karena faktor umur, menebal, dan akhirnya mudah bocor. Sayangnya, penyempitan ini tidak bisa dideteksi. Jangan heran kalau anda menemui orang sehat bugar, besok pagi badannya lumpuh. Stroke. Malam itu, dokter putuskan memasang masker oksigen. Biayanya cukup mahal, hampir 1 juta per tabung ukuran dua meter kubik. Tabung habis tiap malam. Hitung berapa biaya untuk sebuah kesehatan? Itu baru oksigen. Belum sewa kamar dan obat-obatan yang lain. Hari itu aku tidak tidur. Hari-hari ke depan aku coba membalas kebaikannya. Dulu awal-awal kuliah, aku seperti anak manja. Ia pun tak pernah mengeluh melayaniku. Sekarang, aku berpikir ini saatnya. Aku memulainya dengan menyuapi buah atau roti. Aku (semi) menggendongnya ke toilet di kamar yang sama. Aku mendengar pesannya yang lirih meminta dipijiti. Aku mengambilnya bak berisi air dan membilasnya. Kemudian memakaikan bajunya. Aku pula yang menukarkan resep ke apotik. Mengantri dan berebut antrian. Berhubung selama perawatan dibantu ASKES yang murah meriah itu, kadang nenekku dinomorduakan. Pada hari-hari itu selama seminggu, aku harus bergantian dengan saudara yang lain. Pagi sampai sore aku ke kampus. Malam sampai pagi aku berjaga. Kadang, karena terlalu lelah, tengah malam aku sudah duduk tertidur di sampingnya. “Mak Aji drop,” bunyi pesan itu sangat singkat, namun menjerat perasaan. Pada hari ketiga di rumah sakit, Nenekku dikabarkan drop dan harus cek darah. Aku langsung meluncur tanpa berlama-lama di kampus. Sampai di RS, aku melihat wajahnya sempat pucat. Ada dua kejadian yang tidak akan aku lupakan seumur hidup. Pertama, beberapa jam setelah drop, nenekku mengucapkan kata yang membuatku tak habis pikir. Katanya, ia bermimpi kalau malam itu ia dijemput orang tak dikenal. Dengan segala suasana di dalam mimpi itu yang tidak lagi mau kuingat. Ia akhirnya memberi kesimpulan bahwa ajalnya telah dekat. Aku shock! Ia meracau seperti orang mabuk. Ya, seperti orang tak sadarkan diri atau seperti orang putus asa. Sepertinya yang benar adalah opsi kedua. Nampak sekali guratan keriput di wajahnya, hilang harapan. Rasa sakit yang mendalam, terletak di antara hidup dan mati. Aku tak begitu percaya firasat mimpi, tapi kehadirannya kadang ada benarnya. Namun, sekarang bukan saatnya untuk mempercayai. Aku pernah dengar sebuah kisah tentang seorang penderita kanker stadium akhir. Ia divonis tak mampu sembuh dan tinggal menunggu “waktu”. Berita itu membuatnya semakin drop. Ia
benar-benar putus asa akan harapan hidup. Setiap terjaga, ia hanya meracau tentang indahnya kehidupan yang akan ia tinggalkan. Selang beberapa waktu, tersebar kabar yang membuatnya tersenyum. Eureka! Ada sekelompok dokter yang peduli dengannya. Mereka menemukan obatnya. Obat itu tidak ada duanya di muka bumi. Paling mutakhir, walau sebenarnya secara kasat mata, obat itu sama seperti pil pada umummnya. Tak ada yang spesial. Secara intens ia meminum obat yang berbentuk sama dengan pil. Terapi penyembuhan ia lakukan dengan serius. Kepercayaan dirinya meningkat dan berpengaruh pada membesarnya peluang harapan hidup. Selang beberapa bulan, ia yang tadinya hanya bisa tergeletak di kasur, sudah mulai bisa berjalan dan berkomunikasi secara baik. Pdahal, normalnya, butuh waktu bertahun-tahun. Dalam waktu setahun, ia sembuh total. Ia menjalani kehidupan normal paska kesembuhannya. Namun sebuah berita mengagetkannya. Di sana menyebut-nyebut namanya. Hasil penelitian membuktikan bahwa obat itu bukanlah obat khusus seperti penjelasan dokter, hanya obat pereda stres. Ia merasa dibohongi. Keesokan harinya ia diketemukan Polisi meninggal gantung diri di rumahnya. Aku menyadari betul kekuatan sugesti. Jangan sampai nenekku dikalahkan justru oleh mental bukan penyakitnya. Aku coba memberi semangat. Ia pun sudah mulai mengeliminasi perkataan yang sifatnya mengeluh dan putus asa. Aku meyakinkan kalau jalan hidupnya masih panjang. Banyak sanak keluarga yang sangat mencintai keberadaannya. Maklum saja, lima tahun lalu, kakekku meninggal dunia. Nenekku mungkin merasa kesepian. Aku jadi ingat. Dulu aku punya penyakit yang cukup mengkhawatirkan. Orang tuaku selalu menjanjikan padaku, kalau aku sembuh, mereka akan mengajakku jalan-jalan ke tempat rekreasi yang aku sukai. Dukungan itu penting. Di saat bersamaan, masih di lorong yang sama dengan kamar nenekku, aku menyaksikan orang sakaratul maut. Suara sanak keluarganya memecahkan tiap kaca pada lorong itu. Orang itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Mereka berteriak, kenapa kamu mati secepat ini, ingat anakmu, ingat aku (istrinya) dan beberapa kalimat penyesalan bahkan gugatan pada Tuhan. Padahal kalau dipikir-pikir, itu kan hak preogratif Tuhan. Hak yang tidak bisa dilawan oleh Presiden sebuah negara sekali pun. Aku tak bisa melupakan. Istri almarhum berlari keluar. Ia menangis keras-keras, menepuk dinding yang keras, dan merobek bajunya dengan keras. Tak terima atas kondisi ini. Sumpah, mirip orang gila. Bahkan orang-orang di sekitar tak berani mendiamkan. Hanya sanak saudaranya yang lain coba menenangkan.
“Malu sama orang-orang,” “Biarin...,” balasnya. Wah, repot dah kalau begini. Aku kembali teringat perkataan nenekku. Akankah aku menjadi orang yang teriak-teriak tadi? Aku benar-benar takut, kalau kejadian itu de javu pada diriku. Wajar kalau seorang Ustad pernah berpesan, “Kalau mau mengerem sifat ambisius pada keduniaan, pergilah ke rumah sakit,”. RS bukan hanya mengerem tapi menghentikan detak nafsu kesombongan juga. Tapi, hanya bagi mereka yang sadar akan indahnya bersyukur. Persaudaraan itu memang penting. Diam-diam, Marwan menginisiasi sumbangan simpati dari teman-teman RDK. Ia bersikeras untuk menjenguk nenekku. Dan aku lebih bersikeras lagi agar tidak usah mengunjungi karena akan merepotkan teman-teman. “Sudah, doanya saja Akh,” ujarku. Padahal, aku tak pernah mengabarkan pada mereka tentang ini. Mungkin, pikirku, mereka melihat raut mukaku yang biasanya ceria, akhir-akhir ini berubah jadi murung di setiap syuro. Aku masih ingat pesan Yuni. Waktu itu ia jadi koordinator akhwat sementara karena Qisti sedang pulang kampung. “Antum tidak usah pikir masalah RDK. Teman-teman yang lain sudah bisa meng-handle. Semoga nenek antum lekas diberi kesembuhan,”. Bagiku, ini sebuah support yang lebih berharga ketimbang uang. Terima kasih kawan. Seminggu berselang. Nenekku diperbolehkan pulang oleh dokter. Alhamdulillah...
Hiburan Pagi “I want to ride my bicycle. I want to ride it where i like,” Freddie Mercury, vokalis Queen.
Aku punya kebiasaan baru. Syuro marathon jelas melelahkan. Hawa dingin menusuk setiap fajar menyingsing pasti memberatkan. Setiap shubuh hari, kami harus menahan kantuk. Biasanya dilanjutkan dengan membaca Al Qur’an juga dengan kantuk. Atau terkadang secara bersamasama kami baca Al Ma’tsurat, doa pagi dan sore hari yang sering dilantunkan Rasulullah. Rasa kantuknya juga masih mengikuti. Sehabis itu, secara ajaib rasa kantuk itu pergi. Biasanya masing-masing dari kami bercengkerama. Banyak yang kami bahas. Mulai dari sekedar bergurau untuk melepas penat sampai membahas masalah akademik masing-masing. Terkadang berolah raga, sekaligus balbalan. “Bey...abis ini antum langsung balik ke rumah?” Mas Faisal menyapaku. Ia tahu kalau selepas Mabit, aku langsung pulang ke rumah untuk kemudian kembali ke kampus lagi. “Nggak kok Mas, ane masih pingin aja di Sekertariat Putra (Sekpa), lagi males pulang. Masih pagi!” balasku sambil bermalas-malasan di kasur tipis. Kasur itu kepunyaan bersama anak-anak Sekpa. Prinsipnya jangan dilupakan, siapa cepat dia dapat. Kalau mau tidur dengan lebih nikmat, sembunyikan kasur itu secepat mungkin. Jangan sampai orang lain tahu. Kalau sudah saatnya tidur, ambil dan pilih dimana anda mau tidur. Kamar mandi? Boleeehhh... Pagi itu memang masih buta. Hanya lampu kamar Sekpa yang menemani. Itu pun kadang mati. Walau semua orang mengakui, Sekpa tak layak tinggal, masih saja banyak orang yang mau bergaul dengan nyamuk-nyamuk kebun yang mulutnya seperti jarum suntik milik dokter hewan. Maklum, persis di belakang Sekpa, ada hamparan kebun. Tapi tetap saja, kebersamaan itu indah. Minimal, dengan strategi tidur model ikan pindang lagi berjemur, kami bisa saling berbagi penderitaan. “Emang kenapa Mas?” rasa ingin tahuku memuncak. “Sepedaan ke Kenjeran yuk?” jurus senyum teduhnya dikeluarkan. Ah...rasanya tubuh lunglai kalau melihatnya tersenyum. Sungguh berbeda. Senyum menandakan bijaknya. Jarang sekali aku mendengarnya mengumbar lisan. Tidak seperti anakanak Sekpa -seperti aku ini- yang banyak membuang waktu untuk ngebanyol. Aku juga jarang
ngobrol dengannya. Dia benar seperti kata pepatah, diam-diam menghanyutkan. Dan tentu saja, ia sangat misterius. “Di Kenjeran ada apaan Mas?” alisku mengerut. Seingatku, pantai Kenjeran bukan tempat yang cukup layak untuk melepas penat. Tunjungan plasa jauh lebih cocok masuk rekomendasi. “Udah lama nggak olahraga, jadi sekalian yang jauh aja,” jawabnya dengan logat khas Sunda. “Lagipula Kenjeran kan bagus pemandangannya,” ucapnya seperti tak pernah ke sana puluhan tahun saja. Itu dulu Mas... “Oke deh mas..ane siap-siap dulu,” jawabanku mengangguk. Pikirku, daripada tidak ada kerjaan juga. Akhirnya kami bergegas mencari pinjaman sepeda. Segera setelah itu kami mendapat dua sepeda yang sekiranya bisa kami pinjam. Sepeda itu teronggok kusam di balik rak sepatu para penghuni Sekpa. Dulu aku pikir, sepeda ini sedang menunggu tukang loak. Ternyata, masih bisa digunakan. Tapi sayang, kondisinya tidak memungkinkan semua. Yang satu bagus tapi pedalnya rusak, Siasia. Satu lagi bannya gembos. Sepeda itu milik Cak Suparjo atau Cak Jo, petugas kebersihan di Masjid yang tinggal di salah satu kamar di Sekpa. Letaknya persis berhadapan dengan kamar pengurus JMMI. Anak teknik tidak boleh menyerah pada keadaan. Kami coba memperbaiki sepeda itu. Sementara itu, aku juga sedang mencari pinjaman satu sepeda lagi. Siapa tahu ada yang lebih baik dari ini. Aku coba memperbaiki. Sukses! Tadi pedalnya rusak, sekarang rantainya yang rusak. Setelah beberapa lama, kami tak menemukan sepeda yang laik jalan. Ada yang sudah karatan. Ada yang bannya sudah hilang, tidak tahu diambil siapa dan buat apa. Ada pula sepeda kumbang tua yang umurnya saingan dengan Ustad Maksum. Sang imam masjid yang kira-kira seumuran kakekku seandainya beliau masih hidup. Kira-kira 60-70 tahun. “Gimana Bey?! Sepedanya cuma satu,”. Ia tampak kecewa. Niatnya untuk jalan-jalan hampir gagal. Aku hanya bisa diam sambil berpikir cara lain. “Oh iya Mas..,” Aku ingat sepeda Fauzan, salah satu pengurus JMMI. Ia memang tak tingal di Sekpa. Tapi bulan kemarin ia baru diberi motor oleh orang tuanya. Sepeda Federal yang biasa dipakai kuliah, sekarang sedang dipinjamkan ke Farhan. Pasti sekarang ada di kosnya Farhan. “Ayo deh kita kesana!” ajakku. Sumringah. Ia mengendarai motor Honda Astrea generasi awwalun (model terbaru namanya Legenda). Kami menuju tempat kos Farhan. Aku berada di sampingnya memakai sepeda onthel yang tadi pedalnya rusak. Alhamdulillah sepeda itu lebih baik. Tiap sepuluh meter aku harus memperbaiki pedal itu. Lebih baik daripada tidak bisa jalan sama sekali.
Kami pun berpegangan satu sama lain. Untuk menghemat tenaga, ia menarikku dari motornya. Aku berada di sisi kirinya. Motornya yang jelas-jelas sudah tua itu, makin melaju pelan. Bahkan kecepatannya jadi sama dengan orang jalan. Kos Farhan tidak terlalu jauh dari kampus. Tapi sudah di luar dari wilayah kampus. Namanya Keputih gang I. Arek Surabaya asli pasti mengerti daerah ini. Posisinya selisih sedikit dengan perumahan dosen. Perumahan itu dibatasi sebuah jembatan kecil yang kebanyakan mahasiswa ITS menyebutnya jembatan Shirotol Mustaqim. Ruang tipis jembatan itu, seperti rambut dibelah tujuh. Jalannya harus searah. Kalau ada kendaraan dari arah berlawanan, maka salah satu harus mengalah. Jembatan sangat-sangat sempit. Untung saja, di bawah jembatan itu tak ada buaya. Pasalnya, aku pernah lihat ada orang berenang di bawah jembatan bersama sepedanya. Mesranya… Selang beberapa menit, kami sampai di sana. Denah kosnya agak unik. Rumah besar seperti asrama. Ada jalan kecil menuju kamar masing-masing. Kendaraan motor pun diizinkan masuk ke dalam kumpulan kamar-kamar. Mas Faisal memarkir motornya persis di depan kamar Farhan. Hanya berjarak selangkah. Akhirnya kami berangkat. Kunci motor Mas Faisal langsung diberikan ke Farhan. Farhan pun menerimanya tanpa banyak bertanya. Sepertinya ia tidak cocok menjadi birokrat. Syarat menjadi birokrat adalah berpikir rumit alias membingungkan orang dan banyak persyaratan. “Kalau ada yang sulit, mengapa pilih yang mudah?” begitu kira-kira prinsipnya. Seperti meminta Acc proposal saja, harus diputar-putar dulu baru dapat. Yang kesanalah...yang kemarilah...Andai semua birokrat seperti Farhan. Dia tahu apa yang kumau. Hmm…kedengarannya seperti jargon iklan. “Pada mau kemana nih?” tanya Farhan basa-basi. Hidupnya memang penuh basa-basi, ciri khas orang Melayu. Tapi nampaknya Farhan tak begitu cakap bersajak. Basa-basi itu yang seringkali jadi senjatanya meluluhkan orang, termasuk aku. “Lagi mau refreshing aja Han. Ente mau ikut?” “Ane di kos aja deh,” Farhan menutup perbincangan singkat kami. Sepertinya melanjutkan tidur pagi. Aku pun bergegas mengendarai sepeda onthelku bersama Mas Faisal. “Ayo Mas, Let’s get it on!,” sahutku sambil berlagak seperti anak kecil yang senang sekali ketika diajak orang tuanya jalan-jalan ke suatu tempat. Mas Faisal hanya membalas dengan senyum. Mungkin agak heran dengan polahku yang kekanak-kanakan. Hawa sejuk, menenteramkan hati kami. Jarum jam masih menunjuk pukul 05.30. Belum ada suara keras knalpot motor. Belum ada lalu-lalang civitas ITS. Aku senang melihat kampusku begitu sunyi. Karena hal itulah yang ingin aku cari selama ini. Mencari ketenteraman di balik rutinitas kampus yang lama-kelamaan sangat membosankan.
“Bey...gimana kabar RDK-nya,” tanya Mas Faishal di awal perjalanan. Pertanyaan ini sungguh menghentak. Aku hanya diam mendekam dalam kesunyian. Diiringi kicauan burung-burung yang terbang gembira. Bersama ikan-ikan yang menikmati dinginnya air, tanpa takut akan terkena kail sang pemancing. Bola mataku hanya menerawang menuju pohon-pohon besar. Daun-daunnya bergerak simetris terpukul angin pagi. Melintasi jalan di depan Jurusan Biologi FMIPA ITS yang masih sepi, menyejukkan. Di samping danau yang menangis karena tak pernah dikasihani. Awan-awan masih kelam. Namun tidak menandakan akan hujan. Tapi masih melukiskan kegelisahan mendalam. “Bey....gimana kabarnya? kok malah ngelamun,” ia mengulang pertanyaannya seraya mengeraskannya sedikit. “Eeee...RDK ya Mas?” jawabku setengah tersadar. “Aduh Si Bey, ane nanya dari tadi, antum kemana aja atuh!,” lagi-lagi ia mengeluarkan logat Sunda yang khas nan unik. Jelas, aku hafal betul dengan keramahan urang sunda, karena dulu pernah tinggal di Bogor. Kalau ingat anekdot orang sunda, jadi tertawa sendiri. “Siapa bilang orang Sunda nggak bisa ngomong “F”? itu pitnah itu...pitnah!” “Nah...itu Mas,” aku mengeluarkan jurus jawaban menggantung. “Kenapa, ada masalah ya?” Ia memotong pembicaraanku. “hhmm...nggak sih mas,” “Ayo...nggak papa, cerita aja ke ane, RDK-kan program JMMI yang harus disukseskan bersama,” Matanya memandang teduh mataku, seperti menaruh simpati. Kami masih tetap mengayunkan pedal sepeda dengan sangat lirih, mencoba menikmati perjalanan kami. Ia pun memegang pundakku dengan bijak. Kami baru saja keluar menuju jalan raya ke arah Kenjeran. Suasana tidak lagi sunyi. Sudah banyak suara knalpot mengganggu. Tampak kegagahan Grha Sepuluh Nopember, tempat kami diakui sebagai mahasiswa dan (akan) diakui sebagai alumni. Tapi hati ini masih saja sepi. Hanya kami berdua. Kami sedang merasakan nikmatnya persaudaraan, bukan pacaran. Aku masih normal! “Nggak tahu Mas, kayaknya ane mulai pesimis RDK bisa jalan,” “Masalah dana? Publikasi? Atau apa?” “Ane mulai kehilangan semangat,” jawabku sambil menunduk memperhatikan jalan aspal menuju arah Kenjeran itu.
“Teman-teman juga begitu Mas!” aku menambahkan dengan nada tinggi. “Itu mah biasa atuh, ane jadi PH juga gitu kok”. Sahutannya membuatku tambah bingung. Aku juga merasa guratan-guratan itu mulai tampak. Entah optimisme atau pesimisme. “Semangat (keimanan) manusia itu naik-turun. Nggak mungkin naik terus atau turun terus. Di JMMI itu sudah orang-orang hebat. Hebat dalam arti tersirat,” ungkapnya. Kata-katanya mengingatkanku kepada Mas Yusuf, Ketum JMMI saat itu. Kadang-kadang ketika ia merasa lelah dan lemah semangat, seringkali berujar kepadaku,”Bey, kenapa ya, saya yang ditunjuk jadi Ketum, ente tahu jawabannya?”. Aku hanya bisa menggeleng terheran-heran. Ini mau ngetes atau sekedar iseng bertanya. Sebenarnya dalam hati aku bisa menjawab, “Karena Mas yang pantas,”, tapi ia keburu melanjutkan pembicaraan tadi. “Padahal banyak yang lebih baik dari Mas, coba lihat Mas-Masmu itu, bukankah mereka lebih baik dari Mas?”. Terdiam sejenak. “Padahal kapasitas saya jauh dari teman-teman yang lain,” “Tapi kan Mas sudah menjadi pilihan orang banyak?” aku mencoba memberikan semangat walaupun sepertinya tidak begitu berefek. “Pertanyaannya, kenapa harus saya?” memutar logika kami kembali. Segera setelah pertanyaan ini, kepalanya menunduk. Ia mengelus-elus pulpen yang melekat di jari telunjuk dan jempolnya. Di depannya ada sebuah laporan, laporan praktikum. Sepertinya tugas kuliahnya sedang menumpuk. Mereka tertidur pulas di sebuah meja lipat beserta kalkulator dan penggaris di sampingnya. Pertanyaan itu membuat aku tersentak. Ia seperti mendobrak dadaku dari depan. Menghujam ulu hati. Aku sering mengucapkan hal itu juga. Sepertinya ia secara tak sadar menyindirku. Dan memang benar perkiraanku. Aku telah banyak menyombongkan diri. Padahal apa yang aku lakukan belumlah seberapa. Pertanyaannya sama, kenapa harus aku? Kenapa harus ane? Kenapa harus saya? Pertanyaan yang menggambarkan beban yang begitu berat sedang dipikul. Ataukah sebuah perasaan tidak terima? Kalau dibilang memang begitu adanya, tapi kami tidak bisa berbicara banyak. Begitulah prosedur dan adabnya. Ia melanjutkan pembicaraan, “Dulu ane sempat mengalami beban berat pas awal jadi Ketum,”. Bulu mata lentiknya sekali lagi memandangku. Kali ini pandangan yang menenangkan, bukan bongkahan emosi yang siap dipecahkan. Mataku menjadi saksi kalau ia menangis deras saat Majelis Akbar menunjuknya menjadi seorang nahkoda dakwah. Sudah beberapa kali aku menjadi saksi saat pemilihan Ketum JMMI. Setiap tersebut sebuah nama, maka sang pemilik nama akan menangis sedih seakan baru saja ditimpakan sebuah musibah maha dahsyat.
“Apa Mas?” tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu. “Beratnya, Ketika sebelum tidur bahkan sampai bangun tidur, beban yang dipanggul tetap sama. Ya, Ketum JMMI. Jadi tidur itu hanya pelarian sejenak. Selebihnya, beban menjadi seorang Ketum akan terus hinggap. Belum lagi masalah-masalah yang lain,” “Oh gitu ya Mas...,”. aku hanya manggut-manggut saja. Aku menyadari beban yang luar biasa. Walaupun sebenarnya tugas seorang ketua atau kepala hanyalah mengonsep atau mengomandokan. Kalau dilihat memang mudah. Tidak perlu repot-repot di lapangan. Lantas apa yang membuatnya berat? Jelas, tanggung jawabnya kepada ummat. Ia seorang leader di sebuah lembaga dakwah. Otomatis, ia menjadi panutan atau paramater bagi banyak orang. Ia mengajak kebaikan sudah barang tentu ia harus memperbaiki dirinya dulu. Tak boleh terjadi, ia bermaksiat setelah ia mengajak orang meninggalkan kemaksiatan. “Tapi sekarang sudah bisa menerima,” simpulannya sederhana. “Kok bisa Mas?” “Ternyata banyak sekali hikmahnya. Sama seperti kamu menjadi Penanggung Jawab (PJ) di RDK, pasti banyak hikmahnya kan? Walaupun beban masalahmu malah semakin berlipat ganda ketika kamu berkeputusan untuk berdedikasi di sana. Sebenarnya hal itu sangat beresiko dan membutuhkan pengorbanan yang luar biasa,” jelasnya rinci. “Iya Mas...ane juga sudah mulai merasa nyaman dengan hal ini,” “Jalani dengan disiplin, sabar dan istiqomah itu kuncinya,”. Segera ia tutup perbincangan tadi. Ia kembali memegang kalkulator kemudian mengerjakan laporannya. Aku pernah mendengar dari senior yang lain kabarnya ia sedang sibuk tugas akhir. Mungkin ia mau jadi orang pertama sebagai ketua umum yang lulus tepat waktu? Tugas akhir adalah pertarungan hidup-mati seorang mahasiswa. Tapi ia terlihat tidak begitu kerepotan dengan tugas akhir dan amanah Ketum. Beda dengan kebanyakan mahasiswa yang bingung dengan tugas akhirnya sendiri. Apakah ia tidak merasa kedua amanah itu berbenturan keras dalam hidupnya? Ia menjawab ringan, Kenapa harus dibenturkan? Lalu ia menyimpulkan kalau kita menggunakan pola pikir seperti itu, maka kita termasuk yang merugi. Aku tercenung. Bukankah seharusnya kita bangga karena telah dipilih menjadi pejuang agamaNya? Padahal Allah juga tak pernah membutuhkan kami. Allah punya banyak stock pejuang. Bahkan pejuang itu jauh lebih berkualitas dari kami. Karena Allah punya kuasa atas itu. Aku ambil analogi seperti klub Chelsea. Klub Inggris ini dibesarkan oleh pengusaha minyak kaya berjuluk The Roman Emperor. Andaikata, seluruh pemain chelsea mogok kerja, Roman Abramovich tidak akan pernah bersedih. Ia punya banyak brankas. Tak perlu waktu lama untuk
memborong pemain yang jauh berkualitas. Kenapa? Karena ia punya kuasa atas industri sepak bola. Bukan hanya membeli pemain, di dalam sepak bola pun kemenangan bisa dibeli. Itu baru contoh yang sederhana. Salah satu bagian dari kehidupan yang luas. Sementara Allah Sang pemilik dunia yang luas ini, tidak pernah merasa membutuhkan makhluk-Nya. Bukankah makhluk-Nya yang harus membutuhkannya? Aku kembali melanjutkan perjalanan. Tak terasa Pantai Kenjeran semakin dekat. Aku sudah banyak mengupas kehidupan masing-masing. Mas Faisal banyak bercerita tentang asal muasalnya. Cerita-cerita masa lalu yang penuh kenangan. Mulai dari asal muasal keluarga besarnya di Jawa Barat sana sampai kisahnya yang pernah menjadi munsyid terkenal. Lalu perjalanan hidupnya yang tersasar di Surabaya. Aku pun juga menceritakan hal yang sama. Bedanya, kalau aku berbicara pasti selalu menggebu-gebu. Sementara ia berbicara lebih teratur dan bijak. Aku tidak bisa begitu banyak menceritakan apa yang kami bicarakan di sini. Itu terlalu berkesan bagiku. Pandanganku terhadapnya terbuka luas. Dahulu aku mengangapnya sebagai orang yang tertutup. Baru kali ini ia sangat terbuka padaku. Benar-benar seperti sahabat dekat. Kami hanya melintas sejenak di pinggir pantai Kenjeran. Sambil menikmati matahari mengintip di balik tirai awan. Sesekali kami melirik sedikit ke bawah memperhatikan para nelayan membuang sauh. Ikan-ikan yang terlihat melompat-lompat dari kejauhan, menggoda nelayan dan berkata,”Hari ini aku tidak tertangkap,”. Semakin lengkap ketika aku bergumam menyingsing sebuah lagu dari steve and coconut treez. Angin pantai seakan ingin menggoda kumpulan keluarga palm di ujung pasir putih. Bebas lepas, tanpa beban Aku merdeka... Kujalani, apa adanya Aku bahagia… Kali itu, jalanan benar-benar dipenuhi para pengguna sepeda. Sama dengan kami, mereka hadir untuk menyaksikan secuplik keindahan di timur Surabaya. Namun hanya sebentar di sana. Segera setelah itu, kami kembali mengayuh pedal menuju kampus tercinta. Kami buka lagi lembaran cerita. Dirasa-rasa jadi mirip serial sinetron. Berdampingan kami mengayuh, tak peduli klakson mobil berteriak karena gerak kami yang lambat. Sampailah pada saat yang paling ditunggu-tunggu, Makan pagi!!! Apa menu yang kami pilih? Bubur ayam Jakarta yang terletak di jalan Mulyosari. Wah...maknyusss sekali. Tambah nikmat karena aku ditraktir Mas Faisal. “Lumayan...tararengkyu Kang!” Semenjak itu aku jadi semakin sering bersepeda di pagi hari. Kebetulan beberapa SC punya sepeda yang bisa aku pinjam. Kadang sendiri, kadang bersama kawan yang mau diajak
bersepeda mengelilingi kampus. Minimal menyapa burung-burung yang sedang bermain ceria di bawah rindangnya pohon-pohon kampus. “The Long and Winding Road...,” bersepeda sambil menyanyi lagu ini rasanya nikmat.
Bicycle Tragedy Kisah perjalanan aku dan Mas Faisal belum berhenti. Akhirnya sampailah kami di kampus tercinta. Segera kami parkir sepeda ontel di Sekretariat Putra. Aku pun melihat Farhan sedang duduk-duduk di halaman depan Sekpa. Langsung menyambut kami dengan senyum. “Kemana aja jalan-jalannya?” senyumnya selalu saja mengembang “Cuma ke kenjeran doang Han. Tapi seru lho! Suasananya enak banget,” aku sibuk mengelap keringat ke baju putihku. Yah...cokelat deh. “Wah seru banget nih kelihatannya,” binar-binar matanya memancar. “Capek nggak?” “Ya iyalah Han...secara kita ngontel sampai Kenji,” jawabku. Kenji, nama keren untuk Kenjeran. Maklum, arus moderenisasi sedang melanda Indonesia. Jadi harus dengan bahasa-bahasa gaul semi modern. Pagi itu merupakan jadwal syuro kami. Aku sudah menyampaikan undangan lewat sms pada mereka. Beberapa di antaranya sudah hadir. Tersisa satu orang, Azhar. Aku belum tahu, ada apa gerangan ia belum datang juga. Jam sudah menunjukkan pukul delapan, sudah seharusnya syuro dimulai. Hari itu juga, ada sebuah acara menarik di TV One. Kalau tidak salah judulnya tunas bangsa yaitu tentang mahasiswa berprestasi yang mempunyai karya-karya terbaik. Nah, pada edisi hari itu, yang tampil adalah mahasiswa ITS. Bukan hanya itu, ternyata salah satu nama di antaranya pernah tercatat di JMMI. Kalau tidak salah Muhamad Radikal Akbar (Teknik Fisika 2005), ia pernah menjadi Kepala Divisi di JMMI. Ia bersama sahabatnya, Abdul Nafi’ (D3 Teknik Elektro) menciptakan lift tenaga air. Tapi acaranya masih jam sebelas siang nanti. Kami berencana nonton bareng. “Assalamualaykum...” Teriakan keras dari luar. Suara itu biasa keluar dari mulut preman atau kondektur bis. Sudah kuduga, itu Azhar. Partnerku bergulat dan bercanda sampai guling-guling. Kok bisa aku nemu teman seperti ini? “Akhi...dari mana saja antum?” tanya Farhan yang sudah menunggunya dari tadi. Inilah syuro kita babak kedua. Babak pertama baru di-rehat tadi pagi jam satu. Syuro sudah di ambang kantuk. Perbedaannya tipis antara sadar dan tidak sadar. Karena tidak ada yang kuat melanjutkan, akhirnya kami tangguhkan jadi pagi ini. Sembari santai, aku buka syuro ini dengan canda.
“Teng...teng...teng,” tuturku menirukan suara lonceng pertandingan tinju. “Assalamualaykum, ronde kedua akan segera dimulai. Are you ready to the Rumble?” ucapku pada peserta syuro khas wasit smackdown. Aku segera menyusun agenda. Kami pun mulai membuat strategi dan berbagi tugas. Mulai dari masalah dana, masalah SDM, masalah teknik acara sampai dengan pembagian jadwal pulang kampung lanjutan. Maklum, kampung halaman kami berpencar. Yang rumahnya di sekitar Jawa Timur menuntut lebih. Jadi harus merelakan apa yang bisa direlakan. Sedikit-sedikit kami memasung jatah liburan. Dan pada Minggu ini yang mendapat jatah pulang adalah Marwan. Pembahasan makin sengit. Sesekali kami melempar canda. Bahkan kadang-kadang kami terpingkal ketika ada peserta syuro yang melempar guyonan. Kebetulan, mood humorku sedang menanjak, sekali-sekali kami lepas urat-urat yang kencang itu. Namun, tiba-tiba syuro itu terhenti. Ada suara memanggil nama salah satu peserta syuro. “Han...motor ane dimana?” semilir suara dari kamar sebelah. “Ada di parkiran Sekpa kok Mas,” balas Farhan sambil menunjuk arah parkiran. Maklum kami masih dalam syuro. Syuro berada di salah satu kamar dari tiga kamar di Sekpa. Satu kamar sudah jadi milik Cak Jo. Dua lagi jadi rebutan perngurus JMMI. Menurut aturan tidak tertulis atau aturan-aturan informal, peserta syuro tidak boleh meninggalkan tempat syuro' dengan alasan yang tidak kuat, seperti dipanggil teman, menerima telepon, pokoknya izin-izin yang bisa ditunda di lain waktu. Kalaupun jelas, harus mendapat persetujuan dari pimpinan syuro. Kami belajar jadi birokrat, membuat sulit sesuatu yang mudah. “Yang mana Han?” tanya Mas Faishal mendatangi tempat syuro. Ia keheranan. Sejak pulang dari kenjeran, ia pelototi parkiran, tak ada satu pun motor Astrea yang bisa melegakan hatinya. Farhan segera pergi keluar untuk menunjukkan sepeda motor Mas Faishal. “Yang Supra itu kan Mas,” jawabnya sambil tersenyum. Belum nampak hal aneh. Wujud yang ditunjuk Farhan memang ada di tempat, terparkir rapih di samping sepeda Pak Mi’an, salah satu karyawan masjid. “Lho...” Mas Faisal memandangi dengan serius. Pandangannya menggurita mencari-cari dari sekian banyak motor yang parkir di Sekretariat Putra. Segala bagian motornya diperhatikan. Tapi tidak ada yang sesuai. Tangan Farhan pun masih mengarah pada sebuah motor,”Itu loh Mas yang dibawah pohon,”. Ya, sebuah motor Supra dengan pelat AG, Kediri punya. “Hah...,” Mas Faisal shock berat.
“Bukan yang itu, Motor ane memang Honda tapi Astrea model lama, terus pelatnya D (Bandung),”. Pada detik ini, bumi serasa berhenti berputar. Perasaan kami tenang, berbalik 360 derajat. Selanjutnya aku baru merasakan hal yang aneh dari perbincangan dua orang tadi. Maklum, di tengah syuro aku sesekali mendengarkan perbincangan mereka. Karena Farhan tidak kembali lama, aku semakin penasaran. Farhan akhirnya kembali, ia datang dengan raut muka berbeda. Syuro di-pending. “Masya Allah...ternyata motor yang antum bawa itu bukan motornya Mas Faishal?” tanyaku. Dodi dan Azhar hanya terlihat bingung. Ia tidak tahu permasalahannya dari awal. Farhan pun tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya. “Motor itu, motor orang lain?” aku meyakinkan kembali. Sudah lebih dari dua jam motor itu teremenung di parkiran Sekpa. Kalau seandainya motor bisa berteriak, mungkin ia akan berkata,”Maaf anda bukan pemilik saya!”. Sayangnya motor itu tidak bisa memberitahukan hal itu. Segera setelah tahu kejadian ini, tanpa pikir panjang kami bubarkan syuro yang agendanya seabreg itu. Semuanya masih berdiri di halaman depan Sekpa. “Berhubung kita dalam kondisi genting, syuro ini ditutup,” ujarku kepada Azhar dan Dodi. Setelah kami mengucap hamdalah, istighfar dan do'a penutup majelis, kami bergegas menuju kosnya Farhan. Segera kupacu motor itu menuju Kos Farhan. Aku bersama Azhar menggunakan motorku. Dan Farhan ke sana sendiri dengan membawa motor salah alamat tadi. Sesampainya di sana, hawa-hawa ketegangan sudah terasa. Aku benar-benar merasakan bagaimana perasaan Farhan ketika itu. Dua hari lagi ia pulang kampung. Sudah lama ia tak bersua dengan keluarganya. Kebetulan ia mendapat jatah pada Minggu kedua, tinggal sejengkal lagi. Tiket Surabaya-Riau via Jakarta sudah dibeli dengan harga kisaran satu juta rupiah. Tapi dengan kejadian hari ini, aku tak bisa memberi jaminan kelanjutannya. Farhan segera mencari-cari siapakah pemilik motor yang dibawanya. Satu per satu pintu kamar diketuk, terutama kamar-kamar bagian depan dekat dengan parkiran kos. Sementara aku lihat, motor Mas Faisal masih bersandar di depan kos Farhan persis tanpa ada satu pun yang berubah. Motor itu tetap di sana dengan perasaan tidak berdosa. Padahal, pemilik dan peminjamnya sudah paniknya minta ampun. Kami tak tinggal diam. Kami tanyai orang-orang yang berada di tempat kos satu per satu, seperti sebuah penyidikan seorang detektif. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana paniknya sang pemilik motor -yang dibawa Farhan- ketika melihat motornya raib. Pastilah ia akan panik. Aku pernah mengalaminya. Dan kondisinya jauh lebih parah dari ini.
Motorku pernah hilang di Parkir Masjid Manarul. Mending kalau yang hilang hanya motornya. Masalahnya, tasku dijebol. Nah, barang-barang macam STNK, uang, dan surat-surat raib sudah. Handphone pun ikut dibawa garong. Akhirnya aku kebingungan sendiri. Bagaimana aku pulang ke Sidoarjo kalau tidak punya uang sama sekali. Untungnya, ada sahabatku yang bermurah hati mau meminjamkanku uang sebesar Rp 10.000. Bahkan setelah punya uang, aku bingung bagaimana cara bisa ke rumah? Saat itu sudah malam, angkot sudah tak ada. Lengkap! Hanya itu saja sih yang terbayang dari otakku. Pasti sang pemilik motor sedang kebingungan. Pertanyaan dalam hatinya hanya satu,”Bagaimana cara aku memberitahukan kepada kedua orang tuaku?”. Itu pertanyaan yang paling sulit dijawab. Butuh waktu beberapa lama untuk menenangkan diri, dan menjawab pertanyaan itu. Pencarian kami belum berhenti. Farhan kembali mengetuk pintu dari satu kamar ke kamar lain. Kami semua bergerak menanyai siapakah pemilik motor tersebut. Sampai suatu ketika ada sepeda motor berhenti di depan parkiran kos. Lelaki yang dibonceng terlihat mata bengapnya, sepertinya habis keluar air mata. Kami masih belum ambil peduli dengan kehadiran keduanya. Setelah bertumpu ke tanah dengan sempurna, lelaki yang tadi menyetir motor, turun dan berceloteh. Ia marah besar. kulitnya yang cokelat terbakar matahari, turut memberi alasan, ada yang tidak beres. Ia menunjuk sebuah ruang kecil di antara motor yang terparkir rapih. “Tadi motornya di sini!” keras sekali suara itu. Ia menunjuk tempat kosong tadi. Sampai momen itu, aku baru paham. Aku memanggil Azhar dan Farhan ke luar. Menurutku, ini orang yang kehilangan motornya. Maka aku beranikan diri mendekat. Anak muda yang dibonceng tadi terus-terusan mengusap bola matanya. Sepertinya, ia si pemilik motor sebenarnya. “Pak, apa benar motor bapak yang itu?” ujarku menunjuk motor yang tadi dibawa Farhan. Aku coba jelaskan dengan nada rendah. “Tadi, motor itu terbawa Farhan. Ini orangnya Pak,” sekali lagi tanganku mengarah pada faktorfaktor penting kejadian ini. “Oh, jadi kamu pencurinya ya? Ayo ikut ke Polsek,” Sang Bapak tanpa tedeng aling-aling, menarik tangan Farhan. Ia sudah naik pitam. “Tunggu sebentar Pak, bisa kita jelaskan baik-baik,” “Halah, nanti saja di Polsek,” Tak ada lagi wajah ramah yang bisa dihidangkan. Pembicaraan itu tak berhenti. Kami berusaha menjelaskan duduk permasalahan dengan sopan. Tetap ia tak mau kompromi. Aku tahu, tubuh bapak itu yang kerempeng, bukanlah intel polisi. Pikirku, kalau seandainya bisa diselesaikan tanpa melibatkan polisi, itu jauh lebih baik. Kalau sudah berhubungan dengan polisi malah semakin berliku. Masalahnya, aku pernah mengalami.
“Ayo, ikut saya,” ujar bapak berkumis yang dari tadi tak bisa tersenyum. Tangannya ingin membawa Farhan segera. Ia mendesak seperti Revolusi Perancis memaksa Raja Louis XVI menadangkan lehernya di bawah pisau guillotine. Aku menahan Farhan dari tarikan itu. Sekali lagi aku dan Farhan coba jelaskan. Permasalahan utamanya, Farhan khilaf. Ia tidak hafal motor Mas Faishal. Pikirku benar juga. Tadi pagi, ketika aku dan Mas Faishal bertukar kendaraan, Farhan tidak berusaha mencari tahu motor Mas Faishal. Setahunya, motor seorang tamu harus diparkir di teras terluar kos. Itu aturan tidak tertulis. Sayangnya aku dan Mas Faishal tidak tahu. Ketika waktu syuro datang, ia tergesa ke kampus. Berjalan ke teras kos, kebetulan hanya ada satu motor honda. Tanpa pikir panjang, kunci masuk ke lubangnya, dan PAS! Farhan tak sadar kalau ia sedang duduk di motor honda Supra, bukan Astrea. Selang dua jam, kami baru sadar setelah Mas Faishal ingin keluar karena ada keperluan. Farhan tetap tidak merasa ada yang aneh ketika menunjuk motor Supra itu. “Sudah, saya nggak mau ndengar. Pokoknya, kita urus di polisi aja,” Cekcok ini hampir berujung baku hantam. Terutama aku yang tak bisa terima sikapnya yang merendahkan. Farhan memang salah, tapi bukan begitu caranya. Alangkah baiknya kami duduk satu meja, bicarakan kemungkinan terbaik. Usut punya usut, kenapa bapak tadi dan anak muda pemilik motor ini memaksa kami pergi ke polisi? ternyata mereka sudah menaruh laporan pencurian di sana, Dan tugas berat buat aku, Farhan, dan Azhar adalah mencabut berkas itu atau...Farhan harus tinggal di bui. Jujur, aku tidak tega membayangkan kalau sampai Farhan masuk bui. Mencabut berkas di kepolisian bukanlah perkara mudah. Ini delik kriminal antar personal. Kecuali kalau cekcok sebuah masalah di dalam keluarga, bisa saja dicabut berkas dengan mudah. Namun kalau sudah kriminal, masuknya jadi KUHP. Apalagi seperti kami yang tak punya koneksi polisi. Kami akan seperti bola yang ditendang tak menentu ke segala arah. *** Polsek Sukolilo terlihat sederhana seperti kebanyakan rumah di sekitarnya. Ia hanya berjarak setengah kilometer dari pemukiman mahasiswa ITS di Gebang dan terletak di sebuah komplek perumahan elit. Tapi konon, Polsek ini termasuk pemegang monopoli Curanmor di Surabaya. Banyaknya mahasiswa ITS yang mengandalkan kendaraan pribadi dalam mobilisasinya, tentu menggiurkan bagi komplotan pencuri. Keteledoran atau kelalaian sedikit saja bisa jadi malapetaka. Maklum, anak muda rawan teledor. Lucunya, kata pak polisi ketika dulu aku melapor kehilangan motor, komplotan pencuri itu bermukim di tengah-tengah pemukiman mahasiswa. Biasanya, dalam satu minggu, bisa dipastikan ada tiga laporan pencurian.
Polisi tidak bisa bertindak apa-apa. Pencuri itu punya jaringan luas. Dalam waktu satu jam setelah pencurian, motor sudah di-preteli sehingga tak nampak lagi bentuk aslinya. Onderdil multilasi itu dijual terpisah di beberapa pengecer seperti di daerah Demak, dekat Pasar Turi. Kalau mau beli onderdil kendaraan yang murah, ya...main saja ke Demak, tapi biasanya barang curian. Aku pikir, bapak tadi wajar kalau tidak terima. Setelah suasana mulai reda, aku mendengar celotehannya. Katanya, kejadian ini sudah berlangsung tiga kali dalam bulan itu. Hebatnya, di tempat yang sama pula. Ternyata, bapak yang aku pikir adalah orang tua dari pemilik motor, hanyalah kawannya. Mereka biasa cangkruk di warung kopi. Setelah tahu kabar motor mahasiswa Matematika angkatan 2007 itu hilang, bapak tadi langsung mengantarnya ke Polsek. Aku jadi merasa bersalah. Kasihan juga melihat pemilik motor yang kulupa namanya itu. Saat itu, ia mengaku bingung, mau bilang apa ke orang tuanya. Motor itu baru beberapa bulan dipakainya. Ia menghadapi apa yang aku hadapi dua tahun lalu. Bagaimana mempertanggungjawabkan sebuah barang dengan harga yang mahal itu. Apalagi katanya ia dari desa, dan motor itu memang untuk kesehariannya kuliah. Sementara di kampung, orang tuanya sendiri tak punya motor. Sampailah kami di Polsek. Kebetulan ada Kapolsek yang juga sama sekali tidak ramah. Menurutku wajar saja, selama mereka anggap kami komplotan maling, mereka tak akan pernah mau ramah. “Ini pak, pelakunya,” ujar sang bapak pada dua polisi yang sedang piket di muka kantor Polsek. “Ayo ikut saya,” dengan segera dua polisi tadi membawa masuk Farhan dan pemilik motor. Sementara yang lain menunggu di luar. Mereka masuk dalam ruangan berkaca. Di dalamnya terdapat komputer dan polisi dengan asap rokok mengebul dari mulutnya. Ruang interogasi kah? Sepertinya begitu. Bedanya, dalam ruang interogasi seharusnya hanya diisi pelaku dan interogator. Mungkin ini bentuk lembut interogasi: konfrontir. Buktinya, polisi tadi sibuk memainkan jarinya di keyboard, sesekali bergantian bertanya pada pelaku dan korban. Suasana tidak setegang perkiraanku. Di luar, kami duduk di atas sofa kulit persis di depan pos piket “harap lapor”. Kuperhatikan Azhar terlihat canggung. Jarang-jarang anak ini mengunci mulutnya. Tatapan matanya dibiarkan rekreasi ke seluruh sudut Polsek. “Baru pertama kali ke sini Zar?” tanyaku bermaksud menyindir. “Iyo..,” singkat jelas padat dengan sedikit urat tegang tertarik ketat.
