Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 STATUS KESEHATAN UDANG Litopenaeus vannamei YANG DIINJEKSI EKSTRAK Chaetoceros ceratosporum Erika Saraswati Perikanan Faperta UNTAG Banyuwangi e-mail :
[email protected]
Abstrak Udang putih Litopenaeus vannamei adalah salah satu komoditas perikanan yang cukup potensial di pasar dunia. Masalah utama yang sering dihadapi dalam budidaya udang adalah rendahnya satus kesehatan udang akibat infeksi virus. Salah satu penyakit yang potensial pada budidaya L. vannamei adalah Infectious Myonecrosis Virus (IMNV). Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan status kesehatan udang adalah dengan pemberian imunostimulan untuk meningkatkan respon pertahanan tubuhnya. Salah satu imunostimulan yang dapat digunakan untuk meningkatkan respon pertahanan udang terhadap infeksi penyakit adalah senyawa polisakarida. Chaetoceros ceratosporum adalah salah satu mikroalga yang berpotensi menghasilkan senyawa polisakarida atau turunannya yang bersifat imunostimulan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kandungan senyawa ekstrak C. ceratosporumserta pengaruhnya terhadap peningkatanstatus kesehatan udang L. vannamei. Status kesehatan udang ditunjukkan melalui peningkatan respon pertahanan tubuhnya yaitu aktivitas hemosit, aktivitas fagositosis, dan kelulushidupan. Ekstrak C. Ceratosporum diinjeksikan dengan dosis 0, 10, 50, 100, 500 dan 1000 μgg-1 berat badan udang L. vannamei. Status kesehatan udang L. vannamei tertinggi ditunjukkan oleh udang yang diinjeksi ekstrak C. ceratosporum dengan dosis 10μgg-1berat badan udang. Hasil uji LCMS dan indirect ELISA menunjukkan ekstrak C. ceratosporum mengandung lipopolisakarida. Kata kunci : C. ceratosporum, imunostimulan, L. vannamei, lipopolisakarida, status kesehatan Pengantar Udang putih L. vannamei adalah salah satu komoditas unggulan dalam industri budidaya udang yang sampai saat ini masih menjadi primadona di pasar dunia. Keberhasilan industri budidaya udang sangat dipengaruhi oleh status kesehatan udang, dimana menurunnya status kesehatan udang umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri maupun virus. Infeksi yang disebabkan virus umumnya dapat mematikan secara mendadak maupun secara perlahan dan terus-menerus, sehingga menimbulkan kerugian yang cukup tinggi. Untuk mengendalikan serangan penyakit akibat infeksii patogen pada budidaya udang tidak mudah karena udang tidak memiliki antibodi. Oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan status kesehatan udang melalui peningkatan sistem pertahanan tubuhnya dengan pemberian imunostimulan. Pemberian imunostimulan dimaksudkan untuk mengaktifkan sistem imun nonspesifik udang. Sistem pertahanan tubuh udang akan berfungsi bila protein pengenal mengenali masuknya lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan (PG) dari dinding sel mikroorganisme. Kehadiran LPS atau PG akan menstimulasi aktivitas sel-sel hemosit, sel-sel fagosit, maupun enzim-enzim yang berperanan dalam sistem pertahanan udang. Meningkatnya ketahanan tubuh udang dapat diketahui dengan meningkatnya aktivitas sel-sel hemosit, baik itu sel hialin, semi granular, maupun sel granular. Meningkatnya aktivitas enzim-enzim dalam sistem pertahanan udang, akan menghasilkan protein faktor opsonin yang merangsang aktivitas fagositosis. Fagositosis merupakan bagian penting dalam sistem imun non spesifik untuk mengeliminasi patogen. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai imunostimulan adalah diatom, karena mengandung polisakarida dengan kisaran struktur yang luas dan dapat dieksplor sebagai kandungan biologi aktif (Skjermo et al. 2006).C. ceratosporum merupakan diatom yang cukup banyak dan mudah dibudidayakan secara masal, tetapi sampai saat ini pemanfaatannya terbatas sebagai makanan alami untuk budidaya ikan dan udang. Pemberian formula pakan yang mengandung C. ceratosporum berpengaruh secara tidak langsung terhadap peningkatan respon imun udang windu (Ekawati et al., 2013). Sementara Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-18) - 77
PK-18
