Pengantar Anak di usia dini membutuhkan pendampingan yang khas sesuai dengan tahapan perkembangan psikologisnya. Perkembangan pos-pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia diharapkan menunjang perkembangan dan pendidikan anak usia dini secara tepat. Oleh karena itu, pendidik di pos-pos PAUD perlu mengembangkan pemahaman dan kepekaan terhadap berbagai komponen pendidikan anak usia dini yang optimal. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga menyelenggarakan Kelas Psikologi untuk Bunda PAUD sebagai bentuk kontribusi atas perkembangan dalam dunia PAUD di Surabaya. Tahun ini, Kelas Psikologi untuk Bunda PAUD Tingkat Menengah mengambil topik Pengelolaan dan Pengembangan PAUD. Kelas ini adalah tahapan berikutnya dari Kelas Psikologi untuk Bunda PAUD tahap sebelumnya di tahun 20122013 yang memberikan dasar-dasar Psikologi Perkembangan bagi sukarelawan Bunda PAUD di Surabaya. Buku modul ini menjadi berbeda karena bukan saja memberikan wawasan mengenai perkembangan anak, namun juga berisi materi mengenai pengelolaan PAUD sebagai institusi pendidikan yang dapat mengembangkan anak usia dini secara lebih optimal. Materi ini disusun untuk memberikan pemahaman bagi para pembaca mengenai pengembangan kurikulum, pengelolaan kelas dan pos PAUD untuk memberikan kesehatan dan keamanan bagi anak, pengembangan pribadi pendidik, optimalisasi proses pendidikan dengan pendekatan kegiatan dan bermain, pengembangan pos PAUD yang berbasis budaya lokal dan pemanfaatan teknologi dalam pos PAUD. Selain itu, materi mengenai identifikasi dan intervensi dini gangguan perkembangan Autisme dan ADHD juga diberikan untuk memupuk kepekaan Bunda PAUD dalam mengenali dan menghadapi persoalan perkembangan anak. Modul ini disusun untuk menjadi buku pegangan bagi Bunda PAUD yang mengambil kuliah Kelas Psikologi untuk Bunda PAUD di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Namun juga dapat digunakan oleh seluruh kalangan yang ingin mengembangkan wawasannya mengenai pengelolaan dan pengembangan pos PAUD di Indonesia. Harapannya buku ini dapat menjadi bahan belajar dan diskusi bagi pengembang dan pemerhati PAUD di Indonesia.
Ucapan terima kasih diberikan pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang telah memberikan komitmennya untuk pengembangan PAUD di Surabaya, dengan melaksanakan program Pengabdian Masyarakat secara khusus di bidang PAUD yang telah masuk ke tahun ke-3. Tidak lupa ucapan terima kasih diberikan pada seluruh Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang telah menuliskan idenya dan memberikan kontribusi pada penyelenggaraan Kelas Psikologi untuk Bunda PAUD tingkat Menengah ini. Semoga buku modul ini dapat bermanfaat. Salam dari Surabaya. Penyunting Margaretha
Daftar Isi Bab 1 Pengembangan kurikulum dan evaluasi program PAUD berdasarkan DAP ………………………………………. 1 Bab 2 Pengelolaan program pembelajaran untuk PAUD… 13 Bab 3 Pengembangan pribadi pendidik di PAUD ……………. 29 Bab 4 Perilaku hidup bersih dan sehat di PAUD …………… 43 Bab 5 Keamanan lingkungan main dan APE di PAUD ……. 55 Bab 6 Pengembangan PAUD berdasarkan kondisi lokal atau budaya LokaL ……………………………………………... 69 Bab 7 Identifikasi dan Intervensi Dini Anak dengan Autisme dan ADHD ……………………………………………. 85 Bab 8 Hambatan dan peluang perkembangan IT bagi optimalisasi perkembangan AUD ……………………….. 105
A. Pendahuluan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak usia dini, yakni sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan
pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan belajar dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD merupakan pendidikan yang paling fundamental karena perkembangan anak di masa selanjutnya akan sangat ditentukan oleh berbagai stimulasi bermakna yang diberikan sejak usia dini. Awal kehidupan anak merupakan masa yang paling tepat dalam memberikan dorongan atau upaya pengembangan agar anak dapat berkembang secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan potensi tersebut adalah dengan program pendidikan yang terstruktur. Salah satu komponen untuk pendidikan yang terstruktur adalah kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat sencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU Sisdiknas No 20 Thn 2003, Bab I, Psl 1 Ayat 19). B.
Kurikulum PAUD Kurikulum PAUD menggunakan pendekatan holistic curriculum, mencakup semua
aspek perkembangan. Proses belajar dilaksanakan secara integrated learnin,g mencakup semua konsep pengetahuan (bahasa, matematika, sains, ilmu sosial, seni). Kegiatan pembelajaran dilakukan melalui bermain. Kurikulum PAUD untuk (1) Membentuk karakter anak, dilakukan melalui pembiasaan: moral, nilai, emosinal, (2) Membangun pengetahuan dasar: kognitif (matematika dan sain), bahasa, sosial, dan seni. Kurikulum dikembangkan oleh Lembaga dengan merujuk pada standar yang ditentukan.
1
Kurikulum 2013 sebagai satu kesatuan utuh yang mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini lebih menekankan pada pembentukan sikap, mencakup enam program pengembangan, yakni: 1.
Pengembangan nilai agama dan moral mencakup perwujudan suasana belajar untuk tumbuh-kembangnya perilaku baik yang bersumber dari nilai agama dan moral dalam konteks bermain.
2.
Pengembangan motorik mencakup perwujudan suasana untuk tumbuh-kembangnya kematangan kinestetik dalam konteks bermain.
3.
Pengembangan kognitif mencakup perwujudan suasana untuk tumbuh-kembangnya kematangan proses berfikir dalam konteks bermain.
4.
Pengembangan bahasa mencakup perwujudan suasana untuk tumbuh-kembangnya kematangan bahasa dalam konteks bermain.
5.
Pengembangan sosial-emosional mencakup perwujudan suasana untuk tumbuhkembangnya sikap dan keterampilan sosial dalam konteks bermain.
6.
Pengembangan seni mencakup perwujudan suasana untuk tumbuh-kembangnya apresiasi seni dalam konteks bermain.
Gambar 1.1 Bagan keseimbangan antara Sikap, Keterampilan dan Pengetahuan untuk membangun Soft Skills dan Hard Skills
2
Dalam penerapannya Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini menuntut adanya perubahan pola pikir lama ke pola pikir baru.
Perubahan Pola Pikir dalam Kurikulum 2013 1
Berpusat pada Guru
Berpusat pada Siswa
2
Satu Arah
Interaktif
3
Isolasi
Lingkungan Jejaring
4
Pasif
Aktif-Menyelidiki
5
Maya/Abstrak
6
Pribadi
7
Luas (semua materi diajarkan)
Perilaku Khas Memberdayakan Kaidah Keterikatan
8
Stimulasi Rasa Tunggal (beberapa panca indera)
Stimulasi ke Segala Penjuru (semua Panca indera)
Alat Tunggal (papan tulis)
Alat Multimedia (berbagai peralatan teknologi pendidikan)
Hubungan Satu Arah
Kooperatif
9 10
Menuju
Konteks Dunia Nyata Pembelajaran Berbasis Tim
12
Gambar 1.2 Perubahan Pola Pikir dalam Kurikulum 2013
Pola pikir yang menganggap bahwa guru sebagai satu-satunya sumber belajar, harus segera ditinggalkan, karena lingkungan dan ilmu teknologi sebagai kunci pembuka sumber belajar yang sangat luas. Dengan demikian kelas bukanlah satu-satunya tempat belajar bagia anak usia dini. Belajar dilakukan dengan aktivitas aktif dimana anak melakukan banyak hal untuk mendapatkan pengalaman melalui proses saintifik.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan termasuk satuan pendidikan anak usia dini. Dengan merujuk pada pasal tersebut, maka setiap satuan PAUD memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum di satuannya secara
3
mandiri atau keleluasaan pengembangan kurikulum dalam bentuk KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan mengacu kurikulum nasional sebagai kurikulum minimal. Pos PAUD dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk KTSP. Hal ini karena Pos PAUD dikelola dengan prinsip “dari, oleh, dan untuk masyarakat”. Artinya sebagai lembaga PAUD Non Formal, Pos PAUD dapat mengembangkan program pembelajaran didasarkan pada prinsip perkembangan anak yang disesuaikan dengan kondisi lembaga.
Prinsip-Prinsip Penyusunan KTSP PAUD Agar pengembangan kurikulum terfokus, tepat sasaran dan terkendali, maka penyusunan KTSP PAUD hendaklah mengikuti prinsip yang seharusnya dijalankan, yaitu : a. Pembentukan sikap spiritual dan sosial anak Kurikulum dirancang untuk membangun sikap spiritual dan sosial bermakna bukan hanya sekedar untuk dapat menjawab tes-tes, ujian, kuis, atau pengetahuan jangka pendek lainnya. Sikap spiritual dan sosial dimaksud adalah perilaku yang mencerminkan sikap beragama, hidup sehat, rasa ingin tahu, berpikir dan bersikap kreatif, percaya diri, disiplin, mandiri, peduli, mampu bekerja sama, mampu menyesuaikan diri, santun dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru di lingkungan rumah, tempat bermain, dan satuan PAUD. b. Mempertimbangkan tahapan tumbuh kembang anak, potensi, minat, dan karakteristik anak Kurikulum menempatkan anak sebagai pusat tujuan. Kurikulum yang disusun memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan tingkat usia anak (age appropriateness), dan selaras dengan potensi, minat, dan karakteristik anak sebagai kekhasan perkembangan individu anak (individual appropriateness). c. Holistik-Integratif Komponen
kurikulum
yang
disusun
mencakup
keseluruhan
ranah
perkembangan (holistik) dalam Kompetensi Dasar yang dimuat dalam Panduan Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini. Integratif dimaksudkan adalah segala upaya yang dilakukan dengan menggunakan langkah terpadu, baik pada upaya pemenuhan layanan pedagogis, layanan kesehatan, layanan gizi maupun layanan
4
perlindungan. Layanan pedagogis berfokus pada stimulasi perkembangan anak terutama pada stimulasi perkembangan mental-intelektual dan social-emosional, layanan kesehatan dan gizi terutama ditujukan untuk membantu pertumbuhan anak, sedangkan layanan perlindungan ditujukan agar tumbuh-kembang lebih optimal yaitu dengan cara dukungan kondisi dan lingkungan nyaman (savety) dan aman (security), yaitu yang bebas dari kecemasan, tekanan dan rasa takut. d. Dilaksanakan dengan cara belajar melalui bermain Kurikulum disusun untuk membuka kesempatan belajar anak membangun pengalamannya dalam proses transmisi, transaksi, dan transformasi keterampilan, nilai-nilai, dan karakter di bawah bimbingan pendidik. Proses penerapan Kurikulum bersifat aktif dimana anak terlibat langsung dalam kegiatan bermain yang menyenangkan, menggunakan ide-ide baru yang diperoleh dari pengalaman untuk belajar pengambilan keputusan dan pemecahan masalah sederhana. e. Mempertimbangkan kebutuhan anak termasuk anak berkebutuhan khusus Kurikulum PAUD bersifat inklusif dengan mengakomodir kebutuhan dan perbedaan anak baik dari aspek jenis kelamin, sosial, budaya, agama, fisik, maupun psikis. Sehingga semua anak terfasilitasi sesuai dengan potensi masing-masing tanpa ada diskriminasi aspek apapun. f. Berkesinambungan atau kontinum perkembangan anak dari usia lahir hingga 6 tahun Kurikulum disusun dengan memperhatikan kesinambungan secara vertikal (antara tujuan pendidikan nasional, tujuan lembaga, tujuan pembelajaran, metode pembelajaran), dan kesinambungan horizontal (antara tahap perkembangan anak: dari bayi, batita, balita, dan prasekolah merupakan rangkaian yang saling berkesinambungan). g. Memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni Penyusunan kurikulum mengadopsi dan memanfaatkan perkembangan keilmuan dan teknologi untuk diterapkan dalam kegiatan pembelajaran sepanjang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, nilai moral, karakter yang ingin dibangun, dan seni budaya Indonesia.
5
h. Memperhatikan sosial budaya Kurikulum disusun dengan memasukkan lingkungan fisik dan budaya ke dalam proses pembelajaran untuk membangun kesesuaian antara pengalaman yang sudah dimiliki anak dengan pengalaman baru untuk membentuk konsep baru tentang lingkungan dan norma-norma komunitas di dalamnya. Lingkungan sosial dan budaya berperan tidak sebagai obyek dalam kurikulum tetapi sebagai sumber pembelajaran bagi anak usia dini.
6
Alur PengembanganKurikulum2013 PAUD UU 20/2003 Sisdiknas Perpres 5/2010 RPJMN PP 19/2005 SNP PP 32/2013 Perubahan SNP
PAUD Non FORMAL Rencana KBM Mingguan
DOKUMEN KURIKULUM
PAUD Formal Rumusan Visi misi dan tujuan lembaga Struktur & muatan kurikulum, pengaturan waktu KBM, Kaldik
STPP
StandarIsi StandarProses StandarPenilaian
Muatan lokal
KERANGKA DASAR KURIKULUM
STRUKTUR KURIKULUM NASIONAL
KTSP
PAUD NonFormal PAUD Formal Visi RencanaKBM Misi Mingguan TujuanLembaga Struktur MuatanKurikulum PengaturabnwaktuKBM KalenderPendidikan .
Kesiapan Belajar Anak Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, Muatan Pembelajaran, Program Pengembangan Beban belajar
PAUD
Gambar 1.3 Alur Pengembangan Kurikulum 2013 PAUD
7
Tabel 1.1 Contoh Rencana Program Pembelajaran Mingguan (RPPM)
Rencana Program Pembelajaran Mingguan (RPPM) Pos PAUD Kasih Ibu
No.
Semester/minggu
: 1/9
Kelompok
: 3-4 tahun
Sub Tema
Rencana Kegiatan
Materi •
1. 1. 1.
Pisang
•
Pisang karunia Tuhan
•
Doa harian
•
Pisang makanan sehat
•
Kegunaan anggota tubuh
1. Pembiasaan •
•
•
adalah
Berdoa
sebelum
dan
sesudah makan •
Konsep, warna, ukuran
pisang
karunia tuhan
untuk melakukan berbagai aktivitas
Bersyukur
Mencuci
tangan
sebelum
makan
dan tekstur •
Tanaman
•
kosa
kata
berhubungan
yang dengan
tanaman pisang •
Identifikasi bunyi dan huruf
•
Kerjasama
•
Aneka kreasi tanaman pisang
8
2. Kegiatan Bermain •
Mengamati buah pisang
•
Membacakan berkaitan
cerita
dengan
yang buah
pisang •
Membaca poster
•
Mengelompokan
buah
pisang berdasarkan warna dan ukuran •
Mengamati
kulit
buah
pisang •
Bermain
peran
menanam
pohon pisang •
Bermain
balok
membuat
toko olahan pisang •
Membuat pisang dari kertas
•
Menganyam dengan daun pisang
•
Membuat pohon pisang dan menamai bagian2nya
•
Membuat pisang goreng
C. Penilaian Penilaian pembelajaran anak usia dini merupakan sebuah proses pengumpulan, penafsiran dan pemberian keputusan tentang data perkembangan dan belajar anak usia dini dalam kegiatan pembelajaran atau program layanan stimulasi yang diselenggarakan di lembaga PAUD. Dengan demikian penilaian pembelajaran hendaknya dilaksanakan oleh setiap pendidik PAUD, sebagai salah satu upaya untuk senantiasa meningkatkan kualitas layanan pendidikan bagi anak usia dini.
9
Penilaian
pada dasarnya ditujukan pada suatu proses berkesinambungan dalam
pengumpulan informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Dengan demikian hasilnya dapat digunakan untuk mengevaluasi proses pembelajaran. Sehingga pendidik dapat menentukan strategi yang akan digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak. Penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan dan
menafsirkan
berbagai informasi secara sistematis, berkala, berkelanjutan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari pertumbuhan serta perkembangan yang telah dicapai oleh anak didik melalui kegiatan pembelajaran dan menginterpretasikan informasi tersebut untuk membuat keputusan. Contoh: Guru mengamati anak bermain balok untuk melihat kemampuan anak mengenal bentuk-bentuk geometri. Lalu guru mencatat hasil pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatannya guru menyimpulkan kemampuan anak dan menyusun rencana pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan anak
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
tahap
perkembangannya. Tipe Penilaian Penilaian pada anak usia dini berupa penilaian otentik. Penilaian otentik adalah jenis penilaian yang berhubungan dengan kondisi nyata dan dalam konteks yang bermakna. Penilaian otentik dilakukan pada saat anak terlibat dalam kegiatan bermain (tugas) secara mandiri atau bersama anak lain. Dengan demikian penilaian anak usia dini harus dilakukan secara alami, pada saat anak terlibat dalam kegiatan (tugas) selama bermain sehari-hari. Contoh: Guru ingin mengetahui kemampuan anak mengenal bentuk-bentuk geometri, maka guru menyiapkan kegiatan bermain dengan alat main berbagai bentuk di semua area/sentra/sudut. Guru melakukan pengamatan, pencatatan, dan pertanyaan “bisa memesan kue berbentuk segi tiga?” saat anak tengah bermain mencetak pasir dengan menggunakan cetakan berbagai bentuk.
10
Penilaian otentik dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini : 1. Observasi/Pengamatan Hal yang paling penting dalam melakukan penilaian terhadap anak adalah melakukan
pengamatan
(observasi).
Observasi
adalah
cara
pengumpulan
data/informasi melalui pengamatan langsung terhadap sikap, pengetahuan dan keterampilan anak. Teknik
yang
dapat
dilakukan
pendidik
dalam
mengamati
dan
mendokumentasikan perkembangan dan hasil belajar anak dengan menggunakan: a.
Catatan anekdot (anecdotal records)
b.
Daftar periksa (checklist)
c.
Karya anak
2. Catatan Anekdot Merupakan catatan sikap dan perilaku anak secara khusus terhadap suatu peristiwa yang terjadi pada saat tertentu dan dalam situasi tertentu. Karakteristik catatan anekdot adalah : a. Catatan simpel (tidak bertele-tele); hanya mencatat apa yang diucapkan anak, sikap yang dieskpresikan anak baik melalui kata maupun bahasa tubuh, serta perilaku yang ditampilkan anak. b. Mencatat perilaku yang tidak biasa pada anak baik positif (kemajuan yang diperoleh) maupun negatif (misalnya Ahmad yang biasanya tenang, namun hari ini menangis terus). c. Akurat (tepat), objektif (apa adanya) dan spesifik (khusus/tertentu). 3. Hasil Karya Hasil karya adalah hasil kerja anak didik setelah melakukan suatu kegiatan dapat berupa pekerjaan tangan, karya seni atau hasil kegiatan anak lainnya. Misalnya: hasil gambar, lukisan, melipat, kolase, hasil guntingan, tulisan/coretancoretan, hasil roncean, bangunan balok, dll.
11
Referensi : Bredekamp, S & Copple, C, (Ed). (1997). Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs. NAEYC, Washington, DC. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat jenderal pendidikan nonformal dan informal
Kementerian
pendidikan
nasional
(2010)
Pedoman
Teknis
Penyelenggaraan Pos PAUD Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat jenderal pendidikan nonformal dan informal Kementerian pendidikan nasional (2014-sedang cetak) Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini Getswicki, C. (2007). Developmentally Appropriate Practice. Curriculum and Development in Early Education. 3rd ed. ThompsonDelmar. Canada Morrison, G.S., (2008). Fundamentals of Early Childhood Education. 5th ed. Pearson Education Inc. New Jersey. UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003
12
1. Pengertian, Tujuan dan Proses Belajar Belajar dapat diartikan sebagai aktivitas atau proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengukuhkan kepribadian (Suyono & Hariyanto, 2011). Perubahan ini diarahkan kepada individu, baik pengetahuan yang dimiliki maupun perubahan sikap dan kepribadian dalam kehidupan sehari-hari. Melalui belajar, diharapkan ilmu dapat bertambah, keterampilan meningkat, dan membentuk perilaku yang adaptif (Fadlillah, 2014). Secara umum, dalam psikolgi, belajar diartikan perubahan perilaku yang relatif permanen. Kenapa perilaku, padahal ketika berbicara perubahan individu, aspek yang dimiliki tidak hanya perilaku, tetapi juga kognisi dan emosi. Pengertian dari Gagne (1977) dapat menjembatani hal tersebut. Belajar menurut Gagne adalah sejenis perubahan yang diperlihatkan dengan perubahan tingkah laku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Demikian juga dengan pengertian dari Surya (1981) yang mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku baru yang menyeluruh, sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan demikian, penekanan pada perilaku bukan berarti mengabaikan aspek yang lain. Perilaku adalah indikator sebagai luaran hasil belajar. Namun demikian, berbagai definisi tersebut juga menunekankan pada proses. Artinya, belajar itu tidak hanya tentang output, tetapi juga proses (Fadlillah, 2014). Berdasarkan berbagai definisi belajar tersebut, dalam proses belajar terjadi interaksi antara diri individu dengan lingkungannya yang kemudian menghasilkan perubahan yang dapat diamati melalui perubahan perilaku. Hal ini bersesuaian dengan triadic reciprocal determinism dari Bandura. Proses belajar terjadi karena interaksi antara faktor personal (disimbolkan dengan P), faktor perilaku (disimbolkan
13
dengan B atau behavior) dan faktor lingkungan (disimbolkan dengan E atau environment).
(sumber: learningsolutionmag.com)
Gambar 2.1 Triadic Reciprocal Determinism
Aspek-aspek dalam proses belajar tersebut akan efektif untuk belajar jika ketiganya terlibat secara total. Demikian juga dengan setiap aspek yang didalamnya juga mengandung aspek-aspek (boleh disebut subaspek atau subsistem). Misalnya saja aspek personal, terdiri dari kognisi, afeksi dan psikomotor. Ketiganya juga harus terlibat dalam proses belajar secara total. Begitu juga dengan aspek perilaku (behavior), yang terdiri dari tindakan atau aksi dan pengambilan keputusan. Aspek lingkungan (environment) juga harus terlibat secara total. Anak bersentuhan dengan lingkungan belajarnya. Oleh karena itu, pendamping, guru, atau fasilitator harus bisa memanfaatkan berbagai sumber daya sebagai media belajar.
14
2. Fasilitasi Belajar dan Peran Fasilitator Pengertian dari fasilitasi adalah membuat lebih mudah atau tidak terlalu sulit, sedangkan fasilitator merupakan orang yang membuat kerja kelompok menjadi lebih mudah karena kemampuannya dalam menstrukturkan dan memandu partisipasi anggota-anggota kelompok. Jika keduanya dihubungkan, pengertian fasilitai merupakan proses pertemuan sekelompok orang yang menghadirkan fasilitator sebagai perancang dan pengelola proses kelompok agar kelompok dapat mencapai tujuannya. Sebuah fasilitasi juga bisa berupa pertemuan antara dua orang, fasilitator dan satu orang lain yang menerima bantuan dan panduan dalam prosesnya (Moenggoro dkk., 2007). Fasilitasi adalah gabungan antara ilmu dan seni. Seorang fasilitator bekerja dengan mengaplikasikan satu set keahlian spesifik dan metode, teknologi kelompok, digabung dengan perhatian yang cermat dan mengembangkan serta menjaga sensitifitas kepada orang lain. Cara-cara tersebut diupayakan oleh seorang fasilitator agar kelompok berada pada penampilan terbaiknya (Moenggoro dkk., 2007:3). Kerancuhan kadang terjadi dalam membedakan peran antara fasilitator dengan peran-peran yang lain, seperti penyuluh, pendamping, pengamat dan narasumber. Gambar berikut menunjukkan perbedaan beberapa peran tersebut (Moenggoro dkk., 2007:16).