Mungkin ini kali ketiga, aku ke Polsek. Pertama, kasus kehilangan motor itu. Kedua, mengantarkan teman lapor diri karena Kartu Tanda Mahasiswa (KTM)-nya hilang. Ketiga, ya ini. Perubahan kantor ini hanya terlihat dari luar. Kantor dibuat lebih elegan dengan eternit dan dinding keramik. Itu jelas menyingkirkan kesan angker, yang dulu pernah kurasakan ketika kantor ini masih terlihat tak terawat. Dari sisi dalam tak berubah, tetap asri. Sesekali polisi memanggil tahanan yang sedang menyirami sebuah taman bunga di pekarangan dalam kantor. Kadang panggilannya berbentuk teriakan menghentak atau candaan sarkastik, tergantung mood para polisi itu. Intinya, tahanan belajar menjadi manusia nerimo se-nerimonerimo-nya. Contohnya seperti,”Hey, pel yang bersih. Nggak bersih tak bedil nanti (saya tembak nanti),”. Bahasanya memang sarkas, tapi begitulah adanya. Wajarlah menurutku, itu akan membangkitkan efek jera. Kalau penjahat dilayani dengan ramah, diberi makan enak, dibiarkan di dalam sel menganggur, itu sama saja memberi mereka tiket hotel bintang lima untuk beristirahat, sebelum “bekerja” lagi. Jangan kira hidup di penjara enak (dari penjara ke penjara, Tan Malaka). Hidup di bumi bagaikan burung Bangun pagi makan nasi jagung Tidur di ubin pikiran bingung Apa daya badan terkurung Lirik “Hidup di Bui” karya D’Lloyd Aku perhatikan petugas piket jaga menikmati hiburan dangdut di televisi. Mereka bernyanyi sengau, ikuti artis itu menarik suara. Di bawahnya ada juga layar televisi. Tapi membosankan. Itulah layar dimana polisi biasa memantau para tahanannya. CCTV dipasang untuk mengawasi keseharian tahanan. Aku pernah melihat perpeloncoan di layar itu. Setiap tahanan baru masuk, senior mereka pasti memberi “hadiah”. Kadang bogem mentah. Saat terjadi, polisi jaga itu paling hanya berteriak,”Jangan keras-keras mukulnya,”. Kadang setiap pengunjung Polsek dibuat tertawa. Tahanan baru itu disuruh menyanyi lagu “Balonku” sambil mulut dan hidungnya ditutup, disuruh menggendong seniornya, merangkak dengan kuping dijewer, disuruh mencium satu persatu kaki seniornya, dan banyak lagi. Sesekali polisi tadi menerima telepon berisi laporan. Kalau itu dari “konsumen”, mereka coba beramah-ramah, tapi lama-kelamaan gaya straight forward-nya itu keluar juga. Kalau itu dari
teman sesama polisi, kadang mereka candai. Kadang pula berujung panik kalau itu laporan genting. “Lapor...lapor. Ahmad Yani macet total,” suara masuk ke Handy Talkie (HT) petugas piket itu. “Lawas (dari dulu)...,” jawabnya singkat sambil tertawa. Aku jadi tertawa. Dari dulu Jln Ahmad Yani adalah jalan protokol nan utama di Surabaya. “Si Komo lewat...,” balas suara HT. “Ditilang ae Pak,” Di tengah kumis yang mirip semut bergerombol itu, mereka masih bisa memperlihatkan gigi humanisme-nya. Seburuk apapun citra polisi, ia tetap makhluk berperasaan. Kadang nampak wajah seramnya, kadang kewibawaannya, kadang kekanak-kanakannya, kadang keharuannya, kadang patriotisme-nya. Unik. Aku harap ia juga punya sebutir mutiara kebijaksanaan untuk Farhan. Setengah jam kemudian Farhan keluar dari ruangan itu. Wajahnya tak setegang tadi. Semua langsung keluar menuju tempat parkir di samping kantor. Motor Astrea dan Supra diparkir berdampingan. Polisi yang tadi “mewawancarai” Farhan, mengeluarkan kunci dari sakunya. Lalu ia perhatikan detail kunci itu. Ia hadapkan pada teriknya matahari. Sepertinya ia tak percaya kalau kunci ini penyebab kejadian perkara. “Lho...pas,” kunci itu meluncur tanpa hambatan di lubang kunci Supra. “Coba yang ini ya,” tunjuk motor di sebelahnya, Astrea. “Pas juga...aneh,” Pak polisi malah menggaruk-garuk kepalanya. “Ini kunci duplikat ta?” Aku jawab seadanya,”Sepertinya begitu Pak,”. Kebetulan Mas Faishal tidak hadir di kantor Polsek. Ia sedang ada keperluan. Kami pun masuk kembali ke dalam kantor. Aku bertanya,”Terus kelanjutannya gimana Pak?” “Ya, ditahan dulu di sini,” “Farhannya?” aku khawatir. Bayanganku tertuju ke layar televisi yang menggambarkan aktivitas para tahanan. “Ya...nggak papa kalau dia mau ikut ditahan,” candanya. “Terus, kira-kira laporannya bisa dicabut?” tanyaku. “Nggak segampang itu Dek,” nadanya meninggi.
Berita acara ini sudah dicatat dan akan dilaporkan ke Polda. Menurut Pak Polisi, seandainya jarak antara laporan dengan kembalinya motor ini tidak terlalu lama, mungkin masih bisa dicabut. “Sekarang berkasnya sudah di Polda. Satuan polisi pun sudah turun untuk menggelar razia di beberapa tempat,” jelasnya. Aku hanya bisa menurut. Kira-kira pukul satu siang kami diperbolehkan pulang. Alhamdulillah, Farhan juga boleh pulang. Tapi Astrea dan Supra itu, tak boleh pulang. Semua STNK disita. Kami sudah berusaha membujuk polisi dengan alasan motor ini dibutuhkan sekali untuk keseharian, tapi mereka tak peduli. Kami menyerah. Terpenting Farhan bisa pulang. Akhirnya kami tidak jadi menonton acara TV One tentang mahasiswa ITS itu. Kami pulang dengan wajah surut, tapi sedikit ceria. Aku yakin masalah ini bisa segera selesai. Syuro sudah tak nikmat lagi ditawarkan. Kami lebih memilih mendinginkan suasana, supaya Farhan juga tak lagi terlalu terbebani. Aku juga merasa bersalah karena meminjam sepedanya. Seminggu kemudian, Farhan kembali ke Polsek, kali ini bersama Mas Faishal. Berkas bisa dicabut, tentu dengan ongkos ucapan terima kasih yang “seikhlasnya”. Kalau tidak salah, Farhan memberi seratus ribu. Alhamdulillah, masalah selesai. Tapi sedihnya, tiket pesawat Farhan hangus. Ia kehilangan hampir satu juta. Tak tega aku melihatnya. Ia sudah ingin sekali pulang kampung, berhubung setahun tidak pulang. Semoga ada hikmahnya.
Air Mata Air “Menangislah...tanpa berpura-pura,” reffrain Air Mata dari Izzatul Islam.
Di suatu sore yang cerah merona. Seperti biasa, kami melakukan apel siaga dengan pasukan SC RDK. Aku baru saja selesai menunaikan tugasku sebagai wartawan lepas. Berkeliling Surabaya memang melelahkan. Mudah-mudahan terbiasa. Selama kaki ini bisa melangkah, pantang bagiku untuk tidak hadir syuro. Kami sudah membuat janji syuro pada sore itu. Tentunya semua pasukan harus hadir. Sms pun telah kusebar. “Assalamualaykum, memberitahukan untuk para SC RDK untuk syuro membahas agenda kekinian, jam 15.30 teng! Nggak pake telat, di Barat Utara Luar, Masjid Manarul Ilmi, mohon konfirmasi kehadiran,” begitulah kira-kira isi dari sms yang kusebar ke semua SC. Aku coba belajar berdamai dengan waktu, terutama ketika berjanji dengan orang lain. Benjamin Franklin mengajarkan prinsip “Time is money”. Ya, itu benar. Di sini aku coba tawarkan nilai edukasi. Seandainya lingkungan SC ini bisa menghargai waktu, pasti membawa dampak baik pada setiap efektivitas kerja. “Demi Masa! Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian” Mudah-mudahan kami tidak terjungkal karena waktu. Rasulullah pernah mengingatkan atas nikmat yang seringkali manusia tergelincir atasnya. Peringatan ini singkat tapi gamblang. “Dua nikmat itu adalah nikmat kesehatan dan nikmat waktu yang luang,” Sholat Ashar sudah selesai sejak tadi. Aku berhenti sebentar memojok. Duduk pada tumpukan batu yang direkatkan di sudut utara Masjid. Pohon-pohon besar mengajakku menghayal. Burung-burung pipit kecil itu bermain di bawah ketiak ibunya, di atas sebuah sarang tersulam rapih. Induk burung itu sedang memberi makan dedaunan. Seraya berdoa, kelak anak-anaknya selamat di tengah kerasnya kehidupan. Aku hanya tersenyum memandangi. Sore hari memang waktu tepat untuk menyendiri. Menikmati alam indah yang telah diciptakan Allah SWT, membantu meluaskan hati. Cukup lima menit saja duduk memojok, lantas aku segera ke TKP (Tempat Kita Pusing-pusing). Tepat pukul 15.30, aku hadir di Barat Utara. Di sana masih sepi tak berpenghuni. Rasanya, smsku jelas menunjuk jam dan tempatnya. Namun, belum nampak satu pun wajah. Hanya sebuah hijab pembatas menemaniku. Seraya lambaian kain-kainnya mencoba mengusir kesendirianku. Tak sabar aku sudah menunggu lama. Beruntung sebuah buku menemani.
Judulnya sangat indah. “Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami”. Buku ini menjadi bacaan “wajib” bagi para calon pengurus harian JMMI. Tik...tok...tik..tok... Aku kembali gusar, “Kemana ya anak-anak?”. Jam sudah hampir menunjukkan angka empat. Belum ada satupun tampak batang hidungnya. Ubun-ubun ini mulai panas. Sudah datang capek-capek, masak yang kosnya sekitar kampus tidak ada yang hadir tepat waktu. Kalau begini, kenapa aku bersusah payah tepat waktu? “Assalamualaykum Akh!,” sapa Dodi beberapa menit kemudian. “Waalaykumsalam, akhirnya antum datang juga, lagi ada acara ta?” “Afwan ane telat, nggak ada acara sih,” Keringatnya bercucuran. Sejenak kupandangi wajahnya, ia kelelahan. Cukup jauh perjalanannya dari kos, tekadnya untuk hadir patut aku acungi jempol. Sejenak setelah itu, teman-teman yang lain ber-geruduk datang. Pertama Marwan kemudian dilanjutkan dengan Azhar, dan Farhan. Wajah mereka biasa saja, bahkan seperti tamu kehormatan yang ditunggu-tunggu. Mereka langsung bercengkerama, sesekali bercanda. Mereka mendiamkan aku yang sedari tadi menunggu, hanya ditemani hijab dan tawa anak kecil di lantai bawah. Agak beberapa lama kemudian datanglah rombongan akhwat. Mereka datang juga seperti serbuan perang, gerudukan. Dipikir-pikir, bagiku wajar. Untuk menuju ke TKP, para akhwat harus melalui kandang buaya alias tempat banyak ikhwan nongkrong. Kadang mereka saling menunggu. Setelah cukup keberanian, mereka ke tempat syuro dengan melintasi area ikhwan. Itu jalan satu-satunya. Kedatangan mereka tak membuat kekecewanku sirna. Sama seperti ikhwannya, mereka terus berbicara sesekali diselingi canda tanpa kenal perasaan orang yang telah menunggu dari tadi. Positive thinking adalah hal terbaik yang harus dilakukan. Mungkin mereka punya kesibukan mendadak. Kesibukan yang membuatnya terlambat meskipun aku sudah kabari syuro ini jauhjauh hari. Mungkn pula mereka terlupa mengucapkan maaf karena sudah terlanjur asyik bergurau. Padahal apa sih susahnya meminta maaf. Paling naas, kalau salah satu di antara mereka menganggap terlambat itu biasa. Toh, ini bukan perkuliahan. Yups, aku hormati apapun pendirian mereka. “Mudah-mudahan bukan itu, bukan...bukan...,” ujarku dalam hati sambil kugelengkan kepala. “Assalamualaykum warrohamtullah wabarokatuh,” aku mulai membuka syuro di sore memerah yang sejenak akan membara.
Hanya sedikit yang membalas salamku. Bahkan aku dengar ada suara desisan menahan tawa di balik hijab menjulang itu. Kelihatan di bagian lelaki juga belum begitu siap memulai syuro. Ada saja sebagian yang masih men-jawil-jawil iseng teman di sebelahnya. Itu hal biasa, tak usah diambil hati. Tak banyak kata pengantar untuk pembuka syuro sore itu. Biasanya aku dahulukan dengan pembahasan ringan. Mereka mengenalku sebagai seorang humoris walau terkadang sarkas dan tak mau mengalah. Terkadang pula aku tertawa sendiri. Sementara yang lain tidak ikut tertawa. Kata mereka, Basi! Bagiku hidup adalah canda tawa. Sebenarnya Rasulullah sendiri melarang kita banyak tertawa. Tapi ini untuk refreshing. Jangan sampai urat ketegangan membuat telinga kita tuli pada kebaikan atau hati mengeras dari kebenaran. Atau bila tidak begitu, aku hanya sekedar menanyakan kabar mereka satu per satu, sambil mengikatkan tali silaturahim. Dilanjut dengan taujih dari salah satu peserta syuro. Jadwal piket tausyiah sudah terbagi rapih, termasuk akhwat juga kebagian. Semua dijalankan secara baik. Kemudian setelah itu, aku biasa me-review syuro sebelumnya. Kali ini aku tidak banyak basa-basi. Badanku kehabisan energi untuk beramah-tamah. Aku juga tak mengizinkan mereka banyak berkata. Berkata pun, aku tidak menanggapi. Atau terkadang ditanggapi dengan senyum terpaksa. Tak usah banyak prakata. Setelah basmalah dan sholawat lalu dilanjutkan dengan tilawah yang dibacakan Akhi Dodi. Ia membaca dengan merdu, wajar anak pondok. Tapi mungkin suaranya tidak terlalu kencang, sehingga akhwat di balik hijab itu tidak mendengarnya. Suara dengung seperti sekumpulan lebah pun terus berbunyi dari balik hijab, padahal tilawah belum usai. Sepertinya mereka saling berbisik. Sesekali disertai canda riang walau setengah terdiam. Entah, mereka membicarakan apa. Setelah usai membaca Qur’an, kembali kupegang kendali syuro. “Tolong dihormati kalau ada yang sedang tilawah!” ujarku sambil mengarahkan kepalaku ke seberang hijab. Semua dilalui dengan nada serius. Semua peserta syuro pun terdiam. Setelah itu, tak ada lagi suara lebah berkumpul menanam madu di sarangnya. Mereka sadar bahwa suasana syuro mulai panas. “Sekarang ana mau tahu laporan keuangan saat ini,” ujarku sambil kutuliskan di papan tulis tentang target dana. Kalau tidak salah, menurut target, hari itu seharusnya sudah ada 14 juta di kas kami. Baru saat itu hadirlah keseriusan dalam wajah semua hadirin syuro. “Ana ingin tahu hasilnya sudah sampai mana, apakah sudah mencapai target atau belum” lanjutku sambil menunjuk-nunjuk tulisan yang telah kutulis di papan tulis. Kadang-kadang tangan isengku mengetuk-ngetuk spidol ke papan tulis. Mungkin ini salah satu jenis intimidasi untuk membuat lawan bicara tunduk. Tapi aku tidak berniat seperti itu. Hanya mengisi waktu luang saja.
“Gimana, ada yang bisa laporan sekarang?” “Saya tunggu!” tutupku. Selama beberapa detik, syuro hening. Beberapa detik berselang, tetap tak ada suara. Peserta syuro hanya menunduk, memandangi lantai yang tererosi debu. Mereka sedang berpikir atau memang tak tahu jawabannya, aku hanya bisa menerka-nerka. “Akh...ana minta tolong banget syuro ini bisa lebih santai,” tiba-tiba Yuli angkat suara sopan. Yuli, jarang aku dengar suara itu. Ia memang aktivis super sibuk. Selain di JMMI, ia memegang peranan cukup penting di BEM. Belum lagi, katanya, perkuliahan menghujaninya dengan tugastugas besar. Terkadang ia hadir syuro tapi selalu izin di tengah syuro. Entah, nampaknya ia punya tugas banyak sekali. Kami semua coba mengerti keadaan ini. Selama ini kami coba sebisa mungkin menghormati kegiatan akademis, atau kepentingan keluarga yang tak bisa ditunda. “Dari tadi ane ngerasa nggak enak syuro dengan suasana kayak gini,” lanjutnya. Aku tak peduli, apapun. Suaraku masih tetap berat dan tanpa senyum. Mungkin baru kali itu pasukan SC melihat aku begitu meradang. Aku lanjutkan perkataan yang sempat terpotong interupsi. Aku biarkan berlalu tanpa pedulikan apa usulan tadi. Masih mendidih. “Farhan, berapa uang yang didapat ikhwannya?” tanyaku setengah menyentak. Ia langsung membolak-balik hasil rekapitulasi. Setengah panik, ia merinci kertas-kertas bertumpuk berisi data. Gayanya tekun seperti seorang peneliti memperhatikan kuman bermain di depan lensa mikroskop. “Sebentar ya Akh...” katanya menyuruh kami menunggu. “Kira-kira baru empat juta yang kita dapat,” ujarnya setelah kami menunggu sekitar satu menit. “Itu dari mana saja?” sekali lagi dengan nada berat. Ia menyebutkan beberapa donatur dan sponsorship yang sudah mencairkan uangnya. Dan ternyata jumlah empat juta itu belum semuanya di tangan. Banyak yang belum cair. Nyatanya, hanya sejuta yang cash. “Antum tahu kan berapa target kita!” tanyaku mendesak. “Hmmm...baru empat juta, dari empat belas juta!” logatku sudah pesimis. Pola tingkahku jadi seperti mulut Paus menganga. Segala macam ikan dari plankton sampai hiu bisa masuk ke mulut akibat sikap pukul rata Si Paus. Semua terdiam. Mereka larut dalam kesunyian masing-masing. Alis mataku mengerut. Tanganku tiba-tiba mengepal, menawarkan bantuan untuk melepaskan emosi. Aku hanya bisa melempar sumpah serapah di dalam hati, tanpa seorang pun tahu. Penggambaranku sudah seperti iblis sejati. Ingin mengumpat? ini bukan tempat yang layak.
Sampai tiba-tiba suara menyambar dari balik hijab. Telinga segera memerah dibuatnya. Kainkain hijab melambai seolah tertiup badai Kathrina. Sementara pohon berguncang dan membuyarkan sekawanan burung. Perintah itu begitu keras. “Antum bisa santai nggak!”. Akhirnya suara ini turun juga. Suara yang menurut identifikasi telingaku, suara Zhuraida. Aku senang, ia pun bersuara. Pemikiran kritisnya sering menjadi senjata utama ketika syuro. Ketegasan bersikapnya juga membuat ia disegani. Aku sendiri terkadang “kalah” bila berdebat dengannya. Apalagi teman-teman ikhwan lainnya yang biasanya cuma bermain bertahan. Kecuali mungkin Azhar. Ia sosok yang tegas tak pandang bulu. Idealis sejati walaupun terkadang menang di nyali, kalah teori. Namun sayang ia jarang hadir syuro. Sehingga yang membantuku biasanya Akh Dodi. Kehadirannya membantu sekaligus menengahi. Sementara Akh Marwan kelihatan seperti tidak ambil peduli. Maklum, ia banyak bertugas di belakang layar. Ia mengurusi masalah administrasi sehingga memang tidak perlu banyak berdebat panjang. “Tolong, sekali lagi ya, antum bisa lebih santai nggak?!” ia melanjutkan. Aku sama sekali tidak mendengar suara Qisti. Padahal ia juga turut hadir di sana. Sebagai koordinator, ia banyak membantu keseimbangan tim. Ia seorang yang mungkin bagiku, paling bisa mendamaikan situasi. Karakterku yang keras kadang bentrok dengan beberapa akhwat dengan karakter sama. Biasanya ia datang membawa usulan yang menyenangkan kedua pihak. Saat ini, alur sedang menanjak ke titik kulminasi. Suasana ini dibiarkan berjalan apa adanya. Aku beradu lidah dengan Zhuraida. Teman-teman ikhwan belum ada yang bisa menenangkan, begitu juga akhwat. Aku kembali tidak menggubris. “Nggak!”. Aku menjawab dengan kesungguhan. Sepertinya Zhuraida tidak akan terima kata-kataku ini. Bukan sepertinya, tapi pastinya ia tidak akan terima. Aku sedang menunggu reaksi lanjutan darinya. “Bagaimana bisa santai, kalau target tidak tercapai? Puasa tinggal sebentar lagi!” tanyaku retoris pada seluruh hadirin. Hampir saja kulayangkan tanganku ke papan tulis. Emosi sudah terlanjur membara. Sudah telat, tadi banyak bercanda yang menandakan tidak menghormati syuro, lalu sekarang malah banyak protes. Kata-kata itu hanya meluncur di hati, belum aku ucapkan. Aku pun diam sebentar, menunggu suasana sedikit reda. Suasana masih tetap panas. Sirkulasi udara di tempat syuro tetap berusaha mendinginkan. Tak berhasil. “Sekarang laporan dari akhwatnya berapa?” tanyaku melanjutkan kembali. “Baru dua juta Akh,” jawab Qisti cepat namun lirih suaranya.
“Jadi total, baru enam juta?!” balasku keras, memberi simpulan. Aku lihat Farhan dan Dodi tertunduk. Ia mungkin merasa bersalah. Sementara Marwan masih asyik dengan tumpukan kertas. Sehari-hari ia mengurusi sirkulasi surat-menyurat dan proposal. Azhar pun memperhatikanku dengan tatapan tajam. Ia sepertinya masih kurang paham dengan kondisi terakhir RDK. Selama ini ia juga memiliki kesibukan yang sangat padat. Jadwal akademik Politeknik Perkapalan, tempatnya kuliah, jelas berbeda. Ia jauh lebih sibuk dari kami yang kuliah di program sarjana. Pandangan itu juga kulihat sebagai sikap konfrontatif. Wajar, ia terbiasa menjadi pemimpin. Kalau ada hentakan, ia akan coba balik menghentak. Bayangkan seperti seekor leopard yang diganggu saat ia bersantai di atas pohon kebun binatang Pretoria yang terkenal itu. “Setengahnya saja belum! Terus apa gunanya time schedule ini?” tanyaku membalik logika. Aku mengacung-acungkan selembar kertas time schedule yang dulu dibuat oleh SC akhwat. Sambil melambaikannya dengan keras ke hadapan wajah para ikhwan, mereka memperhatikan gayaku yang semakin arogan. “Untuk apa coba? Dulu sudah sepakat semua kan?” ujarku masih melambaikan kertas itu. Bahkan kali ini lebih keras suara kibasan itu, seperti merobek. “Kertas ini untuk dijalankan. Percuma ada ini kalau tidak ada yang taat, akhwat sudah buat ini dengan susah payah!” pungkasku. Mataku berbinar merah. Alisku menajam. Kata-kataku tidak semerdu kemarin dan tidak sehalus sebelumnya. Selama beberapa detik, tak ada yang berani interupsi. Ini adalah kali pertama suasana begitu hening, dalam syuro kami berminggu-minggu lamanya. “Iya akh, teman-teman dana sudah berusaha. Tapi belum ada jawaban dari sponsor dan donatur,” Farhan menjelaskan dengan nada rendah. Tegang sekali cara bicaranya. Selembar kertas ini pun kubanting ke lantai. “Tapi kenyataanya Akh?” ujarku. Aku masih beranggapan kerja mereka belum maksimal. Kemudian datang suara keras dari balik hijab. Kali ini suara itu jauh lebih bergemuruh. Bertiup kencang, menghajar nurani seperti badai yang menerpa daratan. Suara itu tidak pernah kami duga sebelumnya, seperti Hiroshima yang tidak pernah menyangka akan diratakan oleh seekor pesawat B-29 pembawa “little boy”. “Akh, antum itu nggak ngerti apa-apa!” Zhuraida mengucapkan dengan nada tinggi nan menusuk. Tangisnya meledak. Ia menunjukku. Mungkin sudah sangat kesal dengan sikapku. Isaknya tak lagi tertahankan. Suasana syuro terguyur hujan air mata. Aku merasa bersalah. Aku pun hanya terdiam. Sama sekali tidak disangka. Sikapku begitu menyakitkan teman-teman akhwat.
“Antum itu sok tahu!” tambahnya. “Merasa tahu semua, padahal nggak! Nggak sama sekali!” “Sssst...sabar Ukh, sabar...” teman-teman akhwat coba menenangkan. Sepertinya tangan Qisti menghapus tangis dari pipinya. Ia berusaha mendinginkan hati Zhuraida. Aku dengar Yuli juga ikut menangis. Aku hafal suara mereka. Wajar, berbulan-bulan kami berjuang bersama, suara itu jelas dikenal, walaupun tak pernah tahu wajah pemilik suara itu. Tapi selama itu pula, aku belum pernah kenal tangisan mereka. Mungkin, saat ini ketiganya saling merangkul dan menangis. Hanya suara Qisti yang sekali lagi tidak aku dengar jelas. Mungkin pula ia menahan diri, sekaligus menenangkan saudarinya. Teduhnya hijab mereka, tersimpan perasaan dan kelembutan hati yang baru kali ini aku pahami. Bodohnya aku. Semua pasukan ikhwan pun tertunduk. Aku masih dalam keangkuhanku, tak berusaha sedikit pun menunduk. Selama syetan di dalam hatiku selalu berbisik bahwa aku yang benar, maka pantang menunduk. Marwan segera menghentikan langkah jarinya menghitung kertas. Lembaran kertas itu berhenti dirapihkannya. Dodi yang dari tadi menunduk, semakin menunduk. Azhar dan Farhan tak mau ketinggalan. Kami semua tidak berani menghadapkan wajah masing-masing. Malu pada diri sendiri. Suara isaknya semakin menggelayut kalbu. Aku tidak tega. Aku hentikan beberapa detik. Tangisnya masih saja terus meledak. Dulu pernah aku saksikan ibundaku menangis. Ketika ayahnya (kakekku) meninggal dunia. Beliau kalau menangis juga meledak-ledak. Sambil terisak-isak, air matanya membasahi bumi. Belum pernah aku melihat wanita menangis sebegitu terisaknya kecuali ibuku tadi. Pernah beberapa kawan SMA menangis, tapi alasannya kurang keren: karena rebutan pacar misalnya. Itu tangisan semu. Dan kali ini aku mendengar tangisan mirip tangisan ibuku. Aku terdiam sebentar, sambil mendengar begitu sendu tangis mereka. Tangisan ini bentuk karunia Allah. Air mata yang jatuh, meneduhkan hati, dan meruntuhkan pengaruh negatif dalam pikiran. Kelopak yang berlinang, memberi keleluasaan hati berpikir lebih jernih. Cakrawala seakan terbuka, membuat orang menjatuhkan putusan rumit, dengan jawaban tepat. Para SC ikhwan semua mendengar. Sebagian mulai memerah mata. Rintik sudah menggumpal di kelopak. Akhirnya aku tertunduk. Bibir kering ini aku paksa bicara. Tapi masih bergetar sehingga berkali-kali aku tahan untuk berbicara. Menyakiti hati orang lain bukan perkara sederhana bagiku.
Apalagi mereka wanita. Mereka adalah manusia yang paling dihormati dalam agama islam. Tanggung jawab batin menerawang. Mereka juga anak orang. Orang tuanya pasti sangat sayang pada mereka. Sedangkan aku? Tak pernah memberi makan mereka saja sudah berani menyakiti hati mereka. Padahal mereka datang syuro untuk membantuku memecahkan masalah, bukan untuk dipressing. “Antum benar Ukhti...,” bibir bawahku masih bergetar. Aku pun terdiam dalam duduk silaku. Aku hanya shock. Akh Dodi membuka kacamata minusnya. Bulu-bulu matanya mulai agak basah. Sepertinya sudah tak kuat lagi. Aku lihat mata teman-teman yang lain juga mulai berkaca. “Ane memang orang yang sok tahu. Tidak mengerti apa-apa. Selalu merasa benar sendiri. Selalu merasa bekerja paling banyak dan berkorban paling banyak, antum benar ukh,” sekali lagi kuucapkan hal itu dengan nada mencair. Kenyataan berkata seperti itu. Pandangan orang lain itu adalah cermin pribadi manusia. Aku dengar isaknya sedikit tenang. Ketiga akhwat itu saling menenangkan diri. Walaupun begitu, isak mereka yang lirih tetap membungkam mulut kami para SC Ikhwan. “Afwan sebelumnya. Tadi ane memang terlalu keras,”, bicaraku agak tenang seperti di selasar. Kata-kata keluar bertempo datar. Aku berusaha tetap tegar. Walau guyur air mata tetap menjalar. “Ana khawatir, tidak bisa menjalankan amanah ini dengan baik,”. “Ana memang sok tahu, sehingga ingin tahu semua permasalahan yang antum semua miliki. Ana juga ingin memiliki masalah itu, tidak bolehkah?”. Aku teringat masa-masa awal membangun solidaritas RDK 29. Aku tak segan menyambagi kos ikhwan satu per satu. Aku ingin bicara empat mata dengan mereka, membangun kepercayaan antar sesama. Aku ingin tahu asal muasal keluarga mereka. Aku ingin tahu kabar kuliah mereka, walau kabar kuliahku sendiri terbengkalai. Aku ingin tahu pemikiran mereka, karena tidak semua selalu sejalan. Setiap syuro, aku tanyakan semua kabar SC. Apakah di antara mereka ada yang sedang Allah beri ujian berupa sakit? Aku khawatir tugas RDK hadir pada saat yang tidak tepat. Bahkan aku tak segan menelpon Yuli. Ketika itu ia jarang sekali hadir syuro. Dalam hati aku berpikir, apa mungkin aku punya salah dengan dia? Ketika aku memberanikan diri menelpon, akhirnya aku tahu sebabnya. Ia masih banyak tugas kuliah dan BEM. Ia juga mengaku agak sulit kalau syuro pagi-pagi, seperti yang biasa kami lakukan. Kabarnya, orang tuanya tidak mengizinkan kalau ia berangkat terlalu pagi atau pulang terlalu malam. Konon juga, Yuli punya penyakit yang terkadang kambuhan di selang waktu tertentu, terutama saat badannya terlalu lemah.
Aku dengar itu semua dari gagang telepon. Jangan berpikir negatif, ini salah satu usaha mengetahui karakteristik orang-orang yang kupimpin. Jadi, lain waktu, aku bisa menjaga perasaan dan memahami tindakannya. Spidol biru penuh intimidasi itu, aku lepas dari genggaman. Aku taruh di samping penghapus papan tulis yang mulai kotor. Mereka bersanding di lantai. Aku perhatikan, bagaimana tenteramnya spidol dan penghapus itu, walaupun sebenarnya mereka sedang bermusuhan. Tugas penghapus adalah membersihkan papan tulis. Sedangkan tugas spidol malah mengotorinya. Tapi tanpa spidol, penghapus itu tidak akan merasakan nikmatnya mencium wangi tinta. Penghapus juga tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan semestinya kalau seandainya spidol tidak mengotori papan. Spidol juga tidak akan memiliki guna, apabila semua papan penuh tulisan tanpa ada yang mau menghapus. Aku pandangi mereka lama sekali. Dua musuh bebuyutan yang ternyata saling membutuhkan itu. “Ana ingin menjadi saudara sejati antum?” ujarku penuh harap. Aku hampir-hampir tak bisa menahan diri. Aku hampir menangis. Aku tahu berapa banyak kezhaliman yang telah aku torehkan pada hati mereka. Aku tahu mereka hanya membantuku untuk menyukseskan acara ini. Aku yang paling bertanggung jawab atas hancur tidaknya mereka. Banyak yang telah kami korbankan. Itu semua gara-gara aku. “Tidak ingatkah antum, bagaimana ana harus bersusah payah menghimpun antum semua?”. Lalu aku ceritakan kisah bagaimana mengumpulkan mereka satu per satu. Sangat sulit! Butuh kesabaran dan perbanyak do’a agar dimudahkan. Mudahkah menjaga perasaan seseorang yang sudah mengundang anda, tapi anda menyia-nyiakan? Mudahkah menjaga emosi seseorang yang lama menunggu janji ditepati? Mudahkah menjaga hati seorang yang sedang terkena beban berat? Jawabannya sulit. Tangis pun mengguyur lagi. Aku rasa ini kesempatan tepat bagi kami untuk instropeksi diri. Selama ini, syuro-syuro kami hanya berkutat masalah planning, organizing, dan acting. Jarang kami melakukan self evaluating. Hati kami kering! Kami belum mendapatkan esensi sejati dari RDK itu sendiri. Dan inilah esensi mengapa kami dipilih jadi pejuang RDK. Supaya kami tak terus berkhayal, kami ditempatkan pada kotak realita dimana tak ada jalan keluar, apalagi menghindar. Aku seperti memberi ceramah dan nasihat panjang lebar. Aku segera teringat kepada saudaraku di daerah asalku. Ia sahabat yang selalu memberikanku inspirasi. Tidak akan aku lupa senyum manisnya di tengah badai kehidupan. “Saya merasa beruntung sampai detik ini bisa aktif berdakwah di kampus ini. Walaupun hanya sekedar jadi panitia,” tuturku
Menjadi panitia dalam lembaga dakwah, bukan pertama kali bagi saya. Sejak SMP aku mulai mengenal kata-kata ane–ente. Ketika SMP juga aku sudah mengenal liqo’, murobbi dan istilahistilah lain yang bagi sebagian orang sangatlah asing. “Saya jadi teringat seorang sahabat,” aku memulai sebuah monolog. Sementara SC lainnya tetap dalam isaknya, sesekali memperhatikan pembicaraanku dengan mata berkaca. Lalu aku bercerita tentang sahabatku semasa aktif di Rohis SMP dulu. Aku mencoba berbagi cerita tentang ukhuwah. Semuanya bersumber dari lika-liku dakwah di sekolah dulu. Ada pahit dan ada pula manis. Beruntung aku merasakan keduanya. Walaupun sempat aku menyatakan ingin keluar dari agenda-agenda menjemukan itu, tapi aku tetap bertaut. Satu kata yang membuatku tetap disini. Ya, “Ukhuwah”. Tak bisa aku lupakan begitu saja senyum saudara-saudaraku di generasi asing ini. Sulit menghapus kesabaran dan ketabahan mereka menghadapi fitnah dan ujian. “Pernahkah kita bersyukur? Saat ini kita bisa kuliah. Apalagi kuliah di peguruan tinggi terkenal. Belum lagi semasa kuliah bisa aktif berkegiatan sosial, terutama sosial keagamaan,” kuawali perenungan ini. Jujur, kata-kata itu keluar dengan spontan. Perasaan dari hati langsung naik menggetarkan pita suara. Aku bermaksud meredakan tensi. Aku bercerita supaya mereka bisa menarik simpulan yang menggoyang pemikiran lama. “Berkali-kali saya punya komunitas seperti ini, saya merasakan ukhuwah yang luar biasa,” tuturku. Seorang sahabatku yang tinggal di barat sana, ia masih bersedih karena ujian yang diberikan Allah sangatlah berat. Namun ia mencoba bersabar. Tidak sembarang orang bisa melalui sesabar dirinya. Ayahnya telah pergi selamanya ketika ia masih menikmati masa kanak-kanaknya. Kemudian ia hidup dengan ibundanya. Selepas kakak-kakaknya berkeluarga dan merantau, jadilah saat ini ia hanya hidup berdua. Ujian datang kembali. Sesaat setelah sang ayah meninggal, sang ibu mengalami stroke. Kakinya tak lagi bisa digunakan dengan normal. Kadang ia harus ditopang untuk berjalan. Terkadang pula ia hanya bisa berbaring seharian. Menyedihkan lagi, sampai saat ini ia tinggal di rumah kontrakan yang hanya seukuran kos mahasiswa. Kalau pertama kali bertemu dengannya, kita tidak akan terbayang. Nasibnya tak bisa menghapus senyum ikhlas menghias di wajahnya. Kalau tidak dipaksa mengeluh, ia tak mengeluh. Tetap saja tersenyum seakan lupa akan beratnya kehidupan. Aku selalu sempatkan berkunjung ke rumahnya ketika pulang dari Surabaya. Rumah itu menyempil, berbaris rapih di sebuah gang tikus. Percuma, tidak akan terlihat juga dari jalan utama. Menyusurinya, mengharuskan kita menahan beceknya tanah ketika hujan. Aku coba
sempatkan walau sekedar tanya kabar. Biasanya aku dan dia melanjutkan perjalanan dengan motor untuk mengunjungi saudara-saudaraku sesama aktif di Rohis dulu semasa SMP. Di tengah obrolan, berulang kali ia berucap. “Bey, enak ya ente. Bisa kuliah,” sindirnya. Singkat dan menusuk. “Nggak Akh, ane cuma beruntung aja bisa dikasih kesempatan kuliah,” tuturku menghiburnya. Aku tahu, sudah dua kali ikut SPMB ia selalu gagal. Namun ia tak pernah merasa gagal. Karena menurutnya, usaha, doa, dan tawakal sudah dilakukan. Ia pun tak pernah marah pada Allah. Jawabnya hanya singkat, “Ya, emang Allah sudah ngasih begitu,”. Ia menerima apa saja yang telah menjadi takdirnya. Aku bersamanya di bawah guyur hujan setelah berkunjung ke rumah saudara seperjuangan kami yang lain. Sepeda motorku yang berasap banyak ikut menjadi saksi perbincangan kami. Hawa masih saja dingin. Aku paksa ia berbicara. Singkat cerita, ia akhirnya mengeluh. Sudah lama aku ingin melihatnya mengeluh. Minimal bercerita tentang masalahnya. Tapi biasanya ia mengalihkan pembicaraan. Malah balik bertanya tentang kehidupanku. Kasat mata, hidupnya jelas tak lebih baik dari diriku. Entah, secara hati, menurutku, ia lebih lapang ketimbang aku. Di sesi qodhoya wa rowa’i atau forum “curhat” halaqoh saja, ia tak mau terbuka. Padahal ia tak pernah bolos ngaji. Waktu itu, kami masih pakai sistem ngaji kelelawar, malam baru kelar. Terkadang terlalu malam, sampai salah satu dari kami harus mengantarkannya karena angkutan umum sudah tidak ada. Ia tidak berpikir punya kendaraan pribadi, wong rumah saja masih kontrak. Tapi tetap saja ia pacu semangat agar tidak bolos ngaji. Kebalikan dari aku yang loyo. Kemudian ia melanjutkan, “Akh...ane boleh pinjem uang ente nggak? Nanti Insya Allah ane ganti,” pintanya memohon. Pundakku dipegangnya. Ia mengarahkan mulutnya didekat terlingaku. Maklum, hembusan angin perjalanan membuat komunikasi kami putus-sambung. Kecepatan sepeda motor berkurang. Aku mulai dengarkan dengan serius. Ada apa gerangan, jarang sekali ia minta bantuan. Setahuku, ia punya prinsip, selama bisa diselesaikan sendiri, maka tak perlu meminta bantuan orang. “Ane mau daftar kuliah D III UI. Tapi duit ane masih kurang buat pendaftaran,” “Berapa akh,” ujarku sambil memikirkan uang di dompetku. “Kira-kira seratus ribu,” “Besok ane ke rumah antum lagi deh,” jawabku menjanjikan. Hari itu aku tak bawa uang banyak. Keesokan harinya aku kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, aku bertemu ibundanya. Ia mengenalku dekat dan menyapaku ramah.
“Ibu, saya Bey,”. “Oh adik, temen SMP-nya Mamat ya? ayo duduk dulu,” ia menyambutku. Kakinya diselonjorkan. Ia mengaku sulit melipat kakinya akibat stroke itu. “Saya bawa sedikit oleh-oleh dari rumah. Kebetulan di rumah lagi ada acara,” “Wah...makasih, pakai repot-repot,” Selang beberapa lama aku menunggu. Tidak nampak juga wajah Mamat. Untuk memecah keheningan, ia bercerita tentang keadaan Mamat akhir-akhir ini. “Kasihan Mamat...akhir-akhir ini dia nangis terus,” “Lho, emangnya Mamat kenapa Bu?” “Setiap tahajud atau abis sholat, pasti dia nangis,” ujarnya sambil mengurai rambut putihnya yang panjang. Gurat-gurat masa tua juga tampak jelas di keningnya. Air matanya tiba-tiba menetes. Suaranya yang lirih menambah keheningan suasana. Aku hanya terdiam mendengarkan ceritanya. “Dia ngerasa bersalah sama Ibu, padahal Ibu juga udah ikhlas,”. Aku masih tak mengerti isi pembicaraan ini. Yang kutahu, kabar terakhir, Mamat bekerja. Semenjak ia tidak kuliah karena gagal SPMB, ia berusaha sambung hidupnya dengan bekerja di salah satu Mall di daerah pusat kota. Ia bekerja dari pagi sampai malam sekitar jam sepuluh. Aku hanya bisa mengucap syukur, ia bisa bantu keluarganya walaupun katanya gaji itu pas-pasan. Sang Ibu mencoba melanjutkan ceritanya. Dengan sedikit tersengal ia berujar, “Mamat nangis karena nggak bisa kuliah,”. Ia usap wajah risaunya. Hidungnya mencair berbarengan dengan mengalirnya air di pipinya. Seketika itu, hatiku terasa ditusuk belati. Sedih rasanya. Baru saja, aku mendengar kabar saudaraku yang menangis sejak pengumuman SPMB. Seminggu lalu pengumuman SPMB mejeng di surat kabar tanah air. Sudah dua tahun ia mencoba namun tak pernah berhasil. “Dia anak Ibu yang paling bungsu. Dia juga yang paling Ibu sayang. Tapi Ibu yang nggak bisa membahagiakan dia,” “Terus apa kata Mamat, Bu?” “Kalau habis sholat, ia selalu minta maaf sama Ibu. Katanya, maaf belum bisa membahagiakan Ibu. Kadang-kadang dia juga suka melamun sendiri,”. Sang Ibu tak tega melihat anaknya menangis terus. Apalagi dia anak satu-satunya yang tinggal bersamanya. Ia pun yang merawat ibunya yang sakit-sakitan ini dengan sabar.
“Mat...inget, semua itu sudah jalan dari Allah,”. Mamat hanya menyambut kata-kata itu dengan anggukan. Posisinya masih tetap di atas sajadah yang mulai kusam. Tatapan matanya masih kosong. Kelihatannya ia memang masih belum terima kenyataan itu. “Aku malu ama temen-temen, mereka udah pada kuliah,” ujar sang Ibu sambil menirukan gaya bicara Mamat. Kata-kata berikutnya membuat aku malu. Sang Ibu berujar menasehatinya, “Jangan samakan kamu dengan anak-anak yang lain. Mereka masih punya Ayah, sedangkan kamu? Ibu-ibu mereka masih sehat bugar, masih bisa merawat anaknya dengan baik, lantas, Ibumu?” tangisnya membuncah. Aku hanya melihat dan berusaha menahan jatuhnya air mata. Seketika itu Mamat terdiam. Coba dihapuskan air mata itu oleh Ibunya. Ia sucikan mukenahnya dengan air mata sang anak. Air matanya mengering, seakan ia sadar bahwa ujian yang dihadapi adalah wujud cintanya dari Allah. Mamat tersadar bahwa masih banyak anak yang jauh lebih menderita. Ia pun mengambil wudhu dan bersegera melakukan istighfar. Sholatnya yang sempat molor, kembali aktif ke awal waktu. Ibadah sunnah kembali seperti biasa. Tilawah dirintis kembali. Sementara halaqohnya, setelah cukup lama menghilang, ia tampak lagi. Itu baru satu cuplikan cerita. Cerita itu belum bisa menggambarkan perasaan. Kata-kata Sang Ibu tadi, mencambuk pinggangku. Ia seakan menyuruhku bekerja lebih keras karena Allah telah beri aku kesempatan kuliah. Apalagi Dia juga menyempatkan ku menjadi pembela agama-Nya. “Apakah kita bukan manusia yang beruntung?”. Retorikaku berusaha membuyarkan pikiran kosong mereka. Aku kembalikan diri mereka dalam kondisi RDK yang sedang kritis. Semoga ada pencerahan baru yang masuk dalam jiwa kami. Tak dinyana, bukannya malah reda, selama bercerita isak tangis malah semakin menyebar dan menggelegar. Aku dengar terisaknya Zhuraida sangat menohok dibanding yang lain. Sulit aku menggambarkan bagaimana suasana haru itu. Sementara dari satu cerita itu, para SC ikhwan kusaksikan menangis juga. Berulang kali Marwan mengusap wajahnya dengan baju koko lengan panjangnya. Sementar Azhar menunduk dalam bersama Farhan. Bersama-sama mengusap hidung mereka yang mulai mencair. Belum pernah aku lihat mata Azhar memerah berkaca. Azhar yang kukenal sebagai sosok yang kuat nan tegar, akhirnya luluh juga. Sementara mata Dodi semakin buram dengan hujan itu. Wajah teduhnya tidak bisa membohongi mataku. “Syukron atas ceritanya,” Azhar menghentikan diamku karena cerita telah usai.
“Ane juga punya cerita seperti antum,” “Ya, silahkan diceritakan untuk mengingatkan kami,” aku mengizinkannya untuk angkat bicara. Ia memulai dengan isak. Belum sempat ia mengeluarkan satu patah katapun, ia tak kuat menahan matanya yang terus menurunkan air. Aku membaca pikirannya,”Ini pasti cerita kesedihan,”. “Dulu ane juga punya...,” kembali kata-katanya terputus. Ia mencoba menenangkan diri. Aku pun hanya terdiam, memberikan kesempatan padanya untuk berbicara. “Sahabat dakwah ana yang paling dekat dan paling bersemangat,” “Tapi sekarang dia sudah tidak ada,” “Ia meninggal karena menjalankan tugas dakwah...,”. Azhar tak kuat meneruskan ceritanya. Terlalu larut dengan ceritanya, ia menangis dengan isak panjang. Kami semua terasa seperti ditusuk sebuah tombak ke ulu hati. Kami sadar, bahwa apa yang kami korbankan belum ada apa-apanya. Mereka sampai bertaruh nyawa. Kami hanya bertaruh waktu dan tenaga. Tidak pernah ada ceritanya panitia RDK sampai meninggal dunia gara-gara menjalankan amanah ini. Betapa beruntungnya kami yang telah menjadi pejuang dakwah. Cerita Azhar tak panjang. Ia hanya menekankan sebuah semangat yang harus dimiliki para pejuang RDK. Ini termasuk bagian dari jihad bagi yang meyakininya. Sedangkan jihad itu butuh pengorbanan yang tidak kecil. Hal itu bergaris lurus dengan kontrapretasi yang didapat. Sambil terisak-isak, Yuli menyelingi pembicaraan. “Ana minta maaf, selama ini ana tidak terlalu aktif di RDK. Sebenarnya ana kepingin sekali bantu banyak. Tapi tugas kuliah tidak mengizinkan,” Aku hanya mengangguk tanda kesadaran kami akan hal itu. Akademiknya agak jatuh semester kemarin. Kedua orang tuanya mewanti-wanti, minta Yuli perbaiki IP-nya. Wajarlah, semua orang tua juga begitu. Kami tidak pernah menghalangi orang memenuhi kewajiban utamanya. Kami sebagai mahasiswa memiliki kewajiban utama yaitu kuliah. Itulah yang akan kami pertanggungjawabkan pada orang tua kami. Organisasi tetap nomor sekian. Suasana kembali sunyi, menunggu kami yang ingin angkat bicara lagi. Lalu Dodi menyahut, “Ana sadar tugas Akh Bey berat. Tanggung jawabnya di sini juga berat. Jadi wajar kalau tadi ia bertindak seperti itu,”. Di tengah harunya, Dodi masih sanggup berbicara walaupun tidak sepanjang lebar seperti diriku atau Azhar. Tapi itu semua seperti mutiara di tengah pasir samudera. Aku memandangnya
dengan senyum tipis di bibir tanda balasan atas perhatiannya yang diberikan padaku. Akhirnya, masing-masing dari kami, coba memahami. Itu rumit, namun tidak sulit. “Ana harap kejadian ini bisa diambil ibrohnya”. Azhar dan Marwan menganggukkan kepala. Farhan masih saja menunduk. Ia masih memegangi laporan dananya yang sempat aku cecar banyak pertanyaan. Dari tadi aku tidak mendengarnya terisak. Sepertinya ia bisa menahan diri. Namun, mata merahnya juga tidak bisa membohongi penglihatanku. “Ana juga berharap, supaya kejadian ini malah mengikat tali silaturahim kita. Bukan tambah memancing perpecahan. Karena yang kita butuhkan adalah kekompakkan dan perasaan saling mengerti,” Dodi memberikan penjelasan yang lebih bijak dari penjelasanku. Jarum jam sudah menunjukkan angka lima. Adzan maghrib masih cukup lama. Kira-kira setengah jam lagi. Adzhan magrhib adalah lonceng bagi kami untuk menutup syuro. “Ada lagi yang ingin berkomentar?” “Kalau tidak ada, kita lanjutkan syuro-nya dengan pembahasan dana? Maghrib masih agak lama,” lanjutku memotong stagnasi. Aku coba memancing pertanyaan pada mereka. Minimal membangkitkan lagi semangat mereka. Suara isak di balik hijab masih terdengar rintih. Sementara SC ikhwan sudah bisa mengendalikan situasi. Aku hanya berujar dalam hati, ”Kalau sudah begini, susah juga menenangkan akhwat,”. “Akhwatnya mungkin,” aku kembali memancing. Mereka pun tetap diam. Baru selang beberapa detik kemudian Qisti angkat bicara. “Akh...mungkin syuro ini disudahi saja. Akhwatnya tidak ada yang kuat melanjutkan,” Sepakat, aku merasa masih tergoncang dengan kejadian ini. Akhirnya kami sudahi syuro ini. Aku juga sudah tidak tega mendengar akhwat menangis. Setelah aku tutup syuro ini, aku berpelukkan erat dengan teman-teman SC ikhwan. Eratnya tidak kulepas selama satu menit. Kami saling membisiki,”Akh...Maafkan ana ya..,”. Ungkapan itu saling berbalas, ”Tidak apa-apa, ini adalah madu perjuangan,”. Kami bergegas meninggalkan lokasi syuro. Para akhwat sudah menghilang sejak aku menutup syuro itu. Sepertinya mereka memang sudah tidak kuat. Mereka segera berlari menuju Timur Utara Masjid Manarul Ilmi, tempat para Jama’ah perempuan menunaikan sholat. Aku berjalan menghitung anak tangga barat utara lantai dua. Anak tangga ini selalu menemani kami sebelum menuju ke tempat syuro. “Ya Rabb...semoga engkau hitung anak tangga ini sebagai pahala ibadah kami dalam menegakkan syiar agama-Mu,”.