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 itu C. calcitrans berpengaruh positif terhadap total haemocyte count (THC), persentase granulosit, laju fagositosis dan aktifitas oksidatif pada hemosit spesies kerang Crassotrea gigas dan Ruditapes phillipinarum dibandingkan penggunaan Isochrysis sp. dan Tetraselmis suecica (Delaporte et al., 2003). Senyawa polisakarida maupun lipopolisakarida dapat dihasilkan dari proses ekstraksi dengan menggunakan air dan dapat meningkatkan ketahanan ikan dan udang terhadap infeksi patogen, sebagaimana yang dilakukan oleh (Hou and Chen, 2005) dengan ekstrak air panas Gracilaria tenuistipitata, (Yeh et al., 2006) dengan ekstrak Sargassum duplicatum dan (Tayag et al., 2010) dengan ekstrak air panas alga hijau-biru Spirulina plantesis. Ekstrak tersebut mengandung galaktosa dapat meningkatkan imunitas udang L. vannamei. Ekstrak C. mulleri yang mengandung β-D-(1-3)glucan dapat meningkatkan kelulushidupan dan pertumbuhan larva ikan Cod (Skjermo, et al., 2006). Fraksi air dari ekstrak C. Ceratosporum dapat meningkatan total hemosit udang L. vannamei yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi metanol, n-heksan dan etil asetat (Saraswati, 2011, tidak dipublikasikan). Pemberian ekstrak C. ceratosporum secara intra muskular dapat meningkatkan total hemosit, diferensial hemosit serta tidak berpengaruh terhadap kelulushidupan udang L. vannamei (Saraswati et al. 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian ekstrak C. ceratosporum secara injeksi terhadap peningkatan status kesehatan udang L. vannamei, melalui peningkatan respon pertahanan tubuhnya yaitu aktivitas hemosit, total protein plasma, aktivitas fagositosis, dan kelulushidupannya serta mengidentifikasi kandungan senyawanya. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah tepung C. ceratosporum(kultur masal berasal dari biakan murni hasil laboratorium pakan alami BBAP Situbondo), deionized water, phosphat buffer saline (PBS), Na-sitrat 10%,Trypan Blue solution, metanol, aquades, larutan giemsa 10%, bakteri staphyllococcus,larutan bovine serum albumin (BSA), antibody anti-LPS, enzim alkalin fosfatase, pakan udang, dan lain-lain. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hemositometer, mikroskop cahaya, syringe 1 ml dengan jarum no 26, eppendorf, gelas objek, sprayer, mikroplate, mikropipet, spektrofotometer, dll. Hewan uji yang digunakan adalah udang L. vannamei yang diperoleh dari tambak Balai Budidaya Air Payau Situbondo dan telah lolos uji Specific Pathogen Free (SPF), dengan berat 11,9 ± 1,5 g. Preparasi Ekstrak C. ceratosporum EkstraksiC. ceratosporum mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Hayashi et al. (1993). Tepung C. ceratosporum dilarutkan ke dalam deionized water panas (1:5) dan dibiarkan selama 1-3 jam, disaring. Filtrat yang diperoleh divakum evaporator dan dikeringkan. Ekstrak yang diperoleh dikenal sebagai Hot Water Extract (HWE).Untuk mengetahui kandungan senyawa yang ada dilakukan dengan LCMS dan metode ELISA. Ekstrak (HWE) yang diperoleh direhidrasi dengan larutan phosphat buffer saline (PBS), dimasukkan dalam botol dan disimpan pada 4 ºC. Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan secara eksperimen di laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Budidaya Air Payau Situbondo dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan yang digunakan adalah dosis ekstrak C. ceratosporum yang terdiri dari enam perlakuan, yaitu dosis 0, 10, 50, 100, 500 dan 1000 µgg-1 berat badan udang. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada masing-masing parameter pengamatan dilakukan analisis ragam dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan’s. Udang L. vannamei dipelihara dalam 18 wadah plastik kapasitas 60L berisi 40L air laut steril dengan kisaran salinitas 32 - 34 promil dan diaerasi, masing-masing wadah berisi 18 ekor. Sebelum perlakuan, udang diaklimatisasi selama satu minggu di laboratorium dengan diberi pakan komersial empat kali 78 - Semnaskan_UGM / Erika Saraswati, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 sehari sebanyak 3% berat biomas. Setelah aklimatisasi, masing-masing udang diinjeksi dengan ekstrak C. ceratosporum pada segmen kedua bagian ventral abdomen dengan dosis 10, 50, 100, 500 dan 1000µg g-1 berat badan dan sebagai kontrol digunakan phospat buffer saline (PBS), sehingga terdapat 6 perlakuan, masing-masing diulang tiga kali. Pengamatan dilakukan sebelum dan setelah injeksi ekstrak HWE terhadap parameter respon imun udang