15
Gambar 2.2 Perbedaan Pengamat, Penyuluh, Narasumber, dan Fasilitator (Moenggoro, 2007)
Sebagai guru PAUD, akan lebih baik jika memahami berbagai peran tersebut dan dapat melakukannya secara tepat. Artinya, guru PAUD harus berlatih mengatur porsi antara bertanya dan memberi penjelasan. 2.1 Pertanyaan dalam Fasilitasi Jika seorang guru memutuskan untuk menjadi fasilitator, maka yang perlu banyak dilakukan adalah memberi stimulasi, bukan menginstruksi. Bagaimana agar peserta didik terstimulasi? Pertanyaan adalah senjata utama fasilitasi. Membuat pertanyaan dalam fasilitasi adalah bagian dari seni fasilitasi. Semakin terbiasa membuat pertanyaan dan bertanya, maka guru akan semakin piawai. Sayangnya, banyak guru yang lebih suka menjelaskan dan sedikit sekali porsi pertanyaan. Akibatnya, tidak hanya membuat anak pasif, tetapi membuat guru itu sendiri menjadi sulit bertanya dan membuat pertanyaan. 16
Setidaknya, dapat belajar dengan memahami kata bantu untuk bertanya. Kita pasti sudah familiar dengan istilah 5 W + 1 H, yaitu kata bantu tanya yang terdiri dari what, who, where, when, why dan how. Jika keenam kata bantu untuk bertanya tersebut dapat diberdayakan secara tepat, maka proses fasislitasi sudah mulai bisa berjalan dengan baik. Agar dapat memfasilitasi dengan tepat, maka kita perlu memahami karakteristik dari masing-masing kata tanya tersebut. 1. Level pertanyaan where, when, who Level pertanyaan ‘dimana’, ‘kapan’ dan ‘siapa’, adalah pertanyaan yang paling bawah. Artinya, pertanyaan ini menjadi pondasi, karena paling ‘menginjak bumi’ atau nempel dengan realita. Pertanyaan ‘dimana’, ‘kapan’ dan ‘siapa’, digunakan untuk menggali fakta atau cerita yang nyata. Ketika anak sedang berbicara, bercerita, atau mengemukakan pendapatnya, pertanyaan seperti, “Dimana itu?”, “Kapan kejadiannya?”, “Waktu itu sama siapa saja?”, dapat membantu anak mengeksplorasi kejadian yang telah ia alami. 2. Level pertanyaan what dan how Level pertanyaan ‘apa’ dan ‘bagaimana’ lebih pas untuk menggali makna. Pada level ini, jawabannya sudah mulai bersifat opini, subjektivitas anak dapat digali dengan pertanyaan ini. Pertanyaan ‘apa’ biasanya digunakan untuk menggali dua hal dalam proses belajar, yaitu term (konsep tertentu) dan definition (definisi atau arti dari term). Sedangkan pertanyaan ‘bagaimana’ lebih mengarah kepada cara untuk memahami term. Dalam bahasa yang lebih filosofis, pertanyaan ‘bagaimana’ mengarah kepada jawaban cara untuk mencapai kebenaran (dari term dan definisinya). Karena itu, pertanyaan level 2 ini berguna untuk memancing pendapat atau gagasan dari anak. 3. Level pertanyaan why Pertanyaan ‘mengapa’ atau ‘kenapa’ adalah level yang tertinggi. Pertanyaan ini lebih pas untuk menggali value atau nilai yang dianut, diyakini, atau dipegang teguh oleh anak. Jika seorang anak ditanaya, “Mengapa baru datang?”, artinya kita sedang menantang. Alih-alih disebut 17
sebagai pertanyaan, ‘kenapa’ atau ‘mengapa’ juga boleh dibilang mempertanyakan. Coba bayangkan ketika kita ditanya, “Kenapa Kamu pakai baju merah?”, apa yang kita rasakan? Apakah kita merasa bahwa penampilan kita dipertanyakan? Pertanyaan ini lebih baik tidak banyak digunakan, karena ketika kita menggunakan pertanyaan ini, maka sepertinya kita sedang ‘menghakimi’ anak. 2.2. Bahasa Deskripsi dan Bahasa Preskripsi Sekarang kita akan beralih dari pertanyaan menuju penjelasan. Pertanyaan memang memiliki efek fasilitatif yang kuat. Tapi kita juga dapat menggunakan penjelasan untuk fasilitasi, meskipun tetap tidak lebih kuat dari pertanyaan. Bagaimana penjelasan yang fasilitatif? Berbicara tentang penjelasan, tidak terlepas dari bahasa yang digunakan. Secara sederhana, dalam penjelasan, kita dapat membedakan menjadi dua bentuk bahasa, yaitu bahasa deskriptif dan bahasa preskriptif. Deskripsi dapat diartikan penggambaran. Bahasa deskriptif adalah bahasa yang diungkapkan untuk tujuan menggambarkan sebuah kondisi, situasi, kejadian dan semacamnya. Bahasa deskriptif lebih cair dan melekat pada sebuah realita (baik nyata maupun rekaan). Ini memudahkan anak untuk membuat tanda, mengaitkan apa yang didengarnya dengan emosi yang ditimbulkan. Inilah yg memudahkan anak mengkode kosa kata. Bahasa yang cair membuat anak menjadi nyaman. Ketika anak nyaman, maka dia akan mengeksplorasi dirinya, termasuk pengalamannya, perasaannya, apa yang dipikirkan dan sebagainya. Sementara bahasa preskriptif adalah bahasa penjelasan. Tidak ada realita yang melekat pada kata demi kata. Contoh “Apa yang Kamu lakukan itu tidak baik”. Berbeda dengan “Dulu waktu ayah masih kecil, ayah juga pernah melempar-lempar mainan ayah. Sampai suatu hari, ayah bingung mencari sekeping puzzle…..”. Yang terakhir ini adalah bahasa deskriptif. Coba perhatikan, apa bedanya? Menjelaskan memang dapat membuat anak tahu. Karena itu juga bisa membuat anak bisa memahami sesuatu. Hanya saja, bahasa penjelasan sudah langsung
18
memberi tahu, mengidentifikasi sesuatu. Kesempatan anak untuk mengidentifikasi sendiri lebih sempit jika dibandingkan dengan bahasa deskriptif. 3. Fasilitasi Belajar PAUD Sebagaimana telah dibahas tentang belajar dan fasilitasi, kali ini kita akan lanjutkan dengan fasilitasi belajar di PAUD. Artinya, kita menggunakan pedoman dasar fasilitasi untuk memandu proses belajar di PAUD. Ada tiga komponen penting dalam memandu fasilitasi belajar, yaitu prinsip, metode dan teknis. 1. Prinsip Komponen pertama dari belajar adalah prinsip. Komponen ini melekat pada diri orangnya, baik yang belajar (dalam konteks belajar sendiri) atau untuk pemandunya (dalam konteks belajar menggunakan pendamping). Prinsip dipegang sebagai dasar dan biasanya tidak berubah. Pernah dengar orang bilang, “Ini sudah menjadi prinsip hidupku!”? Nah, berarti prinsip itu yang menjadi pedoman atas keyakinan. 2. Metode Komponen metode sudah berkaitan dengan cara belajar. Metode hanya berkaitan dengan cara apa yang dilakukan, tetapi belum berkenaan dengan teknis langkah per langkah. Misalnya saja metodenya menggambar. Kita tahu, mengambar itu seperti apa sebagai sebuah metode belajar. Pasti ada aktivitas mempersiapkan alat, menggores, mewarna dan sebagainya. Aktivitas langkah per langkah tersebut barulah masuk komponen teknis. 3. Teknis Seperti yang sudah disinggung pada komponen metode, teknis berkaitan dengan prosedur atau langkah per langkah dalam aktivitas belajar. Sebelumnya sudah dicontohkan dengan metode menggambar. Apa teknis dari menggambar? Pertama persiapkan buku gambar, pensil dan atau pewarna, kemudian goreskan pensil di atas kertas gambar, setelah itu diwarnai dan seterusnya. Itulah yang disebut teknis dalam belajar.
19
3.1. Prinsip Fasilitasi Belajar PAUD Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, belajar terdiri dari luaran atau output dan proses. Fasilitator yang baik akan memegang target atau tujuan yang ingin dicapai. Selanjutnya, ia akan peduli terhadap pencapaian target tersebut. Bentuk kepeduliannya adalah dengan menyelenggarakan proses belajar yang efektif. Ujung dari capaian proses belajar adalah efektivitas. Artinya, kita boleh berkeyakinan bahwa proses belajar harus aktif, kreatif, maupun interaktif, tetapi pada akhirnya, proses tersebut harus efektif. Untuk itu, paling tidak ada tiga prinsip yang harus dipegang oleh seorang fasilitator pembelajaran PAUD. 1. Belajar harus menyenangkan Anak-anak terlahir dengan struktur dan bekal yang alamiah. Mereka akan memfungsikan dirinya secara alamiah. Anak-anak beraktivitas menjauhi ketidaknyamanan dan mendekat kepada kenyamanan. Karena itu, belajar harus mendatangkan rasa nyaman pada diri anak. Mereka harus senang dan antusias mengikuti seluruh proses belajar. 2. Belajar harus menantang Selain nyaman, belajar juga harus menantang. Pernah ada yang protes ketika saya mengatakan bahwa belajar harus menyenangkan. Menurut orang yang protes tersebut, belajar harus membuat anak merasa ‘resah’, agar mereka terus belajar. Tentang keresahan ini diakomodir di prinsip yang kedua, yaitu belajar harus menantang. Sebuah teori tentang otak triun, yang mengatakan bahwa otak manusia dibagi menjadi batang otak, sistem limbik dan neokorteks. Belajar seharusnya mengakomodir ketiga bagian tersebut. Belajar tidak hanya aktivitas neokorteks yang melulu berpikir, tetapi juga memberikan tantangan bagi batang otak yang berfungsi secara instinktif dan ‘memanjakan’ sistem limbik dengan prasaan nyaman. Sistem limbik memang berkaitan dengan emosi. Sementara batang otak berfungsi untuk bertahan secara naluriah ketika menghadapi bahaya. Bagian ini butuh tantangan. 20
3. Belajar harus efektif Sebelumnya sudah ditekankan bahwa belajar harus efektif. Artinya, pada akhirnya belajar harus mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk itulah, penting menentukan tujuan secara jelas dan dipahami secara jelas pula oleh semua pihak, yang belajar dan yang memandu belajar. 3.2. Metode dan Teknis Fasilitasi Belajar di PAUD Metode berkenaan dengan cara. Metode belajar, berarti berkaitan dengan cara belajar. Dari sudut pandang fasilitator, maka metode berarti cara yang digunakan fasilitator untuk memandu proses belajar agar berjalan efektif. Biasanya, kita mengenal metode belajar dengan bernyanyi, bermain, dan bercerita. Meskipun sudah sangat familiar, untuk menerapkan ketiga metode tersebut secara efektif, butuh memperhatikan banyak hal. Mari kita bahas satu per satu. Bernyanyi Bernyanyi adalah mengeluarkan suara dengan syair-syair yang dilagukan. Mengelola kelas dengan bernyanyi berarti menciptakan dan mengelola pembelajaran dengan menggunakan syair-syair yang dilagukan. Biasanya syair-syair tersebut disesuaikan dengan materi-materi yang akan diajarkan (Fadlillah, 2014). Kenapa kita memanfaatkan bernyanyi untuk belajar anak? Menurut Syamsuri Jari, bernyanyi dapat menjadi sarana relaksasi dengan menetralisir denyut jantung dan gelombang otak. Selain itu, bernyanyi juga dapat menumbuhkan minat dan menguatkan daya tarik pembelajaran. Selain menyenangkan, lagu juga dapat dimanfaatkan untuk memudahkan pemahaman dan menguatkan ingatan. Dengan lagu, anak bisa belajar struktur dan fungsi kalimat dalam syair lagu. Anak PAUD berada pada kisaran usia 4-6 atau 7 tahun. Cara berpikir mereka bersifat konkrit. Artinya, dalam belajar menggunakan lagu, haruslah berpegang pada karakteristik ini. Ketika belajar struktur bahasa, anak belajar 21
mengucapkan dan mengingat rangkaian kata dalam syair lagu. Contoh seorang anak yang menggunakan lagu Bintang Kecil untuk belajar. Anak tersebut diajak bernyanyi dan sesekali diingatkan kata atau suku kata awal tiap bait. Misalnya dia mengatakan “Bintang kecil, di langit yang tinggi..”. Kalau dia berhenti bernyanyi, guru dapat membantunya dengan mengatakan, “Am…”. Barulah ia meneruskan dengan “Amat banyak….”. Bagaimana belajar fungsi? Belajar fungsi berarti belajar makna dari apa yang diucapkan. Belajar semantik (makna) dan pragmatik (penggunaan) merupakan belajar fungsi bahasa. Mari kita pakai lagu Bintang Kecil sebagai contoh. Jika ingin menggunakan lagu Bintang Kecil untuk belajar fungsi, anak bisa diajak langsung ke luar rumah dan menyanyikan lagu tersebut di bawah taburan bintang di langit. Ketika menyebut kata ‘bintang’, kita bisa menunjuk langit. Begitu juga ketika menyebut, ‘langit’. Demikian seterusnya. Ini biasanya diterapkan untuk anak usia 0-3 tahun. Untuk anak yang lebih besar (usia 3-8 tahun), boleh menggunakan gambar. Karena realita sudah mulai bisa digeser kepada hal yang mewakilinya, tetapi tetap memiliki kesamaan. Untuk anak di atas 8 tahun, barulah bisa mengacu pada makna katanya secara langsung. Untuk mudahnya, perhatikan contoh lagu “Satu satu, aku sayang ibu”. Jika dibutuhkan, kita bisa menggantinya dengan “Satu satu, aku sayang mama”. Pada lagu tersebut, kita bisa mengajak anak belajar mengenali definisi anggota keluarga atau peran anggota keluarga. Untuk mengenalkan definisi anggota keluarga, boleh saja guru menggunakan gambar ibu, ayah dan kakak sambil bernyanyi. Untuk anak yang lebih kecil (sampai 3 tahun), boleh dengan bermain peran. Seorang guru menjadi ibu, guru yang lain menjadi ayah dan ada teman yang lebih dewasa menjadi kakak. Saat menyanyi, guru yang memandu menunjuk orang-orang tersebut. Level belajar bisa ditingkatkan kepada fungsi pragmatik. Kita bisa mengenalkan emosi yang terkandung dalam lirik lagunya. Misalnya saja, “Satu satu, aku sayang ibu/mama”. Bisa jadi tidak hanya menunjuk orang yang menjadi ibu, tetapi bisa memeluknya berbarengan dengan kata ‘sayang ibu’. Ini 22
memang harus tepat timing-nya. Selain tepat waktunya, juga perlu disertai dengan ekspresi seorang anak yang sangat sayang pada ibunya, untuk memberi tekanan emosi yang menyertai kata-kata pada lirik lagu. Bermain Bermain juga merupakan metode yang sesuai dengan karakteristik anak yang menyukai sesuatu yang menyenangkan dan memungkinkan anak terlibat dalam aktivitas. Namun sebagai metode belajar, menggunakan permainan juga perlu memperhatikan prinsip dan teknisnya. Prinsip Fasilitasi Belajar dengan Bermain 1. Masuk kedalam permainan Guru dan murid harus masuk kedalam permainan, meskipun guru adalah pengendali proses. Artinya, guru sebagai pemandu permainan harus lebih dulu masuk ke dalam atmosfir yang ia ciptakan sendiri, sehingga murid dapat merasakan juga atmosfir tersebut. Selanjutnya murid akan ikut masuk kedalam permainan. Jika guru antusias, maka murid akan lebih mudah untuk terlibat. Dengan kata lain, akan tertular antusiasme pemandu. Metode yang bisa digunakan untuk membuat murid masuk kedalam permaian adalah ilustrasi. Cerita adalah salah satu cara mudah untuk memasukkan murid kedalam permaina. Paling tidak, murid dapat masuk kedalam peran yang ditentukan oleh guru. Contohnya perminan ulatulatan, dimana setiap kelompok menjadi ulat yang bertugas memecahkan balon yang diikatkan di ekor ulat atau kelompok yang lain. Guru dapat mengatakan, “Setiap kelompok akan menjadi ulat” atau “Setiap kelompok adalah ulat”. Selanjutnya, ceritanya bisa dibuat berkenaan dengan tugastugas yang dilakkan oleh kelompok, misalnya meletuskan balon (boleh dikatakan telur) ulat lain atau menjaga balon sendiri dari gigitan (tusukan) ulat lain. 2. Sistematis Murid akan lebih mudah mengikuti instruksi jika disampaikan secara sistematis. Kalau sering meralat, kembali ke perintah semula, bahkan 23
banyak diinterupsi peserta dengan bertanya-tanya, maka guru belum begitu mulus memandu permainan. Agar lebih mudahnya, guru bisa mencatat komponen-komponen pokok dalam permainan yang perlu diingat, misalnya pembuka, ilustrasi, perintah, aturan main dan memastikan pemahaman peserta atas keselurhan instruksi. Bagian detilnya akan dibahas di bagian teknis memandu permainan. 3. Jelas Selain sesitematis, maka perlu memandu permainan dengan jelas. Setiap bagian jangan sampai ada yang kabur, samar-samar dan membuat murid dahinya mengkerut. Jika di bagian prinsip sistematis sudah disebutkan tentang komponen yang terdiri dari pembuka, ilustrasi, perintah, aturan main dan memastikan pemahaman, berarti setiap bagian tersebut harus jelas. Misalnya pembuka harus bisa menarik perhatian murid kepada guru. Ilustrasi harus sesuai dengan permainan yang ditunjuk. Boleh dibilang, ilustrasi dibuat dengan analogi yang tepat dan menarik untuk peserta. Kalau di permainan yang dicontohkan sebelumnya, ulat adalah analogi yang cukup sesuai. Begitu pula perintah dan aturan main, harus jelas. Komponen dalam Fasilitasi Belajar dengan Bermain 1. Instruksi Bagian awal dalam game atau permainan adalah instruksi. Pemberian instruksi sering menjadi persoalan dalam memandu permainan. Jika instruksinya berhasil, maka permainan secara keseluruhan akan lebih lancar. Instruksi adalah separuh dari keberhasilan permainan. Komponen instruksi terdiri dari pembuka, ilustrasi, cara main, aturan main, dan klarifikasi. Seluruh bagian instruksi tersebut harus dipandu secara baik. 2. Motivasi dalam Bermain Motivasi biasanya diberikan saat akan atau sedang bermain. Misalnya saja untuk game kompetisi, maka dari awal sudah ditekankan tentang hal24
hal yang berhubungan dengan kompetisi, misalnya hadiah, kriteria menang, konsekuensi jika kalah dan sebagainya. Jika motivasi diberikan saat bermain, guru atau pemandu bisa terus mengingatkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kompetisi, misalnya mengingatkan waktu, menunjukkan bawah kelompok lain sudah lebih cepat, dan sebagainya. 3. Refleksi setelah Bermain Refleksi biasa disebut dengan debriefing. Bagian ini dilakukan untuk mereveiw permainan, memastikan hasil belajar dan menguatkan atau mengristalkan hasil belajar. Caranya bisa dilakukan dengan dialog, ngobrol atau diskusi dalam kelompok, bahkan bisa juga dilakukan dengan menuliskan atau menggambarkan. Cara Memberikan Instruksi Permainan 1. Pembuka Pembuka penting untuk melakukan pendekatan terhadap murid. Kalau dalam bahasa psikologi disebut rapport yang artinya hubungan atau membangun hubungan. Ibarat kata, tak kenal maka tak sayang, maka penting untuk saling memahami antara guru dengan pesertanya. Pembuka biasanya diisi dengan salam, sapa, interaksi, dan bisa juga ditambah dengan cerita. Salam sapa boleh dilakukan dalam bentuk yel-yel, misalnya “Apa kabar?” dan sejenisnya. Sementara itu, interaksi bisa dilakukan sambil bertanya aktivitas di hari sebelumnya. 2. Ilustrasi Jika pembuka berfungsi mendekatkan guru dengan peserta, ilustrasi berfungsi mendekatkan atau memasukkan murid ke dalam atmosfir permainan. Ilustrasi yang dimaksud di sini adalah cerita tentang permainan yang akan dilakukan. Karena disebut cerita, maka akan lebih baik jika bukan penjelasan, tetapi deskripsi (cerita). Misalnya saja, kita akan bermain ulat-ulatan atau ular-ularan, seperti yang dicontohkan sebelumnya. Kita tidak perlu menjelaskan, “Sebentar lagi kita akan bermain. Nama permainannya adalah…”. Kita tidak perlu seteknis itu. 25
Boleh saja kita katakan, “Setelah ini, setiap kelompok akan menjadi ular. Semua anggota kelompok terangkai menjadi satu, pegang pundak teman di depannya dengan kedua tangan. Setiap ular mempunya taring (bukan jarum untuk menusuk balon) untuk menggigit (bukan menusuk) dan sebuah telur (bukan balon) untuk dilindungi..” dan seterusnya. 3. Cara Main Cara main adalah bagian inti dari permainan. Setelah menjelaskan komponen dan kondisi melalui ilustrasi permainan, guru menjelaskan cara mainnya. Misalnya “Setiap ular bertugas menghancurkan telur ular lain dan melindungi telurnya dari gigitan ular-ular yang lain”. Untuk lebih memberikan tekanan, boleh tugasnya dipointing-pointing, misalnya “Tugas masing-masing ular ada dua. Pertama, menghancurkan telur ularular yang lain. Kedua, mempertahankan telurnya sendiri dari gigitan ularular yang lain”. 4. Aturan Main Setelah cara main, penting juga untuk menjelaskan aturan main. Cara main berkaitan dengan proses yang harus dilakukan oleh peserta, sedangkan aturan main berkaitan dengan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan dalam permainan. Misalnya permainan ular-ularan tadi. Guru bisa mengatakan, “Aturan mainnya: Pertama, hanya kepala ular yang boleh menghancurkan telur lawan, dan hanya boleh menggunakan taring yang sudah diberikan. Kedua, seluruh badan ular tidak boleh terputus, semua harus tetap bregandengan atau terangkai”. 5. Klarifikasi Klarifikasi adalah menanyakan kepada murid, apakah permainan (terutama cara main dan aturan main) sudah dipahami oleh mereka. Bagian ini penting untuk dilakukan sebelum permainan dimulai. 6. Memberi Tanda Mulai atau Berhenti Untuk memulai permainan, saya yakin mudah untuk dipahami. Namun untuk mengakhiri permainan, setiap permainan punya aturan atau 26
karakteristiknya masing-masing. Ada permainan yang berhentinya ditentukan oleh hasil, ada juga yang didasarkan pada waktu. Untuk contoh permainan ular-ularan tadi, stadarnya memang ditentukan oleh hasil, yaitu akan ada satu ular yang masih bisa mempertahankan telurnya. Namun permainan ini juga bisa dimodifikasi. Misalnya saja karena saking banyaknya kelompok (ular), maka guru atau pemandu bisa menggunakan batas waktu. Jadi, jika sampai permainan dinyatakan selesai masih ada telur yang bisa dipertahankan, maka kelompok (ular) tersebut menjadi pemenang (lebih dari satu pemenang). Bercerita Kita tentunya sudah familiar dengan kegiatan bercerita. Biasanya, cerita digunakan untuk kegiatan hiburan. Sebenarnya, cerita dapat digunakan untuk fasilitasi proses belajar. Berikut ini adalah tiga cara menggunakan cerita untuk fasilitasi proses belajar. 1. Cerita sebagai pengantar Menggunakan cerita sebagai pengantar berarti fasilitator atau guru bercerita sebelum memulai aktivitas intinya. Menggunakan cerita untuk pengantar ada dua cara, yaitu menggunakan cerita untuk memotivasi dan menggunakan cerita untuk pengatar isi pelajaran. Misalnya saat guru akan mengajar berhitung, maka ia bisa memberikan cerita yang membuat anak termotivasi belajar berhitung, atau anak merasa bahwa berhitung diperlukan untuk beberapa persoalan yang akan ia hadapi. 2. Cerita sebagai wadah Menggunakan cerita sebagai wadah berarti aktivitas bercerita adalah wadah untuk pelajaran yang diisikan di dalamnya. Contoh yang paling mudah adalah menggunakan cerita “Timun Mas” untuk belajar berhitung. Saya pakai contoh berhitung, agar nyambung dengan contoh di poin 1. Jika di cerita Timun Mas, raksasa nyaris menangkap Timun Mas, dan Timun Mas bisa lolos dengan menggunakan tiga senjata, yaitu jarum, terasi dan garam, maka dalam belajar hitungan kita bisa mengganti ketiganya. 27
Misalnya di tantangan pertama, agar bisa lolos dari raksasa, murid harus mengerjakan soal penambahan, berikutnya mengerjakan soal pengurangan, dan seterusnya. 3. Cerita sebagai isi Bentuk yang ketiga ini yang sering kita temui. Cerita itu sendiri adalah pelajarannya. Biasanya cerita yang mengandung pesan moral dan nilai-nilai yang ingin ditanamkan kepada anak adalah jenis cerita yang dimanfaatkan untuk menyampaikan isi. Cerita-cerita rakyat biasanya mengandung nilai moral yang menjadi pelajarannya.
28
Referensi : Fadlillah, M. (2014). Edutaintment Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Prenada Harianto, Suyono (2011). Belajar dan Pembelajaran; Teori dan Konsep Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya Latief, M., Zubaidah, R.Z., Afandi, M. (2013). Orientasi Baru Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Prenada Miller
(2010).