Suara burung pipit mengaminkan do’a kami. Pohon-pohon besar yang aku pandangi tadi juga melambaikan rantingnya, seakan-akan mereka menyambut kami setelah bertempur. Merahnya senja mengabari kami bahwa pertempuran belum usai. Masih ada senja-senja lagi di hari esok. “Di sore ini kami memegang agama Islam, kalimat ikhlas, agama nabi kita Muhammad, dan agama ayah kami Ibrahim yang berdiri di atas jalan lurus, muslim dan tidak tergolong orangorang musyrik,” *** Malam harinya, aku kirimkan sms kepada saudara dan saudariku. Isinya tentang permintaan maaf dariku atas kejadian tadi sore. Sekaligus mencoba memetik ibroh di dalamnya. Tapi khusus aku berikan sms dengan kata-kata yang panjang untuk saudari-saudariku, Zhuraida, Qisti, dan Yuli. Aku takut. Perasaan akhwat kabarnya lebih sulit diobati. “Ukhti...maafkan ana, karena ana kurang bijak dalam bersikap,” Hanya Zhuraida dan Yuli yang membalas sms-ku. Qisti? Ah...rasa bersalahku sudah terlalu menumpuk. Berapa kata maaf yang harus kugadai untuk menebusnya. Sebagai partner sesama koordinator, Qisti mungkin sudah sering jatuh air matanya karena sikapku. Sepertinya ia sudah terlalu bosan menerima perkataan maafku. Aku tidak tahu kenapa ia tak membalas wujud simpatik ini sedikit pun. Semua SC membalas kecuali dia. Zhuraida membalas, “Dimaafkan akh...tapi besok-besok antum jangan galak-galak ya,”. Aku tersenyum,”Iya, Insya Allah,” Yuli membalas,”Ana juga minta maaf karena selama ini tidak aktif di RDK. Kalau antum punya kritikan untuk ana, langsung sms ana saja. Biar bisa ana perbaiki,”. Bibir hitam nan tebal kusimpulkan ketika membaca sms ini. “Dimaafkan, semoga ke depannya bisa lebih baik, Insya Allah,”. Rembulan menutup. Hari ini aku lalui dengan perasaan berbeda. Pertemuan tadi memberikanku banyak hikmah. Semoga aku dijadikan manusia yang tanggap atas hikmah tersirat dan tersurat. Don’t let yourself go... Cause everybody cries... And everybody hurts sometimes... Sometimes everything is wrong ...hold on ...hold on
Sayup-sayup terdengar lirik politis namun sendu dari pita suara Michael Stipe. Vokalis band lawas R.E.M itu mengiringi langkahku meratapi masa lalu. Semoga tidak terjadi lagi.
Aksi Simpati “Wahai kalian yang rindu kemenangan. Wahai kalian yang turun ke jalan,” Totalitas Perjuangan.
Hari ini tanggal 28 Agustus 2008. Detik-detik itu bergerak cepat sekali. Tiga hari lagi Ramadhan tiba. Tak terasa aku sudah sampai di agenda RDK yang pertama. Time schedule sepuluh minggu ba’da UAS yang kami buat, ternyata seperti sekedipan mata. Siap tidak siap, mau tidak mau, RDK harus tetap berjalan. Hari itu juga menjadi hari pertama masuk kuliah. Hari dimana aku memasang poster besar di kamarku dengan tulisan berwarna,”MELAWAN KEANGKUHAN TRANSKRIP”. Misi terbesar sudah ditancapkan. Aku bertekad melawan kesombongannya. Bolehlah dua tahun terakhir aku dipermalukannya. Berikutnya, aku tak pikir panjang untuk melumat keangkuhan itu. Sayang, sekali lagi aku harus dihadapkan realitas. Agenda pertama RDK dan hari pertama kuliah berhadapan langsung, tidak ada yang mau mengalah. Kalau tidak salah, pagi itu aku kuliah Hambatan dan Propulsi I, mata kuliah “cuci nilai”. Dan lucunya, hampir sebagian besar SC RDK bertepatan kuliah pada pagi itu dan di jam yang sama. SC RDK tak banyak yang hadir dengan alasan kuliah. Aku terima itu dan memang seharusnya begitu. Sementara di masjid pada pagi itu pukul tujuh, teman-teman dari berbagai elemen sudah berkumpul. Mereka membawa atribut masing-masing. Menurut undangan, briefing kami lakukan pukul 07.30. Ini agenda pertama kami, pikirku harus berjalan semulus mungkin. Hal itu membuktikan keseriusan kami. Pagi ini, kami menggelar aksi menyambut Ramadhan yang sekarang sedang ngetrend dengan nama Tarhib Ramadhan. Tarhib berasal dari akar kata yang sama dengan Marhaban yang berarti selamat datang. Pemikiran kami tentang aksi ini, bukanlah seperti kebanyakan demonstarsi. Kami hanya menggelar aksi simpatik. Tujuannya untuk menghimbau warga sekitar bahwa Ramadhan sebentar lagi datang dan kita dianjurkan menyiapkan benih untuk disemai di bulan itu. Aksi ini bersifat himbauan sekaligus tuntutan. Ruang lingkup kami pun kecil, hanya sekitar lingkungan kampus saja. Dan uniknya, mahasiswa ITS sendiri jarang mengadakan aksi simpatik dengan berpawai di jalanan sekitar kampus. Beberapa pernah aku lihat, BEM ITS menggelar aksi simpatik pembagian bunga di depan gerbang, aku lupa temanya apa. Atau beberapa mahasiswa Teknik Lingkungan berpawai sederhana mengenang hari bumi. Kenapa pula harus ada aksi turun ke jalan?
Jawabku singkat, ”Suka-suka dong...,” Mahasiswa dan aksi seperti duren dibelah empat, nikmatnya bukan main. Tentu sejak aku resmi jadi mahasiswa sudah dicekoki empat Fungsi dan Peran Mahasiswa (FPM), seperti iron stock, agent of change, social control, dan moral force. Doktrinasi yang masuk dalam kepalaku adalah bagaimana mahasiswa mampu melakukan aksi langsung (direct action) di tengah rakyat yang membiayai kuliahnya. Salah satunya, aksi turun ke jalan menyuarakan nilai-nilai moral. Untuk direct action, biasanya dibagi dua jenis: statis dan dinamis. Aksi statis adalah pemusatan aksi pada suatu tempat dari awal sampai akhir acara. Sedangkan dinamis menuntut para aktor berpindah tempat dengan masif dan terorganisir. Banyak bentuk yang dilakukan, salah satunya melalui aksi turun ke jalan, seperti rapat jalanan, rally/longmarch, aksi teatrikal, sampai langkah destruksi poin-poin sasaran yang dianggap mewakili peran antagonis. Tidaklah mesti harus monoton dengan aksi frontal di jalan. Membagikan makanan untuk orang miskin juga termasuk direct action. Pokoknya, banyak jenis aksi langsung ke masyarakat umum. Tentu semua itu tidak dilakukan secara spontan. Semua tahapan butuh perencanaan dan skenario untuk mencapai tujuan. Jelasnya, semua bermula dari ide yang ditetaskan oleh sebuah lembaga pemikir dan pengkaji. Mereka mencoba menyeleksi permasalahan bergantung pada sisi urgensi, membaginya dalam poin-poin penting, menelaah lebih dalam, dan memunculkan solusi konkrit dalam bentuk rekomendasi, tuntutan bahkan ultimatum. Dalam hal ini, tema yang tersaji bergantung pada dua momentum: ourself made (buatan sendiri) dan provided (tersedia). Kalau yang pertama, massa aksi berusaha menciptakan wacana yang tidak ada basis materialnya di masa lalu, namun beralasan karena disertai data-data logis. Sedangkan lainnya adalah memanfaatkan momen annual, seperti hari pendidikan, hari buruh (May Day) atau hari anti korupsi. Setelah konsep rapih, dimulailah perencanaan aksi. Lembaga menunjuk koordinator lapangan, merancang konsep aksi, menyiapkan tool aksi, lalu menghubungi pihak keamanan. Ya...itu itung-itung merawat kepala dari kebenjolan akibat pentungan polisi. Sampai sebuah perencanaan aksi serentak di berbagai kota, semua bukan kebetulan. Aliansi telah dibentuk sejak lama, komunikasi juga sudah terhubung bahkan terkadang tanpa batasan ideologis. “Gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan,” kata AA Gym. Menggelar aksi tidak seperti kita mengajak teman-teman bermain bola di lapangan besar. Tinggal ambil HP, kirim undangan, pilih menu “kirim ke banyak”, maka semua teman akan hadir dan sepak bola akan berlangsung menyenangkan. Aksi adalah bentuk pengungkapan pendapat. Agar tersampaikan perlu sebuah metode. Jangan heran kalau banyak mahasiswa menghadang truk tangki Pertamina ketika demo kenaikan BBM. Hal itu untuk menarik perhatian agar “suara” itu didengarkan khalayak luas.
Aku jadi ingat, suatu hari aku pernah diajak teman-teman UI untuk aksi ke Pusat Jakarta. Setelah berpawai dari Salemba, sampailah kami di depan gedung gubernur DKI Jakarta di Jalan Merdeka Selatan. Waktu itu isu yang diangkat seputar Pilkada bersih di Jakarta. UI tidak sendiri, mereka bersama beberapa BEM di Jakarta membentuk aliansi massa sampai jumlah peserta aksi membengkak jadi seribu orang. Aku memang paham cerita demo-demo mahasiswa yang bersejarah, namun baru kali itu aku merasakannya. Kalau tidak salah, itu terjadi saat liburan semester pertamaku. Tanpa persiapan, aku mengekor saja. Bukan karena isu yang dibawa tapi dari rasa ingin tahu yang memuncak. Ba’da jumatan aku berangkat bersama teman-teman dari UI Depok. Kebetulan kali itu, aku pakai gaya mahasiswa rajin dengan celana jins dan kemeja berkancing. Di situlah aku baru menyadari, betapa rumitnya menggelar aksi. Jujur, ini membuka wawasanku. Pantas kalau UI terkenal disegani untuk urusan demo-mendemo. Mereka punya Pusat Kajian dan Studi Gerakan (Pusgerak) atau populer dengan nama Kastrat, yang jadi bumper politik tawar mereka, bergerak begitu taktis. Segala macam isu mereka godok sampai melepuh. Mereka ibarat text book bagi aktivis kampus lain dalam menjatuhkan fatwa terhadap sebuah realita sosial. Aku paling suka mendengar cerita tentang Brigade 04, salah satu pasukan khusus aktivis UI. Mereka biasa menjadi peserta terdepan dalam setiap aksi. Dzul, teman SMA yang sekarang jadi mahasiswa Teknik Mesin UI, membuka wawasanku tentang itu. Katanya, Kastrat FT UI termasuk disegani di lingkungan lembaga strategis yang digawangi aktivis mahasiswa. Brigade meniru istilah militer untuk menunjukkan kegarangannya. Semantara angka 04 mewakili identitas FT UI yang tertera di nomor pokok mahasiswanya. Jabatannya pun unik. Juga menggunakan istilah-istilah militer seperti jenderal atau komandan. Nah, menariknya, yang namanya pimpinan brigade 04 selalu tersembunyi identitasnya, bahkan oleh mahasiswa FT sendiri. Hanya beberapa kalangan elit di BEM yang mengetahuinya. Eksklusivitas itu untuk menjaga keamanan gerak taktis yang sudah dipersiapkan. Mereka tidak mau kecolongan spionase pihak lawan. Aku jadi ingat Hamas di Palestina. Semenjak syahidnya Yassin dan Rantissi, pimpinan Hamas tidak diketahui lagi. Ismail Haniya, perdana menteri Palestina dari faksi Hamas itu bukanlah pemimpin tertinggi Hamas. Semuanya masih misterius. Kembali ke aksi pertamaku semasa mahasiswa. Setelah sampai di Salemba, aku lihat banyak mahasiswa dengan jaket berwarna-warni sudah merubung seperti semut di pabrik gula. Persiapan berbaris dipandu seorang orator yang mengomando dari atas mobil. Jadilah kami seperti bebek pergi ke sawah, diatur oleh panitia aksi, dan aku pun termasuk yang sulit diatur. Massa memulai perjalanan. Aku mendapat tugas jadi border. Tugasku bergandengan tangan membentuk rantai manusia yang melindungi peserta aksi. Kalau dilihat dari langit, massa seperti amoeba yang bergerak menyusuri jalanan macet Jakarta. Rantai manusia yang melingkar, selain melindungi peserta aksi yang berada di tengah, juga mengawasi bila ada penyusup yang hendak masuk.
Perjalanan melelahkan akhirnya mengantar kami ke depan kantor gubernur yang luas, setelah sekitar sejam berjalan kaki. Pagar gedung yang memanjang, ternyata sudah dipenuhi tiga shaff polisi sepanjang pagar. Massa laki-laki segera berhadapan. Kali ini aku menjadi bunker, sebuah posisi yang berhadapan langsung dengan barisan polisi. “Kepada mahasiswa, saya minta maju dua langkah,” terdengar suara komandan bunker dari corong megaphone. “Satu..dua...,” Sampailah badanku, sehelai rambut dengan polisi. Kami berhadapan saling memandang. Tatapannya garang terbit bersama senyum sinisnya. Kebanyakan mereka masih bintara baru lulus sekolah, kelihatan dari kulitnya yang masih mulus-mulus. Justru, polisi-polisi muda itu biasanya tak punya perangai halus, maklum psikologi anak muda. Sementara itu, komandan mereka sibuk berkontak via HT, ia kelihatan tenang sekali. Mungkin sudah terbiasa. “Maju selangkah lagi,” pinta orator. Perintah itu bermaksud agar bunker mendorong lapisan terluar polisi. Kami bentrok. Dorongan kami mendesak mereka sampai pagar belakang bergoyang. Polisi juga terlihat agresif sama seperti kami. Dorongan balasan dari tiga shaff polisi benar-benar seperti angin puyuh. Aku terjungkal bersama beberapa kawan bunker. Namun kami segera berdiri setelah komandan polisi menenangkan anak buahnya. Kami masih berhadapan sehelai rambut. “Hati-hati...Hati-hati...provokasi,” orator berteriak lantang. Beberapa kawan mahasiswa yang bertugas di divisi intelijen mencium penyusupan. Pesan langsung disampaikan ke orator yang berdiri di atas tumpukan sound system. Kalimat “hati-hati...,” sudah seperti kode bagi border untuk menjaga kemurnian aksi. Mereka tak mau dikacaukan sehingga aksi bentrok parah berujung ditangkapnya peserta aksi. Kerusuhan saat aksi adalah sebuah kegagalan, karena akhirnya pesan utama aksi jadi tak tersampaikan. Setelah terdengar kumandang adzan Ashar, kami menurunkan tempo. Peserta aksi diajak merenung. Kemudian dilanjutkan doa, dan penutupan. Perpisahan diakhiri dengan berpelukan dengan polisi seraya memohon maaf bila tadi dorongan bunker kurang keras, canda kami. Bahkan ada beberapa di antara kami yang berfoto bersama polisi. Semua berjalan harmonis, sesuai skenario. Polisi pun menunjukkan rasa simpatinya,”Nah, begini dong kalau demo, damai,”. Aksi selesai, aku mendapat banyak pengalaman. Aku pulang bersama teman setelah mampir sebentar di masjid Istiqlal, kemudian jalan-jalan di sekitar tempat itu. Pengalaman aksi tadi membuyarkan paradigma televisiku. Media dimanapun pasti melihat unsur kekerasan dari sebuah aksi yang berujung chaos.
Bentuk beritanya bukan lagi,”Aliansi Mahasiswa Indonesia menuntut Presiden mundur”, tapi judul berubah seketika menjadi,”Silang Monas Kacau, Satu Mahasiswa Tewas” atau “Usul Ditolak, Mahasiswa Berontak,” atau “Polisi Tangkap Sepuluh Provokator Kerusuhan Di Kampus X”. Berita-berita itu yang kebanyakan masuk dalam otakku. Setiap aksi selalu digambarkan chaos. Padahal selama aksi, polisi ya fine-fine aja. Tugas mereka memang menjaga. Kalau kami yang mbandel, mereka pantas bertindak agresif. Seandainya bentuk demokrasi ini dijalankan secara sehat, semua pihak juga setuju. Harus setuju, wong, mahasiswa selama ini membawa nama rakyat. Bukankah polisi juga rakyat? Atau bahkan yang kita sindir selama aksi, presiden misalnya, bukannya juga termasuk rakyat? Mei 98, aksi digambarkan dengan polisi loreng yang seharusnya mengurusi keamanan luar negeri, berhadapan dengan mahasiswa yang buas seperti macan puasa tujuh hari tujuh malam. Tentara membawa senjata laras panjang, mahasiswa menenteng bambu runcing. Jadi persis seperti perang kemerdekaan. Moncong senjata diarahkan persis di depan mata mahasiswa yang sudah diolesi baking soda. Sementara mahasiswa juga bersiap menjadikan bambu runcing sebagai korek kuping tentara. Moncong itu hanya menakut-nakuti. Di awal sesi, seluruh mahasiswa diajak mandi bareng melalui semprotan water canon. Maklum, seharian di jalan, badan jadi bau kambing. Tentara berbaik hati memandikan mereka. Saat itu mahasiswa jadi terlihat seperti bocah Balita yang emoh dimandikan ibunya. Mereka berlari-lari ke sana ke mari, sepertinya mereka sudah bawa special cologne, tak perlu mandi lagi. Belum puas. Ayo kita perang-perangan. Tentara mulai melempar concussion grenade (granat pengacau). Mata mahasiswa buta selama beberapa menit. Belum cukup dengan itu, tentara kembali melepaskan gas air mata. Sementara itu mahasiswa tidak tinggal diam. Celana dalam dari jemuran warga di-buntel rapih, lalu dimasukkan ke dalam botol berisi air (baca: minyak). Botol melayang, ”Darr...,” seorang tentara muda berpangkat prajurit mengaduh kesakitan. Kulitnya gosong terkelupas. Tentara tidak terima. Pepper spray disemprotkan ke mata mahasiswa. Tentara baru saja mengambil dari restoran siap saji ala barat di dekat jembatan Semanggi. Mahasiswa balas menghadiahkan hujan batu di kopiah tentara, beberapa bocor darah. Tembakan ke atas mengudara melawan sinyal Radio Republik Indonesia. Mahasiswa kocar-kacir lari ke rumah warga. Mereka berceramah memanas-manasi. Sukses! Terbentuklah mass civil disobedience, mahasiswa berfusi dengan warga sekitar yang stres gara-gara Kridayanti Montok (Krismon). Tentara takut melihat gemuruh langkah mereka, lari ke kandang, berlindung di balik panser. Lapisan bertahan tentara melindungi kawan mereka. Peluru karet meluncur ke segala arah.
Jakarta kembali damai, tapi terlalu damai sampai tak ada satupun kendaraan lewat. Aksi selesai tanpa peluit panjang wasit. Besoknya koran-koran menurunkan berita,”Enam Mahasiswa Trisakti Tewas Diterjang Peluru,”. Selidik punya selidik, tentara salah membawa senjata. Senjata yang mereka bawa seharusnya tak punya peluru, alias senjata air mainan. Ternyata, hari itu mereka membawa senjata yang populer saat perang Vietnam. Senjata itu berisi peluru tajam. Semua bayangan itu sulit dihapus. Peristiwa 98 terjadi ketika umurku 10 tahun, saat dimana otak lagi canggih-canggihnya merekam kejadian. Sekarang aku baru mengetahui. Semua skenario aksi yang dramatis itu telah diperhitungkan dengan baik oleh kedua belah pihak. Bahkan untuk sebuah chaos, itu juga di-setting secara alami antara pendemo dan polisi. Ketika suasana memanas menuju klimaks, biasanya Korlap membisiki komandan polisi yang berjaga,”Pak...siap-siap ya. Anak-anak udah panas nih. Nanti, jangan kasar-kasar kalau mukul. Kami nggak bawa senjata kok Pak,”. Komandan menjawab enteng,”Tenang saja. Cuma rotan,”. Aku merasa bangga. Nggak percuma longmarch sampai pegel-pegel. Selain pengalaman aksi, pengalaman berharga lain adalah hari itu pertama kalinya aku naik busway. *** Malam tadi teman-teman SC ikhwan kembali bergadang. Karpet digelar di teras depan Sekpa. Bersama beberapa orang OC dan serombongan nyamuk kebun, kami membahas perencanaan aksi Gerakan Menyambut Ramadhan (Gema Ramadhan). Aksi ini berbentuk pawai simpatik dengan strategi lebih sederhana dan santun ketimbang kisah kali pertama aku aksi di Jakarta. Agar lebih memudahkan, langkah pertama adalah menunjuk Koordinator Lapangan (Korlap). Azhar orang yang pantas untuk itu. Selain karakternya yang bersemangat, ia termasuk salah satu petinggi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) komisariat 1011. Masalah aksi, KAMMI sudah nggak perlu ditanya lagi, mereka memang hobi aksi. Kalau tidak di depan Grahadi, kantor gubernur, ya mereka hadap-hadapan dengan polisi di depan Konsulat Jenderal Amerika. Azhar langsung memegang kendali syuro. Arahannya cekatan, ringkas, dan jelas. Semua tugas dibagi rata. Nanti saat aksi, Ia sendiri yang akan memegang megaphone sekaligus berteriak menyuarakan maksud aksi. Biasanya, Korlap dan orator adalah jabatan yang terpisah. Korlap banyak berdiri di belakang aksi, menjaga aksi berjalan sesuai rencana. Sedangkan orator, orang yang nampak di depan panggung, memberi komando langsung, menurut perintah Korlap. Kali ini, digabung jadi satu. “Ini hanya aksi damai,” ujarnya menekankan. Kami memutuskan jalur pawai dari Manarul ke depan sampai bunderan ITS. Selama sekitar setengah jam kami menggelar orasi, kemudian masuk lagi ke dalam kampus.
Poin kedua ada di gedung Rektorat. Kira-kira lima belas menit berorasi di sana, dan poin terakhir di kantin ITS dengan durasi sama. Selebihnya massa akan dipecah ke beberapa pintu masuk ITS seperti bundaran ITS, pertigaan Teknik Elektro dan Jembatan Sirotol Mustaqim. Aku kebagian menghubungi peserta aksi. Sejak seminggu kemarin, beberapa kepala himpunan dan ketua lembaga dakwah jurusan, sudah kuhubungi mengenai rencana ini. Harapannya besok pagi mereka datang sebelum pukul delapan, akan ada briefing lanjutan. Kami juga menganjurkan mereka membawa massa sebanyak-banyaknya, serta atribut sebagai identitas mereka. Dodi dan Marwan bertugas mempersiapkan logistik dan membuat tool. Ia kumpulkan banyak sekali karton bekas yang berserakan di salah satu sudut Sekpa. Beberapa spanduk bekas mereka potong kecil-kecil. Nantinya, kain itu dibuat slayer ikat kepala. Mereka membubuhkan spidol dan brush (pilox) di atas kertas dan kain sesuai tema besar kami, ”Tak akan kubiarkan Ramadhan berlalu tanpa makna,”. Kami juga mencetak selebaran, sticker, lembar taujih, pembatas buku dan jadwal sholat, dalam jumlah ribuan eksemplar. Farhan mendapat jatah lumayan berat. Selain tugas dokumentasi, ia juga harus mempersiapkan konsumsi serta medical rescue. Nantinya ia akan bergerak bebas memperhatikan setiap peserta aksi. Ia ibarat unit gawat darurat berjalan, harus punya mobilisasi cepat apabila di antara peserta aksi tiba-tiba jatuh sakit. Pembahasan dan persiapan berlangsung lama dan membosankan. Kira-kira pukul dua pagi, kami baru menyelesaikan syuro. Itupun karena dikhawatirkan pagi hari nanti kami tidak bisa fit bila tidur kemalaman. “Whooooaahhh...,” Nguantuk. Pukul setengah delapan massa berkumpul di serambi utara Manarul. Kurang lebih 70 orang hadir saat aksi itu. Mereka membawa bendera besar-besar. Aku lihat ada beberapa Kahima hadir. Aku senang mereka mau hadir. Mereka salah satu kelompok elite di jajaran kemahasiswaan ITS. Selain Kahima dan ketua LDJ, tampak pula beberapa menteri-menteri BEM Fakultas. Sementara itu, Presiden BEM ITS yang menjanjikan hadir saat kukonfirmasi tadi malam, belum tampak. Rencananya, megaphone akan selalu berpindah tangan. Azhar hanya mengawali. Selebihnya Ketua LDJ dan Kahima memberi sambutan mereka. Semua SC bertugas mengarahkan termasuk memberi koridor dalam isi orasi mereka. Massa juga sudah diajari nyanyian serta yel-yel yang akan dikumandangkan sepanjang perjalanan. Jangan bayangkan yang rumit-rumit. Ini sederhana sekali. Setelah briefing, massa bergerak ke bundaran ITS. Mereka bernyanyi dengan lirik terkadang kocak dan menggigit. Aku lupa liriknya, hanya saja aku ingat beberapa di antara peserta aksi banyak yang tersenyum ketika menyanyikan lirik yang kami buat tadi malam. Semua berpusat
pada ajakan kami berlomba dalam beramal saat Ramadhan, serta menghargai Ramadhan bagi yang tidak merayakannya. Tak berhenti mulut kami bercuap-cuap. Kadang kalau lelah, kami hanya mampu bertakbir,”Allahu Akbar!” yang suranya makin lama makin sayup sayup. Tenggorokan kering. Sementara peserta aksi yang berada di sisi luar rombongan, memberikan selebaran kepada pengguna jalan. Di bundaran ITS, suasana berlangsung lebih seru. Kami menahan canggung di hadapan lalu lintas jalan yang padat. Orator berteriak keras, disambut teriakan yang sama oleh peserta lainnya. Suasana lalu lintas lama-kelamaan macet. Rata-rata pengguna jalan memperlambat laju kendaraanya untuk menyaksikan kami teriak-teriak dan loncat-loncat. Kami kembali masuk ke dalam kampus. Massa bergerak ke gedung Rektorat. Sesampainya di sana, belasan satpam kampus berjaga-jaga sambil menenteng HT. Kami tenang-tenang saja. Azhar membangkitkan semangat dengan yel-yel. Acara di Rektorat diakhiri dengan membacakan pernyataan sikap. Poinnya banyak sekali. Intinya, mengajak semua petinggi kampus untuk turut mendukung kami, memeriahkan Ramadhan. Keadaan di check point terakhir sudah tinggal sisa-sisa perjuangan. Di kantin, kami berkoar-koar tentang puasa di depan mahasiswa yang sedang makan. Suara megaphone bergetar di lorong panjang kantin yang redup. “Ayo...sebentar lagi puasa. Tahan lapar dan dahaga,” ujar Azhar. Mereka para penghuni kantin tersenyum kecut, mungkin tersindir. Acara usai dengan damai. Semua senang, walau rasa capek terus meradang. Yang terpenting, pesan kami tersampaikan. Entah didengar atau ditulikan banyak orang, bukan urusan kami. Kemudian, beberapa peserta aksi berpencar ke sudut strategis di sekitar kampus. Mereka menyebar flyer-flyer yang tersisa. “Senangnya...nggak percuma bolos kuliah. Pengalaman ini lebih berharga ketimbang kuliah yang bisa kukejar materinya lain waktu,” ujarku dalam hati.
Plat Merah “Alon-alon asal klakson,”
Gema Ramadhan usai dengan menyisakan keram di betis gemuk tukang becak. Belum sempat beristirahat lama, HP bututku kembali berdering. Tiga hari menjelang Ramadhan, RDK kembali mengusikku. Mentari semakin meninggi menambah kegalauanku. Suara-suara merdu dari surau-surau mungil di hari Jum’at itu juga sudah mulai menggema. Saat itu, aku masih bersama teman-teman satu jurusan di sebuah Laboratorium yang agak pengap. Wajarlah, kami anak kapal, harus bisa berjibaku dengan tajamnya gerinda, lembutnya pelumas, dan silaunya kilat api pengelasan. Aku baru saja menuliskan daftar hadir kelas praktikum pengelasan di Laboratorium Produksi. Beruntung, hari pertama masuk kuliah tak ada pertemuan tatap muka. “CEPETAN KE SEKPA...PENTING BRO!!!” begitu isi sms yang menyapa di HP yang tak lagi mau dirawat itu. Isi sms di-capslock semua menandakan pengirim sms baru saja mengenal handphone atau bisa jadi suasana genting. “Kenapa Bos...ane lagi kuliah,” sms balasan dilayangkan. “Kita butuh supir buat jemput Ustad Syahrulsyah, ente bisa nggak? Cepetan nih...Pak Ustad udah hampir nyampe Bandara Juanda. Jangan sampe beliau nunggu kelamaan di sana,” lagi-lagi dengan sms mengancam. Sms ini makin menggambarkan situasi tak karuan. Tapi mengapa yang dipilih aku? Sepertinya teman-teman JMMI telah mengontrakku untuk menjadi supir tetap. Mereka melihat track record-ku di dunia supir-menyupir. Aku pernah bawa mobil dosen sendiri sampai kunci pintunya rusak dan tak bisa terbuka. Itu bukan salahku, penumpangku yang bikin gara-gara. Namun karena aku yang meminjam, mau tidak mau harus bertanggung jawab. Alhamdulillah beliau tidak marah. Pernah juga membawa si mungil Ceria milik Mas Burhan, anak Despro yang aktif di Lembaga Zakat ITS. Menarik, seperti mengendarai bumper car. Badannya mungil sangat mudah dikendalikan. Tapi kasihan si penumpang menggerutu kesakitan akibat kesempitan. Paling heboh ketika mengemudikan mobil “funky” Espass 1995 milik temannya Azhar. Tak habis pikir, cara menyalakannya saja menggunakan teknik khusus. Kabel-kabel penting dihubungkan. Mesin di kabin utama juga harus di cek dulu. Jangan lupa cek air radiator di bawah jok. Serasa
berbakat jadi maling Curanmor. Belum lagi ada briefing khusus dari sang pemilik bila sewaktuwaktu mobil ngambek di tengah jalan. Dari keterangannya juga, kadang-kadang lampu bisa mati otomatis. Hebat benar ini mobil. Padahal ketika itu aku hendak mengantarkan rombongan akhwat untuk Mabit pada sebuah masjid di sekitar daerah Bratang, terminal angkutan umum yang tidak jauh dari kampus. Belum cukup. Pintu mobil juga belum ada yang beres. Harus siap siaga bila pintu secara otomatis membuka sendiri saat mobil berjalan. Bukan karena kecanggihan teknologi, tapi memang sudah jebol pintu itu. Padahal sudah banyak ikatan tali yang menyangga. Semua itu kurang lengkap rasanya kalau tidak ditambah dengan STNK kadaluarsa. Sudah tiga tahun tidak diperpanjang! Kalau bukan supir cuek dan berani mati, mobil ini tidak akan mau jalan. Aku jadi ingat doa menghilang yang dulu pernah diajarkan tetua-tetua di kampung. “Summun, bukmun, umyun, fahum la yarji’un,” ucapkan itu seribu kali bila ada razia polisi. Katanya, kita bisa menghilang dari penglihatan polisi. Percaya nggak percaya. Alasan lain karena para penghuni Sekpa tak ada yang mahir memegang setir bunder. Jangankan penghuni Sekpa, anggota JMMI yang pandai menyetir hanya bisa dihitung dengan jari. Belum lagi yang layak keluar ke jalan raya, hampir tidak ada. Banyak sekali kendalanya. Ada yang memang tak bisa sama sekali karena nggak punya mobil atau jarang naik mobil juga. Ada yang sudah bisa nyetir tapi tidak berani ke jalan raya. Beraninya hanya muter-muter komplek. Ada lagi yang sudah mahir tapi sayang tidak punya SIM. Jadi pengemudi dan penumpang harus siap-siap spot jantung kalau ada razia polisi. Aku beritahu saja. Harap hati-hati di pintu keluar ITS ke arah Arif Rahman Hakim. Biasanya tiap siang bolong atau malam gelap gulita, ada cegatan. Pernah aku lontarkan usulan. Sebaiknya JMMI adakan pelatihan mengemudi. Penting kalau tidak ingin terlalu sering membuang uang untuk carter angkot. Boleh pelatihan mengemudi motor, mobil, bahkan truk kalau perlu. Siapa tahu keluarga besar JMMI mau berekreasi ke luar kota, sepertinya naik tronton atau truk Fuso jauh lebih hemat dan muat banyak. JMMI juga bisa bekerja sama dengan Resimen Mahasiswa (Menwa) untuk mengadakan daftar SIM bareng alias nembak SIM berjamaah. Jelas, tanpa adanya supir, transportasi tidak akan berjalan. Pernah suatu saat, panitia akhwat tidak jadi berangkat menyebar proposal padahal deadline makin dekat. Apa sebabnya? Karena tidak ada yang bisa dan berani membawa motor ke jalan raya. Pernah saking frustasinya, akhirnya mereka lakukan dengan sepeda ontel. Duh Gusti…nggak mreteli ta awakmu iku? Kadang-kadang tergelak juga mendengar kisah dua orang SC RDK akhwat. Zhuraida yang biasanya lantang ketika syuro ternyata ciut nyali ketika diajak ke jalan raya untuk menyebar
proposal. Padahal setahuku ia telah memiliki SIM. Dengar-dengar, ia masih belum berani menyetir motor ke jalan raya. Repot kalau begini urusannya, masak mengantarkannya?
perlu aku panggilkan tukang
ojek
untuk
Sementara SC lain, Qisti, di balik hijab besarnya tersimpan jiwa bondo nekat. Padahal kalau tidak salah ingat, dia kan baru bisa mengendarai motor. Ia pun nekat pergi menjelajahi jalanan Surabaya yang terkenal angker, banyak polisi. Qisti tak punya SIM. Bersiaplah adu balap dengan patroli polisi. Jangan ulangi kesalahanku Ukh. Balapan dengan motor polisi model trail, memalukan. Semua itu mereka lakukan untuk mengejar sponsorship agar dana RDK menutup. Dasar anak muda, alhasil Qisti pun meminjam SIM-nya Zhuraida untuk melegalkan sesuatu yang jelas-jelas ilegal. Katanya,”Yah...buat nenangin diri aja plus jaga-jaga,”. Emang sabu-sabu apa? yang kata orang gila bisa bikin hidup lebih tenang dan santai. Terus buat Jaga-jaga, SIM itu jimat kali ya? Mungkin Qisti belum tahu rasanya kalau sudah bertemu seragam cokelat-cokelat. Ketika mereka menyapa,”Selamat siang Bu, maaf mengganggu perjalanan anda. Bisa lihat SIM dan STNK-nya?”. Jantung rasanya mau jatuh. Apalagi yang dihadapi, kumisnya tebal terbonsai rapih. Seganteng apapun polisi itu, tetap saja menakutkan. Pasalnya, di pinggang mereka selalu ada borgol dan senjata api laras pandek yang meledek karena mau meledak. Akhirnya, aku hanya menyangoni para akhwat nekat itu dengan doa. Semoga Polisi sedang nggak mood menggelar razia. Atau polisi tak bisa membedakan wajah Qisti dan wajah Zhuraida di SIM itu. Sekilas, wajah mereka pasti beda jauh, wong beda bapak, beda ibu. Mungkin warna hijabnya yang bisa disamakan. Semoga baik-baik saja, Amin...seraya mengusapkan telapak tangan ke wajah yang masih terheran-heran ini. “Hati-hati anak muda,” ungkapku meniru kata-kata khas film mandarin. Jangan lupa ucapkan doa menghilang. Ingat, seribu kali ya. Kembali ke permasalahan. Teror terus dilancarkan. Miskol-miskol nggak jelas mulai menggerayangi. Tiap kali dilancarkan, saat itu pula aku segera me-reject. “Iya...sabar bos!” ujarku geram. Tidak ada pilihan lain agar aku segera bergegas meraih tas dan jas laboratoriumku. Berlari sekencang-kencangnya menuju Masjid Manarul Ilmi. Lumayan melelahkan juga. Jurusan Teknik Perkapalan memang terletak menyempil di sudut timur ITS. Sementara masjid kampusku berdiri anggun di tengah kampus. Perjalananku berlanjut menyusuri perpustakaan
kampus berlantai enam, kemudian melalui gedung Rektorat yang megah itu, dan akhirnya sampai pada Masjid tercinta. “Alhamdulilah...ente bisa njemput kan Bey?” sapa Mas Udjo yang sudah mengenakan pakaian rapih dan pantas jemput tamu kehormatan. Wajar, biasanya ia hanya memakai kaus oblong yang bolong di sekitar ketiak. “Sebenernya sih ane belum selesai kuliah Mas, tapi karena di sana juga duduk-duduk nggak jelas, ya...mending bantuin kepanikan di sini,” balasku dengan nafas tersengal-sengal. “Ayo...kita udah ditunggu Pak Tri buat ngambil mobil beliau,” tutupnya. Bergegaslah kami ke sebuah gedung yang sehari sebelumnya jadi sasaran “pelampiasan” kami. Gedung besar itu adalah tempat para pejabat ITS berkumpul. Aku menikmat miringnya derajat tangga dan banyaknya anak tangga gedung itu. Sayang, dengan berlari. Sampailah kami di depan ruang Dekanat FMIPA. Hebat betul Pak Tri ini. Selain menjadi pembina kami di JMMI, ia juga seorang Dekan. Ruangannya masuk ke dalam, terlihat eksklusif dan apik. Kuketuk pintu masuk saat jam menginjak angka sebelas siang. “Assalamualaykum Pak, kami dari JMMI yang mau meminjam mobil bapak untuk menjemput pembicara Kamera (Kajian Menyambut Ramadhan),” sapa Mas Udjo. “Waalaykumsalam, oh iya, Pak Ustadnya sekarang sudah dimana?” tanyanya. “Kira-kira sebentar lagi sampai Juanda, Pak,” jawabku ikut nimbrung dalam pembicaraan. Lalu ia langsung keluarkan kunci mobilnya yang berderet dengan kunci-kunci lain. Tak pahamlah aku, kunci sebanyak itu buat apa saja. Ia juga mengambil STNK mobil tesebut seraya berujar,”Ini mobil negara lho ya...jangan sembarangan pakainya,”. Dalam hati aku menjawab, aku tahu Pak. Hampir semua mobil yang terpakir di depan Rektorat selalu tampil dengan plat merah menggoda. Kecuali satu, mobil kijang lama berwarna biru yang datang setiap pagi di depan rekrorat. Itu mobil kebersihan. “Mana SIM-mu? bapak mau lihat,” beliau menatap dengan tatapan serius. Kami pun saling melempar tanya pada mata kami yang saling melirik. Aduh, belum di jalan raya saja sudah ada razia. Bagaimana nanti di jalan raya? “Oh, pakai periksa SIM juga ya Pak,” tanyaku keheranan karena aku kira hal ini termasuk uji mental sebelum menghadapi polisi sebenarnya. Pak Tri dulu semasa jadi mahasiswa “desas-desusnya” pernah jadi Resimen. Pantas, ia lumayan sering menampakkan wajah sangar, terutama ketika minta tanda tangan proposal. Badannya pun kekar layaknya orang yang telaten ke gymnasium. “Ya iyalah, nanti kalau ada apa-apa gimana?” beliau melanjutkan dengan nada serius.
Aku tarik dompetku dari saku belakang. Ketika kubuka, agak sedikit kebingungan juga. Banyak sekali kertas di sana. Mulai dari uang, foto, KTP, SIM, STNK, transkrip nilai, kartu rencana studi sampai dengan nota pembeliaan sabun mandi di Swalayan yang bernama Sakinah. Untung tidak ada daftar hutang di sana. Lalu segera kutunjukkan SIM-ku beserta KTP-ku. Yang bikin keren, SIM A dan SIM C kujadikan satu tempat di dompetku. Sambil membolak-balik dua kartu SIM itu lalu aku balik bertanya. “Pak, yang SIM mobil itu, A atau C ya?” tanyaku setengah bodoh. Beliau hanya membalas dengan senyum. Alhamdulillah, ia rela melepas mobil dinasnya. Berangkatlah kami menuju paddock. Kulihat berjejernya mobil sedan-sedan gress. Itu mobil para pejabat ITS dan tamu-tamunya. Salah satunya sedan pak Rektor bermerk Toyota Camry terbaru dengan pelat merah bertuliskan “L 14”. “Kamu bisa nyetir kan?” tanya beliau padaku. “Terus SIM saya dari mana dapatnya Pak?” jawaban retorisku semi menyindir. “Kalau nggak ada mobil ini mungkin bapak ndak bisa nyetir, gara-gara mobil ini juga bapak jadi buat SIM deh,” ujarnya semi curhat. Ia mengaku, sebenarnya sebagai dekan, ia punya supir pribadi tapi karena supirnya dipakai PD (Pembantu Dekan) II, jadi mau nggak mau Pak Tri harus bisa nyetir. Hatiku mendesis,”Ealah, kok tadi serem banget pakai ada acara periksa SIM segala, ternyata bapak saja baru bisa bawa mobil,”. Beruntung, kata-kata ini hanya berhenti di hati saja. Belum sampai ke mulut. Bahaya kalau nanti beliau tidak suka, bisa pusing kepala ini untuk cari pinjaman mobil. Beliau melambaikan tangan,”Hati-hati ya bawanya, jangan ngebut-ngebut. Ingat ini mobil negara,”. Yeah...”Ingat, mobil negara,” ujarku berulang-ulang menekankan agar selalu ingat di otak. “Insya Allah Pak,” jawab kami. Maksudku, Insya Allah kecepatannya masih di bawah 200 km/jam. Alhamdulillah kami bisa berangkat. Selain Mas Udjo, ada Fauzan, sahabat dekatku yang ketika itu menjadi Sekertaris Departemen PSDM JMMI. Kutarik tongkat perseneling. Kaki kanan segera menginjak tuas gas dalam-dalam. Piston bergerak cepat. Sedan Toyota Vios berplat merah ini pun melesat membelah angin jalanan. Buuuzzzz... “Mas, jarang-jarang ane bawa sedan, nih baru kali pertama. Ternyata enak juga ya!” ujarku sambil melepas tanganku dari kemudi power steering-nya “Woy coy...ati-ati, walaupun enak, inget, ini bukan mobilmu!,” pungkasnya. Akhirnya kami tertawa lebar setelah tadi urat syaraf agak tegang. Fauzan pun ikut tertawa walaupun sisi humornya tidak separah aku dan Mas Udjo. Ia lebih cenderung serius.
Suasana tegang kembali mampir. Jam terus berdetak. Tak sadar waktu sholat jum’at hampir tiba. Sementara jalan raya Nginden memanjang sampai Jemursari sangat tak bersahabat. Kami juga harus mengambil tiket pesawat untuk perjalanan pulang Sang Ustad. Lokasinya di Jln Ahmad Yani, jalan protokol Surabaya yang melegenda atas padat merayapnya kendaraan di sana. Persis di samping gedung Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, tiket itu tersimpan. “Ayo...hajar jeh! Udah mau jum’atan nih Bos,” Mas Udjo menyemangatiku untuk terus memacu mobil ini di atas 100 Km/jam. Maklum, jarang-jarang bawa mobil bagus. “Eh, jangan ngomong doang. Bantuin navigasi,” timpalku sambil berkhayal seperti sedang berada di Rally Dakkar. Walaupun aku sudah hafal jalanan ini tetap saja aku was-was. Mengemudi mobil tidak sama seperti mengemudi motor. Pernah mulut mobil ini hanya beberapa inchi dari pantat sebuah truck container. Tangan ini masih memegang kemudi bundar dengan keras. Melirik ke spion sebelah kanan ternyata masih penuh dengan kendaraan. Sementara mulut mobil terus nyosor. Akhirnya kubanting setir ke kanan setelah kendaraan di samping kanan sedan cantik ini sudah mulai kosong. Lega...Tapi ini pekerjaan yang sangat beresiko! Terkadang, kami harus menerima klakson super nyaring. Aku lupa melihat spion ketika banting setir. Alhamdulillah sampai saat ini pengemudi dan penumpangnya selamat. Aku membayangkan kenaasan kami kalau benar-benar celaka. Pertanyaan pertama Pak Tri atau orang ITS lainnya,”Mobilnya Gimana? Remuk?,”. Mobil dulu yang ditanya kabarnya, bukan si Korban yang berdarah-darah. Pengemudi dibiarkan menangisi sakitnya seraya menghitung tagihan bengkel dan ketok magic. Bertanggung jawab atas kerusakan, harus menimpaku. Kalau tidak bisa membayar, ya di penjara saja! Sampailah kami di pintu masuk Kejaksaan Tinggi Jatim. Seorang berpakaian khas jaksa berpangkat di pundaknya menyapa kami dengan menganggukkan kepala. Bahkan ada seorang satpam memberikan hormat kepada kami mirip saat upacara bendera. Lucu sikap mereka. Kami balas sambutan mereka dengan senyum. Sengaja jendela kami tetap tertutup. Mencoba tampil usual, tanpa panik seperti seorang maling ketahuan mencuri. Kami hanya berlalu dengan sedikit tanya, “Mengapa mereka begitu hormat kepada kami?”. Kami hanya tertawa cekikikan di balik jendela buram sedan ini. Dengan sigap segera kuparkirkan di tengah mobil-mobil mewah. Ada Mercy, Babby benz, BMW, Alphard, Jaguar. Entahlah...itu mobil terdakwa, jaksa atau pengacara, aku tak ambil peduli. Tempat parkir di halaman kejaksaan kalau diperhatikan jadi terlihat seperti showroom mobil mewah. Dasar anak desa! Keluar dari mobil dengan gaya yang sok meyakinkan. Aku membanting pintu dengan agak keras. Brrraaakkk...Maklum saja, aku tidak biasa dengan mobil bagus. Biasanya suzuki carry khas Lyn P jurusan Joyoboyo-Kenjeran.
Kemudian seperti biasa aku mencari lubang kunci di sisi luar pintu mobil. Sebenarnya aku lebih biasa mengunci pintu mobil dari dalam, lebih ringkas. Namun karena rawan kunci masih tersangkut di lubang starter, aku jadi terbiasa kunci dari luar. Mataku berputar ke sekeliling pintu. Belum ada tanda-tanda lubang itu. “Kok nggak ada yah, terus gimana ngunci-nya?” keheranan. “Yah, ndueso! mobil ini tuh udah automatic locked!” canda Mas Udjo dengan tawa khas mengejek. Fauzan ikut tertawa ceria mengetahui saudaranya ternyata masih ndeso ini. Walaupun aku lahir dan tumbuh besar di ibu kota. Aku baru tahu ternyata kalau mau ngunci mobil cukup tekan tombol saja. Berbeda dengan mobil di rumahku. Harus dibanting beberapa kali baru bisa dikunci. Caranya pun masih manual. Memasukkan kunci ke lubang kunci, kemudian memutar kuncinya sama seperti pintu di rumah. Terkadang kubiarkan tak terkunci karena frustasi dengan pintu yang tak kunjung mengunci. Aku tak pernah khawatir. Toh, para maling Curanmor harus berpikir untung-rugi kalau mau mencuri mobil bututku. Bisa-bisa pamor mereka jatuh di dunia pencurian, karena mencuri mobil rongsok. Segera kami melangkahkan kaki untuk mengambil tiket di perusahaan jasa transportasi. Letaknya persis di sebelah gedung kejaksaan. Setelah itu, adzan cepat berkumandang. Kami mengambil wudhu. Di samping kami berpakaian cokeat-cokelat baju dinas khas kejaksaan. Ada yang masih muda dengan pangkat seadanya. Ada pula yang telah berpangkat tinggi dengan tanda kehormatan tersemat dimana-mana. Semua bercampur baur, duduk menyila dan saling bersebelahan. *** “Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha,” Setengah jam kemudian Sang Khotib menghentikan khotbahnya. Sholat Jum’at ditegakkan. Selesai melantunkan do’a kami bergegas menuju mobil sedan cantik. Plencingggg...Tak sabar aku ingin memacunya lagi. Ada pintu masuk pasti ada pintu keluar. Ketika di pintu keluar, bapak berpakaian satpam kembali memberi hormat pada kami. Sekali lagi kami lempar senyum termanis kami kepadanya. Tak lama-lama berbasa-basi, kuinjak lagi tuas gas makin dalam. Perpindahan perseneling pun terjadi dalam hitungan detik. Selagi jalan masih lengang bersahabat sehabis sholat Jum’at, aku bisa menganggap Jl Ahmad Yani adalah Montecarlo. Sepuluh menit kemudian, sampailah kami di Bandara Internasional Juanda. Sebuah prestasi yang luar biasa untuk pembalap rookie yang tak tahu marka jalan. Waktu itu jalan tol menuju Juanda belum jadi. Kami melalui jalan masuk Juanda yang panjang dan luas. Mulusnya jalan membuat adrenalin terpacu. Angka 120 di speedometer, alhamdulillah lewat.