dengan indikator differencial haemocyte count (DHC), total protein plasma (TPP), aktivitas fagositosis (AP), serta parameter sintasan udang dengan indikator kelulushidupan (SR). Pengukuran Parameter Respon Imun Penghitungan DHC dilakukan dengan mengambil 25 µl hemolim kemudian diwarnai dengan metode Grinwald-giemsa (Van de Braak, 1996). Hemosit diteteskan pada ujung gelas objek kemudian dipulas sampai rata. Ditetesi dengan larutan metanol sampai rata dan dibiarkan selama dua menit. Kelebihan metanol dibuang, lalu ditambahkan larutan giemsa yang telah diencerkan dengan larutan penyangga di atas hapusan hemolim secara merata dan dibiarkan selama 30 menit. Sediaan hapusan hemolim dibilas dengan air mengalir lalu diletakkan dalam posisi vertikal dan dibiarkan kering udara. Pengamatan jumlah sel dalam prosentase dengan menggunakan mikroskup cahaya perbesaran 400X (Van de Braak, 1996). Penghitungan Aktifitas Fagositosis mengikuti metode (Van de Braak, 1996). Sediaan hemolim sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam ependorf kemudian ditambahkan 25 µl bakteri Staphylococcus aureus (x106 selml-1), dicampur secara merata dan diinkubasi selama 20 menit di suhu kamar. Hemolim dibuat preparat ulas pada objek glas, lalu dikeringkan. Preparat difiksasi dengan larutan metanol 100% selama 5 menit dan diwarnai dengan larutan giemsa selama 10-15 menit. Kelebihan giemsa dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan secara vertikal. Objek glas diperiksa di bawah mikroskup dengan pembesaran 400X. Aktifitas fagositosis diukur berdasarkan persentase sel-sel fagosit yang melakukan fagositosis, dan dihitung dengan rumus sebagai berikut: Aktifitas fagositosis = jumlah sel yang melakukan fagositosis / jumlah sel yang diamati X 100%. Penghitungan total protein plasma (TPP) dilakukan dengan mengambil hemolim sebanyak 100 µl diambil dari udang dan disentrifus pada 1.500 rpm suhu 4oC selama 10 menit. Membuat stok larutan bovin serum albumin (BSA) dan aquades 1 mgml-1. Sampel hemolim sebanyak 0,2 ml dimasukkan pada tabung reaksi dan ditambah dengan reagen alkalin CuSO4 2ml, kemudian dihomogenkan dengan vortex. Diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang, kemudian ditambahkan larutan folin lowry 0,2 ml dan dihomogenasi dengan vortex. Diinkubasi selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm (Van de Braak, 1996). Indikator kelulushidupan udang dihitung pada akhir pengamatan dengan menghitung jumlah udang yang masih hidup pada setiap wadah percobaan dibandingkan dengan jumlah udang pada awal penelitian dinyatakan dalam persen (%). Hasil dan Pembahasan Hemosit merupakan sel-sel yang terdapat dalam hemolim. Total hemosit merepresentasikan jumlah hemosit secara keseluruhan, yang meliputi sel hialin (HC), semi granular (SGC) dan sel granular (GC). Peningkatan total hemosit berarti meningkatkan peluang terbentuknya sel-sel hemosit yaitu sel hialin, semi granular dan sel granular. Ketiga sel tersebut memiliki fungsi masing-masing. Ketika fungsi dari masing-masing sel tersebut meningkat maka kemampuan untuk mengelimir partikel asing yang masuk juga meningkat, sehingga udang dapat mempertahankan diri dari serangan mikroorganisme. Hialin sel Pemberian HWE C. ceratosporum meningkatkan hialin sel dibandingkan kontrol, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Pemberian HWEC. ceratosporum secara intra muskular berpengaruh sangat nyata (p=0,001) terhadap prosentase hialin sel udang L. vannamei, dimana pemberian dengandosis 10, 50, 100, 500 dan 1000µg g-1secara intra muskular meningkatkanhialin sel berturut-turut 124%, 118%, 105%, 89% dan 67%. Hal itu menunjukkan bahwa peningkatan hialin sel dengan pemberian HWEC. ceratosporum meningkatkan kemampuan pertahanan tubuh L.vannamei dengan adanya peningkatan Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-18) - 79
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 sel fagosit. Peningkatan hialin sel tersebut lebih tinggi dibandingkan penelitian serupa dengan ekstrak yang berbeda. Hialin sel udang yang direndam 400 mg L-1 ekstrak G. tenuistipitata meningkat 42% (Yeh et al., 2010). Hialin sel udang yang direndam dalam 200, 400, dan 600 mg L-1 ekstrak G. tenuistipitata meningkat secara signifikan berturut-turut 20%, 39%, dan 57% (Yeh and Chen, 2009).