Overcoming
Obstacle
to
Avoid.
http://www.learningsolutionsmag.com/articles/474/overcoming-obstacles-toavoid- diakses 9 Agustus 2014 Moenggoro, D., Butsi, M. (2007). Mengenal Lebih Dekat Dunia Fasilitasi. Jakarta: Inspirit Innovation Circle Mutiah, D. (2012). Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta: Prenada rudicahyo.com blog.indonesiabercerita.org
29
A. Pendahuluan Pendidikan Anak Usia dini (PAUD) yang dikembangkan dari PAUD terintegrasi dengan POSYANDU, membuat banyak ibu-ibu rumah tangga yang kemudian menjadi pendidik di PAUD yang dikenal dengan sebutan Bunda PAUD. Perubahan yang terjadi ini tentunya akan memberikan konsekuensi bagaimana seharusnya menjadi seorang pendidik atau seorang bunda dalam pendidikan anak usia dini. Pribadi bunda PAUD haruslah kuat dan sadar bahwa perilaku bunda PAUD akan ditiru oleh anak-anak, mengingat masa anak adalah masa peniru yang sangat kuat. Pendidik di PAUD tentunya tidak sama dengan Pendidik pada umumnya mengingat banyaknya pengaruh yang terjadi ketika bunda PAUD mengajar, yaitu selain mengenal anak didiknya sehari-hari karena bertetangga, juga sifatnya lebih banyak sukarela dan pengabdian sehingga tidak mengikat seperti pendidik di sekolah umum. Anak yang diberikan pelajaran dan asuhan oleh bunda PAUD adalah anak yang memiliki perkembangan yang pesat khususnya perkembangan sel-sel otaknya karena berada pada awal masa pertumbuhan. Pertumbuhan awal kehidupan adalah peletak dasar bagi perkembangan perikutnya. Dengan demikian pendidik di PAUD mempunyai peran yang luar biasa
bagi perkembangan anak selanjutnya. Masa keemasan pada
masa balita tidak akan dapat diulangi lagi. Ingat sekali terhutang tidak dapat dilunasi di kemudian hari. Karenanya, pendidik di PAUD perlu memiliki kesadaran yang tinggi bahwa melalui bunda- bunda inilah dasar kepribadian anak terbentuk. Tata cara berperilaku dan bersikap bunda PAUD akan dengan mudah ditiru oleh anak. Daya reseptif anak yang cepat terhadap informasi maupun terhadap yang dilihat, membuat perilaku bunda PAUD akan dengan cepat diikuti oleh anak-anak. Gaya tutur kata bunda PAUD juga akan dengan mudah ditirukan. Sekali lagi perlu diingat bahwa kepribadian seseorang akan dapat dilihat dari bagaimana cara seseorang bersikap, berperilaku dan bertutur kata. Bagaimana bunda PAUD bersikap, berperilaku maupun berbicara akan dengan mudah diingat
anak,
dan
akan
dengan
mudah 29
untuk ditiru anak. Dengan demikian bagaimana sebaiknya seorang Bunda PAUD bersikap, berperilaku dan bertutur kata perlu dilakukan dengan hati-hati. Selanjutnya agar dapat mengarahkan perilakunya ke arah yang lebih baik, seorang bunda PAUD harus mampu mengembangkan pribadinya. B. Mengenal Diri Tahap awal dalam pengembangan pribadi adalah seseorang harus mengenal dirinya lebih dulu. Bagaimana orang akan dapat mengembangkan pribadinya, kalau dia sendiri tidak mengenal dirinya. Tentunya arah pengembangan pribadinya menjadi tidak terarah, karena dia tidak mengenal mana yang harus dikembangkan
(optimalitation)
dan mana yang harus dikendalikan (self control). Bukankah begitu? Banyak orang menyatakan bahwa dia adalah orang yang tahu dirinya sendiri, namun pada kenyataan tidaklah demikian. Paling mudah adalah ketika orang berdandan untuk dirinya ia masih membutuhkan bantuan orang lain ataupun kaca untuk melihat dirinya sendiri. Demikian pula, bunda PAUD adalah orang yang juga belum bisa memahami diri sendiri secara utuh. Untuk itu perlu memahami diri sendiri dengan baik, agar dapat menjalankan perannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk dapat mengenal diri sendiri adalah dengan melakukan analisis diri melalui Jendela Johari (Johari Window) yang dikembangkan oleh psikolog Joseph Luft dan Harry Ingham pada tahun 1955. Gabungan dua nama penemu inilah yaitu Jo dan Harry yang akhirnya disederhanakan menjadi Johari. Sedangkan Jendela (window) adalah gambaran dari model teorinya yang bentuknya lebih menyerupai jendela. Pada awalnya Johari window ini lebih dikembangkan untuk meningkatkan ketrampilan dalam berkomunikasi dan interpersonal dengan mencoba mengembangkan keterbukaan. Namun pada akhirnya Johari window ini juga diterapkan dalam upaya mengenal diri sendiri. Jendela Johari memiliki empat area yang mewakili gambaran diri kita yaitu : 1. AREA TERBUKA (OPEN ) Area terbuka adalah area yang diketahui diri sendiri (Known to self) dan yang diketahui oleh orang lain (Known to others). Dalam hal ini ada bagian dalam
30
diri kita yang dikenal oleh diri sendiri dan dikenal oleh orang lain. Hal hal dalam diri yang terkait oleh itu misalnya nama kita, alamat kita, status kita dan lain-lain. Ada bagian dalam diri kita yang cukup dikenal dan menjadi ciri dari pribadi kita. Bunda PAUD yang mana sih yang namanya Bunda Erna? Itu lho yang ramah dan rumahnya dekat dengan Bu Sigit, yang suaminya kerja di Unair. 2. AREA TERTUTUP (HIDDEN) Area tertutup adalah area yang diketahui diri sendiri (Known to self) dan yang tidak diketahui oleh orang lain (Unknown to others). Area ini adalah bagian dalam diri kita yang kita tutupi namun tidak diketahui oleh orang lain. Pada pribadi yang tertutup akan tidak merasa nyaman ketika harus melakukan interaksi dengan orang lain. Dia akan canggung dan merasa terganggu dalam berinteraksi dengan orang lain ketika ada bagian dalam dirinya yang diketahui oleh orang lain. Misalnya seorang bunda PAUD yang malu dengan rumahnya, sehingga ketika ditanya alamat rumahnya dia berusaha menutupinya. Padahal alamat rumah bukan suatu hal yang harus ditutupi, bukankah begitu?
Nah
ketika
hal
tersebut
dilakukannya maka yang terjadi pasti dalam melakukan interaksi menjadi tidak nyaman. 3. AREA BUTA (BLIND) Area buta adalah area yang tidak diketahui diri sendiri (unknown to self) dan yang diketahui oleh orang lain (known to others). Pada kenyataannya seseorang tidak dapat mengetahui segalanya tentang dirinya, sehingga ia membutuhkan bantuan orang lain untuk menyampaikannya. Apakah kita mengajarnya baik atau tidak, maka orang tua siswa dan anak didiklah yang tahu. Dalam pribadi seseorang ada bagian sisi dari orang tersebut yang membutuhkan umpan balik (feedback) dari orang lain. Mengingat hal inilah maka seorang bunda PAUD perlu memiliki sikap legowo artinya menerima masukan dari orang lain dan mencoba merenungkan apakah sekiranya diterima masukan orang lain ataukah tidak. Sekap terbuka pada masukan ini menjadi pijakan agar orang semakin mengenal dirinya sendiri berdasarkan informasi dari orang lain. Bukankah
31
sombong, judes, dan bagaimana ekspresi wajah kita saat berinteraksi membutuhkan infonya dari orang lain. Reaksi orang lain adalah cermin bagaimana seseorang mengekspresikan diri. Tahukah anda bahwa Orang lain dapat menjadi cermin dari pribadi anda. 4. AREA GELAP (UNKNOWN) Area gelap adalah area yang tidak diketahui diri sendiri (unknown to self) dan yang tidal diketahui oleh orang lain (unknown to others). Dalam
menemukan
d i r i , m a k a area ini dapat dikembangkan dengan menemukan hal hal yang tersimpan didalam diri. Cara untuk mengetahui hal hal yang ada di area ini dapat dilakukan dengan cara tertentu yang dapat dilakukan oleh seorang ahli, misalnya psikolog.
Gambar 3.1 Mekanisme mengenal diri melalui Jendela Johari (Johari Window)
Pada gambar 3.1 menunjukkan bahwa dalam proses menemukan diri melalui Johari Window adalah bagaimana memperbesar area terbuka, dengan memperkecil
32
area tertutup, area buta dan area gelap. Memperkecil area buta dapat dilakukan dengan cara rajin meminta feedback atau umpan balik ke orang lain. Area tertutup dapat diperkecil dengan jalan membuka diri. Pengungkapan hal hal yang mengganggu dapat memperkecil area gelap. Dengan besarnya area terbuka ini, maka diharapkan mereka semakin mengenal diri dan ini dapat sebagai modal dalam mengembangkan pribadi sebagai seorang pendidik. C. Mengenal Peran Langkah selanjutnya setelah mengenal diri sendiri, seorang pendidik di PAUD hendaknya mengenal peran yang akan dilakukan. Bunda PAUD harus mengenal kapan dia menjadi tetangga dari si anak dan kapan dia menjadi seorang bunda, seorang pendidik di tempatnya mengajar. tetangga,
karena
Dua peran
yang dijalankan
ketika sebagai
yang menjadi bunda PAUD ada dalam wilayah yang tidak jauh
dengan tempat tinggalnya, maka perilakunya bisa seenaknya sendiri. Istilahnya ini dirumah saya, saya bebas menjalankan aktivitas saya. Sedangkan sebagai pendidik, kadang
terdapat
kondisi
yang
membuatnya
harus
mampu
mengontrol
diri.
Bagaimanapun anak anak kadang kadang tidak biasa membedakan bahwa si bunda PAUD nya tersebut adalah istrinya bapak X, sehingga kadang dalam benak mereka tetaplah ketika bertemu di rumah, bunda PAUD tetaplah bunda PAUD nya yang ditemuinya sebagai pendidik. Kondisi inilah yang membuatnya harus bisa mengerti untuk menempatkan diri dan berperan sesuai dengan perannya sebagai pendidik. Ilustrasi peran yang kadang harus dijaga dapat dilihat dalam istrasi di gambar 3.2.
33
pendidik orang tua/ tetangga
Bunda PAUD
Gambar 3.2 Dua peran yang tidak sejalan dalam membentuk peran Bunda PAUD
34
Selain itu ada beberapa hal yang harus dipahami agar dalam menjalankan perannya dapat dilakukan dengan baik. Peran yang harus dilakukan hendaknya mengarah pada hal berikut ini, yaitu (1) sebagai salah satu peletak dasar kepribadian anak, (2) sebagai pendukung pemantapan attachment, agar eksplorasi lingkungan optimal, (3) menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Sebagai salah satu peletak dasar kepribadian anak, seorang pendidik di PAUD harus menyadari bahwa bagaimana generasi berikutnya nanti tergantung bagaimana bunda PAUD memberikan stimulasi agar anak berkembang menjadi pribadi yang baik. Dalam perspektif rentang kehidupan (life span perspective) diketahui bahwa bagaimana
masa
anak
dibentuk akan
dapat
menyebabkan
bagaimana
masa
selanjutnya. Hubungan sebab dan akibat inilah yang perlu disadari dalam menjalankan perannya sebagai seorang bunda PAUD. Masa anak adalah masa berkembang kelekatannya (attachment), yang dapat menyebabkan bagaimana nantinya anak tumbuh dan berkembang. Bentuk kecukupan attachment anak dapat dilihat dari anak merasa nyaman dalam berinteraksi dengan Bunda PAUD. Situasi yang nyaman inilah yang akhirnya membuat anak bisa dengan leluasa mengeksplorasi lingkungan, sebagai satu ciri dari perkembangan anak balita yaitu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan demikian, ketika anak terpenuhi attachment dalam diri, maka ia akan merasa nyaman dan aman. Efek dari rasa aman dan nyaman inilah yang akhirnya membuat anak mampu mengeksplorasi diri dengan baik. Cara yang harus dilakukan oleh bunda PAUD contohnya: perhatikan aspek non verbal dalam berbicara dengan anak, cara menyentuh anak, intonasi suara jangan terlalu keras dan kasar, ekspresi wajah yang menyenangkan.
D. Mengelola Diri Mengelola diri adalah langkah berikutnya dalam mengembangkan pribadi. Setelah mengenal diri dan mengetahui tentang peran yang
harus dilakukan, maka
seorang pendidik di PAUD haru mampu melakukan pengelolaan diri. Pengelolaan diri yang dapat dilakukan adalah terkait (1) Pengelolaan emosi, (2) Pengelolaan waktu, (3) Pengelolaan stress. 35
Pengelolaan emosi adalah bagaimana seseorang mengelola perasaannya, dengan cara mengetahui dan peka dengan signal emosinya. Kepekaan terhadap sinyal emosi ini akan memudahkan untuk dilakukan upaya pengendalian secara cepat, sehingga reaksi emosional menjadi tidak mudah untuk dikeluarkan. Sinyal tersebut dimulai dari jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya,kepala pusing dan sebagainya. Dinamikanya, ketika melihat segala sesuatu tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka yang terjadi kepala pusing, dada berdetak lebih cepat yang akhirnya menjadi marah. Terlihat bahwa bagaimana dengan cepat pikiran mempengaruhi fisik dan akhirnya akan mempengaruhi emosi. Begitu pula sebaliknya, pikiran bisa mempengaruhi emosi dan akhirnya akan mempengaruhi fisik. Ketika pikiran kita sudah negatif terhadap sesuatu, maka emosi akan terpengaruh dan dengan sendirinya akan mempengaruhi pada fisik. Keterkaitannya dapat dijelaskan seperti pada gambar 3.3.
Gambar 3.3 Hubungan antara pikiran, fisik dan emosi
Dengan demikian, hal yang mudah dalam mempengaruhi emosi adalah bagaimana seseorang mencoba untuk mengelola pikirannya. Pikiran yang selalu diarahkan ke hal positif akan dapat mempengaruhi fisik. Karenanya sebagai pendidik, misalnya mendapatkan siswa yang luar biasa sulit, maka arahkan pikiran untuk menyatakan, “Wah syukur akhirnya mendapat kesempatan untuk melatih sabar dalam
36
menghadapi anak“.
Dengan demikian pikiran menjadi lebih jernih, dan akhirnya
akan dapat mencari solusi untuk mengatasi persolan yang ada tersebut. Pengelolaan waktu adalah bagaimana memanfaatkan waktu sesuai dengan kebutuhan dan waktu yang ada agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Sebagai seorang pendidik di PAUD, seorang bunda PAUD tidak hanya sekedar berdiri di depan kelas menyampaikan materi. Ada aktivitas administrasi, ada kegiatan melatih aktivitas kalau ada kegiatan lomba dan perayaan di kecamatan, kabupaten maupun di propinsi. Akibatnya waktu yang tersedia akan dirasakan kurang cukup dan akibatnya tugas tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itulah perlu dibuat cara yang terkait dengan manajemen waktu dan prioritas. Waktu memiliki kategori mendesak dan tidak mendesak sedangkan prioritas memiliki kategori penting dan tidak penting. Berdasarkan dua
dimensi tersebut, maka akhirnya akan menghasilkan empat bagian, yaitu penting
mendesak, tidak penting tapi mendesak, penting tapi tidak mendesak, serta bagian tidak penting dan tidak mendesak. Gambaran tentang manajemen waktu dan prioritas, terlihat pada gambar 3.4.
Penting dan Mendesak I
Tidak Penting tapi Mendesak II
Penting tapi Tidak Mendesak III
Tidak Penting dan Tidak Mendesak IV
Gambar 3.4 Skala prioritas dan skala kepentingan
37
Pada gambar 3.4 menunjukkan bahwa dalam mengelola waktu perlu dilakukan perhitungan dengan baik tentang skala prioritasnya. Urutan angka romawi adalah urutan dalam pengerjaannya. Hal hal yang ‘penting dan mendesak’ harus dikerjakan lebih dahulu dan baru kemudian ke romawi II, III dan terakhir yang IV. Contohnya perilaku sebagai pendidik di PAUD, hal yang ‘penting dan mendesak’
(kategori I)
adalah merencanakan pembelajaran, mengajar tepat waktu. Perilaku yang kategori ‘tidak penting dan tidak mendesak’ (kategori IV), misalnya adalah membicarakan orang lain hanya akan dilakukan kalau benar benar memiliki waktu yang luang. Kategori II dan III akan fleksibel tergantung apakah keputusannya tergantung dengan waktu yang tersedia dan juga apakah aktivits tersebut penting. Kalau waktu tidak mendesak maka ambil keputusan berdasarkan kepentingan. Sebaliknya, ketika waktunya singkat, maka pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan adalah berdasarkan waktu, sehingga walaupun ‘tidak penting’ tetap menjadi prioritas untuk dikerjakan dulu, karena waktu yang singkat. Cobalah memilah aktivitas anda dalam seminggu ini berdasarkan 4 kategori tersebut. Pengelolaan yang juga harus dilakukan adalah pengelolaan stres. Stres adalah kondisi dimana seseorang tidak dapat menlakukan sesuatu disaat yang bersamaan dia merasa mampu melakukannya. Kondisi ini akan membuat ketegangan dalam diri yang ditunjukan dengan perilaku marah, toleransi terhadap orang lain dan perilaku orang lain berkurang. Apabila berada dalam situasi yang demikian, maka yang harus dilakukan adalah mencoba mencari pengelolaan stress yang baik. Stres bisa saja terjadi ketika mengalami kegagalan dalam mengelola waktu juga ketika gagal dalam melakukan pengelolaan emosi.
38
E. Rencana Pengembangan Pribadi Rencana pengembangan pribadi dapat dilakukan dengan memulai membuat perencanaan tentang yang akan dilakukan. Tanpa harus menyangkal bahwa perencaan tetap tergantung dengan Tuhan yang Maha Kuasa, namun manusia tetap harus membuat rencana bagi pengembangan pribadinya. Pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengarahkan pada rencana pengembangan pribadi adalah apakah tujuan hidup anda? Gambaran apakah yang dapat anda sampaikan ketika saya bertemu dengan anda 5 tahun, 10 tahun, bahkan 15 tahun lagi? Jawaban dari pertanyaan sederhana tersebut akan mengelitik anda untuk merumuskan apa yang akan anda lakukan nantinya. Apabila dirumuskan, maka pengembangan pribadi ini akan mengarahkan pada perencanaan
jangka
panjang,
menengah
dan
pendek.
Gambar
5. Dan
6
menggambarkan bagaimana perkembangan seseorang dan rencana yang akan dilakukannya.
hari lahir
saat nanti
saat ini
Gambar 3.5 Perkembangan seseorang yang selalu berubah
Pada gambar 3.5 menunjukkan bahwa seseorang akan terus berkembang dan melaju ke masa depan. Ketika seseorang tidak mulai membayangkan apa yang akan terjadi nanti dengan menciptakan impian, maka arah dalam pengembangan akan tidak beratur dan akan berpindah pindah. Ibaratnya, ketika orang mau ke Madiun tidak 39
mengetahu arahnya, maka bisa jadi arahnya justru menuju Malang yang arahnya bertolak belakang. Setidaknya mulailah dengan sebuah rencana saya mau menjadi apa nantinya. Dapat juga dengan jawaban dari pertanyaan apa yang akan anda lakukan dalam kehidupan anda pribadi? Jika anda mampu menjawabnya anda berkembang dan jika anda tidak mempunyai jawaban, maka anda tidak berkembang.
Tujuan jangka pendek
Tujuan jangka menengah
Tujuan jangka panjang
*mempunyai pengelolaan diri yang baik
*belajar lagi
*pendidik yang baik di PAUD
Gambar 3.6 Rencana pengembangan pribadi
Langkah yang selanjutnya adalah mencoba untuk menguraikan pengembangan pribadi anda dalam langkah langkah aktivitas sesuai dengan tujuan hidup anda. Rencana kegiatan anda (action plan), dapat dibuat dengan lebih rinci mulai dari pencapaian dalam tahun tahun, dan aktivitas apa yang anda lakukan untuk mencapai tujuan jangka pendek, misalnya tahun depan, apa yang anda lakukan untuk mencapai tujuan jangka menengah anda, misanya 5 tahun lagi dan apakah aktivitas yang akan anda lakukan dalam 20 tahun yang akan datang yaitu tujuan jangka panjang. Jangka tahun tergantung pada rencana pribadi masing masing. Bisa jadi 5 tahun sudah menjadi jangka panjang namun ada pula yang menggunakan puluhan tahun sebagai jangka panjang. Dengan demikian rancana pengembang pribadi dilakukan berdasarkan rencana pengembangan pribadinya.
40
F. Penutup Pengembangan pribadi pendidik di PAUD memegang peranan penting karena sebagai peletak dasar kepribadian anak. Selaku pelaku utama dalam menciptakan generasi penerus, maka seorang bunda PAUD harus mampu mengelola diri dan memiliki semangat untuk selalu berkembang.
Untuk
itulah
perlu
dilakukan
rencana
pengembangan pribadi yang akhirnya akan mampu digunakan dalam mengarahkan dirinya untuk menjadi seorang pendidik di PAUD yang baik. Karenanya, perlu dipraktekkan untuk menbuat rencana pengembangan pribadi pendidk di PAUD. Selamat bermimpi, dengan tetap berkeyakinan semua atas izin dari Tuhan. Semoga bermanfaat.
41
Referensi : Castillo,P.S., Tison,M. & Upton, C.(2006) Social Skills. A Modern guide to global living. vol.1. Makaty : John Robert Power International Direktorat Pengembangan Ketahanan Keluarga (2009). Pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak. Jakarta: Badan kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Johnson, D. W. (2013). Reaching Out : Interpersonal Effectiveness & Self Actualization. Boston : Allyn & Bacon. Wilson. S.B. & Dobson, M.S. (2008). Goal setting : how to create an action plan and achieve your goals. 2nd ed. New York: American Management Association.
42
43
1. Mengapa Mempelajari Perilaku Sehat? Tabel 4.1 Penyebab Kematian Tertinggi di Dunia (WHO, 2013)
Penyebab Kematian
Jumlah (juta)
Jantung Koroner
7.0
Stroke
6.2
Infeksi saluran pernafasan
3.2
Penyakit paru kronis
3.0
Diare
1.9
HIV/AIDS
1.6
Kanker batang tenggorok, cabang
1.5
tenggorok, paru Diabetes Melitus
1.4
Kecelekaan di jalan raya
1.3
Kelahiran bayi prematur dengan
1.2
komplikasi
Data dari tabel di atas menunjukkan bahwa penyebab kematian tertinggi di dunia berhubungan dengan pola perilaku tertentu. Pola perilaku tersebut sebenarnya dapat dimodifikasi (diturunkan/ditingkatkan/dihilangkan) sehingga muncul pola perilaku 43
tertentu yang lebih adaptif untuk lebih sehat. Gambaran tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya kesehatan kita merupakan buah dari pola perilaku kita sendiri, apakah kita akan menjadi sehat atau sakit. Oleh karena itu mempelajari perilaku sehat cukup penting untuk membantu meningkatkan kondisi kesehatan seseorang. Perilaku sehat merupakan bentuk dari kebiasaan hidup sehat yang dapat muncul dan dilatihkan semenjak dini. Berawal dari perilaku sehat, apabila dilakukan terus menerus secara konsisten, maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai pembelajaran sejak dini. Pembelajaran sejak dini dapat memberikan dasar-dasar pembentukan kepribadian dan karakter anak (Cloninger, 2004). Pada lima tahun pertama, anak belajar: (1) mengenal dan membangun kepercayaan pada orang lain melalui fase menyusui, (2) belajar mandiri melalui belajar mengidentifikasi dan mengelola dorongan dan kebutuhan buang air (toilet training), (3) mengembangkan inisiatif melalui proses identifikasi sex dan gender dari kedua orang tuanya. Pada lima tahun pertama kehidupan itu, anak mulai belajar mengembangkan ketrampilan motorik dan ketrampilan berkomunikasi, yang akan menjadi dasar pembentukan karakter individu untuk meniti hidup dan kehidupan pada fase-fase berikutnya. Pada usia lima tahun pertama, seorang anak belajar untuk menguasai diri sendiri, belajar memahami orang lain dan mengenal dunia. Perilaku sehat yang dapat mulai dikenalkan pada anak usia PAUD adalah: 1) Mencuci tangan sebelum makan; 2) Membuang sampah pada tempatnya; 3) Buang air kecil dan besar di kamar mandi; 4) Bersisir dan berpakaian rapi serta bersih ke sekolah; 5) Mencuci tangan dan kaki sebelum tidur; 6) Memotong kuku seminggu sekali; 7) Mandi dan menggosok gigi dua kali sehari; dan 8) Rajin mengikuti kegiatan olah raga di sekolah.
44
2. Perilaku Sehat Sehat menurut WHO (1949) adalah suatu keadaan yang komplit atas kondisi fisik, mental, dan kesejahteraan secara sosial dimana tidak hanya tidak adanya penyakit atau luka. Definisi ini tentu saja berbeda dengan pemahaman sebagian besar orang yang menganggap bahwa sehat lebih cenderung diasosiasikan dengan tidak adanya penyakit secara fisik. Pada masa awal, penyakit seringkali diasosiasikan dengan virus, bakteri atau luka. Hal ini dikenal sebagai pandangan biologis. Saat ini, berkembang pandangan biopsikososial yang menyebutkan bahwa penyakit dapat muncul karena adanya interaksi antara faktor biologis, aspek psikologis dan aspek sosial. Pandangan ini berpendapat bahwa kesehatan bukan hanya fungsi dari kesehatan fisik semata, namunvariabel psikologis maupun sosial juga turut berperan dalam membentuk kesehatan seseorang.