Sesampainya di pintu masuk bandara, seperti terjadi de javu. Kejadian itu berulang lagi. Seorang satpam bandara dan beberapa prajurit TNI AL yang sedang berjaga menyapa kami dengan sangat ramah. Bandara Juanda memang secara de jure adalah daerah demisioner Penerbangan TNI AL (Penerbal) Surabaya. Tapi perlu diketahui, di antara kami tidak ada yang berstatus anak jenderal. Kebingungan bertambah, karena hanya mobil kami yang dibingkis senyum manis. Macam taksi bandara hanya dilempar muka sangar. Aku jadi berpikir, ternyata di balik lembutnya kumis para prajurit itu juga menular pada bibirnya yang mulai kering karena bekerja sejak pagi. Senyum mereka berbeda sekali dengan kesan di berbagai media massa, terutama berita dari daerah konflik. Sampailah kami di parkiran bandara. Kami dapati Sang Ustad duduk dengan kopiahnya yang khas namun nampak seperti orang kebingungan. Wajar, beliau berasal dari Jakarta dan baru saja mengisi acara di Pontianak. Mungkin juga baru pertama kali datang ke Surabaya. Ketika kami melihat, entah ada feeling apa, ia langsung menyambut salam dan senyum kepada kami, padahal kami tidak saling mengenali. Alhamdulillah akhirnya kami bisa bertemu Ustad yang kami dapatkan dengan susah payah ini. Sebelumnya, aku bercerita sejenak seputar perjuangan kami mendatangkan beliau. Perjuangan luar biasa. Sebelum beliau, kami sudah me-lobby Prof. Komarudin Hidayat (Rektor UIN), KH Din Syamsuddin, KH. Syafii Maarif (keduanya pimpinan Muhammadiyyah) untuk mengisi acara Kajian Menyambut Ramadhan. Tapi namanya orang terkenal ya juga punya agenda padat. Aku masih ingat betul bagaimana berpontang-panting ria menghadapi birokrasi yang berliku-liku. Pertama, rencanannya kami mencoba mengundang KH Din Syamsudin. Kemudian beliau bilang tidak bisa. Alasannya ada agenda di luar negeri. Kemudian pindah ke Prof Syaf’i Ma’arif. Buya pun tidak bisa memenuhi undangan. Terus, banting setir lagi ke Prof. Komarudin Hidayat. Beliau pun tidak bisa menghadiri. Katanya sekretaris pembantu rektor III bidang kemahasiswaan, beliau sedang sakit. Yang membuat aku kaget, Hari itu, ketika aku dapat kabar bahwa beliau tidak bisa mengisi, aku kebingungan dan memilih refreshing ke perpustakaan untuk membaca koran. Aku ingat betul, frontpage Republika hari itu memasang kolom tulisan Komarudin Hidayat, Rektor UIN. Aku lupa temanya, tapi ingat kalau tema itu sejalan dengan headline saat itu. Bukan bermaksud su’udzon. Tapi kok aneh aja, kenapa bisa pas yah, katanya sakit Pak. Hari itu sudah H-7 acara. Detik-detik terasa bergerak cepat. Diiringi gemuruh jantung yang berdetak panik. Kontan terasa kecemasan di wajah para panitia terutama SC ketika aku kabari berita itu. Tidak main-main ini. Bisakah kita mencari pembicara skala Nasional dalam waktu tujuh hari. Salah satu poin SOP Kamera, pembicaranya harus tingkat Nasional. Maklum, Kamera dianggap sebagai shock therapy bagi civitas akademika sebelum menghadapi Ramadhan. Tiga bulan lalu, aku menghubungi Ustad Arifin Ilham. Kata sekertarisnya, jadwal ustad Adzikra itu sudah full. Aku juga sudah menghubungi AA Gym. Jawabannya sama.
Tahun kemarin saja pembicaranya Ustad Yusuf Mansyur, terus RDK juga pernah mengundang AA Gym saat beliau masih booming. Maka RDK 29 tahun ini pun harus mendatangkan pembicara yang menyedot perhatian seperti vacuum cleaner menelan debu di karpet. Kami harus menebar syi’ar dakwah. Ibarat kata, kami harus berteriak sekencang-kencangnya, “Wooiiii...Ramadhan udah dateng nih! Nyyookk...kita persiapkan diri untuk perlombaan ini”. Dengan kebuntuan ini, kami hubungi orang-orang ber-Japri (Jaringan Pribadi) kuat ke ustad nasional. Kami ditawarkan Ustad Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Daud Rasyid, dan berbagai ustad dari Tarbiyah. Di antara mereka tak ada yang bisa. Beberapa ustad Hidayatullah juga sudah dihubungi, jadwal full-booked. Kalau ustad dari NU, yang skala Jawa Timur sudah banyak kami plot mengisi ceramah tarawih. Di tengah kebingungan, Mas Udjo memberi kami kontak. Dia ustad Syahrulsyah. Memang tidak terkenal di Jawa Timur, tapi kalau di Jadebotabek cukup terkenal. Kalau tidak salah, ia pernah mengisi kuliah subuh rutin di salah satu televisi swasta. Aku segera menghubungi. Jarang-jarang langsung bicara ke ustadnya, biasanya melalui sekertaris. Lobby-lobby sedikit, akhirnya fix dengan berbagai syarat. Kondisi realnya, pada hari-H ustad dapat jadwal ceramah di Pontianak dan Jakarta. Acaranya pagi dan sore. Sementara kami mengambil acara pada siang hari ba’da jumatan. Aku disuruh berpikir, bagaimana caranya ia bisa sampai Surabaya ba’da jumatan dan sampai Jakarta sebelum Maghrib. Akhirnya kami tebus tiket Pontianak-Jakarta dan diganti jadi Pontianak-Surabaya-Jakarta. Konsekuensinya, uang transport habis banyak, kira-kira empat jutaan. Namun, hanya ini jalan satu-satunya yang paling pas. Kembali lagi ke cerita penjemputan. “Masya Allah, acaranya mulai jam setengah dua,” teriakku kepada penumpang seisi mobil. Jarum jam pun sudah menunjukkan pukul 13.15. “Ayo sudahlah na, cepa sana nanti telat,” ujar fauzan dengan logat Baikpapannya sama seperti Mas Pandu. “Para penumpang diharap segera pakai sabuk pengamannya karena “pesawat” akan take off,” candaku pada seisi penumpang. Pada awalnya kami hanya saling berdiam diri. Kami masih agak sungkan dengan beliau. Ia langsung kami sodorkan makan siang. “Ustad kan habis perjalanan jauh. Monggo ustad, dimakan hidangan seadanya dari kami,” ujar Mas Udjo. “Wah, Alhamdulillah, kebetulan nih!” balas beliau dengan wajah ceria.
Dari tadi kami memang melihat beliau tidak seperti biasanya. Beliau lebih khas sebagai ustad ceria. Tapi tadi gurat-gurat wajah kelelahan selalu ditampakkan. Hati kami pun senang karena tadi ia menyambutnya dengan ramah. Ia langsung memakannya. Lahap. “Wah...Subhanalloh, Ayam,” “Untuk Ustad kami kasih spesial,” sambut Mas Udjo “Apanya yang spesial, kita juga beli buat kita sendiri,” Fauzan mengelak. “Enak aja beli, uang rakyat nih!” balasku sebagai panitia yang bertanggung jawab dengan keuangan. “Nanti ente ganti uang Kamera yah!” teriakku pada Mas Udjo. “Halah anggap aja uang lelah,” Mas Udjo mengeluskan tangannya ke pundakku. Ia coba membujuk. Padahal tanganku masih stand by dengan setir bundar itu. “Ayo dah...kita makan bareng,” Ustad Syahrulsyah memotong. “Nahloh, Pak Supir nggak makan,” Ustad menyapaku. “Udah nggak papa ustad, ane nanti aja,” Gesit benar makannya, seperti belum makan setahun. Harap dimaklumi lagi, beliau habis melalui perjalanan jauh. Kadang beliau menggodaku,”Wah, ayamnya enak banget. Sambelnya pedas-pedas menyegarkan,”. Biasanya Mas Udjo dapat bagian membalas,”Sayurnya, juga seger kan ustad? Sumpah seger banget Bey,”. Huh, menyebalkan! Perutku keroncongan. Seandainya mobil ini punya auto pilot. Santap, nggak pake lama! Tak lama kemudian, setelah usai makan, beliau buka buku kecil dari tasnya yang juga kecil bagi ukuran perjalanan jauh. Sepertinya itu buku sakti. Sakti mandraguna. Oh, buku baceman ceramah kali ya?! “Ane belajar dulu ya...,” ujarnya pada kami. “Oh...masih pakai belajar ya Ustad?” canda kami lirih. Tidak beberapa lama ia menutup buku kecilnya itu. “Kok sudah selesai Ustad?” tanya kami. “Karena ane penceramah jadi cuma melihat sebentar langsung hafal,” jawab beliau. Maksudnya, buku itu berisi poin-poin isi cermahnya nanti. Jam terbangnya yang tinggi, membuatnya tak perlu belajar berlama-lama.
“Ustad, tapi kita udah bertahun-tahun jadi mahasiswa, nggak bisa belajar secepat itu,” tanya Mas Udjo di tengah lahapnya makan. “Apa mungkin kebanyakan maksiat kali ye,” Aku menyahut. Sang supir mulai beraksi lagi. Jalan raya Ahmad Yani tidak selengang tadi. Trek lurus melenakan seperti sirkuit Monza, markas kuda jingkrak Ferari. Aku semakin terpancing memacu mobil ini hingga jarum speedometer menyentuh angka 120 Km/jam. Mata ini dipaksa untuk awas melihat kaca spion di sisi luar sedan. Terkadang klakson dipukulkan berkali-kali untuk membantu ketika menyalip. Suasana agak sedikit cair karena di dalam mobil kami banyak bersenda gurau. Ustad Syahrulsyah memang orang yang pandai bergurau. Kalau anak muda sekarang bilang, “rada bocor”. Perasaan kami jadi tenang walaupun mobil terus dipacu diatas 80 Km/jam di jalan yang memiliki tiga ruas itu. Barisan macet kendaraan, aku siasati dengan menyelip gaya menyilang. Perpindahan perseneling semakin cepat, mengikuti perpindahan badan mobil dari satu ruas jalan ke ruas lain. Prinsipnya, celah sedikit, hajar! Banyak cerita di mobil itu. Apalagi ketika menyadari adanya kesamaan karena Ustad Syah merupakan pribumi asli ranah betawi. Belum lagi, Rohis di sekolahku dulu pernah juga mengundang beliau. Beliau memang sudah kondang untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, mirip adzan maghrib di tipi-tipi. Namun parahnya, ketika aku dan Mas Udjo bercanda, kami gunakan bahasa betawi khas yang kadang-kadang terdengar sarkas. Bahasa ane-ente keluar juga. Kadang-kadang keceplosan pakai bahasa lu-lu-gue-gue. Beruntung beliau menanggapi dengan biasa, “Yaelah...itu mah biase di Jakarte. Nyang penting kite kagak nyakitin ati, nanti lu jual gua beli,”. “Lu jual-gue beli” artinya orang betawi tak pernah memulai pertarungan. Hanya, kalau sudah diganggu mereka tak segan-segan mengeluarkan jurus silat Cimande-Cikalong. Jangan macemmacem coy! Buktinya apa, kompeni macam Jan Pieterzoon Coen yang jual bedil ke masyarakat betawi, dibeli sama Si Jampang dengan capitan kalajengking dari Cilincing. Halah, semakin ngelantur saja, terlalu anakhronis! Ceritanya berputar mulai dari kabar Sang Ustad, kabar di Jakarta, tanya-tanya tentang ITS dan Surabaya bahkan ustad belajar beberapa bahasa Suroboyoan. Jangan ditanya ketika ia mencoba berbahasa jawa. Sama anehnya dengan orang Banyumasan bicara bahasa Inggris. Sama pula kagok-nya kami bertiga dalam berbahasa jawa. Yang paling seru ketika beliau menceritakan masa lalunya. Tak pernah kami lupa karena uniknya. Kami bercanda dengan banyak tema. Tapi sama sekali hal itu tidak mengurangi hormat kami kepada Sang Ustad.
“Eh, gini-gini dulu ane ketua Rohis,” katanya. Dari hasil investigasi kami, ternyata memang beliau adalah Ketua Rohis SMAN 43 Jakarta dan Ketua IMM di IKIP Muhammadiyyah Jakarta. “Ane nggak salah denger Ustad?” sahut Mas Udjo sambil tertawa. Aku dan Fauzan hanya berpandang-pandangan lewat spion belakang sambil melempar senyum sinis. Mas Udjo pun menatap wajah beliau dengan perasaan ingin tahu yang besa seperti bayi membolak-balikkan barang yang pertama kali dipegangnya. Terkadang bayi menggunakan indera pengecapnya saking ingin tahunya. Itulah Mas Udjo, banyak nanya! “Yeh, Si Udjo, ente kagak percaye sama ane. Jangan salah ente, walaupun banyak ngebanyol gini, kadang-kadang ane juga bisa serius,” beliau membela diri. “Kadang-kadang ya stad?” balas kami menggarisbawahi. Dia tertawa,”Iye, kadang-kadang,” “Nah, kalau ketuanye kayak ustad, anak buah antum gimane tad? Mas Udjo masih saja tidak percaya. “Nah itu juga, ane kagak tahu, kok anak-anak pada milih ane, terus nurut lagi, haha..” canda ustad dibarengi dengan senyum lebar. Kayaknya Sang Ustad korban konspirasi teman-temannya. Biasa, kalau lagi tunjuk-tunjukkan siapa yang jadi ketuanya, maka diadakanlah konspirasi. Aku tahu karena pernah merasakan. “Terus, pas kuliah, ustad juga jadi aktivis?” tanyaku. Fauzan dengan kacamatanya yang masih menempel belum bisa mengimbangi gurauan. Ia lebih memilih diam. “Sama kayak ente gini-lah. Wah, malah ane dulu nyang ngalamin susahnye dakwah di tahun 80’an. Ente pasti udah pada denger dari murobbi ente,” kami pun menganggukkan kepala. Beliau melanjutkan,”Dulu jaman-jamannye usroh atau sekarang liqo namenye dalam bentuk kelompok-kelompok kecil banget. Pokoknye, sekarang tuh udah enak, mau liqo’ langsung berangkat, bahkan sekarang ada liqo’ via chatting,”. Kami sudah mulai bosan dengan cerita ini. Kami semua juga pernah aktif semasa sekolah dulu dan sering menerima cerita-cerita itu. Kadang-kadang cerita para perintis itu yang kami jadikan semangat. Kadang banyak dari kami saling sindir. “Bayangkan Akhi, dulu belum ada HP tapi liqonya nggak pernah bolos. Sekarang diundang berkali-kali lewat sms selalu aja ada alasannya, ya nggak enak badanlah, ya sibuklah, ya banyak tugaslah. Pokonya banyak deh,” kata salah satu sahabatku mencontohkan perkataan seorang ustad yang termasuk generasi awwalun. “Terus ustad bisa ketemu istri gimane ceritanye?” Mas Udjo kembali bertanya.
Pertanyaannya melebar ke tiang jauh saudara-saudara...sayang sekaliii. Hanya membuahkan tendangan pojok. Mas Udjo langsung menuju inti permasalahan. “Yah, cepet amet, udah kebelet ya?! langsung to the point gini, ane aje belom selese ceritanye,” ujar beliau. Tertawa kembali pecah di sedan yang menunggu macetnya jalan di depan kantor Bulog, masih tetap di jalan Ahmad Yani. Kami segera mengganti topik. Perlu diperhatikan, tema ini berbahaya bagi kesehatan. Makruh bagi yang tak kuat iman. Don’t try this at home! Apalagi membahasnya di tengah sayup-sayup lagu “Hari Bahagia”-nya JV. Udah...kalau lagi jomblo, jomblo aja. Nggak usah bayangin macem-macem. “Entu tadi cuma intermezzo tad. Yang ini baru acara inti,” tambahnya dengan gigi nyengir kuda. Dasar orang, kalau masalah gini aja serius banget. Dari tadi ustad ngomong tentang dakwah, ente bisanya cuma nguap mulu. Kalau beginan baru semangat deh! Kata Mas Udjo, ini multivitamin dakwah. Huh, tambah gelo euy! “Iya ustad, cerita donk, ketemunya pas dimane?” desak Mas Udjo lagi. Syetan apa yang masuk dalam pikiran kami. Tapi itu kan juga kodrat manusia. Jadi wajarlah, asal tidak berlebihan saja. “Jangan Ustad, kalau cerita itu ane nggak bisa tidur tiga hari tiga malem. Kepikiran terus,” Fauzan angkat bicara. “Iya stad, ketemunya dimana?” aku terbawa arus. “Yeh...jangan diterusin,” Fauzan mengingatkan lagi. “Itu cuma intermezzo, pasti nanti bablas ke sana-sana,” lanjutnya berpikir bijak. “Yaelah, kayak nggak tahu anak muda aja ente zan!” aku mencoba membela Mas Udjo. “Gimane nih, ane boleh cerita kagak?!?!” beliau mengancam penuh canda. “Ayo Ustad, cerita aje, kagak ngapa kalau Fauzan nggak mau ndengerin,” ujar aku dan Mas Udjo mencoba membujuk beliau. “Tutup kuping sana,” Ujar Mas Udjo. Fauzan tertawa lebar,” Yasudah, ane ikut. Mumpung ketemu narasumber langsung”. Tawa kami pecah. “Pada suatu hari, dulu di semester akhir ane kuliah,” beliau memulainya. Krik...krik...krik...jadi teringat ketika ayahku mendongengkanku di waktu kecil. Pasti selalu dimulai dengan kosakata sastra klasik. Pada suatu hari...., di kala rembulan menyinari...., saat ayam berkokok, saat matahari meninggi, dll.
Kami kompak berkata, “Waaaaaaw...sangar Bung, patut dijadikan contoh nih!” “Terus...terus...terus Ustad, lanjutin dong!” “Ente ngebet banget,” beliau menyindir. “Terus, nafkahin keluarga pake apa ustad?” tanya Mas Udjo. “Ya pake duitlah. Masak pake daun?” balas Fauzan “Atau pakai CINTA..., cinta...oh cinta...so sweet banget kayak di tipi-tipi!,” Mas Udjo menambah runyam permasalahan. Sikap hiperaktifnya belum juga sembuh. Selalu berlagak bak seorang penyair. Tentu dengan wajah yang membuat kami mau muntah. Saya pernah baca tulisannya Om Sam, pengasuh rubrik Parodi Kompas. Dia bilang, jangan sekali-kali menjadi orang nekat. Dengan mengucapkan atas nama cinta, kita gondol anak orang untuk jadi istri. Setelah itu kita kebingungan memberi makan Si Istri. Malah jadi menyusahkan kan? Yah, itu pendapat Om Sam yang kadang-kadang agak nyeleneh. “Entar dulu donk, ane belum selese nih,” Ustad setengah memaksa berbicara “Dulu istri ane paling cakep di kampus,” lanjut beliau. “Yah ustad, antum curang. Kan pilihlah wanita karena empat hal, nah yang pertama itu agamanya dulu ustad,” tanyaku seperti anak kecil yang melihat orang dewasa selalu menjilat ludahnya sendiri. Seperti, seorang ayah mengajari anaknya tidak merokok karena mengganggu kesehatan, tapi ia sendiri menyimpan rokok tanpa filter alias kretek di kantongnya. “Kalau bisa dapet agamanya, terus cakep-nya, terus hartanya, terus keturunannya gimane? Kan tergantung pinter-pinternye yang nyari,” sahut beliau. “Maruk (rakus) dong stad...,” jawabku. “Tapi bener juga kata ustad,” lanjutku sambil bertanya dalam hati “Adakah wanita sesempurna itu?”. Kayaknya untuk dapet cewek kayak gitu, kita harus dzikiran tujuh hari tujuh malam di kampus Al Azhar Mesir. Jauh amet? Kan niru Ayat-Ayat Cinta. Atau kita harus mencarinya sampai mendaki gunung lewati hutan, sungai mengalir indah ke samudra... “Nah, makanye kite dulu saingan untuk ndapetin ntu akhwat edisi khusus. Tapi saingannya nggak terang-terangan. Karena ane orangnya nekat jadi langsung aja,” lanjut beliau. “Langsung apa Ustad? langsung tembak?” kata Mas Udjo. “Dulu mungkin masih belum nge-trend sesi ta’aruf ya ustad. Jadi tembak di tempat juga boleh kan stad?” tambahku. Lalu ada suara celetuk, “Ikut Katakan Cinta ya stadz?”. Lah, reality show dibawa-bawa.
“Sembarangan, nggak mungkinlah!” Fauzan menyangkal. “Ane langsung dateng ke rumah orang tua-nye. Langsung ane lamar deh ntu akhwat,” lanjut beliau. “Masak sih segitu simple-nya. Itu langsung diterima ustad?” tanyaku. “Lah, itu orang tua-nye langsung ACC stad?” Mas Udjo menyahut menguatkan. “Kagak!” jawabnya singkat. Gubrakkk! Sudah kami duga. Akhwatnya pasti nggak mau sama die. Ustad Syah nggak seganteng AA Gym, Arifin Ilham atau Uje. Akhwatnya mikir seribu kali dulu buat nerima “todongan” Ustad Syah. Akhwatnya sudah curiga, paling-paling beliau tujuannya hanya untuk perbaikan keturunan. Begitu candaan dalam hatiku. Ustad melanjutkan,“Terus, besoknya ane ‘ancem’ aje keluarganye,” “Daripade kite zina, pilih mana pak?” Kata sang Ustad di depan kedua orang tua si Akhwat. “Hahahaha...,” kami cuma tertawa saja. Jiwa Betawi nekatnya keluar juga tad! Perlu nyali besar untuk mengulang langkah Ustad. “Terus, dulu antum kerja apa Ustad?” tanya Mas Udjo. “Yee, macem-macem, yang penting anak-istri bisa makan. Alhamdulillah kehidupan ane selalu dicukupkan oleh Allah. Sekarang hidup ane udah lumayan enak,” ujar Sang Ustad sambil memegang HP-nya yang jauh menang kelas dari HP kami bertiga. Selama perjalanan, HP itu terus berdering. Namun hanya sesekali ia angkat. Di tengah pembicaraan kami, ia mengangkat panggilan teleponnya. Simak apa yang dikatakan Sang Ustad. “Halo Assalamualaykum..,” “Saya lagi di Surabaya nih Pak,” “Hah, Maghrib nanti?” “Aduh, udah ada undangan nih Pak, Maaf banget yah Pak,” “Di Tanjung Priok,” “Baru pulang dari Surabaya sekitar jam 5an sore,” “Yaudeh, kapan-kapan aja lagi,” “Waalaykumsalam..,”
Tahukah anda, tadi telepon dari siapa? Itu panggilan dari Pak Walikota Jakarta Pusat langsung! Penguasa daerah elit ini mengundang beliau. Pak Walkot mengundang acara tarhib Ramadhan diadakan di kediamannya hari itu ba’da Maghrib. Tapi Ustad menolak. Ia harus mengisi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, ba’da Isya nanti. Wah, nih Ustad sedang diuji profesionalisme-nya. Padahal kalau beliau terima, pasti tempatnya megah dan bayarannya pun megah juga. Tapi sekali lagi, ini adalah ujian bagi seorang da’i. Tergantung da’i yang menempatkan dakwah itu sebagai apa? Kalau sebagai pekerjaan utama, pasti akan mengejar semua order. Mengatur sedemikian rupa agar bisa hadir di setiap kesempatan. Pontang-panting sampai lupa pada esensi dakwah itu sendiri. Salut buat Ustad yang telah mempertahankan profesionalisme-nya, Dalam hatiku bilang,”Keren juga Pak Walikota. Pesan Ustad kondang kayak pesen bakso aja. Panggil langsung datang,”. Undangan itu hanya beberapa jam sebelum acara. Sempat juga kami dongkol bukan main, ketika menelpon untuk mengundang salah satu ustad terkenal. Kata sekertarisnya,”Dek, kalau mau ngundang beliau harus B min enam bulan dari acara,”. Panitia RDK saja baru dibentuk B min tiga bulanan. Seusai ditelpon ia berkata pada kami,”Akh, ane udah janji di tempat lain, walaupun kelihatannya lebih menarik. Tapi janji tetaplah janji,”. Pembicaraan kembali dilanjutkan segera setelah ia menutup teleponnya. “Nah, ayo donk, antum ngikutin jejak ane. Ayo, siapa yang berani?,” lanjut beliau. Kami hanya tersipu malu. Aku secara pribadi masih belum berpikir ke sana. Aku belum tahu tanggapan Mas Udjo dan Fauzan. Menurut penerawanganku, mereka tidak cocok kerja di air. Oh salah. Maksudnya, kelihatannya mereka sudah ancer-ancer habis lulus nanti. Kudoakan saja. Amin... Jam mulai bergerak cepat. Jarum menit berkejaran dengan jarum jam. Menurut run down acara, sudah seharusnya Sang ustad naik mimbar. Tapi perasaanku berbeda, acara tidak akan dimulai sebelum datangnya sang Ustad. Benar sudah perkiraanku. Ketika sampai di masjid, acara memang benar-benar menunggu hadirnya sang Ustad. Setelah itu, barulah pembukaan dan sambutan-sambutan dimulai. Tugasku menjemput Ustad telah selesai. *** Pernah melihat film “Taxi”? film legendaris asal Perancis yang akhirnya didaur ulang di negeri Paman Sam itu. Kisahnya berawal dari sebuah Taksi yang dimodifikasi menjadi mobil racing. Taksi ini berubah jadi pahlawan ketika ia menjadi polisi gadungan membantu Emilien Si polisi culun.
Adegan menarik ketika mengejar penjahat yang juga pembalap. Mereka menyusuri jalan-jalan sempit di Marseille. Terlihat bagaimana mahirnya aktor berdarah Aljazair, Samy Naceri, mengendarai Peugeot 406 mengejar jagoan rally Eropa, Mitsubishi Lancer evo milik sebuah kelompok Yakuza. Namun sepertinya aku lebih cocok sebagai Belle William yang diperankan Queen Latiffah di Film versi Amerikanya. Di awal cerita, ia akan dibayar 100 dollars (Rp 1 jutaan) oleh seorang penumpang yang tergesa-gesa menuju bandara JFK. Bila ia dapat mencapai ke sana dalam waktu 10 menit maka uang itu jadi miliknya. Namun kalau gagal, uang itu hangus. Akhirnya dengan gaya nyentrik dan ugal-ugalan, si ratu Latifah sukses mencapai bandara lebih cepat dari yang dijanjikan. Kejadian itu hampir mirip terjadi pada diriku. Setelah Ustad Syahrulsyah menyelesikan tugasnya untuk memberikan ceramah, aku kembali ke profesi awalku, SUPIR. Sedan cantik telah menantiku di parkir timur Masjid Manarul. Sebelumnya, beliau sudah diwanti-wanti kalau jadwal pesawatnya ke Jakarta adalah pukul lima sore. Tapi entah karena terlalu nyaman ketika berceramah, beliau sedikit lupa waktu. Jarum jam sudah lewat dari posisi setengah lima sore, beliau baru mengakhiri ceramahnya. Alhasil, panitia dan supirnya kalang kabut. Aku mulai melakukan perhitungan. Rumahku terletak di Waru hanya beberapa jengkal dari Juanda. Biasanya kalau berangkat kuliah di pagi hari, aku membutuhkan waktu 45 menit untuk mencapai kampus. Lumayan beruntung kalau tidak begitu macet, hanya butuh 30 menit saja. Tapi tidak pernah kurang dari itu. Ingat, itu menggunakan motor dan lewat jalan memotong di daerah Rungkut. Perhitunganku akan meleset jauh kalau menggunakan mobil. Aku berkata dalam hati “Ah sudah telat. Sekarang sudah jam setengah lima. Tak mungkinlah sampai Juanda jam lima!”. Tiket pesawat tertulis pukul 17.00, biasanya check in untuk dalam negeri 30 menit sebelumnya, sementara luar negeri 2 jam sebelumnya. Walaupun begitu, tetap kupacu Vios ini dengan kecepatan penuh. Sudah tidak banyak lagi canda-tawa di dalam mobil. Hanya sesekali kami melepas kepanikan dengan canda dari Sang Ustad. Yang pasti, aku tetap menekan pedal gas mentok! Mobil meluncur cepat di Jalan Raya Nginden memanjang sampai Jemursari dan keluar di jalan Ahmad Yani. Gas poool, rem poool!!! Seperti biasanya, tiada hari tanpa kemacetan panjang. Susah sekali rasanya keluar dari kemacetan itu. Kalau keseharianku menaiki motor di jalan padat ini bisa aku akali dengan mengambil jalan pintas. Tapi sekali lagi, ini adalah sebuah mobil!. Masalahnya juga ini mobil orang. Kalau mobil sendiri sih tidak mengapa lecet-lecet sedikit. Kupukul keras-keras klakson mobil. Kami sudah tak sabar lagi. Sang Ustad pun panik. Pasalnya, sehabis Isya nanti dia harus sudah berceramah di daerah Jakarta Utara. Kalau sampai ketinggalan pesawat, pupuslah harapan panitia di sana untuk mendatangkannya.
Selain itu, bukan hanya uang kami yang hangus tapi juga tanggung jawab kami untuk mengantarkan beliau kembali ke asalnya. Kami sudah rugi banyak untuk mendatangkan beliau. Terhitung sudah satu juta lebih terbuang percuma untuk membatalkan jadwal penerbangan beliau dari Pontianak ke Jakarta. Aku pun bertekad untuk menuntaskan tugas muliaku sebagai seorang supir. Jalanan makin tak bersahabat. Karena terburu-buru, aku sering mengambil jarak rapat terhadap mobil di depan kami. Tujuannya, ketika menyalip aku tidak kehilangan momen sehingga berakibat kegagalan menyalip. Fatalnya, nyundul mobil depan atau disundul dari belakang. Kadang-kadang mulut mobil kubuat merapat dengan kumpulan motor yang bergerak tak beraturan seperti kerumunan laron di sekitar lampu. Pernah suatu ketika aku hampir saja menabrak sebuah motor. Spontan Sang Ustad berucap,”Astaghfirullah...hampir saja!”. Pernah juga saking paniknya, spontan ia memegang setir membantuku untuk membelokkan mobil. Di depan kami ada motor yang tiba-tiba bergerak menyilang. Kepanikan luar biasa ada di dalam mobil, “Masya Allah”. Selama perjalanan beliau tak berhenti memandangi jam tangannya. Mungkin berharap baterai jamnya mati, sehingga kehidupan ikut berhenti. “Akhi, tinggal lima belas menit lagi, ana khawatir ketinggalan pesawat,” ujar beliau. Ketika itu kami baru saja masuk ke jalan Ahmad Yani. Kira-kira masih sepertiga perjalanan lagi. “Ada Ojek nggak di sini? Kalau ada mending ane naik ojek aja. Kalau ngelihat macetnya, kayaknya sudah nggak mungkin Akhi,” raut muka beliau mulai menampakkan kepanikan luar biasa. Wajah cerianya sirna total. “Yah ustad, jarang-jarang di sini ada ojek. Jangan disamain ama di Jakarta. Ada juga becak, bahkan di sini melimpah, mau naik becak ke Juanda stad?”. Tawaran yang brilian! “Masak sih kagak ada ojek?” “Sumpeh deh Ustad..,” Di Jakarta memang sangat menjamur yang namanya tukang ojek. Terutama semenjak hancurnya ekonomi Indonesia di tahun 1998. Banyak pekerja di-PHK beralih profesi menjadi tukang ojek. Bahkan banyak juga supir ojeknya perempuan. Lebih keren lagi pernah saya menemui tukang ojek yang ternyata seorang sarjana lulusan perguruan tinggi swasta, gurem memang. “Yasudah ane percaya sama antum, tapi bawanya hati-hati ya. Jangan bikin spot jantung,” kata beliau. “Okey Ustad, Insya Allah,” jawabku. “Supirnya ustad udah profesional kok,” Mas Udjo membela. Kali ini aku ditemani oleh Mas Cahyo, Ketua Umum JMMI periode RDK. Begitu kami menyebutnya. Ia salah satu dari beberapa
pengurus harian yang berani melanjutkan kepengurusan untuk menghadapi tiga agenda besar JMMI. Sama bijaknya seperti Ketum sebelumnya, Mas Yusuf. Hanya saja Mas Cahyo lebih komunikatif karena pernah jadi Kepala Pusat Komunikasi yang bermodal utama kemampuan komunikasi. Ahmad Yani bagian selatan sudah agak tenang. Setelah bunderan Waru, kemacetan tidak begitu padat. Apalagi setelah berbelok ke kiri. Aloha menuju Bandara semakin lapang. Jalan tampak sepi. Kupacu bahkan sampai kekuatan 130 Km/jam. Caraku menyalip mobil mirip pembalap slalom, drifter. Mobil itu kubuat berlari zig-zag seperti Christiano Ronaldo menggocek bola. Caraku menghindari kendaraan di depan kami, serasa bermain game Grand Turismo. Tak sekalipun kuinjak pedal rem. Hanya sesekali kulepaskan pedal gas untuk menjaga jarak dengan mobil-mobil besar sekaligus menjaga jarak pandang. Pernah suatu ketika hampir saja aku menabrak penyempitan jalan sebelum masuk ke pintu utama bandara. Kubanting setir ke kanan, menempatkan diri di antara dua mobil dengan jarak yang sangat pas sekali dengan panjangnya sedan ini. Alhasil klakson panjang berbunyi dari arah belakang, “Tteeeetttt....”. Bunyi itu memekakan telinga walau sebenarnya kabin sudah dibuat kedap. Beruntung mobil di depan kami tidak menginjak rem mendadak. Supirnya kasihan, deg degan. Penumpangnya sih enak, cuma ngetawain aja! Pernah juga, di sebuah jembatan tak mulus, mobil ini terbang beberapa inchi. Beruntung, shockbreaker kuat menahan. Sampai di depan pintu masuk, seperti biasa ada seorang prajurit TNI AL dan seorang satpam bandara yang menyapa kami sambil menundukkan kepalanya sedikit. Mereka hormat. Kami sudah tak kaget. Tapi pertanyaan “mengapa” masih belum terjawab. Setelah mengambil karcis masuk segera kupacu lagi. Waktu kami kurang tiga menit!!! Kami berharap pesawat memperlambat lajunya agar telat mencapai bandara. Jarak pintu masuk ke bandara kurang lebih dua menit. Mudah-mudahan tetap terkejar. Alhamdulillah kami sampai di jarum jam kurang beberapa detik lagi sebelum jam lima sore. Segera kami bukakan pintu untuk Sang Ustad. Lalu kami berlari menuju pintu keberangkatan. Alhamdulillah kami melepas beliau dengan haru dan ucapan maaf sebesar-besarnya. “Hati-hati Ustad. Terima kasih telah mengisi acara kami, sampai jumpa di lain waktu Jazzakallah!,”. Sang Ustad menghiasi wajahnya dengan senyuman karena telah sampai dalam waktu yang tepat. Kami kembali ke mobil untuk menenangkan diri. “Alhamdulillah...,” ucap kami. Perasaan sudah lega. Tapi tugasku belumlah usai. Aku harus mengantarkan mobil ini kembali pada pemiliknya.
Ketika di perjalanan jalan by pass bandara, kami mendengar adzan Maghrib. Kebetulan kami melintas di depan kantor Departemen Agama Jawa Timur. Kami berkesempatan untuk sholat di Masjid Depag. Seperti biasa, kami menghadapi pintu gerbang masuk. Sekali lagi ada beberapa orang berjagajaga di pos pintu masuk kantor itu. Mereka pun menganggukkan kepala mereka sebagai tanda penghormatan. Mungkin tak terpikirkan oleh mereka bahwa kami orang asing. Apalagi suasana kantor ketika itu sangatlah sepi. Kami membalas dengan anggukan kepala juga. Kuparkirkan di samping beberapa mobil yang berjejer. Setelah keluar dari mobil, kucoba cek panasnya mesin, sekalian menempelkan tanganku ke badan mobil yang sangat kotor. Kuberjalan ke arah belakang mobil. Baru aku teringat,”Oh...ternyata ini toh yang membuat kami dihormati banyak orang,”. PLAT MERAH Plat merah difugsikan sebagai mobil dinas. Mobil mewah pelat merah menjadi prestise. Semakin mewah mobil itu, semakin tinggi jabatan pemiliknya. “Mungkin mereka mengira aku pejabat kejaksaan, bandara atau departemen agama,” gumamku tersenyum. Dan memang benar, tak jauh dari tempat mobilku terparkir, berderet mobil mewah plat merah. Tak terlihat satu pun yang tidak berplat merah. Mungkin karena panik kami jadi tidak bisa berfikir jernih. Teringatlah kami dengan perkataan mutiara dari Pak Tri, “INI MOBIL NEGARA!”, haha... Rintangan belum selesai. Kami berjanji mengembalikkan mobil sebelum Maghrib. Ternyata Isya’ pun masih di jalan. “Mas, Pak Tri pulang pakai apa yah?” tanyaku pada Mas Cahyo. “Masak Jalan kaki, duh...kita tega banget yak?!” Bersegeralah aku menuju rumah beliau. Perumahan dosen jadi tujuan kami. “Alhamdulillahm, Bu Tri menerima kami dengan ramah,”. Mission completed. Saatnya pulang ke markas besar. Tidur menikmati hangatnya sarung yang kujadikan selimut. Sambil bercerita dan tertawa bersama saudaraku tercinta di sebuah rumah sederhana di barat daya Masjid Manarul. “Kawan...matikan lampunya, besok kita kerja lagi!”. Akhirnya kelopak mata kami menutup, berharap mimpi malam ini adalah syurga yang dijanjikan bagi para pejuang-Nya.
Adik, Ayo Sini... “Ada anak bertanya pada bapaknya. Tadarus tarawih apalah gunanya,” Bimbo.
Semangat, semangat, semangat! Ramadhan belum genap seminggu. Kesibukan RDK sudah mulai banyak menyita waktu. Butuh sebuah endurance yang luar biasa. Apalagi kalau malam sudah datang, terutama ketika shalat tarawih ditegakkan. Tidak jarang kami harus meninggalkan kenikmatan sholat tarawih itu. Sebabnya satu hal: anak-anak kecil. Memang sudah menjadi tanggung jawab kami untuk menjaga ketentraman para jamaah dalam beribadah di bulan suci ini. “Ciiiaaatttt...,” anak kecil berlari-lari di semua sudut masjid. Lucu dan menggemaskan. Rasanya senang sekali melihat pola tingkah mereka. Ada saja keunikan, kenekatan serta keusilan. Pernah ada anak kecil memanjat tangga tinggi. Akhirnya menangis karena pandai memanjat tapi tidak bisa turun. “Mama!!!” teriaknya sangat keras. Aku biarkan saja berlalu, pura-pura tidak tahu. Sampai anak itu menjerit keras, setelah itu sang ibu baru menghampiri. Sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah “menyelamatkan” anaknya, sang Ibu memberi hadiah istimewa, cubitan keras di pipi. Alhasil, semakin menjeritlah anak itu. Seringkali aku tertawa sendiri dengan berbagai pemandangan unik. “Sssttt...jangan berisik, aku lagi sholat nih” ujar salah seorang bocah ke teman disampingnya yang terus saja mengeluarkan suara. Padahal bocah itu masih bersedekap. Bersenggol-senggolan pun sudah pemandangan biasa yang mereka suguhkan ketika sholat ditegakan. Sama seperti masa kecilku. Sholat tarawih menjadi hal yang paling cocok untuk bercanda dan bercengkerama dengan teman-teman sepermainan. Dulu, aku dan teman-teman selalu bermasalah dengan Bapak-Bapak di masjid. Pernah suatu hari kami diusir karena terlalu mengganggu kekhusyukkan sholat. Akhirnya kami berontak dan pindah ke masjid yang lain. Belum juga masuk masjid, sudah diusir lagi. Apa sebabnya? Saat shalat ditegakkan, kami menyalakan petasan di sekitar masjid. Kami menyebutnya petasan teko. Petasan itu besarnya segenggaman tangan orang dewasa. “Blumm...”suaranya seperti bom sungguhan. Kami pasang tepat ketika imam mengakhiri surat Al fatihah dan para jamaah mengucap,”Aaaaamiiiiiinnn...., Bluuuummm!!!,”. Kontan saja, seisi masjid panik. Misi kami sukses. Kami langsung pasang kaki seribu untuk lari dan menghilang. Besoknya kami tobat, mencoba belajar dari pengalaman. Tobat maksudnya, esok hari menyalakan petasan yang skala kekuatannya lebih kecil, sepeti misalnya petasan cabe rawit. Bunyi,”Taarrrr…”. Dan tidak saat
kalimat “aaammiiinn..,”, tapi saat “Assalamualaykum….,” kepala menengok ke kanan. Ya, takhiyat akhir. Sudah berapa masjid yang menjadi korban kenakalan kami. Akhirnya kami terkenal. Namun seiring bertambahnya umur, masing-masing kami sudah lebih dewasa. Artinya kenakalannya berganti. Ada saja yang dijadikan bahan keisengan. Biasanya kabur sholat tarawih dan nongkrong di dekat masjid sambil menikmati wisata kuliner, merokok, main playstation dan bahkan gilanya, main gitar sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas. Ada lagi yang lebih istimewa, sholat tarawih menjadi ajang mencari jodoh. Aku tidak sampai tahap ini. Keburu kenal Rohis. Melihat anak-anak kecil itu berlari, menambah kegemasanku. Berlari kesana kemari seakan tidak peduli apapun. Wajah-wajah mereka nampak ceria. Anak laki-lakinya berpakaian koko dan perempuannya memakai mukena. Semuanya terlihat kebesaran sehingga harus lari tersungutsungut menyeret celana yang kepanjangan dan mukena yang kebesaran. Tapi mereka tampak tidak begitu terganggu. Kata mereka, “ Yang penting main...,”. Lalu apakah panitia RDK membiarkan hal ini? Tentu tidak, kami sudah punya satu peleton pasukan. Kami menyebutnya pasukan penjaga perdamaian. Ya, seperti pasukan PBB. Kami bertugas mendamaikan anak-anak kecil apabila terjadi bentrokan. Ada saja yang masih senang mempraktekan gaya power rangers melawan musuh-musuhnya. Pertama sih bercanda, lamalama ada yang tidak terima lalu membalas. Akhirnya benar-benar terjadi bentrokan. Sebab itu, sudah kami persiapkan intel khusus untuk menyelidiki para provokatornya. Bila ketahuan akan segera diamankan. Kami juga yang menjadi pasukan gegana apabila ada bom tangisan yang meledak. Seperti tugas militer saja. Kami disebut juga pasukan khusus. Kenapa? Bayangkan saja, kami hanya berjumlah di bawah sepuluh orang. Lalu menghadapi sekitar 50-an anak-anak kecil yang bandelnya ampun-ampunan. Umurnya pun bervariasi. Ketika kami bertugas, kami mengenakan seragam khusus untuk membedakan mana kawan dan mana lawan. Seragam itu didapat dari LMZIS ITS. Bentuknya seperti rompi anti peluru, namun warnanya krem. Solusi dari peperangan ini adalah kami berinisiatif untuk membentuk playgroup. Satu orang pasukan penjaga perdamaian, harus memegang beberapa anak kecil lalu dikumpulkand dalam bentuk lingkaran-lingkaran kecil. Ternyata strategi membentuk kelompok-kelompok ini lumayan efektif. Tapi sekali lagi, tergantung keluwesan masing-masing individu. Yah, sekalian belajar jadi ayah yang baik. Kebetulan aku berhasil menggaet beberapa anak kecil yang sedang duduk-duduk. Kalau ditilik, sepertinya mereka sedang mencari keributan, tapi masih belum berani. Maklum, sekarang masih awal-awal Ramadhan. Anak-anak kecil itu masih membaca situasi dan melihat peluang. Biasanya kami dengan sepuluh pasukan. SC dan OC bergotong royong. Dengan gaya masingmasing, mereka mulai mengamankan jalannya sholat tarawih. Azhar dengan gaya tentara, biasa memanggil dengan semena-mena. “Woy...merene, ndul! (Ayo, kesini ***)!” sahutnya pada anak-anak kecil yang berlarian di depan jamaah. Ia mencoba menertibkan mereka dengan gaya radikal. Padahal ada orang tua anak-anak itu di depannya. Anak orang dipanggil “ndul-ndul ae”. Tapi panggilan dan gayanya terbukti ampuh. Anak-anak tidak ada yang berani dengannya.
Berbeda lagi dengan Farhan, ia lebih memilih jalur damai. Dalam mendekati mereka, ia merangkul, membelai, dan mengelus-elus penuh kasih sayang. Lebih memosisikan diri sebagai kakak. Ia nampak sayang terhadap anak kecil. Selalu tersenyum dan menjadi pendengar yang baik di depan mereka. Sikap ramahnya membuat mereka dekat dengan Farhan. Banyak cerita yang mereka sampaikan. Namun mereka sering berbahasa Jawa ketika bercerita. Ahasil ia sendiri kebingungan untuk berkomunikasi. Logat melayu Riau-nya masih kental. Tetapi ia tak patah arang. Semuanya tetap dilalui dengan senyum mengembang. Walaupun sekali lagi, ia tidak paham apa yang dibicarakan. Dodi? Wah...ini dia ahlinya anak-anak. Jabatannya sekarang, Kadiv Program Kakak Asuh (PKA), jelas membuktikan kredibilitasnya. Sebagai Kadiv, sehari-harinya bertugas menjadi kakak asuh bagi puluhan anak-anak kurang mampu di sekitar ITS. Luar biasa, pendekatan emosionalnya sangat mengaggumkan. Ia membuat anak-anak bercerita semua kehidupannya. Dodi punya banyak fans anak-anak. Setiap dibuat kelompok, kelompoknya-lah yang paling banyak menyedot perhatian anak-anak. Wajar, pengalamannya sudah banyak. Sedangkan Marwan, ia hampir mirip denganku. ia juga sering bercanda. Tapi kadang-kadang ia tertawa sendiri. Mereka malah kebingungan melihat kakaknya tertawa sendiri. “Apanya yang lucu?” tanya mereka. Namun ia cukup sabar mendiamkan dan mendengarkan celotehancelotehan mereka. Aku dan Marwan, kikuk menghadapi pertanyaan mereka yang kritis, melebihi aktivis mahasiswa sekalipun. Sebagai contoh, ketika kami melarang mereka berlarian di masjid, mereka balik bertanya. “Kenapa nggak boleh?” “Karena nanti ngganggu orang sholat,”. “Aku nggak ngganggu kok Mas. Tuh lihat, aku diam kan,”. “Tapi tadi kan Mas lihat kamu lari-lari,” “Itu kan tadi Mas,” “Yasudah, sekarang duduk yang manis,” “Nggak mau ah…aku mau main,” “Lah katanya nggak mau ngganggu?” “Itu kan tadi Mas,” “Hayo…duduk yang manis,” ajaku sopan. “Yaudah aku duduk. Tapi yang sekarang lagi lari-lari itu, juga harus duduk Mas. Masak aku duduk, dia nggak!” ujarnya sambil menunjuk puluhan anak berlarian seolah masjid taman bermain yang paling luas di dunia.
Halah, mbulet ae arek iki (berbelit-belit). Pusing aku! Beruntung ada teman-teman OC yang sigap membantu. Mereka biasa bekejar-kejaran dengan anak-anak yang sulit diatur. Lincah sekali lari mereka, seperti kancil. Menyelinap di antara shaff bapak-bapak, sedetik kemudian sudah di shaff ibu-ibu. Biasanya kami menunggu mereka keluar dari “sarang”. Setelah beredar di ruang bebas, kami leluasa meringkus mereka. Setelah ditangkap, maka mulut mereka segera dibungkam dan dibawa menuju “pos”. Pos itu terletak di serambi barat paling ujung. Tempat itu memang dipersiapkan sangat jauh dari keheningan para jamaah. Kami segera menuju ke pos. Masing-masing sudah membawa “pelaku” dan “barang bukti”. “Ayo...Dik, kita main tebak-tebakan yuk. Pertama, nama-nama buah,” ujarku mengawali pertemuan sebuah kelompok kecil. Hari ini aku dapat enam anak. Mereka kugiring menjauhi shaff-shaff jamaah. Kami pergi ke ujung timur masjid agar tidak mengganggu para jamaah yang sudah dewasa. Kemudian kami duduk membentuk lingkaran, tepat di dekat tiang penyangga yang menjulang itu. Sejurus, dimulailah perkenalan kami. “Namamu siapa Dik?” tanyaku. Pertama, mereka masih malu-malu. Wajar, karena mereka baru bertemu orang asing. Tapi tidak semuanya begitu. Ada sebagian yang antusias. Biasanya mereka langsung mengacungkan tangan. “Aku Rasya...” jawab adik kecil berumur enam tahun. Kulitnya mulus putih bersih. Baju koko putih yang dikenakannya menambah cahaya wajahnya. Bola mata bundar bola pimpong, menyimpan kesigapan. Mungkin orang tuanya memberikan pendidikan tentang keberanian. Ia juga sangat tangkas dan lugas. Semuanya jelas terlihat dari cara dia menjahili teman-temannya. “Rasya kelas berapa sekarang?” “Aku masih SD kelas satu Kak!” “Di Al Uswah yah...,” tanyaku sambil memegang tangannya yang lembut. Tatapan matanya yang bening, membalas lirikanku. Kemudian ia mengangguk sambil tersenyum. “Kak...aku juga di Uswah,” sahut yang lain. “Iya..iya..siapa nama adik?” mataku mencari-cari arah datangnya suara. Ternyata aku menemukan anak yang tidak kalah lucunya. Badannya memang lebih kecil dari Rasya, tapi semangatnya lebih memancar. Kulitnya agak cokelat namun masih tampak bersih, tidak seperti aku. “Paical...api aku macih TK. Guluku namanya Bu Patima Kak,” ucapnya dengan lidah tak sempurna “Oh...,”. Dalam hati berujar,”Siapa yang nanya?, hehe”
Mulutnya tak berhenti. Ia melanjutkan pembicaraan. “Aku kalo blangkat cekolah diantal Abi,” “Naik apa?” “Naik obil,” ujarnya sambil menunjuk sebuah mobil yang diparkir di bawah pohon palem di sebelah utara masjid. Ntar dulu deh, sepertinya aku kenal mobil itu. Bukan hanya kenal, tapi akrab. Bukankah mobil itu yang pernah aku pinjam untuk tranportasi kegiatan JMMI? Yang dulu pintunya pernah kurusak? Aku perhatikan lebih detail. Woaahhhh...tidaaaakkkk! “Oh...Abi kerja dimana?” “Jadi gulu di Ii Te Ec (ITS)?” ujarnya. Maksudnya guru adalah dosen. Kemudian ia menyebutkan nama seseorang. Nahloh, sepertinya aku merasakan ada yang aneh deh. Dan aku pun semakin bertanya-tanya dan menebak-nebak. ”Lumah Paisal dimana?” ujarku sambil berlagak kekanak-kanakan. Ia langsung menjawab pertanyaanku. Benar itu rumah dosenku. Benar-benar, dosen jurusanku yang sering kupinjam mobilnya. Bagaimana kalau aku culik. Kebetulan mata kuliahku yang diajarnya, dapat nilai “C”. Siapa tahu bisa jadi tebusan, hehehe. “Terus yang ini siapa?” badanku berpaling ke sebelah kiri. “Baim...,” suaranya lirih. Nampaknya memang belum akrab dengan diriku. Wajahnya menggemaskan. Seperti blasteran Jerman-Nganjuk. Jauh amat ya. Badannya gemuk berisi menggemaskan. Sepertinya orang tuanya tak pernah lupa memberi ASI dan empat sehat lima sempurna. Alisnya seperti semut beriring. Bibirnya masih merah sangat muda. Rambutnya bergaya Liam Gallagher, frontman Oasis, dengan poni menutupi keningnya. Pokoknya lucu banget deh... “Baim..sekolah dimana?” “SD...”. aku lupa nama Sekolah yang ia sebut. Yang pasti SD Negeri itu terletak di sekitar ITS. Lalu pandanganku menuju anak yang lebih besar. Ia berada disampingku. “Ayo, yang di sebelah kakak belum kenalan nih, siapa namanya?” “Fahri mas...,” “Kelas berapa sekolahnya?” “Kelas tiga,” jawabnya tegas. Tampangnya lebih sangar. Sepertinya ia adalah jagoan di sekolahan. Wah..harus pintar-pintar menjinakkan. “Terus yang pakai kopiah miring siapa nih?”. Anak-anak yang lain tertawa mendengar pertanyaanku. Mereka terus memperhatikan sosok kecil berkacamata. Giginya berbaris rapih menemani senyumnya yang lebar. Ia tersenyum karena salah memakai kopiah.