Gambar 1. Histogram rerata hialin sel udang L. vannamei sebelum dan sesudah diinjeksi HWE C. ceratosporum. Pada L. vannamei jumlah hialin sel berkisar antara 5 – 20% dari jumlah total sel darah (Martin and Graves, 1985). Hialin sel tertinggi dicapai dengan dosis injeksi HWEC. ceratosporum 10 µgg-1 berat badan udang sebesar 23,80±0,87%. Semi Granular Sel Peningkatan sel hialin, semi granular dan granular dalam hemosit merupakan salah satu parameter peningkatan status kesehatan atau ketahanan tubuh udang. Sel-sel tersebut memiliki fungsi masingmasing. Sel semi granular berperan dalam aktifitasfagositosis, enkapsulasi, proPO dan sitotoksis (Johansson et al. 2000; Smith et al. 2003).Prosentase sel semi granular hasil pengamatan berkisar antara 60,9±2,91% - 73,03±0,32%. Sel semi granular adalah tipe sel yang paling dominan, terdiri dari sekitar 60 – 75% dari semua hemosit dalam sirkulasi (Martin and Graves, 1985). Pemberian HWE C. ceratosporum secara intra muskular dapat meningkatkan prosentase sel semi granular antara 10,97% - 16,85% sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Hasil penelitian pemberian HWE C. ceratosporum secara intra muskular berpengaruh sangat nyata (p=0,001) terhadap prosentase semi granularsel.
Gambar 2. Histogram rerata semi granular sel udang L. vannamei sebelum dan sesudah diinjeksi HWE C. ceratosporum.3. Aktivitas Fagositosis (AP) Aktifitas fagositosis merupakan reaksi pertahanan seluler paling umum padaudang dan merupakan mekanisme awal sistem imun udang ketika terjadi serangan patogen atau masuknya antigen. Respon ini sebagai upaya untuk mempertahankan diri dari masuknyaantigen, dengan cara menghancurkan antigen secara nonspesifik melalui prosesfagositosis (Le Moullac and Haffner, 2000). Aktivitas fagositosis digunakan untuk menentukan status kesehatan udang dan untuk mengevaluasi respons imun seluler pada udang. 80 - Semnaskan_UGM / Erika Saraswati, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Pemberian HWE C. ceratosporum meningkatkan aktivitas fagositosis udang L. vannamei. Rata-rata aktivitas fagositosis udang L. vannamei yang diinjeksi HWEC. ceratosporum lebih tinggi dibandingkan sebelum pemberian ekstrak sebagaimana pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram rerata aktivitas fagositosis udang L. vannamei sebelum dan sesudah diinjeksi HWE C. ceratosporum. Perbedaan dosis injeksi HWE C. ceratosporum berpengaruh sangat nyata (p=0,001) terhadap aktivitas fagositosis udang L. vannamei. Aktivitas fagositosis tertinggi diperoleh dengan dosis pemberian 10 µgg-1 BB dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan kontrol maupun dosis lainnya.Meningkatnya aktivitas fagositosis karena adanya peningkatan jumlah hemosit dalam hemolim, terutama adanya peningkatan hialin sel. Sel hialin merupakan sel fagosit, sehingga peningkatan jumlah sel hialin akan meningkatkan aktivitas fagositosis. Peningkatan aktivitas fagositosis menunjukkan bahwa HWE C. ceratosporum mampu meningkatkan jumlah sel-sel fagosit, yaitu hialin sel sehingga aktivitas fagositosisnya menjadi meningkat. Penelitian Yeh et al. (2006) menunjukkan pemberian HWE S. duplicatum baik dengan cara perendaman atau injeksi dapat meningkatkan aktivitas fagositosis udang L. vannamei. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Hoe and Chen (2005), menunjukkan aktivitas fagositosis secara nyata lebih tinggi pada udang yang diberi ekstrak G. tenuistipitata 6 µgg-1 daripada udang yang diberi larutan saline dan kontrol. Sel-sel fagositik dapatberkurang dalam hemolimph karena dalam aktivitas fagositosis, sel-sel fagositiksebagian akan hancur bersama dengan bakteri setelah melewati berbagai prosesfagositosis.Degranulasi dapat diikutioleh lisis sel (Soderhall et al. 1986), dan oleh karena itu sejumlah hemosit dapatjuga hilang selama proses degranulasi. Total Protein Plasma (TPP) Total protein plasma merupakan jumlah protein dalam plasma hemosit. Dengan mengetahui jumlah protein yang terkandung dalam plasma udang dapat diperkirakan pola perubahan protein yang terlibat dalam mekanisme pertahanan tubuh udang. Ada bermacam-macam protein yang terlibat dalam mekanisme pertahanan tubuh udang, seperti lectin, peroxinetin, crustin, dll. Masing-masing protein tersebut memiliki fungsi yang berbeda dalam sistem pertahanan tubuh udang, antara lain berfungsi dalam proses pengenalan, perlekatan, opsonisasi, dan fungsi lainnya. Clotting protein berfungsi dalam proses enkapsulasi material yang lebih besar pada proses fagositosis. Oleh karena itu parameter total protein plasma sangat penting untuk mengetahui status pertahanan dan kesehatan udang. Pemberian HWE C. ceratosporum secara intra muskular berpengaruh sangat nyata terhadap total protein plasma udang L. vannamei (p=0,001). Total protein plasma udang L. Vannamei yang diinjeksi HWE C. ceratosporum berkisar 49,25±2,00 sampai150,58±3,51 µgml-1 sebagaimana pada Gambar 4.
Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-18) - 81
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
Gambar 4. Histogram rerata total protein plasma (TPP) udang L. vannamei sebelum dan sesudah diinjeksi HWE C. ceratosporum. Pemberian HWE C. ceratosporum dengan dosis 10, dan50µg g-1 berat badan meningkatkan total protein plasma berturut-turut menjadi 140,92±3,51dan120,92±1,73µgml-1dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, dosis 100, 500, dan 1000 µg g-1 BB. Total protein plasma tertinggi dicapai dengan dosis pemberian ekstrak 10 µg g-1BB. Penelitian Ekawati et al. (2013) menunjukkan jumlah C. ceratosporum dalam formula pakan berpengaruh terhadap total protein plasma pada plasma supernatan udang windu. Total protein plasma tertinggi (23,16 mgml-1) dicapai dengan jumlah C. ceratosporum sebanyak 5,98%. Hal ini menunjukkan bahwa HWE C. ceratosporum mempunyai potensi untuk menstimulasi respons imun udang. Kelulushidupan Udang Pemberian HWE C. ceratosporum tidak berpengaruh nyata terhadap kelulushidupan udang L. vannamei. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian HWEC. ceratosporum dengan dosis yang tinggi masih dapat diterima oleh udang L. vannamei dan tidak bersifat toksik. Pada Gambar 5. terlihat bahwa kelulushidupan udang kontrol lebih tinggi dibandingkan udang dengan pemberian HWE, sebaliknya udang yang mendapatkan HWE menunjukkan kelulushidupan yang lebih rendah namun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Kelulushidupan yang tidak berbeda nyata ini menunjukkan bahwa pemberian HWE C. ceratosporum dengan dosis yang tinggi tidak berpengaruh negatif terhadap udang L. vannamei, serta tidak bersifat toksik dan aman digunakan pada udang.
Gambar 5.
Histogram rerata kelangsungan hidup udang L. vannamei dengan pemberian ekstrak C. ceratosporum pada akhir penelitian.
Hasil Ekstraksi C. ceratosporum Ekstraksi mikroalga C. ceratosporum dengan air panas menghasilkan sebanyak 33,12% ekstrak kasar C. ceratosporumyang berwarna keemasan seperti terlihat pada Gambar 6. Selanjutnya ekstrak ini disebut Hot Water Extract (HWE) C. ceratosporum. Hasil ekstraksi ini tidak berbeda jauh dengan 82 - Semnaskan_UGM / Erika Saraswati, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 hasil ekstraksi G. tenuistipitata sebanyak 30% (Yeh et al., 2010). Perbedaan hasil ekstrak tersebut dapat disebabkan oleh bagaimana proses tersebut dilakukan (Chiu et al., 2012). Perbedaan kondisi lingkungan dan media budidaya oleh nutrisi, akan mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi kimia ekstrak. Selain itu usia budidaya dan cara preparasi yang berbeda juga dapat mempengaruhi komposisi metabolit dan rendemen yang dihasilkan dalam proses ekstraksi.