Gambar 4.1 Model Biopsikososial
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sehat: a. Faktor Sosial i. Variabel Demografis Kebiasaan sehat (merokok, berolah raga, pola tdur serta penggunaan alkohol) seringkali dipraktekkan oleh orang yang lebih muda, kaya,
45
berpendidikan lebih baik dan mempunyai dukungan sosial yang baik (menikah dan rajin beribadah ke masjid/gereja; Gottlieb & Green, 1984). ii. Sosialisasi Kebiasaan sehat sangat dipengaruhi oleh sosialisasi awal terutama oleh orang tua sebagai role model (Lau, Quadrel & Hartman, 1990). iii. Nilai yang dianut Kebiasaan sehat diasosiasikan dengan nilai dari kebudayaan atau status sosial ekonomi kelompok tertentu (Green, 1970; Langlie, 1977). iv. Pengaruh teman sebaya Tekanan teman sebaya ditemukan menjadi penyebab yang signifikan pada remaja yang perokok. b. Faktor emosi Perilaku sehat biasanya dimunculkan oleh orang yang dengan keadaan psikologis yang baik (Mechanic & Clery, 1980). i. Gejala yang dirasakan Apabila muncul gejala sakit pada diri seseorang maka perilaku sehat akan cenderung untuk dilakukan. ii. Tujuan personal Seringkali perilaku sehat dimunculkan karena adanya nilai pada suatu perilaku tertentu oleh seseorang. Misalnya orang yang merokok, minum alkohol, makan, berolahraga secara rutin berhubungan dengan apakah mereka mempersepsikan perilaku tersebut sebagai sesuatu yang dapat memfasilitasi pencapaian tujuan mereka. iii. Akses pada penyedia layanan kesehatan Perilaku sehat cenderung dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses pada ketersediaan layanan kesehatan. Sebagai contoh, orang dengan status sosial ekonomi yang tinggi, berpendidikan tinggi dan memiliki keleluasaan akses pada penyedia layanan kesehatan maka ia akan cenderung melakukan
46
tindakan medis bahkan yang bersifat preventif meskipun mereka tidak merasakan gejalanya. c. Faktor kognitif Berkurangnya perilaku merokok di negera-negara Barat selama 20 tahun belakangan ini merupakan hasil dari meningkatnya kesadaran akan beratnya resiko kesehatan yang disebabkan oleh rokok (Conner & Norman, 2003). 3. Metode Intervensi PHBS: Modifikasi Perilaku Dalam memberikan edukasi perilaku sehat pada anak, Bunda PAUD dapat menggunakan metode-metode modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku secara umum adalah segala tindakan yang bertujuan untuk mengubah perilaku, atau lebih spesifik adalah usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip psikologi hasil eksperimen (Bootzin). Apa yang dimaksud dengan perilaku? Semua yang kita lakukan dapat disebut sebagai perilaku (Joko Yuwono, 2009). Secara umum perilaku (behavior) didefinisikan sebagai suatu yang dikatakan atau dilakukan oleh seseorang. Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku ialah semua tindakan seseorang yang dapat dilihat, didengar, atau dirasakan oleh orang lain atau diri sendiri. Perilaku itu ada yang dapat diamati dan ada yang tidak dapat diamati. Perilaku yang dapat diamati misalnya senyum, makan, minum, berjalan, menangis, berbicara dan sebagainya. Perilaku yang tidak dapat diamati misalnya berfikir, menghayal dan sebagainya. Beberapa teknik modifikasi perilaku yang dapat diterapkan oleh Bunda PAUD untuk melatihkan PHBS pada siswa PAUD yaitu : A. Reinforcement Reinforcement merupakan salah satu bentuk dari operant behaviors yaitu perilaku yang menghasilkan suatu konsekuensi dan perilaku selanjutnya akan dipengaruhi oleh konsekuensi tersebut. Dengan manajemen yang tepat maka akan dapat merubah arah, level dan peristensi perilaku seseorang. Contoh: Lisa (3 bulan) menangis ketika ditinggal di dalam kamar sendirian. Mendengar
putrinya
menangis,
Ani
segera
datang
ke
kamar
dan 47
menggendongnya. Selanjutnya apabila ingin ditemeni, maka Lisa akan menangis sehingga ibunya datang dan menggendongnya sehingga ia tidak sendirian.
a) POSITIVE REINFORCEMENT Positive reinforcement merupakan suatu keadaan apabila dalam situasi tertentu seseorang melakukan perilaku tertentu dan langsung diberikan positive reinforcer padanya maka orang tersebut akan cenderung untuk melakukan hal yang sama kembali apabila menemukan situasi yang sama. Positive reinforcement berbeda dengan reward, reward dapat dikatakan sebagai positive reinforcement hanya ketika mampu meningkatkan perilaku yang diinginkan. Contoh: Setelah makan malam ibu ingin agar anaknya mau mencuci piring. Ketika anaknya selesai mencuci piring si ibu mengijinkan anaknya untuk menonton acara TV favoritnya. Begitu seterusnya ketika anaknya selesai mencuci piring maka ibu mengijinkan ia menonton acara TV favoritnya. Maka selanjutnya si anak akan mencuci piring setelah makan malam agar ia diizinkan untuk menonton acara TV favoritnya. b) NEGATIVE REINFORCEMENT Negative reinforcement merupakan suatu keadaan apabila dalam situasi tertentu seseorang melakukan perilaku tertentu dan langsung diberikan negative reinforcer padanya maka orang tersebut akan cenderung untuk tidak melakukan hal yang sama apabila menemukan situasi yang sama. Terjadi apabila penghapusan stimulus tertentu yang tidak diinginkan maka akan dapat meningkatkan perilaku yang diinginkan. Negative reinforcement tidak sama dengan punishment. Negative reinforcement meningkatkan perilaku sedangkan punishment akan menghilangkan perilaku. Contoh: Ibu selalu mengomeli anaknya setelah makan malam agar mau mencuci piring. Ketika anak mencuci piring, ibu berhenti mengomel. Begitu seterusnya sehingga anak akan mencuci piring setelah makan malam agar si ibu tidak mengomel. 48
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas reinforcement : 1. Memilih perilaku yang ingin ditingkatkan Perilaku yang ingin diperkuat terlebih dahulu harus diidentifikasikan secara spesifik. Misalnya kategori perilaku yang umum seperti menjadi seseorang yang lebih bersahabat, maka harus diturunkan menjadi perilaku yang lebih spesifik dan mencerminkan perilaku yang ingin diperkuat, misalnya: tersenyum. 2. Memilih jenis reinforcer Stimulus tertentu merupakan reinforcer positif bagi beberapa orang, akan tetapi belum tentu bagi sebagian orang lainnya. Oleh karena itu perlu dipilih reinforcer yang tepat bagi tiap individu. Jenis-jenis reinforcer positif dibagi menjadi 5: a) Consumable à makanan, permen, kue, coklat, minuman b) Activity à boleh melihat tv, membaca buku cerita, melihat konser c) Manipulative à bermain dengan boneka favorit, surfing di internet d) Possesional à boleh memakai baju favoritnya, duduk di tempat duduk favoritnya e) Social à pelukan, pujian, senyum 3. Establishing Operations (EO) Merupakan suatu kondisi yang dapat mengubah keefektifan suatu reinforcer serta dapat mengubah frekuensi perilaku yang diperkuat oleh suatu reinforcer. Macamnya: a. Deprivation Ialah keadaan individu sebelum mengalami penguatan (prior to training session). Misalnya, subjek diberi penguat berupa permen agar ia mau meningkatkan perilaku belajar. Tetapi sebelum mengalami sesi treatmen subjek sangat mudah mendapatkan permen tanpa ia harus belajarterlebih dulu. Maka permen bukan lagi menjadi reinforcement yang efektif.
49
b. Satiation Ialah keadaan dimana setelah mengalami penguatan akan tetapi reinforcer
yang
diberikan
tidak
lagi
dapat
memperkuat
perilaku/mengalami kebosanan. 4. Ukuran reinforcer Ukuran reinforcement merupakan faktor penting yang menentukan keefektifan reinforcer. Fisher (1979) menemukan di sebuah rumah sakit hanya 60% pasien wanita yang rajin membersihkan karang giginya. Ketika diberikan sebuah token (yang dapat ditukarkan rokok, kopi atau snack) bagi pasien yang mau membersihkan karang giginya maka prosentasenya meningkat menjadi 76%. Selanjutnya ketika diberikan 5 token maka prosentasenya akan meningkat menjadi 91%. 5. Kesegeraan reinforcer Agar memperoleh efektivitas yang maksimal maka reinforcer semestinya diberikan segera setelah munculnya perilaku yang diinginkan. Long delay reinforcer dapat berlaku efektif apabila ada suatu peristiwa yang menjadi mediasi atau menjembatani gap diantara respon dengan longdelay behavior. Contoh kasus: Fernando bekerja di perusahaan Amerika di Mexico City merupakan 1 diantara 12 pekerja yang memiliki penyakit kronis: tidak pernah datang tepat waktu. Bonus bulanan yang diberikan kepada 40 orang pekerja yang selalu datang tepat waktu ke kantor tidak memiliki dampak apapun bagi Fernando, begitu pula peringatan dan penundaan pemberian gaji. Akhirnya pihak manajemen mengembangkan program treatmen untuk Fernando. Tiap kali Fernando datang tepat waktu maka ia diberikan slip kertas yang mengindikasikan bahwa ia berhak atas uang senilai 2 peso yang dapat ditukarkan di setiap akhir minggu. Selama 8 minggu pertama Fernando memperlihatkan peningkatan dengan datang tepat waktu setiap harinya.
50
6. Menyusun peraturan-peraturan Instruksi dapat memfasilitasi perubahan perilaku dalam beberapa cara: a. Instruksi yang spesifik akan membantu meningkatkan proses belajar. Contoh: pemain tenis pemula yang sedang berlatih hanya menunjukkan sedikit perkembangan ketika diinstruksikan untuk berteriak konsentrasi ketika memukul bola. Akan tetapi mereka menunjukkan peningkatan yang cukup pesat ketika diinstruksikan untuk berteriak “ready” ketika melihat mesin akan melemparkan bola selanjutnya, berteriak “ball” ketika melihat bola ditembakkan dari mesin, “bounce” ketiaka bola memantul dari tanah dan “pukul” ketika bola telah menyentuh raket mereka (Ziegler, 1987). b. Instruksi memungkinkan untuk mempengaruhi individu yang diberikan delay reinforcement. 7. Naturalisasi Ke 6 faktor di atas mempengaruhi keefektifan reinforcement ketika program sedang berjalan. Bagaimana jika program berakhir dan kembali kepada kehidupan sehari-hari? Sebenarnya perilaku dalam kehidupan sehari-hari selalu diikuti oleh reinforcer meskipun tidak selalu disadari. Membaca tanda diperkuat frekuensinya dengan menemukan objek atau keadaan yang diinginkan. Misalnya perilaku makan akan diperkuat dengan rasa makanan, menyalakan saklar lampu akan diperkuat dengan pencahayaan ruangan yang terang, menyalakan kran air akan diikuti dengan mengalirnya air, perilaku verbal dan sosial akan diperkuat dengan reaksi dari orang lain. Reinforcer yang tidak terprogram seperti yang telah disebutkan di atas disebut sebagai natural reinforcement, sedangkan setting tempat terjadinya disebut sebagai natural environment. Ketika berhasil memperkuat perilaku dengan menggunakan baik positif maupun negatif reinforcement, maka bukan tidak mungkin reinforcer dalam natural
environtment
individu
tersebut
mengambil
alih
untuk
mempetahankan perilaku tersebut.
51
B. Modelling Modelling merupakan prosedur dimana ketika suatu perilaku tertentu yang diharapkan ditunjukan pada seorang individu untuk mempengaruhi agar individu tersebut turut serta melakukan perilaku yang sama.
Gambar 4.2 Bagan Modelling
Dalam Modelling terdiri dari beberapa tahap. Tahapan yang terjadi ialah: 1. Tahap pemilikan Tahap masuknya perilaku dalam perbendaharaan subyek, subyek memperoleh dan mempelajari perilaku model yang diamati. 2. Tahap pelaksanaan Tahap ini melakukan perilaku yang telah dipelajari dari model. Pelaksanaan baru dapat diwujudkan bila faktor-faktor penunjang ada dan ada faktor pengukuh, baik yang dialami subyek sendiri, maupun yang diperoleh lewat pengamatan. Agar modeling yang dilakukan berjalan secara efektif, berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat diperhatikan, yakni : 1. Memilih model 2. Gunakan lebih dari satu model 3. Kompleksitas perilaku harus disesuaikan dengan kemampuan subjek 4. Kombinasikan dengan instruksi 5. Klien harus melihat model memunculkan perilaku dan mendapatkan reinforcement
52
6. Jika
klien
melakukan
perilaku
yang
diharapkan
segera
berikan
reinforcement, utamakan yang natural 7. Jika perilakunya komplek, harus bertahap dari yang paling mudah ke yang paling sukar 8. Setting modeling yang disusun harus realistis untuk meningkatkan generalisasi stimulus 9. Gunakan fading C. Token Ekonomi Merupakan kombinasi untuk meningkatkan, membentuk/ mengajarkan, mengurangi dan memelihara berbagai perilaku. Dibandingkan dengan teknik modifikasi perilaku yang lain, teknik ini memakan waktu yang cukup lama dan membutuhkan upaya manajemen yang cukup besar. Dengan menggunakan teknik token ekonomi, pada prinsipnya menggunakan teknik reinforcement dengan memberikan reinforcer pada anak ketika perilaku yang diharapkan muncul namun pemberian reinforce tersebut berupa token. Pada akhir masa yang telah ditentukan, maka token tersebut baru dapat ditukarkan dengan reinforce yang sebanarnya apabila memenuhi syarat minimal jumlah token. Syarat tersebut ditetapkan di awal program. Token dapat berupa stiker, stempel dan lain sebagainya. Berikut adalah contoh sistem yang dapat digunakan pada token ekonomi:
Gambar 4.3
53
Penerapan token ekonomi yang efektif dapat menggunakan langkah-langkah berikut ini: a) Hindari Penundaan b) Berikan Kepingan Secara Konsisten c) Memperhitungkan kuantitas d) Persyaratan Hendaknya Jelas e) Pilih Pengukuh yang Macam & Kualitasnya Memadai f) Kelancaran Pengadaan Pengukuh Idaman g) Pemasaran Pengukuh Idaman h) Jodohkan Pemberian Kepingan dengan Pengukuh Sosial Positif i) Perhitungkan Efeknya Terhadap Orang Lain j) Perlu Persetujuan Berbagai Pihak k) Perlu Kerjasama Subyek l) Perlu Latihan bagi Pelaksana m) Perlu form Pencatatan n) Kombinasi dengan Prosedur Lain
54
Referensi : Conner, M and Norman, P. (2003). Predictiong Health Behaviour, Research and Practice with Social Cognition Model. Buckingham: Open Univeristy Press Martin, Gary & Pear, J. (1995). Behavior Modification: What It Is and How To Do It, fourth edition. New Jersey: Prentice Hal International. Ogden, J. Health Psychology. A text Book. 4th ed. (2007). Berkshire:Open University Press Taylor, S. E., (1999), Health Psychology (5th edition). New York: McGraw-Hill Higher Education.
55
A. Pendahuluan Bermain merupakan kebutuhan utama yang penting untuk tumbuh kembang anak. Dari bayi hingga kanak-kanak, anak akan melakukan
hampir
seluruh
kegiatannya
dengan bermain. Kebutuhan atau dorongan internal, seperti pengaruh pertumbuhan sel saraf otak dan rasa ingin tahu yang besar, memungkinkan anak untuk bermain tanpa mengenal lelah. Oleh sebab itu, dunia anak secara umum seringkali disebut sebagai dunia bermain. Anak usia dini membutuhkan kegiatan bermain untuk mendapatkan stimulasi yang menyeluruh agar dapat berkembang secara optimal. Kegiatan bermain bagi anak usia dini merupakan kegiatan yang sangat penting dalam perkembangan kepribadian anak (Wiyani & Barnawi, 2012). Bermain bukan sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan media anak untuk belajar dan mempunyai nilai positif terhadap kepribadian anak – salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan anak selain lingkungan dan gizi. B. Tahapan Kegiatan Bermain Terdapat beberapa pengelompokan tahapan kegiatan bermain. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa tahapan bermain berkembang sesuai dengan interaksi antara kesiapan fungsi psikologis dan fisik anak. Karena setiap tahapan perkembangan mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda dari tahapan lainnya, maka kegiatan bermain yang dilakukan oleh anak pada masing-masing tahap juga menjadi unik. Tabel dibawah ini menyajikan rangkuman karakteristik masing-masing tahap kegiatan bermain pada anak menurut 2 ahli psikologi perkembangan, Jean Piaget dan Elizabeth Hurlock.
55
Tabel 5.1 Tahapan Kegiatan Bermain
1.
2.
3.
4.
Jean Piaget Permainan sensori motorik (3/4 bulan – 1/2 tahun). a. Bermain bertujuan untuk mencari kenikmatan b. Kegiatan bermain rancu dengan aktivitas makan dan minum Permainan simbolik (2 – 7 tahun). a. Didonimasi bermain khayal dan pura-pura. b. Penggunaan berbagai simbol atau representasi benda lain, seperti sapu sebagai kudakudaan, kertas sebagai uang. Permainan simbolik berfungsi untuk menggabungkan pengalaman emosional anak. setiap hal yang berkesan akan diulang dan dilakukan kembali. c. Anak lebih banyak bertanya dan menjawab pertanyaan. Ketika bertanya, anak tidak mempedulikan jawaban yang diberikan sehingga akan terus bertanya walaupun sudah dijawab. d. Ingin tahu berbagai kosep tentang angka, ruang dan kuantitas. Permainan sosial yang memiliki aturan (8 – 11 tahun) a. Kegiatan dengan teman sebaya b. Dikendalikan oleh peraturan Permainan yang memiliki aturan dan olah raga (11 tahun keatas) a. Bermain didefinisikan sebagai kegiatan menyenangkan b. Adanya dorongan berkompetisi dan berprestasi
1.
2.
3.
4.
Elizabeth B. Hurlock Tahap penjelajahan (exploratory stage) a. Rasa ingin tahu yang besar terhadap obyek atau orang lain b. Penjelajahan dan pengamatan lingkungan Tahap mainan (toy stage) a. Mencapai puncak pada usia 5-6 tahun (2-3 tahun hanya mengamati mainan) b. Bermain dengan dan mengajak bicara boneka, robot atau mainan lainnya layaknya teman bermain. Tahap bermain (play stage) a. Usia anak mulai masuk SD b. Jenis mainan semakin banyak c. Alat permainan berkembang menjadi games, olahraga, dan bentuk mainan lain yang dilakukan orang dewasa. Tahap melamun (daydream stage) a. Usia mendekati pubertas b. Minat terhadap mainan menurun c. Anak mulai menghabiskan waktunya untuk melamun dan berkhayal, biasanya khayalannya tentang perlakuan orang lain yang tidak adil atau merasa kurang dipahami oleh orang lain.
56
C. Keamanan Lingkungan Main Anak usia dini mempelajari lingkungannya melalui penjelajahan, terutama dengan menggunakan indera perasa dan sentuhan. Hanya saja, karena mereka belum bisa menilai keamanan dan kesehatan diri sendiri, penjelajahan dapat menempatkan mereka pada resiko cedera, seperti luka bakar, jatuh, tersedak, tenggelam, dan keracunan. Oleh sebab itu, peran pengasuh anak, orangtua dan pendidik, penting untuk memastikan lingkungan bermain yang kondusif dan suportif untuk perkembangan anak usia dini. Pengetahuan mengenai keamanan lingkungan main sebaiknya dikuasai oleh orangtua dan pendidik sehingga mereka dapat mengenali dan menyingkirkan segala kemungkinan bahaya. Lingkungan main di sekolah mempunyai isu keamanan yang lebih menonjol dibandingkan lingkungan main di rumah mengingat lebih banyaknya jumlah anak dan beragamnya rentang usia yang terkumpul dalam satu waktu dibandingkan di rumah. Dengan demikian, orangtua dan pendidik perlu lebih mempertimbangkan penempatan area bermain yang kreatif dan penyimpanan mainan yang aman. Resiko Cedera Berdasarkan Tahap Perkembangan Setiap tahapan perkembangan mempunyai karakteristik dan resiko cedera yang berbeda bagi anak. Gabungan antara perkembangan fisik dan psikologis yang pesat membuat masing-masing tahap mempunyai kekhasan yang unik dibandingkan tahap yang lainnya. Oleh sebab itu, pengertian orangtua dan pendidik mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak sangat berperan dalam menciptakan lingkungan main yang bebas bahaya dengan benda-benda yang aman dan sesuai dengan usia anak. Tabel dibawah ini menyajikan secara ringkas karakteristik perkembangan anak dan kemungkinan cedera berdasarkan usianya.
57
Tabel 5.2 Cedera yang umum terjadi yang berkaitan dengan tahap perkembangan anak Usia Anak 0 – 1 tahun
1. 2. 3. 4. 5.
1
– 2½ 1. tahun 2. 3. 4. 5. 6.
2½ – 5 tahun
7. 1. 2. 3. 4.
> 5 tahun
5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Karakteristik Perkembangan Bertambahnya mobilitas Menggunakan mulut untuk mempelajari benda-benda Menggapai dan menarik bendabenda Tidak menyadari bahaya Tidak mengerti kata “tidak” atau “jangan” Belajar jalan, berlari, memanjat Menjelajahi segala sesuatu dengan mulut Mulai meniru perilaku Memeriksa segala sesuatu yang terjangkau Ingin tahu tentang segala benda yang belum pernah dilihat sebelumnya Tidak menyadari sebagian besar bahaya Impulsif Mobilitas menjurus ke peningkatan kemandirian Belajar mengendarai sepeda roda tiga Tidak menyadari banyak bahaya Bisa lebih memilih peralatan yang sungguhan dan bukan mainan Terkagum pada api Meniru perilaku dewasa Butuh mandiri Butuh seperti teman sebaya Butuh bersama teman sebaya Butuh peningkatan kegiatan fisik Bahaya tidak selalu tampak nyata Meningkatnya kemandirian bisa berarti berkurangnya pengawasan
Kemungkinan Cedera 1. Luka bakar 2. Tersedak 3. Tenggelam 4. Jatuh
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Luka bakar Tersedak Tenggelam Jatuh Cedera pejalan kaki Keracunan Tercekik
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Luka bakar Tersedak Tenggelam Jatuh Cedera pejalan kaki Keracunan
1. 2. 3. 4. 5.
Cedera sepeda Luka bakar Jatuh Cedera pejalan kaki Cedera senjata
Sumber: National Safety Council (2001)
58
Keamanan Ruangan dan Kelas Pendidik perlu memperhatikan keamanan setiap bagian ruangan dan penempatan peralatan yang terdapat di dalamnya untuk memastikan bahwa ruangan dan kelas aman sebagai lingkungan bermain bagi anak. Demikian pula di area Pos PAUD, Bunda PAUD sebaiknya meluangkan waktu untuk memeriksa kembali apakah ruangan Pos PAUD aman untuk kegiatan belajar dan bermain anak. Berikut adalah beberapa saran pemeriksaan keamanan dalam ruangan yang perlu mendapatkan perhatian khusus di PAUD, antara lain: 1. Lindungi sudut-sudut meja atau perabotan yang tajam (misalnya meja kaca dengan sudut lancip) dengan alat pengaman khusus atau karton tebal. 2. Ajarkan anak untuk tidak bermain dengan pintu untuk mencegah jari kaki dan tangannya terjepit di bawah pintu dan engsel pintu. Pasang pengganjal pintu untuk mencegah anak terjepit. 3. Ajarkan anak untuk membereskan mainan yang berserakan di lantai dan tangga untuk mencegah anak tersandung dan terjatuh. 4. Simpan semua cairan pembersih, lilin, korek api, benda-benda tajam, dan perabot membahayakan lainnya di lemari khusus yang bisa dikunci. 5. Pasang alas pengaman karet di kamar mandi dan tempat cuci tangan. 6. Periksa semua alat elektronik di ruangan. Apabila ada bagian kabel yang terkelupas segera ganti. Stop kontak yang tidak terpasang dengan baik ke tembok segera diperbaiki. Pasang penutup stop kontak untuk mencegah anak memasukan jari-jari mungilnya atau benda-benda ke dalam stop kontak. Hindari menggunakan banyak alat elektronik pada satu stop kontak. Hal-hal ini dapat mencegah terjadinya bahaya anak terkena sengatan listrik, korsleting dan meledaknya kabel saat alat elektronik tersebut digunakan. 7. Rapikan kabel-kabel yang menggantung bebas dengan alat khusus untuk merapikan kabel atau dengan memaku kabel ke tembok dengan paku khusus sehingga kabel tidak bisa ditarik dengan bebas oleh anak. Dengan begitu kabel tidak akan terlihat oleh anak, tidak bisa ditarik, terlilit ke leher anak, dan tidak dapat digigit olehnya. 8. Simpan alat-alat elektronik yang tidak digunakan di lemari yang jauh dari jangkauan anak. Jangan menempatkan alat-alat elektronik di tempat yang rawan 59
basah. Selain itu jangan pernah menyentuh alat elektronik dengan tangan basah karena dapat menyebabkan korsleting dan anak terkena sengatan listrik. Beritahu anak mengenai bahaya ini dan minta anak untuk tidak bermain-main dengan stop kontak. 9. Rak buku, rak tempat menyimpan mainan, meja, kursi, lemari dan laci harus selalu dalam keadaan stabil, kuat dan tidak goyah. 10. Lem ke lantai ujung karpet yang tidak rata dan terlihat mulai menggulung atau gunakan perabotan berat seperti lemari di atasnya. Gunting atau perbaiki rajutan karpet yang terlepas untuk menghindari bahaya anak tersandung. 11. Pilihlah mainan dan alat peraga yang aman dan sesuai dengan tahap perkembangan, gaya bermain, dan minat anak. Sebagai bahan pertimbangan, perhatikan anjuran usia penggunaan mainan dan alat peraga. 12. Tempat penyimpan obat dan alat-alat P3K sebaiknya terlihat dengan mudah dan bisa dijangkau oleh orang dewasa namun jauh dari jangkauan anak-anak. 13. Jika ruangan memiliki tangga, pasang pintu kecil khusus pada bagian ujung atas dan ujung bawah tangga untuk mencegah anak naik dan turun tangga dengan bebas. Ajarkan anak menaiki dan menuruni tangga dengan aman dan jangan memberikan contoh perilaku berbahaya di tangga, misalnya: berlari dan melompati pagar.