“Rochim Kak, sekolahku sama dengan Rachman, kita duduk satu bangku lho Kak!,” ia menunjuk anak di sebelah kanannya. Suara cempreng-nya mengawali pembicaraan. Gaya bicaranya sangat diplomatis. Antusiasme-nya juga aku kagumi. Aku pikir anak ini bukan anak sembarangan. Namun namanya anak-anak, pasti ketahuan tabiatnya. Jelas mereka punya sifat kekanak-kanakan. Teman-temannya memanggil singkat “Ocim”. Sedangkan Rachman sering dipanggil Abay. Karena nama lengkapnya Rachman Akbar. Bahasa kerennya Akbar adalah Abay. “Aku kembar Kak,” katanya sambil merangkul Abay. Padahal kalau dilihat selintas, tidak ada kemiripan. Ocim berkulit sawo matang sedangkan Abay putih. Mungkin yang membuatnya sama adalah hidung mancungnya seperti orang arab. Abay terlihat lebih pendiam dibanding Ocim. Sesekali matanya menerawang. Ia mirip seperti seorang peneliti yang penuh analisis. Matanya sigap memperhatikan setiap jengkal barang atau orang yang baru ia kenal. Termasuk diriku. “Siapa duluan, Ocim atau Abay,” aku memacing reaksi dari mereka. “Kata Ummi, aku lahirnya bareng kok Mas, makannya nama aku mirip,” jawab Ocim. Aku hanya mengerutkan dahi. Waduh...bisa ta bareng-bareng sekaligus? Jangan sampai aku dibohongi anak kecil. “Bareng?, yang bener Cim?” “Jadi kata Abi, Ocim mau keluar duluan dari perut Ummi, tapi karena Abay mau ikut, jadi Ocim disuruh pegangin Abay. Ocim tarik, terus kita keluar bareng-bareng deh,” ujarnya sambil memeragakan adegan tarik-menariknya. Lucu dan jujur sekali. Sangat poloslah, apa yang didengarkan, apa yang diucapkan dan apa yang dirasakan. Aku tertawa lebar. Sejurus kemudian, kami ber-hom-pim-pa. Dihitunglah abjad melalui jari-jari kami yang membuka. “Hom...Pim...Pa...nama-nama buah!,” suara kami koor. Aku mengeluarkan lima jari. Tapi Ocim dan Abay kompak dengan satu jari telunjuknya. Kemudian Fahri dan Rasya sigap sepertiku. Bedanya, Rasya menampakkan punggung tangannya. Sedangkan Fahri lebih memilih memamerkan telapak tangannya. Lalu Baim yang masih ragu-ragu hanya mengepalkan tangannya. Ia mengira kami sedang bermain batugunting-kertas. Faisal malah lebih tangkas ketika bermain. Ia langsung mengeluarkan satu jari kelingkingnya. Hatiku berujar,”Huh...sepertinya aku salah memberikan instruksi,”. Bagaimana tidak, Baim menganggap permainan ini seperti permainan batu-gunting-kertas. Fahri dan Rasya mengira sedang gambreng atau Hom Pim Pa. Sementara Faisal, Ocim dan Abay mengira ini permainan suit/sut. Tapi aku tidak ambil pusing. Biarkan mereka saling berdebat. “A, B, C......S,” aku mengurutkan huruf-huruf dari A sampai sesuai dengan jumlah jari yang ditunjukkan kami. Dan akhirnya terakhir di tangan Ocim. Berarti, S...
“Ayo, nama buah dari S apa?, siapa yang bisa?”. Wajah mereka menerawang ke atas. Mungkin sedang membayangkan pertanyaan dariku. Memikirkan nama buah yang dimulai dari huruf S. “Semangka Om..,” sahut Baim dengan cekatan. Adik yang berpipi cembung dan berkulit putih bersih ini menjawab dengan lugu. Dengan entengnya memangilku dengan panggilan “Om”. Aku hanya tertawa dengan spontanitasnya. Masalahnya bukan pada kata “Om”. Tapi masalah sifat imitasi anak alias sifat meniru. “Aku juga tahu Om, Sirsak kan Om...,” Fahri menyambut dengan gaya slengean-nya. Tuh...kan benar. Semuanya pasti akan memanggilku “Om”. Faktor imitasi itu cepat menjalar di diri anakanak. “Salak Om!” Ocim dan Abay menyambar secara bersamaan. Akhirnya mereka berdebat untuk menjadi yang pertama kali menyebut salak. “Ih...Ocim, kan aku dulu,” “Aku...” Ocim menjawabnya lebih arogan. Tangannya sudah siap melayang. Sigap aku tahan dengan kata-kata manis. “Ya sudah jangan berantem, dua-duanya benar, sama-sama salak. Kalau Ocim salak pondoh. Terus Si Abay salak condet,”. Akhirnya mereka bisa berdamai kembali. Alhamdulillah, peperangan tidak jadi pecah. “Hayo...sekarang tinggal Kakak, Rasya sama Faisal yang belum bisa jawab,” tuturku. Aku tertegun ternyata anak-anak ini pintar juga. Aku saja kalah cepat dengan otak mereka. Maklum, sudah tua. Akhirnya kami berdua saling berpikir. Sebelum itu, agar permainan lebih seru kita siapkan award and punisment. “Oh iya...nanti kalau yang kalah atau yang nggak bisa jawab, enaknya dikasih hukuman apa ya?” ucapku kepada enam anak tadi. Anak-anak itu dengan sigap membahasnya. Terutama anakanak yang tadi sudah menjawab soal. Tampang yang ditampilkan adalah tampang-tampang pemikir. “Cubit aja Kak!” ujar Fahri sambil mencubit pipi Baim yang kemerah-merahan. Wajah Baim langsung padam. Ia mencoba membalas. Fahri pun segera berlari menghindar. Semakin jauh larinya. Baim pun tidak sanggup mengejar karena bobotnya yang besar. “Ayo...Fahri sini, minta maaf sama Baim,” “Iya Kak,”. Alhamdulillah, ia menurut dan mulai memanggilku “Kak”. “Maaf ya Baim,”. Baim hanya membalasnya dengan membuang muka. Mungkin ia sangat kesal dengan perilaku Fahri. Tapi apa daya, kalau membalas, badan Fahri jauh lebih besar. Tak sanggup ia melawan. “Kalau dikelitikin gimana Om?”.
Aduh...nih anak, kok panggil aku Om lagi sih! Sudah senang hati dipanggil Kak, kok diganti Om lagi? Apa memang aku sudah mirip om-om yah? Dalam hati berujar,”Emang gua Om lo??, hehehe...” “Dijewer Om,” sahut yang lain. Semakin banyak pilihan yang ditawarkan, semakin banyak juga hukuman-hukuman yang nyeleneh. Akhirnya aku putuskan untuk tidak lagi memberikan kesempatan mereka berpendapat. “Kalau gitu, daripada hukumannya sakit semua, mending yang kalah pijitin yang menang semuanya,”. “Iya Om...,” jawab mereka serentak. Lalu kami lanjutkan permainan. Beberapa menit berselang, aku, Rasya, dan Faisal tidak menemukan lagi nama-nama buah yang diawali dengan huruf S. Lalu beberapa saat kemudian Faisal angkat bicara. “Om...singkong itu buah bukan?” “Hhhhmmm...bukan, singkong itu masuk jenis umbi-umbian,”. Sulit juga mengklasifikasi singkong. Kalau dimasukkan, sepertinya kurang elegan. “Buah dong Om, buktinya singkong enak dimakan, terus bentuknya juga kayak buah pisang,” ia memprotes jawabanku. Kalau sudah besar pasti jadi aktivis nih. “Pisang dari mana?” tuturku beragumen. Namun sayang, kebanyakan ikut mendukung Faisal. Aku kalah suara. “Ya sudah, sekarang tinggal Kakak sama Rasya. Ayo...Sya jawab dong,”. Ia masih saja menggaruk-garuk kepala. Ia juga tak bisa melepaskan jari dari mulutnya. Kabarnya, kebiasaan menggigit kuku-kukunya sudah lama ia lakukan. Kami berdua berfikir keras. Sementara anak-anak yang lain sudah tidak sabar. Kata mereka, “Menunggu itu membosankan!”. Mereka terus saja merengek bahkan menggoda. “Ayo Sya, kelamaan nih...kita hitung sampai sepuluh. Satu...Dua...,” Baim menggetarkan mulutnya. Getaran itu menyebabkan pipi kemerah-merahannya ikut bergetar. Ah...menggemaskan! Ingin rasanya mencubit. Hitungan mundurnya semakin cepat, mengalahkan cepatnya gerak jarum detik di jam dinding masjid. Wajar, wajah anak-anak itu sudah tidak sabar lagi. Mereka sudah tergoda melihat anak-anak yang lain bisa bercanda dan berlari leluasa di serambi masjid yang lapang. Hampir saja aku menyerah pada keadaan. Tak apalah harus memijiti mereka, sekalian menambah pundi-pundi pahala di bulan Ramadhan. “Aha...Kakak dapet! S.......Sirup!” aku tertawa licik berharap mereka bisa dikelabui. “Kok bisa Kak,” Rasya bertanya-tanya. “Sirup mangga apel, durian, melon, wah...Kakak dapet banyak deh!”
Fahri angkat bicara, “Yah...nakalan, gak oleh iku Mas!” (curang, tidak boleh itu Mas) “Lah...bener kan? Sirup rasa buah. Asyik...Kakak dipijitin Rasya,”. Akhirnya mereka pun bisa menerima. Aku gunakan jalan pintas. Sekarang tinggal Rasya yang kebingungan. Teman-temannya sudah menyodorkan punggungnya untuk dipijit. Rasya tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba berkelit meminta tambahan waktu. Namun selama proses lobbying, Ocim dan Abay terus saja memaksa segera dilaksanakannya hukuman. Mereka sudah bosan menunggu. Bahkan mereka juga mengancam akan berbuat onar kalau tidak dituruti. Sejurus kemudian, Ocim, Abay, dan Faisal sudah siap berdiri. Mereka ingin berlari bebas, menikmati indah dan luasnya masjid. Apalagi tangan mereka sudah gatal ingin menjahili teman-teman sebayanya. Rasya kehabisan akal tapi masih tersisa semangat. Titik kulminasi memuncak. “Eh...entar dulu. Aku dapat jawabannya!” sahutannya menghentak kebosanan temantemannya yang lain. Telinga mereka dipasang baik-baik untuk mendengar kata per kata yang dikeluarkan dari mulutnya. “Dari S kan?” tanyanya lagi untuk meyakinkan. Mereka hanya mengangguk seakan terhipnotis. Pikir mereka Rasya sudah menyerah kalah dan siap melaksanakan hukumannya. Namun pertanyaannya memancing rasa ingin tahu yang mendalam. “Ssss....” mulutnya mendesis. “Es Buah..!” ia berteriak menipu. “Ada Es Jeruk, Es Mangga, Es Pisang Hijau, hey, aku menang!” ia meloncat bahagia. Sementara Fahri terlihat sewot. Baim tidak begitu banyak berkomentar. Aku hanya ingin menenangkan. “Wah...Rasya ngikutin Mas. Tapi nggak papa, itu kreatif. Walaupun curang,” ujarku. Aku hanya tersenyum. Rasya pun lega. Walaupun yang lainnya nampak lega, tapi sebenarnya mereka tidak terima. Sudah terlanjur membayangkan nikmatnya dipijit. Akhirnya aku merelakan diri untuk memijiti mereka satu per satu. Mereka pun tampak senang. Karena sudah terlanjur kecewa, akhirnya mereka menyudahi permainan dan aku tidak bisa menahan. Bagaimana mau menahan, setelah mereka dipijit, mereka langsung pergi berpencar mencari keributan. Yah, berarti aku gagal. Sholat tarawih baru saja ditegakkan. Padahal saat ini masa tergenting. Terpaksa aku dan teman-teman merazia tempat-tempat yang menjadi basis keributan. Kami “menangkapi” mereka satu per satu. Tapi tetap saja itu tidak mengurangi suara bising anak-anak kecil. Jumlah mereka lebih banyak! Seperti yang aku sebutkan di awal. Tingkah laku mereka memang menggemaskan. Tapi terkadang mengganggu bahkan membahayakan. Coba saja lihat, anak kecil yang loncat dari tangga setinggi lebih dari satu meter. Pertama sih aman. Lama kelamaan, ia naik lebih tinggi. Dan akhirnya tidak berani loncat.
Kalau gadis-gadis kecil di bagian akhwat tidak begitu bermasalah. SC akhwat pun nampak tak kesulitan dengan kehadiran bocah-bocah lucu itu. Rata-rata mereka cuma ngobrol dengan teman sebayanya. “Waduh...dari kecil sudah jadi biang gosip,”. Minimal mereka tidak berlarilari beringas seperti yang laki. Itu pengalaman kami manjadi bapak/ibu selama Ramadhan. Kadang tarawih kami gadaikan. Ya, demi kekhusyukan jamaah yang lain. Kami berusaha menjaga itu tiap malam. Kami pun tak bosan memberitahu setiap malam sebelum tarawih, agar para orang tua menjaga anak-anak mereka dengan baik. Tapi hal terawan ketika sholat ditegakan. Anak-anak kecil itu seperti lepas pengawasan. Terpaksa, kami menggantikan posisi orang tua mereka.
Ber-KOBAR “Tidak ada perjuangan di dunia ini tanpa landasan pengorbanan,” Al Banna.
Dua agenda pembuka Ramadhan dilewati, Alhamdulillah Gema Ramadhan dan Kamera berjalan lancar. Itu baru awalan. Selebihnya, selama sebulan ke depan, kami akan dihadapkan kegiatan rutin dan insindental. Khusus untuk kegiatan rutin, stamina kami diuji di sini. Tahun sebelumnya, ketika aku jadi OC sebuah kegiatan rutin, aku sempat jatuh sakit selama seminggu dimana puasaku akhirnya bolong selama aku sakit. Itu terjadi di sepuluh hari penghujung Ramadhan. Badanku hanya tergeletak di atas ranjang. Aku pikir, sebuah kegiatan rutin tiap sore selama Ramadhan itu membuat staminaku drop. Masalahnya tak ada shift yang menggantikan. Bahkan bukan hanya aku, ada beberapa SC juga jatuh sakit. Aku hanya berharap, tahun ini tidak lagi terjadi. Aku paling mengkhawatirkan kegiatan insidental. RDK kali ini punya enam item. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, kami dipaksa jadi pembalap tour d’france atau pereli Dakkar. Bisa jadi ini setara dengan perbuatan seorang pejuang Yunani yang berlari mengabari kemenangan atas Persia di Lembah Marathon. Ini dia keenam item tersebut: 1. Sholat dan Kajian Shubuh (SKS): Tugas kami menyusun pembicara dan tema. Kemudian mengonfirmasi kesediaan pembicara yang rata-rata dosen ITS. Kalau mereka tak hadir…ini yang paling seru. Kami harus selalu siap dari balik bangku cadangan. Penonton kami rata-rata tiga puluhan orang, itu orang dengan berbagai umur. Terbanyak adalah dosen. Grogi? Fardhu kifayah hukumnya. Tergantung siapa duluan yang kena sial mendapat jatah pertama. Selebihnya belajar dari pengalaman si tumbal. 2. Ngabuburit di Manarul: acara kajian tiap ba’da Ashar sampai menjelang maghrib. Tugas kami berkoordinasi dengan LDJ. Mereka yang nanti mengurus secara detail. Ini urusan yang tak menyita pikiran. Namun, rumit urusannya, kalau LDJ ingkar dari tugasnya. Kami harus pontang-panting cari ustad pengganti. Jadi pemain pengganti? Maaf, terima kasih banyak. Masalahnya penonton kami, teman-teman kami sendiri, jauh lebih rawan terkena grogisme. 3. Wisma Manarul (Tarawih Bersama di Manarul): Tugas kami mirip SKS. Hanya saja ada tambahan tugas seperti jadi pembawa acara sebelum khotib naik pohon. Oh salah, naik mimbar. Kami membacakan jadwal khotib dan perolehan sementara uang kotak amal. Selain itu juga jadi petugas pengatur shaff, penjaga ketertiban, sampai penghitung kotak amal.
4. Kafe Berkah (I’tikaf penuh berkah): ini warisan RDK zaman Imam masjid Manarul Ustad Ma’shum masih jadi cover boy, jaman baheula. Tugasnya sama saja, menyediakan pembicara. Tambahannya hanya menyiapkan makanan sahur. Ujian terberat adalah bangun dua jam sebelum imsak, karena itu saatnya kita gelar tausyiah dari ustad sekitar kampus buat jamaah i’tikaf. 5. Fospar (Forum Silaturahim Panitia RDK): Acara ini sama seperti temu kangen panitia. Teman-teman SC, terutama SC kaderisasi, bertanggung jawab atas kemeriahan acara. Tugas kita menjadi entertainer bagi para OC. Saatnya menarik simpati dan memberi semangat. 6. Kobar (Buko Bareng): Acara ini membuat badan kita terjangkit komplikasi penyakit, dari encok pegal linu sampai migrain. Hari-hari pertama memang menyenangkan. Peserta membludak, bukti apresiasi mereka. Masamasa itu, mobilisasi kami masih cepat, rapat-rapat kami selalu kuorum, senyum sapa kami masih manis, dan sevice kami sangat sepenuh hati. Tapi coba tunggu penampakan wajah kami seminggu kemudian. Masih sama? Harapan semua orang begitu. Saat itu kami ibarat Lance Amstrong sedang menunduk di balik tugu Champs Elysees dengan yellow jersey-nya. Momen itu tak lebih dari sehari dua hari. Kemudian perjalanan jadi seperti tanjakan rumit di daerah yang hanya bisa dilalui Alberto Contador, master tanjakan dan time trial. Penonton makin lirih bersorak. Semangat kami hanya tinggal cambuk tuntutan menyelesaikan etape. Miskin motivasi dan fisik melemah. SKS benar seperti namanya, momok menakutkan. Panitia kegiatan ini diwajibkan menginap di Sekpa. Kalau tidak, mereka harus mengarungi gelapnya dan menusuknya hawa kampus saat jam setengah empat pagi. Pada kegiatan ini, OC sangat-sangat tidak bisa diandalkan. Rata-rata mereka yang di-plot di sana, paling hanya menjalankan tugas menghubungi pembicara di malam setelah tawarih dan menyiapkan souvenir pembicara. Mereka beralasan, sulit menjangkau kampus sebelum shubuh. Kebetulan jarak masjid kampus ke pemukiman mahasiswa terdekat, lumayan jauh, dan tentunya menyeramkan kalau berjalan sepagi itu. Biasanya juga, mereka bangun di masa-masa injury time menjelang peluit panjang imsak. Kami beri solusi untuk menginap di Sekpa, mereka mengaku sungkan. Okelah kalau begitu. Terpaksa SC kembali turun gunung. Empat orang SC bergantian shift per hari. Khusus untuk Dodi, ia diberikan status bebas dari amanah ini karena sorenya ia sudah berlelah-lelah mengurus Kobar. Meski ada PH yang selalu stand by di Sekpa, tentu bukan tindakan terpuji membebankan tugas ini pada mereka walau aku yakin mereka bisa melakukannya. Ini tanggung jawab kami. Mungkin faktor kelelahan. Petugas SKS biasanya selalu mengantuk saat khotib naik haji. Oh salah lagi, naik mimbar maksudnya. Kuliah dan agenda RDK yang bergabung dalam program padat karya seorang SC, jelas dituding sebagai penyebab. Lucunya, kami akhirnya terbangun
saat jamaah sudah bubar barisan. Ustad yang kami incar sedari tadi hilang begitu saja. ”Pak...souvenirnya ketinggalan,” sahut kami. Shubuh di hari-hari pertama Ramadhan seperti grafik eksponensial yang melonjak cepat berkali-kali lipat. Sampai pada satu titik, garis itu tak mengenal ujung alias menghilang. Padahal tidak ada woro-woro mau kiamat, sholat shubuh tiba-tiba membludak setara dengan sholat tarawih. Namun sepertinya anggapanku salah. Sholat shubuh saat Ramadhan sangat cocok dengan grafik distribusi normal karya ahli matematika Jerman, Friedrich Gauss. Arahnya melonjak kemudian melengkung ke belakang. Pada satu titik simetris, grafik terjun bebas sampai pada titik awal. Siklus grafik ini ditentukan dari rata-rata dan simpangan baku. Semakin besar keduanya, maka makin besar lonjakan grafik sekaligus terjun bebasnya. Pada akhirnya rata-rata itu diwakili oleh orang-orang yang memang terbiasa shubuh berjamaah masjid. Bagi mereka yang tak biasa, mereka akan gugur satu per satu, kecuali mereka yang ber-mujahadah (berusaha sungguhsungguh). Bingung? Aku juga. Mari kita perhatikan lagi Manarul dalam setiap jengkal. Tiga hari kemudian, barisan shaff setara dengan setengah sholat jumat. Sepuluh hari pertama, mulai tampak keberhasilan, shubuh jadi mirip dzuhur berjamaah saat hari aktif perkuliahan. Sepuluh hari kemudian, naik pangkat jadi setara sholat isya berjamaah. Sepuluh hari terakhir, shubuh kembali normal bersama wajahwajah lama seperti hari-hari biasa. Selanjutnya Ngabuburit. Entah siapa di antara SC RDK yang berdarah Sunda, tentu bukan aku. Dari syuro awal SC, nama ini terpilih. Sebelumnya bernama Kajian Sore di Manarul (KRSM), sekali lagi istilah perkuliahan. Tadi SKS (Sistem Kredit Semester) sekarang KRSM (Kartu Rencana Studi Mahasiswa). Mungkin pula alasan kami mengganti nama, untuk menghilangkan kesan perkuliahan menjadi istiliah umum yang populer. Apa bayangan seorang awam dengan kata Ngabuburit? Jelas, acara santai menyambut adzan Maghrib. Harapannya, mahasiswa tertarik hadir, karena tidak lagi ada perawakan kata menakutkan seperti ”kajian”, ”ceramah”, atau ”dauroh”. Tentu kami juga tak melupakan lapisan mahasiswa yang lebih agamis. Biasanya bayangan mereka tentang ngabuburit bermakna kegiatan membuang waktu menunggu bedug. Sehingga kami ambil jalan tengah. Di bawah kata Ngabuburit kami selipkan sub acara bernama Kajian Rutin Manarul (Kurma) dan Ngaji Kitab (Ajib). Perbedaannya hanyalah nama dan tema kajian. Kalau Kurma membahas ”tema sekali duduk” seperti ”pergaulan dalam Islam”, ”Puasa dan Kesehatan”, ”Hikmah Ramadhan” dll. Sementara Ajib berkutat pada sebuah kitab yang kami pilih untuk dibedah. Saat itu pilihan kami jatuh pada ”Sirah Nabawiyah”. Ajib digelar setiap Sabtu-Minggu. Jadi kira-kira ada enam kali pertemuan.
Pada acara ini, OC bergerak efektif. Tugas mereka membawa hijab pembatas ke tengah arena, menyiapkan sound system, absensi, dan terkadang jadi MC serta tilawah. Mereka juga yang bertugas memberi souvenir pada LDj agar diberikan ke pembicara. Ustad-nya sendiri merupakan hasil usaha LDJ, jadi semua kami serahkan ke LDJ. Kami hanya tentukan tema saja. Saat awal-awal, aku pernah bersitegang dengan Cak Jo. Kajian kami diusir, tak boleh digelar di ruang utama. Alasannya, ruang utama harus dibersihkan untuk sholat tarawih nanti. Aku beralasan bukankah bisa ditunda sampai nanti mendekati adzan maghrib. Perdebatan itu panjang lebar, sampai aku dipanggil ustad Ma’sum. Mana itu ustad tegas bin saklek, aku kalah suara. Akhirnya manut dulu, tunggu suasana reda. Kami terpaksa menggelar di serambi utara yang terkadang panas. Waktu itu, aku benar-benar sungkan dengan Ustad Abdurrahman, mantan Ketum PP Hidayatullah. Wajahnya bermandi keringat. Kajian sore itu diiringi terik senja mengkilap. Belum lagi, karena rencana berubah mendadak, sound system pun seadanya. Ia kehabisan nafas ketika memberi taujih di ruangan terbuka. Apalagi sekitar masjid juga tidak kondusif, bising lalu-lalang orang dan kendaraan. Setelah kira-kira seminggu, aku mendekati Cak Jo. Alhamdulillah ia luluh. Kami diizinkan dengan syarat, 20 menit sebelum adzan, kajian harus bubar karena lantai mau dipel. Oke Bos, kami berusaha. Dalam perjalanannya, kami ternyata yang melanggar janji. Aku tak bisa menghentikan ustad dan peserta yang sedang asyik berdiskusi. Untungnya, Cak Jo bisa menghargai toleransi. Terkadang ada donatur kasih bonus. Di tengah-tengah kajian ada doorprize. Atau paling tidak saat akan berbuka, peserta kajian dapat paketan kurma, buah kismis, dan soft drink. Cuma kami tak bisa pastikan, kapan hari itu terjadi. Tergantung kiriman donatur yang kadang datang penuh pengertian. RDK sebelumnya aku jadi OC acara itu. Kebetulan saat itu, jadwal kuliahku tidak ada yang sore. Namun ada beberapa mata kuliah baru selesai jam 15.00. Biasanya aku stand by di masjid saat adzan Ashar. Kalau ada kuliah, aku sholat di jurusan, lalu terbirit-birit ke masjid. Setelah sholat Ashar atau sampai di masjid, aku menyalakan mikropon. ”Kepada jamaah yang memiliki waktu luang. Silahkan berkumpul di ruang utama manarul. Pukul 15.30 akan ada kajian yang akan diisi oleh ustad bla,bla,bla dengan tema bla,bla,bla,” tuturku di ujung mikropon jepit. Tiap hari aku lakukan itu dan terkadang mengulanginya berkali-kali bila tidak ada satu pun jamaah yang mau duduk di ruang utama. Padahal ustadnya sudah di atas mimbar. Sungkan aku. Solusi selain berkoar di mulut mikropon adalah dengan melakukan direct action. Biasanya banyak mahasiswa duduk-duduk di sisi luar masjid. Bahkan beberapa sedang asyik berpindangpindang ria di serambi masjid sambil menikmati sepoinya angin. Aku langsung mendatangi. ”Nganggur Mas?” ”Sibuk,”
”Sibuk apa?” ”Ibadah,” jawabnya sambil ngulet kayak ular keket. ”Tidur pun ibadah,” kata dalil. ”Ikut kajian yuk!” ”Saya baru aja ngaji satu juz sekali duduk. Tuh liat bibir saya dower kan?” dia ngeles. ”Kajian ini beda Mas. Ustadnya seru. Temanya juga menggoda. Mas nanti tinggal duduk aja. Ndengerin ustadnya komat-kamit,” argumenku. ”Siapa?” ”AA Tri,” ujarku memberi tahu nama ustad. Dia Pak Tri. Iya...iya...Ketua TPKI itu lho. Supaya terdengar AA Gym, maka ketika sampai pada kata Tri, lidatku bersilat jurus lutung kasarung menyaru ucapan. ”AA Tgggriiiiimmmm,”. ”Apa?! AA Gym. Temanya apa?” Ia sedikit tak percaya. Nyawanya belum kembali, matanya masih memerah ngantuk. ”Seru. Tentang kisah-kasih anak muda,” ini bagian dari strategi marketing. Padahal materi sebenarnya adalah mengapa ayat Al Quran suka menganalogikan pahala dan dosa dengan biji sawi. Bukan proton, neutro, atau elektron yang lebih kecil lagi. Pak Tri yang doktor Fisika itu akan menerangkan teori-teori mulai John Dalton sampai Niels Bohr. ”Yaudah deh aku ikut,” ”Nah gitu dong,” tipu muslihat yang manjur. Aku berlalu pergi dan berhenti ketika ia memanggilku lagi. ”Eh Mas. Nanti dapat takjil nggak?” Aku mengangguk, ”Special for you”. Biji kurma sisa kemarin. Saat itu aku bahagia sekali ketika melihat daftar hadir kajian mencapai angka 20 orang. Aku merasa bersalah bila sang ustad berteriak-teriak di depan lima kepala gundul-gundul, mereka masih mahasiswa baru. Biasanya mereka datang sebagai pelarian dari jurusan. ”Daripada nongkrong di jurusan, nanti ketemu senior,” ujar seorang Maba yang tak mau disebutkan jati dirinya. Maklum, masih OSPEK, muka-muka senior lagi ganteng-gantengnya. Apa ini kegagalan? bisa iya, bisa tidak. Kenyataanya tiap tahun berlangsung seperti itu, walau promosinya besar-besaran. Tapi belum pernah aku dengar seorang ustad kajian sore ini mengeluh karena pesertanya sedikit. Tiap kali aku berucap maaf karena sedikitnya peserta, mereka selalu berucap,”Nggak apa-apa. Dulu Rasulullah juga berdakwah di depan (sangat) sedikit orang,”. Masalahnya jadi tambah rumit kalau ustad tidak bisa datang. Peserta sudah berkumpul di lokasi, walau sedikit, tetap saja menunggu itu membosankan. Satu per satu dari mereka pergi,
bahkan ada di antaranya yang tak kembali sampai RDK tahun-tahun berikutnya. Menggantikan ustad itu sama saja dengan kecelakaan sejarah. Selepas Ngabuburit, tak ada lagi waktu istirahat. Kami langsung berkumpul di serambi barat selatan. Di sana sudah bersiap sepasukan Kobar. Para jamaah pun sudah berkumpul melingkar membentuk kelompok-kelompok. Kami membagikan makanan selama setengah jam. Para panitia harus rela buka hanya dengan segelas air putih. Mereka harus segera mengirim makanan. Kalau tidak, para jamaah meronta-ronta, ”lapar...lapar...haus...haus..,”. Setengah jam kemudian, bagi-bagi makanan telah selesai. Baru saat itu kami bisa makan dengan tenang. Sialnya, kalau makanan telah ludes dibagikan. Kami harus membeli lagi ke Keputih atau Gebang. Alhasil, sepuluh menit sebelum isya, baru kami bisa memulai makan dengan senikmatnikmatnya karena perut berdendang keroncong. Tepat adzan Isya, makan selesai. Kami kerja lagi. Siklus monoton nan memberatkan. Wisma datang menghadang. Panitia siap-siap membacakan susunan acara. Sholat tarawih ditegakkan. Walau hanya sebelas rakaat, Manarul bukan tempat pujaan para mahasiswa. Tarawih baru selesai pukul 20.30. Beda ceritanya kalau sholat di seputaran Gebang atau Keputih. Idola mahasiswa adalah sholat di masjid dengan imam kecepatan 23 rakaat, sedangkan mahasiswa mengambil ijtihad 8 rakaat. Pukul 19.00 berangkat, jam 19.30 sudah di kos, nonton TV atau mengerjakan tugas. Tentang Kafe Berkah di sepuluh malam terakhir. Namanya memang memikat. Ternyata tak ada kopi yang bisa dipesan cepat. Pagi buta kami dipaksa bangun. Padahal biasanya jam sebelas kami baru bisa pejamkan mata di Sekpa. Pertamanya semangat, selanjutnya bangun pasti telat. Bahkan ada beberapa panitia yang akhirnya tidak sempat sahur. Banyak alasannya. Kegiatan rutinan ini begitu berkesan. Bagaimana tidak, kami melakukan suatu hal yang berulang. Aktivitas menghubungi pembicara, menjadi pembawa acara, memberi souvenir, memasang hijab, membagikan ta’jil atau makan sahur, dan banyak hal kecil yang membuat kami larut dalam kesibukan. Kalau dihitung-hitung, sudah ribuan orang yang memandang kami riwa-riwi ke sana ke mari, autis dalam tugasnya masing-masing. Tugas-tugas memang terbagi secara tertulis, hitam di atas putih namun tanpa materai. Seperti misalnya, Farhan penanggung jawab Ngabuburit dan Wisma, Dodi di pos SKS dan Kobar, Azhar di Fospar, dan Marwan di Kafe Berkah. Dalam perjalanannya, karena ini kegiatan rutin, kami harus gonta-ganti shift. Prinsipnya, barang siapa pada waktu itu tidak sedang memegang tanggung jawab kegiatan dan dia kosong kuliahnya, wajib hukumnya membantu kegiatan yang sedang berjalan. Tidak boleh ada acara dimana tak ada satu pun SC di sana. Bukan tidak percaya terhadap OC, semua harus dipikirkan tanggung jawab tetap di tangan SC, walau di lapangan OC yang bergerak. ***
Apa acara RDK yang paling sukses dari tahun ke tahun? Jawabannya mudah, buka puasa bersama. Dulu bernama Bursa, akhirnya kami ganti jadi Buko Bareng (Kobar). Sempat terpikir memakai nama Bubar (Buka Bersama), takutnya nanti acaranya benar-benar bubar. Kobar memiliki makna semangat yang membara. Agar panitia bersemangat memberi pelayanan terbaik, agar pula jamaah bersemangat untuk pergi ke Manarul menikmati sajian kami. Rasanya pantas kalau aku perlu beri jeda khusus untuk Buko Bareng (Kobar). Ramadhan hadir sebagai berkah bagi seluruh mahasiswa, terutama mahasiswa rantau. Hari-hari itu, para mahasiswa bisa menghemat uangnya dan menabung lebih banyak. Kalau mereka cerdas, bahkan bisa memangkas bersih uang makan harian. Kisah beberapa kawan angkatanku mungkin unik. Mereka punya database lengkap berisi kolom, tanggal, nama masjid, menu sahur, menu buka, dan keterangan khusus. Data dalam file excel itu berlembar-lembar, menyaingi file excel di tugas merancang. Misalnya, Masjid Manarul tanggal dua Ramadhan menyajikan menu dua tahu, satu tempe, dan satu kerupuk ukuran sedang. Minum air putih ngambil di ”kolam”. Kemudian di hari yang sama, di masjid Asrama Haji, menunya ayam goreng dan perkedel. Minum Es Buah. Catatan khusus di Manarul, walau porsinya sedikit, kesempatan untuk dapat lebih besar karena melimpah. Begitulah analisis mereka sebelum menentukan buka puasa dimana. Jangan heran kalau selama Ramadhan, mereka melakukan safari dari satu masjid ke masjid survey. Pertama untuk mengenal menu-menu baru, kedua menambah data referensi untuk tahun berikutnya. Bahkan mereka sampai hafal kebiasaan di suatu masjid. Celah-celah untuk mendapatkan ta’jil sudah bisa terbaca. Namun, sampai saat ini belum ada metode yang bisa memastikan seminggu ke depan menunya apa saja. Mereka hanya menebak-nebak melihat siklus yang terjadi. Itu tergantung panitia buka puasanya. Kalau ada uang, kita makan enak, kalau tak ada, makan satu tahu cukup. Kehadiran acara buka bersama di Manarul, sedikit banyak membantu mahasiswa. Tiap harinya ada sekitar 700 orang berkumpul untuk buka bersama, 98 % adalah mahasiswa. Sementara untuk Sabtu-Ahad, mahasiswa yang buka bersama hanya 500 orang. Kebanyakan mahasiswa asli Jawa Timur memilih berakhir pekan di kampung halaman. Total pengunjung Kobar selama Ramadhan adalah rata-rata perhari jadi 400, dikali 25 hari, sama dengan 12.000 orang, fantastik! Tiap harinya, kami gelontorkan dana sekitar 2,5 juta untuk membeli ta’jil, makanan, dan minuman. Tiap hari pula kami harus berhubungan dengan lima penjual nasi, yang berlainan dari hari ke hari. Alasannya, supaya keberkahan bulan Ramadhan bisa dirasakan banyak penjual makanan. Kurang lebih, kami sudah bekerja sama dengan 15 penjual nasi. Mulai dari warung seperti warung Barokah, Emak, Pink, Sederhana, Lima Belas sampai Ibu-Ibu Program Kakak Asuh binaan Departemen Peduli Umat JMMI. Biasanya tiap warung kami jatah seratus bungkus. Jelas, ini merupakan rezeki nomplok. Sebelum Ramadhan ada beberapa penjual yang datang ke Sekpa meminta jatah. Lalu kami
seleksi apakah makanan layak dan sesuai harga. Bila iya, kami lakukan uji coba. Apa makanan itu sesuai dengan perjanjian. Bila iya, ia akan dapat tender beberapa bungkus. Kalau tidak, namanya masuk black list. Masalahnya, ini uang umat. Kami harus bertanggung jawab atas amanah ini. Ada beberapa donatur menyaratkan menu-menu tertentu. Ya, kami harus belikan sesuai amanah. Ada sebagian kecil donatur yang memberi bungkusan nasi, mungkin khawatir kalau memberi uang pada panitia, tidak dibelikan makanan yang layak. Padahal kami berusaha untuk memberikan selayaknya, sesuai dengan budget yang ada. Kami sudah lama di ITS, tahu mana barang mahal dan mana barang murah. Total selama Ramadhan, Kobar sendiri telah menghabiskan dana Rp 58.512.100. Perhitungan itu di luar perhitungan total acara RDK yang lain, mencapai Rp 28.018.500. Total keseluruhan hampir 80 juta. Alhamdulillah, angka menakutkan itu mampu tertutup atas kerja keras tim dana. Bahkan kami bisa menabung sekitar 8 juta rupiah untuk RDK selanjutnya. Semuanya bukan karena kebetulan. Kami menempa tim dana dengan baik. Poin ini yang tidak dilakukan RDK sebelumnya, sampai-sampai kami memulai RDK dengan saldo kurang dari sejuta. Itu pun hilang digondol maling. Jadi modal kami nol rupiah. Target terbesar RDK kami memang memperbaiki keuangan. Jangan heran kalau acara kami standar-standar saja. Harapannya, adik-adik kami bisa menggelar acara jauh lebih baik dari kami karena sistem keuangan sudah kami tancapkan. Keputusan terpenting kami adalah memisahkan Kobar dari kegiatan RDK lainnya. Kami bentuk tim khusus yang punya kapasitas dan jumlah sama dengan panitia total RDK. Mereka bergerak independen, namun terintegrasi dalam forum komunal SC. Kami tahu, kesalahan terbesar RDK adalah tak sigap menghadapi sprint jarum jam. Sebulan sebelum Ramadhan, kami sudah selesai menyebar lembar donasi dan proposal RDK. Bergerak terpisah, panitia Kobar juga melakukan hal yang sama. Terutama masalah dana, uang dari RDK dan Kobar tak bisa dicampur aduk. Walaupun panitia Kobar kekurangan uang sepuluh ribu pun, haram hukumnya bagi panitia pusat RDK membongkar kasnya untuk menutupi itu. Begitu sebaliknya. Jadi tak ada sikap saling mengandalkan. Setelah proposal dan lembar donasi tersebar, selama sebulan itu kami bertugas mengonfirmasi. Check list dibuat rapih agar mudah diperiksa, accepted or rejected. Tanggapan ramah sampai makian bukan hal yang baru bagi tim penggali dana. Aku pernah dengar cerita OC yang dibilang peminta-minta seperti gelandangan di perempatan jalan raya. Malah katanya, fisiknya yang masih muda harusnya dibuat bekerja bukan mengemis. Memang siapa pula yang mengemis? OC itu sudah meyakinkan, tapi ceramah calon donatur itu tambah panjang. Akhirnya ia menyumbang sepuluh ribu. Alhamdulillah, daripada tidak sama sekali.
Pernah juga OC dana menghubungi sebuah rumah. ”Halo, Asslamualaykum..bisa bicara dengan Pak Fulan. Kami dari panitia RDK...,”. Setelah berpanjang lebar menyebutkan maksud kami, menawarkan form donasi, penerima telepon menjawab singkat. ”Maaf Mas, Pak Fulan sudah meninggal tahun kemarin. Masih mau bertemu dengan beliau?”. Hanya maaf yang bisa diucapkan. Lewat data dari Biro Administrasi Kampus, kami melacak alamat-alamat dosen. Mulai dari sekitar Perumahan Dosen (Perumdos) sampai yang di pucuk kota Surabaya. Untuk sementara kami berusaha memaksimalkan Perumdos. Kami tahu siapa di antara mereka yang muslim, bahkan tahu di antara mereka yang terkenal agamis dan punya potensi donasi lebih. Patut rasanya kami berterima kasih pada panitia RDK sebelumnya. Pengalaman mereka membuat kami tak terjerumus dalam lubang yang sama. Dulu mereka mengandalkan kotak amal sholat tarawih untuk menutupi biaya RDK. Sekarang, kotak amal itu utuh. Sampai akhir Ramadhan, jumlah kotak amal sebesar Rp 21.765.600. Setiap kami bacakan saldo kotak amal tarawih di depan para jamaah tarawih, mereka tampak heran. Terutama bapak-bapak pembina kami. Biasanya uang itu ludes untuk buka bersama. Sekarang, kami tak mengandalkan itu lagi. Dan uang itu bisa dimaksimalkan untuk keperluan masjid yang lain di luar RDK. Oh iya, kami juga pantas mengambil hikmah. Ada donatur-donatur yang tak segan menggelontorkan puluhan juta rupiah untuk menyukseskan RDK. Uang itu bukan kolektif seperti sumbangan dari perusahaan dengan dana Corporate Social Responsbility (CSR). Murni dari kantong pribadi. Mereka sangat ikhlas. Sudah begitu, ia juga tak mau disebutkan namanya sebagai ucapan terima kasih. Aku jadi terinspirasi. Kebanyakan dari kita, mendahulukan sombong ketika beramal. Kita menghitung nominal uang yang kita sisihkan, lalu dibandingkan dengan orang-orang di sekitar kita. Ada beberapa donatur yang merasa, sumbangan uangnya yang ”hanya” sebesar lima puluh ribu itu bagai sebuah pemberian maha dahsyat pada ”peminta-minta” seperti kami ini. Padahal tidak. Kami menemukan banyak donatur berpikir pendek ketika beramal. Mereka bertanya,”Kamu butuh berapa?”. Kami jawab,”Kira-kira seperti tertera di proposal,”. ”Yasudah, besok saya transfer,”. Besoknya, rekening kami bertambah lima juta. Kejadian ini tidak sekali dua kali, sering kami dapati. Kalau kiranya kami peminta-minta, tidakkah mereka menghitung berapa liter bensin untuk menuju rumahnya? Tidakkah mereka berpikir Surabaya sangat terik, padahal kami sering kehabisan air atau kelaparan di jalan? Itu bentuk sumbangan tidak langsung. Kadangkala, panitia menyisihkan uang bulanannya untuk membiayai operasional RDK yang tak terhitung dalam proposal. Aku harus berapresiasi atas apa yang teman-teman panitia lakukan. Mereka tak menghitung itu semua. Bahkan kebanyakan tidak mau mengaku bentuk pengeluaran untuk RDK yang datang dari dompetnya.
Dana selesai, datanglah hari-H. Berbeda dengan panitia pusat RDK, panitia khusus Kobar harus bekerja dua kali. Selain menggalang dana, mereka juga mengelola acara. Kalau acara RDK lainnya, lini bisa bergerak masing-masing. Misalnya, sayap dana bertugas mencari uang. Selanjutnya diserahkan ke pusat untuk kemudian dibagi rata sesuai kebutuhan. Ketika hari-H, semua panitia Kobar turun ke lapangan. Sudah tidak ada lagi batasan SC atau OC, semua memikul nasi untuk dibagikan, Mereka juga memanggul galon yang jumlah kebutuhan tiap harinya sampai 15 galon! Mereka harus tahan menunda makan. Ketika masih ada suara,”Mas, bagian sini belum kebagian,”. Mereka tak akan berhenti bergerak ngalor-ngidul. Telat makan, apalagi biasanya dapat porsi sisa, bisa menyebabkan beberapa panitia akhirnya jatuh sakit. Sejak pukul 16.00 mereka sudah stand by padahal adzan maghrib masih dua jam lagi. Pekerjaan pertama mereka adalah mencuci gelas yang jumlahnya ratusan. Pekerjaan kedua membersihkan tikar tempat gelas dan makanan. Pekerjaan ketiga, meracik syirup atau teh di atas panci besar. Cara mengaduknya saja seperti mengaduk dodol. Masalah terpelik, kami sedang puasa dan tak bisa menyicipi sirup itu. Maksudnya, apa sirup itu sudah terasa manis atau masih hambar. Namun beberapa panitia OC punya feeling tepat. Ia tahu kadar perbandingan sirup dengan air. Setelah itu mereka menaruh gelas yang sudah bersih di atas tikar, kemudian menuanginya satusatu. Butuh kesabaran luar biasa ketika menuangi ratusan gelas. Kadang kalau terburu-buru, gayung penuang kami gerakkan cepat dari satu gelas ke gelas lain, seperti robot. Alhasil, takaran tiap gelas berbeda. Sebelum adzan maghrib, para jamaah sudah menyemut di tempat minum. Mereka mengantri untuk ambil minum. Jatah per orang seharusnya satu, namun terlihat banyak mahasiswa membawa dua. Mereka malas mengantri lagi. Adzan maghrib tiba, suasana makin tidak terkendali. Semua orang hendak membatalkan puasanya. Semua berkumpul pada satu titik, tempat ratusan gelas itu berbaris. Setelah qomat, suasana baru reda. Mereka berwudhu dan menunaikan sholat. Tiap maghrib, sholat bisa sampai di atas lima shaff panjang. Setelah sholat, panitia OC menyampaikan woro-woro. Semua jamaah yang ingin buka bersama diwajibkan kumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Tiap kelompok berisi empat sampai enam orang. Ini keputusan panitia. Nantinya tiap kelompok akan mendapat jatah pembagian nasi dengan rumus n-1 (jumlah manusia minus satu). Artinya bila sekelompok berisi enam orang, maka nasi yang dibagikan lima. Atau kalau ada lima orang, nasi yang diberikan hanya empat. Beberapa jamaah nampak kecewa. ”Buka di Manarul nggak kenyang,” begitu komentar mereka.