Gambar 6. Ekstrak air hasil maserasi yang digunakan untuk penelitian Berdasarkan hasil kromatogram spektrum LCMS (Liquid Chromatography Mass Spectroscopy) HWE C. ceratosporum menunjukkan spektrum yang memberikan data semua senyawa yang terkandung memiliki bobot molekul pada rentang 100 – 700 m/z. Spektrum kromatogram tersebut menunjukkan serapan ion pada waktu retensi yang sangat beragam. Beberapa yang cukup menonjol adalah senyawa yang menunjukkan serapan ion pada waktu retensi 0,53; 1,29; 5,46; 7,81; 8,14; 8,40; 8,90; 9,27; 9,60; 9,91; 10,04; 10,20 dan 12,68 menit. Mendasarkan pada begitu banyaknya senyawa yang terekspresi pada spektrum tersebut, selanjutnya dicocokkan bobot molekul jenis senyawa polisakarida yang kemungkinan besar terkandung pada ekstrak tersebut, sehingga dapat diketahui kandungan senyawa-senyawa polisakarida yang terdapat pada HWE C. ceratosporum antara lain adalah sebagaimana pada Tabel 1. Tabel 1. Data beberapa senyawa polisakarida LPS dalam HWE C. ceratosporum dengan hidrolisis HCl 0,1M. Hasil analisis pada kromatogram. No
Waktu Retensi
Jenis Polisakarida
Bobot Molekul
1
0,55; 0,61; 0,68
Rhamnosa, D-Fucosa, Galaktosa
164
2
12,75; 12,84
Fruktosa, Glukosa
180
3
5,62
Asam Glukoronat
193
4
0,56 dan 6,96
Glucosamin
216
5
0,49; 7,78; 8,15
L-Fukosa
332
6
9,89; 9,92; 9,97
Sukrosa, maltosa, laktosa
342
7
0,53
maltotriose
504
8
9,91
Oligosakarida sulfat
583
9
0,50; 0,53, 8,89
L-Arabinosa
655
10
0,55, 7,84
Maltotetraosa
666
Komponen gula yang mendominasi HWE C. ceratosporum adalah karbohidrat netral, gula amin, asam karboksilat, dan oligosakarida sulfat. Hasil ini mirip dengan kandungan karbohidrat dari ekstrak air panas C. rasemosa hasil penelitian Chattopadhyay et al. (2007) yang mengandung glukosa, galaktosa, xilosa, dan arabinosa. Ekstrak Padina pavonia mengandung fukosa, arabinosa, dan asam grukoronat, sedangkan Hydroclathrus clathratus mengandung fucosa, xylosa, glucosa, galaktosa dan asam galakturonat (Awad et al., 2009). Sedangkan karakterisasi LPS dari B. japonicum menunjukkan adanya kandungan glukosa, sukrosa, galaktosa, manosa, xylosa, arabinosa, ramnosa dan glukosaminosa (Zauqiah et al., 2006). Glukosamin merupakan komponen yang terdapat pada lipid A dan bagian inti LPS, sedangkan galaktosa, manosa, dan ramnosa terdapat pada inti dan O-antigen (Carrion et al. 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa glukosa merupakan komponen khas pada oligosakarida Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-18) - 83
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 inti, fruktosa, xylosa, ribosa dan arabinosa merupakan komponen glikosil pada O-antigen. Struktur LPS terdiri dari tiga bagian utama, yaitu lipid A, inti oligosakarida dan rantai polisakarida dengan unit berulang oligosakarida yang disebut rantai-O spesifik (O-antigen), dengan demikian dapat dikatakan bahwa HWE C. ceratosporum mengandung penciri LPS dengan komponen polisakarida sebagaimana Tabel 2. Tabel 2. Komponen polisakarida ekstrak C. ceratosporum pada masing-masing bagian utama penyusun LPS. Lipid A
inti
O-antigen
glukosamin
glukosamin
fruktosa
as. pentadekanoat
galaktosa
xilosa
manosa
ribosa
ramnosa
L-arabinosa L-fucosa
sukrosa
D-fucosa
Struktur O-antigen LPS C. ceratosporum mengandung unit L-arabinosa, L-fucosa dan D-fucosa, sedangkan secara umum O-antigen mengandung unit fruktosa, xilosa, ribosa dan arabinosa. Diduga kandungan unit L-arabinosa, L-fucosa dan D-fucosa merupakan unit yang tidak umum dijumpai, sehingga struktur tersebut lebih dikenali sebagai struktur yang asing bagi sel udang, dan LPS C. ceratosporum mampu menginduksi respon pertahanan udang. Hal ini seperti yang dijumpai pada penelitian Marianingsih (2012) yang mendapatkan hanya unit D-rhamnosa pada LPS P. syringae pv. glycinea dengan kemampuan induksi respon imun lebih kuat daripada LPS P. syringae pv.tabaci yang mengandung L-rhamnosa dan D-rhamnosa. Kepastian terhadap kandungan LPS pada HWE C. ceratosporum, dibuktikan dengan hasil pengujian ELISA yang menunjukkan bahwa HWE C. ceratosporum positif mengandung LPS sebagaimana Tabel 3. berikut. Tabel 3. Hasil Pegujian Ekstrak LPS C. ceratosporum terhadap Antibodi Anti-LPS dengan Teknik Indirect-ELISA. No.