60
Gambar 5.1 Rapikan kabel alat elektronik untuk mencegah cedera akibat tersetrum
Keamanan Area Bermain Diluar Ruangan Selain di dalam ruangan, anak-anak juga senang diluar ruangan, seperti taman bermain. Dan, kecelakaan pada anak sangat mungkin terjadi bila orang dewasa lalai mengawasinya. Berikut beberapa tips yang dapat membantu orangtua dan pendidik untuk memastikan agar lingkungan bermain selalu aman sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan: 1. Pastikan pagar tidak berkarat dan bagian pagar yang lancip serta tajam jauh melebihi tinggi badan anak. Apabila ada bagian pagar yang patah, segera perbaiki agar anak tidak bisa berusaha untuk keluar pagar dengan bebas dan mencegah pakaian anak tersangkut bagian yang patah. 2. Pastikan tembok di sekeliling taman bermain dalam keadaan baik, tidak ada bagian yang retak karena tembok sudah berusia tua. Hal ini untuk melindungi anak dari bahaya tertimpa runtuhan tembok yang rapuh. 3. Pastikan bahwa ada pasir, gravel, mulsa atau alas lain dibawah setiap alat permainan di taman bermain. 4. Jauhkan posisi ayunan dari area berjalan atau permainan lainnya untuk menghindari kemungkinan anak bertumbukan dengan ayunan. Dudukan ayukan 61
sebaiknya bisa berayun, terbuat dari kain kanvas atau karet keras bukan logam atau kayu, untuk mencegah anak tersangkut ayunan. 5. Jika ayunan terbuat dari besi, pastikan bahwa ayunan tidak dalam keadaan rusak dan tidak berkarat. Pada cuaca panas, periksalah suhu ayunan dari logam sebelum mengijinkan anak untuk bermain disana. Ajarkan anak untuk meluncur secara bergantian dan tidak menaiki papan luncur dari depan. 6. Periksa secara teratur mainan panjatan yang terbuat dari kayu dan amplas bagianbagian yang kasar untuk mencegah anak tertusuk serpihan kayu. 7. Jalan setapak di taman bermain sebaiknya juga dalam keadaan baik, tidak licin berlumut dan tidak ada yang rusak seperti berlubang untuk mencegah anak tersandung dan menderita cedera kepala. Apabila terdapat tanaman berduri seperti bunga mawar, potong ranting-ranting berdurinya agar tidak menyentuh kepala anak saat berjalan dan usahakan agar rantingnya tidak menggangu jalan setapak. 8. Pastikan semua alat-alat berkebun, obat pembasmi hama dan pupuk disimpan segera setelah selesai digunakan di tempat penyimpanan yang bisa dikunci. 9. Jika terdapat kolam ikan kecil atau kolam renang, jangan biarkan anak diluar pengawasan orang dewasa. Supaya lebih aman, pasang pagar disekeliling kolam dan kunci dengan gembok agar tidak anak tidak mempunyai akses dengan bebas. 10. Ajarkan anak untuk tidak bermain di belakang mobil atau kendaraan lain yang tengah parkir. 11. Ajarkan anak bagaimana cara menghadapi orang asing dan meminta pertolongan pada pihak yang tepat. Berikan pendidikan seksual sedari dini agar anak dapat menjaga diri dan melakukan penolakan ketika terjadi kemungkinan pelecehan seksual.
62
Gambar 5.2 Contoh mainan kurang aman karena jarak antar mainan yang terlalu dekat
D. Mainan dan Permainan Bagi Anak Usia Dini Anak-anak pra sekolah memerlukan beberapa ketrampilan untuk menunjang kegiatannya sebelum memasuki sekolah nantinya, seperti perkembangan otak, perkembangan otot-otot besar maupun otot-otot kecil, serta emosi maupun belajar konsentrasi selain ketrampilan bahasa. Alat permainan yang digunakan bukan pada aneka permainan yang ada atau yang perlu disediakan, tetapi tergantung pada usia berapa, tujuan bermain untuk apa dan menggunakan alat atau media apa? Memilih mainan untuk anak yang paling sederhana biasanya yang terbaik; semakin rumit dan semakin canggih akan semakin berkurang minat anak untuk berimajinasi, dan anak tidak mendapatkan manfaat dari mainan tersebut. Kegiatan bermain dilakukan dengan mempergunakan atau tanpa mempergunakan alat, yang dapat menghasilkan pengertian, memberikan informasi, memberikan kesenangan dan dapat mengembangkan imajinasi anak (Wiyani & Barnawi, 2012). Yang terpenting, anak dengan memainkan benda secara berbeda-beda, dan dapat menciptakan suasana yang menyenangkan bagi dirinya sendiri sebagai ungkapan untuk berpikir kreatif dan berupaya untuk memecahkan masalah.
63
Kegiatan yang berkaitan dengan aktifitas motorik, merupakan kegiatan dimana anak belajar mengendalikan gerakan tubuh dengan kegiatan yang terkoordinir, yang melibatkan susunan syaraf, otot, dan otak. Menurut Schmidt (1988), pembelajaran motorik merupakan serangkaian proses pembelajaran yang berhubungan dengan praktik atau pengalaman yang mengarah pada perubahan yang relatif permanen dalam menanggapi sesuatu. Sedangkan Cecco dan Crawford menyebutkan bahwa pebelajaran motorik sebagai suatu respon motorik berangkai yang melibatkan koordinasi gerakan agar menjadi pola respons yang lebih kompleks (dalam Decaprio, 2013). Permainan yang mengembangkan otot-otot besar, sebagai gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar otot yang ada dalam tubuh, antara lain berupa kegiatan memanjat dan melompat, berlari, berjalan, bermain bola dengan latihan menangkap dan melempar bola, kemudian menendang atau menggiring bola, mengendarai mobil-mobilan, melompat dari satu tempat ke tempat lain, berdiri dengan satu kaki, berjalan sepanjang satu garis atau meniti tembok rendah. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat meningkatkan fungsi motorik kasar dengan melatih keseimbangan dan koordinasi antar anggota tubuh atau seluruh tubuh sehingga anak akan menjadi lebih gesit dan berani. Permainanan yang mengembangkan motorik halus melibatkan ketrampilan fisik yang melibatkan otot kecil serta koordinasi antara mata dan tangan. Syaraf motorik halus bisa dilatih dan dikembangkan melalui kegiatan dan rangsangan yang dilakukan secara rutin, antara lain memegang benda-benda atau mainan kecil, bermain puzzle, menyusun balok, memasukkan benda ke dalam lubang sesuai bentuknya, melipat kertas, memegang pensil kemudian membuat garis, meniru lingkaran, segi empat, atau membuat tanda silang. Selain melatih fungsi motorik halus, kegiatan-kegiatan tersebut dapat melatih anak untuk tetap berkonsentrasi sembari tetap dapat berimajinasi. E. Alat Permainan Edukatif Kegiatan bermain memungkinkan anak untuk menyalurkan energi sekaligus belajar dan berlatih dalam suasana riang untuk meningkatkan fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Dalam melakukan aktivitas tersebut, anak tentunya membutuhkan berbagai alat permainan yang mengandung nilai edukatif.
64
Alat permainan yang bersifat mendidik di PAUD dikenal juga dengan istilah Alat Permainan Edukatif (APE). APE adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana atau alat permainan yang mengandung nilai pendidikan dan dapat mengembangkan seluruh aspek kemampuan anak (Ariesta, 2009). APE penting untuk diberikan kepada anak-anak, terutama anak usia dini, agar anak tidak mudah bosan dan jenuh ketika belajar di PAUD. Selain itu, APE juga akan membuat anak menjadi bertambah senang dan dapat bereksplorasi dengan pembelajaran sesuai tema. Oleh karena itu, pada setiap pembelajaran usia dini, orang tua atau pendidik perlu menyediakan APE yang tepat untuk anak. Ariesta (2009) menyarankan APE yang digunakan untuk anak usia dini sebaiknya memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Mudah, yaitu mudah membuatnya, mudah memperoleh bahan dan alat, serta mudah digunakan oleh anak didik. 2. Aman, yaitu tidak membahayakan anak, baik dari segi bahan, bentuk, maupun penggunaannya. 3. Murah, artinya pengadaan biaya dengan serendah mungkin. 4. Asyik, artinya nyaman dan menyenangkan digunakan anak. Tujuan dan Manfaat Alat Permainan Edukatif APE adalah sebagai alat bantu orangtua dan guru atau pendidik untuk memberikan motivasi dan merangsang anak untuk melakukan berbagai kegiatan guna menemukan pengalaman baru yang bermanfaat untuk eksplorasi dan bereksperimen dalam peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan pengembangan bahasa, kecerdasan, fisik, sosial, dan emosional anak. Disamping itu, APE berperan penting untuk memperjelas materi pelajaran yang diberikan pada anak dan memberikan kesenangan pada anak dalam belajar sambil bermain. Manfaat yang diperoleh dari APE bagi anak usia dini adalah sebagai berikut : 1. Mengaktifkan alat indra secara kombinasi sehingga dapat meningkatkan daya serap dan daya ingat anak didik. 2. Mengandung kesesuaian dengan kebutuhan aspek perkembangan, kemampuan, dan usia anak sehingga tercapai indikator kemampuan yang harus dimiliki anak. 65
3. Memiliki kemudahan dalam penggunaannya bagi anak sehingga lebih mudah terjadi interaksi, memperkuat tingkat pemahaman, dan mengembangkan daya ingat anak. 4. Membangkitkan minat sehingga mendorong anak untuk memainkannya. 5. Memiliki nilai guna sehingga besar manfaatnya bagi anak. 6. Memiliki nilai efisiensi sehingga mudah dalam pengadaan dan penggunaannya. Cara Menyediakan Alat Permainan Edukatif Pembuatan APE sebenarnya mudah sekali asalkan orangtua dan pendidik cermat dan teliti dalam mengamati dan mengumpulkan bahan-bahan. Bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar juga bisa menjadi materi APE. Dengan kata lain, APE dapat dibuat dari bahan yang sangat murah hingga bahan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini tentunya menuntut kreativitas, baik orang tua, pendidik, maupun tutor. Catatan penting untuk diperhatikan oleh semua pihak adalah APE untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan karakteristik anak, aspek pengembangan anak, dan potensi serta minat anak. Terdapat 3 cara dalam menyediakan APE PAUD yang bersumber dari lingkungan sekitar, yaitu sebagai berikut : 1. Mengadaptasi benda-benda atau bahan-bahan yang berasal dari lingkungan sekitar. Contoh benda atau alat yang dapat diadaptasi menjadi APE antara lain air, tanaman, buah, bunga, alat rumah tangga, dan sebagainya. 2. Memodifikasi alat yang sudah ada menjadi bentuk baru. Contoh benda atau alat yang dapat dimodifikasi menjadi APE antara lain, rangkaian daun dijadikan mahkota, galon bekas air mineral menjadi alat musik, sarung tangan atau kaos kaki menjadi boneka, dan sebagainya.
66
Gambar 5.3 Modifikasi kulit Jeruk Bali menjadi mobil-mobilan
Gambar 5.4 Modifikasi gantungan baju menjadi alat peraga timbangan
67
3. Membeli atau membuat. Contoh APE baru yang dapat dibeli atau dibuat sendiri antara lain balok dari kayu, puzzle siap pakai, boneka, mainan dari kain, dan sebagainya.
Gambar 5.5 Berbagai macam contoh alat permainan edukatif yang dijual bebas
68
Referensi : Ariesta, R. 2009. Alat Permainan Edukatif Lingkungan Sekitar Untuk Anak Usia 0-1 Tahun. Jakarta: Sandiarta Sukses. Decaprio, R, 2013. Aplikasi Teori Pembelajaran Motorik di Sekolah. Jogyakarta: DIVA Press. National Safety Council. 2001. Pediatric first aid and CPR / Pertolongan pertama dan RJP pada anak. Terjemahan. Massachusetts: Jones and Bartlett Publisher. Tedjasaputra, M. 2012. Tanya–jawab Tumbuh Kembang Batita. Jakarta: Penerbit Erlangga. Wiyani, N.A. & Barnawi. 2012. Format PAUD. Yogyakarta: Ar –Ruzz Media.
69
1. KREATIVITAS LOKAL BUDAYA DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PAUD
A. Konteks PAUD di Indonesia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu prioritas program utama pembangunan pendidikan yang ditetapkan Pemerintah Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2010-2014. Alasan utama penetapan ini adalah karena usia dini merupakan masa-masa emas perkembangan anak sehingga tumbuh kembang anak perlu dilakukan sedini mungkin sejak anak pertama kali lahir. Para ahli meyakini bahwa usia dini merupakan masa kritis bagi perkembangan anak karena merupakan tahap dasar
bagi
tumbuh kembangnya keterampilan
dan
kecerdasan yang akan dibawa sampai usia dewasa dibangun pada usia tersebut (Shonkoff, 2000 dalam Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia, 2010). Pentingnya masa usia dini juga dibuktikan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pesatnya perkembangan otak yang terjadi sebelum anak berusia enam tahun, dan bagaimana pertumbuhan otak dipengaruhi oleh lingkungan anak, seperti rangsangan, pengasuhan dan gizi yang diberikan di rumah dan di luar rumah (McCain, 2007 dalam Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia, 2010). Program intervensi dan layanan yang ditujukan kepada anak usia dini juga terbukti sangat efektif jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Hasil dari intervensi dan layanan tersebut adalah kesiapan bersekolah, kelulusan sekolah, kesehatan, kemampuan kognitif, dan keterampilan sosial dan emosional secara umum (Heckman, 2008 dalam Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia, 2010). Tujuan pokok PAUD dari perspektif perkembangan anak diharapkan dapat mencapai tahap perkembangan anak seperti yang digambarkan dalam tabel berikut :
69
Tabel 6.1 Lima Bidang Kunci Perkembangan Anak Bidang Perkembangan Anak
Dicerminkan dengan
Perkembangan bahasa dan kognitif
Anak tertarik membaca dan menulis, dapat menghitung dan mengenali angka dan bentuk. Anak memiliki kemampuan untuk memahami persamaan dan perbedaan, serta dapat menyampaikan kembali informasi dari ingatannya.
Kesehatan dan kesejahteraan fisik
Anak dalam keadaan sehat, mandiri, dan memiliki keterampilan motorik halus dan kasar yang baik.
Kompetensi sosial
Anak mampu mengendalikan perilakunya, memberikan penghormatan yang sesuai terhadap otoritas, memiliki kemampuan bermain dan bekerja sama dengan anak yang lain, serta percaya diri.
Kematangan emosional
Anak tidak terlalu takut atau reaktif; sabar dan tidak agresif atau mudah marah.
Keterampilan berkomunikasi dan pengetahuan umum
Anak dapat bercerita, menggunakan bahasa secara simbolis, dan memiliki pengetahuan sesuai usianya mengenai kehidupan dan dunia di sekitarnya. Ia dapat berkomunikasi dengan orang dewasa dan anak-anak, serta dapat menyampaikan kebutuhan dan keinginannya dengan cara yang dianggap sesuai oleh masyarakatnya. Sumber: (Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia, 2010)
70
Salah satu inisiatif dari Kemdiknas bagi anak usia dini adalah dengan mendukung proyek PAUD, yang berupaya menjangkau 738.000 anak di 50 kabupaten dalam masa lima tahun. Dibiayai kredit dari (IDA) dan hibah dari Pemerintah Kerajaan Belanda, proyek ini memberikan hibah langsung kepada berbagai kelompok masyarakat, dan merekalah yang menentukan cara terbaik untuk memberikan layanan bagi anak usia dini. Program ini juga mendanai pelatihan guru berbasis masyarakat untuk mendorong perkembangan anak, serta memfasilitasi kerjasama dengan berbagai institusi di tingkat nasional dan kabupaten/kota yang menyediakan pendanaan tambahan dan pengendalian mutu (Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia, 2010). Pemerintah Indonesia, dengan dukungan Bank Dunia melalui Proyek Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini dengan dana dari Pemerintah Kerajaan Belanda, mengelola proyek berskala besar yang bertujuan memperluas penyediaan layanan PAUD yang holistik-integratif, khususnya di daerah miskin. Proyek ini bekerja di 50 kabupaten sejak tahun 2006 dan sudah didirikan 6.000 pusat PAUD, menjangkau kurang lebih 500.000 anak dan menyediakan guru-guru yang terlatih. Proyek ini akan berakhir pada tahun 2013 dan diharapkan bahwa pada saat itu kabupaten telah mengambil alih untuk mendanai PAUD dan staf dari APBD (Kabar Pendidikan, 2012). Melalui proyek ini, Pemerintah berupaya memahami hal-hal apa yang berhasil dan tidak di PAUD, serta mengapa hal-hal tersebut berhasil atau tidak. Pemerintah juga berusaha memahami biaya dan manfaat layanan PAUD, serta mendapatkan solusi yang terbaik. Dengan informasi dari 310 desa dan 9 kabupaten di seluruh Indonesia, studi awal menemukan bahwa anak Indonesia adalah komunikator yang handal dan memiliki pengetahuan umum yang baik, namun perkembangan kognitif dan bahasa mereka kurang, ditambah dengan lebih dari separuh anak tidak memiliki buku di rumahnya. Anak-anak lebih sering menyanyi, menari dan bermain musik, dibandingkan membaca dan mendengarkan cerita. Setelah survei putaran ke dua pada tahun 2011, hasil studi merekomendasikan untuk meningkatkan pemahaman orang tua dan meningkatkan hubungan dengan Puskesmas untuk mencegah pertumbuhan terhambat (stunting) dan masalah kesehatan lain. Studi tersebut juga menemukan bahwa anak-anak yang ikut PAUD berkembang lebih pesat dari yang tidak ikut, khususnya pada bidang bahasa dan kognitif. 71
Indonesia memiliki pelayanan Perkembangan Anak Usia Dini (PAUD) yang beragam. Pelayanan-pelayanan ini mulai dari pra-sekolah dan TK formal yang melayani anak-anak usia 4-6 tahun sampai kelompok bermain non-formal dan pusat penitipan anak, yang melayani anak-anak usia 2 sampai 6 tahun yang tidak terlayani oleh program formal. Pelayanan berbasis masyarakat seperti Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) difokuskan terutama pada kesehatan dan gizi, dan Bina Keluarga Balita (BKB), program berbasis masyarakat lannya, difokuskan pada pendidikan orang tua bagi para ibu dari anak-anak muda, yang dipusatkan pada Pos PAUD. Hasil program pada umumnya positif. Studi tentang kesiapan bersekolah di enam kabupaten di Indonesia menunjukkan bahwa program-program PAUD telah membantu mengembangkan kompetensi psikososial dan kognitif untuk mempersiapkan anak-anak bersekolah, dengan melibatkan anak-anak dalam program-program tersebut minimal satu setengah tahun (Unicef Indonesia, Oktober 2012). Upaya penyediaan layanan pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) telah menunjukkan peningkatan. Angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang ini telah meningkat dari 39,09% pada tahun 2004 menjadi 50,62% pada tahun 2008. Pada tahun 2009 diperkirakan akan terjadi peningkatan APK menjadi 53,90%. Disparitas APK pada jenjang PAUD antarwilayah terjadi penurunan yaitu dari 6,0% pada tahun 2004 menjadi 3,61% pada tahun 2008 dan diperkirakan turun menjadi 3% pada tahun 2009 (Tabel 1) (Kemendiknas, 2010).
Tabel 6.2 Capaian PAUD Tahun 2004 – 2008 Program PAUD
Indikator Kinerja 2004 APK (%) 39,09 Disparitas APK 6,04 antara Kabupaten dan Kota (%)
2005 42,34 5,42
2006 45,63 4,37
2007 48,32 4,2
2008 50,62 3,61
72
B. PAUD dan Pemberdayaan Budaya Tujuan program PAUD di Indonesia menunjukkan bahwa pencapaian kualitas perkembangan anak seperti yang dideskripsikan dalam indikator capaian seperti yang disusun oleh Kemdiknas dalam penelitiannya tahun 2010 (Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia, 2010) menunjukkan kemestian dan besarnya pengaruh nilai dan budaya dalam pencapaian tersebut. Dalam konteks perubahan sosial-ekonomi dan globalisasi maka menjadi penting untuk menentukan arah nilai dan budaya yang akan menjadi arah pencapaian tujuan PAUD di Indonesia. Hal ini merupakan kemestian karena setiap individu dalam setiap masyarakat tumbuh berkembang dalam wadah nilai-nilai sosial dan budaya yang khas, yang nantinya memberi karakteristik identitas setiap pribadi (Cote, 1997; Baumeister & Muraven, 1996). Nsamenang (2006) dalam konteks pendidikan anak usia dini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dan pemeliharaan anak akan sangat dipengaruhi karakteristik lingkungan ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya setempat. Proses bagaimana pribadi tumbuh berkembang dalam konteks sosial-budaya secara terjadi sebagai satu proses adaptasi. Proses adaptasi memungkinkan individu mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhannya (Baumeister & Muraven, 1996). Proses adaptasi juga menunjukkan pola aktif individu dan masyarakat dalam menjalani hidup dalam konteks sosial-budayanya. Cote (1997) mengistilahkan proses tersebut sebagai proses adaptasi-aktif. Adaptasi-aktif mengharuskan individu berperan sebagai agensi (agency), peran yang mengharuskan individu mengeksplorasi potensi-potensinya, membangun kekuatan dirinya, dan mengembangkan arah dan makna kehidupan. Keseluruhan proses adaptasi dalam wadah nilai-nilai sosial-budaya ini dengan demikian membutuhkan beberapa tahapan untuk diimplementasikan dalam program PAUD di Indonesia. Pertama, upaya mengidentifikasi dan mengkompilasi nilai-nilai sosial-budaya yang dapat dijadikan orientasi makna dan tujuan bagi program PAUD. Nilai-nilai tradisi lokal masyarakat Indonesia seperti bekerja keras, tidak boros dan menghamburkan sumber daya (termasuk sumber daya alam), gotong royong, sabar dan berserah diri pada Tuhan YME, cenderung mencintai harmoni dan bukan konflik, keselarasan dengan alam, adalah sebagian nilai sosial-budaya yang dapat menjadi modal dasar pemngembangan proses adaptasi aktif dalam program PAUD. Proses identifikasi dan kompilasi nilai-nilai ini tentu saja membutuhkan kerja penelitian yang mendalam dan 73
terus-menerus, disertai pelaporan dan sosialisasi yang luas kepada masyarakat, khususnya pemangku
kepentingan
utama
program
PAUD
yaitu
pemerintah,
masyarakat
penyelenggara program PAUD, dan orangtua. Kedua, hasil kajian dan penelitian untuk mengidentifikasikan nilai-nilai sosialbudaya di atas perlu dilengkapi dengan kajian dan penelitian tentang nilai sosial-budaya di tingkat yang lebih teknis yaitu bagaimana nilai sosial-budaya tersebut dapat menjadi sumber kreatifitas bagi pengembangan metode dan model pelaksanaan program PAUD dalam masyarakat. Dalam konteks
ini kita dapat mempertimbangkan permainan-
permainan maupun kesenian tradisi yang didapat dikelola sebagai peralatan dalam pelaksanaan program PAUD. Hasil kajian dan penelitian di tahap kedua ini pun perlu untuk dilaporkan dan didokumentasikan secara baik untuk proses pembelajaran bersama dii bidang pendidikan anak usia dini. Ketiga, nilai sosial-budaya serta metode dan model yang diinspirasikan oleh nilai sosial-budaya tersbut kemudian harus kelola dalam format kurikulum, panduan pelaksanaan dan panduan evaluasi program PAUD karena ketiga komponen ini menjadi alat pokok dalam pelaksanaan di lapangan (Bredekamp, Knuth, Kunesh, & Shulman, 1992). Langkah yang juga penting dalam pemberdayaan nilai sosial-budaya dalam program PAUD adalah peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan dengan dua tujuan. Pertama, meningkatkan wawasan dan kapasitas konseptual para pemangku kepentingan tentang implementasi nilai-nilai sosial-budaya dalam pelaksanaan program PAUD. Kedua, meningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan, khususnya para guru dan staf di pusat program PAUD, untuk dapat mendesain dan merancang kurikulum, rencana kegiatan, dan program evaluasi program PAUD yang berdasarkan nilai-nilai sosial-budaya. Kerangka adaptasi aktif nilai-nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia di atas diharapkan dapat menjadi kerangka dasar pengembangan upaya program PAUD yang berasaskan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia.