Kejadian ini berlangsung selama tiga hari di awal Ramadhan. Waktu itu kami salah perhitungan. Kami pesan 700 bungkus, ternyata yang hadir hampir 800 orang. Masalah lain, waktu itu kami masih mengira-ngira seputar dana. Kami belum yakin dana itu bisa menutup sampai akhir Ramadhan. Ada hikmahnya juga. Mereka jadi lebih akrab, karena cara makannya penuh kekeluargaan, persis saat pengaderan (OSPEK). Empat bungkus tadi dijadikan satu, dan lima orang itu makan bersama di atas satu tumpukan nasi dan lauk. Kelihatan siapa yang rakus dan siapa yang kurus. Kira-kira seminggu, panitia menjatuhkan putusan pembagian nasi dengan rumus n=n. Jumlah manusia sama dengan jumlah nasi. Itu didapat setelah kami yakin uang akan cukup sampai Kobar selesai. Jamaah pun tampak senang. Walau ada rumus n=n, ada beberapa jamaah yang tetap membudayakan duduk melingkar dan makan bersama. Rata-rata mereka adalah teman-teman sejurusan, teman se-Lab., atau teman sekos, sedang mencari peruntungan di Masjid Manarul. Suasana baru tenang sekitar pukul 18.30 atau lima belas menit sebelum adzan Isya. Saat-saat itu panitia menikmati buka puasanya. Panitia yang cerdik sekaligus licik, biasanya sudah membooking sebungkus dengan menu makanan yang ia sukai. Sementara jamaah buka bersama harus harap-harap cemas kalau-kalau bungkus itu berisi tahu-tempe, bukan ayam atau telor dadar.
Ikhlas Minggu kedua Ramadhan, kami menggelar acara di Rektorat. Ini acara baru, RDK sebelumnya tidak ada. Kami berharap bisa merangkul segmen dosen dan karyawan di ITS. Maklum, selama ini kami banyak berkonsentrasi di segmen mahasiswa. Tidak ada perhatian khusus untuk dosen dan karyawan (Doskar), walaupun mereka sudah banyak mewarnai di agenda seperti ceramah tarawih, tausyiah ba’da shubuh atau di kajian sore. Nama agendanya Pengajian Eksekutif Ramadhan (PER). Kali itu kami mengundang Ustad Sholeh Drehem, Ketua Ikatan Dai Jawa Timur, salah satu ustad langganan ITS yang kukagumi selain ustad Abdullah Shahab. Aku berharap banyak, acara ini bisa telak mengenai sasaran tembak, dosen dan karyawan. Acara dimulai ba’da Ashar. Akh Hasanudin yang nantinya jadi ketua umum JMMI, bertugas sebagai OC penanggung jawab. Jelas saat itu kami kekurangan panitia. Di saat yang sama, di masjid manarul kami menggelar kajian rutin sore. Panitia lainnya juga seperti biasa sibuk mempersiapkan konsumsi untuk buka bersama. Semuanya serba berantakan. Undangan yang kami kirim jauh-jauh hari ke dosen dan karyawan melalui struktur terkait seperti jurusan dan UPT, tak ada respon positif. Terbukti, saat jam-J, menit-M, belum ada peserta pengajian yang datang. Baru setelah itu, beberapa ibu-ibu datang. Bodohnya, kami belum mempersiapkan apa-apa. Pikir kami, semua persiapan ruangan dan perlengkapannya sudah dilakukan pegawai Rektorat. Nah, aku lupa kalau kami harus memasang backdrop. Alhasil, aku bersama Farhan memasang spanduk itu di depan para ibu-ibu tadi. Untungnya, mereka memaklumi kelalaian kami. Cukup menyulitkan memasang spanduk di Rektorat. Tempatnya yang tinggi dan spanduk yang panjang dan lebar, menyulitkan pemasang yang hanya berjumlah dua orang. “Mas...kurang ke kiri.” ujar salah satu di antara mereka mengarahkan kami saat memasang spanduk. “Sudah cukup Bu?” “Yah...sekarang kurang ke kanan,” “Sudah?” “Masih miring Mas. Yang sebelah kanan kurang ke atas,” “Sudah Bu? Pegel nih..,” “Belum...yang bawah masih kelipet,”
Kejadian itu berkutat selama sepuluh menit. Otot bisep dan trisep mulai mengeras. Aku merintih kesakitan, begitu juga Farhan. Kami putuskan menyudahi pemasangan spanduk seadanya saja. Terpenting, spanduk itu bisa terbaca. “Sudah Bu. Yang penting enak dilihat saja,” Mereka tertawa sejenak, kemudian memulai obrolan sesama ibu-ibu yang sempat terputus akibat kami memasang spanduk. Namanya ibu-ibu, kalau nggak komentar nggak enak. “Mana nih ustadnya. Sebenarnya jadi nggak sih acaranya?” “Tenang Bu...jadi kok,” “Kok AC-nya nggak nyala?” “Tenang Bu...saya panggilkan karyawan di sini,” “Nanti ada buka bersamanya juga kan?” “Wah...kalau masalah itu nggak ada Bu,” candaku. Di luar ruangan, kami sudah mempersiapkan es buah, makanan catering, dan segala macam yang berbau kemewahan. Kami memesan untuk 100 orang. Tapi saat ini yang hadir kurang dari sepuluh orang. Saat itu, aku hanya bisa memendam rasa kecewa. Aku pergi ngeloyor keluar. Aku telepon Akh Hasan yang sedang menjemput Ustad Sholeh. Menurut prosedur, sebelum Ashar ia harus sudah di rumahnya. Setelah menunaikan sholat, ia harus segera membawa ustad ke ITS. “Akh..ente ke sini nggak naik becak kan? Lama banget...,” “Ane jam empat ada kuliah Akh,” “Terus siapa yang jemput?” “Nggak tahu. Tapi tadi Ustad Sholeh ane telepon katanya mau datang sendiri,” “Alhamdulillah,” ucapku lega. Ia segera memotong, “Tapi ya gitu akh, bener kata antum. Beliau naik becak, hahaha”. “Ah, antum bisa saja. Sudah kuliah sana. Kalau sudah selesai, langsung ke TKP ya,” kami tutup pembicaraan di kala para peserta PER sudah berduyun-duyun datang. Alhamdulillah, jumlah mereka meningkat. Jadi 20 orang, tentu dari target 100 orang. Ya...disyukuri saja. Ustad Drehem akhirnya datang jam empat lewat. Saat itu ia diantar putranya. Tungkai kaki Pak Drehem diperban kencang, ia pun berjalan pincang. Tiap tangga rektorat yang tinggi itu ia titi dengan sangat perlahan. Berat sekali jalannya. Aku yang sedari tadi sudah menunggu tak sabar,
bergumam dalam hati,”Ayoo...ayoo...ayooo Ustad, anda bisa, anda bisa mencapai tangga terakhir,”. Kharismatik, itulah gambaran pas dari sosok Sholeh Drehem. Wajahnya mirip ustad Shahab, sama-sama Arab. Kalau dia sedang melantunkan ayat suci Alquran, dunia serasa ditumbuhi bunga dari taman syurga. Ia tak seperti kebanyakan penceramah yang banyak mengobral ayatayat Allah. Ia biasa melakukan pendekatan deskriptif pada suatu masalah sosial. Tidak selalu dihubungkan dengan aksara arab atau literatur arab. Ustad ini lebih sering mengombinasikannya dengan ilmu alam, kedokteran, sosial-politik dll. Acara itu hanya aku dan Farhan yang memborong. Setelah kami pasang spanduk dan jadi penerima tamu bagian ikhwan, kami jadi pembawa acara dan pembaca quran lengkap dengan sari tilawahnya. Kami gemetaran berhadapan dengan dosen-dosen. Canggung! Tapi mau bagaimana lagi, cuek saja lah... Ustad Drehem menyampaikan banyak hal tentang keberkahan puasa. Aku hanya menatap inti, keikhlasan. Aku ingat saat Ustad Drehem memberi kami semangat. “Walau kajian ini yang datang sedikit,” katanya. Mudah-mudahan semua yang hadir di sini mendapat keberkahan Ramadhan itu, termasuk panitia yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Ketika itu Pak Tri langsung menengok kepada kami. Ia tersenyum. Hati kami berbunga-bunga. Tiba saat adzan Maghrib. Adzannya sih masih tetap sama, suaranya Cak Jo. Tapi takjil dan makan berat yang kita terima jauh berbeda. Hore...seperangkat masakan padang bersama kurma dan es buah. Ini baru yang namanya perbaikan gizi. Kami lihat Bapak-Ibu Doskar senang dengan acara ini. Alhamdulillah.
Melelahkan, Behind the Scene Konsep kelelahan yang dulu pernah aku jabarkan, terjadi juga. Semua panitia mengalami kelelahan setelah melewati sepuluh hari pertama. Agenda rutin dan insidental menghajar wajah dengan hook, jab, cross, dan upper cut. Babak belur. Itu sudah aku duga sebelumnya. Tugas kuliah seakan tak peduli. Mereka datang di saat yang sangat tidak tepat. Jadwal rutin kami selama seharian, hanya luang di waktu siang. Saat-saat itu hanya bisa dialokasikan untuk kuliah. Coba pikir, adakah waktu untuk mengerjakan tugas? Malam habis tarawih? Ketiduran. Pagi habis subuh? Ngantuk-ngantuk. Selepas adzan Ashar, tak ada waktu untuk bersantai. Berikut beberapa kesalahan akibat kelelahan. Awal SKS kami selalu jadi pemain terdepan yang memperhatikan dengan sepenuh hati. Semangat kami seperti seorang prajurit mendengarkan titah komandan saat musuh di depan. Di sepuluh hari kedua, kantung mata mulai bergelayut. Kami mulai ambil strategi. Setiap khotib naik mimbar mengisi kajian, kami pura-pura batal wudhu. Padahal, sekedar keluar dari ruang utama, supaya dengkuran tidak menggema. Di luar kami bersender di tiang pondasi masjid. Kata anak-anak Sekpa, kenikmatan paling besar dalam hidup adalah “tidur ba’da shubuh”. Ada-ada saja. Kalau ada yang berani nekat, tetap di tengah-tengah jamaah yang serius mendengarkan, jangan salahkan aku kalau sang khotib terbata-bata mengikuti naik-turun nada dengkuran. Ini bukan tidak pernah terjadi. Salah satu panitia, sebut saja Bunga, pernah membuat heboh karena dengkurannya terekam di mikropon. Kebetulan ada dua mikropon yang sedang on fire. Satu di atas mimbar, satu lagi tergeletak di atas sajadah imam. Nah, kebetulan Si Bunga sholat persis di depan imam. Ketika Subuh usai dan khotib naik mimbar, kebodohan itu terjadi. Suara itu, walau lirih, terdengar jelas di seluruh pengeras suara di bagian dalam masjid. Kebetulan saat itu yang dipakai pengeras dalam. Coba seandainya pengeras luar, bisa geger satu ITS. Beberapa jamaah tersenyum. Sebagai teman yang baik dunia dan akhirat, beberapa dari panitia bergerak sigap mengamankan pelaku. Setelah colekan-colekan mesra di pahanya, ia bangun. Bunga digiring ke pos terdekat. “Nah…kalau di sini kamu ngorok seriosa juga boleh,” ujar “polisi” setelah sampai di tiang pondasi sebelah selatan masjid. Sayang, tidur di masjid Manarul ba’da subuh, berbahaya bagi kesehatan. Muka bisa seperti Gajah Mada. Serangan nyamuk masjid lebih gila. Mereka tak punya aturan main. Beda dengan nyamuk Sekpa, mereka masih punya rasa peri kenyamukan. Nyamuk Sekpa hanya mengincar kaki atau lengan. Gigitan nyamuk masjid juga nggak nahan. Kalau nyamuk Sekpa cuma coblos
jarum pentul, mereka minum pakai sedotan, besar banget mulutnya. Tentu, bentol yang mengembang juga lebih seksi. Tidak tahu apa sebabnya, tidur jadi anarkis. Ada kosong sedikit, hajar. Tidak tahu tempat, tidak tahu waktu, yang penting hajar. Sikap hidup yang sering diartikan ibadah saat Ramadhan itu, melanggar jam-jam pamali. Misalnya, habis Subuh dan habis Ashar. Kata orang-orang dulu, zaman walisongo masih sering jalan-jalan ke kampung-kampung, menasehatkan agar umat muslim mematok rezeki sebelum ayam bangun dan selesai bekerja setelah ayam buta. Saat Ramadhan, prinsip itu tak bisa dijalankan. Lapar dahaga kabarnya memberi efek domino pada perut dan mata. Toleransi berkurang dibuktikan dengan dipangkasnya durasi kuliah per SKS. Beberapa penelitian menyebutkan kalau Ramadhan bisa membantu efektivitas kerja. Katanya kejernihan pikiran seorang yang sedang berpuasa, bisa membuat kerja lebih cepat. Kenyataannya justru sebaliknya. Aku tak tahu mengapa. Apa memang karakter orang Indonesia lenjeh-lenjeh (lemah-lemah)? Setahuku di belahan bumi yang periode imsak dan berbukanya sampai sehari semalam masih bisa menjalankan itu. Apalagi umat muslim itu tinggal di daerah mayoritas non muslim, tentu tak ada toleransi bagi mereka. Lihat para pemain bola seperti Frederic Kanoute, striker calon legenda Sevilla. Ia masih bisa bermain 2x45 menit dan berlatih empat jam sehari selama seminggu. “Puasa bukan berarti menghentikan aku mencetak gol,” katanya. Tapi beberapa kawan di Sekpa, membuktikan penelitian itu. Kata sebagian PH, puasa adalah saat-saat materi kuliah bisa masuk dengan jelas. Rata-rata mereka rajin puasa Senin-Kamis atau ayyamul biidh (puasa tengah bulan). Aku belajar dari mereka. Setahun terakhir sebelum Ramadhan ini, aku coba biasakan. Beratnya. Berpuasa di Surabaya pada hari biasa seperti musafir kehilangan unta dan berjalan di tengah padang pasir tak berujung. Ketika sore hari, kajian digelar. Jadwal 15.30 lama-kelamaan berubah menjadi 16.15. Penyebabnya, setelah ashar, panitia leyeh-leyeh merebahkan badan. Pengalaman kami mengajarkan kalau pembicara biasanya datang telat. Kalau bukan karena ustadnya sudah datang, panitia tak akan bangun untuk mempersiapkan. Setengah tertatih panitia mengangkat hijab. Setengah hati mengangkat “meja belajar” ustad. Ketika kecil, aku memanggilnya “lekar”, meja tempat mengaji. Bodohnya, pernah ada seseorang menghampiri kami yang sedang ber-leyeh-leyeh. Mereka bertanya anak-anak masjid yang biasa mengurusi kajian. Pikir kami, ia jamaah yang akan ikut kajian. Kami pun berkata dengan malas-malasan,”Tunggu Pak, sebentar lagi,”. Ia menjawab,”Oh begitu ya. Tempat kajiannya dimana?”. “Di sana,” tangan kami hanya melambai lemah gemulai. “Mas ada perlu apa?”
“Kemarin saya diundang teman-teman dari LDJ (sensor). Katanya suruh ngisi kajian di sini. Tapi saya cari-cari kok nggak ada ya?” “….” Kami hanya menahan malu. Buka puasa kena imbas. Apa gara-gara mabuk tempe-tahu, menu populer di Kobar, prestasi panitia menurun. Proses pembagian berjalan lambat. Para jamaah terlihat mengemis. Pasukan pembagi berguguran dari hari ke hari. Terkadang, karena panitia terburu lapar, para pengantar nasi itu hilang entah kemana. Padahal banyak yang belum dapat jatah. Tanpa segan, jamaah menyerbu tempat persembunyian panitia. Minta jatah. Sirup sudah tak lagi terasa sarinya. Biasanya itu racikan ikhwan. Kalau akhwat yang meracik, jelas berbeda. Warna air putih memang warna-warni, tapi rasanya hambar. Jamaah pun membalas. Setelah mereka minum, gelasnya dibuang. Padahal gelas itu belinya mahal. Dari hari ke hari, jumlah gelas berkurang, sampai puluhan buah per hari. Donatur mulai brutal. Tanpa pemberitahuan, mereka menghadiahi panitia dengan berkantongkantong kurma, berplastik-plastik jajanan lain, dan berdus-dus air minum kemasan. Namun itu tak cukup kalau dibagikan ke seluruh jamaah. Perebutan ta’jil berlangsung sadis. Tak jarang ada jamaah yang terjungkal keluar, terutama yang badannya kurus kering. Wisma tak mau ketinggalan. Suatu malam panitia pernah dapat pengalaman berharga. Biasanya, setelah acara Kobar dan setelah makan untuk diri kami sendiri, kami harus mengingatkan khotib tarawih. Gagang telepon diangkat. Sebeuah nomor telepon rumah ditekan cepat. “Halo, Assalamualaykum, dengan Pak Imam?” “Waalaykumsalam. Iya betul, ini siapa?” “Kami panitia RDK ITS. Sekedar mengingatkan kalau malam ini bapak menjadi khotib tarawih?” “Oh iya, insya Allah besok saya ke Manarul,” “Lho, kok besok Pak?” “Lho, bukannya tanggal 20 Ramadhan?” “Iya betul Pak. Sekarang kan 20 Ramadhan?” “Bukannya besok Dek?” “Besok 21 Ramadhan. Kalau masehinya memang 20 September, bukan Ramadhan,” “Masya Allah. Saya terlanjur bikin janji juga di Masjid lain. ini sedang perjalanan ke sana,” Ternyata ia lupa kalau tanggalan Hijriah berubah tiap adzan Maghrib. Saat RDK 29, secara kebetulan tanggal hijriah dan masehi sama persis. Sayang, ustad lupa. Kami berpikir ulang
mencari pembicara pengganti dimana waktu isya tinggal sepuluh menit lagi. Kami mengontak TPKI untuk dicarikan referensi pengganti. Kali kedua gagang telepon diangkat. Tetap sama, nomor telepon rumah. “Assalamualaykum, dengan Pak Sutardi?” “Waalaykumsalam, iya benar, ini siapa?” “Kami panitia RDK ITS Pak. Mau minta bantuan…,” kami berpanjang lebar di ujung telepon tentang alasan kami menelpon dia. Gara-gara ustad pelupa tadi. “Oh yasudah, apa materinya?” “Memaksimalkan sepuluh malam terakhir.” Subhanalloh, tak sampai sepuluh menit. Profesor Sutardi yang ahli bidang mekanika fluida itu menyetujui tanpa pikir panjang. Padahal keseharian, ia tidak begitu menonjol, sangat down to earth. Jarang aku lihat ia tampil di depan, tidak seperti Pak Tri. Alhamdulillah, ia melegakan hati kami. Kami pun mengambil kesimpulan cerdas. Manusia adalah makhluk penuh kealfaan, jangan malu-malu untuk mengingatkan mereka. Kalau perlu tiap sejam sekali kita kirimi SMS,”Pak..nanti malam jadi pembicara lho, jangan lupa”. Terus kirim sampai ia membalas,”IYA, SAYA SUDAH TAHU!!!”. Pernah juga suatu malam, tarawih jadi penuh kontroversi. Selepas sholat ba’diyah Isya, seperti biasa ada MC dari panitia yang menjembatani antara sholat isya dan khutbah tarawih. Tugas MC memberitahukan anggaran dana RDK, laporan kotak amal, agenda RDK terdekat, penceramah tarawih esok malam, mengingatkan agar jamaah menjaga ketertiban, terutama yang membawa anak kecil, dan mempersilahkan penceramah malam ini naik ke atas mimbar. Malam itu, tidak ada satupun panitia maju ke depan. Krik, krik, krik, semua jamaah tarawih menunggu selama sepuluh menit. Ustad Maksum maju ke depan. Dengan muka merah padam ia berkata,”Panitia RDK segera ke depan,”. Baru saat itu, kami, para SC sadar. Saat itu kami sedang sibuk mengurusi anak-anak kecil di serambi utara. Farhan terlihat panik. Kami baru tahu, kalau Farhan lupa mengonfirmasi OC yang bertugas. Malam itu, khotib terpaksa naik mimbar tanpa sambutan MC. Ustad Maksum sudah tak sabar melihat kelalaian kami. Ia langsung meminta penceramah segera naik tanpa menunggu panitia. Ceramah memang lancar. Namun, setelah tarawih, giliran Ustad Maksum menceramahi kami. Saatnya tutup kuping. Kejadian lain lebih parah. Waktu itu masih awal-awal Ramadhan. Kami diceramahi bapak-bapak TPKI. Ceramah berlangsung dari ba’da tarawih sampai jam 22.00. Sebabnya, kami dinilai tak menghargai pembicara. Kami hanya memberi “ucapan terima kasih” pada pembicara sebuah baju koko seharga seratus ribu. Itu memang sudah konsep kami.
Yang terjadi adalah miskomunikasi. Sejak awal, Wisma diurus oleh bapak-bapak TPKI. Maklum, menentukan pembicara termasuk masalah pelik. ITS, kampus beragam background. Segala macam pembicara harus dilihat background-nya karena akan berpengaruh pada isi ceramah yang disampaikan. TPKI tidak mempercayakan itu pada kami. Walaupun berdiri di tanah basis sosial kemasyarakatan kaum Nahdliyin, Surabaya juga kota berdirinya Muhammadiyyah. Kemudian Muhammadiyyah membangun basis di Jogja dan Sumatra. Kalau bergerak ke selatan tepatnya di kota kecil Bangil, di sana ada pusat kaderisasi Persatuan Islam (Persis). Persis sendiri punya pengaruh besar di wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tengah dan selatan). Ketiga organisasi ini termasuk yang tertua dan terbesar di Indonesia. Terasa semakin lengkap dengan kehadiran kaum modernis yang konservatif seperti Ikhwanul Muslimin (tarbiyah), Hizbut Tahrir Indonesia, Salafy, Jamaah Tabligh dll. Dibanding ketiga organisasi asli Indonesia yang sebelumnya disebutkan, gerakan ini bergerak lebih masif di lapisan mahasiswa. Kaderisasinya mulus. Teori-teori pembaharu dan prinsip Pan-Islamisme-nya kuat dan didambakan intelektual muda. Dulu, aku kira gesekan friksi terjadi di lapisan bawah saja, ternyata tingkat dosen pun bersinggungan. Aku bukan ingin memecah belah, begitulah kenyataannya. Bahkan untuk menentukan penceramah sholat Jumat atau tarawih harus diperhitungkan komposisinya. Tiga yang paling sering berebut pengaruh: NU, Muhammadiyyah, dan Tarbiyah. Mereka sama-sama punya massa besar dan akar kuat di kampus. Tapi yang perlu diperhatikan, lapisan atas tak menampakan kesan friksi itu. Mereka menyadari, perbedaan tiap ijtihad hanya selembar kertas. Pengurus TPKI tetap beragam. Mereka bisa bekerja sama dengan baik. Walaupun ada beberapa pihak menganggap TPKI teragitasi faksi Tarbiyah. Maklum, JMMI representatif TPKI di mata mahasiswa, benar-benar menampakkan watak tarbiyahnya. Terlepas perbedaan itu, pada intinya kami menyerahkan persoalan rumit ini pada TPKI. Pembicara biarkan mereka yang memilih. Tugas kami hanyalah mengonfirmasi kehadiran melalui list penceramah yang mereka wariskan. Kalau ada ustad yang berhalangan hadir, kami berusaha mengonfirmasi TPKI untuk dicarikan pengganti. Biasanya pengganti dari kalangan dosen. Netral. Bahkan sampai urusan keuangan, kami serahkan mereka. Kami tahunya mereka memberi amplop pada pembicara. Jumlahnya sekitar 500 ribu, begitu seingatku. Souvenir dari kami adalah bentuk apresiasi karena penceramah turut menyukseskan RDK. Oleh sebab itu budgetnya tidak besar, 100 ribu. Sial. Kami miskomunikasi. Ternyata masalah fee pembicara turut dibebankan pada anggaran RDK. Setelah tahu, kami menambah souvenir dengan membeli parcel seharga 100 ribu. Total 200 ribu untuk tiap penceramah. Maklum, menurut perkiraan, anggaran kami ngepas sesuai konsep awal.
Titik kulminasinya ketika Ustad Syaukani Ong mengajukan complain ke TPKI. Baju koko yang kami berikan ternyata kebesaran. Selidik punya selidik, aku baru tahu kalau OC membeli baju itu dengan sistem pukul rata. Semua baju berukuran “XL”! Padahal aku lihat mata kepalaku sendiri, Ustad Ong badannya “M”! Jadilah kami diamuk Pak Tri kedua kalinya. “Ceramah” itu berisi tentang nama baik ITS di mata ustad-ustad itu. Ada sebagian Ustad menyandarkan hidup melalui ceramah di masjid. Kalau fee tidak diberikan maka bisa jadi keluarganya tak makan. Di sini kami sadar. Keesokan harinya kami beri penceramah dengan souvenir baju koko, parcel, dan amplop. Untuk orang luar ITS dijatah 200 ribu, sedangkan orang dalam diberi 100 ribu. Pelajaran berharga: hormatilah orang berilmu. Itikaf penuh berkah. Ya, penuh berkah, sampai kami lupa sahur. Untung nggak mokel (buka puasa tengah jalan). Gara-gara jam dikirim ke tukang pangkas rambut, waktu tidur kami jadi lebih sedikit. Yang terjadi, petugas Kafe Berkah, ketiduran! Jamaah bingung. Tidak ada tanda-tanda makan sahur datang. Panitia bangun setengah jam sebelum sahur. Cuci muka, cari kunci motor, tancap gas. Waktu setengah jam akhirnya ngepas untuk buat beli 30 bungkus nasi. Bersedia, siap, ya! Waktu makan hanya lima menit. Intro menjelang imsak sudah terdengar dari penjuru surau sekitar. Kebetulan Masjid ITS tidak pernah memasang kaset puji-pujian sebelum adzan. Masjid berwarna NU menyebutnya tarhim. Aku tahu karena keluarga besarku NU tulen. Menurut pemahaman jam’iyyah NU, makan setelah imsak berhukum makruh. Kami berlomba dengan muadzin, Cak Jo. Selama ia masih terlihat nongkrong di serambi selatan, berarti masih aman terkendali. Kalau ia sudah berdiri, maka kita harus berdiri jauh lebih sigap. Segera raih galon terdekat. Ketika ia ambil mikropon, jangan lagi pegang gelas. Saatnya pegang pasta gigi. Adzan terdengar, segeralah mengurut-urut perut. Di pintu masuk usus, makanan berebut masuk. Itu akibat makan terburu-buru. Tidak ikhwan, tidak akhwat, terjadi juga. Permasalahannya lebih rumit. Aku diminta Qisti, penanggung jawab acara, berurusan dengan seorang pengemudi Lyn atau angkot. Rencananya, malam itu, akhwat akan berangkat ke Masjid Al Falah untuk Mabit. Di Manarul, akhwat dilarang Mabit. Intinya ada pada miskomunikasi. Masalah klasik dari zaman pendiri JMMI. Pada waktu yang bersamaan panitia ikhwan dan akhwat memesan dua mobil untuk transportasi. Entah bagaimana ceritanya bisa terjadi seperti itu. Setahuku, acara yang dipegang Qisti hanya dikhususkan untuk akhwat. Seharusnya, akhwat saja yang mengurus. Mungkin karena tak berani menawar, harga angkot yang dipesan Qisti jauh lebih mahal, selisih seratus ribu. Dengan berbagai pertimbangan, pemesanan Qisti dibatalkan ba’da sholat dzuhur. Mungkin dengan ini masalah bisa selesai dengan mudah. Ternyata tidak.
Ia menuntut ganti rugi, bayaran penuh. Alasannya, gara-gara booking itu ia tidak narik seharian. Logis memang, tapi kami membatalkan ba’da dzuhur. Bukankah masih ada waktu untuk narik? Kalau disuruh bayar penuh aku tidak mau. Setelah itu Qisti bersama Rahmah pergi berputar-putar untuk menyiapkan kebutuhan nanti malam. Perasaan mereka gelisah. Dari tadi, HP mereka diteror. Supir angkot tidak terima atas pembatalan tiba-tiba. Teror itu berlangsung sampai sholat Ashar. Mereka menelponku,”Akh, ana diteror terus nih sama supir angkotnya. Bantuin dong,”. Aku masih disconnected. Selepas Ashar, kami syuro mendadak. Di depan perpustakaan masjid, masih dibatasi hijab, ia memberiku nomor kontak. “Ini nomornya. Coba bilang ke bapaknya,”. Aku menghubunginya dengan HP Qisti. Aku tidak punya pulsa. Ketika ia mendengar suara lelaki di ujung teleponnya, kelihatannya ia menciut. Waktu itu, aku pasang suara berat biar kedengaran seram. Ternyata, ia tak segarang yang Qisti ceritakan atau bayangkanku tetang kerasnya orang-orang terminal. Api emosi tersulut kecil. Aku berusaha berbicara datar dan meminta agar disudahi saja tak perlu meneror lagi. Mulutku tak berhenti, membantai semua perkataan. Ia hanya berkata lirih,”Iya…iya…,”. Debat kami makin tak panjang. Tapi akhirnya ia menyerah. Tak ada kuberi kesempatan membela diri, ia mati kutu, HP langsung kumatikan. Pikirku, kalau sudah masalah begini, sifat cerewetku berguna juga. Suasana aman terkendali. Besok paginya aku di-sms Qisti lagi. “Akh, jam 06.00 nanti supirnya ke Manarul, gimana nih?” Qisti jelas ketakutan. Ternyata dari Qisti aku tahu mereka tak berhenti meneror. Qisti pun menonaktifkan HP-nya. Lho, bukankah kemarin sore urusan itu sudah selesai di ujung telepon. Apa?! Ternyata ia masih dengan tuntutan sama. Bayaran penuh tetap harus dilunasi, menurutnya. Qisti ambil jalan tengah. Kami bayar 30 ribu saja tiap mobil dari harga asalnya 150 ribu tiap mobil. Aku masih dalam pendirian tak usah membayar. Lama-lama kasihan melihat akhwat ketakutan. Yasudah, daripada akhwat tambah pusing, aku coba tawarkan 30 ribu. Aku bertemu dengan mereka. Dua muka garang. Seperti dugaanku, mereka teguh pendirian. Aku berusaha ramah dan meminta maaf atas kesalahan. Mereka tetap dalam perasaan tidak terima. Mereka masih mau mengajak debat. Kalau aku sih gampang saja. “Ini Pak, uang dari saya. Bapak mau terima atau tidak terserah. Saya ada urusan lain,”. Aku pergi tak peduli. Selepas bertemu mereka, aku kembali ke Sekpa. Aku berpikir dalam-dalam. Bukankah mereka sudah aku telepon dan hanya mengucap iya, iya, dan iya. Berarti itu tanda mereka menyerah kan? Bahkan di akhir pembicaraan aku tegaskan dengan jelas. “Jangan ganggu lagi Pak!”. Jam 08.00, Azhar datang dengan sepeda uniknya. Ia menyapa aku. “Bey, wingi koen nelpon ngomong opo seh. Aku kok ora mudeng!” (kamu kemarin menelpon bicara apa. Aku tidak paham).
“Kapan sih?” “Wingi sore, mari Ashar,” (kemarin sore habisa Ashar). “Aku lho nggak ndue pulsa,” (aku lho tidak punya pulsa). Bayanganku langsung terlempar saat aku berdebat dengan supir lyn di ujung telepon. “Iyo, Iku aku ndul!” jawab singkat Azhar. “Oalah…,”. Pantas aku menang tanpa perlawanan. Pantas pula mereka masih leluasa meneror Qisti sampai kekhusyuan Mabitnya terganggu. Segera aku sms Qisti, ”Coba cek, traffic telepon di HP antum. Kemarin sore kira-kira jam 15.30, panggilan keluarnya ke siapa?” “Azhar,” “Huh…,” Aku tidak cek siapa yang aku telepon karena waktu itu Qisti bilang,”Langsung ngomong aja,”. Pelajaran berharga: perhatikan layar HP sebelum menelpon.
Menggali Kembali “Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia,” Nidji OST. Laskar Pelangi.
Entah dari mana asalnya. Kata sebagian orang, aku ini seorang yang banyak bermimpi. Mereka bilang, aku seorang yang tidak berpikir realistis. Itu benar adanya. Aku memang pandai membual mimpi. Terkadang mimpi itu tak mampu ditangkap orang-orang di sekitarku. Pikiranku melanglang buana menyusuri beragam ekosistem kehidupan. Kadang, gara-gara mimpiku ini, aku dibilang gila. Orang lain ramai-ramai berkata A, aku memilih berteriak B, padahal sudah tahu itu terbukti salah. Bagiku, tidak ada kebenaran 100 % di dunia ini. Hasil yang tertera di transkrip nilaiku, juga termasuk efek kebanyakan ngelindur atau mengigau. Di setiap bumi yang baru kupijak, kupandangi dalam mimpi. Aku sendiri yang mengatur mimpi itu mau bercerita seperti apa. Aku senang membiarkan alam pikiranku melakukan free-diving menyentuh dasar palung Mariana. Aku pun akan membiarkan jiwaku ber-bungy jumping ria di sebuah tebing tinggi, bahkan kalau perlu tanpa pengaman. Aku akan bertindak sebagai ayah bijak dari seorang bayi keingintahuan yang hiperaktif. Ketika masuk ke ITS, aku dihadapkan pada sebuah terali berjeruji namun tak tajam. Aku harus bersusah payah menjungkir balik badanku di sela jeruji yang nampak mudah dijebol. Ketika masuk JMMI, aku juga merasakan hal yang sama. Mimpi-mimpiku dihadapkan pada sela jari-jari yang sulit kutembus. Alhasil, mimpi itu mengalah demi sebuah prahara realita. Dulu aku pikir, kampus seperti ladang dari banyak seminar keilmuan. Ternyata walaupun ada, tidaklah memberi sebuah esensi bagi kehidupan sekitar. Awal-awal jadi mahasiswa, aku merasa tidak ada yang beda dengan kehidupan sekolah. Kuliah sama saja kelas di sekolah. Selepas itu paling-paling ikut organisasi, itupun biasa-biasa saja bagiku. Aku ingin menambah wawasan lain. Aku punya mimpi berasal dari pengalamanku. Ketika aku aktif di LDK, malah menurutku sebuah penurunan wawasan. Aneh. Kami dituntut untuk belajar organisasi secara terus-menerus. Memang tidak salah, tapi menjenuhkan. Ketika SMA dulu, aku sering ikut berbagai komunitas yang diusahakan oleh aktivis dakwah. Misalnya, seperti kajian kristologi rutin, Islam kontemporer, bisnis ekonomi syariah, politik, budaya bahkan mengaji sebagai pendekar thifan. Aku merasa kering. Jujur, aku tidak lebih seperti sapi perahan. Kami tidak dibekali hal lain selain berimprovisasi pada sebuah amanah. Misalnya, kalau kita ditugaskan sebagai seksi kemanan. Lah...sekarang lihat, mereka yang berjaga-jaga badannya kurus kerempeng kurang makan.
Terus kalau ditunjuk sebagai seorang penanggung jawab dokumentasi. Halah, padahal sudah disetting auto, foto jepretan kita ngeblur semua. Apa kata dunia? Maaf kalau sapi perahan begitu keras di telinga. Baik, aku ganti saja dengan kambing perahan. Bagiku, LDK bukan penggembala kambing yang baik. Ia hanya duduk-duduk di tepian sawah sambil melihat-lihat gerombolan kambing memakan rumput. Tak tahunya, besok kambingkambing itu mati karena yang dimakan adalah rumput beracun. Ah, apa artinya sepuluh muwashoffat itu. Ia hanya jadi hafalan di otak saja, seperti aku susahsusah menghafal tabel periodik Mendeleyev. Sekarang? tak terpakai sama sekali. Kalau tiga poin awal muwashoffat seperti Salimul Aqidah (aqidah yang bersih), Shahihul Ibadah (ibadah yang benar), Matinul Qulub (akhlak yang kokoh), aku tidak perlu pertanyakan lagi. Hukumnya wajib. Jika JMMI tak mampu membina ketiga hal ini pada para kadernya, saranku bakar saja Sekpa. Eh, jangan deh, nanti kasihan Cak Jo sama Ustad Maksum. Kalau begitu, bakar saja pengurus hariannya. “Kejamnya...” Enam poin terakhir perlu aku renungi. Apa sekiranya JMMI mengajarkanku pada poin-poin itu? Mari kita kaji pakai gergaji. Pertama, Qawiyyul Jism (Kekuatan jasmani). Ah, kangen sekali rasanya melatih kelincahan tangan bersama suhu Thifan Po Khan. Lega rasanya, mencoba tendangan terbang Bruce Lee di film Enter the Dragon. Sayang, JMMI tak punya itu. Melacak perguruan Thifan di Surabaya, seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Di kota lain, Thifan seperti ikon keperkasaan aktivis dakwah sekolah atau kampus. Biasanya teman-teman bermain bola untuk memenuhi poin ini. Tapi bentuknya hanya spontanitas, kalau sedang ingin saja. Jangan bayangkan bermain sepak bola secara profesional, ini hanya refreshing. Aku berpikir, coba kalau ada liga sepak bola antar Lembaga Dakwah Jurusan, wah...seru banget tuh! Tapi tak apalah. Untuk poin ini bisa dipenuhi, walau hanya sebagian kecil dan tidak rutin. Kedua, Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir). Aku berpikir tentang poin wawasan luas. Tingkat keluasan itu baru aku dapatkan pada orang-orang setaraf PH. Setingkat staff bahkan beberapa Kadiv, pengetahuannya di bawah garis kemiskinan. Ada beberapa masih bertanya, mengapa kita perlu membela Palestina sih, wong di dekat sini masih ada yang butuh bantuan? Pertanyaan itu cerdas, cuma terlalu menunjukkan diri kalau ia tak pernah baca buku. Nah, kultur baca buku yang kurang dari masyarakat JMMI. Hal itu berimbas pada ketidakpedulian kita pada budaya membedah sebuah buku. Keilmuan Islam kontemporer, Kristologi? Wah, pembicaraan menarik. Lucunya, banyak kader JMMI bahkan setingkat PH tidak tahu siapa itu Harun Yahya, apalagi Ahmad Deedat. Pengetahuan kader JMMI atas kedalaman ilmu Islam bisa menjadi senjata bila di-test temanteman di jurusannya yang masih awam.
Bahasa arab? Aduh...aku ingin sekali belajar. Tidak usah pakai nyahu-nyorop segala. Para kader diajarkan bagaimana mengartikan sebuah ayat Alquran secara sekilas, itu jauh lebih penting. Sayang, hal ini not available di JMMI. Minimal, kader bisa dibekali pengetahuan umum up to date, terutama masalah yang berkorelasi dengan dakwah. Misalnya, di tengah mahasiswa ITS sedang tersiar kabar tentang “ayam kampus”, asli buatan dalam negeri. Nah, jangan sampai ada kader dakwah mengira kalau ITS sedang membuka jurusan baru yaitu teknik peternakan ayam. Ustad kok nggak gaul pisan. Jangan beralasan kalau mata sudah terlalu lelah membaca buku Mekanika Teknik. Huff! aku yakin anda tak akan betah dengan buku itu. Isilah otak anda dengan beragam informasi. Dunia itu luas Bung...jangan hanya memikirkan mengapa bangunan tinggi bisa berdiri atau mengapa kapal bisa terapung, itu memang kewajiban anak teknik. Pernah aku mendengar ada seseorang kader dakwah yang tak mengerti email itu makanan jenis apa. Atau blog itu minuman manis seperti es teh atau kecut seperti es jeruk. Kawan, jangan tiru aku yang gagap teknologi stadium empat. Minimal kader JMMI mengenal kedua kuliner tadi. Kapan kira-kira JMMI menggelar pengenalan teknologi informasi yang booming itu? Bukankah kader di Teknik Informatika menumpuk? Aku pun belum pernah dengar niatan melatih kader JMMI untuk jadi pembawa acara, moderator, bahkan pembicara, semacam public speaking training. Pantas, kalau setiap acara dakwah akhirnya yang muncul orang-orang itu saja. Mereka yang sejak lahir diberi keberkahan kemampuan berkomunikasi dengan mulut secara baik. Tulis menulis? Malu aku sebenarnya. Kawan-kawanku di UI, ITB, dan UGM, mereka sudah terbiasa menerbitkan buku. Luar biasa produktifnya. Aku belum menemukan satu pun kader JMMI yang mampu menulis sebuah buku walau hanya buku saku. Jangan berandai-andai seperti Gamais ITB atau Salam UI yang mampu memproduksi buku panduan dakwah kampus dalam jumlah besar. Lihat mading di dekat tempat wudhu, lihat website JMMI, lihat berapa persen kader JMMI yang punya blog. Nah, aku termasuk yang belum punya blog. Haha! Desain? Bukankah kita butuh propaganda. Kenapa pemikiran kiri lebih berkembang di komunitas studi desain? Orang kiri sadar, desain adalah bentuk ekpresi diri yang belum ada tandingannya berefek pada manusia. Mereka pintar menggambar bagaimana petani dicekik tengkulak. Gambarnya menggoda nurani. Kapan JMMI memberi apresiasi pada orang-orang pecinta seni jenis ini? Musik? Bagaimana seorang munsyid bisa menarik perhatian kalau personilnya saja tidak kenal solmisasi. Nasyid di ITS mati! Padahal dakwah juga bertumpu padanya. Masak UI punya Snada dan Izzis, kita nggak punya. Dari puluhan kader, masak nggak ada yang suaranya seperti Christian Bautista? Kawan, zaman sekarang informasi bergerak cepat seperti Concorde. Anda sedang kentut pun, seisi kampus bisa tahu. Sungguh banyak yang bisa kita ambil dari kemudahan ini. Beberapa
waktu lalu, aku mendengar ada seorang calon ayah membimbing istrinya untuk melakukan persalinan, melalui website sebar-pakai youtube! Andai JMMI bisa memanfaatkan ini, tentu kita bisa buka rumah persalinan! Bukan-bukan, maksudku, JMMI bisa meraih kejayaan. Semua bisa dipelajari saat ini. Semua lini bisa kita manfaatkan secara bebas. Tugas JMMI untuk mendorong mereka aktif menggali pengetahuan dan merangsang kreativitasnya. Ketiga, Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu). Nafsu, susah kalau ngomongin beginian. Ini masalah privasi karena nafsu itu tak tampak nyata dan selalu menggelayuti manusia. Di-skip saja lah... Keempat, Harishun ‘Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu). Sorry, no comment. Pamali bicarakan aib sendiri. Kelima, Munazhamun fi Syuunihi (teratur dalam segala urusan). Mari, aku ajak ke dalam Sekpa. Lihat sekeliling anda. Wah...indahnya! jangan pikir kalau nyamuk-nyamuk ganas itu datang tanpa sebab. Amburadulnya Sekpa menjadi daya tarik tersendiri. Tentu, aku tak bisa sertamerta menyalahkan PH yang tinggal di Sekpa. Semua orang berlabel JMMI dengan status aktif, patut bertanggung jawab. Kelihatannya, poin ini menunjuk hidungku sendiri. Aha, aku seperti kebanyakan kader JMMI lainnya yang menjadikan Sekpa seperti “tong sampah”. Ruang tak terawat itu, tempat kami membuang sampah kehidupan, sampah perjuangan sampai sampah beneran. Pantas PH mencak-mencak kalau Sekpa dikotori tangan-tangan jahil. Kasihan para PH...semoga amalan mereka diterima di sisi Allah. Jadwal piket yang dibuat ternyata mandul. Kami menghilang di kala jadwal datang. Faktor X beragam, mulai dari sibuk kuliah, sibuk syuro, sibuk ngajar privat, sampai sibuk mencari alasan. Aku memilih opsi terakhir, pilihan cerdas. Tapi semenjak aku lebih banyak tinggal di Sekpa, aku jadi merasa memiliki. Otomatis, kalau tidak lagi M (Muales), aku bersemangat membersihkan Sekpa. Aku jadi ingat saat pertama kali tinggal di Sekpa. Waktu itu masih Maba, kira-kira PH-nya dari angkatan 2003. Naujubileh itu nyamuk Sekpa...mereka kira penghuni Sekpa seorang donatur darah rutin. Sepulang berpesta, badan mereka gemuk-gemuk. Mereka terbang rendah dengan kecepatan minimum. Paling nikmat kalau kita berhasil menepok mereka. Sekpa berubah jadi rumah jagal, penuh darah. Sejak saat itu aku kapok nginep di Sekpa. Hampir saja aku keluar dari JMMI gara-gara nyamuk rabies itu. Pasalnya, kalau mau naik pangkat di JMMI, kami harus ujian bersama raja nyamuk. Kalau mau selamat, pakailah Autan. Biasanya sih tak mempan. Setahun kemudian, aku mulai berani menginap. Terpaksa, kebetulan jadi panitia inti. Trauma ini baru bisa hilang ketika RDK. Kami sudah saling kenal dan pengertian. Bayangkan kalau orang di luar JMMI memperhatikan Sekpa. Aku punya pertanyaan. Anda pernah ke sebuah perusahaan besar kan? Nah, mengapa ruang customer service selalu didesain
jauh lebih apik ketimbang ruang lain? Mengapa pula gudang selalu dibiarkan tak terawat oleh perusahaan? Sekpa itu lebih cocok sebagai ruang marketing atau gudang? Alasannya sederhana. Customer sevice adalah titik temu antara produsen dan konsumen. Mereka biasa beramah-ramah di sana untuk saling memberi masukan. Gambaran tampak dari ruang itu adalah representasi dari keseluruhan bagian perusahaan. Kalau mereka tak memikat, konsumen beranggapan semua orang di gedung itu juga tak menarik. Lalu, bisnis pun buyar. Kita tak perlu pusing-pusing merawat gudang. Tak ada satupun konsumen yang mau masuk ke gudang berdebu disertai halang rintang jaring laba-laba. Ia memang disediakan bukan untuk menampakkan diri. Sekarang kita lihat Sekpa secara harfiah: Sekretariat Putra. Adakah kemungkinan ia dimasuki orang di luar JMMI? Besar kemungkinan itu. Anda bisa tarik kesimpulan sendiri. Keenam, Qadirun ‘Alal Kasbi (mandiri). Kalau hidup mandiri dalam arti nyuci, setrika, dan njemur baju sendiri, nggak perlu ada JMMI. Kita tak perlu menggelar pelatihan bagaimana mencuci yang baik agar tidak luntur, menyetrika yang baik agar tidak gosong, dan menjemur yang baik agar tidak kehujanan karena lupa mengangkat. Mandiri bisa kita kecilkan artinya menjadi merdeka secara keuangan. Kata Voltaire, filosof besar Perancis, “Ketika kita bicara soal uang, maka semua orang agamanya sama,”. Aku belum melihat ada arah gerak JMMI secara organisasi maupun personal untuk memerdekakan diri dari kegandrungan akan uang. Aku sering menemui kasus dimana seseorang potensial akhirnya keluar dari JMMI, karena secara finansial JMMI tak banyak membantu, baik langsung maupun tak langsung. Beberapa kader luar biasa mampu merdeka dan menyeimbangkan keaktifan organisasinya. Selebihnya, mati di tengah jalan, disuruh memilih JMMI atau Uang. Jelas uang akan menang kawan! Aku ingat dengan Mas Yasrif, sekertaris umum periode sebelumnya. Dalam perjuangannya meraih kemerdekaan, ia berjualan minyak tanah. Eh, minyak tanah apa minyak wangi ya? Pokoknya aku salut dengan usahanya. Tapi sayang, semangat itu belum tersebar turun menurun. Ada juga beberapa PH mengabdikan diri sebagai pengajar privat untuk perjuangan kemerdekaan. Aku menaruh salut. Tapi aku pikir-pikir, kenapa JMMI tidak membuka les-lesan yang sifatnya komersial saja? Pasti banyak kader yang berminat. Masalahnya, perintisnya yang nggak ada. Aku punya banyak contoh. Beberapa bimbingan belajar terkenal dibentuk dari mahasiswamahasiswa yang tergabung dalam sebuah organisasi. Bahkan ada di antara mereka berasal dari komunitas dakwah. Kalau JMMI bisa membangun ini bukankah akhirnya kita bisa memberi hawa kebebasan akan uang? Ketujuh, Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain). Ini poin keunggulan JMMI, bermanfaat (insya Allah). Benarkah? Seberapa besar manfaat itu terasa? Sayang, JMMI tak punya lembaga
riset yang mendata itu. Padahal setiap tahunnya Insya Allah ada mahasiswa Statistik yang menjadi pengurus harian. Data itu penting, karena JMMI selalu terlena dengan 200-an Prodaknya dalam setiap periode. Tidak ada analisis tentang efektifkah ke-200 Prodak itu? Tapi tak mengapa. Di JMMI aku belajar peduli dengan orang lain. Jujur, poin terakhir ini menjadi satu buku khusus untukku. Hal paling sederhana saja menurutku. Di JMMI aku belajar banyak bidang. Semua orang berkumpul membawa karakter dan kapasitasnya masing-masing. Kami saling berbagi. Dari semua poin yang coba kurenungi, ada sebuah alasan mengapa JMMI tidak begitu berkonsentrasi pada poin-poin ini. Katanya, semua poin itu sudah ter-include dalam 200-an Prodak yang direncanakan. Biarkanlah berjalan alami, tidak perlu merinci secara detail. Ya, memang sih ada benarnya juga perkataan itu. Terakhir aku bertanya. Setelah tadi banyak menuntut JMMI, apa sih yang udah aku berikan ke JMMI? Belon ada tuh boy! Sekarang kita lihat JMMI di mata masyarakat umum kampus. Mengapa ya dari awal aku sering bermimpi JMMI menggelar sebuah seminar besar-besaran. Aku iri dengan teman-teman kampus lain yang sempat menggelar debat skala nasional antara kaum puritan dan liberal. Waktu itu, Ulil Abshar Abdala “dihabisi” anak-anak kampus. Seru! Kenapa juga kangen sekali pada momen ketika sebuah kampus mengundang imam Masjid Al Aqsha untuk menceritakan kabar saudara-sadaraku di balik tembok tinggi Gaza. Kangen rasanya menghadiri seminar ekonomi syariah. Kapan ya aku bisa melihat Ustad Syafii Antonio? Rindu sekali melihat Abu Deedat, pakar kristolog, berdebat. Seandainya aku kenal nasyid mulai tahun 1998, tentu aku akan selalu mengenang meriahnya konser pertama Raihan di Indonesia. Aku rindu, ketika ada penggalangan dana untuk sebuah bencana alam. Semua orang-orang penting di negeri ini diundang, kami pun merenung di bawah syahdunya lantunan I’tiraf dari Raihan. Mimpi lagi, mimpi lagi. Yah, daripada bengong. Aku merasa, syiar kampus harus digiatkan lagi. Saat masih SMA, aku beberapa kali diajak ikut sebuah acara nasional atau internasional di UI. Tentu saja acara yang digelar aktivis dakwah kampus UI. Kadang aku rindu hal itu. Sebenarnya di JMMI juga ada. Sekali setahun, itu bernama Manarul Ilmi Expo (MIE). Aku akui acara ini luar biasa bagus. Pembicara yang hadir penulis terkenal macam Kang Abik, Mahasiswa Berprestasi bahkan setingkat menteri. Kemampuannya menyedot masyarakat umum, patut diapresiasi. Tapi kurang....kurang banyak. We want more, we want more, we want more! *** Kembali ke RDK. Kami berusaha kreatif di tengah keterbatasan. Kami menelurkan acara baru untuk mengakomodasi rasa ingin tahu masyarakat umum. Fungsinya syiar supaya Ramadhan
tak seperti biasanya. Ide keluar, seminar seputar falakiyah mudah-mudahan bisa memenuhi dahagaku akan kajian-kajian ilmu. Sederhana memang. Tak ada orang terkenal yang kami undang. Tak juga tema besar yang penting kami angkat. Hanya sebuah perdebatan lama yang coba kami ulas kembali. Mungkin bisa jadi pengingat bagi kebanyakan dari kita yang tak paham atas sebuah perbedaan. Ini permulaan, harap maklum kalau tak menarik. Judul acara dibuat menantang,”Mengapa penentuan hari raya berbeda?”. Mengapa falakiyah? Karena menurut kami, tema ini lebih dekat pada nama ITS. Kalau kami angkat tema ekonomi, sosial, atau politik –walau menurutku lebih menarik- dirasa kurang cocok dengan iklim masyarakat ITS yang berkonsentrasi pada sains. Kami mengundang beberapa pakar, memang tidak begitu tenar. Tapi aku berani menjamin, mereka adalah orang-orang dengan kapasitas bicara luar biasa baik pada bidang ini. Kami hadirkan mereka dari sudut pandang berbeda untuk ditemukan simpul utama dari perbedaan itu. Pembicara pertama Prof. Dr Nur Iriawan, seorang guru besar Statistik yang juga ahli dalam perhitungan falak menurut kitab klasik. Kemudian ada Drs H. Sriyatin, ahli Falak dari Depag. Ada juga Sitti Maryam seorang ahli Astronomi, dan terakhir Ahmad Mudhoffar, MA dari Ikatan Dai Jatim. Tak disangka, acara ini berhasil menyedot perhatian banyak orang. Kurang lebih 350 orang mendaftar dari 150 tiket yang tersedia. Kami terpaksa membatasi peserta karena ruangan terbatas. Ternyata, masih banyak civitas muslim yang suka dengan kajian falakiyah. Mungkin gemas karena untuk masalah hari raya, umat Islam tak akur. Ketika acara berlangsung, masing-masing pembicara membawa kitab acuan masing-masing. Peserta dibuat terkesima dengan rumitnya perhitungan untuk menetapkan 1 syawal. Akhirnya sampailah pada kesimpulan bijak bahwa perbedaan yang terjadi karena memang standar perhitungan yang dipakai berbeda. “Semuanya harus disikapi dengan cermat,” ujar salah seorang di antara mereka. Aku berharap banyak. Semoga di kemudian hari ada orang-orang yang mampu berbuat lebih baik dari ini. Alangkah senangnya hatiku bila JMMI sering menggelar kajian dengan tema-tema atraktif sekaligus pembicara yang ahli di bidangnya. Aku jadi ingat sesuatu. Pernah kubaca buku impor tentang sejarah Renaisans Eropa. Masa keemasan bangsa Eropa terjadi setelah kaum muslim terusir dari Andalusia. Pusat peradaban keilmuan direbut oleh mereka. Anda tahu apa yang mereka lakukan pertama kali? Tentang ilmu, mereka berubah menjadi sekawanan warga yang gila pada ilmu. Mereka mulai membuka kembali lembaran-lembaran ilmu yang ditorehkan Yunani dan Romawi. Di titik dimana ia menyadari bahwa bangsa Eropa pernah jaya di masa lampau, akhirnya mereka berambisi untuk membuktikannya.