Zat Uji
Pengenceran
Pembacaan
01/10
01/20
01/40
01/80
1/160
1/320
1/640
1/1280
0,724
0,72
0,604
0,54
0,452
0,366
0,292
0,267
1
Ekstrak Air
OD +/-
+
+
+
+
+
+
+
+
2
Tepung C. ceratosporum
OD
0,802
0,761
0,681
0,609
0,482
0,412
0,324
0,258
+/-
+
+
+
+
+
+
+
-
Ekstrak Etanol
OD
0,266
0,242
0,232
0,222
0,188
0,187
0,182
0,175
+/-
+
-
-
-
-
-
-
-
OD
1,26
1,226
1,218
1,186
td
td
td
td
+/-
+
+
+
+
td
td
td
td
OD
0,171
0,185
0,17
0,183
td
td
td
td
3 4 5
LPS Ba LPS Ec
+/td td td td Keterangan: OD = Optical Density; td = tidak dikerjakan; - = negative; + = positif; kontrol negatif = 0,177; Cut off value = 0,266; Ba = Brucella abortus; Ec = Escheriachia coli
Berdasarkan hasil uji tersebut membuktikan bahwa C. ceratosporum mengandung LPS. Ekstraksi tepung C. ceratosporum dengan pelarut air mampu menarik ekstrak LPS lebih kuat dibandingkan etanol. Hal itu ditunjukkan dengan hasil uji positif pada setiap pengenceran yang dilakukan. Sedangkan pada ekstrak etanol hasil positif hanya ditunjukkan pada pengenceran 10-1. Pada pengenceran yang lebih besar tidak menunjukkan hasil positif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menarik LPS dari mikroalga C. ceratosporum lebih baik digunakan pelarut air.
84 - Semnaskan_UGM / Erika Saraswati, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian HWE C. ceratosporum secara injeksi sangat berpengaruhterhadap peningkatan status kesehatan udang L. vannamei, dengan ditunjukkan oleh peningkatan respon pertahanan tubuhnya yaitu dengan meningkatnya hialin sel, semi granular sel, total protein plasma, dan aktivitas fagositosis. Status kesehatan udang tertinggi diperoleh dengan pemberian HWE 10µg g-1beratbadan yang mampu meningkatkan hialin sel dari 10,63% menjadi 23,8%, semi granular sel meningkat dari 62,5% menjadi 71,73%, aktivitas fagositosis meningkat dari 18,27% menjadi 41,27% dan TPP meningkat dari 70,92 menjadi 140,92µgml-1, sehingga tidak mempengaruhi kelulushidupannya. Senyawa yang terkandung dalam HWE C. ceratosporum adalah lipopolisakarida. Daftar Pustaka Awad, N.E., H.M. Motawe, M.A. Selim & A.A. Matloub. 2009. Antitumourigenic Polysaccharides isolated from the brown algae, Padina pavonia (l.) gaill. and Hydroclathrus clathratus (c. agardh) howe. Medicinal and Aromatic Plant Science and Biotechnology. 3. (Special Issue 1).6-11. Carrion, M., U.R. Bhat, B. Rheus & R.W. Carlson. 1990. Isolation and characterization of the lipopolysaccharides from B. Japonicum. J. Bacteriol. 172:1725-1731. Chattopadhyay, K., U. Adhikari, P. Lerouge & B. Ray. 2007. Polysaccharides from Caulerpa racemosa: purification and structural features. Carbohydrate Polymers. 68:407-415. www.elsevier.com/ locate/carbpol. Chiu, Y., Y. Chan, T. Li, C. Wu. 2012. Inhibition of japanese encephalitis virus infection by the sulfated polysaccharide extracts from Ulva lactuca. Mar Biotechnol. 14:468-478. Delaporte, M., P. Soudant, J. Moal, C. Lambert, C. Quere, P. Miner, G. Choquet, C. Paillard & J.F. Samain. 2003. Effect of a monospecific algal diet on immune functions in two bivalve species Crassostrea gigas and Ruditapes Philippinarum. Journal of Exp. Biology. 206:3053-3064. Ekawati, A. W., H. Nursyam, E. Widjajanto & Marsoedi. 2013. Peningkatan respon imun humoral udang windu (Penaeus monodon Fab.) setelah diberi pakan yang mengandung C. ceratosporum. Prosiding Seminar nasional Tahunan X Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2013. Jilid I. Budidaya Perikanan. ISBN:978-602-9221-21-3. Penyunting Isnansetyo, A. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. PN-22. Hayashi, K., T. Hayashi & N. Morita. 