74
C. Mengembangkan Karakter Anak Usia Dini Melalui Pengenalan Nilai-nilai Budaya Lokal Anak sudah terlahir dengan membawa budaya tertentu dalam kehidupannya. Budaya bisa saja terinternalisasi melalui budaya orangtuanya. Namun bisa juga dipelajari oleh anak baik secara langsung maupun tidak langsung dari lingkungannya. Begitu pula lingkungan akan memperkenalkan budaya tertentu pada anak melalui beragam aktivitas. Setiap budaya memiliki sudut pandang dan cara memperlakukan anak yang berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan karakter, tata kehidupan masyarakat dan struktur sosial ekonomi masyarakat. Salah satu media pengenalan budaya pada anak-anak adalah melalui sekolah. Pendidikan anak usia dini merupakan pintu gerbang seorang anak mengenal dan menjadikan budaya menjadi identitas dirinya. Dalam hal ini akan terbangun karakter anak yang sesuai dengan budayanya melalui pengenalan nilai-nilai budaya local secara sistematis dan terarah. Salah satu pendekatan pembelajaran anak usia dini yang dapat dikembangkan untuk mengenalkan budaya lokal ini adalah melalui pendekatan alam. Dengan memperhatikan faktor lingkungan dimana masyarakat kita masih dekat dengan alam, lingkungan terbuka dan interaksi di dalam lingkungan, sangat memungkinkan pendekatan ini dikembangkan untuk tujuan pengenalan nilai-nilai budaya lokal. Menurut Linawati, Kegiatan yang dilakukan dengan pendekatan alam ini dapat meliputi : 1. Stimulasi seluruh aspek tumbuh kembang anak (fisik, sosial, emosional, intelektual dan spiritual) 2. Melakukan observasi dan interpretasi untuk memahami kebutuhan anak 3. Upaya pendampingan agar anak menjadi mandiri 4. Kajian terhadap lingkungan budaya yang baru yang hendak dicapai oleh anak (studi lingkungan keluarga) 5. Penyediaan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Stimulasi yang diberikan kepada anak tentu diarahkan untuk memberikan pengenalan tentang konsep hidup keseharian yang diharapkan akan menjadi karakter/nilai yang melekat pada diri anak. Beberapa nilai yang bisa diperkenalkan pada anak PAUD berdasarkan KTSP 2004 adalah sebagai berikut :
75
Tabel 6.3 Kurikulum KTSP 2004 No 1
Nilai
Deskripsi
Meyakinkan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan selalu
Sikap dan perilaku yang mencerminkan keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan
menaati ajaranya
Yang Maha Esa
2
Menaati ajaran agama
Sikap dan perilaku yang mencerminkan kepatuhan, tidak ingkar, dan taat menjalankan perintah menghindari larangan agama.
3
Memiliki rasa orang lain
menghargai Sikap dan perilaku yang mencerminkan toleransi dan penghargaan terhadap pendapat gagasan, tingkahlaku orang lain, baik yang sependapat maupun yang tidak sependapat.
4
Memiliki rasa diri sendiri
menghargai Sikap dan perilaku yang mencerminkan perhargaan seseorang terhadap diri sendiri dengan memahami kelebihan dan kekurangan dirinya.
5
Tumbuhnya disiplin diri
6
Mengembangkan etos kerja Sikap dan perilaku sebagai cermin dari semangat, dan belajar kecintaan, kedisiplinan, kepatuhan, atau loyalitas, dan penerimaan terhadap kemajuan hasil belajar.
7
Memiliki rasa tanggungjawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban, yang seharusnya dilakukan terhadap dirinya sendiri, masyarakat, lingkungan (alam dan sosial), Negara dan Tuhan Yang Maha Esa
8
Memiliki rasa keterbukaan
Sikap dan perilaku sebagai cermin dari keterusterangan terhadap apa yang dipikirkan, diinginkan,diketahui dan kesediaan menerima saran dan kritik dari oranglain
9
Mampu mengendalikan diri
Kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri, berkenaan dengan kemampuan nafsu, ambisi, keinginan dalam memenuhi rasa kepuasan dan kebutuhan hidupnya.
Sikap dan perilaku sebagai cermin dari ketaatan, kepatuhan, ketertiban, kesetiaan, ketelitian, dan keteraturan perilaku seseorang terhadap norma dan aturan yang berlaku.
76
10
Mampu berpikir positif
Sikap dan perilaku seseorang untuk dapat berfikir jernih, tidak buruk sangka, mendahulukan sisi positif dari suatu masalah.
11
Mengembangkan potensi diri
Sikap dan perilaku seseorang untuk dapat membuat keputusan sesuai dengan kemampuan, bakat, minat danprestasi serta sadar akan keunikan dirinya sehingga mewujudkan potensi dirinya yang sesungguhnya.
12
Menumbuhkan kasih sayang
13
Memiliki kebersamaan dan Sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan kegotongroyongan adanya kesadaran dan kemauan untuk bersamasama saling memberi tanpa pamrih
14
Memiliki kesetiakawanan
15
Saling menghormati
16
Memiliki tatakrama sopan santun
17
Memiliki rasa malu
Sikap dan perilaku yang menunujukan tidak enak hati, hina, rendah karena berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani, norma, dan aturan.
18
Menumbuhkan kejujuran
Sikap dan perilaku untuk bertindak dengan sesungguhnya dan apa adanya, tidak berbohong, tidak buat-buat, tidak ditambah dan tidak dikurangi, serta tidak menyebunyikan kejujuran.
cinta
dan Sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan adanya unsur memberi perhatian, perlindungan, penghormatan, tanggungjawab dan pengorbanan terhadap oranglain yang dicintai dan dikasihi.
rasa Sikap dan perilaku mencerminkan kepedulian kepada orang lain, keteguhan, rasa setiakawan dan cinta kasih terhadap orang lain atau kelompok. Sikap dan perilaku untuk menghargai hubungan antar individu atau kelompok berdasarkan tatacara yang berlaku dan Sikap dan perilaku sopan santun dalam bertindak bertutur kata terhadap orang tanpa menyinggung atau menyakiti serta menghargai tatacara yang berlaku sesuai dengan norma, budaya dan adat istiadat
Sumber : Kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2004 dalam http://eprints.umk.ac.id/1042/7/6_-_Febritesna_Nuraeni.pdf
77
Penanaman nilai-nilai budaya lokal dapat diintegrasikan melalui aktivitas bermain. Bermain merupakan aktivitas mendasar bagi PAUD. Dimana melalui bermain anak akan belajar dengan cara menyenangkan dan sesuai dengan usianya. Kegiatan bermain dengan muatan budaya lokal dapat dikembangkan melalui aktivitas : 1. Bermain Sosial (‘guyub’ sebagai ciri khas budaya Indonesia) a. Bermain Soliter : Anak bermain tanpa menghiraukan apa yang dilakukan anak lainnya. Misalnya anak menyusun balok menjadi menara dan tidak menghiraukan apa yang dilakukan oleh anak lain yang berada di ruangan yang sama. b. Bermain sebagai penonton/pengamat : Anak bermain sendiri, sekaligus melakukan pengamatan terhadap apa yang terjadi di ruangan dimana ia berada. Mungkin anak akan sesekali bicara dengan anak lainnya. Anak ini akan pasif sementara anak lainnya begitu aktif bermain, namun anak tersebut tetap waspada terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. c. Bermain Paralel : Kegiatan bermain yang dilakukan sekelompok anak dengan menggunakan alat permainan yang sama, tetapi masing-masing anak bermain sendiri-sendiri. Apa yang dilakukan seorang anak tidak tergantung anak lain.Mereka biasanya bicara satu sama lain, tetapi apabila seseorang meninggalkan tempat, yang lain tetap melanjutkan kegiatan bermain. d. Bermain Asosiatif : Kegiatan bermain dimana beberapa anak bermain bersama tetapi tidak ada suat organisasi (pengaturan). Beberapa anak mungkin memilih bermain sebagai penjahat, dan lari mengelilingi halaman, sedang anak lain akan mengejarnya. Apabila satu anak berhenti mengejar, yang lain tetap lari dan mengejar. e. Bermain Kooperatif : Masing-masing anak memiliki peran tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan bermain. 2. Bermain Dengan Benda Piaget (1962) mengemukakan bahwa ada beberapa tipe bermain dengan objek, yaitu : a. Bermain Praktis: bentuk bermain dimana pelakunya melakukan berbagai kemungkinan mengeksplorasi objek yang digunakan. Kita bisa mempergunakan 78
objek yang familiar dengan lingkungan tempat anak tumbuh. Misal : sapu, piring, gelas, kertas, pensil dan lain-lain. b. Bermain Simbolik: anak menggunakan daya imajinasinya. Misal membuat menara dengan batu-batuan. c. Bermain dengan peraturan: Misal, membuat menara harus terdiri dari beberapa batu, jika tidak maka akan runtuh. 3. Bermain Peran Bermain peran termasuk salah satu bermain aktif, diartikan sebagai pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi dan anak memerankan tokoh yang ia pilih. Kegiatan ini biaanya disukai oleh anak mulai usia 2 tahun, dapat bersifat produktif atau kreatif dan bisa juga reproduktif, atau pengulangan dari apa yang dilihat anak seharihari. Yang paling memungkinkan adalah penggunaan tokoh/peran lain yang diwakilkan oleh boneka, baik boneka orang maupun binatang. Melalui bermain peran ini anak akan mengembangkan kemampuan komunikasi, berinteraksi dan efektif untuk memasukan unsur-unsur nilai atau aturan yang berlaku umum bagi anak-anak di masyarakat kita. 4. Bermain dengan Seni Rupa, Seni Tari, Seni Musik Anak dapat mengekspresikan dirinya melalui kegiatan senirupa, seperti menggambar, mewarnai, bentuk lilin, tanah liat dan prakarya lain. Melalui kegiatan ini anak dapat mengembangkan keterampilan motorik halus, berkreasi, kreatifitas dan pemahaman tentang benda atau objek lain melalui gambar atau meniru gambar. Dalam hal ini apapun yang dihasilkan anak sebaiknya dihargai. Hal ini penting untuk menumbuhkan harga dirinya. Selain itu pada seni tari dan musik anak bisa diperkenalkan dan belajar tarian atau musik khas daerah. Demikian contoh dari aktivitas bermain dengan muatan budaya lokal. Selain 3 aktivitas di atas, setiap pendamping dapat mengembangkan aktivitas kreatif lainnya atau pengembangan dari ke 3 aktivitas tersebut. Hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam kegiatan bermain anak di sekolah adalah latar belakang lingkungan tempat anak tinggal dan faktor sosial ekonomi anak (Tedjasaputra, 2001). Anak yang berasal dari 79
lingkungan dan tingkat sosial ekonomi rendah cenderung memiliki kesehatan yang kurang baik, kurang memiliki waktu luang, alat permainan dan tempat bermain yang terbatas, sehingga mereka cenderung kurang banyak melakukan kegiatan bermain. Anak yang hidup di desa pun memiliki orientasi bermain yang berbeda dengan anak kota. Anak desa lebih banyak bermain dengan alat seadanya dan menggunakan apa yang ada di lingkungannya. Sementara anak kota saat ini minatnya lebih banyak pada komputer dan games. Pendamping harus memahami perbedaan latar belakang ini sehingga akan memberikan stimulasi yang tepat dan dibutuhkan oleh anak. Anak yang kurang biasa bermain mungkin akan terkejut dengan kondisi sekolah yang penuh dengan mainan. Pendamping harus membawanya perlahan-lahan. Sementara anak kota mungkin menyukai permainan yang serba cepat dan individual. Dalam hal ini pendamping juga harus mengajak anak pelan-pelan lebih memiliki orientasi sosial, mengingat secara budaya, masyarakat kita adalah masyarakat yang saling bergantung satu sama lain. Nilai-nilai sosial yang saat ini sudah semakin luntur. Berdasarkan atas uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal dapat ditumbuhkan dalam diri anak, sejak usia dini melalui pendidikan nilai yang tercermin dan terintegrasi pada bidang pengembangan moral-agama, sosialemosional, bahasa dan seni yang terdapat dalam pendidikan formal. D. Merancang Metode Pembelajaran PAUD Memanfaatkan Kekayaan Budaya Lokal : Permainan Tradisi Pemanfaatan kekayaan warisan budaya seperti cerita rakyat, permainan tradisi, dan juga nyanyian rakyat dapat dilakukan untuk membantu memperkaya kegiatan PAUD dan terbukti efektivitasnya (Nsamenang, 2006). Permainan, cerita rakyat, atau nyanyian rakyat adalah kekayaan tradisi dan budaya indonesia yang berharga karena setiap permainan memiliki makna selain daya tarik kegiatan itu sendiri juga dapat menjadi media pembelajaran nilai dengan cara memberi pemaknaan bagian-bagian dari permainan, cerita rakyat, dan nyanyian rakyat. Untuk lebih memahami dan mendapatkan gambaran konkrit tentang proses adaptasi nilai sosial-budaya dalam pelaksanaan PAUD, berikut akan dipaparkan contoh usulan modul standar kegiatan harian (SKH) PAUD yang mengadaptasi satu nilai sosial80
budaya masyarakat Indonesia. Berikut contoh menyusun modul kegiatan PAUD yang bertujuan mengenalkan nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan melalui permainan gobak sodor. Gobak sodor adalah permainan tradisional yang berasal dari Jawa Tengah. Permainan ini adalah sebuah permainan antar dua grup dengan beranggotakan 3 - 5 orang. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik, dan untuk meraih kemenangan seluruh anggota grup harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik dalam area yang telah ditentukan. Gobak sodor ini biasanya dilakukan di lapangan maupun taman ataupun jalanan yang sepi. Anakanak biasanya memainkan permainan ini dengan berlari dan menggunakan taktik agar tidak tertangkap penjaga area jika melewati area tersebut. Permainan ini sangat berguna untuk melatih otak mereka agar dapat melewati area yang dijaga serta mendapatkan taktiktaktik yang mereka punyai dan juga membuat tubuh berolahraga dengan berlari saat melewati area yang dijaga (http://budaya-indonesia.org/Gobak-Sodor-1/ diunduh 10 Agustus 2014). Pendidikan nilai sosial-budaya kepada anak diberikan ketika guru menguraikan kepada murid bahwa permainan gobak sodor tidak bisa dimainkan jika tidak ada orang, permainan menjadi seru tidak hanya karena bantuan kawan satu kelompok, tetapi juga karena kawan yang berkumpul menjadi lawan dalam permainan ada bersama-sama untuk bermain. Penjelasan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada siswa bahwa dalam kehidupan kita harus bekerjasama dengan orang lain dan juga menghargai kebersamaan kita dengan orang lain supaya hidup kita dapat terus berlanjut.
81
Sumber: Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, diunduh dari http://budaya-indonesia.org/Gobak-Sodor-1/ , 10 Agustus 2014
Gambar 6.1 Pola bermain Gobak Sodor
82
Tabel 6.4 SKH Model Pembelajaran dengan Kelompok untuk Kelompok A SATUAN KEGIATAN HARIAN KELOMPOK : A SEMESTER/MINGGUAN : I/1 TEMA/SUB TEMA : KERJASAMA DAN KEBERSAMAAN HARI, TANGGAL : WAKTU : 07.30 – 09.15 INDIKATOR
KEGIATAN PEMBELAJARAN
ALAT/SUMBER PENILAIAN BELAJAR PERKEMBANGAN ANAK ALAT
Melakukan • Bernyanyi, permainan gobak berdo’a dan salam sodor selama dua • Menjelaskan babak. aturan permainan gobak sodor • Bermain Nilai yang • Menjelaskan dipelajari adalah makna sambil kerjasama dan istirahat kebersamaan. • Menyanyi, berdo’a pulang
• Halaman • Kapur untuk menandai area permainan • Peluit (jika ada) untuk memberi abaaba.
HASIL
Observasi Anak dan berhasil percakapan memahami arti kerjasama jika bisa memainkan gobak sodor sebagai tim Kebersamaan ketika persaingan selama permainan diakhiri dengan suasana gembira
83
Referensi : Baumeister, R. F., & Muraven, M. (1996). Identity as adaptation to social, cultural, and historical context. Journal of Adolescence, 19, 405-415. Bredekamp, S., Knuth, R., A., Kunesh, L. G., & Shulman, D. D. (1992). What does research say about early child education? Oak Brook, IL: North Central. Cote, J. E. (1997). An empirical test of the identity capital model. Journal of Adolescence, 20, 577-597. Kabar Pendidikan. (2012). Mengawali Kehidup dengan Lebih Baik: Fokus pada Kerangka Kebijakan Perkembangan Anak Usia Dini. Buletin Kabar Pendidikan, edisi 6, tahun 2012. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Rencana strategis kementerian pendidikan nasional 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Nsamenang, A. B. (2006). Cultures in early childhood care and education. Background paper for EFA Global Monitoring Report 2007. Strong foundations: Early childhood care and education. Paris: UNESCO. Patmonodewo,S. (2003). Pendidikan anak prasekolah. Rineka Cipta: Jakarta. Tedjasaputra, M.S. (2001). Bermain, mainan dan permainan untuk pendidikan usia dini. Gramedia Widiasarana Indonesia :Jakarta. Unicef Indonesia. (2012). Pendidikan dan perkembangan anak usia dini. Ringkasan kajian, Oktober 2012. Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia. (2010). Informasi singkat: Potret perkembangan anak usia dini di Indonesia. Jakarta: Unit Pendidikan Kantor Bank Dunia.
Website: Linawati, Sri Lestari. Menggali Potensi Budaya Lokal Untuk Stimulasi Tumbuh Kembang Anak UsiaDini.http://www.nasyiah.or.id/index.php?option=com_content&view=article& id=75:menggali-potensi-budaya-lokal-untuk-stimulasi-tumbuh-kembang-anakusia-dini-&catid=4:artikel&Itemid=97 Diunduh Tanggal 6Agustus 2014 Nuraini, Febritesna. Mengembangkan Pendidikan Nilai Budi Pekerti Pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) : Mengedepankan Kearifan Budaya Lokal. http://eprints.umk.ac.id/1042/7/6_-_Febritesna_Nuraeni.pdf Diunduh Tanggal 6 Agustus 2014 Perpustakaan Digital Budaya Indonesia: http://budaya-indonesia.org/Gobak-Sodor-1/, 10 Agustus 2014 84
Autisme
A. Apakah Autisme Itu ? Autisme adalah sekelompok gangguan perkembangan yang berpengaruh hingga sepanjang hidup yang memiliki dasar penyebab gangguan perkembangan di otak (neurodevelopmental). Gangguan yang terjadi pada otak anak menyebabkannya tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme secara menonjol pada 3 bidang, yaitu: gangguan sosial, komunikasi, dan perilaku dengan minat terbatas dan berulang. 1. Gangguan perkembangan interaksi sosial Anak dengan autisme memiliki kesulitan membaca dan memahami pikiran dan perasaan orang lain di sekitarnya; dan sebaliknya mereka juga tidak dapat memahami
kemampuan
diri
sendiri
untuk
mempengaruhi
atau
merubah
lingkungannya. Sehingga, anak dengan autisme terlihat seperti tidak memiliki minat melakukan interaksi sosial. Namun beberapa anak memiliki keinginan sosial tapi tidak mampu menjalin interaksi sosial tanpa dibantu orang lain.
85
2. Gangguan komunikasi Anak dengan autisme memiliki kemampuan komunikasi yang berbeda dimana mereka kesulitan memahami fungsi sosial komunikasi verbal. Mereka memahami bahasa secara literal dan kesulitan memahami konteks bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, anak dengan autisme biasanya memiliki kemampuan ekspresif dari pada reseptif. Pada beberapa anak juga ditemukan keterlambatan perkembangan bahasa. 3. Gangguan minat terbatas dan perilaku berulang atau repetitif Anak dengan autisme memiliki minat yang terbatas serta keterpakuan pada rutinitas, seperti: menyukai membuat barisan mainan. Ada juga perilaku berulang yang ditunjukkan seperti obsesi terhadap suatu obyek, misalkan: sangat tertarik pada jadwal atau benda tertentu. Rutin dan ritual menjadi suatu yang sangat penting dalam aktivitas anak dengan autisme, seperti melakukan hal-hal dalam urutan tertentu, menggunakan baju tertentu, makan makanan tertentu. Rutinitas membuat anak dengan autisme mampu memprediksi dan mengelola dunianya, maka ia akan sangat merasa tertekan jika ritual dan rutinitasnya terganggu. Ketiga gangguan ini sering disebut sebagai Tiga Gangguan Autisme (triad of impairment). Namun selain ketiga hal tersebut, anak dengan Autisme memiliki kekhususan perkembangan yaitu pada perkembangan pola kognitif (cognitive style) dan kemampuan sensorisnya (sensory characteristics). Karakteristik Kognitif Secara khusus kemampuan kognitifnya mengalami keunikan pada 3 area: 1) fungsi eksekutif (executive function) atau kemampuan merencanakan, memulai, mengelola dan mempertahankan perilaku dalam rangka mencapai tujuannya, 2) Theory of Mind (ToM) atau kemampuan memahami perasaan dan pikiran orang lain, dan 3) pemusatan pemahaman dengan cara mengintegrasikan berbagai informasi detail menjadi suatu kesatuan yang lebih bermakna (central coherence). Dalam hal fungsi eksekutif, anak dengan autisme biasanya sulit memahami tahapan-tahapan perilaku untuk mencapai suatu tujuan, kecenderungan fokus pada detail tertentu membuat mereka tidak bisa menempatkan detail satu tahapan dalam 86
konteks urutan perilaku yang lebih besar. Oleh karena itu anak dengan autisme masih perlu dibimbing untuk mengurai perilaku menjadi langkah-langkah yang saling berhubungan dan dilakukan secara berurutan. Terkait dengan hal ini, anak dengan autisme juga sering dilihat sebagai anak yang kurang fleksibel, tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, serta tidak bisa spontan dan refleks. Dalam hal ToM, anak dengan autisme kurang dapat memahami berbagai emosi dan perspektif orang lain. Sehingga mereka tampak seperti kurang peka dan tidak paham berbagai peristiwa interaksi sosial. Seringpula mereka akan memberikan respon yang tidak tepat pada suatu situasi sosioemosional, contohnya: tertawa ketika ada yang marah; hal ini terjadi karena mereka tidak memahami apa dan bagaimana respon emosi yang perlu difokuskan pada suatu situasi sosial dan bagaimana meresponnya. Hambatan sosial memang paling terkait dengan kelemagan ToM. Namun perlu digaris-bawahi bahwa kesulitan sosial dan komunikasi pada anak dengan autisme bukan berarti bahwa mereka tidak menginginkan atau tidak memiliki minat interaksi sosial, namun mereka membutuhkan bantuan untuk dapat memahami situasi sosial dan bagaimana cara meresponnya secara tepat. Begitupula dengan kemampuan pemusatan pemahaman, kesulitan yang biasa dihadapi anak dengan autisme adalah mereka memahami bahasa dan kata secara langsung tanpa memasukkan pemahaman kontekstual sehingga pemahamannya yang keluar menjadi kurang tepat, contohnya: “buang pikiran jauh-jauh” sebenarnya artinya jangan dipikirkan, tapi anak dengan autisme tidak dapat memahami bagaimana membuang pikiran dari kepala seperti membuang sampah keluar rumah. Karakteristik Sensoris Dalam hal kemampuan sensoris, anak dengan autisme juga memiliki keunikan pemrosesan dan interpretasi informasi sensoris. Beberapa anak ditemukan mengalami tingkat sensitivitas yang tinggi (hipersensitif) namun ada pula yang sensitivitasnya rendah (hiposensitif), akibatnya mereka dapat memiliki ambang batas inderawi yang berbeda-beda. Informasi sensoris bukan hanya yang diterima oleh panca inderawi (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan kulit), namun keunikan dalam hal keseimbangan, gerak tubuh atau kinestetik juga perlu diperhatikan baik-baik pada anak 87
dengan autisme. Gejala yang dapat muncul terkait dengan sensitivitas sensoris adalah: mudah terganggu dengan rangsang yang biasanya tidak mengganggu seperti suara mobil, suara kipas angin; sulit memproses atau memberikan respon pada rangsang tertentu. Ada anak yang mudah merasa terganggu karena silaunya lampu dan cahaya, namun ada pula yang terlihat kurang peka terhadap rangsang dengar sehingga harus diajak berbicara cukup keras. Penting untuk mengukur karakteristik sensoris anak dengan autisme secara individual agar diketahui profil kemampuan sensorisnya dan diintegrasikan dalam penanganan pembelajarannya. Misalkan, jika anak sensitif pada cahaya, maka ruang belajar anak dibuat tidak terlalu terlampau terang. B. Beberapa Gejala Autisme Berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat menjadi perhatian orang tua atau guru untuk mengenali autisme.