Harapanku, syiar kampus bisa menggali kembali sejarah kejayaan Islam. Kita buat besar-besaran sebagaimana Harun Yahya mampu mendobrak mitos Darwinisme. Gali terus sampai akarnya, buktikan kalau Islam pernah jaya. Mudah-mudahan muncul ilmuwan bernafaskan Islam. Jangan karena kita merasa pernah terjajah bangsa barat selama berabad-abad, sehingga kita minder untuk mengejarnya. Jangan lupa, Eropa dulu pernah mengalam Dark Ages berabadabad lamanya, sampai kemudian Islam datang membawa cahaya keilmuan. *** Salah satu acara yang menyentuh hati adalah Ramadhan Ceria. Senang melihat anak-anak kecil berkeliaran memakai baju muslim. Mereka nampak ceria ketika kami ajak bermain. Jarangjarang mereka merasakan kebahagiaan itu. Pada hari biasa, ia akan berhadapan dengan kerasnya jalanan. Kasihan aku melihatnya. Di ruang seminar Perpustakaan itu, mereka menjadi saksi bahwa kebahagiaan Ramadhan juga menjadi milik mereka dalam bentuk keceriaan. Beberapa panitia spesialis anak-anak tampil atraktif di depan panggung. Mereka benyanyi, tertawa, bermain, menonton TV, mengaji, berdoa, dan banyak hal campur aduk dalam kegiatan ini. Aku senang sekali JMMI memiliki pos dakwah bernama Departemen Pedulia Umat. Kerjanya memang tak terlihat, diam-diam kader JMMI di pos ini mengabdi pada masyarakat tanpa imbalan. Mereka membuka bimbingan belajar bagi anak-anak miskin di sekitar kampus. Hal sama juga dilakukan beberapa organisasi kemahasiswaan lain di ITS. Ayo, kita tingkatkan lagi syiar dan pengabdian kita pada masyarakat sekitar!
Akhwat Pejuang Aku ikhwan, mereka akhwat. Jujur, aku tak banyak mengenal mereka. Bahkan kalau seandainya kami bertemu di suatu tempat, aku yakin kami tak akan tegur sapa. Di depan kami seakan ada tembok pembatas sebesar great wall di utara China. Entah, dari mana datangnya perasaan itu. Aku tak bisa cerita banyak tentang mereka. Yang kurasa, dalam RDK ini mereka berjuang keras melebihi diriku. Memang bukti tak pernah tampak, tapi perasaanku juga tidak pernah bisa berbohong. Kolom ini aku khususkan untuk teman-teman akhwat. Lembaran putih tanpa tinta ini bermakna mereka pejuang yang ikhlas. Sewaktu-waktu nanti, mudah-mudahan teman-teman akhwat bersedia mengisi lembaran ini.
Mereka yang Sendiri “Pencapaian termanis hanya bisa didapat dari berangkat paling pagi, pulang paling malam,”
Di kala Ramadhan yang sunyi, ia mengiringi langkah ini. Ketika itu, ribuan ucap kata syukur terlantunkan. Hati ini bersedih sekaligus bergembira atas apa yang telah Allah berikan. Hai ini, Minggu, hari yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan. Namun sayang semuanya tampak sepi, tiada yang menemani. Baru kali ini aku merasakan sepinya kampus. Liburan semester saja tidak separah ini. Kemarin, baru saja mayoritas teman-teman ITS mudik bareng dengan bis yang telah diusahakan oleh BEM ITS. Aku lupa berapa bis tepatnya, mungkin lebih dari sepuluh bis diberangkatkan untuk mengantar civitas ke beberapa kota di pulau Jawa. Tapi ada juga sebagian dari mereka yang pulang sendiri. Hari ini, semua warga kampus ludes, “balik kampung” semua. Subhanalloh, Allah memberikan kesejukan bulan Ramadhan di kala semuanya terasa sepi. Kemarin aku sempat berbincang dengan orang yang jasanya bagi Manarul Ilmi sungguh besar. Hanya saja mungkin banyak Jamaah yang tidak sadar bahkan cenderung mengacuhkan. Kesempatan langka itu, kumanfaatkan sebaik-baiknya. Biasanya sulit bagi orang baru seperti aku, berkenalan dekat dengannya. Ia sedikit pendiam dan tertutup. Ia adalah Cak Jo. Jo bukan berasal dari Johanes, tapi Supardjo. Pria berumur ini berasal dari Ngawi, asal kota yang sama dengan Mas Fathir. Selama Ramadhan, tiap pagi dan sore, ia konsisten membersihkan seluruh petak lantai di Masjid Manarul. Semua dilakukan tanpa ada yang menyuruh dan mengawasi. Ia melakukannya seperti memenuhi kebutuhan pokok, makan. Masjid itu berdiri di atas tanah seluas 2.458 m2. Daya tampungnya sekitar 3000 orang. Perhitungan ini sebelum penambahan bangunan di sisi serambi selatan, dan saat ini bertambah lagi dari sisi timur. Manarul terdiri atas dua lantai. Lantai dua tidak menutup penuh lantai dasar, kira-kira kapasitas lima shaff, di sisi timur. Terdapat beberapa ruang serbaguna yang sering dimanfaatkan mahasiswa ketika mengadakan acara. Pada semua sudut itu, Cak Jo dibantu beberapa kawan, membersihkan setiap hari tanpa absen. Dia sempat mengungkapkan perasaannya alias curhat. Pada momen-momen seperti ini dia mengalami kesedihan yang mendalam. Maklum selama ini, dia mendapat tugas untuk menjaga Manarul sampai titik darah penghabisan alias Solat Ied di Kampus. Ia bercerita dengan tatapan mata menerawang ke atas,”Pernah suatu saat di kala kampus sepi sekali (semuanya pada mudik),” titahnya, semuanya pun terhening. Ia mengungkapkan bahwa
di kala itu hujan lebat yang cukup lama, tepat keika adzan Maghrib. Seperti biasa ia mengumandangkan adzan yang mendayu-dayu. Namun setelah beberapa saat ditunggu, ternyata Jama’ah yang harusnya memenuhi shaf-shaf di Manarul tak kunjung datang. Perasaan sedih campur gelisah. Akhirnya ia putuskan untuk mengumandangkan iqamah, padahal Jama’ah belum ada yang hadir. Lalu ia memberanikan diri maju menuju tempat imam sholat. Ada sebuah keanehan kalau saja pengurus JMMI tidak mengenal Cak Jo, dan satu orang lagi bernama Pak Mi’an. Mereka sudah ada sejak Masjid Manarul berdiri. Mereka paham semua sejarah JMMI, manarul, bahkan sejarah perjalanan kampus ITS. Duet maut ini, yang mengurusi operasional keseharian masjid. Tugasnya selain menjaga kebersihan adalah mengumandangkan adzan, menyiapkan sajadah untuk imam, memperbaiki TOA pengeras suara, dan banyak lagi. Ketimbang Cak Jo, aku lebih akrab dengan Pak Mi’an. Perawakannya menandakan ia jauh lebih tua dari Cak Jo. Tapi guyonan-guyonan segarnya, membuat aura jiwa mudanya nampak. Ia lebih terbuka dan komunikatif ketimbang Cak Jo. Terutama kalau kita berbincang masalah sepak bola dengan Pak Mian. Gayanya jadi mirip Bung Kusnaeni, komentator sepak bola yang terkenal itu. Ia juga sering kami ajak main sepak bola bareng. Kemampuannya mengarahkan tim, memunculkan panggilan baru untuknya, Coach Mi’an. Kadang-kadang sikap arogannya ketika memimpin mirip Coach Mourinho, pelatih dengan julukan The Special One. Pokoknya, seru dah nih orang, kocak pula. Hanya saja, Pak Mi’an tinggal di sebuah kamar di sisi barat Masjid. Kamarnya berada di sebelah Sekertariat Putri (Sekpi) yang sekarang jadi gudang barang-barang bekas. Sayang banget, padahal, komunikasi tidak langsung antara ikhwan-akhwat yang membantu kesuksesan acara banyak melalui Sekpi. Jangan bayangkan Sekpi bisa dihuni seperti layaknya Sekpa. Ia hanya sudut sempit dimana berdiri sebuah loker besi lima tingkat. Biasanya Sekpi jadi terminal persinggahan barang seperti surat, souvenir, bahkan uang, antara pengurus/panitia ikhwan dan akhwat. Secara feeling, Cak Jo lebih dekat dengan pengurus. Bagaimana tidak, Cak Jo tinggal di kamar berhadapan dengan kamar pengurus JMMI di Sekpa. Ia kadang-kadang jadi setegas Satpol PP buat pengurus. Ia yang mengingatkan agar pengurus rajin-rajin nyapu Sekpa, dan nggak boleh tertawa terbahak-bahak sampai orang luar dengar. Ia selalu berlalu-lalang di Sekpa. Pengalamanku hampir dua tahun “ngekos” di Sekpa, Cak Jo sudah ibarat penasihat spiritual pengurus. Oh iya, sebelum pengajian Abu Bakar Baasyir di Sidotopo dibubarkan, ia rajin menghadirinya. Katanya sih seru. Kami, para panitia RDK, bahkan menjulukinya “OC abadi”. Segala macam acara bahkan segala macam RDK, tanpa membedakan tahun, mereka ikuti dengan ikhlas. Kata mereka, itung-itung menambah pahala. Mereka banyak membantu kami, terutama saat keruwetan buka bersama. Biasanya, setiap acara RDK yang digelar di masjid, kami minta ACC dari mereka. Nyogok-nyogok dikit juga pernah supaya mereka bersedia membantu kelancaran acara. Sogokannya seperti
masakan padang, kurma sekantong, sarung beli di Sakinah, buku dari toko buku media idaman dll, Hehe… Kembali ke obrolan singkatku dengan Cak Jo. Kami duduk di meja depan dekat pintu masuk Sekpa. Meja itu yang biasanya menyambut tamu, walaupun, suasana kapal pecah di Sekpa tak bisa menghadirkan keramahan itu. Ia duduk di depanku. Kami baru saja menunaikan Sholat Dzuhur. Sepi! Ia bercerita, di dalam sholat itu, ia merasakan suasana spiritual yang dahsyat. Ia mengingat segalanya, termasuk ketika orang tua melepasnya untuk pergi merantau dengan menitipkan “sangu”. Adik-adiknya yang ia rindukan. Kampung halamanya yang jarang sekali ia sambangi. Bahkan sampai kematian yang pasti akan mampir pada setiap jiwa yang hidup. Menangis tersedu, kata yang paling pantas mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Ia mengaku, momen akhir Ramadhan ini adalah pekerjaan paling berat dalam hidupnya. Semuanya sepi, bahkan Sekpa pun sepi. Tak ada lagi canda tawa yang membuat Cak Jo lamakelamaan rindu. Ia sering terbayang wajah ikhlas pengurus JMMI. Tapi saat ini mereka semua sedang berada di kampung halaman. Sementara Cak Jo, harus menunaikan tugas ini sampai Ramadhan tuntas atau lebaran. Ia bercerita dengan tatapan mata menerawang ke atas. ”Pernah suatu saat di kala kampus sepi sekali (jamaah sudah banyak yang mudik),” titahnya, aku pun menghening. Ia mengungkapkan bahwa di kala itu hujan lebat yang cukup lama, tepat keika adzan Maghrib. Seperti biasa ia mengumandangkan adzan yang mendayu-dayu. Kadang bagiku, suaranya melantunkan adzan, sangat menggelayut hati. Aku bahkan sampai hafal cengkok suaranya. Lima waktu dan dalam watu dua tahun, hampir dipastikan itu suaranya. Kalau Pak Mi’an hampir tak pernah terdengar suaranya melantunkan adzan. Adzan pun usai. Setelah beberapa saat ditunggu, ternyata Jama’ah yang seharusnya memenuhi shaff-shaff di Manarul, tak kunjung datang. Perasaan sedih campur gelisah. Masjid seluas itu, dengan cahaya gemilau walau diiringi gemuruh, hanya terisi satu jasad. Akhirnya ia putuskan untuk mengumandangkan iqomah, padahal Jama’ah belum ada yang hadir. Lalu ia memberanikan diri maju menuju tempat imam sholat. Ia memborong sekaligus: muadzin, makmum, sekaligus imam. Seketika itu hatinya serasa di padang mahsyar. Luas, sepi, dan menandakan kerendahan jiwa. Walaupun di luar sana, orang-orang mulai riang akan hadirnya hari lebaran, ia tak peduli dan tetap terhanyut dalam sholatnya. Rasanya, jiwa antara Rabb dan hamba-Nya ini, hanya tinggal selangkah berhadapan. Semua isi nurani ia bongkar. Segala permasalahan ia adukan pada Allah. Tiba-tiba ia terngiang,“Aku jadi ingat kampung halaman,”. Ia ingat masa-masa kecilnya. Bulan Ramadhan memang akan selalu membekas, jadi hari-hari berkesan bagi seorang muslim, terutama ketika kanak-kanak. Mungkin menurutku, bukan hanya ia yang merasakan, aku juga merasakan hal yang sama. Aku ingat bagaimana cerianya kami ketika adzan maghrib berkumandang, bagaimana bersemangatnya kami berlarian menuju
masjid, dan banyak hal. Semua itu terhimpun rapih di memori. Ketika memori itu tidak sejalan realita saat ini, tentulah rasa rindu datang menghampiri. Perasaan itu membuat bacaan Al Fatihah Cak Jo bercampur keharuan. Suaranya mungkin menggema di balik pengeras suara. Rintik hujan di maghrib itu, membuatnya senang berlamalama menghadap Sang Pencipta. Air matanya jatuh, menyiram sajadah yang ia gelar sendiri. Ketika merampungkan surah Al Fatihah, dan saat ia mengucap kata “Aammiiinnn…,”, tangisnya menggulingkan kesunyian. Kadang aku berpikir tentang kehidupan karyawan masjid yang biasanya disebut “marbot”. Bagiku, mereka seperti ninja sedang beramal. Senyap, menelusup di balik gelap malam, tak nampak di silau cahaya, dan beraksi tanpa nada tinggi. Mereka buyarkan anggapan orang-orang riya dalam beramal. Dibanding orang lain, ia sudah menitipkan bakiaknya yang lusuh di syurga sana. Mereka bangun sebelum imam masjid bangun. Mereka masuk masjid sebelum seorang khotib kondang memasukinya. Mereka memegang mikrophone sebelum para imam memegangnya untuk mengatur shaff. Mereka menjadi orang pertama yang menggelar sajadah dan bertumpu di atasnya. Mereka mendatangi malaikat penjaga masjid, sebelum malaikat itu terjaga. Di penghujung malam, ia menjadi penunggu para jamaah pulang. Satu persatu pintu, ia tutup rapat, tanggung jawab keamanan ada padanya. Lampu masjid sontak padam seiring langkahnya keluar masjid. Ia bersiap merangkai mimpi, sebelum akhirnya kembali dibuyarkan sang fajar yang akan berkunjung melamar. Hari esok ia ulangi persis seperti hari ini, dan begitu seterusnya sampai ia bertemu bakiak yang karetnya sudah lepas itu. Kelas sosial menghukumnya agar tidak banyak tingkah. Di tengah penjara rutinitas, ia menemukan secercah cahaya kehidupan. Kadang, Marbot-lah yang lebih paham berbicara esensi kehidupan. Otaknya masih murni. Ia tak perlu ribet dengan teori Makro-nya Adam Smith dalam buku wealth of nations. Ia juga tak perlu pusing dengan teori Kegagalan Pasar dalam ilmu mikro. Masalah uang, biarlah bersemayam di buku-buku ekonomi. Biar tak tambah runyam, ia hanya butuh uang lima ratus ribu per bulan untuk membeli selang oksigen dari Tuhan. Walau sebenarnya itu hanya kebaikan Tuhan memberi diskon tambahan detak jantung normal pada manusia seperti dirinya. Marbot sama sekali tak pentingkan uang. Ingat, ia bukan pengemis walau pakaiannya mirip Umar Bin Khattab ketika jadi khalifah. Mall menjamur di Surabaya, tak membuatnya tergiur pergi ke twenty one atau Tony Jack sekalipun. Pengabdian adalah kebanggaannya. Tak banyak peneliti yang melihat perasan keringatnya. Hanya saja, ia lebih yakin pada penilaian Allah saat yudisium di padang Mahsyar nanti. Diam-diam aku perhatikan mereka. Seandainya tidak ada mereka, masjid pasti terbengkalai. Dosen yang bergelar doktor itu pasti tak akan mau tangannya kotor oleh debu. Jangankan dosen, apa mau mahasiswa yang sedang mengejar IP dan prestasinya itu melakukan pekerjaan
marbot? Bahkan seorang pegawai tata usaha yang pekerjaannya selevel saja perlu berpikir seribu kali. Ini amalan akhirat. Tak mudah menjalankannya dengan hati semrawut tanpa iman. Marbot adalah orang-orang terpilih. Panitia seleksinya bukan HRD sebuah perusahaan multinasional. Ia langsung digiring dalam skenario Tuhan. Ujian paling sulit adalah tes keikhlasan. Tak semua marbot lulus. Hanya Allah yang tahu. Siapa di antara anda yang bercita-cita jadi marbot? Jawabannya, no one. Jalan pikiranku sejalan dengan anda. Seandainya aku lama tinggal di masjid, mungkin penyebabnya aku sudah tak punya tempat tinggal. Bukan untuk sebuah pengabdian. Setelah pintu dunia itu dibuka, memelihara stagnasi di masjid bukanlah keputusan tepat. Aku yakin, kita sejalan. Sekarang coba kita artikan marbot secara esensial. Realita sosial memang memaksa kita begitu. Dunia penuh dengan pembagian tugas. Cak Jo jadi Marbot, anda jadi pengusaha, aku jadi pegawai negeri (misalnya), atau pekerjaan lainnya. Bukan berarti masjid akan dimonopoli marbot saja. Bahkan kita harus menghancurkan “monopoli” masjid dari marbot, orang lulusan sekolah agama, atau anak kyai sekalipun. Buktikan kalau seorang seperti aku yang dari kecil keracunan pendidikan sekuler dan kuliah tidak di bidang agama, pandai juga memakmurkan masjid. Solusinya, bagaimana kita bisa memunculkan jiwa marbotisme dan melakukan marbotisasi pada lingkungan sekitar kita. Intinya mudah: pengabdian. Sebuah tindakan dari dorongan keimanan, untuk bertindak ikhlas seperti seorang marbot. Dan aku belajar banyak setelah menjadi panitia RDK. *** Kisah Cak Jo dan keluarga besar marbot di seluruh dunia, membuatku menarik pikiran tentang dunia. Diiringi lagu I’tirafnya Raihan dari komputer yang audio-nya kresek-kresek itu, kami diajak bermuhasabah atas apa yang telah dilakukan. Subhanalloh, sebuah cerita yang terselip banyak hikmah. Terkadang menyendiri itu penting untuk men-chagre kembali energi yang hilang. Angin menyelinap dari ventilasi Sekpa yang berdebu. Kadang, kerjaku untuk akhirat tak setingkat dengan kegigihanku mengejar dunia penu semu. Asap memantul dari efek rumah kaca tak membuatku sadar bahwa bumi pun tak akan lari dikejar. Hujan nuklir di Chernobyl membuatku berpikir betapa lalainya aku menghajar nafsu yang tidak stabil. Syaraf motorikku memang hanya mampu meraba dunia. Mataku bisa paham mana uang sepuluh ribu, mana seratus ribu, walaupun keduanya berwarna sama. Lidahku bisa memahami nasi aking yang memuakkan dan sphagetti yang melezatkan. Tubuhku hanya bergetar pelan, ketika wanita cantik berjajar di hadapan. Telingaku hanya bisa memasuki angan-angan kosong seorang pembual mimpi. Hidungku hanya mencium wangi premium dari pantat Alphard!
Semua kenikmatan itu semu, menjemukan. Aku berpikir gulung karpet merah hall of fame, dan memilih jadi broker. Aku sedang berusaha menjalani. Aku memilih bermain saham di rumah Allah, siapa tahu aku dapat profit berbunga-bunga dari hasil investasi tersembunyi. Menang besar. Aku pikir lagi, solusi mencintai akhirat dengan spenuh jiwa, terlihat terlalu naif. Egois! Hanya menyelamatkan diri sendiri di balik kubah setengah membundar. Solusi terbaik, sekali lagi adalah jalan tengah. Tetapkan batas atas dan batas bawah, sejauh mana toleransiku pada dunia. Mudah-mudahan standar yang kubuat terlaksana, karena sesuai dengan kemampuan jiwa.
Menahan Tawa di Supermaket 27 Ramadhan/27 September. Walau suasana sepi, kami tak kehabisan akal untuk membuat hidup lebih menyenangkan. Semua orang di Sekpa termasuk SC RDK sudah pulang kampung, tak ada lagi yang tersisa. Dua orang setengah waras pergi belanja. Aku dan Mas Udjo, makhluk hidup yang tersisa. Sebelumnya kami pergi ke Sakinah membeli Parcel dalam bentuk jadi. Dilihat-lihat, harga seratus ribu tidak mendapat barang-barang layak. Parcel itu hanya berisi astor, biskuit, wafer, susu kotak, sirup dan aku lupa beberapa barang kecil lainnya. Kalau dihitung total, jumlah barang-barang itu sekitar Rp 70.000. Berarti yang bikin mahal adalah tempat parcel. Padahal tempat parcelnya dari plastik. Jelas jauh lebih jelek kualitasnya ketimbang dengan anyaman kayu. Kurang eksklusif. Setelah kami kecewa dengan salah satu penyedia jasa parcel, kami berputar otak mencari ide agar parcel kita murah dan memuaskan. “Wah, nggak sebanding sama harganya nih,” ungkapku dengan logat betawi yang khas. “Iya, ya, masak cuma dapet gini doank, udah gitu tempatnya pakai keranjang biasa lagi,” tambah Mas Udjo. Rencananya kami mau memberikan parcel kepada Ustad Maksum, Pak Mi’an, dan Cak Jo. Beliau-beliaulah yang selama ini membantu kami. Ustad Maksum tak pernah absen berdiri di pole position. Sedangkan Cak Jo dan Pak Mi’an menjadi asisten di RDK ini dengan penuh keikhlasan. Kami ingin memberikan kesan baik kepada mereka. Ya, kami kan jarang-jarang juga memberikan sesuatu pada mereka. “Yaudeh Bey, gimane kalau kita pergi ke Giant aja. Kita beli sendiri terus jadiin parcelnya sendiri,” Ujar Bang Udjo, PH yang nyaldo (masih tinggal) di Sekpa. Kalau dalam posisi terjepit, mahasiswa bisa berpikir cerdas tentang uang. Akhirnya kami berangkat menuju TKP. Letaknya berada di Jalan Arif Rahman Hakim. Dengan bermodal motor butut penuh plesteran, kami siapkan rencana. Kami tidak lupa membawa uang. Motor digeber ke ATM, perampokan dimulai. Sebelum pulang kampung, Marwan memberi kartu tanda mahasiswa yang juga berfungsi sebagai kartu ATM, lengkap dengan nomor PIN-nya. Semenit kemudian, kantong kami penuh dengan segepok uang biru lima puluh ribuan. Hasil tangkapan hari itu 300 ribu repak. Wajah kami sumringah. Ya cukuplah! Sampailah di depan pintu pusat Grosir yang kalau di Jakarta biasanya gede-gede gedungnya. Tapi kalau di Surabaya sepertinya jauh lebih kecil, wajar masih baru berdiri. Penampilan kami
pun tidak begitu menjanjikan. Tokoh pertama memakai memakai jaket jurusan, satu lagi cuma ada selembar kaos bola lawas melekat di badan. Sandal jepit menemani langkah-langkah mujahid ini. Muka The Kill and The Kumel (dekil dan kumal) membantu mendramatisasi. Maklum, masih rada’ capek dan panas di perjalanan. Penampilan kami seperti pembokat lagi disuruh belanja sama majikannya. Seperti biasa, dua orang yang dikenal rame ini masuk dengan PD-nya. Sambil cekikikan, mengambil keranjang jinjing. “Eh...Mas emang belanja 300 ribu muat apa pake keranjang doang?!,” sahutku. “Oh iya, cerdas banget lu, tumben...kite pake gerobak aja yah,” ujar Mas Udjo sambil melempar senyum manisnya. Gigi kuningnya itu kelihatan seperti emas Afrika Selatan yang berkilau. Kita pun berbagi tugas. Kalau sudah di JMMI, maka semuanya, kalau bisa, terorganisir. Kata Ali Bin Abi Thalib, kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Termasuk bercanda juga harus terorganisir dengan baik. “Yo’i Bey...gue yang bagian ngitung pengeluaran, lu yang ndorong gerobak,” tegasnya. “Okeh deh kakak...,” timpalku sebagai tanda kepatuhan terhadap yang lebih tua. Baru awal masuk gerbang, kami sudah dilenakan dengan indahnya warna buah. Kami harus pintar-pintar memilih barang yang akan diberikan pada mereka. Alasan utama, uang terbatas. Kalau tidak, mereka bisa kecewa dan akhirnya akan berimbas pada kegiatan-kegiatan kami. Coba bayangkan kalau seandainya Ustad Maksum mogok kerja. Waduh, siapa yang menggantikan jadwal ceramah shubuhnya? Siapa pula yang menggantikan imam sholat berjamaah? Setelah beberapa menit berjalan, kami menemukan buah. Merah bara, kuning langsat, hijau mulus, beragam lainnya. “Wah, ada duren monthong nih,” tuturku tanda ketertarikan. Durennya gede banget plus tajam-tajam. Kelihatannya manis. “Gimane kalo kita kasih duren aje Bang!” ujarku. “Kagak ngapa...duren kan enak,” “Oiye..bener juga lu, jadi nanti tinggal nunggu kepala lu dilempar pake duren sama Pak Ustad,” balasnya. Kubalas dengan senyum sewot. Setelah berputar-putar, akhirnya kita mendapatkan barang incaran. Ada segenggam kertas di tanganku. Isinya, list apa saja yang akan dibeli untuk parcel. Sigap secepat kilat seperti pendekar Shaolin. Kami mengambil satu per satu sesuai daftar belanjaan. Gulaku, Indomie goreng, Sirup Giant, Wafer Tanggo,dll. Terambil dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
“Uangnya masih sisa nih, 40 ribuan tiap orang,” kami berdiskusi. Target kami, uang itu tak boleh bersisa. Budget itu sudah kesepakatan SC, layak menurut ukuran kami. Kami juga heran. Dengan uang segitu, barang yang terbeli jauh lebih banyak dari perkiraan. Bandingkan dengan barang-barang di parcel yang akan kami beli kemarin. Harga 100 ribu tapi dengan isi yang kalau dihitung hanya 70 ribuan. Jauh banget. Itulah fungsinya otak, berpikir kreatif di kala terjepit. “Hmm, apa lagi ya mas,” gumamku. Mataku menjalar ke seluruh sudut rak penyaji. Barisan makanan berebut menyapa simpatiku. Mereka ingin aku yang memilih. Ketika sedang mencari-cari barang, sampailah kita pada bagian minuman. Matanya pun melirik nakal, alisnya beberapa kali diangkat, sambil melemparkan senyum licik. Kalau sudah begitu sikapnya, berarti gejala-gejala kalau biusnya sudah habis. “Gimane, kalo kita kasih ini aja...,” ujarnya sambil menunjuk sebuah botol. Labelnya mencolok berlukis kata terbaca “Bintang Pilsener”. Tuh kan bener, obatnya Mas Udjo habis. Kambuh lagi. “Ancuurrrr, Gile lu Mas...mau diusir dari Sekpa ya, wah parah beud lo!” ujarku spontan. “Mau lebih parah lagi, lu kirim ntu barang ke rumah Habib Rizieq,” komentarku lanjut. Kami berdua pun bergelak tawa terbahak-bahak sambil membayangkan bagaimana reaksi Ustad Maksum ketika membuka parcelnya. “Hah...kurang ajar panitia RDK nih!,” Pak Ustad marah besar. Hore-hore, sekali-kali ngerjain ustad ah… Subhanalloh, kami pun dipertemukan dengan minuman yang menjadi primadona di hari lebaran. Yups, sirup..rup..rup.., macam-macam jenisnya. Ada marjan, ada ABC, bahkan sampai Giant memproduksi sendiri. Yang pasti, sirup mangrove buatan teman saya, anak Biologi, belum eksis. Bukan mahasiswa rantau namanya kalau tidak ngirit. Penilaian pertama sebuah barang bukanlah rasa atau warnanya yang menarik mata. Prinsip kami, harga nomor satu. Mengenai rasa, silahkan disyukuri saja yang ada. Seandainya dibuat judul lagu, maka kami merekomendasikan judul “Ketika Dompet Berbicara” bisa dinyanyikan Ebiet G Ade, Iwan Fals atau Bang Rhoma. Bercandanya selesai, kami serius lagi. Pengembaraan dilanjutkan. Gerobak putar haluan. Sampai-sampai karyawan Giant pada bingung. Mereka melihat aneh sikap kami. Dari ujung rambut kepala sampai ujung rambut jempol diperhatikan betul-betul. “Ini orang belanja kok muter terus, tapi nggak ada barang yang diambil,” gumam karyawan tersebut (mungkin). “Gile tengsin banget gue Mas...,” “Kenapa?”
“Kagak malu apa? Kite diliatin orang terus tuh! Kita lho merasa kayak Giant punya nenek moyang kita,” “Terus...?!?!, nggak ngurus jeh!” balasnya cuek sambil berlalu mengambil gerobak yang sebelumnya aku pegang. Roda gerobak berputar tanpa tahu ia akan dibawa kemana. Gerobak saja bingung, apalagi kami. Bayangkan saja, tiap memilih barang pasti dua orang ini komentar atau debat dulu. Lebih banyak komentarnya daripada belinya. Lihat barang kerupuk satu bungkus yang kelihatannya enak, kami langsung berkomentar. “Wih, harganya 15 rebu! Murahan beli di pasar cuy. Paling seribuan,” teriaknya keras-keras. Aku balas saja,“Eh...Mas, mau lebih murah lagi? Bikin sono sendiri!”. “Yeh, cerdas juga lo,” sekali lagi gigi kuningnya berlindung di atap bibirnya yang tebal. Kumisnya menggoda seperti Pak Raden. Jenggotnya? Jangan tanya, aduhai mengilukan. Pengen muntah ngeliat-nya. Tepat di samping kami ada dua petugas Giant. Dari tadi mereka tidak berhenti mesam-mesem. Mungkin gara-gara melihat kita banyak berdebat sama komentar ketimbang beli barangnya. Anehnya tidak ada di antara kami yang tersenyum sipu tanda malu. Yang ada hanya melanjutkan komentar. Bahkan terkesan komentar yang tidak ada ujungnya. Tanpa sedikitpun menunjukkan rasa malu. Lanjut kasus kedua ketika mau membeli susu. “Waduh, cocoknya dikasih susu apa ya?” katanya. Berlagak jadi pemikir besar macam Socrates atau Aristoteles. “Pak Ustad cocoknya Anlene jenis 51+,” komentarnya. Alasannya singkat, biar kuat pas jadi imam. “Bahkan kalau bisa jangan hanya tripple Qulhu (Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas), sekali-kali satu rakaat habis satu Al Baqoroh,” tambahnya. Halah, sholat ngantuk terus aja pake ngomong Al Baqoroh. “Sok kuat lo. Ceramah aja molor!,” balasku “Terus yang lain gimana?” lanjutku. Kami merenung. Di kepala Mas Udjo ada lampu menyala, ia dapat ide. “Kalau buat Pak Mi’an. Gimana kalau LMen? biar sixpack jeh!,” gerutunya. “Biar kuat ngangkut kotak amal,” lanjutnya.
Kotak amal di masjid kami jumlahnya puluhan. Nah, yang bertugas mengumpulkan dan menyebarkan hanya pak Mi’an dan Cak Jo. Jadi butuh suplemen supaya tidak pegel-pegel. Tapi setahuku, menurut OC penghitung kotak amal, kalau sudah menghitung uang kotak amal, rasa pegal jadi hilang. “Yasudah, sekalian pukul rata, semua kasih Prenagen aja ya!” timpalku kesal. Memang mereka bertiga pria berbadan dua apa? Suasana kembali pecah. Tertawa lepas seakan tidak peduli banyak pengunjuk yang lewat. Sambil garuk-garuk kepala, orang di sekitar heran. ”Tolong…di Giant ada orang stres,” teriak pengunjung memanggil satpam. Untung nggak sampai separah itu. Mungkin kalau ada akhwat lewat, baru bisa diem ini makhluk. Maklum biasanya pada jaim, sok cool, dan sok dewasa kalau ada lawan jenis lewat. Gayanya jadi kayak bapak-bapak di tanggal tua. Bersikap bijak atas segala masalah menimpa. Aslinya sih nggak banget, masih seperti murid Play Group. Kejadian ini tetap membawa hikmah. Kami jadi bisa ikut memikirkan perasaan orang lain. Pantas atau tidak diberikan. Biasanya orang hanya memberikan tanpa dipikirkan kepantasan, atau kecocokan bahkan dari sisi psikologi. Bahasa kerennya, “yang penting ngasih”. “Kalau ustad dikasih ini…itu…pantas nggak ya??” perasaan itu pasti ada. Itu yang sering menjadi pertanyaan besar kami. Kami berusaha menyenangkan mereka. Apalagi sebentar lagi lebaran, hari kemenangan, katanya. Sebenarnya juga kalau dipikir-pikir, mereka tak terlalu berharap “hadiah” ini. Semua dilakukan dengan ikhlas. Kami harap ini bisa mewakili rasa terima kasih atas keikhlasan mereka. Pencarian belum berakhir. Uang masih sisa banyak. Ada usulan baru. Saat itu kami sampai pada gerai cemilan-cemilan yang lumayan elit. Aku saja ngiler dibuatnya. Cemilan khas berbahan dasar coklat tampil dengan berbagai bentuk dan tipe menarik. “Hmmm...(lagi-lagi sok mikir), gimane kalo kita beli ini aje?” ujar Mas Udjo sambil menunjuk sesuatu yang kelihatannya elit. Ketika dilihat harganya ternyata 96 ribu sekian. “Aje gile lo Mas!” tuturku spontan. Wajar saja mahal, mereknya cadbury. Budget kami 100 ribu tiap orang. Kalau dibelikan Cadbury, masak satu parcel isinya itu doank. Udah kecil, mungil, nyempil kayak upil, mahal lagi pril! “Nanti kalau giginya Ustad Maksum bolong, lu mau tanggung jawab?” “Ya, nggak papa. Sekalian kita menuntut reformasi (suksesi) imam masjid. Masak JMMI terus yang diganti, dia nggak pernah,” alasannya agak logis, tapi nggak masuk akal. Nahloh? “Dia dikontrak seumur hidup kaleee,” ujarku sambil sewot. “Biar lu naik pangkat jadi imam,” celotehnya.
“Madikipe lu! Emang jadi imam gampang apa?” balasku beriringan dengan pisuhan enteng khas betawi. Itu bentuk keakraban saja, seperti orang-orang Surabaya berargumen kalau c*k adalah bentuk keakraban arek suroboyo. Betawi juga punya. Tapi taraf kekasaran madikipe tak separah c*k. Ada lagi yang lebih hot. Semua itu aku pelajari saat bergaul di panasnya aspal jalanan perkotaan. Akhirnya di tengah mampetnya cairan di otak kami karena bingung memilih isi parcel, secara tak sengaja terlihat dari kejauhan ada sebuah kesibukkan yang tidak biasa. Nampak ada orang sedang membawa parcel! Karyawan Giant tersebut sedang merapihkan parcel. Kebetulan di Giant juga menjual parcel khusus lebaran tahun ini. Seketika otak kami kembali jernih, sejernih mata air pegunungan dari Pandaan. Kami bermain kode Morse lagi. Mataku mulai melirik nakal. Sambil menaikkan alis tanda rencana jahat ada di pikiran. “Wek, wek, wek, cerdas juga lo Bey. Daripada bingung, kite nyontoh barang-barangnya,” ujarnya membaca kode yang kulempar. “Dari tadi kita emang jodoh ya Mas,”. Segera bertindak cepat. Kami coba pandangi satu persatu barang di dalam parsel. Parcel besar itu masih tebungkus dengan rapih. Ada bunga-bunga yang turut menambah keindahannya. Kami melihat list di kertas yang dari tadi aku genggam. “Biskuit udah..Gula udah..wafer udah..,” kataku sambil melihat-lihat parcel. Sementara Mas Udjo dengan PD-nya bertanya pada karyawan tersebut, “Pak…Parcel yang besar ini harganya berapa?”. “Murah...Cuma 299.900,” ujar sang karyawan. Aku cuma bisa menahan tawa agar tak terlepas, “Hahaha...salah sendiri pake nanya-nanya! Sadar dong, lo bawa duit berapa?”. Dalam hati berujar, mahal banget yah... Cukup lama kami melihat-lihat sambil berlagak sok mau beli. Masalahnya sales-nya masih ada di dekat kami. Ia memandangi kami dengan tatapan curiga. “Okeh Is..gua dapet barangnya,” teriaknya. Tak butuh lima menit, kami menambah referensi barang untuk menghabisi uang 40 ribu tiap orang tadi. Kita berdua langsung ngacir tanpa bilang terima kasih. Sales tadi cemberut.
Pencarian kembali dimulai. Ketika kami sedang sibuk mencari barang referensi baru, tiba-tiba kembali kami melihat ada pemadangan unik. Ada seorang kakek tua berjalan agak sempoyongan. Ia pun melewati kami tanpa peduli. Rambutnya berselimut salju, mirip pengacara kondang Adnan Buyung Nasution. Bagaimana ya cara menggambarkan kesepuhannya? Pokoknya sudah bau tanah dicampur pasir sama kerikil terus diaduk sama semen. Badannya gemuk gempal. Tampilan bajunya modis menandakan ia bukan orang sembarangan. Di tangannya tergenggam dua buah botol. Tulisan di tengah botolnya yang membuat kami tertawa. Dia sedang menggenggam dua botol dengan cap khas “Bir Bintang Pilsener!”. Botol yang sejak tadi kami jadikan bahan lelucon. Ternyata ada juga yang tertarik membawanya. “Pak...inget umur, inget cucu, dan inget jalan pulang ya…” Kami pun saling berpandangan satu sama lain. Sama seperti adegan Nicholas Saputra sedang berpandangan dengan Dian Sastrowardoyo Ing Ngarso Sung Tulodo di film AADC. Atau ketika Sharukh Khan bertatapan dengan Angelina Jolie di Film Kuch-Kuch Hota Hai. Aduh...sejak kapan Angelina Jolie main Kuch Kuch Hota Hai? Kajol kali! “Bey...Bey...tau nggak apa yang terbayang dalam benak gue?”. Ia mencoba menarik perhatianku sambil menarik-narik bajuku yang semakin kusut tak terurus. Setelah lama berpandangan, kita tertawa terbahak-bahak. Hanya perasaan kami yang saling mengerti yang membuat kami tertawa lepas. “Wakakakak...gua ngebayangin seandainya yang megang botol tadi Ustad Maksum,” timpalku. “Cocok dah blur!” ujarnya sambil mengembangkan senyumnya. Afwan ustad, kami bercanda. Daripada stres mikirin hidup, nanti kami gila. Tangan kami lincah, dibarengi mata kami yang selalu awas seperti Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat). “Horee...akhirnya kita dapat semuanya,” ucap kami gembira. Uang 300 ribu itu habis bersih. Apa yang kami dapat jauh lebih banyak dari perkiraan, tentu juga jauh dari parcel di Sakinah. Pergilah kami ke kasir. Subhanalloh, ternyata uangnya pas banget. Bahkan kita bisa menyumbang 1.500 perak untuk baksosnya Giant, sekaligus korupsi wafer Tanggo satu kaleng. Yah...anggap saja “uang rokok”. Repotnya ketika kami membawanya ke markas besar sekertariat putra. Kalau biasanya pengunjung lain ketika membeli dikasih bungkus plastik, kami memilih dibungkus pakai kardus. Masya Allah...ribet amat! Ketiga kardusnya besar semua. Bisa terbayanglah kami harus berakrobat di atas motor agar muatan itu bisa sampai ke Sekpa. Aku jadi supir. Dua kardus menumpuk tinggi di depanku sehingga sangat mengganggu pemandangan. Aku pegang kemudi dengan sedikit maksa. Bahkan untuk belok saja, aku harus
bersusah payah memutar setir. Membutuhkan radius besar untuk memutarnya. Ini pelajaran Tugas Merancang Kapal I bab Manouvering. Mas Udjo juga tak kalah akrobatiknya. Ia harus duduk tipis bertumpu di bagian belakang motor. Meleset sedikit, akrobatiknya bisa semakin atraktif, alias ngejeledak gubrak! Setelah mengarungi perjalanan yang panjang nan memegalkan, kami sampai pada markas tercinta. Sebentar menahan panasnya Matahari. Sebentar lagi Dzuhur. Cak Jo tarik nafas dalam-dalam. Ia sudah pegang mikropon. Adzan terlantun. Tak perlu lama seperti hari biasa, qomat segera berkumandang. Sholat Dzuhur saat itu, seperti sholat di hutan pegunungan Grozny bersama. Sepi…. “Ssssssttt...Alhamdulillah akhirnya tugas kita selesai, terima kasih Bang Udjo!” ujarku dalam hati.
Tanggal Keikhlasan Alhamdulillah, di saat aku memimpin sebuah kepanitiaan yang banyak membutuhkan pengorbanan, Allah mengizinkankan jiwaku untuk melangkah di umurku yang ke dua puluh ini. Ya, tepat tanggal 28 September 2008, dua dasawarsa aku jadi hamba Allah. Aku mengemis di bawah sifat pengasih Sang Pencipta. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Semuanya penuh rasa terima kasih. Banyak sahabatku meninggal di umurnya yang masih kepala satu. Perasaan syukur langsung terlontar dari mulut yang kelihatan semakin mengering karena kesibukkan bulan Ramadhan. Kalau mengingat-ingat dahulu ketika masih kecil, keluargaku memiliki kebiasaan untuk mengajak aku dan adikku ke sebuah restoran atau mall di hari ulang tahun kami. Ibuku berujar, bahwa hal ini dimaksudkan untuk menghibur anak-anaknya. Maklum, kami jarang pergi ke sana. Hampir setiap tahun, tepat di hari ulang tahunku, selalu ada perayaan yang bersifat internal keluarga. Tapi semuanya tergantung kondisi ekonomi keluarga. Kadang hanya menerima ucapan selamat disertai kecupan di kening. Ataupun sekedar menambah uang jajan pada hari spesial tersebut. Namun itu saja sudah cukup bagiku. Tidaklah penting kemegahan perayaan. Karena momen ini adalah momen peringatan, jarang sekali dirayakan secara megah. Oh iya, dahulu kala pernah dirayakan, ketika aku masih kecil sekali. Aku sendiri sudah lupa isi acaranya apa saja. Paling terakhir, ketika sweet seventeen. Itu pun hanya memberikan sedikit “bancaan” ke para tetangga dan mengundang teman-teman Rohis. Sesuai adat istiadat anak Rohis, perayaannya harus simple tapi ngena. Apa hadiah yang aku dapat? Selembar KTP! Eksistensi diri meningkat. Mengapa teman-teman Rohis yang kuundang. Pertama, mereka orang yang paling banyak membentuk jati diriku. Wajar, sebagai seorang pelajar, waktunya banyak habis di sekolah. Nah, kebetulan waktuku sering kuhabiskan dengan mereka. Sedangkan teman-teman sepermainan di sekitar rumah sudah agak renggang. Apalagi ketika aku bersekolah di Jakarta. Aku sering pulang malam. Tak bisa lagi nongkrong atau ngeband tiap malam minggu seperti dulu. Aku lebih senang kalau anak-anak Rohis yang hadir. Mereka nggak neko-neko, tidak pernah pula mengomentari makanan yang dihidangkan. Bagi kami, sebuah persaudaraan jauh lebih penting. Padahal di antara mereka tidak sedikit orang-orang yang hidup lebih dari cukup dan setiap hari ketemu daging di meja makannya. Tak ada sahabat yang lebih kucintai selain kawan-kawan yang selama ini berjuang dalam aktivitas dakwah. Mereka adalah orang-orang yang di balik senyumnya tersimpan sebuah azzam. Bergelut bersama kejamnya arena dakwah. Aku sendiri masih merasa belum pantas menyebut diri aktivis dakwah.