1993. An extract from Spirulina plantesis is a selective inhibitor of Herpes simplex type 1 penetrasion into hela cells. Phytother. Res.7, 76-80. Hou, W.Y. & J.C. Chen. 2005. The imunostimulatory effect of hot water extract of Gracilaria tenuistipitata on the white shrimp L. vannamei and its resistance against Vibrio alginolyticus. Fish Shellfish Immunology 19:1, 27 – 38. Johansson, M.W., P. Keyser, K. Sritunyalucksana & K. Sonderhall. 2000. Crustacean haemocytes and haematopoiesis. Aquaculture 191:45-52. Le Moullac G & P. Haffner. 2000. Environmental factor affecting immune response in crustacean. Aquaculture 191:121-131. Marianingsih, P. 2012. Induksi respon pertahanan tanaman tembakau (Nicotiana tabacum) oleh lipopolisakarida bakteri Pseudomonas syringae pv. tabaci dan Pseudomonas syringae pv. glycinea. Tesis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Pasca Sarjana Program Studi Biologi. Universitas Indonesia. Depok. 28-29. Martin, G.G. & B.L. Graves. 1985. Fine structure and classification of shrimp hemocytes. Journal of Morphology, 185, 339-348. Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-18) - 85
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Saraswati, E. 2011. Respons hemosit udang putih L. vannamei terhadap pemberian berbagai macam fraksi ekstrak C. ceratosporum. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. Saraswati, E., A. Prajitno, U. Yanuhar & A.L. Abadi. 2013. Immune response of white shrimp L. vannamei that injected with the extract of diatomae C. ceratosporum. J. Basic. Appl. Sci. Res., 3(7)725-731, www.textroad.com. Skjermo, J., T.R., Storseth, K., Hansen, A. Handa & G. Oie. 2006. Evaluation of β-(1-3,1-6)-glucans and high-m alginate used as immunostimulatory dietary supplement during first feeding and weaning of atlantic cod (Gadus morhua L.). Aquaculture 261: 1088-1101. Smith, V.J., J.H. Brown & C. Hauton. 2003. Immunostimulation in crustaceans: does it really protect against infection?. Fish and Shellfish Immunology. 15 (2003) 71-90. Elsevier Science Ltd. www.elsevier.com/locate/fsi. Soderhall, K., V.J. Smith & Johansson, M. 1986. Exocytosis and phagocytosis by isolated hemocyte populations of crustaceans: evidens for cell co-operation in the cellular defence reactions. Cell and Tissue Research. 245:43-49. Tayag, C.M., Y.C. Lin, C.C. Li, C.H. Liou, J.C. Chen. 2010. Administration of the hot water extract of Spirulina plantesis enhances the immune response of white shrimp L. vannamei and its resistance againts Vibrio alginoliticus. Fish and Shellfish Immunology 28: 764-773. Van de Braak, K. 1996. Cellular and humoral characteristics of Penaeus monodon (Fabricus 1978) Haemolymph. Comperative Haematolohy International. 6:194-203. Yeh, S-T. & J-C. Chen. 2009. White shrimp L. vannamei that received the hot water extract of Gracilaria tenuistipitata showed earlier recovery in immunity after a Vibrio alginolyticus injection. Fish and Shellfish Immunology 26, 724 – 730. www.elsevier.com/locate/aqua-online Yeh, S-T., C-S. Lee & J-C. Chen. 2006. Administration of hot water extract of brown seaweed Sargassum duplicatum via immersion and injection enhances the immune resistance of white shrimp L. vannamei. Fish and Shellfish Immunology 20, 332 – 345. www.elsevier.com/locate/aquaonline Yeh, S-T., Y-C. Lin, C-L. Huang, J-C. Chen. 2010. White shrimp L. vannamei that recieved the hot water extract of Gracilaria tenuistipitata showed protective innate immunity and up regulation of gene expressions after low salinity stress. Fish and Shellfish Immunology 28, 887 – 894. www.elsevier.com/locate/aqua-online Zauqiah, A.D., Tedja-Imas, D.N. Susilowati. 2006. Karakterisasi lipopolisakarida Bradyrhizobium japonicum kdr 15 toleran logam berat. Hayati. Vol. 13.No.3. ISSN:0854-8587. 113-118.
86 - Semnaskan_UGM / Erika Saraswati, dkk