Tabel 7.1 Gejala untuk Mengenal Autisme Area Komunikasi
Gejala yang perlu dipelajari •
sosial
Tidak menyahut atau tidak merespon secara konsisten ketika dipanggil namanya
•
Tidak senyum pada pengasuh
•
Tidak menggunakan komunikasi gerak tubuh secara mandiri ketika berbicara, contoh: tanpa disuruh tidak paham untuk mengayunkan tangan untuk menyatakan selamat tinggal
•
Tidak menunjukkan minat bermain dengan anak lain
•
Tidak menunjukkan minat bermain cilukba atau bermain peran (misal: berperan sebagai Dokter atau Ibu)
Komunikasi
•
dan Pemahaman
Tidak melakukan kontak mata untuk mendapatkan perhatian atau berkomunikasi
•
Tidak menunjuk untuk menarik perhatian orang lain untuk melihat 88
hal yang sedang menarik perhatiannya (atensi bersama) •
Tidak memahami kalimat instruksi sederhana satu langkah, seperti: tunjukkan mana anjingnya
Perilaku
•
Memiliki minat berlebih pada sutau obyek dan menjadi terpaku pada obyek tersebut
•
Fokus berlebih pada suatu aktivitas atau obyek dan bisa menghabiskan waktu yang cukup lama
•
Mudah frustasi jika ada perubahan rutinitas sehari-harinya, misalkan: tidur harus dengan tata cara yang sama setiap malamnya
•
Mengulang beberapa gerak tubuh atau memiliki pola gerak tubuh yang tidak biasa, seperti: mengayunkan tangan, berjalan berjinjit
Sensoris
•
Sangat sensitif pada rangsang sensasi tertentu, misalkan mudah terganggu jika ada suara keras atau hanya mau makan yang keras saja
•
Mencari rangsang sensasi tertentu, seperti: menyukai gerakan tubuh cepat, menjetikkan jari, menekan tubuh, mengedip-kedipkan mata untuk mengurangi cahaya masuk ke mata
Perlu digarisbawahi, panduan di atas adalah untuk memudahkan orang untuk mengenali berbagai gejala yang terkait dengan sindroma Autisme, namun bukan untuk melakukan diagnosa klinis. Apalagi bukan untuk melabel anak dengan autisme. Jika kita mengamati anak yang memunculkan gejala-gejala tersebut, maka penting membawa anak tersebut ke profesional. Barulah disana akan dilakukan serangkaian pemeriksaan psikologis untuk menentukan apakah gejala yang dimunculkan anak dapat diberikan diagnosa sebagai gangguan autisme. Dengan memahami berbagai keunikan dan juga 3 gejala gangguannya, maka kita bisa mengetahui bagaimana pengaruhnya pada perkembangan kemampuan anak. Dari pemahaman dasar inilah kita dapat lebih memahami bagaimana ia memahami dunianya, dengan begitulah kita juga akan tahu bagaimana cara membantunya.
89
Bagaimana Autisme Didiagnosa? Autisme sebaiknya didiagnosa oleh tim ahli dari berbagai disiplin ilmu. Tim bisa terdiri dari Ahli perkembangan anak, Dokter, Ahli wicara, dan Psikolog. Biasanya anak dengan autisme dibawa ke ahli medis terlebih dulu, lalu dokter akan membawa kasus temuannya untuk didiskusikan dengan berbagai ahli klinis kesehatan anak. Idealnya semua ahli harus sepakat untuk menentukan suatu diagnosa. Panduan diagnosa yang digunakan biasanya adalah dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V, 2013) yang menjelaskan bahwa gejala autisme memiliki 2 gejala utama: 1) komunikasi sosial, serta 2) minat terbatas dan perilaku berulang. Namun dapat juga menggunakan uraian gejala di dalam DSM IV TR (DSM IV TR, 2000) yang masih menggunakan Triad of Impairment, yaitu: 1) gangguan komunikasi, 2) gangguan sosial, dan 3) gangguan perilaku dengan minat terbatas dan perilaku berulang. Perlu dipahami bahwa gejala autisme tidak sama dengan keterlambatan perkembangan. Karena secara khas gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku serta keunikan kognitif dan sensoris akan muncul pada anak yang mengalami autisme. Sedangkan pada keterlambatan perkembangan akan lebih spesifik pada hambatan perkembangan kemampuan tertentu pada anak. Lebih lanjut, gejala autisme juga harus ditunjukkan secara kontinyu selama masa perkembangan anak; atau bukan sekedar respon atas suatu stimulus atau kondisi medis sementara (misalkan gejala hanya muncul karena sakit dan setelah minum obat). Tidak ada satu cara atau satu tes untuk menentukan Autisme. Diagnosa juga perlu mempertimbangkan hasil pembicaraan dengan orang tua, untuk mengetahui riwayat anak, dan mengobservasi bagaimana perilaku dan gejala anak. Ketika anak sudah mendapatkan diagnosa, maka anak dapat memulai treatmentnya secara intensif untuk mengoptimalisasi perkembangannya. C. Intervensi Dini pada Anak dengan Autisme Dengan kesulitan komunikasi yang dimilikinya, anak dengan autisme dalam perilaku sehari-hari tampak seperti anak nakal yang sulit diatur. Hal ini bukan terjadi karena mereka sengaja tidak patuh, namun lebih karena tidak paham apa perilaku yang diharapkan oleh orang lain atas diri mereka dan bagaimana merespon permintaan sosial 90
dari orang-orang di sekitarnya. Mereka juga lebih memahami bahasa secara konkret, dan sulit memahami makna tersirat. Oleh karena itu, mereka perlu dibantu untuk mampu memahami proses komunikasi dengan lingkungannya. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung perkembangan kemampuan komunikasi anak dengan autisme. 1. Bantuan alat peraga visual Karena anak dengan autisme memiliki kesulitan dalam memahami makna tersirat, maka semua proses komunikasi dengan anak autisme diupayakan sekonkret mungkin. Penggunaan bantuan visual (visual supports) juga akan membantu proses komunikasi ekspresif dan reseptif. Bantuan visual adalah alat-alat yang kita gunakan untuk menunjukkan apa yang kita harapkan pada anak bukan mengatakannya. Contohnya: ketika mengatakan makanan, daripada hanya mengatakannya maka anak dengan autisme diberikan suatu gambar makanan, sehingga ia bisa segera memahami bahwa sedang membicarakan makanan (lihat gambar 7.1). Bantuan visual dapat berupa gambar, foto, obyek benda, daftar, tulisan (kalimat instruksi) atau apapun yang membuat kita dapat menampilkan informasi secara visual. Perlu dipastikan bahwa visual atau gambar yang digunakan menunjukkan bentuk yang dilihat sehari-hari nyata oleh si anak, jadi bukan gambar asing. Jika menggunakan gambar asing maka anak akan kesulitan memahami dan menghubungkan makna gambar dan ide yang ingin disampaikan. Misalkan, jika anak memiliki piyama hijau, maka buat gambar tentang piyama hijau bukan warna lain, atau anak akan kesulitan memahami piyama warna lain karena mereka tidak pernah melihatnya. Baru setelah anak mengembangkan kemampuan generalisasi piyama dalam berbagai warna (tahapan berikutnya) kita bisa menggunakan gambar piyama dengan berbagai warna. Ada banyak teknik penggunaan bantuan visual dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak dengan autisme, beberapa diantaranya adalah: Picture Exchange Communication System (PECS), Pragmatic Organization Dynamic Display
(PODD),
Aided Language Stimulation
(ALS),
dan
Augmentative and Alternative Communication (ACC). 91
Gambar 7.1 Bantuan visual untuk mengenalkan berbagai benda
2. Membuat jadwal Jika dunia sulit dipahami dan terus berubah, maka kita akan terus membutuhkan bantuan orang lain untuk menjelaskan apa yang harus kita lakukan. Kita bisa menjadi cemas karena terus mengantisipasi perubahan, takut jika ada sesuatu berjalan salah dan menimbulkan hal yang menyakitkan atau tidak enak. Anak dapat menolak melakukan berbagai hal karena tidak dapat memprediksi apa konsekuensinya atau kelanjutannya. Maka perlu dipelajari suatu pola atau keteraturan yang terjadi di dalam pengalaman sehari-harinya. Kita dapat membantu antisipasi pemahaman anak dengan membuat jadwal. Dengan jadwal, anak dengan autisme menjadi mampu memprediksi apa yang akan terjadi karena telah mempelajari apa yang akan terjadi. Hal ini juga dapat memotivasi anak untuk berperilaku dan mengelola dirinya secara lebih yakin. Namun perubahan dapat terjadi sewaktu-waktu, dan manusia harus berjuang menghadapinya. Hal inilah yang bisa menjadi menjadi persoalan bagi anak dengan autisme. Yang sering menjadi persoalan adalah ketika orang dewasa di sekitarnya memberikan tuntutan agar anak dengan autisme bisa bersikap fleksibel terhadap perubahan. Kita tidak akan meminta orang buta untuk mampu melihat; maka perlu dipahami bahwa meminta anak dengan autisme untuk bersikap fleksibel juga adalah suatu hal yang sangat menyulitkan bagi mereka. Jika anak belum 92
mengantisipasi perubahan maka ia akan menunjukkan perilaku sulit, seperti: menolak, menangis atau marah. Sebenarnya banyak perilaku sulit anak dengan autisme bisa dihindari dengan memberikan jadwal atau perubahan jadwal sebelum terjadinya peristiwa; dengan demikan mereka tetap mampu melakukan antisipasi. Contohnya: jika akan ada tamu datang ke rumah dan menginap; maka anak perlu dibuat paham akan ada perubahan jadwal di rumah karena akan menjamu tamu dengan cara tertentu; serta perlu dijelaskan pula bahwa anak diharapkan untuk menyapa tamu dengan sederhana. Dengan jadwal dan penjelasan perubahan jadwal maka anak menjadi mampu menyiapkan dirinya di menghadapi perubahan, sehingga tidak perlu menampilkan perilaku sulit. D. Simpulan Setelah memahami betapa berbedanya gejala dan karakteristik Autisme pada masing-masing anak, maka penting digaris-bawahi bahwa bantuan pada anak dengan autisme harus diberikan secara individual. Masing-masing anak perlu dipahami kelebihan dan kesulitannya, barulah akan didesain bantuan pada masing-masing anak secara individual. Tidak ada satu program yang bisa dibuat untuk banyak anak dengan autisme. Berbagai disiplin ilmu dapat bekerjasama dalam memberikan layanan dan membentuk suatu program perawatan dan pendidikan anak dengan autisme. Oleh karena itu, berbagai pihak termasuk orang tua, tenaga kesehatan, sekolah serta masyarakat perlu bersama-sama bekerjasama untuk mendukung usaha perawatan dan mendukung perkembangan anak dengan autisme. Terkait dengan keterbatasan komunikasi anak dengan autisme maka ada beberapa alat dan aktivitas yang dapat digunakan untuk melatih kemampuan komunikasi dengan mereka : 1. Menggunakan alat bantu visual untuk berkomunikasi dengan mereka, agar konsep menjadi lebih konkret. 2. Menyusun jadwal kegiatan atau rutinitas aktivitas sosial sehingga mereka dapat melakukan antisipasi, hal ini penting agar mereka tahu bagaimana apa yang
93
diharapkan dari mereka serta bagaimana cara mencapai tujuannya secara berurutan. Keseluruhan aktivitas pembangunan kemampuan komunikasi anak dengan autisme juga perlu dikombinasikan dengan usaha perkembangan perilakunya. Penting dipahami proses yang akan dilakukan untuk membantu komunikasi perlu dilakukan secara intensif dan dalam jangka waktu yang cukup hingga bisa dilihat perubahannya.
94
ADHD
A. Apakah ADHD Itu ? ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit and Hyperactivity Disorder atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas. Dalam ADHD terdapat 3 gejala utama : 1. Gangguan pemusatan perhatian Anak
dengan
ADHD
memiliki
kesulitan
dalam
mempertahankan
perhatiannya pada suatu obyek atau aktivitas tertentu. Kesulitan ini bukan disebabkan karena adanya rangsangan luar, namun lebih karena kesulitan anak untuk mengendalikan diri untuk menepis rangsangan luar agar tidak mengganggu fokus perhatiannya. Misalkan, apa yang anak dengar atau lihat di sekelilingnya akan mudah memecah fokus perhatiannya, akibatnya anak akan membutuhkan usaha yang sangat besar untuk mempertahankan perhatiannya. 2. Impulsivitas Impulsivitas adalah kecenderungan bertindak tanpa berpikir atau kurang mempertimbangkan akibat dari perilakunya tersebut. Anak dengan ADHD 95
memiliki kesulitan dalam menghambat respon perilaku mereka (inhibisi), yang bekerja sebagai rem atau kontrol perilakunya. Kemampuan inhibis biasanya berkembang seiring dengan perkembangan usia, namun pada anak dengan ADHD kemampuan mereka ini jauh tertinggal daripada anak-anak seusianya. Misalkan, anak dapat melakukan tindakan yang membahayakan dirinya atau cepat-cepat memulai tugas sebelum benar-benar memahami apa yang harus ia kerjakan. 3. Hiperaktivitas Gejala yang paling tampak dari ADHD adalah gerak yang berlebihan. Misalkan, tidak bisa duduk diam di kursi, dan selalu bergerak sepanjang hari. Sepertinya energi di dalam tubuh si anak sangat berlebih, sehingga tidak ada cara lain bagi mereka selain bergerak untuk mengerahkan energi yang muncul dalam diri mereka. Dibutuhkan banyak energi bagi anak dengan ADHD unuk dapat duduk diam dan tenang. Perlu dipahami bahwa anak dengan ADHD memiliki derajat keparahan dan bentuk gejala yang dapat berbeda-beda antarasatu dengan yang lain. Ada anak yang gejala khasnya adalah hiperaktivitas, ada pula yang tidak memunculkan gerak berlebihan namun umumnya akan tampak betapa sulitnya bagi anak dengan ADHD untuk mempertahankan fokus. Seringpula ada pemahaman yang salah mengenai kesulitan anak dengan ADHD dalam hal fokus. Ada anak dengan ADHD yang dapat berkonsentrasi pada film atau mainan yang menarik, namun sangat sulit mengerjakan tugas rumah lainnya. Hal ini menyebabkan orang di sekitarnya beranggapan bahwa di anak mampu berkonsentrasi jika ia mau. Perlu dipahami bahwa untuk dapat melakukan fokus perhatian anak akan membutuhkan dorongan yang sangat kuat, atau rangsang yang sangat menarik, dan juga usaha bagi si anak untuk menjaga perhatiannya.
96
Mengapa terjadi ADHD ? Penelitian untuk mengetahui penyebab ADHD masih terus berlanjut hingga saat ini untuk mencapai penjelasan. Namun para peneliti memusatkan objek penelitiannya pada perkembangan dan fungsi otak. Ada 2 faktor yang dianggap berperan besar atas kemunculan
ADHD:
1)
genetik
atau
keturunan
dan
lingkungan,
dan
2)
ketidakseimbangan zat kimia di otak dan fungsi otak yang berbeda. Faktor genetik disinyalir memiliki pengaruh besar pada munculnya ADHD. Orang tua yang menyandang ADHD memiliki resiko mendapatkan anak dengan ADHD lebih tinggi daripada orang tua yang tidak memiliki riwayat ADHD. Selanjutnya, lingkungan yang dimaksud di sini bukanlah pola pengasuhan, namun adalah pengaruh lingkungan fisik dan psikologis. Lingkungan fisik dan biologis, misalkan makanan yang dikonsumsi anak, apakah anak pernah mengalami cedera otak atau apakah terjadi komplikasi pada saat kelahiran. Begitupula faktor resiko biologis, seperti apakah ibu merokok pada saat hamil, juga perlu dipertimbangkan. Interaksi antara faktor keturunan dan lingkungan akan mempengaruhi besaran variasi genetik yang akan termanifestasi dalam gejala ADHD anak. Pada anak yang menderita ADHD, didapati bahwa area otak yang mengontrol perhatian dan mempertahankan perilaku untuk mencapai tujuannya, atau disebut sebagai fungsi eksekutif, tampak tidak terlalu berkembang, jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang tidak menderita ADHD. Dalam fungsi eksekutif, manusia menggunakan 2 fungsi yg diatur di otak: 1) eksitasi atau aktivasi otak untuk merespon rangsang lingkungan, dan dan 2) inhibisi atau penghambat respon yang berperan dalam pengendalian atau rem perilaku. Pada anak dengan ADHD, terutama fungsi inhibisinya kurang berkembang. Akibatnya sering anak dengan ADHD menunjukkan perilaku impulsif dan kesulitan mengatur perilakunya sendiri. Selain itu, para ahli meyakini bahwa ketidakseimbangan kimiawi pada otak (neurotransmitter) merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan gejala ADHD.
97
B. Beberapa Gejala ADHD Banyak orang berpendapat bahwa ADHD identik dengan anak yang banyak bergerak. Padahal tidak selalu demikian. Ada pula anak dengan ADHD yang tidak memunculkan perilaku banyak bergerak dan tidak dapat diam atau tidak disertai dengan hiperaktivitas. Selain itu, yang menjadi gejala utama adalah kesulitannya untuk fokus dan mempertahankan perhatiannya. Berikut adalah beberapa gejala ADHD (lihat tabel 7.2). Tabel 7.2 Tiga gejala utama ADHD Hiperaktif Tampak seperti kelebihan energi, selalu aktif dan tidak bisa diam. Tanda-tandanya yang biasanya tampak adalah: •
Tidak bisa bermain dengan tenang
•
Susah berdiam diri, menggeliat, gelisah, dan sering berdiri kembali ketika duduk
•
Selalu bergerak, seperti berlari atau memanjat pada sesuatu
•
Tidak bisa duduk dengan tenang
Inattention atau bermasalah pada perhatian Berupa gangguan atau kesulitan untuk memperhatikan sesuatu. Gejala yang biasanya tampak antara lain: •
Sangat susah untuk memusatkan perhatian
•
Tampak tidak mendengarkan ketika orang lain berbicara kepadanya
•
Perhatiannya sangat mudah teralihkan
•
Sering membuat kesalahan akibat kurang berhati-hati atau karena kurang memperhatikan
•
Susah mengikuti arahan atau menyelesaikan tugas
•
Sering melupakan atau menghilangkan sesuatu
•
Memiliki kecenderungan untuk mengingau saat tidur
98
Impulsif Penderita ADHD biasanya memiliki sifat impulsif atau bertindak tanpa berpikir atau spontan. Gejala yang dapat dikenali misalnya: •
Kesulitan untuk menunggu giliran
•
Menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai atau sebelum diberi kesempatan
•
Sering menginterupsi orang lain
•
Bertindak impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya, seperti berlari di tengah acara formal, mengejar sesuatu yang berbahaya, dsb.
Selain ketiga gejala di atas, terdapat juga beberapa gejala lain yang bisa terjadi pada penderita ADHD, antara lain: •
Menunjukkan sikap menentang atau melanggar peraturan
•
Susah untuk bersosialisasi dengan orang lain
•
Kurangnya rasa percaya diri
•
Kemampuan mengorganisasi yang buruk
•
Cepat bosan
•
Gelisah
•
Sering terburu-buru dalam mengambil keputusan Bagi anak, gejala ADHD membuatnya mengalami resiko dalam tugas
perkembangannya, terutama dalam hal konsep diri yang positif, membangun pengalaman dalam relasi sosial, serta kemampuan penyelesaian tugas akademis. Perilaku terlalu aktif, kecenderungan agresif, sering lupa meninggalkan barang atau merusak barang, adalah gejala perilaku tampak yang menunjukkan pengerahan persoalan keluar atau eksternalisasi. membuat anak-anak dengan ADHD mudah dilabel sebagai anak nakal atau bandel. Label negatif yang terus menerus dilekatkan dapat membuat mereka mengembangkan konsep diri yang negatif. Misalkan, anak yang sering dibilang bandel akan mengembangkan konsep diri negatif, seperti: saya adalah anak bandel karena saya sering membuat orang tua marah.
99
Konsep diri yang negatif ini justru semakin memperburuk pengembangan kontrol dirinya, karena malah digunakan menjadi alasan mengapa anak sulit berperilaku baik. Misalkan, anak yang memiliki konsep diri anak bandel maka dapat mengembangkan sikap: Mama bilang saya bandel, maka untuk apa saya mematuhi aturan di rumah, kan saya memang sudah tidak bisa diatur. Konsep diri negatif pada akhirnya juga dapat memunculkan problem dengan diri yang diarahkan ke dalam atau internalisasi, seperti berupa: depresi, stress. Anak yang memiliki konsep diri negatif dapat pula mengalami tekanan stress ketika harus berhadapan dengan lingkungannya. Akibatnya anak akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan relasi secara positif dengan orang-orang di sekitarnya. Lebih lanjut, anak dengan gejala ADHD juga terancam mengalami kesulitan menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan kerjanya. Kecenderungan impulsivitas membuatnya rentan salah mengerjakan atau tidak selesai mengerjakan tugas. Akibatnya kegagalan akademis dapat menjadi persoalan yang harus dihadapi anak. Selain persoalan anak, merawat dan berhadapan dengan anak yang memiliki gejala ADHD juga dapat memberikan tekanan bagi keluarga, baik orang tua dan saudara adik-kakaknya. Tugas pengasuhan yang hanya dipegang oleh Ibu dan kurang mendapatkan dukungan pasangan dan keluarga lain dapatbmembuat Ibu merasa stress atau depresi. Kelelahan dan kesulitan justru akan membuat Ibu kurang optimal mengasuh anak dengan ADHD. Begitupula dengan kakak-adiknya, yang bisa saja merasa keberatan dan tertekan karena merasa harus menerima sikap dan perilaku saudaranya yang sulit dikendalikan karena mengalami ADHD. Belum lagi, jika orang tua menjadi terlalu terfokus pada anaknya yang mengalami masalah ADHD dan cenderung mengabaikan atau berharap anak yang lain mampu mengelola diri secara mandiri tanpa merepotkan orang tua lagi. Jika tidak dipahami, persoalan keluarga dapat muncul dan menghambat pengelolaan masalah anak dengan ADHD di rumah. Hal ini sebaiknya dibicarakan bersama dan dicari solusinya bersama-sama pula agar masingmasing anggota keluarga dapat berproses dalam pengelolaan rumah dengan anak yang memiliki gejala ADHD. Namun, perlu kita pahami, bahwa anak dengan gejala ADHD bukan hanya akan membawa serangkaian persoalan. Dengan gejala ADHD, anak juga akan memiliki 100
kekuatan dan kelebihan. Sikap cepat tanggap dan berani akan muncul sebagai kekuatan. Walaupun dilatarbelakangi dengan impulsivitas, namun ia dapat dilihat sebagai anak yang mampu cepat tanggap pada situasi di luar dirinya. C. Intervensi Dini ADHD Walaupun kondisi ini tidak bisa disembuhkan, terdapat beberapa tindakan atau penanganan bagi penderita ADHD. Pengobatan di sini berarti tindakan atau strategi untuk membantu mengontrol gejala-gejala ADHD. Tujuannya adalah membantu penderitanya meningkatkan kemampuan sosial, meningkatkan kemampuan dalam belajar/bekerja, meningkatkan rasa percaya diri anak, dan menjaga penderitanya dari tingkah laku yang dapat membahayakan diri sendiri. Pengobatan bagi penderita ADHD bisa berupa obat-obatan ataupun terapi. Obatobatan yang sering diberikan oleh dokter biasanya berupa stimulan, yang digunakan untuk membantu mengontrol sikap hiperaktif dan impulsif pada anak, serta membantu meningkatkan fokus atau perhatian. Penanganan berupa terapi (psikoterapi) juga umum diberikan pada penderita ADHD. Terapi yang diberikan bisa berupa pelatihan kemampuan sosial, modifikasi tingkah laku (behavior), dan juga terapi kognitif. Orang tua dan keluarga juga biasanya akan diberikan pelatihan berupa pengenalan terhadap ADHD, cara menghadapi gejala ADHD pada anak, pendekatan-pendekatan yang digunakan, ataupun berupa dukungan bagi orang tua yang memiliki anak penderita ADHD. Anak dengan ADHD di PAUD atau Taman Kanak-kanak akan tampak sering tertinggal dalam berbagai penugasan karena ia kurang cepat mengerjakannya. Anak akan tertinggal karena ia akan sibuk dengan perilaku lain atau mengganggu temannya, sehingga akhirnya pekerjaannya sendiri tidak selesai. Anak dengan ADHD mungkin juga menunjukkan perilaku agresif mengganggu teman-temannya, seperti memukul atau merusak barang. Guru akan terpancing untuk memberikan hukuman atau hadiah; namun tanpa modifikasi perilaku perubahan perilaku anak dengan ADHD tidak akan bertahan lama. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan Guru untuk mengatasi masalah pemusatan perhatian di kelas (Paternote & Buitelaar, 2010), yaitu: 101
•
Bila Guru bercerita atau memberikan instruksi, Guru perlu berbicara dengan suara keras, volume atau intonasi suara yang berbeda-beda, dan menjaga kontak mata agar menarik perhatian anak untuk memperhatikan.
•
Saat mengerjakan tugas, Guru memberikan penekanan kembali atau mengingatkan kembali agar pemusatan perhatian tidak merosot atau hilang.
•
Memberikan tugas secara bertahap dengan tujuan bertahap. Agar anak lebih mungkin berhasil dalam mempertahankan perhatiannya.
•
Menggunakan penentu waktu atau timer. Hal ini juga akan mendukung pengembangan pemahaman anak akan waktu dan menunggu.
•
Guru dapat menggunakan rangsang auditoris yang menarik sebagai penanda perpindahan dari satu tugas ke tugas yang lain. Misalkan, menggunakan lagu atau irama musik untuk menandakan selesainya satu tugas dan anak diminta untuk bergerak ke tugas lainnya.