Aku merasa masih setengah-setengah dalam jalan ini. Terlihat jelas dari perilaku semi bebas, pemikiranku dibiarkan mengumbar, bahkan cenderung mengarah pada kemunafikan. Tapi hal itu aku anggap sebagai sebuah pencarian jati diri. Pada saatnya nanti aku akan sadar dengan sendirinya. Insya Allah. Kalau mengingat masa lalu, kehidupanku mirip seperti apa yang didendangkan teater Kanvas satu dekade lampau. Pernahkah anda mendengar lagu nasyid berjudul “Generasi yang Hilang”? Itu cerminan diriku. Lagu yang mengenalkanku pada komunitas dakwah ini. Oh, Generasi yang hilang Korban perang peradaban Apa artinya ilmu pengetahuan Tanpa takwa dan iman Anak...sekolah Berangkat untuk tawuran Berbekal poster Madona Dan mimpi kura-kura ninja Mereka susuri jalan-jalan masa depan penuh ancaman Topeng-topeng penuh kemunafikan Apa yang terjadi selama ini adalah sebuah jalan yang kita sama-sama menyenanginya. Sebuah jalan yang tidak semua orang berhasil melaluinya dengan baik. Sehingga apa yang terjadi di dalamnya adalah sebuah nikmat yang besar. Begitulah indahnya ukhuwah. Belum ada yang sanggup menggantikannya. Bahkan solidaritas kuat suporter The Jack Mania atau kesetiakawanan komunitas musik underground, jauh tak mengena di hatiku. Waktu itu, hanya sekitar dua puluh orang yang hadir. Mereka semua orang-orang tegar yang berjuang di bawah keterasingan. Ada teman-teman Rohis di SMP, kawan-kawan Remas dekat rumah dan sahabat-sahabatku Rohis di SMA. Suasana pun begitu mencair seakan masingmasing dari kita sudah saling mengenal walau baru kali itu bertemu. Mereka berasal dari berbagai induk organisasi yang tak punya hubungan sama sekali. Tak ada lagu “Happy Birthday”, “Selamat ulang tahun” atau lagu-lagu khas yang lagi nge-trend di kalangan anak muda zaman sekarang. Jangan berpikir akan diakhiri dengan pesta lepas bujang. Tak ada pula manik-manik perhiasan, balon-balon, doorprise, dan kado-kado yang berwarna-warni bungkusnya. Terpenting, tak ada wanita! Haha!
Semua itu dilangsungkan dengan sederhana. Seperti layaknya membuka mentoring. Didahului dengan basmallah, tilawah dan sedikit kata sambutan dari orang tuaku. Aku memberi ucapan terima kasih, kemudian mereka membalas dengan menyebutkan kesan-kesan terhadapku. Setelah itu acara inti: makan-makan. Sederhana tapi aku merasakan hal yang sangat berbeda. Sebuah atmosfer yang terasa begitu menyejukkan. Semuanya penuh dengan kesederhanaan. Padahal ada sebagian dari tamuku, seorang putra dari direktur sebuah perusahaan telekomunikasi, ada pula anak pejabat BPK, anaknya perwira Kopassus, anaknya ustad terkenal dll. Tapi semuanya membaur dalam sebuah ukhuwah yang selama ini belum pernah ada yang sanggup membayarnya. Subhanalloh, suasana lebih mengharukan terjadi pada tanggal 28 September 2008, di kala umurku menginjak 20 tahun. Tahukah engkau, aku tidak merasakan sesuatu yang berbeda dalam hidupku. Bahkan sempai keluargaku sendiri sempat lupa mengucapkan selamat ulang tahun. Beberapa hari kemudian baru menyampaikan ucapannya dan meminta maaf atas kealfaan ayah, ibu dan adikku. Aku menyadari. Pada hari itu, orang tuaku baru saja datang ke Surabaya dalam rangka bersilaturahim. Tapi aku kok tidak merasakan sesuatu yang berat ketika sahabat atau sanak saudara terlupa mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Bukankah itu sebagai sebuah tanda cinta atau tanda setia dari seorang sahabat atau sebuah keluarga? Sebuah tanda pembawa semangat baru di umur yang baru. Sebuah tanda kepedulian terhadap orang yang dicintainya. Walaupun hanya sekedar ucapan “Selamat ulang tahun ya...,”. Pasti akan langsung aku balas, “Terima kasih ya...,”. Tapi jujur, tak ada satu pun yang ingat. Lucunya, pada malam harinya keluarga besarku menyelenggarakan buka puasa dan tarawih bersama. Namun tak satu pun dari orang-orang itu yang ingat dengan hari kelahiranku. Padahal mereka telah memakan cemilan-cemilan yang kubeli dan kuniatkan untuk tasyakuran, tanpa sepengetahuan mereka. Apakah mereka tidak peduli dengan saudaranya ini? Saudara satu darah. Lalu kemanakah saudara-saudaraku seiman dan seperjuangan itu? Mereka yang selama Ramadhan ini berjuang bersamaku pun tak ada yang memberikan sambutan bahkan hanya sekedar serpihan semangat. Tak apalah, aku mencoba berpikir positif. Mungkin mereka sedang sibuk untuk mempersiapkan hari raya yang tinggal beberapa hari ini. Mereka juga sedang bahagia karena sudah berada di kampung masing-masing, bertemu keluarga tercinta. Biar Allah sajalah yang langsung memberikan kado terindah di akhir bulan penuh barokah ini. Diriku memang orang yang tertutup, bukan orang yang selalu menceritakan semua isi hati kepada orang lain. Aku juga tidak terlalu berharap akan ucapan itu. Bagiku tidak ada hari spesial dalam hidup. Semuanya dilalui dengan apa adanya saja. Tak perlu banyak persyaratan membingungkan. Dengan berucap syukur Alhamdulillah, aku melangkah di umurku yang berkepala dua ini. Semoga Allah menjadikan aku orang yang pandai mensyukuri nikmatnya. Semoga pula ia
menghapus kekhawatiranku dipecat dari barisan pembela agama-Nya. Supaya aku bisa membawa keluarga dan orang-orang terdekatku ke dalam syurga-Mu. Itu saja cukup. “Selamat Ulang Tahun Ya Bey, semoga barokah,” ucapku pada diriku sendiri. Pada malam setelah tarawih, aku menitikan air mata di tempatku bersujud. Tak menyangka, sebelum meninggal dunia saja aku sudah banyak dilupakan orang, apalagi nanti kalau...
Kesepian 30 September menambah kenangan baru bagi bangsa Indonesia. Orang biasa mengenal dalam sejarah sebuah peristiwa besar, heroik dan mengharukan. Peristiwa itu berbalut air mata kesedihan tujuh pahlawan yang pergi ke pusaranya. Mereka adalah para pejang yang membuat Indonesia bisa terus bertahan sampai saat ini. Ya, Peristiwa G 30 S PKI tak mungkin mudah dilupakan. Di hari ini juga tanggal 30 September 2008 menjadi saat yang paling menyedihkan bagi bangsa Indonesia yang khususnya beragama islam. Hari ini adalah hari terakhir dalam bulan penuh berkah di tahun 1429 Hijriyah. Mungkin bagi yang tidak menyadari esensi dari bulan Ramadhan akan merasakan kegembiraan ketika Ramadhan itu pergi. Mengapa? Karena makan minum dan nafsu yang lain sudah bebas diumbar sekarang. Ini semua fakta yang selama ini terjadi di Indonesia. Aku termasuk pelakunya. Detik-detik berdenting menyongsong lahirnya menit. Menit-menit pun berharap segera hadirnya jam. Sehingga jam-jam berlari meninggalkan segala sesuatu untuk mencapai hari-hari dan minggu-minggu. Begitulah sang waktu yang selalu berkejaran tanpa mengizinkan yang lain mendahului. Hari-hari itu cepat berlalu. Sekarang sudah tidak ada lagi kenikmatan-kenikmatan itu. Kenikmatan berbuka puasa bersama, kenikmatan bertadarus bersama, kenikmatan menyendiri dalam i’tikaf, kenikmatan mengkaji ilmu-ilmu agama di bulan Ramadhan. Hilang seketika. Silaturahim ke Mall Kampus sepi, sunyi, tak ada kehidupan yang mewarnai. Orang dua kembali beraksi melakukan tindakan di luar kontrol. Jujur saja, otak kita lumayan penat. Setiap hari hanya memandangi rumput yang bergoyang, ranting yang melambai-lambai disertai suara-suara cucunya Ustad Ma’sum yang sedang bermain di halaman depan Sekpa. “Eh mas, jadi nggak kita nonton Laskar Pelangi?” tanyaku. Ketika itu aku masih di rumah. Maklum ada keluarga di rumah jadi sungkan kalau mau meninggalkan rumah. Namun di rumah juga tidak ada kegiatan penting, hanya bermain-main dengan sepupu-sepupu yang imut-imut. Karena bosan, aku izin keluar, setengah jam kemudian akhirnya sampailah aku di kampus tercinta. “Eh...emang jadwalnya jam berapa?” tanyaku pada Mas Udjo. “Wah, nggak tahu nih. tapi kita coba aja,” jawabnya. Maklum, kami ini aktivis super sibuk, sampai tidak pernah silaturahim ke Mall terdekat. Ndueso puol! Setelah sholat Dzuhur berjamaah disertai sedikit sesi cangkrukan bersama Ustad Hakim, kita berdua tancap gas tanpa tujuan yang jelas. Yang perlu menjadi perhatian di sini, ketika semua
meninggalkan kita, OC yang tersisa hanyalah Ustad Hakim. Coba bayangkan, siapa yang bantu kami pada saat memasang spanduk yang rusak di bundaran ITS. Tak ada lagi panitia. Hanya kami berdua. Spanduk sholat Id yang kami pasang malam sebelumnya ternyata rusak parah diterjang angin. Tanpa ragu-ragu dan tanpa jaim sedikitpun, Ustad Hakim langsung beraksi. Masih dengan kopiah hajinya yang khas mencoba menyaingi spiderman. Ketika memanjat tiang agar spanduk terlihat lebih tinggi, sarungnya pun melambai-lambai. Piiitttpiiieeww...Itulah beliau, cepat tanggap. Di kala Sekpa tidak lagi bersahabat. Kampus pun tidak lagi mau menemani. Jadilah kami dua batang kara yang selalu kesepian. Ayah-ibu kami tinggal di negeri jauh di barat Surabaya sana. Alhamdulillah kami memiliki ayah baru yang bernama Ustad Hakim. Hampir setiap habis sholat lima waktu kami bercengkerama dengan beliau. Ada saja topik pembahasannya. Berbicara panjang lebar di tengah hamparan luas masjid yang ditinggal pulang kampung oleh para jamaahnya. Diskusi berlangsung tanpa moderator. Semua digelar kajian ringan, mulai dari masalah agama tentang halal-haram suatu permasalahan, masalah sosial di Indonesia sampai topik pembahasan pernikahan. Sekali lagi, tema terakhir pasti menjadi favorit. Kalau membahasnya sudah ngalor-ngidul membosankan, biasanya kami cari alasan untuk pergi. Entah itu ke toilet, syuro (syuro sama siapa? orang di kampus tinggal berdua), mengerjakan tugas (tugas tidur siang) atau alasan lain yang kira-kira pantas. Kadang bosan juga mendengarkan beliau mendongeng. Tapi kuakui, sebenarnya topik pembahasan beliau tidak pernah jauh dari mengingat Allah. Ustad Hakim memberi banyak taujih sampai kami muntah-muntah menelannya. Memang dasar anak nggak tahu diri. Habis manis sepah dibuang. Kami baru bersemangat setelah disodori topik-topik “panas”. Keseluruhan, beliau cukup membuat kami tak kesepian. Ia memberi siraman di hati yang kadang-kadang kosong. Perbincangan dengan ustad Hakim tidak lama. Segera kami pamit untuk jaulah ke Mall terdekat. Tentu, tidak kami bilang seperti itu. Beliau jelas marah besar kalau tahu kami main ke Mall. Tapi apa daya, kami bosan melihat Manarul gitu-gitu aja. Sampailah kami di perempatan pertama Jl Kertajaya Indah, daerah gedongan yang bisa disebut daerah Pondok Indahnya Surabaya. Banyak istana raja di sana. Di depannya, banyak mobilmobil elit sedang berpose, dari Camry sampai Audi. Wah, pokoknya daerah ini bikin ngiler banyak orang untuk menjadi penghuni di dalamnya. “Bang, kemana nih? Delta apa Galaxy Mall (GM),” ujarku sambil menahan teriknya kota Pahlawan saat itu. Panasnya khas kota pinggir pantai. “Udah yang deket aja deh, Delta aja!” sambutnya.
“Eh..gimana sich, GM lho deket sini, tuh tinggal belok aja,” protesku. “Oh iya ya...abis gua ngertinya kalo nonton ya di Delta,” balas Mas Udjo. Hayo, ketahuan ya, sering ke Mall. Kata-kata yang cocok buat menggambarkan tindak tanduk kita adalah bondo nekat. Niat nonton tapi bawa uang ngepas. Maklum, ini sudah akhir bulan. Seharusnya hari-hari itu waktunya berpuasa dari membuang-buang uang. Uang jatah per bulan jelas menipis. Belum lagi, ini pertama kali aku ke Mall selama jadi mahasiswa di Surabaya. Padahal sudah berkali-kali Ustad-Ustad yang mengisi ceramah tarawih di Manarul memperingatkan para jamaah. “Kalau Ramadhan sudah mau berakhir, yang di-penuhin jangan mall-mall atau pasar-pasar, harusnya semakin ke sini (Ramadhan semakin meninggalkan kita) semakin banyak yang ke masjid,” kata Pak Ustad yang berapi-api tanpa lupa mendinginkan. Begitulah gambaran kesedihan Bapak-Bapak penceramah atas banyaknya umat muslim yang meninggalkan keberkahan Ramadhan gara-gara menyambut lebaran. Ramai-ramai berbelanja menghadapi hari raya tapi lupa atas esensi tentang makna kemenangan itu sendiri. Aku sendiri ke Mall bukan untuk belanja, hanya refreshing. Nah, belum lagi peraturan tertulis di kalangan ADK. Pantang hukumnya seorang ADK pergi ke Mall selama Palestina masih menderita, begitu doktrinnya. Lah...terus kapan ke Mall-nya? Dari tahun 1948 sampai 2008 sekarang ini, Palestina masih terjajah. Oh...mungkin maksud peraturan ini, kita nggak boleh mendatangi Mall-Mall yang ada di Palestina. Nah, ini baru alasan yang logis: kejauhan alias mahal di ongkos. Sambil menunggu traffic light dicat warna hijau, kami melanjutkan obrolan. “Eh, kalau kita pergi ke Mall, berarti nantang peringatannya Pak Ustad dong,” sahutnya. “Nah, itu udah ngerti, tapi kenapa masih dilanjutin Mas!,” timpalku. “Nah, lu sendiri kenapa masih mau aja diajak?” balasnya “Ane kangen sama masa-masa muda dulu mas!” jawabku. Ia bergumam. “Berarti sekarang udah tua ya?” tanyanya retoris. “Iya, tua di kampus, kagak lulus-lulus, sampai mampus!” aku melepas tawa. Ia juga tak kuat menahan tawa lepasnya. Akhirnya kami Ia sepakat, gas ditarik penuh, lanjutkan perjalanan. “Ah, udah bodo amat, yang penting kita refreshing,” kami mulai terjangkit virus hubudunya atawa cinta dunia. Sampailah kami di tempat parkir Galaxy Mall. Mungkin orang-orang ITS akan tertawa kalau kami sempat kesasar. Jarak GM begitu dekat dengan ITS. Bahkan kalau mau, jalan kaki pun bisa. Bisa pegal maksudnya.
Kami bergaya dengan dandanan naturalis abis. Tapak kaki hanya diselimuti sandal jepit, badan dilapisi jaket sederhana dengan tulisan besar berbunyi “LDK”, rambut juga tidak ditata rapi, intinya kita paling berbeda dengan pengunjung lain. Terlalu kelihatan banget kalau dari ITS. Cocoknya kami ini main ke pasar, atau ke terminal saja. Ketika pertama kali masuk ke pintu gerbang, pemandangannya hampir mirip seperti Mall-Mall yang ada di Jakarta. Tapi jelas kalah kelas kalau kita bandingkan dengan Mall-Mall di kawasan segitiga emas Kuningan-Sudirman-Thamrin. Walau sempat jatuh saat krisis 98, saat ini kawasan itu kembali jadi barometer surga dunia. Itu salah satu alasanku dan mungkin sama dengan banyak orang yang berasal dari kota Metropolitan tentang kebosanannya dengan pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya. Di Jakarta hal seperti ini menjadi pemandangan biasa! bahkan mendarah daging. Sejak semasa sekolah, kami sudah dibuat rajin mengunjungi gedung-gedung lambang gengsi itu. Bagiku, Mall dimanapun sama dan membosankan sekali. Suasana Mall jauh dari menghormati Ramadhan. Walaupun di dalam Mall terpasang spandukspanduk ucapan selamat Idul Fitri, tapi itu pintar-pintarnya orang marketing saja. Lagi-lagi uang, lagi-lagi harta, lagi-lagi kapitalisme. Kondisi mereka walau terpengaruh suasana Ramadhan, seperti misalnya pegawainya yang berpakaian sopan menutup aurat, gambar ketupat, gambar bedug, semua tidak ada artinya. Selepas Ramdhan mereka kembali mengguntingi rok dan kemeja panjangnya jadi bikini lagi. Kami sampai di food court. Sial! Ramainya hamparan makanan yang digelar buka-bukaan ibarat festival jajanan pasar, dimana semua orang yang melintas pasti ngiler dibuatnya. Tadinya aku pikir, mereka yang makan hanya berparas oriental saja, ternyata melayu yang mukanya kumuskumus pun ikut makan dengan santai. Aku yakin kalau sekiranya kita gelar Sidak KTP, banyak di antara mereka yang sedang bersantap adalah muslim, muslim KTP tentunya. Begitulah kalau uang sudah berbicara. Omong kosong tentang kerukunan umat beragama! Omong kosong tentang orang-orang yang mengaku dirinya paling pancasilais. Ternyata mereka tidak bisa menghormati saudara sebangsanya kaum muslimin yang sedang menjalankan ibadah puasa. Seketika itu, semilir wangi dari oseng-oseng bawang putih, membuat perut kami memohon-mohon lirih. Lapar! Memang tak bisa kita menutup blekkk semua warung makanan itu. Tapi kita juga seharusnya sadar, jangan tampilan “you can see” begini. Minimal warung-warung tadi menyediakan tirai agak tak terlihat khayalak ramai. “Mas, ane nggak kuat,” keluhku. “Kenapa emang, nggak biasanya kayak begini,” tanyanya. “Secara, kita lagi puasa coy,” jawabku “Yaelah, apa gunanya lu jadi panitia Buko Bareng. Itu udah uji mental,”
“Bener juga Bang, kita malah tiap hari ketemu sama ayam, perkedel, telor dan makanan khas kampus lainnya,”. Ternyata itu hikmah ketika menjadi panitia buko bareng. Lidah jadi kebal. Tapi entah kenapa perasaan ini terasa tidak nyaman. Bukan karena makanan atau minuman yang berseliweran di hadapan hidung kami. Kalau mengenai hal itu kami sudah terlatih. Setiap hari kami harus menghidangkan makanan untuk para jamaah. Kami juga merasa bahwa hal itu merupakan tantangan tersendiri. Pemandangan di dalam ruang tunggu bioskop itu yang membuatku tak tahan. Banyak sekali anak muda. Kalau kami lihat dari perawakannya, kebanyakan dari mereka masih duduk di bangku sekolah. Di tangan mereka tergenggam tangan pasangan mereka masing-masing. Muka tebal penuh make up. Dandanan modis, rambut poni funky ala emo yang terkadang jadi mirip gaya Kangen Band. Mereka memakai baju adiknya dipadu manis celana ketat membentuk kaki yang dipelorotkan agar kelihatan boxer-nya. Sepatu convers hukumnya fardhyu ain untuk dipakai ke bioskop. Ketika mereka membuka dompetnya, uang segepok menyembul. Anak sekecil itu, membawa uang seperti orang yang sudah kerja. Pasangan-pasangan muda itu larut dalam kemesraannya. Sambil mengumbar puisi-puisi basi tentang indahnya kisah-kasih. Tindakannya seakan mereka sudah punya ikatan resmi untuk saling menjamah satu sama lain. Padahal tidak! Itu hanya bayangan semu dimana setan berpartisipasi. Pakaian para wanitanya juga tak mencerminkan nasionalisme sama sekali. Bukan berarti semua kaum hawa wajib memakai kebaya. Tapi adat ketimuran kita mengajarkan adanya kesopanan dalam segi apapun. termasuk berbusana. Apa salah pendiri bangsa ini, bukan. Empty TV-lah yang justru jadi pahlawan lifestyle bagi mereka. “Mas, pokoknya ane udah nggak tahan, pulang yuk!” ujarku sambil merengek. “Yaudeh, ane juga udah males, mending balik ke Sekpa, kita ngegosip aja yuk,” ujarnya sambil tertawa. Kembalilah kami ke Sekpa dengan tangan hampa. Kami mencoba menyembunyikan lipatanlipatan kekecewaan pada wajah. Ditutup rapat helm kami agar tak terlihat. Allah punya rencana. Niat baik menonton laskar pelangi untuk up grading diri ternyata gagal. Tak apalah, yang penting kami bisa kembali ke Sekpa, rumah yang semakin lapang karena ditinggal penghuninya. Jadi Bigos “Kalau ada dua orang berbicara eksklusif, maka ketiganya adalah gosip,” Tubuhnya gempal menyimpan lemak berserak. Tak begitu tinggi juga. Bahkan masih lebih tinggi badanku. Rambutnya sedikit tak terurus. Kalau aku boleh menyebut, belah tengah yang gagal. Niatnya mau seperti Leonardo Di Caprio. Tapi Allah memberikannya rambut ikal bergelombang. Jadi lebih mirip tukul belah tengah.
Selintas orang tak akan percaya kalau ia asli dari Jakarta. Sama sepertinya keheranan orang banyak ketika aku mengaku sebagai orang Jakarta. Mendengar namanya saja, semua orang tak akan percaya. “UDJO PRIAMBUDI”. Siapakah pengacara yang bisa memberi pembelaan dan argumentasi bahwa nama itu adalah nama khas Jakarta. Jelas, nama itu khas Jawa. Mari kita buka daftar nama keren khas kota seperti Boy, Alex, Jefri, dll. Tapi apapun tudingan miring yang dihadapkan padanya, ia tetap kakak sekaligus sahabatku yang memiliki berbagai kesamaan. Tak ada alasan lain pada anggapan tersebut kecuali mereka teracuni televisi. Di bayangan mereka, orang Jakarta itu punya perawakan tinggi semampai, hidung mancung, kulit putih. Yah, walaupun tidak putih, minimal terawat lah. Sementara anggapan lain bahwa anak-anak Jakarta adalah anak-anak gedongan. Anak-anak yang pegang setir bundar mulus khas honda city ketika pergi ke kampus. Atau menggenggam HP keluaran terbaru. Semua akan tambah menyilaukan bila mereka punya lidah berlogat khas Jakarta “Lu-Gue”. Sedangkan kami jauh dari persyaratan itu semua. Tak ada di antara kami yang berkulit putih. Namun aku sedikit beruntung memiliki hidung yang tidak pesek-pesek amat. Perawatan kulit menjadi prioritas nomor sekian. Jauh dari tugas-tugas kuliah atau tugas-tugas organisasi. Jarang sekali kami memegang yang namanya setir mobil. Bahkan untuk ke kampus, kami biasa dengan berjalan kaki biar lebih sehat. Handphone? Kami masih beraliran retro. HP tanpa kamera dengan fungsi untuk menelpon dan sms saja. Modal kami cuma logat kami yang masih khas dan masih menjadi kebanggaan kami. Beruntung Mas Udjo dahulu tinggal di dekat pusat kota. Ia banyak paham akan kehidupan masyarakat metropolis. Banyak cerita dan seluk beluk yang bisa diambil hikmahnya. Sementara aku menghabiskan hidup di pinggiran kota Jakarta. Tidak beda jauh kondisinya. Sungguh indah ketika kami hanya ditinggal berdua oleh kawan-kawan Pengurus Harian atau pantia RDK yang sudah kembali ke kampung halamannya masing-masing. Sekali lagi masih beruntung diriku yang memiliki keluarga di pinggiran kota Surabaya. Masih bisa menghapus kesendirian di kala kesepian menghampiri. Kasihan, ketika aku tidak menginap di markas, Berarti Mas Udjo tinggal di markas sendiri. ia selalu bilang,”Nggak papa, tenang aja kali,”. Sudah empat hari terakhir, ia sendirian di Sekpa. Di dalam berbagai kesempatan dimana hanya kami berdua, kami selalu bercerita tentang banyak hal. Satu topik yang menarik adalah tentang pengalaman kami di sekolah dulu. Aku sudah lama mengerti kalau ia aktif dalam kerohanian islam di masa-masa sekolah dulu. Anakanak SMA di Jakarta biasa menyebutnya anak Rohis (Rohani Islam). Anak-anak super aneh. Masa-masa itu anak muda menikmati hidup, mereka malah menggantungkan harapan dapat menikmati akhirat. Siang itu, kami bersama-sama merebahkan badan selepas sholat Dzuhur dan bercengkerama dengan Al Qur’an tercinta. Ditambah dengan menyapa Cak Jo dan Pak Mi’an yang biasa mengajak kami berguyon ria.
Kami merebahkan badan kami di sebuah kamar yang selama ini menjadi kamar bersama penghuni Sekpa. Punggung kami dibiarkan melekat di selembar karpet setengah kasur. Biasanya malah tidur beralaskan lantai. Tentu kami tak kuat mengikuti Nabi Muhammad SAW yang tidur beralaskan pelepah kurma. “Ya Allah, pertemukan kami dengan Rasul kami yang pandai bersyukur itu”. Lalu punggung-punggung kami diluruskan, telentang menghadap ke langit-langit. Kepala dan mata kami memandangi bekas-bekas bocor di triplek yang menutupi atap. Di samping kami ada tempat tidur tingkat dua yang usang (hampir) tak terpakai. Di atasnya berserakan beberapa buku dan pakaian. Angin mulai berhembus masuk dari balik jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Jalan raya di seberang jendela tak mengizinkan suara knalpot berdengung. Mereka menambah kesunyian kamar itu. “Mas, dulu ente anak Rohis kan?” Tanyaku memulai pembicaraan. “Iya, ente juga kan?” Ia langsung menanggapi. “Iya, tapi abangan Mas,” jawabku mengelak. “Kok ane ngerasa, di kampus beda banget ama di sekolah dulu ya?”. Menurutku, kalau saat masih jadi siswa, aku bisa menyeimbangkan segala hal. Akademik jalan, dakwah jalan, organisasi jalan, kerjaan jalan, bahkan nasyidan pun jalan. Dulu aku jadi PH di dua rohis, Rohis sekolah dan Rohis masjid dekat rumah. “Tapi semuanya fine-fine aja!,” pungkasku. Akhir-akhir ini aku sering mengeluhkan nasib akademikku yang tak kunjung membaik. Seperti cerita di awal, aku mengambil resiko besar dengan menjad SC RDK. Ini tak kalah hebatnya dengan perjudian di Las Vegas. Aku mengundi nomor yang belum tentu berpihak padaku. “Semua itu ada konsekuensinya Bey, ente aktif di organisasi juga ada tambahan ilmu yang didapat. Memang kita harus seimbang, tapi beban amanah yang berat itu juga terus meminta waktu dan pikiran kita. Kalau orang yang bertanggung jawab atas kepentingan orang banyak pasti ia akan kepikiran terus. Saking kepikirannya ia sampai melupakan sesuatu yang penting bagi dirinya,” ia mencoba menasehatiku. Sepertinya aku salah memilih orang dalam mencurahkan isi hatiku. Pasalnya, kami ada dalam satu kasus. Ia sama-sama menjadi korban “lupa kuliah”. Kadang-kadang kami harus menggadai jam belajar kami atau waktu-waktu kami yang seharusnya kami gunakan untuk mengerjakan tugas. Teorinya, ADK adalah superman. Mereka memang dibina untuk menjadi superman! Mereka menjadi seorang pejuang yang tak pandai berhitung peluang. Semua dibabat habis sehingga kadang beberapa tegelincir. Mimpi-mimpi pribadinya ngacir entah kemana.
Banyak contoh aktivis dakwah yang benar-benar terbengkalai kuliahnya. Bahkan seorang aktivis masjid tingkat tinggi pernah bilang padaku,”Ane udah bosen kuliah,”. Lantas, apa yang ia lakukan di ITS? Apa mungkin terlalu nyaman jadi aktivis? Tentu, aku tak mau seperti itu. “Bang, kalau dulu pas sekolah, anak-anak Rohis tuh terkenal pintarnya dan kebanyakan dari mereka adalah penghuni kelas unggulan,” timpalku. “Sama...,” jawabnya singkat. “Kalau yang non unggulan biasanya jadi penguasa di sana,”. Aku tahu itu karena pernah merasakan sendiri. Ketika aku terdepak dari kelas unggulan, aku langsung jadi penguasa akademik di kelas non unggulan. Ketika itu, aku agak lemah di bidang IPA, sementara penghuni unggulan dituntut menjadi yang terbaik di segala bidang. Dan ratarata mereka yang di kelas unggulan itu, teman-temanku di Rohis. “Sama Bey..,” Sekali lagi tak ada tanggapan antusias atau tanggapan rasa ingin tahu. Wajahnya masih terlihat dingin. Sesekali ia menganggukkan kepala seperti seorang ulama yang ditanyai muridnya tentang suatu hal yang ia sudah tahu jawabannya. Keseluruhan, responnya normal, tak ada rasa heran atau kaget. “Gini ya, Gue ceritain dulu masa-masa SMA gue,” ia mencoba menghentikan semangatku mendominasi pembicaraan. Sembari mencoba mengurutkan kata-kata yang ingin ia ucapkan, ia menatap mataku. “Ane dulu Ketua Rohis. Antum pasti nggak percaya kan?,” ujarnya kali ini dengan raut muka serius. Raut muka yang mungkin dirindukan oleh para sahabatnya. Raut muka yang juga jarang terlintas dari perilaku dan tutur kata kesehariannya yang tidak pernah menjauh dari guyonan dan gelak tawa. “Hahaha...yang bener lu Mas! Gue tetep nggak percaya...,” kata-kata ini spontan keluar dari mulutku. “Ketua Rohis kayak lo, gimana nasib anak buah ente Bang!” “Kasihan mereka,” aku melanjutkan. “Ente belom tau kronologisnya sih,” “Emang kayak gimana Bang?” “Sama seperti yang ente cerita tadi,” “Emang Abang dulu Pinter?, Ah...kagak percaya gue. Tampang kayak lo!” ujarku sambil mengembangkan senyum. “Yeh...bocah, dibilangin ama yang tuaan, ngeyel..”
Akhirnya ia bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya. Pidato pembukaannya dimulai dengan kalimat,”Jangan samakan masa-masa sekolah dengan kuliah”. Mahasiswa dituntut mandiri. Waktu mereka jauh lebih luang dari waktu seorang siswa SMA. Kalau pada masa itu, porsi bisa diatur tegas misalnya akademik 80 % sementara organisasi 20 %. Nah, kalau saat kuliah, porsi organisasi bisa berbalik unggul jadi 80 %, tergantung personalnya. Aku pikir ini ada benarnya. Menurut pengakuannya, Ia dulu jawara sekolah. Peringkatnya tak pernah terlempar dari tiga besar. Aku tak sehebat dia. Aku hanya berkutat di lingkup sepuluh besar. Kabarnya juga, kualitas SMA-nya dulu sejajar dengan SMA-ku, artinya sama-sama unggulan kota madya Jakarta TImur. Passing grade-nya selalu jauh di atas rata-rata. Sombonya, kami bukan orang sembarangan. “Bener tuh. Anak Rohis memang harus pintar,” tegasnya. Aku sepakat, dulu mentor-mentorku selalu mendorong kami untuk berprestasi. Karena prestasi adalah salah satu jalan untuk berdakwah. Seorang kader dakwah yang juara olimpiade misalnya, pasti dikenal orang satu sekolahan. Tentu akan jadi lebih mudah menyampaikan pesan-pesan moral. Walaupun tidak selamanya, itu jadi tolak ukur. Sampai sekarang aku tidak habis pikir. Saat SMA aku bisa berorganisasi, berakademik, bernasyid, bahkan bekerja cari uang dengan mengajar di bimbingan belajar, dengan lancar. Akademikku masih bisa dibanggakan, diorganisasi aku berperan, tim nasyidku hampir tiap minggu pentas, tiap malam pun aku masih bisa bantu-bantu orang tua mengurangi beban keluarga. Tapi sekarang? Jauh sekali. Semuanya berantakan, tak ada yang membanggakan. Mas Udjo juga punya perasaan yang sama denganku. Kadang di sekolah, ia seperti kamus berjalan. Semua orang berusaha mendekatinya. Ia pun dengan mudah menggiring mereka ke masjid. Selama jadi Ketua Rohis, ia cukup banyak mencetak aktivis dakwah baru. Semua berawal dari prestasinya. Ia juga tak lupa membantu meringankan beban keluarga. Semunya terlihat seimbang. Sekarang, ia mengaku semangat itu hilang. Entah siapa yang mencuri otaknya yang brilian. Dari segi organisasi, apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang hebat. Beda seperti pengakuannya ketika SMA. Katanya, ia mampu berinovasi dengan menggelar acara-acara dakwah sekolah berskala Jakarta. Sekarang, waktunya selalu dijambret maling-maling kehidupan. Terkadang aku juga tidak menyadari bahwa perasaan ini dihinggapi hampir seluruh pengusaha dakwah. Mereka berhadapan dengan realitas dimana materi tentang tawadzun itu masuk ke telinga kanan dan keluar ke telinga kiri. Ribuan cara dibuat agar mencapai sepuluh muwashofat (pencapaian). Alhasil, waktu tak terawat, ibadah tak nikmat, otak berjalan lambat, perut membuncit bulat, uang bergerak serat, umat dibiarkan maksiat, dan semua terlewat tanpa sekat.
Katanya, Itu hanya bagian dari dinamika pergerakan dakwah. Tidak lebih dari itu. Kita dituntut sabar menghadapi. Semuanya pun menganggap hal itu biasa saja. Tidak ada yang spesial. Tapi apakah hidup memang tak bisa diseimbangkan? Apakah berusaha mencapai sepuluh target itu seperti bermimpi ke pluto? Sampai detik ini aku tak tahu jawabannya. Aku berpikir, kadang teori dalam liqo tiap minggu yang kujalani, terasa utopis untuk dicapai. Kalau sudah begini, teori memberi solusi tentang kepasrahan pada Tuhan. Akhirnya, usaha dikerdilkan, sehingga aku terkurung dalam doktrin ini. Pertanyaanku, bukankah Allah memberi hamba-Nya hak self determination jauh sebelum human right act yang diusung United Nation itu? Bahkan Allah memberi jalan bagi yang mau dan berilmu untuk menembus langit ke tujuh sekalipun. Sebuah hak dasar manusia untuk berusaha, sampai akhirnya kami berhenti pada satu titik: kematian itu sendiri. Mungkin aku terlalu perfeksionis, bisa jadi. Aku ingin semuanya berjalan sempurna. Tapi menurutku wajar-wajar saja. Toh banyak orang yang melakukan hal yang jauh lebih hebat, bahkan dilakukan oleh mereka yang tak memiliki cahaya iman sedikit pun. Lihat orang barat sekarang. Mereka bukan muslim, tapi mampu melakukan segalanya, sampai membuat umat muslim silau atas kejayaan mereka. Akhirnya sebagian muslim melepas baju keimanan mereka, untuk meraih kejayaan yang tidak diberikan Islam. Itu karena orangorangnya sendiri, bukan karena ajarannya. Pembicaraan kami sebenarnya masih banyak. Untuk membunuh waktu, kami cerita tentang sejarah masa lalu, masa-masa putih-biru, putih-abu-abu, cerita tentang keluarga kami masingmasing, sampai curhat soal perasaan yang lebih pribadi. Inilah waktu kami ngegosip. Kami saling mengenal. Dakwah mengajarkan kami untuk saling mengenal layaknya saudara kandung, walau sebenarnya kami tidak keluar dari rahim yang sama. Obrolan kami jeda sejenak saat kumandang adzan Ashar. Kami melanjutkan pembicaraan sampai pukul lima. Aku izin pamit. Maghrib nanti adalah buka puasa terakhir. Sayang, aku tak bisa bersamanya. Aku hanya titip pesan. “Besok sholat Id, afwan ana nggak bisa bantu-bantu. Jangan lupa souvenir ustadnya ya!” “Nggak papa. Oh iya, besok siang ana pulang ke Jakarta,” “Hati-hati Akh,” kami berpelukan. Majulah sahabat mulia/berpisah bukan akhir segalanya Lepas jiwa terbang mengangkasa/Cita kita tetap satu jua Aku selalu menangis mendengar “Untukmu Syuhada”. Seakan-akan aku sedang berpamitan untuk membeli sebuah nisan. Selamat tinggal sahabatku, ku kan pergi berjuang…
Selamat Jalan Ramadhanku Senja itu tak akan pernah aku lupakan. Matahari jingga menemani kesendirianku di sisi timur masjid Manarul Ilmi. Aku berhentikan motor di parkir serambi utara Manarul. Kuberi waktu mataku menatap senja itu sekali lagi. Aku diam beberapa menit. Tak ada lalu lalang manusia. Tak ada hiruk pikuk keramaian seperti biasanya. Warnanya cerah melambangkan kebahagiaan dan kemudian meraih anganku untuk mengajakku merenung. Aku pandangi terus tak pernah membosankan. Burung-burung memang tidak mendaftar jadi panitia, tapi kicauannya selalu berbentuk sorak sorai semangat, seperti sebuah suporter fanatik yang tak berhenti menyemangati, baik saat kalah maupun saat menang. Burung-burung kecil turut menggodaku untuk ikut bermain. Mereka meloncat gesit dari satu pohon ke pohon lain. Aku juga lihat sang pohon tetap melambai ke kanan dan ke kiri menghiburku dalam kesendirian. Mungkin mereka sedang menyapaku. Kupandanginya satu per satu. Nikmat rasanya. Tak disangka, salah satu burung menghampiriku. Kesempatan unik ini aku pergunakan untuk membelainya. Halus sekali seperti hati kecil kesembilan saudara/i-ku. Warnanya putih bersih menguatkan kasih sayangnya. Tak berpaling juga dari belaianku. Malah burung itu seperti semakin akrab saja padaku. Aku pun tetap menjaga belaianku di kepalanya. Tidak terlalu keras, tapi lembut supaya ia tetap berada di sampingku. Menemaniku memadangi langit yang berona. “Sebentar lagi usai...,” gumamku dalam hati. Senja itu senja terakhir aku bertemu Ramadhan tercinta. Ya, Ramadhan 1429 Hijriyah akan pergi. Benar kata orang tua dulu,”Waktu tidak akan pernah terulang,”. Sampai jasad ini dikubur nanti, aku tidak akan pernah bertemu Ramadhan itu lagi. Allah hanya berikan aku kesempatan sekali saja. Tidak pernah ada dua kali Ramadhan 1429 H di umurku yang menginjak kepala dua ini. Mungkin masih ada Ramadhan berikutnya. Tapi tidak dengan 1429 Hijriyah. “Ramadhan...!,” aku berteriak dalam hati. Tak terasa aku menangis. Aku tak peduli walaupun sang burung memandangku heran. Kupeluk erat kakiku. Wajahku menunduk diantara dua kaki yang kulipat. Air mata berulang kali kuusap tapi tak mampu menghentikan aliran derasnya. Semua orang-orang yang aku cintai sedang tidak ada di sampingku. Seandainya ada, aku akan segera memeluknya menumpahkan segala perasaanku. Wahai saudaraku, aku rindu padamu. Aku ini anak hilang di tengah hutan. Sepi. Satu bulan...empat minggu...tiga puluh hari...720 jam...43.200 menit...155.550.000 detik...mereka telah berlalu. Hari-hari yang kutunggu berbulan-bulan, hanya berlalu sekejap meninggalkan bekas kenangan. Hari ini, bahkan sore ini menjadi penghujung.
Matahari mulai malu menampakkan diri. Saat ini menjadi hal yang paling mengharukan bagiku. Aku masih saja dalam kesendirian, ditemani burung kecil yang tertawa lepas bersama redupnya senja merah matahari. Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar... Walillahilhamd... Sayup-sayup suara itu terdengar. Datangnya jelas dari masjid sekitar kampus di Gebang dan Keputih. Sementara Manarul, ia masih mengheningkan cipta. Tubuhku gontai. Aku tak sanggup menahan tangis. Tubuhku bergetar ketika suara takbir itu menggema. Sekali lagi, kuingat wajah saudara/i-ku. Selama berbulan-bulan kami berbagi banyak hal. Bersama-sama lewati bulan itu dengan canda dan tangis. Hari ini...ya, hari ini, aku tak memandangmu wahai saudaraku. Rasanya, seandainya setelah sholat ied nanti aku tak diizinkan Allah. Bila malaikat maut telah menyambangiku. Aku hanya menitipkan sebuah ucapan padamu. Semoga malaikat maut menyampaikannya. Hanya sebuah kata untuk saudaraku... “TERIMA KASIH KAWAN...” Pelatuk starter kutarik. Engkol kuinjak keras. Aku bergegas pulang. Sepanjang jalan kampus, kulihat pohon meranggas. Daunnya jatuh seakan mengirim pesan perpisahan. Malam itu, aku bertakbir di Masjid Faturrohman, masjid di dekat rumahku di Sidoarjo. Aku melihat parade anak-anak Taman Pendidikan Alquran membawa obor. Mereka gembira, tapi aku tidak. Aku rindu Manarul Ilmi. Aku rindu Sekpa. Aku rindu tempat-tempat syuro kami. Aku rindu buka bersama dengan mahasiswa ITS lainnya. Aku rindu sahur dalam keadaan mengantuk. Aku rinduuuuuu...
Halaman Terakhir Kira-kira tujuh bulan setelah Ramadhan. Yang pasti aku bukan ingin mengadakan tujuh bulanan seorang bayi menggemaskan. Sebelumnya, pada semester ketika aku jadi SC RDK, aku berhasil mendapat Indeks Prestasi Sementara (IPS) 3,08. Ya, pertama kali dalam sejarah aku berhasil ber-IP tiga koma (waktu itu semester 5). Kebahagiaan sederhana bagi orang seperti aku. IP itu jelas (masih) memalukan bagi mahasiswa lain. Dua puluh besar seangkatanku saja, IP-ku tidak masuk. Tapi di sana ada jalan menuju sejarah baru. Aku nekat mendaftar Seleksi Mahasiswa Berprestasi se-ITS tahun 2009. Aku kalah. Namaku tak tercantum di segmen profil website ITS sebagai salah satu dari tiga mahasiswa terbaik ITS. Pada ajang bergengsi itu, namaku hanya kalah satu strip, yaitu peringkat empat dan “hanya” menang di tingkat fakultas. Tiga sahabat pemenang tadi memang pantas jadi juara. Tepat setahun setelah RDK, aku meraih beasiswa student exchange ke Kobe University, Jepang. Tahun berikutnya lagi, aku berkesempatan keliling Asia Pasifik naik kapal bersejarah “Majapahit” selama enam bulan. Semua pelengkapan dan peralatan berkeliling delapan negara sudah mantap. Kapal yang kunaiki pun sudah siap berangkat ke Brunei. Sayang, setelah menimbang-nimbang, aku lebih memilih menyelesaikan kuliah. Aku turun dari kapal dan pulang ke Surabaya. Waktu itu aku sudah bermimpi menikmati indahnya Istana Sultan di Bandar Sri Begawan, menjelajah kota-kota Jepang dari Nagasaki sampai Tokyo, mampir sebentar menikmati syurga di Formosa (Taiwan), berkunjung ke Shanghai Expo, beli souvenir di Disney Land Hongkong, memperhatikan sederhananya warga Ho Chi Minh, memandangi megahnya Angkor Wat, berkunjung ke saudara serumpun Malaysia, dan melancong ke singa asia, Singapura. Bayangan yang indah, namun harus kukubur sementara. Lain waktu Insya Allah! Dan tulisan ini, aku selesaikan di kala sahabatku yang lain merampungkan Tugas Akhir mereka. Semoga aku bisa menyaksikan mereka tersenyum bahagia saat wisuda Oktober nanti. Tahun depan aku akan menyusul mereka, Insya Allah. Yang terpenting, Aku tak akan pernah menyesal dengan semua keputusanku di masa lalu. Sarjana..Oh, sarjana... Dengan toga di kepalanya Berbaris bergerombol Meninggalkan masyarakatnya
Mengejar mimpi televisi Seolah takkan mati Anggap saja lirik di atas sebagai sebuah kado pengingat untuk sahabatku yang akan wisuda. Ini pesan dari nasyid legendaris “Generasi yang Hilang”. Buktikan pada dunia kalau anda tidak akan pernah tersindir dengan kata-kata itu. Apa yang terjadi di tahun berikut-berikutnya lagi setelah “Ramadhan itu”, Insya Allah akan jadi ledakan kejutan bagiku. Allah melimpahkannya dari jalan tak terduga. Aku sangat yakin. “Ini berkah Ramadhan…,” tak terasa kerah bajuku basah. Bukan dari mulut, tapi memang dasar kelopak mata tak mampu menahan. Ia jatuh! Alhamdulillah ya Allah… Aku bukan manusia sempurna dan mudah-mudahan RDK tahunku bukanlah RDK terbaik. Selamat berjuang para penerus peradaban! Terakhir, kutuliskan syair dari sebuah buku unik pemberian SC akhwat untuk kenang-kenangan RDK 29. Seandainya dunia ini... Hanya punya satu kata untukmu Maka kata itu adalah mujahid
Seandainya jiwa ini... Hanya punya satu harap untukmu Maka harap itu adalah Kau bersabar meniti jalan Bersama para penyeru kebenaran
Seandainya lisan ini... Hanya mampu mengucap satu doa Maka doa itu adalah Moga ia akhirkan kita Dengan jihad fii sabilillah
Seandainya dada ini berdegub... Hanya karena satu sebab Maka sebab itu adalah Kerinduan berjumpa dengan-Nya Dan berkumpul bersamamu Dalam jannah-Nya yang abadi
Ingatlah bahwa Allah akan selalu, Menjadi yang kedua dari seseorang Menjadi yang ketiga dari dua orang Menjadi yang keempat dari tiga orang Ingatlah bahwa Allah senantiasa bersamamu
Maka katakanlah Aku tidak sendiri, Aku bersama Allah dan dua malaikat Di kanan dan kiriku
Jika Dia memberi kuasa Kan kupersembahkan untukmu hadiah istimewa Hari kedelapan untuk istirahatmu Hari kesembilan untuk merasai sejuta cinta
Tapi ternyata kau tidak membutuhkannya Dunia bukan tempat beristirahat bagimu Ia ladang menyetia janji potensi
Mengolahnya menjadi kebaikan semesta Maka hadiah hari kedelapanku sia-sia
Sedang cinta, Ternyata kau tak pernah hampa darinya Meski setiap hari energimu kau bagi Setiap detik banyak jiwa harus kau sapa Selalu kau rasai cinta dari seruanmu
Walau tak jarang, tulus hati dan peluhmu berbuah Penolakan yang menyakitkan jiwa “Mereka belum mengerti” Bisikmu lirih... Sambil menggelar sabar seluas samudera
Hadiah hari kesembilanku tak perlu ada Karena kau ingin sekokoh Nuh yang sabar Dalam cobaan umatnya Kau ingin seteguh Ibrahim yang setia Dengan janji hatinya Kau rindu semulia Muhammad Yang tak sekedar matahari, tetapi juga teduh Yang memberi payung cinta untuk manusia
Maka hadiah terindahku Kubingkai harap beralas doa
Kupinta Dia membangunkanmu istana Tempatmu istirahat yang penuh cinta
Yang pondasi dan dindingnya berdiri di atas perjuangan Panjang tak kenal keluh kesah Yang atapnya tertuai dari buah keikhlasan hati Yang tak pernah galau dengan janji Rabb-Nya
Kupinta Dia memberimu senjata luar biasa Agar tak pernah kalah dirimu oleh Badai sanjungan dan ujian kebaikan Agar tak pernah lekang izzahmu oleh tiupan ghurur Yang tak bertuan sebelum terlunasi perjalananmu di sini Aar kau tetap seindah namamu, SANG PEJUANG Sejak kini, hingga kau kembali...
PTN, Pahlawan Tanpa Nisan OTSUKARESAMA DESHITA!
SKRIPSI/TUGAS AKHIR
Senja-Senja Ramadhan
Dirakit Oleh: Born-Rookie-Specialist Kader Tanpa Nomor
Jurusan Ramadhan Di Kampus Fakultas Jamaah Masjid ManaruI Ilmi Institut Teknologi Sepuluh Nopember SURABAYA
adda’watu tasiiru binaa au bighairinaa (dakwah akan terus berjalan dengan atau tanpa kami)