Program Kartu Perilaku Baik Kartu perilaku baik adalah pendekatan modifikasi perilaku yang sering juga disebut sebagai kartu laporan harian atau daily report card. Kartu memiliki manfaat bagi anak dengan ADHD sebagai pendorog ekstra dalam mengerjakan beberapa tugastugas tertentu. Dengan kartu perilaku baik, si anak akan mendapatkan penilaian dan penghargaan dari guru atau orangtuanya. Setelah beberapa waktu, kartu perilaku baik akan diganti dengan kartu harian, kemudian kartu mingguan bahkan menjadi kartu bulanan. Kartu perilaku baik dapat membantu anak dalam belajar berperilaku, seperti: 1. Mendengarkan penjelasan Guru 2. Mematuhi perintah Guru. 3. Mengangkat tangan sebelum berbicara 4. Menyelesaikan tugas. 5. Bergaul dengan teman secara baik. Kartu perilaku baik dapat dikombinasikan dengan penguatan atau reward. Jika anak telah berhasil mencapai perilaku baik yang telah ditentukan dan disepakati, maka 102
anak berhak mendapatkan hadiah yang menarik buatnya. Hadiah bisa berupa pujian, makanan dan hal yang menyenangkan bagi anak seperti tamasya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan: 1. Tujuan yang ditetapkan harus realistis dan dapat dicapai anak. 2. Tujuan tertuang secara visual dan jelas 3. Perlu dilaksanakan dalam tahap-tahap kecil. Kartu perilaku baik bukan bertujuan untuk mengatasi masalah belajar, namun hanya digunakan untuk alat membantu pengendalian perilaku di kelas. Tabel 7.3 Perencanaan Perilaku Baik Rencana perilaku baik Anak: Hari: Guru: Aspek
Memperhatikan Meja
Langsung
Mengerjakan
dengan baik
mengerjakan
tugas hingga
tugas
selesai
dibereskan
Sebelum istirahat Sesudah istirahat Siang hari Keterangan: ★★★= sangat baik; ★★= baik; ★= tidak begitu baik; tidak ada bintang= tidak baik
D. Simpulan Memiliki pengetahuan tentang ADHD adalah dasar untuk memahami seorang anak dengan masalah ini, menerima keadaannya serta menyusun langkah-langkah untuk
103
membantunya. Selain memperhatikan sisi kelemahan anak, pendidik juga perlu memperhatikan kekuatan dan membangun kelebihan anak tersebut. Pendidik juga bisa melakukan program di kelas dan penyesuaian dalam pemberian instruksi. Penting juga untuk melakukan kerjasama dengan orang tua, agar proses membantu dan optimalisasi belajar dan perkembangan anak dapat lebih optimal.
104
Referensi: Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia. Margaretha (2013). Autisme: Gangguan Perkembangan pada Anak. http://psikologiforensik.com/autisme/ (diakses pada Agustus 2014). Margaretha (2013). Perkembangan kemampuan komunikasi pada Anak dengan Autisme. http://psikologiforensik.com/autisme/ (diakses pada Agustus 2014). Margaretha (2014). Selalu Bergerak Apakah ADHD. http://psikologiforensik.com/ (diakses pada Agustus 2014). Paternote, A. & Buitelaar, J. (2010). ADHD: Tanda-tanda, Diagnosis, Terapi serta Penanganannya di Rumah dan di Sekolah. Dialihbahasakan oleh Julia Maria van Tiel. Prenada, Jakarta.
105
A. Pendahuluan Anda akan sangat familiar dengan istilah bahwa “anak adalah milik jamannya”, istilah ini berimplikasi besar terhadap bagaimana kita memandang anak-anak kita atas perubahan jaman yang terjadi saat ini. Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan kehadiran internet akan membuat dunia semakin datar. Dengan kata lain, apa yang terjadi di belahan dunia lain akan dapat segera kita ketahui pada waktu yang sama. Kita akan dapat dengan mudah dan cepat untuk mendapatkan informasi yang kita inginkan, serta juga dapat berkomunikasi dan berbagi komunikasi pada orang lain dengan cepat pula. Akan tetapi, sayangnya perkembangan yang tersebut tidak diimbangi dengan kesiapan dari berbagai pihak, masih banyak kita jumpai penyalahgunaan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini, sebut saja penipuan-penipuan yang marak terjadi, belum lagi penyalahgunaan penggunaan media sosial yang tidak jarang merugikan dan mengkhawatirkan seperti penculikan, pemerasan dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai orang tua dan pendidik kita perlu memahami dampak negatif dari perkembangan teknologi dan informasi, serta juga solusi tindakan yang bisa kita ambil untuk memahami dampak positif dan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh teknologi informasi dan komunikasi. Makalah ini akan mendiskusikan tentang dampak negatif dan positif dari teknologi informasi dan komunikasi, serta juga beberapa saran untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi bagi anak. Mengingat, potensi yang dimiliki untuk perkembangan anak sangatlah besar, maka kita perlu menyikapi dengan lebih bijak. Sehingga, kembali lagi pada istilah “anak adalah milik jamannya”, maka kita juga perlu memahami karakteristik generasi anak-anak kita terlebih dahulu agar respon yang kita berikan atas perkembangan teknologi dan informasi ini lebih tepat. Oleh karena itu, makalah ini juga akan mengupas tentang karakteristik generasi z atau biasa dikenal dengan generasi net yang dikatakan sebagai generasi penerus yang akan hidup di jaman teknologi informasi dan komunikasi. 105
B. Lahirnya Generasi NET: Anak- Anak di tengah Generasi Teknologi dan Informasi Setiap zaman akan memiliki generasi yang berbeda-beda, sebut saja generasi yang dikenal dengan baby boomers yang dilahirkan sekitar tahun 1946-1964, lalu generasi X yang dilahirkan pada tahun 1965-1980, generasi Y dilahirkan pada tahun 1981-1994, dan sekarang generasi Z yang http://livinghealth.co.id
dilahirkan pada tahun 2000-an (Sudrajat, 2012).
Menariknya, perbedaan masing-masing generasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
teknologi.
Sebut
saja,
generasi
baby
boomers
yang
tahapan
pertumbuhannya dipengaruhi oleh kehadiran TV, maka generasi Z sangat dipengaruhi oleh kehadiran internet yang pertumbuhannya sangat cepat, sehingga generasi Z ini juga dikenal dengan generasi internet atau generasi NET (Tapscott, 2009). Oleh karena itu, dalam makalah ini kita akan mengulas lebih dalam bagaimana interaksi generasi ini dengan teknologi internet. Akan tetapi, sebelumnya kita bahas terlebih dahulu karakteristik generasi NET ini. Beberapa pendapat (Sudrajat, 2012 dan Rosen, 2007) menjelaskan bagaimana karakteristik generasi Z ini, antara lain adalah: 1. Generasi Z adalah generasi yang fasih menggunakan teknologi. Saat ini, anak berusia 2 tahun pun akan dengan mudah mengoperasikan tablet, telepon pintar dan laptop sekalipun, memasukkan kata kunci dalam youtube, bahkan juga mencari yang dia ingin tahu di google. Ketika generasi sebelumnya mencari tahu dengan bertanya pada orang lain atau yang lebih tua, maka generasi Z lebih memilih langsung bertanya pada internet, sehingga informasi yang didapatkan lebih cepat, dengan berbagai sumber yang berbeda. 2. Kehidupan sosial bagi generasi Z ini tidak identik dengan bertatap muka, mereka berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi internet seperti pesan instan (instant messaging) seperti whatsapp, skype, line dan sebagainya, sosial media seperti facebook, twitter dan juga SMS. Sehingga, terkesan generasi ini kurang berinteraksi, padahal mereka memiliki caranya sendiri untuk berinteraksi. Bagi 106
mereka, interaksi menggunakan media ini membuat komunikasi menjadi lebih cepat, spontan dan ekspresif. Generasi ini juga lebih toleran pada perbedaan kultur dan lebih peduli pada lingkungan. 3. Generasi Z juga merupakan generasi yang dapat melakukan berbagai hal dalam satu waktu. Tidak sulit bagi mereka untuk berkonsentrasi ketika membaca sembari mendengarkan musik. Mereka adalah generasi yang menginginkan segala sesuatu dengan cepat, sehingga mereka akan melakukannya secara bersamaan. Dalam hal memanfaatkan internet, sangat memungkinkan bagai mereka untuk mencari informasi, membacanya, lalu menuliskannya kembali dan berbagi kepada yang lain pada satu waktu. Ketika kita memahami seperti apa generasi Z tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka memiliki caranya sendiri untuk memperoleh informasi, berinteraksi atapun juga mengerjakan sesuatu. Dengan kata lain, mereka memiliki aturannya sendiri dalam menjalankan kesehariannya. Lebih lanjut, Don Tapscott (2009) juga menjelaskan delapan norma yang berlaku untuk generasi NET, norma-norma tersebut antara lain adalah (1.) kebebasan, (2.) personalisasi, (3.) teliti, (4.) keterbukaan, (5.) bermain dan menghibur sambil belajar, (6.) kolaborasi dan menjalin relasi, (7.) Menekankan pada Kecepatan dan juga (8.) Inovator. 1. Generasi Z menginginkan kebebasan. Sama hal-nya generasi lain yang menginginkan kebebasan, generasi Z juga sangat menginginkan kebebasan. Kebebasan disini meliputi kebebasan dalam memilih dan juga kebebasan akan berekspresi. 2. Generasi Z sangat nyaman dengan personalisasi atau kustomisasi, dengan kata lain mereka memilih barang-barang yang khas dengan dirinya sendiri, tidak nyaman dengan keseragaman. 3. Generasi Z adalah generasi yang teliti. Mereka akan mencari tahu informasi atas produk yang mereka ingin dapatkan, informasi yang dicaripun akan lebih komprehensif, karena berasal dari berbagai sumber. 4. Mereka akan menghargai transparansi dan keterbukaan. Karena informasi adalah hal yang penting, maka mereka akan sangat menghargai pihak-pihak yang
107
menyediakan informasi tersebut, dengan kata lain mereka yang transparan akan lebih dihargai oleh generasi Z. 5. Ketika belajar mereka akan melakukan dengan caranya sendiri, belajar bagi generasi Z adalah terlibat langsung, maka mereka akan melakukan dengan cara yang lebih menghibur atau bahkan sambil bermain sekalipun mereka dapat juga belajar. Sebagaimana karakter mereka yang multitasking, hal ini juga berlaku ketika mereka bekerja. 6. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa generasi Z berinteraksi sosial dengan memanfaatkan teknologi informasi, akan tetapi bukan berarti mereka tidak dapat berkolaborasi atau menjalin relasi yang baik. Melalui media sosial pun mereka juga dapat berkolaborasi, seperti membangun grup dalam facebook, milis dan sebagainya. 7. Arus komunikasi dan informasi yang cepat sudah menjadi kebutuhan generasi Z. Mereka sangat membutuhkan kecepatan, karena kalau tidak maka dia akan tertinggal dari yang lainnya. 8. Inovator, generasi Z akan mencari tempat kerja ataupun tempat belajar yang inovatif. Karena bagi mereka mencoba dan menemukan hal-hal yang baru adalah menyenangkan. Dengan memahami generasi Z, yang notabenenya adalah generasi penerus yang akan hidup dengan teknologi informasi akan membantu kita untuk dapat merespon dan mendekati mereka sesuai dengan sudut pandang mereka. Hal ini menjadi penting mengingat tidak jarang teknologi informasi juga berdampak negatif pada mereka, akan tetapi dampak positifnya pun banyak dan diperlukan untuk masa yang akan datang, kalau tidak mereka justru akan tertinggal oleh zamannya. Oleh karena itu, berikutnya makalah ini akan mendiskusikan tentang interaksi antara anak-anak dan teknologi informasi. C. Anak dan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Interaksi antara Keduanya. Sebelumnya kita sudah mendiskusikan bagaimana karakteristik anak-anak yang hidup pada era teknologi informasi dan komunikasi, kita memahami bahwa kehidupan mereka akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang ada. Sehingga, selain memahami karakteristiknya maka perlu juga memahami interaksi antara anak-anak dan 108
teknologi, mengenali dampak serta potensi manfaatnya didatangkan, serta bagaimana teknologi mempengaruhi aktivitas mereka. Produk teknologi informasi dan komunikasi yang dekat dengan aktivitas anak diantaranya televisi, games, handphone, komputer, internet, dan sebagainya. Beberapa fenomena yang menggambarkan kedekatan anak dengan berbagai produk teknologi tersebut antara alain: - Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pada tahun 2006 menemukan bahwa anak menghabiskan 7 jam sehari untuk mengkonsumsi media, mulai dari televisi, komputer, video game, dan sebagainya. Berdasarkan penelitian, hal tersebut juga terjadi di Amerika Serikat, yaitu anak menghabiskan waktu 6.5 jam/hari untuk menggunakan media (televisi, komputer, video games, internet, dan sebagainya) (http://www.kidia.org/panduan/tahun/2010/bulan/11/tanggal/01/id/171/). - Potensi penonton anak naik dari 12% (atau sekitar 1,2 juta anak) di bulan Februari 2011 menjadi 13,4% (atau sekitar 1,4 juta anak) di bulan Juni seiring dimulainya liburan sekolah (http://intranet.nielsentam.tv/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Jun_2011Ind.pdf). - Semakin banyak tempat persewaan games sehingga semakin banyak pula anak-anak menghabiskan waktunya untuk memainkan games di tempat-tempat tersebut. - Handphone bukan lagi menjadi barang yang dimiliki orang dewasa. Saat ini orangtua tak ragu membekali anak dengan berbagai perangkat komunikasi, seperti smartphone atau komputer tablet. - Internet sangat mudah diakses oleh anak-anak dari berbagai media, baik dari komputer maupun handphone. D. Dampak Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi terhadap Perilaku Anak Pada dasarnya teknologi diciptakan untuk membantu memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, demikian juga bagi anak-anak Menurut sebuah riset pada tahun 1998, anak pra-sekolah dengan akses komputer cenderung memiliki pengetahuan umum dan kemampuan bahasa yang baik. Penggunaan komputer juga 109
berhubungan
dengan
peningkatan
prestasi
akademis
pada
anak
usia
sekolah
(http://female.kompas.com/read/2013/04/30/23533921/Mengapa.Anak.Harus.Kenal.Tekno logi.Sejak.Dini.). Seiring dengan perkembangannya, teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya memiliki dampak positif bagi anak-anak, namun juga memiliki dampak negatif bagi anak-anak. Dampak Positif 1. Anak-anak dapat lebih mudah belajar membaca, berhitung dan mengenal lingkungan sekitar melalui program-program pengetahuan dasar membaca, berhitung, dan sebagainya. 2. Dengan
tampilan
yang
menarik,
membuat
anak
lebih
bersemangat untuk belajar dan mudah mengingat materi. 3. Dapat memberikan gambaran secara nyata tentang berbagai fenomena kepada anak, lebih konkrit dan lebih mudah dipahami. 4. Melatih kemampuan logika dan meningkatkan kreativitas melalui
theasianparent.com
program-program yang ada di komputer maupun games. 5. Melatih kemampuan-kemamuan motorik halus dan koordinasi antara mata, tangan yang melibatkan emosi anak 6. Mengurangi kejenuhan saat belajar. 7. Sebagai sumber belajar untuk memahami informasi-informasi baru. Dampak Negatif Selain dampak positif, teknologi informasi dan komunikasi juga memiliki dampak negatif, diantaranya : 1. Dapat mengganggu indera penglihatan apabila tata ruang dan pencahayaan tidak diatur secara tepat. 2. Dapat
menyebabkan
ketergantungan
dan
malas
untuk
melakukan aktivitas fisik apabila frekuensi penggunaan berlebihan. 3. Dapat memunculkan perilaku agresif pada diri anak. 4. Menyebabkan sifat individualisme dan kemampuan sosial berkurang pada anak.
www.melindahospital.com m
110
5. Anak-anak menjadi tidak realistis, tidak dapat membedakan dunia nyata dan dunia maya atau games. 6. Dapat menurunkan fokus anak terhadap pelajaran. 7. Meniru hal-hal negatif yang diperoleh dari teknologi. E. Pola Asuh Anak Generasi NET: Gaya dan Caranya Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa “anak adalah milik jamannya”, artinya bahwa dalam menyikapi interaksi dan aktivitas anak-anak dengan teknologi informasi adalah harus disesuaikan dengan karakteristiknya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan mereka saat ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga Anda perlu bijak menyikapinya, Anda tidak bisa terlalu ketat membatasinya karena hal ini juga akan mempengaruhi mereka dengan teman-temannya yang juga menggunakan teknologi. Akan tetapi juga bisa terlalu lepas, karena hal ini juga akan beresiko jika Anak-anak menjadi ketergantungan atau bahkan kecanduan internet ataupun video games. Rosen (2007) menjelaskan terkait dengan pola asuh pada anak-anak yang hidup di generasi internet, terdapat dua pendekatan yaitu pola asuh yang bersifat proaktif serta pola asuh yang bersifat reaktif. Pola asuh yang proaktif artinya disini adalah adanya tindakantindakan pencegahan untuk meminimalisir dampak-dampak negatif yang dihasilkan dari penggunaan internet, video games dan berbagai macam teknologi lainnya. Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan dalam pola asuh proaktif ini antara lain: 1. Bangun kepercayaan, terkadang kita selalu tergoda untuk memata-matai anak kita tentang aktivitasnya di dunia maya, atau ketika sedang bermain video games. Atau bahkan kita sudah melakukan tindakan preventif seperti melarang untuk membuka situs-situs dewasa, atau
membatasi
permainan
yang
memang
http://www.bestlife.co.id
diperuntukkan untuk orang dewasa. Akan tetapi, sayangnya semakin kita melarangnya maka semakin penasaran bagi mereka untuk mencobanya. Oleh karena itu, akan lebih berdampak ketika kita mencoba untuk membangun kepercayaan diantara hubungan anak dan orang tua, disamping itu juga
111
menekankan pentingnya bagaimana kepercayaan itu harus dibangun dan dipertahankan. 2. Ukur sejauh mana mereka berinteraksi dengan dunia maya, dalam mengukur sejauh mana mereka beraktivitas di internet kita memang memiliki dua cara baik itu mengawasinya secara langsung maupun tidak langsung. Ketika kita memata-matai mereka secara langsung dan frontal hal ini justru akan memunculkan potensi konflik, karena tentu saja akan kita tidak akan nyaman ketika orang tuanya memata-matainya. Anda cukup mengidentifikasi bagaimana mereka beraktivitas di internet, mengenali dengan siapa mereka berinteraksi, situs-situs apa saja yang mereka akses, dan tentunya itu dilakukan secara bersama-sama dengan mereka. Dengan kata lain, anda tidak perlu berpura-pura seakan-akan anda tidak peduli pada aktivitas mereka di internet akan tetapi anda sebenarnya sedang mematamatai. Anda akan dapat mengukur sejauh mana mereka beraktivitas di internet ketika anda terlibat dengan anak secara langsung. 3. Pelajari apa yang mereka lakukan, anda tidak akan dapat berinteraksi dengan nyaman bersama anak-anak ketika Anda tidak mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Sebagai orang tua, Anda juga harus menunjukkan bahwa Anda memiliki kamauan belajar, baik itu belajar dari anak Anda maupun juga dari orang lain. Kemauan untuk belajar ini juga menjadi sangat berharga bagi Anak-anak, karena dengan kata lain Anda sebagai orang tua mencoba untuk memahami Anak dari perspektif mereka. 4. Komunikasi, Hal ini adalah kunci keberhasilan bagi pola asuh yang sifatnya proaktif dan reaktif. Komunikasikan segala sesuatunya pada Anak terhadap bagaimana mereka beraktivitas di internet, Anda juga bisa menyampaikan kekhawatiran dan harapan-harapan atas aktivitas mereka di internet. Biasakan untuk membangun komunikasi terbuka dalam hubungan orang tua dan anak, dimana juga sangat disarankan untuk mengapresiasi keberhasilan mereka baik ketika berinteraksi di dunia maya maupun di dunia nyata.
112
Selain pola asuh yang bersifat proaktif, pada Anak-anak di generasi ini juga diperlukan pola asuh yang lebih bersifat reaktif, yaitu kehadiran Anda ketika anak-anak menghadapi permasalahan atau bahkan melakukan kesalahan ketika beraktivitas di Internet. Sebagai contoh, ketika prestasi disekolahnya yang menurun karena terlalu sering bermain internet ataupun bermain video games, terkadang sebagai orang tua Anda akan tergoda untuk langsung memberikan hukuman baik fisik maupun non-fisik seperti menghukumnya dengan menyita komputer ataupun video gamesnya. Hal ini tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah, karena dia akan mencari cara lain untuk dapat menggunakan komputer atau video games. Lalu, pertanyaannya apa yang bisa dilakukan? Anda perlu untuk memberikan pemahaman kepada Anak-anak, termasuk segala resiko yang akan ditimbulkan ketika dia terlalu lama beraktivitas di internet, atau melakukan hal-hal yang tidak semestinya di internet ataupun bermain video games. Pastikan ketika memberikan pemahaman, Anda tidak perlu menggunakan bahasa yang kasar dan dengan nada yang tinggi. Memberikan pemahaman bukan berarti Anda tidak bisa menggunakan hukuman untuk membuat Anak-anak belajar akan resiko yang ditimbulkan dari aktivitasnya di internet. Hukuman akan dapat bekerja dengan baik ketika Anda mempertimbangkan tiga hal yaitu: langsung, spesifik dan konsisten. Langsung artinya bahwa hukuman tersebut diberikan langsung jika perilaku yang tidak anda inginkan muncul, sehingga Anak-anak tahu betul resiko atas tindakan mereka. Spesifik, artinya pastikan bahwa hukuman tersebut terkait dengan perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak, selanjutnya adalah hukuman tersebut diberikan secara konsisten dan bertahap. Berikut ini beberapa hal yang dapat anda pertimbangkan ketika menghadapi Anak-anak dan aktivitasnya di internet: 1. Dampingi mereka, pastikan Anda hadir bersama mereka untuk menjelaskan jika ada hal-hal yang tidak sesuai dan tidak diinginkan di internet. 2. Ajak mereka untuk tetap beraktivitas, hal ini menjadi sangat penting terutama ketika sedang melihat TV ataupun Video, karena ada kecenderungan Anak-anak
http://thinklearnings.blogspot.com
113
akna terpaku didepan televisi untuk waktu yang lama tanpa melakukan aktivitas apapun. 3. Perhatikan pola tidur anak-anak, jangan sampai mereka tidur terlalu larut malam hanya karena bermain video games atau bermain internet. 4. Perhatikan perkembangan belajar mereka di sekolah, jika ada gejala penurunan maka Anda sudah harus mulai mengajak mereka berbicara. Akan tetapi, sebelumnya Anda juga perlu menjelaskan resikonya sebelumnya. 5. Tunjukkan perilaku yang baik, artinya anda juga harus menjadi model bagi Anakanak dan layak untuk dicontoh. Langkah-langkah dan pola asuh tersebut setidaknya dapat meminimalisir dampak negatif atas pemanfaatan internet, terutama ketika mereka menghadapi ketergantungan dari internet ataupun video games. F. Kesimpulan Anak-anak yang dilahirkan saat ini atau pada tahun 2000-an yang biasa dikenal dengan generasi Z atau Net adalah generasi yang berinteraksi langsung dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pemanfaatan internet, video games, televisi dan video pun akan mempengaruhi aktivitas dan kehidupan mereka, tidak jarang berita-berita tentang dampak negatif dari perkembangan teknologi tersebut semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, sebagai orang tua kita juga perlu menyikapi dengan bijak, karena disatu sisi perkembangan teknologi tersebut juga membawa dampak positif. Dalam menerapkan pola asuh dan menyikapi perkembangan teknologi tersebut, anda perlu memahami anak anda sebagai generasi yang berbeda, sehingga respon yang diberikan pun akan lebih tepat. Komunikasi yang terbuka dan dua arah, pemahaman dan pendampingan adalah kunci untuk menyikapi interaksi antara Anak-anak dengan teknologi yang terus berkembang. Disamping itu, sebagai orang tua Anda juga harus siap dengan pola asuh baik itu yang bersifat proaktif dan reaktif.
114
Referensi : Rosen, Larry D., (2007) Me, MySpace and I, Parenting the Net Generation. Hampshire, England: Palgrave Macmillan. Tapscott, Don (2009) Grown Up Digital, How the Net Generation Changing Your World, United States: McGraw-Hill. Teknologi Informasi Komunikasi. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_Informasi_Komunikasi Dampak Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Terhadap Perilaku Anak (4 Maret
2014).
Diakses
pada
tanggal
10
Agustus
2014
dari
http://www.care4kidsindonesia.org/?p=765 Mengapa Anak Harus Kenal Teknologi Sejak Dini? (30 April 2013). Diakses pada tanggal 10
Agustus
2014
dari
http://female.kompas.com/read/2013/04/30/23533921/Mengapa.Anak.Harus.Kenal.T eknologi.Sejak.Dini. Nielsen Newsletter (30 Juni 2011). Diakses pada tanggal 10 Agustus 2014 dari (http://intranet.nielsentam.tv/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Jun_2011Ind.pdf) Kecanduan Game, Anak Bisa Agresif (6 September 2012). Diakses pada tanggal 10 Agustus
2014
dari
http://female.kompas.com/read/2012/09/06/20082820/Kecanduan.Game.Anak.Bisa. Agresif Sudrajat, Akhmad, (2012) Generasi Z dan Implikasinya Terhadap Pendidikan. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/10/05/generasi-z-dan-implikasinyaterhadap-pendidikan/ (diakses pada tanggal 9 Agustus 2014)
115